Bakti Pendekar Binal 12

Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 12


Pek-hujin dengan suara lembut, "Urusan toh sudah kadung begini, akan lebih baik kalau kita membuka kartu dan bicara blak-blakan saja dengan dia."
Saking dongkol dan gusarnya hingga tangan Bu-koat terasa gemetar, "Kau ... kau ...." ia tidak sanggup bicara lagi.
"Bicara terus terang juga tiada gunanya," teriak lelaki itu dengan bengis. "Bila kalian sepasang anjing buduk ini menghendaki mataku merem dan melek, huh, jangan kalian harapkan."
Sambil meraung, mendadak ia menerjang maju terus menghantamnya. Pukulan yang dahsyat sehingga sumbu lampu tergoncang dan sinar bergoyang-goyang. Kain baju Hoa Bu-koat sampai berkibar tersampuk oleh angin pukulannya.
Tak terduga oleh Bu-koat bahwa orang yang dogol dan tidak tahu aturan ini juga memiliki tenaga pukulan sedahsyat ini. Sesungguhnya ia tidak ingin berkelahi untuk persoalan yang membuatnya penasaran ini, cepat ia mengegos, dengan mudah pukulan orang dapat dihindarkannya.
Lelaki itu tambah marah, bentaknya, "Keparat, pantas kau berani mengerjai bini orang, kiranya kau memang punya sejurus dua!" Di tengah bentakannya dua-tiga kali pukulannya dilontarkan pula.
Dengan gesit Bu-koat berkelit ke sana kemari, kalau bisa sungguh dia tidak ingin balas menyerang.
Akan tetapi pukulan lelaki ini sudah lihai lagi dahsyat, bahkan gayanya sangat ganas, betapa tinggi Kungfunya ternyata jauh di luar dugaan Bu-koat.
"Ayolah, balas serang dia!" demikian Pek-hujin berteriak-teriak di samping. "Untuk apa mengalah padanya" Jika kau tidak membunuh dia, sebentar kau yang akan dibunuhnya."
Sesungguhnya Hoa Bu-koat juga sudah kepepet sehingga terpaksa harus balas menyerang.
Segera telapak tangan kiri menepuk ke depan, dengan gaya indah tangan kanan lantas memutar setengah lingkaran ke samping.
Inilah ilmu sakti "Ih-hoa-ciap-giok" yang termasyhur. Tak peduli siapa pun juga bila kena ditarik oleh tenaga putaran yang aneh ini, maka serangan yang dilancarkan akan seluruhnya berbalik menghantam pada tubuh sendiri.
Tak terduga, mendadak lelaki itu meraung keras-keras seperti auman harimau, tubuhnya mendoyong mentah-mentah ke belakang, daya pukulannya yang dilontarkan tadi dihentikannya di tengah jalan.
Padahal tenaga pukulannya telah dilontarkan sedemikian dahsyat, tentu pertahanan bagian belakang sudah kosong. Kalau tenaga pukulannya sampai menghantam balik, maka pasti tidak tahan. Namun lelaki ini benar-benar sangat lihai, dia mampu mengelakkan dengan gaya yang sukar dibayangkan.
Sama sekali Bu-koat tidak menyangka orang ini mampu mematahkan ilmu sakti Ih-hoa-ciap-giok yang hebat itu. Kecuali "Yan Lam-thian", lelaki inilah orang kedua yang mampu melawannya. Tentu saja ia terkejut.
Lelaki itu menatapnya dengan menyeringai, katanya, "Kiranya kau berasal dari Ih-hoa-kiong, pantas kau begini aneh .... Tapi melulu sedikit kemampuan ini masa kau dapat melawan aku Pek San-kun. Jika ibu gurumu disuruh menghadapi aku masih boleh juga."
Pukulannya lantas dilancarkannya pula, tenaganya lebih kuat dan tambah buas seakan-akan ilmu silat Ih-hoa-kiong yang mahasakti itu sama sekali tidak dihiraukan olehnya.
Setelah serangan pertama tak dapat menundukkan lawan, Bu-koat juga tidak berani sembarangan mengeluarkan lagi ilmu sakti Ih-hoa-ciap-giok, sebab ilmu ini tampaknya ringan saja permainannya, tapi sebenarnya sangat makan tenaga.
Akan tetapi kini mau tak mau dia harus balas menyerang. Ilmu silat Pek San-kun yang lihai ini telah merangsang hasrat pertarungannya, mendadak bisa ketemu lawan tangguh, timbul juga keinginannya untuk menentukan kalah menang dengan lawan.
Pek-hujin lantas bersorak di samping, "Betul, jangan takut padanya, demi membela diriku, pantas juga kau labrak dia!"
Seruan ini meski terasa tidak enak di telinga Hoa Bu-koat, tapi ibarat sudah berada di atas punggung macan, ingin turun juga tidak bisa lagi, sungguh dia tidak paham sebenarnya apa maksud tujuan Pek-hujin itu"
Sementara itu serangan Pek San-kun semakin dahsyat. Lwekangnya cukup kuat, gaya serangannya berbahaya, semua ini belum menakutkan, yang paling hebat adalah perbawanya yang galak dan buas itu benar-benar seperti harimau hendak menerkam mangsanya dan membuat orang ngeri.
Akan tetapi Bu-koat juga melayani dengan tidak kurang lihainya, gerakannya gesit, gayanya indah, dia terus berputar kian kemari di seluruh ruangan, betapa pun dahsyat pukulan Pek San-kun tetap tak dapat menyenggolnya.
"Kekasihku, baru sekarang kutahu kau memiliki kepandaian sebagus ini," seru Pek-hujin dengan tertawa genit. "Punya pacar seperti kau ini, apalagi yang kutakuti" Lekas kau binasakan tua bangka ini dan kita akan menjadi suami-istri abadi dan hidup dengan aman tenteram."
Makin omong makin menusuk telinga, tapi Hoa Bu-koat tidak dapat menutup kuping, mau tidak mau ia harus mendengarkannya. Meski ia cukup tenang, tidak urung juga rada terganggu konsentrasi pikirannya. Sedangkan pukulan Pek San-kun yang mahadahsyat itu justru tidak mengizinkan dia lengah sedikit pun.
Mendadak Pek-hujin menjerit khawatir, "He, awas, serangan berikutnya dengan cakar harimaunya akan mencengkeram hulu hatimu!"
Benar juga, di tengah raungannya yang keras, tangan Pek San-kun yang mirip cakar harimau itu betul-betul mencengkeram ke dada Hoa Bu-koat.
Serangan ini tidak kelihatan lihai, Bu-koat hanya menyurut mundur selangkah saja dan serangan itu pun terhindar. Diam-diam ia merasa heran, ia tidak tahu mengapa Pek-hujin mesti menjerit mendadak. Ia tahu di balik semua ini pasti tersembunyi suatu permainan.
Namun keadaan tidak memberi kesempatan baginya untuk merenungkan hal itu, baru saja kakinya melangkah mundur, antara belakang dengkul kanan-kiri masing-masing telah terkena satu titik Am-gi atau senjata rahasia. Rasanya seperti digigit nyamuk, tapi orangnya lantas roboh terjungkal.
Senjata gelap itu ternyata sudah memperhitungkan dengan jitu ke mana dia akan mundur dan seakan-akan sudah menantikannya di situ. Suara sambaran senjata rahasia itu sangat lirih, ditambah lagi jeritan ngeri Pek-hujin dan raungan Pek San-kun, tentu saja Hoa Bu-koat tidak tahu.
Bahkan setelah roboh dia masih tidak tahu bahwa yang menyambitkan senjata rahasia itu ialah Pek-hujin sendiri.
Sementara itu Pek-hujin telah menubruk maju dan merangkul leher Pek San-kun sambil berseru dengan terengah-engah, "Tadinya kusangka telah jatuh cinta pada orang lain, tapi setelah kalian berkelahi baru kuyakin yang benar-benar kucintai tetaplah engkau. Aku dapat membunuh seluruh lelaki di dunia ini, tapi tidak dapat menyaksikan orang lain mengusik sebuah jarimu."
Bu-koat menghela napas, ia memejamkan mata dan diam-diam mengeluh, "O, perempuan
...."
Baru sekarang ia mengerti sebab apa Siau-hi-ji merasa sakit kepala terhadap perempuan.
Didengarnya suara "plok" yang keras, suara muka digampar, terdengar Pek-hujin menjerit perlahan. Jelas dia kena ditempeleng dengan keras oleh Pek San-kun.
Menyusul terdengar Pek San-kun mengumpat dengan gusar, "Kau perempuan hina-dina, perempuan busuk! Memangnya baru sekarang kau sadar yang kau cintai adalah diriku"!"
Setiap bicara satu kalimat, berbareng ditampar lagi satu kali dan Pek-hujin pun lantas menjerit ngeri.
Diam-diam Bu-koat mengeleng kepala. Ia merasa makian Pek San-kun itu memang tidak salah, betapa pun "Pek-hujin" itu memang perempuan murahan. Meski dia tidak setuju lelaki memukul perempuan, tapi ia pun merasa nyonya ini memang perlu dihajar secara setimpal, cuma ia sendiri tidak sudi memandangnya lagi.
Padahal kalau sekarang dia mau membuka mata dan memandang ke sana, maka pasti dia akan terheran-heran.
Suara napas Pek-hujin seperti sangat menderita, tubuhnya meringkuk menjadi satu, namun air mukanya tiada sedikit pun mengunjuk rasa sakit, malahan sorot matanya memancarkan cahaya aneh, cahaya kepuasan. Setiap digampar oleh tangan Pek San-kun, sama sekali dia tidak menghindar, bahkan seakan-akan sengaja memapak pukulan itu.
Semakin ganas cara menghajar Pek San-kun, semakin terang pula sinar mata Pek-hujin.
Tubuhnya yang meringkuk itu mulai menggeliat-liat.
Sambil memukul Pek San-kun masih terus mencaci-maki, "Kau perempuan sundel, perempuan pecomberan, selanjutnya kau berani lagi mengkhianati aku atau tidak"!"
"Tidak, tidak berani lagi!" teriak Pek-hujin dengan gemetar. "Sungguh tidak berani lagi.
Selain engkau, aku tidak menghendaki lelaki lain pula."
"Apakah kau sudah puas dihajar?" damprat Pek San kun.
"O, kekasih, tega ... tega amat engkau! Biarlah kau pukul mati aku saja!" demikian keluh Pek-hujin. Mendadak ia menubruk maju, kaki Pek San-kun dipeluknya erat-erat.
Tapi sekali Pek San-kun mendepak, kontan tubuh Pek-hujin mencelat ke sana dan menubruk dinding, setelah terguling pula, akhirnya terkapar tak bergerak lagi. Hanya mulutnya saja masih mengeluarkan rintihan lirih.
Diam-diam Hoa Bu-koat menghela napas gegetun. Didengarnya Pek San-kun tertawa keras pula, makin lama makin dekat dan akhirnya berada di sebelahnya. Tapi mata Bu-koat terpejam lebih rapat, ia tidak ingin bicara, tidak ingin mendengar dan juga tidak ingin melihat.
Dengan tertawa latah Pek San-kun berkata, "Nah, sekarang tentunya kau tahu betapa lihainya biniku, barang siapa menyentuh dia pasti celaka, usiamu masih muda belia dan tidak mirip orang tolol, mengapa kau sampai berbuat tidak senonoh begini?"
Bu-koat hanya menggereget dan tidak memberi bantahan apa pun. Dalam keadaan demikian, ia tahu biarpun membantah dan berdebat cara bagaimana pun juga tiada gunanya.
Pek San-kun lantas menjambret bajunya terus diseret pergi.
Maka bicaralah Bu-koat, "Pek San-kun, jika kau seorang lelaki sejati, bila sekali bacok kau bunuh diriku, tentu aku malah berterima kasih padamu, tapi kalau kau bermaksud menghina aku, cara demikian bukanlah perbuatan seorang ksatria tulen."
"Hah, kau ingin mati?" tanya Pek San-kun dengan tertawa.
"Urusan sudah begini, paling-paling juga cuma mati saja," jawab Bu-koat.
"Lalu bagaimana bila aku tidak mematikan kau?" kata Pek San-kun.
Bu-koat menghela napas, ia memejamkan mata dan tidak mau berucap pula.
Ia merasa tubuhnya ditaruh di atas sebuah dipan oleh Pek San-kun, lalu dibalik sehingga bertiarap, menyusul celananya lantas dipelorotkan.
Keruan Bu-koat kaget dan berteriak, "He, apa ... apa kehendakmu?" Sebisanya ia berusaha mendongak dan membuka matanya.
Tertampak Pek San-kun berdiri di samping dipan sambil cengar-cengir, air mukanya tidak menampilkan maksud jahat, tangannya memegang sepotong besi tapal kuda, katanya,
"Racun senjata rahasia biniku ini sangat keji, sampai-sampai Yan Lam-thian dulu juga pusing kepala menghadapinya. Sekarang kedua kakimu masing-masing terkena sebuah senjata rahasianya, jika tidak kusedot keluar dengan besi sembrani ini, maka selama hidupmu ini jangan harap akan dapat berjalan pula."
Kejut dan sangsi Bu-koat, tanyanya, "Meng ... mengapa kau menolong aku?"
Pek San-kun mendelik, ia balas bertanya, "Mengapa aku tidak boleh menolongmu?"
"Tapi ... tapi ...." Bu-koat tergegap.
"Hahaha! Memangnya kau kira aku mau percaya kepada ocehan biniku?" tiba-tiba Pek San-kun bergelak tertawa pula.
Dalam pada itu dua buah jarum kecil selembut bulu kerbau telah disedotnya keluar dengan besi sembraninya dari belakang dengkul Hoa Bu-koat, meski lembut sekali jarum itu, namun ketika menancap di siku dengkul Bu-koat telah membuat tenaganya hilang sama sekali, bahkan satu jari pun tak dapat bergerak. Kini setelah jarum itu dikeluarkan, secara ajaib tenaga Bu-koat lantas pulih seketika, segera ia melompat bangun.
"Jika kau tidak percaya ucapan istrimu, mengapa ... mengapa kau tadi marah-marah dan memukuli dia?" tanya Bu-koat dengan terbelalak.
Pek San-kun angkat pundak, jawabnya dengan tertawa, "Aku sengaja berbuat begitu baginya."
"Kau sengaja?" seru Bu-koat terheran-heran.
"Ya, masa kau heran?"
Bu-koat menghela napas, ucapnya, "Terus terang, selama hidupku belum pernah kulihat kejadian yang lebih aneh daripada kejadian tadi."
Bahwa Pek-hujin dirantai oleh suaminya sendiri seperti hewan sehingga perlu minta pertolongannya, hal ini sudah luar biasa. Setelah Pek-hujin dibebaskan dari belenggu, nyonya ini malahan memfitnah dan menyerangnya dengan jarum berbisa, ini pun sama sekali tak terduga. Dan sekarang Pek San-kun berbalik menolongnya dengan mengeluarkan jarum beracun itu serta memberitahukan apa yang terjadi sesungguhnya. Semua ini membuatnya tidak habis mengerti dan bingung.
