Bentrok Para Pendekar 8

Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bagian 8


n bisa sampai ke sini?"
"Untuk memenuhi sebuah undangan."
"Undangan siapa?"
"Undangan seseorang."
"Siapa?"
"Manusia yang dipelihara anjing."
"Si pengundang tentunya dua orang bukan?"
"Hm."
"Lalu siapa yang satunya?"
Hong Si-nio meneguk araknya, kemudian baru menjawab, "Lian Shia-pik."
Siau Cap-it Long terdiam.
Siau Cap-it Long memang merasa malu dan menyesal bila bertemu dengan orang ini.
Hong Si-nio pun melanjutkan ucapannya, "Dimanakan mereka berjanji untuk bertemu" Bisakah kau duga?"
Siau Cap-it Long menggeleng.
"Di sini."
"Di kapal Cui-gwat-lo?"
"Saat bulan purnama di kapal Cui-gwat-lo."
Bulan masih bulat.
Siau Cap-it Long memandang rembulan, kemudian menunduk. Ia tidak bertanya darimana Hong Si-nio tahu
akan hal itu, juga tidak bertanya kepada Sim Bik-kun kenapa ia meninggalkan Lian Shia-pik.
Ia hanya menduga Lian Shia-pik pasti mempunyai hubungan dengan semua peristiwa keji itu.
Sekarang Lian Shia-pik akan datang ke sini, sedangkan Sim Bik-kun berada pula di sini, ia tak berani
membayangkan apa yang bakal terjadi.
Tiba-tiba Sinm Bik-kun berdiri, sambil memandang rembulan katanya, "Waktu sudah hampir pagi,
seharusnya aku pergi dari sini." Seketika perasaan Siau Cap-it Long menjadi dingin. Seharusnya memang ia
tidak berada di sini.
Tapi kemana ia bisa pergi"
Siau Cap-it Long mengawasi cawannya yang sudah kering. Sim Bik-kun tidak memandangnya, sekejap pun
tidak. Siapa bilang ia tidak sedih" Siapa bilang ia tidak menderita" Namun tidak mungkin baginya untuk
tetap tinggal. Tiba-tiba Hong Si-nio melotot ke arahnya, "Kau benar-benar akan pergi?"
"Walau kita datang berdua, tapi aku bisa pergi sendiri."
"Kau akan pergi seorang diri?"
"Ya."
Hong Si-nio menggebrak meja. "Tidak boleh jadi!"
"Kenapa tidak boleh?"
"Kau belum menemani aku minum arak, masakah mau pergi begitu saja" Tak nanti kubiarkan kau pergi."
Sim Bik-kun terperanjat, lalu tertawa paksa, "Jangan-jangan kau sudah mabuk."
"Peduli aku mabuk atau tidak, kau tak boleh pergi dari sini," seru Hong Si-nio melotot.
Sim Bik-kun menggenggam tangannya, "Kalau kau memaksaku minum, aku akan minum, kemudian aku
tetap akan pergi."
"Kita datang berdua, seharusnya juga pergi bersama."
"Kalian berdua tidak boleh pergi," mendadak terdengar seorang membentak nyaring.
Semua orang tahu watak Hong Si-nio, dia bilang mau datang pasti datang, bilang pergi pasti pergi, siapa
sanggup menghalanginya, walau diancam dengan golok ia takkan peduli.
Siau-yau-hou pun tak sanggup menghalanginya, namun kini ada orang melarangnya pergi. Dengan
tersenyum Hong Si-nio mengawasi orang itu, ternyata adalah Ong Bing yang sedang berjalan menaiki
tangga. Seluruh tubuh Ong Bing basah kuyup, wajahnya masih tetap dingin kaku.
"Barusan kau yang berteriak?" tegur Hong Si-nio.
"Hm."
"Kau melarang aku pergi?"
"Hm."
"Tahukah kau mengapa aku masih duduk di sini?"
Ong Bing melotot padanya.
"Hong Si-nio melanjutkan, "Karena aku memang tidak ingin pergi."
"Sekarang ingin pergi pun tak mungkin bisa pergi."
"Kenapa" Memangnya kau ingin menahan aku?" Jengek Hong Si-nio sambil memicingkan mata.
"Hm."
"Sayang, kaki ini tumbuh di badanku, ketika aku ingin pergi, siapa pun takkan mampu menahannya."
"Biarpun kaki itu tumbuh di badanmu, bila kakimu itu yang ingin pergi, aku akan memotongnya," kata Ong
Bing dingin. "Jadi kalau aku ingin pergi, kau akan memotong kedua kakiku?"
"Hm."
Setelah menghela napas Hong Si-nio berujar pula, "Bila perempuan kehilangan kaki, betapa jeleknya dia."
Ong Bing tertawa dingin, katanya, "Paling tidak lebih bagus daripada seorang lelaki yang wajahnya dipenuhi
lubang." "Tak kulihat ada lubang di wajahmu."
"Itu disebabkan aku tak pernah berhubungan dengan dirimu"
"Lantas siapa yang pernah berhubungan dengan aku?"
"Su-loji."
"Su Jiu-san?"
"Masakah sudah kau lupakan dia?"
"Apakah di wajahnya ada lubang?"
"Mengapa tidak kau lihat sendiri," kata Ong Bing tertawa dingin.
* * * * * Di wajah Su Jiu-san memang telah bertambah dengan beberapa lubang, lubang bekas luka yang
mematikan. Perasaan Hong Si-nio ikut sedih, bagaimanapun Su Jiu-san cukup dikenal olehnya, kesannya termasuk baik.
Tak tahan lagi Hong Si-nio bertanya setelah menghela napas panjang, "Dimana kau temukan dia?"
"Dalam air."
"Kukira tadi dia sudah pergi dari sini," kata Hong Si-nio lirih, "tak kusangka...."
Ong Bing mengepal tinjunya, serunya, "Kau pasti tak akan mengira ada orang melempar dia ke dalam air
bukan?" "Benar, sama sekali tak kuduga."
"Kau tak tahu siapa yang telah membunuhnya?"
Hong Si-nio hanya menggeleng.
Ong Bing bertambah gusar, "Kalau kau tidak tahu, memangnya siapa yang tahu?"
Dengan kaget Hong Si-nio mengawasinya, "Kenapa harus aku yang tahu?"
"Karena kaulah pembunuhnya," damprat Ong Bing beringas. Hong Si-nio tertawa lagi, namun mimik tawanya
tidak wajar. Siapa pun dia kalau dituduh sebagai pembunuh, pasti takkan bisa tertawa secara wajar.
Dari samping Hou Bu-pe sejak tadi mengawasinya, mendadak ia bertanya, "Bukankah kau sudah lama kenal
Su Jiu-san?"
"Orang yang kukenal memang banyak."
"Bukankah dia juga sudah mengenalmu sejak kau datang?"
Hong Si-nio mengangguk.
"Bukankah sejak tadi ia selalu membuntutimu?"
Hong Si-nio mengiakan.
"Kalau dia selalu di sampingmu, kalau ada orang membunuhnya, mungkinkah engkau tidak tahu?"
Mendadak Hong Si-nio berjingkrak gusar, semprotnya, "Sudah kubilang tidak tahu, ya tidak tahu."
Ia berjingkrak gusar, lebih garang dibanding Ong Bing, suaranya juga lebih keras dibanding teriakan Ong
Bing. Jelas kelihatan ia sedang gugup.
Maklum Hong Si-nio tidak tahu dan susah menduga kecuali dirinya siapa yang mampu membunuh Su Jiusan
di atas kapal ini, lalu membuangnya ke dalam air.
Yang pasti Su Jiu-san bukan jago yang gampang dihadapi.
"Aku tahu," mendadak Siau Cap-it Long bicara.
Hou Bu-pe mengerut kening, "Kau tahu apa?"
"Paling tidak aku tahu satu hal," ujar Siau Cap-it Long.
"Coba jelaskan," kata Hou Bu-pe.
"Yang pasti tiada seorang pun di dunia ini yang berdiri diam mematung di tempatnya terus, apalagi
membiarkan orang lain membuat lubang di mukanya, kecuali dia itu patung kayu," sampai di sini Siau Cap-it
Long tertawa, lalu melanjutkan, "Su Jiu-san jelas bukan patung kayu, satu-satunya tokoh kosen di Kangouw
yang mewarisi ilmu murni dari Thi-san-bun. Kalau sekarang ada orang menciptakan buku daftar senjata,
kipas besinya itu mungkin masuk tiga puluh besar di antaranya."
"Sepertinya tidak sedikit yang engkau ketahui," jengek Hou Bu-pe.
"Aku juga tahu, umpama benar dia sebuah patung kayu, bila dilempar orang ke dalam air, tentu
menimbulkan suara yang cukup keras. Aku yakin yang hadir di sini tiada yang tuli, kenapa kalian tidak
mendengar orang tercebur ke dalam air?"
"Coba kau jelaskan," jengek Hou Bu-pe.
"Sebab dia tidak mati di atas kapal ini."
"Kalau tidak mati di atas kapal, memangnya mati dimana?" teriak Ong Bing penasaran.
"Di dalam air," ujar Siau Cap-it Long.
"Dalam air?" seru Ong Bing pula.
"Membunuh orang dalam air pasti tidak menimbulkan suara, maka orang yang berada di atas kapal tidak ada
yang mendengar apa-apa."
"Tadi jelas dia masih berada di atas kapal, kenapa mendadak bisa berada dalam air?" semprot Ong Bing.
"Tadi jelas aku berada di loteng, kenapa mendadak berada di lantai bawah?"
"Kau sendiri yang turun bukan?"
"Kalau aku sendiri bisa turun dari loteng, kenapa dia sendiri tidak bisa turun ke air?"
Ong Bing melenggong, "Baik-baik ada di kapal untuk apa dia turun ke air?"
"Hal ini aku tidak tahu, kalau bisa, ingin aku tanya padanya."
Ong Bing tertawa dingin, "Sayang dia tidak bisa menjelaskan kepadamu."
"Orang ini jelas tidak mungkin menjelaskan kepadaku, tapi Su Jiu-san...."
"Kau tidak yakin kalau orang ini adalah Su Jiu-san?" Tanya Ong Bing.
"Kau yakin dia adalah Su Jiu-san?"
"Jelas yakin."
"Apa dasarmu kau yakin kalau ini mayat Su Jiu-san?"
BENTROK PARA PENDEKAR
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 16 Ong Bing melenggong.
Pakaian orang ini memang mirip Su Jiu-san, tapi raut wajahnya jelas tidak bisa dikenali lagi. Maklum siapa
pun dia kalau mukanya berlubang besar, tampangnya tentu berubah mengerikan dan susah dikenali wajah
aslinya. Kata Siau Cap-it Long lebih jauh, "Tiba-tiba Su Jiu-san menghilang, tahu-tahu engkau mengangkat mayat ini
dari dalam air, maka engkau beranggapan orang ini adalah Su Jiu-san, padahal...."
"Padahal kenapa?" tanya Ong Bing.
Tawar suara Siau Cap-it Long, "Padahal kau sendiri sekarang tidak yakin kalau mayat ini adalah Su Jiu-san."
Ong Bing tidak bisa menyangkal. Mendadak ia sadar bahwasanya dirinya tidak yakin, tidak punya bukti, tiada
pegangan berani memastikan kalau mayat ini adalah Su Jiu-san.
Hou Bu-pe berkata dingin, "Sepertinya kau beranggapan Su-loji sendiri yang turun ke air untuk membunuh
orang ini, lalu didandani mirip dirinya, supaya orang beranggapan dirinya sudah mampus."
"Apa hal itu tidak mungkin?"
"Kenapa dia berbuat demikian" Kenapa mengelabui kami?"
"Silakan kau bertanya sendiri kepadanya," ujar Siau Cap-it Long kalem, "kecuali dirinya, kurasa tiada orang
bisa memberi penjelasan kepadamu."
"Ada sebuah perkataan ingin aku tanyakan kepadamu," desis Hou Bu-pe.
Siau Cap-it Long sedang mendengarkan.
Beringas sikap Hou Bu-pe, suaranya meninggi, "Kalau mayat ini bukan Su Jiu-san, lalu dimana Su Jiu-san
sekarang?"
Siau Cap-it Long belum menjawab, seorang telah menjawab pertanyaan itu.
"Orangnya ada di sini."
Seorang perempuan yang berpendidikan, perempuan bangsawan, kalau orang sedang bicara, biasanya
tidak berani menyeletuk bicara, tak berani campur bicara. Selama ini Sim Bik-kun dikenal sebagai
perempuan dari keluarga bangsawan, tapi kali ini ia berani melanggar kebiasaan.
"Dia ada di sini," wajahnya pucat, tapi sorot matanya memancar terang, menatap seorang dengan tajam,
"Orang inilah Su Jiu-san.
XXVI. TERBONGKAR KEDOKNYA
Kalau insan persilatan di Kangouw bilang banyak kaum Bulim mengenal Sim Bik-kun, komentar ini rasanya
berlebihan, terlalu dibesar-besarkan. Insan persilatan yang mengenal dirinya, yakin tidak kalah banyak
dibanding mereka yang mengenal Hong Si-nio. Bukan saja tahu bahwa Sim Bik-kun adalah wanita tercantik
di Bulim, siapa pun tahu dia adalah perempuan suci anak bangsawan yang patuh aturan keluarga.
Orang tahu dan yakin perempuan yang punya watak sesuci dia pasti tidak akan sembarang bicara, dan
takkan berbohong. Kalau tidak yakin, jelas ia tidak akan sembarang bicara.
Apa benar orang ini adalah Su Jiu-san"
Pandangan seluruh hadirin beralih ke arah yang dituding Sim Bik-kun, mereka melihat seraut wajah yang
aneh. Seraut wajah tanpa alis, tanpa hidung dan tanpa mulut. Seraut wajah kaku mirip topeng kayu. Yang
dituding Sim Bik-kun ternyata bukan lain adalah si baju hijau yang bertutup muka.
Yang hadir hanya sekilas memandangnya terus berpaling, siapa pun tak sudi lama-lama memandangnya.
Wajah itu tanpa mimik, hanya ada dua lubang, dua lubang hitam dan dalam. Sepasang bola mata dalam
lubang kelihatan bercahaya, tajam bagai ujung senjata yang siap membuat lubang di tubuh orang.
Hou Bu-pe tidak memandangnya lebih lama, ia berpaling mengawasi Sim Bik-kun, lalu bertanya, "Kau bilang
dia adalah Su Jiu-san?"
Dengan kencang Sim Bik-kun menggenggam jari-jari tangannya, kepalanya mengangguk.
Hou Bu-pe tertawa dingin, "Tapi waktu kami naik ke atas kapal, dia sudah berada di atas kapal."
