Bukit Pemakan Manusia 20

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 20


buatkan catatannya!" Mendengar sampai disitu, Thio Yok sim segera menghela napas
panjang. "Aaai, kalau begitu, gurumu malah justru kena dicelakai orang?"
Dengan wajah bersungguh-sungguh Yu Teng poo berkata.
"Walaupun perbuatan suhuku banyak yang jahat dan buas, tapi
kalau dibicarakan yang sebenarnya, penderitaan dan siksaan yang
dideritanya berkali lipat jauh lebih parah dan mengenaskan daripada
mereka yang dicelakai olehnya."
"Suhumu pernah menyaru sebagai pelayan dan cukup lama menyelinap
dalam gedung milik Sun taihiap Sun Pek-gi suami istri, berarti selama itu
dia pun pernah menjadi sadar waktu itu, mengapa dia tidak
membeberkan segala sesuatunyanya secara terus terang kepada Sun
tayhiap ?" tanya Kang Tat tiba-tiba.
Kembali Yu Teng-po menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Tentang peristiwa tersebut, aku sendiripun merasa agak
keheranan, bahkan setiap kali suhu sedang sadar. Aku selalu
menanyakan persoalan ini kepadanya, namun kecuali melelehkan air
matanya, Suhu tak pernah menjawab, seakan-akan dia seperti lagi
menyimpan sesuatu kesulitan yang tak bisa diutarakan keluar !"
"Oooh !" Thio Yok sim segera berpaling ke arah Kang Tat dan katanya
lagi, "Aku percaya, bila kita memberitahukan latar belakang ini kepada
Sun sauhiap, dia pasti dapat menanyakannya sampai jelas."
"Akupun yakin, setelah peristiwanya berkembang jadi begini, suhupun
tak akan berusaha untuk meyakinkannya lagi !" sambung Yo Ting po
cepat. Mendadak Cukat Tan seperti teringat akan sesuatu, katanya tiba- tiba.
"Sobat kecil Yu, ada satu persoalan yang tidak lohu pahami, dapatkah
kuajukan pertanyaan kepadamu ?"
"Tentu saja boleh, asal aku tahu, pasti akan kuberitahukan kepadamu."
"Sekarang, apakah gurumu sudah sadar sama sekali ?" Yu Teng-poo
segera mengangguk. "Benar, suhu telah terlepas dari belenggu iblis
!" "Lohu tidak habis mengerti, mengapa gurumu baru menjadi
sadar kembali disaat seperti ini ?" tanya Cukat Tan dengan kening
berkerut Yu Teng poo tertawa getir, "Cukat tayhiap, rupanya kau ingin
membongkar semua persoalan sampai tuntas, seperti kau ketahui, kini
suhuku telah kehilangan seluruh tenaga dalamnya, padahal tenaga
dalam yang hilang sekarang justru merupakan hawa Im kang sesat yang
menjadi biang keladi berubahnya watak suhu selama dua puluhan tahun
ini." Padahal segenap kepandaian yang pernah di latih suhu dahulu telah
punah disaat suhu mendengar bujukan dari bajingan Mao dan
mempelajari ilmu Mo kang tersebut, itulah sebab nya disaat hawa Mo
kang tersebut lenyap, secara otomatis diapun memperoleh
kesadarannya kembali." "Oooh... tak heran kalau bajingan tua she Mao itu berusaha keras untuk
membinasakan gurumu !" seru Kang Tat seperti sekarang baru
memahami akan hal itu. "Tentu saja" seru Yu Teng poo dengan gemas, "bagaimana mungkin
bajingan Mao akan membiarkan seseorang yang sadar dari segala
perbuatan jahat dan busuknya sepanjang hidup ini tetap hidup bebas di
dunia " Namun akupun merasa tidak habis mengerti, mengapa suhu
bisa meninggalkan perahu tersebut dalam keadaan hidup ?"
"Apakah suhumu tidak memberitahukan alasannya kepadamu ?" Yu
Teng poo segera menggeleng. "Tidak, akupun tidak sempat
mengajukan pertanyaan tersebut !" Thio Yok-sim segera memutar
biji matanya lalu bertanya: "Bukankah nama asli gurumu adalah
Sangkoan Ki, mengapa bisa dirubah menjadi Kwa Cun seng ?" "ltu mah sederhana sekali, sejak suhu
tenggelam ke dalam cengkeraman iblis, setiap kali sedang sadar, dia selalu merasa malu dan
menyesal terhadap nama marga Sangkoannya, oleh sebab itu dia pun
berganti dengan nama lain." Setelah urusan diperbincangkan sampai ke situ, tiada masalah lain yang
bisa dibicarakan lagi, maka masing-masing orang segera naik ke atas
sampan. Mereka semua mengambil sebuah sampan setiap orangnya, tapi perahu
yang memuat belerang dan bahan peledak hanya tiga buah, ternyata Yu
Teng po segera melompat naik lebih dulu keatas sampan yang penuh
memuat bahan peledak serta belerang tersebut.
