Bara Naga 3

Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 3


dengan mendadak, maka kulit daging di dada Siang Cin seketika
 terkelupas terbawa oleh pentung yang ditarik mendadak itu.
 Agaknya laki2 ini sudah biasa akan permainannya ini, tanpa berhenti secara
 beruntun dia tekan terus cabut lagi puluhan kali, maka kedua lengan, dada sampai
 ke perut Siang Cin penuh luka2 bundar yang mengeluarkan darah, kulit dagingnya
 yang berwarna merah segar itu tercampur darah, kelihatannya amat seram dan
 mengerikan. Siau ngo-cu yang berjongkok di samping itu menyeringai senang, iapun bantu
 mencomot garam, dari luka yang satu ke luka yang lain dia taburi garam dan
 mengulapnya pula.
 Siang Cin tetap celentang tidak bergerak sedikitpun, mukanya yang penuh
 berlepotan darah itu tidak menampilkan perasaan sedikitpun, sampai kulit dagingnya
 tidak kelihatan mengejang atau gemetar, andaikata dia tidak kelihatan masih
 bernapas, orang lain tentu menyangka jiwanya telah melayang.
 "Crot", Sek Kui meludah penuh geram ke muka Siang Cin, katanya uring2an:
 "Keparat ini ternyata memang tahan uji, tapi Sek-toaya masih ingin tahu berapa lama
 kau kuat bertahan." Sembari bicara dia ulurkan sebelah tangan, lalu pembawa
 pentung pendek segera sodorkan puluhan batang jarum baja, pelan2 Sek Kui
 berjongkok, dia pegang telapak tangan Siang Cin, sekian lama dia amat2i tangan
 orang sambil mulut ber-kecek2 memuji, katanya: "Telapak tanganmu begini putih
 dan terpelihara sebagus ini, em, tak ubahnya jari jemari anak gadis yang tak suka
 kerja di dapur, tapi entah berapa banyak pula tangan ini telah mencabut nyawa
 orang, darah siapa saja yang tidak pernah berlepotan di tangan ini" Ai, sayang sekali,
 sekarang biar Sek-toaya menyempurnakan tangan elok ini."
 Dijemputnya sebatang jarum dan dicelup dulu kecairan hitam terus ditusukkan ke
 sela2 kuku jari Siang Cin, dia menusuk dengan mengerahkan tenaga hingga
 semakin dalam jarum ambles ke-sela2 kuku orang, sementara kedua matanya
 menatap Siang Cin, menantikan reaksinya.
 Tapi Sek Kui kecelik, Siang Cin tetap tidak mengunjuk reaksi apa2, tetap seperti
 orang mati yang rebah tak bergeming, tapi Sek Kui tahu, tak mungkin orang tidak
 punya perasaan, karena mata Siang Cin setengah terpejam, malah kulit mukanya
 kini juga sudah berubah pucat, warna pucat ini akan kelihatan hanya bila seseorang
 mengalami siksa derita yang luar biasa.
 Sek Kui mengumpat kalang kabut, kini dia kerjakan jarum2 baja itu lebih cepat,
 sepuluh jari Siang Cin ditusuk seluruhnya, tusukkannya bukan saja keras tapi juga
 dalam, ingin rasanya sekali tusuk mencapai ulu hati Sang Cin.
 Kongsun Kiau hong yang menyaksikan di samping sampai merinding seram, padahal
 dia kawakan Kangouw, pengalaman apa yang tidak pernah dia rasakan, demikian
 pula Kiang Ling mulutnya yang kecil ternganga, sungguh sukar dipercaya bahwa
 manusia di depan matanya ini memiliki ketahanan yang luar biasa dari siksa derita
 yang tak mungkin ditahan oleh siapapun, tapi kenyataan orang ini bukan saja tahan,
 malah air mukanya masih kelihatan tenang wajar, jangankan meronta dan meraung
 kesakitan, mengerut keningpun tidak.
 Akhirnya Sek Kui kewalahan sendiri dan berdiri dengan malas, katanya penasaran:
 "Kongsun heng, besok hal ini akan kulaporkan kepada Cengcu, akan kumulai
 dengan mencacah kaki tangannya."
 Kongsun Kiau hong terkekeh, katanya; "Bahwa rencana ini terlaksana dengan baik
 juga berkat bantuan dari Ceng-siong san ceng kalian, apalagi sikap putera Cengcu
 53 kalian begitu baik terhadap anak Ling, kapan akan sembelih orang she Siang ini,
 terserah pada putusan Cengcu dan kehendakmu Lote."
 Sek- Kui manggut2, katanya tertawa: "Baiklah hari ini kita akhiri sampai di sini,
 apapun yang akan terjadi besok, keparat ini tidak akan kubikin mampus dengan enak,
 kita akan pelan2 mengerjai dia."
 lalu dia mempersilakan Kongsun Kiau-hong dan Kiang Ling. katanya menoleh: "Siaungo-
 cu, lepaskan seluruh semut merah dalam kotak kecilmu itu, biarlah mereka juga
 mencicip betapa nikmat dan segar darah si Naga Kuning yang kosen dalam Bu lim
 ini. Em, memang inilah kesempatan yang sukar diperoleh."
 Siau-ngo-cu mengiakan, dari dalam kotak kayunya dia keluarkan pula sebuah kotak
 persegi kecil dari batu jade, kotak kecil ini terdapat lubang2 kecil yang tak terhitung
 banyaknya, pelan2 dia buka tutup kotak kecil ini, maka semut2 merah yang
 kelaparan ini segera merambat keluar, bentuknya yang menjijikkan sungguh
 memualkan. Sekilas menatap semut2 merah itu, tanpa terasa Kiang Ling bergidik seram,
 Kongsun Kiau-hong ter-bahak2, segera ia tarik Kiang Ling keluar.
 Siau-ngo-cu tuang semut dalam kotak itu ke tubuh Siang Cin, begitu mencium bau
 darah, semut2 kecil yang jelek dan ganas ini segera berebut merambat kian kemari,
 akhirnya semua berkumpul di lubang2 luka yang masih berdarah segar, sekuatnya
 mereka mengisap darah, saling tindih dan berkelompok di sana sini, sayup2
 terdengar suara rakus mereka yang tengah menggeragot kulit daging Siang Cin
 dengan lahapnya.
 Sesaat lamanya Sek Kui menatap muka Siang Cin pula, akhirnya dia menyindir:
 "Orang she Siang, hari ini anggaplah kau memang hebat, kita akan bekerja pelan2,
 coba saja siapa akan lebih tahan uji, apakah Sek- toaya tidak mampu bekerja atau
 kau yang lebih tahan siksa." - Habis berkata dia kebas lengan baju terus melangkah
 keluar diikuti ke dua laki2 berjubah ketat itu. Maka daun pintu batu yang tebal dan
 berat itupun tertutup pula.
 Kamar batu tahanan ini kembali dicekam kesunyian, cahaya lentera redup laksana
 kunang2, hawa yang sumpek terasa tebal dengan bau anyirnya darah mengandung
 rasa dendam kesumat yang tak terperikan, akan tetapi segalanya tetap tenteram,
 begitu sunyi tak ubahnya sebuah kuburan.
 Pelan2 dan lambat sekali Siang Cin mulai membuka kelopak matanya, pelan2 dan
 hati2 sekali dia menarik napas lalu menghembuskannya pula pelan2, dalam tarikan
 napas dan embusan napas yang lambat ini, sejenak kemudian dari setiap pori2 di
 sekujur badannya mengeluarkan uap, uap ini semakin tebal, seperti uap dari air
 mendidih, maka semut merah yang berpesta pora mengisap darahnya itu mulai lari
 tercerai berai, biasanya semut2 merah ini kejam dan ganas, tapi kini mereka
 meninggalkan hidangan lezat dan berusaha lari, tapi sudah tak sempat lagi, seperti
 terkurung di dalam kuali yang semakin panas, satu persatu akhirnya sama
 bergelimpangan dan seluruhnya mati kaku.
 Pelan sekali, dengan susah payah sedikit demi sedikit Siang Cin mulai bergerak,
 tangan menekuk sedikit, mulailah sekujur badannya bergetar, mengejang dan
 meliuk2. Pada hal dia hanya sedikit menggerakkan lengan, tapi tak ubahnya seorang
 kakek tua renta yang tengah merayap di pegunungan belukar dan batu2 padas
 runcing. Tapi usahanya akhirnya berhasil, tangannya yang diborgol itu kini berada di
 depan mukanya. Gigi gemeratak dan bibir terkancing kencang sekian lamanya, dengan gemetar dia
 membuka mulutnya, darah segar meleleh keluar, gusi, lidah dan kerongkongan
 seluruhnya berdarah karena tergigit olehnya sendiri, tadi dia sudah kerahkan setakar
 tenaga dan semangat yang pantang menyerah sehingga tubuhnya se-akan2 bukan
 miliknya lagi, dalam keadaan tersiksa itu dia coba membayangkan dirinya tengah
 rebah di bawah pohon yang rimbun sambil meniup seruling atau bercakap mesra
 bersama Kun-cici di bawah lampu nan benderang, maka dia kuat bertahan, di luar
 kesadarannya dia telah membuktikan suatu kekuatan batin yang luar biasa untuk
 54 menandingi siksa derita fisik yang luar biasa itu.
 Mulutnya megap2, jarum2 yang menancap di sela2 kuku jarinya satu persatu
 digigitnya dan dicabut, setiap batang dicabut, sekujur badannya segera menungging
 dan mengejang menahan rasa sakit yang tak terhingga. Setelah dia berhasil
 mencabut sepuluh batang jarum baja itu, deru napasnya hampir putus di tengah
 keluh kesakitan.
 Kedua telapak tangannya berlepotan cairan hitam ungu, jarinya tampak gemetar
 keras, siksa derita ini sungguh menusuk tulang sungsum, ruas tulang terasa lepas
 seluruhnya. Luka2 yang ditabur garam itu terasa panas perih seperti dibakar sehingga akhirnya
 kulit dagingnya terasa beku dan mati rasa, pelan2 Siang Cin menarik napas dulu,
 pelan2 dengan uap putih yang dia desak keluar melalui pori2 kulitnya mulai
 membersihkan luka2 di badannya, memang hanya usaha inilah satu2nya upaya
 yang dapat dilakukan.
 Esok, ya esoknya, Sek Kui sudah bilang kaki dan tangannya akan dicacah, maka bila
 dia harus berusaha lolos, waktunya hanya nanti malam saja, tapi apakah dia mampu
 lolos" Berjalan saja mungkin tidak mampu. apalagi sekarang, jangankan berdiri,
 tenaga untuk memegang sumpitpun tidak punya.
 Entah bagaimana keadaan Kun cici, keselamatan jiwa Pau Seh-hoa dan An Lip juga
 menguatirkan, lalu di mana pula perempuan calon isteri An Lip yang sudah
 ditolongnya itu" Di mana sekarang mereka berada" Mereka pernah berbuat salah
 terhadap para musuhnya ini. Tak syak lagi mereka pasti juga merasakan derita
 seperti dirinya pula. Padahal luka Kun-cici dan An Lip sama belum sembuh.
 Terangsang oleh berbagai persoalan itu pikirannya menjadi kacau, bahwa dia kuat
 bertahan siksaan atas badannya, tapi dia tak kuat menahan siksaan batin, mata
 Siang Cin melotot, bila musuh juga menyiksa Kun-cici, menyiksa Pau Seh-hoa, An
 Lip dan calon isterinya, bagaimana dirinya harus bertindak" Memangnya apa pula
 yang dapat dilakukannya dalam keadaan seperti sekarang ini"
 Siang Cin menggeleng dengan pedih, kembali dia coba menghimpun hawa murni
 dipusarnya, ia tahu asalkan masih kuasa menghimpun hawa murni, harapan untuk
 keluar dari kamar tahanan ini menjadi besar. Tapi usahanya ternyata gagal, hawa
 murni yang biasanya dapat dikuasai dengan baik itu kini ternyata buyar dan tak bisa
 kumpulkan, mirip orang yang lagi sakit keras ingin mengangkat benda berat, hasrat
 ada, apa daya tenaga tidak sampai.
 Dalam keadaan putus asa matanya menjelajah keadaan kamar batu ini, akhirnya
 tatapannya berhenti pada lentera yang tergantung dari lubang di atas kamar itu, sinar
 lampu kuning buram, api yang kelap-kelip itu semakin guram, mendadak api meletik
 sekali, maka cahayapun menjadi sedikit terang. Aneh, kenapa begitu" Rupanya
 sudah terbakar habis dan menyentuh permukaan minyak sehingga menyambung
 nyala apinya. Bilamana sumbu lentera itu bisa berpikir, tentu ia mengira dirinya tadi
 akan padam, tentu dia juga menyangka dirinya tak berdaya hidup lagi, kenyataan kini
 dia tetap menyala tetap bercahaya, meski hanya berkelap-kelip, tapi dia terus
 bertahan . . . . .
 Benak Siang Cin mendadak memperoleh penerangan, pancaran sinar terang ini
 mendatangkan ilham dalam benaknya, tiba2 dia teringat dahulu dia pernah
 meyakinkan semacam ilmu semadi, dengan cara menyalurkan hawa murni untuk
 menyambung hidup kan juga demikian pula teorinya" Kenapa hal ini hampir
 terlupakan" Kenapa hampir melupakan ilmu It-sian-to-bang ini"
 Sedapatnya ia tahan rasa senang hatinya, Siang Cin pejamkan mata, sesaat
 kemudian mulailah dia menekuk kaki tangannya, pelan2 menarik napas serta
 mengaturnya dengan baik dan lancar, setiap tarikan napasnya dia hirup ke dalam
 perut, lalu pelan2 pula dia embuskan dengan teratur, setiap tarikan napasnya
 berhasil disalurkan ke seluruh badan dan akhirnya kembali ke pusar, dari pusar
 melalui sendi tulang dan urat syaraf sekujur badan terus merembes keluar melalui
 pori2 tubuhnya, maka kulit daging sekujur badan menjadi kendur, Hiat-to dan urat
 55 nadipun mulai bekerja normal, lambat laun dia mencapai ketenangan, semadinya
 mencapai puncak tertinggi . -
 Kecuali memperlambat deru pernapasannya, tidak kelihatan Siang Cin melakukan
 gerakan apapun, dua jam kemudian, rona mukanya yang sudah pucat kelabu mulai
 bersemu merah dan lambat laun berubah seperti sedia kala.
 Dengan hati2 dia coba menuntun hawa murni tapi buyar pula, berulang Siang Cin
 menghela napes gegetun, tapi dia tidak kenal lelah, tak tahu apa arti putus asa,
 kembali dia ulangi ber-kali2 dengan cara yang hati2, ketika ia mencoba ketujuh belas
 kalinya, hawa murni itu pelan2 mulai mengikuti tuntunannya melewati lambung, dada
 dan akhirnya menembus seluruh urat nadi.