"Orang yang tadi itu bukan dia."
"Bukan dia?" seru Hou Bu-pe.
Hong Si-nio menimbrung, "Waktu Siau Cap-it Long menari dengan goloknya tadi, orang ini sudah berganti
yang lain."
Hou Bu-pe mengerut kening, tidak percaya. "Bukankah orang ini tadi pernah mcnghilang sejenak?"
"Ya."
"Waktu dia kembali, orangnya sudah berganti orang lain."
"Berganti Su Jiu-san maksudmu?"
"Aku tidak bisa membedakan," sahut Hong Si-nio, "tapi Sim ... kalau temanku ini bilang orang ini adalah Su
Jiu-san, maka dia pasti benar."
"Dia ...." Hou Bu-pe sangsi.
Segera Hong Si-nio menambahkan, "Kalau tidak percaya, kenapa tidak kau buka tutup mukanya."
Tak urung Hou Bu-pe berpaling mengawasinya dua kali. Muka yang ditutup itu jelas tidak kelihatan
mimiknya, tapi dua bola mata yang setajam gurdi dalam lubang itu berubah menjadi lebih gelap, lebih dalam
dan menakutkan.
"Kalau benar kau bukan Su Jiu-san, kenapa tidak kau perlihatkan wajah aslimu supaya dilihat orang
banyak," demikian kata Hong Si-nio.
Tak kuat menahan emosi, mendadak Ong Bing berkata, "Kalau betul kau adalah Su-loji, cobalah kau bicara,
jelek-jelek kita adalah saudara senasib sepenanggungan, memangnya aku membantu orang luar untuk
memojokkanmu malah?"
Mendadak si baju hijau menghardik keras, "Babi."
Ong Bing melenggong, "Apa kau bilang?"
Dingin suara si baju hijau. "Aku bilang kalian adalah babi."
Mata Ong Bing membelalak lebar, berdiri terkesima seperti tidak mendengar atau mengerti perkataannya.
Maklum reaksi lelaki ini memang tidak secepat orang lain. Si baju hijau berkata, "Sebaliknya kalian tahu
siapa perempuan ini?"
Yang dituding adalah Sim Bik-kun.
Tadi Hong Si-nio sempat mengucap satu huruf "Sim", tapi semua yang hadir tiada yang memperhatikan.
Si baju hijau berkata, "Dia inilah Sim Bik-kun. Perempuan yang meninggalkan keluarga lantaran kepincut
Siau Cap-it Long, demi Siau Cap-it Long, suami sendiri boleh dijual, lalu apa yang dia ucapkan kalian mau
mempercayainya?"
Rona muka Sim Bik-kun kelihatan pucat pias, namun sikapnya tampak tenang dan tegar. Beberapa kali
Hong Si-nio bermaksud menukas perkataan si baju hijau, tapi ditarik olehnya.
Cahaya lampu menyinari wajahnya, kali ini ia tidak menundukkan kepala lagi, malah mengangkat kepala
membusung dada. Sepertinya ia merasakan persoalan ini sudah bukan hal yang memalukan bagi dirinya.
"Berdasar apa kau bilang aku adalah Su Jiu-san, kau punya bukti apa?"
"Mukamu itu buktinya."
"Kau pernah melihat mukaku?"
"Berani kau membuka kedokmu supaya hadirin bisa melihat wajahmu?"
"Aku sudah bilang, kedatanganku kemari bukan untuk ditonton orang."
"Kau datang untuk membunuh orang?"
"Betul."
"Sekarang saatnya kau membunuh orang?"
"0" Ya."
"Begitu tutup mukamu dibuka, paling sedikit ada seorang akan roboh terkapar."
"Siapa?"
"Kalau bukan aku, pasti engkau."
"Kalau aku bukan Su Jiu-san, kau rela mati?"
"Akur."
Si baju hijau tertawa dingin, jengeknya, "Putusan ngawur kurang bijaksana, kau pasti mampus."
"Memangnya sedang kutunggu."
"Kenapa tidak kau kemari membuka sendiri kedokku" Tidak berani bukan?"
Sim Bik-kun tidak bicara lagi, tapi kakinya melangkah menghampiri.
Siau Cap-it Long menarik napas pendek, sampai sekarang baru ia menyadari Sim Bik-kun ternyata sudah
berubah. Awalnya ia pantang bicara menyinggung perasaan orang, tapi apa yang tadi diucapkan sungguh amat tajam,
setajam ujung golok.
Bahwasanya Sim Bik-kun adalah perempuan yang lemah lembut, tapi sekarang berubah menjadi wanita
yang penuh tekad dan pemberani.
Siau Cap-it Long mengawasinya melangkah ke sana, tidak mencegah atau merintanginya, sebab hatinya
teramat bangga.
Bangga akan keberaniannya, bangga oleh tekadnya yang teguh.
Betapapun sekarang dia sudah berdiri, bukan orang yang berdiri dipapah orang lain, tapi beidiri dengan
tenaga dan kekuatan sendiri, berdiri dengan dua kaki sendiri.
Tak tahan Hong Si-nio berteriak memperingati, "Awas, hati-hati dia membokongmu."


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa berpaling Sim Bik-kun menjawab, "Dia tidak berani."
"Kenapa?" tanya Hong Si-nio.
"Sebab aku sudah melihat jelas wajah aslinya, juga tahu siapa majikannya."
"Siapa?" tanya Hong Si-nio.
"Yaitu...."
Baru sepatah kata, dari luar kabin mendadak seorang menerjang masuk seraya berteriak, "Nona Sim, buat
apa kau tempuh bahaya. Biar aku saja yang menyingkap kedoknya." Habis perkataannya, orang itu sudah
berada di depan si baju hijau, tubuhnya kurus pendek, gerak-geriknya selincah kera, siapa lagi kalau bukan
Ciangbunjin Sing-gi-bun aliran selatan, Jong-wan Hu It-gwan.
Melihat Hu It-gwan menerjang ke depannya, sepasang bola mata si baju hijau yang tersembunyi tampak
mengkeret ngeri, kelihatan lebih kaget dibanding orang lain.
"Kau ...." sepertinya dia ingin bicara. Tapi Hu It-gwan bergerak lebih cepat, secepat kilat meraih tutup
mukanya. Maka terdengar suara "Plok" yang keras, lelatu api berpijar, tutup muka yang terbuat dari kayu
tebal itu mendadak pecah berantakan.
Jerit kesakitan berkumandang dalam kabin, cepat sekali Hu It-gwan berjumpalitan mundur di tengah udara,
dimana tangannya membalik, ia taburkan segenggam Siang-bun-ting, lalu dengan gerakan Hwi-niao-to-lin
(burung terbang pulang ke hutan), tubuhnya siap menerobos jendela.
Betapa telengas scrangannya, sungguh tepat dan cepat, semua yang hadir tak menduga sebelumnya.
Terutama Siang-bun-ting atau paku pelenyap sukma yang ditaburkan itu teramat ganas dan jahat, tiga belas
bintik sinar seluruhnya diarahkan ke tubuh Sim Bik-kun.
Sudah dalam perhitungannya, Siau Cap-it Long dan lain-lain pasti berusah menyelamatkan jiwa Sim Bik-kun
lebih dulu, dan tidak sempat memperhatikan dirinya lagi. Tapi ia melupakan si baju hijau yang sudah ia
robohkan, ia menilai rendah seorang yang kecundang oleh perbuatan kejinya.
Muka si baju hijau babak-belur tak keruan, berlepotan darah, karena menahan kesakitan, tubuhnya bergetar
dan menggigil, dua tulang pundaknya hancur. Tapi biar mampus ia tidak membiarkan Hu It-gwan melarikan
diri. Karena tulang pundak hancur, dua tangannya lumpuh, tapi ia masih punya mulut, giginya masih mampu
bekerja. Baru saja Hu It-gwan menerobos lewat jendela, mendadak ia rasakan tungkai kakinya kesakitan.
Ternyata si baju hijau menggigit kakinya, mirip hewan kelaparan yang menggigit mangsanya, begitu tergigit,
mati pun takkan dilepaskan. Kembali berkumandang lolong kesakitan yang keras, yang menjerit kesakitan
kali ini adalah Hu It-gwan. Tubuhnya terbanting ke dalam jendela, dengan gerakan Le-hi-ta-ting (ikan lele
meletik), ia masih berusaha melompat keluar melarikan diri.
Tapi kepala si baju hijau mendadak menyeruduk bagian tengah antara dua pahanya. Hu It-gwan
menjengking sambil memeluk perut, tubuhnya jungkir balik di lantai, air mata, liur dan hidungnya meleleh,
wajahnya berkerut menahan sakit yang luar biasa. Kejap lain, yang hadir di kabin mencium bau tidak sedap,
ternyata celananya basah.
Tiap manusia pernah hidup. Tiap manusia akhirnya pasti mati. Tapi ada sementara orang hidup miskin
merana, waktu mati tetap miskin merana, kalau benar demikian. itulah yang dinamakan derita yang patut
dibuat sedih. Si baju hijau rebah telentang di lantai, napasnya memburu, selebar mukanya berlepotan darah, mulut pun
menghamburkan darah, darah di tubuhnya bercampur darah musuhnya.
Mendadak si baju hijau mcngeluarkan suara lirih lemah. "Losam ... Losam ...." dia mcmanggil saudaranya.
Mungkin masih ada orang yang sangsi, siapa dia sebenarnya, setelah mendengar panggilannya. orang
sudah maklum adanya. Ternyata pandangan dan tudingan Sim Bik-kun tidak salah.
Muka Hou Bu-pe tampak kuyu, katanya setelah menghela napas panjang, "Apakah yang telah terjadi?"
Suara Su Jiu-san amat lirih seperti orang mengigau, terpaksa mereka berjongkok mendekatkan telinga.
"Lotoa, aku salah," desahnya, "jangan kalian berbuat salah lagi, musuh besarmu bukan Siau Cap-it Long,
bukan dia yang harus dibunuh, yang patut mampus adalah .... "
Dengan kencang Hou Bu-pe menggenggam tangannya, Su Jiu-san menggeliat kesakitan, dari mulutnya
keluar tiga huruf kata, sayang suaranya teramat lemah, tiada orang bisa mendengar. Siapakah orang yang
pantas mampus" Siapakah orang pertama si baju hijau"
"Dalam peristiwa ini ternyata mereka sudah bersekongkol."
"Betul."
"Hu It-gwan sudah tahu bahwa si baju hijau yang pertama sudah menyingkir dan diganti oleh Su Jiu-san,
maka dia menghentak dengan Gun-gwan-it-khi-kang untuk melindunginya."
"Benar."
"Tapi tanpa sebab tak mungkin mendadak Su Jiu-san lenyap bukan?"
"Maka mereka sudah mempersiapkan jenazah orang lain, supaya orang berpendapat Su Jiu-san betul sudah
mati, mampus di tangan Hong Si-nio."
Ong Bing mengepal sepasang tinjunya, geram sekali hatinya, "Si tua kera itu malah menyuruhku pergi
mencari jenazah orang itu."
"Karena dia menghendaki kau melabrak dan mengadu jiwa dengan aku."
Wajah geram Ong Bing tampak merah jengah.
Hong Si-nio tidak mencari perkara padanya, dengan suara lembut ia berkata, "Kalau aku jadi engkau, aku
pun akan berpikir demikian. Rencana ini sungguh rumit dan jahat. Kurasa mimpi pun mereka tidak
menyangka ada orang dapat memecahkan rahasia mereka."
Siapakah si baju hijau yang pertama"
Kenapa dia menyingkir"
Setelah menyingkir kenapa diganti orang lain"
Kenapa Su Jiu-san mau menggantikan dia"
Sebetulnya apa maksud mereka" Bagaimana asal-usulnya"
"Sekarang aku hanya ingin tahu satu hal," kata Hong Si-nio.
"Satu hal apa?"
"Aku hanya tahu mereka pasti orang-orang Thian Cong."
"Thian Cong itu apa?"
Ong Bing masih ingin bertanya, Hou Bu-pe mendadak berdiri, katanya perlahan, "Urusan itu kalian tidak
perlu tahu."
"Kenapa?"
"Karena kami harus segera pergi." Sorot matanya memandang ke tempat jauh, bukan mcngawasi Siau Capit
Long, namun ucapannya ditujukan kepada Siau Cap-it Long, "Mungkin kami tidak pantas datang kemari."
Lalu tangan Ong Bing ditariknya, tanpa menoleh mereka beranjak pergi.
Tak lama kemudian terdengar "Byuur, byuur" dua kali, ternyata mereka tidak menunggu kapal datang
menyemput mereka.
"Sebetulnya mereka tidak perlu buru-buru pergi," kata Siau Cap-it Long.
"Kenapa?" tanya Hong Si-nio.
"Yang harus pergi kan hanya mereka berdua, kapal penyeberangan tidak lama lagi pasti datang."
Sorot matanya memandang ke arah nan jauh, selama ini tidak pernah ia mengawasi Sim Bik-kun.
Lalu perkataannya ditujukan pada siapa" Mendelu hati Hong Si-nio, entah demi dia" Atau demi Sim BikKANGZUSI
WEBSITE http://kangzusi.com/
kun" Atau untuk diri sendiri" Sebelum ia membuka suara, Sim Bik-kun sudah berkata, "Malam ini, mungkin
tiada perahu penyeberangan lagi."
Bola mata Hong Si-nio seketika cemerlang, tanyanya, "Kenapa?"
"Karena yang harus pergi sudah pergi, buat apa perahu penyeberangan datang lagi?"
"Tapi engkau ...."
Mendadak Sim Bik-kun tertawa lebar, katanya, "Biar kulihat apakah arak di lantai atas sudah habis, kalau
kau tidak berani minum, mumpung ada kesempatan lekaslah kau minggat saja."
Mengawasi orang naik ke loteng, Hong Si-nio tertawa riang, katanya menggeleng kepala, "Aku ini juga
perempuan tapi isi hati perempuan, sungguh aku tidak paham."
Siau Cap-it Long juga tertawa, tertawa getir.
Hong Si-nio juga memandang jauh ke depan, tidak melirik padanya, "Tapi, syukurlah, aku mulai paham satu
hal." Siau Cap-it Long diam, sedang mendengarkan.
Hong Si-nio mengerling sekilas padanya, suaranya sendu, "Sekarang aku sadar, aku mengerti, bagaimana
perasaan seorang yang difitnah orang lain."
Siau Cap-it Long berdiam diri, akhirnya manggut-manggut, "Ya, memang tidak enak rasanya ...."
Jarang orang membiarkan sisa arak dalam cawan, orang juga jarang membiarkan air mata membasahi pipi,
begitulah manusia macam mereka. Begitu terisi penuh, cawan itu segera akan kosong.
