Bahagia Pendekar Binal 7

Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 7


jaga gengsi dan berharap So Ing yang bertanya.
Namun sorot mata So Ing tampak penuh rasa mesra, dengan tersenyum ia mengikuti tingkah polah Siau-hi-ji tanpa bersuara, agaknya dia sangat jelas apa yang dikehendaki anak muda itu.
Selang sejenak pula, akhirnya Lian-sing Kiongcu tidak tahan, sementara itu dilihatnya kepingan batu telah ditumpuk oleh Siau-hi-ji hingga setinggi manusia, ia lantas tanya, "Kerja apa kau ini?"
Siau-hi-ji mengikik tawa, jawabnya, "Makan, minum, berak, kencing dan tidur adalah lima tugas rutin yang harus dilakukan oleh manusia. Meski sekarang kita tidak makan dan minum, tapi sebelum ini kita kan sudah banyak makan minum, barang-barang yang sudah masuk perut itu akhirnya toh mesti keluar.
Jika kita tidak sanggup menahannya di dalam perut, dengan sendirinya juga tak dapat membiarkannya lolos keluar di celana, maka kita harus menggunakan cara ini."
"Kau ... kau berani tidak sopan?" damprat Kiau-goat dengan gusar.
"Tidak sopan?" tukas Siau-hi-ji. "Ini adalah urusan paling sopan di dunia ini, mengapa kau bilang tidak sopan" Kalau kuberak di celana, nah, ini baru dikatakan tidak sopan."
Saking dongkolnya hingga muka Ih-hoa-kiongcu sama merah padam dan juga tidak sanggup buka suara pula.
Dalam pada itu Siau-hi-ji telah menumpuk kepingin batu di kedua sisi peti mati itu hingga berwujud dua dinding, lalu ditambahkan tutup peti mati itu di atasnya, maka jadinya sebuah kakus yang praktis.
Sambil memandangi kakus darurat itu, Siau-hi-ji bergumam dengan tertawa,
"Tempat sebagus ini, digunakan untuk raja kiranya juga memenuhi syarat.
Yang hebat, selain tempatnya bagus, ukurannya juga pas, sekalipun digunakan 40 orang sekaligus juga takkan meluap."
Dia tepuk-tepuk tangan yang kotor, lalu menyambung pula dengan tertawa,
"Biasanya Cayhe suka menghormati orang tua dan menghargai orang pandai, jika kalian berdua mau pakai, boleh silakan dulu."
Dengan muka merah kedua Ih-hoa-kiongcu membanting kaki terus berpaling ke sana.
Siau-hi-ji pandang So Ing pula, tanyanya dengan tertawa, "Dan kau bagaimana?"
"Aku ... aku sekarang be ... belum ingin," jawab So Ing dengan jengah.
"Jika demikian, maaf aku tidak sungkan lagi," kata Siau-hi-ji dengan tertawa, ia terus menyusup ke dalam sana.
Selang sejenak barulah anak muda itu keluar sambil meraba perutnya, ucapnya dengan gegetun, "Wah, lega rasanya. Mungkin tiada urusan lain di dunia ini yang rasanya lebih lega daripada habis kerja begini."
Lalu ia kembali duduk ke tempatnya semula, ia memejamkan mata seperti ingin tidur.
Akhirnya So Ing juga tidak tahan, perlahan-lahan ia merangkak, dan melangkah ke sana.
Tak tahunya, baru saja ia berbangkit, mendadak sebelah mata Siau-hi-ji terpentang, katanya dengan menyengir, "Sekarang kau ingin?"
"Kau ... kau telur busuk," omel So Ing dengan muka merah.
Memang aneh, bilamana tiada orang membicarakan hal-hal demikian, maka terkadang orang menjadi lupa. Tapi bila ada orang menyinggungnya, rasanya lantas tak tahan, makin dipikir makin kebelet.
Entah sudah lewat beberapa lama pula, lambat laun wajah Lian-sing Kiongcu menjadi merah juga. Selang tak lama lagi, kedua kakinya seperti mulai gemetar.
Terdengar suara napas Siau-hi-ji yang setengah mengorok, agaknya anak muda itu sudah pulas.
Sekonyong-konyong Lian-sing Kiongcu melayang ke sana secepat angin, mungkin belum pernah dia bergerak secepat ini biarpun dia sedang bertanding dengan lawan yang paling lihai.
Mendadak Siau-hi-ji mengikik tawa, katanya, "Nah, sekarang mungkin kau takkan bilang aku tidak sopan lagi, bahkan kau akan berterima kasih padaku."
Memang banyak urusan di dunia ini yang tidak dapat dilawan oleh manusia.
Betapa pun agungnya, betapa pun angkuhnya, betapa pun keras kepalanya, terkadang juga bisa berubah sama seperti orang yang paling hina dan paling rendah, sebab urusan-urusan yang dihadapinya ini tidak pandang kepada siapa pun juga, adil dan merata.
Seperti halnya orang paling cantik dan paling buruk, sama-sama akan mengalami masa tua dan lapuk. Orang yang paling pintar dan paling bodoh juga sama-sama bisa merasakan lapar, kedinginan dan keletihan.
Mungkin semua inilah kedukaan paling besar bagi umat manusia.
Ketika Siau-hi-ji tidak sanggup tertawa lagi, akhirnya kakak beradik Ih-hoa-kiongcu duduk juga di lantai, apa yang terjadi hanya dalam dua-tiga hari saja, tapi bagi mereka rasanya sama seperti sepuluh tahun.
Melihat Ih-hoa-kiongcu akhirnya duduk juga, So Ing jadi teringat apa yang dikatakan Gui Bu-geh, tiba-tiba timbul rasa takutnya, "Jangan-jangan kami akan berubah menjadi buas sebagaimana dilukiskan oleh Gui Bu-geh itu?"
Tapi dia tidak melihat sesuatu perubahan pada diri Siau-hi-ji, entah apa pula yang dipikirkan anak muda itu. Tampaknya dia tidak pernah kenal apa itu takut.
Pada saat itulah, tiba-tiba atap ruangan itu merekah sebuah lubang sebesar mangkuk, malahan semacam benda dijatuhkan melalui lubang itu. Setelah mereka awasi, yang dijatuhkan itu adalah sebuah jeruk.
Dalam keadaan demikian, jeruk ini benar-benar lebih berharga daripada emas di seluruh dunia ini. Barang siapa asalkan bisa lebih banyak makan sesisir jeruk itu, bisa jadi akan hidup lebih lama hingga datangnya Hoa Bu-koat.
Dalam suasana begini, dapatkah mereka membagi jeruk secara adil"
Sudah barang tentu tiada seorang pun berani mendahului meraih jeruk itu. So Ing memandangi jeruk itu hingga kesima. Selamanya tak pernah terpikir olehnya bahwa sebuah jeruk bisa sedemikian menarik baginya. Dilihatnya sorot mata kakak beradik Ih-hoa-kiongcu juga terbeliak memandangi jeruk itu.
Bila makanan lain mungkin takkan begitu menarik bagi mereka, tapi sebuah jeruk yang berisi dan banyak cairannya, bisa melenyapkan dahaga dan dapat dibuat tangsel perut, ini benar-benar sangat mereka butuhkan sekarang.
Sambil menatap tajam jeruk itu, perlahan-lahan Lian-sing Kongcu mulai berbangkit.
Sekonyong-konyong terdengar Siau-hi-ji bergelak tertawa dan berkata,
"Hahaha, tak terduga Ih-hoa-kiongcu yang mahaagung sekarang juga sudi makan barang yang dimakan orang di lantai. Hahaha, sungguh lucu, sungguh menggelikan!"
Seketika tubuh Lian-sing Kiongcu mematung di tempatnya, hanya jarinya saja yang rada gemetar. Namun matanya masih terus menatap jeruk itu tanpa berkedip.
Dengan acuh tak acuh Siau-hi-ji berkata pula, "Jangan kau lupa, sepasang mata Gui Bu-geh yang mirip mata maling itu sedang mengintip, jika kau jumput dan makan jeruk ini, bisa jadi dia akan bergelak tertawa hingga copot giginya."
Kulit maka Lian-sing Kiongcu tampak berkerut-kerut, jelas dia sedang mengalami pertentangan batin yang hebat. Sesungguhnya umpan ini sukar ditolak. Tapi akhirnya ia memejamkan mata dan duduk kembali.
Rupanya dia lebih suka mati daripada ditertawakan orang. Nyata, Ih-hoa-kiongcu memang punya iman teguh. Di antara seratus ribu orang mungkin cuma ada satu-dua orang yang dapat berbuat seperti dia.
Dengan tertawa Siau-hi-ji berucap pula, "Tapi kalau aku yang menjumput barang makanan yang telah dibuang orang, tentu tiada orang yang akan menertawakan diriku, sebab pada dasarnya kulit mukaku memang setebal tembok." Sambil bicara ia terus melompat bangun dan mengambil jeruk itu.
Terbelalak So Ing memandangi kelakuan anak muda itu, ia tidak tahu apakah jeruk itu akan dimakan sendiri oleh Siau-hi-ji. Betapa pun ia memang belum mutlak memahami jiwa anak muda itu.
Maklum di antara seratus ribu orang mungkin tiada satu pun yang dapat memahami jalan pikiran Siau-hi-ji.
Dilihatnya Siau-hi-ji telah mengupas kulit jeruk dan dibelah menjadi dua, air jeruk lantas muncrat membasahi mukanya, ia menjulurkan lidah untuk menjilat air jeruk itu, katanya sambil terkecek-kecek, "Ehm, alangkah manis dan sedapnya, tampaknya tidak buruk juga kulit muka seorang dibuat tebal sedikit,"
Mendadak ia berpaling pada So Ing, katanya dengan tertawa, "Kulit mukamu biasanya juga tidak tipis, rasanya pantas juga kalau kubagi separo jeruk ini padamu."
Dalam keadaan demikian, orang yang dapat membagi separo jeruk itu kepada orang lain, sekalipun orang itu adalah ayah-ibu atau sanak keluarganya betapa pun tindakan ini tidaklah mudah dilakukan. Untuk ini diperlukan sebuah hati yang bajik dan welas asih, diperlukan semangat berkorban.
Jika orang lain, pada waktu berbuat demikian, tentu takkan terhindar dari sikap sok orang dermawan, seorang penolong, seorang penyelamat, dengan demikian supaya orang merasa kagum, berterima kasih dan merasa utang budi padanya.
Tapi pada waktu berbuat demikian, Siau-hi-ji justru berolok-olok lebih dulu pada orang lain.
So Ing jadi geli, ucapnya dengan suara lembut, "Sungguh, terkadang aku sangat heran, mengapa seorang yang mempunyai mulut bandit justru mempunyai hati yang bajik."
Dengan tertawa Siau-hi-ji menjawab, "Memang ada setengah orang pada hakikatnya tidak banyak bedanya dengan bandit."
"Oo" ...." So Ing melenggong bingung.
"Setahuku," tutur Siau-hi-ji, "Ada seorang yang pintar dagang, tapi lebih banyak spekulasi dan manipulasi, di mana-mana dia main tanah, tujuannya menghalalkan cara, dengan jalan menipu dan merampas dia telah mengeruk kekayaan berjuta-juta tahil perak. Dari kekayaan sekian itu dia mendermakan seribu tahil perak untuk rumah yatim piatu, dengan demikian berubahlah dia menjadi seorang sosial dan dermawan."
Sambil menerima pemberian jeruk separo itu So Ing berkata dengan tertawa,
"Tapi kan lebih baik daripada manusia yang kikir, yang tak mau keluar sepeser pun."
Siau-hi-ji mencium separo jeruk yang tersisa itu, tiba-tiba ia berbangkit dan mendekati Ih-hoa-kiongcu, katanya dengan tertawa, "Biarpun kalian tidak memandang padaku kan juga dapat membau sedap jeruk ini, bukan?"
Kedua Ih-hoa-kiongcu sengaja melengos dan tidak mau memandangnya.
Tiba-tiba Siau-hi-ji menyodorkan separo jeruk itu ke depan mereka dan berkata, "Sekarang boleh kalian lihat, separo jeruk ini adalah milik kalian."
"Ambil!" teriak Kiau-goat dengan suara serak, "Aku tidak ... tidak sudi ...."
Dengan tertawa Siau-hi-ji memotong, "Kutahu kalian pasti tidak sudi makan barang buangan orang lain, tapi separo jeruk ini adalah persembahanku dengan hormat, kukira boleh kalian makan dengan senang hati."
Seketika kedua Ih-hoa-kiongcu saling pandang dengan bingung. Selang sejenak, barulah Lian-sing Kiongcu berkata, "Meng ... mengapa kau berbuat demikian?"
Siau-hi-ji terdiam sejenak, jawabnya kemudian, "Seorang kalau sudah hampir mati, tapi masih dapat menjaga martabat sendiri dan tidak sudi bikin malu pamornya, maka orang demikian sungguh sangat kukagumi." Ia tertawa, lalu menyambung, "Nah, anggaplah jeruk ini adalah penghormatanku kepada kalian. Sumbangan dengan hormat ini tentunya takkan kalian tolak bukan?"
So Ing menjadi bingung juga menyaksikan kelakuan anak muda itu, mungkin sejak mula ia sudah menduga Siau-hi-ji akan membagi setengah jeruk itu padanya, tapi dia sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa sisa separonya lagi juga akan diberikan Siau-hi-ji kepada orang lain.
Dilihatnya Siau-hi-ji kembali ke tempatnya semula dengan tertawa, sama sekali tiada kelihatan berseri pada wajahnya dan tiada perasaan masygul, seperti halnya dia habis makan seratus biji jeruk dan sisanya setengah biji baru diberikannya kepada orang lain.
"Sungguh aku tidak ... tidak paham mengapa kau berbuat demikian," kata So Ing dengan heran.
"Sebabnya kan sudah kukatakan tadi," ujar Siau-hi-ji. "Apalagi, coba kau pikir, jika mereka tidak merasa malu, mana kita dapat makan jeruk ini" Tentu sudah diambil mereka dan dapatkah kita merampasnya?"
"Jika sisa separo itu kau berikan kepada mereka, mengapa yang separo ini kau berikan padaku?" tanya So Ing.
"Kalau jeruk ini dapat kutipu berarti jeruk ini punyaku, kalau punyaku dengan sendirinya akan kuberikan separo padamu. Mengenai sisa separo yang lain kuberikan kepada siapa kan urusanku sendiri dan tiada sangkut-pautnya denganmu."
So Ing terdiam sejenak, ucapnya kemudian dengan rawan, "Engkau sungguh orang yang aneh, aku benar-benar tidak memahami dirimu."
"Jika seorang lelaki dapat dipahami perempuan sejelas-jelasnya, mana dia bisa hidup lagi?" ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.