Kang Tat yang menyaksikan kejadian tersebut segera berkerut kening,
tegurnya. "Yu lote menurut maksud Sun sauhiap dan gurumu, mereka menyuruh
lohu sekalian bertiga masing-masing menempati sebuah sampan berisi
bahan peledak, sedangkan lote hanya mengurusi perahu tersebut untuk
membantu..." "Tidak" kata Yu Teng-poo dengan paras muka serius, "aku harus
memegang sebuah perahu yang berisi bahan peledak !"
"Ooooh... mengapa harus begitu ?" tanya Thio Yok-sim. Dengan
cepat Yu Teng poo menyahut: "Ada tiga alasannya, pertama, sebagai
seorang yang berada diposisi yang terjepit, maka untuk menunjukkan bahwa
keadaan kami guru dan murid sekarang didesak oleh situasi, maka aku harus
memegang sebuah perahu berisi bahan peledak tersebut."
"Ke dua, kami guru dan murid terhadap bajingan tua Mao mempunyai
dendam kesumat yang lebih dalam dari samudra, maka meski tubuh
harus hancur dan nyawa harus melayang, kami rela mengorbankan diri
demi melenyapkan bajingan tersebut dari muka bumi.
"Ketiga, aku sangat menguasahi ilmu dalam air atau bila menggunakan
kata-kata sesumbar, ilmu dalam air yang dimiliki cianpwe bertiga masih
berselisih jauh bila dibandingkan dengan kepandaianku, maka apabila
serangan dengan api ini mengalami kegagalan atau bajingan she Mao itu
menyongsong kedatangan kita aku sudah pasti bisa meloloskan diri
dengan baik!" Ke tiga alasan tersebut semuanya mempunyai keyakinan yang tak bisa
dibantah, hal ini membuat Thio Yok sim tak mampu membantah lebih
jauh... Maka sambil tertawa akhirnya Kang Tat berkata. "Baik, alasanmu
memang meyakinkan sekali anggap saja kau
memperoleh satu bagian!" "Saudara Kang, kalau begitu kau saja yang
memegang sampan tersebut..." seru Cukat Tan. Dengan cepat Kang Tat menggeleng.
"Tidak, lebih baik Thio heng saja yang mengurusi perahu kosong
tersebut" katanya. Mendengar ucapan mana, Thto Yok sim segera
tertawa terbahakbahak. "Haaahh... haaahh... haaah... aku yang harus memegang
sampan kosong itu" Enak benar jalan pemikiranmu itu Sudah banyak
tahun aku hidup menahan hinaan dan sikssan, sedang besok pagi
adalah saatnya untuk membalas dendam dan sakit hatiku,
masa kau suruh aku membuang kesempatan yang baik ini dengan
begitu saja..." jangan harap."
Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Kang Tat berpaling ke arah
Cukat Tan sembari berseru: "Kalau memang begitu, saudara Cukat, kau..." Belum selesai dia
berkata, Cukat Tan sudah melompat naik
keatas sebuah perahu berisi bahan peledak sembari berseru: "Uui, aku
Cukat Tan tak bisa ketinggalan." Menyaksikan Cukat Tan sudah
menempati sampannya, dengan cepat Thio Yok-sim melompat naik juga keatas sampan terakhir yang
berisi bahan peledak, kemudian katanya:
"Aku tidak ambil perduli, pokoknya perahu ini miliku !" Melihat
kesemuanya itu, Kang Tat segera menggelengkan kepala
berulang kali, serunya. "Waaaah itu tidak adil namanya, mari, mari.
