Bakti Pendekar Binal 9

Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 9


hian, Kang Siau-hi-ji, Hoa Bu-koat dan Tong-siansing telah berserikat untuk menghadapi dia.
Malam bertambah kelam, butiran embun di daun bambu menetes-netes di tubuh Kang Piat-ho, bahkan ada air embun yang menetes pada muka dan kuduknya. Namun dia seakan-akan tidak merasakan apa-apa, ia bergumam sendiri, "Dengan cara bagaimanakah untuk bisa mengalahkan keempat orang ini" Tenagaku sendiri jelas tidak cukup, aku harus mencari bala bantuan. Tapi siapakah yang harus kucari?"
Dari daun bambu tiba-tiba jatuh seekor ulat kecil dan tepat menjatuhi kepalanya, seenaknya Kang Piat-ho menangkap ulat itu, tertampak ulat itu bergerak-gerak di telapak tangannya mirip ular kecil.
Tiba-tiba wajahnya menampilkan senyuman girang, serunya tanpa terasa, "Aha, benar!
Mengapa aku melupakan dia" Meski dia sendiri juga belum cukup kuat, tapi kalau ditambah lagi si Harimau suami istri serta diriku sendiri, jadinya empat lawan empat, bukankah kekuatannya menjadi sama."
Dengan girang ia terus melayang keluar dari pepohonan bambu sana, tapi tiba-tiba teringat olehnya bahwa Tong-siansing dan Kang Siau-hi-ji masih berada di dalam rumah situ, ia terkejut dan cepat menghentikan langkahnya. Syukurlah tiada sesuatu reaksi apa-apa dari rumah di depan sana. Meski di dalam rumah ada cahaya lampu, namun tiada kelihatan bayangan orang. Rupanya Tong-siansing dan Siau-hi-ji sudah pergi.
Agaknya Kang Piat-ho terlalu asyik memikirkan kesulitan yang dihadapinya sehingga tidak mengetahui bilakah perginya kedua orang itu.
Ketika Siau-hi-ji masuk ke rumah itu, ia pun tidak menduga bahwa di luar sana Kang Piat-ho sedang pasang mata.
Lampu di dalam rumah telah padam, keadaan gelap gulita, meski tidak dapat melihat sesuatu, namun Siau-hi-ji merasakan di dalam rumah ada bau harum yang lebih semerbak daripada waktu mereka keluar tadi.
Ia menjadi heran apakah ada orang masuk ke rumah ini"
Tiba-tiba terdengar Tong-siansing mendengus, "Kenapa baru sekarang kau datang?"
Dalam kegelapan terdengar suara seorang perempuan menjawab, "Untuk mencari suatu tempat yang dapat memuaskan dirimu bukanlah pekerjaan yang mudah, makanya kudatang terlambat."
Suaranya sudah tentu jauh lebih halus daripada suara Tong-siansing yang kasar dan kaku, tapi nadanya sama dinginnya.
Heran Siau-hi-ji bahwa Tong-siansing juga punya kawan perempuan dengan nada ucapan yang sama anehnya, keduanya benar-benar pasangan yang setimpal. Cepat ia meraba ketikan api dan menyalakan lampu.
Setelah lampu menyala barulah terlihat dengan jelas seorang perempuan berjubah hitam dengan rambut panjang terurai berdiri di situ, dandanan dan wajahnya seperti badan halus yang baru timbul dari alam lain.
Muka perempuan ini juga memakai topeng setan, cuma terbuat dari kayu cendana. Meski di bawah cahaya lampu cukup terang, tidak urung kaget juga Siau-hi-ji melihat orang bertopeng aneh ini.
Perempuan jubah hitam ini juga sedang menatap Siau-hi-ji, tiba-tiba ia bertanya, "Kau inikah Kang Siau-hi-ji?"
Siau-hi-ji meraba hidung dan menjawab dengan tertawa, "Betul, aku inilah Kang Siau-hi-ji, mengapa engkau kenal diriku?"
"Sudah lama kukenal kau," jengek perempuan itu.
Mata Siau-hi-ji jadi terbelalak, ucapnya, "Sudah lama kau kenal aku, mengapa ... mengapa aku tidak kenal engkau?"
"Jika kau tahu di dunia ini ada Tong-siansing, mengapa tidak tahu akan Bok-hujin?"
"Bok-hujin?" Siau-hi-ji menegas, "Ah, benar, rasanya nama ini pernah kudengar."
Teringat olehnya waktu Oh-ti-tu bercerita tentang Tong-siansing, pernah juga nama Bok-hujin atau nyonya topeng kayu disinggung, katanya kedua orang ini adalah makhluk yang sama anehnya.
Bok-hujin memandang Siau-hi-ji lalu memandang Tong-siansing, katanya kemudian," Sejak tadi aku sudah datang kemari, tapi kalian berdua ...."
"Kami pergi minum arak sehingga membuat Hujin lama menunggu, harap dimaafkan," ucap Siau-hi-ji.
"Kalian pergi minum arak?" Bok-hujin menegas dengan terheran-heran.
"Tong-siansing teramat baik padaku," tutur Siau-hi-ji dengan tertawa, "Beliau khawatir aku kelaparan, maka membawaku pergi minum arak dan makan enak, bahkan memilih restoran yang menghidangkan makanan yang paling cocok dengan seleraku. Orang baik seperti beliau sungguh belum pernah kulihat."
Bok-hujin kelihatan heran, kejut dan juga agak geli, semua ini tertampak jelas dari sorot matanya di balik topeng kayu itu.
Baru sekarang Siau-hi-ji melihat sepasang mata Bok-hujin itu ternyata jauh lebih lincah dan simpati daripada Tong-siansing, walaupun nada bicara mereka sama kaku dan dinginnya.
Tergerak hatinya, segera ia menghela napas dan berkata pula, "Cuma Tong-siansing juga teramat memperhatikan diriku, selalu mengawasi diriku sehingga beliau sendiri lupa makan dan lupa tidur. Aku menjadi khawatir membuat lelah dia. Makanya, bila Hujin sahabat baik Tong-siansing, harap engkau menggantikan beliau menjaga diriku agar dia dapat istirahat."
"Oo, jika Toa ... Toako lelah, bolehlah serahkan pada diriku," ucap Bok-hujin. Meski kelihatan senyum girangnya dari sinar matanya, tapi nadanya tetap dingin.
Mendadak Tong-siansing melompat maju, "plak", dengan tepat muka Siau-hi-ji kena ditamparnya. Pukulannya tidak keras tapi tempat yang dihantamnya sangat jitu. Sedikit pun Siau-hi-ji tidak merasa sakit, hanya kepala menjadi pusing dan tidak sanggup berdiri lagi, ia terhuyung-huyung mundur dan akhirnya roboh.
Dalam keadaan samar-samar terdengar suara dingin Tong-siansing lagi berkata, "Sekali ini siapa pun jangan harap akan membawanya pergi dari tanganku. Pada waktu hidupnya akan kujaga dia, sekali pun dia sudah mati juga tetap akan kuawasi dia, sampai mayatnya membusuk sekalipun."
"Tapi aku kan ...."
"Kau juga," jengek Tong-siansing sebelum lanjut ucapan Bok-hujin. "Kau pun belum tentu lebih setia padaku daripada orang lain."
"Jadi ... jadi aku pun tidak kau percaya?"
"Sejak Goat-loh membawa lari Kang Hong, mulai saat itulah aku tidak lagi percaya kepada siapa pun juga," kata Tong-siansing dengan tegas.
Bok-hujin terdiam sejenak dan menunduk perlahan, katanya kemudian, "Ya, kutahu engkau tidak pernah melupakan kejadian itu, engkau selalu menganggap aku hendak berebut Kang Hong denganmu .?"
"Kau pun mencintai dia, kau sendiri yang bilang demikian, betul tidak?" seru Tong-siansing bengis.
"Betul, aku memang mencintai dia," jawab Bok-hujin dengan suara keras sambil mendongak. "Tapi aku tidak ingin mendapatkan dia, lebih-lebih tiada niatku berebut dia denganmu, selama hidupku ini aku tidak pernah berebut barang apa pun denganmu, betul tidak?"
Suara Bok-hujin yang dingin itu tiba-tiba agak gemetar, sambungnya dengan suara serak,
"Sejak kecil setiap ada barang baik, senantiasa aku mengalah padamu. Sejak kita berebut memetik sebuah Tho dan engkau mendorongku dari atas pohon hingga jatuh dan sebelah kakiku patah, mulai saat itu pula aku tidak berani berebut barang apa pun denganmu, engkau ingat tidak?"
Sorot mata Tong-siansing setajam pisau menatap Bok-hujin sampai lama dan lama sekali, akhirnya ia menghela napas panjang dan perlahan-lahan menunduk, katanya dengan pedih,
"Ya, lupakanlah hal ini, apa pun juga, akhirnya kita kan tidak mendapatkan dia?"
Bok-hujin juga terdiam sejenak dan menghela napas, ucapnya dengan rawan. "Maaf, Toaci, tidak seharusnya aku mengungkit kejadian-kejadian itu, padahal sudah lama kita melupakan hal-hal itu."
Memang tidak seharusnya ia membicarakan kejadian dahulu itu, sebab itu rahasia hidup mereka. Cuma sayang Siau-hi-ji sudah pingsan, hakikatnya dia tidak mendengar apa yang dibicarakan mereka.
Sebelum Siau-hi-ji sadar seluruhnya, sayup-sayup ia sudah mengendus bau harum yang memabukkan itu, ia mengira dirinya masih berada di kamar hotel itu, tapi waktu dia membuka mata segera diketahui dugaannya itu sama sekali keliru.
Di dunia ini tidak mungkin ada hotel yang memiliki kamar semewah ini, juga tiada hotel yang menyediakan tempat tidur selunak ini dengan bau harum semerbak begini.
Menyusul lantas dilihatnya dua anak perempuan yang berdiri di ujung tempat tidurnya.
Keduanya memakai baju sutera yang halus dan memakai kopiah dengan kembang goyang yang indah. Wajah mereka pun cantik, cuma di antara wajah cantik itu sama sekali tidak kelihatan sesuatu perasaan dan juga tiada warna darah sedikit pun, putih mulus laksana ukiran es.
Siau-hi-ji kucek-kucek matanya sambil bergumam, "Apakah aku ini sudah meninggal, jangan-jangan aku sudah berada di surga?"
Kedua anak perempuan ini tetap berdiri tanpa bergerak, sorot mata mereka menerawang jauh ke sana, seakan-akan tidak mendengar ucapan Siau-hi-ji, bahkan seperti sama sekali tidak melihat anak muda itu.
Biji mata Siau-hi-ji mengerling, katanya pula dengan menyengir, "Ya, sudah tentu aku tidak meninggal, sebab kalau aku meninggal pasti tidak terdapat anak dara secantik bidadari seperti kalian ini."
Ia mengira kedua anak perempuan itu pasti akan tertawa, tak tahunya memandang sekejap padanya saja tidak.
Siau-hi-ji raba-raba hidung sendiri, katanya pula, "O, barangkali kalian meremehkan diriku" Atau .... Ah, bisa jadi mendadak aku mahir ilmu menghilang sehingga kalian tidak melihat diriku?"
Tapi biarpun anak muda itu mengoceh sampai mulutnya capai, kedua anak perempuan itu tetap tidak menggubrisnya.
Akhirnya Siau-hi-ji menghela napas, katanya, "Sesungguhnya aku ingin kalian tertawa, sebab waktu tertawa tentu kalian bertambah cantik. Tapi sekarang terpaksa aku mengaku gagal, harap kalian panggilkan Tong-siansing yang konyol itu."
Namun kedua anak dara itu tetap tidak peduli.
Siau-hi-ji melonjak bangun dan berteriak, "Ayo bicaralah! Mengapa kalian diam saja.
Apakah kalian bisu, tuli atau buta?"
Ia melompat turun ke lantai, dengan kaki telanjang ia mendekati kedua anak dara itu dan mengamat-amati mereka sejenak, lalu mengitari mereka satu putaran, ia mengernyitkan kening dan bergumam, "Ah, mungkin mereka bukan manusia melainkan patung ukiran dari batu es."
Sebelah tangannya segera bermaksud mencolek hidung salah seorang anak dara itu. Tapi mendadak tangan anak perempuan itu mengipas perlahan, jari-jemarinya yang lentik dengan cat kuku yang merah itu laksana pisau kecil terus menusuk tenggorokan Siau-hi-ji.
Keruan Siau-hi-ji kaget dan cepat menjatuhkan diri ke tempat tidur, serunya dengan tertawa, "Aha, meski kalian tidak dapat bicara, tapi ternyata bisa bergerak."
Namun cepat anak dara itu berdiri mematung pula.
"Seumpama kalian tidak suka bicara denganku, seharusnya kalian bisa tertawa kan" kata Siau-hi-ji. "Kalau senantiasa merengut begitu, kalian akan lekas tua."
Lalu dia melompat turun pula, didapatinya sepasang sandal kain yang halus, segera dipakainya, katanya pula dengan perlahan, "Dahulu ada seorang, cara bekerjanya selalu acuh tak acuh, pada suatu hari ia keluar rumah, jalannya serasa kurang leluasa, ia tidak menyadari sepatunya salah pakai, setiba di rumah kawannya barulah diberitahu sang kawan tentang kekeliruannya itu, cepat ia suruh jongos pulang ke rumah untuk mengambilkan sepatu yang salah pakai itu. Sampai setengah harian si jongos baru kembali dengan tangan kosong. Coba terka, apa sebabnya?"
Sampai di sini Siau-hi-ji hampir tertawa sendiri, dengan menahan tawa ia menyambung pula, "Orang itu pun aneh, ia marah dan menegur jongosnya mengapa tidak jadi mengambil sepatu penggatinya. Tapi jongosnya memandangnya dan menjawab, "Juragan tidak perlu ganti sepatu lagi, sepasang sepatu di rumah itu juga terdiri dari satu sisi saja, yaitu sisi kanan."
Belum habis ceritanya ia sendiri tertawa terpingkal-pingkal.
Akan tetapi kedua anak dara itu tetap tidak menggubrisnya, bahkan tidak berkedip sedikit pun.
Siau-hi-ji kikuk sendiri, ia menghela napas, katanya, "Baiklah, aku mengaku tak berdaya membuat kalian tertawa, tapi ada seorang kawanku bernama Thio Sam, dia paling pandai memancing orang tertawa. Suatu hari, dia bersama dua temannya pergi tamasya, setiba di pojok jalan, dilihatnya seorang nona cantik berdiri di bawah pohon dengan kaku dan dingin, persis seperti kalian sekarang. Thio Sam mengatakan dia sanggup memancing tertawa si nona, dengan sendirinya kedua temannya tidak percaya. Kata Thio Sam, dia mampu memancing tertawa si nona itu hanya dengan satu kata saja, kemudian dengan satu kata pula dia sanggup membuat nona itu marah. Untuk itu dia berani bertaruh makan gratis di restoran. Tentu saja kedua temannya menyetujui pertaruhan itu."
