Bakti Pendekar Binal 11

Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 11


temukan, tapi pada wajah mereka yang molek itu tampak mengandung perasaan lesu, dingin, hampa.
Gadis yang sedang menyiram itu sebenarnya sudah kehabisan air, tapi ia tidak menyadari hal ini, dia termangu-mangu memandangi awan di langit.
Yang sedang memotong ranting bunga itu juga berdiri mematung dengan memegang gunting, terkesima entah apa yang sedang dipikirkan.
Yang menyapu juga berdiri tertegun memegangi sapunya sambil memandang daun rontok di sekitar kakinya seperti orang linglung tanpa menghiraukan sinar matahari yang panas.
Dunia yang hidup dan semarak ini setiba di sini rasanya telah berubah seluruhnya, berubah menjadi sunyi dan hambar. Walaupun hari di musim rontok lebih singkat daripada musim lainnya, tapi di sini hari terasa seperti sangat panjang.
Pemandangan indah di tempat yang laksana surga ini ternyata sedemikian hampa dan sunyi menakutkan.
Akan tetapi, meski tubuh gadis-gadis cilik itu tak bergerak, namun hati mereka sedang bergolak dan memberontak laksana api di dalam sekam yang membakar secara diam-diam.
Mereka masih muda belia, masa tiada gairah dan semangat remaja" Memangnya di tempat yang indah permai ini gairah remaja juga telah berubah sama sekali"
Di tempat ini gairah apa pun memang tak dapat hidup, mereka sedang termenung, hati mereka sudah terbang jauh ke sana, ke samping sang pangeran menurut khayalan mereka.
Terkadang mereka benar-benar ingin meninggalkan tempat ini tanpa menghiraukan segala akibatnya.
Akan tetapi pada saat demikian itu justru ada seorang gadis sedang merangkak ke situ tanpa menghiraukan apa pun.
Pakaian gadis itu mestinya putih mulus, tapi kini telah kotor dan berlepotan darah, wajahnya yang cantik itu kini tampak kurus dan pucat.
Siapa pun pasti dapat melihatnya bahwa si gadis pasti telah banyak berkorban dan menahan siksa derita untuk datang ke tempat yang misterius ini. Setiba di sini, sekujur badannya terasa sudah lunglai, bibir kering dan pecah, perut terasa kecut, untuk berdiri saja tidak kuat, terpaksa ia merangkak dan merangkak, dengan merangkak pun ia ingin mencapai puncak itu.
Tangannya yang halus dan indah itu kini juga berlumuran darah, hampir saja ia jatuh pingsan, tapi bau harum bunga telah membangkitkan semangatnya.
Gadis yang memegang sapu tadi mendadak berseru, "He, ada orang datang!" Sorot matanya yang dingin itu tiba-tiba memancarkan cahaya yang hangat.
Mata ketiga gadis yang lain juga memancarkan cahaya, cahaya yang terpencar dari mata mereka ini dapat dilukiskan seperti pancaran sinar mata seekor kucing yang mengantuk di samping tungku dan mendadak melihat tikus.
Kalau nafsu dan hasrat seorang terlalu lama dikekang, untuk melampiaskan hanya ada dua jalan, memperlakukan orang lain secara sadis dan membuat orang lain menderita adalah salah satu jalan tersebut.
Nona yang merangkak dari bawah gunung itu bukan lain daripada Thi Sim-lan!
Sudah tentu ia tahu misteriusnya Ih-hoa-kiong dan bahayanya, tapi ia tidak pedulikan semua itu. Apa pun juga ia harus datang ke sini, tujuannya hanya satu, yaitu ingin tanya kepada Ih-hoa-kiongcu, "Mengapa Hoa Bu-koat diharuskan membunuh Kang Siau-hi-ji?"
Kini suasana semarak dengan bunga mekar semerbak itu sudah dilihatnya, tanpa terasa ia menghela napas lega, segala penderitaan sudah dilaluinya.
Ia tidak menyadari bahwa penderitaan yang sesungguhnya belum lagi memulai.
Dilihatnya dari semak-semak bunga sana melayang keluar empat gadis cilik, wajah mereka cantik molek, gaya mereka begitu indah, tertawa mereka begitu riang dan menggiurkan.
Thi Sim-lan meronta-ronta berusaha merangkak bangun, sedapatnya ia tertawa dan berkata, "Namaku Thi Sim-lan, mohon para Cici suka .... Belum habis ucapnya, belum lagi tegak ia merangkak bangun, tahu-tahu salah seorang gadis cilik itu telah melompat maju, sekali tendang Thi Sim-lan didepak hingga jatuh terguling.
Kejut dan gusar tidak Thi Sim-lan, serunya dengan suara parau, "Masa nona tidak " tidak mengizinkan orang bicara?"
Gadis cilik itu memandangnya dengan tertawa tanpa menjawabnya, tapi malah berkata,
"Kami tidak peduli apa yang hendak kau katakan, yang jelas kami harus berterima kasih padamu."
"Berterima kasih padaku?" Thi Sim-lan mengulang ucapan ini dengan melenggong.
"Ya, tahukah kau bahwa selama di sini kami tak pernah bergembira, waktu bergembira satu-satunya ialah bilamana ada orang menerobos masuk ke sini," kata gadis cilik tadi.
"Tapi ... tapi kedatanganku hanya ingin menemui Kiongcu untuk bicara satu kalimat saja,"
seru Sim-lan.
"Apakah kau tahu cara bagaimana Kiongcu telah memberi pesan pada kami?" tanya gadis tadi dengan tertawa.
Sim-lan menggeleng kepala.
"Pesan Kiongcu pada kami, barang siapa berani menerobos ke Ih-hoa-kiong sini, tak peduli siapa dia kami diperbolehkan membunuhnya, bahkan terserah kepada kami cara bagaimana akan membunuhnya."
Sekujur badan Thi Sim-lan serasa merinding. Sudah tentu ia paham apa artinya ucapan
"diperbolehkan membunuhnya dengan cara bagaimana pun".
Ia juga perempuan, dengan sendirinya juga lebih paham bila seorang perempuan hendak memperlakukan sesuatu pada sesama perempuan, caranya bisa jauh lebih keji dan mengerikan daripada cara lelaki memperlakukan perempuan.
Sementara itu keempat gadis cilik tadi telah merubung maju dan makin maju sehingga Thi Sim-lan terkepung di tengah. Dengan sorot mata yang liar mereka mengincar tubuh Thi Sim-lan, napas mereka mulai memburu, ujung hidung mereka pun mulai merembeskan butiran keringat.
Sim-lan gemetar, teriaknya parau, "Seumpama kalian harus membunuhku, berilah kesempatan padaku untuk menemui Kiongcu."
Si gadis tadi tertawa nyekikik, katanya, "Selama hidupmu ini jangan harap akan dapat menemui beliau."
Wajah si gadis makin mendekat, Thi Sim-lan sudah dapat melihat biji mata orang yang berkembang besar laksana mata kucing di waktu malam, hidungnya tampak berkembang-kempis, sambil menjilat-jilat bibir terkadang juga menyeringai, sehingga kelihatan barisan giginya yang putih.
Mendadak gadis itu mengulurkan tangannya untuk menarik baju Thi Sim-lan.
Dengan mati-matian Thi Sim-lan meronta dan membela diri, seumpama menghadapi seorang pemuda bangor di tengah malam rasanya juga tidak setakut seperti sekarang ini.
Beberapa gadis ini seakan-akan sudah berubah menjadi serigala betina yang sedang berahi, mereka seolah-olah lupa bahwa Thi Sim-lan juga anak perempuan seperti mereka sendiri.
Yang mereka inginkan hanya pelampiasan ... tanpa peduli siapa sasarannya. Empat pasang tangan mereka yang halus itu seakan-akan sudah berubah menjadi delapan buah cakar yang tajam. Sekujur badan Thi Sim-lan terasa digerayangi, terutama bagian dada, pinggul, bahkan bawah perut.
Dengan segenap tenaganya Thi Sim-lan berusaha mempertahankan diri, tapi sukar untuk melawan, terasa cakar yang tajam telah menggores kulit badannya, hanya terasa darah sedang mengalir keluar dari tubuhnya. Ia pun dapat merasakan suara tertawa mereka yang semakin menggila.
Ini benar-benar pemandangan yang gila, busuk dan memalukan, pemandangan yang sukar dibayangkan. Bilamana nafsu seseorang terkekang terlalu lama, sungguh bisa meledak menjadi sesuatu yang lebih menakutkan daripada apa pun.
Lambat-laun Thi Sim-lan kehabisan tenaga dan tidak sanggup melawan lagi. Perlahan ia tidak merasakan apa-apa pula.
Dalam keadaan putus asa dan antara sadar tak sadar, samar-samar seperti didengarnya seorang membentak, "Lepaskan dia ... lepaskan dia! ...."
Habis itu ia benar-benar tidak ingat sesuatu lagi, ia mengira dirinya takkan siuman untuk selamanya.
Tapi akhirnya dia toh siuman.
Setelah sadar, ia merasa dirinya berbaring di suatu ranjang yang lunak dan berbau harum, cahaya mentari sudah tidak kelihatan, tapi sinar lampu seakan-akan lebih cemerlang dari pada sinar matahari.
Benderang sinar lampu membuatnya silau dan sukar membentangkan matanya, ia pejamkan mata pula, waktu dia membuka lagi matanya, segera dilihatnya Hoa Bu-koat.
Anak muda itu pun sedang memandangnya dengan lembut, di bawah cahaya yang benderang ini tampaknya dia lebih menyerupai seorang pangeran dalam dongeng, begitu gagah, begitu cakap dan begitu agung.
Thi Sim-lan berkeluh perlahan, ucapnya, "Hoa Bu-koat, benarkah engkau Hoa Bu-koat."
Dengan lembut Bu-koat tertawa, jawabnya dengan suara halus, "Betul, memang akulah, jangan takut, aku berada di sampingmu."
Thi Sim-lan memejamkan pula matanya, ucapnya dengan lirih dan gegetun, "Hoa Bu-koat, bilamana aku menghadapi bahaya, mengapa engkau selalu muncul menolong diriku!"
Dalam hati Bu-koat juga merasa gegetun, tapi di mulut dia berkata dengan tertawa,
"Jangan lupa, inilah Ih-hoa-kiong, di sinilah rumahku. Kau mengalami cedera di sini, sungguh aku sangat menyesal!"
Mendadak Thi Sim-lan meronta ingin bangun serunya dengan parau, "Kumohon dengan sangat bawalah diriku menemui Kiongcu" Tanpa menghiraukan bahaya apa pun juga kudatang ke sini hanya ingin menemui beliau."
"Kepulanganku ini juga ingin menemui beliau," ujar Bu-koat dengan tersenyum pahit. "Cuma sayang, beliau sudah lama keluar."
Thi Sim-lan menjatuhkan diri pula di ranjang serunya, "Mereka keluar semuanya?"
"Ya, kedua Kiongcu sama keluar istana, hal ini memang jarang terjadi," kata Bu-koat.
"O, mengapa nasibku selalu begitu buruk," keluh Sim-lan dengan sedih. "Aku ... aku ...." ia tidak sanggup melanjutkan pula karena tenggorokannya serasa tersumbat, ia menutupi kepalanya dengan selimut dan tersedu-sedan.
Bu-koat melenggong sejenak, katanya kemudian, "Kukira ... kutahu maksud kedatanganmu justru untuk urusan yang sama kupulang untuk menanyai beliau, tak tersangka kedua beliau sudah cukup lama meninggalkan istana."
Thi Sim-lan menangis terguguk-guguk di dalam selimut, tiba-tiba ia bertanya pula,
"Selama ini, apakah engkau pernah melihat dia?"
Tanpa menyebut namanya, orang lain juga tahu siapa si "dia" yang dimaksudnya.
Dengan suara lembut Bu-koat menjawab dengan tertawa, "Dia sangat baik sekarang, kau tidak perlu khawatir baginya." Walaupun sedapatnya dia berlagak acuh, tapi di antara tertawanya terkandung juga rasa getir.
Akhirnya Thi Sim-lan menongolkan kepalanya dari dalam selimut, tanyanya pula dengan bimbang, "Apakah kau tahu, sekarang dia berada di mana?"
Sebisanya Bu-koat tertawa riang, jawabnya lembut, "Kutahu, asalkan kau sehat kembali segera dapat kubawamu pergi mencarinya."
Si nona menatapnya dengan tajam, tanpa terasa air matanya bercucuran, ucapnya dengan gemetar, "Mengapa ... mengapa engkau senantiasa begini baik padaku, engkau ... engkau ...."
Cepat Bu-koat mengalihkan pokok pembicaraan, katanya, "Sungguh aku sangat menyesal kejadian tadi, cuma mereka ... mereka sesungguhnya juga anak-anak perempuan yang harus dikasihani, lantaran kesepian, makanya mereka berubah menjadi begini. Kuharap engkau dapat memaafkan mereka."
Thi Sim-lan menutupi mukanya dengan tangan, jawabnya sambil mengangguk, "Ya, kutahu, bilamana seorang anak perempuan berubah seperti mereka, di balik ini pasti ada sebab musababnya yang pahit getir, hidup mereka mungkin sekali jauh lebih malang daripadaku."
Pada saat itulah tiba-tiba di luar berkumandang semacam suara yang aneh, suara itu tidak tajam dan juga tidak seram, tapi membuat orang merinding tanpa terasa.
Suara itu kalau didengarkan dengan cermat rasanya mirip suara gergaji, jika didengarkan lebih lanjut rasanya juga mirip suara pergesekan logam yang membuat orang ngilu dan risi.
Menyusul lantas terdengar jerit kaget para anak perempuan.
Kejut dan heran Thi Sim-lan, tanyanya, "Suara apakah itu" Mengapa begitu aneh?"
Air muka Hoa Bu-koat juga berubah, jawabnya cepat, "Biar kuperiksa keluar."
Dia tahu, meskipun anak murid Ih-hoa-kiong hampir seluruhnya adalah anak gadis, tapi sama sekali tiada seorang pun yang mudah ketakutan. Jika ada sesuatu yang dapat membuat mereka menjerit kaget, maka persoalannya pasti tidak sederhana.
Thi Sim-lan melihat pakaian sendiri sudah berganti dengan cukup rapi, cepat ia pun melompat turun dari tempat tidur dan berseru, "Aku pun ikut keluar."
"Tapi lukamu belum ...."
"Berada di sampingmu, apa yang perlu kutakuti?" belum habis ucapannya muka si nona lantas merah.
Diam-diam Bu-koat gegetun pula di dalam hati, tapi sementara itu suara yang berisik aneh tadi makin ramai sehingga membuatnya tidak sempat memikirkan urusan lain.
Cepat kedua orang memburu keluar, tertampak para gadis sama sembunyi di serambi depan, semuanya pucat ketakutan, bahkan ada yang gemetar.
Waktu mereka memandang ke sana, terlihat di tengah lautan bunga sana banyak sekali makhluk hidup yang sedang berloncatan.
