Bara Naga 2

Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 2


tui dari Sam jay seng yang berkuasa di Kwan tang. Memangnya
 siapa yang berani mengusik Hou eng (elang harimau) yang menunggui Ui-ji-eng,
 semacam rumput sakti yang dapat memunahkan ratusan macam racun di Hian-busan"
 Tapi seorang diri dengan senjata dua keping kayunya Pau-siansing ini telah
 sikat elang2 ganas itu, puluhan elang telah dibinasakan, dengan senang Pau Sehhoa
 memboyong Ui ji-eng turun gunung dengan kemenangan gemilang. Kejadian
 baru tahun yang lalu pentolan It tia liong, Liu-to Ce Seng sek mengajak Pau Seh hoa
 duel sampai mati. dalam tujuh belas jurus orang she Pau ini telah mengetuk remuk
 batok kepala lawannya. Nama Ce Seng sek cukup disegani di utara sungai besar,
 anak kecil yang menangispun seketika berhenti ketakutan bila mendengar namanya.
 Begitulah, Tan Sin tampak guram, katanya sambil menahan marah: "O, kiranya kau
 Pau . . . .. Pau-tayhiap dari Hou-keh-san."
 Pau Seh-boa tertawa lebar, katanya: "Ah, jangan begitu sungkan, memangnya
 macam apa tokoh Tayhiap itu" Merampas yang kaya membantu si miskin,
 mendukung si lemah menumpas yang jahat, dia harus punya wibawa dan gagah
 perkasa, nama kebesarannya mampu menggoyahkan gunung, darahnya yang panas
 dapat meluluhkan musuh, berjiwa baja bernyali besi, orang seperti Siang loteku itu
 baru boleh disebut Tayhiap. Kalau aku orang she Pau ini, aku ini cuma gelandangan
 kaum Kangouw saja."
 Mengawasi puing2 di depan sana, Tan Sin bertanya dengan suara rendah: "Ada
 hubungan apa antara tuan dengan orang she Siang itu?"
 27 Pau Seh-hoa unjuk gigi prongosnya yang kuning, katanya: "Sahabat sehidup
 semati." Bergetar badan Tan Sin, teriaknya: "Jadi tuan mau memikul perbuatan busuknya?"
 Berkedip mata sipit Pau Seh-hoa seperti orang mabuk, jengeknya: "Andai kata
 Siang-gi-pang kalian bermusuhan dengan Siang-lote, boleh kau membuat
 perhitungan dengan aku orang she Pau."
 Pelan2 Tan Sin menyurut selangkah, tampak perubahan pada air mukanya, diam2 ia
 menimang kekuatan sendiri serta mempertimbangkan kira2 sampai di mana
 kemampuan musuh, bila kekuatan dan kemampuan ini saling bentrok betapa pula
 akibatnya. Secara iseng Pau Seh hoa memainkan keping kayunya secara akrobatik, kepingan
 kayunya itu menari naik turun ber-putar2 secara menakjubkan, hidungnya yang
 besar ikut ber-gerak2 seperti mengejek menambah kocak permainannya.
 Keadaan menjadi beku, pihak Siang gi pang banyak orang dan kekuatanpun besar,
 tapi mereka juga mengerti, musuh yang mereka hadapi adalah seekor ular sakti
 berbisa, ular berbisa yang pandai tertawa.
 Lekas Cui tongcu beranjak maju ke samping Tan Sin, lalu ber-bisik2 di telinganya,
 jelas kelihatan rona muka Tan Sin berubah berulang kali dan tampak semakin jelek,
 tapi sedapat mungkin dia menahan gejolak marahnya. Pelan2 akhirnya Tan Sin
 melangkah keluar hutan dengan muka bersungut, lima-enam langkah kemudian
 tiba2 dia berpaling, katanya: "Saudara Pau!"
 "Hm, ada apa, aku sudab pasang kuping?"
 Tan Sin menarik napas, katanya: "Kejadian hari ini pasti akan selalu kami ingat dan
 akan membuat perhitungan kelak."
 Pau Seh- hoa cekikikan, suaranya tak kalah dingin: "Sudah tentu, ingin dilupakan
 juga tidak bisa, ya toh?"
 Tanpa bersuara lagi Tan Sin mengulap tangan, cepat sekali dia undurkan diri
 membawa seluruh anak buahnya, Gui Ih jalan paling belakang, sebelum keluar hutan
 dia berpaling sambil mendelik ke arah Pau Seh-hoa.
 Mulut Pau Seh hoa ber kecek2. "Pletak" dia adu kedua keping kayunya seraya
 mengejek dengan suara melengking: "Awas batok kepalamu, bantal."
 Gusar tapi tak tahu apa maksud ucapan orang, Gui Ih hanya mendelik murka. Hal ini
 malah mendatangkan gelak tawa Pau Seh-hoa, serunya: "Memangnya bantal salah"
 Eh, menyulam!"
 Dengan tatapan kebencian, lekas Gui Ih melangkah pergi. Hutan kembali menjadi
 sunyi mencekam dan seram. Sang surya tetap memancarkan cahayanya, suhu
 panasnya semakin mengeringkan noktah2 darah yang berceceran, bau anyirnya
 darah lekas sekali terembus angin lalu, Mayat2 yang bergelimpangan itu ada yang
 mendelik, ada yang membentang mulut, satu dan lain berbeda tapi sama
 mengerikan, memang beginilah kehidupan insan persilatan yang berkecimpung di
 Kangouw, tak kenal persaudaraan, tak kenal sesama manusia, sekali bermusuhan,
 mati adalah akhir dari persengketaan itu.
 Mata Pau Seh hoa yang sipit itu menampilkan rasa hambar yang sukar diraba, dia
 mendongak seperti melihat cuaca, lalu pelan2 duduk tersimpuh di tanah, akhirnya ia
 menengadah ke arah pohon beringin di depan sana, di mana Siang Cin sembunyi
 dibalik dedaunan yang rimbun. Katanya: "Dengarkan Siang-tayhiap, sang naga di
 angkasa, lekaslah kau turun saja, memangnya enak berayun di atas dahan pohon
 yang bergontai?"
 Siang Cin yang sembunyi dibalik dedaunan tertawa, akhirnya dia menyingkap daun
 serta melongok keluar, katanya: "Lo Pau, amat kebetulan kedatanganmu, tepat pula
 waktunya kehadiranmu."
 Hidung Pau Seh- hoa yang besar mengendus2, katanya: "Kau terluka?"
 Siang Cin tertawa, katanya: "Tidak terlalu parah, malah Kun-cici dan seorang kawan
 yang terluka cukup parah."
 Cepat berdiri dan langsung Pau Seh-hoa melejit ke atas pohon, dahan pohon
 28 berkeresek sekian lama, akhirnya dia gendong An Lip melompat turun. Dengan
 penuh perhatian dan hati2 sekali Siang Cin juga bawa Kun Sim-ti melayang turun,
 sementara Pau Seh hoa sudah keluarkan obat serta membalut luka2 An Lip, katanya
 dengan suara lirih: "Kondisi kepala besar ini cukup baik, mujur nasibnya. kalau badik
 itu sedikit menceng ke bawah, terpaksa dia harus menitis kembali pada kelahiran
 yang akan datang."
 Dengan menggigit bibir Siang Cin menatap wajah Kun Sim-ti yang terbakar hangus
 itu, sungguh pedih hatinya, sementara Pau Seh hoa tengah membersihkan noda
 darah di pundak An Lip, tanpa berpaling dia berkata: "lote di pinggangku tergantung
 sebuah kotak rotan, di dalam ada tiga kaleng bubuk, yang warna merah untuk obat
 luar, yang warna hijau boleh diminum, sedang sekaleng lagi yang putih boleh kau
 gunakan sendiri untuk membubuhi luka2mu."
 Tanpa bicara Siang Cin menghampiri mengambil kotak yang disebut, Kun Sim ti
 dibopongnya ke bawah pohon yang lebih terlindung, dengan hati2 dia baringkan Kun
 Sim ti, dengan seksama dia mencuci bersih luka2 serta membubuhi obat, gerak
 geriknya ringan dan lembut.
 Hening sesaat lamanya, akhirnya Siang Cin membuka pertanyaan: "Lo Pau, obatmu
 ini diracik dari bahan apa?"
 Pau Seh-hoa tertawa, cemoohnya: "Kenapa" Memangnya tidak manjur?"
 Kumandang tawa Siang Cin, katanya: "Bukan, malah manjur sekali, rasanya dingin
 nyaman meresap kulit daging."
 Pau Seh-hoa tengah mencekok sebotol obat cairan ke mulut An Lip, katanya tawar:
 "Ui ji-eng, rumput sakti dari Hiun-bu-san, binatang buas elang harimau saja
 menjaganya, merekapun tahu kasiat rumput ini, apalagi manusia?"
 Dengan langkah enteng Siang Cin muncul dari balik pohon, raut mukanya yang
 tampan memancarkan cahaya terang, lukanya ternyata juga telah terbalut cukup rapi.
 "Lo Pau, sebelum kau sempat mengerjakan dua keping kayumu aku bisa memberi
 persen dua kali tamparan ke mulutmu sebagai hukuman bagi mulutmu yang ngoceh
 tak keruan tadi, kau percaya?"
 Lekas Pau Seh-hoa goyang kedua tangannya, serunya : "Percaya, percaya, seribu
 kali percaya. Orang she Pau tak pernah jeri menghadapi siapapun juga, tapi terhadap
 tamparanmu itu aku paling takut. Wah, tak pernah kulupakan demontrasi yang
 pernah kau pamerkan di sarangku di tengah sungai Hwi-yang-kang dulu, sebelum
 batu seberat lima puluh kati yang kau lempar ke udara itu jatuh ke bawah, dengan
 kedua tanganmu sekaligus kau dapat menyampuk jatuh seratus tiga puluh tujuh ekor
 burung gereja . . . . . . . "
 Tertawa lebar Siang Cin, ia berkata: "Soalnya di Hou-keh san tempat kediamanmu
 Itu tiada burung gereja lebih banyak lagi, kalau tidak, dalam waktu sesingkat itu bisa
 lebih banyak lagi burung gereja yang dapat kupukul jatuh."
 "Crot", Pau Seh-hoa berludah, matanya melotot, serunya: "Ha, baru dipuji sudah
 lantas mau makan hati" kau memang takabur."
 "Lo Pau," ucap Siang Cin sambil menggosok hidungnya, "omong2, sejak kini Sianggi
 pang mungkin tidak akan berpeluk tangan lagi terhadap dirimu."
 Pau She-hoa menggeliat, katanya: "Ya, Kongcu, semua itu kan hadiahmu padaku?"
 Terpancar sinar dingin pada sorot mata Siang Cin, katanya tenang: "Kuharap jangan
 karena persoalan ini Siang-gi pang sampai mengalami keruntuhan."
 "Karena soal apa?" tanya Pau Seh- hoa.
 Secara ringkas Siang Cin ceritakan pengalaman An Lip.
 Pau Seh-hoa berdiam sebentar, katanya kemudian: "Lote, kau ini memang
 keterlaluan, bukan saudaramu ini suka cerewet, kau memang suka bunga, mega,
 rumput, sanjak, lukisan dan segala keindahan, tapi semua ini serba menyebalkan
 bagiku. Kau mem-buang2 tenaga hanya demi persoalan sepele ini, kukira tidak
 setimpal, perempuan bukan melulu . . . . "
 Tajam tatapan Siang Cin, bola matanya yang bening memancarkan cahaya yang
 29 lembut dan tulus, tapi Pao Seh hoa yang ditatapnya menjadi kikuk sendiri, serunya:
 "He, kenapa kau pandang aku begitu rupa?"
 Siang Cin tersenyum, katanya dengan suara rendah: "Jangan terlalu nyentrik Lo Pau,
 perempuan yang pernah kau cintai dua belas tahun yang lalu memang tidak bersalah,
 kau sendiri yang salah. Tidak pantas lantaran dia meninggalkan kau lantas kau
 lampiaskan rasa sirikmu kepada perempuan yang lain, kalau dunia ini tanpa
 perempuan, hidup ini akan terasa tawar dan tiada artinya."
 "Sudahlah Lote, jangan bicara soal itu lagi," ujar Pau Seh-hoa, "perempuan itu, hm,
 memang tidak punya liangsim, kalau dia punya perasaan tidak seharusnya dia merat,
 bila suatu ketika dia kutemukan, kalau tidak kubeset kulitnya hidup2 jangan panggil
 aku orang she Pau."
 Siang Cin tertawa, katanya: "Siapa suruh kau bermain patgulipat dengan perempuan
 lain di luar tahunya" Ini namanya kau tidak setia terhadap kekasihmu."
 "Tidak setia?" Pau Seh-hoa berteriak. "Busyet, itu kan cuma iseng saja. Memangnya
 laki2 mana yang tak pernah berbuat iseng di luaran" Memang nya soal beginian juga
 harus dibuat perkara, malah main minggat segala" Kalau tidak bicara soal ini aku sih
 tidak marah, sekali menyinggung soal perempuan itu, ingin rasanya aku
 mencacahnya serta membakarnya menjadi abu .... "
 Siang Cin geleng2 kepala dan tak bicara lagi, dia menghampiri Kun Sim-ti, Pau Sehhoa
 mengawasi dengan melenggong, perasaannya hampa seperti kehilangan apa2.
 Mendadak dia memanggil Siang Cin ingin bicara, tapi ragu2, akhirnya dia ganti
 haluan: "Lote, mayat bergelimpangan, kau belum lagi menjelaskan apa yang telah
 terjadi?" Siang Cin bersenyum, katanya: "Karena persoalan di Siau-mo-nia dulu itu, Sin-suya
 meluruk kemari. Kau masih ingat kejadian dulu itu?"
 "Mereka meluruk kemari," Pau Seh-hoa bergumam sambil celingukan, "tapi
 meninggalkan sekian banyak mayat . . . . "
 Di balik pohon sana pelan2 Siang Cin beg jongkok menatap muka Kun Sim-ti yang
 dibalutnya hingga cuma sepasang matanya saja yang masih kelihatan, kedua
 matanya terpejam, namun bulu matanya yang panjang melengkung kelihatan elok
 dan indah. Tiba2 badan Kun Sim-ti sedikit bergeming, lekas Siang Cin, memanggil dengan
 suara halus "Cici. . ."
 Pelan2 kelopak mata itu bergerak, sorot matanya yang sayu masih membayangkan
 adegan seram menakutkan semalam, ia pandang Siang Cin, lama dia menatap
 tanpa berkedip, akhirnya ujung matanya mulai basah:
 Sekuatnya Siang Cin mengunjuk senyum, katanya lembut "Ci, kau sudah baik"
 Segalanya sudah lalu ...."
 Mata Kun Sim-ti terpejam sebentar lalu terpentang pula, sorot matanya mengandung
 rasa kuatir dan prihatin, Siang Cin mengerti, lekas dia berbisik: "Aku tidak apa2,
 hanya sedikit terluka bakar."
