Asmara Berdarah 9

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


i para pendekar yang membantu pemerintah membongkar per-sekutuan jahat yang dipimpin Liu-thaikam dan kini ternyata bahwa satu di antara orang-orang gagah itu adalah Sui Cin.
"Sui Cin, tidak semua bangsawan tinggi hati dan sombong. Engkau tidak boleh menilai orang dari keadaan atau kedudukannya. Keadaan apapun juga tentu ada kecualinya. Banyak saja bangsawan tinggi yang rendah hati dan orang-orang biasa yang tinggi hati. Juga banyak orang-orang hartawan yang berwatak pendekar sebaliknya orang-orang miskin yang berwatak penjahat. Sudahlah, nanti kita bicarakan lagi. Engkau baru saja pulang dari kepergianmu yang setahun lebih itu."
"Benar ayahmu, Cin. Mari kita beristirahat dulu dan berganti pakaian. Eng-kau harus ceritakan semua pengalaman-mu, terutama perjuanganmu meruntuhkan Liu-thaikam yang menggemparkan itu," kata Toan Kim Hong yang kini sudah memperoleh kembali kesabarannya, me-rangkul puterinya dan mengajaknya ma-auk ke dalam kamar.
Kepada ayah ibunya Sui Cin menceri-takan semua pengalamannya, juga perte-muannya dengan tokoh-tokoh sesat Cap-sha-kui, dengan Cia Sun dan Cia Hui Song. Semua diceritakan dengan jelas ke-cuali bahwa saat ini Hui Song menanti di kota Ning-po, menanti "lampu hijau" da-rinya agar pemuda itu diperbolehkan mengunjungi Pulau Teratai Merah untuk berkenalan dengan orang tuanya.
Ketika Sui Cin bercerita tentang mu-rid Cin-ling-pai yang bernama Tan Siang Wi yang tinggi hati, angkuh dan galak, i-bunya mengerutkan alis. "Ah, ketua Cin-ling-pai itu bernama Cia Kong Liang dan memang wataknya angkuh dan meman-dang rendah semua orang. Pantas kalau dia memiliki seorang murid seperti itu. Terus terang saja, aku tidak suka kepada Cin-ling-pai!"
"Memang wataknya agak tinggi hati, akan tetapi harus diakui bahwa keluarga Cin-ling-pai adalah keluarga gagah per-kasa yang selalu menjunjung tinggi kebe-naran. Bagaimanapun juga, aku sendiripun terhitung murid Cin-ling-pai."
"Memang benar ayah," kata Sui Cin. "Biarpun Tan Siang Wi itu berwatak ang-kuh, akan tetapi Cia Hui Song, putera ketua Cin-ling-pai itu sama sekali tidak sombong, bahkan ramah dan baik sekali di samping ilmu silatnya yang tinggi. Dialah yang berkeras menentang kelaliman Liu-thaikam dan aku membantunya." La-lu diceritakannya semua tentang pemuda itu, tentu saja sambil mencari jalan un-tuk menyampaikan keinginan pemuda itu yang masih menanti di Ning-po.
"Cia Hui Song juga menyatakan keka-gumannya terhadap ayah, dan dia ingin sekali menghadap dan berkenalan dengan ayah dan ibu." Akhirnya ia memancing.
"Hemm, tidak usah ke sini... aku su-dah merasa tidak suka kepada keluarga itu, lebih baik tidak ada hubungan sama sekali," kata Kim Hong dan mendengar ucapan ibunya itu, tentu saja Sui Cin ti-dak berani lagi mendesak. Munculnya u-rusan dengan keluarga Can tentu saja merupakan halangan besar baginya untuk memperkenalkan Hui Song. Ia menolak pinangan keluarga Can dan hal itu tentu mengesalkan hati ayah ibunya yang sudah setuju menerima, maka kalau ia memba-wa Hui Song ke pulau tentu hanya akan makin menjengkelkan hati orang tuanya. Tidak, saatnya tidak tepat bagi Hui Song untuk datang berkunjung dan ia harus se-gera memberi tahu kepada pemuda itu agar tidak menunggu dengan sia-sia di Ning-po.
Pada keesokan harinya, selagi Sui Cin termenung di taman belakang gedung, masih bingung memikirkan tentang Hui Song yang menantinya di seberang, ibu-nya datang menghampiri, memeluk dan duduk di sampingnya, di atas sebuah bangku batu di taman itu.
"Anakku, maafkan sikap ibu kemarin. Aku telah marah-marah kepadamu, aku menyesal sekali menyambut pulangmu yang sudah amat kurindukan dengan ke-marahan." Ibu itu dengan sikap lembut dan sayang mencium pipi anaknya.
Sui Cin balas mencium dan merangkul ibunya. "Tidak, ibu. Akulah yang minta maaf karena setelah lama meninggalkan ibu, aku pulang tidak membawa oleh-o-leh yang menyenangkan, malah mendatangkan kejengkelan di hati ibu dan ayah saja. Kalau aku tahu begini, aku tidak akan pulang dulu dan melanjutkan peran-tauanku."
"Hushhh, sudahlah. Kita lupakan saja peristiwa kemarin dan mari kita bicara dengan hati terbuka. Sui Cin, katakanlah terus terang, engkau menolak keras lamaran putera Raja Muda Can, apakah dalam perantauanmu itu engkau bertemu dengan pemuda yang telah menjatuhkan hatimu?"
Dara itu memandang wajah ibunya dengan mata terbelalak. Kim Hong menatap sepasang mata yang bening itu, penuh selidik, akan tetapi ia tidak melihat sesuatu pada sepasang mata itu dan memang anaknya benar-benar heran dan terkejut, tidak menyembunyikan sesuatu. Kim Hong adalah seorang wanita yang amat tinggi ilmunya, luas pengalamannya dan amat cerdik, maka andaikata Sui Cin menyembunyikan sesuatu perasaan tertentu sudah pasti ibunya akan dapat mengetahuinya atau setidaknya mencurigainya.
"Ibu, apa yang kaumaksudkan" Menjatuhkan hatiku?" Pertanyaan yang polos dan jujur karena memang Sui Cin belum paham akan lika-liku dan istilah tentang cinta.
"Maksudku, apakah ada pemuda yang menarik hatimu dan kausuka?"
Sui Cin masih bersikap biasa saja dan keheranan pada pandang matanya lenyap setelah ia mengerti pengertian yang tanpa diketahuinya keliru. "Ah, itukah yang ibu maksudkan" Tentu saja ada dan banyak. Banyak kujumpai orang-orang pandai dan lihai, gagah perkasa dan menyenangkan. Terutama sekali Cia Sun dan Cia Hui Song. Mereka adalah pemuda-pemuda gagah perkasa yang mengagumkan sekali."
"Bukan begitu maksudku."
"Lalu bagaimana?" Kembali keheranan membayang di mata dara itu.
"Maksudku, apakah ada pemuda yang... eh, kepada siapa engkau jatuh cinta?"
"Ohh...!" Wajah Sui Cin berobah merah dan sejenak ia termangu-mangu, akan tetapi ia segera menggeleng kepala. "Aku tidak mengerti apa yang ibu maksudkan. Aku... aku tidak tahu apakah aku mencinta seseorang, kurasa aku hanya suka saja, ibu, suka bersahabat, terutama kepada... Cia Hui Song."
"Hemm, terutama kepada putera ketua Cin-ling-pai itu" Hati-hati, Sui Cin, jangan kau jatuh cinta kepadanya. Aku tidak suka mempunyai mantu putera Cin-ling-pai!"
Sudah menjadi watak Sui Cin tidak bisa dikeras. Kalau dihadapi dengan kekerasan, ia akan menentang. Maka kini mendengar ucapan ibunya, ia berkata, "Ibu, terus terang saja, aku suka kepada Hui Song, akan tetapi aku tidak tahu apakah aku mencintanya. Andaikata aku mencinta, siapapun juga tidak akan dapat melarangku!"
Wajah ibunya berubah dan matanya terbelalak, akan tetapi melihat sikap puterinya yang begitu tegas dan keras, tiba-tiba nyonya ini tersenyum, teringat akan kekerasan hatinya sendiri. Ia mengangguk dan merangkul puterinya. "Baiklah, akan tetapi engkau tidak cinta kepadanya, bukan?"
Sui Cin menggeleng kepala. "Aku suka kepadanya karena dia gagah perkasa, ramah dan baik budi, ibu. Akan tetapi aku... aku tidak tahu apakah aku cinta kepadanya atau kepada siapapun juga. Aku masih suka hidup bersama ayah ibu, atau hidup seorang diri, merantau dan memperluas pengalaman. Aku tidak ingin terikat oleh pernikahan dan menggantungkan hidupku pada seseorang, mengurung diriku dalam sebuah rumah tangga. Ngeri aku membayangkan betapa aku menjadl nyonya rumah yang tidak pernah meninggalkan rumahnya, seperti seekor anjing yang dirantai di dalam kandangnya. Aku masih ingin bebas, ibu, seperti burung di udara..."
Ibunya mengangguk. "Aku mengerti perasaanmu, anakku. Agaknya, jiwa petualangan ayah ibu menurun kepadamu. Akan tetapi ingat, anakku. Usiamu sudah enam belas tahun dan sudah sepatutnya engkau mempunyai ikatan dengan seseorang yang kelak akan menjadi suamimu. Kulihat Can-kongcu merupakan calon yang paling baik dan tepat untukmu. Kelak dia tentu akan menduduki pangkat yang tinggi dan hidupmu terjamin, mulia, terhormat dan bahagia. Soal pernikahan dapat saja diundur, akan tetapi asal engkau setuju, ikatan perjodohan dapat diadakan lebih dulu."
"Tidak, ibu, aku tidak mau! Aku tidak cinta pada orang itu, aku tidak suka, bahkan aku benci padanya!"
Wajah Toan Kim Hong menjadi keruh dan ia bangkit berdiri. "Engkau hanya mengecewakan hati orang tua saja, Sui Cin." Dan ibu yang kecewa ini meninggalkan anaknya yang duduk termenung dengan muka berubah merah dan hampir menangis. Akan tetapi Sui Cin tidak menangis, walaupun ingin ia melepaskan kemarahan dan kejengkelan hatinya melalui tumpahan air mata. Tidak, ia tidak akan menangis. Ia akan menentang kalau harus dijodohkan dengan pemuda bangsawan she Can yang ceriwis itu! Ia sudah dapat membayangkan kalau menjadi isteri bangsawan. Mengenakan pakaian indah-indah dan tebal tidak enak dipakai, harus bersikap agung-agungan menerima penghormatan orang, harus bersopan-sopan dan berpatut-patut di depan orang banyak, kemudian akan merenungi nasib sendiri di dalam kamar karena suaminya sang bangsawan pergi ke kamar selir-selir yang tak terhitung banyaknya! Tidak, ia tidak mau. Kalau ia menjadi isteri bangsawan, tentu ia akan menjadi pembunuh, membunuh suaminya dan selir-selir suaminya. Ia ingin bebas, biarpun bersuami, akan tetapi bebas bersama suaminya menjelajahi hutan dan gunung, tidak menjadi boneka-boneka hidup di dalam gedung besar dan pengap! Dan ia teringat akan kesenangan ketika melakukan perjalanan bersama Hui Song. Menentang orang-orang jahat, menggoda dan menumpas mereka, menghadapi bahaya-bahaya yang menegangkan, mengatasi ancaman-ancaman bahaya maut, tidur di alam terbuka. Bebas! Alangkah senangnya. Itulah hidup dan itulah kehidupan yang disenanginya. Bukan menjadi boneka hidup di samping seorang bangsawan yang menjadi suaminya, juga majikannya.
Hui Song! Dia masih menanti di Ning-po. Sui Cin lalu bangkit berdiri dan meninggalkan taman itu, menuju ke pantai dan tak lama kemudian iapun sudah melayarkan perahu kecil itu menuju ke seberang, ke daratan besar.
Hari telah senja ketika ia meninggalkan pulau tanpa setahu ayah ibunya dan ketika perahunya mendarat di pantai, cuaca sudah mulai gelap. Akan tetapi ketika ia meloncat ke daratan dan menarik pcrahunya, tiba-tiba muncul sesosok bayangan hitam menghampirinya.
"Cin-moi...! Ah, betapa girang hatiku melihatmu!"
"Song-twako, engkau di sini?" tanya Sui Cin ketika mendengar suara pemuda itu.
"Aku tidak pernah meninggalkan pantai ini sejak kita saling berpisah..."
"Eh" Engkau... tidak kembali ke pengi-napan?"
Pemuda itu membantunya menarik pe-rahu ke darat dan mengikatkan tali pada tonggak. Wajahnya berseri dan nampaknya gembira bukan main dapat melihat kembali gadis itu.
"Tidak, Cin-moi. Aku... aku tidak berani meninggalkan pantai ini, takut kalau-kalau tidak melihat engkau kembali."
Sui Cin menahan tawanya. "Ihh, eng-kau ini aneh sekali, twako. Seperti anak kecil. Masa aku tidak kembali" Bukankah aku sudah berjanji akan memberi kabar kepadamu?"
"Lalu bagaimana, Cin-moi" Bolehkah aku menyeberang" Apakah engkau datang ini untuk mengabarkan bahwa aku boleh menghadap orang tuamu?"
Wajah yang cantik manis itu berubah muram dan ia menggeleng kepala.
"Ah, orang tuamu... menolak kunjunganku?"
Sui Cin merasa rikuh dan serba salah. Ia adalah seorang gadis yang sejak kecil biasa bersikap terbuka, jujur. Akan teta-pi kini ia merasa serba salah untuk mengaku bahwa ayah ibunya tidak suka kepa-da Cin-ling-pai, dan bukan hanya berke-beratan menerima putera ketua Cin-ling-pai datang berkunjung, bahkan tidak suka kalau ia bergaul dengan pemuda itu.
