Bara Naga 14

Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 14


bicara: "Terus terang, bilamana
 pertempuran ini tidak dibantu oleh Siang-heng, Sebun-tangkeh dan Kin-heng bertiga,
 sungguh kami tadak berani membayangkan akan bagaimana jadinya . . . .."
 "Sekarang, selain Khang Giok-tek yang belum diketahui ke mana kaburnya,
 pentolan pihak Ji-ih-hu mungkin boleh dikatakan sudah kita tumpas seluruhnya.
 kemenangan gemilang ini seluruhnya memang berkat bantuan Siang heng bertiga,"
 kata Ih Kiat. Siang Cin tersenyum, katanya: "Pihak Ji-ih hu memang mengalami kehancuran
 habis2an, kecuali gembong utamanya, Hek-jan-kong, yang sudah mampus jelas ada
 Nyo To, Ciong Hu, Toan Kiau, Toh Goan, dan Oh Kok serta seorang kakek tinggi
 besar berjenggot merah. Jago Ji ih-hu yang belum diketahui nasibnya cuma Toh
 Cong saja, entah dia kepergok tidak oleh kalian?"
 "Tidak ada, banyak juga begundal Ji-ih-hu yang kami tumpas, tapi tak ada orang
 she Toh itu, kukira dia telah kabur setelah melihat gelagat jelek," tutur Ih Kiat.
 Siang Cin melongok ke bawah sana, dilihatnya orang Bu-siang-pay berlari kian
 kemari sedang mengadakan pembersihan terhadap musuh yang bersembunyi serta
 menolong kawan sendiri yang terluka.
 "Dan bagaimana hasil pertempuran di bawah sana, Lo Ih?" tanya Utti Hmn-po
 kepada Ih Kiat.
 393 Untuk sejenak Ih Kiat tampak ragu2 untuk bicara, tapi akhirnya ia berkata: "Pihak
 musuh telah kita tumpas habis2an, tapi pihak kita sendiripun jatuh korban."
 "Siapa yang tewas di pihak kita?" tanya Utti Han-po.
 "Thio .. . . . . Thio Kong," jawab Ih Kiat.
 Seketika berubah pucat air muka Utti Han-po dan air mata ber-linang2,
 gumamnya: "O, anak Kong. . . . !"
 Kiranya Thio Kong yang dimaksud adalah anak angkat Utti Han-po, selama
 hampir 30 tahun hidup bersama seperti anak kandung sendiri, siapa tahu sekarang
 harus gugur di medan bakti.
 Siang Cin dan Sebun Tio-bu saling pandang dengan terharu. Ih Kiat juga tidak
 tahu cara bagaimana harus bicara untuk menghibur rekannya ini.
 Tiba2 Siang Cin membisiki Sebun Tio-bu sejenak. Lalu Sebun Tio-bu
 memandang ke arah gedung induk Ji-ih-hu sambil manggut2. Habis itu tanpa bicara
 ia terus berjalan ke sana.
 Kemudian Siang Cin mendekati Utti Han-po dan berkata: "Utti-cuncu hendaklah
 jangan terlalu berduka, di medan pertempuran memang hanya ada antara
 membunuh atau terbunuh, yang penting sekarang kita harus berusaha cara
 bagaimana menuntut balas bagi saudara2 kita yang telah gugur itu."
 Setelah berpikir sejenak, dengan menggreget Utti Han-po menengadah dan
 berkata: "Ya, anak Kong telah menunaikan tugas baktinya bagi Tay-ciangbun dan
 para pahlawan padang rumput, kematiannya tidak memalukan sebagai anak
 didikku." "Utti-cuncu, marilah kita turun ke bawah sana untuk melihat kawan2 kita yang
 terluka," ajak Siang Cin kemudian.
 Anak murid Bu-siang-pay sudah mengusung kawan2nya yang terluka itu ke
 tempat perawatan, juga Kin Jin dan Giam Siok sudah dibawa pergi.
 Di tengah kesibukan orang banyak itu, seorang tinggi kurus berjubah putih
 tampak berlari datang kepala terbalut oleh kain dan darah merembesi kain pembalut
 itu, agaknya terluka, Siang Cin kenal orang ini adalah anak murid Hui-ji-bun.
 "Sin Kian, ada urusan apa?" tanya Ih Kiat kepada orang itu.
 "Lapor Cuncu," jawab orang itu. "Sebun-tangkeh menyuruh Tecu menyampaikan
 kepada Siang susiok, bahwa Toa-siocia sudah ... . . . . . sudah ditolong keluar."
 "Apakah Toa-siocia terluka?" tanya Ih Kiat.
 Belum Sin Kian menjawab, Siang Cin lantas menyela: "Tidak, cuma kututuk
 dengan cara yang khas agar dia tertidur. Sebab kalau tidak kututuk dan entah cara
 bagaimana akan membuatnya diam..."
 394 Belum habis ucapannya, mendadak Sebun Tio-bu melayang tiba dengan
 memanggul segulungan selimut.
 Sesudah berhadapan, Sebun Tio bu mengusap keringat dan berkata dengan
 tertawa: "Untung masih tetap disana tanpa kurang sesuatu apapun, cuma berbahaya
 juga, tembok di sebelahnya roboh tergetar oleh ledakan granat kita, hampir saja
 menindihi anak dara ini. Di sekitarnya tumpukan batu pasir belaka, tapi anak dara ini
 tetap tidur dengan nyenyaknya ... ..
 Ih Kiat lantas mendekati Sebun Tio bu dan membuka gulungan selimut itu, dan
 tertawa dan berkata: "Memang betul, inilah Yang yang, tampaknya nyenyak benar
 tidurnya."
 "Siang-heng," Utti Han po berkata, "marilah kita istirahat saja di ruang besar
 sana. Kita serahkan saja Yang-yang kepada keputusan Tay-ciangbun. Kukira
 sebentar lagi dapat pula diterima berita, pertempuran di Pau hou ceng sana.
 Be-ramai2 mereka lantas masuk ke Kim-bin-tian, Sebun Tio-bu tetap memanggul
 Yang yang dan Utti Han po juga dipapah oleh dan anggota Bu-siang-pay.
 Memasuki ruangan pendopo yang luas itu, Siang Cin merasakan perubahan
 yang sangat menyolok dengan keadaan semalam, Di-mana2 darah berceceran dan
 belum kering, jelas di sini tadipun terjadi pertarungan sengit.
 Menurut laporan sementara, pihak Ji-ih-hu benar2 hancur total, diantara
 pentolannya yang tertawan hidup hanya orang ketiga Jit-ho-hwe, yaitu Ciang Seng,
 seorang Kau-thau Toa-toa kau bernama Lo Sun dan jago Ceng-siong-san-ceng, To
 Jun, selebihnya tak diketahui nasibnya dan besar kemungkinan terbunuh.
 Tidak lama kemudiah datang pula laporan dari scorang murid Hui-ji-bun bernama
 Ui Seng, katanya Pau-hou-san-ceng sudah bobol dan telah dibakar. Tay-ciangbun
 mereka juga sudah diberi laporan tentang bobolnya Ji-ih-hu di sini. Ada lagi kabar
 baik ialah tertawannya Kang Giok-tek. Sudah tentu banyak pula jago2 Bu-siang-pay
 yang terluka, tapi tidak berbahaya, sebaliknya pihak musuh lebih banyak jatuh
 korban. Mendadak terdengar suara ramai di luar, lalu masuklah serombongan orang Busiang-
 pay menggusur tiga tawanan. Semuanya diringkus erat dengan tali kulit. Siang
 Cin kenal dua diantaranya, yaitu Ki Tay-bok dari Ceng-siong-san-ceng serta Lo-sat-li
 Giam Ciat. Seorang lagi buntung kedua kakinya dan bagian kaki yang buntung itu
 terbalut kain tebal serta ada darah merembes, mukanya pueat dan penuh berewok,
 sebelum buntung kakinya orang ini pasti bertubuh kekar tegap, tapi sekarang
 kelihatan kecil dan mengenaskan.
 "Lapor Toa-cuncu, perempuan inilah yang memimpin begundalnya hendak
 merampas tawanan di penjara, tapi keburu kepergok dan diringkus," lapor Sin Kian.
 "Beberapa anak buah kita terluka, tapi tidak berbahaya bagi jiwanya."
 Dengan gemas Utti Han-po berseru, "Kawanan pengacau yang tidak tahu
 kebaikan, seret keluar dan penggal kepala!"
 Segera Sin Kian hendak meneruskan perintah itu, tapi Siang Cin lantas
 rnencegahnya: "Nanti dulu!"
 395 "Apakah Siang-heng kenal perempuan ini?" tanya Utti Han-po heran.
 Siang Cin mengangguk, katanya: "Betul, dia bernama Giam Ciat, adik
 perempuan ketua Soh-lian su-coat-Giam Ciang."
 "Soh-lian-su-coat?" Utti Han-po menegas. "Bagus sekali mungkin yang
 menggeletak di lantai inilah pentolan kedua Soh-lian-su-coat Siang Keng-hian,
 mereka telah membunuh anak didikku, harus kucabut nyawa untuk membayar utang
 jiwanya muridku itu."
 Tapi Siang Cin lantas memberi kisikan kepada Utti Han-po, diceritakannya
 bagaimana dia banyak mendapat info dari Giam ciat sehingga penyerbuan Bu siang
 pay atas Ji ih-hu dapat berjalan dengan lancar. Tentang gugurnya Thio Kong,
 dikatakan Siang Cin, sebagai layak jika utang jiwa itu ditagih pada Siang Keng thian
 yang membunuhnya, Giam Ciat tidak lebih hanya seorang perempuan yang ikut2an
 saja. dosanya kiranya tidak perlu sampai dihukum mati, maka dimohonkan Siang Cin
 agar hukuman sementara ditunda serta dimintakan keputusan kepada Tay-ciangbun
 sendiri nanti. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Utti Hanpo mengangguk, katanya: "Karena
 Siang-lote yang memintakan ampun baginya, apa yang dapat kukatakan pula" Tapi
 Siang Keng-hian adalah pembunuh muridku, hukuman mati tak dapat dihindarkan,
 Nah, seret keluar dan penggal kepalanya."
 Segera anak buah Bu siang pay menyeret keluar Siang Keng-hian, tentu saja
 Giam Ciat menjerit, tapi apa yang dapat diperbuatnya. Sejenak kemudian, datanglah
 laporan dengan kepala Siang Keng-thian yang sudah terpenggal, hukuman mati
 sudah dilaksanakan.
 "Sekarang giliran keparat ini," bentak Utti Han-po sambil melirik Ki Tay-bok yang
 meringkuk di bawah itu.
 Tentu saja muka Ki Tay-bok menjadi pucat dan berkeringat dingin, ia meratap
 ketakutan: "Toa-cuncu, mohon kebijaksanaan dan sudi memberi ampun. Hamba
 tidak lebih hanya sebagai pengabdi di Ceng siong-san-ceng, hanya cari makan
 belaka dan terima perintah, sama sekali bukan kehendak hamba untuk bermusuhan
 dengan kalian . . . . "
 "Ki Tay bok, kau adalah Congkoan (kepala rumah tangga) di Ceng siong-son
 ceng, kedudukanmu tergolong tidak rendah, mengapa kau jadi pengecut begini"
 Huh, aku ikut malu bagimu, mungkin Ha It-can sudah buta matanya sehingga
 manusia rendah seperti kau juga diangkat sebagai kepala rumah tangga," damperat
 lh Kiat. "Ham . . . .hamba cuma menjalankan tugas saja dan karena terpaksa, mohon
 Toa-cuncu memberi ampun," dengan memelas Ki Tay-bok meratap pula.
 "Selanjutnya hamba pasti akan mengasingkan diri dan tak berani berkecimpung di
 dunia Kangouw lagi, selaina hidup tak berani lagi bermusuban dengan Bu-siang-pay
 kalian . .. . . .. "
 "Ki Tay-bok, apakah kau masih kenal Naga Kuning"!" mendadak Siang Cin
 mendengus. 396 Seketika Ki Tay-bok mengkeret dengan ketakutan. Tentu saja ia kenal Siang Cin,
 sejak tadi iapun sudah melihat Siang Cin dan karena itu pula hatinya juga kebatkebit.
 Ia kuatir Slang Cin akan menuntut balas padanya untuk melampiaskan sakit
 hati ketika Siang Cin tertawan dari disiksa habis2an di Ceng-siong-san-ceng dahulu.
 Dan sekarang apa yang dikuatirkan dia ternyata terjadi juga, keruan ia ketakutan
 setengah mati. "Ki Tay-bok, bukankah kaupun anggota Ceng-siong-san-ceng dan ambil bagian
 atas semua keganasan yang pernah kalian lakukan, apakah kau lupa cara
 bagaimana kau ikut menyiksa diriku dengan macam2 cara keji, tapi kau ternyata
 pengecut, berani berbuat tidak berani tanggung jawab, manusia takut mati seperti
 kau ini apa gunanya hidup di dunia ini?"
 Utti Han-po menjadi murka setelah mengetahui Ki Tay-bok adalah salah seorang
 pengganas Ceng-siong-san-ceng terhadap Siang Cin, segera ia membentak: "Sin
 Kian, seret keluar keparat ini dan binasakan!"
 Tanpa ayal lagi Ki Tay-bok diseret keluar dan dihukum mati.
 Kemudian sorot mata Siang Cin beralih kapada Giam Ciat yang meringkuk di
 lantai, akan tetapi sebelum diambil sesuatu tindakan, tiba2 masuklah seorang Busiang-
 pay memberi lapor bahwa Tay-ciangbun Thi Tok-heng sudah tiba di luar Ji ih
 hu. Serentak lh Kiat, Utti Han-po dan lain2 berbangkit, hanya Sebun Tio-bu saja
 diminta tetap tinggal di tempat untuk menjaga tawanan, yang lain2 sama keluar
 menyambut. Baru saja mereka keluar Kim-bin-tian, tertampaklah belasan penunggang kuda
 ber-bondong2 sudah memasuki pintu gerbang sana, Pek-ih-coat to Thi Tok-heng
 membedal kudanya ke depan mendahului yang iain2, cepat Siang Cin dan lain2 juga
 menyongsong kedatangan ketua Bu-siang-pay yang perkasa ini.
 Thi Tok-heng juga sudah melihat Siang Cin berada di tengah para
 penyambutnya, dia terus melompat turun dari kudanya, ia tidak menemui anak
 buahnya sendiri, tapi lebih dulu menjabat tangan Siang Cin erat2, dengan muka
 merah bersemangat a berkata: "Siang-lote, engkau tentu sangat capek, sungguh
 besar jasa Siang-lote bagi Bu-siang pay kami, Tok-heng tidak tahu cara bagaimana
 harus berterima kasih padamu .. . . . "
 "Ah, janganlah Tay-ciangbun terlalu memuji, Cayhe hanya sekadar ikut ramai2
 saja . . . . ?"
 Jubah putih Thi Tok-heng tampak berlepotan darah, mukanya penuh berkeringat
 dan debu saking terharunya ia hanya pegang erat tangan Siang Cin dan tidak
 sanggup banyak omong lagi.
 Tiba2 Thi Tok-heng mengamat-amati air muka Siang Cin, lalu bertanya dengan
 rasa menyesal: "Siang-lote, kabarnya kaupun terluka?"
 "Ah, luka ringan, tidak apa2," jawab Siang Cin.
