Bara Naga 10

Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 10


ekilas lirik Siang Cin sudah melihat jala yang menyambar dirinya ini dihiasi ribuan
 benda runcing bergantol mirip pancing, sebat sekali ia menggeser mundur, lalu
 dengan gerakan yang lebih cepat pula ia mendesak maju pula, sekali bergerak, sepuluh jurus
 pukulannya secara berantai telah dilancarkan.
 Begitu cepat pukulannya, ganas dan keji, semuanya mengincar tempat yang
 mematikan. Kaget si nyonya baju hitam dan melompat menyingkir dengan menjerit heran.
 Segera Sebun Tio-bu doyong ke samping, ke dada seorang yang menerjang maju
 kena dikepruknya remuk, dengan cara yang sama kembali dia merobohkan seorang lawan,
 di tengah suara gedebukan gara2 korbannya yang terbanting roboh itu, dia bergelak
 tertawa: "Janda hitam, Lo-sat-bong (jala kuntilanak) andalanmu ini jangan harap akan
 menjaring sang jejaka ganteng seperti dia."
 Wajah si nyonya baju hitam yang kaku menghijau seketika berubah jengah, beruntun
 ia mainkan jaringnya, dengan gusar dia membentak: "Kau, siapa kau" Darimana kau
 mengenalku'"
 Sebun Tio-bu tertawa, katanya: "Siapa yang tidak kenal adik tua perempuan To hayliong
 Giam Ciang, tertua Sio-lian-su-coat dari Pek-hoa-kok", Sungguh kasihan, usia
 masih begini muda sudah menjadi janda sungguh mengharukan ... . ."
 Keruan seruan bersungut wajah si nyonya baju hitam, dengan gemas jalanya segera
 diputar kencang hingga menderu, ternyata permainan jalanya ini merupakan
 kepandaian khas, jala yang lemas panjang ini kadang2 disabetkan sebagai cambuk, tapi juga
 bisa dibuat mengepruk seperi toya, menggubat seperti tali, tiba2 bertebaran pula seperti hendak
 menjaring ikan terutama duri2 bergantol seperti pancing itu dengan sinarnya yang
 kemilauan membingungkan orang, setiap serangannya cukup keji dan mematikan.
 Siang Cin memperlihatkan kegesitannya, ia bergerak pergi datang dengan lincah,
 begitu cepat laksana bayangan sehingga sukar diduga ke arah mana dia bakal bergerak,
 kelihatan dia hendak melompat ke depan, tapi kenyataan sudah berada di samping, lebih
 hebat lagi di 244 tengah gerak geriknya yang sebat itu sering dia melancarkan pukulan gencar, angin
 pukulannya se akan2 mendampar dari berbagai arah, malah angin pukulan yang
 mendampar ini ber-lapis2 seperti gelombang laut sehingga lawan yang memainkan
 jala itu hampir2 tak dapat bergerak.
 Napas nyonya itu mulai memburu, keringat telah membasahi wajahnya, kini dia
 hanya mampu membela diri atau bertahan melulu, kalau keadaan seperti ini berlangsung
 lebih lama lagi, jelas dia tidak kuat bertahan lagi.
 Tiga laki2 baju merah yang masih bertahan kelihatan masih berkepandaian lebih
 tinggi daripada kawan2nya yang mampus lebih dulu, tapi melawan Sebun Tio bu yang
 gagah perkasa segarang harimau mengamuk, dalam sekejap saja dua di antaranya telah
 dibinasakan, tinggal seorang lagi mukanya sudah berlepotan darah, cepat dia
 berlutut dan minta ampun pada Sebun Tio bu.
 Sebun Tio-bu ter-gelak2, orang yang terluka dan dijinjingnya sejak tadi itu dia
 serahkan kepada laki2 yang berlutut di depannya, lalu dengan kereng dia berkata: "Temanmu
 ini terluka karena berani melawan tuan besarmu, tapi dia jauh lebih baik daripada kau
 yang gentong nasi ini, lekas panggul dia pergi dan diobati, ingat selanjutnya jangan
 bertingkah sebagai orang gagah kalau kau memang tidak becus. Nah, lekas menggelinding
 pergi, jangan bikin tuan besarmu marah melihat tampangmu."
 Laki2 yang sudah pucat dan kaki tangan gemetar itu dengan ter-gopoh2 pondong
 temannya terus ngeloyor pergi hingga lupa mengucapkan terima kasih lagi cepat
 bayangannya lenyap di balik batu di luar sana.
 Sebun Tio bu menghela napas lega, katanya sambil menarik alis: "Siang-heng, kini
 boleh kau robohkan perempuan genit ini, buat apa kau main2 saja dengan dia?"
 Di tengah pembicaraan itulah, tampak kedua bayangan orang yang lagi bertempur
 mendadak seperti merapat, tapi cepat sekali terpisah lagi, "wut", jala si nyonya
 tampak menyambar lewat di alas kepala Siang Cin, dalam sekejap ini terdengar nyonya itu
 mengeluh tertahan, tubuhnya berputar terus roboh terbanting.
 Dengan tajam Siang Cin tatap lawannya yang meringis kesakitan dengan butiran
 keringat di dahinya. jengeknya: "Bila kulihat kau lagi pada kesempatan lain, nasibmu
 takkan sebaik sekarang ini biasanya aku tidak sudi melabrak kaum perempuan, tapi
 hanya sekali ini saja aku memberi kelonggaran."
 Sebun Tio-bu mengulap tangan sambil berteriak: "Hayolah pergi, bantuan musuh
 245 telah tiba." Memang bunyi tambur dan gembrengan yang gencar terdengar ber-talu2 di luar
 sana, suara senjata serta teriakan dan derap langkah mereka yang berlari tengah
 memburu ke arah
 sini. Baru saja Siang Cin hendak beranjak, nyonya baju hitam yang duduk mendeprok di
 lantai itu mendadak berseru dengan mengertak gigi: "Bajingan tengik, kau kalau
 berani, sebutkan namamu."
 Mencorong sorot mata Siang Cin, jawabnya dengan dingin: "Akulah si Naga Kuning
 Siang Cin."
 "O," teriak si nyonya tertahan sambil mendekap mulut, mukanya yang pucat tampak
 semakin pucat, dengan kaget dan bingung ia pandangi Siang Cin, seperti tidak
 percaya pada pendengarannya sendiri..
 Sebun Tio-bu tertawa lebar, katanya: "Genduk ayu, tak usah takut, Siang-heng ini
 takkan tega membunuh kau, mungkin kau ingin juga tahu nama julukan tuan
 besarmu ini"
 Haha, tapi takkan kuberitahu, biarlah kau menduga2 saja."
 Habis berkata kedua orang terus lari ke arah undakan batu di sebelah kamar kanan,
 sekali membelok ke sana jejaknya lantas lenyap.
 Habis menaiki tangga batu, di atas adalah sebuah panggung datar, dari tempat
 ketinggian ini terlihat jelas puluhan obor bagai rantai memanjang dengan kerlipan
 senjata yang tengah bergerak mengikuti bayangan orang banyak menuju ke bangunan
 gedung di sini suara caci maki, teriakan dan bentakan bercampur-aduk, suasana tampak kacau
 balau. Ada sepuluh bayangan orang yang melambung ke atas, dengan tangkas menubruk
 ke arah kamar batu itu, dari gerak gerik mereka yang gesit, jelas semuanya memiliki
 Ginkang tinggi, belasan orang ini terang adalah tokoh2 silat kelas tinggi.
 Sebun Tio-bu menyeringai, katanya lirih: "Sebetulnya ingin aku melabrak mereka,
 apa boleh buat, sekarang bukan waktunya."
 Siang Cin mengangguk, katanya: "Hayolah kita tempuh arah yang berlawanan" Maka
 bayangan kedua orang segera melenting tinggi ke depan, di tengah udara keduanya
 membelok terus meluncur lebih cepat lagi, begitu cepat serta indah gaya mereka,
 dalam sekejap saja telah lenyap di telan kegelapan . .. . . . "
 Toa ho-tin sudah berada di depan pula. Sebun Tio bu dan Siang Cin yang berlari
 246 kencang bagai terbang mengerahkan langkahnya, akhirnya keduanya menghela
 napas lega, kata Sebun Tio bu: "susah juga semalam ini, sayang tak berhasil menolong
 seorangpun, tapi jelas ada beberapa anggota Bu-siang-pay yang masih hidup sejak kekalahan
 mereka di Pi-ciok-san tempo hari."
 "Betul," ucap Siang Cin, "entah bagaimana nasib mereka kini?"
 Sebun Tio-bu mengusap keningnya katanya: "Kupikir nasib mereka takkan seburuk
 anjing yang dijagal."
 Siang Cin menggeleng dan berkata: "Menurut dugaanku, mereka akan menyandera
 beberapa orang itu, bila pihak mereka terdesak, para tawanan itu akan dijadikan
 jaminan untuk menyelamatkan diri."
 "Dugaan tepat," sera Sebun Tio bu, "pasti begitulah, tapi kita tidak tinggal diam,
 harus gagalkan maksud mereka itu."
 Siang Cin tidak menanggapi, ia sedang menatap ke arah pohon cemara di sebelah
 kiri jalan berlumpur sana, sebagai kawakan Kangouw yang sudah berpengalaman
 Sebun Tio-bu bisa lihat gelagat, dirasakan adanya gejala yang tidak sehat di sebelah sana, dengan
 tertawa dia mendahului melangkah ke depan, ia sengaja berseru keras: "Sia2 berjerih payah
 semalam suntuk, hasilnya nihil dan jiwa nyaris melayang, sungguh menjengkelkan."
 sembari bicara dia merogoh saku, tapi sebelum dia menarik tangannya, dari arah
 hutan cemara di sebelah kiri terdengarlah gelak tertawa lantang, sesosok bayangan
 tampak melayang keluar.
 Sekilas melengak segera Sebun Tio bu menggerutu: "Neneknya, kiranya Kin Jin."
 Pendatang ini memang Kim-lui-jiu Kin Jin, agaknya diapun sudah kepayahan, rona
 mukanya menampilkan rasa letih dan lesu, begitu berhadapan dengan Sebun Tio bu
 dan Siang Cin, dengan gerak ke-malas2an dia mengulap tangan kepada Sebun Tio bu,
 katanya: "Sebun-heng, Thi-mo-pi (lengan besi iblis) yang tersimpan di sakumu itu jangan kau
 keluarkan, dari kejauhan kulihat kau merogoh saku, segera aku tahu niat apa yang
 hendak kau lakukan . . . . "
 Sambil ngakak Sebun Tio-bu keluarkan tangannya, katanya: "Kukira keparat mana
 yang belum kapok, berani main cegat dan main sergap di sini, tak tahunya kau."
 Sambil menggeliat malas, Kin Jin berkata: "Sejak tadi Cayhe main kucing2an dengan
 mereka supaya ada peluang untuk kalian lolos keluar beraksi di belakang, ternyata
 mereka 247 menyangka hanya aku seorang saja penyatronnya, bukan saja pendopo itu dikepung
 berlapis2, jago merekapun semua dikerahkan ke sana, terpaksa seorang diri aku
 melawan tujuh belas jago mereka, bicara terus terang, aku sudah kepayahan dan tak kuat bertahan
 lama lagi, untunglah pada detik2 genting itu seorang berlari masuk dari luar, entah apa
 yang dilaporkan, tapi sebagian besar jago yang mengerubut diriku segera menjadi ribut
 serta mengundurkan diri, kupikir pasti kalian sudah mulai bereaksi, setelah kulabrak
 mereka beberapa kejap lagi aku lantas menerjang keluar kepungan, untung lawan sudah
 berkurang sehingga dengan leluasa aku dapat meloloskan diri."
 Setelah menghela napas, ganti Sebun Tio-bu menceritakan pengalamannya secara
 ringkas, lalu dia menambahkan: "Berjerih payah semalam suntuk, tapi hasilnya nihil,
 cuma pihak musuh dapat kita bikin porak-poranda, terhibur juga hatiku."
 Hening sejenak akhirnya Kin Jin berkata pula: "Biarlah masih banyak waktu buat kita
 bergerak lagi."
 Memandang cuaca Siang Cin berkata: "Sekali gebrak tak berhasil berarti sudah bikin
 musuh waspada, untuk pergi lagi ke sana jelas takkan membawa hasil apa2, maka
 menurut hematku, mari sekarang kita menuju ke Liok-sun-ho saja."
 Mendadak Sebun Tio bu berkata sambil gosok2 tangannya: "Siang heng, bila kita
 bertindak sesuatu, apakah pihak Bu-siang pay tidak akan merasa di langkahi?"
 "Coba Tangkeh terangkan dulu urusan apa?" tanya Siang Cin.
 "Kalau kukerahkan Jian ki-bing untuk membantu bagaimana?" ucap Sebun Tio-bu.
 Lama Siang Cin tatap muka orang, katanya kemudian dengan nada terharu:
 "Tangkeh, sekali bertemu kita seperti saudara sendiri, engkau sudi membantuku, aku sangat
 berterima kasih, demi hubunganku dengan pihak Bu-siang-pay, kau rela mengerahkan seluruh
 kekuatanmu, sungguh tidak tahu apa yang harus kuucapkan. Tapi untuk kali ini,
 betapapun Cayhe tidak bisa membenarkan bila jiwa anak buahmu harus ikut dipertaruhkan."
 Lama Sebun Tio-bu mengawasi Siang Cin, akhirnya dia menghela napas, katanya:
 "Lalu bagaimana menurut pendapat Siang-heng . .. . . . ."
 Tenang suara Siang Cin: "Kali ini Bu-siang-pay mengerahkan seluruh kekuatannya,
 apa yang mereka perlukan sekarang kukira lebih mengutamakan bantuan jago2 seperti
 kita ini, pertempuran yang akan terjadi, kekuatan pasukan memang juga mengesankan, tapi
 kemampuan individu lebih diutamakan lagi, entah bagaimana pendapat "Tangkeh?"
 248 Kata Sebun Tio-bu sambil angkat pundak: "Kau lebih tahu Siang-heng, terserah
 bagaimana keputusanmu saja."
 Tiba2 Kin Jin menyela: "Sebun-tangkeh, apa yang dikatakan Siang-heng memang
 betul, tugas ini biarlah kita bertiga saja yang melakukan, kalau terlalu banyak tenaga
 bukan mustahil akan banyak jatuh korban, boleh diputuskan begitu saja, sekarang marilah
 kita berangkat ke Liok-sun-ho."
 "Khabarnya pihak Bu-siang-pay telah menyeberangi sungai," ucap Sebun Tio bu.
 Berpikir sejenak Siang Cin berkata: "Aku heran, konon Liok-sun-ho amat dalam dan
 berbahaya untuk di seberangi, musim dingin airpun tidak membeku, sepanjang tahun
 arus air selalu deras, tempat itu merupakan daerah yang berbahaya, kenapa pihak Hek jiu
 tong dan Jik-san-tui tidak-pasang perangkap atau mengatur jebakan di sana untuk
 membendung serbuan Bu-siang-pay dikala mereka menyeberang sungai?"