"Maafkan, twako. Pada waktu ini, a-yah dan ibu tidak suka menerima tamu, jadi... lebih baik lain kali saja kalau engkau ingin berkenalan dengan mereka."
"Ah, sayang sekali..." Pemuda itu kelihatan kecewa bukan main. Sesungguhnya, dia ingin sekali berkenalan dengan orang tua gadis ini, Pendekas Sadis yang sudah sejak kecil dia dengar namanya itu. Bukan hanya sekedar berkenalan biasa, akan tetapi dia sudah yakin akan cintanya terhadap Sui Cin dan pada suatu hari dia tentu akan datang bersama orang tuanya untuk meminang gadis itu. Alangkah baiknya kalau sebelumnya dia sudah berkenalan dengan orang tua Sui Cin.
Melihat betapa Hui Song nampak kecewa bukan main, Sui Cin merasa kasih-an dan cepat ia berkata, "Bagaimanapun juga, aku sendiri tidak akan kembali ke sana, twako."
Tentu saja perkataan ini mengheran-kan hati Hui Song. "Apa" Apa maksud-mu" Engkau tidak akan pulang?"
Sui Cin menggeleng. "Tidak, aku akan pergi lagi merantau."
Hui Song mengerutkan alisnya. "Eh, kenapa begitu, Cin-moi" Bukankah eng-kau baru saja pulang dari perantauan" Baru dua hari pulang, masa hendak pergi lagi" Tentu orang tuamu akan melarangmu."
"Aku tidak perlu minta ijin mereka, aku memang pergi tanpa pamit!" kata Sui Cin dengan nada suara tak senang.
Hui Song memandang khawatir. "Cin-moi... maaf, bukan aku ingin mencampuri urusan keluargamu, akan tetapi apakah yang telah terjadi" Engkau nampaknya tidak senang dan marah. Kalau hanya karena aku tidak boleh menyeberang, hal itu tidak ada artinya, Cin-moi dan membuatmu marah, apalagi kepa-da orang tuamu sendiri."
"Bukan hanya itu, twako. Yang mem-buat hatiku kesal dan mendorongku pergi lagi meninggalkan rumah adalah karena aku... mau dijodohkan dengan putera gu-bernur!"
Hati Hui Song berdebar setelah tera-sa nyeri seperti tertusuk. Dia memaksa senyum dan menjura. "Wah, selamat, Cin-moi."
"Selamat hidungmu!" Sui Cin mem-bentak jengkel. "Engkau malah ingin me-nambah kejengkelan hatiku" Aku tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi isteri bang-sawan ceriwis itu!"
Hui Song merasa betapa suatu kele-gaan dan kegembiraan luar biasa menye-linap di hatinya mendengar kata-kata se-tengah teriakan dari gadis itu. Akan te-tapi dia pura-pura terkejut dan bersikap serius. "Ah, kalau begitu maafkan aku, Cin-moi. Akan tetapi... mengapa engkau begitu marah dan menolak" Bukankah pu-tera seorang gubernur itu merupakan ca-lon suami yang amat baik, terpelajar, kaya raya dan berkedudukan tinggi" Hemm, aku tahu, Cin-moi. Aku tahu mengapa engkau menolaknya."
Sui Cin memang mudah marah dan mudah bergembira. Orang seperti ia ti-dak dapat marah terlalu lama. Wataknya terlalu lincah gembira untuk dapat ber-tahan marah terlalu lama. Kini ia me-mandang pemuda itu dengan wajah bar-seri dan mulut tersenyum. "Hemm, eng-kau seperti peramal saja, twako. Coba ingin kudengar tebakanmu, kalau memang engkau tahu mengapa aku menolaknya."
"Apalagi kalau bukan karena engkau sudah mempunyai pilihan hati sendiri" Engkau tentu sudah mempunyai seorang calon dalam hatimu."
Wajah yang manis itu menjadi merah, akan tetapi bibirnya berjebi mengejek. "Ihh, engkau hanya ngawur saja! Tidak, aku tidak mempunyai calon seperti yang kauterka itu. Sedikitpun aku belum me-mikirkan tentang itu. Cih, memalukan saja! Aku menolak karena memang aku tidak suka kepada pemuda bangsawan yang ceriwis itu, dan juga karena aku sama sekali belum mau terikat menjadi isteri orarg. Aku masih ingin bebas seper-ti burung di udara, merdeka beterbangan ke manapun yang kukehendaki."
Sui Cin tidak menyadari betapa Hui Song telah memancing untuk mengetahui isi hatinya dan tentu saja pemuda ini meran girang sekali karena kini dia tahu bahwa gedis ini masih kosong hatinya dan dia mengharapkan untuk mengisinya.
"Kalau engkau tidak mau pulang, lalu engkau hendak pergi ke mana, Cin-moi?"
"Ke mana saja asal tidak pulang, asal tidak mendengarkan bujukan orang tuaku untuk menerima tikus itu sebagai calon suamiku!"
"Kalau begitu, marilah ikut bersama-ku, Cin-moi. Aku hendak pulang ke Cin--ling-pai dan mari kuperkenalkan engkau kepada orang tuaku."
Sui Cin mengangguk. "Aku tidak mempunyai tujuan tertentu, boleh saja kalau pergi ke sana. Sudah lama aku mendengar tentang Cin-ling-pai dan akupun ingin berkunjung ke Pegunungan Cin-ling-san yang katanya amat indah. Akan tetapi, jangan mengambil jalan darat. Le-bih baik mempergunakan perahu menyu-suri pantai ke utara dan mendarat di Hang-couw, baru kita melanjutkan perja-lanan melalui daratan."
"Kenapa begitu?"
"Engkau tidak tahu kelihaian orang tuaku. Kalau mereka tahu aku pergi, tentu mereka akan melakukan pengejaran dan kalau aku mengambil jalan darat, ja-ngan harap dapat lolos dari kejaran me-reka. Akan tetapi kalau mengambil jalan laut dari sini, tentu tidak meninggalkan jejak dan betapapun lihainya ayah, tentu dia tidak akan dapat mengikuti kepergi-anku."
Hui Song menyetujui dengan kagum dan tak lama kemudian merekapun sudah berlayar lagi menempuh gelombang me-nuju ke utara. Sementara itu, malam te-lah tiba dan pelayaran mereka diterangi bintang-bintang di langit.
"Song-twako, sekali ini aku benar-be-nar menjadi seorang kelana miskin. Aku pergi tanpa pamit, tidak membawa bekal pakaian, apalagi uang. Perantauanku yang dahulu direstui orang tuaku dan aku membawa bekal banyak emas. Akan tetapi sekarang... aku benar-benar miskin."
"Kita bukan orang-orang hartawan yang sedang pelesir, Cin-moi. Perlu apa bekal uang banyak" Asal engkau tidak menye-bar dan membagi-bagikan uang kepada para jembel di pasar, aku masih mempu-nyai bekal cukup kalau hanya untuk bia-ya di perjalanan saja."
"Kalau hanya untuk biaya perjalanan, apa sih sukarnya" Kalau memang kita memerlukan, mudah saja mengambil dari peti-peti uang orang lain!"
"Wah, engkau hendak mencuri" Dari para hartawan?"
Sui Cin menggeleng kepala. "Ayah dan ibu akan marah kalau aku mencuri milik siapapun. Akan tetapi kalau aku mengambilnya dari tempat judi misalnya, mereka tentu tidak akan marah." Kedua-nya tersenyum dan perahu meluncur de-ngan laju. Indah bukan main pemandang-an di malam hari itu. Bintang-bintang bercermin di permukaan air laut dan ka-dang-kadang orang akan terlupa dan mengira bahwa benda-benda bercahaya yaeg jutaan banyaknya itu bukan berada di atas kepala, melainkan di bawah jauh tak berdasar.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Dusun Lok-cun di luar kota Sin-yang di tepi Sungai Huai pada pagi hari itu nampak ramai dan gembira. Para penghuni dusun yang tidak berapa besar itu nampak merayakan sesuatu dan nampak sibuk sejak pagi tadi. Memang, pada hari itu mereka semua merayakan pernikahan anak perempuan dari kepala dusun mereka. Seperti di dusun-dusun lainnya pada jaman itu, seorang kepala dusun merupakan seorang raja kecil yang amat dihormati oleh para penghuni dusun yang merupakan rekyatnya. Maka, ketika kepala dusun Coa dari dusun Lok-cun itu merayakan pernikahan puterinya, seluruh penghuni dusun itu sibuk merayakannya.
Lurah Coa hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak perempuan yang kini sedang dirayakan hari pernikahannya. Seluruh keluarga Coa nampak gembira ria. Mereka merasa terhormat sekali karena puteri lurah itu akan menikah dengan jaksa di kota Sin-yang! Walaupun jaksa itu usianya sudah hampir enam puluh tahun dan gadis itu menjadi isteri ke lima, akan tetapi semua orang tahu bahwa jaksa itu memiliki kekuasaan yang amat besar di kota Sin-yang, bahkan mempunyai pengaruh dan kawan-kawan di kota raja. Maka, kalau gadis itu menjadi isterinya, walaupun isteri kelima, bukan hanya gadis itu akan terjamin hidupnya dan menjadi nyonya jaksa yang terhormat, akan tetapi juga kepala dusun itu akan naik derajatnya dan mungkin akan mudah naik pangkat!
Akan tetapi, kalau semua orang bergembira, sebaliknya Coa Lan Kim, gadis puteri kepala dusun itu sendiri, sejak beberapa hari yang lalu menangis saja di dalam kamarnya. Gadis ini selalu membayangkan seorang pemuda sederhana yang selama ini menjadi kekasihnya, seorang pemuda petani yang dahulu menjadi pembantu ayahnya, mengurus sawah ladang ayahnya. Pemuda ini bahkan sudah dise-tujui oleh keluarga lurah Coa sendiri un-tuk menjadi calon mantu karena memang pemuda itu cukup tampan, rajin bekerja dan berbadan sehat. Akan tetapi, begitu datang lamaran dari jaksa itu, si pemuda dilupakan, bahkan didepak keluar oleh lu-rah Coa.
Betapa hati Lan Kim tidak akan ber-duka kalau ia memikirkan nasibnya dan nasib kekasihnya yang bernama Lo Seng itu" Ia dipaksa untuk menjadi isteri o-rang lain, padahal sejak dahulu ia sudah membayangkan kehidupan yang berbaha-gia bersama pemuda itu. Kini ia harus menurut untuk dibawa pergi dari rumah-nya, tidak akan dapat bertemu kembali dengan Lo Seng dan yang membuat ia amat berduka adalah karena ia mende-ngar bahwa selain dipecat, juga Lo Seng dipukuli karena hendak menentang pernikahannya dengan jaksa itu. Dan ia tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan kekasihnya itu.
Pagi hari itu, selagi semua penghuni dusun sibuk membantu keluarga lurah Coa, Lan Kim menangis dalam kamarnya, ti-dak mendengarkan bujukan-bujukan dan hiburan-hiburan ibunya dan beberapa o-rang wanita yang bertugas menemaninya.
"Sudahlah, Lan Kim. Mengapa mena-ngis terus" Nasibmu baik sekali, engkau akan meniadi nyonya jaksa yang dihormati orang banyak, bergelimang keme-wahan, kenapa menangis" Nanti matamu akan bengkak-bengkak dan memalukan kalau pengantin matanya bengkak-bengkak. Pula, sebentar lagi engkau mulai di-rias dengan pakaian pengantin dan nanti menjelang sore engkau akan dijemput dan dibawa ke Sin-yang," demikian antara lain ibunya membujuk.
"Ibu, aku tidak suka... aku tidak mau..."
"Ahhhh... engkau memang keras kepala, Lan Kim! Apakah engkau ingin ayahmu marah" Aku tahu, engkau menolak hanya karena di sana ada Lo Sang, bukan?"
"Ibu... bagaimana dengan dia" Ibu, kasihan dia..."
"Hemm, sikapmu ini sama sekali tidak menolongnya. Bahkan akan mencelakakan Lo Seng karena engkau tetap bersikap keras seperti ini. Kau tahu, kalau ayahmu mengetahui bahwa engkau menolak karena Lo Seng, banyak kemungkinan Lo Seng akan dijebloskan penjara atau dibunuh!"
"Ibu...!"
"Karena itu, engkau menurut saja. Dan kalau engkau sudah menjadi isteri jaksa, aku akan membujuk ayahmu agar Lo Seng dipekerjakan lagi. Bukankah de-ngan demikian berarti engkau menolong dan menyelamatkannya?"
Demikianlah sang ibu membujuk pute-rinya yang kini hanya terisak perlahan. "Ambil pakaian pengantin itu, akan kuco-bakan dahulu, kalau ada yang kurang pas masih ada waktu untuk dibetulkan," kata nyonya Coa.
Akan tetapi, terdengar jeritan kaget dan tukang rias itu kini datang memba-wa sebuah peti dengan mata terbelalak dan muka pucat. "Nyonya... celaka... pakaiannya hilang...!"
Wanita itu terkejut bukan main dan bangkit sambil membelalakkan matanya. "Apa" Hilang bagaimana maksudmu?"
"Hilang, nyonya. Peti tempat pakaian pengantin ini kosong!"
Keadaan menjadi geger. Ketika lurah Coa diberi tahu, dia marah-marah dan mengerahkan semua orangnya untuk mencari siapa pencuri pakaian pengantin. Akan tetapi, isterinya lebih cerdik dan cepat-cepat memanggil tukang jahit untuk secara kilat membuatkan pakaian pengantin baru, walaupun pakaian yang dibuat tergesa-gesa ini tentu saja tidak seindah pakaian pengantin yang hilang.
