Bentrok Para Pendekar 7

Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bagian 7


asar, bicara keras, apalagi membentaknya.
Sejak awal sampai terakhir mereka berpisah, dia tetap adalah suami teladan, suami pengertian yang lemah
lembut. Membayangkan sampai di sini, hampir tak tahan dia akan membuka mata, lalu menikmati malam pertama
yang .... Pada saat itulah, mendadak ia mendengar suara seorang bertepuk sekali di luar jendela. Lian Shia-pik
segera beranjak ke sana, membuka daun jendela, dengan menekan suara berkata, "Kau terlambat, lekas
masuk." Orang di luar jendela tertawa ringan, katanya menggoda, "Malam pertama pengantin baru, kau tidak kuatir
aku mengganggu kalian?"
Mendengar suara orang ini, sekujur badan Sim Bik-kun mendadak mengejang dingin.
Itulah suara Hoa Ji-giok. Ia kenal betul suara itu. Mimpi pun tak pernah terbayang dalam benaknya, Hoa Jigiok
datang menemui Lian Shia-pik.
Bagaimana mungkin mereka punya hubungan"
Sim Bik-kun berusaha mengendalikan diri, memusatkan perhatian mendengar percakapan mereka.
Lian Shia-pik berkata, "Aku tahu kau akan datang. Maka kucari akal membuatnya tidur."
"Dia tidak akan terjaga?"
"Tidak mungkin, obat yang kuberikan cukup membuatnya pulas sampai pagi."
Hoa Ji-giok sudah melompat masuk lewat jendela, katanya dengan cekikikan geli, "Jerih payahmu tidak
ringan untuk mengajaknya balik, sekarang malah membuatnya tidur, apa tidak menyia-nyiakan malam yang
indah ini?"
"Aku tidak pergi mencarinya, dia sendiri yang pulang."
"Tak heran orang bilang kau ini punya peran yang lihai, bukan hanya orangnya pulang, hatinya pun kembali
kau genggam."
"Kalau aku hanya menginginkan orangnya pulang, buat apa aku berjerih-payah."
Mendengar percakapan mereka, sekujur badan Sim Bik-kun terasa dingin kaku, hati pun seperti tenggelam
ke dasar jurang.
"Dalam hal ini kau telah melakukan perbuatan terbaik, maka Thian Sun ingin bicara langsung dengan
engkau." "Kapan?"
"Waktu padang rembulan."
"Dimana?"
"Cui-gwat-lo di Se-ouw."
"Aku pasti datang tepat waktu."
"Besok pagi kau harus sudah berangkat, pergi bersamaku, kita pergi dulu ke Jiu-hoa-tong menunggunya."
"Boleh."
"Kau tega meninggalkan dia seorang di sini?"
"Dia sudah mau pulang sendiri, yakin tidak akan pergi lagi."
"Kau yakin?"
"Sebab aku tahu, tiada tempat lain dimana dia bisa pergi."
Hoa Ji-giok cekikikan geli, "Kau memang serba pintar ...."
Itulah percakapan dua orang yang didengar Sim Bik-kun semalam. Sampai sekarang, sorot matanya masih
diliputi rasa sedih dan derita.
Hong Si-nio maklum akan kepedihannya.
Siapa pun orangnya, setelah sadar dirinya dibohongi, dirinya dijual oleh suami sendiri, hatinya jelas takkan
merasa senang. Dengan berlinang air mata, Sim Bik-kun melanjutkan, "Kali ini sebetulnya aku bertekad tidak
akan meninggalkan dia lagi, aku ... sesungguhnya tiada tempat kemana aku bisa pergi. Tapi setelah
mendengar percakapan mereka, sehari tinggal lebih lama di sana sudah tidak betah lagi, kalau bertahan di
sana, mungkin aku bisa gila dibuatnya."
"Maka begitu dia pergi, kau pun minggat dari sana."
Sim Bik-kun manggut-manggut.
Bukan hanya tiada tempat kemana dia bisa pergi, malah seorang famili, seorang teman pun ia tidak punya.
Maka secara diam-diam ia berlari dan bersembunyi di hotel kecil ini, diam-diam menghabiskan air matanya.
Arak getir masuk perut berubah menjadi air mata.
Mengawasi orang, tiba-tiba Hong Si-nio tertawa, katanya lembut, "Sekarang aku ingat satu hal."
"Hal apa?" tak tahan Sim Bik-kun bertanya.
"Sepertinya kau dan aku belum pernah minum arak bersama."
"Ya, belum pernah."
"Apa salahnya hari ini kita minum bersama sampai mabuk?"
Tak menunggu reaksi Sim Bik-kun, mendadak ia berlari keluar seraya berteriak, "Ambilkan arak, botol besar
ukuran 20 kati."
Betapapun baik kwalitas arak, dalam kondisi mereka sekarang, tetap menjadi arak getir. Demikian dalam
angan-angan Sim Bik-kun, kehidupan ini memangnya mirip secawan arak getir. Hong Si-nio sudah
menghabiskan dua cawan arak, cawan besar. Tapi cawan Sim Bik-kun masih penuh, setetes pun belum
dimium. "Kau tidak minum?"
"Aku tidak ingin mabuk."
Hong Si-nio mengkerut alis, "Kapan hidup ini pernah mabuk, kenapa kau tidak ingin mabuk?"
"Sebab aku sudah mengerti maksudmu."
"Aku punya maksud apa?"
"Kau ingin melolohku minum sampai mabuk, lalu meninggalkan aku di sini, kau sendiri akan pergi ke Seouw."
Hong Si-nio menyengir lebar, tawanya kecut.
"Aku tahu kau pasti akan menyusul Lian Shia-pik, pergi mencari Thian Sun, kesempatan baik kali ini takkan
kau sia-siakan,"
Hong Si-nio tertawa getir, "Awalnya kau bukan orang yang suka curiga, kenapa sekarang berubah?"
"Karena aku dipaksa harus berubah."
"Memangnya kau juga ingin mencari mereka?"
"Memangnya aku tidak boleh pergi?"
"Kau tidak boleh."
"Kenapa?"
"Karena bila kedatangan kita diketahui mereka, jangan harap kau bisa hidup lagi."
"Maka kau melarang aku pergi?"
"Sebab kau tidak perlu berkorban lagi."
"Tapi kau boleh pergi, kau siap mati."
Sejenak Hong Si-nio diam, lalu bertanya, "Tahukah kau, aku ini orang macam apa?"
"Bukan saja cantik rupawan, cerdik pandai, jiwamu lapang dada, terbuka, setua ini usiamu, hidupmu lebih
senang, lebih gembira dibanding orang lain, jauh lebih bahagia dibanding aku."
Hong Si-nio tertawa lagi, tawanya membayangkan betapa kosong hatinya, betapa sedih dan merana.
Cukup lama baru membuka suara, "Aku ini anak sebatang-kara, sejak kecil tidak punya rumah tiada
keluarga tanpa famili, anak lain masih mengompol di pelukan ibunya, aku sudah terlunta-lunta di jalanan,
kehangatan keluarga hakikatnya tidak pernah aku rasakan barang sehari saja.
"Waktu usiaku belasan tahun, aku sudah pandai naik kuda yang berlari paling kencang, minum arak paling
keras, meski dari kwalitas paling rendah, bermain golok yang paling cepat, berpakaian baju paling baru dan
bagus, berkenalan dengan teman yang punya kuasa.
"Sebab aku mengerti, perempuan macamku ini, kalau mau berkecimpung di Kangouw, maka harus banyak
belajar cara bagaimana melindungi diri sendiri, sedikit meleng atau kendor kewaspadaan, mungkin sudah
lama aku 'dimakan' oleh orang, sisa tulang pun susah dicari lagi."
"Banyak orang menganggap aku hidup senang, karena aku sudah belajar menelan air mata ke dalam perut.
"Tahun ini usiaku sudah tiga puluh lima, masih seperti dua puluh tahun lalu, tiada rumah, tanpa famili, tiap
datang tahun baru, seorang diri diam-diam aku menyembunyikan diri.
"Sebab tidak kubiarkan orang lain tahu, melihat aku mengucurkan air mata." Sampai di sini ia mengangkat
kepala, menatap Sim Bik-kun, "Kau juga perempuan, kau tahu apa yang diharapkan, didambakan seorang
wanita." Sim Bik-kun menundukkan kepala.
"Keluarga bahagia, anak yang patuh, suami yang pengertian, kehidupan nan tentram ... semua itu adalah
harapan dan dambaan setiap perempuan, sebab yang mereka inginkan bukan impian muluk, bukan barang
mewah, tapi kebutuhan tiap keluarga."
"Satu pun aku tidak punya apa-apa."
Hong Si-nio menggengam tangan Sim Bik-kun, "Coba kau pikir, perempuan seperti aku ini, apa alasanku
untuk mempertahankan hidup?"
Sim Bik-kun tertawa, sama-sama terawa getir, "Dan aku" Apa alasanku mempertahankan hidup?"
"Paling tidak ada satu alasan."
"Siau Cap-it Long?"
Hong Si-nio manggut, "Paling tidak, ada orang yang mencintaimu dan kau juga mencintainya."
Berdasar alasan ini, cukup bagi seorang perempuan untuk mempertahankan hidup.
"Maka kau tidak boleh mati, kau tidak boleh pergi." Hong Si-nio berdiri, "Bila bertemu dia, pasti kusuruh dia
ke tempat ini mencarimu."
"Kau kira aku akan menunggunya di sini?"
"Kau harus menunggunya di sini."
"Kalau kau menjadi aku, kau mau menunggu?"
"Kalau ada seorang yang kucintai dan mencintaiku, berapa lama aku harus menunggu, aku akan selalu
menunggunya."
Mengawasi mata orang yang berlinang air mata, Sim Bik-kun mendelu dibuatnya, "Kalau begitu, yang harus
menunggu dia di sini adalah kau, bukan aku."
Kata-katanya sungguh mirip sebatang cemeti. Hong Si-nio merasakan sekujur badannya mengejang, cemeti
ini tepat menghujam ke hulu hatinya, tempat yang paling lemah di tubuhnya.
Sim Bik-kun berkata kalem, "Sekarang aku bukan lagi perempuan yang lemah, perempuan yang tidak tahu
apa-apa, maka banyak persoalan yang kau anggap aku tidak bisa mengerti, semua sudah kupahami."
"Kau ...." teriak Hong Si-nio.
Sim Bik-kun menukas ucapannya, "Maka kalau aku punya alasan untuk hidup, demikian pula engkau, kau
boleh pergi menyerempet bahaya, kenapa aku tidak?" ucapannya bernada tegas penuh tekad, meski
bernada sedih, "Kelahiranmu berbeda dengan kelahiranku, tapi sekarang, nasibmu sama dengan nasibku,
kenapa kau menyangkal akan hal ini?"
Dengan tajam ia mengawasi Hong Si-nio, sorot matanya penuh pengertian dan simpati. Hong Si-nio juga
tengah mengawasinya. Mereka berdua saling tatap, saling pandang ... dua cewek yang pasti berbeda,
seperti dibelenggu oleh tambang yang sama ....
Apakah nasib itu" Bukankah nasib merupakan sebuah rantai gembok yang tidak kelihatan.
Apakah kasih" Apakah simpati" Ya, mirip sebuah rantai gembok yang tidak kelihatan.
XXI. PERAN SI TUKANG PERAHU
Kota Hang-ciu Setelah keluar dari kota Yong-kim-bun, melewati Lam-ping-am-ciong, perahu terus didayung menuju ke
Sam-tham-ing-gwat, waktu mereka tiba di Se-ling-kio, hari sudah mendekati senja.
Riak lembut di permukaan danau membayangi kemilau cahaya senja, dipandang dari kejauhan bagai
kemilau permata bertaburan.
Seorang nelayan dengan topi hitam menutupi separoh wajah, tengah berjongkok di ujung jembatan
menjulurkan joran memancing ikan.
Dari perahu pesiar di kejauhan sana, berkumandang alunan nyanyian merdu yang mengasyikan.
"Kau pernah ke sini?" tanya Hong Si-nio.
Sim Bik-kun mengangguk, bola matanya indah, membayangkan selintas kenangan nan sendu.
Dulu bukankah dia pesiar di danau ini bersama Lian Shia-pik.
"Kau tahu dimana letak Cui-gwat-lo?"
Sim Bik-kun menggeleng kepala.
Pemilik perahu yang mereka tumpangi adalah ibu beranak yang juga menjadi tukang perahu, sang putri
tampak serba kasar dan kuat, rambut tak tersisir, pakaian pun carut-marut, namun masih nampak gerakgeriknya
yang gemulai. Mendadak ia mengulur tangan menunjuk ke depan, "Bukankah Cui-gwat-lo ada di sana?"
Yang ditunjuk adalah sebuah perahu pesiar yang berada jauh di tengah danau.
"Apakah Cui-gwat-lo adalah perahu pesiar itu?" tanya Hong Si-nio.
Giliran tukang perahu menjawab, "Di danau ini ada tiga buah perahu pesiar paling besar, yang pertama
bernama Put-kik-wan, yang kedua bernama Su-hoat-hong dan yang ketiga adalah Cui-gwat-lo."
"Berapa besar perahu pesiar itu," tanya Hong Si-nio.
"Wah, besar sekali," sahut tukang perahu atau sang ibu, "di atas perahu sekaligus bisa disiapkan belasan
meja perjamuan." Setelah menarik napas dengan nada kepincut ia meneruskan menutur, "Entah kapan aku
bisa memiliki perahu pesiar seperti itu, tidak sia-sia seumur hidup aku bekerja sebagai tukang perahu."
Ia mengawasi sepasang jari tangannya, tangan perempuan umumnya halus runcing, tangannya justru kasar
berkulit tebal. Maklum perempuan yang mencari nafkah di atas air, mereka bekerja tak kenal lelah, tidak
ringan tak kenal berat, sepanjang hari bekerja, namun hasilnya tidak cukup untuk hidup satu hari, betapa lara
dan rudin hidup mereka dapatlah dibayangkan.
Mengawasi tangan orang, mendadak Sim Bik-kun bertanya, "Biasanya sehari kalian bisa dapat berapa duit?"
Tukang perahu menyengir getir, "Mana bisa tiap hari dapat duit, umpama ada penumpang yang naik perahu,
paling dapat upah belasan keping uang tembaga, memang di musim semi lebih mending ...."
Bicara tentang musim semi, matanya tampak bersinar. Musim semi adalah hari-hari panjang yang
diharapkan tiap nelayan di danau ini. Padahal saat itu pertengahan musim rontok.
Mendadak Sim Bik-kun tertawa lebar, "Apa kalian tidak ingin pesiar ke kota barang beberapa hari" Kecuali
ongkos perahu ini, nanti kutambah lima tahil perak?"
* * * * * Setelah magrib.