 Rasa lega dan terhibur jelas kelihatan dari sorot matanya, hal ini dapat di resapi oleh
 Siang Cin, setelah menelan liur dia berkata: "Kau lapar tidak"
 Biar kusuruh bibi Ciu . . .. suruh bibi Ciu membuat sarapan untukmu . . . . "
 Pelahan Kun Sim-ti menggeleng, butiran air matanya akhirnya menetes di atas kain
 perban, lekas Siang Cin bantu menyekanya dan katanya: "Kau amat letih, tidurlah
 lagi, aku selalu menunggu di sisimu. Oh, ya, Pau-toako juga datang, bentuknya
 masih seperti dulu, tetap berkepala pengemis."
 Tersenyum rawan pada wajah yang sayu, Kun Sim-ti pejamkan matanya, bukan
 lantaran dia ingin mengejar impian, tapi dia ingin menyimpan persaan hangat dalam
 hatinya yang hampa.
 Musim semi hampir berlalu, sinar surya mulai terasa panas menyengat kulit dengan
 belaian lembut Siang Cin bikin Kun Sim-ti kelelap dalam tidurnya, lalu ia keluar
 sambil membopongnya, di luar An Lip sudah siuman, dia tengah berbincang dengan
 Pau Seh hoa. 30 Melihat Siang Cin, bergegas An Lip hendak berbangkit, tapi Pau Seh-hoa lekas
 mencegah, katanya: "Eh, kau si berewok ini kenapa begini bandel" Sekujur badan
 terluka masih banyak tingkah" Kongcuya datang, sikapmu yang hormat sudah cukup
 diresapi olehnya."
 Siang Cin pandang wajah si berewok yang pucat dan lemah itu, katanya: "Kalian
 sudah berkenalan?"
 An Lip mengangguk, sahutnya; "Berkat kerendahan hati Pau-cianpwe, beliau sudi
 memperkenalkan nama besarnya ......."
 "Persetan!" omel seru Pau Seh-hoa "kalian sama sebangsa kutu buku yang suka
 main kalimat. . . . . . "
 Siang Cin anggap tidak dengar ocehan orang, katanya: "Lo Pau, mari kita cari
 tempat lain untulk istirahat, nanti malam aku masih ada urusan."
 Pau Seh-hoa baru saja berdiri, katanya keheranan: "Ada urusan, memangnya
 badanmu ini berotot kawat dan bertulang besi" Lukamu separah itu, kau masih mau
 urus apa lagi?"
 Siang Cin tertawa, katanya: "Malam nanti aku akan menolong kekasih An Lip itu."
 Bersinar mata An Lip,.tapi ia menjadi kuatir, katanya: "Jangan . . . . . tak perlu tergesa2,
 luka Inkong (tuan penolong) sendiri tidak ringan ...."
 Berkedip mata Siang Cin, katanya: "Memang, kalau bisa aku memang tidak perlu terburu2,
 cuma kulihat Tan Sin teramat penasaran, saking dongkol dan masgulnya
 mungkin dia akan melampiaskannya kepada calon isterimu itu . . . . "
 Bergidik An Lip, mulutnya melongo dan tak mampu berbicara, ia tahu ini bisa saja
 terjadi, dia cukup tahu betapa watak Tan Sin, bila kekuatiran itu betul2 terjadi, maka
 imbalan yang telah dia pertaruhkan menjadi sia2 belaka.
 Pau Seh-hoa menjilat bibirnya, katanya: "Sekarang sudah lewat lohor, kita memang
 harus cari tempat untuk berteduh dan cari makanan untuk isi perut, kalau tetap
 tinggal di sini, salah2 bisa celaka."
 Siang Cin manggut2, katanya sambil menerawang sekelilingnya, lalu mendahului
 beranjak ke luar hutan, Pau Seh-hoa lantas berjongkok, jangan kira badannya kurus
 kering, tubuh An Lip segede itu, segera digendongnya, keruan An Lip merah jengah,
 serunya gugup: "Jangan, tidak usah Cianpwe, biar aku jalan sendiri."
 Tanpa hiraukan seruan orang segera Pau Seh-hoa beranjak mengikuti langkah
 Siang Cin, sekeluar dari hutan, seperti lomba lari saja dia berpacu sekencang angin
 dengan Siang Cin, meski sama menggendong orang, tapi gerak langkah mereka
 ternyata tak kalah kencang daripada lari kuda.
 Siang Cin memilih jalan yang ber-liku2 yang menembus ke puncak gunung, arahnya
 ke timur, kabut tebal beterbangan di lereng gunung, keadaan menjadi remang2 dan
 sukar menentukan arah.
 Mereka berlari berjajar, Pau Seh-hoa berteriak: "Anak muda, memangnya mau ke
 mana kau" Apakah kau kuat menahan luka2mu?"
 Tanpa mengendorkan larinya Siang Cin menjawab dengan suara keras pula: "Dua
 puluhan li dari sini ada sebuah tempat yang indah, kita sementara menetap di sana
 saja untuk beberapa hari. Lukaku memang tidak ringan, tapi setelah dibubuhi obat
 mujarab milikmu, kini sudah jauh lebih baik ......."
 Pau Seh hoa ter-gelak2 bangga, dia kayuh langkahnya lebih kencang, serunya: "Dua
 puluhan li kemudian, tempat apakah itu?"
 Siang Cin menyeka keringat di mukanya, katanya dengan tertawa: "Tempat nan
 indah permai, kau pasti kerasan dan berat meninggalkan tempat itu.
 Kedua orang harus memanjat lereng gunung yang cukup tinggi pula, kini mereka
 mulai menyusuri jalan pegunungan yang naik turun dan berbatu terus menerobos ke
 dalam hutan lebat. Pau Seh hoa berludah kental sambil menggerutu: "Dirodok,
 setengah tahun tak melihatmu, sekali bertemu kau ajak lomba lari dan main teka teki
 lagi, pegunungan belukar seperti ini mana ada tempat indah segala . . .. ..."
 Siang Cin tersenyum, mereka langsung menuju ke hutan, keadaan di sini remang2,
 lebatnya daun hampir seluruhnya menutupi cahaya sinar matahari sehingga keadaan
 31 di sini menjadi lebih gelap, suasana hening pula, yang terdengar hanya kresekan
 dedaunan yang diembus angin.
 Langkah Siang Cin mulai diperlambat di antara tumpukan reruntukan daun kering
 sehingga mengeluarkan suara gemerisik, dengan penuh perhatian Pau Seh-hoa
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengawasinya, tanyanya: "Apakah kau tak merasa letih."
 Siang Cin menyeka keringat, setelah menghambur napas dia berkata: "Rasa sakit
 dilukaku seperti membetot syarafku. . . . . . ."
 "Istirahat saja sebentar?" kata Pau Seh hoa.
 Siang Cin menggeleng dan menjawab dengan tertawa: "Tidak, istirahat setiba di
 tempat tujuan saja, sudah tidak jauh lagi."
 Tahu akan watak Siang Cin yang keras dan tekadnya yang besar, maka Pau Sehhoa
 tidak banyak kata lagi, tanpa bersuara mereka terus berlari dalam hutan. Tak
 lama kemudian, di kejauhan sana tampak pemandangan yang jauh berbeda dengan
 keadaan di luar hutan sana.
 Sebuah gunung dengan angker laksana sengaja diadangkan di situ, begitu angker
 dan kelihatan perkasa sekali, puncaknya nan tinggi mencakar langit ditelan mega,
 dari pinggang gunung, ada dua belas jalur air terjun yang mencurahkan airnya
 laksana rangkaian rantai perak. Di atas pinggang gunung, pemandangan sekeliling
 diliputi kabut tebal, kebetulan angin mengembus buyar kabut tebal hingga kelihatan
 sebuah tebing yang menonjol keluar di atas pinggang gunung, letaknya kebetulan
 berada di atas jalur2 air terjun, warnanya serba menghijau. Dapatlah dibayangkan
 betapa bahagia dan menyenangkan bila menetap di atas sana, pagi hari
 menyaksikan matahari terbit di ufuk timur, bila magrib melihai sang surya terbenam
 di balik pegunungan yang berhawa sejuk seperti ini, memangnya siapa yang tidak
 kerasan tinggal di sini.
 Pau Seh-hoa ber-kecek2 kagum, serunya memuji: "Kongcu, tempat ini memang luar
 biasa, indah permai, sungguh aku tak habis mengerti cara bagaimana kau bisa
 menemukan tempat ini."
 Menengadah memandang ke atas, sikap Siang Cin tampak lega, katanya dengan
 tenang: "Serba puitis bukan suasana di sini."
 Pau Seh hoa ter-kekeh2, katanya: "Memang senang hidup di tempat ini, cuma terlalu
 sepi . . . . "
 Tanpa bicara lagi Siang Cin mulai memanjat ke atas, langkahnya tetap secepat
 terbang, Pau Seh-hoa tetap mengintil tak ketinggalan, teriaknya: "Naik dari mana,
 Lote?" Siang Cin berpaling sambil memberi tanda gerakan tangan, dia membelok masuk ke
 sebuah lekukan seperti selokan gunung, dalam selokan yang menjurus semakin
 tinggi itu kiranya ada sebuab jalan kecil beralas batu putih, orang mengira ini buatan
 manusia yang benar memang ciptaan alam, begitu aneh jalan berliku ini melingkar
 naik makin tinggi ke atas, tak ubahnya seekor ular raksasa yang melingkari gunung.
 Berjalan di alas batu yang tidak rata ini ternyata sedikitpun tidak makan tenaga,
 maka Pau Seh-hoa berteriak heran: "Kongcu, apakah kau yang suruh sang malaikat
 membuat jalan pegunungan ini?"
 Siang Cin mengendurkan langkahnya serta mengencangkan ikat pinggang, katanya:
 "Bukan begitu, tapi sang malaikat yang tahu kalau aku akan menetap di atas sini,
 maka pada ribuan tahun yang lalu ketika menciptakan alam permai ini sekalian
 membuat jalan pegunungan ini."
 Pau Seh-hoa ter-gelak2 geli, sambil menikmati pemandangan di kedua sisi jalan,
 batu berserakan, dahan kering sama bergantungan, tampak pula bekas lumut
 mengering tanda derasnya air yang mengalir di sini, di waktu hujan jalan gunung ini
 memang merupakan selokan kecil yang mengalirkan air ke bawah gunung.
 Setelah berputar sekian lamanya mengitari lamping gunung, akhirnya mereka
 menjurus ke jalan lurus menembus ke lembah pegunungan, Siang Cin memilih jalan
 ke arah kanan, di mana ada sederetan pohon Siong yang berjajar menjulang tinggi
 ke angkasa, di sini Sang Cin menghentikan langkah, katanya sambil menoleh:
 32 "Lembah kecil tadi kunamakan lak-kui-kok (lembah kenangan), bagaimana
 pendapatmu tentang nama ini?"
 "Lembah Kenangan Apa maksudmu?" tanya Pau Seh-hoa.
 "Hidup di sini kan tidak perlu pikirkan urusan tetek-bengek lagi. Tapi manusia kan
 harus hidup bermasyarakat bukan."
 Pau She-hoa manggut2, bersama Siang Cin dia menyusuri deretan pohon terus
 membelok ke kiri, pemandangan di sini berubah seratus delapan puluh derajat,
 kembang seruni mekar bak permadani membentang luas di embus angin
 pegunungan, bau harum semerbak laksana menyambutmu dengan senyum dikulum.
 Tiada manusia yang menanam serta merawatnya, tapi bunga serum di sini hidup
 subur dan mekar segar.
 Di ujung rumpun seruni sebelah sana, terdapat sebuah kolam kecil yang letaknya
 membelakangi tebing, sumber air mengalir dari atas tebing, kolam itu ternyata
 seluruhnya terbuat dari batu putih, airnya jernih, siapapun pasti ingin minum airnya
 yang dingin dan sejuk.
 Di samping kolam terdapat dinding yang besar melintang datar, di balik dinding
 tembok gunung inilah terdapat sebuah rumah mungil yang dibangun dengan kayu
 pohon cemara, pagar kayu mengelilingi rumah, semuanya serba merah gelap. Di
 balik tembok panjang di depan pekarangan rumah mungil itulah letak tebing dengan
 air terjun tadi. Dari sini terlihat jelas di samping tebing sana tumbuh subur sepucuk
 pohon flamboyan dengan bunganya yang lagi mekar, kembangnya yang berwarna
 merah kekuningan itu beterbangan ditiup angin gunung.
 berdiri di atas tebing dapat memandang puncak2 gunung di kejauhan yang
 berbentuk aneka ragam dan aneh2, tangan terjulur dapat menjamah mega yang
 mengambang tak berujung pangkal, seperti tinggal di atas langit rasanya, meski
 hawa di sini agak dingin, tapi kehidupan di alam permai seperti ini laksana hidup
 dewa di kahyangan.
 "Aku menetap di sini seorang diri," ucap Siang Cin sambil melepas pandang ke
 seluruh pelosok, "maksudku sering kemari, jadi bukan selama itu terus hidup di sini.
 Di sini antara langit dan bumi rasanya sambung menyambung, manusiapun hidup
 laksana dewata, hidup di sini dapat merenungkan banyak persoalan yang tak
 mungkin di selami khalayak ramai di tengah kehidupan kota, betul tidak Lo Pau."
 Pau Seh hoa ter-kekeh2, katanya: "Kongcuya, orang she Pau tak semahir kau
 menggunakan istilah muluk2. Sekarang yang penting lekas cari makanan untuk
 tangsal perut yang sudah keroncongan ini."
 An Lip yang digendongnya lantas berkata dengan rikuh: "Pau cianpwe, sekarang
 boleh kau turunkan Cayhe."
 Pau Seh hoa mengiakan, pelan2 ia turunkan An Lip serta bertanya: "Jalan
 pegunungan naik turun, tentu bergoncang keras, luka2mu kambuh tidak?"
 "Tidak, tidak," sahut An Lip tertawa sambil menggeleng dengan muka merah. "Sudah
 jauh lebih baik ......"
 Sekilas Pau Seh-boa meliriknya dengan senyum di kulum, lalu dia berpaling hendak
 ajak Siang Cin bicara, tapi melihat keadaan Siang Cin segera dia telan pula kata2
 yang sudah hampir terlontar dari mulutnya. Siang Cin tampak termenung, seperti
 melamun tapi juga seperti tengah memusatkan perhatian, pandangannya tertuju ke
 dalam rumah, sorot matanya tampak ganjil.
 Diam2 Pan Seh hoa mendekati serta berbisik: "Kenapa Lote, ada gelagat yang tidak
 beres?" Sorot mata Siang Cin tak beralih, katanya dengan suara tertahan: "Dalam rumah ada
 orang." Pau Seh-hoa terperanjat, tanyanya gugup: "Darimana kau tahu?"
 Mundur selangkah Siang Cin berkata: "Lumut di undakan di depan pintu tampak ada
 bekas tapak kaki, pegangan pintu menjuntai turun, pagar kayu itupun kelihatan
 terbuka dengan paksa."
