Bara Naga 8

Bara Naga Karya Yin Yong Bagian 8


i menagih jiwa kepada
 mereka, dari sikap mereka, jelas kelihatan bahwa mereka merasa sebal dan jijik
 serta penasaran akan tugas mereka ini.
 Dengan langkah sempoyongan Siang Cin menggeser keluar hutan, Kedua laki2 baju
 merah itu entah sedang mengerutu apa, satu di antaranya yang menghadap ke sini
 tiba2 berjingkat kaget seperti melihat setan. Maklumlah keadaan Siang Cin sekarang
 memang seram dan mengerikan. karena tidak menduga, laki2 yang bernyali kecil ini
 ingin berrteriak tapi yang keluar dari kerongkongan hanya suara "uh, uh", kampak
 yang dipegangnya juga terjatuh.
 Melihat kelakuan temannya, seorang lagi seketika berubah pucat, cepat dia
 berpaling, saking kagetnya ia melongo seperti patung.
 Dengan langkah ter seyot2 Siang Cin terus mendekati, sikapnya tampak sedih, lama
 dia menatap mayat yang berjajar seperti udang dijemur ini, akhirnya dia menoleh dan
 memandang kedua orang hidup yang kesima bagai patung itu.
 Terbeliak mata kedua laki2 ini dan mulut ternganga, tak tahu apa yang harus
 dilakukan, sesaat mereka adu pandang dengan Siang Cin, kemudian seorang di
 antaranya memberanikan diri, dengan suara gemetar dia berkata: "Kau . . . ..
 kau.. . ... apa kerjamu di sini?" .
 Menuding mayat yang berjejar di tanah itu, Siang Cin berkata tenang2: "Aku adalah
 teman salah seorang di antara mereka."
 "Mereka. . . . . mereka siapa?" tanya orang itu.
 Siang Cin tertawa, katanya: "Mereka yang berpakaian putih, orang2 Bu-siang-pay."
 Kedua laki2 baju merah melonjak kaget, keduanya sama menyurut mundur, orang
 yang kehilangan senjata tadi lekas memungut pula kampaknya, dengan
 membesarkan nyali ia berteriak: "Kau, kau, besar sekali nyalimu! Ke sorga kau tidak
 mau pergi, malah kau menuju akhirat yang tak berpintu. Memangnya aku tidak kau
 Bu-siang-pay sudah tertumpas habis2an" Berani kau keluyuran kemari dan pura2
 jadi setan menakuti kami" Lekas buang senjatamu, biar tuan besarmu
 menelikungmu, kalau tidak terpaksa kucincang tubuhmu ."
 Mengawasi pedang pandak ditangannya, Siang Cin berkata dengan suara berat:
 "Biarlah aku memanjatkan doa untuk para pahlawan Bu-siang-pay yang
 mendahuluiku ini, kemudian ada beberapa persoalan yang ingin kutanyakan pada
 kalian, setelah itu aku akan segera berlalu, tanpa mengganggu seujung rambut
 kalian." Kedua laki2 ita melongo, salah seorang mendadak menjadi beringas, teriaknya: "Eh,
 keparat, kau yang turut perintahku atau kami yang menurut omonganmu" Serdadu
 yang sudah kalah pantasnya menjadi tawanan, memangnya berani kau bertingkah
 segala" Hayo berlutut, biar kuikat, kalau main senjata kau bisa celaka .......
 Siang Cin menyeringai aneh pada kedua orang ini, katanya: "Jangan gembar
 gembor, tutup mulut kalian coba kalian pikir, jika aku takut pada kalian. memangnya
 aku berani keluyuran ke sini?"
 Kedua orang saling pandang sekejap, tapi mereka sudah melihat luka2 Siang Cin,
 maka nyali mereka menjadi besar pula, keduanya lantas melangkah maju malah,
 yang di sebelah kanan segera berkata dengan marah: "Kunyuk, tak usah berlagak,
 buang pedangmu dan menyerah saja . .. . ."
 186 Siang Cin menggeleng, katanya: "Kalian memang bodoh, Jik-san-tui sudah habis
 orangnya, memangnya kalian bisa berbuat apa lagi?"
 Kedua orang saling memberi isyarat dan siap beraksi, tiba2 Siang Cin tertawa
 pedang pandak tahu2 menjamber ke depan, sebatang pohon sebesar pelukan orang
 di depan sana seketika tertabas kutung, sinar pedang yang gemilap dan
 menyilaukan mata masih meluncur dan berputar satu lingkaran terus melesat balik,
 waktu Siang Cin angkat tangannya, pedang pandak yang tajam luar biasa ini sudah
 kembali ke tangannya.
 Demonstrasi Kungfu yang tiada taranya ini membuat kedua orang ketakutan sampai
 ter-kencing2. "Hah", mulut mereka ternganga dan kaki menyurut mundur, mata juga
 terbelalak lebar.
 Siang Cin tertawa, katanya: "Berdiri, diam saja, tunggulah pertanyaanku, kalian
 masih bisa hidup lama, jangan bertingkah, nanti nasibmu seperti pohon yang
 tertabas itu."
 Lalu Siang Cin membalik tubuh serta menundukkan kepala, dia memanjatkan doa
 bagi para pahlawan Bu-siang-pay, dengan suara berat ia ber-uncap: "Kepada arwah
 saudara2 Bu-siang-pay yang tengah menuju alam baka, dendam sakit hati hari ini,
 aku Siang Cin bersumpah menuntut balas bagi kalian . . . . " sesaat kemudian baru ia
 angkat kepala serta menghampiri kedua laki2 yang masih kesima itu, beberapa
 langkah di depan mereka ia berhenti.
 Kedua laki2 itu semakin gemetar ketakutan, keringat dingin memenuhi selebar
 mukanya, saking takut kedua lutut terasa lemas dan hampir tak kuat berdiri,
 betatapapun mereka ngeri membayangkan pohon sebesar pelukan manusia yang
 sekali tabas kutung jadi dua, betapapun mereka tidak ingin mengalami nasib sial
 seperti pohon itu.
 Siang Cin berdiri diam dan menatap kedua orang yang sudah ketakutan setengah
 mati ini, dengan suara yang penuh kemarahan yang meluap dia bertanya: "Siapa
 yang memimpin Jik-san-tui mengepung pihak Bu-siang-pay kali ini?"
 Kedua orang saling pandang, bibir sudah bergerak, tapi bimbang untuk bicara,
 pelan2 Siang Cin angkat pedang pandak ditangannya, dengan jari telunjuk dia
 mengelus mata pedangnya yang kemilau, katanya tawar: "Siapa yang ragu2
 menjawab, batok kepalanya akan terpenggal ... . "
 Baru saja kata "penggal" diucapkan Siang Cin, kedua laki2 baju merah ini seperti
 berlomba saja segera berteriak gugup: "Di bawah pimpinan Kiu kui hwi-ce Kiau
 Hiong, Toa-thauling kami . ... "
 Memandang ke arah hutan yang sunyi, wajah Siang Cin yang berlepotan darah
 tampak kelam, ia mendengus, lalu menegas: "Kiau Hiong" Apa hubungannya
 dengan Hek-jiu tong?"
 Kedua laki2 baju merah tetap ragu dan serba susah, terpaksa Siang Cin mengancam:
 "Dengar tidak pertanyaanku?"
 Laki2 yang bertubuh lebih tinggi agaknya menjadi nekat, katanya dengan
 menggertak gigi: "Toa-thauling adalah saudara angkat Liongthau (ketua) Hek-jiu
 tong . . . . "
 Mencorong sinar mata Siang Cin, dia tatap laki2 yang agak pendek, katanya:
 "Berapa banyak kekuatan yang kalian kerahkan" Berapa orang pula yang
 memimpin?"
 Merinding laki2 pendek ini, tanpa sadar dia menyurut selangkah, seperti memohon
 bantuan dia melirik kepada temannya, laki2 yang berkepala besar itupun sudah
 menggerakkan bibir, tapi Siang Cin mendahului dengan nada dingin: "Siapa yang
 kutanya dialah yang menjawab."
 Terpaksa laki2 pendek ini berkata dengan suara serak: "Eh . . . . . . eh, seluruhnya
 dikerahkan lima ratus orang . . . .. . di bawah pimpinan Kiau toa-thauling sendiri,
 dibantu oleh To ji-thauling dan Pek sam-thauling yang terbagi tiga barisan, barisan
 pertama sembunyi di jalan belakang gunung, barisan kedua dipendam di sekitar Buwi-
 san-ceng, sementara barisan ketiga bersama kawan2 Hek jiu tong yang dipimpin
 187 Can-lomo menyapu bersih sisa musuh yang ditinggal di bawah gunung . . . . . . . .
 kami termasuk barisan terakhir itu, setiap barisan kira2 berjumlah seratus lima puluh
 orang . . . . . . . "
 "Sudah cukup," " bentak Siang Cin.
 Seperti mendapat pengampunan kedua orang itu berseru bersama: "Hohan,
 jadi . . . . . jadi kami boleh pergi?"
 Siang Cin menggeleng dan berkata: "Tidak, akulah yang akan pergi." - Lalu dia putar
 tubuh dengan pedang pandak sebagai tongkat dia beringsut pergi. langkahnya berat
 terseret, kelihatan betapa dia keletihan dan kehabisan tenaga, umpama ada orang
 mendorongnya pelahan tentu akan roboh dia.
 Tapi kedua laki2 itu tak berani dan tak pernah membayangkan akan melakukan hal
 ini, maklum mereka sudah telanjur ketakutan, betapapun mereka tak ingin mencari
 kesulitan melainkan mencari jalan selamat saja.
 Setelah meninggalkan hutan dan mayat2 itu dengan menahan segala derita Siang
 Cin terus maju melalui tanah pegunungan yang belukar dan sepi dari keramaian,
 memang jalan semak belukar inilah yang dipilihnya untuk menghindari pengejaran
 musuh. Mentari sudah makin tinggi, hawa tambah panas, Siang Cin menyeka keringat di
 jidatnya, pelahan2 dia duduk dengan gerakan sukar tiga ruji payung masih bergoyang2
 menancap di badannya, dan setiap getaran yang membuat ruji payung itu
 bergoyang tentu menambah deritanya, tampak mukanya semakin pucat, bibir
 menghijau. Panjang ruji payung itu ada dua kaki dan lebih dua inci nancap ke dalam daging, ruji
 payung terbuat dari baja, putih mengkilap memancarkan cahbaya dingin, untung
 yang menusuk di ketiaknya agak miring, jika sedikit lurus saja tentu jantungnya
 tertusuk dan jiwanya melayang.
 Setelah istirahat sejenak, Siang Cin mulai mengatur pernapasan, setelah merasa
 tenaga sedikit pulih, dengan dibantu pedang pandak kembali dia merangkak berdiri.
 Baru saja kedua kakinya menegak dari lereng bukit di belakang sana, tiba2
 didengarnya suara teriakan dan hardikan, suaranya cukup jauh tapi dapat didengar
 jelas, malah menuju kemari.
 Pandangan Siang Cin segera tertuju ke sana, gumamnya: "Memangnya, orang2 dari
 golongan mana" Dari suaranya agaknya sedang mengejar pelarian . . . ."
 Se-konvong2 seperti ingat sesuatu, badan yang sudah tegak itu cepat2 merebah
 pula, ia mengawasi lereng bukit di kejauhan sana, mungkin karena tergesa2
 merebahkan diri sehingga luka2nya pecah dan mengeluarkan darah, rasa sakitnya
 bukan kepalang, tapi dia tidak sempat pikirkan luka2 sendiri, perhatiannya tertuju ke
 sana, kemungkinan suatu peristiwa bakal berlangsung di depan matanya.
 Sejenak kemudian, dari semak belukar sana, tampak muncul sebagian badan
 manusia, dengan cepat badan bagian bawah orang inipun terlihat jelas, tapi Siang
 Cin lantas dibuat melongo heran, kini jaraknya semakin dekat, apa yang dilihatnya ini
 memang ganjil. Kiranya dua orang bersusun menjadi satu, orang yang dipanggul memiliki kaki yang
 kecil pendek, mungkin sakit folio, mirip segumpal daging belaka. tapi kedua
 lengannya ternyata sangat panjang, besar dan kekar. Sementara kaki orang yang
 menggendongnya kelihatan normal, malah tampak kukuh kuat, kebalikannya kedua
 lengannya justeru sangat aneh, lemas lunglai, tak ubahnya seperti dua potong kayu
 yang kaku. Dengan bergendongan begini, yang tidak punya kaki dipanggul yang kakinya kukuh,
 sehingga sekilas pandang dari kejauhan, dua makhluk bersusun ini kelihatan seperti
 satu orang saja, satu sama lain saling menambal kekurangan masing2, malah
 kelihatan tiada kekurangan apa2, lengan panjang, kaki kukuh, lebih kuat dan tinggi
 dari pada orang biasa.
 Kini ?"orang jangkung" ini tengah berlari dengan gopoh ke arah sini. wajah kedua
 orang kelihatan mirip sekali, keduanya sama2 bermuka kemerah2an, dengan daging
 188 menonjol, hidung pesek dan mulut lebar, jidatnya dilingkari gelang emas kemilau,
 dilihat dari dandanan dan gelang emas itu, kiranya kedua orang ini adalah kawan
 dari Bu siang-pay.
 Yang bercokol di atas pundak kawannya sedang ber kaok2 sambil menoleh
 kebelakang: "Loh Hong, bisa cepat sedikit tidak" Kura2 di belakang sudah
 dekat ........"
 Maka orang yang di bawah lantas mempercepat langkahnya, tapi napas sudah
 ngos2an, serunya penasaran: "Sudah, tak usah mengoceh yang lari kan bukan kau,
 memangnya kau tahu betapa rasanya" bicara sih enak, kau kira pinggang tidak
 pegal" Coba saja kau yang ganti memanggulku "
 Yang di atas kelihatan murka dan meraung: "Dalam saat begini kau masih mau
 bertingkah" Memangnya belum cukup kau kecundang" Kunyuk, jika kura2 itu
 mengejar tiba, memangnya kita berdua tidak akan dicacah mampus?"
 Pada waktu kedua orang ini adu mulut, di kejauhan sana terdengar suara kaki kuda,
 dua puluhan penunggang kuda tengah membedal kudanya ke arah sini, di punggung
 kuda itu semuanya duduk orang2 yang berpakaian merah, semula mereka sudah
 kehilangan arah, tapi mendadak sama menarik kendali serta membelokkan. kuda
 mereka ke semak belukar dan mengejar ke sini dengan formasi setengah melingkar.
 Manusia "dua menjadi satu" yang aneh tadi mencaci kalang kabut, jelas musuh telah
 mengejar dekat, maka yang bercokol di atas berseru kuatir: "Celaka, padahal tadi
 mereka telah kehilangan jejak kita. Loh Hong, jangan kau tinggalkan aku dan lari
 sendiri, kalau mau mati biar kita mati bersama saja."
