Bahagia Pendekar Binal 11

Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 11


tu masing-masing. Apakah sol sepatu mereka basah atau kering kan tiada sedikit pun sangkut pautnya dengan urusan mereka. Namun suara Hoa Bu-koat itu jelas penuh rasa gembira dan bersemangat, seakan-akan anak muda itu mendadak menemukan sesuatu hal yang sangat penting, karena itulah, tanpa disuruh mereka sama angkat kaki untuk memeriksa telapak sepatu masing-masing.
Dan sedikitnya ada separuh dari sepatu mereka memang benar basah.
Malahan kasut rumput yang dipakai Han-wan Sam-kong hampir basah seluruhnya.
"Keparat, memangnya ada apa kalau sol sepatu basah segala?" omel Ok-tu-kui.
Segera Pek Khay-sim berolok-olok, "Hehe, dalam keadaan begini ternyata ada orang yang merasa urusan sepatu jauh lebih penting daripada mati hidup kawan sendiri, sungguh hebat dan luar biasa."
Tapi Hoa Bu-koat tak menggubris ocehannya, ia tetap bersemangat dan berkata pula, "Padahal di tempat ini tiada terdapat air, mengapa sepatu kita bisa basah" Jika Gui Bu-geh ingin membuat mereka mati kelaparan dan kehausan, kenapa di sini bisa ada air?"
Setelah mendengar ucapan ini barulah semua orang merasakan hal ini memang benar sesuatu yang aneh dan menarik.
Segera Han-wan Sam-kong bersuara, "Tapi urusan ini ada sangkut paut apa dengan menghilangnya Siau-hi-ji?"
"Sudah tentu erat sangkut pautnya," kata Bu-koat. "Jika tidak meleset dugaanku, kini dapat kuketahui di mana beradanya Siau-hi-ji."
"He, lekas katakan, di mana dia sekarang?" seru Han-wan Sam-kong girang.
Belum sempat Bu-koat menjawab, terus saja ia lari ke lorong di bawah tanah sana.
Di dalam gua yang lembap ini bau "kakus darurat" itu benar-benar sangat menusuk hidung. Lebih-lebih bau busuk jenazah Gui Bu-geh hampir-hampir membuat mereka muntah.
Bila dalam keadaan biasa, tentu para kakak beradik Buyung tak mau turun ke lorong sana, tapi sekarang Hoa Bu-koat telah mendahului masuk ke sana, segera beramai-ramai mereka pun ikut masuk ke situ.
Bagi mereka, asalkan mendapat tahu jejak Siau-hi-ji sekarang, asalkan bisa mengetahui duduk persoalannya, sekalipun di lorong bawah tanah ini adalah sebuah jamban juga tak dipedulikan lagi dan semuanya pasti juga akan ikut turun ke sana.
Segera Pek Khay-sim menjengek, "Hm, kukira kalian pun jangan keburu bergirang, bisa jadi yang membuat basah telapak sepatu adalah arak."
"Bukan arak, sudah kuperiksa," kata Kiau-kiau. "Sudah kuendus tadi."
"Aneh," ucap Pek Khay-sim sambil berkerut kening. "Mengapa ada sementara orang suka main endus-endus seperti hidung anjing."
To Kiau-kiau tidak marah, ia malah tertawa dan berkata, "Jika aku berhidung anjing, maka kau bermulut anjing."
Di lorong bawah tanah itu ternyata ada air, bahkan makin ke bawah makin dalam air yang menggenang di situ sehingga hampir mencapai pergelangan kaki, jelas pada suatu tempat tertentu ada aliran air yang terus-menerus, meski tidak keras aliran air itu tapi juga cukup deras.
"Buset, sungguh aneh, di dalam gua ada air mengalir, memangnya di perut gunung ini ada sungainya?" demikian kata Han-wan Sam-kong.
Siapa pun tak paham dari manakah air ini mengalir masuk. Terlihat Hoa Bu-koat lagi berjongkok dan memeriksa keadaan air dengan teliti, perlahan-lahan ia memasuki kamar rahasia Gui Bu-geh tadi.
Di dalam kamar itu berbau busuk sekali. Tadi karena di situ tidak ditemukan orang hidup, maka semua orang cepat keluar lagi. Tapi sekarang setelah mereka merasa kunci daripada rahasianya bisa jadi terdapat di kamar ini, mereka tidak pikirkan bau busuk pula, berbondong-bondong mereka lantas ikut masuk lagi ke situ.
Terdengar Bu-koat lagi berseru, "Betul juga, di sinilah tempatnya."
Dia berdiri di depan "kakus" yang dibangun Siau-hi-ji dari peti mati batu itu dengan air muka berseri girang. Namun di situ tetap tidak tampak seorang hidup lainnya.
"Kau bilang Siau-hi-ji berada di sini?" Pek Khay-sim lantas menegas. "Tapi di manakah dia" Memangnya dia telah mampus tenggelam oleh air kencingnya sendiri?"
Belum habis ucapannya, mendadak Toh Sat meraung gusar, "Persetan, omong melulu!" Di tengah bentakannya itu, kontan Pek Khay-sim terpukul mencelat hingga melintas kepala orang banyak dan terbanting jauh di lorong sana, mungkin kesakitan, segera terdengar Pek Khay-sim merintih.
Pek-hujin berlagak tidak terjadi apa-apa, tapi sejenak kemudian ia pun tidak tahan, diam-diam ia mundur ke sana. Terdengar ia mengomel, "Sudah kusuruh tutup mulut, tapi kau selalu nyap-nyap melulu dan mencari penyakit sendiri."
"Peduli kentutmu!" jawab Pek Khay-sim sambil merintih.
"Memangnya memedulikan siapa jika bukan memedulikan dirimu?" ujar Pek-hujin. "Zaman ini mencari suami bukanlah pekerjaan yang mudah, memangnya kau ingin membuat aku menjadi janda lagi?"
"Waduh galaknya perempuan ini," seru Pek Khay-sim. "Pantas si Harimau she Pek itu lari terbirit-birit meninggalkanmu, tampaknya nasibku juga akan ...."
belum habis ucapannya mendadak ia menjerit kesakitan lagi, kiranya Pek-hujin telah menjewer telinganya.
Diam-diam To Kiau-kiau merasa geli, gumamnya, "Makanya seorang janganlah terlalu banyak berbuat sesuatu yang merugikan orang lain, sebab dia pasti akan mendapatkan hukuman setimpal dari Yang Mahakuasa. Umpamanya menghukum dia beristri galak seperti macan betina sehingga tersiksa selama hidupnya."
Memang, seorang kalau salah mengambil istri, maka hidupnya boleh dikatakan akan merana dan sial, mungkin di dunia ini tiada urusan lain yang lebih sial daripada punya istri berengsek.
Namun semua orang tidak lagi memerhatikan persoalan ini, sebab mereka sekarang telah menemukan air itu bersumber pada suatu lubang yang terletak di samping peti mati, dari situlah air mancur keluar.
Lantai kamar itu sebenarnya beralaskan batu, tapi lantai batu itu sekarang sudah didongkel, lantaran di ruangan ini memang berserakan reruntuhan batu maka tadi tiada orang memerhatikannya.
Dengan terheran-heran Han-wan Sam-kong lantas bertanya, "Apakah maksudmu Siau-hi-ji telah lolos keluar melalui terowongan ini?"
"Betul," jawab Bu-koat dengan wajah cerah. "Sejak tadi kita cuma memerhatikan dinding sekeliling gua ini, makanya tidak mengira mereka justru bisa lari keluar melalui terowongan di bawah tanah."
"Ya, betul, dinding batu sekeliling gua ini terlalu keras dan tidak bisa dibobol, tapi bagian bawah adalah tanah yang lunak, dengan sendirinya mudah ditembus," seru Han-wan Sam-kong. Tapi segera ia berkerut kening dan menambahkan, "Namun untuk membuat terowongan dari sini sehingga menembus keluar kan juga bukan pekerjaan mudah?"
"Sudah tentu tidak mudah," kata Bu-koat. "Namun terowongan ini bukan digali oleh mereka sendiri."
"Habis siapa yang menggalinya jika bukan mereka sendiri?" tanya Ok-tu-kui.
"Setahuku, kebanyakan aliran sungai terletak di permukaan bumi," tutur Bu-koat. "Akan tetapi di bawah tanah juga ada sungai lantaran perubahan geografis, misalnya gempa bumi dan sebagainya, maka aliran sungai ini terpendam di bawah tanah. Jika mereka dapat menemukan sungai di bawah tanah ini, berdasarkan ilmu silat mereka kuyakin tidak sukar bagi mereka untuk menerobos keluar."
Semua orang sama bergirang mendengar keterangan yang belum pernah mereka dengar ini. Seketika Han-wan Sam-kong melonjak senang, teriaknya,
"Aha, pengetahuanmu ternyata banyak dan luas juga!"
Dengan tertawa Bu-koat berkata pula, "Malahan sekarang aku pun dapat menerka apa sebabnya pakaian mereka sobek."
"Lekas ceritakan, lekas, bagaimana jadinya?" cepat Han-wan Sam-kong mendesak sambil menepuk pundak Bu-koat.
"Begini," tutur Bu-koat. "Siau-hi-ji juga tidak tahu bahwa di sini ada aliran sungai di bawah tanah. Lebih-lebih tidak mengetahui arah letaknya yang tepat, sebab manusia meski makhluk hidup yang paling pintar dan cerdik, tapi tidak memiliki kemahiran khas sebagaimana dimiliki oleh makhluk hidup lainnya, umpamanya daya cium, seekor anjing dapat melacak sasarannya yang berjarak ribuan li jauhnya berdasarkan daya ciumnya, hal ini jelas tak dapat dilakukan oleh manusia. Mungkin dahulu manusia juga memiliki kesanggupan ini, cuma setelah mengalami evolusi atau perkembangan berangsur-angsur, lama-lama manusia tidak memerlukan kemahiran ini untuk mempertahankan hidupnya."
"Aha, benar, masuk di akal!" seru Han-wan Sam-kong.
Sekarang dia benar-benar takluk lahir batin kepada Hoa Bu-koat, apa pun yang dikatakannya pasti diterimanya dengan baik, padahal teori uraian Bu-koat itu belum tentu seluruhnya dipahaminya.
Didengarnya Bu-koat lagi menyambung, "Naluri setiap makhluk hidup juga tidak sama, misalnya anjing, hidungnya sangat tajam, kelelawar mempunyai daya reaksi yang peka (seperti alat radar). Burung musiman sangat hafal terhadap setiap perubahan cuaca, bagi binatang-binatang yang tidak mempunyai daya pertahanan terhadap ancaman bahaya dari luar sering-sering memiliki daya rasa yang sangat peka dan aneh."
Teori sebagaimana diuraikan Hoa Bu-koat ini sudah tentu banyak diketahui oleh orang zaman kini, tapi di zaman dahulu hal ini pada hakikatnya terlebih ajaib daripada pelajaran lwekang segala yang paling tinggi sekalipun, karena itu semua orang menjadi sangat tertarik.
Tiba-tiba Bu-koat bertanya dengan tertawa, "Dan apakah kalian mengetahui binatang apa di dunia ini yang paling mahir membuat terowongan?"
"Tikus!" dengan tertawa Buyung San mendahului berseru.
"Tepat, memang tikus," kata Bu-koat. "Di manakah kau kurung tikus itu, pasti dia mampu membuat lubang untuk keluar."
"Si anak kura-kura Gui Bu-geh sendiri adalah seekor tikus besar, di tempat ini pasti juga banyak tikusnya," seru Han-wan Sam-kong.
"Ya, kuyakin Siau-hi-ji pasti menemukan beberapa ekor tikus hidup," tutur Bu-koat pula, "dia ingin tikus menjadi penunjuk jalan baginya, tapi ia pun khawatir tikus itu lari, maka ia lantas menggunakan kain bajunya untuk dijadikan tali, ekor tikus diikat dengan tali, lalu tikus dilepaskan keluar."
"Aha, benar," seru Han-wan Sam-kong sambil bertepuk.
"Maka aliran sungai di bawah tanah ini tentu juga ditemukan oleh tikus itu,"
kata Bu-koat pula. "Tatkala mana Siau-hi-ji mungkin tidak tahu apa sebabnya tikus itu menerobos ke bawah tanah. Tapi lantaran waktu itu mereka sudah kehabisan akal, maka segala jalan dicobanya."
Dengan tertawa Han-wan Sam-kong berkata pula, "Kutahu Siau-hi-ji adalah orang pintar nomor satu di dunia ini, siapa menduga kau pun tidak lebih asor daripada dia, tampaknya kalian berdua mesti mengangkat menjadi saudara."
Air muka Bu-koat menampilkan kepedihan, sebab kata-kata Ok-tu-kui itu telah menyentuh perasaannya. Sekarang kalau Siau-hi-ji sudah berhasil lolos keluar, bahkan masih berada dalam cengkeraman Ih-hoa-kiongcu, maka itu berarti dia masih harus berduel dengan Siau-hi-ji sebagaimana sudah diputuskan oleh mereka.
Nyata, nasib mereka yang tragis seakan-akan tak dapat berubah untuk selamanya.
Han-wan Sam-kong tidak bicara apa-apa lagi, segera ia pun hendak menerobos terowongan itu.
"He, apa yang hendak kau lakukan?" seru Li Toa-jui.
"Melakukan apa" Sudah tentu mencari Siau-hi-ji!" jawab Ok-tu-kui dengan melotot.
Li-Toa-jui tertawa, katanya, "Mereka menerobosi terowongan itu karena terpaksa, sebab tiada jalan lain. Tapi sekarang kan tidak perlu kau ikut menerobos terowongan ini?"
"Kalau tidak menerobos terowongan ini, dari mana bisa diketahui Siau-hi-ji berada di mana?" ujar Han-wan Sam-kong.
Belum lagi Li Toa-jui bersuara, tiba-tiba di atas ada orang berseru, "Sam-ci, Sam-ci, di mana kalian?"
Sambil mengernyitkan kening Buyung San mengomel, "Dia Thio Cing, mengapa setan cilik ini baru menyusul kemari sekarang?"
Maka ia lantas berseru menjawabnya, di tengah seruan itu tertampaklah Siau-sian-li Thio Cing berlari masuk, mukanya kelihatan merah penuh semangat, begitu berhadapan dengan Buyung San segera ia pegang tangannya, katanya dengan napas terengah-engah, "Aku melihat ... melihat seorang ... aku melihat seorang ...."
"Hanya melihat seorang saja kenapa mesti geger-geger begini?" omel Buyung San geli. "Setiap hari ada puluhan bahkan ratusan orang yang kulihat."
"Tapi ... tapi orang ini ...." Mendadak Siau-sian-li tersenyum penuh rahasia, ia mengerling lalu bertanya malah, "Coba kau terka siapa orang ini, selamanya takkan dapat kau terka."