 397 "Kin-tayhiap juga terluka dan cukup parah," kata Thi Tok-heng pula. "Ai, sungguh
 hati Tok-heng merasa tidak tenteram, lantaran anak perempuan hina itu sehingga
 banyak menimbulkan kesusahan orang banyak . . . ,"
 Sesudah beramah tamah dengan Siang Cin, kemudian barulah Thi Tok-heng
 bicara dengan Utti Han-po dan Ih Kiat, katanya: "Pau-hou-ceng sudah bobol, Hek-jiutong
 dan Jik-san-tui juga hancur total, gembong2nya juga tertumpas seluruhnya.
 Kabarnya di sini juga berhasil dengan gemilang?"
 Utti Han-po mengangguk dan berkata: "Ya, tokoh utama Ji-ih-hu Hek-jan-kong
 sudah binasa, begitu juga jago2 undangannya dari Jit-ho-hwe, Toa-to-kau dan lain2
 sebagian besar juga tewas, hanya sedikit saja yang tertawan." Lalu ia menguraikan
 siapa2 yang meringkuk dalam tahanan sementara.
 "Ketua Soh-lian-su-coat, To-hay-liong Giam Ciang juga tertawan, hanya seorang
 anak perempuan angkat ketua Tiang-hong-pay yang konon berkepandaian tinggi
 sejauh ini belum diketahui ke mana perginya?" tanya Thi Tok-heng.
 "Dia tidak mati, hanya kututuk dan kutinggalkan bersama di antara mayat anak
 buah Ji-ih-hu yang lain," kata Siang Cin, lalu iapun menuturkan apa yang
 dilakukannya serta tempat Bwe Sim meringkuk.
 Segera Thi Tok-heng memberi perintah kepada Ih Kiat agar mengirim orang
 menyelamatkan Bwe Sim.
 "Dan bagaimana dengan Khang Giok-tek, apakah sudah tertawan juga, Toasuheng?"
 tanya Utti Han-po.
 Thi Tok-heng menuding kebelakang dan menjawab: "Ya, di sana, keparat ini
 hampir saja mampus di tangan Tiangsun-Ki, untung aku keburu datang."
 Dalam pada itu "Jik-tan-su-kiat" yang selalu berada disekitar Thi Tok-heng itu
 telah menuju ke rombongan pengiring tadi, kembalinya mereka telah membawa
 seorang berbaju ungu muda dengan tubuh kekar, tapi berlumuran darah. Rambutnya
 kusut, wajah pucat, kelihatan lesu dan lelah, tapi kalau tidak dalam keadaan konyol
 begini, je)as dia pasti seorang pemuda yang tampan.
 Di belakang tawanan ini mengikut pula anak buah Congtau Bu-siang-pay, yaitu
 Pek-ma-gin-cui Kang Siu sim serta The Kun, si andeng2 hijau dari Hui-ji-bun. Bahwa
 pemuda baju ungu ini dikawal sekuat ini oleh beberapa tokoh Bu-siang-pay, dapat
 dinilai betapa pentingnya tawanan ini.
 Para jago Bu-siang-pay jelas sangat benci terhadap orang berbaju ungu ini, dia
 diseret dan didepak hingga di depan Thi Tok-heng.
 "Apakah orang inilah Khang Giok-tek?" tanya Siang Cin setelah memandang
 sekejap kepada pemuda itu..
 Thi Tok-heng mengiakan sambil mengangguk pelahan. Lalu iapun bertanya:
 "Yang-yang, di mana budak hina itu?"
 "Di dalam," jawab Ih Kiat. "Siang heng telah menutuknya hingga tertidur,
 sekarang masih terbungkus di dalam selimut dan dijaga oleh Sebun Tio-bu di sana.."
 398 "Baiklah Siang lote, kita masuk ke sana," kata Thi Tok-heng kepada Siang Cin.
 Segera mereka lantas masuk ke ruangan pendopo Kim-bin-tian. Thi Tok-heng
 beramah tamah pula sejenak dengan Sebun Tio-bu, lalu masing2 mengambil tempat
 duduk. Thi Tok-heng melirik sekejap Giam Ciat yang meringkuk di lantai itu. Cepat Utti
 Han-po memberitahu bahwa dia itulah adik perempuan Giam Ciang dari Soh-lian-suciat,
 Lo-sat-li Giam Ciat.
 Thi Tok-heng mendengus dan memerintahkan diseret ke pinggir. Lalu ia
 memandang Thi Yang-yang yang terbalut selimut dan disandarkan di sebuah kursi
 besar itu. "Lemparkan budak hina itu ke lantai," seru Thi Tok-heng dengan gusar.
 Sin Kian dan lain2 sama ragu2, tapi akhirnya mereka melaksanakan juga
 perintah sang ketua.
 Lalu Thi Tok-heng melototi pula Khang Giok-tek yang lesu itu, hati ketua Busiang-
 pay ini serasa dibakar karena pemuda itulah biang keladi dari semua
 malapetaka ini. Dilihatnya pula puteri kesayangan satu2nya itu, entah berapa banyak
 korban telah berjatuhan hanya karena kasmaran anak dara yang lupa daratan itu.
 Kini anak dara itu masih belum sadarkan diri dibalut selimut. Seketika Thi Tok-heng
 menjadi bingung entah apa yang harus dilakukannya.
 "Tay-ciangbun," tiba2 Siang Cin berkata, "maafkan jika terpaksa harus kututuk
 puterimu sehingga sampai saat ini belum sadar. Baiklah sekarang akan kulepaskan
 Hiat-to yang kututuk itu."
 Ia lantas mendekati anak dara itu dan mengusapnya dari balik selimut, hanya
 sejenak saja terdengarlah keluhan tertahan Thi Yang-yang dan tubuhnya mulai
 bergeliat.

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siang Cin lantas mundur kembali ke tempat duduknya.
 Pelan2 Thi Yang-yang membuka matanya, tapi lantas terpejam pula. Selang
 sejenak lagi baru membuka lagi matanya. Kini ia telah sadar benar2, sudah teutu
 ketika pandangannya menyentuh sebuah wajah yang dingin di tengah sana, seketika
 tubuhnya tergetar keras. "Ayah . . . . " ia menjerit tertahan, tapi segera ia mendekap
 mulut sendiri, air matapun lantas bercucuran.
 Perasaan Thi Tok-heng seperti di sayat2, tangan mengepal erat2, hampir saja
 dinding dendam dan benci yang dibangunnya dari segala pahit-getir dan susahpayahnya
 runtuh sama sekali oleh teriakan anak dara itu. Tapi mendadak ia
 mengertak gigi, bentaknya dengan mendelik: "Tutup mulut, budak hina, masa kau
 masih tahu akan ayahmu" Kau binatang yang tidak tahu malu, kau masih ada muka
 memanggil ayah padaku?"
 "Ayah . . . . " ratap Thi Yang-yang, "anak . . . . anak merasa tidak berbuat
 kesalahan apapun, kalau ada kesalahan hanya karena anak menyukai Giok-tek, tapi
 399 . . . . ayah tidak . . . . tidak berkenan akan hubungan kami, terpaksa anak ikut pergi
 bersama dia . . . . Anak merasa sudah dewasa dan boleh mencari kebahagiaan
 sendiri . "Binatang," bentak Thi Tok-heng. "Dengan cara apa kau mencari kebahagiaan"
 Dengan mengkorbankan nama Bu-siang-pay, kehormatan orang tua" Tata adat
 leluhur" Dan jiwa ratusan, bahkan ribuan pahlawan padang rumput yang telah gugur
 karena perbuatanmu ini" Kau kira boleh berbuat dengan bebas tanpa memikirkan
 akibatnya?"
 Thi Yang-yang tidak menjawab, akan tetapi ia sudah nekat, dengan bandel ia
 berkata pula: "Ayah, anak mungkin tidak berbakti, tapi anak berbak mencari
 kebahagiaan sendiri, asalkan dapat hidup bersama orang yang kusukai, anak
 merasa tidak merugikan siapapun juga. Anak tidak peduli tata adat segala, apapun
 tak dapat rnengalangi cinta kami."
 Thi Tok-heng memandang puteri satu2nya ini, sesaat itu ia se-akan2 tidak kenal
 lagi kepada anak dara yang telah berubah sama sekali ini, untuk sekian lamanya ia
 tertegun, kemudian ia menghela napas panjang dan berkata puia dengan suara
 berat: "Yang-yang, kau pernah puteri kesayanganku, dalam darahmu mengalir darah
 yang kukuh dan angkuh seperti darahku, bedanya kau suka menuruti jalan pikiranmu
 tanpa membedakan baik dan buruknva . . . . Ya, inilah kesalahanku, kelengahanku,
 seharusnya sudah dulu2 kubetulkan kesalahanmu, tapi semua itu sudah telanjur, aku
 memang juga bersalah dan apa mau dikatakan lagi" Aku tidak dapat mengorbankan
 saudara2 kita secara percuma, tak dapat membiarkan nama baik Bu-siang-pay kita
 tercemar. Juga tata adat leluhur tak dapat dinodai . . . . Yang-yang, aku sayang
 padamu, dalam waktu yang cukup lama kau pernah menjadi anak kesayanganku . . .
 ." Suara Thi Tok-heng. berubah parau, matanya berkilau, lanjutnya pula dengan
 suara lemah: "Tapi tiada seorangpun yang berharga bagi ribuan jiwa saudara kita.
 tidak ada, sekalipun puteri kandungku sendiri . . . "
 Suasana berubah mencekam, kini setiap orang mengerti apa arti ueapan Tbi
 Tok-being itu, meski
 Cara bicaranya begitu tenang dan pelahan, tapi cukup jelas dan tegas.
 Kembali Thi Yang-yang tampak gemetar. Semula ia menyangka kemarahan sang
 ayah cuma ingin menggagalkan perjodohannya dengan Khang Giok-tek demi nama
 baik Bu-siang-pay, iapun menyadari dirinya pasti akan mendapat hukuman, tapi
 sama sekali tak terpikir olehnya bahwa ayahnya sampai hati menghukum mati
 padanya Menghukum mati puteri kandung sendiri, sungguh hukuman yang maha
 berat dan sangat tragis.
 Mendadak Khang Giok-tek berteriak: "Thi Tok heng, kau tak boleh
 memperlakukan Yang-yang sesuka hatimu, Yang-yang sudah menjadi orangku, dia
 istriku, kami saling mencintai dan ingin menjadi suami-isteri, tapi kau menantang,
 katakan alasanmu!"
 "Plak-plak", kontan Khang Giok-tek menerima beberapa kali gamparan dari Jiktan-
 su-kiat sehingga mulutnya berdarah.
 400 Baru sekarang Thi Yang-yang mengetahui kekasihnya juga tertawan di situ, ia
 tambah cemas dan berpaling ke sana, dilihatnya keadaan Khang Giok-tek yang
 meagenaskan itu, hatinya seperti di-sayat2. la menjerit dan meronta, ia melepaskan
 selimut yang membungkus dirinya itu hingga tinggal baju tidur saja yang dipakainya,
 ia terus menubruk ke arah Khang Giok-tek. Begitu juga Khang Giok tek berusaha
 melepaskan diri untuk menyongsong Thi Yang-yang.
 Akan tetapi Jik-tan-su-kiat sempat menarik mundur Khang Giok-tek, begitu pula
 Kang Siu-sim dan The Kun lantas mengadang di depan Thi Yang-yang.
 "Lepaskan aku, lepaskan. . . . Aku ingin melihat Giok-tek .. . . . ." demikian Yangyang
 menjerit dengan air mata bercucuran.
 Dengan kaku Kang Siu-sim menjawab: "Toa-siocia, sekarang kau bukan lagi kau
 yang dulu, tanpa perintah Tay-ciangbun kami terpaksa harus bersikap tegas
 padamu." Thi Yang-yang menjerit lagi sambil mencakar dan memukuli tubuh Kang Siu-sim
 dan The Kun. Namun kedua pahlawan Bu-siang-pay itu tetap berdiri tegak dari
 membiarkan dicakar dan dipukul si nona.
 "Ih-sute, seret dia kemari!" kata Thi Tok-heng dengan ketus.
 Ih Kiat mengiakan dan melangkah maju, Thi Yang-yang diseretnya ke depan Thi
 Tok-heng. Mendadak Thi Tok-heng berdiri dan membentak dengan gusar: "Sin Kian, kau
 maju dan tampar mulut budak hina ini!"
 Keruan Sin Kian melengak dan ragu2. Di medan perang Sin Kian tidak kenal
 ampun kepada musuh, ia terkenal sebagai algojo Bu-siang-pay yang suka bertindak
 tegas dan ganas. Tapi disuruh memukul mulut puteri Tayciangbun sendiri,
 betapapun ia menjadi serba susah.
 "Pukul!" bentak Thi Tok-heng pula.
 Terpaksa Sin Kian melangkah maju dan angkat tangannya, tapi pada saat
 terakhir ia tetap tidak sampai hati memuku) anak dara itu. Apalagi mendadak Thi
 Yang-yang tidak menangis lagi, sebaliknya ia lantas menengadah dan menantikan
 tamparan yang akan dijatuhkan pada mukanya. Tentu saja Sin Kian bertambah tidak
 tega. "Pukul!" bentak pula Thi Tok-heng.
 Mendadak Sin Kian melangkah ke depan Thi Tok-heng dan berlutut, ratapnya
 sambil menyembah: "Tay-ciangbun, betapapun Tecu tidak . . . . . . tidak sampai hati .
 . . . . " Tidak kepalang gusar Thi Tok-heng, kontan dia mendepak sehingga Sin Kian
 terguling. "Enyah kau!" bentaknya.
 401 Cepat Sin Kian merangkak bangun, ia mcmberi hormat dan mengundurkan diri
 dengan munduk2.
 Thi Tok-heng menjatuhkan diri di atas kursi, sampai sekian lama baru ia berseru:
 "Siang Goan-kian!"
 Ngeri juga Sian Goan-kian mendengar namanya disebut, terpaksa ia tampil ke
 depan dan mengiakan.
 Dengan tegas Thi Tok-heng berseru: "Thi Yang-yang ttdak patuh pada peraturan
 rumah tangga, minggat bersama orang, inilah dosa pertama. Membangkang perintah
 orang tua dan melawan adat, inilah dosa kedua. Mencuri pusaka, menodai nama
 keluarga, ini dosa ketiga. Ttdak tahu malu, bicara membela musuh, ini dosa
 keempat. Bikin susah kawan, mengakibatkan peperangan, ini dosa kelima. Dosa
 yang ber-tumpuk2 ini tak dapat diampuni. Sian Goan-kian, laksanakan hukuman
 mati." Kata2 mati" itu diucapkan dengan tegas tanpa sangsi sedikitpun, seketika
 suasana terasa mencekam, air muka semua orang sama berubah. Bahkan Thi Yangyang
 lantas gemetar dengan wajah pucat seperti mayat. Ia pandang sang ayah
 dengan cemas se-akan2 tidak percaya kata2 tadi diucapkan oleh ayahnya sendiri.