Ketika keadaan menjadi kacau dan tak seorangpun memperhatikan pengantin wanita, tiba-tiba terjadi keributan lain yang lebih menggegerkan lagi. Tiba-tiba saja, seperti juga hilangnya pakaian pengantin tadi, Coa Lan Kim juga lenyap begitu saja dari dalam kamarnya! Tidak ada seorangpun yang melihat bagaimana lenyapnya, juga tidak ada yang mendengar sesuatu. Tentu saja kini keadaan menjadi benar-benar kalut. Lurah Coa semakin marah dan seluruh pasukan ke-amanan dikerahkan, bahkan semua pendu-duk menjadi ikut gelisah dan ikut men-cari-cari ke mana perginya pengantin wanita.
Kegembiraan yang berganti dengan kegelisahan dan kekacauan itu amat me-narik perhatian Sui Cin dan Hui Song yang kebetulan sekali pada pagi hari itu tiba di situ, memasuki dusun Lok-cun da-lam perjalanan mereka menuju ke barat, ke Pegunungan Cin-ling-san. Tentu saja hati mereka tertarik melihat betapa pen-duduk nampak begitu gelisah ketakutan, orang-orang mencari-cari sesuatu ke sa-na-sini sedangkan rumah kepala dusun terhias indah, akan tetapi kini orang-o-rang tidak ada lagi yang melanjutkan pekerjaan merias rumah yang belum selesai sepenuhnya itu. Juga adanya para penja-ga berkeliaran dengan sikap cemas itu menarik sekali. Rasa heran mereka ber-tambah ketika tiba-tiba saja ada belasan orang penjaga keamanan mengepung me-reka dengan senjata tajam di tangan.
"Hemm, kalian ini mau apakah mengepung kami?" Sui Cin bertanya dengan alis berkerut.
"Kalian adalah orang-orang asing yang baru memasuki dusun kami. Menyerahlah. Karena kami yakin bahwa kalian yang kami cari-cari. Siapa lagi yang mengacau dusun kami kecuali dua orang asing?" bentak seorang yang bermata lebar dan bersikap bengis.
"Sabar dulu, sobat," kata Hui Song, mencoba untuk tersenyum ramah. "Apa yang terjadi dan mengapa kalian menuduh kami secara membabi-buta" Kami tidak tahu apa-apa. Kami baru saja tiba di sini dan melihat kekacauan ini, malah kami bertanya-tanya mengapa kalian begini gelisah dan apa yang terjadi...?"
"Cukup! Ikut kami menghadap kepala dusun, tak perlu membela diri di sini!" bentak si muka bengis dan dia sudah ma-ju untuk menangkap lengan Sui Cin. A-kan tetapi gadis itu menarik tangannya dan sekali kakinya bergerak, ujung sepa-tunya mencium lutut si mata lebar dan orang ini mengaduh dan jatuh berlutut.
"Nah, bagus! Minta ampun dahulu baru kita bicara," Sui Cin mengejek.
Melihat betapa seorang kawan mereka roboh oleh gadis itu, kecurigaan mereka semakin kuat bahwa dua orang muda mu-di inilah tentu yang telah mengacaukan dusun mereka. Maka serentak mereka maju menerjang dengan senjata mereka. Hui Song dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu dan orang-orang dustin ini salah duga. Kalau dilanjutkan sikap Sui Cin, tentu mereka akan semakin curiga lagi. Maka diapun cepat merggunakan kepandaiannya, menyambut serangan itu dengan merampas semua golok dan pe-dang. Gerakannya memang cepat bukan main karena dia menggunakan jurus Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyerbu Ratusan Golok) sehingga para pengeroyok itu tidak tahu apa yang terjadi karena tiba-tiba saja senjata mereka terlepas dan terampas. Kiranya pemuda itu sudah merampas semua senjata mereka dan kini golok dan pedang itu telah ditumpuk di depan kaki si pemuda tampan.
"Tenanglah saudera-saudara. Kami bukan orang jahat dan kalau ada urusan, beritahukanlah kami. Siapa tahu kami dapat membantu kalian," kata Hui Song. Pada saat itu, lurah Coa sudah tiba di situ dan lurah inipun tadi melihat betapa dengan mudahnya pemuda tampan itu merampasi senjata orang-orangnya. Dia da-pat menduga bahwa pemuda ini tentu se-orang pendekar, maka diapun cepat maju menjura.
"Harap taihiap sudi memaafkan orang-orang kami yang kurang ajar. Dusun kami sedang dilanda kekacauan karena munculnya iblis yang mencuri calon pengantin wanita..."
"Eh" Ada pengantin dicuri?" Sui Cin berseru kaget dan tertarik sekali.
"Pengantin itu adalah anak saya sendiri, baru saja lenyap tanpa bekas sete-lah lebih dahulu pakaian pengantin yang lenyap." Lurah Coa lalu menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi.
Hui Song dan Sui Cin mendengarkan penuh perhatian. "Kami akan mencoba untuk mencari penculiknya," kata Hui Song. "Mudah-mudahan kami dapat menemukan kembali puterimu itu." Setelah mendengarkan penuturan itu, Hui Song dan Sui Cin mempergunakan kepandaian mereka berloncatan pergi meninggalkan dusun. Mereka mengambil keputusan untuk mencari penculik gadis itu dan tentu saja mereka tidak mengharapkan akan dapat menemukan penculik itu di dalam dusun. Mereka mencari keluar dusun, mengelilingi dusun itu dan akhirnya mereka mendaki sebuah bukit tak jauh dari dusun itu karena bukit itu penuh dengan hutan, tempat yang baik sekali bagi para penjahat untuk menyembunyikan diri.
Dengan cepat sekali mereka mendaki bukit dan tibalah mereka di deerah ber-batu di luar hutan dan dari jauh mereka sudah melihat seorang kakek duduk ber-sila di depan sebuah guha yang besar. Tentu saja mereka menjadi curiga dan tertarik sekali katena keadaan kakek itu sudah amat mengherankan hati. Seorang kakek tua renta yang kepalanya gundul tak ditumbuhi rambut lagi, alisnya amat lebat dan panjang, demikian pula jenggot dan kumisnya yang semua telah berwarna putih. Sukar ditaksir berapa usia kakek ini, mungkin sudah seratus tahun. Akan tetapi tubuh kakek itu pendek kecil, se-orang kakek katai yang pakaiannya juga aneh. Kakek katai jenggot panjang sampai ke perut ini memakai jubah yang mewah! Jubah yang sepatutnya dipakai seorang pembesar atau seorang hartawan!
Dan di punggungnya tergantung guci arak yang besar, sebesar kepalanya yang gundul, diikatkan dengan tali ke pundaknya. Sepatunya dari kulit, juga bagus dan baru.
Ketika Hui Song dan Sui Cin tiba di depan kakek itu, si kakek katai yang tadinya seperti orang bersamadhi itu kini membuka kedua matanya dan begitu sepasang mata itu dibuka, mau tidak mau Sui Cin menahan ketawanya. Dari sepasang matanya ini saja sudah dapat diketahui bahwa kokek ini adalah seorang aneh yang berwatak riang gembira, terbukti dari sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah yang berseri-seri lucu itu.
"Heh-heh-heh!" Kakek katai itu mendahului mereka, terkekeh geli. "Apakah kalian ini sepasang pendekar muda yang pendek mencari penculik pengantin wanita" Heh-heh!"
Tentu saja Hui Song dan Sui Cin ter-kejut, merasa ditodong ketika kakek itu mendadak saja bertanya seperti itu, Hui Song hanya dapat mengangguk dan Sui Cin melangkah maju dan dialah yang menjawab, "Benar, kek. Engkau ini kakek pendek lucu bagaimana bisa tahu bahwa kami mencari penculik pengantin?"
Sejenak kakek itu memandang wajah Sui Cin, matanya semakin bersinar dan wajahnya semakin berseri "Heh-heh, no-na manis, apa sukarnya" Kalian berlari-lari mendaki bukit dengan memperguna-kan ilmu berlari cepat seperti dua orang pebdekar, berkeliaran ke sini mau apalagi kalau bukan mencari penculik pengantin" Heh-heh-heh."
Kini Hui Song sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentulah memiliki ke-pandaian tinggi, maka dia bersikap hor-mat dan menjura. "Maaf kalau kami menggangumu, locianpwe. Kami berdua bu-kanlah pendekar, akan tetapi dugaan lo-cianpwe benar bahwa kami sedang mencari pengantin wanita yang lenyap diculik orang. Dapatkah kiranya locianpwe membantu kami..."
"Membantu apa?" kakek itu memo-tong.
"Hi-hik, engkau ini aneh, kek. Tentu saja membantu kami memberi tahu apa-kah engkau tahu di mana adanya pengan-tin wanita yang diculik itu," kata Sui Cin, tidak mau bersikap terlalu hormat dan menyebut locianpwe kepada kakek lucu ini.
Anehnya, menghadapi sikap Sui Cin yang bebas dan seenaknya itu, si kakek katai kelihatan lebih senang dan diapun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Nona manis, engkau sungguh menyenangkan ha-ti. Tentu saja aku tahu di mana adanya pengantip wanita itu karena akulah orangnya yang telah menculiknya!"
"Uhh...! Heiiiittt...!" Hui Song demikian kaget mendengar pengakuan langsung seperti itu dan diapun sudah meloncat ke belakang sambil memasang kuda-kuda karena ketika bicara tadi si kakek botak mengakhiri pengakuannya sambil menggerakkan kedua tangan ke depan yang disangkanya sebagai gerakan hendak menyerang.
Melihat ini, kakek itu memandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak, lalu dia tertawa bergelak sambil menepuk-nepuk perut. "Hua-ha-ha, orang muda, apakah engkau hendak menari monyet" Ha-ha-ha!"
Wajah Hui Song menjadi merah karena malu. Dia sendiri adalah seorang pemuda jenaka dan periang, suka menggoda orang, akan tetapi sekali ini dia bertemu batunya dan sebaliknya malah digoda den menjadi bahan ejekan orang.
Akan tetapi Sui Cin yang sejak semula sudah merasa suka dan menganggap kakek itu lucu, segera mencela. "Wah, siapa percaya omonganmu, kek" Engkau tentu hanya membual saja. Mana bisa orang tua renta lemah sepertimu ini mampu melarikan seorang gadis pengantin" Dan pula, untuk apa bagimu" Engkau membual dan aku tidak percaya kentut itu!"
Kakek itu bangkit berdiri dan melihat betapa kakek itu tingginya hanya sampai ke dadanya, Sui Cin merasa semakin geli. "Wah, kau ini anak kecil beruban ataukah kakek bertubuh kecil?" Ia menggoda.
"Kentut! Siapa yang kentut" Yang bertelur itulah yang berkotek, dan tentu engkau yang kentut, bukan aku, karena mana mungkin aku menjadi ayam biang" Aku jantan, dan engkau betina, maka engkaulah yang menjadi ayam biang dan engkau yang kentut berbau busuk!"
Mendengar omongan yang tidak karuan dan ugal-ugalan itu, Sui Cin terkekeh dan terpingkal-pingkal, membuat kakek itu semakin penasaran lagi. "Eh, nona, berani engkau mentertawakan aku dan mengira aku membual, ya" Nah, lihat sendiri itulah mempelai wanita yang kuculik dari rumah lurah Coa. Hei, anak-anak, keluarlah dan perlihatkan diri kalian kepada nona tukang kentut dan penari monyet ini!"
Sui Cin dan Hui Song memandang ke dalam guha dan mereka terbelalak heran ketika melihat munculnya seorang gadis manis yang bergandeng tangan dengan seorang pemuda yang bajunya robek-robek dan kulit tubuhnya juga memperlihatkan bekas-bekas cambukan. Sui Cin yang tadinya mengira kakek itu membual, kini memandang penuh perhatian. Inikah mempelai wanita yang dikabarkan hilang di-culik orang itu" Dan kakek ini penculik-nya" Lalu siapa pemuda yang kelihatan jujur, seperti kebanyakan pemuda dusun atau petani itu"
"Eh, enci, benarkah engkau puteri lu-rah Coa, yang akan menjadi pergantin la-lu diculik kakek ini" Dan siapa temanmu itu?" Sui Cin bertanya.
Gadis itu memang benar Lan Kim adanya, dan pemuda itu adalah kekasihnya yang bernama Lo Sang. Mendengar perta-nyaan Sui Cin, ia mengangguk. "Aku a-dalah Coa Lan Kim, puteri lurah Coa yang akan menjadi pengantin, dan me-mang aku diculik oleh locianpwe ini dan dia ini adalah Lo Seng, calon suamiku," katanya dengan tabah dan sikap menen-tang. Memang kini ia akan menentang siapa saja yang hendak menghalangi niatnya hidup bersama Lo Seng yang dicintainya.
"Suamimu" Calon suamimu" Bagaima-na pula ini" Kalau engkau mau dikawin-kan dengan pemuda ini, kenapa engkau diculik ke sini dan bersama calon suamimu..." Sui Cin berkata bingung.
"Aku bukan akan dikawinkan dengan dia!" Lan Kim berkata. "Aku hendak dikawinkan menjadi isteri kelima seorang pembesar di Sin-yang, dan aku tidak mau. Dia ini... pilihan hatiku dan aku ingin hidup bersama dia..."
"Ah, jadi engkau penculiknya!" Hui Song menudingkan telunjuknya kepada Lo Seng, "Engkau menculik pengantin untuk kaukawini sendiri" Sungguh berani dan..."
