Balada Pendekar Kelana 1

Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Bagian 1


PENDEKAR CINTA Original Author: Tabib_gila
 *** (file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ...situbondo seletreng )
 JILID 5. BALADA PENDEKAR KELANA
 Di lembah luas membentang
 sesaat setelah terguyur hujan
 udara sejuk segar
 terasa akhir musim gugur 'kan tiba
 senja nanti rembulan menyinari hutan pohon pinus
 oh, air kali jernih
 gemericik mengalir di antara bebatuan.
 Di tengah rumpun bambu, terdengar risik suara
 perempuan-perempuan yang pulang
 sehabis mencuci pakaian
 daun teratai bergoyang
 muncul perahu-perahu kecil penangkap ikan
 Oh walau musim semi yang merbak
 telah berlalu namun pemandangan di gunung
 masih juga menambatku untuk tinggal di sini.
 (Wang Wei, "Senja hari musim gugur di desa")
 Pagi terasa begitu menyegarkan, aliran sungai itu begitu alami dengan gemericik air jernih mengalir di antara bebatuan serta dahan pepohonan menggelayut menggapai permukaan, terdengar begitu indah. Pagi itu terasa cerah. Awan putih berarak di langit, memberi sentuhan warna lain di angkasa yang biru. Matahari yang cenderung bersinar terang terasa menghangatkan tubuh. Semua itu seolah menjadi pertanda bahwa ini adalah hari yang baik untuk memulai sebuah perjalanan jauh.
 Tan Sin Liong bangun dengan mata setengah malas. Bersandar di sebuah ranting pohon yang besar, pandangannya mengarah ke atas dilatari langit biru yang cerah.
 Dihadapannya terbentang pemandangan serba hijau segar, dengan langit biru cerah, udara terasa begitu menyegarkan namun pikirannya berkelana bebas, liar, tanpa ada satu batasan.
 Pemuda itu sudah tidak muda lagi, kira-kira mendekati akhir tiga puluh tahunan.
 Namun wajahnya masih begitu tampan, tulang wajahnya terlihat menonjol tapi tak menghapuskan ketampanannya sebaliknya terlihat sangat kokoh, gagah dan
 menawan. Tingkah lakunya sangat tenang dan berwibawa. Kepandaiannya
 memainkan pedang sudah melegenda selama belasan tahun. Sebagai jago pedang
 nomor satu tentu saja banyak sekali ahli pedang yang ingin mengalahkannya,
 merampas gelar "pendekar pedang nomor satu." Tapi sejauh ini belum ada yang
 mampu mengalahkannya, alih-alih merampas gelar nomor satu, yang didapat
 hanyalah secercah lubang di tenggorokan, mengantar mereka ke akhirat. Ya, tusukan pedang si "Pendekar Kelana" Tan Sin Liong, sangat terkenal keganasannya juga tak mengenal ampun. Dimana pedang yang keluar dari sarungnya pasti akan meminta
 nyawa. Tidak banyak orang yang mampu memperkirakan kemana arah
 menyambarnya pedang Tan Sin Liong, kapan pedang itu keluar dari sarungnya.
 Kecepatan dan kegesitan Tan Sin Liong sungguh jarang ditemui lawannya.
 "Bertahun-tahun aku mengelana di sungai telaga, entah berapa banyak lawan yang telah kuhadapi, ratusan pertempuran kujalani, puluhan nyawa kubinasakan, keringat darah yang kukucurkan demi gelaran kosong, "pendekar pedang nomor satu sungai telaga" tapi hidupku terasa sunyi, entah berapa ratus hari kulewatkan malam
 bersama angin sepoi-sepoi." gumamnya.
 Kenangan demi kenangan terlintas dibenaknya, kadangkala teramat pahit untuk
 diredah, tetapi ia terlalu manis untuk dikenang. Hidup tak selalunya indah tapi yang indah itu tetap hidup dalam kenangan. Andainya hadirnya cinta sekadar untuk
 mengecewakan, lebih baik cinta itu tak pernah hadir. Kecewa bercinta bukan
 bermakna dunia sudah berakhir. Masa depan yang cerah berdasarkan pada masa
 lalu yang telah dilupakan.
 Tiba-tiba benaknya dipenuhi bayangan wajah seorang gadis muda dengan wajah
 tersenyum namun sendu, terlihat kesedihan dibalik senyuman itu, ada keharuan dibaliknya. Matanya yang lentik nampak sendu dan bibir merah ranum mengiurkan, menusuk jantung kalbu Tan Sin Liong. Walaupun kenangan itu telah belasan tahun lamanya namun seolah-olah bagaikan kemarin, begitu jelas dan intens.
 Dipikirannya masih tergambar dengan jelas wajah gadis pujaannya itu, tatapan matanya, tatapan mata rindu itu yang berbinar, senyuman haru. Tak sanggup Tan Sin Liong menghilangkan bayangan-bayangan itu selama belasan tahun ini.
 Hidup macam apa yang akan kutawarkan padanya, pikir Tan Sin Liong saat itu dalam hati. Membuat pandangannya menerawang, akan sebuah perasaan yang sudah
 mulai dibangunnya untuk seseorang, dia merasa harus menghancurkannya, karena dia tidak ingin seseorang itu mempunyai beban lain yaitu dia dan hidupnya yang penuh mara bahaya. Perlahan selama belasan tahun ini, dia menata hati untuk
 menghindari sosok yang selama ini dia yakini mempunyai sebuah hati untuk dia singgahi, tatapan bening bola mata yang memancarkan kejujuran dan kebaikan hati, dia harus mulai melupakan semuanya.
 Masih jelas terbayang dibenaknya saat-saat mengharukan, meski sudah
 membelakangi sang gadis, dia masih mendengar isakan sendu yang makin lama
 makin mebuat hatinya terenyuh perih. Air mata sudah membanjiri pelupuknya, Tan Sin Liong makin meluruskan pandangannya ke depan, menghindari tatapan penuh
 tanya dan mata yang kemerahan berbinar air mata.
 Sekarang belasan tahun berlalu, ia berhasil meraih impiannya tapi impian itu tidak seindah yang ia bayangkan. Badai mulai datang dalam berbagai bentuk,
 persahabatan dan pengkhianatan, persaingan dan gangguan yang harus dihadapi, hidup dalam keadaan senantiasa waspada, penuh tekanan adalah harga yang harus ia bayar.
 Hidup adalah pilihan, tentu ia harus konsekuen dengan pilihan yang diambilnya terlebih kehidupan di sungai telaga, tidak ada jalan mundur baginya. Suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, berat atau ringan keadaan ia harus menjalaninya.
 Lepas dari bayangan sang kekasih, benaknya mulai terisi bayangan seorang pemuda seusianya, dengan wajah cukup tampan dan sinar mata yang sangat tajam, tanda si pemilik mata itu memiliki tenaga dalam yang susah diukur dalamnya. Tapi dari balik mata itu terpancar kedengkian, kekejaman yang menggiriskan hati.
 Saat ia menyadari itu, semuanya sudah terlambat. Semua berakhir pengkhianatan.
 Sangat menyakitkan bagi seseorang yang sangat mementingkan persahabatan sejati seperti dirinya. Teman baginya terutama teman sejati amat sukar dicari, sukar untuk ditinggalkan dan mustahil untuk dilupakan. Persahabatan yang berlindung di balik kedok keirian hati bukanlah persahabatan murni, tanpa pamrih.