So Ing lantas membagi pula separo jeruk itu menjadi dua bagian, katanya dengan lembut, "Setelah kau berikan separo jeruk ini padaku, maka jeruk ini pun sudah menjadi punyaku, kalau aku mempunyai jeruk, dengan sendirinya harus kubagi setengahnya padamu. Nah, anggaplah ini pun tan ... tanda penghormatanku padamu."
"Tidak, aku tidak mau," kata Siau-hi-ji.
"Mengapa?" tanya So Ing.
"Sebab bagianmu itu lebih besar, aku menghendaki yang itu," ucap Siau-hi-ji.
So Ing melenggong, tapi lantas mengikik tawa, katanya, "Jika kulahirkan anak mirip kau, mustahil aku tidak mati kaku dibuat jengkel setiap hari."
"Jika begitu lebih baik kau mati sekarang saja," ujar Siau-hi-ji.
"Sebab apa?" tanya So Ing dengan melengak.
"Sebab anak yang kau lahirkan pasti mirip aku, jika mirip orang lain, akulah yang akan mati kaku saking gemas."
Kembali muka So Ing merah jengah, sambil menggigit bibir ia mengomel, "Kau ini memang telur busuk kecil."
"Salah, telur busuk besar. Telur busuk kecil kan belum kau lahirkan."
Mendengar ucapan Siau-hi-ji yang mengandung makna ganda itu, tanpa terasa So Ing mencubit si anak muda terus menjatuhkan diri ke pangkuannya, ia menjadi lupa bahwa di samping mereka masih ada Ih-hoa-kiongcu, segalanya sudah dilupakan ....
Pada saat itulah Lian-sing Kiongcu memejamkan mata perlahan-lahan, ujung matanya tampak basah, entah apa yang terkenang olehnya.
Terdengar Siau-hi-ji bergumam, "Selanjutnya jika ada orang berani bilang padaku bahwa pada dasarnya manusia berwatak jahat, mustahil kalau tidak kutempeleng dia dua kali."
Bahwa sebuah jeruk terbagi menjadi empat, yang dapat dimakan oleh mereka masing-masing tidak lebih hanya dua tiga sayap saja, ini sama halnya tetesan embun di tengah gurun, pada hakikatnya tiada gunanya.
Tapi semangat mereka lantas berbangkit, mungkin disebabkan penemuan mereka bahwa watak manusia pada dasarnya adalah bajik, harkat manusia juga tidak semudah itu runtuh sebagaimana dibayangkan oleh Gui Bu-geh.
Akan tetapi mereka pun menemukan suatu kenyataan, jarak mereka dengan kematian sudah semakin mendekat, jelas ini kejadian yang tak dapat dihindarkan, siapa pun tak dapat mengubahnya.
Ih-hoa-kiongcu yang selamanya tinggi di atas, lambat-laun, berubah juga tiada bedanya seperti orang biasa.
Sampai di sini baru Siau-hi-ji merasa mereka ternyata juga manusia-manusia yang membutuhkan macam-macam keperluan dan memiliki berbagai perasaan, bahkan juga bisa mencucurkan air mata.
Sekarang, maukah mereka membeberkan rahasia pribadinya"
Terbeliak mata Siau-hi-ji memandangi Ih-hoa-kiongcu, tiba-tiba ia berkata,
"Rasanya aku mempunyai akal yang dapat membuat kita hidup terus."
Benar saja, Lian-sing Kiongcu lantas bertanya, "Akal apa?"
"Meski akalku ini rada memalukan, tapi pasti berguna," ucap Siau-hi-ji. Ia merasa setiap orang sama mendengarkan uraiannya dengan penuh perhatian, maka perlahan ia melanjutkan, "Walaupun Gui Bu-geh orang hina dan kotor, tapi dia adalah seorang pecinta yang khusyuk, buktinya sampai sekarang ia masih merindukan kalian dan tak pernah jatuh hati kepada perempuan lain.
Sebab itulah kalau sekarang kalian menyanggupi diperistri olehnya, maka dia pasti akan membebaskan kita seluruhnya."
So Ing berjingkat kaget, sungguh tak terduga olehnya anak muda itu berani bicara demikian, dia mengira Ih-hoa-kiongcu pasti akan berjingkrak murka, bukan mustahil akan membunuhnya.
Siapa tahu Ih-hoa-kiongcu tetap duduk di tempatnya tanpa bergerak sedikit pun, bahkan memperlihatkan rasa gusar pun tidak.
Gemerdep sinar mata Siau-hi-ji, dengan perlahan ia menyambung pula, "Apa pun juga Gui Bu-geh pernah jatuh cinta pada kalian, tentunya kalian pun tahu bahwa lelaki yang dapat mencintai setulus hati seperti dia tidaklah banyak di dunia ini."
Sembari bicara ia pun memperhatikan perubahan air muka Ih-hoa-kiongcu, berbareng ia melanjutkan pula, "Jika kalian menjadi istrinya, paling tidak kan jauh lebih baik daripada diperistri oleh manusia-manusia yang tak berbudi, betul tidak?"
Kiau-goat Kiongcu hanya menggigit bibir dan tak bersuara, sedangkan Lian-sing Kiongcu mendadak berpaling ke sana, sekilas kelihatan matanya mengembeng air mata.
Selang sejenak barulah Siau-hi-ji mulai bertanya lagi, "Nah, apakah kalian sudah sadar sekarang?"
Tiba-tiba Lian-sing Kiongcu menatapnya tajam-tajam dan berucap sekata demi sekata, "Jika ucapanmu ini dikatakan beberapa jam sebelum ini, maka bagaimana akibatnya tentu kau tahu sendiri."
"Sudah tentu kutahu," jawab Siau-hi-ji. "Sebab itulah kusimpan kata-kata ini dan baru kukatakan sekarang. Sebab aku pun tahu, seseorang yang mendekati ajalnya, cara berpikirnya pasti akan berubah banyak."
"Jika begitu, kalau sekarang kukatakan So Ing saja diberikan kepada Gui Bu-geh, apakah kau setuju?" tanya Lian-sing.
Sampai lama sekali Siau-hi-ji tidak dapat menjawab. Tanpa berkedip So Ing memandangi anak muda itu. Selang agak lama barulah Siau-hi-ji menghela napas panjang, katanya, "Ah, apa yang kukatakan cuma omong iseng saja, kan tidak kupaksa kalian harus menjadi istrinya. Boleh kalian anggap kata-kataku tadi sebagai kentut belaka."
So Ing menghela napas, ucapnya dengan suara lembut, "Asalkan aku sudah tahu dengan pasti pikiranmu, mati pun aku rela."
"Mati, sebenarnya bukan sesuatu yang sulit, terkadang jauh lebih mudah daripada makan nasi," ujar Siau-hi-ji. "Misalnya seorang berjalan di jalan raya, sekonyong-konyong dari udara jatuh sepotong batu dan mematikan dia, coba bayangkan, betapa mudah dan betapa ringan cara matinya, boleh dikatakan itu tidak mengalami penderitaan apa pun juga." Setelah menghela napas, lalu ia menyambung, "Tapi menunggu ajal, ini bukanlah pekerjaan yang mudah.
Seorang patriot waktu tertawan musuh bilamana dia terus membunuh diri, tindakan ini jelas tiada sesuatu yang luar biasa, tapi kalau dia sanggup bertahan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, menolak segala pancingan dan bujukan, tapi tekadnya sudah bulat untuk mati. Patriot demikianlah yang selalu dikenang, namanya akan terukir dalam sejarah secara abadi."
Bahwa Siau-hi-ji mendadak bicara hal-hal yang berbobot begitu, tanpa terasa hati So Ing menjadi rawan juga. Ia maklum, hanya orang yang menunggu kematian saja yang tahu betapa menderitanva orang yang menanti ajal.
So Ing kucek-kucek matanya dan bertanya dengan suara tertahan, "Apakah kita sekarang benar-benar tiada harapan hidup sama sekali?"
Siau-hi-ji termenung sejenak, jawabnya dengan suara tertahan juga, "Jika kita dapat bersabar, menanti kematian dengan tenang, mungkin akan timbul setitik sinar harapan."
"Bila harus menanti kematian dengan tenang, masa ada harapan untuk hidup segala?" ujar So Ing.
"Gui Bu-geh menghendaki kita mati perlahan-lahan, tujuannya supaya kita tersiksa lahir batin, menjadi gila, bahkan saling membunuh, sebab hanya beginilah baru dia mendapatkan pelampiasan, hanya orang gila yang cacat seperti dia mempunyai jalan pikiran abnormal begini."
"Ya, memang betul," kata So Ing.
"Tapi kita sekarang dapat bersabar dan bersikap tenang, jika kita mati dengan tenang begini, dia pasti tidak rela, pasti akan bertindak dengan cara lain pula.
Kalau sudah begitu, maka tibalah kesempatan baik bagi kita."
"Betul juga," So Ing manggut-manggut. "Bila dia tidak menggubris kita, tentu kita mati kutu. Tapi sekali dia bertindak sesuatu berarti pula kita telah diberi kesempatan baik. Hanya ...."
"Hanya saja kalau dia terlebih sabar daripada kita, maka celakalah kita," tukas Siau-hi-ji.
So Ing berkedip-kedip, katanya, "Makanya sekarang kita harus mencari sesuatu akal untuk memancing keluar dia."
"Betul, memang begitulah maksudku," kata Siau-hi-ji.
"Lalu akal apa?" tanya So Ing.
"Masa tak dapat kau pikirkan akal ini?"
So Ing menggigit bibir dan tak bersuara pula.
Ih-hoa-kiongcu tidak mendengar apa yang sedang diperbincangkan mereka, sejenak kemudian mereka melihat Siau-hi-ji berjangkit, lalu memberi hormat kepada mereka kakak beradik, kemudian menghela napas panjang dan berkata, "Aku Kang Siau-hi dapat mati dan terkubur bersama Ih-hoa-kiongcu, sungguh terasa sangat beruntung dan rupanya ada jodoh. Sekarang kita sama-sama menghadapi kematian, biarlah permusuhan kita yang sudah-sudah kuhapus sejak kini, sebab apa kalian menyuruh Hoa Bu-koat membunuhku dan apa rahasianya, aku pun tidak mau tanya lagi."
Ih-hoa-kiongcu menjadi bingung mengapa anak muda ini mendadak bicara demikian, mereka hanya terbelalak dan ingin tahu apa yang akan disambung pula.
Siau-hi-ji lantas berkata lagi, "Karena sekarang Hoa Bu-koat tidak berada di sini, tampaknya kita pun tiada harapan bisa lari keluar, terpaksa kumohon bantuan kalian agar aku diberi mati secara menyenangkan dan cepat."
"Kau ... kau ingin bunuh diri?" tanya Lian-sing Kiongcu.
Siau-hi-ji menghela napas panjang, ucapnya, "Betul, kan sudah kukatakan, aku tidak takut mati, tapi menunggu ajal, inilah yang membuatku tidak tahan."
Seketika perasaan Ih-hoa-kiongcu kakak beradik merasa tertekan. Mendadak Kiau-goat berseru dengan parau, "Tidak boleh!"
"Mengapa aku tidak boleh membunuh diri" Keadaan sudah begini, memangnya kau ingin menunggu kedatangan Hoa Bu-koat untuk membunuhku?" jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. Sembari bicara diam-diam ia pun mengedipi Ih-hoa-kiongcu, jelas mengandung maksud tertentu.
Kiau-goat jadi melengak, sedangkan Lian-sing Kiongcu lantas menarik ujung baju sang kakak. Lalu berkata, "Baiklah, silakan kau bunuh diri jika kau ingin mati."
"Terima kasih, setiba di depan raja akhirat pasti akan kupuji kebaikan kalian,"
kata Siau-hi-ji.
Tiba-tiba So Ing menambahkan, "Aku punya dua biji obat racun, mestinya disediakan Gui Bu-geh untuk muridnya."
"Kutahu betapa lihainya racun ini, satu biji saja sudah cukup," ujar Siau-hi-ji.
So Ing tersenyum pedih, katanya pula, "Bila kau mati, satu detik saja aku tak dapat hidup sendirian, masa kau tidak tahu?"
Siau-hi-ji terdiam sejenak, katanya kemudian, "Baiklah, ingin mati marilah kita mati bersama agar tidak kesepian di tengah perjalanan menuju akhirat."
Sekonyong-konyong seorang berseru, "Jangan, kalian tidak boleh mati. Kalian muda-mudi yang sedang dimabuk cinta, lebih lama hidup sehari berarti sehari lebih bahagia, Jika kalian mati sekarang juga, bukankah sia-sia belaka hidup kalian ini?"
Jelas itulah suara Gui Bu-geh.
Siau-hi-ji dan So Ing saling pandang sekejap, diam-diam mereka membatin,
"Tampaknya dia tak dapat menahan perasaannya."
Maka terdengarlah Gui Bu-geh berkata pula, "Kalau kalian merasa kesal boleh minumlah beberapa cawan arak. Hahaha, anggaplah arak suguhanku bagi malam pengantin kalian."
Di tengah suara tertawa itu, dari lubang di atas lantas jatuh sebotol arak. Baru saja Siau-hi-ji menangkapnya, menyusul sebotol lain jatuh pula. Hanya sebentar saja di pangkuan Siau-hi-ji sudah ada dua belas botol arak, bahkan tidak kecil botolnya.
So Ing berkerut kening, bisiknya lirih, "Apa maksud tujuannya ini" Arak kan juga bisa menambah tenaga, bila kedua belas botol arak ini diminum secara perlahan, tentu kita dapat bertahan hidup beberapa hari lebih lama ...."
"Arak bisa menambah tenaga, tapi juga bisa mengacaukan pikiran," kata Siauhi-ji. "Seorang yang sudah dekat ajalnya, bila minum arak lagi, maka segala apa pun dapat diperbuatnya. Langkah Gui Bu-geh ini benar-benar sangat lihai dan keji."
"Jika demikian mengapa kau menangkap semua botol arak ini?" tanya So Ing.
"Masa kau tidak paham maksudku?" jawab Siau-hi-ji sambil tertawa.
So Ing menggigit bibir lagi dan tidak bersuara.
Siau-hi-ji lantas menaruh enam botol arak di depan Ih-hoa-kiongcu, katanya,
"Tetap aturan lama, kita bagi separo-separo."
"Ambil kembali saja, selamanya kami tidak pernah minum barang setetes arak," Kata Kiau-goat Kiongcu.
"Hah, jika benar kalian tidak pernah minum arak, maka sekarang kalian lebih-lebih harus mencicipinya barang dua cawan," ujar Siau-hi-ji tertawa. "Seorang kalau mati tidak pernah tahu rasanya arak, maka hidupnya boleh dikatakan sia-sia belaka."
