Bara Naga 11

Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 11


ng menjadi kau sekarang, apa kaupun mau
 melepaskan aku?"
 Biji leher Pek Wi-bing tampak turun naik, ia meratap: "Jangan begitu Siang Cin,
 mohon ampunilah diriku, aku akan berterima kasih, aku takkan lupa pada
 kebaikanmu . . . .
 . . " Diam sebentar, akhirnya Siang Cin berkata "Kalau kau ingin hidup boleh, tapi
 beberapa pertanyaanku harus kau jawab sejujurnya, setelah menjawab pertanyaanku boleh
 kau pergi." Setelah menarik napas panjang, akhirnya Pek Wi-bing mengangguk, katanya rawan:
 "Baik, kau boleh tanya, akan kujawab seluruhnya. . ."
 "Di Ce ciok-giam ini, perangkap dan muslihat apa yang telah kalian rancang?"
 Dengan menggertak gigi Pek Wi-bing menerangkan: "Empat ratus orang2 Hek jiu
 tong dan dua ribu anak buah Jik-san tui dipendam tersebar di seluruh dasar Ce ciok giam
 ini, Hek jin tong langsung dipimpin oleh sang ketuanya bersama ke tujuh thau-ling, pihak
 Jiksan- tui di bawah komandoku bersama dua puluhan Jong-tai, di samping itu pihak
 Hek jiutong dibantu pula oleh kedua Hwi ki su, sedang akupun menyertakan Toan-san je
 Ting Bu ...." Berpaling ke arena pertempuran sana Siang Cin bertanya pula: "Hwi ki su adalah
 kedua orang itu" Sedang Toan-san-je adalah orang yang telah mampus itu?"
 Pek Wi-bing mengangguk dengan lesu. Siang Cin bertanya lebih lanjut: "Jadi, kecuali
 menggunakan parit dan memasang jaring, kapur dan panah, perangkap apa pula
 yang telah kalian rencanakan?"
 287 Bimbang sejenak, akhirnya Pek Wi-bing berkata: "Dua ribu batu tiruan yang dibuat
 dari kulit2 tebal tersebar di dasar Ce-ciok-giam, algojo kami bersembunyi di dalam batu2
 tiruan itu, mereka akan keluar dan beraksi bila tiba saatnya ."
 Lekas Siang Cin menukas: "Hal ini sudah ku ketahui, maksudku adakah muslihat
 lainnya?" Kembali Pek Wi-bing ragu2 sekian lamanya. Dengan suara kereng Siang Cin
 mengancam: "Bila kau tidak menepati janji, Pek Wi bing, aku juga boleh ingkar janji "
 Terpaksa Pek Wi-bing menerangkan pula: "Di tepi Ce-ciok-giam di seberang sana
 sudah terpendam banyak obat peledak, bila situasi tidak menguntungkan pihak kami,
 setelah pasukan kami mundur seluruhnya, sumbu akan di sulut . . . . . . . . "
 "Lalu siapa yang berkuasa memberikan perintah di sini?" dengus Siang Cin.
 "Aku atau Can-lomo (ketua Hek jiu tong )" sahut Pek Wi-bing lesu.
 Berpikir sebentar, Siang Cin bertanya pula: "Di luar Ce-ciok-giam, masih ada
 perangkap keji apa yang telah kalian rancang?"
 Kali ini cukup lama Pek Wi bing berdiam, uap mengepul dari deru napasnya,
 pakaiannya yang basah kuyup lengket dengan badannya, kulit mukanya tampak
 berkerut, wajah yang pucat menampilkan rona yang mengerikan .. . .. .."
 Seperti menyadari sesuatu Siang Cin mendesak: "Pek Wi-bing, waktu tidak banyak
 lagi." Menatap Siang Cin dengan bola mata membara, penuh rasa dendam dan kebencian
 Pek Wi-bing mendesis gemas: "Siang Cin, apa yang kubocorkan sudah cukup parah bagi
 pihakku, sudah cukup aku menjual sekian banyak jiwa raga kawan2 ku, kau tetap
 tidak memberi kelonggaran kepadaku, dengan keji kau masih memaksaku . . .
 "Kan mending daripada mampus," jengek Siang Cin.
 Dengan menyeringai sedih Pek Wi-bing berkata: "Caramu ini jauh lebih kejam
 daripada kau membunuhku, kau ingin bikin aku mampus dan tak tenteram di alam
 baka, kau ingin supaya kawanku menggali liang kuburku, mencacah lebur jasadku ....." "
 Tanpa mengunjuk perasaan apa2 Siang Cin berkata: "Memangnya kau punya cara
 lain yang lebih sempurna untuk menghindari kematian?"
 Tiba2 Pek Wi-bing mendelik beringas, gelang baja yang terpegang di tangan kanan
 tiba2 ditimpukkan sekuatnya ke leher Siang Cin, begitu cepat dan mendadak
 serangan ini, dikala sinar gemerdap berkelebat, gelang baja yang tajam itupun sudah
 meluncur tiba di depan leher Siang Cin.
 Jilid 15 288 Siang Cin tidak berkelit atau mengegos dia tetap berdiri tenang kedua tangannya
 mendadak bergerak naik, dengan punggung tangan menyongsong ke atas, "trang!",
 gelang baja yang tajam berputar itu tahu-tahu mencelat melampaui batu raksasa dan
 entah jatuh di mana. Sorot mata Siang Cin semakin mencorong sadis, tapi dengan
 beringas Pek Wi-bingpun tetap mendelik kepadanya, badan yang sudah setengah
 jongkok pelahan-lahan ambruk, darah merembes dari ujung bibirnya, dia telah bunuh
 diri dengan menusuk ulu hati sendiri.
 Rasa heran dan penyesalan timbul dalam hati Siang Cin, sekian lama dia melongo
 mengawasi jenasah Pek Wi-bing, ketika suara Sebun Tio-bu berkumandang di
 belakangnya baru dia tersentak sadar dan pelan-pelan berpaling kesana.
 Sebun Tio-bu tengah menyeka keringat dijidatnya, katanya: "Kenapa kau melongo"
 Keparat she Pek itu bunuh diri?"
 Dengan termangu-mangu Siang Cin berkata: "Sebetu lnya dia tidak perlu bertindak
 nekat begini, mestinya aku tidak akan membunuhnya. . ."
 "O, kau akan membebaskan dia?" seru Sebun Tio bu heran, "bukankah berarti kau
 menyusahkan dirimu sendiri" Keparat, menangkap harimau lebih mudah dari pada
 melepaskannya, walau keparat she Pek ini bukan tokoh yang harus disegani, tapi dia
 cukup licik dan jahat, syukur kalau dia sudah bunuh diri."
 Waktu Siang Cin menoleh ke sana, kedua Hwi ki su, Hek jiu-tong tadi sudah
 menggeletak mampus dalam keadaan yang mengerikan, leher keduanya berlubang
 besar. Sambil menenteng Thi-mo-pi Sebun Tio-bu berkata dengan tertawa: "Kedua keparat
 ini boleh juga, kalau mereka tidak gugup, mungkin masih kuasa bertahan beberapa
 kejap lagi."
 Lalu Siang Cin ceritakan rahasia yang berhasil dia korek dari mulut Pek Wi-bing.
 Sebun Tio-bu mengumpat "Keparat, keji amat, Siang-heng, urusan tidak boleh
 lambat, lekas kita beritahukan kepada pihak Bu-siang-pay."
 Maka kedua orang lantas berlari ke sana, pertempuran sementara itu sudah
 berkobar ke seberang, jelas pihak Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui sudah mulai terdesak
 mundur, kiranya pasukan inti Bu-siang-pay yang langsung dibawah komando
 Congtong dan tepat pada waktunya sehingga situasi segera berubah.
 Kini para pahlawan baju putih dari padang rumput dengan golok panjang
 melengkung ke lihatan memburu dan membabati musuh yang berusaha melarikan
 diri, Bagai air bah yang tak terbendung, orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui
 sama mundur dan sembunyi di antara celah-celah batu, mayat bergelimpangan,
 darah mengalir bagai air sungai, keadaan sungguh amat mengerikan.
 Secepat terbang Siang Cin dan Sebun Tio bu memburu ke depan, belum lagi mereka
 terjun ke tengah rombongan besar Bu-siang-pay, sesosok bayangan kurus kecil
 tampak melayang tiba dari arah samping.
 Sembari memutar, mata Siang Cin yang tajam sudah melihat jelas pendatang ini,
 serunya: "Ho-toahoucu . . ."
 289 Pendatang ini memang Yu hun-kou-cay Ho Siang gwat si kakek kurus kecil ini
 tertawa, golok sabit ditangannya segera disarungkan, katanya sambil menggosok
 telapak tangan: "Betul tidak, kalian sudah bentrok dengan jago-jago kosen mereka?"
 Mengawasi jubah putih Ho Siang-gwat yang berlepotan darah, Siang Cin menjawab
 pelahan: "Ya."
 "Bagaimana keempat orang itu?" tanya Ho Siang Gwat.
 "Sudah kuganyang semua," sahut Sebun Tio-bu, "memangnya Toahoucu mau
 memelihara mereka?"
 Memandang medan pertempuran di depan sana, Siang Cin bertanya: "Toahoucu,
 bagaimana hasil pertempuran ini?"
 Dengan gagah Ho Siang-gwat menengadah katanya: "Sebelum tengah hari, kuyakin
 sudah dapat menghancurkan musuh, paling tidak pasti akan mendesak mereka
 keluar dari Ce-ciok-giam ini."
 Maka Siang Cin lantas menjelaskan rahasia yang berhasil dia korek dari Pek Wi-bing
 kepada Ho Siang-uwat, Keruan Ho Siang-gwat berjingkat kaget, serunya: "Wah, bisa
 celaka." Cepat dia memanggil seorang murid Bu-siang-pay serta berpesan: "Lekas laporkan
 kepada lh-cuncu, katakan ada perintah penting dari Siang-susiok, setelah memukul
 mundur musuh, dalam jarak seratus langkah dari tepi seberang dilarang mengejar
 lebih lanjut, barang siapa melanggar perintah ini akan dihukum pancung."
 Murid Bu-siang-pay itu mengiakan terus berlari pergi, Ho Siang-gwat menyeka
 keringat sambil menyatakan syukur kepada Siang Cin.
 Tidak lama kemudian, tiba-tiba di seberang Ce-ciok-giam sana terdengar suara
 tambur ditabuh keras-keras, begitu gencar suara tambur ini menyebabkan orang
 merasa tegang dan panik, keruan orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui yang lagi
 berhantam itu lantas putar tubuh dan melarikan diri.
 Pasukan yang kalah dan mundur ini sungguh laksana air bah yang tak terbendung
 lagi, Memangnya anggota Hek-jiu-tong biasanya sebuas serigala dan selincah
 harimau, kejahatan apa saja yang tak pernah mereka lakukan" Kini demi mencari
 selamat sendiri, yang di belakang mendorong yang di depan terdesak roboh dan di
 injak-injak kawan sendiri, maka terjadilah saling injak dan saling dorong, keadaan
 menjadi semakin kacau dan ribut.
 Mengawasi keadaan yang kemelut itu, Sebun Tio-bu mendadak menoleh dan
 bertanya: "Siang-heng, tahukah di mana letak sumbu peledak musuh?"
 Siang Cin maklum maksud Sebun Tio-bu, namun dia menggeleng sahutnya: "Tadi
 tak sempat kutanyakan."
 Dengan gegetun Sebun Tio-bu berkata pu la: "Bila tahu tentu menguntungkan kita
 bisa mendahului pasukan musuh yang mundur ini, bila sumbu kita sulut sekarang
 pihak mereka sendiri yang bakal menjadi korban malah, tapi kini sudah terlambat . .
 ." 290 "Tempatnya pasti amat dirahasiakan, kalau tidak, ini memang cara yang setimpal
 untuk membalas kelicikan mereka."
 Tatkala mana keadaan orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui tampak runyam
 sekali, banyak yang merangkak-rangkak berebut mencapai tepi Ce ciok-giam,
 pahlawan-pahlawan Bu-siang-pay terus mengudak dan membabat musuh seperti
 membabat rumput, kira-kira dua puluhan tombak mendekati seberang Ce-ciok-giam,
 pada saat genting itulah, tiba-tiba lengking suara tiupan tanduk yang mengalun
 panjang berirama sendu bergema di angkasa Ce ciok-giam.
 Maka pahlawan-pahlawan Bu-siang-pay yang tengah mengamuk di tengah-tengah
 musuh sama berhenti dan melongo, jelas kelihatan mereka teramat heran dan
 menyesal, wajah mereka yang sudah beringas seperti binatang buas yang mencium
 darah tampak penasaran dan gusar, tapi mereka teramat berdisiplin dan patuh pada
 perintah atasan, meski tak boleh menyerbu lebih lanjut, tapi tombak bersu la di
 tangan mereka segera ditimpukkan musuh, maka musuh yang lagi lari sipat kuping
 dan merambat naik ke atas tanggul itu banyak pula yang menjadi korban, tombak
 menghujam punggung, leher, pinggang atau kaki tangan, ada pula yang batok
 kepalanya pecah, lebih mengenaskan lagi ada orang yang tubuhnya terpantek
 tombak pendek yang berat itu.
 Di kejauhan sana lh Ce tampak berdiri di atas sepotong batu besar, di sampingnya
 berdiri tiga anak buahnya yang gagah perkasa, tak jauh di sebelah sana Kim-lui-jiu
 Kin Jin tampak berdiri dengan santai, gagah dan berwibawa.
 Thong Yang-seng yang sekujur badannya berlepotan darah tampak masih berada di
 dalam rombongan orang banyak entah apa yang sedang dia bicarakan dengan Coan
 jit kek Mo hiong.
 Sisa orang-orang Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui sementara itu sudah naik ke atas
 tanggu l, syukur pahlawan-pahlawan Bu-siang-pay tidak mengganyang mereka lebih
 lanjut, maka semuanya ngelesot di tanah, ada yang duduk, ada yang rebah
 celenteng, semuanya lemah lunglai dengan napas tersenga l, yang terluka sibuk
 membalut luka, ada pula yang merintih dan meraung, yang tersisa tiada seorangpun
 kuat berdiri lagi.
 Melihat keadaan Ce-ciok-giam yang penuh bergelimpangan mayat dan orang yang
 terluka parah, lama juga Siang Cin termenung, kalanya kemudian: "Yang gugur dan
 terluka dari kedua pihak ternyata tidak sedikit jumlahnya."
 Hong Siang-gwat menghela napas, katanya: "lni kan petempuran, kalau tidak
 membunuh tentu dibunuh, jumlah orang-orang yang gugur dan terluka sebentar lagi
 akan ada laporan yang jelas."
 Dari depan sana bayangan seorang yang kurus kecil tengah berlari datang, sekilas
 pandang Siang Cin melihat yang datang ini adalah si Lutung putih Siang Kong.
 Ho Siang-gwat terbelalak heran, teriaknya: "Lo Siang, kenapa kau tergesa-gesa?"
