Bahagia Pendekar Binal 3

Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 3


mpuan, tidak urung ia memandangnya dengan terkesima.
So Ing tertawa dan bertanya pula, "Betulkah ini bajumu?"
Sim-lan menunduk dengan muka merah, jawabnya lirih, "Ya, bajuku."
"Jika kau tidak ingin mandi lagi, silakan naik dan pakai bajumu," kata So Ing.
Meski malu, mau tak mau Thi Sim-lan keluar dari sungai, secepat terbang ia terima baju itu terus lari ke balik semak-semak sana.
"Aku pun ingin keluar," kata Pek-hujin dengan menyengir.
"Mau keluar boleh keluar, kan tiada yang merintangimu" ujar So Ing acuh.
Segera Pek-hujin memanjat ke atas batu, tak terduga, seketika rasa gatal itu kambuh lagi, gatalnya sungguh tidak kepalang. Cepat ia memberosot ke dalam air pula.
"Kenapa kau tidak jadi naik?" tanya So Ing dengan tertawa.
Pek-hujin hanya meringis saja. Katanya kemudian, "Tapi ... tapi aku kan tak dapat berendam terus-menerus begini?"
"Asalkan tidak merasa gatal lagi, setiap saat kau boleh naik," kata So Ing.
"Harus ... harus menunggu sampai kapan?"
"Bisa jadi setengah hari, dua hari atau empat hari .... Katanya hobimu adalah mandi, nah, silakan mandi sepuas-puasmu!"
Pek-hujin melenggong dan tak dapat bersuara pula, hampir ia jatuh pingsan saking gemasnya.
Sementara Thi Sim-lan sudah selesai berpakaian, ia mendekati So Ing dan memberi hormat, katanya, "Terima kasih atas pertolongan nona."
Baju yang dipakainya itu kotor lagi rombeng, namun betapa pun tidak dapat menutupi gadis cantik yang habis mandi dengan wajahnya yang kemerah-merahan seperti buah apel.
Tanpa terasa So Ing menarik tangan Thi Sim-lan, katanya dengan tertawa,
"Nona secantik ini, sungguh aku pun kesengsem, kaum lelaki seharusnya antri dan berlutut memohon di depanmu, mengapa malah kau yang bersusah payah mencari mereka?"
Muka Thi Sim-lan menjadi merah, jawabnya dengan tergagap, "Aku ... aku ...."
"Memangnya yang hendak kau cari bukan lelaki?"
Sim-lan menunduk dan terpaksa mengiakan.
"Lelaki manakah yang punya rezeki sebesar itu?" kata So Ing dengan tertawa.
"Dia ... dia ...."
"Tidak perlu kau katakan, toh aku tidak kenal dia," ujar So Ing sambil berjalan.
Thi Sim-lan ikut berjalan sejenak, ucapnya kemudian sambil menghela napas perlahan, "Memang paling baik apabila engkau tidak pernah kenal dia."
"Kenapa?" tanya So Ing dengan tertawa geli, "Masa orang yang kenal dia akan tertimpa sial?"
Di luar dugaan Thi Sim-lan lantas manggut-manggut dan menjawab, "Ehm."
So Ing berpaling dan memandangnya dengan terbelalak, "Siapa namanya?"
tanyanya.
Thi Sim-lan tidak memperhatikan perubahan sikap So Ing itu, dengan gegetun ia menjawab, "Dia she Kang, orang memanggilnya Siau-hi-ji."
Siau-hi-ji, nama ini membuat hati So Ing berdetak keras, akhirnya diketahui juga bahwa gadis yang berada di sebelahnya ini ternyata adalah saingannya, saingan cinta.
Dipandangnya wajah Thi Sim-lan secantik bunga, kecut rasa hatinya, pikirnya,
"Wahai Siau-hi-ji, tampaknya tidak keliru pilihanmu ini."
Dilihatnya mendadak Thi Sim-lan tertawa dan berucap, "Siau-hi-ji, masa namanya disebut Siau-hi-ji, engkau merasa lucu tidak?"
So Ing tetap tenang-tenang saja, jawabnya dengan tertawa, "Ya, sangat lucu."
"Tapi tingkah lakunya justru sangat menjengkelkan, terkadang kau bisa dibikin mati gemas olehnya," ucap Sim-lan dengan rawan.
So Ing berkedip-kedip, tanyanya kemudian, "Apakah kau benci padanya?"
Sim-lan menunduk, jawabnya, "Terkadang aku memang gemas dan benci padanya, tapi terkadang "."
"Terkadang kau suka juga padanya," tukas So Ing dengan tertawa.
"Memangnya kau sangat suka padanya, begitu bukan?"
Thi Sim-lan hanya menggigit bibir sambil mengikik.
Melenggong sejenak So Ing, mendadak ia berseru, "Tapi dia kan juga belum pasti suka padamu, betul tidak?"
Thi Sim-lan termangu-mangu sejenak, sorot matanya berubah menjadi halus, tersembul juga senyuman manis pada ujung mulutnya, dengan menunduk ia menjawab perlahan, "Meski kadang-kadang ia tidak baik padaku, tapi lebih sering dia ... dia sangat baik padaku."
Melihat kerlingan mata dan senyuman manis Thi Sim-lan yang penuh arti itu, So Ing tahu orang lagi mengenangkan Siau-hi-ji, seketika hati So Ing seperti ditusuk-tusuk jarum, sungguh kalau bisa ia pun ingin merogoh keluar hati Thi Sim-lan dan ditusuk-tusuknya berpuluh kali agar selanjutnya nona itu tidak berani memikirkan Siau-hi-ji lagi.
Sama sekali Thi Sim-lan tidak melihat perubahan sikap So Ing itu, dengan termangu-mangu ia memandang gumpalan awan di atas langit, gumpalan awan itu seakan-akan telah berubah menjadi wajah Siau-hi-ji yang selalu berseri-seri itu.
Dengan suara lembut kemudian ia menyambung pula, "Sudah beberapa tahun kukenal dia, selama ini meski banyak membawa penderitaan hagiku, tapi juga lebih banyak memberikan kebahagiaan padaku. Sesungguhnya aku ... aku harus merasa puas."
So Ing berpaling ke sana dan sengaja berteriak, "Seumpama dia terkadang sangat baik padamu, ini pun bukan bukti bahwa dia benar-benar suka padamu.
Bisa jadi, memang begitulah sikapnya terhadap setiap anak perempuan, atau mungkin juga dia jauh lebih baik kepada orang lain daripadamu."
"Asalkan dia baik padaku, bagaimana dia perlakukan pada orang lain tak kupusingkan," ujar Sim-lan dengan lirih.
"Kau tidak cemburu?" tanya So Ing.
"Ada sementara lelaki yang pada dasarnya tidak dapat dimiliki hanya oleh seorang perempuan," ujar Sim-lan dengan tertawa, "Justru orang demikianlah Siau-hi-ji, jika aku cukup memahami pribadinya, maka aku pun tidak perlu cemburu padanya."
So Ing tercengang sejenak, jengeknya kemudian, "Hm, tak tersangka kau dapat berlapang dada."
Sebenarnya ia ingin menusuk perasaan Thi Sim-lan, tak tersangka sang seteru justru tidak marah sedikit pun, malahan ia sendiri berbalik kheki setengah mati.
Selang sejenak ia berkata pula, "Bisa jadi lelaki yang kau kenal cuma dia seorang saja, makanya kau setia mati-matian padanya. Apabila lelaki yang kau kenal tambah banyak, tentu akan kau temukan masih banyak lelaki lain yang jauh lebih baik daripadanya."
Tiba-tiba berubah juga air muka Thi Sim-lan, makin menunduk kepalanya.
"Kau setuju tidak dengan perkataanku?" tanya So Ing.
"Aku ... aku ...." Sim-lan tergagap, suaranya terasa gemetar.
Baru sekarang So Ing mengetahui perubahan sikap Thi Sim-lan itu, seketika terbeliak matanya katanya pula, "O, kukira lelaki yang kau kenal memang tidak cuma dia saja, betul tidak?"
"Ehm," Thi Sim-lan bersuara singkat dan menunduk pula.
So Ing menatapnya lekat-lekat, katanya pula "Selain dia, dalam hatimu masa ada lagi seorang?"
Muka Sim-lan menjadi merah dan tidak menjawab.
So Ing tertawa, katanya, "Dugaanku pasti tidak keliru, pantaslah kau tidak cemburu padanya." Dia berkedip-kedip, lalu menarik tangan Sim-lan pula, katanya dengan tertawa, "Siapakah yang seorang lagi itu" Apakah jauh lebih baik daripadanya?"
Wajah Sim-lan bertambah merah dan sama sekali tidak mau menjawab.
So Ing tertawa nyaring dan tidak tanya pula, hanya dikatakannya, "Seorang perempuan bilamana hatinya sudah terisi dua lelaki, walaupun sangat memusingkan, tapi juga sangat menarik ...."
Thi Sim-lan memainkan ujung bajunya, selang sejenak, tiba-tiba ia berkata,
"Sekarang kau pasti menganggap aku ini perempuan busuk, bukan?"
"Mana bisa kuberpikir begitu," jawab So Ing tertawa. "Apabila kau perempuan busuk begitu, tentu akan kau anggap main cinta sama seperti makan kacang goreng, tapi sekarang kau mencintai dua lelaki sekaligus, makanya kau serba susah."
"Sebenarnya hidupku ini sudah kuputuskan akan kuserahkan kepada Siau-hi-ji, tak peduli dia baik atau busuk padaku tetap takkan mengubah pendirianku, siapa tahu ...."
Mata So Ing mengerling, ucapnya dengan tertawa, "Siapa tahu ada lagi seorang yang benar-benar teramat baik padamu dan membikin kau sukar menolaknya, begitu bukan?"
Tiba-tiba Sim-lan mencucurkan air mata, jawabnya dengan terguguk, "Ya, tapi kebaikannya padaku bukan lantaran ingin memiliki diriku ...."
"Semakin dia bersikap begitu, semakin tak enak hatimu padanya, begitu bukan?" tukas So Ing.
"Ehm," Sim-lan mengangguk.
"Hah, tingkah lelaki demikian ini sudah lama kuketahui dengan jelas," kata So Ing dengan tertawa.
"Kau ... kau anggap dia sengaja bersikap demikian padaku?"
"Ya, aku mengakui caranya ini memang sangat pintar, terhadap perempuan harus memakai jinak-jinak merpati, seperti didekati, tapi lantas menjauhi, seperti hendak menangkapnya, tapi sengaja dilepaskan, bilamana terlalu kencang kamu mengubernya, dia berbalik akan kabur malah." Lalu dengan tertawa So Ing menambahkan, "Aku juga perempuan, jiwa kaum perempuan masa aku tidak paham?"
"Ini lantaran " lantaran kamu tidak tahu sebenarnya lelaki macam apakah dia itu?" ujar Thi Sim-lan.
"Kutahu, dia pasti serupa Siau-hi-ji, ya pintar, ya ganteng, ya menyenangkan, tapi terkadang pun rada menjengkelkan, hanya rada-rada menjengkelkan saja."
"Salah kau," ucap Sim-lan.
"O?" So Ing melongo heran.
"Dia justru adalah lelaki yang berbeda sama sekali daripada Siau-hi-ji, pada hakikatnya tiada setitik pun yang sama, terhadap anak perempuan dia selalu sopan santun dan simpati, bergurau sepatah kata saja tidak pernah."
"Wah, lelaki model anjing penjaga rumah begitu sama sekali takkan kusukai,"
kata So Ing.
"Tapi " tapi "."
"Tapi ada juga yang sangat menyukainya, begitu bukan?" tukas So Ing tertawa.
Muka Thi Sim-lan kembali merah, ucapnya, "Aku bukannya men " menyukai dia, soalnya dia pernah menyelamatkan jiwaku, bahkan sangat " sangat "."
suaranya lirih seperti bunyi nyamuk, pula tergagap-gagap dan terputus-putus seperti orang keselak.
Dengan tertawa So Ing menukasnya, ?" bahkan dia juga sangat baik padamu, dia sangat memperhatikan dirimu dalam segala hal, andaikan kau tidak suka padanya, mau tak mau juga mesti berterima kasih padanya, begitu bukan?"
"Ehm," Sim-lan mengangguk.
"Tapi kau harus tahu, antara terima kasih dan suka terkadang sukar dipisah-pisahkan," kata So Ing.
Sim-lan menggigit bibir dan termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata pula,
"Seumpama aku menyukai dia juga dia takkan menyukai aku."
"Jika dia tidak suka padamu, untuk apa dia berbuat sebaik itu padamu" Dia kan tidak sinting?"
"Dia memperhatikan diriku, bisa jadi demi Siau-hi-ji," ucap Thi Sim-lan dengan menunduk.
Sekali ini So Ing benar-benar seperti terkejut, serunya, "Dia baik padamu demi Siau-hi-ji" Ini sungguh aku tidak paham."
"Dia bilang semoga aku dan Siau-hi-ji bisa " bisa berada bersama," tutur Sim-lan dengan rawan.
"Memangnya dia juga sahabat Siau-hi-ji," tanya So Ing.
Thi Sim-lan berpikir sejenak, jawabnya kemudian, "Terkadang mereka memang dapat dianggap sebagai sahabat karib, bilamana salah seorang menghadapi bahaya, yang lain pasti akan membantunya tanpa menghiraukan dirinya sendiri. Tapi sering pula mereka bertengkar dan saling labrak mati-matian."
Tiba-tiba So Ing tahu siapakah gerangan orang yang dimaksudkan Thi Sim-lan ini, dia melenggong sejenak, gumamnya kemudian, "Peristiwa ini sungguh sangat aneh dan sangat bagus, sungguh sangat menarik."
"Setelah kuceritakan isi hatiku sebanyak ini, apakah engkau akan menertawakan diriku?" tanya Sim-lan dengan kikuk.
Dengan suara lembut So Ing menjawab, "Masa kutertawaimu" Apabila seorang mempunyai isi hati, adalah biasa bila perasaan yang tertekan itu dikemukakan kepada seorang teman, kalau tidak kan bisa mati kesal."
"Tapi ... tapi kita baru saja kenal ...."
"Meski kita baru saja kenal, tapi selanjutnya lambat laun kita bisa menjadi sahabat karib."
Sim-lan tersenyum pedih, ucapnya, "Selanjutnya" .... Siapa pula yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya?"
Berkilau sorot mata So Ing, tiba-tiba ia menarik tangan Thi Sim-lan pula dan berkata dengan lembut, "Begitu melihat dirimu, seketika aku merasa cocok.
Jika kau tidak jemu padaku, maukah kau mengakui aku sebagai adikmu?"
Permohonan yang diajukan dengan kata-kata halus dan terucap dari mulut anak perempuan secantik ini, siapa pula yang sanggup menolaknya"
Dengan begitu Thi Sim-lan lantas menjadi kakak angkat So Ing.