Pek San-kun lantas tepuk-tepuk pundaknya dan berkata, "Anak muda, aku pun tahu kau telah dibuat bingung, duduk dan biarlah kuceritakan lebih jelas."
"Ya, Cayhe memang ingin mohon penjelasan," Bu-koat tersenyum pahit.
Pek San-kun lantas menghela napas gegetun dan juga tersenyum getir, tuturnya, "Kau tahu, di dunia ini ada setengah orang yang berwatak aneh, bilamana orang menghormat dan mencintai dia, maka dia akan menderita malah. Sebaliknya kalau dia diperlakukan secara kasar, secara sadis, dia justru malah merasa senang dan nikmat."
Tentu saja Bu-koat heran juga geli, katanya, "Masa di dunia ini ada orang macam begini?"
"Sudah tentu ada," Pek San-kun menyengir. "Istriku itulah salah satu di antaranya."
"Oo!" baru sekarang Bu-koat paham.
"Sungguh sukar dipercaya bila kuceritakan," tutur Pek San-kun pula, "Hidup istriku ini tiada mempunyai kesukaan lain, hobinya cuma minta dipukuli. Bila kupukul dia, makin keras makin senang dia. Bahkan esoknya semangatnya akan berkobar-kobar dan wajah berseri-seri. Sebaliknya kalau beberapa hari tidak dipukul, maka dia akan, lesu, malas, makan minum rasanya tidak enak, bahkan bicara pun sungkan."
Bu-koat melongo kesima mendengarkan cerita yang aneh ini. "Masa ... masa dia bisa begitu?" tanyanya kemudian.
"Konon sejak kecil dia sudah begitu. Sejak kecil dia suka orang lain memperlakukan dia dengan sadis, bahkan ia sendiri pun berbuat kasar atas dirinya sendiri. Sampai usia sudah lanjut sifatnya ini tidak berubah, bahkan bertambah menjadi-jadi, sampai-sampai tempat tinggal bisa juga tidak betah dan sengaja mengatur tempat tinggalnya serupa kandang kuda, malahan minta aku membelenggu dia dengan rantai."
"O, kiranya ia sendiri yang minta diperlakukan begitu, tadinya Cayhe mengira ...."
"Memangnya kau kira aku ini orang yang tak berperikemanusiaan?"
"Soalnya Cayhe tidak pernah membayangkan di dunia ini ada orang yang sukarela diperlakukan sebagai hewan," ujar Bu-koat dengan gegetun.
"Nah, meski kutahu penyakitnya itu, terkadang aku toh tidak tega turun tangan menyiksanya, maka dia lantas sengaja membuat marah padaku, tujuannya agar aku memukul dia."
"Apa yang terjadi tadi tentunya juga lantaran kebiasaannya itulah," ujar Bu-koat dengan gegetun.
"Dalam hal ini masih ada suatu sebab lainnya," kata Pek San-kun.
"O" Ada sebab lain?" Bu-koat heran.
"Lantaran usianya makin menanjak, dia selalu khawatir aku akan semakin bosan padanya dan menyukai perempuan lain, maka sering kali dia sengaja membuat aku cemburu ...."
"Padahal perbuatan Pek-hujin ini hanya berlebihan belaka," tiba-tiba Bu-koat menyela dengan tertawa, "Cintamu kepada istri, dari awal hingga akhir, tentunya tidak pernah berubah, betul tidak?"
"Dia sendiri tidak tahu, dari mana kau malah tahu?" tanya Pek San-kun.
"Sebab kalau engkau tidak mencintai dia hingga merasuk tulang sumsum, tentu takkan timbul kejadian seperti tadi."
"Hahahaha!" Pek San-kun menengadah dan bergelak tertawa. "Memang betul, demi kepuasannya ternyata sahabat yang harus kena getahnya. Kejadian ini betapa pun adalah kesalahan kami suami istri, hukuman apa yang kiranya setimpal boleh silakan sahabat menyebutkannya."
Bu-koat membetulkan pakaiannya, ucapnya dengan tersenyum, "Bicara terus terang, terhadap kejadian tadi Cayhe memang rada mendongkol, tapi setelah mendengar penjelasanmu barusan, betapa pun aku menaruh simpatik atas keadaanmu dan sangat kuhormati pula kesetiaanmu dalam hubungan antara suami dan istri. Apalagi sekarang aku sudah menjadi tawanan kalian, yang harus pasrah nasib adalah diriku ini."
"Ah, ucapan sahabat teramat gawat," ujar Pek San-kun dengan tertawa.
Bu-koat memberi hormat, lalu berkata pula, "Apa pun juga, kejadian tadi pasti takkan kuungkap lagi, kuharap semoga kalian suami istri hidup bahagia hingga tua ...." mendadak dia tidak melanjutkan ucapannya, sebab baru dua-tiga tindak dia melangkah, tiba-tiba dirasakan langkah kakinya ada sesuatu pula yang tidak beres. Walaupun kaki dapat bergerak, namun tenaga terasa sukar dikerahkan, hanya sebatas pinggang, lalu macet.
Tapi Pek San-kun masih memandangnya dengan tertawa, ia membalas hormat dan menjawab, "Apakah sahabat hendak berangkat sekarang?"
Bu-koat menarik napas panjang-panjang, jawabnya kemudian, "Barangkali engkau ada pesan lain pula?"
"Apa pun juga aku merasa tidak enak terhadapmu, mana berani kubikin repot padamu lagi?" jawab Pek San-kun.
"Jika begitu, mengapa diam-diam kau mengerjakan sesuatu di bagian pinggangku?" tanya Bu-koat.
Pek San-kun seperti terkejut dan berseru, "He, apa betul" Ah, mungkin tadi waktu kusedot jarum itu, karena kurang hati-hati sehingga jarum itu kembali menancap di sesuatu Hiat-tomu lagi."
"Ya, rasanya seperti di bagian Jiau-yau-hiat," kata Bu-koat dengan tenang.
Pek San-kun tampak merasa khawatir, ucapnya sambil menggosok-gosok tangan, "Wah, repot jika berada di dekat Jiau-yau-hiat, sungguh aku menjadi takut untuk mencabut pula jarum itu, bila kurang hati-hati, bisa jadi jarum itu tambah menyusup lebih dalam ke tubuhmu, maka malaikat dewata sekalipun tidak sanggup menolongmu, terpaksa engkau harus tersiksa tertawa latah selama tiga hari dan akhirnya akan binasa."
Bu-koat terdiam sejenak, katanya kemudian, "Jika demikian, terpaksa kumohon diri untuk mencari jalan lain saja."
"Tapi kalau kau terus bergerak, jarum lembut itu pun akan bergerak mengikuti jalan darahmu dan langsung masuk Jiau-yau-hiatmu, biarpun kau akan bertindak dengan hati-hati juga takkan melangkah lebih jauh daripada lima puluh tindak."
Bu-koat berhenti dan balik tubuh perlahan, dengan tenang ia tatap orang, sampai lama sekali barulah ia menghela napas panjang, ucapnya dengan tersenyum getir sambil menggeleng kepala, "Tindak tanduk kalian suami istri sungguh sukar dimengerti. Bahwa istrimu tidak suka jadi kuda, sedangkan engkau ...."
"Bilamana sahabat merasakan ada sesuatu yang sukar dimengerti atas diriku, silakan bicara terus terang, pasti akan kujelaskan," ucap Pek San-kun dengan tertawa.
"Tadinya kukira engkau pasti turun tangan membunuh diriku, tak tahunya engkau malah menolongku, bahkan tanpa tedeng aling-aling engkau membeberkan rahasia pribadi istrimu padaku. Kini, setelah kupandang engkau sebagai sahabat, engkau malah turun tangan keji mengerjai diriku. Kejadian demikian, bila tidak kualami sendiri, sungguh sukar untuk dipercaya."
Akhirnya Pek San-kun tertawa terpingkal-pingkal, katanya kemudian dengan napas memburu, "Karena sahabat ingin tahu, terpaksa harus kukatakan terus terang. Apa yang kulakukan ini hanya ada suatu sebab."
"Mohon memberi penjelasan," pinta Bu-koat.
"Bilamana sahabat adalah orang lain, bukan saja engkau takkan kubikin susah, bahkan pasti akan kuantar pergi dengan hormat. Tapi setelah diketahui sahabat adalah anak murid Ih-hoa-kiong, maka persoalannya menjadi lain."
"Mengapa menjadi lain?" tanya Bu-koat.
Pek San-kun menatapnya lekat-lekat sejenak, kemudian baru berkata pula, "Apakah betul sampai saat ini kau belum mengetahui siapa diriku ini?"
"Memang pengalamanku terlalu dangkal," jawab Bu-koat.
"O, maklum juga, anak murid Ih-hoa-kiong dengan sendirinya takkan memperhatikan gerak-gerik orang Kangouw," ujar Pek San-kun dengan tertawa. "Tapi nama "Cap ji-she-shio" masakah tak pernah kau dengar?"
"Aha, memang betul," seru Bu-koat, baru sekarang ia menyadari duduk perkaranya, "Hou (harimau) alias San-kun, pantas engkau menamakan dirinya sendiri harimau serta memelihara harimau sebagai penjaga. Be (kuda) adalah istri harimau, pantas pula istrimu tidak mau menjadi manusia dan lebih suka menjadi kuda."
"Hah, meski pengalamanmu tidak luas, tapi pengetahuanmu cukup banyak juga," ujar Pek San-kun dengan tertawa. Mendadak ia berhenti tertawa dan menyambung pula dengan menarik muka, "Sekarang setelah kau tahu siapa diriku, tentunya kau tahu pula aku ini salah seorang dari Cap-ji-she-shio dan merupakan musuh bebuyutan Ih-hoa-kiong. Kini kau jatuh dalam cengkeramanku, masa kau tidak takut?"
Namun Bu-koat tetap tenang saja, jawabnya acuh, "Bilamana engkau mau membunuh diriku, tentu engkau tadi takkan menolong aku, jika tadi engkau menolong aku, kuyakin engkau pasti mengharapkan sesuatu dariku. Kalau engkau mengharapkan sesuatu dariku, lalu apa yang perlu kutakuti pula?"
Kembali Pek San-kun bergelak tertawa, katanya, "Sungguh tak tersangka mendadak kau menjadi begini pintar." Habis tertawa, mendadak ia menarik muka dan berkata pula,
"Memang betul juga, aku memang mengharapkan sesuatu darimu, yakni asalkan kau menerangkan rahasia ilmu Ih-hoa-ciap-giok, maka segera akan kubebaskanmu, bahkan apa yang kau pinta pasti akan kupenuhi."
Mendadak Hoa Bu-koat juga bergelak tertawa, ucapnya, "Apabila engkau mengira rahasia Ih-hoa-ciap-giok dapat diperoleh dengan semudah ini, maka jelas engkau pasti akan kecewa."
Pek San-kun jadi kurang senang, katanya, "Memangnya kau berani menolak?"
"Untuk membuat orang membuka mulut memang banyak caranya di dunia ini," ujar Bu-koat dengan tenang-tenang saja. "Ada yang mengancamnya dengan kematian, ada yang memaksa pengakuannya dengan penyiksaan, ada pula memancingnya dengan harta atau perempuan. Nah, boleh engkau mencobanya saja, lihat nanti apakah Cayhe akan buka mulut atau tidak."
Pek San-kun terdiam sejenak. Tiba-tiba ia tertawa dan berkata, "Kutahu cara-cara ini tak dapat membuka mulutmu, apabila mengenai rahasia lain, bisa jadi dapat kubikin kau mengaku, tapi Ih-hoa-ciap-giok adalah ilmu perguruanmu yang khas, umpama kau membeberkannya dan kulepaskan kau, mungkin juga kau sendiri takkan hidup lama lagi, betul tidak?"
Ucapan yang sama sekali berbeda daripada maksudnya semula ini membuat Hoa Bu-koat menjadi heran. "Jika demikian, lalu bagaimana kehendakmu?" tanyanya.
"Karena aku tak berdaya, maka aku pun tidak ingin membuang tenaga percuma," ujar Pek San-kun dengan tertawa. "Tampaknya terpaksa aku harus pergi saja dan habis perkara.
Jika kau ingin tetap tinggal di sini, ya silakan tinggal saja. Bila ingin pergi, boleh juga, takkan kularang. Bila kau memerlukan aku, cukup kau berteriak saja dan segera aku akan datang."
Habis berkata, dia benar-benar melangkah pergi begitu saja.
Tentu hal ini di luar dugaan Bu-koat, seketika ia menjadi bingung malah.
Dilihatnya ketika sampai di ambang pintu, tiba-tiba Pek San-kun menoleh dan berkata pula dengan tertawa, "Tapi kau pun jangan lupa, jangan sekali-kali kau melangkah lebih dari 50
tindak, kalau tidak, mati dengan tertawa kukira tidak enak rasanya, bahkan jauh lebih tersiksa daripada mati dengan cara lain."
Rumah yang tidak besar dan juga tidak kecil ini hanya ada sebuah pintu. Bu-koat menyaksikan Pek San-kun keluar melalui pintu satu-satunya ini. Mestinya dia dapat ikut keluar, tapi dia hanya melenggong di situ saja tanpa bergerak.
Ia tahu apa yang diucapkan Pek San-kun bukan gertakan belaka, meski dia dapat keluar, tapi ia pun tidak berani bertaruh dengan jiwanya sendiri, yakni bertaruh apakah dirinya mampu melangkah lebih jauh daripada 50 tindak.
Bukannya takut mati, dia cuma merasa hidupnya jauh lebih berguna daripada mati konyol, kalau keadaan belum perlu mengorbankan kematiannya, untuk apa dia harus bertaruh dengan jiwanya sendiri.
Dalam keadaan begini, kalau bisa berusaha hidup terus barulah orang yang benar-benar punya keberanian, sebaliknya jika ingin mati dan habis perkara, maka orang demikian adalah bodoh, pengecut.
Maklum, hidup terkadang memang jauh lebih sulit daripada mati, orang hidup harus berjuang, harus mempunyai tekad dan kepercayaan pada diri sendiri, untuk itu diperlukan keberanian penuh.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara auman harimau yang keras dan berjangkitnya angin berbau amis, sinar lampu bergoyang-goyang seakan padam. Saat lain tertampaklah harimau loreng itu telah muncul di ruangan situ. Harimau itu kini sudah kembali pada kegarangannya semula. Langkahnya kelihatan lambat-lambat, tapi membawa perbawa sebagai raja hutan yang menakutkan.
Dengan ilmu silat Hoa Bu-koat tentunya harimau bukan soal baginya, andaikan tidak dapat sekali hantam membinasakan raja hutan itu, tapi biarpun sepuluh ekor harimau muncul sekaligus juga belum tentu dapat menyenggol ujung bajunya.
Namun sekarang dia tidak mampu mengerahkan tenaga dalam, ia dalam keadaan lemas lunglai, tenaga untuk menyembelih ayam saja tidak ada apalagi tenaga untuk membunuh macan.
Kini harimau sudah muncul dan makin mendekat, terpaksa setindak demi setindak ia melangkah mundur. Ruangan itu tidak terlalu luas, hanya belasan tindak saja sudah mundur sampai di pojok.