 Muka Siang Kong basah penuh keringat, dengan napas, tersengal dia memberi
 hormat kepada Siang Cin serta Sebun Tio-bu, lalu berkata kepada Ho Siang-gwat:
 "Lapor Toahoucu, Cuncu bertanya bagaimana tindakan selanjutnya?"
 291 Ho Siang-gwat berpaling ke arah Siang Cin. Dengan tenang Siang Cin berkata: "Bagi
 menjadi beberapa kelompok dan siap siaga setiap saat, untuk sementara boleh
 istirahat tolong dulu yang terluka adalah tugas utama."
 Siang Kong mengiakan terus berlari balik ke sana, Ho Siang-gwat memanggil
 seorang murid serta berpesan: "Laporkan kepada Toaciangbun, katakan bahwa Ceciok-
 giam sudah kita duduki, karena musuh menanam bahan peledak di atas tanggul
 sana, maka sementara kedua pihak mengadakan gencatan senjata tidak resmi,
 jangan lupa secepatnya suruh barisan penolong kemari."
 Murid itu mengiakan terus berlari pergi bagai terbang, Ho Siang-gwat berpikir
 sejenak, lalu berkata kepada seorang murid Bu-siang-pay tak jauh di sampingnya:
 "Sampaikan kepada Pau-suheng, katakan kuperintahkan mereka tetap bertahan di
 luar Ce ciok-giam, sebelum ada perintah tak boleh sembarang beraksi."
 Murid inipun pergi dengan langkah cepat, Ho Siang gwat menghela napas, katanya
 dengan nada heran: "Eh, hujan salju sudah berhenti. Kapan sih berhei'tinya?"
 "Dikala kita mulai terjun ke medan laga tadi," ucap Siang Cin dengan tertawa.
 Dalam pada itu dua murid Bu-siang pay telah membentang dua selimut yang tebal di
 antara batu krikil, maka Siang Cin, sebun Tio-bu dan Ho Siang-gwat sama duduk
 istirahat. "Menurut perhitunganku," demikian ucap Siang Cin, "Yang gugur dan terluka dari
 kedua pihak mungkin melebihi tiga ribu orang."
 "Ya, kira-kira sebesar itu," kata Siang gwat, "Barusan Loh lh beritahu kepadaku,
 bahwa anak buah Say-ji-bun yang dipimpinnya ada separo yang gugur dan terluka,
 murid-murid yang dikuasai Congtong juga gugur dua tiga ratusan."
 Menghela napas, Siang Cin berkata "Pertempuran besar-besaran begini, akibatnya
 sudah tentu serba kejam."
 Dengan rasa dongko l Sebun Tio bu melirik Siang Cin, katanya: "Memangnya si
 Naga Kuning juga bicara persoalan kekejaman?"
 "Kan aku juga manusia biasa, hatiku tidak sekejam seperti yang tersiar di luaran,
 betapapun harkat manusia masih kuhargai, cuma dalam menghukum orang jahat,
 caraku turun tangan memang keji, adalah jamak mereka yang pernah kutindas sama
 menggambarkan diriku bagai iblis laknat. Yang betul, akupun punya kasih sayang
 sesama manusia, aku menghargai orang lain seperti aku menghargai diriku sendiri,
 ini terbukti jumlah manusia yang pernah kutolong, dari macam-macam kesulitan
 yang jauh lebih banyak daripada korban yang pernah kubunuh, kecuali kejahatannya
 memang sudah kelewat takaran, biasanya pasti kupertimbangkan dulu apakah patut
 orang itu kubunuh."
 Ho Siang-goat manggut-manggut, katanya: "Untuk ini akupun bisa merasakab, aku
 setuju dan bisa menerima penjelasan ini. . ."
 "Akupun setuju," kata Sebun Tio-bu, "Hendaklah Siang heng jangan salah paham. .
 ." 292 "Persahabatan harus dilandasi kejujuran serta kebajikan, Tangkeh, masakah aku
 gampang dibuat salah paham?" ucap Siang Cin sambil menatap Sebun Tio-bu."
 Lalu dia kerkata pula kepada Ho Siang-gwat: "Toahoucu, untuk kali ini apakah kalian
 ada membawa senjata api?"
 "Ada, Liat yam-kiu dan Hwe-piau buatan khas kami sendiri," sahut Ho Siang-gwat.
 "Bian-hok-ti-cu juga kalian bawa bukan?" tanya Siang Cin pula.
 "Sudah tentu," sahut Ho Siang-gwat tergelak. "pusaka ini pasti selalu kami bawa."
 Berpikir sejenak lalu Siang Cin berkata: "Kalau tidak dipelihara orang di musim
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedingin ini, berapa lama binatang ini kuat dan bertahan hidup?"
 "Bian-hok-ti-cu (labah2 perut sutera) ini biasanya kami pelihara dalam kotak batu
 kemala yang hangat, jika tidak dipelihara dan berada musim sedingin ini, mungkin
 hanya kuat bertahan setengah hari, daya hidup labah-labah macam ini sebetulnya
 amat kuat, bila labah-labah jenis lain, begitu musim dingin akan datang, mungkin
 siang-siang sudah menggali liang sembunyi dan tak berani bergerak lagi."
 Lalu dia bertanya: "Apakah kau ada akal baik, Lote?"
 "Biarlah kupikirkan sebentar, supaya rencanaku lebih sempurna. . ."
 Maka Ho Siang-gwat tidak mengganggu pula konsentrasi Siang Cin, sementara
 Sebun Tio-bu sudah merebahkan diri, Thi-mo-pi dia jadikan bantal. Tak lama
 kemudian, lima ekor kuda mencongklang kencang mendatangi tiba di pinggir parit
 lantas berhenti, lima orang dengan langkah cepat tampak menyeberangi Sin-siok-iuh
 menuju ke sini.
 Ho Siang gwat berkata pelahan: "ltulah Tay-ciangbun telah datang."
 Dengan tertawa Siang Cin berdiri, demikian juga Sebun Tio-bu melompat bangun.
 Memang betul Thi Tok-heng dibawah pengawalan Jik tan-su-kiat tengah mendatangi
 mereka. Jelas pada saat pertempuran berlangsung tadi, Thi Tok-heng sendiri tidak pernah
 istirahat. Melihat Siang Cin bertiga, dia mempercepat langkah dengan tersenyum,
 dengan erat dia pegang lengang Siang Cin dan Sebun Tio-bu, katanya dengan suara
 terharu: "Lote, tentunya kalian sudah lelah."
 "Tidak apa-apa, mungkin Tay ciangbun yang terlalu banyak berpikir . . ."
 "Tayciangbun," sela Sebun Tio-bu "mukamu kelihatan kurang sehat, mungkin terlalu
 tegang. Memang, dalam saat2 seperti ini siapapun pasti tegang."
 "Untunglah ...." ucap Thi Tok-heng dengan tertawa, "sementara ini situasi boleh
 dikatakan aman, dalam gebrak pertama ini kita sudah unggul, tapi untuk maju lebih
 lanjut tidak sedikit aral melintang yang harus kita hadapi, pihak musuh jelas takkan
 berpeluk tangan."
 "Sudah tentu," kata Siang Cin.
 293 Thi Tok-heng berkata pula: "Siang-lote, menurut pendapatmu, bagaimana
 melanjutkan serbuan seterusnya?"
 Berpikir sebentar Siang Cin berkata: "Di atas tanggul diseberang Ce-ciok-giam
 musuh memasang bahan peledak dalam jumlah besar, maka langkah pertama kita
 harus menghancurkan peledak yang terpendam itu, lalu perintahkan Say-ji-bun
 berjagadi sini, supaya Ce-ciok-giam kita jadikan benteng yang kukuh untuk maju
 atau mundur bila perlu di samping kekuatan inti kita terus maju ke depan beberapa
 kelompok yang lain harus terus gempur pertahankan musuh secara bergiliran
 supaya musuh tidak ada waktu ganti napas, dengan cara demikian bukan saja
 tenaga kita bisa dipertahankan semangat juang tetap berkobar, bila perlu seluruh
 kekuatan masih dapat dikerahkan sekaligus. . ."
 "Analisa yang tepat," Ucap Thi Tok-heng, "apa yang diuraikan Lote memang sudah
 menjadi rancangan dalam benakku, tahap pertama Say-ji-bun memang harus
 berjaga di Ce-ciok-giam..sementara pasukan Hwi-ji-bun kujadikan pasukan inti dan
 pasukan Bong-ji-bun sebagai cadangan, kini yang perlu segera diputuskan adalah
 bagaimana langkah kita selanjutnya . . ."
 "Menurut penilaianku." demikian Siang Cin berkata, "musuh hanya mengerahkan
 sebagian kecil saja dari seluruh kekuatannya dalam pertempuran di Ce-ciok-giam ini,
 kekuatan inti mereka belum dikerahkan, menurut pengakuan Pek Wi-bing, Jik-san-tui
 hanya mengerahkan dua ribu orang dan empat ratus orang Hek jiu-tong, kukira
 jumlah ini memang tidak salah, dari hasil penyelidikanku di Pau-hou-ceng dan Toaho-
 tin tempo hari, Jik-san-tui memang kira-kira mempunyai kekuatan dua ribuan
 orang, seielah pertempuran tadi, berarti jumlah mereka sudah sisa separo saja."
 Berhenti sebentar, lalu Siang Cin meneruskan "Sementara pihak Hek jui-tong yang
 hijrah kemari dan Pi ciok-san, seluruhnya ada seribu lebih, di antaranya ada yang
 terluka parah dan ringan, kini mereka mengerahkan empat ratusan orang di Ce-ciokgiam
 ini, berarti separo dari jumlah yang mereka miliki. Maka mulai dari sini dan
 seterusnya sampai di Tao ho tin, musuh pasti sudah mengatur banyak perangkap
 dan jebakan, setiap langkah kita pasti ada bahaya dan kekuatan selanjutnya yang
 bakal kita hadapi jelas adalah orang-orang dari Toa-to-kau, Jit-to hwe, malah
 mungkin juga dibantu orang dari Ceng siong-san-ceng, menurut penilaianku, anak
 buah Hek jan kong yang bercokol di Ji-gi-hu tentu sudah menguasai seluruh Toa-hotin,
 sementara sisa-sisa dari kekuatan Hek-jiu-tong dan Jik-san-tui paling-paling
 hanya dijadikan kekuatan samping yang tidak seberapa di sekeliling Ji gi-hu."
 Tiba-tiba Sebun Tio-bu menimbrung: "Kalau demikian, bukankah Jik-san-tui dan
 Hek-jiu-tong merosot derajatnya?"
 Siang Cin mengangguk, katanya: "Betul, sejak lari ke Toa-ho-tin, Hek jiu-tong
 memang tidak segarang dahulu, pamornya sudah runtuk habis-habisan, sementara
 Jik-san-tui biasanya memang menuruti segala petunjuk Hek-jan kong, bahwa Hek jiu
 tong mencari perlindungan di tempat Jik san-tui, mau-tidak-mau mereka harus
 tunduk juga, maka nasib sudah menentukan demikian, gembong-gembong Hek jiutong
 yang masih hidup tentu menyesal setengah mati, tapi lahirnya mereka akan
 tetap unjuk senyum, padahal batin mereka amat menderita.
 Dengan tersenyum Thi Tok-heng berkata: "Analisa Siang-lote, memang jelas dan
 tepat, sungguh amat kagum, Siang-lote, menurut pikiranmu, cara bagaimana kita
 harus melancarkan serbuan selanjutnya?"
 294 Dengan kalem Siang Cin berkata: "Gunakan kekuatan Hwi ji-bun untuk menyerbu
 secara langsung dari depan, sementara kekuatan Bong ji bun dipendam di kiri,
 mereka akan dikerahkan menurut keadaao. Seluruh kekuatan Congtong
 dipersiapkan setiap saat menunggu perintah, bila perlu secara langsung merekalah
 yang harus menerjang masuk ke Toa ho tin, sebelum musuh yang dipendam
 sepanjang jalan Ce-ciok-giam sampai di Toa-ho-tin tersapu bersih, Cayhe, Sebuntangkeh
 dan Kin-heng dengan beberapa jago pilihan Bu-siang-pay akan
 menyelundup masuk lebih dulu ke jantung musuh,tugasnya sekaligus mencari jejak
 puteri Tayciangbun."
 Pelahan Thi Tok-heng berkata: "Baik, boleh dilaksanakan sesuai rencana Siangheng,
 bila ketemu Yang-yang, kalau dia masih bandel, tak usah ragu-ragu, Sianglote
 boleh meringkusnya dan bawa kemari, mati atau hidup tidak menjadi soal . . ."
 Lama Siang Cin menatap Thi Tok-heng, orang tua yang berhati mulia, Tayciangbun
 dan Bu-siang-pay, bagaimana perasaan orang sekarang, Siang Cin dapat
 menyelaminya, katanya dengan tertawa: "Taycangbun tak usah kuatr, Cayhe pasti
 bekerja melihat gelagat bila kutemukan dia, kesempatan untuk melarikan diri pasti
 takkan kuberikan."
 Tiba-tiba Sebun Tio-bu berteriak: "Betul, dengan kekuatan kami kalau tidak mampu
 membekuk genduk cilik itu, memangnya ke mana pamor kami akan ditaruh?"
 Terpancar rasa terima kasih yang tak terhingga pada sorot mata Thi Tok heng,
 katanya: "Betapa syukur dan terima kasih hatiku, budi kebaikan kalian kepada Busiang-
 pay sungguh tak terukur besarnya . . ."
 Lekas Sebun Tio-bu berkata: "jangan Tay-ciangbun sesungkan ini, berkecimpung di
 kalangan Kangouw, yang di utamakan adalah "satya", demi kesatyaan, meski awak
 sendir harus berkorban juga tidak jadi soal, apalagi cuma urusan sekecil ini".
 "Sudahlah," ujar Siang Cin, "Tayciangbun tak usah sangsi dan sungkan. Sekarang
 menurut Tay-ciangbun kapan kiranya akan dimulai serbuan terbuka?"
 Berpikir sejenak Thi Tok heng berkata: "Kira-kira satu jam lagi bagaimana?"
 "Baik, sekarang perintahkan supaya semua pasukan istirahat dan mengisi perut
 sekenyangnya," ucap Siang Cin.
 Thi Tok-heng mengangguk kepada Ho Siang-gwat di sebelahnya, lalu dia berpaling
 dan berkata kepada To Wan kang, salah satu dari Jik-tan-su-kiat: "Wan-kang, biarlah
 aku makan di sini bersama Susiok berdua."
 To Wan-kang mengiakan terus berlalu bersama rekannya menyiapkan hidangan,
 baru saja mereka pergi, dari arah Ce-ciok-giam sebelah depan sana berlari datang
 seorang laki tinggi besar mirip kerbau.
 Begitu melihat Thi Tok-heng orang itu lantas menjura serta berkata: "Siang-toa-cui Jit
 Lip dari Say ji-bun menghadap Tayciangbun, semoga Tayciangbun sehat selalu . . ."
