Bukit Pemakan Manusia 1

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 1


"Bukit Pemakan Manusia di http://cerita-silat.mywapblog.com
Karya : Khu Lung Saduran : Tjan ID Jilid 1 BAB KESATU Bukit ini merupakan salah satu antara "Sip ban-toa-san" sepuluh laksa
buah bukit yang ada di daratan Tionggoan.
Konon bukit ini jauh lebih berbahaya dan lebih tinggi serta lebih curam
jika dibandingkan dengan bukit Kau-leu-san yang merupakan
puncak paling berbahaya diantara Sip-ban-toa san, tapi berita ini susah
untuk dibuktikan. Masalahnya sukar dibuktikan adalah belum pernah ada orang yang bisa
mencapai puncak bukit itu. Bukit ini tidak bernama tapi penduduk disekitarnya memberikan suatu
nama yang mengerikan sekali bahkan turun temurun melarang anak
cucunya untuk mendekati bukit itu. Bukit tersebut mereka namakan . . . . Bukit pemakan manusia ! Bukit
bisa makan manusia " kedengarannya memang agak
janggal. Tapi kenyataannya bukit pemakan manusia ini benar-benar
bisa makan manusia, tidak percaya " Terserah ! Konon pada dua puluh
tahun belakangan ini, sudah ada beratusratus
orang dalam dunia persilatan yang tidak percaya dengan tahayul
atau mereka yang tidak puas dengan cerita burung atau mereka yang
tidak merasa ilmu silatnya sudah "top" berbondong- bondong
mendatangi bukit ini. Tapi kenyataannya, beratus-ratus orang jago persilatan itu ibaratnya
"batu yang kecemplung ditengah samudra" begitu masuk kedalam bukit
itu jejaknya lantas lenyap tak berbekas bahkan mayat merekapun tak
pernah berhasil ditemukan. Itulah sebabnya nama bukit pemakan manusia kian lama kian
bertambah termashur di kolong langit.
Selain pemakan manusia kebaikan apakah yang dimiliki bukit pemakam
manusia itu " Ada ! Disana terdapat tiga jenis benda yang langka sekali. Pertama
adalah pasir emas yang berada dibawah jurang, kedua
adalah semacam buah aneh dan ketiga adalah sejenis rotan yang
berbentuk sangat aneh pula. Buah aneh tersebut mempunyai manfaat bisa menambah kekuatan
kelelakian seseorang tentu saja benda itu merupakan bahan yang tak
boleh ketinggalan untuk membuat obat kuat penambah birahi nilainya
tak terhitung oleh jari tangan, apalagi setelah dikeringkan harganya bisa
mencapai ribuan tahil emas murni "
Ya. dimaksudkan Rotan aneh adalah sejenis tumbuh-tumbuhan yang
amat beracun bila dibakar akan menerbitkan asap merah yang tebal,
siapa saja yang mengendus bau tersebut segera akan roboh tak
sadarkan diri, racun ini jauh lebih hebat dari pada bahan racun apapun
yang dimiliki para jago Liok-lim. Bukan begitu saja rotan aneh ini masih memiliki manpaat serta
kegunaan lainnya lagi. Sedangkan kegunaan dari pasir emas sudah barang tentu diketahui
setiap orang siapa yang tidak hijau matanya melihat pasir menggunung
yang ternyata terdiri dari emas murni.
Justru karena didalam bukit pemakan manusia terdapat tiga macam
mustika yang amat merangsang keinginan orang maka walaupun amat
berbahaya dan tak pernah ada yang pulang dengan selamat, orang
persilatan masih saja berusaha untuk menyelundup masuk.
Hingga tiga tahun berselang dapat terbukti dengan jelas bahwa memang
tak ada manusia yang bisa pulang dengan selamat dari bukit tersebut,
semenjak itulah rasa ingin tahu orang-orang persilatan mulai dapat
dicegah. Hari ini ketika lewat tengah hari tiba2 diatas jalanan menuju kearah
bukit pemakan manusia muncul seorang penunggang kuda, tampaknya
orang inipun seorang dunia persilatan yang tidak percaya dengan
keangkeran bukit tersebut. Kuda tunggangan orang itu amat kurus dan amat mengenaskan sekali,
bulu-bulunya yang semula indah sekarang sudah menggumpal disana sini
bahkan susah untuk membedakan warna apakah kuda itu.
Dari sini bisa diketahui kalau kuda itu sudah lama tak pernah
dimandikan. Keempat buah kakinya kasar dan bengkak dengan bulu yang kotor,
begitu kurus kuda tersebut sehingga ibaratnya kulit pembungkus
tulang... Ketika melihat kearah penunggangnya ternyata jauh lebih mengenaskan
lagi ketimbang kuda tersebut. Jubah panjang yang dikenakan itu sudah kotor dengan debu,
sebenarnya baju itu berwarna biru muda tapi lantaran terlalu sering
terhembus angin dan tertimpa hujan warna dasarnya sudak luntur
sehingga tinggal sejenis warna yang sukar dilukiskan dengan kata2.
Ikat pinggangnya tidak terbuat dari kain melainkan berupa suatu tali
yang aneh sekali bentuknya, sepasang sepatunya mana dekil sol
sepatunya sudah robek lagi, sepantasnya kalau masuk ke tong sampah !
Kaos kaki warna putih itu sudah berwarna abu2 rambut kusut dan
kotor, pokoknya keadaan orang itu mengenaskan sekali.
Dia umur 20 tahun mukanya tampak segar merah dadu dan tidak
tampak berpenyakitan. Pemuda itu tampaknya memang sangat aneh padahal ia tidak mirip
dengan seorang jago persilatan kalau dibilang sesungguhnya maka dia
lebih mirip dengan seorang sasrawan rudin yang sedang melakukan
perjalanan jauh. Kalau bukan orang persilatan mau apa dia jauh-jauh datang ke bukit
pemakam manusia yang berbahaya itu "
Apakah dia sudah bosan hidup " Atau ingin menghantar jalan
kematiannya sendiri " Jawabnya belum ada yang tahu ! Akhirnya kuda kurus itu semakin
mendekati mulut masuk bukit pemakam manusia itu. Pada saat itulah dari sakunya pemuda itu mengeluarkan sebuah peta dan
dibentangkan diatas kuda smbil meneliti peta tersebut ia sering
mendongakan kepalanya untuk mencocokan dengan kenyataan yang
sedang dihadapinya. Akhirnya pemuda itu manggut2 gumamnya:
"Peta ini cukup jelas dan cermat tak salah lagi sudah pasti bukit ini...!"
Didengar dari gumaman ini rupanya dia memang sengaja hendak
berkunjung ke bukit itu. Kemudian sambil menyimpan kembali peta tersebut kedalam sakunya, ia
bergumam lagi. "Menurut perhitungan, aku sudah dua hari lebih cepat dalam perjalanan,
bila kulewati bukit ini maka perjalanan akan kupersingkat dengan tiga
hari lagi, itu berarti dengan sisa kelebihan sebanyak lima hari, mungkin
lebih banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan!"
Dari kata-kata ini, jelaslah mengapa pemuda itu melewati bukit
pemakan manusia. Ternyata dia lewat dibukit tersebut karena ingin memotong jalan dan
mempersingkat waktu perjalanannya, karena ada urusan penting maka
sepanjang jalan ia membedal terus kudanya dan sekarang ingin
mempersingkat waktu dengan dua hari.
Tak heran kalau pemuda itu meski bukan seorang jago persilatan
ternyata berani masuk ke bukit pemakan manusia
Dalam waktu singkat, pemuda itu sudah menembusi tanah perbukitan
yang terjadi dengan pepohonan serta batu karang yang berserakan di
mana-mana. Tak lama kemudian sampailah pemuda itu didepan sebuah batu
peringatan yang sangat besar. Diatas batu peringatan itu tertera beberapa huruf yang amat jelas
sekali. Pemuda itu mendekatinya dan membaca tulisan itu: "Batu perigatan
ini terletak setengah li dari mulut bukit, mulai
dari sini bila masuk kedalam itu berarti anda telah memasuki wilayah
tanah perbukitan kami, waktu itu ingin mengundurkan diri lagi akan
sulit." "Jalan kecil disebelah kanan tugu ini menghubungkan tempat ini dengan
jurang mestika yg menghasilkan pasir emas, sepuluh li dari sini jurang
iiu dinamakan jurang pemikat manusia artinya emas murni dapat
memikat manusia. "Sebelah kiri jalan menghubungkan tempat penghasil buah khiko disana
terdapat kebun buah yang penuh dengan pohon buah terserah anda
akan memetik berapa banyak buah yang tumbuh disana tapi hati-hati
dijalan." "Jalan lurus kedepan merupakan jalan menanjak keatas bukit, tempat
ini jarang dilewati orang karena semak yang lebat dan tanah yang
gersang, jalan ini bisa menembusi sampai tempat penghasil rotan aneh
ingat ! Jangan menimbulkan kebakaran bisa keracunan !
"Diatas bukit ini hidup pula sekelompok monyet sakti dihari hari biasa
mereka jarang berkeliaran tapi berkekuatan dahsyat dapat merobek
tubuh manusia dan binatang berhati hatilah bila bertemu !"
Membaca sampai disitu pemuda itu berhenti sejenak dan bergumam:
"Aku hanya bermaksud menembusi bukit ini untuk menyingkat jalan itu
berarti jalan tengahlah yang harus kupilih !"
Setelah bergumam pemuda itupun membaca lebih jauh: "Teman teman
sekalian pada saat ini lohu hendak memperingatkan kepada kalian,
setiap benda yang ada dan tumbuh diatas bukit ini bukanlah benda2
yang tak bertuan." "Bukit ini milik lohu, semua benda dan tumbuhan yang dihasilkan diatas
bukit ini tentu saja jadi milik lohu, karena itu lohu mempunyai tugas
dan kewajiban untuk melindungi bukit ini !"
"Itulah sebabnya lohu tak akan membiarkan harapan kalian tercapai, ku
peringatkan kepada kalian lebih baik pulang saja, putarlah badanmu dan
turunlah dari bukit ini. "Kalau tidak entah kalian jalan ke kiri atau kekanan akan langsung naik
keatas bukit, bila berani melewati sepuluh kaki dari tugu ini maka kalian
akan mampus. karena sudah melangkah masuk kedaerah terlarang lohu.
"Barang siapa tidak menuruti nasehat lohu dan bersikeras memasuki
daerah terlarang ini, entah dia laki laki atau perempuan, tidak perduli
apa alasannya, lohu akan menghukum mati dirinya tanpa ampun
sehinggu mayatnya tak berwujud. "Pulanglah, sekarang masih belum terlambat, kalian harus berpikir yang
tenang, bila sampai mati disini, ayah ibu, anak istrimu yang ada dirumah
tentu akan merasa sedih sekali pulanglah !"
Selesai membaca batu peringatan itu pemuda tersebut berdiri tertegun
dan termangu-mangu seperti orang bodoh.
Ia berpikir sebentar kemudian menggelengkan kepalanya berulang kali:
"Tidak dapat diterima! sama sekali tak dapat diterima ! sekalipun bukit
ini menjadi milik mu, meski semua benda disini milikmu kau juga tidak
berhak untuk menghukum mati orang-orang yang datang mencuri
barang milikmu." "Apalagi masih ada banyak diantara mereka yang tidak berniat
untuk-mengincar pasir emas buah hi ko dan rotan aneh seperti aku ini,
apakah perbuatanku ini juga ter masuk melanggar hukum ?"
"Dikolong langit tak ada manusia yang tak tahu aturan seperti kau tidak
bisa diterima ! sekarang aku lagi ada urusan penting yang harus tiba
ditempat tujuan sebelum waktunya, aku bertekad akan memotong jalan
melewati bukit ini !" Sehabis berkata tanpa ragu-ragu lagi ia melompat naik keatas kudanya
dan berjalan melalui jalan tengah bukit.
Sepuluh kaki sudah lewat... Baru mencapai kejauhan sepuluh kaki
dari batu peringatan tadi disana muncul kembali sebuah batu peringatan yang tingginya satu kaki
lebih. Diatas batu peringatan tu tertera beberapa huruf besar yang berwarna
merah darah: "Pulanglah, kalau maju kedepan lagi akan mampus !" Sekali lagi
pemuda itu tertegun, kemudian gelengkan kepalanya,
menghela napas dan menuntun kudanya untuk meneruskan perjalanan
Mendadak ia berhenti sejenak, kemudian mendongakkan kepalanya
bergumam: "Betul, diatas batu peringatan, barang siapa berani maju kedepan akan
mati, tapi tidak mungkin bagiku untuk berbalik lagi, semuanya sudah
terlambat, kalau urusan sampai terbengkalai aku sendiripun tak bisa
hidup." "Apalagi kehidupanku di dalam dunia ini masih panjang, kalau bertemu
denggan mara bahaya lantas mundur, apa pula yang bisa kulakukan lagi
?" "Bagaimana mungkin aku bisa hidup tegak diantara kehidupan manusia
yang penuh dengan duri dan rintangan?"
Berbicara sampai disini, dia lantas menarik kudanya dan melanjutkan
kembali perjalanan naik keatas bukit.
Kali ini dia melewati batu peringatan bertulis huruf merah itu tanpa
berpaling lagi, dengan dada dibusungkan dia maju kedepan.
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng *** ANGIN kencang tiba tiba menghembus lewat, daun
dan pasir beterbangan diangkasa mendadak cuaca yang semula berubah menjadi
mendung gelap. Angin yang menghembus makin kencang membawa udara yang amat
dingin sekali, pemuda itu agak menggigil lalu mendongakkan kepalanya
melihat cuaca, melihat awan gelap di udara serunya kembali:
Apalagi dalam keadaan seperti ini, selain ada urusan besar yang segera
harus diselesaikan, apalagi sedang berada diatas tanah perbukitan yang
curam dan berbahaya sungguh membuat orang terasa jemu.
Pemuda itu mengerutkan dahinya, kemudian melanjutkan perjalanan
dengan cepat. Rambut, alis mata dan wajahnya sudah basah oleh butiran air hujan.
selain bajunya basah kuyup seperti baru tercebur ke dalam kolam
semakin mengenaskan lagi. Dalam waktu singkat inilah cuaca berubah menjadi gelap gulita.
Dalam kegelapan seperti ini susah bagi pemuda itu untuk melihat
benda yang berada Iima kaki yang di hadapannya, tapi sambil
membusungkan dadanya pemuda itu melanjutkan terus perjalanannya.
Angin dan air hujan telah membuat badannya menggigil tapi pemuda itu
tetap meneruskan perjalanannya selangkah demi selangkah menelusuri
jalan setapak yang licin. Hujan makin lama semakin deras, seolah olah ditumpahkan dari atas
langit, pemuda itu mulai kedinginan badannya menggigil keras dia
menengok kesana kemari berusaha menemukan tempat yang bisa
dipakai untuk berteduh dari timpaan air hujan.
