Bara Naga 1

Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 1


di http://cerita-silat.mywapblog.com
 BARA NAGA Oleh : Yin Yong
 Disadur : Gan KL
 *** file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 Kisah suka duka dari Si Naga Kuning Siang
 Cin dalam membela kebenaran, bersama
 teman karibnya Pau Seh-hoa dalam
 membela An-Lip yang dari cengkeraman
 Siang-gi-pang serta bersama Seebun Tio Bu
 dan Jin Jin berjuang membantu para
 pahlawan padang rumput Bu Siang-pay
 melawan Hek Jiu-tong.
 Termasuk kisah percintaannya dengan
 teman mainnya masa kecil, perempuan
 tercantik di kota Tiang-an Kun Sim-ti yang
 penuh dengan suka dan duka.
 Karya Gan K.L Jilid 01 Gunung itu hitam, batu2 gunung yang berbentuk aneh itupun hitam, bunga dan
 rumput yang tumbuh di sela2 batupun berwarna hitam. Semuanya serba hitam,
 serba gelap, sehingga suasana bertambah kelam dan dingin..
 Gunung itu tidak tinggi, tapi suasana di sini membuat orang berdiri bulu romanya
 merinding dengan jantung berdetak.. Pohon cemara yang berjajar enam di pucuk
 gunung juga berwarna hitam, keenam cemara ini sanaa menjulurkan cabang
 dahannya laksana enam raksasa yang pentang tangan hendak menerkam
 mangsanya. Cuaca terasa lembab, mendung mega mengambang rendah dan tebal. Waktu itu
 musim rontok, angin menghembus kencang, men-deru2 seperti orang menangis,
 suaranya menambah misteriusnya keadaan sekeliling-nya.
 Segumpal darah tiba2 muncrat dari balik batu hitam sebelah sana, terhembus angin
 kencang hingga tercecer ke mana2, seorang laki2 tinggi besar dengan langkah
 sempoyongan seperti orang mabuk berputar dua kali terus jatuh terpelanting, batok
 kepalanya ternyata sudah remuk, darah tercampur otak meleleh keluar, keadaannya
 tampak mengenaskan.
 "Wut", sesosok bayangan orang melambung tinggi ke atas laksana sebatang galah
 besar yang di luncurkan ke udara dengan keras menumbuk dinding gunung, lalu
 terpental balik pula, membentur batu padas hitam di belakangannya suara "pletak"
 dari tulang2 yang patah terdengar jelas sampai jauh, batu gunung hitam yang dingin
 2 dan berlumut kini dilapisi cairan darah, dengan cepat batu gunung itu telah
 menyerapnya sehingga warnanya semakin hitam rnenyeramkan.
 Angin gunung seperti mengamuk sehingga ke enam cemara di pucuk gunung itu menari2
 lebih keras seperti raksasa yang marah, lebih seram dan mengerikan, suasana
 tegang mencekam alam pegunungan.
 Di balik batu2 padas besar sana, di tengah sebuah tanah lapang yang tidak begitu
 luas, tujuh orang berjubah warna hitam, semuanya berusia setengah umur, wajah
 mereka tampak dingin kaku dan kejam, mereka berdiri setengah bundar, bola mata
 mereka mendelik memancarkan sinar dingin, tak ubahnya binatang buas yang
 mengincar mangsanya, yaitu sesosok bayangan orang berwarna kuning muda.
 Orang ini berdiri tepat di tengah lingkaran, jubahnya yang kompreng berwarwa
 kuning me-lambai2 tertiup angin, biji matanya bening memancarkan cahaya
 cemerlang hidungnya mancung, bibirnya yang tebal merah laksana cabai, warna
 kuning jubah yang dipakai tampak sangat serasi, tenang dan mantap, kuning angsa
 ini se-olah2 memancarkan cahaya keagungan, dilandasi kulit badannya yang putih
 halus dengan sikapnya yang gagah perwira.
 Kedelapan orang ini berdiri berhadapan dan saling tatap, sementara tidak kelihatan
 ada sesuatu gerakan, dua orang yang telah binasa tadi se-olah2 tiada sangkut paut
 dengan mereka. Pelan sekali orang berbaju hitam yang berdiri paling kiri mulai bergerak sedikit,
 pemuda jubah kuning itu tampak mengulum senyum dengan santai, kedua
 tangannya yang panjang berpangku di depan dada, orang berbaju hitam itu kelihatan
 amat jeri, kulit muka mereka yang kasar dan berkeringat itu kelihatan tegang dan
 rada pucat. Mata tunggal orang berbaju hitam di sebelah kanan tampak mendelik sebesar
 jengkol, dengan keras hidungnya mendengus sekali, maka si baju htam di sebelah
 kiri seketika menggertak gigi, laksana kilat menyambar, sebat sekali dia melompat
 maju, bayangan telapak tangan beterbangan di udara serapat jala, dengan enteng
 dan cepat menerjang ke arah pemuda jubah kuning.
 Seiring dengan gerakan orang di sebelah kiri enam orang yang lain serempak
 menubruk maju pula, masing2 melancarkan serangan yang berbeda, angin pukulan
 segera membadai, bayangan hitam saling sambar menyambar.
 Kejadian hanya sekejap saja, sekejap orang mengedipkan mata, maka tertampak
 sesosok bayangan orang se-olah2 kehilanga imbangan badannya seperti sekeping
 batu yang dilontarkan ke udara, seperti kedua orang yang mendahului tadi, tanpa
 bertenaga sedikitpun meluncur menumbuk batu gunung yang runcing.
 "Bluk", suaranya menusuk telinga, keadaan lekas sekali kembali tenang seperti
 semula, dalam posisi setengah lingkar mergelilingi pemuda jubah kuning, cuma
 jumlah kawanan baju hitam sekarang tinggal enam orang.
 Tidak kelihatan perubahan perasaan sedikitpun pada wajah pemuda jubah kuning,
 tenang dan mantap, setenang permukaan air empang, se-akan2 dunia kiamat juga
 tidak membuatnya gugup dan risau.
 Kedua pihak sementara lama berdiam diri, mendadak bayangan orang kembali
 saling tubruk dan berkelebat silang menyilang, tertampak sesosok bayangan orang
 seperti dilontarkan oleh kekuatan yang maha besar mencelat jauh dan terbanting
 keras, lekas sekali keadaan menjadi tenang kembali pada posisi semula, sudah tentu
 orang berbaju hitam yang berdiri setengah lingkar itu kini bersisa lima orang saja.
 Pemimpin orange baju hitam ini mungkin ialah si laki2 mata tunggal setengah baya
 itu, mukanya tampak kurus tirus, tulang pipinya menonjol, alisnya jarang, setiap kali
 dia menyeringai, dua gigi taringnya tompak menongol keluar, mata tunggalnya kini
 semakin mendelik, putih matanya sudah merah membara, demikian pula air muka
 keempat temannya, tegang dan jeri, tapi nekat, mukanya sudah basah kuyup oleh
 keringat, sinar mata mereka mulai menampilkan kegoyahan hati mereka yang tidak
 tenteram lagi. Si mata tunggal menyapu pandang sekilas ke arah teman2nya, kalau permainan
 3 dilanjutkan dengan cara terdahulu, maka sekarang tiba giliran orang nomor satu
 dihitung dari sana yang harus bertindak lebih dulu, orang ini berusia setengah umur
 juga, perawakannya kekar, jambang lebat, tapi laki-laki kekar ini tampak menggigit
 bibir, biji lehernya naik turun menelan ludah, sorot matanya tampak memancarkan
 rasa cemas dan ketakutan. Memang, bagi seorang normal biia tahu jiwa raga yang
 dikaruniai oleh bapak-ibu dalam sekejap ini akan musnah, maka betapapun besar
 hatinya pasti juga akan merasa berat untuk meninggalkan kehidupan ini.
 Pemuda jubah kuning tenang2 saja memandanginya, ujung mulutnya menjungkit
 seperti tertawa tapi tak tertawa, dia menarik napas panjang, cahaya matanya yang
 cemerlang seketika berubah dingin kejam, sorot mata dingin kejam ini justeru
 menatap tajam muka laki2 berjambang dengan sinis.
 Mendadak laki2 berjambang menggerung murka, tiba2 ia melompat maju sambil
 berputar dan meliuk beberapa kali, dengan gerakan aneh dan gaya yang lucu ia
 menerkam. Pemuda jubah kuning tertawa lebar, cepat ia bergerak, dikala keempat musuh yang
 lain serempak ikut menyerang dan belum lagi mencapai posisi yang dapat melukai
 dirinya, di tengah bayangan telapak tangan musuh yang menari turun naik, kedua
 telapak tangannya yang setajam golok telah menabas dengan gerak cepat yang
 sukar diikuti oleh mata telanjang, tahu2 laki2 berjambang menjerit ngeri, seperti
 kawan2 nya yang mendahuluinya, badannya mencelat tinggi, dalam sekejap itu,
 telapak tangan musuh dengan telak telah bersarang enam belas kali di tubuhnya,
 tapi hanya dia saja yang tahu, selamanya iapun tak dapat menceritakan
 penderitaanya ini kepada siapapun juga.
 Posisi kembali seperti semula, sisa empat orang laki baju hitam ini tidak mungkin
 dapat mengurung lawan dengan melingkar lagi, kini mereka berdiri berjajar menjadi
 satu baris, keringat membasahi seluruh badan sampai pakaian hitam mereka
 melekat kencang di atas tubuh, dengus napas mereka yang berpadu
 memperdengarkan ketegangan perasaan mereka yang sudah mulai panik, takut dan
 putus asa, mati dan hidup segera akan menentukan nasib mereka.
 Dengan gerakan kalem dan indah si pemuda jubah kuning mengebaskan lengan
 jubahnya yang kuning, warna kuning jubahnya menampilkan rona bersih dan suci, ia
 mendongak memandang langit, sikapnya tak ubahnya seperti anak sekolahan yang
 lembut dan ramah, se-olah2 sedang menikmati panorama nan indah.
 Tatkala dia mendongak itulah, sinar kemilau berkelebat, sesosok bayangan orang
 tiba2 menubruk tiba, pada waktu yang sama tiga bayangan orang lain dari tiga
 jurusan yang berbeda juga serentak menyerang ketiga arah yang mungkin akan
 digunakan mengundurkan diri.
 Tapi anak muda itu tidak bergerak, bergemingpun tidak, hampir sulit dilihat mata
 telanjang, tahu2 kedua tangannya bergerak, gerakan yang mempesona, karena
 gerakan itu sedemikian aneh dan luar biasa, begitu kejam dan keji, bersamaan
 waktunya ketika musuh yang rnenubruk tiba itu dipukul mental dengan keras, gerak
 tangan dengan landasan kekuatan hebat pemuda baju kuning ternyata masih
 berlebihan untuk menyerang, pula ketiga musuh yang serempak tiba dari tiga jurusan.
 Dua bayangan dengan empat telapak tangan saling bentrok, di tengah bentrokan
 sekejap itu, keadaan menjadi runyam, seorang roboh telentang, celakalah temannya
 yang Lwekangnya tidak setangguh dia, baru dia menyadari situasi tidak
 menguntungkan, telapak tangan kanan si pemuda jubah kuning setajam golok tahu2
 membelah tiba menyerempet lehernya, hanya gerakan enteng dengan serempetan
 yang ringan saja, tapi akibatnya sungguh fatal, batok kepalanya terpanggal mencelat
 entah ke mana. Aksinya terjadi dalam sekejap dan berakhir dalam sekilas pula, si pemuda jubah
 kuning tampak menggendong tangan dengan kepala tetap mendongak, dengan
 napas yang terhela enteng terasa wajar se-olah2 sejak tadi ia hanya menikmati
 panorama dan tak pernah terganggu oleh apa dan siapapun. Hanya Thian yang tahu,
 dalam gerakan sekejap itu, dua jiwa telah melayang direnggut elmaut.
 4 Kini tinggal dua orang lagi, keduanya berdiri memaku bagai patung, sorot mata
 mereka yang redup bagai titik sinar kunang2 yang sudah mulai pudar, sisa
 cahayanya hampir padam, terasa betapa besar ketakutan, dendam dan benci hati
 mereka. Dingin dan tawar pandangan si pemuda jubah kuning mengawasi kedua orang di
 depannya, wajahnya trdak menampilkan rasa puas dan senang karena menang,
 tiada rasa beruntung, sikapnya lebih mirip seorang yang merasa memang patut
 menerima anugerah kemenangan dari akhirnya suatu pertempuran.
 Kedua orang baju hitam beradu pandang sekejap, si mata tunggal yang mendelik
 garang dan buas tadi kini telah kuncup nyalinya, temannya yang tinggal satu ini
 berperawakan gemuk dan tinggi besar, wajah laki2 raksasa ini sangat jelek,
 mukanya penuh daging lebih yang bergelantungan di selembar mukanya, di bawah
 dagunya ada tahi lalat besar warna hitam, ujung tahi lalat ini tumbuh tiga lembar
 rambut kasar yang bergoyang gemetar, karena jelek mukanya sehingga tidak
 kentara betapa besar perubahan air mukanya, tapi dari gerak tiga utas rambut di tahi
 lalatnya itu dapat diketahui bahwa laki2 raksasa ini sudah mulai goyah
 keberaniannya. Sejak mula sampai detik ini belum pernah si pemuda jubah kuning bersuara barang
 sekecap, namun sorot mata dan air mukanya menampilkan kepandaian silatnya
 yang maha tinggi, se-olah2 dia sudah yakin akan akhir dari pertempuran seru ini,
 sikapnya yang gagah dan perbawanya yang angker menampilkan pula suatu
 kekuatan yang tak terlawan oleh siapapun.
 Hampir tidak terasakan oleh siapapun, lambat dan lambat sekali, akhirnya kedua
 orang baju hitam itu diam2 menyurut mundur. inilah gerak otomatis dari rasa takut,
 tak pernah terbayang dalam benak mereka bahwa hidup yang biasa mereka kenyam
 dengan segala kejayaan selama ini, kini segalanya akan sirna.
 Si pemuda jubah kuning melengos ke sana, dengan tenang dia menatap keenam
 pucuk pohon cemara di belakangnya yang serba hitam itu, dahan pohon cemara
 masih bergerak turun naik tertiup angin seperti sedang menari, gumpalan awan
 bergulung2 di angkasa menambah suasana menjadi semakin seram.
 Pelan2 si jubah kuning menghela napas, sekonyong2 ia berseru nyaring dan
 berkumandang bagai datang dari tempat nan jauh sekali: "Nay-hosan ini sungguh
 sunyi, rimbun dan menyeramkan!"