Bukan mereka benar-benar ingin menikmati minum arak, bagi mereka arak tak lebih hanya sebuah alat, alat
yang dapat membuat manusia lupa diri.
Padahal mereka juga sadar, maklum dalam hati ada sementara persoalan yang tidak mungkin bisa
dilupakan selamanya ....
Kalau sorot mata Hong Si-nio tampak bercahaya, pandangan Sim Bik-kun sebaliknya seperti diliputi kabut
tebal. Secangkir demi secangkir mereka minum dan minum, mereka tidak mengajak orang lain minum juga
tidak banyak bicara.
Sepanjang pergaulan mereka belakangan ini, tidak pernah terbayang oleh Hong Si-nio bahwa Sim Bik-kun
juga bisa dan mampu minum arak sebanyak itu, tidak habis mengerti kenapa dia mau minum arak secara
demikian. Hong Si-nio maklum, pasti bukan untuk melupakan sesuatu, karena semua peristiwa itu sepanjang
hidup takkan bisa dilupakan. Lalu untuk apa ia berbuat demikian" Apakah dari relung hati yang paling dalam
ingin melimpahkan perasaannya, tapi tak berani melimpahkan di hadapan orang" Bukankah arak dapat
menambah keberanian orang.
Mendadak Hong Si-nio menurunkan cawan araknya, "Aku tak mau minum lagi."
"Kenapa?" tanya Sim Bik-kun mengerut alis.
"Karena bila aku mabuk, aku tidak bisa mendengar."
"Tidak mendengar apa?"
"Tidak mendengar apa yang kau ucapkan."
"Aku tidak bilang apa-apa, tidak omong apa-apa."
"Tapi aku tahu banyak omongan yang ingin kau bicarakan, yang pasti cepat atau lambat, sekarang atau
besok kau pasti bicara."
Pantasnya ia tidak omong begitu, tapi air kata-kata banyak masuk perut, tak kuasa ia menahan diri, mulut
pun mudah mengoceh sembarangan.
Sim Bik-kun jelas masih bisa mendengar omongannya, perlahan ia turunkan cawan di meja, wajahnya
seperti dilapisi halimun tipis, mendadak ia berkata, "Kalian tahu tidak, siapa si baju hijau yang pergi itu?"
Kabut tebal menyelimuti permukaan danau, waktu segulung angin berhembus, segulung kabut menerobos
jendela masuk ke kabin, bila menengadah melihat luar jendela, rembulan sudah tergantung jauh di ufuk
langit. Kabut seperti membungkus sekujur tubuh mereka, perlahan Sim Bik-kun beranjak keluar, berdiri bersandar
di pagar kayu, memandang jauh ke kabut di tengah danau, seolah ia lupa menjawab pertanyaan yang
diajukan tadi. Hong Si-nio justru mengulang pertanyaan tadi, "Kau sudah tahu siapa si baju hijau itu?"
Suara Sim Bik-kun perlahan, "Kalau kau mau sering memperhatikan gerak-geriknya, akan kau temukan
beberapa segi perbedaannya dengan orang lain." Ucapan ini jelas bukan jawaban, tapi dengan sabar Hong
Si-nio pasang kuping mendengarkan dengan seksama.
"Tiap orang pasti punya ciri khas yang berbeda dengan orang lain, kadang hanya gerakan kecil yang tidak
diperhatikan orang lain, tapi bila engkau lama bergaul dengan dia, hidup cukup lama bersama dia, sekecil
apapun perbedaan itu, kau pasti akan dapat melihat cirinya itu," sampai di sini ia berhenti.
Hong Si-nio tetap diam. mendengar dengan sabar.
"Maka, umpama ia mengenakan kedok muka, kau akan tetap dapat mengenalinya," dengan suara perlahan,
lebih tegas Sim Bik-kun meneruskan, "Begitu berada di sini, perasaanku lantas berkata bahwa aku kenal
orang ini, kenal siapa si baju hijau itu. Maka aku mulai memperhatikan dirinya."
Akhirnya tak tahan Hong Si-nio bertanya, "Maka begitu mereka berganti orang, kau lantas dapat
membedakan?"
Sim Bik-kun manggut-manggut, tapi kepalanya tidak berpaling.
"Darimana kau dapat membedakan kalau orang kedua adalah Su Jiu-san adanya"
"Sebab dalam kebiasaan hidupnya ia selalu memegang kipas, tangannya tak pernah berhenti menggerakkan
kipas lipatnya itu, maka biar tangan tidak memegang kipas, tangannya tetap bergerak seperti kalau ia
memegang kipas."
Lama Hong Si-nio terbenam dalam renungannya, akhirnya bertanya, "Bagaimana dengan Lian Shia-pik"
Ada perbedaan apa dia dengan orang lain?"
Sekarang ia maklum bahwa si baju hijau yang pertama itu adalah Lian Shia-pik, kecuali Lian Shia-pik,
perempuan mana yang pernah hidup bersama Sim Bik-kun selama itu"
"Aku yakin kau tahu kalau dia akan datang memenuhi janji itu."
"Tapi tidak pernah terpikir olehnya bahwa Siau Cap-it Long juga berada di Cui-gwat-lo, maka dia merasa
perlu datang dahulu ke sini melihat keadaan."
"Mungkin mereka sudah tahu kalau Siau Cap-it Long sudah berada di Cui-gwat-lo, maka tempat perjanjian
pertemuan itu mereka tentukan di sini."
Untuk kali ini di hadapan orang lain ia menyebut nama Siau Cap-it Long tanpa ragu atau canggung, kini
sikapnya betul-betul tenang, tapi waktu menyebut nama orang, suaranya terdengar agak aneh. Hong Si-nio
menghela napas, "Apapun persoalannya, yang pasti dia sudah datang."
"Ya, dia sudah datang," ujar Sim Bik-kun.
"Kalau dia sudah datang, kenapa harus pergi?"
"Mungkin mumpung ada kesempatan, ia harus mengatur rencana lain."
"Kalau ia harus pergi, kenapa Su Jiu-san harus menggantikan kedudukannya?"
"Karena dia perlu seorang tetap hadir di sini untuk melihat perkembangan situasi dan kondisi di sini."
"Bila dia datang kembali, dia bisa mengelabui mata kuping orang lain, begitu?"
"Sembarang waktu mereka bisa ganti berganti orang."
"Menurut pendapatmu, mungkin tidak dia kembali?"
"Pasti datang." sahut Sim Bik-kun, suaranya terdengar berubah aneh, "Dia pasti akan datang, maka aku
harus segera pergi."
Saat Lian Shia-pik datang, adalah waktu penentuan kalah menang, atau mati hidup antara Lian Shia-pik
dengan Siau Cap-it Long. Dua orang itu, yang satu adalah suaminya, seorang lagi adalah orang penting
dalam kehiduapannya; peduli siapa menang atau kalah di antara kedua orang ini, ia pantang hadir dan
menyaksikan dari pinggir. Maka ia harus menyingkir.
"Tapi kau tidak menyingkir."
"Ya, aku tidak menyingkir."
"Kau masih berada di sini supaya ada kesempatan melimpahkan perasaanmu ini?"
"Masih ada omongan yang ingin kuucapkan."
"Coba jelaskan."
"Beberapa hari belakangan ini, tentu kau merasakan aku banyak perubahan?"
Hong Si-nio memanggut.
"Dapat kau menerka kenapa aku berubah?"
"Aku tidak bisa menerka."
"Seorang kalau sudah bertekad, sudah mengambil keputusan, dia pasti berubah."
"Kau sudah mengambil keputusan?"
Sim Bik-kun mengangguk.
"Keputusan apa?"
"Aku bertekad akan memberitahu kepadamu satu hal," kata Sim Bik-kun.
Hong Si-nio mendengarkan, tiba-tiba relung hatinya diliputi perasaan takut dan ngeri yang tak berani ia
bayangkan. Mendadak ia rasakan persoalan yang akan disampaikan Sim Bik-kun adalah kejadian yang amat
menakutkan. "Kuberitahu padamu. Hanya engkaulah teman hidup Siau Cap-it Long yang paling baik, paling cocok, dan
hanya kau seorang yang betul-betul memahami dirinya, mempercayainya, kalau dia membiarkanmu pergi,
maka dia orang dogol, dia sudah pikun," selesai bicara mendadak tubuhnya melompat terbang dan "byuurrr"
terjun ke dalam danau. Hong Si-nio melompat menerkam, namun sudah terlambat.
Hong Si-nio membanting kaki. serunya sambil berpaling, "Lekas ambil lentera, lekas bawa lentera kemari."
Ucapannya ia tujukan kepada Pin-pin. Pin-pin duduk melamun di buritan, tanpa bergeming seperti tak
mendengar teriakannya. Wajahnya yang pucat menampilkan mimik yang sukar ditebak. Sejak tadi ia sudah
duduk mematung di tempat itu, namun tiada orang memperhatikan dirinya. Hong Si-nio kembali membanting
kaki, tahu-tahu ia pun terjun ke dalam air.
Air danau dingin, perasaan Hong Si-nio lebih dingin, ia tidak melihat Siau Cap-it Long, juga tidak
menemukan Sim Bik-kun.
Ia ingin berteriak minta tolong, tapi begitu mulut terbuka, air danau yang dingin seperti ujung pedang tertelan
dalam tenggorokan. Baru sekarang ia sadar dirinya tidak pandai berenang, dalam air dirinya pasti takkan
bisa menolong orang, justru orang lain yang akan menolong dirinya, waktu ia sadar akan kesalahan ini,
badannya terus melorot turun tenggelam ke dasar danau.
Sepertinya kematian sudah dekat, amat dekat, anehnya dalam sekejap ini ia tidak merasa ngeri, tidak
merasa takut menghadapi kematian. Sering kali orang bilang, pada detik-detik menjelang ajal, seorang
kadang memikirkan banyak kejadian yang aneh-aneh.
XXVII. SEMI BERAKHIR MIMPI PUN BUYAR
Tapi hanya satu hal terpikir dalam benaknya, apakah Siau Cap-it Long dapat menolong Sim Bik-kun"
Sekuatnya ia meronta ingin melompat keluar mencari mereka.
Ia tak mampu melompat, sekujur badannya seperti dibetot oleh jari-jari tangan yang tidak kelihatan, di saat ia
pasrah, di saat ia rasakan badannya makin dingin dan terjerumus ke tempat yang makin gelap. Mendadak
dari tengah kegelapan itu ia lihat sepasang bola mata yang memancarkan cahaya, sepasang mata itu seperti
berkembang menjadi puluhan pasang, puluhan pasang mata Siau Cap-it Long.
Sudah pasti Hong Si-nio tidak ingin mati.
Pada detik-detik yang menentukan mati hidupnya itu, ia tidak pernah berdoa untuk diri sendiri. Dia hanya
berdoa semoga sang maha pencipta melindungi Siau Cap-it Long, menemukan dan melindungi Sim Bik-kun.
Sebab ia tahu, bila Sim Bik-kun mati, betapa duka lara Siau Cap-it Long akan makin keras, makin merasa
dan jauh. Biar diri sendiri harus mati, berkorban demi Siau Cap-it Long, ia tidak rela sang pujaan dibebani
derita yang berkepanjangan.
Siau Cap-it Long oh Siau Cap-it Long, sampai kapan baru kau akan menyelami, mengerti betapa perasaan
Hong Si-nio padamu"
Apa kau akan menunggu hingga akhir hayatnya"
* * * * * Hari sudah terang tanah.
Betapapun panjang sang malam, akhirnya cuaca akan kembali terang.
Mentari muncul dari peraduannya, cahayanya yang gemerlapan membayang di permukaan danau. Kini sorot
mata Siau Cap-it Long sudah tidak memancarkan cahaya, kalau sekarang kau melihat matanya, pasti tidak
percaya bahwa lelaki ini adalah Siau Cap-it Long.
Hanya seorang yang hatinya sudah beku, sudah hampa tanpa perasaan, sudah mati, maka ia akan berubah
seperti itu. Bola matanya seperti mata ikan yang sudah kaku, bola mata ikan yang sudah beku, rona matanya jauh lebih
menakutkan dibanding air mukanya. Pertama yang Hong Si-nio lihat adalah sepasang mata itu.
Ternyata Hong Si-nio tidak mati, waktu siuman badannya terasa hangat dan kering, tapi perasaannya,
hatinya lebih dingin dibanding air danau yang paling dingin.
Sebab ia sudah melihat sepasang mata Siau Cap-it Long, ia tidak melihat Sim Bik-kun.
Sisa arak semalam masih berada di meja, di loteng kapal itu tiada orang ketiga, mungkinkah Pin-pin juga
minggat diam-diam" Kursi berserakan, kabin kereta yang mewah dengan perabot serba mahal kini kacau


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balau, cahaya matahari yang menyorot masuk terasa guram, suasana terasa kosong dan hampa.
Bagaimana dengan Sim Bik-kun"
Apakah ia tidak menemukan dia"
Apakah dia hilang ditelan air danau yang dingin itu"
Hong Si-nio tidak berani bertanya.
Melihat sorot mata yang dirundung putus asa, ia tidak berani bertanya, tak perlu bertanya.
Aku masih hidup, Sim Bik-kun justru sudah mati.
Dia berhasil menolongku, Sim Bik-kun justru hilang untuk selamanya.
Hong Si-nio tidak bergerak, tidak bersuara, hatinya hancur, hancur lebur.
Ia menderita bukan lantaran kematian Sim Bik-kun, tapi demi Siau Cap-it Long. Sebab secara mendalam ia
ikut merasakan betapa derita batinnya, betapa pilu hatinya, kecuali dirinya, yakin tiada orang kedua yang
dapat meresapi derita itu, tiada orang dapat membayangkan betapa mengenaskan penderitaannya.
Siau Cap-it Long duduk dekat pintu luar ruang kabin, pandangannya mendelong mengawasi permukaan
danau. Alunan lembut air danau masih kelihatan begitu lembut, elok dan mempesona.
Bagaimana dengan Sim Bik-kun" Danau seindah dan sejernih itu, kenapa melakukan perbuatan yang begitu
kejam, tega dan tidak kenal kasihan"
Siau Cap-it Long tidak bergerak, tidak buka suara. Pakaiannya yang tadi basah kuyup mulai kering ditiup
angin musim rontok yang menghembus, air matanya pun sudah kering.
Perlahan Hong Si-nio berdiri, perlahan maju mendekati lalu duduk di sampingnya. Siau Cap-it Long tidak
berpaling, tidak memandangnya. Hong Si-nio mengisi secawan arak lalu diangsurkan kepadanya. Siau Capit
Long tidak menolak, tapi tidak mengulur tangan menerima cawan arak itu. Melihat pandangan matanya
yang kosong, melihat rona mukanya yang membeku dingin, hampir Hong Si-nio tidak tahan ingin
memeluknya kencang, menghiburnya dengan cara apa saja yang bisa ia lakukan.