Gemilang cahaya sang surya menyinari pegunungan yang hijau permai, kicau burung mengiringi arus sungai yang mengalir selalu, di tengah semilir angin lalu sayup-sayup membawa harum bunga yang memabukkan.
Selamanya Thi Sim-lan tidak pernah membayangkan akan hidup segembira sekarang. Selama ini hidupnya selalu merana, perasaannya tertekan, hampir saja ia putus asa. Sungguh tak terduga akan dijumpainya So Ing.
"Sekarang kau sudah menjadi Ciciku, maka takkan kubiarkan kau pergi lagi mencari Siau-hi-ji," ucap So Ing dengan tertawa sambil menarik tangan Thi Sim-lan.
"Sebab apa?" tanya Sim-lan.
"Kebanyakan lelaki memang sok jual mahal walaupun sebenarnya bernilai rendah," kata So Ing. Semakin kau ingin mencarinya, semakin dia merasa bangga. Tapi kalau kau tidak menggubris dia, luka dia yang akan mencari kau walaupun dengan mengesot."
Thi Sim-lan tertawa, katanya, "Habis apa ... apa yang harus kulakukan?"
"Kau tidak perlu berbuat apa-apa, tunggu saja tenang-tenang, dengan sendirinya ada akalku akan membuat dia datang mencari kau," tutur So Ing.
Sim-lan menunduk, ucapnya, "Tapi engkau kenal saja tidak ...."
So Ing menggeleng, katanya pula dengan tertawa, "Meski aku tidak kenal dia, tapi pernah kulihat dia."
"Oo?" Sim-lan rada heran.
"Ya, sekarang aku jadi ingat. Bukankah dia seorang anak muda yang bermata besar, mukanya banyak codet, tapi tampaknya tidak menjemukan, sepanjang hari hanya tertawa melulu, bila berjalan lenggangnya seakan dunia ini dia punya."
"Mungkin kau tidak tahu, dia malah mengaku sebagai orang paling pintar nomor satu di dunia ini," tukas Thi Sim-lan geli.
Teringat kepada Siau-hi-ji, hati So Ing terasa manis juga, ucapnya dengan tertawa, "Jika dia mengaku sebagai orang yang paling tebal kulit mukanya kukira lebih dapat dipercaya."
"Bilakah kau lihat dia?" tanya Sim-lan.
"Belum lama, baru satu dua hari yang lalu."
Thi Sim-lan menghela napas gegetun, ucapnya, "Orang ini sedetik saja tidak dapat berdiam, baru satu dua hari kau lihat dia, tapi sekarang dia entah sudah berada di mana lagi?"
"Jangan khawatir, asalkan dia berada di pegunungan ini, pasti ada akalku untuk menemui dia."
"Kau punya akal apa?" tanya Sim-lan.
"Kau tahu, di pegunungan inilah aku dibesarkan, hampir setiap orang penduduk di sini pasti kukenal, kalau aku ingin mencari seseorang yang istimewa begitu, bukankah sangat mudah?"
"Jika ... jika begitu, apakah aku mesti menunggu di sini?"
"Wah, kukira kurang aman bila kau menunggu di sini, apabila pakaianmu ditipu orang lagi, lalu bagaimana?" ucap So Ing dengan tertawa. Sebelum Thi Sim-lan menjawab, segera ia menyambung pula, "Demi keselamatanmu, sekarang juga akan kubawa kau ke suatu tempat."
"Tempat apa?" tanya Sim-lan.
"Pemilik tempat ini adalah ayah angkatku, meski tampangnya kelihatan bengis, tapi hatinya sangat baik, lebih-lebih terhadap diriku, sungguh tidak kepalang baiknya."
"Aku percaya," ucap Thi Sim-lan dengan tertawa, "Kakak angkat seperti aku saja bisa-bisa akan kukorek hatiku untukmu, apalagi sang ayah angkat."
So Ing mencibir, katanya, "Hatimu hendak kau korek untukku" Bukankah hatimu sudah kau berikan kepada Siau-hi-ji?" Melihat muka Thi Sim-lan berubah merah, cepat ia menyambung pula dengan tertawa, "Ayah angkatku itu she Gui, jika dia mengetahui engkau adalah kakak angkatku, beliau pasti akan membelamu dengan baik. Cuma kau jangan lupa, bentuknya memang kelihatan menakutkan."
"Jika kelihatannya menakutkan tentu takkan sering kupandang dia," kata Sim-lan.
"Bagus, cara ini memang sangat bagus," seru So Ing sambil berkeplok.
Segera dia menarik Thi Sim-lan menyusuri hutan, pegunungan sunyi senyap, dunia ini seakan-akan penuh rasa aman dan damai sehingga membuat orang merasa hidup ini bahagia. Tiba-tiba Thi Sim-lan juga penuh harapan terhadap masa yang akan datang.
Setelah berjalan sejenak, mendadak So Ing berhenti dan berkata, "Ai, hampir saja kulupa, aku masih harus memenuhi suatu janji pertemuan."
"Janji pertemuan?" Sim-lan menegas.
"Ya, aku sudah berjanji akan bertemu dengan seorang di belakang gunung sana, sekarang waktunya sudah hampir tiba. Wah, bagaimana baiknya?"
"Melihat kegelisahanmu ini, jangan-jangan hendak bertemu dengan jantung hatimu?"
Muka So Ing ternyata tidak merah, jawabnya sambil menggeleng, "Bukan."
"Jika kau tidak mau terus terang, biarlah aku ikut mengacau ke sana."
"Memangnya kenapa kalau jantung hatiku" Masa kau saja yang boleh punya kekasih dan aku tidak boleh?"
"Jangan cemas, aku takkan ikut ke sana."
So Ing mengerling, katanya, "Dari sini langsung menuju ke atas bukit sana, tidak lama kemudian akan kau lihat sebidang pepohonan, di sanalah tempat tinggal ayah angkatku."
"Masa ... masa aku disuruh ke sana sendirian?"
"Sendirian juga tidak apa-apa, asalkan setiba di sana tentu ada orang akan memapak kau?"
"Tapi mereka kan tidak kenal diriku?"
So Ing berpikir sejenak, diambilnya tusuk kundainya dan diberikan kepada Thi Sim-lan, katanya, "Perlihatkan saja tusuk kundai ini, katakan aku yang menyuruhmu ke sana, tentu mereka akan menyambut kedatanganmu dengan hormat dan mengatur segala keperluan."
Walaupun merasa enggan, tapi mau tak mau Thi Sim-lan harus pergi ke sana.
Sekarang ia mirip segumpal awan yang mengambang di udara tanpa arah tujuan, ia pun tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
So Ing memandangi kepergian Thi Sim-lan itu, baru saja ia menghela napas lega, sekonyong-konyong terdengar seorang berkata dengan gegetun,
"Kasihan budak itu, sudah dijual oleh orang masih belum tahu."
"Haha, nona So ini tidak menjualnya padamu, makanya kau berlagak kasihan padanya?" demikian terdengar seorang lagi menanggapi dengan tertawa.
"Semula kuanggap budak she Thi itu tidaklah jelek, tapi kalau dibandingkan nona So ini, hakikatnya budak Thi mirip sepotong kayu belaka," demikian orang ketiga berkata dengan terkekeh-kekeh.
"Ya, makanya Siau-hi-ji kita tidak boleh punya bini seperti bonggol kayu," ujar orang keempat dengan tertawa.
Di tengah suara gelak tertawa itu, dari balik batu sana mendadak muncul empat orang. Bentuk keempat orang ini yang satu lebih aneh daripada yang lain. Heran, entah cara bagaimana keempat orang aneh ini bisa berkumpul menjadi satu.
Terlihat orang pertama berwajah kotor dengan rambut semrawut, pakaiannya sudah dekil lagi compang-camping sehingga mirip pengemis. Tapi tangannya justru memegang sebuah pipa tembakau bertatah jamrud yang tak ternilai harganya.
Orang kedua bermuka bundar, perutnya buncit, usianya jelas tidak muda lagi, tapi lagaknya seperti anak kecil, tiada hentinya bergelak tertawa sehingga mirip Mi-lik-hud, itu Budha tertawa yang terkenal.
Orang ketiga berkundai licin dengan hiasan batu permata, pupur di mukanya setebal hampir setengah senti sehingga mirip orang bertopeng, maka sukar diketahui sebenarnya wajahnya bagus atau jelek, sudah tua atau masih muda"
Yang jelas cara bersoleknya adalah perempuan, tapi yang dipakainya adalah baju lelaki, sedangkan kakinya memakai sepatu perempuan yang bersulam sutera merah dan bermutiara.
Orang keempat adalah lelaki kekar tegap, sorot matanya tajam, cuma mulutnya sangat lebar, seperti mulut singa, kepalan tangan mungkin bisa masuk.
Meski So Ing tidak tahu keempat orang ini adalah tokoh-tokoh Cap-toa-ok-jin yang termasyhur, yaitu Pek Khay-sim, Ha-ha-ji, To Kiau-kiau dan Li Toa-jui, tapi dia sudah pernah melihat mereka, telah disaksikannya cara bagaimana keempat orang itu mengerjai Gui Moa-ih. Sekarang keempat orang ini muncul pula dan mengepungnya di tengah. Biasanya dia tidak mudah memperlihatkan perasaannya, kini tidak urung air mukanya rada pucat juga.
"Jangan takut, nona So," kata Li Toa-jui dengan tertawa. "Sudah dua hari ini aku kurang nafsu makan, umpama akan kumakan kau, sedikitnya perlu menunggu lagi beberapa hari."
"Hihihi, anak perempuan secantik manis ini, sekalipun kau tega memakannya juga takkan kululuskan," ucapTo Kiau-kiau dengan terkikik-kikik.
"Tapi, menurut pendapatku, lebih baik biarkan dia dimakan oleh Li Toa-jui," ujar Pek Khay-sim.
"Hahaha, kau benar-benar cocok dengan julukanmu yang merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri," seru Ha-ha-ji dengan terbahak. "Umpama Li Toa-jui memakannya, apa pula faedahnya bagimu?"
"Sedikitnya aku tidak perlu khawatir kalau-kalau dijual olehnya," kata Pek Khay-sim.
"Haha, memangnya berapa harganya satu kati tulangmu yang bau busuk ini, untuk apa dia menjual dirimu?" kata Ha-ha-ji.
"Hm, kakaknya saja sudah dijualnya, apalagi diriku?" jengek Pek Khay-sim.
So Ing mengerling, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, "Apakah kedatangan kalian ini hendak membela keadilan bagi Thi Sim-lan?"
To Kiau-kiau menghela napas, katanya, "Kalau dibicarakan, budak Thi Sim-lan ini sesungguhnya memang harus dikasihani."
"Jika kalian merasa aku telah menipu dia, mengapa tadi kalian tidak mencegah kepergiannya?" ujar So Ing dengan tertawa.
"Dia bukan anakku juga bukan biniku, dia tertipu atau tidak, apa sangkut-pautnya denganku" Untuk apa aku meski ikut campur?" demikian ucap Pek Khay-sim dengan menarik muka.
"Apalagi," sambung Ha-ha-ji, "Kan tiada salahnya biarkan dia pergi ke tempat Gui Bu-geh, nah, barulah nanti akan banyak tontonan yang menarik."
"Demi berebut seorang lelaki, memangnya apa pun dapat dilakukan oleh seorang perempuan," sambung To Kiau-kiau dengan tertawa. "Apalagi demi mendapatkan pemuda seperti Siau-hi-ji, sekalipun kau membunuh orang juga takkan kusalahkan kau."
"Jika demikian, untuk keperluan apakah kalian datang kemari?" tanya So Ing.
"Kami sengaja mencari kau untuk merundingkan suatu perdagangan," jawab Li Toa-jui.
"Perdagangan" Perdagangan apa?" tanya So Ing.
"Haha, sudah tentu perdagangan yang saling menguntungkan," tukas Ha-ha-jai, "Cuma kami tidak tahu apakah kau setuju atau tidak?"
"Jika ada bisnis yang saling menguntungkan, masa aku tidak setuju?" jawab So Ing tertawa.
"Baik, sekarang kutanya padamu, kau ingin menjadi istri Siau-hi-ji bukan?"
tanya To Kiau-kiau.
So Ing tertawa, jawabnya tanpa pikir, "Tidak cuma begitu saja, malahan aku sudah bertekad menjadi istrinya."
"Haha, tampaknya tekadmu sangat besar," tukas Ha-ha-ji. "Tapi kau harus tahu, bukan urusan mudah jika ingin diperistri oleh Siau-hi-ji."
"Bilamana urusannya sedemikian mudah, bisa jadi aku malah tidak ingin menjadi istrinya," jawab So Ing dengan tertawa.
"Tapi apakah kau yakin dan mempunyai pegangan akan dapat menjadi istrinya?" tanya To Kiau-kiau.
"Urusan yang tiada pegangannya dan semakin sulit, tentunya akan semakin menarik untuk dilaksanakan bukan?" jawab So Ing.
"Tapi kalau gagal, kan jadi tidak menarik, bukan?" kata To Kiau-kiau.
So Ing menghela napas, katanya, "Ya, jika begitu memang sangat tidak menarik."
"Nah, untuk itu, kami dapat membantu terlaksananya cita-citamu, tapi kau juga harus berjanji melakukan sesuatu bagi kami," kata To Kiau-kiau.
So Ing mengerling manis, katanya dengan tertawa, "Kalian benar-benar yakin dia sudi menikahiku?"
"Sudah tentu kami yakin," jawab To Kiau-kiau. "Jangan lupa, kami inilah yang membesarkan Siau-hi-ji, masa kami tidak kenal tabiatnya?"
"Jika begitu urusan apa yang harus kukerjakan bagi kalian?" tanya So Ing.
"Kau harus membawanya hidup-hidup ke liang Gui Bu-geh itu, kemudian membawanya keluar pula hidup-hidup," tutur To Kiau-kiau.
"Sebab apa kalian menghendaki demikian" tanya So Ing.
"Sebab kami ingin menyuruhnya mengambil sesuatu barang," jawab Kiau-kiau.
So Ing berpikir sejenak, ucapnya kemudian, "Tapi kalau dia tidak mau ke sana, lalu bagaimana?"
"Semula mungkin dia tidak mau, tapi sekarang mau tak mau dia harus pergi ke sana," ujar To Kiau-kiau dengan tertawa. "Sebab barusan kau telah membantu mengerjakan sesuatu bagi kami, yaitu, kau telah mengirim Thi Sim-lan ke tempat Gui Bu-geh."
"Dan kalau aku tidak setuju permintaan kalian?" tanya So Ing dengan tenang-tenang.
"Jika kau tidak mau, nafsu makanku akan segera timbul," ucap Li Toa-jui dengan terkekeh-kekeh.
