Balada Pendekar Kelana 2

Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Bagian 2


tak rela murid-murid pilihan mereka menjadi pecundang di tangan Dewi Maut.
 Namun beberapa bulan belakangan ini, tingkah laku si Pisau Kilat sedikit berubah. Li Ban Sing perlahan-lahan mulai berani mengungkapkan isi hatinya. Puncaknya adalah surat cinta yang tergeletak di mejanya sekarang ini. Tidak heran hati Dewi Maut menjadi galau. Ia tidak dapat menerima cinta itu tapi ia juga tak mau kehilangan seorang sahabat baik.
 "Tok..tok..tokk!"
 Dewi maut tersentak., segala kenangannya berlari entah kemana. Dia memandang tepat ke arah pintu kamar penginapan yang tertutup.
 "Maaf, apakah nona sudah bangun?" tanya suara pelayan dari balik pintu.
 Ia mengalih pandang pada sinar matahari di sudut meja kerjanya. Sudah hampir menjelang siang rupanya. Dia mendengus halus, menyesal karena mengingati
 kenangan sampai lupa waktu.
 "Sudah?" ujarnya menjawab seraya membuka pintu dan membiarkan si pelayan
 mengantar makanan yang dipesannya sejak tadi malam.
 "Silakan nona" kata si pelayan tua sambil mengundurkan diri keluar kamar.
 Sehabis bersantap, Dewi maut keluar dari penginapan menuju tengah kota yang
 penuh dengan hiruk pikuk para pedagang di pinggir jalan dan seliweran penduduk kota. Suasana kota saat itu memang sibuk, hampir tiap sudut kota penuh dengan manusia dengan berbagai keperluan.
 Tiba-tiba wajah Dewi maut berubah, sekelabat wajah yang selama bertahun-tahun hinggap di relung hati tampak di pelupk matanya. Mungkinkah Tan Sin Liong"
 Langkahnya terhenti, mencari wajah yang membuatkan getaran hatinya jadi tidak menentu sekarang ini. Namun yang tampak di depan mata saat itu adalah hilir mudik penduduk kota. Dengan wajah penuh tekad, Dewi maut meneruskan perjalanan
 mengejar bayangan wajah itu menembus padatnya jalanan kota.
 Bagaikan setitik sinar di terowongan panjang, dengan hati berdebur kencang ia terus mengejar hingga ke tepian kota, menyusuri tepi sungai yang mengarah ke sebuah hutan bambu yang lebat dengan jalan setapak. Ia mengembangkan ilmu
 meringankan tubuh yang seirama dengan entak langkahnya, terus menerobos hutan bambu itu.
 Di tengah suaana sepi, sayup-sayup terdengar suara bagaikan suara seruling. Tubuh Dewi maut yang ramping dan langsing melesat kearah suara tersebut. Mula-mula suara seruling itu terdengar membawakan lagu yang sejuk menyongsong datangnya bulan purnama. Nadanya seperti silirnya angin senja. Kemudian lagu itu menurun makin dalam, tetapi sesaat kemudian melonjak riang, seriang wajah gadis yang menyongsong datangnya kekasih. Sesaat kemudian berubah lagi ke alunan kisah
 cinta. Jantungnya berdebar hebat, lima tahun lebih adalah sebuah pencarian dan penantian yang mendebarkan serta tanpa kepastian. Selama itu pula ia hanya bisa menduga-duga dengan hati berdebar apakah Tan Sin Liong masih hidup. Kabar yang tersiar di sungai telaga simpang siur. Ada yang mengatakan Tan Sin Liong binasa di tangan sahabat karibnya sendiri, ada pula yang mengatakan Tan Sin Liong binasa di bawah kerubutan tiga ciangbujin perguruan silat ternama yaitu Bu-Tong-Pai, Hoa-San-Pai dan Go-Bi-Pai. Tapi tak sedikit yang mengatakan Tan Sin Liong berhasil meloloskan diri dengan luka parah. Dan ketika mendengar kabar hasil pertarungan Tan Sin Liong dengan sahabat karibnya di puncak gunung Thai-San, ia melonjak dan berteriak kegirangan.
 Kekuatan cinta memang dahsyat, cinta memang indah, mungkin cinta adalah satu-satunya bunga yang tumbuh dan mekar tanpa bantuan musim, sesuatu yang lebih
 indah, lebih dalam dari samudra, lebih aneh dari kehidupan dan kematian. . .
 Iklan ------ "Pendekar Cinta" lengkap (seri 1 s/d 3)
 Versi Buku : (STOK HABIS!!)
 - 250 hlm, HVS - Isi buku padat
 - Buruan! di cetak TEBATAS.
 - Harga Rp. 90.000,-
 Website tabib_gila : www.geocities.com/tabib_gila/
 Bab Sesudah: Sastrawan Tampan
 Dewi Maut makin mendekat ke arah suara seruling yang terus berkumandang
 dengan irama lagu mendayu-dayu, naik turun dalam irama mengalun, seolah
 menghanyut pendengarnya dalam ikatan suasana yang sulit dilepaskan. Kemampuan meniup suling seperti itu sunggguh jarang dijumpai.
 Si peniup suling nampak berpakaian sastrawan, sikapnya halus, usianya sekitar tigapuluh tahunan dan tampak tampan. Tubuhnya sedang dan dia sedang duduk di atas sebuah batu besar sambil jari jemari bergerak lincah memainkan seruling besi di tangan.
 Gema seruling diiringi dedaunan yang meranggas beterbangan mendayu-dayu
 seperti menari diombak angin, suara patukan burung pembuat lubang di pohon
 terdengar menyapanya. Dewi maut terpukau mendengar tiupan seruling sastrawan itu, seperti irama simphoni yang alami, merdu beralunan, terasa nikmat di dengar.
 Tak terasa..alunan seruling terdengar mulai perlahan. Melembut di alunan yang semakin memutar mengecil. Angin lembut melambat di rambutnya yang
 bergelombang. Tersenyum melepaskan serulingnya, kemudian menghampiri Dewi Maut yang masih
 berdiri termangu, masih terpesona mendengar tiupan seruling tadi.
 Tiba-tiba Dewi maut kembali membumi ketika terdengar suara lirih dan merdu dari pria berpakaian sastrawan itu,
 "Harap telinga nona tidak sakit mendengar tiupan serulingku tadi, cayhe masih harus banyak belajar meniup seruling"
 "Ooh..tidak..seumur hidup baru kali ini aku mendengar tiupan seruling semerdu itu.
 Engkau sungguh berbakat" sahut Dewi Maut
 "Terima kasih, nona. Cayhe Khu Han Tiong, kebetulan sedang lewat di hutan ini dan tertarik hati melepaskan lelah sambil memainkan seruling. Entah siapa gerangan diri nona?"
 "Cayhe Sim Hong Li, senang bertemu dengan saudara Khu" jawab Dewi Maut.
 "Begitu pula cayhe nona Sim, kecantikan nona sungguh jarang ada bandingannya"
 puji Khu Han Tiong dengan suara merayu.
 Tak ada wanita yang tak menyukai pujian, apalagi pujian tersebut berasal dari seorang pria yang tampan seperti pria dihadapannya ini.
 "Terima kasih, saudara Khu" sahut Dewi Maut dengan suara manis.
 Selama berkelana bertahun-tahun di sungai telaga, sudah sering Dewi Maut (atau mulai dari sekarang kita sebut Sim Hong Li saja) mendengar pujian-pujian seperti ini hingga sering kali ia jenuh mendengarnya. Namun kali ini, entah kenapa pujian dari pria ini terasa nikmat dan manis di hati. Mungkin terpengaruh irama seruling tadi, kesannya terhadap pria ini cukup baik dan menyenangkan, terlebih tutur kata yang halus dan sopan mirip dengan Li Ban Sing.
