Bakti Pendekar Binal 7

Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 7


at hanya mendengarkan ocehan orang itu, ia sendiri menjadi bimbang dan entah harus girang atau mesti marah. Thi Sim-lan juga berdiri melenggong dan serba kikuk.
Meski dia hendak menolak, tapi merasa tidak tega melukai hati Hoa Bu-koat.
Melihat sikap si nona, tiba-tiba Bu-koat berkata, "Walaupun Tuan bermaksud baik, namun sayang kami tidak dapat menurut."
Mendadak orang itu berhenti tertawa, katanya dengan melotot, "Kau tidak mau menurut?"
"Ya," jawab Bu-koat sambil menarik napas panjang.
Orang itu menjadi marah, dampratnya, "Jika kau suka padanya, mengapa kau tidak mau menikahi dia?"
"Soalnya ... Cayhe ...."
"Aha, tahulah aku," mendadak orang itu bergelak tertawa pula, "Yang benar bukan tidak mau, soalnya kau khawatir dia yang tidak mau. Tapi dia kan tidak berkata apa-apa, mengapa kau khawatir?"
Hoa Bu-koat berpikir sejenak, katanya kemudian dengan perlahan, "Ada juga kata-kata yang tidak perlu kuutarakan."
Orang itu menghela napas, katanya, "Sudah jelas kau sangat suka padanya, tapi demi dia, kau lebih suka keraskan hatimu dan tidak mau menurut usulku. Lelaki yang berperasaan begini sungguh tiada malu sebagai putranya ayahmu."
Bu-koat tidak paham apa arti ucapannya ini, sedangkan orang itu lantas melototi Thi Sim-lan dan berkata pula, "Lelaki seperti dia tidak kau nikahi memangnya kau pilih lelaki mana?"
Sim-lan menunduk, jawabnya, "Aku ... bukan ... cuma ...."
"Kalian masih muda belia, mengapa cara kerja kalian sekonyol ini dan membuat kumarah saja," bentak orang itu dengan gusar. "Pokoknya kau harus menurut, aku tak peduli bagaimana pikiran kalian, yang pasti lekas kalian berlutut dan menikah di hadapanku, jika ada yang berani "tidak mau" segera kubunuh kalian berdua agar kelak kalian tidak perlu hidup tersiksa."
Walaupun tahu sikap kasar orang itu timbul dari maksud baiknya, tapi Hoa Bu-koat menjadi gusar juga, jengeknya, "Hm, sudah banyak orang aneh yang kujumpai, tapi belum pernah ada yang memaksa orang menikah cara begini."
"Kau berkata demikian, mungkin kau kira aku tidak mampu membunuhmu bukan?" tanya orang itu.
Baru saja habis ucapannya, sekonyong-konyong ia lolos pedang di pinggang terus membabat ke batang pohon di sebelahnya. Pedangnya kelihatan karatan dan lebih mirip besi rongsokan, jangankan buat menabas pohon, buat memotong sayur saja rasanya kurang tajam.
Siapa tahu, begitu pedangnya menyambar lewat, "cret", tahu-tahu batang pohon sepelukan manusia itu putus menjadi dua dan roboh bergemuruh.
Meski sudah tahu ilmu silat orang ini pasti sangat tinggi, tapi sama sekali tak terpikir oleh Thi Sim-lan dan Hoa Bu-koat bahwa kekuatan pedang orang itu bisa sedahsyat ini.
"Nah, kalian sudah lihat," jengek orang itu sambil melirik hina. "Pedang ini meski berkarat, tapi untuk membunuh dua bocah yang tidak menurut kata kiranya tidaklah sukar. Nah, sekarang kalian mau menurut tidak?"
Thi Sim-lan menjadi khawatir kalau-kalau Hoa Bu-koat mengucapkan kata yang menyinggung perasaan orang pula, maklumlah ilmu silat orang aneh ini sukar diukur, betapa pun Hoa Bu-koat pasti juga bukan tandingannya.
Pada dasarnya hati Thi Sim-lan memang bajik dan mulia, meski dia tidak ingin Siau-hi-ji dilukai Hoa Bu-koat, tapi ia pun tidak suka melihat orang lain melukai Hoa Bu-koat. Maka sebelum Bu-koat buka suara, cepat ia mendahului berkata, "Baiklah, aku menurut."
Orang aneh itu terbahak-bahak, katanya, "Hahaha, memang seharusnya demikian. Kalian yang satu cakap dan yang lain ayu, memang satu pasangan yang setimpal. Biarpun sekarang kalian habis bertengkar, tapi setelah kawin tentu kalian akan saling cinta-mencintai, tatkala mana kalian pasti akan berterima kasih padaku."
"Tapi aku tidak mau," tiba-tiba Bu-koat berucap.
"Aneh, dia sendiri sudah menurut, kenapa kau malah tidak mau?" tanya orang itu heran.
Bu-koat tahu kemauan Thi Sim-lan tidak sukarela, karena itu semakin merasuk cintanya terhadap Thi Sim-lan, dia tidak mau memaksa kehendak si nona.
Tapi selamanya dia tidak suka mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan, makin berpikir di dalam hati, makin dingin pula lahirnya, padahal di dalam darahnya tersembunyi cinta yang membara, tapi setitik pun tak diperlihatkannya.
Maklumlah, soalnya dia adalah keturunan orang yang berperasaan paling hangat di dunia ini, tapi dibesarkan di samping manusia yang berperasaan paling dingin di dunia ini.
Begitulah Hoa Bu-koat lantas menjawab pula dengan dingin, "Kalau aku tidak mau ya tetap tidak mau, jika engkau ingin membunuhku boleh silakan turun tangan saja."
"Apakah ... apakah kau tidak suka padaku?" tiba-tiba Thi Sim-lan berseru.
Hoa Bu-koat tidak mau memandang lagi pada si nona biarpun sekejap saja. Tampaknya dia tiada persamaan sedikit pun dengan Siau-hi-ji, tapi kalau sudah gondok, nyatanya kedua anak muda itu serupa benar.
Dengan melotot orang itu bertanya pula, "Jadi kau lebih suka menderita selama hidup dan tetap tidak mau menurut."
"Ya, pasti tidak," jawab Hoa Bu-koat tegas.
"Baik!" bentak orang itu. "Daripada hidupmu kelak merana, lebih baik sekarang juga kubunuh kau." Begitu pedang berkelebat, kontan dia tusuk dada Hoa Bu-koat.
Dengan sendirinya serangannya tidak menggunakan seluruh tenaganya, tapi betapa cepat dan kuatnya, rasanya tiada seorang pun di dunia persilatan ini sanggup memadainya.
Thi Sim-lan berdiri jauh di sebelah sana, tapi merasakan napas sesak oleh getaran hawa pedang yang kuat itu, apalagi Hoa Bu-koat yang harus menghadapi serangannya.
Terdengarlah suara "cret" sekali, meski Bu-koat sempat mengelakkan serangan itu, namun kopiah yang mengikat rambutnya itu telah putus tergetar oleh hawa pedang, seketika rambutnya terurai serabutan.
Betapa hebat daya tusukan pedang itu, sungguh tak terperikan. Keruan Thi Sim-lan menjerit kaget, "He, berhenti dulu, Cianpwe. Sebabnya dia tidak mau menurut adalah demi diriku karena dalam batin sesungguhnya aku memang tidak mau. Jika Cianpwe hendak membunuh, harap aku saja yang kau bunuh!"
Dalam kaget dan khawatirnya tanpa terasa Thi Sim-lan telah membeberkan isi hatinya yang sesungguhnya. Seketika hati Hoa Bu-koat terasa sakit, sekonyong-konyong ia melancarkan tiga kali serangan, tanpa pikir akibatnya dia terus menerjang ke tengah sinar pedang lawan.
Tak terduga orang itu berbalik menarik kembali pedangnya, katanya dengan tertawa,
"Orang she Kang memang rata-rata berwatak seperti kerbau, cuma kau terlebih bodoh daripada ayahmu. Coba pikir, bilamana dia tidak mau menurut dan memang tidak suka padamu, masa dia sudi mati bagimu?"
Hoa Bu-koat melengak dan menegas, "Siapa yang she Kang?"
"Kau tidak she Kang?" orang itu pun melenggong.
Thi Sim-lan juga tercengang, katanya, "Dengan sendirinya dia tidak she Kang, dia bernama Hoa Bu-koat."
Orang itu garuk-garuk kepala dengan penuh rasa heran, gumamnya, "Jadi kau tidak she Kang" Ini benar-benar sangat aneh, pada hakikatnya dari kepala sampai kaki kau mirip benar seorang she Kang, sungguh kau dan dia seperti pinang dibelah menjadi dua."
Hoa Bu-koat jadi lupa menyerang lagi, ia merasa orang aneh ini barangkali berpenyakit syaraf.
Tiba-tiba orang itu menghela napas, katanya sambil menyengir, "Karena kau tidak she Kang, maka kalian mau menikah atau tidak bukan urusanku lagi, bila kalian mau pergi juga bolehlah silakan."
Habis berkata ia benar-benar tidak ikut campur apa-apa lagi terus membalik ke sana sambil menggerutu.
Bu-koat saling pandang dengan Thi Sim-lan, mereka menjadi bingung.
Terdengar orang aneh itu sedang mengomel sendirian, "Anak muda itu ternyata bukan Kang Siau-hi, sungguh aneh bin heran ...."
Kejut dan girang Thi Sim-lan, tanpa terasa ia berseru, "He, apakah Cianpwe mengira dia ini Kang Siau-hi, maka engkau memaksa kami menikah?"
Orang itu menjawab dengan acuh tak acuh, "Walaupun aku tidak tega melihat kalian tersiksa karena urusan cinta, tapi kalau bukan lantaran kusangka dia ini Siau-hi-ji, sesungguhnya aku pun tidak mau ikut campur urusan orang lain."
Thi Sim-lan jadi tertawa geli, sebenarnya ia ingin berkata, "Tahukah bahwa justru lantaran Kang Siau-hi, makanya aku tidak mau menikah dengan dia." Tapi dia pandang Hoa Bu-koat sekejap, dan kata-kata itu tidak jadi diucapkannya.
Hoa Bu-koat berdiri mematung dan entah bagaimana perasaannya.
Tiba-tiba orang tadi menoleh, ia pandang Thi Sim-lan, lalu pandang Hoa Bu-koat pula, mendadak ia tertawa dan berkata, "Haha, tahulah aku, ya tahulah aku sekarang. Kiranya orang paling busuk yang kusebut itu ialah Kang Siau-hi. Sebenarnya kalian berdua bisa jadi suami istri, tapi lantaran Kang Siau-hi, urusan jadinya begini."
Thi Sim-lan menghela napas perlahan dan menunduk.
Orang itu ketuk-ketuk kepala sendiri dengan perlahan, ucapnya dengan tertawa,
"Sebenarnya maksudku hanya ingin membantu, siapa tahu berbalik membikin urusan ini tambah runyam ...."
Maklumlah, selama hidupnya cuma tekun meyakinkan ilmu pedang, ditambah lagi sepanjang tahun terus-menerus berkecimpung kian kemari di dunia Kangouw, selamanya tak pernah memahami bagaimana rasanya cinta kasih antar muda-mudi.
Dia pernah malang melintang di dunia ini, betapa hebat dan tinggi ilmu silat apa pun bila berada di depannya akan berubah menjadi sangat sederhana, sekali pandang saja segera ia sanggup memecahkannya. Tapi ia tidak tahu tentang "cinta" yang jauh lebih ruwet daripada ilmu pedang yang paling tinggi di dunia ini dan tidak mungkin dipecahkannya dengan sekali pandang saja.
Hoa Bu-koat menjadi gusar dan pedih demi mendengar suara tertawa orang aneh itu, mendadak ia berteriak, "Memangnya kau ingin pergi begitu saja?"
"Kalau tidak pergi, lalu aku bisa berbuat apa?" kata orang itu gegetun.
"Aku masih ingin belajar kenal silatmu," kata Bu-koat ketus.
"Ya, kutahu perasaanmu tidak enak, biarlah kau pukul dua kali diriku supaya rasa marahmu terlampias," ujar orang itu dengan tertawa.
"Sekalipun ilmu silatmu tiada tandingannya di kolong langit ini juga tidak mungkin dapat menahan pukulanku, jika engkau tidak menangkis, itu berarti engkau mencari mati sendiri!" jengek Bu-koat sambil melontarkan pukulannya.
Meski pukulannya ini tampaknya halus, tapi tempat yang diarah ternyata sangat keji, mending tenaga pukulannya tidak dikerahkan, tapi sekali dikerahkan terasa sukar ditahan lagi.
Tajam juga pandangan orang itu, serunya tertarik, "Hebat, benar-benar pukulan lihai!"
Pembawaan orang aneh itu memang gemar ilmu silat, kini mendadak ketemu jago muda sehebat ini, mau tak mau timbul hasratnya untuk menjajal kekuatan pihak lawan, maka tangan kirinya lantas memapak ke depan.
Di luar dugaan, sekonyong-konyong gaya pukulan Hoa Bu-koat berubah, pukulan yang lurus ke depan tadi mendadak berputar ke kanan dengan cara yang sangat menakjubkan dan sukar dibayangkan.
Gerakan pukulan itu adalah "Ih-hoa-ciap-giok", ilmu pukulan khas dari Ih-hoa-kiong yang termasyhur. Dengan gerakan ini Hoa Bu-koat yakin tangan lawan pasti akan memukul pada badan sendiri.
Tak terduga orang itu mendadak berputar dengan cepat sehingga ilmu pukulan Ih-hoa-ciap-giok yang tidak pernah ditandingi orang itu kini dapat dipatahkannya dengan enteng.
Baru sekarang Hoa Bu-koat benar-benar terkejut, serunya, "Siapa engkau sebenarnya?"
Untuk sekali lagi orang itu berhadapan dengan Hoa Bu-koat, air mukanya juga berubah, bentaknya, "Jadi kau ini anak murid Ih-hoa-kiong?"
"Betul!" jawab Bu-koat.
Sekonyong-konyong orang itu menengadah dan terbahak-bahak, katanya, "Selama hidupku terasa menyesal karena belum sempat menjajal ilmu silat dari Ih-hoa-kiong, tak tersangka sekarang dapat bertemu dengan murid Ih-hoa-kiong di sini ...." suara tertawanya yang nyaring itu menggema di angkasa sehingga daun pohon dan kelopak bunga sama rontok tergetar.
"Jangan-jangan Cianpwe ada sengketa apa-apa dengan Ih-hoa-kiong?" tanya Thi Sim-lan dengan khawatir.
Mendadak orang tadi berhenti tertawa dan membentak, "Permusuhanku dengan Ih-hoa-kiong memang sedalam lautan, berpuluh tahun kuyakinkan ilmu pedang justru bertujuan hendak membunuh habis setiap orang Ih-hoa-kiong."
Tanpa terasa Thi Sim-lan merinding oleh nada ucapan orang.
Tiba-tiba Bu-koat berseru, "Yan Lam-thian! He, engkau Yan Lam-thian!"
Musuh Ih-hoa-kiong yang paling besar ialah Yan Lam-thian, di kolong langit ini kecuali Yan Lam-thian memang tiada orang lain yang berani bermusuhan dengan Ih-hoa-kiong. Hal ini teringat oleh Hoa Bu-koat, Thi Sim-lan juga lantas ingat.