Tapi disana hanya ada tanah berbatu yang gersang, pada hakekatnya
sulit untuk menemukan yang bisa untuk berteduh.
Untunglah Thian masih maha pengasih, dalam keadaan basah kuyup
dan kedinginan itu dia menemukan sebuah cahaya lampu bersinar dari
balik bebatuan disebelah kanan jalan.
Cahaya lentera itu banyak, ketika di hitung secara diam-diam ternyata
jumlahnya mencapai puluhan buah lebih, sekalipun pemuda itu merasa
keheranan dengan cahaya lentera itu, tapi waktu itu tiada pilihan lain
baginya. Ada cahaya lampu berarti ada rumah penduduk ia lalu menuntun
kudanya kesana. Tak lama kemudian, sampailah pemuda itu di bawah lampu lentera yang
pertama. Ia mendongakkan kepalanya memandang lentera yang digantungkan
tinggi diatas tiang itu, wajahnya tampak berseri.


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata lampu lentera itu semuanya berjumlah tiga puluh enam buah,
jarak antara lentera yang satu dengan lainnya kira kira mencapai tiga
kaki lebih, oleh karena digantukan pada tiang yang sangat tinggi maka
sinar lampunya sudah dapat terlihat dari kejauhan sana.
Dengan lentera2 tersebut, sekalipun seorang yang sedang berjalan
ditengah hujan deras, atau hujan salju atau kabut tebal, berjalan
kakipun bisa melihat jelas jalan gunung itu dan tak sampai terjerumus
kedalam jurang. Meminjam cahaya lentera itu, lama-lama pemuda itu menjumpai pintu
gerbang sebuah perkampungan nan jauk disebelah sana, sekarang dia
baru mengerti, rupanya deretan lentera itu sengaja diatur oleh pemilik
perkampungan itu sebagai penerangan jalan.
Tanpa ragu lagi pemuda itu menuntun kudanya dan mendekati
perkampungan tersebut. Ketika tiba dipintu ia malah menjadi sangsi, ternyata suasana dalam
perkampungan itu justru gelap gulita tak tampak setitik cahaya
lenterapun, apalagi sesosok bayangan manusia, sebaliknya pintu
gerbang terbuka lebar-lebar. Sekalipun demikian pemuda itu enggan untuk melangkah masuk
kedalam, bukankah masuk kerumah orang tanpa permisi adalah sesuatu
perbuatan yang tak sopan. Waktu ini hujan turun semakin deras, udara terasa dinginnya bukan
kepalang, setelah berpikir sebentar, dia lantas berteriak keras:
"Ada orangkah disini ?" Tiada jawaban ! tak terdengar ada sahutan...
Butiran air hujan menetes dari rambutnya melewati tengkuk dan
membasahi punggung, sekujur tubuh pemuda itu kembali mengigil
sepasang giginya saling bergemerutukan.
Ia sudah tak sanggup untuk menahan rasa dingin dan lapar yang
menyerang tubuhnya, kemudian mengintip kedalam ternyata disebelah
kiri pintu gerbang bangunan tersebut terdapat pula tiga buah rumah
batu. Rupanya ruangan batu itu khusus digunakan untuk menampung orang
kebetulan lewat disana, tanpa ragu lagi pemuda itu menuntun kudanya
dan menambatnya didepan rumah. Baru saja akan melangkah masuk dalam ruangan satu ingatan kembali
melintas dalam benakaya ia lantas berteriak:
"Ada orangkah disana " dia ada orang dalam rumah ini ?" Belum
juga terdengar suara jawaban. Maka dia berteriak lebih
jauh: "Aku yang muda kemalaman dijalan, apa lagi ketimpa hujan yang
begini derasnya, badanku sudah penat dan lelah maaf kalau terpaksa
aku yang muda akan masuk sendiri ke dalam rumah !"
Pemuda itu memang seorang yang sopan, sekalipun berada dalam
keadaan yang demikian sebelum masuk kerumah orang dia tak lupa
untuk memberitahukan dulu maksud kedatangannya, dari sini bisa
diketahui bagaimanakah wataknya dihari-hari biasa.
Demikianlah, setelah berteriak diapun mendorong pintu dan melangkah
masuk kedalam rumah batu itu. Suasana didalam rumah batu itu gelap gulita, setelah meraba kesana
kemari sekian lama nya ia baru berhasil menemukan batu api dan
membuat api. Berkat cahaya api redup pemuda berhasil menemukan sebuah lilin di
meja ketika lilin itu telah disulut maka suasana dalam ruangan itu baru
kelihatan jelas. Pelbagai benda terdapat didalam ruangan itu disudut ruangan malah
terdapat setumpuk kayu kering cuma baik itu ranjang atau kursi meja
dan lantai semuanya sudah dilapisi dengan debu yang sangat tebal.
Ia mengerutkan dahinya lalu lepaskan jubah panjang itu. Dasar
masih muda dan kurang pengalaman ternyata pemuda itu
sama sekali tidak menaruh curiga dengan tempat sekitarnya.
Bayangkan, ditengah tanah yang begitu gelap terpencil dan
bahaya tiba2 dijumpai sebuah perkampungan yang begitu besar nan
megah apakah hal ini bukan suatu yang pantas dicurigai "
Seandainya dalam perkampungan itu ada penghuninya mungkinkah
mereka tidak mendengar dengan teriakan2 tadi " Tambah pula debu yang
begitu tebal dalam ruangan tersebut seharusnya pemuda itu akan
bertambah waspada. Tapi pemuda itu rupanya tidak berpikir sampai kesitu, ia mengeluarkan
sapu tangannya yang sudah kotor untuk membersihkan dinding dari debu
kemudian menggantungkan jubahnya yang basah disana.
Baru saja jubah itu digantungkan mendadak dari belakang tubuhnya
terdengar seseorang menegur dengan suara dalam:
"Hay bagaimana caramu masuk kemari ?" Sedemikian mendadaknya
teguran itu berkumandang saking terperanjatnya seluruh badan pemuda itu, sampai menggigil keras."
Menanti dia membalikan badannya, orang itu sudah berseru
kembali: "Hey kau bisu "!" Tak bisa menjawab "!" Orang itu adalah seorang
kakek yang memakai baju tidak terlalu
panjang juga tidak terlalu pendek, ditangannya membawa lentera.
Dengan sikap yang hormat pemuda itu segera memberi hormat
kepada kakek tersebut kemudian katanya: "Harap suka dimaafkan
berhubung aku yang muda kehujanan dijalan lagi pula tersesat maka terpaksa aku ingin menumpang semalam
ditempat ini...." Belum habis ia berkata, dengan tak sabar kakek itu telah menukas:
"Siapa yang menanyakan soal itu kepadamu " Aku hanya bertanya
bagaimana caramu masuk kemari "!"
Sekali lagi pemuda itu memberi hormat sahutnya: "Aku yang muda
sudah berteriak beberapa kali didepan pintu
gerbang perkampungan ini berhubung tak ada yang menjawab aku
sudah kedinginan dan kelaparan maka terpaksa..."
Dengan mata mendelik kakek menukas: "Jadi kalau tada jawaban dari
tuan rumah kau boleh sembarangan masuk kemari " Aku mendengar teriakanmu itu kalau
tidak ku dengar teriakanmu tadi mau apa hujan2 begini aku datang
kemari " sekalipun kau sudah berteriak berulang kali memangnya aku
harus menjawab teriakanmu itu ?"
Mengapa kau tidak berpikir untuk memasang lentera pun memakan
waktu yang lama" "Sekarang aku sudah keluar juga sudah bertemu denganmu apa yang
hendak kau katakan kini " Hayo cepat utarakan saja maksud mu secara
ringkas makin cepat makin baik."
"Aku yang muda hanya ingin menumpang satu malam saja di
perkampungan ini !" kata pemuda itu cepat.
"Tak bisa" jawab kake itu sambil menarik muka "cepat kenakan
pakaianmu, tuntun kudamu dan keluar dari sini ! Cepat !"
Pemuda itu tertegun, lalu sekali lagi ia memberi hormat seraya berkata:
"Lotiang, kabulkanlah permohonan aku yang muda ini, hanya semalam
saja!" Kakek itu menggelengkan kepalanya berulang kali, sahutnya dingin:
"Kau tak usah banyak berbicara lagi, hayo pergi, cepat-cepat pergi dari
sini !" Pemuda itu kelihatan agak marah, tapi setelah berpikir sebentar sambil
menahan hawa amarahnya dia berkata:
"Tolong tanya Lotiang, apakah Cengcu perkampungan ini ada " Aku
yang muda ingin menyambanginya..."
Pepatah kuno pernah bilang: Raja akhirat gampang diajak berbicara,
setan cilik susah di ajak koropromi.
Pemuda itu memang cukup cerdik, asal bisa berjumpa dengan pemilik
perkampungan ini maka soal menumpang semalam mungkin akan lebih
mudah untuk diselesaikan. Siapa tahu Kakek itu segera berseru: "Sudah mampus, Cengcu
perkampungan ini sudah mampus !" Sekalipun pemuda itu tahu kalau
ucapannya tak jujur, tapi dengan perasaan apa boleh buat terpaksa ia kenakan kembali bajunya
yang basah kuyup itu mohon untuk terakhir:
"Lotiang, ditengah bukit yang liar semacam ini, apalagi ditengah malam
yang sedang hujin, kemana aku harus, pergi " mana tubuh ku sudah
penat sekali, apa salahnya kalau aku yang muda menumpang semalam
saja di rumah batu ini "!!"
"Gunung yang gersang ?" dengus kakek itu, "kalau sudah tahu bukit ini
bukit gersang yang miskin, mau apa kau datang kemari "
sudah tahu malam ini hujan deras siapa suruh kan datang kemari di
tengah malam yg hujan ?" "Kau mau penat atau tidak apa urusan nya denganku " Rasakan sendiri
kepenatan mu itu ! Sekali lagi kuberitahukan padamu kau tak dapat
tinggal dirumah batu ini aku bi sa mengusirmu percaya atau tidak
terserah padamu, pokoknya aku sudah memberi tahukan hal ini
padamu lebih dulu !" Lama kelamaan pemuda itu naik darah juga, dasar pemuda yang
berdarah panas, dia lantas berkata:
"Lotiang, aku yang muda akan memohon dengan cara baik-baik,
akupun hanya minta semalam saja."
"Sudah kukatakan tadi." tukas si kakek ketus, "kau tak akan boleh
menumpang disini, sekalipun kau ulangi perkataanmu itu beberapa ribu
kali lagi, jawabanku tetap sama !"
"Tapi kalau bersedia tinggal disini selama hidup, bisa saja kita bicarakan
lagi !" Pemuda itu tidak berhasil menangkap arti lain dalam perkataan kakek
itu, dalam gusar nya tanpa berpikir lagi ia lantas mendengus dan keluar
dari rumah batu itu dengan langkah lebar.
Hujan semakin deras, terguyur kembali oleh air hujan kemarahan
pemuda agak mereda, tiba-tiba ia berhenti didepan pintu gerbang
sambil berkata: "Lotiang, benarkah tak bisa dirundingkan lagi!" "Tiada yang bisa
dirundingkan lagi !" bentak kakek itu. Pemuda tersebut segera
menghela napas. "Aaaai... langit begini gelap hujan deras, andainya
aku terpeleset ditengah jalan dan terjerumus kedalam jurang hingga mati bukankah hal
ini... Lotiang apakah..." Sambil mendengus kakek itu kembali menukas:
"Aku lebih senang melihat kau mampus diluar dari pada membiarkan kau
masuk kedalam perkampungan ini !"
Kali ini kemarahan pemuda itu tak bisa dibendung lagi dia berseru pula
keras2 "Bagus dengan usia lotiang yang begitu tua, memangnya kau tak
punya anak ?" Kakek itu cuma melotot besar tanpa menjawab pelan2 ia mulai
menutup pintu gerbang perkampungan tersebut.
Pada saat inilah mendadak mendengar seseorang berseru dengan suara
nyaring. "Beng Seng, persilahkan kongcu itu masuk ke ruangan untuk minum
teh...!" Mendengar teriakan itu meski belum melihat orangnya tapi pemuda itu
tahu kalau dalam perkampungan tersebut masih ada orang yang lebih
berkuasa dari pada kakek ini, sekulum senyuman segera menghiasi
ujung bibirnya. Sedangkan kakek itu segera berubah paras mukanya setelah mendengar
ucapan tsb diam2 ia menggertakkan giginya menahan diri.
Terdengar suara nyaring tadi kembali berkumadang: "Bawakan kuda
milik kongcu itu !" Beng Seng atau sikakek itu segera men-depak2
kan kakinya dengan mendadak serunya kepada pemuda itu dengan lirih : "Sekarang
kau boleh bersenang hati, ayo masuk !" Ternyata pemuda itu cukup
berhati mulia sikapnya terhadap Beng Seng masih tetap menghormat katanya: "Tak usah merepotkan
lotiang biar aku menuntun sendiri kudaku
ini. !" "Hmm... tak usah berlagak banyak urusan" seru Beng Seng mendongkol
"selama hidup jangan harap kau bisa nunggang kuda ini lagi !"
Seraya berkata dia lantas merampas tali les kuda dari tangan pemuda,
kemudian sambil menunjuk kearah bangunan besar didepan sana
katanya lagi dengan suara dingin: "ltulah ruang tengah, kau toh punya kaki sendiri, aku segan untuk
menghantarmu kesitu !" Selesai berkata, tanpa menutup pintu lagi Beng Seng menuntun kuda
kurus milik pemuda itu dan pelan-pelan berjalan menuju kearah sebelah
kanan. Tiba-tiba pemuda itu berseru: "Lotiang, harap tunggu sebentar,
barang2 milik aku yang muda masih tertinggal diatas kuda !" Dengan cepat Beng Seng
menggelengkan kepalanya berulang kali. "Mulai saat ini kau sudah melangkah menuju langit, kuda kurus
dan bekal rongsokmu ini jangan bisa kau gunakan lagi, tak usah kuatir
Tak bakal hilang...!" "Sambil berguman dia lantas beranjak pergi dan sama sekali tidak
menggubris pemuda itu lagi. Sambii menggelengkan kepalanya berulang kali dengan perasaan apa
boleh buat pemuda itu berjalan sendiri menuju ke arah bangunan besar
tersebut.... Baru saja kakinya melangkah naik ke atas undak-undakan batu, pintu
gerbang yang terbuat dari kayu itu pelan-pelan membuka sendiri,
menyusul kemudian terdengar ada orang berseru dari dalam:
"Silahkan masuk Kongcu !"