 "Sudah, jangan banyak peradatan,." ucap Thi Tok-lheng tersenyum.
 295 Siang-toa-cui (sepasang gada garuda) Jit Lip ini agaknya pemalu, dia menegakkan
 badan sambil menyengir lucu, katanya setelah menyeka keringat: "Lapor
 Tayciangbun, Tecu diutus oleh lh-Cuncu kemari untuk melaporkan tentang para
 saudara yang gugur, luka parah dan ringan . . ."
 "Baik, boleh kau laporkan," ucap Thi Tok-heng.
 "Kawanan kura-kura Hek-jiu-tong mampus dua ratusan orang, yang luka-luka ada
 tujuh puluhan, korban Jik san-tui lebih besar lagi, yang mati ada seribu dua ratus,
 yang terluka lima ratus lebih, sisa yang berhasil melarikan diri, menurut perhitungan
 lh cuncu, orang-orang Jik san-tui masih ada empat ratusan orang, sedang Hek jiutong
 paling hanya dua ratusan, betapa mengenaskan keadaan mereka sehingga
 kawan-kawan mereka yang terluka tak terhiraukan lagi . . ."
 Setelah, menelan air liur, Jit Lip berkata pula: "Karena teramat dekat pihak kita
 melakukan pengejaran, maka menurut lh-cuncu musuh ngacir seperti . . . seperti . . ."
 "Seperti anjing mencawat ekor." sambung Sebun Tio-bu.
 Jit Lip menghela napas lega, katanya sambil menyeka keringat: "Ya, ya betul. ngacir
 seperti anjing mencawat ekor . . ."
 "Lalu berapa besar korban pihak kita" Kukira cukup parah juga bukan?" ucap Thi
 Tok heng. Jit Lip diam sejenak, wajahnya yang merah kasar mengunjuk rasa sedih,
 senyum yang menghias wajahnya tadi seketika sirna.
 "Katakanlah," ucap Thi Tok-heng dengan tenang, "darah seorang ksatria memang
 pantas menyiram pasir, gugur di medan laga, semua ini adalah akhir dari kehidupan
 seorang pahlawan sejati, tiada sesuatu yang harus dibuat sedih, malah sebaliknya
 kita harus merasa bangga akan keberanian dan jasa-jasa mereka Jit Lip, katakan,
 berapa besar korban yang kita alami" Apakah lebih parah dari pada mereka?"
 Gemetar bibir Jit Lip, suaranyapun berubah serak: "Empat ratus dua puluh saudara
 Sau ji bun gugur, yang luka parah dan ringan ada dua ratusan lebih, anak buah di
 bawah komando Congtong gugur seratus lima puluh orang, yang luka parah dan
 ringan ada lima puluhan, jadi jumlah seluruhnya ada tujuh ratusan. Kini yang lukaluka
 sedang ditolong, enam belas tabib sedang bekerja keras menolong mereka.
 Tapi saudara-saudara kita memang gagah perkasa, keras hati lagi, dalam keadaan
 separah itu mereka tetap bertahan, tiada satupun yang mengeluh atau merintih."
 Dengan memejamkan mata Thi Tok-heng berkata pelahan dan mantap: "Korban
 yang gugur dalam pertempuran kali ini, pihak musuh satu kali lipat lebih banyak
 daripada kita, jangan karena kerugian yang kita alami cukup parah lantas patah
 semangat dan bersedih hati, bawalah kepedihan kembali ke padang rumput, waktu
 itu, akan diberi kesempatan untuk menangis, akupun akan menyertai kalian,
 sekarang Jit Lip. . ."
 Jit Lip menunduk untuk menyembunyikan air mata yang sudah berkaca-kaca
 dikelopak matanya, dengan tersendat dia mengiakan.
 Dengan suara lantang Thi Tok-heng berpesan: "Sampaikan kepada mereka, yang
 gugur segera dikebumikan di tempat itu juga, yang terluka harus ditolong dengan
 296 segala daya upaya, tapi korban dari lawanpun harus dirawat, mereka harus juga
 menerima pelayanan yang sama dengan murid-murid kita . . ."
 "Tayciangbun," seru Jit Lip penasaran "para kura-kura itu . . . . "
 "ltulah putusanku," tenang dan berwibawa kata-kata Thi Tok heng, "sampaikan
 pesanku ini kepada lh cuncu dan harus dilaksanakan, jangan lupa orang-orang
 itupun seperti kita, manusia biasa yang diiahirkan oleh ayah-bundanya . . ."
 Jit Lip tak berani membantah lagi, setelah mengiakan lekas dia mengundurkan diri.
 Mengawasi bayangan orang yang gede berlari pergi Siang Cin menghela napas.
 katanya: "Tay-ciangbun, putusanmu memang betul dan bijaksana."
 Thi Tok-heng tertawa getir katanya: "lnilah yang dinamakan "peri kemanusiaan"
 kehidupan kaum persilatan memang serba mengenaskan, serba kejam . . ."
 Dalam pada itu Jik-san su-kiat sudah datang dengan membawa beberapa kotak
 kayu yang berisi berbagai macam masakan, seru Sebun Tio-bu sambil berjingkrak
 senang: "ini dia, perut memang sudah keroncongan, hayolah isi perut dulu, kalau
 perut kenyang baru punya tenaga untuk berkelahi."
 Siang Cin tertawa, katanya: "Di mana dan kapan saja tangkeh tidak pernah
 melupakan soal makan."
 Sebun Tio-bu berkata: "Sudah tentu, makan kan soal pokok bagi setiap manusia,
 apalagi setelah mengalami pahit getir seperti ini, selera makan pasti besar dan
 penting sekali artinya."
 "Nanti sebentar," ucap Thi Tok~heng, "aku ingin menyuguh beberapa cangkir arak
 kepada kalian."
 Sebun Tio-bu tertawa, katanya: "Tayciangbun, kiranya ada arak juga?"
 Kata Thi Tok-heng manggut-manggut: "lnilah Say to-ciu nomor satu."
 "Say-to-ciu?" teriak Sebun Tio-bu kegirangan sambil menelan ludah, "Bagus sekali,
 hayolah tenggak dulu setiap orang delapan cangkir, kalau sudah makan hidangan
 rasanya tentu kurang sedap."
 Dengan tulus hati Thi Tok-heng berkata: "Setelah urusan di sini selesai, akan
 kuundang kalian ke padang rumput, kita akan makan-minum sepuas-puasnya di
 sana, cuma apakah Sebun tangkeh sudi memenuhi undanganku ini."
 "Pasti kuterima," teriak Sebun Tio-bu, "cuma, ai, makan minum dengan menganggur,
 apa tidak membosankan."
 Tiba-tiba Siang Cin menuding ke depan, katanya: "Kin heng sedang mengawasi
 gerak-gerik musuh di garis depan bersama lh-cuncu."
 Lekas Thi Tok-heng berpaling, serunya: "Wan-kang, lekas panggil Kin-susiok untuk
 makan bersama."
 297 Tidak lama Kin Jin tampak berlari datang, ia memberi hormat sambil mohon maaf:
 "Terlambat selangkah, bikin kalian menunggu. makan di sana sebenarnya juga sama
 saja." Tidak terlalu lama mnkan siangpun usai, sambil menepuk perut Sebun Tio-bu
 berkata dengan muka merah: "Puas minum makan kenyang, tibalah saatnva
 berjuang di medan laga pula."
 Kin Jin menyeka mulut, katanya: "Siang-heng, bahan peledak musuh di atas tanggul
 itu, bagaimana cara menyelesaikannya?"
 "Tak usah kuatir, ada akal untuk memusnahkannya," ucap Siang Cin dengan
 tersenyum, lalu dia berpaling kepada Thi Tok-heng, katanya: "Tayciang-bun,
 menurut Ho-toahoucu, untuk meluruk kemari pihak kalian juga membawa serta
 senjata api?"
 "Betul," sahut Thi Tok-heng, "akhir-akhir ini kami berhasil menciptakan berbagai alat
 senjata api, di antaranya Liat-yam-kiu (bola api, granat) dan Hwe-piau."
 Dengan bersemangat Siing Cin berkata: "Nah, sekarang harap perintahkan
 menggempur pinggir tanggul itu dengan gencar, pertama untuk memukul mundur
 musuh, supaya kami punya peluang masuk ke jantung musuh dan mungkin dapat
 pula menyulut sumbu bahan peledak musuh."
 Thi, Tok-heng manggut-manggut, Siang Cin lantas menambahkan: "Bila serbuan
 dimulai, Cayhe akan pimpin beberapa utusan kalian menyelinap keluar dan menuju
 ke Toa-ho-tin untuk mencari jejak puteri Ciangbunjin."
 Dengan kereng Thi Tok-heng lantas berseru: "Wan- kang, panggil Toacuncu
 Tiangsun Ki dari Hwi-ji-bun dan Toacuncu Utti Han-poh dari Bong-ji-bun kemari."
 Hanya sebentar saja tiga bayangan orang tampak lari mendatangi. Seorang
 setengah-umur berperawakan tinggi kurus bermuka pucat kehijauan. Dibelakangnya
 adalah seorang tua berbadan gemuk buntak seperti guci, berkepala botak, mukanya
 bundar mirip patung Mi-lek-hud (Budha) di kelenteng yang selalu tertawa. Mereka
 datang hanya terpaut selangkah belaka, Sedang To Wan-kang jauh ketinggalan di
 belakang. Thi Tok-heng tertawa ramah, laki-laki muka hijau segera menjura, suaranya berat
 serak: "Tiangsun Ki menghadap Ciangbun Toasuheng."
 Kakek buntak tertawa, k.itanya: "Losuko, ada tugas apa pula yang hendak
 diserahkan kepada Bong-ji-bun kami?"
 Thi Tok-heng mengangguk pada si tua buntak ini, lalu dia perkenalkan kepada Siang
 Cin bertiga, Laki-laki kurus muka hijau ini bukan lain adalah Toa-cuncu Hwi-ji bun
 yang tersohor dengan julukan Ceng-tuo-kun (iblis muka hijau) Tiangsun Ki, sedang
 laki-laki tua buntak adalah Toacuncu Bong-ji-bun Kian-kun-it-Jiin Uiti Han-poh.
 Setelah basa basi saling mengucapkan kekaguman, Thi Tok-heng berkatn:
 "Tiangsun-sute, dalam gerakan selanjutnya, anak buahmu akan diserahi tugas
 sebagai penyerbu utama, sementara anak murid Utti sute sebagai pendukung."
 298 Mantap suara Tiangsun Ki, sahutnya: "Hal itu sudah kudengar dari Ho-toahoucu
 tadi." "Baiklah," ucap Thi Tok-heng kemudian, "segera bentuklah barisan, biarlah anak
 buah lh-sute dan Ho-houcu membersihkan bahan peledak musuh, kalian harus
 menunggu aba-aba untuk segera menyerbu."
 Sampai di sini nadanya menjadi kereng berwibawa: "Pada serbuan pertama harus
 langsung menembus jantung musuh, dilarang berhenti atau membuang waktu, bila
 terhambat sedetik saja, korban dipihak kita akan lebih banyak, hal ini kalian harus
 mengerti."
 Tiangsun Ki dan Utti Han-poh sama mengangguk, Thi Tok-heng berkata lebih lanjut:
 "Di samping itu kita pilih Tang-haii (rantai panjang) Le Tang dari Hwi-ji-bun dengan
 Heng-cia Loh Hou dari Bong-ji-bun untuk ikut Siang-lote menyelundup ke Toa-ho-tin
 agar menyambut serbuan kita di sana nanti."
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa cukup dua orang saja?" tanya Tiangsun Ki "Cukup," lekas Siang Cin menyahut.
 Tanpa bicara lagi Tiangsun Ki dan Utti Han-poh memberi hormat kepada Thi Tokheng
 serta Siang Cin dan lain-lain, seperti datangnya tadi, cepat sekali mereka
 sudah berlari pergi.
 Thi Tok-heng menghela napas, katanya: "Tiang-sun Ki adalah Cuncu yang memiliki
 Lwekang paling tinggi di antara enam yang lain, cerdik pandai dan banyak akalnya,
 keberaniannya luar biasa, usianya sudah lima puluh lebih, namun wataknya tetap
 berangasan, itulah cirinya yang paling jelek."
 Sebun Tio-bu tertawa, katanya: "Lahirnya kok tidak kelihatan."
 "Memang tabiatnya jelek sekali, meski menghadapi kematian tetap tak mau tunduk,
 tapi lahirnya memang tidak kentara, lahirnya dia kelihatan pendiam dan penurut tapi
 begitu sifat sejatinya kumat, bagaikan hujan badai yang tak terkendali lagi,
 Umpamanya dalam perjalanan kcmari, bila aku tidak berulang kali mengendalikan
 dia, mungkin sejak lama dia sudah meluruk langsung ke Toa-hoa-tin untung
 reaksinya cukup cekatan meski dalam keadaan murka dan dirundung emosi dia
 tetap tak pernah bingung atau gugup, oleh karena itulah selama dia berkecimpung
 dalam dunia persilatan belum pernah dia mengalami kerugian."
 "Sungguh sulit mencari orang seperti dia, umumnya orang yang bertabiat
 berangasan otaknyapun tumpul, gagah berani tapi tidak punya akal, apa lagi bila
 menghadapi urusan besar dan penting akan menjadi kelabakan dan mati kutu, bila
 seseorang dapat menguasai diri dengan tenang serta bisa mundur-maju secara
 teratur, dalam keadaan murka akal sehatnya tak pernah pudar, inilah yang membuat
 kagum," demikian Siang Cin memberikan komentarnya
 Dikala mereka bicara itulah, dua orang berperawakan tinggi tujuh kaki, pinggang
 besar dan kekar tampak berlari datang.
 Yang disebelah kiri bermuka lebar, mata besar, hidung pesek, mulut tebal kulit
 badannya coklat mengkilap, lengan besar melebihi paha seorang laki-laki biasa
 dengan otot daging merongkol.
 299 Orang di sebelahnya juga raksasa alisnya tebal, leher besar, rambut hitam, gondrong
 terurai di pundak, bersenjata toya baja, mukanya memancarkan cahaya penuh
 semangat, giginya putih tapi dengan dua taring besar yang menonjol.
 Thi Tok-heng memperkenalkan: "Siang-lote, dia bernama Le Tang, salah satu murid
 Hwi-ji bun yang paling hebat." Lalu ia menuding laki-laki raksasa yang memegang
 pentung: "Dia ini Loh Hou, jago yang tak terkalahkan dari Bong-ji bun."
 Siang Cin menjura kepada kedua orang, sapanya tertawa: "Dapat berkenalan dan
 kerja sama dengan kalian, sungguh bangga hatiku."
 Kedua laki-laki besar dan kasar ini ternyata lugu dan tak pandai bicara, sekian lama
 mereka hanya menyengir saja sambil garuk-garuk kepala, akhirnya yang bernama
 Le Tang dapat menguasai diri serta berkata: "Ah, jangan sungkan, kami orang
 bodoh. . ."