Hanya sekejap saja ia sendiri sudah menghabiskan isi setengah botol.
Jika arak itu sangat keras mungkin Ih-hoa-kiongcu dapat bertahan dan tidak meminumnya, tapi arak itu justru adalah arak Tiok-yap-jing (hijau daun bambu), baunya harum, warnanya menarik, memandangnya saja menyenangkan, apalagi kalau mencicipi rasanya.
Ada peribahasa yang mengatakan "Minum racun untuk menghilangkan dahaga", seorang kalau sudah kehausan, dalam keadaan kepepet, racun juga akan diminumnya, apalagi arak berbau sedap begini"
Lian-sing Kiongcu dan Kiau-goat Kiongcu saling pandang sekejap, akhirnya mereka tidak tahan, sumbat botol mereka buka dan masing-masing mencicipi seteguk.
Mendingan kalau mereka tidak mencicipinya, sekali sudah tahu rasanya, seketika mata mereka terbeliak, terasa hawa hangat mengalir masuk ke perut, menyusul darah sekujur badan lantas menghangat.
Setelah minum seteguk, segera ada dua teguk, ada dua ceguk tentu ada tiga ceguk dan begitu seterusnya.
Siau-hi-ji mengetuk-ngetuk botol arak sambil bersenandung, karena sekolahnya terbatas, dengan sendirinya senandung Siau-hi-ji senandung kampungan. Namun Lian-sing dan Kiau-goat tidak ambil pusing, setelah minum beberapa ceguk arak enak itu, bahkan mereka mulai merasakan senandung anak muda itu sangat merdu dan menggairahkan.
Tanpa terasa arak terus mengalir masuk ke perut kedua Ih-hoa-kiongcu, hanya sebentar saja isi botol sudah tinggal setengah. Bahkan cara minum mereka bertambah semangat, dan menyesal mengapa tidak sejak dulu-dulu mereka minum arak yang ternyata seenak ini.
Ketika senandung Siau-hi-ji berakhir, sementara itu satu botol arak sudah dihabiskan Lian-sing, dengan wajah merah ia mulai mengigau mengulangi senandung Siau-hi-ji tadi sambil bergelak tertawa.
"Kang ... Kang Siau-hi-ji, marilah hab ... habiskan secawan ini, marilah kita bersama-sama melupakan ...." Demikian Lian-sing tampak mulai mabuk.
So Ing jadi melenggong, sama sekali tak tersangka olehnya Lian-sing bisa berubah menjadi demikian setelah minum arak.
Hakikatnya Lian-sing bukan lagi Ih-hoa-kiongcu yang agung itu, tapi sudah berubah menjadi orang lain.
Ia tidak tahu bahwa perut kalau dalam keadaan kosong akan sangat mudah menjadi mabuk, ketika setengah botol arak masuk perut Lian-sing, sedikitnya dia sudah tujuh bagian mabuk, maka arak yang diminumnya lagi biarpun pahit akan terasa manis.
Seorang yang biasanya tidak suka minum arak memang tidak mudah untuk disuruh minum arak. Tapi sekali dia sudah minum, apalagi sudah tujuh bagian mabuk, bila ingin mencegahnya supaya jangan minum lagi, maka sukarnya jangan ditanya pula.
Siau-hi-ji tertawa kepada So Ing, katanya, "Nah, sekarang tentunya kau tahu bahwa segala apa boleh diminum secara perlahan-lahan, hanya arak saja yang tidak dapat."
"Masa kau ... kau benar-benar menghendaki dia mabuk?" tanya So Ing.
Siau-hi-ji tidak menjawab, tapi perlahan bersenandung pula, "Tengok pintu longok jendela sepi tiada orang, cepat mendekap buru-buru dicium. Sialan, omel si cantik, pura-pura menolak, belum diminta sudah mau ...."
Pantun kampungan yang tidak keruan ini memang tidak menarik, tapi cukup melukiskan khusuk-masyuk muda-mudi yang sedang tenggelam berpacaran.
Tentu saja selama hidup Lian-sing Kiongcu tidak pernah mencicipi rasanya berpacaran, tanpa terasa ia menjadi kesima, pipinya bertambah merah dan panas.
Kiau-goat juga sudah minum beberapa ceguk arak, tapi ketika melihat adiknya menghabiskan lagi sebagian isi botol kedua, ia berkerut kening dan hendak merampas botol arak itu sambil mengomel, "Kau sudah mabuk, taruh saja botolnya, jangan minum lagi."
Tapi Lian-sing mengipatkan tangan sang kakak dan berkata, "Siapa bilang aku mabuk" Selamanya aku tak pernah berpikir sejernih seperti sekarang ini."
"Kubilang kau sudah mabuk!" seru Kiau-goat dengan bengis.
Lian-sing Kiongcu tergelak-gelak, jawabnya, "Kau bilang aku mabuk, lantas benar aku mabuk" Kukira kau sendiri yang mabuk."
"Mabuk atau tidak, tidak boleh minum lagi," kata Kiau-goat.
Mendadak Lian-sing berteriak, "Kau tidak perlu urus, aku justru ingin minum lagi." Dia memelototi Kiau-goat dan berkata pula, "Sudah cukup hampir mati, masa kau hendak memerintah aku pula?"
Kejut dan gusar Kiau-goat, tapi demi mendengar dua-tiga kalimat yang terakhir itu, tanpa terasa ia pun menghela napas panjang dan minum arak seceguk, ucapnya dengan rawan, "Ya, memang benar, aku sendiri toh tidak jauh lagi dari ajal, untuk apa kucampur urusanmu."
Lian-sing Kiongcu lantas berpaling dan tertawa kepada Siau-hi-ji, katanya,
"Marilah, kusuguh kau secawan pula, kau memang anak yang menyenangkan."
Siau-hi-ji seperti tidak mengacuhkan orang, seenaknya ia tanya, "Jika begitu, mengapa kau hendak membunuhku?"
Mendadak berubah air muka Kiau-goat, sedangkan Lian-sing cuma terkekeh-kekeh saja. Ucapnya, "Setelah dekat ajalmu, tentu rahasia ini akan kuberitahukan kepadamu." Dalam keadaan demikian dia masih dapat menyimpan rahasia dan tidak mau membeberkannya.
Diam-diam Siau-hi-ji merasa gegetun, tapi dia sengaja tertawa dan berkata pula, "Baiklah, sekalipun aku sudah mati pasti juga akan kutunggu ceritamu ini, habis itu baru kupergi menghadap Giam-lo-ong (raja akhirat)."
"Baik, kita tetapkan begitu," kata Lian-sing sambil tertawa.
"Bagus, akan ... akan tetapi bagaimana bila engkau mati lebih dulu daripadaku?"
"Jika begitu boleh kau ikut mati bersamaku saja, di tengah jalan tentu akan kuceritakan padamu."
"Ai, bisa mati bersamamu, tidak percumalah hidupku ini," kata Siau-hi-ji dengan gegetun.
Lian-sing mengerling mesra, ucapnya, "Apa betul" Kau benar-benar mau ikut bersamaku?"
"Memangnya kau kira cuma Gui Bu-geh saja yang tergila-gila padamu" Wanita menyenangkan seperti dirimu, sungguh aku ... aku ingin ...."
"Apa benar aku sangat menyenangkan?" tanya Lian-sing dengan tertawa.
"Mengapa kebanyakan orang bilang aku menakutkan?"
"Yang menakutkan adalah ilmu silatmu dan bukan dirimu," Kata Siau-hi-ji. "Jika dirimu menakutkan, maka semua perempuan di dunia ini mungkin akan berubah menjadi kuntilanak seluruhnya."
Lian-sing Kiongcu mengerling genit, tiba-tiba ia tuding So Ing dan berkata,
"Apakah aku lebih menyenangkan daripada dia?"
"Dia mana bisa dibandingkan denganmu?" jawab Siau-hi-ji. "Jika kau mau menjadi istriku, sekarang juga akan kukawini kau."
Lian-sing terkikik-kikik dengan muka merah, ucapnya, "Setan cilik, meski orangnya kecil, tapi hatimu tidak kecil."
Makin omong makin tidak keruan seakan-akan mereka sedang bercumbu rayu berduaan, orang lain dianggapnya sudah mati semua, sama sekali mereka tidak mau tahu bahwa wajah So Ing saat itu telah berubah menjadi pucat dan Kiau-goat juga gemetar karena gusarnya.
Omong punya omong sambil tertawa cekikik dan cekakak, akhirnya tubuh Lian-sing lantas jatuh ke pangkuan Siau-hi-ji, katanya pula dengan tertawa genit,
"Selama hidupku belum pernah segembira sekarang, aku ingin ...."
"Apa kau sudah gila!" bentak Kiau-goat mendadak dengan gusar.
Dengan suara keras Lian-sing menjawab, "He, apakah kau merasa cemburu lagi, dan kau hendak membuat susah diriku. Sekarang aku tidak mau tunduk lagi padamu, mati pun aku harus mati dengan gembira."
Karena murkanya Kiau-goat terus menubruk maju. Tapi mendadak didengarnya Siau-hi-ji membisikinya dengan suara tertahan, "Kau ingin keluar dengan hidup tidak" Kau ingin membunuh Gui Bu-geh tidak?"
Seketika Kiau-goat melengak, katanya, "Kau " kau ...."
Dengan suara lebih lirih lagi Siau-hi-ji berucap, "Jika kau ingin, kau harus bertindak menurut anjuranku. Padamkan dulu semua lampu di sini."
Ternyata Gui Bu-geh senantiasa mengintip di luar, waktu dilihatnya Lian-sing menjatuhkan diri ke dalam pangkuan Siau-hi-ji, biji matanya lantas melotot seakan-akan melompat keluar, sekujur badannya terasa tegang dan gemetar, telapak tangan pun terasa berkeringat. Ia membayangkan adegan apa yang bakal terjadi.
Di luar dugaan, pada saat yang mendebarkan jantung itu, sekonyong-konyong lampu padam semuanya. Ruangan di bawah seketika gelap-gulita, jari sendiri saja tidak kelihatan.
Karena gelisah dan dongkolnya hampir saja Gui Bu-geh berjingkrak.
Didengarnya macam-macam suara di dalam kegelapan, mula-mula adalah suara tawa genit Lian-sing Kiongcu, lalu bentakan Kiau-goat, menyusul lantas sambaran angin pukulan yang dahsyat. Agaknya kedua kakak beradik Ih-hoa-kiongcu telah saling labrak sendiri.
Kemudian terdengar Kiau-goat menjerit kaget, seperti telah dirobohkan.
Gui Bu-geh tambah kelabakan, tiba-tiba ia bergumam, "Ah, tidak mungkin, Lian-sing pasti bukan tandingan Kiau-goat, mana bisa Lian-sing merobohkan kakaknya, tentu mereka sengaja main sandiwara ...." Tapi lantas terpikir lagi olehnya, "Namun juga bisa terjadi, sebab Lian-sing sudah banyak menenggak arak, tenaga banyak bertambah, sebaliknya Kiau-goat sudah lemas, ilmu silat mereka memang juga tidak banyak berselisih, dengan demikian Kiau-goat tentu juga bisa dirobohkan oleh adiknya."
Dan kalau benar Kiau-goat telah dirobohkan, lalu apalagi yang bakal terjadi"
Dalam kegelapan mendadak setitik suara saja tidak terdengar lagi, keadaan sunyi senyap begini semakin merangsang orang untuk mengetahui apa yang terjadi, tentu saja Gui Bu-geh kelabakan setengah mati karena ingin tahu.
Dengan susah payah dia telah mengatur segalanya, maksud tujuannya hanya ingin melihat adegan yang merangsang ini. Untuk ini entah betapa banyak dia telah memeras morel dan materiel, bahkan telah mengorbankan segalanya.
Tapi sekarang dia justru tidak dapat melihat apa-apa.
Seperti orang gila dia mendorong kursi-rodanya pergi mengambil sebuah lentera, ia bermaksud menyinari keadaan di dalam ruangan dengan cahaya lampu itu. Siapa tahu, begitu dia dekatkan lentera itu ke lubang, segera angin pukulan menyambar keluar dan lentera itu pun padam.
"Tidak boleh mengintip," terdengar suara Siau-hi-ji bergelak dengan napas tersengal-sengal.
Hati Gui Bu-geh merasa panas sekali seperti terbakar dan juga seperti dikili-kili karena ingin tahu. Akhirnya dia menggereget, ia menjadi nekat, gumamnya sambil menyeringai, "Hm, kau melarang aku mengintip, aku justru sengaja mau melihat, mati pun aku harus melihatnya."
Menurut perhitungannya, setelah Kiau-goat dirobohkan, tentu sekarang Siauhi-ji dan Lian-sing Kiongcu sedang asyik main cinta dan tidak sempat mengurus orang lain. Tertinggal So Ing saja tentu tidak terpikir olehnya.
Sudah berpuluh tahun dia menunggu dengan susah payah, baru sekarang dia mendapat sajian adegan merangsang ini, mana boleh kesempatan bagus ini disia-siakan. Segera ia menyalakan lentera dan membuka kunci pintu, pintu batu itu terpentang tanpa suara, lalu ia meluncur ke dalam dengan kursinya, sudah tentu dia menahan napas, karena tegangnya hingga tangannya gemetar, lentera yang dipegangnya juga ikut gemetar.
Terbayang adegan yang akan dilihatnya itu, jantungnya serasa mau melompat keluar dari rongga dadanya, sungguh tak terpikir olehnya adegan apa pula di dunia ini yang bisa lebih merangsang dan lebih menegangkan daripada apa yang akan dilihatnya ini.
Tak terduga, pada saat itulah dalam kegelapan mendadak meledak suara gelak tertawa orang banyak.
"Hahaha, Gui Bu-geh," terdengar Siau-hi-ji berseru sambil terbahak, Akhirnya kau tertipu juga olehku!"
Karena kagetnya, serasa pecah nyali Gui Bu-geh.
Di mana cahaya lenteranya menyorot, tiba-tiba dilihatnya Siau-hi-ji berdiri tegak di depannya, pakaiannya rapi, rambutnya teratur, tiada sesuatu apa pun yang dilakukannya sebagaimana dibayangkan Gui Bu-geh semula.
Segera Bu-geh hendak mundur kembali, namun Kiau-goat Kiongcu tahu-tahu sudah mengadang di pintu.
"Hahaha, memang sudah kuperhitungkan kau pasti tidak tahan dan ingin masuk ke sini untuk melihatnya dan semuanya ternyata tepat menurut dugaanku," seru Siau-hi-ji sambil bergelak tertawa.