"He, tikus!" seru Sim-lan. "Dari mana datangnya tikus sebanyak ini?"
Betul, gerombolan makhluk hidup itu memang betul tikus. Beratus-ratus bahkan beribu-ribu ekor tikus wirok sebesar kucing sedang berlari kian kemari di tengah kebun bunga, sebagian besar sedang menggerogoti tangkai pohon dan ada pula yang sedang makan daun bunga yang bernilai tinggi itu.
Meski anak murid Ih-hoa-kiong rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun sayang, mereka hampir semuanya adalah wanita. Harimau mungkin tak membuat mereka takut, tapi tikus, apalagi tikus sebanyak ini, tentu saja mengerikan mereka, sampai-sampai kaki pun terasa lemas.
Cepat Bu-koat melompat ke sana sambil membentak, "Apakah yang datang adalah anak murid Gui Bu-geh"!"
Suasana sunyi senyap dan tiada bayangan seorang pun. Yang ada cuma beribu-beribu ekor tikus yang sedang berpesta-pora di kebun bunga itu, kebun bunga yang indah itu dalam sekejap saja telah rusak porak-poranda.
Kejut dan gusar pula Hoa Bu-koat, tapi menghadapi kawanan tikus sebanyak ini, betapa ia pun tidak berdaya.
Di Ih-hoa-kiong, sudah tentu ia tak dapat membakar kawanan tikus itu dengan api dan juga tak dapat membenamnya dengan air, bila diusir, hakikatnya kawanan tikus itu tidak takut manusia. Jika dibunuh satu per satu, tikus sebanyak ini akan habis terbunuh sampai kapan" Apalagi makhluk yang berbulu dengan mata yang melotot itu berlarian kian kemari, siapa yang tidak ngeri"
Sungguh tak terpikir olehnya bahwa Ih-hoa-kiong yang disegani oleh siapa pun juga ternyata tak berdaya menghadapi kawanan tikus yang kotor dan menjijikkan itu.
Sementara itu kebun bunga telah morat-marit, keadaannya tak lagi berwujud kebun bunga yang indah.
Pada saat itulah dari tempat gelap barulah berkumandang suara tertawa keras. Seorang dengan suara tajam melengking berseru, "Manusia di seluruh dunia ini kebanyakan memandang rendah tikus, sekarang mereka seharusnya tahu bahwa makhluk yang paling menakutkan di dunia ini adalah tikus."
Seorang lagi menyambung dengan tertawa, "Cuma sayang Ih-hoa-kiongcu tidak berada di rumah, kalau tidak, menyaksikan bunga kesayangan mereka telah menjadi isi perut tikus kita, bisa jadi mereka akan ganas dan tumpah darah."
Perasaan Bu-koat sekarang malah tenang saja, ia tidak gugup dan cemas lagi dan juga tidak marah seakan-akan seekor tikus pun tidak dilihatnya. Dengan tersenyum simpul ia berseru, "Jika anak murid Bu-geh sudah datang, mengapa tidak tampil untuk bertemu?"
Terdengar orang pertama tadi bergelak tertawa dan berkata kepada kawannya, "Sabar juga bocah ini, apakah kau tahu siapa dia?"
Kawannya menjawab, "Konon penghuni Ih-hoa-kiong adalah kaum betina seluruhnya, mengapa bisa muncul seekor jantan?"
Bu-koat tetap tenang-tenang saja, ucapnya dengan hambar, "Cayhe Hoa Bu-koat, anak murid Ih-hoa-kiong tulen!"
"Hoa Bu-koat!" ulang orang itu. "Nama ini seperti pernah kudengar."
"Jika begitu marilah kita keluar menemuinya," ajak kawannya.
Belum habis ucapannya, dari tempat gelap di sudut sana mendadak kelihatan bintik-bintik hijau kemilau menyusul dua sosok bayangan orang lantas muncul.
Kedua orang ini sama-sama tinggi dan kurus kering laksana sebatang bambu. Yang satu memakai baju hijau dan yang lain berjubah kuning. Wajah mereka sama-sama gilap kehijau-hijauan seperti memakai topeng.
Usia kedua orang ini belum tua, bentuk mereka juga tidak terlalu jelek, tapi entah mengapa, setiap orang yang melihatnya tentu akan merinding dan mual.
Kawanan tikus tadi agaknya juga sudah melihat bintik-bintik hijau kemilau itu, semuanya lantas berkerumun ke sana, berlapis-lapis dan berjubel-jubel mengelilingi kaki kedua orang itu.
Dengan sorot matanya yang kehijau-hijauan si baju hijau memandang Hoa Bu-koat beberapa kejap, lalu berkata dengan terkekeh-kekeh, "Kau tahu kami ini anak murid perguruan Bu-geh, agaknya luas juga pengalamanmu. Kami jadi merasa sayang bilamana usia semuda kau ini sekarang harus mati."
Si jubah kuning lantas menyambung dengan tertawa, "Dia bernama Gui Jing-ih (Gui si baju hijau) dan aku Gui Wi-ih (Gui si baju kuning). Sebenarnya kami tidak bermaksud membunuhmu, tapi lantaran kemunculan guru kami sekali ini tujuannya yang pertama ialah menghancurkan Ih-hoa-kiong, maka kami pun terpaksa bertindak menurut perintah."
Meski lagaknya dia tertawa, tapi sorot matanya sama sekali tiada tanda-tanda tertawa, sebabnya mereka sengaja berlagak tertawa begini hanya ingin orang lain merasa risi sehingga kehilangan semangat tempur.
Maksud tujuan mereka memang benar tercapai. Demi mendengar suara tertawa mereka yang buruk dan seram itu serta menyaksikan mereka dikerumuni kawanan tikus sebanyak itu, ternyata tiada seorang pun di antara gadis-gadis cantik murid Ih-hoa-kiong berani bertindak terhadap mereka.
Hanya Hoa Bu-koat, biarpun menghadapi bahaya dia tetap tenang saja, walaupun mulutnya tidak bersuara, tapi matanya tidak pernah meninggalkan gerak-gerik kedua orang itu.
Begitu dilihatnya bahu Gui Jing-ih sedikit bergerak, serentak Bu-koat mendahului menjulang ke atas laksana terbang, hampir berbareng dengan itu dari tangan Gui Jing-ih lantas menyambar keluar selarik sinar hijau.
Akan tetapi pada saat itu juga Bu-koat sudah menubruk ke depan, sinar hijau menyambar lewat di bawah kaki Bu-koat dan seorang gadis cantik lantas menjerit serta terkapar.
Bu-koat tidak menoleh lagi, kedua telapak tangan terus menghantam kepala Gui Jing-ih.
Gui Jing-ih tak menduga bahwa serangan lawan bisa datang begitu cepat, segera ia menggeser ke samping, sebelah tangan menangkis. Berbareng itu Gui Wi-ih juga menghantam dari samping.
Tak tahunya serangan mengapung Hoa Bu-koat ini hanya pancingan belaka, baru setengah jalan mendadak ia tarik tangannya sehingga tidak sampai beradu tangan dengan Gui Jing-ih, sebaliknya terus memutar suatu lingkaran. Seketika tangan Gui Jing-ih terasa seperti dibetot.
Selagi Gui Jing-ih terkejut dan tidak tahu apa yang terjadi, tenaga betotan itu telah menarik tangannya ke samping dan entah cara bagaimana tahu-tahu serangan Gui Wi-ih dari samping itu tertangkis olehnya.
"Prak", begitulah kedua tangan beradu, menyusul lantas "krek" satu kali, tangan Gui Jing-ih yang terlepas dari kendali itu tergetar patah oleh pukulan Gui Wi-ih yang dahsyat.
Hoa Bu-koat telah menggunakan ilmu sakti "Ih-hoa-ciap-giok" yang tiada taranya itu, dengan cepat luar biasa ia berbalik mengadu pukulan antara kedua lawan dan sekaligus berada di atas angin.
Tentu saja Gui Jing-ih dan Gui Wi-ih terperanjat. Meski Wi-ih tidak terluka, tapi ia menjadi kelabakan ketika diketahui pukulannya melukai kawannya sendiri. Saking gugupnya langkahnya menjadi kacau dan beberapa ekor tikus terinjak mampus, keruan kawanan tikus menjadi ketakutan dan lari serabutan.
Gui Jing-ih sendiri menjadi kesakitan hingga berkeringat dingin, tapi tubuhnya tidak sampai ambruk, bahkan juga pantang mundur, dengan menahan sakit ia menyisipkan lengan baju tangan yang patah tulang itu pada ikat pinggangnya, lalu hendak menerjang maju lagi.
Setelah serangannya berhasil memuaskan, Bu-koat tidak menyusuli serangan lain lagi, ia hanya berdiri saja di sana dengan mengulum senyum. Maklumlah, hanya satu kali gebrak saja ia sudah dapat menjajal kekuatan kedua lawan yang sesungguhnya tidak boleh dibuat main-main, ia tahu serangannya beruntung berhasil, namun ia tidak terburu-buru untuk menyerang lagi, ia ingin menunggu kedua seterunya masuk jaring sendiri.
Di sinilah letak perbedaan Kungfu sakti Ih-hoa-kiong dengan ilmu silat aliran lain.
Pada umumnya orang tentu mengutamakan menyerang lebih dulu dan menduduki posisi yang menguntungkan. Tapi Ih-hoa-kiong justru mengutamakan "tembak belakang kena duluan", dengan ketenangan mengatasi kecepatan, kelihaian Kungfu Ih-hoa-kiong ialah menggunakan kepandaian lawan untuk menghantam lawan sendiri.
Sementara itu kawanan tikus sudah tersebar dan lari serabutan tanpa terkendali lagi.
Mendadak Thi Sim-lan tabahkan hati, dia patahkan sepotong kayu ruji jendela, meski badan masih terasa sakit, tapi pentung darurat itu segera berputar, kontan seekor tikus dihantamnya hingga hancur.
Sebenarnya untuk memukul tikus memang tidak memerlukan Kungfu yang tinggi, yang diperlukan cuma keberanian.
Namun kawanan tikus ini seakan-akan sudah terlatih, tidak takut manusia dan juga tidak takut mati. Kawanan tikus yang tadinya lari serabutan itu kini berbalik merubung ke arah Thi Sim-lan. Keruan si nona menjadi ngeri, tangan terasa lemas, tapi sekuatnya dia tetap ayun pentungannya pantang mundur.
Para gadis yang sembunyi di serambi sana akhirnya menjadi berani juga, salah satu di antaranya mendadak melompat maju dan ikut membunuh tikus.
Asalkan ada satu orang yang mulai dulu, segera yang lain-lain akan ikut maju. Dan asalkan seekor tikus terpukul mati, maka nyali mereka pun tambah besar.
Kawanan tikus itu pun sangat ganas, yang di depan mati, yang di belakang segera menerjang maju lagi tanpa mengenal takut. Pentung di tangan para gadis itu pun bekerja terus-menerus dan dengan sendirinya banyak pula bangkai tikus yang berserakan. Ada sementara gadis itu mulai muntah-muntah, tapi sambil muntah pentungnya tetap menghantam dan menyabet terlebih keras. Ada yang tangannya linu pegal, segera kaki digunakan untuk mendepak dan menginjak.
Sungguh suatu adegan pertempuran yang lucu dan aneh, suatu pertarungan yang memualkan pula. Belasan gadis cantik molek dengan mandi berkeringat dan napas terengah-engah sedang bertempur sengit melawan segerombolan tikus.
Rasanya jarang ada orang di dunia ini yang sempat menyaksikan pemandangan aneh ini.
Kini para gadis itu sudah lupa takut dan juga lupa akan ilmu silatnya, mereka bunuh kawanan tikus itu menurut kemampuan mereka yang asli. Singkatnya, pertempuran aneh dan memualkan itu kemudian berakhir, kawanan tikus kalah habis-habisan, sebagian besar mati terbunuh, sebagian kecil kabur.
Sambil memandangi bangkai tikus yang berserakan, para gadis memandangi pula tangan sendiri, mereka hampir-hampir tidak percaya kawanan tikus itu mati dibunuh mereka.
Benar-benar seperti impian buruk.
Kemudian, pentung mereka buang, banyak yang mulai muntah-muntah pulas, ada lagi yang berteriak dan tertawa, ada juga yang saling rangkul dan menangis.
Suasana ini biasanya tidak mungkin terjadi di Ih-hoa-kiong, tapi kini semua itu telah terjadi, sebabnya setelah terjadi pertarungan sengit tadi, para gadis itu merasa lega dan impas.
Hanya Thi Sim-lan saja, begitu pertempuran berhenti, segera dia pergi mencari Hoa Bu-koat.
Hoa Bu-koat ternyata tidak kelihatan lagi. Gui Jing-ih dan Gui Wi-ih juga menghilang.
Dengan langkah tergopoh-gopoh Thi Sim-lan mencari kian kemari, hatinya cemas, khawatir dan takut pula. Tadi karena perhatiannya dicurahkan untuk menghadapi kawanan tikus sehingga dia lupa mengikuti pertarungan di sebelah sini.
Meski ilmu silat Hoa Bu-koat sangat tinggi, tapi kedua penyatron yang berani menerobos ke Ih-hoa-kiong masakah kaum lemah" Dengan satu lawan dua rasanya Hoa Bu-koat sukar menghadapi mereka. Apalagi sekujur badan kedua orang itu seakan-akan membawa perbawa yang seram, bukan mustahil mereka memiliki ilmu gaib dan dapatkah Bu-koat melawan mereka"
Hampir gila Thi Sim-lan saking cemasnya karena sebegitu jauh belum lagi Bu-koat ditemukan.
Sekonyong-konyong dilihatnya sesosok mayat membujur di semak-semak bunga sana.
Syukurlah orang ini bukan Hoa Bu-koat melainkan Gui Jing-ih adanya. Lengan kanannya tampak kutung sebatas siku, dada berlubang dan berlumur darah, wajahnya yang hijau seram itu pun sudah bengkak sehingga tampak sangat menakutkan.
Lekas Thi Sim-lan mengalihkan pandangannya, dilihatnya lagi tangan kiri Gui Jing-ih, tangan yang mirip cakar setan ini juga berlepotan darah, antara jari tengah dan jari telunjuknya itu masih lengket dua biji bola mata berdarah. Jelas biji mata orang yang kena dicolok mentah-mentah olehnya.
Thi Sim-lan menjerit dan roboh terkulai.
Jelas Bu-koat telah mengalami malapetaka, sepasang mata anak muda itu kini sudah .... Ia tidak berani berpikir lagi, dengan gemetar ia cukit kedua bola mata itu dari jari Gui Jing-ih, dipandangnya bola mata yang berlumur darah itu. Tanpa terasa air matanya bercucuran.
Tiba-tiba didengarnya suara orang bernapas berat dan memburu, seperti pernapasan binatang buas yang terluka parah, suara ini datang dari bawah tebing sana.
Sekuatnya ia memburu ke sana dengan setengah merangkak. Terlihatlah seorang dengan muka berlumuran darah dan kedua tangan terpentang sedang berjongkok di bawah pohon sana dengan napas terengah-engah, kedua lekuk matanya tampak bolong berujud lubang berdarah.
