Bentrok Para Pendekar 9

Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bagian 9


u mulut dengannya. Kata Sim Bik-kun lebih jauh, "Tapi Ciang Hing kuatir kalian merasa sedih, maka diam-diam ia
pergi mengawasi kalian, cukup lama dia pergi." Sampai di sini ia menghela napas panjang, lalu mengulang
perkataannya tadi, "Ia memang seorang yang amat simpatik."
Mulut Hong Si-nio seperti dibungkam malah. Baru sekarang ia sadar dalam hal ini ia keliru menyalahkan
Ciang Hing. "Secara layap-layap tadi aku seperti tertidur sejenak, seperti kudengar sesuatu suara di luar."
"O, ya?" Hong Si-nio bersuara dalam mulut.
"Suara apakah itu?" tanya Sim Bik-kun.
Ternyata wajah Hong Si-nio menjadi merah, saat ia kesulitan omong, seorang dari luar berkata dengan
tertawa, "Itu suara seekor bebek yang ditembak jatuh ke dalam air."
Biasanya muka Hong Si-nio jarang merah, tapi kali ini merah mukanya tidak kalah dibanding warna kepiting
yang sudah direbus.
Sebab dengan badan basah kuyup dilihatnya Ciang Hing melangkah masuk, badannya tidak kurang suatu
apa, malah bertambah satu. Satu benjolan besar yang merah di kepalanya.
Sim Bik-kun mengerut kening, tanyanya, "Kenapa jidatmu benjol sebesar itu?"
Ciang Hing tertawa getir, "Tidak apa-apa, hanya karena ingin dibuat perbandingan."
"Perbandingan apa?" tanya Sim Bik-kun.
"Perbandingan antara batok kepalaku dengan pot bunga di luar itu, entah mana lebih keras."
Mengawasi benjolan besar di kepala orang, lalu menoleh ke arah Hong Si-nio dan melihat mimik mukanya
yang lucu, sorot matanya seketika menampilkan rasa geli. Memang sudah cukup lama ia tidak pernah
tersenyum lagi.
Mendadak Hong Si-nio berkata, "Coba kau terka, yang keras pot bunga atau kepalanya lebih keras?"
"Jelas pot bunga lebih keras," sahut Sim Bik-kun.
"Kalau pot bunga lebih keras, kenapa pot bunganya kurang satu sudut sebaliknya kepalanya bertambah satu
sudut" Akhirnya Sim Bik-kun tersenyum lebar.
Hong Si-nio memang ingin memancingnya tertawa, melihat orang tertawa lebar, hati Hong Si-nio merasa
senang lagi lega.
Ciang Hing menghela napas, katanya, "Sekarang baru aku sadar akan satu hal."
"Hal apa?" tanya Hong Si-nio.
"Baru sekarang aku mengerti, kenapa banyak orang di Kang-ouw menganggap kau ini siluman perempuan."
"Aku sebaliknya merasa ada satu hal yang tidak kumengerti."
"Satu hal apa?"
Hong Si-nio menarik muka, "Kenapa kau merintangi aku mengejar perahu itu?"
"Karena aku tidak ingin kau mampus di air."
"Maksudmu aku harus berterima kasih kepadamu malah?"
"Kau tahu cara kematian tukang perahu dan anak kecil itu?"
"Kau tahu?"
"Senjata rahasia ini kuperoleh dari badan mereka," kata Ciang HIng. Senjata rahasia yang ia maksud adalah
paku segitiga, sedikit lebih panjang dari paku umumnya, lebih lencir, warnanya juga lebih legam, sepintas
pandang memang tidak menarik perhatian.
Begitu melihat orang mengeluarkan paku itu dari saku bajunya, Hong Si-nio lantas berteriak kaget, "Samling-
toh-kut-ting?"
"Aku yakin kau kenal paku ini," ujar Ciang Hing.
"Umpama aku belum pernah makan daging babi, sedikitnya pernah melihat babi berjalan," jengek Hong Sinio
keki. BENTROK PARA PENDEKAR
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 18 Insan persilatan jarang yang tidak mengenal paku luar biasa ini.
Konon senjata rahasia di seluruh kolong langit ada seratus tujuh puluhan jenis, yang paling menakutkan
hanya tujuh macam. Sam-Iing-toh-kut-ting atau paku segitiga penembus tulang adalah salah satu dari tujuh
senjata rahasia yang paling ditakuti itu.
Senjata rahasia jenis ini umumnya digerakkan oleh pegas dengan daya sambit teramat keras, umpama
berada di bawah air juga dapat mencapai jarak tiga sampai lima tombak, di dalam air yang paling ditakuti
adalah senjata rahasia jenis ini.
"Kapan aku pernah berada di bawah air, aku bukan setan air, juga bukan ikan yang hidup dalam air," omel
Hong Si-nio. "Di permukaan air, senjata ini bisa mencapai jarak delapan tombak, jarak sejauh ini sasaran masih bisa
ditembak mampus."
"Maksudmu orang yang membawa senjata rahasia ini berada di perahu yang kukejar itu?" tanya Hong Si-nio.
Ciang Hing menganggukkan kepala.
Hong Si-nio tertawa dingin, "Jadi kau sangka aku gentar menghadapi senjatanya itu" Kalau sambitan paku
ini tak mampu aku hindari, memangnya aku masih terhitung siluman perempuan?"
Lahirnya ia bersikap keras kepala, padahal batinnya diam-diam berterima kasih.
Yang pasti Hong Si-nio tidak yakin dapat meluputkan diri dari sambaran senjata rahasia ganas itu.
Sementara itu, Sim Bik-kun berdiri di sana sambil menundukkan kepala mengawasi jari-jari kaki sendiri,
entah persoalan apa yang masih mengganjal dalam hatinya. Senyum tawanya tadi tersapu oleh datangnya
kabut tebal. Hong Si-nio mendekatinya, menepuk pundaknya, "Kenapa tidak kau tanya kepadaku, dia ada dimana?"
Kepala Sim Bik-kun menunduk lebih rendah.
"Tempat ini tidak jelek, tapi tak mungkin kau diam di sini sepanjang hidupmu, kapan saja kau boleh pergi,
apa kau lupa siapa yang pernah bilang demikian?"
Terangkat kepala Sim Bik-kun, memandang Ciang Hing sekilas lalu menunduk lagi, perasaan hati
perempuan tak enak diucapkan di hadapan lelaki. Syukur Ciang Hing bukan lelaki dogol yang tidak kenal
perasaan orang, dengan tertawa ia bertanya, "Kalian merasa lapar belum?"
"Lapar sekali," sahut Hong Si-nio segera.
"Biar kucari makanan untuk kalian sambil ganti pakaian, pulang pergi kira-kira setengah jam cukuplah."
"Kau boleh pergi mencari makanan, pergi ganti pakian tidak perlu buru-buru."
Ciang Hing tertawa lebar, pergi sambil mengelus kepalanya, tak lupa ia menutup daun pintu.
Baru sekarang Sim Bik-kun mengangkat kepalanya, suaranya lirih, "Dia ... dia dimana" Kenapa tidak
bersamamu?"
Hong Si-nio menarik napas panjang, baru saja hendak buka mulut, "Blang", daun pintu yang baru saja
dirapatkan mendadak diterjang terbuka, seorang terbang masuk, "Brak", jatuh di atas meja, meja itu hancur
berkeping, badan orang itu menggelinding jatuh di lantai, bola matanya melotot lurus, siapa lagi kalau bukan
Ciang Hing yang baru saja beranjak keluar.
Belum ada setengah jam, malah baru beberapa menit, tapi dia sudah kembali secepat itu. Waktu keluar
gerak-geriknya segar bugar, kenapa mendadak kembali dengan jungkir balik menumbuk meja malah"
Memangnya badannya terbang dilempar orang"
Cui-pau (macan air) Ciang Hing bukan seonggok karung, bukan barang yang mudah diangkat, dijinjing lalu
dilempar sesuka hati orang. Sigap sekali Hong Si-nio maju dua langkah menghadang di depan Sim Bik-kun,
padahal kalau diukur betulan kepandaian silatnya tidak unggul banyak dibanding kemampuan Sim Bik-kun,
tapi setiap kali berada bersama Sim bik-kun, ia selalu menganggap dirinya lebih kuat, lebih perkasa, ada
kewajiban dirinya melindungi orang.
Mata Ciang Hing melotot lurut mengawasinya, rona mukanya menambilkan mimik yang susah dilukiskan,
dari ujung mulutnya tiba-tiba merembes keluar dua jalur darah segar.
Darah segar tapi bukan warna merah, warna hitam, warna hitam juga bermacam-macam, ada hitam yang
kelihatan cantik, tapi ada hitam yang menakutkan. Darah yang meleleh dari ujung mulut Ciang Hing adalah
darah hitam yang menakutkan.
Tak urung Hong Si-nio berjingkat ngeri, "Kenapa engkau?"
Mulut Ciang Hing terkancing, giginya gemerutuk, darah terus membanjir makin deras dari mulutnya.
Belum pernah Hong Si-nio saksikan darah segar hitam yang keluar dari mulut orang segelap itu warnanya.
Mendadak Sim Bik-kun berkata pula, "Dapat kau membuka mulut?"
Ciang Hing meronta, sekuatnya dia menggeleng kepala.
"Kenapa mulutnya saja tidak bisa dibuka?" teriak Hong Si-nio gugup.
Ciang Hing seperti ingin bicara tapi tak bisa bicara, mendadak ia menggerung keras, sebuah benda
menyembur keluar dari mulutnya, "Ting", jatuh di lantai, jelas adalah sebatang paku segitiga penembus
tulang. Tenggelam perasaan Hong Si-nio, perlahan ia mengangkat kepala, di keremangan malam di luar sana ia
lihat bayangan seorang di tengah tabir gelap dengan mukanya yang mengkilap ditimpa cahaya rembulan.
Begitu keluar pintu Ciang Hing lantas kepergok orang ini, baru saja mulut terpentang hendak bersuara, paku
segitiga itu sudah menyambar masuk ke mulutnya dan tepat mengenai lidahnya.
Hong Si-nio mengepal tinju, terasa mulutnya kering lagi getir, derita yang dirasakan Ciang Hing seperti
dirasakan pula olehnya.
Orang baju hitam di luar itu mendadak bersuara, "Kau ingin menolong jiwanya tidak?"
Hong Si-nio manggut-manggut.
"Baik, potong dulu lidahnya, kalau terlambat tak tertolong lagi."
Tak urung Hong Si-nio bergidik dibuatnya, ia tahu untuk menolong jiwa Ciang Hing memang harus
memotong dulu lidahnya supaya racun tidak merembes ke jantung.
Mendadak Sim Bik-kun mengertak gigi, dari pinggir sepatu Ciang Hing ia mencabut sebilah belati, dimana
tangannya bergerak ia cekik leher di bawah dagunya, sehingga Ciang Hing membuka mulut lebar. Dimana
sinar belati berkelebat, lidahnya yang sudah membengkak hitam besar terpotong jatuh ke lantai. "Klotak",
ujung lidah itu sudah mengeras kaku, Ciang Hing mengerang sekali lalu semaput.
Hong Si-nio mengawasinya dengan terbelalak, serunya, "Kau... kau tega turun tangan?"
"Terpaksa harus turun tangan, aku tak bisa melihat dia mati."
Hong Si-nio termenung, mendadak ia sadar membandingkan antara mereka berdua, siapa lemah di antara
mereka berdua, kini ia mulai sadar, ternyata Sim Bik-kun bukan wanita lemah. Ada sementara orang, secara
lahir kelihatan lemah lembut, tapi pada detik-detik genting, kadang bisa melakukan perbuatan yang tak
pernah terduga oleh siapa pun.
Berada di luar, orang baju hitam mengawasi mereka, dengan dingin berkata, "Sekarang kalian boleh ikut aku
pergi." "Ikut engkau" Siapa sih engkau?" tanya Hong Si-nio.
"Aku yakin engkau tahu siapa diriku."
"Memangnya kau ini Thian Sun" Benar-benar Thian Sun?"
"Bu-siang-thian-sun, sin-gwa-hoa-sin, cin-ce-si-ke, ke-ce-si-cin," si baju hitam berdendang. Yang artinya
Thian Sun tak berwujud, badan di luar bentuk badan, yang tulen itulah palsu, yang palsu juga adalah tulen.
Berputar bola mata Hong Si-nio, katanya, "Tahukah engkau siapa diriku?"
"Hong Si-nio bukan?" ujar si baju hitam.
"Jadi kau tahu siapa diriku, pernah melihat roman mukaku, apa salahnya kau beri kesempatan aku melihat
wajahmu?" "Cepat atau lambat, entah kapan kau akan bisa melihat mukaku."
"Sekarang biar kulihat dulu mukamu, nanti kuikut kau pergi."
"Kalau tidak?"
"Permintaanku tidak terkabul, kenapa aku harus mengabulkan permintaanmu?"
"Jadi kau tidak mau ikut aku?"
"Kau ingin aku ikut, aku justru ingin duduk santai di sini, memangnya apa yang bisa kau lakukan?"
Sembari bicara ia tarik sebuah kursi lalu duduk dengan santai, seperti anak kecil yang aleman terhadap
orang tuanya. Dengan caranya ini banyak ia menghadapi lelaki, tiap kali praktek tak pernah gagal sekalipun. Jarang lelaki
yang cemberut muka menghadapi cewek ayu yang aleman di hadapannya.
Si baju hitam justru terkecuali, dengan dingin ia menyeringai, "Kau ingin tahu aku bisa berbuat apa
terhadapmu, begitu?"
Hong Si-nio mengeluarkan suara di tenggorokan.
"Baik, coba lihat," jengek si baju hitam, sambil menyeringai ia melangkah masuk, mukanya yang mengkilap
kelihatan menakutkan, ternyata sepasang tangannya juga amat menakutkan.
Siapa pun yang mengawasi mukanya pasti bergidik seram, sorot matamu menjadi guram, kalau
mengawasinya saja tidak begitu jelas, bagaimana mungkin kau bisa bergebrak dengannya"
Tak tahan Hong Si-nio berjingkrak murka, teriaknya. "Berani kau kurang ajar terhadapku?"
"Bukan hanya kurang ajar, malah sangat kurang ajar," jengek si baju hitam dingin.
"Di antara empat Thian Sun yang tulen atau palsu tadi, bukankah satu di antaranya pernah naik ke Cui-gwatlo?"
"Hm," si baju hitam mendengus hidung.