 Pau Seh-hoa mengangguk, katanya dengan suara dingin: "Kalau begitu gusur saja
 33 keluar dan lemparkan ke bawah tebing."
 Sejenak berpikir Siang Cin berkata pula: "Kukira bukan cuma seorang saja."
 Dengan tertawa Pau Seh-hoa segera menuju ke muka pintu serta berteriak kedalam:
 "Kalau ada orang di dalam rumah, lekaslah menggelinding keluar. Pau loya baru
 datang, kebetulan dapat melemaskan tulang dan mengendurkan otot di sini."
 Pintu yang terbuat dari kayu pohon siong tetap tertutup rapat, tiada reaksi apa2. Pau
 Seh-hoa melangkah maju dan berteriak pula: "Maknya, tidak mau keluar,
 memangnya perlu kuseret keluar" Jangan sok jadi kura2 ..... .."
 Pelan2 dan hati2 sekali Siang Cin baringkan Kun Sim-ti di atas rumput, tapi dia tetap
 mengawasi ke dalam rumah:
 Pau Seh-hoa juga mengawasi ke dalam rumah dengan pandangan menyelidik,
 sesaat kemudian dia berpaling memberi lirikan kepada Siang Cin, ia menepuk
 pinggang sendiri, lalu mulutnya memberi tanda pula.
 Sedikit bimbang, akhirnya Siang Cin mengangguk. tangan kanan merogoh saku di
 balik jubah kuningnya yang sudah koyak.
 Melihat gerakan orang, Pau Seh hoa tertawa lebar, seperti merasa puas segera dia
 menghadap ke arah rumah dan ber-kaok2: "Nah ini dia, hai, orang di dalam rumah,
 kalau tidak lekas keluar, orang she Pau akan menyeretmu keluar ........"
 Pelan2 Part Seh-hoa menaiki undakan batu, sekonyong2 dia menerjang ke arah
 daun pintu, tapi sedetik sebelum badannya menjebol daun pintu, pintu yang semula
 tertutup rapat itu mendadak terpentang, sebatang cundrik warna kuning kemilau
 tahu2 menyamber keluar laksana ular memagut menusuk jidatnya.
 Pau Seh-hoa menjerit kaget, cepat ia doyong kebelakang, tapi dikala badannya
 mendoyong ke belakang itu, tanpa mendengar adanya kesiur angin, tak terlihat
 bayangannya, "Trang", terjadi bentrokan keras memekak telinga, cundrik baja yang
 menjulur keluar itu tahu2 tersampuk mental ke samping oleh sesuatu benda yang
 menerjang tiba tepat pada waktunya. .
 Dalam waktu sesingkat itu pula, tampak Pau Seh-hoa selicin belut sudah menyingkir
 jauh, belum sempat dia menarik napas lega, ujung matanya sempat melirik ke arah
 Siang Cin, tampak orang tengah memegang sebatang pisau melengkung berkilau
 berbentuk seperti arit.
 Benda yang menyampuk balik cundrik itu kiranya adalah senjata melengkung tajam
 yang dipegang Siang Cin itu, benda itu berbentuk arit kecil yang tidak bergagang,
 tipisnya laksana kertas, tajamnya tidak menimbulkan cucuran darah bila tubuh,
 terpapas, senjata ini terbuat dari baja murni campur emas, tajam dan lihay sekali,
 Siang Cin memiliki dua belas batang senjata rahasia semacam itu, namanya Toa
 liong-kak (tanduk naga besar).
 Dengan senjata Toa liong-kak ini entah sudah berapa banyak jago kosen persilatan
 yang terbunuh oleh Siang Cin, tapi selamanya dia jarang dan tidak suka pamer di
 depan umum, karena sekali dia turun tangan dengan senjata ampuh ini membunuh
 orang segampang membabat rumput.
 Sambil pegang Toa liong kak yang melengkung itu. Siang Cin tenang2 mengawasi
 ke rumah, katanya: "Saudara yang ada di dalam, sudah saatnya kau keluar."
 Pau Seh-hoa seka keringat dingin. serunya gusar: "Maknya dirodok, kalau tuan
 besarmu hari ini tidak mencincang tubuhmu, anggaplah aku dilahirkan kuntilanak."
 Cundrik yang mental balik tadi menyentuh pintu sehingga kayunya tergores, pelan2
 terdengar suara kresekan di dalam rumah, Siang Cin tetap bersikap tenang dan
 prihatin, sebaliknya Pau Seh hoa sudah keluarkan kedua keping kayunya, dengan
 memaki gusar ia menerjang ke depan pintu pula.
 Bayangan seseorang pelan2 muncul dari dalam rumah dan berdiri di ambang pintu,
 itulah seorang laki2 tua berbadan reyot dan berwajah kurus kusut, pakaiannya yang
 berwarna kelabu luntur itu sudah bertambal di sana sini, mukanya kuning, rambut
 ubanan dengan kerut keriput di kulit mukanya, langkahnya terseret, berdiripun
 menggelendot di pinggir pintu.
 Pau Seh hoa merandek, dia tatap laki2 tua ini, serunya: "Hai, orang tua, kau tadi
 34 yang membokong tuan Pau ini dengan senjatamu itu?"
 Dengan pandangan sayu si orang tua menatap Pau Seh hoa, sesaat baru dia
 bersuara dengan serak: "Aku Kiang Kiau hong karena menghindari kejaran musuh,
 secara kebetulan menemukan tempat kalian ini, saking kepayahan tanpa pikir
 terpaksa kami pinjam tempat kalian untuk berteduh sementara. Untuk kelancangan
 mana harap tuan suka memberi maaf . . . "
 Mendengar orang bicara dengan ramah, rasa marah Pau Seh hoa buyar sebagian,
 dua kali hidungnya mendengus, katanya: "O, omonganmu memang beralasan, cuma
 kelancanganmu tadi memang keterlaluan, untung kau berhadapan dengan orang she
 Pau, kalau orang lain, bukankah jiwanya sudah melayang di tanganmu?"
 Belum lagi laki2 tua itu menjawab, di belakangnya kembali muncul bayangan
 seorang yang ramping, eh, kiranya seorang gadis remaja yang jelita. Wajahnya bulat
 kwaci, alisnya melengkung, bola matanya yang jeli diimbangi mulutnya yang kecil
 seperti delima merekah itu menambah manis wajahnya. Usianya masih kurang dari
 20, berbaju putih dengan gaun panjang yang kelihatan sedikit kotor, tapi justeru
 memperlihatkan kesederhanaannya.
 Sikapnya tampak kuatir, begitu muncul di belakang si orang tua, dengan suara
 tersendat dia berkata: "Cong . . . . Congsu, hal itu tidak bisa salahkan ayahku,
 aku . . . . aku, soalnya aku belum sempat melihat jelas . . . . "
 Pau Seh hoa melirik dingin ke arah gadis remaja ini, kemudian dia tertawa terkekeh,
 ujarnya: "Kiranya tadi perbuatan nona" Serangan telak, tenaga hebat, tak kira nona
 memiliki kepandaian dan tenaga selihay itu, .sungguh harus dipuji . . . ."
 Wajah si gadis seketika menjadi jengah, ingin bicara tapi ragu dan takut2, dia
 menunduk pula sambil memain ujung baju.
 Siorang tua menarik napas panjang, katanya: "Terlampau lama kami ayah beranak
 menderita lahir batin, bak umpama burung yang takut mendengar suara busur,
 karena mengira musuh mengejar tiba, maka puteriku turun tangan tanpa kenal
 ampun, tuan ini orang bijak, harap suka maklum dan maaf . . "
 Pau Seh-hoa tak enak mengoceh lagi, dia berpaling menatap Siang Cin, dilihatnya
 Siang Cin tertawa tawar, maka Pau Seh-hoa membalik ke arah ayah beranak itu,
 katanya: "Tempat ini amat tersembunyi, entah bagaimana kalian bisa
 menemukannya?"
 Gemetar bibir si orang tua, katanya serak; "Karena terdesak dan demi mencari hidup,
 hutan belantara dan gunung betapapun tingginya juga harus kami jelajahi, asalkan
 dapat menemukan tempat untuk berteduh dan aman, kebetulan kami sampai di sini,
 kami tak bermaksud jahat, untuk ini harap tuan2 maklum."
 "Saudara sedang sakit?" tanya Pau Seh-hoa.
 Guram wajah si orang tua, katanya dengan lemah: "Dulu pernah aku menderita sakit
 rematik, beberapa hari ini buron tanpa kenal lelah dan kelaparan lagi, darah
 tertumpah tak tertahankan. Ai, sudah tua, tulang2 inipun sudah reyot rasanya." "
 Di belakang sana dengan kalem Siang Cin berkata: "Kalau begitu, Lo Pau, biarkan
 Lotiang ini tinggal di sini beberapa hari, di belakang masih ada kamar kosong, cuma
 kalian harus tinggal di tempat seadanya."
 Wajah Pau Seh hoa masih menampilkan rasa ragu, sebentar dia berpikir, lalu
 berkata: "Saudara ini, siapa nama besarmu?"
 Siorang tua rada melenggong, katanya: "Tadi sudah kusebutkan, aku Kiang Kiau
 hong." Mulut Pau Seh hoa mengulang nama orang, katanya: "Belum pernah kudengar
 nama ini, saudara tua, tolong tanya lagi, kau termasuk aliran atau perguruan mana?"
 Si orang tua bimbang sejenak, katanya kemudian: "Lohu adalah guru silat dari Siau-
 Kong-pa di Lok-te, beberapa murid pernah kuajari kepandaian, tapi tak pernah
 berkecimpung di kalangan Kangouw, sudah tentu tuan tidak tahu nama Lohu yang
 rendah ini?"
 Pau Seh-hoa berdehem dua kali, katanya: "Lalu, siapakah musuh besarmu itu?"
 Terunjuk serba susah di wajah Kiang Kiang-hong, bibirnya bergerak tapi tak keluar
 35 sepatah kata. Pau Seh-hoa tertawa melengking, katanya: "Memangnya musuhmu itu
 seekor Naga Kuning?"
 Dengan keheranan Kiang Kiau hong menelan ludah katanya tergagap: "Naga Kuning"
 Naga Kuning yang mana" Harap saudara suka menjelaskan ...."
 Siang Cin melangkah maju beberapa tindak, Toa liong kak telah dia simpan, katanya
 sambil menjura pada Kiang Kiau-hong: "Cayhe Siang Cin, silakan Lotiang duduk di
 dalam." Haru dan terima kasih Kiang Kiau-hohg, ia menjura pada Siang Cin, katanya:
 "Engkoh muda ini sungguh bajik dan bijaksana, Lohu sungguh merasa lega dan
 bersyukur, bila penyakitku tidak kumat lagi, kami akan segera berangkat, se-kali2 tak
 berani bikin repot engkoh muda ini . . . . "
 "Jangan sungkan," ucap Siang Cin, "kamar di sebelah kanan itu boleh tetap kalian
 tempati. bila Lotiang perlu apa2, silakan bilang saja, sama2 orang yang hidup
 berkelana, bila menghadapi kesukaran adalah jamak, kalau kita saling bantu."
 Beruntun Kiang Kiau-hong menjura dua kali, anak gadisnya lalu membimbingnya
 masuk ke kamar. Setelah bayangan mereka lenyap, Pau Seh boa menyeka mulut
 serta berkata lirih: "Lote, tidak pantas kau terima mereka begini saja. Menurut
 dugaanku, kakek itu rada mencurigakan, jangan2 dia sengaja main tipu .. . . . . . . "
 Siang Cin tertawa tawar, katanya : "Kuharap tiada kejadian apa2, kalau tidak,
 mereka akan menyesal setelah kasip " - Lalu dia putar balik, dengan hati2 dia
 pondong Kun Sim-ti ke dalam rumah, An Lip berjalan mengikutinya.
 Itulah ruang tamu yang sederhana dan membawa harum kayu cendana, beberapa
 kursi dan bonggol pohon asli yang di ukir sedemikaan rupa sehingga tampak sangat
 indah, meja kayu yang ceplok2 kuning di pojok sana terdapat sebuah pedupaan
 yang masih mengepulkan asap dupa yang harum.
 "Lo Pau " ucap Siang Cin sambil berpaling, "kau dan An Lip sementara istirahat dulu
 di sini." Pau Seh-hoa mengendus2 dengan hidungnya, katanya sambil duduk dengan santai:
 "Lekas pergi, aku tahu kamar tamu yang serba antik ini pasti akan menjadi tempak
 tinggalku."
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siang Cin tak bicara lagi, dia lantas masuk ke kamar sebelah kiri, kamar ini ternyata
 juga sederhana, bau kayu cendana juga merangsang hidung, di dinding bergantung
 buah beberapa lukisan, sebuah dipan kayu berkasur dan beralaskan tikar anyaman,
 rotan, selimut bantal tersedia lengkap.
 Pelahan Siang Cin rebahkan Kun Sim-ti, sekian lama dia menatap wajah orang
 tanpa berkedip matanya nan indah itu masih terpejam, tenang tanpa membayangkan
 rasa kesakitan.
 Setelah termenung sekian saat, akhirnya Siang Cin mengemuli badan Kun Sim-ti.
 diam2 dia mengundurkan diri keluar. Pau Seh-hoa duduk di kursi sana, melihat dia
 keluar lantas berkaok: "O, tuan besarku, sudah kukatakan perut telah berkeruyukan,
 rasanya sungguh tersiksa, kau sebaliknya masih enak2 seperti tak kenal lapar saja,
 memangnya kau ingin membikin kita lekas menuju sorga?"
 "Sssst", Siang Cin mencegah orang berkaok2 lagi, sekali tarik dia ajak Pau Seh-hoa
 keluar, dia melihat cuaca, memandang gumpalan awan di kejauhan sana. katanya
 kemudian: "Lo Pau, nanti akan kutraktir kau makan panggang bebek, kau suka
 makan yang tua atau yang masih muda?"
 "Panggang bebek?" teriak Pau Seh-hoa menelan ludah, tapi lekas dia geleng kepala,
 katanya tidak percaya: "Panggang bebek kentut, ditempat seperti ini mana ada
 panggang bebek" Jangan kau menggelitik seleraku, kalau ada semangkuk nasi putih
 dengan sayur asin saja sudah lebih cukup bagiku sekarang."
 Belum lagi dia habis bicara, tiba2 didengarnya suara kebasan angin yang ramai
 disertai suara burung belibis dari kejauhan, tampak di udara di kejauhan sana tengah
 terbang mendatangi sekelompok belibis liar.
 Keruan Pau Seh-hoa melengak, serunya keheranan: "Eh, ternyata ada bebek liar,
 untuk apa belibis ini jauh2 terbang ke tempat ini" Wah, sungguh menarik, semuanya
 36 gemuk2." Siang Cin membasahi bibirnya, tuturnya: "Kolam kecil di depan itu kunamakan Cengsim
 ti (kolam pembersih hati), rasa airnya harum dan agak hangat, di tengah bunga
 seruni yang tumbuh secara liar di pinggir kolam terdapat semacam rumput yang
 berbatang coklat ke-hitam2an sebesar jari kelingking, buahnya berwarna merah,
 kelompok bebek liar itu setiap hari pasti terbang kemari melalap buah2 merah dari
 tetumbuhan liar yang aneh itu serta minum air kolam itu, agaknya mereka amat suka
 pada ke dua macam makanan dan minuman ini."