 Diam2 bergidik kedua orang baju hitam, tanpa sadar mereka saling adu pandang
 sekejap, pelan2 si jubah kuning berpaling kembali, sorot matanya memandang jauh
 ke bawah gunung yang kelam sana dan bergumam pula: "Kehidupan di dunia
 memang terus berputar, ada hidup juga ada mati, siang dan malam saling berganti,
 tukar menukar tak putus2, tiada sesuatu apapun dalam kehidupan duniawi ini yang
 kekal, bunga ada saatnya berkembang dan layu, manusia dilahirkan dan akan
 menjadi tua, musim berganti, siang berganti malam, kejadian hari ini pasti berbeda
 dengan esok, bunga akan layu dan gugur, meski akhirnya mekar lagi, tapi sudah
 bukan bunga yang semula itu. Demikian pula manusia, sekali dia mangkat,
 selamanya dia tidak akan kembali dalam keadaan semula meski ada inkarnasi, dan
 sekarang .........
 Bening dan tajam matanya menatap kedua orang baju hitam bergantian. "Hari ini
 akan menjelang, selamanva hari ini takkan berulang, senja hari memang elok
 laksana gambaran dalam syair yang melukiskan suatu akhir nan abadi, bila manusia
 mangkat di kala senja ini, dia akan membawa kenangan yang khidmat, baru dan
 tenang." Sungguh memelas, dalam keadaan seperti ini sudah tentu kedua laki2 baju hitam
 tiada minat buat mendengarkan kata2 bersanjak si pemuda jubah kuning, tanpa
 sadar kembali mereka menyurut mundur, tiga bola mata mereka tak berani berkedip
 menatap si pemuda jubah kuning.
 Tertawa tawar pemuda jubah kuning dan berkata pula: "Nama gunung ini tidak baik,
 dia bernama Nay-ho, (apa boleh buat), tentunya kalian juga tahu, di neraka terdapat
 5 pula sebuah jembatan yang bernama Nay-ho-kio?"
 Naik turun pula biji leher si mata tunggal, setelah mengerang gusar, dia berkata
 dengan suara serak: "Siang Cin, kau kejam sekali . . . . "
 "Tidak," ajar pemuda jubah kuning, "aku tidak kejam, manusia hidup di dunia fana ini
 jangan selalu dirundung kesusahan, kalau derita hidup terlalu menekan jiwa, lebih
 baik dilupakan saja, sudah tentu tidak mudah melupakan derita nestapa itu, tapi aku
 punya suatu cara yang terbaik, kalau tidak melupakan dendam hari ini, inipun
 merupakan derita batin, akan kugunakan cara yang terbaik itu untuk melenyapkan
 penderita kalian, bukankah sikap dan tindakanku ini amat arif bijaksana, hm?"
 Laki2 gendut itu tiba2 menbanting kaki, teriaknya dengan menggerung gusar: "Koko,
 apa pula yang kita tunggu" Kau kuatir setelah kita mati tiada orang akan menuntut
 balas bagi kematian kita?"
 "Pasti ada," timbrung pemuda jubah kuning "bila nasib kalian mujur, kalian tidak akan
 mati sia2 di sini."
 Bola mata si mata tunggal melotot buas, napasnya mulai memburu, si jubah kuning
 menegakkan alisnya, tiba2 dia berkelebat maju, sejak pertempuran di mulai tadi,
 baru pertama kali ini dia bertindak menyerang musuh lebih dulu.
 Warna kuning berkelebat bagai cahaya lalu, baru saja si mata tunggal dan si gendut
 terperanjat tahu2 bayangan orang sudah berada di depan mereka, bergegas
 keduanya melompat mundur ke kiri kanan, empat telapak tangan serempak
 menebas miring, tapi serangan mereka msngenai tempat kosong, seperti menyerang
 sebuah bayangan belaka, belum lagi sempat mereka menarik tangan dan ganti
 serangan, si gendut tiba2, menguik keras seperti sapi digorok lehernya, mulutnya
 menyemburkan darah segar, ia ter-huyung2 dan jatuh tersungkur.
 Jantung si mata tunggal serasa beku demi mendengar pekik si gendut menjelang
 akhir hayatnya tak sempat memperhatikan temannya, sigap sekali kedua tangannya
 menyodok, menyusul kedua kaki menendang secara berantai. Tapi sayang sekali,
 dalam suatu gerak kisaran yang aneh, pemuda jubah kuning tahu2 sudah
 menangkap kedua kakinya malah, seperti seorang atlit pelempar peluru, tubuh si
 mata tunggal diputar sekali, se-olah2 ingin melampiaskan dendamnya, badannya ia
 lempar sekuatnya. Si mata tunggal me-ronta2 di tengah udara, se-akan2 ingin
 melepaskan diri dari daya luncuran keras yang bakal merenggut jiwanya. Tapi dia
 gagal, dikala kaki tangannya mencak2 di udara itulah, sang waktu telah menjadikan
 penyesalan dan dendamnya secara abadi, punggungnya dengan telak dan keras
 menunduk dinding batu gunung yang hitam itu, daya tolak benturan itu membuat
 badannya mencelat balik ke arah yang berlawanan hingga sejauh tujuh kaki.
 Dengan tenang si jubah kuning saksikan adegan ngeri ini, sesaat dia terdiam, lalu
 pelan2 menghampiri si mata satu yang kempas kempis menunggu ajal, muka si mata
 satu selintas pandang kelihatan lucu dan aneh, kerut2 kulit mukanya mirip kulit
 binatang yang dikeringkan sehingga tak mirip wajah manusia lagi, mulutnya terbuka
 lebar, dua gigi siungnya mencuat keluar, alisnya yang jarang2 tampak gemetar
 mengikuti dengus napasnya yang tinggal satu dua, selebar mukanya berlepotan
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

darah, sekujur badanpun bernoda darah, bola mata tunggalnya seperti hampir
 mencotot keluar mendelik ke arah pemuda jubah kuning.
 Tenang si jubah kuning balas menatapnya, katanya kalem: "Ko Kuh, kalau kau
 menderita, maka derita ini akan segera berakhir."
 Berkeriut kerongkongan si mata satu, bola mata tunggalnya terbalik memutih,
 sekuatnya dia menggerakan mulut yang megap2: "Siang . . . . . . Siang Cin . . . . . .
 kau . . . . .kau memang pantas . . . . . . di. . . . . dijuluki durjana."
 Si jubah kuning, dia bernama Siang Cin, dengan tawar mengawasi Ko Kuh,
 suaranyapun tawar: "Yang kuat menang yang lemah mampus, ini sudah hukum alam.
 Ko Kuh, mungkin akan datang suatu ketika akupun akan terjungkal entah di mana,
 memang kondisi dan keadaan kita berbeda, tapi akhirnya akan sama, cepat atau
 lambat kita pasti akan bertemu di Nay-ho-kio."
 Bola mata Ko Kuh membalik, sorot matanya sudah pudar, badannya tampak
 6 mengejang, sekuatnya dia berteriak: "Menunggumu . . . . . kami Kian-pau-kiuliong
 . . . . . . . . seluruhnya akan menunggu kedatanganmu." Bahwa suaranya yang
 sumbang masih bergema terbawa angin lalu, tapi jiwa si pembicara sudah melayang
 setelah berkelejetan beberapa kali.
 Siang Cin meluruskan badan, pandangannya menyapu keenam pucuk pohon
 cemara raksasa hitam dan bergumam: "Musim rontok hampir berselang, hawa mulai
 dingin . . . . . . " - Pelan2 dia membalik tubuh terus turun gunung, bagai segumpal
 awan kuning, mengambang enteng, melayang secepat terbang dan lenyap tak
 berbekas. Nay-ho-san tetap berdiri tegak menjulang angkasa dibungkus mega setenang
 raksasa yang tidur pulas, keadaan remang2, suasana mulai dingin mencekam, seolah2
 tidak menyadari arti kehidupan, dia tidak mengenal hidup yang merana dan
 derma manusia dalam pergulatan kehidupan ini, yang jelas dia hanya tahu bahwa
 segala yang terjadi adalah "apa boleh buat".
 0-0-0-0-0-0-0-0-0
 Angin sepoi2 menerobos jubah kuning yang halus melambai, Siang Cin tengah
 beranjak di tanah tegalan yang cukup luas di lereng pegunungan, pohon randu yang
 memagari sepanjang jalan tinggal rantingnya yang kering.
 Sebuah sungai ber-liku2 menembus hutan cemara di sebelah depan, pohon2
 cemara yang mulai gundul itu tetap tumbuh di musim rontok yang hampir berselang
 ini. Alis Siang Cin tampak terpentang lebar, langkahnya kalem dan mantap, akhirnya
 menuju ke tepi sungai dan duduk dengan tenang, ia melamun mengawasi air yang
 mengalir hening, begitu khusuk, begitu tenang, se olah2 dia tengah menanti dan
 ingin menangkap sesuatu apa di tengah air yang gemericik itu, entah apa yang ingin
 ditangkapnya itu sudah lalu atau akan datang.
 Tiba2 terdengar derap langkah yang ter-seok2, langkah yang gugup dan tak teratur,
 tanpa melihat orang akan tahu bahwa orang yang tengah ber-lari2 ini sedang diburu
 oleh rasa kebingungan, takut dan kesakitan.
 Sekilas Siang Cin mengerling ke sana, di jalanan sana tampak bayangan seorang
 tengah bersempoyongan, orang ini berjambang, kulitnya hitam dengan alis gombyok
 dan mata besar, tapi keadaannya sekarang sungguh amat mengenaskan, sekujur
 badan berlepotan darah, rambut awut2an, mukanya menampilkan penderitaan yang
 luar biasa, bola matanya yang mendelik menunjuk keberangan hatinya, mulutnya
 megap2, buih berhamburan dari mulutnya, keadaannya sungguh amat menyedihkan.
 Mendadak laki2 besar itu terbanting ketanah, cepat dia merangkak bangun, tapi
 kembali jatuh tersungkur mencium tanah, di tengah bunyi cambuk yang menggeletar
 di udara, punggung orang itu segera dihiasi tanda silang berdarah dari bekas luka2
 cambukan. Waktu Siang Cin memandang ke belakang orang itu, kiranya beberapa tombak di
 sebelah sana ada seorang laki2 berpakaian pelajar dengan jubah putih bertubuh
 tinggi dengan tangan kiri memegang sebuah cambuk kulit sepanjang sembilan kaki,
 sikapnya adem ayem seperti sedang melepaskan lelah sehabis makan, se-akan2
 cuma menghajar seekor anjing yang telah mencuri ayam peliharaannya, laki2 besar
 itulah yang menjadi bulan2an cambuknya, agaknya laki2 besar itu sudah dihajarnya
 babak belur sepanjang jalan.
 Dengus napas laki2 besar itu bagai binatang yang meregang jiwa di ambang
 pejagalan, agaknya dia sudah menahan segala siksa derita yang tak terperikan itu.
 tak urung mulutnya masih mengeluh tertahan juga, sekuatnya dia berusaha merayap
 bangun sambil berusaha menghindari cambuk orang, begitu besar siksa deritanya,
 tapi pemuda pelajar itu sedikitpun tak mengenal kasihan, ujung cambuknya masih
 terus menggeletar menghujani punggungnya.
 Cuilan pakaian laki2 besar yang basah oleh cairan darah berhamburan seperti kupu
 terbang, matanya melotot gusar, giginya menggigit kencang bibirnya sampai
 berdarah, darah muncrat ke mana2 terbawa lecutan cambuk, tapi sekuatnya laki2
 besar itu mengertak gigi, sedikitpun dia pantang merintih dan minta ampun.
 7 Pemuda pelajar itu mencibir, ia menengadah ke atas, cambuknya terayun melingkar
 di udara. "Tar", tahu2 ujung cambuknya membelit leher laki2 itu, sekuatnya dia
 menyendal sehingga badan laki2 yang besar itu terbawa mencelat jauh dan
 terbanting keras.
 Rebah celentang di tanah dan kelejetan badan laki itu, kaki tangannya menggelepar,
 luka di sekujur badan yang berlepotan darah menjadi kotor tercampur debu dan pasir,
 keringat membasahi pakaian yang sudah ter-koyak2, tapi kedua matanya tetap
 melotot, tetap mendelik menatap pemuda pelajar itu tanpa berkesip, sorot matanya
 menampilkan bara dendam yang tak terperikan.
 Pemuda pelajar balas menatapnya dengan kalem dan penuh rasa kemenangan,
 katanya dingin:
 "An Lip, jalan yang kau tempuh tak jauh lagi, akhirnya kau akan tiba di tempatnya, di
 sana akan datang seorang yang memberikan ganjaran setimpal padamu."
 Beberapa kali laki2 besar itu kelejetan, sekuatnya dia angkat kepala dan
 memperdengarkan tawa kering, suaranya serak: "Orang she Gui, tak . . . . tak usah
 kau temberang, aku .. . . An Lip . . . . tidak . . . . tidak sudi . . . . minta ampun
 padamu." .
 Pemuda pelajar she Gui mendengus dongkol, ucapnya, bengis: "Minta ampun juga
 tak berguna, An Lip sudah puluhan tahun kau menjadi anggota Pang kita, tak
 tersangka kau lupa diri dan khianat, diam2 kau melakukan perbuatan serong dengan
 gundik Pangcu yang tersayang. An Lip, sungguh aku ikut malu akan perbuatan
 kotormu, tak kira di Siang-liong-gi-pang bisa muncul orang seperti dirimu."
 Laki2 besar bernama An Lip menampilkan rasa hambar dan pedih, dengan penuh
 rasa duka nestapa dia pejamkan mata, kerongkongannya berkerok2, sekuatnya dia
 menelan ludah, tapi dia tak membantah atau membela diri atas tuduhan orang.
 Memangnya dalam keadaan seperti sekarang ini, membantah dan membela diri
 demi kebersihan nama pribadinya tetap akan sia2 belaka.
 Dengan gagang cambuk kulit ular ditangannya, pemuda pelajar she Gui menggaruk2
 pipinya, katanya dingin: "Aku Gui Ih sejak menjabat kepala bendera merah Siang gi
 pang, boleh dikatakan cukup akrab dengan kau, tentunya kau cukup kenal
 perangaiku, aku paling benci pada manusia cabul dan segala kejahatan seks dan
 yang membuatku serba susah sekarang adalah orang yang harus kuhukum sesuai
 hukum yang berlaku di dalam Pang kita justeru talah kau"
 An Lip tampak kelejetan sekali lagi, tapi dia tetap tak bersuara, pelajar itu, Gut Ih,
 berkata lagi, suaranya agak tawar: "Tak mungkin aku menolongmu membebaskan
 penderitaan ini, karena aku harus menjalankan perintah, loyalitasku terhadap Sianggi-
 pang tak terpengaruh oleh persahabatanku dengan kau, terpaksa kaulah yang
 harus bersabar sepanjang jalan ini, setelah tiba di tempat tujuan, gundik Pangcu
 akan sama2 dibakar bersama kau, waktu itu kau tidak menderita lagi, cepat sekali
 segalanya akan menjadi tenang dan tenteram." - Tiba2 ia menarik muka, suaranya
 berubah kereng dan melengking: "Sekarang, bangunlah kau!"
