Bara Naga 12

Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 12


h Siang Cin sesuatu yang menarik. Rupanya lantai serambi panjang itu terdiri dari ubin dua
 warna, putih dan kelabu. Anehnya langkah kedua orang tadi selalu berpijak pada
 ubin putih yang agak menonjol, sedangkan ubin kelabu yang agak ambles ke bawah
 sama sekali tidak disentuhnya. Jelas ini bukan secara kebetulan saja.
 Sementara itu. kedua orang tadi sudah sampai di depan pintu, daun pintu itu sangat
 besar dan terbuat dari kayu Tho yang berat. Kedua orang itu tidak mengetuk pintu,
 tapi pintu lantas terbuka sendiri, di balik pintu berdiri seorang lelaki kekar sedang
 membungkuk tubuh memberi hormat kepada kedua orang.
 Sesudah pintu tertutup pula, segera Siang Cin memeras otak dan mulai mencari tahu
 sebab musababnya.
 Kedua orang tadi berjalan tanpa bersuara, juga tidak memberikan sesuatu tanda
 rahasia apa2, tapi orang di balik pintu seperti sudah tahu siapa yang datang.
 Mengapa bisa begini"
 Jawabnya cuma satu, yakni sepanjang perjalanan kedua orang itu, baik bangun
 tubuh dan wajah mereka sudah dapat diketahui oleh pesawat rahasia yang tepasang
 di tempat tersembunyi, dengan lain perkataan, yang datang ini kawan atau lawan
 sudah diketahui sebelum tiba di pintu sana.
 Lalu berada di manakah alat rahasia itu dipasang" Benda apakah itu"
 322 Pelahan, sejengkal demi sejengkal Siang Cin terus menggremet maju dan
 memeriksanya dengan sangat teliti. Akhirnya, hampir saja ia berteriak gembira. Aha,
 kiranya permainan begini!
 Rupanya di bawah atap serambi panjang itu, pada setiap sepuluh langkah tentu
 bergantung sebuah lampu kaca yang besar. Cahaya lampu sangat terang sehingga
 sepanjang serambi inipun terang benderang Sedangkan di sepanjang lankan (pagar)
 serambi, setiap pilar dan setiap belandar atap serambi, banyak terhias kepingan
 tembaga berbentuk bulat sebesar baskom. Tembaga ini kuning mengkilap dan
 seperti diberi bergambar, kalau dipandang sepintas lalu akan disangka sebagai
 benda hiasan belaka. Tempat kepingan tembaga kuning gilap itupun aneh, jarak dan
 urutannya tidak teratur, namun didasarkan pada sudut pantulan sinar yang dapat
 dicapai. Jadi kepingan kuningan itu serupa sebuah cermin saja, asalkan ada orang lalu di
 bawahnya, bayangannya akan tercermin ke dalam kepingan tembaga itu terus
 dipantulkan ke arah kepingan tembaga yang lain, lalu dari kepingan tembaga
 berikutnya dipantulkan lagi lebih lanjut dan begitu seterusnya. Dengan demikian,
 maka penjaga yang tersembunyi akan dapat mengetahui dengan jelas pendatang ini
 kawan atau lawan.
 Siang Cin tersenyum memandangi kepingan tembaga yang terpaku di tepi jendela di
 atas loteng sana. Ia sangat kagum kepada pencipta alat rahasia yang hebat ini,
 sungguh jenius si pencipta ini. Cuma sayang, bakat yang sukar dicari itu bisa jadi
 akan hancur dalam semalam ini.
 Selagi Siang Cin hendak mencari akal untuk maju ke sana, tiba2 terdengar pula
 suara orang berjalan di belakang, yaitu di balik gunung2an palsu tempat
 sembunyinya tadi, tahu2 dari sana muncul belasan bayangan orang, agaknya
 sedang mencari jejaknya dengan memeriksa tanah yang dilaluinya tadi.
 Terdengar seorang di antaranya mengomel: "Keparat, jelas2 ada bayangan orang
 berkelebat di sini, mengapa tidak kelihatan sekarang?"
 "Jangan banyak curiga, mungkin matamu sudah lamur, tapi lagakmu seperti orang
 yang paling awas," gerutu temannya.
 "Ya, mana ada bayangan orang?" sambung yang lain. "Bayangan setan saja tidak
 ada. Di depan Kin bing tian ( (istana kaca emas) terdapat tujuh genta dan 16 batang
 pipa pengintai, para penjaganya saja tidak melihat apa2, masa matamu lebih awas
 daripada puluhan orang lain?"
 Begitulah setelah olok berolok, lalu orang2 itupun meninggalkan tempat itu dan
 lenyap dalam kegelapan.
 Berdasarkan ucapan orang2 tadi, Siang Cin mulai men cari2 pula di halaman situ,
 benar juga ditemuinya belasan batang pipa yang terjulur ke arah yang ber beda2,
 pipa itu cuma menonjol beberapa senti di permukaan tanah dan entah menembus ke
 mana. Mungkin inilah yang disebut pipa pengintai"
 Tadi Siang Cin tidak tahu ada pipa2 begini, tapi mengapa jejaknya belum diketahui
 musuh" Mungkin saking cepat gerakannya, alasan lain tidak ada.
 323 Setelah berpikir sejenak, dengan kecepatan kilat Siang Cin melayang ke pipa
 pengintai yang terletak di ujung kiri sana. Setiba di situ, secara iseng ia gunakan
 telapak tangannya untuk menutup mulut pipa, dengan santai ia menunggu reaksinya.
 Benar juga, tidak seberapa lama terdengarlah suara gempar di bawah. meski teraling
 oleh selapis tanah juga dapat didengar Siang Cin suara seorang sedang meraung
 gusar: "Dirodok, siapa yang berani bergurau dengan menutup mata pipa" . . . . . .
 Poa Keng, coba naik sana, periksalah apa yang terjadi. Besar kemungkinan si
 keparat Co Liang . . . . . "
 Terdengar suara seorang mengiakan dengan samar2, lalu di belakang pipa pengintai
 ini, permukaan tanah seluas tiga kaki mulai ber gerak2, dengan cepat tertampaklah
 celah2 lubang dan sebuah kepala lantas menongol keluar.
 Belum lagi melihat jelas apa yang terdapat di luar, lebih dulu ia sudah mencaci maki:
 "Hei, Co Liang, kau keparat, apakah kau cari mampus" Kaukira ini waktunya
 bergurau, mengapa kau tutup mata pipa" Jika terjadi sesuatu kepalamu bisa
 berpisah dengan tuanmu"!".
 Siang Cin tertawa, "sret", sekali telapak tangannya terayun, kontan orang itu terkulai
 ke bawah tanpa mengeluarkan suara, tubuhnya terus terperosot jatuh ke bawah.
 Menyusul Siang Cin lantas menyusup juga ke dalam liang tanah itu.
 Liang di bawah tanah itu luasnya kira2 dua tombak dan diberi tangga tanah ke
 lubang liang, penutup lubang liangnya terbuat dari batu, di tepi tangga tanah itu ada
 sebuah lubang kecil, sebuah pipa besi menembus masuk dari situ, seorang tampak
 memicingkan sebelah mata sedang mengintai ke atas. Selain itu ada pula belasan
 orang sedang bertiduran seperti babi mampus.
 Orang yang dihantam mati oleh Siang Cin tadi terperosot jatuh ke bawah dan
 meringkuk di samping tangga, namun teman2nya tiada yang ambil pusing, seorang
 yang berhidung besar malah mendamperat: "Keparat, Poa Kong, barangkali kau
 sudah terlalu banyak menenggak air kencing makanya tangga setinggi itu saja tidak
 mampu mendakinya, biarlah kau mampus terjatuh."
 Dengan pelahan Siang Cin menutup lubang itu, lalu melangkah turun dengan lagak
 kawan sendiri, katanya dengan tersenyum: "Memang, dia benar2 telah mampus
 terjatuh."
 Si hidung besar hanya mendengus saja sambil mengomel: "Biarkan mampus, peduli
 amat!" Tapi mendadak ia terus berbangkit dan memandang Siang Cin dengan
 terbelalak, sejenak kemudian baru menegur: "Kau . .. . kau siapa?"
 "Kudatang untuk mencabut nyawa anjing kalian!" jawab Siang Cin dengan tak acuh.
 Seketika si hidung besar seperti disengat tawon, ia melompat bangun sambil
 berteriak: "Ada mata2 musuh!"
 Dengan tenang Siang Cin mengangguk, ia membalik tubuh, sekali hantam ia bikin
 orang yang sedang mengintai itu terkapar, menyusul si hidung besar juga terpental
 kena ditendang olehnya. Hanya sekejap saja belasan orang telah dibinasakan
 seluruhnya. 324 Tanpa ayal Siang Cin membelejeti seragam kulit salah seorang dan dipakainya
 sendiri, lalu ia keluar dari lubang itu, Setiba di ujung serambi tadi dengan
 berlenggang lenggok ia terus menuju ke pintu gerbang sana melalui ubin putih tadi.
 Ketika hampir sampai di depan pintu, tanpa diminta pelahan2 daun pintu lantas
 terbuka. Seorang lelaki berusia tiga puluhan menatapnya dengan dingin serta
 menegur dengan ketus: "Ada urusan apa, saudara?"
 Siang Cin balas menatap dengan tidak kurang dinginnya, jawabnya dengan nada
 galak: "Ada berita pertempuran penting harus dilaporkan!"
 Orang itu mengamat amati Siang Cin sejenak, katanya pula: "Saat ini Jan kong
 sedang rapat dengan para pimpinan, mungkin tiada waktu menerima kau. Pula,
 mana kaupunya Ji ih long (lencana)?" "
 Seketika jantung Siang Cin berdetak, tapi lahirnya ia tetap tenang2 saja, ia malahan
 berlagak kurang senang dan menjawab: "Apakah tanpa Ji ih long aku dapat masuk
 ke sini" Masa saudara mengira aku ini palsu?"
 "Aku tidak peduli kau tulen atau palsu," jengek orang itu. "Yang penting peraturan
 harus kita pegang teguh. Tanpa Ji ih leng, maaf kecuali Jan kong sendiri, siapapun
 dilarang masuk."
 Diam2 Siang Cin mengeluh, tapi di mulut ia tetap keras, katanya: "Saudara,
 hendaklah ingat, ini urusan maha penting, jika ada persoalan, kau harus
 bertanggung jawab."
 Orang itu melirik Siang Cin sekejap, katanya kemudian: "Tapi kalau mata2 musuh
 yang masuk, tanggung jawab ini lebih2 tak dapat kupikul. Pokok nya Ji ih leng harus
 kau perlihatkan padaku."
 Siang Ciu pura2 menunduk dengan lagak sukar untuk menjelaskan persoalannya,
 katanya kemudian: "Toako, bicara terus terang, Ji ih leng tidak ku bawa saat ini,
 soalnya . . . . . . . "
 "Habis siapa kau?" jengek orang itu.
 Siang Cin menggeser maju selangkah. lalu bisiknya dengan suara tertahan: "Terus
 terang, tadi kami datang berdua. Tapi temanku itu . . . . , Ai, aku menjadi sukar untuk
 bicara. Soalnya dia ada main dengan si Melati di gedung sebelah itu, tapi untuk
 kesana kan juga diperlukan Ji ih leng, maka terpaksa kupinjamkan Ji ih lengku
 kepadanya. Eh, Toako, demi kepentingan teman, kan pantas kalau kita berkorban . .
 . . . " "Si Melati?" demikian lelaki itu mengulang nama itu dengan ragu.
 "Ya, Melati, itulah, pelayan genit Kiu ih thay (selir kesembilan) yang memang manis
 itu." "Di gedung yang mana?" tanya orang itu pula dengan menarik muka.
 "Itu," sekenanya Siang Cin menuding ke belakang.
 325 Orang itu mengamat amati Siang Cin pula, lalu bertanya dengan bengis: "Kau anak
 buah siapa?"
 "Gui Kong, Gui toako," jawab Siang Cin tanpa pikir.
 "Gui Kong?" orang itu mengulang pula nama itu.
 Siang Cin pura2 menghela napas kesal, katanya: "Ya, Gui toako itulah yang
 ditugaskan mencari berita, di bawah pimpinannya, anggota regu kami benar2
 kenyang makian, maklumlah, wataknya keras dan bicaranya kasar . . . . ." selagi
 orang masih ragu2, cepat Siang Cin menambahkan pula: "Toako, tolonglah, urusan
 kawan kita ini jangan kau katakan kepada orang lain, bilamana sampai diusut, tentu
 kawanku itu bisa celaka, bahkan aku sendiripun akan ikut kena getahnya."
 Akhirnya orang itu mengangguk dan berkata: "Baiklah, kuberi kelonggaran sekali ini,
 setelah masuk nanti jangan kau sembarangan menerobos, di atas loteng ada rapat,
 kau harus melihat gelagat."
 Begitulah Siang Cin lantas masuk ke dalam gedung megah itu.
 Ia rada kesima melihat ruangan itu sedemikian luasnya dengan macam2 perabotnya
 yang gemilapan, lantainya diberi permadani tebal, ada sebuah meja panjang di
 tengah ruangan dengan barisan kursinya yang indah. Dinding sekeliling dihiasi
 lukisan dengan bingkai emas, langit2 diberi ukiran Liong dan Hong yang sangat
 hidup tampaknya. Belasan lampu kristal menyorotkan cahayanya yang gemilang.
 sungguh suatu ruangan pendopo yang indah dan megah.
 Siang Cin memandang sekelilingnya sejenak, lalu mulai melangkah ke sebuah jalan
 tembus samping berdekatan dengan tangga. Baru saja ia hampir lewat, tahu2
 sesosok bayangan orang menuruni tangga batu itu tanpa bersuara.
 Dengan kepala tertunduk Siang Cin bermaksud percepat langkahnya agar tidak
 menimbulkan kerewelan lagi. Tak tecduga mendadak suara nyaring dingin seorang
 telah membentaknya: "Berhenti, kau!"
 Siang Cin pura2 tidak mendengar dan melangkah maju pula, tapi segera terendus
 bau harum, suara nyaring garang tadi sudah berkumandang pula, di samping
 telinganya: "Kubilang berhenti! Kaudengar tidak?"
 Terpaksa Siang Cin berhenti dan berpaling, ia menjadi terkejut. Kiranya orang yang
 berdiri di depannya adalah seorang perempuan berumur tiga puluhan, ia kenal
 perempuan ini pernah bergebrak dengan dia di Pau hou ceng tempo hari, yaitu Lo
 sat li Hek kwa hu, si janda hitam, adik perempuan tertua Sok lian su coat dari Pek
 hoa kok yang sudah janda itu.
 Sedapatnya Siang Cin bersikap tenang, ia pandang orang dan diam2 berdoa
 semoga macan betina yang terkenal cantik tapi ganas ini tidak mengenalnya lagi,
 kalau tidak perjalanannya ini pasti akan sia2 belaka.
 Lo sat li mengamat amati Siang Cin, wajahnya yang cukup cantik itu sedingin es,
 selang sejenak baru mendengus: "Kau hendak ke mana" Kukira tempat ini boleh
 sembarangan berkeliaran bagimu?"