Selagi kedua muda-mudi itu melenggong bingung, terlihat sinar mata orang itu mencorong terang dan berkata, "Betul, aku memang Yan Lam-thian!"
Telinga Thi Sim-lan serasa mendenging, darah sekujur badan serasa membanjir ke kepalanya, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa nama seseorang ternyata mempunyai pengaruh sebesar ini.
Sejenak Hoa Bu-koat terdiam, tiba-tiba ia menanggalkan pakaian luar dengan perlahan, dengan cermat ia melipatnya, lalu mendekati Thi Sim-lan dan menyodorkan bajunya kepada si nona.
Caranya membuka pakaian dan melipatnya, setiap gerakannya sedemikian hati-hati dan lambat seakan-akan baju itu adalah benda mestika yang sangat berharga. Padahal dengan gerakan lambat itu dia sengaja hendak menenangkan perasannya yang bergolak itu.
Maklumlah, menghadapi pedang sakti Yan Lam-thian jarang ada orang yang mampu bersikap tenang dan wajar.
Dengan sendirinya Thi Sim-lan juga paham meski yang diserahkan Hoa Bu-koat kepadanya itu cuma sepotong baju, tapi di dalamnya entah mengandung arti betapa berat dan ruwetnya persoalan.
Terdengar Bu-koat berkata, "Kumohon engkau suka menjaga baik-baik pakaian ini, atau kalau bisa tolong antarkan ke Ih-hoa-kiong!"
Dari ucapan ini Thi Sim-lan tahu Hoa Bu-koat telah bertekad bila perlu akan korbankan jiwanya. Tanpa terasa air matanya terus meleleh, katanya, "Apakah engkau ben ... benar-benar hendak menempurnya?"
"Dapat bertempur melawan Yan Lam-thian adalah cita-cita setiap insan yang belajar ilmu silat, sekalipun anak murid Ih-hoa-kiong juga merasa bangga dapat perang tanding dengan Yan Lam-thian," kata Bu-koat. Walaupun dia bicara dengan tenang, namun mukanya yang pucat tampak menampilkan semu merah karena bersemangat, napasnya juga kelihatan rada memburu.
Dengan suara tertahan Thi Sim-lan berkata, "Apakah ... apakah engkau tak dapat pergi saja" Biar kutahan dia, kuyakin dia pasti takkan membunuhku."
Bu-koat tersenyum, ucapnya, "Pertarungan ini bukanlah demi diriku, tapi demi Ih-hoa-kiong ...." mendadak ia berhenti berucap sehingga terasa betapa berat kata-kata yang belum lagi diutarakannya itu.
Perlahan ia berputar ke sana, tiba-tiba ia menoleh dan menambahkan, "Perlu kau ketahui pula, sebabnya aku ingin membunuh Kang Siau-hi juga bukan demi diriku, tapi demi Ih-hoa-kiong. Tiga bulan lagi bila berjumpa dengan dia bolehlah kau beritahukan padanya bahwa meski aku berniat hendak membunuhnya, tapi terhadap pribadinya sejak awal hingga akhir tak pernah aku merasa dendam dan benci, maka kuharap ia pun jangan ...
jangan dendam padaku."
Air mata Thi Sim-lan bercucuran, jawabnya dengan parau, "Mengapa engkau selalu berbuat bagi orang lain" Memangnya hidupmu ini melulu demi orang lain saja" Apakah engkau tak dapat berbuat ... berbuat sesuatu bagi dirimu sendiri?"
Hoa Bu-koat telah membalik ke sana lagi, ia mendongak dan mendadak tertawa, katanya,
"Demi diriku" ... Tapi siapakah diriku ini" ...."
Untuk pertama kalinya inilah dia memperlihatkan rasa sedihnya di depan umum, meski ucapannya itu cuma dua kalimat yang sederhana, tapi kepedihan di dalam kata itu tak terperikan beratnya.
Thi Sim-lan memandang dan berkata dengan meneteskan air mata, "Orang lain sama bilang engkau adalah pemuda yang paling sempurna, paling beruntung dan paling mengagumkan, tapi siapa yang tahu akan rasa dukamu" Orang lain sama mengatakan engkau sangat tenang, sangat pendiam, tapi siapa yang tahu bahwa engkau ternyata kehilangan dirinya sendiri. Orang lain sama ingin hidup bahagia seperti dirimu, tapi siapa pula yang tahu engkau hanya hidup bagi orang lain?"
Yan Lam-thian berdiri diam memandangi kedua muda-mudi itu, tiba-tiba dia bergelak tertawa dan berkata, "Hoa Bu-koat, kau memang tidak malu sebagai murid Ih-hoa-kiong.
Tak peduli pertarungan ini akan berakhir dengan menang atau kalah bagimu, yang pasti nama Ih-hoa-kiong akan tetap terjunjung tinggi abadi."
"Terima kasih," jawab Bu-koat.
"Tapi aku pun ingin kau tahu bahwa selain kau, di dunia ini juga masih banyak orang yang berbuat sesuatu juga tidak untuk dirinya sendiri. Manusia yang cuma hidup bagi dirinya sendiri itu belum tentu hidup bahagia, bahkan bisa jadi hidupnya jauh lebih sedih dan merana daripadamu."
Bu-koat menatap tajam orang itu, tanyanya kemudian dengan perlahan, "Sebabnya engkau hendak membunuhku apakah juga demi orang lain?"
Yan Lam-thian terdiam sejenak, mendadak ia menengadah dan bersiul panjang, suara siulan melengking tajam seakan-akan penuh mengandung rasa pedih dan penasaran yang tak terlampiaskan dan sukar dibeberkan kepada orang lain.
Bu-koat menghela napas, tiba-tiba ia keluarkan sebatang pedang perak, katanya, "Umpama sebentar berhasil kubunuh engkau juga bukan untuk kepentinganku sendiri."
Thi Sim-lan sudah beberapa kali melihat Hoa Bu-koat bergebrak dengan orang, tetapi tak pernah melihat dia menggunakan senjata sehingga dia hampir berkesimpulan anak murid Ih-hoa-kiong memang tiada yang memakai senjata.
Dilihatnya pedang perak yang dipegang Hoa Bu-koat itu berbadan sempit, tampaknya cuma selebar jari kelingking, tapi panjangnya lebih satu meter, dari ujung sampai pangkal tampak mengkilat seakan-akan setiap saat bisa terbang terlepas dari cekalan.
Senjata ini meski namanya pedang, tapi bisa keras dan bisa lemas, tampaknya keras seperti lembing, tapi juga lemas seperti ruyung, nyata semacam senjata dapat digunakan dan dimainkan berbagai gerakan senjata. Yang menakutkan justru senjata ini dapat mengeluarkan beberapa macam jurus serangan aneh" Inilah yang tidak diketahui siapa pun juga dan di dunia ini memang tiada yang tahu, bahkan tiada seorang pun yang pernah melihatnya.
Sinar mata Yan Lam-thian tampak gemerlap, secara acuh dia cuma pandang sekejap senjata dia tangan Hoa Bu-koat itu, lalu membentak, "Setelah mengeluarkan senjata mengapa kau tidak lekas turun tangan?"
Perlahan Hoa Bu-koat menjentik batang pedangnya dengan jari kiri sehingga menerbitkan suara mendering nyaring. Belum lenyap suara mendering itu, segera pedangnya juga menyerang.
Mata Thi Sim-lan hampir tak dapat terpentang karena silau oleh sinar pedang yang kemilau, baginya mungkin akan kalah sebelum bertempur bila bertemu senjata seaneh ini.
Sebab dia sama sekali tidak jelas dari mana datangnya serangan dan cara bagaimana pula harus menghindar atau menangkis.
Akan tetapi Yan Lam-thian ternyata tenang-tenang saja, ia berdiri tegak kuat dengan pedang terhunus, ketika pedang Hoa Bu-koat menyambar tiba, dia tetap tidak bergerak sama sekali, hanya kelihatan sinar pedang berputar dan serangan pedang Hoa Bu-koat mendadak berganti arah.
Kiranya serangan Bu-koat itu hanya pancingan belaka, di luar dugaannya lawan tenyata dapat menghadapinya dengan tenang dan tak mau terpancing.
Meski Thi Sim-lan tidak dapat melihat jelas perubahan serangan itu, tapi dari suaranya dapatlah ia mendengar tujuh kali serangan Hoa Bu-koat telah dilontarkan, namun Yan Lam-thian masih tetap tanpa menggeser sedikit pun.
Berturut-turut Hoa Bu-koat melontarkan tujuh kali serangan pancingan, asalkan lawan bergerak sedikit saja segera daya serangannya akan terpencar dengan dahsyat sehingga segenap jalan mundur lawan akan tertutup.
Dengan gerakan pancingan untuk mengatasi lawan, inilah intisari ilmu silat Ih-hoa-kiong, sama sekali berbeda dengan ilmu pedang dari aliran-aliran ternama lainnya. Namun Yan Lam-thian ternyata tidak terpengaruh sedikit pun oleh sinar pedang yang kemilau, kemukjizatan ketujuh kali serangan pancingan Hoa Bu-koat itu ternyata tiada berguna sama sekali di hadapan Yan Lam-thian.
Dan begitu serangan ketujuh kalinya baru dilontarkan Hoa Bu-koat, segera pula pedang karatan Yan Lam-thian menusuk lurus ke depan menembus cahaya pedang lawan dan mengincar dada Hoa Bu-koat.
Serangan yang lugu dan biasa, tanpa sesuatu variasi apa-apa, namun gerakannya cepat dan tenaganya dahsyat, inilah kegaiban dan kenaifan, kehebatan dan kekuatan asli.
Betapa pun banyak gerak perubahan ilmu pedang Hoa Bu-koat mau tak mau ia harus juga mengelakkan dulu serangan Yan Lam-thian ini, terdengar suara pedang menyambar, sekaligus orang sudah menusuk tiga kali.
Setiap serangan Yan Lam-thian adalah serangan sungguh-sungguh dan bukan pura-pura atau pancingan, ilmu pedang ini sebenarnya tidak luar biasa, tapi di tangan Yan Lam-thian telah berubah menjadi serangan maut.
Cepat Hoa Bu-koat berkelit, beruntun dia harus menghindar tiga kali baru sempat balas menyerang satu kali.
Ilmu pedang kedua orang sebenarnya saling berlawanan, yang satu halus dan yang lain keras, yang satu enteng dan banyak variasinya, yang lain kuat dan mantap.
Seyogianya ilmu pedang Ih-hoa-kiong ini adalah lawan mati bagi ilmu pedang Yan Lam-thian, sebab itulah meski Yan Lam-thian termasyhur sebagai jago pedang nomor satu di dunia, tapi bagi pandangan orang-orang Bu-lim tetap tidak mengungguli Ih-hoa-kiong.
Akan tetapi latihan Yan Lam-thian lebih matang, lebih ulet, pengalaman lebih banyak, semua ini tak dapat ditandingi oleh Hoa Bu-koat.
Tampaknya Hoa Bu-koat berada di pihak penggerak, tapi sebenarnya berada di pihak tergerak dan terdesak di bawah angin.
Thi Sim-lan sampai bingung mengikuti pertarungan dahsyat itu dan lupa dirinya entah berada di mana.
Di luar hutan sana pepohonan dengan bunga mekar semerbak, hawa sejuk dan pemandangan indah, tempat yang sunyi senyap jarang didatangi manusia ini seakan-akan tiada yang mengetahui bahwa di sini kini sedang berlangsung suatu pertarungan maut yang jarang terjadi ....
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Sementara itu Siau-hi-ji telah mendapatkan sebuah hotel, niatnya ingin tidur sekenyangnya. Tapi meski sudah gulang-guling tetap tak dapat pulas akhirnya terbangun dan pesiar keluar.
Hotel itu semula adalah tempat menginap Cin Kiam dan Lamkiong Liu, rombongan mereka menyewa hampir sebagian besar hotel itu, kini setelah rombongan besar itu berangkat, hotel ini menjadi terasa sepi dan luang. Halaman seluas itu hanya sebuah kamar saja ada penghuninya kecuali kamar yang disewa Siau-hi-ji, tampaknya tamu itu pun baru datang, dari dalam kamar terdengar suara orang berbicara, tapi pintu dan jendela tertutup rapat.
Hawa sepanas ini orang-orang itu ternyata betah bicara di dalam kamar dengan pintu dan jendela tertutup, yang dibicarakan rasanya pasti bukan urusan baik-baik. Maka Siau-hi-ji jadi tertarik dan ingin mengintip.
Pada saat itulah tiba-tiba seorang lelaki berbaju hijau menerobos masuk ke halaman dalam, tangan memegang cambuk, agaknya seorang sais kereta. Begitu masuk halaman orang itu lantas berteriak-teriak, "Kang Piat-ho, Kang-tayhiap apakah tinggal di sini?"
Siau-hi-ji terkejut, "Masa Kang Piat-ho juga berada di sini" Untuk apakah dia datang kemari?"
Karena tidak sempat berpikir banyak, cepat Siau-hi-ji sembunyi di balik pilar sana.
Maka tertampaklah pintu kamar yang tertutup tadi dibuka separo, seorang bertanya dari dalam, "Siapa itu?"
Sais itu menjawab, "Hamba Toan Kui, yang tadi mengantarkan Hoa-kongcu pesiar keluar kota itu "."
Belum habis ucapannya tertampaklah Kang Piat-ho melangkah keluar dan daun pintu segera dirapatkan pula.
"Apakah Hoa-kongcu sudah pulang?" tanya Kang Piat-ho.
Sais yang bernama Toan Kui itu menjawab, "Belum ...."
"Dan mengapa kau pulang dan mencari ke sini?" tanya Kang Piat-ho sambil mengerut kening.
"Hoa-kongcu seperti mengalami kesukaran di luar kota sana," tutur Toan Kui. "Maka hamba buru-buru pulang kemari untuk melapor, di tengah jalan kebetulan ketemu dengan Toan Hui yang mengantar Kang-tayhiap ke sini, dari itu hamba mengetahui Kang-tayhiap lagi menyambangi tamu di sini."
"Meski Hoa-kongcu mengalami sesuatu kesulitan, tentu dia sendiri dapat membereskannya, masa kau ikut cemas?" ujar Kang Piat-ho dengan tersenyum.
"Tapi orang itu tampaknya rada ... rada ganjil, nona Thi Sim-lan tampaknya juga gelisah, maka hamba pikir bila nona Thi yang cukup kenal kepandaian Hoa-kongcu juga merasa khawatir, maka kesulitan yang dihadapi Hoa-kongcu pasti bukan main-main."
Kang Piat-ho termenung sejenak, katanya kemudian, "Jika demikian, baiklah kupergi melihatnya."
Pada saat itulah mendadak seorang berseru di dalam kamar dengan suara tertahan,
"Biarlah Siaute menunggu di sini, silakan pergi saja."
"Paling lambat malam nanti tentu Siaute akan datang lagi," kata Kang Piat-ho sambil ikut keluar bersama Toan Kui.
Sebenarnya Siau-hi-ji ingin tahu siapakah yang berada di dalam kamar itu, mengapa jejaknya begitu dirahasiakan" Tapi mengingat orang ini toh akan tetap tinggal di sini untuk menunggu datangnya Kang Piat-ho, kiranya tidak perlu terburu-buru menyelidiki dia.