 Kesalahan menilai orang harus dibayarnya dengan harga yang sangat tinggi. Nama baik dan kehormatannya hancur lebur, mencoreng seumur hidup. Yang didapat
 hanyalah kehinaan. Semuanya datang dalam sekejap mata, untuk seterusnya ia
 harus hidup dalam penuh kehinaan, tak ada yang bisa ia lakukan selain
 menerimanya dengan penuh kesadaraan.
 Namun ketika kejahatan itu sendiri sudah mencapai titik jenuhnya, keadilan mulai terkuak, mula-mula perlahan namun seiring berjalannya waktu ia terbuka lebar-lebar.
 Semakin sempurna suatu kejahatan semakin besar keadilan akan muncul.
 Ditaburkan dalam kehinaan selama bertahun-tahun, kini tiba saatnya ia harus meraih kemuliaannya yang dulu.
 Selama berbulan-bulan, ia menetap di lembah ini dengan pemandangan gunung nan permai untuk menyiapkan diri menghadapi pertarungan terhebat yang pernah ia
 alami. Seorang lawan yang sangat tangguh sekaligus bekas sahabat karib bukanlah jenis pertarungan yang ia harapkan.
 Ia harus menang demi harga dirinya. Ia tidak memikirkan apapun lagi, seluruh konsentrasinya terfokus pada pertarungan nanti di puncak gunung Thai-San yang bersalju dan curam, hanya mereka berdua saja. Pertarungan ini pasti sungguh berat terlebih sang sahabat karib sudah mengenal luar dalam kehebatan ilmu pedangnya.
 Tan Sin Liong tidak mempunyai keyakinan sebesar biasanya. Apabila tiada jago pedang yang bernama Tan Sin Liong, gelar pendekar pedang nomer satu pasti jatuh di tangan sahabatnya ini.
 Tan Sin Liong berlatih pedang tanpa mengenal waktu. Lembah tempat di mana ia berdiam sekarang terdapat air terjun dengan ketinggian beberapa puluh kaki dengan suara gemuruh air bagaikan gemuruh guntur yang hebat, membuat tempat itu sangat cocok untuk menyempurnakan jurus-jurus pedang baru hasil peryakinan beberapa tahun belakangan ini. Apabila ia merasa lapar, ia menangkapi ikan di sungai dan memetik buah-buah segar di atas pepohonan.
 Seperti pagi-pagi sebelumnya, hari ini pun Tan Sin Liong kembali berlatih di bawah air terjun dengan bertelanjang dada dan sebatang pedang di tangan ia mulai
 memainkan pedang membelah curahan deras air dari atas kepalanya. Sepintas lalu jurus pedang yang dimainkan biasa-biasa saja, sangat berlainan dengan ilmu pedang yang biasa digunakan bekas "pendekar pedang nomor satu" ini. Mereka yang pernah melihat permainan pedang Tan Sin Liong yang ganas, sangat sulit diikuti dengan mata biasa, rumit dan misterius akan merasa sangat keheranan melihat permaianan pedang si pendekar kelana saat ini.
 Jurus-jurus pedang yang dimainkan begitu lambat, mudah di tebak arahnya, bergerak bebas tanpa arah dan tidak menunjukkan perbawa yang seharusnya dimiliki setiap ahli pedang kelas wahid. Namun di mata seseorang yang benar-benar ahli, jurus-jurus pedang yang barusan dijalankan akan membuat mata mereka terbelialak
 kagum. Setiap jurus atau lebih tepat di sebut gerakan, mampu membuat curahan air terjun yang begitu dashyat tertahan seolah-olah air terjun tersebut terbelah dua begitu pedang menyeruak diantaranya. Sungguh demonstrasi ilmu pedang dan
 tenaga sakti yang menakjubkan, sungguh sukar dipercaya.
 Untuk mencapai tingkatan seperti sekarang ini , Tan Sin Liong tidak meraihnya dalam waktu singkat dan mudah. Diperlukan ribuan kali pengalaman tempur, pemahaman pelbagai aliran jurus pedang yang sempurna, tenaga dalam kelas satu dan yang terpenting adalah kemampuan untuk meramu semua syarat-syarat di atas ke dalam gerakan atau jurus-jurus pedang yang dimainkan. Tentu saja tidak sembarang orang yang bisa melakukannya, hanya mereka yang berbakat dan ditakdirkan menjadi
 maha guru silat saja yang mampu menciptakan aliran pedang baru.
 Tiba-tiba Tan Sin Liong menghentikan gerakannya, dengan wajah tercenung ia
 berdiri termangu, curahan air terjun menimpa kepala tak dipedulikannya. Ketika ia memainkan jurus pedang ciptaannya tadi, sekonyong-konyong terbersit secercah ingatan yang membuat hatinya perlahan-lahan tenggelam. Ia baru saja menemukan titik kelemahan ilmu pedang yang selama bertahun-tahun ini dengan susah payah ia latih dan sempurnakan. Justeru di saat ia berpikir ilmu pedang ini sudah cukup sempurna, ia mendapati kelemahan yang fatal didalamnya. Memang belum tentu
 lawan dapat menemukan titik lemah permainan ilmu pedang ini tapi Tan Sin Liong yakin bekas sahabat karibnya itu dengan dasar pemahaman ilmu pedang Tan Sin
 Liong yang ia ketahui, dapat dengan mudah menemukan kelemahan permainan
 pedang tersebut.
 Sesal tiada guna, mengapa dahulu ia begitu terbuka membeberkan rahasia ilmu
 pedang demi membantu sang sahabat yang mengalami kesulitan memahami inti sari ilmu pedang tingkat tertinggi. Berkat petunjuk Tan Sin Liong, sang sahabat bagaikan seekor harimau tumbuh sayap.
 Sekian lama termenung akhirnya Tan Sin Liong keluar dari air terjun, dikenakan pakaiannya kembali. Ia sudah mendapatkan jalan untuk menutupi kelemahan itu
 namun ia sendiri tidak yakin dapat mengelabui mata sang sahabat yang terkenal jeli dan tajam. Namun hari pertarungan sudah semakin mendekat, tidak ada jalan lain dari pada membiarkan kelemahan tersebut terbuka lebar tanpa penjagaan sama
 sekali. Untuk sementara lebih baik menutupi sedemikian rupa sambil berharap dapat menyempurnakannya sebelum hari pertandingan.
 Hari pertarungan pun tiba. Di atas salah satu puncak gunung Thai-San, diselimuti salju nan dingin dengan terpaan angin menderu-deru membawa kepingan butir-butir salju mendarat di wajah kedua anak manusia, saling berdiam diri dengan wajah dingin membeku di tengah badai salju. Angin dan salju bertaburan jauh sebelum kedatangan ke dua orang tersebut, membekukan pepohonan sekitar dan permukaan danau di mana sekarang ke dua sahabat karib itu berdiri.
 Tak sepatah katapun keluar dari ujung mulut keduanya, sorot mata yang dingin membisu seakan bercerita segalanya. Alam sekeliling ikut membisu.
 Di tengah keheningan alam dan kencangnya deru suara angin, keduanya dengan
 tenang berdiam diri menunggu saat yang tepat melancarkan serangan mematikan.
 Kerasnya alam dan cuaca yang menantang tak dipedulikan, mereka sibuk dengan diri masing-masing untuk terus memompa semangat dan meyakinkan diri bahwa mereka
 akan akan meraih kemenangan di puncak salju itu, cepat atau lambat.