 326 "O, Toasoh ini . . . . . "
 "Sialan, siapa Toasohmu?" damperat Lo sat li dengan melotot.
 "O, ya, Toaci ini . . . . . . . . "cepat Siang Cin ganti panggilan.
 Tapi kembali Lo sat li mngomel dengan marah2: "Persetan, siapa pula Toacimu"!"
 Untuk sejenak Siang Cin melengak, tapi segera ia paham kehendak orang, cepat ia
 berucap pula: "Ya, ya, nona . . . . . nona."
 Baru sekarang air muka Lo sat li tampak berubah senang, lalu mendengus pula:
 "Pertanyaanku tadi belum lagi kau jawab."
 Cepat Siang Cin menyambung: "O, ya. Cayhe diperintahkan Gui toako agar
 melaporkan berita pertempuran. Konon Jan loyacu sedang rapat, maka Cayhe tidak
 berani naik ke atas dan terpaksa mencari suatu tempat istirahat dulu "
 "Cari tempat istirahat?" omel Lo sat li dengan mengerut kening. "Tahukah kau siapa
 yang tinggal di kamar serambi sana?"
 "O, Caybe tidak tahu," jawab Siang Cin dengan lagak gugup.
 "Di sana tempat tinggalku bersama nona Bwe, masa boleh sembarangan dibuat
 keliaran orang macam kau?" jengek Lo sat li pula. "Untung kulihat, kalau tidak, lalu
 bagaimana jadinya bila dilihat orang lain?"
 "Ya, sesungguhnya Cayhe memang tidak tahu, mohon nona memberi maaf," kata
 Siang Cin dengan memberi hormat.
 Kembali Lo sat li mendengus, lalu bertanya: "Siapa namamu?"
 "Go Ji," jawab Siang Cin pelahan.
 "Go Ji?" Lo sat li mengulang nama itu sambil mengernyitkan kening. Kembali ia
 pandang Siang Cin lekat2, sampai lama barulah ia bergumam: "Tampaknya seperti
 sudah kenal, cuma lupa entah di mana?"
 Siang Cin menunduk lebih rendah lagi, diam2 ia berdoa semoga orang tidak ingat
 kejadian tempo hari. Diam2 iapun siap siaga, bila perlu segera lawan akan
 dirobohkan lebih dulu.
 "Eh, Go Ji, tampaknya pernah kulihat kau" Apakah kau ingat pernah bertemu
 denganku sebelum ini!" tanya Lo sat li.
 Cepat Siang Cin menjawab: "Mungkin dalam sesuatu pertemuan di sini. Akhir2 ini
 Cayhe selalu dinas luar. Situasi pertempuran cukup genting, Cayhe sendiri kuatir
 entah bagaimana kesudahannya nanti . . . . . ?"
 "Masa kau kuatir, sudah tentu kita pasti menang," ujar Lo sat li penuh keyakinan. "Bu
 siang pay mengerahkan pasukannya ke tempat jauh, ini jelas tidak menguntungkan
 mereka. Di Ce ciok giam mereka sudah mengalami kerugian besar, dari Ceciok giam
 327 ke sini masih banyak rintangan dan jebakan, mungkin sebelum tiba di Toa ho tin ini
 pasukan Bu siang pay sudah dihancur leburkan pasukan kita."
 "Perkiraan nona pasti tidak jauh dari kenyataan, semoga dalam waktu singkat musuh
 dapat kita hancurkan," tukas Siang Cin untuk membesarkan hati orang.
 Mendadak Lo sat li menatap Siang Cin lekat2, lalu bertanya: "Eh, Go Ji, kau tahu
 siapa diriku!"
 Siang Cin berlagak seperti kikuk, jawabnya: "Cayhe . ti . . . tidak tahu."
 "Hm, masa tidak tahu," jengek Lo sat li. "Aku bernama Giam Ciat, adik perempuan
 To hay long Giam Ciang, itu tokoh utama Sok lian su coat dari Pek hoa kok, orang
 memberi julukan Lo sat li padaku."
 "Dan alias Hek kwa hu (si janda hitam)," demikian batin Siang Cin, sudah tentu tak
 diucapkannya, sebaliknya ia malah menyanjung: "Ya, nama harum nona sudah lama
 kudengar, sungguh beruntung sekarang dapat bertemu dengan nona yang cantik
 dan anggun."
 Lo sat li tertawa senang, tapi tidak urung ia pura2 mengomel "Ah, tampaknya
 mulutmu juga pintar mengumpak. Eh rapat mereka pasti akan berlangsung lama,
 tidak leluasa kita berdiri saja di sini, marilah duduk dulu ke tempatku."
 Tergerak hati Siang Cin, tapi akhirnya ia pura pura serba rikuh, jawabnya: "Wah, kan
 tidak baik kalau dilihat orang, nona Giam" kedudukan Cayhe terlalu rendah, mana
 boleh masuk tempat nona yang terhormat situ?"
 "Eh, apa2an kau ini?" omel Giam Ciat. "Sesama orang Kangouw, masa kita pakai
 aturan tetek bengek begitu" Apalagi aku yang mengundang kau dan bukan kau yang
 sembarangaa masuk ke tempatku, kita bertindak secara terang2an, takut apa?"
 Diam2 Siang Cin bergirang, tapi di luar ia pura2 kikuk, katanya: "Jika . . . . jika
 demikian, terpaksa Cayhe menurut saja."
 Giam Ciat lantas mendahului melangkah ke sana dengan gaya yang gemulai, Siang
 Cin ikut di belakangnya, tercium bau harum semerbak teruar dari tubuh Giam Ciat
 dan membuat pikirannya rada terguncang.
 Setelah menyusuri serambi dan menembus sebuah pintu bundar, benar juga di sana
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdapat petak kamar yang indah.
 Pelahan Giam Ciat mendorong pintu sebuah kamar sambil menuding kamar yang
 lain, katanya: "Itu tempat tinggal nona Bwe, dia sangat sibuk dan sedang pergi ke
 Pau hou ceng"
 Sembari bicara iapun menyilakan Siang Cin masuk kamar. Ruangan kamar dibatasi
 tabir kain sutera kembang yang indah, mungkin di balik tabir itulah tempat tidur si
 nona. Kamar inipun sangat indah dengan macam2 hiasannya, asap cendana wangi
 mengepul memenuhi ruangan kamar.
 328 Giam Ciat lantas merapatkan pintu, habis itu ia menyingkap tabir pemisah sehingga
 kelihatan sebuah tempat tidur yang mentereng. Dengan pandangan sayu genit Giam
 Ciat menatap Siang Cin, katanya dengan suara lembut: "Go Ji . . . . . . . "
 Siang Cin mengiakan dengan lurus tegak.
 Giam Ciat tersenyum genit, dengan suara yang lembut menggetar sukma ia berkata
 pula: "Go Ji, coba kemari, ingin kulihat . . .. . . "
 Meski Siang Cin juga seorang lelaki normal, tapi untuk mengekang diri, dalam hal
 seperti sekarang ini bukan soal baginya. la mendekati Giam Ciat dengan tertawa,
 tanyanya pelahan: "Ada petunjuk apa, nona?"
 Giam Ciat menepuk sisi tempat tidurnya dan berkata dengan pandangan sayu: "Sini,
 duduklah di sini. . . ."
 Tapi Siang Cin tetap berdiri saja, jawabnya sambil menggeleng: "Ah, Cayhe tidak
 berani." Mata Giam Ciat setengah terpicing, ucapnya dengan suara genit: "Duduklah, turutlah
 perkataanku, takkan kubikin susah padamu."
 Tapi Siang Cin tetap berdiri tegak, ucapnya: "Apakah takkan merusak nama baik
 nona nanti?"
 Agaknya ucapan ini menyinggung perasaan Giam Ciat, ia menjadi marah, omelnya:
 "Go Ji, apa maksudmu" Kaupandang nonamu ini orang macam apa?"
 Lekas2 Siang Cin memberi hormat dan menjawab: "O, mana berani Cayhe
 bermaksud buruk terhadap nona. Soalnya Cayhe ini orang kecil, kuatir membikin
 susah nona sendiri, makanya bicara terus terang, mohon nona maklum."
 Karena ucapannya cukup beralasan, mau tak mau Giam Ciat menjadi kikuk sendiri.
 diam2 iapun menaruh simpatik terhadap "keroco" yang tahu diri ini. Segera ia
 berduduk tegak dengan berkata: "Betul juga ucapanmu, Go Ji. Sesungguhnya aku
 cuma bersimpatik padamu karena kau kelihatan lain daripada yang lain, makanya
 kuajak kau mengobrol, tak tersangka kau terlalu banyak pikir . . . . . Eh, Go Ji,
 apakah susah bertugas di garis depan?"
 Seketika Siang Cin membusungkan dada dan menjawab: "Ah, susah apa, ini kan
 tugas, Mana dapat dikatakan susah. Demi kejayaan Ji ih hu di Toa ho tin, demi
 kebesaran nama Jan kong, adalah pantas jika kita bersusah sedikit. Eh, nona Giam,
 menurut pandanganmu, apakah pertempurun ini dapat kita atasi?"
 "Melihat gelagatnya, seharusnya kemenangan pasti di pihak kita," ujar Giam Ciat
 dengan tersenyum genit. "Keempat kakakku sudah maju juga ke garis depan.
 sebagian besar pasukan Toa to kau juga sudah dikerahkan, begitu pula Jit ho hwe,
 sedangkan Jik san tui dan Hek jiu tong seluruhnya bertahan di Pau hoa ceng . . . . "
 dia merandek sejenak, lalu menyambung pula: "Konyol juga Hek jiu tong itu, ada
 ribuan orang sisa kekuatan mereka dari Pi ciok san, kecuali yang terluka dan cacat,
 yang dapat bertempur cuma delapan ratus orang. Sudah separo kekuatan mereka
 dikirim ke Ce ciok-giam, tapi hampir satupun tiada yang kembali dengan hidup.
 Kedua ribu prajurit Jik san tui juga kocar kacir seluruhnya, konon karena terjebak
 329 oleh bahan peledak yang sebenarnya ditanam kita sendiri. Malahan pemimpin ketiga
 Jik san tui, Pek Wi-bing juga gugur, begitu pula dua jagoan Hek jiu tong juga mati
 konyol di sana .
 Siang Cin mendengarkan saja dengan tenang, katanya kemudian: "Menurut Can
 lomo dari Hek jiu tong, katanya perajurit pihak lawan juga musnah sebagian besar.
 Jika betul begini, kan kita belum rugi."
 "Can lomo memang lari pulang dalam keadaan mengenaskan, siapa berani bilang
 keterangannya itu benar atau tidak?" jengek Giam Ciat. "Eh, Go Ji, tentunya kau
 tahu, kabarnya si Naga Kuning dan gerombolannya yang memimpin pertempuran di
 Ce ciok giam, apa betul?"
 Diam2 Siang Cin merasa geli, tapi iapun membenarkan dengan mengangguk.
 Gam Ciat termenung sejenak katanya kemudian: "Di Pau hoa ceng pernah kugebrak
 satu kali dengan Naga Kuning itu . . . . ."
 "Apa?" Siang Cin berlagak melengak "Nona pernah bergebrak dengan Naga
 Kuning?" .
 "Betul," jawab Giam Ciat dengan gemas. "Keparat ini sangat menjemukan, mulut
 tajam dengan keji, tapi Kungfunya memang benar2 menakutkan orang . . . . " seperti
 membayangkan apa yang terjadi dahulu, sejenak kemudian ia menyambung pula:
 "Empat jago Jik san tui yang tinggi besar, hanya sekejap saja telah dirobohkan,
 sampai2 cara bagaimaka turun tangannya tak terlihat jelas. Konon sejak muncul di
 Kangouw orang ini hanya menggunakan kedua tangan kosong untuk menghadapi
 siapapun juga, banyak tokoh ternama yang telah terjungkal di bawah telapak
 tangannya."
 Siang Cin hanya ber kedip2 saja tanpa menanggapi. Dalam keadaan demikian,
 seorang nona cantik sedang bercerita mengenai dirinya, betapapun terasa rada lucu.
 Setelah menghela napas gegetun, Giam Ciat bercerita pula: "Biasanya kuanggap
 kepandaianku sudah tergolong kelas satu, siapa tahu sekali kebentur si Naga
 Kuning, hampir saja aku terjungkal habis2an, yang lebih menyakitkan hati adalah
 olok2nya yang tajam itu. Waktu itu dia memakai baju seragam Jik san-tui, rambut
 kusut masai, muka kotor dan habis membobol penjara Pau-hou ceng yang termashur
 kuat . . . . . sampai saat ini aku sendiri tidak tahu bagaimana wajahnya yang
 sesungguhnya, konon dia sangat cakap ."
 Dengan agak canggung Siang Cin menanggapi: "Lain kali kalau kepergok lagi harus
 hajar adat padanya." .
 "Huh, bicara mudah, kalau benar sudah bertemu baru kautahu rasa," ujar Giam Ciat.
 "Jika tiada si Naga Kuning, mana bisa pihak Hek jiu tong mengalami kekalahan
 besar begini" Mana mungkin Jik san tui mengalami kehancuran total dan penuh
 borok" Terus terang, biarpun pasukan Bu siang-pay juga sangat kuat, tapi tidak sulit
 untuk dihadapi, yang menakutkan ialah si Naga Kuning ini. Dia banyak tipu akalnya,
 tindak tanduknya sukar diraba, kepandaian sejatinya juga sangat tinggi, dia benar2
 merupakan suatu penyakit bagi kita . . . . . " setelah merandek sejenak, lalu ia
 menyambung: "Cuma, sekarang Jan kong sedang rapat membicarakan siasat
 selanjutnya, salah satu soal yang diperbincangkan adalah cara bagaimana
 330 menghadapi si Naga Kuning. Setahuku, pihak kita sudah khusus menyiapkan
 beberapa tokoh terkemuka untuk menghadapi dia."
 "O, siapa2 saja?" tanya Siang Cin.
 "Akupun tidak jelas, mungkin tugas ini akan diserahkan kepada orang2 Tiang hong
 pay dan Ceng-siong san ceng."
 "Tiang hong pay?" Siang Cin menegas.
 "Ya, nona Bwe di sebelah adalah tokoh Tiang-hong pay," tutur Giam Ciat. "Jangan
 kau kira dia masih muda belia, mungkin dua Giam Ciat juga bukan tandingannya."
 "Tokoh Tiang hong pay kan terdiri dari tujuh orang lelaki, darimana bisa timbul
 scorang perempuan?" ujar Siang Cin heran.
 "None Bwe adalah puteri angkat ketua Tiang-hong pay, dengan sendirinya Tiang
 hong pay yang dikenal umum tidak termasuk dia. Cuma, kepandaiannya memang
 sangat tinggi dan tidak di bawah beberapa paman gurunya itu."
 "O, jika begitu, ketujuh tokoh Tiang hong-pay telah datang semua?"
 "Ya, sudah datang semua, masa kau tidak tahu" Kan tempo hari Jan loyacu sendiri
 yang menyambut kedatangan mereka dengan upacara besar."