 Sementara itu sayap gerombolan bebek liar itu telah hampir menutupi angkasa di
 atas rumah, tak kurang dari seratusan bebek liar yang sekaligus hinggap di puncak
 tebing, kelompok bebek liar itu tak pernah kacau saling berebut makanan gerak
 langkah mereka cukup teratur dan rapi, cuma suaranya yang berisik itu memang
 agak menusuk pendengaran.
 Mulut Pau Seh-boa terpentang lebar, sambil pentang lengan bajunya dia siap
 menubruk maju menangkap barang dua tiga ekor, tapi Siang Cin lekas menariknya,
 katanya pelahan: "Jangan buru2, biar aku saja yang bekerja." - Lalu dia melangkah
 ke tembok batu gunung raksasa itu, tangan terulur ke dalam sebuah lubang, dari situ
 dia merogoh keluar beberapa utas benang putih kemilau, entah benang terbuat dari
 apa, yang terang benang itu kuat dan bisa mulur, pada setiap ujung benang tergantol
 satu biji buah merah, Siang Cin memberi tanda kedipan mata pada Pau Seh-hoa,
 sekali sendal, benang lemas ditangannya itu tiba2 menjadi lempeng lurus seperti
 kawat baja meluncur ke depan, benang2 itu bergontai pergi datang di tengah
 rombongan bebek liar itu, maka lima bebek sekaligus pentang sayap mengejar buah
 merah itu hendak mematuknya.
 Siang Cin tersenyum, ketika dia tarik balik ke lima jalur benangnya itu lima ekor
 bebek itupun ikut hinggap di bawah tembok, sedikitpun tidak menimbulkan suara
 berisik. Lekas Pau Seh-hoa memburu ke sana serta memeriksa, ternyata kelima utas
 benang perak itu telah tembus menusuk badan bebek laksana jarum, semua itu
 dilakukan tanpa menimbulkan keributan pada rombongan bebek liar itu.
 Siang Cin ikut memunguti bebek itu serta menyimpan benang peraknya, katanya
 tertawa: "Karena selamanya aku tak pernah menangkap mereka secara kasar atau
 membunuhnya secara terang2an, maka mereka percaya bahwa aku bersikap baik
 dan bersahabat, setiap hari mereka datang kemari tanpa hiraukan diriku. Dan harus
 disesalkan aku justeru menggunakan daging mereka sebagai hidanganku setiap hari,
 kalau aku gunakan caramu tadi menangkap dan mengudak mereka, umpama dapat
 menangkap beberapa ekor, selanjutnya merekapun takkan berani kemari lagi."
 Sambil mengangguk Pau Seh-hoa melelet lidah, katanya: "Sudahlah, tak usah
 banyak komentar tuan muda, anggaplah kau yang benar dan pandai, sekarang lekas
 kita panggang saja."
 Siang Cin tertawa geli melihat kelakuan temannya yang kocak itu. mereka lantas
 bawa bebek itu ke dalam rumah, dengan giat Pau Seh hoa bantu Siang Cin
 menyalakan api di tungku, memasak air dan mencabuti bulu, tanpa terasa air liurnya
 bertetesan. Sambil menahan sakit An Lip juga maju membantu, cukup lama juga mereka bekerja,
 tahu2 bau bebek panggang yang sedap merangsang hidung.
 Menghirup napas panjang Pau Seh-hoa bersuara seperti merintih: "O, sedapnya,
 sekaligus aku bisa menghabiskan dua ekor . . . . . "
 Sambil, membalik sundukan bebek panggang An Lip tertawa, katanya: "Selera Paucianpwe
 sungguh besar, kalau Cayhe mungkin setengah ekor saja tidak habis .... . . "
 Pau Seh hoa tergelak2, katanya sambil menuding An Lip: "Anak muda, hatimu lagi
 melayang jauh ke tempat bekas binimu itu, mana ada selera makan minum segala"
 Haha . . . . . . "
 Sementara itu Siang Cin sedang membubuhi bumbu pada bebek panggang,
 timbrungnya tertawa: "Lo Pau, memangnya mulutmu itu tidak bisa bicara hal2 yang
 37 baik?" Pau Seh hoa mulai sibuk menyobek daging bebek panggang yang besar dan dijejal
 ke dalam mulut, sambil ber-kecap2 dan mengunyah tak hentinya dia memuji betapa
 lezat bebek panggang itu.
 Di kala dia melalap bebek panggang itulah, pintu kamar di sebelah kanan terbuka,
 anak perempuan jelita tadi tampak keluar dengan malu2, tanpa terasa iapun
 mengernyitkan hidung, memandang SiangCin, lalu berpaling ke arah bebek
 panggang yang sedang dilalap Pau Seh-hoa, bibirnya bergerak seperti hendak
 mengatakan apa2, tapi urung.
 Dengan menjilat minyak di bibirnya, Pau Seh-hoa bertanya: "Eh, ada keperluan apa
 anak manis?"
 Sesaat lamanya anak perempuan itu bimbang, lalu berkata dengan malu2:
 "Ayah . . . . ayahku, beliau kurang enak badan, kupikir, kupikir bolehkah kumohon
 sedikit kuah panas, supaya sesak napas ayah lekas berkurang."
 Siang Cin meraih poci dan diangsurkan, katanya tertawa: "Ambillah, ini air teh yang
 baru diseduh."
 Dengan malu2 anak perempuan itu menerimanya, sekilas ia mengerling ke arah
 Siang Cin, kerlingan yang mengandung makna mendalam, kerlingan yang aneh,
 tiada perasaan lembut, tapi lebih cenderung pada perasaan kesal, tak nampak
 sikapnya yang lembut dan malu2 tadi. Siang Cin tak pernah lepas perhatiannya atas
 gerak- gerik si nona, sekilas dilihatnya orang melenggong, dikala dia menoleh dan
 memperhatikan, orang lantas menunduk sambil menyatakan terima kasih terus
 mengundurkan diri..
 Mendadak Pau Seh hoa panggil anak perempuan itu, tanyanya: "He, anak manis,
 siapa namamu?"
 Anak perempuan tampak itu melengak, dia menunduk, sahutnya lirih: "Aku Kiang
 Ling ...."
 Sambil mengunyah daging bebek, Pau She-hoa mengangguk seraya berceloteh:
 "Em, bagus, namamu memang enak didengar . . . . "
 Suara batuk di kamar sebelah terdengar semakin keras dan men-jadi2, lekas anak
 perempuan itu mengundurkan diri setelah mengangguk kepada orang banyak.
 Mengawasi punggung orang An Lip berkata lirih: "Anak perempuan ini sungguh
 berbakti terhadap ayahnya, lemah lembut lagi . . . . . . "
 Pau Seh-hoa menyeringai dan menyambung " . . . . . dan wajahnya ayu, dada
 montok dan menggiurkan."
 Siang Cin menaruh seekor bebek yang habis dipanggangnya di atas baki, lalu
 menyunduk pula dua ekor, dia sibuk sendiri tanpa memberi komentar apa2.
 Kembali Pau Seh boa merenggut paha bebek di tangan kanannya, katanya dengan
 mulut kecap2: "Kongcuya, kenapa tidak kau utarakan pendapatmu" Kau toh cukup
 ahli dalam menilai perempuan."
 Siang Cin tertawa tawar, katanya: "Aku sedang me-nimang2, apakah kiranya
 penilaianku cukup setimpal atau tidak terhadap manusia atau sesuatu yang ada di
 depan mata."
 Seperti terketuk hati Pan Seh-hoa oleh kata2 ini, sekilas dia melenggong, akhirnya
 dia menunduk tanpa bercuit lagi. Maka keadaan sesaat menjadi sunyi, semua
 berdiam diri, hanya suara minyak panggang bebek yang terbakar yang gemericik,
 lekas sekali bau sedap bebek panggang yang sudah masak merangsang hidung,
 kelima ekor bebek itu sudah selesar dipanggang, warnanya coklat ke-kuning2an dan
 berminyak, sungguh menimbulkan selera yang tak terhingga.
 An Lip dan Pau Seh-hoa mendapat jatah satu ekor, Siang Cin antarkan seekor ke
 kamar sebelah kanan, dengan prihatin dia mengetuk pintu, tak lama kemudian daun
 pintu pelan2 terbuka, anak perempuan yang bernama Kiang Ling itu menongol
 keluar, sikapnya kelihatan ragu dan takut2 penuh tanda tanya.
 Siang Cin tertawa ewa, katanya: "Bebek panggang yang seekor ini kami berikan
 kepada nona untuk dimakan bersama ayahmu."
 38 Kiang Ling melengak, agaknya dia tidak mengira akan pemberian ini, dengan malu2
 lekas dia menunduk, katanya: "Ini . .. . mana boleh kami terima" Bikin repot Congsu
 saja . . . . "
 Siang Cin angsurkan baki ditangannya, tanpa berkedip dia berkata: "Sesama hidup
 dirantau harus saling membantu, nona tidak usah sungkan." - Habis berkata dia
 putar tubuh menyurut mundur, mendadak Kiang Ling memanggilnya dengan suara
 lirih, terpaksa Siang Cin berhenti, tanyanya: "nona masih ada pesan apa?"
 "O," sengaja Kiang Ling menarik panjang suaranya, dia unjuk senyum manis,
 katanya: "Siang hiapsu . ... "
 Siang Cin menggoyang tangan, katanya; "Tidak berani, Cayhe, adalah orang liar,
 kaum Kangouw yang hidup bergelandangan." Dia membalik dan kembali ke tempat
 duduknya. Sementara itu Pau Seh-hoa sudah hampir habis sikat seekor bebek. Tanpa terasa
 sang surya sudah mulai doyong ke barat, hari sudah dekat maghrib.
 - - - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - - - -- - - - - - --
 Siapakah si orang tua Kiang Kiau-hong dan anak perempuannya yang bersembunyi
 di tempat Siang Cin ini"
 Cara bagaimana Siang Cin akan bantu rebut kembali pacar An Lip"
 - Bacalah jilid ke-3 -
 Jilid 03 Pelan2 Siang Cin menggeliat melemaskan otot, setelah mengisi sekedar perutnya,
 Siang Cin masuk kamar berganti seperangkat pakaian ketat dengan jubah kuning di
 bagian luarnya.
 An Lip menatapnya, katanya dengan lirih: "Inkong, sekarang juga mau berangkat?"
 Siang Cin mengangguk, katanya: Ya, apakah markas pusat Siang-gi-pang berada di
 atas Ji-long-san?"
 "Betul, Ji long san kelihatan tidak angker, tapi keadaan di sana amat berbahaya,
 penjagaan pihak Siang-gi-pang juga sangat ketat, markas pusatnya berada di
 sebuah rumah yang digali di dalam sebuah batu gunung raksasa."
 Pau Seh-hoa menyemburkan sekerat tulang dari mulutnya, katanya: "Kongcuya,
 jangan kau terlampau pongah akan kemampuanmu.. jika kau betul2 ingin menolong
 perempuan itu, baiklah, biar aku saja yang mewakili kau."
 Sang Cin tersenyum, katanya: "Terima kasih, Kun-cici kutinggalkan disini. mohon
 kau suka merawat dan menjaganya baik2, sebelum tengah malam nanti aku pasti
 pulang." An Lip kelihatan bimbang, katanya dengan kikuk dan tidak tenteram: "Inkong,
 luka. . . . . lukamu belum lagi sembuh, aku . . . . . aku merasa. . . . . . "
 "Tidak jadi soal" ujar Siang Cin sambil mengulap tangan, "luka2 seringan ini masih
 kuat kutahan, tolong kau bantu menjaga rumah ini."
 "Lote," seru Pau Seh hoa sambil berdiri, "luka2 mu itu tidak boleh dibilang ringan,
 39 nanti malam kau harus menempuh bahaya, bukan mustahil harus mengadu jiwa pula,
 jika terjadi apa2 di luar perhitungan lalu bagaimana" Biar aku ikut bersamamu."
 Mengawasi Pau Seh-hoa. Siang Cin berkata kalem: "Lo Pau, sungguh aku sangat
 berterima kasih akan kesediaanmu, tapi kita berdua tidak boleh pergi semua
 meninggalkan rumah ini, satu di antara kita harus jaga rumah dan melindungi Kuncici.
 Kau kenal akan watakku, sesuatu persoalan yang sudah dijanjikan untuk
 dibereskan oleh Pendekar Naga Kuning selamanya tidak pernah dijilat kembali, pula
 toh aku bukan orang, yang gampang kecundang."
 Pau Seh-hoa berkata dengan mendongkol: "Bukan aku ingin menambah beban
 padamu, kalau kau dalam keadaan sehat tentu aku tak peduli akan sepak terjangmu,
 tapi kondisi badanmu sekarang, betapapun aku tak tega melepasmu pergi begini
 saja." Siang Cin menggeleng, katanya tegas; "Pendek kata, Lo Pau, kau tidak boleh ikut,
 Kun-cici memerlukan perlindunganmu "
 Sambil membanting kaki Pau Seh hoa berteriak gusar; "Baiklah, aku tidak akan pergi
 biar aku menunggu gubuk kura2 ini." - Dengan gregetun dia duduk pula di kursinya.
 Pada saat itulah daun pintu kamar sebelah kanan kembali terbuka, Kiang Ling
 tampak beranjak keluar membawa baki poci teh, melihat Pau Seh-hoa yang bersungut2,
 dilihatnya pula sikap An Lip yang serba susah, sekilas dia tatap dengan
 hambar, lalu dia serahkan baki dan poci itu kepada Siang Cin dan berkata: "Terima
 kasih, Siang- hiapsu."
 Dengan tak acuh Siang Cin terima baki dan poci itu dan ditaruh di atas meja. dia
 hanya mengangguk pada Kiang Ling, lalu menjura ke arah Pau Seh hoa, katanya:
 "Lo Pau, aku akan berangkat, nanti malam kita berkumpul lagi." -- Lalu dia putar
 badan dan keluar.
 Tapi baru dia sampai di ambang pintu, tiba2 `Pau Seh-hoa memburu ke depannya,
 dengan lekat dia tatap muka orang, sesaat kemudian baru berkata dengan lirih:
 "Jangan marah padaku saudaraku."
 Siang Cin tertawa lebar, jawabnya: "Sudah tentu."
 "Perhatikan akan luka2mu sendiri," pesan Pau Seh hoa pula.
 Dengan pandangan tulus Siang Cin balas tatap mata orang. Habis itu mendadak ia
 berkelebat keluar.
 An Lip melenggong memandang keluar jendela, gumamnya: "Thian selalu melindungimu,
 Inkong ....."