Dasar Siau-hi-ji memang pintar bicara, ocehannya sekarang bahkan sangat hidup dan menarik. Meski kedua anak dara itu tetap tidak memandang ke arahnya, namun dalam hati sudah timbul rasa ingin tahu cara bagaimana si Thio Sam dapat memancing tertawa orang banyak hanya dengan satu kata saja dan dengan satu kata pula dapat membuat orang marah.
Maka didengarnya Siau-hi-ji telah menyambung, "Lalu Thio Sam mendekati nona itu, tiba-tiba ia bertekuk lutut pada seekor anjing yang mendekam di samping si nona sambil memanggil, "Ayah!"
"Melihat si Thio Sam menganggap seekor anjing sebagai bapaknya, tentu saja si nona merasa geli dan mengikik tawa. Tak tahunya si Thio Sam lantas berlutut pula kepada si nona dan memanggilnya: "Ibu".
"Keruan wajah si nona seketika merah padam, dengan menggereget ia terus melenggang dan melangkah pergi. Dan karena itu Thio Sam telah memenangkan taruhannya ...."
Belum habis cerita Siau-hi-ji, anak dara yang bermuka bulat telur di sebelah kiri mendadak mengikik geli.
Maka bersoraklah Siau-hi-ji, "Aha, tertawa, akhirnya kau tertawa!"
Dilihatnya baru saja anak dara itu berseri tawa, mendadak air mukanya berubah pucat pula.
Kiranya entah sejak kapan Tong-siansing telah muncul di situ dan sedang menatap anak dara itu dengan dingin, "Apakah kau merasa dia sangat lucu?" jengeknya.
Sekujur badan anak dara itu gemetar, segera ia berlutut dan meratap, "Hamba ... hamba tidak mengajak bi ... bicara padanya ...."
"Tapi kau telah tertawa baginya bukan?" bentak Tong-siansing bengis.
"Hamba ... hamba ...." Karena ketakutan sehingga gadis kecil itu tidak sanggup bicara, mendadak ia mendekap mukanya dan menangis.
"Kau boleh keluar saja," ucap Tong-siansing.
"Mo ... mohon ... sudilah engkau mengampuni jiwa hamba," ratap anak dara itu dengan suara parau, "Hamba berjanji takkan berbuat lagi."
"Mengampuni jiwanya?" Siau-hi-ji mengulang dengan terkejut. "He, apakah engkau akan ...
akan membunuhnya?"
"Membunuhnya?" jengek Tong-siansing. "Kukira tidak perlu, cukup potong lidahnya saja agar selanjutnya dia tidak mampu tertawa lagi."
"Potong lidahnya" Hanya lantaran tertawa begitu saja hendak kau potong lidahnya?" tanya Siau-hi-ji dengan kejut tak terperikan.
"Ini pun salahmu, mestinya jangan kau pancing dia tertawa," kata Tong-siansing.
"Aku cuma mendongeng suatu lelucon baginya, mengapa ... mengapa engkau cemburu!"
teriak Siau-hi-ji.
"Plak", mendadak Tong-siansing menamparnya, sama sekali Siau-hi-ji tidak dapat berbelit sehingga tergampar dengan tepat, kontan ia jatuh terlentang. Tapi mulutnya tetap berteriak gusar, "Boleh kau pukul diriku, tapi tidak boleh sekali-kali menghukum dia."
Sorot mata Tong-siansing seakan-akan memancarkan bara, bentaknya, "Kau malah ...
malah membela dia?"
Rupanya karena gemasnya hingga tubuhnya tampak agak gemetar.
Dengan suara keras Siau-hi-ji menjawab, "Persoalan ini tak dapat menyalahkan dia, kalau ada yang salah, salahkan saja diriku."
"Bagus ... bagus! Jadi kau lebih suka dipukul olehku daripada kuhukum dia, kau ... kau ternyata serupa dengan ayahmu, sama-sama petualang cinta."
Begitu habis ucapannya, sekonyong-konyong ia menggeram, sebelah tangannya membalik ke sana, kontan anak dara bermuka bulat telur tadi terhantam hingga terpelanting keluar pintu, lalu jatuh terkulai tak dapat bergerak lagi untuk selamanya.
Keruan kaget Siau-hi-ji, ia melompat bangun dan berteriak, "Kau ... kau membunuh dia?"
Gemetar badan Tong-siansing, mendadak ia menengadah dan bergelak tertawa, katanya,
"Betul, aku telah membunuh dia, supaya dia tak bisa pergi bersamamu!"
Kejut dan gusar Siau-hi-ji, tanyanya, "Apakah kau sudah gila" Bilakah dia ingin pergi bersamaku?"
"Hm, bilamana kalian sudah pergi baru kubunuh dia, tentu akan terlambat segalanya!"
jengek Tong-siansing.
Siau-hi-ji terbelalak, serunya parau, "Gila, kau benar-benar sudah gila .... Tadinya kukira hanya watakmu saja dingin dan bukan orang yang berhati kejam, siapa tahu engkau tega bertindak sekeji ini terhadap seorang anak perempuan."
Makin bicara makin gusar, tanpa pikir mendadak ia menubruk maju, kedua tangannya memukul dengan cepat.
Jilid 6. Bakti Binal
Dengan ilmu silat Siau-hi-ji sekarang tingkatannya sudah sebanding dengan tokoh-tokoh Bu-lim terkemuka, dalam gusarnya, pukulan yang dilontarkan ini sekaligus mencakup ilmu pukulan sakti dari Bu-tong-pay dan Kun-lun-pay. Dengan sendirinya ilmu pukulan ini berasal dari beberapa tokoh dunia persilatan yang diciptakan secara gabungan di istana bawah tanah itu. Kini Siau-hi-ji sudah dapat memainkannya dengan leluasa, bahkan mengerahkan segenap daya serangannya.
Siapa tahu, pukulan yang cukup membuat keder setiap tokoh Bu-lim ini bagi Tong-siansing tidak lebih hanya menggeliat, tubuhnya seakan-akan patah menjadi dua. Pada saat itu pukulan balasannya juga lantas dilontarkan, kalau tidak menyaksikan sendiri, siapa pun takkan percaya seorang dapat melancarkan serangan dalam posisi yang aneh begitu.
Seketika Siau-hi-ji merasa tubuhnya tergetar, kontan ia jatuh terguling pula, meski tidak terluka, tapi ia benar-benar takut dan terkesima oleh ilmu silat yang aneh dan lihai ini.
Sambil memandangi anak muda itu, Tong-siansing menjengek, "Ilmu silatmu ini paling-paling hanya mampu menahan lima jurus serangan Hoa Bu-koat. Tadinya kukira kau sanggup mengadu jiwa dengan dia, tak tahunya, kau sangat mengecewakan harapanku."
"Aku mampu menahan berapa jurus serangannya, peduli apa denganmu?" damprat Siau-hi-ji gemas.
"Memangnya kau tidak ingin mengalahkan dia?" jengek Tong-siansing.
"Aku ingin mengalahkan dia atau tidak memangnya kau mau apa?" jawab Siau-hi-ji.
Tong-siansing tidak marah lagi, dia malah mengeluarkan satu lipatan kain kuning, katanya,
"Di sini ada pelajaran tiga jurus serangan yang dapat mematahkan ilmu silat Ih-hoa-kiong, bilamana kau dapat memahaminya di dalam tiga bulan ini, andaikan kau tidak dapat mengalahkan Hoa Bu-koat sedikitnya mampu tertahan lebih lama."
Ternyata dia hendak mengajarkan ilmu silat kepada Siau-hi-ji, sungguh hal yang sukar dipercaya oleh siapa pun duga. Keruan Siau-hi-ji melenggong heran, tanyanya dengan tergagap, "Apa ... apa maksudmu ini?"
Tong-siansing lantas melemparkan lipatan kain itu ke depan Siau-hi-ji sambil mendengus, lalu melangkah pergi.
"Sebenarnya kau ingin Hoa Bu-koat membunuh diriku atau ingin kubunuh Hoa Bu-koat?"
teriak Siau-hi-ji. "Hm, sebenarnya kau ini dihinggapi penyakit apa?"
Sekonyong-konyong Tong-siansing membalik tujuh, jengeknya, "Hm, selama hidupmu ini sudah ditakdirkan akan berakhir dengan tragis. Tak peduli kau yang membunuh Hoa Bu-koat atau dia yang membunuhmu, semuanya sama saja."
"Tapi jelas ini tidak sama. Mana bisa sama?" geram Siau-hi-ji "Kau ... sebenarnya ...."
Namun Tong-siansing sudah melangkah keluar tanpa menoleh, "blang", pintu digebrak hingga tertutup.
Siau-hi-ji termenung sejenak, waktu berpaling, dilihatnya anak dara yang masih berada di situ sedang mengucurkan air mata. Tapi sekarang ia tidak berani lagi mengajaknya bicara, sungguh ia tidak tega menyaksikan anak dara yang cantik itu mati pula akibat tingkah lakunya.
Anak dara itu berdiri termenung di situ dan membiarkan air matanya meleleh di pipi tanpa mengusapnya. Siau-hi-ji jadi terharu, ia menghela napas, kemudian ia coba membentang kain sutera pemberian Tong-siansing tadi.
Memang benar, kain tadi melukiskan tiga jurus ilmu silat yang mahahebat, sederhana, tapi tajam, benar-benar merupakan jurus serangan mematikan bagi ilmu silat Hoa Bu-koat yang ruwet itu.
Ketiga jurus itu selain dilukiskan dengan gambar secara jelas, bahkan diberi keterangan pula dengan tulisan. Kalau bukan orang yang sangat memahami ilmu silat Ih-hoa-kiong, rasanya tidak mungkin menciptakan ketiga jurus serangan yang hebat ini, sungguh aneh bin ajaib.
Namun Siau-hi-ji tidak memikirkan hal ini, pada hakikatnya sekarang ia tidak ingin memikirkan apa pun, ia hanya memandangi gambar itu dengan termangu-mangu.
Tidak lama kemudian datanglah orang mengantarkan santapan, ternyata terdiri dari masakan Sujwan kegemaran Siau-hi-ji, bahkan ada sebotol arak pilihan.
Tanpa sungkan-sungkan lagi Siau-hi-ji terus makan sekenyang-kenyangnya, tapi ia sengaja menyisihkan sepotong bebek rebus dan satu porsi Ang-sio buntut, lalu seperti bicara pada dirinya sendiri ia bergumam, "Kedua macam makanan ini tidak pedas, makan atau tidak terserah padamu."
Sejak tadi anak dara itu berdiri saja, satu ujung jari saja tidak bergerak. Tapi sekarang mendadak ia memutar tubuh dan mendekati meja, tanpa permisi lagi ia ambil sepotong bebek rebus itu terus dimakan dengan lahapnya.
Bila dia tidak mau makan, tentu Siau-hi-ji tidak perlu heran, kini dia justru makan dengan lahapnya, hal ini malah membuat Siau-hi-ji terbelalak heran.
Setelah menghabiskan sepotong bebek rebus, tampaknya nona ini sudah tidak sanggup makan lebih banyak lagi, tapi sedapatnya ia menghabiskan pula seporsi Ang-sio buntut.
Sambil makan tanpa berkedip ia pun mengawasi sebuah saringan pasir pengukur waktu, setitik demi setitik butiran pasir menerobos saringan dan sang waktu pun ikut berlalu.
Yang keluar dari saringan sekarang rasanya bukan lagi butiran pasir melainkan jiwa manusia.
Siau-hi-ji tersenyum kecut, waktu, baginya kini terasa terlalu mahal, namun dia cuma dapat menyaksikan sang waktu berlalu begitu saja tanpa berdaya sedikit pun.
Tiba-tiba anak dara itu mendekatinya, lalu mendesis perlahan, "Apakah engkau cukup kenyang"
Bahwa anak perempuan itu mendadak mau bicara. Siau-hi-ji jadi kaget.
Segera nona itu berkata pula, "Tak menjadi soal bicara sekarang, tak ada orang lain yang akan datang."
Dengan tertawa Siau-hi-ji lantas menjawab, "Perutku serasa mau pecah karena kenyangnya, mungkin seekor semut saja tak sanggup kutelan lagi."
"Sebaiknya kau makan lebih banyak, selama dua hari nanti mungkin kita tak dapat makan apa-apa," ucap si nona.
Siau-hi-ji terkejut, "Sebab apa?" tanyanya.
Terpancar sinar tajam dari biji mata si nona yang hitam itu, katanya dengan tegas,
"Sebab sekarang juga kita akan mulai kabur, dalam pelarian ini pasti kita takkan makan apa pun juga, bahkan air minum pun sukar diperoleh."
"Lari?" Siau-hi-ji menegas dengan melenggong. "Maksudmu melarikan diri?"
"Ya, sebabnya aku makan dengan lahap tadi ialah supaya aku mempunyai tenaga untuk melarikan diri?"
"Tapi ... tapi Tong-siansing ....
"Saat ini dia sedang bersemadi, sedikitnya dalam dua jam dia takkan ke sini."
"Kau yakin?" tanya Siau-hi-ji.
"Ya, kebiasaan ini sudah berlangsung selama berpuluh tahun dan tidak pernah berubah, konon belasan tahun yang lalu juga ada seorang anak perempuan yang berkedudukan seperti diriku melarikan diri dengan membawa kabur seorang pada saat dia sedang semadi seperti sekarang ini."
"Ah, pantas dia begitu murka tadi, kiranya dia khawatir sejarah akan berulang pula," ucap Siau-hi-ji, baru sekarang ia paham.
Tiba-tiba mata anak dara itu berkilau-kilau mengembang air mata, katanya, "Tahukah engkau siapa anak perempuan yang dibunuhnya tadi?"
Siau-hi-ji jadi tertarik, jawabnya, "Jangan-jangan ... jangan-jangan dia ...."
"Adikku, adik kandungku," tukas si nona dengan suara gemetar, akhirnya air mata pun bercucuran.
Siau-hi-ji melenggong sejenak, ucapnya kemudian dengan menyesal, "Maaf, tadi seharusnya aku tidak boleh memancing dia tertawa."
"Sudah tujuh tahun adikku ikut dia, tapi cuma persoalan sekecil itu ia pun tega membunuhnya, sebaliknya engkau tak pernah kenal adikku, namun engkau malah membelanya, bahkan tidak sayang mengadu jiwa baginya ...."
"Lantaran inikah kau menolong aku dengan menyerempet bahaya?" tanya Siau-hi-ji.
"Hakikatnya dia bukan manusia, ia pun tidak menganggap kami sebagai manusia, hidupku di sini biarpun cukup sandang pangan, namun rasanya seperti hidup di dalam kuburan, sedikit pun tiada gairah hidup ...."
"Jika begitu mengapa ketika itu kau mau datang ke sini?"
"Kami kakak beradik sebenarnya yatim piatu dan sejak kecil sudah kenyang siksa derita, kami mengira setelah masuk perguruannya dapatlah kami menanjak ke atas dan hidup bahagia. Siapa tahu meski kami berhasil belajar ilmu silatnya, tapi kami pun dijadikan budak olehnya, terkadang sepanjang hari kami dilarang buka suara sama sekali."