 Cepat Siang Cin berkata: "O, barangkali waktu itu Cayhe sedang dinas luar . . . . "
 Giam Ciat menguap ke-malas2an, katanya dengan tertawa: "Ehm, ngantuk rasanya."
 Siang Cin tahu waktu sudah mendesak, sudah sekian lama ia menyusup ke Ji ih hu,
 berita yang dapat dikoreknya juga tidak sedikit. Tapi bagaimanapun akibatnya, dua
 hal penting perlu juga diselidiki.
 Maka dengan lagak prihatin Siang Cin lantas berkata dengan suara tertahan: "Nona
 Giam, bahwa Hek jiu tong mengalami kekalahan besar, Jik san-tui juga hancur,
 konon persoalannya hanya karena menyangkut seorang nona cantik saja."
 "Hm, memang," jengek Giam Ciat. "Siapa lagi kalau bukan puteri kesayangan ketua
 Bu siang-pay, namanya Thi Yang yang."
 "Ah, perempuan benar2 air bencana." ujar Siang Cin dengan menyesal.
 "Hm, dasar perempuan murahan," jengek Giam Ciat. "Ayahnya sedang
 mengerahkan pasukan dan bertempur mati2an baginya, tapi sepanjang hari dia
 cuma berdekapan melulu dengan Khang Giok tek, sungguh aku menjadi gemas bila
 melihat mereka. Kita sedang jual nyawa, apa tujuannya" Coba kalau tidak ingat Jan
 loyacu serta saudara2 Jik san tui dan karena urusan sudah meluas begini, orang
 Kangouw harus mengutamakan setia kawan. Kalau tidak, untuk apa kita melibatkan
 diri di dalam persengketaan adu nyawa ini?"
 "Apakah kedua orang itu berani bertingkah secara terbuka begitu di Pau hou ceng?"
 tanya Siang Cin.
 331 "Mana di Pau hou ceng," jawab Giam Ciat "Mendingan kalau mereka berada di sana,
 mereka justeru tinggal di Hwe im kok di sebelah sana, seperti pengantin baru saja."
 Diam2 Siang Cin meng ingat2 tempat yang di sebut itu, lalu ia bertanya pula:
 "Apakah nona Giam pernah melihat Thi Yang yang itu?"
 "Pernah dua kali, memang boleh juga wajahnya, tapi juga tidak luar biasa, hanya
 matanya yang bening2 basah itu memang rada2 menggiurkan," tutur Giam Ciat.
 "Apakah Khang Giok tek cuma ngendon di Hwe im kok melulu?"
 "Ya, barangkali kedua orang itu sudah buta cinta sehingga kegemparan yang terjadi
 di luar tak tergubris oleh mereka. Beberapa hari akhir2 ini mungkin Khang losam itu
 diomeli kakaknya, maka terkadang juga keluar. Padahal, hm, sisa Hek jiu-tong
 tinggal beberapa ratus orang, kukira cepat atau lambat pasti juga akan tamat di
 tangan Khang-losam."
 "Nona Giam, menurut pendapatku, kemungkinan kalah bagi kita juga tidak perlu di
 cemaskan."
 "Memangnya apa maksudmu?" tanya Giam Ciat.
 "Bukankah kita masih ada suatu langkah terakhir, langkah mematikan ini kalau kita
 keluarkan, betapa lihaynya Bu siang pay juga pasti akan mati kutu. Tentunya nona
 tahu, di Pi ciok san tempo hari pihak Hek jiu tong telah menawan beberapa pentolan
 Bu siang pay. Orang2 ini berkedudukan tinggi di Bu siang pay, jika keadaan kepepet,
 kita menggunakan sandera ini sebagai tameng."
 "Ya, betul juga, hal ini memang sudah kita atur, sebab itulah maka tadi kubilang Bu
 siang pay tidak perlu ditakuti. Tentunya merekapun tahu orang2 di Ji ih hu ini bukan
 manusia yang kenal belas kasihan, dalam keadaan kepepet, biarlah kita bikin
 habis2an. Tempo hari si Naga Kuning telah salah hitung dan bermaksud membobol
 penjara Pau hou-ceng, ia tidak tahu bahwa beberapa tawanan itu oleh Hek jiu tong
 sudah dikirim ke sini!"
 "Tapi tempat tahanan mereka apakah cukup kuat?" Siang Cin berlagak kuatir, "Kalau
 mereka sampai lolos, sungguh kerugian besar bagi kita."
 "Aku cuma tahu mereka ditahan di Ji ih hu sini, di mana tempatnya akupun tidak
 jelas. Bahkan Toako juga ttdak tahu, hanya Jan loyacu dan beberapa orang tertentu
 saja yang tahu. Mungkin Kiau lotoa dari Jik san tui dan pentolan Hek jiu-tong juga
 tahu." Sebenarnya Siang Cin ingin tanya pula keadaan pertahanan di benteng ini, tapi
 sukar mencari alasannya untuk bertanya. Maklum, sekarang ia menyamar sebagai
 orang Ji ih hu, jika keadaan benteng sendiri juga tidak tahu, kan bisa mencurigakan.
 Sedang bimbang, tiba2 Giam Ciat menegurnya:. "Eh, Go Ji, kau mengelamun apa?"
 Siang Cin terkesiap, cepat ia menjawab dengan menyengir: "O, entah mengapa,
 selama beberapa hari ini rasanya lesu, pikiran seperti tertekan . . . ."
 "Hal inipun lumrah," ujar Giam Ciat. "Suasana setegang ini, setiap orang merasa
 kesal dan tertekan."
 332 Baru Siang Cin mau bicara apa lagi, tiba2 terdengar suara orang berjalan pelahan
 mendatangi, setiba di depan pintu lalu terdengar suara ketokan pelahan beberapa
 kali. "Siapa?", bentak Giam Ciat dengan suara tertahan.
 "Bwe Sim," sahut suara nyaring di luar. "Sudah tidur, Giam cici?"
 Giam Ciat tertawa, katanya: "Kiranya nona Bwe. Silakan masuk. aku belum tidur."
 "Cayhe . . . . " Siang Cin menjadi serba susah.
 "Tidak soal," ujar Giam Ciat. "Kita tidak berbuat apapun, apa yang harus ditakuti"
 Pula nona Bwe cukup akrab dengan diriku, dia pasti percaya padaku."
 Tengah bicara, daun pintu sudah didorong terbuka, seorang gadis jelita melangkah
 masuk. Sungguh cantik nona ini, matanya yang jeli, hidungnya yang mancung,
 mulutnya yang mungil berpadu dengan raut wajah potongan daun sirih, sungguh
 serasi dan sangat menarik. Potongan tubuhnya juga menggiurkan, kulit badannya
 putih mulus, apabila ada yang perlu dicela, mungkin cuma alisnya yang agak tebal
 sedikit, terlalu tebal sehingga kelihatan agak garang.
 Begitu masuk, nona bernama Bwe Sim itupun melenggong, tak disangkanya di
 kamar Giam Ciat bisa terdapat seorang lelaki, Bahkan lelaki yang gagah dan
 tampan. Seketika Bwe Sim merasa kikuk, dengan muka merah ia berkata: "O, ma . . . . .
 maaf, Giam cici, aku tidak tahu engkau ada tamu . . . ."
 Giam Ciat lantas berbangkit dan menarik tangan Bwe Sim. katanya dengan tertawa:
 "Tidak apa2, Go Ji inipun orang kita sendiri, dia baru pulang dari tugas, maka
 kutanyai dia."
 Siang Cin lantas memberi hormat kepada Bwe Sim. Dengan likat nona itupun balas
 menghormat sambil melirik sekejap.
 Dengan tertawa Giam Ciat lantas menarik Bwe Sim berduduk di tepi tempat tidur dan
 bertanya: "Bukankah kau pergi ke Pau hou ceng" Bagaimana keadaan di sana?"
 Air muka Bwe Sim tampak gelap demi mendapat pertanyaan itu, ia pandang Siang
 Cin sekejap. Giam Ciat tahu maksudnya, cepat ia berkata pula: "Ceritakanlah, orang sendiri, Go Ji
 anak buah Gui Kong."
 Diam2 Siang Cin merasa geli. .
 Tapi Bwe Sin tampaknya merasa lega setelah mendapat keterangan dari Giam Ciat,
 ia menghela napas pelahan. lalu berkata: "Kekuatan Hek jiu-tong sekarang hanya
 lima ratusan orang terdiri dari barisan berani mati Hiat hun ciang, petang tadi mereka
 sudah bersumpah darah dan bertekad akan bertempur sampai titik darah
 penghabisan, kusaksikan adegan yang mengharukan itu. Pasukan Jik-san tui juga
 hancur di Ce ciok giam, sisa kekuatan nya juga cuma dua tiga ratus orang saja.
 333 Merekapun berkumpul di Pau hou ceng dan siap bertempur mati2an dengan pihak
 Bu siang pay."
 "Masa suasana begitu gawat?" tanya Giam Ciat.
 "Berita dari gadis depan yang baru diterima jelas cukup gawat, meski Bu siang pay
 juga banyak jatuh korban, tapi mereka masih terus mendesak maju, apalagi mereka
 membawa senjata api yang ampuh, semuanya bertempur dengan nekat. Pasukan Jit
 ho hwe yang bertahan di garis pertama sudah runtuh dan mundur, kini barisan
 tameng Ceng-siong san ceng dan pasukan berkudanya sedang bertahan . . . ."
 Ia merandek sejenak, setelah melirik sekejap pada Siang Cin, lalu melanjutkan: "Ji ih
 hu juga telah mengerahkan kekuatan intinya sambil menghimpun kembali sisa anak
 buah Jit ho hwe untuk melancarkan serangan balasan. Melihat gelagatnya
 pertempuran besar2an segera akan berkobar pula."
 "Masih berapa jauh jika pihak Bu siang pay ingin mencapai Toa ho tin?" tanya Giam
 Ciat. "Antara 30 li," jawak Bwe Sim.
 "Apakah kakak2ku baik saja?" tanya Giam Ciat.
 "Mereka tidak mengalami cidera apapun, tapi yang lain ada ribuan yang terluka berat
 dan ringan,"
 "Sekarang cara bagaimana Jan loyacu akan bertindak?".
 "Tampaknya sedang dirundingkan dalam rapat," kata Bwe Sim. "Ai, sudah sekian
 lama hidup tegang, pedih juga rasanya ."
 Siang Cin hanya mendengarkan saja di samping. Tiba2 Giam Ciat bertanya: "He, Go
 Ji, apa yang kau pikirkan?"
 Siang Cin menyengir, jawabnya: "Cayhe pikir, makan nasi Kangouw memang tidak
 mudah, harus dilakukan dengan cucuran darah dan bila perlu mengorbankan nyawa,
 hari depan suram, hidup ini hari belum tentu bisa hidup esok pagi."
 Tampaknya Bwe Sim rada tertarik oleh komentar Siang Cin yang lain daripada lain
 itu, dengan kikuk ia bertanya: "Go Ji, kau . . . . . kau bernama Go Ji?"
 "Ya, itulah namaku," jawab Siang Cin.
 "Akhir2 ini kalian tentu sangat lelah bukan?" kata Bwe Sim pula dengan agak malu2.
 "Ah, kan sudah sepantasnya begitu?" ujar Siang Cin dengan membusungkan dada.
 "Apalagi kalau para nona seperti kalian juga ikut mencurahkan tenaga dan pikiran,
 bagi orang seperti kami ini kan bukan apa2."
 "Manis amat mulutmu," Giam Ciat berseloroh. "Go Ji, tentunya banyak anak gadis
 terpikat oleh mulutmu yang manis ini."
 334 "Nona, selamanya Cayhe jarang bergaul dengan jenis lain," jawab Siang Cin dengan
 sungguh2.

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Giam Ciat mengangguk, katanya pula dengan tertawa: "Wah, tampaknya kau
 seorang ksatria sejati, entah nona keluarga mana yang beruntung mendapatkan
 suami seperti kau . . . . "
 Mendadak wajah Bwe Sim tampak merah jengah dan menunduk. Giam Ciat lantas
 mendorongnya pelahan dan mengomel: "Nona Bwe, kenapa malu" Ai, apapun juga
 kau masih terlalu muda. Maklum pada usia sebayamu sekarang akupun malu malu
 begitu, tapi setelah mengalami macam2 gemblengan, hidup ini bagiku menjadi
 hambar, sejak si pemabukan itu mampus, hidupku bertambah dingin . . . . "
 Bwe Sim masih gadis suci, di depan seorang lelaki asing pula, ia menjadi kikuk
 mendengar ucapan Giam Ciat itu cepat ia menyela: "Giam cici ....."
 "Ya, baiklah, aku tidak bicara lagi," kata Giam Ciat dengan tertawa. Lalu ia berpaling
 dan berkata kepada Siang Cin: "Eh, Go Ji, mungkin rapat Jan loyacu sudah selesai,
 apakah kau tidak jadi memberi laporan?"
 "O, ya, sekarang juga Cayhe mohon diri," cepat Siang Cin menjawab.
 Tapi sebelum dia melangkah keluar, tiba2 terdengar suara gaduh di luar sana. Tentu
 saja Giam Ciat dan Bwe Sim melengak.
 "Biar kulihat keluar, beberapa hari ini memang macam2 urusan yang selalu
 membikin tegang saja," kata Bwe Sim sambil berbangkit.
 Giam Ciat termenung menyaksikan kepergian Bwe Sim itu, gumamnya: "Kehidupan
 tegang begini sungguh bisa membikin gila orang. Hanya urusan kecil saja bisa jadi
 akan menimbulkan kegegeran, hati menjadi kesal dan jiwa tertekan . . . . . ."
 "Betul, Cayhe sendiri merasakannya," tukas Siang Cin.
 "Eh, Go Ji," tiba2 Giam Ciat berkata dengan lembut, "bilamana urusan di sini sudah
 selesai, maukah kau berkunjung ke Pek hoa kok, kau akan menjadi tamuku yang
 terhormat."
 Siang Cin tertawa dan menjawab: "Bilamana hamba diberi umur panjang, Cayhe
 pasti akan penuhi undangan ini."
 "Ai, kenapa kau bicara begini?" ujar Giam Ciat, "Menurut ilmu nujum, tampangmu
 yang cerah ini pasti akan panjang umur."
 "Terima kasih, semoga nona juga panjang umur," jawab Siang Cin.
 "Ah, hatiku terasa semakin kesal dan dibakar, jangan2 . . . . alamat tidak baik . . . . . .
 . " Belum habis ucapan Giam Ciat, mendadak pintu kamar terbuka pula. Bwe Sim
 melangkah masuk dengan muka pucat. setelah merapatkan pintu, segera ia berkata:
 "Giam cici, urusan rada gawat . . . ."
 335 "Urusan apa?" tanya Giam Ciat dengan tegang. Dengan suara gugup Bwe Sim
 menutur: "Menurut laporan, ada beberapa pos penjagaan disergap oleh penyusup,
 juga sebuah liang rahasia di depan Kim bin tian telah dihancurkan, belasan penjaga
 terbunuh. Sekarang di luar sedang sibuk mencari mata2 musuh serta memberi lapor
 kepada Jan-kong . . . "
 Untuk sejenak Giam Ciat tertegun, tanyanya kemudian: "Jadi maksudmu ada . . . . . .
 ada mata2 musuh menyusup ke Ji ih hu?"