 An Lip mengertak gigi, pelan2 dia merayap bangun, baru dua langkah dia bertindak
 sempoyongan, tanpa bicara lagi Gui Ih ayun cambuknya menghiasi dua jalur lecutan
 berdarah di punggungnya pula, ujung cambuk mengeluarkan suara nyaring, tatkala
 merobek kulit daging punggung An Lip. Kontan An Lip terhuyung maju beberapa
 langkah, tapi dia tidak jatuh, seperti orang mabuk langkahnya sempoyongan dan
 setengah berlari ke depan, kini dia sudah hampir mendekati tempat di mana Siang
 Cin duduk santai di tepi sungai.
 Seringan kapas terembus angin Gui Ih melangkah dibelakangnya, cambuk kulit
 kembali terayun melingkar kekanan-kiri, tanpa mengenal kasihan sedikitpun dia terus
 menghajar laki2 besar alias An Lip yang terhuyung ke depan itu, sekilas matanya
 mengerling ke arah Siang Cin dengan tatapan waspada.
 Lecutan pecut kembali menghajar batok kepala An Lip, kontan An Lip mendekap
 kepala sambil menjerit tertahan, ia terjerembab jatuh ke depan, sekujur badannya
 tampak mengejang, giginya gemeratak menggigit tanah berpasir di depannya,
 8 kesepuluh jarinyapun mencakar ke dalam tanah saking menahan sakit yang tak
 terkatakan. Gui Ih mendekatinya, dengan suara ketus dingin ia membentak: "An Lip, berdirilah."
 Dengan sisa tenaganya An Lip coba merangkak bangun, tapi sayang tenaga tidak
 memadai keinginannya, tiga kali dia mengulangi usahanya, tapi tetap tak mampu
 merangkak bangun, muka Gui Ih semakin membesi, sekali sendal cambuknya
 kembali melingkar membawa deru angin berkesiur "Tar, tar, tar". puluhan kali
 kembali dia menghajar An Lip sampai ter-guling2, kaki tangan menggelepar sekujur
 badan mengejang.
 Tiba2 terdengar suara mantap tenang mengandung sindiran berkumandang: "Tentu
 kau tahu, hajaran cambuk yang mengenai badan serupa itu tentu menimbulkan
 derita yang tak terperikan betul tidak?"
 Dengan sigap Gui Ih menarik tangan seraya melompat mundur, sorot matanya yang
 tajam menyapu ke arah datangnya suara, di pinggir sungai, di samping jalan sana, di
 tempat yang mendekuk turun, Siang Cin tengah mengawasinya dengan pandangan
 lucu, bibirnya tampak mencibir mengandung cemooh yang sinis.
 Secara naluri Gui Ih merasakan adanya ancaman serius, lapat2 terasakan
 kedatangan orang yang tak dikenal ini teramat aneh dan tak terduga, nadanya tidak
 bersahabat sama sekali. Sedikit miringkan tubuh, Gui Ih menengadah, kedua tangan
 mengepal dengan gaya atas dan bawah di depan dada. Inilah gaya Siang gi-pang
 yang khusus ditujukan kepada orang luar agar orang tahu akan asal usul dan
 jabatannya dalam Pang.
 Dinging saja sikap Siang Cin sambil mengangkat alis, dengusnya: "Aku mengerti,
 kau ini sahabat dari Siang-gi-pang."
 Gui Ih seketika menarik muka, katanya: "Tentunya tuan juga segolongan, Siang-gipang
 tengah menghukum anggotanya yang melanggar aturan, tuan adalah manusia
 yang bisa berpikir, harap minggir dan tidak mencampuri urusan kami."
 Siang Cin mengawasi An Lip yang masih menggelepar menahan sakit di tanah,
 katanya tenang: "Kupikir, kau harus membebaskan dia."
 Berubah hebat air muka Gui Ih, dengan bengis dia menatap orang, katanya ketus:
 "Aturan Kang-ouw tidak tuan hiraukan lagi" Kau berani mencampuri urusan keluarga
 orang lain" Ketahuilah Sianggi-pang bukan golongan lemah yang boleh dibuat
 permainan."
 Aneh kerlingan mata Siang Cin, katanya pelahan sambil menghampiri: "Sekarang,
 akan kucoba dirimu untuk membuktikan ucapanmu barusan."
 Entah mengapa, tanpa terasa Gui Ih mundur setapak, sekuatnya dia menahan
 gejolak amarahnya, teriaknya bengis: "Berhenti sahabat, mungkin kau belum tahu
 apa akibatnya dari kesemberonoanmu ini?"
 Siang Cin tidak berhenti karena ancaman orang, dia tetap berlenggang menghampiri
 semakin dekat, katanya dengan tenang: "Aku tahu, malah lebih tahu daripada kau
 sendiri." Sambil mengertak gigi, mendadak Gui Ih berkisar setengah lingkaran, badan bagian
 atas bergerak enteng, sementara cambuk kulit di tangan kanan mendadak tertuding
 lempeng kaku seperti galah, menusuk ke ulu hati lawan.
 Se-akan2 tidak memperlihatkan, gerakan apa2, tapi kenyataan Siang Cin sudah
 menggeser tiga kaki, sukar dilihat bagaimana dia bergerak, se-olah2 sejak tadi dia
 memang sudah berdiri di situ, maka ujung cambuk ular Gui lh yang mendesis
 kencang menusuk tempat kosong.
 Jantung Gui Ih betul2 hampir melompat keluar dari rongga dadanya, seketika Gui Ih
 rasakan kepulanya sedikit pening dirangsang darah mendidih tak sempat memikirkan
 langkah selanjutnya, badan melengkung bagai busur tiba2 melambung ke atas
 setombak lebih, tatkala badannya terapung itulah, cambuk kulit ular bagai hujan lebat
 berderai menghajar musuh.
 Sukar untuk dipercaya, sungguh menakjubkan, Siang Cin dengan warna kuningnya
 yang anggun ternyata dapat berkelit pergi datang di tengah sambaran cambuk yang
 9 deras dan kencang, gerak geriknya halus gagah mempesona.
 Sambil berjumpalitan di udara, cambuk Gui Ih kembali melingkar dengan deru angin
 kencang menyapu tiba. Siang Cin berdiri tegak sekukuh gunung, sedikit memiringkan
 badan, mendadak dia balas menerjang.
 Gui Ih menjadi gugup dan secepatnya melompat minggir, tapi dalam gebrakan
 sekilas yang berlangsung secepat kedipan mata itu, tahu2 cambuk di tangan sudah
 berpindah ke tangan lawan, sekilas matanya sempat melirik, hanya terlihat sebuah
 tangan dengan jari yang putih halus menepuk pundak kirinya, tak sempat dia berpikir,
 telapak tangan putih itu tahu2 sudah menyentuh tubuhnya, semacam tenaga kuat
 seketika membuatnya terpental beberapa tombak jauhnya, terus ter-guling2..
 Sebagai kepala bendera merah Siang-gi-pang, betapa tinggi Kungfu dan Lwekang
 Gui Ih, begitu badan menyentuh tanah, dengan sigap sekali dia hendak melejit
 bangun, tak terduga sebuah kaki dengan sepatu warna kuning tahu2 sudah
 menginjaknya rebah di tanah pula, kaki orang tepat menginjak di punggungnya.
 Suara orang tetap tawar dan dingin, berkata: "Gui Ih, pulanglah dan laporkan kenada
 majikanmu Sam bak siu su Tam Kip, katakan akulah yang membawa orangmu."
 Dengan susah payah Gui Ih memalingkan kepalanya ke atas, selebar mukanya
 berlepotan lumpur, dia mengerung gusar: "Kunyuk, tinggalkan namamu"!
 Punggung tiba2 terasa enteng, kaki yang menginjak punggungnya tahu2 sudah
 berpindah, sebuah suara berkumandang di kejauhan terdengar jelas olehnya:
 "Gelombang bergulung, mega berlapis, hujan membadai, angin menderu, semuanya
 bagai gumpalan asap berlalu . . . . "
 Sekujur badan Gui Ih tiba2 merinding dan gemetar, bola matanya mendelik, bibirnya
 bergetar, gumamnya jeri: "Ui liong Siang Cin . . . Oh, Thian, dia adalah Siang Cin si
 Naga Kuning . . . . "
 Dalam sekejap ini, laki2 yang disiksanya tadi telah lenyap, sudah tentu dia dibawa
 kabur oleh Siang Cin alias si Naga Kuning.
 - o0-oo-Oo - Malam telah larut, tiada sinar rembulan, hanya kerlip bintang2 yang jarang2 di
 cakrawala, angin musim rontok terasa mengiris kulit, keheningan malam terasa
 menghantui sanubari orang.
 Itulah sebuah rumah mungil yang dibangun dengan rangka kayu cemara dan usuk
 bambu kuning, rumah mungil itu dikelilingi pepohonan randu di tepi sebuah sungai
 yang mengilir tenang bening, di depan dan di belakang rumah penuh di taburi
 tanaman bunga seruni, meski di malam hari, warna-warni seruni yang menyolok
 dengan bau harumnya yang semerbak amat melegakan perasaan. Sebuah jembatan
 bambu tiga lekukan menembus ke belakang menambah gaya bangunan rumuh
 mungil ini tampak lebih artistik.
 Malam semakin kelam, sesosok bayangan berkelebat dengan kecepatan yang luar
 biasa, begitu enteng laksana kapas meski sebelah tangannya menyeret seorang lagi,
 tapi gerakannya tetap lincah dan gesit, hanya tiga kali lompatan dia telah melampui
 jembatan bambu itu dan tanpa bersuara hinggap di pelataran depan rumah.
 Orang itu mengenakan jubah kuning angsa, kedua bola matanya tampak bercahaya
 di malam gelap. Dia adalah si Naga Kuning Siang Cin, pelan2 dia membaringkan
 laki2 besar yang di tolongnya tadi, lalu dia mengetuk pintu.
 Menyusul terdengar suara nyaring merdu bak kicau burung kenari berkumandang
 dari dalam rumah: "Siapa itu?"
 Siang Cin mengedip, katanya dengan suara tertahan: "Raja naga kembali ke istana
 dengan kebesarannya."
 Suara cekikikan lantas terdengar di dalam rumah, tawa riang yang mengandung rasa
 terhibur dan lega, pintu rumah yang terbuat dari bambu kuning berkeriut terbuka
 pelan2, bayangan semampai dengan menenteng sebuah pelita minyak berdiri di
 ambang pintu, begitu pelita terangkat, matanya memandang ke arah Siang Cin,
 seketika mulutnya bersuara kaget heran, katanya kemudian: "Cin, kau membuat
 onar lagi?"
 10 Siang Cin tersenyum lebar tanpa bersuara, laki2 besar tadi dipapahnya masuk ke
 rumah, di bawah penerangan pelita minyak wajah pemegang pelita tampak cantik
 molek, secantik bidadari dalam lukisan.
 Dalam ruangan yang tidak begitu besar terdapat seperangkat meja kursi dari bambu,
 lukisan kerai bambu tampak tergantung di dinding, asap dupa wangi mengepul dari
 Hiolo kecil di meja sembahyang di bawah jendela sana, sebuah harpa terletak di atas
 meja, di samping harpa terletak sebatang pedang, seprei yang bersulam indah
 warna warni melembari permukaan dipan bambu, di depan dipan beraling sebuah
 pintu angin yang berukir indah, suasana serba tenteram, bersih tak berdebu, indah
 mengesankan. Setelab menaruh pelita di atas meja pelan2 pemegangnya membalik badan dan
 menghampiri Siang Cin yang tengah memapah laki2 tadi duduk di kursi bambu,
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua bola matanya yang bundar besar tampak jeli bercahaya, manis mesra lagi,
 tanyanya dengan suara lembut: "Siapakah Congsu ini, Cin?"
 Siang Cin membasahi bibirnya dengan lidah, sahutnya : "Dia bernama An Lip, orang
 Siang gi-pang, karena main patgulipat dengan gundik Pangcunya, dia dihukumi dera
 yang berat dan akhirnya akan dibakar hidup2, tatkala kulihat dia dihajar sedemikian
 rupa oleh pelaksana hukum Siang gi-pang ." Alis yang lentik laksana bulan sabit di
 atas mata si cantik tampak berkerut, katanya dengan prihatin: "Aduh
 kasihan . . . . . . . . dia pingsan?"
 Siang Cin menghela napas, katanya setelah duduk di kursi sebelah: "Luka2nya
 sudah kucuci dan kububuhi obat, dia dihajar begitu rupa, tapi dia memang laki2 sejati,
 jangankan minta ampun, mengeluhpun tidak pernah, menyatakan terima kasih
 padaku juga belum sempat lantas jatuh pingsan, kupikir setelah terang tanah baru
 keadaannya akan lebih baik."
 Bola mata nan bening jeli si cantik menatap Siang Cin, katanya lembut: "Kau tentu
 amat capai juga Cin, kuseduhkan secangkir teh untukmu, lalu kubuatkan
 makanan . . . . . . . "
 "Ci, tak usah repot," ujar Siang Cin dengan tertawa. ?"Bibi Ciu kan ada" Biar
 dia . . . . . "
 Hidung si cantik yang mancung tampak mengernyit, katanya manja: "Hui, kau ini,
 kalau sudah ngelayap, paling cepat 10 hari atau setengah bulan baru mau pulang,
 kalau pulang pasti di tengah malam buta, memangnya bibi Ciu harus selalu
 menunggu kedatanganmu, kecuali aku kakakmu yang bodoh ini . . . . "
 Siang Cin menggosok mukanya dengan telapak tangan, ia berkedip lalu
 memicingkan matanya, katanya: "Ya, sudah kutahu kau selalu menanti
 kepulanganku, maka akupun tidak tega membikin repot kau . . . . "
 Sinar mata si cantik menjadi redup, ter-sipu2 dia alihkan sorot matanya, katanya
 masgul: "Aku tahu akan diriku . . . . dik, aku tidak akan menuntut berlebihan, kau
 sudah cukup baik terhadapku ...."
 Siang Cin berdiri, tanyanya dengan tenang: "Ci jangan kau singgung kejadian masa
 lalu, soal itu sudah berselang, sekarang bukankah kita baik2 saja?"