 "Entah apa gerangan yang membuat nona sampai di tengah hutan sunyi seperti ini"
 tanya Khu Han Tiong.
 "A..kku seperti melihat bayangan seorang teman dan mengejarnya hingga di sini, tapi mungkin aku salah lihat" jawab Sim Hong Li sedikit gelagapan.
 "Oh begitu, kalau nona Sim tidak keberatan, mari kita melanjutkan perjalanan keluar hutan ini bersama-sama. Siapa tahu teman yang nona cari sudah mendahului di
 depan sana" ajak Khu Han Tiong.
 "Baiklah saudara Khu, kebetulan aku tidak tahu arah mana untuk keluar dari hutan ini" sahut Sim Hong Li.
 Mereka berdua berjalan keluar hutan sambil bercakap-cakap tentang segala hal, mulai dari seni lukis, seni tulis hingga ilmu silat. Sim Hong Li sangat kagum dengan luasnya pengetahuan teman seperjalanannya ini. Sebaliknya, Khu Han Tiong pada dasarnya adalah seorang bun-bu-coan-cay (ahli silat dan baca tulis) merasa
 bagaikan bertemu lawan bicara yang setimpal. Tak terasa mereka sudah keluar dari hutan tersebut, menyusuri jalanan menuju kota terdekat.
 Diam-diam Khu Han Tiong memuji keberuntungannya hari ini dapat bertemu dengan seorang gadis secantik Sim Hong Li. Sudah berhari-hari lamanya ia tidak berdekatan dengan seorang wanita. Sepanjang perjalanan, wanita-wanita yang ia temui kurang mencocoki seleranya. Makin lama makin sudah mendapatkan wanita cantik,
 gumamnya suatu saat.
 Pertemuan dengan Sim Hong Li bagaikan seekor domba mendatangi seekor serigala buas. Di balik ketampanan dan tutur kata yang sopan serta lemah lembut, Khu Han Tiong memiliki kepribadian yang bertolak belakang dengan penampilan fisiknya.
 Entah sudah berapa ratus gadis muda jatuh dalam cengkaramannya, diperkosa dan dipermainkan selama berhari-hari sebelum akhirnya dibinasakan. Kekejaman Khu Han Tiong terhadap kaum wanita sudah terkenal seantero sungai telaga. Sudah
 banyak pendekar-pendekar kangouw berniat mencari dan memenggal kepala Khu
 Han Tiong yang terkenal dengan julukan Si Sastrwan Tampan. Namun bukan kepala Khu Han Tiong yang terlepas, sebaliknya puluhan jiwa pendekar-pendekar muda dan gagah berani binasa di tangan Khu Han Tiong. Ia sendiri sangat suka memperkosa wanita terlebih mereka yang menangis ketakutan ketika diperkosa, ia merasa
 bagaikan orang yang sangat berkuasa seperti kekuasaan seorang raja.
 Selama bertahun-tahun tak ada seorang pendekar pun mampu menghadapi ilmu
 seruling besinya selama puluhan jurus. Memang pernah ia hampir bentrok dengan perkumpulan Kay-pang, hanya gara-gara ia menculik dan memperkosa puteri Wan-wangwe (hartawan Wan) di kota raja. Kebetulan Wan-wangwe terkenal akan
 kedermawananya dan menjadi salah satu penyumbang terbesar perkumpulan Kay-
 pang cabang kota raja. Akibatnya ia di cari dan diburu oleh ribuan anggota Kay-Pang.
 Selama berbulan-bulan ia harus bentrok dan menghabiskan banyak tenaga
 menghadapi pihak Kay-pang. Khu Han Tiong sendiri tidak memandang sebelah mata perkumpulan Kay-pang sepanjang kauwcu Kaypang, Ting kauwcu tidak turun tangan langsung. Namun bentrokan itu cukup membuatnya kewalahan. Seperti diketahui, anggota Kaypang tersebar di segala penjuru pelosok negeri dengan anggota ratusan ribu orang.
 Tentu saja ia tidak begitu bodoh, bentrok langsung dengan Kaypang. Sedikit mungkin ia menghindari membunuh anggota Kaypang, paling parah ia hanya mematahkan
 kaki anggota Kaypang. Bukannya ia takut tapi menghindari sedikit kerepotan di masa mendatang, cukup setimpal rasanya. Akhirnya setelah selama hampir setahun
 menghilang, kejadian itupun perlahan-lahan mulai dilupakan.
 Dalam urutan sepuluh tokoh paling kosen jaman itu, ia dinobatkan diurutan ke tujuh.
 Tapi ia sendiri sangat tidak puas dengan urutan tersebut. Menurut pendapatnya, paling tidak ia harus berada di urutan ke lima. Bhiksu Tong, Kim Jiong, Tan Sin Liong dan Ting Kauwcu tak usah diragukan. Terlebih terhadap Tan Sin Liong, tak ada seorang pun yang tahu bahwa ia hampir binasa di tangan Pendekar Kelana ini
 bertahun-tahun yang lalu. Saat itu ia baru saja menculik seorang nikaouw (pendeta wanita) berparas cantik dari kelenteng di pinggir kota Wu-Han dan kesampok Tan Sin Liong. Selama puluhan jurus bergebrak dengan Tan Sin Liong, tak sekalipun ia berada di atas angin bahkan sebaliknya ia makin keteteran. Beruntung ia berhasil meloloskan diri dengan melempar si nikouw kearah Tan Sin Liong dan kabur sambil membawa luka di pundak. Kejadian memalukan itu ia simpan rapat-rapat hingga
 sekarang. --- 000 --- Hari menjelang malam ketika Sim Hong Li dan Khu Han Tiong memasuki sebuah
 dusun. Dusun itu cukup besar dan hanya memiliki satu penginapan kecil di tengah dusun. Penginapan itu sendiri hanya terdiri dari beberapa kamar saja dan kebetulan saat itu baru terisi satu kamar saja. Sehabis bersantap malam sekedarnya di warung kecil sebelah penginapan, Sim Hong Li menguap dan pamit masuk ke kamar untuk beristirahat diiringi pandangan penuh gairah Khu Han Tiong.
 Sebenarnya ia hendak bertindak saat mereka masih berada di dalam hutan.
 Tempatnya sangat cocok dan sunyi namun ia masih ragu dengan orang yang dicari Sim Hong Li, ia khawatir orang itu mendadak muncul dan mengagalkan rencananya.
 Kemudian ia terlibat pembicaran yang mengasyikkan hingga lupa dengan tujuan
 semula. Khu Han Tiong sadar Sim Hong Li bukanlah mangsa yang empuk, dari gerak-
 geriknya ia tahu Sim Hong Li memiliki ilmu silat kelas satu tapi ia tidak takut. Sudah sering ia menjumpai korban yang memiliki kepandaian silat namun dihadapan Khu Han Tiong -salah satu tokoh paling kosen- ibarat kelinci berhadapan dengan buaya.
 Khu Han Tiong memutuskan bertindak malam ini juga. Suasana malam yang dingin rasanya sangat pas untuk mendapatkan kehangatan dari tubuh seorang wanita.
 Jantung Khu Han Tiong berdebar-debar dan berdetak lebih kencang dari biasanya.
 Gairah yang sudah berkobar di dada tak dapat lagi menahan letupan api birahi.