"Mungkin kalian tidak tahu bahwa pada waktu kecil aku pernah jatuh dari atas pohon sehingga tubuhku banyak bekas lukanya, maka sulit dagingku menjadi rada kasap," tutur So Ing dengan tenang. Ia tersenyum, lalu menyambung pula,
"Walaupun begitu, kupercaya, diolah dengan cara apa pun juga dagingku tetap sangat lezat. Cuma perlu kuberi nasihat, jangan sekali-kali kau masak dengan direbus, daging yang empuk begini harus digoreng, dengan demikian dagingnya akan terasa tetap segar dan gurih."
Cara bicaranya ramah tamah seperti halnya sedang bertukar pikiran dengan kawan kursus mengenai resep makanan.
Tentu saja Li Toa-jui dan lain-lain jadi saling pandang dengan melongo.
Setelah berdehem Li Toa-jui berkata pula, "Ah, kau telah mengingatkan aku kelezatan daging manusia goreng kering, rasanya memang benar tiada bandingannya. Ehm, sudah lama juga aku tidak merasakannya."
"Tapi apakah kau tahu cara makan daging manusia goreng itu pun ada rahasianya," kata So Ing.
"Oya" Bagaimana?" tanya Li Toa-jui.
"Yakni, sebaiknya kau mengiris dagingku selagi aku masih hidup, pula bumbunya jangan diberi cuka, sebab daging manusia umumnya memang rada masam," kata So Ing.
"Hehe, terima kasih atas petunjukmu, sudah banyak manusia yang kumakan, tak tersangka kau lebih ahli daripadaku," kata Li Toa-jui.
Dengan tenang So Ing lantas duduk dan berkata Kula, "Nah, santapan enak sudah tersedia, apalagi yang kau tunggu?"
"Ya, aku memang tidak sabar lagi," kata Li Toa-jui.
"Jika tidak sabar lagi, mengapa engkau tidak lekas turun tangan?"
"Dengan sendirinya aku akan turun tangan," kata Li Toa-jui. Dia melangkah dua tiga tindak, dilihatnya So Ing masih tetap duduk tenang-tenang saja, sedikit pun tidak mengunjuk rasa khawatir akan dijadikan santapan orang, malahan lebih mirip orang sedang menunggu antaran makanan.
"Li Toa-jui," tiba-tiba To Kiau-kiau berseru, "Coba kemari, ingin kubicara denganmu."
Lalu ia menarik Li Toa-jui ke samping sana dan membisikinya, "Apakah benar-benar kau hendak memakannya?"
"Urusan sudah kadung begini, memangnya dapat kulepaskan dia?" jawab Li Toa-jui dengan terbelalak. "Setelah dia menjadi isi perutku, toh selamanya takkan diketahui Siau-hi-ji."
"Tapi apakah pernah kau makan orang semacam dia" tanya Kiau-kiau.
Li Toa-jui melirik sekejap So Ing yang masih duduk tenang-tenang di sana, lalu dia mengomel dengan suara tertahan, "Keparat, tampaknya budak ini seakan-akan senang menjadi isi perutku, entah muslihat apa yang telah diaturnya?"
"Coba pikir, jika dia tidak mempunyai sesuatu pegangan, mana dia dapat bersikap setenang ini, ia bahkan khawatir matinya terlalu enak dan menyarankan kau menyayat dagingnya hidup-hidup. Coba pikirkan, masa di dunia ini ada manusia demikian?"
"Betul, budak ini banyak tipu akalnya, jangan-jangan sudah diaturnya perangkap untuk menjebak diriku," kata Li Toa-jui sambil berkerut kening.
"Asal kau tahu saja," kata To Kiau-kiau.
Semakin rapat terkerut kening Li Toa-jui, ucapnya, "Tapi cara bagaimana dia akan menjebak diriku" Apakah tubuhnya dilumuri racun agar aku keracunan bilamana kumakan dia, tapi apa pun juga jadinya nanti kan dia sudah menjadi isi perutku?"
"Kau pikir dia akan menggunakan cara segoblok itu?" tanya Kiau-kiau.
"Selain itu, anak perempuan selemah dia masa punya akal lain?" ujar Li Toa-jui.
"Jika akal muslihatnya dapat kau terka semudah itu, tentu orang lain tidak perlu takut padanya," ujar To Kiau-kiau. "Apalagi, dari mana kau tahu dia lemah"
Jelek-jelek dia kesayangan Gui Bu-geh, mustahil tidak diajarkan sejurus dua kepadanya."
Li Toa-jui termenung sejenak, katanya kemudian, "Apakah maksudmu ...."
"Menurut pendapatku, sudahlah, batalkan niatmu saja," kata To Kiau-kiau, "Kita dapat hidup sampai sekarang bukanlah hal yang mudah, jangan sampai kapal terbalik di selokan, kalau terjungkal di tangan budak cilik begini kan penasaran?"
"Ya, betul juga ...." Li Toa-jui jadi ragu-ragu.
"He, kenapa tidak lekas kenari," demikian So Ing sedang menggapai dengan tertawa. "Jika menunggu lebih lama lagi, sebentar dagingku bisa basi."
"Sudahlah, dagingmu terlampau kecut, aku tidak doyan," kata Li Toa-jui dengan tertawa.
"Belum lagi kau makan, dari mana kau tahu dagingku kecut?" ucap So Ing.
"Pengalamanku cukup luas, tanpa makan, sekali pandang pun kutahu," kata Li Toa-jui dengan tertawa.
"Wah, tak tersangka dagingku bisa kecut, jangan-jangan karena sehari-hari aku terlalu banyak minum cuka," ujar So Ing dengan menghela napas gegetun.
Perlahan dia berdiri, lalu memberi hormat dan berkata, "Jika Tuan tidak sudi lagi kepadaku, terpaksa kumohon diri saja."
"Nanti dulu!" mendadak Pek Khay-sim membentak.
"Eh, apa nafsu makan Tuan ini jauh lebih besar daripada Li-siansing ini sehingga tidak takut rasa kecut segala?" tanya So Ing.
Pek Khay-sim tertawa, katanya, "Aku tidak sama dengan dia. Dia gemar makan enak, aku gemar main perempuan. Umumnya orang yang cuma gemar makan bernyali lebih kecil, sebaliknya nyali orang yang gemar main perempuan jauh berbeda ...." sambil bicara, selangkah demi selangkah ia mendekati So Ing, dan menyambung pula dengan tertawa, "Kata orang, besar nyali penggemar perempuan meliputi jagat. Nah, apakah pernah kau dengar peribahasa demikian ini?"
Tanpa terasa So Ing menyurut mundur selangkah, tapi tetap tersenyum simpul, katanya, "Jika Tuan merasa bosan hidup membujang, sekarang juga aku dapat menjadi perantara bagimu."
"Kau mau menjadi perantara bagiku?" Pek Khay-sim menegas.
"Ya, di sungai sana ada perempuan cantik yang sedang mandi, bukan saja molek menggiurkan dan jauh lebih cantik daripadaku, bahkan genit memesona."
"Hehe, aku cuma penujui dirimu, orang lain aku tidak mau," kata Pek Khay-sim sambil terkekeh-kekeh, berbareng ia terus menubruk maju dan menarik So Ing.
Dalam keadaan demikian, biarpun dalam perut So Ing penuh berisi tipu akal juga tak dapat digunakannya, perempuan ketemu gerayak, sungguh mati kutu dan tak berdaya.
Li Toa-jui melotot pada To Kiau-kiau, katanya dengan menyesal, "Wah, mestinya aku tidak perlu menuruti kau, sepotong daging jadinya jatuh ke mulut anjing."
"Barang yang dia sudah pakai kan masih dapat dimakan?" ucap To Kiau-kiau dengan tertawa.
"Hm, barang yang sudah dipakai bocah busuk ini, anjing saja tidak mau mengendusnya lagi, siapa yang mau memakannya?" jengek Li Toa-jui.
"Bret", sementara itu baju SoIng sudah terobek sebagian oleh jambretan Pek Khay-sim tadi.
Syukurlah pada saat itu juga mendadak terdengar seorang berucap dengan tenang, "Seorang lelaki besar mana boleh menganiaya perempuan lemah?"
Suara orang ini terdengar lemah dan perlahan, tapi datangnya orang ini sungguh secepat kilat, tahu-tahu Pek Khay-sim melihat sesosok bayangan melayang tiba dari udara, ia terkejut, tanpa pikir sebelah datangnya terus menghantam.
Sudah jelas pukulannya itu tepat menuju ke bagian hulu hati pendatang, boleh dikatakan pukulan maut yang cukup lihai. Siapa tahu, baru sampai di tengah jalan pukulannya tahu-tahu berputar balik untuk menampar muka sendiri, menyusul mana rambutnya lantas terasa mengencang, tahu-tahu telah dijambak orang terus dilemparkan ke atas.
Li Toa-jui dan lain-lain hanya melihat berkelebatnya bayangan serta mendengar suara "plak" satu kali, tahu-tahu Pek Khay-sim mencelat ke atas dan tepat tercantol di ranting pohon.
Waktu memandang lagi ke arah So Ing, di sisi nona itu sudah bertambah seorang pemuda cakap, seorang pemuda gagah dan ganteng, meski pakaiannya rada kumal, namun tidak dapat menutupi sikapnya yang agung.
Meski pemuda ini telah berhasil menyelamatkan So Ing, tapi So Ing sendiri lantas pucat demi mengenalnya, serunya terkejut, "He, Hoa Bu-koat!"
Pemuda ini memang betul Hoa Bu-koat adanya. Ia tersenyum hambar, sorot matanya lantas menyapu Li, Toa-jui berempat, katanya perlahan, "Adakah di antara kalian yang ingin turun tangan pula?"
Li Toa-jui dan lain-lain sama melongo kaget. Meski Hoa Bu-koat tidak kenal mereka, tapi mereka kenal Hoa Bu-koat. Mereka pernah menyaksikan Hoa Bu-koat membawa nona Buyung Kiu melayang pergi dengan Ginkangnya yang mahatinggi, kini sekali gebrak saja Pek Khay-sim telah terlempar dan menyangkut di atas pohon. Mereka cukup cerdik, sudah tentu mereka tidak ingin cari penyakit.
Dengan tertawa Li Toa-jui lantas berkata, "Memangnya kami mendongkol terhadap setan ini, kini Kongcu telah memberi hajaran padanya, sungguh kami merasa berterima kasih."
"Ya, cuma sayang hajaran Kongcu tadi masih terlalu enteng," dengan tertawa To Kiau-kiau lantas menyambung.
"Haha, apabila Kongcu melemparnya lebih jauh, tentu kami akan lebih bergembira lagi," seru Ha-ha-ji.
Dalam pada itu Pek Khay-sim lagi meronta-ronta bermaksud melompat turun sambil berteriak-teriak, "Padahal aku cuma merabanya perlahan saja, sebaliknya si mulut besar she Li itu tadi hampir makan dagingnya."
Muka Li Toa-jui menjadi pucat, cepat ia menyangkal, "Ah, dia lagi kentut, jangan Kongcu percaya padanya."
"Kau sendiri yang kentut busuk!" teriak Pek Khay-sim. "Bukan saja kau hendak makan dagingnya, bahkan tadi kau merencanakan hendak menggoreng dagingnya, akan mengiris dagingnya selagi si nona masih hidup. Ayo, coba menyangkal lagi!"
Muka Li Toa-jui jadi merah, jawabnya, "Itu ... itu kan diucapkan sendiri oleh si nona ini."
"Coba dengarkan Kongcu, siapa kiranya yang ngaco-belo?" kata Pek Khay-sim dengan tertawa. "Memangnya nona ini sudah gila, masa menyuruh orang lain mengiris hidup-hidup dagingnya sendiri?"
"Keparat, kau yang suka merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri!" teriak Li Toa-jui dengan murka.
Pek Khay-sim juga balas mendamprat, "Kau serigala mulut besar yang makan orang tanpa menumpahkan tulang!"
Mereka tidak bersatu menghadapi musuh dari luar, tapi malah cakar-cakaran sendiri, sungguh Hoa Bu-koat tidak pernah melihat manusia demikian, tanpa terasa ia menghela napas dan berkata, "Ai, mengapa kalian jadi bertengkar antarkawan sendiri ...."
Belum habis ucapannya Li Toa-jui telah meraung sambil menubruk ke arah Pek Khay-sim, tampaknya Pek Khay-sim tidak sempat mengelak sehingga kena digenjot oleh Li Toa-jui hingga mencelat beberapa tombak jauhnya sambil mencaci maki, "Kau bangsat keparat, serigala mulut besar, kau berani memukul orang"!"
"Sudah 20 tahun ingin kupukul mampus kau jahanam ini!" Li Toa-jui meraung pula sambil mengejar ke sana.
Tak terduga sebelah kaki Pek Khay-sim mendadak menjegal sehingga Li Toa-jui jatuh tersungkur, kedua orang terus saling gumul dan menggelinding ke sana, terdengar suara "blak-bluk" beberapa kali, suara saling tonjok disertai caci-maki yang kotor, cara berkelahi mereka pun tiada harganya untuk ditonton.
Semula Hoa Bu-koat mengira mereka ini adalah jago silat kelas tinggi, kini ia menilai cara berkelahi itu tidak lebih seperti kaum gelandangan yang saling jotos berebut sisa makanan di tepi jalan.
Dalam pada itu Ha-ha-ji malah bersorak dan berteriak, "Bagus, perkelahian ramai. Haha, jamak rambutnya, lekas! Nah, begitu! Pukul lagi, tonjok hidungnya! Nah, bagus!"
To Kiau-kiau juga berseru, "Wah, jangan dibiarkan mereka berkelahi lagi, jika terus berlangsung, salah satu mungkin bisa mati dan kita yang harus membelikan peti mati baginya, kan rugi kita" Lekas kita melerai mereka saja."
Sementara itu Li Toa-jui dan Pek Khay-sim yang bergumul itu sudah menggelinding ke balik pohon sana, keduanya tampak sudah terengah-engah dan babak belur, tapi masih saling jotos.
Cepat To Kiau-kiau dan Ha-ha-ji memburu ke sana sambil berteriak, "He, sudahlah berhenti, jangan berkelahi lagi .... Nanti bisa mati salah satu, kan runyam!" Maka kedua orang itu pun menghilang ke balik pohon seperti hendak memisah perkelahian kawan mereka itu.
Hoa Bu-koat cuma menggeleng kepala sambil tersenyum getir, terhadap orang tak kenal malu begitu dia benar-benar tak berdaya kecuali geleng-geleng kepala belaka.
Tiba-tiba So Ing berkata dengan tersenyum, "Hoa-kongcu, engkau telah tertipu oleh mereka."
"Tertipu bagaimana?" tanya Bu-koat.
"Apakah kau kira mereka berkelahi benar-benar?"