"Kau tahu bagaimana nasibnya sekarang?"
"Mampus maksudmu?"
"Kau tahu bagaimana dia mampus?"
Si baju hitam menggeleng kepala. "Karena mimpi pun ia tidak menduga, sejurus saja tak mampu melawan,
begitu kami bergerak, jiwanya lantas melayang," tutur katanya lincah, membuat orang yang mendengar
percaya. Hong Si-nio memang ahli main sandiwara, apalagi aleman di hadapan lelaki.
Sayang ia belum melihat apakah si baju hitam sudah terbujuk oleh rayuannya, maka ia bertanya lagi,
"Bagaimana kepandaianmu dibanding dia?"
"Ya, setanding," sahut si baju hitam.
"Tempat ini bukan Cui-gwat-lo, tapi kalau berani maju setindak lagi, biar kulumat jiwamu di tanganku."
"Apa benar?" jengek si baju hitam.
"Jelas benar," seru Hong Si-nio.
"Satu langkah aku maju ke depan, jiwaku pasti melayang?"
"Tidak akan salah."
Si baju hitam segera melangkah maju satu tindak.
Perut Hong Si-nio seperti mengkeret, ia insaf dalam kondisi seperti ini dirinya terpaksa harus turun tangan,
sekilas ia berpaling ke arah Sim Bik-kun, Sim Bik-kun juga tengah mengawasinya, mereka berdua serempak
turun tangan bersama, mereka menubruk ke arah si baju hitam, maklum dua cewek ini bukan perempuan
lemah yang gentar diterpa angin.
Secara nyata ilmu silat mereka mestinya terhitung kelas satu di kalangan Kangouw, kalau si baju hitam yang
satu ini setingkat dengan si baju hitam yang mampus di Cui-gwat-lo itu, padahal secara nyata si baju hitam
itu tak mampu menghadapi rangsekan bersama serangan Siau Cap-it Long dengan Lian Shia-pik, berarti
kesempatan menang dua cewek ini jelas boleh diperhitungkan.
Hong Si-nio berharap hanya dalam setengah jurus saja dirinya dapat merebut kesempatan, sepuluh jurus
kemudian berhasil merobohkan lawan yang satu ini.
Begitu menerkam ke depan, sepasang telapak tangannya merangsek dengan serangan gencar, telapak
tangannya menari bagai kupu-kupu mengitari bunga, jurus awal menggunakan serangan pancingan
menunggu reaksi lawan menemukan lubang kelemahannya lalu menyergap. Jurus permainan kungfu Hong
Si-nio memang ajaran murni dari aliran Koan-im cabang Lam-hay, jurusnya beraneka perubahannya ruwet,
gayanya indah mempesona.
Jurus Hoa-hu-ping-hun, Ou-tiap-siang-hwi atau hujan bunga dan air berhamburan, kupu-kupu terbang
berpasangan, merupakan ilmu pukulan murni dari kepandaiannya yang tulen, kelihatannya kosong padahal
berisi, serangannya berisi tapi kadang hanya gertakan belaka, isi kosong, kosong isi tidak menentu dan
susah diraba juntrungannya. Siapa tahu, baru saja jurus permainan dilancarkan, mendadak ia rasakan di
depan matanya seperti terjadi hujan air dan bunga berhamburan, pergelangan tangannya tahu-tahu
tercengkeram oleh jari-jari yang dingin, keras bagai besi, jari yang lain dengan tepat menutuk Giok-sim-hoat
di belakang lehernya.
Hong Si-nio tidak langsung roboh semaput, sekilas itu otaknya terbayang akan Siau Cap-it Long. Sekarang
baru ia insaf betapa jauh jarak kepandaian silatnya dibanding Siau Cap-it Long.
"Siau Cap-it Long, dimana engkau," demikian pekik Hong Si-nio sekuatnya, sayang suaranya tidak keluar
dari tenggorokan.
Lekas sekali hujan air dan bunga di depan matanya lenyap tak berbekas, pandangannya kini terasa gelap,
gelap yang tak berujung pangkal.
* * * * * Di pantai utara Se-ouw terdapat sebuah Po-ciok-san, di antara lamping gunung Po-ciok-san dibangun
sebuah pagoda yang dinamakan Po-siok-tha, di bawah Po-siok-tha, di pinggir kanan terdapat sebuah Layhong-
thing. Saat itu Siau Cap-it Long berada di sana.
XXX. SARANG NAGA GUA HARIMAU
Sebuah perahu panjang meluncur di permukaan air, ditelan tabir malam, meluncur menyusuri tepian bagian
utara. melewati Se-ling-kio terus meluncur ke kiri berlabuh di bawah Po-ciok-san.
Perjalanan ini tidak dekat, perahu itu dikayuh dengan kecepatan cukup tinggi, tapi sepanjang jalan Siau Capit
Long masih dapat mengejarnya dengan ketat hingga tiba di tempat ini.
Sebuah tandu kecil yang dipikul dua orang sejak tadi sudah menunggu kedatangannya.
Begitu meninggalkan perahu, melompat ke daratan, si baju hitam naik ke tandu, bocah pembawa lampion
terus membuntutinya di belakang tandu, sementara itu tukang perahu menggerakkan galah panjangnya di
air, perahu itu segera meluncur jauh ke tengah danau.
Pemikul tandu adalah lelaki berperawakan tegar berpakaian hitam ketat dengan tali pinggang merah,
mengenakan sepatu laras tinggi warna hitam pula, kepalanya mengenakan caping rumput lebar, baju di
depan dadanya dibiarkan terbuka, menunjukkan kulit dadanya yang keras mengkilap karena keringat. Jalan
pegunungan jelas sukar ditapak, tapi langkah mereka begitu enteng, cekatan seperti beranjak di tanah datar
layaknya. Tandu itu pasti tidak ringan, tapi di pundak kedua orang ini seperti memikul keranjang kosong.
Mengamati gerak-gerik kedua orang ini, Siau Cap-it Long menyadari kekuatan kaki kedua orang ini pasti
tidak asor dibanding kepandaian jago Kangouw kelas satu zaman itu.
Thian Cong merupakan sarang naga gua harimau, tidak sedikit jago-jago kelas wahid yang berkumpul di
sini. Menyusuri jalanan kecil yang berlika-liku terus naik ke atas, kedua pemikul tandu terus beranjak ke atas
menuju ke Po-siok-tha yang ditimpa penerangan cahaya rembulan.
Siau Cap-it Long belum tidur, belum makan, hampir satu setengah jam ia mengayuh perahunya membuntuti
musuh sampai di sini, semestinya juga merasa lelah. Umpama badannya dibangun dari besi juga akan
merasa penat, perlu istirahat.
Siau Cap-it Long tidak.
Dalam darahnya seperti mengalir kekuatan yang mendukung segala aktivitasnya tanpa batas, kalau ia tidak
rela roboh, tiada seorang pun dapat merobohkan dirinya.
Di bawah penerangan cahaya rembulan, Po-siok-tha kelihatan begitu indah mempesona, di depan pagoda
berdiri satu paseban, dalam paseban seperti ada bayangan orang, siapa dia tidak terlihat jelas, karena
cahaya rembulan teraling oleh bayangan pagoda, dilihat dari kejauhan, bayangan orang dalam paseban jadi
lamat-lamat, seperti ada juga seperti tiada.
Sepanjang jalan kedua pemikul tandu berlenggang tak kenal lelah, menyusuri jalan berbatu yang ditimpa
sinar bulan tanpa mengeluarkan suara.
Malam semakin larut.
Siau Cap-it Long terus mengikuti ke depan, bocah yang menenteng lampion, meski cahayanya redup, tapi
cukup menuntunnya untuk menentukan arah.
Apakah di puncak Po-ciok-san ini Thian Cong juga mendirikan cabang rahasianya"
Kalau kedua pemikul tandu melangkah enteng bagai terbang, sementara bocah penenteng lampion terus
membuntuti tanpa ketinggalan.
Alam sekelilingnya sunyi senyap, pada saat itulah, sinar api dalam lampion putih yang dibawa si bocah tibatiba


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padam. Pemikul tandu akhirnya menghentikan langkah, dilihatnya si bocah tetap mengangkat tinggi lampion putih
yang apinya sudah padam, berdiri diam tak bergerak. Si baju hitam berkata, "Coba periksa, apakah lilinnya
habis?" Suaranya runcing mirip suara perempuan. Terdengar si baju hitam berkata pula, "Lekas ambilkan lilin dan
sulut lagi."
Dua kali si baju hitam berbicara, tapi bocah penenteng lampion diam saja tanpa memberi reaksi, tetap berdiri
di tempatnya. Pemikul di belakang tiba-tiba menimbrung, "Memangnya bocah ini bisa tidur sambil berdiri" Biar kuperiksa."
Serempak kedua orang menurunkan tandu, pemikul di belakang lebih dekat, maka ia maju ke depan si
bocah penenteng lampion, tangannya diulur menepuk pundak orang sembari berkata, "Kau...."
Baru sepatah kata, suaranya mendadak putus, seperti mulutnya mendadak disumbat suatu benda.
Penenteng lampion mematung di sana, pemikul tandu juga mematung di sana
Pemikul di depan geleng-geleng, segera ia datang menghampiri, begitu berada di depan mereka berdua,
mendadak badannya menjadi kaku dengan mata terbeliak dan badan kaku mirip orang yang mendadak kena
sihir. Tiga orang itu seperti terpengaruh sihir yang aneh luar biasa berubah menjadi manusia kayu, tingkah dan
gaya mereka sungguh membuat orang yang melihatnya ngeri dan seram.
Siau Cap-it Long menyaksikan dari kejauhan, tak urung ikut merasa takjub, kaget lagi heran, tokoh selihai
dia pun tak tahu apa sebenarnya yang terjadi.
Memangnya badan Siau Cap-it Long basah kuyup, menghadapi misteri yang menegangkan ini, tanpa sadar
badannya menggigil kedinginan.
Sementara itu si baju hitam tetap duduk di tandu tanpa gerak.
Apakah dia juga kena sihir"
Hampir tak tahan, Siau Cap-it Long ingin melompat maju memeriksa, si baju hitam mendadak menjengek
dingin, "Bagus, serangan bagus. Kik-khong-tiam-hiat (menutuk jalan darah dari jarak jauh), Bi-liap-siang-jin
(butir beras melukai orang), tokoh kosen seperti ini, kenapa main sembunyi mirip panca-longok?"
Kali ini ia bicara cukup panjang, terdengar jelas memang suara perempuan, hanya waktu bicara sengaja
suaranya diibikin serak saja. Apakah Cong-cu (ketua) Thian Cong seorang perempuan"
Dia bicara dengan siapa"
Dari dalam Lay-hong-thing seorang mendadak berkata, "Sejak tadi aku berada di sini, kau tidak melihat?"
Seorang melangkah keluar dari kegelapan, baju blaco celana putih, tangannya menenteng lembaran kain
putih, panji-panji yang menari ditiup angin, meski cahaya rembulan guram, delapan huruf merah di kain putih
panji itu masih terbaca jelas, "Siang-tong-jong-im, He-sit-kiu-yu".
Orang ini ternyata bukan lain adalah si buta peramal, ilmu silatnya tinggi, sepak terjangnya misterius.
Bagaimana mungkin si buta ini mendadak muncul di tempat ini"
Apa betul dia adalah Siau-yau-hou Thian-ci-cu yang mahir dan menguasai Kiu-coan-hoan-thong, Bu-siangsin-
kang itu" Kenapa dia berada di sini, seperti sengaja menunggu kedatangan si baju hitam.
Melihat orang mendadak muncul, si baju hitam kelihatan mengejang sekejap, agak lama kemudian baru
menarik napas dan berkata, "Kaukah?"
Dingin suara si buta, "Kau masih mengenalku?"
Akhirnya si baju hitam turun dari tandu, kedua tangan digendong di belakang punggung, beranjak masuk ke
dalam paseban, suaranya terdengar sember, "Kau juga mengenaliku?"
Si buta menyeringai, "Kalau aku tidak mengenalimu, siapa sanggup mengenalimu?"
Si baju hitam menghela napas, katanya, "Betul, kalau kau tidak mengenaliku, siapa bisa mengenaliku."
"Sekarang aku sudah datang, coba jelaskan, bagaimana membereskannya?"
"Kan milikmu, pantasnya aku mengembalikan kepadamu."
"Jangan lupa. jiwa ragamu pun menjadi milikku."
"Aku tidak lupa," ujar si baju hitam, "aku tidak mungkin lupa."
"Dengan sepasang tangan ini aku membangun Thian Cong, kau...."
Mendadak si baju hitam memotong perkataannya, "Darimana kau tahu aku berada di Thian Cong?"
"Kecuali dirimu, siapa lagi orang di dunia ini yang tahu rahasia Thian Cong?"
Si baju hitam menundukkan kepala, mulutnya bungkam.
Di tengah malam nan sunyi, cukup panjang percakapan mereka, angin gunung menghembus kencang, hawa
dingin menembus tulang, Siau Cap-it Long mengikuti percakapan mereka dengan jelas.
Tiap patah kata yang terucapkan mereka, jelas mengandung banyak rahasia yang susah dicerna orang lain,
rahasia yang menakutkan, rahasia yang mengerikan.
Makin mendengar bulu kuduk Siau Cap-it Long mengkirik seram, bukan hanya kaki tangan dingin, hati
dingin, otaknya juga seperti menjadi beku.
Mendadak si baju hitam berkata, "Kau ... betul kau ingin aku mati?"
Si buta menjawab, "Aku sudah mati sekali, tentunya sekarang giliranmu."
"Memangnya aku belum pernah mati sekali" Kenapa kau memaksaku ...." Sampai di sini mendadak ia turun
tangan, menebarkan cahaya kemilau dingin, sementara badannya secepat kilat berputar mengitari paseban
dua lingkaran, mendadak bayangannya menghilang entah kemana.
Si buta menjejak bumi, badannya melambung berjumpalitan di angkasa, menghindari sergapan senjata
rahasia orang, di tengah udara ia membentak, "Berani kau membokongku" Kau ...."
Dalam paseban tinggal satu orang, tapi mulutnya masih mencaci maki, jelas tiada sambutan atau reaksi
orang lain. Begitu angin gunung berhembus, si buta mendadak berhenti sambil tutup mulut, akhirnya ia sadar
si baju hitam telah minggat.