 Badai salju mulai datang menerpa. Angin berputar-putar. Dahan-dahan pepohonan berayun-ayun namun tubuh keduanya masih diam tak bergerak. Di tengah badai salju yang makin menggila, tiba-tiba bahu Tan Sin Liong yang ditutupi salju bergerak hingga bulir-bulir salju berjatuhan, diiringi teriakan menyaingi debur angin nampak kilatan-kilatan pedang tak bersuara menjadi penanda pertarungan maut telah dimulai.
 Percikan-percikan api pedang membuat langit berkeredap menjelmakan kilatan-
 kilatan cahaya menyajikan pemandangan yang spektakuler.
 Pertarungan antara dua jago pedang paling termasyhur seantero sungai telaga tak terelakkan lagi. Serangan maut dan bertubi-tubi berlangsung dengan gencar,
 siapapun yang lengah terlebih dahulu dipastikan akan menjadi pihak yang kalah.
 Tiba-tiba pedang di tangan sang sahabat terlempar ke atas, melayang jauh ke atas dan akhirnya menghujam bumi tak bergerak. Sang sahabat berdiri terpaku menatap Tan Sin Liong lalu jatuh bersimpuh dengan darah segar menetes deras di dada, yang akan menjadi tanda pelunasan hutang piutang keduanya.
 Mata yang biasa berkilau tajam perlahan-lahan meredup lalu padam seiring putusnya hembusan nafas sang pemilik.
 Tan Sin Liong tetap diam tak bergerak dengan pedang terhunus ke bumi, dari ujung pedang itu masih menetes darah kental meresap ke hamparan permukaan yang putih pualam. Wajahnya yang pucat tak terbayang senyum kemenangan sedikitpun, tak
 ada yang tahu penderitaan macam apa yang menimpanya.
 Mendadak jubahnya berkibar menjauh membawa seonggok tubuh yang berjalan
 tersaruk-saruk, pedang masih tergenggam erat di tangan. Pikirannya masih jernih bahkan kelewat jernih hingga dapat melihat diri sendiri menyusuri lorong dengan cahaya putih berkilauan diujungnya, sungguh pemandangan nan indah, memikat jiwa dan kalbu.
 Jarum dan benang di tangan ibunda,
 sedang menjahit baju anaknya yang akan pergi jauh
 ketika menjelang si anak berangkat
 jahitannya dirapatkan dan dikuatkan
 dalam hatinya ia was-was anaknya tak cepat kembali.
 Oh, siapa bilang secuil warna hijau dari rumput kecil
 bisa membalas budi
 cahaya matahari di sepanjang musim semi"
 (Meng Jiao, Nyanyian Pengelana)
 T A M A T Tapi kalo masih penasaran dan punya waktu bisa baca bab-bab selanjutnya
 Iklan ------ "Pendekar Cinta" lengkap (seri 1 s/d 3)
 Versi Buku : (STOK HABIS!!)
 - 250 hlm, HVS - Isi buku padat
 - Buruan! di cetak TEBATAS.
 - Harga Rp. 90.000,-
 Info : Website Tabib Gila - www.geocities.com/tabib_gila
 Bab Sesudah: Cinta Segi Tiga
 Malam sunyi senyap, gemerlap cahaya bintang menerobos lembut sela-dela
 dedaunan pohon bunga tho. Keadaan amat sunyi, yang terdengar hanyalah suara
 jangkerik dan kodok jadi musik alam. Harum semerbak bunga Bwe mengiringi semilir angin malam taman belakang rumah itu. Gemericik air dari kolam ikan di dalam taman itu menambah syahdu suasana malam itu.
 Tiba-tiba terdengar bunyi petikan harpa diringi alunan angin membawa nada yang sangat sedih dan kesepian. Begitu pilu dan menyentuh jiwa. Bunyi petikan harpa itu memaksa tetesan air mata menyeruak dari kelopak mata si pemetik harpa, merasa gerah bagai tersulut oleh api kerinduan, tak tahan pada desakan gelisah cinta saat berpisah dengan sang kekasih karena himpitan kepedihan cinta.
 Seorang wanita berusia pertengahan tigapuluh tahun duduk di dalam gardu kecil ditengah hamparan taman itu yang penuh bunga beragam warna, sembari jari
 jemarinya yang lentik bergerak lembut memainkan harpa dihadapannya.
 Wajah wanita itu sangat cantik rupawan namun sayang paras muka yang demikian lembut dan anggun terlihat pucat pasi. Matanya begitu indah dengan pupil hitam bulat mempesona, dikelilingi bulu mata dan alis lentik seperti bulan terlihat begitu sendu di bawah sinar rembulan malam.
 Di balik keanggunan wajah itu terselubungi kesedihan dan kerinduan yang menyayat hati. Seorang wanita yang begitu cantik ternyata mengalami kesedihan yang tiada tara, sungguh sukar dipercaya.
 Tubuhnya yang lemah gemulai tampak gemetar seolah tak kuat diterpa dinginnya angin malam. Makin lama getaran tubuh itu makin tak terkendali hingga ujung
 bajunya berkibar seiring jiwa yang bergetar. Ada bening mengalir di sudut mata. Titik-titik air mata menggantung di pelupuk akhirnya berderai jatuh berguguran. Di tengah sedu sedan yang membuat seluruh tubuhnya berguncang tiba-tiba langit berubah menjadi kelabu seakan ikut merasakan kesedihan. Cakrawala pun dimainkan
 mendung. Entah apa yang membuat seorang wanita begitu cantik bagaikan bidadari
 meneteskan air mata bagaikan butir-butir kristal di tengah keheningan malam.
 Hati siapa yang tak akan sedih menyaksikan dua orang yang paling dekat dengan dirinya melangsungkan pertarungan hidup mati. Sekeping hati yang patah sejenak terpaku merasakan sentuhan kasih yang luar biasa dari sang sahabat karib kekasih pujaan. Hasrat pembalasan dengan menikahi sang sahabat karib tak memberinya
 kepuasan batin.
 Hatinya terbagi-bagi tak utuh lagi, dimana serpihan hati telah berserakan dibawah kakinya, ada sebagian yang terjerat kuat, sehingga begitu kuatnya, ia harus menahan kepedihan dan duka ini....seorang diri...!
 Batas antara benci dan cinta setipis kertas seperti jarak cinta dengan nafsu birahi.
 Cinta laksana air yang menetes di atas bebatuan...dan waktu terus berjalan dan akhirnya bebatuan akan hancur berserakan seperti hatinya...Wanita manakah yang dapat selamat dari api cinta "
 Serpihan hati yang mulai di tata kembali luluh lantak dan hancur berkeping-keping, mendapatkan cinta sang suami bukanlah cinta dengan getaran sesungguhnya. Api dengki menenggelamkan sang suami hingga melakukan perbuatan hina terhadap
 sang sahabat karib, menghancur leburkan segala harapan.
 Bagai esok mati, tiada lagi senyum untuk menjalani kehidupan. Musim pun akan terus berganti. Musim dingin pohon-pohon itu tetap berdiri di situ dalam sulaman selembut salju. Musim semi saat kuncup-kuncup bunga kan bergoyang, dunia mekar dengan daun-daun indah dan mawar nan rupawan. Namun musim-musin itu ia
 lewatkan dengan hati membeku. Hati mati air mata membeku di sudut mata. Jiwa pun turut membeku. Perlahan seiring sang waktu dirinya luruh layaknya dedaunan di atas dahan kala musim gugur.