Tapi orang ini bukan Hoa Bu-koat melainkan Gui Wi-ih adanya.
Jelas di bawah kesaktian Kungfu Ih-hoa-kiong yang khas, yaitu "Ih-hoa-ciap-giok", yang dimainkan oleh Hoa Bu-koat, maka biji matanya tercolok oleh kawannya sendiri.
Namun begitu murid perguruan "Tanpa Gigi" itu belum lagi roboh.
Thi Sim-lan merasa lega setelah melihat yang mukanya berlumuran darah itu bukan Hoa Bu-koat, tapi demi melihat muka berlumuran darah itu, tanpa terasa ia menggigil ketakutan. Syukur segera dilihatnya pula Hoa Bu-koat.
Saat itu Bu-koat berdiri di bawah pohon di depan Gui Wi-ih. Rambutnya yang biasanya teratur rapi itu tampak kusut, pakaiannya yang rajin telah terkoyak-koyak, wajahnya yang senantiasa tenang pun penuh berkeringat.
Jelas kelihatan ketegangan pemuda itu, dengan mata tanpa berkedip dia menatap sepasang tangan Gui Wi-ih.
Meski kedua orang sama-sama berdiri tidak bergerak, tapi suasana terasa sangat tegang, sampai-sampai Thi Sim-lan yang berdiri jauh di atas tebing juga menahan napas.
Sekonyong-konyong Gui Wi-ih menggerung keras-keras terus menubruk ke arah Bu-koat, walaupun matanya sudah buta, tapi ia masih dapat mendengarkan dengan jelas. Tubrukan ini sangat dahsyat, bahkan sangat jitu arahnya.
Sekarang Gui Wi-ih bukan lagi manusia, tapi lebih mirip seekor binatang buas yang gila, tubrukannya ini menyerupai singa lapar, pada hakikatnya sukar ditahan oleh tenaga manusia.
Saking tak tahan Thi Sim-lan menjerit.
Tapi pada detik itu juga, kedua tangan Hoa Bu-koat bergerak, dua biji batu kecil terselentik ke depan, ia sendiri terus menerobos lewat di bawah ketiak Gui Wi-ih dengan gerakan secepat kilat.
Gerakan yang berbahaya ini sungguh sukar untuk dilukiskan. Maka terdengarlah suara
"krak-krek", pohon sebesar paha di belakang Hoa Bu-koat, itu telah di tumbuk patah oleh tubuh Gui Wi-ih.
Gu Win-ih sendiri bahkan tidak roboh, sekali loncat, segera ia membalik tubuh, kepalanya menoleh kian kemari, teriaknya dengan menyeringai, "Hoa Bu-koat, kutahu kau berada di mana, kau takkan dapat kabur. Pendek kata hari ini kau dan aku tiada satu pun yang dapat lolos, aku harus mati bersamamu di sini."
Padahal dia tidak tahu Hoa Bu-koat berada di mana, Bu-koat sudah berada pula di depannya, sedangkan kepala Gui Wi-ih masih terus berpaling ke sana dan ke sini.
Maklumlah, indera pendengarannya telah dikacaukan oleh dengingan kedua biji batu yang diselentikkan oleh Hoa Bu-koat tadi.
Melihat keadaan Gui Wi-ih yang mengerikan itu, Thi Sim-lan merasa takut dan juga kasihan, bilamana Hoa Bu-koat tidak dalam keadaan bahaya. Sungguh ia tidak tega melihatnya lagi.
Jelas Bu-koat juga tidak sampai hati, tanpa terasa ia menghela napas menyesal, ucapnya dengan terharu, "Kuhormati kau sebagai lelaki perkasa, di sinilah aku berada, jika kau ingin mengadu jiwa, silakan maju saja!"
Sekujur badan Gui Wi-ih tampak mengejang, mukanya yang berlumuran darah itu berkedut-kedut, teriaknya dengan parau dan tertawa latah, "Orang she Hoa, kau tahu aku tidak dapat membinasakanmu, makanya kau berlagak kasihan padaku bukan?"
Dengan menyesal Bu-koat menjawab, "Sesungguhnya aku tidak tega bergebrak lagi denganmu, kukira lebih baik kau ...."
Sekonyong-konyong Gui Wi-ih berjingkrak murka, teriaknya, "Aku tidak memerlukan belas kasihanmu ... seumpama aku tidak dapat menemukanmu juga tidak perlu kau ...."
Suaranya kedengaran serak dan juga semakin lemah, tapi masih terus merintih, meski bukan menangis, namun jauh lebih memilukan dari pada menangis.
Saking tak tahan Thi Sim-lan ikut mencucurkan air mata, biarpun Gui Wi-ih adalah manusia yang paling kejam di dunia ini juga tidak tega menyaksikan penderitaannya itu. Ia tahu penderitaan lahiriah Gui Wi-ih benar-benar sukar bertahan pula, tapi penderitaan batinnya jelas terlebih hebat daripada siksaan lahiriahnya.
Tanpa terasa ia berseru, "Lekas kau pergi saja, kutahu Hoa-kongcu pasti takkan ... takkan merintangimu."
"Pergi?" teriak Gui Wi-ih dengan parau. "Hahaha, masa kau tidak tahu bahwa anak murid Bu-geh boleh dibunuh tapi tidak boleh dihina ...."
Di tengah gelak tertawa latahnya itu, sekonyong-konyong ia gunakan sepenuh tenaganya yang masih tersisa untuk meloncat tinggi ke atas tebing, menubruk ke arah Thi Sim-lan sambil menyeringai, "Tidak seharusnya kau ikut bicara, walaupun aku tidak dapat membunuh Hoa Bu-koat tapi dapat membunuh kau!"
Thi Sim-lan jadi terkesima kaget melihat bentuk Gui Wi-ih yang kalap itu sehingga lupa menghindar. Tahu-tahu Gui-Wi-ih sudah menubruk tiba, kedua lengannya sekuat belenggu lantas mengempit Thi Sim-lan dengan keras, berbareng ia berteriak sambil tertawa,
"Haha, andaikan harus mati juga ingin kucari seorang teman seperjalanan. Hahahaha!"
Seketika Thi Sim-lan merasa sekujur badannya mengencang dan seakan-akan retak, wajah orang yang berlumuran darah dengan dua lubang berdarah itu tepat berada di depan hidungnya, keruan takutnya tidak kepalang sehingga tidak dapat bersuara pula.
Syukur segera terdengar "bluk" satu kali, suara tertawa latah Gui Wi-ih itu mendadak putus, kedua lengannya yang memeluk erat-erat itu pun mendadak kendur, lalu menyurut mundur dua-tiga tindak terus terjungkal ke bawah tebing.
Dalam pada itu Hoa Bu-koat sudah berdiri di depan Thi Sim-lan. Tanpa terasa si nona menubruk ke dalam rangkulan Hoa Bu-koat dan menangis keras-keras.
Perlahan Bu-koat membelai rambut si nona, ucapnya dengan terharu, "Sebenarnya aku tidak tega membunuh dia, tapi ...."
"Aku yang salah," ucap Sim-lan sambil menangis, "tidak seharusnya aku ikut bicara, kalau tidak, tentu engkau takkan terpaksa membunuh seorang yang sudah buta. O, aku ...
mengapa aku selalu membikin kacau urusan."
"Kau kira kau yang salah" Kau cuma berhati lemah, tapi tidak salah. Maksudmu ingin membikin baik setiap persoalan dan telah berusaha sekuat tenagamu."
"O, engkau selalu begini baik padaku, sebaliknya aku ... aku ...." dengan terguguk-guguk mendadak Thi Sim-lan mendorong pergi Hoa Bu-koat dan menunduk, "... aku selalu bersalah padamu."
Bu-koat tidak berani memandang si nona lagi, ia berpaling ke sana dan menatap mayat Gui Wi-ih yang menggeletak kaku itu, gumamnya sambil menghela napas panjang, "Anak murid perguruan Bu-geh, betapa lihainya murid Gui Bu-geh. Wahai Kang Siau-hi, dapatkah kau menghadapi mereka?"
Hanya sepatah kata saja persoalannya lantas dialihkannya pada diri Kang Siau-hi.
Benar juga, tubuh Thi Sim-lan tergetar, rasa terima kasih dan cintanya kepada Hoa Bu-koat ternyata segera berubah menjadi perhatiannya terhadap Siau-hi-ji.
Dengan gegetun Bu-koat berucap pula, "Anak murid Gui Bu-geh saja sudah begitu lihai, apalagi Gui Bu-geh sendiri" Wahai Kang Siau-hi, betapa pun aku ikut berkhawatir bagimu."
Thi Sim-lan tidak tahan lagi, segera ia bertanya, "Kang Siau-hi, apakah dia telah ...."
Baru sekarang Bu-koat menoleh dan menjawab dengan suara berat, "Saat ini mungkin dia sudah sampai di Ku-san dan mungkin sudah hampir berhadapan dengan Gui Bu-geh."
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Esoknya Bu-koat dan Thi Sim-lan lantas berangkat langsung ke Ku-san.
Seperti sengaja dan juga seperti tidak sengaja Bu-koat selalu mempertahankan jarak tertentu dengan Thi Sim-lan, pada waktu berjalan ia selalu mengintil di belakang si nona, waktu makan ia sengaja berkutak-kutek pekerjaan lain, setelah Sim-lan hampir selesai makan barulah dia mulai makan. Bila bermalam juga dia tidak minta kamar sebelah-menyebelah melainkan mencari kamar yang agak berjauhan.
Perasaan mereka seakan-akan sangat berat, sepanjang hari jarang beromong apalagi tertawa.
Orang-orang di sepanjang jalan diam-diam sama kagum melihat muda-mudi yang cakap dan cantik itu. Tapi tiada yang tahu bahwa hati mereka sebenarnya kacau seperti benang kusut dan pedih tak terkatakan.
Yang mereka perhatikan adalah keselamatan Siau-hi-ji. Kini "Yan Lam-thian" sudah mati, di dunia ini hampir tiada seorang pun yang benar-benar mau menolong Siau-hi-ji dengan setulus hati.
Sebaliknya musuh Siau-hi-ji bukan saja teramat banyak, bahkan setiap musuhnya adalah tokoh paling lihai jaman kini. Sekarang dia pergi ke Ku-san sendirian, memangnya dia dapat kembali dengan hidup"
Kini, hampir setiap tokoh yang berbahaya di Kangouw seakan-akan sudah berkumpul di Kusan, makanya di tempat lain tampaknya aman tenteram.
Sudah dua hari mereka dalam perjalanan, waktu bermalam lagi hari ini, dini sekali Hoa Bu-koat masuk kamarnya, tapi mana dia dapat tidur. Dia hanya duduk termenung.
Angin meniup dari celah-celah jendela, api lilin di atas meja terkadang tertiup memanjang, habis itu lantas menyurut pendek lagi, lilin terus lumer dan menetes ke bawah dan makin pendeklah batang lilin itu sehingga tatakan lilin pun hampir penuh oleh cairannya.
Bu-koat memandangi api lilin itu dengan termangu-mangu, hatinya berpikir mengenai Siauhi-ji, mengenai Thi Sim-lan dan juga teringat kepada Ih-hoa-kiong. Lalu teringat pula kepada "Tong-siansing" yang misterius itu.
Setiap orang itu seakan-akan telah membuat sesuatu persoalan yang sukar diselesaikan olehnya. Sungguh ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Tiba-tiba terdengar orang mengetuk pintu perlahan.
Bu-koat menyangka pelayan yang datang buat menambah air teh, maka tanpa pikir ia berseru, "Pintu tak terkunci, masuklah!"
Tak tersangka olehnya bahwa yang melangkah masuk kemudian ternyata Thi Sim-lan adanya.
Di bawah sinar lampu terlihat si nona memakai baju putih bersih, rambutnya yang hitam gompiok semampir di atas pundak, kelopak matanya kelihatan rada bengkak dan karena itu kerlingan matanya menjadi lebih samar.
Begitu masuk kamar, Sim-lan lantas menunduk.
Hati Bu-koat seperti dibetot mendadak. Dia berdiri dan menyambutnya dengan tersenyum, "Sudah larut malam, kau belum tidur?"
"Aku ... tak dapat tidur," jawab Sim-lan sambil menunduk. "Ada beberapa patah kata ingin kubicarakan denganmu."
Bu-koat melenggong sejenak, ucapnya kemudian, "Silakan duduk."
Sesungguhnya ia tidak tahu apa yang harus diucapkan, terpaksa "silakan duduk" digunakan untuk menutupi kecanggungannya, tapi kata-katanya itu terasa hambar dan kaku.
Sim-lan mendekati meja, tapi tidak lantas duduk, ia ragu-ragu agak lama, seperti mengerahkan segenap keberaniannya baru kemudian berkata dengan lirih, "Kutahu, selama beberapa hari ini kau sengaja bersikap dingin padaku dan menjauhi diriku."
Kembali Hoa Bu-koat melenggong, jawabnya dengan tersenyum ewa, "Ah, kau ... kau terlalu banyak berpikir."
"Biasanya engkau tidak pernah berdusta, mengapa sekarang bohong padaku?" kata Sim-lan pula.
Bu-koat termangu-mangu sejenak, dengan rasa berat ia duduk, lalu berkata sambil menghela napas, "Jadi kau ingin kubicara dengan sejujurnya"
Sim-lan mengangguk perlahan, ucapnya, "Ya, lambat atau cepat toh harus kau katakan, mengapa tidak kau bicarakan sekarang saja."
Bu-koat mengelupas secuil cairan lilin dan dipencet-pencet dengan keras seakan-akan hati sendiri yang sedang teremas-remas.
Dengan rasa berat akhirnya ia bicara dengan perlahan, "Kau tahu, antara manusia dan manusia, bilamana sudah lama saling berdekatan, sukarlah dihindarkan timbulnya perasaan suka sama suka, lebih-lebih dalam keadaan susah dan menderita." Sekata demi sekata ia berucap, nadanya begitu sedih.
Terkesima Thi Sim-lan mengikuti cairan lilin yang diremas-remas Bu-koat itu.
Dengan pedih lalu Bu-koat menyambung, "Dan Kang Siau-hi ... bukan saja dia pernah menyelamatkan jiwaku, bahkan dia telah menjadi sahabat satu-satunya selama hidupku ini, biarpun aku terpaksa harus membunuhnya, tapi apa pun juga aku tak dapat bertindak sesuatu yang tidak baik padanya."
Sorot mata Thi Sim-lan tiba-tiba menatap lurus ke muka Bu-koat, ucapnya dengan suara rada gemetar, "Memangnya kau kira aku orang macam apa" Kau kira aku akan berbuat sesuatu yang mengkhianati dia?"
Bu-koat menunduk, ucapnya dengan menghela napas, "Aku tidak khawatir engkau akan berbuat salah padanya, tapi aku sendiri, kukhawatir atas diriku sendiri ...." ia menggereget, lalu menyambung pula, "Aku tidak tega menyeret perasaanmu ke dalam lingkaran pertentangan ini, bilamana kita terlalu berdekatan, bukan saja aku akan menderita, kau pun akan susah."