Di perahu itu tinggal dua orang tukang perahu, yaitu seorang ibu dan seorang putrinya.
Lalu Hong Si-nio dan Sim Bik-kun kemana"
Bukankah mereka tadi menumpang perahu ini"
Sim Bik-kun sekarang adalah seorang ibu.
Seorang ibu biasanya jarang menarik perhatian orang, ia tidak suka ada orang mengenali dirinya.
Maka Hong Si-nio pun menjadi putri tukang perahu.
Entah bagaimana mereka mempersiapkan diri, yang pasti wajah mereka sudah berubah.
"Kau masih mengenalku?" tanya Sim Bik-kun.
Hong Si-nio tertawa, "Sungguh tak nyana, ternyata kau pandai tata rias."
"Tata riasku paling hanya bisa mengelabui mata orang di malam hari, sementara masih boleh diandalkan."
"Waktu bulan purnama, bukankah hari sudah malam?"
"Makanya kalau siang jangan kita muncul di depan umum."
"Apa kau tidak mendengar orang bilang Hong Si-nio adalah kucing malam?"
Malam ini tanggal tiga belas, masih dua hari baru terang bulan.
Rembulan malam ini belum bundar, belum bulat, namun cahayanya yang kemilau di permukaan air
menambah indahnya pemandangan malam di danau.
"Menurut pendapatmu, orang yang bernama Thian Sun, esok lusa mungkin tidak datang?"
"Pasti datang, aku malah kuatir kalau dia datang, kita tidak bisa mengenalinya."
"Bila dia datang, kita pasti dapat mengenalinya."
"Kau yakin?"
"Paling sedikit kita punya tiga sumber."
"Coba jelaskan."
"Yang pertama, kita tahu orang itu berperawakan kecil kurus, selalu membawa anjing."
"Kedua, kita tahu dia akan datang ke Cui-gwat-lo."
"Ketiga, kita tahu kalau Lian Shia-pik akan bertemu dia."
"Walau kita tidak mengenalinya, tapi kita bisa melihat anjing, mengenal Cui-gwat-lo, juga mengenal Lian
Shia-pik."
Hong Si-nio benar-benar penuh keyakinan, sayang ia melupakan satu hal.
Umpama kau betemu Thian Sun, memangnya apa yang bisa kau lakukan"
Bulan merambat kian tinggi, meski musim rontok telah pertengahan, air danau terasa dingin.
Duduk di haluan perahu, Hong Si-nio melepas sepatu kain hijaunya, dengan sepasang kakinya yang
telanjang bermain air.
Sim Bik-kun tengah mengawasinya, menatap sepasang kakinya, mendadak ia berkata, "Kabarnya sekali
tendang kau pernah merobohkan Poan Thian-hun dari Ki-lian-san."
BENTROK PARA PENDEKAR
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 14 Hong Si-nio manggut-manggut saja.
"Kau menendang dengan sepasang kakimu itu?"
"Hanya dengan satu kaki."
Sim Bik-kun tertawa geli. Sudah lama ia tidak pernah tertawa, di hadapannya terbentang pemandangan
danau nan permai, hawa nan sejuk, hatinya terbuka, pikiran jernih, tawa nan sejuk.
Dengan tersenyum lebar ia berkata, "Sepasang kakimu itu rasanya tidak mirip kaki yang dapat menendang
mati orang."
"Aku paling senang bila orang mengatakan kakiku bagus, kalau kau pria, akan kusuruh kau mengelus
kakiku." "Sayang aku bukan ...." kata Sim Bik-kun, suaranya amat lirih.
Apakah karena ia merindukan Siau Cap-it Long"
Sayang kau bukan Siau Cap-it Long.
Sayang sekali anda juga bukan Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long dimanakah kau berada"
Kenapa sampai sekarang belum ada beritamu"
Cahaya rembulan lebih terang. Namun air muka mereka lebih guram.
Dari tengah danau kembali berkumandang nyanyian merdu, suaranya nyaring bening, diselingi cekikikan geli
nan mengasyikan, sang penyanyi yakin adalah soprano yang cantik lagi rupawan.
Ternyata nyanyian dan gelak tawa berkumandang dari arah Cui-gwat-lo di kejauhan sana. Bayangan orang
banyak tengah berpesta kelihatan samar dari kejauhan.
Hong Si-nio mendadak tertawa riang, katanya, "Sayang dalam dua hari ini kita sibuk, kalau tidak, kita terjang
ke atas ikut minum beberapa cawan."
Sim Bik-kun berkata, "Kau tahu siapa yang mengadakan perjamuan di atas kapal?"
"Aku tidak tahu."
"Siapa pengundangnya kau tak tahu, berani kau naik ke sana?"
"Peduli siapa dia, dia pasti mau menyambut kehadiranku."
"Kenapa?"
"Sebab kita ini perempuan, kalau lelaki sedang minum arak, melihat perempuan yang enak dipandang
datang, dia pasti senang menyambut kedatangannya."
"Sepertinya kau amat berpengalaman?"
"Terus terang saja, kejadian seperti itu, entah berapa puluh kali pernah kulakukan."
Sim Bik-kun mengawasinya, mengawasi bola matanya yang bersinar, mengawasi lesung pipitnya yang
menggiurkan, akhirnya ia menghela napas, "Sayang aku bukan lelaki, kalau tidak, aku rela menjadi binimu."
Hong Si-nio, tertawa, "Kalau engkau lelaki, aku juga senang menjadi istrimu."
Walau sedang tertawa, tapi tawanya tampak sendu.
Mereka merindukan Siau Cap-it Long. Siau Cap-it Long, Siau Cap-it Long kenapa kau selalu membikin orang


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasmaran, ingin melupakanmu, hati malah risau, membuang pikiran melupakanmu juga tak mungkin.
Sekonyong-konyong dari arah tanggul seseorang memanggil, "Tukang perahu, bawa perahumu kemari."
Hong Si-nio menghela napas, "Nah, kita dapat obyekan, nasib kita agak mujur hari ini."
Sim Bik-kun berkata, "Sebagai tukang perahu, dia membutuhkan tenaga kita, jangan rezeki ini ditolak."
"Betul, masuk akal," seru Hong Si-nio seraya melompat ke depan meraih galah, sekali mengerahkan tenaga,
perahu meluncur kencang ke arah tepian.
"Kau bisa mengendalikan perahu ini?" tanya Sim Bik-kun.
"Delapan belas macam senjata semua dapat kumainkan dengan mahir, memangnya hanya mengayuh aku
tidak mampu?"
Sim Bik-kun tertawa geli, tanyanya, "Adakah sesuatu yang tidak mampu kau lakukan?"
"Ada satu."
"Apa itu?"
"Selamanya aku tidak suka berpura-pura, aku tidak perlu merasa malu."
Yang mau naik perahu ada tiga orang.
Dengan rasa riang Hong Si-nio berkata, "Kalau orang-orang Kangouw dikumpulkan di sini, lalu berbaris
lewat di mukaku, tiap tiga orang, paling sedikit ada satu orang yang kukenal."
Dalam hal ini Hong Si-nio memang tidak membual. Ia kenal satu di antara ketiga orang itu.
Seorang lelaki bermata sipit, berpenampilan keren, mengenakan jubah panjang, memegang kipas yang
digoyang-goyang, penampilannya mirip pelajar.
Gelarnya memang Pwe-bing Suseng, pelajar pencabut nyawa. Kipas lipat di tangannya itu adalah gaman
yang diandalkan.
Dalam kalangan Bulim, tokoh silat yang memakai kipas lempit sebagai senjata memang jarang. Pwe-bing
Suseng Su Jiu-san adalah salah satu di antara tokoh yang disegani itu.
Orang yang berkawan atau bergaul dengannya tentu bukan sembarang tokoh.
Siau Cap-it Long sering bicara, "Dari sekian banyak insan persilatan, paling sedikit setengah di antaranya
dikenal Hong Si-nio, setengah di antara mereka juga mengenal Hong Si-nio."
Tapi ketiga orang ini semua tidak mengenalnya, Su Jiu-san pun tidak mengenalnya, maklum cuaca remangremang,
bentuk rupanya kini juga sudah berubah, sebab siapa mengira Hong Si-nio bisa jadi tukang perahu
di Se-ouw. "Tuan-tuan mau kemana?" tanya Hong Si-nio.
"Cui-gwat-lo," katanya Su Jiu-san, "kau tahu dimana Cui-gwat-lo?"
Hong Si-nio lega, tempat lain di sekitar Se-ouw jelas ia tidak tahu, Cui-gwat-lo jelas ia sudah tahu.
Su Jiu-san sudah mencari tempat duduk di haluan, diam-diam ia memperhatikan tukang perahu yang cewek
ini, terakhir ia mengawasi kaki orang, tiga laki-laki itu semua mengawasi kakinya.
Hong Si-nio tidak bisa melarang orang mengawasi kakinya, namun hatinya amat gemas dan keki melihat
cara mereka memandang, rasanya seperti ingin menjahit mata mereka saja. Sebab ia sendiri maklum,
tukang perahu perempuan yang sepanjang tahun bekerja keras di atas air, tak mungkin memiliki sepasang
kaki semulus, putih dan menggiurkan seperti kakinya, maka ia harus berusaha mengalihkan perhatian
mereka, celakanya otaknya seperti bebal, tiada akal terpikir olehnya. Sementara sorot mata ketiga orang ini
seperti tajamnya paku memantek sepasang kakinya.
Untunglah dari Cui-gwat-lo yang besar dan benderang itu berkumandang gelak tawa ramai disertai tepuk
tangan yang gegap gempita, disusul suara nyanyian berkumandang lagi, suaranya keras berisi, bukan
penyanyi perempuan, tapi seorang lelaki dengan nada tinggi membawakan lagu romantis nan mengasyikan.
Mendadak Su Jiu-san tertawa dingin, "Eh, tampaknya dia amat gembira."
Laki-laki setengah umur bermuka kuning temannya itu menanggapi, "Sepertinya sejak tanggal lima, dia
mulai mengadakan pesta, hari ini sudah tujuh hari, pesta-pora belum juga usai."
Seorang lelaki yang lain menimbrung, "Maka aku mengaguminya." Lelaki ini bertubuh kekar, brewok lagi.
"Kau mengaguminya?"
"Siapa pun dia, setelah tujuh hari pesta mabuk-mabukan, masih punya semangat membawakan lagu seriang
itu, aku akan mengaguminya."
Lelaki muka kuning mengejek dingin, "Darimana kau tahu dia sudah berpesta-pora selama tujuh hari?"
"Sebab aku tahu dia seorang yang pasti mabuk tiap kali menyentuh arak," kata si brewok.
Mengawasi kemilau cahaya di permukaan air danau, sorot mata Su Jiu-san seperti berusaha menyelami
persoalan, katanya dengan perlahan, "Entah berapa cewek yang dia panggil untuk teman minumnya?"
"Tergantung berapa banyak tamu yang dia undang," ujar lelaki setengah umur bermuka kuning.
"Orang-orang gagah di wilayah Kanglam, sepertinya dia undang seluruhnya."
"Apa tujuannya?"
"Siapa tahu."
Seorang mengundang tamu makan minum, sang tamu tidak tahu untuk apa pengundang mengadakan
pesta, ini kejadian aneh, pengundangnya lebih aneh.
Walau kepala menunduk, tapi sorot mata Hong Si-nio benderang.
Siapakah tuan rumah yang mengadakan pesta"
Apakah Thian Sun"
Mengapa mengundang semua insan persilatan di daerah Kanglam" Memangnya punya maksud tertentu
atau hanya jebakan belaka"
Jebakan untuk membunuh mangsa"
Terbayang dalam ingatan Hong Si-nio akan pembunuhan di Pat-sian-cun beberapa waktu lalu, ingin rasanya
dia melarang Su Jiu-san dan kawan-kawan naik ke kapal pesiar itu.
Namun ia sendiri ingin melihat keadaan di sana, dia pun ingin tahu siapa tuan rumah penyelenggara pesta.
Hong Si-nio menghela napas panjang.
Di atas kapal mendadak tak terdengar lagi suara orang berpesta-pora, rupanya sedang mengawasinya
dengan mata melotot, bukan sedang mengawasi kakinya yang mulus, tetapi sedang mengawasi wajahnya.
Untung dia mengenakan topi lebar, hingga sebagian wajahnya tertutup. Ia pun menundukkan kepala.
Walaupun mata Su Jiu-san sipit, ternyata mulutnya sangat lebar. Mendadak ia tertawa tergelak, serunya,
"Aku Su Jiu-san."
Dengan kepala masih tertunduk, Hong Si-nio memanggilnya, "Su-toaya!"
"Jangan kau panggil aku Su-toaya, panggil saja aku Su-jiya," kata Su Jiu-san, lalu lanjutnya, "Dia inilah Hotoaya,
Hou Bu-pe."
Lelaki setengah umur berwajah kuning manggut-manggut. Terpaksa Hong Si-nio memanggilnya, "Ho-toaya!"
Sudah jelas tampangnya seperti orang berpenyakitan, tetapi namanya justru Bu-pe, tak berpenyakit,
sungguh menggelikan, demikian batin Hong Si-nio.
"Akulah Ong-losam, Ong Bing," timbrung lelaki brewok itu.
Hong Si-nio menahan geli, agaknya Ong-losam ini lebih sopan dibanding kedua rekannya.
"Nona, siapa namamu?" tanya Su Jiu-san.
"Ah, aku yang rendah hanyalah seorang tukang perahu," sahut Hong Si-nio.
"Sekalipun kau seorang tukang perahu kan juga punya nama."
"Rasanya tak perlu aku mengatakannya."
"Bukankah kita sudah naik di atas perahu yang sama, ini namanya kita berjodoh, untuk apa kau
sembunyikan namamu?"
Sungguh orang ini sangat memuakkan, menyebalkan, pantas saja dijuluki Pwe-bing Suseng, pelajar
pencabut nyawa.
Hou Bu-pe menukas, "Biasanya perempuan suka malu menyebut namanya di hadapan laki-laki."
"Kelihatannya dia bukanlah seorang perempuan pemalu."
"Buat apa kau memaksanya memberitahu namanya, kalau dia tidak mau menyebut nama sendiri, ya
sudahlah," sela Ong Bing.
Su Jiu-san menatap Hong Si-nio lekat-lekat, katanya pula, "Mengapa kau enggan menyebut namamu?"
"Aku tidak berani," teriak Hong Si-nio.
"Kau takut asal-usulmu ketahuan?"
Hong Si-nio tertawa dingin, "Memangnya seorang tukang perahu punya asal-usul apa yang memalukan."
"Memangnya kau tukang perahu tulen?"
"Tentu."
"Tampaknya tidak mirip."
"Apanya yang tidak mirip?"
"Semuanya tidak mirip."