Maklumlah, sesungguhnya ia pun ingin tahu siapakah gerangan yang dapat mendatangkan kesukaran sebesar ini bagi Hoa Bu-koat.
Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat tiada hubungan baik apa-apa, bahkan boleh dikatakan musuh, tapi entah mengapa, setiap persoalan yang menyangkut Hoa Bu-koat pasti menarik perhatian Siau-hi-ji.
Terdengar sebuah kereta kuda baru saja berangkat di luar hotel, tentunya Kang Piat-ho telah berangkat dengan menumpang kereta itu.
Segera Siau-hi-ji membuntuti kereta itu, cuma di dalam kota, tidak leluasa untuk menggunakan Ginkang, betapa pun dua kaki tidak secepat empat kaki, maka setiba di luar kota kereta kuda tadi sudah tidak kelihatan lagi.
Setelah kereta kuda itu berada di luar kota, dari dalam kereta Kang Piat-ho bertanya dengan suara keras, "Apakah Hoa-kongcu telah bergebrak dengan orang itu?"
"Ya, seperti sudah bergebrak satu kali," jawab Toan Kui.
"Hanya satu kali saja! Lalu bagaimana, siapa yang lebih unggul?"
"Tampaknya belum jelas siapa yang lebih unggul atau asor," jawab Toan Kui.
"Orang itu mampu menyambut satu kali pukulan Hoa-kongcu, agaknya juga rada berisi.
Entah bagaimana bentuk orang itu?" tanya Kang Piat-ho.
"Tinggi besar perawakan orang itu, bajunya lebih jelek daripada pakaian hamba, tapi sikapnya gagah dan angkuh."
Dahi Kang Piat-ho terkerut lebih kencang, tanyanya pula, "Berapa umur orang itu?"
"Tampaknya baru empat puluhan tapi juga seperti lebih lima puluhan, namun kalau diperhatikan rasanya juga baru tiga puluhan, pendek kata, berapa usianya menurut penglihatan seseorang, maka setua itu pula usianya. Sungguh hamba tidak pernah melihat manusia seaneh dia."
Kang Piat-ho termenung-menung sambil berkerut kening, air mukanya tampak semakin kelam.
Tiba-tiba Toan Kui menambahkan pula, "Oya, pada pinggang orang itu terselip sebatang pedang yang kelihatan sudah karatan ...."
Belum habis ucapannya muka Kang Piat-ho menjadi pucat, setelah terkesima sejenak, akhirnya ia berkata dengan suara berat, "Keretamu jangan dekat-dekat ke sana, berhentilah agak jauh, tahu tidak?"
Walaupun heran kereta diharuskan berhenti di kejauhan saja, namun perintah Kang-tayhiap, betapa pun ia harus menurut. Maka ketika masih cukup jauh dari hutan bunga sana kereta itu lantas dihentikan Toan Kui.
"Wah, Hoa-kongcu sudah bergebrak dengan orang itu!" seru Toan Kui.
Tanpa diberitahu juga Kang Piat-ho sudah melihat hawa pedang yang sambar menyambar di dalam hutan. Di tengah sinar pedang itu tampak bayangan seorang mengitar dengan cepatnya, sebaliknya seorang lagi tenang seperti gunung tanpa bergerak.
Gerak tubuh Hoa Bu-koat masih tetap sangat enteng dan gesit, sinar pedangnya juga sangat gencar, sama sekali belum ada tanda-tanda akan kalah. Tapi Kang Piat-ho memang bukan tokoh sembarangan, sekali pandang saja ia lantas tahu pada hakikatnya serangan Hoa Bu-koat itu sama sekali tak dapat menembus sinar pedang lawan, deru angin pedang keduanya bahkan terdengar jelas satu kuat dan yang lain lemah, bedanya sangat mencolok.
Seketika air muka Kang Piat-ho berubah hebat, gumamnya, "Yan Lam-thian, ya, pasti Yan Lam-thian adanya!"
Meski belum lagi melihat jelas siapa lawan Hoa Bu-koat itu, tapi dari deru angin dan hawa pedang yang hebat itu ia yakin pasti bukan lain daripada Yan Lam-thian.
Sudah tentu Toan Kui tidak dapat membedakan di mana letak kehebatan ilmu pedang itu, sebab itulah maka ia merasa khawatir.
Maklum, biasanya Hoa Bu-koat sopan santun dan ramah tamah terhadap siapa pun juga, biarpun terhadap kaum budak keluarga Toan juga menghormati seperti sikapnya terhadap Toan Hap-pui. Karena itulah setiap anggota keluarga Toan tiada satu pun yang tidak memuji kebaikan Hoa-kongcu dan dengan sendirinya pula Toan Kui menjadi khawatir demi melihat Hoa-kongcu lagi bertempur sesengit itu.
"Apakah Kang-tayhiap tidak ingin membantu Hoa-kongcu?" tanya Toan Kui.
"Sudah tentu akan kubantu," jawab Kang Piat-ho.
"Ya, kutahu Kang-tayhiap pasti akan membantu Hoa-kongcu, bagaimana kalau sekarang juga kuhela kereta ini ke sana?" tanya Toan Kui.
Tapi mendadak Kang Piat-ho berseru, "He, mengapa pintu kereta ini tidak dapat dibuka, apakah rusak?"
Cepat Toan Kui melompat turun dan mendekati pintu kereta, hanya sekali tarik saja pintu terpentang lebar. Dengan tertawa ia berkata, "Ah, barangkali Kang-tayhiap terburu-buru, maka pintu kereta ini menjadi macet."
Belum habis ucapannya tiba-tiba dilihatnya wajah Kang Piat-ho berubah menjadi kelam, matanya melotot dengan buas. Tentu saja Toan Kui menjadi takut, serunya dengan gemetar, "Kang-tayhiap, engkau ... engkau ...."
Kang Piat-ho menyeringai, ucapnya perlahan, "Seorang paling baik tidak ikut campur urusan tetek bengek, kalau tidak pastilah hidupmu takkan awet."
Kaki Toan Kui menjadi lemas karena ketakutan, segera ia bermaksud lari, tapi baru saja ia membalik badan, tahu-tahu kuduknya sudah dicengkeram dan diseret bulat-bulat ke dalam kereta.
"Kang ... Kang-tayhiap, hamba merasa tidak ... tidak pernah bersalah pada ... padamu ...."
demikian Toan Kui meratap dengan gigi gemertuk.
"Kutahu hidupmu sangat sengsara, maka ingin mengantarmu ke Surgaloka yang enak bagimu," kata Kang Piat-ho perlahan.
"Hamba ti ... tidak ingin ...." belum habis ucapan Toan Kui, tahu-tahu sebilah belati telah menancap di bawah iganya hingga sebatas gagang belati.
Anak muda yang berhati polos ini sama sekali tidak sempat menjerit dan tahu-tahu jiwanya sudah melayang, hanya matanya tampak mendelik dengan beringas seakan-akan ingin bertanya kepada Kang Piat-ho apa sebabnya ia dibunuh"
Perlahan-lahan Kang Piat-ho mencabut belatinya, yaitu sebuah pedang pandak, begitu perlahan sehingga darah setitik pun tak menciprat bajunya. Setelah pedang pandak itu dicabut, batang pedang tetap mengkilat bersih, benar-benar membunuh orang tanpa berdarah.
Nyata itulah pedang pusaka yang dulu pernah digunakan memotong "belenggu cinta" yang membelenggu tangan Siau-hi-ji bersama Kang Giok-long.
Selesai kerja, Kang Piat-ho menghela napas lega dan bergumam, "Sekarang tiada seorang pun yang tahu aku pernah datang ke sini dan juga tiada yang tahu bahwa aku tidak memberi bantuan ketika Hoa Bu-koat lagi menghadapi bahaya. Nama baikku sebagai seorang pendekar budiman tidak boleh rusak demi bocah tolol ini. Sebaliknya kalau jiwa bocah ini dikorbankan demi nama baik "Kang-lam-tayhiap" kiranya juga tidak perlu penasaran."
Sambil bergumam ia terus memberosot keluar kereta. Karena pertarungan di sebelah sana sedang berlangsung dengan sengitnya, dengan sendirinya tiada seorang pun yang melihat jejak Kang Piat-ho itu.
Setelah menyelinap lagi agak jauh ke sana barulah Kang Piat-ho berpaling untuk melihat gerak tubuh Hoa Bu-koat yang sudah mulai lamban itu, ucapnya dengan gegetun, "Hoa Bu-koat, kita bersahabat juga sekian lamanya, bukan tiada hasratku hendak membantu, soalnya aku memang tidak berani merecoki Yan Lam-thian. Tapi kau pun jangan khawatir, pada setiap hari Cengbeng kelak pasti aku akan berziarah ke kuburmu."
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Sementara itu Siau-hi-ji yang kehilangan jejak kereta yang ditumpangi Kang Piat-ho juga telah menyusul tiba. Lebih dulu ia tertarik oleh hawa pedang yang sambar menyambar di hutan sana, menyusul barulah ia melihat kereta kuda itu. Tapi dia tidak melihat Kang Piat-ho. Jangan-jangan Kang Piat-ho masih berada di dalam kereta" Untuk apakah kereta dihentikan di sini"
Sebenarnya Siau-hi-ji tiada maksud hendak mengusut urusan ini, dia lebih tertarik untuk menonton pertarungan seru di hutan sana, dia ingin tahu betapa hebat ilmu pedang Hoa Bu-koat yang lain daripada yang lain itu agar kelak dapat digunakan sebagai modal untuk menghadapinya. Dengan sendirinya ia pun ingin tahu siapakah gerangan yang dapat menandingi Hoa Bu-koat itu"
Tapi mendadak dilihatnya dari celah-celah pintu kereta yang tertutup rapat itu merembes keluar darah segar. Ia jadi heran, apakah Kang Piat-ho telah mati, kalau tidak, darah siapakah ini"
Karena heran, ia jadi ingin tahu apa yang terjadi di dalam kereta itu. Ketika pintu kereta itu ditariknya, segera dilihatnya wajah Toan Kui yang beringas, menyusul lantas dilihatnya sepasang mata yang melotot takut dan penuh rasa penasaran itu. Namun Kang Piat-ho sudah tidak kelihatan lagi.
Semula Siau-hi-ji melengak kaget, tapi segera ia pun paham duduknya perkara. Betapa keji hati Kang Piat-ho rasanya tiada orang lain yang lebih paham daripada Siau-hi-ji.
Tapi segera ia pun melihat keadaan Hoa Bu-koat sedang gawat serta tertampak sikap Thi Sim-lan yang cemas bagi keselamatan Hoa Bu-koat itu, hal ini membuat hatinya tertusuk sakit pula.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara siulan panjang menggema angkasa. Selarik sinar pedang melayang tinggi ke udara, Hoa Bu-koat tergetar mundur sempoyongan dan akhirnya roboh.
Menurut teori, pedang besi Yan Lam-thian keras dan tumpul, bahkan karatan, sedangkan pedang perak Hoa Bu-koat tajam lemas, tajam mengalahkan tumpul dan lemas mengatasi keras, ini adalah hukum alam yang tidak dapat berubah.
Siapa tahu hukum alam di dunia ini ternyata tidak berlaku bagi Yan Lam-thian, jago pedang tiada tandingannya ini benar-benar menghinakan segala dan menolak semua hukum pasti ilmu silat. Dengan pedangnya yang keras dan tumpul justru menggetar pedang Hoa Bu-koat yang tajam dan lemas itu hingga mencelat ke udara. Seketika Hoa Bu-koat merasa darah bergolak di rongga dadanya, dia terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh tersungkur.
Sudah jelas Hoa Bu-koat bertekad hendak membunuh Siau-hi-ji, bahkan juga lawan cintanya, kalau Hoa Bu-koat mati, inilah kejadian yang diharapkan dan paling menggembirakan Siau-hi-ji.
Namun aneh, sesaat itu, entah mengapa, darah Siau-hi-ji serasa bergolak, dia lupa permusuhannya dengan Hoa Bu-koat, tanpa pikir mendadak ia menerjang ke sana secepat terbang.
Saat itu Yan Lam-thian lagi bersiul panjang, pedangnya masih bekerja, Thi Sim-lan menjerit khawatir, syukurlah pada detik itu juga sesosok bayangan orang melayang tiba dan mengadang di depan Hoa Bu-koat sambil berteriak, "Siapa pun tidak boleh mencelakai dia!"
Ketika melihat orang yang datang ini ternyata Siau-hi-ji adanya, Thi Sim-lan jadi melongo heran.
Sinar mata Yan Lam-thian laksana kilat mengerling Siau-hi-ji, bentaknya dengan bengis,
"Siapa kau" Berani kau merintangi ujung pedang orang she Yan?"
Sementara itu Thi Sim-lan telah tenang kembali, teriaknya, "Dia inilah Kang Siau-hi!"
"Kang Siau-hi?" Yan Lam-thian menegas, "Jadi kau ini Kang Siau-hi?"
Matanya yang tajam menatap Siau-hi-ji, begitu pula Siau-hi-ji juga balas menatap orang, katanya kemudian dengan ragu-ragu, "Apakah ... apakah engkau ini Yan Lam-thian, Yan-pepek?"
"Dia memang Yan-locianpwe adanya," tukas Thi Sim-lan.
Kejut dan girang Siau-hi-ji, mendadak ia menubruk maju dan merangkul erat Yan Lam-thian sambil berseru, "O, paman Yan, betapa rinduku padamu ...."
Air mata berlinang di. kelopak mata Yan Lam-thian, dia bergumam, "Kang Siau-hi ... Kang Siau-hi, memangnya kau kira Yan-pepek tidak merindukan dirimu?"
Melihat Siau-hi-ji yang sebatang kara itu tiba-tiba menemukan sanak keluarganya, bahkan inilah Yan Lam-thian yang termasyhur, sungguh hati Thi Sim-lan menjadi girang dan kejut pula, tanpa terasa air matanya juga hampir menetes.
Dilihatnya mendadak Yan Lam-thian mendorong pergi Siau-hi-ji dan berkata dengan suara berat, "Tahukah kau Hoa Bu-koat ini adalah murid Ih-hoa-kiong?"
"Aku tahu," jawab Siau-hi-ji.
"Dan tahukah orang yang membunuh ayah-bundamu itu ialah Ih-hoa-kiongcu?" tanya Yan Lam-thian pula dengan bengis.
Tubuh Siau-hi-ji bergetar, serunya, "Apakah betul?"
Waktu kecilnya memang betul pernah ada seorang misterius membawanya keluar Ok-jin-kok dan diam-diam memberitahukan hal itu padanya, tapi dia merasa tindak tanduk orang itu penuh rahasia dan apa yang dikatakan belum tentu dapat dipercaya, sebab itulah selama ini dia tidak pernah menganggap Ih-hoa-kiongcu benar-benar musuh besarnya yang tak terampunkan.
Tapi kini hal ini terucap dari mulut Yan Lam-thian, mau tak mau ia harus percaya.
Thi Sim-lan juga terkejut, serunya, "O, pantas Ih-hoa-kiong mengharuskan Hoa Bu-koat membunuhmu bilamana melihat engkau. Selama ini aku pun tidak habis mengerti sebab musababnya, tapi sekarang " pahamlah aku."