 Kin Jin tersenyum, katanya: "Arus Liok-sun-ho memang sangat deras, kedua tepi
 sungai dipasang rantai sebagai peluncur rakit, batu karang memenuhi pinggir sungai
 sehingga tiada tempat datar, bahwa di sana tidak leluasa untuk melakukan
 pertempuran terbuka, hanya orang2 yang berkepandaian tinggi saja yang mampu berjaga di sana,
 kukira pihak Hek-jiu-tong dan Jik san-tui juga sudah memikirkan keadaan yang serba sulit
 itu sehingga mereka tidak berpikir untuk mengatur perangkap di sana." .
 Sebun Tio-bu menggeleng, katanya: "Analisa Kin-heng yang pertama memang betul,
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi perkiraanmu selanjutnya kukira kurang tepat. Kekuatan Hek jiu-tong dan Jik-san
 tui di daerah sini sangat besar, urusan sekecil apapun takkan luput dari pengawasan
 mereka, apalagi gerakan besar2an dari Bu siang-pay?"
 "Ya, betul," sela Siang Cin, "kecuali Liok-sun-ho, adakah tempat lain yang berbahaya
 untuk menyergap musuh?"
 Sekilas Sebun Tio bu tertegun, akhirnya dia berteriak: "Pertanyaan bagus. Kin-heng,
 empat puluh li di sebelah timur Toa ho-tin bukankah ada suatu tempat yang
 dinamakan Ceciok-
 giam" Di sana bisa dipendam pasukan besar, tempatnya mudah dipertahankan
 dan leluasa untuk menyerang, daerah itu merupakan tempat penting yang harus dilalui
 bila hendak menuju ke Toa-ho tin lewat Liok-sun-ho. Bukan mustahil musuh sedang
 menghimpun seluruh kekuatannya di sana?"
 Siang Cin dan Kin Jin manggut bersama, Siang Cin bertanya pula: "Kecuali Ce ciokgiam,
 adakah tempat lain yang berbahaya pula?"
 "Kecuali Ce ciok giam, sampai dengan Toaho tin adalah tanah ladang yang datar."
 249 "Baiklah, sekarang kita lewat Ce-ciok giam langsung menuju ke Liok-sun-ho, sambil
 lalu memeriksa keadaan di sana apakah ada sesuatu yang mencurigakan, supaya
 pihak Busiang- pay bisa mempersiapkan diri."
 Sebun Tio-bu manggut2, katanya: "Siang-heng, di Pau-hou-ceng, pemimpin utama
 dan kedua mereka tidak keluar, sementara Sio-lian-su-coat dari Pek-hoa-kok yang
 datang juga hanya Kui-kok khek Pa Cong si saja yang keluar, pihak Toa to-kau juga cuma Han
 mo siang-kiu saja yang tampil ke muka, sedang Jit ho hwe hanya Ciang Heng si setan
 tua itu saja, pentolan utama mereka boleh dikatakan tiada yang hadir di sana . . . . . . "
 "Betul, belakangan pihak Toa-to-kau memang datang lagi empat Kiu-thau,
 sementara Losu (orang ke empat) dari Sio lian-su-coat, Tang-bong Se Siau juga tiba, tapi
 tokoh2 penting mereka tetap tidak tampak, menurut hematku, mereka pasti sedang
 mengatur perangkap . . . . . "
 Menepuk paha Sebun Tio bu berseru: "Siangheng, tunggu apalagi sekarang?"
 Dengan tenang Siang Cin berkata: "Tangkeh, kau lapar tidak?"
 Sebun Tio-bu tertawa, katanya: "Memang, baru sekarang cacing pita dalam perutku
 minta diberi makan, cuma tidak bawa rangsum, ke mana kita cari makan?"
 "Kira2 tiga li di depan ada sebuah warung," demikian ucap Kin Jin "disana ada bubur
 kacang dan wedang tahu, marilah sekedarnya isi perut di sana."
 Lalu dia, mendahului melesat ke depan, Siang Cin dan Sebun Tio-bu segera
 menyusul di belakangnya, tiga bayangan orang berkelebat laksana gumpalan kabut, cepat
 sekali lenyap di telan kegelapan bayang2 pohon.
 Fajar sudah hampir menyingsing, entah apa pula yang akan terjadi setelah terang
 tanah" Kedua ekor kuda dibedal kencang keluar hutan sebelah sana, tampak Siang Cin
 bersama Kin Jin menunggang seekor kuda, sementara Sebun Tio bu menunggang
 kudanya sendiri. Cepat sekali tanpa terasa padang lalang yang memagari kedua sisa jalan berlumpur
 ini sudah tertinggal jauh di belakang. Pada ujung tanah belukar di depan sana
 terbentang sebuah sungai yang sudah kering, sungai kering ini melingkar dari selatan ke utara
 membelah padang lalang ini. Di tengah sungai berserakan banyak sekali batu2 besar
 250 kecil yang beraneka ragamnya, anehnya batu2 di sini semuanya berwarna coklat, begitu
 luas dan tak terhitung banyaknya batu2 coklat itu, bertumpuk dan malang melintang tidak
 keruan. Siang Cin mengawasi sungai kering ini dengan terkesiap, katanya: "Tempat ini
 memang berbahaya."
 "Kalau tidak, berbahaya takkan dinamai Ce Ciok-giam," ucap Kin Jin.
 Sebun Tio-bu yang berada di depan berteriak sambil menoleh: "Sudah sampai,
 Siangheng sudah kau saksikan bukan" Selokan ini panjangnya ratusan li, lebarnya hampir
 setengah li, selokan ini merupakan peninggalan sungai besar di jaman purba, bila dia
 mau mencaplok manusia, meski laksaan jiwa juga bisa dilalapnya sekaligus."
 Siang Cin tersenyum, katanya: "Belum terlihat tanda mencurigakan, Tangkeh mari
 coba putar ke arah lain."
 Mereka terus membelok ke kanan, setelah beberapa kali lompatan, akhirnya kedua
 kuda tiba pada sebuah tanah lekukan, kecuali ada tiga batang pohon yang setengah
 gundul, tiada rumput atau pepohonan lain yang tumbuh di sini.
 Sebelum kuda berhenti berlarinya, Siang Cin segera melayang turun ke pinggir tanah
 lekukan itu, lalu ia melompat ke sana dan berhenti di belakang sepotong batu cadas
 besar warna coklat. Segera Sebun Tio-bu dan Kin Jin juga menyusul tiba, dalam jarak ratusan langkah,
 tepi Ceciok-giam sudah berada di depan mereka.
 Dengan mengerut kening Sebun Tio bu berkata, ke mana saja kawanan anak kura2
 itu bersembunyi" Memangnya kita yang salah arah" Tapi sepanjang jalan ini tidak
 terlihat adanya sesuatu yang tidak benar" Memangnya Hek-jiu tong dan Jik-san-tui bernyali
 kecil dan cuma bersembunyi di Pau-hou-ceng atau Toa-ho tin?"
 "Tidak akan salah, disinilah tempatnya," ucap Siang Cin.
 Kin Jin juga berkata dengan tertawa: "Em betul, ada beberapa batu besar itu
 kelihatan ber-gerak2 . . . . . ."
 Lekas Sebun Tio-bu mengawasi dengan seksama, memang benar, di dekat pinggir
 selokan memang dilihatnya sebuah batu bisa bergerak merambat, meski pelahan
 gerakannya, bila tidak diperhatikan orang takkan tahu akan kepalsuan dari batu itu.
 251 Sebun Tio bu berseru: "Keparat, permainan macam apa ini?"
 "Tangkeh," ucap Siang Cin sambil bersandar pada sebuah batu besar di sampingnya,
 "Jian-ki-beng pimpinanmu biasanya bergerak secara terang2an, dalam
 menyelesaikan urusan juga suka blak2an, bila urusan bisa didamaikan pasti pantang angkat senjata,
 sebaliknya kalau bertempur akan berjuang sampai titik darah terakhir. Sepak terjang
 ini jelas jauh berbeda dengan orang2 Hek-jiu-tong serta Jik-san-tui, tak heran laki2 yang
 gagah berani seperti kau juga mudah dikelabui oleh kelicikan musuh."
 Sebun Tio- bu tertawa, katanya: "Batu, besar yang aneh2 bentuknya itu berwarna
 sama, di antaranya memang banyak yang tiruan . . . . ..."
 Setelah mengawasi sebentar akhirnya Kin Jin menanggapi pelahan: "Batu2 tiruan itu
 semuanya terbuat dari kulit binatang yang keras serta diwarnai, di dalamnya
 bersembunyi manusia, sayang batu yang berserakan dan bertumpuk tindih itu sangat banyak
 sehingga sulit juga membedakan mana yang tulen dan mana yang palsu, batu2 tiruan itu
 memang dibikin oleh tangan ahli, kalau tidak diteliti memang mudah dikelabui . . . . ".
 Siang Cin mengangguk, katanya: "Jangan sampai musuh tahu akan jejak kita, kini
 waktu sudah mendesak, hayolah berangkat."
 Setelah mengawasi sekian lamanya pula batu2 yang berserakan di kejauhan sana,
 Kin Jin berkata: "Terpaksa kita harus putar balik saja supaya tidak menimbulkan curiga
 mereka, bukan mustahil kedatangan kita sudah diketahui mereka."
 Mendadak Sebun Tio-bu mendekam serta ber-kata dengan suara tertahan: "Awas,
 ada serombongan orang."
 Lekas Siang Cin dan Kin Jin ikut berjongkok, lalu mereka mengintip, kira2 lima
 ratusan langkah disana, tampak dua puluhan orang Jik-san tui yang bersenjata
 kampak dengan memanggul busur dan panah dengan sikap tegang dan waspada sedang
 merunduk maju seperti tengah menghadapi musuh. Sambil membungkuk menggeremet maju,
 tapi arah mereka sedikit melenceng, maka mereka terus lewat di sebelah Siang Cin
 bertiga sehingga jejak mereka tidak sampai konangan.
 Sambil menahan napas mereka mengawasi orang2 Jik-san tui ini turun ke selokan,
 diam2 Sebun Tio-bu mendengus: "Untung mereka tidak kemari, kalau tidak, cukup
 sekali gebrak, saja tanggung seluruhnya akan kubereskan."
 252 "Malah semuanya akan mampus dengan leher berlubang," demikian goda Siang Cin
 tertawa. Sebun Tio bu tertawa dan berkata: "Darimana kau tahu, Siang-heng?"
 "Bagi insan persilatan yang berkecimpung di Kangouw, siapa yang tidak tahu cara
 khas Cap-pi kun cu melukai orang" Sepuluh korban sepuluh lubang di tenggorokan
 mereka," merandek sejenak lalu Siang Cin menambahkan, "semula Cayhe masih berpikir,
 kenapa waktu di Pau-hoa-ceng sasaran Tangkeh sedikit meleset" Kini tahulah aku . . . . . "
 Sebun Tio-bu tertawa, ucapnya: "Bila sebelum mereka tahu akupun terlibat dalam
 pertikaian ini, selain bakal menambah kesukaran bagi kita, tentu juga tiada manfaat
 yang dapat kita peroleh."
 "Memang begitulah, hayo berangkat," kata Siang Cin. . .
 Lekas mereka cemplak kuda terus membelok dan mengitari selokan ini.
 Kuda terus dibedal menyusuri jalanan kecil di pinggir selokan yang menonjol
 menyerupai tanggul yang sempit
 Dengan cepat mereka sudah hampir mencapai seberang selokan di depan sana. Kin
 Jin menoleh dan berkata: "Tidak meleset perhitunganku, untunglah mereka tidak
 mencegat."
 Siang Cin menjawab: "Terlalu kencang lari kuda kita, bukan saja sukar dirintangi, tapi
 mereka sendiri juga tidak ingin rahasianya diketahui orang lain"
 Setelah membelok ke kiri mereka terus menyusur tegalan, suasana di sini amat sepi,
 padang tegalan masih diliputi kabut, tapi cepat sekali akhirnya menembus ke jalan
 raya. Dikatakan jalan raya karena tanah yang berlapis salju tipis kini sudah tampak bekas
 jalur roda kereta dan tapak kaki orang, sementara hutan yang lebat masih memagari
 kedua sisi jalan. Sebun Tio bu membuka jalan di depan, tiba2 ia menarik kendali, kudanya berjingkrak
 sambil meringkik panjang. Cepat Kin Jin juga menghentikan lari kudanya, segera
 Siang Cin bertanya: "Ada apa?"
 Sebun Tio-bu menunduk sambil memejamkan mata, mendadak dia terbeliak dan
 berkata: "Di sini terasa ada sesuatu yang tidak beres Siang-heng, indera ke enamku
 merasakan sesuatu yang tidak enak, menurut pengalaman, bila timbul perasaan
 begini tentu akan terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan diriku."
 Siang Cin menjelajah keadaan sekelilingnya, katanya: `"Aku percaya perasaan
 Tangkeh 253 itu, kadang2 perasaan begitu timbul tepat pada waktunya."
 Dengan sorot tajam Kin Jin juga sedang menyapu pandang sekitarnya, katanya
 tenang: "Suasana di sini memang rada ganjil . . . . . terlampau sunyi . . . ."
 Benar juga, tanpa mengeluarkan suara, di antara gundukan salju yang meninggi di
 kedua sisi jalan raya sama pelahan2 berjalan keluar sebarisan orang2 berbaju putih,
 pakaian putih mereka mirip warna salju, sampaipun muka mereka juga ditutupi kedok kain
 putih, bilamana barisan ini tidak bergerak, sungguh orang takkan mengetahui kehadiran
 manusia2 serba putih ini.
 Barisan orang2 berbaju putih ini ternyata tampil ber-turut2, semuanya berbaris
 teratur, posisi mereka setengah lingkaran, setiap orang memegang tiga batang bumbung
 bundar warna hitam, pangkalnya dipasangi suatu benda aneh yang berbentuk seperti sayap
 tapi melengkung laksana busur, lubang kecil pada bumbung bundar hitam itu mengincar
 dan ditujukan ke arah Siang Cin bertiga.
 Sebun Tio-bu mendengus, pelan2 dia merogoh saku, Kin Jin juga siap, tiba2 Sebun
 Tio-bu berseru tertahan: "Mari terjang kepungan mereka, Kin-heng jaga kuda
 kesayangan kita." Belum lagi Kin Jin menjawab, tiba2 Siang Cin menghela napas lega, lekas dia
 memberi tanda dan berkata: "Jangan bergerak, coba perhatikan gelang emas di atas kepala
 mereka yang kemilau itu."
 Memang benda yang melingkari kain kerudung orang2 berbaju putih adalah gelang
 kuning kemilau.
 Dengan bergelak tertawa Sebun Tio-bu berkata: "Para kawan Bu-siang-pay, sudah
 lama kukagumi dan ingin bertemu."