 Si cantik terharu katanya sambil menggeleng rawan: "Kehidupan yang tenteram
 seperti ini takkan lama kita nikmati, Cin, sudah tiba masanya kau berumah tangga,
 kelak bila kau sudah mempersunting isterimu, aku, diriku yang menjadi kakakmu ini
 terhitung apa pula."
 Pelan dan lembut Siang Cin tarik tangan yang halus dingin itu, ucapnya pelahan: "Ci
 dalam hatimu kautahu bahwa aku Siang Cin bukan laki2 seperti yang kaukatakan,
 walau kita bukan saudara sekandung, tapi selama ini kupandang kau sebagai kakak
 kandungku sendiri . . . . "
 Bergetar badannya, pelahan si cantik angkat kepala sambil mengulum senyum,
 walau dia tahu senyum getir ini mengandung rasa resah, hambar dan kehilangan.
 Katanya kemudian: "Cin, aku senang mendengar omongan ini, sungguh, hatiku amat
 terhibur . . . ." sembari bicara lekas2 dia putar. tubuh beranjak ke dalam, katanya
 dengan rada gugup: "Cin, kau istirahat sebentar, biar kuseduhkan teh untukmu."
 11 Jelas terasa oleh Siang Cin nada perkataan si cantik yang mengandung isak tangis
 tertahan, pertanda betapa pilu dan rawan hatinya, diapun mengawasi bayangan
 semampai nan menggiurkan itu lenyap dibalik pintu, akhirnya dia menghela napas.
 Angin berkesiur di luar jendela, malam semakin larut, kabut semakin tebal, bunga api
 pelita di atas meja tampak memanjang lalu mengkeret dan menyala terang
 benderang pula. Benak Siang Cin sukar menahan gejolak keresahan, dia mengerti
 dari mana datangnya keresahan ini, yaitu dari kakak angkatnya ini, perempuan
 tercantik di kota Tiang-an - Kun Sim-ti.
 Pelahan2 Siang Cin mengembuskan napasnya yang panjang, masih segar dalam
 ingatannya pada enam tahun yang lalu betapa nekat dan mati2an Kun Sum-ti
 menolak keputusan sang ayah yang ingin mengawinkan dia. Ayahnya sudah lanjut
 usia - Kun Keh-boh, seorang pujangga yang memperoleh gelar tertinggi dalam
 kalangan pejabat pemerintah, dengan kekerasan telah menghajarnya dengan
 sebatang pentung dan menyeretnya naik ke tandu, akan diusungnya ke rumah
 keluarga Oh, salah seorang bangsawan ternama di kota Tiang-an untuk dikawinkan
 dengan puteranya yang bungsu. Belakangan dia mendapat kabar, setelah masuk
 kerumah mertuanya itu Kun Sim-ti mogok makan dan minum, sepanjang hari tak
 pernah berucap sepatah katapun, tapi suaminya, Oh Hian, justeru berpesta pora
 dengan perempuan2 cantik di luaran, setiap malam pulang seteiah mabuk serta
 menganiaya dan menyakitinya, belum ada setahun sejak pernikahan itu. Oh Hian
 ditemukan mati tidak wajar di kamarnya, maka keluarga Oh sama menuduh Kun
 Sim-ti sebagai pembunuh suami, maka nasibnya lantas terjerumus ke dunia yang
 lebih mengenaskan, sejak itu dia hidup dalam kegelapan yang tak pernah melihat
 sinar matahari, tak kenal apa itu hidup riang dengan tawa gembira, sampai suatu
 ketika Siang Cin telah menolongnya. Itulah kejadian tiga tahun yang lalu.
 Seribu hari lebih ini terasa berlalu dengan cepat, kejadian dulu bagai baru
 berlangsung kemarin dulu. Dalam waktu singkat Siang Cin yang semula masih hijau
 pelonco telah menjadi tokoh persilatan yang sudah kenyang liku2 kehidupan Bu-lim.
 Tanpa terasa Siang Cin mengulum senyum hambar, yang betul, sudah lama dirinya
 terhitung seorang tokoh persilatan, cuma jarang orang tahu bahwa dia membekal
 Kungfu luar biasa. Akhirnya Siang Cin geleng2 kepala, baru sekarang lubuk hatinya
 yang paling dalam menyadari kenapa dulu Kun Sim-ti rela mati daripada dikawinkan
 dengan pemuda yang tidak dicintainya, sebab tidak lain karena dia sudah cinta
 padanya, begitu murni dan suci dan begitu besar cintanya dengan segala
 pengorbanannya.
 Sorot matanya rada kabur, Siang Cin menggigit bibirnya sambil melamun, terbayang
 ketika Kun Sim-ti menceritakan kejadian itu sambil sesenggukan, se olah2 bunyi
 guntur di siang bolong seketika dia melenggong dan berdiri kaku.
 Keluarganya memang kenal turun temurun dengan keluarga Kun Sim-ti, orang tua
 merekapun adalah saudara angkat. biasanya kalau iseng, sering dia keluyuran ke
 rumah keluarga Oh. dia suka bergaul dengan kakak angkat yang lemah lembut dan
 welas asih ini, betapa dia menikmati raut wajahnya nan mekar mengulum senyum
 manis dengan sikapnya yang agung suci setiap gerak geriknya terasa indah bak
 lukisan tapi tak pernah terbayang dalam benaknya soal "cinta", lebih tak pernah
 terpikir olehnya bahwa kakak angkat yang lebih tua empat tahun ini betul2 jatuh cinta
 ke-pati2 padanya.
 Waktu itu Siang Cin hanya menghela napas maklum saat itu dia baru berusia lima
 belas, tapi bukankah biasanya dia suka mengagulkan diri berpengetahuan dan
 pengalamannya cukup banyak dan luas" Apa betul begitu banyak yang di
 ketahuinya" Tidak, kadang2 dia memang suka melamun, sering berkhayal yang
 muluk2, khayalan yang lucu dan menggelikan . . . . . . .
 Tiba2 terdengar suara lembut menyadarkan lamunannya: "Cin, apa yang kau
 pikirkan?"
 Entah kapan Kun Sim-ti sudah berdiri di sampingnya, wajahnya nan molek tampak
 pucat, matanya tampak merah seperti habis menangis, tangannya menjinjing
 12 nampan berwarna hitam, sebuah cangkir porselin yang terukir indah terletak di
 nampan, air teh di dalam cangkir masih mengepul, terendus bau teh yang harum
 sedap. Bergegas Siang Cin berdiri menerima cangkir itu, katanya pelahan: "Ci, kaupun
 duduklah."
 Kun Sim-ti menatapnya penuh tanda tanya, pelan2 dia duduk di samping, sementara
 Siang Cin sudah menghirup tehnya seteguk, katanya memuji". "Wah, wangi, betul."
 "Inilah oleh2 yang kau bawa tempo hari . . . . ."
 Sambil menatap lembut raut muka orang, Siang Cin berkata pelan. Teh seperti ini
 sering juga aku meminumnya di luaran, tapi selalu kurasakan teh yang kuminum di
 rumah jauh lebih sedap dan menyegarkan, cukup lama juga aku ber-pikir2, akhirnya
 baru kusadari apa sebabnya .."
 Kun Sim ti mengedipkan matanya yang jeli, tanyanya: "Sebab apa?"
 Siang Cin tertawa riang, ucapnya: "Sebabnya karena orang yang menyeduh teh ini
 berlainan."
 Merah jengah muka Kun Sim ti, omelnya malu" "Ah, kau memang banyak tingkah,
 dik, senakal masa kecilmu dulu .. "
 Tiba2 Siang Cin memandangnya dengan terlongong, pandangan yang polos dan
 membawa rasa kehangatan yang menimbulkan pikiran yang suci tanpa memikirkan
 hal2 yang tidak senonoh, walaupun hakikatnya Siang Cin sudah menahan bara
 nafsunya yang telah sekian lama bergejolak dalam sanubarinya.
 Memang badan sedikit gemerinjing, tapi tanpa berkedip, tanpa malu dan takut Kun
 Sin-ti balas menatapnya lekat2, bibirnya nan tipis merah bagai delima merekah seolah2
 menantang, memang rasa kesalnya selama ini selalu mengganjal dalam hati,
 menjadikan pikiran suka murung dikala berada seorang diri, selalu dia penuh harap,
 harapan yang dilandasi keinginan yang berkobar mendekati gila, semoga Siang Cin
 suatu ketika bisa memberikan sesuatu padanya, meski sesuatu itu terlalu kecil
 artinya. Dulu sering juga mereka berdiri berhadapan saling tatap, tapi mereka sama tahu dan
 dapat menyelami alam pikiran masing2, se-akan2 ada sebuah dinding tak kelihatan
 yang menjadikan penghalang yang tak tertembuskan untuk ini, mereka tahu selain
 rasa jengkel memang masih banyak pula alasan dan sebabnya.
 Seperti biasanya, pelan2 akhirnya Siang Cin mengalihkan sorot matanya, dengan
 perasan berat dia habiskan teh secangkir yang masih panas itu.
 Maka Kun Sim-ti lantas tahu bahwa kali ini dia tidak akan memperoleh apa2 lagi.
 Betapapun dia adalah seorang perempuan yang berperasaan halus, perempuan
 yang harus jaga harga diri, sungguh tak berani dia menurunkan pamor sendiri untuk
 memohon sesuatu itu kepada Siang Cin, yang dia doakan hanyalah suatu ketika
 Siang Cin akan memberikan peluang, memberi kesempatan untuk dia melimpahkan
 perasaan hatinya yang selama ini terpendam dalam hati. Memang dia merasa benci
 juga, dia paham tanpa menyatakan isi hatinya tentu juga Siang Cin sudah tahu.. tapi
 kenapa sikapnya selama ini tetap begitu dingin, kurang agresif, meski sikapnya
 selalu mesra penuh kasih sayang, tapi cepat sekali mencair dikala keadaan hampir
 mendekati titik beku.
 Siang Cin duduk bersandar di kursi, setelah menghela napas panjang dia
 meluruskan kaki dan tangannya, katanya hambar: "Ci, masihkah kau ingat pohon
 cendana di taman belakang rumahmu itu?"
 Diam2 Kun Sim-ti menyeka air mata, ia mengangguk pelahan, meski Siang Cin
 tengah menengadah memandangi langit2, tapi gerakan sekecil apapun tak lepas dari
 pengawasannya, dia paham apa yang menyebabkan orang berlaku demikian,
 dengan tenang melanjutkan: "Sekarang tiba musimnya kayu manis itu berkembang
 biak, aku amat suka mencium baunya yang manis harum, bila aku menyedot napas
 panjang sambil memejamkan mata, seolah2 rebah bergelimang di tumpukan bunga
 di tengah awang2, sungguh nyaman segar. Kuingat, suatu ketika kakak Seng dari
 tetangga sebelah pernah memaksa kita menjadi pasangan pengantin dan . .. ."
 13 Kun Sim-ti tertawa rawan, katanya pilu: "Waktu itu aku menerima saja paksaannya,
 tapi kau tidak punya keberanian, seperti kejadian beberapa tahun kemudian dikala
 aku dipaksa kawin, kaupun tidak punya keberanian menerima aku .... .. "
 Mengejang jantung Siang Cin, lekas dia batuk2 lirih untuk menutupi perasaannya
 yang tertusuk katanya: "Waktu itu aku masih kecil, Ci, sungguh, aku tidak tahu
 bahwa kau sangat suka dengan permainan itu . . . . "
 Kun Sim-ti menunduk, dengan suara lirih dan selembut sutera ia berkata: "Akhirnya
 kau tahu juga, tapi sudah terlambat . . . . "
 Tergetar perasaan Siang Cin, cangkir diangkatnya dan diteguk hingga habis seluruh
 isinya, hanya dia sendiri yang tahu asmara yang terpendam selama ini dalam hatinya,
 tapi cintanya itu memang sudah terlambat" "Ci .. .." dia membasahi bibir dengan
 ujung lidahnya dengan suara semakin rendah: "pergilah kau istirabat, biar aku
 istirahat di sini saja."
 Kun Sim-ti menatapnya, lama dan lama sekali, akhirnya dia menghela napas, lalu
 memutar tubuh dan masuk kedalam.
 Letak rumah itu jauh di luar kota, di sini tiada kentongan tanda waktu, tapi dari
 perasaan dan pengalaman yang dimiliki Siang Cin dapat meraba saat itu sudah
 menjelang kentongan keempat, tidak lama lagi fajar akan menyingsing.
 Pelan2 dia berdiri, laki2 besar yang terluka parah itu tiba2 menggeliat miring di atas
 kursi dan mengeluarkan keluhan lirih, Siang Cin mengawasinya, pelan2 kelopak
 mata orang itu mulai bergerak, maka terbayang oleh Siang Cin akan bola mata orang
 yang melotot sebesar mata sapi siang tadi.
 Agaknya kelopak mata An Lip, laki2 besar ini, seberat ribuan kati rasanya, sekuatnya
 dia berusaha membuka mata, tapi rasa kantuk tak kuasa ditahannya lagi,
 didengarnya suara tawar lembut mengiang di telinganya: "Sudah siuman?"
 Sekuatnya An Lip menggerakkan kepala, pelan2 dia membuka secercah kelopak
 matanya, tampak remang2 sebuah wajah ganteng yang putih halus
 berbentuk lebar wajah yang gagah ini seperti pernah dilihatnya entah di mana,
 rasanya seperti sudah lama sekali.
 Siang Cin berdiri dihadapan orang, dengan cermat dia awasi rona muka orang,
 katanya kemudian dengan tertawa: "Rona merah di bola matamu sudah pudar,
 sahabat, sungguh siksaan yang lumayan beratnya untukmu."
 Mengejang dan bergetar sekujur tubuh An Lip, seketika dia terbayang pada adegan
 yang seram dan menyakitkan itu, seketika pula dia teringat akan keadaan sendiri
 sekarang, sekuatnya dia rneronta bangun dan berteriak haru: "Inkong, Inkong (tuan
 penolong), terimalah sembah hormatku . . . . "
 Lekas Siang Cin memapahnya, katanya ramah: "Bila kau ingin berterima kasih
 padaku, akupun akan menerimanya dengan senang hati, maka tak perlu kau banyak
 adat lagi."
 An Lip menghela napas lega, katanya sambil mencucurkan air mata: "Inkong kalau
 bukan pertolongan Inkong, jiwa An Lip ini tentu sudah sejak kemarin melayang,
 Inkong . . .. "
 Bertaut kedua alis Siang Cin, suaranya rendah berat: "Aku bernama Siang Cin."
 "Siang Cin", nama ini laksana ular berbisa yang tiba2 memagut ulu hati An Lip, kaget
 sampai badannya gemetar, ia melongo dan lidaiinya terjulur, sesaat dia tergagap:
 "Siang . . . , Siang Cin . . . . naga .. . . naga kuning?"