 "Begitulah menurut laporan," jawab Bwe Sim
 "Wah, berani amat orang ini"!" gumam Giam Ciat.
 Siang Cin sedang memeras otak, ia pikir sekarang saat yang tepat untuk angkat
 kaki. Segera ia berkata: "Kedua nona, suasana cukup gawat, keadaan agak kacau,
 demi tugas, Cayhe tidak boleh tinggal lebih lama di sini, sekarang juga kumohon
 diri." Seperti merasa berat Giam Ciat berkata: "Go Ji, meski baru kenal, rasanya kita bisa
 saling cocok. Bila ada tempo luang silakan datang untuk mengobrol lagi."
 Ber ulang2 Siang Cin mengiakan. Diam2 ia merasa geli, jangankan tempo luang,
 mungkin dalam waktu singkat Ji ih hu akan hancur lebur. Segera iapun melangkah
 ke pintu, tapi belum lagi dia membuka pintu, terdengar Bwe Sim berseru: "Tunggu
 sebentar, Go Ji .. . . . "
 Siang Cin melengak, jawabnya sambil menoleh: "Ada petunjuk apa, nona Bwe?" "
 Muka Bwe Sim tampak merah, dengan likat ia menjawab: "O, sebentar . . . . . .
 sebentar akupun dinas ronda malam, kupikir engkau lebih paham keadaan sekeliling
 istana ini, bila engkau tiada urusan lain, dapatkah . . . . . dapatkah engkau mengiringi
 aku . . . ."
 Melengak juga Siang Cin oleh permintaan orang. Agaknya Giam Ciat juga
 tercengang. Tapi ia lantas berkata dengan tertawa: "He, Go Ji, jika kujadi kau, tentu
 berjingkrak kegirangan dapat mengiringi nona Bwe . . . . . . "
 "Giam cici," sela Bwe Sim dengan muka merah.
 Giam Ciat tertawa, katanya: "Baiklah, Giam-cici hanya bergurau saja. Nah, Go Ji,
 lekas kau pergi dulu dan lekas kau kembali, nona Bwe akan menunggu kau di sini."
 Dalam pada itu Siang Cin telah putar otak dan mengambil keputusan. Ia memberi
 hormat dan berkata: "Baik, Cayhe menurut saja, setelah laporan selesai segera
 Cayhe kembali ke sini."
 Habis berkata, cepat ia melangkah keluar kamar itu. Sudah tentu ia tidak menuju ke
 ruangan pendopo sana, tapi melalui serambi samping, lalu menyelinap ke atas
 belandar gudang kecil di ujung serambi. Di sinilah dia duduk santai menghimpun
 tenaga. Kira2 setanakan nasi lamanya, lalu ia meninggalkan tempat itu, dia mendatangi pula
 kamar Giam Ciat dan rnengetok pelahan.
 336 Ketika pintu terbuka, Bwe Sim berdiri di depannya. Melihat Siang Cin, nona ini
 menjadi jengah dan jantung berdebur keras.
 Giam Ciat telah mendekat dan mendorong Bwe Sim, desisnya: "Baiklah, lekas
 berangkat, jika tidak cepat2, sebentar Go Ji mungkin harus menunaikan tugas juga.
 Nah, Go Ji, jagalah nona Bwe dengan baik."
 Habis berkata, ia dorong Bwe Sim keluar pintu sambil memicingkan sebelah mata,
 lalu pintu dirapatkan kembali.
 Sejenak Bwe Sim terdiam, lalu berkata: "Kita mengambil jalan tengab atau melalui
 pintu samping, Go Ji?"
 Siang Cin pura2 berpikir, jawabnya kemudian: "Kukira lebih baik pintu samping saja."
 Tanpa sangsi lagi Bwe Sim lantas membawa Siang Cin menuju ke serambi samping
 sana. Keluar lagi adalah halaman berpagar tembok, empat penjaga tampak mondar
 mandir di situ.
 Rupanya Bwe Sim sudah cukup dikenal di situ, para penjaga hanya menyapa
 sekadarnya dan tidak bertanya lebih lanyut meski melihat di samping si nona ada
 seorang yang tidak dikenal, namun mereka tak berani menegur mengingat
 kedudukan Bwe Sim yang tidak perlu diragukan.
 Setelah membuka sebuah pintu besi kecil di pojok halaman, keluarlah mereka
 dengan pelahan. Siang Cin sengaja mengintil sedikit di belakang si nona.
 Tampaknya sebagai tanda hormatnya, tapi sebenarnya ia sengaja menggunakan
 Bwe Sim sebagai perisai, baik menghadapi penjaga maupun ketemu jebakan yang
 diatur di mana2 tanpa kelihatan itu, tentu akan dapat diatasi si nona.
 Ketika sampai di samping Kim bin tian, Bwe Sim menunjuk halaman di depan istana
 dan berkata pelahan: "Go Ji, di liang pengintai sana, belasan penjaga telah disergap
 mata2 musuh."
 "Ya, Cayhe tahu di sana ada pipa pengintainya," jawab Siang Cin.
 Bwe Sim semakin percaya karena Siang Cin dapat menanggapi persoalannya
 dengan jitu. Mereka lantas berjalan ke depan, sambil berjalan si nona berkata pula:
 "Di sini boleh dikatakan penuh perangkap, kalau tidak hati2 mungkin senjata akan
 makan tuan sendiri . . . . . . Eh, Go Ji, mengapa kau bernama Go Ji, tidak cocok
 dengan orangnya"
 Siang Cin berlagak malu dan bingung, jawabnya: "Mengapa tidak cocok, nama ini
 pemberian orang tua, karena aku nomor dua, maka aku diberi nama Ji. Aku sendiri
 merasa nama ini sangat baik."
 "Kulihat tampangmu lain daripada yang lain, gerak-gerikmu juga menarik, kukira kau
 pantas mendapat kedudukan yang lebih baik. Eh, Go Ji, apa tugasmu di Ji ih hu
 sini?" "Masa ada tugas lain kecuali pesuruh, ikut Gui-toako," jawab Siang Cin.
 337 "Ah, seharusnya kau mendapatkan tugas yang sesuai," ujar Bwe Sim. "Eh, Go Ji,
 apakah . . . . . apakah kau mau ber ... . . . berkawan denganku?"
 Siang Cin berlagak kaget dan takut2 girang, jawabnya dengan ter gagap2: "Ber . . . .
 . . berkawan dengan nona" Aku . . . . . aku . . . . . dapat bicara dengan nona saja
 sudah beruntung, mana-mana . . . . ."
 "Go Ji, mcngapa kau ketakutan begini" Masa seorang lelaki lebih penakut daripada
 seorang perempuan, kita kan sama2 sudah dewasa, masa tiada kebebasan sama
 sekali dalam hal berkawan" Eh, baiklah, kita coba memeriksa di sana, mungkin
 waktumu sudah tidak banyak lagi."
 "Nona Bwe, apakah kita juga akan melongok tembok benteng sana?" tanya Siang
 Cin.. Bwe Sim memandang Siang Cin dengan rada heran, katanya: "Tembok benteng"
 Kenapa kau menyebutnya tembok benteng" Bukankah setiap orang di Ji ih hu ini
 menyebutnya tembok istana?"
 Berdetak juga hati Siang Cin karena salah omong ini, tapi sedapatnya ia tenangkan
 diri, sahutnya dengan tak acuh: "Ya, tapi aku sendiri biasanya menyebutnya tembok
 benteng, bukankah tembok itu memang sekukuh benteng?"
 "Ya, memang betul juga," ujar Bwe Sim dengan tersenyum, Ia memandang
 sekelilingnya, lalu berkata: "Baiklah, boleh juga kita longok keadaan disana."
 Begitulah kedua orang lantas menuju ke tembok benteng.
 Dapat jalan berjajar dengan Siang Cin yang gagah, betapapun timbul semacam
 perasaan suka ria dalam hati Bwe Sim. Dia mengira Siang Cin sudah tidak merasa
 rendah harga diri lagi dan mau lebih berdekatan dengan dia.
 Ia tidak tahu bahwa Siang Cin justeru menggunakan kelemahannya itu untuk
 mencapai maksud tujuannya, yaitu memancing Bwe Sim membawanya ke tempat
 yang dituju, tempat yang paling dekat dengan persembunyian Sebun Tio bu dan
 lain2. Sambil membicarakan suasana yang menegangkan itu, tidak lama kemudian mereka
 sudah mencapai undakan batu yang menuju ke atas tembok benteng, malam yang
 sunyi dan dingin menambah seramnya keadaan.
 Memandangi si nona yang dikenalnya tanpa sengaja tapi tampaknya jatuh hati
 kepadanya ini, samar2 timbul semacam perasaan haru dan sayang dalam benak
 Siang Cin. la menyesal bahwa pertempuran yang kejam ini harus melibatkan nona
 cantik seperti ini.
 "Nona Bwe," kata Siang Cin kemudian dengan pelahan, "apakah kau pernah . . . .
 pernah membunuh orang?"
 Tercengang Bwe Sim, jawabnya kemudian "Mengapa mendadak kau bertanya hal
 ini?" 338 Kata Siang Cin dengan tertawa: "Sebab kau sangat cantik, lemah lembut, seperti
 tidak tahan ditiup angin, se-akan2 seekor tikus saja dapat membuat kau ketakutan.
 Tapi, engkau ternyata orang persilatan, pula kudengar ilmu silatmu sangat tinggi."
 Bwe Sim tertawa manis, katanya: "Janganlah kau nilai orang dari bentuk luarnya.
 Ketahuilah, seorang yang tinggi besar tidak berarti dia pasti pemberani, seorang
 perempuan kurus kecil tidak berarti nyalinya kecil. Jangan kaukira tubuhku ini lemah
 dan meremehkan diriku, hm, bilamana aku sudah gregeten, aku bisa berubah
 menjadi sangat.. sangat kejam .. . . . "
 "Apa betul" Jadi kau pernah membunuh orang?" kata Siang Cin dengan tertawa.
 Bwe Sim mengangguk, katanya: "Ya, pernah tiga orang."
 "Wah, tiga orang macam apakah itu?" tertarik Juga Siang Cin.
 Sementara itu mereka sudah sampai di atas tembok benteng, sudah berada di
 jalanan melingkar di atas tembok, mereka mulai berjalan ke depan.
 Bara Naga Jilid 17 "Kejadian itu sudah cukup lama . . . . " demikian Bwe Sim berkisah, "yaitu pada
 waktu aku berusia 17, kurang lebih empat tahun yang lalu. Seorang diri kucari
 semacam rumput obat di belakang gunung, di sanalah mendadak aku disergap tiga
 orang lelaki yang tak kukenal, dalam keadaan panik, terpaksa aku membela diri
 sedapatnya, tak terduga hanya sekali gebrak saja telah dapat kurobohkan mereka.
 Darah segar mancur dari tubuh mereka. Aku menjadi ketakutan dan lari pulang.
 Ayah angkat dan ketiga pamanku menjadi heran dan bertanya apa yang terjadi,
 kuceritakan pengalamanku dan mereka menjadi gusar, serentak mereka memburu
 ke tempat kejadian, tapi sepulangnya mereka lantas tertawa dan memuji
 kehebatanku, kemudian baru kuketahui bahwa ketiga orang itu sudah kubinasakan
 seluruhnya."
 Dia merandek sejenak, lalu bertanya: "Apakah kau ingin tahu dengan cara
 bagaimana kubunuh mereka?"
 "Ya, coba ceritakan," jawab Siang Cin.
 Bwe Sim lantas menjulurkan kedua tangannya dan tertawa misterius terhadap Siang
 Cin, se konyong2 terdengar suara "creng creng" dua kali, sinar dingin berkelebat,
 tahu2 dua bilah pedang pandak yang sepanjangnya tiada dua kaki melentik keluar
 dari lengan bajunya dan tepat tergenggam di tangannya.
 "Pedang bagus!" puji Siang Cin dengan tersenyum.
 Waktu Bwe Sim sedikit mengangkat tangannya, kedua bilah pedang pandak lantas
 meluncur balik ke tengah lengan bajunya. Terdengar "klik klik" dua kali, semuanya
 telah kembali asal seperti semula.
 Rupanya kedua bilah pedang itu tersimpan di dalam pipa yang berpegas sebingga
 dapat mulur dan mengkeret menurut kehendak pemakainya. Menghadapi musuh,
 339 bilamana pedang pandak itu mendadak menjeplak keluar, betapapun lihaynya
 musuh pasti takkan menduga dan sukar menghindar.
 "Sungguh hebat senjata rahasia ini," puji Siang Cin. Sementara itu mereka sudah
 sampai di tembok benteng yang tepat berdekatan dengan tempat Sebun Tio bu dan
 kawan2nya. Bwe Sim hendak melanjutkan perjalanan kedepan, tapi Siang Cin lantas
 berhenti di situ dan berkata: "Nona Bwe, apakah kita tidak perlu memeriksa
 penjagaan kamar rahasia di bawah?"
 Bwe Sim tampak heran, katanya: "Mengapa kau membikin istilah sendiri, kamar
 penjaga di bawahkan bernama liang panah, mengapa kau menyebutnya kamar
 rahasia" Ji ih hu kalian ini memang diatur dan dirancang sedemikian rapinya
 sehingga tidak perlu kuatir akan digempur musuh dengan cara bagaimanapun.
 Sepanjang tembok benteng penuh `liang panah`, bila pasukan musuh berani
 menyerbu tiba, sekali aba2, serentak beribu panah akan berhamburan, betapapun
 kuatnya pasukan musuh juga akan terbasmi."
 Diam2 Siang Cin merasa ngeri juga mendengar betapa kuatnya pertahanan Ji ih hu
 ini. Pantas pihak mereka tidak gentar meski di gadis depan sana ber ulang2
 mengalami kekalahan, rupanya inti pertahanan mereka yang sebenarnya terletak di
 Ji ih hu sini. "He, Go Ji, kau mengelamun apa?" tegur Bwe Sim ketika melihat Siang Cin berdiri
 diam di situ. "O, kupikir . . . . aku sedang membayangkan betapa menariknya bilamana pasukan
 Bu siang pay dijungkir balikkan oleh hujan panah nanti," jawab Siang Cin dengan
 rada gelagapan. "Tapi, kalau pertahanan kita sudah jelas sedemikian kuatnya,
 mengapa nona Bwe kelihatan cemas pula?"
 Bwe Sim terdiam sejenak, jawabnya kemudian: "Entahlah, aku sendiripun tidak tahu,
 aku seperti mempunyai firasat yang tidak enak, batinku serasa tertekan, aku merasa
 kuatir . .. .. ."
 "Ah, kukira nona Bwe tidak perlu kuatir, betapapun Bu siang pay pasti akan mengalami
 kehancuran di sini, yang penting kita harus waspada," kata Siang Cin. "Bicara
 tentang kewaspadaan, aku menjadi ingin menjenguk liang panah di bawah ini.
 Keparat2 ini biasanya suka teledor, bila tidak ada pengawas, mereka lantas minum
 arak, berjudi atau tidur sesukanya . . . . . . "
 "Wah, tampaknya kau sendiri biasanya juga sering begitu?" Bwe Sim berseloroh.