 Buru2 Siang Cin lompat turun dari kuda dan mendekat dengan langkah cepat,
 serunya lantang: "Apakah kalian anak murid Bu siang-pay yang datang dari padang rumput."
 Orang2 berbaju putih menggeremet maju dengan formasi mengepung itu kelihatan
 sama melengak dan bingung, tapi sorot mata mereka yang tajam tetap menatap
 dengan curiga. Siang Cin mendekat beberapa langkah lagi, katanya dengan keras: "Murid Bu-siangpay
 dengarkanlah, kami adalah teman2 kalian, kedatangan kami khusus untuk
 254 bergabung dengan kalian . . . . . "
 Dari lingkaran orang2 berbaju putih itu tampil seorang yang berperawakan kekar,
 sembari maju dia menarik kain kedoknya, maka tertampaklah seraut wajah yang
 lebar dengan mimik kaku dingin, sesaat dia berdiri mengawasi Siang Cin, suaranya tenang
 dan

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mantap: "Tuan ini siapa?"
 Dengan tenang Siang Cin berkata: "Ada seorang yang berjuluk Naga Kuning Siang
 Cin, apakah pernah tuan mendengarnya?"
 Bergetar tubuh si baju putih, ia terbelalak kagum, namun nadanya masih curiga:
 "Kau, kau inikah Naga Kuning?"
 Siang Cin berkata dengan tertawa: "Benar, memang Cayhe adanya."
 Si baju putih lantas maju lebih mendekat, serunya gugup: "Jadi tuanlah yang
 sekaligus menjagal enam gembong Hek jiu tong di Pi-ciok-san" Ratusan orang2 Hek jiu tong
 mampus di tanganmu" Tuan pula yang membantu dan ikut berjuang bahu membahu
 dengan saudara kita dari Bu-siang-pay?"
 "Hanya kebetulan bersua di tengah jalan, bantuan itu bukan apa2 . .. . ."
 Terunjuk sikap kagum, hormat dan penyesalan pada wajah si baju putih, tiba2 dia
 berlutut terus menyembah, serunya: "Murid tertua Say-cu-bun Siang Goan-kan dari
 Busiang- pay menyampaikan sembah hormat kepada Siang susiok yang berbudi."
 Hal ini betul berada di luar dugaan Siang Cin, sekilas melengak lekas dia menyingkir,
 sembari memapah bangun Siang Goan kan, serunya gugup: "Siang heng. usiamu
 sebaya denganku, bolehlah membahasakan saudara saja, kau menjunjung tinggi diriku
 seperti ini sungguh tak berani kuterima."
 Tanpa kuasa Siang Goan-kan kena dipapah berdiri oleh Siang Cin, katanya: "Bukan
 maksud Tecu ingin menjunjung tinggi Siang-inkong, soalnya Ciangbunjin ada
 perintah, seluruh murid Bu-siang pay untuk selanjutnya harus menghormati Siang-inkong
 sebagai susiok yang telah menolong kebesaran nama kita, memang betul Siang-inkong
 bukan sealiran dengan Bu siang pay, namun sebutan `In-susiok` (paman guru berbudi)
 adalah pantas untuk menandakan bahwa Siang-inkong ada hubungan yang karib dengan
 Bu-siangpay kita." Dengan sikap kikuk Siang Cin menjawab: "Ini . . . wah Cayhe menjadi serba susah
 255 dan tidak berani terima kehormatan besar ini . . . . Ciangbunjin kalian sungguh terlalu
 sungkan . . . ." "Tiga hari yang lalu," ucap Siang Goan kan pula, "laskar kita telah duduki Liok sun-ho
 dan menyeberang dengan selamat kecuali menemui beberapa rombongan orang
 yang patut dicurigai, sepanjang jalan ini belum pernah mengalami kesulitan apapun, kini barisan
 sudah disebar, mata2 kita juga telah diutus menyelidiki daerah yang cukup berbahaya di
 sebelah depan, tadi waktu Siang-inkong dan kedua teman ini mendekati daerah sini, tecu
 sudah lantas memperoleh berita, sungguh mimpipun tidak terpikir oleh kami bahwa Sianginkong
 sendiri bakal kemari . . . . "
 Dengan prihatin Siang Cin bertanya: "Untuk kali ini, berapa banyak jumlah pasukan
 yang dikerahkan Bu-siang pay kalian?"
 Siang Goan kan menjawab dengan pelahan: "Hwi cu-bun, Say cu-bun dan Bong-cubun
 serta murid2 yang langsung dipimpin oleh Cengtong (pusat) kali ini dikerahkan
 seluruhnya, jumlah seluruhnya ada tiga ribu lima ratus orang lebih."
 Mendengar jumlah yang besar ini, Siang Cin merasa kaget, belum lagi dia
 menunjukkan sikapnya Siang Goan kan sudah menambahkan: "Sementara anak
 buah Thi, Hiat dan Wi ji-bun karena kehilangan pimpinan, dikuatirkan dalam kesedihan karena
 gugurnya para saudara yang lain sehingga bekerja diburu emosi, maka mereka tidak
 diizinkan ikut datang, untuk sementara waktu Lan cian tong diserahi tugas untuk
 menguasai keadaan di padang rumput."
 Siang Cin menarik napas, katanya: "Jadi Ciang bunjin kalian Thi-cianpwe juga
 datang?" Siang Goan kan mengangguk hormat. Siang Cin berkata pula dengan terharu: "Dari
 padang rumput jauh di kaki Kiu-jin-san pasukan besar kalian berbondong kemari,
 betapa besar dan kekuatan barisan ini, apalagi kalau sampai enam Bun dan satu Tong
 dikerahkan seluruhnya, mungkin kekuatan besar Bu-siang-pay mampu menggetar bumi dan
 menggoncang langit."
 "Ya," ucap Siang Goon-kan, "jumlah seluruhnya mendekati selaksa orang."
 Siang Cin menoleh ke belakang, Kin Jin dan Sebun Tio-bu masih bercokol di atas
 kuda dan mengunjuk senyum. Kata Slaug Cin kemudian: "Ayolah kalian turun, marilah
 temui Ciangbunjin Bu siang-pay."
 256 Cepat Siang Goan-kan memberi pesan kepada anak murid Bu-siang-pay, dalam
 waktu singkat sebuah suara sempritan yang melengking tinggi berkumandang sampai jauh,
 baru saja suara sempritan tajam di sini berhenti, suara sempritan yang sama terdengar
 melengking ditempat kejauhan, begitulah dari satu tempat kelain tempat suara
 sempritan ini terus bersahutan.
 Siang Cin amat kagum dan menyenangi cara mengirim berita dengan suara
 sempritan khusus dari orang2 padang rumput ini, suara nyaring ini sekaligus membawakan
 suasana yang hidup bebas penuh gairah perjuangan di pedang rumput.
 Dalam pada itu Siang Cin telah perkenalkan Sebun Tio-bu dan Kin Jin dengan Siang
 Goan-kan, lalu Siang Cin dengan tetap setunggangan dengan Kin Jin, sedang Siang
 Goankan lantas setunggangan dengan Sebun Tio-bu, empat orang dua kuda segera kabur
 ke arah timur dengan kecepatan yang luar biasa.
 Di tengah tegalan yang masih remang2 itu, derapan kaki kuda berdetak memecah
 kesunyian. Meski di atas kuda yang berlari sekencang itu, tapi Sebun Tio-bu tetap waspada
 memeriksa sepanjang jalan yang dilalui, dia berharap dengan ketajaman matanya
 dapat menemukan orang2 Bu-siang-pay yang disebar sekitar sini untuk mendirikan
 perkemahan atau pos penjagaan tertentu. Tapi hasilnya nihil, ia rada kecewa, sejauh ini dia tidak
 melihat adanya tanda atau bekas apa2.
 Sementara Kin Jin yang mencongklang kudanya di sebelah belakang telah
 membisiki Siang Cin: "Siang-heng, betapapun licik dan licin orang2 Hek-jiu-tong, tapi Bu-siang
 pay dengan peralatan perangnya yang serba lengkap, dengan semangat juang yang
 tinggi serta terlatih pula, tentu bukan lawan yang enteng."
 "Betul, mereka sudah biasa hidup dalam semangat yang tinggi di padang rumput,
 jujur dan sederhana di samping kecerdikan otak dan kecermatan kerja, maka tidaklah
 heran kalau gelang emas dan baju putih orang2 Bu-siang-pay terkenal di manapun."
 Jilid 14 257 Tiba-tiba Sebun Tio-bu membelok ke arah kiri terus menerjang ke semak2 rumput
 dan berlari di jalanan kecil yang sudah lama tak pernah dilalui manusia, langsung menuju
 ke sebuah pohon cemara di kejauhan sana.
 Kin Jin terus menguntit dengan kencang, sekejap saja mereka sudah tiba di pinggir
 hutan. Di luar hutan ternyata sudah menunggu belasan orang berbaju putih dengan
 gelang emas melingkar di kepala, mereka adalah pahlawan2 padang rumput dari Bu-siangpay,
 semuanya menyambut dengan meluruskan kedua tangan.
 Setelah berputar kedua kuda itu segera berhenti. Empat orang penunggang kuda
 terus melompat turun, Siang Goan kan memberi hormat lalu mereka di bawa masuk ke
 dalam hutan, belasan laki2 baju putih itu berdiri di dua sisi dan membungkuk memberi
 hormat. Kira2 puluhan langkah memasuki hutan, Siang Cin yang bermata tajam sudah
 melihat banyak kemah kecil yang tersebar di bawah pohon, tempat sembunyi macam orang2
 Bu-siang-pay ini sudah cukup dikenalnya dengan baik, sekian banyak kemah2 itu
 menandakan betapa banyak pula jumlah orangnya, tapi tiada seorangpun yang kelihatan malah
 kalau tidak memasuki hutan, dari luar orang jangan harap beritahu bila di dalam hutan ini
 bersembunyi sekian ribu orang, kiranya Bu-siang-pay memang mahir mencari tempat
 yang strategis untuk dijadikan sebagai markas darurat.
 Cukup lama juga mereka putar kayun di dalam hutan lebat ini, akhirnya tiba di depan
 tiga pucuk pohon cemara yang tua dan besar, waktu Siang Cin bertiga angkat kepala,
 kiranya diantara ketiga pohon cemara raksasa yang kebetulan berposisi segi tiga
 telah dibangun sebuah gubuk kayu, jadi gubuk kayu ini seperti bergantung di tengah2
 pohon, jelas gubuk yang cukup besar ini baru dibangun, karena bau kayu cemara masih
 terasa merangsang hidung. Kira2 lima belas langkah di depan gubuk itulah Siang Goan-kan
 lantas berhenti, belum lagi dia buka suara, pangkal batang pohon cemara sebelah kanan
 tiba2 bergerak dan terbentanglah kulit pohonnya, tampak empat orang berpakaian putih
 dengan langkah gesit muncul dari dalam batang pohon raksasa yang kosong itu.
 Dengan suara rendah Siang Goan-kan berkata: "Harap laporkan kepada Tayciangbun
 258 bahwa ada tamu agung yang datang."
 Ke empat laki2 itu segera menarik golok serta mundur selangkah, kata seorang yang
 berada di kanan: "Barusan sudah diperoleh berita sempritan akan kedatangan tamu
 agung, Tay-ciangbun sudah berpesan agar ditanyakan tamu agung dari mana, harap Siangsuheng
 menerangkan."
 "Harap sampaikan kepada Tay-ciangbun, katakan bahwa Napa Kuning Siang Cin
 telah datang beserta dua sahabatnya."
 Begitu mendengar nama Naga Kuning Siang Cin, ke empat orang itu melengak,
 serentak mereka menoleh dengan pandangan kagum dan hormat, sikap mereka
 menampilkan perasaan "beruntung dapat berhadapan dengan tokoh besar".
 "Para saudara," kata Siang Goan-kan kurang sabar, "kalian masih tunggu apalagi?"
 Paras wajah ke empat orang itu, pemimpinnya lantas menjura dan berkata: "Ya,
 segera kami laporkan ke atas...."
 Tapi sebelum orang2 ini bergerak lebih lanjut, daun pintu rumah di atas pohon itu
 telah terbuka, muncul seorang laki2 pertengahan umur berpakaian ala pelajar, muka putih
 cakap bersih, sorot matanya tajam, tiga untai jenggot menjuntai di bawah dagunya, jubah
 panjang yang dipakainya juga berwarna putih, di bagian pinggang mengenakan sabuk lebar
 dengan hiasan batu permata, sikapnya wajar dan santai, tapi menampilkan wibawa
 kebesaran . . . . "
 Begitu melihat orang ini, segera Siang Goan-kan bersama ke empat laki2 baju putih
 tadi bertekuk lutut memberi hormat, serunya bersama: "Sembah hormat kepada Tayciangbun."
 Laki2 yang agung berwibawa ini memang pentolan yang paling berkuasa di padang
 rumput di luar perbatasan, Ciangbunjin Bu-siang-pay yang disanjung puji, tokoh yang
 mirip dongeng dalam setiap pembicaraan orang, yaitu Pek-ih coat-to (si golok sakti
 berbaju putih) Thi Tok-heng.
 Sudah lama Siang Cin bertiga mendengar nama Thi Tok-heng, kini terasa bahwa
 wibawa laki2 ini memang jauh lebih besar dan angker daripada apa yang pernah
 didengarnya, sikapnya yang agung membuat orang akan tunduk dan patuh.
 Sambil menjura, dengan suara mantap Siang Cin berkata: "Naga Kuning Siang Cin
 bersama Siang-liong thau dari Jian-ki beng, Cap-pi kuncu Sebun Tio-bu, beserta Kim
 luijiu Kin Jin dari Tan ciu, menyampaikan selamat bertemu kepada Tay-ciangbun."
 Cepat Thi Tok heng balas menjura, katanya dengan suara lantang: "Tidak tahu bakal
 kedatangan tamu2 agung, Thi Tok-heng tidak mengadakan penyambutan yang layak,
 259 harap kalian suka memberi maaf,"
 "Mana berani membikin repot Tay-ciangbun," kata Siang Cin tertawa, "Bahwa Tayciangbun
 sudi membuka pintu dan keluar menyambut, ini sudah merupakan
 kehormatan besar bagi kami bertiga. Terima kasih!"
 Thi Tok-heng tertawa nyaring dan berkata: "Orang bilang Jon-ciang si Naga Kuning
 betapa hebat dan mengejutkan kepandaiannya, tampaknya memang betul, tapi
 mereka tidak tahu bahwa betapa tajam ucapannya ternyata tidak lebih lemah dari pada Kungfu
 yang dimilikinya."
 "Ah, Tay-ciangbun terlalu memuji," ucap Siang Cin dengan rendah hati.
 Thi Tok-heng berkata lebih lanjut: "Gubuk ini di bangun di tengah2 pohon, karena
 letak dan bangunannya yang serba sederhana, maka tidak menggunakan tangga atau tali
 gantung untuk naik turun, untuk kekurangan ini, Tok heng mohon maaf, silahkan kalian loncat
 ke atas saja."