 Kedua matanya mendadak terpentang, tenaga murninya mendadak mengalir
 kencang ke seluruh urat nadi, begitu dahsyat aliran kekuatan tenaga murninya ini
 seumpama air bah yang membanjir ke sekujur badannya, lambat laun aliran tenaga
 murni ini semakin kukuh dan terhimpun di pusar.
 Senyuman kemenangan dari jerih payahnya terbayang pada wajah Siang Cin,
 padahal sekujur badan berlepotan darah, tapi dia tidak peduli, tenaga murni yang
 kian gencar itu terus disalurkan dengan tertuntun secara baik sehingga keringat
 bertetesan membasahi seluruh badan, dikala uap mengepul bagai kabut, pelan2
 baru dia mulai menghentikan saluran tenaganya.
 Kini keadaannya sudah jauh, berbeda dengan dua jam sebelum ini, meski luka2 di
 kulit badannya tak mungkin sembuh dalam waktu singkat, tapi tenaga dalamnya
 boleh dikatakan sudah timbul dari sumbernya yang terpendam selama ini, begitu
 kuat dan hebat melebihi biasanya, terasa sekujur badan penuh diliputi tenaga,
 pelan2 dia coba bergerak dan mulai berduduk, ternyata leluasa, sedikit dia kerahkan
 tenaga dan meronta, borgol yang terbuat dari besi baja di kakinya seketika
 gemerantang, dia tahu, bahwa kekuatannya sekarang sudah cukup untuk
 membebaskan tubuh sendiri dari semua belenggu ini.
 Sejenak dia menggerakkan anggota badannya, lalu pelan2 merebahkan diri pula,
 dengan seksama dia amat2i setiap jengkal keadaaan kamar tahanan dibawah tanah
 ini, mendadak didengarnya suara dering benturan logam keras, daun pintu yang
 berat dan tebal itu pelan2 didorong terbuka dari luar, seorang,laki2 berjubah panjang
 melongok mengawasi dirinya dari kejauhan, Siang Cin sengaja pura2 merintih,
 seperti mengingau mulutnya merintih: "Air . . . . air . . . . "
 Laki2 itu tertawa, "Crot", dia berludah, damperatnya: "Jiwamu sudah hampir amblas,
 masih ingin minum air segala. Maknya, sudah kukatakan jiwanya tak gampang
 melayang, Siau-ngo-cu keparat itu kuatir dia mati kaku. Nah, coba kau periksa,
 bukankah dia masih ber-kaok2?" kembali orang itu meludah ke arah Siang Cin lalu
 mengkeretkan kepalanya, daun pintu pelan2 tertutup pula, sayup2 terdengar orang
 itu menggerutu: "Kalau keparat itu mampus kan lebih baik, kita berdua tidak perlu
 lagi jaga di sini, bau di sini apek dan busuk lagi . . . . "
 Waktu Siang Cin membuka matanya pula, dilihatnya tempat ini memang terlampau
 lembab dan berbau apek busuk, karena kamar tahanan di bawah tanah, maka tiada
 jendela segala.
 Sasaat lamanya dia mengendurkan sekujur badannya, lalu bangkit berduduk, setelah
 menyedot napas, kedua pergelangan tangan mulai memelintir ke arah yang
 berlawanan, pelan2 borgol dipergelangan tangannya mulai mengeluarkan suara
 retak, makin membesar dan akhirnya berbunyi "pletak", putus menjadi dua.
 Siang Cin bersenyum kemenangan, dengan cara yang sama dia putuskan pula
 borgol dikakinya dan gelang yang membelenggu pinggang, dia merasakan badan
 sedikit lelah dan tangan rada gemetar, setelah istirahat pula sekian lamanya baru dia
 berdiri, pelan2 dia berjalan putar kayun dalam kamar tahanan untuk mengendurkan
 dan memulihkan otot yang masih pegal linu itu.
 Delapan Toa-liong-kak yang dibawanya telah dirampas orang kini kecuali pakaian
 kuning yang melekat dibadan boleh dikatakan tidak memiliki apa2 lagi.
 Kembali dia periksa sekelilingnya, lalu menjemput rantai serta memutusnya seutas,
 56 setelah diukur dengan jangkauan tangan, panjangnya kira2 ada lima kaki lebih. Ya,
 dengan rantai inipun cukup untuk bekal perjalanan dalam usahanya meloloskan diri.
 Tak lama kemudian, mendadak dia menjerit sertu meronta se kuat2nya, di tengah
 jeritan diseling raungan dan pekikan minta tolong, suara yang penuh derita itu,
 membuat merinding siapapun yang
 mendengar, diam2 Siang Cin merasa heran, kenapa dia bisa pura2 sedemikian mirip,
 mungkin lantaran siksaan yang tertahan tadi baru sekarang sempat dia lampiaskan.
 Sesuai dugaannya, tak lama kemudian daun pintu yang berat itu pelan2 didorong
 terbuka pula, suara orang tadi terdengar mengumpat maki: "Anak sundel piaran
 anjing, memangnya bacotmu hanya pintar menggonggong melulu seperti setan
 menangis dan serigala kelaparan . . . . "
 Sambil memaki laki2 itupun melongok ke dalam pula, mulutnya masih tak berhenti
 memaki: "Sudah, jangan kaok2 sekarat, cepat atau lambat, kau juga pasti mampus,
 buat apa sekarang kau gembar gembor . . . He . . .?" makiannya tiba2 berhenti dan
 berganti suara kejut heran se-olah2 tidak percaya akan penglihatannya sendiri. .
 Sesaat dia berdiri melongo di ambang pintu, tapi belum lagi ia sempat berpikir apa
 yang telah terjadi, rantai panjang bagai seekor ular sakti tahu2 melingkar datang
 menggubat lehernya, seluruh badannya lantas tertarik terbang ke dalam.
 Kedua tangan laki2 itu me-ronta2, dengan keras tubuhnya terbanting di lantai, belum
 lagi dia menyadari apa yang terjadi atas dia, sebuah suara dingin seram yang
 mendirikan bulu kuduk tahu2 berkumandang dipinggir telinganya: "Sahabat baik,
 pada penitisan yang akan datang kau harus selalu ingat, tidak boleh sembarangan
 memaki orang."
 Melotot sebesar jengkol mata orang itu, lidahnya melelet panjang, baru saja dia mau
 meronta pula, tahu2 kaki orang telah menginjak batok kepalanya, "Prak" kontan
 batok kepala ini terinjak pecah.
 Siang Cin angkat kakinya serta membersihkan noda darah di badan mayat
 korbannya, suara seorang berkumandang pula di luar pintu: "Gu-losam, memangnya
 kerja apa kau di dalam" Apa kau mampus di dalam dan tak suka keluar lagi" Sepoci
 arak ini biar kuhabiskan saja bersama Li-jitko . . ."
 - - - - -- - - - - - -- - - - - -- - - - - -- - - - - -- - - -
 Cara bagaimana Siang Cin akan mengerjai penjaga2 itu dan meloloskan diri"
 Kemana perginya Pau Seh-hoa, Kun cici dan An Lip"
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

- Bacalah jilid ke-4 "
 57 Jilid 04 Diam2 Siang Cin menyelinap keluar, panjang lorong kira2 ada dua tombak, di ujung
 lorong sana ada undakan batu yang menjurus ke atas, di atas undakan tertutup oleh
 papan besi yang tebal.
 Dua orang yang juga mengenakan jubah panjang ketat tengah berjongkok di bawah
 tembok, di atas meja ada sepoci arak dan beberapa piring makanan, muka kedua
 orang tampak merah, agaknya sudah banyak minum arak.
 Begitu keluar Siang Cing langsung berludah ke arah kedua orang sambil menggerutu:
 "Anak kunyuk, aku sedang membungkam mulut bocah keparat itu, untuk apa kau
 mengoceh kalang kabut" Bedebah ......."
 Kata2 yang dingin ini terasa menusuk pendengaran kedua orang yang setengah
 mabuk itu, keduanya melenggong dan cepat menoleh, mereka terbeliak seperti
 melihat setan, saking kaget dan takut mereka melonjak hingga meja didepan mereka
 ke terjang jungkir balik.
 Siang Cin mendengus sekali, sebat sekali ia bergerak maju, rantai ditangannya
 terayun menyapu roboh salah seorang, kepalanya pecah membentur tembok..
 Seorang lagi belum sempat meraih senjata yang tergantung di atas tembok, waktu
 bayangan rantai berkelebat, tangan kanannya yang terjulur itu tahu2 terpukul hancur,
 orang itu menjerit dan roboh.
 Kaki Siang Cin menginjak dada orang, wajahnya yang membiru berlepotan darah
 kelihatan seram menakutkan laksana demit, dengan tejam dia tatap orang di bawah
 kakinya, tanyanya; "Tempat apa ini?"
 Saking kesakitan orang itu sudab lemas lunglai, badan gemetar, biji matanya terbalik,
 mulutpun mengeluarkan buih dan megap2.
 Siang Cin, perkeras injakannya, tanyanya pula lebih kereng: "Tempat apa ini?"
 Orang itu menarik napas, sesaat kemudian baru mampu bersuara dengan meringis
 kesakitan: "Ampun Hohan. . . . . ini . . . . . ini, kamar tahanan bawah tanah dari
 pekarangan pertama Ceng-siong-sanceng yang terletak di bawah empang
 teratai . ... ."
 Siang Cin mendengus, tanyanya pula: "Jadi ada air di sebelah atas?"
 Orang itu bernapas dengan payah, sahutnya meringis: "Ya, ya, ada air . ... . . ."
 Mengerut alis, Siang Cin bertanya pula: "Cara bagaimana untuk keluar?"
 Orang itu ragu, segera Siang Cin perkeras injakannya, terpaksa orang itu berteriak:
 "Baiklah kuterangkan . . . . di sebelah kanan papan besi ada sebuah tombol, asal kau
 tekan tombol itu, dari lekukan undakan di atas akan menyeplak keluar sebuah pipa
 besi besar yang tepat menutupi lubang undakan, memasuki pipa besi itu, pucuk pipa
 menembus pada sebuah batu gunung2an yang menongol di permukaan air, setiba di
 atas gunung2an dapat kau bebas keluar . . . . "
 Siang Cin tertawa, tanyanya: "Berapa kali menekan tombol itu?"
 Laki2 itu ragu2 pula, segera Siang Cin mendesak lebih ketus: "Tekan berapa kali?"
 Orang itu akhirnya mengaku: "Tujuh kali"
 Siang Cin mengangguk, jengeknya "Kalau salah, aku akan kembali mencabut
 nyawamu lebih dulu."
 Sekali melejit dia sudah melayang ke undakan sana, disebelah kanan tutup besi
 memang terdapat sebuah tombol sebesar ibu jari, pelan2 dia lalu menekan sambil
 menghitung sebanyak tujuh kali. Suara gemeratak bunyi pegas bekerja di dalam
 dinding, lekas sekali papan besi yang tertutup rapat itu mulai bergerak kesamping, di
 luar ternyata memang terpasang sebuah pipa besi yang panjang, ujung pipa sebelah
 sana lapat2 kelihatan ada lubang keluar yang gelap.
 Siang Cin berpaling serta bersenyum ke arah laki2 yang rebah melongo itu, katanya:
 "Terima kasih saudara."
 58 Mendadak laki2 itu melompat berdiri dan berteriak: "Tolong . . . . "
 Namun sebat sekali Siang Cin sudah mengayun rantai besi dan tepat masuk ke
 mulut orang yang tengah terpentang itu, kontan orang itu mencelat menumbuk
 dinding. Siang Cin menghela napas lega. pelan2 dia mulai merambat ke atas pipa besi,
 dalam pipa terdapat injakan untuk naik ke atas, mendadak muncul seraut wajah
 bengis di ujung pipa sebelah atas, terdengar suara serak kasar bertanya: "Li-jit, ada
 urusan apa pula kau naik kemari" Sebelum tiba saatnya belum boleh giliran jaga kau
 keparat ini memang banyak tingkah, sejak tadi sudah tiga kali naik turun .. . . "
 Siang Cin terus manjat tanpa bersuara, sementara wajah bengis itu tetap
 mengawasinya, tiba2 ia menjadi siaga, serunya: "Eh. Li-jit, sejak kapan kau ganti
 pakaian, kenapa kau mengenakan baju kuning?"
 Masih beberapa kaki akan tiba di ujung pipa Siang Cin mendongak serta menjawab
 tawar: "Pakaian yang dipakai Naga Kuning memangnya sejak kapan tidak berwarna
 kuning?" Wajah bengis itu seperti mendadak kena tamparan, sekilas tampak matanya melotot,
 mukanya menegang, ia berdiri terpaku ditempatnya, Siang Cin unjuk senyum lucu
 kepadanya, belum lagi orang sempat melakukan sesuatu, rantai sudah melayang ke
 atas, sekali tanri leher orang yang tergubat rantai itu terus ditariknya hingga jatuh
 lurus ke bawah.
 Tanpa pedulikan korbannya, dengan enteng Siang Cin lompat keatas, di atas
 ternyata betul ada sebuah lorong gua gunung2an yang berliku, dari celah2
 gunung2an dapatlah Siang Cin menghirup hawa segar, merasakan embusan angin
 sepoi2, malah diapun dapat menikmati alunan lembut permukaan air empang,
 memang kamar tahanan itu tepat berada di bawah empang ini.
 Menyusuri lorong gua yang berliku, dengan hati2 Siang Cin beranjak keluar, kira2
 puluhan langkah, dilihatnya dua laki2 tengah berjongkok di sebuah batu besar, entah
 soal apa yang mereka bicarakan dengan bisik2, golok terselip di pinggang mereka.
 Pelan2 Siang Cin mendekati, katanya dengan tenang: "Eh, kalian kok enak2 saja,
 masih ada berapa pos penjagaan di depan sana?"
 Kedua orang berpaling sembari memaki: "Sialan, pura2 bodoh, di lorong ini ada lima
 pos penjagaan, apa matamu sekarang sudah lamur, pakai tanya2 segala?"
 Sementara itu Siang Cin sudah lebih dekat, tanyanya pula: "Apakah Wancu (kepala
 kampung) ada?"
 Salah seorang yang berkepala botak menyeringai, sahutnya: "Mungkin sedang
 bergumul dangan gundiknya di ranjang, wah, bila kulihat kulihat perempuan yang
 mulus itu, sungguh membuat ngiler melulu. . . . . . ."
 "Masa ya?" tanya Siang Cin.