 Thi Tok-heng tertawa geli, katanya: "Sudahlah, kalian akan ikut bernama Siangsusiok,
 apapun petunjuk dan perintahnya harus kalian patuhi, demikian pula kalian
 harus tunduk pada petunjuk Sebun-tangkeh dan Kin-tayhiap, jangan ragu-ragu dan
 membangkang, tahu tidak?"
 "Sudah tahu, kami pasti patuh." kedua laki-laki kasar itu menyahut.
 Siang Cin mendongak melihat cuaca, baru saja dia mau bicara, dari kiri-kanan Ce
 ciok giam mendadak bergema lengking suara tiupan terompet yang mengalun sedih
 memilukan, nyaring dan tinggi suara trompret ini sampai terdengar juga ke seberang,
 ditengah suara trompret yang melengking tajam itu, terdengarlah suara serta derap
 tapal kuda yang gemuruh, bentakan orang yang berlari kian kemari, kiranya anak
 murid Hwi ji-bun dan Bong ji bun tengah mempersiapkan diri.
 Thi Tok-heng memberi tanda kepada To Wan-kang yang berdiri tak jauh di
 sebelahnya, bergegas To Wan-kang segera berlari pergi, ditengah Ce-ciok giam
 sana segera bergemalah suara trompet yang gagah dan mengalun panjang.
 "Kini kalian bisa saksikan kehebatan senjata api kita," demikian kata Thi Tok-heng.
 "Pasti mengejutkan," ujar Siang Cin dengan tertawa.
 Tersenyum Thi Tok-heng, dia tidak menanggapi pujian Siang Cin, sementara
 bayangan orang dan kuda tampak bergerak di tengah Ce-ciok-giam, senjata di lolos
 dan berdering, dalam sekejap anak murid Say-ji-bun yang berada digaris depan
 sudah mulai bergerak, sementara anak murid di bawah komando Cong-tong berada
 dibarisan belakang teratur rapi dalam formasi yang sudah ditentukan.
 Jauh di seberang sana, bayangan merah dan hitam tampak bergerak kalang kabut,
 satu dengan yang lain tengah berlomba berdiri dan merangkak mencari posisi dan
 perlindungan. Sekarang Siang Cin tengah memperhatikan murid-murid Bu siang pay yang ada di
 garis depan, semuanya memegang tiga batang bumbung hitam yang terikat jadi
 satu, pangkal bumbung berbentuk lebar seperti sayap, sementara ujungnya terarah
 ke depan mengincar musuh, murid2 yang dipimpin Cong-tong dalam waktu singkat
 300 telah memasang puluhan kerangka besi berbentuk segi empat, ke empat kaki
 kerangka ini terbenam ke dalam tanah.
 Tepat di tengah kerangka besi terpasang satu jalur pegas dan pada ujung pegas
 baja ini ada dipasang sebuah mangkuk, di dalam mangkuk inilah ditaruh sebuah bola
 warna hitam sebesar kepala manusia.
 Kini semua pegas atau per itu sudah ditarik, bila gantolan pada per itu dilepas, pegas
 itu akan bekerja serta melemparkan bola di dalam mangkuk itu ke depan.
 Setiap kerangka itu dijaga empat murid Bu-siang-pay seragam putih, sekitar mereka
 tampak tersedia puluhan bola yang siap ditembakkan.
 Bumbung atau pipa hitam bersayap itu Siang Cin pernah melihatnya, tapi kerangka
 baja dengan pegas dan mainan bola itu masih asing baginya, tapi entah itu senjata
 ampuh atau mainan belaka, bila dikerjakan akibatnya tentu fatal, jiwa manusia dapat
 dihancurkan dalam beberapa detik saja.
 Thi Tok-heng tertawa lebar. katanya: "Siang-lote, bumbung hitam yang dipegang
 murid-murid Say-ji-bun itu dinamakan Hwe piau, daya bidiknya bisa mencapai
 seratusan langkah, panah yang terdapat di dalam bumbung itu panjang kecil dan
 runcing, dilumuri minyak dan pospor, begitu kena angin lantas menyala, bagi yang
 daya tarikannya kuat, malah dapat mencapai dua ratusan langkah jauhnya."
 Berhenti sebentar lalu ia melanjutkan "peralatan yang dipasang di sebelah belakang
 itu dinamakan Ki-nu (busur raksasa) setiap kali kerja dapat menembakkan sebutir
 peluru berapi (Liat-yam tan), daya ledak nya kuat dan merupakan alat penghancur
 yang amat ditakuti Dalam radius sepuluh tombak, rumput dan pepohonan, binatang
 atau manusia tiada satupun yang bisa selamat, daya tembak Ki-hu bisa mencapai
 enam puluh tombak, karenanya penghancurnya jaug hebat dan terlampau keji, maka
 jarang kita menggunakan bila tidak terpaksa dan dipandang perlu." Sampai di sini dia
 menarik napas lalu menyambung "Sekurang oiang2 Hek jiu-tong dan Jik-san-tui
 yang bakal menjadi sasaran utama."
 Siang Cin tertawa, tanyanya: "Boleh mulai?"
 "Sudah tentu," ucap Thi Tok-heng. Maka Tay-ciangbun Bu siang-pay ini pelahanlahan
 angkat tangan kanannya, lalu mendadak mengayunnya turun dengan cepat.
 Ho Siang gwat yang sejak tadi telah menunggu di jarak sepuluhan tonibak di atas
 batu tinggi di pinggir sana segera berteriak: "Tembak!"
 Sepuluh murid Bu-siang-pay yang berjaga di sekitar kerangka baja itu itu seketika
 bergerak serempak, gerak gerik mereka tampak lincah, rapi dan terlalih, sebat sekali
 kaki menyepak gantolan ujung pegas, maka suara jepretan berbunyi hampir dalam
 waktu yang sama."
 "Ssiiuuttt blummm"
 Suara ledakan menggetar bumi. Pegas terpasang pula, pelorpun ditembakkan lagi
 secara beruntung cuma arah sasarannya saja yang sedikit di ubah.
 301 Tapi semua di tujukan unggul atau belakangnya, di mana orang2 Hek-jiu-tong dan
 Jik-san-tui beruban mati-matian.
 Asap tebal tampak mengepul disertai percikan api, lebih mengenaskan lagi, manusia
 yang menjadi korban pemboman ini ikut hancur-lebur, tiada korban yang mati dalam
 keadaan utuh. Hampir dalam waktu yang sama dengan bombardir yang menggoncangkan bumi ini
 murid-murid Say-ji-bun yang berada di garis depan segera menarik pelatuk, disertai
 suara jepretan yang keras secara beruntun ribuan jalur api sama menyembur
 kencang ke depan, api segera berkobar semakin besar disertai asap tebal
 bergulung-gulung ke angkasa, dalam beberapa detik ini, tanggul Ce ciok giam
 diseberang sana sudah menjadi lautan api.
 Hawa udara terasa pengap dan berbau mesiu, diantara lelatu api dan bergulungnya
 asap tebal, batu pasir serta tanah sama terlempar ke tengah udara, batu-batu
 gunung yang berserakan di Ce ciok giam porak-poranda.
 Ternyata ledakan dahsyat ini masih terus disusul ledakan-ledakan dahsyat lainnya,
 satu ledakan lebih keras dan dahsyat dari ledakan yang terdahulu, ledakan-ledakan
 dahsyat lainnya, satu ledakan lebih keras dan dahsyat dari ledakan yang terdahulu,
 batu-batu besarpun terlempar ke angkasa, siapa saja bila kejatuhan batu-batu ini
 kalau tidak terluka, patah tulang, pasti kepala pecah dan binasa.
 Di tengah ledakan dahsyat dan hujan batu dan pasir itulah, Siang Cin, Thi Tok-heng,
 Sebun Tio-bu, Kin-Jin dan Jik tan-su-kiat sama merebahkan diri mencari
 perlindungan, demikian pula seluruh murid Bu-siang-pay sama mendekam di tanah,
 untung tiada seorangpun yang terluka, debu pasir masih terus berhamburan, badan
 semua orang sama kotor seperti baru saja menerobos keluar dari dalam liang tanah.
 Ledakan terus berlangsung, bumi bergoncang sedemikian kerasnya, sampai kuping
 mengiang seperti mau pecah, banyak murid Bu-siang-pay yang pucat mukanya,
 betapa tak ngeri bila membayangkan andaikan pasukan mereka yang terjebak oleh
 ledakan dahsyat bahan-bahan peledak yang dipendam musuh ini.
 Siang Cin menggeleng kepala, suaranya terdengar serak, "Ledakan yang hebat
 sekali . . ."
 Tiba-tiba bayangan orang berkelebat, Ho Siang-gwat melompat tiba dengan gerakan
 tangkas, sambil mengusap debu dimukanya dia berteriak gelisah "Tayciangbun,
 Tayciangbun. .."
 Cepat Tbi Tok-heng berseru: "Apakah Ho houcu di sana?"
 Legalah hati Ho Siang-gwat, serunya "Syukurlah Tayciangbun dan para saudara
 tiada yang terluka."
 "Ho-houcu," kata Thi Tok-heng "getaran ledakan-ini memang hebat, lekas suruh
 beberapa orang memeriksa ke depan, apakah pasukan Say-ji-bun di depan ada
 yang menjadi korban?"
 "Hentikan dulu beberapa kejap, jika tiada ledakan lagi, segera perintahkan anak
 buahmu, membuka jalan, biar pasukan Hwi ji bun yang membuka serbuan.
 302 Dalam pada itu, orang tadi diutus pergi mencari berita telah berlari balik dengan
 napas tersengal-sengal, dia berkata dengan terputus-putus: "Lapor. . ..Tay-ciangbun.
 . .orang-orang kita . . . semuanya baik saja, hanya dua puluhan saudara kita terluka
 oleh cipratan batu dan terbakar kulit badannya. . ."
 Menghela napas lega,Thi Tok-heng lantas berseru kepada Ho Siang-gwat-yang
 sementara itu masih menunggu: "Ho-houcu, perintahkan mulai maju!"
 Ho Siang-gwat segera melompat ke atas sebuah
 batu besar serta bersiul nyaring, cepat sekali siulan yang tidak kalah kerasnya
 daripada suara sempritan ini mendapat sambutan di depan, yaitu bunyi trompet yang
 berkumandang lagi.
 Dengan kereng Thi Tok-heng melepas pandang ke depan, tampak asap tebal masih
 bergulung-gulung di tiup angin, bayangan orang berbaju putih terus bergerak, dia
 menarik napas panjang secercah senyuman menghias wajahnya, katanya terhibur
 sambil menoleh ke arah Siang Cin: "Siang-lote, pasukan Say-ji-bun ternyata tidak
 kurang suatu apapun."
 "Reaksi mereka cukup cepat menghadapi perubahan, keadaan memang berbahaya
 juga," ucap Siang Cin tertawa.
 Tengah bicara jauh di belakang terdengar suara meringkik kuda yang ramai disertai
 derap langkahnya yang teratur. Waktu Siang Cin menoleh tampak barisan dengan
 gelang mas melingkar di kepala telah berjalan turun memasuki Ce-ciok-giam, sambil
 menuntun kuda mereka, hati-hati tapi cepat, mereka bergerak ke depan
 memencarkan diri dalam formasi tertentu, pada setiap punggung kuda tampak
 tergantung sebuah tameng warna perak mengkilat elang terbang yang gagah dan
 keren Ceng-Wo-kun Tiangsun Ki, berada di depan barisan-ini, tak hentinya dia
 memberi petunjuk dan berkaok-kaok mendesak anak buahnya supaya bergerak lebih
 cepat lagi. Menunjuk pasukan yang menuju kemedan pertempuran, dengan suara rendah Thi
 Tok-heng menerangkan: "Hwi-ji-bun dengan tameng elang khusus diciptakan sendiri
 oleh Tiangsun sute."
 "Siang Cin mengangguk, katanya: "Amat gagah dan perkasa, besar sekali kegunaan
 tameng itu Hwi-ji-bun pasti merupakan pasukan inti dari seluruh kekuatan yang
 dikerahkan ini?"
 Sebun Tio-bu bergelak tertawa, katanya: "Sudahlah Siang-toaya, tak usah banyak
 komentar lagi, sekarang kita harus lekas menyusup ke Toa-ho-tin, mumpung anak
 kura-kura itu sedang ribut dan kacau-balau, hayolah mau tunggu kapan lagi?"
 "Baik," sahut Siang Cin mengangguk, "mari berangkat." Lalu dia membalik ke arah
 Thi Tok-heng, katanya: "Tayciangbun. sekarang kita berpisah untuk sementara
 waktu kami tunggu kedatanganmu di Toa-ho tin."
 Thi Tok-heng maju selangkah memegang kedua lengan Siang Cin serta
 menggenggamnya kencang, katanya dengan penuh haru: "Siang lote, semua ku
 percayakan kepadamu, Semoga sukses!"
 303 Dia menoleh ke arah Sebun Tio-bu dan Kin Jin, katanya: "Sebun-lote, Kin-lote,
 kuharap kalian hati-hati juga."
 Tertawa lebar dan gagah Sebun Tiobu berkata. "Tayciangbun tak usah kuatir, kami
 akan menantimu di Toa-ho tin dengan segar bugar."
 Kin Jin juga tertawa, ujarnya dengan tekad besar dengan keyakinan yang teguh.
 "pasti akan hati-hati, Tayciangbun, kami pasti dapat melaksanakan tugas dengan
 baik." Maka beberapa orang saling menjura berpisah, tak lupa Thi Tok-heng memberi
 pesan beberapa patah kata kepada Le Tang dan Loh hou. Kejap lain, lima bayangan
 orang segera berjalan menuju ke seberang.
 Masih terendus bau mesiu yang tebal menyesakkan napas, di antara celah-celah
 batu dan gundukan tanah yang turun naik, lima orang dipimpin Siang Cin berjubah
 kuning terus berjalan, bayangan elmaut, rasa ketakutan meliputi setiap orang.
 Suatu ketika Sebun Tio-bu berkata dengan suara tertahan: "Siang heng, kita lewat
 jalan kecil yang memutar saja."
 Siang Cin menganguk, sahutnya: "Betul!"
 Begitulah mereka semakin jauh meninggalkan Ce-ciok-giam, tugas mereka ini
 pantang diketahui oleh musuh, tak boleh terlibat dalam pertempuran sebelum
 berhasil memasuki Toa-ho-tin.
 Padahal di sebelah kiri sana, di Ce-ciok-giam, pihak Bu-siang-pay tengah melakukan
 serbuan besar-besaran, sementara pihak Jik-san-tui dnn Hek-jiu tong dengan
 seluruh kekuatan intinya pasti juga dikerahkan untuk menyambut serbuan musuh,
 jika mereka tidak jalan memutar mungkin bisa kepergok musuh.
 Kalau Siang Cin yang membuka jalan di depan diam saja, Sebun Tio-bu yang
 memang banyak omong terus ajak Kin Jin ngobrol apa saja meski sambil lari.