Kepala Thi Sim-lan kembali tertunduk.
"Sebab itulah," sambung Bu-koat, "Antara kita akan lebih baik bila berjauhan agar kita tidak terjeblos ke tengah-tengah penderitaan, kutahu dengan demikian kau akan sedih, tapi apa boleh buat, aku tidak punya jalan lain yang lebih baik."
Tubuh Thi Sim-lan rada gemetar, air matanya tampak meleleh. Tiba-tiba ia angkat kepalanya dan menatap Bu-koat, serunya, "Tapi aku ... aku ini anak perempuan yang sebatang kara, aku kan ingin menganggap kau sebagai kakak, kuharap engkau percaya padaku ...."
Bu-koat tidak bicara, maka si nona menyambung pula, "Kedatanganku sekarang cuma ingin memberitahukan agar kau tidak perlu menjauhi dan juga tidak perlu waswas padaku, asalkan hati kita suci bersih, tentu kita tidak perlu khawatir berbuat salah kepada siapa pun juga dan juga tidak takut apa yang disangka orang."
Akhirnya Bu-koat tersenyum, ucapnya, "Baru sekarang kutahu engkau adalah anak perempuan yang tabah dan berani, keberanian ini biasanya sukar terlihat, tapi bilamana perlu, engkau ternyata jauh lebih berani daripada siapa pun duga."
Thi Sim-lan menarik napas panjang, ia pun tersenyum dan berkata, "Setelah kukeluarkan seluruh isi hatiku rasanya menjadi lega dan riang, sungguh ingin kuminum secawan arak untuk merayakannya."
"Baik, hatiku juga sangat riang, aku pun ingin minum arak untuk merayakannya," tukas Bu-koat sambil berdiri.
Setelah keduanya menumpahkan segenap isi hatinya, seketika mereka merasa seperti terbebas dari belenggu yang berat. Cuma sayang, di hotel ini tiada tersedia daharan dan arak, maka mereka lantas keluar.
Di jalan sudah mulai sepi, kebanyakan toko sudah tutup pintu, pada tikungan jalan sana ada seorang penjual mi babat. Bau sedap dapat tercium dari jauh.
"Apakah kau sudi makan nongkrong di tepi jalan?" tanya Bu-koat dengan tersenyum.
Sim-lan tertawa, segera mereka mendekati penjual mi babat itu, belum lagi duduk ia sudah berseru, "Dua mangkuk mi babat, tambahi pula setengah kati daging rebus dan satu kati arak!"
Penjual mi babat di tepi jalan itu hanya terdiri dari dua meja kecil reyot, semuanya kosong, tiada pembeli, hanya seorang kurus berbaju hitam sedang nongkrong di atas bangku di depan tangkringan dan sedang minum arak.
Asap panas tampak mengepul dari kuali, lampu minyak yang bersinar guram itu membuat suasana bertambah suram.
Di bawah asap panas yang mengepul dan cahaya lampu remang-remang wajah si orang kurus berpakaian hitam itu tampaknya seperti sayur asin di kolong dapur. Tapi sepasang matanya, yang mencorong lebih terang daripada kelip bintang di langit.
Dia menongkrong di atas bangku sembari menggerogoti sepotong daging sambil minum arak, pikirannya mungkin sedang melayang-layang jauh ke sana. Bilamana ditanya bagaimana rasanya daging rebus dan bagaimana rasanya arak" Pasti ia tidak tahu.
Misalnya ketika kedatangan kedua orang semacam Thi Sim-lan dan Hoa Bu-koat, orang itu ternyata tidak memandangnya barang sekejap.
Seorang yang bernasib jelek dan duduk minum arak di tempat yang sederhana begini untuk mengenangkan kegembiraan dan kebahagiaan di masa lampau adalah keadaan yang jamak. Sebab itulah Thi Sim-lan dan Hoa Bu-koat tidak memperhatikan dia.
Apabila mereka mau memandangnya sekejap dan melihat sorot matanya yang bening tajam itu maka cara bicara mereka mungkin akan lebih hati-hati.
Tapi kini, setelah arak masuk perut, daging rebus terasa lezat, kelip bintang di langit dan semilir angin malam, semua ini telah menambah selera makan sehingga tiada sesuatu yang pantang diutarakan mereka.
Mereka terus mengobrol ke timur dan ke barat, tapi kemudian mereka mengetahui, apa pun yang mereka bicarakan seakan-akan selalu bersangkut-paut dengan Siau-hi-ji.
"Haha," Bu-koat tertawa. "Sebenarnya terasa gembira cara makan minum begini, tapi aneh, selalu kurasakan masih kekurangan sesuatu. Sekarang baru kutahu apa kekurangan ini."
Thi Sim-lan menunduk, katanya lirih, "Maksudmu ... maksudmu kekurangan satu orang."
"Betul, tanpa kehadirannya, memangnya kita berdua bisa bersuka ria sepuasnya?"
"Kau pikir, dapatkah tiba waktunya kita bertiga makan minum bersama?"
"Mengapa tidak?" kata Bu-koat.
Thi Sim-lan memandangnya lekat-lekat, ucapnya dengan rawan, "Kau kira, betapa banyak kesempatan kita bertiga berkumpul dan minum arak?"
Mendadak wajah Hoa Bu-koat berubah murung, ia pun termenung-menung agak lama, katanya kemudian, "Orang hidup paling-paling seabad, bilamana dapat berkumpul dengan sahabat dan minum bersama dengan gembira, satu kali pun sudah cukup, kenapa mesti berkali-kali ...." dia angkat cawan arak dan berkata pula dengan tertawa, "Marilah, biar kita minum satu cawan demi Kang Siau-hi!"
"Kang Siau-hi", begitu nama ini disebut serentak si baju hitam tadi membuang sisa daging yang belum lagi habis dimakannya serta menaruh cawan arak, sorot matanya menyapu tajam ke arah Bu-koat berdua.
Dalam pada itu Thi Sim-lan telah menghabiskan isi cawannya bersama Hoa Bu-koat, matanya menjadi berkaca-kaca, ucapnya dengan sayu, "Ya, apabila aku pun lelaki, alangkah baik akan jadinya "."
Waktu dia berpaling, tiba-tiba dilihatnya si baju hitam yang kurus itu telah berada di depannya sambil memegang guci dan cawan arak, sorot matanya yang tajam terus mengerling di antara muka mereka berdua.
Seketika Bu-koat dan Sim-lan melengak.
Sekian lamanya si baju hitam mengamat-amati mereka, tiba-tiba ia bertanya kepada Bu-koat, "Apakah kau ini Hoa Bu-koat"!"
Tentu saja Bu-koat terkesiap, jawabnya, "Betul, saudara ini ...."
Hakikatnya si baju hitam tidak mendengarkan ucapan Bu-koat, dia berpaling dan bertanya kepada Thi Sim-lan, "Dan kau ini Thi Sim-lan"!"
Thi Sim-lan mengangguk, saking heran ia tak dapat bersuara.
Siapakah gerangan si baju hitam ini" Dari mana mengetahui nama mereka"
Mata si baju hitam tampak terbelalak lebar, ucapnya pula, "Apakah barusan kalian minum bagi Kang Siau-hi?"
Diam-diam Thi Sim-lan jadi mendongkol juga, ia menarik napas panjang-panjang, mendadak berseru, "Kalau betul kau mau apa?"
Ia tahu musuh Siau-hi-ji tidak sedikit, ia sangka si baju hitam juga akan mencari perkara kepada mereka.
Tak tersangka si baju hitam lantas menyeret bangku ke dekat mereka, setelah duduk, lalu ia berkata pula, "Baik! Kalian telah minum satu cawan bagi Kang Siau-hi, sedikitnya aku harus menghormati kalian tiga cawan!"
Habis itu ia angkat gucinya. untuk menuangi cawan Bu-koat dan Sim-lan. Tentu saja kedua muda-mudi itu memandang cawan masing-masing dengan bingung karena tidak tahu mereka harus minum atau tidak.
Si baju hitam mendahului menenggak isi cawannya sendiri hingga kering, habis itu ia melotot ketika dilihatnya Bu-koat berdua masih diam saja. Serunya, "Ayo minumlah!
Memangnya kalian takut arak ini beracun?"
Selagi Hoa Bu-koat masih sangsi, dengan suara keras Thi Sim-lan menjawab, "Maaf, kami tidak bisa minum arak bersama orang yang tidak kami kenal. Jika kau ingin menghormat arak kepada kami, paling tidak harus kau beritahukan lebih dulu siapa dirimu"!"
Si baju hitam mendelik, mendadak ia bergelak tertawa, katanya, "Tadinya kukira kau ini ramah tamah, siapa tahu mulutmu ternyata tidak banyak berbeda daripada Siau-hi-ji."
"Ramah tamahku bergantung kepada siapa yang kuhadapi," jengek Thi Sim-lan, "Bilamana ada orang yang tidak keruan ingin cari gara-gara padaku .... Hmk!" Sekali angkat tangannya, kontan sepasang sumpit yang dipegangnya melayang dan menancap di emper rumah sana.
Tapi sedikit pun si baju hitam tidak mengunjuk rasa kaget atau kagum, dia tetap memandang si nona dengan tertawa, ucapnya, "Kalau perempuan judas ramah tamah terhadap orang lain barulah benar-benar ramah tamah, sebaliknya ... Haha wahai Kang Siau-hi, tampaknya rezekimu memang boleh juga."
Thi Sim-lan menjadi gusar, bentaknya, "Sebenarnya siapa kau" Apa kehendakmu?"
"Kau pun jangan urus siapa diriku, yang penting kau ketahui bahwa aku ini sahabat baik Kang Siau-hi," ucap si baju hitam.
Terbelalak juga mata Thi Sim-lan memandanginya sekian lama, katanya kemudian, "Baik, jika engkau sahabat Kang Siau-hi, aku mau minum arakmu ini."
Si baju hitam berpaling kepada Hoa Bu-koat, katanya, "Dan kau?"
"Aku harus tiga cawan paling sedikit," jawab Bu-koat sambil tersenyum.
"Bagus, bagus sekali! Hahaha, kau benar-benar seorang sahabat sejati," si baju hitam bergelak tertawa.
Setelah saling bentur cawan tiga kali bersama Bu-koat, si baju hitam berkata pula, "Kau minum arak bersama nona cantik di bawah sinar bintang seindah ini, namun kau tetap tidak melupakan Kang-Siau-hi. Bagus, bagus sekali, biar kuhormatimu lagi tiga cawan!"
Padahal gucinya sudah hampir kosong, namun sinar mata si baju hitam mencorong, hanya di antara gerak-geriknya nampak sudah agak mabuk, ia tidak urus orang lain minum lagi atau tidak, dan juga tidak lagi mengajak bicara orang lain, ia terus minum sendiri secawan demi secawan, terkadang ia pun menengadah memandang cuaca seakan-akan sedang menantikan datangnya seseorang.
Siapakah gerangan yang dinantikannya"
Dengan heran Thi Sim-lan menatapnya lekat-lekat, tanyanya kemudian, "Apakah engkau benar-benar sahabat baik Kang Siau-hi?"
"Kang Siau-hi kan bukan tokoh mahabesar, untuk apa aku mesti memalsukan diri sebagai sahabatnya?" jawab si baju hitam dengan mendelik.
Thi Sim-lan berkedip-kedip, katanya pula dengan tertawa, "Apakah akhir-akhir ini engkau bertemu dengan dia?"
Si baju hitam tidak lantas menjawab, ia termangu-mangu sejenak, lalu menaruh cawannya dengan keras, katanya kemudian, "Terus terang, aku sendiri tidak tahu akhir-akhir ini dia kabur ke mana?"
Setelah merandek, tiba-tiba ia menambahkan pula, "Bilamana kalian bertemu dengan dia, bolehlah sampaikan salamku kepadanya."
"Memangnya kau sendiri takkan bertemu lagi dengan dia?" tanya Sim-lan.
Si baju hitam termangu-mangu sejenak, jawabnya kemudian, "Mungkin takkan bertemu lagi."
"Sebab apa?" tanya Thi Sim-lan
Si baju hitam tidak menjawab, hanya menenggak arak terus-menerus.
Thi Sim-lan coba memancing pula, "Bilamana kami bertemu dengan Siau-hi-ji, harus kami katakan siapakah engkau?"
"Katakan saja Toakonya," jawab si baju hitam dengan berpikir sejenak.
Mendadak Thi Sim-lan berbangkit dan membentak dengan aseran, "Sesungguhnya kau ini siapa?"
"Bukankah baru saja kukatakan padamu ...."
"Kentut!" bentak Thi Sim-lan. "Tidak mungkin Siau-hi-ji mengaku orang lain sebagai Toakonya, jangan mendustai aku."
"Hahaha! Bagus, bagus!" tiba-tiba si baju hitam bergelak tawa. "Kalian memang tidak malu sebagai sahabat karib Siau-hi-ji. Memang betul, dengan setulus hati kusuruh dia memanggil Toako (kakak) padaku, tapi dia justru selalu menyebut aku adik."
Thi Sim-lan tertawa, ia duduk kembali, ucapnya, "Jika demikian, akan kuberitahukan bahwa adiknya yang menyampaikan salam padanya."
Air muka si baju hitam rada berubah, tampaknya ia rada gondok, ia melototi Thi Sim-lan tapi tidak jadi marah, akhirnya ia menenggak arak lagi, katanya gegetun, "Kang Siau-hi mempunyai sahabat seperti kalian ini, andaikan mati juga tidak menyesal lagi. Sedangkan aku" ...." di bawah sinar lampu yang redup, air mukanya tampak sangat berduka.
"Eh, tampaknya engkau sedang menanggung sesuatu pikiran apa, betul tidak?" tanya Thi Sim-lan.
"Pikiran" Memangnya aku memikirkan apa?" kembali si baju hitam mendelik.
"Jika engkau benar-benar menganggap kami ini sahabat Kang Siau-hi, mengapa tidak kau beberkan isi hatimu, bisa jadi ... bisa jadi kami dapat memberi sesuatu bantuan padamu."
Mendadak si baju hitam menengadah dan terbahak-bahak, ucapnya, "Bantuan" Hahahaa, masakah aku perlu bantuan orang?"
Di tengah suara tertawa yang keras itu seakan-akan juga penuh rasa duka dan murka. Thi Sim-lan ingin bertanya pula, tapi dicegah oleh Hoa Bu-koat dengan kedipan mata.
Dari jauh terdengar suara kentongan, malam ternyata sudah larut sekali.
Sekonyong-konyong si baju hitam berhenti tertawa, dipandangnya Bu-koat dan Thi Sam-lan lekat-lekat, lalu berkata, "Kalian benar-benar hendak membantu aku?"
"Sudah tentu benar," jawab Thi Sim-lan.
"Bagus, silakan kalian masing-masing menyuguh tiga cawan arak padaku, ini pun sudah terhitung membantu padaku," ucap si baju hitam.