Bu-koat melengak, katanya, "Memangnya mereka cuma ...."
"Mereka hanya cari alasan untuk kabur," kata So Ing dengan tertawa. "Meski ilmu silat kedua orang itu tidak tinggi, tapi kalau benar-benar mau berkelahi mati-matian dalam 300 jurus juga sukar menentukan kalah atau menang."
Cepat Hoa Bu-koat memburu ke sana, betul juga, di balik pohon sana sudah tidak nampak bayangan seorang pun.
Setelah melenggong sejenak, Bu-koat menyengir sendiri dan berucap, "Benar juga aku tertipu, sungguh memalukan."
"Tipu daya keempat orang ini sungguh jarang terlihat," kata So Ing dengan tertawa, "Adalah aneh kalau orang jujur seperti Hoa-kongcu tidak tertipu oleh mereka."
"Orang jujur?" Bu-koat mengulang kata-kata itu dengan tertawa, "Kukira belum tentu ... sebab baru saja ada beberapa orang telah tertipu olehku."
"Oya" Siapa?" tanya So Ing. Tapi segera ia pun tahu siapa yang dimaksud, ucapnya dengan tertawa. "Ya, betul, yang tertipu olehmu pasti Pek San-kun dan istrinya, betul tidak?"
Bu-koat mengangguk dengan tertawa, jawabnya, "Betul, memang mereka."
So Ing mengerling, ucapnya, "Meski telah kukuasai dirimu dengan kekuatan obat, tapi obat itu tidak berbahaya bagi manusia, asalkan tertiup angin, dalam waktu tidak lama kekuatan obat itu akan lenyap. Cuma waktu itu mereka telah menutuk pula Hiat-tomu sehingga engkau tidak mampu lolos." Dia tersenyum, lalu menyambung pula, "Tentunya engkau pura-pura sangat payah keracunan agar mereka tidak berjaga-jaga terhadapmu, tapi diam-diam menggunakan tenaga dalam Ih-hoa-ciap-giok untuk menjebol Hiat-to yang tertutuk dan dapatlah meloloskan diri."
"Kepintaran dan kecerdasan nona sungguh jarang ada bandingannya," ucap Bu-koat dengan tertawa.
Berkilat sorot mata So Ing, katanya dengan perlahan, "Menurut pendapatmu aku ini terhitung orang pintar nomor satu di dunia bukan?"
Mendadak lenyap senyum Hoa Bu-koat yang selalu menghiasi wajahnya itu, jawabnya dengan gegetun, "Meski nona memang sangat cerdas dan pintar, tapi masih ada pula seorang kenalanku ... apabila nona bertemu dengan dia, mungkin nona pun akan diakali olehnya."
So Ing menunduk, ia pun menghela napas, ucapnya dengan rawan,
"Perkataanmu memang betul, kutahu siapa yang kau maksudkan, malahan aku sudah pernah diakali olehnya."
Tanpa terasa wajah Hoa Bu-koat menampilkan rasa heran dan tidak percaya, selagi dia hendak tanya lebih jelas, tiba-tiba So Ing berkata pula dengan tertawa, "Sungguh tidak nyana Hoa-kongcu yang ramah tamah sekarang juga dapat menipu orang dengan akal licik, mungkin caramu ini pun dapat belajar dari orang itu, betul tidak?"
Bu-koat tertawa, katanya, "Ya, rasanya aku memang telah ketularan."
"Tapi Kuncu kan tetap Kuncu, makanya meski kuperlakukan cara begitu, engkau tidak membalas dendam padaku, sebaliknya malah menyelamatkan aku."
Mendadak Hoa Bu-koat menarik muka, katanya, "Tapi apakah kau tahu sebab apa kutolong kau?"
Terkejut So Ing melihat perubahan air muka Hoa Bu-koat itu, jawabnya dengan tertawa, "Sudah kukatakan, justru karena engkau adalah seorang Kuncu."
"Kuncu terkadang juga bisa membunuh orang," kata Bu-koat.
"Jika engkau bermaksud membunuh tentu tidak perlu menolongku, betul tidak?"
"Tapi harus kuberitahukan tiga hal padamu," ucap Bu-koat dengan menarik muka, "Pertama, rahasia ilmu Ih-hoa-ciap-giok sekali-kali tidak boleh diketahui orang luar, siapa yang mendapat tahu hanya ada satu jalan baginya, yaitu kematian. Inilah hukum Ih-hoa-kiong, siapa pun tiada terkecuali."
Meski So Ing masih tetap tertawa, namun suara tertawanya sudah tidak senyaring tadi lagi.
"Kedua," sambung Bu-koat, "Apa pun yang akan dilakukan anak murid Ih-hoa-kiong harus dikerjakan sendiri, orang lain tidak boleh ikut campur dan juga tidak boleh diwakilkan pada orang lain."
"Dan yang ke ... ketiga"
"Ketiga, aku pun anak murid Ih-hoa-kiong, betapa pun juga aku tidak boleh melanggar peraturan Ih-hoa-kiong."
So Ing menghela napas, katanya, "Jika demikian, sebabnya engkau menolong aku hanya lantaran kau ingin membunuhku dengan tanganmu sendiri, begitu?"
Bu-koat berpaling ke sana dan menjawab dengan tegas, "Meski terpaksa, mau tak mau harus kulaksanakan."
"Jika demikian aku pun ingin ... ingin memberitahukan tiga hal padamu," kata So Ing. Tanpa menunggu Bu-koat bertanya segera ia menyambung pula,
"Pertama, jangan kau lupa bahwa sebenarnya banyak kesempatanku dapat membunuhmu, tapi hal itu tidak kulakukan, jika sekarang kau membunuhku bukankah itu berarti tidak tahu budi?"
Meski tidak menanggapi, tapi Bu-koat menghela napas juga.
So Ing lantas melanjutkan, "Kedua, meski kutahu rahasia ilmu Ih-hoa-ciap-giok, tapi aku pasti takkan meyakinkan ilmu ini, juga takkan kukatakan kepada siapa pun juga, jika engkau tetap membunuhku, itu berarti tidak bijaksana."
Mulai terketuk hati nurani Hoa Bu-koat, namun dia tetap tidak bersuara.
"Ketiga, kau pun jangan lupa bahwa aku adalah perempuan yang lemah, seorang lelaki besar menganiaya seorang perempuan lemah, ini namanya tidak sopan, kurang ajar, bahkan boleh dikatakan tidak tahu malu."
Tanpa terasa Hoa Bu-koat menunduk.
Melihat perubahan sikap orang, berkilat mata So Ing, namun mulutnya tetap menjengek, "Hm, jika kau tetap ingin melaksanakan tindakan-tindakan yang tidak berbudi, tidak bijaksana dan tidak sopan serta tidak tahu malu, ya, apa boleh buat. Cuma kalau hal ini diketahui Thi Sim-lan, kuyakin dia pasti akan sangat kecewa terhadapmu."
"Apa katamu" Thi Sim-lan?" mendadak Bu-koat menengadah dan menegas.
Dengan perlahan So Ing menjawab, "Betul, Thi Sim-lan .... Dia senantiasa bilang padaku bahwa engkau adalah lelaki yang paling lemah lembut, paling sopan. Tadinya aku percaya penuh, tapi sekarang ...." dia sengaja menghela napas dan tidak melanjutkan.
Jari Hoa Bu-koat rada gemetar, ia menegas pula, "Kau ... kau kenal Thi Sim-lan?"
"Hubungan kami juga tidak terlalu karib, hanya baru saja kami mengikat sebagai kakak beradik," jawab So Ing dengan acuh tak acuh.
Mendadak Bu-koat seperti kena dicambuk satu kali, ia melenggong sejenak, lalu berkata sambil menggeleng, "Tidak mungkin ... sekali-kali tidak mungkin."
"Jika tidak percaya, mengapa kau tidak langsung menanyai dia?" jengek So Ing.
Mendadak Bu-koat mengepal tangannya dan bertanya, "Di mana dia?"
"Seumpama kukatakan sekarang dia berada di mana, kukira kau pun tidak berani mencarinya ke sana."
Sinar mata Bu-koat berkilat tajam, bentaknya, "Gui Bu-geh, maksudmu telah kau jerumuskan dia ke tempat Gui Bu-geh?"
"Hah, kiranya kau pun seorang pintar," ucap So Ing dengan tertawa.
"Mengapa kau mencelakai dia?" bentak Bu-koat dengan gusar.
"Mencelakai dia" Dia adalah kakak angkatku, masa kucelakai dia?"
"Tapi ... tapi Gui Bu-geh ...."
"Meski Gui Bu-geh terkenal ganas terhadap orang lain, tapi terhadap kami kakak beradik cukup baik."
Bu-koat membanting-banting kaki, sekonyong-konyong ia membalik tubuh dan berkata dengan parau, "Rahasia Ih-hoa-ciap-giok sekali-kali tidak boleh kau katakan kepada orang lain."
"Jika diketahui oleh orang kedua, tatkala mana belum terlambat bila aku kau bunuh."
"Walaupun tatkala mana sudah terlambat, tapi " tapi aku tetap percaya padamu," mendadak Bu-koat melayang pergi secepat terbang.
"He, nanti dulu, ingin kutanya sesuatu pula padamu," cepat So Ing berseru.
Ketika dilihatnya Bu-koat menghentikan langkah, segera ia menyambung pula,
"Orang yang disekap bersamamu itu bernama Kang Giok-long, kau kenal dia atau tidak?"
Tanpa terasa Bu-koat menghela napas menyesal, ucapnya, "Kuharap lebih baik aku tidak kenal dia."
"Kau pun muak padanya?" tanya So Ing, sorot matanya berkilau.
"Hm, tidak cuma muak saja," jawab Bu-koat gemas.
"Telah kau bunuh dia?" tanya So Ing pula.
"Tidak," jawab Bu-koat.
"Mengapa tidak kau bunuh dia?" ujar So Ing gegetun. "Orang ini dibiarkan hidup di dunia ini, hanya akan banyak mendatangkan bencana melulu."
"Saat ini dia sedang sakit dan terluka, mana bisa kukerjai dia?" kata Bu-koat.
"Ya, memang inilah penyakit kaum Kuncu," kata So Ing. "Tapi jika kau tidak punya ciri ini, mungkin juga ...." dilihatnya tubuh Bu-koat telah mulai bergerak pula, segera ia berseru, "Tunggu dulu, masih ingin kukatakan sesuatu padamu."
Untuk kedua kalinya terpaksa Bu-koat berhenti, tanyanya, "Kata-kata apa?"
So Ing tertawa, ucapnya, "Thi Sim-lan tidak salah menilai dirimu, memang benar engkau lelaki yang lembut dan menyenangkan, kau pun benar sangat baik padanya."
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Di rumah batu sana Siau-hi-ji sudah tidak sabar menunggu lagi. Semua tahu, watak Siau-hi-ji tidak sabaran, maka dia terus mondar-mandir seperti semut di dalam wajan panas, berulang-ulang ia tanya Oh Yok-su, "Apakah kau tahu So Ing pasti akan datang kemari?"
Semula Oh Yok-su merasa pasti dan mengiakan. Tapi lama-lama ia sendiri menjadi cemas, sebab So Ing sebegitu jauh belum nampak bayangannya.
Apalagi ia sendiri pun gelisah karena racun yang mengeram di tubuhnya, ia coba bertanya, "Racun yang kuderita ini mungkin ... mungkin sudah hampir bekerja bukan?"
Siau-hi-ji melotot dan menjawab, "Apa kau minta kupunahkan racunmu sekarang juga?"
"Setiap perintah Kongcu pasti kuturuti, asalkan Kongcu ...."
Mendadak Siau-hi-ji berjingkrak gusar, bentaknya, "Persetan kau! Dengarkan yang jelas, apabila So Ing tidak datang kemari, selama itu pula takkan kutawarkan racunmu, tahu?"
"Tapi ... tapi nona So akan datang atau tidak kan tidak ada sangkut-pautnya denganku, apabila " apabila racun mulai bekerja ...."
"Jika racun sudah mulai bekerja, anggap saja kau yang sial," teriak Siau-hi-ji.
"Kau mati pun pantas, habis siapa suruh kau bilang So Ing pasti akan datang kemari?"
Siau-hi-ji benar-benar tidak mau bicara tentang aturan lagi, sebab saking gelisahnya dia sudah hampir-hampir gila.
Sudah tentu Oh Yok-su jauh lebih kelabakan daripada Siau-hi-ji, baju yang baru saja kering kini kembali basah kuyup oleh air keringat.
Hanya Kang Giok-long saja tampaknya tidak gelisah sedikit pun, dengan cengar-cengir dia duduk tenang di sana, So Ing akan datang tidak seolah-olah tiada sangkut-pautnya dengan dia. Maklum, sebab dia merasakan obat yang membuatnya sakit dan lemas kini sudah mulai buyar, badannya kini sudah mulai terasa sehat, perlahan-lahan sudah bertenaga.
Sungguh tidak kepalang gelisah Siau-hi-ji dan bayangan So Ing tetap tidak tertampak, akhirnya dia tidak tahan, serunya, "Berangkat, ayo berangkat.
Peduli dia datang atau tidak, biarlah kita pergi mencarinya saja."
Kang Giok-long menghela napas panjang, katanya, "Kini baru mau pergi mencarinya, kukira sudah agak terlambat."
Mata Siau-hi-ji melotot sebesar telur ayam, bentaknya bengis, "Terlambat"
Terlambat apa maksudmu?"
"Jika sekarang pergi mencari nona So lebih dulu baru kemudian balik lagi menolong Hoa-kongcu, kukira Hoa-kongcu mungkin sudah ...." Giok-long sengaja menghentikan ucapannya.
Benar juga, Siau-hi-ji lantas berjingkrak gusar dan membentak, "Mungkin sudah apa" Katakan lekas!"
Kang Giok-long sengaja berlagak tergegap-gegap, jawabnya, "Ter ... terus terang, tempat yang kugunakan menyimpan Hoa Bu-koat itu tidak ... tidak terlalu enak, malahan kurang tembus hawa, jika ... jika terlalu lama, bukan mustahil dia akan mati sesak napas di sana."
Segera Siau-hi-ji hendak menubruk maju untuk menghajarnya, tapi baru satu langkah mendadak ia berhenti, air mukanya yang marah lantas berubah tertawa, katanya, "Haha, Kang-heng adalah orang antar, tentunya kau tahu apabila Hoa Bu-koat mati kan juga tiada faedahnya bagimu."
Kang Giok-long menghela napas, ucapnya, "Tentang ini dengan sendirinya Siaute cukup maklum, cuma ...." dia tatap Siau-hi-ji, lalu menyambung dengan perlahan, "... jika sekarang Siaute menolongnya keluar, lalu apa pula faedahnya bagiku"
Cepat Siau-hi-ji menjawab, "Jika kau menolong dia keluar, kujamin akan minta obat penawar dari So Ing untukmu."