 Payah juga Le Tang dan Loh Hou yang mengintil di belakang, mereka tidak memiliki
 kemampuan setinggi ketiga tokoh silat di depannya, meski napas sudah ngosngosan
 mereka tidak berani ketinggalan jauh dan terpaksa berlari sekuat tenaga.
 Kini mereka tiba di sebuah hutan, bila mereka tiba di pinggir hutan, Toa-ho-tin, kota
 yang menjadi tempat tujuan merekapun akan tertampak. Dipandang dari atas pohon,
 Toa-ho-tin kelihatan sepi dan lengang, rasanya aneh bahwa kota sebesar itu dengan
 penduduk yang padat kini dalam keadaan sesunyi ini seperti kota mati belaka, tak
 terdengar suara, tidak kelihatan bayangan manusia, sampai suara anjing atau ayam
 juga tidak terdengar.
 Suasana sepi yang luar biasa ini membuat Sebun Tio-bu menggerutu: "Keparat."
 Siapapun merasakan adanya firasat yang tidak baik.
 Hening sejenak, akhirnya Siang Cin berkata. "Lebih baik kita berhenti sejenak, bila
 jejak kita diketahui musuh, untuk bekerja tentu amat sukar, tugas ini memerlukan
 kecerdikan dan kecepatan bertindak."
 304 Setelah menerawang keadaan sekitarnya Kin Jin ikut berbicara:"Dari hutan ini ada
 kira-kira berjarak dua puluh tombak dan sekitarnya tanah datar dan lapang, sekarang
 cara bagaimana kita akan menyusup ke sana tanpa diketahui?"
 Sesaat lamanya Siang Cin mondar-mandir sambil berpikir,katanya kemudian:
 "Biarlah aku mencobanya."
 Sebun Tio bu tidak mengerti. "Siang-heng, bagaimana kau-akan mencobanya"!"
 "Aku akan bergerak dengan kecepatan luar biasa, sehingga kabur pandangan
 musuh, disangkanya melihat setan atau melihat sesuatu yang khayal belaka, mereka
 tidak tahu bahwa yang di-lihatnya adalah bayangan manusia."
 Kata Sebun Tio-bu dengan penuh kepercayaan "Aku tahu kau mampu
 melakukannya Siang-heng, Naga Kuning menggetarkan dunia karena
 kecepatannya."
 "Jangan memuji Tangkeh," ucap Siang Cin. "Kin-heng, harap kalian tunggu saja di
 sini bersama Loh dan Le berdua, aku akan segera kembali."
 Semua sama mengangguk, maka sebelum yang lain memberikan reaksi apa-apa,
 bayangan Siang Cin yang tinggi itu mendadak melambung ke udara seperti roket
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lepas dari landasan, karena cepat daya luncurnya, kelihatannya seperti
 bayangan kuning berkelebat, semakin lama semakin cepat sehingga bentuk
 aslinyapun tak kelihatan lagi.
 Sebun Tio-bun berkata dengan melongo: "Hebat, kecepatan Naga Kuning memang
 top. Bukankah itu gerakan yang dinamakan Liong-ih-toa-pat-sek."
 "Betul," sahut Kin Jin "Setelah menyaksikan gerakannya, siapapun akan merasa
 kagum dan merasakan dirinya kecil sekali, biasanya kita suka mengagulkan ginkang
 sendiri yang dianggapnya tiada bandingan lagi di Kangouw, hari ini baru sadar
 bahwa aku ini hanya merupakan secomot pasir di tengah gurun pasir.
 Dalam pada itu bayangan Siang Cin sudah tidak kelihatan, tanpa konangan dia
 berhasil menyusup ke Toa-ho tin, kini dia sedang tiarap di atas sebuah rumah,
 dengan tenang ia mengawasi keadaan, sekelilingnya.
 Dengan ketajaman mata Siang Cin, dilihatnya dua puluhan tombak luasnya tanah
 diluar batas kota Toa-ho tin ada dipasang cagak besi dengan ujung serupa tanduk
 menjangan, serta diberi kawat berduri dan berbagai macam rintangan lainnya.
 Lalu sepuluh tombak kemudian terdapat karung yang membukit, apa yang berada
 dalam gundukan karung tak diketahui tapi dibelakana gundukan karung adalah
 barisan bambu runcing yang ujungnya dibungkus kain, semua jebakan ini
 mengelilingi To hoa tin dengan rapat.
 Dengan cermat Siang Cin memeriksa sekelilingnya pula, jangankan manusia,
 bayangan setan pun tidak kelihatan dalam kota ini, entah itu penduduk kota atau
 orang Hek-jiu-tong serta Jik san tui, entah kemana mereka, tiada satupun yang
 menongolkan kepalanya, seolah-olah kota mati, kota kosong.
 305 Dengan hati-hati Siang Cin menggeremet maju di-atas genting, mendadak dia
 menemukan sepasang bola mata, bola mata yang sedang mengintip di balik celahcelah
 jendela yang terbuka sedikit di atas loteng sebelah depan, hanya sekilas saja
 bola mata itupun telah lenyap.
 Tapi penemuan ini justru membuat girang Siang Cin dan terbangun semangatnya,
 maka mulailah dia memeriksa setiap rumah dan setiap loteng, sampaipun rumah di
 pojok gang juga tidak lepas dari perhatiannya, tembok melintang juga diperiksanya
 dengan teliti. akhirnya dia tersenyum puas.
 Lalu memejamkan mata menenangkan hati dan pikiran, kejap lain dia sudah
 merayap ke atap rumah sebelah sana, ia memegang daun jendela, sedikit
 mendorongnya, tanpa mengeluarkan suara segera dia menyelinap masuk ke dalam.
 Kini dia berada di sebuah kamar tidur yang besar, entah semula dihuni siapa,
 pajangannya sederhana, kecuali sebuah meja empat kursi, hanya ada sebuah
 ranjang kayu besar, di tepi ranjang terdapat sebuah tungku yang masih menganga
 apinya. Tampak oleh Siang Cin di ranjang kayu besar itu rebah dengan berbagai gaya empat
 laki-laki kasar, ranjang kayu ini sebetulnya untuk tidur suami isteri pemilik rumah ini,
 tapi kini berdesakan empat orang itu sekaligus, terasa sesak juga sehingga cara tidur
 mereka tampak menggelikan.
 Siang Cin tersenyum geli mengawasi orang-orang yang mendengkur bagai babi itu,
 belum lagi dia mengambil sikap, tiba-tiba didengarnya seseorang menaiki loteng
 sambil bernyanyi-nyanyi kecil.
 Sekali berkelebat Siang Cin menyelinap ke belakang ranjang, kebetulan keempat
 laki-laki yang tidur di ranjang itu mengalingi dirinya. Kejap lain pintu kamarpun
 didorong dengan mengeluarkan keriut dan tampak seorang laki-laki gede gemuk
 menjinjing guci arak melangkah masuk dengan sempoyongan mukanya merah
 setengah mabuk.
 Laki-laki gemuk ini memang kekar perawakannya, pakaian biru yang dipakainya
 setengah terbuka sehingga dadanya telanjang, begitu masuk, kamar golok yang
 tergantung dipinggangnya dia tanggalkan terus dilempar ke meja dengan suara
 gedubrakan, guci diangkat terus ditenggaknya dengan lahap, habis minum mulutnya
 kembali nyanyi-nyanyi lagu yang bersifat porno, memangnya dia sudah setengah
 mabuk, maka lagu yang dinyanyikan pun tidak kenal batas kesopanan lagi.
 Laki-laki yang tidur paling pinggir sebelah kanan tampak membalik tubuh sambil
 membuka matanya yang merah ngantuk, agaknya dia terjaga dalam mimpinya
 karena suara gaduh yang dibuat laki-laki gemuk itu, keruan dia memaki gusar:
 "Maknya, memangnya kau sudah makan kenyang dan puas minum, lalu berkaokkaok
 di sini seperti di sarang pelacur" Tuan besarmu ini semalam tidak tidur, baru
 saja pulas lantas kau bikin ribut di sini?"
 Laki-laki gemuk tampak sempoyongan sempro(nya: "Ribut, ribut apa" Kau keparat
 ini, bapakmu hanya bernyanyi dua lagu, memangnya kau lantas iri" Kau tidak tidur
 semalam, memangnya bapakmu ini sudah tidur?"
 Laki-laki di atas ranjang semakin gusar, mendadak dia berduduk, teriaknya sambil
 melotot: "Kek-losam, kalau kau tidak ingin tidur, lekas menggelinding keluar, jangan
 306 jual lagak di sini, memangnya berapa sih harganya lagakmu" Di sini bukan tempat
 untuk pamer kepalan."
 Sudah tentu tiga orang yang lain lantas terjaga bangun pula karena keributan ini,
 terdengar seorang berseru dan coba meredakan suasana.
 Tak terduga, Kek-losam, si gemuk, malah tepuk dada dan semakin garang, sudah
 tentu laki-laki di ranjang itupun semakin naik pitam, keduanya lantas hendak saling
 terjang, untung ketiga teman yang lain segera m.iju memisah.
 "Blang", memukul dada sendiri Kek-losam lantas meraung gusar "Kunyuk yang tidak
 punya mata, berani kau menepuk lalat di kepala Kek-losam" Memangnya kau kira
 Kek-losam boleh dibuat main-main".
 "Anjing buduk!"
 "Babi mampus, memangnya kau kira aku takut pada congormu" pergilah
 mendengkur saja dalam pelukan bini mudamu," sambil berbalik pinggang laki-laki itu
 mencak-mencak di atas ranjang.
 Sambil berteriak aneh, Kek-losam segera menerjang maju. Keruan ketiga orang
 yang lain menjadi kelabakan, tarik sana seret sini, keadaan kamar menjadi morat
 marit dan kacau.
 Disaat keributan mencapai puncaknya inilah, dengan tenang Siang Cin beranjak
 keluar dan belakang ranjang, sambil geleng-geleng kepala dia tersenyum, katanya:
 Sudahlah, jangan ribut begini rupa, memangnya tidak malu ditertawakan orang?"
 Kelima orang itu sedang saling dorong dan tarik, ketika tiba-tiba mendengar suara
 orang yang tak dikenal, keruan semuanya sama terperanjat, tanpa di suruh lagi
 semuanya berhenti dan menoleh ke sana, kelima orang jadi melongo.
 Siang Cin mengebas lengan jubahnya yang berwarna kuning angsa itu, air mukanya
 yang semula tersenyum simpul mendadak menjadi kaku dingin, katanya: "Beginikah
 orang-orang Toa-to-kau kalian bertingkah di Toa-ho-tin" Keterlaluan, tidak tahu tata
 tertib, sekarang satu persatu perkenalkan nama anjing kalian."
 Sudah tentu kelima orang ini semakin kaget, sebagian mereka memang utusan pihak
 Toa-to-kau yang diperbantukan di Toa- ho-tin, sudah enam hari mereka tiba di sini,
 sebelum berangkat Kaucu mereka sudah berpesan bahwa di Toa-ho tin bakal
 berkumpul orang dari berbagai kalangan dan aliran, sekali-kali dilarang membuat
 malu dan melakukan kesalahan, apalagi menurunkan derajat Toa-to-kau.
 Setiba di sini keadaan yang campur aduk di sini memang agak membingungkan
 mereka, kini belum apa-apa mereka sudah ribut antar kawan sendiri, betapapun
 mereka merasa malu"
 Sesaat kemudian barulah Kek-losam menyeringai, sapanya: "Numpang tanya, Toako
 ini dari dermaga mana" Supaya kami. . ."
 Belum habis dia bicara, Siang Cin sudah mendamprat: "Tutup mulut, terhadapku,
 berani kau membahasakan Toako segala" Berani kau angkat dirimu sejajar dengan
 aku?" 307 Keruan berdetak jantung Kek-losam, tersipu dia menjura serta mohon maaf: "Tidak
 berani, hamba tidak berani, maksudku hanya ingin mohon tanya siapakah she dan
 nama besarmu."
 Siang Cin mendengus: "Hm, mau selidik asal usulku" Tanya nama segala. Setiap
 kaum keroco ini belum setimpal, Han-nio-siang-kui saja akan munduk-munduk
 dihadapanku, memangnya kalian sudah setingkat dengan kedua orang itu?"
 Sudah tentu kelima orang dalam kamar tak berani bercuit lagi, mereka percaya apa
 yang dikatakan Siang Cin. Maklumlah sikap tindak tanduk, tutur kata Siang Cin yang
 berwibawa telah membikin ciut nyali mereka, apalagi mereka tahu bahwa Toa-ho-tin
 sudah menjadi kota terlarang, luar-dalam kota sudah diatur banyak jebakan dan
 perangkap, setiap jengkal tanah dalam kota boleh dikatakan ada perangkap.
 Seluruh tenaga pihak sendiri juga sudah diatur dengan kilat, penduduk kotapun telah
 dimasukkan ke karantina serta diawasi, jangankan mata-mata musuh, umpama
 seekor burungpun jangan harap bisa terbang masuk, kini orang ini berlenggang
 dengan sikapnya yang kereng, tahu-tahu naik loteng dan masuk kamar, tutur
 katanyapun amat berwibawa, kecuali orang punya jabatan tinggi setingkat Cuncu,
 memangnya siapa berani bertingkah begini"
 Sudah tentu kelima orang itu semakin gelisah, Kek-losam yang setengah mabukpun
 sadar dan mandi keringat dingin, sambil menunduk dia hanya mengiakan saja
 dengan muka merah padam, kedua tangan lurus ke bawah.
 Mengebas lengan bajunya, Siang Cin berkata pula: "Barusan aku dari bawah,
 kenapa tidak kelihatan bayangan seorangpun."
 Kek-losan menyeka keringat, lahutnya tersipu-sipu "Ada, ada, cuma sekarang
 mereka tidak di tempat karena semuanya dikerahkan untuk menggali lorong bawah
 tanah." "Gali lorong apa?" tanya Siang Cin. Kek-losan juga melenggong, katanya tergagap:
 "Masa Toako tidak tahu" Bukankah setiap barisan menugaskan beberapa orang
 secara giliran untuk menggali lorong" Loteng ini ditempati tiga puluh orang, kecuali
 kami berlima yang masih ketinggalan, yang lain dikerahkan di bawah pimpinan Tamhay-
 bak " Otak bekerja cepat, segera sikap Siang Cin tampak kereng pula: "Kemarin malam
 bukankah orang Jit-ho-hwe sudah selesai menggali lorong yang terletak di depan
 kota itu" Menggali lorong apa lagi" jangan kau membual."
 "Toako memang tidak salah," lekas Kek-losan menerangkan "Lorong itu memang
 sejak lama sudah digali, sekarang yang digali adalah lorong yang terletak di bawah
 jalan raya di depan kota, baru dua hari ini mulai kerja, kira-kira sampai nanti tengah
 malam baru akan selesai, Betapapun aku yang kecil ini tak berani bohong pada
 Toako, kalau tidak percaya boleh Toako pergi memeriksanya."
