Bentrok Para Pendekar 4

Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bagian 4


ta maju berlipat ganda.
Ilmu silat tak beda dengan ilmu pengetahuan, siapa rajin belajar, dia akan memperoleh kemajuan yang luar
biasa. Ketujuh orang buta itu sudah bergerak mengurung, wajah mereka beringas.
Mendadak Cia Thian-ciok berkata, "Umpama kau tidak bersuara, aku pun tahu kau berada di sini."
"Sejak tadi aku memang berada di sini," ujar Siau Cap-it Long kalem.
"Bagus, bagus sekali," seru Cia Thian-ciok. Serempak ketujuh orang buta membuka kipas. Di atas kipas lipat
itu tampak huruf merah darah, "Bunuh Siau Cap-it Long".
Si Pincang penjual bakmi tampak ketakutan, dengan badan gemetar menyurut mundur ke pojok dinding
sebelah sana. "Kau lihat huruf-huruf ini?" jengek Cia Thian-ciok.
Siau Cap-it Long tidak bersuara.
Hong Si-nio menjengek dingin, "Sudah tentu lihat, dia bukan orang buta."
"Bagus," desis Cia Thian-ciok penuh kebencian, "ternyata kau juga di sini."
Ternyata ia kenal suara Hong Si-nio.
"Siapa memberitahumu bahwa kami berada di sini?" tanya Hong Si-nio.
Cia Thian-ciok tidak menjawab.
"Hoa Ji-giok atau Hamwan Sam-seng?" desak Hong Si-nio.
Cia Thian-ciok tetap membungkam.
"Peduli siapa memberitahu kalian, kami tahu apa maksudnya."
"Kau tahu?" seru Cia Thian-ciok.
"Dia ingin kalian mengantar kematian," semprot Hong Si-nio, "Tapi hari ini aku tidak selera membunuh
orang, lebih baik kalian pergi saja."
Mendadak Cia Thian-ciok menyeringai lebar, mimik mukanya tampak seram dan menggiriskan. Seringai
yang penuh keyakinan, seolah-olah mereka punya rencana dan yakin dapat membunuh Siau Cap-it Long.
Cahaya lampu tampak guram, mendadak Cia Thian-ciok menggerakkan tongkat putihnya, "Cret", lampu
seketika padam. Walau matanya buta, sepertinya ia mengetahui dimana letak lampu berada, dalam tongkat
putihnya ternyata dipasang senjata rahasia, dengan mudah ia padamkan lentera ruang besar itu hingga
seketika gelap gulita.
Tiba-tiba Siau Cap-it Long berseloroh, "Banyak orang menjelang membunuh orang suka minum arak, nah
kusuguh dua cawan untuk kalian."
Cia Thian-ciok menjengek, "Yang ingin kami minum sekarang bukan arak, tapi darah."
Tepat dengan lenyap suaranya, dari kegelapan sana mendadak terdengar suara "Creng", menyusul suara
kecapi berkumandang. Irama kecapi yang bernada tinggi dengan ritme aneh dan janggal.
Mengikuti ritme kecapi, ketujuh orang buta serempak bergerak, formasinya tetap mengurung Siau Cap-it
Long, tongkat mereka ikut bergerak menari. Sinar putih tongkat mereka tampak berkelebatan di tengah
gelap, gerak kaki mereka dengan rapi mengikuti alunan kecapi yang kalem.
Pelan tapi pasti Siau Cap-it Long dan Hong Si-nio mulai merasa adanya suatu tekanan kuat. Terutama Hong
Si-nio yang sedang makan, ia tidak kuasa menghabiskan bakminya.
Irama kecapi makin cepat, langkah ketujuh orang buta makin gesit, demikian pula ayunan tongkat putih
mereka ikut kencang. Sementara lingkar pengepungan mereka juga makin mengecil, tekanan yang menindih
dan menghimpit juga terasa lebih besar.
Tongkat putih yang dimainkan di tengah udara makin rapat mirip sebuah jala, makin menyempit dan
mengkeret. Mendadak Hong Si-nio merasa dirinya seperti ikan yang terkurung dalam jaring nelayan. Ilmu silatnya belum
termasuk taraf tinggi, tapi pengalamannya luas dan serba tahu.
Tapi ia tidak tahu ketujuh orang buta ini merangsek kencang dengan ilmu aliran mana, mereka bergerak
mengikuti dendang kecapi yang bersuara kencang dan keras, seolah mengandung, kekuatan aneh yang
menguasai pikiran mereka, bagi orang luar justru terasa gejolak yang mengganggu konsentrasi hingga hati
merasa tidak enak.
Kini perasaan Hong Si-nio berubah, dirinya seperti semut dalam wajan. Sebaliknya Siau Cap-it Long duduk
anteng di tempatnya, tidak bergerak, tanpa reaksi. Ingin rasanya gejolak perasaan yang tak tertahan ini
disiram air dingin. Untung Siau Cap-it Long keburu turun tangan dengan menggengam pergelangan
tangannya. Tangan yang kering tapi hangat. Di tengah gelap tampak bola matanya memancarkan keyakinan
dan ketenangan luar biasa.
Ditopang genggaman tangan Siau Cap-it Long, perasaan Hong Si-nio tidak sampai bergolak, hampir saja ia
terjerumus oleh pikatan irama dan belenggu kekuatan yang terus menghimpit makin keras. Piring, mangkuk
dan cawan di atas meja mulai pecah berantakan seperti diremas jari-jari iblis yang tidak kelihatan, kejap lain
meja kursi juga mulai patah dan hancur.
Menghadapi ketenangan Siau Cap-it Long, rona muka ketujuh orang buta yang semula penuh keyakinan
tampak mulai goyah, gerak-gerik mereka tampak mulai ragu, menandakan hati mulai gundah. Karena sudah
setaker kekuatan mereka menekan, ternyata tiada reaksi apapun dari kedua lawan itu, tenaga yang
digunakan jelas berlawanan, makin besar menekan musuh, tenaga yang digunakan juga makin besar. Muka
Cia Thian-ciok dan kawan-kawan sudah mandi keringat, mendadak ia membalik gerak tongkatnya terus
menyodok ke arah Siau Cap-it Long.
Pada saat yang sama, mendadak Siau Cap-it Long bersuit panjang, tahu-tahu goloknya bergerak bagai kilat,
serempak tongkat putih seluruhnya tertabas kutung menjadi dua.
Padahal tongkat putih musuh semua terbuat dari baja pilihan. Hakikatnya tiada senjata tajam macam apapun
yang mampu menebas putus besi tongkat itu, namun dilandasi kekuatan tenaga Siau Cap-it Long yang luar
biasa, perbawa tabasan goloknya itu sungguh sukar dibayangkan, tiada orang yang mampu melawan.
Golok berkelebat, tujuh tongkat patah semua. Dari kutungan tongkat yang berlubang bagian tengahnya
mendadak menyembur gulungan asap kuning, syukur saat itu Siau Cap-it Long sudah menarik Hong Si-nio
menerjang keluar dari kepungan.
Lincah sekali Siau Cap-it Long merangkul pinggang Hong Si-nio, kejap lain mereka sudah berpijak di atas
tembok. Di ujung tembok seorang duduk sambil memeluk kecapi, siapa lagi kalau bukan si timpang kurus
penjual bakmi. "Ternyata kau," seru Siau Cap-it Long. Orang tua bermata tunggal yang timpang menggetar lima jarinya,
"Jreng", dawai kecapi putus seluruhnya, bola matanya yang tunggal berkilauan mengawasi Siau Cap-it Long.
"Kau tahu siapa aku?" tegasnya dingin.
"Hamwan Sam-coat?"
Si mata tunggal bergelak tertawa, "Sungguh tak nyana, bukan saja kau mampu mematahkan barisan tujuh
pembunuh, bahkan kau mengenali diriku juga."
Siau Cap-it Long menghela napas, "Kalau tadi aku tidak bertemu Hamwan Sam-seng, tidak terpikir olehku
adanya engkau."
"Bagus Siau Cap-it Long, kau memang cerdik pandai. Berdasar penilaianku, hari ini aku memberi
kelonggaran padamu, lekas pergi berusaha menolong cewekmu itu, terlambat sekejap lagi jiwanya takkan
tertolong."
Hong Si-nio memang tidak sadarkan diri, mulutnya terkancing kencang, buih kental mulai meleleh di ujung
mulutnya. Mendadak Hamwan Sam-coat menjengek dingin, "Satu hal kau harus tahu, selama hidup bila Lohu turun
tangan, belum pernah pulang percuma, umpama kuberi kelonggaran padamu, kau masih harus memberi
tanda kenangan padaku."
Mendadak Siau Cap-it Long bergelak tertawa keras, "Toa-jat Siau Cap-it Long, selama hidup malang
melintang selalu menuntut barang orang lain, belum pernah aku meninggalkan kenangan untuk orang lain."
"Hari ini jelas kau harus melanggar kebiasaanmu itu," ejek Hamwan Sam-coat.
"Bagus," bentak Siau Cap-it Long, "kutinggalkan golokku."
Mendadak goloknya membacok lurus ke depan, dengan kedua tangan memegang kecapi, Hamwan Samcoat
mengangkat kedua tangannya menyongsong ke atas. "Trang", benda keras beradu, suaranya sungguh
keras memekakkan telinga. Golok yang tajam luar biasa itu ternyata tidak mampu membelah kecapi, malah
mental balik dengan getaran yang keras luar biasa.
Meminjam getaran keras beradunya dua senjata itu, tubuh Siau Cap-it Long justru membal ke atas, di udara
ia berjumpalitan meluncur sejauh empat tombak.
Didengarnya Hamwan Sam-soat bergelak tertawa, "Siau Cap-it Long, akhirnya kau meningalkan setitik
darahmu di sini."
Hanya sekejap Siau Cap-it Long sudah meluncur belasan tombak, serunya, "Darahku itu akan kubalas
dengan darahmu juga."
Cepat sakali darah membeku. Entah bagaimana dan darimana di bawah ketiak kiri Siau Cap-it Long tergores
luka sepanjang tujuh delapan senti.
Lukanya tidak sakit, tidak terasa apa-apa. Namun hati Siau Cap-it Long mencelos, perasaannya menjadi
dingin. Luka yang tidak sakit adalah luka yang berbahaya. Tanpa sangsi goloknya bekerja, segumpal kulit
daging di ketiak kirinya ia iris dengan golok, darah berhambur keluar dengan deras. Sekarang baru luka
terasa sakit lagi perih. Tanpa melihat atau memeriksa, juga tidak dibalut, ia biarkan darah terus mengalir
keluar. Sebab Hong Si-nio perlu segera diberi pertolongan. Waktu tongkat-tongkat patah itu menyemburkan asap,
Hong Si-nio sempat menghirup sedikit hawa beracun. Siau Cap-it Long sempat menutup jalan napasnya,
meski cepat reaksinya, Hong Si-nio tetap keracunan.
Waktu Siau Cap-it Long menariknya tadi ia sudah merasakan badan orang yang lunglai, maka tanpa sangsi
ia mengempitnya untuk menyingkir dari tempat itu. Kini terasa badannya sudah mulai mengejang, mulai
dingin. Selebar mukanya sudah membeku kelabu. Hong Si-nio tidak boleh mati. Dengan cara apapun Siau
Cap-it Long harus berusaha menolong jiwanya.
* * * * * Gedung yang besar lagi megah itu sepi lengang, api menyala benderang, namun tiada suara orang, sebab
rumah ini kosong, tiada penghuninya.
Gedung ini sudah ia beli, umpama ia tidak berada di rumah, biasanya ditunggu dan dijaga belasan laki
perempuan yang menjadi pembantunya.
Bukankah tadi Pin-pin bilang mau pulang dulu. Dimana dia sekarang, satu orang pun tidak kelihatan, lalu
dimana Pin-pin"
Pin-pin pasti menunggunya di sini, tak mungkin dia pergi sendiri. Kembali perasaan Siau Cap-it Long
tenggelam. Untunglah untuk menyembuhkan racun di badan Pin-pin. ia melanglang buana mencari tabib sakti, walau ia
tidak tahu racun jenis apa yang digunakan dalam asap beracun musuh, namun sifat racun asap ini rasanya
tidak jauh berbeda dengan racun yang mengeram di tubuh Pin-pin.
Di gedung dimana ia merawat Pin-pin selama ini banyak disimpan berbagai jenis obat. Lekas sekali ia
bopong Hong Si-nio ke kamar dan membaringkannya di ranjang. Lekas ia membuka laci di almari bawah
ranjang Pin-pin, seketika ia berdiri melongo dan menjublek mematung, badannya seketika berkeringat dingin
seperti terjeblos dalam gudang es.
Seluruh racikan obat yang tersimpan dalam laci-laci obat di sini seluruhnya kosong. Rencana yang rapi, akal
yang licik dan langkah yang tegas.
Selama ini Siau Cap-it Long adalah pemuda yang gagah, kukuh dan tabah, menghadapi bahaya dan
kesulitan apapun tak pernah mengeluh, ia yakin dapat mengatasi dan pasti beres.
Kini ia menjublek seperti orang pikun, melenggong di pinggir ranjang, dengan nanar ia mengawasi Hong Sinio.
Membawanya lari mencari tabib untuk menyembuhkan" Atau meluruk Hamwan Sam-coat minta obat
pemunahnya" Mencari tabib untuk mengobati tidak yakin dapat berhasil, karena tabib itu belum tentu punya
obat pemunah racun dari jenis ini" Umpama ketemu tabib pandai, apa masih sempat menolongnya"
Mencari Hamwan Sam-coat, apa dia masih di tempat itu" Apakah mau memberikan obat pemunahnya"
Kalau orang menolak memberi, apakah Siau Cap-it Long yakin dapat memaksanya menyerahkan obatnya"
Tidak tahu. Samua tidak tahu, pikiran Siau Cap-it Long kalut, gundah perasaan, salah langkah berarti jiwa Hong Si-nio
taruhahnya, betapapun ia tidak berani menyerempet bahaya. Lalu apakah ia harus berdiri mematung di sini
menunggu ajalnya tiba"
Mendadak Siau Cap-it Long sadar, keringat dingin telah membuat sekujur badannya basah kuyup, ia sadar
kini saatnya harus segera mengambil keputusan, bukan saja harus tegas mengambil keputusan, keputusan
yang cepat lagi tepat.
Tapi Siau Cap-it Long tidak yakin, tidak punya keyakinan sedikitpun. Mungkin karena ia amat
memperhatikan keadaan Hong Si-nio. Kalau di samping ada seorang yang bisa memberi saran dan usul
yang baik, mungkin bisa membantunya mengambil keputusan.