 Tanpa disadari Sim Hong Li, cangkir teh yang ia minum di warung tadi sudah
 dibubuhi semacam obat oleh Khu Han Tiong. Obat itu adalah hasil racikan pribadi Khu Han Tiong. Manfaatnya adalah membuat orang yang meminumnya kehilangan
 tenaga dan pulas seketika. Khu Han Tiong tidak mau mengambil resiko, sudah
 beberapa hari ini gejolak birahinya harus disalurkan. Lagipula nalurinya mengatakan Sim Hong Li bukanlah lawan empuk yang dapat dipermainkan sesuka hati. Selama bertahun-tahun ia selalu berhasil berkat kepercayaannya terhadap insting yang timbul tiap kali ia hendak beraksi.
 Hari semakin larut, pemilik penginapan adalah seorang kakek tua tanpa sanak
 saudara. Si kakek berjalan terseok-seok menutup pintu penginapan dan menghilang di balik kamarnya di pojokan belakang rumah penginapn itu.
 Perlahan-lahan Khu Han Tiong bangun dan berjalam menuju kamar Sim Hong Li.
 Sedetik matanya terpaku pada pintu kamar terbuat dari kayu., ada aroma harum terhendus ujung hidungnya. Dengan sedikit berdebar akibat gairah yang sudah
 memuncak, diketuknya pintu itu tiga kali. tetapi tidak dibuka dan tidak ada jawaban.
 Agak lama ia menunggu untuk memastikan lalu ditolaknya daun pintu tersebut
 perlahan, ternyata Sim Hong Li lupa mengunci pintu kamar. Dari celah pintu yang terkuak sedikit, Khu Han Tiong mengintip ke dalam kamar. Suasana dalam kamar Sim Hong Li agak gelap hanya diterangi lentera kecil di tengah meja yang memang sepertinya sengaja dibiarkan untuk menerangi ruangan ala kadarnya.
 Dengan gesit Khu Han Tiong menyelinap ke dalam kamar, dari sorotan sinar lentera di atas meja terlihat bahwa Sim Hong Li berbaring pulas di tempat tidur masih dengan pakaian lengkap. Dengan langkah ringan Khu Han Tiong menghampiri pembaringan itu, baju yang dikenakan Sim Hong Li berkilat-kilat diterpa cahaya lampu. Sesaat bola matanya berkerling lincah ke sana kemari menelusuri lekuk tubuh kenyal Sim Hong Li yang indah dan terawat.. Bau harum wangi yang terpancar dari tubuh ramping Sim Hong Li menyeruak lubang hidup Khu Han Tiong, makin memacu gairah Khu Han
 Tiong. Rambut hitam panjang terurai, tubuh sintal dibalut baju hijau muda tak mampu menyembunyikan tonjolan buah dada ranum seorang gadis perawan, membusung
 ketat menawan hati. Betapa indahnya bentuk buah dada yang mengikuti irama nafas itu, api gairah sudah mencapai puncak bara.
 Jari tangan Khu Han Tiong meluncur, meremas bahu Sim Hong Li, membelai rambut yang terurai. Telapak tangannya merasakan kelembutan dan kekenyalan gundukan ranum dihadapannya sambil mengecup bibir tipis merah delima yang merekah
 memikat hati. Jantung Khu Han Tiong berdebar keras, keringatpun bermunculan di seluruh tubuh, dibelainya rambut Sin Hong Li yang hitam pekat sambil tetap melumat bibirnya, semakin dalam dan semakin dalam, jantung Khu Han Tiong pun semakin berdetak keras, keras dan semakin keras, seiring dengan kerasnya bagian tertentu dibawah tubuh......kemudian .
 "Braaaktttt....."
 Pintu kamar terdobrak mendadak, kontan Khu Han Tiong melejit dari tempat tidur sambil mengebutkan lengan bajunya ke depan, serangkum tenaga sakti keluar
 menghantam bayangan hitam yang menerobos masuk.
 Dalam waktu singkat belasan gebrakan berlangsung antara Khu Han Tiong dengan bayangan tersebut. Ruangan kamar yang sempit dan suramnya cahaya seolah bukan halangan bagi mereka.
 Daak..dukk..dukk"huaaakkkk!
 Semua terjadi dalam hitungan detik. Banyak hal yang bisa terjadi dalam hitungan detik. Bagi ahli silat sekelas Khu Han Tiong dan bayangan tersebut, pertempuran satu detik sama dengan satu jam, tiada beda sedikit pun.
 Khu Han Tiong menahan gumpalan darah yang mendesak keluar dari mulut. Sambil melemparkan suatu benda ke lantai..
 Daaarrrr" asap tebal menyelimuti kamar itu.
 Khu Han Tiong memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melarikan diri dengan
 menerobos jendela kamar dan menghilang di kepekatan malam.
 Sambil mengembangkan ilmu meringankan tubuh seutuhnya, Khu Han Tiong berlari menjauhi dusun tersebut, menerobos kegelapan malam. Ia tak habis pikir, siapa gerangan bayangan yang memiliki ilmu silat sedemikian hebat. Jangan-jangan
 bayangan itu teman yang di cari Sim Hong Li, gumamnya sambil memegang dada
 dan meringis kesakitan. Baru kali ini semenjak kejadian memalukan beberapa tahun yang lalu dengan Tan Sin Liong, ia kembali menelan pil pahit.
 Mimpi pun ia tak menyangka bayangan tersebut adalah orang yang selama bertahun-tahun ini ia takuti, Si Pendekar Kelana, Tan Sin Liong.
 Iklan ------ "Pendekar Cinta" lengkap (seri 1 s/d 3)
 Versi Buku : (STOK HABIS!!)
 - 250 hlm, HVS - Isi buku padat
 - Buruan! di cetak TEBATAS.
 - Harga Rp. 90.000,-
 Website tabib_gila : www.geocities.com/tabib_gila/
 Bab Sesudah: Cinta Seputih Salju
 Pernahkah kamu menatap seseorang saat ia sedang tidur" Kalau belum, cobalah
 sekali saja menatap mereka saat sedang tidur. Saat itu yang tampak adalah ekspresi paling wajar dan paling jujur dari seseorang.Seorang penyanyi opera yang ketika di panggung begitu cantik dan gemerlap pun bisa jadi akan tampak polos dan jauh berbeda jika ia sedang tidur. Orang paling kejam di dunia pun jika ia sudah tidur tak akan tampak wajah bengisnya. Kalau kamu ingin melihat kecantikan seorang wanita, lihatlah saat ia baru bangun tidur di mana wajah mereka masih belum tersentuh benda-benda perias wajah.
 Tan Sin Liong menatap wajah Sin Hong Li yang masih tertidur pulas walaupun langit biru cerah dan embun memberikan kemilau di ujung daun telah tiba. Matahari pun mulai meninggi namun Sim Hong Li masih tertidur sangat pulas layaknya seorang bayi.
 Sim Hong Li memiliki kecantikan wajah yang jarang dijumpai diantara ribuan wanita.
 Dari sepuluh pria dapat dipastikan sepuluh-sepuluhnya pasti mengagumi
 kecantikannya, kecuali pria itu buta atau thaikam. Tak terkecuali Tan Sin Liong yang pernah menderita asmara. Diam-diam ia harus mengakui selama hidupnya, baru kali ini ia menjumpai seorang gadis sedemikian cantik dan menawan. Dalam keadaan
 tertidur, kecantikan wajah Sim Hong Li makin menunjukkan perbawanya. Tidak heran Khu Han Tiong yang begitu banyak mengenal wanita sampai begitu kesengsem
 dengan Sim Hong Li.
 Semenjak malam hingga pagi hari menjelang Tan Sin Liong berjaga di dalam kamar tersebut. Ada beberapa alasan mengapa ia masih berdiam di ruangan tersebut.