 Kedua orang itu tertawa lebar, kata yang lain "Memangnya kenapa" Bedebah, siapa
 kau, suaramu kok mirip ayam kebiri . . . . . . "
 "Aku inilah Siang Cin," ujar Siang Cin, berbareng rantai ditangannya terayun
 gemerincing, tahu2 kedua orang terpental roboh dengan kepala pecah berhamburan.
 Dengan kalem Siang Cin melangkah keluar seperti tidak terjadi apa2, sisa empat pos
 penjagaan dengan mudahnya dia bereskan, akhirnya dia tiba di mulut lorong
 gunung2an, di situ ada delapan penjaga, setiap orang bersenjata golok besar.
 Sekilas Siang Cin berpikir, lalu melangkah keluar, masih ada beberapa langkah
 jauhnya, salah seorang tiba2 menoleh, dengan bengis menghardik: "Siapa" Pohon
 besi berbunga?"
 Siang Cin tahu orang menyerukan kata rahasia, maka diapun menanggapi dendan
 suara yang dibikin serak: "Betul, akhirnya pohon besi juga berbunga."
 Laki2 itu melengak, segera iapun meraung keras: "Mata2!"
 Siang Cin menubruk maju, rantainya melingkar, sekaligus enam golok lawan kena
 disapunya mencelat ke udara, berbareng telapak tangan kirinya juga menyapu miring,
 lima laki2 yang kehilangan senjatanya kena ditabasnya roboh. Sudah tentu tiga
 orang yang masih hidup menjadi ketakutan, tanpa berjanji serentak mereka menjerit
 59 terus angkat langkah seribu.
 Bagai setan Siang Cin mengejar, rantainya hanya terayun setengah lingkaran maka
 terdengarlah suara "Prak, prak, prak", batok kepala ketiga orang sama terhantam
 hancur, mayat tanpa kepala itu masih terus berlari beberapa langkah lagi ke depan
 baru roboh tersungkur.
 Kini Siang Cin berada di sebuah pekarangan yang luas dan sepi, empang dan
 gunung2an yang dibangun di sini ternyata hampir menelan separo dari seluruh luas
 taman ini di depan sana ada sebuah pintu bentuk bulan, pagar tembok mengalingi
 pekarangan sebelah sana, dibalik dinding tinggi itu kiranya merupakan bangunan
 berloteng yang berukir dan mentereng, mungkin di sanalah perumahan pertama dari
 Ceng siong san-ceng.
 Dengan langkah lebar Siang Cin langsung mendekati rumah yang terdekat, rumah ini
 masih memperlihatkan cahaya lampu di salah satu kamarnya.
 Di luar rumah ada tanaman bunga berpagar bambu suasana di sini amat nyaman
 dan serba bersih, Siang Cin berputar ke samping rumah, di sini ada sebuah jendela
 panjang, kain tirai yang menjuntai melambai tertiup angin, dari luar terlihat kelambu
 ranjang tertutup rapat. Tanpa pikir Siang Cin terus melompat masuk mendekati
 jendela, dia coba menarik daun jendela, ternyata dengan mudah lantas terbuka,
 kiranya penghuni di dalam lupa menguncinya.
 Siang Cin menyelinap masuk, tapi begitu dia berdiri tegak seketika dia tertegun,
 kiranya inilah kamar tidur seorang perempuan, di dekat jendela ada meja rias
 berkaca tembaga yang digosok bersih mengkilap, kain sulaman yang setengah jadi
 terletak di pinggir meja, di sana ada meja tulis serba lengkap, di tengah meja ada pot
 bunga lagi, semuanya jelas merupakan kesukaan kaum wanita, kelambu yang
 berwarna jambon menjuntai turun tertutup rapat, di depan ranjang tampak sepasang
 sepatu sulam. Hidung Siang Cin juga mencium hau harum, tapi Siang Cin tidak sempat perhatikan
 semua ini, sekian saat dia berdiri melenggong, akhirnya dia geleng2 kepala, tanpa
 bersuara dia menyurut mundur.
 Tapi baru beherapa langkah, dari dalam kelambu mendadak didengarnya suara
 nyaring berwibawa membentak: "Berhenti, sebutkan namamu?"
 Siang Cin melenggong, sahutnya setengah membalik badan: "Kenapa?"
 Suara perempuan dalam kelambu agaknya amat marah, tapi juga merasa malu2:
 "Kau bajingan ini, tengah malam berani kelayapan memasuki kamar perempuan,
 sungguh kurang ajar dan tidak tahu malu, meski kau tidak sebutkan namamu, besok
 juga akan kulaporkan kepada engkoh, kau takkan terhindar dari ganjaran yang
 setimpal."
 Siang Cin tertawa, katanya: "Dalam hal apa aku kurang ajar" Aku toh hanya kesasar
 memasuki kamar ini, bukankah kau lihat aku hendak keluar?"
 Agaknya perempuan itu mendongkol, serunya: "Kalau aku tidak terjaga masa kau
 mau keluar" besar nyalimu, berani kau membantah . . . . . . . . "
 Siang Cin melirik ke arah ranjang, katanya: "Siapa kau" Kenapa aku tidak boleh
 membantah?"
 Perempuan itu mengejek, katanya: "Malam2 kau keluyuran di kamar tidurku, ini
 sudah merupakan penghinaan terhadapku, tapi kau malah berlagak dungu, lekas
 sebutkan namamu, sekarang juga akan kulaporkan kepada engkohku. . . . . . . "
 Berpikir sejenak, Siang Cin bertanya : "Siapa engkohmu?"
 Bayangan orang dalam kelambu tampak bergerak, teriaknya melengking: "Jangan
 pura2 bodoh, engkohku adalah kepala perumahan di sini, Sek Kui."
 Siang Cin menyidi geram, segera dia menghampiri ranjang dengan langkah lebar,
 rantai tergenggam kencang.
 Agaknya perempuan dalam ranjang juga melihat kelakuannya dengan suara
 melengking dia berteriak gugup: "Kau . . . . berhenti . . . . . . apa yang hendak
 kaulakukan?"
 Tiba di depan ranjaag, sebelah tangan Siang Cin menyingkap kelambu, terlihat
 60 seraut wajah bundar telur nan jelita, meski wjahnya kini penuh diliputi rasa takut dan
 kaget, tapi tetap menggiurkan.
 Denga rasa malu dia mengkeret ke dalam ranjang, kemul ditariknya untuk menutupo
 dada, begitu wajah Siang Cin yang berlepotan darah dan melepuh membiru itu
 muncul, seketika dia bergidik seram ketakutan.
 Perempuan ini masih muda, gadis berusia likuran, gerakannya tampak gugup
 berusaha menutupi dengan kemulnya, dengan suara seram gemetar dia berteriak:
 "Kau . . . . keluar kau . kau . . . . apa yang hendak kau lakukan?"
 Siang Cin, menatapnya dengan sorot mata tajam, ucapnya kalem: "Tadi kau bilang
 bahwa Sek Kui adalah engkohmu?"
 Setelah gemetar sejenak gadis di atas ranjang baru berani menjawab: "Betul, lekas
 kau enyah, dia pasti takkan memberi ampun padamu bila . . . ."
 Siang Cin manggut2, katanya pelan: "Sudah tentu, seperti juga aku tidak akan
 mengampuni dia."
 Agaknya si gadis melenggong mendengat ucapan Siang Cin yang kaku dingin dan
 mengancam ini, dia merasa apa yang drkatakan orang ini pasti bukan omong kosong
 belaka, tapi siapakah orang ini" Setelah tenangkan diri dia bertanyn: "Kau, siapa
 kau?" Dengan tertawa tawar Siang Cin menjawab: "Siang Cin."
 Mendadak berubah rona muka si gadis, mukanya sepucat kertas, desisnya seperti
 orang berbisik: "Siang . . . . Siang Cin?"
 Siang Cin mengangguk, " Ya, aku ini Siang Cin."
 Bergetar badan si gadis katanya tergagap: "Kau . . . . bukankah kau.... kau
 dikurung. . . . di Liong-ong- lau (bui raja naga) . . . . di bawah empang itu?"
 Dengan tenang Siang Cin memandangnya, katanya: "Pernah terjadi demikian, tapi
 aku tak suka berdiam lama2 disana."
 Dengan sorot mata menampilkan rasa takut dan ngeri, si gadis berkata.pula: "Kau ... .
 bagaimana kau . . . . bisa keluar?"
 Siang Cin tertawa, tertawa yang membuat mukanya kelihatan lebih seram dan lucu,
 muka yang penuh bekas luka itu menjadi sedemikian jelek dan menjijikan, sekaligus
 menampilkan rasa dendam yang tak terlampias. "Aku ingin keluar, maka aku lantas
 keluar. Kau pasti merasakan, keadaanku seperti ini teramat jelek bukan" Semua ini
 berkat hadiah dan karya engkohmu."
 Si gadis melenggong sejenak, tanyanya lebih takut: "Jadi kau hendak menuntut
 balas padanya?"
 Siang Cin menjengek: "Sudah tentu, demikian pula setiap penghuni yang ada di
 perumahan ini, malah seluruh orang dalam perkampungan pula, di antaranya sudah
 tentu termasuk kau, semuanya akan menerima ganjaran yang setimpal."
 Semakin keras gemetar si gadis, katanya ketakutan: "Tuntutanmu takkan
 berhasi. . .Ceng-siong san ceng tidak boleh dibuat permainan . . . . "
 Tiba2 Siang Cin tertawa dingin, katanya. "Memangnya Pendekar Naga Kuning Siang
 Cin juga boleh dibuat mainan?" - Merandek sebentar lalu ia menambahkan,
 "Sekarang kaulah yang menjadi korbanku yang pertama."
 Takut luar biasa, sedapat mungkin si gadis mengkeret lebih dalam ke belakang
 ranjang, tapi dia sudah mepet dinding, jelas tak bisa menyingkir lagi. dengan
 menggigil dia berkata penuh iba: "Tidak, jang . . .. jangan Siang Cin . . . jangan. . . . "
 Jerit si gadis yang penuh diliputi rasa takut ini terasa seperti tangan yang menggapai
 dan akhirnya menyentuh sanubari Siang Cin, terasa mengharukan dan harus di
 kasihani, mirip anak domba yang mengembik diambang pejagalan, memangnya
 gadis selemah ini, hakikatnya dia tiada kekuatan untuk meronta dan melawan.
 Bimbang Siang Cin, ia menatapnya lekat2 tanpa bersuara, akhirnya dia bertanya:
 "Siapa namamu?"
 Tetap menggigil, si gadis menjawab dengan penuh iba: "Sek . . . . Sek Pin."
 Siang Cin mengerut kening, katanya: "Sek Kui sudah setengah abad, dari mana dia
 memperoleh adik perempuan semuda kau?"
 61 Si gadis Sek Pin termenung sejenak, katanya kemudian: "Kami . . . . kami saudara
 satu ayah lain ibu."
 Siang Cin mengangguk, katanya: "Baik, sementara kutinggalkan kau, tapi ini tidak
 berarti aku akan memberi ampun padamu, bila hatiku berubah kejam kau akan tetap
 kuganyang juga."
 Pelan2 dia lepaskan kelambu serta mundur, baru saja dia membalik, tiba2 ia
 menyingkap kelambu lagi, ia mengawasi Sek Pin yang masih ketakutan itu, katanya
 dingin: "Ingin kutanya, di mana engkohmu mengurung dua laki2 dan dua perempuan
 yang ditangkapnya" Apakah mereka juga disiksa dan disakiti?"
 "Aku . . . . . aku tidak tahu . . , . ?" jawab Sek Pin takut2.
 Mendelik mata Siang Cin, katanya: "Kalau kau tahu di mana aku dikurung, mustahil
 kau tidak tahu di mana mereka disekap, kalau kau tidak mau menerangkan, bisa jadi
 akan kugunakan kekerasan terhadapmu . . . . "
 Sek Pin tampak mewek2, akhirnya air matapun bercucuran, katanya: "Siang Cin
 yang terkenal gagah perkasa ternyata juga menyakiti anak perempuan .. ... kalau
 kuterangkan .. . . engkohku tidak akan memberi ampun" Siang Cin melenggong,
 dengan tajam dia tatap wajah Sek Pin yang berlinang air mata, tanpa sadar dia
 menghela napas, katanya: "Baiklah, anggap saja kau memang tidak tahu." - Lalu dia
 turunkan kelambu terus beranjak ke arah jendela.
 Pada saat itulah, langkah kaki orang banyak yang riuh disertai suara gaduh
 berkumandang di taman di balik tembok sana, kejap lain suara lonceng pun bergema
 dan tambur ber talu2. . .
 "Suara tanda apa itu?" tanya Siang Cin..
 Sejenak baru Sek Pin menjawab di balik kelambu: "Suara lonceng dan tambur untuk
 mengundang bala bantuan."
 Siang memejamkan mata, katanya: "Ya, sudah saatnya mereka tahu bahwa aku
 telah lolos."
 Suara ribut dan langkah orang berlari dengan suara teriakan terus berlangsung di
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

luar sana, rombongan yang satu saling tegur dengan rombongan yang lain.
 Siang Cin berdiri tegak, dengan tenang dia mengawasi lentera yang memancarkan
 cahayanya yang redup di atas meja, geger dari kekalutan di luar itu se-olah2 tiada
 sangkut pautnya dengan dia.
 Dengan rada takut dan suara gemetar Sek Pin memanggil: "Siang Cin . . . . "
 "Ada apa?" tanya Siang Cin dengan pandangan tajam.
 "Kau tidak takut?" tanya Sek Pin kagum.
 Siang Cin tertawa: "Apa yang harus kutakuti?"
 "Mereka akan menangkapmu."
 Memandang rantai ditangannya, Siang Cin berkata: "Mereka takkan mampu
 menangkapku, entah sudah berapa kali aku pergi balik ke neraka, aku adalah tamu
 yang paling dikenal di sana, raja akhirat malah tidak mau menyambut kedatanganku,
 mungkin kuatir bila aku bikin onar di sana . . . . . . "
 Suasana tenang sejenak, tiba2 terdengar langkah kaki ringan di balik kelambu sana,
 kata si nona: "Siang Cin, kau pandai bicara dan suka humor." .
 Siang Cin ber-kedip2, katanya hambar: "Tapi dikala aku berang, tidak sedikit orang
 akan celaka."
 Mungkin sedang memikirkan sesuatu hal, sesaat kemudian baru Sek Pin berkata
 pula: "Untuk sementara ini aku berharap kau tidak tertangkap oleh mereka."
 Dengan tertawa tak acuh Siang Cin betkata: "Karena aku suka humor?"
 "Dan . . . . . hatimupun baik"
 Mendengus Siang Cin, katanya: "Sembarang waktu akupun bisa naik pitam dan tak
 kenal kasihan. Nona, sebentar kau akan menyaksikannya."