Suara ucapan kali ini jauh berbeda dengan suara yang telah
berkumandang dua kali tadi, jelas ucapan tersebut bukan berasal dari
orang yang sama. Pemuda itu melangkah masuk ke dalam ruangan pelan-pelan menutup
kembali. Udara dalam ruangan itu hangat dan nyaman, sekali pun perabotnya
tidak kelihatan mewah, tapi amat bersih dan tak berdebu.
Anehnya ternyata di sana tak tampak sesosok bayangan manusia,
suasana amat hening. Pemuda itu mengerutkan dahinya dengan sorot mata heran dia
memandang sekeliling tempat itu akhirnya terhenti diatas bangku
berpunggung tinggi yang terletak di tepi perapian.
Tiba2 bangku itu berputar menghadap kearah pemuda sekarang baru
terlihat jelas ternyata sang tuan rumah duduk diatas kursi karena
punggung kursi itu amat tinggi hingga tubuh orang itu tak nampak dari
belakang. Baru pemuda memberi hormat serunya: "Tengah malam begini aku
yang muda..." Tuan rumah tidak bangkit untuk balas hormat dia cuma mengangguk
sambil menukas. "Bila ada persoalan harap kongcu membicarakan nanti saja, sekarang
lepaskan dulu bajumu yang basah, tariklah bangku dekat perapian
dimeja ada air teh dan boleh mengambil sendiri."
Pemuda itu mengiakan, tidak sungkan-sungkan lagi ia melepaskan
bajunya yang basah, mengambil air teh dan menarik bangkunya dekat
perapian persis dihadapan tuan rumah.
Sekarang pemuda itu baru bisa mengamati wajah sang tuan rumah
dengan seksama, dia adalah seorang kakek yang berwajah pucat,
wajahnya halus dan mulia, jubahnya berwarna gelap.
Dari batas pinggang sampai ke bawah kakinya ditutup dengan sebuah
selimut tebal bangku yang diduduki bukan saja dapat berputar-putar,
ternyata ada rodanya juga yang bisa digunakan untuk maju mundur.
Agaknya tuan rumah itu tahu kalau pemuda tersebut sedang
memperhatikan bangku berodanya, dia lantas tersenyum, sambil
menuding keatas kakinya dia berkata:
"Lohu Beng Liau-huan, tahu ini berusia enam puluh lima tahun, pada


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua puluh tahun berselang karena suatu peristiwa telah kehilangan
sepasang kakiku hingga kini menjadi cacad seumur hidup !"
"Sungguh beruntung Beng Seng pelayan tua ku itu pandai membuat
kerajinan tangan, ia telah membuat sebuah kursi beroda semacam ini
sehingga aku bisa duduk atau berbaring atau berputar atau maju
mundur dengan sekehendak hatiku !"
Mendengar perkataan itu, pemuda tersebut buru-buru memperkenalkan
diri, katanya: "Aku yang muda bernama Sun Tiong-Io berasal diri Hoo-pak, karena
tersesat dan menjumpai hujan deras, terpaksa harus mengganggu
ketenangan cengcu dengan memohon kemurahan cengcu untuk
menumpang semalam saja, besok pagi..."
"Kongcu kau tak usah sungkan, tentu saja lohu tak akan menampik
keinginanmu itu." kata Beng Liau-huan sambil tersenyum.
"Oooh....cengcu sungguh baik, aku yang muda benar-benar amat
berterima kasih." Setelah berhenti sejenak, lanjutnya: "Bila cengcu beristirahat silakan..."
Pada saat itulah, tiba-tiba pintu ruangan dibuka orang dan Beng Seng si
kakek tadi muncul kembali. Begitu melihat kemunculan Beng Seng dengan cepat Beng Liau- huan
segera berseru: "Beng Seng, turunlah kedapur untuk menyiapkan nasi, sayur dan arak,
malam ini aku sedang gembira hati, akan kutemani Sun kongcu untuk
minum beberapa cawan arak sambil bercakap-cakap."
Sikap Beng Seng terhadap majikannya amat hormat sekali, dia segera
mengiakan. "Budak segera menyiapkan." Kemudian sambil memandang sekejap
ke arah Sun Tiong-lo, katanya kembali: "Cengcu coba kau lihat keadaannya! Bagai mana
kalau kita ambil pakaian agar Sun kongcu tukar bajunya yang basah lebih dulu ?"
"Betul-betul." seru Beng Liau-huan sambil manggut2 tapi katanya
kemudian, "tidak, kau harus masakan air panas agar Sun kongcu
membersihkan badan lebih dulu, kemudian tukar pakaian dan
mempersiapkan hidangan, lebih cepat lebih baik."
Sun Tiong-lo malah merasa rikuh sendiri cepat tampaknya : "Aaah....
tidak usah repot-repot, bagaimanapun juga aku yang
muda sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini..." "Kongcu, kau sudah
terbiasa, tapi majikan kami tidak biasa
dengan bau badanmu itu !" Ucapan tersebut kontan saja membuat
paras Sun Tiong-lo berubah jadi merah padam karena jengah, sedangkan Beng-Seng
selesai berkatta segera berlalu dari situ, tak usah ditanya lagi, sudah
pasti ia sedang pergi melakukan persiapan seperti dikatakan tadi.
Sambil tertawa Beng Liau-huan berkata: "Beng Seng pelayan tuaku
memang berwatak keras tapi jujur, harap kongcu jangan merasa tersinggung !" "Aaah... kenapa cengcu
harus berkata demikian " yang mudalah
yang bersalah..." Setelah hening sejenak, Beng Liau-huan lantas mengalihkan pokok
pembicaraannya itu ke soal lain, katanya:
"Kongcu, bukit ini berbahaya dan penuh ancaman jiwa, mengapa kau
datang kemari?" Sun Tiong-Io segera menghela napas. "Hm.. terus terang kukatakan
sesungguhnya empeku jadi seorang pembesar daerah tapi berhubung ia sudah menyinggung
perasaan atasannya kini terdesak posisi terjepit, aku yang muda khusus
berangkat dengan maksud mencarikan akal menolong empeku ini,
berhubung waktu amat terbatas, maka aku memutuskan untuk potong
jalan..." Sambil menggelengkan kepalanya Beng Liau-huan menghela napas
selanya. "Kongcu, kendatipun dengan menembusi bukit ini paling tidak kau akan
menyingkat jalan sejauh 150 li tapi bukit ini curam dan bahaya, binatang
buasnya banyak bila sampai tertimpa musibah disini urusanmu semakin
terbangkalai." Sun Tiong-Io ikut menggelengkan kepalanya."
"Siapa bilang tidak, tapi rasanya menyesal juga sudah terlambat."
Berbicara sampai disini, suasana jadi hening dan keduanya jadi
bungkam. Selang sesaat mendadak Sun Tiong-lo berkata lagi. "Cengcu
apa sebabnya kau mendirikan perkampungan diatas
bukit curam dan bahaya?" Beng Liau huan tertawa getir. "Aaai...
panjang sekali ceritanya, kongcu bukan orang persilatan,
sekalipun lohu terangkan belum tentu kongcu mengerti yang jelas nama
kedudukanlah yang membuat aku bernasib begini."
Sun Tiong lo termenung sebentar lalu berbicara kesoal lain.
"Cengcu berdiam ditempat yang besar tentunya banyak anggota
keluargamu, bagaimanakah cengcu mengatasi masalah sandang pangan
untuk anggota keluargamu ?" Beng Liau huan menundukkan kepalanya rendah-rendah, dengan sedih
ia menjawab. "Aii... tempo dulu memang anggota perkampunganku ini amat banyak
tapi kini hanya tinggal lohu bersama pelayanku saja!"
Sun Tiong lo jadi tertegun, serunya Iagi. "Kalau memang begitu
kenapa cengcu masih berdiam disini"
Kenapa tidak berpindah saja ke tempat lain ?" Sambil menuding
sepasang kakinya yang cacad itu, Beng Liau
huan berkata. "Sepasang kakiku sudah cacad, usiaku juga telah lanjut,
mana bisa aku ke tanah perbukitan ini ?" "Cengcu sekarang aku tak dapat
menolongmu, tapi bila urusan empekku selesai, pasti kubawa beberapa orang pembantu buat
menjemput mu kegunung." "Maksud baik kongcu kuterima dihati saja." kata Beng Liau huan. "Tapi
lohu membatalkan maksud tersebut, aku serta pembantu ku
sama-sama sudah tua, walau bisa turun dari bukit tersebut juga sia- sia
saja." "Semua perkataan yang telah kuucapkan pasti akan kulaksanakan dengan
sesungguh hati, lain waktu aku pasti akan datang kembali ke sini." kata
pemuda itu serius. Tiba-tiba Beng Liau-huan mendongakkan kepalanya, perasaan terima
kasih yang amat aneh melintas diatas wajahnya.
Melihat itu Sun Tiong-lo segera bertanya: "Apakah cengcu tidak
percaya dengan perkataanku yang muda?"
Beng Liau-huan menggelengkan kepalanya berulang kali, mendadak
sekujur badannya menggigil keras, cepat dia mengalihkan
pembicaraannya ke soal lain, katanya:
"Kongcu, bagaimana kalau persoalan ini dibicarakan nanti saja ?"
Sun Tiong-lo manggut-manggut. "Baiklah, bagaimanapun aku yang
muda memang sudah bertekad bulat, dibicarakan nantipun tidak mengapa." Sementara itu pelayan tua
Beng Seng telah muncul kembali dalam ruangan, kepada Sun Tiong-lo segera ujarnya: "Air panas untuk
membersihkan badan serta baju bersih telah
disiapkan semua, kongcu jalan sini terus belok kanan, ruangan pertama
itulah tempatnya, mari!" Sun Tiong lo berterimakasih lalu beranjak. Setelah pemuda itu pergi,
mendadak bilik di belakang tempat perapian itu berputar lalu tampak sebuah pintu rahasia, seseorang
berdiri angker dimuka pintu rahasia itu.
Tapi karena orang itu berada dilorong rahasia, maka wajahnya tidak
terlihat jelas. Waktu itu Beng Seng berdiri menghadap kedinding perapian lantas saja
ia membalikkan tubuh pura-pura membersihkan meja memakai kain
kumal. Sedangkan Beng Liau huan telah memutar kursinya menghadap sejajar
pintu rahasia tersebut. Terdengar orang yang berada dilorong rahasia itu mendengus dingin,
sambil berseru: "Beng Seng, rupanya kau bosan hidup ?"
Beng Seng sipelayan tua itu segera membalikkan tubuhnya menghadap
kearah lorong rahasia lalu sahutnya ketus:
"Benar, aku bosan hidup, kau bisa apa ?"
"Budak bajingan, kau anggap lohu tak bisa membunuhmu?" seru orang
itu naik pitam. "Hmm..." Aku tidak melakukan kesalahan apa2, kau memangnya bisa
membunuh aku?" "Beng Liau huan!" bentak orang dalam lorong rahasia itu marah sekali.
"Kalau budak bajinganmu banyak bicara, lohu lebih suka menerima
hukuman didepan San cu daripada tak menyayat kulit badannya
hidup2!" Ketika Beng Liau huan menyaksikan Beng Seng masih akan berbicara
lagi, dengan cepat ia mencegah. "Beng Seng, kularang kau untuk berbicara lagi !" "Baik, budak
menerima perintah !" Beng Seng menundukkan
kepalanya rendah2. Beng Liau huan miringkan kursinya kearah pintu
rahasia itu lalu berkata. "Chin congkoan, lohu bertanya, apa yang hendak kau lakukan
terhadap Sun kongcu ini?" "Tentu saja seperti ke 238 orang yang lalu."
jawab Chin congkoan ketus. Beng Liau huan segera berkerut kening. "Chin
congkoan, dengan kepandaian silat milikmu, seharusnya
bisa kau lihat kalau Sun kongcu bukan seorang jago persilatan, dia tak
lebih hanya seorang pelajar rudin !"
"Aku tahu !" "ltulah dia, kalau memang dia bukan orang persilatan,
dan lagi juga bukan datang karena mengincar ketiga macam benda mustika
yang berada dibukit ini, apakah congkoan tak bisa membuka jalan dan
memberi jalan kehidupan baginya ?"
Chin congkoan segera tertawa ter-bahak2.
-Haah... haaahh... Beng cengcu, kau mintakan maaf baginya ?" dia
mengejek. "Empeknya terlibat dalam kasus yang pelik, dia lewat bukit ini cuma
bermaksud buat potong jalan, agaknya congkoan juga..."
"Beng Liau huan, kau harus tahu !" bentak Chin congkoan bernada sinis,
"tempat ini sudah bukan perkampungan Beng keh sancengmu dulu lagi,
selembar nyawa anjingmu itu pun hampir tercabut dua puluhan tahun
dulu." Beng Liau huan tertawa getir. "Jika perkampungan ini masih
merupakan Beng keh san ceng ku dulu, buat apa lohu musti memohon kepadamu, betul lohu memungut
kembali nyawaku ini, tapi bukan memungutnya dari tanganmu!"
"Beng Liau huan!" bentak Chin congkoan. "lohu peringatkan dirimu, tadi
san cu telah kirim kabar bahwa dia keluar gunung sebab ada urusan,
maka lohu mempunyai kekuasaan buat membunuh dirimu..."
Belum habis dia berkata, Beng Liau huan telah tertawa terbahak sambil
menukas: "Hahaha.. haaah kalau memang begitu hal ini lebih baik. lohu bosan
hidup didunia ini lebih baik mati saja, kalau memang San cu tak ada dan
kau punya kekuasaan besar, silahkan saja untuk membereskan
selembar nyawaku ini" "Heeeh... heeh kenapa " Kau anggap lohu takut ?" seru Chin congkoan.
"Mungkin radaan takut." sindir Beng Liau huan, "Chin Hui bau. lohu
juga ingin memperingatkan dirimu, sekalipun Sancu tidak ada, nona
masih ada disini, kau tak akan berani melawan kekuasaannya !"
"Hmm! Lohu tidak percaya, setelah kubunuh dirimu maka nona bisa..."
Belum habis perkataan itu, tiba tiba terdengar suara tertawa cekikikan
berkumandang datang dari balik ruangan.
Chin congkoan segera menghentikan ucapannya dan tak berani
meneruskan kata2nya. Suara tertawa merdu itu masih berkumandang dalam ruang itu lalu
terdengar suara pula. "Chin congkoan, coba katakan aku tak bisa apa" Kenapa tak kau
lanjutkan ucapanmu?" Chin congkoan yang semula bengis, seketika berubah munduk2 hormat,
sahutnya: "Beng loji ingin merusak peraturan yang diterapkan Sancu, hamba
sengaja menakuti." "Kurang ajar!" sela orang itu lagi. "kau anggap aku adalah permainan
yang bisa digunakan untuk menakut-nakuti orang?"