"Hushh, penari monyet ini benar-benar menjengkelkan!" Kakek katai ikut bicara. "Dengarkan dulu penuturan pengantin wanita dan jangan cerewet dulu seperti perempuan!"
"Wah, kek, jangan gitu! Tidak semua perempuan cerewet!" Sui Cin menegur, agak tak senang karena Hui Song diper-mainkan.
"Aku tidak perduli kalau perempuan cerewet, memang sudah pembawaannya. Akan tetapi kalau laki-laki cerewet, aku tidak suka."
Lan Kim mengerti bahwa dua orang muda yang kelihatannya pantas itu tentu bukan orang jahat dan agaknya terjadi kesalahpahaman tentang penculikannya, maka iapun sambil menggandeng tangan kekasihnya, maju melangkah lagi. "Harap ji-wi suka mendengarkan penuturanku agar jangan salah sangka. Sejak dahulu antara aku dan Lo Seng ini terjalin hu-bungan akrab dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Apalagi orang tuaku juga sudah setuju mengambil Lo Seng sebagai mantu, setelah Lo Seng membantu mengurus sawah ladang ayah selama beberapa tahun. Akan tetapi pa-da suatu hari datanglah pinangan pembe-sar di kota Sin-yang terhadap diriku. A-yah tidak berani menolak, bahkan merasa beruntung menerimanya. Dan Lo Seng yang menentang lalu dipecat, bahkan di-cambuki. Nah, dalam keadaan seperti itu, selagi aku putus asa, muncul locianpwe ini membawa aku lari dari rumah dan mempertemukan aku dengan kekasihku di guha ini."
Kini terdengar Lo Seng bercerita. "Aku sudah hampir putus asa dan mengam-bil keputusan membunuh diri saja daripa-da melihat kekasihku menikah dengan o-rang lain dan aku sendiri kehilangan pe-kerjaan dan dimusuhi. Tapi muncul lo-cianpwe ini menyelamatkan aku dan ke-tika aku bercerita tentang keadaanku, locianpwe ini membawaku ke sini, me-nyuruh aku menunggu di dalam guha ini dan tak lama kemudian dia sudah kem-bali membawa Lan Kim. Kini kami ber-dua sepakat untuk hidup bersama atau mati berdua. Harap ji-wi dapat mengerti keadaan kami dan tidak memaksa kami untuk kembali."
Hui Song dan Sui Cin saling pandang dan hati mereka merasa terharu. Kiranya kakek katai itu sama sekali bukan orang jahat, melainkan seorang penolong budi-man.
"Aah, kiranya engkau benar-benar se-orang yang baik, kakek tua," kata Sui Cin gembira dan Hui Song menjura.
"Harap locianpwe maafkan kalau ka-mi menyangka buruk."
"Heh-heh, orang-orang muda baru mempunyai kepandaian sedikit saja sudah tekebur dan ingin berlagak pendekar-pen-dekar jagoan. Orang-orang muda, andaikata aku benar-benar menculik gadis itu untukku sendiri, dengan niat busuk, habis apa yang hendak kalian lakukan?"
"Tentu saya akan menentangnya!" ka-ta Hui Song.
"Kau akan kugempur dan gadis itu kurampas untuk kukembalikan kepada o-rang tuanya, kek," sambung Sui Cin.
"Bagus, nah, kalau begitu kalian ma-julah, hendak kulihat sampai di mana ke-lihaian kalian."
"Tapi, locianpwe tidak berniat buruk dan tidak bersalah...!" Hui Song membantah.
"Hemm, andaikata aku penjahat, apa-kah engkau juga masih ragu-ragu. Nah, majulah dan anggap saja aku pencuilk gadis. Ingin kulihat sampai di mana keli-haian kalian. Atau, aku sebagai penjahat medahului kalian karena tidak ingin di-ganggu!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja kakek itu sudah maju dan ke-tika tangannya bergerak, tangan itu su-dah menampar ke arah dada Hui Song.
"Eeiiitt...!" Hui Song mengelak dengan mundur selangkah, akan tetapi tamparan yang luput itu sudah disambung dengan totokan ke arah pundak. Gerakan kakek itu cepat sekali sehingga mengejutkan hati Hui Song yang kini menggunakan tangan menangkis totokan.
"Dukk!" Tubuh Hui Song terhuyung ke belakang. Pemuda ini terkejut bukan main karena tadi ia hanya mempergunakan sebagian sin-kangnya, khawatir akan melukai kakek tua renta itu, akan tetapi akibatnya, dia terhuyung dan lengannya tergetar hebat. Kiranya kakek ini memi-liki sin-kang yang hebat. Akan tetapi, sambil terkekeh-kekeh kakek itu sudah menyerangnya lagi dan gerakannya cepat bukan main. Tubuh yang kecil itu berke-lebat seperti terbang saja dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram ke arah pundak Hui Song.
"Lihat seranganku!" Tiba-tiba terdengar Sui Cin membentak dari samping dan ia sudah menggerakkan tangan kirinya me-notok ke arah iga bawah ketiak dari le-ngan kakek yang mencengkeram itu. To-tokan ini hebat dan cepat datangnya, membuat kakek itu terpaksa membatal-kan cengkeramannya pada pundak Hui Song, lalu menekuk lengan untuk menangkis sekalian menangkap pergelangan ta-ngan gadis itu. Namun Sui Cin sudah menarik pulang tangan kirinya dan kini tangan kanannya menampar dan dari telapak tangan itu keluarlah uap putih ti-pis. Itulah Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), sebuah ilmu pukulan yang amat ampuh, satu di antera ilmu-ilmu ampuh yang diajarkan Pendekar Sadis kepada puteri tunggalnya itu.
"Ehh...!" Kakek itu terkejut sekali menyaksikan ilmu pukulan yang hebat ini dan begitu dia berkelebat, Sui Cin yang menjadi bengong karena orang yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan tahu-tahu sudah berada di belakang tubuhnya dan sambil terkekeh kakek itu kini menotok ke arah tengkuknya. Sui Cin merasa adanya angin menyambar ini, maka iapun mempergunakan gin-kangnya dan tubuhnya mencelat ke depan untuk mengelak. Akan tetapi pada saat itu, Hui Song yang sudah tahu betapa lihainya kakek itu, sudah menerjang ke depan pa-da saat Sui Cin diserang sehingga andai-kata Sui Cin tidak mempergunakan kece-patan gerakannya mengelak sekalipun, se-rangan kakek itu akan depat digagalkan-nya karena kini Hui Song juga tidak sungkan-sungkan lagi. Begitu menyerang, pe-muda ini telah mempergunakan jurus Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan tena-ga sakti Thian-te Sin-kang!
Kembali kakek itu terkejut. Diapun agaknya tidak mengira bahwa dua orang muda itu sungguh merupakan dua orang muda yang berilmu tinggi, dua orang pendekar muda tulen! Apalagi ketika dia melihat betapa ilmu-ilmu yang dipergunakan dua orang muda ini bukanlah ilmu-ilmu silat biasa saja, melainkan ilmu-ilmu yang amat tinggi mutunya.
"Nantl dulu, tahan dulu...!" Tiba-tiba kakek itu berhenti dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke belakang menjauhi dua orang muda itu.
"Kek, kami belum kalah kenapa ber-henti?" Sui Cin yang sudah merasa gem-bira dengan pertandingan itu, mencela. Bagaimanapun juga, gadis ini merasa be-nar dalam hatinya bahwa kakek itu bu-kan orang jahat dan pertandingan itu ha-nya merupakan pengujian kepandaian saja. Ia bahkan merasa suka kepada kakek itu yang memiliki wajah jenaka dan gem-bira.
"Heh-heh-heh, akupun belum kalah. A-ku hanya minta berhenti sebentar untuk bicara. Agaknya kalian berdua memiliki sedikit ilmu silat, pantas saja kalian be-gitu tekebur hendak berperan sebagai pendekar-pendekar. Sekarang begini. Kalian melawan aku, dan kalau dalam waktu dua puluh jurus aku masih belum dapat mengalahkan kalian, anggap saja aku ka-lah dan aku akan menyebut kalian suhu dan subo!"
Sui Cin tertawa geli. "Wah, kalau engkau menyebut subo kepadaku, berarti usiaku tentu sudah seratus tahun lebih. Tapi itu merupakan penghormatan besar. Baik, aku setuju!"
Hui Song diam-diam merasa terkejut. Begini tekeburkah kakek ini" Dia tahu a-kan kemampuan diri sendiri dan diapun sudah tahu betapa tinggi ilmu gadis pu-teri Pendekar Sadis itu. Menandingi me-reka satu lawan satu saja jarang dapat ditemukan orangnya, dan kakek ini me-nantang mereka berdua maju mengeroyok dan bertaruh dapat mengalahkan mereka dalam waktu dua puluh jurus! Tentu saja hatinya merasa penasaran karena dia merasa dipandang rendah.
"Baik, locianpwe, kami setuju. Akan tetapi bagaimana kalau... kalau kami yang kalah dalam dua puluh jurus itu?"
"Ha-ha-ha, orang muda yang berhati-hati, tentu engkau sudah menyangka bu-ruk lagi kepadaku, ya" Dengarlah, kalau aku kalah, aku menyebut kalian suhu dan subo, akan tetapi kalau sebelum dua puluh jurus kalian yang kalah, kalian harus membantuku menolong pengantin ini."
"Menolong dengan cara bagaimana?" tanya Sui Cin.
"Kita harus menggagalkan pernikahan itu dan menghajar pembesar mata keranjang itu agar kapok. Akan tetapi, kalian harus menurut semua rencana siasat yang kuatur dan sama sekali tidak boleh menolak."
Tentu saja Sui Cin dan Hui Song menyetujui karena apa salahnya kalau hanya itu taruhannya" Tanpa bertaruh sekalipun, mereka berdua bukankah sekarang juga sudah berusaha menolong pengantin wanita yang tadinya mereka cari karena menyangka diculik penjahat"
"Baik, baik, kami berjanji," kata mereka dengan gembira.
"Nah, bersiaplah. Jurus pertama!" kakek itu berseru dan tubuhnya bergerak secara aneh, tahu-tahu dalam satu jurus saja dia sudah menendang ke arah lutut Hui Song dan tangan kirinya menyambar ke arah pundak Sui Cin. Gerakannya selain aneh dan kuat, juga cepat sekali, mendatangkan angin bersuitan mengejutkan dua orang muda yang cepat menghindarkan diri.
Hui Song adalah seorang pemuda cerdik. Dia maklum bahwa kakek ini memang lihai bukan main, akan tetapi kalau dalam waktu dua puluh jurus saja, mana mungkin mengalahkan dia dan Sui Cin, apalagi kalau mereka berdua mengerahkan seluruh daya untuk melindungi diri" Kalau mereka membagi perhatian untuk menyerang, mungkin mereka akan terlengah dan dapat dikalahkan.
"Cin-moi, pergunakanlah daya tahan Thai-kek Sin-kun!"
Gadis itupun cerdik dan ia mengerti apa yang dimaksudkan Hui Song, maka seperti juga pemuda itu, ia segera mainkan Thai-kek Sin-kun, mencurahkan segala perhatian untuk mempertahankan atau melindungi dirinya. Keadaan kedua orang muda itu tiada ubahnya dua buah benteng baja yang amat kuat dan tidak ada bagian lemah yang akan dapat ditembus!
Kakek itu sejenak terbelalak, kemudian mengeluarkan seruan keras dan sampai beberapa jurus lamanya dia berusaha mendobrak benteng pertahanan itu dengan berbagai macam serangan yang aneh-aneh. Namun semua serangannya kandas dan tidak mampu membobolkan benteng-benteng pertahanan dari Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun itu.
"Wah, hebat, hebat... Thai-kek Sin-kun yang hebat sekali...!" Berkali-kali kakek itu berseru dengan suara mengeluh ketika ke manapun juga dia menyerang, dia selalu gagal karena yang diserang itu pasti bisa mengelak atau menangkis. Padahal, dia sudah menyerang selama dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi!
Dia termangu-mangu sejenak dan Sui Cin mengejek.
"Hi-hik, kakek lucu, bersiap-siaplah menyebut subo kepadaku. Sudah dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi, jangan mengurangi hitungan!"
"Heh-heh-heh, siapa mengurangi hitungan" Masih ada delapan jurus, cukup untuk mengalahkan kalian!" Tanpa menanti jawaban, tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring. Dua orang muda itu terkejut karena suara melengking itu mengandung khi-kang yang amat kuat, yang masuk dengan tajam menusuk jantung melalui telinga. Cepat mereka memasang kuda-kuda dan mengerahkan sin-kang melindungi tubuh bagian dalam dari serangan suara penuh khi-kang ini. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh kakek itu melesat dan lenyap, yang nampak kini hanya bayangan berkelebatan mengitari mereka, makin lama makin cepat sehingga tidak lagi nampak jelas bayangannya, menjadi kabur! Inilah berbahaya, pikir mereka. Tanpa dapat mengikuti gerak-gerik kakek itu yang ternyata mempergunakan gin-kang yang sukar dipercaya kalau tidak melihat sendiri, begitu cepat seperti terbang, bahkan seperti menghilang saja, mereka takkan percaya ada gin-kang sehebat itu. Maka, merekapun bersikap waspada, tidak berani berkedip karena sekali berkedip cukuplah bagi kakek itu untuk memasukkan serangannya dengan tepat.
Benar saja, dua kali kakek itu menerjang sambil berputar, akan tetapi karena dua orang muda itu sudah bersiap-siap dengan kuda-kuda yanig amat kuat, mereka berdua mampu menangkis. Kakek itu agaknya merasa penasaran dan menyerang lagi sampai empat jurus, akan tetapi semua serangannnya gagal.