 Pertama, ia lapat-lapat seperti pernah melihat raut wajah gadis yang ada di atas pembaringan tersebut. Tapi ia lupa kapan dan dimana ia pernah berjumpa
 dengannya. Alasan kedua, ia khawatir pria tadi yang hendak menganggu gadis itu masih berkeliaran disekitar penginapan. Sebagai seorang yang berjiwa pendekar, ia tak tega melihat gadis secantik ini jatuh kembali dalam cengkraman penjahat pemetik bunga itu.
 Kedatangannya menolong Sim Hong Li terjadi secara tak disengaja. Kebetulan ia lebih dahulu tiba di penginapan tersebut dan berdian di kamar di sebelah Sim Hong Li. Saat itu ia hampir mencapai tingkat keheningan ketika telinganya menangkap gerakan lirih langkah kaki Khu Han Tiong melintas di depan kamarnya. Tan Sin Liong sadar orang tersebut adalah jago silat kelas wahid. Jikalau ia tidak dalam keadaan hening belum tentu telinganya dapat menangkap gerakan selirih itu. Hal itulah yang membuat Tan Sin Liong heran dan bercuriga, mengapa di penginapan kecil di dusun sesunyi ini muncul jago silat lihai, lebih-lebih ketika orang itu berhenti di depan kamar sebelah.
 Tan Sin Liong juga tak menduga, pria yang barusan ia hadapi tadi adalah pria yang beberapa tahun yang lalu pernah kebentur di tangannya. Selain suasana kamar yang suram cahaya, kejadian beberpa tahun yang lalu sudah lama dilupakan.
 Sambil menunggu Sim Hong Li mendusin, Tan Sin Liong terkenang kembali saat
 kanak-kanaknya bersama Kim Bi Li di atas pegunungan Thai-San dengan
 pemandangan alam yang berkabut benar-benar indah mempesona. Ingatannya
 kembali ke masa dimana mereka tengah bermain-main tepat di atas tumpukan
 gumpalan kabut yang terkesan empuk, lembut dan halus. Udara yang sangat sejuk, mentari yang hangat, dedaunan yang segar, capung dan burung yang lincah
 beterbangan, liukan-liukan gerakan awan di langit, semua bersatu-padu, turut serta menyempurnakan keindahan alam di pagi itu.
 Bersama-sama mereka tumbuh menuju kedewasaan, cinta pun bersemi secara alami di antara keduanya, seperti pohon yang tumbuh di atas tanah yang subur. Teringat kala mereka memadu kasih di sebuah sungai yang di depannya ada sebuah air
 terjun. Sementara di atas air terjun ada sebongkah batu menghalangi air supaya tak deras sampai ke bawah. Suara air mengalir memercik beningnya bersahutan. Saat itu hidup terasa begitu indah.
 Terkenang saat-saat mengharukan ketika ia turun gunung demi ambisi menggelora untuk menaklukkan semua jago pedang di seluruh muka bumi. Hari itu, saat-saat perpisahan dengan kekasih pujaan hati begitu mengharukan. Di punggung bukit di kaki gunung Thai-San, di tengah hamparan salju tak bernoda diringi kesiur angin musim gugur yang sunyi mendengur, ia berlalu meninggalkan sosok cantik dengan hati seputih salju itu sendirian.
 Sekonyong-konyonng lamunan Tan Sin Liong buyar"
 Telinganya menangkap gerakan lirih di pembaringan, namun belum sempat ia
 menoleh, totokan hebat menyerang punggungnya. Selagi ia berusaha menhindari
 totokan tersebut, serangkaian totokan mengancam tengkuk dan bahunya. Namun
 dengan gerakan menghindar "bangau meniti angin" ia berhasil meluputkan diri.
 "Harap sabar dahulu nona!" seru Tan Sin Liong sambil berputar menghadap kearah Sim Hong Li yang tengah siap melakukan serangan berikutnya.
 "Siapa engk..?" perkataan Sim Hong Li berhenti di tengah udara
 "Eng..kau.. Tan..Sin..Liong.." serunya lirih sambil bola mata yang bening berkilauan menatap wajah Tan Sin Liong terkesima.
 "Benar nona, apakah kita pernah berjumpa sebelumnya?" tanya Tan Sin Liong heran dan ragu-ragu.
 "Apakah engkau lupa, lima tahun yang lalu " di puncak pegunungan Kun-Lun-San?"
 tanya im Hong Li dengan suara mengandung kekecewaan.
 "Astaga..engkau Sim Hong Li..?" seru Tan Sin Liong kaget.
 Lima tahun yang lalu Tan Sin Liong pernah mampir sebentar ke tempat kediaman Sim Pek Kun, ibu Sim Hong Li, kekasih suhunya di waktu muda.
 Sim Hong Li mengiyakan, masih dengan wajah tak percaya. Pria yang selama
 bertahun-tahun senantiasa merasuki perasaan dan pikirannya, sekarang tepat berdiri dihadapannya.
 "Bagaimana engaku bisa berada di sini?" tanya Sim Hong Li masih dengan kepala sedikit pusing. Sisa pengaruh obat yang diberikan Khu Han Tiong masih belum
 seluruhnya terhapus.
 "Di mana saudara Khu?" tanya Sim Hong Li beruntun.
 "Maksudmu, pria berpakaian seperti sastrawan?" tanya Tan Sin Liong
 "Benar" sahut Sim Hong Li masih belum mengerti apa gerangan yang terjadi
 Tan Sin Liong menuturkan apa yang terjadi semalam, bagaimana ia memergoki
 orang berpakaian sastrwan itu menerobos kamar Sim Hong Li.
 Sim Hong Li menedengarkan penuturan Tan Sin Liong dengan hati bergidik. Ternyata Khu Han Tiong yang ia baru ia kenal adalah orang berhati binatang dibalik tingkah laku yang lembut dan sopan. Hatinya sangat bersyukur lolos dari kehinaan, terlebih orang yang menolongnya adalah pria yang selama ini ia cari-cari.
 "Syukur ada engkau Liong-ko, entah bagaimana aku berterima kasih" kata Sim Hong Li kikuk.
 "Tidak usah terlalu formal diantara saudara sendiri, Hong-Li-moi" jawab Tan Sin Liong
 "Bagaimana kabar pekbo (bibi)?" tanya Tan Sin Liong.
 "Ibu baik-baik saja, tahun kemarin aku baru pulang ke Kun-Lun-San. Bagaimana dengan engkau, Liong-ko. Selama beberapa tahun belakangan ini aku dengar
 engkau menghilang entah kemana, juga kabar di sungai telaga simpang siur
 mengenai dirimu" tanya Sim Hong Li dengan rasa ingin tahu.
 Tan Sin Liong tersenyum pahit dan menghela nafas panjang
 "Boleh dibilang aku orang yang kurang beruntung Hong-Li-mio, tapi sudahlah..semua kejadian yang menimpaku selama ini sudah jelas dan tak perlu dibicarakan lagi." Kata Tan Sin Liong sambil terpekur muram.
 Sim Hong Li ikut terdiam. Hatinya ikut teriris melihat kesedihan di wajah Tan Sin Liong. Ingin rasanya ia mendekap, memeluk dan menghibur hati pria pujaannya itu.
 Kerinduan selama bertahun-tahun hanya bisa ia simpan dalam hati, bertahun-tahun tertahan, menggerogoti sukma perlahan, meracuni pembuluh nadi tanpa perasaan, begitu menusuk hati.
 Beberapa saat suasana menjadi hening. Begitu hening"Tan Sin Liong
 terdiam".Sim Hong Li pun diam.