 Sambil berlari dengan napas ter-sengal2, yang di bawah balas menyemprot: "Jangan
 kentut melulu, sejak kapan tuan besarmu pernah lari sendiri"
 Sejak hampir terang tanah tadi, kalau aku tidak berhasil menerobos kepungan,
 memangnya sekarang kau masih bisa ngoceh?"
 Yang di atas mendengus, katanya: "Jangan membual, kalau tidak ada aku kaupun
 sudah dicacah hancur oleh musuh, yang terang kita sama2 memerlukan bantu
 membantu."
 Sambil lari mereka terus ribut mulut, lebih jauh di belakang lagi, tampak muncul pula
 tiga puluhan penunggang kuda yang ikut mengejar ke sini dengan formasi setengah
 lingkar pula. Kira2 beberapa tombak dari tempat sembunyi Siang Cin, kedua orang yang
 bergendongan ini mendadak berhenti, orang yang di bawah dengan kedua kaki yang
 kukuh itu memandang ke depan dan belakang, akhirnya dia berkata dengan lesu:
 "Tak perlu lari lagi, laripun tiada jalan, sedangkan pengejar sudah dekat, lari juga tak
 bisa lolos, malah akan diejek sebagai pengecut lagi, kakak yang tak punya kaki,
 biarlah kita adu jiwa saja dengan mereka."
 Setelah memeriksa keadaan sekelilingnya, yang bertengger di atas menghela napas,
 katanya: "Tampaknya memang tiada harapan, semoga saja kau yang she Loh
 bernama Hong ini masih ingat akan persahabatan selama lima belas tahun ini, kelak
 jangan lupa pasang hio-soa (dupa) dan bakar beberapa lembar kertas perak, supaya
 dinerakapun tuan besarmu ini merasa tenteram dan berterima kasih akan
 kebaikanmu."
 Yang bernama Loh Hong berludah, serunya dongkol: "Jangan kau ber-olok2,
 memangnya kau kira aku ini tidak kenal kebaikan, bila kau kejeblos ke neraka,
 memangnya aku akan naik ke sorga" Biarlah kita mendaftar bersama, tiba saatnya
 kita sama2 masuk dalam satu liang kubur, jadi siapapun takkan bikin susah siapa2
 untuk membakar kertas perak segala."
 Di tengah pembicaraan ini, para pengejar yang merubung dari berbagai arah itupun
 telah mendekat.
 "Sret", suaranya nyaring berdering, orang cacat yang bercokol di atas mendadak
 mencabut golok melengkung, ia berseru: "Loh Hong, sedikitnya kita harus minta
 rente beberapa jiwa supaya isi peti jenazah sama padat."
 Yang di panggil Loh Hong mendengus, katanya: "Baiklah, kerahkan segala daya
 189 kekuatanmu, aku sih tidak percaya pada nasib."
 Waktu itu orang2 berbaju merah yang mengepung itu telah berhenti kira2 tiga
 tombak di depan, sekali aba2 semuanya lantas melompat turun dari punggung kuda,
 seorang laki2 bermuka merah berjambang hitam melangkah maju, serunya: "Apakah
 di sana adalah saudara2 anak buah To-ji-thauling?"
 Rombongan tiga puluhan orang baju merah yang menyongsong dari arah
 berlawanan muncul seorang Iaki2 kurus kecil, berusia setengah umur, dengan suara
 melengking dia berseru: "Apakah di sana Ho Ceng, anak buah Pek-sam-thauling?"
 Laki2 bertambang ter gelak2, katanya: "O, kiranya Siang loko, kalian mengejar dari
 arah sana" Baik sekali, di sini kita sama2 memergoki buronan ini, hayolah kita bekuk
 mereka hidup2."
 Laki2 kurus itu menyeringai, serunya pongah: "Sudah tentu, Ji-thauling bilang
 hendak membikin sebuah sangkar raksasa untuk memelihara makhluk aneh
 ini . . . . . . "
 Kedua rombongan orang berbaju merah bertanya-jawab dari jauh, se-olah2 kedua
 orang pelarian yang sudah terkepung di antara mereka itu pasti akan tertawan,
 betapa tengik sikap mereka sungguh membikin orang mendongkol.
 Kedua manusia aneh tadi betul2 terbakar amarahnya, mata mereka mendelik dan
 otot hijau merongkol di jidat, orang yang di atas segera mengempit kedua kakinya
 yang kecil serta meraung dengan murka, "Kawanan anjing Jik-san-tui, kalau berani
 hayolah terjang maju, untuk apa cuma membacot saja"
 Laki2 muka merah itu ter-gelak2, katanya: "Pelarian Bu siang pay, ibarat ikan dalam
 jaring, masih berani kalian bermulut besar, sungguh menggelikan. Hari ini kalian
 akan kami bekuk hidup2, setelah puas kami kerjai, kalian akan kami jadikan umpan
 anjing liar."
 Keruan kedua orang aneh itu berjingkrak gusar, yang di atas meraung pula: "Majulah,
 kunyuk2 Jik-san, kalian penjilat Hek jiu tong, sampah persilatan, hayolah maju, biar
 tuan besarmu kirim kalian ke akhirat."
 Laki2 berjambang menarik muka, hardiknya bengis: "Keparat bermulut kotor, kalian
 sudah bosan hidup?"
 Yang bernama Loh Hong meludah, makinya: "Memangnya kalian bersih" Orang suci"
 Jangan jual lagak, tidak tahu malu. Biarpun seorang kacung atau babu dalam Bu
 siang-pay kami tetap lebih unggul daripada kalian manusia2 sampah ini."
 Sambil membanting kaki si muka merah mengangkat tangan, serunya: "Ringkus dia".
 Serentak dua puluhan anak buahnya mengiakan, sambil mengacungkan kampak
 mereka terus menyerbu maju, kampak dua muka yang kemilau menderu kencang
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerikan. Dua orang aneh itu meraung bersama, yang di sebelah bawah mendadak melejit ke
 atas, di tengah udara kedua kakinya terus menendang berantai, dua puluhan musuh
 yang menerjang maju itu berusaha berkelit atau menyingkir, tapi pada saat itu pula
 sinar kemilau menyamber, golok melengkung yang dipegang orang di atas pundak
 membacok tiba. "Crek", tiga batok kepala orang seketika mencelat dari lehernya.
 Darah menyemprot, terutama laki2 muka merah yang berada di depan tersembur
 basah kuyup selebar mukanya, dengan gelagapan dia menyurut mundur, sekilas dia
 kebingungan sambil menyeka muka, akhirnya ia berjingkrak murka pula, teriaknya:
 "Terjang, terjang maju! untuk apa kalian berdiri nonton saja?"
 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - --
 Siapakah kedua manusia aneh yang selalu lengket menjadi satu ini "
 Pertarungan sengit apa pula yang akan terjadi dan bagaimana tindakan Siang Cin "
 - Bacalah jilid ke - 11 --
 - - - - - - - - - - - - - - - - -
 Jilid 11 190 Orang2 berbaju merah di sekeliling serentak berteriak sambil menyerbu, kampak
 terayun dan menyamber seliweran. Tapi dua orang aneh itu dapat bergerak lincah,
 lompat ke sana dan kelit ke sini, dengan tangkas merekapun menyerang dari atas
 dan bawah sekaligus, dalam sekejap enam orang berbaju merah telah dirobohkan
 lagi. Si muka merah menjadi murka, segera dia sendiri menyerobot maju dan
 mendamprat: "Kalau tuan besar tak mampu membeset kulit kalian hidup2, jangan
 panggil aku hek-bin-hou ( harimau muka merah ).
 Kedua orang aneh itu tiba2 memutar, yang di sebelah atas dengan leluasa
 memainkan goloknya naik turun, beberapa musuh kembali dibacoknya mampus, lalu
 iapun mengejek: "Hm, kukira kau lebih pantas dinamakan babi gemuk berpantat
 merah." Di tengah makian lawan inilah, si laki2 muka merah sudah menubruk maju, sekaligus
 dia menyerang tujuh jurus dengan kampaknya, pada waktu yang sama, orang2
 berbaju merah yang lainpun ikut menerjang, maka terjadilah hujan serangan kampak
 yang sengit. Golok melengkung orang aneh yang di atas itu mendadak diputar, ia balas
 membacok, menabas dan menusuk, sementara telapak tangan kiri ikut mengepruk
 dan menampar, sedang orang yang berada di bawah dengan ketangkasan gerak
 kakinya menendang kian kemari serta menyapu roboh pula, dua orang ternyata
 dapat bergerak dengan teratur dan saling mengimbangi, di tengah benturan senjata
 yang ramai, lelatu api bercipratan, kekuatan kedua pihak ternyata seimbang.
 Di sebelah lain, sambil meraba kulit mukanya yang kering seperti kulit jeruk terjemur,
 laki2 kurus kerdil tengah umur itu menyeringai lebar sehingga kelihatan barisan
 giginya yang kuning katanya: "Hayolah anak2, tiba saatnya kitapun terjun ke dalam
 arena, jangan biarkan anak buah Ho-ya berhasil meringkus hidup2 kedua makhluk
 ini, kita harus bagi pahala sama rata."
 Tanpa bersuara tiga puluhan orang berbaju merah menggeremet maju sambil
 mengacungkan kampak, dari arah yang berbeda serentak mereka menyerang
 dengan gencar. Golok melengkung panjang itu masih sempat menangkis kiri dan bacok kanan,
 kedua orang aneh itu bertempur dengan gigih pantang mundur meski musuh
 berjumlah banyak, seperti berlomba mengejar pahala, orang2 Jik san tui terus
 mengayun kampak dan menyerang serabutan, tanah pegunungan yang belukar dan
 tidak rata, jumlah orang yang terlalu banyak membuat mereka berjubel dan saling
 mengganggu gerakan masing2, meski tekad mereka sama untuk merobohkan lawan
 serta menawannya hidup2, tapi keadaan yang tidak terkontrol ini malah
 menguntungkan musuh yang dikeroyok.
 Pelan2 laki2 kurus tadi mengusap mata kampaknya, ia melangkah maju sambil
 menyeringai: "Aku ini orang yang paling suka keramaian. Hehe, dalam suasana
 seperti ini memangnya aku harus berpeluk tangan" Nah, kalian juga boleh maju
 semua." Sementara kedua orang aneh masih berlompatan kian kemari, golok di tangan yang
 berada di atas sekaligus menyerang belasan jurus, tiga kampak yang menyerang
 datang dipapasnya kutung, sekali memutar dia tangkis pula serangan laki2 muka
 merah, sementara kedua kaki orang yang di bawah menyepak dan menendang,
 seorang lawan kontan menjerit sanibil memegang perut dan menggelinding pergi.
 Setelah menyeka keringat, kembali orang yang di atas memutar golok sabit serta
 memaki: "Boleh kau maju, coba apakah Locu tidak anggap kau sebagai barang
 mainan belaka."
 Si kurus kembali mendekat beberapa langkah, katanya dengan suara melengking
 aneh: "Jangan kuatir, biarlah kalian hidup sejenak lagi . . . . " belum lenyap suaranya,
 tiba2 dia melompat maju, kampak dua mukanya membawa sinar tajam terus
 membelah batok kepala lawan.
 Lekas orang di bawah menggeser ke pinggir, sementara golok yang di atas berputar
 191 menangkis ke atas, pada detik yang menentukan itulah suatu kejadian aneh telah
 terjadi, kampak besar yang tajam kemilau itu tahu2 tergetar mengeluarkan suara
 nyaring di susul pekik nyaring seperti raungan binatang yang hendak dijagal.
 Dengan melengak kedua orang aneh sama mengawasi musuhnya. Busyet, entah
 mengapa laki2 kurus itu kelihatan berdiri bingung dengan sorot mata rawan
 tertunduk mengawasi gagang pedang yang entah sejak kapan telah menembus
 dadanya, sungguh lucu juga mengerikan. Pelan2 tubuhnya ambruk ke tanah, sudah
 tentu orang2 berseragam merah di sekeliling gelanggang sama merasa seram dan
 menyurut mundur.
 Tapi tidak demikian dengan laki2 muka merah yang telanjur kalap dan menyerang
 secara membabi buta, melihat anak buahnya menyingkir dia lantas memaki: "Ada
 apa" Siapa berani lari kubunuh dan!" Agaknya dia belum tahu akan nasib kawannya.
 Dikala menangkis bacokan golok melengkung tadi, hampir saja laki2 muka merah
 terserampang jatuh oleh kaki lawan yang di bawah, teriaknya kaget: "Keparat,
 memangnya kau hanya pandai main jegal?"
 "Crot", orang yang di atas berludah, sementara goloknya berputar dengan sinarnya
 yang kemilau. "Cras", batok kepala seorang musuh, kembali dipenggalnya.
 "Berpalinglah saudara yang garang, coba lihat nasib temanmu yang sudah
 mampus," kedua orang sinting itu ber olok2.
 Meraung sambil berkelit kesamping, laki2 muka merah kembali balas menyerang,
 serunya dengan gusar: "Anak jadah, segera kau akan tahu siapa yang bakal
 mampus." Belum lagi lenyap suaranya, anak buah di belakangnya sudah sama berteriak kaget
 dan ngeri: "Wah, celaka, Song-ya sudah mati. Dadanya ditembus pedang."
 Kali ini si muka merah mendengar jelas, keruan jantungnya serasa dipalu wajahnya
 yang merah kasap itu seketika berubah kelam, beruntun dia merangsak empat jurus,
 lalu melompat mundur, teriaknya kaget: "Siapa yang melakukan" Lekas tangkap dia.
 " Belum habis dia berkaok, kembali terdengar "blang, prak", suara tulang patah dan
 remuk, kembali lolong kesakitan membuat ramai suasana pertempuran yang seru ini.
 "Ada musuh tersembunyi, dua saudara kita mati lagi . . . ."
 Si muka merah menjadi bingung, serunya gugup: "Tangkap dia, kalian memang
 gentong nasi semua, akan kubunuh kalian."
 "Aduh," kembali seorang berteriak kesakitan, disusul seorang berteriak ngeri: "Wah
 hanya dengan dua butir lempung bisa meremukkan batok kepala orang . . . . betul2 .
 kejam dan menakutkan, setan penjaga hutan telah muncul dan menghukum kita,
 wah celaka!"
 Agaknya si muka merah menjadi semakin kalap, sekaligus dia menendang dan
 membacok dengan kampak beberapa kali, teriaknya mencaci: "Dirodok, hanya teriak
 melulu, memangnya makmu bisa menolong" Lekas tangkap musuh gelap itu."
 Sambil memaki, kakinya menyapu dua kali, tapi mengenai tempat kosong, karena
 terlalu bernapsu dengan serangan kampaknya sehingga serangannya luput
 seluruhnya. Belum lagi sempat menyusuli seranigan lain, sinar golok lawan tiba2
 menyambar. "Cret", dikala dia melompat mundur, pundak serasa kesakitan setengah
 mati, kiranya tergores golok lawan sampai kulit daging pundaknya terpapas.
 "Waah," saking kesakitan dan ngeri melihat luka sendiri, tanpa terasa dia menjerit,
 kembali ia mendengar suara tulang patah dan remuk di susul jeritan mengerikan dari
 mulut anak buahnya.