"Lalu aku mirip apa?" dengan mengertak gigi Hong Si-nio tertawa dingin.
Mendadak Su Jiu-san melompat bangun sambil mementang kipas lipatnya.
Jari-jari tangan Hong Si-nio terkepal kencang. Ia merasakan niat jahat lelaki di hadapannya ini.
Sinar mata Su Jiu-san memancarkan sinar buas.
Apapun yang akan dilakukan lelaki itu, Hong Si-nio sudah bersiap untuk melancarkan serangan, berniat
melancarkan tendangan terlebih dulu, kalau bisa sekali tendang membuat musuh langsung roboh terkapar.
"Kita sudah tiba di Cui-gwat-lo!" teriak Sim Bik-kun tiba-tiba.
Ketika Hong Si-nio berpaling, benar saja, perahu mereka telah berada di dekat kapal pesiar besar itu. Kapal
pesiar yang terang benderang disinari cahaya lentera, suara musik pun berkumandang dari atas loteng,
sedangkan di bagian bawah tampak sunyi sepi, rupanya seluruh penumpang sedang berkumpul di ujung
geladak. Ada sekitar 30-an orang yang berkumpul di situ, tampaknya mereka sedang berbisik-bisik, entah apa yang
dibisikkan. "Mengapa mereka tidak berkumpul di ruang dalam?" demikian pikir Hong Si-nio penuh keheranan.
Siapa penyelenggara pesta"
Mengapa tidak berkumpul di dalam"
Su Jiu-san mengawasinya, tiba-tiba tanyanya, "Kau sanggup melompat ke atas kapal?"
Hong Si-nio menggeleng.
"Kau tak ingin melihat keramaian di sana?"
Kembali Hong Si-nio menggeleng.
"Kau tidak menyesal?"
"Kenapa mesti menyesal?"
Su Jiu-san tertawa, katanya, "Karena penyelenggara pesta adalah orang yang ingin dilihat siapa pun."
"Siapa?"
"Siau Cap-it Long!"
XXII. PESTA DI CUI-GWAT-LO
Siau Cap-it Long!
Ternyata tuan rumah penyelenggara pesta adalah Siau Cap-it Long.
Pemilik kapal mengundang Lian Shia-pik bersua di sini, ternyata dia pun sedang menyeienggarakan pesta.
Apakah semuanya ini hanya kebetulan" Atau dia memang sengaja mengatur hal ini"
Dia tahu di antara sepuluh jago di dunia persilatan, sembilan orang adalah musuh bebuyutannya, mengapa
dia tetap menyelenggarakan pesta di situ, bahkan mengundang seluruh musuh bebuyutannya"
Hong Si-nio tertegun.
Su Jiu-san tidak menggubrisnya, sembari menggoyang kipas ia melompat naik ke atas kapal. Hou Bu-pe
serta Ong Bing mengikut di belakangnya.
Sebagian besar kawanan jago di atas geladak segera maju menyambut kedatangannya, pergaulan Su Jiusan
memang sangat luas.
Tapi dimana Siau Cap-it Long" Mengapa dia tidak menyambut kedatangan tamunya"
Hong Si-nio mulai menyesal, mengapa tidak ikut naik ke sana.
Sim Bik-kun menghampirinya, tanyanya lirih, "Kau kenal orang she Su itu?"
"Hm!"
"Apakah mengenalimu?"
"Rasanya begitu."
Setelah sangsi sejenak, kembali Sim Bik-kun bertanya, "Menurut kau, apakah dia sengaja bergurau
denganmu?"
"Aku rasa dia tidak berani," sahut Hong Si-nio.
"Lalu ... apakah benar penyelenggara pesta itu Siau...." Berputar biji mata Hong Si-nio, tukasnya, "Kau
berjaga di sini, sementara aku akan menyusup masuk lewat buritan perahu."
Cui-gwat-lo ternyata lebih besar dan lebih tinggi dari kapal yang ditumpanginya.
Hong Si-nio mendekam di atas wuwungan kapal sambil mengawasi ke bawah, namun tidak nampak sesuatu
gerakan apapun di atas loteng kapal pesiar itu, dia dapat melihat jelas semua orang yang sedang berkumpul
di geladak. Dari tiga puluhan orang yang hadir, paling tidak dia kenal empat-lima belas orang di antaranya.
Seorang kakek berambut putih kurus, kecil dan pendek sedang berbincang dengan Hou Bu-pe.
Hong Si-nio segera mengenali orang itu, Ciangbunjin Sing-gi-bun aliran selatan, si monyet sakti Hu It-gwan.
Biarpun orang ini belum terhitung jagoan yang berilmu tinggi, namun posisi dan kedudukannya dalam dunia
persilatan sangat tinggi. Namun terlihat dia sangat menghormat pada Hou Bu-pe.
Hong Si-nio tidak tahu orang macam apa Hou Bu-pe, darimana pula asal-usulnya"
"Sudah lama aku mendengar dan mengagumi nama besar Hou-sianseng, sayang baru bertemu denganmu
sekarang," terdengar Hu It-gwan berkata sambil tertawa.
"Selama ini memang tidak banyak orang yang bisa bertemu denganku," sahut Hou Bu-pe dingin.
"Jadi Hou-sianseng memang sudah lama tak pernah terjun lagi dalam dunia persilatan?"
Hou Bu-pe manggut-manggut, lalu katanya, "Karena aku terluka oleh pukulan To-pik-eng-ong (Raja elang
berlengan tunggal) hingga aku harus merawat luka selama lebih 15 tahun."
Mendengar ucapannya ini hampir Hong Si-nio melompat bangun saking kagetnya, teringat olehnya asal-usul
seorang kosen yang telah lama menghilang.
Dulu, Ciangbunjin partai Sian-thian Bu-khek-pay, Tiongciu-tayhiap Tio Bu-khek, mempunyai Sute bernama
Ho Bu-kong, ilmu silatnya sangat tinggi, belum lama ia terjun dalam dunia persilatan, tahu-tahu jejaknya
hilang tak berbekas. Kemungkinan Hou Bu-pe ini adalah Ho Bu-kong.
Tio Bu-khek yang berjuluk pendekar besar itu sesungguhnya adalah seorang Kuncu gadungan dan berjiwa
munafik, dia sendiri pada akhirnya tewas di tangan Siau Cap-it Long dalam pertarungan memperebutkan
golok jagal rusa.
Kini secara tiba-tiba Hou Bu-pe muncul di sini, apakah kemunculannya ini bermaksud untuk membalas
dendam" To-pik-eng-ong adalah salah seorang jago tangguh yang ditugaskan oleh Tio Bu-khek untuk melindungi
golok jagal rusa, namun dia sendiri juga tewas secara mengenaskan.
Apakah Hou Bu-pe tahu akan rahasia dibalik peristiwa itu"
Hong Si-nio tak melihat perubahan mimik wajahnya, tapi ia yakin parasnya pasti merah padam. Dalam
keadaan seperti ini tak mungkin ia terus membual di depan Hou Bu-pe, ia mulai mencari akal untuk ngacir
dari tempat ini.
Belum sempat ia angkat kaki, Ong Bing sudah menarik tangannya sambil berkata, "Di kapal ini tersedia arak
dan daging, mengapa kalian tidak menikmatinya?"
Hong Si-nio sudah menduga akan pertanyaan ini.
Hu It-gwan hanya diam saja, terhadap Ong Bing ia tidak akan sungkan seperti terhadap Hou Bu-pe.
Walau Ong Bing berangasan dan kasar, namun ia bukanlah orang bodoh, mengetahui sikap orang yang
dingin, ia menegur sambil melotot, "Kau hanya kenal pada Hou-toako, memangnya kau tidak mengenali
aku?" "Memangnya kau ini siapa?" sahut Hu It-gwan.
"Aku bernama Ong Bing, seorang Hwesio yang tak terkenal."
"O!" "Aku hanyalah seorang Hwesio yang diusir dari Siau-lim-si."
Hu It-gwan tidak menanggapi, hanya tertawa dingin.
Tiba-tiba Ong Bing menunjuk hidung sendiri, katanya, "Akulah si Hwesio liar yang nyaris menghancurkan
ruang Lo-han-tong kuil Siau-lim-si, akulah si Hwesio baja yang tidak mampus walau sudah digebuk seratus
delapan puluh kali pukulan toya."
Berubah hebat paras muka Hu It-gwan. Rupanya ia telah salah menduga orang.
Hong Si-nio pun tidak kalah terperanjatnya.
Mengapa Hwesio liar ini bisa muncul di sini" Apakah dia datang untuk menghadapi Siau Cap-it Long.
Tanpa mempedulikan Ong Bing yang masih tercengang, Hu It-gwan berkata sambil menghela napas, "Tidak
sembarang orang boleh naik ke kapal itu."
"Memangnya kalian bukan tamu yang diundang Siau Cap-it Long?"
"Justru kami adalah tamu undangannya."
"Kalau kalian adalah tamunya, kenapa tak boleh masuk ke dalam?"
Hu It-gwan ragu-ragu sejenak, kemudian sahutnya sambil tertawa, "Tamu undangan banyak macamnya,
sebab tujuan kedatangan setiap orang berbeda."
"Lalu apa tujuan kedatanganmu?"
"Aku datang untuk bertamu."
"Kalau bertamu tak boleh masuk, lantas manusia macam apa yang boleh masuk?"
"Orang yang datang untuk membunuhnya!"
"Hanya orang yang ingin membunuhnya baru boleh masuk untuk minum arak?" tanya Ong Bing melengak.
"Betul."
"Siapa yang omong begitu?"
"Dia sendiri."
Tiba-tiba Ong Bing mendongakkan kepala dan tertawa, serunya, "Bagus! Siau Cap-it Long si bocah keparat,
kau memang hebat."
Di tengah kumandang gelak tawanya yang nyaring, dia beranjak dari situ dan menerjang ke ruang perahu
dengan langkah lebar.
Lekas Su Jiu-san menarik tangannya.
"He, mengapa kau menarik tanganku, bukankah kita datang untuk membunuhnya?" tegur Ong Bing dengan
kening berkerut.
"Sekarang belum tiba saatnya."
"O, karena itu kita tidak boleh masuk untuk minum arak?"
"Di luar geladak begitu banyak sahabat, apa artinya bila kau masuk seorang diri?"
Ong Bing merasa tak puas mendengar perkataan itu, namun dia tidak membantah dan tidak berusaha lagi
menyerbu ke dalam. Meskipun begitu ia masih mengomel, "Hanya orang yang ingin membunuhnya yang
boleh masuk untuk minum arak, keparat... bila kau bukan telur busuk tentu kau memang punya
kemampuan."
Sebenarnya Siau Cap-it Long seorang keparat atau telur busuk" Hong Si-nio pun sering bertanya kepada
diri sendiri, entah sudah berapa puluh kali.
Sekonyong-konyong dari ruang bawah loteng terdengar suara orang terbatuk-batuk, rupanya ada seorang
yang sedang duduk di ruangan situ sambil menenggak arak, mungkin karena kurang hati-hati hingga
tersedak. Hanya orang yang ingin membunuhnya yang boleh masuk untuk minum arak. Jadi orang ini datang untuk
membunuhnya. Nyali siapa yang begitu besar hingga berani datang secara terang-terangan untuk membunuh Siau Cap-it
Long" Hong Si-nio jadi ingin tahu orang macam apa dia.
Sayang dia tak dapat melihatnya. Orang itu berdiri membelakangi jendela hingga wajahnya tak terlihat.
Hong Si-nio hanya bisa melihat orang itu memakai baju biru yang sudah luntur dan ada beberapa tambalan.
Dengan santainya orang itu masih makan dan minum.
Siapakah dia"
Siapa pun orangnya, dengan penampilannya yang santai dan keberaniannya untuk datang secara terangterangan,
jelas dia bukan sembarang tokoh.
Di dalam maupun di luar geladak tak nampak bayangan Siau Cap-it Long, kemana perginya dia"
Perlahan-lahan Hong Si-nio merambat turun kembali ke perahunya sendiri, tampak Sim Bik-kun menunggu
dengan cemas dan gelisah.


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau telah berjumpa dengannya?"
Hong Si-nio menggeleng.
"Tapi aku yakin dia pasti berada di kapal itu."
"Kenapa?"
"Sebab hanya dia yang bisa melakukan perbuatan semacam ini," sahut Hong Si-nio sambil menghela napas.
"Perbuatan apa?"
Hong Si-nio tertawa getir:
"Dia telah mengundang tiga-empat puluh orang untuk berpesta, namun khusus untuk orang yang bermaksud
membunuhnya."
"Mengapa dia berbuat begitu?"
"Siapa yang tahu, perbuatannya memang selalu membingungkan orang, biar berpikir sampai kepala pecah
juga belum tentu orang lain bisa menebaknya."
Padahal dia bukannya tidak tahu sama sekali.
Siau Cap-it Long sengaja berbuat begitu karena dia pun tahu tak seorang pun di antara para tamunya itu
yang bermaksud membunuhnya.
Dia hanya ingin tahu, ingin membuktikan, berapa banyak orang yang ingin membunuhnya.
Semua perbuatan Siau Cap-it Long hanya Hong Si-nio seorang yang paham, di kolong langit ini tiada orang
kedua yang jauh lebih memahami Siau Cap-it Long ketimbang dirinya.
Hanya saja dia enggan mengutarakan keluar. Apalagi di hadapan Sim Bik-kun.
Dia berharap Sim Bik-kun jauh lebih memahami Siau Cap-it Long ketimbang dirinya.
Dari ruang kapal pesiar kembali berkumandang suara seruling dan irama lagu, perlahan Sim Bik-kun
mendongakkan kepala, mengawasi jendela yang terang benderang dengan termangu, sorot matanya
berubah sendu. Hong Si-nio tahu apa yang sedang dia pikirkan.
Benarkah dia berada di atas loteng"
Berapa banyak orang yang menemaninya"
Siapa saja yang sedang menemaninya"
Gara-gara cinta, orang mudah berubah jadi pencemburu dan banyak curiga"
Diam-diam Hong Si-nio menghela napas panjang, tiba-tiba katanya, "Aku ingin naik lagi ke atas kapal untuk
melihat keadaan."
"Tapi ... tapi bukankah Su Jiu-san telah mengenalimu?" kata Sim Bik-kun ragu.
"Kalau dia sudah mengenaliku, kenapa pula aku harus menghindarinya?"
Sim Bik-kun tidak bicara lagi.
Sebenarnya ia tidak setuju dengan perbuatan Hong Si-nio, namun apa daya, ia tak mampu mencegahnya.
Bagaimanapun juga mereka adalah dua orang perempuan yang berbeda watak, pandangan mereka
terhadap suatu persoalan juga selalu berbeda.
Hong Si-nio tak pernah menghindari suatu persoalan ataupun kehendaknya, apapun resikonya.