Gui Bu-geh menghela napas panjang, ucapnya dengan menyesal, "Manusia berusaha, Tuhan yang menentukan. Meski kalian sudah kukurung di sini, akhirnya semua rencanaku menjadi berantakan. Sungguh tak tersangka aku Gui Bu-geh yang selama hidup ini malang melintang akhirnya harus terjungkal di tangan anak ingusan seperti kau ini."
"Hahaha, kau terjungkal di tangan orang pintar nomor satu di dunia ini, kenapa mesti penasaran?" ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. "Jika ada orang mau mendirikan tugu peringatan bagiku, tentu kau juga akan ikut tercatat dalam sejarah dan namamu juga akan terukir abadi."
Gui Bu-geh menelan ludah, ucapnya dengan parau. "Sekarang apa ... apa kehendakmu?"
"Aku pun tidak menghendaki apa-apa, cuma minta kau mengeluarkan kami dari liang tikus ini," kata Siau-hi-ji.
"Kan sudah kukatakan sejak tadi ...."
Mendadak Siau-hi-ji menarik muka sebelum lanjut ucapan Gui Bu-geh, jengeknya, "Masa sekarang kau tetap menghendaki kami percaya pada ocehanmu tentang jalan keluar yang telah kau bikin buntu seluruhnya?" Sambil berkata ia terus melangkah maju mendekati orang.
Di sebelah sana Kiau-goat juga tampak beringas, ia pandang Gui Bu-geh dengan tajam dan penuh rasa benci.
Sinar mata Gui Bu-geh tampak gemerdep, tiba-tiba ia bergelak tertawa dan berkata, "Hahahaha, jadi kau ingin kubawa kalian keluar dari sini" Haha, apa susahnya untuk itu?"
Mencorong terang sinar mata Siau-hi-ji, cepat ia tanya, "Di mana jalan keluarnya?"
"Di sini," jawab Gui Bu-geh.
"Di sini?" Siau-hi-ji menegas dengan melenggong. "Mana, di mana?"
"Sekarang juga aku sedang menuju keluar, masa kau tidak melihatnya?" kata Gui Bu-geh sambil terkekeh-kekeh.
"Kau sekarang ...." mendadak suara Siau-hi-ji terhenti seperti tiba-tiba melihat setan, wajahnya penuh rasa kejut dan takut, tenggorokannya bersuara seperti mengorok, tapi tak dapat bicara.
Terkejut juga Kiau-goat melihat perubahan air muka anak muda itu. "Ada apa?"
tanyanya bingung.
Siau-hi-ji menuding Gui Bu-geh tanpa menjawab, jarinya tampak gemetar.
Karena berdiri di belakang Gui Bu-geh, seketika Kiau-goat Kiongcu melenggong. Dilihatnya lentera masih terpegang di tangan Gui Bu-geh dengan cahaya yang cukup terang, selebar wajah Gui Bu-geh telah berubah menjadi warna hitam, mata dan mulutnya terkatup rapat, darah segar merembes keluar dari ujung mulutnya.
Muka Gui Bu-geh memangnya menakutkan, kini tampaknya menjadi lebih mengerikan. Tanpa terasa Kiau-goat menyurut mundur dua-tiga tindak, katanya dengan terkesima, "Jadi dia telah membunuh diri?"
"Betul," ujar Siau-hi-ji, "Dia lebih suka mati daripada mengeluarkan kita dari sini. Buset, nekat juga dia, sungguh keji, aku menjadi agak kagum padanya."
Mulut Gui Bu-geh yang berdarah itu seperti tersenyum mengejek, seakan-akan hendak menyindir Ih-hoa-kiongcu, "Meski aku tidak dapat menyaksikan kematian kalian, tapi kalian pun tidak mungkin bisa keluar lagi."
Kiau-goat berdiri terkesima di tempatnya. Waktu hidup Gui Bu-geh tidak dapat menandingi dia, tapi sesudah mati toh dapat memberikan suatu pukulan maut padanya sehingga dia tidak tahu cara bagaimana harus menangkisnya.
Dengan muka pucat So Ing lantas mendekati jenazah Gui Bu-geh, dengan khidmat ia memberi sembah hormat beberapa kali, air mata pun menetes.
Entah apakah dia berduka bagi Gui Bu-geh atau berduka bagi dirinya sendiri"
Pada saat itulah mendadak Siau-hi-ji menjerit kaget, "Wah, celaka!" Berbareng ia terus lari keluar.
Kiau-goat dan So Ing saling pandang sekejap, mereka tidak tahu apa yang ditemukan lagi oleh anak muda itu. Tapi sekarang yang menjadi pedoman mereka ialah Siau-hi-ji, bahwa anak muda itu berteriak khawatir dan lari keluar, tentu saja mereka menjadi pucat.
Sementara itu Lian-sing Kiongcu seperti tidur pulas. Rupanya dalam kegelapan tadi Kiau-goat telah menutuk Hiat-to tidurnya.
Selagi Kiau-goat bermaksud menyusul keluar, sekilas dipandangnya Gui Bu-geh sekejap, mendadak ia pandang Lian-sing dan dibawa lari keluar. Meski Gui Bu-geh sudah mati, namun dia tidak rela adiknya ditinggalkan bersama manusia kerdil yang rendah itu dalam suatu ruangan.
Setelah melayang keluar lorong itu, ruangan gua yang luas di atas sana masih tetap sunyi senyap tiada sesuatu perubahan apa pun, bahkan lentera di sekeliling ruangan juga masih menyala. Namun Siau-hi-ji berdiri di situ dengan muka pucat pasi.
"Terjadi apalagi?" tanya So Ing setelah menyusul tiba.
"Adakah kau dengar sesuatu suara?" tanya Siau-hi-ji dengan muram.
"Tidak, tidak terdengar suara apa pun," jawab So Ing.
Memang suasana sekeliling terasa sunyi laksana di kuburan.
Siau-hi-ji menghela napas panjang, katanya, "Lantaran kau tidak mendengar sesuatu apa pun, makanya terasa menakutkan."
Belum habis ucapannya, seketika pucat juga muka So Ing.
Ia tahu, apabila Hoa Bu-koat masih terus menggali di luar sana, maka suara
"trang-ting", suara beradunya alat penggali dengan batu gunung pasti akan berkumandang ke dalam gua ini, namun sekarang keadaan sunyi senyap, itu berarti Hoa Bu-koat telah menghentikan usahanya.
Jadi sekarang setitik sinar harapan yang mereka bayangkan tadi juga telah lenyap.
"Kenapa dia tidak menggali lagi" Masa dia mengira kita sudah tak bisa tertolong lagi?" kata So Ing dengan cemas.
Siau-hi-ji memandang Kiau-goat Kiongcu sekejap, katanya, "Seumpama dia tahu kita tak bisa tertolong lagi, sepantasnya dia harus tetap berusaha menemukan mayat kita."
Kiau-goat melenggong sekian lama dengan muka pucat, gumamnya kemudian,
"Kukenal watak Bu-koat, pekerjaan apa pun, kalau dia sudah melakukannya, tidak mungkin dia tinggalkan setengah jalan. Sekarang mendadak dia berhenti menggali, pasti terjadi sesuatu yang tak terduga."
"Sesuatu yang tak terduga?" So Ing menegas. "Memangnya bisa terjadi sesuatu apa yang tak terduga?"
"Jika dapat diterka namanya bukan lagi sesuatu yang tak terduga," ujar Siau-hi-ji dengan menyengir.
Tiba-tiba Kiau-goat berkata pula, "Tapi kau pun tidak perlu khawatir baginya, apa pun yang dihadapinya pasti bisa diselesaikan olehnya."
"Untuk apa harus khawatirkan dia, mengkhawatirkan diri sendiri saja sekarang tidak bisa lagi," ucap Siau-hi-ji dengan masygul.
Dalam pada itu So Ing sedang duduk di samping sana sambil mendekap kepala, agaknya memeras otak. Siau-hi-ji berdiri di depannya dan memandangi si nona dengan tenang.
Suasana di dalam ruangan gua ini sangat seram, cahaya lampu juga terasa meremang, namun cahaya yang meremang ini terasa lembut ketika menyinari tubuh So Ing.
Meski rambut si nona sudah semrawut, namun masih tetap lembut memantulkan sinar yang halus, tangannya yang putih mulus itu tampak lebih gemilang.
Siau-hi-ji memandang dengan terkesima, sejenak kemudian baru dia mendekatinya, katanya sambil tepuk bahu si nona, "Apa yang sedang kau pikirkan?"
Perlahan So Ing merangkul kaki Siau-hi-ji, jawabnya, "Kupikir, Gui Bu-geh pasti meninggalkan suatu jalan keluar terakhir baginya sendiri, hal ini tidak perlu disangsikan lagi. Hanya saja mengapa kita tak dapat menemukan jalan keluar itu?" Dia menggigit bibir lalu menyambung pula, "Sudah kuperiksa sekeliling sini dengan sangat cermat, jelas setiap jalan keluarnya memang telah disumbat buntu olehnya. Jika di dinding gunung ini masih ada pintu rahasianya pasti juga akan kuketahui."
"Ya, bila ada pintu rahasianya pasti kau dapat melihatnya," kata Siau-hi-ji.
"Jika demikian, lalu di manakah letak jalan keluar yang terakhir ini?" tanya So Ing.
Tiba-tiba Siau-hi-ji tertawa, katanya, "Jalan keluar ini sudah kuketahui."
Hampir melonjak kegirangan Kiau-goat dan So Ing demi mendengar ucapan Siau-hi-ji. Secepat angin Kiau-goat lantas melompat ke depan anak muda itu dan bertanya, "Mana, di mana?"
"Tempat ini sebenarnya kalian pun sudah melihatnya tadi, cuma kalian tidak memperhatikannya," ujar Siau-hi-ji.
Kiau-goat melengak, ucapnya, "Apakah betul kami sudah melihatnya tadi?"
"Ya," kata Siau-hi-ji sambil menunjuk ke sana. "Di pojok sana ada sepotong batu yang menonjol, tentunya kalian melihatnya."
"Masa di situlah letak pesawat rahasianya?" seru Kiau-goat.
"Batu itu tiada pesawat rahasia apa-apa, tapi di bawah batu itu ada sebuah lubang hawa yang cukup besar, tentunya kalian melihatnya," tutur Siau-hi-ji.
"Betul, meski lubang hawa itu lebih besaran, tapi garis tengahnya tidak sampai satu kaki, mana bisa orang menerobos dari situ?" ujar Kiau-goat.
Siau-hi-ji menghela napas panjang, katanya, "Kita hanya yakin Gui Bu-geh pasti meninggalkan jalan keluar terakhir bagi dirinya sendiri, tapi kita melupakan sesuatu."
Seketika berubah juga air muka So Ing, katanya, "Betul, kita memang melupakan sesuatu yang paling penting."
Kiau-goat jadi heran, tanyanya cepat, "Hal apa?"
"Kita sama lupa bahwa Gui Bu-geh adalah seorang cacat, tubuhnya kerdil, meski kita tak dapat keluar masuk melalui lubang hawa kecil itu, tapi Gui Bu-geh sendiri dapat menerobos keluar. Jadi jalan keluar terakhir ini bagi kita sama sekali tidak ada artinya."
Tergetar tubuh Kiau-goat Kiongcu, hampir saja ia tak sanggup berdiri tegak lagi. Setitik sinar harapan mereka sekarang pun lenyap, kecuali mati sudah tiada jalan lain pula.
Dengan meringis Siau-hi-ji memandang So Ing dan berkata, "Dahulu kau suka bilang dapat mengatasi dia. Tapi sekarang aku baru tahu bahwa Gui Bu-geh memang lihai, rencananya rapi, cara kerjanya cermat, sedikit pun tidak ada lubang-lubang kelemahan. Kalau dia menghendaki kematian kita di sini, maka kita pun tak dapat keluar dengan hidup."
Mendadak Kiau-goat berteriak, "Tapi Bu-koat pasti berusaha masuk kemari, dia pasti dapat, biarpun dia mendapat hambatan apa-apa, namun lambat atau cepat dia pasti ...."
"Betul, lambat atau cepat dia pasti akan masuk kemari untuk menolong kita,"
sela Siau-hi-ji. "Cuma sayang, kita tidak dapat menunggunya lagi."
"Sebab apa?" tanya Kiau-goat. "Kalau Gui Bu-geh bisa memberi arak dan jeruk pada kita, tentu dia masih menyimpan bahan makanan, asalkan kita dapat menemukannya, tentu kita dapat bertahan hingga datangnya Bu-koat."
"Sudah tentu kita dapat menemukannya," kata Siau-hi-ji, "Cuma sayang, umpama kita bisa menemukannya, paling banyak hanya dapat memandangnya saja dan tidak sanggup memakannya."
"Sebab apa?" tanya Kiau-goat.
"Sebab makanannya berbeda dengan makanan kita, barang yang dapat dimakan dia tak berani kita makan, kecuali kau pun doyan makan tikus, tikus hidup."
Kiau-goat merasa mual mendengar keterangan ini.
Siau-hi-ji benar-benar dapat menemukan tempat penimbunan makanan Gui Bu-geh, di situ selain ada beberapa guci arak, selebihnya hanya satu kurungan tikus, tikus hidup.
Jangankan makan tikus, memandangnya saja Kiau-goat merasa mual dan mau muntah. Baru sekarang ia tahu rencana Gui Bu-geh memang sangat rapi dan tiada lubang kelemahan, yang paling hebat dalam rencana ini adalah jalan keluar yang dia tinggalkan ini. Orang lain jelas tidak mampu keluar, sedangkan makanan yang dia sediakan juga tidak mungkin dapat dimakan oleh orang lain.
Kiau-goat merasa kakinya menjadi lemas, rasanya mau ambruk. Akhirnya dia menuang secawan arak dan diminumnya seceguk.
Siau-hi-ji ambil satu guci arak, ia tarik So Ing dan mengajaknya ke ruang lain.
Meski hati So Ing penuh rasa duka dan putus asa, tapi juga penuh rasa mesra dan bahagia. Ia berbisik di telinga Siau-hi-ji,
"Apakah telah kau lupakan apa yang diucapkan Gui Bu-geh?"
"Ucapan apa?" tanya Siau-hi-ji.
Dengan muka merah So Ing menjawab, "Katanya arak itu arak bahagia malam pengantin kita."
Memandangi muka So Ing yang kemerah-merahan dan mesra itu, sekalipun Siau-hi-ji adalah patung juga tergerak hatinya. Perlahan dia memeluk si nona, ucapnya dengan tertawa, "Pengantin perempuanku, marilah kita ... kau ingin tidak ...."
So Ing menggigit bibirnya yang mungil dan menunduk, ia tidak menjawab melainkan tertawa malu.
"Cuma sayang, kamar pengantin kita berada di liang tikus ini, rasanya terlalu merendahkan dirimu," ujar Siau-hi-ji.