Setelah menghabiskan enam cawan arak, si baju hitam menengadah dan bergelak tawa pula, katanya, "Tadi aku mengira malam ini akan kulewati sendirian, siapa tahu dapat berjumpa dengan kalian dan telah minum bersama dengan puas, sungguh suatu kejadian yang menggembirakan selama hidupku ini ...."
"Malam ini, apakah sangat istimewa bagimu" tanya Thi Sim-lan.
Mendadak si baju hitam berbangkit dan memandang si nona lekat-lekat, seperti mau bicara apa-apa, namun urung, tiba-tiba ia berpaling terus melangkah ke sana.
Sim-lan berseru, "He, jika engkau ingin minum arak pula, bagaimana kalau esok kita berkumpul lagi di sini?"
Sama sekali si baju hitam tidak menoleh, ia bergumam sendiri, "Esok" ...."
Dia mendekati si penjual mi babat, dikeluarkannya seluruh isi sakunya, ternyata ada beberapa potong uang emas, belasan biji mutiara, semuanya dia lemparkan ke meja penjual mi babat dan berkata, "Inilah uang makan-minumku, buat kau semuanya."
Tentu saja penjual mi itu melongo kaget, belum lagi dia sempat mengucapkan terima kasih, tahu-tahu si baju hitam sudah berada di kejauhan, cahaya lampu yang remang-remang menyinari bayangan tubuhnya yang semakin memanjang, tampaknya dia begitu kesepian, sedemikian hampa.
Rawan juga perasaan Thi Sim-lan, ucapnya dengan terharu, "Betapa kesepian hidupnya, hanya dua orang mengiringi dia minum arak sudah terhitung kejadian menggembirakan baginya. Entah betapa sunyi dan hampa hidupnya ini?"
"Pada malam sebelum kematiannya dia mengira akan dilewatkannya dengan sendirian, dia ternyata tidak dapat menemukan seorang kawan untuk menemani malamnya yang terakhir," ucap Hoa Bu-koat dengan perlahan.
"Apa katamu" Malam sebelum kematiannya" Malamnya yang terakhir?" seru Thi Sim-lan.
"Masa kau tidak dapat melihatnya" ...." mendadak Bu-koat berhenti berucap, Thi Sim-lan ditariknya terus melayang cepat ke sana.
Langkah si baju hitam tadi rada sempoyongan, jalannya seperti sangat lamban, tapi sekali berkelebat tahu-tahu sudah menghilang ditelan kegelapan malam.
Setelah melintas beberapa deretan rumah Hoa Bu-koat lantas menurunkan Thi Sim-lan, ucapnya, "Biar kususul dia, kau tunggu saja di sini."
Ginkang Thi Sim-lan sebenarnya tidak lemah, tapi kalau dibandingkan Hoa Bu-koat dan si baju hitam tadi jelas selisih sangat jauh.
Cahaya bintang menyinari wuwungan rumah yang remang-remang kelabu, di kejauhan terkadang ada berkelipnya sinar lampu, hampir semua insan sudah tenggelam di alam impian mereka, bumi raya juga sudah tidur.
Thi Sim-lan berdiri sendirian di situ, angin semilir mengusap tubuh si nona laksana sentuhan kelopak mata kekasih, seperti usapan tangan ibunda. Akan tetapi perasaan si nona tidak dapat ditenteramkan.
Siapakah gerangan si baju hitam tadi" Mengapa dia harus mati" Dia dan Siau-hi-ji ....
Sekonyong-konyong bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Bu-koat sudah berada di depannya.
"Dapatkah menyusulnya?" tanya Sim-lan segera.
Bu-koat menggangguk, jawabnya dengan gegetun, "Alangkah hebat Ginkang orang ini!"
"Ke manakah dia?" tanya Sim-lan pula.
Bu-koat tidak menjawabnya, tapi berkata, "Marilah ikut padaku!"
Kedua orang lantas melayang cepat pula ke sana melintasi beberapa deretan rumah.
Saking ingin tahu, Thi Sim-lan bertanya pula, "Cara bagaimana kau tahu dia akan mati?"
"Senantiasa dia memperhatikan waktu, jelas kelihatan malam ini dia hendak melakukan sesuatu urusan penting," tutur Bu-koat dengan gegetun.
"Ya, hal ini pun sudah kuketahui tadi."
"Tampaknya perasaannya sangat tertekan, ia pun mengatakan selanjutnya mungkin tak dapat melihat Siau-hi-ji lagi, sebelum berangkat dia memberikan seluruh isi sakunya kepada si penjual mi babat, ini semua menandakan apa yang akan dilakukannya pasti sesuatu urusan yang sangat berbahaya, rupanya dia sudah bertekad melakukannya sekalipun harus mati."
"Benar ...." seru Sim-lan. "Watak orang ini mengapa sedemikian aneh dan angkuh, sudah jelas dia berniat mati, tapi tidak mau memberitahukan pada orang lain dan juga tidak menginginkan bantuan."
"Tapi dia adalah sahabat Siau-hi-ji, mana boleh kita tinggal diam menyaksikan kematiannya?" ujar Bu-koat.
Sim-lan menggigit bibir, katanya, "Ginkangnya tergolong kelas wahid, andaikan tak dapat menandingi musuhnya pasti juga dapat melarikan diri, tapi dia sama sekali tidak berharap akan dapat lari, maka dapat dibayangkan lawannya pasti sangat lihai dan menakutkan."
"Sebab itu pula kau harus hati-hati, sebelum ada sesuatu tanda dariku kau jangan sembarangan turun tangan," pesan Bu-koat.
Sampai di sini, perumahan sudah mulai jarang-jarang.
Tiba-tiba Thi Sim-lan melihat tidak jauh di depan sana ada sebuah biara yang cukup besar, tampaknya seperti gedung kaum hartawan. Dalam keadaan larut malam demikian, di bagian belakang biara ini masih ada sinar lampu.
"Tempat apakah ini?" tanya Sim-lan.
"Sebuah Tokoan (kelenteng agama To)."
"Apakah dia masuk ke Tokoan ini?"
"Ehm," jawab Bu-koat singkat.
"Kau lihat dia masuk di situ, maka engkau lantas "."
"Waktu dia masuk ke sana, gerak-geriknya sangat hati-hati," tutur Bu-koat. "Dengan Ginkangnya yang tinggi itu untuk sementara waktu pasti sukar diketahui orang, maka aku lantas memutar balik ke sana untuk mengajakmu ke sini."
Thi Sim-lan coba mengawasi suasana sekitar kelenteng itu, meski ada cahaya lampu, tapi sedikit pun tiada suara apa pun, lebih-lebih tiada sesuatu tanda akan terjadi mara bahaya.
"Sudah sekian lamanya dia masuk ke situ, mengapa Tokoan ini masih tetap sunyi senyap?"
tanya Sim-lan pula. "Memangnya penghuni kelenteng ini tiada mengetahui kedatangannya?"
Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, "Tapi kalau dia sudah bertekad akan mati, biarpun kedatangannya tidak diketahui orang lain, seharusnya dia bertindak sesuatu, mengapa dia masih diam saja dan main sembunyi-sembunyi?"
"Kau tunggu di sini, biar kumasuk ke sana," kata Bu-koat.
Tapi Sim-lan memegang tangannya dan berucap dengan suara tertahan, "Kukira di balik urusan ini ada sesuatu yang ganjil, bisa jadi dia sengaja bersekongkol dengan orang lain dan memancing kedatangan kita ke sini."
"Bilamana dia bersekongkol dengan orang hendak menjebak kita, maka aku justru ingin tahu apa yang bakal terjadi," ujar Bu-koat tersenyum.
Perlahan dia lepaskan tangan si nona, sekali berkelebat dia telah menghilang dalam kegelapan.
Sambil memandang bayangan Bu-koat yang lenyap itu, Sim-lan bergumam sambil tersenyum getir, "Sungguh tak terduga perangai orang ini terkadang serupa benar dengan Siau-hi-ji."
Kelenteng ini cukup luas, bagian belakang masih ada penerangan, tapi halaman depan dan ruang pendopo gelap gulita, maka tidak kelihatan malaikat apa yang dipuja.
Bu-koat menyusul serambi yang gelap itu dan memutar ke halaman belakang, kemudian diketahui bahwa halaman yang ada penerangannya itu bukan lagi rumah kelenteng tapi berbentuk rumah penduduk biasa, begitu pula alat perabot di dalam rumah.
Bagian depan adalah kelenteng, bagian belakang adalah perumahan biasa, keadaan ini sangat aneh, yang lebih mengherankan adalah seluruh halaman belakang itu tiada terdengar sesuatu suara atau bayangan seorang, tapi di ruangan yang terpajang mewah dengan permadani mentereng itu berbaring seekor harimau loreng yang besar.
Ruangan duduk itu tampaknya tidak cuma sebesar ini saja, sebab di bagian tengah ada selapis tirai kain kuning yang panjang menyentuh lantai, jelas di balik sana masih cukup luas. Dan di depan tirai kuning itulah harimau loreng itu mendekam.
Rumah yang aneh dengan gayanya yang khas, ruangan duduk yang tiada tamunya, tapi ada seekor harimau. Semua ini membuat Hoa Bu-koat heran dan bingung. Yang lebih sukar dimengerti adalah suasana ruangan tamu itu, sebab apa dibatasi menjadi dua bagian dengan tirai"
Rahasia apa pula yang tersembunyi di balik tirai kuning itu"
Dengan hati-hati Bu-koat merunduk maju, ia yakin akan Ginkangnya sendiri, dengan sendirinya gerak geriknya tiada menerbitkan suara sedikit pun.
Siapa tahu pada saat itu juga, harimau yang tampaknya sedang tidur itu mendadak melompat bangun sambil meraung keras sehingga bumi seakan-akan bergetar dan daun kering sama rontok di halaman.
Nyata, walaupun Ginkang Bu-koat tiada taranya, namun harimau itu tidak perlu memandang dengan mata dan tidak perlu mendengar dengan telinga melainkan cukup mengendus dengan hidung saja.
Memang di sinilah letak kehebatan binatang itu, tak peduli siapa pun yang masuk ke ruangan belakang ini, asalkan baunya terendus, maka jangan harap dapat mengelabuinya.
Jika si baju hitam tadi sudah masuk ke ruangan belakang sini, mungkin sekarang sudah lebih banyak celaka daripada selamatnya.
Sementara itu cahaya lampu bergoyang-goyang, harimau tadi sudah hampir menubruk maju. Keganasan harimau sangat menakutkan, sampai-sampai Bu-koat juga kebat-kebit.
Pada saat itulah dari balik tirai tiba-tiba berkumandang suara halus berkata, "Siau Hoa (si loreng), duduklah, jangan galak seperti anjing penjaga saja, bisa bikin takut tamu!"
Suara itu begitu menggiurkan dan menggetar sukma.
Harimau itu pun seakan-akan dapat merasakan betapa menggiurkan suara merdu itu, benar-benar saja dia lantas membalik ke sana dan duduk kembali seperti mendadak berubah menjadi seekor kucing kecil yang jinak.
Bu-koat melenggong menyaksikan semua ini. Dilihatnya dari balik tirai kuning terjulur sebuah tangan putih mulus, halus lemas seolah-olah tak bertulang, dengan perlahan tangan putih itu membelai harimau, dengan suara merdu ia berkata pula dengan tertawa,
"Jika Tuan sudah datang, kenapa tidak masuk saja dan duduklah."
Diam-diam Bu-koat membatin apakah pengalaman si baju hitam tadi sama seperti sekarang ini" Apakah betul dia masuk ke sini" Setelah masuk kemari lalu apa pula yang dialaminya"
Menurut keyakinan Bu-koat, jika si baju hitam datang ke sini dengan tekad harus mati, maka dia pasti pantang mundur. Biarpun ruangan tamu ini adalah sarang harimau juga pasti akan diterjangnya.
Teringat pada tekad si baju hitam, tanpa ragu lagi Bu-koat lantas melangkah masuk.
Dengan tersenyum simpul ia melangkah masuk setindak demi setindak sebagaimana seorang tamu yang sopan santun hendak berkunjung kepada sahabat lama.
Dari balik tirai lantas terdengar suara tertawa nyaring merdu dan berkata, "Sungguh seorang Kongcu yang cakap, bolehkah kumohon tanya nama Kongcu yang terhormat?"
"Cayhe Hoa Bu-koat," jawab Bu-koat sambil memberi soja.
"O, kiranya Hoa-kongcu," kata suara itu.
"Terima kasih, bolehkah kutahu nama harum nona?"
Suara di balik tirai itu tertawa ngikik, jawabnya, "Hihi, aku sudah menikah, mana berani mengaku sebagai nona lagi .... aku she Pek."
"O, kiranya Pek-hujin (nyonya Pek)," kata Bu-koat.
"Terima kasih, silakan duduk Hoa-kongcu," ucap Pek-hujin atau nyonya Pek.
Sambil mengucapkan terima kasih, benar-benar Bu-koat duduk tanpa sungkan.
Sebegitu jauh tanya jawab antara nyonya rumah dan tamunya dilakukan dengan sopan santun, cuma sayang nyonya rumah belum memperlihatkan wajahnya, di samping tamu mendekam pula seekor harimau yang besar dan setiap saat siap menerkam mangsanya.
Kalau tidak, siapa pun pasti akan mengira antara Hoa Bu-koat dan Pek-hujin adalah sahabat karib yang telah ada hubungan turun-temurun.
Sesungguhnya itu pun sifat Hoa Bu-koat yang sukar berubah, asalkan orang lain bersikap sopan padanya, biarpun diketahuinya orang ingin membunuhnya juga dia akan membalasnya dengan sopan dan hormat.
Terdengar Pek-hujin berkata pula dengan tertawa, "Kongcu datang dari jauh, tapi aku tak dapat sekadar memenuhi kewajiban sebagai nyonya rumah, harap Kongcu sudi memberi maaf."
"Dapat bicara dengan Hujin dari balik tirai, betapa pun Cayhe merasa beruntung," jawab Bu-koat.
Tiba-tiba Pek-hujin bergelak tertawa, katanya, "Sikapku sudah terhitung sangat ramah tamah, tak tersangka engkau ternyata lebih ramah pula. Bilamana kita terus ramah tamah begini aku menjadi tidak enak untuk bicara urusan kita, engkau juga tidak leluasa untuk bertanya. Maka lebih baik kita tidak perlu main sungkan-sungkan lagi."
"Bersopan santun dahulu baru kemudian perang tanding, ini adalah cara paling terhormat dalam perselisihan kaum ksatria sejati. Maka menurut pendapatku, adalah lebih baik bila bersikap sungkan saja."
"Engkau ini sungguh orang yang menarik," ujar Pek-hujin dengan tertawa.
"Terima kasih," jawab Bu-koat.
"Kita tiada permusuhan dan dendam apa pun, bahkan wajahku saja belum pernah kau lihat, dari mana kau tahu aku menghendaki sopan dahulu padamu baru kemudian perang tanding"
Aku kan tiada maksud "perang" denganmu"!"