"Tidak berani... tidak berani...!" Dengusan dingin kembali
menggema, suara tertawa yang merdu pun berubah menjadi bentakan gusar. "Jika lain kali kau berani
melanggar lagi, aku sendiri yang akan
turun tangan untuk membereskan dirimu !" Chin congkoan kembali
mengiakan berulang kali. Setelah hening sejenak, nona yang tak
menampakkan diri itu baru berkata lagi: "Si sastrawan rudin itu pantas dikasihani, tapi tak
bisa terlepas dari peraturan yang telah ditetapkan diatas bukit ini, maka ia harus
alami keadaan sesuai dengan peraturan, baiklah! Sebagai belas
kasihanku, kutambah batas waktunya dua hari lagi !"
Chin congkoan kembali mengiakan, sementara Beng Liau huan dan
pelayan tuanya menundukkan kepala rendah-rendah.
Terdengar nona itu berkata lagi. "Aku mau pindah ke pagoda Yu khek, sebentar aturlah sastrawan itu
agar bermalam diatas loteng Bong-lo, akan kuberi lima hari batas waktu
kepadanya, sebelum saatnya, layani dia sebagai seorang tamu
terhormat!" Chin congkoan kembali mengiakan dengan hormat, maka dinding
perapian itu kembali berputar dan ia lenyap bersama lenyapnya pintu
rahasia tersebut. Sepeninggal Chin congkoan dan nona itu, Beng Seng sipelayan tua itu
baru bernapas lega, sambil menggelengkan kepala ia berkata.
"Cengcu, budak akan pergi menyiapkan sayur dan arak !" "Tidak
usah!" tukas Beng Liau huan sambil melambaikan
tangannya. "pergilah tidur, tidak kau dengar pesan nona kepada Chin
Congkoan tadi" Didalam lima hari ini, Sun Tiong-lo adalah tamu
terhormat dan segalanya akan diatur oleh Chin congkoan sendiri."
"Oooh kalau begitu budak akan tidur!" Seusai berkata, pelan pelan
dia berlalu lewat pintu samping. Dalam pada itu, Sun Tiong lo yang
telah membersihkan badan dan berganti pakaian serta sepatu baru pelan2 masuk keruangan
tampak dia amat jauh berbeda dengan semula.
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
BAB KE DUA BENG LIAU-HUAN merasa pandangan matanya jadi silau, dari hati
kecilnya secara aneh timbul perasaan yang tak terlukiskan dengan
kata-kata, dia merasa seakan dari balik ketampanan pemuda itu ia telah
menemukan sesuatu. Sebetulnya apa yang berhasil ia temukan, Beng Liau huan merasa sulit
untuk meraba jalan pemikirannya itu, cuma ada satu
hal yang dia merasa yakin, yaitu pemuda ini mempunyai wibawa yang
sangat besar. Setelah membersihkan badan, hawa kesastrawanan ditubuh pemuda itu
ikut larut bersama lenyapnya kotoran diatas badannya.
Tiba didepan Beng Liau-huan, dia lantas menghormat dan berkata.
"Budi kebaikan lotiang membuat aku merasa terharu!" Beng Liau
huan tertawa. "Aaah... kongcu lagi2 sungkan, silahkan duduk,
sebentar hidangan akan disiapkan!" Tiba2 dari balik pintu sebelah telah muncul
dua orang manusia. Yang berjalan didepan adalah seorang lelaki kekar


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang bertubuh tinggi besar, dan di belakangnya mengikuti seorang kakek berwajah
merah darah. Ditangan lelaki kekar yang delapan jengkal tingginya itu tampak sebuah
baki besar yang penuh berisi aneka hidangan lezat.
Aua empat macam sayur yang dibawanya lima kati arak bagus, empat
macam masakan daging dan nasi putih satu bakul besar.
Sementara mangkuk cawan dan sumpit telah dipersiapkan diatas meja
perjamuan. Setelah menghidangkan masakan tersebut kemeja, kakek itu memberi
tanda kepada lelaki kekar itu, maka ia lantas mengundurkan diri.
Sun Tiong lo segera bangun dari tempat duduknya, lalu katanya kepada
Beng Liau huan. "Cengcu, harap kau perkenalkan aku yang muda dengan..." BeIum
habis dia berkata, kakek berwajah merah itu telah tertawa
terbahak-bahak. "Haahh... haaah... lohu Chin Hui hou adalah congkoan dari bukit ini !"
Sun Tiong lo segera menjura kepada Chin Hui-hou. katanya. "Aku
yang muda telah memasuki bukit anda secara gegabah,
harap congkoan sudi memaafkan..." Chin Hui hou tertawa seram,
sambil menarik bangku dan duduk disisinya, dia berkata: "Tak usah sungkan-sungkan, silahkan kongcu
makan saja seadanya, menggunakan kesempatan ini lohu juga akan mengajak
kongcu untuk membicarakan bukit kami ini."
"Baik, aku akan dengarkan baik-baik." Pada saat itulah Beng Liau
huan telah mengerutkan dahinya kepada Chin Hui hou. "Chin congkoan, apakah tidak bisa dibicarakan
besok saja?" Dengan wajah dingin Chin Hui hou menggelengkan
kepalanya berulang kali. "Hukum tetap hukum, peraturan tetap peraturan, aku
orang she Chin tak berani menyalahi peraturan!" jawabnya ketus. Diam2 Beng
Liau hoan menggigit bibirnya keras2 lalu katanya
lagi. "Apakah tak bisa menunggu kongcu selesai bersantap dulu baru
dibicarakan?" Kembali Chin Hui hou menggelengkan kepalanya sambil
tertawa seram: "Tidak bisa lohu masih ada urusan lain yang harus diselesaikan,
tak bisa menunggu lebih lama lagi." Sun Tiong lo benar2 seorang
sastrawan yang tak berpengalaman ia belum menyadari gelagat tak beres, malah sambil tertawa katanya
kepada Beng Liau huan: "Tidak jadi soal, biar aku yang muda dengarkan penjelasannya itu."
Beng Liau huan memandang kearah Sun Tiong lo, lalu dia menghela
napas dan gelengkan kepalanya berulang kaIi.
Setelah memandang sekejap kearah Beng Liau huan dengan pandangan
dingin, Chin Hui hou berkata kepada Sun Tiong lo.
"Waktu naik gunung tadi, apakah kongcu membaca peringatan yang
tercantum diatas tugu peringatan itu?"
"Yaa, sudah kulihat!" Sun Tiong lo manggut, "malah aku yang muda
telah membaca berulangkali." Sambil berkata dia menyuap nasi dan sayur dan melahapnya dengan
pelan, kemudian menunggu keterangan Chin Hui hou lebih jauh.
Chin Hui hou tertawa seram. "Hehh... Huuh menurut pendapat
kongcu apakah yang tercantum di atas tugu peringatan itu cukup terang dan jelas ?" "Ya sangat jelas
sekali!" Chin Hui hou tertawa seram, lanjutnya. "Apakah hurup besar
berwarna merah darah yang dicantumkan
pada tugu peringatan ke dua juga sudah kongcu baca ?" "Aaah ! Tentu
saja, tugu itu didirikan tepat ditengah jalan naik,
masa tak kulihat hurupnya." "Ehmm... kalau memang begitu, mengapa
kongcu naik keatas bukit ini ?" "Tadi aku yang muda kan sudah menerangkan kepada
cengcu, aku hanya bermaksud untuk memotong jalan..." "Hmm...! Aku kira
pasti ada alasan lainnya bukan ?" jengek Chin
Hui hou dengan suara dalam. Sua Tiong lo
berpikir sebentar, jawabnya. "Terus terang Chin congkoan aku yang muda memang mempunyai
maksud lain...." Belum habis dia berkata, dengan paras muka berubah Beng Liau huan
berseru. "Kongcu masih mempunyai urusan lain?" Sun Tiong lo melirik sekejap
kearah Chin Hui hou, kemudian katanyanya. "Aku yang muda harus menjawab pertanyaan ini kepada
siapa" kepada congkoan" Atau kepada cengcu?" Dengan sikap yang sombong
dan pandangan yang dingin, Chin Hui Hou melirik sekejap kearah Beng Liau huan, lalu katanya. "Kongcu,
sekarang haruskan sekali lagi memperkenalkan diriku,
lohu adalah congkoan dari bukit pemakan manusia ini, sedangkan Beng
Cengcu tidak lebih cuma cengcu dari perlkampungan ini !"
Seakan-akan baru memahami, Sun Tiong lo segera berseru. "Kalau
begitu, kedudukan Congkoan pasti jauh lebih tinggi dari
pada Beng Cengcu." Chin Hui hou tidak menjawab ya atau tidak, hanya
ujarnya. "Perkampungan ini termasuk bagian dari bukit pemakan
manusia !" "Oooh, dengan begitu pelbagai masalah menyangkut bukit ini
congkoan berhak mengurus." Chin Hui hou tertegun, lalu sahutnya.
"Setiap bukit mempunyai urusannya sendiri-sendiri, dan lohu
adalah salah seorang dari delapan toa congkoan di bawah kekuasaan
Sancu." "Chin congkoan adalah yang paling dipercaya oleh San cu dari delapan
orang toa cong koan Iainnya"- Beng Liau huan menjelaskan..
Mendadak Sun Tiong lo menggelengkan kepalanya berulang kali,
ujarnya: "Tampaknya alasanku yang lain itu hanya bisa kusampaikan kepada san
cu pribadi." "Kenapa?" tanya Chin Hui hou. "Sebab persoalan ini mesti
disampaikan sendiri paoa orang yang
berkuasa disini!" Dengan sinar mata penuh kegusaran Chin Hui-hou
melotot kearah Sun Tiong-lo kemudian serunya: "Seandainya Sancu tidak
bersedia untuk menjumpai Kongcu ?" Dengan perasaan apa boleh buat
jawab Sun Tiong-lo: "Terpaksa hal itu akan kusampaikan bila lain kali
aku yang muda berkunjung kemari" "Hmm ! Kau anggap ada lain kali "!" dengus Chin
Hui-hou dingin. "Tentu saja !" sahut Sua Tiong-lo serius "bila persoalan
ini tidak kuutarakan, bagaimana mungkin aku yang muda bisa merasa berlega
hati...?" Chin Hui-hou segera tertawa ber bahak2. "Haaahhh... haaahhh...
haaaaah Kongcu, kau tidak mempunyai
kesempatan untuk datang lagi dilain waktu, sebab alasan kedatangan mu
yang lain itu meski dibicarakan atau tidak juga sama sekali bukan suatu
persoalan yang penting." Setelah berhenti sebentar, tiba tiba Chui Hui-hou merubah nada
pembicaraannya dengan suara dalam dia berkata:
"Dalam bukit ini berlaku suatu peraturan yang bisa kau baca diatas
kedua buah batu peringatan dimulut bukit sana, sekarang Kongcu
dengan berani telah menaiki bukit ini dan sampai di perkampungan sini,
itu berarti kau pun tak akan terhindar dari suatu kematian..."
"Praaang... ! Pryaang !" Dua kali suara nyaring berkumandang di
angkasa memotong perkataan Chin Hui-hou yang belum selesai itu. Mangkuk yang berada
ditangan Sun Tiong-lo itu tahu tahu sudah
terjatuh ketanah, sedangkan cawan araknya juga tercerai berai di
tanah. Sedangkan dia sendiri bagaikan seorang yang bodoh duduk
termangu-mangu ditempat tanpa berkutik.
Beng Liau-huan segera memejamkan matanya rapat-rapat, dia sungguh
merasa tak tega menyaksikan sikap Sun Tiong-lo yang begitu takut
menghadapi kematian itu. Sebaliknya Chin Hui-hou malah merasa amat gembira, sambil tertawa
dingin tiada hentinya dia berseru: "Kongcu, kau anggap peringatan yang tercantum diatas tugu peringatan
itu hanya gelak sambal belaka ?"
Paras muka Sun Tiong-lo berubah menjadi pucat pias seperti mayat,
dengan cemas serunya: "Tapi congkoan.... kedatangan aku yang muda diatas bukit ini bukan
lantaran mengincar mestika kalian."
Chin Hui-hou mendengus dingin, dengan sikap sinis dia menghapalkan
tulisan yang tertera diatas tugu peringatan itu.
"Barang siapa tidak menuruti nasehat lohu dan bersikeras memasuki
daerah terlarang ini, baik dia laki-Iaki atau perempuan, tidak perduli
apapun alasannya, lohu akan membunuh mati dirinya tanpa ampun
sehingga mayatnya hancur tak berwujud !"
Setelah membaca sampai disitu, tiba-tiba dengan suara nyaring dia
berseru: "Kongcu, kau sudah ditetapkan mati !" Mendadak Sun Tiong-lo
melompat bangun dengan gelisah tanyanya pada Beng Lian-huan: "Beng cengcu, sungguhkah semuanya ini ?" Beng Liau-huan
menghela napas panjang sahutnya: "Kongcu, kesemuanya ini adalah
kenyataan, sejak dua puluh tahun berselang sampai Kongcu belum tiba dibukit ini. sudah ada dua
ratus tiga puluh delapan orang yang mati di tempat ini !"
Sekali lagi Sun Tiong-lo dibuat bodoh wajahnya yang mengenaskan itu
membuat orang menjadi iba dan kasihan kepadanya.
Chin Hui-hau tertawa seram kembali katanya: "Kongcu tak perlu
merasa gelisah dulu, kau masih mempunyai
kesempatan untuk berbicara !" Bsgitu mendengar kalau masih ada
kesempatan berbicara Sun Tiong-lo segera bertanya: "Kalau begitu bagus sekali harap Congkoan
suka memberi petunjuk !" Mendengar ucapan itu Ben Liau-huan kembali merasakan
hatinya tergerak pikirnya. "Kejadian ini benar aneh mengapa dalam keadaan
terancam jiwanya dia tak gugup dan panik " Bahkan jawabannya begitu teratur
dan tenang " sekalipun wajahnya berubah perasaan nya sama sekaIi
tidak kalut ?" Sebaliknya Chin Hui hou yang sedang merasa bangga sama sekali tidak
berpikir sampai kesitu katanya: "Sancu kami telah menetapkan barang siapa memasuki tanah perbukitan
ini maka sebelum mati dia mempunyai hak untuk menjadi tamu agung
kami selama tiga hari, tapi terhadap kongcu secara khusus kami
memberi kelonggaran dengan menambah batas waktunya dengan dua
hari Iagi." "Dengan kata lain, malam ini tak terhitung, mulai besok kongcu punya
hak jadi tamu agung selama 5 hari 5 malam kecuali tak bisa
ampun dari kematian, kami siap kasih pelajaran apapun seperti yang
kau inginkan !" "Tapi apa artinya semua itu ?" seru Sun Tiong-lo sambil mennujukan
wajah melas. "cepat lambat akhirnya mati juga !"