 Siang Cin lebih dulu mengucapkan terima kasih kepada Siang Goan-kan dan murid2
 Bu-siang-pay lainnya, lalu dia memberi tanda kepada Sebun Tiobu dan Kin Jin,
 bertiga mereka melompat ke atas dengan ringan.
 Setelah basa-basi ala kadarnya mereka dipersilahkan masuk ke dalam rumah.
 Rumah ini terdiri dari dua ruangan, ruangan depan cukup besar, di sini lantainya dilembari
 babut yang terbuat dari kulit binatang, demikian pula dindingnya dipajangi kulit beruang, di
 tengah terdapat sebuah meja kayu, sebuah lilin besar yang tertancap ditatakan
 tembaga terletak di atas meja, sebuah badik tertancap di sebelahnya, di samping itu terdapat
 delapan buah kursi kayu pula, semua kursi dilapisi kulit binatang yang berbulu tebal, kecuali
 itu tiada pajangan apapun lagi. Sementara ruangan di sebelah dalam yang lebih kecil
 adalah kamar tidur Thi Tok-heng.
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baru saja mereka berduduk, lantai yang dilembari kulit biruang di pojok sana tiba2
 tersingkap, dari bawah menongol keluar kepala seorang terus beranjak naik, kedua
 tangannya membawa sebuah baki dengan empat cangkir porselin yang berisi teh
 wangi, setelah menekuk lutut memberi hormat orang ini menyuguhkan teh di atas meja
 terus mengundurkan diri. Siang Cin melihat jelas bahwa batang ketiga pohon cemara
 raksasa ini 260 sudah dikorek kosong bagian tengahnya, di sana dibuatkan tangga dan ruangan
 khusus tempat tinggal para tamu pembantu pribadi Thi Tok-heng.
 Setelah menyilakan para tamunya minum, dengan sikap serius Thi Tok-heng berkata:
 "Siang-tote sudi berjerih payah demi kepentingan Pay kami, beberapa kali harus
 mengalami pertempuran antara hidup dan mati, badan terluka dan mencucurkan
 darah, untuk semua itu dengan setulus hati aku menyatakan terima kasih dan selalu akan
 mencatat budi kebaikan yang luhur ini."
 Siang Cin bersoja, katanya: "Tidak berani, Cayhe hanya berbakti demi kawan
 sehaluan, Tay-ciangbun, menurut Siang-heng murid kalian, khabarnya pasukan besar kalian
 yang dikerahkan kemari sekali ini ada tiga ribu lima ratus lebih banyaknya?"
 Thi Tok heng mengangguk, sahutnya: "Betul, tepatnya tiga ribu lima ratus empat
 puluh orang." "Bagaimana kekuatan pihak Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui, apakah Tay-ciangbun telah
 memperoleh bahan2 yang perlu diketahui?"
 "Hanya beberapa berita yang masuk secara tersendiri dan seluruhnya belum pasti
 lagi, oleh karena itu kami berdiam diri, belum bergerak sebelum persoalannya menjadi
 terang, pahlawan2 padang rumput menempuh perjalanan sejauh ini bersama Tok-heng,
 betapapun aku tak boleh gegabah bertindak, setiap urusan harus diselidiki dan diperhatikan
 dengan seksama, supaya murid2 Bu-siang pay tidak gugur menjadi korban kelalaianku
 sendiri.. ...."
 Merandek sebentar lalu ia melanjutkan: "Waktu menyeberangi Liok sun ho, pihak
 kami menggunakan Sin-siok-kiu ( jembatan gantung ) khusus ciptaan orang2 padang
 rumput, jadi tidak menggunakan rakit, perahu atau peralatan lain, sebelum pasukan bergerak,
 lebih dulu dikirim tujuh murid Say-cu-bun dengan dua ratus anak buahnya menyelundup
 ke seberang, di luar dugaan mereka tidak menemui rintangan apapun, maka dengan
 mudah enam buah Sin siok-kiu segera kami pasang sehingga seluruh pasukan besar
 menyeberang melalui jembatan darurat ini dengan selamat, setelah itu kami bagi pasukan menjadi
 lima kelompok dan maju lebih lanjut, kemudian berhenti di sini, mata2 sudah kami sebar
 untuk 261 mencari berita, cuma laporan yang kami terima satu sama lain masih merupakan
 berita sendiri2 sehingga sukar dianalisa menjadi suatu rumusan, memangnya Tok-heng
 sedang gelisah, syukurlah Thian telah mengirimkan Siang- lote bertiga kemari"
 Sebun Tio-bu dan Kin Jin yang sejak tadi diam saja, baru sekarang sempat bicara,
 kata Sebun Tiobu dengan tertawa: "Tay-ciangbun, kami bertiga semalam suntuk telah
 mengobrak-abrik Pau-hou ceng, sayang usaha menolong anak murid Bu-siang-pay
 kalian tidak membawa hasil apapun."
 Lalu secara ringkas Siang Cin menceritakan kejadian semalam, dijelaskan pula
 keadaan pihak musuh yang. mereka ketahui, akhirnya dia menambahkan: "Seratus li di
 sebelah depan adalah Ceciok-giam, tempat itu amat berbahaya dan strategis, jelas pihak
 Hek-jiutong dan Jik-san tui telah mengatur perangkap di sana menunggu kedatangan kita,
 bahwa mereka tidak pasang perangkap di Liok sun- ho mencegah pasukan kalian, tapi
 memilih Ce ciok giam, pasti di balik hal ini ada rahasia yang perlu diperhatikan."
 Thi Tok-heng berpikir, jarinya mengetuk meja, katanya kemudian: "Jit ho-hwe dan
 Toa to kau terjun juga ke dalam barisan mereka, hal ini sudah kudengar sebelumnya,
 bagaimana sepak terjang Siolian-su-cuat dari Pek-hoa kok belum pernah kudengar, tapi laporan
 mengatakan mereka telah menunjang kejahatan. Hek-jan-kong dari Ji-gi-hu jelas
 adalah tulang punggung Jik san-tui, dia menunjang Jik-san-tui adalah logis, bahwa Tianghongpay
 juga memusuhi kita hal ini sungguh di luar dugaanku. Mereka punya hubungan
 baik dengan Kun-lun-pay, karena pertikaian ini, urusan pasti akan menjalar dan berbuntut
 panjang . . . . . " setelah mengelus jenggot, lalu ia menyambung: "Bahwa di Ce giok
 giam nanti bakal berhadapan dengan musuh memang sudah kuduga, cuma belum berani
 kupastikan, karena menurut penyelidikan orang2 kita, tiada gerak-gerik apapun yang
 mencurigakan di sana, beruntung kini memperoleh keterangan dari kalian, kalau
 tidak mungkin kami akan meremehkan tempat penting ini, Siang-lote . . . . . . .".
 "Ada petunjuk apa?" tanya Siang Cin.
 "Kecuali Jit-ho hwe, Toa-to-kau, Sio-lan-sucoat dan Tiang-hong- pay, apakah kalian
 tahu ada pihak lain lagi yang membantu pihak lawan"
 Siang Cin menggeleng, katanya: "Sejauh ini hanya itu yaag kami ketahui, tapi kita
 harus tetap waspada dan ber-jaga2, pandanglah musuh lebih kuat daripada
 262 meremehkannya."
 "Betul," ucap Thi Tok-heng. "Siang-lote, kalian tahu Jik-san-tui telah menyekap
 beberapa orang Bu siang-pay di Pau-hou-ceng, apa kalian tahu siapa2 kiranya yang
 ditahan di sana?" "Hal itu belum sempat kami selidiki . . ., . . " sela Sebun Tio-bu.
 Kin Jin menghela napas, katanya: "Kami maklum kalau Tay-ciangbun menguatirkan
 keselamatan para saudara yang tertawan musuh."
 Thi Tok-heng tertawa ewa, katanya: "Kin-hiante, setiap murid Bu-siang-pay tumbuh
 dewasa di padang rumput, hati mereka terjalin erat dengan sanubariku, hubungan
 kami bagai saudara atau anak kandung sendiri dan mirip sebuah keluarga besar, dua kali
 kami meluruk kemari, tapi semua ini hanya menyangkut urusan pribadiku dalam keluarga.
 Tunas muda yang gagah berani terkubur di negeri orang, mereka juga punya anak bini, tapi
 demi urusan pribadiku mereka harus ikut mempertaruhkan jiwa raga, setiap kali
 merenungkan hal ini, sungguh seperti disayat hatiku."
 Setelah menghela napas Thi Tok-hong berkata, pula dengan nada semakin berat:
 "Kekalahan di Pi-ciok-san boleh dikatakan kegagalanku pula, sesungguhnya kami
 menilai rendah kekuatan musuh dengan mengutus sejumlah pasukan kecil untuk menyerbu
 sarang musuh yang kuat, sebaliknya aku tetap berada di padang rumput dan anggap Busiang
 pay sanggup menaklukan siapapun juga. Kenyataan tiga ratus anak buah telah gugur di
 Pi-cioksan, jago2 kosen kita banyak yang menjadi tawanan musuh pula, kalau dipikirkan
 sungguh bertambah besar dosaku seorang, betapa aku ada muka untuk berhadapan dengan
 anak didikku .. . .. "
 Bola mata Siang Cin yang hening menampilkan cahaya lembut, katanya: "Tayciangbun,
 untuk hal ini pandanganku justeru berbeda dengan Tay-ciangbun.
 Seorang ketua adalah simbol kekuasaan dan kewibawaan sesuatu ikatan, secara langsung
 menyangkut mati hidup perkumpulannya, persoalan Tayciangbun adalah persoalan seluruh
 perkumpulan pula, oleh karena itu urusan yang menimpa nama baik Ciangbunjin harus dibela
 mati2an oleh seluruh anggota perkumpulan, demi mencuci noda dan menolong puteri
 kandung sendiri, adalah jamak kalau mengerahkan seluruh kekuatan perkumpulan, jadi tidak
 seharusnya tanggung jawab ini dipikul oleh Ciangbunjin sendiri, umpama utusan
 serupa 263 menimpa pada anggota yang lain juga harus ditempuh cara yang sama. Maklumlah
 jiwa ksatria kaum persilatan se-kali2 pantang ternoda, janji setia insan persilatan tidak
 boleh diingkari, demi keadilan dan kebenaran, meski harus mempertaruhkan jiwa juga
 setimpal, untuk ini Tay-ciangbun boleh melegakan hati saja."
 Dengan rasa haru Thi Tok-hang menatap Siang Cin, katanya kemudian dengan
 menghela napas: "Lote, meski baru pertama kali ini Tok-heng bertemu dengan kau,
 tapi sudah kurasakan adanya ikatan batin . . . . "
 "Untuk ini Cayhe sungguh merasa beruntung dan bersyukur . . . . " ucap Siang Cin
 sambil merangkap kedua tangan.
 Thi Tok-heng angkat cangkir mengajak minum tamunya, setelah menghabiskan tiga
 cangkir, lalu dia menghela napas panjang, katanya dengan suara serak: "Yang-yang
 adalah putriku satu2nya, ibunya sejak terkena penyakit lumpuh, sepanjang tahun rebah di
 ranjang dan tak pernah keluar dari kamarnya, demi kasih sayangku terhadap putriku ini aku
 tidak menikah lagi, seluruh kasih sayangku dan perhatianku ku tumplek pada dirinya,
 sejak kecil memang terlalu kumanjakan, segala permintaannya tidak pernah kutolak, sungguh
 tak nyana sikapku yang terlalu memanjakan dia ini menjadikan sifatnya binal dan liar,
 sampai bibinya yang biasa mengurusi segala keperluannya sering dibuat jengkel olehnya.
 Sebagai ayah selalu ku anggap anak ini masih terlalu kecil, masih kanak2, jenaka dan
 menyenangkan, oleh karena itu meski sering ada orang memperingatkan aku, tapi
 aku tidak tega untuk memarahinya. Tak terduga justeru lantaran dia terlalu bebas inilah urusan
 menjadi terlanjur dan tak terkendali lagi. Entah bagaimana bayangan iblis seorang
 laki2 telah menyusup dalam hatinya, entah cara bagaimana Khong Giok tek si keparat itu
 memikatnya sehingga dia rela minggat meninggalkan ayah-ibunya yang amat
 mengasihinya, maka dapatlah dibayangkan betapa marah, penasaran dan kecewaku
 atas kejadian yang memalukan ini "
 Tertekan juga perasaan Sebun Tio-bu bertiga, katanya: "Tay-ciangbun, menurut
 pendapatku, urusan belum sampai separah itu" Asalkan puterimu dapat direbut
 kembali, Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui kita hancurkan, kalian ayah dan anak pasti akan berkumpul
 kembali" Dengan tertawa getir Thi Tok-heng berkata: "Puteriku itu kini mungkin sudah ternoda,
 kudengar dia sudah melangsungkan pernikahan dengan Khong Giok-tik secara
 264 sukarela, dari sini dapatlah dimengerti bahwa laki2 keparat itu telah mengisi hatinya
 menggantikan kedudukan ayah-bundanya, perduli apakah dapat kita merebutnya kembali, yang
 terang dia tidak akan bersyukur dan berterima kasih kepadaku ayahnya, malah sebaliknya dia
 merasa benci dan dendam karena kami akan menghancurkan kebahagiaannya bersama
 kekasih yang dicintainya itu ......."
 Melongo juga Sebun Tio-bu mendengar uraian ini, analisa Thi Tok-heng memang
 mendekati kebenaran dan kenyataan, tapi juga bernada dingin dan kejam, urusan
 sudah terlanjur, demi mempertahankan gengsi dan melampiaskan penasaran, jiwa boleh di
 sabung, raga boleh dipertaruhkan, tapi apa yang akan dihasilkan dari pertempuran
 besar ini" . Entah sejak kapan bunga salju beterbangan di angkasa, embusan angin barat
 menderu kencang terasa dingin Hujan salju semakin lebat, derap kaki kuda yang tak terhitung
 jumlahnya itu berdetak di tanah berlumpur, rombongan demi rombongan orang
 berbaju putih dengan gelang emas melingkar di kepala tengah menuntun kuda masing2
 keluar dari hutan belukar sana, gerak-gerik mereka tampak cekatan dan lincah.
 Pek-ih coat-to Thi Tok heng tampak bertengger di punggung seekor kuda yang
 gagah kekar dan tinggi, kuda ini berwarna hitam dengan bulunya mengkilap.
 Sungguh kuda yang hebat, kepalanya besar, telinga panjang berdiri, keempat
 kakinya panjang dengan bulu putih menghiasi ke empat tapalnya, sikapnya yang gagah
 sungguh mempesona. Thi Tok-heng memandang ke arah Siang Cin dengan senyuman lebar. Kini Siang
 Cin sudah berganti naik seekor kuda coklat yang besar dan kekar pula, sementara
 Sebun Tiobu, Kin Jin masing2 tetap menunggang kuda kesayangannya sendiri.