"Bilamana tidak perlu main senjata melainkan beramah tamah saja, tentu saja itulah yang kuharapkan," ucap Bu-koat.
"Berdasarkan apa kau kira aku hendak main senjata denganmu?" tanya Pek-hujin dengan tertawa.
"Orang asing berkunjung kemari di tengah malam buta, andaikan Hujin menghadapinya dengan senjata juga pantas," jawab Bu-koat.
Pek-hujin tertawa genit, katanya, "Meski aku tidak tahu maksud kedatanganmu, tapi melihat sikapmu yang sopan dan perawakanmu yang gagah serta terpelajar pula, betapa pun engkau tidak mirip seorang jahat. Apalagi kau datang dengan sikapmu tadi, walaupun aku takkan membikin susah, tapi ada orang lain yang tak dapat melepaskanmu."
Bu-koat menghela napas, katanya, "Terima kasih atas perhatian Hujin, cuma sayang kedatanganku justru disebabkan oleh orang tadi."
"Ai, memangnya kau ini sahabat si setan hitam yang suka main sembunyi-sembunyi itu?"
tanya Pek-hujin.
"Betul," jawab Bu-koat.
"Jadi kedatanganmu ini hendak mencari dia?"
"Bila Hujin sudi memberitahukan jejaknya padaku, sungguh Cayhe akan sangat berterima kasih."
"Umpama kukatakan di mana jejaknya, apakah kau mampu menolongnya keluar?"
"Apakah Hujin melihat Cayhe ini mirip orang yang gegabah tanpa memikirkan mati dan hidup?"
"Dari nadamu ini, agaknya kepandaianmu tidaklah rendah bukan?"
"Di hadapan Hujin sesungguhnya Cayhe tidak berani merendahkan diri sendiri."
"Bagus, kau memang anak muda yang suka berterus terang," ujar Pek-hujin dengan tertawa. "Jika begitu, boleh kau coba dulu memperlihatkan sejurus dua padaku, ingin kutahu apakah kau memang mempunyai kemampuan untuk menolong dia?"
Bu-koat tersenyum, ucapnya, "Kalau demikian kehendak Hujin, terpaksa Cayhe pamer sedikit."
Dia duduk tanpa bergerak, tapi mendadak orangnya berikut kursinya meloncat ke atas, kursi buatan dari kayu cendana yang kuat dan berat itu seolah-olah lengket di pantat Hoa Bu-koat.
"Hebat, sungguh luar biasa?" sorak Pek-hujin. "Padahal usiamu masih muda belia, memangnya sejak lahir kau sudah mulai belajar silat."
Dengan perlahan Bu-koat melayang turun, jawabnya dengan tertawa, "Sungguh memalukan jika kukatakan, setelah dilahirkan Cayhe hidup sia-sia selama tiga-empat bulan, setelah seratus hari barulah mulai belajar silat?"
"Bagus, dengan kepandaianmu ini pantas kau berani menyatakan tidak mau merendahkan diri sendiri. Cuma ...."
"Cuma apa?" tanya Bu-koat.
"Kan sudah kukatakan tadi, setan hitam itu pun tiada permusuhan atau dendam apa-apa denganku, malahan selamanya belum pernah kenal, meski bentuknya rada menjemukan dan tindak tanduknya suka sembunyi-sembunyi, tapi aku pun tidak membikin susah dia."
Dengan menahan perasaan Bu-koat tidak menanggapi, ia tahu cerita orang pasti bersambung.
Benar juga, segera Pek-hujin melanjutkan, "Tapi di tempat kami ini ada dua orang tamu, mereka justru merasa risi, entah mengapa, bicara punya bicara, akhirnya mereka baku hantam dengan serunya. Ai, meski temanmu itu bentuknya kelihatan galak, tapi ia justru bukan tandingan kedua kawanku itu."
"Jangan-jangan dia telah terbunuh?" seru Bu-koat.
Pek-hujin tertawa ngikik, ucapnya, "Agaknya kau terlalu meremehkan aku. Di tempatku ini memangnya siapa yang berani sembarangan membunuh orang?"
"Habis kawanku ...."
"Kawanmu seperti telah di bawa pergi oleh kawanku, dibawa ke mana, aku sendiri pun tidak tahu."
Bu-koat melenggong, seketika ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ia pun tidak dapat meraba asal-usul Pek-hujin ini, lebih-lebih tak tahu apakah uraian itu betul atau palsu, apalagi, sekalipun cerita orang itu cuma bualan saja, tentunya ia pun tidak dapat berbuat apa-apa.
Bilamana Bu-koat diharuskan menerjang ke balik tirai dan membekuk Pek-hujin untuk dipaksa memberi keterangan sejujurnya, tindakan ini betapa pun takkan dilakukannya sekalipun diancam akan membunuhnya.
Karena itulah ia menjadi serba salah, tinggal pergi rasanya keliru, tinggal di situ juga tidak betul.
Selagi dia tercengang, tiba-tiba Pek-hujin tertawa dan berkata pula, "Tapi kau pun tidak perlu sedih, jika benar-benar kau ingin mencari dia, aku akan membawamu ke sana."
Bu-koat bergirang dan mengucap terima kasih.
Tapi Pek-hujin lantas menghela napas dan berkata pula, "Cuma aku sendiri disekap di sini, bergerak saja tidak bisa, cara bagaimana pula dapat kubawa kau pergi mencarinya?"
Baru sekarang Bu-koat terkejut, cepat ia bertanya, "Masa Hujin disekap orang di sini?"
"Siapa bilang bukan?" kata Pek-hujin menyesal. "Bilamana kau ingin kubawa mencari temanmu, maka lebih dulu harus kau tolong diriku."
"Masa Hujin bukan nyonya rumah di sini?"
"Siapa bilang aku bukan nyonya rumah di sini?" jawab Pek-hujin.
Bu-koat memandang harimau yang besar dan jinak seperti kucing dibelai oleh tangan yang putih halus itu, katanya dengan ragu-ragu, "Jika nyonya adalah majikan di sini, harimau ini pun piaraan nyonya, lantas siapakah yang mengurung nyonya di sini, sungguh Cayhe tidak habis pikir?"
Pek-hujin menghela napas, ucapnya, "Kisah ini terlalu panjang untuk diceritakan, boleh kau singkap dulu tirai ini, nanti akan kuceritakan."
"Jangan-jangan ini sebuah perangkap?" ujar Bu-koat dengan ragu-ragu.
"Kau mengaku berkepandaian tinggi, tapi menyingkap tirai ini saja tidak berani?"
Seketika keberanian Bu-koat berbangkit, sekali raih tirai tersingkap. Serentak ia melongo kaget setelah melihat apa yang terdapat di balik tirai.
Ternyata antara belahan ruangan bagian depan dan bagian belakang yang tertutup tirai ini bedanya seperti langit dan bumi.
Bagian depan yang dijaga harimau ini terpajang mewah, sedangkan bagian belakang yang dialingi tirai itu ternyata tiada sesuatu alat perabot apa pun, malahan jerami memenuhi lantai, dipojok sana ada sebuah tong air yang biasa dibuat tempat makan minum hewan.
Pada hakikatnya tempat ini bukan tempat tinggal manusia, tapi lebih mirip kandang babi atau istal kuda.
Sungguh mimpi pun Bu-koat tidak menduga bahwa di balik ruangan yang mentereng ini adalah sebuah tempat sekotor ini, malahan di sinilah duduk seorang perempuan setengah tua dengan dandanan istimewa, rambutnya penuh hiasan mutiara goyang dan ratna mutu manikam, wajah tidak ketinggalan pupur dan gincu. Meski sudah setengah baya, namun masih jelas kelihatan bekas-bekas kecantikannya di masa muda.
Ini pun belum mengejutkan, yang paling luar biasa adalah leher wanita cantik berdandan mewah ini justru terbelenggu oleh seutas rantai, ujung rantai terpaku kuat di dinding sana.
Seketika Bu-koat juga seperti terpaku di tempatnya dan tidak dapat bergerak lagi.
Pek-hujin memandang sekejap, katanya dengan tersenyum pedih, "Nah, sekarang tentunya kau tahu apa sebabnya aku tak dapat membawamu pergi mencari temanmu."
Diam-diam Bu-koat menghela napas, ucapnya, "Per ... perbuatan siapakah ini" Siapa ...
siapa yang ...."
"Suamiku!" jawab Pek-hujin sambil menunduk.
"Suamimu?" Bu-koat menegas, hampir saja ia melonjak kaget.
"Betul," kata Pek-hujin dengan sedih. "Suamiku adalah lelaki yang paling cemburu dan paling tidak aturan di dunia ini. Dia sangka bila aku ditinggalkan pergi, pasti aku akan main gila dengan lelaki lain."
"Sebab itu dia ... dia memb ...."
"Ya, begitu dia pergi, segera aku dirantai olehnya, pada hakikatnya dia tidak ... tidak menganggap diriku sebagai manusia, malahan memandang diriku ini lebih rendah daripada hewan."
Termangu-mangu Bu-koat memandangi nyonya yang malang ini sehingga tidak sanggup bicara lagi.
"Tapi bila kau lihat dandananku yang baik ini, tentunya kau pun merasa heran bukan?"
tanya Pek-hujin.
"Ini ... ini ...."
"Ini pun kehendaknya," tutur Pek-hujin dengan gegetun. "Meski dia memperlakukan diriku dengan macam-macam siksaan, tapi dia juga menyuruh aku berdandan dan bersolek secantiknya, tujuannya melulu untuk dipertontonkan kepadanya saja."
Setelah menghela napas panjang, lalu ia menyambung pula, "Ya, hanya untuk ditonton dia sendiri, bila orang lain memandangku sekejap saja maka orang itu pasti akan dibunuh olehnya. Sekarang kau telah memandang diriku pula, seumpama kamu tak mau menolongku keluar juga dia akan mencari dan membikin perhitungan denganmu."
"Selama hidupku paling benci pada manusia yang suka menghina dan menganiaya wanita,"
ucap Bu-koat dengan tersenyum pahit. "Jangankan Cayhe memang mengharapkan bantuan, sekalipun tiada urusan ini juga Cayhe akan berusaha menolong nyonya keluar dari sini."
"Engkau benar-benar orang yang baik hati" ucap Pek-hujin dengan suara lembut dan memandangnya dengan rawan. "Ya, sejak mula aku pun sudah tahu engkau pasti orang baik.
Tapi bilamana engkau hendak menolongku, maka lekaslah kerjakan, kalau tidak, bila suamiku pulang, walaupun tinggi ilmu silatmu juga sukar menandingi dia."
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Di luar sana Thi Sim-lan sudah menunggu sekian lama dalam kegelapan.
Sekonyong-konyong ia dengar auman harimau yang menggetar bumi, kemudian suasana kembali sunyi senyap dan tiada sesuatu gerak gerik lagi, tapi justru suasana tiada sesuatu gerak-gerik ini semakin membuat cemasnya.
Dia menunggu lagi sejenak, makin lama makin gelisah, sampai akhirnya ia benar-benar tidak tahan lagi, tanpa pikir ia melompat keluar dari tempat sembunyinya. Apa pun juga ia ingin melihat apa yang terjadi sesungguhnya.
Kelenteng yang terbenam dalam kegelapan itu tampaknya tiada sesuatu tanda yang membahayakan. Segera Thi Sim-lan melompat ke atas pagar tembok.
Baru saja ia bertengger di atas tembok, mendadak sinar lampu berkelebat, itulah cahaya sebuah Khong-beng-teng (lampu ciptaan Khong Beng di jaman Sam-kok) yang khas, sinarnya berkelebat di mukanya seperti sinar kilat. Menyusul di ruangan pendopo seorang lantas berucap dengan tertawa, "O, kukira siapa, rupanya nona Thi Sim-lan adanya."
Keruan Sim-lan terkejut, hampir saja ia terjatuh di atas tembok, serunya dengan suara serak, "Sia ... siapa kau?"
"Silakan nona masuk saja, sebentar tentu kau akan mengenali aku," kata orang itu.
Kejut dan sangsi pula Thi Sim-lan, mana dia berani menyerempet bahaya memasuki ruangan pendopo yang gelap gulita itu.
Orang itu tertawa seram, katanya pula, "Jika nona sudah datang ke sini, silakan masuk saja kemari untuk melihat sendiri, kalau tidak, kedua teman nona itu saja tidak dapat lolos, apalagi nona Thi sendiri, dengan kepandaianmu apakah engkau mampu kabur?"
Sekujur badan Thi Sim-lan serasa gemetar, masa Hoa Bu-koat juga telah jatuh ke dalam perangkap orang dan mengalami sesuatu"
Akhirnya ia menjadi nekat, tanpa pikir lagi ia terus melompat ke bawah.
Dalam kegelapan orang itu berkata pula dengan tertawa, "Di samping pilar dekat undak-undakan sana ada sebuah lampu dan ada pula geretan, paling baik nona menyalakan lampu dulu barulah masuk kemari. Kebanyakan orang bilang aku ini lelaki yang sangat cakap bila dipandang di bawah cahaya lampu yang terang."
"Tapi adakah tipu apalagi?" kembali Thi Sim-lan curiga.
Apa pun juga, sinar lampu biasanya memang bisa menambah keberanian orang, dalam kegelapan risikonya juga lebih besar. Maka ia lantas mendekati tempat yang ditunjuk tadi, ia menemukan lampu dan menyalakannya.
Di tempat yang luas dan gelap itu, cahaya lampu ini jauh lebih terang daripada biasanya dan juga menghangatkan, Thi Sim-lan pegang erat-erat lampu itu dan melangkah ke ruangan pendopo itu. Ia lihat keadaan kosong melompong, mana ada bayangan orang" Yang ada cuma Hiolo (tempat abu) yang besar, tirai kuning meja pemujaan yang rada luntur warnanya serta wajah beringas patung yang dipuja.
Tiba-tiba cahaya lampu seolah-olah rada guram.
Tanpa terasa Thi-Sim-lan merinding, serunya, "Sesungguhnya siapa kau" Mengapa main sembunyi?"
Tapi tiada jawaban orang dan juga tidak nampak bayangan seorang pun.
Ia menjadi ragu, jangan-jangan patung kayu itu yang sedang menggoda seorang gadis biasa.
Thi Sim-lan tidak berani menengadah, tapi tanpa terasa mendongak, maka tertampaklah malaikat gunung raksasa bertengger di punggung harimau seakan-akan sedang menyeringai padanya.
Angin tiba-tiba meniup, sumbu lampu bergoyang-goyang, pakaian patung malaikat gunung juga bergerak-gerak laksana hidup dan seakan-akan hendak melangkah turun dari meja sembahyang.
Hampir saja Thi Sim-lan tidak tahan dan akan membuang lampu itu terus melarikan diri.
Lampu yang hangat itu rasanya berubah menjadi dingin, tangannya mulai gemetar pula.
Tiba-tiba dari balik tirai meja pemujaan sana berkumandang suara orang bergelak tertawa.
"Hahahaha, Thi Sim-lan, nyalimu ternyata tidak kecil!" seru orang itu. Suaranya seperti timbul dari patung malaikat ukiran kayu itu.
