Bahagia Pendekar Binal 2

Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 2


belajar silat, tapi kemahiran si tua she Gui mengenai ilmu pesawat agaknya telah diturunkan semua padanya, bahkan boleh dikatakan yang hijau melebihi yang biru, budak itu jauh lebih lihai daripada Gui-lothau."
"Ya, tampaknya budak itu memang pintar," ujar Oh Yok-su.
"Bukan cuma pintar saja, bahkan wajahnya juga boleh," tukas Pek San-kun.
Segera Pek-hujin mengomel, "Nah, mulai berpikir serong lagi!"
"Perempuan cantik kebanyakan juga pintar, contohnya Pek-toaso kita ini,"
umpak Oh Yok-su dengan tertawa.
Tapi Pek-hujin menarik muka, omelnya, "Huh, belasan tahun tidak bertemu, tampaknya mulutmu tambah manis."
Walaupun berlagak kurang senang, tapi toh tertawa. Dan memang begitulah penyakit perempuan, walaupun tahu jelas si lelaki sengaja menyanjungnya, tapi dia lebih suka mempercayai apa yang diucapkannya itu. Sebab itulah meski seorang perempuan terkadang dapat menahan berbagai macam pancingan kaum lelaki, tapi tetap tak dapat melawan bujuk rayu mulut manisnya.
Oh Yok-su lantas bergelak tertawa, katanya pula, "Terhadap ilmu pesawat rahasia tidak pernah berhasil kupelajari, sebab itulah aku pun tidak berani menyentuhnya. Aku lantas mencari tempat sembunyi. Selang tak lama kemudian kulihat Gui Moa-ih berhasil memancing seorang anak muda ke hutan tempatku sembunyi sana, bahkan anak muda itu ditutuk Hiat-tonya terus digantung di atas pohon."
"O, pantas kami mendengar suara orang mencaci maki, mungkin bocah itu yang sedang memaki Gui Moa-ih," ujar Pek San-kun.
"Betul," kata Oh Yok-su. "Selagi aku hendak mendekati bocah itu untuk menanyai siapa dia, tak terduga pada saat itu pula ada tamu lain berkunjung lagi ke hutan sana, satu di antaranya kukenal dengan baik."
"Siapa dia?" tanya Pek San-kun.
"Yaitu orang yang telah makan istrinya sendiri, Li Toa-jui!" tutur Oh Yok-su.
"Hah, orang ini muncul lagi?" Pek San-kun menegas dengan terkejut.
"Apakah Li Toa-jui kenal anak muda itu?" tanya Pek-hujin
"Ya, kenal," jawab Oh Yok-su.
"Bagaimana macamnya anak muda itu?" tanya Pek-hujin sambil berkerut kening.
"Usianya belum ada dua puluh, perawakannya serupa aku, mukanya penuh codet bekas luka, seharusnya jelek dan tidak menarik, tapi entah mengapa, tampaknya sedikit pun tidak menjemukan, bahkan sangat menyenangkan orang," Oh Yok-su merandek sejenak, "Apakah kau kenal dia?"
"Meski aku tidak kenal dia, tapi sudah dapat kuterka siapa dia," ujar Pek-hujin setelah berpikir sejenak.
"O, siapa dia?" tanya Oh Yok-su.
"Kabarnya akhir-akhir ini di dunia Kangouw muncul seorang bintang kecil pakai nama Hi segala, kalau tidak salah seperti Siau-hi apa ... ilmu silatnya meski tidak terlalu tinggi, tapi orangnya cerdik dan licik, setiap orang yang merecoki dia pasti dikerjai olehnya, sampai-sampai orang macam Kang Piat-ho juga kepala pusing menghadapi dia."
Oh Yok-su terdiam sejenak, katanya kemudian dengan tersenyum, "Ya, betul, anak muda itulah, dia benar-benar setan cerdik, Gui Moa-ih kan juga tokoh yang lihai, tapi kemudian entah dengan cara bagaimana dia juga kena dikerjai oleh bocah ini sehingga kelabakan ...."
"Dan apa hubungannya bocah itu dengan rahasia Ih-hoa-ciap-giok?" tanya Pek San-kun.
"Coba jawab dulu, saat ini ada berapa orang di dunia ini yang tahu rahasia Ih-hoa-ciap-giok?" tanya Oh Yok-su.
"Kukira yang tahu ada beberapa orang, tapi yang mau menyiarkannya jelas seorang saja tidak ada," ujar Pek-hujin.
"Itulah," kata Oh Yok-su dengan tertawa, "Makanya sekarang aku ada akal yang dapat membuat seorang di antaranya mau memberitahukan pada kita."
"Siapa yang kau maksudkan," tanya Pek-hujin.
"So Ing!" jawab Oh Yok-su.
Pek-hujin menghela napas, katanya, "Bilamana kau dapat membuat budak itu buka mulut, maka aku pun dapat membikin botol berbicara."
"Kau tidak percaya?" Oh Yok-su menegas dengan tersenyum.
Tiba-tiba Pek San-kun menyela, "Apabila Oh-laute bilang ada akalnya, dengan sendirinya akalnya pasti sangat bagus."
Pek-hujin menghela napas pula, katanya, "Baiklah, apa akalmu, coba ceritakan."
"Akalku ini terletak pada "ikan kecil" (Siau-hi) itu," ucap Oh Yok-su.
"Akal macam apa ini" Sungguh aku tidak paham," Pek-hujin berkerut kening.
"Kalian tahu, budak she So itu telah kesengsem pada ikan kecil itu, sekarang kalau kita dapat menangkap ikan itu, apa pun yang kita minta masakah budak she So itu berani menolak?" tutur Oh Yok-su.
"Cara ini kukira kurang kuat," ujar Pek-hujin. "Setahu kami, budak itu lebih keras daripada batu, pada hakikatnya tiada seorang lelaki mana pun yang terpandang di mata budak itu."
"Betapa pun kerasnya hati seorang perempuan, pada suatu ketika juga hatinya pernah goyang," ujar Oh Yok-su berseloroh. Kedua orang lantas main mata seakan-akan hubungan mesra di masa lalu akan dikobarkan lagi.
Cepat Pek San-kun berdehem beberapa kali dan menyela, "Tak peduli akal Oh-laute ini berhasil atau tidak, paling perlu kita mencobanya dahulu."
"Pasti dapat dijalankan," ujar Oh Yok-su, "Dengan mataku sendiri kusaksikan jalan itu dapat ditembus."
"Akan tetapi rasanya tidak mudah jika kita ingin menjaring ikan kecil itu," kata Pek-hujin dengan ragu-ragu.
"Untuk menjaringnya tentunya diperlukan peranan Pek-toaso," ujar Oh Yok-su sambil terbahak-bahak.
Pek-hujin tersenyum genit sambil melirik, katanya, "Jangan khawatir, semakin nakal lelaki itu semakin mahir aku menundukkannya."
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Di ruangan sana Hoa Bu-koat masih duduk termenung-menung seperti patung.
Waktu Kang Giok-long dan Thi Peng-koh masuk ke situ, di luar sana Oh Yok-su dan Pek San-kun sedang asyik memperbincangkan betis Thi Peng-koh yang indah. Mendengar ocehan mereka yang rendah itu, hampir saja Peng-koh meneteskan air mata.
Dengan tertawa Kang Giok-long menghiburnya, "Sebenarnya yang paling menyedihkan kau wanita ialah bilamana kaum lelaki tidak tertarik padanya.
Sekarang beberapa orang itu sama kesengsem padamu, seharusnya kau merasa bangga dan bergembira, kenapa kau malah sedih?"
"Apakah kau tidak ... tidak bisa bicara sebagai manusia yang layak?" damprat Thi Peng-koh pedih.
"Maksudku hanya untuk menghiburmu saja, bilamana mengalirkan air mata toh tiada gunanya, maka sebaiknya jangan mengeluarkan air mata," ujar Kang Giok-long dengan gegetun. Nyata ia benar-benar mengucapkan kata-kata manusia yang layak.
Mendadak Thi Peng-koh memegang tangan Giok-long dengan erat, serunya dengan parau, "Mengapa kesempatan ini tidak kita gunakan untuk lari?"
"Kau kira aku dapat lari?" Giok-long menyengir.
"Akan kugendong kau," kata Peng-koh.
"Jika kau sendiri mungkin dapat lari beberapa li jauhnya, tapi toh pasti akan tertawan kembali. Jika lari dengan menggendong diriku, paling jauh kau hanya dapat mencapai setengah li saja."
"Betapa pun kita kan dapat mencobanya," kata Thi Peng-koh.
"Sesuatu yang jelas-jelas tiada manfaatnya selamanya takkan kucoba," jawab Giok-long dengan perlahan.
"Habis, apa ke ... kehendakmu?" tanya Peng-koh.
"Tunggu, tunggu kesempatan. Bersabar, bersabar, sedapatnya "." tiba-tiba Giok-long tertawa dan menyambung. "Tahukah kau, kepandaian bersabar demikian, mungkin di seluruh dunia ini tiada seorang pun yang dapat menandingiku."
Ucapannya ini memang bukan bualan, ia memang benar-benar bisa tahan segala siksa derita, sanggup bersabar dan bila perlu juga kejam dan keji, kalau tidak tentu sejak dulu-dulu dia mati di istana bawah tanah milik Siau Mi-mi.
Peng-koh menunduk dan tidak bersuara pula.
Sekonyong-konyong Giok-long tertawa kepada Hoa Bu-koat, katanya, "Meski dahulu kita pernah bermusuhan, tapi sekarang kita menghadapi musuh bersama, jadi senasib. Apalagi sejak mula sebenarnya kita adalah sahabat baik."
Hoa Bu-koat hanya mendelik saja, hakikatnya ia tidak tahu apa yang dikatakan Kang Giok-long.
Dengan tertawa Kang Giok-long berkata pula "Di depanku mengapa kau berlagak pilon segala. Kutahu kau cuma pura-pura saja, meski kau dapat mengelabui orang lain, tapi tidak dapat mengelabui diriku."
Namun Bu-koat tetap diam saja dan tidak menggubris.
"Tak tersangka kau adalah orang sepintar ini," ujar Giok-long dengan tertawa.
"Jika kau tidak pura-pura dungu begini, mereka pasti akan berdaya upaya untuk memaksamu menuturkan rahasia Ih-hoa-ciap-giok dan tentu kau yang akan susah."
Akan tetapi Hoa Bu-koat tetap bungkam seribu bahasa, bahkan berkedip saja tidak.
"Mungkin kau menyesali dirimu sendiri karena telah menceritakan rahasia itu kepada budak she So, kau menyesal telah usil mulut pula hingga sekarang!"
Tapi wajah Bu-koat masih tetap kaku seperti patung, sedikit pun tiada perubahan.
Tiba-tiba Giok-long berkata kepada Thi Peng-koh, "Coba kau memeriksanya, apakah harimau betina itu telah menutuk Hiat-tonya?"
Thi Peng-koh mendekati Hoa Bu-koat, kemudian berkata, "Hok-toh-hiat dan Thay-hong-hiat di kaki dan tangannya tertutuk."
Bilamana kedua tempat Hiat-to tersebut tertutuk, maka sekujur badan orang akan lumpuh total.
"Nah, kau dengar tidak" Nyata Pek San-kun suami istri masih khawatir atas dirimu, makanya Hiat-tomu ditutuk," kata Giok-long. "Apabila kau benar-benar tidak waras, tentu mereka takkan menutuk Hiat-tomu."
"Jika dia tidak paham apa yang kau katakan, untuk apa kau bicara terus-menerus?" omel Peng-koh.
"Peduli dia paham atau tidak, tetap aku akan bicara padanya," ujar Giok-long.
Lalu ia menyambung pula, "Asalkan kau mau memberitahukan padaku satu dua bagian ilmu Ih-hoa-ciap-giok, segera akan kubuka Hiat-tomu agar kau dapat melarikan diri."
"Kau ini memang aneh, seumpama dia paham perkataanmu, apakah dia mau memberitahukan rahasia ilmu sakti itu padamu?" ucap Peng-koh.
"Bila kuminta seluruh rahasia ilmu itu tentu dia tidak mau, tapi aku cuma minta satu dua bagian saja untuk menukar jiwanya, kan setimpal?"
"Tapi ... tapi seumpama dia cuma pura-pura linglung, mungkin tenaga untuk lari juga tidak ada lagi."
"Dengan ilmu silatnya yang tinggi, biarpun sebagian besar tenaganya sudah terbuang juga masih kuat untuk melarikan diri. Apalagi aku pun dapat merintangi Pek San-kun suami istri baginya."
Sembari bicara Kang Giok-long terus-menerus melirik wajah Hoa Bu-koat.
Namun anak muda itu tetap kaku saja seperti patung, seperti orang tuli yang tidak mendengar sama sekali.
Giok-long menghela napas panjang, ucapnya, "Baiklah, jika kau tidak percaya padaku, nanti kalau kesempatanku sudah tiba, tentu kau pun akan jatuh di tanganku, tatkala mana ...." belum habis ucapannya, mendadak ia mengerang kesakitan.
Kiranya pada saat itu Pek San-kun suami istri dan Oh Yok-su telah muncul.
Pek-hujin langsung mendekati Kang Giok-long dan bertanya dengan tersenyum genit. "Sampai sekarang kau masa kesakitan?"
"Ya, sakit ... sakit sekali," jawab Giok-long sambil meringis.
Perlahan Pek-hujin memijat-mijat kedua pundak Giok-long, ucapnya dengan lembut, "Begini apakah masih sakit?"
"Sa ... sakit, masih sakit, cuma ... cuma rasanya sudah ... sudah mendingan
...." belum habis ucapannya, sekonyong-konyong ia menjerit seperti babi hendak disembelih.
Rupanya kedua tangan Pek-hujin yang memijat Kang Giok-long itu mendadak mengerahkan tenaga murni yang kuat.
Padahal rasa sakit Kang Giok-long itu sebagian cuma pura-pura saja dan sebagian memang sungguh-sungguh, yaitu akibat dikerjai So Ing. Kini tenaga murni Pek-hujin disalurkan sekuatnya melalui Hiat-to di kedua pundaknya, seketika Kang Giok-long merasa sekujur badan seperti ditusuk jarum, ruas tulang serasa rontok semua.
Tapi Pek-hujin tetap tersenyum simpul dan bertanya pula dengan lembut,
"Bagaimana, apakah sudah enakan sekarang?"
"O, moh ... mohon jangan ...." demikian Giok-long merintih kesakitan.
Thi Peng-koh lantas menerjang maju, tapi sekali raih Pek San-kun berhasil memegang tangannya terus ditelikung, katanya sambil menyeringai, "Nona baik, apakah kau cemburu juga?"