 Kira2 setengah tanakan nasi, di tegalan belukar itu sudah terkumpul sekitar delapan
 ratus penunggang kuda yang semuanya berpakaian putih, tanpa banyak suara
 mereka bergerak ke barisan masing2, semuanya berdiri di tempat yang telah ditentukan.
 Saat itu adalah pagi hari kedua sejak kedatangan Siang Cin bertiga.
 Lima penunggang kuda tampak tampil dari tengah barisan dan menuju ke depan Thi
 265 Tok-heng, pemimpin kelima penunggang kuda ini adalah seorang tua kecil kurus,
 karena tubuhnya betul kurus kerempeng, perawakannya kecil lagi, seragam putih yang
 dipakai orang lain kelihatan gagah dan kereng, baginya jadi kelihatan komprang dan lucu.
 Dalam perundingan semalam, Siang Cin bertiga sudah melihat laki2 tua kurus kecil
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini diundang hadir, dia adalah kepala pengawal pusat, Yu-hun-kou cay ( si sukma
 gentayangan berjari satu ) Ho Siang-gwat.
 Empat penunggang kuda di belakangnya, seorang yang berkepala besar dengan
 muka merah berbadan gemuk, ialah pahlawan utama di bawah Ho Siang-gwat, namanya
 Soanpoh- jiu (si kampak) Tong Yang-seng. Sementara laki2 yang bermuka kuning seperti
 orang sakit adalah Ping-long (serigala gering) Pau Thay-kik, orang ketiga berbibir merah
 bergigi putih, berwajah cakap, berusia masih muda, dia adalah Pek-ma-gih-cui (si gurdi
 berkuda putih) Kang Siu-sin, sedang orang ke empat yang berperawakan besar kekar adalah
 Koanjit- khek (si kilat) Mo Hiong.
 Keempat orang ini semalam Siang Cin sudah melihatnya, Ho Siang gwat yang berbiji
 mata besar itu lantas berseru lantang: "Ciangbun Suheng, segalanya sudah beres
 dipersiapkan, tinggal menunggup perintah untuk bergerak."
 Thi Tok-heng mengangguk, katanya kereng:
 "Ke empat pasukan yang lain, apa sudah kau hubungi mereka?" .
 Ho Siang-gwat tertawa, katanya: "Sejak tadi sudah kukirim kabar kepada mereka,
 merekapun sudah mempersiapkan diri, malah setengah jam lebih dini dari pada kami,
 sekarang mungkin sudah hampir sampai di tempat yang ditentukan, memangnya
 siapa yang berani main2 dengan keputusan rapat semalam?" Sampai di sini Ho Siang-gwat
 menoleh ke arah Siang Cin dan menambahkan: "lote, hari ini kami ingin menyaksikan dengan
 mata kepala sendiri akan kehebatan Kungfumu, betapa cepatkah gerakanmu . . . . "
 "Mungkin Toa-houcu akan kecewa nanti," ucap Siang Cin dengan tertawa.
 Ho Siang gwat tergelak, katanya.: "Lote, jangan, jangan sungkan . . . . "
 "Toahoucu," sela Thi Tok-heng, "Orang2 Siang Goan-kan sudah ditarih kembali,
 apakah pasukan Say cu-bun juga sudah kembali ke pasukan induknya?"
 "Sudah ditarik kembali sebelum kita berkumpul tadi," sabut Ho Siang-gwat.
 Segera Thi Tok-heng menggentak kudanya dan berseru: "Hayo berangkat!"
 266 Ho Siang-gwat mengiakan sambil mundur, ia memberi tanda, maka suara tanduk
 lantas berbunyi menggema angkasa, barisan berkuda dengan dengan penunggang serba
 putih mulai bergerak dalam formasi yang teratur.
 Thi Tok-heng mengulap tangan, katanya: "Kalian juga silahkan."
 Maka Siang Cin bertiga lantas mengiringi Thi Tok-heng berada di belakang pasukan
 besar, dalam pada itu di bawah pimpinan Ho Siang-gwat, kelima orang tadi sudah
 larikan kudanya menuju ke barisannya masing2.
 Pasukan berkuda ini hanya dilarikan pelan2 saja, sorot mata Thi Tok-heng
 menampilkan cahaya yang aneh mengagumkan, katanya sambil menoleh kepada
 Siang Cin: "Lote, waktu semalam kau mengumumkan kematian Siu-cu, semua pimpinan
 barisan yang hadir dalam pertemuan itu merasa sedih, dendam serta gegetun, maklumlah Siu Cu
 bergelar Thi-tan, tak nyana dia tewas dalam usia muda."
 Guram air muka Siang Cin, katanya menyesal: "Waktu itu Cayhe pernah berjanji
 kepadanya untuk membawa pulang tulang belulangnya ke padang rumput, tak
 terduga karena situasi waktu itu, tak sempat aku menyelamatkan jenazahnya, . . . . Tapi
 bahwa aku sudah pernah berjanji, maka pesannya pasti akan kulaksanakan, betapapun sulitnya
 aku pantang ingkar janji, kalau tidak, di alam baka juga Ang heng tidak akan
 tenteram . . . . "
 Setelah menghela napas rawan, Thi Tok-heng berkata: "Begitu berita kekalahan
 tempo hari tersiar ke padang rumput, aku lantas merasakan firasat jelek, tapi masih
 kuharapkan berita itu hanya kabar angin saja, tak kira murid yang kuutus mencari berita belum
 lagi pulang, dua orang murid dengan luka parah sudah pulang ke rumah . . . . Kemudian
 It-cohcan Hoan Tam juga kembali dalam keadaan runyam, maka keputusan untuk
 mengerahkan pasukan besar Bu-siang-pay kita juga lantas diputuskan . . . . Siang-lote, bicara soal
 ini, mau tidak mau aku menjadi gemas, tidak kepalang dendam dan kebencianku . . . ." .
 "Tay-ciangbun, sekian tahun Cayhe berkelana di Kangouw, selamanya belum
 pernah aku menyiksa diri dengan bara dendam, karena bila Cayhe berkeputusan, maka
 pembalasan dendam segera kulaksanakan," berhenti sebentar, Siang Cin menambahkan:
 267 "Sekarang Tayciangbun,
 tibalah saatnya untuk menuntut balas sakit hati."
 Bercahaya mata Thi Tok-beng, seketika ia membusungkan dada serta berkobar
 semangat juangnya, serunya dengan tepuk tangan: "Betul, ucapanmu memang betul
 saudaraku, kini tibalah saatnya untuk membalas dendam kesumat ini."
 Sebun Tio-bu bergelak tertawa, serunya: "Kalau begitu, kenapa Tay-ciangbun tidak
 suruh mereka mempercepat lari kuda dan mengadakan serbuan besar2an."
 Untuk pertama kalinya Thi Tok-heng tertawa lebar dan segar, serunya: "To Wankang,
 perintahkan untuk mempercepat laju barisan"
 Salah seorang penunggang kuda yang sejak mula selalu mengikut di belakang
 segera membedal kudanya ke depan, dia memutar satu lingkaran dan memberi tanda, maka
 barisan besar segera membedal kuda dan berlari kencang ke depan.
 Dengan senang Thi Tok-heng berkata: "Empat penunggang kuda yang selalu
 mengiringi perjalananku, ini adalah pengawal pribadiku, mereka dinamakan Jik tansu
 kiat ( empat pahlawan setia ), yang kusuruh menyampaikan perintah tadi bernama To
 Wankang, orang pertama dari Jik tan-su-kiat,"
 Siang Cin tertawa, katanya: "Kali ini tiga Bun dan Cong-tong ikut datang di bawah
 pimpinan Tay-ciangbun, entah berapa jumlah jago2 kosennya. pertemuan semalam
 agaknya mereka belum, hadir seluruhnya?"
 Dengan tertawa lebar Thi Tok-heng berkata: "Jago kosen ada dua puluh tiga dengan
 anak buah tiga ribu lima ratus lebih, Siang-tote, kalau mereka berjuang mati2an,
 kukira musuh akan pusing kepala dan dibikin kocar-kacir."
 Belum Siang Cin menanggapi, Sebun Tio-bu sudah bergelak tertawa: "Bukan hanya
 kepala pusing saja, malah sukma akan terbang dan nyalipun pecah, melihat barisan
 serba putih ini dengan kemilau gelang emas di kepala, golok sabit bagai hutan lebatnya,
 derap kuda yang gemuruh, tanggung Hek jiu-tong dan Jik san-tui akan lari ketakutan."
 Dengan lantang Thi Tok-heng berkata: "Sebun lote jangan memuji, Jian-ki-beng
 pimpinanmu itu bila beraksi mungkin jauh lebih hebat daripada ini . . . . . . . "
 Sebun Tio-bu tertawa, katanya: "Ah, hanya sinar kunang2 belaka, mana dapat
 dibandingkan dengan cahaya rembulan, hehe . . . . . . . " .
 Kin Jin melirik ke arah Sebun Tio-bu, godanya: "Tangkeh, sejak kapan kaupun
 pandai merendah diri?"
 Di tengah gelak tertawa orang banyak barisan besar ini terus maju sampai hari
 menjelang malam baru berhenti dan berkemah.
 268 Hari kedua, menjelang terang tanah udara mendung, angin barat daya mengembus
 kencang, menyapu segala benda di bumi yang dapat digulungnya, pada menjelang
 fajar yang dingin ini, menambah perasaan tegang dan mengobarkan semangat tempur. .
 Siang Cin, Thi Tok-heng dan lain2 membungkus diri dengan mantel masing2, kecuali
 muka mereka yang kelihatan, seluruh badan terbungkus di dalam mantel tebal,
 namun demikian hawa dingin masih membuat badan menggigil.
 Pemuda cakap bergelar Pek ma-gin cui Kang Siu-sim sering mondar-mandir
 membawa berita, kini dia berlari datang pula dengan gerakan lincah.
 Thi Tok-heng lantas bertanya: "Siu-sim ke empat pasukan yang lain apakah sudah
 berkumpul?"
 Dengan suara serak Kang Siu-sim berkata: "Pasukan Bong ji-bun, di bawah
 pimpinan Utti Han-poh Cuncu baru saja tiba, mereka berada di samping kanan Ce-ciok giam,
 jadi empat pasukan besar seluruhnya sudah terkumpul?"
 Thi Tok heng bertanya pula: "Apakah kurir yang diutus ke Cu ji wa untuk memanggil
 Kim cuncu sudah kembali?"
 "Belum," sahut Kang Siu sim, "kemungkinan mereka terlambat, tak sempat mengikuti
 pertempuran di sini."
 Thi Tok-heng berpaling memohon pendapat Siang Cin: "Siang lote, menurut
 pendapatmu apa perlu kita menunggu kedatangan Kim cuncu baru mulai bergerak?"
 Berpikir sebentar, Siang Cin berkata: "Lebih cepat lebih baik, supaya musuh tidak
 bersiaga, kukira biarlah kita bergerak lebih dulu saja."
 "Betul," timbrung Sebun Tio bu setelah menguap, "hawa sedingin ini, kalau tidak
 melemaskah otot, orang2mu bisa beku di sini. Tay-ciangbun, bila tiba saatnya
 menyerbu Pao-hou-ceng, berilah kesempatan kepada Kim-cuncu untuk unjuk kebolehannya."
 Cuaca masih gelap, bunga salju bertebaran di angkasa, sekuntum bunga salju
 melayang jatuh di muka Thi Tok hong, seketika cair menjadi butiran air terus meleleh ke
 dagunya, pelahan mengusap air di mukanya Thi Tok- heng berkata: "Baiklah, Siu-sim,
 perintahkan kepada pasukan kita siap menyerbu."
 Kang Siu sim mengiakan, setelah memberi hormat, selincah kelinci dia melompat ke
 sana melaksanakan tugas. Hujan salju semakin lebat, hawa tambah dingin dan
 hening. Pelahan tanpa terasa secercah cahaya kuning mulai terbit di ufuk timur, seperti
 diselimuti awan tebal, garis kuning yang mulai tampak itu menjadi remang2.
 Thi Tok-heng membuka ikatan sebuah buntalan panjang melengkung yang
 269 digenggamnya sambil berkata rawan: "Inilah hari yang menegangkan urat syaraf,
 alam semesta se-olah2 jikut prihatin . . . . . ."
 Siang Cin tertawa, katanya dengan nada rendah: "Tay-ciangbun, hari yang
 mengesankan ini akan selalu terukir dalam sanubari setiap orang, Ce ciok-giam akan
 direbut dengan cucuran darah .... . . . "
 Thi Tok heng menghela napas, katanya serak: "Sebelum pertempuran berlangsung,
 cuaca justeru seburuk ini, memberi alamat situasi yang bakal kita hadapi akan lebih
 mengenaskan lagi . ... . .. . Tapi seperti apa yang Siang-lote katakan tadi, hari2 yang
 akan datang ini akan terukir dalam sanubari kita, betapa banyak jiwa raga yang akan
 terkubur di tegalan ini, membeku di bawah timbunan salju.. . . "
 Tengah bicara tampak sesosok bayangan orang melompat datang pula, dia adalah
 Kang Siu sim. Dengan kereng Thi Tok-heng berkata: "Siu-sim, sudah siap seluruhnya?"
 Wajah Kang Siu-sim yang putih cakap kelihatan merah bersemangat dan berkeringat,
 sahutnya cepat: "Seluruh barisan sudah siap melaksanakan penyerbuan ke arah
 yang sudah ditentukan, tinggal menunggu perintah Tayciangbun untuk mulai bergerak."
 Setelah mengawasi angkasa sesaat, kemudian Thi Tok-heng ambil keputusan dan
 mengangguk: "Perintahkan bergerak menurut siasat yang telah direncanakan
 semalam." Dengan penuh semangat kembali Kang Siu-sim berlari ke sana, sekejap itu pula
 bunyi terompet mengalun tinggi bergema di udara. Belum lagi suara terompet yang satu ini
 berhenti, dari berbagai penjuru menyusul bunyi terompet yang sama pula, paduan
 suaranya yang keras dan bergelombang terdengar gagah bersemangat, membakar tekad
 juang setiap insan yang mendengarnya.
 Maka ribuan kuda serentak bergerak, suara lantang seorang lantas berteriak:
 "Seluruh anak2 Say-cu-bun dengarkan, tibalah saatnya baju putih Bu-siang-pay dari padang
 rumput menyerbu Toa ho tin, gunakanlah darah kita untuk menebus utang musuh terhadap
 para saudara yang telah gugur". Ribuan suara serempak menanggapi seruan lantang itu:
 "Serbu!"
 - Suara yang dihinggapi emosi, penuh rasa dendam dan duka.