 Agaknya Sek Pin sedang termenung, entah apa yang lagi dipikirnya, pada saat itulah
 langkah orang banyak terdengar berlari datang dan berhenti di luar, menyusul suara
 ketukan pintu lantas berkumandang, kejap lain pintu terbuka lalu terdengar suara
 62 seorang berkata dengan kasar: "Cui-hoa, apakah sudah tidur"
 Suara seorang gadis dengan rasa kesal menjawab: "Ada urusan apa kalian ribut2"
 Tengah malam buta mau apa kalau Siocia tidak tidur" Lo Kim kau ini semakin tua
 semakin pikun, di tempat ini juga kau berani sembarang main gedor."
 Suara kasar itu ngakak tawa, meski nadanya ramah tapi suaranya tetap kasar
 menusuk kuping, katanya: "Jangan marah nona Cui-hoa yang baik, urusan memang
 cukup genting, bocah she Siang tawanan kita telah lolos dari "bui raja naga" tujuh
 pos jaga telah diobrak-abrik, tiada satupun yang tertinggal hidup, darah berceceran,
 borgol besi hanya sekali puntir telah diputus olehnya, kematian Gu-losam dan Li jit
 amat mengenaskan, seorang pecah batok kepalanya, seorang lagi mati dengan
 rantai tembus dari mulut ke kuduk. hiii, sungguh mengerikan .........
 Si gadis juga menjerit ngeri tertahan, katanya: "O Thian, kejam amat orang she
 Siang itu" Dengan lolosnya ini pasti banyak korban akan jatuh pula, apalagi kalau
 dia mengamuk?"
 Suara serak kasar itu ter kekeh2, katanya dengan nada pahlawan: "Jangan takut,
 Cui-hoa mungil, ada aku Cun-thian-kan di sini" umpama orang she Siang itu memiliki
 enam lengan tiga kepala juga takkan berani mengusik seujung rambutmu. Hm, kalau
 tak percaya boleh suruh dia rasakan kelihayan gada penggetar langitku ini."
 "Lo Kim yang baik," terdengar Cui hoa berkata dengan rasa kuatir, "kau harus lekas
 menangkapnya, jangan sampai dia lolos, lekas kau panggil orang untuk menjaga
 keamanan Siocia, bila ada keadaan apa2 .... ..
 Suara kasar itu mengiakan, lalu berkata sambil menepuk dada: "Jangan takut,
 jangan kuatir, memang atas perintah Wancu aku di suruh melindungi kalian, seluruh
 jago dari tiga perumahan dalam perkampungan kita kerahkan, para saudara terbagi
 dalam beberapa kelompok dan sedang menggeledah seluruh pelosok, para kawan
 sekaum yang berada di luar perkampungan juga bantu memberi kabar kemana2
 agar mereka bantu membekuk bocah she Siang itu, umpama dia tumbuh sayap juga
 jangan harap bisa lolos."
 Siang Cin mendengarkan dengan tertawa tak acuh, tapi Sek Pin yang ada di dalam
 kelambu tiba2 berkata dengan rasa gusar dan takut: "Siang Cin, kau membunuh
 orang?" . "Em," Siang Cin menggerem dalam tenggorokan.
 "Apa yang dikatakan itu apa benar kerjamu?" tanya Sek Pin.
 Diam sebentar, akhirnya Siang Cin mengangguk, katanya: "Ya, seluruhnya."
 Marah dan dendam suara Sek Pin: "Kau iblis laknat, algojo yang kejam . . . . "
 Siang Cin tertawa geli, katanya: "Omonganmu lebih pantas kalau kau cantumkan
 atas nama engkohmu bila kau melihat buah tangan engkohmu sendiri."
 "Aku tidak percaya!" seru Sek Pin," umpama benar juga kau sendiri yang cari
 penyakit."
 Siang Cin tertawa tawar, katanya: "Betul, kita memang mencari penyakit sendiri,
 berkecimpung di kalangan Kangouw memang sulit untuk membedakan siapa salah
 dan benar. Sekarang, umpama kau mau berteriak, kau boleh berteriak sekerasnya,
 rneski aku bisa membunuhmu sebelum mereka menerjang kemari, tapi aku tidak
 akan bertindak demikian-"
 "Kau kira aku takut, aku justeru mau berteriak, akan berteriak . . . . " belum habis dia
 bicara tiba2 dirasakan kelambu bergetar, dua bintik benda terpaut serambut
 menyambar lewat pipinya menancap dinding di belakangnya, cepat ia menoleh,
 seketika dia menjerit kaget, bintik hitam kecil yang menancap di dinding itu kiranya
 adalah dua kelopak bunga mawar, memang di atas meja ada pot bunga mawar yang
 lagi mekar. Wahtu dia menoleh lagi, bayangan Siang Cin sudah tidak kelihatan, bagai setan saja
 hanya sekejap orangnya sudah lenyap entah ke mana.
 Sementara itu laksana anak panah cepatnya Siang Cin melesat keluar dan melayang
 ke atas dinding, dengan jelas dia saksikan obor benderang di rnana2 sehingga
 seluruh perkampungan menjadi terang seperti siang hari, bayangan orang tampak
 63 bergerak2 membawa senjata berkilau, mereka mondar mandir kian kemari, suara
 makian, teriakan, aba2, semuanya ribut dan tegang.
 Setelah menghirup napas segar Siang Cin berdiri bertolak pinggang di atas tembok,
 tentu saja jejaknya segera terlihat oleh orang2 Ceng-siong-sanceng yang lari kian
 kemari, maka didengarnya seorang berteriak bagai melihat setan: "Naga Kuning!
 Hayo kawan2, inilah dia orangnya, lekas kemari, keparat she Siang berada di
 sini , . . . lekas kemari. . ."
 Mendengar suara itu barisan yang tersebar di mana2 itu serentak berlari kemari,
 oborpun berkumpul sehingga keadaan di sini menjadi lebih benderang lagi.
 Seorang laki2 berewok berperawakan besar bagai biruang dengan bersenjata gada
 besar mendahului menubruk tiba di bawah tembok, teriaknya memaki: "Siang Cin,
 kalau kau manusia, lekas kau turun, berlutut dan bertobat di depan Kim loya, jangan
 bertingkah bagai pahlawan bertengger di atas tembok melulu."
 Siang Cin menyeringai, katanya: "Kalian cuma pintar rebut dan bikin geger saja,
 kenapa kau kuatir, orang she Siang pasti tuntut darah yang mengalir dari badan
 orang she Siang, siksa derita yang kualami, kalian harus membayarnya berlipat
 ganda ....."
 Belum habis dia bicara, suara jepretan busur telah memberondang ke arahnya,
 jalur2 sinar perk tak terhitung banyaknya sama tertuju ke arahnya dengan deru suara
 mendenging. "Mampuskan saja anak kura2 itu." - "Hayo saudara2, tambah tenaga, bidiklah yang
 tepat biar dia menjadi landak." - "Acungkan obor lebih tinggi, nah pegang yang
 kuat . . . . . . " terdengar teriakan dan saling memberi aba2, di tengah keributan itu,
 hujan panah masih terus berlangsung.
 Siang Cin menghardik sekali, bagai seekor bangau raksasa mendadak dia
 melambung tinggi di udara lalu berkisar satu lingkaran, terus menukik dengan
 kecepatan luar biasa, tiada yang melihat jelas, tahu2 puluhan orang menjerit jatuh
 ter-guling2. Begitu Siang Cin tancap kaki ke bawah segera ia melejit tinggi pula, kembali
 rantainya bekerja, puluhan orang disapunya roboh dengan kepala pecah.
 Gerakannya laksana kilat, berulang kali dia lompat kian kemari, dalam waktu singkat
 lima puluhan jiwa telah melayang, semuanya mati dengan kepala hancur, darah
 berhamburan, busur panahpun tercecer di tanah.
 Jerit tangis berpadu dengan teriakan gegap gempita, tak ubahnya neraka di alam
 fana ini, jagal manusia berlangsung tanpa kenal ampun.
 Cun thian kan Kim Wi tampak terluka jidatnya, untung kepalanya hanya keserempet
 rantai, mukanya tampak berlepotan darah dan mengalir membasahi pundak,
 mengejar tidak berani, menyerang tidak mampu, terpaksa dia hanya ber teriak
 memberi aba2 sambil mencak2.
 Masih ada ratusan orang2 Ceng-siong-san-ceng yang mengepung, tapi mereka
 hanya berteriak2 sambil angkat senjata di luar kalangan, tiada satupun yang berani
 menyerbu maju. Wajah Siang Cin yang melepuh penuh noda darah menampilkan secercah senyum
 kejam, sekilas ia menyapu pandang orang2 di sekeliling yang mengepungnya.
 Sekejap tampak keributan diantara orang2 yang mengepungnya, lalu dari belakang
 sana terdengar teriakan senang dan sambutan gegap gempita.
 Di bawah penerangan obor terlihat jelas beberapa bayangan orang tengah bergerak
 ke arah sin dengan gerakan tangkas, dilihat dari gerak lompatan beberapa orang itu,
 jelas bahwa yang datang ini adalah jago2 yang berilmu tinggi.
 Selama ber tahun2 sudah biasa dan merupakan tradisi yang tak berubah bagi Siang
 Can untuk bergerak dulu menundukkan musuh, kini iapun menyeringai, sebat sekali
 dia menerjang rombongan orang yang mengepungnya bagai pagar betis itu.
 Cun-thian-kan Kim Wi meraung bagai harimau ngamuk, gadanya yang besar
 mengkilap kuning berputar membawa kisaran angin kencang terus mengepruk batok
 kepala lawan. dua puluhan orang di sebelah serempak juga angkat senjata
 64 menyerbu maju, golok besar yang kemilau tajam sama membacok badan Siang Cin.
 Rantai di tangan Siang Cin tiba2 mengeras lurus bagai toya menyodok, "trang", gada
 Kim Wi kena disampuknya miring ke samping. bagai ular sakti rantai Siang Cin
 kembali melingkar di udara, berbareng telapak tangan kiri Siang Cin setajam golok
 membabat miring, darah segera menyembur keluar, sekaligus dia sudah mencabut
 delapan belas nyawa, semuanya dengan dada robek, isi perut kedodoran memenuhi
 tanah. Belum lagi golok yang tersapu terbang ke udara dan berjatuhan, jerit dan pekik
 memilukan jeperti berlomba menusuk pendengaran. tujuh-deltapan batok kepala
 orang2 Ceng-siong-san-ceng kembali mencelat berpisah dengan lehernya. Betapa
 cepat gerakan Siang Cin, hebat serangannya, sungguh mirip iblis yang hendak
 membabat habis mangsanya.
 Mulut Kim Wi masih terus ber-kaok2, seperti orang linglung saja dia terus mengejar
 ke mana Siang Cin menerjang. Tapi seperti seekor kerbau tengah mengejar seekor
 burung yang berlompatan lincah kian kemari, bukan saja membuang tenaga sia2,
 kelakuannya juga kelihatan lucu, bodoh menggelikan.
 Se-konyong2 Kim-Wi merasa pundaknya ditepuk ringan, lekas dia berpaling, terasa
 angin berkesiur lewat di samping pipinya, kontan dia merasakun pipinya panas,
 pulang pergi mulutnya kena digampar ber-kali2, saking keras dan kesakitan dia
 terhuyung jatuh terduduk, darah bersama giginya tersembur dari mulutnya, tapi siapa
 yang menghajarnya, bayangannya saja dia tidak lihat.
 Kini keadaan betul2 kalang-kabut, obor yang masih menyala berserakan tercampur
 dengan berbagai macam senjata tajam, manusia berlari kian kemari secara membabi
 buta, mereka yang masih kuasa membawa lari badannya saling terjang dan
 berusaha menyingkir menyelamatkan diri dan dan cari selamatnya sendiri itu maka
 mereka tidak membedakan lagi kawan atau lawan, saling gasak dan gontok sendiri.
 Sementara Siang Cin enak2 berdiri di bawah pohon menonton musuh saling baku
 hantam sendiri, keadaan sekelilingnya yang serba mengerikan tidak mempengaruhi
 tekad juangnya, se-olah2 mereka yang sedang saling hantam untuk menyelamatkan
 diri itu tiada sangkut pautnya dengan dia.
 Tiba2 bergema bentakan keras, tampak bayangan seorang meluncur tiba, inilah si
 "kokok beluk muka putih" Sek Kui. Baru saja dia meluncur turun, segera ia
 menghardik bagai geledek: "Semuanya tenang!"
 Belum lenyap suaranya, tujuh delapan bayangan orangpun meluncur tiba, dua
 diantaranya adalah pemuda berjubah biru dengan sulaman kupu2 rnerah di depan
 dada, empat laki2 lain berumur 40 an bertubuh kekar dengan muka kasar dan merah,
 seorang lagi berperawakan tinggi kurus, mukanya hitam legam, kumis pendek,
 sikapnya congkak.
 Lekas sekali Sek Kui menemukan Kim Wi, sekali raih dia jinjing orang dari tanah
 serta mendesis dengan nada berang: "Kim Wi apa yang terjadi?"
 Cun-thian-kan Kim Wi geleng2 kepala menghilangkan rasa pusingnya, sahutnya
 kebingungan: "Siang Cin . . . . keparat itu ada di sini . . . . hayo ganyang dia . . . . "
 Sek Kui dorong tubuh Kim Wi sampai jatuh terjungkal, serunya sambil celingukan:
 "Hayo geledah lekas temukan dia."
 Tujuh orang di belakangnya segera memberi tanda, para centeng yang baku bantam
 sendiri tadi kini terpaksa mulai menggeledah ke segenap penjuru, sementara
 beberapa kelompok barisan yang bersenjata lengkap ber-bondong2 mendatangi,
 obor menyala terang dan terangkat tinggi.
 Saking gemas Sek Kui mengertak gigi, katanya: "Semua mengira keparat itu lari ke
 belakang gunung, sungguh tak terkira dia sudah inenerjang ke depan. Salah kita
 kenapa menugaskan Kim Wi si otak kerbau itu bertugas di sini hingga jatuh begini
 banyak korban . . . . . . .
 Laki2 kurus itu menanggapi dengan tertawa dingin: "Biarpun tidak memperoleh
 keuntungan apapun, jago2 kosen kita begini banyak, dia hanya berlagak jagoan
 terhadap kaum keroco .. . ... ."
 65 Sek Kui menggosok kepalan, katanya: "Hian-te sudahkah kau suruh memanggil
 orang2 kita yang berada di luar?"