 Tak didengarnya suara batuk ditahan-tahan hingga sesosok wajah tampan namun
 pucat lesi itu menggambarkan kesakitan dan keperihan yang terbiasa dilaluinya selama bertahun-tahun ini.
 Dari balik bayang-bayang pepohonan rindang ia termangu menyaksikan wanita
 pujaan menangis sesunggukan. Tiada keberanian walaupun setitik pun untuk masuk menghibur hati dengan duka begitu mendalam. Dia terjebak dalam rasa bersalah yang tak berkesudahan namun dia tak kuasa untuk melawannya.
 Tak tahan menyaksikan pemandangan begitu memilukan, ia berlalu perlahan.
 mengikuti angin. Langkah selirih hujan, menuju entah kemana. Seorang bocah kecil berusia delapan tahun muncul dan berlari menghampiri sang bunda yang menangis pilu. Ingin rasanya langit dan bumi bersatu untuk kupersembahkan kekakimu, musim-musim terus berlalu mengenang hadirmu adalah petikan harpa yang terindah.
 Di rerimbunan pohon dalam cuaca dingin,
 pedang tajam melukis langit malam
 Airmata pendekar, tidak mudah menetes,
 darah segar memancarkan lukisan
 Kabut menyelimuti taman bunga,
 berterbangan mengapung tak pasti
 Seperti ada cinta, seperti tanpa cinta,
 sepertinya ingin atau tidak saling bertemu
 Pedang tajam melesat mengaburkan pandangan,
 darah dan airmata tak bisa dibedakan
 Tetapi ingin hati ini tidak malu,
 bersedia lebih terang dari matahari dan bulan
 Tiba di musim gugur berpacu sendirian,
 aku berkelana melewati gunung-gunung
 Airmata pendekar, tak mudah mengalir,
 mengembara ke ujung dunia
 (yingxiong wulei)
 Iklan ------ "Pendekar Cinta" lengkap (seri 1 s/d 3)
 Versi Buku : (STOK HABIS!)
 - 250 hlm, HVS - Isi buku padat
 - Buruan! di cetak TEBATAS.
 - Harga Rp. 90.000,-
 Website tabib_gila : www.geocities.com/tabib_gila/
 Bab Sesudah: Sepuluh Tokoh Silat Paling Kosen
 Pria itu berwajah tampan, gagah dan tegap bagaikan pohon pinus. Matanya yang biasa tajam mencorong dengan gairah hidup yang tinggi, sekarang dingin dengan wajah memucat. Tak ditemukan kehangatan dan gairah kegembiraan. Gairah yang
 dulu senantiasa menyala terang seterang purnama bulan sekarang berkerlip redup di kepekatan malam.
 Tak ada yang menyangka pria itu adalah Tan Sin Liong, si Pendekar Kelana, jago pedang nomor satu dunia persilatan. Dalam daftar peringkat sepuluh jago persilatan paling kosen dewasa ini, ia berada dalam urutan ke tiga. Tidak ada yang tahu siapa gerangan yang membuat daftar tersebut. Daftar itu baru muncul beberapa bulan belakangan ini. Adalah ketua Bu-Tong-Pay, Siang-Ti-Cinjin, membawa daftar
 tersebut dalam pertemuan lima tahunan ketujuh partai utama di Hoa-San-Pay. Siang-Ti-Cinjin mendapatkan daftar tersebut melalui sepucuk surat yang dikirim tanpa nama pengirim.
 Dengan cepat daftar itu tersebar luas bagaikan kecepatan kilat, dalam waktu singkat seluruh dunia persilatan bergejolak keras. Bagi kaum persilatan nama adalah urusan nomer satu, tidak ada yang mau mengalah apabila sudah berurusan dangan nama
 baik. Berikut daftar sepuluh tokoh silat paling kosen saat ini"
 Urutan pertama " Bhiksu Tong dari Shao-Lin-Pay, usia delapan puluh tahunan, ketua Shao-Lin saat ini adalah sutitnya (murid keponakan). Senjata andalan : Tidak ada. Setiap benda bisa menjadi senjata. Pukulan tangan kosong dan It Sin Ci (jari sakti) sudah mencapai tingkat tertinggi. Jarang tampil di muka umum selama dua puluh puluh tahun belakangan. Bahkan murid-murid Shao-Lin pun jarang melihat keberadaan paderi Tong di kuil Shao-Lin.
 Urutan kedua " Si Golok Sakti, Kim Jiong. Usia pertengahan enam puluh tahun.
 Senjata andalan : Golok. Jarang ada lawan yang mampu melawan lebih dari sepuluh jurus golok kebanggaannya. Ketua perusahaan ekspedisi paling terkenal seantero dunia persilatan "Golok Naga", Kim Liong, adalah anaknya.
 Urutan ketiga " Si Pendekar Kelana, Tan Sin Liong. Usia akhir tigapuluh tahunan.
 Senjata andalan : Pedang. Gelar "Pendekar pedang nomer satu" sudah disandang belasan tahun lamanya. Jago-jago kiamkek (ahli pedang) dari perguruan ternama seperti Bu-Tong-Pay, Kun-Lun-Pay, Hoa-San-Pay sudah lama keok ditangannya
 termasuk juga jago pedang dari luar lautan.
 Urutan ke empat " Ketua Kaypang, Ting kauwcu. Usia sekitar enam puluh tahunan. Senjata andalan : Tongkat pemukul anjing. Ilmu Tang-Kaw-Pang-Hoat (ilmu tongkat pemukul anjing) dan Hang-Liong-Si-Pat-Ciang (ilmu 18 tapak penakluk naga) adalah ilmu-ilmu andalan yang mengangkat namanya selama puluhan tahun.
 Urutan ke lima " Dewi Maut. Kecantikannya bak Dewi Kuan Im namun
 ketelengasannya bak dewi pencabut nyawa. Senjata andalan : Mata. Ilmu Liap-hun-tay-hoat (ilmu penyedot sukma) yang ia miliki sudah mencapai tingkat 'sekali lirik nyawa melayang' Ratusan kaum lelaki sudah menjadi korban.
 Urutan ke enam " Si Pisau Kilat, Li Ban Sing. Usia sekitar tiga puluh tahunan.
 Senjata andalan : Pisau. Kabarnya keturunan pendekar jaman dahulu yang terkenal dengan julukan si pisau terbang, Siau Li Tamhoa. Tidak ada yang tahu bagaimana dan kapan ia mengeluarkan senjata andalannya tersebut namun yang pasti begitu dikeluarkan, tenggorokan lawan pasti tertembus ujung pisaunya.
 Urutan ke tujuh " Sastrawan Tampan. Usia sekitar pertengahan tiga puluh tahunan. Senjata andalan : Seruling besi. Terkenal akan ketampanannya dan bun-bu-coan-cay (ahli silat dan baca tulis). Banyak gadis perawan dan janda muda terjebak dalam rayuannya. Ilmu seruling besinya (Thi-tiok) sudah banyak memakan korban.
 Urutan ke delapan " Si Maling Sakti. Usia tidak diketahui karena selalu beroperasi memakai ya-heng-ie (pakaian berjalan malam berwarna hitam). Senjata andalan : Tangan. Ilmu Leng-po-wi-poh dan ginkangnya tiada bandingan.