Dengan suara serak Thi Peng-koh berteriak, "Dia kan tidak bersalah padamu, meng ... mengapa kau menyiksanya cara begini?"
"O, kau ikut merasa sakit?" tanya Pek-hujin.
"Jika kalian perlakukan begini padanya, silakan kalian bunuh dulu diriku," teriak Thi Peng-koh.
"Aku kan cuma memijat dia, begitu saja kau merasa sakit hati, kalau kubunuh dia, bukankah kau bisa gila?" kata Pek-hujin dengan tertawa.
Padahal sekarang pun Peng-koh sudah hampir gila, dengan histeris dia berteriak, "Kalian tidak ... tidak boleh ...."
"Apakah kau ingin kami lepaskan dia?" tanya Pek-hujin.
Dengan cepat Peng-koh mengangguk.
"Baik, asalkan kau berjanji akan bantu berbuat sesuatu bagi kami, segera akan kubebaskan dia," ucap Pek-hujin dengan perlahan.
Tanpa pikir Thi Peng-koh lantas menjawab, "Baik, kuterima, kuterima ...."
"Apa pun yang harus kau lakukan pasti akan kau laksanakan?" tanya Pek-hujin.
"Ya, asalkan kalian melepaskan dia, apa pun akan kulakukan bagimu," jawab Peng-koh.
Pek-hujin menghela napas, gumamnya, "Sungguh tidak tersangka bahwa cinta antara laki-laki dan perempuan mempunyai kekuatan sebesar ini."
Akhirnya dia melepaskan tangannya, perlahan ia mencolek pipi Kang Giok-long dan berkata pula dengan tertawa, "Anak muda, tampaknya kau memang boleh, dapat membuat seorang perempuan mati-matian setia padamu, kepandaianmu ini sungguh tidak kecil."
Tiba-tiba Oh Yok-su tertawa dan berkata, "So Ing jauh lebih tergila-gila pada ikan kecil itu daripada anak dara ini."
"Jika begitu, jalan yang kita tempuh ini pasti dapat dilaksanakan," ujar Pek San-kun.
"Ya, begitulah," kata Oh Yok-su.
Pek-hujin melototi sang suami, ucapnya, "Masa akal yang kuatur bisa gagal?"
"Betul, betul, akal bagus Hujin selamanya tidak pernah gagal," sanjung Pek San-kun dengan tertawa.
"Sekarang kau tinggal saja di sini, kedua bocah ini kuserahkan padamu," kata Pek-hujin.
"Baik, jangan khawatir," jawab Pek San-kun.
Thi Peng-koh masih menangis sambil mendekap di punggung Kang Giok-long, Pek-hujin menariknya bangun dan berkata, "Ayolah ikut pergi bersamaku ....
Tapi ingat, jika kau tidak turut perintah dan menggagalkan urusan kami, maka berarti kekasihmu akan mati akibat perbuatanmu sendiri."
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Di tempat lain Siau-hi-ji sedang kelabakan seperti kebakaran jenggot lantaran khawatir bagi keselamatan Hoa Bu-koat. Akan tetapi ia tidak berjalan dengan cepat. Ia tahu berjalan cepat juga tiada gunanya, kalau berjalan terlalu cepat mungkin malah akan melalaikan hal yang seharusnya perlu diperhatikan.
Padahal sekarang dia harus mencari setiap petunjuk, setiap tanda, betapa pun kecilnya petunjuk itu.
Malam sudah lalu, fajar telah menyingsing, tapi kabut masih meliputi lembah pegunungan ini, pandangan masih sukar mencapai jauh, dedaunan pohon di kejauhan seakan-akan mengambang di tengah gumpalan awan dan kabut tanpa kelihatan dahan pohon.
Tanda-tanda rahasia yang kemungkinan ditinggalkan Ha-ha-ji, Li Toa-jui dan lain-lain kini sukar lagi ditemukan. Tentunya terlebih sulit lagi bilamana ingin mencari jejak yang ditinggalkan tokoh persilatan kelas tinggi.
Tapi semakin sulit persoalan yang dihadapi Siau-hi-ji, semakin tekun dan semakin sabar dia.
Lebih dulu ia mendapatkan sebuah sungai kecil, dengan air sungai yang jernih itu ia cuci muka sambil menenangkan pikirannya, ia mengatur pernapasan sejenak untuk mengetahui luka sendiri apakah sudah sembuh.
Perlu diketahui bahwa lukanya sebenarnya tidak terlalu parah, yang lihai adalah racun yang dideritanya. Tapi setelah mengatur pernapasan dan bergerak badan sejenak, ia merasa kesehatannya tiada ubahnya seperti sebelum terluka, hanya terlalu lama tergantung sehingga langkahnya rada enteng rasanya.
Diam-diam ia tersenyum dan bergumam sendiri, "Budak itu melukiskan lukaku sedemikian berat, kutahu dia cuma menakuti aku supaya aku tidak meninggalkan dia .... Ai, perempuan, dasar perempuan. Barang siapa suka percaya kepada ucapan perempuan, maka selama hidupnya pasti akan diperbudak kaum perempuan."
Tapi bila teringat kepada kelembutan So Ing dan cinta kasihnya, mau tak mau hatinya terasa manis juga. Betapa pun, kalau seseorang telah dicintai orang lain, maka hal ini baginya adalah sesuatu yang menggembirakan.
"Liang tikus" kediaman Gui Bu-geh terletak di suatu gua yang sangat tersembunyi di sebelah barat sana. Walaupun Siau-hi-ji tidak pernah kenal apa artinya takut, tapi dia baru saja terjungkal di tangan gembong Cap-ji-she-shio itu, rasanya masih ngeri, maka dia belum berani menuju lagi ke jurusan barat.
Ia duduk di atas batu besar di tepi sungai dengan termangu-mangu, ia tidak tahu ke mana dirinya harus menuju untuk mencari Hoa Bu-koat.
Pada saat itulah tiba-tiba dilihatnya dari hulu sungai sana ada sesuatu benda merah mengalir tiba terbawa arus.
Kalau Siau-hi-ji tidak melalaikan setiap petunjuk yang dicari, kini dengan sendirinya ia pun tidak mau membiarkan benda merah itu lalu begitu saja.
Segera ia ambil sepotong tangkai kayu, ia melompat ke atas batu di depan sana, benda merah itu digaetnya ke atas.
Kiranya benda merah ini adalah sebuah gaun orang perempuan, gaun merah bersulam bunga yang indah, tampaknya milik wanita keluarga berada. Cuma bagian pinggang gaun itu sudah terobek seperti ditarik dengan paksa.
Siau-hi-ji berkerut kening, pikirnya, "Di pegunungan sunyi begini, mengapa ada perempuan yang memakai gaun sebagus ini" Apakah perempuan ini kepergok orang jahat?"
Tadinya ia menyangka pasti perbuatan anak murid Gui Bu-geh. Tapi tempat Gui Bu-geh terletak di sebelah barat, sedangkan hulu sungai di arah timur-laut, jadi tidak cocok jurusannya.
Pada saat itu kembali di atas arus sungai mengambang pula sesuatu benda, juga berwarna merah. Sesudah dekat, rupanya sebuah sepatu bersulam kaum wanita.
Dengan tertawa Siau-hi-ji mengomel, "Keparat, sudah menanggalkan gaun orang, sepatu orang juga dicopotnya" Memangnya ingin mencium kakinya yang berbau busuk itu?"
Kini Siau-hi-ji dapat memastikan bahwa urusan ini tiada sangkut-pautnya dengan Hoa Bu-koat, sebab Bu-koat tidak bergaun merah juga tak mungkin melepaskan sepatu orang lain. Namun Siau-hi-ji sendiri jadi ingin tahu, juga rasa keadilannya tergugah, ia merasa si penjahat atau si pemerkosa itu terlalu kurang ajar, betapa pun harus dihajar adat supaya kapok.
Di tepi sungai banyak berserakan batu-batu besar, di atas batu penuh lumut hijau dan sangat licin, tapi dengan Ginkang Siau-hi-ji tentunya dia tidak perlu takut akan tergelincir jatuh. Dia terus melompat dari satu batu ke batu yang lain. Setelah beberapa tombak jauhnya, dari air sungai dijemputnya pula sebuah beha atau baju kutang orang perempuan berwarna merah bersulaman bunga pula, cuma kutang ini pun sudah terobek.
"Bangsat," Siau-hi-ji memaki dalam hati, "Sungguh kelewatan perbuatanmu ini"
Meski sebagian besar perempuan bukan barang baik, tapi lelaki yang mengganggu perempuan terlebih bukan barang yang baik."
Ia terus maju lagi ke depan, kembali arus sungai membawa tiba pula sebuah kutang lagi, cuma warna kutang itu hijau muda, juga terobek hancur.
"Hah, kiranya tidak cuma satu, tapi ada dua perempuan," seru Siau-hi-ji tanpa terasa.
Tapi dia lantas berhenti di situ malah.
Kalau ada seorang perempuan diganggu segera ia hendak menolongnya, tapi kalau dua orang perempuan diganggu, mengapa ia berbalik berhenti di situ"
Sebabnya mendadak ia merasakan hal ini rada janggal. Di pegunungan terpencil ini tidak mungkin ada dua perempuan yang bergaun sebagus ini, di kota saja sukar ditemukan perempuan bergaun mewah begini.
Pada saat itulah dari hulu sungai sana tiba-tiba berkumandang suara jeritan orang ketakutan. Suara nyaring melengking, jelas memang suara perempuan.
Sambil berdiri di atas batu Siau-hi-ji melenggong lagi sejenak. Tersembul senyuman aneh pada ujung mulutnya, gumamnya, "Perempuan, O, perempuan
... mengapa ke mana pun kupergi selalu bertemu dengan perempuan yang aneh-aneh?"
Di ujung hulu sana menjulang sebuah puncak bukit, air terjun tampak menuang ke bawah dengan derasnya dan di bawahnya tepat ada sepotong batu raksasa yang menahan gerujukan air terjun itu.
Air terjun menimpa batu raksasa itu sehingga muncrat tinggi dan jatuh ke dalam sungai.
Dipandang dari jauh, baik pagi maupun siang atau petang, tentu saja sekitar sini kelihatan diliputi kabut dengan air yang berhamburan dan menjadikan pemandangan yang indah. Inilah pemandangan indah ciptaan alam dan tidak mungkin dibuat oleh tangan manusia.
Tapi pada saat itu juga, di atas batu raksasa itu terdapat dua perempuan dengan tubuh yang hampir telanjang bulat. Hamburan air terjun itu menggerujuki badan mereka, tenaga jatuhnya air itu jelas sangat keras.
Tampaknya kaki mereka yang panjang putih itu telah mengejang karena siraman air terjun itu, rambut mereka pun kusut masai.
Sampai di sini Siau-hi-ji jadi melenggong. Pemandangan yang mengerikan ini penuh daya tarik yang kotor pula dan cukup membuat wajah setiap lelaki yang memandangnya akan merah, hati pun berdebar-debar dan sukar menguasai perasaannya.
"Perbuatan siapakah ini" Sungguh gila orang "ini!" demikian Siau-hi-ji bergumam sendiri.
Didengarnya kedua perempuan itu sedang berkeluh kesah, agaknya mereka pun tahu ada orang datang, segera mereka menjerit dengan suara gemetar,
"To ... tolong ...."
"Apakah kalian tak dapat bergerak?" seru Siau-hi-ji dari kejauhan.
"Tolong ... tolonglah kami ...." demikian perempuan itu memohon pula.
"Siapa yang memperlakukan kalian cara begini" Di mana dia?" tanya Siau-hi-ji.
Perempuan itu seperti sedang bicara, tapi suaranya sangat lemah, sama sekali tak terdengar oleh Siau-hi-ji. Maklum, batu di mana Siau-hi-ji berdiri masih berjarak dua tiga tombak jauhnya dari mereka.
Jarak dua tiga tombak sebenarnya bukan soal bagi Siau-hi-ji, cukup sekali lompat saja dapat dicapainya.
Setiap lelaki yang memiliki Kungfu seperti Siau-hi-ji pasti akan melayang ke sana bila menyaksikan keadaan kedua perempuan itu. Tak peduli lelaki ini orang baik atau jahat pasti takkan tinggal diam. Bilamana lelaki ini orang baik tentu tanpa pikirkan risiko sendiri akan melompat ke sana untuk menolong kedua perempuan itu. Apabila lelaki ini orang jahat, tentu ia pun tidak tahan oleh pemandangan yang menarik itu, tentu dia akan melompat ke sana untuk mencari keuntungan atas diri kedua perempuan itu.
Andaikan lelaki ini adalah seorang yang cuma mementingkan diri sendiri, atau lelaki ini sudah kakek-kakek yang loyo dan sama sekali tidak punya hasrat lagi terhadap perempuan, paling-paling ia pun akan tinggal pergi saja.
Tapi sekarang Siau-hi-ji justru tidak mau menolong orang dan juga tidak mau tinggal pergi. Ia malahan terus duduk di atas batu dan memandang ke sana dengan terbelalak.
Perbuatannya ini benar-benar luar biasa dan di luar akal sehat, selain dia mungkin di dunia ini tiada orang kedua lagi yang dapat bersikap demikian.
Kedua perempuan bugil yang berada di atas batu raksasa itu dengan sendirinya ialah Pek-hujin dan Thi Peng-koh.
Melihat tindakan Siau-hi-ji itu, Pek-hujin jadi tercengang juga.
Padahal setiap muslihat dan perangkap yang telah diaturnya boleh dikatakan sangat rapi, aneh, lain daripada yang lain, sampai-sampai sukar untuk dibayangkan. Apa yang telah dirancangnya selalu membawa daya pikat dan sukar untuk dilawan. Sesungguhnya setiap tipu akalnya selama ini belum pernah gagal.
Sekali ini, bahkan ia telah mengatur tipu muslihatnya dengan lebih rapi karena dia tahu yang akan dijebaknya adalah manusia yang sangat pintar dan cerdik.
Ia yakin siapa pun juga bilamana habis tergantung di pohon sekian lamanya tentu sudah kehausan dan pasti ingin minum yang banyak, sebab setiap orang pintar pasti akan membuat tenang dulu pikirannya sebelum mengerjakan sesuatu.
Sedangkan di pegunungan sunyi ini, tempat yang ada air minum hanya di sungai kecil ini.
Menurut perhitungan Pek-hujin, asalkan lelaki, apabila melihat sesuatu benda milik orang perempuan yang hanyut terbawa arus, tentu lelaki itu akan membayangkan di hulu sedang terjadi perkosaan dan pasti akan cepat memburu ke tempat kejadian.