"Siaute sekarang sudah sadar, kurasa kehidupan ini hanya khayalan belaka, mati atau hidup hanya impian saja, apakah nanti Siaute akan mendapatkan obat penawar atau tidak sudah tak terpikir lagi olehku."
Bahwa Kang Giok-long mendadak mengucapkan kata-kata yang berbau filsafat orang hidup, ini benar-benar lebih mengejutkan seperti mendadak mendengar Hwesio bicara tentang bacaan porno. Keruan Siau-hi-ji melenggong dan memandangnya dengan terbelalak.
"Kau ... kau ini Kang Giok-long tulen atau bukan?" tanya Siau-hi-ji kemudian.
"Tulen atau palsu, betul atau tidak, satu sama lain tiada bedanya," ucap Giok-long pula seperti seorang pendeta.
"Hahaha, bagus, bagus!" Siau-hi-ji bergelak tertawa. "Kiranya Kang-heng ini reinkarnasi seorang Hwesio tua," mendadak ia berhenti tertawa dan berkata pula dengan serius, "Baiklah, jika Kang-heng sudah dapat menyadari artinya orang hidup, maka sekarang kita boleh pergi menolong Hoa Bu-koat."
Kembali Giok-long menghela napas, ucapnya, "Meski Siaute sudah tidak memikirkan lagi tubuh yang busuk ini, akan tetapi ...." dia berpaling dan memandang Thi Peng-koh sekejap, lalu menyambung dengan muram, "Akan tetapi dia ... cintanya padaku membuat aku tak dapat meninggalkan dia."
Termangu-mangu Thi Peng-koh memandangi Kang Giok-tong dengan air mata berlinang-linang, entah gembira, entah terkejut, entah percaya atau tidak"
Siau-hi-ji lantas menukas, "Memang betul, persoalan cinta, biarpun nabi atau dewa sekalipun juga sukar menghindarinya, tapi entah maksud Kang-heng apakah ...."
"Setelah mengalami peristiwa ini, Siaute tiada hasrat buat berlomba lagi di dunia Kangouw dengan para saudara, yang kuharap budi dan dendam dapat dibereskan sekaligus, bersama dia, kami akan mengasingkan diri ke tempat yang terpencil, kami akan hidup tenteram dan sejahtera untuk selanjutnya, namun ...." dia menyengir dan menyambung pula, "... namun sesungguhnya sudah terlalu banyak kesalahan yang pernah kulakukan, kutahu Hi-heng pasti juga takkan membiarkan kupergi begini saja, betul tidak?"
Dengan sungguh-sungguh Siau-hi-ji menjawab, "Peribahasa berbunyi "taruh golok jagal, seketika menjadi Budha". Tindakan Kang-heng ini sungguh sangat kukagumi, mana bisa kucari perkara lagi padamu?"
"Tapi ... bukanlah Siaute tidak mempercayai Hi-heng, soalnya ...."
"Soalnya setiap orang tahu Kang Siau-hi bukanlah seorang Kuncu," tukas Siauhi-ji dengan tertawa, "Makanya seumpama kau tidak percaya padaku juga takkan kusalahkan kau. Tapi dengan cara bagaimana kiranya barulah kau dapat percaya padaku?"
Giok-long termenung sejenak, katanya kemudian, "Hi-heng berpengalaman banyak dan berpengetahuan luas, tentunya tahu dalam tetumbuhan jamur ada sejenis yang disebut Li-ji-hong (merah anak perempuan)."
Berubah juga air muka Siau-hi-ji mendengar nama tumbuhan ini, tapi cepat ia menjawab dengan tertawa, "Ah, mana berani kuterima sebutan pengalaman banyak dan pengetahuan luas segala, cuma aku memang dibesarkan di pegunungan, maka secara kebetulan pernah juga mendengar nama Li-ji-hong begitu."
"Barang apakah Li-ji-hong itu?" tiba-tiba Thi Peng-koh ikut menimbrung.
"Li-ji-hong ini adalah sejenis jamur yang tumbuh di tempat yang lembap," tutur Siau-hi-ji. "Konon barang siapa memakannya tidak sampai lima hari pasti akan menderita semacam penyakit aneh."
"O, penyakit aneh apa?" tanya Peng-koh pula.
"Konon penyakit ini pada awalnya tidak memperlihatkan tanda apa-apa, hanya si penderita merasa pening kepala dan ingin tidur melulu. Semangat lesu dan seperti orang sakit rindu," demikian tutur Siau-hi-ji. "Untuk menyembuhkan penyakit aneh ini, setiap beberapa bulan sekali si penderita harus makan sejenis rumput yang disebut Ok-po-cau, (rumput nenek jahat), dimakan bersama akarnya, kalau tidak, penyakit rindu itu akan bertambah berat dan tidak lebih dari setahun akan tamatlah riwayatnya."
Siau-hi-ji tertawa, lalu menambahkan pula, "Hanya dengan Ok-po-cau saja dapat mengatasi Li-ji-hong, menarik bukan nama-nama ini" Anehnya, dalam keadaan sekarang tiba-tiba Kang-heng menyinggung jamur Li-ji-hong, apa barangkali Kang-heng ingin membikin diriku sakit rindu?"
Sekali ini Kang Giok-long ternyata tidak berbelit-belit lagi, tapi langsung menjawab dengan terus terang, "Ya, betul."
Hampir saja Oh Yok-su menyangka Kang Giok-long menjadi gila mendadak sehingga mengemukakan permintaan yang mustahil itu, apabila Siau-hi-ji setuju dan benar-benar makan jamur Li-ji-hong itu, bukankah dia juga sudah sinting"
Namun Siau-hi-ji lantas tertawa, katanya, "Tapi benda yang sukar dicari itu, dalam waktu singkat begini ke mana akan kau dapatkan untukku?"
"Jika kucari ke tempat lain, mungkin setengah tahun juga takkan menemukannya," ujar Giok-long. "Tapi sungguh kebetulan, di sekitar sini justru ada sebuah Li-ji-hong, asalkan Hi-heng sudah setuju, segera akan kupergi memetiknya untukmu."
Thi Peng-koh juga tidak tahan akhirnya, serunya, "Apakah kau sudah gila"
Masa kau bicara begitu, mana ... mana dia mau terima permintaan ini?"
Tapi Giok-long tidak menggubrisnya, dengan perlahan ia berkata pula,
"Tentunya Hi-heng tahu, seperti juga Li-ji-hong, Ok-po-cau pun sangat sukar dicari, akan tetapi rumput ini dapat ditanam dan dirawat oleh tenaga manusia, kebetulan Siaute juga tahu cara menanamnya."
Bola mata Siau-hi-ji tampak berputar-putar, tapi tidak bicara.
Maka Kang Giok-long lantas menyambung lagi, "Apabila urusan di sini sudah selesai, segera akan kucari sesuatu tempat terpencil untuk mengasingkan diri dan mencurahkan perhatian penuh untuk menanam Ok-po-cau bagi Hi-heng.
Jika Hi-heng ingin badan tetap sehat, dengan sendirinya engkau akan melindungi keselamatanmu."
Baru sekarang Oh Yok-su tahu maksud tujuan Kang Giok-long, rupanya dia telah memakai perhitungan yang rapi dan persoalan ini hendak digunakan sebagai alat pemeras terhadap Siau-hi-ji agar selanjutnya Siau-hi-ji tidak berani lagi mencari perkara padanya.
Tapi jalan pikiran ini bukankah terlalu kekanak-kanakan, memangnya Siau-hi-ji mau terima begitu saja" Sungguh lucu, hampir-hampir saja Oh Yok-su bergelak tertawa.
Dilihatnya Siau-hi-ji berpikir sejenak, kemudian berkata dengan tertawa,
"Bahwa kau tidak percaya padaku, sebaliknya cara bagaimana aku dapat percaya padamu" Dari mana pula kutahu kau benar-benar akan menanamkan Ok-po-cau bagiku" Pula cara bagaimana kutahu Ok-po-cau itu pasti dapat kumakan kelak?"
"Jika Hi-heng benar-benar mau mencariku, biarpun Siaute mabur ke langit atau ambles ke bumi juga sukar menyembunyikan diri."
Orang pintar seperti Siau-hi-ji ternyata dapat mengajukan pertanyaan sebodoh itu, jawaban Kang Giok-long juga lucu, tanya jawab mereka sama saja seperti nol besar.
Tapi sekarang Siau-hi-ji justru seperti mau percaya, ia malah tanya lagi,
"Setelah kumakan Li jihong segera akan kau tolong Hoa Bu-koat?"
"Ya, apabila Siaute ingkar janji, setiap saat Hi-heng boleh mencabut nyawaku,"
jawab Giok-long.
Siau-hi-ji menghela napas, akhirnya dia berkata, "Baik, aku setuju!"
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Benar-benar Siau-hi-ji telah menerima syarat Kang Giok-long itu, urusan yang tidak mungkin diterima oleh siapa pun juga, dia justru setuju dan menerimanya.
Urusan yang menurut perhitungan orang lain pasti akan dilakukannya justru tidak dilakukannya, tapi urusan yang menurut perhitungan orang lain pasti tidak mungkin dilakukannya justru disetujui dan akan dilakukannya.
Sungguh aneh, sungguh lucu, sungguh tidak masuk akal. Kecuali Siau-hi-ji mungkin di dunia ini tiada orang kedua yang dapat melakukan hal-hal yang mustahil ini.
Oh Yok-su memandang Siau-hi-ji dengan terkesima, pikirnya, "Gila, benar-benar orang gila. Kiranya orang ini tidak waras, konon orang yang kelewat pintar terkadang bisa berubah menjadi gila, tampaknya cerita ini memang tidak salah."
Thi Peng-koh juga melongo heran dan terkejut sehingga tidak sanggup bersuara.
Kemudian Kang Giok-long benar-benar berhasil menggali Li-ji-hong yang tampaknya sangat menarik dan Siau-hi-ji juga benar-benar memakannya dengan tertawa.
Setelah mengusap mulut, Siau-hi-ji berkata, "Hebat, sungguh hebat. Tak tersangka Li-ji-hong ini adalah makanan selezat ini, selama hidupku ini belum pernah menikmati barang seenak ini."
Sampai di sini girang Kang Giok-long benar-benar sukar dilukiskan, dia berlagak menyesal, katanya, "Wanita cantik kebanyakan bibit bencana bagi keruntuhan seorang penguasa atau suatu negara, racun yang mematikan sering kali adalah makanan yang terasa paling enak, hanya obat mujarab saja rasanya pasti pahit."
"Dan kata-kata yang muluk-muluk kebanyakan hanya dusta belaka," sambung Siau-hi-ji sambil menarik tangan Kang Giok-long, "Nah, ayolah Kang-heng lekas pergi menolong Hoa Bu-koat!"
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Letak rumah batu itu memang sangat terpencil, sekarang Kang Giok-long membawa Siau-hi-ji lebih maju lagi ke tempat yang semakin sepi, jalanan juga semakin menanjak dan curam.
Celakanya penyakit Kang Giok-long seperti kumat lagi, belum berapa jauh dia sudah megap-megap, berapa langkah pula dia lantas jatuh, kedua kakinya gemetar seperti orang sakit malaria.
Siau-hi-ji sangat gelisah dan tidak sabar lagi, segera dia pondong Kang Giok-long, katanya, "Di mana tempat yang kau maksudkan, coba katakan, akan kubawa kau ke sana."
"Wah, bikin capai Hi-heng, rasanya tidak enak," ujar Giok-long.
Siau-hi-ji tertawa, katanya, "Tidak jadi soal, tulangmu sangat enteng seperti anak kecil, tidak memerlukan tenaga untuk membopong kau."
"Apakah tulang Hi-heng sangat besar" Wah, kelak Siaute kan tidak sanggup memondong engkau?" jawab Giok-long dengan tertawa.
Dengan mendongkol Thi Peng-koh lantas menyela, "Sudahlah, maukah kalian berhenti bertengkar mulut?"
"Ah, mana kuberani bertengkar mulut dengan Hi-heng," ucap Giok-long.
"Soalnya ...." sampai di sini mendadak ia menuding ke atas sana dan berseru,
"Itu dia, apakah Hi-heng melihat gua di atas sana."
Siau-hi-ji mengikuti arah aneh yang ditunjuk itu, dilihatnya dinding tebing yang curam dan penuh berlumut itu memang betul ada sebuah lubang gua yang gelap gulita. Di mulut gua menonjol sepotong batu sehingga mirip balkon pada gedung bersusun.
"Apakah kau sembunyikan Hoa Bu-koat di gua itu?" tanya Siau-hi-ji.
"Lumayan bukan tempat ini?" ucap Giok-long.
"Mengapa tidak kau sumbat lubang gua itu dengan batu?" tanya Siau-hi-ji pula.
"Selangkah saja Hoa-kongcu tidak mampu berjalan, masa aku khawatir dia akan melarikan diri?" jawab Giok-long.
Mendadak Siau-hi-ji mendelik, bentaknya, "Jika gua itu tidak tertutup, mengapa kau bilang dia bisa mati sesak napas."
Kang Giok-long tenang-tenang saja, jawabnya acuh, "Mungkin dia takkan mati sesak napas, tapi gua yang terletak di pegunungan begini bukan mustahil ada binatang buas atau ular berbisa ...." Belum habis ucapannya, Siau-hi-ji sudah meloncat ke atas.
"Lebih baik Hi-heng menurunkan diriku agar lebih jelas keadaan tempat ini,"
kata Giok-long.
Batu yang mirip balkon itu pun penuh berlumut dan sangat licin, setelah Siauhi-ji menurunkan Kang Giok-long, tampaknya berdiri saja dia tidak berani, khawatir terpeleset. Dia merangkak ke mulut gua dan melongok ke dalam, mendadak ia berteriak, "Hoa-kongcu, kami datang menolongmu, apakah kau dengar?"
Suara yang berkumandang balik terdengar mendengung-dengung, tapi tiada terdengar jawaban Hoa Bu-koat.
Giok-long berkerut kening, serunya pula, "Hoa-kongcu, bag ... bagaimana engkau" Meng ... mengapa ...."
Siau-hi-ji menjadi tidak sabar, ia tarik mundur Kang Giok-long, ia sendiri lantas mendekam di mulut gua dan melongok ke dalam, tapi keadaan di dalam gua gelap gulita, apa pun tidak kelihatan.
"Adakah kau lihat Hoa-kongcu, Hi-heng?" tanya Giok-long.
Dengan gusar Siau-hi-ji menjawab, "Keparat, sebenarnya kau main gila apa
...." belum habis ucapannya, sekonyong-konyong tungkak kakinya didorong oleh tenaga mahakuat, belum sempat Siau-hi-ji menjerit kaget, tahu-tahu tubuhnya sudah terjerumus ke dalam gua.