 Kiang Ling juga tertegun, pandangannya terarah keluar pula, suasana seketika
 menjadi hening, sorot matanya se-olah2 ada sesuatu yang tak terkatakan, membawa
 perasaan hampa, risau dan masgul.
 Pau Seh-hoa menghela napas, dengan tawar dia lirik kearah Kiang Ling lalu berkata
 tak acuh: "Penyakit bapakmu sudah baikan tidak" Bocah ayu?"
 Merah muka Kian Ling, sahutnya malu2: "Sudah agak mendingan, cuma ayah
 memang sukar dilayani."
 Pau Seh-hoa berdehem sambil duduk, katanya: "Di daerah Loh, terutama Siau-angpa
 tempat tinggalmu itu, ada sebuah jembatan gantung dari rantai, apakah sampai
 sekarang masih terpasang membentang di atas sungai Gun-cui-ho?"
 Kiang Ling tertegun sebentar, tapi segera dia tertawa, katanya: "Ya, jembatan itu
 masih ada, cuma sudah jauh lebih rusak dari dulu, rantainya sudah karatan."
 Dinging saja Pau Seh-hoa menatap Kiang Ling, sorot matanya mengandung
 perasaan sinis, katanya pula: "Apakah ribuan sirip batu diseberang sungai itu juga
 tetap utuh?"
 Kiang Ling menjulurkan lidahnya yang kecil membasahi bibir, katanya pelan2: "Ada
 apa Congcu, kenapa mendadak engkau menanyakan semua ini?"
 Pau Seh-hoa tertawa, sikapnya tampak tenang, katanya kalem: "Bapakmu bilang
 kalian datang dari Siau-ang-pa. Em, orang she Pau ini dulu pernah melancong ke
 tempat itu, maka sambil lalu kutanya secara iseng, mungkin kau jarang perhatikan
 hal itu di Siau-ang-pa?" .
 40 Berkedip Kiang Ling. kembali dia mengunjuk sikap malu2 seorang gadis remaja,
 katanya: "Bukannya tidak memper-hatikan, cuma pertanyaan Congsu terlalu janggal,
 aku dibesarkan di Siau-ang-pa, mana mungkin tidak tahu akan hal2 itu?"
 Pau Seh-hoa tertawa pula, katanya: "Bocah ayu, pergilah istirahat, kalau perlu apa2
 boleh panggil kami saja, tidak usah sungkan."
 Sekilas mata Kiang Ling mengerling ke arah poci teh di atas meja sana, tanpa
 bersuara pelan2 dia kembali ke kamarnya, tinggal An Lip yang masih duduk melongo
 kebingungan, kelihatan curiga tapi tidak mengerti.
 Setelah Kiang Ling menutup pintu kamarnya lekas An Lip bersuara: "Pau-cianpwe,
 barusan ....."
 Lekas Pau Seh-hoa memberi tanda kedipan mata, katanya sambil ter gelak2:
 "Barusan sengaja kugoda genduk ayu itu, wajahnya cantik, perawakannya padat
 menggiurkan bukan?"
 An Lip segera tutup mulut, nalurinya merasakan adanya sesuatu yang tidak beres
 dalam tanya jawab tadi, cuma dia tidak berani utarakan, dilihatnya Pau Seh-boa
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menuding ke arah pintu kamar kanan dan memberi tanda kedipan mata, maksudnya
 supaya dia bantu mengawasi.
 Suasana kembali menjadi tenang sunyi, dengan perasaan sedikit tegang, tanpa
 berkedip An Lip memperhatikan pintu kamar kanan, sementara Pau Seh-hoa duduk
 memejamkan mata, tidur2 ayam, tapi jelas kelihatan bulu matanya masih ber-gerak2.
 "Apakah bakal terjadi sesuatu peristiwa besar"
 Paling tidak saat ini masih sulit untuk merabanya, tapi suasana yang hening terasa
 mencekam. Pe-lahan2 di dalam rumah mulai guram, haripun sudah petang, maklumlah musim
 rontok, malam hari biasa datang lebih cepat, terasa sekali perbedaan ini di atas
 gunung yang tinggi ini.
 Tanpa bersuara, pintu kamar kanan mulai bergerak, pelan2 kepala Kiang Ling
 menongol ke luar pintu, di tangannya tampak memegang baki tempat bebek
 panggang tadi, masih ada sisa setengah ekor malah.
 Segera An Lip menelan air liur, dengan suara serak dia berkata: "O, nona, ada apa?"
 Kiang Ling terjingkat, katanya sambil mendekap dada: "O, kukira Congau berdua
 sudah tidur, di luar begini sunyi . . . . apakah aku yang membangunkah kalian . .
 An Lip berdiri, katanya: "Tidak apa, serahkan saja baki itu padaku."
 Kiang Ling mengerling ke arah Pau Seh-hoa, katanya lirih: "Apakah Congsu itu
 sudah pulas?"
 Sambil menerima baki An Lip menjawab dengan suara tertahan: "Ya, sehari ini Paucian
 pwe bekerja berat, terlalu letih, baru saja tidur . . . . "
 Mengawasi kain balutan di badan An Lip, Kiang Ling bertanya: "Congsu sendiri
 terluka?" An Lip menyengir, katanya: "Ah, hanya luka2 ringap saja, tidak apa2"
 Bola matanya menjelajah keadaan ruang tamu ini, agaknya Kiang Ling, sengaja
 mencari kesempatan untuk berdiam lebih lama di sini, dasar An Lip orangnya lugu,
 tidak bicara kalau tidak diajak omong, maka keduanya tetap berdiri diam tanpa
 bersuara, suasana menjadi serba kikuk.
 Tiba2 Pau Seh-hoa menggeliat, matanyapun terbuka, katanya: "Ada apa bocah
 ayu?" Dengan sikap was2 Kiang Ling bersenyum kearah Pau Seh-hoa: "Tidak apa2, aku
 mengembalikan baki."
 Baru saja Pau Seh-hoa mau buka suara, mendadak dilihatnya tubuh Kiang Ling
 sempoyongan ke depan, lekas Pau Seh-hoa ulur tangan hendak memapahnya, tapi
 mendadak dia tarik kembali tangannya, sementara kedua tangan Kiang Ling
 terpentang ke depan seperti hendak menangkap sesuatu untuk menahan diri,
 syukurlah hanya beberapa langkah dia sudah dapat menguasai diri.
 Perasaan curiga Pau Seh -hoa terlebur dalam tawanya yang lebar dengan
 mengunjuk giginya yang kuning, katanya: "Kenapa kau bocah, ayu?"
 41 Tangan Kiang Ling menyeka keringat di jidatnya, sabutnya lemah: "Kepalaku
 mendadak pusing . . mungkin beberapa .hari ini terlalu kerja berat, kurang, tidur
 lagi . . . . pandanganku terasa berkunang2."
 Seperti tertawa tidak tertawa Pau Seh-hoa mencibir, katanya: "Kalau begitu lekaslah
 tidur, jangan kian kemari, kalau bapak-anak sama2 ambruk kan berabe."
 Seperti memperoleh firasat apa2 dari perkataan Pau Seh-hoa, muka Kiang ling
 tampak tegang sebentar lalu mengeridor pula dengan langkah lemas pelan" dia
 mengundurkan diri, agaknya badannya memang kurang sehat.
 Mendadak Pau Seh-hoa mengendus2 seperti anjing pelacak, keningnya berkerut,
 lalu geleng2 kepa)a. pandangannya penuh tanda tanya merijelajah sekelilingnya,
 akhirnya mulutpun menggumam: "Memangnya ada apa sih, kelihatannya tidak beres,
 hatiku terasa tidak tenteram. . . . . . . "
 Ji-long-san, kira2 lima puluhan li jauhnya dari tempat tinggal Siang Cin, luka2 Siang
 Cin sudah dibalut rapi dan takkan mengganggu gerak-geriknya yang cekatan bagai
 terbang. Dua gugusan gunung yang berbentuk aneh dengan batu2 runcing berbagai bentuk
 tampak di depan mata, di tengah kedua gugus gunung itu membujur satu jalur
 gundukan tanah yang tidak begitu tinggi se olah2 sebatang pikulan yang memikul
 kedua gugus gunung.
 Siang Cin mengatur pernapasan sambil duduk di atas batu, lukanya kembali terasa
 sakit, sebetulnya dia tahu dengan kondisinya sekarang, dia perlu istirahat dan tak
 boleh menguras tenaga, tapi iapun tahu kalau tidak lekas bertindak mungkin urusan
 bisa terlambat, dia sadar membantu orang harus cepat hingga beres.
 Markas pusat Siang-gi-pang sudah berada di depan mata, lebih baik kalau tidak
 terjadi pertumpahan darah. Berpikir demikian serta merta hidungnya mengendus bau
 anyirnya darah, napas serasa sesak dan mual.
 Laksana seekor kucing di tempat gelap dia bergerak tanpa mengeluarkan suara.
 Sebuah jalan beralas batu hijau ber-liku2 menuju ke atas gunung, kecuali orang tolol,
 kerapun akan tahu bahwa jalan beralas batu hijau ini tidak boleh sembarang dilalui.
 Tenang2 Siang Cin, periksa keadaan sekitarnya, dengan hati2 dan penuh
 perhitungan ia terus menggeremet ke atas gunung, lekas sekali dia sudah selamat
 melewati enam pos penjagaan.
 Dengan hati2 dia melompati seutas tali benang sutera, pada tali ini terikat beberapa
 kelintingan tembaga, ujung tali terikat pada setumpukan batu besar yang akan
 menggelundung jatuh dan menindih orang2 yang coba menyelundup ke atas, lebih
 hebat lagi di atas terpasang pula karung2 kapur yang akan ditembakkan melalui
 pegas batang pohon yang diatur sedemikian rupa. Di sebelah depan yang tinggi,
 pagar pasanggerahan yang terbikin dari barisan batang2 pohon telah kelihatan.
 Enam belas laki2 kekar berseragam abu2 berjaga di depan pintu gerbang, ada tiang
 yang terpasang sebuah panji yang berwarna kelabu tersulam huruf 'GI" yang besar,
 panji besar itu ber-kibar2 tertiup angin, di atas pagar sana kelihatan bayangan orang
 mondar-mandir, sinar golok kemilau di tengah kegelapan, penjagaan di sini ternyata
 sangat keras dan ketat.
 Siang Cin terus menggremet maju ke sana, akhirnya tiba di bawah pagar kayu yang
 cukup gelap dan tidak tersinari oleh lampu yang terkerek tinggi di payon dengan
 mendekam Siang Cin pegang kaki pagar, sedikit kerahkan tenaga pelahan2 pagar
 kayu sebesar paha itu yang terikat dengan kawat telah berhasil dibongkarnya, tali
 kawat itu dengan mudah dipuntirnya putus pula tanpa mengeluarkan suara, cuma
 pagar kayu yang terbongkar dan berlubang itu sedikit miring.
 Selicin belut Siang Cin menerobos ke dalam dilihatnya puluhan bangunan rumah
 besar kecil, ada yang berloteng tapi semuanya terbangun dari papan kayu pilihan
 yang kukuh dengan pondasi batu, di kejauhan sana ada gundukan bukit kecil, di atas
 tanah bukit inilah bertengger sebuah bangunan gedung yang mentereng dan angker,
 gedung ini berkapur putih bersih.
 Siang Cin terus menyelinap ke depan tanpa di ketahui, akhirnya dari depan
 42 dilihatnya seorang laki2 kekar sedang mendatang dengan langkah gopoh, lekas
 Siang Cin sembunyi di tempat gelap, dikala laki2 itu lewat di sampingnya, secepat
 kilat dia tutuk Hiat to pinggang orang.
 Tanpa mengeluarkan suara, laki2 itu diseret Siang Cin ke pojok tembok, sorot mata
 orang kelihatan kaget, ketakutan tercampur heran pula. Pelahan Siang Cin menepuk
 punggungnya, lalu berkata dengan suara lirih kereng: "Kalau kau masih ingin hidup,
 jangan berteriak, kalau tidak, besok pagi kau tak bisa melihat matahari lagi"
 Laki2 itu membuka mulut tapi tiada suara yang keluar, akhirnya dia manggut2.
 Siang Cin berkata dingin: "Calon isteri An Lip di mana?"
 "Calon isteri... isteri siapa?" tanya laki2 itu dengan bingung.
 "An Lip," ulang Siang Cin. "An Lip yang berewok itu."
 "O, ya," ajar laki2 itu, "dia . . . . . memberontak . . . . . gendaknya itu kini disekap di
 penjara bawah tanah . . . . . letaknya di rumah batu tak jauh di sana itu."
 Siang Cin memandang ke tempat yang ditunjuk, memang di sana ada sebuah rumah
 batu, kelihatannya seram dan menyendiri di sebuah tanah lapang yang kosong.
 Setelah menelan air liur, laki2 itu berkata pula: "Kentongan kedua malam ini, gendak
 An Lip itu akan menjalani hukuman, mungkin akan dibakar hidup2."
 Dengan heran Siang Cin tatap laki2 ini, dia tidak tanya soal ini, mengapa dia malah
 bercerita" Agaknya laki2 itu maklum akan sorot mata Siang Cin yang mengandung
 pertanyaan, maka dia menambahkan: "Terus terang Hohan, perkara An Lip telah
 menjadi rahasia umum bagi seluruh anggota Sianggi-pang kami, siapa benar siapa
 salah, dalam hati masing2 sama tahu, apalagi sejak kecil aku sangat intim dengan
 An Lip, aku tahu bahwa Hohan ke mari hendak menolong calon isteri An Lip,
 perempuan itu memang bukan orang bejat."
 "Kalau demikian, aku tidak akan menyakiti kau," ucap Siang Cin tertawa. "Cuma
 untuk sementara biarlah engkau ngendon saja di sini." --- Lalu dia tutuk Hiat-to orang,
 tanpa bersuara laki2 itu jatuh pingsan.
 Dengan beberapa kali lompatan Siang Cin melayang ke samping kiri rumah batu itu,
 karena rumah batu ini dibangun di tengah lapangan, maka tiada tempat untuk
 sembunyi, empat laki2 memeluk golok tampak berdiri tegak di depan rumah,
 sementara puluhan orang lagi yang juga bersenjata lengkap mondar-mandir di
 halaman, maka bukan soal mudah untuk mendekati rumah batu, apalagi lagi
 lapangan kosong itu ada puluhan tombak.
 Baru saja Siang Cin hendak berdiri, tiba2 kepalanya terasa pusing, pandangan
 menjadi gelap, cepat dia geleng2 kepala serta memijat jidat, mengapa dalam
 keadaan segenting ini dia pusing kepala" Memangnya terlalu letih dan terlalu banyak
 keluar darah karena luka2nya pagi tadi"
 Sejenak dia berdiam serta menenangkan perasaan, akhirnya dia melangkah keluar
 dari tempat gelap, dengan langkah berlenggang dia menuju ke rumah batu itu, baru
 saja beberapa langkah, dua kali suara tepukan tangan sudah berkumandang dari
 depan disusul suara orang menghardik: "Siapa?"