"Asalkan ... asalkan engkau baik padaku, sekalipun benar-benar tinggal di liang tikus juga aku puas," kata So Ing.
Perlahan Siau-hi-ji memandang si nona, sekujur badan So Ing serasa lemas lunglai tak bertulang.
Di luar dugaan, baru Siau-hi-ji melangkah dua-tiga tindak, tiba-tiba ia berseru,
"Wah, celaka!"
"Ada ... ada apa?" tanya So Ing.
"Kamar pengantin kita ini mungkin akan segera kedatangan tamu jahat," kata Siau-hi-ji.
"Maksudmu Kiau-goat Kiongcu?"
"Siapa lagi kalau bukan dia?"
"Kukira dia takkan bertindak kejam lagi pada kita, rasanya dia sekarang sudah banyak berubah. Sudah jauh lebih mengerti arti orang hidup ini," kata So Ing
"Malahan boleh dikatakan dia sudah mau menurut pada perkataanmu, mana bisa dia mencari perkara lagi padamu dalam keadaan demikian.
"Kalau tadi kita masih ada harapan untuk keluar, maka terpaksa kita harus bersatu untuk berdaya upaya mencari jalan keluarnya. Tapi sekarang segala harapan telah pupus sama sekali, maka ia pun tidak dapat melepaskan diriku lagi."
"Akan ... akan tetapi kita toh harus mati juga, untuk ... untuk apa dia bertindak kejam pula padamu?"
"Sebab dia tidak ingin mati di depanku, ia pun tidak ingin aku mati di tangan orang lain. Kalau sekarang dia tidak mampu menyuruh Hoa Bu-koat membunuhku, terpaksa dia sendiri yang akan turun tangan."
Baru saja habis ucapannya, mendadak bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Kiau-goat Kiongcu sudah berada di depan mereka.
Siau-hi-ji pandang So Ing dengan tersenyum getir, katanya, "Tidak salah bukan perhitunganku" Sungguh terkadang aku pun berharap apa yang kuduga bisa meleset."
Terdengar Kiau-goat Kiongcu menjengek, "Habis belum percakapan kalian?"
So Ing berkedip-kedip, jawabnya dengan tertawa, "Belum!"
"Baik, kuberi tempo sebentar lagi, lekas kalian bicarakan," kata Kiau-goat.
"Kan kita masih bisa hidup dua-tiga hari lagi, mengapa engkau terburu-buru?"
tanya So Ing sambil tersenyum.
"Waktu hidup kalian sudah tidak banyak lagi," kata Kiau-goat.
"Meng ... mengapa?" mau tak mau suara So Ing menjadi agak gemetar.
"Sebab akan kubunuh kalian," jengek Kiau-goat. "Aku harus membuat kalian mati lebih dahulu daripadaku, aku harus menyaksikan kalian mati di tanganku."
So Ing memandang Siau-hi-ji, katanya sambil tersenyum getir, "Dugaanmu benar-benar tepat .... Ya, mengapa kau tidak salah duga sekali-sekali."
Mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, "Baik, lambat atau cepat toh kita harus mengadu jiwa, tapi engkau telah berjanji akan memberi waktu sebentar lagi, tentunya engkau tidak akan mengintip di samping seperti Gui Bu-geh."
Lalu dia tarik So Ing dan mengajaknya ke pojok sana, mereka bicara baik-baik, sambil omong, tampaknya So Ing mengangguk-angguk sampai akhirnya terdengar Siau-hi-ji berkata, "Nah, sekarang kau sudah paham"
"Ya, aku sudah paham," terdengar So Ing menjawab dengan rawan. "Tapi ...
tapi hendaknya kau pun hati-hati."
"Betapa dia berhati-hati juga tiada gunanya," jengek Kiau-goat. "Nah, kemarilah!"
Siau-hi-ji tertawa, katanya, "Kau ingin membunuhku, mengapa bukan kau sendiri yang kemari?"
Kiau-goat menjadi gusar. Di luar dugaan, belum lagi dia bertindak, mendadak Siau-hi-ji mendahului beraksi, tahu-tahu dia mengapung ke atas terus menubruknya, secepat kilat ia melancarkan tiga kali pukulan.
Akan tetapi bagi pandangan Kiau-goat Kiongcu tiga kali pukulan maut Siau-hi-ji ini tidak lebih hanya seperti permainan anak kecil saja. Sama sekali dia tidak bergerak, namun serangan Siau-hi-ji itu menyenggol ujung bajunya saja tidak dapat.
So Ing hanya memandang sekejap saja lantas tahu Siau-hi-ji pasti bukan tandingan Kiau-goat. Ia tidak tega menyaksikannya, ia menunduk dan keluar.
Didengarnya Siau-hi-ji sedang berkata dengan tertawa, "Nah, sudah kau lihat bukan" Ilmu pukulan ini adalah ajaranmu, sekarang kugunakan untuk menghadapimu."
"Hm, kau gunakan kepandaian ajaranku untuk bergebrak denganku bukankah kau cari mampus sendiri?" jengek Kiau-goat Kiongcu.
"Kau kira aku pasti tidak dapat melawanmu?" ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Hehe, kukira belum tentu!"
Cara bertempur Siau-hi-ji ternyata semakin bersemangat, sedikit pun tidak gentar, setiap pukulannya selalu menderu dahsyat, dia telah menggunakan tenaga sepenuhnya.
Tapi betapa pun lihai tipu serangannya, Kiau-goat Kiongcu cukup mengebaskan tangannya perlahan saja dan daya serangan Siau-hi-ji lantas dipatahkan tanpa kesulitan apa pun. Dia bergerak dengan ringan, gayanya indah menakjubkan. Sebegitu jauh dia belum lagi mengeluarkan ilmu Ih-hoa-ciap-giok dan juga tidak melancarkan serangan maut balasan.
Siau-hi-ji berkedip-kedip, tiba-tiba ia berkata pula dengan tertawa,
"Sesungguhnya kau ingin membunuhku atau cuma bergurau saja."
"Hm, ikan sudah berada dalam jaring, untuk apa aku tergesa-gesa," jengek Kiau-goat.
"Daripada menderita lama lebih baik mati dengan cepat, kau tidak tergesa-gesa, aku yang merasa tidak sabar," ujar Siau-hi-ji.
"Kapan aku menghendaki kematianmu, pada saat itu juga kau harus mati, biarpun kau ingin mati lebih lambat atau lebih cepat sedikit juga tidak boleh."
"Wah, jika begitu bilakah kau menghendaki kematianku?" tanya Siau-hi-ji.
Tanpa menunggu jawaban Kiau-goat, segera ia menyambung pula dengan tertawa, "Apakah kau sengaja menunggu setelah memahami cara kugunakan tenaga barulah kau hendak mematikan aku?"
Agak berubah juga air muka Kiau-goat, katanya sambil berkerut kening, "Untuk apa harus kutunggu sampai memahami kau menggunakan tenagamu?"
"Sebab kalau kau belum jelas benar-benar arah tenaga pukulanku, maka ilmu andalanmu Ih-hoa-ciap-giok sukar dikeluarkan, betul tidak?"
Sambil terus bicara, tangan Siau-hi-ji juga terus melancarkan serangan, tapi matanya tanpa berkedip tetap menatap Kiau-goat Kiongcu.
Benar juga, air muka Kiau-goat berubah pula, namun dia tetap menjengek,
"Hm, bilamana aku mau menggunakan Ih-hoa-ciap-giok tentu dapat kukeluarkan dengan segera, buat apa terburu-buru."
"Haha, tidak perlu lagi kau menipuku. Sudah kuketahui rahasia Kungfu Ih-hoa-ciap-giok andalanmu itu, apakah kau ingin kubeberkan bagimu?"
"Hanya dirimu ini kukira belum setimpal untuk bicara tentang Kungfu Ih-hoa-ciap-giok," jengek Kiau-goat pula.
"Mengapa aku tidak setimpal?" jawab Siau-hi-ji. "Huh, biarpun Ih-hoa-ciap-giok juga tiada sesuatu yang istimewa bagiku, kan serupa dengan Kungfu
"meminjam tenaga untuk menggunakan tenaga" itu saja, tiada bedanya seperti ilmu empat tahil menyampuk seribu kati dari Bu-tong-pay atau "Cian-ih-cap-pek-tiat" (menempel baju delapan belas kali terjatuh) dari Siau-lim-pay, hanya saja cara bergerakmu teramat cepat, dapat pula mendahului pihak lawan sebelum dia sepenuhnya mengeluarkan tenaga, maka dalam pandangan orang lain tampaknya menjadi sangat ajaib, ditambah lagi caramu beraksi sedemikian rupa gaibnya sehingga sesuatu yang mestinya sangat sederhana disangka sedemikian hebatnya. Maka orang lain pun menganggap Kungfumu mahasakti."
Uraian Siau-hi-ji membuat Kiau-goat menampilkan rasa kejut dan heran, mendadak ia membentak bengis, "Apalagi yang kau ketahui?"
"Di dunia ini memang banyak urusan yang tampaknya sangat hebat, tapi kalau sudah dibeberkan sesungguhnya tidak bernilai sepersen pun," setelah tertawa, lalu Siau-hi-ji menyambung pula, "Umpamanya ketika diketahui tenaga pukulan lawan timbul dari Hu-sik-hiat dan Tong-tian-hiat dari bagian perut terus mengalir ke Hiat-to berikutnya yang menjurus ke bagian tangan sehingga akhirnya tenaga pukulannya pasti terhimpun pada tepi telapak tangan, begitu bukan?"
Kiau-goat Kiongcu seperti terkesima mendengar uraian anak muda itu sehingga gerakannya menjadi lambat, tanpa terasa ia pun mengangguk dan menjawab, "Betul."
"Nah, jika sudah begitu, sebelum tenaga lawan itu terhimpun pada tempat yang terakhir, pada saat itu juga kau lantas menyampuknya balik," kata Siau-hi-ji.
Tanpa terasa Kiau-goat mengangguk dan membenarkan.
"Dan karena tenaga pukulan lawan disampuk balik ketika sampai di tengah jalan, lantaran pergolakan tenaga murni dalam tubuh, otot daging pada lengannya menjadi tegang dan tertarik pula ketika tenaganya yang bergolak itu menerjang kembali ke arah semula, maka pukulannya bukan lagi mengenai sasarannya melainkan menghantam tubuh sendiri."
"Hm, kalau tenaganya sudah tersampuk balik, mana bisa menerjang kembali ke tempat semula?" jengek Kiau-goat.
"Dengan sendirinya disebabkan tenaga yang kau gunakan tepat pada sasarannya, ini pun tidak mengherankan, asalkan aku berlatih beberapa tahun pasti juga kusanggup bermain sama bagusnya seperti dirimu," ujar Siau-hi-ji.
Kiau-goat mendengus. Ia seperti mau bilang apa-apa, tapi hanya mendengus sekali saja lalu urung bicara. Maklum tiba-tiba ia merasa dirinya telah bicara terlalu banyak.
Siau-hi-ji lantas menyambung pula, "Meski aku belum lagi tahu cara bagaimana kau menyampuk balik tenaga murni lawanmu, tapi ini pun tidak penting. Soalnya aku sudah tahu kunci utama Kungfumu ini, yakni terletak pada mengetahui sejelasnya lebih dulu dari tempat mana dan arah mana tenaga pukulan lawan itu hendak dilancarkan."
"Hm," Kiau-goat mendengus pula.
"Maklumlah, tenaga manusia pada umumnya timbul dari beberapa Hiat-to di sekitar perut, maka tanpa kesulitan apa pun dapat kau raba kekuatan lawan, tapi diriku ...." Siau-hi-ji bergelak tertawa, lalu melanjutkan, "Lantaran ilmu silatku berbeda daripada siapa pun juga, guruku sedikitnya berjumlah belasan orang, bahkan berpuluh-puluh orang, bahkan kau pun termasuk satu di antara guruku. Nah, justru lantaran Kungfu yang kupelajari terlalu banyak dan ruwet, makanya dasar Lwekangku juga kurang baik, hakikatnya inilah kelemahanku yang terbesar, tapi untuk digunakan bergebrak denganmu, kelemahanku ini berbalik telah banyak membantu diriku."
"Huh, memangnya kau kira ...." mendadak Kiau-goat tidak melanjutkan.
"Justru lantaran Lwekangku kurang kuat, cara permainanku juga tidak menurut aturan, makanya seketika kau tidak dapat meraba arah tenaga seranganku dan pada hakikatnya kau pun tidak sempat menggunakan ilmu sakti Ih-hoa-ciap-giok."
"Hm, kau bilang aku tidak dapat menggunakannya?" jengek Kiau-goat, mendadak kesepuluh jarinya terpentang, segera Kiok-ti-hiat dan Thian-coan-hiat bagian lengan Siau-hi-ji hendak ditutuknya.
Siau-hi-ji sedang melancarkan serangan dua kali dan tenaganya justru tersalur melalui kedua Hiat-to tersebut, nyata Kiau-goat Kiongcu sudah berhasil meraba tempat penyaluran tenaga Siau-hi-ji, maka dia telah mendahului mengerjai Hiat-to bagian yang bersangkutan, tenaga kebasan tangannya menyambar dengan kuat.
Sekalipun Siau-hi-ji dapat menghindarkan tutukan jarinya, tapi sukar mengelak akan guncangan tenaga kebasan tangan Kiau-goat Kiongcu itu. Padahal saat ini dia sedang menyerang dengan penuh tenaga, ini berarti tenaga pukulan akan menghantam tubuh sendiri, mengingat betapa kuat serangannya ini bisa jadi dia akan roboh seketika terpukul sendiri.
Siapa tahu, pada detik berbahaya itu, sekonyong-konyong tubuh Siau-hi-ji berputar dengan cepat dan menggeser ke samping sehingga tidak cedera apa-apa.
Ilmu Ih-hoa-ciap-giok yang tidak pernah gagal itu kini ternyata tidak mempan terhadap Siau-hi-ji. Keruan Kiau-goat Kiongcu benar-benar terkejut, padahal sudah diincarnya dengan baik tempat penyaluran tenaga Siau-hi-ji, mengapa bisa salah"
Didengarnya Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, "Tentunya kau tidak menyangka, bukan" Supaya kau tahu, meski telah kau gunakan tenaga yang keras terhadapku, namun aku sendiri sebenarnya sama sekali tidak menggunakan tenaga, karena tujuanmu hendak meminjam tenagaku untuk memukul aku sendiri, namun hasilnya nihil karena tiada setitik tenaga pun.
Cara demikianlah kugunakan untuk menghadapi Ih-hoa-ciap-giok kebanggaanmu. Nah, coba katakan, bagus tidak caraku ini"
Tentu saja air muka Kiau-goat sebentar berubah pucat dan lain saat berubah beringas, jengeknya kemudian, "Hm, memang bagus, syukur kau dapat memikirkan cara sebodoh ini."