Harimau sudah berada di depannya, ekor harimau menegak seperti tiang bendera, menyusul raja hutan ini pasti akan menerkam, jika sudah demikian mana Hoa Bu-koat mampu melawannya"
Keringat dingin telah berketes-ketes di jidat Bu-koat. Dalam keadaan demikian, tampaknya kalau dia tak berteriak minta tolong kepada Pek San-kun, jelas badannya akan segera terkoyak-koyak di bawah cakar harimau.
Meski dia tidak rela mati dan menilai tinggi jiwanya, tapi orang seperti dia masa sudi berteriak memohon pertolongan orang"
Terdengar harimau meraung pula. Pot bunga di meja sana tergetar jatuh dan "trang", pecah berantakan ....
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Di tempat lain Kang Giok-long sedang melangkah ke luar sambil tertawa latah. Kaki dan tangan Thi Sim-lan serasa beku demi mendengar suara tertawanya yang gembira itu.
Sim-lan tahu, meski keji amat hati Kang Giok-long, tapi nyalinya kecil, bilamana dia tidak yakin benar akan dapat mengatasi Hoa Bu-koat, saat ini dia takkan segembira itu.
Sedangkan Hoa Bu-koat, di manakah dia"
Hampir saja Thi Sim-lan menjerit, hati seperti hancur berkeping-keping. Dia tidak khawatir bagi dirinya sendiri, tapi Hoa Bu-koat .... Ya, Hoa Bu-koat .... Maka bercucuranlah air matanya.
Mendadak terdengar Oh-ti-tu menjengek, "Hm, perempuan, dasar perempuan. Hm, paling-paling mati saja, kenapa mesti menangis seduka itu."
"Kau ... kau kira aku berduka bagi diriku sendiri?" jawab Thi Sim-lan sambil menggigit bibir.
"Bukan untuk dirimu, memangnya untuk siapa?"
"Kau tidak tahu ... kau tak mungkin tahu," Sim-lan menggeleng sambil menangis.
Mendadak Oh-ti-tu melotot, tanyanya, "Memangnya tangismu ini demi bocah she Hoa itu?"
Thi Sim-lan menunduk, sahutnya perlahan, "Ehm."
"Jika Siau-hi-ji yang mati, apakah kau pun seduka ini?" teriak Oh-ti-tu.
Sekonyong-konyong Thi Sim-lan mengangkat kepalanya dan menatap si hitam ini sekian lamanya, tiba-tiba ia tersenyum pedih, katnya, "Jika dia mati, kau kira aku dapat hidup terus?"
"Jika begitu, mengapa kau berduka pula bagi orang lain?" teriak Oh-ti-tu dengan gusar.
"Seorang perempuan hanya boleh berduka bagi seorang lelaki. Tentang lelaki lain akan mati atau hidup tidak seharusnya dipikirkan lagi."
Sim-lan menghela napas panjang, jawabnya dengan sedih, "Isi hatiku tidak mungkin dipahami olehmu, selamanya, ya, selamanya takkan kau pahami, siapa pun takkan paham."
Dengan melotot Oh-ti-tu memandangi si nona sekian lama, tiba-tiba ia pun menghela napas dan berkata, "Ya, betul juga, mungkin hati perempuan memang lebih lemah daripada lelaki, apabila aku ...."
Tiba-tiba Thi Sim-lan menyela, "Jangankan Hoa Bu-koat, sekalipun kau yang mati juga aku akan berduka."
"Sebab apa?" tanya Oh-ti-tu.
"Sudah tentu lantaran kau adalah sahabat Siau-hi-ji."
Tiba-tiba Oh-ti-tu mendelik dan berseru, "Apakah betul kedatanganmu ini adalah untuk menolong diriku?"
"Sudah tentu betul," jawab Sim-lan.
Oh-ti-tu terbelalak pula sekian lama, katanya kemudian sekata demi sekata, "Apabila tanganku ini dapat bergerak, sungguh ingin kubeset kau secuil demi secuil."
Thi Sim-lan juga terbelalak heran, tanyanya, "Sebab apa" Kudatang menolongmu, masa kau malah dendam padaku?"
"Orang she Oh ini selama hidupnya tidak pernah menerima budi orang setitik pun," ucap Oh-ti-tu dengan gemas. "Kini aku hampir mati, bilamana kuterima budi kebaikanmu ini, menjadi setan pun rasanya tidak tenteram."
Thi Sim-lan melengak, ucapnya kemudian, "Ya, aku sangat memahami perasaanmu, engkau adalah seorang lelaki sejati."
"Hmk!" Oh-ti-tu hanya mendengus saja.
Thi Sim-lan berpaling memandang Buyung Kiu. Nona itu tampak berdiri mematung di sana, satu jari saja tidak bergerak seakan-akan memang tak dapat bergerak lagi selamanya.
"Tapi kau pun jangan lupa, kedatanganmu ini bukankah juga hendak menolong orang?" kata Thi Sim-lan dengan tersenyum pedih.
"Betul, kedatanganku memang untuk menolong dia!" teriak Oh-ti-tu. "Tapi aku memang sukarela mati baginya. Selain dia, perempuan lain biarpun mati di depanku juga belum tentu sudi kujulurkan sebelah tanganku."
Ucapan ini benar-benar membuat Thi Sim-lan melenggong. Sungguh tak terpikir olehnya bahwa manusia aneh yang berwatak angkuh dan dingin ini pun mempunyai perasaan tulus ikhlas, lebih-lebih tak tersangka bahwa dia bisa jatuh cinta kepada seorang nona yang linglung.
Oh-ti-tu berteriak pula dengan gusar, "Hm, kau merasa heran bukan" Kau kira dia tiada harganya untuk dicintai lelaki bukan" .... Ketahuilah bahwa meski dia telah berubah begini, dia tetap berpuluh kali lebih berharga dan lebih menyenangkan daripada perempuan mana pun juga."
Thi Sim-lan menatapnya tajam-tajam dan berkata dengan rawan, "Tapi betapa pun juga cintamu padanya, dia kan tidak tahu."
Oh-ti-tu hanya mendengus saja.
Maka Thi Sim-lan menyambung pula, "Sudah tahu begitu, kau tetap sangat baik padanya dan tetap mencintai dia?"
Dengan melotot gusar Oh-ti-tu menjawab tegas, "Ketahuilah bahwa perasaanku terhadap dia tidak perlu diketahui olehnya, juga dia tidak perlu membalas dengan sikap yang sama.
Aku hanya cinta kepadanya, cinta padanya tanpa syarat."
"Sekalipun kelak dia tidak suka padamu, bahkan pada hakikatnya tidak gubris dirimu, apakah kau tetap mencintai dia?" tanya Sim-lan.
"Betul," teriak Oh-ti-tu. "Kucinta dia bukan karena dia harus menjadi istriku, asalkan dia dapat hidup dengan baik, andaikan aku mati juga tidak menjadi soal."
Thi Sim-lan terdiam sejenak, kembali ia mencucurkan air mata, ucapnya dengan terharu,
"Selama hidup seorang perempuan apabila bisa mendapatkan limpahan perasaan setulus ini, andaikan mati pun bukan soal apa-apa lagi, dalam hal ini bolehlah dia merasa bahagia
...." waktu dia menoleh, tiba-tiba dilihatnya Buyung Kiu juga sedang mencucurkan air mata.
Kejut dan girang Thi Sim-lan, serunya, "He, engkau sudah dapat mengikuti percakapan kami" Kau dapat memahami maksudnya?"
Meski air mata masih terus menetes, namun sorot mata Buyung Kiu tetap buram. Air muka Oh-ti-tu mestinya sudah bercahaya saking senangnya, kini cahaya itu kembali pudar.
Dengan suara halus Thi Sim-lan menghiburnya, "Engkau jangan sedih, meski pikirannya belum lagi jernih, tapi cintamu yang suci murni telah dapat dirasakannya. Asalkan cintamu tidak pernah berubah pada suatu hari kelak pasti akan diterima sepenuhnya olehnya."
"Suatu hari kelak" ... Hahaha!" tiba-tiba seorang menukas dengan terkekeh-kekeh.
"Mungkin hari yang begitu takkan tiba untuk selamanya."
Ternyata Kang Giok-long telah muncul pula. Tapi dia cuma sendirian, Thi Peng-koh tidak nampak ikut di belakangnya.
"Kau" Untuk apalagi kau datang kemari?" tanya Sim-lan khawatir.
"Dengan sendirinya karena ingin menjengukmu," jawab Giok-long cengar-cengir sambil mendekati, si nona, dicolek pipinya, lalu menyambung pula, "Kata orang, sehari tak bertemu laksana berpisah tiga tahun. Bagiku hanya sebentar tidak melihatmu, rinduku sudah seperti beberapa tahun."
Tentu saja Thi Sim-lan ketakutan, teriaknya, "Kau ... kau jangan lupa pada nona ... nona berbaju putih itu ...."
"Sudah tentu aku tidak melupakan dia," jawab Giok-long dengan bergelak tertawa.
"Makanya sudah kuberi minum obat penenang, sekarang dia sedang tidur dengan nyenyaknya, sekalipun kau berteriak-teriak di sampingnya hingga tenggorokanmu pecah juga takkan terdengar olehnya."
Seketika tubuh Thi Sim-lan menjadi gemetar, serunya, "Jika kau berani menyentuh satu jariku, pasti akan ... akan kukatakan padanya."
"Tidak, kau takkan memberitahukan dia, kujamin setelah dia mendusin kau pasti tak dapat bicara lagi," kata Giok-long dengan terkekeh-kekeh. Tangannya mulai main lagi, dari pundak terus menggerayangi dada si nona.
Darah Thi Sim-lan serasa membeku, dengan suara gemetar ia memohon, "O, jang ... jangan
... kumohon jangan ... jangan berbuat begini ... kumohon engkau membunuh saja diriku."
"Membunuh kau?" Giok-long terkekeh-kekeh. "Untuk apa kubunuh kau sekarang" Kekasih Kang Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat memang lain daripada yang lain, jika tidak kunikmati sepuas-puasnya kan berarti aku tidak menghormati mereka?"
Sambil terbahak-bahak ia terus mengangkat Thi Sim-lan, dengan menyeringai ia berkata pula, "Bicara terus terang, dengan segala daya upaya aku ingin mendapatkan kau, maksudku sesungguhnya tidak penujui dirimu, aku hanya ingin membuat Hoa Bu-koat dan Kang Siau-hi ...."
Namun Thi Sim-lan tidak dapat mendengar ucapannya lagi, ia telah pingsan.
Gigi Oh-ti-tu sampai berkeriutan saking geregetannya tapi apa daya, terpaksa begitu saja ia saksikan Thi Sim-lan dibawa keluar oleh Kang Giok-long untuk dinodai ....
Kini di seluruh dunia, siapa yang dapat menolongnya"
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Di ruang sana Hoa Bu-koat sedang didekati harimau loreng, raja hutan itu tampaknya akan segera menerkamnya.
Pada saat itulah tiba-tiba Bu-koat melihat sebuah lukisan yang bergantung di dinding itu menempel rapat di dinding, bingkai lukisan bagian bawah juga terbenam erat di dalam dinding. Tanpa pikir lagi Bu-koat menarik bingkai lukisan itu, pikirnya hendak digunakan sebagai senjata.
Di luar dugaan, sekonyong-konyong seluruh lukisan itu terus bergeser ke belakang sehingga terlihat ada sebuah pintu, seketika Bu-koat menyelinap ke sana. Harimau itu meraung dan menubruk maju, namun Bu-koat sempat merapatkan lebih dulu pintu rahasia itu.
Bu-koat menghela napas panjang, lama sekali barulah dia bisa tenang kembali. Dilihatnya di bawah sana ada undak-undakan batu dengan sebuah jalan lorong, belasan tindak lagi ada pula sebuah pintu, di balik pintu sana ada cahaya lampu.
Meski dia ingin tahu keadaan di balik pintu sana, tapi sesungguhnya ia pun tidak berani sembarangan berjalan lagi. Maklum, setiap dia melangkah satu tindak, bukan mustahil langkah selanjutnya adalah langkah kematian baginya.
Akan tetapi pada saat itu juga dari balik pintu sana ada suara jeritan orang ketakutan,
"O, jangan ... kumohon jangan ... jangan begini ... kumohon engkau membunuh saja diriku."
Jelas itulah suara Thi Sim-lan, seketika darah Bu-koat tersirap, tanpa pikirkan risiko apa pun segera ia menerjang ke sana.
Saat itu dengan tertawa senang Kang Giok-long hendak membawa keluar Thi Sim-lan, tapi tiba-tiba dilihatnya seorang berdiri di ambang pintu merintangi jalan keluarnya.
Di bawah cahaya lampu terlihat air muka pengadang ini pucat pasi dengan penuh rasa gusar, namun begitu tidak mengurangi wajahnya yang cakap. Ternyata Hoa Bu-koat adanya. Hoa Bu-koat benar-benar telah muncul di situ. Sedangkan Pek San-kun dan Pek-hujin tidak tertampak bayangannya.
Keruan kaget Kang Giok-long tak terlukiskan, ia seperti kena dicambuk satu kali, cepat ia melangkah mundur dengan tergopoh-gopoh.
Dengan melotot Bu-koat memandangi Kang Giok-long. Saat ini apabila dia dapat mengerahkan tenaga, pasti dia takkan mengampuni manusia kotor dan rendah itu.
Untung saja Kang Giok-long tidak tahu keadaan Hoa Bu-koat, umpama dia mempunyai nyali dobel juga tidak berani sembarangan melabrak Hoa Bu-koat.
Diam-diam Hoa Bu-koat menghela napas panjang, katanya kemudian dengan tenang, "Tidak lekas kau lepaskan dia"!"
Dengan meringis takut Kang Giok-long mengiakan, berbareng ia menaruh Thi Sim-lan di atas kursi dengan sangat hati-hati.
"Aku tidak sudi membunuhmu, lekas ... lekas enyah saja kau!" kata Bu-koat.
Keruan Kang Giok-long seperti orang hukuman yang mendapat pengampunan umum, tanpa pikir lagi ia terus lari pergi sambil berucap, "Siaute men .... menurut!"
Oh-ti-tu menggerung murka, teriaknya, "Orang she Hoa, apa artinya tindakanmu ini"
Manusia rendah begitu kenapa tidak kau bunuh?"
"Membunuhnya cuma membikin kotor tangan, biarlah lepaskan dia saja," ujar Bu-koat dengan tersenyum getir. Ia khawatir jangan-jangan Kang Giok-long mengintip di sana, dengan sendirinya ia tidak mau menjelaskan sebab musababnya.
Dengan gusar Oh-ti-tu berteriak pula, "Kau khawatir membikin kotor tanganmu yang berharga itu, tapi aku tidak takut tanganku menjadi kotor, lekas kau buka Hiat-toku, akan kubekuk bocah keparat itu."
Bu-koat melenggong, mana dia ada tenaga sedikit pun untuk membuka hiat-to orang"
Terpaksa ia berlagak tidak mendengar saja.