"Dan mengapa kau menolong dia?" tanya pula Yan Lam-thian sambil melototi Siau-hi-ji.
"Aku ... aku ...." Siau-hi-ji gelagapan, sesungguhnya ia tidak tahu mengapa dia harus menyelamatkan Hoa Bu-koat, biarpun Ih-hoa-kiong tiada permusuhan dengan dia umpamanya, sebenarnya ia pun tidak perlu menolong Hoa Bu-koat.
Sekonyong-konyong Yan Lam-thian melemparkan pedang besinya ke tanah dan membentak, "Nah, bunuhlah dia dengan tanganmu sendiri!"
Tubuh Siau-hi-ji kembali bergetar, tanpa terasa ia berpaling memandang Hoa Bu-koat.
Dilihatnya Hoa Bu-koat telah jatuh pingsan oleh getaran pedang Yan Lam-thian tadi, setangkai bunga yang sudah layu jatuh di atas mukanya, bunga yang merah membuat wajahnya yang pucat itu tambah mencolok.
Melihat muka yang pucat itu, entah mengapa timbul semacam perasaan aneh dalam hati Siau-hi-ji, entah apa sebabnya, mendadak ia berteriak, "Tidak, aku tak boleh membunuh dia?"
"Mengapa kau tidak boleh membunuh dia?" kata Yan Lam-thian dengan gusar. "Bukankah kau tahu dia adalah murid musuhmu" Apalagi ia pun bertekad ingin membunuhmu?"
"Tapi aku ... aku ...." sukar bagi Siau-hi-ji untuk menjelaskan. Tiba-tiba ia menghela napas dan berteriak pula, "Aku sudah ada perjanjian dengan dia akan duel tiga bulan kemudian.
Sebab itulah Yan-pepek tidak boleh membunuhnya, lebih-lebih tidak boleh membunuhnya ketika dia sudah terluka."
Yan Lam-thian melengak, tapi segera ia terbahak-bahak dan berkata, "Bagus, bagus, kau memang tidak malu sebagai Kang Siau-hi, tidak memalukan sebagai putra Kang-jiteku ....
O, Kang-jite, engkau mempunyai putra demikian, di alam baka dapatlah engkau istirahat dengan tenang." Suara tertawanya kemudian mendadak berubah menjadi pilu sekali.
Darah di dada Siau-hi-ji seolah-olah bergelora, mendadak ia berlutut dan berseru dengan parau, "Yan-pepek, aku bersumpah selanjutnya pasti takkan berbuat sesuatu yang memalukan ayah!"
Yan Lam-thian membelai-belai bahunya, katanya dengan terharu, "Apakah kau merasa tindak tandukmu di masa lalu ada sesuatu yang memalukan ayahmu?"
Siau-hi-ji menunduk, jawabnya dengan tersendat, "Aku ... aku ...."
"Kau tidak perlu sedih, juga tidak perlu mencela dirimu sendiri," kata Yan Lam-thian.
"Siapa pun yang tumbuh di lingkungan seperti kau itu juga akan berubah menjadi jauh lebih busuk daripadamu. Apalagi setahuku, mungkin caramu bertindak ada sesuatu yang kurang tepat, tapi pada hakikatnya kau tidak berbuat sesuatu kebusukan."
"Yan-pepek ...."
"Sudahlah, dapat melihat putra Kang Hong semacam kau, sungguh menggembirakan!"
kembali Yan Lam-thian terbahak-bahak, dia tertawa dengan air mata meleleh, jelas hatinya sangat gembira tapi juga pedih dan terharu.
Melihat pertemuan mereka yang mengharukan itu, tanpa terasa Thi Sim-lan juga menunduk dan meneteskan air mata. Hati si nona juga berkecamuk oleh rasa suka dan duka. Kalau kedukaan Siau-hi-ji masih dapat dipahami dan dihibur oleh Yan Lam-thian, tapi rasa duka dan sedihnya siapa yang tahu"
Mati-matian dia membela Siau-hi-ji agar tidak terbunuh oleh Hoa Bu-koat, sebaliknya kalau Siau-hi-ji membunuh Hoa Bu-koat ia pun akan susah, karena itulah dia berharap kedua anak muda dapat hidup berdampingan dengan damai.
Alangkah senangnya ketika menyaksikan Siau-hi-ji menyelamatkan Hoa Bu-koat, ia berharap permusuhan mereka akan dapat diakhiri setelah kejadian ini, siapa tahu mereka justru adalah musuh yang tidak mungkin saling mengampuni, permusuhan mereka tidak mungkin dilerai oleh siapa pun juga, tampaknya salah seorang di antara mereka harus mati di tangan yang lain, kalau tidak permusuhan mereka pasti takkan berakhir selamanya.
Akhir daripada drama permusuhan mereka itu kini rasanya sudah dapat dibayangkan oleh Thi Sim-lan, yang lebih membuatnya sedih ialah, demi Siau-hi-ji ia tidak sayang mengorbankan segalanya, akan tetapi Siau-hi-ji justru tidak sudi memandangnya barang sekejap saja.
Sementara itu Yan Lam-thian telah menarik Siau-hi-ji duduk di bawah pohon sana, tiba-tiba ia berkata, "Apakah kau tahu To Kiau-kiau, Li Toa-jui dan gerombolannya telah meninggalkan Ok-jin-kok?"
"Kutahu," jawab Siau-hi-ji.
"Jadi kau bertemu dengan mereka?"
Siau-hi-ji mengangguk, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, "Yan-pepek, maukah engkau mengampuni mereka?"
"Mana bisa kuampuni mereka?" teriak Yan Lam-thian gusar.
"Meski mereka berniat mencelakai Yan-pepek, tapi akhirnya gagal, apalagi, betapa pun juga mereka telah membesarkan aku, lebih-lebih lagi mereka juga sudah memperbaiki diri."
Yan Lam-thian termenung-menung sejenak, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, "Tak nyana meski kau ini tampaknya keras, nyatanya hatimu sangat lunak."
"Yan-pepek sendiri bukankah demikian juga?" ujar Siau-hi-ji.
Setelah berpikir lagi, akhirnya Yan Lam-thian menghela napas, katanya, "Demi kau, asalkan selanjutnya mereka benar-benar tidak berbuat jahat lagi, bolehlah kuampuni mereka."
"Hahaha!" Siau-hi-ji tertawa girang. "Bila mereka mendengar kabar ini, entah betapa gembiranya mereka dan selanjutnya masa mereka berani mengganggu orang lain."
Yan Lam-thian memandang Thi Sim-lan sekejap, lalu katanya dengan tersenyum,
"Sekarang sepantasnya kau bicara dengan nona itu, aku kan tidak boleh mengangkangi dirimu terus-menerus."
Tiba-tiba Siau-hi-ji menarik muka, jawabnya, "Aku tidak kenal nona itu."
"Kau tidak kenal dia?" Yan Lam-thian menegas dengan melengak.
"Hakikatnya aku belum pernah melihatnya sebelum ini," ucap Siau-hi-ji.
Remuk redam hati Thi Sim-lan, ia tidak tahan lagi, mendadak ia menangis sambil memburu ke arah Siau-hi-ji, tapi baru beberapa langkah mendadak ia membalik badan terus berlari pergi sambil menutupi mukanya.
Sekuatnya Siau-hi-ji menggigit bibir dan tidak berusaha menahan si nona.
Melihat Thi Sim-lan sudah pergi, Yan Lam-thian menatap Siau-hi-ji dengan tajam, tanyanya kemudian, "Bagaimana urusannya ini?"
Siau-hi-ji kuatkan hatinya, ucapnya dengan dingin, "Mungkin nona itu berpenyakit syaraf."
Yan Lam-thian menghela napas, katanya sambil menyengir, "Urusan orang muda seperti kalian ini sungguh membingungkan aku."
Meski dengan sebatang pedang dia sanggup memenggal kepala sang panglima di tengah pasukan yang berjuta prajurit, tapi menghadapi masalah cinta remaja yang ruwet begini dia benar-benar tidak paham dan tak berdaya.
Siau-hi-ji juga termangu-mangu setelah Thi Sim-lan berlari pergi, sampai lama sekali dia tidak sanggup bicara.
Setelah mengamat-amati pula anak muda itu, tiba-tiba Yan Lam-thian berbangkit, katanya dengan tertawa, "Kau masih tetap ingin berjuang sendiri atau hendak ikut aku?"
Barulah Siau-hi-ji terjaga dari lamunannya, dengan tertawa ia jawab, "Ikut Yan-pepek sudah tentu sangat baik, tapi kebanyakan orang akan lari terbirit-birit bila melihat Yan-pepek, maka aku jadi tiada pekerjaan dan lebih sering menganggur, jadi tiada artinya dan tidak menarik."
"Hahaha, kau memang anak yang bercita-cita tinggi!" kata Yan Lam-thian.
"Tapi aku pun ingin omong-omong lebih banyak dengan Yan-pepek ...."
"Besok saja pada saat yang sama akan kutunggu di sini, sekarang tiba-tiba aku teringat sesuatu urusan yang harus kukerjakan dan perlu berangkat segera!" ia tepuk-tepuk pundak Siau-hi-ji sambil tersenyum, pedangnya dijemput kembali, sekali melayang lantas lenyap dalam waktu singkat.
Sama sekali tak terpikir oleh Siau-hi-ji bahwa sang paman sekali bilang mau pergi segera pergi begitu saja, gumamnya dengan tertawa, "Watak Yan-pepek sungguh keras seperti api, entah urusan apa yang perlu dikerjakannya secara terburu-buru begini?"
Ternyata tidak diperhatikannya bahwa arah yang ditempuh Yan Lam-thian itu adalah satu jurusan dengan Thi Sim-lan.
Perlahan-lahan Siau-hi-ji ambil bunga layu yang menjatuhi muka Hoa Bu-koat, ia pegang tangan anak muda itu dan diam-diam menyalurkan hawa murni ke tubuh orang.
Selang tak lama, sekali lompat Hoa Bu-koat telah bangun, sinar matanya jelilatan memandang sekitarnya, ketika melihat Siau-hi-ji, ia terkejut dan bertanya, "He, mengapa kau berada di sini?"
Siau-hi-ji memandangnya dengan tersenyum tanpa menjawab, dari suaranya ia tahu Hoa Bu-koat tadi cuma semaput lantaran pergolakan hawa murni sendiri, tapi karena tenaga dalamnya cukup kuat, sama sekali tiada tanda-tanda terluka dalam.
Setelah mengingat-ingat kembali, kemudian Bu-koat bertanya pula, "Kau yang menyelamatkan aku?"
Siau-hi-ji tetap tidak menjawab.
Bu-koat terdiam dan memandangi Siau-hi-ji sekian lamanya, perlahan ia membalik tubuh ke sana seperti tidak ingin perubahan air mukanya dilihat oleh Siau-hi-ji.
Selang sejenak pula barulah ia bertanya dengan perlahan, "Di manakah nona Thi?"
"Nona Thi siapa?" jawab Siau-hi-ji tawar.
Bu-koat menghela napas panjang, ucapnya, "Kau tidak memahami dia ...."
"Hakikatnya aku tidak kenal dia, dengan sendirinya tidak memahami dia," jengek Siau-hi-ji.
Mendadak Hoa Bu-koat memutar balik lagi tubuhnya dan berteriak, "Mengapa kau menyelamatkan aku?"
"Waktu orang lain hendak membunuhku kau pun pernah menyelamatkan aku?" jawab Siauhi-ji tenang.
"Itu disebabkan aku harus membunuhmu dengan tanganku sendiri," kata Bu-koat.
Sinar mata Siau-hi-ji gemerdep, katanya, "Lalu tahukah bahwa aku pun ingin membunuhmu dengan tanganku sendiri" Jangan lupa, setelah tiga bulan berlalu kita masih ada suatu janji pertemuan maut."
Hoa Bu-koat termangu-mangu sejenak, kembali ia menghela napas dan bergumam,
"Pertemuan maut, tiga bulan lagi ...."
"Meski kita berdua adalah musuh taruhan mati tapi selama tiga bulan ini betapa pun kau tak dapat membiarkan aku dibunuh orang lain, begitu pula aku tak dapat membiarkan orang lain membunuhmu, betul tidak?"
"Betul," jawab Bu-koat.
"Itu dia!" seru Siau-hi-ji sambil bergelak tertawa, "Makanya dalam waktu tiga bulan ini kita bukan lagi musuh, pada hakikatnya boleh dikatakan adalah sahabat karib."
Dia tertawa dengan suara keras tapi dalam suara tertawanya penuh rasa haru dan rawan, ia menyambung pula, "Meski kau dan aku dilahirkan untuk menjadi lawan, tapi sedikitnya kita masih dapat berkawan selama tiga bulan, apakah kau sudi berkawan denganku selama tiga bulan ini?"
Hoa Bu-koat menatapnya dengan tajam, sampai lama sekali tidak menjawab dan juga tidak bergerak, tiba-tiba ujung mulutnya menampilkan. senyuman, nyata apa yang hendak dikatakannya sudah tersembul seluruhnya dalam senyumannya ini.
Kedua anak muda itu berjalan keluar hutan bersama, terlihat sebagian besar bunga telah rontok tergetar oleh hawa pedang, di tanah rontokan bunga ada yang sedang menari-nari tertiup angin.
Tanpa terasa Hoa Bu-koat menghela napas panjang, siapa tahu saat yang sama Siau-hi-ji juga menghela napas, kedua orang saling pandang dengan tersenyum.
Padahal sebelum ini bilamana bertemu tentu kedua orang akan saling labrak dan saling bunuh, tapi kini kedua anak muda ini jalan berendeng, baru sekarang tiba-tiba mereka mengetahui ada persamaan jalan pikiran mereka.
Bu-koat membatin, "Dapat berkawan selama tiga bulan dengan dia, rasanya memang bahagia." Biasanya dia memang pendiam, karena itu dia cuma membatin saja dan tidak diutarakan dengan mulut.
Tak tersangka Siau-hi-ji lantas berkata dengan tertawa, "Dapat berkawan denganmu selama tiga bulan, sungguh terasa suatu kebahagiaan ...."
Tentu saja Hoa Bu-koat melengak, tapi akhirnya ia tertawa terbahak-bahak. Selama hidupnya hampir belum pernah tertawa begini.
Pada saat itulah mereka melihat sebuah kereta berhenti jauh di sana. Agaknya kuda penarik kereta itu sudah terlatih, sebab itulah biarpun tiada saisnya, tapi masih tetap berhenti di situ.
Siau-hi-ji membuka pintu kereta, ia menunjukkan mayat di dalamnya dan berkata,
"Apakah kau tahu kusir kereta ini di bunuh oleh siapa?"
"Siapa?" terbelalak mata Hoa Bu-koat.
Siau-hi-ji berpikir sejenak, katanya kemudian dengan tertawa, "Umpama kukatakan sekarang tentu kau pun takkan percaya, tapi selanjutnya kau akan tahu dengan sendirinya."
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Sementara itu hari sudah gelap, sinar lampu sudah menyala, di restoran besar itu tampak tamu ramai berkunjung.
Kang Piat-ho dengan baju hijau tampak berseliweran kian kemari di antara tetamu undangannya, meski wajahnya tersenyum simpul, namun di antara mata-alisnya kelihatan rasa cemas seperti sedang menghadapi sesuatu persoalan pelik.