Seorang diri ia berdiri di tengah kegelapan, kelihatan betapa menyedihkan, sungguh kasihan, sungguh
kenakutkan, mendadak ia menengadah bergelak tawa, serunya, "Jangan lupa, tiga ratus enam puluh cabang
Thian Cong semua aku yang mendirikan, memangnya kau bisa lari kemana?"
Loroh tawanya terdengar pilu, dengan cepat ia bergerak mengitari paseban dua kali, mendadak
bayangannya pun menghilang entah kemana.
Angin berhembus kencang, bintang-bintang sudah menghilang di angkasa.
Pemikul tandu dan bocah penenteng lampion masih tetap berdiri mematung di tempatnya, di bawah cahaya
rembulan, tampak betapa mengerikan roman muka mereka, mata melotot, mulut terbuka lebar, seperti
sedang melolong kesakitan, seperti juga sedang minta tolong.
Siau Cap-it Long mendekat, tangan diulur, dengan enteng ia tepuk puncak si bocah, badan si bocah roboh
menyentuh pemikul pertama, pemikul pertama menyentuh pemikul kedua, tiga orang sama-sama roboh
kaku, sekujur badan sudah kaku dingin, sepertinya tertutuk jalan darahnya dengan jarum berbisa, begitu
racun bekerja jiwa pun melayang.
Betapa mengerikan senjata rahasia itu, sungguh tak terbayangkan kehebatannya.
Bahwa si baju hitam dan si buta dua-duanya bisa menghilang tanpa bekas, kejadian ini sungguh sukar
diterima dengan akal sehat.
Dengan langkah mantap Siau Cap-it Long mendekati paseban, berdiri di tempat tadi si baju hitam berdiri,
mendadak mulut menghardik, tangan membalik mencabut golok.
Sinar golok meluncur seperti lembayung, di tengah deru anginnya yang kencang, beruntun terdengar suara
"cras, cras, cras" enam kali, enam tiang paseban segi enam itu tertabas putus seluruhnya. Di tengah suara
gemuruh runtuhnya atap paseban, satu di antara enam tiang itu ternyata berlubang bagian tengahnya, di
bawah lubang itu ditemukan sebuah lorong bawah tanah.
Lorong rahasia yang dibangun di bawah tiang memang dibuat sedemikian rupa bagusnya, kalau bukan
seorang ahli teknik jelas takkan bisa menemukan letak rahasia kuncinya, tiga hari tiga malam jangan harap
bisa menemukan lorong bawah tanah itu. Bahwasanya Siau Cap-it Long tidak perlu mencari, dengan cara
yang gampang dan langsung ia bongkar semua rahasia itu.
Siau Cap-it Long hanya menggunakan golok, di dunia ini, kekuatan mana yang mampu menandingi
ketajaman, kehebatan tabasan golok Siau Cap-it Long.
Lorong bawah tanah itu lembab dingin, cahaya sinar matahari takkan pernah bisa masuk ke tempat ini, angin
pun takan berhembus sampai di sini.
Dari puncak gunung yang diterangi cahaya rembulan, turun sampai di sini, layaknya masuk ke sebuah
kuburan, lebih layak kalau diartikan masuk ke neraka.
Siau Cap-it Long tidak peduli, dengan langkah lebar ia masuk ke dalam lorong.
Asal dapat membongkar rahasia ini, dia rela terjeblos ke dalam neraka.
Menyusuri undakan yang menjulur panjang ke bawah, makin rendah makin gelap, di sini tiada setitik sinar,
tak terlihat ada bayangan orang, di ujung undakan teraling dinding, waktu ia meraba dengan jari tangan,
terasa itulah sebuah patung Buddha dari batu.
Dimana orangnya"
Si baju hitam dan si buta apakah ditelan oleh setan iblis yang bersembunyi dalam kegelapan"
Siau Cap-it Long memejamkan mata, perlahan ia menarik napas panjang, waktu membuka mata pula, lapatlapat
ia dapat membedakan bentuk patung Buddha itu.
Sejak lahir Cap-it Long memiliki sepasang mata tajam, apalagi sekarang Lwekangnya teramat tinggi, di
tengah gelap yang paling pekat sekalipun ia dapat melihat bayangan yang tidak mungkin terlihat orang lain.
Patung Buddha yang teramat besar seperti sedang mengawasi dirinya dari atas, kepala tertunduk, sikapnya
seperti dirundung masalah serius, entah sedang gusar karena terasing di tempat nan dingin ini atau
penasaran karena di tempat yang tidak terawat ini dirinya terasing dari dunia ramai.
Kalau kehadiranmu di sini benar-benar sakral, kenapa tidak memberi petunjuk menolong kesulitan orang"
Buat apa duduk menyepi tanpa peduli manusia umumnya berbuat jahat di depan matamu"
Bukankah banyak orang di dunia ini mirip dengan patung batu ini, selalu cuci tangan menonton saja,
membisu tuli tanpa mau mencampuri urusan manusia.
Menghadapi patung besar di hadapannya, Siau Cap-it Long tertawa dingin, "Kulihat kau ini hanya seonggok
batu yang bodoh, berdasar apa aku harus menghormat kepadamu."
Patung batu tetap duduk diam, anteng dan tenang. Entah sudah berapa lama duduk di sini, selama ini belum
pernah ada orang, untuk persoalan apapun tidak pernah mengganggu ketenanganmu.
Siau Cap-it Long menggenggam gagang goloknya, "Selama hidup manusia di dunia ini selalu diliputi
bencana dan sengsara, tiap orang akan selalu merasakan siksa derita, kenapa hanya kau terkecuali?"
Entah kenapa timbul angkara murka dalam sanubarinya, amarah yang membakar relung sanubarinya, tanpa
sadar ia mencabut pula goloknya, dengan goloknya ia ingin membabat hancur seluruh angkara di dunia fana
ini. Sinar golok berkelebat, bunga api berpijar, bacokan goloknya tepat mengenai dada patung batu yang bidang
itu. Di tengah kegelapan, mendadak berkumandang suara rintih yang lirih. Lorong panjang ini jelas tiada orang
lain, apakah suara rintihan itu datang dari patung batu ini"
Apakah patung batu yang bisu tuli ini, akhirnya bisa merasakan sengsara orang lain"
Waktu Siau Cap-it Long mencabut goloknya, jari-jemarinya terasa basah oleh keringat.
Begitu goloknya menusuk tembus ke dalam batu, setelah dicabut tentu meninggalkan celah lubang.
Demikian pula dengan golok Siau Cap-it Long, di tempat mana pun golok itu membacok atau menusuk, pasti
akan meninggalkan lubang yang mematikan. Dari lubang luka bekas tusukan goloknya, bukan darah yang
mengalir keluar, tapi selarik sinar kemilau yang guram.
Terdengar pula suara rintih.
Suara rintih keluar dari celah lubang golok tusukan Siau Cap-it Long.
Mata Siau Cap-it Long menjadi benderang, kembali ia mengayun golok berulang, pecahan batu
berhamburan, cahaya makin benderang, wajah patung batu itu makin kelihatan jelas, muka patung kini mulai
tampak tersenyum. Walau dadanya terbelah, justru memberi petunjuk berharga bagi Siau Cap-it Long.
Dia berkorban diri menerangi orang lain, umpama dia bukan seonggok batu keras, sekarang yakin sudah
menjadi patung dewa.
Sinar lampu yang gemerdep di tengah kegelapan, kelihatan mirip cahaya emas yang kemilau di istana nan
megah cemerlang.
Cahaya cemerlang keemasan itu menyorot keluar dari lubang yang dibuat Siau Cap-it Long di dada bidang
patung batu besar itu.
Dimana ada pelita, di situ pasti ada orang.
Siau Cap-it Long menerobos masuk lewat lubang yang dibuatnya, masuk ke lubang kubur dalam kuburan,
masuk neraka dalam neraka.
Pelita berada di dinding, orang berada di bawah pelita emas itu.
Cahaya lampu lembut biarpun redup, orangnya justru sudah kaku dingin. Mayat si buta tampak meringkuk,
sepertinya mengkeret jadi kecil, sebilan pisau perak menancap di hulu hatinya, pisau itu sudah ia cabut
keluar sendiri, darah masih menetes di ujung pisau.
Ternyata darahnya juga berwarna merah.
Waktu jari-jari tangannya dibuka, pisau perak itu diambilnya, darah segar berlepotan di telapak tangannya,
mengalir di antara jari-jari tangannya, membentuk sebuah huruf Thian.
Si buta ternyata bukan lain, betul adalah Siau-yau-hou Kosu Thian adanya.
Ternyata dia tidak mampus di dasar Sat-jin-gay, jurang yang ribuan meter dalamnya itu, kini mampus di
bawah lorong gelap nan dingin.
Tangannya yang satu masih menggenggam kencang sebelah tangan si baju hitam.
Tangan si baju hitam juga sudah kaku dingin, tutup mukanya masih memancarkan cahaya kemilau.
Waktu topeng penutup mukanya disingkap, yang tersembunyi di baliknya adalah seraut wajah memucat
putih nan cantik jelita, sepasang bola matanya yang melotot seperti mengawasi Siau Cap-it Long, rona
matanya seperti mengandung perasaan yang sukar diterima oleh akal sehat, entah murka" Ketakutan" Atau
sedih" Ketua generasi kedua Thian Cong, ternyata memang benar adalah Pin-pin.
Kedok yang mengkilap itu jatuh di tanah, telapak tangan Siau Cap-it Long basah oleh keringat dingin.
Keringat dingin yang lebih dingin dibanding darah.
Setengah bulan yang lalu, Siau Cap-it Long sendiri mungkin tidak tahu kalau dirinya bakal berada di Cuigwat-
lo, bagaimana mungkin ada orang membocorkan jejaknya"
Sebab aktivitasnya selama ini, seluruhnya diatur oleh Pin-pin.
Para pengkhianat Thian Cong, bagaimana mungkin terbunuh seluruhnya di tangan Siau Cap-it Long"
Sebab Pin-pin menghendaki Siau Cap-it Long membunuh mereka semua.
Kecuali Thian-ci-eu, memang hanya Pin-pin seorang yang tahu rahasia Thian Cong.
Dengan memperalat Siau Cap-it Long, ia membunuh mereka yang tidak tunduk dan patuh pada dirinya,
dengan Siau Cap-it Long sebagai umpan, ia menuntun perhatian orang lain, secara diam-diam ia mengatur
tipu daya. Bila akhirnya ia merasa Siau Cap-it Long sudah tidak bermanfaat lagi bagi dirinya, diam-diam ia menyingkir,
lalu mengatur tipu daya memperalat Lian Shia-pik untuk membunuhnya, membabat rumput sampai ke akarakarnya.
Rencananya memang rumit, rapi dan ces-pleng. Betapapun rapi rencananya, tak pernah terpikir olehnya,
bahwa Siau-yau-hou ternyata masih hidup, mencari dan membuat perhitungan terhadapnya.
Kini kakak beradik sama-sama mampus di tangan masing-masing, budi dendam di antara mereka sudah
berakhir, tamat mengikuti jiwa yang melayang, semua rahasia kini telah terbongkar dan memperoleh
jawabannya. Kalau dicerna dan dirasakan dengan cermat, hanya itulah jawaban yang patut dan pantas diterima.
Akhir kisah ini adalah akhir satu-satunya yang bisa diterima secara umum, memangnya belum puas
menerima akhir kisah ini"
Mungkin hanya Siau Cap-it Long seorang.
Dengan mendelong ia berdiri menghadapi dua mayat orang, rona mukanya mengunjuk perasaan yang tidak
bisa dijelaskan dengan rangkaian kata nan panjang.
Apa yang sedang ia pikirkan dalam hati"
Tangan orang mati, masih saling genggam.
Apakah menjelang ajal kakak beradik ini sadar dan saling mengerti, hakikatnya mereka adalah saudara
sedarah sedaging. Waktu tangan mereka dibuka, baru terlihat ternyata jari-jari mereka sama menggenggam
tongkat besi yang menjulur keluar dari celah-celah dinding batu.
Begitu Siau Cap-it Long melepas pegangan tangan mereka, tongkat besi itu mendadak menyendal naik,
tanpa mengeluarkan suara selembar besi baja besar melorot turun, "Blang", berdentam keras menyentuh
bumi, menutup jalan keluar, jalan satu-satunya untuk keluar dari lorong bawah tanah ini.
Setelah mati, dua saudara kakak beradik ini ternyata menginginkan pengiring seorang Siau Cap-it Long
dalam kuburnya.
Sesal, dendam permusuhan telah berakhir, semua tipu muslihat telah terbongkar, cinta kasih dan
persahabatan sudah berubah kosong, masihkah ada yang berharga dalam kehidupan ini"
Siau Cap-it Long duduk menggelendot di dinding batu, dinding batu nan dingin, cahaya api semakin guram.
Pikiran Siau Cap-it Long kosong, tiada rasa sedih, pilu atau amarah, tiada rasa takut.
Sekarang satu-satunya yang ia tunggu hanya kematian. Bagi dirinya mati bukan hal yang menakutkan, tak
perlu dibuat sedih atau marah.
Entah berapa lama kemudian, api akhirnya padam, alam semesta kembali menjadi gelap gulita.
Memangnya kenapa kalau gelap" Kalau mati sudah bukan menjadi ganjalan, apa artinya kegelapan"
Siau Cap-it Long merasa ingin tertawa, tertawa lebar, habis tertawa lalu menangis, habis menangis
berteriak, berteriak keras, melolong panjang, kenyataan ia tetap duduk mematung tanpa bergerak.
Rasa penat merasuk sekujur badan, lelah yang amat sangat.
Dia pernah mencintai orang, juga dicintai orang.
Peduli mencintai atau dicintai, cinta adalah perasaan nan agung dari lembar kehidupan manusia yang paling
suci dan bersih.
Dia pernah merasa terhina, pernah merasa bangga, siapa pun dia kalau bisa hidup sepanjang hayat di
kandung badan seperti dirinya, patut merasa puas dan bangga.
Sayang sekali, sekarang belum tiba saatnya ia harus ajal dengan percuma.
Sekonyong-konyong dari atas berkumandang teriakan kaget seorang, menyusul selarik cahaya menyorot
masuk menyinari badannya.
Dia dapat merasakan hangatnya cahaya mentari, juga jelas mendengar teriakan kaget dan senang seorang
di atas, "Siau Cap-it Long, Siau Cap-it Long masih hidup." Menyusul seorang melompat turun, membimbing
badannya berduduk, dia bukan lain adalah Lian Shia-pik. dari gerak dan suaranya ia mengenal siapa dia.