 Seekor kuda mendahului menerjang ke depan dengan melambaikan mantelnya yang
 berkibar, golok melengkung teracung di atas kepalanya, di belakangnya ribuan kuda
 segera mengejar dengan kencang menuju ke Ce-ciok-giam, cahaya golok berkilau berpadu
 270 dengan kemilau cahaya kuning emas, tapal kuda berderap di tanah bersalju sehingga terasa
 bumi seperti bergoncang, raut muka setiap orang tampak merah bersemangat dan tidak
 kenal takut. Empat penunggang kuda berjajar di belakang dengan tenang Thi Tok-heng
 mengawasi pasukan Say-cu bun bergerak maju, wajahnya tidak memperlihatkan perasaan apa2,
 katanya: "Para Lote, yang memimpin barisan pelopor kita itu adalah Seng si-to Ih Ce,
 Toacuncu dari Say-cu-bun."
 Siang Cin mengangguk dan memuji: "Orang ini gagah berani."
 Tengah bicara, pasukan berkuda yang terdepan mendadak terjadi keributan, jeritan,
 teriakan, caci maki campur aduk dengan ringkik kuda, barisan kuda yang berderap
 ke depan menjadi kacau-balau, berlompatan, saling himpit dan tumbuk, para
 penunggangnya tampak berusaha mengendalikan kuda masing2, tapi tidak sedikit yang sudah
 terjungkal jatuh, sementara barisan yang di belakang masih terus menerjang maju, kuda sama
 berdiri dan saling tindih, tak sedikit pula yang terluka oleh golok sendiri, dalam sekejap mata
 belum lagi pertempuran berlangsung, pasukan kuda ini sudah roboh sebagian besar.
 Sikap Thi Tok-heng tetap tenang dan tidak terpengaruh sedikitpun oleh perubahan
 mendadak ini, tapi Sebun Tio-bu yang berangasan tak tahan lagi dan mencaci:
 "Maknya, apa yang terjadi?"
 Siang Cin diam saja, perhatiannya tumplek ke arah depan, dilihatnya dari samping
 kanan sana seekor kuda tengah dibedal balik ke sini.
 Karena ucapannya tidak ditanggapi, Sebun Tiobu berludah, teriaknya: "Thi-ciangbun,
 biar aku menerjang ke sana, akan kubeset kulit dan mencacali tubuh para keparat
 itu."

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thi Tok-heng tersenyum, katanya kereng: "Harap tunggu sebentar, Sebun-lote, kalah
 atau menang sekarang masih terlalu pagi untuk dikatakan.
 Sementara itu si penunggang kuda itu sudah dekat, penunggangnya adalah seorang
 laki2 berkepala besar, mukanya berewokan, cuaca sedingin ini tapi keringat tampak
 membasahi seluruh badannya sampai pakaian lengket, napasnya memburu, melihat
 Thi Tok-heng dia lupa memberi hormat, dengan cepat dan gugup ia berteriak: "Lapor
 Tayciangbun, dua puluhan tombak sebelum Ce ciok-giam, musuh menggali perangkap
 sepanjang ratusan kaki dengan lebar delapan kaki, dalam lubang jebakan penuh
 dipasangi bambu runcing, tiga ratus pasukan pelopor kita ada dua ratusan yang kejeblos
 perangkap 271 musuh, dikala mereka terjungkal jatuh itulah, dari atas Ce-ciok-giam beterbangan
 ratusan kantong kapur untuk menimbun lubang perangkap, para saudara yang jatuh ke
 dalam perangkap mungkin tiada seorangpun yang selamat . . . . . "
 "Bagaimana keadaan Ih-cuncu?" tanya Thi Tok-heng dengan suara dingin.
 "Cuncu selamat," sahut orang itu.
 Thi Tok-heng mengangguk, katanya: "Perintahkan, maju terus!"
 Laki2 itu mengiakan dan putar kudanya, tapi baru kudanya mau dibedal, selarik sinar
 terang panah berapi mendadak menjulang tinggi ke angkasa. Maka barisan kuda
 yang sudah kacau balau itu segera bergerak melebar, lekas sekali mereka membuat
 setengah lingkaran, seorang penunggang kuda tampak berdiri di tengah lingkaran, orang ini
 bukan lain ialah Seng-si-to Ih Ce. Padahal jaraknya lebih dari satu li, tapi teriakan Ih Ce
 yang gagah itu kedengaran lantang: "Serbu! . . . ."
 "Serbu! . . . . " serempak pasukan berkuda pun menerjang dengan suara gegap
 gempita, laksana air bah dahsyatnya.
 Ketika pasukan berkuda yang hebat ini tiba di depan parit galian, mereka tidak
 langsung melompat maju dan menyerbu lebih lanjut, barisan yang terdepan segera
 menarik kendali membelokkan arah kudanya terus berputar balik dari arah lain, dikala
 membelokkan kudanya itu, tampak ratusan larik sinar kemilau beterbangan, tombak2
 bersula tampak berseliweran ditimpukkan ke arah Ce-ciok-giam sederas hujan lebat.
 Baru saja barisan pertama berkisar pergi, rombongan kedua menerjang maju pula,
 kembali hujan lembing meluncut ke atas Ce ciok-giam, begitulah seterusnya sampai tujuh kali,
 sementara rombongan pertama yang berputar ke belakang mulai menerjang maju pula terus
 melompati parit langsung menerjang ke Ce-ciok-giam.
 Jauh di belakang dengan seksama Thi Tok-heng mengawasi medan pertempuran,
 pelahan dia berkata: "Kukira urusan tidak semudah ini . . . . . "
 Siang Cin manggut, ucapnya. "Ya, pasti masih ada perangkap lagi ... . "
 Belum habis dia bicara, suara ribut berkumandang dari depan, ringkik kuda
 bercampur jerit dan pekik para penunggangnya. Cepat Siang Cin, dan lain2 memandang ke
 depan, kiranya pasukan berkuda yang menerjang ke Ce-ciok-giam semuanya roboh
 terjungkal, tiada seekor kudapun yang tetap berdiri tegak, seluruhnya jatuh bergulingan
 dipandang dari 272 kejauhan, yang memiliki mata tajam dapat melihat jelas ada dua ratusan orang
 berpakaian merah entah muncul dan mana, semuanya tengah menarik jaring yang sejak mula
 telah direntang, tidaklah heran bila dua ratusan pasukan berkuda itu sama terjungkir balik
 di dalam jaring. Dari balik batu Ce-ciok-giam sana lantas terjadi hujan panah, seluruhnya di arahkan
 kepada pasukan berkuda Bu-siang-pay yang sudah bergelimpangan di tengah jaring,
 kontan separuh lebih roboh menjadi korban.
 Patut dipuji sisa pasukan yang masih hidup, meski ada yang terluka mereka tetap
 tenang, ada yang rebah diam saja, ada pula yang sembunyi dibalik kuda yang
 berjingkrak, serentak berpuluh batang tombak bersula batas menyerang ke arah musuh yang
 masih terus berusaha menjaring mereka.
 Dalam sekejap puluhan orang penarik jaring itu sama terjungkat roboh, sambil
 berteriak kaget dan panik semuanya lantas kabur, tidak sedikit pula yang terhunjam mampus
 oleh tombak bersula.
 Thi Tok-heng menghela napas gegetun, katanya: "Tombak itu seluruhnya dilumuri
 racun, begitu badan tergores ujung tombak, dalam tujuh langkah jiwa pasti
 melayang."
 "Bagus, ini baru sedap," sorak Sebun Tio bu.
 Serbuan pasukan berkuda be dalam Ce-ciok giam untuk sementara menjadi
 terhalang, maklum kuda dan para penunggangnya yang terjaring dan menjadi korban kelicikan
 musuh ini, menjadikan penghalang barisan belakang yang hendak menerjang lebih lanjut,
 kini pasukan Say-ji-bun sudah terbagi empat baris, sayang dalam waktu dekat sulit bagi
 mereka untuk menyerbu lebih lanjut.
 Dingin berwibawa sorot mata Thi Tok-heng, katanya sambil menoleh: "Siang-lote,
 dalam keadaan seperti ini, kalau menurut pendapatmu, cara bagaimana agar dapat
 mengatasi situasi?"
 Siang Cin berucap dengan kalem: "Turun dari kuda, menerjang dengan
 berjalan . . . ."
 Belum lagi berakhir tanggapan Siang Cin, pasukan berkuda yang terbagi menjadi
 empat baris itu serempak melompat turun dari kuda masing2, bagai banteng ketaton,
 semuanya angkat senjata terus melompati parit dan menyerbu ke dalam Ce-ciok giam.
 273 "Pendapat bagus," puji Thi Tok-heng sambil tersenyum.
 Dengan tak sabar Sebun Tio-bu berkata: "Tay-ciangbun, kupikir, kini tiba saatnya
 kita ikut terjun ke medan laga . . . . "
 "Harap tunggu lagi sebentar," kata Thi Tok-heng dengan tersenyum.
 Sorak sorai gegap gempita penyerbuan besar2an bergema menggoncang bumi,
 orang berbaju merah itu semuanya berwajah bengis, bukan saja pakaian merah ketat, ikat
 pinggangnyapun merah, banyak yang bertubuh kuat dan bertelanjang dada dengan
 kampak di kedua tangan, bagai orang gila tanpa mengenal, takut merekapun menyambut
 serbuan golok sabit murid2 Bu-siang-pay.
 Munculnya orang2 Jik san-tui memang terlalu mendadak, jumlahnya juga berlipat
 ganda daripada orang Bu-siang-pay, dalam sekejap pertempuran terbuka
 berlangsung dengan sengit, Ce-ciok-giam menjadi ajang pertempuran adu jiwa.
 Murid2 Say-cu-bun dari Bu-siang-pay menjadi terkepung di tengah orang Jik san tui,
 tapi mereka tidak gentar, dengan tabah mereka menerjang sambit mengerjakan
 golok sabit, sekuat tenaga dan mengerahkan segala kemampuan untuk melabrak musuh dari
 kejauhan tampak jelas, betapa tangkas dan gesit bayangan putih yang berkutet di tengah
 musuh yang serba merah, perbedaan warna yang menyolok ini membuat arena pertempuran
 dapat disaksikan dengan jelas dari kejauhan, meski menang dalam jumlah, tapi orang2 Jiksan-
 tui menjadi kacau-balau diserbu musuhnya yang kesetanan, tak sedikit korban jatuh
 dipihak musuh. Thi Tok-heng memejamkan mata sekejap, katanya kemudian: "Baiklah, kini tiba
 saatnya kita bergerak."
 "Tay-ciangbun," sekilas pikir Siang Cin berkata, "kukira tidak seharusnya Tayciangbun
 sendiri terjun ke arena, situasi medan pertempuran ini harus dalam
 kekuasaanmu, mereka masih memerlukan petunjukmu, bila pihak kalian kehilangan pegangan,
 situasi bisa berbalik menguntungkan musuh."
 Berpikir sebentar, akhirnya Thi-Tok heng mengangguk katanya: "Pendapat bagus,
 aku memang ceroboh, tapi terpaksa harus menyusahkan kalian bertiga saja." Lalu dia
 berputar dan mengangkat sebelah tangannya ke arah Jik-tan-su-kiat yang berjajar di
 belakangnya, 274 Tok Wan kang yang tertua segera larikan kudanya, suitan nyaring seketika
 berkumandang, suitan disusul suitan terus bersambung ke medan tempur, suaranya semakin
 melengking tinggi, dikala suara suitan itu mencapai titik tertinggi di kejauhan, mendadak bergema
 balik lalu sirna. Maka pasukan berkuda lain yang sejauh ini bersembunyi serempak bergerak, bunga
 salju berhamburan sehingga tanah tegalan yang luas dikejauhan sana seperti
 dibungkus kabut tebal, pasukan berkuda serba putih dalam sekejap telah berbaris rapi dengan
 gagah perkasa. Memandang ke sana sebentar, mendadak Siang Cin berseru kaget: "Tay-ciangbun,
 apakah pasukan yang langsung di bawah komando Cong-tam juga akan diterjunkan
 ke medan sana?"
 Lekas Thi Tok-heng menjelaskan: "Betul, memang Hwi ji bun sudah kupersiapkan
 sebagai pasukan belakang, barisan Bong-ji-bun kujadikan pasukan sayap kanan kiri,
 sementara pasukan yang langsung di bawah komando Cong-tam kusimpan untuk
 membantu Say-cu-bun sebagai kekuatan inti untuk melabrak musuh, waktu
 berkemah tadi Hwi ji-bun sudah kubagi jadi dua kelompok yang berkedudukan di dua tempat, kini
 mereka sudah kupendam di dua sisi Ce ciok-giam, bila tidak penting dan diperlukan, kedua
 kelompok pasukan ini tidak akan kukerahkan."
 "Itu baik sekali. Tay-ciangbun," ucap Siang Cin. "Sekarang kami akan maju. . . !"
 Baru saja dia hendak ajak Sebun Tio-bu dan Kin Jin berangkat. tiba2 Thi Tok"heng
 berkata "Siang-lote .. .."
 "Apakah Tay-ciangbun masih ada petunjuk?" tanya Siang Cin.
 Sepasang mata sang pemimpin besar yang bijaksana ini memancarkan rasa
 terimakasih, haru dan simpatik, suaranya rendah mantap: "Harap kalian menjaga diri baik2,
 seluruh anak murid Bu siang pay yang terjun ke medan laga kuserahkan kepadamu untuk
 memerintah mereka."
 Bimbang sejenak, akhirnya Siang Cin menjura, katanya: "Dalam waktu segenting ini,
 tak perlu Cayhe main sungkan. Tay-ciangbun, biarlah Naga Kuning memberanikan
 diri menerima beban berat ini."
 Thi Tok-heng balas menjura, katanya: Tok-heng amat berterima kasih."
 Bersama Sebun Tio bu dan Kin Jin, Siang Cin segera keprak kudanya ka depan,
 tapal kuda berderap maju segencar bunyi tambur ber talu2, di antara lambaian baju2 putih
 275 pasukan berkuda yang langsung di bawah komando Cong-tam segera bergerak.
 Sebun Tio bu melongok ke arah Ce-ciok giam didepan, lalu berpaling ke belakang ke
 arah pasukan berkuda, akhirnya dia menghela napas, katanya dengan nada kagum
 "Siangheng,
 bahwa Bu-siang- pay terkenal di seluruh jagat, menggetarkan dunia persilatan,
 kesuksesan mereka kiranya bukan secara kebetulan, coba kau lihat, dengan
 perbawa seperti
 ini, gagah berani, setia dan bersemangat tinggi, semua ini menandakan betapa keras
 disiplin mereka, sungguh patut dipuji."
 Siang Cin sependapat, katanya: "Benar, hari ini baru terbuka mata kita . . . . . . . "
 Kin Jin yang jarang bicara kini ikut tertawa, katanya: "Jangan suka mengagulkan
 orang lain melulu, Tangkeh perserikatan Jian ki beng (ribuan penunggang kuda) di bawah
 pimpinanmu itu kan juga bukan pelita yang remang2."