Pada saat itulah di luar ia dengar seorang mengetuk pintu. Apakah Pin-pin" Mungkinkah Pin-pin pulang"
Dengan beringas Siau Cap-it Long memburu keluar, dengan keras ia buka pintu, kembali ia melenggong.
Seseorang berdiri di luar pintu, berdiri dengan sopan dan hormat. Siapa lagi kalau bukan Hamwan Samseng.
Hamwan Sam-seng mengulum senyum, senyum lebar, senyum ramah dan hormat, senyum tulus, mirip
pedagang yang siap datang memborong dagangan.
Membesi muka Siau Cap-it Long, desisnya dingin, "Tak nyana berani kau datang kemari?"
Jari-jarinya tergenggam kencang, sedikit lagi siap menghajar dengan tinjunya.
Hamwan Sam-seng mundur dua langkah, katanya dengan tertawa lebar, "Aku datang bukan untuk berkelahi,
Maksud kedatanganku baik, ingin membantu."
"Bermaksud baik" Manusia macammu punya itikad baik?" damprat Siau Cap-it Long.
"Terhadap orang lain mungkin tidak, terhadap kalian berdua ...." dari pundak Siau Cap-it Long ia melongok
ke dalam mengawasi Hong Si-nio yang rebah di ranjang, sikapnya prihatin dan menguatirkan keadaannya,
katanya setelah menghela napas, "Terus terang aku tidak menyangka, engkohku yang tidak kenal kasihan
tega turun tangan sekejam ini padamu."
Mencorong bola mata Siau Cap it Long, "Jadi Hamwan Sam-coat adalah saudara kandungmu?"
Hamwan Sam-seng memanggut, tawanya getir, "Tapi aku bukan orang yang telengas seperti dia."
Siau Cap-it Long amat gemas, sungguh ingin menggenjotnya remuk, terhadap manusia munafik yang
durjana ini, sungguh ia kehabisan akal. Tapi ia sadar dan mengerti, dalam kondisi sekarang untuk menolong
jiwa Hong Si-nio, segalanya harus pasrah kepada orang ini.
"Kedatanganmu hendak menolong orang?" tanya Siau Cap-it Long.
Hamwan Sam-seng manggut-manggut. "Kau mampu menolongnya?" desak Siau Cap-it Long. Hamwan
Sam-seng tertawa lebar, "Kami bersaudara jarang bertemu, umpama kumpul juga tidak pernah bicara,
maklum tabiat kami berbeda, kegemaran tidak sama."
"Dalam hal apa saja kalian tidak sama?"
"Dia suka membunuh orang, sebaliknya aku suka menolong orang. Siapa yang ingin dia bunuh, aku
berusaha menolongnya."
Mendadak Siau Cap-it Long tertawa, tertawa lebar dan riang, "Kelihatannya kau lebih pintar dari dia.
Membunuh orang jelas tidak menguntungkan bagi diri sendiri, tapi menolong orang banyak manfaatnya."
Hamwan Sam-seng bertepuk tangan, serunya, "Ucapan tuan sungguh tepat, tuan mengerti hatiku."
Siau Cap-it Long menarik muka, desisnya kereng, "Untuk kali ini, keuntungan apa yang kau minta?"
"Manfaat apapun aku tidak mau, hanya saja...."
"Hanya saja apa?"
"Kalau kau menanam pohon, kalau pohon itu berbuah, milik siapa buahnya itu?"
"Jelas milikku."
"Betul, jelas menjadi milikmu. Sebab kalau kau tidak menanam pohon, bahwasanya memang tiada buah."
Berubah pula air muka Siau Cap-it Long, tapi ia mengerti apa yang dimaksud Hamwan Sam-seng.
Maka Hamwan Sam-seng melanjutkan, "Kondisinya sekarang sudah mirip orang mati, kalau aku dapat
menolongnya, berarti akulah ayah-bunda yang menghidupkannya kembali, maka mati hidupnya jelas akan
menjadi urusanku."
"Kentutmu busuk!" damprat Siau Cap-it Long murka.
"Eeh, jangan marah. Jual beli batal hubungan tetap baik, umpama tidak setuju, tak perlu kau marah besar
kepadaku." Sampai di sini ia menyurut dua langkah sambil bersoja, "Baiklah Cayhe mohon diri." Habis bicara
ia putar badan terus melangkah pergi.
Sudah tentu Siau Cap-it Long tidak membiarkannya pergi. Sekali lompat ia cegat jalan mundur orang.
Tawar suara Hamwan Sam-seng, "Tuan tidak mengizinkan aku menolong dia, terpaksa aku mohon diri,
kenapa tuan menghalangi aku?"
"Kau harus menolongnya," bentak Siau Cap-it Long.
"Aku tahu tuan punya kemampuan luar biasa," demikian ujar Hamwan Sam-seng, "kalau aku dipaksa
menolong dia, aku tidak mampu melawan, hanya saja menolong orang berbada dengan membunuh orang."
"Dalam hal apa berbeda?"
"Membunuh orang cukup sekali tabas atau satu kali jotos, jiwa orang pasti melayang. Menolong orang harus
teliti dan bekerja dengan seksama, membuang banyak tenaga dan pikiran, bila hati gelisah pikiran gundah,
sedikit ceroboh akibatnya bisa fatal, lalu siapa yang harus bertanggung jawab"."
Siau Cap-it Long tidak bisa bicara.
Hong Si-nio bisa ditolong atau bakal mati, kuncinya berada di tangan Hamwan Sam-seng, bila orang ini pergi
dan tidak mau menolong, jiwa Hong Si-nio jelas tak bisa ditolong lagi.
"Pepatah ada bilang, anggaplah kuda mati sebagai praktek percobaan penyembuhan. Kondisi Hong Si-nio
sekarang tidak beda dengan orang yang sudah mati, kenapa tidak tuan serahkan saja dia kepadaku?"
"Baiklah," teriak Siau Cap-it Long sambil membanting kaki, "kuserahkan dia kepadamu."
"Nah, begitu sudah gamblang, yang satu menyerahkan dengan tulus, yang menerima juga senang hati, satu
dengan yang lain tiada ganjalan, tiada paksa memaksa."
Siau Cap-it Long bungkam.
Hamwan Sam-seng berkata, "Maka bila nanti kubawa dia pergi, kuharap tuan jangan menyesal, juga jangan
menguntit di belakang. Kalau kau melanggar, jangan menyesal kalau aku biarkan dia mati saja."
"Lekas kau bawa dia pergi, untuk selanjutnya jangan sampai kau kepergok lagi di tanganku."
"Lewat hari ini aku akan lebih hati-hati," ujar Hamwan Sam-seng tertawa, "daripada bertemu lebih baik tidak
bersua, apalagi orang segarang kau, tidak bertemu lebih baik." Dengan tersenyum lebar penuh kemenangan
ia bopong Hong Si-nio, terus dibawa lari keluar sipat kuping.
Siau Cap-it Long hanya mengawasi dengan mata melotot, tiada akal untuk berbuat apa-apa. Jelas hatinya
tidak rela, pantang menyerahkan Hong Si-nio ke tangan Hamwan Sam-seng. Tapi Hamwan Sam-seng
sudah membawa Hong Si-nio, bayangannya sudah tidak kelihatan lagi.
Siapa kiranya yang menculik Pin-pin, siapa pula yang menguras semua racikan obat" Pasti Hamwan Samseng,
tadi lukanya tidak parah, setelah pergi ia tidak berlari jauh. Dalam pertemuan yang tidak terduga, Siau
Cap-it Long dan Hong Si-nio diliputi rasa senang dan kaget, maka mereka tidak memperhatikan keadaan di
luar, apalagi hubungan mereka selama ini blak-blakan, tiada rahasia yang takut diketahui orang lain. Mereka
hanya ingih makan bakmi, lain tidak, kenyataan agak lama kemudian baru menemukan orang tua pincang
yang berjualan bakmi. Waktu sepanjang itu cukup lama bagi Hamwan Sam-seng untuk meringkus penjual
bakmi tulen, lalu menyuruh Hamwan Sam-coat menyaru jadi penjualnya.
Siau Cap-it Long belum hapal seluk-beluk kota ini, jelas tidak kenal siapa sebenarnya penjual bakmi di
pinggir jalan yang asli, apalagi hakikatnya ia tidak kanal dan belum pernah bertemu Hamwan Sam-coat.
Di Kangouw banyak perserikatan atau komplotan orang-orang cacad, setelah menjadi orang buta, Cia Thianciok
masuk menjadi anggota komplotan cacad itu. Hamwan Sam-coat kebetulan adalah pentolan dari
kawanan orang cacad itu.
Bukan mustahil Jin-siang-jin juga adalah salah satu dari pentolan cabang mereka.
Dengan Jit-sat-tin atau barisan tujuh pembunuh yang mereka ciptakan, mereka pikir cukup mampu
mengurung dan membunuh Siau Cap-it Long. Ternyata lawan yang satu ini memang musuh bangkotan
berkepandaian tinggi, rencana yang diatur rapi hanya berhasil setengah jalan, yaitu Hong Si-nio keracunan.
Waktu Pin-pin meninggalkan hotel dan pulang ke rumah, mungkin Hamwan Sam-seng menguntit di
belakangnya, ilmu silatnya walau aneh dan lihai, tetapi kondisinya teramat lemah, maka dengan mudah ia
dibekuk Hamwan Sam-seng.
Kepandaian Hamwan Sam-seng hakikatnya jauh lebih tinggi dari nilai lahirnya, setelah Hong Si-nio
keracunan, dia yakin Siau Cap-it Long pasti akan membawanya pulang dan menolongnya di rumah. Setelah
pikiran tenang dan gejolak hatinya tenteram, Siau Cap-it Long bisa manduga dan meraba semua tipu daya
yang diatur Hamwan Sam-seng, sekarang ia harus berusaha bagaimana menolong Hong Si-nio dari tangan


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hamwan Sam-seng. Persoalannya adalah bagaimana ia bisa menemukan tempat tinggalnya"
Hamwan Sam-seng adalah orang yang cermat dan teliti, dalam hal berpakaian dan penyamaran cukup ahli,
penampilannya tidak banyak beda dengan kebanyakan orang. Rumah di kota ini ada ribuan, rumah
sebanyak itu, mungkin ia tinggal di hotel, rumah atau toko kelontong, kedai nasi atau di loteng sebuah rumah
plesiran. Hamwan Sam-seng mungkin membuka toko kain sutra yang juga membuka tailor, atau rumah hiburan
tingkat tinggi, mungkin juga tinggal di bungalau di pinggir kota yang dikelilingi hutan atau danau nan indah.
Penghuni kota mungkin tidak banyak yang kenal Hamwan Sam-seng, siapa Ang Ban-seng juga tiada yang
kenal, kecuali juragan Gu dan Lu. Sebagai orang yang cerdik pandai dan cermat, segala kelemahan dan
kelebihan sudah diperhitungkan dan diatur dengan baik, siapa tahu rahasia mereka, mungkin sudah
dibungkam mulutnya, alias dilenyapkan jiwanya.
Meski otaknya diputar kayun, pusing tujuh keliling, sukar juga bagi Siau Cap-it Long menebak dimana kirakira
tempat tinggal Hamwan Sam-seng yang menyembunyikan Hong Si-nio. Memangnya tiap rumah tiap
keluarga ia geledah satu per satu"
Bulan sabit bergantung di cakrawala, Siau Cap-it Long duduk di undakan batu, hawa terasa dingin, udara
mulai berkabut. Mendadak Siau Cap-it Long berjingkrak berdiri terus menerjang keluar.
Akhirnya terpikir sebuah cara, suatu akal, meski bukan cara yang baik, apa salahnya dicoba.
XII. NASIB MEMPERMAINKAN ORANG
Peduli rumah makan besar kecil, ramai atau sepi, kalau malam setelah tutup pasti ada pelayan atau kacung
yang tidur dan menunggu di sana.
Di antara para kacung itu pasti ada yang tahu dimana tempat tinggal para juragannya. Sebab kalau ada
keperluan penting, mereka harus pergi memberitahu sang juragan.
Bok-tan-lau jelas tidak terkecuali.
Sekali tendang Siau Cap-it Long membikin pintu besar Bok-tan-lau jebol, langsung ia menerjang masuk
terus mencengkeram baju dada sang kacung yang tidur telentang di atas meja.
"Kalau tidak ingin mampus, segera kau bawa aku menemui juragan Lu, atau kau mampus di tanganku."
Siapa pun tak ingin mati. Terutama orang yang sudah tua, Makin lanjut usia makin takut mati.
Apalagi lelaki tua ini kenal Siau Cap-it Long. Seorang yang dengan gampang mengancam Liu-soh-ciu
menjual anting, seorang lelaki yang royal duit dengan melempar laksaan uang ke jalanan, kapan saja
dengan mudah bisa mencabut jiwanya.
Jawaban kakek tua yang ketakutan itu jelas dan pendek, "Kuantar kau ke rumahnya."
"Juragan Lu tinggal di gang itu, rumah ketiga sebelah kiri." Setelah bicara, kakek tua ini jatuh pingsan. Esok
harinya waktu ia siuman di pinggir jalan, ia dapatkan dirinya mengenakan pakaian yang kemarin melekat di
badan Siau Cap-it Long, dalam kantong bajunya berisi uang lima ratus tahil uang kertas.
Setelah berganti baju dengan pakaian kakek itu, Siau Cap-it Long memburu masuk ke dalam gang, terus
menggedor pintu dengan keras di rumah ketiga sebelah kiri.
Cukup lama kemudian baru ada suara orang dari dalam, suara perempuan yang uring-uringan, "Siapa di luar
yang menggedor pintu?"
Sengaja dengan napas memburu Siau Cap-it Long menjawab dengan keras, "Inilah aku, Lau-thang dari
hotel, juragan Lu kena perkara, menyuruh aku pulang memberi kabar orang di rumah."
Dua hal sudah ia perhitungkan dengan cermat.
Juragan Lu pasti tidak ada di rumah. Orang di rumahnya pasti tidak semua mengenal siapa pelayan hotel
atau restoran yang dibuka majikannya, umpama ada satu yang keliru perhitungan, rencananya bakal gagal
total. Ternyata dugaan Siau Cap-it Long betul.
Seorang perempuan tua usia pertengahan dengan rambut kepala awut-awutan memburu keluar dan
bergegas membuka pintu, "Ada urusan apa" Juragan Lu kena perkara apa?"