 Laki2 kurus mengangguk, sahutnya: "Ih-moa-cu sudah pergi, semula Wancu di
 perumahan tengah dan di belakang sama mengejar ke arah timur, sedang Cengcu
 sendiri membawa Cit-hwi-cui mengudak ke arah barat, mungkin sekarang sudah
 puluhan li jauhnya . . . . . . "
 "Keparat yang licik dan licin," omel Sek Kui dengan gemas, "kukira setelah disiksa
 berat begitu rupa, ditambah bekerjanya San-kin-sip-kip-tan, luka2 dalamnya belum
 sembuh pula, pasti tidak akan terjadi apa2, sungguh di luar perhitungan bahwa dia
 mampu melarikan diri, Liong ong lau pun tak kuasa menyekapnya . . . . . . . "
 Selintas senyum sinis terbayang di muka laki2 kurus, katanya dingin: "Seharusnya
 gorok saja lehernya, beres."
 Sek Kui meliriknya sekilas tanpa bersuara, memang sekarang dia menyesal kenapa
 tidak mampuskan Siang Cin saja" Namun menyesalpun sudah kasip sekarang.
 Dari kejauhan tampak dua bayangan orang tengah berlari mendatangi, yang di
 depan adalah Kongsun Kiau-hong, si orang tua yang pura2 sakit batuk dan rematik,
 di belakangnya adalah si nona jelita Kiang Ling. Belum lagi tiba dari kejauhan
 Kongsun Kiau hong sudah berteriak: "Sek lote, ada orang memberitahu kepada kami,
 katanya Siang Cin membobol penjara dan melarikan diri?"
 Dengan dingin Sek Kui mengangguk, katanya sambil menunjuk sekitarnya: "Betul,
 Kongsun-heng, semua korban itu adalah buah karyanya".
 Kongsun Kiau hong memandang para korban yang tak terhitung jumlahnya, mau tak
 mau dia bergidik seram, Kiang Ling juga merinding, mukanya pucat.
 Setelah menghela napas Kongsun Kiau-hong berkata: "Ilmu silat Siang Cin sungguh
 tak terukur tingginya, se olah2 dia memiliki kekuatan terpendam yang maha
 sakti . .. ... sebelum dia semaput dulu waktu di Tiang-yu-san, Ling-ji muncul dan
 hampir saja dia mati di bawah tabasan tangannya, kalau Lohu tidak menariknya,
 jiwanya tentu sudah melayang. Walaupun demikian pintu tebal yang terbuat dari
 kayu cemara itupun jebol berantakan, padahal dia sudah keracunan kalau dalam
 keadaan biasa entah betapa hebat kekuatannya . . . . . . "
 Sek Kui membuka mulut mau bicara. tapi dia urungkan niatnya, malah laki2 kurus itu
 yang menanggapi dengan nada menyindir: "Kongsun-toaheng, bila orang pernah
 digigit ular, melihat tambangpun dia ketakutan. Asal pernah selesma, melihat pohon
 bergoyang tertiup anginpun badan merinding kedinginan, padahal Siang Cin kan
 bukan raksasa berkepala tiga dan bertangan enam . . . . "
 Mendelik mata Kongsun Kinu-Kong, tapi dia tekan hawa amarahnya, hanya
 hidungnya mendengus keras2.
 Melihat sikap kedua orang yang sama berang, lekas Sek Kui menengahi, serunya
 keras: "Kim Wi, memangnya kau sudah mampus, kenapa berdiri melongo saja?" .
 Dua pemuda berjubah biru bersulam kembang merah di depan dadanya mendekat,
 seorang yang perawakan agak tinggi mengangguk kepada Sek Kui, katanya:
 "Wancu, tiada terdapat jejaknya di sekitar sini, tiada seorangpun yang tahu kapan dia
 menyingkir, gerak-geriknya terlampau cepat . . . . "
 Serba susah Sek Kui, katanya kemudian: "Geledah lagi lebih cermat."
 kedua pemuda membungkuk terus mengundurkan diri. Laki2 kurus itu mendengus
 pula, katanya: "Siang Cin keparat itu ternyata cepat juga kalau melarikan diri, kalau
 dia laki2 tulen, seharusnya menunggu kedatangan kita, betapapun cepat dan
 tangkas gerakannya. coba dapatkah dia menyingkir dari tangan kita . . .. "
 Sorot mata Sek Kui kelam, baru saja dia hendak menyemprot pembantunya ini,
 "sret", sesosok bayangan orang tahu2 meluncur dari pucuk pohon siong sebelah
 sana, hampir bersamaan seutas benda hitam panjang sudah menyambar tiba, begitu
 keras daya sambaran benda hitam panjang ini.
 Cepat Sek Kui dan lain2 melompat sejauh mungkin, begitu rantai besi tidak
 mengenai sasaran, suara gemerantang terasa memekak telinga, tahu2 laki2 kurus
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu terhuyung kedepan, jubah bagian punggungnya tampak berhamburan, rasa
 66 panas pedas membuatnya menjerit keras.
 Baru sekarang Sek Kui melihat jelas penyerang ini, seketika dada hampir meledak,
 dampratnya: "Kunyuk, bila kau bisa keluar dari Ceng-siong-sanceng, anggaplah
 hidup orang she Sek sia2 selama ini."
 Tetap tenang sikap Siang Cin, katanya: "Nah, marilah kita coba?" - Lalu dia menoleh
 ke arah laki2 kurus, jengeknya tertawa: "Bagaimana saudara, cukup cepat bukan?" .
 Laki2, kurus itu meraung gusar, matanya melotot, begitu kaki menggeser ke samping,
 sebilah senjata kemilau segega menusuk dada Sang Cin.
 Sambil mengegos Sang Cin mendengus: Hm, potlot besi keluarga Li juga cuma
 begini saja."
 Memang laki2 kurus ini adalah adik kandung dari Ciangbunjin Thi-pit-li-keh generasi
 ketujuh, dalam kalangan Kangouw dia terkenal dengan julukan Ceng-pi-pit (potlot
 lengan hijau) Li Thi, sekarang dia merupakan salah satu jago kosen dibawah Wancu
 pertama Ceng-siong-san-ceng.
 Sepatah kata Siang Cin saja telah membongkar asal usul lawan, segera Li Thi
 menerjang maju pula, serunya : "Siaing Cin, marilah kita perang tanding . . . . . . . "
 Berputar laksana kilat rantai Siang Cin, rangsakan kencang dan deras ini membuat
 Li Thi terdesak mundur tiga langkah, Siang Cin mencemooh: "Hah, kau masih jauh
 untuk bisa menandingiku."
 Mendadak Sek Kui menghardik, dari kejauhan dia melontarkan lima pukulan ke arah
 Siang Cin, tenaga pukulannya yang kuat menimbulkan damparan angin kencang,
 Siang Cin berputar laksana gangsingan, tahu2 tubuhnya sudah menyingkir ke sana
 serta membalik pula, dilain putaran pergi datang ini, dia serang Li Thi serta balas
 memukul Sek Kui beberapa kali.
 Kongsun Kiau-hong berteriak, sejalur sinar tahu2 menutuk tiba, tanpa mengedip
 Siang Cin tegakkan telapak tangan kiri dan balas mematuk terus ditarik pula,
 "traang", dia sampuk balik sebatang toya baja yang runcing ujungnya.
 Bentakan nyaring berkumandang pula, bayangan semampai ikut berkelebat
 menyelinap maju diantara orang banyak, dua bintik sinar menyambar ke leher Siang
 Cin. Tapi rantai Siang Cin berputar membawa kisaran angin puyuh, dengan tangkas
 kaki tangan nya bekerja, tangkis atas dan sampuk kiri, tendang bawah tangkis ke
 kanan, dengan tenang dia berkata:
 "Nona Kiang, kali ini Kongsun Kiau-hong tidak akan sempat menarikmu menyingkir
 lagi " Kongsun Kiau-hong meraung gusar, toya runcingnya mengemplang dan menusuk
 sekali gerak dia lancarkan sembilan jurus serangan, sementara potlot Li Thi yang
 mengkilat itupun menyerang cepat dan lincah, dibantu tenaga pukulan Sek Kui yang
 mantap, empat orang mengepung ketat dan menyerang gencar, Kelima orang
 bertempur seperti bermain akrobat berlompatan dan berjumpalitan, putar sana kisar
 sini, kadang2 senjata kelima orang serempak saling beradu. debu pasir beterbangan
 tinggi tersapu oleh pusaran angin yang ditimbulkan gerakan tangan, kaki dan senjata
 mereka. Tanpa suara dan memberi peringatan, dua bayangan orang tiba2 menubruk tiba pula,
 di depan baju mereka tampak bersulam bunga merah, selincah kupu2 mereka
 menyelinap masuk, dua bilah pedang panjang yang bobotnya jauh lebih berat dari
 pedang umumnya segera menyerang Siang Cin dari kiri-kanan.
 Dengan enteng Siang Cin meluputkan diri dari tusukan Toa-pui-kiam kedua pemuda
 yang main sergap ini. "Anak muda," jengeknya, "sebutkan namamu."
 Sembari menyerang pemuda yang lebih tinggi memaki gusar: "Biar kau mampus
 dengan rela, aku So Gan dari Thi-kiam-siang-tiap ( pedang besi sepasang kupu2 )."
 Siang Cin mencibir, rantainya menyampok potlot Li Thi, sebat sekali dia berputar,
 dengan tendangan gencar dia desak mundur Kongsun Kiau-hong, dengan tubuh
 sedikit miring dia menyelinap maju ke depan So Gan, katanya: "Saudara So, kukirim
 kau ke akhirat lebih dulu."
 So Gan tidak jelas cara bagaimana lawan menyelinap ke depannya, begitu cepatnya
 67 sehingga belum sempat berpikir, tahu2 batok kepalanya di kepruk remuk.
 "Kokok beluk muka putih" Sek Kui melihat jelas kematian anak buahnya ini, keruan
 hampir meledak dadanya saking murka. dengan suara serak dia berteriak, segera
 iapun melancarkan pukulan dahsyat. Adik So Gan yang bernama So Jiang juga
 menusuk dengan Toa-kui-kiam, kembali Siang Cin menyampuk potlot Li Thi dengan
 rantai, sedikit miring badan, sekaligus dia hindarkan tonjokan toya runcing Kongsun
 Kiau-hong, sementara sikutnya menyodok kearah Kiang Ling, sekali sendal pula
 rantainya menggulung ke arah Sek Kui, hampir dalam waktu yang sama,
 bayangannya tahu2 sudah melejit kedepan So jiang.
 Sek Kui menjerit kaget, secepatnya dia memukul tiga kali berusaha menyingkirkan
 sambaran rantai, sementara tangan yang lain menghantam Siang Cin, akan tetapi
 hanya terpaut sedetik saja, didengarnya So Jiang mernekik panjang dan roboh
 terkapar. Merah bola mata Kongsun Kiau-hong, toyanya berputar bagai kitiran, ujungnya yang
 runcing menusuk dengan ganas, tanpa hiraukan keselamatan nyawa sendiri dia
 menyerbu dengan nekat. Secepat kilat Siang Cin sendal rantainya, "srett", sekali
 berkisar, dengan jurus Kui-so bun dia menubruk ke arah Kiang Ling.
 "Lekas mundur Ling-ji . . . . " serasa pecah jantAung Kongsun Kiau-hong,
 teriakannya terasa tegang dan panik.
 Sebisanya Kiang Ling menjatuhkan tubuhnya ke belakang, sementara Sek Kui
 menyelinap maju, bersama potlot Li Thi sekaligus mereka mencogat dan menangkis,
 tapi gerakan Siang Cin teramat cepat, bayangan telapak tangan tetap menyambar
 lewat, Kiang Ling menjerit, badannya berputar dan akhirnya jatuh terguling.
 Serasa hancur hati Kongsun Kiau-hong, dengan terbeliak ia berjalan ke arah Kiang
 Ling, sementara itu sebat sekali Siang Cin tengah menghindari pukulan Li Thi, begitu
 putar badan, seperti bayangan setan tahu2 mengudak ke belakang Kongsun Kiauhong.
 Kelihatan pucat pias selebar muka "Kokok beluk" Sek Kui, sambil berteriak kalap dia
 menubruk maju dengan gaya macan kumbang kelaparan, di udara beruntun dia
 lancarkan pukulan pada Siang Cin. Dalam waktu yang sama mendadak Kongsun
 Kiau-hong membalik, toya ditangannya langsung menghantam ke dada Siang Cin.
 Siang Cin se-olah2 berada di tengah2 pusaran air yang berarus kencang, mendadak
 dia menarik diri menghentikan luncurannya, dengan cepat luar biasa telapak
 tangannya menyanggah ke atas terus menggentakkan pula, di tengah dengung
 getaran toya baja, tampak toya di tangan Kongsun Kiau-hong telah melengkung,
 sementara rantai Siang Cin lewat bawah ketiak langsung menusuk lurus ke arah Sek
 Kui yang menubruk tiba.
 Beberapa jurus pukulan yang dilontarkan Sek Kui sekaligus kena dipunahkan oleh
 gerakan rantai lawan, keruan saking gemas kedua matanya menyala merah, sambil
 menggertak gigi cepat dia mengegos ke samping.
 Pada saat itulah tampak empat sosok perawakan tinggi besar menerjang maju dari
 kegelapan, empat golok raksasa peranti membelah kayu secara bersilang
 membacok Siang Cin.
 Sambil mengegos Siang Cin mengejek: "Ya, sudah tiba saatnya kalian harus maju
 bersama." Berbareng rantainya gemerincing menyambut bacokan keempat golok
 raksasa ini, belum lagi rantainya bentrok dengan senjata lawan, kembali dia
 menyendal, tahu2 ujung rantainya menukik balik menggulung ke arah Li Thi yang
 baru putar balik dari sana.
 Cemas hati Sek Kui, sebegitu jauh serangan mereka tiada hasilnya, betapapun
 ganas dan cepat serangan mereka, selalu selangkah kalah cepat daripada lawan,
 keroyokan mereka ternyata sia2 belaka.
 Dengan tujuh lawan satu, Siang Cin bukan saja tak terkendali, malah semakin cepat
 dan sukar diraba, serangannya terutama dipusatkan ke arah Kongsun Kiau hong dan
 Sek Kui sehingga kedua orang ini didesaknya hingga kerepotan mempertahankan
 diri. 68 Sementara di luar gelanggang ratusan orang Ceng-siong son-ceng dan bantuan dari
 luar telah memagarinya dengan rapat, nyala obor menerangi muka hadirin yang
 kelihatan tegang dan terpesona, semuanya bersenjata tapi tiada satupun yang
 berani ikut terjun ke tengah gelanggang, karena mereka tahu dengan sedikit
 kepandaian "cakar ayam" yang dimiliki, mereka jelas tiada gunanya, paling2
 menambah jumlah korban pula, apalagi hal itu akan menjadikan rintangan pula bagi
 Sek Kui dan kawan2nya yang lagi mengerubut Pendekar Naga Kuning.