Mendadak Sim Bik-kun berbisik, "Aku ikut!"
"Kau?"
"Kalau kau boleh ke sana, mengapa aku tak boleh?"
Dengan perasaan terkejut Hong Si-nio mengawasi wajahnya, sorot matanya memancarkan senyum
kegembiraan. Ternyata Sim Bik-kun telah berubah.
Dia seakan sudah mendapatkan sesuatu benda yang sebelumnya mustahil dimilikinya, yaitu keberanian!
"Mari kita pergi bersama," ajak Hong Si-nio sambil menarik tangannya, "tempat yang bisa kudatangi, tentu
saja kau pun boleh ke sana."
Hong Si-nio segera melompat naik ke geladak kapal pesiar.
Sim Bik-kun segera menyusul di belakangnya.
Ternyata ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi, ilmu senjata rahasia warisan keluarganya terlebih sangat
hebat, namun setiap kali bertarung, dia sering mengalami kekalahan.
Mungkin hal ini disebabkan dia tidak memiliki keberanian. Tanpa keberanian, setinggi apapun ilmu silatnya
menjadi tak berguna.
Ketika melihat ada dua orang wanita yang berdandan sebagai tukang perahu tiba-tiba melompat naik ke atas
kepal dengan Gin-kang yang hebat, tentu saja menimbulkan perasaan terkejut bagi semua orang.
Tapi Hong Si-nio sama sekali tak ambil peduli. Ia hanya menyapa Su Jiu-san, yang lain tak digubrisnya.
Su Jiu-san mendekatinya sambil menggoyang kipas lipatnya, sorot mata semua orang tertuju pada dirinya.
Semua kenalan Su Jiu-san memang lebih baik dihindari, karena orang ini tersohor gemar membunuh orang,
apalagi di sampingnya ada Hwesio baja yang kebal terhadap senjata.
"Akhirnya kau datang juga," sapa Su Jiu-san.
"Hm!"
"Sudah kuduga, kau pasti akan datang," kembali kata Su Jiu-san sambil tertawa.
"Oya?"
"Bukan suatu pekerjaan yang gampang bagi seseorang untuk menipu sahabat lama dengan menyaru muka."
"Apalagi terhadap seorang sahabat lama macam kau," sambung Hong Si-nio.
Gelak tawa Su Jiu-san semakin riang.
"Oleh sebab itu sedari tadi kau sudah mengenaliku?" kata Hong Si-nio lagi.
Su Jiu-san manggut-manggut, katanya lagi, "Tapi aku pun merasa tak paham akan suatu hal."
"Hal yang mana?"
"Darimana kau tahu kalau Siau Cap-it Long ada di sini?" bisik Su Jiu-san dengan suara lirih.
Hong Si-nio segera menarik muka, sahutnya ketus, "Kenapa aku harus tahu kemana Siau Cap-it Long pergi,
memangnya aku ini ibunya?"
Sekali lagi Su Jiu-san tertawa tergelak.
"Aku pun tak sudi mengurus tujuanmu datang kemari."
"Tentu saja," sahut Su Jiu-san tergelak, "memangnya kau emakku?"
"Aku hanya ingin kau melakukan satu hal untukku."
"Katakan saja."
"Aku hanya ingin kau menemani aku, kemana pun aku pergi."
Su Jiu-san mengawasinya dengan terperangah, di luar dugaan, tapi dia pun merasa gembira.
Kembali Hong Si-nio melotot sekejap, bisiknya, "Aku hanya ingin kau merahasiakan asal-usulku."
Setelah memandang perempuan itu sekejap, akhirnya Su Jiu-san menghela napas panjang, katanya,
"Sudah kuduga, kedatanganmu ini takkan menguntungkan bagiku." Lalu dengan memicingkan mata dia
melirik sekejap ke arah Sim Bik-kun yang berada di belakang perempuan itu, tanyanya lagi, "Siapa dia?"
"Kau tak perlu tahu, aku ingin bertanya, kau mau membantu atau tidak?"
"Boleh tidak kalau aku menolak?"
"Tidak bisa."
"Kalau tak bisa, buat apa kau bertanya lagi padaku?" sahut Su Jiu-san sambil tertawa getir.
Hong Si-nio tertawa, ujarnya dengan wajah berseri, "Kalau begitu temani aku ke sana, aku ingin ke sana."
"Mau apa kau ke sana?"
"Aku hanya ingin tahu siapa yang sedang duduk di situ sambil minum arak?"
"Kau tak bakal tahu."
"Kenapa?"
"Sebab dia memakai penutup wajah."
Orang itu ternyata memakai topeng kulit manusia yang lebih mirip sebuah penutup muka.
Karena topeng ini rata sama sekali permukaannya, tak ada kerutan wajah, juga tak nampak hidung, mata
maupun mulut, yang terlihat hanya dua buah lubang.
Dari balik lubang itu memancar sinar mata yang tajam.
Orang itu nampak santai, tapi karena dia mengenakan topeng hingga tampak misterius.
"Jadi kau pun tak tahu siapa orang itu?" tanya Hong Si-nio.
Su Jiu-san menggeleng, sahutnya tertawa getir, "Cara yang dipergunakan orang ini jauh lebih mujarab
ketimbang menyamar, biar bininya datang juga belum tentu bisa mengenalinya."
"Kalau kau sudah berani datang, kenapa tak berani menjumpai orang itu?" tanya Hong Si-nio dengan kening
berkerut. "Pertanyaan ini seharusnya kau ajukan kepadanya, setelah memperoleh jawabannya baru memberitahukan
kepadaku."
"Siau Cap-it Long maksudmu?"
"Betul, seharusnya kau tanyakan persoalan ini kepada Siau Cap-it Long, aku sendiri pun ...."
Mendadak ucapannya berhenti di tengah jalan, sorot matanya segera beralih ke arah tangga loteng kapal itu.
Seseorang dengan langkah mantap sedang menuruni tangga.
Orang itu memiliki perawakan tubuh kekar, gagah dan lincah.
Dia mengenakan jubah hitam dari sutera yang halus, sebilah golok tersoreng di pinggangnya.
Golok jagal rusa!
Akhirnya Siau Cap-it Long muncul!
Meskipun berdiri di antara orang banyak, dia masih tampak kesepian dan lelah. Namun sepasang matanya
mencorong terang dan dingin.
Setiap kali melihat sorot matanya, timbul perasaan aneh dalam hati Hong Si-nio.
Manis, kecut atau bahkan getir.
Orang lain tentu tak paham, bahkan dia sendiri juga susah membedakan.
Lalu bagaimana dengan Sim Bik-kun"
Setelah melihat Siau Cap-it Long muncul, bagaimana pula perasaan Sim Bik-kun"
Mereka hanya berdiri termangu, tidak memanggil, juga tidak masuk ke dalam.
Sebab keduanya tak ingin memanggil duluan, siapa pun tak ingin memperlihatkan perubahan perasaannya.
Bagaimanapun juga mereka adalah wanita, wanita yang sudah terpeleset dan jatuh ke dalam lembah
percintaan. Apalagi selain mereka, di sekeliling tempat itu masih terdapat banyak orang yang sedang memandangnya.
Siau Cap-it Long sama sekali tidak berpaling ke arah mereka, dia bahkan tidak menaruh perhatian.
Sorot matanya mengawasi manusia berbaju hijau yang mengenakan penutup wajah, tegurnya, "Kau datang
untuk membunuhku?"
Orang berbaju hijau itu mengangguk.
"Dan kau tahu kalau aku berada di atas loteng?"
"Hm!"
"Kenapa tidak langsung naik ke atas dan turun tangan?"
"Aku tidak ingin terburu-buru."
"Benar, membunuh orang memang tak bisa dilakukan dengan terburu-buru," Siau Cap-it Long mengangguk.
"Itulah sebabnya aku tak pernah terburu-buru bila ingin membunuh seseorang."
"Tampaknya kau mengerti cara membunuh orang."
"Kalau aku tidak mengerti, mana mungkin datang kemari untuk membunuhmu?" sela orang berbaju hijau itu
dingin. Siau Cap-it Long tertawa.
Biarpun sedang tertawa namun sorot matanya justru tampak dingin dan berkilat, ditatapnya orang berbaju
hijau itu dan katanya, "Topengmu itu jelek sekali."
"Sekalipun jelek, namun besar manfaatnya."
"Kalau kau memang punya nyali untuk membunuhku, kenapa tak berani memperlihatkan wajah aslimu?"
"Sebab aku datang untuk membunuh, bukan untuk bertemu denganmu."
"Bagus, bagus sekali," Siau Cap-it Long tertawa.
"Apanya yang bagus?"
"Kau memang seorang yang menarik, sungguh jarang ada orang datang untuk membunuhku," setelah
menghela napas, lanjutnya, "sayang terlalu banyak orang yang tak tahu diri di dunia ini, terlebih orang yang
tak punya nyali."
"Orang yang tak punya nyali?"
"Aku sudah menyiapkan hidangan dan arak cukup banyak, tak disangka hanya kau seorang yang berani
datang." "Mungkin orang lain tak ingin membunuhmu."
Siau Cap-it Long tertawa dingin.
"Mungkin orang lain ingin membunuhku, tetapi tidak berani secara terang-terangan, hanya berani
membokong orang dengan cara licik."
Baru selesai ia berkata, dari luar ruangan telah menerjang masuk seseorang, dia adalah seorang lelaki
berkumis paku dan berwajah hitam.
"Aku bernama Ong Bing," teriaknya keras.
"Kau pun datang untuk membunuhku?" tanya Siau Cap-it Long sambil menatap wajahnya, senyuman
kembali terlintas di balik sorot matanya.
"Sekalipun aku tidak berniat membunuhmu, tapi sekarang aku harus membunuhmu."
"Kenapa?"
"Karena aku tak tahan melihat lagakmu yang memuakkan."
"Bagus, tak disangka kembali muncul seorang yang menyenangkan."
"Hm, walaupun orang yang menyenangkan sangat banyak, orang yang memuakkan justru hanya aku
seorang," terdengar seseorang tertawa dingin.
"Siapa?"
"Aku!"
Seseorang perlahan-lahan berjalan masuk, wajahnya kaku kuning kepucat-pucatan, orang ini adalah Hou
Bu-pe. "Kau adalah orang yang tak menyenangkan?" tanya Siau Cap-it Long.
Paras muka Hou Bu-pe tetap kaku tanpa perubahan.
Kembali Siau Cap-it Long menghela napas panjang, "Tampaknya kau memang orang yang tidak
menyenangkan."
"Orang yang datang untuk membunuhmu mungkin banyak jumlahnya, namun yang mampu membunuhmu
rasanya hanya satu orang," tiba tiba Hou Bu-pe berkata.
"O ya?"
"Kalau kau sudah tahu cepat atau lambat akhirnya kau bakal mati, kenapa kau malah menganggap dia
menyenangkan?"
"Apakah orang itu adalah kau?"
"Hm!"
Lagi-lagi Siau Cap-it Long tertawa.
"Tapi sebelum aku turun tangan, terlebih dulu aku akan mewakilimu membunuh seseorang," kembali Hou
Bu-pe berkata. "Kenapa?"
"Sebab kau telah mewakiliku membunuh seseorang."
"Siapa?"
"To-pik-eng-ong!"
"Dia bukan tewas di tanganku?"
"Peduli apapun yang telah terjadi, yang pasti dia tewas gara-gara kau"
"Oleh karena itu kau hendak mewakiliku membunuh orang?"
"Benar."
"Siapa yang akan kau bunuh?"
"Terserah siapa pun yang ingin kau bunuh."
Siau Cap-it Long menghela napas panjang, katanya perlahan, "Tampaknya kau adalah orang yang bisa
membeda budi dan dendam secara jelas."
Hou Bu-pe tidak menjawab, dia hanya tertawa dingin.
"Kapan kau akan membunuhku?" tanya Siau Cap-it Long lagi.
"Terserah kau."
"Jadi kau tidak terburu-buru?"
"Cukup lama aku menunggu, apa salahnya kalau menunggu beberapa hari lagi."
"Apa kau bersedia menunggu hingga bulan purnama lewat?"
"Kenapa harus menunggu setelah bulan purnama lewat?"
Siau Cap-it Long tersenyum.
"Bulan purnama di danau Se-ouw sangat indah, kalau sudah mampus, bukankah kejadian ini sangat tidak
menarik?" "Malam ini bulan purnama."
"Itulah sebabnya kau tak perlu menunggu terlalu lama."
"Baik, akan kutunggu!"
"Asal di sini tersedia arak, biarpun harus menunggu beberapa hari lagi juga tidak soal" Ong Bing
menambahkan. "Bagus, hidangkan arak!" seru Siau Cap-it Long sambil tertawa tergelak.
Arak pun segera disuguhkan.
Dengan cepat Ong Bing menenggak tiga cawan arak, mendadak teriaknya sambil menggebrak meja, "Kalau
arak sudah dihidangkan, mana dagingnya?"
Maka daging pun dihidangkan.
Tiba-tiba orang berbaju hijau menggebrak meja sambil berseru pula, "Setelah arak dan daging dihidangkan,
mana nyanyiannya?"
Suara irama musik pun berdendang membelah keheningan di kapal itu, menyusul kemudian terdengar
seseorang bersenandung.
Siau Cap-it Long mendongakkan kepala sambil tertawa tergelak, "Seorang lelaki sejati dapat menikmati
kehidupan dengan gembira begini, mati pun tak perlu menyesal, apalagi dapat menikmati lagu sambil
menenggak arak."
Suara kecapi dari atas loteng berdentang makin cepat.
Siau Cap-it Long mencabut golok, kemudian mulai menari mengikuti irama lagu.
Cahaya golok memancar memenuhi angkasa bagaikan naga sakti sedang bermain, sama sekali tak nampak
bayangan tubuhnya.
Semua orang yang hadir di atas geladak kapal terpana, tapi ada seorang yang paling terpana"
Sim Bik-kun" Atau Hong Si-nio"
Dia terpana sampai air mata mengucur deras.
Mengapa dia tidak melihat kehadiranku" Su Jiu-san dapat mengenaliku, mengapa dia tidak"
Apakah dia telah melupakan kami berdua" Atau memang selamanya dia tak pernah menaruh perhatian
terhadap wanita"
Ia gembira, juga kecewa, campur aduk perasaannya. Mengapa tidak dirinya saja yang menegurnya terlebih
dulu" Hong Si-nio sudah bukan perempuan macam itu, ia telah berubah.
Mungkinkah mulai berubah sejak pertemuan malam itu"
Mungkinkah dirinya telah berubah menjadi seorang perempuan sejati sejak malam yang tak terlupakan itu"
Cahaya golok yang berkilauan menyinari wajahnya, namun justru sinar matanya berubah menjadi redup.