 Mulut Siang Cin berkecek sekali, lalu berkata: "Agaknya kau rada tegang" Sahabat,
 kedua tangan orang she Siang memang berlepotan darah, tapi masih bisa
 membedakan antara jahat dan baik." .
 Meski berjambang lebat tapi wajah An Lip yang merah masih kelihatan, sikapnya
 tampak tersipu, katanya: "Tidak Inkong, bukan begitu maksudku, jangan salah
 paham . . . . Nama besarmu yang amat tersohor . . . . "
 "Namaku tersohor?" Siang Cin menyeringai, "yang benar sudah beberapa kali pada
 saat2 aku harus mampus ternyata nyawaku ditarik balik hidup2. Kau tahu, manusia
 siapapun tentu tidak mau mati, betul tidak?"
 14 Sejenak An Lip melenggong, lalu meng-angguk2, Siang Cin mengucek hidung
 dengan dua jarinya, katanya pula: "Kenapa Siang-gi-pang menyiksamu begitu rupa
 ehm?" Melenggong sebentar An Lip dan menunduk, laki2 besar ini ternyata mencucurkan
 air mata, Siang Cing melengos sedikit, katanya kemudian: "Kabarnya kau main
 serong dengan gundik Pangcu mereka?"
 Mendadak An Lip angkat kepala, kulit mukanya berkerut, teriaknya tak terkendali:
 "Main serong" Dia yang merebut calon isteriku, menghancurkan masa depanku yang
 bahagia, setiap hari aku harus munduk2 di depan moncongnya yang cengar-cengir
 seperti tertawa iblis, selalu memperoleh lirikan dingin dan cemooh yang memalukan
 dari bakal isteriku, tapi aku harus tetap pura2 membusungkan dada sebagai laki2
 pemberani. O, Thian, senyuman yang dipaksakan, wajah ayu nan layu, aku terpaksa
 hanya mengawasinya dengan mendelong, dia jatuh ke pelukan laki2 lain, yang dapat
 kulakukan hanya berdoa, menelan liur, aku harus memaki diriku sendiri sebagai
 manusia pengecut, kenyataan dia sudah menjadi gundik Pangcu . . . ." bicara punya
 bicara, laki2 yang kekar yang dihajar tanpa mengeluh ini ternyata pecahlah isak
 tangisnya. Siang Cin menarik sebuah kursi bambu lalu duduk di depannya, sambil bertopang
 dagu, dia biarkan saja orang menangis dan melepaskan duka nestapanya. Sudah
 tentu Siang Cin sendiri juga dapat meresapi betapa besar sedih dan rasa dendam
 orang, meski bukan pengalaman sendiri, tapi dia cukup dapat merasakan juga
 penderitaan semacam ini, kadangkala banyak persoalan di dunia ini yang sukar
 diresapi dan dirasakan sendiri, tapi asal kau bisa berpikir dengan bijak, maka kau
 akan dapat menyelaminya.
 Lama juga baru An Lip menghentikan tangisnya, agaknya dia teramat letih dan
 kehabisan tenaga, apalagi setelah melimpahkan rasa duka dan dendamnya, badan
 menjadi lunglai.
 Tanpa bicara Siang Cin angsurkan selembar sapu tangan sutera warna kuning,
 sambil menyeka air mata, An Lip berkata malu2 dengan mata merah: "Inkong, An Lip
 tak kuasa mengendalikan perasaan, harap dimaafkan . . . . ."
 "Bukan salahmu," ucap Siang Cin tertawa, sejak jaman dahulu kata cinta memang
 suka menyiksa manusia."
 An Lip tertunduk, air mata masih bercucuran maka cepat dia seka dengan sapu
 tangan. Siang Cin berkata pula: "Saudara, Pangcu kalian itu sebetulnya punya
 berapa isteri dan gundik?"
 "Seluruhnya ada tujuh gundik." sahut An Lip gemas.
 Siang Cin tertawa lagi, katanya: "Apa yang kau katakan barusan seluruhnya benar?"
 Bola mata An Lip yang sebesar mata sapi melotot pula, katanya sambil menuding
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langit dan bumi, bersumpah: "Inkong, jiwa An Lip telah Inkong tolong, masa An Lip
 berani membual dihadapan Inkong" Kalau sepatah kataku tidak benar, boleh Inkong
 penggal kepalaku."
 Siang Cin mengangguk dan berkata: "Kalau demikian calon isterimu itu sudah
 digagahi orang, apa kau masih rela mengawininya" Ehm, maksudku, sudah tentu
 kalau dia masih mau ikut padamu."
 Sejenak An Lip melenggong, mendadak ia berteriak: "Sekalipun dia menjadi pelacur
 murahan juga selamanya aku tidak akan melupakan dia."
 Se-konyong2 Siang Cin merasa kepalanya menjadi pusing. beberapa patah kata
 orang terasa pedas dan menusuk sanubarinya. Dengan tajam dia tatap laki2 yang
 lahiriah kelihatan kasar itu dengan suara pelahan ia bertanya: "Kenapa?"
 An Lip menelan liur, sedikit gagap dan tersengal, tanpa ragu dia berkata: "Bila
 engkau mencintai seseorang sepenuh hati, cinta yang murni dan suci pasti takkan
 luntur, apapun yang pernah terjadi tak perlu dipertimbangkan lagi."
 Sekian lama Siang Cin terlongong, katanya lirih:
 "Baik saudara, akan kubantu rebut kembali bakal isterimu."
 Saking haru dan senang, bergemetar badan An Lip, mulutnya terpentang, katanya:
 15 "Betul" Tapi .... tapi Inkong, itu berarti kau harus menyerempet bahaya dan
 bermusuhan dengan Siang gi pang . . . . ."
 Siang Cin tertawa pongah, katanya: "Memangnya kenapa, masa si Naga Kuning
 Siang Cin tidak mampu menghadapi para kurcaci Siang-gi-pang itu" Lalu bagaimana
 anggapanmu?"
 Lekas An Lip geleng kepala, katanya bingung:
 "Tidak Inkong, bukan begitu maksudku, aku hanya mengira . . . . . demi persoalanku
 seorang apakah perlu sampai menimbulkan keonaran besar . . . . . "
 Siang Cin menarik napas, katanya tawar: "Kalau kurasa perlu, maka hal itu pasti
 cukup berbobot."
 Bergolak darah di rongga dada An Lip, beribu kata ingin dia utarakan, maksud hati
 yang tak terbatas ingin dia tuturkan, tapi terlalu banyak dan luas, terlalu tebal untuk
 dicairkan dalam sekejap ini, kecuali mencucurkan air mata tak kuasa dia
 mencurahkan isi hatinya.
 Api pelita di atas meja ber-goyang2, sinarnya yang kelap kelit terasa seram,
 bayangan kedua orang di sisi rumah memanjang di dinding sampai ke tanah. Mereka
 tiada yang buka suara lagi, biarlah suasana hening lelap ini mencekam keadaan, tapi
 di dalam kesunyian ini, keduanya merasakan adanya saling pengertian dan
 ketulusan antar sahabat.
 Siang Cin berkedip, katanya: "Kalau letih boleh saudara istirahat saja di atas kursi,
 aku akan keluar melihat keadaan."
 An Lip tersentak kaget, katanya sambil mengawasi tajam: "Keadaan" Inkong,
 memangnya ada sesuatu yang tidak beres" Keadaan sekeliling terasa tenang dan
 tenteram . . . . . "
 Sembari berdiri Siang Cin menggeleng, katanya: "Justeru terasa tidak aman,
 kudengar suara lambaian pakaian yang tertiup angin serta daun kering yang terinjak
 kaki, ada beberapa orang tengah berlari ke mari. jumlahnya cukup banyak."
 Jantung An Lip seketika berdebur, katanya tegang: "Mungkinkah, mungkinkah
 orang2 Siang-gi-pang memburu kemari?"
 Sejenak berpikir, Siang Cin menyabut: "Mungkin saja, tapi tidak jadi soal."
 Sekuatnya An Lip himpun tenaga dan menarik napas, ia hendak meniup padam
 pelita di atas meja, cepat Siang Cin mencegah: "Biarkan lampu tetap menyala,
 saudara, aku senang akan sinar pelita yang remang2 hening ini."
 Dengan rasa heran An Lip berpaling mengawasi Siang Cin, sungguh dia tidak habis
 mengerti dan sukar menyelami kenapa laki2 yang disegani kaum persilatan ini
 sekarang melakukan tindakan yang melanggar kebiasaan Kangouw umumnya tapi
 hanya sekejap itu, dikala dia dengar suara kesiur angin dan berpaling itulah, dalam
 rumah sekarang hanya tinggal dia seorang diri.
 Bukan melalui pintu, juga tidak lewat jendela yang setengah terbuka, tapi Siang Cin
 telah melam bung ke atas belandar, di atas belandar ada sebuah keranjang bambu
 yang dapat digeser dan bergerak bebas, dari lubang keranjang di atap rumah inilah
 dia menerobos keluar.
 Menjelang fajar, hawa terasa dingin menusuk tulang. Begitu keluar dan mencapai
 wuwungan, Siang Cin lantas mendekam diam tak bergerak.
 Alam gelap gulita, hening lelap, hanya suara keresakan daun pohon yang dihembus
 angin, manakala hari hampir terang tanah, alampun terasa menjadi lebih gelap,
 umumnya tidur manusia pada waktu itupun lebih nyenyak.
 Sebuah bayangan samar2 tampak berkelebat, selincah kucing, seenteng burung
 walet dia berlompatan hinggap dipagar bambu di atas jembatan, di belakangnya
 menyusul dua bayangan orang pula, kedua bayangan ini lantas terpencar ke sisi
 rumah, pelita dalam rumah tetap menyala, sinarnya terasa tenang, suasana terasa
 mantap. Kecuali tiga orang yang berkelebat datang dengan gerak-gerik sembunyi2, menyusul
 datang pula seorang yang berlenggang seperti tuan besar, langsung menuju ke atas
 jembatan bambu, lalu tampak sesosok bayangan lain, langkahnya lembut teratur dan
 16 sopan mengikut dibelakangnya.
 Bayangan orang yang bersikap congkak ini membalik, dengan hormat dia menjura
 kepada bayangan lembut dan sopan itu, lapat2 kelihatan bayangan lembut sopan itu
 adalah seorang pemuda berusia likuran tahun, jubahnya serba biru, dandanan
 perlente ini lebih mirip anak seorang bangsawan.
 Pemuda itu tampak memberi anggukan kepala kepada orang di depannya, maka
 orang itu beranjak pula dengan langkah yang pongah, kiranya dia memang kepala
 besar, kepalanya yang gede itu bila diukur pasti tidak lebih kecil daripada kepala
 keledai, tiba di ujung jembatan segera dia pentang mulut memperdengarkan
 suaranya yang seruk keras bagai gembrang: "Perhitungan lama di Sia-mo-nia harus
 diselesaikan, orang she Siang, payah juga Sin-losu mencarimu."
 Suara orang itu serak sumbang, logatnya sukar dimengerti, suaranya terdengar
 seperti bunyi pasir yang rontok menusuk telinga, kedua membusung tangannya
 bertolak pinggang, perutnya yang gendut itu mirip perut babi.
 Siang Cin mendekam di atas wuwungan mengerut kening, diam2 ia menghela napas,
 tanpa suara pula dia melayang turun dari atap rumah bagai bayangan setan pelan2
 mengapung turun ke depan laki2 tambun itu.
 Begitu bayangan muncul, seperti membawa bau anyirnya darah, si kepala besar
 memancarkan sorot matanya yang masih ngantuk, sikapnya yang pongah tadi
 seketika lenyap, tanpa disadari dia menyurut mundur tiga tindak, jembatan bambu
 yang terinjak kakinya sampai berkeriut hampir patah.
 Ujung mulut Siang Cin menyungging senvuman aneh yang mencemooh, lengan
 jubahnya yang gondrong kuning mengebas, katanya dengan nada tawar seperti
 biasa: "Sin-suya, dunia ini rupanya cuma sebesar daun kelor, tak nyana kita bertemu
 pula di sini."
 Muka babi Sin-suya itu tampak pucat lesi, kulit daging pipinya tampak mengencang,
 bola matanya yang mirip mata kura2 mendelik, ter sipu2 dia membetulkan letak
 jubahnya yang kesempitan membungkus badannya yang gendut, katanya sambil
 menyegir: "Orang she Siang, dirodok kau, hakikatnya aku tiada permusuh apa2
 dengan kau, urusanku dengan Kik Cu hong dari Tay hian pay di Siau-mo-nia kan
 tiada sangkut pautnya dengan kau, tapi kau mencampuri urusanku, bukan saja
 memunahkan Kungfu dua saudara angkatku, kau bikin aku kehilangan tempat
 berpijak di Siau-mo-nia, perhitungan ini orang she Siang, terserah bagaimana kau
 hendak membereskannya padaku."
 Seperti sedang mengingat2 Siang Cin menengadah, katanya kemudian: "Kik Cuhiong
 dari Tay-hian-pay ada hubungan intim denganku, dulu gurunya pernah
 berdampingan denganku memukul mundur delapan belas Lama kasa merah di
 perbatasan Tibet, maka tak mungkin aku berpeluk tangan melihat Sin-suya bertiga
 mengeroyok dia seorang, terpaksa kubantu dia sekadarnya."
 Saking murka daging tubuh Sin-suya tampak bergetar, raungnya: "Membantu
 sekadarnya" Memangnya makmu yang suruh kau sekaligus menamatkan jiwa dua
 saudaraku?"
 Pancaran sinar mata Siang Cin yang semula bening tiba2 berubah dingin tajam,
 suaranya bernada mengancam: "Sin-losu, dikalangan Kangouw kau memperoleh
 gelar Tho-san-sin, sudah sekian tahun kau malang melintang di Kangouw,
 seharusnya kau juga paham apa akibatnya berani kau bertingkah di depan Naga
 Kuning." Seperti dikemplang tongkat besi Sin-losu menyurut mundur, baru saja mulutnya
 terpentang mau bicara, pemuda yang sejak tadi berdiri di seberang jembatan sana
 tiba2 tertawa lebar, katanya menimbrung: "Menyaksikan sikapmu yang gagah dan
 congkak ini, maka tahulah aku bahwa saudara tentu si Naga Kuning Sang Cin
 adanya." Terangkat alis Siang Cin, suaranya tetap tawar: "Mana berani, setelah kulihat
 lagakmu ini, akupun lantas tahu bahwa kau ini Giok-mo-cu (iblis kemala ) Keh Kisin."