"Memangnya siapa?" mau-tak-mau Buyung San jadi tertarik. Tiba-tiba tergerak hatinya, ia menjadi tegang dan menambahkan, "He, apakah kau lihat Siau-hi-ji."
Pertanyaan ini mengakibatkan semua orang ikut tegang, semuanya terbelalak memandang Siau-sian-li dan menantikan jawabannya.
Dengan tertawa Siau-sian-li menjawab perlahan, "Ya, memang betul Siau-hi-ji.
Kalian mencarinya ke sini, siapa tahu dia malah mendatangi kapal kita."
"He, apa betul"!" seketika Han-wan Sam-kong melonjak girang dan kejut.
Siau-sian-li melototinya sekejap lalu berkata pula, "Meja perjamuan di sana belum lagi dibersihkan, sebab hendak menunggu kembalinya kalian untuk melanjutkan pestanya. Siapa menduga sampai lohor belum lagi nampak kalian kembali, tahu-tahu dari dalam sungai melompat keluar beberapa orang, begitu melompat ke atas kapal, tanpa tanya dan tanpa bicara mereka terus makan minum dengan lahapnya seperti setan kelaparan. Seorang di antaranya bahkan tidak pakai sumpit lagi, langsung kedua tangannya mengambil makanan yang tersedia. Dan dia itulah Siau-hi-ji.
"Buset, bisa jadi dia hampir gila saking kelaparan," seru Han-wan Sam-kong dengan tertawa.
"Selain dia, masih ada siapa lagi?" segera Bu-koat ikut bertanya.
"Dengan sendirinya ada pula Ih-hoa-kiongcu," jawab Siau-sian-li dengan tertawa. "Sungguh tak kusangka mereka masih kelihatan begitu muda. Bahkan baju mereka pun sangat aneh, meski baru melompat keluar dari air, ternyata tiada yang basah. Siau-hi-ji kelihatan tak keruan macamnya, tapi kedua Kiongcu itu tetap kelihatan anggun, tiada ubahnya seperti Sian-li (dewi kayangan)."
"Jika demikian, julukanmu seharusnya diberikan kepada mereka saja," dengan tertawa Buyung San berseloroh.
Siau-sian-li berkedip-kedip, lalu bertutur pula, "Yang ikut datang bersama mereka masih ada lagi seorang anak perempuan, kepalanya tampak besar, sedikit pun tidak cantik, tapi mesra sekali dengan Siau-hi-ji."
Keterangan ini membuat semua orang merasa heran pula, tanpa terasa semua orang memandang ke arah Thi Sim-lan. Nona itu kelihatan menggigit bibir dan sama sekali tidak berani mengangkat kepala.
Thi Cian menjadi gusar, teriaknya, "Bocah itu berani bermesraan dengan perempuan lain, memangnya anak perempuanku tak dapat menandingi perempuan buruk kepala besar itu?"
Dengan tertawa Siau-sian-li bercerita pula, "Diam-diam aku pun geli mengapa Siau-hi-ji yang suka mencemoohkan orang itu bisa penujui seorang nona macam begitu. Tapi kemudian makin dilihat makin kurasakan anak perempuan itu memang sangat menarik, setiap gerak-geriknya, setiap senyum tawanya, hampir boleh dikatakan tiada cacatnya sehingga membuat siapa pun pasti akan merasa kesengsem, sampai-sampai aku sendiri pun tergiur."
Semakin gusar Thi Cian mendengar komentar Siau-sian-li itu, dia berteriak-teriak murka.
Buyung San juga heran, ia pandang Siau-sian-li lekat-lekat.
Hanya perempuan saja yang memahami isi hati perempuan. Sudah barang tentu bagaimana perasaan Siau-sian-li terhadap Siau-hi-ji cukup dipahami oleh Buyung San. Ia mengira bila Siau-sian-li melihat Siau-hi-ji bermesraan dengan perempuan lain, tentu hatinya akan tidak senang dan pasti akan memaki perempuan itu. Maka Buyung San sangat heran mengapa pikiran Siau-sian-li bisa berubah sejauh ini"
Ia tidak tahu bahwa hati Siau-sian-li kini sudah mempunyai sandaran, sudah terisi, baginya kini adalah saatnya yang paling manis, paling bahagia, maka terhadap sesamanya juga penuh rasa kasih sayang, ia tidak merasa benci lagi terhadap siapa pun.
Begitulah Buyung-toaci lantas berkata kepada sang suami, "Jika kapal kita kedatangan tamu, mari kita lekas pulang ke sana saja." Dalam segala hal dia pasti minta dulu persetujuan sang suami, sebab ia pun tahu sang suami pasti akan setuju.
Segera Thi Cian pun berjingkrak dan berseru, "Betul, marilah kita berangkat sekarang juga, ingin kulihat betapa besar nyali bocah itu."
"Ya, konon Ih-hoa-kiongcu sangat pintar berdandan dan merawat diri, aku pun ingin melihatnya," kata si nenek Siau.
"Aku justru tidak percaya bahwa Kungfu mereka tiada tandingannya di dunia ini," kata Ni Cap-pek.
Dengan tertawa Han-wan Sam-kong juga bergumam, "Sudah sekian lama tidak bertemu, entah bagaimana keadaan Siau-hi-ji sekarang, tentu sudah jauh lebih cakap."
Ternyata ada yang ingin tahu bagaimana bentuk Ih-hoa-kiongcu yang termasyhur itu, ada juga yang ingin tahu bagaimana si cantik berkepala besar yang menjadi pacar Siau-hi-ji itu. Walaupun berbeda-beda alasan mereka, tapi sama-sama satu tujuan, yaitu ingin lekas-lekas kembali ke kapal sana.
Hanya Hoa Bu-koat saja, meski dia jauh lebih bernafsu daripada siapa pun agar bisa lekas-lekas bertemu dengan Ih-hoa-kiongcu dan Siau-hi-ji, tapi mengingat setelah bertemu dengan Siau-hi-ji mungkin mereka diharuskan duel lagi, maka ia pun berharap semoga tidak lagi bertemu dengan Siau-hi-ji untuk selamanya.
Mendadak terdengar Siau-sian-li berseru. "He, ceritaku belum lagi habis, kalian jangan buru-buru berangkat dulu!"
"Baiklah, lekas kau ceritakan, janganlah kau jual mahal," omel Buyung San dengan tertawa.
Sinar mata Siau-sian-li tampak gemerdep, katanya kemudian, "Selain Ih-hoa-kiongcu, di atas kapal kita ada seorang tamu agung lagi."
"Oo, Siapa dia?" tanya Buyung San.
Kembali Siau-sian-li memperlihatkan senyuman misterius, jawabnya, "Nama besar tamu agung ini pasti tidak di bawah Ih-hoa-kiongcu, apakah kalian tahu siapa dia?"
Belum habis ucapannya, semua orang sudah dapat menerka siapa gerangan yang dia maksudkan. Sebab di kolong langit ini hanya ada seorang saja yang namanya dapat disejajarkan dengan Ih-hoa-kiongcu.
Karena itulah tanpa terasa semua orang sama berseru, "Yan Lam-thian! Yan Lam-thian!"
Mendengar nama "Yan Lam-thian", seketika To Kiau-kiau, Li Toa-jui dan lain-lain sama pucat, kalau bisa mereka ingin mendadak tumbuh sayap dan terbang sejauh-jauhnya untuk menghindari pendekar besar ini.
Kakak beradik Buyung juga terkesiap. Sedangkan Ni Cap-pek saling pandang sekejap dengan Ji Cu-geh, katanya, "Sungguh tak tersangka Ih-hoa-kiongcu dan Yan Lam-thian juga berada di sana."
"Ini benar-benar dicari sampai kepala pecah tidak bertemu, di dapatkan tanpa buang tenaga apa pun," tukas Ji Cu-geh.
"Tapi entah apa yang dilakukan mereka ketika Ih-hoa-kiongcu dan Yan Lam-thian saling bertemu, kukira pemandangan waktu itu pasti sangat menarik," ujar Kui-tong-cu.
Membayangkan bagaimana ketika kedua tokoh top dunia persilatan itu saling berhadapan, mau tak mau semua orang menjadi sangat tertarik dan menyesal tak dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
"Apakah Ih-hoa-kiongcu kakak beradik kenal Yan Lam-thian?" tiba-tiba si nenek Siau bertanya.
"Mereka seperti tidak kenal Yan-tayhiap, tapi begitu Yan-tayhiap muncul di atas kapal, agaknya semua orang sudah tahu siapa dia, sebab sikap dan gayanya itu tidak mungkin ditirukan oleh siapa pun," tutur Siau-sian-li.
"Hm, orang lain pun belum tentu mau meniru dia," jengek Kui-tong-cu.
Siau-sian-li tertawa, tuturnya pula, "Yang aneh ialah Siau-hi-ji, dia seperti tidak pernah melihat Yan Lam-thian, tapi begitu berada di atas kapal tanpa berkedip Yan-tayhiap lantas memandangi anak muda itu."
"Dan bagaimana dengan Siau-hi-ji sendiri?" tanya Han-wan Sam-kong.
"Siau-hi-ji juga menatapnya lekat-lekat dan tanpa terasa berbangkit. Selangkah demi selangkah Yan-tayhiap mendekatinya sambil bergumam, "Bagus, bagus
...."
"Satu kali bagus saja sudah cukup, kenapa kau berucap sebanyak itu?" ujar Buyung San dengan tertawa.
"Tapi sekaligus Yan Lam-thian telah berucap belasan kali," kata Siau-sian-li.
"Air matanya lantas berlinang-linang, hanya air matanya tidak sampai menetes.
Siau-hi-ji tidak berucap apa-apa, dia terus berlutut dan menyembah. Yan Lam-thian lantas menariknya bangun dan berkata, "Apa yang telah kau lakukan hampir seluruhnya sudah kuketahui, kau tidak memalukan nama baik ayahmu"."
Bercerita sampai di sini tanpa sadar air mata Siau-sian-li juga bercucuran.
Nyata apa yang disaksikan waktu itu pasti sangat mengharukan hatinya.
Siau-sian-li telah menjadi pusat perhatian orang banyak, semua orang ikut dia keluar, karena asyiknya mereka mendengarkan ceritanya sehingga tanpa terasa mereka pun sudah sampai di luar gua.
Terdengar Siau-sian-li sedang menyambung pula. "Ih-hoa-kiongcu hanya memandangi mereka dengan sikap dingin. Sejenak kemudian barulah Kiongcu besar itu mendengus, "Bagus sekali, akhirnya kita bertemu juga"."
"Dan Yan-tayhiap menggubrisnya tidak?" tanya Buyung San.
"Cukup lama barulah Yan-tayhiap berpaling ke arahnya dan berkata. "Dua puluh tahun yang lalu seharusnya kita sudah bertemu". Kiongcu itu mendengus, "Apakah kau anggap sudah terlambat?" Yan-tayhiap tidak menjawab, ia cuma menengadah dan menghela napas panjang." Sampai di sini, tanpa terasa Siau-sian-li sendiri pun menghela napas.
"Lalu apa yang dikatakan Yan-tayhiap?" tanya Buyung San.
"Dia seakan-akan hendak melampiaskan duka derita selama dua puluh tahun dengan embusan napasnya itu, kemudian ia berkata, "Selama orang she Yan belum mati, maka tiada sesuatu yang terlambat"."
"Lalu bagaimana?" Han-wan Sam-kong dan beberapa orang lagi tanya berbareng.
"Waktu itu mereka saling melotot dan setiap saat bisa saling labrak, cuma kedudukan mereka memang lain daripada yang lain, tidak dapat bergebrak begitu saja seperti orang biasa. Aku menjadi gelisah, entah bagaimana jadinya bilamana dua tokoh top persilatan saling gebrak, Jin-giok lantas menarikku ke pinggir dan menyuruhku lekas kemari untuk memberi kabar kepada kalian agar kalian lekas pulang ke sana."
Menyinggung Koh Jin-giok, tanpa terasa sorot mata Siau-sian-li menampilkan rasa bahagia. Segera ia menyambung lagi, "Kata Jin-giok, kalian pasti akan menyesal selama hidup bilamana kesempatan menyaksikan pertarungan kelas tinggi ini tersia-sia oleh kalian."
"Memang betul, malahan tidak cuma menyesal saja, bisa jadi seterusnya aku tidak dapat tidur nyenyak lagi," seru Kui-tong-cu.
"Dan mereka sudah mulai bergebrak belum?" tanya Han-wan Sam-kong.
"Entah, aku pun tidak tahu," jawab Siau-sian-li.
"Semoga mereka tidak bergebrak dengan sungguh-sungguh," ujar Han-wan Sam-kong.
"Sebab apa?" tanya Siau-sian-li.
"Kau tahu, dua ekor harimau berkelahi tentu salah satu akan mati atau terluka, bisa jadi malahan dua-duanya akan sama celaka. Maka akibat dari pertarungan mereka sungguh sukar kubayangkan. Akan lebih baik jika tidak menyaksikan pertarungan maut mereka."
Dengan rasa terima kasih Bu-koat memandang Han-wan Sam-kong sekejap. Ia tahu bila pertarungan antara Yan Lam-thian dan Ih-hoa-kiongcu jadi berlangsung, maka salah satu pihak pasti akan mati. Jika demikian jadinya, tak peduli pihak mana yang menang atau kalah, yang pasti permusuhannya dengan Siau-hi-ji juga akan semakin mendalam, mungkin akibatnya juga harus mati salah satu dan selamanya tidak dapat dilerai lagi.
Seketika mereka menjadi bungkam, suasana menjadi sunyi.
Selang sejenak, Ji Cu-geh menghela napas gegetun dan berkata, "Sungguh harus disayangkan apabila mereka sama-sama terluka atau gugur bersama."
"Apakah kau berharap mereka akan menunggu kedatangan kita untuk bertanding denganmu, begitu bukan?" kata si nenek Siau dengan tertawa.
"Memangnya kau tidak ingin mencoba jurus baru "Hwe-hong-cap-pek-pian"
(delapan belas jurus pukulan permaisuri) hasil pemikiranmu itu?" tanya Ji Cu-geh.
"Sudah tentu aku ingin mencobanya," ujar si nenek Siau dengan gegetun. "Tapi kalau menuruti pembicaraan mereka itu, agaknya permusuhan mereka sudah teramat mendalam. Kalau Yan Lam-thian sudah menunggu selama dua puluh tahun, setelah bertemu sekarang mana bisa diselesaikan dengan begitu saja?"
Ji Cu-geh juga menghela napas gegetun, katanya, "Jika kedua orang itu sudah mulai bergebrak, mungkin di dunia ini tiada seorang pun yang dapat memisahkan mereka."