"Kesepian, ya, kesepian sedemikian lama memang lebih banyak menyiksa daripada penderitaan orang lain ...." ucap Siau-hi-ji dengan gegetun. Tiba-tiba ia pegang tangan si nona yang dingin ini dan berkata pula dengan suara berat, "Tapi setelah peristiwa belasan tahun yang lampau itu, penjagaannya pasti bertambah ketat, apakah kita dapat kabur tanpa diketahuinya?"
"Jika berada di istananya memang sama sekali tiada harapan bagi kita untuk lari, tapi di sini, tempat ini hanya pondoknya untuk sementara saja." Untuk pertama kalinya si nona menampilkan senyum getir, lalu menyambung pula, "Apalagi akulah yang menemukan tempat ini, bahkan aku yang mengatur tempat ini, walaupun kita belum pasti dapat lolos, tapi apa pun juga harus kita coba daripada menunggu ajal di sini."
Siau-hi-ji memandang sekelilingnya, lalu bertanya, "Sebenarnya tempat apakah ini?"
"Sebuah biara," tutur si nona.
"Biara?" Siau-hi-ji menegas dengan heran. Yang terlihat olehnya sekarang adalah perabotan yang mewah, yang terendus adalah bau harum semerbak, sungguh sukar dipercaya kalau tempat ini adalah sebuah biara.
"Tempat ini semula adalah sebuah biara tua. Setelah kami atur seharian barulah berubah bentuk begini," tutur si nona.
"Kepandaian kalian sungguh luar biasa," kata Siau-hi-ji dengan gegetun. Sambil tertawa tiba-tiba ia menyambung pula, "Waktu sangat berharga, kenapa kita tidak lekas berangkat. Jika ingin mengobrol, setelah lolos kukira masih mempunyai waktu banyak."
"Tunggu sebentar, kita harus menunggu setelah peralatan makan ini di bersihkan orang barulah berangkat, kalau tidak kaburnya kita akan segera ketahuan."
"Ya, dalam hal-hal kecil aku memang suka teledor, rasanya setiap anak perempuan sepertimu jauh lebih cermat daripadaku," kata Siau-hi-ji tertawa.
Nona itu menatapnya sejenak, katanya kemudian, "Tentunya sangat banyak anak perempuan yang kau kenal?"
"Ah, sungguh kuharap jangan banyak-banyak anak perempuan yang kukenal .... Dan kau"
Anak lelaki yang kau kenal ...."
"Satu pun tidak ada," jawab anak dara itu dengan dingin.
"Tapi sekarang sedikitnya kau sudah kenal diriku," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. "Aku she Kang bernama Siau-hi, dan kau?"
Nona itu terdiam sejenak, jawabnya kemudian, "Boleh kau panggil aku ini Thi Peng-koh"
Siau-hi-ji seperti melengak, ucapnya dengan menyengir, "Kau pun she Thi" Aneh, mengapa anak perempuan she Thi sedemikian banyak ...."
Belum habis ucapannya, mendadak Thi Peng-koh mendesis dan memberi tanda agar jangan bersuara.
Segera terdengar langkah perlahan di luar pintu, cepat Siau-hi-ji merebahkan diri di tempat tidur. Habis itu masuklah seorang anak perempuan berbaju ungu dan berwajah dingin bersama seorang perempuan setengah umur berbaju hijau.
Thi Peng-koh tetap berdiri di tempatnya tanpa menghiraukan kedua pendatang itu.
Nona baju ungu lantas mendekatinya, dengan dingin ia menegur, "Adikmu sudah meninggal."
"Aku tahu," jawab Peng-koh dengan sikap sama dinginnya.
"Kau berduka tidak?"
"Jika aku berduka apakah kau gembira?"
Cepat si baju ungu melengos dongkol, sorot matanya yang penuh rasa gusar itu kebetulan menghadapi Siau-hi-ji. Tapi anak muda itu malah mencibir padanya dengan menjulurkan lidah segala.
Sementara itu perempuan baju hijau tadi sudah selesai mengukuti mangkuk piring dan membawanya pergi.
Tiba-tiba si nona baju ungu berkata, "Kau pun boleh keluar sana!"
Siau-hi-ji melengak, ucapnya dengan menyengir, "Maksudmu aku sudah boleh keluar?"
Tapi di baju ungu lantas memutar balik ke sana dan menatap Thi Peng-koh jengeknya,
"Tentunya kau tahu yang kumaksudkan ialah kau. Mengapa kau tidak lekas pergi?"
Siau-hi-ji terperanjat, denyut jantungnya hampir saja berhenti. Thi Peng-koh disuruh pergi, itu berarti rencana akan kabur mereka gagal total.
Tapi Thi Peng-koh lantas menjawab, "Siapa yang suruh aku pergi?"
"Sekarang sudah waktunya giliran jaga, kau dapat istirahat, memangnya kurang enak bagimu?" jengek si baju ungu.
Thi Peng-koh tidak bicara pula, segera ia membalik tubuh dan melangkah pergi.
Dengan terbelalak Siau-hi-ji menyaksikan Thi Peng-koh melangkah keluar, meski gelisah, tapi tak berdaya.
Dalam pada itu si nona baju ungu sedang menatapnya pula dengan tajam dan bertanya,
"Kau tidak ingin dia pergi?"
"Haha!" Siau-hi-ji sengaja latah, "Lebih baik kalau dia pergi. Mukanya yang senantiasa merengut itu membuat jemu saja. Meski kau belum tentu lebih enak dipandang daripada dia, tapi ganti yang baru tentu lebih baik daripada yang lama. Memangnya watakku juga suka pada yang baru dan bosan pada yang lama."
"Hm, jika kau menatap diriku, segera kucolok biji matamu," ancam si baju ungu.
Siau-hi-ji dapat melihat Thi Peng-koh yang telah keluar itu diam-diam telah menyelinap masuk kembali. Maka ia sengaja bergelak tertawa dan berolokolok. "Hahaha! Di mulut kau bilang tidak mau dipandang, tapi dalam hati tentu kau ingin sekali. Bisa jadi kau harap aku akan mendekapmu dan menciummu, kalau tidak mengapa kau segera menyuruh dia pergi dan kau sendiri malah tinggal di sini?"
Tampaknya si baju ungu menjadi gusar, dengan suara gemetar ia membentak, "Kau ... kau berani bicara begini padaku?"
Siau-hi-ji melelet lidah, ucapnya dengan tertawa, "Kau kan bukan macan betina, mengapa aku tidak berani" Malahan kuingin menggigit bibirmu!"
Dilihatnya Thi Peng-koh sudah dekat di belakang si baju ungu, maka dia sengaja membuatnya marah-marah dan lupa daratan.
Benarlah, dengan murka si baju ungu membentak pula, "Jangan kau kira aku tak dapat membunuhmu, sedikitnya dapat kupatahkan ...."
Belum habis ucapannya, tahu-tahu kepalanya telah menjulai ke bawah, menyusul tubuhnya lantas roboh terjungkal tanpa bersuara sedikit pun. Ternyata telapak tangan Thi Peng-koh dengan tepat telah menebas kuduk si baju ungu.
Cepat Siau-hi-ji melompat bangun dan berseru, "Kau tidak khawatir dilihat orang lain ...."
Dengan ketus Thi Peng-koh memotongnya, "Kesempatan sukar dicari lagi, terpaksa aku harus menyerempet bahaya. Apalagi penghuni-penghuni di sini kebanyakan tidak suka memperhatikan urusan orang lain. Seumpama tiga hari dia tidak muncul juga tiada orang yang menanyakan dia."
Sembari bicara ia terus menggeser tempat tidur itu dan meraba-raba dinding, segera tertampaklah sebuah pintu sempit.
Cepat Thi Peng-koh menyelinap ke balik pintu sambil berseru tertahan, "Lekas ikut padaku!"
Di balik dinding itu ternyata ada sebuah jalan di bawah tanah yang berliku-liku entah menembus ke mana. Hanya terasa hawa dingin dan lembap dengan bau apek yang memuakkan.
Kejut dan girang Siau-hi-ji, sambil mendekap hidung ia ikut berjalan sekian lamanya, akhirnya ia berkata dengan gegetun, "Sungguh tidak disangka di dalam kelenteng ini ada jalan rahasia begini, sejak kapan kau menemukannya?"
"Waktu akan mengatur dan memperbaiki tempat ini lantas kutemukan jalan rahasia ini,"
tutur Peng-koh. "Menurut perkiraanku, biara ini mungkin dibangun pada jaman "Ngoh-oh-cok-loan" (geger lima suku bangsa), waktu itu suasana kacau balau, kejahatan merajalela, jiwa manusia lebih rendah daripada binatang. Banyak orang-orang baik yang memotong rambut menjadi rahib untuk menghindari kerusuhan yang berkecamuk. Namun biara juga bukan tempat yang aman, maka para paderi di sini membangun jalan rahasia ini untuk menghindari bahaya."
"Tampaknya kau memang agak berbeda daripada anak perempuan lain yang pernah kukenal." ucap Siau-hi-ji dengan gegetun.
"O, memangnya berbeda dalam hal apa?"
"Kau bisa memakai otak," kata Siau-hi-ji. "Di dunia ini anak perempuan yang dapat menggunakan otaknya kini makin sedikit, malahan ada sementara perempuan yang punya otak sekalipun tapi justru malas menggunakannya. Mereka mengira cukup asalkan anak perempuan mempunyai wajah yang lumayan."
Thi Peng-koh seperti tertawa, katanya, "Tapi itu pun salah kaum lelaki."
"O, alasannya?" tanya Siau-hi-ji.
"Sebab pada umumnya kaum lelaki tidak menyukai anak perempuan yang berotak, mereka takut bilamana anak perempuan akan mengungguli mereka, sebab itulah anak perempuan yang semakin pintar juga semakin berlagak bodoh dan lemah. Pada dasarnya kaum lelaki memang suka menganggap dirinya lebih kuat daripada perempuan dan lebih suka menjadi si pelindung, jika demikian, mengapa pihak perempuan tidak membuat mereka memeras otak lebih banyak dan lebih banyak pula mengeluarkan tenaga?"
"Wah, jika begini jadinya yang bodoh adalah kaum lelaki?" kata Siau-hi-ji dengan bergelak tertawa. "Tapi katanya kau tidak pernah kenal seorang lelaki mana pun, mengapa kau sedemikian memahami kaum lelaki?"
"Secara kodrat perempuan memang dilahirkan agar memahami kaum lelaki."
Siau-hi-ji menghela napas gegetun, ucapnya, "Ya, memang benar juga perkataanmu, seorang lelaki kalau menganggap dirinya dapat memahami jalan pikiran perempuan, maka masa menderitanya pasti akan bertambah lama."
Dalam hati mereka sekarang sebenarnya penuh rasa khawatir, sebab itulah mereka sengaja pasang omong sedapatnya dengan tujuan sekadar mengendurkan saraf yang tegang.
Maklumlah, di lorong bawah tanah yang pengap dan seram itu, sedangkan keselamatan jiwa mereka pun tidak diketahui apakah dapat dipertahankan, kalau mereka tidak bicara, tentu suasana akan bertambah mencekam.
Jalan di bawah tanah itu semakin lembap dan juga semakin gelap. Waktu Siau-hi-ji merabanya, terasa kedua sisi bukan lagi tembok yang licin melainkan dinding batu yang keras, kasap dan berlumut.
Sementara itu ia pun merasakan jalanan juga mulai tidak rata. Tanyanya kepada Thi Peng-koh. "Apakah dinding biara tua ini berhubungan dengan perut gunung?"
Thi Peng-koh tidak menjawabnya, tapi ia lantas menyalakan sebuah obor kecil. Tempat di mana mereka berada memang betul di dalam perut gunung dengan gua yang saling menyilang laksana jaringan labah-labah. Angin, ada tiupan angin entah berasal dari mana, angin yang dingin membuat orang merinding.
Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata, "Di tempat begini, sekalipun Tong-siansing memiliki kesaktian setinggi langit juga tidak mudah menemukan kita."
"Tapi kalau kita ingin keluar rasanya juga tidak mudah," ujar Thi Peng-koh.
Siau-hi-ji kaget, serunya, "Masa kau tidak tahu jalan keluarnya?"
"Dari mana kutahu?" jawab Peng-koh.
"Jika ... jika begitu mengapa kau bilang kita dapat lari keluar?"
"Asalkan ada jalan, dengan sendirinya kita ada harapan untuk lari keluar."
"Tampaknya nona terlalu meremehkan persoalan ini," ujar Siau-hi-ji dengan murung.
"Tahukah bahwa gua-gua begini kebanyakan tidak ada jalan tembusnya."
"Tapi juga ada sebagian yang dapat tembus keluar bukan?"
"Sekalipun ada jalan keluarnya, tapi gua-gua begini sungguh ruwet melebihi pat-kwa-tin yang pernah diciptakan Khong Beng di jaman Sam-kok itu. Bisa jadi setelah berputar dua-tiga bulan di dalamnya akhirnya baru diketahui masih tetap berada di tempat semula.
Setahuku, dari dahulu kala hingga sekarang, setan penasaran yang terkurung mati di dalam perut gunung semacam ini bilamana dikumpulkan mungkin akan membuat penuh istana raja akhirat."
Peng-koh berjalan di depan, tanpa menoleh ia menjengek, "Jika begitu, kalau sekarang bertambah lagi dua orang kan tidak banyak."
"Ma ... masa kau tidak cemas?" tanya Siau-hi-ji.
"Jika cemas, sekarang juga boleh kau kembali ke sana, kan belum terlambat."
Siau-hi-ji melengak, ucapnya sambil menyengir, "Ai, kau jangan marah, aku tidak menyalahkanmu, hanya ...."
Mendadak Peng-koh berpaling dan berteriak, "Memangnya kau kira aku tidak tahu betapa bahayanya tempat begini" Tapi apa pun juga kita kan ada setitik harapan buat lari keluar daripada duduk menunggu ajal di sana?"
Siau-hi-ji melelet lidah, katanya dengan tertawa, "Wah, bila kutahu kau akan marah begini tentu aku tidak bicara seperti tadi."
Dengan mendongkol Thi Peng-koh menatapnya sejenak, tiba-tiba ia menghela napas gegetun dan berucap, "Sungguh tak terpikirkan olehku bahwa engkau adalah orang seaneh ini."
"Aku pun tidak pernah membayangkan bahwa kau akan marah-marah begini," ujar Siau-hi-ji tertawa.
Sembari bicara terus matanya juga tidak menganggur. Kini mendadak ditemukannya bahwa lumut yang melapisi dinding gua itu samar-samar ada ukiran ujung panah, sinar mata Peng-koh tampak gemerlap, agaknya dia juga sudah melihat tanda panah ini.
Segera nona itu mendahului menuju ke arah yang ditunjuk ujung panah. Belasan tombak kemudian, pada belokan sana kembali ada tanda panah lagi. Tapi Siau-hi-ji lantas berdiri di situ tanpa bergerak pula.