Tapi kelopak matanya seperti diganduli benda berat ribuan kati, tak kuasa ia membuka mata, tekanan yang
berat luar biasa melebihi tabir kegelapan seperti menindih sanubarinya, menindih tepat di atas dadanya.
Ia merasa badannya amat penat, amat lelah, lelah sekali....
Sayang kegelapan seperti mendadak meninggalkan dirinya, tiba-tiba ia merasakan napasnya dapat
menghirup hawa segar yang berbau harum, mirip saat dirinya berada di hutan waktu muda dulu, hawa segar
di ladang liar yang belum pernah dijamah manusia.
Sekarang ia bukan lagi anak muda seperti pengalamannya dahulu. Tempat ini bukan ladang atau hutan liar
yang luas. Di sekitar dirinya ia merasa banyak orang sedang berkerumun saling celoteh entah persoalan apa yang
diperbincangkan, ia tidak jelas mendengar percakapan mereka, namun yang jelas ia mendengar setiap
orang yang bicara tentu tak lepas menyebut nama Siau Cap-it Long.
Sekonyong-konyong suara seorang menekan pembicaraan banyak orang, ia tidak melihat siapa dia tapi ia
mengenal suara orang ini. Siapa lagi kalau bukan Lian Shia-pik.
Suaranya kalem jelas tapi bertenaga, "Sekarang tentu kalian sudah tahu, Siau Cap-it Long juga dijebak dan
dicelakai orang, yang membuatnya celaka bukan lain adalah adik sepupu Siau-yau-hou yang bernama Kosu
Pin, yaitu ketua generasi, kedua dari Thian Cong. Jadi persoalan Cayhe dengan Siau Cap-it Long, meski
cukup lama tak terselesaikan, tapi sekarang semua peristiwa itu telah berlalu, masa lalu biarlah menjadi
kenangan. Menaruh golok bersumpah menjadi umat Buddha yang soleh, aku hanya mengharap..."
Siau Cap-it Long tidak mendengar jelas perkataan selanjutnya, ia hanya berharap selekasnya meninggalkan
tempat ini, meninggalkan kehidupan, meninggalkan mereka, ia tidak ingin berhadapan lagi dengan tokohtokoh
kosen, orang-orang gagah ....
Mendadak ia melompat berdiri menghampiri Lian Shia-pik, katanya, "Kau menolongku, aku berhutang nyawa
kepadamu." Habis bicara tanpa menoleh lagi ia beranjak pergi dengan langkah cepat.
Untuk bertahan hidup memang bukan hal yang mudah, tapi ia bersumpah akan terus mempertahankan jiwa


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

raga. Sebab ia berhutang nyawa kepada orang.
Sepanjang jalan hidupnya, Siau Cap-it Long belum pernah berhutang kepada orang lain, hutang macam
apapun, ia akan selalu berusaha untuk melunasinya.
Mentari sudah doyong ke barat, senja telah menjelang.
Air yang mengalir di bawah jembatan Se-ling-kio terasa makin dingin, rumput yang bertebaran di ladang
ilalang di musim rontok mulai menguning.
Rembulan sudah menongol dari peraduannya..
Kapal besar Cui-gwat-lo entah masih berlabuh di dermaga semula tidak"
Apakah Hong Si-nio masih menunggu dirinya di sana"
Perahu kecil panjang itu meluncur di permukaan air, cuaca di danau Se-ouw terasa sejuk, Siau Cap-it Long
berada di perahu kecil itu.
Peduli mati atau hidup, tetap tinggal di sini atau mau pergi entah kemana, sekali-kali ia pantang
meninggalkan Hong Si-nio begitu saja.
Cuaca belum seluruhnya gelap, cahaya lampu sudah menyala di Cui-gwat-lo, sayup-sayup seperti
berkumandang seorang bersenandung.
Perahu kecil itu terus meluncur makin dekat, di buritan kapal besar seorang menghaidik dengan lantang,
"Siau-kongcu sedang menjamu para tamu di sini, orang-orang yang tidak berkepentingan diharap
menyingkir."
Siau Cap-it Long berkata, "Muncul lagi Siau-kongcu yang menjamu para tamu di sini" Siau-kongcu yang
mana?" Dengan pongah lelaki di buritan itu berkata, "Siapa lagi, sudah tentu Siau Cap-ji Long yang terkenal sebagai
pendekar angkatan muda itu."
Siau Cap-it Long tertawa lebar.
Ia sendiri heran kenapa dirinya bisa tertawa geli, tapi kenyataan ia memang sedang tertawa, tertawa lebar.
Gelak tawanya mengejutkan orang-orang dalam kabin, seorang dengan menggendong tangan melangkah
keluar, sikapnya angkuh, pakaiannya perlente, masih muda, membusung dada, siapa lagi kalau bukan Siau
Cap-ji Long. Begitu melihat Siau Cap-it Long, senyum lebar seketika menghias wajahnya yang cakap, sikapnya berubah
hormat dan sungkan, serunya, "Kau telah datang."
"Kau tahu aku akan datang?" tanya Siau Cap-it Long.
"Seorang meninggalkan sepucuk surat untukmu, minta aku menyerahkan kepadamu," demikian kata Siau
Cap-ji Long. "Surat dari siapa?" tanya Siau Cap-it Long.
"Orang yang mengantar surat ini." sahut Siau Cap-it Long. Jawabannya sungguh jenaka, namun sikapnya
serius, dengan laku hormat dengan kedua tangannya ia mengangsurkan surat itu kepada Siau Cap-it Long.
Sampul suratnya masih baru, namun kertas suratnya sudah lusuh, sepertinya pernah diremas, lalu digelar
lagi lalu ditekan merata.
"Aku sudah pergi. Lenganmu tentu kesemutan tertindih kepalaku, tapi bila kau siuman, lenganmu pasti
takkan kesemutan lagi. Yang mereka cari hanya aku seorang, kau tidak perlu ikut dan tak usah ikut. Kelak
umpama takkan bisa bertemu lagi denganku, yakin kau akan cepat memperoleh berita tentang diriku. "
Perasaan Siau Cap-it Long mengendap makin rendah. Ia kenal surat itu, sebab surat itulah yang ia
tinggalkan untuk Hong Si-nio. tak pernah terbayang dalam benaknya, Hong Si-nio menyimpan surat itu, lebih
tak disangka sekarang ia kembalikan surat itu kepada dirinya.
Tapi ia paham, mengerti apa maksudnya, waktu meninggalkan surat ini, bukankah ia sudah siap untuk
menghadapi kematian. Mati.
Itulah berita satu-satunya yang ia tinggalkan untuk dirinya "Aku tidak boleh mati. Aku masih hutang jiwa
kepada orang lain."
Angin kencang berhembus, sampul surat di tangan Siau Cap-it Long tertiup lepas melayang-layang, lalu
jatuh ke danau, sampul surat itu hanyut mengikuti alunan gelombang halus di permukaan danau, mirip sekali
sekuntum bunga yang rontok.
Bunga telah berguguran, musim semi dalam kehidupan ini juga telah menjelang, masih adakah yang
tersisa" Mengawasinya Siau Cap-ji Long berkata, "Mestinya Wanpwe ingin mengajak Siau-tayhiap minum bersama."
"Kenapa tidak kau siapkan saja," ujar Siau Cap-it Long tertawa.
Siau Cap-ji Long tertawa, katanya, "Wanpwe tidak berani, rasanya kurang setimpal." Tawanya begitu
simpatik, begitu sopan sambil meitibungkuk, "Siau-tayhiap, kalau tiada pesan lain, maaf Wanpwe mohon
diri." Mengawasi orang membalik badan beranjak masuk ke kabin, Siau Cap-it Long ingin tertawa, namun tak bisa
tertawa. Tukang perahu yang mengendalikan perahu kecilnya mendadak menepuk bahunya, : "Orang tidak ingin kau
minum araknya, berdiri di sini apa gunanya, hayolah pergi saja."
Siau Cap-it Long memanggut perlahan, katanya menyengir, "Kalau harus pergi, ya harus pergi."
Tukang perahu mengawasinya, tanyanya, "Apa kau ingin minum arak?"
Siau Cap-it Long mengiakan sambil memanggut.
"Berapa banyak duit yang kau bawa?" tanya tukang perahu.
Tangan Siau Cap-it Long merogoh kantong, lalu ditarik keluar pula, tangannya kosong alias tongpes. Siau
Cap-it Long baru sadar kini dirinya tidak punya uang sepeser pun.
Tukang perahu malah tertawa lebar, "Ternyata kau ini juga setan arak, mana ada setan arak yang punya
banyak duit, rasanya ongkos perahu kali ini juga harus kurelakan gratis." Sembari bicara galah di tangannya
menutul ke air, perahu itu meluncur ke tengah danau, "Kalau kau mau menungguku setengah jam lagi, akan
kuadakan jual beli sebentar, nanti aku traktir kau minum sepuasnya."
"Baik, aku tunggu," ujar Siau Cap-it Long.
Lalu ia duduk di pinggir perahu, matanya mendelong menatap ke temnat jauh, kabut tebal mendatangi
membuat pemandangan permukaan danau makin kabur, tabir malam pun makin gelap.
Pemandangan malam di Se-ouw sebetulnya tak banyak berubah indahnya, sayang sekali malam ini bukan
lagi malam kemarin.
* * * * * Pasar malam baru saja buka, saat paling ramai di sepanjang jalan raya ini, toko-toko sepanjang jalan mulai
menyulut lampu, tampak betapa indah mempesona kain sutra, keramik, berbagai makanan yang dijajakan di
beberapa toko itu, para pembeli juga menghias wajah dengan senyum lebar dan tawa senang.
Tukang perahu sudah berganti pakaian bersih, dengan langkah lebar ia berjalan di depan, sikapnya
kelihatan bersemangat, senang dan bingar.
Duit di kantongnya mungkin tidak cukup untuk membayar seguci arak, namun sikap dan polanya mirip orang
pongah, seolah-oleh dunia ini milik kita.
Sebab kemarin ia sudah melampaui kehidupan sehari yang melelahkan, kini tiba saatnya ia menampakkan
diri sebagai lelaki sejati.
Dengan menepuk pundak Siau Cap-it Long ia berkata, "Arak yang dijual di jalan ini paling mahal, jangan kita
minum di sini. Tapi tiap hari aku pasti melancong ke sini, berapa lama pun tak jadi soal, kan tidak perlu
bayar." Tawanya memang riang gembira, sebab di sini ia bebas mau melihat apa saja sesuka seleranya.
Cukup hanya melihat dan melihat, hatinya amat puas.
Kalau seorang punya pandangan hidup seperti tukang perahu ini, maka segala persoalan di dunia ini tak
perlu dibuat kapiran, tak usah sedih, tak perlu keluh gerutu.
Mendadak Siau Cap-it Long merasa hidupnya ternyata tidak sebanding dengan tukang perahu ini.
Bahwasanya ia tidak punya jiwa terbuka, hati yang lulus dan pikiran bajik.
Kebetulan terlihat oleh Siau Cap-it Long di depan sana ada sebuah bank.
Setelah dekat, mendadak Siau Cap-it Long berhenti dan berkata, "Kau tunggu aku sebentar."
"Kau mau apa?" tanya tukang perahu.
"Aku ... aku akan masuk sebentar."
Tukang perahu tertawa, "Dalam bank ini tiada sesuatu yang pantas jadi tontonan, daging bakpao bukan
dibungkus kertas, uang yang ada dalam almari besi juga takkan bisa kelihatan." Namun ia mengikuti langkah
Siau Cap-it Long masuk ke dalam bank, "Ikut masuk sambil melihat-lihat juga tak mengapa."
Kasir bank kira-kira berusia pertengahan, namun rambut kepalanya sudah ubanan, melihat dua lelaki
beranjak masuk, sorot pandangnya menampilkan mimik kaget dan heran, namun sikapnya tetap hormat,
sapanya, "Tuan-tuan ada keperluan apa?"
"Sepertinya aku masih punya rekening di bank ini," ucap Siau Cap-it Long. Dari atas lihat ke bawah, lalu dari
bawah pandang ke atas, beruntun dua kali kasir bank memperhatikan Siau Cap-il Long, lalu katanya dengan
tawa dipaksakan, "Apa tuan tidak salah ingat?"
"Jelas tidak," sahut Siau Cap-it Long.
"Tuan she apa?" tanya kasir bank.
"She Siau, Siau Cap-it Long."
Kasir bank langsung tertawa lebar, "O, kiranya Siau-toaya, betul, Siau-toaya memang punya rekening di
bank kami."
"Bisa anda tolong periksa masih berapa banyak tabungan uang dalam rekeningku, aku ingin mengambilnya."
"Umumnya bank kami berdasar cek atau buku rekening bank untuk mengambil uang, tapi untuk Siau-toaya
kami boleh memberi kemudahan," sampai di sini senyum tawanya berubah aneh, suaranya menjadi
perlahan, "sebab rekening Siau-toaya baru saja kami tutup."
"Maksudku apakah ada uang dalam rekeningku?"
"Ada, tentu ada," sahut kasir bank, dengan laku hati-hati ia menarik sebuah laci di balik punggungnya,
mengeluarkan sekeping uang tembaga, perlahan ia taruh di meja, dengan senyum getir berkata, "Sisa
rekening Siau-toaya. hanya sebanyak ini."
Siau Cap-it Long tidak bergerak, tidak bersuara, bagaimana pun uang tembaga ini kelihatan masih baru,
disorot sinar lampu kelihatan masih kemilau mirip emas.
"Apa Siau-toaya ingin memeriksa pembukuan kami?" tanya kasir bank.
Siau Cap-it Long menggeleng kepala.
Kasir bank berkata lebih jauh, "Kalau Siau-toaya ingin menyimpan sisa uang ini dalam rekeing bank, dengan
senang hati akan kucatat dalam buku."
Mendadak Siau Cap-il Long berpaling, "Satu sen duit dapat beli apa?"
Tukang perahu garuk-garuk kepala, lalu berkedip mala, sahutnya, "Dapat membeli sebungkus besar kacang
goreng." Dengan kedua jarinya, Siau Cap-it Long jepit keping uang tembaga itu, dengan senyum lebar ia berkata,
"Kacang cocok untuk teman minum arak, satu sen duit ini jelas akan kumanfaatkan."
"Betul sekali, satu sen tidak banyak, mending daripada tidak ada."
Sambil bergelak tawa riang mereka melangkah keluar dari bank, kasir bank mengawasi mereka sambil
menggeleng kepala.