Seorang jago tua bernama Peng Thian-siu berjuluk "Kim-to-bu-tek" atau golok emas tanpa tanding, karena usianya paling tua, telah diminta duduk pada tempat utama.
Kini jago tua itu sedang mengelus jenggotnya yang sudah putih dan berkata dengan tertawa, "Apakah Kang-tayhiap sedang mengkhawatirkan Hoa-kongcu yang belum pulang?"
Benar juga Kang Piat-ho lantas menghela napas, katanya, "Ya, sudah malam begini dia masih belum pulang, Wanpwe memang rada khawatir."
"Dengan ilmu silat Hoa-kongcu, pula dia adalah satu-satunya ahli warisan Ih-hoa-kiong, siapakah di dunia Kangouw ini yang berani sembarangan main-main kumis harimau, bila Kang-tayhiap berkhawatir baginya, kukira rada-rada berlebihan," kata Thian-siu.
"Aku pun yakin takkan terjadi apa-apa atas dirinya," jawab Kang Piat-ho dengan tersenyum kecut. "Tapi entah mengapa, hatiku merasakan sesuatu alamat tidak enak ....
Ya, semoga tidak terjadi alangan apa pun, bila dia benar-benar mengalami sesuatu bahaya, sebaliknya kita makan minum dan senang-senang di sini, lalu kelak cara bagaimana harus kuhadapi kawan-kawan Kangouw."
Serentak terdengarlah suara gegetun dan memuji atas budi luhur "Kang-lam-tayhiap".
"Keluhuran Kang-tayhiap terhadap teman sungguh sukar dibandingi siapa pun, sungguh beruntunglah bagi mereka yang dapat mengikat persahabatan dengan Kang-tayhiap," ucap Peng Thian-siu dengan suara lantang.
Tak terduga seorang mendadak menukas dengan tertawa, "Haha, memang betul, siapa yang dapat bersahabat dengan Kang Piat-ho, benar-benar leluhurnya telah banyak mengumpulkan pahala."
Di tengah suara tawa lantang itu muncul seorang muda dengan perawakan kekar gagah, meski mukanya ada sejalur codet panjang, namun tidak mengurangi daya pengaruhnya yang sukar dilukiskan.
Meski usianya belum banyak, tapi lagaknya tidaklah kecil, senyumnya meski kelihatan ramah dan menarik, tapi sorot matanya yang mengerling kian kemari seakan-akan tiada seorang pun yang terpandang olehnya.
Di antara hadirin itu ternyata tiada seorang pun yang kenal siapakah gerangan anak muda ini, dalam hati masing-masing sama membatin mungkin pemuda ini juga anak keluarga ternama atau ahli waris sesuatu aliran termasyhur. Kalau tidak mustahil sikapnya begini angkuh tapi berwibawa.
Air muka Kang Piat-ho berubah seketika demi melihat anak muda ini, serunya dengan tergegap, "He, kenapa kau pun datang ... datang ke sini?"
"Memangnya aku tidak boleh datang kemari?" ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
Belum lagi Kang Piat-ho bersuara, terlihat orang yang datang bersama Siau-hi-ji, yaitu Hoa Bu-koat, juga telah muncul di atas loteng dan berdiri di sisi Siau-hi-ji dengan tersenyum.
Bahwa Siau-hi-ji mendadak bisa muncul di sini, ini sudah membuat Kang Piat-ho terkejut.
Bahwa Hoa Bu-koat ternyata masih hidup dan tidak berkurang suatu apa pun, untuk kedua kalinya Kang Piat-ho terkejut.
Bahwa Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat ternyata datang bersama, bahkan seakan-akan dari lawan telah menjadi kawan, untuk ketiga kalinya Kang Piat-ho terkejut. Bahkan kejut yang ketiga ini sungguh luar biasa dan membuatnya mendelik.
Para tamu sama berdiri menyambut kedatangan Hoa Bu-koat, ada juga yang menyapa sehingga hampir tiada yang tahu sikap Kang Piat-ho yang terkesiap dan berdiri melenggong itu.
Sama sekali sukar dibayangkannya cara bagaimana Hoa Bu-koat bisa lolos di bawah pedang sakti Yan Lam-thian, ia pun tak dapat membayangkan ke mana perginya Yan Lam-thian sekarang, lebih-lebih tak terbayangkan olehnya bahwa Hoa Bu-koat bisa berada bersama Siau-hi-ji, bahwa tampaknya kedua anak muda ini seakan-akan kawan karib saja.
Dengan penuh tanda tanya di dalam benaknya itu sebenarnya ia ingin minta penjelasan kepada Hoa Bu-koat, namun ada sementara pertanyaan yang tidak leluasa ditanyakan, ada sebagian pula pertanyaan yang tidak dapat diajukan secara terbuka, karena itulah ia terkesima agak lama, habis itu baru ingat seyogianya dirinya harus memperlihatkan rasa khawatir dan perhatiannya terhadap Hoa Bu-koat.
Akan tetapi sayang, sikap perhatian apa pun yang hendak dikemukakannya semuanya sudah terlambat kini.
Pada beberapa tempat duduk utama masih luang, sejak tadi yang satu menyilakan yang lain dan yang lain mengalah pula kepada yang lain lagi, jadinya tetap kosong. Sekarang Siau-hi-ji tanpa sungkan-sungkan lagi terus mendekatinya dan duduk di situ dengan lagak seperti tuan besar, seakan-akan dia memang dilahirkan untuk duduk di tempat utama demikian, meski orang lain melotot padanya juga tidak peduli, malahan ia lantas angkat cawan di atas meja yang masih kosong, katanya tiba-tiba dengan tertawa, "He, Kang-tayhiap menjamu tamu, masa arak saja tidak ada"!"
Dengan kikuk Kang Piat-ho berdehem, lalu berseru, "Bawakan arak!"
Siau-hi-ji tertawa dan berkata pula, "Melihat sikap Kang-tayhiap, tampaknya tidak begitu suka kepada tamu tak diundang seperti diriku ini" Tapi perlu diketahui bahwa kedatanganku ini bukan kehendakku sendiri melainkan atas undangan Hoa-kongcu."
Air muka Kang Piat-ho berubah pula, tapi ia sengaja berlagak tertawa dan berkata, "Tamu Hoa-heng kan juga tamuku!"
"Jika demikian, jadi kawan Hoa Bu-koat berarti juga kawanmu?" tanya Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Ya, begitulah," jawab Piat-ho.
Mendadak Siau-hi-ji menarik muka dan menjengek, "Tapi kawan Hoa Bu-koat sekali-kali bukanlah kawanku!"
Sejak Siau-hi-ji menduduki tempat utama dengan lagak tuan besar, sejak itu para tamu merasa sirik, cuma orang tidak tahu apa hubungannya dengan Kang Piat-ho, maka tiada seorang pun berani buka mulut. Kini setelah mengikuti tanya jawab antara Siau-hi-ji dan Kang Piat-ho tadi, tahulah mereka bahwa anak muda itu tiada hubungan apa-apa dengan Kang-tayhiap yang mereka hormati itu.
Jilid 5. Bakti Binal
Maka jago tua "Kim-to-bu-tek" Peng Thian-siu yang pertama-tama tidak tahan, segera ia menjengek, "Hm, cara bicara sahabat cilik ini sungguh sukar dipahami."
"Kau tidak paham bicaraku?" tanya Siau-hi-ji.
"Ya, tidak paham," jawab Peng Thian-siu.
"Maksudku, jika kau anggap kawan Hoa Bu-koat juga kawanku, maka aku benar-benar sebal dan sialan habis-habisan. Meski pribadi Hoa Bu-koat masih boleh juga, tapi kawannya ... he, hehehe!"
"Memangnya bagaimana kawannya?" Peng Thian-siu menegas pula.
"Kawannya itu sungguh manusia berhati binatang, bukan saja melihat bahaya menimpa teman sendiri tidak memberi bantuan, bahkan ...."
"Siapa yang kau maksudkan?" damprat Peng Thian-siu gusar.
"Siapa yang mengaku kawan Hoa Bu-koat, dialah yang kumaksud," jawab Siau-hi-ji.
"Kang-tayhiap juga kawan karib Hoa-kongcu, memangnya kau maksudkan ...."
"Yang jelas orang yang kumaksudkan pasti bukan kau," jengek Siau-hi-ji. "Sebab nilaimu untuk menjadi kawan Hoa Bu-koat masih belum cukup, paling-paling kau hanya mahir menjilat pantat Kang Piat-ho saja."
"Brak", dengan keras Peng Thian-siu menggebrak meja dan membentak dengan bengis,
"Kurang ajar! Apakah kau tahu siapa diriku?"
"Oya, memang aku tidak tahu," jawab Siau-hi-ji.
Belum lagi Peng Thian-siu membuka suara, di samping sudah ada yang menukas, "Huh, nama "golok emas tanpa tandingan" Peng-loenghiong saja tidak tahu, berdasar apa kau berani berkecimpung di dunia Kangouw?"
"O, kiranya Peng-loenghiong," kata Siau-hi-ji.
Peng Thian-siu mengira anak muda itu telah kena gertak oleh nama besarnya, dengan tertawa yang dibuat-buat ia menatap Siau-hi-ji.
Tak terduga anak muda itu lantas menyambung pula, "Tapi julukan Peng-loenghiong kukira harus diganti yang lebih mentereng dan tepat."
"Ganti apa?" tanya Peng Thian-siu.
"Jika julukanmu diganti menjadi "penjilat pantat tanpa tandingan", wah, jadinya tepat dan kena pada sasarannya," ucap Siau-hi-ji.
Di tengah perjamuan Kang Piat-ho sebenarnya Peng Thian-siu merasa rikuh untuk beraksi, tapi sebegitu jauh tuan rumah itu ternyata tidak mencegah, bahkan seakan-akan tidak mau tahu ada ribut-ribut ini.
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Kang Piat-ho justru berharap Siau-hi-ji akan mengikat permusuhan sebanyak-banyaknya dan ini berarti akan menguntungkan posisinya, Peng Thian-siu mengira berdiamnya Kang Piat-ho memang sengaja memberi kesempatan padanya untuk menghajar anak muda penyatron itu. Apalagi setelah mendengar istilah
"penjilat pantat tanpa tandingan", tentu saja ia tidak tahan, sambil meraung, dari balik meja sana segera ia menubruk ke arah Siau-hi-ji.
Kedatangan Siau-hi-ji ini memang sengaja hendak mencari perkara, sengaja mengacau, ia hanya tertawa saja menghadapi tubrukan Peng Thian-siu itu, mendadak ia angkat sumpit di depannya dan menutuk perlahan.
Seketika Peng Thian-siu merasa tubuhnya kaku kesemutan dan tak dapat mengeluarkan tenaga. "Blang", kontan ia jatuh terguling di atas meja, mangkuk piring menjadi berantakan.
Dengan mengikik tawa Siau-hi-ji berseru, "Kang Piat-ho, kenapa kau begini kikir, santapan lezat tidak suruh menghidangkan, memangnya kau gunakan si penjilat pantat ini sebagai hidangan?"
Sudah tentu di antara hadirin itu banyak terdapat kawan Peng Thian-siu, yang duduk berdekatan sudah sama berdiri dan siap turun tangan.
Tenang-tenang saja Hoa Bu-koat memandang Kang Piat-ho, tapi Kang Piat-ho tetap diam saja, sama sekali tiada maksud melerai seakan-akan tiada sangkut-pautnya dengan dia.
Maklumlah, Kang Piat-ho justru berharap agar suasana ini bertambah kacau. Maka terdengarlah suara gemuruh, Peng Thian-siu telah terguling ke bawah dan meja juga terbalik, beberapa orang lantas menerjang maju, tapi semuanya kena dicengkeram kuduknya oleh Siau-hi-ji dan dilempar keluar.
Pelayan restoran itu seketika kelabakan, ia menjerit-jerit sambil mengukuti perabot di meja lain. Loteng restoran itu seketika menjadi kacau balau.
Setelah menyaksikan kelihaian ilmu silat Siau-hi-ji, tampaknya tetamu yang lain menjadi kapok dan tidak berani maju lagi.
Baru sekarang Kang Piat-ho membuka suara dengan berkerut kening, "Hoa-heng, persoalan ini cara bagaimana menyelesaikannya menurut pendapatmu?"
"Entah, aku pun tidak tahu," jawab Hoa Bu-koat dengan tersenyum hambar.
Sama sekali tak terduga oleh Kang Piat-ho bahwa "kawan karib" yang diandalkan ini bisa mengucapkan kata-kata demikian, ia jadi melengong.
Dalam pada itu terdengar deru angin menyambar tiba, kepalan Siau-hi-ji menonjok ke arahnya sambil membentak, "Kang Piat-ho, tatkala kau tahu Hoa Bu-koat sedang menghadapi bahaya, diam-diam kau mengeluyur pergi malah, bahkan kau khawatir kusir kereta itu membocorkan kepengecutanmu, maka telah kau bunuh kusir itu untuk melenyapkan saksi hidup. Tujuanku sekarang tiada lain kecuali ingin menghajar adat padamu. Nah, sambutlah pukulanku ini!" Sambil bicara sekaligus dia melancarkan belasan kali pukulan.
Kang Piat-ho tetap berkelit saja tanpa balas menyerang. Setelah Siau-hi-ji berhenti bicara barulah dia mengejek, "Hm, saudara jangan suka memfitnah, betapa pun tiada seorang pun yang mau percaya pada ocehanmu!"
"Hah, barangkali kau sangka sekali ini pun tidak mungkin ada bukti dan saksi lagi?" jengek Siau-hi-ji.
"Mana buktimu?" bentak Kang Piat-ho.
"Supaya kau tahu bahwa kusir kereta itu meski kau tikam, tapi dia belum lagi mati," teriak Siau-hi-ji.
Tanpa terasa air muka Kang Piat-ho berubah juga.
Mendadak Siau-hi-ji melangkah mundur sembari berseru dan menuding ke belakang Kang Piat-ho, "Lihatlah, dia muncul dari sebelah sana!"
Serentak para tamu menoleh ke arah yang ditunjuk itu. Tapi Kang Piat-ho justru cuma mendengus saja, "Hm, jangan kau tipu aku, dia sudah "." mendadak ia berhenti berucap lebih lanjut, mukanya menjadi pucat.
"Benar, aku memang tak dapat menipumu," tukas Siau-hi-ji dengan tertawa, "Bahwasanya semua orang sama menoleh ke sana, hanya kau saja yang tidak percaya, soalnya kau tahu kusir itu tidak mungkin hidup kembali, begitu bukan?" Tadi dia sengaja mengacau dan membikin suasana menjadi berantakan, pertama dia sengaja hendak menggertak orang lain, berbareng itu supaya hati Kang Piat-ho tidak tenteram, dengan demikian manusia yang licik lagi licin ini dapatlah ditipu.
Kang Piat-ho menyapu pandang hadirin, dilihatnya para tamu itu sama mengunjuk rasa heran dan sangsi padanya, diam-diam ia merasa gelisah, cepat ia melompat ke depan Hoa Bu-koat dan bertanya, "Hoa-heng, kau percaya padanya atau lebih percaya padaku?"