Maka di hulu sungai itulah Pek-hujin menunggu, di situlah dia memperagakan tubuhnya yang masih menggiurkan. Ia yakin tiada seorang lelaki pun di dunia ini yang takkan mendekatinya apabila melihat pemandangan yang menarik ini.
Tapi ia pun rada khawatir kalau-kalau daya pikat tubuh sendiri yang sudah mulai menginjak ketuaan itu kurang menarik, maka dia sengaja mengikutsertakan Thi Peng-koh.
Dia kenal nama "Siau-hi-ji" dari mulut Kang Giok-long, dengan sendirinya ia pun tahu Thi Peng-koh pernah menyelamatkan jiwa anak muda itu. Maklum, waktu Kang Giok-long datang minta perlindungan kepada mereka suami istri, lebih dulu ia lelah menanyai asal usul Giok-long, lebih-lebih keterangan mengenai anak perempuan yang dibawa Giok-long itu. Pada dasarnya dia memang tidak percaya pada siapa pun juga.
Untuk memperoleh kepercayaan Pek-hujin terpaksa Kang Giok-long menceritakan seluk beluk mengenai diri Thi Peng-koh, sudah barang tentu, Kang Giok-long tidak perlu menyimpan rahasia diri orang lain.
Sebab itulah sekarang Pek-hujin yakin Siau-hi-ji pasti akan mendekati mereka.
Di luar dugaan anak muda itu hanya duduk termenung saja di kejauhan.
Tetesan air yang terus-menerus dapat melubangi batu, apalagi tenaga air terjun yang deras. Dengan sendirinya batu raksasa itu telah terguyur menjadi licin dan bulat, hanya bagian tengah atas batu itu saja yang mendekuk, sekeliling batu halus licin dan sukar untuk berdiri di situ.
Pek-hujin dan Thi Peng-koh justru berbaring di bagian batu yang dekuk itu, asalkan Siau-hi-ji melompat ke atas batu untuk menolongnya, sekali mendorong perlahan Siau-hi-ji pasti akan tergelincir ke dalam sungai. Padahal saat itu Oh Yok-su sudah menyelam dan menunggu di dasar sungai, ia bernapas dengan menggunakan setangkai gelagah. Apabila Siau-hi-ji jatuh ke sungai, maka itu berarti "ikan masuk jaring".
Maklum, seorang yang jatuh ke dalam air tentu akan kelabakan dan sekujur badan tidak terjaga, kesempatan itu tentu dapat digunakan Oh Yok-su yang telah siap siaga untuk menyergapnya.
Bahwa Pek-hujin sengaja mengatur dirinya d tempat berbahaya ini justru menurut perhitungannya hasilnya pasti akan "tok-cer". Siapa tahu Siau-hi-ji justru tidak mudah dijebak, anak muda itu hanya duduk saja di kejauhan, bahkan memandangnya seperti orang yang sedang menonton sandiwara menarik.
Padahal tenaga gerujukan air terjun itu sangat keras, betapa pun kuat tenaga dalam Pek-hujin lama-lama juga tidak tahan.
Dia lihat Siau-hi-ji justru sedang enak-enak duduk di sana, bahkan anak muda itu lantas mencopot sepatu dan mencuci kaki di air sungai, wajahnya tampak berseri gembira seperti orang lagi berpiknik. Malahan tidak lama lagi anak muda itu lantas bernyanyi-nyanyi kecil dengan suara yang tidak tergolong merdu.
Sudah hampir meledak perut Pek-hujin saking dongkolnya. Saking tidak tahan ia memaki, "Keparat, bocah ini benar-benar bukan manusia .... Apakah dia telah mengetahui rencanaku?"
Kalimat yang terakhir itu dengan sendirinya ditujukan kepada Thi Peng-koh. Di tengah suara gemuruh air terjun itu, andaikan suara bicaranya lebih keras sedikit juga cuma didengar oleh Thi Peng-koh saja.
Peng-koh sendiri sebenarnya merasa malu dan gemas juga karena dipaksa ikut telanjang bulat dan dijadikan umpan "ikan". Kini melihat rencana Pek-hujin tidak berhasil, diam-diam ia pun merasa senang dan geli, maka dia sengaja menjawab, "Ya, kukira dia sudah tahu tipu akalmu."
"Rencanaku ini boleh dikatakan sangat rapi, dari mana dia bisa tahu," kata Pek-hujin.
"Banyak orang bilang dia adalah orang pintar nomor satu di dunia, tampaknya kabar itu memang tidak salah," ujar Thi Peng-koh.
Sebenarnya tenaga dalam Peng-koh jauh lebih lemah daripada Pek-hujin, hampir-hampir saja bernapas pun sukar karena diguyur air terjun sekian lamanya, tapi kini lantaran hatinya lagi senang, bukan saja ia dapat bicara dengan lancar, bahkan suaranya juga cukup nyaring.
"Kenapa kau bicara sekeras itu" Apakah kau ingin didengar olehnya?" jengek Pek-hujin. "Hendaklah jangan lupa, kekasihmu masih tergenggam di tanganku, bilamana perangkapku ini gagal, maka kau adalah calon janda sebelum nikah."
Disebutnya Kang Giok-long membuat hati Thi Peng-koh tertekan pula, meski dia tidak ingin Siau-hi-ji terjebak, tapi ia pun tidak tega membiarkan Kang Giok-long mati.
Maklum, sekarang biarpun dia jelas-jelas tahu Kang Giok-long adalah telur paling busuk di dunia ini juga tak berdaya lagi, sebab hatinya sudah bukan miliknya lagi, melainkan sudah tertawan oleh Kang Giok-long.
Seorang lelaki kalau dapat menundukkan tubuh seorang perempuan dengan pengaruh uang atau kekerasan, maka tidak nanti dapat menundukkan hatinya.
Tapi kalau senjata yang digunakannya adalah bujuk rayu dan kata-kata manis, maka dia pasti akan berhasil menipunya bersama hatinya sekaligus.
Begitulah maka Thi Peng-koh tidak berani buka suara lagi.
Selang sejenak, Pek-hujin bertanya pula, "Kutahu kau pernah menyelamatkan jiwa anak muda itu, bukan?"
"Ehm," sahut Peng-koh perlahan.
"Sekarang kenapa dia tidak balas menolong kau?"
"Mungkin ... mungkin dia pangling padaku."
Pek-hujin berpikir sejenak, katanya kemudian, "Betul juga ... lelaki kalau melihat perempuan cantik telanjang bulat, yang dipandang cuma bagian tubuhnya saja dan jarang-jarang memandang wajahnya."
Muka Thi Peng-koh serasa merah membara, tiba-tiba ia merasa mata Siau-hi-ji sedang melotot padanya, sungguh kalau bisa ia ingin menutupi dadanya, menutupi perutnya, menutup .... Tapi demi Kang Giok-long, terpaksa ia tidak berani bergerak.
Pek-hujin mendengus pula, "Sekarang cepat berpaling ke sana dan berteriak minta tolong .... Teriakanmu jangan terlalu keras, tapi juga jangan terlalu lirih, harus berlagak seperti kehabisan tenaga dan suaramu dibikin serak. Nah, lekas lakukan!"
Terpaksa Thi Peng-koh melaksanakan perintah Pek-hujin, dengan suara parau ia menjerit, "Tol ... tolong ... tolong ...."
Dia cuma sedikit menoleh, segera dilihatnya Siau-hi-ji sudah selesai mencuci kaki, dengan tangan bertopang dagu dan setengah berbaring di atas batu, anak muda itu seperti sudah tertidur.
Dengan sendirinya Pek-hujin juga sudah melihat tingkah Siau-hi-ji, dengan geregetan ia berkata, "Bangsat cilik, licin benar! Sebenarnya apa yang sedang dipikirkannya?"
Tiba-tiba seorang bicara di bawah batu sana, "Betul tidak apa yang kukatakan padamu" Ikan ini sangat sukar dijaring bukan?"
Rupanya Oh Yok-su juga tidak tahan direndam air sekian lamanya, ia telah menongolkan kepalanya ke permukaan air.
"Lekas menyelam, jangan sampai dilihatnya," seru Pek-hujin.
"Biarpun kepandaiannya setinggi langit juga tidak mungkin pandangannya dapat menikung ke belakang batu sini," ucap Oh Yok-su dengan tertawa.
Pek-hujin menghela napas, ucapnya, "Menurut pendapatmu, apakah rencana kita ini telah diketahuinya"
"Kau kira demikian?" Oh Yok-su balas tanya.
"Padahal rencana kita ini sangat rapi, mana dapat diketahuinya?" jengek Pek-hujin.
"Habis mengapa dia tidak mau datang kemari?"
"Bisa jadi pembawaan bocah ini memang suka curiga, segala apa pun dicurigainya, makanya dia tidak mau segera kemari dan ingin tahu bagaimana reaksi kita."
"Tapi yang jelas kita tersiksa di sini, kalau keadaan begini berlangsung lebih lama kan kita sendiri yang celaka."
"Dia justru ingin tahu apakah kita sanggup bertahan tidak, asalkan kita tidak tahan, maka rencana ini pun gagal total. Kalau usaha kita ini gagal, apakah tidak merasa sayang?"
"Sayang sih sayang, tapi tersiksa begini juga bukan cara yang baik," ujar Oh Yok-su dengan gegetun.
"Habis mau apalagi?" ujar Pek-hujin. "Bocah ini memang benar-benar lebih licin daripada ikan, jika usaha kita ini diketahuinya, lain kali jangan harap lagi dapat menjaringnya."
"Dengan kekuatan kita bertiga melawan dia seorang, masa kita tidak berani main kekerasan?"
"Kukira jangan," ujar Pek-hujin. "Konon ilmu silat bocah ini sangat tinggi meski usianya masih muda belia, bahkan juga sangat licik dan licin, bila gelagat jelek, segera dia kabur. Sampai-sampai Ih-hoa-kiongcu kabarnya juga mati kutu menghadapi dia, lalu kita dapat berbuat apa?"
Oh Yok-su menghela napas panjang, ucapnya, "Jika demikian, tampaknya tiada jalan lain kecuali harus bertahan, tapi kita dapat tahan berapa lama lagi?"
Pek-hujin terdiam sejenak, katanya kemudian sambil menyengir, "Urusan sudah kadung begini, terpaksa mengikuti keadaan saja."
Di luar dugaan pada saat itulah mendadak Siau-hi-ji berdiri.
Kejut dan girang Pek-hujin, cepat ia mendesis, "Ssst, lekas selam, mungkin ikannya akan segera akan masuk jaring."
Tanpa disuruh lagi cepat Oh Yok-su menyelam pula, batang gelagah yang bagian tengahnya geronggang seperti pipa itu kembali menongol di permukaan air, dengan pipa rumput gelagah inilah Oh Yok-su bernapas.
Terdengar Siau-hi-ji bergumam di sana, "Rasanya mereka bukan pura-pura, kalau tidak tentu mereka tidak tahan sekian lama." Lalu ia menghela napas gegetun dan berucap pula, "Jika tidak pura-pura, maka aku harus segera menolong mereka."
Sembari bicara ia pun memakai sepatunya, lalu menjulurkan kakinya ke dalam air. Nyata dia khawatir batu yang berlumut ini terlalu licin, maka sepatunya dibasahi dulu.
Pek-hujin tahu anak muda itu segera akan datang, girang hatinya sungguh sukar dilukiskan. Sebaliknya Thi Peng-koh hampir saja menangis.
Kini dia hampir melupakan Kang Giok-long dan hampir berteriak menyuruh Siau-hi-ji jangan mau tertipu. Pikiran ini bukan lantaran dia lebih berat pada Siau-hi-ji daripada Kang Giok-long, tapi pikiran ini timbul dari hati nurani manusia yang murni, yang timbul hanya pada detik antara mati dan hidup, dalam keadaan itu terkadang hati nurani bisa mengalahkan pikiran kerakusan pribadi.
Cuma sayang, tampaknya Pek-hujin juga cukup memahami perasaannya, dengan tandas ia memperingatkan, "Awas, jangan melupakan kekasihmu itu."
Hati Peng-koh seperti ditusuk satu kali, sekuatnya ia menggigit bibir sendiri hingga kesakitan, meski teriakannya urung disuarakan, namun air mata lantas bercucuran.
Dalam pada itu terdengar Siau-hi-ji lagi berseru, "Jangan khawatir para nona, akan kutolong kalian!" Di tengah teriakannya itu segera tubuhnya melompat ke arah batu raksasa ini.
Melihat gaya lompatan Siau-hi-ji itu tanpa terasa Pek-hujin menjadi rada kecewa.
Kalau melihat cara Siau-hi-ji bersiap-siap hendak melompat Pek-hujin mengira gayanya pasti sangat indah dan gerakan gesit, siapa tahu cara anak muda itu melompat sama sekali tidak indah gayanya, juga gerakannya tidak gesit.
Padahal dengan susah payah ia memasang jaring besar dengan harapan akan dapat menangkap seekor ikan besar, ikan kakap, siapa tahu "ikan" yang menjadi sasarannya ini hanya seekor ikan teri.
Begitulah diam-diam Pek-hujin gegetun, pikirnya, "Orang pintar kebanyakan memang kurang giat berlatih, bilamana tahu Kungfunya cuma begini saja, kuat apa aku bersusah payah membuang tenaga percuma."
Baru terkilas pikirannya itu, "plung", air muncrat ke mana-mana. Lompatan Siau-hi-ji ternyata tidak dapat mencapai batu ini, tetapi jatuh ke dalam sungai.
Terlihat ia mencak-mencak dan kelabakan di dalam air, dengan mati-matian bermaksud memanjat ke atas batu raksasa ini, tapi batu ini terlalu licin, baru saja tangannya meraih, kembali terpeleset jatuh ke bawah lagi.
Menyusul lantas terdengar suara "kruk-kruk beberapa kali, suara orang megap-megap karena kemasukan air, bahkan lantas terdengar teriakannya, "O, mati aku, tolong ... tolong ...."
Sungguh lucu, orang yang mau menolong, sekarang malah berteriak minta tolong.
Pek-hujin menjadi dongkol dan juga geli, tak terpikir olehnya bahwa ilmu silat bocah ini sedemikian rendahnya, juga tidak bisa berenang. Cuma sayang Siauhi-ji jatuh di sebelah sini, kalau tidak Oh Yok-su pasti sudah melemparkan
"ikan" ini ke atas batu.
Kini suara teriakan minta tolong tak terdengar lagi, hanya tampak gelembung air bermunculan ke permukaan air, tampaknya "ikan kecil" ini akan mati tenggelam.
Diam-diam Pek-hujin memaki, "Keparat, jika bukannya aku masih memerlukan kau, mustahil kalau tidak kubiarkan kau mampus kelelep."