 "Thi Tok-heng!" mendadak Khang Giok-tek berteriak pula. "Kejam benar kau,
 macam2 dosa yang kau tuduhkan kepada Yang-yang, padahal kesalahan Yang-yang
 tidak lebih hanya ingin kebebasan. Tapi ternyata engkau bertindak sekejam ini
 terhadap anak perempuan sendiri. Orang bilang harimau saja tidak makan anaknya
 sendiri, nyata kau lebih kejam daripada harimau, Thi Tok-heng . . . . . "
 "Plok", kontan tangan The Kun mampir pula di muka Khang Giok-tek sambil
 memaki: "Keparat, kematianmu sudah di depan mata, mulutmu masih sembarangan
 mengoceh, bisa kubeset dulu kulitmu sebelum kau mampus!"
 Mendadak Khang Giok-tek bergelak tertawa sehingga darah yang merembes di
 ujung mulutnya ikut berhamburan, dengan setengah kalap ia berteriak: "Haha, jelek2
 aku Khang Giok-tek juga soorang lelaki katimbang kalian yang cuma pintar menjilat
 dan menjadi budak melulu, kini orang she Khang kecundang dan menjadi tawanan,
 mau bunuh boleh kau bunuh, selamanya orang she Khang tidak sudi munduk2 dan
 minta ampun . . . . . "
 "Bangsat!" damperat The Kun sambil mencengkeram leher baju Khang Giak-tek
 dan segera hendak menghajarnya lagi.
 Tapi Kang Siu-sim keburu mencegahnya dan berkata: "Khang Giok-tek,
 serendahnya kami, sedikitnya kami tahu bedanya atas dan bawah, kenal budi dan
 hormati orang tua. Sebaliknya kau, musang berbu!u ayam, diberi susu membalas
 dengan tuba. Dalam keadaan senin-kamis di tanah bersalju jiwamu ditolong oleh
 Tay-ciangbun, malahan kau dirawat di kediaman pribadi beliau dengan segala
 kehormatan, siapa tahu kau tidak tahu budi pertolongan beliau, sebaliknya dengan
 bujuk rayumu yang rendah kau bawa minggat puteri kesayangan beliau dan
 menggondol pula harta pusaka, bahkan untuk memenuhi ambisimu secara licik kau
 menghasut sana sini dan menimbulkan peperangan yang banyak makan korban.
 Apakah ini kebanggaanmu sehingga kau berani membual di sini" Hm, lebih tepat jika
 kau disebut tidak tahu malu, rendah, kotor, manusia berhati binatang, seekor anjing
 Bu-siang-pay juga lebih berharga daripada dirimu,"
 402 "Bagus, Kang lote, umpatan yang tepat, makian yang jitu," seru Sebun Tio bu
 dengan berkeplok., "Keparat, orang she Khang ini sudah hampir mampus, tapi masih
 berani membuat tanpa kenal malu."
 Sorot mata Thi Tok-heng mencorong pula ke arah Sian Goan-kian sehingga
 membuat anak buahnya ini mengkirik. Betapapun ia tidak sampai hati membunuh
 puteri kesayangan sang ketua yang diembannya sejak kecil.
 Melihat Sian Goan-kian tetap diam saja, Thi Tok-heng menjadi gusar dan
 membentak: "Apa yang kau tunggu, Sian Goan-kian?"
 Di sana mendadak Khang Giok tek berteriak pula dengan suara parau: "Thi Tokheng,
 kumohon dengan sangat janganlah kau membunuh Yang-yang, semuanya
 salahku, biarlah aku yang bertanggung jawab segala akibatnya. Thi Tok-heng, boleh
 kau bunuh saja diriku."
 "Sudah tentu kaupun takkan terhindar dari kematian!" bentak Thi Tok-heng
 dengan mendelik. Segera ia berteriak pula: "Lekas turun tangan, Sian Goan- kian!"
 Tapi Sian Goan-kian mendadak berlutut dan memohon: "Tay-ciangbun,
 betapapun Tecu tidak berani membangkang atas perintahmu, namun . . . . namun
 urusan ini . . . . kumohon kebijaksanaan dan kemurahan hatimu . . . . "
 Belum habis ucapannya, "plak", kontan Thi Tok heng menggampar sehingga
 Sian Goan-kian jatuh tersungkur dengan muka bengap dan berdarah.
 "Bagus!" jengek Thi Tok-heng murka, "tampaknya kalian sudah bersekongkol
 dan hendak membantah setiap perintahku. Baiklah, setelah pulang ke padang
 rumput tentu akan kubikin perhitungan dengan kalian."
 "Tay-ciangbun . . . . " Ih Kiat bermaksud membujuk.
 "Tutup mulut!" mendadak Thi Tok-heng membentaknya sehingga Ih Kiat tidak
 jadi meneruskan ucapannya.
 "Ciangbun-suheng," dengan ragu2 Utti Han-po akhirnya ikut bicara, "apapun juga
 usia Yang-yang masih terlalu muda dan tidak berpengalaman, dia ....."
 "Kaupun tutup mulut!" bentak Thi Tok-heng sambil mendelik. "Pokoknya
 keputusanku harus dilaksanakan, bilamana ada yang membangkang dan bermaksud
 memintakan ampun bagi budak hina ini, akan ku bungkam dia pula menurut
 peraturan kita yang berlaku."
 Ih Kiat dan Utti Han-po adalah Toa-cuncu, kedudukan mereka hanya di bawah
 sang ketua, dengan sendirinya mereka harus memberi contoh dan taat kepada
 hukum Bu siang- pay mereka. Karena itulah mereka tidak berani buka suara pula.
 Suasana seketika menjadi hening, semua orang sama prihatin. Pada saat inilah
 pelahan2 Siang Cin lantas bersuara, katanya dengan tersenyum: "Tay-ciangbun,
 Cayhe bukan anggota Bu siang-pay. makanya Cayhe juga tidak terikat oleh undang2
 organisasi kalian. Mestinya Cayhe tidak ingin ikut bicara, tapi urusan kelihatan rada
 gawat, terpaksa Cayhe ingin mengemukakan sedikit pendapat . . . . "
 403 "Siang lote adalah tuan penolong kami, ada kata apa silakan bicara saja," ujar
 Thi Tok-heng. Siang Cin terdiam sejenak, tanyanya kemudian: "Mohon tanya dulu, berapakah
 usia nona Thi tahun ini?"
 "Sembilan belas," jawab Thi Tok-heng.
 "Dan Khang Giok-tek?" tanya pula Siang Cin.
 Thi Tok-heng melenggong sejenak, jawabnya kemudian: "Entah, kurang jelas,
 tapi sekitar tiga puluhan."
 "Tay-ciangbun," ucap Siang Cin kemudian. "Usia puterimu masih belia, dia hidup
 dilingkungan orang persilatan seperti kita, di tengah2 anggota Bu-siang-pay yang
 mengutamakan keluhuran, semuanya jujur, lugu dan bersih, tiada kejahatan,
 kepalsuan dan liku-liku orang hidup lainnya. Puterimu masih polos, murni,
 sederhana. Beginilah gambaran sebelum dia bertemu dengan Khang Giok-tek.
 "Dalam benak anak gadis yang masih belia serta hidup secara lugu dan
 sederhana begitu, tentunya mudah terpengaruh oleh bujuk rayu orang. Apalagi sejak
 kecil ia telah ditinggal sang ibunda, tentunya iapun mempunyai angan2 yang muluk2,
 khayalan yang di-cita2kan. Pada saat itulah datang orang she Khang itu. Dia juga
 masih muda, tampan, kukira mulutnya juga pintar omong. Dia kau jadikan pelayan
 pribadi sehingga banyak kesempatan bertemu dengan Yang-yang, ditambah lagi
 mungkin dia memang mempunyai maksud tujuan tertentu, maka mudahlah baginya
 untuk memompakan unsur2 berbisa ke dalam benak puterimu itu, dengan bujuk
 rayunya yang muluk2 dan melukiskan surga2 yang biasanya di-idam2kan oleh setiap
 anak perempuan, maka tergelincirlah Yang-yang . . . . . . "
 "Tayciangbun," Siang Cin melanjutkan setelah merandek sejenak, "ibarat
 selembar kertas putih, apabila diberi berwarna merah, maka putih akan menjadi
 merah, jika kertas itu sebelumnya sudah berwarna, tentu tidaklah mudah untuk
 mengubah warnanya. Jiwa Yang-yang waktu itu boleh dikatakan putih bersih, suci
 murni. Maka dapatlah Khang Giok-tek mulai memberinya berwarna selama ada
 kesempatan, dan kita tahu, warnanya itu adalah jahat, buruk, rendah, seperti dosa
 yang dituduhkan Tay-ciangbun tadi."
 Semua orang mengikuti uraian Siang Cin dengan seksama, uraian yang cukup
 mengena dan menyentuh perasaan.
 Setelah terdiam sejenak, lalu Siang Cin menyambung lagi: "Seorang, kalau pada
 dasarnya memang jahat, buruk, maka dosanya tak dapat diampuni. Tapi bila
 kesalahannya akibat pengaruh lingkungan, ini dapat dimaafkan. Sebab kejahatan
 pembawaan sukar diperbaiki, tapi keburukan akibat pengaruh luar masih dapat
 diluruskan. Dan kukira Yang-yang adalah tergolong yang kedua, Tay-ciangbun
 adalah ayahnya, tentunya engkau tahu bagaimana prilakunya."
 Dengan sorot mata yang tajam Siang Cin menyapu pandang para hadirin, lalu
 berkata pula: "Sebab itulah, Tay-ciangbun, Yang-yang boleh dikatakan korban
 bujukan berbisa dari luar dan bukan karena buruk pembawaan. Kesalahannya
 sekarang harus ditinjau dari awal mula dan sebab-musababnya. Jika kita meneliti
 404 lebih lanjut kesalahan Yang-yang, maka pertama karena dia kabur bersama Khang
 Giok tek dengan membawa lari harta pusaka Tay-ciangbun. Apa2 yang terjadi
 tentulah atas dorongan Khang Giok tek sehingga timbul sengketa berdarah ini. Yangyang
 masih belia, sedangkan Khang Giok-tek sudah cukup terkenal di dunia
 Kangouw dan menjadi pentolan Hek-jiu-tong. Bisa juga, Khang Giok tek memang
 mencintai Yang-yang, akan tetapi apa yang telah dilakukannya jelas terlalu keji,
 bodoh dan sembrono . .. . . "
 Thi Tok-heng menunduk tanpa bicara, sampai lama ia termenung ..... .. ."
 Diam2 Sebun Tio-bu mengangguk sebagai tanda memuji kepada Siang Cin, lalu
 iapun buka suara: "Tay-ciangbun, apa yang dikatakan Siang heng barusan kukira
 memang tepat dan jitu, dia bicara secara terus terang tanpa membela pihak
 manapun. Maka Tay-ciangbun, hendaklah engkau suka berpikir lagi lebih bijaksana.
 "Tapi . . . . . tapi hukum harus ditegakkan, betapapun budak hina itu tak dapat
 diampuni, cara bagaimana Tok-heng bertanggung-jawab terhadap sandara kita yang
 telah gugur?" kata Thi Tok-heng sambil menghela napas.
 "Tay-ciangbun," ucap Siang Cin pula, "bahwa Bu-siang-pay kalian melakukan
 perjalanan sejauh ini ke selatan dan terjadi pertempuran sengit ini, tujuan kalian
 hanya demi mempertahankan nama baik Bu-siang-pay dan kehormatan pahlawan
 padang rumput, kukira maksud tujuan kalian kinipun sudah tercapai, para gembong
 Ji-ih-hu dan begundalnya yang membela kejahatan telah ditumpas, wibawa Busiang-
 pay sudah ditegakkan kembali, bahkan biang keladi yang mengobarkan
 peperangan inipun sudab tertangkap, puteri kesayanganmu juga dapat ditemukan
 kembai. Kini apa yang diharapkan sudah terkabul, apa yang harus dilakukan sudah
 terlaksana. Pertempuran sudah berakhir, suasana kembali damai. Maka menurut
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hematku, adalah bijaksana jika Tay-ciangbun menyelesaikan soal puteri anda
 dengan cara damai pula, berilah kesempatan anak dara yang tersesat ini, akan lebih
 berarti jika dapat menginsafkan anak yang tersesat ini daripada menghancurkannya
 sama sekali."
 Ucapan Siang Cin yang terakhir ini agaknya cukup menyentuh perasaan jago2
 Bu-siang-pay, serentak Ih Kiat, Utti Han-po serta beberapa tokoh lain yang baru saja
 datang sama berlutut, seru mereka bersama: "Ya, hamba sekalian ikut menyokong
 gagasan Siang tayhiap ini, mohon kebijaksanaan Tay-ciangbun dalam urusan Toasiocia
 yang masih muda belia ini, ampunilah jiwanya!"
 Seketika Toi Tok-heng menjadi terkesima sendiri. Selama puluhan tahun ini
 siapa yang tidak kenal keperkasaan Pek-ih-coat-to, si golok sakti berbaju putih dari
 padang rumput, sudah puluhan tahun dia memimpin para pahlawan padang rumput,
 dihormati dan disegani kawan maupun lawan. Bahwa puteri satu2nya sampai ikut
 minggat bersama orang, sungguh kejadian ini suatu pukulan maha berat bagi lahir
 batinnya, hal ini hampir membuat runtuh semangat juangnya.
 Akan tetapi iapun sering menyesali dirinya sendiri. Sejak kecil Yang yang sudah
 ditinggalkan ibundanya. Demi kasih sayangnya kepada puteri satu2nya ini, sama
 sekali tak pernah terpikir oleh Thi Tok-heng akan mengambil isteri lagi. Pikirannya
 hanya tercurah kepada kejayaan suku bangsa dan demi kemakmuran padang
 rumput. Karena kesibukannya itu ia menjadi sering melupakan kewajiban pribadinya
 dan menelantarkan Yang-yang di tengah sangkar emas. Dalam keadaan demikian,
 jika mendadak muncul seorang Kang Giok-tek dengan segala bujuk-rayunya yang
 405 memabukkan, tidaklah heran kalau anak dara itu menjadi lupa daratan dan ikut
 kabur. Jika terpikir demikian, mau-tak-mau Thi Tokheng harus mawas diri. Siapakah
 yang bersalah sebenarnya. Apakah dia sendiri tidak harus ikut bertanggung jawab".
 Kini Siang Cin memohon kebijaksanaannya, semua jago2 bawahannya
 memintakan ampun bagi Yang-yang. Bukanlah Thi Tok-heng tidak menyadari
 kesalahannya sendiri, tapi apa mau dikatakan, hukum harus ditegakkan, harus
 dilaksanakan. Sekian lamanya ia tak dapat bicara.
 Tiba2 Siang Cin menambahkan pula: "Tay-ciangbun, apabila engkau tidak
 menerima permohonan orang banyak, rasanya terpaksa orang she Siang ini juga
 harus berlutut untuk minta keiklasanmu."
 So-konyong2 tubuh Thi-heng seperti menggigil, ia menghela napas panjang,
 katanya kemudian dengan berat: "Ya, sudahlah, sudahlah, berdirilah semuanya!"
 Seketika terdengarlah sorak sorai orang banyak, Ih Kiat, Utti Han-po dan lain2
 sama mengaturkan terima kasih.
 Sesudah semua orang berdiri, dengan nada dingin Thi Tok-heng lantas
 membentak Thi Yang-yang yang masih berlutut di lantai itu: "Budak hina, apakah kau
 sudah menyadari dosamu?"