 17 Pemuda yang berpakaian ketat warna biru tua itu memang benar adalah Giok-mo-cu
 Keh Ki-sin yang baru muncul tiga tahunan di daerah Thian-lam. Dia murid didik Singkok-
 bun di Thian-lam, belakangan dia berguru pula pada jago kosen nomor satu di
 perbatasan Hun-lam Hoan-jit-kiam-khek Han Siau-kan, Setelah lulus dari perguruan
 dia angkat saudara dengan It-tiau-tay Mo Kim, Cengcu dari Gih-tay-ceng yang
 kenamaan di Bu-lim, malah adik Mo Kian yang masih perawan Mo Hun-cu telah main
 cinta dengan Giok-mo-cu yang kabarnya pernah merobohkan Tiam-jong-ngo-eng
 (kelima jagoam Tiam-jong-pay), menurut kabar yang tersiar di kalangan Kangouw
 sejak lulus perguruan dan berkelana di Bu-lim Giok-mo-cu belum pernah
 menemukan tandingan.
 Giok-mo-cu Keh Ki-sin tertawa lantang, katanya: "Pandangan saudara memang
 tajam, julukan Naga Kuning ternyata tidak bernama kosong."
 Siang Cin mendengus, katanya: "Sin-suya, malam begini gelap, hawa dingin lagi,
 jauh2 Suya meluruk kemari, memangnya kau mau bikin perhitungan lama di Siaumo-
 nia dulu?"
 Sin-suya berkecek mulut, matanya mengerling ke arah Giok-mo-cu Kch Ki-sin tanpa
 berani memberi komentar, maka Giok-mo-cu tertawa, katanya kalem: "Memang
 begitulah menurut pendapatku."
 Mendadak Siang Cin tertawa juga, katanya kepada Keh Ki-sin: "Saudara, kau datang
 untuk membantu Sin-suya?"
 Wajah Giok mo-cu menyungging senyuman ramah, katanya mengangguk: ?"Betul,
 seperti pula waktu saudara membantu Kik Cu-hong dari Tay hian-pay di Sian-mo-nia
 dulu." Dengan tak acuh Sang Cin mengebaskan lengan bajunya, katanya: "Saudara Keh,
 tahukah kau, selama tiga tahun ini, tidak mudah kau mengejar nama dan
 mengangkat gengsi?"
 "Sudah tentu aku tahu," sahut Koh Ki-sin tertawa.
 Siang Cin menepekur sejenak sambil menengadah, katanya: "Kau tahu apa akibat
 dari sikapmu yang temberang ini?"
 ?"Sudah tentu," sahut Koh Ki-sin sambil manggut.
 "Baiklah, Cukup sampai di sini peringatanku, sebabai seorang pandai, kuharap kau
 tidak melakukan tindakan bodoh, sekarang kalau kau ingin mengundurkan diri masih
 kuberi kesempatan . . .. "
 Senyum lebar yang menghias muka Keh Ki-sin seketika lenyap, desisnya: "Siang Cin,
 sejak hari ini, tidak akan ada tempat berpijak lagi dalam Bu-lim untukmu, sampaikan
 saja kotbahmu kepada bini di rumahmu."
 Sin-suya ter-loroh2 geli, serunya: "Orang she Siang, jangan di sini kau memupur
 wajahmu sendiri, nanti kupenggal kepalamu dan kujadikan bola untuk main
 tendangan."
 Diam saja Siang Cin, pandangannya menjelajah keempat penjuru, katanya: "Sinsuya,
 ingatlah, turun
 tangan harus cepat, laksana meteor melanglang angkasa."
 Seperti tersengat Sin-suya menghentikan tawanya, cepat ia bergerak, tahu2 ia
 mengeluarkan sebilah Siang-jin-jan (pacul dua muka) sepanjang dua kaki, matanya
 yang sipit sebesar kacang tampak mendelik menatap Siang Cin,
 Mundur selangkah Siang Cin berkata: "Musim rontok adalah musimnya daun pohon
 rontok . . . . ucapan "rontok" terulur memanjang bergema di angkasa, belum lagi gema suara ini
 lenyap, bayangan telapak tangan tiba2 menyambar ke arah Sin-suya, cepatnya
 bagai halilintar.
 Menggerung keras bagai kerbau gila, dengan sigap Sin-suya berkelit, meski tambun
 badannya, tapi selicin belut tiba2 dia berkisar lima kaki jauhnya, paculnya yang
 mengkilap berputar membawa sinar panjang bagai rantai menggulung maju, tapi
 bayangan telapak tangan lawan mendadak menciut, bagai iblis tahu2 menyelinap
 masuk ke tengah lingkaran pacul yang diputar kencang itu.
 18 Giok-mo-cu Keh Ki sin tertawa dingin, mendadak dia menyergap maju, jelas dia
 melihat bayangan kuning angsa ada di depannya, tapi belum lagi dia sempat
 menyerang, deru angin telapak tangan yang maha kuat tahu2 sudah menyerampang
 tenggorokannya dengan cepat dan setajam golok.
 Kedua tangan Keh Ki-sin membalik, ia melancarkan pukulan yang aneh, tapi
 kupingnya sempat mendengar suara "bret", suara kain pakaian yang robek, diiringi
 jeritan Sin-losu: "Kunyuk kurangajar, kau memang keji . . . . "
 Belum lagi raungan Sin-suya buyar, bayangan pukulan telapak tangan tahu2 sudah
 menyambar lewat pipi Keh Ki-sin, sampukan anginnya yang tajam serasa mengiris
 pipi Keh Ki-sin tujuh kali.
 Sudah tentu jantungnya berdetak keras, diam2 Keh Ki sin mengumpat, gerak tubuh
 apakah ini" Ilmu pukulan telapak tangan apa pula" Kenapa begitu cepat"
 Mungkinkah manusia dapat mencapai gerak cepat yang luar biasa ini"
 Keh Ki-sin mengertak gigi, mendadak dia melompat menyingkir, tapi begitu dia
 menyingkir, sebat sekali dia melejit balik pula, pulang-pergi ini dilakukan hampir
 dalam waktu yang sama, berbareng sebilah pedang tajam yang memancarkan
 cahaya warna-warni, bagai pelangi yang menyorot turun dari tengah angkasa,
 dengan cepat luar biasa menusuk lurus ke arah Siang Cin.
 Bayangan kuning tampak berkelebat memutar mengiris ke cahaya warna-warni
 pedang tajam itu, belum sempat Keh Ki-sin melanjutkan jurus kedua, bayangan
 telapak tangan yang berada tahu2 sudah menempel pakaiannya, saking kejut lekas
 dia menjengking ke belakang sekuatnya, tak urung dia tetap terdorong dua langkah
 oleh tenaga pukulan lawan itu.
 Pacul dua muka Sin-suya segera menyerampang dari samping, mata paculnya yang
 tajam kemilau, terasa dingin, keadaan Sin-suya yang lengan baju kirinya sukah
 koyak itu amat runyam, keadaannya lucu dan menggelikan, dengan menggreget dia
 ingin menelan bulat2 lawannya baru terlampias dendamnya.
 Kelam rona muka Siang Cin, kedua tangan menepuk sekali, tiba2 ia bergoyang ke
 kiri-kanan sehingga pacul dua muka itu menyamber lewat, berbareng sebelah tangan
 seperti tak acuh dan menyongsong dada Sin-losu yang gembur penuh daging
 berminyak itu. Melengking keras jeritan kaget Sin-losu, sekuatnya dia berusaha menggelinding ke
 samping, tak urung kulit daging pundak kanannya laksana dipapas tajam golok,
 darah muncrat keluar dari kulit dagingnya yang terbeset.
 Dengan sebat sekali kembali Siang Cin menghindarkan libatan sinar pedang warnawarni
 yang menggulung tiba, malah sempat pula dan melontarkan cemooh kepada
 Sin-losu: "Suya, tahanlah kesabaranmu." -- Di tengah berkata itu, sekaligus ia
 melakukan tujuh belas kali pukulan jarak pendek yang luar biasa, selintas pandang
 dia hanya sekali menggerakan tangannya, sasarannya menepuk punggung pedang
 Keh Ki-sin, tapi kenyataan Keh Ki-sin sendiri merasakan batang pedangnya bergetar
 tujuh belas kali sampai lengannya terasa kemeng, sementara pukulan telapak
 tangan terakhir lawan tahu2 sudah menyelonong menggempur batok kepalanya.
 Menghadapi serangan kilat ini, cepat2 Giok mo cu gunakan ujung pedangnya
 menutul tanah, tubuhnya bertolak mundur kebelakang, didengarnya Sin losu tengah
 mencak2: "Hayo kawan2 maju semua, ganyang durjana ini!"
 Seiring dengan aba2nya, dari kolong jembatan sesosok bayangan tiba2 melompat
 keluar, selincah kucing tiba2 menerkam, dengan senjata bernama Ci-kim-to (golok
 tebal) di tangannya membawa sejalur sinar dingin segera membacok.
 Bayangan kuning muda kembali berkelebat kurang jelas cara bagaimana jadinya,
 "Trang", tahu-tahu Ci-kim-to mencelat ke udara, sementara bayangan tubuh itu
 seperti ingin berlomba kecepatan, diiringi jeritan yang menyayat hati ikut mencelat
 terbang ke udara, darah menyembur deras dari mulutnya.
 Dari dua sisi rumah kembali menerjang keluar dua bayangan orang, hampir dalam
 waktu yang sama pula dari seberang jembatan bambu ber-turut2 jaga muncul empat
 puluhan orang yang bersenjata lengkap, cahaya warna-warni kilauan pedang kembal
 19 menderu tiba, otak Siang Cin bekerja cepat, sesekali dia melejit ke depan rumah, di
 sana didengarnya Sin-suya lagi ber teriak2: "Sin-losu bersumpah kepada ibubapaknya
 kalau kali ini tak bisa membabar akar orang she Siang, kita takkan
 berkecimpung lagi di Kaugouw. Hayo gasak, bakar juga rumahnya!"
 Dalam kegelapan cahaya pedang warna-warni itu tampak menyolok, hawa pedang
 yang tajam kembali berhamburan, Siang Cin berkelit beruntun sembilan kali, mautidak-
 mau dia harus memuji kehebatan lawan: "Saudara Keh, Han Siau-kan ternyata
 tidak sembarang mengajarkan ilmu pedangnya padamu."
 Siang Cin tahu bahwa Giok-mo-cu Keh Ki-sin kini telah keluarkan keahlian ilmu
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedangnya, Hoan-jit kiam-hoat.
 Bayangan empat puluhan orang bagai gelombang ombak samudera mendampar tiba,
 yang datang mendahului adalah lima orang laki2 setengah umur yang berperawakan
 kurus tinggi laksana galah, sekilas pandang Siang Cin lantas menyambut mereka
 dengan tertawa lebar: "Ngo-heng-ciok-cu, permusuhan kita agaknya sukar
 diakurkan."
 "Cis!" laki2 paling depan yang berjenggot pendek berludah, gada ditangannya
 menari memenuhi udara, serunya: "Siang Cin, hari ini kau mengaku kalah saja."
 Siang Cin tidak menanggapi, sebat sekali ia menerjang keluar cahaya pedang
 warna-warni terus membuntuti gerakannya, tapi tiga-empat bayangan orang belum
 lagi sempat berteriak tahu2 sudah jungkir balik sejauh beberapa kaki.
 Senjata tampak bersimpang siur dengan kilauan cahayanya yang serabutan.
 bayangan orangpun saling terkam dan tubruk, dalam sekejap itu, tujuh delapan jiwa
 kembali melayang direnggut maut.
 Tiba2, selarik sinar merah menjulang tinggi ke atas, lalu diiringi ledakan yang cukup
 keras disertai percikan api yang terus berkobar menjilat apa saja yang gampang
 terbakar. Sekali tempeleng Siang Cin bikin laki2 berikat kepala hitam terbanting mampus
 dengan kepala pecah, sekilas melirik ke sana, dilihatnya rumah bambu yang mungil
 kesayangannya itu sudah dijilat jago merah, asap yang mengepul tinggi semakin
 membara sehingga alam sekeliling yang semula gelap menjadi terang benderang.
 Bibirnya terkancing rapat, sebat sekali dia menggenjot tubuh, ia meluncur ke sana,
 tapi cahaya pedang warna-warni itu masih terus membayanginya.
 Waktu Siang Cin tiba di depan rumahnya hawa panas cukup membuat sesak napas
 manusia, sesosok bayangan orang sejak tadi sudah mendekam di sana, kini
 mendadak dia melejit maju sambil ayun sebatang Liang-gin-kau (ganco perak
 bercahaya) mengincar perut Siang Cin.
 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - --
 Siapakah dan apa latar belakang pembakaran rumah bambu Siang Cin ini"
 Bagaimana nasib Kun Sim ti dan An Lip masih berada di dalam rumah itu"
 20 Jilid 02 Perhatian Siang Cin ditujukan untuk memadamkan api, dalam keadaan kepepet
 tanpa siaga, tak ada peluang baginya untuk berkelit, apabila berkelit berarti
 membuang waktu, se-olah2 tangan kirinya memang sejak tadi sudah mencengkeram
 ujung ganco perak lawan, tahu2 dia seret laki2 yang menyergap ini, mulutnyapun
 menyeringai seram: "To ciok-cu, serahkan saja jiwamu."
 Pembokong dengan ganco perak ini memang salah satu dari lima laki2 kurus tinggi
 yang berjuluk Ngo heng-ciok-cu tadi, dia orang nomor empat dari kelima Ngo-heng
 yang bergelar To-ciok-cu Phoa Lik, saking kaget dan ketakutan, baru saja dia
 hendak melempar senjatanya, tahu2 jiwanya sudah melayang, batok kepalanya
 dikepruk hancur oleh Siang Cin.
 Baru saja Siang Cin hendak menerobos masuk, hawa pedang berwarna-warni itu
 menyambar pula ke seluruh badannya, situasi yang dia hadapi kini cukup jelas, jika
 dia balik menghadapi Hoan-cit kiam hoat Keh Ki-sin, itu berarti dia akan tertahan dan
 membuang waktu, bila dia langsung menerjang ke dalam rumah yang sudah terjilat
 api, akibatnya cicinya pasti akan cidera.
 Pikiran bekerja dengan cepat, Siang Cin segera mengambil keputusan, gerakannya
 tetap kencang dan tak berhenti, ia tetap meluncur maju, sesaat sebelum badannya
 terjun ke tengah kobaran api, dikala badannya, masih terapung dan menarik diri
 itulah, dia merasakan sakit di bawah ketiaknya, tapi beberapa jurus pukulannya juga
 telah di lontarkan dalam waktu sesingkat itu, dengan telak iapun merasakan telapak
 tangannya mengenai sesuatu yang keras, tak sempat dia perhatikan, tapi dia tahu
 bahwa dia sudah mendapat imbalannya.