"Kau anggap caraku ini sangat bodoh?" kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Kalau bukan cara bodoh, lalu apa pula namanya?" ujar Kiau-goat. "Coba pikir, kau menyerang tanpa menggunakan tenaga, lalu dapatkah kau melukai lawan"
Jadi kau sendiri sudah berada di tempat yang tidak mungkin menang, kalau ada orang bertempur, bila kau tidak mengharapkan kemenangan, lalu apa namanya jika bukan cara yang bodoh?"
Siau-hi-ji mengangguk, jawabnya dengan tertawa, "Betul juga, aku sendiri pun merasa caraku ini sangat bodoh. Tapi menghadapi orang semacam kau, cara yang bodoh terkadang malah terlebih berguna. Apalagi, jelas kau bertekad membunuhku, sebaliknya aku tiada maksud membunuhmu, cukup bagiku asal dapat mencegah keganasanmu padaku dan aku pun akan merasa puas."
"Memangnya kau kira tanpa menggunakan Ih-hoa-ciap-giok tak dapat kubunuh kau?" bentak Kiau-goat dengan bengis.
"Baik, justru ingin kulihat masih mempunyai kepandaian apa yang dapat kau gunakan untuk membunuh diriku?"
Belum habis ucapan Siau-hi-ji, serentak angin pukulan Kiau-goat Kiongcu telah menyambar tiba, menyusul kedua tangan Kiau-goat seolah-olah berubah menjadi belasan tangan. Siau-hi-ji merasa seputarnya cuma bayangan pukulan lawan belaka. Sukar dibedakan yang mana tangan betul dan mana pula bayangan tangan, lebih-lebih tidak tahu cara bagaimana harus menghindar.
Sungguh tak terpikir olehnya tangan seorang mengapa bisa bergerak secepat ini.
Meski Siau-hi-ji sudah berusaha menghindar beberapa kali pukulan musuh, tapi ia tidak tahu apakah serangan berikutnya dapat dielakkan atau tidak.
Kalau jiwa seseorang sudah tergenggam di tangan orang lain dan setiap saat, setiap detik bisa direnggut orang, maka bagaimanapun perasaannya dapatlah dibayangkan.
Akan tetapi bagaimana pula perasaan Kiau-goat Kiongcu" Perasaan orang yang hendak membunuh seharusnya lebih gembira daripada orang yang akan terbunuh. Namun aneh, meski Kiau-goat bertekad harus membunuh Siau-hi-ji, bahkan setiap saat dapat membunuhnya, tapi perasaannya sekarang ternyata lebih menderita daripada Siau-hi-ji.
Dia sudah bersabar menunggu selama dua puluh tahun, dengan mata kepala sendiri akan kelihatan hasilnya sesuai rencananya, tapi sekarang ternyata akan berubah, ia sendiri yang harus menghancurkan hasil yang telah dipupuknya dengan susah payah selama ini.
Ini dapat diibaratkan seorang pelukis, dengan jerih payah selama dua puluh tahun baru berhasil diselesaikan sebuah lukisan yang indah, ketika hasil karyanya ini sudah mendekati goresan terakhir, dia justru harus memusnahkan lukisan itu, bahkan ia sendiri yang harus menghancurkannya, dalam keadaan demikian betapa perasaannya mungkin sukar dibayangkan orang.
Seorang kalau tidak terpaksa pasti tidak mungkin berbuat demikian, sekarang Kiau-goat merasa pasti mereka telah berada di ambang maut. Mereka sudah ditakdirkan mati di sini dan pasti tidak bakal tertolong. Dengan lain perkataan Siau-hi-ji juga pasti akan mati di tangannya, di dunia tiada seorang pun yang dapat menyelamatkan anak muda itu.
Yang masih belum terjadi hanya dia belum melancarkan serangan mematikan yang terakhir saja.
Pada saat itulah Siau-hi-ji berteriak, "Nanti dulu, aku ingin mengucapkan kata-kata terakhir."
Namun Kiau-goat tidak pedulikan, secepat kilat ia menghantam. Tapi begitu tangan bergerak, sekonyong-konyong berhenti di tengah jalan, hanya beberapa senti saja tangannya berada di atas kepala Siau-hi-ji.
"Hm, dalam keadaan demikian kau ingin main gila apalagi?" jengek Kiau-goat sambil menatap tajam.
Siau-hi-ji menghela napas, ucapnya sambil menyengir, "Dalam tiga jurus saja jiwaku dapat kau renggut, untuk apa aku harus main gila lagi?"
"Habis apa yang hendak kau katakan?"
"Tentunya kutahu sekarang bahwa apa pun juga toh tak dapat kabur dan tiada orang yang dapat menolongku lagi, mau tak mau aku pasti akan mati di tanganmu."
"Memang," kata Kiau-goat Kiongcu.
"Jika demikian, dalam keadaan begini kan pantas jika engkau memberitahukan rahasia itu padaku?"
Air mukanya penuh rasa berharap dengan sangat sehingga tampaknya sangat memelas. Sungguh tak tersangka bahwa Siau-hi-ji dapat mengunjuk air muka yang minta dikasihani seperti ini.
Kiau-goat memandangnya hingga lama sekali dan tidak bersuara. Biasanya bilamana soal ini ditanyakan Siau-hi-ji, seketika juga dia akan menolaknya dengan tegas. Tapi sekarang ia menjadi ragu-ragu seakan-akan ada maksud untuk memenuhi permintaan Siau-hi-ji.
Siau-hi-ji tampak bersemangat dan juga bergirang, jantungnya berdebar seakan-akan melompat keluar dari dadanya, ia pikir sebentar Ih-hoa-kiongcu pasti akan membeberkan rahasia pribadinya. Namun begitu air mukanya tetap mengunjuk rasa minta dikasihani.
"Kutahu sebelum ajal setiap orang boleh mengajukan sesuatu permintaan terakhir, bahkan seorang perampok yang paling ganas juga boleh mengajukan permintaan terakhirnya ketika menghadapi hukuman mati. Apalagi engkau sendiri pun akan mati, apabila rahasia ini tetap tersimpan dalam hatimu, apa perasaanmu tidak tertekan?"
"Setelah kau mati, tentu rahasia ini akan kuberitahukan pada So Ing," kata Kiau-goat.
"Meng ... mengapa tidak kau ceritakan padaku saja?" teriak Siau-hi-ji dengan parau.
"Tidak," ucap Kiau-goat, jawaban yang singkat dan tegas tanpa kompromi lagi.
Siau-hi-ji menghela napas panjang, katanya kemudian, "Engkau sungguh jauh lebih ganas daripada perampok, sampai permintaanku yang terakhir menjelang ajal juga kau tolak." Biji matanya berputar, tiba-tiba ia menyambung pula,
"Kalau permintaanku yang lain, dapatkah kau kabulkan?"
Kiau-goat tampak sangat sangsi, akhirnya ia menjawab perlahan, "Bergantung pada apa permintaanmu itu."
"Aku ... aku mau kencing, boleh tidak?" kata Siau-hi-ji.
Buset, dalam keadaan demikian dia mengajukan permintaan semacam ini, sungguh membuat orang serba konyol. Muka Kiau-goat menjadi merah padam menahan gusar.
"Kencing, hanya kencing saja agar perut terasa lega, ini kan permintaan yang paling sederhana dan paling sepele di dunia ini, masa tidak kau izinkan?" ucap Siau-hi-ji pula dengan santai.
"Kau ... kau sesungguhnya mau apa ...." suara Kiau-goat menjadi parau karena gemasnya.
"Tadi aku terlalu banyak menenggak arak, sekarang perutku tidak tahan lagi,"
tutur Siau-hi-ji. "Jika permintaanku kau tolak, terpaksa kukerjakan di sini saja."
"Sekarang juga kubinasakan kau," teriak Kiau-goat gusar.
Siau-hi-ji menjengek, "Kalau perut seorang lagi kembung, tentu kepandaiannya akan banyak terganggu, jika kau bunuh diriku sekarang juga apa tindakan ini dapat dianggap berjaya" Sungguh tak tersangka bahwa Ih-hoa-kiongcu yang disegani tak berani membiarkan orang pergi kencing lebih dulu."
Dengan geregetan Kiau-goat melototi anak muda itu, tiba-tiba ia pun menjengek, "Baik, pergilah kau, aku tidak percaya kau berani main gila padaku."
"Jelas tempat ini sudah buntu, memangnya aku berubah bentuk atau dapat menghilang!" Sambil bicara Siau-hi-ji terus melangkah ke depan, di mulut ia bergumam pula, "Tempat ini sepantasnya ada sebuah kakus, aku lupa tanya pada Gui Bu-geh di mana letak kakusnya, entah dapat kutemukan tidak sekarang."
Kiau-goat Kiongcu terus membayangi Siau-hi-ji, tanpa terasa ia menanggapi grundelan anak muda itu, "Mengapa kau tidak pergi ke tempat tadi."
"Aha, betul, tidak kau sebut, aku jadi lupa," kata Siau-hi-ji dengan bergelak tertawa. "Tadi sudah kubuat kakus darurat, kakus yang longgar dan tembus hawa."
Maka sejenak kemudian mereka sudah sampai di ruangan bawah tanah tadi, terlihat mayat Gui Bu-geh sudah mulai mengering dan mengerut menjadi kecil.
Bentuknya tampak seram dan memualkan.
Baru saja Kiau-goat melangkah masuk ke situ, seketika ia mundur keluar lagi dan membentak, "Ayo, lekas!"
Siau-hi-ji berkedip-kedip, ucapnya, "Kau tidak ikut masuk" Masa kau tidak khawatir aku akan kabur?"
Kiau-goat tidak menggubrisnya. Ruangan ini hanya ada sebuah pintu, dengan sendirinya ia yakin betapa pun tinggi kepandaian Siau-hi-ji juga tidak mungkin bisa lari.
Sambil menghela napas gegetun Siau-hi-ji bergumam pula, "Padahal apa alangannya jika kau masuk kemari" Meski tempat ini rada berbau sedikit, tapi waktu kencing pasti takkan dilihat oleh siapa pun juga. Kau sendiri kan dapat menguras perutmu."
Kiau-goat pura-pura tidak mendengar saja, kalau tidak, mungkin dadanya bisa meledak saking gusarnya.
Selang tak lama, terdengar di dalam ada suara gemerciknya air atau tepatnya suara air yang dipancurkan.
Selama hidup Kiau-goat mana pernah dengar suara yang menakutkan begini.
Tanpa terasa mukanya menjadi merah, kalau bisa ia ingin mendekap telinganya. Untunglah orang buang air tentu takkan lama, kalau bersabar menunggu tentu juga cuma sebentar saja.
Tak tahunya, tunggu punya tunggu, sampai lama sekali suara gemercik itu masih terus berlangsung. Di tunggu pula sekian lama, suara itu masih terus berbunyi tanpa berhenti.
Tentu saja Kiau-goat menjadi tidak sabar dan mulai heran dan curiga.
Meski tak banyak pengetahuannya hal orang lelaki, tapi ia tahu, baik lelaki maupun perempuan, tidak mungkin membuang air sebanyak itu. Air kencing sepuluh orang dikumpulkan juga tidak sebanyak ini. Akhirnya Kiau-goat berteriak dengan mendongkol, "Kang Siau-hi, lekas keluar. Apa-apaan kau mengeram di dalam?"
Tapi di dalam hanya ada suara "air mancur", sama sekali tiada jawaban orang.
Walaupun yakin di situ tiada jalan lolos bagi Siau-hi-ji, tapi tidak urung Kiau-goat menjadi agak khawatir juga. Ia coba memanggilnya lagi dua kali dan tetap tiada jawaban. Diam-diam ia membatin, "Kurang ajar! Jangan-jangan setan cilik ini benar-benar telah menemukan jalan lolos" Mungkin dia tahu di situlah letak jalan keluarnya, maka sengaja menipuku agar dia sendiri dapat kabur dan kami tetap terkurung di sini."
Berpikir demikian, kaki tangannya menjadi dingin dan lemas, tanpa menghiraukan urusan lain lagi segera ia menerjang ke dalam.
Tapi aneh, di dalam tetap tenang-tenang saja tiada sesuatu perubahan, hanya suara gemercik tadi masih terus terdengar. Lantaran teraling oleh sebuah
"dinding", maka tidak diketahui apa yang dilakukan Siau-hi-ji dalam kakus darurat itu.
Karena gemasnya, begitu menerjang ke dalam, segera Kiau-goat ayun tangannya dengan tenaga murni. Terdengar gemuruh, dinding yang terbuat dari tumpukan batu dan tutup peti itu lantas runtuh. Benar saja, di dalam ternyata tiada lagi bayangan Siau-hi-ji. Hanya ada beberapa botol yang terikat tali dan menjulur turun dari lubang di atas sana, jadi botol-botol itu tergantung di udara, pantat botol diberi berlubang dan arak dalam botol lantas mengucur masuk ke peti mati itu. Rupanya dari sinilah datangnya suara gemercik air pancur tadi. Lalu ke manakah Siau-hi-ji"
Selagi Kiau-goat melenggong bingung, sekilas dilihatnya sesosok bayangan orang menyelinap ke luar.
Kiranya sejak tadi Siau-hi-ji bersembunyi di balik pintu, karena seluruh perhatian Kiau-goat tertarik ke arah sana, kesempatan mana telah digunakan Siau-hi-ji untuk lolos keluar. Waktu Kiau-goat mengetahui apa yang terjadi, sementara itu anak muda itu sudah berada di luar ruangan.
Segera Kiau-goat hendak memburu keluar, namun apa lacur, tahu-tahu pintu batu itu menutup kembali, bahkan suara tertawa Siau-hi-ji di luar juga terputus.
Baru sekarang Kiau-goat Kiongcu benar-benar cemas.
Biasanya, menghadapi urusan betapa pun gawatnya, belum pernah Kiau-goat berteriak atau menjerit, lebih-lebih tidak pernah memohon sesuatu pada orang lain.
Tapi sekarang ia sudah lupa segalanya, mendadak ia berteriak, "Kang Siau-hi, buka pintu, keluarkan aku!"
Selang sekian lama baru terdengar suara Siau-hi-ji berkumandang dari lubang di atas sana, "Keluarkan kau" Haha, supaya aku dapat kau bunuh?"
Dengan menggereget Kiau-goat menjawab, "Aku ... aku berjanji takkan membunuhmu."
Selama hidupnya bilakah pernah mengucapkan kata-kata yang bersifat kompromis begini" Tapi kini toh dia harus merendah diri dan berucap demikian, keruan serasa hancur hatinya. Namun apa daya, mau tak mau dia harus berucap demikian. Sebab ia pun tahu setelah pintu keluar tertutup, ruangan ini tiada ubahnya seperti sebuah guci yang tersumbat dan tiada jalan keluar lagi.