 Mendadak keheningan pecah, ketika pelayan penginapan datang menawarkan
 sarapan pagi untuk mereka.
 "Liong-ko, engkau hendak menuju kemana?" tanya Sim Hong Li setelah si pelayan berlalu membawa pesanan sarapan pagi yang mereka inginkan.
 "Entahlah Hong-Li-moi, aku sudah terbiasa berkelana mengikuti ayunan langkah kakiku ini" sahut Tan Sin Liong.
 "Kabarnya bakal ada keramaian di Shao-Lin-Pay" kata Sim Hong Li.
 "Oh ya..ada apa gerangan?" tanya Tan Sin Liong
 "Apakah engkau belum mendengar berita meninggalnya Bhiksu Tong?" tanya Sim
 Hong Li "Bhiksu Tong meninggal dunia" Kapan" seru Tan Sin Liong kaget.
 "Beberapa hari yang lalu, beliau meninggal karena usia tua namun bukan
 pemakaman Bhiksu Tong yang menjadi titk perhatian kaum kangouw. Kabarnya
 selama dua puluh tahun mengasingkan diri entah di mana, Bhiksu Tong berhasil menciptakan ilmu silat baru hasil peryakinan seluruh intisari ilmu silat yang ia miliki.
 Kabar yang tersiar sebelum meninggal dunia, Bhiksu Tong mengunjungi Shao-Lin-Pay sambil membawa seorang bocah lelaki umur delapan tahun untuk dititipkan di Shao-Lin"
 "Lalu apa hubungannya dengan kaum kangouw" Apakah mereka mengincar kitab
 ilmu silat itu?" tanya Tan Sin Liong
 "Bukan, kitab itu jelas yang berhak adalah pihak Shao-Lin-Pay. Justeru bocah laki-laki itulah yang menjadi pusat perhatian kaum persilatan. Bocah laki-laki itu diselamatkan Bhiksu Tong dari kejaran pihak Kaypang dan pihak perusahaan
 ekspedisi "Golok Naga" pimpinan Kim Liong. Seperti engkau ketahui, Kim Liong adalah anak satu-satunya dari "Golok Nomor Satu" " Kim Jiong. Dengan demikian bocah itu diperebutkan oleh tiga pihak yang menguasai dunai persilatan saat ini."
 "Apa sebabnya hingga bocah sekecil itu sampai harus diperebutkan?" tanya Tan Sin Liong bingung.
 "Menurut kabar yang aku dengar, bocah itu memiliki sebuah kitab ilmu silat maha lihai, peninggalan jago silat beberapa ratus tahun yang lalu"
 "Jadi pihak Shao-Lin ingin mengangkangi kitab itu tapi pihak Kaypang dan pihak Kim Jiong ingin memperebutkannya juga?" duga Tan Sin Liong
 "Kurang tepat, pihak Shao-Lin-Pay berkeras tidak mau menyerahkan bocah itu bukan hendak merebut kitab itu tapi mengikuti pesan Bhiksu Tong sebelum meninggal
 dunia. Sebenarnya bocah lelaki itu adalah anak salah satu piauwsu perusahaan ekspedisi "Golok Naga." Entah kenapa saat diselamatkan Bhiksu Tong, bocah itu sedang dikejar-kejar pihak Kaypang.
 "Hmm berarti saat ini pihak Shao-Lin-Pay dalam keadaan tertekan. Entah ilmu silat apa yang terkandung dalam kitab itu hingga diperebutkan pihak Kaypang dan pihak Kim Jiong?"
 "Sebenarnya bukan hanya kedua pihak itu saja yag berniat merampas bocah itu dari pihak Shao-Lin-Pay tapi kaum kangouw yang lain punya niat yang sama tapi mereka sementara ini hanya jadi pengamat dahulu, menonton tiga kekuatan besar dunia persilatan itu saling bentrok sendiri dan nanti mereka yang menjadi nelayan
 beruntung."
 Bab Sesudah: Bocah Kecil Yang Malang
 Bocah Kecil Yang Malang
 Bocah bertubuh agak kurus itu mengenakan pakaian warna putih bersih, kulitnya putih terlihat menggemaskan. Raut wajah yang bundar kemerahan itu tak tampak ceria sedikitpun seolah banyak menyimpan duka. Pandangannya kosong seolah ia berjalan di dunianya sendiri.
 Sesekali mata bocah delapan tahun itu mengawasi sekeliling ruangan yang sangat sederhana. Di hadapan bocah itu nampak seorang bhiksu Shao-Lin sedang duduk
 bersila di atas pembaringan kayu bertilam bantalan bundar. Wajah bhiksu tua itu penuh kedamaian dan ketenteraman, juga penuh dengan getaran kasih sayang.
 Bhiksu itu mengangkat wajahnya yang masih kemerahan segar itu kini penuh
 senyum ketika dia bertemu dengan pandang mata bocah lelaki itu. "Apakah engkau kerasan tinggal di kuil ini?" tanyanya, suaranya halus penuh kasih sayang.
 Bocah lelaki itu menganggukkan kepalanya, ini kali kedua ia bertemu dengan
 pendeta ini, yang katanya adalah ketua kelenteng ini. Semenjak bhiksu tua yang menolongnya dari kejaran para pengemis itu meninggal dunia, dia dirawat dan
 diperlakukan dengan baik oleh para bhiksu di kelenteng ini. Mereka juga tidak banyak omong, cocok dengan keinginan bocah tersebut.
 Sejak ibunya tiada, iapun luntang lantung, tiada sanak saudara, berkelana
 menjelajahi pelosok negeri dari dusun yang satu ke kota yang satu, meminta-minta makanan untuk melangsungkan hidup. Hidupnya tak menentu sampai ia bertemu
 seorang piauwsu baik hati yang menolong dan mengangkatnya sebagai anak angkat.
 Untuk sekejap kehidupannya cukup baik, sesekali piauwsu pertengahan usia itu membawa dirinya ikut mengawal barang ekspedisi. Piauwsu itu semenjak muda
 sudah bergabung dengan perusahaan ekspedisi "Golok Naga" dan dipercaya
 mengawal barang-barang kawalan senilai ribuan kati perak. Waktu pertama kali mendengar nama perusahaan ekspedisi tempat ayah angkatnya ini bekerja,
 sepasang mata yang bening itu berkilau tajam memancarkan percikan api yang
 seakan memusnahkan apapun yang tanpa sisa. Ada genangan air mata yang
 menari-nari, bagai butir mutiara diterpa cahaya senja namun dengan cepat kembali meredup seolah tak terjadi apa-apa.
 Namun suatu hari hidupnya yang cukup tentram kembali berubah ketika piauwsu tua itu tanpa sengaja menolong seorang pengemis di tepi jalan menuju kota Liokyang.
 Pengemis itu sudah empas empis nafasnya, didorong rasa kasihan, piauwsu itu
 merawat luka-luka pengemis itu dengan telaten tapi sayang luka-luka pengemis itu begitu parah sehingga tak tertolong lagi. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, pengemis itu mengeluarkan sejilid kitab tipis dibalut kain kusam dan diberikannya kepada piawsu tua tersebut tanpa sempat meninggalkan sepatah katapun.
 Setelah mengubur pengemis itu, didorong rasa ingin tahu, si piauwsu membuka kitab tipis tersebut. Baru membaca beberapa kalimat yang tercantum di kitab tersebut, jantung si piauwsu berdebar kencang, buru-buru ia masukkan kitab tersebut ke dalam saku baju sambil matanya menatap sekeliling dengan cemas. Tanpa disangka-sangka dirinya memperoleh sejilid kitab yang mengandung ilmu silat maha lihai, peninggalan jenius silat beberapa ratus tahun yang lampau.