Siau Cap-it Long pura-pura gugup, "Aku tidak tahu perkara apa, aku sudah tidur, mendadak juragan Lu
masuk dari belakang, menyuruhku jangan bergerak, lalu dia mundur bersembunyi ke bawah meja. Kejap lain
dua orang bermuka beringas memburu masuk, dengan mudah ia menemukan juragan Lu di bawah meja,
mereka bertarung seru, akhirnya juragan Lu kalah, kebetulan roboh di atas badanku, dia berbisik
menyuruhku pulang memberi kabar supaya mencari orang untuk menolongnya."
Perempuan setengah umur itu adalah bini juragan Lu, mendengar cerita sang pelayan, mukanya menjadi
pucat ketakutan, "Dia suruh aku mencari siapa" Menolongnya dimana?"
Siau Cap-it Long menggeleng kepala, "Aku tidak tahu, baru dua patah kata berpesan, dia diseret kedua
orang itu. Lebih baik sekarang aku pergi ke kantor opas saja."
Dalam hal ini ia memperhitungkan tiga hal. Karena mendesak dan gelisah, keluarga atau bini juragan Lu tak
mungkin mengecek kebenaran beriia itu. Sebagai bini yang sudah sekian tahun menjalin keluarga, kalau
sang suami melakukan perbuatan melanggar hukum di luar, umpama benar keluarganya tidak diberitahu,
sedikit banyak sang bini tentu tahu liku-liku perbuatan sang suami. Dalam keadaan segenting ini, mana
berani melapor kepada pihak keamanan kota.
Bentrok Para Pendekar 08
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 8 Sebagai orang yang berlaku teliti, mungkin biasanya juragan Lu memberitahu sang isteri, bila suatu ketika
dirinya tersangkut perkara yang gawat, dia harus menghubungi seseorang untuk menolong dirinya.
Siau Cap-it Long sadar, kedua perhitungannya tidak meleset. Baru saja da bilang akan melapor kepada
opas, perempuan itu segera mencegah dirinya, lalu bersikap tenang, katanya dengan muka kaku, "Aku
sudah tahu urusannya, akan kuurus sendiri, kau tak usah ikut campur, lekas pulang dan jaga hotel."
"Blang", tanpa menunggu reaksi dan komentar Siau Cap-it Long, ia menutup pintu.
Siau Cap-it Long pura-pura pamit. Jelas tidak pergi, tapi bersembunyi di ujung gang yang gelap, lalu melejit
tinggi hinggap di wuwungan rumah tetangga.
Hanya menunggu sebentar, bini juragan Lu tadi membuka pintu rumah, dengan langkah gopoh keluar dari
gang. Jelas akan pergi memberi kabar entah siapa. Apakah Hamwan Sam-seng"
Mendadak Siau Cap-it Long merasakan jantungnya berdebar kencang, jalur penyelidikannya ini adalah satusatunya
yang dapat dipercaya, satu-satunya yang ada harapan.
Setelah keluar dari gang tempat tinggalnya, nyonya Lu masuk ke gang lain di ujung jalan sana. Waktu Siau
Cap-it Long membuntutinya ke sana, tampak dia sedang mengetuk pintu.
Dari dalam pintu berkumandang suara seorang perempuan dengan nada tinggi, "Siapa di luar, tengah
malam buta menggedor rumah orang" Mau cari setan?"
"Eh, cepat buka, inilah aku, adik misanmu kena perkara, cepat buka pintu."
Rumah ini tempat tinggal keluarga juragan Gu, karena suaminya terlibat perkara, siapa lagi kalau tidak
mencari bantuan kepada adik misannya"
Seorang perempuan tengah baya kurus tinggi bergegas membuka pintu, suaranya ikut kuatir, "Kena perkara
apa" Bangkotanku juga tiada di rumah, wah bagaimana baiknya?"
Bahwa juragan Gu tidak di rumah, sudah dalam dugaan Siau Cap-it Long. Entah apa yang dibicarakan dua
perempuan tengah baya itu, mereka kasak-kusuk sekian lama entah persoalan apa yang dibicarakan,
akhirnya mereka menyuruh seorang kacung menyiapkan gerobak, mereka segera pergi naik gerobak.
Karena terpaksa, akhirnya mereka seperti ingin mencari seseorang yang dipercaya dapat menyelesaikan
persoalan ini. Gerobak kuda itu cepat sekali dibedal ke arah timur, tujuannya jelas ke arah luar kota, saat itu tepat
menjelang subuh, saat paling gelap waktu menjelang fajar, jalan sepi sekeliling senyap. Dengan enteng Siau
Cap-it Long melompat tinggi, lalu hinggap di belakang gerobak yang bergontai.
Dua wanita dalam gerobak ternyata tiada yang bersuara, suami kena perkara jelas hati mereka gundah,
mana ada minat berbincang, tapi Siau Cap-it Long makin heran dibuatnya karena keadaan yang sunyi lagi
terasa aneh. Tengah ia pasang kuping, telinganya mendengar suara aneh, suara orang sedang makan
sesuatu. Perempuan Soh-ciu umumnya suka makanan serba manis, dari celah-celah jendela Siau Cap-it Long
mengintip ke dalam, dilihatnya kedua perempuan tua ini lagi asyik menikmati permen jahe. Kalau minat
bicara saja tiada, kenapa malah mengunyah permen jahe begitu lahap"
Jari jemari Siau Cap-it Long mendadak menjadi dingin. Sekilas ia memikirkan beberapa hal yang tidak
masuk akal. Tengah ia menggedor pintu orang, yang membuka bagaimana mungkin istri pemilik rumah"
Bukankah di rumah ada kacung atau pelayan, memangnya pergi kemana para pembantunya itu"
Seorang perempuan baya di hadapan adik misan sendiri, mengapa menyebut suami sendiri sebagai
bangkotan tua" Dalam kondisi seperti ini rela mengayun langkah mencari orang, mana mungkin membawa
permen segala"
Mendadak Siau Cap-it Long sadar, lima enam hal yang diperhitungkan tadi hakikatnya salah besar, jelas
satu dengan yang lain tidak cocok dan pantas diragukan kebenarannya. Tujuan mereka memancing dirinya
ke tempat ini jelas adalah memancing harimau meninggalkan sarang, sengaja membawa dirinya keluar kota.
Bukan mustahil mereka sudah tahu siapa dirinya.
Jika demikian Hamwan Sam-seng pasti masih berada di kota, di suatu tempat yang tak terpikir dan diduga
Siau Cap-it Long.
Hamwan Sam-seng sepertinya tahu benar titik kelemahan jiwa manusia umumnya.
Tiba-tiba Siau Cap-it Long melambung tinggi berjumpalitan mundur ke belakang, dengan kecepatan kilat
memburu balik ke rumah juragan Lu. Rumah ini terang benderang, terdengar percakapan orang. "Entah
juragan ada perkara apa, semoga sang junjungan melindungi dia pulang dengan selamat."
Perasaan Siau Cap-it Long kembali mengendap, hatinya mencelos, apakah dia salah perhitungan pula.
Dari dalam rumah berkumandang suara perempuan tua berkata, "Toanio keluar kota mencari orang, entah
bisa ketemu tidak."
Apa benar mereka keluar pintu mencari orang"
Saking gemas dan gegetun, ingin rasanya Siau Cap-it Long menggampar pipi sendiri, titik terang kembali
bercahaya dalam sanubarinya. Lu-toanio berdua naik gerobak langsung berangkat dari gang sebelah,
menjelang berangkat juga tidak berpesan mau pergi kemana, dua orang perempuan di rumah ini darimana
tahu mereka keluar kota"
Mungkinkah jebakan yang mengaburkan, supaya orang salah menduga bila seseorang datang kembali,
sehingga bingung dan sukar mengambil keputusan. Hamwan Sam-seng memang seorang yang cermat lagi
banyak tipu daya.
Di dapur ada dian menyala, saat seperti ini jelas takkan ada orang menyulut api untuk masak nasi. Apalagi
keluarga yang memperhatikan keselamatan tak mungkin menyulut dian semalam suntuk mengingat bahaya
kebakaran. Tanpa banyak pikir Siau Cap-it Long menerjang masuk.
Di dapur hanya ada dian, tiada orang. Di pojok sana ada seonggok kayu bakar yang siap digunakan untuk
memasak. Tapi setelah diteliti, dalam tungku sudah penuh disiapkan batu bara. Kalau biasa memasak nasi
pakai batu bara, lalu untuk apa seonggok kayu bakar" Siau Cap-it Long menarik napas panjang, hatinya
lega dan bersyukur, akhirnya ia menemukan tempat yang dicarinya.
Setelah ia pindahkan onggokan kayu bakar itu, di bawahnya ternyata adalah lubang yang menjurus ke
lorong bawah tanah. Terlebih dulu ia angkat sebuah ubin dan dipindahkan ke pinggir, baru kemudian
beranjak turun menapak undakan batu. Dalam lorong ada dua pintu, pintu terdepan terbuka lebar.
Belasan langkah kemudian Siau Cap-it Long dihadang sebuah pintu kayu, tebal dan berat, jelas amat kokoh,
pintu tertutup dan dikunci dari dalam.
Perlahan Siau Cap-it Long mencabut golok, sekali bacok disusul tendangan dahsyat, segera dilihatnya
Hamwan Sam-seng berada di situ.
Di dunia ini yakin takkan ada orang pernah melihat Hamwan Sam-seng terkejut, amat kaget, malah dengan
terbeliak ia mengawasi Siau Cap-it Long, lama sekali baru menarik napas panjang, "Akhirnya kau datang
juga." Kamar di bawah tanah ini dipajang mewah, indah lagi berseni, di ujung kanan masih ada sebuah ranjang
besar yang empuk dengan seprei dan bantal guling yang bersulam indah. Hong Si-nio tampak lelap di dalam
selimut tebal, wajahnya masih kelihatan kelabu, pipinya sudah bersemi merah.
Siau Cap-it Long menarik napas panjang, "Kau tidak menduga bukan?"
Akhirnya Hamwan Sam-seng menjadi tenang juga, katanya dengan tersenyum lebar, "Sungguh tak pernah
kuduga. Sebab sepantasnya kau tidak datang kemari."
"O?" Siau Cap-it Long bersuara di hidung.
"Kau sudah berjanji padaku, pasti tidak ingkar dan tidak menguntitku."
"Aku tidak ingkar, juga tidak menguntitmu. Aku datang karena urusan lain."
"Urusan lain" Apa itu?"
"Akan kubunuh kau," desis Siau Cap-it Long. Jawabannya jelas tegas dan terus terang. Golok sudah berada
di tangan. Sorot mata Hamwan Sam-seng beralih dari mata ke goloknya.
Mendadak ia merasa dirinya sudah terkurung dalam cahaya kemilau golok sakti dan tatapan mata orang
yang berkilat. Dingin suara Siau Cap-it Long, "Kali ini jangan kau mengancam dengan jiwa dan raga Hong Si-nio. Sebab
jika jarimu bergerak, golokku tidak akan memberi ampun kepadamu."
Hamwan Sam-seng tertawa, "Sekarang Hong Si-nio sudah menjadi milikku, buat apa kugunakan dia untuk
mengancammu?"
"Kalau kau sudah mampus, dia sudah bukan milikmu lagi."
Hamwan Sam-seng manggut-manggut, ia mengerti, "Kalau demikian, kenapa tidak kau bunuh aku saja. Apa
kau masih ingin keterangan Pin-pin?"
"Benar."
"Aku sudah akan mati, kenapa jejak Pin-pin harus kuberitahu kepadamu?"
"Waktu pertama aku melihat dirimu, aku tahu bahwa kau adalah musuh yang tidak mudah dihadapi,
penglihatanku ternyata tidak salah."
"Aku toh pedagang, siapa saja kalau bicara jual beli dengan aku, urusan gampang diselesaikan."
"Maksudmu aku harus membebaskanmu baru kau akan menjelaskan jejak Pin-pin?"
"Kau tidak rugi dalam jual beli ini. Kan kau sendiri yang bilang, membunuh orang tidak menguntungkan untuk
diri pribadi."
"Mana aku tahu kalau kau bicara jujur?"
"Modal utama seorang pedagang adalah kepercayaan, kalau aku tidak bisa dipercaya, siapa mau berdagang
dengan aku?"
Memangnya Siau Cap-it Long tidak ingin membunuhnya. "Baik," katanya kemudian, "Barter ini jadilah,"
"Nah, betul kan" Tidak sukar bukan berdagang dengan aku?"
"Pin-pin dimana?"
"Aku sudah menjualnya kepada orang lain."
Berubah air muka Siau Cap-it Long.
"Aku ini pedagang, pedagang harus berdagang, apalagi kulihat dia keracunan cukup parah, kalau
kupertahankan, salah-salah aku malah sibuk mengurus jenazahnya."
"Kau jual kepada siapa?"
"Kemarilah, kau pindah kemari, biar aku berdiri di ambang pintu, nanti kujelaskan."
Terpaksa Siau Cap-it Long harus mengendalikan diri, dalam posisinya sekarang memang tiada pilihan lain,
terpaksa ia menyingkir.
Setelah beranjak ke pinggir pintu, barulah Hamwan Sam-seng berkata, "Aku menjualnya kepada Hoa Jigiok."
Bergetar badan Siau Cap-it Long, "Hoa Ji-giok berada dimana?"
"Aku tidak tahu," sahut Hamwan Sam-seng, "tapi aku tahu dia juga seorang pedagang, barang yang dia tarik
kembali dengan harga tinggi pasti takkan dikangkangi sendiri, bila harga penawaranmu benar, mungkin dia
mau mengembalikan Pin-pin kepadamu dalam keadaan sempurna alias segelnya belum terbuka."
"Tadi dia berada dimana aku tidak tahu, cara bagaimana harus mencarinya?"
"Jangan kuatir, nanti akan datang kesempatan untukmu, karena dia juga tahu kau ini pembeli yang berani
menawar dengan harga tinggi." Dia sudah berada di luar pintu, mendadak putar balik lalu berkata dengan
tertawa lebar. "Ada satu hal perlu kuberitahu kepadamu."
"Hal apa?"
Tawa Hamwan Sam-seng penuh misteri, katanya serius, "Meski kau berhasi! merebut kembali Hong Si-nio,
tapi kau akan menyesal sekali."
Siau Cap-it Long sudah menyingkap selimut, akhirnya ia turunkan kembali, dengan selimut tebal itulah ia
membungkus badan Hong Si-nio dengan kecepatan tinggi. Dia takut Hamwan Sam-seng menutup pintu
lorong bawah tanah.
Ternyata Hamwan Sam-seng tiada niat seperti dugaannya, sebab ia sadar perbuatannya itu akan sia-sia,
mengingat Siau Cap-it Long membekal golok sakti yang tajam luar biasa.