Ia tidak melakukan apa-apa.
Sebab ia tahu, dalam kondisi sekarang, bujukan dan rayuan macam apapun, bagi Siau Cap-it Long tidak
lebih mirip ujung jarum yang menusuk hulu hatinya, semacam sindiran yang akan lebih membuatnya sedih
dan lara. Tiada persoalan macam apapun di dunia ini yang bisa menghiburnya, peduli persoalan apapun
kemungkinan besar justru bisa menusuk perasaan dan melukai hatinya.
Entah berapa lama mereka saling bungkam. Jidat Siau Cap-it Long sudah basah oleh keringat. Hong Si-nio
menggigit bibir, sekuatnya ia menahan air mata, waktu ia mengangkat kepala, baru ia sadari mentari sudah
doyong ke arah barat.
Waktu yang paling berharga dalam sehari telah berlalu tanpa terasa. Sekarang hembusan angin mulai
terasa dingin, cahaya senja juga mulai guram. Mereka terus duduk begitu, diam tanpa suara, tanpa terasa
sudah duduk berjam-jam lamanya.
Hong Si-nio sudah merasakan badannya mulai penat, pantatnya mulai kesemutan, namun ia tidak berani
bergerak. Bibirnya terasa kering, padahal cawan arak berada di tangannya, tapi tiada niat untuk
meminumnya. Hembusan angin musim rontok mulai terasa dingin.
Mendadak Siau Cap-it Long berkata, "Bisa tidak kau berbicara?"
Suaranya rendah lirih, tapi Hong Si-nio berjingkat kaget. Tak menyangka orang mau bicara, ia juga tidak
mengerti harus bicara apa. Dalam keadaan dan kondisi sekarang, apa yang bisa ia bicarakan"
Pandangan kosong Siau Cap-it Long tetap terarah ke tempat nan jauh, "Terserah mau bilang apa, yang
penting kau bicara .... bicara dan bicara terus tanpa henti."
Cukup lama mereka berdiam diri, kesunyian ini sungguh bisa membuat orang gila.
Bagaimana dengan Sim Bik-kun"
Mestinya Hong Si-nio ingin mengajukan pertanyaan ini, tapi ia tidak berani mengemukakan.
Cawan diangkat ke mulut, secawan arak ia tenggak habis, lalu pelan-pelan ia turunkan cawan arak itu.
Siau Cap-it Long berkata, "Mestinya banyak persoalan ingin kau bicarakan, kenapa kau tidak bicara?"
"Aku ...." Hong Si-nio ragu-ragu, suaranya perlahan, "aku pikir...."
"Pikir apa?" tanya Siau Cap-it Long.
"Aku ingin mencari Pin-pin."
"Tidak perlu kau mencarinya."
"Tidak perlu?" seru Hong Si-nio.
"Karena dia juga sudah pergi. Waktu aku kembali, dia sudah pergi."
Wajahnya tidak menujukkan perubahan, tapi bola matanya tampak berkedip-kedip. Walau sudah
mengerahkan setaker tenaga untuk mengendalikan diri, tapi ia sendiri tak mampu mengendalikan banyak
perubahan yang terjadi di tubuhnya.
Ternyata Pin-pin juga sudah pergi.
Betapapun Siau-yau-hou adakah saudara kandungnya.
Bahwa kenyataan membuktikan dia belum mati, entah kapan dia pasti akan kembali.
Kalau dia pasti akan datang, maka dia pasti harus pergi"
Kalau Sim Bik-kun sudah pergi, kenapa dia tidak boleh pergi"
Hong Si-nio menggenggam kencang tangannya, kuku jarinya tembus melukai kulit daging sendiri. Mendadak
ia amat membenci Sim Bik-kun.
Kini sudah akan tiba detik-detik menentukan mati hidup Siau Cap-it Long, dalam waktu sekejap itu, jiwa dan
kebesaran nama baiknya, akan mengalami ujian berat yang menakutkan, kalau tidak hidup pasti mati.
Kini saatnya dia perlu dihibur dan diberi semangat, dia malah tinggal pergi.
"Kau tak mengira Pin-pin bisa pergi?" tanya Siau Cap-it Long.
"Aku ...."
"Apapun yang kau pikir," tukas Siau Cap-it Long, "kau salah menduga."
"Tapi...."
"Karena kau tidak memahaminya," kata Siau Cap-it Long, "maka kau takkan mengira kenapa dia pergi."
Tadi ia menganjurkan Hong Si-nio bicara, tapi berulang kali ia memutus omongan Hong Si-nio.
Bahwa dia ingin Hong Si-nio terus bicara, mungkin karena ia sendiri juga ingin bicara.
Maka Hong Si-nio bungkam, mendengar orang bicara.
Siau Cap-it Long memang meneruskan bicara, "Lama dan lama sekali, ia pernah memberitahu padaku,
suatu hari bila dia ingin mati, ia akan pergi secara diam-diam, kemana pergi tidak memberitahu kepadaku,
aku juga tidak boleh tahu." Kelopak matanya tampak kedutan, "Sebab dia tidak ingin aku melihatnya mati,
dia rela mati secara diam-diam, mati sendiri tiada orang di sampingnya, dia tidak ingin aku bersedih karena
kematiannya."
"Mestinya bisa kupikir akan hal itu. Aku tahu dia wanita berwatak keras yang ingin menang sendiri, aku juga
tahu cirinya itu."
"Tapi kau tadi pasti salah duga, untuk betul-betul memahami seorang memang tidak mudah."
Hong Si-nio segera bertanya, "Apakah penyakitnya kambuh kembali?"
"Justru karena penyakitnya makin memburuk, jelas tak mungkin ikut aku gelandangan, maka kami kembali
dan menetap di sini."
"Maka kau sengaja mengundang orang-orang gagah di daerah ini berkumpul di sini, maksudmu supaya ia
melihat apakah di antara mereka ada anak buah Thian Cong?"
Perlahan Siau Cap-it Long mengangguk, cukup lama baru berkata pula, "Aku berharap begitu mendengar
beritaku di sini, segera kalian memburu ke sini, tapi tak nyana ...."
Tak nyana kedatangannya justru merupakan kesalahan besar yang tak mungkin dihapus untuk selamanya.
Hong Si-nio mengalihkan perhatian, "Apa benar kau beranggapan si buta itu adalah Siau-yau-hou?"
"Mungkin sekali adalah dia."
"Apakah dia pula orang yang memelihara anjing" Apakah orang yang berjanji pertemuan dengan Lian Shiapik
betul adalah dia?"
"Kuharap betul dia."
"Kenapa?"
"Sebab urusan yang harus dibuat perhitungan, cepat atau lambat kan harus diselesaikan, kalau bisa
dibereskan sekaligus kan lebih baik, bukan?"
Apa benar perhitungan ini bisa sekali beres" Antara budi dan dendam yang ruwet, mungkinkah bisa
diselesaikan dalam sekali perhitungan"
Mungkin hanya bisa dibereskan dengan satu cara. Kalau seorang sudah mati, maka dia sudah tidak
berhutang apapun terhadap orang, orang lain juga takkan bisa menagih hutang padanya.
Hong Si-nio mengawasinya, mendadak ia sadar tubuhnya sudah basah oleh keringat, karena mendadak
hatinya diresapi rasa takut seperti yang dirasakan Siau Cap-it Long.
Mendadak Siau Cap-it Long berkata, "Malam ini belum tanggal lima belas, kita masih bisa mabuk-mabukan
lagi." "Kau ingin mabuk?"
"Kau mau menemaniku bukan."
Hong Si-nio berdiri, "Biar kucari arak."
Di bawah loteng masih ada arak, tapi sudah tiada manusia. Semua yang hadir tadi kini sudah pergi semua.
bukan hanya tamu-tamu undangan yang pergi, semua kelasi, tukang masak, pokoknya semua petugas di
kapal ini sudah pergi.
Kapal itu masih berada di tengah danau. Hanya mereka berdua yang masih tinggal di kapal itu, tempat ini
kini menjadi dunia milik mereka berdua.
Dapat bersanding dua-duaan dengan Siau Cap-it Long adalah cita-cita Hong Si-nio selama hidup, kejadian
yang amat menggembirakan hatinya. Tapi saat itu ia merasakan dalam relung hatinya dirambati rasa
ketakutan yang timbul dari ujung kakinya.
Hong Si-nio menghembuskan napas dari mulut, dengan memompa semangat ia menjinjing sebuah guci
arak. Peduli apapun yang akan terjadi, sekarang mereka kumpul bersama. Umpama harus mati, baik atau buruk
mereka akan mati bersama.
Maka dengan langkah lebar ia jinjing guci arak dan melangkah naik ke loteng.
Sehari lagi telah berlalu, kini sudah tiba tengah malam.
Guci arak berada di meja, Siau Cap-it Long dan Hong Si-nio duduk berhadapan, mereka tidak menyinggung
Sim Bik-kun, namun dalam sanubari mereka tetap mcngenangnya, bayangannya tetap terekam dalam relung
hatinya. Tiba-tiba Siau Cap-it Long berkata, "Aku kenal kau mungkin sudah belasan tahun."
"Tepatnya enam belas tahun."
Mulutnya terasa kering, relung hatinya amat getir, enam belas tahun, berapa kali enam belas tahun umur
manusia" "Sepanjang tahun ini, walau jarang kita bertemu, tapi aku tahu kau lebih memahamiku dibanding orang lain."
Tanpa bersuara Hong Si-nio manggut-manggut. "Maka aku mohon kau memaafkan aku."
"Memaafkanmu?"
"Sepanjang hidupku kesalahan yang pernah kulakukan sungguh teramat banyak, pantasnya tidak patut aku
minta maaf kepada orang."
"Orang hidup, sebagai manusia biasa, siapa tidak pernah melakukan kesalahan?"
"Siapa pun yang pernah melakukan kesalahan, dia harus menebus dengan imbalan."
Hong Si-nio menggenggam jari-jari tangan sendiri, "Imbalan apa yang ingin kau berikan" Mati?"
Siau Cap-it Long menunduk diam, lama kemudian baru bersuara, "Hidup ini apa nikmatnya" Kenapa
kematian dibuat takut."
Hong Si-nio menyela, "Maka kau ingin mati, maka kau ingin aku memaafkan engkau. Sebab kau sendiri
tahu, kalau engkau mati, berarti berhutang budi kcpadaku."
Siau Cap-it Long juga menggenggam jari-jarinya dengan kencang, suaranya datar, "Kalau aku tidak mati,
apakah aku tidak menyia-nyiakan dia?" Sebelum Hong Si-nio berkomentar ia menyambung, "Kalau di dunia
ini tiada manusia macam diriku, mungkin dia bisa hidup senang, hidup tenteram dengan keluarganya, tapi
sekarang...."
Mendadak Hong Si-nio berdiri, katanya, "Di bawah masih ada arak, akan kuambil satu guci lagi, aku masih
ingin minum."
Bukan dia ingin mabuk, tapi tidak senang mendengar ucapannya, betapapun ia seorang perempuan.
Lampu-lampu di bawah loteng sudah padam seluruhnya, tangga loteng itu sempit dan gelap, dengan
langkah gontai ia turuni anak tangga, terasa perasaannya seperti mengambang, sekujur badannya seperti
kosong. Cahaya rembulan menyorot masuk lewat jendela, cahaya nan lembut temaram, waktu kakinya menginjak
lantai dasar ia mengangkat kepala, mendadak ia rasakan ada seorang duduk mematung di kegelapan.
"Siapa di situ?"
Orang di kegelapan itu tidak bersuara, tidak bergerak. Hong Si-nio tidak bertanya lagi karena kini ia sudah
melihat jelas seorang yang mengenakan baju hijau dengan warna dan kain yang kumal, sebuah tutup muka
yang lurus persegi menutup mukanya.
Si baju hijau yang misterius itu datang lagi, yang datang kali ini jelas bukan Su Jiu-san.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Hong Si-nio.
Si baju hijau tetap tidak bergerak, tidak bersuara, di tengah kegelapan, keberadaannya mirip setan dedemit
yang datang hendak menagih nyawa orang.
Hong Si-nio menarik napas panjang, katanya dingin, "Peduli kau orang atau setan, berani datang kemari,
apa salahnya aku melihat wajahmu, kalau tidak, umpama benar kau ini setan, jangan harap bisa lari dari
sini." Sorot matanya tampak memancarkan sinar, keadaannya sudah mulai sinting. Kalau Hong Si-nio sudah
mabuk, apa yang ingin dia lakukan, semua orang di dunia ini jangan harap ada orang yang bisa
merintanginya. Mendadak ia menerjang masuk sambil meraih tutup di muka orang.
Orang itu tetap tidak bergerak, cahaya rembulan kebetulan menyorot ke mukanya.
Hong Si-nio tertegun menjublek sesaat lamanya, akhirnya berseru, "Lian Shia-pik, ternyata benar engkau."
Wajah Lian Shia-pik memutih, bola matanya merah diwarnai darah, sepertinya dia juga pernah mengucurkan
air mata. Dingin suara Hong Si-nio, "Bu-kau Kongcu yang biasa mengagulkan diri, sejak kapan kau malu bertemu
dengan orang?"
Sorot mata Lian Shia-pik dingin menatapnya tajam, wajahnya membeku seperti mengenakan kedok muka
saja. Tampang yang tidak memperlihatkan perubahan, ada kalanya paling memilukan.
Bukankah Lian Shia-pik dengan Sim Bik-kun adalah pasangan yang menjadi pujaan orang banyak"
Kalau Siau Cap-it Long tidak hidup di dunia ini, bukankah pasangan muda ini bisa hidup rukun dan bahagia"
Membayangkan pengalaman hidup sepasang muda-mudi ini, Hong Si-nio menjadi tidak tega, akhirnya ia
menghela napas, "Kalau ingin minum arak, boleh kau ikut aku naik ke loteng, masih teringat tidak, dahulu
kita pernah minum bersama bukan" Kita bertiga."
Sudah tentu Lian Shia-pik masih ingat, kejadian waktu itu jelas takkan mudah dilupakan begitu saja.
Mengawasi Hong Si-nio, tak tertahan ia juga menghela napas, di saat ia menghela napas itulah, mendadak
Hong Si-nio melihat sebuah tangan terulur keluar. Sebuah tangan yang putih, tangan yang halus mulus
dengan jari-jari lentik lagi runcing.
Begitu melihat tangan ini, perasaan Hong Si-nio seperti tenggelam ke dasar danau. Ia kenal tangan ini. Di
saat ia terkesima itulah tangan mulus itu mendadak bergerak secepat kilat memegang lengannya.