Kini Pek-hujin tidak mengkhawatirkan apa pun, selagi dia hendak berbangkit, tapi tekanan air terjun dari atas terlalu keras, padahal tenaganya sudah hampir terkuras habis karena bertahan sekian lama, baru saja ia bangkit duduk, mendadak ia terguyur roboh lagi oleh gerujukan air terjun.
Sementara itu pipa gelagah tadi telah bergeser dari balik batu sana ke sebelah sini. Melihat Oh Yok-su akan menangkap "ikan", maka Pek-hujin bolehlah menghemat tenaga.
Air sungai sangat jernih, Oh Yok-su dapat membuka mata dalam air, dilihatnya
"ikan kecil" itu kini sudah berubah menjadi seekor ayam yang kecemplung ke kolam, tampaknya sekali pegang saja pasti dapat membekuknya.
Di luar dugaan, entah bagaimana, tahu-tahu Siau-hi-ji meronta sekali, seperti ikan mengeliat, tahu-tahu ia menongol lagi ke permukaan air. Jarinya seperti menyelentik perlahan, satu biji benda kecil dengan tepat masuk ke dalam pipa gelagah.
Padahal saat itu Oh Yok-su sedang menyedot hawa segar, mendadak ia merasakan sesuatu benda kecil tersedot masuk melalui pipa gelagah, ketika mengetahui ada yang tidak beres dan ingin memuntahkannya, namun sudah terlambat, lantaran dia harus bernapas dan menyedot hawa segar, tahu-tahu benda kecil itu pun sudah tersedot masuk perutnya.
Malah. secepat kilat Siau-hi-ji juga lantas menarik gelagah yang tergigit di mulut Oh Yok-su itu. Seketika air pun masuk mulut Oh Yok-su. Ia cuma sempat melihat kedua kaki Siau-hi-ji yang terbenam di dalam air dan tidak tahu keadaan di permukaan air. Maka ia tidak tahu sesungguhnya benda apakah yang telah diminumnya itu.
Yang jelas ia merasa benda kecil itu ya asin, ya busuk, ya manis, ya bacin seperti ikan asin. Sungguh ingin muntah rasanya. Tapi apa daya, benda itu sudah masuk perut dan ditambah minum air dua ceguk. Andaikan yang tertelan itu tai anjing juga jangan harap akan dapat dimuntahkannya kembali.
Apa yang dirasakan oleh Oh Yok-su di dalam air sudah tentu tak terlihat oleh Pek-hujin. Dia cuma mendengar suara "krak-kruk" bunyi air, belum lagi dia mengetahui apa yang terjadi, tahu-tahu Siau-hi-ji sudah mencabut pipa gelagah dari mulut Oh Yok-su, menyusul Yong-coan-hiat di telapak kaki Pek-hujin yang terletak di tepi batu juga tertutuk.
Waktu Oh Yok-su melompat keluar dari dalam sungai laksana seekor kodok yang diuber ular, sementara itu Pek-hujin sudah roboh seperti kuda mampus, rebah tak bisa bergerak di atas batu, seperti mimpi saja, sama sekali ia tidak tahu apa yang telah terjadi.
Setelah melompat ke atas batu, Oh Yok-su terus batuk-batuk, dengan jari mengorek mulut sendiri agar memuntahkan sesuatu, tapi sampai air mata dan ingus ikut bercucuran tetap tak dapat menumpahkan apa pun.
Waktu ia menoleh ke sana, entah sejak kapan Siau-hi-ji sudah berada di atas batu tadi dan sedang memandangnya dengan tertawa seakan-akan tidak pernah terjadi apa pun.
Baru sekarang Pek-hujin menyadari bahwa pengail ikan telah berbalik kena dikail ikan. Keruan ia terkejut dan murka pula, dengan suara serak ia berteriak,
"Le ... lekas buka Hiat-toku!"
Sambil kecek-kucek matanya dan terbatuk-batuk Oh Yok-su menjawab, "Hiat
... Hiat-to apa?"
"Yong-coan-hiat," jawab Pek-hujin.
Baru saja Oh Yok-su hendak berjongkok, tiba-tiba Siau-hi-ji berseru di sebelah sana, "Bilamana aku menjadi kau pasti takkan kutolong dia."
Seketika Oh Yok-su menarik kembali tangannya dan bertanya dengan serak,
"Sebab apa?"
"Sekarang masa kau sempat menolong orang lain, mestinya lebih dulu harus berdaya upaya untuk menolong dirimu sendiri," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Seketika wajah Oh Yok-su berubah pucat, tanyanya dengan tergagap, "Barang
... barang apakah tadi itu?"
"Masa kau tak dapat menerkanya?"
"Ap ... apakah racun?"
"Kalau bukan racun, memangnya obat kuat?"
Sekujur badan Oh Yok-su serasa lemah lunglai.
Dengan tertawa Siau-hi-ji lantas berkata pula, "Jika kau menginginkan pertolonganku, paling baik kau berdiam saja di situ dan jangan bergerak
"Jangan percaya dia," tiba-tiba Pek-hujin berseru dengan suara gemetar.
"Paling benar kau buka dulu Hiat-toku, nanti akan kucarikan akal untuk menolongmu."
"Kau akan menolong dia" Haha, memangnya kau tahu racun apa?" tanya Siauhi-ji dengan bergelak tertawa.
"Racun apa pun pasti dapat kutawarkan," ujar Pek-hujin.
"Haha, ucapanmu ini biarpun digunakan menipu anak umur tiga juga takkan dipercaya," ejek Siau-hi-ji.
"Apa pun juga, yang penting buka dulu Hiat-toku, nanti kita paksa dia menyerahkan obat penawarnya," kata Pek-hujin kepada Oh Yok-su.
"Hah, cuma kalian berdua saja biarpun kentutku juga tak dapat kalian keluarkan!" Siau-hi-ji berolok-olok.
Begitulah Siau-hi-ji perang lidah dengan Pek-hujin, sedangkan Oh Yok-su cuma melenggong saja dengan bingung, entah harus menuruti kehendak Pek-hujin atau tunduk kepada perintah Siau-hi-ji.
Thi Peng-koh juga terkesiap dan bergirang menyaksikan kejadian itu, setelah tercengang sekian lama baru tiba-tiba teringat olehnya, "Tunggu kapan lagi kalau sekarang tidak angkat kaki?" segera ia memberosot ke dalam sungai.
Di sebelah sana Pek-hujin sedang mendesak Oh Yok-su, "Ayo, mengapa tidak
... tidak lekas kau kerjakan?"
Oh Yok-su menghela napas, katanya sambil menyengir, "Meski ingin kutolong kau, namun apa pun juga jiwaku lebih penting."
"Dahulu kau pernah bersumpah di depanku bahwa kau tidak sayang mati bagiku, kenapa sekarang kau lupa?" omel Pek-hujin dengan suara gemetar.
"Lain dulu lain sekarang," jawab Oh Yok-su dengan menyesal. "Bilamana seorang lelaki sedang memburu seorang perempuan, siapakah yang tidak pernah main sumpah segala. Apabila sumpah demikian dapat dipercaya, maka lelaki di seluruh dunia ini mungkin sudah mampus semua."
Saking gemasnya Pek-hujin hanya mendelik dan tak sanggup bersuara lagi.
Sebaliknya Siau-hi-ji lantas berkeplok tertawa serunya, "Bagus, bagus! Ucapan ini benar-benar kata-kata mutiara, kata-kata emas, harus dicatat dengan tinta biru, perempuan di seluruh dunia ini harus mendengarkan ucapanmu ini."
Sementara itu Thi Peng-koh telah berenang k arah Siau-hi-ji, baru saja ia lompat ke atas, tiba-tiba teringat tubuhnya dalam keadaan bugil tanpa busana, mana boleh tubuh mulus begitu diperlihatkan kepada orang lain.
Tapi Siau-hi-ji justru melirik ke arahnya, bahkan tersenyum dan memicingkan sebelah mata.
Tentu saja Thi Peng-koh malu dan ingin membenamkan kepala ke dalam air.
Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata kepalanya, "Dalam hatimu sekarang tentu mencaci aku ini bukan seorang Kuncu, sebab mata seorang Kuncu sejati tidak nanti memandang secara melirik, begitu bukan?"
Wajah Thi Peng-koh merah, katanya, "Kau ... kau ...."
"Maksudmu supaya aku berpaling ke sana?" tanya Siau-hi-ji.
Cepat Peng-koh mengiakan.
"Baiklah, aku akan berpaling ke sana," kata Siau-hi-ji. "Tapi ingin kutanya dulu padamu, tadi waktu kau berbaring di sana kan tidak merasa malu, mengapa sekarang tiba-tiba merasa malu?"
"Aku ... aku hanya ...." Thi Peng-koh menjadi gelagapan.
"Ya, kutahu tadi kau hanya ingin menjebak diriku saja, betul tidak" Cuma sayang, yang terjebak justru bukan diriku melainkan orang lain."
Ucapan ini laksana cambuk yang menyakitkan, muka Thi Peng-koh dari merah menjadi pucat, ucapnya dengan suara gemetar, "Ken ... kenapa kau memfitnah aku?"
"Hm, kufitnah kau?" jengek Siau-hi-ji. "Haha, coba jelaskan. Tadi tubuhmu bisa bergerak, mulutmu dapat bicara, kenapa kau tidak berteriak memperingatkan aku agar jangan sampai masuk perangkap."
"Sebab ... sebab aku ... aku ...." Thi Peng-koh tidak mampu bicara lagi, sebab ia merasa memang tidak punya alasan yang kuat. Tanpa terasa air matanya bercucuran pula.
"Kau tidak perlu menangis, aku bukan Hoa Bu-koat, hatiku tidak selemah dia, sekalipun air matamu mengalir seperti air sungai ini juga aku tidak pusing,"
setelah menghela napas, lalu Siau-hi-ji bergumam lagi, "Sungguh aku tidak paham, mengapa ada sementara orang selalu menganggap setiap lelaki yang berbuat salah adalah bangsat bajingan, tapi kalau perempuan berbuat kesalahan yang sama harus diberi maaf."
Sekujur badan Thi Peng-koh tampak menggigil, teriaknya parau, "Tapi aku tidak ... tidak minta maaf padamu, aku ... aku pun takkan memohon padamu
...."
"Bagus, aku pun berharap jangan mohon padaku," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. "Apabila orang lain mengkhianati aku, tak peduli orang itu lelaki atau perempuan, yang jelas aku pasti takkan minta orang lain memaafkan aku."
Sekonyong-konyong ia melotot dan berteriak, "Dan aku masih ingin tanya padamu, mengapa kau mengkhianati aku" Mengapa" Ya, mengapa" ...."
Mendadak Thi Peng-koh meraung-raung, teriaknya dengan parau, "Sebab kau sombong, angkuh, banyak tingkah, hanya memikirkan kepentingan sendiri, kau telur paling busuk di dunia ini. Aku justru berharap dapat menyaksikan kau mampus di tangan orang lain."
Siau-hi-ji melenggong sejenak, tapi ia lantas tertawa dan berkata, "Ah, semakin keras ucapan seorang perempuan, apa yang dikatakan semakin tak dapat dipercaya. Karena kau bicara cara demikian, aku malah menganggap kau tidak sengaja mencelakai aku. Kau pasti mempunyai kesulitan yang sukar diutarakan, bisa jadi aku benar-benar akan memaafkanmu."
Thi Peng-koh jadi melenggong bingung, ia merasa ucapan dan tingkah laku anak muda ini benar-benar sukar dipegang ekornya. Betapa pun sulit menerka apa sebenarnya kehendaknya. Bilamana dia dianggap orang paling busuk di dunia ini, maka mendadak dia akan berubah menjadi sangat menarik.
Begitulah dengan perlahan Siau-hi-ji menyambung pula, "Mungkin sekali lantaran seorang yang sangat akrab denganmu terjatuh di tangan mereka, demi menyelamatkan jiwa orang itu, terpaksa kau mengkhianati diriku." Dia menghela napas gegetun, lalu melanjutkan, "Jika betul demikian, betapa pun tak dapat kusalahkanmu, sebab kutahu, demi orang yang dicintainya, seorang perempuan tidak sayang menjual dirinya sendiri."
Kata-kata Siau-hi-ji ini benar-benar kena betul di lubuk hati Thi Peng-koh, tanpa terasa air matanya bercucuran pula. Tak terduga olehnya bahwa Siau-hi-ji yang menjengkelkan ini ternyata dapat menyelami isi hati orang sedemikian mendalam, sungguh ia ingin menjatuhkan diri ke pangkuan anak muda itu dan menangis sepuasnya untuk mengeluarkan segenap isi hatinya.
Dengan suara halus Siau-hi-ji berkata pula, "Tapi siapakah gerangannya"
Apakah dia berharga mendapatkan pengorbananmu ini?"
Peng-koh menjawab dengan menangis, "Kau ... kau pun kenal dia, tapi tak dapat kusebut namanya."
Meski tak dapat disebut, tapi ucapan Peng-koh itu sama dengan mengatakan segalanya. Bilamana ingin tahu rahasia seorang perempuan, maka teramat mudah diperoleh apabila dia sedang berduka.
Air muka Siau-hi-ji berubah, tapi ia tetap berucap dengan suara lembut, "Yang kau maksudkan apakah Kang Giok-long?"
Sekali ini Thi Peng-koh hanya diam saja. Tapi bungkam sama saja dengan membenarkan secara diam-diam.
Mendadak Siau-hi-ji melonjak gusar, teriaknya, "Bagus, bagus, kiranya kau mengkhianati aku demi anak jadah Kang Giok-long itu. Apakah kau tidak tahu betapa busuknya anak jadah itu, sekalipun kepalanya dipenggal orang seratus kali juga belum cukup untuk melunasi dosanya."
Kembali Thi Peng-koh terkesiap bingung.
"Jika demi orang lain tentu dapat kumaafkan," Siau-hi-ji meraung gusar pula,
"Tapi kau berbuat baginya ...."
Mendadak Thi Peng-koh juga berteriak, "Siap yang minta kau memaafkan diriku" Seumpama dia bukan orang baik-baik, memangnya kau sendiri ini barang baik macam apa?"
Siau-hi-ji melotot sejenak, tiba-tiba ia berkata sambil menghela napas gegetun,
"Ya, sebenarnya tidak dapat menyalahkan kau, mulut anak keparat itu memang manis, jangankan dirimu, sekalipun anak perempuan yang sepuluh kali lebih pintar daripadamu juga akan tertipu olehnya."
Peng-koh berdiri bingung di dalam air dan serba susah.