 Diam2 kedua orang sinting itupun maklum bahwa ada orang pandai telah membantu
 mereka, maka semakin berkobar semangat tempur mereka bagai harimau galak
 mereka terjang sana dan seruduk sini, dalam sekejap saja dua puluhan musuh telah
 dijagalnya, sisanya yang masih hidup sama lari menyingkir, keadaan jelas berada
 dalam genggaman kedua orang sinting ini, maka serangannya tidak tanggung2 lagi.
 Hampir saja laki2 muka merah semaput melihat luka dipundak sendiri yang parah
 sampai tulang pundaknya yang putih kelihatan. Seorang lari menghampiri, teriaknya
 192 dengan berkeringat: "Komandan, terus bertempur atau bertahan" Situasi sudah jelas,
 separo teman2 kita sama menggeletak, musuh di tempat gelap belum lagi muncul,
 entah berapa banyak musuh yang terpendam di sekitar sini."
 Saking kesakitan, mata si muka merah berkunang2, katanya sambil merintih: "Tidak
 boleh mundur, keparat, Jik san tui kita semuanya adalah orang gagah . . . . . . gagah
 perwira." "Komandan." seru orang itu gelisah, "berlagak gagah kan harus lihat waktu dan
 keadaan, kalau sekarang tidak mundur sebentar lagi jiwapun ikut melayang . . . . .
 komandan sendiri terluka, ini bisa dipertanggung-jawabkan kepada atasan. . . . "
 Pada saat itu, seorang laki2 baju merah di sana kembali menjerit roboh dengan
 kepala remuk, keruan bergidik si muka merah, dengan mengertak gigi akhirnya dia
 berseru: "Baiklah, mundur. Tapi kalian yang minta padaku . . . . . . "
 Laki2 di sebelahnya ini tidak pedulikan lagi, sambil mengacung kampaknya dia terus
 berteriak: "Ada perintah dari komandan, lekas mundur."
 Sembari berteriak, dia mendahului aogkat langkah seribu, sekali cemplak langsung
 ia melompat ke punggung kuda.
 Si muka merah menggerutu, lekas iapun lari ke sana menarik seekor kuda terus
 merangkak ke punggungnya dengan menahan sakit, sudah tentu sisa anak buahnya
 yang lain menjadi kacau balau, semuanya saling caci-maki dan lari mencawat ekor.
 Sebetulnya kuda cukup banyak, sayang sudah terpencar ke sana-sini karena
 pertempuran gaduh tadi, yang masih ada menjadi rebutan di antara sesama kawan
 demi menyelamatkan diri, tapi yang simpatik mau juga membantu temannya,
 sehingga seekor kuda sekaligus ditunggangi tiga orang, cepat sekali seperti digulung
 angin lesus sebentar saja mereka sudah lari semua.
 Kedua orang sinting jadi bingung dan tertegun di tempatnya, melihat musuh sudah
 lari, hanya mayat saja yang masih tertinggal, perasaan mereka menjadi hambar,
 orang yang di atas geleng2 kepala, katanya serak: "Loh Hong, apa sebetulnya yang
 terjadi" Seperti menggiring bebek?" "
 Menghela napas, yang di bawah berkata: "Kan bukan kita yang menggiring, yang
 jelas ada orang pandai telah membantu, jangan kau pura2 bodoh, memangnya cuma
 beberapa jurus cakar kucingmu mampu menggiring bebek sebanyak ini?"
 Mengawasi mayat yang bergelimpangan, yang di atas menghela napas, katanya:
 "Loh Hong, mari panggil sahabat yang bersembunyi itu untuk bicara. jangan nanti
 bilang orang Bu-siang-pay tidak tahu aturan."
 Yang bernama Loh Hong berputar memandang sekeliling, katanya kemudian:
 "Sebetulnya, setelah musuh lari, orang pandai itu sudah harus keluar menemui kita,
 memangnya dia tidak sudi unjuk muka dan telah tinggal pergi."
 Mendadak terdengar suara tertawa di belakang gundukan tanah, dengan muka yang
 penuh noda darah dan pakaian yang tidak keruan Siang Cin muncul di depan
 mereka, baru saja melihat bayangannya, kedua orang sinting ini sama menjerit kaget:
 "Eh, jadi kau ini . . . . "
 Dengan terbelalak yang di atas bertanya ragu: "Sahabat, apakah kau yang barusan
 membantu kami?"
 Dengan langkah berat Siang Cin maju dua langkah, jawabnya: ?"Kukira demikian,
 apakah kalian melihat ada orang lain?"
 Dengan kikuk lekas orang di atas menyarungkan goloknya, ia memberi hormat,
 katanya: "Kami orang Bu-siang-pay, karena suatu hal bentrok dengan pihak Hek-jiutong,
 musuh berjumlah terlalu banyak sehingga begini keadaan kami, untung tuan
 sudi membantu kami, kalau tidak entah bagaimana nasib kami selanjutnya ....
 Sungguh kami bersaudara sangat berterima kasih akan budi pertolongan ini. Ai,
 entah tuan penolong sudi memberitahu siapa namamu yang mulia supaya kelak
 kami bisa selalu mengenangnya"
 Dengan tertawa Siang Cin berkata: "Sebetulnya, kita bukan orang luar."
 "Bukan orang luar?" Gwan Hoan menegas. Gwan Hoan adalah nama orang yang di
 bawah. 193 Setelah memeriksa sekelilingnya, pelan2 Siang Cin memperkenalkan diri: "Aku she
 Siang, bernama Cin, ada kalanya orang memanggilku Naga Kuning, demikian pula
 Kim Bok, Loh Bong-bu dan lain2, mereka juga menyebut nama julukanku."
 Kedua mahkluk aneh ini seperti mendengar guntur di siang hari bolong, seketika
 kedua-nya melongo, sampai sekian lama baru mereka seperti sadar dari mimpi, kata
 mereka: "Ah, kiranya Siang-tayhiap, kami bersaudara memang buta, betapa besar
 nama Siang-tayhiap, tapi kami tak mengenalmu ..."
 Siang Cin menggeleng, katanya: "Apakah kalian yang dijuluki "dua sinting?""
 Gwan Hoan mengangguk, katanya: "Betul, tentunya Siang-tayhiap dapat menerka
 setelah melihat tampang kami ini?"
 ?"Bentuk kalian memang aneh, sekali pandang orang akan tahu siapa kalian, selama
 ini belum pernah melihat kalian, tapi namamu sudah kudengar . . . ."
 Gwan Hoan tertawa mendengar umpakan Siang Cin. Segera Siang Cin mendekat ke
 sana dan mencabut pedang pandak dari dada si laki2 setengah umur, setelah
 menyeka darah di tubuh orang, dia membalik dan berkata: "Sekarang, lekas
 tinggalkan tempat ini, apakah kalian terluka?"
 Dengan langkah lebar Loh Hong mendekat, katanya sambil geleng kepala: "Kami
 tiada yang terluka, sayang kami tidak tahu bagaimana nasib si jagal berjenggot
 merah dan si kaki bengkok . . . . anak buah yang kami bawa telah tercerai,
 semuanya ada tiga puluhan orang ."
 Sembari bicara mereka terus pergi, kata Gwan Hoan setelah menghela napas:
 "Sebenarnya kami ditugaskan mengikuti rombongan Loh-cuncu menyerbu dari
 belakang gunung, tapi sampai di tengah jalan, belum lagi bertemu dengan barisan
 Loh cuncu kami telah dicegat musuh, jumlah mereka ada dua ratusan orang dalam
 pertempuran besar ini hanya kami berdua yang berhasil menjebol kepungan dan
 melarikan diri."
 Lekas Loh Hong menambahkan: "Tapi kami tidak bikin malu Bu siang pay kita,
 dalam pertempuran itu sedikitnyn separo musuh berhasil kami robohkan."
 "Jadi tiada orang lain lagi yang pernah kalian temukan?" tanya Siang Cin prihatin.
 "Kecuali kau Siang-tayhiap, tiada satupun yang pernah kami lihat," sahut Gwan Hoan.
 Diam sebentar, Siang Cin berkata pula: ?"Kim-cuncu dari Wi-ji-bun, Ceng-yap-cu Lo
 Ce dan si jenggot merah sudah lolos dari kepungan musuh."
 Serentak Loh Hong berteriak gembira, ?"Si jagal gundul berjenggot merah itu ialah Le
 Peng. Aku tahu keparat itu memang berumur panjang, tak mungkin mampus
 semudah itu."
 Gwan Hoan tertawa cekikikan dan menimbrung: "Kim cuncu selalu pesan kepada
 kami supaya selalu mengawasi dia agar tidak menimbulkan onar, tak nyana keparat
 ini lebih licin malah dan berhasil selamat lebih dulu . . . . "
 Bimbang sesaat, kemudian Loh Hong bertanya pula: "Siang-tayhiap, apakah kau
 tahu bagaimana nasib Loh-cuncu dan Siang cuncu serta yang lain2" Tentunya
 mereka juga selamat."
 Muram air muka Siang Cin, katanya sambil menengadah: "Aku tidak melihat mereka,
 tapi kutahu mereka terkepung ditengah kobaran api di daliam Bu wi-san-ceng . . . .
 melihat gelagatnya, tak sulit dibayangkan bagaimana nasib mereka."
 Kedua orang sinting jadi melenggong, sesaat kemudian Gwan Hoan berkata pelahan:
 "Siang-tayhiap, apa yang terjadi dengan kebakaran besar itu?"
 Siang Cin menggeleng dan ceritakan apa yang terjadi, kedua orang aneh ini sama
 menggreget penuh dendam, mata melotot dan mencaci kalang kabut.
 Akhirnya Siang Cin menambahkan: "Siang cuncu kalian terlalu terburu nafsu untuk
 merebut pahala, agaknya dia lupa bagaimana kebiasaan sepak terjang orang2 Hekjiu-
 tong, setiap gerakan tentu sudah dirancang dengan keji, mana mungkin mereka
 dapat dikelabui. Sayang dia tak mau dengar nasihatku, memangnya sebagai orang
 luar, apa yang dapat kulakukan?"
 Gwan Hoan dan Loh Hong diam saja, sampai sekian lama setelah menempuh
 perjalanan cukup jauh, baru Gwan Hoan berkata pula: "Biasanya tindak-tanduk
 194 Siang-cuncu sangat hati2, dulu dia tidak pernah ceroboh, tapi kali ini mungkin
 lantaran puteri Ciangbunjin kita ada hubungan yang erat dengan dia . . . . tentunya
 Siang-tayhiap maklum juga hal ini, sekali urusan menyangkut pribadinya, maka
 kacau pula pikirannya, memang sejak beberapa hari ini kurasakan sikap Siangcuncu
 beda dengan biasanya . . . . . . . "
 Loh Hong ikut bersuara: "Biasanya sikapnya ramah terhadap siapapun, tempo hari
 karena sedikit salah, Pek-yang pernah di makinya habis2an, karena itu Pek-yang
 sampai murung selama beberapa hari . . . . "
 Dengan pedang pandak sebagai tongkat, Siang Cin berjalan ter-tatih2, katanya tawar:
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah pernah diantara kalian berjanji akan kumpul di mana bila urusan di sini
 berhasil?"
 Gwan Hoan melenggong sebentar, katanya: "Waktu itu diputuskan, setelah berhasil
 menduduki sarang musuh, kita diharuskan berkumpul di depan pintu gerbang Bu-wisan-
 ceng.". "Itu menurut perhitungan bila kalian menang dalam penyerbuan ini," ujar Siang Cin
 tertawa, apakah tidak kalian pikirkan sebelumnya bagaimana bila kalian yang
 kalah?" Menyengir sedih, Gwan Hoan berkata: ?"Tidak, siapa kira bahwa kami akan kalah. . "
 Maka berkata Siang Cin: "Selamanya aku suka bicara secara blak2an. Setelah
 mengalami pengajaran nyata kali ini, kurasa perlu aku memberi wejangan. Yakin
 akan kesanggupan sendiri adalah syarat utama bagi setiap insan persilatan, tapi
 keyakinan itu harus disertai rencana yang cermat dan pemikiran yang matang, kalau
 bertindak serampangan dan di luar garis kebijaksanaan, sekali salah hitung,
 akibatnya tentu runyam dan menyedihkan."
 Gwan Hoan dan Loh Hong mendengarkan dengan diam saja, meski hati merasa
 tertusuk, tapi apa yang dikatakan memang benar dan tepat.
 Setelah menghela napas, Siang Cin berucap pula: "Aku tahu dengan kata2ku ini
 secara langsung telah menyinggung wibawa Bu-siang-pay kalian, tapi aku bicara dari
 relung hatiku yang paling tulus, dengan rasa setia kawan lagi, terima atau tidak
 terserah kepada kalian."
 "Siang-tayhiap, akhir katamu terlalu berat untuk kami resapi," ucap Gwan Hoan
 cepat, "ini adalah nasihat emas yang amat berharga, belum lagi kami sempat
 berterima kasih kepadamu, mana berani mencela malah" Kamipun senang
 mendengar kritikmu ini." - Merandek sejenak, lalu Gwan Hoan berkata pula:
 "Biasanya petuah yang menusuk kuping memang sukar diterima, kalau bukan teman
 baik, memangnya siapa sudi memberikan nasihat yang bisa menimbulkan salah
 mengerti" Siang-tayhiap, untuk ini jangan kau salah paham..."
 Siang Cin hanya tertawa tanpa bicara lagi, bertiga mereka terus menyusuri lereng
 bukit dan tiba di balik gunung sana, tampak di sini seluruhnya adalah semak2 welingi.
 "Siang-tayhiap," ujar Gwan Hoan dengan hormat, "bagaimana kalau kita istirahat
 sejenak di semak2 welingi itu?"
 Menghela napas lelah, Siang Cin berkata: "Baiklah, aku memang sangat letih."
 Loh Hong lantas mendengus, katanya: "Hai, kaki buntung, kukira kau kunyuk ini lupa
 daratan karena terlalu enak bercokol di atas punggung tuan besarmu?"
 Gwan Hoan hanya terkekeh saja tanpa memberi tanggapan. Dengan pedang
 sebagai tongkat Siang Cin terus maju dengan langkah ter-seyot2, napasnya rada
 terengah, badanpun ter-bungkuk2, sungguh payah dan menderita sekali keadaannya.
 Baru saja mereka tiba di puncak bukit, belum sempat Siang Cin istirahat, dari balik
 dedaunan welingi menyongsong keluar sesosok bayangan besar terus menubruk
 seperti serigala kelaparan, sebilah golok melengkung tahu2 membacok batok
 kepalanya. Secara refleks Siang Cin miringkan tubuh, "trang" dengan pedang pandak dia
 tangkis golok melengkung itu, tidak sampai di sini saja gerakan pedang pandak itu,
 secepat kilat ujung pedangnya terus menusuk pula ke dada orang.