"Kini sudah ada petunjuk kita akan menuju keluar, mengapa engkau malah berdiri diam saja?" tanya Peng-koh sambil mengeryitkan kening.
Siau-hi-ji tertawa, jawabnya, "Jika kita menuju arah menurut ujung panah ini, sebentar lagi kita akan berjumpa pula dengan Tong-siansing. Rasanya aku sudah bosan melihat wajah seperti setan itu."
Thi Peng-koh terkejut, "Masa tanda panah ini bukan petunjuk jalan?"
"Tanda panah ini memang petunjuk jalan, tapi yang ditunjuk bukan jalan keluar."
"Dari mana kau tahu?" tanya si nona.
"Tanda panah ini tentunya diukir oleh para Hwesio yang dahulu menghuni biara ini, betul tidak?"
"Ya," kembali si nona mengangguk.
"Mereka sembunyi di sini untuk menghindari kerusuhan, setelah kawanan penjahat pergi, coba katakan, lalu para Hwesio itu akan ke mana lagi?"
"Dengan sendirinya kembali ke kelenteng mereka," setelah berucap begitu baru Peng-koh sadar dan cepat menambahkan pula, "Aha, betul juga. Tanda panah ini pasti petunjuk jalan untuk kembali ke kelenteng sana. Tapi mereka hanya sembunyi sementara saja di sini, mengapa mesti meninggalkan penunjuk jalan segala?"
"Memang sudah kukatakan sejak tadi bahwa kau ini anak perempuan yang suka memakai otak," ucap Siau-hi-ji sambil tertawa, "Akhirnya kau paham juga, mungkin tadi kau hanya pura-pura bodoh saja."
Tanpa terasa Thi Peng-koh menunduk dengan muka merah. Tiba-tiba ia menyerahkan obornya kepada Siau-hi-ji dan berkata, "Kau ... engkau saja yang mencari jalan."
Dengan menghela napas Siau-hi-ji bergumam, "Makanya anak perempuan yang semakin pintar tentu juga semakin suka berlagak bodoh dan lemah, makanya lagi sekarang kau ingin aku memeras otak dan lebih banyak mengeluarkan tenaga ...."
Belum habis ucapannya, Thi Peng-koh membanting kaki dengan muka merah, serunya,
"Baiklah, anggap engkau benar, kan tidak menjadi soal bukan?"
Dengan muka cengar-cengir Siau-hi-ji memandang si nona, sejenak kemudian baru berkata pula, "Justru kuingin melihat wajahmu merah dan marah-marah, dalam keadaan marah barulah kau mirip benar anak perempuan, sesungguhnya aku tidak tahan melihat wajahmu yang selalu dingin membeku ini."
Selagi Thi Peng-koh hendak mengomel namun Siau-hi-ji telah membalik ke sana sambil tertawa. Tanpa terasa si nona ikut tersenyum, gumamnya, "Apakah betul mukaku menjadi merah" Sungguh aku sendiri tidak tahu bagaimana bentuk wajahku bilamana sedang marah, mungkin untuk pertama kalinya selama hidupku ini ...."
Begitulah mereka terus maju ke depan, setiap ada tanda panah, bila menuju ke depan, maka Siau-hi-ji berbalik menuju ke belakang, bilamana tanda panah mengarah ke kanan, maka dia justru belok ke kiri. Tanda-tanda panah yang dilaluinya juga segera dihapuskannya."
Setelah berjalan sejenak pula mengikuti anak muda itu, tiba-tiba Peng-koh bertanya,
"Caramu berjalan ini apakah akhirnya dapat keluar?"
"Aku pun tidak tahu, yang pasti cara kita berjalan ini, sedikitnya jarak kita dengan kelenteng itu sudah semakin jauh," jawab Siau-hi-ji.
Namun sekarang gua itu sudah semakin sempit, terkadang Siau-hi-ji harus memiringkan tubuh baru dapat menyelinap lewat, sedangkan panah penunjuk jalan juga sudah tiada terlihat lagi.
Siau-hi-ji menghela napas, katanya, Agaknya sekarang kita harus main untung-untungan, biarlah kita pejamkam mata," Sembari bicara segera ia pun memadamkan obor.
"Kenapa kita tidak mencari lagi kalau-kalau ada "."
"Percuma," potong Siau-hi-ji. "Para Hwesio dahulu itu mungkin tidak sembunyi sampai ke sini, maka mereka pun tidak perlu mengukir penunjuk jalan, biarpun kita mencari lagi juga cuma sia-sia belaka."
Peng-koh tidak bicara lagi, tiba-tiba terasa tangannya dipegang Siau-hi-ji. Seketika jantungnya berdebar keras, dalam kegelapan detak jantungnya seakan-akan tambah keras. Muka si nona menjadi merah, kalau ada lubang di tanah rasanya ia ingin menyusup dan sembunyi di situ.
"Terpaksa, tak berdaya," ucap Siau-hi-ji.
"Soal ... soal apa tak berdaya?" tanya si nona.
"Jika jantung harus berdetak, siapa pun tak berdaya membuatnya berhenti," kata Siauhi-ji dengan tertawa.
Peng-koh mengikik tawa, segera ia hendak mencubit lengan anak muda itu, tapi mendadak tangannya berhenti di tengah jalan serta melenggong, tiba-tiba terasa olehnya selama bertahun-tahun ini baru sekarang untuk pertama kalinya ia merasa dirinya adalah perempuan, untuk pertama kalinya ia merasa dirinya berdarah dan berdaging. Perasaan ini membuat sekujur badannya panas membara, hampir-hampir berjalan saja tidak sanggup lagi.
Lorong gua ini semakin sempit, terkadang dilalui dengan merangkak. Berjalan di dalam kegelapan di tempat demikian rasanya sungguh tidak enak. Pakaian Peng-koh sudah robek, badan ada yang lecet dan berdarah, tapi sedikit pun dia tidak merasa sakit, dia terus mengikuti langkah Siau-hi-ji tanpa bicara.
Setiap satu jarak Siau-hi-ji lantas menyalakan obor untuk memeriksa keadaan sekitarnya, sampai akhirnya cahaya obornya sudah semakin guram. Ia tahu obornya sudah hampir terpakai habis, ia harus menghemat dan tidak berani menggunakan obor lagi, ia tahu di tempat demikian tanpa cahaya api akan berarti maut. Karena itu perjalanan mereka menjadi lebih sulit.
Entah sudah berapa lama mereka menyusur dalam kegelapan, rasanya sudah dua-tiga hari, tapi juga seperti sudah sebulan atau dua bulan. Langkah Peng-koh akhirnya mulai berat.
Menyusul sekujur badan terasa linu, kepala pusing dan mata berkunang-kunang, lapar, dan dahaga.
Dengan sendirinya kondisi tubuhnya tidak sekuat Siau-hi-ji yang sudah kebal itu, mana dia sanggup tahan derita sehebat ini, kalau saja Siau-hi-ji tidak mengajaknya bicara dan bersenda-gurau, sungguh selangkah saja ia tidak kuat berjalan pula.
Padahal Siau-hi-ji sendiri juga payah.
Bila orang lain menghadapi keadaan buntu begini, andaikan tidak kelabakan hingga gila, paling tidak pasti juga akan berkeluh-kesah dan meratapi nasibnya yang celaka.
Tapi dasar watak Siau-hi-ji memang aneh, menghendaki kematiannya bisa jadi akan lebih mudah, kalau dia disuruh cemas, gelisah atau sedih atau jangan tertawa, inilah yang mahasulit.
Akhirnya Thi Peng-koh tak tahan, katanya, "Marilah kita mengaso sejenak."
"Jangan, tidak boleh berhenti, sekali berhenti maka jangan harap akan sanggup berjalan pula," ujar Siau-hi-ji.
"Tapi ... tapi aku ... tidak sanggup ...."
"Coba bayangkan, sejak dahulu kala sampai sekarang bilakah ada orang banyak yang masuk ke gua rahasia ini untuk berjalan-jalan dengan tangan bergandengan tangan seperti kita sekarang" Ai, betapa indah dan betapa romantisnya peristiwa ini. Orang lain tidak mungkin mendapatkan kesempatan bagus begini, kenapa sekarang kita tidak menikmatinya dan meresapinya."
"Tapi ... tapi sayang aku bukan ... bukan kekasihmu," ucap Peng-koh dengan perasaan hampa.
"Siapa bilang bukan?" ucap Siau-hi-ji dengan tertawa, "Saat ini, detik ini, selain kau, siapa pula di dunia ini yang lebih berdekatan denganku?"
Kembali Peng-koh mengikik tawa, tanpa terasa seluruh badannya lantas jatuh ke dalam pelukan Siau-hi-ji, wajahnya panas seperti bara. Bara ini timbul dari lubuk hatinya yang dalam.
Sekalipun perempuan yang sudah kenyang asam garamnya penghidupan, kalau berada bersama pemuda seperti Siau-hi-ji di tempat gelap dan pada hakikatnya belum pernah menyentuh lelaki. Masa remajanya yang membakar itu memang sudah tertahan terlalu lama, apalagi seorang yang sedang menghadapi tepi batas antara hidup dan mati, pada saat-saat demikian pikiran sehat seseorang paling mudah runtuh.
Peng-koh sendiri pun tidak membayangkan dirinya bisa jatuh ke dalam pelukan Siau-hi-ji, dan sekarang dia sudah menjatuhkan diri, namun sedikit pun ia tidak menyesal. Ia merasa tangan anak muda itu mendekap pinggangnya dengan perlahan.
Keadaan gelap gulita. Kegelapan memang suka menyesatkan.
Dengan suara gemetar Peng-koh berkata, "Hidup manusia sungguh aneh dan menarik, baru sekarang kutahu hal ini. Dua-tiga hari yang lalu aku tidak kenal kau, tapi sekarang ...
sekarang aku "."
"Apakah kau tahu apa yang kupikirkan sekarang?" tiba-tiba Siau-hi-ji bertanya.
"Tidak tahu," jawab si nona.
"Yang paling kuinginkan sekarang adalah melihat wajahmu."
"O, tidak ... tidak ... kumohon jangan ...." Namun obor sudah menyala pula. Cepat Peng-koh menutup mukanya dengan tangan.
Air mukanya kembali merah jengah. Serunya dengan suara gemetar, "Jang ... jangan, padamkan ... obornya sudah hampir habis ...."
"Biarpun obor ini sekarang sangat berharga bagi kita, tapi bisa kulihat wajahmu pada saat ini, betapa pun pengorbananku terasa setimpal juga," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Betul?" tanya Peng-koh sambil menurunkan tangannya perlahan-lahan.
"Cuma sayang saat ini tidak ada cermin, kalau ada ingin kuperlihatkan padamu bahwa wajahmu sekarang jauh lebih cantik daripada bentukmu dahulu yang dingin itu."
Peng-koh menatap tajam anak muda itu, sampai lama sekali baru berkata dengan lirih,
"Jika benar-benar kita tak dapat keluar, apakah engkau akan marah padaku?"
"Marah padamu" Mengapa kumarah padamu?"
"Sebenarnya engkau toh takkan meninggal biarpun terkurung di sana, tapi sekarang ...."
"Jika demikian halnya, sepantasnya kau yang harus marah padaku. Kalau bukan diriku, tentu kau takkan menderita begini."
"Menderita?" tukas Peng-koh dengan tersenyum. "Tahukah engkau bahwa selama hidupku belum pernah segembira sekarang."
Dia menatap ke arah yang jauh di sana, lalu katanya pula dengan perlahan, "Pada waktu aku hampir gila karena kesepian, entah berapa kali pernah kubermimpi, aku mendambakan ada seorang akan mengajak bicara padaku, bertengkar padaku, memancing aku tertawa dan membuat aku marah pula. Tadinya kukira impianku ini takkan terlaksana selamanya, kukira di dunia ini tidak ada orang yang mau menganggap diriku sebagai perempuan."
"Sebab apa?" tanya Siau-hi-ji.
"Kalau aku sendiri tidak menganggap diriku sebagai perempuan, apalagi orang lain" Bisa jadi orang lain memandang diriku seperti bidadari, bahkan seperti iblis, tapi pasti tidak menganggap diriku sebagai perempuan."
"Tapi tidak kurang tidak lebih engkau benar-benar seorang perempuan, aku dapat membuktikannya dengan seribu macam cara bila perlu."
"Ya, hal ini dapat kurasakan kini, makanya seumpama sekarang aku harus mati juga aku merasa siap dan merasa gembira."
"Siapa bilang kau akan mati?" seru Siau-hi-ji. "segera juga kita akan menemukan jalan keluarnya."
Peng-koh menggeleng dengan tersenyum, katanya, "Kutahu ... kutahu ... engkau tak dapat mendustaiku."
Sementara itu api obor sudah tersisa setitik saja, sambil memandangi api obor kelopak mata Peng-koh terasa semakin berat, dengan suara lirih ia menyambung, "Aku pun tahu, sikap baikmu padaku bukanlah lantaran benar-benar menyukai aku melainkan cuma ingin menghiburku saja, agar aku mendapatkan kegembiraan terakhir."
"Ah, kau ber ... berpikir terlalu banyak," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
Tersembul senyuman manis pada ujung mulut si nona, ucapnya perlahan, "Namun aku tetap berterima kasih padamu, aku benar-benar sangat ... sangat lelah, kumohon biarkanlah kutidur, sekalipun tidurku ini takkan siuman untuk selamanya juga aku merasa puas ...."
Memandangi kelopak mata si nona yang berat dan perlahan-lahan terkatup itu, tanpa terasa Siau-hi-ji menghela napas.
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara keresek serta suara mencicit, ada sebarisan tikus besar lagi gemuk beriring-iringan lari lewat di depan mereka.
Peng-koh terkejut dan membuka mata lebar-lebar, tubuhnya meringkuk ketakutan.
Sebaliknya Siau-hi-ji berseru girang, teriaknya, "Aha, kau tidak perlu tidur lagi, kita pasti tertolong."
"Tapi ini kan cuma kawanan tikus saja?" ujar Peng-koh.
"Lihatlah, kawanan tikus ini rata-rata berbadan gemuk, jelas tidak tinggal di perut gunung ini, di sini tiada terdapat satu butir beras atau makanan lain, pasti takkan membuat kawanan tikus itu sedemikian gemuk."
Terbeliak juga mata Thi Peng-koh, katanya, "Jadi maksudmu kawanan tikus ini masuk dari luar gunung sana?"
"Betul, tempat ini pasti sudah dekat dengan pinggir perut gunung dan jalan keluarnya pasti juga berada di dekat sini," sembari bicara Siau-hi-ji terus melangkah ke arah datangnya kawanan tikus tadi.
Untung obor belum lagi padam seluruhnya, tidak lama kemudian dapatlah ditemukan sebuah lubang yang tidak besar tapi juga tidak kecil, di luar lubang remang-remang ada cahaya yang redup.
Cahaya ini sangat aneh, bukan sinar matahari juga bukan lampu, tapi adalah semacam cahaya kemilau yang redup. Namun Siau-hi-ji tidak pedulikan lagi cahaya apakah itu.