 Dari penuturan angkatan-angkatan tua beberapa generasi sebelum dirinya, beredar dari ayah ke anak, anak ke cucu, kakek ke cicit, guru ke murid, legenda kedahsyatan ilmu pedang pendekar yang berjuluk "Thian-He-Tit-It-Kiam (jago pedang nomor wahid di dunia)" berkumandang dari jaman ke jaman, tak lekang waktu. Selama ratusan tahun hingga kini, pendekar itu diakui sebagai tokoh silat maha lihai, pendekar tanpa tanding, tak terkalahkan seumur hidupnya. Selama generasi berikutnya belum ada lagi jago silat setaraf Thian-He-Tit-It-Kiam.
 Ternyata kitab tipis dengan kertas kekuningan itu adalah buah karya pendekar tak terkalahkan selama hidupnya itu. Mimpi pun ia tak menyangka sedikitpun akan
 mendapatkan kitab silat tak ternilai tersebut.
 Tapi sayang tanpa sepengetahuan si piauwsu, seorang piauwsu muda melihat gerak-geriknya yang mencurigakan saat membolak-balik kitab silat tersebut, dan
 membocorkannya pada Kim Liong, pimpinan tertinggi perusahaan ekspedisi "Golok Naga."
 Beruntung sebelum Kim Liong menginterogasi dirinya, kitab itu sudah ia serahkan kepada si bocah dan menyuruhnya pergi dengan bekal beberapa tail perak untuk penyambung hidup. Hal ini tak terlepas dari pengamatan si bocah yang jeli, selama beberapa hari ke depan, piauwsu muda yang biasa berjalan paling depan, terlihat beberapa kali mengamati mereka berdua. Semenjak mendapatkan kitab berharga itu, piauwsu tua tersebut sering was-was dan akhirnya memutuskan menyerahkan kitab itu pada bocah yang menyenangkan hatinya itu. Dia tahu dirinya sudah tua namun bocah tersebut ia lihat memiliki bakat yang baik sekali terbukti tulang mudanya begitu bagus dan sangat jarang ditemukan bocak dengan tulang sebagus itu di antara
 ribuan bocah lain. Ia percaya bocah ini pasti akan menjadi jago silat kesohor apabila dibimbing oleh guru yang tepat..
 Kadangkala di malam hari ketika si bocah menyangka dirinya sudah pulas, si bocah duduk bersila melatih pernafasan hingga menjelang pagi. Piauwsu tua itu tahu bocah tersebut bukan sembarang bocah, pasti memiliki latar belakang yang hebat duganya.
 Namun sayang bocah itu sangat pendiam dan tidak suka membicarakan masa
 lalunya seolah mengemban beban berat bak layaknya orang dewasa.
 

Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nasib akhirnya membawa bocah itu ke Shao-Lin. Di usia semuda itu ia sudah
 mengalami pahit getir kehidupan, usia yang masih terlalu muda untuk getir
 kehidupan. Kembali pada si bocah dan si bhiksu"
 "Han Li, engkau boleh berdiam di sini selama engkau suka. Jika sudah jodoh
 mungkin engkau dapat menjadi bhiksu" kata bhiksu tua itu sambil mengusap-usap kepala Han Li.
 "Terima kasih taysu, sudah berkenan menerimaku di sini. Mohon perkenan taysu untuk berdiam di sini beberapa hari lagi sebelum tecu pergi mencari sanak saudara satu-satunya yang masih tecu miliki" jawab bocah itu dengan menundukkan kepala.
 Ketua Shao-Lin-Pai menghela nafas panjang, sejak semula ia tahu di balik tingkah laku si bocah yang lemah lembut terdapat hati sekeras karang. Dia tahu lingkungan setenang dan sesunyi ini tidak dapat mengekang bara di hati si bocah. Entah apa yang berkecamuk dipikiran bocah itu saat ini. Dia tahu bocah ini mempunyai riwayat hidup yang menyedihkan dan tidak ingin diketahui orang lain.
 Lagipula mungkin memang lebih baik bocah ini meninggalkan Shao-Lin, di samping dapat menghindarkan pertikaian dengan pihak Kaypang dan pihak Kim Jiong,
 keselamatan bocah ini mungkin lebih terjamin daripada tinggal di sini. Mungkin sudah menjadi kehendak di atas, Shao-Lin-Pai tidak berjodoh dengan bocah berbakat ini.
 Perkataan susiok sebelum meningggal mungkin benar, bocah ini kelak akan menjadi seorang tokoh silat kesohor, bakat yang ia miliki sungguh jarang ditemui selama seratus tahun belakangan ini. Sungguh sayang Shao-Lin-Pai hanya dapat berperan sedikit untuk membantu bocah ini seperti yang diprediksikan susioknya, gumamnya dengan nada apa boleh buat.
 Rupanya sebelum meninggal dunia, Bhiksu Tong yang memiliki pengertian yang
 mendalam akan alam semesta dan segala perubahannya, sudah jauh-jauh hari
 mengetahui ajalnya sudah menjelang sehingga ia kembali ke Shao-Lin untuk
 meninggalkan pesan-pesan terakhir. Di saat akhir perjalanan hidupnya, ia bertemu dengan bocah ini.
 "Omitohuuud..., mungkin sudah takdir bocah itu berjodoh bertemu denganku di saat-saat terakhir ini" kata Bhiksu Tong kepada sutitnya.
 "Hun Lam, coba engkau bawa kemari bocah itu ke sini" pinta bhiksu Tong.
 "Baik susiok" jawab ketua Shao-Lin-Pai dengan hormat.
 Tak lama kemudian, ketua Shao-Lin-Pai kembali ke ruangan Samadhi Bhiksu Tong bersama Han Li.
 Berada di hadapan penolongnya, Han Li menjatuhkan diri berlutut dan berkata
 "Teccu sangat berterima kasih atas pertolongan taysu"
 "Bangunlah"anak baik" kata bhiksu Tong sambil mengulurkan tangannya dan
 mengusap kepala dan punggung Han Li.
 "Tulang yang sangat baik"sungguh berbakat?" puji Bhiksu Tong sambil meraba
 badan Han Li. "Hun Lam, coba engkau tinggalkan kami berdua" pinta bhiksu Tong pada ketua Shao-Lin-Pai.
 "Susiok"engkau orang tua?" perkataan ketua Shao-Lin terhenti di udara ketika melihat susioknya mengulapkan tangan. Ketua Shao-Lin berlalu dengan wajah sedih, ia tahu di akhir kehidupan susioknya ini, beliau hendak menyalurkan tenaga sakti yang ia himpun selama puluhan tahun pada bocah tersebut.
 ---000--- Han Li kembali ke kamarnya, sambil merebahkan diri di atas pembaringan ia
 merasakan kesunyian dan kesendirian yang panjang. Sembari menahan air mata
 agar tidak tumpah, ia terkenang kembali akan kehidupannya dulu. Tanpa disadari air mata meleleh dari kedua bola matanya ke pipi. Pemandangan sang bunda yang
 meregang maut membuat hati Han Li begitu terpukul hingga tak kuasa menahan air mata yang meleleh begitu saja.
 Saat itu berdiri terpaku, matanya masih mencucurkan air mata kesedihan. Tiap tetes air mata yang meleleh di pipi melebihi bening embun permata. Suara sang bunda yang hampir tak terdengar masih tergiang jelas ditelinganya.