 Baru sekarang kedua orang sinting di sebelah belakang menjadi gugup, Gwan Hoan
 195 lantas meraung "Tahan Siang-tayhiap . . . . . . sesama keluarga sendiri . . . . . . . "
 "Si jagal jenggot merah . . . . . ." Loh Hong juga berteriak gugup.
 Dengan mendongkol Siang Cin menarik kembali serangannya, rasa sakit pada
 luka2nya membuat keringat dingin membanjir keluar. katanya: "Saudara, sebelum
 turun tangan hendaklah lihat dulu siapa orang yang akan kau serang."
 Pembokong ini memang si jagal jenggot merah Le Ping, pedang pandak Siang Cin
 baru saja ditarik mundur dari depan dadanya, keruan mukanya merah jengah,
 katanya gugup dan menyesal: "Terlalu tegang, Siang-tayhiap, sampai tidak kulihat
 jelas engkau adanya, harap suka memaafkan."
 "Sudahlah," ucap Siang Cin, "mana Kim-cuncu dan Lo Ce, Lo-heng."
 Menunjuk ke balik semak si jagal berkata: "Semua ada di sana, setelah lolos kami
 putar kayun setengah malam sampai di sini, setelah makan ala kadarnya semua tak
 mampu bergerak lagi, terpaksa kami rebah melepaskan lelah dulu . . . . "
 Kedua orang sinting mendekat maju, dengan sedikit membungkuk Gwan Hoan
 menggaplok pundak si jagal, teriaknya: "Jagal pikun, kami kira kau sudah menjadi
 daging panggang, kobaran api di puncak gunung membuat benderang langit,
 syukurlah kau berumur panjang . . . . "
 Si Jagal jenggot merah mengelus batok kepalanya yang gundul kelimis, katanya
 sambil menyengir: "Jangan ber-olok2, jika tiada bantuan Siang-tayhiap, mungkin
 satupun tiada yang lolos dengan hidup, Cuncu dan Lo Ce sama2 terluka parah."
 Gwan Hoan berkata: "Kamipun lolos kepungan berkat pertolongan Siang-tayhiap.
 Kalau tidak, kali ini tak mungkin kau bisa bertemu dengan kami bersaudara."
 Wajah si jagal yang kasap itu mengunjuk rasa kagum dan hormat serta tunduk,
 katanya: "Mungkin kalian belum tahu apa yang telah terjadi di atas gunung?" .
 Sekilas melirik ke arah Siang Cin yang tertatih2 melangkah ke dalam semak2 welingi,
 Gwan Hoan menelan liur, tanyanya dengan gelisah: "Apa yang terjadi?"
 Si jagal juga melirik ke punggung Siang Cin, lalu katanya sungguh2: "Enam diantara
 sepuluh gembong2 Hek- jiu-tong telah disikat mampus oleh Siang tayhiap seorang
 diri, seorang lagi luka parah, demikian pula ahli perang mereka yang bernama . . . .
 King apa yang tua bangka itu juga dimampuskan, apalagi kaum keroco Hek jiu-tong,
 ada ratusan yang mampus di tangan Siang-tayhiap."
 Begitulah sambil menyibak daun welingi mereka terus menerobos semak2 lebih
 dalam, beberapa tombak kemudian, tampak si sayap terbang Kim Bok dan Ceng
 yap-cu Lo Ce duduk di tanah, sementara Siang Cin sudah duduk di hadapan mereka.
 Dalam semalam ini, agaknya terlampau besar penderitaan mereka, wajah Kim Bok
 yang semula merah bersemangat kini kelihatan lesu, pucat menghijau, kerut
 mukanya yang biasa tidak kelihatan kini tampak banyak, dalam semalam ini dia
 seperti tambah tua puluhan tahun.
 Demikian pula keadaan Ceng-yap cu Lo Ce, pucat, lemas keletihan, mirip laki2 yang
 baru sembuh dari sakit parah, sekujur badan berleporan darah, bibirnya yang kering
 merekah, sorot matanya yang pudar kelihatan seperti orang mengantuk.
 Kedua orang sinting maju memberi hormat kepada Kim Bok, dengan kepayahan Lo
 Ce, membalas saja ala kadarnya, Gwan Hoan tepuk pundak Loh Hong, katanya:
 "Baiklah, biar aku turun dnduk di tanah, supaya kau bisa istirahat sebentar . . . . "
 Begitu Loh Hong berjongkok Gwan Hoan tepuk pundak orang terus melompat turun
 dan berduduk dengan ringan, kedua kakinya yang kecil lantas terjulur datar di tanah.
 Loh Hong menggeliat sambil menekuk pinggang, menepuk pundak serta memijit
 leher, kelubiiya: "Ai, tugas menjadi kuda tunggangan begini entah kapan baru akan
 berakhir . . . . . . . "
 Si Sayap terbang Kim Bok mengerling ke arah Loh Hong, katanya dengan serak:
 "Bukankah kalian bersama It-coh san Hoan Kiang" Mana Hoan Kiang?"
 "Hoan Kiang?" kedua orang sinting saling pandang, kata Gwan Hoan gugup.
 "Bukankah dia menyusul Cuncu bersama dua puluhan saudara setelah barisan
 besar bergerak ke atas gunung?"
 Terbeliak mata Kim Bok, serunya gusar: "Siapa suruh dia pergi" Memangnya ke
 196 mana pula kalian waktu itu?"
 Lekas Gwan Horn menjawab: "Sebelum bergerak Loh-cuncu memberi pesan agar
 dia bantu menggempur kebelakang gunung, tapi ditengah jalan dicegat musuh,
 hanya kami berdua saja yang berhasil lolos, Lo Hoan berpisah dikala kami bergerak
 ke atas hendak membantu Loh-cuncu, karena waktu itu pertempuran di atas gunung
 teramat ramai dan gaduh, sebaliknya di bawah gunung tiada tugas penting apa2,
 kuatir tenaga pihak kita tidak mencukupi, maka Lo Hoan lantas membawa orang2nya
 menerjang ke atas, semula kami kira dia sudah gabung bersama Cuncu
 sekalian . . . . . . "
 Saking gusar Kim Bok mengertak gigi, raungnya: "Gentong nasi, semuanya gentong
 nasi." Kedua orang sinting tak berani bersuara lagi, keduanya tunduk tak berani bergerak,
 dengan mengepal tinju Kim Bok berkata: "Kali ini kita betul2 memperoleh ganjaran
 setimpal, Thi, Hiat dan Wi tiga barisan besar Bu-siang-pay kita sama dikerahkan, tiga
 ratus tenaga inti yang terdidik baik seluruhnya gugur di tangan orang Hek--jiu-tong,
 sisanya yang masih hidup bercerai berai, cara bagaimana harus mempertanggungjawabkan
 hal ini kepada Thi-ciangbun" Bagaimana pula harus memberi penjelasan
 kepada tiga barisan yang lain yang masih ada di pusat" Kalau kalian tidak tahu malu,
 aku justeru tiada muka berhadapan dengan mereka, jiwa pahlawan padang rumput
 kini sudah ternoda oleh kalian . . . ."
 Siang Cin membuka matanya yang terpejam, katanya pelahan: "Kim-cuncu jangan
 marah, ada beberapa kata ingin kusampaikan."
 Lekas Kim Bok unjuk tawa, katanya: "Silakan, silakan."
 Diam sejenak baru Siang Cin membuka suara: "Perubahan kehidupan Kangouw
 memang sukar diramalkan, dalam waktu sedetik keadaan dapat berubah menjadi
 buruk, entah itu seorang pribadi, suatu aliran atau perguruan, jika dia ingin bercokol
 abadi dalam percaturan Bu-lim, jelas bukan suatu usaha yang mudah, perbedaan
 antara kalah menang, kuat dan lemah hanya terpaut segaris saja, kalau melampaui
 garis tegas ini maka berarti berakhirlah riwayatnya. Tiada dalam sejarah Bu-lim
 seorang pahlawan yang abadi, selama beratus tahun belum pernah tertulis dalam
 sejarah adanya suatu aliran atau perguruan silat yang tak pernah runtuh atau kalah,
 begitu pula tiada bedanya seseorang dan suatu aliran, di dalam menghadapi
 berbagai masalah tak mungkin mereka selalu berada di atas angin, karena sering
 sesuatu terjadi di luar perhitungan dan dugaan, maka peristiwa yang telah terjadi tak
 perlu lagi disesalkan, sebaliknya harus menjadikan kekalahan itu sebagai cambuk
 untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi . . . . . . . . "
 Merandek sejenak lalu Siang Cin meneruskan dengan tertawa tawar: "Siang Cin
 masih muda usia, cetek pengalaman dan dangkal pengetahuan, dengan rangkaian
 nasihat ini, sebetulnya aku telah berlaku sembrono, untuk ini harap Kim-cuncu tidak
 ber-kecil hati."
 Sekian lama mengawasi Siang Cin, akhirnya Kim Bok menghela napas panjang,
 ucapnya: "Nasihat Siang-lote memang betul, tapi , . . . ai, kenyataan memang
 demikian, bila dendam tak terlampias, memangnya dapat kupulang menemui
 Ciangbunjin?"
 Siang Cin berkata: "Biarlah soal itu kita bicarakan lagi kelak, kini yang penting harus
 mencari tempat untuk memulihkan kesehatan."
 Seperti teringat apa2, tiba2 Kim Bok berkata: "Lote, lukamu cukup parah, lebih
 penting menyembuhkan luka2mu dulu .. . . Lote, untuk kepentingan Bu-siang-pay,
 betapa besar pengorbananmnu .... "
 Tertawa tawar, Siang Cin berkata: "Seorang ksatria rela mati demi persahabatan,
 Cuncu, hal ini jangan diperbincangkan lagi."
 Merah muka Kim Bok, katanya gegetun: "Begitu besar setia kawan Lote terhadap
 Bu-siang pay membantu dengan mempertaruhkan jiwa raga lagi, tapi Bu-siang-pay
 kita memang terlalu ceroboh dan bodoh, jerih-payah dan nasihat Lote yang berharga
 tak pernah kita resapi, bila Siang-loheng mau mendengar nasihatmu di Pi-ciok-san,
 197 nasib kita tentu tidak akan seburuk ini . . . . Ai"
 Siang Cin berkata: "Hal ini tak bisa menyalahkan Siang-cuncu, dia terialu emosi
 waktu itu, kabarnya biasanya Siang-cuncu tidak begitu gegabah, maka Cuncu tidak
 usah menyalahkan dia "
 Tapi Kim Bok masih juga menggerundel: "Tak usah lote membela dia, kelak bila
 kembali berhadapan dengan Ciangbunjin, aku akan membuat perhitungan dengan
 dia, coba saja siapa yang benar." Sampai di sini tiba2 ia melenggong, sekian lama
 dia termenung, lalu menghela napas, katanya rawan: "Cuma, entah bagaimana
 nasib tua bangka ini, apakah aku masih sempat membuat perhitungan dihadapan
 Ciang-bunjin.."
 Siang Cin memejamkan mata, katanya lesu: "Mati hidup ada di tangan Thian,
 kuyakin Siang-cuncu juga tidak berumur pendek, menurut hematku, kesempatan
 hidupnya masih besar . . . . "
 Kim Bok menghela napas katanya: "Ya, begitulah harapan kita, demikian pula Bongbu,
 tidak pantas dia gugur di medan laga dalam usia yang masih muda . . . . di antara
 pimpinan Bu-siang-pay, usianya terhitung yang paling muda . .. . "
 "Aku tahu, biasanya kalian suka mempoyoki `pipi halus` padanya," ucap Siang Cin.
 "Ya, hubungan mereka suami-isteri juga penuh kasih sayang," ucap Kim Bok.
 "Loh-cuncu pernah bicara hal ini, demi hubungan suami-isteri inilah sehingga dia
 menolak jabatan di Lan cian-tong?"
 Ber kaca2 mata Kim Bok, lekas ia melengos, katanya pilu: "Yang membuatku
 teramat sedih adalah Yang-yang . . . . budak itu, berarti dia mengkhianati ayahnya
 dan leluhurnya, mengingkari seluruh Bu-siang- pay . . . dia sungguh bodoh, teramat
 bodoh. ." Tiba2 Ceng-yap cu ikut bicara: "Kalau hal ini betul, menurut watak Ciangbunjin . . . .
 kemungkinan Siocia akan mengalami hukuman yang berat,"
 Kim Bok menoleh seraya berkata: "Bukan saja akan dihukum, aku berani bertaruh,
 Ciangbunjin malahan bisa membunuhnya."
 Siang Cin berkata: "Kalau benar demikian tindakan Ciangbunjin kalian atas puterinya,
 kukira persoalannya menjadi mudah."
 Kim Bok melenggong, tanyanya heran: "Sukalah Lote menjelaskan?"
 "Bicara terus terang," ucap Siang Cin, "jika betul Ciangbunjin kalian ingin mengakhiri
 pertikaian ini dengan kematian puterinya, atau hanya untuk melampiaskan
 penasaran-nya, maka persoalannya menjadi mudah diselesaikan."
 Terbelalak Kim Bok, sekian lama dia menatap Siang Cin. Tapi Siang Cin
 menggeleng, katanya prihatin: Hubungan lahir batin ayah dan anak tak mungkin
 diselesaikan hanya dengan hukuman melulu, masih banyak pertimbangan lain2,
 umpama benar Ciangbunjin kalian ingin membunuh puteri sendiri, kukira dia
 sendiripun akan menderita batin."
 Sedikit banyak Kim Bok kini sudah maklum, katanya: "Maksud Lote . . . . "
 "Maksud Cayhe, Ciangbunjin kalian akan sukar memberi keputusan, malah hatinya
 juga akan sedih."
 Lama Kim Bok meresapi kata2 ini, akhirnya ia manggut2, katanya: "Betul, ucapanmu
 memang betul lote, nama Naga Kuning yang kauperoleh kuyakin bukan melulu
 karena kehebatan ilmu silatmu, cara berpikirmu ternyata juga melebihi orang
 banyak . . . . "
 "Ah, Cuncu terlalu memuji ujar Siang Cin dengan tertawa.
 Kini kedua orang sudah duduk bersimpuh, perasaan mereka sama berat dan prihatin,
 Siang Cin menengadah mengawasi daun welingi, daun yang bergoyang menari
 ditiup angin lalu, mengeluarkan suara berisik yang berpadu menjadikan irama yang
 menga-syikan juga, sayang suara ini terasa hampa, terasa memilukan.
 Entah berapa lamanya, akhirnya Kim Bok bersuara: "Lote, marilah kita berangkat?"
 "Baiklah," Siang Cin sadar dari lamunan-nya dan tertawa.
 Segera Kim Bok melompat berdiri, katanya kepada si jenggot merah: "Le Ping,
 kemari kau, gendong Siang tayhiap."