Didengarnya seorang berkata di belakangnya, "Masihkah kau ingat dahulu kita juga pernah minum bersama,
hanya kita berdua saja." Senyum tawanya terdengar lembut dan halus, tapi Hong Si-nio tidak bersuara, jarijari
tangannya menggenggam kencang.
Hoa Ji-giok! Tak usah berpaling Hong Si-nio mengenali suara orang itu, ia tahu bahwa yang memegang lengannya
adalah Hoa Ji-giok. Hong Si-nio menjadi ngeri dan merinding bulu kuduknya, ia rela dibelit ular atau digigit
hewan beracun, tapi tidak rela dan merasa jijik disentuh orang ini.
Jari jemari tangan Hoa Ji-giok yang lain justru memeluk pinggangnya, katanya tetap tersenyum, "Masih ingat
tidak, arak yang kita minum di ruang pengantin malam pertama itu."
Hong Si-nio membungkam, ia ingin berteriak, ingin tumpah, sekali tendang ia ingin membunuh orang ini,
sayang dia hanya bisa berdiri mematung, diam tanpa kuasa. Meski badan dingin menggigil, beruntung ia
melihat Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long berdiri di anak tangga, air mukanya lebih putih dibanding wajah Lian Shia-pik, suaranya
dingin mengancam, "Lepaskan dia!"
Hoa Ji-giok mengedipkan mata, sengaja bertanya, "Dia ini apamu, berdasar apa kau minta aku
melepasnya?"
"Lepaskan dia," kembali Siau Cap-it Long mengancam.
"Kau tahu aku ini apanya" Tahukah kau, dia dan aku pernah sembahyang kepada langit dan bumi, masuk
pelaminan?"
Jari Siau Cap-it Long menggenggam kencang gagang golok.
Golok jagal rusa, tangan Siau Cap-it Long siapa tidak mengenalnya, siapa pun tokoh silat kosen bila melihat
tangan itu menggenggam golok, siapa pun takkan mampu tertawa.
Hoa Ji-giok justru tertawa riang, "Aku kenal golokmu itu, golok peranti membunuh orang."
Siau Cap-it Long tidak menyangkal.
Kata Hoa Ji-giok dengan tertawa, "Sayangnya, bila golokmu terlolos keluar, yang terbunuh mampus pertama
bukan aku, tapi malah dia."
Jari-jari Siau Cap-it Long yang menggenggam gagang golok memutih, namun sulit ia mencabut goloknya. Ia
tahu apa yang diucapkan Hoa Ji-giok bukan main-main.
"Malah berani kujamin," ujar Hoa Ji-giok lebih jauh, "orang kedua yang bakal mampus juga bukan aku, tapi
engkau." "O?" Siau Cap-it Long bersuara dalam mulut.
"Oleh karena itu, umpama dengan jiwamu ditukar dengan jiwanya, aku tetap tidak setuju, sebab ajalmu
sudah pasti tak mungkin dihindarkan lagi."
Memicing bola mata Siau Cap-it Long, ia rasakan dari kegelapan sebelah sana muncul lagi dua orang,
tangan mereka membekal tiga batang senjata yang mengeluarkan sinar kemilau. Sebatang golok ganco
yang diikat rantai dan sepasang Long-ge-pang yang terbuat dari perak murni. Dua jenis senjata yang
berbeda, yang satu jenis lembut yang lain keras, jarang ada tokoh Bulim zaman ini yang menggunakan
senjata jenis ini. Kalau ada orang mampu memakai jenis senjata ini, tak perlu diragukan, mereka pasti jago
kosen. Diam-diam perasaan Siau Cap-it Long mulai tegang. Ia insaf dalam kondisi seperti ini memang sukar dan tak
berdaya menolong Hong Si-nio.
Mendadak Hong Si-nio berteriak, "Tidak perlu kau berkorban bersamaku, kalau aku harus mati hari ini,
kenapa tidak lekas kau pergi saja?"
Siau Cap-it Long mengawasinya, sorot matanya menampilkan mimik aneh, entah marah" Rindu" Atau
sedih" Hoa Ji-giok tertawa riang, "Kenapa kau menyuruhnya pergi?"
"Kenapa?"
Hoa Ji-giok berkata, "Sebab kau sendiri tahu, di dunia ini hanya ada Siau Cap-it Long yang mati terpenggal
kepalanya, tidak pernah terjadi Siau Cap-it Long yang melarikan diri."
Gemeratak gigi Hong Si-nio, "Kalau begitu lekas kau bunuh aku saja."
"Kau tidak ingin melihat dia mampus?"
"Aku tidak ingin melihat dia mampus di tangan manusia rendah dan picik macam tampangmu ini."
"Kalau aku atur supaya kau menyaksikan kematiannya, bagaimana?" ucap Hoa Ji-giok sambil mengulap
tangan. Maka sinar gemerdep golok ganco dan Long-ge-pang mulai bergerak.
Golok Siau Cap-it Long masih berada di rangkanya.
"Kau belum boleh mati," ujar Hoa Ji-giok, "sebab selama kau masih hidup, dia takkan berani mencabut
goloknya." Lalu dengan tersenyum lebar ia berpaling ke arah Siau Cap-it Long, "Sebab bila golokmu terlolos,
maka kau akan menyaksikan kematiannya, kutanggung dia akan mampus lebih mengenaskan."


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Betapa cepat Siau Cap-it Long melolos golok, rasanya belum ada orang kedua yang mampu menandinginya,
tapi dalam kondisi sekarang, ia rasakan goloknya itu seperti beban berat yang tak mampu digerakkan lagi.
Sejak tadi Lian Shia-pik mengawasinya dingin, sekarang tiba-tiba berkata, "Tanggalkan golokmu, akan
kusuruh dia melepasnya."
Tanpa tanya tanpa ragu, perlahan tapi pasti Siau Cap-it Long menanggalkan goloknya.
Golok jagal rusa, golok yang diperolehnya dengan mempertaruhkan jiwa raga, sekarang seenaknya saja ia
buang golok itu ke lantai.
Bila dapat menolong jiwa Hong Si-nio, kepala sendiri boleh terpenggal, apa arti sebatang golok"
Mendadak Hoa Ji-giok bergelak tawa, serunya "Sekarang sudah pasti dia mampus, kau juga pasti mampus."
Golok jagal rusa adalah golok peranti membunuh orang, kecepatannya ibarat golok itu membabat rumput
layaknya. Tangan Siau Cap-it Long adalah tangan kilat yang menggerakkan golok secepat halilintar.
Yakin tiada ketajaman golok macam apapun di dunia ini yang dapat menandingi ketajaman golok jagal rusa.
Yakin tiada tangan siapa pun di dunia ini yang dapat memainkan ilmu golok menakutkan seperti yang
dimainkan Siau Cap-it Long.
Kini ia tidak mungkin mencabut golok, tidak berani melolos senjata, tapi sejauh golok masih berada di
tangannya, tiada orang berani bertingkah di hadapannya.
Sekarang ia buang begitu saja golok yang mujizat itu. Mengawasi golok yang tergeletak di lantai, air mata
Hong Si-nio bercucuran.
Sampai sekarang baru ia paham benar, demi dirinya, ternyata Siau Cap-it Long rela mengorbankan segalagalanya.
BENTROK PARA PENDEKAR
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 17 Dengan berlinang air mata ia mengawasi Siau Cap-it Long, hatinya manis dan kecut, senang juga berduka,
akhirnya tak tahan menangis tergerung-gerung, serunya di tengah sedu sedannya, "Kau ini pikun, goblok.
Kenapa selalu demi kepentingan orang lain, kau melakukan perbuatan sebodoh ini?"
Tawar namun tegas suara Siau Cap-it Long, "Aku tidak pikun, tapi kau adalah Hong Si-nio."
Hanya sembilan patah kata, diucapkan secara enteng dan jelas, tapi siapa tahu, betapa hangat perasaan
yang terkandung dalam sembilan patah kata itu. Hancur luluh perasaan Hong Si-nio.
Perlahan Lian Shia-pik berdiri, lalu maju beberapa langkah
mengambil golok itu, secepat kilat mendadak mencabut golok. Gaya dan gerakannya mencabut golok
ternyata juga cepat luar biasa. Sinar golok berkelebat, tahu-tahu sudah kembali ke sarungnya, tapi poci arak
yang terbuat dari tembaga tahu-tahu sudah terbelah menjadi dua. Arak dalam poci meleleh keluar mirip
darah. Lian Shia-pik mengelus rangka golok, sorot matanya memancar terang, gumamnya, "Golok bagus, sungguh
golok kilat."
Bola mata Hoa Ji-giok juga memancar terang, katanya "Kalau bukan golok kilat, mana mampu memenggal
leher Siau Cap-it Long."
Lian Shia-pik menghela napas panjang, "Siapa duga, golok ini akhirnya jatuh di tanganku."
"Sejak awal sudah kuperhitungkan," ujar Hoa Ji-giok tertawa, "cepat atau lambat golok itu akhirnya menjadi
milikmu." Mendadak Lian Shia-pik berkata dengan tatapan tajam, "Lepaskan dia."
Mimik tawa Hoa Ji-giok seketika berubah beku, serunya, "Kau ... betul kau minta aku melepasnya?"
Dingin suara Lian Shia-pik, "Memangnya kau anggap aku ini orang yang tidak dapat dipercaya?"
"Tapi kau...."
"Apa yang pernah kukatakan tak pernah kujilat lagi," kata Lian Shia-pik tegas, "tadi aku bilang, bila dia
menanggalkan golok, akan kubebaskan Hong Si-nio."
Benderang lagi bola mata Hoa Ji-giok, tanyanya, "Tapi kau tidak bilang, setelah membebaskan dia, lalu
membiarkan dia pergi."
"Ya, memang tidak."
"Kau juga tidak bilang akan membunuhnya dengan golok itu."
"Juga tidak."
Hoa Ji-giok tertawa lagi, tawa lebar sambil melepas tangan, "Biar kulepas dulu baru kau membunuhnya, baik
...." Gelak tawanya mendadak putus. Karena pada saat itulah sinar golok kembali berkelebat, sebuah lengan
orang mendadak tertabas putus, lengan yang berlepotan darah. Gelak tawa itu berubah menjadi lolong
kesakitan. Bukan lengan Hong Si-nio yang tertabas buntung, tapi lengan Hoa Ji-giok.
Dingin suara Lian Shia-pik, "Tidak kubilang tidak akan membunuhmu bukan?"
Hoa Ji-giok beringas, pekiknya, "Bila membunuhku, kau akan menye ...." Belum habis ia bicara, sinar golok
kembali berkelebat, tubuh Hoa Ji-giok langsung roboh terkapar.
Sampai mati ia tidak pernah menyangka Lian Shia-pik bakal membunuhnya, siapa pun yang menyaksikan
peristiwa ini juga pasti tidak akan menyangka.
Cahaya rembulan tidak berubah, suasana malam tetap lengang. Angin yang berhembus mengandung bau
amis. Perut Hong Si-nio seperti dikocok-kocok, rasa mual hampir membuatnya tumpah.
Manusia macam apapun, peduli dia cantik, agung atau berkedudukan tinggi, kalau mampus dipenggal golok,
keadaannya tentu amat mengerikan.
Selama ini Hong Si-nio tidak pernah melihat orang mati, tapi sekarang tak tahan untuk tidak melihatnya.
Sebab sampai detik ini, ia masih belum percaya, bahwa Hoa Ji-giok benar sudah mampus.
Mengawasi mayat yang meringkuk di tengah genangan darah, hampir ia tidak percaya bahwa Hoa Ji-giok
yang licik, licin mirip ular sanca beracun itu benar-benar sudah menjadi mayat.
Ternyata darahnya juga merah.
Waktu golok menyambar lehernya, kepalanya terpenggal, jiwanya pun melayang, matinya sungguh teramat
cepat. Hong Si-nio menarik napas panjang, mendadak ia sadar sekujur badannya basah kuyup oleh keringat
dingin. XXVIII. BERTINDAK JANGAN KEPALANG TANGGUNG
Cahaya rembulan menyinari golok di tangan Lian Shia-pik, sinarnya yang kemilau mirip bayangan cahaya
rembulan di permukaan air danau, golok itu putih bersih, tiada noda darah. Wajah Lian Shia-pik pucat,
perlahan ia mengelus mata golok, akhirnya menarik napas panjang, katanya, "Senjata tajam yang tiada
bandingan di dunia, nama besar golok ini tidak perlu diragukan."
Siau Cap-it Long menatapnya tajam, sorot matanya menampilkan perasaan aneh, namun mulutnya tetap
bungkam, orang lain jelas takkan ada yang mau bersuara, dalam keheningan, dalam kabin hanya terdengar
deru napas orang yang berat. Long-ge-pang diturunkan, golok sabit itupun seperti menjadi guram. Dua orang
ini diam-diam sudah siap minggat. Mendadak Lian Shia-pik melambaikan tangan, "Saudara Ho Ping, coba
kemari, aku ingin bicara."
Golok sabit bimbang sejenak, akhirnya maju mendekat, dengan tawa dipaksakan bertanya, "Kongcu ada
pesan apa?"
"Aku hanya ingin tanya satu hal."
"Tanya soal apa?" tanya Ho Ping.
"Tahukah kau kenapa aku membunuh Hoa Ji-giok?"
Ho Ping menggeleng kepala, ia tidak bodoh "orang yang tahu terlalu banyak, hidupnya selalu takkan
panjang', tentu dia paham akan pengertian ini.
"Betul kau tidak tahu?" Lian Shia-pik menegas.
"Betul tidak tahu," sahut Ho Ping.
Lian Shia-pik menghela napas, "Urusan sepele tidak tahu, apa arti hidupmu ini?"
Berubah air muka Ho Ping, badannya langsung berjumpalitan ke belakang, di tengah udara, golok sabitnya
mengiris turun ke bawah, ilmu golok sabitnya ini sebetulnya ajaran murni dari laut timur, jurusnya aneh, licik
dan cepat sekali, termasuk ilmu golok kelas satu di kalangan Kangouw, gerak goloknya yang kemilau itu
jelas memebendung serangan yang bakal datang menyergap dirinya.
Sayang aksinya tak mampu membendung serangan golok jagal rusa. "Ting", hanya sekali berdenting. golok
sabit jatuh ke lantai, bila sinar golok berkelebat lagi, darah pun berhamburan di angkasa.
Badan Ho Ping yang tinggi besar itu mendadak terbanting jatuh tepat di antara genangan darahnya sendiri.
Sekali menggerakkan golok, Lian Shia-pik tidak memperhatikan korbannya, berpaling ke sana ia berkata,
"Saudara The Kong, ada persoalan yang juga ingin minta penjelasanmu."