 "Sering sih tidak, jelek2 anak buahku juga ada likuran orang, kan harus jaga gengsi,"
 ujar Siang Cin dengan tertawa.
 Selagi Bwe Sin hendak mengaraknya ke bawah, mendadak tiga sosok bayangan
 orang melayang tiba, berbareng lantas menegur: "Siapa itu?"
 Berdebar juga hati Siang Cin, segera ia bersiap2 menghadapi segala kemungkinan.
 Tapi Bwe Sim tetap tenang2 saja, jawabnya ketus: "Bwe Sim di sini!"
 Ketiga pendatang itu tampaknya cukup lihay, belum lagi mereka melompat ke atas
 tembok benteng, ketiganya lantas berpencar dan melayang ke atas dari tiga arah.
 340 Seorang tampak bermuka hitam dan berhidung pesek, kedua temannya yang satu
 tinggi besar dan berjenggot, orang ketiga bermuka pucat dan bertubuh kurus
 sehingga mirip mayat hidup.
 Bwe Sim memberi salam kepada orang pertama tadi dan berkata: "Kiranya Toh
 toako, adakah sesuatu yang kau temukan dalam tugasmu?"
 Sikap orang she Toh yang mula2 kelihatan garang itu lantas berubah ramah, ia
 tertawa sambil membalas hormat Bwe Sim, katanya: "Ah, rupanya nona Bwe juga
 sedang ronda. Cuma . . . . . . . cuma kita sama2 menunaikan tugas masing2,
 betapapun peraturan . . . . . . "
 Bwe Sim tahu maksud orang di balik ucapannya itu, dengan tenang ia berkata: "O,
 tidak apa2 memang seharusnya begitu. Tentu yang dimaksudkan Toh toako adalah
 Kim koan leng?"
 Sembari bicara Bwe Sim lantas mengeluarkan sebentuk lencana emas, besar
 lencana ini cuma beberapa senti persegi, berukir kopiah jago silat, buatan nya
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat indah. Melihat Kim koan leng atau lencana mahkota emas ini, cepat orang she Toh berkata
 dengan tertawa: "O, maaf, harap nona jangan marah, hanya sekadar memenuhi
 kewajiban saja . . . . . . "
 "Memang harus begini, tak perlu Toh toako sungkan," ujar Bwe Sim dengan tertawa.
 "Apakah saudara ini ikut datang bersama nona?" tanya orang itu sambil melirik
 sekejap Siang Cin yang berdiri di belakang Bwe Sim.
 "Ya," jawab Bwe Sim sambil mengangguk. Mestinya dia hendak bilang Siang Cin
 adalah anak buah "Gui Kong", tapi lantaran mendongkol atas sikap orang she Toh
 itu, ia jadi malas untuk bicara lebih banyak.
 Orang she Toh itu lantas berpesan kepada Siang Cin dengan lagak orang besar:
 "Kau harus melayani nona Bwe dengan baik, tahu?"
 Siang Cin sengaja mengiakan dengan munduk2.
 Maka setelah menyalami lagi Bwe Sim, ketiga orang itu lantas menghilang pula di
 bawah tembok benteng sana.
 "Hm, dasar budak, sok berlagak," omel Bwe Sim setelah ketiga orang tadi pergi.
 "Tidak heran," ujar Siang Cin. "Mandor selamanya lebih galak daripada majikan."
 Setelah menyimpan kembali Kim hoan leng, Bwe Sim berkata kepada Siang Cin:
 "Go Ji, marilah kita melongok ke bawah, habis itu kitapun pulang saja."
 Mereka lantas mendekati pojok tembok benteng sana, Bwe Sim memilih sepotong
 ubin tembok itu dan mengetuknya beberapa kali dengan tungkak kakinya. Tidak
 lama kemudian, ubin itu lantas bergeser dan terbukalah sebuah lubang, sebuah
 kepala menongol keluar sambil bertanya: "Siapa?"
 341 "Aku, dari Sing ci sit (kamar piket), pemeriksaan biasa," desis Bwe Sim.
 Orang itu menengadah dan memandang Bwe Sim, tanyanya pula: "Apakah . . . . . "
 "Pakai apa segala, dinas pemeriksaan, kau rewel apalagi?" segera Siang Cin
 mendahului membentak.
 Agaknya orang itu jadi keder, cepat ia menjawab: "O, ya, silakan, silakan turun!"
 Lalu ia mengkeret masuk ke bawah. Ber turut2 Bwe Sim dan Siang Cin lantas
 merambat turun melalui lubang itu.
 Rupanya "Liang panah" yang dikatakan itu adalah sebuah ruangan sempit, ada
 sebuah tangga yang menembus ke lubang keluar masuk tadi. Di depan dinding yang
 menghadap keluar ada sebuah kerangka besi, sepuluh pasang busur ber turut2
 terpasang di situ dan siap dibidikkan. Namun tembok yang mengalingi barisan panah
 itu agaknya harus disingkirkan lebih dulu bilamana hendak melepaskan panah,
 hanya pada kedua sisi ada beberapa lubang kecil yang ditutup dengan kain hitam,
 agaknya sebagai lubang hawa dan juga untuk mengintai.
 Di dinding lain menempel sebuah lampu minyak dengan cahayanya yang guram.
 Lantai hanya dilapisi tikar. Ada lima penjaganya, kecuali orang yang menongol keluar
 tadi masih ada lagi empat orang sedang bertiduran, lima buah golok tampak
 tergeletak di pojok ruangan sana.
 Melihat seorang nona cantik masuk ke situ, serentak keempat orang itu merangkak
 bangun, seketika mereka cengar cengir dan segera ada yang mau menggoda, tapi
 keburu dikedipi oleh kawannya dan dibentak: "Awas, pengawas dari Sing ci sit!"
 Mendengar itu, seketika mereka melenggong, lekas2 mereka berdiri dengan sikap
 hormat dan tidak berani bersikap bangor lagi.
 Sebelum menuruni tangga tadi, Siang Cin sempat merapatkan kembali tutup lubang
 itu, setiba di bawah, segera ia menegur: "Kalian cuma berlima di sini" Mengapa
 malas2 begini, tidur melulu! Tentunya kalian mabuk2an lagi."
 Kelima orang itu tidak berani menjawab, akhirnya orang pertama tadi berkata dengan
 takut2: "Lapor Toako, kami . . . . kami terlalu iseng dan cuma . . . . cuma minum satu
 dua ceguk, sekedar menghilangkan dahaga saja."
 ?"Keparat, damperat Siang Cin. "Satu ceguk saja tidak boleh. Jika pada saat yang
 sama musuh merayap masuk, dalam keadaan limbung apakah kalian
 mengetahuinya" Hm, dasar tak becus semuanya."
 Kelima orang itu benar2 tidak berani menjawab lagi, mereka sama menunduk.
 "Lain kali bila ketahuan kalian tidak patuh pada tugas masing2, awas kepala kalian
 bisa berpisah dengan tuannya," kata Bwe Sim.
 Mendadak Siang Cin membentak: "Tidak ada lain kali lagi!"
 Selagi kelima orang itu dan juga Bwe Sim melengak heran, tahu2 Siang Cin sudah
 menubruk maju, kontan salah seorang di antaranya roboh terkulai.
 342 Belum lagi yang lain tahu apa yang terjadi, mendadak terdengar suara gedebugan
 ramai, empat sosok tubuh telah tertumbuk dinding dan satu persetu roboh terkapar.
 Dengan sorot mata dingin Siang Cin memandangi kelima sosok mayat itu, sikapnya
 tenang seperti tidak terjadi apa2.
 Sesudah tenangkan diri, Bwe Sim menjadi gusar dan rada gemetar, katanya dengan
 suara terputus2: "Go Ji, kau. . . . kau begini kejam" Dengan . . . . dengan hak apa
 kau bunuh mereka" Kesalahan mereka tidak sampai harus dihukum mati . .. ."
 Siang Cin pura2 gugup dan melangkah maju, katanya: "Ya, nona Bwe, aku terburu
 nafsu dan . . .."
 "Jangan mendekat aku, kau setan . . . . " belum habis teriakan Bwe Sim, se
 konyong2 nona cantik ini merasakan pinggangnya kesemutan, baru dia menyadari
 gelagat jelek, tahu2 tubuhnya sudah lumpuh dan roboh terkulai.
 Dengan cemas ia pandang Siang Cin, teriaknya: "Ap . . . . apa yang kaulakukan"
 Berani amat kau ...."
 "Jangan ber teriak2 nona Bwe," jengek Siang Cin dengan pandangan dingin.
 "Hendaklah kautahu, aku sama sekali bukan oaang yang kenal belas kasihan,
 akupun tidak kenal ampun pada orang perempuan, sebaiknya kita harus
 menghadapi dengan kepala dingin."
 Bwe Sim berkeringat dingin, dengan melotot ia menjerit: "Apa yang akan kaulakukan
 terhadap diriku" Go Ji, kau . . . . "
 "Namaku bukan Go Ji," kata Siang Cin dengan ketus. "Akupun bukan orang Ji ih hu,
 aku tidak ingin berbuat sesuatu apa2 terhadapmu, kau tidak perlu kuatir. Cuma saja,
 kaupun takkan beruntung sebagaimana pengalanaanmu empat tahun yang lalu itu."
 Bingung dan kejut Bwe Sim di samping gusar pula, teriaknya cemas: "Habis siapa . .
 . . . . . siapa kau?"
 Pelahan Siang Cin menanggalkan seragam kulitnya, lalu membalik jubah yang
 dipakainya, tertampak warna jubahnya yang kuning telur mencorong itu. "Nah,
 sekarang tentunya kautahu siapa diriku bukan?"
 Terbelalak lebar mata Bwe Sim, terbayang lukisan seorang sebagaimana pernah
 didengarnya dari cerita orang lain dengan tanda2nya yang khas. Seketika tubuhnya
 menggigil, mukanya menjadi pucat, serunya kejut: "Naga Kuning?"
 "Betul, itulah diriku!" kata Siang Cin dengan tersenyum tenang.
 Seketika Bwe Sim merasa dirinya terjeblos ke jurang yang tak terkira dalamnya, rasa
 takut, bingung dan putus asa disertai murka memenuhi rongga dadanya. Tamat,
 habislah segala harapannya, segala masa depannya, seluruhnya runtuh di tangan si
 Naga Kuning yang terkutuk ini. Saking gemas air matapun bercucuran.
 "Nona, kita berdiri di dua pihak yang berlawanan, jangan kausalahkan tindakanku
 yang licik dan kejam, kukira perbuatan orang Ji ih hu akan berlipat ganda lebih kejam
 daripadaku," kata Siang Cin kemudian sambil mengintip keluar melalui lubang kecil
 343 di pojok dinding sana. Lalu sambungnya: "Kawanku yang berada di luar segera akan
 menyusup masuk kemari, pasukan berkuda Bu siang pay juga akan segera
 menyerbu datang. Nona Bwe, kukira firasatmu memang tidak keliru, pertempuran ini
 pasti akan bikin tamat riwayat Ji ih hu seluruhnya."
 Dengan air mata berlinang Bwe Sim melototi Siang Cin, ucapnya dengan penuh rasa
 dendam: "Siang Cin, boleh kau . . . . kaubunuh saja diriku, kalau tidak, kapan dan di
 manapun, pada suatu saat pasti akan kubunuh kau . . . ."
 Siang Cin memandangnya dengan sorot mata yang menghina, ucapnya sambil
 mencibir: "Hah, sudah sekian lama aku berkecimpung di dunia Kangouw, orang yang
 pernah terjungkal di tanganku sudah tak terhitung jumlahnya, kata2 seperti
 ucapanmu inipun sudah kenyang kudengar. Terserah padamu, asalkan malam ini
 tidak kubunuh kau, hari selanjutnya adalah milikmu, terserah apa yang akan
 kaulakukan, siapapun tiada yang akan merintangimu . . . . Cuma, kukira usahamu
 hanya akan sia2 belaka."
 Dengan menggreget Bwe Sim berkata: "Tunggu saja kau!"
 Siang Cin tersenyum tak acuh, kembali ia mengintai keluar melalui lubang kecil itu,
 dari situ iapun menyiarkan suara "kuk kuk" seperti bunyi burung hantu.
 Habis bersuara begitu, ketika ia berpaling pula, mendadak sikapnya berubah kereng,
 ucapnya dengan bengis: "Bwe Sim, ingat, jangan bersuara, jangan sembarangan
 berbuat apapun, hatiku cukup kejam apapun dapat kulakukan. Sebaliknya, tentu
 kauingin hidup lebih lama lagi bukan?"
 Bibir Bwe Sim tampak ber kerut2, ia menyeringai dan berkata dengan bandel:
 "Segera kuberteriak minta tolong . . . . " tapi belum habis ucapannya, tahu2 angin
 mendesir, Hiat to bisu di tubuh Bwe Sim terusap, kontan mulutnya membungkam
 dan tak dapat bersuara lagi.
 "Ingat, satu kali ini saja dan tiada lain kali. bila terjadi lagi jiwamu pasti melayang!"
 jengek Siang Cin.
 Sembari bicara ia mengintai pula melalui lubang kecil tadi. Dilihatnya beberapa
 sosok bayangan orang telah menyelinap keluar dari hutan sana dan secepat terbang
 melayang ke kaki tembok benteng sini.
 Hampir pada saat yang sama, tiba2 Siang Cin mendengar dinding kanan kiri
 tempatnya berada itu bergema suara "duk duk duk", tiga kali cepat dan tiga kali
 lambat, ia menoleh dan tanya kepada Bwe Sim: "Apa artinya itu?"
 Dengan gemas Bwe Sim melototinya dan memejamkan mata, tampaknya dia sudah
 nekat takkan memberi keterangan apapun andaikan jiwanya harus melayang
 sekalipun. Mendadak tergerak pikiran Siang Cin, cepat ia menerobos keluar ruangan itu, lebih
 dulu ia menuju sebelah kanan, ia menirukan cara Bwe Sim tadi dan mengetuk ubin
 batu pada pojok tembok yang lain.
 Suasana sunyi senyap, tapi dengan cepat ubin batu itu lantas bergerak, namun
 sehelum ada orang mengnongol keluar, secepat kilat Siang Cin menerobos ke
 344 dalam, hanya sekejap ia menghilang di dalam lubang itu, menyusul lantai terdengar
 suara gedebukan beberapa kali disertai suara jeritan tertahan. Sekejap kemudian
 Siang Cin sudah melompat naik lagi ke atas, jubahnya yang kuning tampak
 berlepotan darah.
 Lalu ia mengetuk lagi ubin batu sebelah kiri, baru saja sebuah kepala hendak
 menongol keluar, kontan dia tabok batok kepala orang itu hingga terjungkal ke
 bawah, menyusul iapun menerobos masuk, selagi orang2 di siru terkejut oleh
 jatuhnya kawan mereka, tangan Siang Can terus bekerja dan serentak tiga orang
 telah dibinasakan pula. Sampai ajalnya keempat orang itu sama sekali tidak tahu
 siapa yang membunuh mereka.