 Berderai air mata Thi Yang-yang, dia tenggelam dalam rasa terima kasih dan
 terharunya, ia tahu tindakan sang ayah tadi bukan cuma gertakan belaka, syukurlah
 ada seorang Siang Cin yang cukup disegani ayahnya sudi memohonkan ampun
 baginya. Jika melulu permintaan anak murid Bu-siang-pay saja, jelas jiwanya pasti
 tetap akan melayang.
 "Ya, anak . . . .anak tahu kesalahannya . . . . " dengan ter-guguk2 akhirnya Yangyang
 menjawab. Thi Tok-heng mendengus keras2, bentaknya: "Hayo, lekas mengaturkan terima
 kasih kepada para paman!"
 Segera Yang-yang menyembah kepada Siang Cin dan para Cuncu serta tokoh
 Bu-siang-pay yang lain.
 "Sudahlah, nona jangan banyak adat, lekas bangun" seru Siang Cin.
 Cepat Ih Kiat tampil ke depan dan membangunkan Yang-yang.
 Maka sorot mata Thi Tok-heng yang tajam lantas beralih kepada Khang Giok-tek
 yang masih berdiri kaku di samping sana.
 Thi Yang yang dapat mengikuti sorot mata sang ayah yang beringas itu, tanpa
 terasa ia bergidik.
 406 Benar juga, segera terdengar ia menbentak: "Serat keluar keparat she Khang ini
 dan penggal kepalanya!"
 Sekali ini Jik-tan-su-kiiat dan lain2 tidak ragu2 lagi, serentak mereka mengiakan
 dan mendekati Khang Giok tek dengan garang, pemuda itu terus diseret keluar.
 Segera Thi Yang yang menjerit dan menubruk maju: "0. tidak. . . . jangan. . . . O,
 Giok-tek . . . . "
 Khang Giok tek juga meronta dan berusaha melepaskan diri, mukanya yang
 pucat berlepotan darah itu menampilkan rasa sedih, putus asa dan berat untuk
 berpisah, serunya dengan parau: "Lu ..... lupakan diriku, Yang- yang . . . . jangan
 pikirkan aku lagi. Yang-yang, asalkan kau bisa tetap hidup, maka legalah hatiku . . . .
 puaslah hatiku . . . . "
 Segera Kang Siu-sim mendorong Kang Giok-tek ke depan sehingga pemuda itu
 ter-huyung2, Ih Kiat juga lantas menarik Yang-yang dari belakang.
 Dengan suara memilukan nona itu menjerit: "Lepaskan dia . . . . lepaskan . . . .
 Kumohou sudilah kalian . . . . membebaskan dia . . . . "
 Tapi Khang Giok tek sudah diseret keluar pintu, namun dia masih berteriak
 dengan air mata bercucuran: "Yang-yang, jagalah dirimu . . . . Yangyang, kucinta
 padamu . . . . Aku tidak pernah berdusta padamu, aku tidak menipu kau . . . . Yangyang,
 cintaku padamu akan kubawa ke akhirat sekalipun . . . . Selamat tinggal Yangyang,
 akan selalu kukenangkan kau meski di tempat yang jauh . . . . akan kulindungi
 kau selalu . . . . "
 Seperti anjing buduk saja Khang Giok tek terus diseret dan didorong pergi oleh
 Jik-tan su-kiat.
 "Nanti dulu!" se-konyong2 Siang Cin berseru.
 Meski cuma dua kata saja seruan Siang Cin itu, tapi cukup berbobot seperti dua
 potong batu raksasa yang mendadak jatuh di depan orang banyak. Seketika
 suasana menjadi sunyi, pandangan semua orang terpusat pada diri Siang Cin,
 semuanya ingin tahu apa yang akan dikatakannya.
 Thi Tok-heng sendiri juga tertegun, katanya kemudian: "Siang-lote, kau . . . . . "
 "Tay-ciangbun," kata Siang Cin sambil memandang sekejap Khang Giok-tek
 yang digusur keluar oleh jago2 Bu-siang-pay itu, lalu sambungnya: "Jelas Khang
 Giok-tek itu busuk dan rendah."
 Thi Tok-heng tahu di balik ucapan ini pasti mengandung maksud tertentu,
 dengan menahan perasaannya ia menjawab: "Memang, tidak perlu disangsikan lagi."
 "Akan tetapi dia mencintai puterimu dengan sepenuh hati."
 "Siang-lote, betapapun hinanya si budak Yang juga tak boleh diperisteri oleh
 sampah macam keparat she Khang itu," ucap Thi Tok-heng tegas.
 407 "Betul juga," ujar Siang Cin pelahan. "Namun, seekor kuda tidak memakai dua
 pelana, seorang perempuan tidak bersuami dua. Tay-ciangbun, apakah puterimu
 boleh lagi melakukan upacara nikah dengan lelaki lain"
 Seketika Thi Tok-heng jadi melenggong dan tidak dapat menjawab.
 Segera Siang Cin melanjutkan:. "Meski Khang Giok-tek tergolong tokoh Hek-jiutong,
 dia juga biang keladi yang menimbulkan pertempuran sengit ini, tapi sebegitu
 jauh tidak nampak dia tampil memusuhi Bu-siang-pay. Untuk ini, kukira Kimtoacuncu
 dari Wi-ji-bun kalian dapat ikut menjadi saksi."
 Setelah ragu2 sejenak, akhirnya Kim Bok menanggapi sambil mengangguk.
 "Memang betul seperti uraian Siang-lote."
 "Sesudah pcrtarungan dengan Hek-jiu-tong, di Ji-ih-hu juga tidak ditemui Khang
 Giok tek ikut bertempur di pihak musuh, hal inipun disaksikan oleh banyak orang
 yang hadir di sini."
 Seluruh ruangan kembali hening, tiada suara apapun, dalam keadaan demikian,
 jika tiada orang menyanggah berarti membenarkan ucapan Siang Cin itu. Maka
 Siang Cin lantas menyambung pula: "Dari semua ini terbuktilah bahwa dalam hati
 kecilnya Khang Giok-tek tidak berani memusuhi dan juga mencelakai seorang
 anggota Bu-siang pay, atau dengan lain perkataan sedapatnya dia menghindari
 kontak langsung dengan Bu siang-pay kalian.?"
 Setelah berpikir sejenak, Thi Tok-heng menghela napas, katanya kemudian:
 "Siang-lote, lalu apa maksudmu sesungguhnya?"
 Dengan pelahan Siang Cin menjawab: "Bahwasanya Khang Giok tek jelas
 mencintai puterimu dengan sesungguh hati, dan juga menghindari pertempuran
 dengan Bu-siang-pay kalian, namun dia tetap harus bertanggung jawab dari
 malapetaka yang dijangkitkan oleh perbuatannya serta tak terhindar dari dosa
 membawa lari anak perempuan orang. Namun mengingat keberuntungan masa
 depan puterimu, mengingat pula dia cenderung menghindari permusuhan dengan
 Bu-siang-pay, maka Cayhe pikir . . . . "
 "Apakah dia harus diampuni?" sela Thi Tok-heng dengan kurang senang.
 "Hukuman mati boleh diampuni, hukuman hidup tak dapat dielakkan!" jawab
 Siang Cin dengan tersenyum .
 "Hukuman hidup tak dapat dielakkan bagaimana maksudmu?" tanya Thi Tokheng
 dengan sangsi. Untuk sejenak Siang Cin berpikir, tuturnya kemudian: "Kupikir banyak tempat di
 padang rumput sana dapat digunakan sebagai tempat hukuman kerja paksa.
 Misalnya diberi batas waktu sepuluh tahun, jadi beri hukuman sepuluh tahun kerja
 paksa padanya, pertama supaya dia mau menginsafi dosa2nya. Kedua, sekaligus
 dapat menggembleng lahir batinnya. Ketiga, sama seperti memberi kesempatan
 padanya untuk memperbaiki diri . . . . . "
 "Kukira terlalu ringan hukuman ini," kata Thi Tok-heng sambil menggeleng.
 "Apalagi pernikahan budak hina itu dengan keparat itupun tak bisa diakui . . . . . . "
 408 "Sudah tentu," sela Siang Cin, "resminya tidak diakui, tapi kenyataannya mereka
 sudah menjadi suami-isteri, bagaimanapun tak dapat kita sangkal lagi. Sebab itulah,
 jika kita tidak mengakui pernikahan mereka, tapi kita juga harus mencari suatu
 penyelesaian yang baik bagi hari depan puterimu, maka kupikir hanya ada suatu
 jalan yang dapat memecahkan persoalan ini, yaitu menghukum Khang Giok-tek
 dengan kerja paksa selama sepuluh tahun."
 Jika selama sepuluh tahun dia benar2 menginsafi kesalahannya dan tawakal,
 maka suatu tanda dia belum kehilangan hati nuraninya dan masih dapat dididik.
 tatkala mana Tay-ciangbun boleh mengumumkan mengampuni bagi hukuman Khang
 Giok-tek, habis itu dapatlah Tay-ciangbun melanjutkan perjodohan nona Thi dengan
 dia." Segera Sebun Tio-bu menukas: "Betul, Tay-ciangbun, kini faktanya sudah
 terpampang jelas. Pertama nona Thi sudah jelas sebagai suami-isteri dengan Khang
 Giok-tek, diakui atau tidak pernikahan mereka, jelas selanjutnya nona Thi tak dapat
 menikah lagi, Kedua sejak awal kelihatan Khang Giok-tek selalu menghindari
 permusuhan dengan Bu-siang-pay, jelas2 pula dia mencintai puterimu sepenuh hati.
 Semua ini sudah diuraikan Siang-heng tadi, maka kukira gagasan Siang-heng
 tentang hukuman kerja paksa sepuluh tahun bagi Khang Giok-tek boleh dikatakan
 cukup setimpal serta suatu pemecahan yang baik"
 Thi Tok-heng ter-menung2, suasana menjadi hening pula.
 Mendadak tokoh Bu-siang-pay yang berkedudukaa paling tinggi, yaitu Toa-cuncu
 Hui-ji-bun, Tiangsun Ki, tampil ke depan dan memberi hormat kepada sang ketua,
 katanya: "Ucapan Siang-lote memang tepat, usulnya mengandung arti yang luas,
 maka kumohon Toa-suheng sudi kiranya menerima saran Siang-lote itu."
 Segera Kim Bok juga menyambung: "Betul, Toa-suheng, sudah tiba sekarang
 masa damai serta bahagialah semuanya!"
 "Demi hari depan Yang-yang, sudilah Toa-suheng memberi kesempatan untuk
 memperbaharui hidupnya, Ciangbun-suheng," segera Ih Kiat menambahkan.
 Begitulah be-ramai2 tokoh2 Bu-siang-pay yang lain juga menyokong gagasan
 Siang Cin. Mendadak Thi Tok-heng membanting kaki dan berseru sambil duduk selonjor:
 "Ya, ya, rupanya kalian telah membentuk barisan paduan suara!"
 Dengan ucapan ini sama artinya dia telah menerima permintaan orang banyak.
 Maka berubahlah suasana .yang mencekam tadi menjadi kegembiraan, semua
 orang tersenyum senang, suasana benar2 berubah menjadi damai dan bahagia.
 Segera Tiangsun Ki memberi perintah: "Bawa Khang Giok-tek kebelakang dan
 tetap diawasi."
 Sungguh tidak kepalang terharu Khang Giok tek, lebih dulu ia berlutut dan
 mengucapkan terima kasih kepada Thi Tok-heng yang telah mengampuni
 kematiannya, lalu ia berlutut terhadap Siang Cin dan Sebun Tio-bu, ber turut2 ia
 409 menyembah beberapa kali terhadap kedua orang itu, katanya dengan air mata berlinang2:
 "Siang-tayhiap dan Sebun-tangkeh, kalian telah menyelamatkan jiwaku,
 selama hidup ini takkan kulupakan budi kebaikan kalian."
 "Sudahlah, Khang-lote, alangkah girang hatiku dapat menyaksikan persoalan ini
 diselesaikan secara demikian," ujar Siang Cin dengan tertawa.
 "Jangan sungkan, Khang-lote," Sebun Tio hu menambahkan. "Asalkan kau dapat
 membawa dirimu dengan baik, kelak kalau bertemu lagi kita pasti akan bersahabat
 baik." Maka di tengah linangan air mata terharu, di tengah perasaan antara terima
 kasih dan kesedihan, Khang Giok-tek melangkah pergi diiringi beberapa jago Busiang-
 pay. Dengan sendirinya Thi Yang yang, mengucapkan terima kasih pula kepada sang
 ayah dan Siang Cin untuk kemudian baru mengundurkan diri.
 Maka suasana di ruangan pendopo lantas berubah santai, semua orang
 tersenyum, puas. Para tokoh Bu-siang-pay saling memberi keterangan mengenai
 hasil pertempuran besar dan pengalaman masing2.
 Sejenak kemudian, mulailah Thi Tok heng menerima laporan dari para Toacuncu
 mengenai hasil pertempuran yang telah berakhir ini. Ternyata di antara jago2
 Bu-siang-pay ada juga beberapa orang yang tewas dan terluka seperti Loh Hou, Le
 Tang, Giam Siok, Sin Kian dan lain2, sedangkan perajurit yang gugur ada lima
 ratusan orang, yang terluka tiga ratusan. Bahkan di antara para Toa-cuncu juga ada
 yang terluka, sebaliknya pihak musuh hampir sebagian besar dapat dibinasakan,
 antara seribu anak buah Ji-ih-hu hanya tersisa dua ratusan dan semuanya sudah
 tertawan. Sudah tentu ada sebagian kecil yang berhasil melarikan diri. Gembong Jiih-
 hu Hek -jan kong Ang Siang-long tewas dalam pertempuran, kesembilan jago
 utamanya juga mati delapan, hanya sisa seorang Toh Cong saja yang tertawan.
 Anak buah ceng-siong-san-ceng yang dikirim ada 500 orang dengan lima jagoan,
 tapi lebih empat ratus anak buahnya terbunuh dan lima jagoan itupun empat mati
 satu tertawan. Anggota Jit ho hwe juga mengalami nasib serupa, antara 1200 perajuritnya mati
 seribu lebih, sisanya melarikan diri.
 Pemimpinnya Ciang Heng juga tertawan. Begitu pula Toa-to-kau dan Hek-jiu
 tong hampir tiada yang lolos dengan hidup.
 Selain itu empat pentolan Sok-lian-su-coat tiga mati dan satu tertawan,
 sedangkan Tiang-hong-pay antara tujuh gembongnya tiada satupun yang selamat.
 Malahan adik perempuan gembong utama Soh lian su-ciat Giam Ciang, si janda
 kembang Giam Coat juga tertawan, begitu pula puteri ketua Tiang-hong-pay, Bwe
 Sim. Setelah memberi lapoaan terperinci tersebut, kemudian Tiangsun Ki minta
 keputusan Thi Tokheng untuk memutuskan cara penyelesaian para tawanannya.
 410 Oleh karena Giam Ciang dan Ciang Heng hanya merupakan jago undangan
 yang tidak banyak menjalankan peranan penting dalam persengketaan ini, maka Thi
 Tok heng memutuskan untuk membebaskan mereka. Sedangkan guru silat dari
 Ceng-siong-san-ceng Tio Jun serta pelatih Toa-to-kau Lo Sun adalah pembunuh
 bayaran yang tidak dapat diampumi, mereka diperintahkan dihukum mati.
 Kemudian Sin Kian menanyakan bagaimana dengan Giam Ciat, si janda.