Segera ia tarik Thi Peng-koh dan menerobos ke balik lubang sana.
Di balik gua situ ternyata ada sebuah gua mestika, berpeti-peti harta karun tertimbun di situ, walaupun tidak terlalu banyak, tapi juga tidak sedikit jumlahnya.
Siau-hi-ji jadi melenggong, ucapnya dengan tertawa, "Aku sebenarnya bukan manusia rakus harta, tapi Thian justru selalu membuatku menemukan tempat-tempat rahasia penyimpanan harta pusaka, sungguh aku tidak paham mengapa di dunia ini terdapat harta karun sebanyak ini."
Sambil memegangi sebuah peti, tiba-tiba Peng-koh berkata, "Di sini bukanlah tempat harta karun segala."
"O, dari mana kau tahu?" tanya Siau-hi-ji.
"Peti-peti ini belum lama dibawa masuk ke sini, lihatlah, di atas peti ini tiada terdapat debu kotoran apa pun," kata Peng-koh.
Melengak juga Siau-hi-ji setelah tangannya mengusap tutup peti dan memang benar tiada terdapat debu kotoran apa pun. Katanya sambil menyengir, "Dalam keadaan demikian kau ternyata lebih cermat daripadaku."
Tiba-tiba dilihatnya di atas setiap tutup peti itu tertempel etiket yang tertulis, "Milik Toan Hap-pui". Penemuan ini membuat Siau-hi-ji melonjak kaget.
Rupanya harta pusaka ini adalah milik Toan Hap-pui yang dirampas oleh Kang Piat-ho dan Kang Giok-long dengan berbagai tipu daya itu. Mungkin Giok-long menganggap gua ini adalah tempat sangat rahasia, maka partai harta karun rampasannya itu disembunyikannya di sini, tak tersangka secara kebetulan justru ditemukan oleh Siau-hi-ji.
Terkejut dan bergirang anak muda itu, hampir saja ia bersorak gembira. Tapi mendadak Thi Peng-koh mendesis, "Ssst, ada orang di sini."
Waktu Siau-hi-ji mengintip ke sana, benar juga dilihatnya di samping sepotong batu besar di luar sana duduk dua orang berhadapan. Seorang yang duduk menghadap ke sini berwajah putih pucat, ternyata Kang Giok-long adanya. Sedang orang yang duduk di seberangnya bertubuh kekar dan wajahnya tidak jelas terlihat.
Di samping batu itu tertaruh banyak santapan dan arak, tapi kedua orang itu bukan lagi makan dan minum, mereka hanya memandangi batu besar di depan mereka dengan penuh perhatian.
Keadaan kedua orang kelihatan lesu dan lelah, rambut semrawut, muka berlepotan seperti sudah beberapa hari tidak pernah cuci muka. Tapi mata mereka masih terbuka lebar tanpa berkedip.
Peng-koh merasa heran, dengan suara tertahan ia tanya Siau-hi-ji, "Adakah sesuatu yang menarik pada batu itu, mengapa kedua orang memandangnya sedemikian rupa" Jangan-jangan mereka orang gila semua."
Siau-hi-ji menjawab dengan gegetun, "Setahuku orang ini tidaklah gila, bahkan otaknya jauh lebih cerdas daripada orang lain."
"Kau kenal dia?" tanya Peng-koh.
"Ehm," Siau-hi-ji hanya mendengus saja sambil menatap santapan dan arak yang ditaruh di sana itu.
"Mengapa mereka melototi batu besar itu?"
"Mungkin mereka berharap batu itu akan berbunga," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
Akhirnya pandangannya beralih dari makanan kepada batu besar yang dimaksudkan Peng-koh itu.
Batu itu rata persegi, tiada sesuatu yang aneh, hanya bagian tengah ada satu garis ukiran, pada kanan-kiri garisan itu masing-masing tertaruh sekerat daging Samcan, yaitu daging iga babi. Dan daging itulah yang dipelototi oleh kedua orang itu tanpa berkedip, seakan-akan daging yang berminyak itu adalah wajah perempuan yang paling cantik di dunia ini.
Siau-hi-ji merasa bingung juga melihat kelakuan mereka, gumamnya dengan tertawa,
"Dahulu kukenal bocah ini tidak mempunyai penyakit apa-apa, tapi sekarang bisa jadi sudah berubah, memangnya dia sudah lupa bahwa daging harus di makan dengan mulut dan bukan untuk dipandang mata."
Bicara soal makan, Thi Peng-koh juga menelan air liur, ucapnya dengan suara tertahan sambil tertawa, "Jika kau kenal dia, sebaiknya kau beri petunjuk padanya."
"Tentu saja aku ingin mengajarkan dia cara memakan daging," ujar Siau-hi-ji. "Cuma sayang bilamana sekarang aku muncul, yang dimakan bukan lagi daging Samcan di meja batu itu melainkan daging pahaku ini. Maklumlah, karena geregetannya padaku sudah lama dia ingin memakan dagingku."
Peng-koh menghela napas kecewa, tanyanya kemudian, "Dan siapa lagi yang seorang?"
"Orang ini belum jelas kelihatan, rasanya seperti ...." belum habis ucapan Siau-hi-ji, sekonyong-konyong seekor tikus menerobos keluar dari tempat gelap dan melompat ke atas batu besar itu dan sekeratan daging di depan lelaki itu terus digondol lari.
Tiba-tiba muka Kang Giok-long berubah lebih pucat, katanya sambil menyengir, "Baik, sekali ini kau lagi yang menang."
"Sampai sekarang utangmu padaku seluruhnya berjumlah seratus tiga puluh laksa tahil perak, harta simpananmu di dalam sana sudah hampir ludes," ujar lelaki kekar itu dengan tertawa.
"Jangan khawatir, masih cukup banyak," jawab Kang Giok-long dengan dingin.
"Hahaha, sebelum pertaruhan ini memuaskan seleraku, mana boleh begini cepat modalmu ludes, awas bila ingin kupencet perutmu hingga keluar telurmu," demikian lelaki kekar itu bergelak tertawa, lalu ia iris sekerat kecil daging dan ditaruh pula di atas batu.
Baru sekarang Peng-koh paham duduk perkaranya, bisiknya dengan tertawa, "Kiranya mereka sedang berjudi, bilamana daging yang ditaruh di depannya itu digondol lari tikus, maka dia yang menang. Cara pertaruhan demikian sungguh sangat langka di dunia ini."
"Tapi cara pertaruhan ini juga sangat adil, siapa pun tidak dapat main kayu," kata Siau-hi-ji.
"Akan tetapi kalau tikusnya tidak datang, lalu bagaimana?"
"Jika tikusnya tidak datang, mereka lantas menunggu dan menunggu terus, dasar orang ini memang keranjingan judi, asalkan judi, biarpun menunggu sepuluh hari sepuluh malam juga bukan soal baginya."
"Hihi, memang betul, tampaknya cara mereka berjudi seperti ini sudah lebih daripada sepuluh hari sepuluh malam."
"Apakah kau ingin tahu siapa orang yang duduk membelakangi kita ini?"
"Eh, engkau sudah mengenalnya?"
"Meski belum melihat mukanya, tapi suaranya sudah dapat kukenali."
"Siapa dia?" tanya Peng-koh.
"Han-wan Sam-kong atau lebih terkenal dengan julukan "Ok-tu-kui", sebelum semuanya serba ludes tidak mungkin dia berhenti berjudi."
"Ok-tu-kui?" Peng-koh menegas, "Apakah tokoh Cap-toa-ok-jin itu?"
"Betul, rupanya kau pun tahu di dunia ini ada Cap-toa-ok-jin."
Peng-koh termenung sejenak, tiba-tiba ia tanya, "Apakah engkau tahu Cap-toa-ok-jin itu sebenarnya orang-orang macam apa?"
"Haha, pertanyaanmu ini boleh dikatakan tepat diajukan kepada orangnya," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa, "Mungkin di dunia ini tiada orang lain yang lebih mengenal Cap-toa-ok-jin daripada diriku ini."
Lalu dia angkat tangannya dan memperlihatkan jarinya satu per satu, "Cap-toa-ok-jin itu terdiri dari pertama, si tangan berdarah Toh Sat, kedua, tertawa sambil menikam Ha-ha-ji, ketiga si Banci To Kiau-kiau, keempat, setengah manusia setengah setan Im Kiu-yu, kelima tidak makan kepala manusia Li Toa-jui, lalu ...."
Sampai di sini, tubuh Thi Peng-koh seperti agak gemetar, air mukanya juga berubah, tapi Siau-hi-ji tidak memperhatikan, ia menyambung lagi, "Lalu ada lagi si Singa Gila Thi Cian, si tukang pikat Siau Mi-mi, Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong, Pek Khay-sim dan ditambah lagi Auyang Ting dan Auyang Tong bersaudara."
"Jika begitu, bukankah jumlahnya ada sebelas orang?" tanya Peng-koh.
"Soalnya kedua Auyang bersaudara itu adalah saudara kembar yang tidak pernah berpisah satu sama lain, sebab itulah mereka berdua cuma dianggap satu."
Perlahan Peng-koh menunduk, ucapnya dengan lirih, "Apakah orang-orang itu memang betul sangat jahat?"
"Sebenarnya orang yang lebih jahat daripada mereka masih sangat banyak, soalnya tindak tanduk mereka ini terlebih mencolok dan jauh berbeda daripada orang lain."
"Maksudnya bagaimana?" tanya Peng-koh.
"Umpamanya Li Toa-jui yang tidak makan kepala manusia itu, sehari-hari tampaknya ramah tamah, bahkan boleh dikatakan orang serba pintar dalam bidang sastra dan ilmu silat, tapi bila penyakitnya mulai kambuh, jangankan orang lain, istri sendiri juga disembelih dan dimakannya. Padahal orang yang berjumpa dengan dia pasti takkan menyangka dia dapat melakukan kekejaman sejauh itu."
Menyinggung nama Li Toa-jui, kembali tubuh Thi Peng-koh agak gemetar. Ia terkesima sejenak, kemudian bertanya dengan perlahan, "Apakah engkau kenal mereka?"
"Bukan cuma kenal saja, bicara terus terang, bahkan aku dibesarkan bersama mereka?"
Kembali si nona melengak, tanyanya, "Apakah kau tahu di ... di mana mereka berada kini?"
"Bisa jadi mereka berada di sekitar Ku-san "." tiba-tiba Siau-hi-ji menatap si nona dan bertanya dengan tersenyum, "Apa sebabnya kau tanya sejelas itu."
Peng-koh tertawa, jawabnya, "Ah, aku cuma merasa tertarik oleh manusia-manusia yang serba aneh itu."
Sudah tentu percakapan mereka itu dilakukan lirih, sedangkan Kang Giok-long dan Han-wan Sam-kong lagi asyik bertaruh hingga lupa daratan, dengan sendirinya mereka tidak mendengar suara mereka.
Tiba-tiba terlihat Kang Giok-long tertawa dan berkata, "Sudah sembilan hari kita bertaruh dan belum ada yang kalah ludes, apakah kau tidak merasa bosan dan kesal?"
"Tidak, biarpun taruhan ini berlangsung sembilan tahun juga aku takkan bosan," jawab Ok-tu-kui.
"Tapi kalau pertaruhan ini diteruskan lagi, aku yang merasa kesal," kata Kang Giok-long.
"Kesal atau tidak adalah urusanmu," mendadak Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong melotot,
"Pokoknya kau harus bertaruh denganku. Permainan harus jalan terus."
"Maksudnya bukan menghentikan pertaruhan ini, aku justru ingin memperbesar jumlah taruhannya."
"Hahaha, dalam hal berjudi, selamanya aku tidak kenal limit, makin besar taruhannya makin menyenangkan bagiku. Nah, katakan saja, kau ingin taruhan berapa banyak?"
Dengan tenang Kang Giok-long menjawab, "Modal yang Anda bawa tadi katanya bernilai tujuh puluh sampai delapan puluh laksa tahil perak, ditambah dengan jumlah kemenanganmu modalmu sekarang sudah ada dua juta tahil. Nah, boleh kita bertaruh dua juta tahil saja sekaligus."
"Hahaha, bagus!" sorak Han-wan Sam-kong. "Satu kali taruhan menentukan kalah dan menang, ini benar-benar pertaruhan yang menyenangkan. Cuma ...." Mendadak ia berhenti tertawa dan membentak, "Sudah kuperiksa tadi, harta karun simpananmu itu paling-paling cuma bernilai dua sampai tiga juta tahil, kini sudah separo kau kalah padaku, dari mana lagi kau menyediakan modal dua juta tahil untuk bertaruh dengan aku?"
"Sisa harta simpananku itu sedikitnya masih ada satu juta tahil," kata Kang Giok-long.
"Dan selisihnya lagi satu juta?" tanya Ok-tu-kui.
"Selisih satu juta tahil kupenuhi dengan manusianya."
"Buset! Anak kura-kura macam kau ini masa bernilai satu juta tahil?" Ok-tu-kui terbahak-bahak.
Namun Kang Giok-long tetap tenang saja, jawabnya dengan tersenyum, "Biarpun Cayhe tidak berharga satu juta, tapi kan masih ada satu orang yang bernilai lebih dari satu juta."
"Siapa" Di mana?" tanya Ok-tu-kui.
"Apakah Tuan perlu menimbang dulu barang dengan harganya?" tanya Giok-long dengan tertawa.
"Sudah tentu," seru Ok-tu-kui dengan melotot, "Di meja judi yang dikenal cuma duit, biarpun ayah dan anak atau suami dan istri juga tidak peduli, satu sen pun harus dihitung dengan jelas."
"Jika begitu, biarlah Cayhe membawanya kemari," kata Giok-long.
Di belakang Han-wan Sam-kong adalah sebuah batu padas yang mencuat keluar, di atas batu itulah tertaruh sebuah lampu minyak. Kang Giok-long terus angkat lampu itu dan melangkah keluar, katanya pula dengan tersenyum, "Tuan jangan khawatir, segera Cahye akan kembali."
"Sudah tentu Locu (bapak) tidak perlu khawatir," ujar Ok-tu-kui dengan tertawa. "Semua kekayaanmu berada di sini, kau pun buru-buru ingin memenangkan kembali modalmu yang sudah habis sebagian ini, mustahil kalau kau tidak lekas kembali lagi ke sini."
Habis berkata barulah dia mulai meraih sepotong paha ayam terus dilalapnya dan didorong dengan tenggakan arak.
Terkesima Thi Peng-koh menyaksikan tingkah laku kedua orang itu, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata, "Sungguh luar biasa orang-orang ini, sekali taruhan bernilai jutaan tahil perak, harta mereka seakan-akan diperoleh dari mencuri."
"Memangnya siapa bilang hartanya bukan berasal dari mencuri?" tukas Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Biarpun hasil mencuri juga perlu banyak membuang tenaga dan pikiran, kalau dihabiskan dalam pertaruhan begini, kan sayang?" tukas Peng-koh.