Chin Hui-hou geleng kepala berulang kali. "Kongcu usah kuatir,
peraturan sancu kami sangat adil. Kami
tidak akan menghukum mati Kong cu dengan begitu saja, tapi kami
akan memberi suatu kesempatan kepada Kongcu untuk melarikan diri
dari kematian ini !" "Oooh.... tolong tanya, kesempatan yang bagaimanakah itu ?" Ketika
batas waktu Kongcu menjadi tamu agung kami telah
selesai, kau masih mempunyai waktu selama setengah harian untuk
kabur terlebih dahulu cuma jalan bukit ini susah dilalui dengan tiadanya
persediaan makanan dan air minum tentu saja lebih banyak matinya dari
pada hidup terus !" - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
Jilid 2 OLEH KARENA ITU, Sancu kami telah memikirkan pula bagi
tamu-tamu agungnya untuk menyiapkan sepatu laras untuk mendaki
gunung, pakaian ringkas serta menghadiahkan rangsum serta air minum
untuk dua hari, agar dalam usahanya untuk melarikan diri nanti tak
sampai mati karena kehausan atau kelaparan."
"Oooh....Sancu kalian memang amat cermat sekali" kata Sun Tiong-lo
sambil berseru tertahan, "cuma anggota kalian sangat banyak
penjagaanpun berada di segala tempat, bagai manapun cepatnya orang
yang melarikan diri juga tak mungkin bisa meloloskan diri dari bukit ini!"
Chin Hui-tou segera mendengus dingin.
"Kongcu, keliru besar bila kau berpendapat demikian, jika begini
keadaannya apakah ini yang dinamakan adil" Nah, kongcu! Dengarkan
baik-baik perkataanku ini, sebab ini menyangkut kesempatan bagimu
untuk melarikan diri." "Pertama, Orang yang bertugas mengejar kongcu akan mulai dengan
pengejarannya setengah hari lebih lambat. Kedua, Kecuali orang yang
bertugas mengejar diri kongcu, semua anggota lain yang berada dibukit
ini tidak diperkenankan membantu! Ketiga, Orang yang akan mengejar kongcu hanya dua orang, seorang
adalah lohu sedangkan yang lain adalah orang yang barusan kongcu
jumpai, yakni Kim Po Cu!" Keempat Kongcu mendapat perlengkapan seperti sepatu, kaos, baju
ringkas, air, rangsum serta sebilah pisau belati, pisau itu tajam sekali
dan mampu membelah besi. Kelima. Selama kongcu menjadi tamu agung disini, kau boleh
menyiapkan segala macam barang keperluan untuk memperlancar
usahamu untuk melarikan diri, asal kongcu bisa bawa barang itu,
kongcu boleh membawanya pergi! Ke enam, Terhadap pengejar, kongcu berhak untuk melakukan
perlawanan dan pembunuhan menurut kemampuan yang kau miliki,
asal kongcu mampu membunuh pengejar-pengejarmu itu, otomatis
kongcu bisa pula keluar dari bukit ini dengan selamat.
Ke tujuh, Menurut peraturan San-cu, batas pengejaran adalah empat
hari, selewatnya empat hari sekalipun kongcu berhasil ditangkap juga
tak bisa dianggap masuk hitungan, atau dengan perkataan lain, asal
Kongcu sanggup meloloskan diri selama empat hari empat malam, maka
kau akan selamat dan tak ada urusan lagi.
Ke delapan, Bila kau berhasil melarikan diri dari sini, atau terhindar dari
pengejaran selama empat hari empat malam, bukan saja kongcu boleh
masuk keluar dengan bebas di bukit ini, bahkan semenjak hari itu, kau
akan dianggap sebagai tamu agung kami dan setiap saat berhak untuk
tetap tinggal disini. Ke sembilan setengah jengkal saja kau berhasil lolos dari bukit ini akan
di anggap sebagai suatu keberhasilan, kau akan segera menjadi tamu
agung kami, bukan saja bebas masuk keluar bukit, bahkan setiap
anggota bukit ini akan menyambutmu secara hormat.
"Ke sepuluh, Barang siapa telah menjadi tamu agung kami dan berhasil
dalam pengejaran dia memiliki satu hak khusus, yaitu berhak untuk
minta kepada Sancu untuk membebaskan dua orang tawanan kami
yang tertangkap karena naik keatas bukit ini!"
Setelah berlangsung sekian lama, akhirnya secara ringkas Chin
congkoan berhasil juga untuk menerangkan semua persoalan itu kepada
tamunya.

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitulah, setelah berhenti sejenak sambil tersenyum dia lantas
bertanya: "Kongcu, tolong jawablah dengan sejujurnya, termasuk adilkah caraku
ini ?" Sun Tiong-lo segera manggut-manggut. "Yaa, adil, adil sekali,
memang adil sekali!" Agaknya Ben Liau-huan merasa agak tega,
selanya tiba-tiba: "Adilnya memang adil, tetapi sulitnya juga sulit
sekali !" Sesungguhnya dia bermaksud untuk memancing perhatian
Sun Tiong-lo agar bertanya dengannya, maka menggunakan kesempatan itu
Beng Liau-huan akan menerangkannya dengan jelas.
Siapa tahu bukan saja Sun Tiong-lo tidak menangkap maksud
kata-katanya itu, malahan dia berkata:
"Bila sama sekali tidak sulit, bagaimana mungkin bisa disebut sebagai
suatu usaha pelarian ?" Perkataan ini kontan saja membuat Chin Hui-hou tertawa tergelak, tapi
membuat Beng Liau huan amat mendongkol.
Chin Hui hou berhenti tertawa, lalu ujarnya.
"Malam ini tidak masuk hitungan, mulai besok pagi kongcu akan
menjadi tamu agung kami selama lima hari, padahal rekan rekan
lainnya tidak semujur kau, mereka hanya mempunyai hak untuk
menjadi tamu agung selama tiga hari!"
Sun Tiong io bukannya berterima kasih, sebaliknya malah berseru,
"sekalipun lebih banyak dua hari, tapi berarti pula menambah
kemurungan orang selama dua hari lagi."
"Benar, tapi dalam keadaan pasti mati berarti hidup dua hari lebih
lama!" "Congkoan, apakah kau tidak merasa perkataanmu itu kelewat merasa
yakin..." kata Sun Tiong lo dengan kening berkerut, "aku yang muda
percaya dalam kesempatan yang amat adil ini pasti ada orang yang
berhasil melarikan diri dan sini !"
Menggunakan kesempatan tersebut, kembali Beng Liau huan
memberikan petunjuknya: "Mungkin dikemudian hari masih ada yang akan berhasil untuk
melarikan diri, tapi sebelum ini tak pernah ada yang berhasil !"
Mendengar perkataan itu, Sun Tiong lo baru tertegun dibuatnya,
"Cengcu, apakah belum pernah ada yang berhasil melarikan diri dari
sini ?" Dengan gusar Chin Hui hou melotot sekejap kearah Beng Liau huan,
tapi Beng Liau huan berpura pura tidak melihat, kembali sahutnya,
"Benar setiap orang yang berusaha melarikan diri dalam kesempatan
yang adil ini, mereka justru mati semua !"
Sun Tiong lo duduk dibangkunya dengan wajah termangu- mangu,
sampai setengah harian lamanya ia tak sanggup mengucapkan sepatah
katapun, Chin Hui hou telah selesai menyampaikan semua keterangannya
diapun lantas bertanya. "Kongcu, apakah kau masih ada persoalan yang ingin kau tanyakan lagi
kepadaku ?" Sun Tiong lo menghembuskan nafas panjang untuk melegakan
kesesakan nafasnya, lalu menjawab: "Tolong tanya Cong koan, apakah
masih bisa dirundingkan lagi persoalan ini?"
Dengan ketus Chin Hui hou menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Tiada kesempatan bagimu untuk mengadakan perundingan lagi
didalam persoalan ini!" Dengan perasaan apa boleh buat Su tiong lo menghela napas
panjang-panjang. "Aaaai.... tampaknya aku yang muda juga tak bisa terkecualikan dari
peraturan ini" "Heeehh .. .. heeehh tentu saja pengecualian!" Sun Tiong lo
mengerdipkan sepasang matanya tiba tiba dia
berkata kembali: "Bagaimana kalau seandainya minta pengampunan
dari Sancu pribadi?" "Dengan demikian, kau akan mampus lebih cepat lagi!" sahut
Chin hui hou sinis. Sun Tiong-lo kehabisan daya lagi, setelah tertegun
beberapa saat lamanya, tiba tiba ia berkata: "Tadi aku yang muda mendengar
congkoan berkata bahwa semenjak besok pagi, aku yang muda adalah tamu agung..." Sambil
tertawa Chin Hui hou gelengkan kepalanya berulang kali, Semenjak
masuk keatas bukit ini dan sebelum suatu pelarian
secara adil dilakukan, kau sudah menjadi tamu agung kami." "Kalau
begitu sekarangpun aku sudah terhitung sebagai tamu
agung ditempat ini ?" "Tentu saja ?" jawab Chin Hui hou sambil
manggut-manggut. Sun Tiong lo berpikir sejenak, lalu katanya lagi: "Barusan congkoan
berkata, selama aku yang muda menjadi tamu agung dari bukit ini,
selain memohon pengampunan, permintaan apa pun yang kuajukan
pasti dapat terpenuhi benarkah itu ?"
Chin Hui hou mendengus dingin. "Hmm ! peraturan ini ditetapkan
sendiri oleh San cu, sudah barang tentu tidak bakal salah lagi, cuma lohu akan memperingatkan
kong cu lagi dengan sepatah kata, andaikata selama menjadi tamu
agung, kau berusaha untuk melarikan diri, maka itu sama arti dengan
mencari kematian lebih cepat !"
"Oooo..! jelas aku tak akan melakukan tindakan sebodoh itu" ujar Sun
Tiong lo sambil menggelengkan kepalanya berulang kali. "aku yang
muda hanya akan memohon suatu permintaan yang tidak terlampau
berat daripada hal hal yang muluk."
"Kongcu berhak untuk mengajukan permintaan, apa yang sudah kau
pikirkan sekarang boleh diajukan!"
Sambil tertawa Sun Tiong lo berkata, "Kalau memang Sancu
menetapkan dalam kata-kata, "pelayanan dalam permintaan apa- pun,"
tentu saja aku yang muda hanya bisa mengajukan permintaan terbatas
dalam lingkungan "pelayanan dalam permintaan apapun" itu pula !"
Chin Hui hou terkekeh-kekeh seram, "Aku tahu kongcu adalah seorang
yang cerdas, memang seharusnya menjadi seorang yang tahu diri."
"Ooo...! pertama-tama aku ingin bertanya pada Congkoan, pada malam
ini aku yang muda akan menginap dimana ?"
"Ditempat yang paling bagus dari bukit ini, tempat itu dinamakan
loteng Bong-lo (loteng impian)!"
"Bagus sekali, sekarang harap congkoan su ka mendengarkan lagi suatu
permintaan dari aku yang muda !"
Chin Hui hou memandang sekejap ke arah Sun Tiong lo, kemudian
katanya cepat. "Tampaknya perasaan kongcu pada saat ini sudah jauh lebih tenang !
Heh.. hehh.. hehh... katakan saja, lonu sedang mendengarkan !"
Benar juga, ketika itu Sun Tiong lo sama sekali tak nampak gugup atau
ketakutan, dia berkata. "Congkoan, kau harus tahu, seandainya persoalan sudah dihadapkan
pada keadaan yang tak bisa dipikirkan lagi, kalau tidak menenangkan
perasaan, apa pula yang bisa kulakukan " itulah sebabnya perasaan dan
pikiranku sekarang malah tidak menjadi panik lagi."
"ltupun benar juga" sindir Chin Hui-hou. "paling baik kalau
menggunakan kesempatan selama lima hari ini untuk banyak makan dan
banyak minum, sehingga setelah mati nanti kau tak bakal menjadi setan
yang kelaparan." "Congkoan memang pandai sekali menyelami perasaan orang, aku yang
muda memang ingin sesali mengajak Beng cengcu untuk minum
beberapa cawan arak, sayang cawan sudah pecah mangkuk juga sudah
pecah, kalau begitu harap congkoan suka mengambil satu setel
perlengkapan lagi untukku!" "Apa " Kau suruh lohu mengambilkan mangkuk dan cawan bagimu "
Hemm" dengan bengis Chin Hui hou melotot sekejap kedepan.
Sun Tiong lo tersenyum malah katanya lagi: "Bahkan akupun hendak
mohon kepada Congkoan, agar melayani
aku sendiri untuk setiap memenuhi setiap kali cawanku yang sudah
kosong." Mendengar ucapan itu, Chin Hui-hou naik pitam, sambil menuding
kearah Sun Tiong lo teriaknya. "Sungguh besar nyalimu... anjing cilik ! Rupanya kau sudah bosan hidup
lagi didunia ini." Dengan cepat Sun Tiong lo menarik muka, katanya, "Chin congkoan, ini
peraturan Sancu kalian sendiri untuk melayani tamu agungnya, aku
berhak untuk memohon pelayanan dalam bentuk apapun atas dirimu,
kini aku yang muda telah mengajukan permohonan, mau dikerjakan
atau tidak terserah padamu sendiri, aku toh tidak akan terlampau
memaksa dirimu." Chin Hui hou menjadi termangu seperti seorang bodoh, sampai waktu
itu, Sun Tiong lo telah berpaling kearah Beng Liau huan seraya berkata.
"Beng ceng cu, kini aku yang muda barulah tahu mengapa dalam
pengejaran yang adil dimasa lampau, tak ada seorang manusiapun
yang berhasil melarikan diri!"
Oleh peristiwa yang barusan saja terjadi itu Beng Liau huan di buat
terperanjat termangu-mangu, tetapi dalam hati kecilnya dia merasa
kagum pada kecerdasan Sun tiong lo, hingga tak terasa dia mempunyai
penilaian yang berbeda lagi atas diri sianak muda tersebut.
Itulah sebabnya dia lantas bertanya cepat. "Oooooh.... mengapa bisa
demikian?" Sambil menuding Chin hui hou, pemuda itu menjawab
"Ambil contoh saja ini, jelaslah ada orang yang berusaha untuk memutar
balikkan peraturan yang telah di terapkan oleh San cu...!"
Perkataan ini terlampaulah berat, ternyata Beng Liau huan tidak berani
untuk menanggapi. Pelbagai ingatan ketika itu sudah berkecamuk dalam benak Chin Hui
hou, rupanya ia telah mengambil keputusan dihatinya, dengan suara
dalam bentaknya: "Anjing cilik dengaikan baik baik, peraturan yang
diterapkan Sancu untuk melayani tamunya sama sekali tak mencakup
lohu yang kedudukan sebagai seorang congkoan beserta
rekan-rekan setingkat denganku bila kau berani mengaco boleh lagi,
jangan salahkan kalau lohu..."