Siau Cap-it Long malah tidak mengerti dan menjadi bingung dibuatnya.
Ia tidak habis mengerti dalam hal apa ia bisa dibuat menyesal sekali. Hong Si-nio yang dibungkus dalam
selimut tebal itu mirip orok kecil yang telanjang bulat. Sejauh ini dia masih pingsan.
Siau Cap-it Long tidak ingin kembali ke tempat semula, tidak akan kembali ke Lian-hun-lau, tempat itu tidak
aman lagi. Maklum kalau membawa seorang telanjang yang dibungkus selimut tebal, kemana saja pasti
serba salah, apalagi saat akan mendekati fajar, memangnya dia harus membawa Hong Si-nio keluyuran di
jalan raya" Maka terpaksa ia harus memilih tempat.
* * * * * Hotel kecil itu berada di daerah sepi di pinggiran kota, rumah petak yang rendah, gelap dan lembab, jendela
ditutup kertas yang sudah buram menguning.
Duduk di pinggir ranjang, Siau Cap-it Long mengawasi Hong Si-nio, terasa kelopak matanya makin berat
seperti diganduli benda berat. Malam ini sungguh terasa amat panjang, hampir sepanjang malam dia tidak
sempat bernapas lega, pengaruh arak juga sudah menjadi tawar.
Saat seperti ini memang waktu datangnya rasa penat dan kantuk.
Di rumah dan di kamar ini justru hanya terdapat sebuah ranjang, tidak besar, kotor dan lusuh, di pinggir
ranjang ada bangku panjang, dia tidak mungkin tidur berdiri, tak bisa tidur di bangku panjang. Hong Si-nio
tak mungkin dibiarkan sendiri dalam kamar. Entah kenapa rasa kantuk kali ini betul-betul susah ditahan,
selama malang melintang di Kangouw, belum pernah ia merasa badan seletih kali ini, hal ini sungguh
membuatnya tidak mengerti, kenapa dalam kondisi seperti ini dirinya justru berubah lemah tak berdaya,
mungkin pengaruh luka di bawah ketiak yang banyak mengeluarkan banyak darah itu" Atau sisa racun di
lukanya belum tuntas" Hal ini sudah tak dipikir lagi, akhirnya ia roboh, telentang di atas ranjang. Ia yakin
Hong Si-nio kawan lama yang berjiwa besar dan luhur, bila siuman nanti, dirinya tentu tidak disalahkan,
apalagi saat itu dia masih tidur nyenyak.
Begitu jatuh di ranjang, begitu mata terpejam, Siau Cap-it Long langsung tertidur, sayup-sayup ia seperti
mendengar rintihan Hong Si-nio, keluhan aneh yang merangsang, sayang ia sudah tidak bisa membedakan
suara apakah itu.
Waktu merebahkan Hong Si-nio di ranjang tadi, melihat muka Hong Si-nio tampak merah, semu merah yang
aneh, sayang ia tidak sempat memperhatikan. Dalam kegelapan nan tenteram, asyik-masyuk, dirinya seperti
jatuh dalam pelukan kekasih, dengan kencang mereka bergumul.
Mendadak suasana berubah menjadi dingin, di saat terasa dingin itulah, mendadak terasa adanya gumpalan
halus yang membara jatuh dalam pelukannya, begitu halus, hangat berubah membara, bara yang tidak akan
menghanguskan badan orang, hangat yang mengantar dirinya masuk surga dunia. Sekuatnya ia berusaha
membuka mata, lapat-lapat ia melihat bola mata Hong Si-nio.
Bola mata Hong Si-nio juga memancarkan bara yang menyala, dengan kencang dia memeluk dan
menggeluti dirinya, sekujur badan bergetar saking bernafsunya, getaran yang tak bisa dibayangkan dengan
nyata. Badan yang telanjang nan montok serta seksi begitu membara bagai segumpal lahar yang berkobar.
Mendadak ia dapati dirinya juga sudah telanjang bulat.
Dengus napas Hong Si-nio yang merangsang seperti memohon, meminta, mencurahkan isi dan keinginan
hatinya. Selama ini belum pernah ia curahkan isi hatinya, belum pernah berani dinyatakan secara gamblang.
Memangnya sekarang dia sedang mabuk"
Bukan mabuk, tapi lebih menakutkan daripada mabuk, Bahwasanya perawan yang sudah kelewat umur ini
seperti tak mampu mengendalikan diri, kehilangan kesadaran, begitu ingin, perlu dan harus, membuatnya
tak kuasa mengendalikan diri. Badannya halus, harum mirip gadis belasan yang masih ingusan, tapi gerakgeriknya,
dengus napas dan rintihannya mirip perempuan jalang yang dirasuk nafsu birahi.
Obat penawar racun yang diberikan Hamwan Sam-seng pasti dicampur obat lain yang membangkitkan nafsu


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang selama ini tertekan.
Hamwan Sam-seng pasti tidak menyangka bahwa Siau Cap-it Long menolongnya. Jelas semua persiapan
ini diperuntukan kebutuhan Hamwan Sam-seng sendiri.
* * * * * Tapi nasib memang mempermainkan orang. Takdir memang mempertemukan Hong Si-nio dengan Siau
Cap-it Long. Bahwasanya hubungan baik mereka selama ini terbatas dalam norma-norma santun, tak mungkin terjadi
peristiwa tragis ini. Kejadian kali ini memang tak pernah diduga sebelumnya. Siau Cap-it Long bukan lagi
mabuk arak, yang benar adalah mabuk asmara, bisakah mabuk asmara ia tolak, tidak bisa dan tidak ingin
menolak, karena nafsu juga telah membakar birahinya, apakah ini dalam mimpi" Anggaplah benar dalam
mimpi, memangnya kenapa kalau mimpi" Sayang sekali, seindah apapun mimpi akhirnya akan sadar, bila
sudah tiba saatnya orang akan siuman.
Waktu Siau Cap-it Long terjaga dari tidurnya, sadar sesadar-sadarnya. Dalam kamar tinggal dia seorang diri.
Apakah mimpi semalam memang kenyataan" Bau harum masih melekat di ranjang. Napas Siau Cap-it Long
masih merasakan bau harum di selimut, tak bisa dibayangkan bagaimana perasaan Siau Cap-it Long kala
itu. Sampai detik ini, dia masih belum memahami Hong Si-nio. Ternyata ia orang pertama yang meniduri Hong
Si-nio. Apakah selama ini Hong Si-nio memang menanti dirinya"
Kejadian yang tidak pantas terjadi, kenapa mendadak terjadi"
"Kalau kau membawanya pergi, kau akan menyesal sekali."
Ucapan Hamwan Sam-seng terngiang di telinganya. Baru sekarang ia paham arti perkataan ini, apa betul ia
merasa menyesal"
Perempuan seperti Hong Si-nio, berkorban karena dirinya; menelantarkan masa remajanya, mengabaikan
hidup bahagia, akhirnya dia serahkan juga segalanya kepada dirinya. Memangnya pantas dirinya menyesal"
Kejap lain terbayang olehnya Sim Bik-kun, wajah Pin-pin nan molek dan harus dikasihani, bukankah kedua
nona itu juga telah berkorban banyak bagi dirinya" Apakah mereka harus dilupakan, dicampakkan, lalu
berumah tangga dengan Hong Si-nio" Atau sebaliknya meninggalkan Hong Si-nio" Seperti diiris-iris
perasaan Siao Cap-it Long. Persoalan ini jelas tak mungkin diselesaikan seadirian.
Kini dimanakah Hong Si-nio" Karena malu diam-diam dia minggat" Umpama benar minggat, ia tidak boleh
mengabaikannya begitu saja, kejadian itu telah menjadi kenyataan, selama hidup akan selalu menjadi
kenangan, kalau kenyataan ini ada, maka persoalan ini harus diselesaikan. Siau Cap-it Long berkeputusan
untuk menghadapi persoalan ini secara jantan, ia tidak akan lari dari tanggung jawab.
Pada saat itulah pintu kamar mendadak didorong terbuka dari luar, sebuah benda melayang masuk dari luar
pintu. Sebungkus pakaian. Pakaian lengkap untuk seorang lelaki, maksudnya lengkap jelas termasuk
pakaian dalam, kaos kaki, sepatu rumput, celana dan baju, semua serba baru, dari kain sutra yang bermutu
tinggi. Baru sekarang Siau Cap-it Long sadar, pakaian yang dipakainya waktu kemari, yaitu pakaian pelayan hotel
yang ia lucuti sudah tidak kelihatan, hilang, tentu dipakai Hong Si-nio untuk keluar. Sebungkus pakaian jelas
tak mungkin melayang masuk sendiri, di luar jelas masih ada seseorang.
Dengan kecepatan yang paling cepat, Siau Cap-it Long mengenakan pakaian lengkap dengan kaos kaki dan
sepatu, baru saja ia berdiri, Hong Si-nio sudah muncul di ambang pintu.
Cewek ini juga mengenakan pakaian serba baru, dengan bersolek, rambut disanggul serba rapi dan elok,
mirip benar dengan seorang mempelai perempuan yang akan ke pelaminan. Mempelai perempuan!
Berdetak keras jantung Siau Cap-it Long, sikapnya menjadi kikuk, serba salah dan blingsatan, duduk salah
berdiri juga tidak benar. Biasanya ia seorang lugas, lelaki bertemperamen keras dan tegas, tak malu-malu,
sekarang mendadak berubah menjadi serba salah, seperti kehabisan akal bagaimana ia harus bersikap
menghadapi cewek yang satu ini.
Tapi Hong Si-nio seperti tidak berubah, bukan abadi, tapi dia lebih bebas dan wajar, masih ada sebungkus
besar barang dijinjing di tangannya, entah apa isinya, begitu masuk kamar ia tuang bungkusan itu ke atas
ranjang, katanya dengan tersenyum lebar, "Sekarang aku baru mengerti, kenapa perempuan suka pergi
belanja, ternyata berbelanja punya seni dan makna tersendiri, peduli barang yang kau beli berguna atau
tidak, waktu kau membelinya, tindakanmu itu sudah merupakan kenikmatan, kepuasan tersendiri."
Siau Cap-it Long manggut-manggut.
Menghamburkan uang memang sebuah kepuasan, kenikmatan, hal ini sudah menjadi kebiasaan dan
diresapi benar-benar oleh Siau Cap-it Long.
"Coba kau terka, aku beli apa saja" Kalau kau bisa menebak, terhitung kau memang jenius."
Siau Cap-it Long geleng-geleng, ia tak bisa menebak.
"Aku membeli sebuah cermin yang dipasang di atas pigura dengan ukiran kembang dan sepasang burung
Hong, kubeli seperangkat kotak khusus untuk bahan-bahan kosmetik, kubeli sepasang patung orok kecil laki
perempuan yang terbuat dari tanah liat buatan kota Bu-sik. Sebuah swan-lo yang biasa digunakan nenek
untuk membakar kayu cendana, sebuah pipa cangklong yang biasa digunakan kakek untuk mengisap
tembakau, kubeli juga lima pasang gambar hiasan kamar, sebuah topi bulu musang." Sampai di sini ia
menghela napas panjang, lalu melanjutkan, "Padahal aku mengerti, barang-barang ini. semua tidak berguna
buatku atau untukmu, tapi melihat barang-barang ini, tak tahan untuk tidak membelinya. Aku senang para
pelayan waktu menjilat pantat membujukku untuk membelinya."
Siau Cap it Long hanya mendengarkan saja. Mendadak Hong Si-nio mengangkat kepala, melotot dan
bertanya, "Sejak kapan kau berubah menjadi gagu?"
"Aku ...." Siau Cap-it Long menyengir tawa, "aku tidak ...."
Hong Si-nio tertawa geli, "Ternyata kau belum jadi gagu, tapi kulihat kau lebih mirip seorang pikun."
Sikapnya terhadap Siau Cap-it Long tidak berubah, lagak dan tindak-tanduknya tidak berubah. Kejadian
semalam hakikatnya seperti tidak dirasakan, tidak disinggung sama sekali.
"Kau ...." sudah tak tahan Siau Cap-it Long ingin bicara.
Seperti tahu apa yang hendak diucapkan orang, Hong Si-nio segera menyeletuk dengan mata mendelik,
"Aku kenapa, memangnya kau mau bilang aku juga pikun" Kau tak takut kepalamu kubuat berlubang?"
Melihat keadaannya, kejadian semalam seperti tidak pernah terjadi. Hong Si-nio masih Hong Si-nio yang
dulu. Waktu ia mengawasi, melirik ke arah Siau Cap-it Long, juga adalah Siau Cap-it Long yang dahulu.
Asyik masyuk di atas ranjang semalam, sepertinya merupakan sebuah mimpi belaka. Sepertinya ia
berkeputusan untuk tidak mengungkap peristiwa yang memabukkan itu. Sebab dia amat memahami jiwa
Siau Cap-it Long, ia mengerti watak dan perangai Siau Cap-it Long, tahu orang macam apa pemuda yang
dipuja banyak wanita dan dianggap berandal oleh sementara pihak yang membencinya. Ia mengerti
hubungan baik selama ini, dua pihak tidak menjadi kikuk, canggung dan merasa berdosa, kejadian itu harus
dilupakan supaya tidak menambah risau, gundah dan menderita.
Mengawasinya, tak terperikan perasaan Siau Cap-it Long, ia kagum, memuji dan berterima kasih. Umpama
kejadian itu bisa dilupakan, rasa terima kasih dan hutang itu jelas selama hidup tak mungkin dilupakannya.
Hong Si-nio membalik badan, mendorong jendela.
Seperti ingin menyembunyikan rona mukanya di depan Siau Cap-it Long, ia tidak ingin orang lain tahu
bagaimana gejolak perasaannya saat itu. Ia rela menyembunyikan perasaan, mengendapkan gejolak hatinya
ke tempat yang paling dalam, seperti para kolektor menyembunyikan benda antiknya yang paling berharga
di tempat paling tersembunyi. Di kala malam sepi tiada orang lain, baru ditampilkan untuk dinikmatinya
sendiri. Ia tidak mau peduli apakah itu derita, sengsara atau manis mesra, hal yang menyedihkan, yang melegakan
umpamanya, biarlah dirasakan dan hanya ia sendiri yang tahu.
Waktu ia membalik badan lagi, sorot matanya sudah memancarkan cahaya, wajahnya dihiasi senyum khas
yang khusuk, katanya sambil mengawasi Siau Cap-it Long, "Apa kau masih ingin terus tinggal di tempat ini?"
"Tidak," sahut Siau Cap-it Long tertawa, "umpama sudah pikun, yang pasti aku bukan babi."