Kembali Oh-ti-tu berteriak pula dengan gusar, "Memangnya tanganmu juga akan kotor bila menyentuh tubuhku" Kau tidak sudi membuka Hiat-toku?"
"Ah, kenapa saudara mesti terburu-buru" Sabarlah sebentar," ujar Bu-koat dengan menyengir.
"Dalam keadaan begini kau suruh aku bersabar?" teriak Oh-ti-tu pula.
Tapi Hoa Bu-koat malah menunduk dan melangkah ke arah Thi Sim-lan. Belasan tindak barulah dia berada di sebelah si nona, ia merasa jarak sedekat ini terasa teramat jauh baginya dan sangat menakutkan.
"Hm, bagus, bagus sekali, kiranya kau adalah manusia begini, sungguh aku salah menilai kau," jengek Oh-ti-tu. "Tapi, hm, tangan manusia seperti kau ini bila menyentuh diriku malah akan membuat muak padaku."
Diam-diam Bu-koat hanya menghela napas dan tidak menanggapi.
Selama hidupnya belum pernah dicaci maki dan dinista orang secara begini, tapi sekarang terpaksa ia menerimanya, sebab kalau saat ini dia menjelaskan duduk perkaranya, apabila sampai didengar oleh Kang Giok-long, maka tiada seorang pun di antara mereka yang bisa hidup lagi. Padahal sekarang yang paling ditakuti Kang Giok-long adalah dia, sedangkan dia juga waswas terhadap segala kemungkinan yang datang dari Kang Giok-long.
Sementara itu perlahan-lahan Thi Sim-lan telah siuman, begitu melihat Hoa Bu-koat, seketika matanya bercahaya, serunya kegirangan, "Ah, engkau telah datang! Engkau benar-benar telah datang, memang kuyakin tiada seorang pun yang mampu mencelakaimu.
Sudah sejak semula kuyakin engkau pasti akan datang menolong kami."
"Hm, daripada ditolong orang macam begini, akan lebih baik mati saja," jengek Oh-ti-tu.
Thi Sim-lan jadi heran, tanyanya, "Meng ... mengapa kau berkata demikian padanya?"
"Mengapa tidak kau tanya dia?" jawab Oh-ti-tu.
Dengan terbelalak heran Thi Sim-lan memandang Hoa Bu-koat, ucapnya, "Sesungguhnya apa pula yang terjadi di sini?"
Bu-koat menengadah dan menghela napas panjang, katanya kemudian dengan tersenyum getir, "Ah, tidak ada apa-apa."
"Apa pun juga, asalkan kau berada di sini, maka bereslah segalanya," ujar Thi Sim-lan dengan berseri-seri. "Lekaslah engkau menolong kami keluar dari sarang iblis ini .... He, mengapa engkau berdiri diam saja?"
"Aku ... aku .?" Bu-koat tidak sanggup melanjutkan pula, dahinya penuh berkeringat dingin.
Jilid 8. Bakti Binal
Pada saat itulah tiba-tiba seorang menukas dengan terkekeh-kekeh, "Hehehe, saat ini Hoa-kongcu ingin membela diri saja sukar, mana dia ada tenaga buat menolong kalian, masa kalian tidak dapat melihat keadaannya ini, mengapa kalian memaksanya?"
Di tengah gelak tertawa kembali Kang Giok-long muncul dengan lagak tuan besar. Dan Hoa Bu-koat ternyata menyaksikan kedatangannya begitu saja tanpa berdaya dan tak menanggapi.
Keruan Thi Sim-lan melenggong kaget, serunya parau, "Ap ... apakah betul demikian?"
Bu-koat menghela napas panjang, katanya perlahan, "Kang Giok-long, aku tidak ingin membunuhmu, apakah kau sengaja mencari mampus sendiri?"
"Betul, aku memang sengaja mencari mampus," jawab Kang Giok-long dengan terbahak-bahak. "Sekarang juga akan kubawa pergi nona Thi dan sebentar aku akan mati di atas tubuhnya."
Meski latah ucapannya, tapi sedikit banyak dia tetap jeri terhadap Hoa Bu-koat, ia mengitarinya dari jauh dan mendekati Thi Sim-lan terus memondong nona itu.
Thi Sim-lan menjerit khawatir, "Kau ... kau berani ...."
Melihat Hoa Bu-koat tetap diam saja, Kang Giok-long tambah berani, katanya sambil terkekeh-kekeh, "Kenapa aku tidak berani" Memangnya Hoa-kongcu itu bisa berbuat apa terhadap diriku"!"
Sambil memondong Thi Sim-lan, setindak demi setindak ia lantas mundur keluar, cuma matanya tetap menatap Bu-koat.
Thi Sim-lan juga memandang Bu-koat, meski mulut bicara, tapi matanya memancarkan rasa putus asa, seakan-akan seruan tak bersuara terhadap Hoa Bu-koat, "Apakah kau tega menyaksikan aku dibawa lari orang"!"
Bu-koat sudah mandi keringat. Dia sudah berjalan cukup jauh, entah sudah berapa puluh tindak, bukan mustahil cukup satu langkah lagi akan mengantarnya menuju akhirat.
Sekarang, biarpun siapa juga dapat melihat ksatria yang disanjung puji oleh dunia persilatan, pemuda kebanggaan para pahlawan di dunia ini, sama sekali tak berdaya apa pun.
Kang Giok-long bergelak tertawa, teriaknya, "Hoa Bu-koat, wahai Hoa Bu-koat! Kenapa kau tidak maju kemari" Ilmu silatmu yang kau banggakan itu berada di mana" Masa kau benar-benar manda menyaksikan jantung hatimu dibawa ke tempat tidur oleh pemuda lain?"
Sebenarnya dia sudah mundur sampai di ambang pintu, tapi dia tidak terus menghilang sebaliknya ia sengaja berhenti di situ.
Sekujur badan Hoa Bu-koat gemetar seluruhnya. Mati memang menakutkan tapi yang lebih menakutkan ialah bilamana dia sudah mati, maka nasib malang yang akan menimpa Thi Sim-lan tetap sukar berubah.
Tangan Kang Giok-long tampak sengaja menggerayangi dada Thi Sim-lan, katanya sambil terkekeh-kekeh, "Hehehe, lihatlah, dada yang montok sedemikian kenyalnya, kulit badan yang putih ini sedemikian halusnya, tubuh halus ini sebenarnya adalah milikmu, tapi sekarang, semua ini telah menjadi milikku. Cara bagaimana akan kunikmatinya dapat kulakukan sesukaku."
Di luar dugaan, sekonyong-konyong Hoa Bu-koat melangkah maju setindak demi setindak.
Meski sudah tahu pasti akan mati, sekalipun tahu takkan mampu menyelamatkan Thi Sim-lan, tapi apa pun juga dia tidak boleh menyaksikan nona itu dihina dan dinodai orang.
Setiap langkahnya itu entah membutuhkan berapa besar tekad dan keberaniannya.
Sekonyong-konyong suara tertawa Kang Giok-long terhenti. Mau tak mau ia ngeri juga menyaksikan wajah Hoa Bu-koat yang pucat menghijau itu. Teriaknya takut, "Kau ... kau berani maju lagi"!"
Bu-koat menarik napas panjang-panjang, bentaknya mendadak, "Lepaskan dia!"
Sinar mata Kang Giok-long tampak gemerlap. Tiba-tiba ia lihat meski wajah Hoa Bu-koat sangat beringas, tapi langkahnya tetap enteng tak bertenaga, seperti cara berjalan seorang yang sama sekali tidak mahir ilmu silat.
Segera ia bergelak tertawa latah pula, teriaknya, "Hahaha, Hoa Bu-koat, kau tidak dapat menggertak aku! Sejak tadi sudah kulihat kau terluka parah oleh Pek San-kun dan istrinya, kepandainmu sama sekali tak dapat dikeluarkan, betul tidak?"
Dengan mengertak gigi Bu-koat tidak bersuara melainkan setindak demi setindak melangkah ke depan.
Sudah tentu ia tahu apa yang dikatakan Kang Giok-long itu memang betul, ia pun tahu dirinya sedang melangkah menuju kematian, tapi baginya sekarang memang cuma ada jalan kematian belaka dan tiada pilihan lain.
Karena lawan sudah semakin dekat, dengan bengis Kang Giok-long membentak, "Keparat, bandel juga kau! Jika kau berani melangkah maju lagi setindak, segera kubinasakan kau!"
Diam-diam Bu-koat menghela napas dan kembali melangkah pula setindak.
"Kematian! Datanglah bilamana kau mau!" demikian pikirnya. Tiba-tiba ia merasa kematian toh tidak begitu menakutkan sebagaimana dibayangkannya semula.
Mendadak terdengar Thi Sim-lan menjerit, "Hoa Bu-koat, kumohon dengan sangat, janganlah engkau maju lagi, aku ... tidak menjadi soal, aku kan tidak mendatangkan kebaikan apa pun bagimu, untuk apa kau pikirkan diriku."
Bu-koat tersenyum hambar, katanya, "Selamanya aku tak pernah menghendaki kebaikan apa pun darimu, bukan" Yang penting asalkan aku "."
"Tapi apa pun juga yang kau lakukan terhadapku tetap aku tidak menyukaimu," seru Thi Sim-lan dengan suara gemetar. "Sekalipun kau mati bagiku, yang kucintai tetap Siau-hi-ji.
Untuk apa kau mesti mati dengan sia-sia belaka?"
"Nah, Hoa Bu-koat, kau dengar tidak ucapannya?" seru Kang Giok-long sambil terbahak.
"Dengar, sudah kudengar dengan jelas" jawab Bu-koat dengan tersenyum rawan.
"Dan kau masih tetap ingin mengantarkan kematian?" tanya Giok-long pula.
"Kau kira mati sangat menakutkan?" tanya Bu-koat.
"Tapi jangan lupa, setiap orang hanya punya satu nyawa," kata Giok-long sambil menyeringai.
"Betul, nyawa memang berharga dan tidak mungkin ditukar dengan benda apa pun juga ...."
ucap Bu-koat dengan tersenyum. "Sebab itulah apabila aku ingin mati bagi seseorang, maka kematianku juga tidak perlu syarat penukaran apa pun darimu. Apakah dia baik padaku dan mencintai aku atau tidak bukan soal bagiku."
Thi Sim-lan menangis tersedu-sedan dan tidak sanggup bicara lagi.
Akhirnya Oh-ti-tu tidak tahan, mendadak ia membentak, "Sungguh seorang lelaki sejati!
Selama hidupku tidak pernah tunduk kepada siapa pun juga, tapi terhadapmu .... Ai, tadi aku benar-benar telah salah paham padamu, sekarang dengan setulus hati kuminta maaf padamu. Engkau ... engkau boleh pergi saja."
Bu-koat menjawab dengan tersenyum hampa, "Terima kasih!" Berbareng ia melangkah maju lagi setindak.
Kang Giok-long seperti terkesima oleh keberanian Hoa Bu-koat yang tidak kenal akibat itu. Tak tersangka olehnya bahwa Hoa Bu-koat juga berwatak sama dengan Siau-hi-ji, bilamana perlu juga nekat dan berani mengadu jiwa. Nyawa yang dipandang paling berharga oleh siapa pun juga bagi mereka berdua itu seakan-akan tiada artinya sama sekali.
Dalam pada itu Bu-koat sudah mulai merasakan kesakitan di pinggangnya seperti ditusuk jarum. Ia tahu kematian sudah menanti dan tidak jauh lagi.
Melihat Bu-koat melangkah maju pula perlahan-lahan, akhirnya Kang Giok-long menyeringai dan berkata, "Baik, jika kau memilih mati, biarlah kupenuhi kehendakmu.
Dengan membunuh seorang rasanya juga takkan mengurangi hasrat kenikmatanku nanti."
Diam-diam telapak tangannya sudah menggenggam senjata rahasia dan siap untuk dihamburkan.
Siapa duga pada saat itu juga, mendadak terlihat tubuh Hoa Bu-koat gemetar dengan keras seperti tertusuk jarum, menyusul lantas bergelak tertawa keras seperti orang gila.
Sama sekali tak tersangka oleh Kang Giok-long bahwa pemuda yang ramah tamah seperti Hoa Bu-koat ini bisa mengeluarkan suara tertawa latah sekeras ini. Tanpa terasa dia menegur, "He, apakah kau sudah gila?"
"Hahaaah! Kau ... kau heran ... heran bukan?" seru Bu-koat sambil tertawa lebih keras.
Setiap kali dia melangkah, segera ia merasa seperti sebatang jarum menusuk pada bagian tubuhnya yang paling lunak dan paling lemah, segera timbul semacam perasaan aneh, ya sakit ya geli, langsung menggelitik hulu hati. Karena itu ia terus-menerus bergelak tertawa, ia tidak mampu mengatasi hasrat tertawa itu. Sebaliknya tenaga dalam yang tadinya macet itu sekonyong-konyong lancar kembali.
Dalam keadaan heran dan khawatir, mendadak Kang Giok-long menghamburkan segenggam jarum yang telah disiapkannya.
"Kau ... hahaha, kau berani!" bentak Bu-koat sambil tertawa latah. Berbareng sebelah tangannya terus menggores suatu lingkaran di udara, hujan senjata rahasia itu seketika lenyap seperti nyemplung ke laut, tanpa menimbulkan suara dan tanpa bekas.
"Sungguh Ih-hoa-ciap-giok yang hebat!" teriak Oh-ti-tu saking kagumnya.
Sedangkan Kang Giok-long menjadi pucat ketakutan, teriaknya, "Jadi ... jadi tadi kau cuma
... cuma pura-pura saja?"
"Betul, haha ... hahahaha .... Nah, tidak lekas kau lepaskan dia?" bentak Bu-koat disertai tertawa keras.
"Setelah kulepaskan dia kau ... kau juga akan melepaskan aku?" tanya Giok-long dengan suara keder.
"Ya, akan ku ... hahaha, akan kulepaskan ...." dengan tertawa Bu-koat menjawab.
Kang Giok-long yakin apa yang sudah diucapkan Hoa Bu-koat pasti dapat dipercaya, maka ia tidak berani banyak cincong lagi, begitu Thi Sim-lan diturunkan segera ia angkat langkah seribu, hanya sekejap saja lantas menghilang.
Bu-koat masih terus tertawa seperti orang gila, namun dalam hati dia sudah terang bagaimana jadinya sebentar. Terngiang ucapan Pek San-kun di telinganya, "Asalkan kau melangkah lebih 50 tindak, segera jarum berbisa itu akan menyusup ke Jiau-yau-hiatmu dan tak dapat dikeluarkan lagi untuk selamanya. Kau akan tertawa terus sampai seharian dan akhirnya binasa."
Apa yang diucapkan Pek San-kun itu tampaknya bukan cuma gertakan belaka. Sebisanya Bu-koat menutup mulutnya, namun tak dapat menahan hasrat tertawanya.
Terpaksa untuk sementara ia tidak memikirkan persoalan ini, ia membuka dulu hiat-to Thi Sim-lan yang tertutuk.