Dia tidak merasakan pada saat itu Sim Bik-kun sedang mengawasinya.
Dia sedang mengenang kehangatan, kemesraan, kepedihan dan kegembiraan ketika masih bersamanya.
Lalu apa yang sedang dipikirkan Sim Bik-kun"
Tiba-tiba berkumandang suara pekikan naga, suara pekikan yang memekakkan telinga.
Cahaya rembulan kembali bersinar terang.
Sementara golok itu sudah disarungkan kembali.
Siau Cap-it Long duduk sambil mengangkat cawan, parasnya berubah jadi tenang, seakan tak pernah terjadi
sesuatu apapun.
Menyaksikan permainan golok yang begitu hebat, seketika peluh Ong Bing bercucuran di jidat sebesar
kedelai. Apakah benar yang dimainkan itu adalah ilmu golok"


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah benar ilmu golok itu dimainkan seorang diri"
Saking gugupnya Ong Bing menyambar poci arak di meja, langsung ditenggaknya habis, setelah itu barulah
ia menghela napas panjang, saat itulah baru ia sadar bahwa di hadapannya telah berkurang seorang.
Meskipun paras Hou Bu-pe yang berwarna kuning pucat masih tanpa perubahan, namun diam-diam ia pun
membesut keringat yang menetes dijidatnya.
Ong Bing berpaling ke arahnya, menuding tempat duduk di hadapannya yang telah kosong.
Hou Bu-pe hanya menggeleng.
Tak seorang pun yang melihat sejak kapan orang berbaju hijau itu pergi dari situ, tak ada yang tahu dia pergi
lewat mana. Kapal itu berlabuh di tengah danau, kemana dia bisa pergi"
Mendadak terdengar orang berteriak, "Coba lihat perahu itu!"
Perahu itu sebenarnya adalah perahu Hong Si-nio, sebelumnya perahu itu sudah diikat pada kapal dengan
seutas tali. Hong Si-nio terhitung wanita yang gegabah, namun Sim Bik-kun termasuk yang amat teliti, sebelum
meninggalkan perahu tadi, dia telah mengikatkan tali di ujung perahunya dengan tiang di atas Cui-gwat-lo.
Kini tali pengikat itu sudah diputus orang, sementara perahu itu sedang bergerak perlahan menuju ke tepi
danau. "Bocah itu pasti berada di atas perahu."
"Biar aku pergi mencarinya."
"Buat apa dicari?"
"Aku hanya ingin tahu orang macam apakah dia" Mengapa dia pergi begitu saja dari sini?"
Ternyata yang bicara adalah seorang lelaki kekar berwajah keren, seorang Hohan dari Tay-ouw, si macan
kumbang air Ciang Hing.
Baru saja dia ingin melompat ke depan, mendadak seorang berjalan keluar dari sisi ruang perahu sambil
menggendong tangan, orang itu adalah orang berbaju hijau yang misterius itu.
Ternyata dia tidak melarikan diri.
Ciang Hing tertegun.
Hampir semua yang hadir ikut tertegun.
Orang berbaju hijau itu sudah siap masuk kembali ke dalam ruang perahu, dia melirik perahu itu sekejap,
tiba-tiba sambil membalik badan dia membuat gerakan menarik, sepasang tangannya dicakarkan berulang
kali di tengah udara ke arah perahu yang sedang bergerak pelan itu.
Perahu yang sudah mulai menjauhi kapal secara tiba-tiba kembali mendekati kapal pesiar itu.
Seketika paras muka Ciang Hing berubah hebat, demikian pula paras semua orang yang hadir di situ.
Ciangbunjin Sing-gi-bun Hu It-gwan yang lama tak bersuara tiba tiba menarik napas panjang, kemudian
serunya, "Bukankah ilmu ini adalah Tiong-lo-hui-hiat Kun-goan-it-khi-sin-kang yang sangat hebat itu?"
Begitu mendengar ucapan itu, seketika semua orang terperanjat.
Orang berbaju hijau itu sama sekali tidak memandang ke arah mereka, melirik pun tidak, sembari
menggendong tangan dia masuk kembali ke ruang perahu dan duduk seperti tadi.
"Ilmu golok yang hebat!" katanya pada Siau Cap-it Long sambil mengangkat cawan.
"Ilmu khikang yang hebat!" balas Siau Cap-it Long sambil mengangkat pula cawannya.
Sekali teguk orang berbaju hijau menghabiskan isi cawannya, kemudian pujinya, "Arak bagus!"
"Ilmu golok bagus, ilmu khikang bagus, arak pun bagus, ada tidak yang tak bagus?"
"Ada!"
"Apa yang tak bagus?"
"Golok sudah keluar dari sarung, namun tak menjumpai darah, itulah tidak bagus."
"Ada yang lain?" tanya Siau Cap-it Long tenang.
"Mengendalikan perahu dengan khikang hanya akan membuang tenaga saja, suatu perbuatan yang tidak
cerdas." "Ada lagi?"
"Dalam cawan ada arak tapi telinga tak mendengar suara nyanyian, inilah tidak menggembirakan."
"Bagus, bagus, sungguh menggembirakan, kalau tidak minum sampai mabuk, percuma disuguh arak wangi,"
katanya sambil tertawa, lalu ia pun bertepuk tangan, maka lagu pun kembali didendangkan memecah
keheningan malam.
Untuk ketiga kalinya Hong Si-nio mendengar suara nyanyian yang merdu ini, akhirnya dapatlah ia mengenali
suara gadis yang mendendangkan lagu itu.
Pin-pin! Ya, pasti Pin-pin.
Ternyata Siau Cap-it Long berhasil juga menemukan gadis itu.
Mendadak muncul suatu perasaan aneh dalam hati Hong Si-nio, dia tak tahu perasaan itu pertanda gembira
atau sedih"
Saat itulah Sim Bik-kun menarik ujung bajunya.
Ia pun menempelkan mulutnya di sisi telinga perempuan ini sambil bertanya, "Ada apa?"
"Orang ini bukan yang tadi," bisik Sim Bik-kun lirih.
"Orang yang mana?"
"Orang berbaju hijau itu."
Berubah paras muka Hong Si-nio.
Kembali Sim Bik-kun berkata, "Biarpun pakaian dan penutup muka yang dikenakan sama, namun orangnya
telah berubah."
"Kau dapat melihatnya?"
"Hm."
"Dimana letak perbedaannya?"
"Tangan orang ini jauh lebih kecil dan kukunya sedikit lebih panjang daripada orang tadi."
"Kau yakin tidak salah?"
Ia baru sadar, mestinya pertanyaan ini tidak perlu diajukan, karena ia tahu watak Sim Bik-kun. Hal yang tak
diyakini takkan diutarakannya.
Mengapa orang berbaju hijau itu harus bertukar diri" Rencana busuk apalagi yang akan dilakukannya selain
ingin membunuh Siau Cap-it Long"
Tak tahan Hong Si-nio bertanya, "Kau tahu siapa orang itu?"
"Tidak."
"Aku pun tidak tahu siapa dia, tapi semestinya bisa kutebak siapakah orang ini."
"Kenapa?"
"Tidak banyak tokoh dunia persilatan yang berhasil menguasai ilmu khikang sehebat itu."
"Mungkin saja tenaga khikangnya juga palsu," kata Sim Bik-kun setelah termenung sejenak.
"Palsu?"
"Bukankah mereka datang berdua" Bisa saja salah satu di antara mereka mendorong perahu itu dari dalam
air." "Jadi mereka sengaja main sandiwara untuk menakut-nakuti orang?"
"Hm."
"Tapi Hu It-gwan terhitung jago kawakan, masakah dia tak curiga terhadap orang ini?"
"Mungkin saja dia bersekongkol dengan mereka."
Hong Si-nio tertegun. Tiba-tiba saja dia sadar bukan saja Sim Bik-kun berubah jadi pemberani, dia pun
berubah jadi semakin pintar.
Seringkali kepintaran ibarat sebilah golok tajam, makin sering diasah akan makin tajam dan berbahaya.
"Cring", tiba-tiba suara kecapi berhenti, suara nyanyian pun ikut berhenti.
Ketika senar kecapi terputus, suasana keliling tempat itupun berubah jadi hening, sepi.
Entah sudah lewat lama kemudian, perlahan orang berbaju hijau itu berkata, "Senar kecapi putus nyanyian
pun terhenti, tidak bagus."
Mendadak Siau Cap-it Long melompat bangun. Kembali orang berbaju hijau itu berkata, "Senar kecapi
sudah putus, tapi tetap ngotot untuk dimainkan, tidak cerdik." Siau Cap-it Long duduk kembali di tempat
semula. "Tamu sudah kehilangan gairah, perjamuan sudah waktunya buyar, tidak menggembirakan."
Siau Cap-it Long menatap tajam orang itu, ujarnya dingin, "Banyak mulut banyak bencana, banyak mulut
pasti celaka, tidak bagus dan tidak cerdas."
"Benar."
Kemudian orang berbaju hijau itu bungkam, bahkan mata pun dipejamkan.
Siau Cap-it Long mengangkat cawannya, tapi segera diletakkan kembali, wajahnya yang semula berseri kini
berubah serius, mendadak sambil bangkit berdiri katanya, "Siapa yang ingin pergi silakan pergi, yang ingin
tetap tinggal silakan tetap tinggal, aku sudah mabuk, ingin tidur, aku benar-benar mabuk."
"Hm, aku sudah datang, kau tak boleh mabuk," mendadak seseorang menimpali dengan suara dingin.
XXIII. TAMU BERBAJU PUTIH DAN NYANYIAN DUKA
Di geladak kapal, tak seorang pun bicara.
Di ujung geladak pun lengang.
Hening! Lalu darimanakah suara itu"
Suara itu datang dari tengah danau.
Di antara riak air di permukaan danau, di bawah cahaya rembulan yang terang benderang, di mana orang
itu" Di kejauhan sana, nun jauh di sana tcrlihat sebuah lentera, perahu dan sesosok bayangan manusia. Biarpun
orang itu masih jauh di sana, namun suaranya terdengar jelas seperti di kepala ini.
Memang orang kalau sudah sempurna tenaga dalamnya, tidak akan sulit melakukan hal itu. Yang
mengherankan justru ia dapat mendengarkan percakapan di kapal itu.
Siapakah dia"
Tak seorang pun tahu.
Perahu kecil itu ibarat selembar daun teratai yang terapung di permukaan air, bergerak lambat sekali.
Siau Cap-it Long pun sudah melihat perahu kecil di tengah danau, dia pun sudah melihat bayangan manusia
yang berada di atas perahu. Tiba-tiba serunya sambil tertawa, "Kalau sampai kau pun ikut datang, mana
mungkin aku tidak mabuk?"
Ucapan itu tidak terlalu keras tapi bergema sampai jauh.
"Tidak boleh!"
"Kenapa?"
"Ada tamu datang dari jauh, masakah tuan rumahnya mabuk?"
"Tamu dari jauh" Darimana?"
"Di antara ombak yang menggulung, di balik awan tebal."
Siau Cap-it Long tidak bertanya lagi, sebab perahu itu sudah semakin dekat. Terlihat seorang berdiri di
bawah cahaya lentera.
Seorang berbaju putih, berdiri bagaikan sukma gentayangan, tangannya memegang sebuah panji berwarna
putih pula. Apakah panji putih pengundang sukma" Sukma gentayangan siapa yang akan diundangnya"
Ternyata perahu kecil itupun berwarna putih, seakan sedang tenggelam secara perlahan.
Ciang Hing yang berdiri paling depan tiba-tiba menjerit, raut mukanya mengejang keras, teriaknya, "Setan ...
yang datang bukan manusia tapi setan!"
Selangkah demi selangkah dia mundur ke belakang dan mendadak tubuhnya roboh terkapar.
Jago tangguh yang sudah lama malang melintang di danau Tay-ouw ini ternyata jatuh semaput lantaran
kaget. Tak seorang pun yang menghampirinya ataupun berusaha memayang tubuhnya.
Semua berdiri kaku, jari tangan basah oleh keringat dingin, bahkan ujung jari pun jadi dingin.
Sekarang semua dapat melihat dengan jelas, ternyata perahu yang digunakan orang berbaju putih itu adalah
perahu yang terbuat dari kertas.
Perahu kertas yang biasanya dibakar dan dilarung ketika memperingati kematian hari ketujuh seseorang.
Paras muka Hong Si-nio turut berubah. "Yang datang bukan manusia, tapi setan!" Kalau dia manusia hidup
yang terdiri dari darah dan daging, mana mungkin bisa menyeberangi danau dengan menumpang perahu
kertas" "Di antara ombak yang menggulung, di balik awan tebal." Jangan-jangan dia memang datang dari neraka"
Apa benar di dunia ini ada setan" Hong Si-nio tidak percaya.
Selama hidup ia tak percaya dengan segala macam dongeng atau omong kosong, dia selalu melihat
kenyataan. Dia hanya percaya satu hal.
Terlepas orang itu sctan atau manusia, yang pasti dia sangat menakutkan.
Peduli darimana dia, kehadirannya adalah untuk membunuh Siau Cap-it Long.
Angin malam di musim gugur berhembus lembut.
Ketika angin lembut berhembus lewat, menggoyang perahu kertas itu hingga tenggelam ke dasar danau.
Tapi anehnya, orang di atas perahu itu tidak ikut karam.
Kini dia sudah tiba di atas Cui-gwat-lo.
Ruang kapal pesiar itu masih terang benderang, di bawah sorot lentera, semua dapat melihat tampang orang
itu dengan jelas.
BENTROK PARA PENDEKAR
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 15 Perawakan tubuh tidak tinggi, juga tidak pendek, rambutnya beruban, tidak mempunyai kumis atau jenggot.
Mukanya pucat pasi dan berbentuk aneh, seperti habis dihajar orang. Sehingga tampak lucu.
Tapi semua orang tidak berani tertawa melihat muka yang lucu ini, yang mereka lihat adalah sepasang mata
yang dingin mengerikan.
Matanya tak berbiji dan berwarna kuning, seluruhnya bola matanya berwarna putih.
Orang yang pernah melihat mata seperti ini, pasti seumur hidup takkan melupakannya.
Sedangkan panji yang digenggamnya bukanlah panji pengundang sukma, tapi panji tukang ramal yang
bertuliskan, 'Ke atas menembus nirwana, ke bawah menyambangi neraka'.
Ternyata orang itu adalah seorang peramal buta.
Setelah melihat dari dekat, barulah semua orang merasa lega. Namun semuanya melupakan satu hal,
manusia kadang lebih menakutkan daripada setan.
Siau Cap-it Long duduk kembali di bangkunya.
Terlepas si buta ini benar-benar buta atau tidak, paling tidak dia adalah seorang yang luar biasa.