 "Oh"anakku yang malang, ibu sudah tidak dapat menemani dirimu lagi. Sepeninggal ibu, engkau carilah seseorang bernama Tan Sin Liong, dia adalah kerabatmu yang paling dekat. Engkau ceritakan semua pengalamanmu, jangan lupa engkau bukan
 bermarga Can, melainkan Tan. Ingat itu baik-baik, Tan Han Li anakku. Ketika nanti engkau berjumpa dengannya, sampaikan pesan ibu ini padanya. Ingat kembali
 kenangan di sungai di tepi air terjun" kata sang bunda dengan wajah sepucat kertas.
 Hatinya seakan teriris melihat anak satu-satunya akan sebatang kara, sendirian menghadapi kejamnya kehidupan.
 Sambil menangis terguguk-guguk, Han Li mengiyakan pesan-pesan terakhir ibunya.
 Perkataan terakhir ibunya itu belum dapat dimengerti sepenuhnya oleh bocah lelaki yang masih sangat belia ini.
 Diiringi bunga dan daun-daun berguguran di halaman serta desir angin di keheningan malam yang menyayat hati, Tan Han Li menyaksikan sang bunda meninggalkan
 dunia yang fana ini, meninggalkan kesunyian dan kesedihan mendalam di hati
 seorang bocah. Ia hanya bisa menatap hampa tubuh dingin sang bunda untuk terakhir kalinya, saat itu sebagian jiwanya terasa kosong.
 Kematian sang bunda membuatnya bukan seorang bocah kecil lagi.
 Website Tabib_Gila
 Bab Sesudah: Kemelut Sungai Telaga - TAMAT
 Kemelut Sungai Telaga
 Raut wajah bhiksu Hun-Lam terlihat prihatin sekaligus terharu melihat keadaan bhiksu Tong sehabis mengoperkan sebagian tenaga dalamnya kepada Tan Han Li.
 Wajah yang sudah pucat semakin pias, kulit mukanya menua dengan cepat
 dibandingkan beberapa saat yang lalu.
 Bhiksu Tong membuka mata dan menatap murid keponakannya dengan tersenyum
 lemah. "Hun-Lam, engkau tentu heran mengapa di akhir hidupku ini lohu justeru
 mengoperkan tenaga saktiku pada orang lain bukannya pada murid Shao-Lin."
 Bhiksu Hun-Lam menjura dalam dan berkata, "Semua tindakan dan kebijaksanaan
 susiok pasti telah dipikirkan dengan matang, tecu tidak berani mengugatnya. Lagipula tecu lihat Han Li memiliki bakat yang bagus sekali, tapi?"
 "Tapi engkau heran mengapa lohu hanya menyalurkan tenaga dalam setengah
 bagian saja bukan?" potong bhiksu Tong.
 Bhiksu Hun-lam mengiyakan dengan hormat.
 Bhiksu Tong menghela nafas panjang"
 "Mungkin ini sudah takdir, sebenarnya lohu hendak mengoperkan semua tenaga
 dalam yang kumiliki namun ada dua hal yang menghalangiku" jawab bhiksu Tong
 lemah. "Entah apa gerangan masalah yang merisaukan susiok" tanya bhiksu Hun-Lam
 "Bocah itu memang memiliki bakat yang sangat baik bahkan selama hidupku yang sudah terlalu lama ini, baru kali ini lohu melihat bakat sehebat itu. Namun lohu lihat bocah itu menyimpan ketakutan dan kekhawatiran dalam hatinya."
 "Tecu rasa itu benar, sungguh kasihan di usia semuda itu sudah sebatang kara"
 sahut bhiksu Hun-Lam.
 "Kekhawatiran yang berlebihan tidak baik buat perkembangan jiwa anak itu"
 "Mengapa susiok?"
 "Engkau tahu, rasa takut, rasa khawatir, rasa cemas sangat dekat dengan lorong kegelapan"
 "Tapi lohu lihat bocah itu tidak mempunyai sifat-sifat yang sesat" jawab bhiksu Hun-Lam
 "Lohu harap begitu".apabila tidak memang sudah kehendak di atas. Sungguh suatu dilema"lagipula lohu khawatir tubuh bocah itu tidak cukup kuat menerima seluruh tenaga dalam yang kumiliki"
 "Apakah susiok dapat melihat apa yang akan terjadi di masa mendatang dengan
 bocah itu?"
 "Benar".lohu melihat bocah itu akan menjadi penyeimbang prahara sungai telaga di masa mendatang."
 "Apakah susiok melihat di masa mendatang dunia kangouw akan kalut"
 Bhiksu Tong menganggukkan kepala dan berkata, "Sebenarnya tanda-tanda
 kekalutan sudah terlihat beberapa waktu yang lalu. Lohu harap di masa mendatang engkau menyikapi semua kekalutan tersebut dengan hati yang tenang. Sedangkan mengenai bocah itu, lohu harap kekhawatiran di hatinya dapat berkurang banyak ketika ia meningkat dewasa"
 "Tadi susiok mengkhawatirkan dua hal?"
 "Benar, hal kedua ini berkaitan dengan penglihatanku terhadap dunia kangouw di masa mendatang. Di sini lohu berharap engkau sebagai ciangbujin Shao-Lin dapat berperan menenangkan gejolak-gejolak yang akan terjadi. Untuk itu lohu hendak mengoperkan sisa tenaga dalam yang kumiliki kepadamu sekarang"
 "Susiok..tidak boleh begitu..engkau sudah begitu lemah" seru bhiksu Hun-Lam
 gugup. "Hun-Lam, apakah engkau rela melihat dunia kangouw kacau balau dan tidak berbuat apapun"
 "Tecu pasti berusaha sekuat tenaga membantu kekalutan yang akan terjadi tapi susiok tidak harus mengoperkan tenaga dalam pada tecu"
 "Lohu tahu ilmu silatmu sudah maju pesat belakangan ini tapi untuk menghadapi tokoh-tokoh itu, engkau harus membekal tenaga dalam yang tinggi."
 "Apakah susiok tahu siapa-siapa saja tokoh yang akan menimbulkan kekalutan?"
 tanya bhiksu Hun-Lam heran.
 "Rahasia langit tidak boleh diungkapkan terlalu banyak, cukup sekedar engkau tahu tokoh itu bukan sembarang orang. Lohu sendiri tidak memiliki keyakinan yang banyak bila berhadapan dengannya"
 Bhiksu Hun-Lam mengeluarkan nada terkejut mendengar perkataan susioknya itu.
 "Susiok, apakah engkau tidak terlalu berlebihan. Di jaman ini siapa yang tidak tahu kesempurnaan ilmu silat susiok adalah nomer satu dan tiada bandingannya."
 "Ha..ha..ha..Hun-Lam engkau jangan menempel emas dimuka tuaku ini. Engkau
 harus ingat di atas langit masih ada langit. Lohu rasa engkau terpengaruh dengan peringkat sepuluh tokoh kosen yang tersiar beberapa bulan belakangan ini."
 "Benar susiok, menurut peringkat itu engkau berada di urutan nomer satu dan tecu rasa itu tidak berlebihan."
 "Engkau harus camkan baik-baik Hun-Lam, ketinggian hati biasanya berakibat
 negatif. Kita harus menyikapi semua hal dengan kerendahan hati. Sebagai contoh, engkau tidak boleh menganggap rendah Ting kauwcu atau Tan Sin Liong semata-mata peringkatnya di bawah lohu."
 "Tecu mengerti" sahut bhiksu Hun-Lam hikmat.