 Uurutan ke sembilan " Bidadari Berhati Racun (Tok-Sim-Sian-Lie). Usia sekitar dua puluh lima tahunan. Senjata andalan : Racun. Tidak ada yang tahu bagaimana dan kapan ia melepas racun untuk melukai lawan. Terkenal ganas dan tanpa ampun.
 Urutan ke sepuluh " Si Tabib Ajaib (Biau-long-tiong). Usia pertengahan lima puluh tahunan. Walaupun urutan kesepuluh tapi ilmu pertabibannya diakui nomer satu di sungai telaga. Sifatnya aneh, tidak sembarang orang bisa menjadi pasiennya.
 Walaupun daftar tersebut tidak diketahui siapa pembuatnya namun sebagian besar kaum kangouw harus mengakui keakuratannya. Mau tidak mau mereka harus
 mengakui ke sepuluh jago tersebut sudah terkenal akan kepandaian masing-masing.
 Semenjak daftar tersebut beredar, sungai telaga bergolak. Ke sepuluh jago kosen yang tercantum menjadi incaran para pendekar yang ingin mengangkat nama.
 Sastrawan Tampan, Si Pisau Kilat, Dewi Maut sudah beberapa kali mengalami
 pertempuran hanya gara-gara daftar tersebut.
 Kembali pada Tan Sin Liong, ia berjalan dengan perasaan yang tak menentu.
 Langkah kaki masih tertatih menapaki jalan tanah berdebu. Luka yang hampir
 merenggut jiwanya masih belum begitu sembuh. Lamat-lamat telinganya yang tajam menangkap kibaran jubah namun tak dipedulikannya. Hanya sedikit persoalan yang masih ia pedulikan di dunia ini.
 Tan Sin Liong menghentikan langkahnya acuh tak acuh, seorang pria sekitar lima puluh tahunan berdiri di depan menghadang jalan. Wajahnya halus dengan kumis tipis melintang, sorot matanya mencorong tajam menatap Tan Sin Liong dengan
 cermat. Dengan pandangan menusuk tajam Tan Sin Liong diam membisu. Tak sepatah kata
 pun terucap dari mulutnya yang erat terkatup. Dengan tenang ia berdiri menunggu.
 Pepatah diam adalah emas seolah sangat cocok dengan situasi yang ia hadapi
 sekarang ini. Seulas senyum dingin tersembul dari ujung mulutnya, mengetarkan detak jantung pria dihadapannya.
 Bagi jago pedang sekelas Tan Sin Liong maupun lawannya, kata-kata dianggap tidak perlu diucapkan. Hawa pembunuhan yang teruar dari tubuh mereka sudah cukup
 mewakili segalanya. Tan Sin Liong sendiri sudah sejak lama menyadari, berbasa-basi dengan seseorang yang punya niat membunuh adalah membuang-buang waktu dan
 tenaga. Selama berkecimpung di sungai telaga, entah beberapa puluh jago pedang mati di ujung pedangnya tanpa ia ketahui nama dan asal mereka.
 Srrrtt"pedang lawan sudah terhunus mengarah ke bumi, berkilauan di timpa sinar rembulan. Terlihat kelopak mata Tan Sin Liong sedikit merapat tanda ia mengenali siapa gerangan pemilik pedang tersebut. Cukup melihat gerakan meloloskan pedang, ia sudah mengenali siapa lawan yang ia hadapi.
 Tan Sin Liong menghela nafas panjang namun baru setengah jalan terhenti
 mendadak, kesempatan itu tak disia-siakan lawan. Secercah bayangan berkelabat dimatanya dilingkupi cahaya pedang gemerlapan menyilaukan mata. Tahu-tahu ujung pedang musuh sudah berada di depan mata. Betapa cepat serangan lawan sungguh mengejutkan. Untung Tan Sin Liong adalah jago kawakan, cepat ia menunduk
 dengan gaya burung belibis angguk kepala. Menyusul pedang begitu lolos dari
 sarungnya langsung menangkis ke atas.
 Traang!" kedua pedang saling beradu, menerbitkan suara nyaring.
 Sebagai jago pedang berpengalaman, hanya sejurus saja lantas diketahuinya ilmu silat lawan sudah mencapai tingkat tertinggi.
 Dalam sekejap kedua orang itu sudah saling gebrak beberapa puluh jurus. Serang menyerang berlangsung cepat lagi tepat, setiap jurus seakan-akan mengadu jiwa.
 Mendadak permainan pedang lawan berubah, segulungan sinar menyambar
 melingkupi tubuh Tan Sin Liong. Ujung pedang lawan sukar ditentukan arah
 serangnya. Tidak kecewa nama Tan Sin Liong bercokol di urutan ke tiga jago paling kosen sejagad, belum lagi ujung pedang lawan sepenuhnya ditusukkan, sambil berputar ia melancarkan tipu serangan mematikan.
 Srrtt"srrttt"traaang..bleeess".
 Raut wajah melotot seakan tak percaya, sang lawan ambruk ke tanah dengan dada bolong tertembus ujung pedang Tan Sin Liong. Darah segar mengucur dengan deras di ujung rerumputan.
 Dengan hambar Tan Sin Liong memasukkan pedang yang terhunus kembali ke
 sarung. Gumpalan awan menggantung di langit terjuntai di ujung hari. Angin pohon pinus mendebu di jubah. Seiring angin sepoi-sepoi ujung jubahnya melambai meninggalkan sesosok tubuh yang bersimbah darah tergeletak di jalan. Tak diperdulikannya tatapan terbelialak beberapa pasang mata di balik semak belukar.
 Ceng-Sia-Pay baru saja kehilangan ciangbujin mereka.
 Iklan ------ "Pendekar Cinta" lengkap (seri 1 s/d 3)
 Versi Buku : (hanya tinggal beberapa buku saja)
 - 250 hlm, HVS - Isi buku padat
 - Buruan! di cetak TEBATAS.
 - Harga Rp. 90.000,-
 

Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Website tabib_gila : www.geocities.com/tabib_gila/
 Bab Sesudah: Bidadari Berhati Racun
 Pagi hari di kota Lok-Yang terasa begitu hangat, diapit dua sungai besar yaitu sungai Lok-Ho dan sungai Huang-Ho, menjadikan daerah ini terkenal subur.
 Seorang gadis dengan wajah rupawan namun dingin terlihat memasuki rumah makan di ujung jalan utama kota itu. Paras elok nan putih jelita dengan hidung bangir dan mulut mungil mampu menggetarkan hati setiap pria yang menatapnya. Pakaian putih yang dikenakan terlihat begitu serasi menutupi tubuh indah semampai.
 Dengan langkah angkuh dan acuh tak acuh diiringi senyum sang pelayan, gadis itu duduk di sudut menghadap pintu masuk. Tak peduli dengan lirikan mata kagum
 pelanggan rumah makan itu, dengan suara merdu gadis itu pesan beberapa macam masakan dan sepoci teh hangat.
 Gadis itu tak peduli pada kehadiran sepasang mata yang mengamatinya dari jarak tak terlalu jauh dari mejanya, sepasang mata dari seorang pemuda berwajah tampan yang mengikuti seluruh gerak-geriknya dari tadi.
 Hidangan yang dipesan datang, dengan tenang dan perlahan gadis itu menikmati sajian masakan khas kota Lok-Yang. Pemuda tampan terus menatap dengan tatapan birahi membuat si gadis akhirnya mengangkat wajahnya perlahan menatap langsung kearah si pemuda. Sinar mata berisi percikan-percikan api tiba-tiba berubah lembut bagaikan embun segar di pagi hari.