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Begitulah ketika mereka sudah berada kembali di tepi sungai sana, ternyata meja kursi di bangsal panjang itu sudah disingkirkan, hanya tersisa kertas hiasan serta "tui-lian" yang berkibar-kibar tertiup angin. Tapi di tanah lapang di depan bangsal panjang itu kini berjubel orang banyak entah apa yang sedang menjadi tontonan mereka, jangan-jangan di situlah Yan Lam-thian dan Ih-hoa-kiongcu sedang bertanding.
Segera Han-wan Sam-kong mendahului menerjang ke sana, maksudnya hendak mendesak maju, tapi sebelum dia bertindak apa-apa, orang-orang itu segera menyingkir sendiri demi melihat datangnya rombongan mereka.
Ternyata Ih-hoa-kiongcu tidak berada di situ, malahan bayangan Yan Lam-thian dan Siau-hi-ji juga tidak kelihatan.
Lantas ke manakah mereka" Apakah Siau-sian-li sengaja bercanda dan menggoda mereka"
Namun Siau-sian-li lantas mendahului berteriak, "He, di manakah mereka" Eh, Siau Man, ke mana mereka" Mana Koh-kongcu?"
Siau Man adalah pelayan pribadi Buyung San, setelah Siau-sian-li tinggal di tempat Buyung San, Siau Man lantas disuruh melayani dia. Genduk ini memang pintar dan cerdik, dalam hal omong juga dapat diandalkan.
Namun pertanyaan Siau-sian-li sesungguhnya terlalu cepat, juga terlalu banyak, maka Siau Man menjadi gelagapan. Setelah menenangkan diri barulah ia menjawab, "Seperginya nona, Yan ... Yan-tayhiap itu lantas duduk bersama tuan muda Siau-hi-ji, mereka minum arak bersama secawan demi secawan tanpa berhenti, bicara mereka pun tidak pernah berhenti. Kulihat mereka pasang omong hingga lama sekali, mendadak mereka bergelak tawa, habis itu lantas keduanya sama-sama menghela napas. Nona she So itu melayani mereka dengan menuangkan arak, tapi ketika nona So berpaling, kulihat air matanya lantas menetes."
Siau-sian-li tahu yang dibicarakan Yan Lam-thian dan Siau-hi-ji pastilah suka-duka masing-masing selama berpisah, namun ia pun bertanya, "Apa yang mereka bicarakan?"
"Suara bicara mereka tidak keras, ada yang sama sekali tak kudengar, ada sebagian kudengar, tapi hamba tidak paham artinya," tutur Siau Man.
"Ai, dasar kau memang bodoh," omel Siau-sian-li dengan tertawa.
Siau Man menunduk, katanya, "Meski hamba tidak dengar apa yang mereka bicarakan, tapi melihat sikap mereka, entah mengapa, hati hamba menjadi pilu dan ingin mencucurkan air mata."
Teringat kepada nasib Siau-hi-ji dan Yan Lam-thian yang malang itu, seketika Han-wan Sam-kong juga merasa pedih dan terharu, teriaknya mendadak,
"Benar, meski aku tidak dengar apa yang mereka bicarakan, tapi sekarang rasanya aku pun ingin meneteskan air mata."
Siau-sian-li melototinya sekejap, lalu bertanya pula kepada Siau Man, "Waktu mereka bicara, bagaimana dengan Ih-hoa-kiongcu?"
"Ih-hoa-kiongcu duduk di sebelah sana, dia tidak memandang mereka, juga tidak gelisah, dia seperti sudah tahu bila Yan-tayhiap selesai bicara tentu akan mencari mereka."
Semua orang saling pandang sekejap, dalam hati masing-masing sama gegetun, sebab mereka tahu Yan Lam-thian pasti akan perang tanding dengan Ih-hoa-kiongcu, sebab itulah dia perlu memberi pesan terakhir kepada Siau-hi-ji.
"Bicara mereka seperti tidak habis-habis, lebih-lebih tuan muda Siau-hi-ji itu seolah-olah tidak pernah berhenti bicara, selama hidupku tidak pernah melihat seorang lelaki yang suka bicara seperti dia, sungguh mirip seorang nenek yang bawel," demikian Siau Man menyambung.
"Ai, akulah paham perasaannya," ujar Han-wan Sam-kong dengan menyesal.
"Justru lantaran Siau-hi-ji dapat memahami jalan pikiran Yan-tayhiap, maka dia sengaja banyak bicara untuk mengulur waktu ...."
"Jika begitu tentunya Yan-tayhiap juga dapat mengetahui maksudnya," kata Siau Man.
"O, apa begitu?" tanya Han-wan Sam-kong.
"Ya, sebab mendadak Yan-tayhiap lantas berdiri, ia tepuk-tepuk pundak Siauhi-ji, katanya dengan tertawa, "Jangan khawatir, Yan-toasiokmu ini selamanya seratus kali bertempur seratus kali menang, lihat saja nanti"."
"Hm, seratus kali tempur seratus kali menang, besar amat suaranya," jengek Ji Cu-geh.
Han-wan Sam-kong juga mendengus, katanya, "Jika orang lain yang bilang begitu tentu Locu menganggapnya membual, tapi Yan Lam-thian yang omong, kukira siapa pun pasti percaya."
Ji Cu-geh tidak menanggapi lagi, dia cuma menjengek saja.
"Tuan muda Siau-hi-ji memandang Yan-tayhiap, seperti mau omong apa-apa lagi. Tapi waktu itu juga Ih-hoa-kiongcu sudah berbangkit dan melangkah keluar," demikian Siau Man menyambung ceritanya. "Segera Yan-tayhiap ikut keluar. Meski satu patah kata saja mereka tidak bicara, tapi entah mengapa, jantungku berdebar dan tegang luar biasa."
Dasar Siau Man memang pintar bicara, kini dia sengaja bercerita lebih menarik sehingga pendengarnya ikut tegang seakan-akan menyaksikan sendiri kedua tokoh top dunia persilatan sedang berhadapan dan siap untuk duel.
Saat itu juga angin sungai meniup silir-semilir sehingga suasana bumi raya ini seolah-olah diliputi hawa pertempuran yang tidak kenal ampun.
Siau Man merinding, ia berhenti sejenak, lalu menyambung pula, "Tapi sesudah keluar, mereka tetap tidak lantas bergebrak, mereka hanya berdiri berhadapan dalam jarak cukup jauh dan saling pandang melulu."
"Yan Lam-thian tidak memakai senjata?" tanya Ji Cu-geh.
"Tidak, keduanya sama-sama tidak memakai senjata," tutur Siau Man.
Ji Cu-geh berkerut kening, gumamnya, "Sudah lama kudengar ilmu pedang Yan Lam-thian tiada bandingannya, mengapa dia meninggalkan keunggulannya dan memilih cara yang bukan menjadi keahliannya.
Memangnya selama ini dia telah berhasil meyakinkan sesuatu ilmu pukulan yang dia sendiri yakin dapat menandingi Ih-hoa-kiongcu?"
Hendaknya diketahui bahwa ilmu pukulan telapak tangan dan tenaga dalam Ih-hoa-kiongcu selama ini menjagoi dunia Kangouw dan hampir tiada ilmu pukulan lain yang mampu melawannya. Maka seharusnya Yan Lam-thian menghadapi Ih-hoa-kiongcu dengan ilmu pedang yang juga terkenal tiada tandingannya itu.
"Meski mereka bertangan kosong, tapi tampaknya mereka jauh lebih ganas daripada memakai senjata," tutur Siau Man pula. "Tampaknya cukup dengan satu kali gebrak saja sudah dapat menentukan kalah-menang atau mati dan hidup. Karena tegangnya hamba telah memohon Koh-kongcu agar membujuk mereka supaya tidak jadi bertempur. Tapi Koh-kongcu tidak berani, katanya,
"Meski kedua orang belum saling gebrak, tapi saat itu tenaga keduanya sudah terhimpun, jangankan orang lain hendak melerai mereka, asalkan mendekat saja mungkin bisa tergetar roboh oleh tenaga dalam mereka"."
"Tampaknya Koh-kongcu itu cukup tajam juga penilaiannya," kata si nenek Siau sambil melirik Siau-sian-li sekejap.
Siau Man lantas melanjutkan, "Waktu Koh-kongcu bisik-bisik bicara denganku, entah cara bagaimana mungkin tuan muda Siau-hi-ji itu pun dapat mendengarnya, tiba-tiba ia mendekati Koh-kongcu dan berkata padanya.
"Apakah kau kira tiada seorang pun mampu melerai mereka?""
"Setan cilik itu hendak main gila apalagi?" ujar Siau-sian-li.
"Koh-kongcu kelihatan ragu-ragu menghadapi tuan Siau-hi-ji itu, berulang-ulang Koh-kongcu cuma mengangguk saja, lalu tuan muda Siau-hi-ji berkata pula, "Apakah kau berani bertaruh denganku?""
Siau-sian-li menjadi khawatir, katanya, "Setan cilik itu sangat licin. Sedangkan Koh-kongcu adalah orang jujur, mana boleh bertaruh dengan dia."
"Mestinya Koh-kongcu juga tidak ingin bertaruh dengan dia," tutur Siau Man pula. "Tapi tuan Siau-hi-ji itu lantas berkata ...."
"Berkata apa?" tukas Siau-sian-li.
Siau Man menunduk, jawabnya kemudian, "Kata ... katanya, "Memang sudah kuduga Koh-siaumoay pasti tidak berani bertaruh denganku. Ya, sudahlah?"
"Hahahaha!" mendadak Han-wan Sam-kong bergelak tertawa. "Sungguh tak nyana sedikit kepandaianku cara memancing orang bertaruh kini telah diwarisi seluruhnya oleh Siau-hi-ji. Dengan kata-kata pancingannya itu, mustahil Koh-siaumoay takkan bertaruh dengan dia."
Siau-sian-li melototi Han-wan Sam-kong lagi, sementara itu Siau Man telah berkata, "Ya, memang betul, Koh-kongcu menjadi tidak tahan dan mau bertaruh dengan dia."
Tentu saja Siau-sian-li tambah khawatir, cepat ia tanya, "Mengapa dia tidak sabar lagi seperti biasanya, lalu apa yang terjadi atas taruhan mereka?"
"Tuan Siau-hi-ji itu bilang, "Cukup aku berucap satu kalimat saja akan dapat membikin Ih-hoa-kiongcu batal bertempur, maka Yan-toasiok tentu juga tidak dapat bergebrak lagi sendirian." Sudah tentu Koh-kongcu tidak percaya."
"Jangankan Koh-kongcu tidak percaya, malahan aku pun tidak percaya, andaikan aku yang ditantang bertaruh tentu juga akan kuterima," sela si nenek Siau.
"Jika demikian, jelas engkau juga akan kalah," ujar Siau Man gegetun, sampai di sini ia sengaja berhenti bercerita.
Sudah tentu orang banyak sangat ingin tahu sesungguhnya apa yang diucapkan Siau-hi-ji sehingga dapat membatalkan niat Ih-hoa-kiongcu berduel dengan Yan Lam-thian, sedangkan Siau-sian-li juga buru-buru ingin tahu apa yang telah mengalahkan Koh Jin-giok dalam taruhan itu.
Seketika pandangan semua orang tertuju pada Siau Man, semuanya menantikan lanjutan ceritanya.
Bahwa Siau Man bisa menjadi pelayan pribadi Siocia (anak putri) keluarga ternama, dengan sendirinya lantaran dia memang pintar dan cekatan, sejak kecil ia sudah belajar cara bagaimana menyelami isi hati dan kehendak sang majikan serta cara bagaimana menyanjungnya. Maka dia tidak bicara lain, tapi bercerita lebih dulu, "Tuan Siau-hi-ji menyatakan, bilamana dia kalah, maka terserahlah kepada Koh-kongcu hendak diapakan dia, sebaliknya jika Koh-kongcu yang kalah, maka tuan Siau-hi-ji boleh menyuruh Koh-kongcu berbuat sesuatu baginya."
"Berbuat ... berbuat sesuatu urusan apa?" tanya Siau-sian-li.
"Tatkala itu dia tidak bilang, kemudian waktu dia katakan kepada Koh-kongcu juga tidak kudengar," jawab Siau Man.
"Ai, dasar kau ini memang tidak becus, segala apa tidak tahu melulu," omel Siau-sian-li.
"Padahal cukup banyak juga yang diketahuinya," ujar si nenek Siau dengan tertawa.
"Betul," sela Han-wan Sam-kong. "Lekas kau jelaskan sesungguhnya satu kalimat apa yang diucapkan Siau-hi-ji sehingga Ih-hoa-kiongcu benar-benar batal bergebrak dengan Yan Lam-thian."
"Tuan muda Siau-hi-ji itu tidak langsung bicara kepada Ih-hoa-kiongcu yang siap bergebrak dengan Yan-tayhiap, tapi dia bergurau kepada Ih-hoa-kiongcu satunya yang lebih muda, katanya, "Sungguh sayang seribu sayang, apabila nanti aku bergebrak dengan Hoa Bu-koat, mungkin kalian kakak beradik tidak dapat menyaksikannya lagi."."
"Setelah mengucapkan kata-kata itu, apakah benar-benar Ih-hoa-kiongcu tidak jadi bergebrak dengan Yan Lam-thian?" tanya si nenek Siau.
"Ya, seketika mereka batal bertanding," jawab Siau Man "Aku pun sangat heran, entah bagaimana bisa jadi begitu?"
Si nenek Siau menjadi heran juga, ucapnya, "Aneh, mengapa Ih-hoa-kiongcu berkeras ingin menyaksikan pertarungan Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat"
Memangnya pertarungan ini akan jauh lebih menarik daripada pertarungannya melawan Yan Lam-thian?"
Ji Cu-geh kelihatan termenung, katanya kemudian, "Entah Kungfu lihai apa yang telah berhasil diyakinkan Yan Lam-thian sehingga dapat membatalkan niat Ih-hoa-kiongcu bertanding dengan dia?"
"Bukan Yan-tayhiap yang membuatnya batal bertanding, tapi kata-kata tuan Siau-hi-ji tadi," tukas Siau Man.
"Budak bodoh, jangan banyak omong," omel Buyung San, sudah tentu ia tahu apa artinya ucapan Ji Cu-geh.
Dengan tersenyum si nenek Siau lantas berkata pula, "Memang, kalau Ih-hoa-kiongcu ada harapan untuk menang, habis bertanding kan masih dapat menyaksikan pertarungan antara Hoa Bu-koat dan Siau-hi-ji, jika demikian halnya tentu dia tidak perlu batal bertanding dengan Yan Lam-thian, betul tidak?"
Siau Man berpikir sejenak, segera ia berkata dengan tersipu-sipu, "Ya, ya betul, sungguh bodoh aku ini."