Jelas The Kong tidak berani mendekat, Lian Shia-pik malah yang maju beberapa langkah, The Kong
menyurut mundur dua langkah, namun punggungnya sudah mepet dinding, tiada jalan mundur, mendadak ia
berkata lantang, "Selama ini aku tidak pernah ada hubungan dengan orang she Hoa, umpama kau
membacoknya sepuluh kali, aku tidak akan memberi komentar."
"Aku hanya ingin tanya," ujar Lian Shia-pik, "tahukah kau kenapa aku membunuhnya?"
The Kong mengangguk, ia bukan orang bodoh, jelas takkan mau mengatakan 'tidak tahu'.
"Tahukah kau apa alasanku?"
"Maksud awal kedatangan kita ke sini adalah untuk membunuh Siau Cap-it Long, tapi mendadak kau
merubah tujuan semula."
"Jelaskan lebih lanjut."
Merah berganti hijau muka The Kong, akhirnya memberanikan diri melanjutkan, "Merubah haluan di medan
perang, merupakan larangan besar bagi Thian Cong. Kau takut dia membocorkan rahasia, apa boleh buat,
maka kau membungkam mulutnya."
Lian Shia-pik menghela napas, "Tahukah kau berapa kecepatan kilat menyambar."
Lian Shia-pik menghela napas lalu melanjutkan, "Urusan rumit ini juga kau ketahui, bagaimana mungkin aku
membiarkan kau hidup?"
Berubah air muka The Kong, sambil menggerung keras Long-ge-pang di tangan kiri menyapu dengan jurus
Hing-sau-jian-kun (menyapu bersih ribuan tentara), sementara Long-ge-pang atau pentung gigi serigala di
tangan kanan mengepruk dengan tipu Thay-san-ap-ting (gunung Thay menindih kepala). Diselingi deru
angin kencang keduanya menyerang, sepasang pentung besinya ini beratnya ada tiga puluh tujuh kati,
jurusnya kencang tenaganya besar perbawanya keras sekali, sayang gerakannya masih terlambat, jelasnya
kalah cepat, sinar golok yang tajam luar biasa mendahului membacok badannya secepat kilat.
Tahukah kau berapa kecepatan kilat menyambar, betapa besar kekuatannya"
Golok itu tetap bersih, tiada noktah darah. Lian Shia-pik mengelus mata golok, sorot matanya menampilkan
pujian dan sayang, mulutnya menggumam, "Belul-betul golok tiada bandingan di dunia, senjata ampuh yang
tidak bernama kosong."
Mendadak Hong Si-nio berkata, "Berpisah sekian tahun, permainanmu ternyata tidak pernah lambat."
"Golok inipun tidak pernah tumpul," ujar Lian Shia-pik.
"Aku hanya tahu ilmu pedangmu cukup tinggi, tak kunyana kau pun pandai main golok."
"Golok atau pedang, sama-sama senjata untuk membunuh orang, aku mahir membunuh orang."
"Orang yang pandai menggunakan pedang, bila mendapatkan golok sebagus itu, mungkin tidak
mengembalikan kepada pemiliknya?"
"Jelas tidak," ujar Lian Shia-pik tetap mengelus mata golok, mendadak tangannya mengayun, golok di
tangannya meluncur terbang, bagai bianglala golok itu meluncur terbang ke arah Siau Cap-it Long, tapi yang
meluncur di bagian depan justru gagang golok bukan mata golok.
"Aku jelas takkan menyerahkan golok ini kepada orang lain, aku hanya mau menyerahkan kepadanya."
Bersinar mata Hong Si-nio, "Kenapa?"
"Karena dia adalah Siau Cap-it Long."
"Ya, hanya Siau Cap-it Long pantas menggunakan golok itu."
Ujung mulut Lian Shia-pik mengkeret sekilas, "Peduli dia ini orang baik atau orang jahat, di kolong langit,
memangnya hanya dia seorang yang setimpal menggunakan golok ini."
"Kalau senjatanya bukan golok, tapi pedang?" tanya Hong Si-nio.
Ujung mulut Lian Shia-pik kembali mengunjuk senyum misterius, suaranya lebih kalem, "Kalau golok ini
berubah pedang, maka pedang itu pasti adalah pedangku."
Meski dingin dan perlahan perkataannya, namun bernada bangga, penuh keyakinan.
Sejak beberapa tahun lalu ia sudah punya keyakinan itu, ia tahu dirinya bakal menjadi ahli pedang, jago
pedang yang tiada bandingan di kolong langit.
Mengawasi orang, Hong Si-nio menghela napas, "Ternyata pribadimu tidak berubah."
Dengan ringan Siau Cap-it Long menyambut goloknya, lalu mengelus mata goloknya, katanya, "Ada
sementara orang mirip golok ini, golok ini selamanya takkan jadi tumpul, orang seperti itu mana bisa
berubah." Lalu ia berpaling mengawasi Lian Shia-pik, "Kuingat kau dahulu juga sering minum arak."
"Kau tidak salah ingat."
"Sekarang?"
Lian Shia-pik juga mengangkat kepala mengawasinya, mereka saling tatap, lama sekali, akhirnya berkata
perlahan, "Kau pernah bilang, ada sementara orang selamanya takkan pernah berubah, orang yang sering
minum arak, kebanyakan manusia jenis itu."
"Bukankah kau manusia jenis itu?" tanya Siau Cap-it Long.
Lian Shia-pik memanggut.
Seguci arak berada di atas meja, mereka bertiga duduk berhadapan mengitari meja.
Sekarang bertambah satu orang di antara mereka, bagi perasaan Hong Si-nio, hubungan dirinya dengan
Siau Cap-it Long justru bertambah akrab, jaraknya makin dekat.
Kini mereka sama merasakan, dari badan orang ini seperti tumbuh tekanan aneh yang tak bisa dijelaskan
dan tidak terlihat, tekanan berat mirip tajam pedang. Waktu menghadapi Ang Ing dan Lok Liu dahulu, mereka
juga merasakan adanya tekanan dari badan mereka. Demikian pula dari badan Lian Shia-pik yang
mengeluarkan tekanan, yakin lebih besar, lebih berat dibanding waktu itu.
Tanpa sadar tapi pasti Hong Si-nio mendekat di samping Siau Cap-it Long, sampai sekarang baru ia
merasakan pribadi Lian Shia-pik ternyata jauh lebih aneh, khas dan susah diterka tindak-tanduknya. Tak
tahan akhirnya ia bertanya, "Apa benar tujuanmu hendak membunuh kami?"
"Rencana ini sebetulnya cukup rapi, sudah lama kuatur rencana ini."
"Tapi mendadak kau berubah haluan?"
"Pribadiku takkan pernah berubah, tapi rencana bisa saja sewaktu-waktu berubah."
"Karena persoalan apa rencanamu kali ini berubah."
"Sebab aku mendengar percakapan kalian tadi di sini."
"Kau dengar seluruh percakapan kami?"
"Aku mendengar jelas sekali, maka aku mengerti orang macam apa dia sebenarnya."
"Benar kau memahaminya?"
"Paling tidak aku sudah mengerti, dia bukan orang yang dingin tak kenal budi seperti yang dikatakan orang,
walau dia menghancurkan keluarga kami, tapi dalam sanubarinya yang paling dalam, mungkin jauh lebih
sengsara dari kami."
"Sayangnya derita dan sengsara hatinya takkan pernah dipahami orang lain, tiada orang bersimpati
kepadanya." Lama Lian Shia-pik menepekur, akhirnya berkata perlahan, "Riang atau gembira banyak
macamnya, derita yang benar-benar derita semua sama, kalau orang pernah meresapi derita yang benarbenar
derita, maka ia akan mengenal penderitaan orang lain."
"Hanya orang yang benar-benar merasakan siksa derita, baru akan memahami derita orang lain."
"Aku mengerti, sudah lama aku mengerti ...." Sorot matanya memandang jauh ke depan, tabir malam tampak
remang, bola matanya seperti dilapisi halimun. Apakah cahaya rembulan mengaburkan pandangannya"
Atau karena air mata yang berlinang"
Mengawasi sepasang bola mata orang, mendadak Hong Si-nio merasakan derita yang mengendap dalam
sanubarinya mirip derita yang dirasakan Siau Cap-it Long, sama dalam sama keras.
Lian Shia-pik berkata lagi, "Karena aku mengerti betapa menakutkan rasa derita itu, maka aku tidak ingin
melihat orang lain ikut menderita karena persoalan yang sama."
"Benarkah?" tanya Hong Si-nio.
Lian Shia-pik tertawa, mimik tawanya kelihatan betapa sedih dan pilu hatinya. Dengan suara lirih akhirnya ia
berkata pula, "Yang harus pergi, cepat atau lambat memang harus pergi. Sekarang dia sudah pergi, pergi ke
lempat dimana ia ingin pergi, membawa seluruh budi dan dendam. Kalau demikian maksudnya, kenapa kita
tidak melupakan dendam yang bersemayam dalam sanubari kita?"
Hong Si-nio menghela napas, katanya sendu, "Betul, dia pergi membawa seluruh dendamnya, baru
sekarang aku mengerti maksudnya, selama ini aku salah paham kepadanya."
Kepalanya menunduk, ia tidak berani memandang kepada Siau Cap-it Long, tidak tega memandangnya,
karena air mata sudah bercucuran membasahi pipi.
"Yang harus pergi sudah pergi, urusan ini juga tiba saatnya berakhir, kenapa aku harus menciptakan
kesalahan yang baru?"
"Maka, kau bisa merubah haluan?"
Lian Shia-pik tertawa-tawa, "Apalagi akhirnya aku sadar, tiap orang kapan saja bisa melakukan kesalahan,
seorang kalau menderita karena sadar akan perbuatannya yang salah, bukankah dia harus mengeluarkan
imbalan?" Hong Si-nio mengawasinya, seperti belum pernah selama hidupnya bertemu dengan orang di hadapannya
ini. Mungkin baru sekarang ia betul-betul melihat jelas orang di depannya ini. Mendadak ia bertanya,
"Pernahkah kau berbuat salah?"
"Aku adalah orang biasa," sahut Lian Shia-pik.
"Kau sadar mestinya kau tidak menjadi anggota Thian Cong?"
"Dalam hal ini aku tidak salah."
"Tidak salah?"
"Aku masuk Thian Cong hanya dengan satu tujuan."
"Tujuan apa?"
"Membongkar rencana jahat mereka, menghancur-leburkan organisasi mereka," kata Lian Shia-pik dengan
tangan tergenggam kencang, "sengaja aku berpura-pura patah semangat, luluh-lantak, bukan untuk menipu
kalian, sekarang kuyakin kau sudah mengerti apa tujuanku?"
"Sedikitpun aku tidak mengerti," sahut Hong Si-nio geleng kepala.
Lian Shia-pik menenggak secawan arak, mendadak bertanya, "Kau mengerti orang macam apa sebenarnya
Lian Shia-pik?"
Hong Si-nio juga mengangkat cawannya, setelah minum secawan baru menjawab, "Seorang yang tabah,
cerdik, tapi juga terlalu membanggakan diri sendiri."
"Orang semacam itu mendadak masuk jadi anggota Thian Cong, lalu apa yang kau pikir?"
"Aku akan berpikir, dia pasti punya maksud tertentu."
"Maka kalau engkau sebagai Congcu dari Thian Cong, umpama membiarkan dia masuk ke Thian Cong,
segala kegiatannya pasti selalu diperhatikan, tindak-tandukmu pasti diawasi."
"Ya, benar."
"Tapi bila seorang yang sudah luluh, patah arang, apalagi setan arak, jelas berbeda bobotnya."
"Tapi masih ada yang belum aku mengerti, kenapa kau cari permusuhan dengan Thian Cong" Kenapa harus
merendahkan derajat dan susah payah lagi?"
Sorot mata Lian Shia-pik memandang lurus jauh ke depan, lama menepekur, akhirnya berkata lirih, "Sejak
kakek moyangku Hun Jun-kong dengan sepasang tangannya membangun Bu-kau-san-ceng sampai
sekarang sudah tiga ratusan tahun lamanya, selama tiga ratusan tahun, anak cucu Bu-kau-san-ceng, kapan
dan dimana pun dia selalu disanjung, dihormati orang."
Diam-diam Hong Si-nio mengisi cawannya yang sudah kosong, lalu menunggu orang bercerita lebih lanjut.
"Kakek dari kakek moyangku Thian-hong-kong demi membela keadilan bagi kaum Bulim di Kanglam,
seorang diri ia meluruk ke Thian-san, menantang Thian-san-jit-kiam yang pada waktu itu disegani dan
ditakuti orang, mereka bertarung tiga hari tiga malam, dua puluh sembilan luka di tubuhnya tidak
membuatnya binasa, akhirnya ia paksa Thian-san-jit-kiam ikut dia turun gunung ke Kanglam, mohon maaf
dan mengaku dosa."
Sampai di sini ia angkat cawan araknya, mukanya yang pucat mulai bersemu merah, lalu melanjutkan, "Lima
puluh tahun yang lalu, kawanan Mo-kau membuat onar di Kanglam, bersekongkol dengan tujuh puluh dua
aliran hitam perairan, mendirikan serikat, mengagulkan diri sebagai organisasi yang paling kuasa di


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kanglam. Kakek moyangku seorang diri meluruk ke markas besar mereka, delapan puluh kali pertempuran
besar kecil dialaminya, tak pernah sebabak pun dikalahkan, syukur kaum persilatan di Kanglam akhirnya
tidak tertindas atau diperas mereka. Masih banyak anggota keluarga mereka yang membuat kongpo,
menghormati dan mengagungkan kebesarannya."
Hong Si-nio segera menghabiskan satu cawan arak sebagai rasa hormatnya. Mendengar kisah
kepahlawanan para Cianpwe persilatan masa lalu, sikapnya berubah mirip anak-anak yang tekun dan gairah
mendengar cerita lama.
Lian Shia-pik sendiri kelihatan amat terharu tapi berkobar semangatnya, suaranya lebih keras, "Aku adalah
anak cucu marga Lian, aku pantang nama baik, kebesaran dan wibawa Bu-kau-san-ceng runtuh dan hancur
di tanganku, tidak akan kubiarkan intrik dan rencana busuk Thian Cong terlaksana."
Hong Si-nio mengangkat cawannya lagi, menenggak habis. "Berdasar omonganmu ini, aku pantas
menghormatimu tiga cawan."
Lian Shia-pik benar-benar menghabiskan tiga cawan, mendadak menarik napas panjang, "Sayangnya
sampai sekarang aku belum tahu siapa sebenarnya ketua Thian Cong?"
Hong Si-nio melenggong, "Kau belum tahu?"