"Hi-hik, tinggal dua jurus lagi dan engkau menyebutku subo!" Sui Cin tak dapat menahan kegembiraan hatinya mengejek.
Tiba-tiba bayangan yang berputaran itu mengeluarkan uap putih dan terciumlah bau arak wangi. Kiranya kakek itu sambil berputar semakin cepat telah menyerang dengan menggunakan semburan arak yang agaknya diminumnya sambil berlari berputar-putar itu. Sui Cin dan Hui Song terkejut. Sambaran arak itu mengenai kulit mereka seperti jarum-jarum halus saja, dan yang membuat mereka repot adalah semburan yang mengarah muka mereka! Tentu saja mereka gelagapan dan melindungi muka, akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja mereka merasakan lutut mereka lemas kehilangan tenaga dan betapapun mereka bertahan, tetap saja kaki mereka tertekuk dan keduanya roboh berlutut!
"Hoa-ha-ha-ha, tepat dua puluh jurus dan kalian mengaku kalah. Akan tetapi tak perlu berlutut, jangan sungkan-sungkan, aku tidak bisa menerima penghormatan berlebihan ini, ha-ha-ha!"
Sui Cin dan Hui Song saling berpandangan. Lutut mereka tadi tertotok, akan tetapi tidak parah, hanya cukup membuat mereka terpaksa berlutut saja. Kini pengaruh totokan sudah lenyap lagi dan mereka bangkit berdiri. Tahulah mereka bahwa kakek itu selain amat lihai juga tidak berniat buruk, hanya ingin menang tanpa berniat mencelakakan mereka. Akan tetapi Sui Cid. cemberut.
"Kakek buruk, engkau telah menang dengan menggunakan akal busuk!"
"Ha-ha-ha, anak manis, akal dan siasat memang diperlukan dalam pertandingmu. Siapa kalah kuat harus menggunakan akal. Nah, kalian sudah kalah dan sekarang kalian harus membantuku. Waktunya hanya tinggal setengah hari. Sore hari nanti pengentin wanita she Coa ini akan dijemput dan dibawa ke Sin-yang, ke rumah calon suaminya, si bangsawan keparat itu. Siapakah nama kalian?"
"Saya bernama Cia Hui Song, locian-pwe."
"Namaku Ceng Sui Cin."
"Hemm, she Cia mengingatkan aku kepada Cin-ling-pai dan she Ceng..." Apakah bocah nakal yang dijuluki Pendekar Sadis itu juga she Ceng?"
Karena maklum bahwa kakek ini ten-tu seorang tokoh sakti yang selama ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw sehingga dia tidak pernah mendengar tentang kakek katai ini, Hui Song mera-sa tidak perlu menyembunyikan diri. "Pendekar Sadis adalah ayah kandung nona ini dan ketua Cin-ling-pai adalah ayah saya, locianpwe."
Kakek itu membelalakkan matanya, mengelus jenggot panjangnya dan terta-wa-tawa. "Hua-ha-ha-ha, pantas, pantas...! Sekarang aku tidak penasaran lagi mengapa mengalahkan dua orang bocah ingusan macam kalian saja aku harus mengerahkan seluruh tenaga sampai dua puluh jurus, kalau bukan kalian, ha-ha, baru muncul saja aku sudah jatuh nama. Nah, Sui Cin dan Hui Song, kini dengar baik-baik rencanaku untuk menolong ga-dis itu dan menghajar pembesar mata keranjang itu. Sui Cin, sekarang engkau harus mengantar gadis Coa itu pulang ke rumahnya karena di sana sudah dipersiapkan untuk sore nanti mengantar pengantin wanita ke Sin-yang."
"Eh, bagaimana ini" Bukankah gadis itu akan dipaksa kawin dan engkau hendak mencegah terjadinya hal itu, kek?" tanya Sui Cin yang tetap menyebut ka-kek dan tidak bersikap hormat seperti Hui Song.
"Ingat, kalian sudah kalah dan berjan-ji akan mentaati semua perintakku untuk menolong pengantin."
"Baiklah, kek, aku tidak membantah, hanya bertanya," kata Sui Cin bersungut-sungut.
Kakek itu tertawa, gembira agaknya dapat menggoda Sui Cin. "Engkau meng-antar gadis Coa itu kembali karena eng-kau tadi berjanji untuk mencarinya. Ka-takan saja kepada keluarga itu bahwa gadisnya diculik penjahat dan engkau berhasil merampasnya kembali, dan katakan bahwa engkau akan mengawal sendiri puteri menuju ke Sin-yang agar jangan diganggu penjahat di tengah perjalanan. Mengerti?"
"Wah, kakek buruk, agaknya engkau hendak mengejekku, ya" Sudah jelas bahwa aku gagal merampas kembali pengantin yang kauculik!" Sui Cin mengomel.
"Dan apakah tugas saya, locianpwe?" tanya Hui Song yang terbawa oleh percakapan itu. "Cin-moi, sudahlah kita mentaati saja karena sudah kalah. Pula, kita tahu bahwa locianpwe ini bukan orang jahat, andaikata demikian, tentu kita tidak akan menurut begitu saja."
"Heh-heh, putera Cin-ling-pai ini sukar mempercaya orang, dan selalu menyangka buruk. Untukmu aku sudah mempunyai tugas yang amat tepat. Engkau akan kudandani, ingat, engkau harus taat kepadaku. He, orang muda, kaubawa ke sini pakaian pengantin itu!" kata kakek itu kepada Lo Seng.
Lo Seng mengambil sebuah bungkusan di sudut guha dan menyerahkannya kepada si kakek yang segera membuka bungkusan dan keluarlah seperangkat pakaian pegantin berikut penghias rambut dan sebagainya, milik nona pengantin Coa yang lenyap dicuri orang itu! Melihat ini, Hut Song terbelalak dan mukanya ber-ubah merah.
"Locianpwe, apa maksudmu?"
Akan tetapi kakek itu sudah menghampirinya, membentang pakaian pengantin wanita yang lebar dan berwarna indah dengan hiasan huruf-huruf yang berbunyi "Bahagia" itu. "Engkau harus mentaati perintahku, menjalankan siasatku. Lekas pakai pakaian ini. Engkau harus menyamar pengantin wanita, menggantikannya kelak untuk diboyong ke rumah pejabat itu."
"Wah...! Ini... ini..." Hui Song tergagap dan bingung.
"Hi-hik! Twako, kita sudah kalah dan berjanji mentaatinya. Engkau juga harus mentaati perintahnya." Sui Cin tertawa-tawa gembira dan geli ketika kakek itu memaksa Hui Song memakai jubah pengantin di luar pakaiannya sendiri. Karena pakaian pengantin itu memang besar kedodoran dan tubuhnyapun sedang saja, maka pakaian itu dapat juga menutupi tubuhnya dan tentu saja kelihatan lucu. Apalagi setelah kakek itu memaksanya memakai rangkaian bunga di kepalanya. Sui Cin melihat ini sambil tertawa-tawa geli, sampai memegangi perutnya saking gelinya. Apalagi melihat betapa Hui Song menjadi bengong dan melongo saja dengan muka yang ketololan, ia menjadi semakin geli.
"Wajahmu cukup tampan, akan tetapi kurang halus untuk menjadi wajah pengantin wanita yang halus putih," kakek itu berkata, mengeluarkan bedak dan menggunakan jari tangannya mengoleskan bedak di muka Hui Song yang terpaksa berdiri tak bergerak dan mendorong muka ke depan, pasrah tanpa berani membantah. Sui Cin yang berdiri di belakangnya, tertawa gembira.
"Wah, sulit amat. Membungkuklah, Hui Song, wah, alismu terlalu tebal, harus diaukur bersih dan dibikin kecil," kakek itu tertawa-tawa.
"Wah, jangan, locianpwe...!" Hui Song berkata khawatir.
Melihat ini, Sui Cin lalu turun tangan. "Kakek nakal, biarkan aku yang mendandani Song-twako, tanggung akan kelihatan lebih cantik menarik daripada kalau engkau yang merusak mukanya."
Sui Cin memang ahli dalam melakukan penyamaran dan setelah ia turun ta-ngan, maka Wajah Hui Song memang kelihatan cantik, walaupun tentu saja ails-nya masih terlalu tebal dan juga tubuhnya kaku. Kakek itu lalu memberitahukan siasatnya. Gadis Coa akan diantar pulang oleh Sui Cin den selanjutnya mereka akan bergerak menukar pengantin dan memberi hajaran kepada pembesar itu dan pemuda Lo Seng diharuskan menanti di dalam guha.
Berangkatlah mereka. Sui Cin mengantar gadis Coa pulang ke dusunnya. Ka-rena sudah diberi tahu bahwa para orang gagah itu akan menolongnya dan akan melepaskannya dari cengkeraman pembe-sar di Sin-yang agar ia dapat hidup ber-sama Lo Seng, Coa Lan Kim tidak me-rasa takut ketika dibawa pulang ke dusun oleh Sui Cin.
Lurah Coa dan orang-orangnya menyambut kedatangan mereka dengan gembira sekali. Dengan gayanya yang menarik Sui Cin menceritakan bahwa Lan Kim diculik oleh gerombolan penjahat yang berilmu tinggi, akan tetapi ia berhasil merampasnya kembali. "Lanjutkanlah upacara pernikahan, dan aku sendiri yang akan mengawal enci Lan Kim ke Sin-yang agar dapat membasmi para penjahat yang hendak mencoba menghadang di tengah perjalanan."
Tentu saja keluarga Coa menjadi gembira sekali dan Sui Cin disambut dan di-jamu seperti seorang tamu agung yang amat dihormati. Kepada lurah Coa, Sui Cin memberitahukan bahwa kawannya kini masih menyelidik gerombolan itu, membayangi mereka ketika mereka melarikan diri.
Lan Kim didandani dan kini gadis itu tidak menolak lagi, tidak rewel sehingga ibunya merasa lega dan senang. Biarpun pakaian pengantin yang dikenakan nona pengantin itu dibuat tergesa-gesa dan tidak seindah pakaian pengantin yang hilang, namun Lam Kin nampak cantik dan anggun dalam pakaian pengantin.
Setelah saatnya tiba, muncullah jemputan dari Sin-yang, utusan pengantin pria yang mengirim joli dan barang-barang hadiah. Pengantin pria sendiri tidak muncul. Bukankah dia seorang pejabat tinggi di Sin-yang dan Lan Kim hanya menjadi isteri ke lima"
Kedudukannya terlalu tinggi untuk merendahkan dia turun ke dusun menjemput sendiri calon isterinya kelima, dan para utusannya saja sudah cukup membuat keluarga Coa merasa terhormat sekali, apalagi para utusan itu datang membawa hadiah-hadiah yang luar biasa banyaknya bagi keluarga lurah itu. Setelah lurah Coa menceritakan kepada para utusan bahwa di dusun itu terdapat gangguan gerombolan penjahat dan bahwa Sui Cin adalah seorang pendekar wanita yang mengawal pengantin, para pesuruh dari kota itupun merasa gembira. Siapa tidak akan gembira melakukan perjalanan dikawal seorang pendekar wanita secantik itu"
Berangkatlah rombongan pengantin, diiringi suara musik dan petasan, juga suara tangisan ibu pengantin dan para keluarga wanita lain. Tangis para keluar-ga wanita mengantar pengantin ini sudah merupakan semacam kebiasaan dan tra-disi yang tidak mungkin dapat ditinggal-kan lagi. Sukar lagi membedakan mana tangis yang sungguh-sungguh dan mana tangis buatan, seperti juga ratap tangis yang terdengar pada peristiwa perkabungan.
Menyedihkan memang kalau kita be-nar-benar mau membuka mata dengan waspada dan melihat betapa kepalsuan-kepalsuan semakin tebal menghiasi kehi-dupan kita. Tangis kita, tawa kita, keba-nyakan merupakan perbuatan yang palsu dan pura-pura untuk menutupi atau me-nyembunyikan keadaan yang sesungguhnya dari batin kita. Dengan dalih demi sopan santun, demi tata susila dan sebagainya, banyak hati yang sedang berduka memak-sa mulut untuk tersenyum atau sebalik-nya batin yang tidak sedang perihatin memaksa mata untuk menangis. Bahkan setiap hari kita selalu seperti terpaksa untuk berpura-pura, berpalsu-palsu, ber-sikap atau berbuat yang berlawanan dengan batin! Tidak adanya persamaan atau keserasian antara batin dan ucapan, an-tara batin, ucapan dan perbuatan, meru-pakan konflik-konflik yang setiap hari terjadi dalam diri kita. Kesemuanya itu bahkan seperti sudah menjadi suatu ke-harusan, suatu kebiasaan bagi kita. Da-pat kita selidiki pada diri sendiri. Kalau kita berhadapan dengan orang lain, kalau kita bersikap manis, tersenyum, menangis. Benarkah semua itu sesuai dengan suara hati kita" Ataukah hanya pura-pura sa-ja, sekedar memenuhi syarat umum agar dianggap sopan, beradab dan sebagainya" Mengapa begini" Tidak dapatkah kita ber-sikap wajar dan selalu ada keserasian an-tara batin, ucapan dan perbuatan"
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Rombongan pengantin itu hanya melalui sebuah hutan kecil karena jarak antara dusun Lok-cun dan kota Sin-yang ju-ga tidak begitu jauh, hanya perjalanan kurang lebih dua jam saja. Maka, para pengawal atau utusan Su-tikoan (jaksa Su) sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan agak geli melihat betapa keluarga pengantin wanita menyediakan seorang pendekar wanita untuk mengawal pengan-tin. Sudah bertahun-tahun tidak pernah terjadi pencegatan perampok atau penja-hat lain di hutan itu. Tadipun ketika me-reka pergi ke dusun membawa barang-barang hadiah pengantin yang berharga, sama sekali tidak terjadi gangguan. Pu-la, siapa berani mengganggu rombongan pengantin Su-tikoan" Mencari mati saja namanya!