 Sejak Siang Cin menggasak Sek kui dan kawan2nya sampai kini, paling2 baru
 semasakan air, tapi dalam jangka waktu pendek ini, bukan saja tak mampu
 menyentuh baju lawan, malah yang mati dan terluka parah sudah puluhan orang di
 pihak yang mengeroyok.
 Mendadak orang2 Ceng siong san-ceng yang mengepung di luar gelanggang sama
 bersorak gembira seorang Thaubak berseru: "Nah, Cengeu dan dua Wancu sudah
 datang." Tujuh orang yang masih bertempur mati2an seketika berkobar semangatnya, Sek
 Kui menendang dan memukul beberapa jurus, raungnya; "Bertahanlah, kepung
 keparat ini."
 Li Thi menyerang juga, tapi dia hanya memainkan kelincahan Bak hoa pit keluarga Li
 yang mengutamakan kegesitan, sementara keempat lelaki besar itu dengan golok
 mereka bergerak rapat, membabat dan membacok. Sementara Kongsun Kiau-hong
 berputar kian kemari, toyanya bergerak serba aneh, selalu dia menyelinap setiap ada
 peluang dengan sergapan yang mematikan. Kini pihak mereka budah berpegang
 pada serangan bertahan, tidak berani merangsak secara semberono.
 Sebetulnya ketahanan fisik Siang Cin belum kuat sepenuhnya, luka luar dalam
 belum lagi sembuh, belum tentu dia mampu menumpas habis musuh di depan mata,
 tapi bila mau dia bisa saja menjebol kepungan dan tinggal pergi bahwa dia masih
 menyimpan tenaga dan hawa murninya, sebab dia sudah ber-siap2 untuk bertempur
 besar2an demi kehormatan dan menuntut balas dan melampiaskan dendam,
 sekarang dia sengaja menunggu kedatangan jago2 musuh yang lebih kosen, dia
 ingin menagih utang darah bagi derita dan hina yang diterimanya ini.
 Dalam pada itu cepat sekali dua puluhan orang bagai burung beterbangan terus
 meluncur datang langsung menubruk ke tengah gelanggang.
 Sek Kui lontarkan dua jurus serangan lalu berpaling, teriaknya: "Keparat ditengah
 lingkaran inilah Siang Cin."
 Siang Cin mendengus, belum lagi musuh sempat hinggap di tanah, secepat kilat ia
 melesat maju menyongsong kedatangan musuh, di tengah udara tampak bayangan
 orang2 itu menjadi sedikit kacau, dua bayangan orang diiringi jentan mengerikan
 beserta hamburan darah terbanting jatuh.
 Rantai gemerantang bergema di angkasa. berkumandang pula suara Siang Cin yang
 dingin: "Aku inilah Naga Kuning, penagih utang dari nereka ."
 Suara Siang Cin bagai bunyi guntur di angkasa, tahu2 sosok tubuh orang bagai
 gumpalan daging melayang turun terbanting keras di tanah. Lalu dengan gerak
 jumpalitan yang indah Siang Cin sekaligus menghindarkan diri dari serangan lawan,
 kejap lain bayangan orang2 banyak itupun sudah turun hinggap di atas tanah secara
 berkeliling. Seorang tua berusia enam puluhan dengan muka lebar bersikap dingin kereng
 berdiri di pinggir sana, dia mengenakan jubah panjang warna putih perak dengan
 sulaman huruf indah, dengan tatapan dingin dia mengawasi Siang Cin.
 Siang Cinpun balas menatapnya, sesaat baru orang itu berkata dengan nada angkuh:
 ?"Kau ini Naga Kuning?"
 Pelan2 Siang Cin mengusap mukanya, sahutnya tawar: "Tidak salah."
 Dingin sorot mata si orang tua, serunya bengis: "Siang Cin, kau terlalu jumawa.". "
 "Ini baru mulai," sahut Siang Cin ketus.
 Orang tua itu ter-gelak2, katanya: "Anak muda, dengan tenagamu seorang kau ingin
 membantai orang2 Ceng-siong-san-ceng?"
 69 Sang Cin mendengus, jawabnya: "Ha It-cun, jangan takabur atas kemampuanmu
 sendiri, yang terang Ceng siong san ceng kalian takkan mampu menahan Siang Cin
 si Naga Kuning."
 Orang tua ini adalah In-tiau (rajawali mega) Ha It-cun yang tersohor di Kangouw
 sebagai pemilik utama Ceng-siong-san-ceng, orang ini memiliki kepandain silat tinggi
 jiwanya culas, banyak akal muslihat dan keji, di wilayah barat ini dia merupakan
 pentolan tertinggi dari kalangan hitam.
 Ha It-can manggut2 dengan wajah kaku, katanya: "Siang Cin, kau memang tabah
 dan pemberani, tapi kau salah sasaran untuk keberanianmu ini."
 Siang Cin membasahi bibirnya yang pecah dant kering, katanya ketus: "Kita sama2
 tahu akan kekuatan lawan, Ha It-cun, dihadapan Naga Kuning jangan kau jual ]agak
 sebagai orang yang lebih tua, bobotmu belum memadai untuk bertingkah di depanku.
 kini hanya darah yang akan mencuci bersih dendam kesumat antara kita."
 Berkilat sejenak mata Ha It cun, ia menoleh ke kiri-kanan, lalu berkata dingin: "Betul,
 kita akan sama2 ingat perkataan ini." Mendadak dia menepuk tangan bentaknya: "Cit
 hwi cui!" Tujuh laki2 bertubuh kekar dengan wajah buas segera melangkah ke depan, mereka
 sama mengenakan seragam putih perak yang ketat, setiap tangan mereka sama
 memegang sebilah godam segi delapan yang tergandeng oleh rantai, mereka adalah
 pengawal pribadi Ha It-cun.
 Siang Cin memincingkan mata, dikala kelopak matanya mengedip itulah dengan
 kecepatan di luar dugaan tahu2 rantai di tangannya menyerampang empat orang
 yang berada di sebelah kanan.
 Ha It-cun berjingkrak murka, bentakoya: "Keparat, sombong benar!" Di tengah
 kumandang suaranya ini rantai Siang Cin tahu2 membelok menyapu ketiga orang di
 sebelah kiri, lekas ketiga orang di sebelah kiri yang diserang melompat mundur.
 Sek Kui membentak, cepat iapun turun tangan dan melontarkan pukulan dahsyat.
 Deru angin pukulan yang kuat berpusar bagai angin puyuh, Siang Cin tahu2
 melompat mundur, sementara seorang laki2 tambun dengan perut gendut bagai
 gentong tengah mengayun kepalan menyerang dari belakang, berbareng tujuh
 godam juga mengepruk tiba.
 Siang Cin menyendal rantainya balas menggempur, sementara telapak tangan
 kirinya bergerak mengaburkan pandangan lawan, kembali ia menggempur mundur
 potlot Li Thi yang hendak membokong.
 Kini Siang Cin sudah bertekad membalas kekejaman dengan kekejaman, hutang
 darah ditagih darah, ia melayang pergi datang bagai cahaya yang sukar ditangkap
 dan diraba. "Wuut". dua godam lawan melesat lewat, mendadak Siang Cin melompat mundur
 menerjang Li Thi, karena tak mampu menangkis, lekas Li Thi melompat ke belakang,
 tapi rantai Siang Cin telah terayun kaku laksana pentung dilandasi tenaga dalam,
 "prak", batok kepala salah satu dari ketujuh orang bersenjata godam terkepruk
 hancur. Rantai yang berlepotan darah itu masih terus terayun, Li Thi menghardik, mendadak
 dia menubruk maju hendak merebut rantai lawan, tapi di kala tangannya masih
 terpaut serambut dari rantai lawan, Siang Cin yang tampaknya berada agak jauh itu
 tahu2 berkelebat tiba, telapak tangan yang tegak miring itupun menabas lehernya.
 Li Thi menggembor sambil mengkeret lehernya, potlot besi ditangan kanannya
 menusuk lambung orang, sementara tangan kiri tetap menarik rantai, entah
 mengapa, dengan mudah rantai terpegang dan tertarik, tak tahunya se-konyong2
 rantai itu bagai ular terus melilit ke atas menggubat lehernya.
 Tadi waktu dia mengkeret leher menghindarkan tabasan telapak tangan lawan,
 sementara rantaipun oleh Siang Cin dibiarkan Li Thi menangkapnya, maka dibawah
 sendalan tenaga dalamnya, Li Thi kontan merasa lehernya seperti diganduli benda
 berat. Tersirap darah Sek Kui, sembari berteriak kuatir, belum sempat dia menubruk maju
 70 menolong, gerakan Siang Cin ternyata lebih cepat, tahu2 badan Li Thi kena diseret
 dari ditempat pergi dua tombak jauh.
 Kongsun Kiau-hong menghela napas panjang, dia memburu ke sana, tapi Ha It can
 menggeleng kepala, katanya: "Tak usah ditolong, percuma, tulang leher Li Thi telah
 patah dikala dia bicara ini, salah satu dari ketujuh godam itu kembali menjerit roboh
 dengan kedua tangan memegangi batok kepala yang pecah.
 Kongsun Kiau-hong nekat terjun di tengah arena, toyanya berputar bagai kitiran,
 rangsakannya keras dan kencang.
 Kongsun Kiau-hong adalah saudara angkat Ha It-cun, tapi belakangan nama Ha Itcan
 jauh lebih cemerlang dari Kongsun Kiau-hong di Bu-lim, persahabatan kedua
 orang teramat intim, dalam usahanya mencari balas kepada Siang Cin, Kongsun
 Kiau-hong minta bantuan Ha It-can yang secara sukarela mengerahkan seluruh
 kekuatan inti Ceng- siong san-ceng. tak nyana kini keadaan serba runyam, bukan
 saja kalah, malah pihak sendiri kena dibabat habis2an, burung yang semula sudah
 masuk sangkar kini terlepas dan berbalik menimbulkan korban tidak sedikit, jelas
 pihak Ceng siong-san-ceng telah mengalami kerugian besar, bagaimana hati
 Kongsun Kiau-Kong tidak sedih, malu, menyesal dan gusar.
 Begitu Kongsun Kiau-hong terjun pula ke tenagah arena, menyusul seorang
 kawannya yang berperawakan seperti kera juga menyelinap maju, bentuk dan wajah
 serta gerak-gerik orang ini memang mirip sekali dengan lutung, dengan gencar dia
 bantu menyerang Siang Cin.
 Rantai terayun menari pergi datang dengan suara yang berisik, begitu kencang
 Siang Cin memainkan rantainya, umpama hujanpun tak bisa menembus, orang
 sukar menduga mana serangan akan dituju, tahu2 diri sendiri yang terancam, tapi
 hal ini masih untung bagi mereka karena Siang Cin tidak pakai senjata andalan yang
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biasa dia gunakan.
 Kira2 semasakan air pula, "serr, pletak", sambaran rantai diselingi suara benda
 terkepruk pecah, manusia kera yang lincah dan gesit itu ternyata terpukul hancur
 kepalanya, dia terguling lima tombak jauhnya dan jiwa melayang.
 Ujung mulut Ha It-can tampak mengejang, dia pandang manusia kera yang
 menggeletak menjadi mayat itu, dia ini adalah salah satu jago pelindung perumahan
 belakang Ceng-siong-san-ceng yang terkenal, yaitu Ang Kau, si lutung merah, Ma Ki.
 Setelah mengalami pertempuran sekian lamanya, Siang Cin juga mulai payah,
 badan terasa pegal dan lelah, sekuatnya dia bertahan, tetap menyerang dengan
 gencar. Kini yang masih mengeroyoknya ada Sek Kui, lima orang dari tujuh penggodam,
 Kongsun Kiau-hong dan si gendut berperut buncit Wi-jong-ciang Yu Hoat, Wancu
 perumahan belakang Ceng-siong san-ceng.
 Ha It-can sengaja bertempur dengan cara bergilir, kalau maju sekaligus
 mengeroyoknya, bukan saja tidak mampu mengembangkan kekuatan mereka secara
 serempak, malah satu sama lain kemungkinan terhambat, teralang untuk merangsak
 musuh, maka dari luar kalangan dia memberi aba2, roboh satu maju satu lagi secara
 bergiliran, dan akhirnya baru diri sendiri akan tampil ke tengah gelanggang setelah
 tenaga musuh terkuras.
 Akal ini memang licik dam keji, karena betapapun kuat tenaga seorang toh ada
 batasnya, diam2 Ha It-can sudah memperhitungkan kemenangan akhirnya pasti
 dapat dicapainya.
 Godam yung berantai itu mendesing simpang siur toya perak di tangan Kongsun
 Kiau-hong juga kemilau main tusuk, tapi hal ini justeru membuat musuh semakin
 berang, lawan benar2 perkasa, pertempuran besar ini entah akan bertahan dan
 berlangsung sampai kapan. Memangnya Siang Cin si Naga Kuning ini bertulang besi
 dan berotot kawat"
 Se konyong2 Siang Cin mengertak gigi, dia menyongsung sambaran toya Kongsun
 Kiau-hong, keruan Sek Kui terkejut, lekas dia berteriak: "Awas!"
 Lima buah godam melesat dengan suara mendesing ke belakang punggung musuh,
 71 sementara Kiau hong cepat2 menyurut mundur, berhasil rantai Siang Cin
 menyampuk pergi toya orang, mendadak Siang Cin meloncat balik menubruk ke
 depan Sek Kui, padahal ada niat Sek Kui melontarkan pukulan, tapi jarak kedua
 pihak sudah tidak memungkinkan lagi. Maka mendadak dia merendahkan tubuh,
 kedua telapak tangan menggentak ke atas sekuatnya, tapi dengan sedikit mengincar,
 sebat sekali Siang Cin layangkan telapak tangannya menggempur. "Plak", meski Sek
 Kui berusaha menjengkang ke belakang, tak urung dia kena gampar sampai ter
 huyung2. Sambil tertawa dingin rantai bekerja pula, Siang Cin sempat mengejek: "Orang she
 Sek, ini baru yang pertama."
 Di hadapan umum Sek Kui mengalami tamparan, sebagai Wancu pertama dari
 Ceng-siong-san-ceng betapa tinggi dan berwibawa kedudukannya, kini di hina
 mentah2, keruan tidak kepalang murkanya, sambil menyeka darah di ujung muluti
 kembali dia menerjang maju membabi buta.
 Melihat gelagat jelek, Ha It-can segera membentak: "Sek-wancu jangan semberono."
 Ditengah bentakannya kedua tangan Ceng-siong-san-ceng Cengcu inipun memberi
 tanda, maka di bawah pimpinan seorang laki2 pertengahan umur berdandan
 sastrawan dengan tahi lalat hitam besar di atas bibir kirinya, dua puluhan jago2
 kosen Ceng-siong-san-ceng serentak menyerbu maju seraya ber-kaok2.