 Gubuk bambu yang dibangun serba sederhana dan mungil ini, kini sudah ditelan si
 jago merah, asap mengepul dan api menjilat kian kemari suara bambu yang dimakan
 api berkretekan menyebabkan Siang Cin kebingungan dan tak bisa membuka mata
 karena pedas oleh asap yang tebal.
 Dua putaran Siang Cin lari kian kemari di tengah lautan api sambil berteriak
 sepertiorang gila:
 "Cici . . . . bibi Ciu . . . . An Lip . . . . " Jawabannya adalah suara bambu pecah yang
 terjilat api, suara wuwungan gubuknya yang mulai ambruk, sementara di luar orang
 ber teriak2 mencaci maki dengan sengit.
 Sejak malang melintang di Kangouw Siang Cin tak kenal, gugup atau gelisah, tak
 pernah merasa tegang dan kuatir, reaksi di kancah pertempuran besar yang
 menimbulkan banjir darah, di tengah malam buta di tanah pekuburan yang sepi
 menyeramkan, di tengah kepungan musuh yang ber-lapis2, tak pernah ia merasa
 tegang, gugup dan gelisah, tapi sekarang, dalam sekejap ini, dia telah meresapi, dia
 paham-betapa pahit getirnya pengalaman seperti ini.
 "Cici . . . . oh . . . . cici . . . . " seperti orang gila dia menerjang ke belakang, dimana
 adalah kamar tidur Kun Sim-ti, tiang yang telah terjilat api, kebetulan runtuh menimpa
 kepalanya, sekali pukul dia bikin tiang itu mencelat menjebol atap, tanpa pedulikan
 api yang menyambar kian kemari, tanpa hiraukan api sudah mulai menjilat badannya,
 seperti kehilangan ingatan dia terus menerjang masuk, dilihatnya Kun Sim-ti telah
 rebah di lantai, pakaiannya yang bersih itu kini sudah berlepotan darah, dinding
 hangus yang telah berkobar kebetulan runtuh hampir menindih badannya.
 Mata sudah membara, laksana diburu setan, sekuatnya ia menubruk maju, begitu
 21 cepat sehingga sukar melukiskan gerakannya, sesaat sebelum dinding bambu yang
 ambruk hampir menindih badan Kun Sim-ti, dengan punggung dia tahan dinding
 bambu yang terbakar itu, sekilas ia melihat An Lip yang telah terjilat api tengah berguling2
 di lantai, laki2 kekar ini lagi mencekik leher seorang laki2 besar berbaju putih,
 laki2 baju putih ini sudah mendelik matanya, lidahnyapun terjulur keluar, rambutnya
 sudah mulai di jilat api, sementara badiknya menembus dada An Lip di bawah tulang
 pundaknya. Seluruh rumah sudah terjilat api, Siang Cin mengertak gigi, dengan tangan kanan
 memeluk Kun Sim ti, sedikit miringkan tubuh, tangan kirinya meraih leher baju An Lip,
 matanya menjelajah keadaan sekitarnya, di bawah penerangan api yang berkobar,
 hawa di dalam rumah sudah mencapai suhu yang paling tinggi, dilihatnya sepasang
 sepatu hitam terjulur keluar disebelah sana. "Bibi Ciu. . .." ia berteriak.
 Tersendat suara Siang Cin, itulah mak inang yang mengasuh dan membesarkannya
 sejak kecil, sekian tahun berkelana di Kangouw, dengan bekal kepandaian yang
 tiada taranya ini, ternyata mak inang yang membesarkannya tak mampu
 dilindunginya. Sungguh pedih serta luluh hatinya. Akhirnya dia ambil putusan,
 dengan kedua tangan mengempit dua orang laksana panah yang menjulang ke
 angkasa dia terjang atap rumah yang ber kobar2 terus meloncat keluar, tujuh tombak
 tingginya dia meluncur meninggalkan kobaran api yang beterbangan diembus angin.
 "Hari belum terang tanah, cuaca masih gelap, badan Siang Cin yang masih berkobar
 itu menjadi sasaran pandangan yang jelas, maka hujan panahpun berhamburan ke
 arahnya dari berbagai penjuru, begitu kencang, rapat dan tak terhitung jumlahnya.
 Sedikit miring dan mendak, dengan cepat luar biasa badan Sang Cin anjlok turun ke
 bawah, kira2 masih tiga tombak dari tanah, tahu2 ia berkisar laksana baling2
 sehingga tubuhnya doyong miring ke sana dan meluncur turun ke sungai, "Byuur",
 api yang menjilat tubuh mereka seketika padam mengepulkan asap dan lenyap
 diembus angin, di-tengah jerit kaget dan keheranan orang "banyak, tiba2 dengan
 badan basah kuyup itu Siang Cin meluncur keluar dari air terus melompat ke daratan,
 belum lagi hinggap di tanah, kedua kakinya dengan tepat mendepak dada dua laki2
 yang tengah mengayun golok di tepi sungai.
 Sesosok bayangan kurus tinggi tiba2 muncul, Kim-kung-tui (bandulan emas) sebesar
 kepala bayi menderu tiba, dengan rambut yang sudah awut2an, Siang Cin
 mengegos ke samping, bandulan emas itu menyempet lewat dalam detik2 yang
 singkat ini, sikut kiri Siang Cin menyodok telak lambung si penyerang.
 "Ngek", darah menyembur dan muncrat beterbangan, sambil merendahkan badan
 sebelah kaki Siang Cin terayun pula, empat laki2 yang menyerbu tiba kena
 disapunya jatuh lintang pukang dengan kaki "patah, semuanya menjerit kesakitan
 dan terguling2 di tanah.
 Meski kedua tangan mengempit dua orang, tapi gerak-gerik Siang Cin masih tangkas,
 lincah dan cekatan laksana pusaran angin, dalam sekejap mata, enam laki2 kembali
 terbaring tanpa nyawa, kalau bukan didepak pecah kepalanya, pasti tertendang
 remuk dadanya. Bayangan orang tampak berkelebat memburu datang, tapi darah korbannya mengalir
 semakin banyak, tubuh manusia gelimpangan tanpa nyawa, tapi mereka tidak
 merasa jeri, se-olah2 tak melihat dan mendengar, yang satu roboh, dua menubruk
 tiba, inilah lukisan nyata dari neraka, di mana jagal manusia tengah berlangsung.
 Tegang dan ketakutan Sin losu terbelalak kedua bola matanya, sungguh tak pernah
 dibayangkannya bahwa si Naga Kuning ternyata betul2 mempunyai kekuatan
 terpendam yang bukan olah2 hebatnya, tekad juangnya begitu gigih dan tak
 terpadamkan. Giok-mo-cu Keh Ki-sin tampak duduk di bawah pohon, wajahnya pucat pasi,
 napasnya ter-engah2 kedua tangan mendekap dada, butiran keringat dingin
 bercucuran, dengan suara lemah serak dia bertanya: "Su . . . . Suko, apa di depan
 sana" Sin-losu bergidik seram, suaranya tergagap: "Siang Cin ternyata tidak kabur......."
 22 Berkilau sorot mata Giok mo cu, serunya: "Dia mampus?"
 Sin-losu menelan liur, sahutnya hambar: "Tidak . . . . dia.... dia menyerbu kembali
 dan banyak korban . . . . . . "
 "Huuuaaah," sekumur darah tertumpah dari mulut Keh Ki-sin, badan yang
 menggelendot itu seketika menjadi lunglai, lekas Sin losu memburu datang, sekilas
 bola matanya jelilatan, lalu dia membanting kaki penuh kebencian, mendadak ia
 berkelebat ke dalam kegelapan, dikala Sin-losu ngacir . . . yang terjadi. . itulah, satu
 di antara Ngo heng ciok cu kembali terjungkir balik sejauh dua tombak.
 Se konyong2 seorang menjerit melengking: "Mana Sin-suya" Mana Keh-kongcu"
 Mereka melarikan diri."
 "Ngacir" Keparat, kita ditinggalkan mengadu jiwa di sini . . . . . . " suara caci maki
 yang bernada gusar segera saling sahut.
 Dalam pada itu dengan sebat Siang Cin telah hindarkan bacokan Hou thau-to, sekali
 sodok dengan sikutnya dia bikin laki2 penyerang itu terpental dengan muntah darah,
 suara ribut berkumandang di mana2, bayangan orang berlarian dan lenyap di tempat
 gelap, sekejap saja semuanya sudab lari mencawat ekor.
 Dengan langkah sempoyongan Siang Cin berusaha menegakkan badannya, sekilas
 matanya menjelajah sekelilingnya, segera dia berlari pula ke depan terus melejit
 tinggi hinggap di pucuk pohon beringin yang tinggi lebat.
 Tak lama kemudian fajarpun menyingsing, cahaya mentari yang keemasan
 memancar cemerlang, cuaca pagi yang cerah, hawa sejuk, tapi keadaan di sini
 sungguh mengerikan.
 Bersandar di dahan pohon beringin yang lebat, dengan hati2 dan pelan2 Siang Cin
 merebahkan An Lip, laki2 kekar ini mengalami luka2 yang cukup parah, untungnya
 badik yang menembus dada itu menusuk miring ke atas, sehingga luka2nya tidak
 fatal. Siang Cin mencabut keluar badik itu, karena tidak membawa obat, untuk
 mencegah darah keluar terlalu banyak dia balut luka2 itu dengan sobekan kain
 bajunya, kini orang tengah tidur lelap, kalau tidak tentu sudah meraung kesakitan
 dan jatuh semaput waktu badik itu dicabut keluar dari dadanya.
 Siang Cin paham bahwa luka2nya sendiri juga tidak ringan, tapi sementara ini dia
 tidak sempat urus diri sendiri, Kun Sim-ti telah lelap dalam pelukannya, wajahnya
 nan jelita bak bidadari kini telah melepuh merah berair, bukan di pipinya saja, juga di
 pundak, lengan dan sekujur badannya terbakar.
 Siang Cin merasa syukur bahwa pertolongannya tepat pada waktunya, dia tahu asal
 dirawat dan istirahat untuk waktu yang cukup lama. Wajah Kun Sim-ti pasti tidak
 akan menimbulkan cacat apa2, tapi bila setengah langkah dia terlambat, wajah nan
 jelita ini pasti rusak, akibatnya sungguh tak berani Siang Cin membayangkan.
 Selain luka2 terbakar pundak Kun Sim-ti juga terbacok golok, lukanya cukup dalam,
 darah sudah berhenti, membeku hitam membiru, semakin dipandang perasaan
 Siang Cin menjadi pedih seperti di sayat2.
 Rumah bambunya yang mungil itu, kini telah tinggal puing2nya saja, sisa bambu
 yang masih terbakar mengepulkan asap, taman di pekarangan depan rumahnya kini
 sudah acak2an tak keruan, mayat tampak bergelimpangan di sana darahpun
 berceceran. ditambah berbagai alat senjata yang berserakan, pemandangan
 sungguh amat mengerikan.
 Siang Cin menarik napas panjang, di bawah ketiak kanannya ada sejalur luka
 panjang, tapi kulit daging sekitarnya kini sudah pati rasa, cuma luka terbakar
 dipunggung yang kini masih menyiksanya, rasanya seperti ditusuk ribuan jarum, atau
 di gigit ribuan semut.
 Siang Cin menjadi kehilangan akal, padahal yang luka parah harus selekasnya diberi
 pertolongan, tapi umpama dia sanggup menyeret kedua orang luka parah ini dan
 mencari tabib, kan bisa celaka kalau jejaknya sampai konangan musuh" Siang Cin
 tahu, selama beberapa tahun belakangan ini, permusuhan yang dia ikat selama
 berkecimpung di Kangouw jauh lebih banyak dari pada teman2 yang dikenalnya.
 Dikala memeras otak itulah, derap kaki kuda yang mencongklang pesat sayup2
 23 datang dari kejauhan, derap kaki kuda terdengar kacau dan berpacu kencang, naluri
 Siang Gin segera merasakan adanya gejala tidak menguntungkan bakal tiba.
 Tak lama kemudian, derap kuda itu berhenti di luar hutan, dengan cepat dua puluhan
 orang dengan mengenakan seragam abut ketat muncul dari balik pohon sana,
 semuanya adalah laki2 yang bermuka bengis dan jahat, gerak-gerik mereka cukup
 tangkas terus menyebarkan diri, tak lama kemudian muncul pula lima puluhan orang
 yang berseragam sama ber-bondong2 memasuki hutan, tanpa di beri aba2 mereka
 langsung memecah diri menjadi sebuah lingkaran, busur panah siap di tangan
 mereka sama diarahkan kegelanggang seperti sedang menghadapi pemandangan
 yang seram. Baru saja ke delapan puluhan orang di sini selesai membenah diri, muncul pula dua
 puluhan orang dengan dandanan yang beraneka ragam, meluncur tiba dari berbagai
 penjuru hutan, lalu muncul pula seorang laki2 berusia tiga puluhan, bibir merah gigi
 putih, dengan jubah mentereng yang di bagian dada bersulam huruf "GI", empat
 laki2 yang berwajah kereng mengiring di belakangnya, di belakang ke empat orang
 ini beranjak pula seorang laki2, dia bukan lain adalah Gui Ih yang kemarin menghajar
 An Lip dengan cemetinya, Gui Ih adalah pelaksana hukum dari seksi bendera merah
 Siang-gi-pang. Siang Cin menyengir getir, sungguh amat kebetulan, dalam keadaan seperti ini,
 pihak Siang-gi-pang ternyata meluruk datang pula hendak membuat perhitungan
 dengan dirinya.
 Agaknya laki2 jubah kelabu dengan huruf "Gi" yang tersulam di depan dada itu
 menjadi melenggong menyaksikan pemandangan di depan mata, wajahnya yang
 cakap itu mengernyit, terlihat bekas luka di jidatnya, codet ini sebesar mata uang,
 kini kelihatan bersemu merah, sekilas dia menyapu pandang sekitarnya, lalu berkata
 dengan suara kereng: "Gui-angki, selama enam belas jam ini, dengan berbagai daya
 upaya dan mengerahkan puluhan tenaga terpercaya baru kita berhasil menemukan
 alamat si Naga Kuning, tapi sekarang kita hanya menemukan puing2 dengan mayat
 yang tak mampu berbicara lagi.".
 Agaknya Gui Ih juga tertegun sekian saat dia melongo, sahutnya kemudian: "Bahwa
 gubuk yang terbakar itu jelas adalah tempat tinggal orang she Siang, bocah itu
 terlalu banyak mengikat permusuhan, bukan mustahil para musuhnya telah
 mendahului kita mengobrak-abrik tempatnya ini . . . . "
 Tangan si jubah kelabu mengelus hurus "Gi" di depan dadanya, dengusnya dengan
 kurang senang: "Menurut penyelidikanmu, berapa banyak anak buah Siang Cin yang
 tinggal bersama dia?"