Nona itu terbelalak heran melihat kelakuan Hoa Bu-koat yang tidak normal itu, tanyanya,
"Apa yang kau tertawakan?"
"Hahaha, aku ... hahaha ... aku ...." tetap Bu-koat tak dapat menahan hasrat tertawanya.
Thi Sim-lan menggigit bibir, ucapnya, "Apa kau merasa geli lantaran berhasil mengelabui kami sehingga tadi kami kelabakan setengah mati berkhawatir bagimu, begitu?"
"Aku ... hahahaha ... aku .... Bu-koat tahu si nona salah paham pula, tapi sukar untuk memberi penjelasan. Malahan ia pun khawatir bilamana Thi Sim-lan mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, tentu si nona akan berduka baginya. Terpaksa ia berpaling ke sana dan membuka hiat-to Oh-ti-tu.
Dengan gusar Oh-ti-tu juga lantas membentak, "Apakah kau merasa kelakar ini sangat menggelikan, begitu?"
Diam-diam Bu-koat menghela napas gegetun, akan tetapi siapakah yang dapat menyelami penderitaan batinnya" Orang lain hanya dapat melihat lahiriahnya sedang tertawa gembira.
Mendadak Bu-koat tarik Thi Sim-lan terus diajak lari keluar seperti dikejar setan.
Betapa pun pengalaman Kangouw Oh-ti-tu alias si labah-labah hitam lebih luas, akhirnya ia pun merasakan sikap Hoa Bu-koat itu rada-rada tidak beres, ia mengerut kening dan berpikir. Tiba-tiba dilihatnya pula Buyung Kiu sedang memandangnya dengan terkesima.
Segera ia pun menyampingkan segala urusan, Buyung Kiu diseretnya terus dibawa lari keluar.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Thi Sim-lan masuk dari lorong ini, dengan sendirinya ia tahu rahasia jalan ke luar ini.
Setelah berlari-lari, akhirnya mereka sampai di ruang pendopo semula, ruangan ini masih tetap seram dan sunyi tiada bayangan seorang pun. Agaknya Pek San-kun suami-istri yakin Hoa Bu-koat pasti mati, maka mereka tidak perlu pusing lagi sehingga sepanjang jalan tiada sesuatu rintangan, mereka terus lari keluar menjelajah ladang belukar.
Bintang-bintang yang bertaburan di langit makin menipis dan lenyap, suasana di kaki gunung berhutan sunyi senyap, tapi Hoa Bu-koat masih terus tertawa keras dan kedengaran sangat menusuk telinga menjelang fajar menyingsing ini.
"Dapatkah kau tidak tertawa?" ucap Thi Sim-lan tak tahan.
Langkah Bu-koat sudah makin lambat, tapi suara tertawanya semakin keras, jawabnya,
"Aku ... aku tidak ...."
"Apakah kau kira caramu membohongi orang sedemikian menggelikan sehingga perlu tertawa terus-menerus?" omel Thi Sim-lan dengan mendelik dongkol.
Remuk redam hati Hoa Bu-koat, hampir saja ia menceritakan duduk perkara yang sebenarnya.
Tapi tiba-tiba terpikir daripada Thi Sim-lan menyaksikan kematiannya dengan mengenaskan, akan lebih baik biarkan si nona tetap salah sangka saja. Toh dia sudah hampir mati, buat apa mesti membuat orang lain ikut berduka.
Thi Sim-lan membanting kaki dan berkata pula, "Jika kau masih terus tertawa, aku akan segera pergi."
Diam-diam Bu-koat menyesal, tapi dia tetap tertawa dan menjawab, "Baiklah, silakan kau pergi saja! Hahaha, toh sudah kuketahui kau tidak suka padaku ... hahaha, boleh pergi saja kau!"
Tergetar tubuh Thi Sim-lan, tanyanya dengan suara gemetar, "Kau benar-benar menghendaki aku pergi?"
"Ya, hahaha, ya .?" jawab Bu-koat sambil ngakak.
Thi Sim-lan menatapnya dengan melenggong sambil melangkah mundur setindak demi setindak. Sebaliknya Hoa Bu-koat lantas menengadah dan terbahak-bahak pula tanpa memandang sekejap pada si nona.
Akhirnya Thi Sim-lan jadi geregetan, teriaknya, "Baik, pergi ya pergi, baru ... baru sekarang kutahu kau adalah orang macam begini." Segera ia membalik tubuh dan berlari pergi, air mata pun bercucuran.
Tapi Hoa Bu-koat masih terus tertawa latah tanpa berhenti. Dia tahu pasti akan mati, ia menyaksikan orang yang paling dicintainya telah meninggalkannya, bahkan orang yang diselamatkannya dengan mati-matian juga tidak dapat memahami dia, namun dia sendiri ...
dia masih terus tertawa dan tertawa tanpa berhenti ....
Di pegunungan sunyi itu hanya penuh bergema suara tertawanya yang keras menyeramkan itu, bintang semakin jarang, cuaca tampak buram. Langit dan bumi ini seakan-akan juga tidak kenal kasihan lagi kepada pemuda yang malang ini.
Air mata Hoa Bu-koat akhirnya juga bercucuran.
Sejak kecil ia dibesarkan di dunianya sendiri di suatu lingkungan yang dingin dan tidak kenal citarasa, selama ini belum dikenalnya bagaimana rasanya mencucurkan air mata. Tapi sekarang ... di tengah gelak tertawa latahnya sekarang ia meneteskan air mata.
Sekonyong-konyong Thi Sim-lan muncul pula di depannya dan memandangnya dengan termangu-mangu.
Cepat Bu-koat mengusap air mata di pipinya, sambil ngakak ia berkata, "Untuk ... hahaha, untuk apa kau kembali lagi ke sini?"
Air muka Thi Sim-lan menampilkan perasaan heran dan khawatir, jawabnya dengan gemetar, "Katakan padaku, sesungguhnya apa yang terjadi pada dirimu?"
"Apa yang terjadi" Hahaha ... aku merasa kau sangat lucu, hahaha ... masa diusir saja kau tidak mau pergi?"
"Tidak, aku takkan pergi," jawab Thi Sim-lan. "Kutahu, kau bukanlah orang berhati demikian."
"Kau tidak mau pergi" Hahahaha, baik, aku saja yang pergi," teriak Bu-koat.
Tapi sebelum dia membalik tubuh, mendadak Thi Sim-lan merangkulnya sambil menjerit dengan suara parau, "O, katakan padaku, katakan ... apakah ... apakah engkau menderita sesuatu luka yang sangat aneh?"
"Aku ... hahaha ... mana aku dapat terluka?" jawab Hoa Bu-koat dengan tertawa.
"Jika tidak, maka kumohon janganlah engkau tertawa lagi."
"Hahaha! Kenapa ... kenapa aku tidak boleh tertawa" Haha, untuk apa kau memelukku"
Lepas ... hahaha, lepaskan! Hahaha ... pergilah mencari Kang Siau-hi-ji saja."
Lambat-laun ucapan Bu-koat juga mulai tidak jelas. Thi Sim-lan merasakan tangan Bu-koat sedingin es, ia menjadi khawatir dan berseru pula, "Kenapa engkau tidak mau bicara terus terang padaku?"
Tapi Bu-koat tetap tertawa, katanya, "Lepaskan ... hahaha ... lepaskan ...."
Thi Sim-lan jadi geregetan, tiba-tiba ia berteriak, "Baik, akan kulepaskan, mungkin kau merasa aku tidak pantas memelukmu, tapi asalkan kau bicara terus terang bahwa aku adalah perempuan hina dan kejam, habis itu segera akan kulepaskan."
"Kau ... hahaha ... kau ...."
Thi Sim-lan menatapnya lekat-lekat, katanya kemudian dengan pedih, "Ya, tahulah aku, engkau tak dapat mendustai aku. Kutahu dalam keadaan apa pun engkau tidak tega mengucapkan sepatah kata yang dapat menyinggung perasaanku."
Hati Bu-koat seperti disayat-sayat, tapi dia hanya bisa tertawa saja, tertawa terus-menerus.
Kembali Thi Sim-lan mencucurkan air mata, ucapnya, "Kutahu, lantaran diriku, maka kau berubah menjadi begini. Kau ... kau "."
"Lantaran dirimu" Hahaha ... lekaslah kau pergi mencari Kang Siau-hi-ji saja! Le ... lekas, lekas!"
"Tidak, aku tidak mau pergi!" teriak Thi Sim-lan dengan suara parau. "Aku takkan mencari siapa-siapa, aku akan tetap mendampingimu, siapa pun tak dapat menyuruh aku pergi."
"Dan Kang Siau-hi?" tanya Bu-koat.
"Siau-hi-ji" .... Sudah lama aku melupakan dia!" teriak Sim-lan dengan suara gemetar dan menangis.
"Kau sudah melupakan dia" ... Hahaha, kau benar-benar dapat melupakan dia" Haha ...."
"Mengapa tidak" Kebaikan apa yang pernah dia lakukan terhadap diriku" Bilamana aku menghadapi bahaya, dapatkah dia menolongku dengan mati-matian seperti kau" Huh, bisa jadi tanpa berpaling akan ditinggal pergi olehnya."
"Tapi kau tetap tak dapat melupakan dia. Hahaha ... cinta ... cinta tidak mungkin dijadikan barang tukar-menukar ... haha ... bilamana kau mencintai seseorang, betapa pun dia berbuat atas dirimu tetap kau mencintai dia."
"Tapi aku ... aku ...." mendadak Thi Sim-lan terkulai di tanah dan menangis tergerung-gerung.
Hoa Bu-koat ... Kang Siau-hi ... sungguh kalau bisa Thi Sim-lan ingin dibelah menjadi dua.
Dengan tertawa Bu-koat berkata pula, "Pergilah kau mencari dia saja, jagalah dia ...
hahaha, semoga ... semoga kalian hidup senang dan bahagia ...." suara tertawanya semakin jauh dan akhirnya tidak terdengar lagi.
Waktu Thi Sim-lan mengangkat kepalanya, namun Hoa Bu-koat tidak nampak pula. Ia tahu selamanya takkan dapat menyusulnya lagi. Ia hanya menangis sedih dan berteriak dengan suara parau, "Hoa Bu-koat ... O, Hoa Bu-koat, jika kau mati cara begini, dapatkah aku menikahi Siau-hi-ji" Bilamana kau mati cara begini, apakah hidup kami selanjutnya akan bahagia?" Sekuatnya ia berteriak pula, "Hoa Bu-koat, kem ... kembalilah!"
Aku tetapi tiada suatu jawaban apa pun. Yang ada cuma angin meniup dingin menimbulkan suara seperti keluhan yang menyayat hati.
Sementara itu fajar sudah menyingsing.
Apabila fajar tiba, maka hidup Hoa Bu-koat juga akan tamat. Ia tahu jiwa sendiri pada hakikatnya lebih pendek daripada umur laron di malam hujan.
Tapi apakah dia harus menanti ajal begini saja"
Semula Hoa Bu-koat telah duduk putus asa, mendadak ia melompat bangun, ia menengadah dan tertawa keras, teriaknya, "Hoa Bu-koat, wahai Hoa Bu-koat, paling tidak saat ini kau kan masih hidup. Paling sedikit kau masih dapat berbuat sesuatu sebelum ajalmu tiba.
Seumpama harus mati, tidak boleh kau mati tanpa suara dan tanpa pergulatan!"
Bumi ini seakan-akan bergetar mengumandangkan suara tertawanya yang nyaring. Segera ia membalik tubuh dan lari ke kelenteng sana.
Ruangan pendopo kelenteng itu masih gelap dan seram. Tanpa pikir Hoa Bu-koat melayang ke dalam, sekali depak ia jungkalkan patung malaikat gunung yang dipuja itu. Teriaknya sambil tertawa latah, "Ayo, Pek San-kun, keluarlah kau!"
Suara tertawanya yang keras lantang itu berkumandang jauh, tapi Pek San-kun belum lagi menampakkan batang hidungnya. Mustahil dia tidak mendengar, jika mendengar mengapa dia tidak keluar"
Dengan tertawa ngakak Bu-koat lantas angkat meja sembahyang dan dibanting sekerasnya di halaman sana. Teriaknya sambil tertawa, "Pek San-kun ... hahaha ...
dengarkan .... Meski aku akan mati, sedikitnya aku juga akan membinasakan manusia-manusia keji macam kalian ini untuk ... hahaha ... untuk keselamatan umum."
Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar auman, tahu-tahu harimau loreng itu menerobos tiba.
Dengan tertawa Bu-koat memapak binatang buas itu, sekali mengegos ia hindarkan terkaman yang sukar ditahan itu, berbareng sebelah tangannya terus memotong ke belakang dan tepat mengenai kuduk harimau.
Raja hutan yang ganas itu jatuh mendekam kena tebasan telapak tangannya itu. Mendadak harimau itu meraung kalap dan kembali menerkam.
Hoa Bu-koat bergelak tertawa, suara tertawanya berpadu dengan raungan harimau sehingga ruangan pendopo seakan-akan bergetar roboh. Tapi Pek San-kun suami istri seperti orang tuli, sampai saat ini tetap belum muncul.
Dengan gesit Hoa Bu-koat terus berputar kian kemari, mana bisa harimau itu menyentuhnya, setelah menubruk tiga kali, kegarangan raja hutan itu pun mulai surut.
Ketika Hoa Bu-koat menabas pula satu kali, kontan harimau itu terkapar dan tak bisa bergerak lagi.
Di tengah ruangan kini tinggal suara latah Hoa Bu-koat, suara tertawa yang pedih mengharukan. Sambil terbahak-bahak Bu-koat mendepak daun jendela hingga terpentang, ia terus menerobos ke halaman belakang, tapi di situ juga sepi tiada bayangan seorang pun.
Dada Hoa Bu-koat diliputi rasa pedih dan dendam yang tak terlampiaskan, sekali tendang ia bikin daun pintu terpentang, sebuah meja diangkatnya dan dilemparkan keluar hingga berantakan.
Tapi apa gunanya biarpun seluruh isi rumah ini dihancurkan olehnya, sebab Pek San-kun suami istri tetap tidak memperlihatkan batang hidungnya.
"Pek San-kun, ayo, Pek San-kun!" Bu-koat berteriak-teriak dengan tertawa latah. "Di mana kau, Pek San-kun! Mengapa kau tidak keluar untuk perang tanding?"
Yang diharapkannya sekarang hanya suatu pertarungan saja, sekalipun tidak mampu melawan dan mati juga rela baginya.
Namun sia-sia belaka dia berteriak, suara tertawanya yang berkumandang balik itu seakan-akan sedang mencemoohkan dia sendiri. Sekeliling tetap tiada bayangan seorang pun, yang ada cuma gambar malaikat gunung yang sedang memandang padanya dengan dingin seakan-akan lagi berkata, "Hoa Bu-koat, lebih baik kau mati dengan tenang-tenang saja, untuk apa kau umbar gila di sini, biarpun tenggorokanmu sampai bejat berteriak juga tidak digubris orang. Kalau orang sudah jelas tahu kau pasti akan mati, untuk apa dia bertempur mengadu jiwa lagi denganmu?"