Bu-koat menghela napas, katanya, "Sudahlah, urusan ini tak perlu diungkit lagi ...."
"Diungkit atau tidak urusan ini yang pasti aku ingin berkelahi dengan dia," seru Siau-hi-ji.
"Nah, coba katakan, engkau akan bantu dia atau membantu diriku?"
"Jika kalian memang harus saling gebrak, maka siapa pun tidak boleh ikut campur," ucap Bu-koat.
Justru ucapan Hoa Bu-koat inilah yang ditunggu-tunggu Siau-hi-ji, segera ia berseru,
"Bagus, bilamana ada orang lain berani ikut campur, maka kau yang bertanggung jawab."
Begitu habis kata-katanya, kontan dia menghantam Kang Piat-ho pula.
Tadi Kang Piat-ho telah dicecar belasan kali pukulan oleh Siau-hi-ji tanpa menyenggol sedikit pun ujung bajunya, maka dia pikir kepandaian anak muda itu paling-paling juga cuma sekian saja, kenapa mesti takut, segera ia menjengek, "Jika saudara berkeras ingin turun tangan, ya, jangan menyalahkan lagi orang she Kang!"
Baru habis ucapannya kembali Siau-hi-ji memberondong empat-lima kali jotosan pula.
Setelah diobrak-abrik tadi, loteng restoran itu sekarang sudah terluang cukup luas, meja kursi sudah sama tersingkir, maka kebetulan dapat digunakan sebagai arena pertarungan mereka.
Begitulah Kang Piat-ho lantas mulai melancarkan pukulan balasan, pukulan yang dahsyat, gerakannya sukar diraba, sama sekali berbeda daripada cara menghantam Siau-hi-ji yang telah berlangsung berpuluh kali tadi.
Setiap menghadapi pukulan Kang Piat-ho tampaknya Siau-hi-ji rada kerepotan dan harus berusaha sebisanya barulah dapat menghindar.
Melihat itu, hadirin lantas bersorak-sorai bagi Kang Piat-ho.
Kang Piat-ho tahu pada umumnya orang-orang Kangouw hanya memandang pihak yang kuat, yang menanglah yang berkuasa, asalkan dirinya dapat menjatuhkan Siau-hi-ji dan membinasakannya kalau bisa, maka urusan membunuh si kusir tadi tentu tiada orang berani mengusut pula.
Berpikir demikian semangatnya lantas terbangkit, segera ia mengejek, "Para kawan Kangouw yang hadir di sini dapat menjadi saksi bahwa kau sendiri yang cari perkara dan bukan aku orang tua menghajar anak kecil."
Siau-hi-ji masih tekun berkelahi dan menghindar kian kemari dengan kerepotan seakan-akan adu mulut saja tidak sanggup lagi, setelah berlangsung belasan jurus, berulang-ulang ia telah menghadapi serangan berbahaya.
Semula Kang Piat-ho menyangsikan Siau-hi-ji adalah orang yang selalu main gila padanya secara diam-diam itu, maka senantiasa dia berwaspada, tapi kini melihat ilmu silat Siauhi-ji hanya biasa saja dan tiada sesuatu yang istimewa, rasa curiganya lantas lenyap, daya serangnya menjadi rada kendur pula, dengan tersenyum ia berkata, "Meski kau tidak tahu aturan dan sengaja cari setori, tapi mengingat kau masih muda belia, betapa pun aku tidak tega membikin susah dirimu, asalkan mau mengaku salah dan minta maaf, mengingat kau juga kenal Hoa-heng, bolehlah nanti kuampunimu."
Cara bicaranya ini sungguh berbudi luhur dan murah hati, bahkan juga menghargai Hoa Bu-koat, benar-benar perilaku seorang "Kang-lam-tayhiap" yang bijaksana.
Siau-hi-ji tidak menjawab, napasnya kelihatan tersengal-sengal seolah-olah bicara saja sukar.
Padahal dia sudah mempunyai perhitungan, di depan orang banyak ia yakin Kang Piat-ho pasti akan berlagak sebagai "pendekar besar". Ia tahu semakin dirinya pura-pura lemah, Kang Piat-ho semakin tidak mengeluarkan serangan maut, sebabnya mudah dimengerti, dia harus menjaga harga diri sebagai seorang "pendekar besar" dan tidak mungkin menyerang seorang anak muda yang bukan tandingannya.
Benar juga perhitungan Siau-hi-ji, serangan Kang Piat-ho telah mulai kendur.
Segera ada sementara hadirin yang berteriak, "Terhadap pengacau begini, buat apa Kang-tayhiap sungkan padanya?"
"Benar," segera ada lagi yang menyokong. "Jika Kang-tayhiap tidak menghajar adat padanya, kelak dia akan tambah kurang ajar dan tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi."
Sudah barang tentu, orang-orang yang tadi kena dihajar oleh Siau-hi-ji segera pula ikut menghasut.
Kang Piat-ho berlagak, "Usiamu masih muda, sesungguhnya aku tidak tega melukaimu, tapi kalau kau tidak dihajar adat, tampaknya orang lain pun ikut penasaran ...." Tengah bicara kembali Siau-hi-ji dipaksa mundur lagi beberapa tindak.
Tampaknya Siau-hi-ji telah didesak mundur ke pojok yang buntu dan sama sekali tidak sanggup balas menyerang. Dengan tersenyum Kang Piat-ho lantas berkata pula, "Awas, jurus seranganku ini akan menghantam dadamu, paling baik janganlah kau berbelit atau menangkis, sebab bila pukulanku bertambah berat, bisa jadi kau akan celaka."
"Terima kasih atas peringatanmu," ucap Siau-hi-ji.
Dilihatnya Kang Piat-ho mengayun tangan kiri ke depan, tapi mendadak tangan kanan menghantam dari samping langsung menuju ke dada Siau-hi-ji. Pukulan ini sebenarnya tiada sesuatu yang aneh, cuma gerak perubahannya sangat cepat, sekalipun sebelumnya dia telah memberitahukan tempat yang akan diserangnya, tapi arah datangnya pukulan itu sama sekali tak tersangka oleh hadirin.
Tampaknya Siau-hi-ji tak mampu menghindarkan lagi pukulan ini, maka hadirin serentak bersorak memuji.
Di tengah sorak-sorai itu mendadak terdengar suara "blang" yang keras, dua tangan telah beradu, sekonyong-konyong Siau-hi-ji mengulur tangan menyambut mentah-mentah pukulan Kang Piat-ho itu.
Seketika Kang Piat-ho merasa suatu arus tenaga mahadahsyat membanjir tiba, segera ia bermaksud mengerahkan tenaga untuk melawan, tapi sudah terlambat, "bluk", tubuhnya tergetar mencelat ke belakang.
Dendam Siau-hi-ji yang tertahan sekian lamanya akhirnya terlampias pada pukulan ini.
Terlihat tubuh Kang Piat-ho menumbuk kerumunan para penonton, beberapa orang yang berdiri paling depan sama tertumbuk oleh tubuh Kang Piat-ho dan jatuh terjungkal semuanya.
Seketika suara sorak-sorai tadi "cep-klakep", semuanya terdiam dengan melongo.
Tertampak Siau-hi-ji bertepuk tangan dan bergelak tertawa, lalu menerobos keluar jendela dan tinggal pergi.
Biarpun belum dapat menghajar Kang Piat-ho dengan sepuas-puasnya, tapi Siau-hi-ji sudah membuatnya kehilangan muka di depan orang banyak, rasa dendamnya kini sudah terlampias, hatinya senang tak terkatakan.
Ia tahu bila perkelahian itu diteruskan, betapa pun dirinya belum tentu dapat mengalahkan Kang Piat-ho, apalagi keadaan sudah begini, rasanya Hoa Bu-koat tidak boleh tinggal diam lagi.
"Tahu batas", inilah falsafat hidup Siau-hi-ji. Umpama para hadirin itu belum percaya penuh Kang Piat-ho benar-benar manusia munafik, paling sedikit di dalam hati mereka sekarang sudah mulai timbul rasa curiga. Dan asalkan semua orang sudah merasa curiga, itu berarti maksud tujuan Siau-hi-ji sudah tercapai. Ia pun tahu nama baik Kang Piat-ho yang dipupuknya selama ini tidak mungkin dihancurkan olehnya hanya dalam sekejap saja, tapi harus dipapas dari sedikit demi sedikit.
Setelah berkeliling di jalan kota, kemudian dia kembali ke hotelnya, ia istirahat sebentar di kamarnya, ketika di halaman tiada orang, diam-diam ia mengeluyur keluar lagi.
Dilihatnya kamar yang berpenghuni penuh rahasia itu masih tertutup rapat, ada cahaya lampu di dalam kamar, tapi tidak kelihatan bayangan orang.
Setelah melongok kian kemari, kemudian Siau-hi-ji melompat ke atas rumah, diam-diam ia merayap ke emper kamar itu dan mendekam di situ.
Di dalam tiada terdengar sesuatu suara, mungkin tokoh rahasia itu sudah tidur atau telah berangkat pergi. Tapi Kang Piat-ho sudah berjanji akan menemuinya lagi, mana mungkin dia pergi begitu saja" Apalagi di dalam kamar jelas ada cahaya lampu.
Dengan sabar Siau-hi-ji menunggu, ia yakin Kang Piat-ho tidak mungkin tidak datang.
Di langit bintang bertaburan, malam kelam dan hening, tunggu punya tunggu, hampir saja Siau-hi-ji tertidur di situ.
Semula di kamar hotel bagian belakang sana sayup-sayup ada suara alat gesek dan orang bernyanyi, agaknya ada tetamu sedang menanggap tukang nyanyi kelilingan, akhirnya suara nyanyi juga lenyap dan tiada terdengar sesuatu suara pula.
Tiba-tiba seorang pelayan dengan membawa tenglong (lampu berkurudung kertas) serta sebuah poci teh besar memasuki halaman tengah, dilihatnya di kamar ini masih ada cahaya lampu, pelayan itu mendekati dan mengetuk pintu perlahan, katanya, "Apakah tuan tamu perlu air minum?"
Tapi tiada suara jawaban di dalam kamar. Meski pelayan mengulangi lagi pertanyaan dan tetap tiada suara jawaban, akhirnya pelayan itu melangkah pergi sambil menggerundel,
"Tuan tamu ini sungguh pelit, tidak makan dan tidak minum, sepanjang hari menutup diri saja di dalam kamar, agaknya sedang puasa atau ingin hemat?"
Siau-hi-ji merasa heran. Tindak tanduk orang itu mengapa sedemikian aneh dan penuh rahasia, apakah khawatir dilihat orang lain" Apa pula yang dirundingkannya dengan Kang Piat-ho.
Tiba-tiba terdengar suara mendesir perlahan, sesosok bayangan orang melayang tiba seenteng asap, betapa tinggi Ginkangnya sungguh tak pernah dilihat oleh Siau-hi-ji, hakikatnya dia tidak jelas bagaimana bentuk tubuh orang itu.
Baru saja ia terkejut, terdengar suara pintu kamar di bawah menguak perlahan, orang itu sudah melangkah masuk. Habis itu di dalam kamar tiada sesuatu suara pula.
Diam-diam Siau-hi-ji berkerut kening. Bayangan yang gesit dan enteng ini, kiranya adalah tokoh penuh rahasia yang tinggal di kamar ini, rupanya ia keluar sejak tadi dan baru sekarang pulang.
Ginkang orang ini ternyata sedemikian tingginya, jangankan Siau-hi-ji sendiri merasa bukan tandingannya, bahkan Hoa Bu-koat juga kalah setingkat dibandingkan dia. Sungguh luar biasa bahwa di dunia persilatan masih ada tokoh selihai ini.
Tokoh selihai ini berkomplotan dengan Kang Piat-ho, sungguh sangat menakutkan akibatnya.
Selagi Siau-hi-ji berpikir, tiba-tiba dilihatnya seorang menyelinap masuk ke halaman pula, orang ini mengenakan pakaian hitam, kepala memakai topi anyaman yang besar dan lebar sehingga wajahnya setengah tertutup.
Orang ini celingukan kian kemari dan mendekati kamar di bawah ini, setiba di depan pintu, dia berdehem perlahan, lalu mengetuk pintu.
"Siapa?" segera ada orang bertanya dari dalam dengan suara tertahan.
"Wanpwe," jawab si baju hitam dengan suara perlahan.
Dari suaranya barulah Siau-hi-ji tahu Kang Piat-ho telah datang. Seketika semangatnya terbangkit.
Sementara itu pintu kamar telah dibuka, Kang Piat-ho terus menyelinap masuk ke dalam, kedua orang bicara beberapa patah kata, tapi tak terdengar jelas oleh Siau-hi-ji.
Tiba-tiba terdengar Kang Piat-ho berkata, "Hari ini Wanpwe melihat sesuatu yang mengejutkan."
"Hal apa?" tanya orang itu.
"Yan Lam-thian belum mati, malahan sudah muncul kembali!" tutur Kang Piat-ho.
Bagi orang Kangouw, tak peduli siapa pun juga bila mendengar berita ini betapa pun pasti akan terkejut, tapi orang itu ternyata anggap sepi saja, bahkan nada ucapannya acuh tak acuh, "Memangnya kenapa kalau Yan Lam-thian muncul kembali?"
Kang Piat-ho melengak, katanya kemudian dengan mengiring tawa, "Dengan ilmu silat Cianpwe, dengan sendirinya Yan Lam-thian sama sekali tiada artinya."
"Hm, lebih bagus kalau Yan Lam-thian tidak mati, kalau mati bagiku menjadi kurang menarik malah," kata orang itu.
Makin heran Siau-hi-ji mendengar kata-kata ini, tampaknya orang ini sedikit pun tidak gentar terhadap Yan Lam-thian, bahkan nadanya seperti ada hasrat ingin perang tanding dengan Yan Lam-thian.
Terdengar Kang Piat-ho berkata pula, "Tapi masih ada kejadian lain yang juga tidak kurang mengejutkan, ilmu silat Kang Siau-hi ternyata juga telah maju pesat."
Orang tadi seperti tersenyum dan menjawab, "Malahan kukhawatir ilmu silatnya terlalu rendah, jika tambah maju barulah aku senang."
Tentu saja Siau-hi-ji semakin heran, sama sekali tak terpikir olehnya mengapa orang ini begini memperhatikan dirinya, mungkin tokoh rahasia ini mengenalnya"
Didengarnya orang itu berkata pula, "Pokoknya betapa pun tinggi ilmu silat Kang Siau-hi itu pasti akan dilayani oleh Hoa Bu-koat, kau sendiri tak perlu khawatir."
"Tapi ... tapi sekarang Hoa Bu-koat seakan-akan bersahabat karib dengan Kang Siau-hi ...."
"Kedua anak muda itu justru dilahirkan untuk menjadi musuh, sebelum salah satu mati belum akan tamat. Umpama bisa menjadi sahabat juga takkan langgeng, untuk ini kau pun tidak perlu khawatir."
Siau-hi-ji terkejut pula, ia heran mengapa orang ini bisa sedemikian jelas mengetahui seluk-beluk Hoa Bu-koat dengan dirinya" Padahal orang yang tahu urusan ini sesungguhnya tidaklah banyak.
Agaknya Kang Piat-ho tertawa puas, katanya, "Jika demikian, entah Cianpwe ada pesan apa pula kepada Tecu?"