 198 Si Jenggot merah mengiyakan dan menghampiri dengan langkah lebar. Lekas Siang
 Cin mengoyang tangan, katanya gugup: "Tak usah, tak usah! Cayhe sendiri masih
 sanggup berjalan, apa lagi ruji payung yang menghiasi tubuhku ini belum lagi
 kucabut, kurang leluasa kalau digendong . . . . "
 "Lalu bagaimana baiknya?" ujar Kim Bok prihatin. "Lote, aku sendiri merasa ngeri
 melihat luka2 sekujur badanmu, apalagi kau yang langsung merasakannya" Kalau
 aku yang terluka parah seperti itu, pasti tak kuasa bergerak dan sudah di atas
 usungan." "Seperti apa yang Cuncu katakan sendiri, kalau Naga Kuning Siang Cin tidak
 memiliki kelebihan yang luar biasa daripada manusia umumnya, mana mungkin aku
 memperoleh gelar Naga Kuning" Ketahuilah bukan saja aku mahir menghajar dan
 menyiksa, jiwa ragaku sendiripun tahan akan segala macam siksa derita."
 Kim Bok tertawa geli, suasana yang kurang menyenangkan tadi seketika tersapu
 lenyap seluruhnya, kata Kim ,Bok: "Kalau demikian, marilah jalan pelan2."
 Sambil menyibak semak2 welingi mereka berenam berjalan keluar, cuaca tampak
 mendung, hawa terasa dingin, mereka berjalan di tanah pegunungan yang belukar,
 pandangan mereka meneliti setiap gerakan di sekeliling mereka, maklumlah daerah
 ini masih dalam pengaruh orang2 Hek-jiu-tong.
 Setelah jalan sekian lama, si jenggot merah mendekati Siang Cin, katanya lirih:
 "Siang-tayhiap, apakah perlu kugendong kau saja?"
 "Tak usahlah," ujar Siang Cin, "kau sendiri juga sudah payah."
 Menggaruk batok kepalanya yang gundul kelimis, laki2 kasar yang dijuluki jagal ini
 berkata: "Siang-tayhiap, terima kasih atas pertolonganmu semalam. Siang-cuncu
 dan lain2 putus hubungan dengan kami di tengah kobaran api yang besar itu,
 padahal rencana semula sudah dipikirkan dengan rapi, tapi kenyataan serba
 mengenaskan . . . . kalau tidak mendapat bantuan Siang-tayhiap, tak berani aku
 membayangkan akibatnya, mungkin satupun tiada yang bisa lolos, lalu siapa yang
 akan mengirim kabar buruk ini. ."
 Padahal langkah Siang Cin cukup berat, jalan sambil bertongkat pedang, tapi
 suaranya tetap ramah: "Tidak apa2, Le-heng, sakit hati ini kelak pasti dapat ditagih
 seluruhnya."
 Kim Bok menoleh, timbrungnya tertawa: "Lote, bila tiba waktunya, jangan kau lupa
 memberitahu kepadaku, kita semua akan patuh dan tunduk akan pimpinanmu."
 Siang Cin tertawa, katanya: "Jangan berkata demikian Cuncu."
 Jalan punya jalan akhirnya mereka tiba di tanah bukit yang menurun, seluas mata
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang, jalan raya tampak berliku menjalar di kejauhan sana, mendung tambah
 tebal, tiada bayangan manusia atau binatang, keadaan sunyi hening.
 Menelan liur si jagal berkata: "Cuncu, ke mana tujuan kita selanjutnya?"
 Berpikir sejenak Kim Bok berkata: "Jalan raya itu menuju ke Kia tin, tapi kota kecil itu
 terlalu dekat dari Pi ciok-san, bukan mustahil di sana ada mata2 musuh, kita pergi
 saja ke Gu-keh-wa di sebelah timur sana . . . . "
 "Giu keh-wa?" tanya Siang Cin, "tempat apakah itu?""
 "Sebuah dusun kecil, letaknya dihimpit gunung di timur sana, kira2 ada seratusan
 keluarga, semuanya hidup bercocok tanam sebagai petani yang sederhana dan
 berkecukupan. Kira2 lima tahun yang lalu pernah aku mampir ke sana, panorama di
 sana permai, tak mungkin ada kaum persilatan yang mondar-mandir ke sana, tempat
 itu amat cocok untuk istirahat menyembuhkan luka2 kita."
 Menghela napas kesal, Siang Cin berkata: "Masih berapa jauh letak dusun itu?"
 Setelah mengira2 Kim Bok menjawab: "Kurang dari tiga puluh li, kalau jalan lebih
 cepat sedikit, kira2 dua jam akan tiba di tempat tujuan."
 Dalam keadaan Siang Cin sekarang, perjalanan dua jam ini sungguh terasa amat
 berat dan menyiksa. Tapi semangat jantannya menunjang wataknya yang keras
 kepala, meski lebih parah lagi dia juga tetap menempuh perjalanan ini tanpa sudi
 dibantu oleh siapapun.
 oo0 000 Ooo 199 Dusun kecil yang letaknya dihimpit dua gunung ini dilingkari sebuah anak sungai
 yang jernih airnya, pada ujung depan dan di belakang dusun ini ditumbuhi hutan
 bunga Bwe yang cukup rindang, seratusan rumah penduduk berderet menjadi
 beberapa baris, jalan kampung yang beralas krikil tampak bersih dan terawat baik,
 inilih Gu-keh-wa.
 Selama sebulan lebih, menempati rumah penduduk yang terletak di ujung belekang
 dusun kecil itu, Siang Cin berenam benar2 mengecap kehidupan tenang dan
 tenteram, hidup teratur dan terawat pula kesehatan mereka.
 Pagi nan cerah, hawa sejuk mengandung bau harum bunga Bwe yang menambah
 semangat. Pagi hari itu Siang Cin mengenakan jubah kuning yang baru dipesannya
 pada seorang penjahit di dusun kecil itu. Sambil menggendong tangan seorang diri
 Siang Cin jalan2 ke hutan Bwe, kebetulan dilihatnya Kim Bok tengah keluar dari
 hutan. Melihat bayangan kuning Siang Cin, sejenak dia melenggong akhirnya dia
 menghela napas serta menyapa: "Siang-lote . . . . . . . . " bergegas dia menghampiri.
 Tenang2 Siang Cin menoleh, katanya tertawa: "Selamat pagi Kim-cuncu, pagi betul
 kau sudah bangun."
 Kim Bok tertawa, Siang Cin ditariknya duduk di bawah pohon katanya: "Lote, Gu-keh
 wa memang tempat yang baik bukan?" "
 "Ya, memang," ucap Siang Cin, "berkat pertolongan tabib tua itu, luka2 kita sudah
 dapat disembuhkan seluruhnya."
 Kim Bok manggut2, air mukanya mengelam, pandangannya menjadi rawan menatap
 puncak gunung di kejauhan sana, seperti teringat sesuatu yang menyedihkan, dia
 menghela napas.
 Siang Cin bertanya: "Apakah Cuncu teringat pada orang2 yang hilang di Pi-ciok-san
 tempo hari?"
 Kim Bok tertawa getir, katanya: "Ya . . . . . . aku jadi bingung cara bagaimana harus
 pulang memberi laporan kepada Ciangbun-jin" Sebulan telah berselang, dusun kecil
 yang terpencil ini jauh dari keramaian dunia, tak pernah mendengar berita apapun
 selama ini, entah bagaimana keadaan dan perkembangan di luar sana?" Berhenti
 sebentar lalu meneruskan: "Hidup di sini memang tenang namun hati gelisah seperti
 dibakar. Ai . . . . . . "
 "Kim-cuncu, bagaimana jika Ciangbunjin kalian memperoleh berita tentang
 kegagalan kalian ini, apa pula yang bakal dilakukan?"
 Kata Kim Bok dengan nada penuh keyakinan: "Ciangbunjin pasti akan mengerahkan
 pasukan untuk menggempur sarang Hek-jiu-tong, malah dengan seluruh kekuatan
 yang tersedia."
 "Apakah tiada yang perlu dikuatirkan?" tanya Siang Cin setelah berpikir.
 "Tiada," sahut Kim Bok tegas.
 "Apakah Bu-siang-pay kalian terdiri dari enam `Bun" ( pintu ) dan satu `Tong"
 ( seksi )."
 "Betul, keenam Bun itu terdiri dari Hwi (terbang), Say (singa), Thi (besi), Wi (lindung),
 Hiat (darah) dan Bong (rumput). Satu Tong yaitu Lan-cian-tong, di samping itu
 didirikan pula Cong-tong ( pusat pimpinan), Cong- tong secara langsung mengepalai
 atau menguasai keenam Bun dan satu Tong ini. Di dalam Cong-tong ada beberapa
 Toa-hucu, jabatan Toahucu kira2 setingkat dengan ketua Bun dan Tong . . . . . .. "
 Berpikir sebentar Siang Cin bertanya: ?"Apakah susunan keenam Bun dan satu Tong
 itu seperti yang barusan Cuncu uraikan"
 "Ya, begitulah, Hwi ji-bun berada paling atas, yang terendah adalah Bong-ji bun, tapi
 itu hanya urusan untuk mempermudah perbedaan belaka, yaag penting adalah para
 pimpinan tertinggi setiap Bun dan Tong, itu disesuaikan dengan usia mereka, dalam
 tugas masing2pun menerima bagian yang berbeda satu sama lain, tiada perbedaan
 tinggi atau rendah . . . . . . " sampai di sini Kim Bok lalu menambahkan: "Tentang
 Lan-cian-tong, secara langsung berada di bawah komando Ciangbunjin, jadi
 urutannya tidak berada dalam keenam Bun, maklumlah tugas Lan cian tong memang
 agak khusus dan cukup berat tanggung jawabnya. . . . . . ."
 200 Setelah berdiam sejenak Siang Cin berkata pula: "Kalau demikian, kali ini kalian
 menderita keruntuhan Thi, Wi dan Hiat, ketiga Bun, tapi ketiga Bun dan satu Tong
 yang masih ada, kekuatannya pasti tak boleh dipandang enteng juga . . . . . ... ?"
 Sedikit diumpak, senang hati Kim Bok, katanya ter gelak2: "Betul, Thi, Wi dan Hiat,
 tiga Bun ini hanya merupakan sekelompok kecil dari seluruh kekuatan Bu-siang-pay
 yang belum dikerahkan, bukan maksudku hendak mengatakan bahwa kekuatan Busiang-
 pay mampu menggetar langit dan menggoncangkan bumi, tapi kekuatan besar
 kami memang bukan omong kosong."
 "Bu-siang-pay di padang rumput kaki bukit Kiu-jin-san memang sudah lama tersohor
 di luar perbatasan, di manapun, entah di gunung, di sungai, di hutan atau di kota,
 asal gelang emas berbaju putih muncul, kebesaran Bu-siang-pay pasti memperoleh
 sambutan hangat dari khalayak ramai, hal inipun Cayhe sudah lama mendengarnya."
 Senang sekali Kim Bok, ujarnya: "Oleh karena itulah, meski kami pulang dengan
 kekalahan besar, tapi keyakinanku masih belum pudar, bila gelang emas dan jubah
 putih keluar pula padang rumput, dengan orang2ku, kami akan menyerbu kembali ke
 Pi-ciok-san."
 Lama Siang Cin menatap Kim Bok, katanya kemudian dengan pelahan: "Kim-cuncu
 ada beberapa usul ingin kusampaikan, entah boleh tidak kuutarakan."
 Melengak Kim Bok, katanya sungguh2: "Silakan bicara, akan kudengarkan dengan
 penuh perhatian,"
 "Pertama," ujar Siang Cin, "selama terpencil di dusun ini, putus hubungan dengan
 dunia luar, entah kapan bala bantuan Bu-siang-pay kalian akan tiba" Kedua,
 bagaimana pula keadaan Hek-jiu-tong selama sebulan lebih ini" Umpamanya,
 setelah sarang mereka musnah, apakah meraka tidak boyong ke tempat lain" Bukan
 mustahil merekapun mengundang banyak bala bantuan dan menambah kekuatan
 mereka" Mungkin pula telah mengatur tipu muslihat keji dan lain sebagainya.
 Maklumlah, Hek-jiu-tong juga tahu bahwa Bu siang-pay masih punya kekuatan
 terpendam di padang rumput yang tak boleh di pandang ringan. Ketiga, bilamana
 benar Bu siang-pay mengerahkan seluruh kekuatannya, hal ini pasti
 menggemparkan kaum persilatan entah itu di dalam atau di luar perbatasan,
 sementara ketahanan di padang rumput sendiri tentu kosong dan lemah, hati orang
 Kangouw sukar diraba, apakah tidak mungkin pusat pertahanan kalian akan diduduki
 musuh" Semua ini perlu direnungkan."
 Bercucuran keringat dingin Kim Bok mendengarkan uraian Siang Cin, katanya
 tergagap: "Betul, masuk akal, memang tidak pernah kupikirkan sejauh itu . . . . . .tapi waktu
 sudah berselang sekian lama, apakah masih keburu mengirim kabar ke padang
 rumput?" Dengan penuh kepercayaan, Siang Cin berkata: "Hal ini tidak perlu dikuatirkan,
 dalam hal ketahanan, kukira Ciangbunjin kalian dan para pimpman tertinggi Bu
 siang-pay yang lain tentu sudah mengaturnya dengan baik. yang penting kini adalah
 hal pertama dan kedua, untuk kedua hal inilah kita harus lebih banyak memeras
 pikiran dan tenaga."
 "Lalu bagaimana?" tanya Kim Bok.
 "Untuk ini Cayhe tidak akan berpeluk tangan," ujar Siang Cin.
 Lekas Kim Bok goyang tangan, katanya. "Tak boleh, luka lote belum sembuh,
 tenagamu belum pulih, mana boleh membikin susah kau" Menurut pendapatku,
 biarlah suruh Lo Ce dan Le Ping saja yang melaksanakan tugas ini."
 "Urusan sudah telanjur sejauh ini, Cayhe tidak perlu main sungkan lagi. Kim-cuncu,
 bicara terus terang, untuk menunaikan tugas ini Cayhe yakin lebih mantap, lebih kuat
 dan dapat dipercaya dari pada Lo dan Le, biarlah Cayhe sendiri yang pergi,"
 "Kalau demikian," ujar Kim Bok, "biarlah lohu pergi bersamamu . . . . "
 "Urusan ini bukan perang tanding, terlalu banyak orang malah tidak menguntungkan,
 apalagi Kim-cuncu perlu pegang peranan di sini, siap menghadapi segala perubahan,
 begitu memperoleh kabar dan menghadapi perkembangan apapun, Cayhe akan
 201 segera memberi kabar . . . . "
 Apa boleh buat, akhirnya Kim Bok berkata. "Kalau demikian baiklah pasrah kepada
 Lote saja, entah kapan Siang-heng akan berangkat, ke mana pula tujuanmu?"