Sambil berteriak mendadak Hoa Bu-koat menubruk maju, sekali tarik ia robek lukisan itu hingga berkeping-keping, terasa darah bergolak dan muncrat keluar bersama tertawanya, bintik-bintik darah menghiasi bajunya laksana ceplok bunga sulaman. Ia merasa tenaganya sudah hampir ludes, tubuh pun mulai sempoyongan.
Subuh telah tiba, hari sudah mulai terang, bumi penuh diliputi rasa dingin memilukan.
Mati sebenarnya tidaklah menakutkan dan juga tidak perlu dirisaukan, yang dirisaukan adalah mati dengan murka tanpa terlampiaskan, yang ditakutkan adalah menjelang ajal terasa sesunyi ini.
Tiba-tiba Bu-koat merasakan bilamana sekarang ada seorang berada di sampingnya, siapa pun boleh, betapa pun ia tidak ingin mati kesepian.
Selama hidupnya ini meski penuh sanjung puji, tapi selama itu sebenarnya hidup terpencil dan kesepian, dia dilahirkan di tempat terpencil, sungguh ia tidak ingin mati kesepian pula.
Dia berharap mati dalam pertempuran, tapi tiada seorang pun mau menggubrisnya. Dia berharap mati di tengah-tengah kerumunan orang, tapi rasanya dia tidak dapat berjalan keluar lagi.
Dengan sempoyongan akhirnya Bu-koat jatuh terduduk di kursi, dengan sorot mata guram ia memandangi tibanya cahaya subuh, ia berharap ajal akan datang menyusul tibanya subuh.
Sesungguhnya ia sudah putus asa, ia sedang menantikan ajalnya.
Tapi apa pun juga dia tetap tertawa tanpa henti, tertawa latah, tertawa yang mengantarkan ajalnya, tertawa yang tak dapat mengeluarkan rasa duka dan dendamnya.
Suara tertawanya ini pada hakikatnya hampir membuatnya menjadi gila.
Kini dia malah tidak sayang mengorbankan segalanya, yang diharap hanya berhentinya suara tertawa sialan ini. Ia coba mendekap telinganya, tapi mana bisa membendung suara tertawanya sendiri.
Ia tahu, untuk bisa menghentikan suara tertawanya hanya ada satu jalan, yakni mati!
Supaya tertawanya bisa berhenti, Bu-koat sudah siap menamatkan hidupnya sendiri.
Pada saat remang-remang tibanya subuh itulah, tahu-tahu muncul sesosok bayangan orang. Jubah orang ini memanjang menyentuh tanah, rambut panjang semampir di pundak, langkahnya halus dan enteng sehingga tampaknya seperti bayangan kematian yang menyongsong keberangkatan Hoa Bu-koat.
Akhirnya Bu-koat dapat melihat jelas wajah orang, wajah yang cantik itu seolah-olah menampilkan rasa putus asa.
Pek-hujin! Orang ini ternyata Pek-hujin adanya. Akhirnya muncul juga dia!
Bu-koat mengira dirinya pasti akan menerjang maju dan melabraknya apabila melihat Pek San-kun atau istrinya, siapa tahu sekarang dia hanya duduk terpukau saja dan memandangnya dengan kesima.
Maklumlah, tenaga untuk hidup saja sudah lenyap, apalagi tenaga untuk melabrak orang"
Seperti badan halus saja Pek-hujin melangkah maju dengan enteng. Bu-koat mengira kedatangan orang pasti untuk membunuhnya, tak terduga Pek-hujin hanya berdiri diam di depannya dan memandangnya dengan tenang.
"Tepat sekali kedatanganmu ini. Hahaha, mengapa kau tidak lekas turun tangan?"
mendadak Bu-koat berseru sambil tertawa.
Pek-hujin tetap memandangnya dengan lekat tanpa bicara.
"Kiranya kau cuma ingin menyaksikan kematianku saja?" kata Bu-koat pula, dan Pek-hujin masih tetap tidak bersuara.
"Bagus," teriak Bu-koat sambil tertawa. "Tidak peduli apa maksud kadatanganmu tetap aku berterima kasih padamu. Aku memang lagi kesepian di sini."
Mendadak Pek-hujin menghela napas panjang, ucapnya dengan terharu, "O, orang yang harus dikasihani, masa setitik keberanianmu mencari hidup saja sudah tiada lagi."
Hati Bu-koat seperti dipuntir-puntir, teriaknya dengan tertawa parau, "Hahahaha!
Bukankah kalian menghendaki kematianku secepatnya, mengapa sekarang malah menyuruh aku berusaha mencari hidup" Memangnya kau anggap penderitaanku ini belum cukup?"
Pek-hujin menjawab dengan sedih, "Ya, aku telah melukaimu, kutahu kau pasti sangat benci padaku, tapi kuharap engkau juga dapat memaklumi kesukaranku."
"Kesukaranmu" Hahaha, kau juga mempunyai kesukaran?"
"Seorang perempuan, demi suaminya terkadang bisa juga melakukan sesuatu yang bodoh dan kejam," jawab Pek-hujin dengan perlahan. "Pek San-kun adalah suamiku, mana ... mana boleh kusaksikan dia dibunuh olehmu?"
Bicara sampai di sini, tiba-tiba air matanya berlinang-linang, sambungnya pula dengan pedih, "Tapi aku pun tahu aku berdosa padamu, kumohon engkau suka memaafkan diriku."
"Hahaha! Aku tidak tahu untuk apa kau mesti menipu seorang yang sudah dekat ajalnya.
Hahaha, tapi apa pun juga sekarang ini aku tak dapat kau tipu lagi."
Pek-hujin menunduk sedih, ucapnya, "Ya, aku pun sudah menduga kau pasti tak percaya lagi padaku. Tapi ... tapi sudikah kau ikut pergi melihat sesuatu?"
Bu-koat duduk saja tanpa bergerak, suara tertawanya sudah tambah lemah dan berubah menjadi parau.
Pek-hujin menatapnya lekat-lekat, katanya pula dengan nada gemetar, "Hanya satu kali ini saja kumohon, apa pun juga ini takkan membikin susah padamu lagi, betul tidak?"
"Betul, hahaha, sudah hampir mati, memangnya siapa yang hendak mencelakai aku pula?"
teriak Bu-koat dengan serak. Akhirnya ia ikut keluar juga bersama Pek-hujin.
Setelah menyusuri beberapa rumah, sekonyong-konyong Bu-koat melihat seorang tergantung jungkir pada suatu belandar, seluruh badan berlumuran darah, sebilah belati menembus dadanya.
Belum lagi Bu-koat melihat jelas siapa orang itu, Pek-hujin telah berhenti di situ dan berkata, "Yang hendak kuperlihatkan padamu, ialah dia!"
"Sia ... siapa dia?" tanya Bu-koat.
"Masa kau tak kenal?" kata Pek-hujin. Segera ia merobek sepotong ujung bajunya untuk mengusap muka orang berlumuran darah yang mengalir dari dada itu sehingga tertampak jelas wajah aslinya.
Ternyata orang yang mati tergantung menjungkir ini bukan lain ialah suaminya.
Keruan Bu-koat terkejut, teriaknya, "He, Pek San-kun sudah mati"!"
Tapi suara tertawa latahnya lantas melenyapkan nada kejut ucapannya. Malahan nadanya rada-rada kecewa dan sama sekali tiada rasa gembira.
Meski ia ingin bertarung melawan Pek San-kun dan bertekad akan membunuhnya, tapi mendadak melihat orang mati cara begini, mau tak mau timbul juga rasa simpatinya.
Dengan perlahan Pek-hujin lantas berkata, "Aku ingin kau lihat jenazahnya, sebab aku merasa bersalah padamu ...."
"Kau yang membunuhnya?" tanya Bu-koat.
Pek-hujin menghela napas panjang dan menjawab dengan sedih, "Ya, betul, aku yang membunuhnya."
Bu-koat tersurut mundur dengan melongo, satu patah kata pun tidak sanggup bersuara.
"Tentunya kau sangat heran aku yang telah membunuh dia, begitu bukan?" tanya Pek-hujin.
Padahal mana Hoa Bu-koat cuma "heran" saja, pada hakikatnya ia tidak percaya.
"Tapi kau pun perlu tahu, sebab apakah kubunuh dia"!" kata Pek-hujin pula. "Sungguh aku mempunyai seribu alasan untuk membunuhnya, memang sudah lama seharusnya kubunuh dia."
Bu-koat tertawa latah, teriaknya dengan gusar, "Setiap orang di dunia ini memang boleh membunuhnya, hanya kau adalah istrinya, kau tidak dapat membunuhnya. Memangnya dalam hal apa dia berbuat tidak baik padamu?"
"Kutahu dia pasti telah banyak omong bohong padamu," ucap Pek-hujin dengan rawan.
"Tentu dia bercerita mengenai kebusukanku, diriku pasti dilukiskannya sebagai iblis atau siluman, tapi ... tapi apakah kau pun percaya pada obrolannya?"
"Mengapa aku tidak percaya?" teriak Bu-koat. Meski demikian, namun hatinya sudah mulai goyah.
"Bilamana aku benar-benar perempuan semacam perkataannya, cara bagaimana dia dapat berkumpul denganku selama berpuluh tahun" Orang bertabiat seperti dia pasti sudah sejak dulu-dulu tidak tahan, tentu aku sudah dibunuh olehnya," Pek-hujin melirik Bu-koat sejenak, lalu menyambung pula, "Apa yang kulakukan terhadap dirimu adalah karena sebisanya aku ingin merebut kembali hatinya, demi dia aku tidak sayang berbuat apa pun, tidak sayang untuk mencelakai siapa pun juga ...."
Air matanya lantas bercucuran pula, ia menangis dengan terguguk-guguk.
Bicaranya sedemikian sungguh-sungguh, menangisnya sedemikian sedih, sebaliknya apa yang pernah diceritakan Pek San-kun rasanya teramat janggal dan sukar dipercaya.
Apabila ada orang yang lebih percaya pada cerita Pek San-kun itu dan tidak percaya pada keterangan Pek-hujin, maka orang itu benar-benar mahaaneh.
Maka Bu-koat lantas berkata, "Tapi mengapa kau membunuhnya jika betul segala tindak tandukmu itu demi sang suami?"
Pek-hujin menangis tersedu-sedu, jawabnya, "Aku adalah perempuan, betapa jelek nasibku sebenarnya harus kuterima, namun meski aku sudah berusaha sepenuh tenaga agar dia sudi kembali ke sampingku, siapa tahu ... siapa tahu ...." mendadak ia jatuhkan diri ke pangkuan Hoa Bu-koat dan menangis tergerung-gerung, lalu menyambung dengan terputus-putus, "Siapa tahu dia tidak ... tidak memikirkan sama sekali cinta kasih suami istri, dia bahkan hendak ... hendak membunuh diriku."
Bu-koat ternyata tidak mendorongnya pergi. Dalam keadaan demikian ia merasa tidak tega mendorong pergi perempuan yang menangis sedih dalam pelukannya.
Seorang perempuan menangis sedih dalam pelukan seorang lelaki yang sedang tertawa latah, di sebelah mereka bergantung mayat yang berlumuran darah, suasana ini benar-benar aneh dan lucu, rasanya siapa pun sukar melukiskan adegan ganjil ini.
"Makanya ... makanya kau lantas membunuhnya?" tukas Bu-koat kemudian.
"Sebenarnya aku tidak sayang mati baginya, tapi ketika dia benar-benar hendak membunuhku, betapa pun aku tidak tahan lagi, siksa derita selama lebih 20 tahun seketika meledak dalam sekejap, tanpa pikir kucabut belati dan menikamnya," sampai di sini Pek-hujin terguguk-guguk sedih, lalu menyambung, "Tadinya kuharap tikamanku ini takkan mencelakai dia, di luar dugaan, dia sama sekali tidak pernah membayangkan perlawananku sehingga sama sekali dia tidak berjaga-jaga, tikamanku itu benar ... benar-benar telah menewaskan dia."
Bukti memang nyata begitu, apa yang dapat diucapkan Hoa Bu-koat"
Sambil menarik leher baju Bu-koat, Pek-hujin menengadah memandangnya dan berkata dengan mengalirkan air mata, "Coba katakan, apakah tidak pantas kubunuh dia" Masa aku salah membunuhnya?"
"Kau tidak salah, bagimu hanya ada satu jalan, yaitu membunuhnya, dalam keadaan begitu, siapa pun pasti akan membunuhnya dan tiada pilihan lain," kata-kata demikian ini tidak sampai diucapkan Hoa Bu-koat, tapi kentara sekali terpancar dari sorot matanya, suara tertawanya sudah makin lemah dan parau, kaki pun lambat-laun menjadi lemas.
Pek-hujin memandangnya sejenak, kemudian menunduk dengan sedih, katanya, "Kutahu engkau pasti menaruh simpati padaku, sebab itulah aku berbicara sebanyak ini padamu.
Sekalipun di dunia ini tiada orang lain yang bersimpati padaku, hanya engkau yang bersimpati padaku, sebab ... sebab ...." dia tersenyum pedih, lalu melanjutkan, "Walaupun tidak sedikit lelaki yang pernah kujumpai, tapi cuma kau saja paling lemah lembut, hanya engkau saja paling memahami perasaan perempuan. Bilamana lelaki di seluruh dunia ini serupa dirimu, maka bahagialah kaum perempuan."
Justru lantaran sifat Hoa Bu-koat inilah, makanya dia mudah ditipu oleh perempuan.
Sebenarnya dia bukan orang bodoh, hanya hatinya yang terlalu lemah. Bilamana semua lelaki di dunia ini seperti dia, maka dunia ini mungkin akan menjadi dunianya kaum perempuan. Sembilan di antara sepuluh lelaki mungkin harus bunuh diri.
Begitulah tiba-tiba Hoa Bu-koat berkata, "Urusan yang sudah lalu tidak perlu disebut pula, sekali-kali aku tidak ... tidak dendam padamu."
"Jadi kau memaafkan aku?" tanya Pek-hujin.
Bu-koat mengangguk. Lalu berkata, "Apakah bicaramu sudah habis?"
"Yang perlu kukatakan sudah habis kukatakan, apakah ... apakah kau sendiri tiada sesuatu yang ingin dikatakan padaku?"
"Ak ... aku cuma ber ... berharap kau ...." dengan sendirinya Bu-koat berharap Pek-hujin dapat menghentikan suara tertawanya yang sialan itu, tapi sampai detik gawat demikian dia tetap tidak sanggup mengucapkan sesuatu permohonan kepada seorang perempuan.
Biarpun dia tertipu seribu kali oleh perempuan, meski dia akan mati karena tipuan perempuan, betapa pun dia tidak sudi minta balas kasihan di depan seorang perempuan.
Di dunia justru ada orang macam begini, lebih suka ditipu perempuan daripada dibenci perempuan.
Pek-hujin memandangnya dengan termenung, sejenak kemudian baru berkata pula,
"Sebenarnya tanpa kau minta juga seharusnya kukeluarkan jarum yang menyusup di Jiau-yau-hiatmu ini, tapi tadi kau terlalu banyak mengeluarkan tenaga, jarum itu sudah masuk sangat dalam, kini aku pun tidak mampu mengeluarkannya."