Bila ada orang buta datang mencarimu dengan menumpang perahu kertas, perahu untuk sembahyang orang
mati, tentu saja dia datang dengan maksud jahat.
Tentu saja kau pun tak perlu berdiri di luar pintu menyambut kedatangannya.
Apalagi Siau Cap-it Long jarang berdiri.
Perlahan-lahan si buta berjalan mendekat, ternyata dia tidak menggunakan tongkat bambunya untuk
menuntun jalan.
Orang buta memiliki tanda khusus, Siau Cap-it Long dapat mengenalinya sekali pandang saja.
Kalau dia memang seorang buta, kenapa bisa datang sendiri ke tempat itu"
Apakah disebabkan cahaya lentera yang memancar dari kapal pesiarnya yang kelewat terang hingga dapat
dirasakannya"
Bukankah perasaan orang buta selalu lebih tajam ketimbang orang biasa"
Orang buta itu berjalan dengan lambat, tapi langkahnya mantap. Semua orang yang berkumpul di geladak
menyingkir ke samping memberi jalan.
Waktu lewat di antara orang banyak, lagaknya acuh seakan seorang raja yang lewat di antara para
hambanya. Belum pernah Siau Cap-it Long berjumpa dengan orang buta sesombong dan sejumawa ini, seandainya dia
tidak buta pun belum tentu akan memandang sebelah mata terhadap semua yang hadir.
Seandainya dia benar-benar bisa melihat, mungkin tak seorang manusia pun di dunia ini yang dipandang
sebelah mata olehnya. Tentu selama ini dia telah banyak melakukan perbuatan yang membuatnya merasa
bangga, lalu apa yang pernah diperbuatnya"
Bila benar ia telah melakukan suatu perbuatan yang membuatnya bangga, tentu adalah suatu perbuatan
besar, bila perbuatan yang menggemparkan pastilah banyak orang yang tahu.
Namun sekarang tak seorang pun yang tahu asal-usulnya, bahkan Hong Si-nio pun tak mengenalnya.
Hong Si-nio mempunyai firasat buruk mengenai kedatangan orang buta itu, dia pasti akan mendatangkan
bencana atau kematian.
Di luar pintu ruang kapal, tergantung empat buah lentera.
Waktu itu si buta sudah berjalan hingga di bawah lentera.
"Berhenti!" seru Siau Cap-it Long tiba-tiba.
Si orang buta itu langsung berhenti, berdiri tegak lurus.
Sekalipun berdiri di bawah cahaya lentera yang terang benderang, namun sama sekali tak terlihat adanya
debu atau kotoran yang menodai sekujur badannya.
Selama hidup belum pernah Siau Cap-it Long berjumpa dengan orang buta sebersih ini.
Saat itu si buta sedang menunggu dia bicara.
"Tahukah kau tempat apakah ini?" tanya Siau Cap-it Long.
Si orang buta menggeleng.
"Kau tahu siapakah aku?"
Kembali orang buta itu menggeleng.
"Kalau begitu, tidak seharusnya kau datang kemari."
"Tapi sekarang aku telah datang."
"Mau apa kau datang kemari?"
"Aku adalah seorang buta."
"Sudah kulihat, kau memang buta."
"Orang buta selalu banyak mendengar persoalan yang tak pernah didengar orang lain."
"Apa yang telah kau dengar?"
"Irama musik dan nyanyian."
"Berarti kau tahu tempat ini adalah Se-ouw?"
Si buta mengangguk.
"Suara musik dan nyanyian ada dimana-mana," ujar Siau Cap-it Long.
"Tapi irama musik dan nyanyian yang kudengar tadi sama sekali berbeda."
"Berbeda?"
"Beda sekali bila dibandingkan suara nyanyian lain."
"Dimana letak perbedaannya?"
"Ada irama lagu yang sedih, yang gembira, ada pula yang tenang penuh kebahagiaan, ada yang penuh
dengan luapan emosi dan amarah," katanya perlahan, "seandainya kau pun buta seperti aku, dapat
dipastikan kau akan mengerti banyak kejadian aneh dan menarik hati di balik irama lagu itu."
"Lantas apa yang kau tahu?"
"Bencana dan tragedi!"
Siau Cap-it Long mengepal kencang.
"Suara angin menjelang badai pasti berbeda dengan suara angin kala tenang, jeritan binatang buas di kala
ajal juga berbeda di kala damai," ujar si buta dengan memiringkan kepala, "seorang kalau hendak kena
bencana, bisa dirasakan dari irama nyanyian yang didendangkan, aku dapat merasakan hal itu."
Berubah paras Siau Cap-it Long.
Si buta melanjutkan omongannya, "Bencana ada kecil ada besar, bencana kecil paling mendatang kematian
bagi diri sendiri, bencana besar bisa menyangkut jiwa orang lain yang tak berdosa."
"Kau tidak kuatir akan ikut terseret dalam bencana ini?" jengek Siau Cap-it Long.
"Kedatanganku ini justru hendak melihat keramaian."
"Keramaian apa?"
"Nona yang membawakan nyanyian itu."
Sungguh aneh, seorang buta dengan menumpang sebuah perahu kertas, khusus datang hanya untuk
melihat orang menyanyi.
Siau Cap-it Long hanya diam saja.
Si buta juga diam.


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua hadirin juga diam, mereka tahu apa yang dikatakannya memang tidak untuk bergurau.
"Kau benar-benar buta?" tanya Siau Cap-it Long sambil menatapnya tajam.
Si buta mengangguk.
"Masakah seorang buta bisa melihat?" tanya Siau Cap-it Long.
"Orang buta memang tak bisa melihat," katanya dengan tertawa penuh kepedihan, mukanya berkerut-kerut.
Saat itulah Siau Cap-it Long merasa seperti pernah bertemu dengan orang ini, tapi justru saat ini tidak
teringat siapa gerangan dia.
"Tetapi orang buta justru dapat melihat apa yang tak bisa dilihat orang biasa," kata si buta.
"Bencana maksudmu?" sela Siau Cap-it Long.
Si buta manggut-manggut, lalu berkata, "Karena itulah aku kemari, ingin kutahu bencana macam apa yang
bakal terjadi."
Siau Cap-it Long tertawa.
"Kenapa kau tertawa?" tegur si buta.
Tawa Siau Cap-it Long makin keras.
"Bencana itu bukan sesuatu yang menggelikan," seru si buta.
"Aku justru sedang menertawakan diriku sendiri."
"Kenapa?"
"Sebab selama ini belum pernah kudengar hal yang tak masuk akal ini."
Ternyata ada orang yang bisa menggerakkan hati Siau Cap-it Long. Biasanya Hong Si-nio pun tak sanggup
menahan rasa gelinya dan akan tertawa terbahak-bahak.
Sekarang ia tak berani tertawa, tak mampu tertawa. Sebab dia tahu kejadian ini memang bukan suatu hal
yang menggelikan.
"Apakah yang sedang menyanyi itu Pin-pin?" bisik Sim Bik-kun.
"Hm."
"Kau bilang Pin-pin sakit parah, bahkan mengidap penyakit yang tak bisa diobati."
"Hm."
Setelah menghela napas panjang, Sim Bik-kun berkata pula, "Apakah benar si buta ini bisa melihat suatu
kejadian hanya dari mendengar suara nyanyiannya?"
Hong Si-nio diam, tak menjawab. Bukannya dia tak mau menjawab, tapi memang dia tak bisa menjawab.
Kejadian ini memang tak masuk akal, namun justru benar-benar terjadi.
Setelah lewat beberapa lama, ia pun menghembuskan napas panjang, katanya, "Aku hanya berharap dia
tidak melihat kejadian yang lain."
Bencana yang mereka hadapi memang sudah kelewat banyak. Lalu apalagi selain bencana yang bisa dilihat
si buta ini"
Orang mengatakan Hong Si-nio itu liar dan galak, lebih mirip seorang lelaki, bahkan caranya minum lebih
hebat dari lelaki.
Namun tiada yang mengatakan dia tidak cantik, dan sesungguhnya memang dia seorang yang cantik.
Perempuan, biasanya selalu beranggapan bahwa dirinya terlebih cantik dari orang lain. Namun berbeda
dengan Hng Si-nio, dia beranggapan Sim Bik-kun terlebih cantik daripada dirinya, bahkan tiada yang lebih
cantik darinya.
Namun sekarang anggapannya itu tidak benar, sebab sekarang dia menyaksikan ada seorang perempuan
lain yang lebih cantik ....
Pin-pin! Kecantikannya seakan mampu menyedot sukma setiap orang yang menyaksikannya.
Saat itu Pin-pin sedang menuruni tangga, mukanya pucat dan sayu.
Si buta berdiri di hadapannya, seakan sedang mengawasinya.
"Apa yang kau lihat?" tanya Siau Cap-it Long.
Si buta masih diam, lama kemudian baru menjawab, "Aku melihat sebuah rawa, rawa di lembah curam, tak
ada kehidupan di sana...."
Tiba-tiba mukanya bercahaya, kemudian lanjutnya, "Tapi di tengah rawa itu ada seorang wanita."
Apakah yang ia maksudkan dengan rawa di lembah curam itu adalah lembah penyiksaan itu"
Apakah yang ia maksudkan dengan seorang wanita itu adalah Pin-pin yang didorong oleh Thian-kongcu"
Darimana ia bisa tahu semua ini"
Siau Cap-it Long menarik napas panjang, tanyanya, "Apalagi yang bisa kau lihat?"
Si buta bergumam lagi, "Aku lihat wanita itu merambat naik, tampaknya ia sedang sakit, sakit parah ..."
Setelah menghembuskan napas, lanjutnya, "Tampaknya dia akan segera jetuh ke bawah, tapi mendadak
ada sebuah tangan, tangan yang menariknya ke atas."
"Tentunya tangan seorang lelaki."
"Kini tangan itu sedang menggenggam sebilah golok yang aneh, sedang si wanita sedang menyanyi di
sisinya, tapi mendadak senar kecapi putus dan dia tersungkur ke tanah."
"Apakah wanita yang sedang menyanyi itu adalah wanita di rawa itu?" tukas Siau Cap-it Long.
"Benar."
"Kau yakin" Dan kau dapat melihat wajahnya?"
"Aku tak bisa melihat wajahnya," sahut si buta ragu sejenak, "tapi dapat kulihat ada toh (noda sejak lahir)
hijau setelapak tangan di pantat kirinya."
Belum habis ucapannya, paras muka Pin-pin seketika berubah hebat, kagetnya bukan main seakan dia
didorong ke dasar jurang yang dalam.
Sebetulnya dia bukanlah seorang wanita yang mudah kaget ataupun takut, bahkan keteguhan hatinya
melebihi baja, itulah sebabnya dia masih hidup sampai sekarang.
Tapi sekarang mengapa ia nampak begitu takut"
Apakah memang di pantat kirinya ada toh hijau itu"
Tersungging senyuman aneh di bibir si buta, katanya pula, "Ternyata aku tak salah lihat, aku tahu, aku tak
bakal salah lihat...."
Perlahan si buta membalikkan tubuh hendak beranjak pergi, tapi mendadak tongkatnya ditusukkan ke
tenggorokan Pin-pin.
Pin-pin tak bergerak, juga tak berusaha menghindar.
Sekujur tubuhnya seakan kaku, jangankan menghindar, bergerak pun tak mampu.
Semua orang menyaksikan tongkat si buta menusuk ke arah tenggorokan Pin-pin secepat kilat, namun
tenggorokan Pin-pin masih seperti keadaan semula, tanpa terluka sedikit pun.
Untung di sampingnya ada Siau Cap-it Long, kecuali dia, siapa yang mampu menyelamatkan jiwanya"
Tak ada yang melihat bagaimana ia turun tangan, namun si buta dapat merasakannya.
Ia rasakan ada segulung tenaga menyerang bawah ketiaknya, dalam keadaan seperti itu, apabila ia tidak
menarik tusukan tongkatnya, tentu dadanya akan remuk terhajar.
Si buta melompat mundur sejauh tujuh-delapan kaki, namun Siau Cap-it Long telah berdiri di depan pintu,
menghadang jalan perginya.
Golok jagal rusa masih tetap berada di sarungnya. Tapi semua orang bisa merasakan hawa membunuh
yang terpancar.
Si buta membalik tubuh dan berdiri berhadapan dengan Siau Cap-it Long, mukanya yang perot kaku
membesi. Dia tahu, orang yang berada di hadapannya ini takkan membiarkan dirinya berlalu dari situ dalam keadaan
hidup. "Kau telah salah sasaran," kata Siau Cap-it Long.
"Oya?"
"Yang ingin kau bunuh kan aku."
"Kau suruh aku membunuhmu?"
"Ya."
"Kenapa?"
"Karena kau sudah datang ke sini."
"Dan kau pun ingin membunuhku?"
Siau Cap-it Long tidak menyangkal.
Si buta tertawa, ujarnya hambar, "Padahal walau aku tak ingin membunuhmu, kau pun bisa membunuhku."
Sambil menatap wajah si buta, muncul perasaan aneh dalam hati Siau Cap-it Long, rasanya dia pernah
bertemu dengan orang ini, tapi seketika tidak teringat siapakah dia"
Tangannya mulai meraba golok di pinggangnya.
"Sudah kukatakan, mesti aku buta, tapi bisa melihat apa yang orang lain tak bisa melihat," kata si buta.
"Sekarang apa yang kau lihat."
"Kusaksikan ada tangan menggenggam golok."
Siau Cap-it Long tidak kaget, kenyataan memang begitu.
"Aku pun melihat kau bertekad membunuhku," lanjutnya.
Siau Cap-it Long tertawa dingin.
"Seandainya peristiwa ini terjadi dua tahun yang lalu, kau pasti akan membiarkan aku berlalu, tapi sekarang
kau telah berubah."
"Jadi dua tahun lalu kita pernah bertemu?" tanya Siau Cap-it Long.
"Umpama kita pernah bertemu, kuyakin dua tahun yang lalu kau bukan manusia semacam ini."
"Apa lagi yang kau lihat?"
"Aku lihat segumpal darah, di tengah genangan darah terdapat kutungan tangan, dalam genggaman
kutungan tangan itu terdapat sebilah golok."
"Dapat kau lihat darah siapakah itu?"
"Darah siapa?" si buta tertawa, lanjutnya, "tentu saja darahmu, tangan dan golokmu."
Siau Cap-it Long mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Kematian bukan sesuatu yang menggelikan," tegur si buta.
"Yang kutertawakan kali ini adalah kau"
"Kenapa?"
"Sebab kali ini kau telah salah melihat." Golok jagal rusa masih berada dalam sarungnya. Golok belum
dilolos, namun hawa membunuh makin tebal. Perlahan-lahan orang buta itu meletakkan kain putih di tangan
kanannya, tiba-tiba ia melejit ke udara dan berjumpalitan beberapa kali, tongkat bambu ditusukkan ke depan.