 Siang Cin tertawa, katanya: "Sekarang juga kuberangkat, langsung menuju ke Piciok-
 san." "Tapi . . . " kata Kim Bok gugup, "pagi ini kau belum sarapan . . .". "
 Mendadak bayangan kuning berputar, tahu2 Siang Cin sudah melayang pergi, di
 tengah udara gelak tawanya berkumandang, katanya dari kejauhan: "Mendapat
 tugas penting, mana ada selera makan lagi" Kim cuncu, sampai bertemu pula . . . . "
 Seperti tanpa mengerahkan tenaga, kecepatan Siang Cin sungguh amat
 mengejutkan, hanya kelihatan bayangan kuning berkelebat, tahu2 sudah lenyap tak
 kelihatan. Cepat sekah Pi ciok-san sudah semakin dekat, kini Siang Cin sudah tiba di semak2
 welingi, dia sudah berada di semak belukar dimana tempo hari dia menolong kedua
 orang sinting itu, kini di kejauhan tampak sebidang hutan cemara, maju ke depan lagi
 adalah tempat di mana tempo hari orang2 Bu siang pay bersembunyi sebelum
 bergerak ke atas gunung. Entah mengapa secara aneh hidungnya seperti
 mengendus bau anyirnya darah, pemandangan seram di puncak gunung seperti
 terbayang di depan mata.
 Sekali lompat Siang Cin berjumpalitan di udara, terus meluncur jauh kedepan, baru
 saja dia hendak melejit lebih jauh, tiba2 dari tempt yang agak jauh di sana terdengar
 suara pujian yang lantang- "Gerakan Hun-jiau hoan- bun yang hebat."
 "Serr", tubuh Siang Cin yang sudah melambung berputar arah, dilihatnya diluar
 hutan cemara sana berdiri seorang laki2 berusia 30-an berpakaian seperti pelajar,
 dengan sikapnya yang santai tengah mengawasi dirinya dengan tersenyum.
 Laki2 ini mengenakan jubah warna hijau, di tengah dada bersulam lingkaran huruf
 "Siu" (panjang umur) warna putih, mengenakan sepatu kulit bersol tinggi, ikat
 kepalanya berwarna hijau pula, tepat di atas jidat pada ikat kepalanya dihiasi
 sebentuk batu jade warna hijau tua, matanya gemerlap bak bintang kejora, mulutnva
 merah lebar tapi tipis, sikapnya gagah dan berwibawa.
 Terpaksa Siang Cin menghentikan gerakan, dengan hambar dia awasi laki2 aneh
 yang muncul mendadak ini, orang itu mendekat beberapa langkah, sapanya sambil
 menjura: "Kin Jin dari Tanciu kebetulan datang kemari, mohon tanya siapakah she
 dan nama besar saudara ini?"
 Terunjuk rasa curiga pada sorot mata Siang Cin, tapi lahirnya tetap sopan dan balas
 menghormat, katanya: "Bertemu di tengah jalan, belum kenal lagi, anggaplah tidak
 melihat saja, untuk apa saudara tanya she dan namaku!"
 Pelajar yang mengaku bernama Kin Jin tersenyum, katanya: "Meski sandara tidak
 sudi memperkenalkan nama, sedikit banyak Cayhe juga sudah dapat meraba, jika
 saudara tidak anggap Cayhe kurang ajar rasanya Cayhe bica menebaknya."
 Tersenyum tawar Siang Cin berkata: "Selamanya tak kenal, darimana saudara bisa
 tahu namaku?"
 Kin Jin menggeleng, katanya serius: "Tidak kelihatan orang sudah tampak
 bayangannya, seluas jagat raya ini, orang yang mampu mengembangkan Liongsiang-
 toa-pat-sek sehebat ini, kecuali kau saudara kukira tiada orang keduanya lagi."
 Berkedip Siang Cin, katanya: "Kalau demikian, rupanya saudara ini seorang ahli."
 "Di hadapan Siang-heng, mana berani aku mengagulkan diri, bikin orang tertawa
 saja." Tiba2 Siang Cin menarik muka, sikapnya dingin, katanya: "Tempat apakah ini ?"
 Tenang2 saja, Kin Jin balas bertanya: "Kenapa Siang-heng tanya soal ini ?"
 "Di pegunungan yang belukar ini, saudara menyendiri di tempat ini, mencegat
 perjalanan dan menyapaku, kukira bukan hanya ingin berkenalan dengan si Naga
 Kuning Siang Cin bukan?"
 Tetap tenang dan wajar Kin Jin berkata: "Habis kalau menurut pendapat Siang-heng,
 untuk tujuan apa aku berada di sini?"
 202 Siang Cin mendengus: "Kukira saudara pasti berkomplot dengan pihak Hek-jiu-tong
 dan Jik san-tui?"
 Sekilas tampak Kin Jin melengak, lalu tertawa, katanya: "Hek-jiu-tong" Jik-san-tui"
 Siang-heng, kukira kau kurang cepat memperoleh berita. Memang sebulan yang lalu
 sarang Hek-jiu-tong berada di Pi-ciok-san tak jauh di depan sana, tapi kini mereka
 sudah boyong ke lain tempat, bahwasanya Cayhe tiada sangkut paut dengan
 mereka, kalau tidak kenapa berada di sini seorang diri" Memangnya Cayhe mau
 menikmati pemandangan belukar yang sepi ini" Siang heng seorang pandai, tentu
 dapat berpikir. "
 Siang Cin menegas: "Anggaplah demikian, lalu untuk apa saudara berada di sini?"
 Dengan senyum dikulum Kin Jin tatap Siang Cin, katanya: "Tiada lain karena ingin
 menepati sebuah janji pertemuan."
 Memandang sekelilingnya Siang Cin tidak bersuara. Kin Jin tertawa, katanya pula
 sambil malangkah maju selangkah: "Apakah Siang-heng tahu maksud perjanjian
 pertemuanku ini?"
 Siang-Cin menggeleng, katanya: ?"Bertemu di tengah jalan, untuk apa main selidik
 urusan orang lain" Tapi, menurut hematku, bukan mustahil itu pertemuan untuk
 menentukan mati hidup."
 Kin Jin memperlihatkan rasa kaget dan heran, katanya kagum: "Pandangan tajam,
 tebakan yang tepat, cara bagaimana Siang-heng dapat meraba bila Cayhe
 menunggu pertemuan mati hidup di sini?"
 "Sorot mata saudara setajam kilat, sikapmu gagah, bayangan wajahmu
 menampilkan rasa dendam, tapi sebagai seorang pengelana yang tidak mempunyai
 tanggungan apa2, tampaknya engkau terlalu tawar menghadapi kehidupan ini,
 padahal saudara gagah perkasa, seorang laki2 yang patut mendarma baktikan
 tenaganya bagi umat manusia umumnya, tidaklah pantas bersikap tak acuh terhadap
 hal2 di dunia fana ini."
 Kin Jin diam sebentar, akhirnya dia menghela napas, katanya: "Orang bilang Naga
 Kuning teramat lihay, kali ini aku Kim-lui-jiu ( tangan geledek emas ) betul2
 meresapinya."
 "Kim-lui jiu?" seru Siang Cing sambil mengernyitkan kening.
 "Tidak berani, itulah julukanku," sahut Kin Jin.
 "Dengan siapakah Kin-heng janji bertemu di sini?" tanya Siang Cin.
 "Siang heng lama berkecimpung di Kangouw, tentunya pernah dengar Cap pi kuncu?"
 Bertaut alis Siang Cin, katanya: "Maksud Kinheng Cap-pi-kuncu Sebun Tio-bu dari
 Jian ki-beng?"
 "Benar," sahut Kin Jin mengangguk, "dialah orangnya."
 Mendekat dua langkah Siang Cin berkata: "Pernah dua kali Cayhe bertemu dengan
 Sebun Tio-bu, orangnya kekar, gagah dan angkuh, dialah orang yang paling angkuh
 kaum persilatan tulen, cara bagaimana Kin heng bermusuhan dengan dia?"
 Bimbang sejenak akhirnya Kin Jin bicara terus terang: "Hanya soal sepele, anak
 buah Sebun Tio-bu pada suatu malam memasuki Tan cin dan menuntut balas pada
 sebuah keluarga hartawan kenalanku, mereka mohon bantuan padaku, terpaksa
 Cayhe ikut campur urusan mereka. Setelah kembali dengan kegagalannya, orang itu
 lapor kepada pimpinannya, Sebun Tio bu lantas kirim utusan mengancamku supaya
 keluar dari pertikaian ini, tapi sebagai seorang insan persilatan yang menjunjung
 tinggi keadilan, apa lagi menyangkut gengsi, jelas aku tidak mau mundur, oleh
 karena itu hari ini Sebun Tio-bu menjanjikan pertemuan denganku di sini."
 Siang Cin mengerut kening, tanyanya, "Waktu Kin-heng ikut campur urusan itu di
 Tao-ciu, apakah Kin-heng melukai orang2 Jian-ki-beng?"
 "Orang bilang kalau perang mulut tentu keluar kata2 yang tak pantas, adalah janggal
 kalau berkelahi tiada yang terluka. Waktu itu mereka begitu garang dalam jumlah
 besar lagi, jelas tak mungkin bisa dilerai?"
 "Jadi Kin heng melukai orang2 mereka?"
 203 "Waktu itu ada tujuh belas orang mereka yang kulukai.."
 Siang Cin tertawa, katanya: "Sekarang Sebun Tio-bu mengajakmu kemari untuk
 bertanding dengan cara apa" Satu lawan satu atau berkelahi dengan cara bebas?"
 "Tidak, hanya satu lawan satu, sebelum salah satu pihak ada yang ajal pertempuran
 takkan berhenti."
 Siang Cin berkata dengan menghela napas: "Secara terus terang, di kalangan Bu-lim
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kini Kin-heng dan Sebun Tio bu sama2 ternama, kalau duel sampai mengorbankan
 jiwa, akibataya dapatlah dibayangkan. Kalian sama2 berkuasa di wilayah masing2,
 kenapa pula hanya lantaran soal sepele harus mempertaruhkan segalanya?"
 "Cayhe tahu akibat dari pertempuran ini jelas tidak menguntungkan kedua pihak, tapi
 urusan sudah telanjur sejauh ini.".
 Siang Cin maju beberapa langkah pula, baru saja dia hendak buka mulut, dari
 kejauhan dibelakangnya terdengar derap kaki kuda yang berlari kencang mendatangi.
 Sikap Kin Jin yang semula santai itu sekilas tampak membayangkan ketegangan,
 alisnyapun sedikit berkerut, katanya dengan nada berat: "Nah, itu dia Sebun Tio-bu
 telah datang."
 Waktu Siang Cin berpaling, di antara padang belukar sana tampak seekor kuda putih
 yang gagah tinggi sedang mencongklang pesat ke arah sini, pelananya putih,
 penunggangnya juga berpakaian serba putih.
 Hanya satu kuda dengan seorang penunggang, tanpa pengawal dan tidak membawa
 teman, dengan kecepatan yang mengejutkan kuda putih itu membedal semakin
 dekat dan kelihatan lebih nyata. Penunggangnya memiliki raut wajah putih bersih,
 alisnya tebal hitam, hidungnya mancung, bibir tipis, di atas pipi kanannya dihiasi
 codet merah, lebih mengejutkan lagi adalah sepasang bola matanya yang
 mencorong terang. Pendatang ini memang penguasa Jian-ki beng, Cap-pi-kun-cu
 (laki2 sejati berlengan sepuluh) Sebun Tio bu yang tenar di kalangan Kangouw.
 Kira2 lima tombak jauhnya kuda putih itu berhenti, bagai burung elang
 penunggangnya itu melompat tinggi ke atas terus meluncur turun ke tanah.
 Tatapan mata yang tajam langsung tertuju ke arah Kin Jin, suaranya terdengar
 bengis dan kereng: "Kin Jin, entah masih berapa banyak lagi bantuan yang kau
 bawa?" Sambil mengebas lengan baju Kin Jin menjawab: "Hanya Cayhe seorang Sebuntangkeh,
 jangan kau salah lihat."
 Dengan sikap menghina Sebun Tio-bu mengerling ke arah Siang Cin, tapi
 pandangannya seketika terbeliak, terasa wajah orang seperti pernah dilihatnya,
 waktu dia memandang lebih jelas, tiba2 ia maju mendekat serta berteriak kaget:
 "Naga Kuning!"
 Lekas Siang Cin menjura, katanya tertawa: "Selamat bertemu, sekian tahun tak
 berjumpa, kukira Sebun-tangkeh sudah tidak mengenalku lagi ...."
 Si baju putih memburu maju dan genggam tangan Siang Cin dengan kencang,
 serunya kegirangan: "Ai, karena ada persoalan sehingga tidak kuperhatikan, atas
 kelalaian ini harap Siang-heng suka memaafkan, sudah lima tahun lebih bukan"
 Betapa besar rasa rinduku selama ini, bukan saja Siang-heng tidak kelihatan tua,
 malah kelihatan gagah bersemangat . . . . "
 "Sebun tangkeh terlalu memuji, kehidupan selama seribu enam ratusan hari ini
 memang sulit, waktu yang sekian lama ini, manusia mana yang tidak bertambah
 tua?" demikian ucap Siang Cin berkelakar.
 Si baju putih Sebun Tio-bu, bergelak tertawa, katanya: "Kalau demikian, Siang-heng
 kan baru berusia dua puluh limaan, bila kau bilang sudah tua, aku yang sudah loco
 ini kan lebih pantas masuk liang kubur" Hahahaha . . . . "
 Kemudian Siang Cin berkata dengan suara tertahan: "Kim lui jiu Kin-heng berada di
 sana, apakah perlu kukenalkan."
 Sebun Tio-bu seketika menarik muka, tapi segera dia berubah sikap dan tersenyum
 lebar, katanya: "Tak berani merepotkan Siang-heng, dengan Kin-tayhiap sudah lama
 kukenal." 204 "Melihat gelagatnya, ada perselisihan dengan Kin heng," ujar Siang Cin.
 Sebun Tio bu mendengus, katanya dongkol: ?"Memang kedatanganku ini hendak
 membuat perhitungan dengan dia."
 Terangkat alis Siang Cin, katanya: "Apakah Sebun-tangkeh tidak pikirkan bahwa dua
 harimau berkelahi apa pula akibatnya?"
 "Meski harus gugur bersama telur busuk ini, betapapun harus melampiaskan rasa
 dendamku ini."
 Sejenak berpikir, Siang Cin berkata pula: "Kebetulan Cayhe pergoki persoalan ini,
 sudilah kiranya Tangkeh memberi muka padaku, marilah bicara sebagamana
 lazimnya para sahabat berbincang dan jangan saling labrak dulu."
 Ragu2 sejenak akhirnya Sebun Tio-bu berkata: "Untuk ini aku sih tiada pendapat
 apa2, Silakan Siang-heng tanya orang she Kin itu."
 Kin Jin yang berdiri beberapa langkah di sana segera menanggapi dengan tertawa:
 "Cayhe sudah tentu setuju saja, sekarang atau nanti persoalan antara kau dan aku
 jelas harus diselesaikan, tak perlu ter-buru2."
 "Syukurlah, sebelum saling gebrak bolehlah kita ber-bincang2 soal apa saja asalkan
 baik, kalau tidak, setelah saling labrak hubungan tentu sudah tegang, mana ada
 kesempatan untuk beramah tamah?"