Meski tahu dirinya tetap tak terhindar dari kematian, tapi betapa pun ia tidak sudi mati di sini, tidak sudi mati di samping Gui Bu-geh, lebih-lebih tidak sudi kematiannya diintip oleh Siau-hi-ji.
Dalam pada itu terdengar Siau-hi-ji berkata pula di atas, "Sekalipun kau tidak membunuhku juga tak dapat kukeluarkan kau, sebab, biarpun kau tidak membunuhku, sebaliknya aku yang akan membunuhmu. Jangan lupa, permusuhan antara kita bukan urusan kecil."
Tergetar hati Kiau-goat Kiongcu, ia tidak dapat bicara lagi.
"Supaya kau tahu, mestinya tadi jangan kau beri kesempatan padaku untuk bicara dengan So Ing," terdengar Siau-hi-ji berkata pula.
Kiau-goat tidak mau gubris padanya, tapi timbul juga rasa ingin tahunya, segera ia tanya, "Sebab apa?"
"Tahukah apa yang kukatakan pada So Ing tadi?" tanya Siau-hi-ji, ia terbahak-bahak, lalu menyambung, "Waktu itu kukatakan padanya agar dia mengorek botol arak dari atas sini, lalu kusuruh berjaga di samping pesawat rahasia, begitu aku keluar segera dia menutup pintunya. Kalau tidak, selagi aku bertempur mengadu jiwa denganmu masa dia rela menyingkir pergi?"
Tubuh Kiau-goat agak gemetar, katanya "Tapi dia ... dia ...."
"Jangan kau lupa, dia dibesarkan di sini, semua pesawat rahasia di sini, kecuali Gui Bu-geh, tentu saja dia yang paling jelas."
Kiau-goat melenggong sekian lamanya, sekujur badan serasa lemas lunglai, ia bergumam, "Ya, aku terlalu gegabah, sungguh aku terlalu gegabah ...."
"Apa gunanya baru sekarang kau menyesal" Apakah ada orang yang akan menolongmu sekarang?" Setelah terbahak-bahak Siau-hi-ji melanjutkan, "Maka sebaiknya kau menunggu kematian saja dengan tenang. Meski tempat ini agak bau, paling tidak kan cukup tenteram, tiada lalat tiada nyamuk, apalagi, kau pun tidak sendirian, kan ada Gui Bu-geh yang menemanimu"!"
"Tu ... tutup mulut!" teriak Kiau-goat dengan suara seram.
Tapi Siau-hi-ji bahkan berseru pula dengan tertawa, "Gui Bu-geh, wahai Gui Bu-geh! Sewaktu hidupmu tidak dapat tidur seranjang dan sebantal dengan orang yang kau cintai, setelah mati kau malah dapat bersatu liang kubur dengan dia, betapa pun kau masih mujur. Tapi kau pun jangan lupa, akulah yang membantumu, jadi setan juga kau mesti membalas budi kebaikanku ini."
Kiau-goat murka, dengan kalap ia menubruk ke depan mayat Gui Bu-geh, tangan terangkat dan segera hendak menghantamnya.
"He, apa yang hendak kau lakukan?" seru Siau-hi-ji tiba-tiba. "Haha, Ih-hoa-kiongcu yang gilang-gemilang masa menganiaya mayat yang sudah tak bisa berkutik?"
Seketika tangan Kiau-goat terhenti di atas dan berdiri mematung.
Tiba-tiba Siau-hi-ji menghela napas dan berucap, "Padahal aku pun dapat memahami perasaanmu. Memang tiada seorang pun rela mati di tempat yang kotor dan menjijikkan seperti ini, apalagi di samping mayat yang sangat menjijikkan pula, lebih-lebih dirimu. Meski engkau berjiwa sempit dan juga bersikap dingin kepada siapa pun, namun, bicara sejujurnya, engkau bukankah orang yang kotor dan menjijikkan."
Perlahan Kiau-goat menurunkan tangannya.
Maka Siau-hi-ji berkata pula, "Terkadang, engkau memang terasa menakutkan, tapi terkadang aku pun merasa kasihan padamu. Selama hidupmu sedemikian hampa, sedemikian kesepian, hakikatnya tiada mempunyai seorang kawan pun. Jika perempuan lain mungkin akan berubah terlebih nyentrik dan lebih keji daripadamu. Sebab aku pun tahu tiada sesuatu di dunia ini yang lebih menakutkan daripada kesepian."
Mendengar sampai di sini, kepala Kiau-goat Kiongcu hampir tertunduk seluruhnya.
"Sebab itulah aku pun tidak sungguh-sungguh menghendaki kematianmu secara mengenaskan begini, asalkan kau mau berjanji sesuatu hal padaku, segera juga kulepaskanmu dari sini."
"Urusan apa?" tanya Kiau-goat tanpa pikir. Tapi setelah diucapkan segera ia tahu urusan apa yang dimaksudkan Siau-hi-ji.
Benar juga, Siau-hi-ji lantas berkata, "Asalkan kau beberkan rahasia itu, segera kulepaskan kau."
"Kau ... kau jangan harap ...." jawab Kiau-goat dengan menyesal.
"Masa kau lebih suka mati bersama Gui Bu-geh di sini" Bila kelak, ada orang berkunjung kemari dan melihat kalian mati di dalam suatu liang lahat, lalu bagaimanakah mereka akan berpikir?" Setelah tertawa, lalu Siau-hi-ji menyambung pula, "Ya, tentu orang lain akan bilang, "Meski tampaknya Ih-hoa-kiongcu selalu bersikap dingin dan anggun, tapi nyatanya dia juga mempunyai kekasih gelap, buktinya mereka mengadakan pertemuan rahasia di sini dan akhirnya" ...." Dia tertawa dan mendadak menghentikan ucapannya, ia sengaja tidak mau melanjutkan.
Maka gemetarlah tubuh Kiau-goat karena emosinya.
"Coba kau pertimbangkan lagi, kapan kau mau bicara, kapan pula akan kubebaskan kau. Toh setelah mendengar rahasia ini aku pun takkan hidup lebih lama lagi," kata Siau-hi-ji.
Kiau-goat tidak menanggapinya. Ya, paling tidak sekarang dia tetap menolaknya dengan tegas.
So Ing yang selalu mendampingi Siau-hi-ji itu menghela napas gegetun, katanya, "Sudah telanjur begitu, mengapa kau berkeras memaksa dia menceritakan rahasia itu" Jika sudah dia ceritakan kan juga tiada faedahnya bagimu, bahkan akan menambah kemasygulan saja."
Siau-hi-ji tidak menjawabnya, sebaliknya bahkan tanya kembali, "Tentunya kau tahu, antara aku dan Hoa Bu-koat harus mati salah satu, kalau dia tidak membunuhku tentu akulah yang membunuh dia."
"Tapi aku pun tahu dia tidak sungguh-sungguh ingin membunuhmu dan kau pun lebih-lebih tidak ingin membunuh dia."
"Namun nasib kami berdua tampaknya sudah ditakdirkan demikian dan sukar berubah lagi, meski aku sudah berdaya dan sedapatnya mengulur waktu, tapi pada suatu hari kelak toh peristiwa ini harus terjadi."
So Ing mengangguk dengan pedih.
Siau-hi-ji menyambung pula, "Tapi aku pun tidak percaya bahwa di dunia ini ada urusan yang ditakdirkan, aku pasti berusaha mengubahnya, sebab itulah terpaksa harus kudesak dia agar menceritakan rahasia ini, jika sudah kuketahui apa sebabnya dia menghendaki kami mengadu jiwa, maka urusan ini pasti dapat kuselesaikan dengan baik."
"Namun ... namun nasib kalian bukankah sudah berubah?" ujar So Ing.
"Siapa bilang sudah berubah?" kata Siau-hi-ji.
Dengan muram So Ing menjawab, "Sekarang jelas engkau tidak ... tidak mampu membunuhnya, dan dia lebih-lebih tidak dapat membunuhmu, sebab ...
sebab engkau toh pasti akan mati di sini."
"Siapa bilang aku pasti akan mati di sini?" tanya Siau-hi-ji.
Seketika So Ing tersentak kaget dan bergirang pula, serunya, "He, jadi engkau mempunyai akal untuk keluar dari sini?"
Dengan santai Siau-hi-ji menjawab, "Rasanya aku ini mempunyai Hok-khi yang besar, bahwa apa pun yang kuhadapi pada saatnya selalu berubah menjadi selamat. Maka sekarang aku pun berani bertaruh denganmu, pasti ada orang akan datang kemari untuk menolongku."
"Kau kira ... siapa yang akan menolongmu?" tanya So Ing.
Siau-hi-ji berkedip-kedip, sahutnya kemudian, "Coba kau terka."
So Ing berpikir sejenak, katanya, "Sebenarnya Hoa Bu-koat pasti akan berdaya untuk menolongmu, tapi sekarang, entah peristiwa apa yang telah dialaminya, kalau tidak, tentu dia takkan berhenti menggali dan masuk ke sini."
"Memangnya peristiwa tak terduga apa yang dialaminya?"
So Ing berpikir pula agak lama, tiba-tiba ia berkata, "Menurut pendapatku, bisa jadi usaha Hoa Bu-koat telah dirintangi oleh Cap-toa-ok-jin?"
"Haha, betul!" ujar Siau-hi-ji dengan berkeplok tertawa, "Besar kemungkinan, orang yang ditemuinya adalah Li Toa-jui serta kawan-kawannya, sebab mereka memang ada janji bertemu di sini, dalam dua hari ini mereka pasti datang kemari."
"Tentunya mereka tahu tujuan Hoa Bu-koat menggali terowongan adalah untuk menolong kita. Makanya mereka merintanginya, betul tidak?"
"Ehm," jawab Siau-hi-ji.
"Jika demikian, kau kira mereka pun akan berusaha masuk ke sini untuk menolong kau?"
"Tentu tidak, sebab sekarang aku pun tahu mereka mengira aku akan bersekongkol dengan orang lain untuk menghadapi mereka, maka mereka pun berharap akan kematianku."
"Jika begitu, mungkinkah mereka akan kemari untuk menolong Ih-hoa-kiongcu?" tanya So Ing.
"Lebih-lebih tidak mungkin," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa, "Kalau Ih-hoa-kiongcu mati di sini, inilah yang diharapkan mereka."
"Jika sekarang mereka menghalangi Hoa Bu-koat masuk ke sini, apakah nanti mereka sendiri juga akan berusaha masuk kemari."
"Ya, mereka akan masuk kemari."
"Untuk apa?" Tanya So Ing.
"Sebab mereka pun ingin tahu keadaan di sini."
"Dari mana kau tahu?"
"Mereka mengira ada satu partai harta karun disembunyikan Gui Bu-geh di sini, kalau tempat ini tidak diperiksanya mereka tidak rela."
"Seumpama mereka akan masuk ke sini, tentu juga akan menunggu setelah kita mati semuanya."
"Betul, tapi cara bagaimana mereka mengetahui bahwa Gui Bu-geh ternyata tidak terburu-buru menghendaki kematian kita?"
Terbeliak mata So Ing, serunya, "Betul juga, setelah dihitung dan ditimbang, tentu mereka pun tak menyangka bahwa kita masih belum mati, mereka pasti mengira kita sudah mati sesak napas atau mati kelaparan."
"Ya, makanya kuyakin tidak sampai lebih dari satu-dua hari mereka pasti akan masuk kemari."
"Dapatkah mereka masuk kemari?"
"Dengan kepandaian mereka beramai-ramai, sekalipun tempat ini adalah gunung baja dan tembok besi juga mereka mampu masuk ke sini."
Akhirnya So Ing berseri tertawa, katanya, "Kuharap dugaanmu sekali ini tidak meleset."
Belum habis ucapannya, benar saja, tiba-tiba terdengar lagi suara "trang-tring"
di luar, suara orang menggali.
"Betul tidak?" seru Siau-hi-ji sambil bertepuk tertawa. "Sekarang kau percaya akan kehebatanku bukan."
"Ya, seumpama Khong Beng belum meninggal, paling-paling dia juga cuma begini saja," ujar So Ing.
Tapi setelah mengikuti sejenak suara "trang-tring" itu, kedengaran tidak sekeras permulaan tadi, daya getarnya juga tidak sekuat tadi, mau tak mau So Ing berkerut kening, katanya, "Apakah orang-orang yang menggali ini belum makan nasi" Mengapa tiada tenaga sedikit pun."
"Ini bukan tanda mereka tak bertenaga, tapi justru menandakan alat penggali mereka teramat tajam," ujar Siau-hi-ji. "Karena alat penggalinya tajam, maka suara sentuhan menjadi kecil. Coba bayangkan, bilamana kau memotong tahu, bukankah tiada menimbulkan suara apa pun?"
So Ing tertawa riang, ucapnya, "Berada bersamamu hakikatnya aku telah berubah menjadi tolol."
"Tidak, aku justru merasakan kau semakin pintar," kata Siau-hi-ji.
"O, ya?" ucap So Ing sambil berkedip-kedip.
Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata, "Kan sudah kukatakan sejak dulu, semakin pintar seorang perempuan semakin bisa berlagak bodoh di depan lelaki.
Sekarang pun kau sudah pintar berlagak bodoh di depanku, tampaknya lambat atau cepat aku pasti akan kena dikail olehmu."
So Ing menggigit bibir dan tertawa, ucapnya, "Jangan khawatir, pasti takkan kukail dirimu."
"Oo!" Siau-hi-ji melenggong.
So Ing memandangnya dengan mesra, ucapnya dengan lembut, "Masa tidak dapat kau lihat, kan sudah lama aku yang terkail?"
Perasaan Kiau-goat Kiongcu yang bergolak hebat sudah mulai tenang kembali, dia sedang duduk bersemadi, lambat-laun telah memasuki keadaan yang hampa segalanya.
So Ing menghela napas, katanya, "Tampaknya ia sudah bertekad takkan menceritakan rahasia itu."
"Tadinya kukira pikiran perempuan setiap saat pasti bisa berubah, tak tersangka dia ternyata harus dikecualikan."
"Kuharap orang yang menggali di luar itu takkan terlalu cepat masuk ke sini, dengan demikian kita dapat menyumbat seluruhnya tempat ini lebih dahulu agar dia mati sesak napas di dalam situ. Sedangkan Lian-sing Kiongcu saat ini memang tiada ubahnya seperti orang mati ...."
"Tapi sebelum mereka membeberkan rahasia itu, takkan kubiarkan mereka mati," sela Siau-hi-ji.