Ketika mereka tiba di dalam hutan, sore telah larut den senja mendatang, membuat cuaca dalam hutan menjadi re-mang-remang karena sinar matahari yang sudah condong ke barat itu terhalang da-un pohon-pohon. Ketika mereka sedang enak berjalan, tiba-tiba terdengar teriak-an yang amat nyaring dari samping kiri, teriakan yang menggetarkan jantung dan menusuk telinga mereka.
"Berhenti den serahkan nona pengan-tin!"
Mendengar ini, wajah para utusan dan para pengawal yang jumlahnya belasan o-rang itu menjadi pucat dan mata mereka terbelalak. Akan tetapi dengan membe-ranikan hati mereka mencabut senjata masing-masing, dan mereka memandang kepada Sui Cin yang menurut keluarga mempelai ditunjuk sebagai pengawal dan pelindung nona pengantin.
Sui Cin juga memperlihatkan sikap gugup. "Kalian bertahan di sini, biar a-ku yang menyelamatkan pengantin. Aku tunggu kalian di luar hutan ini!" Berkata demikian, Sui Cin lalu mengambil joli atau gerobak dorong itu dan mendorong-nya sendiri sambil berlari keluar dari hu-tan.
Tiba-tiba muncullah seorang yang melihat pendeknya tubuh tentu seorang re-maja, akan tetapi dia memakai kedok le-bar yang menutupi semua wajahnya, ha-nya memperlihatkan dua buah mata yang mencorong di balik lubang-lubang kedok kayu itu. Sambil mementangkan kedua lengannya, orang yang bertubuh kecil pendek seperti anak-anak ini berkata, "Hayo tinggalkan semua senjata dan pakaian kalian di sini kalau ingin selamat!"
Kalau tadi semua orang itu merasa takut, kini mereka tersenyum mengejek. Kiranya hanya seorang anak kecil yang menghadang mereka, yang hendak menakut-nakuti mereka dengan kedok setan, seolah-olah mereka itu dianggap sebagai serombongan anak-anak penakut saja.
"Heh, bocah setan, apa kau sudah bosan hidup?" bentak kepala rombongan. "Hayo buka kedokmu dan berlutut minta ampun telah mengejutkan hati kami!"
"Heh-heh-heh, rombongan tikus. Lekas lakukan perintahku tadi atau kalian harus berlutut delapan kali dan menyebut aku kong-couw!"
Tentu saja rombongan itu menjadi marah sekali. Seorang di antara mereka melangkah maju dan mengayun tangan menampar ke arah muka anak bertopeng itu dengan keras. Orang ini tinggi besar dan tangannyapun lebar, ketika menampar seperti kipas saja mendatangkan angin.
"Plakk! Sungguh aneh sekali. Anak pendek berkedok itu hanya mengangkat tangan menangkis, tepat mengenai lengan si tinggi besar, akan tetapi seketika si tinggi besar mengaduh dan berjingkrak sambil memegang lengan kanannya yang terasa panas dan sakit seperti tadi bertemu dengan tongkat baja. Melihat ini, semua orang menjadi marah dan dengan senjata di tangan mereka menerjang.
"Heh-heh, kalian harus berlutut semua, berlutut semua!" Orang berkedok itu tertawa-tawa dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap, disusul teriakan-teriakan dan belasan orang itu roboh satu demi satu, roboh berlutut karena tiba-tiba saja mereka merasa kaki mereka seperti lumpuh.
Akan tetapi ketika mereka semua memandang, orang berkedok yang bertubuh pendek itu telah lenyap dari situ, entah ke mana dan agaknya orang itu tidak melakukan sesuatu lagi, buktinya barang-barang mereka masih utuh, juga mereka itu semua tidak terluka dan kini dapat berdiri lagi. Tentu saja pengalaman aneh ini membuat mereka merasa ketakutan. Belum pernah selama hidup mereka bertemu dengan orang yang sehebat itu kepandaiannya, dan tanpa menanti perintah lagi mereka segera berlomba melarikan diri keluar hutan menyusul larinya Sui Cin yang telah pergi lebih dahulu menyelamatkan nona pengantin itu.
Ketika mereka tiba di luar hutan, rombongan itu melihat Sui Cin berdiri menanti bersama joli dorong yang diselamatkannya tadi. Giranglah hati mereka karena ternyata gadis pendekar itu dalam keadaan selamat dan terutama sekali pengantin wanita ternyata tidak terganggu.
Sui Cin berpura-pura heran melihat mereka berlari-lari dengan sikap ketakutan itu dan menyongsong mereka dengan pertanyaan heran, "Eh, kenapa kalian berlari-lari seperti orang ketakutan?"
Dengan suara mengandung ketegangan dan napas masih terengah-engah, mereka lalu menceritakan betapa mereka diserang oleh seorang penjahat bertubuh kecil seperti kanak-kanak yang memakai kedok. Tentu saja Sui Cin diam-diam merasa geli karena ia dapat menduga siapa adanya anak kecil berkedok yang lihai itu.
"Kalau begitu, mari kita cepat pergi dari sini menyelamatkan pengantin sebelum setan itu melakukan penejaran," katanya. Rombongan itu tentu saja setuju dengan ucapan ini dan dengan tergesa-gesa mereka lalu mendorong joli pengantin yan berupa gerobak kecil beroda itu. Saking tegang hati mereka, para pendorong gerobak itu tidak menyadari bahwa joli atau berobak yang mereka dorong itu jauh lebih berat daripada tadi.
Ketika rombongan yang menjemput nona pengantin tiba di gedung Su-tikoan, ternyata rumah itu tidak dirias dan penyambutan tidak semeriah upacara yang diadakan di rumah nona pengantin. Dan memang hal itu tidak mengherankan. Menikahi seorang wanita untuk menjadi isteri kelima, apalagi kalau wanita itu hanya seorang gadis desa, tidak dianggap sebagai peristiwa yang patut dirayakan secara besar-besaran oleh pejabat tinggi itu. Bahkan dianggapnya sebagai suatu kesenian atau hiburan pribadi saja, maka di situ tidak terdapat pesta penyambutan, tidak banyak tamu kecuali beberapa belas orang anak buah pembesar itu. Apalagi ketika para penjemput itu dengan bermacam gaya menceritakan tentang pencegatan, orang aneh yang amat lihai, Su-tikoan sendiri yang merasa khawatir lalu tergesa-gesa memerintahkan agar pengantin perempuan langsung saja dalam jolinya itu dibawa ke dalam gedung dan langsung ke dalam kamar pcngantin! Hanya empat orang yang memanggul joli dorong itu, dan dikawal oleh Sui Cin. Ketika Su-tikoan mendengar bahwa gadis cantik jelita yang ikut bersama rombongan itu adalah seorang pengawal yang melindungi nona pengantin, tentu saja dia memperkenankan pengawal cantik ini ikut masuk pula.
Hati pembesar bertubuh gendut yang mata keranjang itu segera tertarik kepada Sui Cin. Dia sudah pernah melihat Lan Kim dan kini dia melihat betapa wanita gagah itu jauh lebih cantik dari- pada gadis desa yang diangkatnya menjadi isteri kelima, maka tentu saja matanya sudah melirak-lirik dan mulutnya tersenyum-senyum ceriwis. Apalagi ketika dia melihat betapa wanita perkasa yang cantik jelita itu bersikap manis dan selalu tersenyum kepadanya. Pembesar yang usianya sudah enam puluh tatun ini memang terkenal mata keranjang dan agaknya dia beranggapan bahwa semua wanita dibeli dengan harta dan kedudukannya. Baginya, wanita tentu tunduk dan mau kalau dipameri harta dan kedudukan tinggi, biarpun dia sudah tua dan wajahnya buruk, dengan muka kasar menghitam dan perut gendut seperti perut babi.
Maka, ketika joli tiba di depan kamar yang sudah dipilihnya sebagai kamar pengantin bagi calon isterinya yang kelima, dia menyuruh empat orang pemikul joli itu pergi. Joli diturunkan dan kini didorong oleh Sui Cin sendiri memasuki kamar atas isyarat pembesar itu. Lima orang pelayan wanita yang muda-muda dan cantik dengan suara ketawa ditahan yang genit ikut pula memasuki kamar dan mereka ini segera mempersiapkan hidangan yang lezat dan mewah di atas meja dalam kamar.
"Nona tentu lelah dan baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan. Silakan duduk, nona," kata pembesar itu.
Tanpa banyak pura-pura lagi Sui Cin duduk di atas kursi, menghadapi meja makan sampai semua hidangan diatur di atas meja dan pembesar itu menyuruh para pelayan keluar dari dalam kamar. "Tinggalkan kami dan jangan ganggu atau masuk kalau tidak dipanggil," kata pembesar gendut itu. Para pelayan itu cekikikan dan berlarian keluar. Tentu saja pembesar yang mata keranjang itu tidak pernah membiarkan wanita begitu saja dan semua pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik itu selain bertugas sebagai pelayan juga kadang-kadang memperoleh giliran menemaninya dalam kamar. Karena itulah maka mereka bersikap genit dan berani.
Setelah semua pclayan keluar dan daun pintu kamar itu ditutup, pembesar itu cengar-cengir mendekati Sui Cin. Sekali ini dia mengamati wajah wanita gagah ini dan jantungnya berdebar tegang. Inilah wanita cantik, pikirnya. Belum pernah dia mendapatkan seorang wanita secantik ini, apalagi kalau wanita ini memiliki kegagahan, seorang ahli silat pandai yang selain menjadi miliknya sebagai kekasih juga dapat bertugas menjadi seorang pengawal pribadi yang setia dan menyenangkan!
"Nona, siapakah namamu?"
Sui Cin mengerutkan alisnya akan tetapi tidak memperlihatkan rasa jijik dan marahnya. Pembesar ini adalah seorang laki-laki tua yang buruk rupa juga buruk watak. Mana ada seorang pengantin pria yang sedang dipertemukan dengan calon isterinya, belum juga melihat calon isteri yaag masih dibiarkan di dalam joli, sudah main mata dan berusaha merayu seorang wanita lain yang baru dijumpainya" Benar-benar seorang buaya darat, seorang hidung belang yang mata keranjang! Akan tetapi ia pura-pura tersenyum manis dan melirik menja.
"Taijin, nona pengantin sedang menanti dalam joli."
"Ehh..." Ohh... ya, aku lupa..."
"Biarlah saya keluar dari kamar dan pulang, taijin."
"Eh, jargan dulu... jangan dulu, kita makan minum dulu, bersama nona pengantin. Aih, aku sampai lupa kepada nona pengantin. Nona pengantin, keluarlah dan mari kita makan minum!" katanya sambil tersenyum menyeringai dan membuka joli yang tertutup itu. Akan tetapi ketika nona pengantin itu keluar dari joli, Su-tikoan terbelalak, matanya yang besar itu melotot seperti meloncat keluar dari tempatnya.
"Ini... ini... bukan gadis anak lurah itu...! Eh, siapa engaku, berani mati mempermainkan aku?" Dia membentak dan melotot ke arah Hui Song yang berdiri di depannya dalam pakaian pengantin wanita!
Hui Song yang memang berwatak jenaka dan suka menggoda orang, kini berlenggak-lenggok genit seperti seorang perempuan, tentu saja dengan gaya yang lucu dan kaku, menggigit bibir dan mengerling tajam. "Hayaa... kenapa pengantin pria calon suamiku marah-marah kepadaku di malam pertama ini" Aihhh, kakanda, aku adalah mempelai wanita, calon isterimu tercinta. Mari, peluklah aku, pondonglah aku ke atas pembaringan itu... aihhh..."
Pembesar itu menggigil karena jijik mendengar suara nona pengantin itu besar seperti suara pria dan kini nona pengantin itu melangkah menghampirinya dengan sikap merayu.
"Hiiihh...!" Su-tikoan terbelalak ngeri dan mundur-mundur ketakutan bercampur marah. "Pergi engkau! Keparat, berani engkau mempermainkan aku" Pengawal...!" Akan tetapi suara tikoan itu terhenti karena tiba-tiba jari tangan Hui Song telah menotoknya, pada jalan darah di leher yang membuat tikoan itu tidak mampu lagi mengeluarkan suara. Kemudian, sekali menggerakkan kakinya, Hui Song memendang dan tubuh yang gendut itu terlempar ke atas pembaringan. Dengan muka ketakutan dan mata terbelalak pembesar itu memandang ke arah Sui Cin, mengharapkan bantuan pengawal ini. Akan tetapi, wajahnya menjadi semakin pucat ketika dia melihat gadis itu tersenyum mengejek. Tahulah dia sekarang bahwa orang yang menyamar sebagai mempelai puteri ini tentu sekutu gadis i-tu! Dan jantungnya hampir berhenti sa-king takutnya ketika dia melihat Hui Song menanggalkan pakaian pengantin, menghapus penyamarannya dan menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah.
"Tua bangka mata keranjang, dengar baik-baik. Sekali engkau berteriak, aku akan membunuhmu!" Setelah berkata de-mikian, Hui Song menepuk lehernya dan Su-tikoan mampu lagi bicara.
"Ampunkan aku... kalian ini mau apa" Mengapa menyamar pengantin dan... di mana pengantinku...?"