Kang Giok-long yang tadinya tidak sanggup berjalan itu kini mendadak berubah menjadi gagah perkasa, cepat ia melompat bangun dan berseru ke dalam gua,
"Hi-heng ... Siau-hi-ji ...."
Namun tiada jawaban Siau-hi-ji, selang sejenak baru terdengar suara "plung", nyata gua itu sangat dalam.
Sambil menengadah Kang Giok-long tertawa ngakak, katanya, "Siau-hi-ji, wahai Siau-hi-ji, baru sekarang kau tahu kelihaian Kang Giok-long, akhirnya kau tertipu dan kena kukerjai juga."
Thi Peng-koh memandang dari bawah ke atas, apa yang terjadi di atas itu tak jelas baginya. Kini mendengar suara tertawa senang Kang Giok-long itulah baru dia terkejut, cepat ia bertanya, "He, engkau telah apakan Siau-hi-ji?"
"Kau lebih memperhatikan dia atau cuma memperhatikan aku?" tanya Giok-long dengan tertawa.
"Tapi ... tapi engkau kan tidak boleh "."
"Tidak boleh apa?" tanya Giok-long dengan tertawa.
"Kau membunuhnya?" seru Peng-koh parau.
"Tidak kubunuh dia, memangnya harus kutunggu dibunuh olehnya?" kata Giok-long dengan terbahak.
Kejut dan gusar Thi Peng-koh, teriaknya dengan parau, "Bukankah kau ingin hidup tenteram bersamaku, mengapa sekarang engkau ...."
Sambil bicara segera ia bermaksud meloncat ke atas, tapi baru saja dia hendak bergerak, mendadak teringat olehnya bahwa baju yang dipakai olehnya sekarang adalah baju panjang milik Oh Yok-su, bagian dalam kosong melompong tiada memakai apa pun, jika lompat ke atas, yang pasti untung adalah Oh Yok-su yang berdiri di bawah dan akan menikmati tontonan menarik dan gratis. Karena itulah dia urungkan niatnya sambil mengepit bajunya lebih rapat.
Oh Yok-su juga terkejut dan melenggong, sejenak kemudian barulah dia bersuara, "Jika benar Siau-hi-ji telah kena racun Li-ji-hong, selanjutnya kan dapat kau peralat dia agar tunduk kepada segala perintahmu, kalau sekarang juga kau celakai jiwanya, kan sayang?"
"Tak tersangka olehmu bukan?" tanya Giok-long.
"Ya, aku memang rada-rada tidak mengerti?" ujar Oh Yok-su.
"Apa yang tidak dimengerti olehmu juga tak dimengerti oleh Siau-hi-ji, makanya dia tertipu olehku," ucap Giok-long dengan tertawa. "Li-ji-hong tadi tidak lebih hanya sebagai kail saja. Nah, sekarang kau paham tidak?"
Kembali Oh Yok-su melengak, ia merasa betapa licin tipu akal Kang Giok-long ini dan kejinya sungguh sukar dibayangkan orang.
Lalu Giok-long berkata pula, "Dia selalu sok pintar, selalu menganggap orang lain tidak dapat menipu dia, justru di sinilah letak kelemahannya. Apabila seseorang menganggap dirinya sendiri teramat pintar, terkadang dia akan tertipu juga secara amat bodoh," ia terbahak-bahak, lalu menyambung, "Siauhi-ji, wahai Siau-hi-ji, kau senantiasa menganggap dirimu adalah orang pintar nomor satu di dunia, sekarang tentunya kau tahu, orang pintar nomor satu di dunia ini sesungguhnya siapa?"
"Dan Hoa Bu-koat bagaimana" Apakah dia juga sudah dicelakai olehmu?" tiba-tiba Oh Yok-su bertanya.
"Sudah sejak tadi Hoa Bu-koat kabur," jawab Giok Long.
"Kabur" Dia sudah kabur?" Oh Yok-su menegas dengan terkesiap.
"Memangnya kau kira Hoa Bu-koat orang tolol dan linglung?" tutur Giok-long dengan tertawa. "Supaya kau tahu, dia juga bisa menipu orang. Dia sengaja berlagak linglung agar kalian tidak berjaga-jaga padanya, kesempatan baik itu lantas digunakan untuk kabur."
Oh Yok-su tertegun sejenak, katanya kemudian sambil menyengir, "Lalu di mana Pek San-kun?"
"Waktu itu penyakitku lagi kumat, dalam keadaan samar-samar aku pun tidak memperhatikannya, rasanya dia seperti pergi mengejar Hoa Bu-koat," kata Giok-long.
Oh Yok-su menatapnya lekat-lekat dan bertanya, "Dan sekarang penyakitmu
...."
"Ada sementara obat yang sangat lihai, tapi punahnya juga sangat cepat ...."
Mendadak Oh Yok-su melompat ke atas dan berteriak khawatir, "Wah, celaka, racun yang kuminum belum lagi punah, aku masih harus minta obat penawar padanya."
"Bagus, silakan mencarinya ke bawah!" jengek Giok-long tiba-tiba. Mendadak sebelah tangannya menghantam.
Padahal Oh Yok-su baru saja melayang ke atas dan belum lagi berdiri tegak, kalau melompat balik ke bawah memang dapat menghindarkan serangan itu, tapi ganti napas saja belum sempat, bila melompat turun ke bawah, andaikan tidak jatuh terluka juga pasti tak dapat berdiri tegak. Bukan mustahil kesempatan itu akan digunakan Kang Giok-long untuk menubruk ke bawah dan menyerangnya lagi, maka pasti sukar untuk mengelak.
Hendaklah diketahui bahwa setiap tokoh "Cap-ji-she-shio" adalah jagoan yang sudah berpengalaman, Oh Yok-su bahkan tergolong salah satu di antaranya paling menonjol, sebab itulah bilamana bergebrak dengan orang selalu digunakan perhitungan yang matang, baik sebelum maupun sesudahnya.
Batu di mulut gua itu sangat licin, menurut perhitungan Oh Yok-su, bagian kaki Kang Giok-long pasti tidak cukup kukuh berdirinya, kalau bagian kaki kurang kuat, daya pukulannya juga pasti tidak keras.
Karena itu pukulan Giok-long itu tidak dihindarkan lagi oleh Oh Yok-su, ia sengaja menerima pukulan itu, tapi kakinya mendadak juga menyapu ke bagian bawah Kang Giok-long.
Serangan ini memaksa lawan harus menyelamatkan diri lebih dulu, benar-benar satu tipu serangan yang bagus, kalau bukan jago kawakan yang berpengalaman pasti tidak dapat melancarkan serangan berbahaya dan jitu ini.
Tapi Kang Giok-long hanya tertawa terkekeh kekeh saja, katanya, "Boleh juga juragan kelinci kita ini!" Mendadak ia melompat ke atas, berbareng kedua kakinya menendang secara berantai dalam keadaan tubuh terapung.
Sama sekali tak terduga oleh Oh Yok-su bahwa di tempat begini Kang Giok-long berani menggunakan serangan demikian, keruan ia terkejut, hendak berkelit pun tidak keburu lagi. Maklum, ia sendiri baru saja menendangkan sebelah kakinya dan belum sempat ditarik kembali, tentu saja bagian bawah menjadi goyah, sedangkan ujung kaki Kang Giok-long sudah menendang ke tenggorokannya.
Dalam keadaan kepepet terpaksa dia menyambut tendangan Giok-long itu dengan tangan. Sudah tentu tenaga tangan tidak sekuat tenaga kaki, seumpama tendangan itu dapat ditangkis oleh tangannya juga orangnya pasti akan terdepak ke bawah. Sebaliknya kalau kaki Kang Giok-long sampai terpegang olehnya, tentu pula akan ikut terseret jatuh ke bawah, meski cara demikian lebih mirip perkelahian antara kaum gelandangan, tapi dalam keadaan kepepet, hal-hal demikian tak terpikir lagi olehnya.
Di luar dugaan, dalam keadaan tubuh terapung Kang Giok-long masih ada sisa tenaga untuk mengubah gerak serangannya. Mendadak kedua kakinya menendang beberapa kali dalam waktu sekejap saja, jangankan hendak menangkap kakinya, bahkan arah datangnya kaki saja tak jelas bagi Oh Yok-su.
Baru sekarang Oh Yok-su tahu bahwa Kang Giok-long ini bukan cuma licin, keji dan kejam, bahkan tinggi ilmu silatnya juga jauh di luar dugaannya. Ia tahu dirinya tidak mampu melawannya, ia menghela napas dan mendadak menjatuhkan diri ke atas batu yang berlumut itu, menyusul terus menggelinding dan terjun ke dalam gua yang gelap gulita itu.
Tinggal Thi Peng-koh saja yang masih berdiri termangu-mangu di bawah tanpa bergerak, Kang Giok-long sengaja pamer, ia berjumpalitan satu kali di udara lalu dengan enteng seperti seekor kupu-kupu raksasa turun di samping Peng-koh. Namun si nona masih tetap anggap tidak melihatnya.
"Beberapa kali tendangan tadi sudah kau lihat bukan?" dengan cengar-cengir Giok-long bertanya.
Tanpa memandangnya Peng-koh menjawab dengan hambar, "Ya."
"Itulah kombinasi tendangan dari Bu-tong-pay, Kun-lun-pay, Siau-lim-pay, dan Go-bi-pay yang telah kugabungkan dan diubah di sana sini sehingga jadilah ilmu tendangan seperti tadi, untuk itu kuberi nama "tendang mati orang tidak ganti nyawa". Coba, bagus tidak nama ini?"
"Bagus," jawab Peng-koh dengan dingin.
"Nah, kau mempunyai suami yang berkepandaian setinggi ini, masa tidak gembira?" tanya Giok-long dengan tertawa.
Mendadak Thi Peng-koh melengos terus lari ke sana.
Cepat Giok-long memburu maju dan mengadang di depannya, ucapnya dengan tertawa, "Eh, apa-apaan kau ini" Kan sudah lama kita tidak berkumpul, sekarang penyakitku sudah sembuh, inilah kesempatan pertama bagi kita untuk bermesraan, kenapa kau malah tidak gubris padaku?"
"Silakan kau cari dan bermesraan dengan orang lain saja," jengek Peng-koh,
"Orang pintar seperti kamu, ksatria yang berkepandaian tinggi pula, mana kuberani menaksir dirimu."
"Mencari orang lain" Mencari siapa" Yang kusukai hanya dikau!" rayu Giok-long, berbareng Peng-koh terus dirangkul dan diciumnya.
Karena tak dapat melepaskan diri, Peng-koh hanya meronta-ronta saja sambil berseru, "Kau ... kau ... lepaskan!"
"Tidak, tidak akan kulepaskan, biarpun kau bunuh aku juga takkan kulepaskan," kata Giok-long dengan memicingkan sebelah mata, tangannya juga mulai menggerayang ke dalam baju Peng-koh yang longgar itu.
Peng-koh masih meronta-ronta, akhirnya ia pun kehabisan tenaga, tanpa terasa ia mencucurkan air mata, ucapnya dengan suara gemetar, "Lepaskan dulu diriku, ingin ... ingin kutanya sesuatu padamu."
"Tanyalah, kan mulutmu tidak kusumbat"!" jawab Giok-long dengan cengar-cengir, sudah tentu tangannya tidak pernah berhenti "main".
"Coba jawab, setelah kau celakai Siau-hi-ji, memangnya kau belum puas dan mengapa masih membinasakan Oh Yok-su pula?"
"Masa kau tidak tahu apa sebabnya?"
"Tidak," jawab Peng-koh.
"Sudah sejak mula kulihat kelinci keparat itu memandangmu dengan matanya yang serupa mata maling, rasa gemasku sudah tak terlukiskan, kalau bisa seketika itu pun akan kubunuh dia, masa perlu kau tanya lagi?"
"Kau ... kau bunuh dia, masa ... masa demi diriku?"
"Bukan demi dirimu, memangnya demi siapa lagi?" ujar Giok-long dengan tertawa. "Entah mengapa, asalkan orang lain memandang sekejap padamu, rasa hatiku lantas panas. Apalagi kelinci keparat itu berniat jahat kepadamu.
Hm, kecuali aku sendiri, barang siapa berani menyentuh satu jarimu, mustahil tidak kubinasakan dia."
Sambil bicara, kerja tangannya juga bertambah aktif sehingga Thi Peng-koh sampai geliang-geliut.
"Sungguh tak tersangka sebesar ini cemburumu," ucap Peng-koh dengan gegetun.
"Jika aku tidak suka padamu, mana bisa cemburu?" kata Giok-long.
Rasa marah Peng-koh sudah lenyap sejak tadi, kini pipinya malah bersemu merah, bukan saja suaranya rada gemetar, bahkan tubuhnya juga mulai gemetar.
Giok-long menempelkan mulutnya ke tepi telinga si nona dan membisiki dua-tiga kata.
Seketika muka Thi Peng-koh menjadi merah dan meronta, serunya, "Tidak, tidak boleh di sini "."
"Mengapa tidak boleh?" ucap Giok-long tertawa.
"Bila ... bila dilihat orang ...."
"Setan saja tidak kelihatan di sini, mana ada orang segala?" kata Giok-long.
"Ayolah ...."
Belum lanjut ucapnya, entah mengapa, tahu-tahu Thi Peng-koh memberosot lepas dari rangkulannya, terus "terbang" ke atas sambil menjerit kaget.
Tentu saja Kang Giok-long juga berjingkat, tanpa terasa ia memandang ke arah Peng-koh, dilihatnya kedua paha si nona yang putih mulus itu sedang terayun-ayun di udara, tubuhnya mengapung lurus ke atas seperti roket yang baru lepas landas, sekaligus mengapung setinggi beberapa tombak dan anehnya dengan tepat hinggap di atas pohon.
Pohon itu tumbuh mencuat keluar dari celah tebing, baju Thi Peng-koh yang longgar itu persis menyangkut pada ranting pohon, seketika badannya telanjang bulat bergelantungan di udara, persis Swike atau kodok hijau yang habis dibelejeti kulitnya oleh si penjual di pasar.
Sungguh tak terbayangkan oleh Kang Giok-long cara bagaimana Thi Peng-koh bisa bergelantungan begitu di udara, tanpa pikir ia berteriak-teriak, "Lekas lompat turun, lekas! Akan kupegang kau!"
Thi Peng-koh seperti melenggong kaget, bergerak saja tidak bisa lagi, mukanya juga pucat lesi, rasa takutnya yang tak terhingga tertampak dari sorot matanya yang guram itu. Tapi sorot matanya itu tidak memandang ke arah Kang Giok-long.
Dengan sendirinya Giok-long lantas berpaling mengikuti arah pandang si nona, baru sekarang dilihatnya seorang berbaju putih dengan rambut panjang terurai di pundak entah sejak kapan telah berdiri di depannya.