Namun Thi Sim-lan malahan dapat tenangkan hatimya, segera ia pun menjengek, "Jika kau berani mengundang aku masuk ke sini, mengapa kau sembunyi di belakang patung dan tidak berani muncul menemui aku?"
Orang itu tertawa, katanya, "Nyali perempuan terkadang memang lebih besar daripada lelaki, mestinya hendak kubikin kaget padamu, siapa tahu tempat sembunyiku dapat kau bongkar."
Menyusul suara tertawa itu, seorang perlahan-lahan muncul dari balik patung sana, cahaya lampu yang bergoyang-goyang menyinari wajahnya yang pucat dan sorot matanya yang tajam.
Memang betul, dia memang lelaki yang sangat cakap.
Tapi demi nampak lelaki ini, kejut Thi Sim-lan melebihi lihat setan iblis. Tanpa terasa ia berseru, "Hah, Kang Giok-long!"
"Betul, memang aku," jawab Kang Giok-long dengan tertawa. "Tadi aku bergurau denganmu, apa kau terkejut?"
Dengan senyuman yang ramah selangkah demi selangkah ia mendekati Thi Sim-lan. Tapi si nona mundur selangkah demi selangkah.
"Kau ... kau mau apa" tanya Sim-lan.
"Kita kan sahabat lama, mengapa kau takut padaku?" ucap Giok-long dengan tersenyum.
Sampai jari kaki Sim-lan pun terasa dingin, tapi dia sengaja menampilkan senyum mengejek, katanya, "Siapa bilang aku takut" Aku justru sangat gembira."
Sambil bicara, kakinya masih terus melangkah mundur. Sudah tentu dia tahu lelaki yang sangat cakap dan manis bicaranya ini jauh lebih menakutkan daripada ular yang paling berbisa.
Mendadak ia melemparkan lampu yang dipegangnya ke muka Kang Giok-long, habis itu ia terus lari keluar secepat terbang.
Dalam keadaan demikian, rasanya segala apa sudah terlupakan olehnya, yang dipikirkan hanya meninggalkan Kang Giok-long.
Tapi mendadak ia menubruk ke dalam pelukan seseorang.
Tanpa memandang juga Thi Sim-lan tahu siapa orang ini. Pakaian orang ini terasa halus dan licin, begitu licin sehingga melebihi licinnya ular berbisa.
Tangan orang ini pun lemas dan licin, dengan perlahan dia rangkul Thi Sim-lan dan berucap dengan suara lembut, "Kenapa lari" Masa kau takut padaku."
Sekujur badan Thi Sim-lan terasa lemas lunglai dan menggigil. Sama sekali ia tiada tenaga lagi untuk mendorong.
Dengan perlahan Giok-long meraba pundak Thi Sim-lan, katanya dengan perlahan,
"Katakan, sesungguhnya apa yang kau takutkan?"
Sebisanya Thi Sim-lan menenangkan hatinya yang berdebar. Diam-diam ia memperingatkan dirinya sendiri agar bersabar, jika Kang Giok-long pura-pura bersikap ramah tamah, maka jangan sekali-kali boroknya dibongkar, kalau tidak, dari malu ia bisa menjadi marah dan itu berarti berbahaya baginya.
Maka ia pura-pura membanting-banting kaki dan mengomel, "Aku tak peduli, tadi kau telah menakuti aku setengah mati, untuk apa kupedulikan kau."
Ia menyadari bukan tandingan Kang Giok-long, ia tahu dalam keadaan demikian senjata satu-satunya yang baik ialah omelan manja anak gadis.
Benar juga, Kang Giok-long lantas tertawa, katanya, "Kau memang gadis yang menyenangkan, pantas Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat tergila-gila padamu."
"Dan kau?" tanya Thi Sim-lan sambil menggigit bibir.
"Aku pun lelaki, melihat gadis menarik seperti kau masakah tidak terpikat" Cuma sayang, mereka berdua sudah ...."
"Kukira kau sendiri tak dapat membandingi mereka?"
"Menurut kau, bagaimana aku dibandingkan mereka?" tanya Giok-long sambil memicingkan mata.
"Mereka masih anak-anak, sedangkan kau ... kau sudah dewasa."
"Hah, pandanganmu ternyata tajam, sayang tidak kau katakan sejak dulu-dulu."
Berbareng ia rangkul si nona terlebih erat sehingga Thi Sim-lan merasa mual. Namun ia berlagak tertawa genit dan menjawab, "Memangnya kau ini orang tolol sehingga perlu menunggu keterangan dariku?"
"Haha, betul, ucapanmu memang tepat," seru Giok-long sambil bergelak. "Bila lelaki ingin menunggu pengungkapan isi hati si perempuan, maka dia benar-benar teramat bodoh."
Di tengah embusan angin malam yang semilir, di tengah kegelapan yang sunyi, dalam pelukannya terdapat nona selembut dan secantik ini ... betapa pun lihainya Kang Giok-long tentu juga lunak hatinya.
Maka suara Thi Sim-lan jadi semakin halus, katanya perlahan, "Sekarang, biarlah kukatakan padamu, sesungguhnya sudah lama aku ...."
Sudah sekian lama ia bersiap-siap, kedua tangannya sudah penuh tenaga, sekuatnya ia terus memukul ke pinggang Kang Giok-long.
Akan tetapi baru tangannya bergerak, tahu-tahu Kong-cing-hiat di atas pundak kanan kiri telah kena dicengkeram oleh Kang Giok-long sehingga tenaga tak dapat dikerahkan sama sekali. Tangan Thi Sim-lan menjadi lemas, hati pun dingin.
Kang Giok-long, setan iblis ini, ternyata sudah sejak tadi mengetahui jalan pikiran si nona.
Dia merasa tangan Kang Giok-long terus merosot ke bawah melalui punggungnya dan sekaligus menutuk pula beberapa Hiat-to penting di bagian situ. Seketika satu jari pun Thi Sim-lan tak dapat bergerak lagi.
Sementara itu tangan Kang Giok-long masih terus bekerja, tiada hentinya tangannya
"main" kian kemari di bagian tubuh Thi Sim-lan sambil tertawa terkekeh-kekeh. Ucapnya,
"Kutahu sudah lama kau suka padaku, maka malam ini betapa pun takkan kukecewakan keinginanmu."
"Kau ... kau setan iblis, kau berani ...." teriak Thi Sim-lan dengan suara parau.
Giok-long tertawa ngikik, katanya, "Apakah kau menyesal sekarang" Cuma sayang, andaikan menyesal juga sudah terlambat."
Thi Sim-lan menggigit bibir kencang dan tidak bersuara, ia tahu dalam keadaan demikian, berteriak atau meronta juga tiada gunanya, bahkan akan lebih merangsang nafsu binatang Kang Giok-long.
Sejak kecil Thi Sim-lan hidup merana, sudah terlalu banyak mengalami penderitaan lahir dan batin, ia paham bilamana seorang dalam keadaan tak berdaya dan tak dapat melawan, maka terpaksa harus terima nasib. Dan sekarang ia pun siap menerima yang akan menimpanya.
Ia memejamkan mata, air mata bercucuran dengan derasnya. Bibirnya sudah berdarah, hatinya sedang menjerit, "O, Siau-hi-ji ... Hoa Bu-koat, maafkanlah aku!"
Tak terduga, pada saat berbahaya itulah, tiba-tiba tangan Kang Giok-long tidak bergerak lagi.
Belum lagi Thi Sim-lan mengetahui apa yang terjadi, tahu-tahu Kang Giok-long mendorongnya pergi. Karena tak terduga-duga, Sim-lan jatuh terpelosot ke lantai.
Tapi segera ia lihat seorang perempuan.
Perempuan ini berbaju putih mulus, bermuka pucat, dengan mata tanpa berkedip sedang melototi Kang Giok-long. Sorot matanya yang dingin itu tiada tanda-tanda marah dan juga tiada tanda-tanda duka. Tapi siapa pun juga bilamana dipandang sekejap oleh sorot matanya ini, mungkin selama hidup takkan lupa.
Kang Giok-long bertepuk tangan, katanya dengan menyengir, "Budak ini menganggap aku orang tolol dan hendak menipu aku, tentu saja harus kuhajar adat padanya."
Perempuan itu masih melototi dia dan tidak bersuara.
"Kau cemburu?" dengan cengar-cengir Giok-long berkata pula sambil mendekati perempuan itu dan mencolek pipinya, katanya pula, "Kau tidak perlu marah dan juga tidak perlu cemburu, kau tahu yang benar-benar kusukai dan kudambakan hanya dikau seorang."
Perempuan itu tidak bergerak sama sekali dan membiarkan pipinya diraba Kang Giok-long, ia berdiri seperti patung.
"Kau masih marah dan tidak percaya ucapanku?" tanya Giok-long pula.
Akhirnya perempuan itu membuka suara, katanya sambil melotot, "Aku tidak peduli kau dusta padaku atau tidak, pokoknya, sejak kini bilamana kulihat kau menyentuh satu jari saja anak perempuan lain, maka seketika kau kubunuh, habis itu aku pun akan mati di sampingmu."
Adalah jamak kata-kata demikian diucapkan kaum perempuan yang sedang marah, tapi sekarang perempuan yang mengucapkan kata-kata pedas ini ternyata tetap hambar dan dingin-dingin saja sikapnya.
Tidak perlu diterangkan lagi, perempuan ini tentu saja Thi Peng-koh adanya.
Kang Giok-long melelet lidah, katanya dengan tertawa. "Wah kau ini terlalu banyak berpikir. Punya istri secantik kau masa aku mau mengincar perempuan lain lagi?" Sembari bicara ia terus merangkul Peng-koh serta mencium pipinya beberapa kali.
Sorot mata Thi Peng-koh yang dingin itu akhirnya cair juga. Dia menghela napas, katanya,
"Asalkan kau senantiasa baik padaku, tak peduli perbuatan jahat apa yang kau lakukan aku pun tak peduli, yang penting dalam urusan kita ini kau tidak dusta padaku, maka urusan lain biarpun kau bohong padaku juga tidak menjadi soal bagiku." Dia menunduk, matanya sudah rada basah, dengan perlahan dia menyambung pula, "Kau tahu, bukan saja engkau ini lelaki pertama selama hidupku ini, bahkan kaulah orang pertama yang begini mesra padaku. Aku tidak peduli apakah tingkahmu ini setulus hati atau pura-pura belaka. Yang penting asalkan kau selalu begini padaku, maka puaslah hatiku, biarpun kau berbuat kejahatan lain juga aku ... aku ...." dia menggigit bibir dan tidak dapat bersuara pula.
Thi Sim-lan memandangi dia dan mengikuti apa yang diucapkan Thi Peng-koh, diam-diam ia merasa gegetun, pikirnya, "Sungguh perempuan yang harus dikasihani, ia pasti perempuan yang sangat kesepian, sampai-sampai dia sudah tahu bahwa Kang Giok-long cuma pura-pura mencintai dia, tapi ia rela menerimanya. Apakah selama hidupnya ini sudah dilewatkan dengan hampa dan sunyi sehingga dia sangat takut ditinggal pergi, tidak berani lagi hidup terpencil ...."
Hati Thi Sim-lan ikut pedih dan juga solider. Ia merasa anak perempuan ini juga lebih malang daripada dirinya.
Bilamana seorang perempuan melihat perempuan lain yang lebih susah daripada dirinya, maka sering-sering dia akan melupakan keadaan dan penderitaannya sendiri. Hal ini tak mungkin terjadi pada kaum lelaki.
Yang bisa terjadi pada kaum lelaki adalah bilamana waktu berjudi dilihatnya orang lain mengalami kekalahan lebih mengenaskan daripadanya, maka hatinya akan merasa senang.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Di bawah patung pemujaan di rumah pendopo itu ada sebuah jalan rahasia. Jalan rahasia ini dapat menembus ke beberapa kamar di bawah tanah. Namun kamar di bawah tanah ini tidak lembap dan gelap seperti tempat lain, hakikatnya kamar ini malahan jauh lebih indah dan mewah daripada tempat tinggal kebanyakan orang.
Dan Thi Sim-lan lantas diantar Thi Peng-koh ke suatu kamar di bawah tanah yang bagus itu.
Segera ia mendapatkan bahwa "si baju hitam" yang dicarinya itu sudah berada lebih dulu di rumah itu. Tubuhnya meringkuk di suatu kursi, agaknya Hiat-tonya telah ditutuk orang.
Tapi ini belum membuat Sim-lan terkejut, malahan hal ini boleh dikatakan sudah dalam dugaannya, yang membuatnya terkesiap adalah gadis jelita yang duduk di depan si baju hitam.
Gadis ini mempunyai mata besar dan jeli, cuma sayang sorot mata yang seharusnya sangat bening ini kini penuh diliputi sinar buram seperti orang linglung.
Dengan termangu-mangu ia memandangi si baju hitam, seakan-akan sedang memikirkan sesuatu. Sebaliknya si baju hitam juga sedang memandangnya dengan terkesima.
Buyung Kiu. Ya, gadis linglung ini memang Buyung Kiu adanya. Mengapa ia pun berada di sini"
Tanpa terasa Thi Sim-lan berseru kaget.
Kang Giok-long tertawa terkekeh-kekeh, ucapnya, "Di sini juga ada seorang sahabatmu bukan?"
Sim-lan menggigit bibir sekencangnya, syukur makian tidak sampai tercetus pula dari mulutnya.
Dengan tertawa Giok-long berkata pula, "Cuma sayang dia tidak kenal kau lagi. Seumpama kau hendak menegurnya juga dia takkan menggubris padamu. Tentunya kau pun tahu akibat perbuatan siapa sehingga dia berubah jadi begini." la mendekati si baju hitam alias Oh-ti-tu, serunya sambil tertawa, "He, saudara Ti-tu, kembali seorang kawan datang menjengukmu, kenapa kau tidak menggubris orang?"
Baru sekarang Oh-ti-tu seperti terjaga dari impiannya, ia terkejut melihat Thi Sim-lan,
"He, kau" Meng ... mengapa kau pun datang ke sini?"
Sim-lan tersenyum pahit, jawabnya, "Sebenarnya kami ... kami ingin memberi bantuan padamu."
"Haha, bagus, bagus!" Kang Giok-long bergelak tertawa. "Kiranya kedatanganmu ini ingin menolong Oh-ti-tu, sedangkan Oh-ti-tu datang buat menolong Buyung Kiu, sekarang orang yang hendak menolong orang justru perlu menunggu pertolongan orang." Dia menengadah dan tertawa latah, lalu menyambung pula, "Cuma sayang di seluruh dunia ini mungkin tiada seorang pun yang mampu menolongmu."
Dengan geregetan Thi Sim-lan mendamprat, "Tapi jangan lupa, kan masih ada Hoa-kongcu
"."
"Maksudmu Hoa Bu-koat?" Kang Giok-long menegas dengan tertawa terpingkal-pingkal.
"Padahal saat ini Hoa Bu-koat sendiri juga sedang menunggu pertolongan orang."