"Aku cuma minta kau ...." tiba-tiba suaranya ditekan rendah sehingga Siau-hi-ji tidak dapat mendengar sama sekali. Hanya terdengar orang itu mengucapkan satu kalimat dan segera Kang Piat-ho mengiakan.
Setelah orang itu bicara lagi barulah terdengar Kang Piat-ho menjawab dengan tertawa,
"Beberapa urusan ini pasti akan Wanpwe kerjakan dengan baik."
"Beberapa urusan ini pun menyangkut kepentinganmu, dengan sendirinya kau harus menurut dan mengerjakannya," jengek orang itu.
Kang Piat-ho seperti termenung sejenak, lalu berkata pula, "Setiap kali Cianpwe hendak memberi pesan apa-apa segera juga Wanpwe datang kemari, tapi sampai saat ini nama Cianpwe yang mulia belum juga kuketahui."
"Namaku tidak perlu kau tahu, cukup asal kau tahu bahwa di dunia ini selain aku tiada orang lain yang dapat membantumu, tanpa aku, bukan saja kau tidak berhasil menjadi
"tayhiap", bahkan hidup saja menjadi tanda tanya bagimu."
Kang Piat-ho tertegun sejenak, jawabnya kemudian, "Ya."
"Nah, sekarang boleh kau pergi, tiba waktunya nanti tentu akan kucari kau."
Kembali Kang Piat-ho mengiakan.
Lalu orang itu menambahkan, "Beberapa urusan yang kutugaskan padamu itu bila mengalami kegagalan, tatkala mana tidak perlu Yan Lam-thian atau Kang Siau-hi, aku sendiri juga akan membinasakan kau. Nah, tahu tidak?"
Kang Piat-ho mengiakan pula.
Sampai di sini barulah Siau-hi-ji tahu bahwa Kang Piat-ho sendiri pun tidak kenal asal-usul tokoh maharahasia ini, hanya lantaran terpengaruh oleh ilmu silatnya yang mahalihai, maka "pendekar besar" itu terpaksa tunduk kepada segala perintahnya.
Dilihatnya Kang Piat-ho keluar dari kamar dengan tunduk kepala, ia celingukan sejenak dan tiada sesuatu bayangan, segera ia menyelinap cepat keluar halaman sana.
Tiba-tiba Siau-hi-ji mendapat ilham, diam-diam ia pun mengeluyur pergi. Kini telah diketahui ilmu silat orang di dalam kamar itu mahatinggi, maka sedikit pun ia tidak berani gegabah, syukur gerak-geriknya tidak sampai diketahui orang.
Setelah melintas beberapa deret rumah barulah Siau-hi-ji berani melompat turun, dari pintu ujung dia masuk kembali ke halaman dan menuju dapur, dilihatnya api tungku masih belum padam, di atas tungku masih ada cerek dengan airnya yang mendidih.
Ia bawa cerek itu dan balik menuju ke tempat tadi, cahaya lampu kamar itu masih menyala, Siau-hi-ji mendekatinya dan mengetuk pintu, serunya, "Tuan tamu, apakah perlu tambah air minum?"
Yang dituju Siau-hi-ji hanya ingin melihat wajah asli tokoh penuh rahasia ini, maka tanpa menghiraukan bahaya ia berlagak sebagai pelayan, juga tidak terpikir olehnya apakah dirinya takkan dikenali orang"
Tapi ternyata tiada suara jawaban di dalam kamar. Setelah Siau-hi-ji mengulangi lagi dengan suara lebih keras dan tetap tiada reaksi apa-apa. Diam-diam ia berkerut kening, apakah mungkin orang itu sudah pergi lagi"
Ia tabahkan hati dan mendorong daun pintu dengan perlahan. Pintu ternyata tidak dipalang, begitu ditolak segera terbuka.
Dilihatnya di atas meja ada sebuah lampu dan di samping ada sebuah nampan dengan sebuah poci teh serta empat buah cangkir, tapi poci dan cangkir teh itu sama sekali belum terpakai.
Waktu dia mengawasi tempat tidur, bantal selimut komplet, tapi masih terlipat rapi, sedikit pun belum disentuh orang.
Nyata, meski tinggal di kamar ini, tapi orang yang penuh rahasia itu sama sekali tidak menyentuh sesuatu benda di dalam kamar, jelas dia hanya menggunakan kamar ini sebagai tempat bicara dengan Kang Piat-ho. Bilamana Kang Piat-ho harus datang barulah ia sendiri datang ke sini, kalau Kang Piat-ho pergi segera ia pun berangkat, sampai air teh juga tidak diminumnya barang seceguk pun.
Siau-hi-ji sengaja bergumam, "Mungkin poci ini kosong, biarlah kutambahi agar tuan tamu nanti tidak kehabisan air minum." Sembari bersuara ia terus melangkah masuk kamar.
Begitu berada di dalam, segera ia mengendus semacam bau harum yang aneh, seperti bau harum anggrek dan seperti mawar pula, rasanya seperti berada di kebun bunga saja yang harum semerbak.
Selama hidup Siau-hi-ji tidak pernah mencium bau wangi semacam ini, seketika ia merasa nikmat sekali dan hampir-hampir mabuk.
Selain bau harum aneh ini tiada terdapat sesuatu tanda yang mencurigakan di dalam kamar ini, kecuali bau harum ini pada hakikatnya kamar ini seperti tidak pernah dihuni orang.
Siau-hi-ji tahu hotel ini cukup besar, tapi kurang perawatan, pelayan juga kurang rajin, hampir di setiap sudut terdapat sawang dan debu kotoran.
Tapi kamar ini tenyata lain daripada yang lain, tersapu bersih, bahkan lantai di kolong tempat tidur juga resik sekali, apalagi meja kursi dan lemari, semuanya seperti habis dicuci dan digosok hingga mengkilap.
Sungguh aneh, padahal orang yang penuh rahasia itu hanya menggunakan kamar ini sebagai tempat bicara dengan Kang Piat-ho dan bukan tempat tinggal, apalagi semua barang di dalam kamar sama sekali tidak disentuhnya, lalu untuk apa dia membersihkan kamar ini sedemikian resiknya, bahkan tersebar pula bau harum seenak ini.
Ia menjadi sangsi jangan-jangan orang aneh itu mempunyai kelainan jiwa, suka kepada sesuatu yang khas.
Tanpa terasa Siau-hi-ji mengernyitkan dahi dan bergumam, "Orang yang suka pada kebersihan begini sungguh jarang ada ...."
"Siapa kau!" Untuk apa masuk ke sini?" tiba-tiba seorang menegurnya dengan nada dingin.
Suara ini jelas datang dari belakang Siau-hi-ji.
Keruan kejut Siau-hi-ji tak terperikan, namun dengan mengulum senyum ia menjawab, "O, hamba datang ke sini untuk mengetahui apakah tuan tamu perlu tambah air minum atau tidak."
"Kau pelayan hotel?" tanya orang itu.
Siau-hi-ji mengiakan.
"Yang datang siang tadi seperti bukan kau."
"Oya, Ci-lotoa dinas siang dan hamba Ong Sam dinas malam," jawab Siau-hi-ji.
"Huh, Kang Siau-hi-ji ternyata pintar mengibul dan pandai melihat gelagat, mahir tanya jawab pula," jengek orang itu mendadak. "Cuma sayang, sejak kau brojol dari rahim ibumu aku sudah kenal kau, maka tiada gunanya kau main sandiwara di depanku."
Siau-hi-ji terperanjat, "Siapa engkau?"
Tapi orang itu tidak menjawabnya.
Cepat sekali Siau-hi-ji membalik tubuh, tapi kosong, tiada seorang pun terlihat, daun pintu itu masih terpentang dan bergerak tertiup angin. Suasana di luar tetap kelam, mana ada bayangan seorang pun"
Apakah orang itu sudah pergi" Kejut dan heran pula Siau-hi-ji, baru saja ia merasa lega, tahu-tahu di belakangnya ada orang mendengus lagi, "Hm, kau takkan dapat melihat diriku!" Ternyata orang itu sudah berada pula di belakangnya.
Berturut-turut Siau-hi-ji membalik badan beberapa kali, cepatnya sukar dilukiskan lagi, tapi aneh, orang itu selalu bersuara di belakangnya seakan-akan bayangan yang melekat di tubuhnya.
Betapa pun besar nyali Siau-hi-ji, dalam keadaan demikian ia menjadi ngeri juga dan berkeringat dingin. Kalau Ginkang orang ini sedemikian hebatnya, maka ilmu silatnya tidak perlu lagi diceritakan. Siau-hi-ji menyadari dirinya pasti bukan tandingan orang, bahkan ingin kabur pun jangan harap.
Tiba-tiba ia mendapat pikiran, ia sengaja berdiri tegak tanpa bergerak, lalu katanya dengan tertawa, "Jika engkau tidak suka dilihat olehku, baiklah aku takkan melihatmu."
"Hm, kau memang pintar," jengek orang itu.
"Tapi bila engkau tidak sudi dilihat olehku, mengapa engkau datang pula kemari?"
"Kau tak dapat mengerti bukan?" tanya orang itu.
Siau-hi-ji berkedip-kedip, ucapnya, "Kupikir, apa pun juga engkau pasti takkan membunuh diriku."
"Dari mana kau tahu aku takkan membunuhmu?"
"Seorang yang akan mati segera, seumpama dapat melihat wajah aslimu kan tidak menjadi soal. Sebab itulah jika engkau berniat membunuhku tentu engkau takkan keberatan memperlihatkan dirimu padaku, betul tidak?"
Orang itu terdiam sejenak, katanya kemudian dengan perlahan, "Dapat juga kau menerka jalan pikiranku."
"Dahulu aku selalu menganggap diriku sebagai orang pintar nomor satu di dunia, walaupun sekarang aku sudah lebih rendah hati, tapi aku pun tidak berani terlalu meremehkan diriku sendiri dan mengaku bodoh."
Diam-diam Siau-hi-ji sudah merasakan orang aneh ini memang tiada bermaksud membunuhnya, maka nyalinya menjadi besar, mulutnya bicara, sekonyong-konyong ia melompat ke depan lemari pakaian.
Lemari itu memangnya masih baru, peliturnya masih mengkilap, apalagi habis digosok sehingga berkilau seperti kaca, waktu Siau-hi-ji berjongkok, segera sesosok bayangan putih muncul dengan jelas di lemari itu.
Terlihat orang itu berambut panjang, berbaju putih mulus laksana salju, gayanya seperti badan halus dari alam lain, cuma mukanya memakai topeng perunggu yang kelihatan beringas menakutkan.
Kembali Siau-hi-ji terkejut, tanpa terasa ia berseru, "He, kiranya engkau ini Tong-siansing!"
Mendadak orang itu tidak bersuara lagi.
Siau-hi-ji merasa sorot mata orang sedang menatapnya dengan gemas, sinar mata orang yang memancar ke lemari lalu memantul kembali, tapi masih kelihatan dingin dan menyeramkan.
Sorot mata orang-orang seperti Toh Sat, Im Kiu-yu, Oh-ti-tu dan sebagainya juga dingin menakutkan, tapi di antara sinar mata mereka itu sedikit banyak masih mengandung perasaan. Namun sorot mata "Tong-siansing" atau si tuan bertopeng perunggu ini justru sedingin es, andai kata orang ini pun punya hati maka hatinya pasti sudah lama membeku.
Selang agak lama baru terdengar "Tong-siansing" itu membuka suara, "Ya, dengan sendirinya kau kenal aku, tentunya Oh-ti-tu itu telah bercerita padamu."
Siau-hi-ji menyengir, katanya, "Tempo hari Oh-ti-tu bercerita, katanya ilmu silatmu sangat tinggi dan macam-macam lagi, aku merasa sangsi, tapi setelah bertemu sekarang barulah kutahu dia tidak membual."
"Kau tidak perlu menyanjung diriku," jengek Tong-siansing. "Kalau aku tidak mau membunuhmu, maka untuk selamanya tetap takkan kubunuh kau."
"Selamanya?" Siau-hi-ji menegas.
"Ehm!" jawab Tong-siansing.
Siau-hi-ji menghela napas lega, ucapnya dengan tertawa, "Setelah melihat kamarmu sebersih ini serta mengeluarkan bau harum, tadinya kukira engkau adalah perempuan.
Untunglah engkau ternyata bukan perempuan, kalau tidak, biarpun engkau sudah menyatakan tidak akan membunuhku juga tak dapat kupercaya."
"Kau tidak percaya pada perempuan?"
"Kata-kata perempuan sama sekali tidak dapat dipercaya. Barang siapa percaya kepada perempuan, maka celakalah dia!"
"Sebab apa?" tanya Tong-siansing pula.
"Meski di kalangan lelaki juga ada orang jahat, tapi pasti tidak seculas dan sekeji perempuan, lelaki yang paling busuk juga pasti lebih baik daripada perempuan yang busuk."
Mendadak Tong-siansing menjadi gusar, dampratnya, "Apakah ibumu sendiri bukan perempuan"! Mengapa kau menista kaum perempuan umumnya?"
"Perempuan di seluruh jagat ini mana ada yang dapat dibandingkan ibuku?" jawab Siau-hi-ji. "Beliau sedemikian halus budinya, cantik lagi dan ...." Walaupun dia belum pernah melihat wajah ibundanya, tapi di mata setiap anak di kolong langit ini ibunda sendiri pasti dianggapnya sebagai perempuan yang paling cantik dan paling baik di dunia ini. Apalagi anak yang tidak pernah mengenal wajah sang ibu, dalam khayalannya tentu terbayang ibu yang cantik dan hal-hal lain yang muluk-muluk, dengan sendirinya Siau-hi-ji juga tidak terkecuali.
Begitulah omong punya omong tentang ibunya, tanpa terasa Siau-hi-ji lantas memejamkan mata dan berucap menurut khayalannya. Dasar mulutnya memang pintar bicara, maka apa yang dilukiskan menurut bayangannya menjadi lebih muluk-muluk, ibunya dikatakan seolah-olah secantik bidadari dan jarang ada bandingannya di dunia.
Sorot mata Tong-siansing yang dingin itu mendadak seakan-akan membara. Tapi Siau-hi-ji seperti mengigau, "Perempuan lain di dunia ini kalau dibandingkan ibuku, hakikatnya seperti sampah dibanding mutiara, sedikit pun tidak berharga, aku "."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong lehernya terasa kesakitan, tubuhnya menjadi kaku, tahu-tahu ia telah diangkat ke atas oleh Tong-siansing.
Dengan ilmu silat Siau-hi-ji sekarang ternyata sama sekali tidak mampu mengadakan perlawanan.
Dilihatnya sorot mata orang berapi-api, tangannya yang dingin mencengkeram semakin kencang, leher Siau-hi-ji seakan-akan diremasnya hingga remuk.
Keruan anak muda itu ketakutan dan berteriak, "He, engkau sudah bilang selamanya takkan membunuhku, apa yang sudah kau katakan mengapa tidak kau pegang?"
"Sebenarnya aku tidak mau membunuhmu, tapi sekarang pikiranku telah berubah," teriak Tong-siansing dengan suara parau.
"Se ... sebab apa?"
"Sebab kau mengoceh tak keruan, aku menjadi geregetan."