"Lalu kenapa kita tidak berangkat saja?"
Mengawasi barang-barang di atas ranjang, Siau Cap-it Long bertanya, "Barang-barang ini kau tidak ingin
membawanya ?"
"Tadi sudah kubilang, waktu membeli barang, aku merasa senang dan puas, kuanggap aku sudah menarik
balik nilai yang kugunakan untuk membeli, untuk apa aku membawa barang-barang ini?"
Cahaya mentari cemerlang menguning emas, senja telah menjelang.
Menyambut hembusan angin senja di awal musim rontok, Siau Cap-it Long menarik napas dalam, "Sekarang
kemana kita akan pergi?"
"Makan dulu, baru mencari orang," sahut Hong Si-nio.
"Mencari siapa?"
"Yang pasti mencari Sim Bik-kun," kata Hong Si-nio tanpa menoleh, "memangnya kau lupa?"
Jelas Siau Cap-it Long tidak lupa, sahutnya, "Kau ingin mencarinya bersamaku?"
Hong Si-nio melotot, suaranya keras, "Kenapa tidak kutemani kau mencarinya" Aku sudah berjanji
kepadamu, kenapa aku harus ingkar janji" Memangnya kau kira aku ini pembohong?"
Siau Cap-it Long hanya menyengir mengawasinya. Tawa yang tulus dari relung hati yang paling dalam. Tapi
bukan tawa riang, tawa senang, kecuali gembira, di sana terselip rasa simpati, terima kasih, dimana
terkandung pengertian yang mendalam, meski terasa kecut, ia tak berani banyak bicara lagi.
Bilamana kau seorang pria, bila kau menjadi Siau Cap-it Long, kalau kau berhadapan dengan cewek seperti
Hong Si-nio, apa yang bisa kau katakan"
Tay-hong-lau. Siau Cap-it Long kembali ke Tay-hong-lau.
Dari lantai satu, lantai dua, atas bawah, puluhan orang, tua muda, laki perempuan, semua mengawasinya
dengan terbelalak kaget. Untunglah yang kaget tidak lupa tugas, dengan munduk-munduk mereka maju
menyapa dan melayani.
Terutama pemilik restoran yang sedang berendam di bak air panas, bergegas ia merangkak berdiri seperti
kedatangan kakek moyangnya yang ingin berpesta di rumah makannya.
Jantung Hong Si-nio juga berdebar-debar, setelah memilih tempat duduk ia berbisik tanya, "Kenapa kau ajak
aku ke Tay-hong-Iau?"
Siau Cap-it Long tertawa, "Karena aku seorang Tay-heng (jutawan), malah jutawannya jutawan."
Suara Hong Si-nio lebih lirih, "Kau tahu barang-barang itu kubeli dengan apa?"
"Tahu, kau gunakan buah kancing batu Giok yang ada di kantong bajuku itu."
"Tapi sekarang aku tidak punya duit."
"Aku tahu."
"Kau akan berhutang dulu di sini?"
"Tidak."
Hong Si-nio tertawa getir, "Urusan apa tidak pernah kukerjakan, tapi suruh aku gegares makanan gratis,
terus terang sukar kulakukan."
"Aku sendiri juga rikuh."
"Memangnya kita tidak perlu makan?"
"Lho, ya makan. Makan sepuasnya."
"Setelah makan?"
"Setelah makan, ya bayar."
"Mana uangnya?"
"Uang" Nanti ada orang mengantar kemari."
"Siapa yang akan mengantar kemari?"
"Aku sendiri tidak tahu."
Hong Si-nio hampir berteriak, "Kau tidak tahu" Kau sendiri tidak tahu?"
"Hm, ya, tidak tahu."
"Memangnya uang itu bakal jatuh dari langit?"
"Uang yang jatuh dari langit, aku harus membungkuk memungutnya, bisa berabe."
Dengan terbelalak Hong Si-nio mengawasinya, "Memangnya ada urusan segampang itu untuk mendapat
uang?" "Ya, ada."
"Kulihat kau ini belum bangun dari mimpi...."
Belum habis ia bicara, dari bawah loteng memburu datang seorang lelaki pendek gemuk, dengan wajah
bundar, jenggot kambing pendek, berpakaian serba lengkap dengan topi bundar di atas kepalanya, dengan
munduk-munduk memberi hormat kepada Siau Cap-it Long, katanya dengan tertawa lebar, "Apakah tuan
adalah Siau Cap-it Long Siau-toaya?"
"Sudan jelas kalau aku, masih bertanya lagi," tawar suara Siau Cap-it Long.
Orang itu munduk-munduk dengan tawa lebar, katanya ramah, "Soalnya nominal rekening ini teramat besar
jumlahnya, terpaksa Cayhe harus berlaku hati-hati."
"Apa kemarin kau sudah di sini?" tanya Siau Cap-it Long.
Orang itu memanggut, "Beberapa hari lalu sudah ada orang memberitahu ke bank kami, katanya dalam
beberapa hari ini Siau-toaya membutuhkan uang, aku disuruh ke sini menunggu."
"Kau dari bank mana?"
"Kami dari bank Goan-po, dari kelompok Li-thong. Mohon petunjuk Siau-toaya."
"Bagaimana rekening koranku di bank kalian?"
"Mulai bulan dua tahun lalu, seluruhnya ada enam rekening koran Siau-toaya di bank kami, dari jumlah
seluruhnya ada 66 laksa tiga ribu enam ratus tahil." Dari lengan bajunya ia keluarkan sebuah buku catatan,
lalu diangsurkan dengan dua tangan, "Jumlah seluruhnya dicatat jelas di buku ini, mohon Siau-toaya
memeriksa."
"Tak usah aku periksa," ujar Siau Cap-it Long, "tapi dua tiga hari ini aku memang perlu uang kontan."
"Sudah kami sediakan di bank, Siau-toaya butuh uang tunai atau cek kontan?"
"Cek kontan saja. Tentunya cek bank kalian bisa dipercaya bukan?"
"Mohon periksa Siau-toaya, bank kami banyak mendirikan cabang di berbagai kota, laporan yang diterima
kantor pusat semua menyatakan selama seratus tahun lebih sejak bank kami berusaha, rekening koran
Siau-toaya yang paling besar, langganan paling terpercaya."
Laki-laki ini seperti mengerti, lelaki senang diumpak di hadapan sang nyonya, dengan laku dibuat-buat ia
membalik ke arah Hong Si-nio untuk menjelaskan, "Waktu Siau-toaya setor uang ke bank kami tidak
memerlukan tanda terima, rabatnya juga paling kecil, selama tiga puluh tahun bekerja di bank, baru sekali ini
aku bertemu dengan pelanggan sebaik Siau-toaya, belum pernah ada orang kedua."
Hong Si-nio hanya tersenyum saja, "Ya, dia memang jutawan, jutawannya jutawan."
"Ya, betul, memang tidak salah," kata lelaki itu, "entah Siau-toaya kali ini perlu pakai berapa duit?"
"Buatkan cek lima ratus tahil sebanyak dua ratus lembar."
"Jumlahnya tepat 10 laksa tahil."
"Buatkan pula lima laksa tahil 10 lembar."
Lelaki itu menarik napas, katanya gugup, "Cek kontan bank kami tak beda dengan uang tunai, di cabang
mana saja bisa diuangkan segera. Untuk membawa uang sebanyak ini apakah Siau-toaya tidak berabe?"
"Tak perlu kau pikirkan cara bagaimana aku membawa uang. Yang pasti dengan cepat aku bisa
menggunakan uang itu."
Laki-laki itu merinding dibuatnya, belum pernah ia bertemu dengan orang seroyal ini memakai uang, bukan
saja tidak pernah melihat, mimpi pun tak pernah terbayang olehnya.
Siapa tahu persoalan yang tak pernah diimpikan masih terus berkembang.
"Sisanya yang enam laksa lebih itu," demikian ucap Siau Capit Long sambil lalu, "tak perlu dibukukan lagi,
anggap saja kuberikan kepadamu."
Enam laksa tahil uang perak, secara umum uang sebanyak itu bisa digunakan keluarga biasa untuk biaya
selama hidup, Siau Cap-it Long menganggap uang sebanyak itu sebagai persen diberikan dengan cumacuma
kepada seorang pegawai bank. Tangan lelaki itu kelihatan gemetar, jantungnya seperti hampir
melonjak keluar dari rongga dada, segera ia membungkuk badan seraya berseru, "Siaujin segera bukakan
cek yang diperlukan dan segera mengantar kemari."
Bukan saja merubah panggilan, badannya yang buntak mirip bola waktu membungkuk hormat, selangkah
demi selangkah mundur hingga anak tangga, hampir saja ia terpeleset di anak tangga saking gemetar
lututnya. "Nah, sudah kau lihat, lebih gampang bukan uang itu jatuh dari langit," seru Siau Cap-it Long tertawa.
Hong Si-nio mengawasinya tajam, "Ada pertanyaan yang belum pernah kutanyakan kepadamu, sebab aku
tak ingin kau anggap kemaruk harta, tapi hal ini perlu kutanyakan kepadamu."
"Boleh, silakan tanya."
"Tiga tempat harta terpendam itu, berapa yang sudah kau dapatkan?"
"Harta terpendam apa maksudmu?"
"Kau tidak tahu harta terpendam apa?" pekik Hong Si-nio.
"Kecuali di waktu mimpi, harta terpendam macam apa yang kau maksud" Hakikatnya aku tidak pernah tahu
dan tidak perlu tahu."
Kecuali dalam dongeng atau cerita dalam mimpi, apa benar di dunia ini ada harta terpendam, hal ini masih
merupakan tanda tanya besar.
"Jadi uang sebanyak itu hasil curian?" damprat Hong Si-nio.
"Bukan," jawab Siau Cap-it Long.
"Merampok atau hasil rampasan?"
"Juga bukan."
Padahal Hong Si-nio maklum, umpama merampok atau merampas uang milik orang, jumlahnya pasti tidak
akan sebanyak itu. Tak tahan ia bertanya lagi, "Lalu darimana saja uang sebanyak itu?"
"Tidak tahu."
Hong Si-nio berjingkrak berdiri, teriaknya, "Tidak tahu" Kau sendiri tidak tahu?"
Siau Cap-it Long menghela napas, "Bukan saja aku tidak tahu, sebetulnya apa yang telah terjadi ada
kalanya aku sendiri tidak percaya bahwa urusan ini adalah kenyataan."
"Lalu bagaimana duduk perkara sebenarnya" Kau ...." mendadak ia tutup mulut, rona mukanya juga
berubah. Sebab mendadak ia melihat seorang beranjak naik ke loteng, orang yang bisa membuat muka Hong Si-nio
berubah, bahwasanya bisa dihitung dengan jari tangan, bukan saja berubah mukanya, Hong Si-nio kontan
menutup mulut, tiada orang kedua kecuali satu. Ya, hanya satu di kolong langit, orang ini sudah beranjak ke
loteng dan langsung menghampiri mereka.
Dari pucat berubah merah, dari merah berubah pucat muka Hong Si-nio, sepertinya kalau bisa dia ingin
bersembunyi ke bawah meja, seperti takut atau malu melihat orang ini. Ternyata Siau Cap-it Long juga
berubah aneh mimik mukanya waktu melihat laki-laki ini menghampiri dirinya, sikapnya menjadi serba salah,
apalagi saat itu ia berada bersama Hong Si-nio. Siapakah dia sebenarnya"
XIII. MUNCULNYA SANG PENAGIH HUTANG
Orang ini berwajah persegi, berpakaian hijau bersih dan rapi serta rajin, serba baru dan perlente mirip
sebuah roti kering yang baru saja keluar dari panggangan. Nyo Khay-thay.
Orang ini ternyata adalah Nyo Khay-thay. Waktu berjalan, Nyo Khay-thay amat hati-hati seperti kuatir
menginjak semut. Mata tidak pernah melirik ke kanan atau kiri, ia datang langsung menghampiri meja,
seperti di tempat itu ia tidak pernah melihat Hong Si-nio atau Siau Cap-it Long.
Tapi dia langsung berhenti di depan Siau Cap-it Long. Hong Si-nio duduk mematung, sekujur badan seperti
kaku dan kejang, sepatah kata pun tak mampu diucapkan.
Padahal cewek yang satu ini biasa malang melintang sendiri, semua serba aku dan sesuai dengan
kemauanku. Bagaimana pandangan atau pendapat orang lain terhadap dirinya, persetan ia tidak peduli. Tapi
terhadap lelaki yang satu ini, dari relung hatinya yang paling dalam, ia merasa menyesal, malu dan
berhutang. Berhadapan dengan orang ini, dirinya ibarat berhadapan dengan seorang yang menagih hutang
kepada dirinya. Dia memang hutang dan tak terbayar selama hidup.
Jangan kata melihat, melirik pun Nyo Khay-thay tidak melihatnya, seperti lupa bahwa di dunia ini ada cewek
ayu jelita yang sekarang lagi bersikap lucu melihat dirinya.
Terpaksa Siau Cap-it Long berdiri menyambut. "Silakan duduk," sapanya.
Nyo Khay-thay tidak duduk, terpaksa Siau Cap-it Long tetap berdiri. Dari jarak dekat mendadak ia melihat
lelaki berwajah persegi, bersih dan serba perlente ini mukanya mulai berkeriput tanda ketuaan, kelihatan
lebih kurus dan pucat.
Umpama dia masih mirip roti kering yang baru dikeluarkan dari panggangan, kondisinya sudah bukan
segagah, seganteng dan sesegar dahulu lagi.


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selama dua tahun ini, entah bagaimana ia melewatkan hari-hari kehidupannya.
Siau Cap-it Long sendiri amat mendelu, sukar dilukiskan bagaimana perasaannya sekarang. Terutama
setelah adegan manis mesra semalam.
Mendadak Siau Cap-it Long menyadari dirinya sungguh mirip maling cilik yang kotor dan hina di hadapan
orang ini, dirinya seperti tak mampu mengangkat kepala, hatinya merasa amat bersalah.
Nyo Khay-thay menatapnya sesaat, sorot matanya mirip ia mengawasi maling cilik, tiba-tiba ia berkata,
"Apakah tuan Siau Cap-it Long Siau-toaya?"
Jelas dia mengenal Siau Cap-it Long, selama hidup takkan ia lupakan laki-laki yang satu ini, tapi sekarang
pura-pura tidak kenal. Siau Cap-it Long hanya mengangguk. Dia maklum, mengerti kenapa Nyo Khay-thay
berbuat demikian, dia merasakan getar perasaan Nyo Khay-thay saat itu.