Tertampak Siau-hi-ji berubah menjadi ramah tamah, dengan tertawa ia berbangkit dan berkata kepada Oh Yok-su, "Bagus, kau memang pintar, sejak tadi tidak sembarangan bergerak, cuma lelaki pintar seperti kau ini justru punya bini yang suka bugil, betapa pun rasanya kurang pantas."
"Dia bukan biniku," kata Oh Yok-su.
"O," Siau-hi-ji melenggong, segera ia tertawa dan berkata, "Ah, bagus, bagus, jika demikian, tampaknya kau terlebih pintar daripada perkiraanku semula.
Cuma perempuan seperti dia bila tidak punya lelaki mustahil kalau tidak menjadi gila. Di manakah lakinya?" Biji matanya berputar, segera ia menyambung pula dengan tertawa, "Aha, tahulah aku, lakinya tentu sedang mengawasi Kang Giok-long, betul tidak?"
"Ya, memang begitu," terpaksa Oh Yok-su membenarkan.
Mendadak Siau-hi-ji melompat ke batu raksasa itu, sekali ini dia hanya melayang enteng saja lantas hinggap di atas batu dengan tegaknya, tidak mungkin kecemplung lagi ke sungai.
Tentu saja Pek-hujin sangat mendongkol, ia menggigit bibir dengan geregetan sehingga bibir pun berdarah.
Siau-hi-ji memandangnya dengan tertawa, katanya, "Nenek semacam kau ternyata lumayan juga. Tapi katanya kau sudah punya laki dan mustahil tiada punya gendak pula, lalu untuk apa lagi kau mengincar diriku?"
"Engkau kan orang paling pintar, masa tak dapat menerkanya?" ucap Pek-hujin.
Tanpa pikir Siau-hi-ji lantas menjawab, "Ya, sudah tentu lantaran usaha kalian telah mengalami kegagalan. Kalian telah menculik Hoa Bu-koat, tapi dia tidak mau menceritakan rahasia Ih-hoa-ciap-giok, maka sasaran lantas terarah kepadaku. Sebab di antara kalian bertiga pasti ada yang mengintip ketika So Ing kebingungan melayani diriku. Maka kalian ingin memperalat diriku untuk memeras So Ing agar dia menguraikan apa yang tidak dapat kalian peroleh dari Hoa Bu-koat itu."
Belum habis ucapannya, Pek-hujin lantas melenggong. Meski tadi ia suruh anak muda itu menerkanya, tapi sama sekali tak terduga olehnya bahwa Siauhi-ji yang sialan ini benar-benar dapat menerkanya dengan jitu.
"Nah, sekarang kau mengaku kalah tidak?" seru Siau-hi-ji dengan tertawa.
"sekarang kau harus tahu, barang siapa berani memusuhi aku, maka dia pasti akan telan pil pahit."
Pek-hujin benar-benar mati kutu dan tidak dapat bersuara lagi.
"Sebenarnya," demikian Siau-hi-ji menyambung pula, "Seumpama kau hendak menjebak aku, mestinya juga tidak perlu telanjang bulat begini untuk menyiksa dirinya sendiri. Kukira kau memang punya penyakit jiwa dan suka orang lain menonton tubuhmu yang bugil ini. Seperti halnya ada sementara lelaki gila yang punya hobi suka kencing di hadapan perempuan. Mungkin penyakit mereka itu serupa dengan penyakitmu yang suka bugil ini. Penyakit ini namanya "penyakit suka pamer"."
Sampai gemetar bibir Pek-hujin saking gemasnya, ia tak tahan lagi, ia lantas mencaci maki, semua kata-kata kotor di dunia ini hampir seluruhnya dilontarkan ke alamat Siau-hi-ji.
Akan tetapi Siau-hi-ji anggap saja seperti tidak mendengar, bahkan tidak memandangnya barang sekejap.
Di sebelah sana Thi Peng-koh masih berendam di dalam air, ia tidak berani keluar dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, padahal air sungai sangat dingin, mukanya sudah pucat dan bibir pun gemetar, ia menjadi gemas, dongkol, ia bermaksud menumbukkan kepalanya pada batu karang untuk membunuh diri saja.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Siau-hi-ji berteriak kepada Oh Yok-su, "He, tahukah kau nona Thi itu ada sangkut-pautnya apa denganku?"
"Ti ... tidak tahu," jawab Oh Yok-su.
"Dia adalah penolong jiwaku, juga sahabatku yang baik, tapi sekarang dia terendam di dalam air dan tidak berani keluar. Coba bayangkan, hatiku serba susah tidak?"
Bahwasanya anak muda itu tiba-tiba berucap demikian, Thi Peng-koh menjadi bingung, girang dan heran pula.
Dengan tergagap-gagap Oh Yok-su menjawab. "Kukira ... kukira Tuan tentu merasa susah."
"Keparat!" damprat Siau-hi-ji dengan gusar. "Jika kau tahu hatiku susah, mengapa tidak lekas tanggalkan bajumu dan diberikan padanya."
Dengan menyengir Oh Yok-su berucap, "Lantas ... lantas bagaimana dengan diriku?"
"Jika kau sudah mampus apakah perlu pikirkan baju segala?" damprat Siau-hi-ji dengan melotot. "Orang hidup dengan telanjang kan lebih mendingan daripada mayat yang berpakaian, betul tidak?"
Oh Yok-su tidak membantah lagi, terpaksa ia membuka baju luarnya dan dilemparkan kepada Thi Peng-koh.
Setelah menerima baju itu, Thi Peng-koh menjadi bingung lagi, entah harus dipakainya segera atau tidak memakainya"
Terdengar Siau-hi-ji sedang berseru pula, "Bilamana nona sedang berpakaian, jika kau berani mengintipnya, akan kucungkil biji matamu, tahu?"
Dongkol dan geli pula Oh Yok-su, katanya di dalam hati, "Memangnya tadi belum kenyang kulihat tubuhnya" Sekarang biarpun kau suruh aku memandangnya lagi juga hasratku sudah lenyap."
Didengarnya Siau-hi-ji berseru pula dengan tertawa, "Ya, memang aku pun tahu kau takkan mengintipnya, apabila di dalam perut seorang sudah terisi satu biji racun, biarpun seratus perempuan cantik buka baju serentak di depannya juga tiada hasratnya buat menikmatinya lagi."
Akhirnya Thi Peng-koh memakai baju itu, katanya kepada dirinya sendiri,
"Seumpama harus mati juga perlu berpakaian rapi."
Tapi setelah berpakaian, tiba-tiba teringat olehnya akan Kang Giok-long, terkenang banyak kejadian yang telah lalu, tiba-tiba ia merasa dirinya tidak perlu mesti mati.
Sorot mata Siau-hi-ji memancarkan rasa senang, ia mafhum betapa bedanya perasaan seorang dalam keadaan bugil dan setelah berpakaian. Dengan mengulum senyum ia bergumam, "Entahlah dia sudah selesai berpakaian atau belum?"
Tanpa terasa Oh Yok-su menanggapi, "Sudah selesai!"
Mendadak Siau-hi-ji mendamprat dengan gusar, "Kurang ajar! Nyatanya kau tetap mengintipnya!"
"O, ti ... tidak," cepat Oh Yok-su menyangkal.
"Jika tidak mengintip, mengapa kau tahu dia sudah selesai berpakaian?"
"Aku ... Cayhe ...." Oh Yok-su gelagapan.
Siau-hi-ji terbahak-bahak, katanya, "Sebenarnya sejak tadi apa pun sudah kenyang kau lihat, biarpun sekarang kau mengintipnya sekejap juga bukan soal lagi. Kau tidak perlu takut."
Oh Yok-su memandang Siau-hi-ji dengan terbelalak, dengan penuh rasa pahit dan getir.
Ilmu silatnya tidak rendah, otaknya juga tidak bebal, malahan dia suka anggap dirinya sangat pintar, ia yakin tidak banyak orang Bu-lim yang mampu menandingi kecerdasannya, siapa tahu sekarang dia benar-benar mati kutu dipermainkan seorang anak remaja, sungguh ia sangat mendongkol dan geregetan, ingin dia mengadu jiwa saja dengan Siau-hi-ji Berkilau sorot mata Siau-hi-ji, tiba-tiba ia tepuk-tepuk pundak Oh Yok-su dan berkata pula dengan tertawa, "Kau jangan sedih, hanya orang tolol yang tidak sayang pada jiwa sendiri. Agar aku mau menyelamatkan jiwamu kau rela tunduk padaku, di sinilah letak kecerdikanmu, orang lain pasti takkan menertawakan kau, bahkan aku kagum padamu. Seorang lelaki sejati harus dapat melihat gelagat dan membedakan arah angin, dengan demikian barulah jiwanya bisa selamat dan hidup panjang umur."
Oh Yok-su menghela napas, perlahan-lahan ia merasakan pula segi kehebatannya sendiri, ia pikir dirinya mampu mengikuti keadaan untuk mencari selamat, justru inilah yang sukar ditiru orang lain, apanya yang memalukan"
Karena pikiran ini, niatnya hendak mengadu jiwa dengan Siau-hi-ji tadi lantas terbang entah ke mana.
Siau-hi-ji tampak tertawa gembira, katanya pula, "Sekarang, asalkan kau berbuat sesuatu pula bagiku, segera akan kuberikan obat penawarnya."
"Sekalipun Cayhe tidak percaya obat penawarnya akan kau berikan semudah ini, betapa pun urusan ini kan harus kukerjakan juga, begitu bukan?" kata Oh Yok-su dengan menyengir.
"Ya, kau benar-benar pintar," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Jika begitu, ingin kutahu apa kehendakmu?" jawab Oh Yok-su.
"Bawa aku pergi mencari lakinya," kata Siau-hi-ji sambil melirik Pek-hujin.
Teringat pada Hoa Bu-koat yang masih berada dalam cengkeraman Pek San-kun, dengan alat pemeras itu bukan mustahil Siau-hi-ji akan dapat dipaksa menyerahkan obat penawarnya. Berpikir demikian, seketika sorot matanya menjadi terang, cepat ia menjawab, "Baiklah, kuturut, kuturut perintahmu."
"Bagus, ayo berangkat sekarang," kata Siau-hi-ji.
Oh Yok-su memandang Pek-hujin sekejap, ucapnya, "Dan dia, bagaimana?"
"Dia suka mandi dengan telanjang bulat, maka biarkan saja dia mandi sepuas-puasnya di sini," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Tidak lama kemudian, rumah batu itu sudah kelihatan dari kejauhan. Angin mendesir, tapi di dalam rumah itu sunyi senyap, tiada terdengar suara apa pun.
Mendadak Siau-hi-ji bertindak, ia telikung tangan Oh Yok-su dan bertanya dengan suara tertahan, "Apakah mereka berada di dalam rumah?"
Oh Yok-su mengiakan.
Siau-hi-ji berkerut kening, katanya, "Tiga orang hidup di dalam rumah, mengapa tiada suara sedikit pun."
"Biar kumasuk dulu memeriksanya," seru Peng-koh.
Tapi cepat tangan Siau-hi-ji yang lain telah menarik nona itu, katanya dengan mendongkol, "Sudah sampai di sini, untuk apa kau terburu-buru."
Peng-koh menoleh dan berkata dengan terputus-putus, "Jika ... jika engkau mengingat kebaikanku pada ... padamu, kumohon engkau jangan membunuh dia."
Siau-hi-ji melotot dan menjawab, "Tidak membunuh dia" Memangnya supaya dia mencelakai orang lebih banyak lagi?"
Peng-koh menunduk, air matanya lantas bercucuran.
Siau-hi-ji menghela napas, katanya sambil menggeleng, "Tahukah bahwa semakin cepat bocah itu mampus akan semakin baik bagimu, kalau tidak tamatlah hidupmu ini."
Dengan menangis Thi Peng-koh menjawab, "Hidupku ini memang sudah lama tamat. Bilamana dia kau bunuh, lebih-lebih aku tidak sanggup hidup lagi."
Siau-hi-ji terdiam sejenak, ucapnya kemudian dengan gemas, "Tampaknya kau sudah terlalu mendalam tertipu olehnya. Tapi sudah sejak mula kukatakan padamu bahwa diriku ini bukan seorang Kuncu segala, apabila kau mengharapkan balas budi dariku, maka salahlah perhitunganmu."
Dengan rawan Peng-koh berkata, "Meski kau bicara dengan garang, tapi kutahu hatimu tidaklah demikian, engkau ... engkau takkan membunuh dia, bukan?"
Siau-hi-ji tambah mendongkol, mendadak ia mengentakkan tubuh Oh Yok-su dan membentak bengis, "Suruh mereka keluar, tahu tidak?"
Oh Yok-su berdehem dulu, lalu berteriak, "Pek-toako, Siaute sudah kembali, keluarlah engkau,"
Namun cuma gema suara yang berkumandang di kejauhan, rumah itu sunyi tiada sesuatu jawaban.
"Apakah si jahanam she Pek itu orang tuli?" omel Siau-hi-ji. Setelah berpikir, ia pun berteriak, "Orang she Pek, binimu yang molek itu sudah jatuh dalam tanganku, jika kau tidak lekas keluar, biarlah kujual saja binimu itu."
Tetap sunyi keadaan rumah itu tanpa jawaban.
Semakin rapat kening Siau-hi-ji berkerut, ucapnya, "Apa barangkali keparat ini menyadari bininya sudah terlalu sering menyeleweng, maka kini dia tidak mau lagi bininya yang sialan itu."
Gemerdep sinar mata Oh Yok-su, tiba-tiba ia berkata, "Bagaimana kalau Cayhe melihatnya ke dalam sana?"
Siau-hi-ji berpikir sejenak, lalu menjawab, "Baik, jalanlah di muka, jangan terlalu cepat, kalau berani sembarangan bergerak, segera kupuntir putus tanganmu."
Oh Yok-su menghela napas, lalu melangkah maju perlahan, setiba di depan pintu, tertampaklah Kang Giok-long meringkuk sendirian di pojok sana dan sedang menggigil sekujur badannya. Sedangkan Pek San-kun dan Hoa Bu-koat tidak kelihatan lagi.
Kejut dan heran Oh Yok-su serta Thi Peng-koh. Tapi Siau-hi-ji lantas naik pitam demi nampak Kang Giok-long, urusan lain tak sempat terpikir lagi.
Dengan sendirinya Kang Giok-long melihat kedatangan mereka ini, cepat ia menyapa, "Aha kiranya Engkoh Hi yang datang, sudah lama kita tak bersua ...."
Tapi Siau-hi-ji lantas mendamprat, "Siapa mengakui kau binatang cilik ini sebagai saudara?"
"Ah, janganlah Hi-heng lupa, jelek-jelek Siaute kan pernah sehidup semati bersamamu dalam perantauan yang banyak suka dukanya itu."