 "Serahkan kepada keputusan Siang-susiokmu," jawab Thi Tok-heng.
 "Dan ada pula puteri ketua Tiang-hong pay, Bwe Sim," lapor Sin Kiat lebih lanjut.
 "Bebaskan saja," jawab Thi Tok-heng tanpa pikir.
 Kemudian juga diputuskan beberapa ratus perajurit musuh yang tertawan itu,
 yang terluka supaya diberi pengobatan seperlunya, kemudian dibebaskan
 seluruhnya. Selesai semua ini, Thi Tok heng menghela napas lega, baru sekarang ia seperti
 terbebas dari beban yang berat.
 Setelah terdiam sejenak, lalu Siang Cin bertanya: "Bilakah kiranya Tay-ciangbun
 akan kembali ke padang rumput?"
 "Kukira besok bolehlah," jawab Thi Tok-heng.
 "Jika demikian, besok pagi2 Cayhe juga mohon diri untuk . . . . "
 "He, Siang-lote dan Sebun-tangkeh telah membantu sepenuh tenaga kepada Busiang-
 pay, budi kebaikan kalian sama sekali tak tahu cara bagaimana harus kami
 balas. Maksudku mestinya hendak mengajak kalian bertiga ikut berkunjung ke
 padang rumput dan berdiam barang sebulan dua bulan di sana, mengapa sekarang
 Siang-lote ter-buru2 mau pergi?"
 Siang Cin mengucap terima kasih, katanya: "Soalnya kami sudah cukup lama
 meninggalkan kampung halaman masing2, Cayhe sendiri masih ada sedikit urusan
 pribadi yang harus diselesaikan, juga Sebun-tangkeh sudah lama melalaikan
 tugasnya sebagai pemimpin besar serikat seribu kuda (Jian-ki-beng). Selain itu
 kesehatan Kin-heng juga belum dapat sembuh dalam waktu singkat, untuk itu perlu
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirawat dengan cermat, jelas tidak cocok untuk menempuh perjalanan jauh, maka
 kebaikan Tay-ciangbun biarlah kami terima di dalam hati saja. Kelak bila ada
 kesempatan, pasti kami akan berkunjung ke sana."
 Thi Tok-heng tahu jiwa ksatria Tionggoan yang suka bicara terus terang itu,
 maka iapun tidak banyak omong lagi, hanya dalam hati ia merasa berat untuk
 berpisah, katanya pula: "Bahwa kita harus berpisah secepat ini, sungguh hatiku,
 merasa tidak enak."
 "Tay-ciangbun, tiada perjamuan yang tidak bubar, jika besok kita tidak berpisah,
 mana ada kemungkinan bertemu lagi dikemudian hari?" ujar Siang Cin.
 411 "Baiklah, pada setiap kesempatan yang ada, hendaklah kalian, termasuk Kinheng,
 mau berkunjung ke tempat kami," pesan Thi Tok-heng pula.
 Segera Thi Tok-heng memberi perintah agar disediakan perjamuan, terutama
 arak supaya ditambah beberapa guci.
 Dalam perjamuan tidak lupa Thi Tok-heng memberikan tanda mata kepada Siang
 Cin bertiga, di antaranya adalah semacam obat "Pek Wan", pil putih, konon pil ini
 buatan seorang tabib sakti di daerah Sinkiang, tabib sakti itu sudah meninggal dua
 puluh tahun yang lalu. Pil ini selain dapat menyembuhkan berbagai macam luka luar
 dalam, juga sangat bermanfaat bagi kesehatan umumnya, mengembalikan tenaga
 muda dan memberi panjang umur. Kalau pil ini diminum bersama kuah Jinsom,
 maka khasiatnya akan berlipat.
 Sudah tentu Sing Cin sangat senang dan berterima kasih atas pemberian itu. Dia
 tidak lupa membagi pil mujarab itu kepada Sebun Tio-bu dan terutama kepada Kin
 Jin yang terluka itu. Iapun menyatakan maksudnya untuk berangkat pagi2,
 sebelumnya dia ingin mengunjungi Lok Bong-bu, Kin Jin dan lain yang terluka.
 Kemudian akan diselesaikan pula urusan Giam Ciat dan Bwe Sim yang masih
 mendekam di tahanan itu. ..
 Perjamuan yang sederhana tapi cukup semarak, yang paling banyak menenggak
 arak adalah Sebun Tio-bu serta Tiangsun Ki, hidangan yang disuguhkan adalah
 bawaan Bu-siang-pay sendiri dari padang rumput, namun begitu ternyata tidak
 ubahnya seperti hidangan di restoran yang paling besar.
 -0-000-000--0- Menjelang dinihari, dengan diantar Sian Goan-kian, Siang Cin dan Sebun Tio bu
 menyambangi lain-lain dan tokoh Bu-siang-pay yang terluka dan sekaligus untuk
 mohon diri. Luka Kin Jin cukup parah, tapi sudah ada kemajuan, apalagi setelah diberi
 minum pil putih pemberian Thi Tok-heng, jelas keadaannya tidak menjadi soal lagi.
 Kemudian mereka menuju ke kamar tahanan. Sesuai perintah Thi Tok-heng tadi,
 Ciang Heng dari Jit-ho-hwe sudah dibebaskan, tahanan yang masih mendekam di
 situ tinggal Giam Ciat, Bwe Sim, dan Giam Ciang saja. Sedangkan Tio Jun dan Lo
 Sun telah dihukum mati.
 "Bagaimana dengan Bwe Sim, apakah sudah siuman," tanya Siang Cin. Menurut
 perkiraannya, setelah nona itu ditutuknya dengan ilmu Tiam hiat yang khas, lewat 12
 jam dapatlah nona itu siuman dengan sendirinya.
 "Tampaknya sekarang sudah mulai sadar," jawab penjaga. "Waktu digotong
 kemari matanya terpejam dan muka pucat, tanpa bergerak sama sekali, hamba
 sekalian mengira mayat yang dibawa ke sini."
 Kamar tahanan itu tidak terlalu sempit, diterangi lampu minyak yang remang2.
 Orang pertama yang terlihat oleh Siang Cin adalah Giam Ciat, hanya sehari saja
 keadaan janda kembang itu sudah berubah menjadi lebih layu, pucat dan lesu.
 Rambutnya kusut, sorot matanya juga guram.
 412 Di sebelah Giam Ciat berduduk bersandar dinding adalah seorang lelaki
 setengah baya, kelihatan kekar orang ini dan beberapa bagian tububnya terbalut
 kain putih, ada darah yang merembesi kain pembalut itu.
 Sedangkan Bwe Sim, nona itu meringkuk sendirian di pojok sana, dia berduduk
 diam saja seperti patung, mukanya juga pucat tanpa memperlihatkan sesuatu
 perasaan. Sejenak Siang Cin memandang mereka, kemudian ia membuka suara dengan
 nada berat: "Kedatanganku ini tiada maksud lain, hanya ingin ku katakan kepada
 kalian bahwa permusuhan yang terjadi itu harus menjadi tanggung-jawab kedua
 pihak, kalau permusuhan harus diselesaikan dengan kekerasan, maka cucuran
 darah jelas tak dapat dihindarkan, akibat daripada darah yang mengalir akan
 menambah mendalam pula permusuhan ini atau bisa juga lantas berakhir
 seluruhnya. Maka aku telah membicarakannya dengan Thi-tayciangbun, kumohon
 kan Bu-siang-pay suka membebaskan kalian, maksudku permusuhan lebih baik
 dihapuskan daripada terikat semakin mendalam. Dan sekarang permusuhan
 dapatlah diselesaikan dan tidak perlu ber-larut2 lagi. Aku hanya ingin menyampaikan
 maksud tujuanku ini, bagaimana kelanjutannya terserahlah kepada jalan pikiran
 kalian sendiri."
 "Kau ini Naga Kuning?" tanya lelaki setengah baya itu dengan suara parau.
 "Betul," jawab Siang Cin. "Dan kau ini tentunya To-hay-liong Giam Ciang?"
 Orang itu tersenyum getir, katanya: "Ya, rupanya Soh lian su-coat kini tertinggal
 aku sendiri saja ........
 "Kau penipu, Siang Cin!" mendadak Giam Ciat berteriak dengan murka.
 Tentu saja Sian Goan-kian menjadi gusar, segera ia mendamperat: "Giam Ciat,
 apa kau cari mampus, mulutmu hendaklah bersih sedikit, jangan kau lupakan, Siangtayhiap
 yang menyelamatkan jiwamu !."
 Tapi Siang Cin lantas mencegah tindakan lebih lanjut Sian Goan-kian, ia
 tersenyum dan berkata: "Nona Giam, apa dasarnya kau tuduh aku sebagai penipu?"
 "Hm," Giam Ciat mendengus, "dengan mulutmu yang manis itu, dalam waktu
 singkat kau dapat mengelabui kami."
 "Nona Giam," kata Siang Cin dengan tenang, "kita berdiri pada pihak yang
 berlawanan, siasat perang tidak pautang tipu menipu. Bukannya aku menipu kau,
 tapi kalian yang kurang waspada."
 "Huh, enak didengar ucapanmu. Padahal kaupun tidak perlu berlagak berbudi
 luhur dan menyelamatkan jiwa kami," jengek Giam Ciat pula. Bila kau benar2 ingin
 mencegah permusuhan lebih mendalam, mengapa kau tidak menolong jiwa
 Jikoku"."
 "Giam Ciat," ucap Siang Cin sambil menggeleng, "jalan pikiranmu ternyata suka
 ke-kanak2an. Kau tahu, di sini aku adalah tamu belaka. Yang lebih gawat lagi adalah
 Siang-jikomu itu telah membunuh tokoh penting Bu siang-pay, tentunya kau tahu
 pula adat dunia Kangouw, utang darah harus dibayar dengan darah. Bagiku,
 413 memintakan ampun bagimu sudah berlebihan. Jadi kematian Siang-jikomu boleh
 dikatakan pantas pada tempatnya."
 Air mata Giam Ciat tampak berderai, katanya dengan tersedu-sedan: "Kau . . . ,
 kau tidak tahu betapa baiknya Jiko kepada . . . . kepadaku, tapi . . . . . tapi kalian
 telah membunuhnya di depanku dan aku sama . . . . sama sekali tak berdaya . . . . "
 "Nona Giam," kata Siang Cin, "kukira sebelum berangkat dari Pek-hoa-kok
 menuju Ji-ih-hu untuk ikut serta dalam pertempuran ini, tentu kalian sudah siap
 menghadapi keadaan yang paling buruk. Peperangan memang kejam dan tidak
 kenal kasihan. Jangan kau harap akan mendapat kelonggaran daripadanya, bahwa
 peristiwa sedih itu sudah terjadi, itu memang sudah dalam dugaan, jika tidak terjadi,
 itu namanya beruntung,"
 Jilid ke 20 Sampai di sini, lalu ia berpaling kepada Giam Ciang dan berkata: "Sahabat, tentu
 kaupun paham jalan pikiran ini."
 Muka Giam Ciang tampak berkerut-kerut, dengan suara parau ia menjawab:
 ?"Siang Cin, tidak perlu nasehatmu. Selama puluhan tahun berkecimpung di dunia
 Kangouw, pengalamanku kiranya tidak lebih sedikit daripadamu. . . . . . Dan
 sekarang, pudarlah segala angan2ku yang muluk2 . .. . Sepulangnya di Pek hoa kok,
 selamanya aku akan mengasingkan diri dan takkan ikut campur urusan tetek bengek
 lagi . . . .. ."
 "Kukira itu jalan yang paling baik, sahabat," ujar Siang Cin lalu ia berpaling
 kepada Bwe Sin dan berkata: "Dan kau nona Bwe, kaupun boleh bebas untuk pergi."
 Mendadak sorot mata Bwe Sin mencorong terang dan menatap Siang Cin
 setajam sembilu, katanya: "Kau sungguh baik hati Siang Cin."
 "Kuharap di antara kita akan lebih baik jika tidak saling bermusuhan . . . . . " ucap
 Siang Cin dengan tenang.
 "Jangan bermusuhan, setelah kau membunuh ayah angkat dan ke enam
 pamanku" Setelah kau hancurkan Tiang hong pay kami dan menipuku?"
 "Kau tahu, kita berdiri di pihak berlawanan, ayah angkat dan pamanmu ingin
 membunuhku, jika aku tidak membunuh tentu akan terbunuh, kau kira cara
 bagaimana harus bertindak kepada mereka?"
 "Dendamku kepadamu sedalam lautan, Siang Cin. "
 "Jangan bodoh nona Bwe, kau bukan tandinganku. Adalah menjadi kebiasaanku
 tidak mengampuni orang yang memusuhi diriku."
 "Jika begitu, akan lebih baik kau bunuh diriku saja sekarang, babat rumput
 sampai akar2nya."
 "Kau tahu aku takkan membunuh kau, kalau tidak, untuk apa ku buang waktu
 dan tenaga lagi" Nona Bwe, aku tidak meminta pengertianmu atas diriku, aku cuma
 414 ingin mengatakan padamu bahwa nasib mujur dan pengampunan takkan datang
 berulang2 atas dirimu."
 Dengan rasa benci Bwe Sim mengangguk, katanya: "Ya, akupun ingin
 memberitahu padamu, bilamana aku dapat pergi dengan hidup, pada suatu hari pasti
 akan kucari kau, akan kubunuh kau dan . . . . "
 "Perempuan hina!" Sian Goan kian meraung murka, segera ia lolos goloknya dan
 hendak melabrak Bwe Sim.
 Sebun Tio bu juga lantai mencaci maki atas sikap Bwe Sam yang tidak tahu diri
 itu. Tapi Siang Cin lantas mencegah tindakan mereka, katanya: "Nona Bwe, apakah
 betul kau bertekad begitu" Apakah kau tidak kuatir aku mengingkari janji sekarang
 dan bertindak padamu. Kau tahu untuk ini hampir tiada kesukaran bagiku."
 "Kau boleh bertindak sesukamu Siang Cin, aku tidak gentar," jawab Bwe Sim
 tanpa gentar. Kembali Sebun Tio bu berjingkrak gusar, begitu pula Sian Goan kian hendak
 menghajar lagi si nona.
 Namun Siang Cin menggeleng kepala dan mencegah pula, katanya: "Sudahlah,
 bebaskan dia saja!"
 "Siang heng," teriak Sebun Tio bu, "apakah kau sudah keblinger, mengapa
 bebaskan dia jika keparat ini tetap tidak mau menyadari dosanya" Apakah kau tidak
 salah . . . . "
 "Bisa jadi aku salah, tapi biarlah . . . . " kata Siang Cin.
 Dengan dingin Bwe Sim berkata: "Aku tidak berterima kasih kepadamu, Siang
 Cin." Siang Cin tersenyum, katanya: "Ingat pada perkataanku, aku tidak membunuh
 kau dan juga tidak memerlukan terima kasihmu. Aku merasa kau bukan pemeran
 pokok dalam pertempuran yang banyak menimbulkan banyak korban ini. kau hanya
 atas perintah dan ikut2an saja, malahan kaupun sudah membantu kelancaran
 usahaku, makanya kuberi jalan hidup bagimu. Ku tahu kebebasanmu akan
 merugikan diriku sendiri, tapi aku tidak menyesal, apabila kau tetap akan memusuhi
 aku, itulah hakmu, akan kutunggu kapan dan di manapun juga. Tapi kau harus yakin
 benar2 akan dapat mengalahkan aku, kalau tidak, maka nasibmu akan tamat juga
 pada saat itu . . . . Nah. sekarang boleh silahkan pergi semua!"