Dengan wajah membesi Nyo Khay-thay berkata, "Cayhe she Nyo, sengaja datang mengantar cek kontan
yang diperlukan Siau-toaya." Dari balik kantong bajunya ia keluarkan setumpuk lembaran cek yang utuh dan
masih baru, dengan dua tangan ia angsurkan ke depan, "Di sini ada dua ratus lembar senilai lima ratusan
tahil, sepuluh lembar senilai lima laksa tahil, seluruhnya berjumlah enam laksa tahil, mohon Siau-toaya
menghitungnya."
Tak mungkin Siau Cap-it Long menghitungnya satu per satu, bahwasanya ia rikuh untuk mengulur tangan
menerima cek itu, namun mulutnya saja yang menggumam, "Tak usah dihitung, yakin benar jumlahnya."
Nyo Khay-thay menarik muka, "Jumlah ini tidak kecil, Siau-toaya harus menghitung dan periksa." Sikapnya
kukuh dan bertahan, menunggu reaksi Siau Cap-it Long.
Dengan tertawa getir Siau Cap-it Long terpaksa mengulur tangan menerima, lalu dibalik-balik sekenanya,
bahwasanya ia tidak ingin bentrok atau cari perkara dengan orang yang satu ini.
"Ada yang kurang," tanya Nyo Khay-thay.
"Tidak," sahut Siau Cap-it Long.
"Setelah kau ambil dana sebesar ini," kata Nyo Khay-thay lebih jauh, "uang simpananmu yang masih ada di
Li-thong dan Li-goan kedua bank itu masih ada seratus tujuh puluh dua laksa tahil." Dia keluarkan pula sejilid
buku rekening dan satu buku cek blanko, "Inilah catatan jumlahnya dan cek yang masih kosong, bisa
digunakan sewaktu-waktu. Silakan terima."
"Aku tidak ingin mengambil seluruhnya," kata Siau Cap it Long.
Membesi muka Nyo Khay-thay, "Kau tidak ingin mengambilnya, aku justru ingin mengeluarkan."
"Kau?" tanya Siau Cap-it Long.
Dingin sikap Nyo Khay-thay, "Kedua bank tadi adalah milikku, mulai detik ini, aku tidak sudi berhubungan
dengan orang macam dirimu."
Siau Cap-it Long mematung.
Tak terpikir olehnya rangkaian kata apa yang harus diucapkan. Kalau Nyo Khay-thay mau segera pergi, ia
tidak akan menahannya.
Tapi Nyo Khay-thay seperti belum mau pergi, dengan muka kaku, mata melotot, katanya dengan suara
dingin, "Sejak duelmu dengan Siau-yau-hou, banyak orang bilang kau adalah jago paling kosen di kolong
langit." Siau Cap-it Long terpaksa tertawa getir, "Aku sendiri tidak pernah berpikir demikian."
"Tapi aku memikirkannya, aku tahu bukan tandinganmu." Muka persegi yang kaku itu mendadak
menampilkan mimik yang aneh, perlahan ia melanjutkan ucapannya, "Sejak awal aku sudah tahu, dalam
segala hal aku memang bukan tandinganmu."
Ibarat sebatang jarum, kata-katanya menusuk hulu hati Siau Cap-it Long, juga menusuk sanubari Hong Sinio.
Dan yang paling fatal adalah juga melukai dirinya sendiri.
Sejak tadi Hong Si-nio hanya menggigit bibir, mendadak ia mengangkat poci arak terus menuang arak ke
dalam mulutnya.
Nyo Khay-thay tetap tidak meliriknya, suaranya lebih dingin, "Kabarnya kemarin di tempat ini hanya dalam
tiga jurus kau mengalahkan Auyang-hengte, betapa gagah kau ini tiada jago manapun di dunia ini yang
sebanding denganmu. Orang macamku yang bernama Nyo Khay-thay bila ingin bertanding denganmu,
orang pasti bilang aku ini tidak tahu diri." Jari-jari tangannya terkepal, sepatah demi sepatah diucapkan
dengan jelas, "Sayangnya, aku orang yang tidak tahu diri, maka aku ...."
Maka aku mencintai Hong Si-nio.
Ucapannya tidak ia lontarkan, tapi Siau Cap-it Long dan Hong Si-nio mengerti maksudnya.
"Kau ...." Siau Cap-it Long tertawa getir.
"Maka hari ini aku datang," Nyo Khay-thay mendahului bicara, "kecuali membuat perhitungan uang
simpananmu, juga ingin bertanding melawan ilmu silatmu yang tiada taranya itu." Setiap patah kata
diucapkan perlahan, tapi jelas. Padahal selama ini dia punya kebiasaan gagap kalau gugup atau bicara
cepat. Hari ini ia tidak perlu terburu-buru, sepertinya sudah berkeputusan, berkeputusan membuat
perhitungan menyeluruh dengan Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long mengerti perasaannya, tapi hatinya lebih perih.
"Kita bertanding di luar atau di tempat ini saja," tantang Nyo Khay-thay.
Siau Cap-it Long menghela napas, "Aku tidak akan keluar, dan tidak akan melayanimu di sini."
"Apa maksudmu?" damprat Nyo Khay-thay murka.
"Maksudku adalah aku takkan bergebrak dangan kau."
Memang tak mungkin dia berkelahi dengan lelaki ini, sebab tak boleh menang tapi pantang kalah. Dia
maklum karena murka, waktu menyerang Nyo Khay-thay pasti nekad dan mengeluarkan, jurus-jurus
mematikan, kalau ia mengalah dan sampai terluka, tak lama pasti ada orang yang meluruk datang menuntut
jiwanya. Dalam kondisi seperti sekarang, ia pun pantang kalah apalagi mati.
Mengawasinya dengan muka merah padam, Nyo Khay-thay berkata, "Kau tidak sudi berhantam dengan
aku" Karena aku tidak setimpal?"
"Bukan begitu maksudku."
"Peduli apa maksudmu, sekarang aku serang kau, kalau tidak membalas, kubunuh kau."
Biasanya Nyo Khay-thay orang yang suka mengalah, pengampun dan berbelas kasihan, orang yang tidak
suka atau tidak bisa memaksa orang lain. Tapi sekarang ia pojokkan posisi Siau Cap-it Long ke sudut yang
tak mungkin menyingkir.
Hong Si-nio mengangkat kepala, selebar mukanya juga merah menyala, arak merangsang sifat garangnya,
mendadak ia berjingkrak berdiri, pekiknya, "Nyo Khay-thay, kutanya kau, apa sih maksud tingkahmu ini?"
Nyo Khay-thay tidak peduli padanya, tapi mukanya pucat.
"Memangnya kau kira dia takut padamu" Umpama takut juga jangan kau mengancamnya," damprat Hong
Si-nio. Nyo Khay-thay tetap tidak mempedulikan dia.
"Kau ingin membunuhnya?" seru Hong Si-nio beranjak maju, "baik, bunuh aku lebih dulu."
Muka pucat Nyo Khay-thay berubah merah padam lagi, ia pun tak tahan lagi, serunya keras, "Dia ... dia ...
dia ini apamu" Kau ingin mati karena dia."
"Peduli siapa dia dan apa hubungannya denganku, kau tak berhak mencampuri urusanku."
"Aku ... aku ... aku tak boleh mencampuri" Memangnya siapa ... siapa yang harus ikut campur?" Tampak
otot besar menghijau menonjol di jidatnya. Saking murka sampai sukar bicara.
Hong Si-nio juga amat murka, air mata hampir bercucuran. Semua ini karena apa" Demi siapa" Sebetulnya
mereka adalah sepasang suami isteri yang dapat menimbulkan iri orang lain, ya, mirip pasangan Lian Shiapik
dengan Sim Bik-kun. Tapi sekarang ....
Siau Cap-it Long tak kuasa menahan diri, tak tega melihat, tak tahan mendengar, posisinya memang
mengharuskan mengambil satu jalan keluar.
"Baiklah, hayo kita keluar."
Tabir malam sudah menyelimuti alam semesta. Toko-toko atau rumah-rumah di sepanjang jalan sudah
memasang lentera.
Perlahan Siau Cap-it Long menuruni anak tangga, perlahan menuju ke tengah jalan, langkahnya berat,
perasaannya lebih berat, dia tidak menyalahkan Nyo Khay-thay. Bukan Nyo Khay-thay menyudutkan dirinya,
Nyo Khay-thay sendiri juga disudutkan untuk menempuh jalan yang harus ditempuhnya ini. Tekanan yang
menakutkan memaksa mereka menjurus ke tapak yang harus ditempuh bersama. Tekanan yang timbul
akibat perang batin mereka sendiri. Itukah yang dinamakan cinta" Atau benci" Suatu tragedi" Atau angkara
murka" Siau Cap-it Long tak mau berpikir lagi, ia tahu, dipikir juga takkan menghasilkan penyelesaian. Yang pasti ia
sadar dirinya sudah berada di tengah jalan raya, ia berhenti.
Mendadak ia sadar dan tahu seluruh suara dan kegiatan di sekelilingnya semua berhenti.
Nyo Khay-thay juga sedang keluar dari Bok-tan-lau.
Sepi lengang. Semua orang yang berada di jalan raya menyingkir jauh, semua melotot mengawasi mereka, semua berdiri
mematung seperti orang pikun. Siau Cap-it Long sadar, orang yang benar-benar pikun bukan para penonton
itu, tapi adalah dia dan Nyo Khay-thay.
Dari atas loteng mendadak berkumandang suara barang-barang pecah berantakan, entah piring mangkuk
atau poci cawan, semua dibanting luluh. Setelah habis barung-barang dibanting menyusul berkumandang
lolong tangis yang menyedihkan seperti anak kecil yang kehilangan barang mainannya.
Biasanya Hong Si-nio suka tertawa dan tertawa keras, kalau sedih menangis sesenggukan. Dia tidak ikut
turun, tak berani turun, tak berani menonton, tapi ia tak kuasa mencegah peristiwa ini.
Dengan kencang Nyo Khay-thay menggenggam tangan, mukanya yang persegi berkerut menahan gejolak
perasaan. Siau Cap-it Long menarik napas panjang, katanya mendelu, "Kau ... kenapa semua ini kau lakukan."
Nyo Khay-thay melotot, raungnya keras, "Kenapa tidak kau tanya pada dirimu sendiri." Belum habis bicara,
orangnya sudah menyerbu ke depan, serentak menyerang tiga jurus, seperti cara ia berjalan, tiap jurus
dilakukan dengan rajin dan sungguh-sungguh.
Siau Cap-it Long berkeputusan, duel ini dirinya tidak boleh kalah juga tidak boleh menang. Dia pikir bila Nyo
Khay-thay sudah kehabisan tenaga dan tak mampu bergerak lagi, perkelahian ini harus segera dihentikan.
Tapi begitu menyerang Nyo Khay-thay sudah kesetanan, hal ini membuatnya mengerti urusan tidak
semudah yang ia bayangkan semula, walau hatinya gundah, pikiran kalut, tapi jurus permainan Nyo Khaythay
amat rajin, tidak kacau, gerak-gerik dan gayanya memang tidak enak dipandang, tapi tiap jurus
serangannya sangat bermanfaat, berguna untuk pertahanan dan lancarnya perubahan, yang pasti tiap jurus
serangannya dilandasi kekuatan yang luar biasa, kekuatan yang menjadi landasan jurus permainannya
banyak perubahan dan tidak boleh diremehkan.
Selama ini belum pernah Siau Cap-it Long berhadapan dengan lawan yang berlatih silat sedemikian kokoh
dengan landasan kuat dan berakar.
Dua puluh jurus kemudian, permainannya makin lancar, tenaga yang dikembangkan sungguh amat dahsyat
perbawanya, tiap langkah kakinya pasti meninggalkan bekas tapak dilantai jalan raya yang dilembari
lempengan batu hijau.
Tapak kaki yang tidak banyak. karena tiap gerak, tiap jurus yang dilancarkan amat rajin menurut aturan
permainan, tiap langkah kakinya dari awal hingga jurus berikutnya tidak banyak perubahan. Bekas tapak
kaki tidak bertambah, tapi bekas tapak kaki itu makin dalam. Banyak papan nama toko-toko di pinggir jalan
berdetak dengan bunyi yang ramai oleh damparan tenaga pukulan hingga bergoyang gontai hampir jatuh.
Jidat Siau Cap-it Long sudah bermandi keringat. Dengan jurus permainan ilmu silatnya, tidak sukar bagi Siau
Cap-it Long untuk merobohkan atau mengalahkan lawannya ini, sebab gerak-gerik ilmu silat Nyo Khay-thay
kalau mau dinilai ibarat permainan badut belaka. Tapi ia tidak boleh menang.
Sementara jotosan demi jotosan Nyo Khay-thay terus menyerbu dengan gencar, tanpa tipu daya juga tiada
variasi, tiada muslihat, maka ia sendiri juga tidak perlu berkelit segala.
Betapapun runcing sebuah paku akhirnya akan dipukul tumpul juga. Demikianlah perasaan Siau Cap-it
Long, dirinya seperti paku yang terus dipukul dan dipukul. Yang menakutkan, tiba-tiba ia menyadari pahanya
mulai kaku kejang, gerak-geriknya juga menjadi terhambat dan lambat.
Selama bertempur dengan musuh, belum pernah kalah karena ia yakin dirinya pasti menang. Hari ini ia tidak
punya tekad, karena ia tidak berniat menang, tapi ia juga tidak mau kalah. Satu hal yang ia lupakan, dua
orang bila sedang bertempur, kalau tidak menang ya harus kalah. Menang atau kalah tidak bisa pilih-pilih
lagi. Umpama ingin menang, dalam kondisinya sekarang juga sudah terlambat.
Permainan pukulan Nyo Khay-thay, tenaga yang dikerahkan dan kayakinannya mencapai puncak paling
tinggi, waktu menyerang boleh dikata ia sudah mengerahkan setaker tenaganya, meski tahu bukan
tandingan lawan, tapi ia yakin dapat mengalahkan musuh, maka waktu menyerang tidak memikirkan
keselamatan sendiri, yang penting nekad. Bahwasanya ia sendiri tidak menyadari bahwa kemampuannya
sudah mencapai tingkat yang sukar dicapai tokoh silat manapun. Dalam kondisi sekarang, mungkin sedikit
saja tokoh silat yang mampu mengalahkan dia.
Siau Cap it Long tahu jika dirinya akan kalah. Ibarat sebatang paku yang dipukul amblas ke dalam tanah,
ilmu silatnya sudah tidak mampu dikembangkan lagi. Apalagi lukanya mulai kambuh. Tapi faktor yang
menentukan justru jalan pikirannya sendiri, hal yang tidak pernah terpikir olehnya sekarang bakal menjadi
kenyataan. Sebab selama hayat dikandung badan, ratusan pertarungan besar kecil melawan tokoh lihai
sekalipun, belum pernah ia dikalahkan.