Kasir bank jelas takkan mengerti, kenapa satu sen duit dapat membuat mereka segembira itu, sebab ia jelas
mengetahui hanya dalam semalam lelaki yang semula memiliki harta berlimpah ini, telah jatuh bangkrut
habis-habisan, duitnya tinggal sisa satu sen.
Si kasir tahu karena tadi ia sempat memeriksa buku rekening bank atas nama Siau Cap-it Long.
Sepanjang usianya melebihi setengah abad, dan tiga puluh tahun menjadi kasir bank, belum pernah ia
saksikan orang yang mendadak kaya secepat itu, tapi belum pernah melihat orang yang jatuh bangkrut
secepat itu pula.
BENTROK PARA PENDEKAR
Karya Gu Long - Gan K.H.
Bagian 19 - TAMAT
XXXI. JIWA SATRIA TIADA DUANYA
Bentuk pedang itu kuno antik.
Di mata pedang yang kelihatan antik itu terukir empat huruf 'Hiap Gi Bu Siang' yang berarti jiwa satria tiada
duanya. Pedang itu terbual dari emas murni, jelas bukan senjata untuk membunuh orang.
Hanya sebagai lambang hormat mereka terhadap Lian Shia-pik, maka nilai sesungguhnya dari pedang itu
tidak terletak dari bobot emasnya, tapi empat huruf yang terukir di batang pedang itu.
'Hiap Gi' atau pendekar pembela kebenaran, jelas makin surut saja nilai luhur kedua huruf itu, apalagi
ditambah 'Bu Siang' yang berarti tiada duanya.
Dalam kesan sanubari manusia umumnya, empat huruf itu hanya setimpal dianugrahkan kepada Liancengcu
yang menjadi pemilik Bu-kau-san-ceng.
Malam telah larut.
Dentam tambur dan hingar-bingar gembreng makin jauh, lalu tak terdengar lagi.
Orang banyak yang tadi hadir dalam ruang besar ini sudah bubar. Dalam ruang besar itu kini tinggal Lian
Shia-pik seorang dan sebuah lampu.
Dia kelihatan lelah, seperti merasa sebal dan resah oleh keramaian tadi.
Perlahan ia menyipitkan mata, tangannya mengelus perlahan keempat huruf yang terukir di batang pedang,
tangannya enteng elusannya lembut, seperti mengelus di dada sang kekasih yang mempesona.
"HIAP GIBU SIANG'.
Ia tertawa. Bukan tawa riang, gembira, bukan tawa yang membangkitkan semangatnya, tapi seringai tawa yang
mengandung cemooh dan hina.
Angin malam berhembus masuk lewat jendela, hawa dingin mulai merangsang badan.
Jari-jari Lian Shia-pik yang mengelus pedang mendadak berhenti, seringai tawa yang menghias mukanya
juga seketika lenyap. Tapi nada suaranya tetap tenang dan mantap, "Siapa yang berdiri di kebun?"
"Tio Pek-ki." seorang menjawab di luar.
Lian Shia-pik memanggut, "Masuklah."
Dari gerombolan rumpun kembang, Tio Pek-ki beranjak keluar, dengan langkah enteng perlahan
menghampiri dengan sikap hormat dan prihatin.
Dia. Siapa lagi kalau bukan Tio Toa, si tukang perahu yang meninggalkan Siau Cap-it Long di kedai arak.
Cahaya lampu menyinari pedang emas, cahaya yang memancar menerangi seluruh lingkup ruang besar itu.
Tio Pek-ki jelas sudah melihat pedang emas itu, tapi dia menunduk pura-pura tidak melihat.
Lian Shia-pik seperti sedang menggumam, "Inilah tanda bukti betapa besar belas kasih para tetua kampung,
mestinya aku tidak berani menerima, namun kecintaan itu sungguh sukar untuk aku tolak."
"Bagi seluruh warga perkampungan kita, penghargaan ini rasanya pantas sekali. Tanpa kebesaran dan
wibawa Cengcu yang disegani seluruh insan persilatan, mana mungkin penduduk perkampungan ini dapat
hidup aman tenteram dan sentosa, penghargaan sekecil ini rasanya cukup setimpal."
Tio Pek-ki mengobral omongan, seolah-olah mewakili para sesepuh kampung, dan pedang emas itu adalah
anugrah untuk Bu-kau-san-ceng layaknya.
Lian Shia-pik tertawa-tawa, "Yang benar, aku ini juga orang biasa, mana berani mendapat anugrah Hiap Gi
Bu Siang."
Tio Pek-ki masih ingin mengucap rangkaian kata pujian yang lebih muluk, entah kenapa mendadak
tenggorokan seperti tersumbat hingga tak mampu bicara lagi. Sebab ia sadar, sorot mata Lian Shia-pik yang
tajam dan dingin sedang menatapnya lekat.
Diam-diam Tio Pek-ki bergidik tanpa kedinginan, dengan tersipu dari balik badannya ia keluarkan sebuah
buntalan kain panjang, dengan kedua tangan ia angsurkan kepada Lian Shia-pik.
Bungkusan panjang itu berisi sebatang golok, golok yang menggetar dunia persilatan dan ditakuti gembong
penjahat yang memusuhi pemilik golok ini.
Kek-lok-to, golok jagal rusa.
Perlahan golok itu keluar dari rangkanya. Mata golok yang dingin kemilau, menyinari wajah Lian Shia-pik nan
dingin. Sinar golok tajam benderang, sorot matanya juga mencorong. Sorot mata yang mencorong bergerak dari
ujung kanan ke ujung kiri. Lambat laun rona muka yang semula dingin mulai bersemu merah lalu mengulum
senyum. Lian Shia-pik boleh tertawa senang.
Kali ini tawanya tidak mengandung mimik hina atau cemoohan, tapi merasa senang, menang dan puas.
Tapi tawa itu hanya sekilas menghias ujung mulutnya, mendadak sirna tak berbekas lagi.
Sorot matanya setajam pisau menatap muka Tio Pek-ki, "Cara bagaimana golok ini berada di tanganmu?"
"Kuganti dengan beberapa poci arak dan sebungkus kacang goreng," sahut Tio Pek-ki.
"O" Begitu?" seru Lian Shia-pik tak acuh.
"Araknya malah yang paling murah dan sebungkus kacang yang hanya dijual di pasar. Cengcu pasti tidak
menduga, golok pusaka yang menggetar dunia, bisa kuperoleh hanya dengan pengorbanan yang tidak
berarti." Sikap Lian Shia-pik memang seperti melenggong.
Dengan bangga Tio Pek-ki berkata lebih lanjut, "Cengcu pasti tidak menduga, Siau Cap-it Long menyuruh
aku menggadaikan goloknya ini, maksudnya hanya untuk ditukar beberapa poci arak dan bungkusan
kacang. Siau Cap-it Long yang menggetar Kangouw itu kini sudah menjadi setan arak tulen, nama besar
Siau Cap-it Long selanjutnya bakal dihapus dari lembar kehidupan insan persilatan."
"Hal ini memang membuat orang tidak menduga."
Tio Pek-ki tertawa, "Kalau seorang hanya ingin minum dan minum tiap hari, betapapun besar dan nyaring
nama besarnya, akhirnya pasti luntur dan luluh oleh arak."
Lian Shia-pik manggut-manggut. "Betul, tidak salah."
"Maka dia sudah tidak setimpal menggunakan golok ini," kata Tio Pek-ki lebih jauh, "orang gagah yang
setimpal menggunakan golok ini sekarang siapa lagi kalau bukan Cengcu?"
"O" Masa aku?" seru Lian Shia-pik.
"Sekarang umpama menyuruh Siau Cap-it Long membabat rumput dengan golok ini, yakin rumput pun
takkan terbabat olehnya."
"Golok jagal rusa ini memang bukan untuk membabat rumput, manfaat utama golok ini tetap satu, hanya
membunuh orang."
Tio Pek-ki tertegun, "Membunuh orang?"
"Betul, membunuh orang. Terutama orang yang menganggap dirinya paling pintar."
Sembari bicara golok di tangannya mendadak berkelebat menabas leher Tio Pek-ki.
Waktu batok kepala itu jatuh menggelinding di lantai, sikap dan mimik muka Tio Pek-ki belum berubah. Itulah
rasa kaget dan heran, mati pun ia tidak mengerti kenapa Lian Shia-pik justru membunuhnya.
Mata golok yang cemerlang dengan cahayanya tampak bersih tiada noktah darah sedikitpun.
"Golok bagus," dengan jari-jemarinya Lian Shia-pik mengelus golok itu dengan sikap sayang, sorot mata nan
memuji, "Betul-betul golok bagus." Mendadak ia mengangkat kepala serta meninggikan suara, "Mana
petugas!" Dua lelaki berseragam hijau sambil mengiakan melangkah masuk.
Lian Shia-pik membungkus kembali golok jagal rusa, katanya, "Cepat kejar Siau Cap-it Long, langsung
kembalikan golok ini kepadanya. Katakan kepadanya, hanya orang macam Siau Cap-it Long di dunia ini
yang pantas menggunakan Kek-lok-to ini."
Sekilas kedua lelaki itu saling pandang, mimiknya seperti heran dan kaget, tapi tak berani banyak bertanya,
begitu menerima buntalan langsung mengundurkan diri.
Setelah keluar dari ruang besar satu di antaranya tak tahan menghela napas, katanya, "Dapat berkenalan
dengan sahabat seperti Cengcu kita, hidup Siau Cap-it Long terhitung tidak sia-sia."
Temannya menimbrung, "Sikap Cengcu terhadap Siau Cap-it Long rasanya cukup adil, benar lagi penuh
rasa cinta kasih ...."
Tiap manusia yang hidup di dunia, ada kalanya senang, semua serba terpenuhi, semua keinginan terkabul,
sudah tentu ada kalanya semuanya tidak menyenangkan, tidak cocok selera tidak memenuhi syarat.
Sebagai makhluk yang punya akal budi tinggi, maka manusia menciptakan arak. Arak adalah sahabat
manusia, terutama orang yang lagi kehilangan akal budi, orang yang gagal dalam menggapai cita-cita, tidak
jarang arak digunakan untuk menghilangkan rasa resah, rasa sedih dan putus asa.
Orang yang tercapai keinginannya, hidup senang hidup mewah juga tidak jarang menggunakan arak sebagai
pelampias rasa bangga, percaya diri dan arogan.


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka dimana pun ada orang menjual arak, penjual arak tidak kuatir tidak dikunjungi setan arak.
Siau Cap-it Long memang peminum berat, tapi dia bukan pelanggan arak, sebab pelanggan harus punya
duit untuk beli arak, Siau Cap-it Long justru bokek, tidak pernah punya duit. Tidak punya duit, syukur ada
teman atau siapa saja yang mau mentraktir dirinya minum. Padahal Siau Cap-it Long tidak punya teman
yang selalu mau mentraktir dirinya minum arak.
Jangan kata teman yang mentraktir minum tidak punya, teman yang tidak mentraktir apa-apa juga tiada.
Tanpa duit tak punya teman, namun arak masih tetap bisa diminumnya dengan puas, tidak jarang ia minum
sampai mabuk. Kondisinya sekarang bukan lagi sebagai penggemar arak, ibaratnya ia bermusuhan dengan
arak, tak peduli kapan saja, dimana saja, ada arak harus diminum habis, pengaruh air kata-kata sudah tidak
ia pedulikan lagi, pokoknya minum.
Di seluruh pelosok dunia, dimana saja pasti ada arak, arak tak pernah habis diminum, mungkinkah seorang
bisa minum habis seluruh arak yang ada di dunia ini" Maklum kalau Siau Cap-it Long minum dan minum,
tiap hari minum, tiap hari mabuk.
Belasan li di wilayah ini, dimana ada orang jual arak, Siau Cap-it Long pasti pernah ke sana. Tiap tempat ia
hanya bisa minum sekali, akibatnya, kalau bukan hidung dihajar bocor, mata sembab, bibir pecah, badan
babak belur, tentu diseret dan dibuang orang ke selokan seperti orang mengusir anjing buduk layaknya.
Bukan saja bokek, Siau Cap-it Long sudah tidak punya apa-apa yang berharga, pakaian yang melekat di
badan sudah compang-camping, kotor dan jorok.
Siau Cap-it Long yang sudah bangkrut, bahkan pakaian bobrok yang melekat di badan itu mendadak lenyap,
hilang tak keruan parannya.
Tiada orang pernah melihat ia muncul di tempat dimana orang menjual arak. Dalam pikiran masyarakat luas
terkesan hilangnya Siau Cap-it Long ibarat riak kecil yang bergeming di permukaan air, tiada orang
memperhatikan mati hidupnya.
Hanya satu orang memperhatikan nasibnya.
Siau Cap-ji Long.
Dulu dimana ada orang jual arak, di sana dengan mudah orang akan menemukan Siau Cap-it Long,
sekarang di pelosok manapun dimana ada orang jual arak, bayangan Siau Cap-it Long tidak pernah muncul
lagi. Siau Cap-ji Long tidak percaya, orang yang sudah kecanduan minum ini bisa meninggalkan kebiasaannya
itu. Semua kedai arak besar kecil, restoran ternama sampai hotel termewah pun sudah dilacaknya, namun
bayangan Siau Cap-it Long tak pernah ditemukan lagi.
Kalau setan arak meninggalkan arak, sama dengan ikan meninggalkan air, mana mungkin bisa hidup"
Siau Cap-ji Long hampir tidak percaya kalau kejadian ini kenyataan.
Di saat hampir putus asa, saat kehabisan akal, suara caci maki dan kegaduhan mendadak berkumandang
dari Hong-ping-ciu-lo.
Hong-ping-ciu-lou adalah restoran termegah, termewah di kota ini, para tamu yang mampir di restoran ini
semua berkantong tebal, dari kalangan atas, entah para pejabat, pedagang besar atau orang-orang gagah,
dalam keadaan biasa tak mungkin terjadi kegaduhan yang mengundang perhatian orang banyak.
Di halaman depan restoran berkerumun banyak orang melihat keramaian, satu dengan yang lain berceloteh
entah membicarakan kejadian apa.
Dua pelayan restoran yang mengenakan seragam bersih menyeret keluar seorang lelaki yang mabuk,
dilempar ke jalanan, menyusul kaki tangan bekerja, menendang menggenjot serabutan silih berganti tanpa
kenal kasihan, pemabuk itu dihajarnya hingga babak belur.