 Segera Siang Cin balas bertepuk tiga kali seraya, menyahut dengan suara tertahan:
 "Aku!"
 Agaknya pihak sana melenggong, sementara itu Siang Cin telah berkelebat maju,
 katanya: "Kalian tentu lelah, saudara2, segera Pangcu akan tiba."
 Bayangan seorang tampak memapak ke arahnya, katanya penuh rasa curiga:
 "Saudara dari mana" Kenapa jawaban sandimu tadi tidak cocok?"
 Dalam pada itu Siang Cin lantas melangkah maju semakin dekat, dengan tenang dia
 menjawab: "Baru saja sandi dirubah, kenapa tidak cocok" Pangcu suruh kutanya
 apakah peralatan hukuman sudah disiapkan?"
 Masih dalam jarak dua tombak, orang itu masih curiga, katanya: "Berganti sandi"
 Kenapa aku tidak diberitahu?"
 Siang Cin terkekeh pelahan, tahu2 dia sudah berada di samping orang, tak kelihatan
 cara bagaimana dia turun tangan, tahu2 laki2 itu sudah roboh menggeletak, bagai
 angin puyuh dia bergerak, dua laki2 yang berada di kanan-kirinyapun sekaligus
 43 dibikin tak berkutik, hakikatnya mereka tidak melihat jelas siapa pendatang yang
 turun tangan ini!
 Baru saja keempat laki2 yang jaga di depan rumah merasakan gelagat jelek, belum
 sempat mereka bersuara, tahu2 bayangan orang berkelebat, seperti orang mabuk
 saja mereka sama jatuh saling tindih. Sekali kelebat Siang Cin menerobos masuk,
 dua laki2 yang duduk di belakang sebuah meja serentak menubruk maju sembari
 menghardik. Siang Cin mendengus dan mengisar tangannya terayun serta menebas miring, sekali
 putar lagi, seperti orang di luar tadi, kedua orang inipun jatuh mencium lantai tanpa
 mengeluarkan suara.
 Inilah sebuah ruangan kosong melompong, tanpa pajangan apapun, di kiri-kanan
 ada sebuah pintu, pintu terbuat dari batu dan tertutup rapat. Siang Cin langsung
 menerjang ke pintu kanan, telapak, tangannya menggempur dengan sekali hantam
 "Byar", pintu batu itu dipukulnya hancur, di dalam adalah sebuah lorong gelap, pada
 kedua sisi lorong terdapat delapan kamar tahanan, dengan suara tertahan Siang Cin
 berteriak: "Siapa calon isteri An Lip" Lekas jawab pertanyaanku."
 Beruntun tiga kali dia bersuara, reaksinya malah suara keributan pada kedelapan
 kamar tahanan itu, tahu waktu amat mendesak, lekas Siang Cin membalik
 menerjang ke pintu sebelah kiri, sekali pukul dia runtuhkau pintu batu pula, belum
 lagi taburan debu mereda dia sudah menerjang masuk seraya berteriak pula: "Siapa
 calon isteri An Lip" Kudatang menolongmu, lekas jawab pertanyaanku."
 Dua kali dia berteriak, pada ujung kamar sana mendadak seorang perempuan
 berteriak dengan suara meratap: "Aku . . . . aku inilah. . . . "
 Tanpa pikir dan sangsi lagi, Siang Cin langsung menerjang ke sana, belum lagi
 kakinya menginjak tanah, tangannya sudah mematahkan jeruji kamar tahanan yang
 terbuat dari kayu, keadaan di sini gelap remang2, walau keadaannya compancamping
 dan tidak terurus, tapi kelihatan sesosok tubuh yang ramping, bayangan
 seorang perempuan tampak bergerak dengan langkah lemah, kiranya kaki
 tangannya terborgol rantai.
 Siang Cin kerahkan tenaga pada telapak tangap, sekali tabas ia putuskan rantai itu
 serta bertanya dengan suara gugup: "Apakah kau tunangan An Lip?"
 Perempuan itu manggut2 dengan menahan isak, sabutnya serak,, "Tan . . . . Tan Sin
 akan . . . . akan membakarku malam ini . . . . "
 "Dia takkan membunuhmu," ucap Siang Cin, sekali raih dia kempit orang, secepat
 kilat dia melayang keluar. Tapi baru saja dia keluar dari pintu batu yang digempurnya
 hancur itu cahaya obor yang terang benderang tahu2 menyilaukap matanya, di luar
 rumah tanpa bersuara sudah dipagari banyak laki2 seragam abu2 yang tak terhitung
 jumlahnya, senjata mereka tampak berkilau dibawah sinar obor, wajah mereka rata2
 tampak sadis, terasa suasana amat tegang.
 Yang berdiri dan menjadi pimpinan pengepungan ini kiranya bukan lain daripada
 Sam-bak-siu-su Tan Sin adanya, jago2 kelas tinggi Siang-gi-pang telah dikerahkan.
 Codet di tengah alias Tan Sin tampak membara, sorot matanya menatap dingin,
 lama dia menatap Siang Cin tanpa bergerak.
 Perempuan yang terhimpit di bawah ketiak Siang Cin tampak gemetar ketakutan,
 mukanya pucat, kaki-tangannya lunglai, agaknya dia amat ketakutan, semula dia kira
 selekasnya akan lolos dari segala siksa derita, tak tahunya elmaut justeru sudah
 mengadang didepan mata.
 Terangkat alis Tan Sin, dengan ketus ia berkata: "Orang she Siang akhirnya toh kau
 terlambat setindak."
 Dengan tenang Siang Cin menggelendot di dinding batu, sikapnya yang tenang itu
 se-akan2 tidak tahu situasi yang tegang mendebarkan jantung ini. "Terus terang,
 kalian yang tidak beruntung, kenapa lebih cepat kalian datang kemari"
 Menyeringai Tan Sin dan berkata: "Siang Cin, malam ini kukira kau takkan bisa pergi
 seenak perutmu sendiri."
 Sang Cin mengejek: "Jangan takabur Tan Sin, kau akan memperoleh ganjaran yang
 44 setimpal "
 Seperti mekar hidung Tan Sin, secapat mungkin dia menekan amarahnya, katanya
 penuh kebencian: "Jangan kau hina orang keterlaluan orang she Siang, kau ingin
 bertingkah di tempat Siang-gi-pang, hm, kau belum cukup punya kemampuan, orang
 lain takut terhadapmu, tapi orang she Tan tidak memandang sebelah mata padamu."
 Siang Cin menarik napas, kembali rasa pening merangsang dirinya, dadapun terasa
 mual: "Tan Sin," ucapnya kemudian, "perempuan ini milik orang lain, kenapa kau
 sengaja bikin mereka tercerai berai" Kalau kau tidak peduli mati hidup perempuan ini,
 orang lain kan mengharapkan dapat hidup rukun dan bahagia sampai hari tua ..... ."
 "Tutup bacotmu," bentak Tan Sin murka. "An Lip memelet gundikku. dosanya pantas
 dihukum pancung, kini kau keparat ini berani hantu dia menculik orangku, kau kira
 Siang-gi-pang kami boleh sembarangan dihina."
 Siang Cin mendengus, katanya: "Jangan emosi, Tan Sin, demi seorang perempuan,
 bila kau terjungkal kan tidak setimpal."
 Dibarengi suara gerungan, Gui Ih tampak muncul di samping Tan Sin, dia
 mengangguk pada Tan Sin, lalu berputar menghadapi Siang Cin, katanya dengan
 gemas: "Siang Cin segera kau sendiri akan maklum siapa yang bakal terjungkal
 gara2 seorang perempuan."
 Rasa pening yang merangsang kepala Siang Cin bertambah berat, sekerasnya
 Siang Cin geleng kepala, suaranya sudah berubah serak: "Tan Sin, sekali lagi
 kutegaskan, kau mau memberi jalan tidak"
 Tan Sin menyeringai, katanya: "Gampang saja memberi jalan asalkan kau mampu
 mencabut nyawa seluruh orang Siang-gi-pang."
 Tiba2 Siang Cin tertawa aneh, katanya: "Tan-toapangcu, kau kira Siang Cin tidak
 mampu melakukannya?"
 Mendengus hina Tan Sin menantang: "Kami sedang menunggu aksimu itu."
 Siang Cin memperlihatkan tawanya yang acuh tak acuh, dengan langkah lambat
 seperti orang malas dia beranjak ke arah pintu.
 Tan Sin meraung seraya mengulap tangan, orang2 Siang gi-pang yang memagari
 pintu serentak memecah diri lompat ke samping, di belakang mereka masih ada tiga
 puluhan orang berbaju abu2 yang bertiarap, tangan setiap orang sama memegang
 bumbung perak sepanjang dua kaki, tampak jelas alat di ujung bumbung bagian
 belakang siap ditarik untuk melancarkan serangan, entah bahan peledak atau
 senjata rahasia apa.
 Terkesiap Siang Cin, tapi dengan tenang ia berkata: "Tan Sin, kau siap bertindak
 kasar dan nekat?"
 Otot hijau di jidat Tan Sin tampak membesar, suaranya mendesis dari deretan
 giginya yang gemeretuk geram: "Turunkan perempuan itu, tutuk pula Hiat-to
 pelemasmu sendiri."
 Siang Cin tertawa, katanya: "Kau tahu bahwa saat ini tak mungkin kulakukan
 Toapangcu."
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dingin sorot rnata Tan Sin, sekilas ujung bibirnya bergetar, maka Siang Cin lantas
 tahu apa yang akan dilakukan orang. Selama ber-tahun2 ini Siang Cin sudah biasa
 dengan tradisinya sendiri yaitu turun tangan lebih dulu, adalah logis kalau kali ini
 iapun tidak mau kalah cepat bertindak daripada lawan2nya yang sudah menguasai
 situasi. Sesosok bayangan kuning laksana anak panah melesat ke pinggir pintu, hampir
 pada waktu yang sama di bawah gerungan kasar serta makian kalang kabut
 terdengar suara jepretan yang bersahutan ber-gulung2 gumpalan asap yang
 membara membawa ekor cahaya panjang memapak luncuran bayangan kuning itu.
 Hampir tak terikuti oleh mata telanjang, bayangan kuning itu mendadak jatuh
 menelungkup di belakang pintu, tidak jelas cara bagaimana tiba2 dia bisa berdiri pula,
 tapi ketika bayangan kuning itu berdiri, dua Thocu Siang-gi-pang meraung keras
 dengan badan terlempar tiga tombak jauhnya.
 Baru sekarang kobaran api yang menyala itu menerjang masuk ke dalam kamar, di
 45 tengah suara ledakan dan kobaran api yang menjilat apapun, karena itu seketikapun
 terjilat kobaran api, padahal lapisan batu marmar biasanya tidak mempan dijilat api
 kini telah berkobar dengan asap tebal warna hijau kebiruan. Maklumlah semburan
 bahan peledak yang mengandung minyak dan pospor itu akan menyala dimanapun
 bila kena hawa, siapapun bila terciprat meski cuma sedikit saja, kecuali potong
 bagian yang keciprat itu, kalau tidak, seluruh badan orang akan terbakar hangus.
 Ternyara tiga puluhan laki2 yang menyanding bumbung perak itu cukup tabah dan
 yakin akan senjata ganas mereka, melihat semprotan pertama tidak mengenai
 sasaran, cepat mereka keluarkan sebutir bahan peledak warna merah sebesar
 mangga segera terus dimasukkan ke dalam bumbung . . . . .
 Sementara itu Siang Cin telah kerjakan telapak tangannya, tiga puluh satu jurus,
 serentak dia gempur mundur lima jago kosen Siang-gi-pang, di mana matanya
 melirik, sekilas dia sudah menguasai situasi sekelilingnya., cahaya keemasan yang
 benderang melebar dengan deru suaranya yang mirip pekik setan memberondong
 ke berbagai penjuru.
 Cahaya keemasan itu tampak berputar, kelihatan masih jauh, tapi tahu2 batok
 kepala sembilan orang sudah sama putus dan bergelinding ke tanah. Maka
 gemerantang pula bumbung perak yang berjatuhan, ditambah jerit kaget dan
 ketakutan orang banyak, suasana menjadi kacau.
 Sambil mencaci kalang kabut tampak Tan Sin menerjang maju, Kek-cu-kau (gaetan
 kalajengking) senjata andalannya segera menyerang dengan kalap.
 Dengan cepat Siang Cin berkisar sejauh lima tombak, di kala badannya berputar
 laksana angin puyuh itu, puluhan orang berbaju abu2 kembali roboh tak bernyawa
 lagi, tiada seorangpun melihat cara bagaimana musuh menamatkan jiwa mereka.
 Tiga bayangan orang menubruk tiba bersama dari tiga jurusan, tenaga pukulannya
 kuat dan mantap, ketiga orang ini adalah para Tongcu Siang-gi-pang, yakni Bing-gitong
 Tongcu It-pi-kan-san (satu tangan menyanggah gunung) Ih Giam, Jing-sim-tong
 Tongcu Siu li ciam (jarum dalam baju) Cui Hi dan Ting-long-tong Tongcu Ci Jan (si
 janggut ungu) Ban Pek-hou.
 Siang Cin segera pasang kuda2, kaki berdiri kukuh tak bergeming, telapak tangan
 bergerak melingkar, damparan angin pukulan berpusar yang tidak kelihatan segera
 memapak ketiga Tongcu yang menubruk tiba itu.
 Suara keras benturan telapak tangan segera memecah kesunyian, tampak ketiga
 Tongcu Siang-gi-pang itu sama mengerang kesakitan, ketiganya tergetar mundur
 dengan muka pucat dan meringis kesakitan.
 Sam-bak-siu-su Tan Sin kembali menerkam laksana serigala kelaparan, mulutpun
 ber-kaok2: "Cincang keparat ini, meski harus banjir darah, jangan biarkan dia pergi."
 Ujung kaitan kalajengking kembali menyambar, dengan gaya serangan yang aneh ia
 menggantol leher Siang Cin, berbareng cambuk kulit ular juga sekaligus melecut ke
 kaki dengan suara yang menggeletar.
 Siang Cin mengencangkan kempitannya pada perempuan tadi, bersamaan dengan
 gerakannya ini. sekaligus dia melejit menyingkir dari rangsakan Tan Sin, berbareng
 sikutnya menyodok ke arah Gui lh, si penyerang dengan cambuk itu.
 Gui Ih menjerit seraya melompat pergi sejauh mungkin dengan gugup, sungguh tak
 terbayang olehnya, entah dengan gerakan apa tahu2 lawan tiba di depannya dan
 menyerang dengan sikutnya. Dikala dia melompat menyingkir inilah, Ting-long-tong
 Tongcu si jenggot ungu Ban Pek-hau menggerung, dia melejit maju, sepuluh kali
 pukulan telapak tangan dan sembilan kali tendangan dilontarkan ke punggung Siang
 Cin. Se-konyong2 badan Siang Cin berguntai ke kiri-kanan, telapak tangannya bergerak
 membabat ke leher lawan, jurus babatan telapak tangan ini tampaknya sepele, tapi
 serangan ini justeru mengejutkan Ban Pek-hao, cepat dia mengelak ke belakang, tak
 urung baju di pundaknya terserempet sobek, sudah tentu tak terpikir oleh si jenggot
 ungu Ban Pek-hou bahwa Siang Cin telah batas menyerangnya dengan jurus Kui-sohun
 (setan merenggut nyawa), salah satu jurus ilmu pukulan kebanggaannya.