"Ya, cuma sayang waktu itu kau tidak mati kelelep dalam jamban, kalau tidak masakah Yan-tayhiap bisa tewas di tanganmu?" damprat Siau-hi-ji gusar.
Habis bicara ia terus menubruk maju, kepalan lantas menghujani tubuh Giok-long.
Kang Giok-long tiada tenaga sedikit pun buat melawan, saking kesakitan ia berteriak-teriak, "Ampun Hi-heng, ampun! Siaute sedang sakit parah, tidak tahan pukul lagi!"
"Jika takut dipukul, mengapa tidak mengurangi perbuatanmu yang terkutuk itu?" bentak Siau-hi-ji murka sambil menjotos lebih keras.
Thi Peng-koh hanya meneteskan air mata saja dan tidak berani melerai.
Terdengar Kang Giok-long berteriak dengan parau, "Jika berani bolehlah kau tunggu setelah sakitku sembuh baru kita mengadakan pertarungan menentukan, sekarang kau menyatroni seorang sakit, memangnya Enghiong (ksatria) macam apa kau ini?"
"Siapa bilang aku ini Enghiong?" jengek Siau-hi-ji, "Jika aku ini Enghiong, mungkin sudah lama kumati dikerjai olehmu."
Meski pukulan Siau-hi-ji itu tidak menggunakan tenaga murni, tapi sudah cukup membuat Kang Giok-long babak belur, hidung matang biru dan mata bengkak, namun jotosannya masih terus menghujaninya.
Thi Peng-koh melengos ke sana karena tidak tega menyaksikan kekasihnya dihajar sedemikian rupa, tapi ia pun tahu tiada maksud Siau-hi-ji untuk membunuh Kang Giok-long, kalau tidak, cukup sekali dua pukulan saja sudah pasti akan membinasakan Giok-long. Karena itu, meski rasa pedih perasaannya, tapi diam-diam juga rada bergirang.
Terdengar Giok-long berteriak, "Peng-ji, kenapa, tidak kau lerai dia" Kau pernah menyelamatkan jiwanya, dia pasti akan menurut padamu, masa ...
masa kau tega menyaksikan aku dipukul mati cara begini?"
Peng-koh menjadi serba susah, pikirnya, "Bukannya aku tidak mau menolongmu, yang kuharap setelah pelajaran ini dapatlah kau perbaiki kelakuanmu, asalkan kau mau sadar, biarpun aku harus mati bagimu juga aku rela."
Tapi mendadak Kang Giok-long bergelak tertawa latah malah, teriaknya,
"Baiklah, jika memang jantan kau, ayo pukul mati aku, bilamana aku berkerut kening bukanlah seorang laki-laki."
"Huh, kau masih sok laki-laki segala" Baik biar kupukul lebih keras," seru Siauhi-ji.
Tapi Kang Giok-long lantas bergelak tertawa, katanya, "Cuma, kalau betul kau memukul mati aku, maka selama hidupmu ini pun jangan harap akan dapat bertemu pula dengan Hoa Bu-koat."
Seketika kepalan Siau-hi-ji berhenti di udara baru sekarang teringat olehnya bahwa Pek San-kun dan Hoa Bu-koat yang dicarinya itu seharusnya juga berada di rumah ini.
Keadaan Kang Giok-long sudah kempas-kempis, tapi dia masih tertawa dan berteriak, "Ayolah pukul ... kenapa tidak pukul lagi?"
Tapi Siau-hi-ji lantas menyeretnya bangun dan membentak bengis, "Di mana Hoa Bu-koat?"
"Kau ingin melihatnya?" jawab Kang Giok-long.
"Kau mau mengaku tidak?" Siau-hi-ji meraung.
"Jika kau ingin melihatnya, sepantasnya kau bersikap hormat dan memohon padaku ...."
Kontan Siau-hi-ji menjotos pula dan mendamprat, "Anak jadah, mohon apa katamu?"
"Baik, pukul saja," jengek Giok-long. "Yang pasti kepalan takkan mendapatkan keterangan apa pun. Umpama kau jadi aku, memangnya kau mau mengaku hanya karena dijotos begini" Bilamana sudah kukatakan, mustahil kau tidak akan memukulku lebih kejam lagi."
Berputar bola mata Siau-hi-ji, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, "Kupukul kau"
.... Ah, bilakah pernah kupukul kau?" Lalu dia malah memayang bangun Kang Giok-long dan mengebutkan debu kotoran bajunya. Katanya pula dengan tertawa, "Selamat bertemu pula, Kang-heng. Baik-baikkah selama ini?"
Giok-long tertawa terkekeh-kekeh, jawabnya, "Baik, cukup baik, cuma tadi seekor anjing gila telah menggigitku beberapa kali."
Siau-hi-ji juga bergelak tertawa, katanya, "Anjing gila hanya menggigit anjing gila, kalau Kang-heng tidak gila, juga bukan anjing, dari mana ada anjing gila yang menggigit kau?"
"O, jika begitu mungkin aku yang salah lihat," ujar Giok-long dengan terbahak.
"Mungkin Kang-heng teramat merindukan diriku, kau menangis hingga matamu bengkak, makanya pandanganmu rada kabur."
"Betul, senantiasa kupikirkan keadaan Hi-heng, sering khawatir jangan-jangan kakak Hi terhinggap penyakit ayan atau mengidap sakit ambein, sungguh hatiku sedih apabila terkenang padamu."
"Siaute malah mengira Kang-heng yang sehat walafiat ini pasti takkan terhinggap penyakit apa pun, tapi tadi kulihat Kang-heng berkulai di pojok sana dalam keadaan kelojotan, apakah bukan Kang-heng yang mengidap penyakit ayan?"
Gayung bersambut, kata berjawab. Begitulah kedua orang saling berolok-olok dengan tajam seakan-akan sedang melawak.
Menyaksikan perang lidah itu, Oh Yok-su merasa geli dan juga gegetun, pikirnya, "Pemeo yang mengatakan gelombang laut dari belakang mendorong ke depan tampaknya memang tepat. Di kalangan Kangouw dahulu meski juga banyak tokoh-tokoh lihai yang licik dan licin, tapi kalau dibandingkan kedua anak muda ini sungguh masih selisih jauh."
Diam-diam ia pun heran entah ke mana perginya Pek San-kun dan Hoa Bu-koat. Apabila Pek San-kun membawa pergi Hoa Bu-koat, mengapa Kang Giok-long ditinggalkan sendirian di sini"
Didengarnya Siau-hi-ji sedang berkata pula, "Kang-heng duduk sendirian di pegunungan sunyi ini, apakah tidak takut kedatangan setan pencabut nyawa yang akan menagih janji padamu?"
Dengan tertawa Giok-long menjawab, "Untuk ini kiranya Hi-heng tidak perlu ikut risau, beberapa hari terakhir ini saku Siaute sedang seret, bilamana ada arwah gentayangan berani merecoki diriku, kebetulan akan dapat kujual dia untuk membeli arak .... Apalagi, sebenarnya tadi Siaute juga tidak sendirian."
Kalimatnya yang terakhir ini barulah mulai memasuki pokok persoalannya. Tapi Siau-hi-ji sengaja berlagak tidak paham dan bertanya, "O, memangnya siapakah yang menemanimu di sini"
Dengan terkekeh Giok-long menjawab, "Seorang di antaranya seperti she Hoa, rasanya Hi-heng kenal dia."
"O, Hoa Bu-koat maksudmu?"
"Ya, betul dia," seru Giok-long tertawa.
"Kebetulan memang hendak kucari dia untuk suatu urusan, entah berada di mana dia sekarang?"
"Kutahu, dia dan kakak Hi ada sedikit persoalan, khawatir dia akan mencari perkara lagi padamu, maka ada niatku hendak membantu Hi-heng untuk membinasakan dia."
"Haha, bilamana Kang-heng benar-benar membunuh dia, Siaute jadi hemat tenaga juga ...." ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. "Betapa pun membunuhnya kan lebih mudah daripada menanyai keterangannya, betul tidak?"
Giok-long juga tertawa, katanya, "Tapi kemudian Siaute berpikir pula, jangan jangan Hi-heng ingin membunuhnya dengan tangan sendiri, lalu bantuanku bukankah salah alamat" Sebab itulah hanya kuberinya minum sedikit obat bius saja."
"Apakah ... apakah Pek San-kun juga terkena obat biusmu?" saking ingin tahu Oh Yok-su menimbrung.
Giok-long tidak langsung menjawab, hanya bergumam dengan tertawa, "Yang diminumnya juga tidak terlalu banyak, kira-kira tiga atau lima hari lagi tentu akan siuman."
Seorang kalau benar-benar terbius selama tiga sampai lima hari, andai kata siuman nanti mungkin juga akan berubah menjadi linglung.
Mata Siau-hi-ji mengerling, tiba-tiba ia bergelak tertawa, segera Kang Giok-long ikut tertawa, keduanya sama-sama tertawa keras, terpingkal-pingkal sehingga air mata pun meleleh.
Thi Peng-koh dan Oh Yok-su saling pandang dengan bingung karena tidak tahu apa yang ditertawakan kedua orang itu.
"Lucu, sungguh lucu, hampir pecah perutku saking gelinya!" kata Siau-hi-ji sambil memegangi perutnya yang mulas dan masih terbahak-bahak.
Dengan bergelak tertawa Kang Giok-long juga berkata, "Hahaha, Pek San-kun yang gagah perkasa dan Hoa-kongcu yang lihai itu dapat kubius dengan sedikit bubuk warna putih, kejadian ini sungguh amat menggelikan."
"Yang kutertawakan bukan hal ini," ujar Siau-hi-ji sambil menggeleng.
"Habis apa yang menggelikan Hi-heng?" tanya Giok-long.
Mendadak Siau-hi-ji tidak tertawa lagi, ia melototi Kang Giok-long dan berkata,
"Keadaan Kang-heng tampaknya sangat payah, andaikan belum mati sekarang, rasanya juga tak tahan lama lagi, tapi kau mampu memanggul seorang lelaki kekar dan menyembunyikannya, bukankah ini lelucon yang paling mustahil di dunia ini?"
Tergerak hati Oh Yok-su, pikirnya, "Ya, betul juga, tentu di balik ini pasti ada muslihat tertentu. Agaknya bukan urusan mudah apabila orang ingin menipu
"ikan kecil" ini."
Namun sikap Kang Giok-long tetap tenang-tenang saja, ucapnya dengan perlahan, "Apabila mereka tidak terbius olehku, lalu ke mana perginya mereka"
Memangnya Pek San-kun akan mengajak Hoa-kongcu pergi pesiar" Apakah ini bukan lelucon yang lebih besar?"
"Betul, seumpama mereka hendak pesiar juga pasti akan membawa serta kau,"
jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Orang yang menyenangkan seperti dirimu ini mana tega ditinggal pergi begini saja."
"Ya, memang begitulah," kata Giok-long dengan tertawa tanpa kikuk sedikit pun.
Kembali Siau-hi-ji melototi Kang Giok-long dan berkata, "Tapi kalau mendadak Hoa-kongcu tinggal pergi, bukankah orang she Pek itu akan mengejarnya?"
"Sudah tentu akan mengejarnya," jawab Giok-long.
"Nah, umpama dia merasa berat meninggalkan kau, tapi demi mengejar Hoa Bu-koat terpaksa juga ia kesampingkan dirimu," kata Siau-hi-ji.
"Hahahaha!" tiba-tiba Kang Giok-long tertawa. "Daya khayal Hi-heng sungguh sangat hebat, cuma sayang Hoa-kongcu itu ...."
"Hoa-kongcu kenapa?" sela Siau-hi-ji, ia benar benar rada cemas.
"Kenapa Hi-heng tidak tanya saja pada Oh-siansing ini," ujar Giok-long dengan acuh. "Coba tanyakan apakah Hoa-kongcu masih dapat berjalan atau tidak?"
Segera sorot mata Siau-hi-ji menatap ke arah Oh Yok-su, katanya, "Baik, coba katakan."
Oh Yok-su menghela napas, tuturnya, "Ya, bukan saja Hiat-to Hoa-kongcu tertutuk, bahkan dia seperti mengalami guncangan jiwa sehingga kehilangan ingatan, mungkin ... mungkin dia tidak sanggup jalan sendiri."
Siau-hi-ji termenung, dengan jari ia ketuk-ketuk dahi sendiri, setelah berpuluh kali mengetuk dahi, kemudian tersembul pula senyumannya dan berkata,
"Wah, jika demikian, jadi mereka benar-benar terbius olehmu?"
"Mungkin memang betul," kata Giok-long dengan terkekeh-kekeh.
"Dan setelah mereka roboh, lalu kau memanggul mereka keluar?" tanya Siauhi-ji sambil berkedip-kedip.
"Penyakitku ini terkadang sembuh dan terkadang kumat lagi, bilamana kumat, jangankan memanggul orang, dipanggul orang pun rasanya tidak tahan. Tapi kalau tidak kumat, untuk memanggul seorang saja bukan soal bagiku."
Siau-hi-ji lantas melirik ke arah Oh Yok-su, dilihatnya Oh Yok-su mengangguk-angguk.
"Nah, apa yang kukatakan tidak dusta bukan?" ucap Kang Giok-long.
"Ya, tidak dusta, memang tidak dusta," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Tapi setelah kau memanggul pergi kedua orang itu, mengapa kau kembali lagi ke sini" Apakah badanmu terasa gatal sehingga perlu menunggu di sini agar dipukuli orang?"
Kang Giok-long tetap tenang-tenang saja dan juga tidak marah, katanya dengan tertawa, "Peng-ji kan masih berada di tangan mereka, mana boleh kutinggal pergi" Seumpama kutahu Hi-heng akan datang dan bakal mencincang tubuhku juga tetap akan kutunggu di sini untuk bertemu sekali lagi dengan Peng-ji."
Siau-hi-ji mencibir, ucapnya dengan tertawa, "Wah, sejak kapan Kang Giok-long telah berubah menjadi orang yang penuh kasih sayang, lucu sungguh lucu
...."
Thi Peng-koh menjadi terharu dan tidak tahan lagi, ia menubruk ke bawah kaki Kang Giok-long dan menangis tersedu-sedan.
Siau-hi-ji menghela napas, gumamnya, "Budak bodoh, apabila bocah ini bilang kentutnya harum, apakah kau pun percaya padanya?"
Betapa pun Siau-hi-ji adalah lelaki yang tidak memahami perasaan seorang perempuan, apalagi gadis remaja seperti Thi Peng-koh. Apabila seorang gadis sudah terpikat oleh lelaki, sekalipun dia tahu lelaki itu telah menipunya juga tetap akan percaya padanya.