Saking bernafsu sambil menghajar memaki kalang kabut, "Kurang ajar, hari ini kau tertangkap bapakmu,
bersembunyi di gudang arak menghabiskan beberapa guci, kami yang celaka menerima ganjaran majikan,
hayo hajar saja sampai mampus."
Di antara penonton ada yang berhati bajik, segera membujuk, "Sudahlah, jangan dipukul lagi coba lihat dia
sudah semaput, kasihan kan."
"Kasihan apa?" damprat pelayan itu, "memangnya siapa kasihan kepada kami" Dua hari keparat ini
bersembunyi di gudang arak, menghabiskan empat guci arak kelas satu, majikan menuduh kami yang
mencuri, malah memotong gaji segala. Lebih celaka lagi guci yang kosong dia isi air, para tamu yang kami
suguh arak mendamprat kami menyuguhkan arak palsu, hampir saja majikan memecat dan memutus
hubungan kerja. Semua gara-gara keparat ini, kalau belum menghajarnya tidak terlampias rasa dongkol
kami." Pemabuk itu meringkuk di tanah dengan tangan memeluk kepala, biar ditendang, dipukul dan diapakan pun
diam saja, mulut pun bungkam.
Di antara orang yang berkerumun mendadak seorang berseru keras, "Nah coba lihat, Siau-tayhiap telah
datang, biar Siau-tayhiap bantu memberi keadilan, apakah dia masih pantas dihajar."
Pelayan Hong-ping-lou mana ada yang tidak kenal Siau Cap-ji Long, dengan tertawa lebar segera maju
menyambut, "Siau-tayhiap, syukur kau datang, mohon pertimbangkan dan memberi keadilan".
Siau Cap-ji Long mengulap tangan, pelayan itu menghentikan perkataannya.
Siau Cap-ji Long berjongkok dengan kedua jarinya ia angkat dagu orang. Seketika bercahaya bola matanya,
sekilas ia tertegun di tempatnya.
Siau Cap-it Long!
Siau Cap-it Long mengangkat kepalanya, dengan tertawa ia berkata, "Halo saudaraku, syukur kau datang,
sungguh aku senang, lekas traktir aku minum."
Siau Cap-ji Long menyeringai dingin, "Siapa itu saudaramu?"
"Margaku Siau, margamu juga Siau, aku bernama Cap-it Long, kau bernama Cap-ji Long, kalau bukan
saudaraku, memangnya kau ini siapa?"
Tetap dingin sikap Siau Cap-ji Long, "Kau adalah kau, dan aku tetap aku, tak perlu menarik persaudaraan
segala." Siau Cap-it Long menegakkan muka, katanya dengan seri tawa lucu, "Baiklah anggap bukan saudara, jelekjelek
masih terhitung sahabat bukan?"
"Siapa bilang aku ini sahabatmu?"
"Ya, ya, ya, bukan sahabat juga bukan soal. Mentraktirku minum dua cawan boleh kan?"
Siau Cap-ji Long menggeleng kepala, "Aku tidak biasa mentraktir teman minum arak."
"Kalau begitu tolong pinjam dua keping duit, biar aku minum sendiri, boleh tidak?"
Kembali Siau Cap-ji Long menggeleng kepala, "Aku tidak pernah meminjamkan duit untuk setan arak."
"Pinjam 10 ketip saja, tolonglah, besok kukembalikan ...."
"Satu peser pun takkan kupinjamkan," kata Siau Cap-ji Long, "kedatanganku hanya ingin memberi sebuah
benda lain."
"O" Ya?" menyala bola mata Siau Cap-it Long, "benda apakah itu?"
"Coba lihat sendiri."
Waktu buntalan kain itu dibuka, golok jagal rusa yang menggetar dunia persilalan itu kembali berada di
tangan Siau Cap-it Long.
Golok pusaka tidak berubah, gemerdep cahayanya tak berkurang, halus bagai permukaan air yang disorot
sinar rembulan.
Mengangkat tinggi golok pusakanya di atas kepala, Siau Cap-it Long bergelak tawa, bola matanya yang
mabuk berputar memandang sekelilingnya, "Nah, kalian lihat bukan" Inilah Kek-lok-to yang paling berharga
di dunia, golok pusaka yang nilainya sebanding sebuah kota, kalian pernah mendengar bukan?"
Siapa tidak pernah mendengar kebesaran nama Kek-lok-to, dengan sorot kaget dan heran mereka
mengawasi Siau Cap-ji Long, kenapa golok pusaka semahal itu diserahkan kepada seorang pemabukan.
Siau Cap-it Long mengangsurkan golok di tangannya kepada kedua pelayan itu, "Coba kalian periksa,
berapa harga golokku ini?"
Dengan gelisah kedua pelayan itu mengawasi Siau Cap-it Long, dengan memanggut mereka berkata, "Ya,
ya, golok pusaka ini berharga."
Dengan terbahak-bahak Siau Cap-it Long lemparkan golok itu ke tanah. Serunya, "Kalau begitu, tolong
bantu aku menyerahkan kepada kasir, akan kujual untuk minum arak."
Kedua pelayan itu ragu-ragu tak berani mengulur tangan menerima.
Siau Cap-it Long tertawa lebar, "Nah ambillah, tahukah kau ular arak di perut Siau-tayhiap sudah merambat
ke ujung mulut, tunggu apa lagi?"
Sampai di sini Siau Cap-ji Long harus bersikap, diam-diam ia memberi tanda kepada kedua pelayan itu, lalu
beranjak pergi keluar dari kerumunan orang banyak.
Siapa akan percaya seorang pendekar besar seperti Siau Cap-it Long bisa berubah menjadi seperti itu"
Dahulu Siau Cap-it Long juga pernah melempar goloknya itu tanpa ragu, waktu itu karena ia ingin menolong
jiwa Hong Si-nio.
Sekarang tanpa ragu ia pun melempar goloknya ke tanah, siap diganti beberapa keping uang hanya untuk
minum arak. Siau Cap-it Long yang nama besarnya menggetar kolong langit, kali ini betul-betul runtuh total.
* * * * * Hujan lebat. Habis hujan terbitlah terang.
Siau Cap-it Long berusaha merangkak bangun di tengah pecomberan, sepertinya dia sudah kehabisan
tenaga, kehabisan keberanian untuk berdiri tegak.
Ia sudah berdiri lalu terperosok jatuh lagi, jatuh di bawah kaki seorang muda.
Seorang muda yang seusia Siau Cap-ji Long, bersikap gagah, bangga dan angkuh.
Seorang pemuda yang dahulu sama dirinya waktu ia berusia semuda ini, berhadapan dengan pemuda ini, ia
seperti melihat potret dirinya di waktu muda, sayang bayangan itu lambat laun sirna tak berbekas lagi.
Pemuda itu tengah menatapnya, rona mukanya membayangkan mimik yang aneh, tangan kanan menjinjing
seguci arak, tangan kiri menggenggam golok.
Kek-lok-to. Siau Cap-it Long menundukkan kepala, ia tidak berani berhadapan dengan pemuda ini, tidak berani
berhadapan dengan golok pusakanya sendiri. Sepertinya ia kehilangan keberanian untuk menghadapi
kenyataan, malah tidak berani berhadapan dengan masa yang telah lalu.
Maka ia berusaha meloloskan diri sendiri supaya mabuk. Sekarang dalam kondisinya, arak di tangan
pemuda ini, nilainya jauh lebih tinggi dibanding golok pusakanya itu.
Mendadak pemuda itu berkata, "Kau ingin minum?"
Lekas sekali Siau Cap-it Long mengangguk.
"Sayang ini bukan arakmu."
Tangan Siau Cap-it Long saling genggam, dengan punggung tangannya ia menggosok bibir mulutnya yang
mengering, berusaha berdiri tapi selalu gagal.
Pemuda itu menatapnya dingin, mendadak mengangkat golok di tangannya, "Kau ingin golokmu ini?"
Siau Cap-it Long melengos.
"Sayang golok ini sudah bukan milikmu lagi."
Tak tahan Siau Cap-it Long bertanya, "Sekarang golok ini milikmu?"
Pemuda itu menyeringai, "Dengan golok ini kemarin kau memperoleh arak, dengan senyum manisku hari ini
aku memperoleh golokmu ini."
"Senyum manis?" tanya Siau Cap-it Long tidak mengerti. Lebar senyum pemuda itu, senyum yang penuh
ejek, senyum yang susah dilukis artinya.
"Tahukah kau, ada orang tertawa, kadang lebih menakutkan dibanding saat tidak tertawa." Siau Cap-it Long
jelas tahu. "Nah, ketahuilah, aku ini adalah Siau-bin Cap-jit Long."
"Cap-jit Long?" Siau Cap-it Long mengulang nama orang dengan tertawa.
Cap-jit Long manggut-manggut.
"Margamu bukan Siau?" tanya Siau Cap-it Long.
Cap-jit Long tidak menjawab, matanya menatap mata Siau Cap-it Long. Cukup lama baru berkata, "Apa betul
kau ini Siau Cap-it Long?"
Siau Cap-it Long tidak mampu menyangkal. Cap-jit Long berkata pula. "Benarkah kau ini Siau Cap-it Long
yang malang melintang di bumi" Memberantas komplotan Siau-yau-hou, bentrok dengan Thian-kongcu itu?"
Kembali Siau Cap-it Long tak mampu membantah. Dengan tertawa Cap-jit Long berkata, "Kabarnya ilmu
golokmu tiada tandingan di kolong langit, sudikah memberi kesempatan kepadaku?"
"Kesempataan" Kesempatan bagaimana?" tanya Siau Cap-it Long.
"Kau punya tangan, golok ada di sini, cukup memberi kesempatan padaku untuk menjajal ilmu golokmu,
bukan hanya arak seguci ini menjadi milikmu, seluruh persediaan arak di Hong-ping-lou berapa banyak kau
mampu minum, silakan habiskan seluruhnya."
Jari-jari Siau Cap-it Long kembali saling genggam.
Cap-jit Long tertawa lebar, "Pertaruhan ini cukup adil, aku yakin kau tidak akan menolaknya."
Mendadak Siau Cap-it Long berkata lantang, "Tidak."
"Tidak" Kenapa tidak?" tanya Cap-jit Long.
"Aku tidak mau main golok," tegas jawaban Siau Cap-it Long.
"Kenapa tidak" Tanganmu tetap tanganmu, golok ini juga tetap adalah golokmu."
Siau Cap-it Long meronta menegakkan dada, serunya, "Golokku tidak untuk tontonan."
"Ya, golokmu untuk membunuh orang."
"Betul."
Cap-jit Long terloroh-loroh, sepanjang hidupnya seperti belum pernah terloroh sekeras hari ini.
"Membunuh orang bukan hal yang menggelikan," kata Siau Cap-it Long.
"Kau bisa membunuh orang?"
Siau Cap-it Long menggeram rendah.
"Kau masih mampu membunuh orang?"
Siau Cap-it Long menunduk mengawasi tangannya. Tiada darah di tangan, hanya kotor oleh lumpur.
"Kau punya tangan, di sini masih ada golok, bila kau mampu menggunakan tangan mencabut golok ini untuk
membunuhku, seguci arak ini bakal jadi milikmu."
"Aku takkan membunuh orang hanya karena seguci arak," teriak Siau Cap-it Long.
"Lalu demi apa kau berani membunuh orang?"
"Aku...."
Kaki Cap-jit Long mendadak melayang menendang pencomberan di depannya, menendang muka Siau Capit
Long, lalu ia bersihkan alas sepatunya dengan muka Siau Cap-it Long.
Sekujur badan Siau Cap-it Long mengejang.
Cap-jit Long berkata, "Mungkin tidak karena perbuatanku tadi kau membunuh orang?"
Mendadak Siau Gap-it Long mengangkat kepalanya, dengan bola matanya yang merah darah menatapnya
lekat-lekat. "Kau tidak berani bukan?" jengek Cap-jit Long.
Perlahan Siau Cap-it Long mengulur tangan hendak mencabut golok, golok berada di depan mata, tapi jari
tangannya seperti takkan bisa menyentuh golok itu selamanya.
Jari-jari tangannya gemetar. Makin lama makin keras seperti ada gempa hingga daun-daun pohon
berguguran. Cap-jit Long tertawa, tertawa lebar, "Aku tahu bukan kau tidak berani membunuh orang, tapi sekarang kau
sudah tidak mampu membunuh orang." Di tengah gelak tawanya ia menyambung, "Golok ini tetap adalah
golok pusaka, tapi Siau Cap-it Long sudah bukan Siau Cap-it Long yang dahulu."
Dari loteng restoran mendadak berkumandang pertanyaan seorang, "Memangnya kenapa Siau Cap-it Long
yang sekarang?"
Dengan gagang golok Cap-jit Long memecah segel di mulut guci, arak dalam guci seluruhnya ia siram ke
muka, kepala dan badan Siau Cap-it Long.
Siapa pun takkan kuat menahan penghinaan macam ini, biar jiwa melayang juga takkan terima dihina seperti
ini. Siapa pun dia menghadapi peristiwa seperti ini, dengan nekad akan membusung dada, mengayun
tangan mencabut golok mengadu jiwa.
Siau Cap-it Long justru melakukan perbuatan yang tidak pernah disangka oleh siapa pun.
Tiba-tiba ia membuka mulut. Mulutnya terbuka bukan hendak berteriak, bukan ingin melampiaskan angkara
dalam hati. Tapi ia membuka mulut untuk menyambut arak yang meleleh di pipi, di mukanya.
Orang-orang yang menonton sudah tak tahan, mulai bersorak sorai, ada yang bertepuk tangan malah.
Cap-jit Long tertawa riang, "Hai, coba kalian lihat, macam apa sekarang dirinya?"
Belum hilang suaranya, mendadak sebuah tangan terulur tiba menyanggah dagunya.
Maka tubuh Cap-jit Long seperti orang kecil naik awan terbang melayang jauh ke sana. Sementara golok di
tangannya berpindah di tangan orang ini.
Tangan siapakah itu"
Sehebat setangkas itukah tangan itu"
Lian Shia-pik. Siapa lagi kalau bukan Lian Shia-pik yang Hiap-gi-bu-siang itu.
XXXII. JELAS DUDUK PERSOALANNYA
Waktu Siau Cap-it Long mengangkat kepala, ia melihat Lian Shia-pik.
Wajahnya tidak dihiasi cemooh, tiada belas kasihan, namun terbayang rasa lembut, pengertian yang luhur
dan simpatik. Dengan sebelah tangan ia memapah Siau Cap-it Long, katanya lantang, "Hayo, kita pergi minum."