"Namun kalau tidak kau bunuh mereka sekarang juga, apabila Hoa Bu-koat sempat masuk ke sini, tentu dia akan menyuruh kalian mengadu jiwa pula."
"Tapi kau pun jangan lupa, mereka masih harus mencarikan dulu obat penawar racun bagiku, untuk ini sedikitnya diperlukan waktu satu-dua tahun dan di dalam satu-dua tahun ini pasti kudapatkan akal bagus."
Kembali So Ing menghela napas, ucapnya, "Hakikatnya engkau tidak keracunan, untuk apa mereka harus mencarikan dulu obat penawar bagimu?"
Siau-hi-ji melengak, katanya sambil melotot, "Siapa bilang aku tidak keracunan, sedikitnya ada tiga orang saksi hidup yang melihat kutelan jamur beracun jitu."
"Apa sukarnya bagimu, asalkan kau sedikit main, jangankan tiga orang, biarpun tiga puluh orang juga dapat kau kelabui. Kutahu caramu main pasti jauh lebih cepat daripada penglihatan mereka."
Siau-hi-ji termenung sejenak, ucapnya kemudian dengan tertawa, "Masa kau anggap aku main sulap?"
"Main sulap atau tidak, yang pasti kau sengaja membikin orang mengira benar telah kau makan jamur beracun itu, lalu sengaja terjerumus pula ke gua sumur itu, tujuanmu adalah supaya mereka tidak dapat memaksa kau mengadu jiwa dengan Hoa Bu-koat. Caramu ini sebenarnya sangat bagus, cuma sayang pada saat tegang kau lupa melanjutkan sandiwara ini."
"Apa yang kulupakan?" tanya Siau-hi-ji.
"Kau bilang tidak dapat bertempur dengan Hoa Bu-koat lantaran keracunan, tapi mengapa kau dapat bergebrak dengan Kiau-goat Kiongcu?"
"Bekerjanya racun Li-ji-hong memang tidak menentu, kalau tidak bekerja, rasanya tiada ubahnya seperti tiada keracunan apa-apa."
"Tapi kau lupa, orang yang keracunan Li-ji-hong pasti akan kambuh apabila minum arak."
Kembali Siau-hi-ji melengak, sejenak kemudian baru dia berkata pula sambil menyengir, "Meski aku berlagak bodoh toh tetap tidak persis."
So Ing tertawa, katanya, "Asalkan kau selamat, biarpun engkau tidak suka padaku juga bukan soal bagiku."
Mendadak Siau-hi-ji menarik si nona dan memeluknya, katanya dengan lembut, "Apakah kau kira aku bisa menyukai orang bodoh?"
So Ing merangkul erat-erat pinggang Siau-hi-ji dan membenamkan kepalanya di pangkuan anak muda itu, selang agak lama barulah ia berkata pula dengan gegetun, "Aku pun tahu tiada maksudmu hendak membunuh mereka, tapi sekarang hanya jalan ini saja yang dapat kau tempuh."
Siau-hi-ji terdiam sejenak, katanya kemudian, "Meski kau dapat mengetahui aku tidak keracunan, mereka belum pasti tahu."
"Jangan kau nilai rendah mereka," ujar So Ing. "Mungkin mereka tidak banyak mengetahui seluk beluk kehidupan bermasyarakat, sebab selama ini mereka selalu tinggi di atas, terlalu sedikit kontak dengan khalayak ramai, tapi selain ini, terhadap urusan lain mereka tidak kurang lihainya, kecerdasan mereka tidak di bawah kita, kalau tidak masakah mereka mampu meyakinkan ilmu silat setinggi ini."
Siau-hi-ji termenung sejenak, lalu bergumam, "Tampaknya sekarang harus kukatakan padanya bahwa Hoa Bu-koat selekasnya akan masuk kemari."
So Ing berkerut kening, ucapnya, "Jika dia tahu bakal ada orang akan menolongnya, bukankah rahasia itu lebih-lebih takkan diceritakan padamu?"
"Ini pun belum tentu, justru lantaran dia sudah putus asa, maka dia lebih suka mati daripada membeberkan rahasia itu. Tapi kalau dia mengetahui ada harapan untuk hidup, bisa jadi pikirannya akan berubah."
Terbeliak mata So Ing, katanya, "Betul, lebih dulu kita beritahukan padanya bahwa Hoa Bu-koat sudah hampir masuk ke sini. Lalu kita katakan bilamana dia tak mau menceritakan rahasia itu, maka tempat ini akan kita bikin buntu.
Aku yakin sekalipun dia sangat memandang penting rahasia itu pasti juga takkan lebih penting daripada jiwanya sendiri."
Belum lenyap suaranya, mendadak di belakangnya bergema suara seorang, terdengarlah Lian-sing Kiongcu sedang berkata, "Kau salah, dia justru memandang rahasia itu jauh lebih penting daripada jiwanya sendiri."
Meski suara Lian-sing ini sangat perlahan dan halus, tapi bagi pendengaran Siau-hi-ji dan So Ing serasa seperti bunyi guntur di tepi telinga.
Di bawah sinar lampu kelihatan wajah Lian-sing Kiongcu yang pucat pasi.
Siau-hi-ji menghela napas, ucapnya sambil menyengir, "Rupanya Gui Bu-geh adalah makhluk paling pelit, ingin membuat mabuk orang tapi tidak rela menggunakan arak yang paling baik."
Pandangan Lian-sing tampak sayu, biji matanya seolah-olah telah menjadi kelabu, seperti tidak tahu siapa yang berdiri di depannya dan seakan-akan tidak mendengar perkataannya.
Terpaksa Siau-hi-ji melanjutkan, "Arak yang berkualitas tinggi biasanya menimbulkan rangsangan kemudian. Kalau arak yang diberikan Gui Bu-geh tadi benar-benar arak bagus, sedikitnya orang akan mabuk setengah hari dan tidak mungkin sadar secepat ini."
Lian-sing juga menyambung, "Mungkin akan lebih baik apabila aku tidak sadar untuk selamanya." Dia bicara seperti orang linglung, seolah-olah tidak menyadari apa yang diucapkannya.
Siau-hi-ji tertawa, katanya pula, "Tampaknya kau seperti sangat menderita, padahal, mabuk arak juga bukan sesuatu yang memalukan. Di dunia ini setiap hari sedikitnya berjuta-juta orang jatuh mabuk, kenapa engkau mesti merasa susah?"
Lian-sing menggeleng, katanya, "Tadi aku ... aku ...."
"Meski engkau tak pernah minum arak, tapi adatmu minum arak jauh lebih baik daripada orang lain," ujar Siau-hi-ji. "Kebanyakan orang, apabila sudah mabuk tentu akan mengoceh tak keruan, tapi engkau ternyata sangat tenang dan prihatin."
"Masa aku tidak ... tidak melakukan sesuatu?" tanya Lian-sing.
"Memangnya kau kira dirimu telah berbuat sesuatu?" jawab Siau-hi-ji. "Setelah mabuk tadi engkau lantas terpulas, engkau cuma mengigau beberapa kata saja seperti sedang mimpi."
Lian-sing Kiongcu menghela napas lega, perlahan-lahan matanya mulai bercahaya, wajahnya yang pucat juga mulai bersemu merah, gumamnya,
"Benar, aku memang bermimpi, impian yang sangat aneh."
"Orang hidup kalau terkadang bisa bermimpi yang aneh-aneh kukira kehidupan demikian pasti akan sangat menyenangkan," ujar Siau-hi-ji.
So Ing memandang anak muda itu, sorot matanya penuh rasa mesra, rasa kagum dan memuji seperti sangat bangga baginya. Maklum, setiap anak perempuan tentu berharap kekasihnya berjiwa luhur, simpatik dan welas asih.
Siau-hi-ji, jika dalam keadaan kepepet, pada detik menentukan antara hidup dan mati, pada saat yang oleh seorang pujangga diistilahkan "to be or not to be", berbuat atau tidak, dibunuh atau terbunuh. Dalam keadaan begitu, terkadang ia pun bisa bertindak tanpa mengenal cara, tujuan menghalalkan perbuatan, kata orang. Akan tetapi pada dasarnya Siau-hi-ji mempunyai sebuah hati yang baik, hati yang welas asih, hati yang cinta kepada sesamanya.
Begitulah, selang sejenak dengan perlahan Lian-sing berkata pula, "Sekarang dia tak dapat lagi membunuh kau, boleh kau bebaskan dia saja."
Nada bicaranya ini sangat aneh, rasanya sedikit pun tidak memaksa, bahkan seperti seorang di luar garis yang membujuknya.
Siau-hi-ji memandangnya dua kejap, tanpa bicara apa pun ia lantas menarik So Ing dan diajak menuju ke tempat yang ada tombol pengendali pesawat rahasia itu. Lian-sing Kiongcu ternyata tidak ikut ke situ.
Kecuali alat buka-tutup ruangan di bawah itu, alat-alat lain ternyata sudah dihancurkan seluruhnya. Sambil memandangi tangkai putaran pintu yang mengkilat karena seringnya sentuhan tangan, tiba-tiba Siau-hi-ji berkata dengan tertawa, "Aneh, Lian-sing Kiongcu seolah-olah berubah percaya penuh padaku, masa dia tidak khawatir kalau alat pesawat ini pun kurusak?"
So Ing tersenyum, katanya, "Ya, sebab lambat laun dia merasa kau ini sesungguhnya seorang yang baik."
"Mengapa?" tanya Siau-hi-ji.
"Kebanyakan perempuan memang mempunyai jalan pikiran yang aneh, biarpun kau telah beribu kali berbuat busuk padanya, asalkan kau berbuat baik padanya satu kali, maka dia akan merasakan kau sungguh orang baik dan akan sangat berterima kasih padamu."
"Mengapa dia berterima kasih padaku?"
"Memangnya kau kira dia sama sekali tidak mengetahui perbuatanmu setelah mabuk" Soalnya karena kau telah menjaga martabatnya, telah menutupi tindakannya yang memalukan itu, kalau dia dapat mengelakkan kenyataan ini, maka ia pun boleh sekadar membohongi dirinya sendiri dan pura-pura tidak tahu."
Membohongi dirinya sendiri, inilah kepandaian khas umat manusia. Misalnya seseorang tidak berhasil makan anggur, padahal kepingin setengah mati hingga keluar air liur, untuk menghibur dirinya yang gagal makan anggur itu ia lantas bilang: "Ah, anggur rasanya kecut, tidak enak." Dengan demikian hatinya akan terhibur.
Manusia kalau tidak pintar membohongi dirinya sendiri, mungkin banyak yang tidak sanggup hidup lagi, sebab membohongi dirinya sendiri pada hakikatnya adalah semacam "obat penawar" bagi manusia yang merasa kecewa, yang merasa gagal memperoleh sesuatu.
Sebab itu pula, bilamana seorang patah hati lantaran kehilangan pacar, paling baik kalau dia menghibur dirinya sendiri dengan cara demikian: "Ah, hakikatnya aku toh tidak menyukai dia. Apalagi di dunia kan masih banyak anak perempuan yang jauh lebih baik daripada dia".
Jika dia tidak membohongi dirinya sendiri secara demikian, mungkin dia akan runtuh benar-benar dan bisa jadi bunuh diri.
Begitulah Siau-hi-ji menggeleng-geleng kepala sambil menatap So Ing, gumamnya kemudian, "Tampaknya pikiran perempuan hanya bisa dipahami oleh kaum perempuan sendiri."
Sembari bicara ia terus memegang putaran pesawat rahasia itu.
"He, kau benar-benar akan membebaskan Kiau-goat Kiongcu?" seru So Ing heran.
"Sudah tentu, masa tidak benar," kata Siau-hi-ji.
"Akan ... akan tetapi, apabila pesawat rahasia itu kau rusak saja, kan urusannya menjadi lebih sederhana?" ujar So Ing.
"Betul, jika Kiau-goat kukurung di sini, menghadapi Lian-sing seorang tentu saja urusannya jadi lebih mudah, tapi aku tak dapat bertindak demikian."
"Sebab apa?" tanya So Ing.
"Kan dia sudah percaya padaku, maka tidak boleh lagi kutipu dia," tutur Siauhi-ji. "Jika orang lain sama sekali tidak percaya padaku, maka bukan soal bagiku untuk menipu dan membohongi dia, biarpun seribu kali juga aku tidak sungkan," Dia tertawa, lalu menyambung, "Mungkin di sinilah letak perbedaan lelaki dan perempuan. Perempuan selalu akan membohongi orang yang percaya padanya, jika kau tidak mempercayai dia, dia berbalik tak berdaya apa-apa padamu."
"Hah, dari nadamu ini, tampaknya seakan-akan engkau sudah pernah tertipu beratus kali oleh perempuan," ucap So Ing dengan tertawa.
"Keliru," kata Siau-hi-ji. "Justru orang yang tidak pernah ditipu perempuan, makin jelas baginya mengenai seluk beluk perempuan, kalau benar aku pernah tertipu beratus kali oleh perempuan, aku bahkan tidak berani mengaku sangat memahami perempuan."
So Ing menghela napas gegetun, ucapnya, "Tampaknya jalan pikiran lelaki juga cuma dipahami oleh kaum lelaki sendiri."
Sementara itu pintu ruangan di bawah tanah sana sudah terbuka, seharusnya Kiau-goat Kiongcu sudah keluar sejak tadi-tadi, tapi sampai sekian lamanya masih belum nampak bayangannya.
"Aneh, mengapa Kiau-goat Kiongcu belum datang mencarimu?" ucap So Ing dengan ragu-ragu.
"Sekarang dia sudah tahu bakal datang penolong dari luar, dengan sendirinya dia tidak perlu membunuhku lagi," ujar Siau-hi-ji.
"Menurut wataknya, seumpama dia tidak ingin lagi membunuhmu, sedikitnya ia kan mencari perkara padamu."
"Bisa jadi mendadak ia merasa sangat enak di sana dan tidak ingin keluar lagi,"
kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Akhirnya mereka ingin tahu juga apa yang terjadi, tapi sama sekali tak terpikir oleh Siau-hi-ji bahwa Kiau-goat Kiongcu benar-benar masih berada di kamar batu sana, bahkan sekarang Ih-hoa-kiongcu mahaagung itu telah duduk bersandar dinding.
Terlihat Lian-sing Kiongcu juga berdiri di samping sana dan sedang memandangi sang kakak dengan terkesima, air mukanya tampak mengunjuk rasa kejut dan heran, juga merasa kagum serta iri.
Tentu saja Siau-hi-ji heran, sikap Lian-sing Kiongcu itu tampak aneh, air muka Kiau-goat Kiongcu juga tidak kurang anehnya. Air mukanya kelihatan tidak putih, juga tidak merah, akan tetapi di antara putih kemerah-merahan itu tampaknya s

^