 Bwe Sim mendongak dengan angkuh, jengeknya: "Akan kuingat baik2 ucapanmu
 ini, Siang Cin."
 Habis berkata ia terus melangkah keluar tanpa menoleh disusul oleh Giam Ciang
 dan Giam Ciat. 415 Waktu lewat di samping Siang Cin, mendadak Giam Ciang berhenti dan menatap
 Siang Cin lekat2, sampai lama barulah ia bersuara parau: "Terima kasih, Naga
 Kuning!" Siang Cin hanya membalasnya dengan tersenyum tanpa berucap. Sorot mata
 Giam Ciat juga menampilkan perasaan aneh. Sesaat itu Siang Cin merasakan
 perasaan aneh pada pandangan kakak beradik itu, yaitu terima kasih, merasa utang
 budi dan ketulusan hati.
 Siang Cin memandangi bayangan mereka yang akhirnya lenyap di kejauhan
 sana. Sebun Tio bu menggeleng, katanya: "Siang-heng, lihat saja nanti, pasti akan
 datangkan kesukaran bagimu gara2 pembebasan budak hina tadi."
 Dengan tak acuh Siang Cin tersenyum, ucapnya: "Bisa jadi begitu. Tapi kukira
 dia juga akan berpikir, akupun bukan orang yang sering mengampuni orang."
 Setelah memandangi sekelilingnya, lalu ia berkata: "Kukira kitapun keluar saja,
 permainan di sini sudah berakhir."
 Memandangi malam yang kelam, tiba2 Sebun Tio bu berkata: "Fajar akan tiba
 tak lama lagi, apakah pagi2 kita akan terus berangkat?"
 Siang Cin mengangguk.
 "Dan bagaimana dengan Kin heng?" tanya Sebun Tio bu pula setelah termenung
 sejenak. "Sudah tentu Kin heng berangkat bersama kita, akan kita antar pulang ke Tan
 ciu," jawab Siang Cin.
 "Kemudian?"
 "Tentu kaupun harus pulang kandang dan menjenguk Jian ki beng yang sudah
 lama kau tinggalkan itu!"
 Sebun Tio bu tertawa, ucapnya: "Siang heng, bicara sesungguhnya, memang
 ada niat ku undang engkau berkunjung ke tempatku itu sekadar melihat bagaimana
 aku menjadi `raja` di sana."
 "Tentu saja aku berkunjung ke tempat Sebun-tangkeh, cuma untuk sementara
 waktu mungkin tak dapat terlaksana . . . . "
 "Memangnya kenapa?" tanya Sebun Tio bu.
 "Aku masih harus menjenguk beberapa kawan lamaku, mereka terluka dan
 sedang dirawat, sudah sekian lama kutinggalkan mereka. pula . .. . Ciciku juga
 sedang menantikan kedatanganku."
 "Cicimu?" Sebun Tio bu melenggong. "Kau mempunyai seorang Cici (kakak
 perempuan)! Baru sekarang kudengar. aneh . . . . Apakah kakak kandung, Siang
 heng" 416 "O, bukan, kakak angkat, tapi tiada ubahnya seperti kakak kandung," jawab
 Siang Cin dengan tertawa.
 "Baik," seru Sebun Tio bu sambil berkeplok, "akan kuiringi kau ke sana dulu,
 habis itu kita boyong teman2mu itu berkunjung ke tempatku. Kita harus berkumpul
 dengan baik selama lima tahun atau sepuluh tahun . . . . . . ."
 "Wah, apakah takkan mengganggu dan membikin bangkrut padamu?" ujar Siang
 Cin. "Busyet," seru Sebun Tio bu dengan tertawa.
 "Ribuan orang saja tak pernah membikin bangkrut, hanya ketambahan beberapa
 orang saja apa artinya. Nah, jadi sudah pasti kalian harus ikut ke sana?"
 Siang Cin tertawa, katanya: "Tapi kukira masih ada urusan lain lagi yang harus
 ku selesaikan."
 "Urusan apapun, pokoknya aku telah pergi bersamamu," seru Sebun Tio bu.
 Tiba2 Sian Goan kian menyela: "Bilamana diperbolehkan, sesungguhnya Tecu
 juga ingin ikat pergi bersama kalian."
 "Jangan kuatir saudaraku, kesempatan masih banyak di kemudian hari," ujar
 Sebun Tio bu sambil menepuk bahu orang.
 "Siang susiok dan Sebun tangkeh," kata Sian Goan kian pula dengan perasaan
 berat, "apapun juga, kelak kalian harus berkunjung ke padang rumput, segenap
 anggota Bu siang pay sangat mengharapkan kehadiran kalian."
 "Jangan kuatir, kami pasti akan datang," jawab Siang Cin dengan tersenyum.
 Lalu ia mendongak memandang langit yang masih kelam, gumamnya: "Sudah
 beberapa malam kita tidak tidur dengan baik, kukira bolehlah kita istirahat sekarang
 dan esok pagi2 dapatlah kita berangkat . . . . . "
 o0u 000 000 Di atas sebuah bukit kira2 belasan li di luar Toa ho tin, Siang Cin dan Sebun Tio
 bu bertengger di atas kuda masing2 sedang memandangi barisan panjang pasukan
 berkuda berseragam putih yang sedang menuju ke utara.
 Angin meniup men deru2 dingin, kain putih berkibar disertai gemilapnya gelang
 emas di kepala, para pahlawan gagah berani itu sedang menuju pulang ke padang
 rumput. Sayup2 terdengar suara terompet yang mengharukan diselingi ringkik kuda, jauh
 di belakang sana asap tebal mengepul tinggi di angkasa, api sedang berkobar
 membakar Ji ih hu.
 417 Suara gegap gempita kemarin, suara pembunuhan dan banjir darah, kini telah
 lenyap. Sebagai gantinya adalah suasana yang hening dengan puing2 yang
 berserakan. "Semuanya sudah berlalu, mereka sudah berangkat, Siang heng," kata Sebun
 Tio bu dengan terharu.
 "Ya, tiada perjamuan di dunia ini yang tidak bubar," ujar Siang Cin. "Marilah
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebun tangkeh, kukira Kin heng sudah tidak sabar menunggu di dalam kereta sana."
 Di kaki bukit sana ada sebuah kereta kuda, di situlah Kin Jin berbaring karena
 lukanya belum sembuh. Kuda kesayangannya tertambat di samping kereta. Di
 bawah pengawalan Siang Cin berdua, tanpa kesukaran apa2 sampailah mereka di
 Tan-ciu, tempat kediaman Kin Jin.
 Kin Jin adalah tokoh yang sangat menonjol di daerah ini, hampir setiap orang
 dari orang tua sampai anak kecil tahu nama Kim lui jiu Kin Jin, terkenal karena
 keluhuran budinya, karena baik hatinya.
 Seperti halnya rakyat jelata di setiap tempat yang suka menonjolkan sesuatu
 atau hasil setempat yang terkenal, umpamanya Hami dengan semangkanya yang
 semanis madu, Turfan dengan anggurnya.
 Peking dengan bebek panggangnya, maka di Tanciu nama Kim lui jiu hampir
 menjadi buah bibir setiap orang.
 Rumah tinggal Kin Jin adalah sebuah gedung yang mentereng dan halaman
 yang luas. Sesudah Kin Jin diserahkan kepada anak buahnya yang akan
 merawatnya, Siang Cin dan Sebun Tio bu untuk sementara juga ditahan oleh Kin Jin
 agar suka tinggal beberapa hari di situ. Tapi sekali tinggal, tanpa terasa sepuluh hari
 sudah lalu, selama beberapa hari itu salju juga turun dengan lebatnya.
 Sudah tentu dandanan Siang Cin sekarang sudah kembali pada gayanya yang
 semula, dengan jubah kuningnya yang khas, rambut terikat indah dengan ikat kepala
 warna hitam. Muka bersih, gigi putih, gagah dan tampan, ia telah kembali pada gaya
 aslinya yang menggiurkan setiap gadis.
 Pagi hari ke sebelas, Siang Cin duduk di ruangan tamu dan sedang
 menghangatkan badan di tepi tungku. Di depannya sebuah meja kecil dengan satu
 poci arak dan dua tiga macam nyamikan. Di luar bunga salju berhamburan
 menyelimuti pepohonan yang gundul.
 Selagi Siang Cin menghirup araknya, tiba2 pintu terbuka dan masuklah Sebun
 Tio bu dengan langkah lebar. Begitu melihat Siang Cin, segera ia berseru: "Aha,
 nikmat juga kau minum arak sendirian, pantas kau menjadi lupa kepada Cicimu dan
 tidak ingin pulang lagi."
 "Duduklah Sebun tangkeh, memang sedang kupikirkan urusan ini," kata Siang
 Cin, "Kupikir besok juga aku akan mohon diri kepada Kin heng, kulihat kesehatannya
 sudah tambah baik dan mungkin tidak berbahaya lagi."
 "Besok" Aha, bagus sekali," seru Sebun Tio-bu. "Sesungguhnya akupun sudah
 rindu kepada anak buahku yang sudah lama kutinggalkan itu. Besok pagi2 kita
 418 berangkat, lebih dulu menjemput Cici dan kawanmu itu, lalu pergilah ke tempatku
 sana. Terus terang, biarpun tempatku itu tidak mentereng seperti rumah Kin heng ini,
 tapi juga mempunyai gayanya sendiri, pula tempatnya lebih luas, pemandangan juga
 tidak kurang indahnya, kukira engkau pasti akan kerasan di sana."
 Siang Cin mengucap terima kasih. Lalu ia termangu2 dan memandang jauh
 keluar sana. Sebun Tio bu memandangi kawan ini dengan lekat2, tiba2 ia tertawa dan
 berkata: "Siang heng, kukira engkau sedang mengenangkan Cicimu itu" Apakah
 sejak kau terjun membantu Bu siang pay. Cicimu dan kawanmu itu kau tinggalkan di
 Tay goan-hu?"
 "Betul," jawab Siang Cin dengan tersenyum.
 "Kukira Cicimu itu tentu . . . . . . tentu sangat cantik bukan?"
 Siang Cin mengangguk: "Ya, cukup cantik."
 Sebun Tio bu tertawa, katanya pula: "Dan kukira hubungan kalian pasti juga
 sangat akrab, tentunya dia juga sangat sayang padamu . . . , . . Apakah hubungan
 kalian tidak lebih dari itu, misalnya kalianpun saling mencintai?"
 "Ya. memang . . . . . . memang dalam hati kami cukup memahami perasaan
 masing2," jawab Siang Cin terus terang setelah ragu2 sejenak.
 "Aha, pantas engkau suka ngelamun, kiranya merindukan sang Cici," goda
 Sebun Tio bu dengan tertawa. "Maka kukira kita harus lekas berangkat saja besok,
 aku menjadi ingin melihat bagaimana bidadari kita yang berhasil menawan hati
 jagoan kita ini."
 Siang Cin tidak menjawab, hanya sorot matanya saja tampak mencorong terang,
 ia angkat poci dan menuangkan arak bagi Sebun Tio bu.
 "Aku menjadi heran juga, jika kalian benar2 saling menyukai, mengapa kalian
 belum lagi menikah" Haha, jika Naga Kuning sudah berkeluarga, inilah peristiwa
 besar yang sukar dibayangkan"
 "Ya, hal ini juga pernah ditanyakan orang kepadaku . . . . " tutur Siang Cin sambil
 memejamkan mata seperti mengenangkan masa lalu. "Bila teringat, aku sendiripun
 rada2 terharu . . . . memang, mengapa kami tidak menikah saja"!"
 "Dapatkah kau jelaskan?" tanya Sebun Tio bu.
 "Memang ada beberapa sebabnya," jawab Siang Cin. "Ada alasan yang nyata,
 tapi ada juga yang tidak berwujud . . . ."
 "He, perduli apa alasannya, jika suka lama suka, kenapa mesti urusan tetek
 bengek lagi?" seru Sebun Tio bu. "Sudahlah, pokoknya bila sudah berada di
 tempatku nanti, segera akan kupersiapkan hari bahagiamu, semuanya kujamin
 419 beres, kalau sudah jelas sama2 suka, kenapa pakai banyak alasan lagi?" Siang Cin
 seperti mau omong apa2 pula, tapi tidak jadi.
 Apa yang dikatakan Sebun Tio bu memang betul, selama ini dia selalu terikat
 dan dirisaukan oleh hal2 yang mestinya tidak perlu dihiraukan itu. Ucapan Sebun Tin
 bu memang tepat, ia harus melupakan hal2 yang telah lalu, melupakan kejadian
 dahulu, bersihkan bayangan gelap yang selalu menutupi pikirannya.
 000 000 Tay goan hu, kota yang dituju tampak di depan sana. Tidak jauh di luar kota itu
 ada sebuah rumah yang sederhana dan serba tenang, halaman luas dengan pagar
 bambu. Di sekelilingnya adalah hutan bambu dan sebuah sungai kecil menyusur
 samping perkampungan itu. Air sungai sudah membeku, sebuah jembatan kecil
 menghubungkan jalan masuk ke perkampungan.
 Waktu itu sudah dekat magrib, dua ekor kuda tampak membedal tiba dengan
 cepat, terdengar suara derap kaki kuda itu berdetak-detak memecah kesunyian alam
 sekeliling. Kedua ekor kuda itu yang satu putih mulus dan yang lain berbulu loreng, di
 musim dingin begini napas yang dihembuskan kuda itu tampak seperti kabut, badan
 juga bermandikan peluh, jelas kuda2 itu telah mengalami perjalanan yang cukup jauh
 dan lama. Kedua penunggang kuda itu tampak gagah perkasa, mereka adalah Cap pi kun
 cu Sebun Tio bu dan si Naga Kuning Siang Cin.
 Mereka langsung melarikan kudanya ke jurusan perumahan ini, yang tinggal di
 rumah ini tak lain tak bukan adalah sahabat Siang Cin yang sudah lama berpisah,
 yaitu "Dua potong kayu" Pau Seh hoa serta An Lip dan kekasihnya yang pernah
 mendapat pertolongan Siang Cin, selain itu ada lagi Kun Sim ti, "Cici angkat" yang
 dirindukan Siang Cin itu"
 Pada waktu sebelum Siang Cin berangkat membantu Bu siang pay menyerbu
 Hek jiu tong di Pi-ciok san, ketika lewat kota Tay goan hu, di situ Siang Cin meminta
 Pau Seh hoa dan lain2 supaya berdiam saja di perumahan sederhana ini. Waktu
 mereka sama terluka parah dan perlu dirawat. untuk itu tentu saja diperlukan waktu
 yang cukup lama.
 Tapi Siang Cin tidak menyangka kepergiannya akan makan tempo sepanjang ini,
 namun begitu di mana dan kapanpun juga Siang Cin tidak pernah melupakan
 kawan2 baiknya serta Cici angkat yang sedang menunggu kembalinya itu.
 Perjalanan dari Tanciu ke sini memakan waktu hampir sepuluh hari, inipun sudah
 cepat, sedemikian cepatnya sehingga Sebun Tio bu kepayahan di tengah perjalanan.
 Akan tetapi Siang Cin tetap penuh semangat dan tentu juga tidak sabar, dia hampir2
 lupa tentang lapar dan lelah.