 Sisa seorang lagi kaget setengah mati dan berdiri melenggong seperti patung. Siang
 Cin tidak lantas membunuhnya lagi, tapi ia gampar muka orang dua kali sehingga
 orang itu megap2 dan darah mengucur keluar dari ujung mulutnya.
 Gamparan itu se akan2 menyadarkan orang itu dari impian, cepat ia berlutut dan
 menyembah sambil memohon: "Ampun ... . . ampun hohan . . . . . ."
 "Apa yang kalian lihat barusan" Apa artinya ketukan dinding tiga kali cepat dan tiga
 kali lambat itu?" tanya Siang Cin dengan bengis.
 Dengan muka pucat dan menggigil ketakutan orang itu menjawab: "Tadi . . . . . tadi Li
 Gun seperti . . . . . seperti melihat beberapa bayangan orang, dia, ragu2 pada . . . . .
 pada pandangannya sendiri dan tidak . . . . . . tidak berani rnenyiarkan tanda bahaya,
 maka . . . . . . maka lebih dulu menggunakan tanda rahasia untuk bertanya jawab
 dengan liang panah yang lain, tapi. . . . . tapi sebelum ada suara jawaban apa2,
 tahu2 hohan sudah . . . . . sudab datang. . . . ."
 Diam2 Siang Cin menghela napas lega, sekali tendang ia bikin orang itu pingsan,
 lalu ia keluar lagi dan merapatkan kembali kedua liang itu, ia melongok keluar
 tembok benteng dan mengeluarkan suara "kuk kuk" pula. Maka beberapa sosok
 bayangan yang mendekam di kaki tembok lantas melayang ke atas bagai burung
 raksasa. Nyata orang2 ini adalah Sebun Tio bu, Kin Jin, Loh Hou dan Le Tang.
 Tanpa banyak omong Siang Cin menuding liang panah tempat sembunyinya tadi dan
 berkata: "Turuh ke sana!"
 Dengan cepat mereka berlima lantas menghilang ke dalam liang itu. Mereka merasa
 lega setelah berada di dalam.
 "Apa gunanya ruangan sesempit ini, Siang-susiok?" tanya Le Tang.
 "Mereka menyebut ruangan ini `liang panah", tutur Siang Cin dengan tertawa. "Di
 sekeliling Ji-ih hu seluruhnya ada ratusan tempat panah begini, asalkan mendapat
 aba2, serentak akan terjadi hujan panah, perancangan busur panah ini sangat bagus
 dan caranya juga sangat keji . . . . . . " begitulah secara ringkas ia lantas
 menceritakan apa yang diketahuinya dengan macam2 perangkap yang terpasang di
 Ji ih hu ini, selain itu iapun menyatakan pendapatnya bahwa bukan mustahil di sini
 juga ada bahan peledak terpendam seperti apa yang terdapat di Ce ciok giam, hal ini
 harus mendapat perhatian sepenuhnya.
 345 Lebih jauh Siang Cin menyatakan salah satu di antara mereka harus menyusup
 keluar kembali untuk memberi laporan kepada Thi Tok heng dan pimpinan Bu siang
 pay yang lain. "Bagaimana kalau bikin capai Kin beng?" katanya terhadap Kim lui jiu Kin Jin dengan
 tersenyum. "Baik," jawab Kin Jin tanpa pikir.
 "Tapi Kin heng harus selalu ingat suatu hal pokok, yakni tugasmu ini maha penting
 dan menyangkut keselamatan be ribu2 orang Bu siang pay, sepanjang jalan
 hendaklah engkau jangan terlibat dalam pertempuran dengan musuh, tujuanmu ialah
 lolos dan mencapai tempat tujuan."
 "Jangan kuatir, kalau dikejar, aku akan lari, kuyakin kepandaianku ini cukup dapat
 diandalkan," ujar Kin Jin dengan tertawa.
 "Baiklah, urusan jangan tertunda, sekarang juga silakan Kin heng berangkat," kata
 Siang Cin. "Nah, selamat jalan!"
 "Selamat tinggal! Sampai bertemu pula!" jawab Kin Jin sambil memberi salam
 kepada semua orang.
 Setelah merapatkan kembali tutup lubang itu, Siang Cin melihat Loh Hou sedang
 mengintai keluar melalui lubang kecil di samping sana dan sedang berkata: "Ha,
 sungguh cepat gerak tubuh Kin-tayhiap, ia meluncur seperti anak panah cepatnya
 ...." Baru saja Siang Cin hendak menjawab, terdengar Sebun Tio bu berseru heran
 sambil mennding Bwe Sim yang menggeletak di atas tikar itu, katanya: "He. di sini
 masih ada seorang betina" Busyet, boleh juga mukanya . . . . "
 "Dia ini anak angkat ketua Tiang hong pay," kata Siang Cin dengan hambar.
 "Mengapa dia berada di sini dan kena kau kerjai?" tanya Sebun Tio bu.
 Dengan kikuk Siang Cin menjawab: "Kupancing dia ke sini, lalu kututuk roboh dia."
 Sebun Tio bu yang lebih berumur sudah dapat menduga apa yang terjadi, ucapnya:
 "Hebat, jika aku yang menjadi kau, matipun mungkin dia tidak sudi ikut ke sini. Haha,
 Naga Kuning memang unggul dalam segala hal, kagum, aku benar2 menyerah."
 "Tangkeh, pujianmu hendaklah diberi sisa sedikit," cepat Siang Cin menimpali.
 "Sekarang sudah waktunya bergerak, hayolah agar tidak terlambat."
 "Baik, silakan memberi penjelasan," jawab Sebun Tio bu.
 Dengan kereng Siang Cin lantas menutur: "Tindakan kita yang pertama adalah
 menghancurkan liang panah Ji ih hu ini, di sekeliling benteng ini ada 120 tempat
 panah, sekilas tadi sudah kuperiksa, pada setiap pilar tembok adalah sebuah liang
 panah. Jika mau menyerbu, sebaiknya pasukan Bu-siang pay menyerbu melalui
 hutan tempat sembunyi kita tadi. Dengan perkataan lain, liang panah yang
 menghadap ke hutan ini harus dibasmi seluruhnya. Ji ih hu ini berbentuk persegi,
 346 120 liang panah terbagi empat berarti satu sisi ada 30 tempat. Kita sudah
 menghancurkan tiga tempat, jadi bagian sini tertinggal 27 tempat lagi. Ke 27 tempat
 ini harus kita hancurkan sebelum pasukan Busiang pay tiba."
 Setelah berhenti sejenak, dengan prihatin Siang Cin menyambung pula: "Dan tugas
 menghancurkan ke 27 liang panah ini kuserahkan Sebun tangkeh dan Loh heng
 untuk melaksanakannya. Le heng hendaklah melakukan sergapan kilat kepada ka 90
 liang panah yang lain, hancurkan sedapatnya, berapa banyak bisa d)hancurkan
 boleh dikerjakan sebisanya. Bunuh dan bakar, laksanakan dengan cara apapun
 juga.. Sebun Tio bu bertiga sama mengangguk. Lalu Siang Cin menyambung pula: "Setiap
 liang panah ini dijaga lima orang, semuanya kaum keroco, asalkan dilakukan dengan
 gerak cepat, jangan sampai memberi kesempatan pada mereka untuk menyiarkan
 tanda bahaya, kukira pekerjaan ini tidak sulit dilaksanakan . . . . . . ."
 "Nanti dulu," tiba2 Sebun Tio bu menyela, "sejak tadi agaknya belum kaujelaskan
 cara bagaimana inenggunakan barisan panah ini, padahal teraling oleh dinding,
 melalui mana panah mereka akan dibidikkan?"
 Siang Cin menunjuk sebuah pegangan pada pojok dinding sana, katanya: "Menurut
 dugaanku, bisa jadi pegangan itu ditarik dan segera dinding di depan akan bergeser,
 mungkin ke atas atau ke bawah sehingga ada peluang untuk jalan panah,"
 "Ya, kukira begitu," ujar Sebun Tio bu, berbareng iapun melirik sekejap Bwe Sim
 yang masih menggeletak tak bisa berkutik itu.
 Dengan gemas nona itu melengos ke sana. Maka Siang Cin berkata pula dengan
 tertawa: "Setelah kita berpencar nanti, ada tiga urusan penting harus kukerjakan.
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertama aku akan menuju ke loteng yang bernama Hwe im kok itu untuk mencari
 puteri Thi ciangbun, sudah tentu bila kepergok Khang Giok tek, bocah itu pasti juga
 takkan kulepaskan. Kedua, sudah kuketahui tempat tahanan orang Bu siang pay
 yang tertawan itu, mereka harus kubebaskan dengan cepat. Ketiga, sedapatnya
 akan kuhanaurkan berbagai perangkap yang tersebar di Ji ih-hu ini."
 "Wah, semuanya tugas berat, apakah kau dapat melaksanakannya sendirian?" tanya
 Sebun Tio bu. "Siang heng, kukira salah satu satu diantara kami bertiga ini ikut
 membantumu . . . . . .. "
 "Tidak perlu," sela Siang Cin. "Sendirian akan lebih leluasa bertindak, andaikan
 gagal juga tak perlu kukuatirkan terkepung musuh. Tambah orang tentu akan
 menambah beban pikiranku malah."
 "Tapi dengan demikian, bukankah akan menggegerkan selurah Ji ih hu?" tanya
 Sebun Tio bu. "Ya, terpaksa dan sukar dihindarkan," kata Siang Cin. "Menurut perkiraanku, besok
 pagi Bu siang pay sudah dapat mulai menyerbu Toa ho tin, jadi sudah dekat
 waktunya."
 "Lalu bagaimana tindakan kita selanjutnya setelah urusan di sini sudah beres?"
 347 "Sederhana, kacaukan suasana di Ji ih hu sini dan menyambut penyerbuan Bu siang
 pay," kata Siang Cin dengan tertawa. "Cuma ingat, jangan terlibat dalam
 pertempuran terbuka melainkan main gerilya saja."
 "Dan bagaimana dengan betina itu?" tanya Sebun Tio bu sambil melirik Bwe Sim
 yang masih meringkuk di pojokan sana.
 "Menurut pendapat Sebun tangkeh .
 "Tutuk saja Hiat tonya dan ampuni jiwanya, anak perempuan, kukira bukan orang
 jahat yang tak terampunkan."
 "Tepat, terus terang, aku memang tidak bermaksud membunuhnya."
 Lalu Siang Cin mendekati Bwe Sim, katanya dengan pelahan: "Nona Bwe, kami tidak
 ingin membunuh kau, tapi rencana gerakan kami sudah kau dengar semua, bila kami
 tinggaikan kau di sini, jangan2 setelah kau temukan mereka, rahasia gerakan kami
 akan kau laporkan kepada mereka, kan bisa susah buat kami. Maka akan kututuk
 Hiat to tidurmu dengan caraku yang khas, setengah hari kemudian kau akan sadar
 dengan sendirinya. Nah, silakan istirahat dulu, selamat tidur, selamat bermimpi."
 Bwe Sim ingin meronta, tapi percuma karena tak bisa berkutik sama sekali, secepat
 kilat Siang Cin menutuk Hiat to yang membuatnya tidur pulas dengan caranya yang
 khas. Lalu katanya kepada Sebun Tio bu bertiga: "Nah, sekarang silakan kalian
 mulai melakukan tugas masing2."
 "Baik, kami segera berangkat, Siang heng sendiri diharap hati2," jawab Sebun Tio bu
 sambil memberi hormat.
 Cepat mereka menerobos keluar ruangan tembok benteng itu dan terpencar pergi
 melaksanakan tugas masing2.
 Siang Cin juga lantas menyelinap kembali ke sisi Kim bian tin, ia ragu2 sejenak, lalu
 merunduk maju menyusuri serambi yang menghubungkan antar gedung itu.
 Lantaran sudah tahu perangkap2 apa yang teratur di Ji ih hu, maka dengan selamat
 dapatlah ia menghindari beberapa regu patroli dan melintasi beberapa gedung.
 Sekarang telah dilihatnya sebuah loteng kecil yang terletak di belakang gedung
 ketujuh, di sebelahnya ada sebatang pohon Siong raksasa.
 Dengan gesit ia terus cnenyelinap ke depan, dengan cepat ia sudah mendekati
 loteng pojok itu, beberapa kali hampir saja ia tersangkut oleh tali sutera yang
 melintang di bagian2 tertentu.
 Sesudah di bawah loteng itu, ia mendongak, hampir Siang Cin berjingkrak
 kegirangan, ternyata di atas pintu ada sebuah papan kecil dengan tulisan "Hwe im
 kok". Inilah tempat yang dicari, di sinilah Thi Yang yang, puteri ketua Bu siang pay itu
 berada. Belum lagi dia menemukan jalan untuk naik ke atas loteng, se konyong2 terdengar
 orang membentak: "Siapa itu?"
 Cepat Siang Cin mendekam di tempatnya tanpa bergerak, ia pasang kuping
 mengikuti keadaan tempat datangnya suara itu. Untuk sejenak suasana menjadi
 348 sunyi, lalu ada suara omelan seperti beberapa orang sedang bertengkar. Suara itu
 ternyata datang dari atas pohon Siong di samping Hwe-im kok ini.
 Siang Cin tetap bertiarap tanpa bergerak, tempat sembunyinya sekarang berada di
 tengah semak2 rumput kering. Sambil mendekam di situ iapun mendengar apa yang
 diributkan orang2 itu.
 Jarak tempat sembunyi Siang Cin dengan pohon itu ada 30 an langkah jauhnya, tapi
 suara bisik2 orang itu dapat didengarnya meski cuma sepotong sepotong, terdengar
 seorang sedang berkata: " . . . . jelas barang putih2 itu cuma seonggok rumput kering
 . . . . Keparat, hanya bikin kaget saja . . . . persetan kau . . . . "
 "Tapi semula kan tiada benda begitu, kulibat benda itu bergerak . . . . "
 "Coba kau dekati dan periksa sendiri . . . . cuma nyap nyap melulu di sini, apa
 gunanya . . . . "
 Begitulah para penjaga itu rupanya merasa sangsi pada apa yang dilihatnya
 sehingga bertengkar sendiri.
 Sekilas Siang Cin sudah dapat memperkirakan jarak puncak poison Siong itu, diam2
 ia menghimpun tenaga, ia pikir setiap tindakannya harus berhasil dengan sekali
 gempur, kalau tidak urusan bisa runyam.
 Setelah incar baik2 tempat yang dituju, mendadak ia mengapung ke atas laksana
 burung raksasa, dengan ringan ia hinggap di pucuk pohon, ia lihat sedikit
 dibawahnya, di antara dahan pohon yang bercabang dibuat sebuah panggung kayu
 beratap dan diberi pagar pengaman, tiga orang berseragam kulit sedang ribut mulut.
 Ketika mendadak mendengar suara kresekan daun pohon, mereka sama
 mendongak, tapi sebelum tahu apa yang terjadi, tahu2 dada setiap orang telah kena
 ditonjok laksana digodam, sama sekali tidak sempat bersuara, tiga sosok tubuh
 lantas terkapar.