 Tatapan birahi dibalas dengan tatapan mengundang, membuat wajah si pemuda
 berseri-seri. Ia bangkit berdiri dari duduknya, menghampiri si gadis lalu sambil menjura berkata
 "Maafkan nona, kalau tidak keberatan bolehkah cayhe duduk bersama?"
 Sambil tersenyum manis sekali, si gadis menganggukkan kepala perlahan lalu
 berkata dengan suara sejernih mata air pegunungan
 "Ditemani kongcu yang begini tampan hati gadis mana yang tega menolak. Silahkan duduk kongcu" jawabnya dengan tatapan berkilau penuh arti.
 Bagaikan seekor merpati jantan sedang birahi, si pemuda berceloteh ke sana kemari.
 Ia angkatan muda paling lihai dari Go-Bi-Pay, murid utama Tiong-Lam-Tojin, ketua Go-Bi-Pay. Jabatan ciangbujin pada akhirnya akan jatuh ke tangannya,
 bla..bla..bla".
 Dibawah binar mata lembut simpulan senyum sang bidadari, degup jantung si
 pemuda berpacu liar. Makin di pandang makin cantik bau harum gadis sayup-sayup menyusup hidungnya. Terbawa oleh gejolak birahi, terbuai oleh impian pribadi membuat si pemuda hilang kewaspadaannya. Gejolak nafsu mengalahkan segala.
 Menguasai setiap inci pikiran. Pikiran mulai merayap-rayap.
 Tiba-tiba raut wajah si pemuda berubah, seri di wajah berubah pasi. Kesakitan yang berlapis-lapis menguasai pikiran. Perih tanpa ujung. Mula-mula dari sudut mulutnya terdengar suara-suara rintihan diselangi laungan kesakitan, makin lama makin intens.
 Wajah tampannya seperti berubah mejadi tegang dan cemas. Erang kesakitan
 berubah menjadi tarian-tarian jiwa meregang maut. Kegelapan dan kepekatan
 menyelubungi jiwa.
 Dia sungguh tak mengerti bagaimana bisa keracunan begitu rupa. Sampai matipun ia tidak tahu sudah menjadi korban Tok-Sim-Sian-Li (Bidadari Berhati Racun).
 Iklan ------ "Pendekar Cinta" lengkap (seri 1 s/d 3)
 Versi Buku : (STOK HABIS!)
 - 250 hlm, HVS - Isi buku padat
 - Buruan! di cetak TEBATAS.
 - Harga Rp. 90.000,-
 Website tabib_gila : www.geocities.com/tabib_gila/
 Bab Sesudah: Pasukan Mayat Hidup
 Mayat hidup gentayangan adalah kenyataan yang terlalu mengerikan bagi penduduk dusun di sebelah barat kota Po-Ting yang dihebohkan dengan beredarnya kabar
 beberapa mayat hidup terlihat berkeliaran di pekuburan di pinggiran dusun. Mayat-mayat hidup itu berjalan melompat-lompat dengan tangan teracung ke depan.
 Penduduk desa pun gempar, terlebih menurut saksi mata diantara mayat hidup
 tersebut terdapat seorang warga desa yang dikubur beberapa hari yang lalu. Dalam sekejap desa yang biasa tenang dan tentram begitu malam tiba langsung sunyi
 senyap. Tak ada seorangpun yang berani dekat-dekat daerah pekuburan tersebut, semua orang berada di dalam rumah masing-masing.
 Tan Sin Liong memasuki desa itu, hatinya merasa keheranan melihat keadaan desa yang amat sunyi senyap. Yang terdengar bergema di dalam dusun itu hanya lolongan anjing sesekali. Timbul kecurigaannya, diketuknya pintu salah satu rumah penduduk, tak terdengar jawaban. Telinganya yang tajam menangkap gerakan lirih penghuni rumah dengan suara berbisik-bisik. Berturut-turut beberapa rumah diketuknya namun hasilnya nihil, tak seorangpun membukakan pintu.
 Sambil menghela nafas, Tan Sin Liong memutuskan bermalam di tempat lain. Setiba di luar dusun, perjalanan ia lanjutkan melewati daerah pekuburan. Sekonyong-konyong dengan gerakan yang sangat indah, Tan Sin Liong melayang ke atas pohon besar di sudut jalan. Matanya yang tajam berkilau melihat suatu keanehan di dalam kuburan tersebut.
 Tepat di tengah-tengah kuburan terlihat dua sosok mayat berpakaian putih-putih dengan wajah kaku menyeramkan bergerak dengan kecepatan tinggi. Gerakan ke
 dua sosok mayat itu terlihat begitu serasi dan teratur. Cara berjalan kedua sosok itu agak aneh, melompat-lompat. Setiap lompatan bisa mencapai beberapa langkah
 kaki. Walaupun sudah lama berkelana di sungai telaga, baru kali ini Tan Sin Liong melihat mayat bisa berjalan. Tanpa perasaan takut sedikitpun, Tan Sin Liong
 menguntit ke dua mayat berjalan itu. Ia tahu kedua mayat itu pasti ada yang
 mengendalikan, entah dengan ilmu apa.
 Kira-kira puluhan langkah, ke dua mayat hidup tersebut berhenti di sebuah lapangan terbuka. Diam tak bergerak, kedua mata mereka menatap lurus ke depan tak
 berkedip sedikitpun. Suasana malam gelap gulita, bintang-bintang pengap, rembulan sembunyi di balik awan. Tan Sin Liong mendekam di ranting pohon tak bersuara, firasatnya mengatakan suatu peristiwa akan berlangsung di tempat itu.
 Kira-kira sepertanakan nasi dari arah sebelah timur muncul lima sosok berpakaian putih-putih. Lalu dari sebelah utara bermunculan mayat-mayat hidup serupa. Dalam sekejap mata, puluhan mayat hidup diam mematung memenuhi lapangan.
 Bunyi lirih keresekan daun membuat Tan Sin Liong sadar seketika, ada orang lain yang turut mengintai. Ilmu meringankan tubuh si pendatang sungguh sempurna, coba kalau si pendatang itu tidak memilih pohon yang sama, belum tentu Tan Sin Liong menyadari kehadirannya. Hati Tan Sin Liong berdesir, entah jago lihai dari mana, ia tidak berani bernafas keras-keras. Diam-diam mengakui ginkang si pendatang lebih tinggi darinya. Gelapnya malam dan rimbunan dedaunan membuat Tan Sin Liong
 tidak dapat melihat jelas keberadaan si penyusup.
 Sekonyong-konyong dari arah depan tempat sembunyi Tan Sin Liong, berjalan keluar seorang pria berjubah lebar, wajahnya tidak begitu jelas kelihatan namun yang pasti usianya sekitar setengah abad.
 Tahu-tahu pria tersebut sudah berdiri di tengah-tengah rombongan mayat hidup.
 Diperiksanya ke dua puluh mayat hidup tersebut satu persatu, semua mayat hidup itu tetap dalam posisi diam kaku. Puas dengan keadaan mayat-mayat hidup tersebut, si pria tertawa panjang sambil bergumam kecil..
 "He..he..he..boleh saja urutanku paling buncit tapi begitu pasukan mayat hidupku ini sempurna, jangankan Ting kauwcu tak perlu lagi kutakuti, bhiksu Tong pun belum tentu mampu melawan pasukanku ini" kata pria tersebut dengan nada bangga.
 Terdengar dengusan kecil dari atas pohon.