Kalau jalan pikirannya benar dan merasuk jiwa, berarti kekalahan itu sendiri bakal menjadi kunci dasar
tenaga dan kekuatannya yang makin luluh dan lumpuh.
BENTROK PARA PENDEKAR
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 9 Mendadak kaki kanan Nyo Khay-thay maju setapak, tepat menginjak di bekas tapak kakinya yang terdahulu,
kepalan yang meninju malah tangan kiri dengan jurus Hek-hou-to-sim atau harimau hitam merogoh hati,
yang diincar dada Siau Cap-it Long.
Hek-hou-to-sim adalah jurus umum yang sering dimainkan setiap pesilat, dilakukan dengan serius dan lurus,
tanpa kembangan, tiada variasi, namun daya kekuatannya sungguh dahsyat.
Jago-jago silat zaman ini yakin takkan ada yang punya jurus pukulan sedahsyat yang dilancarkan Nyo Khaythay
sekarang. Umpama Siau Cap-it Long sendiri yang melancarkan pukulan jurus ini, pasti takkan punya
perbawa sehebat ini.
Siau Cap-it Long tahu akan hal ini, terpikir olehnya akan kedahsyatannya, tapi kondisinya hampir tak mampu
mengatasinya, berkelit apalagi menangkis serangan ini.
Pada detik yang menentukan itulah dari tengah udara meluncur seutas tambang panjang menggulung
datang, melingkar dan menjerat kaki kiri Nyo Khay-thay.
Tali yang melingkar-lingkar itu ternyata bukan tambang, tetapi cambuk panjang, belum pernah orang melihat
cambuk sepanjang itu, apalagi cambuk yang lincah dan enteng seperti hidup itu.
Seorang lelaki berlengan tunggal serta mahkota menghias di kepalanya, sepasang kakinya buntung sebatas
lutut, tapi bercokol di atas kepala seorang lelaki gede yang bertelanjang dada, berada sejauh dua tombak,
dengan lincah dan enteng memainkan cambuk panjang itu. Begitu cambuk disendal dan dibalik, ia
membentak, "Roboh!"
Ternyata Nyo Khay-thay tidak jatuh. Kekuatan pukulan tangannya ternyata beralih kaki, hingga kakinya
menekan turun amblas ke dalam tanah, papan batu yang keras seperti menjadi seempuk tahu saja, kedua
kakinya amblas melesak ke dalam bumi.
Otot hijau di jidat Jin-siang jin menonjol keluar, lengan tunggalnya mengencang, cambuk panjangnya juga
ditarik kencang.
Tapi Nyo Khay-thay tidak bergeming, badannya berdiri kokoh seperti tiang batu yang ditanam dalam tanah.
Jin-siang-jin kembali menyendal serta menarik balik cambuknya. Siapa tahu mendadak Nyo Khay-thay
menggerakkan tangan, ujung pecut berhasil ditangkap, mendadak ia membentak sambil menarik dengan
kekuatan penuh.
Badan Jin-siang-jin mencelat mumbul, melayang turun hampir menyentuh tanah, mendadak ia membentak
pula, beruntun badannya jungkir balik tiga kali, secara enteng badannya mumbul kembali dan tepat duduk di
kepala orang gede itu. Tapi cambuk panjangnya terlepas dari tangannya.
Dengan gemas Nyo Khay-thay memutus cambuk itu menjadi lima bagian terus dibanting ke tanah, mukanya
kaku dingin, "Seharusnya kubunuh kau."
"Silakan turun tangan," tantang Jin-siang-jin.
Nyo Khay-thay menyeringai sombong, "Selama hidup aku tidak pernah melawan orang cacad."
Dari wuwungan rumah sebelah samping, seorang menghela napas, katanya, "Tidak malu orang ini diagulkan
sebagai Kuncu. Sayang mukanya tebal sedikit."
"Siapa yang bicara?" bentak Nyo Khay-thay.
Seorang kakek mata tunggal berkaki pincang berdiri sambil menggendong tangan di wuwungan rumah,
ujarnya, "Yang pasti aku bukan Kuncu, cacad lagi. Tapi kalau ada seorang mengalah dan tidak sudi melukai
diriku, mukaku cukup tebal untuk terus ngotot hendak membunuhnya."
"Siapa yang kau maksud?" damprat Nyo Khay-thay.
"Yang kumaksud adalah engkau." kakek tua ini jelas adalah Hamwan Sam-coat, "waktu kau menyerang
sampai jurus ketujuh, mestinya Siau Cap-it Long mampu merobohkan kau tiga kali, memangnya kau sendiri
tidak tahu?"
Merah padam muka Nyo Khay-thay. Sejak turun tangan jurus pertama tadi, gerak-geriknya yang kaku dan
bergerak menurut alur aturan, memang tiga kali ia menunjukkan lubang kelemahan. Bukannya dia tidak tahu,
meski tahu, ia pun tidak menyangkal. Peduli Nyo Khay-thay seorang pikun atau benar-benar seorang Kuncu,
yang pasti dia bukan Siau-jin, manusia rendah.
Di antara kerumunan orang di emper toko sana, seorang berbaju hijau tampil ke depan seraya berkata,
"Dalam hal ini kau tidak boleh menyalahkan Nyo-lote. Apa yang dia lakukan kan lumrah dan apa adanya."
Lalu dengan tersenyum lebar ia menambahkan, "Nyo-lote ini juga seorang pedagang, seorang pedagang
umumnya mengutamakan hati hitam kulit tebal. Kalau tanpa pedoman dagang begitu, keluarga Nyo mana
mampu merebut prestasi sebagai keluarga kaya raya di kolong langit" Darimana ia bisa punya duit sebanyak
itu?" Nyo Khay-thay menatapnya beringas, mukanya merah padam, bibir bergerak ingin bicara tapi sepatah kata
pun sukar keluar dari mulutnya.
Hamwan Sam-seng bergelak tertawa, "Aku pasti takkan menyalahkan engkau, aku juga berdagang, jangan
kata dia memberi potongan tiga kali, umpama sepuluh kali juga tidak akan menjatuhkan dirimu, kau tetap
boleh memukulnya mampus."
Mendadak Nyo Khay-thay melompat ke atas, setelah membanting kaki, segera putar badan terus tinggal
pergi. Karena tidak bisa bicara, tiada yang bisa dibicarakan. Seorang Kuncu bertemu dengan Siau-jin, lebih
baik menyingkir daripada banyak bacot mengotori mulut sendiri malah.
Hamwan Sam-seng membalik badan menghadapi Siau Cap-it Long, katanya dengan tersenyum lebar, "Kau
tak perlu berterima kasih kepada kami, umpama kami tidak datang menolongmu, belum tentu dia berniat
membunuhmu."
Siau Cap-it Long bukan terhitung Kuncu, tapi juga tidak sudi menjadi Siau-jin.
Ia maklum apa maksud Hamwan Sam-seng, tapi malas mengajaknya bicara.
Kini ia sadar dan ingat apa yang pernah dikatakan Hoa Ji-giok memang tidak bohong, "Hari ini kau bebaskan
Hamwan Sam-seng, akan datang suatu hari kau akan menyesal".
Mendadak Hamwan Sam-seng berseru, "Para saudara yang hadir di sini, kalian sudah melihat jelas bukan"
Tuan inilah pendekar gagah yang tiada taranya, pendekar besar Siau Cap-it Long."
Tidak ada orang berani bersuara. Orang yang betul-betul pikun di dunia ini tidak banyak jumlahnya, orang
sering bilang, elmaut datang dari mulut, kenyataan memang demikian.
Lebih jauh Hamwan Sam-seng berpidato, "Mengingat dia seorang gagah, pendatang adalah tamu, maka
kuberi kelonggaran tiga kali padanya, tapi hari ini, di hadapan kalian yang hadir di sini, aku akan
membunuhnya."
Mendadak Siau Cap it Long tertawa. Ia insaf bahwa dirinya tidak bodoh, mengenal betul siapa sebetulnya
Hamwan Sam-seng.
Dia sudah menduga Hamwan Sam-seng menolong dirinya, tak lain karena ingin turun tangan sendiri. Kalau
dengan tangan sendiri memegang kepala Siau Cap-it Long, insan persilatan mana yang tidak
menginginkannya. Batok kepala Siau Cap-it Long, nilainya jelas teramat tinggi untuk diperebutkan.
Hamwan Sam-seng belum selesai bicara, katanya lebih jauh, "Karena orang gagah kita ini meski kulitnya
teramat tebal, hatinya hitam, seorang bergajul yang kemaruk paras ayu, ternyata suka membunuh orang,
orang yang mati di tangannya tak terhitung banyaknya."
Hamwan Sam-coat ikut menimbrung, "Bergajul suka paras elok, membunuh orang sebagai kegemaran,


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukanlah perilaku seorang gagah?"
"Kalau dunia ada manusia sekotor ini, apakah insan persilatan bisa hidup tenteram?"
"Satu jurus membikin mata Ciangbunjin Tiam-jong buta, tiga jurus mengalahkan Tiong-pek-siang-hiap,
konon diagulkan sebagai jago terkosen di dunia, kau mampu membunuh dia?"
Hamwan Sam-seng menghela napas gegetun, "Seorang lelaki harus berani bertindak kalau dirasa
tindakannya itu benar. Demi membela kebenaran, meski aku bukan tandingannya, meski harus berkorban
jiwa, aku tetap akan mencobanya."
Hamwan Sam-coat juga menghela napas, "Baik, bila kau mati, akan kukubur jenazahmu."
"Memangnya kau tidak ingin mencoba?"
"Aku ini sudah cacat, demi 'kebenaran dan keadilan', aku siap berkorban."
Hamwan Samseng bergelak tertawa, "seorang lelaki hidup tidak perlu senang, mati tidak usah takut" Duelku
hari ini, mati atau hidup, mendengar janjimu legalah hatiku, mati pun tidak menyesal."
Dua saudara berdialog seperti latihan main sandiwara, siapa yang mendengar, yang tidak tahu persoalan,
yakin mereka memang sedang memerankan lakon yang patut dipuji.
Siau Cap-it Long tertawa lebar, katanya, "Bagus, laki-laki sejati."
"Ditantang laki-laki sejati, kau mampu melawan."
"Betul, aku akan melawan."
"Cabut golokmu," tantang Hamwan Sam-seng.
"Baik." Kejap lain goloknya telah keluar dari sarungnya.
"Itukah golok jagal rusamu?" tanya Hamwan Sam-seng.
"Betul."
"Konon golokmu itu pusaka tiada tandingan di dunia?"
Siau Cap-it Long menggerakkan golok di tangan, katanya tersenyum, "Memang golok sakti, untuk menabas
leher orang tidak perlu dua kali."
"Dengan golokmu itu kau kalahkan Tiong-pek-siang-hiong?"
"Bila perlu satu jurus aku kalahkan musuh."
Sikap Hamwan Sam-seng tidak berubah, nadanya dingin, "Baik, hari ini dengan sepasang tanganku ini,
kulawan golok jagal rusamu. Aku akan mengalah tiga jurus."
"Kau mengalah tiga jurus?" Siau Cap-it Long menegas.
"Tiga kali aku memberi kesempatan kepadamu, kenapa sekarang tidak memberi kelonggaran tiga jurus
kepadamu?" Kelihatannya ia amat yakin. Dia lihat Siau Cap-it Long sudah kehabisan tenaga, seperti dian
yang hampir kehabisan minyak.
Mengelus tajam goloknya, Siau Cap-it Long menghela napas, "Sayang, sayang."
"Sayang apa?" tanya Hamwan Sam-seng.
"Sayang, golok saktiku ini terpaksa harus memenggal kepala orang macam dirimu."
"Untuk menabas kepalaku rasanya juga tidak mudah."
"Tadi tenagaku sudah habis, niatku padam, apalagi racun bekerja pada saatnya, jelas aku takkan mampu
melawan." "Memangya kenapa sekarang?"
"Sekarang jelas sudah berbeda."
"Berbeda bagaimana?"
"Tadi yang harus kuhadapi seorang Kuncu, sekarang aku menghadapi Siau-jin."
Hamwan Sam-seng menyeringai sambil mendengus hidung.
"Golokku ini tidak membunuh Kuncu, tapi senang membunuh Siau-jin." Begitu ia memutar tajam goloknya,
cahaya seketika berkembang menyala seperti mengobarkan hawa membunuh.
Begitu keras tekanan hawa membunuh dengan cahaya golok yang menyilaukan, jantung Hamwan Samseng
seperti menjadi dingin, raut mukanya juga berubah kelam.
Mengawasi Siau Cap-it Long, mendadak ia sadar orang seperti berubah menjadi orang lain hanya dalam
waktu sekejap. Dimana golok Siau Cap-it Long bekerja, kulit daging di tubuhnya ia iris secomot, darah segar mengalir deras,
mengerut alis pun tidak, seperti tidak merasakan sakit sama sekali, suaranya malah garang, "Kakiku ini
setengah lumpuh, tapi membunuh orang bukan menggunakan kaki."
Kalau jidatnya basah keringat, sorot matanya malah mencorong terang, semangatnya bangkit malah. Jidat
Hamwan Sam-seng juga berkeringat.
Siau Cap-it Long menatapnya tajam, "Tadi kau bilang akan memberi kelonggaran tiga jurus."
"Aku ... ya, aku pernah bilang," tergagap jawaban Hamwan Sam-seng.
"Tapi kalau satu jurus aku tidak memaksamu turun tangan, anggaplah aku yang kalah, kalau tiga jurus aku
tidak mampu memenggal kepalamu, anggap pula aku yang kalah, akan kupenggal kepalaku dan kuserahkan
kepadamu."
Membesi hijau muka Hamwan Sam-seng.
"Nah, terima dulu sejurus golokku," bentak Siau Cap-it Long.
Malam makin larut, cahaya lampu masih menyala terang benderang.
Waktu golok berkelebat cahayanya seperti menyala lebih benderang dari cahaya lampu di pinggir jalan, sinar
golok bagai sabuk jagat meluncur ke sana, bayangan Hamwan Samseng ternyata sudah lenyap entah
kemana. Jago gagah yang pentang bacot mengagulkan diri tadi, begitu sinar golok Siau Cap-it Long berkelebat, tibatiba
berubah selicin rase yang ketakutan, lari lintang pukang mencawat ekor.
Kerumunan orang banyak di sebelah sana tampak menjadi ribut, hanya sekejap bayangan sudah lenyap
ditelan kegelapan.