Belum selesai perkataan itu di ucapkan, tiba-tiba dari dalam ruangan
bergema suara keras yang menggetarkan telinga.
"Ucapan kongcu tepat sekali, memang banyak anak buah lohu yang
berusaha melanggar peraturan yang ada, untuk itu lohu mohon maaf
pada kongcu, tapi aku pinta agar kongcu bersedia percaya kewibawaan
lohu serta tidak menyelidiki lagi...!"
Setelah berhenti sejenak, tiba tiba dengan nada ucapan yang berubah
keras, lanjutnya. "Chin Hui hou! Mengapa kau tidak segera melaksanakan permintaan dari
kongcu itu" Ingat, selesai melayani kongcu minum arak, kau boleh pergi
sendiri ke ruangan Cap pwe sin tian untuk menerima hukuman sesuai
dengan peraturan, hayo cepat!"
Begitu suara keras yang hanya kedengaran suaranya tanpa menjumpai
manusianya itu berkumandang dalam ruangan, paras muka Chin Hui
hou yang berwarna merah padam kontan saja berubah menjadi pucat
pias seperti mayat, bahkan dibalik warna pucat tersebut masih tampak
warna hijau membesi, keadaannya mengenaskan sekali.
Menanti perkataan tersebut selesai diucapkan, Chin Hui hou baru
mengiakan dengan hormat dan memutar badannya untuk beranjak ke
depan, Sun Tionglo mana mau menyia nyiakan kesempatan sebaik ini,
segera teriaknya dengan cepat. "Bila kudengar dari suaranya, sudah dapat diduga pastilah Sancu yang
telah berkunjung sendiri kemari, apakah aku yang muda boleh memberi
hormat kepadamu ?" "Sekarang lohu masih ada urusan untuk turun gunung, dalam lima hari
kemudian pasti kembali, waktu itu aku pasti akan bertemu dengan
kongcu dan menemani sendiri untuk melihat keadaan dibukit ini,
semoga saja kongcu bisa sukses dalam pelarian nanti."
Setelah ucapan tersebut diutarakan ternyata Sun Tiong-lo tidak
mengajukan permintaan apa-apa lagi. Beng Liau huan yang
menyaksikan keadaan itu, dalam hatinya semakin mengenal lagi akan
diri anak muda tersebut. Ketika Chin Hui hou muncul lagi dalam ruangan, dia muncul dengan
membawa perlengkapan baru yang di minta, bahkan melayani arak
untuk Sun Tionglo hingga anak muda iiu selesai bersantap, akhirnya
dengan membawa perasaan dendam dan marah dia mengundurkan diri
dari ruangan tersebut. Tak lama kemudian, lelaki kekar yang tinggi besar Kim Poo cu
muncullah di sana, sebelah memberi hormat kepada Sun Tiong lo,
katanya. "Aku mendapat perintah dari San cu untuk menemani kong cu kembali
keloteng impian guna beristirahat."
"Oh .... di manakah Chin congkoan?" Kimpocu segera mencibirkan
bibirnya yang tebal dan besar seraya menjawab: "Kong cu tak usah banyak bertanya, sekarang ia
sedang menjalankan siksaannya!" Ia suruh Sun tiong lo tak usah banyak pikir
tapi dia sendiri telah menerangkan kenyataan tersebut. Sun Tiong-lo tak banyak bicara lagi,
setelah mohon diri kepada Beng Liau huan, bersama Kim poocu segera mengundurkan diri dari
ruangan tersebut. Sepanjang jalan Sun Tiong lo tidak mengucapan sepatah katapun,
hingga tiba dibawah loteng impian, pemuda itu baru berterima kasih
pada Kim poo cu dan naik keatas loteng.
Sambil melangkah naik ke atas loteng, diam-diam Sun Tiong lo
mengingat-ingat semua keadaan didalam loteng itu dengan jelas, ketika
tiba diatas ia lantas mendorong pintu kamar dan melangkah masuk
dengan tindakan lebar. Namun ketika melewati pintu kamar, mendadak bau harum semerbak
yang amat tipis. Keningnya lantas berkerut, dia cepat menutup pintu dan menguncinya
dari dalam. Anehnya ternyata ia tidak memasang lampu, melainkan berdiri kaku
disana sambil mengamati belakang pembaringan sana, dan berjalan
ketepi ranjang dan sambil duduk di tepi pembaringan melepaskan
sepatunya. Menurut kebiasaan ia melepaskan jubah panjang kemudian melepaskan
kaos baru jubah panjang itu diletakkannya diujung pembaringan,
kemudian setelah menguap dia baru melepaskan baju dalam.
Setelah melepaskan baju dalam, kini bagian dadanya menjadi setengah
telanjang. Sekali lagi dia menguap, kemudian membaringkan diri diatas ranjang.
Tak lama setelah berbaring, tiba-tiba dia melompat bangun lagi sambil
gelengkan kepalanya berulang kali. "Aku benar benar dibuat kaget sampai menjadi bodoh, tadi hanya
minum arak melulu, sekarang rasanya haus sekali".
Ia melirik sekejap kearah meja, lalu ber jalan menuju kesana, ketika
dirasakan air teh masih panas, ia meneguk dua tegukan dan
meletakkan kembali cawannya kemeja.
Sesudah itu sambil merentangkan badan melemaskan otot, sekali lagi
dia menguap, katanya : "Sejak meninggalkan rumah sampai sekarang aku belum pernah tidur
nyenyak sambil melepaskan semua pakaianku, sekarang toh mati hidup
sudah tak ketahuan lagi, kenapa aku tak tidur dalam keadaan polos ?"
Tapi sebentar kemudian ia berseru tertahan kenidian katanya lagi
dengan lirih. "Baju lamaku tertinggal dalam kamar mandi, bajuku yang baru inipun
tanpa celana dalam. waaah... bagaimana aku harus membuka celana
luar?"

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil menggelengkan kepalanya, diapun menghirup kembali setegukan
dan... "Oh, panas amat! Aaai., ... bagaimanapun dalam kamar itu cuma aku
seorang, kalau pintu sudah terkunci, mau tidur telanjang apa pula
salahnya" Bila ada orang datang kemari, memakainya kembali toh
belum terlambat!" Semakin berguman ia berbicara makin serius, akhirnya dia mulai
melepaskan ikat pinggangnya. Siapa tahu pada saat itulah mendadak dari atas kursi lemas disudut
ruangan sebelah kiri berkumandang suara bentakan nyaring.
"Kau berani melepas ?" Sun Tiong-lo segera terperanjat sambil
menjerit kaget dia segera lari ke pembaringan. Suara merdu tadi kembali berkumandang. "Tak
usah berlagak bodoh lagi, kau anggap aku tidak mengetahui
lagakmu itu" Cepat kenakan pakaian, memasang lampu dan kita
berbicara secara baik-baik, ada persoalan yang ingin kutanyakan
kepadamu, hayo cepat !" Sun Tiong-lo menggunakan kain selimut untuk menutupi kepala sendiri,
kemudian dengan badan gemetar tanyanya:
"Kau... kau adalah manusia atau setan "!" Kursi diujung ruangan ilu
bergoyang pelan, lalu tampak sesosok
bayangan tubuh yang ramping bergeser kesisi meja, terdengar orang itu
berkata, "Sudah kukatakan agar kau tak usah berlagak pilon lagi...
apakah gunanya kau bersikap demikian" Aku adalah manusia, kalau
setan mana mungkin bisa berbicara sebagai manusia ?"
Sun Tiong-lo masih ketakutan setengah mati, katanya lagi dengan suara
menggigil. "Kau jangan menipu aku, sewaktu masih kecil dulu ibuku sering
bercerita katanya Rase yang bertapa lama bisa menjadi dewi, ia sudah
menampakkan diri dengan wujud seorang gadis cantik, tapi kerjanya
khusus memikat laki-laki yang tampan."
"Tutup mulut!" bentak bayangan ramping itu sambil mendengus dingin,
Menyusul kemudian tampak cahaya api memercik diatas meja, dan
lentera dalam kamarnya disulut. Setelah ada lampu, ruangan pun menjadi terang benderang, saat itulah
Sun Tiong-lo baru berani menampakkan diri dari balik selimutnya dan
turun dari atas pembaringan. Entah sedari kapan, tahu-tahu diatas Loteng impian telah bertambah
dengan seorang nona cilik yang cantik jelita.. bak bidadari dari
kayangan. Sekalipun gadis itu berparas muka cantik jelita, tapi amat dingin
sikapnya, dengan sepasang biji mata yang jeli dia melotot sekejap
kepada Sun Tiong-lo, seakan-akan ia hendak menembusi hatinya.
Paras muka Sun Tiong-lo masih diliputi perasaan kaget bercampur
tercengang, tapi dengan sopan dia memberi hormat juga kepada nona
itu seraya berkata: "Nona, sejak kapan kau disini..." Berbicara sampai disitu, tanpa terasa
mata Sun Tiong lo di alihkan kembali ke arah pintu kamarnya yang
masih di kunci dari dalam, ternyata kunci itu masih tetap utuh dan
sama sekali tidak berubah, kontan saja perkataannya terhenti sampai di
tengah jalan dan menjerit kaget.. .
Nona itu melirik sekejap kearahnya dengan dingin, lalu ujarnya.
"Pandai amat kau bermain sandiwara, akan kulihat sampai kapan
permainan gila gilaanmu itu baru akan berhenti !" Sun Tiong lo
mengerdipkan matanya, gelengkan kepala, berpikir
sejenak dan akhirnya dengan memberanikan diri dia berkata.
"Nona benar benar adalah manusia?" Nona itu menjadi amat
mendongkol serunya "Aku tidak memberitahukan kepadamu, jika kau
berani bicara secara sembarangan lagi jangan salahkan kalau kuhajar dirimu!" Sun
Tiong lo menatap nona itu tajam tajam kemudian berkata
lagi" "Tapi.. tapi, pintu kamar aku yang muda kan terkunci dari dalam,
kenyataannya nona bisa masuk dengan semaunya..." Tampaknya nona
itu kewalahan juga dibuat nya, dengan
perasaan apa boleh terpaksa katanya sambil mencibir bibir.
"Memangnya aku tak bisa datang ke loteng impian ini selangkah
lagi lebih dulu darimu ?" Sun Tiong lo kembali tertegun. "Datang lebih
duluan" Mau apa nona datang lebih duluan keatas
loteng impian ini?" Nona itu mengerling sekejap kearahnya, kemudian
menjawab. "Terus terang kuberitahu kepadamu, loteng impian ini
sesungguhnya adalah tempat tidur siang ku bila di musim panas."
Seperti baru sadar dari impian, dengan serius Sun Tiong lo
berseru. "Kalau begitu, nona seharusnya juga tahu bahwa bukan-aku
sendiri yang minta kemari, akupun bukan tuan rumah dari loteng ini,
jika nona ada dendam sakit hati, tidak seharusnya mencari aku..."
Temyata dia masih menganggap nona itu sebagai sukma penasaran
yang mencari balas. Dengan perasaan mendongkol terpaksa nona itu harus berbicara
dengan jujur. "Dengarkan baik baik, aku manusia bukan setan, Sancu bukit ini adalah
ayahku, sedang loteng impian ini adalah tempat tinggalku bila dimusim
panas, sekarang mengerti ?" Sun Tiong lo mengerti, sambil tersenyum dia lantas memberi hormat,
katanya. "Oooh ....rupanya nona adalah putri Sancu, maaf jika aku yang muda
kurang hormat !" Nona itu mendengus dingin, sambil duduk dikursi katanya. "Kau juga
boleh duduk, aku ada persoalan ingin di tanyakan
kepadamu..." Sun Tiong-lo menyahut dengan hormat, tapi ia melirik
dulu sekejap kearah nona itu kemudian baru duduk. Dengan sikap yang amat
terbuka nona itu memperhatikannya beberapa saat, setelah itu katanya: "Pertama tama aku hendak
bertanya kepada mu, setelah masuk keatas loteng impian, mengapa kau tidak memasang lampu?"
"Sebenarnya aku yang muda mempunyai korek api, sayang
ketika membersihkan badan tadi lupa mengambil, sekarang aku tidak
mempunyai korek api lagi, dengan cara apa aku musti menyulut lampu?"
Mendengar itu, sinona menjadi terbungkam, Lewat beberapa saat
kemudian ia berkata lagi. "Anggap saja perkataan ini telah kau jawab secara benar,sekarang aku
ingin bertanya lagi kau minum teh seorang diri, mengapa dua cawan teh
yang kau sediakan di meja?" "Sewaktu berada diruangan tengah tadi, aku yang muda sudah minum
beberapa cawan arak lebih banyak, ditambah lagi hidangan dari bukit
ini amat lezat sehingga makan lebih banyak karena itu aku merasa haus
sekali dan ingin cepat-cepat minum teh.
"Apa mau dikata air tehnya masih panas, sedang cawannya kecil, maka
aku menyiapkan dua cawan dengan harapan mumpung secawan yang
lain sudah habis terminum, cawan yang lainpun keburu sudah dingin !!"
Padahal nona itu tahu kalau Sun Tiong lo berbicara sebenarnya, tapi ia
toh dibuat tertawa geli juga sehingga tertawa cekikikan.
"Baik, anggap saja akupun berhasil lolos dari pemeriksaan ini.. ." Belum
habis dia berkata, Sun Tiong lo telah menukas.
"Nona, tolong aku yang muda harus melewati berapa banyak
pemeriksaan lagi ?" Tampaknya nona itu mempunyai watak mau mencari menangnya
sendiri, kalau bilang berwajah dingin, maka wajahnya benar benar
menjadi dingin, kalau bilang tidak berperasaan maka ia benar benar tak
berperasaan mendadak saja dia menarik muka, lalu sahutnya dingin.
"Nonamu suka menyuruh kau melewati beberapa pemeriksaan kau
harus pula melewati beberapa pemeriksaan !"
Sun Tiong lo memang cukup aneh, tiba-tiba diapun mengumbar
wataknya, dengan serius katanya. "Nona, kau sebagai putri kesayangan Sancu tentunya tak bisa tahu
kalau bukan aku yang muda sudah termasuk sebagai orang yang sudah
setengah mati, selama lima hari mendatang ini aku terhitung sebagai
seorang tamu kehormatan disini ?"