Terdengar Thi Peng-koh berkata dan menangis, "Apakah parah penyakitmu"
Sakit tidak?"
Perlahan Giok-long membelai rambut Peng-koh, ucapnya dengan suara lembut, "Sekalipun sakit, apabila melihatmu lantas tidak terasa sakit lagi."
"Akan tetapi aku ... aku "."
"Kutahu kau pasti tidak sengaja menyaksikan aku dipukuli orang, kau tentu mempunyai kesulitannya sendiri, sama sekali aku tidak menyalahkanmu, maka kau tidak perlu sedih."
Sekonyong-konyong Siau-hi-ji berteriak, "Sudah, sudahlah, aku jadi merinding mendengarkan rayuanmu yang berbau gombal ini, sudah tamat belum sandiwara permainanmu ini?"
"Memangnya Hi-heng ada pesan apa?" ucap Giok-long.
Siau-hi-ji menghela napas, katanya sambil menyengir, "Sekarang kau yang pegang barangnya, kau juragannya, maka silakan kau yang buka harga."
Dengan kalem Giok-long berkata, "Apakah Hi-heng tahu penyakitku ini berasal dari mana?"
Berputar mata bola Siau-hi-ji, katanya, "Jangan-jangan So Ing ...."
"Betul," tukas Giok-long. "Penyakitku ini memang berkat hadiah nona So ....
Bukankah Hi-heng mempunyai hubungan baik dengan nona So Ing itu?"
"Jika aku tidak kenal dia, mana bisa timbul kesulitan sebanyak ini," ucap Siauhi-ji dengan gegetun.
"Ini pun bukan kesulitan," kata Giok-long. "Asalkan Hi-heng mencari nona So agar menyembuhkan penyakitku ini, maka Siaute akan segera juga mengundang Hoa-kongcu kemari untuk mengobati penyakitnya."
"Tapi kalau So Ing tidak mau, lalu bagaimana?"
"Perempuan mana di dunia ini yang sanggup menolak permintaan Hi-heng?"
Siau-hi-ji menghela napas panjang, gumamnya, "Perempuan, o, perempuan ....
Apabila tiada seorang perempuan yang kukenal, maka hidupku pasti bahagia seperti di surga."
"Jadi Hi-heng sudah terima?" tanya Giok-long dengan tersenyum.
"Baik, ayolah berangkat," jawab Siau-hi-ji.
"Siaute juga mesti ikut pergi?" tanya Giok-long.
"Ya, soalnya aku pun merasa berat meninggalkanmu sendirian di sini."
"Kukira kepergian ini tidak diperlukan lagi," tiba-tiba Oh Yok-su menyela.
"Sebab apa?" tanya Siau-hi-ji.
"Sebab nona So itu segera akan datang kemari," tutur Oh Yok-su perlahan.
Giok-long juga melengak, tanyanya, "Dari mana kau tahu dia akan datang ke sini?"
"Seperti halnya nona Thi ini denganmu, nona So juga ... juga sangat mendalam cintanya kepada Hi ... Hi-kongcu," tutur Oh Yok-su dengan tertawa. "Ketika Siau-hi-kongcu meninggalkan tempatnya, segera pula dia ikut keluar."
"Haha, daya tarik Hi-heng sungguh luar biasa," seru Giok-long sambil berkeplok tertawa. Lalu dia berkerut kening pula dan berkata, "Tapi sekalipun nona So ikut keluar mencari Hi-heng, belum tentu dia akan mencari ke sini."
"Untuk ini kau tidak perlu khawatir, dia pasti akan mencari kemari," kata Oh Yok-su dengan tersenyum.
Giok-long berpikir sejenak, katanya kemudian, "Betul juga, karena kalian berniat menggunakan Hi-heng untuk memerasnya, maka sepanjang jalan kalian sengaja meninggalkan jejak agar dia dapat menyusul ke sini."
"Jika begitu, bolehlah kita menunggunya di sini," ucap Siau-hi-ji dengan menghela napas.
Giok-long memandang cuaca di luar, katanya kemudian, "Semoga di tengah jalan dia tidak kepergok siapa-siapa ...."
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Dalam pada itu Pek-hujin yang ditinggalkan berendam di sungai itu sedang berusaha melepaskan Hiat-to yang tertutuk, sedikit demi sedikit ia bergeser ke bawah air terjun, setelah berusaha sekian lamanya, berkat daya gerujuk air terjun yang tepat mengenai Hiat-to di telapak kaki, akhirnya terbukalah Yong-coan-hiat yang tertutuk itu.
Namun sekarang dia sudah hampir kehabisan tenaga, untuk melompat dari batu sini ke batu yang lain pun terasa susah.
Apabila memberosot lagi ke dalam air dan berenang ke sana, jangan-jangan akan terhanyut oleh arus air yang cukup deras dan akibatnya pasti akan mati kelelap.
Sekuatnya ia menegakkan badannya dengan bingung, selagi celingukan kian kemari mencari akal, tiba-tiba diketahuinya di balik semak-semak sana sepasang mata sedang mengintip bagian dadanya.
Muka orang itu penuh lumpur, entah sudah berapa lama tidak pernah cuci muka, namun sepasang matanya tampak besar lagi terang, seperti sangat tertarik oleh tubuh Pek-hujin yang bugil ini.
Mendadak Pek-hujin sengaja bergaya malah dan membusungkan dadanya sehingga semakin menonjol. Ucapnya dengan tertawa genit, "Anak muda, memangnya kau tak pernah melihat perempuan mandi?"
Orang ini seperti terkesima, dengan bingung ia menggeleng.
Dengan tertawa Pek-hujin lantas mengomel, "Asalkan kau tidak takut matamu bakal timbilan silakan keluar saja dan menonton dengan blak-blakan. Ai, kasihan, sudah sebesar ini, masa perempuan mandi saja tidak pernah lihat, kan sia-sia saja hidupmu ini."
Sekonyong-konyong orang itu tertawa, "Tidak perlu takut engkau, aku ... aku pun perempuan." Sembari bicara orangnya lantas berdiri dari balik semak-semak.
Terlihat pakaiannya sangat kotor lagi koyak-koyak, akan tetapi tidak mengurangi garis tubuhnya yang memesona.
Pek-hujin jadi melengak malah, bahkan dia seperti rada-rada kecewa.
"Aku benar-benar seorang perempuan, masa kau tak dapat membedakannya?"
kata pula orang itu.
Pek-hujin menghela napas, ia tatap pinggang orang yang ramping dengan dadanya yang montok serta kedua kakinya yang jenjang. Ucapnya dengan gegetun, "Ya, dengan sendirinya kau adalah perempuan ... sekalipun orang buta juga pasti tahu."
Muka gadis itu menjadi merah malah, merah yang menggiurkan. Nyata gadis ini sekali-kali tidak jelek, bahkan tampaknya sangat cantik.
Pek-hujin masih terus menatapnya lekat-lekat, dengan tersenyum ia coba memancingnya, "Melihat keadaan nona, jangan-jangan baru saja menempuh perjalanan jauh?"
"Ehm," gadis itu bersuara singkat sambil menunduk.
"Pegunungan ini tiada sesuatu pun yang menarik, untuk apakah jauh-jauh nona datang ke sini?"
Tiba-tiba wajah si gadis menampilkan perasaan sedih, setelah termangu-mangu, lalu menjawab dengan muram, "Aku ... aku mencari orang."
Tergerak hati Pek-hujin, tanyanya, "Penduduk di lereng sini hampir seluruhnya kukenal, entah siapakah yang dicari nona?"
Gadis itu menunduk, katanya dengan menghela napas, "Kau pasti tidak kenal dia, ia pun tidak pasti berada di sini."
Apa pun juga, seorang gadis berani mencari orang ke pegunungan yang terpencil dan sunyi begini jelas bukan kejadian yang biasa, di balik urusan ini tentu ada sesuatu yang menarik.
Bila dalam keadaan biasa pasti Pek-hujin akan bertanya sejelasnya, tapi sekarang ia harus memikirkan keadaannya sendiri, mana dia sempat menanyai rahasia orang lain. Sedangkan gadis itu tampaknya sudah mau pergi. Cepat Pek-hujin berkata pula dengan tertawa, "Eh, siapakah nama nona" Bolehkah diberitahukan padaku?"
Gadis itu ragu-ragu dan tidak bersuara.
Pek-hujin lantas menyambung, "Kaum lelaki yang biasa berkelana di rantau memang mudah mengikat persahabatan dengan orang yang dikenalnya, mengapa kaum wanita seperti kita tidak boleh bersahabat juga. Ya, mungkin kaum wanita seperti kita memang harus lebih hati-hati menghadapi sesuatu."
Dengan muka merah gadis itu berucap dengan tersenyum, "Namaku Thi Sim-lan."
Akhirnya Thi Sim-lan duduk di tepi sungai. Ia merasa perempuan ini agak terlalu berani karena berani mandi telanjang bulat di sungai, namun perempuan ini sedemikian cantik, sedemikian simpati.
Selama beberapa hari dia selalu berada dalam keadaan berduka dan tersiksa lahir batin, datangnya ke sini dengan sendirinya ingin mencari Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat. Tapi bilamana benar-benar mereka sudah diketemukan, lalu mau apa dia sungguh ia sendiri pun sukar menjawabnya.
Kini cahaya sang surya yang baru menyingsing menyinari bumi raya ini, segala sesuatu di jagat raya ini terasa sedemikian menyenangkan, senyuman wanita ini pun terasa sangat simpati. Untuk pertama kalinya perasaan Thi Sim-lan terasa longgar, tanpa terasa dilepaskannya sepatunya yang sudah butut, kakinya yang putih halus direndamkan di air sungai.
Kaki yang sudah pegal dan rada kencang itu mendadak berendam dalam air sungai yang segar, rasanya yang nikmat membuat pikirannya melayang-layang dan tanpa terasa mengeluh perlahan lalu memejamkan mata.
Sejak awal Pek-hujin terus-menerus mengawasi gerak-gerik Thi Sim-lan, dengan suara halus ia berkata, "Kenapa kau tidak meniru aku, mandilah sepuas-puasnya di sini."
"Mandi di sini?" Sim-lan menegas dengan muka merah.
Pek-hujin menatapnya lekat-lekat, katanya kemudian, "Masa kau tidak berani?"
Tertarik juga hati Thi Sim-lan memandangi air sungai yang jernih dan nyaman itu, ucapnya dengan terkikik-kikik, "Tapi ... tapi di sini ...."
"Jangan khawatir," ujar Pek-hujin. "Setiap hari aku selalu mandi satu kali di sini, selain dirimu, belum pernah kepergok orang lain."
"Apa ... apakah benar jarang orang datang ke sini?"
"Jika sering didatangi orang, masa aku berani mandi di sini?"
Tambah tertarik hati Thi Sim-lan, ia melirik Pek-hujin sekejap, dengan muka merah ia berkata pula, "Tapi ... tapi biarlah aku cuci kaki saja."
"Masa kau khawatir aku mengintipmu?" ucap Pek-hujin dengan tertawa genit.
"Bukankah aku pun seorang perempuan?"
"Ya, masa aku tak tahu," jawab Sim-lan tertawa.
"Nah, apa pula yang kau khawatirkan?" bujuk Pek-hujin pula. "Jika kau khawatir terlihat olehku, biarlah aku memejamkan mata, setelah kau buka pakaian cepat menyusup ke dalam air dan aku pun takkan melihatmu lagi."
Namun Thi Sim-lan masih tetap ragu.
Pek-hujin lantas memejamkan matanya dan berkata dengan tertawa, "Nah, lekas, takut apalagi" Setelah mandi tentu akan kau rasakan enaknya."
Thi Sim-lan memandangnya sekejap, dipandangnya pula air yang bening kehijau-hijauan itu, sesungguhnya tubuhnya memang sangat kotor dan terasa gatal, betapa pun ia tak tahan akan pancingan mandi bebas itu.
"Nah, sudah belum?" dengan tertawa Pek-hujin bertanya.
Lekas Sim-lan menjawab, "Be ... belum, jangan ... jangan membuka mata sekarang, se ... sebentar lagi."
Cepat ia menyelinap ke balik semak-semak dan membuka baju secara kilat, meski tiada orang yang mengintip, namun cahaya sang surya sudah menyinari dadanya yang montok itu.
Sekujur badan serasa merinding semua, jantung juga berdebar seakan-akan melompat dari rongga dadanya, secepat terbang ia terjun ke dalam air, air yang segar dan rada hangat itu segera melingkupi seluruh tubuhnya. Baru sekarang dia menghela napas lega dan berseru, "Baiklah, sudah!"
Pek-hujin membuka mata dan memandangnya, katanya dengan tertawa,
"Segar bukan?"
"Ehm," Thi Sim-lan mengangguk.
"Baiklah, sekarang aku pun akan turun, harap bantu memegangi aku," kata Pek-hujin, baru sekarang ia benar-benar merasa lega, perlahan ia merosot ke dalam air.
Arus sungai memang cukup deras, kedua kaki Pek-hujin terasa lemas, untung Thi Sim-lan bantu memayangnya, kalau tidak pasti sukar untuk berenang ke tepi sungai, andaikan tidak mati tenggelam juga pasti akan hanyut terbawa arus.
Melihat Pek-hujin hampir tidak kuat berdiri di dalam air, cepat Thi Sim-lan memegangnya dan bertanya, "Ken ... kenapa kau hendak pergi?"
"Aku cuma naik ke tepi sana untuk pasang mata bagimu kalau-kalau ada orang datang, supaya kau dapat mandi dengan tenteram," ujar Pek-hujin dengan tertawa.
Sim-lan merasa lega, jawabnya, "Tapi jangan sekali-kali kau pergi terlalu jauh."
Pek-hujin terkikik-kikik, katanya, "Ada si cantik sedang mandi di kali, masa aku tega pergi terlalu jauh."
Muka Thi Sim-lan menjadi merah, sampai tangan pun tak berani dijulurkan keluar air. Tiba-tiba ia merasakan mata kaum wanita terkadang juga sama ngerinya seperti mata lelaki.
Sementara itu Pek-hujin telah dapat menepi berkat bantuan Thi Sim-lan tadi, katanya, "Baiklah, aku akan berpakaian, kau juga tidak boleh mengintip lho!"
Padahal Thi Sim-lan sudah mendahului memejamkan mata, sekejap saja dia tidak berani memandangnya. Bila melihat tubuh yang putih mulus itu, hati Thi Sim-lan lantas berdebar-debar keras. Kembali dia menemukan suatu hal, yakni perempuan yang telanjang bulat tidak saja penuh daya tarik bagi lelaki, terkadang juga sama besar daya tariknya bagi sesama perempuan.