Bu-koat kesakitan seperti diiris-iris, mendadak ia mendorong Pek-hujin terus melangkah pergi. Ia tahu nasibnya sudah ditakdirkan begini, mati tertawa. Tapi ia pun tidak ingin mati di depan perempuan, ia harus menyingkir pergi jauh-jauh, biarpun mati juga tidak boleh meninggalkan kesan menggelikan dan harus dikasihani oleh orang lain.
Siapa tahu Pek-hujin justru mengadangnya pula dan berkata, "Sekarang kau belum boleh pergi."
Bu-koat tak dapat lagi menahan rasa gusarnya, tapi sedapatnya ia menekan perasaannya, katanya, "Urusan sudah begini, mengapa kau masih menahanku di sini?"
"Meski aku tak dapat menolongmu, tapi kutahu di dunia ini masih ada seorang yang dapat menyelamatkan kau," jawab Pek-hujin.
Bu-koat menengadah dan terbahak-bahak, katanya, "Keadaanku sudah begini masa aku masih perlu pula memohon pertolongan orang?"
Pek-hujin menatapnya dengan tajam dan berkata tegas, "Semula kukira engkau ini seorang pemberani, tapi sekarang keberanianmu untuk hidup saja ternyata tidak ada."
Bu-koat menunduk dengan sedih.
"Walaupun aku tidak mampu menolongmu, tapi aku dapat berusaha memperpanjang umurmu selama tiga hari, dalam tiga hari ini dapat kubawa kau pergi mencari orang itu.
Jika kau mempunyai keberanian untuk hidup, maka kau pun harus mempunyai keberanian untuk memohon pertolongannya. Usiamu masih muda, minta bantuan orang bukan sesuatu yang memalukan, yang memalukan ialah apabila tidak berani hidup."
Bu-koat tertawa dengan suara serak, katanya, "Sekalipun kuminta pertolongannya juga belum tentu dia sudi menolong aku, lalu untuk apa .?"
"Aku cukup kenal watak orang itu," sela Pek-hujin. "Asalkan kau mau pergi ke sana, dia pasti akan menolongmu. Apalagi, kepergianmu ke sana juga bukan untuk mohon pertolongan melainkan untuk berobat, orang sakit tidak mau berobat pada tabib kan aneh."
Setelah dibujuk berulang-ulang akhirnya goyah pula hati Bu-koat. Betapa pun seseorang tidak takut mati, bila masih ada setitik harapan untuk hidup tentu juga akan berusaha agar tidak mati.
Dengan suara lembut Pek-hujin berkata pula, "Kumohon dengan sangat, terimalah usulku.
Demi aku kau pun harus hidup, jika kau mati, kepada siapa aku harus .... Pokoknya, asalkan engkau mengangguk dan aku akan sangat berterima kasih padamu."
Akhirnya Bu-koat mengangguk juga. Terhadap sesuatu permohonan yang merengek-rengek begini betapa pun dia tidak dapat menolaknya.
Bu-koat dan Pek-hujin telah pergi, ruangan pendopo menjadi hening dan lebih seram.
Cahaya matahari menyinari mayat yang berlumuran darah itu, darah segar itu seakan-akan bersemu kehijau-hijauan.
Pada saat demikianlah tiba-tiba Kang Giok-long muncul pula di situ, serunya sambil berkeplok tertawa, "Tipu daya Cianpwe benar-benar hebat, sungguh Tecu kagum dan tunduk sepenuhnya."
"Mayat" yang tergantung di belandar itu mendadak tertawa ngekek, katanya, "Meski bagus juga akal ini, tapi hanya manusia macam orang she Hoa saja yang dapat tertipu.
Bilamana kau atau aku mungkin tidak begitu mudah percaya kepada ocehan perempuan."
"Ya, jika Cianpwe, tentunya si perempuan yang akan ditipu," seru Giok-long sambil tertawa.
"Di dunia ini ada lelaki macam Hoa Bu-koat, tentunya juga ada lelaki seperti kau dan aku,"
ucap si "mayat hidup" alias Pek San-kun dengan terkekeh-kekeh, "Lelaki seperti kita ini memang dilahirkan untuk membela kaum lelaki."
"Jika demikian, dilahirkannya Pek-hujin bukankah juga untuk membela kaum perempuan?"
ujar Kang Giok-long dengan tertawa.
"Betul juga," jawab Pek San-kun. "Apabila lelaki di dunia ini semuanya seperti kau dan aku kan kasihan kaum perempuan."
"Mayat" itu sekarang sudah melompat turun, gagang belati di dadanya dicabut, tangan lain menarik ujung belati yang menembus punggung. Kiranya belati ini terdiri dari dua potong dan ditempelkan di tubuh Pek San-kun.
Karena ia tergantung menjungkir dengan berlumuran darah, ditambah lagi waktu itu masih remang-remang, Hoa Bu-koat sendiri sedang dirundung kesedihan dan penderitaan yang sangat sehingga tanpa sadar tertipu oleh Pek-hujin.
Padahal kalau Hoa Bu-koat pasti akan mati, lalu apa pula Pek-hujin menipunya" Kini dia membawa Bu-koat pergi mencari seorang penolong, siapa pula gerangan penolong yang dimaksudkan itu"
Dalam keadaan sadar tak sadar Bu-koat duduk di dalam kereta, Pek-hujin telah memberinya minum semacam obat penenang yang sangat keras dan membuatnya mengantuk. Tapi dia tidak dapat tidur pulas, begitu tidur lantas terjaga bangun oleh hasrat tertawanya sendiri. Kini dia sudah lemas lunglai karena terlalu banyak tertawa.
Baru sekarang Bu-koat tahu, tertawa tidak cuma mendatangkan kegembiraan terkadang juga semacam alat siksa yang sangat keji.
Untung kabin kereta kuda ini cukup relaks, entah dari mana Pek-hujin mendatangkan kereta kuda yang mewah ini, ia pun tidak tahu siapa saisnya, lebih-lebih tidak tahu kereta ini dilarikan ke mana"
Seorang sudah dekat ajalnya, kenapa mesti tidak percaya lagi kepada orang lain"
Begitulah selama tiga hari mereka dalam perjalanan. Selama tiga hari Pek-hujin menjaga dan merawat Bu-koat dengan penuh perhatian. Meski tidak berucap, tapi dalam hati Bu-koat merasa berterima kasih.
Menjelang senja hari ketiga, kereta menanjak ke suatu perbukitan, lalu berhenti. Di luar sana pemandangan indah permai laksana lukisan. Sejauh mata memandang, sungai memanjang seperti pita, bola matahari membara hampir terbenam di balik bukit sana, di bawah pancaran cahaya senja tertampak air sungai bertambah kemilauan.
Diam-diam Bu-koat membatin, "Sekalipun aku harus mati tanpa sebab, tapi dapat mati di tempat begini, rasanya juga tidak sia-sia perjalanan ini."
Terdengar Pek-hujin menghela napas panjang, katanya dengan rawan, "Di sinilah orang itu bertempat tinggal, di sini juga kita harus berpisah."
"Kau akan pergi?" tanya Bu-koat.
"Setiba di sini, mau tak mau aku harus pergi?"
"Sebab apa?"
"Watak orang itu sangat aneh, aku ... aku tidak ingin bertemu dengan dia," kata Pek-hujin sambil membuka pintu kereta dan memayang Bu-koat turun. Ia menuding jauh ke sana dan berkata pula, "Dapatkah kau lihat gardu di sana?"
Tertampak di antara pepohonan yang menghijau dan bunga mekar beraneka warna. Di sana ada sebuah gardu, sejalur air terjun menuangkan airnya ke bawah dari tebing di sebelah gardu, air muncrat memantulkan sinar berwarna-warni tersorot oleh cahaya matahari senja.
Bu-koat terpesona menghadapi keindahan alam ini, hampir-hampir ia mengira dirinya sudah berada di surga. Angin meniup sejuk membawa harum bunga semerbak, ia termangu-mangu sejenak, kemudian baru menjawab, "Ya, hahaha ... kulihat."
Suasana pegunungan sunyi senyap, hanya terkadang terdengar kicau burung dan bau harum bunga, suara tertawa Bu-koat yang sudah serak itu memecahkan keheningan.
"Setelah melintasi gardu kecil itu, kau akan melihat sebuah pintu batu bersembunyi di balik akar-akaran tetumbuhan di lereng tebing sana, pintu batu itu selalu terbuka sepanjang tahun, kau boleh langsung masuk ke sana," demikian pesan Pek-hujin.
Diam-diam Bu-koat membatin dengan gegetun, "Orang yang tinggal di tempat luar biasa ini tentu bukanlah sembarang orang, sungguh menyenangkan aku dapat berjumpa dengan orang kosen, cuma sayang beginilah keadaanku sekarang."
Terdengar Pek-hujin berucap pula, "Setelah kau masuk pintu batu itu, dengan sendirinya kau akan bertemu dengan orang itu. Asalkan sudah bertemu dengan dia, kalian pasti akan segera menjadi sahabat baik, sebab kalian berdua sama-sama orang yang luar biasa."
"Hahaha, beginilah keadaanku, mana dapat aku disejajarkan dengan orang, hahaha ..." kata Bu-koat sambil bergelak parau.
"Kau pun tidak perlu meremehkan dan menyiksa diri sendiri, biarpun orang itu sangat pintar, bahkan mahir segala macam ilmu pengetahuan, tapi dia juga belum tentu lebih unggul daripadamu."
"Siapa namanya?"
"Namanya So Ing," jawab Pek-hujin.
Bu-koat menghela napas menyesal, pikirnya, "Wahai So Ing, selamanya kita belum kenal, tapi aku akan minta engkau menolong jiwaku, apakah engkau tidak merasa geli?"
Didengarnya Pek-hujin berkata pula, "Setelah bertemu dengan dia, tentu akan dia tanya siapa yang membawamu ke sini, maka boleh kau sebut namaku saja .... Oya, aslinya aku bernama Be Ek-hua."
"Baiklah, kuingat," kata Bu-koat.
Setelah termenung sejenak, kemudian Pek-hujin berkata pula, "Sekarang bolehlah kau masuk ke sana. Aku memang perempuan yang bernasib jelek dan bodoh, betapa pun tidak berani kuharapkan engkau akan mengenangkan diriku, asalkan engkau tidak takut lagi padaku, mati pun aku tidak penasaran."
Bu-koat melengak, tanyanya, "Mati" ... Masa ... kau akan ...."
Pek-hujin tersenyum sedih, ucapnya, "Selanjutnya hidupku tiada ubahnya sudah mati, engkau pun tidak perlu memperhatikan aku lagi, seterusnya di dunia ini tiada lagi perempuan bernasib malang seperti diriku ...." tiba-tiba ia berhenti berucap lebih lanjut, ia membalik tubuh terus berlari ke keretanya dan dilarikan cepat ke sana.
Bu-koat melenggong sejenak, entak bagaimana perasaannya sukarlah dilukiskan.
Perempuan itu telah membikin susah dia sedemikian rupa, tapi sekarang dia malah berterima kasih, percaya penuh padanya, sedikit pun tidak merasa sangsi apalagi dendam.
Setelah kereta kuda itu melintasi beberapa belokan bukit, mendadak kereta berhenti di kaki tebing sana, dari balik pepohonan muncul tiga orang. Mereka ialah Thi Peng-koh, Kang Giok-long dan Pek San-kun.
"Apakah bocah itu sudah kau antar ke sana?" tanya Pek San-kun dengan tertawa.
"Apa yang telah kukerjakan masa perlu diragukan?" jawab Pek-hujin dengan tertawa genit.
"Hujin benar-benar jantannya kaum perempuan, Tecu dapat mendampingi engkau selalu, sungguh beruntung sekali," segera Kang Giok-long ikut mengumpak.
"Buset, setan cilik, manis juga mulutmu," ucap Pek-hujin sambil nyekikik.
Pek San-kun menengadah dan bergelak tertawa, katanya, "Setelah Hoa Bu-koat bertemu dengan dia, tidak sampai tiga hari pasti dia akan menguraikan seluruh rahasia ilmu Ih-hoa-ciap-giok padanya. Maka kedua perempuan siluman Ih-hoa-kiong itu pun tidak panjang lagi umurnya."
Kang Giok-long tampak berkedip-kedip, katanya kemudian, "Apakah orang itu benar-benar memiliki kepandaian sehebat itu?"
"Setan cilik," omel Pek-hujin sambil tertawa, "jangan kau kira banyak sekali corak permainanmu, bilamana kau kebentur dia, biarpun kau mengeluarkan segenap kemahiranmu juga jangan harap akan mampu lolos dari tangannya."
"Wah, masa ilmu silat orang ini begitu tinggi?" Giok-long menegas.
"Dia justru sama sekali tidak mahir ilmu silat," tutur Pek-hujin.
"Hah, tidak mahir ilmu silat?" Giok-long mengulang ucapan itu dengan melengak, lalu ia tertawa, "Haha, masa orang tidak mahir ilmu silat bisa begini lihai?"
"Memangnya kau kira orang yang tinggi ilmu silatnya pasti lebih unggul daripada orang lain?" kata Pek-hujin. "Supaya kau tahu, jika adu kekuatan, jelas dia kalah, tapi kalau adu akal, sepuluh Kang Giok-long juga tak dapat menandingi dia."
"Ooo," Giok-long tertawa. Dia sengaja menarik panjang suara "O" ini, suatu tanda dia tidak setuju.
"Kau tidak percaya?" tanya Pek-hujin. "Baik, coba jawab, aku ini bagaimana menurut pandanganmu?"
"Hujin mahahebat dan tiada taranya, mana ada bandingannya di dunia ini," ucap Giok-long dengan khidmat.
"Hah, jangan menjilat pantat," kata Pek-hujin dengan tertawa. "Kau bilang aku tiada bandingannya di dunia ini, tapi kalau dibandingkan dia aku ini belum masuk hitungan."
"Nah, kau dengar tidak" Hahaha!" Pek San-kun bergelak tawa. "Biniku juga mengaku kalah pada orang lain, sungguh bukan urusan mudah."
"Aku memang tidak tunduk pada siapa-siapa, hanya tunduk padanya," kata Pek-hujin.
Kang Giok-long juga tertawa, katanya, "Dengan kepandaian Hujin saja Hoa Bu-koat telah dibikin kelabakan setengah mati, bilamana bocah she Hoa itu ketemu dia, bukankah setitik sinar harapan untuk hidup saja tidak ada lagi?"
"Memang," kata Pek-hujin, "lelaki mana pun juga hanya ada jalan kematian saja bilamana berhadapan dengan dia, apalagi Hoa Bu-koat yang masih hijau pelonco itu."
"Sampai saat ini Tecu belum lagi mengetahui siapa namanya?" tanya Giok-long sambil menyengir.
"Setan cilik, apakah kau akan mengincarnya juga" Awas, gentong cuka di sebelahmu bisa berontak lagi," kata Pek-hujin dengan tertawa sambil melirik Thi Peng-koh.