 Diam2 Sebun Tio bu tertawa, ia dapat memahami perasaan kawannya ini, iapun
 mengerti bagaimana perasaan seorang yang merindukan kekasih.
 420 Dari jauh mereka sudah melihat rumah yang tenang itu, terharu hati Siang Cin
 setelah dekat dengan rumah itu. Jantungnya mulai berdebar, darahnya mengalir
 terlebih cepat, sampai2 tangan yang memegang tali kendali juga rada gemetar.
 Mendadak ia mengendurkan lari kudanya.
 Sebun Tio bu terlanjur membedal kudanya beberapa tombak ke depan, habis itu
 barulah ia menahan kudanya.
 "He, apa2an kau ini?" serunya sambil menoleh. "Dari jauh kau melarikan kudamu
 seperti diuber setan, sesudah dekat kau malah bermalas-malasan. Haha,
 memangnya apalagi yang sedang kau pikirkan" Kau hendak membuat kejutan?"
 Akan tetapi Siang Cin tidak perlu lagi membikin kejutan, sebab pada saat itu
 kedatangan mereka sudah dilihat oleh An Lip yang kebetulan sedang berkebun di
 depan rumah. Dari jauh An Lip dapat mengenali Siang Cin, segera ia berlari ke
 dalam rumah dan berkaok-kaok memanggil Pau Seh hba dan Kun Sim ti. .
 Maka ber ramai2 mereka menyongsong keluar, dengan sendirinya termasuk pula
 Tio Peng ji, tunangan An Lip, Pau Seh hoa sengaja mengalangi An Lip berdua dan
 membiarkan Kun Sim ti berada di paling depan.
 Hanya sekejap saja Siang Cin dan Sebun Tio-bu sudah mendekat dan berada di
 seberang jembatan kecil..
 Melihat Kun Sim ti, segera Sebun Tio bu berpaling ke arah Siang Cin sambil
 manggut2 sebagai tanda memuji.
 Dengan mengembeng air mata terharu Kun Sim ti memandang lekat2 ke depan,
 Untuk sekian lamanya Siang Cin tertegun di atas kudanya, kemudian ia melompat
 turun dan melangkah ke atas jembatan, sorot matanya juga tidak pernah bergeser
 dari wajah Kun Sim ti yang molek itu, ia mempercepat langkahnya sambil
 memanggil: "Ci . . . . . "
 "O, adikku . . . . . " dengan suara gemetar Kun Sim ti sempat menyebut kata itu,
 lalu tidak sanggup meneruskan lagi, tenggorokan serasa tersumbat dan air matapun
 bercucuran. la memburu maju memapak Siang Cin.
 Segera pula Siang Cin memegang tangan si nona dengan erat dan
 merangkulnya dengan mesra.
 Seluruh badan Kun Sim ti serasa lumpuh, ia membenamkan kepalanya di dada
 Siang Cin, sampai sekian lamanya ia tidak dapat mengucapkan apa2.
 Akhirnya ia mendongak dan menatap Siang Cin, sorot matanya yang penuh
 kasih mesra itu cukup mewakilkan mengutarakan segala isi hatinya.
 "Maafkan Ci, sampai sekian lama kutinggalkan kau, akulah yang menambah
 beban pikiranmu" kata Siang Cin dengan terharu. "Tapi percayalah, siang dan
 malam tak pernah kulupakan dirimu percayalah rinduku padamu yang senantiasa
 menggoda hatiku. . . "
 Kun Sim ti tersenyum dengan air mata meleleh di pipinya, ucapnya: "Ya,
 kupercaya, percaya sepenuhnya. Sejak di penjara Jing siong san ceng, di mana
 421 engkau menyatakan cintamu padaku, sejak itu hatiku sudah kuserahkan padamu
 sepenuhnya . . . . Dik. apapun yang akan kau lakukan, apapun yang akan kau
 perbuat atas diriku, selamanya aku takkan ragu sedikitpun."
 Siang Cin mendekapnya lebih erat, katanya: "Kak . . . . bagaimana perasaanku
 padamu kiranya tidak perlu lagi kulukiskan dengan kata2 . . . . . "
 "Ku tahu, dik, kupercaya . . . . " ucap Kun Sim ti dengan suara lembut dan hampir
 tak terdengar. Lama sekali mereka termangu-mangu dan lupa kepada keadaan sekitarnya.
 Dengan menyeret sepatunya yang butut Pau Seh hoa lantas mendekati mereka
 dan menepuk pelahan bahu Siang Cin sambil menegur: "He, Kongcu-ya, kukira
 sudah cukup kalian bermesraan, tapi kawan lama dan masih ada pula tamu yang ikut
 datang dari jauh masakah sama sekali kau lupakan."
 Siang Cin tersentak kaget, cepat ia melepaskan Kun Sim ti dan berpaling,
 mukanya tampak merah jengah, katanya: "He, Lo Pau, baik2kah kau" . . . . "
 Pau Seh hoa menyengir, jawabnya: "Hah, masakah kau masih ingat padaku"
 Kau pergi dan mengendurkan otot sepuasmu, tapi seluruh beban di sini kau taruh di
 atas pundakku, rasanya aku bisa mati nganggur di sini."
 "Lo Pau," kata Siang Cin sambil memegang pundak sang kawan, "bicara
 sesungguhnya, aku harus berterima kasih kepadamu yang telah menjaga Kun cici
 dan An Lip berdua."
 "Sudahlah, tidak perlu kau bermulut manis lagi padaku, mulut manismu lebih
 tepat kau berikan kepada Kun cicimu, begitu mesra, sampai lupa teman dan lupa
 tamu kita yang masih kau telantarkan."
 Karena omelan Pau Seh hoa ini barulah Siang Cin ingat kepada Sebun Tio bu
 yang masih berdiri di seberang jembatan sana. Cepat ia menggapainya sambil
 memanggil. Dengan tersenyum Sebun Tio bu melompat turun dari kudanya dan menghampiri
 mereka. Baru sekarang Siang Cin sempat memperkenalkan mereka satu persatu.
 "Aha, kiranya Sip pi kun cu Sebun tangkeh, sudah lama kudengar nama
 kebesaranmu, Juragan besar Jian ki beng memang nyata lain daripada yang lain,"
 sera Pau Seh hoa sambil memberi hormat,
 Sebun Tio bu membalas hormat dan menjawab: "Ah, nama Pau heng juga sudah
 sering kudengar dari Siang heng. Bahwa Pau heng adalah sahabat sehidup semati
 Siang heng, maka maaf jika akupun ingin menyatakan bahwa sahabat karib Siang
 heng sama juga dengan sahabat baikku."
 "Terima kasih atas penghargaan Sebun tangkeh kepada diriku yang rudin ini,
 selanjutnya masih banyak diharapkan petunjuk Sebun tangkeh."
 422 Lalu An Lip dan Tio Peng ji juga saling memberi hormat dengan Sebun Tio bu,
 Siang Cin menggentak-gentakkan pundak An Lip, katanya dengan tertawa: "An
 heng, lukamu ternyata sudah sembuh sama sekali. Selama beberapa bulan ini tentu
 kau sudah tidak sabar menunggu lagi, kukira sudah waktunya kalian . . . . . . "
 "Huh, tidak perlu kau bakar mercon setelah upacara selesai," omel Pau Seh hoa
 dengan tertawa. "Ketahuilah, adik Kun dan aku sudah mengambil keputusan sendiri
 di luar tahumu dan menikahkan mereka secara resmi bulan yang lalu"
 "Mereka sudah menikah dengan resmi?" Siang Cin jadi melengak.
 "Maaf, mestinya kami ingin menunggu sampai kepulangan In-kong, tapi Pau
 cianpwe tetap menghendaki kami menikah secepatnya mengingat di tempat ini jauh
 dari keramaian dan tidak perlu mempersoalkan adat kebiasaan segala dan kamipun .
 . . . . . "
 Belum habis An Lip menutur, dengan tertawa Siang Cin lantas menyela: "Bagus,
 bagus sekali, memang selayaknya kalian harus lekas terikat lahir batin agar
 seterusnya bisa hidup dengan lebih mantap hingga tua, tentang ada atau tidak
 adanya kehadiranku, kukira tidak menjadi soal. Malahan kupikir kadoku untuk
 perkawinan kalian masih harus ku susulkan . . . . "
 "Ya, dan juga kadoku," sambung Sebun Tio bu dengan tertawa.
 An Lip dan Tio Peng ji menjadi ter sipu2, cepat mereka mengucapkan terima
 kasih. "Eh, bicara punya bicara, kenapa kita hanya berdiri saja di luar sini, hayolah
 silahkan masuk semua ke dalam rumah," tiba2 Pau Seh hoa berseru.
 "Marilah, Sebun tangkeh, akan kuiringi kau, sebentar kita harus habiskan
 sepuluh kati arak bersama.
 Masih ada satu guci simpananku akan kukeluarkan.
 "An Lip, suruhlah binimu buatkan beberapa macam daharan yang lezat, malam
 ini kita harus mengadakan perayaan ulangan."
 An Lip dan Peng ji mengiakan bersama, An Lip lantas menuntun kuda ke
 belakang rumah dan isterinya berlari ke dapur.
 Pau Seh hoa lantas menggandeng Sebun Tio-bu ke dalam rumah, tampaknya
 mereka sudah seperti kenalan lama saja.
 "Kak, marilah kitapun masuk saja," ajak Siang Cin sambil menggandeng tangan
 Kun Sim ti. Si nona setengah menggelendot di tubuh Siang Cin, ucapnya dengan tersenyum:
 "Kawanmu itu sungguh sangat terbuka wataknya dan tidak suka berpura-pura.
 "Betul, dia dan Lo Pau adalah suatu pasangan yang cocok, sama2 suka bicara
 secara blak2an, memandang kejahatan sebagai musuh, dengan cepat mereka pasti
 423 dapat menjadi sahabat yang karib. Waktu beromong-omong di tengah perjalanan,
 dia juga banyak memberi dorongan padaku . . . . "
 "Dorongan apa?" tanya Kun Sim ti ketika Siang Cin mendadak tidak melanjutkan
 ucapannya. Siang Cin menunduk memandang si nona sekejap, katanya kemudian:
 "Mengenai kita berdua. Dia malah mengomeli diriku, katanya aku brengsek, penakut
 . . . . " "Mengapa dia muring2 begitu?"
 "Dia anggap aku kurang tegas, kalau sudah saling mencintai mengapa tidak
 berani menyatakan cinta yang suci ini sehingga banyak waktu terbuang percuma . . .
 . " Dengan sayu Kun Sim ti berkata: "Dik, ku tahu . . . . mungkin aku memang tidak
 setimpal bagimu . . . ."
 Mendadak Siang Cin memegang bahu si nona dan berhadapan muka serta
 memandangnya lekat2, sejenak kemudian barulah ia berkata: "Ci, mengapa kau
 berkata demikian" Kau tahu betapa cintaku padamu. Memang selama ini belum
 pernah kukatakan terus terang, sebab ku kuatir akan mencemarkan kepribadianmu,
 apalagi bila ditolak olehmu, ini hal tak sanggup kutahan . . . . "
 Mata Kun Sim ti terpejam, sedapatnya ia menahan gejolak perasaannya,
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gumamnya kemudian: "Tapi seharusnya kau tahu aku, takkan . . . . takkan menolak .
 . . . " "O, Ci . . . . kau . .. ." Siang Cin memeluk si nona erat2 dan keduanya tenggelam
 dalam keheningan, hanya detak jantung kedua orang se akan2 berlomba cepat.
 000 000- Malamnya, kamar Kun Sim ti telah diatur terlebih indah daripada biasanya. Di
 luar sana Sebun Tio bu dan Pau Seh hoa masih asyik menghabiskan sisa arak
 seguci yang kini sudah tinggal separoh itu.
 Di dalam kamar Siang Cin duduk bersanding dengan Kun Sim ti dalam suasana
 yang romantis. Siang Cin telah minum dua cawan arak sehingga mukanya yang
 putih bersemu merah. Kun Sim ti memandangnya dengan ter mangu2. Dalam
 keadaan demikian ia merasa tiada kata2 yang lebih dimengerti daripada tatapan
 mata yang mesra ini.
 Sampai lama sekali, dengan lirih barulah Kun Sim ti berkata: "Dik, selama ini,
 tentunya kau sangat susah . . . . "
 Siang Cin tersenyum ringan, ucapnya: "Terkadang aku merasa diriku ini sangat
 bodoh, berlari kian kemari dengan bersusah payah, banyak pula mendatangkan rasa
 cemas, gusar dan gemas, tapi yang kukerjakan adalah urusan orang lain, akupun
 suka heran pada diriku sendiri darimana timbulnya hasratku ini . . . . . "
 424 "Dik, kau pendekar berbudi luhur, memang itulah tugas kewajibanmu mengabdi
 bagi sesamanya, padahal akupun senantiasa cemas dan kuatir bagimu . .... ?"
 la terdiam sejenak, lalu menyambung pula: "Kau tahu, aku tidak mempunyai
 seorang sanak kadang lagi di dunia ini kecuali kau. Aku sering merasa kesepian dan
 tiada sandaran, hanya bila engkau berada di sisiku, terasalah aman dan terhibur.
 Dik, aku tidak menyesal apa yang telah kubeberkan padamu di Jing siong san ceng
 tempo hari . . . . Sesungguhnya akupun ingin berkata kepadamu, usiaku lebih tua
 daripadamu, juga badan tak sempurna lagi, aku menjadi . . . . menjadi ragu apakah
 kau dapat menerima diriku dengan sesungguh hati"
 Apakah cintamu padaku bukan cuma timbul dari perasaan kasihan dan ingin
 menolong saja"!"
 "Tidak, sama sekali tidak," jawab Siang Cin dengan tulus dan tegas. "Kita
 berteman sejak kecil, tentunya kau kenal pribadiku. Sejak kecil memang sudah
 kusukai kau. Waktu itu aku tidak tahu bahwa inilah yang disebut cinta, lebih2 tidak
 tahu bahwa cinta diperlukan pengutaraan yang nyata. Tapi sejak lama kusimpan saja
 perasaanku itu di dalam lubuk hatiku. Kemudian kitapun sudah sama2 dewasa,
 belum lagi sempat ku paparkan perasaanku kepadamu, tahu2 kau telah dipaksa
 orang tua untuk dengan keluarga Oh.
 "Pada waktu kau diberangkatkan, sungguh hatiku serasa di sayat2, kukira
 selama hidup ini kita takkan berjumpa pula. Dari balik jendela kusaksikan engkau
 naik ke atas tandu dan . . . . . ketika itu aku baru berusia lima belasan, bisa jadi aku
 memang belum paham artinya cinta, tapi sedikitnya sudah dapat kurasakan betapa
 beratnya ditinggalkan olehmu. Hal lain yang membuat ragu diriku untuk
 mengutarakan perasaanku kepadamu adalah karena akupun sangsi, ku sangsi
 apakah engkau juga mempunyai perasaan yang sama terhadapku" Ku takut
 perasaanku padamu hanya menjadi khayalan belaka . . . . "
 Dengan tangannya yang halus Kun Sim ti menggenggam tangan Siang Cin
 dengan erat, katanya dengan terharu: "Tentunya tak terpikir olehmu bahwa apabila
 aku tidak suka padamu, masakah aku mau mengiringi kau bermain layangan,
 mencari jengkerik, dan juga mendampingi kau membaca. Setiap tahun tentu kuberi
 hadiah dompet kain bersulam, yang kusulam adalah sepasang merpati . . . .