Baju putih orang ini berkibar tertiup angin, tubuhnya kaku seperti patung tanpa bergerak, mukanya juga memakai sebuah topeng ukiran kayu, kelihatannya seperti badan halus yang baru muncul dari bawah tanah.
Jelas sekarang bagi Kang Giok-long, mengapungnya Thi Peng-koh ke atas itu adalah karena dilemparkan oleh orang ini. Hanya sekali lempar saja Thi Peng-koh telah mencelat setinggi beberapa tombak dan menyangkut di ranting pohon, kepandaian ini sungguh sukar untuk dibayangkan.
Sebenarnya Kang Giok-long sangat licik dan licin, pintar melihat gelagat, mahir membedakan arah angin. Kalau kebentur orang yang berkepandaian jauh di atasnya, andaikan dia disuruh makan tahi seketika juga dia tak berani membantah.
Tapi bayangkan, seorang lelaki yang hasratnya sedang menyala-nyala, mendadak kehendaknya itu digagalkan orang, maka betapa rasa murkanya itu sungguh tak terkatakan.
Tentu saja Kang Giok-long menjadi gusar dan lupa segalanya, segera ia membentak, "Apakah kau ini gila" Tanpa hujan tiada angin, mengapa kau cari perkara padaku?"
Si baju putih bertopeng kayu itu tetap berdiri tegak, tidak bergerak juga tidak bersuara.
Kang Giok-long tambah murka, segera ia menubruk maju terus menghantam.
Si baju putih tetap diam saja, hanya lengan bajunya mengebas perlahan, kontan pukulan Kang Giok-long itu entah cara bagaimana mendadak berputar balik dan "plak", dengan tepat muka sendiri yang terpukul.
Seketika muka Kang Giok-long merah bengap karena pukulan itu, tapi otaknya juga lantas sadar oleh pukulan itu, seketika kakinya terasa lemas, dengan suara gemetar ia tanya, "Apakah ... apakah engkau ini Ih-hoa-kiongcu?"
"Orang macam kau juga berani sembarangan menyebut Ih-hoa-kiongcu?"
jengek si baju putih.
Seketika Kang Giok-long menjatuhkan diri dan menyembah, ucapnya dengan suara parau, "Ya, ya, hamba memang tidak sesuai untuk menyebut nama yang keramat itu, hamba pantas dipukul."
Dia memang pintar, tanpa menunggu si baju putih memukulnya segera ia memukul dirinya sendiri, bahkan cukup keras caranya memukul.
Si baju putih hanya memandangnya dengan dingin tanpa bersuara.
Karena orang tidak bersuara, tangan Kang Giok-long juga tidak berani berhenti, ia terus memukul muka sendiri, mukanya yang putih cakap itu seketika merah bengap seperti ginjal babi yang baru disembelih, darah pun meleleh dari ujung mulutnya.
Remuk redam perasaan Thi Peng-koh menyaksikan cara Kang Giok-long menghajar mukanya sendiri, tanpa terasa ia memohon, "Kiongcu, sudilah engkau mengampuni dia."
Baru sekarang si Baju putih menengadah, katanya, "Kau mintakan ampun baginya, lalu siapa pula yang akan mintakan ampun bagimu?"
Dengan suara gemetar Peng-koh menjawab, "Hamba tahu dosa hamba teramat besar, sesungguhnya memang tidak berani meminta ampun kepada Kiongcu."
"Bagus, jika begitu coba jawab ke mana kau bawa Siau-hi-ji?"
"Siau-hi-ji .?" tiba-tiba Peng-koh tidak berani meneruskan, teringat apabila dia bicara terus terang bahwa Siau-hi-ji telah dicelakai Kang Giok-long, bukan mustahil seketika Kang Giok-long akan dicincang hingga hancur lebur oleh Ih-hoa-kiongcu.
"Siau-hi-ji bagaimana" Mengapa tidak kau lanjutkan?" tanya si baju putih.
"Dia ... dia juga berada di sini," jawab Peng-koh dengan tergagap-gagap,
"Mungkin dia berada di " di sebelah sana."
"Baik," kata si baju putih, "Sekarang juga akan kucari ke sana, asal saja keteranganmu ini benar."
Dalam pada itu Kang Giok-long berkelesetan di tanah karena dihajar oleh dirinya sendiri, namun begitu dia belum lagi berani berhenti.
"Sudah, cukup!" bentak si baju putih mendadak.
Seperti baru bebas dari neraka, Kang Giok-long merangkak bangun sambil menyembah, katanya, "Te ... terima kasih Kiongcu."
"Sekarang kau harus menjaganya di sini, jika dia dicelakai orang lain, segera kucabut nyawamu, bila dia dilarikan orang, jiwamu juga akan kubetot. Nah, tahu tidak?" kata si baju putih.
"Hamba tahu," jawab Giok-long takut-takut.
"Sedikitnya kau harus tahu, apabila jiwa seseorang sudah kuincar, biarpun dia lari ke ujung langit juga pasti dapat kutemukan dia," jengek pula si baju putih.
Kembali Giok-long mengiakan sambil munduk-munduk. Waktu dia angkat kepalanya, tahu-tahu si baju putih sudah menghilang seperti badan halus.
Ia menghela napas dan berucap dengan meringis, "Inilah Ih-hoa-kiongcu, kiranya beginilah Ih-hoa-kiongcu, tak tersangka hari ini aku dapat melihatnya, mungkin nasibku lagi mujur."
"Masa kau anggap mujur?" seru Peng-koh dengan parau.
"Berapa orang Kangouw yang dapat melihat Ih-hoa-kiongcu, apa namanya jika bukan mujur."
"Untung yang datang ini Kiongcu muda, jika Kiongcu besar yang datang, saat ini jiwa kita mungkin sudah amblas."
Namun Kang Giok-long sedang memandang jauh ke sana dengan termangu-mangu, entah apa yang lagi dipikirkan.
Dengan kesal Thi Peng-koh berkata pula, "Nanti kalau dia sudah datang lagi, kita tetap tak dapat hidup lebih lama. Kau telah mencelakai Siau-hi-ji, tidak mungkin dia mengampunimu."
"Sebab apa" Bukankah dia mengharuskan Hoa Bu-koat membunuh Siau-hi-ji?"
"Betul, tapi dia cuma menginginkan Hoa Bu-koat membunuh Siau-hi-ji dengan tangan sendiri, orang lain dilarang mengganggu satu jari pun Siau-hi-ji, bahkan dia sendiri juga pasti tidak akan mencelakai Siau-hi-ji."
"Aneh, apa sebabnya?" ucap Giok-long dengan heran, "Sungguh aneh, benar-benar aneh"!"
"Aku pun tidak tahu apa sebabnya," tutur Peng-koh. "Mereka kakak beradik memang manusia aneh. Betapa pun juga sekarang lekas kau tolong aku turun, badanku terasa kesemutan, Hiat-toku tertutuk olehnya."
"Mana bisa kutolong kau?" kata Giok-long dengan menyengir.
"Habis siapa ... siapa yang akan menolongku jika bukan engkau?" seru Thi Peng-koh.
"Sekalipun kutolong kau juga kita tetap tak dapat lolos dari cengkeramannya,"
ucap Giok-long dengan kesal.
"Tapi apa pun kan harus kita coba," ujar Peng-koh. "Paling-paling hanya mati saja. Jika sekarang juga kita kabur dan bersembunyi, sedikitnya kita masih dapat hidup beberapa hari lagi dengan bahagia."
Setelah berhenti sejenak, dengan tersenyum pedih kemudian Peng-koh menyambung, "Ya, asalkan aku dapat hidup bersamamu dengan tenteram dan bahagia, biarpun mati juga kurela."
Kang Giok-long menunduk, tiba-tiba ia menengadah dan berkata, "Tapi kalau tidak kau beritahu bahwa aku yang membunuh Siau-hi-ji, tentu dia takkan membunuhku, betul tidak?"
Thi Peng-koh melengak, jawabnya dengan ragu-ragu, "Ya, mung ... mungkin
...."
"Jika tadi telah kau dustai dia, kenapa tidak berdusta lagi," ujar Giok-long.
"Tapi ... tapi aku ... aku ...."
"Jika akhirnya kau toh akan mati, untuk apa mesti menghendaki aku mati bersamamu" Bila kau benar-benar cinta padaku, kau harus berani mengorbankan dirimu untuk menolong aku, untuk itu pasti selamanya takkan kulupakan."
Thi Peng-koh benar-benar melenggong, sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa Kang Giok-long bisa bicara demikian"
Pada saat itulah tiba-tiba seorang menanggapi dengan tertawa terkekeh-kekeh, "Bagus, bagus sekali! Sudah lama tak kudengar kata-kata mutiara begini."
Seorang lagi menambahkan dengan tertawa, "Jika saudara ini perempuan, Siau Mi-mi pasti akan mengaku kalah bila menyaksikan kejadian ini."
"Hahaha, dua Siau Mi-mi mungkin juga tak dapat menandingi dia seorang,"
sambung lagi orang ketiga.
Segera suara orang keempat bergelak tertawa, katanya, "Sejak kedua Auyang bersaudara itu mati, kalian selalu khawatir sukar mencari gantinya, sekarang sudah tersedia seorang calon di sini."
Di tengah gelak tertawa ramai itulah dari balik lereng sana muncul empat orang. Bentuk keempat orang ini sangat istimewa, yang satu bermulut lebar luar biasa, seorang lagi lelaki bukan perempuan tidak, orang ketiga selalu tersenyum simpul dan orang keempat mirip pengemis dengan memanggul sebuah karung goni.
Karung yang dipanggulnya itu kelihatan bergerak-gerak, malahan terdengar suara keluhan dari dalam karung, suara keluhan itu pun sangat aneh, seperti orang sakit, tapi juga mirip keluhan orang kepuasan dan mengkilik-kilik perasaan orang lain yang mendengarnya.
Sebelah tangan orang yang mirip pengemis itu memegang sepotong kayu dan sebentar-bentar disabetkan ke atas karung goni. Setiap kali dia menyabet, setiap kali pula suara keluhan itu bertambah kenikmatan, malahan terdengar ucapannya yang samar-samar seperti lagi memohon, "Sabetlah yang keras ...
kumohon, sabetlah lebih keras lagi "."
Tapi orang yang mirip pengemis itu justru menurunkan karungnya dan tidak memukul lagi, ia malah berkata pada Kang Giok-long dengan tertawa, "Coba, di dunia ini ada orang yang suka dipukuli, pernah kau lihat atau tidak?"
Kang Giok-long memang benar-benar tak pernah melihat orang sinting demikian, pada hakikatnya mendengar saja tidak pernah. Walaupun biasanya dia pintar putar lidah, kini dia jadi kesima juga.
Dalam pada itu Thi Peng-koh yang masih terkatung-katung di atas pohon itu ya malu ya cemas, akhirnya ia pingsan sendiri.
Keempat pendatang ini jelas bukan lain daripada Li Toa-jui, To Kiau-kiau, Pek Khay-sim dan Ha-ha-ji. Namun siapakah pula yang berada di dalam karung goni dan gemar dipukul itu"
Li Toa-ju mendekati Kang Giok-long, dengan tertawa lebar ia menegur,
"Sahabat cilik, siapakah namamu?"
Meski tidak tahu asal usul orang aneh ini, tapi melihat bentuk mereka yang luar biasa, betapa pun Kang Giok-long tidak berani cari gara-gara, lalu menjawab,
"Cayhe Ciang Peng, entah tuan-tuan ini siapa pula?"
"Usia saudara masih muda belia, tapi nama Cap-toa-ok-jin kiranya juga pernah kau dengar bukan?" jawab Li Toa-jui dengan tertawa.
Seketika berubah air muka Kang Giok-long, ucapnya, "Cap-toa-ok-jin" Jangan-jangan ... jangan-jangan Tuan ini ...."
"Haha, melihat mulutnya tentunya kau pun tahu siapa dia" seru Ha-ha-ji.
Giok-long mengerling mereka sekejap, tanpa terasa tangannya berkeringat dingin.
To Kiau-kiau terkikik-kikik, katanya, "Jangan khawatir, saudara cilik, kedatangan kami ini tidak bermaksud jahat padamu."
Tiba-tiba Giok-long tertawa, jawabnya, "Kalian adalah kaum Cianpwe dunia persilatan, sudah tentu takkan mencari perkara kepada Wanpwe yang tiada terkenal ini, hati Cayhe sungguh sangat lega, bahkan merasa gembira karena dapat melihat wajah asli para Cianpwe."
"Hihihi, coba lihat, betapa pintar cara bicara anak ini, seperti bermadu saja mulutnya," ucap To Kiau-kiau dengan mengikik.
"Haha, orang begini, Hwesio seperti diriku juga suka padanya," tukas Ha-ha ji,
"Pantaslah nona di atas pohon itu pun tidak sayang berbuat apa pun baginya."
Tiba-tiba Giok-long berkata serius, "Nona di atas pohon ini meski kenalan Cayhe, tapi hubungan kami hanya berdasarkan persahabatan saja tanpa ada persoalan asmara, janganlah Cianpwe salah mengerti."
"Jika benar ada persahabatan, kini orang tergantung di atas pohon dalam keadaan bugil, kenapa kau tidak menolongnya?" tanya To Kiau-kiau.
Giok-long menghela napas, jawabnya, "Meski ada maksudku untuk menolongnya, tapi ... tapi ada pembatasan antara lelaki dan perempuan, sekarang dia dihina dan dianiaya orang cara begitu, rasanya tidak bebas bagiku untuk menolongnya."
"Wah, jika demikian, kau ini seorang lelaki sejati, seorang ksatria tulen," To Kiau-kiau berseloroh.
"Meski Cayhe sudah menjelajah Kangouw, tapi tidak berani melupakan kesopanan dan keluhuran budi," kata Giok-long.
Mendadak To Kiau-kiau tertawa terkekeh-kekeh, ucapnya sambil menuding hidung Kang Giok-long, "Coba lihat kalian, bukankah dia ini memang punya sejurus dua simpanan. Jangankan Siau Mi-mi, sekalipun kedua Auyang bersaudara juga mesti mengangkat guru padanya."
"Haha, memang benar," sambung Ha-ha-ji, "Cara bicara kedua Auyang bersaudara yang dapat dipercaya kira-kira hanya satu kalimat di antara tiga kalimat, tapi bocah ini seluruhnya cuma bicara empat kalimat dan ternyata tiada satu pun yang dapat dipercaya."
"Ah, kembali Cianpwe berkelakar, di depan para Cianpwe masa Wanpwe berani berdusta?" ucap Giok-long.
"Kau tidak berani berdusta" Haha, kembali kau berdusta lagi!" seru Ha-ha ji sambil ngakak.