"Bilakah pernah kusembarangan omong?"
"Ibumu itu cantik atau jelek, baik atau busuk, pada hakikatnya kau tidak pernah melihatnya, tapi kau sengaja membual setinggi langit baginya, ini bukan sembarangan mengoceh, lalu apa namanya?"
"Dari ... dari mana kau tahu aku tidak pernah melihat ibuku?"
"Hm, kalau aku tidak tahu, siapa lagi yang tahu?" jengek Tong-siansing alias si topeng perunggu.
"Jika begitu, jadi engkau ... engkau pernah melihat ibuku?"
Tong-siansing hanya mendengus saja tanpa menjawab.
"Bagaimana bentuk wajah ibuku?" tanya Siau-hi-ji, betapa pun ia sangat ingin tahu.
"Ibumu adalah perempuan paling jelek di dunia ini, ya bungkuk, ya pincang, ya burik, ia botak, pendek kata, segala cacat manusia di dunia ini terkumpul seluruhnya pada ibumu, setiap perempuan mana pun di dunia ini pasti jauh lebih cantik daripadanya."
"Kentut, kentut busuk!" damprat Siau-hi-ji dengan gusar. "Kau sendiri yang sembarangan mengoceh, ngaco-belo!"
Belum lenyap ucapannya, "plak-plok", kontan ia kena gampar dua kali.
Meski dua kali tempelengan ini tidak mengeluarkan seluruh tenaga Tong-siansing, tapi sudah cukup membuat kedua pipi Siau-hi-ji bengkak seperti kue apem, darah lantas mengucur pula dari ujung mulutnya. Namun begitu Siau-hi-ji masih terus mencaci-maki.
Meski dia tidak pernah melihat sang ibu, tapi bilamana dia terkenang kepada ibundanya, dalam hati lantas timbul rasa yang sukar dikatakan, ya sedih dan juga kasih sayang.
Biasanya Siau-hi-ji tidak berani sering-sering mengenangkan sang ibu, sebab kalau sudah mulai terkenang, maka akan berlarut-larut dan tidak berhenti, makanya tadi begitu dia menyebut ibu, dia terus menyinggungnya tanpa berhenti pula.
Biasanya meski ia pun suka mengikuti arah angin dan bisa melihat gelagat, kalau Tong-siansing ini mencaci maki dia dan ia merasa bukan tandingannya, maka pasti dia takkan melawan dan balas memaki. Tapi sekarang yang dicaci maki orang itu adalah ibundanya, maka dia tidak bisa menerimanya.
Begitulah Tong-siansing masih terus menempeleng dan Siau-hi-ji juga tetap mencaci maki tanpa berhenti. Memang beginilah watak Siau-hi-ji, kepala batu, bandel, berani mati, kalau sudah nekat, mati hidup tak dipedulikan lagi.
"Ayo! Maki lagi, bisa kubunuh kau sekalian!" damprat Tong-siansing dengan menggereget.
Mulut Siau-hi-ji sudah penuh darah, dengan suara serak ia berteriak, "Asalkan kau mengakui ibuku adalah perempuan paling cantik, berbudi paling halus, aku lantas tidak memakimu lagi."
"Asalkan kau mengakui ibumu adalah siluman paling jelek dan busuk di dunia ini dan segera kuampuni kau," jawab Tong-siansing.
Kembali Siau-hi-ji meraung kalap, makinya pula, "Ibumu sendiri ya bungkuk, ya pincang, ya burik, ya gundul, ya ...."
Tapi mendadak kedua jari Tong-siansing menjepit janggutnya sehingga dagunya terkilir,
"Kau benar-benar ingin mampus?" bentaknya.
Siau-hi-ji tak dapat bersuara pula karena engsel dagunya terlepas dari tempatnya, mulutnya menjeplak, tapi tak sanggup bicara, hanya kedua matanya saja tetap melotot murka.
"Boleh kau mengaku dengan mengangguk, lalu akan kuampuni kau, jika menggeleng, segera kubinasakan kau ...."
Belum habis ucapan Tong-siansing, seketika Siau-hi-ji menggeleng kepala seperti orang sakit ayan.
"Mati pun kau tidak mau mengakui ibunya adalah perempuan paling jelek?" tanya Tong-siansing.
Seketika Siau-hi-ji mengangguk-angguk seperti anak ayam menotol nasi.
"Kau ... kau rela mati baginya?" tanya Tong-siansing dengan sorot mata penuh dendam dan benci, tapi suaranya kedengaran rada gemetar.
Siau-hi-ji menyangka orang akan segera turun tangan membunuhnya, tak terduga tangan si topeng perunggu mendadak jadi lemas sehingga Siau-hi-ji terbanting ke lantai, cepat dia geser dagu sendiri sehingga kembali pada kedudukannya yang tepat.
Dilihatnya Tong-siansing berdiri mematung di situ dengan tubuh gemetar, napas Siau-hi-ji terengah-engah, ia coba melirik orang, ia merasa tidak terluka apa-apa, tapi rasanya sudah setengah kapok dan tidak berani sembarangan bertindak pula. Selang sejenak, saking tak tahan ia membuka suara, "Sesungguhnya ada permusuhan apa antara ibuku dengan engkau, mengapa engkau menistanya sedemikian rupa?"
Tong-siansing seolah-olah tidak mendengar sama sekali pertanyaannya.
Tanpa ayal lagi Siau-hi-ji lantas melompat keluar kamar itu, ia coba melirik ke belakang, rupanya Tong-siansing tidak mengejarnya. Meski di dalam hati penuh diliputi tanda tanya, namun tidak sempat terpikir lagi olehnya, cepat ia mengeluarkan gerak tubuhnya yang gesit, ia melayang secepat terbang ke depan, hanya sekejap saja ia sudah berada jauh di luar hotel.
Tiba-tiba di belakang ada orang menjengek, "Kau tetap tidak mengaku?"
Tubuh Siau-hi-ji sedang mengapung, mendengar suara itu, seketika ia jatuh ke bawah. Ia tahu bilamana orang sudah mengejarnya, maka tiada ubahnya seperti bayangan yang selalu lengket pada tubuhnya, lari juga tiada gunanya.
"Jika mampu, ayo bunuhlah aku!" bentak Siau-hi-ji mendadak sambil memutar balik, kedua tangan sekaligus menghantam beberapa kali. Akan tetapi bayangan orang saja tidak kelihatan, tahu-tahu punggungnya kesemutan, "bluk", kembali ia jatuh tersungkur.
*** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
Sementara itu Hoa Bu-koat sedang minum arak di kamarnya. Biasanya anak muda ini tidak suka minum, tapi entah mengapa, malam ini dia minum sendirian di kamarnya, bahkan setiap cawan selalu dihabiskannya, akhirnya ia menjadi mabuk dan menjatuhkan diri di ranjang dan tertidur.
Dalam mimpinya ia merasa ada seorang memotong tangannya dengan sebilah pisau, ia ingin berteriak, tapi dada terasa tertindih benda yang berat sehingga napas pun sesak.
Pada saat itulah di jendela ada orang berseru padanya, "Hoa Bu-koat, bangun!" Meski lirih suara itu, namun setiap katanya dengan tajam dan terang tersiar ke telinga Hoa Bu-koat.
Bu-koat terjaga bangun, ia pandang tangan sendiri, masih baik-baik, tapi keringat dingin sudah membasahi bajunya. Ia merasa mimpi buruk tadi seakan-akan kejadian sesungguhnya.
Kembali di luar jendela berkumandang suara memanggil, "Bu-koat, keluar sini!"
Setelah tenangkan diri, tanpa memakai sepatu lagi Bu-koat lantas membuka jendela, suasana di luar remang-remang, sesosok bayangan putih seperti hantu saja berdiri jauh di sana.
Di bawah cahaya bintang yang redup samar-samar kelihatan wajah orang itu seperti hijau kemilau, setelah diawasi baru diketahui muka orang memakai sebuah topeng perunggu yang menakutkan.
Bu-koat tersiap, serunya, "Apakah Tong ... Tong-siansing?"
Orang itu mengangguk, katanya, "Keluar sini!"
Sekali lompat Bu-koat lantas melayang keluar, ia hanya pakai kaus kaki tanpa sepatu.
Sementara itu Tong-siansing telah melayang ke atas wuwungan rumah sana. Cepat Bu-koat menyusul, ia pun melayang lewat deretan rumah dan melintasi jalanan yang sepi.
Tanpa menoleh tiba-tiba Tong-siansing itu mendengus, "Hm, anak murid Ih-hoa-kiong mengapa jadi suka mabuk dan tidur begitu?"
Bu-koat menyengir, jawabnya, "Karena kesal, Wanpwe jadi ...."
"Anak murid Ih-hoa-kiong, kenapa pula kesal?" jengek Tong-siansing.
Bu-koat melengak, ia tertunduk dan tidak berani menanggapi.
Terlihat dari kepala sampai kaki Tong-siansing itu tidak bergerak sama sekali, tapi cara melayangnya secepat terbang, orang seperti meluncur terbawa angin belaka.
Melihat Ginkang mahatinggi ini, mau tak mau Hoa Bu-koat terkejut.
Didengarnya Tong-siansing berkata pula, "Tentunya kau sudah tahu siapa aku ini?"
"Ketika Wanpwe akan meninggalkan Ih-hoa-kiong, guruku telah memberi pesan, bilamana bertemu dengan Siansing berarti sama saja bertemu dengan guru. Apa pun yang dikatakan Siansing harus Wanpwe turut," jawab Bu-koat.
"Selain itu Kiongcu pernah memberi pesan apalagi?"
Bu-koat termenung, jawabnya, Ini ...."
"Memangnya tiada pesan lain?" Tong-siansing menegas dengan suara bengis.
Akhirnya Hoa Bu-koat menjawab dengan suara berat, "Guruku mengharuskan Wanpwe membunuh seorang bernama Kang Siau-hi-ji dengan tanganku sendiri."
"Ehm, bagus!" ucap Tong-siansing, agaknya jawaban ini cukup memuaskannya.
Ia tidak bicara lagi dan selama itu pun tidak pernah berpaling, Bu-koat memandangi bayangan punggung orang dengan sangsi, ia tidak dapat menerka sesungguhnya untuk apakah dirinya disuruh ikut keluar.
Jalan yang dilalui semakin sepi, akhirnya mereka sampai di suatu lereng bukit, di sini ada pohon besar dengan daunnya yang rindang, sekonyong-konyong Tong-siansing melayang ke atas pohon, tapi mulutnya berseru kepada Hoa Bu-koat, "Kau berdiri saja di bawah pohon!"
Habis ucapannya, tahu-tahu dia sudah berdiri di puncak pohon, di bawah cakrawala yang penuh bertaburan bintang, seorang berbaju putih mulus berdiri di pucuk pohon dengan gayanya yang khas, tampaknya menjadi aneh dan juga menarik.
Bu-koat tidak paham apa kehendak orang, terpaksa ia bersabar dan menunggu.
Tiba-tiba terlihat Tong-siansing menarik keluar satu orang dari dahan pohon yang rindang sana, serunya, "Awas, pegang ini!"
Baru lenyap suaranya sesosok tubuh telah anjlok turun dari pucuk pohon.
Tinggi pohon ini berpuluh tombak, bobot seorang meski cuma seratusan kati saja, tapi terlempar dari atas pohon, bobotmya sedikitnya bertambah tiga kali. Hoa Bu-koat sendiri tidak tahu siapa orang yang dijatuhkan dari atas itu, ia pun tidak yakin apakah dirinya sanggup menangkap tubuh orang ini, seketika itu ia tidak sempat berpikir, segera ia melompat ke atas memapak tubuh yang jatuh ke bawah itu.
Dua sosok bayangan, satu dari atas dan yang lain dari bawah, tampaknya segera akan saling lintas. Pada saat berpapasan itulah sekonyong-konyong Hoa Bu-koat turun tangan, ia sempat meraih pakaian orang itu, "bret", baju orang itu terobek, Bu-koat sendiri pun ikut terseret ke bawah oleh daya anjlok itu.
Tapi ketika hampir sampai di atas tanah, sementara daya anjlok itu sudah jauh berkurang, sambil membentak, Bu-koat berjumpalitan selagi masih terapung sehingga tubuh orang ini kena dilempar lagi ke atas.
Tapi waktu untuk kedua kalinya orang itu anjlok ke bawah, Bu-koat lantas dapat menangkap tubuhnya dengan enteng. Di bawah cahaya bintang yang remang-remang tertampak wajah orang yang pucat dengan mata terpejam.
Orang ini ternyata Siau-hi-ji adanya.
Walaupun biasanya Bu-koat sangat tenang dan sabar, tanpa terasa sekarang ia pun menjerit kaget.
Tong-siansing itu masih berdiri di pucuk pohon, jengeknya tiba-tiba, "Siapa dia" Apakah kau mengenalnya?"
"Ken ... kenal," jawab Bu-koat.
"Apakah dia ini Kang Siau-hi?"
"Betul."
"Bagus, boleh kau bunuh dia!"
Tergetar hati Bu-koat, ia pandang Siau-hi-ji yang tak sadarkan diri itu, seketika ia sendiri jadi terkesima.
Perlahan-lahan Tong-siansing berkata pula, "Jika kau tidak ingin membunuh seorang yang tidak sanggup melawan, boleh juga kau buka Hiat-tonya."
Dengan limbung Bu-koat menjulurkan tangannya dan membuka Hiat-to Siau-hi-ji yang tertutuk. Tertampak tubuh Siau-hi-ji mengejang lalu jatuh ke bawah terlepas dari pegangan Hoa Bu-koat.
Waktu membuka mata dan melihat Hoa Bu-koat berdiri di depannya, dengan berseri Siauhi-ji bertanya, "Apakah engkau yang menyelamatkan aku?"
Bu-koat cuma melenggong saja tanpa bersuara.
"Memang sudah kuduga engkau pasti akan datang menolong aku, kita kan bersahabat?"
ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
Entah mengapa, perasaan Bu-koat menjadi pedih, tiba-tiba ia melengos ke sana.
Siau-hi-ji merasa aneh, tanyanya, "He, kenapa kau ...."
Pada saat itulah tiba-tiba seorang menjengek, "Hoa Bu-koat, kenapa kau tidak turun tangan?"
Baru sekarang Siau-hi-ji melihat Tong-siansing yang berdiri di puncak pohon itu, ia menarik napas dingin, ia pandang Hoa Bu-koat dengan terbelalak, katanya, "Kiranya dia menghendaki kau membunuh diriku, begitukah?"
Bu-koat menghela napas panjang.
Siau-hi-ji terdiam sejenak, katanya kemudian dengan menyengir, "Kutahu engkau tak berani membangkang atas perintahnya .... Baiklah silakan kau turun tangan saja!"
Bu-koat juga termenung sejenak, tiba-tiba ia berucap dengan sekata demi sekata,
"Sekarang aku tidak boleh membunuhmu!"
Siau-hi-ji melengak dan bergirang pula. Tong-siansing menjadi gusar, bentaknya, "Apa katamu?"
"Kini, betapa pun aku tak dapat membunuh dia?" seru Bu-koat.
"Apakah kau telah melupakan pesan gurumu?" teriak Tong-siansing gusar.
"Tecu tidak berani melupakannya," jawab Bu-koat dengan menunduk.

^