 Panggung penjaga yang dibangun di atas pohon itu ternyata sangat baik untuk batu
 loncatan menuju ke loteng Hwe im kok. Diam2 Siang Cin bergirang, cepat ia
 melayang keemper jendela loteng itu.
 Daun jendela ternyata dipalang dari dalam. la mengerahkan tenaga dalamnya dan
 mendorong pelahan. Palang jendela tergetar patah dan terbukalah jendela itu.
 Meski cuma menerbitkan suara yang sangat pelahan karena patahnya palang
 jendela, tapi hal itu sudah cukup membuat terkejut orang di dalam. Terdengar suara
 nyaring halus bertanya dengan terkejut: "Siapa itu?"
 Pelahan Siang Cin mendorong daun jendela dan menyelinap ke dalam, ia rapatkan
 kembali jendelanya, lalu dengan gerak cepat ia melayang ke depan tempat tidur
 yang tertutup oleh kelambu indah itu. Tanpa ragu2 ia menyingkap kain kelambu,
 sekali tarik ia seret seorang perempuan muda dari dalam selimut.
 Di bawah cahaya lampu yang cukup terang kelihatan wajah perempuan muda yang
 terkejut ini memang cantik, putih mulus tubuhnya. Pada detik sebelum dia diseret
 meninggalkan tempat tidurnya itu, sebelah tangannya sudah hampir menyentuh tali
 349 sutera yang terikat di samping pembaringannya. Itulah tali pembunyi genta tanda
 bahaya. "Kau . . . . . siapa kau"!" tanya perempuan muda itu dengan kejut dan takut2, kedua
 tangannya bersilang menutupi dadanya yang setengah terbuka itu.
 Siang Cin tiddk lantas menjawab, dengan tajam ia memandang gadis itu, mendadak
 ia pegang dagunya dan didongakkan ke atas, maka tertampaklah sebuah tahi lalat
 merah di samping bawah dagu gadis itu.
 "Kau Thi Yang yang bukan?" tanya Siang Cin.
 Gadis itu terbelalak, jawabuya dengan ragu2: "Ya, siapa kau?"
 "Ehm," Siang Cin manggut2. "Memang kau yang kucari."
 "Kau mencari diriku" Apakah . . . . . apakah ayah yang menyuruhmu ke sini?"
 "Betul," kata Siang Cin. "Lantaran kau, banyak orang Bu siang pay yang
 bergelimpangan di Pi-ciok can, sekarang Hek jiu tong teldh bergabung pula dengan
 Jik san tui, Toa to kau, Jit ho bwe, Tiang hong pay, Ji ih hu serta Ceng siong san
 ceng untuk menghadapi Bu siang pay, Setelah gagal di Pi ciok san, di bawah
 pimpinan langsung ayahmu kini Bu siang pay akan menyerbu kemari, pertempuran
 sudah berlangsung selama dua tiga hari. Semua hanya gara2 dirimu seorang. Khang
 Giok tek itu lebih2 tak terampunkan, sikapmu juga sangat mengecewakan ayahmu."
 Thi Yang yang termenung sejenak, ucapnya hemudian dengan rawan: "Aku . . . . aku
 sendirilah yang rela ikut pergi bersama Giok tek, kini aku sudah menjadi milik Giok
 tek, harap engkau suka menyampaikan kepada ayah agar beliau anggaplah tidak
 pernah mempunyai anak seperti diriku ini ........"
 Siang Cin menjadi gusar, katanya dengan mendongkol: "Kau dibesarkan orang tua,
 disayang dan dimanjakan, akhirnya kau kabur bersama orang begitu saja?"
 Dengan air mata berlinang Thi Yang yang berkata: "Aku sudah cukup dewasa . . . . .
 aku berhak memilih cara hidupku sendiri, aku cinta Giok tek, dia juga cinta padaku . .
 . . . . Kami sudah terikat menjadi suami isteri, mengapa . . . . . mengapa ayah hendah
 memisahkan kami?"
 Siang Cin mendengus, katanya dengan menahan rasa gusarnya: "Hm, Khang Giok
 tek membalas air susu dengan air tuba, ditolong malah mentung. Dia juga membawa
 minggat kau, inilah kesalahan pertama. Dia juga mencuri harta pusaka ayahmu. satu
 kotak Ci giok cu, inilah dosa kedua. Tanpa lain ayahmu dia menggagahi kau, inilah
 dosa ketiga. Belum lagi wibawa ayahmu yang tercemar, kehormatan Bu siang pay
 yang dirusak serta tata adat yang di langgarnya, semua ini tidak kalian hiraukan lagi,
 apalagi sekarang telah banyak menimbulkan korban jiwa, dendam berdarah ini
 menjadikan dosa kalian bertambah besar."
 Dengan ter guguk2 Thi Yang yang berkata pula: "Kami berbuat begini karena kami
 kuatir ayah tidak menyetujui kehendak kami . . . . . tentang sekotak Ci-giok cu itupun
 aku sendiri yang membawanya sekadar biaya perjalanan, sebab . . . . . . . "
 350 "Sudahlah, kukira sekarang sudah terlambat uutuk berbicara hal2 ini," ujar Siang Cin
 dengan hambar. "Habis bagaimana . . .. . . bagaimana kebendak ayah?" tanya si nona dengan
 menangis. "Dendam berdarah harus dituntut dengan darah pula, semua ini kini sudah
 berlangsung," jawab Siang Cin.
 "Dan akan . . . . . akan kau apakan diriku?" tanya Yang yang sambil menyurut
 mundur. "Akan ku serahkan dirimu kepada ayahmu," jawalk Siang Cin tegas, berbareng
 tangannya rnenjulur, secepat kilat ia tutuk si nona sehingga roboh terkulat.
 "Maaf nona Thi, kukira kita harus berangkat sekarang," bisik Siang Cin sambil meraih
 selimut di tempat tidur itu untuk membungkus tubuh Thi Yang yang.
 Pada saat ia hendak memanggul si nona, tiba2 di luar pintu kamar ada orang
 bertanya: "Ada kejadian apa nyonya muda?"
 karena tidak mendapat jawaban, orang di luar mulai mengetuk pintu dan bertanya
 pula: "Nyonya muda, apakah . . . . apakah engkau mengigau. . . ."
 Siang Cin mendekati pintu, mendadak ia membuka daun pintu, kedua tangan bekerja
 sekaligus, terdengarlah suara gemuruh, dua lelaki baju hitam terguling ke bawah
 loteng. Sekilas kelihatan lencana di dada mereka, kiranya anggota Hiat hun-tong,
 barisan berani mati dari Hek jiu tong.
 Karena suara gemuruh itu, seketika seluruh Hwe im tong menjadi geger, terdengar
 orang banyak memburu ke sini.
 Siang Cin merapatkan kembali daun pintu, ia harus cepat meninggalkan tempat ini.
 Dia ambil lampu minyak dan dilemparkan ke atas tempat tidur, hanya sekejap saja
 api lantas berkobar menjilati kelambu dan kasur terus menjalar sekitarnya.
 Di tengah gelak tertawanya Siang Cin memanggul tubuh Thi Yang yang, berbareng
 ia depak meja besar di depan tempat tidur dan tepat memapak empat lelaki yang
 sementara itu telah menerjang masuk dengan mendobrak pinto. Pada saat lain
 Siang Cin lantas menjebol daun jendela dan melayang keluar.
 Sementara itu Ji ih hu telah diliputi suasana sibuk dan tegang, walaupun begitu tidak
 menjadi kacau, terdengar suara bende ber talu2 diseling suara genta yang nyaring.
 Dalam kegelapan bayangan orang berlarian kian kemari dengan senjata terhunus.
 Setelah melayang keluar Hwe im kok, Siang Cin tidak lantas kabur jauh, ia melompat
 ke panggung penjaga yang berada di atas pohon Siong itu, dari situ ia dapat
 memandang keadaan sekelilingnya.
 Sementara itu ia telah tutup Hiat to tidur Thi Yang yang sehingga nona itu tak
 sadarkap diri. la memilih suatu tempat, lalu melayang turun ke sana, yaitu di samping
 sebuah sumur yang berada di kaki dinding.
 351 Ia pasang telinga dan merasa tiada suara orang di sekitarnya, cepat ia mulai
 menggali tanah dengan kedua taagannya. Karena diselimuti salju, maka tanah di situ
 tidak keras, tanpa banyak buang tenaga Siang Cin dapat menggali sebuah lubang
 yang cukup untuk membujur sesosok tubuh manusia.
 Dengan pelahan Siang Cin membaringkan Thi Yang yang di liang panjang itu, lalu
 diuruk sedikit tanah bersalju, bagian mukanya yang tertutup selimut disingkapnya
 kemudian ditutupnya dengan seonggok rumput kering. Di sekelilingnya diberi pula
 beberapa potong batu agar rumput kering itu tidak tersingkit oleh tiupan angin atau
 kena diinjak kaki orang.
 Tanpa ayal ia melayang ke arah lain, kini Kim-bin tian yang langsung dituju, kini
 iapun tidak perlu menyembunyikan jejaknya lagi.
 Jalan yang ditempuhnya adalah jalur aman yang telah dikenalnya. Sesudah dekat
 dengan tempat tujuan, diketahuinya ada beberapa bayangan yang memiliki Ginkang
 tinggi sedang memburu datang.
 Pada saat itu juga, se konyong2 di belakang Kim bin tian berkobar cahaya terang,
 api menjulang tinggi, entah gedung mana yang tertimpa bencana lagi.
 Suasana menjadi panik, terdengar suara jerit kaget di sana sini, dua di antara kelima
 bayangan orang yang mengejar Siang Cin itu memburu ke arah berkobarnya api,
 tiga yang lain tetap mengejar ke arah Siang Cin.
 Diam2 Siang Cin mendengus, ia sengaja memilih ke tempat yang sepi dan sampai di
 suatu gardu di tepi sebuah kolam yang kering, di situlah ia berdlri tegak menantikan
 datangnya musuh.
 Dengan kencang ketiga orang itu memburu tiba, ketika melihat orang yang mereka
 kejar berbalik berhenti menunggu kedatangan mereka, keruan mereka jadi
 melengak. Tapi merekapun jago kawakan, meski terkejut tidak menjadi gentar.
 Sekali bersuit, serentak ketiga orang menghadapi Siang Cin dari tiga arah.
 Siang Cin merasa sudah pernah melihat satu di antaranya, yaitu si kurus pucat
 seperti mayat hidup yang datang bersama orang she Toh menegur Bwe Sim di
 tembok benteng itu.
 Dua orang lagi berjubah kelabu, rambut terikal di atas kepala seperti dandanan Tosu,
 semuanya setengah baya. Wajah mereka putih bersih dan cukup tampan, tapi air
 mukanya sangat dingin se akan2 langit ambruk juga tidak peduli.
 Si mayat hidup juga terkejut setelah mengenali Siang Cin, tapi ia lantas mendengus:
 "Hm, mirip benar penyamaranmu, sahabat!"
 "Ah, hanya main2 saja," jawab Siang Cin dengan tersenyum.
 "Apakah kau ini si Naga Kuning?" dengus pula orang itu.
 "Ehm, tajam juga padanganmu!" dengan angkuh Siang Cin mengangguk.
 Kedua orang yang berjubah kelabu saling pandang sekejap, yang sebelah kanan
 lantas melangkah maju setindak dan menjengek: "Siang Cin, sombong benar kau!"
 352 Siang Cin memandangnya sekejap, jawabnya dengan tertawa: "Dan kau ini lepasan
 dari mana?"
 Kedua orang berjubah kelabu itu tidak menjawab, sebaliknya si mayat hidup lantas
 tertawa terkekeh2, katanya kemudian: "Naga Kuning, percuma namamu sedemikian
 tenarnya, tapi matamu ternyata kurang awas, masa Tiang hong jit coat tak kau
 kenal?" Siang Cin mencibir dan menjawab: "Tiang hong-jit coat itu orang macam apa"
 Kenapa aku harus kenal mereka?"
 Si mayat hidup tenang2 saja, ia memberi tanda untuk mencegah kedua orang
 berjubah kelabu yang sudah tidak tahan itu, lalu ia mendengus pula: "Siang Cin,
 sudah lama kami menguntit kau . ... .. ."
 "Ini kan bukan rahasia, sejak tadi juga kutahu," jawab Siang Cin dengan angkuh.
 "Berapa banyak pula begundalmu yang kau bawa, Siang Cin?" tanya orang itu.
 "Hm, kaukira aku ini tawananmu dan harus mengaku" Hm, kau sungguh ke
 kanak2an, kawan. Memangnya dengan hak apa kautanya padaku?" dengus Siang
 Cin. "Dengan hak untuk mencabut nyawamu, kawan?" oraug itupun balas mendengus.
 ?"Hah, hanya orang macam kau juga berani main gila padaku" Hm, kukira mah
 selisih jauh," ujar Siang Cin dengan tertawa geli.
 Dengan dingin orang itu berkata: "Haha, sebaliknya aku "Mo bin cu" (si muka iblis)
 Ciong Hu apakah dapat kau gertak?"
 "jika demikian, hayolah boleh kita coba2 beberapa jurus," tantang Siang Cin. "Kedua
 kawan dari Tiang hong pay ini bila tidak mau kesepian, boleh silakan maju sekalian."
 Tidak kepalang gemas kedua orang berbaju kelabu itu. Belum lagi mereka
 menanggapi ejekan Sang Cin itu, secepat kilat Mo bin cu Ciong Hu, sudah
 menerjang maju, sekaligus ia melancarkan beberapa kali pukulan. Namun seperti
 bayangan setan saja, tahu2 Sang Cin sudah menyelinap ke tempat lain, berbareng
 iapun melontarkan beberapa kali hantaman kepada kedua orang berbaju kelabu.
 Cepat kedua orang itu berkelit, mereka terkejut tak terduga oleh mereka bahwa
 Siang Cin sedemikian tangkasnya, mau tak mau merekapun balas menyerang.
 Tapi cuma beberapa gebrak saja, ketiga orang itu mulai kelabakan karena digoda
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh serangan Siang Cin yang tidak menentu. Meski belum kelihatan kalah, tapi jelas
 mereka merasa malu.
 Wajah Mo bin cu Ciong Hu tetap pucat dingin tanpa mengunjuk sesuatu perasaan,
 tapi di dalam hati tidak kepalang gemasnya. Sekali berputar, tahu2 ia telah
 memegang sejenis senjata aneh, seperti keris yang berlekuk sembilan tapi ujungnya
 bercabang seperti lidah ular.
 353 Pada saat itu Siang Cin sempat menghindarkan gernpuran kedua orang berbaju
 kelabu, menyusul ia balas menghantam si mayat hidup sambil berseru: "Coa kak
 kiam ( pedang tanduk ular) yang bagus!"
 Cepat Ciong Hu mengelak, berbareng ia balas menusuk dengan kerisya. Hanya
 sekejap saja belasan jurus sudab berlalu pula.
 "Krek", se konyong2 terdengar suara tulang patah, salah seorang berjubah kelabu
 telah beradu tangan dengan Siang Cin, air muka orang itu seketika berubah pucat
 seperti mayat, kedua tangannya lantas melambai ke bawah, lemas sepertr tak
 bertulang lagi.