 Kedua orang yang bertentangan ini dipaksa unjuk tertawa, Siang Cin sengaja
 menengadah melihat cuaca, katanya kalem: "Sebun-tangkeh, perselisihanmu
 dengan Kin-heng barusan sudah kudengar dari penuturan Kin-heng, memang
 berkecimpung di dunia persilatan, yang diperjuangkan hanya nama dan gengsi, tapi
 untuk perjuaugan nama dan gengsi toh harus dinilai pula segi untung-ruginya, harus
 dipertimbangkan betapa besar imbalan yang harus dipertaruhkan hanya untuk
 melampiaskan rasa dongkol belaka?"
 Sebun Tio-bu dan Kin Jin diam saja, Siang Cin meneruskan: "Umpamanya kalian,
 sebagai orang yang lebih muda, dalam segala bidang jelas aku tak dapat
 dibandingkan kalian, sesungguhnya tak berani ku jadi juru pemisah . . . . . . . . "
 "Ah, Siang-beng terlalu rendah hati . .. . .. tanpa merasa Kin Jin dan Sebun Tio-bu
 menyela. Sebun Tio-bu lantas berkata pula: "Mana mungkin kami tidak memberi muka kepada
 Siang-heng" Selamanya aku sangat kagum dan memujamu . . . . "
 Kin Jin juga menyela: "Jangan sungkan Siang-heng, urusan apapun asal Siang heng
 yang memberikan petunjuk, pasti kupatuhi?"
 Mendadak keduanya menutup mulut dengan telapak tangan, sekilas keduanya saling
 pandang, tiba2 mereka menyadari di tempat dan saat seperti ini, mereka bicara
 demikian rasanya jadi amat janggal.
 Tapi Siang Cin tidak membuang kesempatan baik ini, segera dia ter bahak2 katanya:
 "Banyak terima kasih bahwa kalian suka menghargai diriku. Kalau Cayhe tidak
 mengeluarkan isi hatiku, kan seperti aku menghendaki kalian bentrok. Pepatah ada
 bilang, permusuhan .lebih mudah terikat daripada dilerai. Dikatakan pula, tanpa
 berkelahi orang gagah tidak akan saling berkenalan. Sebagai orang gagah harus
 saling menghargai. Tentang perselisihan kalian, tidak lebih juga hanya soal gengsi,
 Sebun tangkeh jengkel karena anggap Kin-heng mencampuri urusan keluarganya,
 sebaliknya Kin-heng anggap Sebun tangkeh tidak memberi muka kepadanya. Hanya
 karena soal sepele ini kalian sampai harus duel di sini, kurasa tindakan ini kurang
 bijaksana. Coba pikir, sejak Sebun-tangkeh mendirikan perserikatan pemilik kuda,
 betapa jerih payah yang telah dikorbankan sehingga memperoleh kebesaran seperti
 sekarang" Kalau hanya karena soal ini, umpama Sebun-tangkeh sampai mengalami sesuatu
 yang tidak diinginkan, bukan saja ketenaran akan hanyut, usaha besar selama inipun
 akan bangkrut. Demikian pula halnya Kin-heng, Tan-ciu merupakan wilayah
 tersendiri yang luas, jika hari ini kau runtuh, betapa mengenaskan nasib seluruh
 rakyat di Tan-ciu, kepada siapa pula mereka harus bersandar" Kepada siapa pula
 keluarga Kin-heng sendiri akan bernaung" Untuk ini sebelum kalian bertindak,
 205 sukalah pikirkan dulu untung ruginya dengan kepala dingin."
 Setelah menyampaikan cetusan sanubarinya, pelan2 Siang Cin memejamkan mata,
 namun diam2 ia melirik reaksi kedua orang yang tenggelam dalam pikiran masing2.
 Tanpa terasa kedua orang sama menggosok telapak tangan. Cukup lama, kemudian
 Siang Cin berdehem pelahan, katanya dengan suara mantap: "Dengan nama
 pribadiku, ingin Cayhe melerai pertikaian kalian supaya hubungan kalian selanjutnya
 bisa damai dan lebih bersahabat, sudah tentu jika kalian sudi mendengar dan
 memberi penghargaan kepadaku."
 Cukup lama juga perang batin kedua orang itu, akhirnya dengan nada berat Sebun
 Tio-bu berkata: "Siang-heng, apa yang kau uraikan memang beralasan, cuma . . . . . .
 ada belasan anak buahku yang dirugikan oleh orang she Kin ini, kalau aku pulang
 begini saja, bagaimana aku harus memberi keterangan kepada mereka . . . . . . . "
 Siang Cin mengangguk, katsnya: "Kekuatiranmu memang beralasan, tapi bilamana
 Sebun-tangkeh memberikan penjelasan seperti apa yang kuuraikan tadi sementara
 ongkos pengobatan mereka boleh dipikul seluruhnya oleh Kin-heng. Kukira
 persoalan ini tidak usah ditarik panjang lagi." Lalu dia berpaling dan bertanya kepada
 Kin Jin: "Cayhe mendahului keputusan ini, apakah Kin heng mau menerimanya?"
 Kikuk Kin Jin, katanya: "Sudah tentu Cayhe menurut saja."
 Tapi Sebun Tio-bu masih ragu2: "Namun . . . . ai .... "
 Siang Cin berkata pula dengan sungguh2: "Mungkin Sebun-tangkeh masih belum
 mempercayai diriku?"
 Melenggong sebentar, akhirnya Sebun Tio-bu rnembanting kaki, katanya: "Ya,
 sudahlah, siapa suruh aku bertemu dengan Siang-heng di sini?"
 Maka Siang Cin mendesak lebih lanjut: "Jadi Kin-heng dan Tangkeh sudi mengakhiri
 pertikaian ini?"
 Apa boleh buat, Sebun Tio-bu berkata: "Kalau tidak demikian, memangnya Siangheng
 merasa puas?"
 Tersenyum lebar Siang Cin dan tanya Kin Jin: "Bagaimana pendapat Kin-heng?"
 "Sudah tentu, aku tiada pendapat lain," sahut Kin Jin.
 "Kalau begitu," ucap Siang Cin, dia tarik sebelah tangan Sebun Tio-bu untuk
 menjabat tangan Kin Jin. katanya: "Marilah berjabatan tangan sebagai tanda
 berakhirnya pertikaian ini, dan selanjutnya harap bersahabat se-baik2nya,"
 Terpaksa keduanya berjabatan tangan dengan menyengir2, semula keduanya
 merasa kikuk, tapi tanpa terasa genggaman tangan mereka menjadi erat.
 Suatu pertikaian berakhir berkat usaha Siang Cin yang mendamaikan, suasana yang
 semula tegang kini berubah gembira, dua jagoan yang bermusuhan dalam sekejap
 berubah menjadi sahabat karib.
 Siang Cin tertawa riang, katanya: "Bahwa kalian sudi memberi muka, Siang Cin
 teramat senang, bersama ini terimalah ucapan selamat dan terima kasihku."
 Kin Jin dan Sebun Tio-bupun tertawa riang, kata Sebun Tio-bu: "Siang-heng, hari ini
 kami telah kau permainkan, kau harus dihukum."
 "Sudah tentu," ucap Siang Cin, "Cayhe sendiri juga merasa patut dihukum."
 "Siang-heng," kata Sebun Tio-bu, "sepuluh li ke arah barat dari sini ada sebuah desa,
 di sana ada sebuah warung arak vang menjual daging2 binatang buruan, kau harus
 traktir kami berdua, di sana kau akan kami hukum makan-minum?" .
 "Baik, silakan Tangkeh tunjukkan tempatnya," sambut Siang Cin dengan senang hati.
 Sebun Tio-bu lantas menghampiri kudanya, sementara Kin Jin bersuit nyaring, maka
 terdengariah ringkik kuda di dalam hutan, tampak seekor kuda berbulu kelabu
 membedal tiba. Memangnya kuda jempolan, tiga orang berkuda dua, tanpa sesuatu rintangan kedua
 ekor kuda terus menerobos semak dan hutan yang lebat, dalam sekejap saja, tak
 jauh di depan sudah kelihatan melambai secarik kain hijau yang dikerek tinggi di atas
 galah, di tengah kain yang panjang satu meter itu tertulis sebuah huruf "Ciu" ( arak ).
 Sebun Tio-bu terus larikan kudanya memasuki desa dan dibedal menuju ke warung
 arak itu. Belum lagi kudanya berhenti Sebun Tio-bu sudah melompat turun, serunya:
 206 "Hai, Ciangkui, sambutlah tamu!"
 Seorang laki2 berusia empat puluhan berbadan gemuk berkulit putih dengan tertawa
 lebar bergegas lari keluar menyambut, sementara itu Kin Jin dan Siang Cinpun
 menyusul tiba. Meja kursi dalam warung terbuat dari bambu kuning, sebuah lukisan bunga teratai
 menghias dinding, dipojok sana terdapat sebuah guci arak besar, hanya itulah yang
 ada di dalam ruangan sempit ini, namun suasana terasa nyaman.
 Mereka memi!ih sebuah meja, Sebun Tio-bu pesan lima macam daging binatang
 buruan, lima kati arak dan beberapa macam nyamikan, si Ciangkui ( pengurus )
 mengiakan terus lari masuk menyiapkan pesanan.
 Setelah menyeka keringat di mukanya Sebun Tio-bu berkata dengan suara lantang:
 "Jangan kau kira Tauke warung ini hanya mencari nafkah di dusun kecil ini, dahulu
 dia pernah lulus sebagai Siucay, bukan saja pandai tulis, juga mahir melukis." Lalu
 dengan tertawa dia menoleh kepada Siang Cin: "Siang-heng, sejak berpisah di Lokyang
 dulu, sudah lima tahun berselang, urusan apa yang menarik perhatianmu
 sampai kau berada di tempat ini?"
 Siang Cin menjawab: "Membantu teman dan menyelesaikan urusan"
 Tertegun sejenak, lalu Sebun Tio-bu bertanya pula: "Apakah ada hubungan dengan
 Hek-jiu-tong?"
 Siang Cin bertanya heran: "Darimana Tangkeh tahu?"
 Dengan tertawa Sebun Tio-bu berkata: "Berita yang tersiar di Kangouw sangat cepat,
 waktu yang lalu Bu-siang pay menyerbu sarang Hek jiu tong di Pi ciok-san, berita
 diluar mengatakan mereka berhasil mengalahkan Bu-siang-pay, tapi keadaan
 mereka sendiri juga mengenaskan, peristiwa ini merupakan topik pembicaraan setiap
 insan persilatan, kebetulan Siang heng muncul di sini, memangnya tiada sangkut
 pautnya dengan Hek-jiu-tong?"
 Siang Cin mengangguk membenarkan. Kin Jin lantas menambahkan : "Malah,
 kurasakan bahwa Siang heng bertentangan dengan pihak Hek-jiu-tong?"
 Sesaat Siang Cin diam saja, katanya kemudian: "Ya, betul."
 Terbeliak Sebun Tio-bu, katanya pelahan. "Jadi kedatangan Siang-heng ini adalah
 untuk kepentingan Bu siang pay?"
 "Betul," Siang Cin terus terang. "Tiga "bun" dari Bu-siang-pay hancur seluruhnya
 dalam pertempuran di Pi ciok-san, hanya lima dari tiga belas jago2nya yang lihay
 masih hidup, kecuali sudah terbukti meninggal, sisanya yang lain tidak diketahui
 nasibnya, tiga ratusan anak buahnyapun tiada satupun yang lolos, maka tugasku kali
 ini adalah mencari orang yang hilang itu."
 "Sebulan yang lalu Hek-jiu-tong sudah mem-boyong sisa2 miliknya ke tempat lain,
 keadaan Pi-ciok san tinggal puing belaka, beberapa kuburan memang tersebar di
 beberapa tempat, tiada makhluk hidup lagi di Pi-ciok-san" demikian Kin Jin
 menerangkan. Mengawasi Kin Jin, Siang Cin berkata dengan cemas: "Hal ini memang ingin kuminta
 penjelasan kepada Kin- heng apakah kautahu ke mana Hek-jiu tong pindah
 sarangnya" Daerah subur di kedua pinggiran sungai besar adalah tanah yang
 mereka buka sebagai sumber penghasilan terbesar, menurut hemat Cayhe, tak
 mungkin mereka rela meninggalkan tempat itu begitu saja, apalagi pindah ke tempat
 lain yang jauh?"
 "Memang beralasan, baru kemarin di tengah jalan aku bertemu seorang kawan dan
 mendapat kabar dari dia, katanya Hek-jiu-tong pindah ke Toa ho tin, kira2 tiga ratus li
 dari sini, Pau hou-ceng di Toa ho tin adalah sarang lama Jik-san-tui yang dipimpin
 Kiau Hong."
 Mendadak Siang Cin menggebrak meja dan berkata: "Tidak salah lagi, waktu Busiang-
 pay menyerbu Pi ciok-san, kedapatan orang2 Jik-san-tui ikut membantu Hekjiu-
 tong." Sebun Tio-bu berkata: "Kiau Hiong memang kenalan lama pihak Hek-jiu tong, bahwa
 mereka berserikat tidak perlu dibuat heran, Hek jan-kong (aki berewok) yang
 207 berkuasa di Toa ho tin adalah bapak angkat Kiau Hong, umum juga tahu mereka
 bersekongkol melakukan berbagai kejahatan, begitu sisa2 Hek-jiu tong pindah
 kesana seketika Toa ho-tin menjadi ramai, untung kota itu tidak sampai terbalik."
 Berpikir sejenak, Siang Cin bertanya: "Hek-jan-kong" Siapa dia?"
 "Masakah Siang-heng tidak tahu iblis kemaruk paras elok ini?" seru Sebun Tio-bu
 heran. Siang Cin menggeleng dan menjawab: "Belum pernah kudengar namanya."
 Ter-kekeh Sebun Tio bu menjelaskan dengan suara tertahan: "Di depan Pau-houceng
 ada sebuah bangunan gedung yang megah, tapi gedung serba antik ini bukan
 milik pembesar, tapi milik Hek-Jan-kong itulah, tua bangka ini sudah berusia 70-an,
 bini dan gundiknya tidak terhitung banyaknya, hidupnya mewah dan ber-foya2,
 berbuat mesum di hadapan umum tanpa tedeng aling2. Tapi dasar tua bangka itu
 memang sudah tinggi ilmunya, kaki tangannyapun banyak dan tersebar di mana2,
 maka Toa ho-tin se-olah2 menjadi daerah kekuasaannya . . . . "
 Kin Jin tertawa, katanya: "Maka tempat kediaman Hek-jan-kong itu lantas dinamakan
 Ji-ih-hu."
 "Em, mungkin tua bangka itu selalu terkabul segala keinginannya, setua ini masih
 doyan pelesir, pantas dia namakan gedungnya itu Ji ih-hu (gedung suka ria)," kata
 Siang Cin. Dengan tertawa Sebun Tio-bu berkata: "Haha, orang kira Naga Kuning berwajah
 dingin, sifatnya nyentrik dan kaku, siapa tahu kalau bicara juga begini binal." -.