 Siang Cin berkata pula: "Kapan mereka akan kembali?"
 Kek-losan menghitung-hitung lalu menjawab: "Baru setengah jam mereka pergi,
 mungkin setelah magrib baru akan kembali."
 308 Siang Cin manggut-manggut katanya: "Baik, biar aku istirahat di sini dulu, sebentar
 aku masih harus memeriksa tempat lain."
 Tanpa disuruh Kek-losam, empat orang yang lain segera berebut memindah kursi
 dan membetulkan meja.
 Tanpa terima kasih Siang Cin terus duduk sambil angkat kedua kakinya ke atas
 meja, ia memeriksa keadaan kamar besar ini, katanya kemudian dengan suara
 kereng: "Barisan Te-ji-heng dari Toa-to-kau sudah lama datang, kalian dari barisan
 yang mana?"
 Kek-losam menjura, sahutnya: "Kami dari "Pui-ji-heng", hanya terpaut beberapa
 waktu saja kedatangan kami dengan Te ji-heng, sementara para saudara dari Ui-ji
 heng sudah lama berada di sini." "jadi tinggal barisan Thian-ji-heng saja yang tetap
 bercokol di sarang sendiri. apakah tenaga mereka tidak terlalu lemah?"
 Kek-losam yang bermuka tambun tampak mengunjuk tawa lucu, katanya: "Tiada
 yang perlu dikuatirkan, situasi dalam Kati kami cukup aman, sementara kalangan
 persilatan di sekitar markas kami selalu memberi muka kepada kami, jadi yakin
 takkan terjadi apa-apa di sana, Apalagi Kaucu sendiri tetap berada dalam tampuk
 pimpinannya, jumlah barisan Tlnan-ji-heng juga lebih banyak, kepandaian
 merekapun serba pilihan, kalau dibanding kami yang diutus kemari, terlampau jauh
 bedanya." "Berapa banyak orang kalian yang dikerahkan kemari?" tanya Siang Cin pula. "Ai,
 terlalu banyak kerja, sampai otakku terasa bebal, kalau tidak salah ada seribu lebih
 atau tujuh ratusan orang, betul tidak?"
 Terkekeh Kek-losam, jawibnya: "Toako salah ingat, jumlah seluruhnya ada seribu
 dua ratusan, setiap barisan terdiri dari empat ratus orang, dibawah pimpinan sepuluh
 Thaybak, sementara keenam Kauthau ketiga barisanpun datang."
 Siang Cin tertawa tawar, katanya: "Kek-losam, apa kau tahu cara untuk keluarmasuk
 Toa-ho-tin?"
 Kek-losam melenggong ditanya begitu, katanya: "Hamba tidak tahu, Apakah Toako
 sendiri juga tidak tahu?"
 Siang Cin tergelak-gelak, katanya: "O, bagus sekali, dari sini dapat kusimpulkan
 bahwa mereka memang amat ketat merahasiakan hal ini, kalau sampai kaupun tahu,
 terhitung rahasia macam apa."
 Lalu dia berbangkit terus menggeliat serta menghela napas seperti orang keletihan
 sehabis bekerja berat.
 Kek losam bersikap seperti memperhatikan, katanya: "Toako mau pergi" Silakan
 istirahat lagi sebentar, cuaca sedingin ini, kau orang tua harus menunaikan tugas
 sepayah ini, sungguh terlalu berat . . ."
 Berkelebat sinar mata Siang Cin. katanya tenang: "Betul, aku mau pergi, malah
 sekarang juga."
 Lekas Kek-losam berkata: "Kalau begitu hamba . . . . "
 309 Siang Cin berseru "Ambilkan jubah luar milik mereka semua."
 "Mengambil jubah luar?" seru Kek-losam kebingungan, "Toako, kau . . ."
 "Lekas, jangan cerewet," bentak Siang Cin.
 Tak berani tanya lagi, lekas Kek-losam mengerjakan apa yang diminta, dengan sikap
 hati-hati dia taruh empat jubah di atas meja. Empat laki-laki pemilik jubah itu hanya
 berdiri melenggong dengan muka pucat dan tak berani bertindak apa-apa.
 Baru saja Kek-losam hendak buka suara pula, seketika dia mengkeret karena ditatap
 Siang Cin, kata Siang Cin: "Jubahmu juga lekas kau copot."
 Kek-losam melenggong serunya: "Aku" Jubahku ini?"
 "Ya, kenapa" Tidak boleh?" ancam Siang Cin. Keruan Kek-losam ketakutan, lekas
 dia copot jubahnya. Baru sekarang dia menyadari meski dirinya gemuk, badannya
 penuh gumpalan daging, tapi setelah telanjang badan, hawa sedingin ini, mau-tidakmau
 menggigil juga.
 Meraih kelima jubah itu. Siang Cin mendengus: "Sekarang, kalian berbaris
 menghadap dinding."
 Tanpa berani membangkang lelima orang membalik tubuh serta berdiri sejajar,
 semuanya gemetar ketakutan juga kedinginan.
 "Bukankah kalian kurang tidur dan masih ngantuk" Biarlah kubuat kalian tidur lagi
 lebih nyenyak," Belum sempat mereka tahu apa yang akan terjadi, semuanya
 merasa tubuh menjadi kejang, pelahan empat dari kelima orang ini roboh terus
 mendengkur nyenyak, Tinggal seorang lagi yang tidak roboh, ialah Kek-losam.
 Keruan Kek-losam menjadi panik, kedua tangannya menggenggam kencang baju
 dalam sendiri, saking ketakutan lutut terasa lemas, tanpa kuasa dia terjengkang dan
 menumbuk meja, golok-besarnya jatuh dan menemukan suara berkelontangan.
 Pelahan Siang Cin menghampiri, katanya: "Jangan panik dan tegang, kawan."
 Mendengar orang menggunakan istilah "kawan", baru Kek-losam sadar, ia bciteriak:
 "Kau. . . kau orang mereka. . ."
 Siang Cin mengangguk, katanya: "Betul, aku orang mereka, orang yang berdiri di
 pihak Bu siang-pay."
 Lunglai tubuh Kek-losam, dia tahu nasib apa yang bakal menimpa dirinya setelah
 terjatuh di tangan musuh, dengan lemah dia berkata: "Kau. . . apa kehendakmu?"
 "Asal kau tunduk pada perintahku, kau akan tetap hidup, kalau sebaliknya, kau akan
 mampus seketika."
 Kek-losam melirik ke arah empat kawannya sahutnya: "Baik, aku aku menurut."
 "Bagus, sekarang jawab pertanyaanku. Untuk keluar-masuk kota, adakah
 menggunakan kode rahasia" Atau ada jalan khusus yang lain?"
 310 "Aku tidak tahu, agaknya tiada, kami baru enam hari di sini, selama ini dilarang
 keluyuran diluar, dimana-mana terdapat larangan, ada pula tempat-tempat yang
 terlarang bagi siapapun."
 Siang Cin perhatikan mimik dan nada bicara Kek-losam, dia yakin bahwa orang tidak
 berdusta, setelah merenung sejenak, Siang Cin tidak membuang-buang waktu lagi,
 tanyanya: "Kek-losam, pada tanah seratusan tombak di sebelah kiri Toa-ho-tin,
 tegalan yang dekat hutan itu, rombongan siapa yang bertugas di sana."
 Tanpa pikir Kek-sam segera menjawab: "Mereka adalah barisan Hian- ji heng dan
 Toa-to kau kami."
 "Kau kenal mereka semuanya?" tanya Siang Cin.
 Sambil menyengir, Kek-losam menyahut: "Kebanyakan kukenal."
 "Untuk keluar-masuk Toa ho tin kalian tidak perlu menggunakan kode rahasia apaapa,
 tapi di dalam kota, untuk lewat dari satu daerah ke daerah lain tentunya
 menggunakan kode rahasia?"
 Bimbang sejenak, akhirnya Kek-losam menjawab: "Ya, ada. . ."
 "Apa kodenya?" tanya Siang Cin.
 "Kalau siang memakai selempang merah mengikat golok, kalau malam sebaliknya,
 golok memutus selempang merah."
 Tersenyum geli Siang Cin, katanya: "Amat lucu dan menarik, sampai di mana
 kegunaan dari tanda-tanda ini?"
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kek-losam menelan ludah, pelan-pelan dia menerangkan: "Pada setiap daerah yang
 dikuasai orang-orang Toa to-kau kita boleh mondar mandir sesuka hati dengan
 menggunakan tanda tadi, kalau daerah lain entahlah."
 Sampai di mana daerah yang dikuasai Toa to-kau kalian?"
 Melengos dari tatapan orang yang tajam, Kek-losam menerangkan dengan kebat
 kebit: "Separo dari daerah jalan raya Toa-ho to."
 "Orang-orang dari golongan lain, mereka berkuasa di mana saja?"
 "Entahlah, biasanya kami dilarang keluar, kalau mau keluar harus minta izin dan
 diantar orang Ji gi-hu. Kauthau kami sudah memperingatkan siapapun dilarang main
 sembarangan, salah-salah kepala bisa dipenggal, maka tiada yang berani lengah di
 sini." Siang Cin lantas menghampiri serta menepuk pundaknya, lalu dia membisiki apaapa
 sekian lama, agaknya Siang Cin harus mengulangi beberapa kali pesannya baru
 kemudian laki-laki tambun itu mengangguk tanda mengerti.
 Maka Siang Cin meninggalkan jubah biru milik Kek-losam dan mengambil empat
 jubah yang lain, seperti datangnya tadi, bagai segulung angin lesus tahu-tahu ia
 melayang pergi.
 311 Dengan cepat tanpa menemui rintangan ia telah kembali ke tempat menunggu
 Sebun Tio-bu dan Kin Jin tadi.
 Sebun Tio-bu lantai menggerutu pnnjang pendek, Siang Cin minta maaf bahwa
 mereka harus menunggu sekian lama, lalu dia ceritakan pengalamannya terakhir dia
 menjelaskan rencananya untuk menyerbu ke Toa-ho-tin menurut apa yang telah dia
 selidiki tadi. Kin Jin bertanya: "Laki-laki gemuk bernama Kek-losam itu apakah takkan
 mengingkar janji?"
 Siang Cin tertawa, katanya. "Kukira dia tidak berani, bila dia berani bertingkah
 akibatnya akan fatal bagi dirinya sendiri."
 "Hayolah lekas berangkat," seru Sebuo Tio-bu tak sabaran, maka Siang Cin bagikan
 keempat jubah tadi.
 Empat orang segera meringkaskan pakaian mereka terus mengenakan jubah biru
 tua itu di bagian luar.
 Mengawasi empat orang itu, Siang Cin berkata: "Perhatikan, Tangkeh dan Kin-heng
 harus lompat sekeras mungkin, demikian pula Le heng dan Loh-heng diharap
 mengikuti sepenuh tenaga, cuacu sudah mulai gelap, ini menguntungkan kita,
 semoga kita bisa menyelundup masuk tanpa konangan."
 Lalu dia memberi tanda, segera ia mendahului melayang pergi.
 Terpaksa juga Le Tang dan Loh Hou mengerahkan sepenuh tenaganya. Dalam
 keremangan senja tampak lima bayangan berkelebat, begitu pesat gerakan mereka,
 ditambah cuaca memang sudah mulai gelap, dipandang dari kejauhan orang akan
 menyangka adanya bayangan burung atau gumpalan mega yang lagi bergerak.
 Hanya sekejap Siang Cin sudah tiba di tempat tujuan, kini jubah kuningnya
 dipakainya secara terbalik, jadi warna ungu bagian dalam kini berada di luar dengan
 ikat pinggang warna kuning, tempat di mana sekarang dia berdiri adalah bawah
 loteng di mana Kek-losan berada.
 Kek losan telah berdiri di sebelahnya, dengan suara tegang dia berkata: "Agaknya
 mereka telah melihat adanya tanda mencurigakan sebentar pasti ada orang akan
 memeriksa kemari."
 Sementara itu tampak bayangan orang berkelebat pula, tahu-tahu Sebun Tio-bu dan
 Kin Jin sudah melayang turun di kedua sisi mereka.
 Siang Cm segera memberi kedipan mata kepada mereka, kedua orang maklum dan
 lekas menyingkir ke sana, di samping pintu tampak menggeletak empat golok tebal
 bcsar, mereka masing-masing memungut sebatang serta mengatur pernapasan.
 Dalam pada itu Le Tang dan Loh Hou baru mencapai dua puluhan tombak, agaknya
 mereka telah menemukan perangkap yang berlapis-lapis itu, maka dengan gerakan
 gesit dan hati-hati mereka berlompatan kian kemari terus maju ke arah sini.
 312 "Kuk, kuk", dua suara keras seperti dengkur burung tiba-tiba berkumandang di
 tengah kegelapan, suaranya seperti datang dari sebuah loteng kecil tak jauh di
 sebelah sana, begitu lenyap suara "kuk, kuk" ini, mendadak muncul belasan laki-laki.
 Siang Cin tertawa, katanya: "Kek-losam, tibalah saatmu untuk naik pentas."
 Dengan nekat terpaksa Kek-losam memburu maju, baru saja beberapa langkah,
 orang-orang Toa-to-kau yang berlari tiba itu sudah melihatnya, seorang yang
 berhidung pesek sebagai pimpinan rombongan segera berteriak: "Kukira siapa,
 kiranya kau Kek-losam, kenapa tidak lekas kau panggil teman-temanmu, untuk apa
 berdiri melenggong disitu?"
 Kek losam bergelak tertawa, segera dia tarik suaranya yang serak: "Jangan gembargembor,
 mungkin kalian sudah pusing tujuh keliling, masa orang sendiri juga
 dicurigai."
 Si hidung pesek melenggong, dia tidak menghiraukan Kek-losam. tapi dia menoleh
 ke arah Le Tang dan Loh Hou yang lagi lari mendatangi, hardiknya: "Berdiri,
 selempang merah mengikat golok."
 Le Tang dan Loh Hou terpaksa berhenti dan berdiri sambil bertolak pinggang, tanpa
 sangsi mereka berseru juga: "Golok niemutus selempang merah. Hari sudah gelap,
 saudara-saudara masih giat bekerja juga?"
 Keruan si hidung pesek kebingungan, serunya menoleh ke arah Kek-losam: "Keklosam,
 apakah mereka juga orang kita sendiri?"
 Kek- losam mendengus, segera dia maju mendekat serta berkata dengan lagak
 misterius "Bukan saja orang sendiri, malah mereka adalah orang-orang Ji-gi-hu yang
 pegang peranan di sini."
 Kembali melenggong si hidung pesek berkata dengan nada curiga. "Ada orang Ji-hi
 hu yang pegang peranan" Kenapa tidak lewat jalan rahasia malah keluyuran di
 daerah perangkap, Herannya, kami tidak diberi tahu sebelumnya."
 Serentetan pertanyaan ini membikin Kek-losam gelagapan, baru saja dia hendak
 bicara, Sebun Tio-bu telah maju ke depan, dia singkirkan Kek-losam ke samping, lalu
 melirik hina pada si hidung pesek, katanya: "Ada apa, kawan" Melihat sikapmu,
 agaknya kau tidak pandang sebelah mata kepada kami."