Lian Shia-pik geleng kepala.
"Jadi di hadapanmu dia belum pernah memperlihatkan wajah aslinya?"
"Tidak pernah."
"Jadi dia belum mempercayaimu?"
"Dia belum pernah mempercayai siapa pun. Kalau ada yang pernah melihat muka aslinya, mungkin anjing
yang dia pelihara itu."
Hong Si-nio tertawa, tertawa getir, pada saat itulah mendadak dari kejauhan ia dengar tiga kali lolong anjing.
Berubah air muka Lian Shia-pik, tawanya dingin, "Sudah kuduga dia pasti datang."
"Dia memang memelihara anjing, tapi yang memelihara anjing belum tentu dia."
"Yang ini pasti dia."
"Bukankah kalian janji bertemu di malam bulan purnama?"
"Malam ini sudah bulan purnama."
Hong Si-nio menengadah, rembulan bundar tepat bercokol di cakrawala. Di tengah hambusan angin,
berkumandang lagi dua kali lolong anjing, suaranya lebih keras, jelas jaraknya makin dekat, seperti sudah
berada di luar jendela.
Hong Si-nio ikut tegang, dengan suara lirih ia bertanya, "Dia tahu kau berada di sini?"
"Tapi dia tidak tahu kalau aku sudah berubah pendirian."
"Sekarang dia tentu mengira Siau Cap-it Long sudah mampus di tanganmu."
"Maka dia pasti datang untuk menyaksikan."
"Menyaksikan apa?"
"Menyaksikan batok kepala Siau Cap-it Long."
"Maksudmu dia getol melihat kepala Siau Cap-it Long terpenggal dari badannya?"
"Dia sendiri pernah bilang, sepanjang Siau Cap-it Long masih hidup, hidupnya akan selalu dirundung
ketakutan, susah makan tak bisa tidur."
Berputar bola mata Hong Si-nio, tanyanya pula, "Berapa lama kalian merencanakan muslihat ini?"
"Kira-kira setengah bulan,"
"Setengah bulan yang lalu, bagaimana kalian tahu Siau Cap-it Long bakal berada di Cui-gwat-lo?"
"Di samping siapa saja, pasti ada yang sudi membocorkan rahasia, tak perlu heran kalau jejaknya mudah
diketahui orang."
"Menurut pendapatmu, siapa pembocor rahasia itu?"
"Tidak tahu."
"Setengah bulan yang lalu," Hong Si-nio coba menganalisa, "Siau Cap-it Long sendiri mungkin tidak tahu
kalau hari ini ia bakal berada di Cui-gwat-lo."
"Pasti ada seorang tahu, kalau tidak, mana mungkin kita tentukan tempat pertemuan di sini?"
Hong Si-nio tidak bicara lagi, mendadak ia teringat sesuatu yang amat menakutkan.
Perjalanan Siau Cap-it Long ke Se-ouw bukankah diatur oleh Pin-pin"
Mungkinkah Pin-pin yang membocorkan perjalanan mereka kali ini"
Sebelum dia berencana datang ke Se-ouw, bukankah hanya Pin-pin saja yang tahu akan kedatangannya"
Sebab ia maklum kalau dirinya mau pergi kemana saja, Siau Cap-it Long pasti takkan pernah
menentangnya. Hong Si-nio merasakan kaki tangannya menjadi dingin, tak tahan diam-diam ia mencuri pandang ke arah
Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long duduk mematung, wajahnya kaku, seakan-akan tidak mendengar percakapan mereka.
Mendadak Lian Shia-pik berkata pula, "Betapa ketat, keras dan tinggi disiplin organisasi Thian Cong, tiada
bandingannya di kolong langit. Akan tetapi tak mungkin dicegah di antara anggota Thian Cong pasti ada
yang berkhianat."
Segera Hong Si-nio bertanya, "Kau tahu siapa saja para pengkhianat itu?"
"Semuanya sudah menjadi mayat."
"Sudah menjadi mayat?" tanya Hong Si-nio melenggong.
"Menurut apa yang kutahu, para pengkhianat itu sekarang sudah mampus semua."
"Siapa yang membunuh mereka?"
"Siau Cap-it Long."
Bahwa Siau Cap-it Long memberantas para pengkhianat Thian Cong, bukankah merupakan peristiwa yang
menggelikan"
Hong Si-nio justru merasa ngeri, makin dipikir makin menakutkan, untung keadaan tidak memberi
kesempatan untuknya berpikir lebih jauh.
Dari arah danau berkumandang salak anjing dua kali, sebuah perahu tampak meluncur datang di bawah
pancaran cahaya rembulan.
Di perahu itu ada seekor anjing tiga sosok manusia, seorang nelayan tua mengenakan caping
menggerakkan kayuh di tangannya, seorang anak kecil bcrpakaian hijau berdiri di haluan, tangannya
menjinjing sebuah lampion kertas putih, di bawah lampion itu tampak duduk seorang berpakaian hitam, raut
wajahnya tampak mengkilap ditimpa cahaya lampion, demikian pula sepasang tangannya juga
memancarkan sinar gemerdep, tangannya memeluk seekor anjing kecil.
Congcu atau ketua Thian Cong akhirnya muncul. Kenapa mukanya kelihatan mengkilap"
Muka mengenakan kedok, tangan dibungkus sarung tangan, entah terbuat dari apa, begitu ditimpa cahaya
kelihatan gemerdep.
"Apakah dia senang duduk di bawah cahaya lampu?"
"Benar."
Lian Shia-pik merendahkan suara, "Makanya cukup dua kali kau awasi mukanya, pandanganmu bisa kabur."
Hong Si-nio tidak berani bertanya lagi, jantungnya berdegup dua kali lebih kcncang.
Hatinya harap-harap cemas supaya orang ini lekas naik ke atas kapal, ia bersumpah akan menyingkap
kedok orang dan membuktikan siapa dia sebenarnya"
Siapa nyana dalam jarak tcrtentu, perahu itu mendadak berhenti, anjing kecil dalam pelukan orang baju
hitam mendadak melompat dan lari ke haluan lalu menyalak ke arah rembulan. Maka datang sambutan
suara lolong anjing yang ramai dari tengah danau, lalu muncul lagi tiga perahu yang meluncur datang dari
kejauhan. Tiap perahu ada satu anjing tiga sosok manusia.
XXIX. PERJANJIAN SAAT TERANG BULAN
Perahu-perahu itu berayun mengikuti gelombang lembut di tengah danau, semua berhenti di kejauhan,
bentuk dan warna bulu keempat anjing itu sama, demikian pula pakaian keempat orang itu mirip satu dengan
yang lain. Di bawah cahaya lampion kertas putih, muka keempat orang itu sama-sama gemerdep, kelihatannya betapa
seram dan mengerikan.
Hong Si-nio tertegun di tempatnya.
Waktu berpaling ke arah Lian Shia-pik, mimik orang mirip dirinya, kelihatan heran, takjub dan kaget.
Anjing kecil yang berlari ke haluan itu sudah melompat kembali ke dalam pelukan orang baju hitam. Anak
kecil baju hijau yang menenteng lampion mendadak tarik suara dengan nada tinggi, "Lian-kongcu ada
dimana, silakan keluar untuk bicara."
Empat bocah buka mulut dan berteriak bersama, tutup mulut berbareng, nadanya sama iramanya juga mirip,
sepatah kata pun tidak meleset.
Suara Hong Si-nio teramat lirih, "Kau mau keluar tidak?"
Lian Shia-pik geleng kepala.
"Kenapa?" tanya Hong Si-nio.
"Begitu keluar jiwaku pasti melayang," sahut Lian Shia-pik.
Hong Si-nio tidak mengerti.
"Satu dari keempat orang baju hitam itu adalah Congcu asli."
"Kau sendiri tidak mampu membedakan mana tulen siapa palsu?"
Lian Shia-pik menggeleng kepala, "Maka aku tidak boleh ke sana, bahwasanya aku tidak tahu harus naik ke
perahu yang mana."
"Maksudmu jika naik ke perahu yang salah, kau bakal mati?"
"Janji pertemuan ini Hoa Ji-giok yang mengatur, dia yang menentukan, di antara mereka pasti sepakat
menggunakan kode pertemuan yang sebelumnya sudah saling disetujui."
"Hoa Ji-giok tidak menjelaskan kepadamu?"
"Tidak."
Hong Si-nio menghela napas, katanya, "Makanya sebelum ajal dia bilang, kalau kau membunuhnya, kau
pasti menyesal."
Tiba-tiba satu di antara empat perahu itu bergerak meluncur ke arah Cui-gwat-lo.
Bangkit semangat Hong Si-nio, katanya, "Begitu banyak urusan di dunia, kalau berkukuh tak mau ke sana,
terpaksa dia yang datang kemari."
Lian Shia-pik bertanya, "Kau tahu yang datang palsu atau tulen?"
"Persetan dia palsu atau tulen, apa salahnya kita tunggu dia di bawah lampu."
Sampan itu meluncur perlahan, akhirnya berhenti di bawah pagar Cui-gwat-lo.
Baru saja si baju hitam berdiri, anjing cilik dalam pelukannya kembali menyalak tiga kali lalu berlari masuk
kabin. Suasana dalam kabin sunyi gelap, begitu menerobos masuk, anjing cilik itu langsung mendekati mayat Hoa
Ji-giok. Suara salaknya mendadak berubah mirip ringkik sedih yang memelas hati.
Waktu masih hidup Hoa Ji-giok tidak pernah memberi rasa senang kepada sesamanya, maka setelah mati,
hanya seekor anjing yang merasa sedih baginya.
Mendadak Hong Si-nio merasa ingin tumpah. Sekuatnya ia tahan, sementara langkah di luar kabin makin
dekat, derap langkahnya mirip daun musim semi yang berguguran di tanah.
Mendadak dari luar pintu muncul seraut wajah yang mengeluarkan cahaya. Baru saja Hong Si-nio hendak
maju ke sana, dua bayangan orang tahu-tahu sudah menerobos lewat di sampingnya. Selama ini belum
pernah ia saksikan gerak orang yang begitu cepat, baru sekarang ia sadar, ternyata gerak-gerik Lian Shiapik
tidak kalah cepat dibanding Siau Cap-it Long.
Orang baju hitam yang baru saja melangkah masuk kabin kelihatan amat kaget, baru ada berniat mundur,
tulang iganya mendadak kesakitan kena jotosan tinju orang, begitu keras dan menimbulkan rasa sakit yang
luar biasa hingga air kecut tumpah dari perutnya. Mulutnya yang terpentang baru saja ingin berteriak, sebuah
jotosan tinju yang lain sudah menghajar mukanya lagi.
Kontan kunang-kunang bertaburan di depan matanya, badannya terjengkang miring ke belakang, akhirnya
roboh di lantai, roboh di depan kaki Hong Si-nio.
Baru saja Hong Si-nio menghembuskan napas yang sejak tadi ditahannya, orang ini tahu-tahu roboh di
depannya. Langkah orang ini ringan, jelas Ginkangnya tidak lemah, gerak-gerik dan reaksinya cepat serta cekatan,
terhitung tokoh kosen kelas satu di Bulim. Apalagi dalam melaksanakan aksinya kali ini, mereka yakin pasti
berhasil, boleh dikata kedua orang ini sudah mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya.
Dalam kegelapan, sekilas kedua orang ini saling pandang, sorot matanya menampilkan reaksi yang aneh,
entah saling memberi peringatan atau sayang menyayangi. Lian Shia-pik menghela napas, katanya, "Orang
ini jelas bukan Thian Sun."
"Dia bukan?" Siau Cap-it Long balas bertanya.
"Aku pernah melihat dia turun tangan menghukum orang, menilai kemampuan ilmu silatnya, umpama kau
dan aku bergabung menyerang dia, dalam tiga puluh jurus yakin takkan bisa mengalahkan dia."
Siau Cap-it Long bungkam.
Tak terpikir olehnya tokoh mana di dunia ini yang mampu mengalahkan mereka berdua dalam tiga puluh
jurus. Hong Si-nio berjongkok lalu meraba-raba badan orang yang menggeletak di lantai, mendadak ia berteriak
kaget, "Orang ini sudah mati."
"Mana mungkin mati?" kata Lian Shia-pik. "Tenaga seranganku tidak berat."
"Aku juga ingin mengompes keterangan dari mulutnya," ujar Siau Cap-it Long.
"Kelihatannya, dia ... dia mati ketakutan," belum habis Hong Si-nio bicara, mulutnya menguak hampir
tumpah. Entah sejak kapan dalam kabin besar itu tercium bau busuk yang tak mungkin dijelaskan dengan kata-kata,
bau busuk justru teruar dari badan orang yang sudah jadi mayat ini.
Anjing kecil itu melompat ke atas mayat sambil menyalak berulang-ulang. Dari luar kabin mendadak
berkumandang dua jeritan yang menyayat hati, menyusul "byuurrr, byuurr" dua kali.
Waktu Hong Si-nio memburu ke depan sana, tukang perahu dan anak kecil di haluan itu sudah tidak
kelihatan, riak air di pinggir sampan kelihatan masih bergelombang, lampion kertas putih tampak
mengambang di permukaan air.
Di antara riak gelombang mendadak timbul riak air warna merah darah. Sementara tiga perahu yang lain di
kejauhan sudah memutar haluan tengah meluncur ke tengah danau.
Hong Sinio membanting kaki, katanya, "Tentu mereka melihat gelagat yang tidak menguntungkan, bocah
tidak berdosa itupun mereka bunuh."
Siau Cap-it Long menghela napas, "Bila mereka lolos kali ini, untuk mencari jejak mereka selanjutnya tentu
tidak gampang."
"Maka kita harus mengejar," ujar Lian Shia-pik.
"Mengejar bagaimana?" tanya Hong Si-nio.
"Perahu yang berada di tengah itu lajunya agak lambat, duduklah di perahu di bawah ini serta
membuntutinya."
"Betul, biar aku mengejar perahu di sebelah kiri," ujar Lian Shia-pik.
"Bila dapat mencari tahu jejak mereka, kita harus segera pulang, jangan sembarang bergerak, apalagi
beraksi secara sembrono," kata Siau Cap-it Long kepada Hong Si-nio.
"Kau ... kau akan menungguku di sini?" tanya Hong Si-nio.
"Bagaimanapun hasilnya," kata Siau Cap-it Long lebih jauh, "besok menjelang tengah hari, aku pasti kembali
ke tempat ini."
Hong Si-nio mengangkat kepala mengawasinya, seperti ingin bicara apa, mendadak ia membalik badan lalu
melompat turun ke perahu yang terikat di bawah pagar, diraihnya galah bambu panjang lalu menutul pinggir
kapal besar, setetres air mata mendadak jatuh di tangannya.