Mendengar perkataan itu nona tertegun "Tentu saja tahu" sahutnya,
"kenapa ?" "Kalau sudah tahu itu lebih baik lagi, mulai sekarang sampai batas waktu
lima hari nanti aku tak ingin melewati sebuah pemeriksaanmu lagi, jika
nona merasa keberatan, silahkan saja untuk membunuhku sekarang
juga." Kali ini si nona benar benar dibikin bodoh, setengah harian lamanya ia
tertegun kemudian sambil mendepakkan kakinya ditanah ia baru
melompat bangun, katanya. "Anggap saja kau yang menang kali ini, tapi mengapa tidak kau
pikirkan mengapa orang lain hanya mendapat batas waktu selama tiga
hari sedangkan kau bisa memperoleh tambahan dua hari lagi "
Hmmmmmmm !" "Selain itu, sekalipun menjadi tamu agung juga jangan harap bisa
tinggal di loteng impian, mengapa pula kau tidak bertanya mengapa bisa
menjadi begini, Kenapa malam malam begini aku datang kemari....!"
Ternyata jawaban dari Sun Tiong lo juga cukup cepat. "Aku yang
muda memang ingin bertanya kepada nona, mengapa
malam malam begini nona datang kemari" sebenarnya ada urusan
apakah dirimu ini....?" Nona itu mendongkol yaa gemas yaa jengkel, sambil mendepakdepakkan
kakinya kelantai serunya. "Aku datang untuk menengokmu apakah kau sudah mampus atau
belum !" Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan menuju Ke
depan pintu, kemudian setelah membuka kunci dan keluar, ia
membanting pintu itu keras-keras. Menunggu Sun Tiong lo menyusul kedepan pintu, bayangan tubuhnya
sudah lenyap dari pandangan mata. Sun Tiong lo segera menunjukkan sikap seolah-olah kehilangan
sesuatu, sambil menghela nafas gumamnya.
"Sungguh seorang nona yang cantik dan lincah!" sekembali Kedalam
ruangan loteng impian, dia mengunci kembali pintu ruangan.
Baru saja akan berjalan ke meja, tiba tiba terdengar suara dari San cu
berkumandang lagi. "Kongcu, silahkan duduk, lohu hendak mengajakmu untuk
bercakap-cakap !" Walaupun Sun liong lo sudah tahu siapa yang mengajaknya berbicara,
tapi ia tetap berlagak pilon. "Siapa yang berbicara" Siapa kau" Berada dimanakah dirimu
sekarang...?" Sancu tersebut tidak menampakkan diri, tapi sahutnya, "Lohu adalah
Sancu dari bukit ini..." Dengan cepat Sun Tiong lo mendengus dingin, tukasnya. "Kau tak
usah berbohong, Sancu sudah berkata sendiri kepada
aku yang muda kalau dia akan meninggalkan bukit ini karena masih ada
urusan lain ..." "Benar!" sahut Sancu, "sebenamya aku hendak turun gunung, tapi
berhubung lohu menyaksikan siau li naik ke loteng ini, maka sengaja aku
menunggu beberapa saat disini. Dan kini aku mempunyai beberapa
persoalan ingin ditanyakan kecada Kongcu, aku harap kongcu bersedia
menjawab dengan sejujurnya. "Pertama tama lohu ingin bertanya apakah nama kongcu yang
sebenarnya, berasal dari mana" Dan berapa umurmu" Tolong kongcu
bisa menjelaskan pula berapa orang yang berada di rumahmu ?"
"Sancu, ada urusan apa kau menanyakan soal keluarga ku dengan
sejelas ini ?" "Kongcu tak usah kuatir, lohu jamin setelah kongcu memberikan
jawaban yang sebenar nya, hal ini hanya akan bermanfaat bagi kongcu
dan sama sekali tidak merugikan !"
Sun Tiong lo berpikir sebentar, lalu jawab nya. "Bila batas waktuku
sebagai tamu agung sudah habis, sampai
aku juga tak akan lolos dengan selamat dari sini, paling paling nyawaku
juga akan mampus, apalah gunanya membicarakan soal
keluarga" Aku yang muda bernama Sun Tiong lo, penduduk ibu kota
tapi sekarang adalah seorang anak yatim piatu."
"Ooooh,... bukankah kongcu masih mempunyai seorang empek ?"
"Benar." baru saja Sun Tiong lo akan menjawab lebih jauh, tiba- tiba
Sancu berkata lebih jauh. "Kongcu, harap kau dengarkan baik baik, anak buah lohu telah
mengirim berita penting yang mengatakan ada orang menerjang naik
keatas gunung, orang itu berilmu tinggi sekali karenanya aku tak bisa
bertanya jawab lagi dengan kongcu, bila urusan lohu selesai dan
kembali kegunung, sudah pasti tak akan lewat dari lima hari, waktu itu
aku pasti akan mengajakmu untuk berbicara lebih lanjut, nah sekarang
aku hendak mohon diri lebih dulu!"
Sesuai berkata suara itupun segera sirap. Perlahan Sun Tiong lo
memadamkan lentera dan mengulumkan sekulum senyuman ringan. Setelah itu dengan langkah cepat ia berjalan
kedepan jendela dan melongok keluar. Benar juga, dilangit sebelah barat sana, tampak
segumpal cahaya bintang sedang memancarkan sinarnya ke empat penjuru.
- ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
BAB TIGA DENGAN kening berkerut Sun Tiong-lo memandang termangu sejenak
keluar jendela kemudian setelah meneguk secawan air teh, ia
menjatuhkan diri di atas pembaringan pelbagai ingatan berkecamuk
dalam benaknya membuat pemuda itu tak bisa membuat pemuda itu tak
bisa memejamkan matanya. Tiba-tiba senyuman ayah ibunya terlintas kembali dalam benaknya, ia
menjadi teringat dengan kenangan masa lalu.
Ketika itu dia baru berusia lima tahun, nakal sekali. Ayahnya tak pernah
memanggil nama padanya, tapi langsung panggil dengan sebutan "Si
Binal" begitu hangat panggilan itu dan juga mesra.
Sesungguhnya mereka sekeluarga hidup dengan penuh kebahagiaan dan
gembira, siapa tahu kebahagiaan selamanya tidak berlangsung langgeng,
akhirnya pada suatu tengah malam terjadilah suatu peristiwa yang amat
menyedihkan itu. Malam itu teramat sepi dan hening, semua orang sudah terlelap dalam
impian indah. Tiba-tiba suara pekikan yang amat nyaring berkumandang datang dari
kejauhan dan membelah keheningan malam.
Menyusul kemudian, tampaklah sesosok bayangan hitam melayang
keluar dari kamar baca di loteng sebelah selatan dan meluncur kearah
mana asal suara itu. "Diaaam..." sesosok bayangan hitam segera menerjang masuk ke
dalam. Pada saat itulah dari dalam kamar terdengar seseorang menegur:
"Pek gi kah di situ?" Ketika mendengar suara teguran tersebut
bayangan hitam tadi kelihatan merasa amat lega, segera sahutnya: "Adik, In aku disini!
Apakah kau lagi mendapat impian buruk..." Sambil berkata dia
memasang lampu kamar. Dibawah cahaya lilin, tampak orang itu
seorang lelaki tampan berusia empat puluhan, waktu itu dengan dada telanjang dan membawa
sebilah pedang berdiri kekar dekat pembaringan. Di atas pembaringan
berbaring perempuan cantik yang menyelimuti sampai dada, rupanya
baru bangun dari lmpian. Dengan matanya yang bening dia melirik pada Pek gi sekejap, lalu
wajahnya menunjukkan rasa haru dan terima kasih. Ia tidak menjawab,
hanya menuding ketubuh Pek gi dengan jari tangannya.
Pek gi agak tertegun, kemudian tertawa jengah setelah dia


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menundukkan kepalanya. "Yaa, aku memang terlalu terbura buru!" katanya cepat. Perempuan
itu menggigit bibirnya dan dengan kemalu-maluan
berkata lagi: "Jangan melihat aku terus menerus, udara sangat dingin,
jangan lupa menutup pintu" Pek gi segera mengiakan dan menutup pin tu
kamar, perempuan itu menepuk pelan sisi pembaringannya, Pek gi mengangguk dan
menghampirinya sambil tersenyum. "Letakkan pedangmu itu!" bisik perempuan itu lagi dengan kening
berkerut. Pek gi berseru tertahan dan segera meletakkan pedangnya dimeja,
kemudian tegurnya lagi: "ln, kau bermimpi apa lagi?" Sinar matanya memandang sekejap
kepembaringan sebelah dalam, kemudian sambil berseru tertahan serunya lagi: "Dimana sibinal"
Sambil menunjuk kekamar sebelah perempuan itu menjawab
"Aku khawatir bocah itu terbangun oleh impian ku, maka kusuruh inang
nya mengajak tidur dikamar sebelah!"
Mendengar jawaban tersebut, Pek gi baru kelihatannya agak lega.
Terdengar perempuan cantik itu berkata: "Cobalah kau lihat,
sekalipun terburu buru juga tak seharusnya
macam kau sekarang, masa baju arakpun tidak kamu kenakan" Kini
sudah musim gugur, kau anggap badanmu lebih keras dari baja!"
merdu suaranya tapi wibawa. "Tentu saja" sahut Pek gi sambil tertawa, di tepuknya dada seraya
berkata, "Coba kau lihat, lebih kekar dari pada sebatang baja"
Perempuan cantik itu mengerling sekejap ke arahnya, dan berkata lagi:
"Lepaskan sepatu mu dan padamkan lampu! Pek gi sangat penurut,
sebuah sentilan jari-jari tangan segera
memadamkan lampu Ientera. Kemudian ia lepaskan sepatu dan duduk
di sisi pembaringan istrinya. Beberapa saat kemudian, tak tahan perempuan cantik itu
bertanya: "Jadi kau sudah nekad ?" "Nekad apa " Apa yang kau
maksudkan?" Pek-gi balik bertanya
dengan wajah tertegun. "Tidak kedinginan ?" Pek-gi segera mengerti
maksud istrinya, dengan cepat bagaikan
seekor ikan belut dia lantas menyusup ke dalam selimut, kalau tadi
dadanya yang kedinginan tidak merasakan apa-apa, maka begitu masuk
ke balik selimut dia malah kelihatan agak gemetar.
Di tengan kegelapan terdengar perempuan cantik im berbisik: "Lain
kali, jika kau mendengar aku berteriak-teriak lagi di tengah
malam, jangan gubris diriku?" "Tak ada lain kali lagi !" tukas Pek-gi,
"Pasti ada" sahut perempuan itu dengan sedih, "aku benar-benar amat membenci sekali
diriku!" Pek-gi tertawa lapar. "Aku bilang tak mungkin ada lain kali yaa tak ada lain kali, kalau aku
tahu si binal tidur dengan mak inangnya, malam inipun mungkin tak
akan pernah terjadi!" "ldiih tak tahu malu, perkataan macam begitu juga bisa kau ucapkan ?"
bisik istrinya dengan malu. "Aaah kenapa musti malu untuk mengucapkan kata-kata seperti ini "
Suami istri yaa suami istri..."
Dengan perasaan setengah malu, setengah mendongkol dan setengah
menegur perempuan itu segera menukas:
"Apa yang kau jeritkan" Memangnya ingin membuat semua anak
buahmu kedengaran ?" "Sejak dulu kala, sedari dunia ini ada thian menciptakan laki dan
perempuan untuk saling bercinta didunia, kemudian menjadi suami
isteri, arti dari pada suami isteri adalah...!"
Tiba-tiba perempuan itu mencubit paha Pek gi bisiknya: "berani bicara
terus?" "Baik aku tak akan bicara lagi....!" Suana menjadi hening, untuk sekian
waktu lamanya kedua belah sama-sama tidak bersuara. Tiba- tiba
perempuan cantik itu menghela napas, katanya lagi:
"Pek gi bukankah besok adalah tanggal delapan?" Pek gi sebenarnya
mengerti apa yang dimaksudkan isterinya, tapi ia berpura-pura tenang.
"Benar, lusa adalah tanggal sembilan!" perempuan itu menggelengkan
kepalanya berulang kali, lalu gumannya seorang diri.
"Berarti delapan hari lagi itulah hari Tiong ciu !" Pek gi tidak
menjawab, hanya diam diam berkerut kening, Tentu
saja perempuan itu juga mengerti apa yang membuat suaminya
berkerut kening, dengan cepat ia berkata.
"Kau tak usah berkerut kening, aku tak akan menganjurkan kepadamu
untuk pergi !" Pak gi berusaha keras untuk menekan pergolakan perasaan dalam
hatinya, dengan nada tenang ia berkata.
"Adik In, bukannya aku enggan mendengarkan nasehatmu,
sesungguhnya kaburpun tak ada gunanya, selama dua puluh tahun ini
Liuk hun pay (lencana perontok sukma) itu sudah malang melintang
dalam dunia persilatan!" "Aku mengerti!" tukas sang istri, "hingga kini tak seorangpun jago silat
pun yang tahu siapa gerangan pemilik lencana tersebut, sehingga mau
bersembunyi sampai diujung langitpun tak ada gunanya"
"Aai...! Tapi hal ini merupakan kenyataan, lagi pula sejak tahun
berselang kita sudah mempersiapkan pertemuan yang meriah dihari
Tiong ciu tahun ini bahkan bersiap siap untuk mengumumkan seluruh
dunia persilatan bahwa kita akan mengundurkan diri dan tidak
mencampuri urusan persilatan lagi. "Tanggal satu hari itu, aku baru menyuruh saudara Cu peng untuk
mengirim orang menyebar undangan, tetapi malam harinya kita telah
menerima Lok hun pay tersebut, di atas lencana jelas kita tercantum
akan mati secara mengerikan di malam Tiong ciu tersebut"
"Adik In, tahukan kau bahwa perisriwa ini bukan suatu kebetulan, tetapi
pemilik lencana terseout telan merencanakannya secara rapi membuat
kita tak mungkin meloloskan diri lagi, dari kenyataan seperti ini!"
Sesudah berhenti sebentar, dengan agak emosi dia melanjutkan
pembicaraannya itu: "Adik In, semenjak kita terjun ke dunia persilatan, siapakah yang pernah
mendengar bahwa bernama Giok bin siam kiam soh liong jiu (Dewa
pedang tangan sakti penakluk naga yang berwajah kemala)Sun pek gi
serta hui thian giok li (gadis cantik langit
terbang) Wan Pek in adalah manusia-manusia yang takut urusan" kabur
dari kenyataan?" "Dua tahun berselang, ketika Gak hu (ayah mertua) tewas secara
mengenaskan di daerah Kang see, kata-kata wasiatnya membuat
terharu hatiku, apalagi setelah mendengar bujukanmu maka aku
bertekad akan mengundurkan diri dari dunia persilatan dan hidup penuh
kegembiraan dengan adik In. "Demi adik In aku rela meninggalkan segala sesuatu yang ada di dunia
ini termasuk nama dan kedudukanku, demi adik In akupun bersedia
menerima caci maki dari semua orang didunia ini."