Dalam pada itu Pek-hujin sudah selesai memakai baju yang ditinggalkan Thi Sim-lan. Meski pakaian itu sangat kotor lagi rombeng, tapi jauh lebih baik daripada sama sekali tidak berbaju. Biarpun kulit muka Pek-hujin setebal kulit badak juga tak berani keluyuran kian-kemari dalam keadaan bugil.
Thi Sim-lan masih memejamkan mata, setelah menunggu sejenak, didengarnya Pek-hujin lagi berkata, "Bahan pakaian ini ternyata lumayan juga, cuma sayang agak kotor."
Tanpa tertahan Thi Sim-lan membuka matanya, mukanya menjadi pucat karena terkejut, cepat ia berseru, "He, mengapa kau pakai bajuku?"
"Tidak pakai bajumu, habis pakai baju siapa lagi?" jawab Pek-hujin dengan terkikik-kikik.
Jawaban Pek-hujin ini sungguh lucu dan tepat pula, seolah-olah dia memakai baju orang lain adalah sesuatu yang adil dan pantas.
Thi Sim-lan jadi melengak malah, tanyanya dengan tergagap, "Dan baju ...
bajumu sendiri?"
"Justru lantaran aku tidak punya baju, maka dengan segenap daya upayaku memancingmu mandi, kalau tidak, sekalipun tubuhmu berbau seperti kakus juga aku tidak pusing."
"Jika bajuku kau pakai, lalu aku bagaimana?" seru Sim-lan dengan suara rada gemetar.
"Silakan mandi lebih lama sedikit di sini," kata Pek-hujin dengan tertawa.
"Orang yang berlalu lalang di sini kan tidak sedikit, meski hampir semuanya lelaki, tetapi lelaki juga ada yang baik hati, bisa jadi salah seorang di antaranya mau menolongmu dengan membuka celananya untukmu ...."
Uraian Pek-hujin ini membikin Thi Sim-lan bertambah cemas, hampir-hampir saja ia menangis. Sebaliknya Pek-hujin tertawa terpingkal-pingkal, lalu berkata pula, "Kukira kau belum pernah memakai celana kaum lelaki bukan" Ya, meski agak lebih besaran, tapi rasanya longgar dan tembus angin, jauh lebih enak daripada celana belah selangkang yang pernah kau pakai waktu kecil."
Muka Thi Sim-lan menjadi merah, bentaknya dengan suara parau, "Kau orang gila, kau perempuan jahat, lekas kembalikan pakaianku!"
Saking geregetan, Thi Sim-lan hampir-hampir menerjang keluar dari sungai.
Tapi Pek-hujin lantas bertepuk tangan dan berteriak-teriak, "Haha, ada tontonan menarik! Ayo kemarilah, lihat di sini ada perempuan telanjang bulat!"
Baru saja setengah badan Thi Sim-lan menongol di permukaan air, saking takutnya cepat dia membenamkan diri pula sebatas leher, teriaknya dengan suara gemetar, "Paling ... paling tidak kau tinggalkan sepotong bagiku ...."
Namun Pek-hujin tidak menggubrisnya lagi, dengan tertawa ngikik ia terus tinggal pergi.
Saking gusarnya Thi Sim-lan lantas mencaci maki, "Kau ... kau bukan manusia, kau binatang, kau anjing betina ...."
Tanpa menoleh Pek-hujin menyahut dari kejauhan, "Makilah sesukamu! Cukup sebentar lagi tentu setiap lelaki yang tinggal di sekitar sini akan terpancing kemari!"
Thi Sim-lan menjadi takut dan tidak berani bersuara pula.
Sambil meringkuk di dalam air, tanpa terasa air mata lantas bercucuran.
Sebenarnya ia tidak percaya bahwa seorang dewasa dapat menangis kehabisan akal seperti anak kecil, baru sekarang ia tahu bahwa segala apa pun mungkin terjadi di dunia ini. Berpikir demikian, segera timbul harapannya bukan tidak mungkin ada seorang lelaki yang kebetulan lewat dan mau meminjamkan celana baginya.
Di sebelah kiri sungai sana adalah sebuah hutan, setelah menyusuri hutan itu, Pek-hujin melanjutkan perjalanan dengan cepat. Diam-diam ia pun kebat-kebit entah Siau-hi-ji yang sialan itu telah mengapakan suami dan gendaknya"
Tiba-tiba ia lihat ada beberapa potong pakaian semampir di ranting pohon di depan sana, bajunya berwarna dasar merah bersulam bunga mawar yang indah memesona.
Sekalipun emas intan, ratna mutu manikam, dengan keadaan Pek-hujin sekarang mungkin takkan dipandangnya barang sekejap, tapi seperangkat pakaian perempuan yang indah, daya tariknya benar-benar teramat besar bagi Pek-hujin, betapa pun ia tidak ingin memakai baju yang rombeng dan kotor begini untuk menemui sang suami.
Dia terus mengincar pakaian itu, langkahnya mulai diperlambat, cuma hati masih ragu-ragu, dan tidak berani meraih pakaian itu.
Pakaian seindah ini tidak mungkin tumbuh dari pohon itu. Jika demikian, dari mana datangnya pakaian ini" Mengapa bisa semampir di pohon"
Diam-diam ia waswas, ia coba memperingatkan dirinya sendiri, "Awas, bisa jadi ini cuma suatu perangkap, jangan mencari gara-gara lagi." Berpikir demikian, hakikatnya ia tidak mau memandang lagi ke sana.
Akan tetapi pakaian itu sesungguhnya teramat indah. Lebih-lebih bunga sulamannya, bahannya juga dari sutera yang halus, warnanya yang serasi, semua ini sangat memikat.
Kalau menyuruh perempuan jangan memandang pakaian yang indah, rasanya terlebih sulit daripada menyuruh lelaki jangan memandang perempuan cantik.
Akhirnya Pek-hujin mengambil keputusan, "Paling-paling hanya sepotong pakaian saja, memangnya pakaian bisa bergigi dan menggigit orang?"
Memang betul, hanya sepotong pakaian saja yang menggapai-gapai, tiada cacat dan tiada tanda-tanda mencurigakan, setiap orang dapat mengambilnya tanpa mendatangkan kesulitan apa-apa.
Tampaknya Pek-hujin terlalu banyak curiga, semula ia mengira di bawah pohon ada lubang jebakan sehingga siapa yang hendak meraih pakaian itu akan kejeblos. Atau mungkin juga di atas pohon terpasang sesuatu perangkap.
Sebab itulah waktu dia menjulurkan tangan untuk mengambil baju itu, ia benar-benar siap tempur seperti menghadapi musuh tangguh.
Akan tetapi nyatanya dengan sangat mudah baju itu sudah dapat diambilnya, pakaian ini seperti mendadak jatuh dari langit atau tumbuh dari pohon itu dan sedang menanti di sini untuk dipakai olehnya.
Tanpa sungkan-sungkan lagi Pek-hujin lantas membuang pakaiannya yang kotor dan rombeng itu, dengan gerakan yang paling cepat ia ganti pakaian baru, sutera yang halus itu menyentuh tubuh mulus yang habis tercuci bersih laksana belaian tangan sang kekasih.
Tapi tangan sang kekasih ini rasanya tidak beres, mula-mula seperti membelai punggung, tapi dengan cepat menjalar ke bagian dada, terus ke pantat, ke paha dan sekujur badan rasanya menjadi gatal-gatal geli. Semula seperti seekor ulat kecil yang merambat dari kuduknya menurun ke bawah sampai akhirnya ulat ini seakan-akan berubah menjadi beratus dan beribu banyaknya dan merambat kian kemari di setiap pelosok tubuhnya.
Sungguh luar biasa gatalnya, hampir-hampir gila rasa gatalnya, sampai-sampai berjalan saja tidak sanggup lagi, kedua tangan Pek-hujin terus menggaruk-garuk dan mencakar-cakar kian kemari, tapi semakin menggaruk semakin gatal rasanya, bukan cuma tubuh merasa gatal, hati pun ikut gatal.
Rasanya sungguh sukar dilukiskan, ya enak, ya geli, ya sakit, ingin menangis, ya ingin tertawa ... sampai akhirnya ia terus mengesot di tanah sambil terkikik-kikik seperti orang gila.
Pada saat itulah sekonyong-konyong seorang berkata dengan suara nyaring merdu, "Enak bukan baju yang kau pakai itu?"
Rupanya pada baju itulah timbulnya penyakit. Keruan Pek-hujin terkejut dan membentak, "Siapa itu?"
"Masa suaraku saja tidak kau kenal lagi?" ucap orang itu dengan tertawa. Lalu muncul seorang dari kejauhan dengan langkahnya yang gemulai, pakaiannya berwarna kuning gading, orangnya cantik, gayanya memesona. Orang ini ternyata So Ing adanya.
Terkesiap Pek-hujin, serunya, "Kau" Baju ini kepunyaanmu?"
"Baju itu baru kubikin, belum pernah kupakai, indah bukan?" ucap So Ing dengan tersenyum.
Saking gatalnya Pek-hujin hampir tidak dapat bicara lagi, tubuhnya digosok-gosokkan pada sebatang pohon, dengan suara gemetar ia tanya, "Bajumu ini ditaruhi apa?"
"Ah, tidak ada apa-apanya, hanya kuberi sedikit obat gatal," tutur So Ing.
"Selang beberapa hari obat itu akan hilang dengan sendirinya."
Pek-hujin masih kelabakan menggosok tubuhnya di batang pohon, hampir gila dia karena tidak tahan rasa gatalnya, kalau bisa ingin dia dicambuki orang sekuatnya, sedetik saja tidak dapat menunggu, apalagi selang beberapa hari lagi, sungguh ia rela mati saja.
Dengan tertawa So Ing berkata pula, "Baju baru ini akan kupakai untuk bertemu dengan kekasihku, jika kau rusak harus kau ganti nanti."
Seperti orang kalap Pek-hujin lantas tarik baju itu hingga robek, teriaknya parau, "Aku tidak memusuhimu, mengapa kau mencelakai aku?"
"Coba renungkan dulu, pernahkah kau berbuat sesuatu terhadapku?" jengek So Ing.
Meski sekarang Pek-hujin menanggalkan pakaian itu, tapi rasa gatalnya tetap tidak kepalang, ia merangkak di tanah dan tergeliat-geliat, dengan air mata meleleh ia memohon, "O, nona yang baik, adik terhormat, aku mengaku salah, ampunilah diriku."
"Apakah begitu hebat rasa gatalnya?" tanya So Ing dengan tenang.
"Ya, baru sekarang kutahu di dunia ini tiada sesuatu yang lebih menderita daripada rasa gatal," kata Pek-hujin.
"Jika begitu, coba jawab, kau yang menculik Hoa Bu-koat bukan?" tanya So Ing.
Dalam keadaan demikian mana Pek-hujin berani menyangkal, cepat ia mengangguk dan berkata, "Ya, ya, aku yang menculiknya, sungguh pantas mampus aku."
"Di mana kau sembunyikan dia?" tanya So Ing dengan gusar.
"Di belakang bukit sana, di lembah sana ada sebuah rumah kecil ...."
"Apakah rumah batu itu"
"Ya, ya, engkau pun sudah tahu."
"Apakah benar-benar kau sembunyikan dia di sana?" So Ing menegas setelah berpikir sejenak.
"Betul, masa aku berani mendustai nona?" jawab Pek-hujin sambil meringis.
Air muka So Ing seperti berubah sedikit, ucapnya sambil menggeleng, "Di pegunungan sunyi begini bisa terdapat rumah batu sekukuh itu, apakah kalian tidak merasa heran?"
Setelah berpikir, tiba-tiba Pek-hujin juga merasa heran, tanyanya kemudian,
"Ya, apakah rumah batu itu ada sesuatu yang aneh?"
So Ing menggeleng dan tidak menjawab.
Sudah tentu Pek-hujin tidak sempat bertanya lebih lanjut urusan ini, betapa pun dia sedang kelabakan oleh rasa gatalnya yang tak tertahan, dengan cepat ia memohon, "Sudah kukatakan semuanya, kumohon engkau mengampuni diriku sekarang."
So Ing tertawa, tanyanya, "Barusan kau datang dari mana?"
Setelah melenggong sejenak, akhirnya Pek-hujin menjawab, "Dari sungai sana."
"Jika begitu boleh kau kembali lagi ke sana!" ucap So Ing.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Dalam pada itu Thi Sim-lan sedang kedinginan karena berendam sekian lamanya dalam sungai, kaki dan tangan serasa hampir beku. Namun dia harus memandang kian kemari, ia khawatir kalau-kalau mendadak ada lelaki nakal muncul di situ. Untung juga keadaan tetap sunyi senyap tiada bayangan seorang pun.
Sebenarnya ia pun pernah berpikir hendak meninggalkan sungai ini, tapi seorang nona yang telanjang bulat bisa berbuat apa dan mau ke mana"
Apabila mendadak kepergok lelaki kan bisa .... Begitulah, pada hakikatnya ia tidak berani membayangkan bagaimana akibatnya.
Tengah bingung, sekonyong-konyong dilihatnya dari depan sana kembali ada seorang perempuan bugil sedang berlari-lari mendatangi, "plung", langsung perempuan telanjang itu terjun ke dalam air dengan napas terengah-engah.
Thi Sim-lan terkejut di samping merasa heran dan geli pula, mestinya dia tidak ingin memandangnya, tapi sekilas melirik, diketahuinya perempuan ini bukan lain daripada perempuan sialan yang kabur dengan menipu pakaiannya tadi.
Sungguh aneh, mengapa dia lari kembali ke sini lagi dalam keadaan telanjang bogel"
Dengan terbelalak heran, Thi Sim-lan jadi tidak sanggup bersuara.
Setelah terjun ke dalam air, rasa gatal Pek-hujin lantas berhenti seketika.
Melihat Thi Sim-lan sedang memandangnya, ia balas menyengir dan berkata,
"Hihi, aku kembali lagi, kau heran bukan?"
"Ehm," Sim-lan mendengus.
"Hihihi, soalnya aku tiada hobi lain kecuali mandi," ujar Pek-hujin dengan tertawa.
Mendadak Thi Sim-lan menubruk ke sana dan menjambak rambut Pek-hujin sambil membentak, "Mana bajuku" Kembalikan!
"Inilah bajumu!" tiba-tiba seorang menukas dengan tersenyum.
Waktu Thi Sim-lan menoleh segera dilihatnya So Ing berdiri di tepi sungai laksana sekuntum bunga teratai yang baru mekar. Ia merasa selama hidup ini belum pernah melihat nona secantik ini, meski dia sendiri juga pere

^