 Tertawa Sebun Tio-bu dan berkata: "Bagus, cukup sepatah katamu ini, aku Sebun
 Tio bu selama hidup ini akan mengikat kau sebagai sahabat Siang Cin dan Kin Jin hanya
 tersenyum saja, pada saat itu Congtong Toa-houcu Ho Siang gwat dari Bu-siang pay
 telah memacu kudanya mengejar tiba.
 Cepat Sebun Tio-bu berteriak: "Ho-toahoucu, ada apa?"
 Ho Siang-gwat ter gelak2, katanya: "Mohon tanya kepada kalian, kita tetap
 menggempur dengan pasukan berkuda atau menyerbu berjalan kaki?"
 Seperti punya perhitungan yang meyakinkan Siang Cin menjawab: "Serbu dengan
 berjalan kaki, tapi tiga ratus pasukan berkuda harus tetap dipertahankan di luar
 parit." Ho Siang-gwat tidak banyak bicara lagi, ia memberi tanda ke belakang, maka lima
 puluhan anak buahnya di bawah pimpinan Ping long (serigala penyakitan) Pau Thay
 ki segera memacu kudanya ke depan, dua puluhan orang penunggang kuda membawa
 papan sepanjang setombak lebih dengan lebar lima kaki, kedua sisi papan ini tampak
 dipasang gelang besi dan gantolan sebesar jari.
 "Toa-houcu," tanya Siang Cin lirih, "apakah itu?"
 Ho Siang-gwat tertawa, katanya: "Itulah Sin-siok-kio ciptaan khas Bu-siang-pay kita
 yang tiada keduanya di dunia ini."
 "O, jadi dengan permainan inilah kalian berhasil menyeberangi Liok-sun-ho tanpa
 kurang suatu apapun?"
 Ho Siang gwat mengangguk dengan bangga, sahutnya: "Ya, betul."
 Dikala mereka bicara Pau Thay ki dan lain2 sudah tiba di depan parit, tampak
 sepanjang tanah galian penuh berserakan bambu2 yang patah dan tikar rusak serta
 276 rumput2 kering. Pau Thay-ki tahu bambu, tikar dan rumput2 kering inilah yang telah
 mengelabui pasukan Say-ji-bun sehingga banyak jatuh korban, tanah galian sedalam dua tombak,
 keadaan yang porak-poranda masih mengepulkan debu kapur yang terhembus angin,
 sementara jerit rintih serta ringkik kuda masih terdengar dari dalam lubang, bila
 diawasi lagi ujung bambu runcing yang dipasang tegak lebat itu banyak berlepotan darah,
 manusia

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan kuda sama terhunjam mampus oleh bambu runcing ini, semuanya gugur dalam
 keadaan yang mengerikan.
 Di gundukan tanah di sepanjang tepi parit ini, mayat bergelimpangan, yang terluka
 parah atau enteng, semua dalam keadaan payah, para korban sebagian besar
 adalah orang Bu-siang-pay. Betapa ngeri dan pedih hati Pau Thay-ki dan lain2, tapi dengan mengertak gigi
 segera dia memberi aba2: "Pasang jembatan!"
 Lima puluhan prajurit berkuda serempak melompat turun, mereka tampak sedih, tapi
 rasa dendam tampak pula membakar mereka, tanpa bicara dengan cekatan mereka
 bekerja secara terlatih, mereka bekerja dengan menahan, rasa pilu dan dendam, dengan
 cepat sekali papan2 panjang yang bergantolan itu disambung satu dengan yang lain, ada yang
 pasang tiang serta mengayun palu, lembaran papan segera tersambung terus membujur ke
 depan, sampai akhirnya papan terdepan menyentuh tanah di seberang sana.
 Lekas sekali beberapa buah Sin-siok-kio telah berhasil dipasang, Pau Thay-ki
 berpaling ke belakang, sementara itu pasukan besar berkuda juga telah tiba, lima ratusan
 murid Busiang- pay sekali mendapat aba2, seluruhnya melompat turun, dengan tenang dan
 teratur mereka membentuk dua barisan besar, cepat dan tangkas terus lari ke seberang
 melewati jembatan yang telah terpasang.
 Di samping itu masih ada tiga ratusan pasukan berkuda berdiri diam dalam tiga
 barisan tersendiri. di bawah pimpinan Kang Siu-sim, mereka tetap menunggu perintah lebih
 lanjut. Cepat2 Ho siang-gwat mendekati Pau Thay-ki, katanya: ?"Bawalah dua puluhan
 anak buahmu, kumpulkan kuda kawan2. Coba lihat, semua lari serabutan, mereka
 memang 277 sudah keranjingan membantai musuh hingga kuda masing2 tidak dihiraukan lagi."
 Pau Thay-ki mengiakan, dengan suara tersendat dia berkata pula: "Toa-houcu,
 saudara2 yang ada di dasar parit . . . . "
 Ho Siang-gwat mendengus, omelnya: "Aku sudah tahu, apa yang harus disedihkan".
 Begitulah akhir kehidupan seorang pahlawan, memangnya kita harus mati dalam
 pelukan perempuan, menangis ter-gerung2 seperti kaum lemah?"
 Mata Ho Siang-gwat mendadak mencorong merah, desisnya pula dengan penuh
 kebencian:` "Utang darah ini akan kita tagih dengan rentenya. selamanya Bu-siangpay
 tegas membedakan budi dan dendam ..... Thay-ki, jangan lupa, tolong para saudara
 yang luka2." Hanya sejenak ini sudah lebih dari separuh lima ratusan murid Bu siang-pay itu telah
 menyeberangi Sin-siok-kio. Siang Cin yang sejak tadi mengawasi segera
 menghampiri, katanya dengan tenang: "Toa-houcu, Sebun-tangkeh dan Kin-heng sudah
 menungguku di tepi parit sana, kulihat anak buahmu di bawah pimpinan Thong Yang seng dan Mo
 Hiong itu seluruhnya gagah berani, kupikir sekarang juga boleh mulai mengadakan serbuan
 besar2an."
 Lekas Ho Siang-gwat berkata pula: "Terserah akan putusan Lote saja."
 "Sekarang juga ku pergi, setelah seluruh barisan menyeberang Toa-houcu boleh
 segera menyusul."
 Ho Siang-gwat mengiakan.
 Siang Cin menarik napas lega, tanpa kelihatan dia membalik tubuh, tahu2 dia
 mumbul ke atas terus melayang ke seberang sana seringan burung terbang.
 Sebun Tio-bu yang sudah menunggu di depan sana sampai terpesona, ia berseru
 memuji: "Siang-heng, sungguh Ginkang yang hebat."
 Siang Cin menanggapi dengan tawar: "Ah, biasa saja."
 Kin Jin yang berada di sebelah Sebun Tio bu segera berseru: "Wah, betapa
 ramainya di depan sana, hayolah jangan kita buang2 waktu."
 Lekas Siang Cin berpaling ke sana, di dasar Ce-gok-giam banyak batu2 besar dan
 kecil dengan aneka ragam bentuknya, bentrokan-langsung pasukan kedua pihak ternyata
 telah mencapai puncaknya, murid2 Bu-siang-pay bertempur dengan gagah berani bagai
 harimau 278 yang haus darah, dengan gigih mereka melabrak musuh yang jumlahnya berlipat
 ganda, suara pertempuran menggetar bumi, sinar berbagai senjata menyilaukan mata,
 darah muncrat menghiasi salju yang putih, kaki-tangan terkutung, kepala terpenggal, dada
 berlubang, isi perut berceceran, korban terus berjatuhan.
 Kedua pihak terus berhantam saling merobohkan tanpa ampun se-akan2 mereka
 sudah kerasukan setan, tiada perasaan perikemanusiaan, tiada kenal kasihan dan maaf,
 setiap insan yang lagi adu jiwa sudah dibakar emosi dendam, suara sudah serak, tapi mulut
 mereka tetap berpekik dan mencaci, hanya satu yang terpikir dalam benak mereka,
 ganyang musuh sebanyak mungkin sebelum kau sendiri dibunuh musuh.
 Semua pahlawan Bu-siang-pay telah menyeberangi Sin-ciok-kio dengan tenang,
 tanpa kelihatan sikapnya yang gelisah berderet menjadi lima baris, Swan poh-jiu Thong
 Yangseng dan Koan-jit-khek Mo Hiong dengan tidak sabar tengah celingukan ke sana
 Thong Yang-seng, memegang kampak raksasa yang lebar melengkung, tangan kiri
 menyeret rantai
 besi, sementara Koan-jit-khek Mo Hiong membekal senjata tradisi Bu-siang-pay,
 yaitu golok sabit, Ho Siang gwat berada di paling belakang.
 Siang Cin mengangguk serta bersuara lantang" "Boleh mulai !"
 Sebun Tio-bu ter-bahak2, serunya: "Ini dia, saksikan aku orang she Sebun ini
 mempelopori kalian menagih jiwa musuh." - Sembari berseru, dia mendahului
 menubruk ke depan. Siang Cin memberi tanda, serunya: "Ikuti dia!"
 Swan-poh-jiu Thong Yang-seng dan Koan-jit khek Mo Hiong segera ikut melompat
 ke depan, keduanya meraung: "Hayolah saudara2, gunakan golok sabit membalas
 dendam, sebelum mati takkan berhenti."
 Sebun Tio-bu menerjang di paling depan, puluhan musuh telah dirobohkan, di
 tengah pertempuran yang gaduh itu, dari arah gundukan batu sebelah kanan, dalam jarak
 tiga tombak, mendadak serumbun anak panah selebat hujan memberondong ke arahnya.
 Sambil gelak tertawa Sebun Tio-bu tidak menyingkir, dia malah melejit maju, di mana kedua
 telapak tangannya di dorong, segulung angin pukulan yang dahsyat terus menderu
 kedepan, 279 maka batu2 gunung di dasar Ce-ciok-giam seluas lima tombak sama tersapu remuk
 berkeping2. di jengah tebaran batu pasir itu, tujuh-delapan sosok tubuh manusia ikut
 terlempar, darahpun muncrat, panah yang menyambar datang itupun tersapu rontok
 berjatuhan. Siang Cin melesat lewat sambil menepuk pundak Sebun Tio bu, serunya: "Tay-lik
 kim kong-ciang yang hebat!"
 Baru terdengar suaranya, tahu2 Siang Cin sudah melesat sejauh belasan tombak, di
 tengah udara tubuhnya berputar, mendadak kedua kakinya memancal, maka dua
 potong batu besar tiruan dengan dua orang didalamnya belum lagi sempat memberikan
 reaksi, keduanya sudah menjerit dan roboh binasa.
 Dengan tergelak Sebun Tio-bu memburu maju, mendadak puluhan batu di
 sekelilingnya menjeplak terbuka, puluhan orang berbaju hitam segera menyerbu.
 Codet dimuka Sebun Tio-bu mendadak bersemu merah, di tengah gerungan
 mendadak dia berputar, dikala badan mendak sambil berputar inilah, sebuah senjata panjang
 dengan lima jari yang terpentang diujung senjata bewarna hitam ini lantas menyambar,
 hampir bersamaan dengan munculnya senjata aneh ini, puluhan orang berbaju hitam yang
 menubruk itu sama terjungkal roboh sambil melolong keras darah muncrat, yang
 mengerikan adalah leher mereka semuanya tercoblos bolong.
 Tanpa berhenti Sebun Tio-bu melompat ke sana, waktu mash terapung di udara,
 tangan sedikit menyendal, jari2 tangan yang terbuat dari besi di ujung senjatanya itu kembali
 menderu kencang, "Blang". diselingi erangan tertahan, seorang berbaju merah
 bertubuh tinggi besar sudah roboh dengan kepala remuk.
 Kin Jin tahu2 sudah berada di samping Sebun Tio-bu, dengan tertawa dia berkata:
 "Thimo- pi (lengan iblis besi) sungguh mengerikan."
 Sementara itu pahlawan Bu-siang-pay di bawah pimpinan Thong Yang-seng dan Mo
 Kiong juga telah menyerbu tiba, tanpa menunda waktu terus menerjang musuh,
 hanya dalam sekejap saja, ratusan orang berbaju merah telah diganyang habis.
 Siang Cin terus berkelebat kian kemari, di mana dia lewat tubuh manusia lantas
 beterbangan darahpun berhamburan, jerit para korban yang meregang jiwa berpadu
 dengan denging senjata yang riuh rendah.
 Ganas sekali Thi-mo pi milik Sebun Tio bu itu, kalau bukan leher bolong pasti kepala
 remuk, kembali sepuluh korban telah binasa, sementara Se-bun Tio-bu sudah melejit
 tiba di 280 samping Siang Cin, teriaknya: "Siang heng, carikan lawan yang setimpal, hanya
 mengganyang kaum keroco beginian rasanya kurang memenuhi selera. Keparat,
 memangnya ke mana para pentolan yang biasanya suka tepuk dada, kenyataan kini
 menjadi kura2?" Baru saja Siang Can mau menanggapi, tiba2 dilihatnya dua pahlawan Bu-siang-pay
 telah roboh, sambil memeluk dada, padahal jelas bagi Siang Cin di mana pahlawan
 Busiang pay tadi berada, sekelilingnya tiada kelihatan bayangan musuh, hanya tak jauh
 di sebelah sana terdapat sebuah batu besar.
 Dengan tertawa dingin Siang Cin berkata: "Tangkeh, batu di depan itu apakah kau
 lihat?" Sekilas melirik Sebun Tio-bu sudah mengerti maksudnya, katanya tertawa:
 "Memangnya kenapa?"
 Siang Cin mendesis: "Gunakan Thi-mo-pi milikmu itu, renggutlah nyawa dari
 kejauhan,"
 Sebun Tio-bu lantas berputar. "Wut", Thi-mo-pi yang ujungnya terpasang jari2
 tangan besi itu mendadak menyambar ke arah batu di depan sana, maka terdengar suara
 "Cret", jari
 besi itu mendadak ambles ke dalam batu, sekali sendal dan tarik, batu besar itu
 terbawa terbang, di bagian bawahnya kelihatan dua kaki manusia tengah mencak2.
 Sekuatnya Sebun Tio-bu menyendal pula, seperti main bandulan saja, batu besar itu
 dilemparnya lima tombak jauhnya. "Wut", jari2 besi itu tertarik balik, kelima jari
 besinya yang masih terpentang tampak berlepotan darah segar dan cuilan daging.
 "Bagus, Tangkeh," puji Siang Cin tenang, "mainan tangan besi milikmu entah terbuat
 dart bahan apa?"
 "Terbuat dari anyaman rambut manusia serta kulit badak," demikian Sebun Tio bu
 menerangkan dengan tertawa.
 "Bagus," ucap Siang Cin tertawa, "sekarang mari kita cari musuh yang lebih
 setimpal."
 "Memang begitulah maksudku," seru Sebun Tio-bu bersemangat.
 Maka keduanya melayang ke sana, Siang Cin sempat berkata pula: "Lima puluhan
 tombak di belakang batu sebelah kanan itulah." - Dia mendahului menubruk ke sana.