Hamwan Sam-coat yang sejak tadi berdiri di wuwungan rumah sana juga tiba-tiba menghilang. Cahaya
golok seterang kilat menyinari muka Jin-siang-jin, air mukanya tampak pias seperti orang yang kehabisan
darah. Siau Cap-it Long mengangkat goloknya tinggi di atas kepala, dengan tajam ia mengawasi orang.
Jin-siang-jin tidak bergerak, tidak berani bergeming, kepala botak di bawahnya menyurut mundur dan
mundur makin cepat, sekejap mata mereka sudah berada di ujung jalan serta lenyap dari pandangan mata.
Siau Cap-it Long mengangkat kepalanya tertawa sekeras-kerasnya, serunya, "Seorang laki-laki bisa melihat
gelagat. Orang-orang itu memang betul adalah pendekar yang patut diagulkan."
Dari tengah kerumunan orang banyak, seorang menghela napas, "Seorang gagah yang tidak tahu malu,
Siau Cap-it Long yang gagah perwira."
* * * * * Cahaya lampu tetap benderang di loteng Tay-heng-lau, tapi waktu orang banyak melihat kehadiran Siau
Cap-it Long, semua berubah air mukanya.
Hong Si-nio berdiri di pinggir pagar bambu, air mata di wajahnya sudah kering, namun sikapnya sukar
ditebak, apakah sedih, malu atau merasa bangga berhadapan dengan lelaki yang perwira, atau sedih
mengingat nasibnya yang jelek.
Perlahan Siau Cap-it Long melangkah ke sana, lalu duduk, Tidak melirik atau melihatnya, ia paham dan
mengerti betapa perasaan orang saat itu, dalam hati ia merasa banyak berhutang. Selama hidup hutang ini
takkan mungkin bisa ia lunasi.
Hong Si-nio duduk di depannya, tanpa suara mengisi cawan arak di depannya. Tanpa suara ia tenggak
habis arak itu.
Sesaat kemudian Hong Si-nio tiba-tiba tertawa, katanya, "Tanpa menyerang satu jurus pun duel ini berhasil
kau menangkan. Sejak dahulu kala, tiada orang yang menang lebih cemerlang dibanding kau, paling sedikit
aku harus menyiapkan tiga puluh cawan arak untukmu."
Siau Cap-it Long tertawa, tawa yang dipaksakan, "Yang benar kau tidak perlu menghormat kepadaku."
"Kenapa?"
"Karena mestinya aku tidak menang, kenyataan aku menang."
"Karena kau mestinya kalah tapi tidak kalah?"
"Kejadian tadi kau saksikan dengan mata kepalamu sendiri."
"Tapi aku tidak mengerti."
"Tapi aku...."
"Bukankah kau mengharap dikalahkan oleh Nyo Khay-thay" Mengharap dia membunuhmu?" Matanya
menatap mukanya dengan tajam, "Kau beranggapan setelah Nyo Khay-thay mengalahkan engkau, maka
hatiku akan merasa lega, begitu?"
Siau Cap-it Long tidak menjawab, tidak bisa menjawab.
Yang pasti aku akan berhutang padamu, maka dengan cara ini aku membayar hutang padamu. Cara ini
tidak sempurna, tapi bisa mengurangi perasaan sedihku.
Perkataan ini tidak diucapkan, tak berani ia ucapkan, tapi ia yakin Hong Si-nio mengerti.
Dengan nanar ia mengawasinya, katanya dingin, "Kalau kau tidak bisa menjawab, biar kuberitahu
kepadamu. Kalau kau benar-benar kalah, kita tidak akan bisa merasa lega, Nyo Khay-thay sendiri juga tidak
merasa senang."
Waktu menyebut nama Nyo Khay-thay, perasaannya tidak bergolak seperti sebelum ini, nama itu terlontar
dari mulutnya seperti ia menyebut nama orang yang tidak dikenalnya.
Hati Siau Cap-it Long sebaliknya merasa mendelu, sebab ia mengerti perasaan Nyo Khay-thay, selama
hidup jelas takkan bisa dilupakan, tapi perasaan ini akan selalu mengganjal dalam sanubari.
Tiada orang yang lebih meresapi pahit getir dan derita hati seorang seperti perasaan Siau Cap-it Long
sekarang. "Aku tahu kau berusaha membayar hutang," ucap Hong Si-nio. "Tapi cara yang kau gunakan salah,
tujuannya juga keliru."
Jari-jari Siau Cap-it Long saling genggam.
"Aku pernah berjanji kepadamu, maka aku akan menemanimu mencari dia."
"Tapi sekarang...."
"Sekarang aku tetap akan mengajakmu pergi mencarinya."
Siau Cap-it Long mengangkat kepala, dengan tajam ia mengawasi. Hong Si-nio malah melengos
menghindari tatapan matanya.
Lama kemudian Siau Cap-it Long baru berkata, "Kau ... sepertinya kau tak pernah berubah?"
"Selamanya takkan berubah," sahut Hong Si-nio tegas.
Ia berpaling ke sana, memandang tabir malam di luar jendela, ia tidak ingin air mata yang meleleh dilihat
olehnya. Setumpuk cek kontan yang masih baru tergeletak di atas meja, tiada orang menyentuhnya, tiada orang
berani memegang.
Bukan setumpuk kertas tak berguna, tapi setumpuk kekayaan yang nilai nominalnya luar biasa besarnya,
kekayaan yang hanya diharapkan orang dalam mimpi. Kekayaan yang dapat membuat orang tidak segan
menjual diri, menjual keluarga sampai kakek moyang sekalipun.
Waktu mengawasi tumpukan cek kontan itu, rona mata Siau Cap-it Long seperti merasa jijik, hina dan
rendah, tiba-tiba ia berkata, "Kenapa tidak kau tanyakan padaku, darimana kuperoleh uang sebanyak ini?"
"Kalau kutanya, kau mau menjelaskan?" tanya Hong Si-nio.
"Kalau kujelaskan, kau percaya?"
"Kenapa aku tidak percaya?"
"Sebab aku sendiri tak tahu darimana datangnya uang ini."
Dengan kaget Hong Si-nio mengawasinya, air matanya sudah kering, selama ini ia mahir mengendalikan air
mata, namun selama ini tak kuasa mengendalikan ocehannya, dengan keras ia berseru, "Kau sendiri tidak
tahu?" Siau Cap-it Long manggut-manggut, katanya tertawa getir, "Aku mengerti, persoalan ini juga akan
membuatmu bingung."
"Memangnya apa yang telah terjadi?"
Ini kejadian brutal, kejadian tidak masuk akal, persoalan yang mestinya sederhana, bisa dijelaskan dengan
sepatah dua patah kata, "Uang itu pemberian orang kepadaku."
"Siapa yang memberimu?"
"Tidak tahu."
"Sebanyak itu orang memberimu uang, tapi siapa dia, kau tidak tahu?"
"Uang yang diberikan padaku, bukan hanya sebanyak itu."
"Berapa banyak dia berikan kepadamu?"
"Jumlah yang pasti aku juga tidak tahu."
"Memangnya amat banyak sampai tak bisa dihitung, begitu?"
"Bukan saja saking banyaknya hingga tak tahu jumlahnya, dihitung juga tidak sempat lagi."
"Maksudmu waktu dia memberi jumlahnya banyak dan berlangsung cepat?"
Siuw Cap-it Long memanggut, "Dimana pun aku berada, tahu-tahu di bank setempat dia sudah menyiapkan
uang untukku, jumlah yang tidak sedikit. Setiap kali aku berada di hotel, petugas bank lantas datang melapor
kepadaku."
Hong Si-nio diam sejenak, lalu berkata, "Tidak kau tanyakan pada petugas bank, siapa yang mengantar
uang itu?" Sudah tentu pernah Siau Cap-it Long tanyakan. "Orang yang punya saldo di bank terdiri berbagai
macam orang, jika ada pedagang yang menyimpan uangnya di bank, petugas bank jelas tak akan bertanya
mereka siapa dan darimana."
"Ya, tapi mereka setor uang ke bank atas namamu, lalu menyuruh petugas bank menyerahkan uang itu
kepadamu." Siau Cap-it Long manggut-manggut.
"Petugas bank itu, cara bagaimana mereka tahu kalau kau adalah Siau Cap it Long?"
"Mereka tidak tahu, tapi setiap aku datang ke suatu tempat, mereka akan menerima sepucuk surat, sural
yang ditulis atas namaku, menyuruh mereka mengantar uang kepadaku."
"Apa kau harus menerima?"
"Kenapa aku tidak mau terima?"
"Karena tanpa sebab musabab tak mungkin dia memberi uang sebanyak itu kepadamu."
"Aku maklum, jelas dalam hal ini ada maksud tertentu."
"Pernah terpikir olehmu, apa maksud tujuanya?"
"Sebab dia mengerti, orang lain pasti takkan percaya ada kejadian seaneh ini di dunia ini. Jadi dia ingin
orang banyak beranggapan aku menemukan harta terpendam." Dengan tertawa kecut lalu ia menyambung,
"Seorang yang menemukan harta terpendam, mirip tulang yang menusuk daging tubuhnya, semua anjing
kecil besar, kenyang atau lapar, apapun macamnya, begitu mendengar berita, pasti akan meluruk datang
untuk berebut makanan."
"Jadi maksudnya memusatkan perhatian seluruh orang Kang-ouw kepada dirimu?"
"Di kala orang banyak memusatkan perhatiannya meluruk diriku, setahap demi setahap dia mulai
melaksanakan rencananya, menghamburkan sedikit uang baginya tidak masalah."
"Tapi yang dia berikan kepadamu bukan sekedar uang."
"Ya, memang bukan sekedarnya."
"Orang Bulim yang memiliki uang sebanyak itu tidak banyak jumlahnya, orang yang bisa memberi uang
sebanyak itu kepada orang lain, sukar kutemukan orangnya."
"Aku hanya menduga satu orang."
"Siapa?"
"Siau-yau-hou sudah mati, tapi kumpulan rahasia itu tidak bubar, karena ada seorang menggantikan
kedudukan ...."
"Kau kira orang itu yang memberi uang kepadamu?"
"Kukira hanya dia seorang yang mampu mengeluarkan uang sebanyak itu."
Siau-yau-hou sendiri kekayaannya sebanding kekayaan negara, orang-orang yang menjadi anggota
perkumpulannya juga pantas berkuasa di daerahnya masing-masing. Kalau harta kekayaan orang-orang itu
dikumpulkan, jelas takkan kalah dibanding kekayaaan negara. Umpama betul ada berita tentang tiga tempat
harta terpendam ditemukan, jumlahnya belum tentu lebih banyak.
"Bukan saja orang itu telah menggantikan kedudukan Siau-yau-hou, seluruh harta bendanya juga telah
diwariskan kepadanya."
"Tapi kau tidak tahu siapa dia, bagaimana asal-usulnya." Sudah tentu Siau Cap-it Long tidak tahu,
hakikatnya tiada orang tahu rahasianya.
"Yang pasti dia seorang yang amat menakutkan, mungkin lebih menakutkan dibanding Siau-yau-hou,"
demikian komentar Siau Cap-it Long, "yang pasti dia lebih tenang dan mantap dalam melaksanakan
rencana, otaknya lebih cerdik dan akalnya lebih licik, aku digunakan untuk mengalihkan sasaran orang
banyak. Pemberian uang itu bermaksud membuatku gemuk, santai dan hidup berkecukupan. Setelah
rencananya diatur matang, mungkin orang pertama yang akan disembelih adalah aku."
"Makanya kau harus cepat mencari tahu siapa dirinya."
"Sayangnya darimana aku harus mencari tahu, aku sendiri tidak tahu."
"Kurasa hanya dengan membawa Pin-pin, baru bisa kau menelusuri jejak orang-orang itu."
"Sayangnya pula, sekarang jejak Pin-pin juga tak kuketahui."
"Hanya Pin-pin yang kenal orang-orang itu."
"Ya, hanya dia yang kenal."
"Jadi hanya dia yang tahu akan rahasia ini?"
"Kecuali dia, tiada orang kedua yang percaya omonganku."
"Aku juga percaya," kata Hong Si-nio," suaranya lembut tapi teguh, "tiap patah katamu aku percaya, sebab
aku tahu kau orang macam apa, aku tahu jelas."
Darah seperti bergolak dalam rongga dada Siau Cap-it Long, haru dan lega menghayati sanubarinya, tanpa
kuasa ia genggam kencang tangannya. Rasa terima kasih tak kuasa diutarakan dengan kata-kata.
Perlahan Hong Si-nio menarik tangannya, disembunyikan di bawah meja, katanya dengan nada dingin,
"Sayang sekali orang yang memahami dirimu tidak banyak, bahwasanya kau sendiri tidak memerlukan
kepercayaan orang."
Siau Cap-it Long mengawasi kedua tangannya, lama sekali ia tak kuasa bicara, entah apa yang berkecamuk
dalam sanubarinya.
"Maka sekarang kita harus mencari Sim Bik-kun, juga harus mencari Pin-pin."
"Tapi kemana kita harus mencari mereka."
"Di kota ini bukankah kau memiliki sebuah rumah?"
"Itu bukan rumah, hanya sepetak bangunan," sorot matanya menampilkan kesepian, "Selama ini darimana
kumiliki rumah?"
"Tapi sekarang kau punya banyak rumah."
"Di setiap kota hampir selalu ada."
"Kau sendiri yang beli rumah itu?"
"Kapan aku pernah punya uang untuk membeli rumah?" getir suara Siau Cap-it Long, "hari ini ada yang
memberi uang, hari ini pula aku hamburkan sampai habis."
"Ya, kabarnya untuk menebus seorang pelacur, tak segan kau menebusnya satu laksa tahil."
"Karena dia mau memberi, maka aku suka membeli, makin banyak aku pakai uang, makin besar jumlah
yang dia berikan, makin banyak aku hamburkan uangnya, berarti menggerogoti kekuatannya." Lalu dengan
menyengir ia menambahkan, "dalam hal menghamburkan uang aku kan ahlinya."
"Tapi kau tak pernah membeli rumah?"
"Buat apa aku beli rumah."
"Lalu darimana pula rumah-rumah milikmu itu?"
"Dia pula yang memberi, pernah aku menerima sekaligus 10 lembar sertifikat rumah dan seluruh isinya."
"Pin-pin pernah mampir ke rumah-rumah itu?"
"Banyak diantaranya pernah ke sana."
"Mungkin tidak timbul minatnya untuk bersembunyi di antara rumah-rumah itu."
"Kenapa harus bersembunyi?"
"Karena ingin mengasah otak, memikirkan nasib sel
^