Giok-long menghela napas, katanya, "Yang kukatakan semuanya adalah sejujurnya, kalau Cianpwe toh tidak percaya, sungguh Cayhe ...."
"Kau bicara sejujurnya?" potong To Kiau-kiau dengan tertawa genit. "Jika begitu ingin kutanya padamu. Kau mengaku bernama Ciang Peng, lalu si telur busuk kecil yang bernama Kang Giok-long itu siapa pula dia?"
Di dunia ini memang banyak pendusta, tapi di antara sepuluh ribu pendusta mungkin cuma satu-dua orang saja yang air mukanya tidak berubah bilamana kebohongannya terbongkar di depan umum. Dan Kang Giok-long inilah benar-benar pilihan di antara satu-dua orang pendusta itu. Mukanya tidak merah, sikapnya tidak kikuk, sebaliknya malah tertawa.
To Kiau-kiau memandangnya lekat-lekat seakan-akan makin lama makin tertarik, dengan tertawa ia tanya, "Apa yang kau tertawakan?"
"Sebab mendadak Cayhe merasa geli terhadap diriku sendiri," jawab Kang Giok-long.
"Oo," To Kiau-kiau jadi melongo.
"Soalnya Wanpwe menyadari kalau berdusta di depan para Cianpwe, hakikatnya seperti main kapak di depan tukang kayu, sungguh tidak tahu diri, kan lucu?"
"Haha, bagus, tepat!" Ha-ha ji berkeplok tertawa. "Caramu menjilat pantat sungguh menyenangkan dan kena, aku menjadi suka padamu."
"Sebelum para Cianpwe bicara denganku, bisa jadi seluk-beluk mengenai diriku sudah kalian selidiki dengan jelas," kata Giok-long.
"Betul, kami tahu kau ini bernama Kang Giok-long, putra kesayangan Kanglam-tayhiap segala, kami juga tahu nona cilik ini adalah anak murid Ih-hoa-kiong," tutur Kiau-kiau.
"Sungguh tidak nyana Cayhe bisa mendapatkan perhatian para Cianpwe, terima kasih."
"Apakah kau tahu sebab apa kami menaruh perhatian padamu?" tanya To Kiau-kiau.
Giok-long tersenyum, tanyanya, "Barangkali Cianpwe hendak menjadi comblang bagiku?"
"Buset!" Kiau-kiau tertawa. "Andaikan aku punya anak perempuan, lebih baik kuberikan pada Li Toa-jui daripada diberikan padamu. Sedikitnya Li Toa jui takkan makan kepalanya, tapi kau, haha, mungkin akan kau lalap seluruhnya bersama tulang-tulangnya."
"Ah, Cianpwe terlalu memuji, masa Cayhe dapat dibandingkan dengan Li-locianpwe," ujar Giok-long dengan tertawa.
"Ah, tidak perlu rendah hati kau," ucap Li Toa jui. "Caraku makan orang paling-paling cuma satu-satu, tapi caramu makan justru main lalap sebaris demi sebaris. Bukankah orang-orang dari Siang-say-piaukiok itu telah kau telan seluruhnya hanya dalam semalam saja?"
Kang Giok-long tetap tenang-tenang saja, jawabnya dengan tertawa,
"Sebenarnya apa sebabnya para Cianpwe menyelidiki diriku sejelas ini?"
"Mungkin kau tidak tahu bahwa setelah kedua saudara Auyang bersaudara mati, kini Cap-toa-ok-jin hanya tersisa sembilan orang saja," ucap To Kiau-kiau.
"Aneh, sepuluh dikurangi dua kan seharusnya tersisa delapan?" tanya Giok-long.
"Haha, caramu berhitung sungguh cermat," seru Ha-ha-ji dengan tertawa, "Jika aku membuka pabrik, pasti kupakai tenagamu sebagai pemegang buku."
"Tapi kau tidak tahu bahwa kedua Auyang Ting Tong itu terlalu suka cari untung kecil, orang yang cuma suka cari untung kecil tidak dapat dianggap Toa-ok-jin (penjahat besar) melainkan cuma telur busuk kecil saja. Sebab itulah gabungan mereka berdua baru sekadarnya dapat dianggap seorang Ok-jin."
"Jika demikian, untuk menjadi Toa-ok-jin harus mengesampingkan soal keuntungan kecil ... ya, kata-kata emas ini pasti akan kuingat selalu," ucap Giok-long dengan tertawa.
"Selain kedua Auyang bersaudara sudah mati, akhir-akhir ini, Ok-tu-kui kayak-kayaknya juga mau kembali ke jalan yang baik, sedangkan penyakit Ong-say Thi Cian juga semakin pasrah, bilamana tiada orang yang bisa diajak berkelahi, terkadang dia suka menghajar dirinya sendiri. Sedangkan Siau Mi-mi si ahli pikat itu entah sembunyi di gua mana, maka munculnya kami sekali ini tiba-tiba terasakan nama Cap-toa-ok-jin sudah tidak begitu tenar lagi di dunia Kangouw."
Dengan sendirinya Kang Giok-long tahu di mana beradanya Siau Mi-mi.
Sebagaimana diketahui Siau Mi-mi telah terkurung di istana bawah tanah oleh Kang Giok-long dan Siau-hi-ji dahulu, mungkin selama hidupnya takkan muncul lagi.
Namun Giok-long hanya tersenyum tak acuh, katanya, "Jangan-jangan maksud para Cianpwe ingin mencari seorang pengganti Auyang bersaudara."
"Betul, jika kami ingin membangkitkan nama kebesaran Cap-toa-ok-jin, maka kami harus mencari tenaga baru," kata To Kiau-kiau.
Berkilau sinar mata Kang Giok-long, katanya dengan tertawa, "Tapi orang demikian memang sangat sukar dicari, setahuku, tokoh Kangouw yang dapat disejajarkan dengan para Cianpwe mungkin dapat dihitung dengan jari."
"Jauh di ujung langit, dekat di depan mata, sekarang juga sudah tersedia satu orang di sini," ucap To Kiau-kiau dengan tertawa sambil menatap Kang Giok-long.
"Ah, mana Cayhe sanggup," cepat Giok-long menjawab.
"Hahaha, kau tidak perlu sungkan," ujar Ha-ha-ji, "Usiamu memang muda belia, tapi hasil karyamu sukar dinilai. Lewat dua tahun lagi mungkin kami pun tidak dapat menandingimu."
"Tidak perlu dua tahun lagi, sekarang pun kita sudah tak dapat melebihi dia,"
ucap To Kiau-kiau dengan tertawa.
Kang Giok-long seperti rada-rada kikuk, katanya, "Ah, mana kuberani, sedemikian tinggi para Cianpwe menghargai diriku, sungguh Cayhe tidak tahu cara bagaimana harus membalas kebaikan ini."
"Hah, menarik, caramu bicara ini sungguh menarik, tidak percuma aku memujimu, "seru Li Toa-jui dengan tertawa.
Mendadak Pek Khay-sim menyela, "Tapi, anak muda, jangan kau tertipu oleh mereka. Bahwa mereka menarik kau masuk komplotan, tujuan mereka cuma ingin menyuruhmu bekerja sesuatu bagi mereka."
Dasar "merugikan orang lain tidak perlu menguntungkan diri sendiri", sejak tadi Pek Khay-sim diam saja, sekali buka mulut dia lantas mengacau.
Dengan tertawa Ti Kiau-kiau mengomel, "Anjing memang tidak lupa makan najis, mana bisa mulut anjing tumbuh gading. Jangan kau percaya pada ocehannya."
"Justru yang kukatakan adalah sejujurnya," seru Pek Khay-sim dengan mendelik, "Jika kau tidak turut nasihatku, maka kau sendiri pasti bakal celaka."
"Maksud baik Cianpwe sudah tentu kuterima," ujar Giok-long dengan tersenyum. "Tapi jika Cayhe ada kesempatan bekerja bagi para Cianpwe, ini kan suatu penghargaan bagiku. Nah, ada petunjuk apakah, silakan para Cianpwe katakan saja."
Dengan tersenyum To Kiau-kiau lantas berkata, "Ada seorang tokoh persilatan yang maha lihai, namanya Gui Bu-geh, di pegunungan inilah tempat tinggalnya, kukira kau pun tahu hal ini. Tapi apakah kau tahu di liang tikusnya itu sekarang telah kedatangan seorang tamu agung?"
Seketika lenyap air muka Kang Giok-long yang tersenyum-senyum tadi demi mendengar yang dipersoalkan adalah Gui Bu-geh. Ia berdehem-dehem beberapa kali, lalu menjawab, "Jika di dunia ini ada orang yang tidak ingin kukenal, maka orang itu ialah Gui Bu-geh. Biarpun manusia di dunia sudah mampus seluruhnya juga Cayhe tidak mau bergaul dengan dia. Apakah liangnya sekarang kedatangan tamu agung atau tidak, sama sekali aku tidak mau tahu dan juga tidak ingin tahu."
"Cuma sayang, tamu agungnya itu justru kau kenal," tukas Kiau-kiau.
Melengak juga Kang Giok-long, ia menegas, "Kukenal" Mana bisa kukenal dia?"
"Selama hidup Gui Bu-geh tidak mempunyai kawan, sekalipun sesama anggota Cap-ji-she-shio mereka juga sama takut padanya, asal melihat dia tentu lekas-lekas menghindarinya," tutur Kiau-kiau.
"Ya, kan ada pemeo yang mengatakan, "tikus lalu di jalan, setiap orang ingin memukulnya". Pernah juga Cayhe melihat orang yang suka bergaul dengan kawanan ular atau binatang buas, tapi orang yang suka berkawan dengan tikus mungkin tiada seorang pun," kata Giok-long dengan tertawa.
"Kau salah," ujar Kiau-kiau dengan tertawa, "Orang yang berkawan dengan tikus juga ada satu."
"Oya"!" Giok-long melenggong.
"Sebenarnya tidak mengherankan kalau orang itu suka berkawan dengan Gui Bu-geh, yang aneh adalah dia dapat membikin Gui Bu-geh berkawan dengan dia."
"Ya, malahan dia berhasil membujuk Gui Bu-geh sehingga mau menuruti segala kehendaknya, padahal selama hidup Gui Bu-geh tidak pernah sebaik ini terhadap orang lain," sambung Li Toa-jui.
"Wah, jika demikian, kepandaian saudara ini sungguh luar biasa," ujar Giok-long dengan tertawa.
"Apakah kau tahu siapa gerangan orang itu?" tanya To Kiau-kiau.
Berputar biji mata Kang Giok-long, jawabnya, "Memangnya orang itu ada sangkut-pautnya dengan diriku?"
"Bukan saja ada sangkut-pautnya, bahkan sangat erat hubunganmu dengan dia," tukas Kiau-kiau.
Akhirnya tertampil juga rasa kejut dan heran pada wajah Kang Giok-long, katanya, "Sungguh Cayhe tidak ingat bilakah punya sahabat yang berkepandaian sehebat itu."
"Hihi, siapa bilang dia itu sahabatmu?" kata To Kiau-kiau dengan tertawa. "Kau memang tidak mempunyai sahabat yang berkepandaian tinggi, tapi kau mempunyai bapak yang berkepandaian mahasakti, masa kau lupa?"
Baru sekarang Kang Giok-long benar-benar melengak, ia menegas, "Jadi kau maksudkan ayahku?"
"Betul," jawab Kiau-kiau, "Tamu agung Gui Bu-geh itu ialah Kang-lam-tayhiap Kang Piat-ho."
Giok-long melenggong sejenak, katanya kemudian dengan gegetun, "Sungguh tak tersangka ayahku bisa bersahabat dengan Gui Bu-geh." Meski dia berucap dengan rasa menyesal tapi sorot matanya jelas menampilkan rasa senang.
"Memangnya apa jeleknya kalau bersahabat dengan Gui Bu-geh?" kata To Kiau-kiau, "Mempunyai sandaran sekuat Gui Bu-geh, sekali pun Ih-hoa-kiongcu hendak mencari perkara padanya juga tidak perlu takut lagi."
Saking senangnya hampir saja Giok-long tertawa, ia coba bertanya pula, "Jika demikian, lalu para Cianpwe bermaksud menyuruh Cayhe mengerjakan apa?"
"Karena ayahmu adalah tamu agung Gui Bu-geh, jika kau pun hadir ke sana, dengan sendirinya kau pun akan dilayani sebagai tamu terhormat," tutur Kiau-kiau. "Sebab itulah, kami ingin kepergianmu ke liang tikus itu untuk melakukan sesuatu bagi kami."
"Asalkan tenaga Cayhe sanggup menyelesaikannya, silakan saja Cianpwe memberi petunjuk," kata Giok-long tanpa pikir.
"Begini," ucap Li Toa-jui setelah saling pandang sekejap dengan To Kiau-kiau,
"Jika kau telah menjadi tamu terhormat di tempat Gui Bu-geh, dengan sendirinya kau boleh bebas bergerak di liangnya sana ...."
"O, apakah Cianpwe menghendaki kucari tahu sesuatu urusan?" sela Giok-long.
"Betul," kata Li Toa-jui sambil berkeplok tertawa. "Bicara dengan orang-orang yang berotak encer seperti kau ini sungguh sangat menyenangkan."
"Lantas urusan apakah itu?" tanya Giok-long.
Kembali Li Toa-jui saling pandang sekejap dengan To Kiau-kiau, lalu To Kiau-kiau menyambung, "Sebenarnya juga bukan sesuatu urusan yang penting, soalnya kami mempunyai beberapa buah peti yang konon jatuh di tangan Gui Bu-geh, maka kami ingin kau memeriksa tempatnya itu apakah peti kami betul berada di sana atau tidak" Jika memang betul di sana, disimpan di mana"
Kemudian kami akan berusaha mengeluarkan peti-peti itu."
Sinar mata Kang Giok-long tampak berkilat-kilat, nyata dia sangat tertarik oleh urusan ini, namun wajahnya berlagak tidak begitu mengacuhkan persoalan ini, katanya dengan hambar, "Bagaimanakah bentuk beberapa buah peti itu" Apa isinya?"
"Haha, hanya beberapa buah peti rongsokan saja," tukas Ha-ha-ji, "Warnanya hitam, tampaknya besar dan berat, namun peti yang besar dan berat begitu pasti tidak dimiliki orang lain. Sebab itulah sekali pandang segera kau akan mengenalnya."
"Apakah kosong peti-peti itu?" tanya Giok-long.
"Semula peti-peti itu berisi benda berharga. Tapi bisa jadi isinya sudah lama diambil oleh Gui Bu-geh," tutur Kiau-kiau.
"Jika peti sudah kosong, untuk apa para Cianpwe mencarinya lagi dengan susah payah?"
Kiau-kiau menghela napas menyesal, ucapnya, "Bagi orang lain mungkin cuma beberapa buah peti rongsokan

^