 Baru saja anak buahnya bergerak, di tengah gelak tertawanya Ha It-can telah
 merogoh keluar senjata kenamaannya, yaitu Siang-hoan-liong-bun-to (golok
 bergelang berukir naga), iapun terjun ke arena.
 Dengan sikap dingin Siang Cin mendengus menyambut kedatangan musuh utama
 ini, rantai menari lebih gencar, mendadak dia menubruk langsung ke arah "rajawah
 mega" Ha It cun.
 Ha It-can ter-gelak2, goloknya bergerak, dengan berani dia memapak ke depan
 sambil mengejek: "Anak muda, memangnya kau cari mampus!"
 Tampak Siang Cin bergerak ke kiri-kanan di bawah sambaran sinar golok yang
 kemilau, beruntun dia hindarkan beberapa jurus bacokan lawan, sekah dia sempat
 melancarkan Kui-so-hun (setan menagih sukma), rantai ditangannya berbunyi
 nyaring setiap mata rantainya sama gemeratak, lepas seluruhnya, sebelas biji sama
 melesat berpencar, di tengah keluh dan rintihan kejut orang banyak, Sek Kui, Kiauhong
 dan Yu Hoat bertiga masih sempat menghindar, lima orang dari tujuh
 penggodam yang masih ketinggalan hidup serta jago2 yang baru terjun ke tengah
 gelanggang sama roboh saling tindih, sembilan jiwa sekaligus melayang bersama.
 Saking murka sampai pucat muka Ha It cun, sambil ber teriak2 kalap goloknya
 membacok serabutan, Siang Cin menjengek, laksana anak panah tiba2 ia
 melambung ke udara dan berjumpalitan dua kali lalu meluncur turun jauh ke
 belakahg sana, sekati kaki menutul pula, bayangannya berkelebat terus menghilang
 tanpa bekas. Sambil meraba pipinya yang melepuh Sek Kui berteriak geram: "Kejar!"
 Laki2 berdandan sastrawan bersama Yu Hoat dan lain segera mengudak ke sana.
 tapi Ha It-can sendiri justeru menghentikan langkah, sorot matanya menatap Liongbun-
 to, katanya dengan menghela napas: "Tak perlu kejar, tak mungkin bisa
 menyusulnya."
 Kongsun Kiau-hong tertunduk sedih, katanya rawan: "Toako, Siaute yang
 menimbulkan kesulitanmu ini. . . . . "
 Ha It-can menggeleng, katanya: "Kenapa Hiante bilang demikian, adalah pantas
 kalau kita saling bantu sekuat tenaga. Kalau tidak, apa artinya kita bersumpah setia
 sebagai saudara?"
 Diam sejenak, akhirnya Kongsun Kiau-hong berkata pula dengan muram:
 "Bagaimana juga karena urusan Siaute sehingga Ceng-siong san ceng jatuh korban
 begini banyak, betapapun membuat Siaute tidak tenteram .. . . ."
 Guram air muka Ha It-cun, katanya: "Jangan dipersoalkan lagi, cukup sampai di sini,
 kita harus berdaya membunuh keparat itu, apa gunanya saling menyesali" Yang
 72 mati toh takkan bisa hidup kembali . . . . . . ."
 Dari belakang tampak Sek Kui mendatangi dengan langkah lemas, sementara
 hadirin yang segar bugar sibuk menolong kawan2nya yang terluka dan mati, di
 bawah penerangan obor, keadaan masih ribut dalam suasana duka dan dendam.
 Tiba di depan kedua orang, Sek Kui berkata dengan lesu: "Cengcu, tujuh godam
 kepercayaanmu tiada satupun yang ketinggalan hidup."
 Ha It can menyeringai, katanya: "Biarlah, tiada peperangan yang tiada korban,
 seorang jendralpun akhirnya harus ajal di medan laga, beginilah insan persilatan
 yang berkecimpung dalam percaturan Kangouw, mati atau hidup beginilah jadinya."
 Ia mendongak memeriksa cuaca, malam masih gelap, sudah hampir kentongan
 keempat, saat2 paling gelap sebelum fajar menyingsing. Sek Kui menghela napas
 katanya: "So-keh-heng-te, Li Thi, Ang Kau Ma Ki, demikian pula Siang jiong Hoa
 Seng, It tiau pian Coh Yong, Sian Cu-hok semuanya gugur, masih ada pula tujuh
 delapan puluh korban lainnya ......."
 "Suruh mereka bersihkan tempat ini, penjagaan diperketat, semua harus lebih
 waspada, begitu ada berita harus cepat kumpul, daerah penting harus di jaga lebih
 keras," demikian pesan Ha It can dengan lesu.
 *** file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng*** file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng*** file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng*** file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng**
 Page 55 s/d 58 Hilang
 *** file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng*** file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng*** file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng*** file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng**
 mendekat ke tempat ini. Sekilas pasang kuping Siang Cin lantas tahu ada tiga orang
 yang kemari, malah semuanya adalah perempuan..
 Langkah ketiga orang berhenti di ujung sana, maka didengarnya suara merdu
 berkata: "Coba lihat, kamar ini memang harus segera di bersihkan, tua bangka itu
 selalu melalaikan tugas dan mencari alasan belaka, beberapa hari lagi Toa-siauya
 dan gurunya akan segera pulang, tempat sekotor ini mana boleh ditinggali."
 Sebuah suara lagi berkata lembut: "Bong-cu, beberapa hari ini hati kita kebat kebit,
 suana selalu tegang. Hanya aku saja yang selalu riang dan ingin membersihkan
 kamar, lekaslah kau bersihkan kamar ini sekedarnya saja."
 Suara merdu tadi cekikikan, katanya: "Ah, tidak, Loya sudah berpesan surub aku
 membersihkan betul2, kalau kepalang tanggung aku bisa dihukum. Sian ho, pergilah
 kau ambil kain dan ember, akan kusapu dulu kamar ini, lalu kamar2 yang lain . . . . .
 Seorang mengiakan terus berlari pergi. Suara lembut tadi berkata pula: "Nah
 kerjakan tugasmu, aku akan periksa kamar sebelah, sudah lama aku tidak
 kemari . . . . . ." langkahnya beranjak ke sini, tak lama kemudian seorang gadis
 semampai tampak muncul.
 Tak heran suara gadis ini seperti sudah dikenalnya, waktu Siang Cin mengintip, yang
 datang ini ternyata adik Sek Kui yang mengaku bernama Sek Pin. Sungguh
 kebetulan. Tanpa hiraukan keadaan sekelilingnya yang kotor Sek Pui duduk di sebuah kursi
 berlapis kulit rase yang berdebu, bersandar sambil memejamkan mata seperti
 melepaskan lelah, kejap lain, daun pintu terdorong buka pelan2 dan mengeluarkan
 suara berkeriut. Semula Sek Pin memicing mata memandang ke arah pintu, yang
 terbuka, tapi seperti disengat lebah dia berjingkat dengan muka tegang dan mata
 terbeliak mengawasi wajah Siang Cin yang melempuh berhias jalur2 luka, sampai
 sekian lama dia berdiri melenggong.
 Dengan tersenyum Siang Cin berkata: "Selamat bertemu, nona Sek."
 Bergegas Sek Pin melangkah ke sana serta merapatkan pintu, dengan gopoh dia
 membalik dan berkata dengan suara tertahan: "Hai, kau, kenapa kau masih belum
 lari?" "Lari?" jawab Siang Cin heran "Kenapa lari?"
 Sek Pin berkata dengan lirih: "Mereka sedang mencarimu ke mana2, setiap tempat
 setiap pelosok ada orang mencarimu, nyalimu sungguh besar, berani sembunyi di
 sini, awas . . . "
 Siang Cin tertawa, katanya: "Kita kan musuh, akan hidup atau mati dibunuh mereka
 73 kan tiada sangkut pautnya dengan kau, buat apa kau berkuatir malah."
 Sek Pin melengak, sekian saat dia berdiri menjublek, memang mereka adalah
 musuh, mati hidup lawan kenapa harus di perhatikan" Tapi apa betul tiada sangkut
 paut" Kenapa pula dirinya merasa kuatir" Seharusnya dia berteriak memanggil
 orang, tapi kenapa tidak dia lakukan" . . . . Ya Tuhan, sungguh memalukan . . . . "
 Mendadak merah mukanya, dia menunduk sambil meluruskan kedua tangan.
 Siang Cin mengawasinya dengan pandangan geli, katanya lirih: "Nona Sek, pertama2
 kumohon bantuanmu, carikan makanan untukku, sudah empat hari sebutir
 nasipun belum kumakan."
 Sek Pin terperanjat, tanpa terasa hatinya pedih, katanya: "He, hampir empat hari kau
 tidak makan" Ya Allah, bagaimana kau kuat bertahan" Umpama kau ingin menyiksa
 diri juga tidak boleh . . . . "
 Siang Cin geleng2 kepala dengan senyum getir, katanya "aku kan bukan orang gila,
 masa menyiksa diri sendiri" Beginilah pelayanan engkohmu sejak aku berada di
 Liong-ong-lau."
 "Engkohku tidak memberi makan padamu?" tanya Sek Pin dengan terbeliak. "Tidak
 mungkin!" "Sudahlah," ucap Siang Cin, "tak usah berbinceang soal ini, tolong nona carikan
 makanan dan minuman saja."
 Sek Pin tertawa, katanya: "Kau tidak takut akan kulaporkan dirimu?"
 Siang Cin jatuhkan diri di atas kursi, katanya malas: "Terserah, mereka tak mungkin
 menangkapku, peristiwa semalam tentunya juga sudah kau saksikan."
 Berubah rona muka Sek Pin, katanya merinding: "Kau begitu kejam, dari tempatku
 kudengar jeritan dan lolong kesakitan para korbanmu, sungguh menggiriskan dan
 mendirikan bulu roma, darah dan senjata bercecer di tanah, sampai terang tanah
 baru selesai dibereskan, taman di belakang perkampungan bertambah gundukan
 tanab, korban yang jatuh sebanyak itu, siapapun takkan percaya bahwa semua itu
 buah karyamu seorang . . .. . .. "
 Dengan lesu Siang Cin mengembus napas, katanya: "Semula tiada keinginanku
 berbuat begitu, mereka yang memaksaku."
 Hening sebentar, akhirnya Sek Pin berkata: "Tunggulah sebentar, akan kucarikan
 makanan untukmu, tampaknya kau sangat letih . . . . . . "
 "Terima kasih," kata Siang Cin.
 Sebelum keluar Sek Pin menoleh dan berkata lirih : "O, ya, kamar2 di sini akan
 dibersihkan, sebentar mereka akan kemari, lebih baik kau mencari tempat lain,
 tempat yang agak tersembunyi . . . .. "
 Siang Cin menuding ke atas, katanya: "Di atas loteng bagaimana?"
 Sek Pin melirik ke atas, katanya: "Tunggu sebentar, aku akan segera kembali." "--
 Dengan hati2 dia lantas keluar serta merapatkan pintu pula.
 Siang Cin berdiri, tapi dia tidak segera naik ke atas loteng sekilas dia periksa
 keadaan kamar ini, tiba2 dia meloncat ke atas belandar yang lebarnya setengah kaki,
 cukup untuk mendekam di sana.
 Selama delapan, tahun berkecimpung di Kangouw boleh dikatakan Siang Cin sudah
 kenyang akan asam garam kehidupan insan persilatan, bahaya macam apa yang tak
 pernah dialaminya" Hubungan antar manusia, pergaulan antara sesamanya, meski
 lahirnya dia hadapi sewajarnya, tapi diam2 ia cukup waspada, ia tahu apa artinya
 perasaan dan simpatik ini tahu dalam keadaan bagaimana rasa simpatik itu akan
 berkembang, semua ini membuatnya lebih hati2 dan waspada, dia tidak ingin
 terjatuh pula ke tangan musuh dan meronta di ambang neraka.
 Baru semalam dia kenal Sek Pin, malah orang adalah adik musuhnya, bila dalam
 keadaan seperti ini Sek Pin tidak melapor engkohnya, kalau mau ditanya apa
 sebabnya, kemungkinan inilah rasa simpatik dan pemujaan pada seorang pahlawan
 atau mungkin pula limpahan rasa budi kasih terhadap sesamanya, atau mungkin
 pula karena adanya kontak perasaan antara laki2 dan perempuan yang sukar untuk
 dijelaskan"
 74 Siang Cin menunggu dengan sabar, padahal lapar dan haus hampir membuatnya
 gila, selamanya tak pernah disadarinya bahwa betapa besar paedahnya makan dan
 minum bagi manusia.
 - - - -- - - - - - -- - - - - -- - - - -- - - -- - - -- - - --
 Apapula yang ditunggu Siang Cin di sarang musuh"
 Siapakah dan tokoh macam apakah guru Kiang Ling"
 Siapa pula "budak" yang dimaksud Ha it-cun yang perlu dilindungi itu"
 - Bacalah jilid ke 5 -
 Jilid 05 Entah apa yang tengah dilakukan oleh Sek Pin sekarang" Memangnya dengon
 alasan apa pula dia akan kemari membawa makanan" Urusan yang sepele dan
 mudah dilakukan pada hari2 biasa, rasanya teramat sulit dilakukan sekarang.
 Kira2 setengah jam kemudian, daun pintu berkeriut terbuka, Sek Pin melangkah
 masuk membawa keranjang yang penuh bunga seruni, wajahnya tampak tenang,
 dengan hati2 dia melangkah masuk sambil menoleh sekejap ke belakang.
 Sejenak Siang Cin nenunggu, tiba2 ia melompat turun dan berdiri di depan Sek Pin
 sambil berseri tawa.
 Sek Pin berjingkrak kaget dan menyurut mundur, baru saja mulutnya terbuka hampir
 menjerit, lekas Siang Cin mendesis, katanya: "Kenapa lama sekali?"
 Sek Pin berkata dengan muka pucat: "Ah, kau sering menakutkan orang cara
 begini?" 75 Siang Cin mengedip, ucapnya: "Tidak, kukuatir ada orang menguntitmu."
 Sek-Pin mendengus dongkol, katanya setelah angsurkan keranjang: "Jangan kira
 hanya kau yang pintar. . . . . dengan baik hati kucarikan kau makan, kau malah
 membikin aku kaget setengah mati."
 Siang Cin terima dengan tertawa, katanya: "Maafkan aku kalau begitu. Uh, mungkin
 makanan kau taruh di bawah."
 "Sek Pin taruh keranjang di meja yang kotor dan lama tak terpakai, dengan hati2 ia
 keluarkan puluhan kuntum bunga, dilembari sehelai sapu tangan sutera, di
 bawahnya ada empat porsi makanan, setengah potong ayam panggang dan sepoci
 arak, tersedia pula handuk basah untuk cuci muka.