Dilihat dari kejauhan, tiga sampan di depan itu seperti hampir lenyap di telan tabir malam yang berkabut.
* * * * * Permukaan air remang-remang.
Malam sudah larut, entah masih berapa lama datangnya fajar.
Gelombang air danau mengalun lembut, tabir malam juga terasa halus dan tenang, kecuali suara pengayuh
menyentuh air di kejauhan, jagat raya seperti sunyi senyap tak ada suara apapun.
Perahu di depan sudah tidak kelihatan, perahu di kiri kanan itupun sudah meluncur jauh, perahu yang di
tengah tinggal titik bayangan yang mulai samar.
Sekuat tenaga Hong Si-nio mengayuh, perahunya melaju dengan kecepatan tinggi, air mata terus
bercucuran di pipinya.
Selama ini belum pernah ia mengucurkan air mata sebanyak ini, hati sendiri merasa heran dan tak mengerti,
kenapa hari ini ia mengucurkan air mata. Ia merasa dirinya seperti amat terpencil, sebatangkara, tak
terkatakan betapa rasa takut dalam sanubarinya.
Dunia ini seolah-olah menjadi kosong. Seakan tinggal dirinya seorang yang masih berada di mayapada.
Walau ia paham Siau Cap-it Long pasti akan menunggu dirinya di Cui-gwat-lo. Janji yang pernah diucapkan
Siau Cap-it Long tidak pernah membuat orang kecewa.
Entah kenapa hatinya masih dirundung rasa takut, seolah-olah perpisahan ini akan berlangsung lama,
takkan bisa berjumpa lagi selamanya.
Kenapa hatinya dirasuk pikiran semacam itu" Hong Si-nio tidak tahu dan tak mampu menjelaskan.
Kembali ia teringat kepada Sim Bik-kun, teringat omongan Sim Bik-kun yang diucapkan sebelum berpisah,
".... hanya engkau yang setimpal menjadi pendamping Siau Cap-it Long, dan hanya engkau yang benarbenar
dapat memahaminya ...."
Setaker tenaga Hong Si-nio meluncurkan perahunya, dengan menghabiskan tenaga ia berusaha tidak
menggunakan otak memikirkan urusan tetek-bengek, namun bayangan itu terus merasuk hatinya.
Dalam kondisi seperti ini, dia mengharap sukma Sim Bi-kun muncul di hadapannya, membantu dia
menentukan arah.
Hembusan angin kencang membuatnya sadar, waktu ia mengangkat kepala, baru ia sadar perahu di depan
yang ia kejar sudah tidak kelihatan lagi bayangannya.
Di tengah kegelapan, hembusan angin membawa suara galah menyentuh air, ada niat mengejar ke sana,
mendadak ia rasakan air di bawah perahunya berpusar, pusaran air makin kencang seperti mengandung
kekuatan yang menyedot perahunya meluncur yang diarahkan ke tujuan lain.
Perahu yang ia tumpangi ternyata meluncur tanpa mampu ia kendalikan lagi.
Hong Si-nio bukan jenis perempuan yang mudah ketakutan dan menjerit-jerit melihat tikus. Kini hampir saja
ia menjerit keras, sayangnya umpama dia berteriak pun tidak akan ada orang mendengar.
Pusaran air terasa makin keras, makin kencang, sepertinya ada sebuah tangan tidak kelihatan yang menarik
perahunya. Terpaksa ia berdiri mendelong mengawasi ke depan, membiarkan perahunya ditarik orang entah
kemana. Malam makin kelam, hitam pekat.
Entah kenapa tangannya mendadak menjadi lemas.
Sekonyong-konyong perahunya menabrak sebuah tonggak yang muncul di permukaan air.
Di depan tampak sebuah bangunan kecil berloteng, loteng itu muncul di permukaan air pinggir danau
disanggah beberapa tonggak besar.
Di atas loteng terdapat tiga jendela yang mengarah ke tiga arah mata angin, di dalam jendela tampak cahaya
lampu yang guram.
Ada lampu tentu ada orang. Siapa yang berada di loteng itu" Kekuatan misterius yang luar biasa itu, kenapa
membawa perahu Hong Si-nio ke tempat ini"
Tanpa pikir galah panjang di tangan Hong Si-nio menutul di haluan perahunya, meminjam pantulan air,
akhirnya perahunya merapat di tepian.
Besar hasrat Hong Si-nio meninggalkan perahu itu, maka tanpa pikir akibat dan apapun yang bakal terjadi,
umpama di loteng kecil itu menunggu setan iblis, sudah tidak peduli lagi. Yang penting, kalau kedua kakinya
bisa berpijak di tanah, hatinya baru akan merasa lega dan aman.
Rasa air dingin dituang ke dalam hidung sudah pernah dirasakan, mendadak ia sadari mati dengan cara
apapun, lebih mending daripada mampus tenggelam di air.
Di belakang loteng kecil itu terdapat sebuah balkon sempit, pagar bambu di pinggir balkon ada beberapa pot
bunga seruni yang lagi mekar.
Cahaya lampu menyorot lewat jendela, padahal ketiga jendela itu semuanya tertutup rapat.
Hong Si-nio melompati pagar bambu itu dan turun di balkon, setelah berdiri baru ia menarik napas lega.
Perahunya masih berputar di permukaan air, mendadak suara air beriak keras, kepala seorang muncul di
permukaan, siapa lagi kalau bukan orang tergagah di Thay-ouw, yaitu Cui-pau Ciang Hing.


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata bocah ini sehaluan dengan mereka. Setelah menggigit bibir, Hong Si-nio tertawa, katanya, "Ku kira
setan air sedang cari mangsa, tak nyana engkau adanya."
Ciang Hing tertawa lebar, dua tangannya menahan pinggir perahu, badannya langsung melompat ke atas
lalu berdiri di buritan, ia mendongak sambil tertawa, katanya, "Wah, tak kuduga, Hong Si-nio yang punya
nama besar ternyata masih ingat dan kenal orang sepertiku."
"Kau tahu kalau aku ini Hong Si-nio yang terkenal itu?"
"Sudah tentu aku tahu."
Berputar bola mata Hong Si-nio, tanyanya, "Tempat inikah rumahmu?"
"Di sini Se-ouw, bukan Thay-ouw, hanya sementara kucari tempat ini untuk berteduh," sahut Ciang Hing.
"O, jadi tempat ini tempat tinggalmu sementara."
"Boleh, anggap saja demikian."
"Kau membawaku ke tempat tinggal sementaramu ini, apa ada minat menjadikan aku bini sementara?"
Ciang Hing tampak melenggong, mulutnya megap-megap tak mampu mengeluarkan suara. Sungguh tidak
nyana, Hong Si-nio bisa mengajukan pertanyaan itu.
Dengan mengerling tajam Hong Si-nio bertanya, "Coba jelaskan, benar tidak?"
Ciang Hing membersihkan air di mukanya, akhirnya menjawab. "Bukan begitu maksudku."
Hong Si-nio tertawa lagi, tawa manis yang menggiurkan, "Peduli apa maksudmu, yang pasti tempat ini
rumah tinggalmu, sebagai tuan rumah kenapa tidak kau sambut tamumu masuk ke rumah?"
"Baik, segera aku naik ke atas," ujar Ciang Hing.
Ia tarik ujung tali lalu diikat di tonggak sebelahnya, mirip cecak saja ia merambat naik ke atas. Hong Si-nio
berdiri di belakang pagar menunggunya, wajahnya yang jelita dihiasi senyum lebar yang tak kalah mekar
dibanding bunga seruni di pinggirnya.
Berhadapan dengan wanita jelita secantik ini, senyum nan menawan hati, kalau hatinya tidak terpincut atau
terangsang, jelas dia bukan lelaki tulen, laki-laki jantan.
Ciang Hing jelas adalah lelaki tulen. Kalau tidak memandang ke atas, tak tahan untuk tidak melihat ke atas.
Hong Si-nio tertawa renyah, "Tak kuduga, bukan saja kau pandai berenang, Pia-hou-kangmu juga amat
tinggi." Ciang Hing seperti dibikin pusing, dengan mendongak ia tertawa, katanya, "Aku hanya ...." Belum habis ia
bicara, mendadak sebuah benda hitam menghantam dari atas, tepat di wajahnya.
Kali ini Ciang Hing benar-benar semaput.
Batok kepala siapa pun, pasti tak lebih keras dibanding pot bunga, apalagi Hong Si-nio mengantam dengan
seluruh tenaganya.
"Prak", benturan cukup keras, badan Ciang Hing tampak terjengkang, lalu "Byuurrr", pot bunga itu ikut
tercebur di air.
Hong Si-nio menepuk-nepuk tangan, suaranya dingin, "Di air aku terhitung bebek yang tak pandai berenang,
tapi di atas tanah, kapan saja aku mampu membuatmu menjadi itik yang mampus di air."
Lampu masih menyala di atas loteng, namun tiada suara.
Kalau tempat ini sudah disewa Ciang Hing, kini Ciang Hing sudah tenggelam dalam air, loteng ini jelas tidak
berpenghuni. Kalau tiada orang lain dalam rumah ini, mungkin sekali di loteng ia dapat menemukan rahasia
yang menyangkut rahasia Thian Cong.
Kalau Ciang Hing bukan anggota Thian Cong, buat apa ia menuntun perahu Hong Si-nio ke tempat ini,
pengejaran Hong Si-nio atas ketiga perahu itu jadi batal.
Itulah keputusan Hong Si-nio dalam waktu sekilas dengan tebakannya yang jitu, Hong Si-nio amat puas akan
keputusannya. Pintu loteng ternyata sempit, dari luar pintu tidak terkunci. Baru saja Hong Si-nio hendak mendorong pintu,
daun pintu tiba-tiba terbuka, seorang berdiri di ambang pintu, mengawasinya, bola matanya yang indah
kelihatan sedih, capai, rambutnya yang mayang hitam semampai di pundak, sikapnya nan anggun mirip
sekali dewi air yang tampak semampai di keremangan malam.
"Sim Bik-kun!" pekik Hong Si-nio. Mimpi pun tak pernah menyangka, di tempat ini ia bertemu dengan Sim
Bik-kun. Sim Bik-kun adalah manusia biasa, bukan dewi dari kahyangan, bukan roh gentayangan. Dia belum mati,
sebagai manusia berdarah daging yang masih hidup dan punya perasaan.
"Kau ...!" pekik Hong Si-nio kaget, "bagaimana kau bisa berada di sini?"
Sim Bik-kun tidak menjawab pertanyaannya, ia membalik badan melangkah ke dalam. Di ruang itu ada
ranjang, ada meja ada kursi, di atas meja ada lampu.
Dia memilih pojok dimana cahaya lampu paling guram, lalu menarik kursi duduk di sana, sepertinya ia tidak
ingin Hong Si-nio melihat matanya yang benjol merah karena menangis.
Hong Si-nio juga melangkah masuk, dengan tajam mengawasinya, seperti ingin melihat jelas dan tegas
apakah benar dia adanya" Atau roh gentayangan yang masih penasaran.
Dengan tawa dipaksakan, akhirnya Sim Bik-kun berkata, "Aku belum mati."
Hong Si-nio juga tertawa nyengir, "Sudah kulihat jelas."
"Bukankah kau merasa heran?"
"Aku ... aku teramat senang."
Hatinya memang amat senang, sesuai harapan dan doanya selama ini semoga muncul keajaiban
menyelamatkan jiwa Sim Bik-kun. Semoga Siau Cap-it Long dan Sim bik-kun diberi kesempatan sekali lagi
untuk bertemu. Keajaiban itu sekarang benar-benar muncul.
Bagaimana bisa muncul" Sim Bik-kun berkata perlahan, "Sebetulnya aku sendiri tidak menduga, masih ada
orang yang menolongku."
"Siapa menolongmu?"
"Ciang Hing."
Tentu Ciang Hing adanya, kemampuannya dalam air, seperti kemampuan Siau Cap-it Long di daratan,
malah ada orang pernah bilang, kapan saja ia mampu mencari sebatang jarum di dasar laut.
Mencari orang jelas lebih mudah dibanding mencari jarum.
Tak heran kemana-mana kami tak berhasil menemukan dirimu, ternyata diseret pergi oleh setan air itu.
Itulah isi hati Hong Si-nio yang tidak sempat ia utarakan. Sebab Sim Bik-kun berkata lebih jauh, "Aku tahu
kau pasti pernah melihatnya, kemarin malam dia juga berada di Cui-gwat-lo."
Hong Si-nio menyeringai getir, "Aku pernah melihatnya. Waktu si baju hijau pertama itu hilang, dia berteriak
paling keras."
Sim Bik-kun berkata, "Dia memang orang yang simpatik, waktu masih hidup ayahku almarhum
mengenalnya, malah pernah sekali menolong jiwanya, maka sepanjang hidupnya sekarang ia selalu mencari
kesempatan untuk membalas budi."
"Apa betul dia menolongmu untuk balas budi?" tanya Hong Si-nio.
Sim Bik-kun memanggut, "dia merasa curiga akan peristiwa yang terjadi di Cui-gwat-lo hari itu, maka setelah
orang banyak berlalu, dia masih ingin menyelidiki permasalahannya secara diam-diam."
"Dia kembali tepat pada saat kau menceburkan diri ke air?"
"Tidak, dia sudah agak lama bersembunyi di air, belakangan baru aku tahu, dalam sehari, ia sering
berendam di air untuk beberapa jam lamanya, menurutnya dia merasa dalam air jauh lebih segar daripada
berada di daratan."
Jelas dia lebih senang berendam dalam air, sebab sekali ia berada di daratan, kapan saja kemungkinan
jiwanya melayang seperti bebek mampus.
Jelas Hong Si-nio tidak mengutarakan jalan pikirannya ini, sebab ia merasakan kesan Sim Bik-kun terhadap
lelaki ini tidak jelek. Namun demikian ia toh bertanya, "Setelah dia menolong dirimu, kenapa tidak
mengantarmu pulang?"
Sim Bik-kun tertawa, tawa getir lagi kecut, "Pulang" Pulang kemana" Cui-gwat-lo kan bukan rumahku."
"Tapi kau ... maksudmu kau tidak ingin bertemu dengan kami lagi?"
Tertunduk kepala Sim Bik-kun, agak lama baru bersuara, "Aku tahu kalian pasti menguatirkan diriku, sebab
...." Diam-diam ia mengusap air mata, "Sebab kalau di dunia ini kurang satu orang sepertiku ini, hidup kalian
mungkin jauh lebih senang."
Hong Si-nio juga menundukkan kepala, tak tahu bagaimana perasaan hatinya.
Ia tidak ingin berdebat dengan Sim Bik-kkun, yang pasti saat ini bukan saatnya untuk berad
^