"Keparat! Engkau hendak menggunakan harta dan kedudukanmu untuk memaksa gadis orang menjadi isteri kelima. Nona Coa adalah milik kami dan akan pergi bersama kami. Kami melarikannya dari tangan orang tuanya yang mata duitan, agar tidak terjatuh ke tangan srigala tua macam engkau. Nah, cepat keluarkan uang saratus tail emas untuk bekal pe-ngantin dan berjanji selamanya tidak akan melakukan paksaan menggunakan harta dan kekuasaan!"
Tubuh pembesar itu menggigil. "Baik... baik..." katanya akan tetapi dari pandang matanya yang berkilat tahulah Hui Song bahwa orang ini merasa penasaran dan marah, hanya tunduk karena terpaksa saja. Juga Sui Cin dapat men-duga hal ini maka gadis itupun menghar-dik.
"Engkau adalah seorang pejabat ting-gi, seorang pembesar yang sepatutnya menjadi pelindung rakyat, menjadi tela-dan bagi rakyat. Akan tetapi, engkau lu-pa bahwa engkaupun seorang manusia biasa, seorang di antara rakyat. Setelah memegang jabatan tinggi, engkau lupa dan gila kekuasaan, mabok kemuliaan, sehingga engkau suka berbuat sewenang-wenang. Mengawini seorang gadis di luar kehendak gadis itu, menggunakan harta dan kekuasaan untuk memaksa orang tua gadis itu. Orang seperti engkau ini layak dilenyapkan dari muka bumi. Akan tetapi kami masih mengampuni asal engkau insyaf dan mulai sekarang menjadi seorang pemimpin rakyat sejati."
Pembesar itu menundukkan mukanya, seperti seorang anak kecil yang dimarahi ibunya.
"Hayo cepat keluarkan seratus tail emas!" bentak Hui Song.
"Baik... baik...!" Kakek gendut itu lalu menghampiri sebuah lemari yang berada di sudut kamar. Di dekat lemari itu terdapat sebuah jendela yang tertutup. Tiba-tiba pembesar itu membuka daun jendela dan berteriak, "Pengawal...! Toloonggg...!"
"Keparat!" Hui Song berseru dan tangannya menyambar kursi lalu dilontarkan ke arah pembesar yang hendak melarikan diri keluar dari jendela itu.
"Brukk...!" Kursi itu menghantam muka si pembesar yang mengeluh dan roboh dengan muka berlumuran darah, karena hidungnya telah remuk kena hantaman kursi itu.
"Cepat, ambil uangnya!" kata Hui Song.
Sui Cin menghampiri lemari itu dan mendobrak daun pintu lemari. Akan tetapi isinya tidak begitu banyak, hanya sepuluh tail emas dan beberapa belas potong perak. Sui Cin mengambil emas dan perak itu, membungkusnya dengan kain sutera yang banyak terdapat dalam lemari. Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut di luar. Hui Song yang sudah berjaga-jaga di pintu, tidak melihat adanya pengawal datang dan di luar seperti terdengar suara orang berkelahi.
"Cin-moi, cepat kita keluar!" teriaknya dan merekapun berloncatan keluar setelah Sui Cin menyimpan uang rampasan itu. Kiranya di ruangan dalam yang menuju ke kamar itu telah terjadi perkelahian yang seru. Kakek katai itu sambil tertawa-tawa telah dikepung dan dikeroyok oleh dua puluh lebih pengawal dan penjaga yang tadi mendengar teriakan majikan mereka. Biarpun para pengepung itu menggunakan segala macam senjata, namun kakek katai yang bertangan kosong itu menghadapi mereka sambil terkekeh-kekeh. Enak saja dia mengelak dan menangkis semua senjata yang datang kepadanya bagaikan hujan. Beberapa buah senjata bahkan bertemu dengan lengan-lengan yang pendek dan kecil dari kakek itu. Akan tetapi jelas bahwa kakek itu tidak mau melukai orang, apalagi membunuh, hanya mempermainkan mereka seperti seekor kucing mempermainkan segerombolan tikus.
Melihat kakek itu bermain-main, Sui Cin lalu berseru. "Kakek, jangan main-main, mari kita pergi!"
"Heh-heh-heh, kalian sudah selesai?" Kata kakek itu dan tiba-tiba saja para pengeroyoknya mengeluarkan seruan kaget ketika tiba-tiba saja kakek yang mereka keroyok itu lenyap seperti berubah menjadi asap dan menghilang. Gegerlah gedung pembesar Su itu, apalagi ketika para penjaga itu memeriksa ke dalam mereka menemukan Su-tikoan pingsan dalam kamarnya dengan hidung remuk sehingga dari hidung yang rusak itu mengucur darah yang melumuri seluruh mukanya. Melihat muka berlumuran darah itu, semua orang terkejut dan merasa ngeri, mengira bahwa pembesar itu tentu luka-luka parah pada mukanya. Akan tetapi setelah muka itu dibersihkan, ternyata hanya hidungnya yang remuk. Biarpun demikian, akan tetapi selamanya Su-tikoan akan menjadi orang cacat karena hidungnya hanya akan dapat sembuh dari lukanya, tidak dapat pulih kembali, menjadi hidung yang melesak dan membuat mukanya buruk menakutkan. Dan pengalaman itu ternyata membuat Su-tikoan menjadi ketakutan dan bertobat. Dia hanya mengerahkan pasukannya untuk mencari penjahat-penjahat yang melarikan gadis Coa itu. Juga lurah Coa berusaha mencari puterinya, namun sia-sia karena puterinya telah pergi jauh sekali, ke propinsi lain bersama laki-laki yang dicintanya, yaitu Lo Seng dan membina rumah tangga yang berbahagia, dengan modal uang yang diberikan oleh Sui Cin kepadanya, uang emas dan perak yang dirampas dari dalam lemari Su-tikoan.
Setelah melarikan diri dari gedung Su-tikoan, Hui Song, Sui Cin dan kakek itu berlari kembali ke dalam hutan di mana kini telah menunggu Lo Seng dan Lan Kim. Sepertu dapat kita duga, ketika kakek itu menggoda para pengawal di hutan dan Sui Cin menyelamatkan pengantin wanita, Lan Kim keluar dari dalam joli dan digantikan oleh Hui Song dan kini Lo Seng bersama Lan Kim menanti di dalam kuil tua. Mereka berdua men-jatuhkan diri berlutut di depan tiga o-rang penyelamat mereka itu dan akhirnya mereka berdua dinasihatkan untuk pergi jauh ke propinsi lain dan diberi bekal uang yang dirampas dari Su-tikoan.
Setelah dua sejoli itu pergi, kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, senang ha-tiku bahwa urusan ini berakhir dengan baik berkat pertolongan kalian berdua."
"Ahh, engkau terlalu merendahkan di-ri, kek. Untuk urusan sepele seperti ini saja, biar tanpa bantuan kamipun engkau tentu akan mampu membereskannya sendiri." Sui Cin mencela.
"Heh-heh-heh, belum tentu! Mana aku mampu bergaya menjadi pengantin wani-ta seperti Hui Song ini" Ha-ha-ha, seti-daknya aku dapat bertemu dan berkenal-an dengan kalian dua orang muda yang hebat, keturunan ketua Cin-ling-pai dan Pendekar Sadis."
"Locianpwe telah mengenal kami ber-dua, akan tetapi kami belum mengetahui siapa nama locianpwe yang mulia."
"Benar, engkau harus memperkenalkan namamu kepada kami, kek."
"Namaku" Ha-ha, apa sih artinya nama" Hanya sebutan kosong saja. Nama sama sekali tidak menunjukkan isinya, dan kalau mau bicara tentang isi, seka-rang perutku kosong dan lapar bukan main!"
"Jangan khawatir, kek. Aku akan ma-sak makanan untukmu asal engkau suka memperkenalkan nama," kata Sui Cin sambil mengeluarkan bungkusan-bungkus-an kecil dari buntalan pakaiannya. Bung-kusan-bungkusan itu terisi bumbu-bumbu masakan.
"Kau bisa masak?"
Mendengar pertanyaan yang nadanya tidak percaya dan memandang rendah ini, Sui Cin bangkit berdiri dan bertolak pinggang. "Jangan memandang rendah orang sebelum mengujinya, kek. Kalau tidak pandai masak, perlu apa aku membual" Ibuku telah mengajarkan masakan-masakan yang luar biasa, masakan model selatan yang akan membuat lidahmu menari-nari!"
"Ibumu" Aih, bukankah isteri Pendekar Sadis itu datuk yang pernah berjuluk Lam-sin" Ha-ha, jangan-jangan hanya namanya saja yang besar akan tetapi isinya melompong. Jangan-jangan engkau masak, hasilnya hanya masakan gosong dan pahit!" Kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha, bocah sombong, tentang masak-memasak, kiranya engkau harus belajar dulu dari Wu-yi Lo-jin (Kakek dari Gunung Wu-yi)!"
"Hemm, dan siapa itu Kakek Gunung Wu-yi?"
"Siapa lagi kalau bukan ini orangnya!" Kakek itu menunjuk hidungnya sendiri dengan telunjuknya. "Aku bertapa selama puluhan tahun di puncak Gunung Wu-yi, dan aku sekarang menjadi seorang kakek, maka apalagi namaku, kalau bukan Wu-yi Lo-jin" Ha-ha!"
"Huh, engkau seorang pertapa, paling-paling bisanya makan rumput dan daun muda, mana bisa memasak" Mari kita bertaruh. Kalau mankanku kalah olehmu, biar aku mengangkatmu sebagai guru maask. Akan tetapi kalau masakanku lebih enak, engkau harus memberi hadiah kepadaku."
"Ha-ha-ha!" Kakek itu mengelus jenggot yang panjangnya sampai ke perut itu, nampak gembira sekali. "Bagus, coba kau masak untukku, hendak kulihat apakah benar engkau pandai memasak ataukah hanya membual saja. Kalau benar-benar masakanmu lebih enak daripada masakanku, engkau boleh minta hadiah, sebut apa saja, tentu akan kuberikan padamu!"
"Benarkah itu" Apa saja yang kuminta akan kauberikan" Song-twako ini menjadi saksi hidup!"
"Tentu saja selamanya aku tidak pernah bohong."
"Ah, batal saja, aku tidak jadi masak." kata Sui Cin. "Orang seperti engkau ini banyak akalnya, tentu aku akan kalah karena engkau menggunakan akal."
"Akal begaimana?" Kakek yang mengaku bernama Wu-yi Lo-jin itu mendesak.
"Bagaimana enaknya, bisa saja engkau bilang tidak enak, tentu saja aku akan kalah!"
"Ah, tidak mungkin. Perutku lapar begini, kalau ada masakan enak, mana tega aku mengatakan tidak enak" Kalau aku terus makan, berarti enak, kalau tidak enak tentu tidak akan kumakan, padahal perutku lapar sekali."
"Baik, aku akan mencari behan masakan!" Berkata demikian, Sui Cin meloncat dan sekali berkelebat, gadis itu telah lenyap keluar guha.
Kakek itu mengangguk-angguk dan kini, setelah Sui Cin pergi, sikapnya yang tadi jenaka itu berobah serius. "Hui Song, gin-kang gadis itu hebat sekali. Kabarnya ibunya yang memiliki gin-kang istimewa dan ternyata memang benar. Dan dara itu... sungguh hebat. Aku pasti akan jatuh cinta kalau aku sebaya denganmu."
Wajah Hui Song berubah merah sekali. Tadi dia termenung dan diam-diam menganggap betapa bodohnya Sui Cin. Bertaruh melawan kakek ini apa gunanya" Andaikata menang, apa yang dapat diharapkan dari kakek yang hanya mempunyai satu-satunya pakaian mewah yang menempel di badannya berikut guci arak besar itu"
Tak lama kemudian Sui Cin sudah datang lagi membawa sebuah rebung (bambu muda), seekor ayam hutan dan seekor kadal yang gemuk! Hui Song sudah pernah menikmati masakan Sui Cin ketika mereka melakukan perjalanan bersama dan dia tahu bahwa gadis itu memang pandai memasak, bahkan agaknya binatang apa saja dapat disulap menjadi masakan yang lezat olehnya. Biarpun dia belum pernah makan daging kadal, akan tetapi dia percaya bahwa gadis itupun tentu dapat memasak daging binatang itu menjadi santapan nikmat.
"Kakek, pernahkan engkau makan masak rebung campur hati dan daging naga ditambah kepala dan kaki burung Hong" Dan juga, panggang daging burung Hong muda?" Sui Cin bertanya kepada kakek itu sambil melenmpar rebung, ayam hutan dan kadal yang sudah mati itu ke atas lantai. Hui Song tanpa diperintah lagi se-gera mencari kayu bakar dan membuat api unggun.
Kakek itu memandang terbelalak mendengar nama masakan-masakan aneh itu, tidak mampu menjawab hanya geleng-geleng kepala, lalu menelan ludah dan bertanya, "Anak baik, bagaimam mungkin engkau akan memasak daging binatang-binatang suci itu" Mana naganya dan burung Hongnya?"
Sui Cin tersenyum, mengambil bangkai ayam dan kadal. "Inilah burung Hong dan naganya!"
"Kadal itu" Hihh, menjijikkan! Lebih baik masak daging ayam itu saja!"
Sui Cin cemberut den melemparkan dua bangkai binatang itu ke atas lantai, lalu berkata dengan nada suara ngambek, "Sudahlah, kalau belum apa-apa dicela, lebih baik aku tidak jadi masak!"
"Wah, jangan begitu, aku sudah lapar sekali!" kata si kakek terkejut.
"Biar kau kelaparan, siapa peduli?"