 Siang Cin menelan liur dan memuji: "Bagus, masakan lezat yang memenuhi seleraku,
 terima kasih nona Sek."
 Sek Pin mendengus, katanya sambil duduk di kursi tua di sebelah samping: "Lekas
 makan, tak usah memuji segala, apa gunanya berucap terima kasih melulu" Siapa
 tahu dalam benakmu sedang merancang muslihat apa pula . . . . "
 Dari buntalan Siang Cin keluarkan pula sepasang sumpit, dengan kalem dia mulai
 makan, seperti amat menarik hati Sek Pin mengawasinya dengan terlongong,
 katanya lirih: "Hai, poci itu bukan berisi arak, kuatir kerongkonganmu terlampau
 kering, maka kubawakan air teh saja . . . . "
 Sambil mengunyah daging ayam, Siang Cin berkata: "Syukurlah kau berpikir
 secermat ini, cuma kurang cangkir untuk minum."
 Melengak sebentar, akhirnya Sek Pin tertawa cekikik geli, katanya: "Ya, aku lupa,
 waktu ambil masakan ini hatiku terlampau tegang . . . . bolehlah kau minum langsung
 dari mulut poci saja"
 Sementara itu Siang Cin sedang menyobek sepotong daging bersaus, dengan
 sumpitnya dia jejalkan ke mulut, dia mengunyah dengan lambat, seperti sedang
 menikmati lezatnya.
 Sambi bertopang dagu Sek Pin mengawasi-nya, katanya: "Hai, kulihat kau dilahirkan
 dan dididik dari keluarga mampu, waktu makanpun begini kalem dan sopan, mirip
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis pingitan . . . . meski wajahmu sekarang kelihatan seram, namun tidak mirip
 manusia kejam yang suka mencabut nyawa orang, oleh karena itu menilai orang
 sekali2 lidak boleh diukur dari wajahnya . . . . "
 Setelah menghirup seteguk teh panas langsung dari mulut poci, Siang Cin berkata:
 "Berapa usiamu sekarang, nona Sek?"
 Merah muka Sek Pin, sahutnya malu: "Un. . untuk apa kautanya soal ini?"
 Siang Cin tertawa ulapnya: "Budak masih ingusan berani menilai orang lain, sungguh
 tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi."
 "Cis, siapa budak yang masih ingusan" Tahun depan umurku selikur . . . . "
 Siang Cin menatapnya lekat2 dengan mulut tetap mengunyah sekerat daging ayam
 sambil mengangguk, lalu katanya pula dengan memicingkan mata: "Ehm, memang
 cantik," Sudah tentu semakin merah selebar muka Sek Pin, dia menunduk, katanya lirih: "He,
 kenapa kau pandang orang begitu rupa. . . . "
 Siang Cin mengangguk pula, ujarnya: "Perut sudah hampir gendut, matapun ingin
 menikmati kecantikan, inilah yang dinama-kan perut kenyang terpikat paras ayu."
 "Cis . . . . " semprot Sek Pin, mendadak dia bertanya: "Hai, kau belum beritahu
 padaku, di mana tempat tinggalmu."
 Setelah menuang air teh ke mulutnya, baru Siang Cin menjawab: "Aku tinggal di
 Tiang-an."
 "Tiang-an?"
 Terbayang tabir kabut tipis di mata Siang Cin, katanya pula: "Itulah tempat yang
 indah permai, di sana ada bangunan kuno dari kerajaan masa silam, bangunan kota
 yang serba antik dan artistik. Wah, pokoknya hidup di Tiang-an tidak akan pernah
 merasa bosan . . .. "
 Sek Pin melenggong sekian lamanya, akhirnya dia menghela napas gegetun,
 76 katanya: "Siang Cin, tentunya tidak sedikit buku yang pernah kau baca?"
 Sambil tertawa Siang Cin berkata: "Memangnya, kenapa kalau pernah banyak
 membaca" Bukankah seperti insan persilatan umumnya, aku tetap seorang laki2
 kasar yang hidupnya bergelandangan."
 Dengan agak emosi sebetulnya Sek Pin sudah siap mengajukan suatu pertanyaan
 kepada Siang Cin, tapi urung, katanya kemudian: "Siang Cin, wajahmu matang biru
 penuh luka2 lagi, tidak enak dipandang mata, kenapa tidak dicuci dan dibersihkan"
 Kukira setelah di cuci mukamu akan jauh lebih elok."
 Menghentikan sumpit, berkata Siang Cin dengan tenang: "Apa paedahnya
 dipandang lebih elok" Watak sejati seorang kan tidak boleh dinilai dari wajahnya,
 seperti apa yang tadi kau katakan, manusia tidak boleh diukur dari wajahnya."
 Tertegun sambil menggigit bibit, lalu Sek Pin ubah haluan: "Tadi aku pura2 memetik
 bunga sambil mencurikan beberapa makanan ini di dapur. waktu aku kemari,
 kebetulan Beng-cu dipanggil oleh Cengcu supaya membantu kerja di luar, lalu aku
 masuk kemari memeriksa adakah tempat rusak yang perlu dipanggilkan tukang
 untuk diperbaiki . . . . ." "
 "Siapa itu Beng-cu?" tanya Siang Cin.
 "Salah seorang gundik Cengcu, isteri Ceng-cu sudah meninggal lima tahun yang
 lalu." "Siapakah yang akan tinggal di sini?" tanya Siang Cin.
 Gelagapan sejenak, Sek Pin teringat akan ucapan engkohnya tadi pagi, maka dia
 meng-geleng, katanya: "Tidak boleh kukatakan."
 Siang Cin tertawa, ucapnya: "Aku tahu, orang yang diundang untuk menghadapiku,
 betul tidak?""
 Kelihatan Sek Pin rada gugup dan berkata: "Jangan salahkan aku, aku tidak boleh
 mengkhianati engkohku, betapapun tak bisa kulakukan sesuatu yang merugikan dia. .
 Siang Cin menarik sebuah kursi, katanya pelan2 sambil duduk : "Sudah tentu, aku
 kan, tidak memaksa keteranganmu."
 "Siang Cin," kata Sek Pin lebih lanjut setelah bimbang sebentar, "lekaslah kau pergi,
 jangan lama2 di sini, kehadiranmu di sini tidak akan menguntungkan dirimu,
 sekaligus merugikan perkampungan kami pula, kini mereka sudah mempersiapkan
 diri dengan sempurna, segalanya untuk menghadapi kau."
 Duduk ber-goyang2 di kusinya, Siang Cin berkata dengan tenang: "Engkohmu dan
 Kongsun Kiau-hong harus menerima ganjarannya dan pula saudara serta Ciciku
 terjatuh di tangan mereka, sampai sekarang jejaknya belum jelas bagiku . . . . . . "
 "Cici?" Sek Pin menegas dengan ragu, "kau punya Cici?" .
 "Sudah tentu, seperti kau mempunyai engkoh."
 "Tapi engkohku bilang, di antara perem-puan yang menjadi tawanannya hanya
 seorang perempuan she Kun, seorang lagi entah she apa, tapi jelas tiada yang she
 Siang . . . . . "
 Berdebur jantung Siang Cin, katanya pelan: "Orang she Kun itulah Ciciku, Cici
 angkatku." -- Sekilas dia melirik Sek Pin serta menambahkan: "Tapi tiada bedanya
 seperti kakak kandung, selama ini dia begitu kasih sayang dan melindungiku,
 meladeni segala keperluanku, sejak beberapa tahun lalu kami sudah tinggal
 bersama." Tajam reaksi Sek Pin, dia sendiri tidak tahu kenapa badannya bisa bergetar, katanya
 pula: "Kalian, kalian hanya tinggal bersama seperti kakak beradik umumnya?"
 Mengusap mukanya yang bengap, berkata Siang Cin dengan tegas: "Asal kami
 saling mencintai, mengapa kami tidak bisa hidup berdampingan seperti kakak
 beradik kandung" Ciciku itu baik sekali, ya baik sekali . . . . . . . "
 "Cinta?" entah mengapa tegang perasaan Sek Pin. "Cinta macam apa itu?"
 Lama Siang Cin menatapnya, akhirnya dia bertanya: "Untuk apa kau tanyakan hal
 ini?" Tersentak Sek Pin dari lamunannya, terasa pipinya panas, katanya tergagap : "Oh,
 aku . . . . . . . aku hanya tanya secara iseng. Kupikir, ehm, kupikir, Cicimu tentu amat
 77 baik terhadapmu . . . . . . "
 "Ya, terlampau baik," ujar Siang Cin "Bagaimana luka2nya" Apakah engkohmu
 pernah ceritakan padamu" Apakah sahabat karibku Pau Seh-hoa disiksa olehnya?"
 Sek Pin mengawasinya dengan ragu, katanya: "Entah, aku tidak tahu."
 Menggeliat Siang Cin dan tidak bersuara lagi. Tiba2 Sek Pin bersuara pula: "Siang
 Cin, dengan cara apa kau ingin menghadapi engkohku?"
 Mengawasi wajah molek itu, berkata Siang Cin: "Akan kurenggut jiwanya."
 Bergetar badan Sek Pin, terasa hawa dingin merembes dari belakang lehernya,
 dengan kaget dia tatap Siang Cin, katanya getir: "Kau ..... belum cukupkah korban
 yang telah kau bunuh?"
 "Inilah dendam, tiada orang yang bisa mengalirkan darah si Naga Kuning dengan
 percuma, dia harus membayar utang dengan darahnya sendiri, begitu pula dengan
 engkohmu, nona Sek."
 "Semalam sudah berapa banyak darah orang perkampungan ini telah kau
 alirkan . . . . "
 "Tapi bukan darah engkohmu . . . . "
 Merah mata Sek pin, bergegas dia berdiri sambil memalingkan muka, ia
 membereskan mangkuk piring ke dalam keranjang serta menumpuki pula dengan
 bunga, lalu katanya: "Siang Cin, jangan terlalu yakin akan kekuatanmu seorang, aku
 harap kau lekas pergi karena aku tidak tega melihat kau gugur di sini. Kau takkan
 mampu melukai engkohku, Ceng-siong san-ceng bukan sembarang tempat, jika kau
 berkukuh pada pendapatmu, nasibmu tentu akan mengenaskan . . . . ."
 Siang Cin berdiri, wajahnya yang masih melepuh mengunjuk senyuman tawar,
 katanya sedikit membungkuk badan: "Terima kasih atas rangsummu ini nona Sek,
 kalau ada kesempatan Siang Cin pasti membalas budi kebaikanmu"
 Sek Pin membanting kaki, tak tertahan air matanya menetes, katanya terisak: "Siapa
 minta balas budimu" Aku tak ingin melihatmu lagi." Bergegas dia melangkah pergi,
 pintu itu dia sentakkan dengan keras, pertanda bahwa hatinya amat mendongkol.
 Suasana kembali sunyi, kini sudah lewat lohor, tak lama lagi tabir malampun akan
 tiba apakah malam ini dia harus mulai beraksi pula" Duduk bersandar di kursinya
 Siang Cin pejamkan mata dan memeras otak, dia maklum lukanya harus cepat
 diobati, kalau tidak bukan saja sukar disembuhkan, dikuatirkan pula akan
 menimbulkan penyakit sampingan. Diam2 iapun bersyukur bahwa racun di tubuhnya
 hanya obat pembius yang bekerja sementara saja, kalau tidak, bagaimana akibatnya
 tak berani dibayangkannya.
 Sang waktu berlalu tanpa terasa, sang surya semakin doyong ke barat, Siang Cin
 tengah merancang aksi yang akan dilakukannya malam nanti, pertama yaitu cara
 bagaimana berdaya menolong Kun Sim-ti dan Pau Soh-hoa yang berada dalam
 kurungan musuh.
 Tenang2 dia memandang langit2 loteng, ia pikir langkah pertama harus mencari
 seorang penghuni Ceng siong-san-ceng yang punya kedudukan lumayan yang tahu
 di mana letak kurungan rahasia yang menyekap teman2nya, lalu mengorek
 keterangannya, meski harus memakai cara keji apapun.
 Malampun tiba, malam gelap dengan angin menghembus kencang, musim gugur
 sudah hampir berlalu, daun kering rontok di embus angin, semakin malam hawa
 terasa makin dingin.
 Sementara itu Siang Cin sudah berada di atas wuwungan loteng, dari sini dapat
 dilihatnya penjagaan di segala pelosok Ceng siong-san-ceng sangat keras,
 rombongan ronda yang berseragam hitam mondar-mandir, di mana2 terlihat kemilau
 senjata tajam, sering pula dilihatnya berkelebat bayangan orang yang bergerak gesit
 dan cepat pergi datang, terdengarlah pula suara sahut menyahut di sana sini,
 keadaan tegang seperti- menghadapi musuh besar. .
 Setelah memeriksa keadaan, Siang Cin mengencangkan pakaiannya yang koyak,
 seringan burung dia melejit ke pucuk pohon, sedikit menutul kaki di puncak pohon,
 78 segera ia hinggap di atas sebuah gardu taman yang mungil.
 Baru saja dan mendekam disitu dan bayangan orang berlari datang dan berhenti di
 bawah gardu, mereka memeriksa dengan celingukan, pada saat itulah delapan laki2
 kekar berseragam hitam ketat sama berlompatan keluar dari belakang pohon,
 seorang yang bersenjata Kui-thau-to menegur sambil melintangkan goloknya.
 Setelah menyahut segera orang itu mendengus: "Apakah Ci Kui keparat, bikin
 tegang orang saja?"
 Laki2 yang bernama Ci Kui itu seorang burik, bopeng, lekas unjuk tawa. katanya:
 "Apakah Ciu-losu dari perumahan tengah?"
 Setelah mendengus, orang yang dipanggil Ciu-losu berkata: "Tadi seperti kulihat ada
 bayangan orang di sini, hanya sekejap lantas lenyap, apa kalian melihatnya?"
 Ci Kiu menggeleng, katanya: "Tak mungkin, kami selalu jaga di sini, tikuspun tidak
 kami lihat, memangnya manusia bisa lewat di sini" Mungkin pandangan Ciu-losu
 yang kabur . . . . "
 Dengan penasaran Ciu-losu berka: "Mata orang she Ciu ini tidak pernah kabur, pasti
 ada mata2 musuh yang menyelinap kemari, kalian berjaga disini, memang kalian ini
 gentong nasi semua."
 Waktu dimaki Ci Kiu hanya menyengir dan mengiakan, Orang she Ciu bertolak
 pinggang katanya angkuh: "Kalian harus lebih wespada, bukan mustahil keparat she
 Siang itu malam ini akan bikin onar, keparat itu bukan anggur yang enak, kalau
 sampai lengah, mangkuk nasi kita bisa berantakan."
 Lalu orang she Ciu m
 
^