 --------------------------------
 Cara bagaimana rombongan Siang Cin akan mengerjai pihak musuh"
 Adakah perangkap licik dan lihay yang teratur di Toa ho tin" Dapatkah pihak Busiang-
 pay membobolnya"
 Bara Naga Jilid 16 Sambil mendengus si hidung pesek menghardik bengis: "Siapa kau?"
 313 Melotot mata Sebun Tio bu, serunya gusar: "Memangnya kau keparat ini boleh
 bertanya seenak udelmu" Aku berdiri di sini, berjajar dengan anak buah Toa to kau
 kalian, mengenakan pakaian pinjaman kalian lagi. Keparat, coba katakan siapa
 sebetulnya aku ini?"
 Seperti disiram air dingin si hidung pesek tersentak mundur, sikapnya yang garang
 tadi seketika kuncup, dengan kebingungan dia menoleh ke arah Kek losam.
 Lekas Kek losam menghampiri, katanya dengan prihatin: "Bi thaubak, kau harus
 hati2 menjaga batok kepalamu, saudara ini adalah pentolan Ji ih hu jagoan yang
 paling di sayang oleh Jan kong, bahwa mereka mengenakan pakaian kita hanya
 untuk mengelabui orang, tujuannya adalah mencari berita tentang keadaan pihak Bu
 siang pay. Baru saja mereka kembali dari menunaikan tugas, mereka sama
 mengumpat, soalnya lima orang yang diutus ke sana kini tinggal dua orang saja yang
 kembali. Nah itulah mereka, kalian sudah melihatnya, tiga orang temannya sudah
 menghadap Giam lo ong. dan kau masih bertingkah di depan orang, apa kau
 sengaja mencari penyakit?"
 Kek losam ditariknya ke pinggir, lalu si hidung pesek berkata dengan suara tertahan:
 "Ucapannya memang masuk diakal, Kek losam, herannya kenapa mereka tidak
 menggunakan jalan rahasia itu tapi malah main2 disini mencari kesulitan?"
 Kek losam menarik muka, katanya: "Bi thaubak, bicara soal kedudukan di dalam Kau
 kita memang kau lebih tinggi, tapi soal pengalaman, kau Bi An bukan apa2 bagiku,
 usiaku juga lebih tua. Coba kau pikir, dengan mengenakan pakaian kita, kalau tidak
 pulang lewat daerah kekuasaan kita sendiri, lalu mereka akan lewat mana" Meski
 mereka tahu kode rahasia yang digunakan di mana2, namun seragam mereka jelas
 berbeda, memangnya orang tidak menaruh curiga terhadap mereka" Apalagi Toa-ho
 tin boleh dikatakan sudah terjaga ketat, setiap langkah berbahaya, apa betul ada
 jalan rahasia khusus seperti apa yang kau maksudkan, itupun urusan pihak atas,
 memangnya kau juga harus diberi penjelasan" Lalu jalan rahasia macam apa lagi"
 Kan bisa bocor, bukan mustahil pihak Bu siang pay pun akan tahu rahasia ini . . . . . "
 Si hidung pesek yang bernama Bi An menggosok telapak tangan, dia memang
 sudah percaya akan uraian Kek losam, tapi dia masih belum terima, katanya: "Kek
 losam, masih ada yang belum kumengerti, bahwa mereka adalah orang dari Ji ih hu,
 kenapa kau yang dicari mereka?"
 Kek losam mendengus gusar, semprotnya: "Apa" Memangnya aku Kek Sam ini
 keroco, tidak setimpal mengikat hubungan dengan mereka" Hanya Thaubak macam
 kau ini yang berbobot bersahabat dengan mereka?"
 "E eh, memangnya kenapa kau ini?" lekas Bi An menariknya, "aku hanya tanya
 sambil lalu saja, kenapa harus naik pitam" Sedikitnya kau juga harus pikirkan
 kepentinganku, kan aku harus memberi laporan pada atasan, suara sempritan tadi
 juga sudah kau dengar, pihak atas sudah tahu adanya kejadian, bila aku tidak bisa
 memberi laporan lengkap dan jelas, coba hukuman apa yang akan menimpa diriku?"
 Melihat mereka bisik2 tak habis2. Kin Jin yang berada di belakang segera
 menghampiri, katanya dengan sikap gelisah: "Losam, Toa ah ko dari Ji ih hu
 marah2, dia suruh kutanyakan kalian apa maksud kalian sebenarnya, apakah
 sengaja hendak mempersulit kerja mereka?"
 314 Belum Kek Sam menjawab, Bi An cepat berkata: "Lote, sukalah kau memberitahukan,
 katakan kami hanya tanya2 sambil lalu, tiada maksud apa2, sekarang kalian
 boleh pergi, kami tidak ada maksud menahan" Lalu dia angkat golok tiga kali serta
 diputar satu lingkaran, maka orang2 Toa to kau yang siaga sejak tadi segera
 mengundurkan diri. Di atas loteng, di sekeliling tempat itu serempak terdengar suara
 daun jendela ditutup, tidak ada suara menggerutu, pedang golok diletakkan, busur
 yang sudah terpasang panah juga diturunkan.
 Dengan sikap kereng Sebun Tio bu lantas menghampiri, katanya: "Kek Sam, dia
 sudah tanya belum" Apa kami hendak di tahan dan diadukan ke Ji ih-hu" Atau
 digusur ke hadapan Han mo siang kiu?"
 Sudah tentu semakin mengkeret nyali Bi An mendengar omongan ini, kini dia lebih
 yakin bahwa beberapa orang ini memang jago2 lihay dari Ji-ih hu, kalau tidak masa
 berani bersikap garang seperti ini.
 Siang Cin yang sejak tadi diam saja kini ikut bicara juga, malah sikapnya lebih
 meyakinkan lagi: "Kalian masih cerewet apa dengan dia, sampai sekarang orang kita
 belum juga masuk kemari, kalau terlambat siapa yang akan di marahi Jan kong
 nanti" Kiau Hiong dan lain2 juga sedang menunggu"
 Lekas Sebun Tio bu berlagak gelisah, katanya: "Ya Toako, urusan sudah selesai,
 hanya keparat2 di sini yang bikin ribut ... ..."
 Ter sipu2 Bi An menjura, katanya: "Harap Toa-ah ko maafkan kepicikan hamba,
 maklumlah menjalankan tugas tidak boleh lalai, tentunya Toa ah-ko juga maklum,
 sukalah memberi kelonggaran untuk kali ini."
 Sebun Tio bu melirik hina, bentaknya: "Lekas suruh orangmu menyambut kawan
 kami itu" Bi An seperti tersadar, lekas dia mengulap ke belakang seraya memaki: "Gui poan
 cu, Siau Ian bik, lekas kalian sambut kedua Toako itu, kenapa melongo saja melihat
 tontonan apa?"
 Dua orang yang disebut namanya segera tampil dari barisan, tanpa diperintah lagi
 mereka lari ke sana memberi petunjuk kepada Le Tang dan Loh Hou yang sedang
 kelabakan mencari jalan ke sini.
 "Bi taubak" ucap Sebun Tio bu tidak sabar, "tanah lapang di depan ini adalah daerah
 kekuasaan kalian, perangkap di sini juga kalian yang mengaturnya, kau sendiri apal
 tidak akan seluk beluk di sini" Maksudku dari arah mana boleh lewat dan disebelah
 mana yang terlarang?"
 Bi An unjuk tawa, katanya: "Toa ah ko, bicara terus terang, tempat ini dikerjakan
 bersama dengan orang2 Hek jiu tong, keadaan seluruhnya aku sendiri kurang jelas,
 tapi bagian yang tidak berbahaya dapat kutunjukkan. Tentunya engkau juga tahu,
 kecuali gantolan baja, jala sutera dan tanduk menjangan yang dapat melukai orang
 atau merintangi serbuan musuh, yang lain2 adalah benda2 mati, asal sedikit hati2,
 pasti takkan terjadi apa2."
 Sekilas dia melirik Sebun Tio bu, lalu menyambung dengan lagak sok tahu: "Tapi bila
 semua perangkap itu digerakkan, ditambah tenaga manusia kita yang bersembunyi
 diberbagai tempat, bila musuh berani terjang kemari, haha, itu berarti mereka
 315 menerjang ke neraka, maklumlah, karena kekuatan perangkap yang akan
 digerakkan itu terlampau dahsyat."
 Sebun Tio bu berkata dengan tidak sabar: "Bi-thaubak, se akan2 kau ini tahu betapa
 besar kekuatan perangkap2 itu?"
 Bi An menyengir kikuk, katanya: "Ah, hamba memang tidak tahu persis, tapi . . . . tapi
 apa yang hamba uraikan rasanya takkan selisih jauh dengan keadaan sebenarnya."
 Dalam pada itu Loh Hou dan Le Tang sudah berhasil menyusuri lapangan yang
 berbahaya itu meski dengan hati kebat kebit dan mandi keringat.
 Melihat kedua orang ini berambut panjang terurai di pundak, Bi An bersuara heran
 dan menyatakan rasa sangsinya. Cepat Sebun Tio bu pura2 mendamperat: "Tolol,
 kalau mereka tidak menyamar begini, cara bagaimana mereka dapat menyusup ke
 Bu siang pay untuk mencari berita" Hayolah, sekarang lekas kita berangkat, jangan
 buang2 waktu untuk mengobrol tugas lebih penting."
 Lalu ia mengangkat tangan sebagai tanda memberi salam kepada Bi An, segera ia
 membawa Le Tang dan Loh Huo serta Ke Sam melangkah ke arah Siang Cin sana.
 Diam2 Kin Jin tertawa geli, dengan membusungkan dada ia lantas ikut di belakang
 mereka. Ber turut2 mereka masuk ke ruangan loteng, baru saja Kin Jin menutup pintu,
 serentak Ke Sam berlutut sambil rneratap: "Mohon betas kasihan tuan2, janganlah
 kalian meninggalkan hamba, betapapun hamba harus diikutkan bersama kalian,
 kalau tidak, jiwa hamba pasti akan melayang di sini . . . . "
 Siang Cin membangunkannya dengan tertawa katanya: "Jangan kuatir, jasamu tidak
 kecil, apalagi sudah kujanjikan akan mencarikan jalan hidup bagimu, apa yang
 dikatakan Naga Kuning tak pernah dijilat kembali."
 "Hah, jadi engkau si Naga Kuning Siang . .. . . Siang toaya?" seru Ke Sam dengan
 terkesiap. "Wah, jika demikian, hamba lebih2 harus ikut serta bersama kalian."
 "Sekarang kau tidak dapat ikut kami," sela Kin Jin. "Kami masih harus menerjang ke
 Ji ih hu."
 Ke Sam tampak putus asa, keluhnya: "Wah, jika demikian, jelas jiwa hamba tak . . . .
 tak tertolong lagi."
 "Tidak, kau takkan mati," kata Siang Cin. "Loteng ini kan ada lagi langit2nya, boleh
 kau sembunyi di situ, besok pagi keselamatanmu tidak perlu disangsikan lagi."
 "Mak . . . . maksud Siang toaya . . . " dengan bingung Ke Sam memandang Siang
 Cin dan mohon penjelasan.
 "Besok pagi2 pasukan berkuda Bu Siang pay akan menyerbu ke Toa ho tin sini,"
 tutur Siang Cin.
 "Tapi . . . . tapi anak buah yang tinggal di loteng ini sebentar lagi akan pulang, bila
 mereka mengetahui kejadian di luar sana . . . . "
 316 Belum habis ucapan Ke Sam, mendadak Bebun Tio bu mendesis pelahan, segera
 Siang Cin juga mendengar suara langkah orang di luar, dari suaranya yang riuh
 mungkin ada berpuluh orang banyaknya.
 "Me . . . . mereka sudah pulang," Ke Sam menjadi kelabakan dan tampak tegang.
 "Kenapa mesti takut, kan sudah dalam dugaan?" ujar Siang Cin dengan tertawa.
 Dalam pada itu suara berisik orang bicara kedengaran sudah mendekat, segera
 pintu didorong orang, serombongan lelaki berbaju biru terus membanjir masuk.
 Begitu masuk, serentak mereka menerjang ke atas loteng, ada sebagian menuju ke
 kamar samping semuanya tampak lelah dan kotor sambil mengomel dan
 menggerutu be ramai2 mereka mencari air minum sehingga tiada yang
 memperhatikan malaikat elmaut sedang menantikan mereka di belakang pintu.
 Sudah barang tentu, dengan mudah dan singkat rombongan orang yang naik ke atas
 itu disikat habis oleh Siang Cin. Sisanya di serambi bawah juga di bereskan oleh Loh
 Hou dan Le Tang.
 Sebun Tio bu mengebut baju sambil menggerutu katanya: "Keparat, bikin kotor
 tangan melulu." Habis berkata ia memberi tanda, mereka terus menyelinap keluar,
 dengan gesit seperti kucing mereka berlima terus menyusur ke depan dalam
 kegelapan. Setiba di suatu pengkolan jalan, dengan cepat mereka mendekam ke bawah,
 dengan pandangan tajam mereka menyelidiki keadaan sekitarnya. Dengan suara
 tertahan Sehun Tio bu bertanya: "Siang heng, apakah kautahu jelas arah letak Ji ih
 hu?" "Tidak jelas," Siang Cin menggeleng.
 "Ji ih hu pasti sangat mentereng bangunannya, asalkan kita menemukan gedung
 yang paling megah di situ, pasti tidak keliru lagi," bisik Kin Jin.
 Setelah berpikir sejenak, Siang Cin berkata: "Betul juga. Sekarang kita membagi diri
 menjadi tiga kelompok dan maju ke depan secara ber turut2 aku sendiri membuka
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan, Sebun tangkeh dan Le Tang satu kelompok, Kin heng dan Loh Hong satu
 kelompok. Dengan cara begini jejak kita takkan terlalu menyolok, bila perlu juga
 mudah saling membantu."
 Keempat orang mengangguk setuju, segera Siang Cin melayang ke depan, hanya
 sekali berkelebat saja ia sudah berada beberapa tombak jauhnya. Sebun Tio bu
 menepuk pundak Le Tang, segera mereka menyusul ke sana. Habis itu Kin Jin dan
 Loh Hou juga ikut melayang maju.
 Siang Cin sudah melintasi sebuah jalan melintang, di sebelah sana ada sederetan
 barak pendek, di seberang barak sana adalah pepohonan yang lebat. Di balik
 rumpun pohon yang rindang sana tampak bayangan sebuah gedung yang megah
 dengan kerlipan cahaya lampu yang tak terhitung banyaknya.
 Selagi Siang Cin hendak berpaling untuk memberi tanda kepada kawan2nya, tiba2
 didengarnya suara langkah orang di balik deretan barak sana, cepat ia
 menempelkan tubuhnya ke dinding.