Maklumlah, bahwa mendadak Ih-hoa-kiongcu mau membatalkan niatnya bergebrak dengan Yan Lam-thian setelah mendengar ucapan Siau-hi-ji itu, jelas disebabkan ketika, berhadapan dengan Yan Lam-thian telah diketahui bahwa pendekar besar itu memiliki Kungfu yang sukar diukur, kemenangan baginya jelas sangat tipis.
Yang senantiasa dipikir Han-wan Sam-kong hanya Siau-hi-ji saja, urusan lain pada hakikatnya tak dipusingkannya. Segera ia tanya dengan suara keras,
"Dan sekarang ke mana perginya tuan muda Siau-hi-ji?"
"Yan-tayhiap sudah berjanji dengan Ih-hoa-kiongcu untuk bertemu setiap pagi di atas puncak pada waktu sang surya belum terbit, pertemuan ini akan terus berlangsung hingga Ih-hoa-kiongcu menemukan Hoa-siauya itu, dan kemudian Yan-tayhiap akan pergi dengan membawa tuan muda Siau-hi-ji," demikian tutur Siau Man.
"Lalu ke mana Ih-hoa-kiongcu?" tanya Han-wan Sam-kong.
"Dengan sendirinya pergi mencari Hoa-siauya, bisa jadi mereka akan segera pulang ke sini," jawab Siau Man, "Sebab Koh-siauya telah memberitahukan pada mereka bahwa Hoa-siauya pergi bersama dengan tuan-tuan dan nyonya-nyonya."
Yang dipikirkan Siau-sian-li kini hanya Koh Jin-giok saja, segera ia pun bertanya, "Dan ke mana perginya Koh-siauya!"
"Koh-siauya kalah bertaruh dan kini sedang melakukan pekerjaan yang diberikan oleh tuan Siau-hi-ji," tutur Siau Man.
"Sialan, masa si pengacau itu bisa menyuruhnya berbuat sesuatu yang baik"
Mengapa dia mau menurut dan pergi begitu saja?" omel Siau-sian-li, ia menjadi cemas dan hampir-hampir saja menangis.
Sejak tadi Buyung San memandangi tingkah laku Siau-sian-li, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, "Adikku yang baik, selamat ya padamu."
"Orang gelisah setengah mati, kau memberi selamat urusan apa?" gerutu Siau-sian-li.
"Koh-siaumoay kan bukan sanak keluargamu, mengapa kau cemas baginya?"
ujar Buyung San dengan tertawa.
Kembali Siau-sian-li mengomel, "Dia kan punya nama, mengapa kalian suka memanggil dia Koh-siaumoay?"
Buyung San mengikik tertawa, jawabnya, "Sebutan Koh-siaumoay kan kau sendiri yang memberinya, sekarang malah kau larang orang lain memanggilnya demikian, sungguh aku menjadi heran apa sebabnya" Aha, baru satu hari tidak bertemu agaknya hubungan kalian sudah lain daripada biasanya."
Siau-sian-li menunduk, mukanya merah jengah, katanya, "Kami ... kami ...."
Buyung San mencolek pipi Siau-sian-li sambil mengomel, "Masa kau hendak mengelabui kami, budak setan. Arak bahagiamu ini harus kau sediakan."
Mendadak Buyung Siang menyela, "He, kan tiada perkelahian lagi, untuk apa kalian berkerumun di sini" Memangnya di sini mendadak tumbuh setangkai bunga?"
"Kalau tanah tumbuh bunga kan biasa, jika tumbuh bakpau, inilah yang aneh,"
ujar Siau Man dengan tertawa.
"Bakpau apa katamu?" Buyung Siang melengak juga. Waktu ia berpaling ke sana, dilihatnya di tanah datar sana ternyata ada segundukan tanah sehingga dipandang dari jauh seperti sepotong bakpau tanah.
"Budak bodoh, memangnya apanya yang menarik dan membuatmu heran?"
ujar Buyung Siang dengan tertawa.
"Nyonya tidak tahu, apa yang terjadi di situ justru sangat aneh, benar aneh,"
tutur Siau Man. Mendadak ia lari ke atas gundukan tanah itu, lalu berkata pula,
"Di sinilah tadi Ih-hoa-kiongcu berdiri. Waktu dia berdiri di sini, tempat ini sebenarnya datar seperti tempat lain. Akan tetapi belum seberapa lama dia berdiri di sini, lambat-laun tanah tempat dia berinjak ini lantas mulai menyembul, seperti bekerjanya ragi pada tepung gandum yang mulai melar."
Semua orang merasa geli dan juga terheran-heran oleh cerita Siau Man ini.
Malahan Ji Cu-geh, Ni Cap-pek dan lain-lain segera memburu ke sana untuk memeriksa bakpau tanah yang menyembul itu, bahkan cara memeriksa mereka sedemikian teliti dan diulangi berkali-kali seakan-akan di atas gundukan tanah itu benar-benar tumbuh bunga yang indah.
Ji Cu-geh dan lain-lain tampak terkesiap, ucap mereka beramai-ramai. "He, memang betul ... Wah mana mungkin ini".... Sungguh tak tersangka benar-benar ada orang berhasil meyakinkannya."
Serentak orang banyak lantas berkerumun ke sana, kini baru diketahui di atas gundukan tanah itu ada bekas sepasang kaki, cuma bekas tapak kaki ini tidak mendekuk ke bawah, sebaliknya menjembul ke atas.
Jika ada pertarungan dua tokoh silat kelas tinggi yang mengerahkan segenap tenaga dalamnya, sering memang kakinya akan meninggalkan bekas tapak kaki yang dalam, ini tidak perlu diherankan. Tapi bekas tapak sekarang ini muncul ke atas, inilah kejadian aneh yang jarang terlihat.
Gemerdep sinar mata Buyung San, katanya kemudian, "Jangan-jangan Ih-hoa-kiongcu telah berhasil meyakinkan semacam ilmu mahasakti?"
"Betul," ujar Ji Cu-geh dengan gegetun, "Meski ilmu sakti yang berhasil diyakinkannya ini belum dapat dikatakan tiada bandingnya sejak dulu hingga kini, tapi paling sedikit boleh dikatakan dapat menjagoi dunia persilatan jaman ini."
"O," Buyung San melongo heran.
"Apakah kalian melihat kedua tapak kaki ini?" tanya Ji Cu-geh. Ia tahu semua orang tentu sudah melihatnya, maka tanpa menunggu jawaban ia sendiri lantas menyambung pula, "timbulnya bekas tapak kaki ini disebabkan waktu dia mengerahkan tenaga dalamnya bukan dipancarkan keluar, sebaliknya malah ditarik ke dalam, benda apa pun bila tersentuh olehnya akan tersedot seperti terisap oleh besi sembrani."
"Jika demikian, jadi tenaganya takkan pernah terkuras habis, sebaliknya akan terus bertambah, makin banyak digunakan makin besar pula kekuatannya,"
tukas Buyung San.
"Memang betul begitu," kata Ji Cu-geh. "Waktu bertanding dengan orang, tenaga yang digunakannya akan semakin besar, sebaliknya pihak lawan pasti akan semakin berkurang. Sebab itulah seumpama seorang yang sama kuatnya bertanding dengan dia, pada akhirnya juga pasti akan kalah."
"Wah, Kungfu macam apakah namanya itu?" tanya Buyung San dengan terkesiap.
"Beng-giok-kang," sela si nenek Siau. "Hanya Beng-giok-kang yang sudah mencapai tingkatan kesembilan barulah ada gejala aneh ini, sebab pada tingkatan ini seluruh hawa murni dalam tubuhnya telah terbentuk menjadi semacam pusaran, benda apa pun kalau menyentuhnya pasti akan digulung oleh tenaga pusaran itu, sama halnya seperti seorang yang berenang mendadak bertemu dengan air pusaran."
"Seorang yang menyentuh dia, apakah hawa murni sendiri juga akan terisap oleh pusaran tenaga murninya itu?" tanya Buyung San.
"Jika tenaga perlawanan tidak cukup kuat, tentu saja sukar menghindari hal begitu," tutur si nenek Siau.
"Kalau begitu asalkan sudah berhasil meyakinkan ilmu sakti ini, tiada tandingannya lagi di kolong langit ini?" kata Buyung San.
Seketika si nenek Siau saling pandang dengan Ni Cap-pek dan lain-lain, semuanya tampak lesu.
"Memang betul, sesungguhnya tiada tandingannya lagi dia, kedatangan kami ini jadi sia-sia belaka," ujar Ji Cu-geh dengan menyesal.
"Bila betul dia sudah tiada tandingannya, dengan sendirinya Yan Lam-thian juga bukan tandingannya," kata Buyung San. "Lalu apalagi yang dia khawatirkan atas lawan itu" Memangnya Yan Lam-thian juga sudah berhasil meyakinkan ilmu sakti yang sama?"
"Tidak mungkin," kata si nenek Siau. "Sebab orang yang sudah berhasil meyakinkan ilmu sakti ini, hawa murni dalam tubuhnya akan terbentuk hawa pusaran dan akan punya daya serap yang keras, dua orang yang memiliki ilmu sakti yang sama ini tidak mungkin berakhir begini saja dalam pertarungan mereka."
"Habis mengapa mereka mendadak urung bertanding?" kata Buyung San pula.
"Ini hanya ada suatu penjelasan," ujar si nenek Siau dengan prihatin, "Yakni, karena Yan Lam-thian juga telah berhasil meyakinkan semacam ilmu sakti yang dapat menandingi Beng-giok-kang."
"Masa di dunia ini masih ada ilmu sakti yang dapat melawan Beng-giok-kang?"
tanya Buyung San.
"Ada," jawab si nenek Siau.
"Ilmu sakti apa itu?" tanya Buyung San.
"Keh-ih-sin-kang (ilmu sakti pindah baju)?" Buyung San menegas. "Sungguh aneh nama ini."
"Ya, sebab kalau ilmu sakti ini sudah berhasil diyakinkan dengan baik, maka hawa murni dalam tubuh akan berkobar seperti bara, bukan saja dirinya sendiri tidak dapat menggunakannya, sebaliknya siang dan malam akan tersiksa, penderitaannya sungguh sukar untuk ditahan, jalan satu-satunya agar terhindar dari siksa derita bergolaknya hawa murni yang membara itu ialah menyalurkan tenaga dalam itu kepada orang lain," si nenek Siau menghela napas gegetun, lalu menyambung pula, "Tapi untuk bisa berhasil meyakinkan Keh-ih-sin-kang ini sedikitnya diperlukan ketekunan berlatih selama dua puluh tahun, lalu siapakah yang rela memberikan hasil jerih payah itu kepada orang lain dengan begitu saja?"
"Sebab itulah pernah ada cerita di dunia Kangouw jaman dulu, bahwa bila kau ingin membuat susah orang lain, ajarkanlah ilmu Keh-ih-sin-kang itu padanya agar dia menderita selama hidup," demikian Jin Cu-geh menyambung.
"Jika demikian, memang benar Yan-tayhiap telah berhasil meyakinkan Keh-ih-sin-kang, bukankah sebelum dia berhadapan dengan Ih-hoa-kiongcu, lebih dulu dia sudah mati tersiksa oleh ilmu sakti yang diyakinkannya itu?" ujar Buyung San.
"Tapi bila Keh-ih-sin-kang itu disalurkan kepada orang kedua, orang pertama akan tamat seperti kehabisan minyak, sebaliknya orang kedua akan menerima manfaat sepenuhnya dari ilmu sakti itu," ujar Ji Cu-geh.
"O, maksud Cianpwe, ada orang berhasil meyakinkan Keh-ih-sin-kang, lalu menyalurkan kepada Yan-tayhiap, begitu?" tanya Buyung San.
"Tidak, sebab setelah mengalami penyaluran begitu, daya sakti Keh-ih-sin-kang juga akan banyak berkurang dan tak dapat disejajarkan lagi dengan Beng-giok-kang," kata Ji Cu-geh.
Buyung San menjadi bingung. Ia pandang sekejap semua orang, tapi orang lain justru menunggu pertanyaannya lagi, sebab dia memang pintar bicara, cepat dan tepat pula pokok pertanyaannya, maka orang lain pun membiarkan dia bicara.
Syukurlah Ji Cu-geh lantas menyambung lagi, "Maklumlah, hanya orang yang memiliki kecerdasan yang luar biasa barulah dapat menciptakan Kungfu yang bergaya khas tersendiri. Orang yang menciptakan Keh-ih-sin-kang ini lebih-lebih harus dipuji, jika ilmu sakti ini benar-benar cuma untuk dipindahkan kepada orang lain, lalu untuk apa diciptakannya dengan susah payah?"
Semua orang merasa di balik ucapannya ini pasti ada arti lain, maka mereka hanya mendengarkan saja agar si kakek menyambung pula.
Sejenak kemudian baru Ji Bu-geh melanjutkan, "Pada umumnya orang hanya tahu Keh-ih-sin-kang tidak boleh dipelajarinya, mereka tidak tahu bahwa ilmu sakti ini tentu saja boleh dipelajari oleh siapa pun juga, hanya saja ada kuncinya bila ingin meyakinkan ilmu sakti ini dengan baik."
Buyung San merasa ada kesempatan untuk buka suara, cepat ia bertanya,
"Apa kuncinya?"
Ji Cu-geh lantas menguraikan cara meyakinkan Keh-ih-sin-kang itu, katanya
"Karena ilmu ini terlalu keras sifatnya, maka bila latihan sudah mencapai enam-tujuh bagian, seluruh kekuatan latihan itu perlu dimusnahkan, habis itu mulai lagi melatihnya dari awal."
"Cara ini seperti halnya seorang yang makan buah persik, karena ketidaktahuan, persik dimakan bulat-bulat bersama kulitnya yang keras, akibatnya mati keselek, maka orang lantas bilang buah persik tidak boleh dimakan. Orang tidak tahu bahwa persik justru sangat enak dimakan, soalnya cuma cara makannya yang salah, harus dikuliti dahulu dan baru dimakan bijinya," kata si nenek Siau dengan tertawa.
"Sesudah mengalami gemblengan begitu," sambung Ji Cu-geh, "bila dilatih lagi, maka ketajaman hawa murni ilmu itu akan banyak berkurang, namun tidak mengurangi daya saktinya, apalagi sudah dua kali melatihnya, dengan sendirinya orang akan lebih kenal sifat ilmu sakti yang keras ini dan dapat menggunakan dengan sepenuhnya serta sesuka hatinya."
"Akan tetapi, untuk bisa mencapai enam-tujuh bagian ilmu sakti Keh-ih-sin-kang itu juga diperlukan ketekunan latihan lebih lama, lalu siapa yang rela membuang hasil jerih payah yang telah dikumpulkannya itu?" kata Cu-geh pula.
"Makanya kalau tidak mempunyai tekad yang bulat dan kesabaran yang penuh, tiada mungkin orang dapat meyakinkan Kungfu mahatinggi ini," tukas si nenek Siau.