Bagaimana rasanya arak"
Sekarang mungkin Siau Cap-it Long sudah tidak bisa membedakan bagaimana rasa arak, karena minum
teramat cepat, minum terlalu banyak.
Lian Shia-pik membiarkan orang minum, ia hanya mengawasi saja, akhirnya ia pun berkata, "Kekuatanmu
minum kelihatannya bertambah."
Siau Cap-it Long mengangkat cawan besar, satu tenggak ditelan habis.
"Berapa banyak kau bisa minum arak sehari?" tanya Lian Shia-pik.
"Makin banyak makin baik."
"Tiga guci besar?"
"Kurang lebih bolehlah."
"Sebelum ini kita bukan tcrhitung teman, tapi persoalan yang sudah lampau tak perlu dibicarakan lagi,
sekarang ...." ia menarik napas panjang, "sekarang pantasnya aku menemanimu barang dua tiga hari saja,
ada urusan yang harus segera kuselesaikan, hari ini aku hanya bisa meninggalkan 100 guci arak untukmu,
cukup untuk satu bulan, satu bulan lagi, aku akan datang kembali."
Siau Cap-it Long mengangkat pula cawannya, lalu arak ditenggaknya habis, mendadak air mata meleleh di
pipi jatuh di cawannya yang kosong.
Siapa pernah melihat Siau Cap-it Long menangis" Tidak pernah ada.
Siapa mau percaya Siau Cap-it Long rela mengucurkan air mata hanya karena diloloh seratus guci arak"
Yakin tak pernah ada.
Sepanjang sejarah hidup Siau Cap-it Long hanya mengucurkan darah, kapan pernah mengucurkan air
mata" Tapi sekarang, air matanya benar-benar bercucuran.
Mengawasi air mata meleleh di muka orang yang kotor, Lian Shia-pik menghela napas panjang, "Kau ...."
Mendadak Siau Cap-it Long menyeletuk, "Dahulu mungkin kita bukan sahabat, tapi sekarang kita sudah
menjadi teman."
Lian Shia-pik mengawasinya cukup lama kemudian baru bertanya, "Apa betul sekarang kita sudah menjadi
teman?" Siau Cap-it Long memanggut. "Kau menangis, apakah merasa haru terhadapku?"
Siau Cap-it Long diam tidak memberi jawaban, juga tidak menyangkal.
Mendadak Lian Shia-pik tertawa, mimik tawanya tampak aneh. Sambil tertawa ia mengangsurkan golok
pusaka di tangannya ke hadapan Siau Cap-it Long, "Inilah golokmu, sekarang tetap milikmu."
Siau Cap-it Long menunduk, mengawasi sarung goloknya yang kuno lagi kusam, lama kemudian baru
menggumam, "Golok ini tetap golok yang dahulu, tapi diriku" Aku berubah menjadi apa?"
Lian Shia-pik menatapnya lekat, lama juga berdiam baru bertanya, "Tahukah kau kenapa berubah menjadi
begini?" Siau Cap-it Long manggut-manggut, lalu geleng-geleng kepala.
"Kau tidak tahu, pasti tidak tahu. Sebab ...." desis suara Lian Shia-pik terputus.
"Sebab apa?" tanya Siau Cap-it Long


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebab yang betul-betul tahu rahasia ini, di kolong langit ini hanya satu orang."
"Siapa?"
"Siapa dia kau selamanya takkan pernah menduganya."
"Siapa dia?" Siau Cap-it Long mengulang pertanyaannya.
"Aku," sahut Lian Shia-pik, sampai di sini mendadak sikapnya berubah, sorot matanya setajam pisau,
sementara jari jemarinya hanya lima senti dari tubuh Siau Cap-it Long. Dia siap menunggu segala reaksi.
Siapa tahu sama sekali Siau Cap-it Long tidak menunjukkan perubahan apa-apa. Tiada reaksi.
Lian Shia-pik berkata lebih jauh, "Keadaanmu berubah jadi begini, semua gara-gara perbuatanku."
Mengawasi orang, sorot mata tajam Lian shi-pik makin memicing, suaranya lebih pelan, "Tahukah kau siapa
sebenarnya ketua Thian Cong?"
Sorot mata Siau Cap-it Long kosong, gerak-geriknya mirip orang pikun, "Kau ...."
"Betul, inilah aku," kata Lian Shia-pik, "seluruh rencana ini adalah buah karyaku."
Bahwasanya pengakuan ini ibarat sebatang jarum runcing yang dapat menghunjam hulu hati orang, namun
betapapun besar batang jarum yang menusuk perasaan Siau Cap-it Long, orangnya tetap mematung
linglung, tanpa memberi reaksi sedikitpun.
Di dunia ini hakikatnya sudah tiada persoalan apapun yang dapat membuatnya sedih, entah karena dia
sudah kehilangan perasaan, tidak punya perasaan seperti manusia umumnya.
Lian Shia-pik bertutur, "Waktu kalian berduel hari itu, aku juga berada di Sat-jin-gay. Waktu Siau-yau-hou
terjungkal ke dalam jurang, aku melihatnya sendiri. Setelah kau pergi membawa Pin-pin, aku berusaha turun
ke jurang menilik keadaannya."
"Melihatnya?" desis Siau Cap-it Long, "untuk apa?"
"Sebab aku tahu orang seperti dia takkan semudah itu mampus hanya karena jatuh ke dalam jurang. Kalau
di dunia ini betul ada manusia yang punya jiwa rangkap, orang itu adalah dia."
"Waktu kau turun ke bawah, apa betul dia belum mati?"
"Belum."
"Kau ingin menolongnya?"
Lian Shia-pik tertawa, "Yang ingin kutolong bukan orang macam dia, tapi aku butuh rahasianya."
"Rahasia?"
"Tiap orang punya rahasia, rahasia orang macam dia, bagi orang lain, bukan lagi dianggap harta
terpendam."
"Rahasianya, berarti adalah rahasia Thian Cong?"
"Betul."
"Dia memberitahu rahasianya kepadamu."
"Betul."
"Kenyataan dia belum mati, mana mungkin memberitahu rahasianya kepadamu?"
"Karena tidak bisa tidak dia harus memberitahu kepadaku."
"Kenapa?"
Lian Shia-pik menghela napas, "Karena dia sudah berubah, berubah lamban lagi tak perasa. Tapi kau tidak
pantas bertanya soal ini."
Siau Cap-it Long masih belum paham.
"Sebab kau bisa memperkirakan sendiri, kalau tidak dia bocorkan rahasia itu, kematian adalah bagiannya."
"Setelah dia membocorkan rahasianya?"
Kembali Lian shia-pik menghela napas, "Hal ini juga tidak pantas kau tanyakan, setelah mengajukan
pertanyanmu ini, kematianmu akan lebih cepat."
Siau Cap-it Long tertawa, menyengir tawanya persis seperti orang linglung, orang pikun.
"Setelah aku menguasai rahasia Thian Cong, segera aku adakan pembenahan organisasi Thian Cong,
sayang banyak orang-orang Thian Cong yang tidak mau menerima perintahku, maka dengan mengatur tipu
daya, supaya mereka bermunculan di antara engkau dan Pin-pin, aku tahu Pin-pin pasti mengatur muslihat
supaya engkau membunuh mereka semua." Dengan tertawa cerah ia menyambung, "Itulah yang dinamakan
pinjam golok membunuh orang, sekali panah dua burung terbunuh."
Siau Cap-it Long tetap diam mendengarkan.
"Sebetulnya banyak kesempatan aku bisa membunuhmu, hal ini tentu kau sendiri juga tahu."
Siau Cap-it Long mengakui.
"Tahukah kau kenapa selama ini aku belum juga turun tangan?"
Siau Cap-it Long menggeleng kepala.
"Sebab," Lian Shia-pik menekan suaranya lebih tajam, "akan kubuat kau mati lebih menderita, aku akan
membereskanmu secara tuntas. Akan kubuat orang banyak putus asa dan kecewa terhadapmu, akan kubuat
orang banyak berpendapat kau ini tidak lebih hanyalah binatang yang tidak bisa ditolong, tak bisa dinasehati
lagi." Sampai di sini ia bicara, roman mukanya yang pucat-pias itu terlihat berkerut-merut saking dibakar emosi,
sorot matanya pun menampilkan bayangan marah, penasaran dan tersiksa.
Sebab ia merindukan Sim Bik-kun. Ia akan berusaha merebutnya kembali, bukankah hanya jiwa dan raga
Sim bik-kun, tapi juga akan merebut simpati dan cintanya kembali.
Maka ia harus berusaha supaya Sim bik-kun kecewa dan putus asa melihat penampilan Siau Cap-it Long.
Demi mencapai semua maksud dan tujuannya itu, ia rela mengorbankan apa saja, dengan imbalan apa saja.
Ia mencintai Sim Bik-kun, cinta yang amat dalam, maka bencinya terhadap Siau Cap-it Long juga benci amat
dalam. Hanya benci karena cinta yang tidak terbalas, terhitung dendam yang paling mengerikan, paling
menakutkan. Siau Cap-it Long mulai menenggak arak lagi. Arak sebanyak itu adalah jamak kalau
membuatnya beku, beku perasaan, beku pikiran, pokoknya lahir batinnya beku. Menilai kondisinya sekarang,
terutama sorot matanya masih membayangkan rasa derita yang luar biasa. Di balik rasa takutnya itu
terbayang juga akan rasa ketakutan. Bukan takut terhadap Lian Shia-pik, ngeri menghadapi tipu daya Lian
Shia-pik, tapi ngeri karena dendam kesumatnya itu.
Lian Shia-pik berkata lebih jauh, "Dengan segala upaya, aku buat kau terkenal. tersohor, kaya raya, punya
kedudukan, pamormu tinggi, semua mencapai puncaknya, lalu kubiarkan kau jatuh, dengan memperalat
kehebatanmu, aku berantas para pengkhianat itu. Dua hal karya baikmu itu, tentu baru sekarang kau sadari."
"Aku ...." Siau Cap-it Long menggumam dalam mulut.
"Sebenarnya aku masih mengatur kau pergi ke Pat-sian-cun untuk membunuh para pengkhianat itu, hanya
rencana ini tidak tercapai dengan tuntas," sampai di sini ia tertawa sejenak baru melanjutkan, "tapi pada
waktu itu, tiada seorang pun di dunia ini yang bisa merintangi, membatalkan rencanaku, umpama kau sendiri
tidak ke sana, aku sendiri bisa turun tangan membunuh mereka."
"Maka sengaja kau membuatku salah terka, sebab kau merasa turun tangan sendiri lebih gampang."
"Sebetulnya aku memang lebih senang turun tangan sendiri, segala urusan apapun aku senang
mengerjakan sendiri."
"Lalu kau sendiri menyamar jadi si buta itu?"
"Akan kubuat kau salah terka, menyangka si buta itu sebetulnya adalah Siau-yau-hou, menganggap dia
belum mampus."
"Kenapa?"
"Sebab segala tanggung jawab peristiwa ini aku bebankan kepada Pin-pin."
Siau Cap-it Long menundukkan kepala, mulutnya menggumam, "Pin-pin ... Pin-pin ... oh, gadis yang harus
dikasihani".
"Setelah segala rencana besar itu sukses, Pin-pin dan Siau-you-hau akan betul-betul mati, maka di dunia ini
takkan ada orang lain tahu rahasiaku, jelas takkan ada curiga bahwa akulah ketua Thian Cong. Maka seperti
dahulu aku ini ibarat batu jade yang utuh, akulah Lian Shia-pik adalah ksatria yang tiada bandingannya."
Siau Cap-it Long sudah mabuk, kondisinya yang lemah sudah pantas roboh, tapi masih ada satu
pertanyaan, hal ini harus ia tanyakan. Dengan mengerahkan setaker sisa tenaganya, ia berusaha bertahan,
suaranya lantang, "Kenapa kau beberkan semua rahasia itu kepadaku?"
"Sebab akan kubuat kau menderita, akan kubuat kau sendiri merasa dirimu adalah bocah linglung yang tak
bisa diobati lagi."
Kembali wajahnya menampilkan rasa bangga, lembut dan senyum lebar. Waktu berdiri ia pegang pundak
Siau Cap-it Long, "Sekarang saatnya aku pergi. Seratus guci arak itu tetap kutinggalkan untukmu. Tapi satu
hal kau harus ingat, mungkin setelah kau habiskan seratus guci arak itu, apakah kau masih bisa bertahan
hidup?" Tanpa menunggu jawaban Siau Cap-it Long, ia melangkah keluar pintu.
Waktu ia tiba di ambang pintu, Siau Cap-it Long roboh terlentang di lantai.
Dengan langkah ringan Lian Shia-pik menyusuri taman kembang, perasaannya riang seperti mau terbang
saja. Selama hidup rasanya belum pernah punya perasaan segembira kali ini, bukan hanya lantaran jerih
payahnya selama ini terkabul, lebih penting adalah tanpa mengeluarkan tenaga, tak usah menggunakan
kekerasan, entah main pedang atau ayun golok, tapi dengan nyata ia berhasil merobohkan Siau Cap-it Long
yang terkenal di jagat raya ini. Roboh mengenaskan, kalah total.
Paling tidak ia sudah membuktikan satu hal, memiliki ilmu silat yang digdaya bukan berarti jago kosen, orang
kuat. Tapi pengetahuan luas, rencana yang cermat dan muslihat yang lihai baru terhitung modal utama
setiap insan persilatan yang punya ambisi menguasai dunia.
Tidak salah bukan"
Betapa gagah perkasanya Siau Cap-it Long, kenyataan sekarang menjadi si lemah yang nasibnya lebih
mengenaskan dibanding seekor anjing. Anjing liar, anjing buduk.
Lian Shia-pik ingin tertawa, tawa lebar, buah kemenangannya memang tidak mudah diperolehnya,
betapapun sulit dan rumit persoalannya, yang penting sekarang ia sukses.
Dari awal diam-diam ia membuat rencana ini, diam-diam merasakan siksa derita yang susah dicerna secara
lahiriah, termasuk hilang bini, harta benda ludes. Kini semua itu tak lama lagi akan kembali ke tangannya.
Sudah tentu kecuali Sim Bik-kun.
Ia percaya Sim Bik-kun sudah mati waktu terjun ke danau, kalau tidak ia yakin sang bini yang cantik itu akan
kembali lagi dalam pelukannya.
Kematian Sim Bik-kun sebagai tumbal, tapi ia berhasil meruntuhkan Siau Cap-it Long, kalau diperhitungkan
antara 'beroleh' dan 'hilang', rasanya masih setimpal.