 317 Benar juga, segera muncul dua regu lelaki berbaju merah dengan senjata terhunus,
 barisan ronda ini kelihatan bertugas dengan tegang, dengan cepat barisan ronda
 inipun berlalu ke sana.
 Baru saja Siang Cin merasa lega, tiba2 dilihatnya dari arah jalan melintang sana
 berlari datang pula satu barisan orang, sayup2 terdengar pula suara pernapasan
 binatang yang ter engah2.
 Cukup cepat reaksi Siang Cin, begitu mendengar suara itu segera ia tahu gelagat
 jelek, suara napas itu jelas suara binatang buas sebangsa anjing pelacak yang
 ganas. Karena waktunya sudah mendesak, Siang Cin tidak sempat berpikir panjang
 lagi, cepat ia bertepuk tangan dua kali, lalu menyongsong barisan ronda musuh yang
 datang itu. Barisan ini berseragam ungu coklat, baik baju maupun celana terbuat dari kulit,
 berjumlah 20an orang. Delapan orang di depan masing2 menuntun seekor anjing
 belang yang kekar sebesar anak sapi. Kawanan anjing ini cukup menakutkan, kepala
 besar hidung pesek, mulut lebar dengan taringnya yang menyeringai, warna bulunya
 yang kuning hitam dan ber tutul2 dengan suaranya yang galak, tampaknya menjadi
 seperti harimau total.
 Dari jauh kawanan anjing itu sudah mencium bau Siang Cin, seketika kawanan
 anjing itu meronta, delapan pasang mata terus mengincar ke arah Siang Cin, sambil
 menyalak buas. Tampaknya orang2 berseragam baju kulit itupun sudah terlatih baik dan
 berpengalaman, begitu melihat tanda2 mencurigakan, serentak mereka
 memencarkan diri.
 Tapi Siang Cin tidak memberi kesempatan pada mereka untuk bertindak, secepat
 kilat ia telah melayang tiba.
 Salah seorang lelaki yang bermuka bengis dengan golok terhunus segera memapak
 maju sambil membacok, berbareng iapun berseru: "Kepung dia!"
 Kedelapan ekor anjing buas itupun segera dilepaskan, serentak kawanan anjing itu
 menggonggong dan menubruk maju.
 Pada saat itu juga Siang Cin sudah berhasil mengerjai lelaki tadi, sedikit mengegos
 ia dapat menghindarkan bacokan musuh, berbareng telapak tangannya menabas,
 kontan lelaki itu mencelat dan tak bangun lagi.
 Dengan gerak cepat Siang Cin merobohkan beberapa orang pula sebelum kawanan
 anjing itu menerjang tiba, Malahan seorang kena dipegangnya terus digunakan untuk
 menyerampang kawanan anjing buas itu, anjing pertama mengaing kesakitan dan
 terguling, menyusul Siang Cin terus menubruk maju, sekali tangannya menabas, dua
 ekor anjing menggeletak pula dengan perut pecah dan usus kedodoran.
 Keruan orang2 berseragam baju kulit itu menjadi panik, seorang di antaranya
 berteriak: "Lekas siarkan tanda bahaya, ada mata2 ......"
 Belum habis ucapannya, orang inipun terguling didepak oleh Siang Cin. Pada saat
 lain, seorang yang bermaksud menyergap Siang Cin dari belakang, tak terduga
 318 mendadak Siang Cin berputar dan sekali sodok, kontan orang inipun mencelat jauh
 dan sekarat. Seketika terdengar jeritan orang dan gonggongan anjing yang ramai, tanpa ampun
 Siang Cin masih terus main babat, hanya dalam waktu singkat baik orang2 itu
 maupun kawanan anjing itu telah dibereskan seluruhnya.
 Pada saat itu jnga baru terdengar di kejauhan ada suara langkah orang sedang
 berlari ke arah sini, agaknya peronda di sana telah merasakan sesuatu yang
 mencurigakan yang terjadi di sini.
 Sekilas Siang Cin memandang kawanan anjing yang sudah menggeletak itu, cakar
 anjing2 itu tampak mengkilap. Ia mendengus, cepat ia melayang kembali ke
 tempatnya tadi.
 "Bagaimana, Siang heng?" terdengar suara Sebun Tio bu bertanya.
 "Beres," jawab Siang Cin. "Di balik hutan sana pasti Ji ih hu."
 Tetap terbagi menjadi tiga kelompok, segera mereka melintasi deretan barak tadi,
 hanya sekejap saja suara bentakan dari bayangan orang di tempat kekacauan tadi
 sudah ditinggalkan jauh. Kini mereka sedang mendaki tebing yang menuju ke hutan
 sana. Pada ketinggian tebing itu ada beberapa bagian yang mendekuk ke bawah, jelas di
 situlah pos penjagaan tersembunyi.
 Siang Cin memberi tanda ke belakang, habis itu secepat terbang ia terus melayang
 ke atas, sekali melejit lagi di udara ia terus lenyap ke dalam hutan.
 Tentu saja penjaga di tanah yang mendekuk itu terkesiap dan sama mendongak,
 mereka sama ragu2 barang apakah yang melayang lewat barusan. Pada saat itu
 juga Sebun Tio bu dan Le Tang sudah menggeremet tiba, mendadak mereka
 menubruk para penjaga itu. Ada tiga orang penjaga di sini, karena sedang melongo
 kesima oleh bayangan Siang Cin tadi, tahu2 mereka disergap sehingga sama sekali
 tidak sempat bersuara dan berkutik.
 Pada saat yang sama Kin Jin dan Loh Hou juga telah membereskan pos penjaga
 yang lain. Tempat di tepi hutan di bagian lebih atas sana juga ada sebuah pos jaga. Agaknya
 ketiga orang disitu mendengar sesuatu yang tidak beres, satu di antaranya berteriak
 menegur: "Siau loji, ada apa di sana?"
 Sudah tentu tiada orang menyahut, keruan orang yang bertanya itu merinding
 sendiri. Belum lagi ia buka suara pula, tiba2 terdengar orang menjawab dengan
 suara tertahan: "Ada makanan enak, kaupun perlu merasakan."
 Cepat juga reaksi orang ini, begitu mendengar suara tidak beres, segera ia angkat
 golok terus membacok.
 Dia memang cepat, tapi Siang Cin terlcbih cepat baru saja golok terangkat, kepalan
 Siang Cin sudah mampir dulu di dadanya, Kontan ia tumpah darah dan roboh
 319 terkulai. Dua temannya menjadi kaget, sebelum mereka bertindak, yang satu sudah
 kepala pecah dan yang lain isi perut berhamburan.
 Rupanya setelah Siang Cin memancing munculnya penjaga2 di depan tadi, lalu ia
 sendiri menyergap pos penjaga terakhir ini. Selesai ia kerjai musuh, sementara itu
 Sebun Tio bu dan lain2 juga sudah memburu tiba.
 "Beres?" tanya Kin Jin kepada Siang Cin.
 "Kan tidak terlalu sulit?" jawab Siang Cin sambil tersenyum dan mengangguk.
 "Langkah berikutnya kukira harus langsung menuju Ji ih hu," ujar Sebun Tio bu.
 "Ya, tampaknya bangunan megah di balik hutan sana itulah Ji ih hu." kata Siang Cin.
 "Kita tetap terbagi menjadi tiga kelompok dan saling melindungi. Bertindaklah
 menurut keadaan."
 Tanpa menunggu jawaban, segera Siang Cin mendahului melayang ke sana, hanya
 sekali berkelebat saja ia sudah lenyap ke dalam hutan.
 Setiba di bawah pohon besar, dari balik pohon Siang Cin mengintai ke sana. Terlihat
 bangunan di depan memang sangat besar dan luas. Di depan gedung megah itu ada
 sebuah tugu yang terukir tiga huruf besar "Ji ih hu".
 Ji ih hu ini berbentuk benteng segi empat, tampaknya sangat kukuh, letaknya di
 tanah yang tinggi dan menghadap Toa ho tin yang agak miring di bagian bawah.
 Benteng ini jelas sangat strategis, untuk menjebol benteng demikian jelas tidak
 mudah kalau tidak terjadi banjir darah lebih dulu. .
 Siang Cin berkerut kening melihat betapa kuatnya sarang musuh ini. Sebun Tio bu
 dan lain2 juga sudah menyusul tiba. Merekapun terkesiap melihat tcmpat yang luar
 biasa itu, Sebun Tio bu lantas menggerutu.
 Setelah berpikir sejenak, Siang Cin berkata: ?"Kalau bisa membobol pintu gerbang
 atau menjebol beberapa jendela, mungkin keadaan akan mendingan, tapi kalau
 harus menyerbu secara terbuka, apalagi cuma tenaga kita beberapa orang ini, jelas
 tak berguna."
 "Siang heng," kata Sebun Tio bu tiba2, "apa sudah kau perhatikan, sekeliling tembok
 benteng Ji ih hu tiada nampak bayangan seorangpun."
 "Ya, kukira penjaga mereka pasti bersembunyi pada tempat2 tertentu," ujar Siang
 Cin. Sejenak kemudian ia menyambung pula: "Jalan paling baik sekarang agaknya
 aku harus menyerempet bahaya sekali lagi. Biar akn sendiri menyusup ke dalam
 benteng diam2 akan kusiapkan sebuah tempat luang agar kalian dapat menyusup ke
 dalam. Habis itu kita akan memperhitungkan waktu penyerbuan Bu siang pay nanti,
 lalu kita berusaha membobol pintu untuk membantu serbuan mereka."
 Karena tiada jalan lain, semua orang tentu saja menerima gagasan Siang Cin ini.
 "Hendaknya Siangheng bertindak hati2, Ji ih hu bukan tempat sembarangan, lawan2
 tangguh juga tak terhitung banyaknya," demikian pesan Sebun Tio bu.
 320 "Aku tahu," ujar Siang Cin dengan tersenyum dan penuh keyakinan. Habis bicara,
 dengan gesit ia lantas melayang ke depan.
 Begitu cepat gerakan Siang Cin, tugu berhuruf emas besar itu telah dilintasinya, dari
 situ ia terus melayang ke atas tembok benteng yang tingginya sekitar lima tombak
 itu. Baru saja ia hinggap di jalan berlingkar di dalam tembok benteng, segera
 didengarnya suara "krek krek" yang pelahan, cepat ia mendekam. Hah, kiranya
 beberapa langkah di sebelah sana, sebotong batu lantai mendadak bergeser,
 menyusul dua kepala manusia lantas menongol dan celingukan kian kemari, seorang
 di antaranya mendesis pelahan: "Keparat apakah kau lihat dengan jelas" Mana ada
 bayangan orang segala?"
 Temannva tampak ragu2 sejenak, katanya: "Dari balik jendela rahasia kulihat
 bayangan berkelebat, lantaran terlalu cepat, akupun tidak berani bilang ..... "
 Orang pertama tadi mendengus, omelnya: "Mungkin kau lihat setan."
 Habis itu batu tadi lantas merapat kembali. Maka selamatlah Siang Cin. Segera turun
 dari tembok benteng dan melayang ke arah beberapa bangunan megah di tengah
 sana. Kini Siang Cin sudah dapat memperkirakan keadaan seluruh bangunan Ji ih hu.
 Tempat ini memang betul sebuah benteng persegi, di tengah2 ada tanah lapang, di
 situ ada tujuh bangunan bersusun, tampaknya ketujuh gedung itu berdiri sendiri, tapi
 satu dan lain sebenarnya dihubungkan dengan serambi panjang. Antara loteng satu
 dan loteng yang lain juga dihubungi dengan jalan tembus.
 Di sekeliling gedung2 ini ada kolam ikan, gunung2an buatan, bunga mekar dengan
 indahnya, Siang Cin langsung menuju ke gedung yang paling megah, diam2 iapun
 merancang tindakan apa yang akan dilakukannya. Pikirnya: "Hek jan kong yang
 mendiami Ji ih hu ini tampaknya tidak cuma tinggi Kungfunya, tapi juga sangat
 memperhatikan kenikmatan hidup se-hari2. Melulu dari bangunan bentengnya saja
 dapat diperkirakan dia pasti bukan sembarangan tokoh Kangouw."
 Sembari berpikir, dengan cepat Siang Cin menyelinap ke balik gerombolan
 gunung2an palsu. Sekelilingnya sangat gelap dan sunyi, tiada nampak seorang
 perondapun. Sebagai seorang yang sudah belasan tahun berkecimpung di dunia Kangouw, Siang
 Cin sudah banyak menghadapi bahaya apapun. Dia tahu, kesunyian yang
 dihadapinya ini bukan alamat baik. Lawan jelas bukan orang bodoh, dalam suasana
 pertempuran begini mustahil tinggal adem ayem begini. Yang pasti, tentu segala
 sesuatu telah diatur secara tersembunyi, dalam kegelapan pasti menanti perangkap2
 maut yang setiap saat dapat menjebaknya.
 Dari tempat sembunyinya Siang Cin coba meneliti sekitarnya dengan cermat, cukup
 lama juga, akhirnya dapatlah dia menemukan sesuatu permainan kecil yang
 menarik. Maka tertawalah dia.
 rupanya dilihatnya bahwa di tempat2 yang tak menyolok, antara satu dan lain telah
 digandeng dengan seutas tali sutera warna ungu. Tempat yang dirintangi tali sutera
 itu justeru adalah tempat yang biasa dilalui orang pejalan malam, pada ujung tali
 321 sutera itu ada yang tertanam ke dalam tanah, ada yang menghilang di semak2
 rumput, ada juga yang lenyap di celah2 gunung buatan.
 Siang Cin tahu, bilamana tali sutera itu tersentuh, maka sedikitnya akan
 menimbulkan dua akibat. Kalau tidak menimbulkan tanda bahaya, tentu akan
 menimbulkan bekerjanya alat perangkap.
 Diam2 ia menghela napas lega, untung dia cukup cermat, kalau tidak, bukan
 mustahil akan menimbulkan malapetaka.
 Setelah mengaso sejenak, mulailah Siang Cin beraksi pula. Dengan hati2 ia
 menggremet ke depan, akhirnya ia sudah dekat dengan undak2an batu di depan
 gedung besar itu.
 Sudah tentu ia tidak berani langsung menerjang ke dalam, maka ia berjongkok di
 bawah pagar serambi dan merunduk maju dengan pelahan.
 Se konyong2 terdengar suara tindakan orang dari ujung serambi sana. Seketika
 Siang Cin berhenti di tempat. Diam2 ia memperhatikan arah datangnya suara.
 Sejenak kemudian muncul dua sosok bayangan orang.
 Kedua orang ini bertubuh tinggi besar, setengah baya. Yang satu berwajah dingin,
 seorang lagi bermuka tirus, keduanya sama bungkam tanpa bersuara, dengan
 langkah cepat mereka lalu di tempat sembunyi Siang Cin dan menuju ke pintu
 gedung bertingkat di depan sana.
 Siang Cin benar2 seorang cermat, dari gerak-gerik kedua orang itu serta cara
 mereka melangkah tanpa bersuara, akhirnya dapat diketahui pula ole
 
^