 Sampai di sini tiba2 sikapnya serius: "Tapi, Hek jan kong memang seorang lawan
 teramat tangguh, tingkat kedudukannya amat tinggi di Bu-lim, sedikitnya setingkat
 lebih tinggi daripada kita, dia mahir menggunakan ilmu Tiang kwa-ciang- kian-kiu sek
 dan Jin-ho-khi, sampai kini ilmu pukulan dan Lwekangnya ini belum ada yang
 mampu menandinginya . . . . "
 ?"Itu tak menjadi soal" ujar Siang Cin, "paling mempertaruhkan jiwa dan gugur
 bersama, yang dikuatirkan pertaruhan sudah dikorbankan, tapi urusan masih belum
 bisa beres, orang tua selihay ini mendukung kejahatan, betapapun memang agak
 menyulitkan . . . . . ."
 Sementara itu hidangan telah diberangsur keluar, ada daging kelinci panggang,
 daging menjangan rebus dan sebagainya.
 

Bara Naga Karya Yin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di tengah makan minum itulah Siang Cin bertanya: "Tangkeh, anak buahmu banyak
 dan tersebar luas, tahukah kau pihak Bu-siang-pay akhir2 ini ada gerakan apa?"
 Sebun Tio-bu menjawab sambil geleng kepala: "Maksud Siang heng bala bantuan
 Bu-siang-pay dari padang rumput" Agaknya belum terlihat ada tanda gerakan apa2,
 selama ini tidak kudengar ada orang membicarakannya, entah Kin-heng?"
 Kin Jin juga menggeleng, ujarnya: "Tidak, umpnama berita cepat disampaikan,
 perjalanan pulang pergi ke padang rumput sedikitnya makan waktu dua puluh hari,
 jadi kira2 setengah bulan lagi baru bisa terlihat gerakan mereka."
 "Siang-heng," ucap Sebun Tio-bu setelah menenggak secawan arak pula, "apakah,
 orang2 Bu-siang-pay pasti akan datang menuntut balas?"
 Ya, pasti," sahut Sang Cin tegas.
 "Jadi bakal ada pertempuran besar lagi," ucap Sebun Tio-bu sambil menggosok
 telapak tangan, "sifat orang2 Hek-jiu-tong memang kejam, kejahatan sudah menjadi
 kehidupan mereka se-hari2, bahwa mereka berhadapan dengan Bu-siang-pay
 pertanda mereka bernasib sial, tapi betapapun fatal akibatnya, jelas pihak Hek-jiutong
 takkan undur setapak pun, apalagi mereka dibantu Jik-san-tui, demikian pula
 Hek-jan-kong takkan berpeluk tangan, jadi Toa-ho-tin bakal menjadi arena
 pertempuran yang menggemparkan . . . . . . ."
 - - -- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
 Apakah bala bantuan Bu-siang pay segera akan tiba"
 Apapula yang dilakukan kawanan Hek-jiu tong di tempat hijrahnya yang baru"
 Tokoh macam apakah Hek-jan-kong"
 208 - Bacalah jilid ke- 12 -
 - - -- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - --
 Jilid 12 "Memang begitulah kehidupan Kangouw," ujar Siang Cin sambil meletakkan
 sumpitnya, "kalau manusia sama berhati bajik baru dunia ini akan damai."
 Setelah menghela napas, Sebun Tin bu berkata dengan tertawa: "Siang-heng,
 apakah engkau juga terjun dalam arena perternpurao di Pi-ciok-san?"
 "Ya, malah tak ringan lukaku," kata Siang Cin.
 Kin Jin unjuk rasa gusar, tanyanya: "Perbuatan siapa antara orang2 Hek-jiu-tong
 itu?" Dengan tertawa Siang Cin berkata: "Tujuh di antara sepuluh gembong mereka,
 ditambah seorang King Ji seng."
 "Setan tua bangka keparat ini," damperat Sebun Tro bu.
 "Tapi . . . . . konon King Ji-seng sudah mampus?" tanya Kin Jin.
 Setelah meneguk arak, Siang Cin membenarkan.
 "Kau yang mengganyang dia, Siang-heng?" tanya Sebun Tio bu.
 "Ya, tujuh gembong mereka yang melabrakku juga enam mati dan satu terluka."
 Keruan kedua jago yang namanya sudah menggetar Bu-lim ini seketika terbeliak
 kaget dan kagum, sekian lamanya baru Sebun Tio-bu berseru dengan nada tak
 percaya: "Maksud Siang-heng, seorang diri engkau menggasak mereka bertujuh?"
 "Ya,kira2 demikianlah." ujar Siang Cin tertawa.
 Kin Jin jadi tegang, tanyanya: "Apakah si Serigala tertawa Ji Bu, pentolan Hiat-hun
 tong di Hek-jiu-tong itu juga mampus?"
 Siang Cin mengangguk, katanya: "Orang ini memang sukar dilayani, beruntung aku
 menang." Tiba2 Sebun Tio-bu berseru: "Bagus kau Siang Cin, orang bilang kepandaian Naga
 Kuning setinggi langit, sifatnya sebuas serigala, sepak terjangnya tegas, semula aku
 ragu2, hari ini baru betul2 aku percaya "
 Kedua orang berdiam sejenak, kemudian Kin Jin berkata pula "Jadi, bila Bu-siangpay
 melakukan serbuan besar2an kepada Hek-jiu tong lagi, Siang-heng akan
 membantu pihak Bu siang pay?"
 "Sudah tentu, tiada alasan untuk ingkar janji" sahut Siang Cin tegas.
 Mata Kin Jin memancarkan cahaya terang, katanya: "Bila Siang-heng sudi menerima,
 Cayhe bersedia membantu."
 Agaknya di luar dugaan, sesaat kemudian baru Siang Cin berkata pelahan: "Kinheng,
 maksud baikmu sungguh mengetuk sanubariku, banyak terima kasih, cuma
 soal ini bukan urusan sepele, akibatnya cukup besar pula, kalau sampai Kin-heng
 terlibat dalam pusaran rumit ini, sungguh hatiku tak bisa tenteram."
 Kin Jin tertawa, katanya: "Kalau sudah demikian tekadku, kenapa harus takut terlibat
 ke dalam pertikaian ini, jika Siang-heng tidak anggap rendah kepandaianku, biarlah
 aku selalu berdampingan dengan Siang- heng,"
 Bimbang sesaat, akhirnya Siang Cin berkata. "Tapi, kenapa Kin-heng mau
 menempuh bahaya untuk membantu Cayhe" Meski sekali berkenalan lantas akrab
 persahabatan kita, tapi untuk hal ini rasanya Kin-heng terlalu besar mempertaruhkan
 modalmu . . . .. . . "
 Kata Kin Jin dengan mantap: "Persahabatan tidak terletak pada nilai tingginya
 kebendaan, akan tetapi terletak pada hati nurani yang murni, betapa besar dunia ini,
 sulit untuk memperoleh seorang sahabat yang sejati, sahabat yang dapat dipercaya,
 di samping itu ikatan persahabatan itu sendiri juga bergantung pada jodoh, meski
 baru saja kita berkenalan, tapi naluriku berbicara dan kuyakin Siangheng betul2
 sahabat sejati yang menitik beratkan kasih sayang, kesetiaan, dan kepercayaan."
 "Kin-heng, kau terlalu memujiku," ucap Siang Cin.
 "Hai, kalian asal omong sendiri saja, memangnya aku.tidak dianggap lagi," tiba2
 209 Sebun Tio-bu, menyeletuk. "Kalau Kin-heng dapat membantu Siang-heng,
 memangnya orang Sebun hanya berpeluk tangan dan kurang sembabat untuk ikut
 membantu."
 "Baiklah kita putuskan demikian, marilah habiskan tiga cawan sebagai tanda
 perserikatan kita bertiga," kata Kin Jin.
 Sekali tenggak Sebun Tio-bu habiskan dulu isi cawannya, teriaknya: "Memangnya
 kenapa kau Siang heng, masih ragu2, apakah kami berdua kurang setimpal menjadi
 kawan seperjuanganmu?"
 "Mana berani, terus terang aku sangat senang dan rada2 terkejut malah," kata Siang
 Cin, lalu iapun menenggak araknya.
 Sang surya telah doyong ke barat dengan cahayanya yang kuning merah, hari sudah
 menjelang magrib. dengan dua ekor kuda Siang Cin bertiga menuju ke kota Toa-ho
 tin. Setelah membelok ke sebuah pengkolan jalan, tak jauh di depan tertampak
 bangunan rumah penduduk yang ber deret2, sementara jalan raya yang mereka lalui
 terletak di tengah deretan rumah2 itu.
 Lekas Sebun Tio-bu mengendurkan lari kudanya, katanya: "Dusun ini merupakan
 pos terdepan Toa-ho-tin, kira2 tiga puluh li di luar Toa ho-tin akau kelihatan tembok
 kotanya, maka lebih baik kita menyelundup ke sana setelah hari gelap."
 "Baik, marilah istirahat saja di dusun ini sambil memupuk tenaga," ujar Siang Cin.
 "Menurut pendapatku," deniikian kata Kin Jin sambil memandang ke depan, "lebih
 baik jangan masuk ke dusun itu, bukan mustahil di situ ada mata2 Toa-ho-tin, siapa
 tahu kalau jejak kita dilaporkan ke sarang musuh."
 "Alasan Kin heng memang benar, biarlah kita istirahat di balik hutan di belakang
 dusun itu, setelah malam gelap, sekadarnya kita habiskan rangsum yang tersedia ini,
 baru nanti kita bertindak lebih jauh, bagaimana?" kata Siang Cin.
 Kuda mereka lantas membelok menuju ke hutan sebelah kiri, dengan cepat mereka
 sudah sampai di tempat tujuan, Sebun Tio-bu melompat turun, matanya yang tajam
 memeriksa keadaan sekitarnya, sementara Siang Cin dan Kin Jin sudah melompat
 turun, katanya dengan ber-malas2: "Tangkeh, tiada sesuatu yang menarik bukan?"
 Sebun Tio bu menggeleng sambil menambat kudanya, katanya: "Tidak ada,
 sekarang marilah kita isi perut lebih dulu?"
 Dia mengeluarkan dua bungkusan kertas minyak, isinya ternyata empat potong kue
 kering dan dua potong ayam panggang, belasan telur asin, sepotong paha babi
 panggang, lalu dari kantong pelananya kembali dia keluarkan sebuah guci arak kecil,
 katanya tertawa: "Bagaimana" Arak dan daging sudah lengkap, mau makan tidak?"
 Siang Cin mengedip mata, katanya: "Hidup berkelana seperti ini sungguh nikmat bila
 punya kawan seteliti Tangkeh, paling sedikit dalam waktu singkat pasti tidak menjadi
 kurus karena kurang makan."
 Sebun Tio-bu ter-bahak2 mendengar banyolan Siang Cin, mereka lantas duduk dan
 makan minum dengan lahapnya, cuaca sudah remang2, hawa mulai dingin, angin
 barat menderu kencang.
 Habis makan, mereka istirahat dengan tenang untuk menghabiskan waktu ketiganya
 sama tenggelam dalam pikiran masing2. Sementara itu, suasana yang memang sepi
 menjadi gelap, malam telah tiba.
 Bertepuk tangan sekali, Sebun Tio-bu mendahului berbangkit dan berseru:. "Siangheng,
 hayolah berangkat."
 "Tidak perlu naik kuda, bagaimana pendapat kalian?" usul Siang Cin.
 "Ya, supaya tidak rnengejutkan mereka," ucap King Jin.
 Mereka tepuk2 kuda masing2 dan membelai bulu surinya, kedua orang ini sama
 sayang terhadap kuda tunggangan masing2, begitu besar cintanya terhadap
 binatang itu seperti terhadap anaknya sendiri.
 Segera mereka mengembangkan Ginkang masing2, jarak tiga puluh li tanpa terasa
 sudah dicapai dalam waktu sekejap saja, sinar pelita yang kelap kelip mulai tampak
 di ke jauhan sana, itulah Toa- ho-tin.
 210 Kurang lebih dua ribu rumah penduduk Toa-ho tin, semuanya masih membuka pintu,
 lampu masih menyala, orang mondar-mandir, suasana kota mash ramai, toko2 juga
 masih buka, tanpa banyak perhatian orang, diam2 mereka menyelinap ke sebuah
 gang kecil yang sepi dan gelap, di sini mereka berunding membuat rencana kerja.
 Sehabis pembicaraan mereka, dengan berlenggang, mereka menuju ke jalan raya
 yang masih ramai orang berlalu lalang, di sana sini, orang bicara seenak sendiri,
 semuanya menggunakan bahasa rahasia kaum persilatan, rombongan orang2 Jik
 san tui yang berpakaian merah tampak mondar-mandir, tidak sedikit pula orang2
 Hek-jiu-tong yang mengenakan seragam khas mereka yang hitam itu.
 Sembari bicara dan berkelakar Sang Cin bertiga terus menerobos diantara orang
 banyak. Tiba2 Kin Jin menarik lengan baju Sebun Tio-bu semburi berbisik: "Awas!"
 Mata Siang Cin cukup celi, sekilas dilihatnya di bawah emper rumah sana, di sebuah
 warung makan kecil berdiri dua laki2 berpakaian merah dengan mata jelalatan
 sedang mengawasi mereka dengan penuh perhatian, wajah mereka menampilkan
 rasa heran dan curiga.
 Sebun Tio-bu menoleh ke sana, sambil mendengus ia berludah, sikapnya jumawa,
 dia sengaja mencemooh dan memaki orang Jik san tui.
 Tiba2 bayangan orang berkelebat, kedua orang itu tahu2 sudah mengadang di
 depan mereka, seorang diantaranya menyapa dengan suara kasar: "Sahabat, kau
 datang dari garis mana" Di sini tempat apa, memangnya kau boleh bertingkah dan
 menugoceh seenak perutmu sendiri."
 Sebun Tio-bu tahu kedua laki2 inilah yang memperhatikan mereka di emper warung
 tadi "Crot", setelah berludah Sebun Tio-bu bertolak pinggang, dengan sikap yang
 angkuh dia meraung: "Eeh, kalian mau apa" Kalian antek2 kecil ini berani garuk
 kepala tuan besarmu. Memangnya tuan besarmu yang telanjang kaki ini takut kalian
 yang pakai sepatu" Hayolah maju, biar kuhajar adat kalian yang tidak tahu diri ini.
 Nanti akan kucari pentolanmu untuk menuntut keadilan."
 Kin Jin juga menyingsing lengan baju, teriaknya: "Ya, kebetulan, memangnya kita
 ingin tanya pentolan mereka, kenapa barang antaran milik kita sudah sekian lama
 belum jupa dikirimkan, sekarang kalian malah mencari gara2 lagi."
 Sudah tentu kedua laki2 itu jadi melenggong, muka mereka pucat seketika, untung
 yang berbadan lebih jangkung memiliki otak lebih encer, melihat gelagat jelek, tersipu2
 dia tertawa sambil munduk2, katanya: "Sabar tuan2, tolong tanya kalian ini
 sahabat terhormat dari gunung mana" Temanku ini barusan terlalu banyak minum,
 melihat
^