 46 Ih Giam, si penyanggah gunung, bersenjata Siang-hoan-kim-to (golok emas
 bergelang), ia menerjang maju dari samping dengan bacokan golok, sementara
 kedua kakinya laksana kitiran berbareng menyapu, pada hal Siang Cin kembali lagi
 diserang rasa pusing, pandangannya tiba2 menjadi gelap, untung kupingnya masih
 dapat mendengar suara dan membedakan arah, cepat ia berkelit, menyusul jurus
 Kui-so hun dia lancarkan pula untuk menggempur mundur Sin li-ciam (jarum dalam
 baju) Cui Hi yang merunduk dari sehelah kiri.
 Berkeringat codet di jidat Tan Sin, matanya mendelik, bagai harimau kelaparan dia
 putar sepasang gaetan dan merangsak dengan membabi buta, sementara empat
 Thocu Siang-gi pang yang masib segar kinipun terjun ke arena pertempuran
 membantu Tan Sin.
 Rasa lelah dan pening Siang Cin terasa semakin berat dan membuat kondisi
 badannya semakin payah, Siang Cin tahu gelagat tidak menguntungkan, disadarinya
 bahwa dirinya telah terkena racun, tapi sungguh dia tidak habis mengerti, kapan dan
 di mana dia terkena racun ini"
 Bayangan Siang Cin berlompatan kian kemari menghindari serangan dari berbagai
 arah, di tengah gerakan yang sebat itu terasa oleh Siang Cin adanya gangguan yang
 menghambat gerak-geriknya, terpaksa dia lontarkan pukulan dahsyat untuk
 kemudian melompat ke sana sejauhnya.
 Sambil ber-kaok2 Tan Sin mendahului mengudak, makinya: "Naga Kuning, beginikah
 sepak terjangmu selama kau tenar di dunia Kangouw?"
 Siang Cin tidak tanggapi cemooh orang, dia jawab dengan gerakan tangan, tiga jalur
 cahaya keemasan yang melengkung seperti sabit tahu2 meluncur dari tanganya,
 Toa-liong-kak tahu2 menyambar, tanpa berpaling juga dia yakin akan senjata
 ampuhnya ini, di mana senjata rahasia ini menyambar tiba segera terdengar jeritan
 ngeri, sekali lepas jarang Toa-liong-kak tidak minum darah korbannya.
 Sekuatnya dia kerahkan sisa hawa murninya, dikala tenaganya rnasih bekerja
 dengan normal seringan asap tertiup angin, cepat sekali ia melayang jauh kesana
 dan menghilang.
 Beruntun beberapa kali naik turun dia berlompatan, akhirnya dia tiba di selat antara
 kedua puncak Ji-long-san, tapi keringat sebesar kacang telah membasahi mukanya,
 sekuatnya dia menahan napasnya supaya tidak menderu kencang, dia tahu sekali
 dia mengembus napas, tenaga yang tersisa akan buyar seketika.
 Perempuan yang dikempitnya agaknya jatuh pingsan, lunglai tak bergerak, kaki
 tangannya terjulur, rambutnya terurai awut2an, kini bobot badan orang terasa berat
 sekali. Tapi Siang Cin bertahan sekuat tenaga sambil mengayun langkahnya berlari
 lagi bagai terbang, tenggorokan sudah terasa kering dan getir, rasa panas
 merangsang dada pula, sekuatnya dia mengedip mata, karena pandangannya
 seakan2 berselaput, sehingga alam sekelilingnya kelihatan remang2.
 Jarak lima puluhan li ini, se-akan2 tidak bisa tercapai lagi, begitu lama dan jauh
 sekali rasanya, gunung gemunung seperti sambung menyambung tak ter-putus2,
 kegelapan dan dingin dengan deru angin yang seram bagai pekik tangis setan
 penasaran. Dengan tangan kirinya yang kosong ia seka keringat, terasa oleh Siang Cin bahwa
 jantungnya memukul keras, pakaiannya yang rangkap luar dalam sudah basah
 kuyup oleh keringat dan melengket di bajunya. Dia telan air liurnya yang terasa getir,
 kakinya segera bertambah tenaga dan berlari sekencang mungkin, tapi kakinya kini
 seperti terborgol oleh rantai yang berat, kaku dan susah digerakkan.
 Lama sekali akhirnya Siang Cin menghela napas lega karena dia sudah lewat Sukui-
 kok (lembah kenangan) dan tiba di deretan pohon Siong itu, rumah kayu yang
 mungil itupun sudah kelihatan. Ya, cahaya lampu yang remang2 tampak menyorot
 keluar dari jendela, cahaya lampu tampak redup dan tenang, ingin rasanya Siang Cin
 lekas masuk ke rumah dan menjatuhkan diri di ranjang dan tidur nyenyak.
 Kembali dia mengencangkan kepitan perempuan di bawah ketiaknya, dengan
 menyeret langkahnya yang berat Siang Cin terus lari. Syukurlah akhirnya tiba di
 47 depan rumah, setelah naik undakan dan akhirnya dia menggelendot di depan pintu
 sekian lama untuk menenangkan hati dan mengatur napas, kemudian ia mengetuk
 pintu dengan rada gemetar: "Lo Pau buka pintu, aku sudah pulang . . . "
 Teriakannya tiba2 berhenti, tanpa didorong tanpa dibuka daun pintu trba2 terpentang,
 ruang tamu sunyi senyap tak terdengar apa2, tak tampak bayanganseorangpun,
 sementara meja kursi tetap berada di tempatnyaa seperti waktu dia pergi tadi.
 Segera dia merasakan firasat jelek, tanpa pikir segera dia menerobos masuk, sekah
 tendang dia bikin pintu kamar sebelah kiri terpentang. Kun Sim ti berada di kamar ini,
 tapi di mana sekarang nona ini?" Kun Sim-ti tiada di ranjang seperti waktu dia
 tinggalkan, sementara itu kemul menggeletak di lantai.
 Bagai disambar petir seketika lunglai sekujur badan Siang Cin, terasa rumah kecil ini
 seperti di guncangkan oleh gempa yang keras, perabot dalam rumah seperti
 bergunjing, selaput tebal menyelubung pandangan matanya, rasa lelah seketika
 merangsang otot tulangnya, perempuan yang dia kempit tak kuasa lagi dipegangnya,
 ia sempoyongan, dengan menggagap dia maju beberapa langkah seperti hendak
 berpegang pada sesuatu, ia gugup dan cemas, ia tahu dia pantang roboh, sekali2
 tidak boleh ambruk .......
 Di tengab remang2 pandangan dan kesadarannya itu pelahan2 tampak seraut wajah
 nan molek muncul di tengah kabut, seperti amat dikenalnya, raut wajah bulat kwaci
 ini. Ya, dia kan Kiang Ling, tapi wajah Kiang Ling yang semula kelihatan manis dan
 selalu mengulum senyum malu2 itu kini kelihatan beringas, dingin kaku dan sadis,
 senyum manis yang selalu menghiasi bibirnya kini berganti tawa ejek dan hina.
 Rasa lelah dan pushig tak tertahan lagi oleh Siang Cin, tapi kesadarannya masih
 tebal, tanpa kuasa dia menyurut mundur tiga langkah, tangannya berhasil
 menangkap pinggir ranjang, teriaknya dengan suara serak: "Nona Kiang . . . . . mana
 mereka" Mana orang dalam kamar ini?"
 Wajah jelita yang beringas itu tampak mendekat, tidak menjawab, hanya
 menatapnya tajam dingin sorot matanya menampilkan rasa dendam tak terperikan.
 Sekuatnya Siang Cin menggeleng, teriaknya pula dengan serak: "Mana mereka"
 Kawan2ku, Ciciku, di mana mereka" Katakan di mana mereka?"
 Raut wajah itu menjadi kabur, seperti berada di tempat jauh, tapi kejap lain terasa
 seperti berada di depan matanya, hanya terpaut setabir kabut tipis saja, seperti
 sudah amat dikenalnya, tapi juga seperti masih asing baginya, maka bergemalah
 suara yang bernada dingin kaku: "Siang Cin, nasib mujurmu akan berakhir sekarang,
 pernahkah kau membayangkan nasib jelekmu seperti hari ini?"
 Sekuatnya Siang Cin gosok pelipisnya, teriaknya sambil megap2: "Kau, kau
 mencelakai mereka?"
 Terbayang raut wajah yang menyeringai, terdengar pula suara ketus tak kenal
 kasihan: "Karena kau terlebih dulu mencelakai jiwa saudara tuaku, kau membunuh
 calon suamiku, maka aku datang menuntut balas padamu. Siang Cin, kau iblis laknat
 yang bermuka cakap, tapi berhati serigala ini . . . ."
 Siang Cin goyang2 kepala, serunya heran tak habis mengerti: "Siapa. . . . . siapa itu
 saudara tuamu" Siapa pula calon suamimu?" "
 Remang2 wajah jelita yang beringas itu tanpa mendekat, suaranya mendesis penuh
 kebencian: "Tak perlu diperbincangkan lagi, cuma satu hal barus helalu kau ingat
 Siang Cin, utang darah harus dibayar dengan darah."
 Siang Cin berusaha mengerahkan tenaga, tapi dia gagal, tenaga murninya seperti
 sudah buyar, hampa dan tercerai berai, betapapun sukar dihimpun kembali, dia
 menggertak gigi, teriaknya gusar: "Beritahukan padaku, di mana kawan2ku" Di
 mana Ciciku?"
 Dingin suara itu menjawab: "Kautahu bahwa neraka ada sembilan tingkat bukan, kau
 akan kumpul bersama mereka disana."
 Siang Cin berteriak sekuatnya, sisa tenaganya dibuat melampiaskan rasa murkanya:
 "Sobat!" ---Gwat-bong-ing, salah satu dari sembilan jurus San-jiu kemahirannya tiba2
 dilancarkan, kedua tangannya menyambar bersama bagai dua bilah golok, begitu
 48 cepat dan ganas, lapat2 masih dapat didengarnya jerit lengking yang disusul
 gerungan murka yang keras, tahu pikirannya menjadi kabur, pandanganpun gelap,
 pelan2 iapun roboh terkulai.
 Seperti melayang dan mengambang di angkasa, entah berapa lamanya, entah
 betapa penderitaannya, keadaan masih seperti di dalam kabut yang bergontai kian
 kemari, enteng dan hampa tanpa kuasa akan dirinya.
 Pelan2 Siang Cin membuka kelopak matanya, terasa berat dan sepat, tulang sekujur
 badan terasa sakit seperti di preteli, linu dan lemas, pelan2 dia pejamkan pula
 matanya, lama sekali baru dia buka mata pula. Tempat apakah ini" Per-tama2
 benaknya dirangsang pertanyaan ini.
 Yang masuk dalam pandangannya pertama kai adalah sebuah lubang setengah
 bundar, lubang setengah bundar dari atap kamar tahanan ini tampak lembab dan
 berlumut, lentera minyak yang memancarkan sinarnya yang redup menyorot masuk
 dari lubang setengah bundar itu, di bawah sinar lentera redup ini dapatlah Siang Cin
 meneliti keadaan kamar persegi yang berdinding batu tebal, dia rebag di tumpukan
 jerami yang sudah membusuk, bukan saja lembab, baunya apek dan terasa gatal
 sehinga napas terasa sesak dan berat, sedikit menggerakkan badan segera dia
 mendapati kaki tangannya terborgol oleh rantai baja yang besar, pinggangnya
 dikalungi gelang baja sebesar lengan bayi, gelang dipinggang disambung rantai
 borgol di kaki-tangannya pula, semetara ujung kedua rantai terbenam di dinding
 sebelah sana, sedikit bergerak rantai borgol lantas bergunjing dengan suaranya yang
 berisik. Tempat apakah ini" Bagaimana dirinya bisa berada di sini" Siang Cin pejamkan pula
 matanya, pelan2 otaknya menyusuri kembali pengalamannya, meski lambat akhirnya
 dia berhasil ingat cara bagaimana dia menolong keluar calon isteri An Lip dari
 markas Siang-gi pang, cara bagaimana dalam keadaan yang sudah payah itu dia
 kembali ke rumah mungil itu, akhirnya dia menghadapi seraut wajah jelita yang kaku
 sadis, tapi jelas dia dapat memastikan bahwa itu wajah Kiang Ling, malah dia masih
 ingat dalam keadaan lunglai, kehabisan tenaga dia sempat melontarkan pukulan
 Gwat bong-ing (bayangan bulan remang2).
 Ia menggigit bibir dan termenung, lambat laun dia mulai menyadari sebab apa dirinya
 bisa berada di tempat ini, i,a menduga mungkin dulu dia pernah bermusuhan dengan
 Kiang Ling dan orang tua yang pura2 sakit itu, atau melukai dan membunuh sanak
 famili mereka, sehingga dengan daya upaya keji ini mereka berusaha menuntut
 balas atas dirinya, dan kini dia menjadi tawanan mereka.
 Terasa, susah juga untuk menggeser letak tubuhnya, Siang Cin membasahi bibirnya
 dengan lidahnya, rasa haus merangsang tenggorokannya yang kering, bibirpun
 sudah pecah, kerongkongan terasa pahit, rasa tegang dalam benaknya sudah
 lenyap, tapi kaki tangannya masih terasa lemas tak bertenaga, seperti baru saja
 sembuh dari sakit berat yang menguras habis segala kekuatannya.
 Tiba2 dia mendengar denging suara benda berat beradu, kejap lain sebagian dari
 kamar tahanan ini mulai terbuka, kiranya di sebelah sana ada sebuah daun pintu,
 pintu batu itu merupakan sebagian dari dinding batu kamar yang kokoh ini, tebalnya
 lebih dari dua kaki. Tampak empat laki2 tengah mendorong pintu supaya terbuka.
 Di luar pintu terdengar suara percakapan beberapa orang, setelah pintu terbuka
 lebar tiga bayangan orang tampak melangkah masuk, dengan memicingkan mata
 Siang Cin mengawasi mereka, dua di antaranya ternyata adalah Kiang Kiau-hong
 dan puterinya Kiang Ling, mereka mengiringi seorang laki2 terpelajar bermuka putih
 berusia antara setengah abad, bermuka lebar dan kuping besar, orang ini
 mengenakan jubah putih mulus, perawakannya gendut.
 Pelan2 ketiga orang ini menghampiri Siang Cin, si orang tua yaitu Kiang Kiau-hong
 mendepaknya sekali, katanya dingin: "Siang Cin, sudah saatnya kau bangun."
 Siang Cin membasahi bibirnya, katanya serak: "Aku sih sudah bangun sejak tadi,
 Lotiang, apakah penyakit bengekmu sudah sembuh seluruhnya."