 Bilamana kancing bajumu terlepas, aku pula yang membetulkannya bagimu, pernah
 satu kali kau jatuh sakit, hampir setiap hari kujenguk kau dan menjaga dirimu . . . . .
 Tapi setelah kausembuh, aku menjadi heran bahwa kau se akan2 menjauhi diriku
 malah." "Waktu itu secara diam2 aku telah berguru kepada seorang kosen, beliau selalu
 datang ,mengajar pada waktu pagi dan magrib, bilamana habis berlatih Kungfu,
 rasanya menjadi lelah sehingga perjumpaan kita lantas banyak berkurang . . . . . . "
 "O. jadi pada waktu aku dipaksa menikah, saat itu kau sudah mahir Kungfu, tapi
 mengapa engkau tidak berusaha menolong diriku?" tanya Kun Sim-ti dengan
 menyesal. "Mana bisa ku bertindak begitu, apalagi akupun tidak tahu sesungguhnya kau
 suka padaku atau tidak, juga engkau tidak memberi sesuatu isyarat padaku agar
 425 bertindak demikian. . . . . Aku memang bodoh, sama sekali tidak kupahami sikapmu
 yang baik itu padaku."
 "Kemudian, setelah tambah umur tentunya kau paham bukan?" ujar Kun Sim ti
 dengan rawan. "Ya, dua tiga tahun kemudian pahamlah aku segalanya," jawab Siang Cin sambil
 mengangguk. "Tapi yang kuketahui juga cuma terbatas pada kebaikanmu padaku,
 hanya kebaikan antara seorang kakak dengan adiknya, tetap tak berani kupikirkan
 tentang cinta. Baru setelah kuselamatkan kau dari keluarga Oh, sesudah kau bicara
 terus terang pada ku barulah ku paham seluruhnya.
 "Akan tetapi lantaran pengaruh berbagai macam pandangan dan ikatan adat
 umum, sebegitu jauh tetap tak berani kuterima perasaanmu itu. Setelah sekian tahun
 pula, ketika terjadi peristiwa berdarah di Jing siong san ceng itulah, pada saat2
 gawat itulah kau masih tetap mencurahkan segenap cintamu padaku, pada detik itu
 pula tekadku menjadi bulat pula, apapun tidak ku pusingkan lagi, hanya engkau,
 sekalipun semua orang di dunia ini menyatakan tidak setuju tetap ku cinta padamu.
 Dan sekarang, cahaya terang sudah cemerlang, sinar harapan sudah di depan mata.
 Akhirnya kita berkumpul juga dan akan berada bersama selamanya. Berkumpulnya
 kita memang banyak mengalami rintangan dan tertunda, tapi belum terlambat. Cinta
 memang tidak kenal waktu dan terlambat segala ....."
 Kun Sim ti seperti berada di alam khayal, gumamnya sambil mengangkat
 mukanya yang basah dengan air mata: "Benarkah demikian, cinta tidak pernah
 terlambat. . . ."
 "Ya, cinta memang tidak pernah terlambat!" jawab Siang Cin tegas.
 Erat Kun Sim ti merangkul pinggang Siang Cin, untuk sejenak mereka tidak
 bicara. Sampai lama sekali barulah Kun Sim ti mendongak pula dan bertanya
 dengan lugu: "Dik, kelak . . .. lama2, bila Cici sudah tua. apakah kau takkan bosan
 padaku". Siang Cin mencium dahi si nona, ucapnya dengan tersenyum: "Tidak, waktu
 kecilku kau tidak menganggap aku terlalu kecil bagimu. bila kau sudah tua, mana
 bisa ku anggap kau terlalu tua bagiku" Ci, tidak lama lagi, bilamana beberapa urusan
 sudah kubereskan, akan ku pilih hari yang baik dan kita akan menikah . . . . Dan
 sekarang. aku harus kembali ke kamarku . . . . " ia mengangkat kepala si nona dan
 memandangnya lekat2, tiba2 ia berkata pula dengan rada tercengang: "Ci, sungguh
 ajaib, luka bakar mukamu . .. . lukamu sudah sembuh seluruhnya, bahkan . . . .
 bahkan kau tampak lebih cantik daripada dulu."
 Kun Sim ti mengusap pelahan muka sendiri, sambil bergumam: "Ya, sudah
 sembuh, semuanya berkat perawatan Pau toako."
 "Dalam hal ilmu pengobatan, Lo Pau memang ahli yang sukar dicari
 bandingannya," ujar Siang Cin dengan kagum. "Kalau cuma melihat lahiriahnya,
 siapapun tidak percaya dia memiliki kepandaian khas. Sungguh aku sangat gembira
 dan bersyukur lukamu telah sembuh secepat ini."
 Tiba2 Kun Sim ti seperti teringat sesuatu, ia menunduk dengan muram, lalu
 berkata dengan lirih: "Dik, ingin kutanya . . . ."
 426 "Urusan apa, katakan saja," jawab Siang Cin.
 Kun Sim ti mendongak pula, dengan sorot mata yang sayu ia tatap Siang Cin,
 lalu berkata dengan rawan: "Dik, misalkan . . . . . . misalkan luka bakar mukaku tak
 dapat disembuhkan seluruhnya, umpamanya sekarang mukaku berubah menjadi
 sedemikian buruknya sehingga mirip siluman, apakah . . . . apakah engkau akan
 tetap cinta padaku!"
 Wajah Siang Cin memancarkan cahaya yang cerah, dengan tegas dan tulus ia
 menjawab: "Pasti, pasti tetap kucintai kau!" Ia merandek sejenak, lalu menyambung
 pula: "Ci, ketahuilah, cintaku padamu bukanlah karena kecantikan lahiriahmu, akan
 tetapi yang lebih penting adalah kecantikan batinmu, kecantikan rohaniahmu, Ku
 tahu betapa lembutnya perangaimu, betapa bajiknya hatimu, keluhuran budimu,
 ditambah lagi sifatmu yang sabar, anggun. Semua ini membuat kagum padaku. Ci,
 wajah seorang perempuan, betapapun cantiknya dia pasti juga akan tiba masanya
 layu. Akan tetapi kecantikan batin adalah abadi, tak pernah layu, bahkan semakin
 diasah akan semakin cemerlang Ci, untuk itulah makanya ku cinta padamu dengan
 segenap jiwaku, sukmaku."
 "Kupercaya padamu, dik" kata Kun Sim ti dengan terharu. "Padahal akupun tidak
 sebaik sebagaimana kau gambarkan tadi. Cuma aku harus bersyukur kepada Thian,
 harus berterima kasih kepada Pau toako yang telah menyelamatkan wajahku ini."
 Siang Cin mengangguk pelahan, ucapnya dengan lembut: "Selanjutnya kita akan
 hidup bahagia dan aman tenteram, takkan ku bikin kau tersiksa dan menderita lagi.
 Ci, fajar sudah hampir menyingsing, sudah waktunya ku kembali ke kamarku,
 hendaklah kau juga istirahat dengan baik . . . . "
 o 00 000 O0 o Hari ketiga setelah mereka pulang ke sarang yang hangat ini.
 Sejak pagi cuaca cukup baik, salju sudah berhenti, malahan sang suryapun
 mengintip dari balik awan, meski cahayanya tidak begitu gemilang, namun tetap
 memberikan perasaan yang hangat.
 Dengan santai Siang Cin tampak berdiri di tepi pagar bambu dekat jembatan
 sana sedang memandangi bumi raya yang dilapisi salju putih dengan sinar
 gemilapan yang terpantul oleh cahaya matahari.
 Dengan wajah berseri Kun Sim ti berdiri di samping Siang Cin, yang lelaki gagah
 tampan, yang perempuan cantik halus, sungguh suatu pasangan yang amat
 setimpal. Dari balik jendela Pau Seh hoa dan Sebun Tio-bu yang berduduk di ruangan
 tengah dapat mengikuti gerak gerik kedua sejoli itu.
 Berulang-ulang Sebun Tio bu mengangguk, ia merasa kagum dan juga iri, ia
 merasa pasangan yang cocok ini memang sukar dicari bandingannya.
 427 Pau Seh hoa menguap, pelahan ia tarik lengan baju Sebun Tio bu dan bertanya:
 "Apa yang kau pikir Tangkeh, pakai angguk2 segala?"
 Sebun Tio bu menjawab: "Kau lihat Siang heng dan nona Kun itu, sungguh suatu
 pasangan yang setimpal. Anehnya kalian tidak memberi dorongan sehingga sudah
 sekian tahun waktu mereka terbuang dengan percuma."
 Setelah mengusap ingusnya yang hampir meleleh, Pau Seh hoa mendengus,
 ucapnya: "Siapa bilang kami tidak memberi dorongan" Sialan, justeru demi urusan
 ini, entah berapa kali kami perang mulut. Tapi dasarnya Kongcu-ya kita itu memang
 brengsek, kuatir ini ragu itu, dalam hati kepingin, di mulut tidak berani kentut. Orang
 ikut memikirkan dia, tapi dia sendiri malah maju mundur. Dirodok, mungkin aku
 sendiri mencari isteri juga tidak perlu diributkan begitu."
 Sebun Tio bu mengangguk-angguk pula, katanya: "Di dunia Kangouw Siang
 heng terkenal sebagai Naga Kuning yang tegas dan bijaksana, tapi menghadapi
 urusan kehidupan berumah tangga dia justeru sedemikian prihatin dan patuh."
 "Huh, prihatin dan patuh apa" Lebih tepat dikatakan dia penakut dan pengecut!"
 jengek Pau Seh hoa.
 "Kenapa Pau heng menuduhnya demikian?" tanya Sebun Tio bu.
 "Kau tahu, Kongcu-ya kita dengan nona Kun adalah tetangga dan juga ada
 hubungan baik antara kedua keluarga. Mereka berdua juga teman memain sejak
 kecil. Pada waktu mulai akil balig diam2 nona Kun sudah menyukai Kongcu-ya.
 Sudah tentu Kongcu-ya juga lengket dengan nona Kun. Karena nona Kun lebih tua
 tiga tahun daripada Kongcu-ya, maka dia memanggilnya Cici, jadi tidak pernah
 berjanji atau bersumpah segala, panggilan kakak hanya karena kebiasaan saja.
 Sebab itulah bilamana dia anggap kakak angkat tidak boleh dijadikan isteri, ini
 alasan yang tidak masuk akal dan cuma kentut belaka."
 "Lalu, karena nona Kun dinikahkan orang tua kepada keluarga yang tidak cocok,
 setelah suaminya meninggal, Siang heng lantas menolongnya dari neraka," kata
 Sebun Tio bu. "O, Siang heng sudah bercerita padamu?" tanya Pau Seh hoa.
 "Ya, sepanjang jalan ia sudah mengisahkan pengalamannya kepadaku."
 "Nah, jika begitu, tentu kau dapat menarik kesimpulan sendiri, apakah ke
 ragu2an Kongcu-ya ini bukankah berlebihan. Bahwa nona Kun kini adalah janda,
 Kongcu-ya telah menolongnya keluar dan mereka telah hidup berdampingan selama
 beberapa tahun, kenapa mereka tidak2 tegas2 menikah dan menjadi suami isteri
 resmi saja, kenapa masih harus pikir ini dan kuatir itu."
 "Benar juga, kukira Siang heng memang terlalu lemah mengambil keputusan
 dalam persoalan ini."
 "Makanya bagiku sudah mutlak Kongcu-ya dan nona Kun harus selekasnya
 menikah dengan resmi dan tampaknya cita2ku ini dapatlah terlaksana tak lama lagi."
 428 "Betul, pasti akan terlaksana dalam waktu singkat, mereka pasti juga suatu
 pasangan yang bahagia."
 "Langkah selanjutnya tinggal soal waktu saja, entah kapan baru arak nikah
 mereka dapat kita minum," tanya Pau Seh hoa dengan terbahak2.
 Tiba2 Siang Cin berpaling dan berteriak: "He, apa yang kalian bicarakan, begitu
 serius, sebentar berteriak, sebentar tertawa . . . . ?"
 "Yang kami bicarakan justeru adalah kau si dungu ini!" seru Pau Seh hoa.
 Sambil bicara mereka berdua lantas melangkah keluar dan mendekati Siang Cin.
 "He, ada apa aku dijadikan sasaran pembicaraan kalian, memangnya kapan aku
 pernah bersalah padamu, Lo Pau?" ujar Siang Cin dengan tertawa.
 "Siang heng," sela Sebun Tio bu, "kita bicara yang benar saja. Adakah hari
 nikahmu dengan nona Kun sudah kalian tentukan?"
 Seketika muka Kun Sim ti menjadi merah dan menunduk malu, tapi tidak urung
 tersembul juga senyum manis pada ujung bibirnya.
 Siang Cin tertawa, jawabnya kemudian: "Sebun-tangkeh, tepatnya kapan
 menurut pendapatmu?"
 "Kalau menurut pendapatku, kukira besok juga boleh," seru Sebun Tio bu.
 "Haha!" Siang Cin tertawa. "Masa begitu cepat tidak mungkin, Tangkeh."
 "Begini," kata Sebun Tio bu pula, "sekarang sudah dekat akhir tahun, kupikir
 bagaimanapun juga beristerilah sebelum tahun baru akan sangat berarti bagi
 kehidupanmu. Seperti sudah pernah kukatakan hayolah bopong semuanya ke
 tempatku sana, kujamin segalanya, akan kukerahkan segenap tenaga dan pikiran
 untuk merayakan pernikahanmu."
 "Tepat," sela Pau Seh hoa, "sialan, untuk urusan ini bisa beruban bila harus
 menunggu lagi. Memangnya mau apa jika tidak lekas dilaksanakan."
 "Sebun tangkeh," kata Siang Cin, "bagi kami sebenarnya urusan ini sudah bukan
 soal. lagi. Yang jelas, bukankah engkau yang harus berkorban, baik tenaga, pikiran
 dan juga harta. Betapapun kami merasa tidak enak."
 "Siang heng, mengapa kau menjadi seperti orang yang baru kenal saja?" seru
 Sebun Tio bu. "Jika kau main sungkan2 lagi, baiklah segera ku angkat kaki dari sini
 dan anggaplah kita tidak pernah bersahabat."
 "Maaf, Tangkeh," cepat Siang Cin memberi penjelasan. "Sudah tentu maksud
 baikmu kami terima dengan senang hati. Cuma, untuk ini masih harus tunggu
 sampai kepulangan kami nanti . . . . . . .."
 Sebun Tio bu melengak, tanyanya kemudian dengan bingung: "Menunggu
 kepulanganmu" Bukankah sekarang kita sudah berada di rumah. Memangnya mau
 ke mana lagi dan pulang apa segala?"
 429 Sinar mata Siang Cin mendadak mencorong terang, ucapnya dengan tegas:
 "Jeng siong san ceng!"
 Kun Sim ti berseru tertahan sambil mendekap mulut, dengan cemas ia pandang
 Siang Cin, seperti mau bicara tapi urung.
 Sikap Pau Seh hoa juga kelihatan prihatin, katanya: "Betul, utang itu kalau tidak
 ditagih, matipun aku tidak rela,"
 "Utang" Utang apa?" tanya Sebun Ti
 
^