 Berubah air muka pria pertengahan umur itu, bentaknya "Siapa di situ" Keluar!
 Jangan main sembunyi-sembunyi kayak maling!
 Belum lagi perkataan pria itu selesai, sesosok tubuh bertubuh kecil melayang turun dari atas pohon dengan gerakan mengagumkan, hinggap di permukaan tanah tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Sungguh demonstrasi ilmu meringankan tubuh kelas wahid.
 "Hmm..sungguh cita-cita yang tinggi sekali, si nomor sepuluh berani melawan si nomor satu" kata sosok kecil tersebut. Seluruh tubuhnya tertutup pakaian hitam, yang kelihatan hanyalah sepasang mata yang bersinar tajam.
 Ternyata pria pertengahan umur tersebut adalah tokoh silat urutan ke sepuluh dari daftar tokoh silat paling kosen saat ini, Si Tabib Ajaib (Biau-long-tiong). Selama belasan tahun ini ia mengasingkan diri berusaha untuk membangkitkan mayat
 dengan ramuan obat-obatan racikannya. Tidak sia-sia jerih payah selama belasan tahun belakangan, sosok-sosok mayat tak berguna berhasil dilatih menjadi pasukan mayat hidup.
 Si tabib ajaib sedikit tertegun melihat kehebatan ginkang lawan namun tak lama kemudian dia segera menyadari siapa gerangan orang dihadapanya itu.
 "Ha..ha..ha.. kukira jago silat dari mana ternyata si Maling Sakti, sungguh kebetulan kedatanganmu kali ini. Aku harap engkau adalah orang pertama yang mencoba
 kehebatan pasukan mayat hidupku ini."
 "Huhh!..cuma mayat-mayat tak berguna apalah kehebatanya" sahut si Maling Sakti sinis.
 "He..he..he.. jangan pandang enteng pasukanku ini" kata si tabib sakti sambil meniup peluit kecil ditangan.
 Nadanya melengking tajam menusuk telinga. Mayat-mayat yang tadinya diam
 membeku, begitu mendengar bunyi peluit tahu-tahu bergerak cepat mengurung si maling sakti. Tiada ekspresi kehidupan memancar di wajah-wajah mayat hidup
 tersebut, raut muka yang kaku dengan biji mata melotot tanpa sinar kehidupan, membuat bulu kuduk si maling sakti berdiri tanpa disadari. Walaupun ia tidak takut namun Selama hidupnya baru kali ini ia dikepung belasan mayat hidup. Aroma busuk yang teruar dari balik tubuh mayat-mayat hidup itu membuat dirinya mual.
 Dalam sekejap mata pertarungan maut pun terjadi. Bagaikan hantu gentayangan, belasan mayat hidup tersebut mengeroyok Maling Sakti dengan kalap. Bayangan si maling sakti berkelabat ke sana kemari menghindari kerubutan pasukan mayat
 tersebut. Ujung jubah berkibar-kibar, ilmu Leng-po-wi-poh dan ilmu enteng tubuhnya bagaikan asap terapung benar-benar telah mencapai tahap tertinggi. Serangan-serangan mayat hidup itu benar-benar aneh dan cepat, si maling sakti harus
 mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki. Dengan hati tercekat, si maling sakti harus mengakui pertempuran ini adalah pertarungan terdashyat yang pernah ia alami. Beberapa kali pukulan tangan saktinya berhasil memukul lawan-lawannya namun wajah mayat hidup tersebut tetap kaku tanpa emosi, sedikitpun tak ada reaksi kesakitan, serangan pun tak kendor sedikitpun. Ratusan jurus berlalu cepat, lama kelaman gerakan maling sakti sedikit kendor. Dengan nafas memburu sebisa
 mungkin ia terus bergerak menghindar. Sekarang keadaan si maling sakti benar-benar berbahaya, sedikit lengah, ujung jari si mayat hidup dengan kuku-kuku yang panjang berwarna kebiruan berhasil menyerempet pundak lawan. Seketika itu juga si maling sakti merasakan pundaknya perih dan kaku. Si maling sakti terkesiap,
 rupanya di kuku jari mayat hidup mengandung racun mematikan. Seketika gerakan si maling sakti tak lancar. Menampak demikian, pria pertengahan umur tersebut makin keras meniup peluit, suaranya melengking-lengking menembus malam. Gerakan
 mayat-mayat hidup makin tak terkendali, si maling sakti dikerubuti dari berbagai arah, makin lama makin sempit ruang geraknya. Diam-diam si maling sakti menghela nafas dingin, kelihatanya malam ini aku bakal binasa di tangan mayat-mayat aneh ini, katanya dalam hati.
 Di saat yang benar-benar genting bagi jiwa maling sakti, sekonyong-konyong selarik sinar kekuningan yang terpancar dari sebilah pedang yang sangat tajam, tahu-tahu menyeruak di tengah hingar bingar pertempuran. Seketika keadaan pasaukan mayat hidup itu menjadi kacau balau. Serangan mendadak itu bahkan membuat si tabib sakti terbelalak kaget dan lupa memberikan perintah-perintah pada pasukan
 mayatnya. Sesosok bayangan diiringi kelabatan sinar pedang bergerak cepat sekali kesana-kemari. Kilau pedang berseliweran menyerang bagian-bagian tubuh mayat-mayat hidup tersebut dengan kecepatan yang sukar di kuti dengan mata. Satu
 persatu beberapa buah tangan, kepala dan kaki mayat-myat hidup tersebut putus terkena sabetan pedang.
 Hanya dalam waktu singkat empat atau lima mayat hidup bertumbangan ke tanah
 dengan kedua tangan buntung ataupun kepala putus. Kejadian yang barusan
 berlangsung begitu cepatnya hingga belum sempat si tabib sakti bereaksi, Tan Sin Liong menyambar tubuh kecil si maling sakti, yang saat itu berdiri sempoyongan di tengah-tengah pertempuran. Bersamaan itu terdengar suara melengking yang
 berasal dari peluit di tangan tabib sakti, memberi tanda pasukannya agar mengurung rapat lawan. Namun sedikit terlambat, belum sempat pasukan mayat itu bereaksi, sambil mengempit tubuh si maling sakti, bayangan Tan Sin Liong berkelabat
 menghilang di balik kegelapan malam.
 Tan Sin Liong membawa tubuh pingsan maling sakti ke makin masuk ke dalam
 kuburan. Kira-kira puluhan langkah kemudian, ia berhenti dan menyandarkan tubuh maling sakti di batang pohon besar. Suasana khas kuburan yang sunyi senyap,
 tenang, tiada suara, dengan semilir angin malam menyapu wajah Tan Sin Liong yang tampan namun pucat.
 Luka dipundak maling sakti mengeluarkan darah kehitaman tanda keracunan. Buru-buru Tan Sin Liong merogoh saku baju mengeluarakan obat-obatan yang bisa
 dibawanya. Dibubuhinya pundak maling sakti dengan obat berbentuk bubuk.
 Khawatir masih ada luka yang belum diobati dan agar lebih mudah diobati, Tan Sin Liong membuka baju hitam yang dikenakan maling sakti. Ia tidak mau membuka
 kedok hitam di wajah maling sakti karena tahu ada sebagian kaum persilatan yang suka menyendiri dan tidak ingin jati diri mereka diketahui. Terlebih ia tahu maling sakti termasuk salah satu tokoh yang misterius
 Ia mulai melepaskan satu demi satu kancing baju bagian atas yang dikenakan maling sakti dan menyibaknya kesamping. Termangu tak percaya dengan pemandangan di
 depan mata, Tan Sin Liong mengosok-gosok kedua mata dengan kedua tangannya.