"Aih, anak baik, jangan marah. Ma-saklah, masaklah apa saja, hendak kuli-hat apakah engkau benar-benar pandai masak."
"Baik, akan tetapi, engkau harus membantuku mencarikan kebutuhan masak yang kuperlukan saat ini."
"Boleh, boleh! Apa saja?"
Sui Cin menghitung-hitung dengan ja-rinya sambil mengerutkan alisnya. "Per-tama tentu saja adalah panci tanggung berisi air jernih, lalu fetsin, dua jari ja-he, kulit jeruk dan bawang. Nah, itulah yang kuperlukan. Cepat, kek, akupun i-ngin melihat apakah engkau benar-benar memiliki ilmu berlari cepat yang hebat."
"Tunggu sebentar!" Suaranya masih bergema dan kakek itu sudah lenyap da-ri situ!
Sui Cin melongo, juga Hui Song yang sudah kembali membawa kayu bakar itu bengong.
"Song-ko, dia seperti bukan manusia, seperti iblis yang pandai merghilang saja!"
"Cin-moi, kenapa engkau mengadakan pertaruhan dengan dia seperti itu" Kalau engkau menang seperti yang kupercaya, lalu apa yang dapat kauminta darinya?"
Sui Cin tertawa. "Song-twako, ke mana larinya kecerdikanmu dan kenapa semenjak bertemu dengan kakek itu engkau kehilangan rasa gembira dan kejenakaanmu" Aku dapat minta diajari gin-kangya itu!"
Hui Song mengangguk-angguk, akan tetapi dia mengerutkan alisnya.
"Kenapa engkau nampak tidak gembira, twako" Engkau tidak seperti biasanya, kocak dan gembira?"
"Entahlah, Cin-moi, akan tetapi... aku... seperti merasa tidak enak hati semenjak dia muncul..." Dan pemuda ini merasa bingung sendiri di dalam hatinya mengapa dia bisa merasa cemburu kepada kakek tua renta itu! Melihat betapa Sui Cin bergembira dengan kakek itu, sikap Sui Cin yang demikian akrab, dia merasa cemburu! Padahal dia sendiri maklum bahwa Wu-yi Lo-jin adalah seorang kakek yang sakti dan tidak ada alasan sedikit juga baginya untuk merasa cem-buru. Pemuda ini tidak tahu bahwa yang dideritanya bukanlah sekedar cemburu, melainkan iri hati melihat betapa gadis yang dicintanya itu bersikap baik kepada orang lain, walaupun orang lain itu seorang kakek tua renta! Dan hatinya mera-sa lebih tidak enak lagi mendengar bah-wa Sui Cin akan minta diajari gin-kang oleh kakek yang sakti itu. Kalau hal ini terjadi, berarti tidak lama lagi dia akan tertinggal jauh oleh Sui Cin dan dia kha-watir bahwa kalau sampai terjadi demi-kian, gadis itu memandang rendah kepa-danya.
Terdengar suara kakek itu. "Hah-hah, sudah dapat semua yang kaubutuhkan!"
Dan tiba-tiba saja dia sudah berdiri di situ, membawa sebuah panci yang terisi air penuh. Juga dia membawa semua bumbu yang dibutuhkan Sui Cin tadi. Sungguh amat mengherankan sekali betapa kakek ini dapat berlari cepat membawa panci terisi air penuh yang nampaknya sama sekali tidak tumpah karena air itu masih penuh sampai ke bibir panci.
Dengan girang Sui Cin menerima se-mua bumbu dan panci berisi air itu, lalu mulailah gadis itu mempersiapkan masakannya, dibantu oleh Hui Song. Adapun Wu-yi Lo-jin sendiri lalu duduk bersila menanti di sudut guha, memejamkan mata dan sebentar saja terdengar suara mendengkur! Dari pernapasannya, dua o-rang muda yang juga memiliki ilmu ke-pandaian tinggi itu merasa yakin bahwa kakek itu memang benar sudah tidur, maka kembali mereka kagum. Orang yang dapat secara seketika tidur pulas hanya-lah orang yang sudah amat kuat batinnnya yang begitu mengosongkan batin se-gera tenggelam dalam kepulasan. Kepan-daian seperti ini hanya dimiliki orang yang sudah mendalam latihannya dalam ilmu samadhi.
Sui Cin memang seorang gadis yang ahli dalam hal memasak. Bukan hanya karena ibunya mengajarkan ilmu memasak kepadanya, akan tetapi karena memang gadis ini gemar memasak sehingga dalam perantauannya, ia selalu mempelajari ilmu ini dan memperdalamnya. Setiap kali mencicipi masakan yang lezat, umpamanya di dalam sebuah restoran, ia tentu segera menghubungi kokinya dan tidak segan-segan ia mengeluarkan uang untuk membeli resep masakan atau mempelajarinya. Dengan mengumpulkan berbagai cara masakan dari bermacam-macam daerah, akhirnya ia pandai sekali mencampur-campur bumbu sehingga menjadi masakan yang lezat, walaupun yang dimasaknya hanya sayur atau daging seadanya saja. Ia tahu bagaimana caranya menghilangkan bau amis pada daging, membuat daging yang alot menjadi lunak, menghilangkan rasa pahit pada beberapa macara sayur, bahkan membebaskan daging atau sayur dari pengaruh racun.
Dengan dibantu Hui Song yang me-mandang kagum melihat pandainya Sui Cin memasak, tak lama kemudian ter-ciumlah bau sedap ketika masakan-ma-sakan itu matang. Dan sungguh luar bia-sa sekali, kakek yang tadinya tidur nyenyak mendengkur itu tiba-tiba mengeluarkan suara!
"Wah, harumnya...! Sedap... sedap...!" Dan dia langsung saja membuka matanya lalu bangkit berdiri, seperti orang yang tidak pernah tidur saja. Sambil mengucek mata kakek itu memandang dan menghampiri Sui Cin, menelan ludah dan menjilati bibirnya sendiri.
"Nah, sudah matang, kek. Cobalah masakanku dan aku menantangmu apakah engkau berani mengatakan bahwa masakanmu lebih enak daripada masakanku!"
Wu-yi Lo-jin lalu duduk menghadapi dua macam masakan itu. Seperti main sulap saja, dari balik jubahnya yang kedo-doran itu dia mengeluarkan sebuah mang-kok yang masih baru dan mengkilap dan sepasang sumpit yang terbuat dari gading tua yang mahal! Dan mulailah kakek itu menyumpit masakan itu dan tak lama kemudian nampak dia mengunyah makan-an dengan mata meram-melek, jelas se-kali nampak dia menikmati masakan yang lezat itu. Hui Song memandang hampir tak pernah berkedip dan kalamenjingnya turun naik. Dia sendiri sedang merase la-par, maka melihat orang makan dengan demikian lahap dan enaknya, tentu saja seleranya timbul. Sui Cin juga meman-dang sambil tersenyum girang.
"Bagaimana, kek" Bagaimana penda-patmu" Bukankah masakanku enak seka-li?" Sui Cin bertanya tak sabar lagi se-telah dua macam masakan itu habis le-nyap ke dalam perut kakek katai itu.
Sambil mengunyah-ngunyah masakan terakhir, kakek itu mengangguk-angguk, menanti sampai dia menelan makanan itu baru menjawab, "Lumayan, akan tetapi aku belum yakin benar kalau masakanmu lebih enak daripada masakanku. Mana... masih ada lagikah?" Dia mengulur tangan memberi panci kosong kepada Sui Cin. Melihat ini, Sui Cin tidak dapat menahan ketawanya.
"Hi-hik, kakek curang, kaukira aku ti-dak tahu isi hatimu" Kaukira aku dapat kau bodohi begitu saja" Kalau tidak le-zat, mana mungkin engkau makan begitu lahapnya dan engkau sikat semua sampai habis, sehingga engkau sampai lupa sopan santun, makan sendiri tanpa menawarkan kepada kami berdua yang juga sudah lapar sekali" Cih, dan masih ti-dak malu untuk menyangkal bahwa me-sakanku sangat lezat?"
Ditegur begitu, agaknya kakek itu baru sadar dan dia menoleh kepada Hui Song, lalu terkekeh. "Heh-heh-heh, baiklah... tapi mana, apakah masih ada la-gi" Jangan kaubohongi aku, aku tahu bahwa masih ada daging panggang yang be-lum kauhidangkan!" Kakek itu mengusap bibir dengan saputangan sutera, kemudian membuka tutup guci arak dan minum a-rak dengan suara menggelogok.
Sui Cin tersenyum. "Jadi, engkau sudah mengaku kalah?"
"Sudah, kau memang anak yang baik dan pandai masak. Mana panggang ayam itu?"
"Nanti dulu, kek. Kalau kau sudah mengaku kalah, engkau tentu mau memberikan apa saja yang kuminta seperti janji kita, bukan" Ataukah engkau juga tidak malu-malu untuk menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"
"Heh-heh, anak nakal! Katakan, mau minta apa" Aku hanya punya guci arak ini, boleh kauminta setelah araknya habis kuminum nanti!"
"Aku tidak butuh guci arakmu, kek!"
"Apa...?" Kakek itu membelalakkan matanya. "Anak bodoh, kau tahu harganya guci ini" Guci ini terbuat dari emas murni dan sudah seribu tahun umurnya. Tak ternilai harganya! Juga, segala macam makanan atau minuman beracun kalau dimasukkan ke dalam guci ini akan berubah hitam! Belum lagi kalau dipergunakan -sebagai senjata, ampuhnya bukan main!"
"Biarpun begitu, bukan itu yang kuminta darimu."
"Hemm, lalu apa yang kauminta" Aku tidak punya apa-apa lagi. Mangkok dan sumpit ini" Ataukah pakaianku" Aih, ku-rasa engkau tidak begitu kejam untuk merampas sandang panganku!"
"Bukan! Aku hanya minta agar engkau suka mengajarkan gin-kang kepadaku sampai aku dapat bergerak secepat engkau, kek!"
Kini sepasang mata kakek itu terbelalak dan mukanya agak berubah, dan... aneh sekali, dia menoleh ke kanan kiri seolah-olah merasa khawatir kalau-kalau percakapan mereka terdengar orang lain.
"Ah, tidak bisa... tidak bisa...!"
"Nah, ketahuan sekarang belangmu!" Sui Cin berseru. "Sudah menelan habis semua masakan dengan lahap dan enak, lalu lupa janji. Baru begitu saja sudah hendak mengingkari janji, apalagi kalau janji-janji penting!"
"Wahh... berabe... ssttt. Jangan keras-keras...!" Dia lalu berbisik, "Baiklah, akan tetapi hal ini harus dirahasiakan dan engkau tidak boleh menyebut guru kepadaku."
"Aku tidak perduli sebutan guru itu asal dapat mewarisi ilmu gin-kangmu."
"Baik, baik... aku bukan orang yang suka mengingkari janji, tapi hati-hati, jangan ketahuan orang lain. Sudah, kesinikan panggang daging itu."
"Kami sendiripun belum makan, kek."
"Biarlah, Cin-moi, berikan saja kepada locianpwe. Aku masih mempunyai sisa roti kering," kata Hui Song, mengeluarkan roti kering dari buntalannya.
Sui Cin terpaksa memberikan daging ayam panggang kepada kakek itu yang segera makan lagi dengan lahapnya, matanya meram-melek keenakan tanpa merasa sungkan sedikitpun kepada dua o-rang muda yang kini makan roti kering untuk mengurangi rasa lapar.
Setelah semua daging panggang itu amblas, disusul belasan teguk arak, kakek itu nampok
kekenyangan, menutup guci-nya dan menggantung gucinya kembali di punggung, mengusap bibir dengan saputangannya yang indah. Mukanya merah segar dan wajahnya berseri memandang dua orang muda di depannya itu.
"Kalian anak-anak muda yang baik. Tidak rugi aku bertemu dengan kalian. Kalian menjadi sekutu yang baik."
"Wu-yi Lo-jin, kau sudah berjanji akan mengajarkan gin-kang kepadaku." Sui Cin memperingatkan, khawatir kalau-kalau kakek yang wataknya ugal-ugalan ini akan kabur setelah makan kenyang. Siapa dapat membayangkan apa yang akan dilakukan oleh kakek aneh ini.
Kakek itu mengangguk-angguk sambil kembali melirik ke kanan kiri. Hal ini mengherankan hati Sui Cin dan Hui Song.
"Kek, kenapa engkau kelihatan takut kalau aku bicara tentang belajar ilmu darimu. Siapa yang kautakuti?"
"Ssstt... mari kita keluar dari guha dan akan kuceritakan semua kepada kalian," kata kakek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari dalam ruangan guha itu. Sui Cin yang takut kakek itu kabur cepat mengejar, diikuti pula oleh Hui Song. Ternyata Wu-yi Lo-jin duduk di atas batu depan guha, menanti mereka.
"Nah, di sini kita bicara agar tidak ada yang ikut mendengarkan tanpa kita ketahui. Anak-anak, ketahuilah bahwa kalau tidak ada terjadi sesuatu yang a-mat hebat, tua bangka seperti aku ini mau apa keluar ke dunia ramai" Tentu kalian tidak pernah mendengar apalagi melihat aku yang hanya tinggal menanti datangnya kematian di dalam tempat pertapaanku di Wu-yi-san. Akan tetapi, seperti kukatakan tadi, telah terjadi se-suatu yan amat hebat, yang mengancam kehidupan dan keselamatan manusia. Ma-ka, bagaimanpun juga, terpaksa aku ha-rus keluar dari tempat partapaanku dan di sini aku bertemu dengan kalian."
Hui Song dan Sui Cin terkejut bukan main, sali

^