 Sedikit peluang itu digunakan Mo bin cu Ciong Hu untuk menyergap, kerisnya terus
 menikam. Namun Siang Cin sempat berputar ke samping sehingga tikaman lawan
 mengenai tempat kosong. Pada saat yang sama terasa angin pukulan yang dahsyat
 menyambar tiba dari belakang, cepat Siang Cin meloncat ke atas, berbareng kedua
 tangannya menabas untuk memaksa mundur Ciong Hu.
 Diam2 Siang Cin sudah ambil keputusan akan tumpas dulu si muka iblis ini,
 Sementara itu dilihatnya si baju kelabu yang tangannya patah tadi sedang bersandar
 di pohon di tepi kolam sana dengan napas memburu dan butiran keringat menghias
 jidatnya. Tangannya yang patah tulaug itu tampak membengkak.
 Mendadak Siang Cin menubruk maju lagi, kedua kakinya beruntung menendang
 dagu Ciong Hu. Terpaksa Ciong Hu melompat mundur. Pada saat itu juga si baju
 kelabu satunya juga mendesak maju dengan pukulan dahsyat.
 Akan tetapi Siang Cin telah perlihatkan kelihayannya, sekaligus ia tahan serangan
 kedua lawan tangguh ini. Sebelah tangan menabas Ciong Hu sehingga si muka iblis
 ini terpaksa melompat mundur pula, sedang tangan lain tepat menabas di dada si
 kelabu. Terdengar suara "bluk" yang keras dan jeritan tertahan, si jubah kelabu tumpah
 darah dan berputar2 beberapa kali untuk kemudian lantas jatuh terkapar.
 Si jubah kelabu yang patah tulang tangan menjadi kalap, tanpa pikir lagi iapun
 menerjang ke arah Siang Cin. Pada saat yang sama Ciong Hu juga menubruk maju
 pula dengan beringas.
 Siang Cin bergelak tertawa dan berdiri tegak, mendadak kedua telapak tangannya
 bergerak, memotong dan menabas, telapak tangan setajam mata golok bergerak
 cepat dan tepat, terdengar serentak suara "blak buk" ber ulang2. Si baju kelabu
 sekeligus kena dihantam empat kali dan ter guling2 ke sana dengan darah
 berhamburan. Sedangkan Ciong Hu sempat mengelak dan melompat mundur, tapi segera ia
 menubruk maju lagi dan balas menyerang. Siang Cin sendiri juga rada payah setelah
 mengadu pukulan beberapa kali dengan kedua orang berjubah kalabu itu. Akan
 tetapi tidak menjadi alangan baginya untuk menyambut serangan si muka iblis ini,
 belum lagi Ciong Hu melihat jelas apa yang terjadi, tahu2 Siang Cin mendesak maju,
 kerisnya jelas ambles ke tubuh Siang Cin, tapi tahu2 terlibat oleh jubah kuning Siang
 Cin dan sukar ditarik kembali.
 354 Keruan Ciong Hu terkejut, tak terpikir lagi olehnya tentang gengsi segala, ia meraung
 keras, keris dilepaskan dan dia melompat mundur.
 Akan tetapi sudah terlambat, mendadak jubah Siang Cin yang melibat ternyata lawan
 itu mengebas, selagi Ciong Hu kerepotan menghadapi sambaran jubah yang mirip
 segumpal awan itu, tahu2 ulu hatinya kena ditendang oleh Siang Cin, tanpa ampun
 lagi ia terpental dan ter guling2 tak bangun lagi.
 Untuk sejenak Siang Cin berdiri di tempatnya, ia mengerling sekejap ketiga
 korbannya, habis itu barulah menghela napas panjang dan mengusap keringatnya
 dengan lengan baju. Baru sekarang ia melihat kedua tangan sendiripun rada
 bengkak. Ia kebaskan keris musuh yang terlibat di jubahnya itu, lalu memutar balik
 menuju ke arah datangnya tadi.
 Tiba2 ia merasa suara ribut di Ji ih hu telah padam, sekeliling terasa sunyi senyap,
 tenang tapi seram, mungkin inilah ketenangan sebelum badai tiba.
 Dengan cerdik Siang Cin menyusur ke samping taman dan memandang ke sana,
 dilihatnya Kim bin tian sana terang benderang dan banyak bayangan orang yang
 berlari kian kemari. Api yang berkobar di belakang Kim bin tian sana tampaknya
 sudah kecil tapi masib berkobar, di tembok benteng sana samar2 kelihatan penjaga2
 berseragam kulit sibuk mondar manair, semua ini entah alamat apa yang akan
 terjadi. Tengah Siang Cin berpikir bagaimana tindakannya, mendadak dilihatnya belasan
 orang berlari ke arah kolam kering, tempatnya bertempur dengan Ciong Hu tadi,
 sejenak kemudian orang2 itupun berlari balik. Terdengar seorang yang bersuara
 bengis serak mengomel: "Keparat, sudah mati semua, keji amat, satupun tidak ada
 yang hidup."
 Habis itu lantas terdengar suara bentakan orang memerintah, sejenak kemudian
 seorang lagi yang bersuara melengking bertanya: "Tian Hiong, apakah kau lihat ada
 orang bertempur di sini tadi?"
 Suara seorang menjawab dengan gugup: "Ya, baru saja hamba bersama Cin Wi dan
 dan Tan Sian bertiga ronda ke sini, dari jauh kami sudah dengar suara berisik, ketika
 kami mengintai dari kejauhan, kelihatan Ciong ya bertiga sedang mengerubut
 seorang musuh, maka cepat2 hamba berlari kembali melapor kepada Nyo ya . . .. . "
 Suara melengking tadi berseru pula: "Sialan, kan sudah kukatakan sejak mula agar
 regu patroli harus diperbanyak, sekarang sudah telanjur terjadi baru ribut2, lalu apa
 gunanya?" Lalu suara parau tadi berkata pula: "Nyo heng, apakah kau dapat menilai betapa
 tinggi kepandaian panyatron ini" Lo-liok (keenam) dari Tiang hong jitcoat Suma Eng
 sarta Lojit (ketujuh) Ni Thay sudah cukup kita kenal kemampuannya, biarpun Lo
 Ciong si muka iblis juga tergolong tokoh utama Ji ih hu kita. Sekarang mayat ketiga
 orang ini sama terkapar di sini, luka merekapun akibat pukulan dahsyat. Dengan
 perkataan lain mereka terbunuh oleh pukulan tangan kosong lawan. Coba kalian
 pikir, dengan tenaga gabungan mereka bertiga, siapa di dunia ini yang mampu
 membinasakan mereka dengan bertangan kosong?"
 355 Setelah terdiam sejenak, mendadak si suara melengking tadi scperti ingat sesuatu
 dan berteriak: "Naga Kuning! Ya, yang kaumaksudkan pasti Naga Kuning Siang
 Cin"!"
 "Hai," si suara serak tadi mendengus. "Kecuali dia kukira sekalipun Kim lui jiu Kin Jin
 yang terkenal ilmu pukulan yang dahsyat juga tak mampu melakukannya."
 "Bangsat she Siang itu pasti masih mengeram di sekitar sini," si suara melengking
 meraung murka. "Sungguh keji amat, betapapun Locu tak bisa mengampuni dia."
 "Hm, asalkan dia berani keluar, asalkan kita dapat mempergoki dia, utang darah ini
 harus kita tagih kembali," demikian si serak menambahkan.
 Si suara melengking tadi meraung: "Apalagi yang kau tunggu, Tian Hiong, keparat!
 Lekas singkirkan mayat2 itu."
 Maka terdengar seorang mengiakan, menyusul lantas terdengar suara orang banyak
 sedang bekerja.
 Si suara serak berkata pula: "30 tempat panah di sebelah timur hancur, tiga sisi lain
 juga rusak hampir 50 tempat, banyak busur dan panah dihancurkan . . . . .. Selain
 penjaga2 yang terbunuh, diketemukan pula mayat nona Bwe. Sungguh konyol, baru
 kemasukan tiga mata2 musuh sudah diobrak-abrik begini, lalu cara bagaimana kita
 dapat menghadapi pasukan musuh yang sudah dekat itu?"
 "Ya, kulihat gelagat memang agak gawat," demikian si suara melengking
 menanggapi. "Lo Tong, menurut laporan, pasukan perisai Ceng siong sanceng dan
 pasukan berkudanya juga terdesak mundur oleh pasukan musuh, mungkin tidak
 sampai terang tanah Bu siang pay akan sampai di Toa ho tin, tampaknya Jan loyacu
 juga rasa gelisah, sedangkan bini Khang losam juga telah dibawa lari orang,
 sebelum kabur malahan kamarnya dibakar, kuyakin pasti perbuatan orang she Siang
 itu. Juga Co lociangbun dari Tiang hong pay tainpak sedih melihat puteri
 kesayangannya sudah menjadi mayat"
 Sejenak suasana menjadi hening, lalu si suara serak berkata pula: "Hayolah
 berangkat, cari orang she Siang itu dan begundalnya, jangan sampai kawan kita ada
 yang dikerjai lagi. Apa boleh buat, terima duit orang terpaksa harus menjual nyawa."
 Lalu terdengar suara tindakan orang banyak dan makin menjauh. Sejenak pula baru
 Siang Cin berdiri. Diam2 ia merasa lega, ia tahu Sebun Tio-bu bertiga telah
 melaksanakan tugasnya dengan baik. Berbareng iapun ingat pada Bwe Sim yang
 pingsan tertutuk itu dan disangka sudah mati oleh orang2 Tiang hong pay dan Ji ih
 hu, bisa jadi saat ini tubuhnya ditaruh di suatu tempat yang tak terurus mungkin di
 tengah2 tumpukan mayat yang lain. Diam2 ia menghela napas menyesal. Tapi apa
 boleh buat, keadaan memaksanya harus begitu, kalau tidak membunuh tentu akan
 dibunuh, tiada persoalan moral lagi yang perlu dipikirkan.
 Tugas Siang Cin sekarang adalah membebaskan orang2 Bu siang pay yang
 tertawan. Cuma di mana mereka dikurung, inilah yang belum diketahui. Padahal
 untuk menyelidikinya jelas sekarang tidak mudah lagi.
 356 Setelah berpikir, terpaksa Siang Cin merunduk lagi ke arah Kim bin tian. Ia tahu
 pihak lawan saat ini sedang memperketat pencarian dirinya, sebab itulah dia harus
 bertambah waspada.
 Beberapa regu patroli musuh dapat dilalui pula, dengan mandi keringat akhirnya
 Siang Cin dapat mendekati sebuah rumah batu yang mirip gudang. Di depan rumah
 batu ini jelas kelihatan belasan bayangan orang mondar mandir dengan senjata
 terhunus. Di ujung rumah sebelah sini, sebuah jendela setinggi dua tombak tampak terbuka,
 lubang jendela sebesar satu dua kaki, jadi cukup diterobos oleh tubuh manusia,
 mungkin jendela itu hanya jalan hawa belaka.
 Siang Cin tertarik oleh rumah batu yang dijaga ketat ini, betapapun ia ingin
 menyelidiki. Segera ia menggunakan cara yang paling kuna dan juga paling mudah
 memancing perhatian oang, dia melempar sepotong batu ke arah sana, waktu kedua
 penjaga di bawah jendela itu berlari ke sana, secepat burung terbang Siang Cin
 lantas melayang ke atas.
 Begitu mencapai ambang jendela, sebelah tangannya lantas meraih kusen jendela
 dan menerobos ke dalam, tapi tangannya lantas terasa meraba cairan berbau anyir.
 Tanpa memandangpun Siang Cin tahu barang apakah itu. Sungguh aneh, mengapa
 di tempat begini ada darah"
 Setelah direnungkan sejenak, ia jadi tertawa sendiri, segera sorot matanya yang
 tajam mulai menjelajahi sekitarnya untuk mencari.
 Rumah batu ini memang betul sebuah gudang. Karung goni bertimbun seperti
 gunung, dari baunya yang memenuhi seluruh gudang dapat diketahui timbunan
 barang ini pasti sebangsa beras dan bahan rangsum lain. Gudang sebesar ini hanya
 pada samping pintu gerbang yang tertutup rapat itu terdapat sebuah lampu minyak
 dengan cahayanya yang guram sehingga menambah suasana seram di dalam
 gudang. Setelah jelas kelihatan tiada bayangan orang di dalam gudang, dengan pelahan
 Sang Cin lantas mengeluarkan suara suitan lirih, setelab berhenti sejenak, lalu
 bersuit pula tiga kali.
 Mulai terdengar ada suara kresekan di balik tumpukan karung sana, sejenak
 kemudinn sebuah muka orang tampak menongol dengan sorot matanya yang tajam.
 Hah, siapa lagi dia kalau bukan saudagar kita, Sebun Tio bu.
 Siang Cin lantas mendesis pula sehingga Sebun Tio hu dapat melihatnya. Tentu saja
 pemimpin besar "Serikat pasukan berkuda" yang termashur itu kegirangan, segera ia
 memberi tanda kepada Siang Cin, lalu menuding belakang.
 Dengan enteng Siang Cin melayang ke sana dan turun di samping Sebun Tio bu.
 Gudang ini benar2 suatu tempat sembunyi yang baik, sekelilingnya tumpukan karung
 belaka, malahan pada suatu tumpukan di bagian tengahnya mereka kosongkan, lalu
 tempat yang mendekuk itu digunakan sebagai tempat sembunyi. .
 357 Loh Hou dan Le Tang tampak meringkuk di situ, baju Loh Hou berdarah, bagian
 dada dan perut terbalut, agaknya dia terluka.
 Segera Sebun Tio bu menarik Siang Cin ke tempat sembunyinya, tanyanya pelahan:
 "Siang heng, bagaimana hasil pekerjaanmu" Tampaknya kalang kabut, tentu mereka
 telah kau kerjai. Engkau sendiri tidak apa2 bukan?"
 Siang Cin tersenyum, jawabnya dengan suara tertahan: "Lumayan, tidak sampai
 terjungkal . . . .
 Kutahu kalian telah berhasil menghancurkan sebagian besar liang panah, sungguh
 hasil yang bagus! Api yang berkobar di belakang Kim bin tian itu tentu juga kerja
 kalian?" "Kim bin tian?" tanya Sebun Tio-bu bingung. "Tempat apakah itu?"
 "Yalah gedung tengah yang termegah itu . . . . Itulah pusat pimpinan Ji ih hu . . . . "
 "Betul, itulah hasil kerja Loh lote, justeru lantaran menyalakan api itulah, di situ dia
 dilukai oleh dua lawannya."
 Dengan prihatin Siang Cin memandang Loh Hou sekejap dan bertanya:
 "Bagaimana" Apakah parah?"
 "Bagian dada tergores, untung cuma tersayat saja, kalau tertusuk langsung, wah,
 mungkin sudah tamat," tutur Sebun Tio bun. "Selain itu pundaknya juga kena dua
 kali hantaman, untung tulangnya tidak retak, namun menjadi bengkak juga."
 "Apakah dapat kergerak dengan leluasa?" tanya Siang Cin pula.
 Sebelum Sebun Tio bu menjawab, dengan suara parau Loh Hou berkata:
 
^