Thi Peng-koh tersenyum hambar, ucapnya, "Sesungguhnya Tecu juga ingin tahu siapa nama orang itu?"
"Dia bernama So Ing," jawab Pek-hujin. "Ing dari Ing-toh, belimbing, tapi ingat, meski belimbing ini cantik dan manis, namun berbisa."
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Sementara itu Hoa Bu-koat sudah memasuki pintu batu yang berwarna hijau gelap karena penuh lumut itu. Di balik pintu adalah gua sangat luas dan sunyi senyap, Bu-koat sendiri bingung entah dirinya berada di mana sekarang"
Dia masih tertawa dan tertawa terus, ia benci pada suara tertawanya sendiri yang mengganggu ketenangan tempat yang indah ini. Sedapatnya ia menutup mulut, tapi suara tertawa tetap tidak terbendung.
Berjalan sebentar lagi, gua ini semakin dalam diapit dinding batu di kanan kiri, makin jauh makin menyempit. Tapi tak jauh kemudian mendadak membentang lebar lagi, bahkan lantas terang benderang.
Kiranya di depan sana ada sebuah lembah sunyi, awan berarak di langit, bunga mekar di mana-mana, terdengar gemerciknya mata air, batu aneh berserakan di sana-sini, tertampak gedung berloteng yang megah di balik pepohonan sana.
Di kejauhan ada beberapa ekor bangau putih dan beberapa ekor menjangan sedang berkeliaran kian kemari, sama sekali binatang-binatang itu tidak takut pada manusia, bahkan mendekat seperti menyambut kedatangan tamu.
Selagi pikiran Bu-koat melayang-layang kesima, seekor bangau putih menggigit bajunya serta membawanya ke suatu jalan berbatu menuju semak-semak sana. Tampaklah kemudian di tepi sebuah sungai kecil berduduk sesosok bayangan perempuan.
Perempuan itu duduk menunduk seolah-olah sedang ngelamun, seakan-akan lagi bercengkerama dengan ikan yang berenang di sungai mengenang masa mudanya yang cepat berlalu dan tentang hidupnya yang kesepian.
Rambut _yang panjang gompiok terurai di atas pundak, bajunya yang tipis putih sebersih salju. Tanpa kuasa Bu-koat ikut bangau penyambut tamu tadi ke tepi sungai ini, ia menjadi kesima pula melihat bayangan di tepi sungai bersaing dengan bayangan orang di dalam air sungai.
Si gadis baju putih mendadak menoleh dan memandang Bu-koat sekejap.
Mendingan kalau gadis itu tidak menoleh, sekali menoleh, seketika bunga di lembah ini seakan-akan layu seluruhnya. Mata alis si gadis seperti lukisan, pipi dekik memesona, bibirnya yang merah itu agak besaran dan dahinya terasa agak lebar, namun sepasang matanya yang jeli dan terang cukup mengatasi semua kekurangan itu.
Mungkin gadis ini tidak secerah Thi Sim-lan, tidak selembut Buyung Kiu, tidak segenit Siau-sian-li, mungkin dia tidak tergolong sangat cantik. Akan tetapi keanggunannya yang tiada taranya membuat setiap orang merasa rendah diri dan tidak berani memandangnya lama-lama.
Kini sorot matanya mengunjuk rasa heran dan kurang senang seakan-akan sedang bertanya tamu yang tak diundang ini mengapa tertawa ngakak seaneh ini.
Muka Bu-koat menjadi merah, katanya kemudian dengan tergagap, "Cayhe Hoa ... Hoa Bu-koat, ingin bertemu dengan So Ing, So-losiansing."
Si gadis baju putih memandangnya sejenak, tiba-tiba ia tertawa, jawabnya "Di sini memang ada seorang So Ing, tapi bukan Losiansing (tuan tua)."
"Oo!" Bu-koat jadi melengak.
Dengan perlahan si gadis baju putih berkata pula, "Aku inilah So Ing."
Bu-koat jadi benar-benar melenggong. Tadinya ia mengira "So Ing" yang dikatakan dapat menyembuhkan penyakit tertawanya itu tentu seorang tokoh tua Kangouw atau tabib ternama di dunia persilatan yang mengasingkan diri. Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa So Ing yang dimaksud adalah seorang gadis cantik belum genap 20 tahun.
Si gadis So Ing bertanya pula dengan tersenyum, "Tempat terpencil di pegunungan sunyi ini, entah siapa gerangan yang mengantar Tuan ke sini?"
"Ini ... ini ...." Bu-koat menjadi gelagapan. Sungguh tak tersangka olehnya bahwa Pek-hujin menyuruhnya memohon pertolongan jiwa kepada seorang gadis jelita. Kini menghadapi senyuman yang hambar dan pandangan yang dingin ini, ia menjadi lebih tidak enak mengucapkan kata-kata memohon.
"Jauh-jauh Tuan telah datang kemari, masa sepatah kata saja tak dapat berucap?" kata So Ing pula. Meski cukup ramah ucapannya, namun sudah timbul rasa hina terhadap tamu asing yang terus tertawa keras ini. Sambil bicara pandangannya beralih pula ke arah sungai.
Tiba-tiba Bu-koat berkata, "Cayhe salah masuk ke sini sehingga mengganggu ketenangan nona, harap dimaafkan "." Setelah sedikit membungkuk badan, lalu ia membalik tubuh dan melangkah pergi.
So Ing juga tidak berpaling lagi, ketika bayangan Bu-koat hampir menghilang di balik semak-semak bunga sana, mendadak ia berseru, "Kongcu itu hendaklah berhenti dulu!"
Terpaksa Bu-koat berhenti dan menjawab, "Nona ada petunjuk apa?"
"Coba kembali sini!" seru So Ing.
Meski kata-kata ini kedengaran kurang sopan, namun nadanya telah berubah sangat lembut, rasanya tiada seorang lelaki di dunia ini yang tidak terpengaruh oleh suara ini.
Tanpa kuasa Bu-koat lantas melangkah balik.
So Ing tetap tidak menoleh, katanya dengan acuh tak acuh. "Kukira kau tidak salah masuk ke sini, tapi memang khusus datang kemari. Cuma setelah engkau melihat So Ing yang kau cari hanya seorang gadis belia, hatimu menjadi kecewa, begitu bukan?"
Tentu saja Bu-koat tercengang, jawabnya, "Cayhe ... Cayhe ...."
"Apa yang kukatakan tidak memerlukan jawabanmu," kata So Ing pula, "sebab pertanyaanku ini jelas kikuk untuk kau jawab, sedangkan kau justru orang yang tidak dapat berdusta, apalagi dusta pada seorang perempuan."
Bu-koat benar-benar tidak dapat berkata apa-apa.
Maka So Ing menyambung pula, "Lantaran kau adalah orang demikian, merasa malu apabila mengucapkan sesuatu permohonan kepada seorang gadis, maka meski kau khusus sengaja datang ke sini, namun dengan suatu dan lain alasan segera kau pergi lagi. Begitu bukan?"
Kembali Bu-koat melenggong, padahal gadis itu hanya memandangnya sekejap saja, tapi pandangan sekejap itu seakan-akan telah menembus dalam-dalam ke lubuk hatinya, apa pun yang terpikir dalam benaknya seakan-akan tak dapat mengelabui pandangan mata yang jeli itu.
Dengan perlahan So Ing menghela napas dan berkata pula, "Jika kau hendak pergi, tentunya aku tak dapat merintangimu. Tapi ingin kuberitahukan padamu bahwa kau sekali-kali tidak mungkin melangkah keluar pintu batu itu."
Tergetar tubuh Bu-koat, belum sampai ia buka suara So Ing sudah menyambung pula,
"Saat ini urat nadimu sudah hampir tergetar putus oleh tertawamu, air mukamu sudah menampilkan warna kematian, di dunia ini hanya ada tiga orang yang mampu menolongmu, apabila sama sekali kau tidak sayang pada jiwanya sendiri, sungguh hal ini membuat orang kecewa."
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Rumah ini sangat besar dan luas dengan daun jendela di sekelilingnya. Hari sudah mulai gelap, api lilin belum lagi dinyalakan, bau harum bunga yang memenuhi lembah di luar sana terbawa angin memenuhi ruangan ini, kelihatan juga bintang berkelip-kelip bertaburan di langit.
So Ing merapatkan daun jendela yang terakhir, sepasang tangannya yang putih halus itu seakan akan tembus cahaya.
Di bagian yang tak berdaun jendela penuh rak kitab, jarak antara rak tidak tertentu, semuanya penuh kitab beraneka ragam diseling pot-pot dan benda antik lainnya, ada yang terbuat dari jade, ada pula ukiran dari batu dan kayu serta macam-macam lagi.
Namun di dalam ramah ini ada sesuatu yang aneh, yaitu ruangan seluas ini hanya ada sebuah kursi melulu, lain tidak ada.
Kursi ini pun sangat aneh, tampaknya tidak mirip kursi malas umumnya dan juga tidak seperti kursi yang sering terdapat di kamar anak perempuan.
Kursi ini tampaknya lebih mirip sebuah peti yang besar, cuma di bagian tengah mendekuk sehingga orang yang duduk di situ seakan-akan terjepit saja tampaknya.
Di ruangan inilah Hoa Bu-koat disilakan masuk. Ia merasa cara bicara si nona meski kedengaran ramah tamah tapi terasa sukar dibantah. Walaupun kedengaran dingin kaku ucapannya, tapi terasa pula sukar ditolak.
Aneh juga tuan rumah ini, tanpa menyilakan duduk tamunya, sebaliknya So Ing lantas duduk sendiri pada satu-satunya kursi di ruangan ini.
Terpaksa Bu-koat berdiri saja di dekat pintu dengan perasaan serba salah.
Dengan tersenyum hambar kemudian So Ing berkata, "Tempatku ini jarang sekali kedatangan tamu, andaikan ada tamu juga kebanyakan tamu yang sudah sakit parah sehingga duduk saja tidak bisa, maka aku pun tidak perlu menyediakan kursi lagi."
Bu-koat masih terus tertawa latah, cuma dalam hati ia berpikir, "Apabila orang yang datang kemari tidak dapat duduk lagi, memangnya hanya disuruh berdiri saja begini?"
Segera terdengar So Ing berkata pula, "Tentunya kau akan berpikir apabila orang yang datang ke sini tidak dapat duduk lagi, dengan sendirinya juga tidak dapat disuruh berdiri, lalu apakah mereka dibaringkan di lantai" Begitu bukan?"
Diam-diam Bu-koat terkejut. Ia merasa anak perempuan ini sungguh menakutkan. Apa pun yang kupikirkan, segera dapat diterkanya. Sebaliknya apa yang telah dipikirkan olehnya justru tiada seorang pun yang tahu.
Terdengar So Ing berkata pula dengan tertawa, "Kenapa khawatir, bukan maksudku selalu ingin menerka isi hati orang, aku pun tidak akan menyuruh orang berbaring di lantai ...."
Kursi mirip peti yang diduduki So Ing itu mempunyai sandaran tangan yang lebar sehingga mirip juga sebuah peti kecil dan dapat dibuka. Sambil bicara ia lantas membuka tutup bagian sandaran tangan, perlahan jarinya menyontek sesuatu di dalamnya, terdengar
"klik" perlahan satu kali.
Mendadak lantai di depan Bu-koat berdiri itu merekah dan terlihatlah sebuah lubang menyusul sebuah ranjang lantas timbul perlahan dari bawah.
"Sekarang tersedia tempat tidur, silakan berbaring di situ," ucap So Ing dengan acuh.
"Apalagi yang kau inginkan?"
"Aku ... aku ingin minum teh," jawab Bu-koat.
Permintaan ini sebenarnya tidak sengaja diucapkannya, tapi tanpa terasa tercetus dari mulut. Sesungguhnya ia cuma ingin mencoba sampai di mana kelihaian anak perempuan ini.
Didengarnya So Ing menjawab, "Oya, aku lupa, ada tamu, andaikan tiada arak, satu cangkir teh adalah pantas disuguhkan." Sambil bicara kembali tangannya menyontek sekali lagi di dalam peti.
Terdengar dinding di balik rak buku sana ada suara gemerciknya air, menyusul rak buku itu menggeser perlahan secara otomatis, seorang boneka kayu kecil meluncur keluar dari balik rak itu.
Kacung robot ini benar-benar membawa sebuah nampan dengan dua cangkir kemala berisi air minum berwarna susu.
Dengan tersenyum So Ing berkata, "Maaf, di sini tidak ada teh, harap sudi minum sekadarnya air bening ini."
"Haha, tampaknya robot kerbau dan kuda ciptaan Kong Beng di jaman Sam-kok juga tidak lebih daripada ini," seru Bu-koat dengan tertawa.
"Untuk digunakan di medan perang memang robot kerbau dan kuda Cukat Liang itu sangat bagus, tapi kalau dipakai di rumah tangga untuk melayani tamu, rasanya kan kurang pantas," kata So Ing dengan dingin. Di balik ucapannya ini seakan-akan kepandaian Cukat Liang dengan robotnya itu pun dipandang enteng olehnya.
Sementara itu malam gelap, sinar bintang berkedip-kedip, pada rak buku sana ada sebuah lampu minyak, tapi tidak dinyalakan.
Segera Bu-koat berkata pula, "Apakah tanpa bergerak nona juga dapat menyalakan lampu?"
"Aku ini pemalas, karena itu sering kali kuciptakan macam-macam akal malas ...." Kembali tangannya menyontek perlahan, rak buku di sebelah lampu minyak sana segera timbul batu api dan pisau ketikan. "Crik", lelatu api lantas muncrat dan lampu itu pun benar menyala.
So Ing tersenyum, katanya, "Lihatlah, biarpun aku cuma duduk saja di sini kan juga dapat melakukan banyak pekerjaan."
Bu-koat bergelak tertawa, bergelak sungguh-sungguh, serunya, "Menurut pandanganku, sekalipun menyalakan lampu dan menuang minuman sendiri juga jauh lebih mudah dari pada membuat peralatan rahasia, mengapa pemalas seperti engkau ini sengaja menciptakan cara-cara yang merepotkan ini?"
Entah mengapa, selalu dia berusaha hendak mematahkan keangkuhan So Ing, padahal mestinya dia bukan orang macam demikian, mungkin karena tertawa latahnya telah membuatnya kehilangan akal.
Segera terdengar So Ing mengejek, "Hm, orang seperti diriku ini apakah juga sudi menuangkan teh bagimu?"
"Mengapa kau tidak memakai budak atau pelayan, cara demikian kan jauh lebih mudah?"
"Aku justru takut ketularan tingkah laku orang-orang begitu," jawab So Ing memandangnya dengan lekat-lekat, sambungnya kemudian, "Kau bicara begini, sebab kau merasa aku terlalu unggul dan kau ingin menjatuhkan aku, betul tidak" Biar kukatakan terus terang, di dunia ini tiada yang dapat menjatuhkan aku dan aku akan selalu paling atas, tidak perlu kau berusaha secara sia-sia."
"Hahaha, padahal kau cuma seorang anak perempuan yang lemah tak tahan tiupan angin, sekali do

^