Ketika melancarkan serangan, tongkat bambu yang lurus kaku itu bergetar dan meliuk-liuk, seakan berubah
seperti ular. Seekor ular berbisa! Seekor ular berbisa yang hidup!
Ketika pertama kali melihat ular berbisa, waktu itu Siau Cap-it Long baru enam tahun. Yang dia jumpai
adalah seekor ular derik yang ekornya bisa berbunyi keras.
Itulah untuk pertama kalinya dia digigit ular, juga merupakan terakhir kalinya.
Setelah itu, asal dia melihat sekilas, dengan cepat ia dapat membedakan jenis ular berbisa.
Untuk menghadapi kawanan binatang melata ini hanya ada satu cara, yaitu menghantam bagian tujuh inci di
belakang kepala yang paling mematikan.
Selama ini dia tak pernah meleset, tak pernah gagal. Tapi kini dia gagal menemukan bagian itu, dia tak tahu
dimana letaknya.
Ular berbisa di tangan si buta ini jauh lebih berbahaya dari ular berbisa yang pernah dijumpainya.
Kecuali si bangsawan Siau-yau-hou Thian-kongcu, ternyata orang buta ini merupakan lawan yang paling
menakutkan, lawan tangguh yang selama hidup belum pernah dijumpainya.
Dia tahu, dalam keadaan seperti ini dia harus tenang.
Ketika tongkat bambu yang menyerupai ular berbisa itu menusuk tiba, dia sama sekali tidak bergerak.
Mengapa dia tidak bergerak"
Tidak bergerak itu berarti apa"
Tidak bergerak berarti bergerak!
Bukankah teori itu adalah rahasia paling tinggi dari ilmu silat"
Serangan tongkat si buta dari sungguhan berubah menjadi serangan tipuan, tongkatnya berubah seakan
menjadi belasan tongkat yang mengancam bersama. sehingga sulit membedakan mana yang serangan
sungguhan dan mana yang tipuan.
Bergerak berarti tidak bergerak.
Bayangan tongkat bambu seolah membeku menjadi selapis bayangan semu yang membingungkan, selapis
kabut cahaya yang mengambang.
Kini Siau Cap-it Long mulai bergerak.
Tiba-tiba tubuhnya melompat sejauh delapan kaki.
"Tok, tok, tok", tongkat si buta menutul di lantai ruang kapal, tahu-tahu lantai kapal telah bertambah belasan
lubang. Siau Cap-it Long menghembuskan napas panjang.
Sekonyong-konyong tongkat bambu berbalik menyerang ke atas, lalu menyapu secepat kilat.
Sebenarnya tempat dimana Siau Cap-it Long berdiri lebih menguntungkan ketimbang si buta, namun siapa
tahu lengan si buta pun seakan ikut berubah menjadi seekor ular berbisa, meliuk-liuk sesuka hatinya.
Lekas Siau Cap-it Long mundur ke belakang sambil melancarkan tendangan.
Sekilas gerakan ini sangat sederhana, namun justru tongkat si buta kena tertendangan dengan telak hingga
mencelat. Agaknya si buta tak menyangka akan gerakan ini. Cepat ia berputar untuk melindungi bagian tubuhnya yang
lemah, lalu telapak tangan kiri membacok kaki Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long menarik kakinya dan berdiri tegak di ruang geladak, kemudian ia sodokkan kepalannya ke
hidung lawan. Gerakannya masih biasa saja dan sederhana.
Siapa pun pasti menduga si buta akan dengan mudah menghindarinya, namun siapa sangka tiba-tiba pipi
kirinya terasa sakit.
Ternyata pukulan Siau Cap-it Long yang sederhana itu telah bersarang di wajahnya yang jelek itu.
Si buta berjumpalitan di udara dan kembali berputar. Jarang ada orang yang bisa melakukan gerakan
semacam itu. Sekarang tahulah Siau Cap-it Long siapakah si buta ini.
Pin-pin pun tahu.
Seketika berubah hebat wajah kedua orang ini seakan melihat sukma gentayangan.
Dalam waktu singkat tubuh si buta yang masih berputar itu menerobos jendela dan melayang keluar.
Terdengar kumandang suaranya di kejauhan, "Ilmu silatmu sudah bertambah maju dibanding dua tahun
silam, hanya sayang ...." Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara "Byuur."
Cahaya rembulan masih bersinar terang, gelombang air segera menghiasi permukaan danau, namun
bayangannya sudah lenyap.
Paras Pin-pin seketika pucat, segera Siau Cap-it Long menggenggam tangannya yang dingin membeku.
Seketika suasana menjadi hening, bahkan suara napas pun tak terdengar.
Setelah lewat beberapa lama, dengan menghela napas Ong Bing berkata, "Sungguh lihai ilmunya."
Semua tahu jurus serangan yang dilancarkan si buta sungguh lihai dan mematikan dengan perubahan yang
luar biasa. Jarang ada orang yang bisa menghindari serangan itu, namun Siau Cap-it Long berhasil mengalahkannya,
walaupun dengan jurus yang sangat umum dan sederhana.
XXIV. MABUK CINTA
Telaga Se-ouw ditimpa cahaya rembulan, indah mempesona.
Siapa orang yang mampu mengubah watak Hong Si-nio"
Jantung Hong Si-nio masih berdebar dengan kencang.
Debar jantungnya bukan dikarenakan pertarungan itu, namun sekarang dilihatnya Siau Cap-it Long sedang
merangkul Pin-pin naik ke loteng.
Bagaimana pun ia seorang perempuan.
Dia sanggup mengorbankan diri demi orang, namun tak sanggup mengendalikan perasaan hatinya.
Bagaimana pula perasaan Sim Bik-kun"
Dengan tertawa paksa ujar Hong Su-nio perlahan, Dia memang gadis yang mearik dan patut dikasihani."
Sim Bik-kun memandang ke tempat jauh, seakan hatinya juga berada di sana, lama kemudian baru dia
menjawab sambil menunduk, "Ya, aku tahu."
"Apakah sekarang kita akan naik dan mencarinya."
Sim Bik-kun tampak sangsi dan tidak menjawab.
Hong Si-nio tidak bertanya lagi karena dilihatnya Ong Bing sedang beranjak menghampiri mereka.
Dilihatnya Ong Bing celingukan seakan ada yang dicarinya.
"Siapa yang kau cari?" tegur Hong Si-nio.
"Loji."
Kini Hong Si-nio baru sadar kalau Su Jiu-san sudah tidak ada di sana.
Perahunya yang tadi ditarik balik terlihat sedang berlayar menjauh, sebagian besar para jago pun sudah
pergi. Sisanya ada yang sedang tiduran atau sedang menikmati arak.
"Mana Su-loji?" kembali Ong Bing bertanya.
"Mana aku tahu, dia toh bukan anak kecil yang harus diawasi terus, kalian pun tak pernah menyerahkan dia
padaku," jawab Hong Si-nio sambil menarik muka.
Ong Bing melengak, katanya, "Masakah dia pergi bersama orang lain?"
"Kenapa tidak kau periksa ke dalam?"
"Bagaimana denganmu?"
"Aku punya urusan sendiri, kau tak perlu ikut campur."
Ia pun menarik tangan Sim Bik-kun dan diajak masuk ke dalam ruang kapal.
Sekarang ia tahu, ternyata Sim Bik-kun bukan jenis perempuan yang dapat mengambil keputusan.
Sebenarnya ia masih mempunyai banyak persoalan yang perlu ditanyakan kepadanya.
Dengan terkejut Ong Bing mengawasi mereka yang sedang berjalan masuk ke ruang kapal, tak tahan
teriaknya, "He, mau apa kalian" Kalian pun datang untuk membunuh Siau Cap-it Long?"
Hong Si-nio tidak menanggapi. Tiba-tiba terdengar ada seseorang menjawab, "Sekalipun semua orang ingin
membunuh Siau Cap-it Long, namun kedua perempuan ini adalah kekecualian."
Cepat Ong Bing berpaling, segera ia tahu yang bicara adalah Hu It-gwan.
"Mengapa mereka terkecuali?" tanya Ong Bing penasaran, "memangnya kau tahu mereka itu siapa?"
Sahut Hu It-gwan dengan tersenyum licik, "Kalau mataku belum lamur, perempuan yang bicara tadi adalah
Hong Si-nio."
Bukan main kaget Ong Bing.
Nama Hong Si-nio memang selalu mengagetkan orang yang mendengar.
"Kau pernah mendengar nama perempuan ini bukan?" kembali Hu It-gwan bertanya.
"Darimana kau mengenalinya?"
Kembali Hu It-gwan tertawa, "Sekalipun perempuan ini susah dihadapi, namun ilmu silatnya tidak terlalu
tinggi, ilmu menyarunya pun jelek sekali."
"Lalu siapa perempuan yang satunya?"
"Aku tidak tahu, siapa yang sudi berjalan berendeng dengan perempuan siluman itu?"
"Apakah kau melihat Su-loji?"
"Ya, memang tadi aku melihat dia."
"Sekarang dimanakah dia?"
"Kalau Hong Si-nio saja tidak tahu kemana dia pergi, darimana aku tahu," kembali Hu It-gwan tertawa.
Tawanya sunggu mirip rase, licik.
"Apakah dia ikut pergi bersama perahu itu?"
Hu It-gwan menggeleng.
"Aneh, masakah orang segede itu bisa lenyap secara mendadak," kata Ong Bing dengan kening bekernyit.
"Menurut apa yang aku tahu, orang yang sering berhubungan dengan Hong Si-nio, seringkali lenyap tak
keruan parannya."
"Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?" bentak Ong Bing sambil melotot.
Hu It-gwan tersenyum.
"Kapal di atas air, orang di atas kapal, kalau orangnya tidak berada di kapal, lantas dia dimana?"
Tiba-tiba Ong Bing menerjang ke depan dan langsung menceburkan diri ke danau.
Melihat hal ini Hu It-gwan menghela napas panjang, gumamnya, "Agaknya orang ini tidak bodoh, kali ini dia
menemukan tempat yang tepat."


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ruang di atas loteng perahu tidak terlalu besar, biarpun begitu pajangannya cukup menawan.
Tempat lilin terbuat dari perak, cahaya lentera masih menyinari seluruh ruangan kapal.
Siau Cap-it Long berdiri terpekur di depan jendela, memandang kegelapan malam, entah apa yang sedang
dipikirkan. Mungkin dia terbayang kembali lembah yang mengerikan itu.
Tak ada perubahan pada wajahnya, namun Pin-pin dapat menebak apa yang sedang dipikirkan lelaki ini.
Selama ini ia tidak mengganggunya. Setiap kali ia termenung, dia memang tidak pernah mengganggu
ketenangannya. Sebetulnya dalam hatinya penuh dengan persoalan yang ingin ditanyakannya, bahkan persoalan yang tak
terlupakan dan sangat menakutkan.
Cahaya ketakutan masih terbayang di wajahnya, setiap kali ia pejamkan mata, selalu terbayang mimik aneh
si buta itu. Keheningan menyelimuti suasana di kapal itu. tiba-tiba terdengar ada orang berbicara. Tak jelas apa yang
dibicarakan, tapi dilihatnya ada dua orang sedang berjalan ke atas loteng.
Dua orang yang berdandan sebagai tukang perahu.
Sekilas dikenalinya salah seorang adalah Hong Si-nio.
Kebetulan Hong Si-nio pun sedang menatap ke arahnya, tanyanya, "Apakah benar di pantatmu ada toh
hijau?" Itulah pertanyaan pertama yang dilontarkan Hong Su-nio.
Setiap orang dapat mendengar pertanyaan itu dengan jelas, namun tak ada yang menduga pertanyaan apa
yang pertama kali akan diajukan Sim Bik-kun.
Padahal banyak yang ingin diucapkan Sim Bik-kun, namun dia tetap saja diam.
Sebetulnya ingin dia menerjang maju dan menjatuhkan dirinya dalam pelukan Siau Cap-it Long. Namun
tidak ia lakukan, ia hanya diam dan berdiri menjublek di belakang Hong Si-nio.
Pin-pin pun tak menjawab pertanyaan Hong Si-nio.
Hong Si-nio pun tak bertanya lebih lanjut.
Akhirnya Siau Cap-it Long memutar tubuh berhadapan dengan mereka. Ia tahu sedang berhadapan dengan
siapa, namun sekarang ia hanya memandangi kaki sendiri.
Tak tahu apa yang harus diucapkannya, ketiga perempuan ini penting dalam kehidupannya.
Salah satunya adalah kekasih hatinya, demi perempuan ini ia telah merasakan berbagai penderitaan dan
siksaan, bahkan siap berkorban demi dirinya.
Seorang lainnya adalah penolong dirinya, yang seorang lagi telah menyerahkan segalanya bagi dirinya.
Mereka bertiga telah mengorbankan segalanya bagi dirinya, kini secara tiba-tiba berkumpul bersama di sini,
sekarang apa yang bias ia perbuat.
Ombak di luar tenang, perasaan orang dalam ruang kapal justru bergelora.
Tiba-tiba Hong Si-nio tersenyum dan berkata, "Tampaknya penyamaran kami sangat bagus, sampai Siau
Cap-it Long sendiri tidak mengenali kami."
Siau Cap-it Long tertawa, "Untung aku masih mengenali suaramu."
"Kalau kau sudah mengenali kami, kenapa tidak menyuguh arak?" tegur Hong Si-nio sambil bertolak
pinggang. Siau Cap-it Long segera menuang arak, sewaktu menuang ia melirik ke arah Hong Si-nio.
Dia tahu Hong Si-nio takkan membiarkan dirinya sengsara, ia lebih suka diri sendiri tersiksa dan menderita.
Hong Si-nio mendekatinya, mengangkat cawan arak itu dan ditenggaknya habis, setelah itu katanya, "Arak
bagus!" Tentu saja arak bagus.
"Arak ini adalah Li-ji-ang berusia 30 tahun," katanya tertawa, "kalau ingin menikmati arak jenis ini paling enak
kalau ditemani masakan kepiting dari Yang-ting-ouw."
"Akan kumasakkan kepiting untuk teman arak," kata Pin-pin tiba-tiba sambil bangkit berdiri.
"Aku ikut," seru Hong Si-nio, "masalah kepiting rasanya aku lebih pintar dari kau."
Bila mereka berempat berkumpul, tentunya tempat itu akan terasa sempit. Kesempatan ini digunakan
mereka berdua untuk mengundurkan diri dari situ.
Mereka sengaja memberi kesempatan kepada Siau Cap-it Long dan Sim Bik-kun untuk saling bicara. Namun
Sim Bik-kun hanya berdiri mematung, memandang ke tempat jauh dengan pandangan kosong.
Akhirnya Sim Bik-kun berkata dengan suara perlahan, "Di meja sudah ada kepiting."