 Berpikir sebentar Gui Ih menjawab dengan suara lirih: "Kecuali seorang mak inang
 rasanya tiada orang lain yang tinggal bersama dia, selamanya dia malang melintang
 seorang diri . . . . "
 Mendelik mata si jubah kelabu, katanya keras, "Ada puluhan mayat menggeletak di
 sini, sukar dipercaya dengan seorang diri dia mampu menjagal orang sebanyak ini,
 apalagi mereka bersenjata semuanya." - Sampai di sini dia berpaling ke kanan dan
 berkata kepada laki2 tua berjenggot pendek: "Jing-sim tong Cui tongcu, kau pimpin
 beberapa orang, geledah sekeliling sana."
 Laki2 tua itu membungkuk sambil mengiakan, lalu melompat ke depan, sepuluhan
 orang anak buahnya segera ikut berlari di belakangnya, mereka mulai memeriksa
 semua mayat satu persatu, dari kejauhan tiba2 laki2 tua itu menjerit: "Hah, bukankah
 ini Cui ciok-cu Ong Bu, orang ketiga dari Ngo-heng-ciok cu." - Belum lenyap gema
 suaranya kembali ia menjerit pula: "Heh, inikan Bok-ciok-cu Phoa-lat. Ah. ini Tio Wijiang.
 Cong-thau-bak dari Thian-king-kau, Wah, Cap-ji-hwi-so dari Lam-bu-san juga
 menggeletak seluruhnya. Ini Nyo Cayseng, guru pelatih dari Ban-keh po. Ai, ini Liang
 Tam, Hupangcu dari Ui-hong pang di Toa-ih-ho . . ."
 Setiap kali mendengar teriakan si laki2 tua, air muka si jubah kelabupun berubah
 semakin kelam, akhirnya dia tidak tahan lagi, serunya: "Cui tongcu, carilah mayat
 orang she Siang." --- Sampai di sini dia melotot, pula ke arah Gui Ih dengan muka
 24 merah cepat Gui Ih berlari ke sana ikut bantu mencari, perhatiannya hanya tertuju
 pada mayat Siang Cin saja.
 Sesaat kemudian, dengan tangan berlepotan darah Cui-tongcu kembali, katanya
 sambil menggeleng: "Lapor Pangcu, seluruhnya ada tiga puluh dua mayat,
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semuanya jago2 silat yang punya nama di tiga propinsi utara, paling tidak mereka
 sudah cukup disegani oleh sesama kaum persilatan, beberapa tahun belakangan ini
 kita sudah cukup luas bergaul di Kangouw, di. antara 32 mayat dt sini ada dua
 puluhan lebih yang kukenal . . . . " setelah menghela napas dia menyambung:
 "Umpama Nyo Cay-seng, Nyo-lote, dua hari yang lalu masih minum arak bersamaku,
 tak tersangka hari ini aku harus mengubur mayatnya di sini."
 Si jubah kelabu melotot tanpa bersuara, tak lama kemudian Gui Ih pun telah balik,
 katanya dengan ragu2: "Di bawah puing terdapat dua mayat yang sudah menjadi
 arang, satu laki dan satu perempuan, dari pakaiannya jelas si perempuan itu adalah
 mak inang . . . . . "
 Si jubah kelabu menggentak kaki, tanyanya gusar: "Dan yang laki2?"
 Gus Ih ragu2, sahutnya kemudian: "Sudah menjadi abu dan sukar dikenal lagi, cuma
 pakaian yang dikenakan tampaknya bukan warna kuning . . . . . "
 "Hayo, geledah seluruh pelosok!" teriak si jubah kelabu dengan mendelik.
 Delapan puluhan orang serempak mengiakan mereka lantas memencar mengobrak
 abrik ke mana saja yang dipandang bisa digunakan bersembunyi.
 Cui-tongcu dari Jing-sim-tong itu agaknya. berkedudukan cukup tinggi, ia berdiri di
 depan si jubah kelabu dengan nada berat dia berkata: "Pangcu, bicara terus terang,
 betapa tinggi kepandaian si Naga Kuning Siang Cin belum pernah kita saksikan,
 paling tidak juga pernah kita dengar, pemandangan di depan mata merupakan bukti
 nyata, maka menurut pendapatku jika Pangcu suka bersabar, urusan ini kiranya bisa
 disudahi saja. . . . . "
 Codet di jidat si jubah keiabu tampak semakin merah, sedapat mungkin dia menekan
 amarahnya,katanya kurang senang: "Cui-tongcu, peristiwa ini menyangkut nama dan
 wibawa Siang gi-pang kita, jika kita harus berpeluk dengan menghadapi usik orang
 lain tanpa memberi sedikit hajaran padanya, memangnya Siang gi pang masih punya
 wibawa untuk bertengger di kalangan Kangouw, bagaimana kita dapat memimpin
 anak buah yang berjumlah sekian banyak?"
 Cui tongcu mengelus jenggot, katanya kalem: "Ucapan Pangcu memang tidak salah,
 tapi kita juga harus menimbang, gengsi dan wibawa yang akan kita pertahankan
 harus kita rebut, kalau sebaliknya, kukira ini bukan cara yang baik."
 Mendelik si jubah kelabu, dingin suaranya: "Cui tongcu ini sudah menjadi keputusan
 Pang kita yang tak boleh diubah, peduli betapapun besar pengorbanan yang harus
 kita pertaruhkan, sakit hati ini tetap harus kita tuntut."
 Cui tongcu tak bersuara lagi, diam2 dia mengundurkan diri ke samping. Di pucuk
 pohon beringin Siang Cin dapat mertyaksikan semua ini dan mendengar pula
 dengan jelas, dengan senyuman getir ia mengawasi orang2 Siang gi-pang yang
 mondar mandir menggeledah kian kemari.
 Cepat sekali sang surya naik semakin tinggi, Si jubah kelabu menunggu dengan
 tidak sabar lagi, sambil menggendong tangan dia mondar-mandir tidak tenang,
 keempat laki2 kekar berdiri berjajar di belakangnya dengan meluruskan tangan.
 Siang Cin tahu keempat orang ini adalah Su-koay-Cu yang kenamaan dari Siang-gipang,
 mereka adalah pengawal pribadi Sam-bak-siu-su Tan Sin, Pangcu Siang-gipang.
 Si jubah kelabu Sam-bak-siu-su Tan Sin, mendadak mengayun tangan ke atas,
 teriaknya dongkol: "Sudah, berhenti! Semuanya pulang saja! Aku tidak percaya
 orang she Siang itu mampu terbang ke langit atau selulup ke bumi,"
 Lekas Cui-tongcu menepuk tangan, serunya: "Perintah Pangcu, penggeledahan
 dihentikan."
 Orang2 yang sudah menyebar luas ke dalam hutan itu segera putar balik dan
 berkumpul di tempat semula, belum lagi mereka sempat membentuk formasi
 lingkaran tadi, dari luar hutan tiba2 terdengar suara "pletak-pletok", suara beradunya
 25 papan kayu. . Baru saja Tan Sin berpaling dengan pandangan heran, anak buahnya di luar hutan
 sudah menghardik: "Berhenti saudara di depan itu Siang-gi-pang sedang ada
 perkara di sini. Bendera kami berkibar di sana, memangnya saudara tidak
 melihatnya?"
 Suara "pletak-pletok" tak terdengar lagi, diganti suara aneh yang bernada
 melengking: "Eh, maknya dirodok, di siang hari bolong juga berani main begal di sini"
 Penyamun keroco juga pasti melihat tempat dan waktu bila mau beroperasi, kalian
 ini penyamun keparat dari mana yang tidak bisa melihat gelagat" Untung tuan
 besarmu hanya membawa batok kepala yang bertengger di leher tok, tiada sekeping
 uang yang bisa kau peras dari badanku, memangnya kalian mau berbuat apa
 terhadapku."
 Hardikan di luar kembali berkumandang: "Saudara yang baik, tentunya kaupun
 sudah kenyang berkecimpung di Kangouw, jangan bertingkah dan berlagak pilon di
 depan kami, kalau tahu diri lekas menyingkir saja."
 Suara aneh seperti orang banci tadi berteriak pula: "Wah aneh, tuanku sudah biasa
 berkeliaran main terobos rumah dan selundup dalam hutan, ke langit bisa terbang,
 ke bumi aku, bisa selulup, kemana aku suka pergi boleh sesuka hatiku, siapapun
 tiada yang berani mengusik seujung rambutku, memangnya kalian tetap mengadang
 di tengah jalan ini dan tidak mau menyingkir?"
 Tan Sin menarik muka, jengeknya: "Keparat ini jelas sengaja mencari gara2, suruh
 mereka biarkan dia kemari, akan kulihat ke mana dia mau pergi."
 Seorang laki2 baju abu2 segera berlari keluar hutan, tak lama kemudian, suara
 "pletak- pletok" seperti ketokan kayu penjual bakmi berkumandang pula Eh ternyata
 beranjak kemari, menuju ke arah orang banyak ini.
 Siang Cin yang ada di pucuk pohon dia sudah menjadi gelisah, dia tahu orang yang
 suka mengetok kepingan kayu bila berjalan ini adalah teman karibnya sehidupsemati,
 pendekar aneh yang bergelar Liang kui pan dari Hou-keh-can, namanya Pau
 Seh-hoa. Tingkah lakunya lucu dan aneh, bajik dan dermawan, kini dia mengenakan celana
 panjang biru yang sudah luntur, ikat pinggungnya adalah seutas tali rami yang
 kelihatan mengkilap karena kotor berminyak, kakinya pakai sepatu rumput yang
 butut dan sudah berlubang alasnya, rambut yang awut2an laksana sarang ayam
 tersunggih di atas kepalanya, matanya yang sipit seperti kurang tidur tumbuh di
 bawah jidatnya yang lebar, hidung besar, mulutnya yang lebar dengan gigi kuning
 prongos, mulutnya selalu kerkecap mengiringi bunyi pletak-pletok dua keping kayu
 yang bergantung di belakang pantatnya, papan kayu warna hitam terbuat dari kayu
 kenari. Dengan tajam Tan Sin tatap kedatangan tamu yang tak di undang ini, Pau Seh-hoa
 unjuk tawa lucu kepada Pangcu besar ini dengan gigi yang prongos, tiba2 matanya
 melirik dan mulut yang lebar itu menciut, katanya- "Rumah di sini sudah dibakar?"
 Dingin tatapan Tan Sin, katanya: "Memangnya kenapa?"
 Pau Seh hoa mengernyit hidung, seperti tawa tidak tertawa dia berkata; "Kalian yang
 melakukan?"
 Tan Sin menengadah, jengeknya: "Kalau benar mau apa?"
 Pau Seh-hoa pandang sekelilingnya, mendadak sikapnya berubah, suaranya bukan
 saja dingin kaku, katanya ketus: "Lalu bagaimana dengan saudaraku Siang Cin?"
 Tan Sin menjengek: "Aku justeru ingin tanya padamu tentang dia."
 Sekilas melengak, mendadak Pau Seh-hoa terbahak2. "Slut", dia membuang ingus,
 lalu miringkan kepala dan berkata sambil menuding Tan Sin: "Ya, ya, aku tahu
 kawan, dengan bekal kemampuan kalian yang tak becus ini. terbukti dengan korban
 yang gelimpangan itu sekarang berbalik kau tanya pada tuan besarmu malah
 Hahaha, hohoho Siang-lote O, Siang-lote, memang hebat kau, kau benar2 hebat . . . .
 " Dikala gema tawanya masih mendengung, tiba2 dari sebelah sana menggeledek
 26 suara hardikan, seorang laki2 baju hijau dengan jambangnya yang kasar mengayun
 golok besar menubruk tiba, goloknya membacok ke muka Pau Seh-hoa.
 "Hait, kurang-ajar! Tidak pakai aturan . . . . " demikian seru Pau Seh-hoa, tapi tanpa
 bergeming sedikitpun, malah kepalapun tidak tampak bergerak, entah bagaimana,
 tahu2 kedua tangannya bergerak, "pletak", "klontang", golok besar si penyerang
 tahu2 terbang ke angkasa, sementara laki2 penyerang itu terlempar ke belakang
 jatuh terduduk dengan kaki tangan mencak2.
 Tangan Pau Seh-hoa tampak bergerak membalik dua keping kayunya entah sejak
 kapan tahu2 sudah berada di tangan dan kini sedang dilempar naik turun buat
 mainan, sambil geleng2 kepala kembali ia mengoceh dengan nada nyentrik:
 "Keparat yang tidak tahu adat, hari ini sekedar kuhajar kau supaya selanjutnya tahu
 sopan santun . .."
 Mulutnya mengoceh, sikapnyapun tak acuh, malah kelihatan pongah, tapi dengan
 jelas dilihat Pau Seh hoa betapa hebat perubahan air muka Tan Sin, mukanya
 sedingin es dan membesi hijau, anak buah Siang-gi-pang di sekelilingpun serentak
 memegang gagang senjata, panah terpasang di busur siap menanti aba2 untuk
 menyerang, suasana cukup tegang.
 Cui-tongcu yang berjenggot kambing itu batuk2, katanya dengan suara ketus:
 "Saudara ini kiranya seorang kosen, siapa benar dan siapa salah kenyataan yang
 akan membuktikan, sekarang saudara boleh sebutkan namamu dulu."
 Mata sipit Pau Seh hoa terbelalak, lidahnya terjulur menjilat bibir dari kiri ke ujung
 kanan, suaranya kini berganti dingin dan kasar. "Hm. Siang gi-pang terhitung
 perkumpulan kentut apa" Pau-loya sudah cukup bersikap ramah, tapi kalian justeru
 mau main kayu" Main serang secara serampangan, memangnya Pau-loya ini anak
 kura2" Dengarkan dengan baik, "dua keping kayu- Pau Seh-hoa ialah orang yang
 berdiri di depan kalian ini."
 Manusia punya nama, pohon ada bayangan, peribahasa ini memang tepat. Seketika
 berdetak jantung Cui tongcu demi mendengar orang memperkenalkan diri, sekilas ia
 tertegun. Pau Seh-hoa tidak hiraukan sikap orang, mulutnya ber kecek2 lalu berkata
 dengan mimik tertawa tidak tertawa: "Bagaimana" Tan- toapangcu agaknya masih
 penasaran?"
 Sam-bak sin-su Tan Sin belum pikun, sudah tentu dia tahu macam apa tokoh "dua
 keping kayu" dari Hou keh-san ini, beberapa tahun yang lalu dengan dua keping
 kayunya itu Pau Seh hoa pernah menyapu habis kaum berandal Toa-lo-cian, hongpian
 dan "Sam-wi
 
^