Sampai di ujung langit sekalipun rumput akan tetap tumbuh subur.
Masih banyak wanita secantik Sim Bik-kun di dunia ini, tapi tiada orang kedua seperti Siau Cap-it Long.
* * * * * Ruang besar itu terang benderang, namun suasana telah sunyi senyap.
Pedang yang terbuat dari emas itu masih berada di meja, memancarkan cahaya kemilau. Bola mata Lian
Shia-pik saat itu juga sedang memancarkan cahaya terang yang aneh.
Sejak kini, Bu-kau-san-ceng bakal menjadi lambang "Jin Gi" dalam sanubari khalayak ramai. Lian Shia-pik,
tiga nama besar itu akan menjadi harum dan terkenal sepanjang abad, dipuja sebagai pendekar di antara
pendekar, orang gagah di antara orang gagah.
Tiada orang tahu bahwa Lian Shia-pik adalah generasi kedua ketua Thian Cong, rahasia ini akan tetap
menjadi rahasia seiring dengan tamatnya riwayat Siau Cap-it Long, ia mampu membongkar rahasia ini, Bukau-
san-ceng akan tetap disanjung, dipuja sebagai perkampungan suci bersih umpama batu jade yang
disakralkan sebagai batu mulia tanpa cacad, berabad-abad, beribu-ribu tahun tetap menjadi lambang
kebesaran yang tak pernah pudar.
Lian Shia-pik tertawa senang, tertawa puas.
Dalam sekejap ini, ia betul-betul merasakan sebagai pemenang, jerih payah selama beberapa tahun,
bersabar dan tekuk lutut menahan hina, hari ini akhirnya memperoleh tebusan yang amat tak bernilai.
Mendadak ia punya perasaan senang dan lega karena beban selama ini menindihnya terlalu berat. Secara
reflek ia mengulur tangannya mengelus pedang emas itu. Batang pedang dingin, hatinya justru panas
membara, jari-jemarinya yang hangat mengelus batang pedang nan dingin, terasa nyaman dan segar.
Saat ini ia betul-betul bergairah, dia memang memerlukan hawa segar, hati yang nyaman untuk meredam
gejolak perasaannya, hati yang tenang dan tenteram.
Mendadak ia tertegun.
Di atas pedang emas itu semula diukir empat huruf "Hiap Gi Bu Siang"
Empat huruf itu tidak berubah, tetap keempat huruf itu, cuma urutan keempat huruf itu yang berubah terbalik,
menjadi "Hiap Gi Siang Bu'.
Di bawah keempat huruf itu semula diukir juga beberapa nama sponsor pembuat pedang emas itu. Kini
nama mereka sudah berubah menjadi "PERSEMBAHAN RAMPOK BESAR SIAU CAP-IT LONG".
Pedang tetap pedang emas semula, kecuali perubahan huruf-huruf yang diukir di batang pedang, tiada
keanehan yang lain. Itu menandakan bahwa huruf-huruf semula yang terukir di batang pedang dihapus
orang dengan kekuatan 'Tay-lik-kim-kong-jiu' atau ilmu sejenisnya, lalu diukir kembali dengan huruf-huruf
baru yang terbaca sekarang.
Kecuali Siau Cap-it Long, siapa mampu melakukannya"
Kecuali Siau Cap-it Long, siapa memiliki Lwekang setinggi ini"
Tapi bukankah Siau Cap-it Long sudah ambruk, sudah runtuh total" Apakah semua itu hanya merupakan
perangkap"
Mendadak Lian Shia-pik merasa hatinya mencelos, perasaannya mengendap turun mirip tenggelam ke
dasar jurang, orangnya seperti batu yang dijemur di terik matahari, mendadak jatuh ke dasar jurang yang
bersalju. Perasaan dingin yang entah datang darimana, sekonyong-konyong seperti mengurung dirinya.
Bukan hanya hatinya dingin, badannya juga mulai menggigil. Pedang lepas dari tangannya jatuh di lantai
dengan suaranya yang memekak telinga.
Lian Shia-pik menegakkan badan sambil menarik napas panjang, lalu dihamburkan dari mulut perlahanlahan,
mendadak berteriak, "Mana orangnya."
Yang dipanggil segera muncul.
Rona muka Lian Shia-pik sudah wajar kembali, sepatah demi sepatah berkata, "Sulut dupa, siapkan kuah
teratai, siapkan perjamuan besar, hiburan tambur dan musik."
Lalu Lian Shia-pik berendam dalam air bak yang mengepul hangat, namun ia masih merasakan sekujur
badannya kedinginan.
Selama ini dia belum pernah dijatuhkan orang, memangnya dia lelaki kuat yang tidak mudah dijatuhkan.
Tapi sekarang dalam sanubarinya ia merasakan kejatuhan itu.
Cita-cita hidupnya selama ini adalah menjatuhkan Siau Cap-it Long secara tuntas, remuk redam di
tangannya. Sekarang mendadak ia menyadari, yang berhasil ia hancurkan tidak bukan tidak lain adalah keinginannya
sendiri. Mendadak ia menyadari dirinya sungguh menggelikan. Ia ingin tertawa, tertawa bebas, tertawa lepas.
Dia benar-benar tertawa, sambil bergelak tawa ia berdiri, terus keluar dari ruang besar.
Ruang sebelah juga terang benderang, alunan musik berkumandang merdu, belasan cewek yang semampai
sedang menari gemulai, dengan langkah lebar ia beranjak ke tengah cewek-cewek yang sedang menari itu.
Dia berusaha mengendorkan segalanya, entah hati, pikiran atau lahir batinnya. Sebab ia tahu detik-detik
yang memutuskan kalah menang sudah di ambang mata.
Kalau Siau Cap-it Long tidak roboh, berarti dirinya yang akan tumbang, hal ini jelas dan tak perlu diragukan
lagi. Gong Ping Ciu Lou.
Di restoran ini juga terang benderang, musik mengalun merdu, para penari membawakan tari gembira.
Sepertinya Siau Cap-it Long juga berusaha mengendorkan segala pikiran, lahir batin. Arak masih berada di
atas meja. Dalam hati Siau Cap-it Long sudah merasakan keberadaan arak itu.
Dengan nanar ia mengawasi Lian Shia-pik beranjak masuk, Lian Shia-pik juga sedang mengawasi dirinya,
sorot mata mereka berdua tampak terang, bening namun dingin.
Pada detik-detik singkat ini, hati mereka sama-sama dirasuk perasaan aneh, seperti sedang mengawasi
duplikat diri sendiri.
Dalam mata mereka, dalam sanubari yang paling dalam, di suatu tempat rahasia yang paling tersembunyi di
relung hati mereka, bukankah antara mereka punya persamaan yang selama ini tak pernah diungkap"
Kenapa mereka sama-sama mencintai satu wanita" Kenapa begitu mendalam cinta mereka"
Tanpa bicara, tanpa bersuara. Begitulah mereka saling pandang, saling tatap.
Mungkin hingga sekarang Lian Shia-pik baru melihat jelas siapa sebenarnya Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long pasti dan bukan manusia yang bisa dihancurkan hanya dengan arak.
Arak hanya sebuah alat. Tiba-tiba Lian Shia-pik mengangkat cawan, terus ditenggak habis, "Arak bagus."
"Ya, arak bagus."
"Arak, arak banyak menyelesaikan urusanmu."
Siau Cap-it Long manggut-manggut.
"Maka kau tahu aku pasti datang ke sini."
Siau Cap-it Long hanya mengiakan saja.
"Kau dan aku sama-sama tahu, hari ini akan tiba juga."
Siau Cap-it Long memanggut.
Lian Shia-pik tertawa.
Siau Cap-it Long juga tertawa.
"Silakan," seru Lian Shia-pik.
"Silakan," seru Siau Cap-it Long dengan senyum lebar, mereka sama-sama beranjak keluar.
Cahaya senja tampak begitu indah mempesona, hembusan angin sudah terasa dingin. Sedingin senyum
mereka. Daun rontok berhamburan. Daun yang berhamburan itu beterbangan di jalan raya panjang itu.
Jalan raya sunyi sepi.
Sinar senja menerangi lembah, daun-daun pohon mulai menguning di musim rontok, disorot cahaya mentari
tampak membentang merah bagai tabir api.
Sorot mata Lian Shia-pik seperti api membara mengawasi Siau Cap-it Long. Mengawasi golok pusaka yang
terkenal di dunia itu.
Pada zaman ini, di kolong langit, yakin tiada golok lain yang lebih tajam dibanding golok jagal rusa. Di dunia
ini, pasti tiada tangan yang dapat memainkan ilmu golok seperti yang dimainkan Siau Cap-it Long, begitu
menakutkan, begitu mengerikan.
Setiap insan persilatan pasti tahu akan hal ini.
Lian Shia-pik jelas juga tahu akan hal ini.
Dan sekarang, golok yang tajam luar biasa itu tengah tergenggam di tangan Siau Cap-it Long.
Siapa pun dia, berhadapan dengan lawan seperti ini, tak ingkar lagi pasti timbul rasa lakut, rasa ngeri dalam
hatinya, tapi tidak dengan Lian Shia-pik. Sebab sanubarinya dilembari keyakinan.
Sejak beberapa tahun lalu ia sudah punya keyakinan itu, ia percaya tiada tokoh mana pun di dunia ini yang
mampu mengalahkan dirinya.
Siau Cap-it Long adalah manusia biasa, dia pun tidak terkecuali. Maka ia amat tenang, hatinya mantap.
Dengan menatap tajam Siau Cap-it Long, maksudnya hanya ingin menambah tekanan bagi hati Siau Cap-it
Long. Dia menatap Siau Cap-it Long hanya ingin menikmati mimik Siau Cap-it Long menjelang ajal.
Serpihan cahaya akhir dari mentari senja tepat menyinari batang golok jagal rusa, sinarnya membias di
wajah dan mata Siau Cap-it Long.
Terasa oleh Lian Shia-pik dari sorot mata Siau Cap-it Long muncul cahaya yang aneh, cahaya cemerlang
yang tak mampu dilukiskan dengan kata-kata, cemerlang yang tiada duanya di dunia.
Pada detik sekilas itulah, keyakinan Lian Shia-pik mendadak meleleh, mendadak sirna seperti sisa salju di
musimn semi yang ditimpa terik mentari. Mendadak hatinya dirasuk rasa takut yang tak mampu dilukiskan
dengan kata-kata, rasa takut yang belum pernah ada sepanjang hidupnya.
Betapa hebat, betapa kuat rasa ketakutan, seberat sambaran sinar golok tajam itu. Dan pada detik-detik
yang menentukan itulah, Siau Cap-it Long melakukan perbuatan yang tidak pernah disangka oleh siapa pun,
mimpi pun tak pernah terbayangkan oleh siapa pun.
Siau Cap-it Long menurunkan goloknya. Meletakkan Kek-lok-to. Meletakkan Kek-lok-to yang luar biasa,
golok pusaka yang digdaya, golok sakti yang tiada duanya di dunia. Meletakkan di depan kaki Lian Shia-pik.
Di tempat dengan mudah sekali raih Lian shia-pik bisa menjamahnya.
Kejap lain, cahaya senja telah lenyap, kemilau golok itupun telah sirna, mendadak Siau Cap-it Long juga


Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghilang. Sebab dalam pandangan Lian Shia-pik sudah tiada Siau Cap-it Long, sudah tiada rasa takut. Tapi juga jelas
sudah tiada keyakinan.
Keyakinan jelas merupakan unsur terpenting untuk menundukkan lawan meraih kemenangan, tapi bagi
seorang pemenang, keyakinan itu sudah tidak bermanfaat lagi, sudah tidak penting lagi.
Sebab ia sudah memperoleh kemenangan. Apakah rasa kemenangan itu" Nikmat, puas, terangsang, riang
gembira atau mungkin kosong.
Sejenis rasa kosong yang hanya diresapi oleh seorang yang pernah meraih kemenangan.
Rasa kosong yang dirasakan Lian Shia-pik datang sekilas saja, sekejap goloknya memapas, sekilas sinar
menyambar. Rasa kosong yang jauh lebih mengerikan dibanding rasa takut itu sendiri.
Dia melihat Kek-lok-to.
Hanya melihat Kek-lok-to yang ditaruh di tanah depan kakinya, Kek-lok-to yang dapat ia ambil hanya dengan
sedikit membungkuk badan.
Dia tidak melihat Siau Cap-it Long.
Tak pernah terpikir dalam benaknya, yang benar-benar menakutkan, mengerikan bukanlah golok ini. Yang
benar menakutkan adalah Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long yang aneh, yang tak bisa dilukiskan, Siau Cap-it Long yang tiada duanya di langit, bumi
atau dimana saja.
Malam gelap pekat.
Lian Shia-pik hanya melihat kegelapan. Sepanjang hidupnya, hanya saat itulah yang ia rasakan paling gelap.
Lalu ia mendengar suatu suara yang aneh. Suara yang aneh, suara yang tak bisa dilukiskan dengan katakata,
suara yang hanya bisa ia rasakan dan ingin tumpahkan setelah mendengarnya.
Dia mendengar tulang kepala sendiri yang terpukul remuk.
* * * * * Rembulan. Bintang bertaburan.
Cahaya rembulan dan sinar bintang membias di muka Lian Shia-pik nan pucat pias, roman mukanya lebih
pucat dibanding putih mata Siau Cap-it Long.
Tiada orang bisa melukiskan mata Siau Cap-it Long, jelas takkan ada orang bisa menggambarkan
bagaimana bola mata Siau Cap-it Long saat itu.
Cahaya rembulan berkerlap-kerlip, bintang masih menyinari golok pusaka yang menggeletak di tanah.
Kek-lok-to masih berada di sana, Siau Cap-it Long sudah pergi.
Waktu Siau Cap-it Long pergi, tidak membawa nyawa Lian Shia-pik, hanya membawa harapan, bangga dan
kemenangan, harapan yang menjadi cita-citanya selama hidup.
Waktu berlalu ia hanya berkata, "Kau tidak boleh mati, karena aku masih berhutang kepadamu."
Kau tidak boleh mati. Aku pun pantang mati.
Hong Si-nio tak boleh ajal. Sim Bik-kun juga tak boleh gugur.
Tapi sejak zaman dahulu, sejak ribuan, laksaan tahun lalu, di dunia ini ribuan dan laksaan manusia,
memangnya siapa yang tidak bisa mati"
T A M A T
^