Dengan cepat Wan Pek in menutup bibir Pek gi dengan jari tangannya
yang lembut katanya: "Pek gi, kau tak boleh berbicara lagi, kau sangat baik kepadaku" Pak
gi menghela nafas panjang, di belai-nya tangan serta
pergelangan tangan istrinya dengan penuh kasih sayang, kembali ia
berkata. "Pemiliknya Lok hun pay telah mewartakan berita elmautnya pada saat
ini, kita toh tidak tahu siapakah dia, sekalipun kabur ke ujung langit
belum tentu bisa terhindar dari pengejarannya..."
"Aku mengerti" tukas Pek in, "aku hanya membenci pada diriku sendiri,
sepuluh tahun kita berkelana dalam dunia persilatan, tidak pernah aku
merasa takut terhadap apapun, kali ini aku justru merasa gundah, tak
tenang dan demikian ketakutan" Ai, aku benar benar seorang pengecut
!" "Aaai..! Ya, kita kuatir, karena kita menguatirkan keselamatan si binal !"
"Pak gi, konon setiap orang yang mendapat Lok hun pay, segenap isi
keluarganya dibasmi sampai tuntas, tapi orang yang tidak menyangkut
hubungan keluarga dengannya dibiarkan hidup, benarkah itu?"
Pak gi berpikir sebentar, lalu jawabnya.
"Hanya ada suatu pengecualian !" "Peristiwa yang mana!" tanya Pek
in gelisah. "Ketika keluarga Pian tayhiap mendapat musibah !"
"Bukankah waktu itu tak seorangpun berhasil meloloskan diri dari
dalam keadaan hidup?" tanya Pek in tercengang. "Enmmmmmm . .. .!"
Lantas mengapa kau katakan kali itu terjadi kekecualian ?" "Yaaa, sebab
empat sobat karib dari Pian tayhiap juga turut
tewas ditempat kejadian." Pek in lantas memahami yang dimaksudkan
bisiknya. "Kalau begitu cerita orang tentang ia tidak membunuh marga
lainpun tak bisa dipercaya ?" Pak gi mendengus dingin. "Hemmmm
menurut pendapatku waktu itu keempat sobatnya
pasti bertugas untuk melindungi sanak keluarga tayhiap, bila Lok hun
pay tidak membunuh keempat orang itu terlebih dahulu, tentunya
tujuannya tak akan tercapai." Pek in seperti baru memahami akan sesuatu, dia lantas berseru
tertahan. "Ooooh, tak heran kalau kau tak bercerita pada Cu peng bahwa kau
telah terima Lok hun pay, rupanya kau juga khawatir bila teman
temanmu ikut tewas dalam peristiwa ini!"
"Persoalan ini adalah persoalan keluarga Sun, kami tidak berhak untuk
menyeret teman-teman karib kita masuk keliang api, apa lagi aku masih
berkeyakinan sanggup untuk menghadapi Lok hun pay!"
Pek in termenung beberapa waktu lamanya, mendadak sambil
merendahkan suaranya dia berbisik: "Pek gi apakah kamu sudah
mempunyai rencana untuk anak kita?"
Menyinggung soal anak, pikirannya Pek gi menjadi kacau
sekali. Selama beberapa hari belakangan ini ia tinggal sendirian didalam kamar
bukunya di loteng sebelah selatan, tak lain ia sedang memikirkan cara
yang baik untuk menyelamatkan anaknya yang baru berusia lima tahun
itu, tapi sayang, sekalipun ia sudah memeras otak ternyata tak sebuah
carapun yang didapatkan. Tadinya dia paling kuatir bila istrinya
menyinggung soal itu, apa mau dibilang justru masalah itu tak bisa
dihindari lagi. Ketika ia tidak membuka suara, Pek in segera mengerti maksudnya,
maka ujarnya kemudian "Aku selama ini merasa takut lantaran
memikirkan soal anak kita, Pek gi kalau toh bocah itu mau mengikuti
mak inang dan lagi mak inang bukan orang persilatan maka aku pikir."
belum habis ucapan itu diutarakan mendadak dari luar ruangan sudah
terdengar suara tawa menyeramkan menyusul seorang berkata:
"Kalian suami istri tidak usah berkhayal yang bukan bukan, apalagi
mengantar anakmu keluar dari sini, aku akan memberi kabar pula
kepadamu, sobat karib kalian itu sudah tahu akan persoalan ini !"
Sambil menyambar pedangnya Sun pak gi melompat bangun. Tapi
orang diluar ruangan itu sudah berkata lagi sambil tertawa seram,
"Orang she Sun, lohu menganjurkan kepadamu lebih baik gunakanlah
kesempatan selama beberapa hari ini untuk bersenang senang, sampai
waktunya lohu akan datang lagi, selamat tinggal !"
Dengan geram Pak gi menancapkan kembali pedangnya ke tanah,
kemudian tidur lagi. Kiranya setelah mengucapkan selamat tinggal tadi, orang itu sudah
berada sepuluh kaki jauhnya, Pak gi tahu dikejarpun percuma maka dia
tidak memperdulikan orang itu lagi.
Sementara itu Pek-In sudah bangun dan berduduk, tanyanya kemudian,
"Pak gi, apakah Lok hun pay pribadi yang datang ?"
Pek gi termenung sebentar lalu menggeleng.
"Sulit dikatakan, pokoknya orang itu sudah pasti adalah manusia
cecunguk yang takut bertemu orang !"
"la bilang sobat kita sudah mengetahui kejadian ini...." "Yang
dimaksudkan pastilah saudara Ngo-kian !" sela Pek-gi,
Pek-in tak dapat membendung rasa gembiranya lagi, cepat dia berseru,
"Jika kita bisa memperoleh bantuan dari saudara Ngo-kian, mungkin
saja..." Pek gi menghela nafas panjang, tukasnya, "Semoga saudara saudaraku
itu amat cerdik, dan tidak datang kali ini...!"
Pek in mengerti kalau dibalik ucapan tersebut Pek gi menaruh maksud
lain, katanya kemudian.. "Saudara saudara kita tak mungkin tidak datang !" Aaai... tahu
begini, aku tak akan menyebar undangan untuk
mengundang mereka semua kemari." Pek in segera menghibur. "Kau
toh sudah tahu kalau Lok hun pay melaksanakan rencananya dengan matang, sekalipun kau tidak
mengadakan perayaan ini, dia pun pasti mempunyai akal lain untuk
mengumpulkan mereka semua, apalagi tanggal enam belas nanti adalah
ulang tahunmu yang keempat pulun lima, saudara Ngo kian dan teman
teman sehidup sematimu masa tak akan berdatangan" Pak gi kau tak
usah banyak berpikir lagi!" Pak gi segera menghela nafas panjang. "Aaaai... adik In, teman
sehidup sematiku bukan cuma saudara
Ngo Kian seorang.." "Pak gi, jangan membicarakat soal ini lagi" tukas
Pek in, "sekarang hari sudah malam, hayo kita pergi tidur !" Maka suami istri
berduapun tidak berbicara lagi, mereka
terbungkam dalam seribu bahasa. Suara kentongan keempat
berkumandang dari kejauhan sana, tiba tiba Pak gi berbisik lagi. "ln, kau apakah sudah tidur ?" Pek in tertawa getir. "Aku ingin tidur,
tapi mataku tak terpejam." Pak gi tertawa pula, tiba-tiba ia berkata
riang. "In, kita benarbenar merasa kuatir yang berlebihan, kita masih harus dihadapkan
dengan beberapa masalah besar, buat apa mesti membayangkan yang
bukan-bukan" Yang penting sekarang adalah menghimpun tenaga untuk
menghadapi musuh. "Tadi, dari saudara Ngo kian aku menjadi teringat dengan Mo toako,
sudah tujuh tahun aku tak pernah berhubungan dengannya, kejadian
ini membuat aku sangat tidak tenang !"
Berbicara sampai disini, Pak gi lantas tertawa lebar, katanya lebih jauh.
"Cuma beginipun ada baiknya juga, kalau tidak seperti kejadian tempo
hari, bila dia tahu, mungkin sedari tadi tadi sudah berangkat kemari,
bukankah hal mana malahan akan menambah risaunya hatiku !"
"Seandainya Mo toako ada disini, mungkin keadaannya akan sedikit
berubah !" bisik Pek in. Pak gi berpikir sejenak, lalu menjawab, "Mungkin, aku tahu ilmu silat
dan tenaga dalam yang dimiliki Mo toako memang tiada tandingannya
didunia ini!" Pek In kembali menghela nafas sedih, "Aku tebak dia tak akan datang
menjenguk diri kita lagi !" Mendengar itu, Pek gi menjadi tertegun. "Darimana kau bisa berkata
demikian ?" Pek In menghela nafas, sambil gelengkan kepalanya berulangkali
ujarnya. "Tidak apa apa, aku hanya merasa selama tujuh tahun belakangan ini
dia sama sekali tak ada kabar beritanya, kini kita
sedang berada diambang pintu antara mati dan hidup, mana mungkin
dia bisa datang untuk berjumpa lagi dengan kita ?"
Pek gi sama sekali tidak menangkap arti lain dibalik ucapan istrinya itu,
sambil tertawa katanya. "ln, aku tak mau menyerah dengan begitu saja atas pertarungan yang
bakal berlangsung malam Tiong-ciu nanti, setelah fajar nanti, aku akan


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukan persiapan yang matang, aku bertekad akan melangsungkan
pertarungan terbuka melawan Lok hun pay tersebut !"
"Benar, aku percaya dengan kerja sama kita berdua, belum tentu ia
bisa memenangkan diri kita berdua...."
Belum habis berkata, tiba tiba Pek gi melompat turun dari ranjang,
cepat cepat mengenakan sepatu mencabut pedangnya dan berbisik.
"Adik In, diluar ada orang yang datang, apakah kau sudah siap dengan
Hui im seng sik (Batu bintang awan bertebangan)mu itu ?"
Pek in mengangguk, dari balik bantalnya dia mengeluarkan tiga biji Hui
im seng sik yang paling diandalkan selama ini, kemudian sahut nya
kepada Pek gi. "Serahkan saja bagian depan kepadaku !" "Hati hati adik In !"
Berbicara sampai disitu, Pak gi lantas menyelinap ke jendela
belakang. Pada waktu itulah terdengar hembusan angin tajam dari luar
jendela, tampaknya bukan cuma seorang saja yang datang mendekati
pintu depan, sambil menggigit bibir, Pek in segera menggetarkan
tangannya kedepan, sambil melontarkan Hui im seng siknya, dia
membentak gusar. "Kawanan tikus yang bernyali besar, makan batu ini..."
Belum habis dia berkata, orang diluar ruang an sudah berseru, "Serangan
yang hebat, enso, beginikah cara menyambut kedatangan tamu ?"
Mendengar seruan itu, merah padam selembar wajah Pek in karena
jengah, sebaliknya Pak gi bersorak gembira, dia melompat ke depan
pintu dan siap membuka pintu. "Setan gegabah !" Pek in segera mengomel dengan gelisah, "tutup baik
baik pintu itu, berpakaian dulu sebelum keluar !"
Pak gi tertawa, dari almari mereka mengeluarkan pakaian, sambil
dikenakan ia berjalan keluar. Belum lagi buka suara, orang yang berjalan malam diluar kamar itu
sudah berkata lagi. "Bagus sekali toako, Cupeng bilang kau berada dikamar kecil diloteng
sebelah selatan, kami lima bersaudara tidak sabar menunggu dia
memberi laporan dan langsung menuju keloreng sebelah selatan, siapa
tahu ditempat itu tidak kami jumpai toako."
Dalam cemasnya longo mengira telah terjadi sesuatu, dia mengajak Lo
su dan Cupeng melakukan pencarian ke empat penjuru, sedang kami
bertiga menguatirkan keselamatan enso dan keponakan, maka buru
buru menyusul kemari. "Sekalipun kedatangan kami ini terhitung gegabah sehingga
mengejutkan nyenyaknya tidur toako dan toa so, semestinya tak sampai
membuat kemarahan enso sehingga mau mencabut nyawa kami dengan
batu saktinya bukan !" Pek gi tidak memberi komentar apa apa, dia hanya tertawa belaka.
Pek in yang berada dalam ruangan dapat menangkap arti Iain dari
perkataan itu, malu nya bukan kepalang, meski begitu dia cukup
mengetahui watak orang itu, dia tahu semakin kau merasa jengah
makin runyamlah keadaannya. Untung saja mereka terpisah oleh dinding kamar dan tak saling
berhadapan muka, maka meski dihati jengah diluar dia berkata.
"Tong losam, kuberitahu kepadamu, apabila beberapa butir batu dari
ensomu saja tak sanggup kau sambut, maka ada baiknya sedari malam
ini jangan menguping lagi pembicaraan orang !"
Tong losam membuat muka setan ke arah Pak gi, kemudian tertawa
terbahak bahak. - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
Jilid 3 "HAAH ..,..haaaah....tak heran kalau toako tidak berani !"
Ucapan yang tiada ujung pangkalnya ini segera membuat Pek-gi
menjadi tertegun. Pek-in tahu kalau Tong losam bermaksud menjebak, dengan cepat dia
berseru: "Pek-gi jangan sampai tertipu, tak usah perdulikan ucapan Tong losam,
cepat undang saudara Ngo-kian menuju ke ruang depan, aku sebentar
akan menyusul ke sana." Sayang perkataan itu agak terlambat, Pek gi sudah keburu bertanya
kepada Tong losam: "Samte, kau bilang aku takut apa ?"
Tonglosam tertawa tsrbahak-bahak. "Haah... haa... aku tahu, kau
pasti tak berani untuk tidur seorang
diri lagi di loteng selatan." Pak gi cuma tertawa masam. "Sam-te, kau
benar benar jahil mulutnya, hayo jalan, kita menuju
ke ruangan depan." "Benar, kalau enso sudah ada perintah, yang
menjadi toaka mana berani membangkang " cuma..."
Setelah berhenti sejenak, dia lantas menarik baju Pak gi seraya
berkata: "Cuma dalam gugupnya tadi, rupanya toaka sudah salah memakai
pakaian, perlu tidak untuk berganci pakaian dulu baru ke ruang depan ?"
Pak gi menundukkan kepalanya dan memeriksa pakaiannya, kemudian
sambil tertawa tergelak serunya: "Baiklah, aku akan tukar pakaian dulu, kalian berangkat sana ke ruang
depan, sekalian beri kabar kepada Su te, ngo te dan Cu peng,kebetulan
aku ada urusan..." "Benar !" tukas Tong losam "kita akan berangkat duluan, toako dan
enso berpakaian dulu kemudian bar Bara Naga 6 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bentrok Para Pendekar 18
^