"Segala macam harta benda, kalau didapatkan dengan mudah, habisnya juga mudah," ujar Siau-hi-ji. Apalagi seorang penjudi, sekalipun bininya dijadikan barang taruhan dan diambil lawannya juga takkan membuatnya menyesal. " Ia tertawa, lalu menyambung,
"Cuma tak terduga olehku bahwa Kang Giok-long ini juga setan judi, setelah kalah ludes masih belum rela dan ingin bertaruh pula dengan gadai orang."
"Jangan-jangan istrinya yang akan digadaikan untuk taruhan?" kata Peng-koh dengan tertawa ngikik.
"Seumpama dia punya istri juga takkan laku satu juta," kata Siau-hi-ji. "Permainan apa yang akan dilakonkan bocah ini sungguh aku pun tak dapat menerkanya. Maklum, orang yang berharga satu juta tahil perak kan langka?"
Dalam pada itu Kang Giok-long telah kembali dengan menggandeng satu orang yang bertubuh ramping, tampaknya seperti seorang perempuan, cuma mukanya memakai cadar sehingga wajahnya tidak kelihatan.
"Mengapa kau membawa perempuan kemari?" tegur Ok-tu-kui sambil berkerut kening.
"Dengan sendirinya harus perempuan, kalau lelaki kan tidak berharga," jawab Giok-long dengan tersenyum.
"Tapi barang bekas pakai dari anak kura-kura macam kau ini mana bisa laku sepeser pun?"
ujar Ok-tu-kui sambil terbahak-bahak.
Dengan sikap sungguh-sungguh Kang Giok-long menjawab, "Meski nona ini telah ikut aku beberapa hari, kujamin masih baru, masih tetap mulus, seujung rambut pun tak kuganggu.
Garansi!"
"Ah, masa ada kucing yang tidak makan ikan asin" Locu tidak percaya."
"Kalau Tuan tidak percaya, boleh diuji coba!" kata Giok-long dengan tertawa. Lalu ia menaruh lampu tadi di atas batu, cuma sekali ini tidak ditaruhnya di belakang Ok-tu-kui melainkan di belakangnya sendiri. Cahaya memancar dari atas pundaknya sehingga bagian depan Han-wan Sam-kong tersorot terang.
Sebuah lampu ditaruh di mana pun adalah soal kecil dan takkan diperhatikan oleh siapa pun. Namun hal ini justru menarik perhatian Siau-hi-ji, ia mengeryitkan kening dan bergumam, "Bocah ini sedang main gila apa lagi" Lampu itu dibawanya pergi datang, rasanya pasti mempunyai maksud tertentu."
Isi perut Kang Giok-long yang penuh air busuk itu rasanya tiada orang yang tahu terlebih jelas daripada Siau-hi-ji.
Perempuan bercadar hitam tadi masih tetap berdiri mematung saja, Kang Giok-long lantas membukakan cadarnya dan dia masih tetap berdiri termangu-mangu tak bergerak.
Di bawah cahaya lampu yang cukup terang, terlihat wajah perempuan ini ternyata cantik sekali walaupun agak pucat.
Mata Thi Peng-koh terbeliak melihat wajah yang ayu itu. Sedangkan Siau-hi-ji hampir saja berteriak demi melihat wajah itu.
Buyung Kiu!
Perempuan ini ternyata Buyung Kiu adanya. Setelah diusir oleh Samkohnio, dia terus berlari-lari kian kemari sepanjang jalan tanpa arah tujuan, di tengah malam gelap dengan sendirinya tiada orang yang melihatnya.
Seperti orang tidur berjalan saja, dengan linglung ia terus lari keluar kota. Walaupun ada yang merasa heran, tapi melihat pakaiannya yang bagus, orangnya juga cantik, maka tiada orang yang berani mengganggunya.
Tingkah laku Buyung Kiu yang aneh itu telah didengar oleh Kang Giok-long, segera ia menduga perempuan aneh itu pasti Buyung Kiu adanya, maka dia lantas meninggalkan urusan lain dan putar balik, dan di tengah jalan kebetulan memergoki Buyung Kiu yang sedang kelaparan setengah mati.
Dengan sendirinya Kang Giok-long tidak khawatir rahasianya akan dibocorkan Buyung Kiu yang kurang waras itu, segera nona itu dibawanya serta ke tempat simpanan harta rampasanya ini. Tak tersangka, "serigala mengincar ayam, harimau justru mengintai di belakangnya". Pada saat yang sama Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong juga menguntit di belakangnya, akhirnya mereka berhadapan dan terjadi pertaruhan besar-besaran.
Begitulah Ok-tu-kui jadi tercengang juga setelah melihat wajah Buyung Kiu, setelah terkesima sejenak, akhirnya ia berkata dengan gegetun, "Cantik memang, benar-benar perempuan cantik. Cuma sayang sudah dua puluh tahunan, setiap perempuan cantik sudah tidak menarik lagi bagiku, maka lebih baik kau membawanya pergi saja."
"Meski nona ini sangat cantik, tapi harganya yang tinggi justru tidak terletak pada wajahnya ini," ucap Kang Giok-long dengan tersenyum.
"Memangnya terletak di bagian mana?" tanya Ok-tu-kui, pikirannya lantas melayang-layang ke bagian tertentu.
"Terletak pada kedudukannya," jawab Giok-long.
"Hahaha! Memangnya dia seorang putri raja?"
"Meski bukan putri raja, tapi juga terpaut tidak banyak dengan seorang putri."
"Sesungguhnya siapa dia" Mengapa kau anak kura-kura ini sengaja jual mahal?" omel Ok-tu-kui dengan gusar.
Dengan tenang Giok-long menjawab, "Dia adalah Buyung Kiu, nona kesembilan dari Kiu-siu-san-ceng."
Melengak juga Ok-tu-kui, tertarik hatinya, ia menegas, "Jadi putri kesembilan Buyung Yong" Mengapa bisa berada di tanganmu?"
"Akibat perbuatan orang jahat, pikirannya menjadi kurang waras dan berkeluyuran ke mana-mana, dengan segala daya upaya kedelapan kakak perempuan dan iparnya telah mencarinya dan tidak menemukannya. Rupanya nasibku lagi mujur, tanpa sengaja telah kutemukan dia," setelah tertawa, lalu Giok-long melanjutkan, "Nah, coba pikir, bilamana dia diantar pulang kepada kakak-kakaknya, lalu cara bagaimana mereka akan berterima kasih padamu" Kuyakin hadiah besar pasti sudah disediakan di sana."
Setelah berpikir, Ok-tu-kui bertepuk dan berseru, "Baik, jadi, kita langsungkan pertaruhan ini!"
"Jangan!" sekonyong-konyong seorang berteriak.
Teriakan Siau-hi-ji secara mendadak ini bukan saja membuat kaget Ok-tu-kui dan Kang Giok-long, bahkan Thi Peng-koh juga terperanjat.
Seketika Kang Giok-long melonjak bangun dan membentak, "Siapa itu?"
Siau-hi-ji tenang-tenang saja, lebih dulu ia membisiki Thi Peng-koh, "Mari ikut keluar, apa yang kau suka silakan ambil saja dan makan sekenyangnya, sekali-kali jangan sungkan. Kini aku sudah mempunyai akal untuk menghadapi bocah busuk ini."
Habis memberi pesan kepada si nona barulah ia melangkah keluar dengan berlenggang, tegurnya sambil tertawa, "Wahai kawan yang suka sembunyi di liang jamban dan makan tahi itu, memangnya kau sudah lupa padaku?"
Melihat Siau-hi-ji, kaget Kang Giok-long melebihi melihat setan, ia tersurut mundur dan menjerit, "He, ken ... kenapa engkau berada di sini?"
"Arwah bapakmu ini masih penasaran, maka akan senantiasa membayangi anak kura-kura macam kau ini," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa ala Ok-tu-kui.
Dasarnya memang cerdik dan pintar, apa yang ditirunya pasti persis, caranya menirukan lagu dan lagak Ok-tu-kui bahkan hampir sukar dibedakan mana yang asli dan mana yang tiruan.
Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong menepuk pundak anak muda itu keras-keras, serunya sambil tertawa, "Hahaha! Jika orang lain yang muncul mendadak dari dalam sana mungkin akan membuatku kaget, tapi kau setan cilik ini, biarpun kau timbul dari bawah bumi juga takkan mengherankan aku."
Setelah bergelak tertawa, lalu ia menyambung pula, "Di kolong langit itu tiada sesuatu yang tak dapat kau lakukan."
"Siapa bilang?" tukas Siau-hi-ji dengan sungguh-sungguh. "Paling sedikit aku tak dapat bertelur?"
Ok-tu-kui tertawa terpingkal-pingkal. Tapi Siau-hi-ji lantas sibuk dengan tangan dan mulutnya, semua barang santapan yang tersedia di situ terus disikatnya. Buyung Kiu memandangnya dengan termangu, seperti kenal dan juga seperti tidak kenal.
Melihat di belakang Siau-hi-ji mengikut seorang nona cantik, malahan cara makannya juga serupa Siau-hi-ji, main sikat laksana orang yang sudah tiga tahun tidak makan. Giok-long tidak tahu bahwa Siau-hi-ji dan Thi Peng-koh memang sedang kelaparan dan sudah beberapa hari tidak pernah makan apa-apa.
Ok-tu-kui juga merasa geli menyaksikan cara makan Siau-hi-ji yang rakus itu, sejenak kemudian ia bertanya, "Adik cilik, kau tahu hobiku selama hidup ini adalah bertaruh, mengapa tadi kau berteriak mencegah pertaruhanku?"
"Sebab ... sebab bilamana pertaruhan itu berlangsung, maka tertipulah engkau," jawab Siau-hi-ji dengan kurang begitu jelas karena mulutnya penuh makanan.
"Lucu kan setan judi tua, anak kura-kura ini paling-paling juga cuma setan judi kecil saja, masa dia dapat menipuku," kata Ok-tu-kui. "Apalagi cara pertaruhan ini juga sangat adil, tidak mungkin berbuat curang, kecuali dia memang siluman tikus."
Bicara punya bicara, akhirnya ia terbahak-bahak lagi seakan-akan di dunia ini tiada orang lain yang sanggup bercerita lelucon yang lebih lucu daripadanya, makin tertawa makin gembira dia.
Menunggu setelah Ok-tu-kui selesai tertawa, dengan perlahan barulah Siau-hi-ji bersuara, "Kau bilang pertaruhan ini sangat adil, dan engkau sudah menang beberapa kali, betul tidak?"
"Betul," jawab Ok-tu-kui.
"Apakah kau tahu mengapa engkau menang?"
"Sudah tentu lantaran aku mujur."
"Bukan begitu," kata Siau-hi-ji cepat.
Ok-tu-kui mengernyitkan kening dan berkata, "Memangnya masih ada sebab lain?"
"Ya, sebab "." Siau-hi-ji sengaja memandang Kang Giok-long sekejap, lalu menggeleng-geleng kepala dan berkata pula, "Ah, tidak, tidak boleh kukatakan."
"Mengapa tidak boleh kau katakan?" seru Ok-tu-kui sambil berjingkrak.
"Sudah dua-tiga hari kesehatanku kurang baik, kukhawatir anak kura-kura ini akan melabrak diriku."
Ok-tu-kui menjadi gusar, teriaknya, "Bila anak kura-kura ini berani menyentuh seujung jarimu, mustahil kalau tulang belulangnya tidak kulepasi satu per satu."
"Jadi engkau akan membantuku bilamana aku berkelahi dengan dia?" tanya Siau-hi-ji.
"Sudah tentu," jawab Ok-tu-kui tegas.
"Bagus, jika demikian barulah aku merasa lega," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. Lalu sambungnya, "Kau tahu bahwa tikus paling takut pada cahaya terang, perbuatannya selalu dilakukan secara gelap-gelapan, pada waktu malam tikus baru berani beroperasi, tapi bila ada cahaya lampu, mereka lantas mundur teratur pula."
"Sungguh tidak disangka kau pun sangat memahami watak kaum tikus," kata Ok-tu-kui dengan tertawa.
"Hi (ikan) dan tikus kan senasib, bila ketemu kucing lantas kepala pusing, kalau ikan tidak memahami tikus, lalu siapa yang memahami mereka?" ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.
Kembali Ok-tu-kui tertawa terpingkal-pingkal hingga tak dapat bernapas, ucapnya dengan terengah-engah, "Tapi ... tapi apa sangkut-pautnya dengan persoalan ini?"
"Tikus yang berkeliaran di sini mungkin sekali baru saja pindah dari luar sana, bisa jadi di luar sana kedatangan seekor kucing buas sehingga kawanan tikus ini terhalau masuk ke gua sini," kata Siau-hi-ji pula. "Tak terduga bahwa di dalam gua ini tiada rumah makan kaum tikus, karena kelaparan, terpaksa mereka menyambar keratan daging di depan kalian ini ...."
"Tapi itu pun perlu Locu berdiam tanpa bergerak," tukas Ok-tu-kui dengan tertawa.
"Barang siapa tidak tahan dan bergerak sedikit saja, maka kawanan tikus ini pasti tidak berani menggondol lari daging di depannya."
"Namun engkau tetap melupakan satu hal," kata Siau-hi-ji. "Lampu ini tadi berada di belakangmu, tubuhmu menghalang-halangi cahaya lampu sehingga keratan daging itu berada di tempat yang gelap. Kawanan tikus takut pada cahaya, yang diincar hanya daging yang terletak di tempat yang gelap, makanya berturut-turut engkau dapat menang beberapa kali."
"Aha, memang benar, kau memang setan cerdik, sampai-sampai hal yang rumit begini juga kau pikirkan," seru Ok-tu-kui sambil bertepuk.
"Yang berpikir akan hal ini tidak cuma aku saja," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Masa anak kura-kura ini pun dapat berpikir hal ini" Mengapa dia tidak omong?"
"Dia tidak omong, karena dia dapat memainkan Swipoanya dengan cemerlang," kata Siauhi-ji.
"Ah, pahamlah aku," kata Han-wan Sam-kong. "Setelah anak kura-kura ini tukar tempat lampu ini, kini cahaya lampu tepat menyorot bagian depanku, karena yakin sekali ini dia pasti akan menang, makanya dia mengajak bertaruh besar-besaran sekaligus."
"Ya, beginilah," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. "Kalau hal ini dilakukannya tadi kan tiada gunanya, tapi kini dia akan dapat meraih kembali kekalahannya, bahkan dapat menang lebih banyak darimu."
"Hah, jika tiada kau, sekali ini Locu pasti akan "kapal terbalik di selokan"," ujar Ok-tu-kui dengan geli dan dongkol.
Siau-hi-ji lantas berpaling kepada Kang Giok-long, tanyanya dengan tertawa, "Nah, bagaimana" Betul tidak ucapanku?"
Air muka Kang Giok-long sudah tambah pucat sejak tadi, tapi dia sengaja menjengek,
"Hm, kalau kau suka mengukur orang lain dengan perutmu sendiri, apa yang dapat kukatakan lagi?"