Sampai di sini barulah Kui-tong-cu menimbrung dengan menghela napas gegetun. "Semua ini membuktikan bahwa Yan Lam-thian memang benar-benar seorang yang berbakat luar biasa dan tiada bandingnya, untung kita belum sempat mencari dia untuk bertanding, kalau tidak tentu kita bisa mati konyol."
Secara teori memang benar seperti apa yang diuraikan Ji Cu-geh tadi, mereka tidak tahu bahwa praktiknya ternyata tidak terjadi sebagaimana dugaan mereka. Sebab waktu Yan Lam-thian meyakinkan Keh-ih-sin-kang, sama sekali tiada maksud hendak memusnahkannya untuk kemudian mengulangi latihan lagi. Watak Yan Lam-thian memang keras, kepala batu. Ia menganggap apa yang tak dapat diperbuat orang lain pasti dapat dilakukannya.
Sebab itulah dia bertekad akan menguasai Keh-ih-sin-kang dengan segenap kekuatannya, siapa tahu, belum lagi Kungfunya terlatih sempurna, lebih dulu dia sudah mengalami nasib malang di Ok-jin-kok, seluruh tenaga dalamnya telah musnah.
Tapi masih mujur juga baginya, waktu itu sebenarnya To Kiau-kiau, Li Toa-jui dan lain-lain bermaksud membunuhnya, tak terduga peristiwa itu malah membantunya. Sebab setelah mereka mengeroyok dan menghajarnya, ketajaman tenaga murni Keh-ih-sin-kang yang sudah mencapai enam-tujuh bagian sempurna itu telah menjadi punah, padahal ilmu sakti itu memang harus dilatih secara berulang, dimusnahkan untuk kemudian dilatih lagi, dengan demikian barulah dapat mencapai tingkatan paling sempurna tanpa menyiksa diri orang yang melatihnya.
Jadi seperti sebatang pohon, mereka telah memotongnya sampai bongkotnya, tapi tidak tahu bahwa di bawah tanah masih tersisa akarnya.
Kalau bukan begitu, sekalipun Yan Lam-thian tidak binasa, tentu juga tiada ubahnya seperti orang cacat, mana bisa lagi pulih tenaga dalamnya. Bahkan lebih lihai daripada sebelumnya.
Begitulah Buyung San melenggong gegetun hingga sekian lamanya, kemudian ia tanya pula, "Tapi dari manakah kalian mengetahui Yan-tayhiap sudah berhasil meyakinkan Keh-ih-sin-kang?"
"Jika kau bertempur dengan orang, asalkan seluruh tenagamu terhimpun, mungkin di tempat kau berpijak juga akan meninggalkan bekas kakimu," kata Ji Cu-geh.
"Betul, bila berdiri di tanah seperti ini pasti akan meninggalkan bekas tapak kaki, cuma saja takkan terlalu mendekuk," jawab Buyung San setelah berpikir.
"Tapi tempat berdiri Yan Lam-thian ternyata tidak meninggalkan bekas setitik pun, apakah ini berarti kekuatannya tidak dapat dibandingkan kau?" tanya Ji Cu-geh.
Buyung San tertawa, jawabnya, "Jika kekuatan Yan-tayhiap lebih rendah daripadaku tentu sudah dulu-dulu Ih-hoa-kiongcu membinasakan dia."
"Memang begitulah, justru lantaran Yan Lam-thian sudah dapat menguasai tenaga dalamnya dengan sesuka hatinya, bila tidak terpakai, setitik pun takkan tersalur keluar, maka tempat berdirinya tiada meninggalkan bekas apa pun jua," kata Ji Cu-geh.
"Dan lantaran tenaga dan badannya sudah terlebur menjadi satu, segala tenaga dari luar tidak dapat menggoyahkannya sedikit pun, maka biarpun Ih-hoa-kiongcu sudah berhasil meyakinkan Beng-giok-kang hingga puncaknya juga tak berdaya terhadap Yan Lam-thian," sambung si nenek Siau.
Buyung San menghela napas, ucapnya, "Setelah mengikuti uraian para Cianpwe ini, baru sekarang pikiran kami benar-benar terbuka."
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Siau Man berseru di sana, "Koh-siauya, lekas engkau masuk kemari, ada orang sedang mengkhawatirkan engkau."
Waktu mereka berpaling, benar saja Koh Jin-giok telah melangkah masuk.
Siau-sian-li melototi Siau Man, tapi ia lantas tertawa geli sendiri. Jika orang lain bisa jadi malu, tapi dia tidak pedulikan soal-soal begitu, segera ia menyongsong ke sana sambil mengomel, "He, ke manakah kau, mengapa tidak meninggalkan sesuatu pesan."
Muka Koh Jin-giok tampak merah lagi, jawabnya dengan tergagap, "Aku ... aku harus melakukan sesuatu bagi Siau-hi-ji."
"Masa ada urusan baik yang dia berikan padamu, mungkin kau tertipu lagi olehnya," ujar Siau-sian-li.
"Tidak," kata Koh Jin-giok dengan gegetun. "Baru sekarang kutahu dulu kita telah salah paham padanya, sesungguhnya dia bukan orang jahat."
Siau-sian-li berkedip-kedip heran, katanya, "Wah, hebat juga kepandaian setan cilik itu, entah dengan cara bagaimana dia berhasil mengubah pandanganmu padanya."
"Kau tahu apa yang telah terjadi?" tanya Koh Jin-giok. "Kang Piat-ho dan anaknya telah bersekongkol hendak menjebak Yan-tayhiap. Mereka pura-pura tidak saling kenal, dengan demikian Kang Giok-long akan mencari kesempatan untuk menolong ayahnya, bila ada kesempatan mereka pun dapat turun tangan keji terhadap Yan-tayhiap."
"Memang sudah sejak dulu kutahu kedua ayah beranak itu bukan manusia baik-baik," kata Siau-sian-li dengan gemas.
"Tapi sejak pengalamannya di Ok-jin-kok, Yan-tayhiap sekarang sudah berbeda jauh daripada dulu," tutur Koh Jin-giok pula. "Dengan cepat Yan-tayhiap telah memusnahkan ilmu silat kedua jahanam itu, lalu mengurung mereka di suatu gua agar nanti Siau-hi-ji dapat menuntut balas dengan tangan sendiri bagi ayah bundanya."
Siau-sian-li bertepuk gembira, katanya, "Haha, tak tersangka kedua jahanam itu akan berakhir dengan nasib begini, sungguh sangat menyenangkan."
"Tapi kalau tiada Siau-hi-ji, siapa pula yang tahu bahwa Kang Piat-ho dan Kang Giok-long adalah manusia yang begitu licik, keji dan jahat," ujar Koh Jin-giok.
"Betul, selama hidupnya baru sekali ini dia telah berbuat sesuatu yang baik,"
kata Siau-sian-li. "Tapi apa yang kau kerjakan baginya?"
"Dia suruh aku melepaskan Kang Piat-ho berdua," jawab Koh Jin-giok.
"Apa" Lepaskan mereka?" seru Siau-sian-li terkejut.
"Ya, bukan cuma disuruh aku melepaskan mereka, bahkan aku diharuskan mengatur suatu tempat bagi kehidupan mereka selanjutnya, sebab mereka sudah cacat selama hidup, tiada tenaga buat cari makan lagi," setelah menghela napas, lalu Koh Jin-giok menyambung pula, "Apalagi orang yang biasa berkecimpung di dunia Kangouw tentu banyak musuhnya, jika orang tahu ilmu silat mereka sudah punah, tentu musuh-musuhnya akan mencari dan menuntut balas pada mereka. Karena itulah jelas mereka tidak dapat pulang ke rumah, untuk inilah Siau-hi-ji minta aku mengatur suatu jalan hidup bagi mereka dengan menerima mereka sebagai tukang kebun di rumahku. Dengan demikian hidup mereka tidak sampai merana dan takkan mati kedinginan atau kelaparan, juga tidak perlu khawatir musuh-musuhnya akan mencari dan menuntut balas pada mereka."
Siau-sian-li jadi melengak, tanyanya kemudian, "Kang Piat-ho telah mengkhianati ayah bundanya, dia sendiri tidak membalas dendam, sebaliknya malah khawatir orang lain menuntut balas pada Kang Piat-ho. Sesungguhnya bagaimana jalan pikiran setan cilik yang tidak genah itu?"
"Meski Kang Piat-ho berbuat salah terhadap ayah-bundanya, tapi Siau-hi-ji menganggap hukuman ini sudah cukup baginya. Ia anggap pendapat "dendam harus dibalas, utang darah harus dibayar darah" bukan lagi jalan pikiran yang sehat. Banyak orang Kangouw telah dikuasai oleh jalan pikiran demikian sehingga banyak perbuatan bodoh telah terjadi, maka Siau-hi-ji bertekad takkan berbuat seperti itu lagi."
"Sakit hati orang tua setinggi langit, tapi dia tidak menuntut balas, apakah tindakannya ini dapat dipuji?" ujar Siau-sian-li.
"Dia anggap menuntut balas tidak perlu dibalas dengan membunuh musuhnya," tutur Koh Jin-giok. "Apalagi ia pun tidak ingin membunuh orang yang cacat, bisa jadi orang akan menganggap jalan pikirannya ini keliru, tapi ia merasa pendiriannya itulah yang benar, asalkan hati sendiri benar, apa komentar orang lain terhadapnya pada hakikatnya tidak menjadi soal baginya."
"Dan kau juga anggap ...."
Belum lanjut ucapan Siau-sian-li, dengan sungguh-sungguh Koh Jin-giok berkata, "Aku pun anggap benar pendiriannya. Entah sudah berapa banyak korban akibat "dendam", setiap hari entah berapa orang yang mati konyol saling membunuh karena dendam permusuhan. Jika jalan pikiran semua orang bisa sama seperti jalan pikiran Siau-hi-ji, kupercaya umat manusia di dunia ini pasti akan hidup damai dan bahagia."
Dia pandang lekat-lekat pada Siau-sian-li, lalu berkata pula dengan suara lembut, "Tuhan menciptakan manusia kan bukan menghendaki mereka saling bermusuhan dan saling membunuh, betul tidak?"
"Jika begitu mengapa bukan dia sendiri yang melepaskan mereka?" tanya Siau-sian-li.
"Dia khawatir Yan-tayhiap tidak menyetujui jalan pikirannya, maka sementara tidak ingin diketahui oleh Yan-tayhiap," tutur Koh Jin-giok.
"Nah, rupanya dia tetap main licik dan tetap membohongi orang," kata Siau-sian-li.
"Betul, dia memang sering berbuat licik dan menipu orang, tapi pada dasarnya dia bermaksud baik, kuyakin setiap orang yang bisa berpikir secara bijaksana tentu takkan merasakan tindakannya itu salah."
Untuk sejenak Siau-sian-li termangu-mangu, katanya kemudian sambil menyengir, "Dia memang orang yang sangat aneh, sungguh sukar dibedakan sebenarnya dia orang baik atau orang jahat."
Mendadak Ji Cu-geh berkata dengan tertawa, "Meski aku tidak kenal dia, juga tidak tahu sebenarnya dia orang baik atau jahat, tapi kutahu bila orang Kangouw semuanya serupa dia, maka kami pasti tidak perlu menyingkir jauh ke pulau terpencil di luar lautan sana."
Han-wan Sam-kong bertepuk, katanya, "Buset, memang betul. Jika orang jahat seperti Siau-hi-ji bertambah banyak, aku rela seterusnya tidak pegang kartu lagi."
"Wah, mana boleh jadi, lalu selanjutnya dengan siapa kami harus bertaruh?"
kata Buyung San dengan tertawa.
"Aku kan bilang tidak pegang kartu dan tidak bilang tidak main dadu," ujar Han-wan Sam-kong.
Maka bergelak tertawalah semua orang.
Setelah mengalami ketegangan selama dua hari dua malam, baru sekarang semua orang merasa lega. Hanya Hoa Bu-koat saja, tampaknya bertambah berat perasaannya.
Betapa pun Bu-koat tidak tega mencelakai Siau-hi-ji, bahkan ia lebih suka dirinya sendiri yang terbunuh oleh Siau-hi-ji. Sudah tentu ia tidak tahu, meski dia tidak sayang mengorbankan jiwanya sendiri, namun hidup Siau-hi-ji pasti akan bertambah merana.
Tiada seorang pun yang dapat hidup tenteram setelah membunuh saudara kandung sendiri. Mereka sudah ditakdirkan akan berakhir dengan suatu tragedi dan tampaknya tragedi ini tak dapat diubah oleh siapa pun juga.
Di tengah suasana ramai-ramai tadi, siapa pun tidak memperhatikan Li Toa-jui, To Kiau-kiau, Pek Khay-sim dan lain-lain diam-diam bolos di tengah jalan.
Setelah mengetahui kemunculan kembali Yan Lam-thian, sekalipun kuduk mereka diancam dengan golok juga mereka tidak berani lagi ikut kembali ke sana.
Pek-hujin yang bukan anggota Cap-toa-ok-jin kini juga selalu berada di sisi Pek Khay-sim.
Setelah digampar oleh Toh Sat tadi, kini sebelah muka Pek Khay-sim menjadi merah bengkak sampai-sampai mulutnya juga setengah merot, darah masih merembes keluar dari ujung mulutnya.
Sambil berjalan Li Toa-jui bergumam sendiri, "Sebenarnya kita juga perlu menonton pertarungan antara Yan Lam-thian dan Ih-hoa-kiongcu, tontonan menarik ini kuyakin sukar dicari lagi, jika kita sia-siakan kesempatan baik ini, sungguh mirip siluman kerbau gagal menikmati daging Tong Sam-cong."
Pek Khay-sim terkekeh sambil memegang mukanya yang bengap itu, katanya,
"Betul, sungguh terlalu sayang, lekas kau pergi melihatnya, kukira masih keburu."
Karena bicara, seketika rasa sakit mukanya tambah hebat sehingga keringat dingin bercucuran. Tapi dasar orang bermulut bejat, biarpun sakit setengah mati tetap dia ingin bicara. Rasanya hidupnya akan terasa tak berarti jika dia tidak omong seberapa patah kata yang merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri.
Li Toa-jui malas mengubris ocehan Pek Khay-sim itu, kembali ia bergumam,
"Menurut pendapatku, Yan Lam-thian pasti bukan tandingan Ih-hoa-kiongcu.
Ilmu saktinya sudah telantar sekian tahun, betapa pun takkan lebih lihai daripada dulu. Apalagi dua kepalan juga sukar melawan empat tangan. Ih-hoa-kiongcu ada dua, Yan Lam-thian cuma sendirian, sedikit banyak tentu kurang menguntungkan dia."
"Dua lawan satu maksudmu?" jengek Pek Khay-sim. "Hehe, kau kira orang lain pun tidak kenal malu seperti kau" Kaum ksatria Kangouw justru mengutamakan peraturan, harus satu lawan satu, tidak nanti main kerubut."