 Satu hal lagi sebelum lohu mulai menyalurkan tenaga dalam padamu, sebaiknya
 bocah itu sudah meninggalkan Shao-Lin sebelum pihak Kaypang dan pihak Kim
 Jiong datang ke sini. Jikalau Kim Jiong dan Ting kauwcu sendiri yang datang, engkau harus sangat berhati-hati menghadapi mereka, terutam dengan Kim Jiong. Camkan itu baik-baik kalau perlu engkau harus bersikap rendah hati sedikit, belum saatnya menentang Kim Jiong secara langsung. Engkau terlebih dahulu harus dapat
 menyakini sebagian besar inti ilmu silat yang kutulis di kitab yang kuberikan kemarin."
 "Semua petunjuk susiok pasti akan tecu laksanakan demi kejayaan Shao-Lin-Pai."
 Bhiksu Tong menghela nafas dalam dan berkata, "Sungguh sayang belum ada
 generasi muda Shao-Lin yang cukup menonjol"
 "Susiok, sebenarnya tecu beberapa bulan yang lalu menerima seorang murid
 penutup." "Begitu" apakah engkau hendak mengatakan bakatnya cukup baik?"
 "Benar susiok, memang tidak setinggi bakat yang di miliki Tan Han Li tapi tecu lihat murid tecu ini sangat tekun dan rajin. Usianya juga tidak berbeda jauh dengan Han Li."
 "Apakah bocah itu salah satu bhiksu Shao-Lin?"
 "Bukan, bocah itu adalah anak salah satu murid Shao-Lin dari kalnagan biasa. Dia anak Lam Peng Ji, murid Shao-Lin yang tinggal di kota Po-Ting. Namun sayang Lam Peng Ji suami isteri binasa secara misterius meninggalkan bocah itu sebatang kara dan akhirnya tecu angkat menjadi murid penutup. Apabila susiok berkenan tecu akan memanggilnya menghadap ke sini"
 "Kalau lohu boleh menyimpulkan, engkau ingin lohu menemui bocah itu bukan
 semata-mata untuk diperkenalkan pada lohu saja?"
 "Susiok engkau orang tua memang hebat, sebenarnya usia tecu serta tugas-tugas sebagai ketua Shao-Lin cukup banyak sehingga tecu khawatir tidak sempat
 mempelajari semua ilmu silat yang ada di kitab itu."
 "Lohu tahu maksudmu..baiklah lohu tidak mau memaksakan kehendak sendiri. Coba engkau undang bocah itu ke sini, kita lihat saja peruntungannya nanti"
 "Terima kasih susiok" jawab bhiksu Hun-Lam girang dan buru-buru mengundurkan diri untuk memanggil murid penutupnya.
 Tak berapa lama kemudian bhiksu Hun-Lam kembali sambil membawa seorang anak
 lelaki berusia sekitar sembilan tahun. Wajah bocah itu cukup tampan dengan pakaian yang dikenakan sederhana namun bersih. Mata bening bocah itu begitu polos
 memancarkan kejujuran dan keteguhan hati.
 "Lam Peng Giok menghadap susiok-couw" kata bocah itu sambil menjatuhkan diri berlutut di hadapan bhiksu Tong.
 Bhiksu Tong mengulurkan tangan mengusap-usap kepala Lam Peng Giok, kemudian
 jari-jari tua itu menepuk-nepuk pundak bocah itu sambil berkata, "Anak baik"anak baik?"
 Mata tua guram seolah lilin yang hendak padam seketika sedikit bersinar ketika meraba-raba tubuh si bocah.
 "Engkau benar Hun-Lam, bocah ini memiliki tulang-tulang yang bersih dan kokoh, sangat cocok mewarisi untuk belajar ilmu silat Shao-Lin. Lohu akan menyalurkan tenaga dalam lohu pada anak ini sebagai gantinya"
 "Terima kasih banyak susiok sudah berkenan mengabulkan permohonan tecu" jawab bhiksu Hun-Lam gembira.
 "Urusan selanjutnya mendidik bocah ini kuserahkan sepenuhnya padamu. Sekarang, mari engkau bangunkan bocah ini, waktunya tidak banyak lagi" kata bhiksu Tong.
 Sedari tadi Lam Peng Giok berdiam diri sambil tetap berlutut di lantai. Ia masih kelihatan bingung dengan perbincangan suhunya dengan susiok-couw yang baru
 pertama kali ini ia temui.
 "Peng-Giok, coba engkau bangun dan duduk di pembaringan susiok-couw dengan
 punggung menghadap tembok" perintah bhiksu Hun-Lam.
 "Suhu..?"
 "Cepatlah, lohu akan menerangkannya nanti. Engkau duduk saja yang tenang sambil mengosongkan pikiran, nanti ketika segulung arus menerjang tubuhmu, jangan
 engkau lawan, kumpulkan kearah pusar lalu putar mengelilingi ke seluruh tubuhmu dengan perlahan. Ingat jangan di lawan dan alirkan keseluruh tubuh secara
 perlahan." "Baik suhu" sahut Lam Peng Giok.
 --- 000 ---- Suara bunyi kentongan penjaga menunjukkan tengah malam baru saja berlalu.
 Malam terasa dingin di puncak gunung Siong-San. Suasana kelenteng Shao-Lin
 sunyi senyap, hanya terdengar sayu-sayup suara binatang malam sesekali
 dikejauhan. Kreekkk"pintu kamar kediaman bhiksu Tong terbuka seperlunya.
 Sesosok tubuh kecil milik seorang bocah lelaki keluar dari kamar tersebut dengan tubuh sedikit limbung. Sambil berjalan menjauh menuju kamarnya, tubuh Lam Peng Giok sedikit terhuyung-huyung seolah menahan beban yang cukup berat namun tidak kelihatan ia membawa beban apapun di tubuhnya yang kecil.
 Sesampai di kamarnya, buru-buru Lam Peng Giok bersamadhi sesuai perintah
 suhunya. Lapat-lapat segulung uap putih muncul di atas kepalanya, makin lama makin banyak membumbung ke atas. Hawa dingin yang menyelimuti kamar itu
 perlahan digantikan hawa hangat memenuhi ruangan kamar.
 Raut wajah Lam Peng Giok perlahan bersemu kemerahan lalu sepertanakan nasi
 kemudian perlahan kembali tenang.
 Di bagian lain kelenteng Shao-Lin, tidak jauh dari kamar Lam Peng Giok, di salah satu kamar khusus untuk tamu-tamu Shao-Lin-Pai, dari celah-celah jendela kamar yang sedikit terkuat, menerobos keluar segulungan kabut tipis berbaur cepat
 menghilang di serap dinginya malam.
 Secercah sinar rembulan menyelusup ke dalam kamar itu, menimpa sesosok tubuh bocah lelaki dalam posisi yang cukup aneh. Kepala bocah itu berada di atas
 pembaringan dengan tubuh dan kaki berada di atas tegak lurus. Hanya bertumpu pada kepala, tubuh si bocah tak bergeming. Keadaan kamar itu mirip dengan
 suasana kamar Lam Peng Giok, hawa hangat memenuhi setiap sudut ruangan.
 Di tengah malam buta, di puncak gunung Siong-San yang keramat, di dalam
 kelenteng sebuah partai persilatan paling terkemuka selama ratusan tahun, lahir dua calon jago kosen yang kelak ikut menentukan kalut tentram sungai telaga di masa mendatang.
 Di saat yang bersamaan dunia kangouw kehilangan salah satu tokoh paling kesohor saat itu, Bhiksu Tong.
 Dengan meninggalnya Bhiksu Tong, otomatis Si Golok Sakti, Kim Jiong naik ke
 urutan pertama tokoh silat paling kosen jaman itu, diikuti Tan Sin Liong, Si Pendekar Kelana pada urutan kedua dan Ting Kauwcu di urutan ke tiga.
 T A M A T Tunggu Lanjutannya... PENDEKAR AJAIB
 
^