 Namun pemandangan sepasang bukit kembar putih kencang dengan lekukan
 sempurna di kedua sisi bukit itu mencuat dihadapannya. Di tengah-tengah bukit itu terlihat tonjolan kecil kemerahan, membuat diri Tan Sin Liong tergetar.
 Sambil menutup kedua belah mata, Tan Sin Liong mencoba menenangkan debar
 jantungnya. Ia sungguh tak mengira, maling sakti yang begitu tersohor ternyata adalah seorang perempuan. Bahkan dari aroma harum yang teruar dari balik tubuh maling sakti yang putih mulus, ia yakin si maling sakti adalah seorang gadis muda.
 Setelah menenangkan diri sejenak, sambil mengeraskan hati Tan Sin Liong
 melanjutkan pengobatan luka-luka di sekitar pundak maling sakti dengan tangan sedikit gemetar. Seumur hidupnya belum pernah ia melihat tubuh wanita sedemikian dekat dan jelas. Guncangan yang dialami tidak kalah dengan pertempuran-pertempuran seru yang ia jalani selama ini.
 Kemudian dengan langkah tergesa-gesa Tan Sin Liong berlalu meninggalkan si
 maling sakti. Ia enggan menghadapi masalah baru yang bakal memusingkan kepala begitu si maling sakti tersadar dan melihat kehadirannya.
 Iklan ------ "Pendekar Cinta" lengkap (seri 1 s/d 3)
 Versi Buku : (hanya tinggal beberapa buku saja)
 - 250 hlm, HVS - Isi buku padat
 - Buruan! di cetak TEBATAS.
 - Harga Rp. 90.000,-,
 Website tabib_gila : www.geocities.com/tabib_gila/
 Bab Sesudah: Dewi Maut
 Pagi yang masih damai, bilah matahari menerobos dari regangannya ke salah satu jendela kamar penginapan di tengah kota Lok-Yang. Jari jemari yang lentik menepis sinar matahari melindungi seraut wajah yang cantik bak dewi Kuan Im. Udara dingin membawa butir embun masuk menyapa kulit putih pualam di ringi semilir angin sepoi, menyapu halus wajah seorang gadis muda dengan kecantikan yang tak terlukis
 dengan kata-kata.
 Wajahnya yang halus dengan alis terukir indah dan bibir mungil itu nampak tidak bisa menyembunyikan hatinya yang sedang kisruh. Matanya berputar menyapu seluruh
 sudut kamar. Entah sudah berapa ratus kali ia menginap di kamar penginapan seperti ini. Seulas senyuman kecil yang terukir dibibirnya yang mungil sedikit menyapu mendung di wajah.
 Gadis itu mengerut dahi. Sedari tadi bola matanya melayari baris-baris kalimat surat yang terletak di atas meja. Sudah belasan kali ia membaca surat yang diterimanya sejak dua tiga hari lepas. Ia mengeluh melepaskan nafas, ringan dan panjang. Pit ditangannya diketuk-ketuk perlahan ke atas meja sambil bibirnya disengetkan ke tepi.
 Rambut-rambut halus yang turun menutupi dahi dikuak ke belakang.
 Gadis itu memejamkan mata, mencoba menghalau wajah yang tiba-tiba melintas di putaran hayalnya. Lima tahun sudah berlalu semenjak dia datang dan pergi,
 meninggalkannya jadi semacam ini. Lima tahun lalu, pria yang bernama Tan Sin Liong singgah di relung hatinya. Kala itu ia baru menjangkau usia tujuh belas.
 Perkenalan tanpa sengaja yang membawa kepada rasa cinta dalam hati seorang
 gadis mentah dan hijau seperti dirinya.
 Perkenalan selintas itu membawa gadis muda ini berkelana di dunia kangouw yang kejam demi mengejar pria impiannya. Ia rela menempuh bahaya karena rasa cinta yang tak pernah mati dalam jiwanya. Ia letih dan hampa. Hingga hari ini sedikitpun Tan Sin Liong tak pernah tahu. Entah dimana pria itu kala ini, saat ia bertarung untuk menegakkan cinta yang tak pernah kesampaian. Selama bertahun-tahun ini, Tan Sin Liong bagaikan lenyap di telan bumi. Entah pergi kemana"
 Dalam perjalananan itu tidak sedikit gangguan yang dialaminya. Wajahnya yang cantik dengan sejuta pesona memancar dari kerling matanya yang bulat dan kesan sensual mencuat dari setiap geraknya sering mengundang pikiran miring pria yang melihatnya. Ibaratnya jika ada kembang cantik, tentu bisa membuat kumbang mabuk kepayang. Salahkah bila si kumbang lalu datang mendekat" Entah berapa ratus
 lelaki, baik yang keroco, penjahat pemetik bunga hingga pendekar-pendekar
 kenamaan jaman itu tak mampu menggerakkan hatinya. Bahkan sering kali
 membuatnya marah hingga turun tangan telenggas. Tak peduli diantara para lelaki yang menjadi korbannya ada yang berasal dari perguruan ternama dunia persilatan.
 Uniknya jarang sekali ia harus bergebrak hingga puluhan jurus menghadapi pria-pria nekat itu. Dengan bekal ilmu Liap-hun-tay-hoat (ilmu penyedot sukma) yang sudah mencapai taraf sempurna, tak susah ia menghadapi lawan-lawan setangguh apapun.
 Terlebih sebagian besar lawannnya itu sudah berada dalam pengaruh kecantikannya.
 Kehebatan ilmu Liap-hun-tay-hoat justeru semakin dahsyat apabila si pemilik
 mempunyai daya tarik sensual yang kuat. Selihai apapun musuh, begitu terpengaruh dengan kecantikannya, tak pelak lagi ia hanya soal waktu sebelum roboh di tangan gadis ini.
 Begitu dahsyatnya ilmu Liap-hun-tay-hoat ini hingga dalam daftar sepuluh tokoh silat paling kosen berada di urutan ke lima di atas Si Pisau Kilat yang berada di urutan ke enam. Julukan Si Dewi Maut pun akhirnya melekat pada dirinya. Tapi ia tak peduli.
 Selama berkelana hanya sedikit pria yang mampu mendekat dan bersahabat
 dengannya. Salah satunya adalah Li Ban Sing, Si Pisau Kilat. Walaupun tak pernah terucapkan kata-kata cinta dari mulutnya, ia bisa merasakan pria itu jatuh hati padanya namun perilaku yang selalu menunjukkan sikap sopan, baik dan ramah
 serta mata yang tak liar ketika memandangnya seperti pria kebanyakan, membuat dirinya tak tega menjauh. Semakin lama mengenal si Pisau Kilat, semakin nyaman ia bersama pria itu. Wajah yang terhitung lumayan tampan, dengan tutur kata yang bijak adalah idaman setiap wanita. Jika relung hati belum terisi bayang-bayang Tan Sin Liong, niscaya tak susah menerima uluran kasih tersebut. Si Pisau Kilat adalah satu-satunya sahabat karibyang dikenalnya semenjak terjun di sungai telaga. Beberapa kali Si Pisau Kilat membantunya keluar dari situasi yang sulit akibat ketelengasannya, terutama dari perguruan-perguruan ternama yang
 
^