Mendadak Li Toa-jui melonjak murka sambil meraung, "Keparat, jika kau berani omong satu kata lagi, segera kuhantam kau supaya mukamu yang sebelah juga bengap. Kau percaya tidak?"
"Memang seharusnya tadi kugampar kedua sisi mukanya," tukas Toh Sat.
Karena Toh Sat ikut buka suara, seketika Pek Khay-sim tak berani omong lagi.
Tiba-tiba Pek-hujin membisiki Pek Khay-sim, "Apakah kau tahu sebabnya kau selalu dihina orang?"
"Sebab aku ketemu bintang kemungkus (lambang sial) seperti dirimu ini,"
jawab Pek Khay-sim dengan mendongkol.
Pek-hujin tak marah, sebaliknya malah tertawa, katanya, "Sebabnya karena mereka berkawan, sebaliknya kau cuma sendirian. Katamu sendiri dua kepalan sukar melawan empat tangan. Kalau kau tahu teori ini, mengapa kau tidak mencari bala bantuan."
Seketika mencorong sinar mata Pek Khay-sim, segera ia menarik Pek-hujin ke samping. Sementara itu mereka sudah berada di lereng bukit yang penuh batu padas berserakan. Pek Khay-sim menarik Pek-hujin ke balik sepotong batu besar, lalu berkata dengan suara tertahan, "Satu kata menyadarkan orang dalam mimpi, ucapanmu tadi telah mengingatkan padaku akan seorang pembantu yang baik."
"Dan sekarang masih kau anggap aku ini bintang kemungkus lagi?" tanya Pek-hujin dengan tertawa genit.
"O, tidak, tidak, melihat hidungmu yang mancung, kutahu kau pasti membawa keberuntungan bagi sang suami," jawab Pek Khay-sim.
"Sialan," omel Pek-hujin dengan tertawa. "Tidak perlu mengumpak. Cobalah katakan dulu siapa pembantu yang baik itu?"
"Kau tahu, di antara mereka ini, sudah lama Li Toa-jui memusuhi aku,"
demikian tutur Pek Khay-sim. "Sekarang tampaknya Toh-lotoa sudah serong ke sana, Kungfu mereka berdua cukup hebat, lebih-lebih Toh-lotoa, dia bukan lawan yang empuk."
"Ya, aku pun tahu," kata Pek-hujin.
"Sebenarnya dapat kucari bantuan Ha-ha-ji agar melayani mereka," kata Pek Khay-sim pula.
"Tapi si gemuk ini lebih licin daripada belut, jika kucari dia bukan mustahil aku akan dijualnya."
"Bagaimana dengan To Kiau-kiau?" tanya Pek-hujin.
"Si banci ini pun tidak dapat dipercaya," ujar Pek Khay-sim. "Lahirnya saja dia cukup baik padaku, tapi selamanya dia sangat takut pada Toh-lotoa, jika disuruh memusuhi Toh-lotoa, mati pun dia tidak mau."
"Bisa jadi diam-diam dia ada main dengan Toh-lotoa," kata Pek-hujin dengan tertawa keras.
"Sialan, memang betul juga," omel Pek Khay-sim dengan tertawa. "Makanya setelah kupikir agaknya cuma Im Kiu-yu saja yang dapat kubujuk untuk bersekutu, ditambah dirimu, kita bertiga sudah cukup untuk menghadapi mereka."
"Kau yakin dapat membujuknya?" tanya Pek-hujin sambil berkedip-kedip.
"Tadinya aku pun sangsi, tapi sekarang aku sudah punya akal."
"O, ya" Jika begitu, mengapa tidak sekarang saja kau cari dia?"
"Tidak perlu kucari dia, dia yang akan mencari diriku."
"Ooo?" tercengang juga Pek-hujin.
"Kau tahu orang she Im ini selama hidupnya paling suka mengintip rahasia orang lain, lebih-lebih mengintip pasangan suami istri yang lagi "main". Soalnya dia sendiri tidak mampu, terpaksa mencari kepuasan dengan jalan mengintip."
Sampai di sini, tak tertahan lagi tangannya lantas menggerayangi dada Pek-hujin bahkan terus menarik gaunnya.
Pek-hujin mengerling genit, omelnya dengan tertawa, "Memangnya kau hendak
"main" denganku di sini juga?"
Pek Khay-sim terus merangkulnya dan menciumnya satu kali, katanya dengan tertawa, "Keparat, cocok lagi ucapanmu. Dan bila kita sudah bergulat, tidak seberapa lama orang she Im itu pasti akan datang."
"Tapi ... tapi kalau diintip orang aku ... aku tidak mau," kata Pek-hujin dengan terkikik-kikik.
"Sialan, memangnya kau kira aku tidak paham?" omel Pek Khay-sim dengan tertawa. "Justru kalau diintip orang barulah kau bisa main lebih bersemangat."
Mendadak Pek Khay-sim meremas paha Pek-hujin dengan keras, lalu berseru.
"Ayolah, goyang!"
Terdengar Pek-hujin mengeluh perlahan. Perempuan yang histeris dan suka diperlakukan sadis ini lantas membisiki Pek Khay-sim dengan napas yang mulai terengah-engah, "O, keras sedikit sayang ... Keraslah sedikit ... makin keras makin baik!"
Selang sejenak, mendadak Pek Khay-sim berkata dengan tertawa, "Im-lokiu, jika ingin melihat, mengapa tidak keluar saja, untuk apa mengintip segala?"
Benar juga, segera terdengar suara Im Kiu-yu menjawab dengan terkekeh-kekeh, "Keparat, kau sungguh pintar mencari bini, permainannya sungguh merangsang, nikmat!"
"Eh, apakah kau ingin mencoba?" tanya Pek-hujin dengan tersengal-sengal.
"O, tidak, tidak, cukup kutonton dari samping saja dan sudah puas bagiku, "
kata Im Kiu-yu.
"Betul juga, kau harus lebih banyak bergembira mumpung masih ada waktu,"
kata Pek Khay-sim. "Jika Yan Lam-thian sampai menemukanmu, maka terlambatlah segalanya."
Menyinggung nama Yan Lam-thian, seketika air muka Im Kiu-yu berubah, jengeknya, "O, maka sekarang kalian bergembira sepuas-puasnya, begitu?"
"Kami sih tidak menjadi soal," ujar Pek Khay-sim. "Aku kan tidak pernah ikut menyerang Yan Lam-thian, makanya aku tidak perlu takut padanya. Tapi kau
... Hehe ...." Sampai di sini, ia sengaja tidak melanjutkan ucapannya.
Dengan muka kehijau-hijauan Im Kiu-yu melenggong sejenak, tiba-tiba ia pun tertawa dan berkata, "Haha, apakah kau kira aku takut" Saat ini mungkin Yan Lam-thian sudah mati di tangan Ih-hoa-kiongcu, apa yang perlu kutakuti?"
"Hahaha, betul, betul," Pek Khay-sim bergelak tertawa. "Sesungguhnya kau memang tidak perlu takut. Ilmu silat Yan Lam-thian pada hakikatnya tidak berharga seperser pun, sekali bergebrak dengan Ih-hoa-kiongcu, kepalanya pasti akan pamit dengan tuannya."
Im Kiu-yu menyeringai, katanya, "Meski ilmu silat Yan Lam-thian cukup hebat, tapi Ih-hoa-kiongcu ...."
"Kalian cuma tahu ilmu silat Yan Lam-thian sudah telantar sekian tahun, tapi kau lupa bahwa mungkin sekali selama ini dia telah berhasil meyakinkan semacam Kungfu lain yang mahalihai," sela Pek Khay-sim, "Kalau tidak masakan dia berani mencari Ih-hoa-kiongcu dan menantangnya bertanding"
Memangnya dia sudah bosan hidup?"
Im Kiu-yu melengak, air mukanya tambah pucat.
"Apalagi," demikian Pek Khay-sim menyambung pula, "Sudah beberapa hari Ih-hoa-kiongcu kelaparan terkurung di dalam gua sana, betapa pun lihainya juga takkan tahan oleh siksaan fisik ini. Seumpama sekarang dia sudah makan sesuatu, tapi ilmu silatnya akan terpengaruh banyak, jika mereka berani bergebrak dengan Yan Lam-thian pada saat demikian ...." Dia menggoyang kepala dan menghela napas gegetun, lalu menyambung, "Hm, kukira dia lebih banyak celaka daripada selamatnya."
Setelah tercengang sejenak, kemudian Im Kiu-yu berkata, "Apa alangannya seumpama Yan Lam-thian tidak mati" Aku memang bukan tandingannya, tapi apakah aku tak dapat bersembunyi?"
"Bila Yan Lam-thian hendak mencari perkara kepada seorang, belum pernah kudengar sasarannya bisa kabur," ujar Pek Khay-sim. "Apalagi, orang yang sudah berumur lebih setengah abad, jika hidupnya senantiasa kebat-kebit dan main sembunyi ke sana-sini, lalu apa artinya hidup ini baginya" Kan kasihan?"
Lama-lama Im Kiu-yu jadi gegetun, dampratnya dengan mendongkol, "Apa maksudmu sebenarnya bicara hal-hal ini padaku?"
"Aku pun tiada maksud apa-apa, aku cuma ingin membantumu agar Yan Lam-thian tidak lagi mencari kau," kata Pek Khay-sim dengan tenang.
"Kau ingin membantuku" Kau punya akal?" tanya Im Kiu-yu, jadi tertarik.
"Jika aku tidak punya akal tentu takkan kucari kau," jawab Pek Khay-sim.
Serentak Im Kiu-yu menarik bangun Pek Khay-sim yang masih berpelukan dengan Pek-hujin itu dan berseru, "Keparat, lekas katakan apa akalmu?"
Pek Kay-sim tidak lantas menjawab, ia sengaja memejamkan mata untuk mengumpulkan tenaga, sejenak kemudian barulah ia berkata, "Setahuku, yang menyerang Yan Lam-thian di Ok-jin-kok dahulu bukanlah kau."
"Betul," cepat Im Kiu-yu berseru. "Li Toa-jui yang mengatur perangkap. To Kiau-kiau yang menyamar sebagai orang mati ...."
"Itu dia," Pek Khay-sim bertepuk gembira. "Hanya mereka berdua itulah biang keladinya, asalkan Yan Lam-thian melihat mereka berdua sudah mampus, rasa dendamnya akan lenyap sebagian besar dan tentu takkan ngotot menuntut balas lagi pada orang lain."
Gemerdep sinar mata Im Kiu-yu, katanya, "Jadi maksudmu agar aku membinasakan mereka berdua?"
"Kau sendiri tentu kurang kuat, jika ditambah kami suami-istri, lalu pakai lagi sedikit akal, mustahil kepala mereka takkan terpenggal dengan mudah?"
Im Kiu-yu berpikir sejenak, jengeknya kemudian, "Kukira kalian hanya ingin melampiaskan dendam kalian sendiri."
"Memang betul," jawab Pek Khay-sim. "Jika bukan untuk melampiaskan dendam sendiri, untuk apa mesti kusuruh kau membantuku" Aku kan bukan bapakmu?"
Im Kiu-yu tidak marah, sebaliknya malah tertawa, katanya, "Kulihat mereka memang sudah hidup cukup lama, bila lebih cepat bikin tamat riwayat mereka, rasanya juga tiada jeleknya."
"Kau keparat, akhirnya kau paham juga maksudku, tampaknya aku memang tidak keliru mencari sekutu," kata Pek Khay-sim dengan girang.
"Kau dirodok, tampaknya matamu memang tidak buta," Im Kiu-yu balas mengumpat dengan tertawa.
Tapi mendadak Pek Khay-sim menarik muka pula, katanya sambil menghela napas, "Cuma, bila sekarang kita turun tangan, walaupun Ha-ha-ji mungkin tidak ikut campur, tapi Toh-lotoa pasti tidak berkenan di hati, bila dia ikut campur, maka urusan ini bisa sulit."
Sinar mata Im-Kiu-yu gemerdep, katanya, "Memangnya kau dirodok, kau pun hendak mengerjai Toh-lotoa sekalian?"
"Hehehe, ini namanya kalau sudah mau berbuat janganlah kepalang tanggung," kata Pek Khay-sim dengan terkekeh-kekeh.
"Tapi kalau cuma tenaga kita bertiga harus melawan mereka bertiga, rasanya akan seperti daging disodorkan ke mulut harimau, pasti akan dimakan mereka," jengek Im Kiu-yu.
"Ai, kau keparat ini sungguh bodoh, sama sekali tidak paham ilmu siasat," kata Pek Khay-sim.
Im Kiu-yu termenung sejenak, segera matanya terbeliak pula, ucapnya,
"Apakah maksudmu ...."
"Pada waktu musuh tidak siap siaga, serang titik kelemahannya, habis itu baru tumpas satu per satu," kata Im Kiu-yu.
"Tapi ... tapi mana ada titik kelemahan Toh-lotoa?" ujar Im Kiu-yu
"Kelemahannya terletak pada kecongkakannya," kata Pek Khay-sim. "Dia sok gagah, anggap dirinya paling top, maka jalan paling baik adalah menghadapi dia dengan perempuan, sebab dia selalu menganggap perempuan adalah kaum lemah."
Mendadak Pek-hujin tertawa, katanya, "Hihi, lelaki yang menganggap perempuan adalah kaum lemah, dia sendiri pasti akan konyol."
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Dalam pada itu, Ha-ha-ji, To Kiau-kiau, Toh Sat dan Li Toa-jui telah berhenti di depan sana, mereka merasa lereng gunung ini sangat sunyi dan sejuk, boleh dibuat tempat istirahat.
Mereka tahu, selanjutnya mereka akan mulai buron lagi tanpa ada habis-habisnya, mereka pun tahu untuk buron jangka panjang diperlukan perencanaan yang matang.
Akan tetapi sekarang mereka sama sekali tidak mempunyai sesuatu gagasan apa pun.
Tiba-tiba To Kiau-kiau berkata, "Apakah kalian kira Yan Lam-thian akan mati di tangan Ih-hoa-kiongcu?"
"Kukira dia memang lebih banyak celaka daripada selamatnya," ujar Li Toa-jui.
"Kukira belum tentu," tukas Toh Sat. "Ilmu silat Yan Lam-thian cukup jelas bagiku," ia pandang tangannya yang buntung, sorot matanya menampilkan rasa rawan dan pedih.
"Kalau Yan Lam-thian tidak mati, tentu dia takkan melepaskan kita," kata Kiau-kiau pula. "Lalu ke manakah kita akan lari" Memangnya kita akan kembali lagi ke Ok-jin-kok?"
Mereka sama tahu Ok-jin-kok memang suatu tempat sembunyi yang baik, tapi hanya bagi orang lain, bagi Yan Lam-thian, Ok-jin-kok sudah tiada artinya lagi.