Di atas meja memang sudah tersedia kepiting. Pin-pin dan Hong Si-nio tahu hal ini.
Mereka tak habis mengerti mengapa Sim Bik-kun justru tak membiarkan mereka pergi agar dirinya bisa
bicara berdua dengan Siau Cap-it Long. Apakah ia tak ingin bicara dengan Siau Cap-it Long" Atau dia tak
berani" Pada wajah Siau Cap-it Long tampak sedih, namun ia tetap tersenyum, "Kepiting itu masih hangat, memang
cocok untuk teman minum arak."
Arak sudah mengalir ke dalam perut, namun kemurungan tetap saja menyelimuti hati masing-masing.
Hong Si-nio tetap tertawa, bicara juga paling banyak, apalagi setelah meneguk beberapa cawan arak.
Katanya, "Apakah benar di tubuhmu ada toh hijau?"
Harusnya dia tak perlu bertanya, semua orang tahu apa yang dikatakan si buta itu adalah benar.
Dengan tertunduk, terpaksa Pin-pin menjawab lirih, "Benar!"
"Apakah benar berada di pantat?"
Muka Pin-pin merah jengah, dengan tersipu dia menunduk makin dalam.
Sebenarnya hal ini merupakan rahasia pribadinya. Lalu dari-mana si buta tahu"
Hong Si-nio berpaling mengawasi muka Siau Cap-it Long, seakan bertanya apakah dia tahu juga akan hal
ini" Wajah Pin-pin semakin jengah, ujarnya, "Kecuali ibuku, hanya ada satu orang lain yang tahu."
"Siapa?" tanya Hong Si-nio segera.
"Kakakku."
"Siau-yau-hou?"
"Ya."
Hong Si-nio melengak.
"Setelah ibu meninggal, hanya tinggal dia seorang yang tahu akan rahasia ini," ujar Pin-pin.
Dia bicara dengan tegas, dia memang bukan jenis perempuan yang sembrono.
"Bukankah kakakmu sudah mati?"
Wajah Pin-pin semakin memucat, terbias rasa takut dan ngeri, ia hanya diam saja.
Hong Si-nio kembali bertanya, "Setelah kakakmu mati, apakah rahasia ini tidak diketahui orang lain lagi?"
Pin-pin tetap bungkam, ia hanya melirik ke arah Siau Cap-it Long sekejap.
Muka Siau Cap-it Long ikut memucat, terpancar rasa ngeri di balik matanya.
Peristiwa apa yang membuatnya ngeri"
Apakah peristiwa yang sama seperti yang dialami Pin-pin"
Hong Si-nio sebentar melihat ke arahnya, lalu memandang Pin-pin, tanyanya, "Sebetulnya apa yang kalian
pikirkan?"
"Tidak ada yang kami pikirkan," jawab Pin-pin dengan tersenyum paksa.
"Jadi kalian menduga Siau-yau-hou belum mati?" desak Hong Si-nio.
Pin-pin bungkam.
Siau Cap-it Long juga diam.
Keduanya seakan mengakui dugaan itu.
Melihat perubahan mimik kedua orang ini, Hong Si-nio ikut bergidik.
Dia kenal siapakah Siau-yau-hou.
Orang ini memang lihai, tak ada persoalan yang tak sanggup dia lakukan. Tidak heran, seandainya ada
orang yang bisa bangkit dari kematian, maka orang itu adalah dirinya.
Siau Cap-it Long hanya menyaksikan tubuhnya tercebur ke dalam jurang, tapi dia tidak melihat jasadnya.
Kembali Hong Si-nio meneguk secawan arak, lalu berkata dengan tersenyum, "Rasanya tak mungkin si buta
itu adalah dia."
"Kenapa?" tanya Siau Cap-it Long.
"Sebab Siau-yau-hou orang cebol, sedang si buta tidak."
"Mungkin saja dia bukan orang cebol sejak lahir."
"Bagaimana bisa begitu?"
"Sekarang baru aku tahu, mustahil seorang cebol bisa meyakinkan ilmu silat sedemikian lihai."
"Yang jelas dia seorang cebol."
Siau Cap-it Long menepekur sejenak, kemudian tanyanya, "Apakah kau pernah mendengar bayi khikang
dari agama To?"
Tentu saja Hong Si-nio pernah mendengar. Setiap orang yang berlatih ilmu kebatinan, pasti memiliki tenaga
murni, bila tenaga murni sudah terbentuk, maka wujudnya seperti bayi, bayi inilah yang seringkali keluar dari
badan kasarnya untuk berkeliaran.
Orang berwujud bayi inilah yang disebut bayi khikang.
"Tapi itu hanya ada dalam dongeng."
"Benar, tapi dongeng bukannya tanpa dasar dan fakta."
"Fakta bagaimana?"
"Konon ada semacam kepandaian, bila dilatih sempurna, maka tubuhnya bisa menyusut bagai seorang
bocah," Siau Cap-it Long menjelaskan, "kepandaian itu disebut Kiu-coan-huan-tong."
"Pernah kau saksikan kepandaian ini?"
"Belum."
"Jadi kepandaian inipun cuma dongeng belaka?"
"Mungkin saja."
"Kau pun menduga Siau-yau-hou menguasai kepandaian ini?"
"Jika ada orang yang berhasil melatih kepandaian ini, orang itu pastilah dia."
Hong Si-nio tak sanggup tertawa lagi.
"Bila ada orang menguasai kepandaian itu hingga puncak kesempurnaan, ketika terluka, tenaga murninya
pasti akan buyar."
Hong Si-nio tetap diam, hanya mendengarkan.
Siau Cap-it Long melanjutkan, "Kalau orang yang menguasai kepandaian itu terluka parah, maka wujudnya
akan kembali pada bentuk sebenarnya." Setelah menghela napas, katanya pula, "Pin-pin bukan orang cebol,
ketika dia mulai tahu urusan, Siau-yau-hou sudah menjadi jagoan."
"Karena itu kau beranggapan Siau-yau-hou bukan orang cebol, tapi karena menguasai kepandaian
semacam itu?" kata Hong Si-nio.
"Hm."
"Karena dia jatuh ke jurang dan terluka parah, maka wujudnya kembali seperti semula?"
Siau Cap-it Long diam tanpa menjawab, hakikatnya dia sudah beberapa kali menghadapi peristiwa yang
tidak masuk akal.
Sebenarnya Hong Si-nio ingin tertawa, namun melihat perubahan wajah orang, dia pun urung tertawa.
"Jadi kau tetap menduga si buta itu adalah Siau-yau-hou?"
"Mungkin saja."
"Apa dasarnya?"
"Kecuali Siau-yau-hou, si buta ini terhitung jagoan tangguh yang pernah kuhadapi, bukan saja serangannya
aneh dan lihai, lengannya bisa meliuk-liuk seperti ular."
Hong Si-nio percaya, ia sendiri ikut menyaksikan.
"Ilmu itu disebut Yoga," Siau Cap-it Long menjelaskan.
"Yoga!?"
"Ya, berasal dari Thian-tok (India)."
"Jadi kepandaian si buta dari Thian-tok?"
"Paling tidak ia pernah belajar Yoga, konon ilmu Kiu-coan-huan-tong juga berasal dari Thian-tok."
"Lalu apalagi?"
"Wajah si buta tidak keruan, biji matanya sudah berubah menjadi kuning, mungkin ia telah minum racun Kimkwa-
lo, rumput beracun yang hanya tumbuh di lembah pembunuh."
Rumput beracun Kim-kwa-lo tumbuh di sepanjang tebing lembah, bila layu bisa dipakai sebagai bahan
pewarna, biasanya dipergunakan orang Tibet.
Jubah kaum Lhama berwarna kuning memakai bahan ini.
Kim-kwa-lo termasuk jenis rumput langka dan beracun jahat.
"Jadi orang yang telah minum racun Kim-kwa-lo mukanya jadi begitu?"
"Kalau tidak mampus, biasanya akan berubah seperti itu."
Hong Si-nio menghela napas panjang, katanya, "Tampaknya apa yang kau ketahui lebih banyak ketimbang
diriku." Siau Cap-it Long kembali tertawa paksa, sahutnya, "Belakangan ini aku banyak membaca buku."
"Tak kusangka kau ada waktu untuk membaca."
"Ilmu silatku pun banyak bertambah maju."
"Pernah kudengar dari si buta."
"Jika ia tak pernah menempurku, darimana dia tahu?" setelah menghela napas ia menambahkan, "Yang
jelas tiada seorang pun yang bisa melihat hal yang tak bisa dilihat orang lain."
"Kecuali Siau-yau-hou, tak ada orang kedua yang tahu rahasia Pin-pin."
Siau Cap-it Long terdiam.
Tangan Hong Si-nio berkeringat dingin.
"Jangan-jangan orang yang dipelihara anjing adalah dia?"
"Orang yang dipelihara anjing?"
"Tiong-cu dari Thian-tiong itu."
"Kau pun tahu soal Thian-tiong?"
"Biarpun buku yang kubaca tidak banyak, tapi persoalan yang kuketahui justru tidak sedikit," kata Hong Sinio
sambil tertawa.
Setelah menenggak beberapa cawan arak kembali ia melanjutkan, "Bukan hanya soal Thian-tiong, ketuanya
si anjing kecil juga sudah kuketahui."
"Darimana kau tahu?"
"Tentunya ada yang memberitahu padaku."
"Siapa?"
"Toh Lin."
"Siapa Toh Lin itu?"
"Orang yang mengajakku naik perahu delapan dewa."
"Perahu delapan dewa?"
"Masakah kau tak tahu perahu delapan dewa?"
"Tidak tahu."
"Belum pernah kau naik perahu itu?"
"Belum."
Hong Si-nio tertegun dibuatnya, apa yang diucapkan Siau Cap-it Long selamanya adalah benar. Ia heran
bagaimana Siau Cap-it Long bisa tidak tahu.
"Ingatkah kau ketika mereka mengundangmu minum arak di atas perahu?"
"Ya."
"Nah, perahu itu adalah perahu delapan dewa."
"O, begitu, tapi aku tidak mengunjungi perahu mereka."
"Kenapa?"
"Karena penunjuk jalan yang membawaku ke sana tiba-tiba berubah pikiran."
"Kenapa?"
"Karena dia takut aku mampus dibokong orang."
"Siapa orang itu?"
"Seorang pemuda pengantar surat."
"Maksudmu Siau Cap-ji Long?"
Siau Cap-it Long manggut-manggut.
"Padahal sudah kuduga pastilah dia, Siau Cap-ji Long mana tega menyaksikan Siau Cap-it Long mampus,"
setelah tersenyum sejenak lanjutnya, "dan kalau bukan dia, siapa yang sudi membantu Siau Cap-it Long."
Dengan tertawa getir Siau Cap-it Long menyela, "Tapi tak kusangka bisa bersahabat dengan dia."
"Dia tidak jadi membawamu ke sana, lantas diajak kemana?"
"Mencari seseorang."
"Pin-pin?"
Tentu saja Pin-pin.
Demi Pin-pin siksaan apapun akan dihadapinya.
XXV. PERMAINAN KEMATIAN
Siau Cap-it Long bukanlah orang yang mandah dituntun, tapi demi Pin-pin apapun akan dilakukannya.
Pin-pin menundukkan kepala.
Sim Bik-kun juga menundukkan kepala.
Hong Si-nio mengangkat cawan arak.
Siau Cap-it Long pun mengangkat cawan.
Namun cawan-cawan itu sudah kosong.
Akhirnya Hong Si-nio pula yang mulai buka suara, katanya pada Pin-pin, "Hari itu, mengapa kau menghilang
secara tiba-tiba?"
"Aku tak biasa minum arak, maka sedikit mabuk, lalu aku minum teh untuk mengurangi pengaruh arak ...."
Siapa tahu setelah minum teh justru dia tak sadarkan diri.
Yang mencampuri teh dengan obat bius adalah Hamwan Sam-seng, namun yang membawa pergi adalah
Hamwan Sam-coat.
Mereka persembahkan Pin-pin kehadapan si Raja hiu. Raja hiu ini justru tidak makan manusia, terhadap
Pin-pin pun sikapnya sangat sungkan.
"Tampaknya dia ingin memanfaatkan diriku untuk memeras Siau-toako melakukan sesuatu tugas, makanya
dia menahan aku," kata Pin-pin dengan menunduk, waktu menyebut "Siau-toako" nadanya sungguh mesra.
"Siau Cap-ji Long tak tahu tempat dimana aku dikurung," lanjut Pin-pin dengan lirih, "tapi tak kusangka justru
dialah yang mengajak Siau-toako mencariku."
Sim Bik-kun tetap diam seakan tidak mendengar. Hong Si-nio menghela napas, katanya, "Tak kusangka si
Raja hiu punya murid seperti itu." Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Muridnya itu tidak termasuk orang
baik, tapi apakah juga termasuk sahabat yang baik?"
Siau Cap-it Long tak menjawab, hanya tersenyum getir. Kembali Siau Cap-it Long mengangkat cawannya,
cawan yang sudah diisi arak.
Mata Hong Si-nio semakin terang, katanya pula, "Kau tak pernah ke perahu delapan dewa, namun aku
pernah ke sana."
"Jadi kau bertemu si Raja hiu?"
"Ya, tapi dia tiak melihat aku."
"Kok bisa begitu?"
"Sebab orang mati tak bisa melihat."
"Jadi si Raja hiu sudah mati?" berubah paras Siau Cap-it Long.
"Bukan hanya dia yang mati, semua orang yang tercantum dalam undangan semuanya sudah mati, kecuali
Hoa Ji-giok."
"Siapa yang membunuh mereka?"
"Seharusnya adalah kau."
"Aku?"
"Orang lain beranggapan begitu."
Siau Cap-it Long tertawa getir.
Hong Si-nio melanjutkan, "Senjata yang dipakai membunuh adalah sebilah golok, bahkan hanya dengan
sekali bacokan."
"Memang kecuali aku, siapa yang bisa membunuh si Raja hiu hanya dengan sekali bacokan?"
"Ya begitulah, siapa pula yang bisa membunuh Hamwan Sam-seng dengan sekali tebasan?"


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tak bisa menebaknya?"
Hong Si-nio menggeleng, katanya pula, "Memangnya kau bias menebak?"
"Buat apa aku pikirkan, kejadian semacam ini bukan yang pertama kali bagiku."
Hong Si-nio mengawasinya. Kemudian mengangkat cawan untuk menutupi wajahnya, dia sama sekali tak
berpaling ke arah Sim Bik-kun.
Apakah Sim Bik-kun sedang mengawasinya"
Bagaimana perasaannya jika orang yang dicintainya difitnah orang"
Tiba-tiba Siau Cap-it Long bertanya, "Bagaimana kalia
^