"Haha, Kang Giok-long, isi perutmu yang penuh dengan air busuk itu mungkin sukar diraba orang, tapi bagiku masa tidak tahu" Di hadapanku kau tidak perlu berlagak dungu," Siauhi-ji bergelak tertawa.
"Mungkin nasibku sedang malang, makanya ketemu setan," dengus Kang Giok-long.
"Betul, ketemu aku bagimu boleh dikatakan malang dan sial delapan turunan," ujar Siau-hi-ji tertawa. "Kini barang dan orangnya telah kutangkap basah, ayolah kau ikut padaku menemui Toan Hap-pui, coba bicaralah nanti."
Kang Giok-long memandang Siau-hi-ji, lalu memandang Ok-tu-kui pula, katanya sambil menunduk, "Urusan sudah telanjur begini, aku pun tak dapat berkata apa-apa, cuma ...."
Mendadak ia menelikung tangan Buyung Kiu, ia sendiri lantas menyelinap ke belakang nona itu, lalu berkata pula sambil menyeringai, "Cuma jiwa nona ini apakah tidak kalian pikirkan?"
Diam-diam Siau-hi-ji terkejut, tapi dia sengaja bergelak tertawa, katanya, "Jika kau hendak menggunakan Buyung Kiu sebagai sandera, maka kelirulah kau. Barangkali kau tidak tahu bahwa dia selalu ingin membunuhku, apakah mungkin aku akan menolongnya malah?"
Ok-tu-kui juga tertawa, katanya, "Locu juga tidak tertarik pada kaum wanita, mati-hidupnya tiada sangkut-paut apa pun denganku."
"Jika begitu, mengapa kalian tidak turun tangan padaku?" ujar Kang Giok-long dengan tenang dan tersenyum.
"Soalnya Locu tidak ingin membunuhmu," kata Ok-tu-kui.
"Huh, tanganku bisa kotor bila kugunakan untuk membunuh orang yang suka makan tahi,"
Siau-hi-ji juga tertawa.
"Kalau begitu, baiklah Cayhe mohon diri saja, dengan sendirinya nona Buyung ini pun akan kubawa serta," kata Giok-long.
"Pergilah, silakan!" kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Dengan membawa pergi Buyung Kiu, memangnya tiada orang yang akan mencari dan membuat perhitungan denganmu."
"Kukira soal ini saudara tidak perlu ikut khawatir," jengek Giok-long. "Bilamana aku ditanya orang, dapatlah kujawab bahwa kubawa lari nona Buyung justru untuk menyelamatkan dia dari kekejianmu. Bila tiada Kang Siau-hi-ji, saat ini Buyung Kiu tentu tidak jadi begini?"
Siau-hi-ji menghela napas gegetun, katanya "Ai, ayah musang tak mungkin melahirkan anak ayam, kalian ayah dan anak mungkin tiada kepandaian lain, tapi dalam hal memfitnah dan pura-pura menjadi orang baik sungguh sukar ditandingi orang lain."
"Hahahaha!" Kang Giok-long tertawa latah. "Entah apa itu orang baik" Apa itu orang jahat" Memangnya kau kira manusia di dunia ini dapat dibedakan antara yang baik dan jahat?"
"Tapi kau telah merampas harta milik Toan Hap-pui, bukti dan saksi sudah nyata, apakah kau dapat mungkir?"
"Harta apa?" jawab Giok-long. "Kedua tanganku kosong, mana ada harta bendaku" Harta benda yang ada sekarang ini milik siapa, maka dia itulah yang merampasnya. Logika ini kan sangat sederhana?"
"Kurang ajar!" teriak Ok-tu-kui gusar. "Kau anak kura-kura ini juga hendak memfitnahku?"
"Kau menuduh aku memfitnahmu, tapi aku justru bilang kau yang memfitnahku," jengek Kang Giok-long. "Bolehlah kita beberkan persoalan ini kepada khalayak ramai, coba mereka lebih percaya kepada seorang "Ok-tu-kui" atau lebih percaya pada cerita orang she Kang."
Han-wan Sam-kong jadi melenggong karena gregetan, katanya kemudian sambil menyeringai, "Kau anak kura-kura ini kalau dilahirkan lebih dini beberapa tahun, jelas gelar Cap-toa-ok-jin harus mengikutsertakan kau."
"Terima kasih atas pujianmu," kata Giok-long dengan tertawa. "Cuma Cayhe "."
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara jeritan ngeri di luar sana.
Jeritan ngeri ini kedengaran sangat menyeramkan, bahkan berkumandang hingga lama sekali, orang yang menjerit itu mungkin melihat sesuatu kejadian yang sangat kejam dan menakutkan, bahkan seperti sedang mengalami sesuatu siksaan yang sukar ditahan.
Jeritan ngeri yang aneh ini cukup membekukan darah bagi siapa pun yang mendengarkannya.
Air muka Kang Giok-long tampak berubah paling cepat dan juga paling ketakutan.
"Apakah orang di luar itu adalah pengikutmu?" tanya Siau-hi-ji.
Kang Giok-long tidak menjawab lagi, ia tarik Buyung Kiu terus hendak lari keluar.
Cepat Siau-hi-ji membentak, "Pendatang itu dapat membuat anak buahmu menjerit ngeri begitu, tentu dia sangat lihai dan menakutkan, tidak soal bila kau ingin cari mampus dengan lari keluar, tapi Buyung Kiu harus "." Sekonyong-konyong ucapannya berhenti, dalam kegelapan sana sudah muncul lima sosok bayangan orang.
Meski wajah mereka itu belum kelihatan, tapi hawa seram yang terbawa masuk oleh orang itu sudah cukup membuat setiap orang berkeringat dingin.
Dalam kegelapan terdengar suara "ciat-ciit" yang terus-menerus dan merindingkan bulu roma. Lima sosok bayangan itu melangkah masuk dengan perlahan.
Yang pertama dilihat Siau-hi-ji adalah berpasang mata mereka yang hijau aneh dengan sorot mata yang gemerlapan, menyusul lantas tertampak wajah mereka yang lain daripada yang lain, pucat kehijau-hijauan, seakan-akan darah yang mengalir di tubuh mereka memang berwarna hijau.
Kelima orang sama mengenakan jubah hitam panjang menyentuh tanah, tangan kanan masing-masing membawa cambuk, tangan kiri menenteng sangkar besi. Suara ciat-ciit yang seram dan memuakkan itu justru timbul dari kurungan besi itu.
"Hai, siapakah para sahabat" Untuk keperluan apa kalian datang kemari?" bentak Han-wan Sam-kong.
Suara bentaknya menggelegar laksana bunyi guntur sehingga menggema lembah pegunungan sekelilingnya, dengan Lwekang yang tinggi ini maksudnya hendak menggertak pihak lawan agar mundur teratur.
Tak tahunya kelima orang berbaju hitam itu sama sekali tidak ambil pusing, bahkan mata pun tidak berkedip. Sorot mata yang hijau seram itu mengerling kian kemari antara Siauhi-ji, Kang Giok-long dengan kedua nona.
Sudah Sejak tadi Kang Giok-long mundur kembali, segera ia pun membentak, "Nona Kiu dari Kiu-siu-san-ceng serta Ok-tu-kui berada di sini, kalau terlambat jangan harap kalian dapat lolos lagi!"
Dia memang cerdik, melihat gelagat jelek, segera ia menonjolkan nama Han-wan Sam-kong dan Buyung Kiu untuk menggertak lawan. Ia pikir andaikan nama kedua orang itu tidak berhasil menggertak lawan juga tidak menjadi soal, umpamanya kelak pihak lawan hendak mencari balas tentu bukan dia yang menjadi sasarannya.
Namun kelima orang itu tetap tenang-tenang saja, bahkan tetap melangkah masuk tanpa berhenti.
Mendadak Thi Peng-koh menjerit kaget sambil menarik tangan Siau-hi-ji, ucapnya dengan terputus-putus, "Ti ... tikus ... alangkah banyaknya tikus di dalam sangkar itu!"
Memang betul, di dalam kurungan besi itu ada berpuluh-puluh ekor tikus yang sedang mengeluarkan suara ciat-ciit menyeramkan. Meski Siau-hi-ji tidak takut pada tikus, tapi berpuluh pasang mata yang jelilatan serta gumpalan badan tikus yang berbulu itu membuatnya jijik dan merinding juga.
Salah seorang baju hitam lantas berkata, "Hehe, betul tikus .... Kami berlima memang datang ke sini untuk cari tikus dan tiada sangkut-paut dengan manusia. Asalkan kalian berdiri di tempat, pasti takkan kami ganggu sedikit pun."
Meski dia bicara dengan ramah tamah, tapi nadanya terlebih memuakkan daripada bunyi tikus.
Han-wan Sam-kong melengak, tanyanya, "Masa kedatangan kalian hanya untuk menangkap tikus?"
"Ya," jawab orang itu.
"Menangkap tikus untuk apa?" tanya Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong karena heran.
"Soalnya daging tikus adalah kegemaran majikan kami, maka kami diperintahkan menangkap tikus ke mana-mana," tutur si baju hitam dengan terkekeh-kekeh. "Namun ratusan li seputar sini, kawanan tikus telah sama lari ke pegunungan sini, sebab itulah kami pun mencarinya kemari."
"O, pantas di gua ini tikus begini banyak, kiranya kalian yang menggiringnya kemari, tadinya kusangka di luar sana kedatangan seekor kucing galak yang membuat kawanan tikus ketakutan," ucap Siau-hi-ji.
Air muka Han-wan Sam-kong tampak agak berubah seperti ingat kepada seorang, dengan suara bengis ia lantas tanya, "Siapakah majikan kalian?"
Si bajuhitam tidak menjawabnya lagi, tapi lantas memberi tanda kepada kawan-kawannya.
Berbareng kelima orang lantas mengeluarkan suara suitan seperti suara sempritan yang membuat orang merasa ngilu dan seram pula.
Thi Peng-koh menutup telinganya, Siau-hi-ji juga merasa tidak enak, tapi rasa ingin tahunya memang besar, maka peristiwa aneh ini betapa pun ingin diikutinya hingga jelas.
Kedua mata Han-wan Sam-kong tampak melotot, kelihatan ada tanda-tanda rasa jeri dan khawatir.
Dengan suara tertahan Siau-hi-ji tanya padanya, "Siapakah sahabat yang gemar makan tikus ini" Apakah kau tahu?"
Han-wan Sam-kong hanya bersuara "ehm" saja. Waktu Siau-hi-ji mengulangi pertanyaannya, tetap Ok-tu-kui hanya mengeluarkan dengusan begitu.
Tokoh Cap-toa-ok-jin yang tidak kenal apa artinya takut ini seakan-akan terkesima membayangkan sesuatu yang sangat menakutkan, pertanyaan Siau-hi-ji seolah-olah tak didengar olehnya.
Pada saat itulah sekonyong-konyong dari bawah lubang-lubang tanah dan celah-celah batu timbul suara riuh aneh laksana ada beribu-ribu ekor tikus sedang bercuat-cuit saling berebut jalan buat lari keluar.
Cepat para baju hitam itu menaruh sangkar besi mereka pada lima penjuru. Pada saat lain kawanan tikus tampak berbondong-bondong lari keluar dari celah-celah batu sana dan dari tempat kegelapan, seperti air bah saja membanjir keluar, jumlahnya sukar dihitung.
Tikus yang pernah dilihat Siau-hi-ji selama hidup ini kalau ditotal menjadi satu mungkin tiada sepersepuluh daripada jumlah tikus yang dilihatnya sekarang. Sungguh mimpi pun tak terbayang olehnya bahwa di dunia ini terdapat tikus sebanyak ini.
Bilamana kini yang muncul adalah segerombolan serigala lapar atau serombongan harimau atau singa mungkin takkan membuat takut Siau-hi-ji, tapi gerombolan tikus sebanyak ini malah membuat mukanya menjadi pucat dan badan merasa dingin, arak daging yang dimakannya tadi terasa bergolak di dalam perut seakan-akan hendak tertumpah keluar.
Peng-koh tidak tahan, kontan ia muntah-muntah.
Sementara itu kawanan tikus lari serabutan di sekitar kaki mereka, tokoh-tokoh ilmu silat kelas tinggi ini sama-sama kelabakan dan melompat ke atas batu serta berjubel di situ.
Peng-koh menutupi mukanya dan merasa ngeri. Mata Siau-hi-ji juga terbelalak lebar.
Beribu tikus berlari kian kemari di bawah kakinya, pemandangan ini sukar dicari, betapa pun ia tidak mau sia-siakan adegan menarik ini. Terlihat orang-orang berbaju hitam itu masih terus menyemprit tiada berhenti, cambuk mereka pun menggeletar, kawanan tikus itu dihalau masuk ke sangkar besi mereka.
Meski sangkar besi itu tidak kecil tapi juga tidak terlalu besar, begitu kawanan tikus itu lari masuk sangkar, seketika berjubel seperti tukang sayur mengisi bakulnya dengan ubi, sampai akhirnya kurungan besi itu sudah padat, tapi masih ada tikus lain yang berdesakan ingin menyusup ke situ.
Setelah lima sangkar besi benar-benar sudah penuh dan sukar diisi lagi barulah kelima orang berbaju hitam menurunkan cambuknya dan berhenti menyemprit.
Sisa kawanan tikus yang lain seketika seperti mendapat "pengampunan umum", serentak lari serabutan terpencar ke mana-mana, hanya sekejap saja seekor pun tidak nampak lagi.
Suasana di dalam gua lantas tenang kembali.
Peng-koh mengintip dari balik sela-sela jarinya baru kemudian berani menurunkan tangannya, wajahnya kelihatan penuh keringat dingin seakan-akan seorang yang habis mengalami mimpi buruk.
Siau-hi-ji menghela napas panjang, ucapnya dengan menyengir, "Baru sekarang kutahu tikus ternyata begini menakutkan."
"Dirodok!" Ok-tu-kui mencaci-maki. "Beribu-ribu tikus begini memang belum pernah kulihat."
"Cayhe sih tidak takut, hanya agak mual," ujar Kang Giok-long dengan tertawa.
"Ucapan sahabat ini tidak salah, tikus tidak menakutkan, bahkan sangat lezat rasanya,"
ujar si baju hitam yang menjadi kepalanya.
"Lezat?" Siau-hi-ji berkerut kening.
"Jika tidak percaya, sekali kau coba mungkin seterusnya kau akan ketagihan," ujar si baju hitam dengan tertawa aneh. Berbareng ia terus mengambil keluar seekor tikus gemuk dari sangkarnya dan disodorkan kepada Siau-hi-ji.
Cepat Siau-hi-ji goyang-goyang kedua tangannya dan berkata, "Ah, seorang lelaki sejati tidak mungkin merampas kesukaan orang lain. Jika tikus memang lezat rasanya, silakan saudara pakai sendiri saja."
"Sayang, sungguh sayang," kata si baju hitam. "Tak tersangka, saudara yang kelihatan bernyali besar, tapi seekor tikus saja tidak berani makan, padahal bilamana sekali saudara sudah merasakan daging tikus, maka daging lainnya akan terasa hambar."