Tapi selain Ok-jin-kok memangnya mau ke mana lagi mereka"
Seketika anggota Cap-toa-ok-jin yang biasanya suka omong menjadi bungkam semua.
Entah sudah berapa lama, Li Toa-jui berkerut kening dan mengomel, "Keparat, bocah she Pek yang suka merugikan orang lain itu entah kabur ke mana"
Jangan-jangan sedang merancang akal busuk untuk membuat susah orang lain?"
"Kukira dia tidak berani," kata Toh Sat.
Selagi Kiau-kiau hendak bicara, tiba-tiba tertampak Pek-hujin berlari datang dengan langkah terhuyung, air mata tampak meleleh di kedua pipinya, ia memandang sekeliling dengan cemas, habis itu dia mendekati Toh Sat dan berlutut sambil meratap "O, Toh-toako, tol ... tolong, sudilah engkau ...
menolong diriku."
"Menolong engkau?" tanya Toh Sat. "Ada urusan apa?"
Dengan menangis Pek-hujin menjawab, "Kami baru kawin satu hari, tapi dia sudah ... sudah tidak menghendaki diriku lagi, bahkan aku akan dibunuhnya.
O, Toh-toako, diriku sudah sebatang kara, tidak punya sanak, tidak punya kadang, hanya Toh-toako saja yang dapat kumintai bantuan, sudilah engkau menolong diriku. Kutahu selamanya Toh-toako suka membela keadilan."
Toh Sat benar-benar menjadi gusar, serunya, "Keparat, kalau dia sudah kawin denganmu mana boleh bertindak kasar padamu."
Segera Li Toa-jui menyambung, "Benar, seumpama dia tidak suka lagi padamu, kan dapat menceraikan dirimu, mana boleh main bunuh segala.
Memang sudah sejak dulu kutahu bocah she Pek itu tidak punya Liangsim (hati nurani yang baik)."
Sekonyong-konyong Toh Sat berdiri, serunya dengan bengis, "Di mana keparat itu" Coba bawaku ke sana, akan kulihat apakah dia berani mengganggu seujung jarimu atau tidak?"
Sambil mengusap air mata dan ingusnya, Pek-hujin berkata, "Kutahu hanya Toh-toako saja seorang ksatria sejati dan tidak nanti membiarkan seorang perempuan lemah dibuat susah orang."
Habis berkata, ia meronta-ronta bangun, berdiri saja tampaknya hampir tidak kuat.
"Apakah dia telah melukaimu?" tanya Toh Sat.
Pek-hujin menghela napas, jawabnya dengan sedih, "Dia telah menghajarku hingga babak belur, coba Toh-toako melihat sendiri." Mendadak ia membuka baju sehingga kelihatan tubuhnya yang montok, lalu menyambung pula,
"Kutahu hanya Toh-toako saja yang adil, pasti takkan ...."
"Sudahlah, lekas benarkan bajumu, akan kubantu ...." Belum habis ucapan Toh Sat, sekonyong-konyong sebilah belati menancap di dadanya.
Keruan kejut Toh Sat tak terkatakan, ia meraung keras, tangannya yang buntung dan berkait tajam itu terus terayun ke depan.
Tapi sekali berhasil menikam sasarannya, segera pula Pek-hujin melompat mundur, ia merasa kaitan baja Toh Sat menyerempet lewat buah dadanya dan hampir saja terkait, ia terkesiap hingga muka pucat.
Kejadian ini berlangsung mendadak dan terlalu cepat, sama sekali Ha-ha-ji, Li Toa-jui dan To Kiau-kiau tidak menduga perempuan histeris ini bernyali sebesar ini dan berani turun tangan keji terhadap Toh Sat.
Tertampaklah Toh Sat telah mencabut belati yang menancap di dadanya itu, seketika darah segar menyembur seperti pancuran air. Ia bermaksud menubruk maju, akan tetapi tenaga sudah ikut terembes keluar bersama pancuran darah itu. Kedua tangannya yang pernah membunuh orang dalam jumlah sukar dihitung itu kini telah berlepotan darah pula. Tapi sekali ini darah itu adalah darahnya sendiri.
Li Toa-jui dan To Kiau-kiau memburu maju hendak menolongnya, namun Toh Sat telah mengebaskan tangannya, ucapnya dengan menyesal sambil menengadah, "Selama hidup orang she Toh gagah perkasa, tak tersangka sekarang harus mati di tangan perempuan hina dina yang tidak tahu malu ini."
"Jangan khawatir, Toh-lotoa," seru To Kiau-kiau dengan gemas. "Dia pun takkan hidup!"
"Ba ... bagus ...." kata Toh Sat dengan terputus-putus, mendadak ia tersenyum pedih dan menyambung pula, "jika tahu akan jadi begini, lebih baik kita mati di tangan Yan Lam-thian saja, betapa pun dia kan seorang ksatria sejati ...."
Sampai di sini, ia tidak kuat lagi, "brek", orang yang menganggap dirinya gagah perkasa ini telah ambruk dan tidak bangun lagi untuk selamanya.
Pek-hujin seperti ketakutan dan baru sekarang ingat akan lari, ia menjatuhkan diri terus menggelinding ke sana, lalu melompat bangun dan hendak kabur.
"Mau kabur ke mana?" bentak Li Toa-jui dengan bengis.
"Dia takkan dapat kabur!" terdengar seorang menanggapi dengan suara seram.
Seperti arwah gentayangan saja mendadak Im Kiu-yu muncul dari balik batu sana mengadang di depan Pek-hujin. Tanpa bicara, segera Pek-hujin menyerang beberapa kali. Tapi cuma sekali gebrak saja, sekali meraih dapatlah Im Kiu-yu memegang pergelangan tangan Pek-hujin.
"Hehehe, kalau hari ini kau dapat kabur begitu saja, lalu ke mana lagi nama Cap-toa-ok-jin kami akan ditaruh?" kata Im Kiu-yu dengan terkekeh-kekeh.
Pek-hujin menggereget, katanya, "Aku sudah kenyang disiksa oleh kawanan Ok-jin kalian ini, kau bunuh saja diriku, betapa pun dendamku sudah terlampias sebagian."
"Bunuh kau?" tukas Im Kiu-yu, "hehe, masa begitu mudah?" Lalu dia berpaling dan berkata kepada Li Toa-jui. "Konon daging manusia yang lezat harus langsung dikupas dari tubuh orang hidup, biarlah kuhadiahkan masakan ini untukmu."
Li Toa-jui menyeringai, ucapnya, "Aku bukan orang she Li jika tidak kusayat seribu tiga ratus lima puluh kali dagingnya, lalu kubinasakan dia."
Mendadak Pek-hujin bergelak tertawa histeris, teriaknya, "Hahaha, kukira kau hendak menuntut balas bagi Toh-lotoa, tak tahunya kau cuma ingin makan dagingku saja. Baiklah, majulah kemari, anak yang baik, silakan menetek saja susu biangmu ini, jika biangmu mengernyitkan kening, anggaplah aku yang melahirkan kau."
"Hm, mustahil perempuan bejat ini mempunyai nyali sebesar ini untuk turun tangan keji pada Toh-lotoa, pasti Pek Khay-sim yang mendalangi dia," jengek Kiau-kiau mendadak.
"Hehe, masakan ibumu ini perlu didalangi orang?" jengek Pek-hujin dengan tertawa. "Terus terang kukatakan, si bangsat keparat Pek Khay-sim itu pun sudah mampus di atas tubuhku, mayatnya sedang menantikan kalian untuk menguburnya."
Sinar mata To Kiau-kiau gemerdap, ucapnya tiba-tiba, "Sementara jangan kalian bunuh dia, akan kujenguk dulu ke sana."
"Jangan khawatir, kujamin dalam tiga hari tiga malam dia tidak akan mampus,"
ujar Li Toa-jui sambil menyeringai seram. Dia jemput belati yang berlepotan darah Toh Sat itu dan selangkah demi selangkah mendekati Pek-hujin yang terpegang oleh Im Kiu-yu itu.
Ha-ha-ji memandang Li Toa-jui sekejap, lalu memandang pula To Kiau-kiau yang sudah berada jauh di sana, ia tertawa lalu berkata, "Entah bagaimana jadinya wajah Pek Khay-sim yang sudah mampus itu, biarlah aku pun menjenguk dia."
Habis berkata ia terus mendekati Pek-hujin. Tapi belum lagi sampai di depannya, mendadak Pek-hujin berteriak, "Im Kiu-yu, setan alas kau! Jika kau masih berbau manusia, boleh kau bunuh diriku saja, jangan sampai aku disiksa oleh binatang pemakan manusia ini, nanti jadi setan pun aku akan berterima kasih padamu."
"Aku setan alas" Manusia" Hehehe, hakikatnya aku cuma setengah setan setengah manusia!" Demikian Im Kiu-yu terkekeh-kekeh.
Li Toa-jui bergelak tertawa, katanya, "Kiranya kau pun kenal takut. Baiklah mengingat Pek Khay-sim juga kau bunuh, maka akan kukurangi seratus kali sayatan dan tidak boleh ditawar lagi, satu kali pun tidak boleh kurang."
Dengan suara parau Pek-hujin berteriak, "Kau... kau binatang, kau ...."
Mendadak Li Toa-jui melompat maju, jengeknya dengan menyeringai, "Hm, tadinya aku bingung sayatan pertama harus kumulai dari bagian mana, baru sekarang kutahu harus kupotong dulu lidahmu agar perempuan judes seperti dirimu ini tak bisa omong lagi." Sembari bicara, segera pula ia angkat belatinya hendak memotong lidah Pek-hujin.
Siapa tahu, pada saat itu juga, sekonyong-konyong Im Kiu-yu melepaskan Pek-hujin, dari kanan-kiri kedua orang itu terus mengerubutnya.
Belum lagi Li Toa-jui menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu rusuk kiri sudah kena dihantam sekali oleh Pek-hujin, berbareng rusuk kanan juga kena di tonjok Im Kiu-yu, kontan darah segar tersembur dari mulutnya dan jatuh tersungkur.
"Hihihi, kan sudah kukatakan pasti tiada kesulitan apa-apa, coba lihat sekarang kan lebih mudah daripada makan kacang goreng?" ujar Pek-hujin dengan tertawa nyekikik.
"Hehe, semula kukira hatiku paling berbisa daripada hati siapa pun, baru sekarang kutahu hati yang paling berbisa adalah tetap hati perempuan," kata Im Kiu-yu sambil tertawa ngekek.
"Semua ini kan berkat perhitunganmu yang cermat," kata Pek-hujin dengan senyum genit. "Menurut pendapatku, biarlah mereka semua ini bergabung menjadi satu juga tidak dapat membandingkan satu jarimu."
"Hehe, apakah kau hendak memikat diriku" Kukira kau telah salah sasaran, selamanya tuan Im tidak suka hal-hal begini," kata Im Kiu-yu dengan terkekeh.
"Ayolah, lekas angkat serigala mulut besar ini dan ikutlah pergi bersamaku."
"O, apa dayaku kalau kasih hanya bertepuk sebelah tangan, tak tersangka hati kakanda sekeras baja, terpaksa kusesali nasibku sendiri," ucap Pek-hujin dengan rawan.
Dia bicara seperti sedang main sandiwara di atas panggung, tapi Im Kiu-yu menjadi senang. Maklum, selama hidupnya memang tidak ada seorang perempuan yang pernah menunjuk cinta padanya. Jika seorang lelaki pada hakikatnya tidak tahu bagaimana rasanya berhubungan antara lelaki dan perempuan, maka kata-kata perempuan yang semakin genit akan semakin menyenangkan dia.
Begitulah dengan menggigit bibir dan lesu Pek-hujin mendekati Li Toa-jui.
Li Toa-jui ternyata belum mati, dia sedang merintih dan berkata, "Akan ... akan kau bawa ke mana diriku" Meng ... mengapa tidak ... tidak kau bunuh saja aku?"
"Kau bilang akan sayat tubuhku ini seribu tiga ratus lima puluh kali, mana aku tega membunuhmu sekarang juga?" ucap Pek-hujin dengan suara halus.
Lalu dia setengah berjongkok, bibirnya tampak bergerak-gerak entah apa yang diucapkannya di telinga Li Toa-jui. Yang jelas mendadak mata Li Toa-jui mencorong terang.
Saat itu Im Kiu-yu sedang mondar-mandir dengan bertolak pinggang, tiba-tiba ia merasa dirinya telah bertambah ganteng, sungguh ia ingin mencari sebuah cermin untuk melihat wajah sendiri apakah memang sudah bertambah cakap.
Tak terduga, mendadak Pek-hujin mengangkat tubuh Li Toa-jui terus ditolak ke depan, seketika tubuh Li Toa-jui melayang ke atas terus menubruk ke arah Im Kiu-yu, kontan rambut Im Kiu-yu terjambak sehingga keduanya jatuh terguling.
Mimpi pun Im Kiu-yu tidak menyangka Li Toa-jui masih bisa bertindak demikian, keruan ia terkejut, segera ia bermaksud memukul untuk membuat Li Toa-jui terpental, tapi sudah terlambat, tahu-tahu Kiat-hay-hiat di pinggangnya tertusuk jarum perak Pek-hujin, seketika tubuhnya kaku kesemutan dan bisa bergerak lagi.
Dengan menyeringai Li Toa-jui berucap dengan terengah-engah, "Jika kau tahu hati perempuan paling berbisa, mengapa kau masih percaya kepada kata-kata perempuan" Kau mencelakai diriku, memangnya apa manfaatnya bagimu?"
Terdengar suara "krak-kruk" di tenggorokan Im Kiu-yu, satu kata pun tak dapat diucapkannya. Maklumlah, tulang lehernya telah diremas patah oleh Li Toa-jui.
Maka kini dia telah menjadi setan seluruhnya dan tidak setengah-setengah lagi.
Memandangi kedua tangan sendiri yang berlepotan darah itu, Li Toa-jui bergelak tertawa seperti orang gila.
"Li-toaya, sudah kubantu membalas sakit hatimu, sekarang cara bagaimana kau harus berterima kasih padaku?" kata Pek-hujin dengan tersenyum kenes.
Suara tertawa Li Toa-jui berhenti perlahan-lahan, dengan napas tersengal ia menjawab, "Sesungguhnya apa kehendakmu?"
"Sudahlah, apakah kau berterima kasih atau tidak padaku, yang pasti aku tetap akan membantumu," kata Pek-hujin pula dengan suara lembut.
"O, jangan, kumohon jangan, jangan lagi engkau membantuku, aku tidak sanggup menerima lagi," kata Li Toa-jui.
"Tapi bantuan ini mau tak mau harus kuberikan," ujar Pek-hujin dengan tertawa, "Kalian Cap-toa-ok-jin sedemikian baik padaku, mana boleh aku tidak membalas kebaikan kalian ini secara setimpal?"