"Hm, kau ingin menipu aku?" jengek Sim-lan.
"Menipu kau" Memangnya kau sangka di dunia ini tiada orang yang sanggup mengatasi Hoa Bu-koat?"
"Paling sedikit kau sendiri belum mampu."
"Aku tidak mampu, memangnya tiada lagi orang lain?" jawab Giok-long dengan tenang-tenang saja.
Meski lahirnya Thi-Sim-lan cukup yakin akan kemampuan Hoa Bu-koat, tapi diam-diam ia pun tegang, tanyanya, "Siapa?"
"Kau tidak perlu tahu namanya, cukup kuberitahukan padamu, apabila Hoa Bu-koat ketemu dia maka dapat diumpamakan Kau-ce-thian (si kera sakti) kebentur Ji-lay-hud (sang Budha), betapa pun dia takkan mampu lolos dari telapak tangannya," tutur Giok-long sambil memicingkan mata.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Di tempat lain, akhirnya Hoa Bu-koat telah melepaskan belenggu yang merantai leher Pek-hujin itu.
Sebenarnya sudah sejak tadi-tadi belenggu itu dapat dibukanya, tapi dari badan Pek-hujin teruar bau harum yang khas membuat jantung Hoa Bu-koat berdebar keras sehingga tangan menjadi rada lemas. Ditambah lagi leher Pek-hujin terasa hangat, halus dan licin, begitu tangan Bu-koat menyentuhnya, seketika Pek-hujin mengkirik-kirik sambil nyekikik.
"Hihihi, jangan mengkilik-kilik badanku, aku aku tidak tahan ... aku geli," demikian keluh Pek-hujin sambil tertawa genit.
Sudah tentu Bu-koat bermaksud membela diri dengan menyatakan dia tidak pernah menggelitik nyonya itu, tapi mukanya menjadi merah dan tidak sanggup bersuara.
Semakin dia berlaku hati-hati, tangannya justru menyentuh leher orang dan suara tertawa Pek-hujin pun bertambah keras sehingga sekujur badan seakan-akan ikut berguncang.
Diam-diam Bu-koat gegetun, batinnya, "Mengapa perempuan tidak tahan geli?"
Entah mengapa, bilamana melihat Pek-hujin gemetar saking gelinya, tanpa terasa hatinya juga rada-rada guncang.
Pemuda seusia Bu-koat ini dengan sendirinya belum tahu bahwa "takut geli" juga merupakan semacam senjata merayu kaum wanita. Hanya perempuan yang bermaksud memikat seorang lelaki barulah bisa merasa geli. Bila perempuan itu tiada maksud memikat si lelaki, biar dikerjai bagaimana pun oleh lelaki juga dia takkan geli.
"Pengetahuan umum" ini cukup dipahami oleh kaum lelaki yang sudah cukup berpengalaman.
Setelah berkutak-kutek sekian lamanya, akhirnya gembok rantai itu dapatlah dibuka, Hoa Bu-koat sudah mandi keringat seolah-olah habis perang tanding mati-matian.
"Sekarang Hujin dapat berdiri bukan?" kata Bu-koat sambil menghela napas lega.
Tapi Pek-hujin masih terkulai lemas di atas onggokan jerami, ucapnya dengan terengah-engah, "Mana aku sanggup berdiri sekarang?"
Keruan Bu-koat melengak bingung, tanyanya, "Ken ... kenapa tidak sanggup berdiri?"
"Masa ... masa kau tidak tahu?" ucap Pek-hujin dengan lirikan genit.
"Tidak, aku tidak paham," jawab Bu-koat.
"Tolol, masa tak dapat kau lihat" Saat ini pada hakikatnya aku tidak bertenaga sedikit pun," ujar Pek-hujin sambil menghela napas gegetun. Sebutannya kepada Bu-koat dari
"Kongcu" kini telah berubah menjadi "tolol".
Bu-koat berdehem kikuk, katanya sambil menyengir, "Tadi ... tadi Hujin bilang waktunya sudah mendesak, mengapa sekarang malah tidak terburu-buru lagi."
"Aku kan tidak sengaja," ucap Pek-hujin. "Jika kau yang terburu-buru, bolehlah memayang bangun aku."
Terpaksa Bu-koat menjulurkan tangannya untuk menyanggah bahu si nyonya.
Tapi Pek-hujin seperti orang lumpuh saja, mana dia sanggup menariknya bangun. Malahan kalau dia tidak berdiri kuat-kuat, mungkin dia sendiri yang terseret jatuh ngusruk ke onggokan jerami.
Terpaksa Bu-koat memegang pinggang Pek-hujin.
Tapi sekujur badan Pek-hujin lantas menggeliat sambil tertawa nyekikik dan berseru, "O, ge ... geli! Ai, rupanya kau pun tidak beres, sudah tahu aku takut geli, tapi kau sengaja menggelitik aku."
"Aku ... aku tidak sengaja," kembali muka Bu-koat merah jengah.
Pek-hujin mengerling genit dan mengomel, "Siapa tahu kau sengaja atau tidak."
Bu-koat tidak berani memandangnya, ia berpaling ke arah lain dan berkata, "Jika Hujin tidak lekas bangun, Cayhe akan ...."
"Kau akan apa" Memangnya kau cuma menolong orang setengah-setengah lantas hendak pergi begitu saja?" ucap Pek-hujin dengan tertawa genit.
"Tapi aku ... aku ...." Bu-koat benar-benar tak berdaya sehingga tidak tahu apa yang harus diucapkan.
"Tolol," omel Pek-hujin pula, "lelaki segagah kau masakah bingung menghadapi urusan sekecil ini?"
"Habis bagaimana harus kulakukan menurut Hujin?" tanya Bu-koat.
"Jika tidak kuat memayang diriku, kenapa tidak kau pondong saja?" kata Pek-hujin dengan wajah bersemu merah dan dada yang montok itu berombak.
Jika Kang Giok-long yang menghadapi adegan seperti sekarang ini, mustahil kalau Pek-hujin tidak ditubruknya dan dirangkul. Apabila Siau-hi-ji bisa jadi kontan Pek-hujin akan dipersen suatu tamparan, lalu ditanya apa maksudnya.
Akan tetapi Hoa Bu-koat bukanlah Kang Giok-long dan juga bukan Siau-hi-ji, pada hakikatnya dia anti seluruh perempuan di dunia ini, tapi ia pun tidak bersikap kasar terhadap perempuan, juga tidak mungkin marah kepada mereka. Bahkan sampai detik ini dia belum merasakan bahwa perempuan yang genit dan lunglai ini sesungguhnya berpuluh kali lebih berbahaya daripada macan loreng yang mendekam di samping itu.
Dia cuma mengganggap sikap Pek-hujin itu hanya karena bergeloranya nafsu berahi seorang perempuan saja. Ia merasa dirinya sekalipun tidak boleh menerima godaannya itu, tapi juga tidak boleh terlalu kejam padanya, sebab ia selalu merasa perempuan begini harus dikasihani.
Di Ih-hoa-kiong sendiri juga banyak terdapat perempuan yang begini. Sebegitu jauh ia bersimpatik kepada mereka, apalagi ia pun merasakan, betapa pun orang kan juga
"bermaksud baik" padanya"
Bilamana Siau-hi-ji mengetahui jalan pikiran Hoa Bu-koat, mustahil kalau gigi Siau-hi-ji tidak rontok karena tertawa terpingkal-pingkal. Akan tetapi, apabila Siau-hi-ji juga dibesarkan di lingkungan seperti Hoa Bu-koat, jalan pikirannya tentu juga akan sama.
Begitulah Bu-koat terdiam sejenak dengan ragu-ragu, ia menghela napas, katanya kemudian dengan suara halus, "Jika Hujin belum sanggup berdiri, biarlah Cayhe menunggu saja sebentar lagi."
Pek-hujin memandangi anak muda yang aneh ini dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas pula, diam-diam ia sangat heran. akhirnya ia tanya, "Apakah benar kau tak bisa apa-apa dan cuma bisa menunggu saja?"
"Ya," jawab Bu-koat.
"Jika sehari suntuk aku tak dapat berdiri?" tanya Pek-hujin sambil mengerling genit.
"Akan kutunggu juga satu hari."
"Kau dapat menunggu sekian lama?"
"Biasanya Cayhe cukup sabar."
Pek-hujin mengikik tawa, katanya, "Bilamana tiga hari tiga malam aku tak dapat berdiri, apakah kau pun akan menunggu sekian lama?"
Hoa Bu-koat tetap tenang saja dan menjawab dengan tersenyum, "Kuyakin Hujin pasti takkan membiarkan kutunggu sebegitu lama."
Pek-hujin menatapnya lekat-lekat, ucapnya sambil menggeleng, "Sungguh tak kusangka bahwa kau ternyata orang seaneh ini ...." sampai di sini, mendadak ia menjerit tertahan terus menubruk ke pangkuan Hoa Bu-koat.
Keruan Bu-koat kaget, serunya, "Hujin ...."
"Wah celaka!" seru Pek-hujin gemetar. "Sua ... suamiku pulang."
Mau tak mau berubah pucat juga Bu-koat, serunya khawatir, "Di ... di mana?"
"Itu ... itu ...." suara Pek-hujin tergagap dan badan gemetar.
Maka terdengarlah suara seorang meraung di luar, "Di sini!"
"Blang", daun jendela sebelah kiri mendadak tergetar pecah berkeping-keping, seorang lelaki kekar tahu-tahu menerobos masuk melalui jendela yang sudah jebol itu. Perawakan lelaki ini tidak terlalu tinggi, tapi pundak lebar dan punggung tebal, gagah perkasa tampaknya, otot dagingnya kencang dan kekar sehingga memberi kesan orang yang memandangnya bahwa perawakannya jauh lebih tinggi besar.
Dia memakai baju loreng pancawarna, muka hitam penuh cambang yang kaku, sorot matanya mencorong tajam.
Sejak tadi Hoa Bu-koat berniat mendorong pergi Pek-hujin, tapi celakanya, nyonya itu justru merangkul lehernya dengan lebih erat, mati pun tidak mau lepas, tampaknya ketakutan setengah mati. Dalam keadaan demikian, mana Bu-koat tega mendorongnya pergi"
Dengan sendirinya lelaki kekar itu mendelik menyaksikan adegan yang memanaskan hati itu. Bentaknya murka, "Sundel, bagus sekali perbuatanmu!"
Ketika orang itu sudah berada di dalam, harimau loreng tadi lantas mendekatinya dengan menggoyang-goyang ekor seperti anjing piaraan.
Akan tetapi dengan sekali jotos lelaki itu telah membuat harimau yang bobotnya beratus kali itu hampir mencelat keluar, paling sedikit terpental dua-tiga meter jauhnya.
Berbareng ia berjingkrak dan memaki binatang itu, "Keparat yang tak berguna, kusuruh kau awasi perempuan busuk ini, tapi kau hanya tidur melulu."
Harimau itu sedikit pun tidak punya kegarangan sebagai raja hutan lagi, setelah menggeliat bangun, dengan munduk-munduk dia mendekam di sana. Melihat keadaannya yang lesu dan takut-takut itu, sungguh tidak lebih menarik daripada seekor anjing.
Terkesima Hoa Bu-koat menyaksikan kejadian itu, ia berkata, "Harap Tuan jangan gusar dulu, dengarkanlah keteranganku ...."
Mendingan kalau dia diam saja, lantaran bicara lelaki itu jadi semakin murka, teriaknya,
"Keterangan apa" Keterangan kentut anjing! Baru saja kakiku melangkah keluar, kalian berdua anjing laki perempuan ini lantas main pat-gulipat. Memang sudah lama kutahu sundel ini adalah perempuan hina-dina, cuma tidak kusangka dia bisa penujui muka putih macam kau ini."
Bu-koat tidak tahan lagi, dengan mendongkol dia menjawab, "Cara bicaramu hendaklah kira-kira sedikit ...."
"Kira-kira sedikit apa" Istriku berada dalam pelukanmu, apakah kau tahu kira-kira segala?" damprat lelaki itu.
Melenggong juga Bu-koat, memang betul Pek-hujin masih didekap olehnya, terpaksa ia tidak dapat umbar rasa amarahnya, ucapnya dengan menyengir, "Ah, ini ... ini salah paham belaka "."
"Salah paham kentut anjing!" bentak lelaki itu. "Dengan mata sendiri kulihat perbuatan kalian, bukti nyata tertangkap basah, kau masih berani mungkir?"
"Menyaksikan sendiri belum tentu terjadi sungguh-sungguh," ucap Bu-koat dengan menyesal. "Sesungguhnya Cayhe bukanlah ... bukanlah manusia sebagaimana kau sangka.
Jika Tuan tidak percaya, mengapa tidak tanya langsung kepada istrimu?"
Sebenarnya hati Bu-koat juga sangat gusar, tapi sebelum persoalannya dibikin jelas terpaksa ia harus bersabar dan tak dapat bertindak.
Segera lelaki itu membentak, "Baik! Nah, katakan, sundel, siapa bocah ini" Apa yang telah kalian lakukan tadi?"
Pek-hujin menghela napas panjang, jawabnya perlahan, "Urusan sudah kadung begini, kukira juga tidak perlu membohongimu lagi. Dia ... dia ialah gen ... gendakku."
Sekali ini Bu-koat benar-benar melonjak kaget, sekuatnya dia mendorong nyonya itu, teriaknya, "Apa katamu, Hujin?"
Jawab Pek-hujin dengan menunduk, "Urusan kita cepat atau lambat toh harus diberitahukan padanya, ditutup lagi juga tiada gunanya."
Tidak kepalang terperanjat Hoa Bu-koat, teriaknya, "Hujin, mengapa kau ... kau ...."
"Nah, masih berani mungkir lagi?" si lelaki tadi meraung murka. "Anak jadah, apa abamu sekarang?"
Bu-koat jadi pucat, jawabnya, "Tapi aku dan istrimu sesungguhnya belum ... belum kenal
...."
"Belum kenal"! Kentut makmu busuk! Belum kenal mana bisa saling peluk segala" ..." lelaki itu meraung murka pula. "Ayo, mengakulah terus terang. Semenjak kapan kau bergendakan dengan biniku?"
"Bahkan baru malam ini ...."
Belum lanjut ucapan Bu-koat, dengan suara lantang Pek-hujin lantas menyela, "Mengaku ya mengaku, kita takut apa" ...." lalu ia melotot ke arah suaminya sambil menjengek, "Terus terang kuberitahukan padamu, gendakan kami sudah berlangsung dua tahun lebih, bahkan sudah hampir tiga tahun. Nah, kau mau apa?"
Kembali lelaki itu meraung-raung kalap sambil memukul dada sendiri, teriaknya murka, "O, mati aku!"
Akan tetapi Bu-koat sedikitnya sepuluh kali lebih murka daripada dia, dengan terputus-putus ia berteriak, "Pek-hujin, selamanya kita ... kita tiada permusuhan apa-apa, mengapa
... mengapa kau bicara begini" ...."
"O, permata hatiku, apa yang kita takuti?" jawab

^