 Kiang Kiau hong mendengus, jengeknya: "Kau kira olok2mu ini amat menarik ya?"
 49 Siang Cin tertawa, katanya: "Tiada pikiranku menjurus ke situ. Cuma Lotiang, bilakah
 aku berbuat salah padamu?"
 Baru habis dia bicara tahu2 dia merasa pandangannya kabur, serentak mukanya
 kena gampar pulang pergi empat kali, pipinya terasa panas pedas, Kiang Ling berdiri di depannya
 dengan bertolak pinggang, desisnya menahan isak dan dendam: "Siang Cin, masih
 kau ingat akan Kiu tan-nay yang pernah perang tanding denganmu lima tahun yang
 lalu?" Siang Cin meng-ingat2, katanya kemudian: "Ya, masih ingat."
 Air mata tak tertahankan lagi, Kiang Ling berkata dengan terisak:, "Masih ingatkah
 kau pada orang kedua yang mati berduel dengan kau."
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tenang suara dan sikap Siang Cin: "Sudah tentu, orang kedua itu adalah salah satu
 Kiu hian dari Kiau hian-pay yang bergelar Hian-su-cu Kiang Ciau . , . ." mendadak
 dia berteriak kaget: "Ha, dia saudara tuamu?"
 Semakin keras isak tangis Kiang Ling, serunya gusar: "Betul, masihkah kauingat
 setelah membunuh habis Kiu-hian (sembilan orang bijak) itu, kemudian muncul pula
 seorang pemuda berperawakan sedang yang melabrakmu mati2an?"
 Siang Cin menghela napas, ucapnya: "Ya, pemuda itu cakap dan gapah, sopan
 santun. aku tidak tega membunuhnya, tapi dia mendesakku begitu rupa, akhirnya
 terpaksa . . . . "
 "Terpaksa, maka kau gunakan Pat-kian-jan yang keji itu mencacahnya hancur, betul
 tidak?" damperat Kiang Ling, "sungguh kasihan, matipun Ji-koko tak dapat
 mempertahankan jazat yang utuh . . . . "
 Siang Cin menatap Kiang Ling, katanya pelahan: "Pemuda itu bernawa Thio Wi,
 apakah dia itu pacarmu?" .
 Semakin pilu tangis Kiang Ling, katanya sesenggukan: "Ya, tapi kau telah
 membunuhnya."
 Setelah merandek sejenak, kemudian Siang Cin berkata pula: ?"Tahukah kau bahwa
 dia dulu menggunakan U-tok-sa (pasir hitam beracun) dan Wi-hue-siang (dupa
 penyedot sukma) serta senjata rahasiar kaum rendah untuk menyerangku secara
 licik" Tahukah kau sudah tiga kali aku memberi peluang padanya supaya dia insaf
 akan perbuatannya yang kotor?"
 "Iblis laknat, "damperat Kiang Ling, "aku tidak peduli, aku hanya tahu kau membunuh
 engkohku, kau pula yang menjagal suamiku, kau menghancurkan keluargaku,
 menghancurkan kebahagiaan masa depanku . . . . . . Kau algojo keparat ini belum
 setimpal menebus dosamu dengan sekali mati .......
 Siang Cin menyengir, katanya: "Kau sendiri tidak bicara tentang kebenaran, tidak
 bisa membedakan salah dan benar, untuk apa pula soal ini dibicarakan?" .
 Tiba2 melotot bola mata Kiang Ling, sikapnya menakutkan, ia mendesis sambil
 membungkuk: "Iblis laknat, akan kugunakan cara2 yang paling keji didunia ini untuk
 menyiksamu sampai mampus, akan kubikin kau tahu rasa segala siksa paling kejam
 sehingga kau mampus pelan2, akan kusaksikan kau melolong kesakitan, akan
 kudengarkan rintihanmu, ahhirnya akan kukorek dulu hatimu untuk sesaji pada
 arwah engkoh dan suamiku, akan kucacah tubuhmu untuk makan serigala."
 Sedikit mengernyit alis, Siang Cin berkata malas2: "Mungkin kau akan kecewa nona,
 orang she Siang tidak mudah meraung dan juga tidak akan pernah merintih
 kesakitan, malah kalau mungkin, tamparanmu tadi akan kubalas dengan lipat dua."
 Gemetar saking murka Kiang Ling, makinya sambil menuding Siang Cin: "Kau . . . . .
 kau. . . . "
 Pelajar muka putih setengah baya tadi melangkah maju, tanpa bicara kedua tangan
 langsung bekerja, "plak-plok", entah berapa kali, yang terang selebar muka Siang
 Cin menjadi melepuh berdarah, mata ber-kunang2 dan kupingpun mendenging. Maki
 orang itu: "Bangsat, kematian di depan mata masih keras mulut, jangan kau berlagak
 pahlawan di tempat ini."
 Siang Cin menggoyangi kepalanya yang puyeng, sikapnya tetap tak acuh, katanya:
 50 "Siapa nama besar tuan ini?"
 Dengan menyeringai pelajar muka putib berkata kereng: "Orang pertama dari Cengsiong-
 san-ceng Sek Kui."
 Sekilas pikir Siang Cin berkata dengan tenang: "O, kek-bin-siau (kokok beluk muka
 putih) Sek Kui?"
 "Ya, bagaimana?" tanya pelajar muka putih sambil menepuk dada.
 Siang Cin jilat bibirnya yang berdarah, suaranya tawar dingin: "Tidak apa2, aku cuma
 berpikir, paling2 kau hanya berani bertingkah segarang ini pada waktu aku berada
 dalam keadaan payah begini."
 Melotot mata pelajar muka putih alias Sek Kui, teriaknya penuh kebencian: "Orang
 she Siang, jangan kau memancing, orang she Sek tidak akan melepasmu."
 Sambil mengawasi Sek Kui kemudian Siang Cin berkata: "Aku tahu kau tidak akan
 melepasku, kalau dalam keadaan biasa, Sek Kui, kukira kau tidak akan berani
 mengusikku."
 Berkerut muka Sek Kui, desisnya dingin: "Sungguh kurang beruntung. Siang Cin
 waktu itu Sek-toayamu tidak berjumpa dengan kau. waktu kulihat kau, keadaanmu
 sudah tak ubahnya musang ,yang tertangkap basah setelah dihajar babak belur,
 betapapun kau garang, gagah dan tenar, tapi kenyataan kau kuhajar sampai pipi
 bengap dan bibir pecah. . . "
 Siang Cin tertawa tak acuh, mungkin luka2nya terasa sakit pula, sekilas dia
 mengerut alis, katanya: "Tidak apa2, meski cara yang kau gunakan tidak pantas.
 Kalau kau hadapi aku secara terang2an, perang tanding satu lawan satu, meski
 keadaanku sudah loyo begini, tetap bisa kusembelih kau tiga kali"
 Mendadak Pek-bin siau Sek Kui ter-gelak2, beruntun dia kerjakan pula telapak
 tangannya pulangpergi sehingga kepala Siang Cin kena ditamparnya meleng ke kiri
 dan geleng ke kanan, darahpun bercucuran dari mulutnya. Entah berapa lama dan
 berapa kali Sek Kui kerjakan kedua tangannya sampai akhirnya terasa pedas dan
 pegal sendiri baru dia berhenti, tanyanya sambil memicingkan mata: "Sekarang
 masih keras mulutmu?"
 Bibir Siang Cin pecah, kedua pipinya sudah biru, sesaat baru dia kuasa
 menggerakkan bibirnya, katanya dengan rada payah: "Ini kan baru mulai, yang lebih
 keji jelas masih ada di belakang, bila aku tidak mampu bicara lagi baru aku tidak
 akan ber-olok2."
 "Kiranya kau tidak goblok," jengek Pek- bin-siau Sek Kui. "Orang she Siang, siksaan
 yang lebih keji memang ada pada saat paling akhir."
 Kini giliran si orang tua Kiang Kiau hong tampil ke depan, katanya dengan suara
 rendah: "Sek-lote, baiklah sekarang kita mulai saja?"
 Sek Kui manggut2, katanya: "Kongsun-heng, agaknya kau ingin selekasnya
 membakar mampus keparat ini?"
 Kiang Kiau hong tertawa, apa boleh buat, Siang Cin menoleh dan berkata dengan
 suara agak tersendat: "Lotiang, jadi . . . .. .. jadi kau tidak she Kiang?"
 Pelan2 orang tua yang menamakan dirinya Kiang Kiau-bong menoleh, katanya
 sepatah demi sepatah: "Aku bukan she Kiang, aku bernama Kongsun Kiau-Kong,
 Kiang Ling adalah keponakanku, Suteku Im yang-su cia Ciu Ciong le juga meninggal
 di tanganmu tiga tahun yang lampau."
 Siang Cin melongo, katanya kemudian: "Ciu Ciong-le itu Sutemu" Kali itu lantaran
 memperebutkan Jian-cu-jwe-hoan (gelang jamrud beribu mutiara) sekaligus dia
 membunuh tujuh belas orang, aku kurang senang melihat tingkah-lakunya, maka
 kubujuk dan kunasihati dia, ternyata akupun hendak di bunuhnya pula, maka
 terpaksa aku membela diri...."
 Orang tua yang bernama Kongsun Kiau-bong menatap Siang Cin lekat2, katanya
 dengan kaku: "Aku tidak akan menampar mulutmu Siang Cin, akan kulakukan
 semacam percobaan atas dirimu." - Lalu dia mengangguk ke arah Sek Kui.
 Sek Kui menyeringai kejam, teriaknya sembari berpaling: "Bawa masuk!"
 Maka muncul dua laki2 yang mengenakan jubah ketat dengan sikapnya .yang
 51 munduk2, kedua orang memegangi sebuah kotak kayu persegi warna merah.
 Sek Kui mengedip mata, katanya: "Nah, layanilah Siang tonya ini, supaya dia lebih
 nyaman dan merasa segar badannya."
 Kedua laki2 ini membungkuk sembari mengiakan, dengan muka kaku tanpa
 mengunjuk perasaan mereka menghampiri Siang Cin, salah seorang membuka
 kotak kayu serta mengeluarkan sebilah pisau kecil berbentuk tanduk kerbau, pelan2
 dicabutnya seutas rambut untuk mencoba ketajaman pisau itu, sekali tiup rambut
 yang menjuntai di mata pisau seketika putus menjadi dua. Dia menyeringai puas,
 ujung pisau kecil itu dia celupkan ke sebuah botol kecil yang berada di dalam kotak
 kayu, botol kecil itu berisi cairan warna hitam, sesaat dia keluarkan pisau kecil itu,
 lalu ia menarik baju Siang Cin, maka dada Siang Cin yang bidang terpampang di
 depan mata. Melotot mata orang itu, hidungpun seperti mekar, pelan2 dia gunakan ujung
 pisaunya menggores kulit daging di dada Siang Cin, Begitu tajam pisau itu, hanya
 sedikit gores saja, darah segera meleleh keluar dari luka goresan sepanjang
 beberapa senti itu.
 Siang Cin setengah pejam mata, sikapnya masih tenang dan rebah adem ayem, seolah2
 pisau tajam itu menggores di badan orang lain, begitu tenteram dan tenang,
 sampaipun kelopak matanya tidak bergerak.
 Tanpa berhenti dan tidak kenal kasihan, laki2 itu terus mengerjakan pisaunya, mengiris2
 dada Siang Cin dengan ujung pisaunya hingga puluhan jalur luka yang berdarah
 bersimpang siur, habis itu baru dia taruh pisaunya. Siang Cin lantas merasakan
 luka2 goresan itu mulai perih dan gatal, rasa perih dan gatal ini semakin keras dan
 hebat, bagai ribuan semut yang menggerogoti kulit dagingnya, sungguh tidak
 kepalang siksa derita yang dirasakannya.
 Diam2 ia mengertak gigi, kedua matanya tetap setengah terpejam, mukanya tidak
 menampilkan perasaan apapun, lama sekali baru laki2 pemegang pisau itu tahu
 bahwa Siang Cin tidak memperlihatkan reaksi apapun, ia menjadi bingung dan tak
 habis mengerti, ia mengawasi cairan obat dalam botol di kotak kayunya.
 "Tak usah kau periksa lagi," ujar Sek Kui dengan tertawa, "obat itu tidak akan punah
 kasiatnya, cuma ketahanan tuan besar she Siang kita memang jauh lebih kuat
 daripada orang lain, marilah sekarang giliraumu Siau-ngo-cu, kini boleh kau tambah
 sedikit bumbu."
 Laki2 satunya yang dipanggil Siau-ngo-cu mengiakan, dia bekerja tidak kepalang
 tanggung, botol berisi cairan obat kental hitam itu terus dituang seluruhnya ke dada
 Siang Cin yang penuh goresan luka itu. Kontan Siang Cin merasakan kulit dadanya
 seperti dibakar, gatal perih bertambah puluh kali lipat, rasa sakitnya , sungguh
 meresap ke tulang sungsum, betapa besar siksa dertta ini sukar dilukiskan dengan
 kata2. Lima pasang mata sama melotot menatap Siang Cin, tapi Siang Cin tetap setengah
 memejamkan mata, giginya hampir hancur tergigit, tapi mukanya tetap wajar, tenang
 dan tawar tidak menampilkan perubahan apa2.
 Setelah tunggu sesaat lagi, Sek Kui mengucek hidung, lalu katanya: "Siang Cin, bila
 Sek-toaya tidak mampu menyiksamu sampai melolong kesakitan dan meraung minta
 ampun, aku tidak terhitung orang terpercaya dari Ceng-siong-san-ceng ini."
 Siang Cin mengulum senyum, senyuman dingin mengandung ejekan. Kongsun Kiau-
 Kong naik pitam, sembari menggeram gusar dia ayun kakinya menendang pipi
 kanan Siang Cin, ujung sepatunya seketika basah dan berwarna darah, ternyata kulit
 pipi Siang Cin terkupas dan berdarah.
 Siau-ngo cu yang berjongkok di samping juga bergerak dengan tangkas, dari dalam
 kotak kayunya dia mencomot segenggam garam terus diusapkan pada luka di pipi
 Siang Cin, malahan dia tambahi pula dengan sekali tamparan.
 Siang Cin tetap celentang dengan tenang, kelopak matanyapun tak bergerak,
 sikapnya begitu tenteramnya sehingga orang lain menjadi sangsi apakah badan
 52 Siang Cin sudah pati rasa"
 Bertaut alis Sek Kui, segera dia memberi tanda ke arah laki2 jubah ketat yang berdiri
 di samping sana, laki2 itu segera maju berjongkok, kotak kayu dibuka dan
 mengeluarkan sebatang kayu dengan gagang warna kuning emas sepanjang dua
 dim, garis tengah pentung kayu pendek ini kira2 sebesar mata uang tembaga, pada
 ujungnya terdapat sebuah benda berlubang berwarna kelabu, rupanya semacam alat
 pengisap, dia tekan benda di ujung pentung pendek itu ke dada Siang Cin terus
 dicabutnya
^