Dia bicara dengan tersenyum, mendadak sebelah kakinya melayang, kontan Li Toa-jui ditendangnya hingga jatuh kelengar.
Di sebelah sana Pek Khay-sim memang benar sudah mati, mati tergantung di atas pohon.
Waktu hidupnya tampaknya memang tidak terbilang cakap, sesudah mati tentu saja tambah jelek, matanya mendelik persis tikus yang dijemur.
To Kiau-kiau menghela napas menyesal, gumamnya, "Memang sudah kuduga orang ini pasti tidak bakal mati dengan baik-baik, tapi tak tersangka dia akan mati secara begini mengenaskan. Kita telah membantu merebut bini si harimau she Pek itu, jadinya malah telah membantu si harimau itu."
Sembari menggerutu, tahu-tahu ia pun sudah sampai di bawah pohon tempat Pek Khay-sim digantung dengan terjungkir itu.
Mendadak didengarnya Ha-ha-ji berseru di belakangnya, "Awas, hati-hati, bukan mustahil jahanam itu cuma pura-pura mati saja."
Mendingan kalau dia tidak bersuara, lantaran seruannya itu, dengan sendirinya To Kiau-kiau lantas menoleh. Karena sedikit meleng inilah, tahu-tahu kedua tangan Pek Khay-sim telah mencekik lehernya.
Ha-ha-ji terkesiap dan melenggong seperti patung di tempatnya, rasanya selangkah saja tidak sanggup berjalan lagi.
Terdengar Pek Khay-sim sedang menjengek, "Hm, To Kiau-kiau, sebenarnya aku pun tidak dendam apa-apa padamu, juga tiada niatku hendak membunuhmu, semua ini adalah gagasan Im-lokiu. Bila kau telah menjadi setan, sebaiknya kau menagih jiwa padanya dan janganlah mencari diriku."
To Kiau-kiau tampak melotot karena lehernya tercekik, sama sekali ia tak dapat bersuara, bahkan mendengar saja tidak bisa lagi.
Pek Khay-sim lantas melompat turun, katanya dengan tertawa sambil memandang Ha-ha-ji, "Coba, caraku menyamar sebagai orang mati kan tidak kalah dibandingkan To Kiau-kiau, bukan" Selama hidup si banci paling mahir pura-pura mati untuk menjebak orang, tak tersangka akhirnya ia sendiri pun mampus di tangan orang yang pura-pura mati."
Ha-ha-ji menghela napas gegetun, gumamnya, "Dunia berputar terus, segala sesuatu balas membalas, pada penitisanku yang akan datang, tak berani lagi aku berbuat jahat."
Pek Khay-sim bergelak tertawa, katanya, "Apakah kau hendak kembali ke jalan yang baik, Ha-ha-ji" Padahal Cap-toa-ok-jin sekarang tinggal tersisa beberapa orang lagi dan memerlukan tenagamu untuk perkembangan selanjutnya, sebab bobotmu seorang cukup menandingi tiga orang lain."
Ha-ha-ji seperti kegirangan, cepat ia tanya dengan suara agak gemetar, "Jadi
... jadi engkau sudi mengampuni diriku?"
"Bisa jadi," jawab Pek Khay-sim sambil mendongak angkuh. "Cuma aku perlu mengingat, menimbang untuk kemudian baru memutuskan."
"Sudahlah, kumohon dengan sangat, janganlah pakai menimbang lagi," pinta Ha-ha-ji dengan wajah memelas. "Asalkan engkau sudi mengampuni diriku, maka engkau adalah ayah bundaku, selanjutnya akan kuturut segala perintahmu, engkau memerintahkan aku ke timur pasti aku takkan ke barat, engkau suruh aku merangkak, pasti aku tidak berani berdiri."
"Hihi, bagus, jika begitu. Coba sekarang kau merangkak satu putaran dulu,"
kata Pek Khay-sim dengan tertawa.
Tanpa bicara lagi Ha-ha-ji terus menjatuhkan diri ke bawah dan mulai merangkak kian kemari.
"Hahaha," Pek Khay-sim bertepuk tertawa senang. "Marilah kemari, lihatlah ada tontonan menarik, di sini ada seekor kura-kura lagi merangkak."
Sambil merangkak malahan Ha-ha-ji sembari cengar-cengir dan berseru,
"Kura-kura gemuk, suka merangkak, Tuan Pek tertawa hahaha, nyonya Pek memburu tiba juga tertawa ...."
Benar juga, Pek-hujin telah menyusul tiba dengan menyeret Li Toa-jui, ia pun tertawa gembira.
Pek Khay-sim memicingkan mata kepada perempuan itu, katanya, "Apakah semuanya sudah beres?"
"Tentu saja sudah," jawab Pek-hujin dengan genit. "Betapa pun liciknya mereka juga takkan lolos dari tanganku."
"Dan mana Im-lokiu?" tanya Pek Khay-sim.
"Untuk apa menyisakan dia, sudah kubereskan sekalian," jawab Pek-hujin.
"Bila dia dibiarkan hidup, jangan-jangan nanti kalau kita lagi "main", lalu dia ingin menonton di samping, kan bikin runyam saja."
"Kau keparat, memang betul juga ucapanmu," seru Pek Khay-sim dengan tertawa. "Kalau kelinci sudah mati semua, untuk apa piara anjing?"
Pek-hujin lantas lemparkan Li Toa-jui, katanya, "Hanya sisa serigala ini, kutahu kau merasa berat bila dia mati begitu saja."
Pek Khay-sim terus melompat maju, Pek-hujin dirangkulnya dengan mesra, ucapnya, "O, jantung hatiku, mestikaku, kau memang seperti cacing pita dalam perutku, segala isi hatiku dapat kau ketahui seluruhnya."
Pek-hujin tertawa nyekikik, katanya, "Dan bagaimana dengan kura-kura gemuk ini?"
"Kukira setiap saat jiwanya dapat kita habiskan bilamana kita mau, maka sekarang tidak perlu terburu-buru membunuhnya," kata Pek Khay-sim. "Biarkan saja, kalau hatiku lagi kesal, akan kupermainkan dia seperti kura-kura sebagai pelipur lara."
"Lalu bagaimana dengan serigala mulut besar ini" Akan kau bereskan dengan cara bagaimana?" tanya Pek-hujin pula.
Pek Khay-sim berkedip-kedip, katanya, "Ah, jangan-jangan kau ada gagasan baru lagi?"
"Kau tahu," jawab Pek-hujin dengan tertawa, "Segala macam daging sudah pernah dimakannya, sampai-sampai daging istrinya juga dimakannya. Hanya ada semacam daging manusia yang belum pernah dia makan, kalau dia mati begini saja kan bisa menyesal di neraka" Maka aku harus membantu dia memenuhi seleranya yang terakhir ini."
"O, daging manusia macam apa yang belum pernah dia makan?" tanya Pek Khay-sim.
"Daging orang yang suka makan orang," jawab Pek-hujin.
Terbeliak mata Pek Khay-sim, "O, maksudmu menyuruh dia makan dagingnya sendiri?"
"Coba katakan, gagasan ini bagus tidak?" tanya Pek-hujin sambil terkikik-kikik.
Kembali Pek Khay-sim merangkulnya dengan mesra, serunya sambil bergelak tertawa, "O, jantung hatiku, mestikaku tercinta, betapa bahagianya kau menjadi istriku."
Di tengah gelak tertawanya itu, mendadak terdengar suara "krek", sekonyong-konyong Pek-hujin menjerit ngeri, tubuhnya lantas roboh terkulai seperti tak bertulang lagi. Kepalanya juga terkulai ke bawah. Bergelantung ke depan dada, tapi matanya tampak melotot sebesar gundu, dengan sorot mata penuh rasa kejut dan takut ia berkata, "Kau ... kau ...."
Namun leher yang sudah patah mana bisa bersuara lagi, biarpun banyak kata-kata caci-maki yang paling keji hendak dilontarkannya, namun yang keluar dari mulutnya hanya suara mendesis-desis saja, keadaannya sungguh mengerikan.
Rupanya sampai mati pun Pek-hujin tidak percaya bahwa yang membunuhnya ialah Pek Khay-sim, sama halnya sampai ajalnya Toh Sat dan Im Kiu-yu juga tidak percaya dia akan membunuh mereka.
Dengan tertawa terkekeh-kekeh Pek Khay-sim lantas berkata, "Tidaklah perlu kau bersikap beringas begini. Sebenarnya kau tahu sejak mula, jika kelinci sudah mati semua, untuk apa pula memelihara anjing betina macam kau ini?"
Pek-hujin menatapnya dengan mata melotot, biji matanya seakan-akan meloncat keluar, barang siapa yang melihat cara melotot Pek-hujin ini, malamnya pasti akan selalu terbayang-bayang dan tak dapat tidur nyenyak.
Namun Pek Khay-sim sama sekali tidak memusingkannya, dengan tenang ia berkata pula, "Apalagi, jika tidak kubunuh engkau, lambat atau cepat pastilah aku yang akan kau bunuh. Kutahu dalam hatimu sudah teramat benci kepada Cap-toa-ok-jin kami ini, makanya kau sengaja memperalat diriku untuk membunuh mereka, habis itu kau akan berdaya upaya lagi untuk membunuhku. Jika sekarang aku tidak turun tangan lebih dulu, kelak akulah yang akan mati konyol."
Otot hijau pada leher Pek-hujin berkerut-kerut, lalu ia mengembuskan napasnya yang terakhir.
Mendadak Li Toa-jui berseru dengan gegetun, "Wahai Pek Khay-sim, tadinya kukira kau ini orang paling goblok, siapa tahu kau jauh lebih pintar daripada dugaanku."
"Hah, kau belum lagi mati" Apakah kau memang sedang menunggu untuk makan dagingmu sendiri?" tanya Pek Khay-sim dengan menyeringai.
"Ya, betul," jawab Li Toa-jui, sedapatnya ia bersikap tenang. "Memang sudah lama ingin kucicipi bagaimana rasanya dagingku sendiri. Cuma sayang, selama ini belum ada kesempatan. Sekarang kesempatan baik tersedia, mana boleh kulewatkan begini saja."
Pek Khay-sim jadi melengak malah, tanyanya, "Apakah betul?"
"Mengapa tidak?" jawab Li Toa-jui, "Orang yang dekat ajalnya bicaranya pasti juga bijak, untuk apa kudusta dalam keadaan begini?"
Pek Khay-sim berkedip-kedip, mendadak ia bergelak tertawa pula, katanya,
"Hahaha, memangnya kau kira aku akan percaya pada ucapanmu, lalu tidak memenuhi keinginanmu."
"Syukur jika kau tidak percaya," kata Li Toa-jui. "Nah, lekas ambilkan pisau, tapi jangan potong daging bagian lenganku, daging di bagian ini paling kasar seratnya."
Pek Khay-sim menatapnya sejenak, tiba-tiba ia berpaling kepada Ha-ha-ji dan bertanya, "Kau percaya ucapannya tidak?"
Sejak tadi Ha-ha-ji masih terus merangkak dengan munduk-munduk, sekarang lekas ia menjawab dengan mengiring tawa, "Sampai mati pun anjing tetap makan najis, kalau serigala mulut besar ini tidak makan daging orang lain, daging sendiri pasti juga dimakannya. Tapi untuk apa Pek-lotoa memenuhi seleranya, biarkan saja dia mati dengan mengeluarkan air liur."
"Betul, betul, harus kubuat dia mati mengiler," seru Pek Khay-sim sambil bertepuk. "Meski daging tumbuh di tubuhnya, akan kubuat dia hanya dapat memandang tapi tak dapat memakannya."
Dengan napas memburu Li Toa-jui berkata, "Kutahu sebabnya Im-lokiu membunuh kami adalah karena dia ingin mengelabui Yan Lam-thian agar menyangka kami sudah mati semua sehingga takkan mengusik lebih jauh sakit hatinya. Tapi kau juga membunuh kami, memangnya apa manfaatnya bagimu?"
Pek Khay-sim tertawa lebar, katanya, "Apa nama julukanku, masa kau sudah lupa?"
Li Toa-jui melenggong sejenak, gumamnya kemudian sambil menyengir,
"Merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri ...." tiba-tiba napasnya semakin memburu, akhirnya ia memejamkan mata dan tidak bicara lagi.
Tiba-tiba Ha-ha-ji bertanya dengan tertawa, "Pek-lotoa, apakah engkau masih ingin melihat kura-kura gemuk merangkak?"
Pek Khay-sim memberi tanda, katanya, "Sudahlah cukup, berdirilah."
"Engkau ... engkau benar-benar telah mengampuni diriku?" tanya Ha-ha-ji.
"Jangan khawatir," ujar Pek Khay-sim. "Asalkan kau tunduk kepada segala perintahku, pasti takkan kubuat susah kau. Persaudaraan kita kini tinggal kita berdua, mana kutega membunuhmu lagi, jika kau pun mati, lalu siapa di dunia ini yang mau berkawan denganku?"
"Terima kasih, terima kasih, Pek-lotoa," kata Ha-ha-ji sambil menjura berulang-ulang.
Pek Khay-sim tertawa terbahak-bahak, betapa senangnya seperti mendadak telah menjadi raja.
Tapi dia benar-benar cuma menjadi raja sekejap, sesuai namanya, "Pek Khay-sim " atau gembira percuma, akhirnya kegembiraan itu memang cuma sia-sia belaka.
Ketika Ha-ha-ji hampir selesai menjuranya sekonyong-konyong dari punggungnya menyambar keluar tiga batang anak panah berwarna hitam gilap,
"cret" kontan bersarang di hulu hati Pek Khay-sim.
Keruan Pek Khay-sim menjerit kaget, seketika ia terjungkal dan menatap Ha-ha-ji dengan melotot. Sikapnya ini persis seperti Pek-hujin menatapnya tadi.
Ha-ha-ji bergelak tertawa, serunya, "Wahai Pek Khay-sim, makanya jangan sok pintar, nyatanya kau pun goblok, masa kau tidak curiga mengapa aku menjadi sedemikian tunduk padamu" Memangnya kau kira aku benar-benar takut padamu?"
Sambil memegangi anak panah yang menancap di hulu hatinya. Pek Khay-sim berkata dengan suara serak, "Jika ... jika kutahu tentu aku takkan terjebak oleh kura-kura gemuk macam kau ini."
"Dan berdasarkan apa kau kira aku takut padamu?" tanya Ha-ha-ji pula.
"Kukira orang gemuk pada umumnya takut mati dan tidak mungkin berani turun tangan padaku, aku pun mengira orang gemuk pasti tidak becus, seumpama kau menyerangku juga tidak perlu kutakut, tapi aku lupa ... lupa ...." Tiba-tiba air muka Pek Khay-sim berubah pucat, bi

^