 Batu raksasa ini tingginya ada dua tombak, lebarnya ada setombak lebih, bentuknya
 mirip benteng yang sudah ambruk, di belakang batu adalah sebuah tanah lapang, di
 sinilah sedang terjadi pertempuran sengit.
 Waktu Siang Cin berkelebat tiba di samping batu raksasa itu, baru dia melihat jelas,
 kiranya dua pahlawan Bu-siang-pay dengan pakaian mereka yang khas tengah
 melabrak 281 empat jagoan Hek-jiu-tong, kedua pahlawan Bu-siang-pay ini, seorang
 berperawakan kekar, dada bidang, jenggotnya pendek kaku seperti sapu lidi, mata besar mulut
 lebar, air mukanya kuning, gerak geriknya memperlihatkan betapa gagah perwira dan
 garangnya. Seorang lagi berkepala kecil lonjong, tubuh kurus kecil, mata sipit hidung pesek,
 kulitnya putih, tapi setiap gerak serangannya ternyata ganas dan keji mematikan, kedua
 orang ini sama bersenjata golok sabit, gaman yang menjadi simbol kebesaran pahlawan2
 padang rumput. Dua dari ke empat lawannya berpakaian hitam, dua lagi berpakaian serba merah,
 jelas mereka dari Jik-san-tui, satu di antara kedua orang baju merah ini sudah pernah di
 lihat oleh Siang Cin, dia bukan lain ialah Toh-gwat-coh-jin Pek Wi-bing, Sam-thauling atau
 gembong ketiga Jik-san-tui.
 Pertempuran kedua pihak sudah mencapai babak yang menentukan, tapi jelas meski
 pihak Hek-jiu tong berjumlah lebih banyak, namun mereka justeru tak mampu
 memungut keuntungan. Sebaliknya meski pahlawan2 Bu-siang-pay itu dua lawan empat,
 mereka justeru berada di atas angin.
 Sekilas menerawang, Siang Cin lantas berkata: "Tangkeh, ke empat orang ini
 seorang diripun aku mampu menyikat mereka, kupikir biar aku saja tampil untuk
 menggantikan kedua pahlawan Bu siang-pay itu . . . . . "
 "Jangan " sela Sebun Tio-bu, "biar aku saja yang mencobanya, Lwekang ke empat
 keparat ini tidak lemah, tak berani aku mengatakan mampu mengalahkan mereka,
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi untuk bertahan beberapa kejap tanggung tidak menjadi soal."
 Siang Cin tertawa, katanya: "Baiklah, usaha ini kuserahkan kepadamu."
 Setelah membetulkan pakaian, Sebun Tio-bu dan Siang Cin unjuk diri. Sudah tentu
 berbeda sikap kedua pihak yang lagi bertempur itu, begitu kedua orang ini muncul,
 kedua pahlawan Bu-siang pay itu tertawa kegirangan, semangat tempur mereka semakin
 menyala. Sebaliknya ke empat musuh yang berpakaian hitam dan merah itu berubah hebat air
 mukanya, semuanya menjadi pucat.
 Dengan tertawa. Siang Cin berkata: ?"Saudara dari Bu-siang ini harap sebutkan
 nama kalian. Aku Naga Kuning Siang Cin."
 282 Laki2 setengah baya berperawakan tinggi kekar dengan berewok pendek itu tergelak2,
 serunya: "Sungguh beruntung bertemu di sini, aku yang tak becus ini adalah Seng si-to Ih Ce."
 Yang berperawakan kurus itu sekaligus membacok tujuh kali mendesak mundur
 musuhnya, lalu berteriak: "Cayhe Pek-wan (lutung-putih) Siang Kong, arak buah
 Say-jibun Bu-siang-pay."
 Siang Cin menjura, katanya: "Kiranya Ih-cuncu dan Siang-heng, silahkan kalian
 mundur dan istirahat, biarkan temanku ini menjajal kemampuan musuh."
 Dengan tertawa lebar Ih Ce berkata: "Baiklah!"
 Segera Sebun Tio-bu melompat maju, sekali bergerak tahu2 semua senjata lawan
 kena disampuknya pergi. Hanya segebrak saja, baik kawan maupun lawan sama berteriak
 kaget: "Thi-mo-pi!"
 Sebun Tio-bu bergerak pula, Thi-mo-pi menyambar dengan tenaga dahsyat, angin
 menderu kencang mendampar ke arah empat musuh.
 Di luar arena Siang Cin tengah berkata dengan tertawa: ?"Ih cuncu, pasukan berkuda
 di bawah pimpinan Ho-toa-houcu telah menyerbu tiba, silakan Ih cuncu dan Siang-heng
 pimpin mereka mengganyang musuh."
 "Kalau demikian, biarlah musuh di sini Siang-heng dan Sebun-heng yang
 membereskan," demikian ucap Ih Ce, "ke empat orang ini termasuk pentolan musuh,
 sekali2 tidak boleh di lepaskan . . . . "
 "Cuncu jangan kuatir, kedatangan kami memang untuk mengucurkan darah dan
 mencabut nyawa, bagaimana mungkin mereka dilepaskan begini saja?" demikian
 ucap Siang Cin. Ih Ce memberi tanda kepada Siang Kong, keduanya lantas melompat ke atas terus
 meluncur ke sana. Siang Cin memandang ke arena, dengan santai ia menyaksikan
 jagonya berhantam. Tatkala itu Pek Wi-bing tengah putar kencang gelang baja di tangan kanan dan golok
 ditangan kiri, deru kedua senjatanya menimbulkan suara yang memekak telinga,
 gelang baja dengan golok melengkung pendek itu ternyata dapat menciptakan cahaya
 kemilau, indah dan menakjubkan permainan kombinasi kedua senja,ta yang berlainan ini,
 pantas dia berjuluk Toh-gwat-coh-jim (menyanggah rembulan dan golok kiri).
 Kawannya yang juga berpakaian merah adalah laki2 berusia empat puluhan, pendek
 283 gemuk bagai guci, gerak geriknya lincah dan tangkas, gamannya adalah garu yang
 bergagang panjang, ternyata permainan senjatanya yang lain dari pada yang lain ini
 cukup lihay dan ganas pula, kelihatannya dia sudah nekat dan siap mengadu jiwa.
 Kedua laki2 baju hitam sama berperawakan kurus tinggi seperti tonggak, mukanya
 yang tirus kehijauan tanpa mengunjuk perasaan, kedua orang sama menggunakan
 sepasang Hou than kau (gantolan kepala harimau), maju mundur dan menyerang dapat
 mereka bekerja sama dengan baik.
 Di antara ke empat orang ini, hanya Pek Wi-bing seorang yang dikenal Siang Cin,
 tiga yang lain masih asing baginya, tapi tak perlu diragukan bahwa mereka adalah jago
 penting dari Hek-jiu-tong- atau Jik san-tui.
 Meski satu menghadapi keroyokan empat musuh, bukan saja tidak gugup atau
 terdesak, Sebun Tio-bu yang telah mengembangkan cakar-besinya, malah sering menyerang
 daripada bertahan, musuh didesak dan dicecarnya, betapa lihay dan kuat ke empat lawannya,
 lambat laun mereka semakin terdesak dan hanya mampu bertahan saja.
 Dengan mencibir Siang Cin berkata: "Pek Wi bing, sudah lama kudengar namamu,
 bukankah kau pun tak asing akan nama julukanku?"
 Keringat sudah bercucuran, sembari putar senjata membendung serangan lawan,
 Pek Wi-bing meraung dengan napas tersengal2: "Siang Cin kau membantu kejahatan.
 tanpa hiraukan keadilan dan kebenaran kaum persilatan, kali ini kau tidak akan luput dari
 tuntutan."
 Mendadak Sebun Tio-bu menggentak. "Wut?", Thi-mo pi serta merta menyamber,
 lekas Pek Wi-bing menyampuk dengan gelang baja di tangan kanan. "Traang", bunga api
 melentik, hampir saja senjatanya mencelat terbang.
 Mengawasi tingkah laku Pek Wi-bing yang menahan sakit dengan meringis itu, Siang
 Cin tertawa, katanya: "Waktu di Pau-hoa-ceng tempo hari, Pek Wi-bing, seharusnya
 kau tahu gelagat serta harus lekas ngacir saja, tapi kau justeru penasaran, sekarang
 menyesalpun terlambat."
 Beruntun membacok tiga kali, Pek Wi-bing balas menyerang sambil berkelit,
 teriaknya: "Siang Cin . . ., dulu kau membantu Bu-siang-pay menyerbu Hek-jiu-tong, lalu bantu
 mereka pula menghadapi Jik-san-tui . . . . . . kau, kau sampah persilatan, antek BuBARA
 NAGA- Koleksi KANG ZUSI
 284 siang pay . . ... .."
 "Trang", senjata kedua orang berbaju hitam tersampuk pergi, sementara Thi-mo-pi
 menyerempet lewat di atas kepala Pek Wi-bing, samberan anginnya yang keras
 hampir saja menyebabkan Sam-thauling Jik-san-tui ini sesak napasnya, dengan wajah pucat
 kehijauan, cepat dia melompat mundur dan hampir saja roboh terjengkang.
 Menyusul Thi-mo-pi memukul pergi garu lawan yang lain, dengan tertawa Sebun Tiobu
 berkata: "Orang she Pek, kau ini paling2 baru terhitung jago kelas tiga, berani
 buka mulut menghina sang Naga Kuning yang disegani" Kalau kau dibandingkan dia,
 umpama kau diharuskan menjilati telapak sepatunya saja masih belum setimpal."
 Saking murka hampir saja Pek Wi-bing mati kaku, dengan nekat dia menerjang maju,
 gelang dan golok berputar bersama, seperti harimau gila dia mencecar Sebun Tio-bu.
 Thi-mo pi di tangan Sebun Tio-bu mendadak mencengkeram, se-olah2 berubah
 menjadi ratusan jumlahnya, cakar tangan besi ini seperti berubah menjadi wajah setan yang
 beringas. Inilah jurus ke tujuh yang dinamakan Jian-jiukim-liong (seribu tangan meringkus
 naga), salah satu jurus lihay dari Hek-sat cap-it pi Sebun Tio-bu yang termasyhur.
 Maka bayangan cakar tangan bertaburan di angkasa mengaburkan pandangan
 orang, tampak Pek Wi-bing memutar kedua senjatanya bergetar sekali seperti dipagut ular,
 mendadak badannya mencelat dan terbanting puluhan langkah jauhnya. Begitu
 keras dia terbanting, tapi dengan bandel dia berusaha melompat bangun, tapi akhirnya dia
 terkulai pula dengan lemas, kiranya pundak kiri dan depan dadanya sudah terluka, kulit
 dagingnya terkelupas, darah berlumuran, malah tulang pundaknya yang patah itu tak menongol
 keluar dari balik bajunya.
 Hanya sekejap itu, bagai elmaut membayangi sukma para musuhnya, Sebun Tio-bu
 bersiul aneh, dia terus tubruk ketiga musuhnya serta menyerang lebih gencar.
 Siang Cin tertawa dingin, serunya: "Tangkeh, hayolah lekas akhiri!"
 Terdengar Sebun Tio bu berseru: "Baik, satupun tak boleh ketinggalan hidup."
 Selangkah demi selangkah Siang Cin menghampiri Pek Wi bing, sorot matanya
 dingin tajam. Merinding Pek Wi-bing, dengan napas tersengal, dia menatap Siang Cin lekat2,
 285 sekujur badan terasa dingin, jantung berdetak keras, begitu tegang dan paniknya sampai
 luka di pundak dan dadanya tidak terasakan sakit lagi olehnya.
 Dengan sikap ramah Siang Cin berhenti di depan Pek Wi-bing, katanya dengan nada
 bersahabat: "Pek Wi-bing, dalam keadaan seperti ini, tiada ampun dan tak mengenal
 kasihan lagi, bijaksana kepada musuh berarti menyusahkan diri sendiri, betul tidak?"
 berhenti sebentar, dia tertawa dan berkata pula: "Aku tidak ingin berlaku kejam
 terhadap diriku sendiri, oleh karena itu terhadapmu akupun tak boleh menaruh belas kasihan,
 di Pauhou- ceng tempo hari, beruntung kau lolos dari Kim-lui-jiu Kin Jin, tapi hari ini kau
 takkan lolos dari Jian-ciang yang kulancarkan."
 Rasa ketakutan jelas kelihatan di muka Pek Wi-bing, bibirnya tampak gemetar, bola
 matanya terbelalak, gelang bajanya yang kemilau tajam terangkat di depan dada,
 dengan suara gemetar ia berkata: "Kau . . . . apa kehendakmu?"
 Tertawa penuh arti, Siang Cin berkata: "Kuat hidup kalah mampus, ini adalah hukum
 yang berlaku di kalangan kalian, hakekatnya kalian tidak perduli akan harkat
 manusia, tanpa peri-kemanusiaan kalian bekerja asal menang untuk hidup, kini biarlah aku
 meniru cara yang biasa kalian tempuh, kini aku adalah si kuat dan kau adalah si lemah ....."
 Dengan suara serak Pak Wi-bing berteriak: "Kau, kau . . . . Siang Cin, kau hanya
 memungut keuntungan di kala orang kesusahan."
 "Terserah apa yang hendak kau katakan, tentunya kaupun maklum, sekalipun kau
 tidak terluka, kau tetap bukan tandinganku."
 Baru saia Pek Wi-bing mau bicara lagi, "cret". sebuah suara berkumandang dari
 sana, lekas dia berpaling ke arah datangnya suara, kiranya kawannya yang bersenjata
 garu itu tengah sempoyongan dengan kedua tangan memeluk batok kepala yang sudah
 mumur dan akhirnya terjungkal binasa.
 Dengan tenang Siang Cin menyaksikan urat hijau menonjol di pelipis Pek Wi bing,
 katanya dengan santai: "Kau sendiri yang turun tangan atau perlu kulayani?"
 Napas semakin memburu, keringat dingin mengucur semakin deras, mata Pek Wibing
 seperti hampir melotot keluar, tubuhnya bergetar, berada di antara mati dan hidup,
 sekarang baru dia tahu rasanya takut, bahwa dia hakekatnya juga seorang yang takut mati.
 Dengan sorot mata tajam Siang Cin berkata pula: "Kalau aku yang turun tangan,
 286 cepat saja, kau takkan menderita, karena gerakan tanganku melebihi samberan kilat
 cepatnya . . . . " Pek Wi-bing betul2 pecah nyalinya, dia tidak tahan rasa sakit luka2nya, Iebih2 tak
 tahan menghadapi ancaman elmaut yang bakal merenggut nyawanya, dengan
 lunglai dia berteriak serak: "Siang Cin, aku . . . . aku mohon kepadamu, lepaskan aku pergi . . . .
 ini dapat kau lakukan, kenapa kau harus membunuhku" kau kan tidak bermusuhan
 dengan aku, semua ini hanya untuk orang lain . . . ."
 "Lepaskan kau" Andaikata aku ya
 
^