Sembari bicara ia benar-benar menyodorkan tikus hidup yang dipegangnya itu ke dalam mulut terus dimakannya mentah-mentah, malahan darah segar lantas menetes dari ujung mulutnya.
Seketika Siau-hi-ji merinding, teriaknya, "Setelah sahabat berhasil menangkap tikus sebanyak ini, tentunya sekarang kalian boleh pergi."
Tiba-tiba Kang Giok-long berolok-olok. "Biasanya kau paling suka mengurusi tetek bengek, mengapa kali ini kau tidak mau ikut campur?"
"Jika ada orang gemar makan tikus, itu kan urusannya sendiri, untuk apa aku ikut campur?" kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Misalnya kau suka makan kotoran manusia, kan aku pun tidak pernah mencegah?"
Berubah kecut muka Kang Giok-long, segera ia berpaling ke arah si baju hitam dan bertanya, "Apakah sahabat benar-benar hendak pergi sekarang?"
Orang itu menjawab, "Kan sudah kukatakan tadi, kedatangan kami ini hanya untuk menangkap tikus dan tiada sangkut-pautnya dengan orang lain."
"Apakah sahabat tidak tahu bahwa di sini masih ada benda lain yang jauh lebih bagus daripada tikus?" ucap Giok-long dengan menyesal.
Si baju hitam mengerling ke arah Buyung Kiu dan Thi Peng-koh, katanya dengan tertawa aneh, "Anak murid perguruan kami sama berpendapat perempuan tidak lebih menarik daripada tikus "."
Kang Giok-long menarik Buyung Kiu menjauhi Siau-hi-ji dan Han-wan Sam-kong, habis itu baru bicara dengan tertawa, "Tapi harta mestika apakah juga tidak lebih menarik daripada tikus?"
"Harta mestika" Di mana?" tanya si baju hitam, matanya mencorong menandakan kerakusannya.
Giok-long memberi tanda ke arah gua di belakang sana dengan lirikan mata, sedangkan mulutnya berkata dengan tertawa, "Ada kedua saudara ini, aku tidak berani menjelaskan."
"Sungguh aku merasa heran pada diriku sendiri, mengapa tidak sejak dulu-dulu kusembelih kau," ucap Siau-hi-ji sambil mengangkat pundak.
"Haha, kukira tidaklah mudah jika orang seperti engkau juga ingin membunuh diriku," ejek Kang Giok-long.
Dalam pada itu kelima orang berbaju hitam telah saling memberi tanda kedipan mata, setelah menjinjing sangkar besi, segera mereka melangkah ke gua di belakang sana.
Cepat Siau-hi-ji menyelinap maju mengadang di depan mereka, katanya dengan tertawa,
"Di belakang sana tiada tikus, lebih baik silakan kalian pulang saja."
"Kau berani merintangi kami?" jengek si baju hitam tadi.
"Bukan aku merintangi kalian, tapi kalian yang salah jalan, untuk keluar kalian harus menuju ke depan sana," kata Siau-hi-ji.
"Sebaiknya sahabat harus tahu bahwa meski kau tidak berani makan tikus, tapi tikus berani makan kau," kata si baju hitam dengan terkekeh-kekeh.
Siau-hi-ji tertawa, katanya, "Tapi sudah beberapa hari aku tidak mandi, dagingku sangat kotor, mungkin tikus juga tidak mau."
"Hehe, bagus, kau ini memang lucu, nyalimu juga tidak kecil ...." Sampai di sini, sekonyong-konyong cambuknya yang hitam gelap entah terbuat dari apa dan cukup berbobot itu terus menyabat.
Tapi sekali meraih dapatlah Siau-hi-ji menangkap ujung cambuk, ucapnya dengan tertawa,
"Mungkin sahabat belum tahu, meski aku agak pusing menghadapi kawanan tikus, tapi terhadap manusia, biasanya aku tidak takut."
Air muka si baju hitam berubah karena cambuknya terbetot oleh Siau-hi-ji, sekuatnya ia menarik, tapi cambuk itu seperti sudah lengket di tangan Siau-hi-ji, biarpun dia kerahkan sepenuh tenaga juga tidak mampu merebutnya kembali.
"Jika tikus tidak kenal aku, maka aku pun tidak kenal tikus," kata Siau-hi-ji dengan tertawa, "Seumpama kalian menangkap habis semua tikus di dunia ini juga tak kupeduli, tapi kalian hendak mengincar urusan lain, terpaksa aku harus bertindak."
"Bila kau tidak mengganggu kami, tentu kami pun takkan mengganggumu, tapi kalau kau hendak merintangi kami, terpaksa kami pun tidak sungkan-sungkan lagi padamu," jengek si baju hitam. Habis berkata, kembali mulutnya mengeluarkan suara menyemprit seperti tadi.
Dua orang temannya segera membuka pintu sangkar yang dipegangnya, tikus yang tadinya berjubel di dalam sangkar segera melompat keluar terus menerjang ke arah Siau-hi-ji.
Tentu saja anak muda itu terkejut, sementara itu berpuluh dan beratus ekor tikus telah melompat ke atas tubuhnya, ya gigit ya jerit, Siau-hi-ji menjadi kelabakan dan merasa muak pula. Sebisanya dia mengebas sini dan memukul sana, tapi kawanan tikus itu tetap sukar diusir. Terpaksa tangan yang memegang ujung cambuk itu dilepaskan.
Tapi serentak kelima cambuk lawan lantas menyabatnya tanpa kenal ampun. Padahal seluruh tubuh Siau-hi-ji sudah penuh tikus, gerak-geriknya menjadi tidak leluasa, terpaksa sembari berkelit ia pun melompat mundur sambil berteriak, "Han-wan Sam-kong, kenapa engkau tidak membantuku" Ayo, lekas!"
Dia tidak berteriak minta tolong kepada Thi Peng-koh, sebab sudah dilihatnya nona itu telah meringkuk di pojok sana dengan ketakutan.
Namun wajah Han-wan Sam-kong sendiri juga berubah pucat, perlahan-lahan ia melangkah maju dengan ragu.
Si baju hitam tadi membentak bengis, "Han-wan Sam-kong, setelah kau tahu kami ini anak murid siapa, masih juga kau berani ikut campur?"
Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong melengak, akhirnya ia pun mundur teratur.
"Han-wan Sam-kong, memangnya kau pun seperti perempuan, takut pada tikus?" teriak Siau-hi-ji.
Namun Han-wan Sam-kong malahan terus berpaling ke sana dan tidak memandangnya lagi.
Tikus yang merambat ke tubuh Siau-hi-ji bukannya berkurang, bahkan bertambah banyak, ia merasa sakit, gatal dan pegal, entah sudah berapa tempat tubuhnya digigit tikus.
Sedangkan kelima lawan masih terus menghujani sabatan padanya.
Baru sekarang Siau-hi-ji benar-benar agak gugup.
Biasanya menghadapi persoalan apa pun dia dapat berlaku tenang, tapi kawanan tikus yang berbulu menyeramkan ini benar-benar membuatnya kelabakan.
"Hahaha! Orang yang mengaku dirinya paling pintar di dunia ternyata kewalahan menghadapi tikus," demikian Kang Giok-long berolok-olok dengan bergelak tertawa. "He, Kang Siau-hi-ji, bilakah pernah kau bayangkan akan mati dikerubut tikus?"
Dalam pada itu tubuh Siau-hi-ji sudah kena dicambuk beberapa kali, dalam keadaan tak berdaya ia berkata dengan menyesal, "Sungguh tak tersangka aku akan ...."
Pada saat itulah sekonyong-konyong bayangan orang berkelebat, tahu-tahu salah seorang berbaju hitam telah kena dicengkeram dari belakang terus dilemparkan ke sana, cambuknya juga kena dirampas orang.
Tentu saja keempat orang berbaju hitam yang lain menjadi kaget dan murka, sambil menggeram cambuk mereka terus menyabat ke arah si penyatron itu. Tapi aneh, entah mengapa cambuk mereka tidak mau turut perintah lagi, tahu-tahu malah saling sabet sendiri.
Terdengar Siau-hi-ji berseru dengan tertawa, "Ah, Hoa Bu-koat, tak tersangka kau pun datang kemari!"
Pendatang ini memang betul Hoa Bu-koat adanya. Kecuali ilmu silat "Ih-hoa-ciap-giok"
yang sakti ini siapa pula yang dapat membuat keempat orang itu saling serang di antara kawan sendiri.
Sudah tentu Siau-hi-ji merasa lega melihat kedatangan Hoa Bu-koat. Kang Giok-long juga gembira melihat kedatangannya, disangkanya tujuan Hoa Bu-koat menolong Siau-hi-ji hanya supaya anak muda itu tidak mati di tangan orang lain, sebab ia tahu Hoa Bu-koat bertekad akan membunuh Siau-hi-ji dengan tangannya sendiri.
Begitulah maka hanya sekejap saja setelah Hoa Bu-koat mengayun cambuknya, kawanan tikus yang menempel di tubuh Siau-hi-ji telah diusirnya semua.
Kelima orang berbaju hitam tadi sama melenggong ketakutan, mereka pandang Hoa Bu-koat dengan melongo, cambuk tidak berani lagi sembarangan menyerang.
Si baju hitam yang menjadi kepala itu bertanya dengan tergagap, "Sia ... siapakah sahabat ini" Mengapa ikut campur urusan orang lain?"
"Seumpama kau tidak kenal diriku, seharusnya kau kenal Kungfu yang kumainkan?" jawab Hoa Bu-koat dengan acuh tak acuh.
Si baju hitam berpikir sejenak, serunya kemudian dengan muka pucat, "Ih ... Ih-hoa-ciap-giok!"
"Betul," kata Bu-koat.
Nyali si baju hitam menjadi ciut, katanya, "Baiklah, apabila orang Ih-hoa-kiong berada di sini, terpaksa kami mundur saja."
"Setelah sekujur badanku dikencingi kawanan tikus kalian, lantas kalian mau pergi begini saja?" kata Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Ucapan ini mungkin belum sesuai untuk dikemukakan olehmu," jengek si baju hitam.
"Kalau cuma saudara .... Hm!"
"Kalian menghina dia?" tanya Hoa Bu-koat.
"Hm!" kembali si baju hitam mendengus.
Bu-koat tersenyum, katanya, "Jika begitu, jangan pakai bantuan tikus, boleh kalian coba bertempur lagi dengan dia, boleh kalian berlima maju sekaligus dan aku pasti takkan ikut campur."
Dengan menyeringai si baju hitam berkata, "Asalkan saudara tidak ikut campur, bocah ini
"."
Belum habis ucapannya, tahu-tahu bogem mentah Siau-hi-ji sudah menyambar tiba. Jelas dia melihat pukulan Siau-hi-ji itu, tapi dia justru tidak mampu mengelak, belum lagi cambuknya bekerja, tahu-tahu orangnya sudah kena ditonjok mencelat.
Serentak keempat orang lainnya juga menubruk maju, tapi Siau-hi-ji tonjok sana dan pukul sini, hanya sekejap saja kelima orang itu sudah dihajarnya hingga babak belur dan terkapar di sana sini.
"Nah, sekarang kalian sudah tahu kelihaiannya tidak?" tanya Bu-koat dengan tersenyum.
Kelima orang itu tiada satu pun yang sanggup bicara lagi, semuanya menggeletak di tanah, merangkak bangun saja tidak mau.
Siau-hi-ji tertawa, katanya, "Haha, manusia ternyata lebih brengsek daripada tikus, tidak tahan sekali dua kali pukul."
Kawanan baju hitam itu tidak berani menjawab dan juga tidak berani bergerak.
Sedangkan Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong berulang-ulang memberi tanda kedipan mata dan gerakan tangan kepada Siau-hi-ji, maksudnya supaya Siau-hi-ji melepaskan pergi orang-orang itu.
Dengan berkerut kening Siau-hi-ji berkata pula, "Kini tanganku tidak gatal lagi, kenapa kalian tidak lekas berdiri?"
Tapi kawanan baju hitam itu tetap tidak mau berdiri, bahkan tubuh mereka terus meringkuk seperti ebi.
"Hahaha! Sudah tua begini, pakai lagak manja seperti anak kecil, memangnya kalian minta dibangunkan mak guru kalian?" demikian Siau-hi-ji berolok-olok pula.
Kelima orang yang tadinya masih gemetaran, kini sama sekali tidak bergerak lagi.
Sekonyong-konyong Han-wan Sam-kong melompat maju, sekali cengkeram ia tarik salah seorang itu dan diperiksanya, seketika air mukanya berubah kaget, perlahan ia lepaskan kembali si baju hitam, lalu berkata dengan menyesal, "Mungkin mereka takkan berdiri untuk selamanya."
Rupanya kelima orang itu sudah mati.
Sinar lampu bergoyang-goyang, agaknya lampu itu sudah kehabisan minyak.
Di bawah cahaya lampu yang guram, wajah si baju hitam, yang tadinya pucat menghijau itu kini bertambah hijau kelam seperti lumut di batu tepi kolam.
Setelah mayat si baju hitam dilepaskan Han-wan Sam-kong, dari mulut, hidung dan telinganya lantas merembes keluar darah, bahkan darahnya juga bersemu kehijau-hijauan.
Siau-hi-ji melengak, katanya, "Hanya kena tonjok satu dua kali saja, masakan mereka lantas membunuh diri?"
"Mungkin mereka mengira kau takkan mengampuni mereka," kata Bu-koat.
"Biarpun sekujur badanku penuh kencing tikus juga tidak nanti kubunuh mereka," ujar Siau-hi-ji. "Mungkin orang-orang ini sudah terlalu banyak mengganyang tikus sehingga pikiran mereka pun dangkal seperti tikus."
"Ingin mati lantas bunuh diri, kematian para anak kura-kura ini cukup cepat juga," kata Ok-tu-kui.
"Ya, apakah di dalam mulut mereka sudah mengulum sesuatu racun sehingga setiap saat mereka siap untuk mati," ujar Siau-hi-ji.
Han-wan Sam-kong coba mementang mulut salah seorang berbaju hitam itu, segera mengalirlah air kental berwarna hijau dengan bau busuk yang memuakkan. Mulutnya ternyata sudah berubah menjadi sebuah lubang belaka, gigi satu biji saja tidak kelihatan.
"Lihai amat racun ini, hanya sebentar saja gigi manusia juga dihancurkan," seru Siau-hi-ji.
"Kalau betul, racun para anak kura-kura ini ternyata disembunyikan di sela-sela gigi," kata Ok-tu-kui.
"Tapi mengapa mereka harus membunuh diri?" ucap Siau-hi-ji sambil berkerut kening.
"Aku kan tiada maksud membunuh mereka, juga tidak ingin memaksa pengakuan mereka.
Barangkali mereka memang sudah bosan hidup."
Han-wan Sam-kong coba menggeledah badan si baju hitam, tapi hanya sedikit uang perak yang ditemukan, selain itu tiada terdapat sesuatu benda lain.
Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba Ok-tu-kui membuka baju mayat itu dan berser

^