Mari... kita tentukan dengan beradu tangan !" Sementara itu Thio Yok sim dan Cukat Tan
sudah mengambil gala panjang dari sampan tersebut, sambil menjalankan sampan
tersebut ketengah telaga, seru mereka sambil tertawa, "ltu mah
merepotkan saja. Saudara Kang, Sampai jumpa lagi ditengah telaga
nanti !" Dari sikap saling berebut yang dilakukan ke tiga orang itu, Yu Teng poo
seperti dapat me rasakan sesuatu, buru-buru serunya:
"Cianpwee bertiga, dapatkah kalian mendengarkan sepatah dua patah
kataku lebih dulu?" "Betul... betul..." seru Kang Tat kemudian sambil tertawa, "aku sudah
tahu kalau lote pasti bersedia mengalah, kau memang seharusnya
memegang sampan..." "Bukan itu maksudku!" tukas Yu Teng poo, "aku hanya ingin bertanya
kepada kalian bertiga, siapakah diantara kalian yang memiliki ilmu
berenang paling baik ?" "limu dalam air yang kumiliki paling baik, di dalam air aku bisa
memperhatikan benda yang berada delapan depa jauhnya di sekitarku."
Buru-buru Kang Tat berseru. "Paling tidak aku tak bakal kalah darimu!" sambung Cukat Tan sambil
menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Haahh.... haaah... haaahh... kalau aku masih bisa melihat sejauh satu
kaki didalam air" seru Thio Yok sim tak mau kalah sambil tertawa
terbahak-bahak. Yu Teng po turut tertawa katanya kemudian sambil manggutmanggut.
"Seandainya benar benar bisa begitu, akupun boleh merasa berlega
hati..." "Oooh, masih ada persoalan apa lagi yacg perlu dikuatirkan?" tanya
Kang Tat kemudian. "Tentu saja ada" kata Yu Teng poo sambil mengangguk "sekalipun
didalam perjalanan kita ini belum tentu akan menggunakan perahu berisi
bahan peledak, tapi seandainya dipergunakan maka tugas dan tanggung
jawab kita menjadi bertambah besar, bagaimanapun juga kita harus
meningkatkan kewaspadaan kita untuk bertindak lebih berhati hati lagi..."
"Pertama-tama, menyerang dengan api adalah bertujuan untuk
mengurung bajingan tua she Mao itu ditengah perahu besar tersebut
hingga mati terbakar disana, bila tugas ini selesai dilakukan, maka kita
harus dapat mundur kembali dengan selamat.
"Tapi, setelah perahu berisi bahan peledak ini terbakar, maka didalam
waktu singkat sampan mana akan meledak, oleh sebab itu si pendayung
sampan tersebut harus memiliki ilmu berenang yang amat lihay, dengan
begitu dia baru akan lolos dari ancaman bahaya maut..."
"Soal ini tak usah kau kuatirkan, pokoknya kami mempunyai cara untuk
mengatasinya." Tukas Cukat Tan sambil tertawa.
Dengan wajah serius Yu Teng poo berkata lagi: "Di dalam hal ini,
orang yang tercebur di-air merupakan orang
yang memikul tanggung jawab terberat, sebab jaraknya tidak mungkin
terlalu dekat, mustahil pula terlalu jauh, disamping itu orang yang
menyerang dari belakang perahu besar juga merupakan tugas yang
paling sulit..." Sulitnya bukan masalah, biar aku saja yang memikul tanggung jawab
untuk menyerang dari balik perahu besar itu" tukas Kang Tat lagi
dengan cepat. Yu Teng poo segera tertawa. "Kang tayhiap menyerang dari belakang
perahu besar itu merupakan urusanku, sedang bagi Kang tayhiap cukup asal begitu
perintah penyerangan diturunkan kau segera memperhatikan permukaan
telaga sambil mempersiapkan gala panjang."
Dengan perasaan apa boleh buat, akhirnya Kang Tat naik keatas
sampan penyambut tersebut. Maka berangkatlah ke empat buah sampan tersebut menuju ke tengah
telaga. Tak lama kemudian mereka sudah semakin mendekati perahu besar
yang berlabuh ditengah telaga nun jauh didepan sana.
oooO-de-Oooo FAJAR telah menyingsing. matahari memancarkan
cahaya keemas-emasannya menerangi ke seluruh permukaan telaga. Perahu
besar yang sebenarnya merupakan perahu milik Mao Tinhong
itu, sekarang telah berubah menjadi perahu dari Sun Tiong lo
sekalian, orang-orang yang berada datas perahu itu hampir semua
merupakan orang orang dengan maksud dan tujuan yang sama.
Perahu dengan delapan buah layar lebar ini pelan-pelan bergerak
mendekati perahu besar lainnya dibawah sorot cahaya matahari pagi.
Ketika kedua perahu besar ttu sudah berjarak satu panahan, akhirnya
perahu besar berlayar delapan itu berhenti bergerak dan menurunkan
jangkar. Pada saat yang bersamaan, empat buah sampan cepat yang
dikemudikan oleh Yu Teng po, Kang Tat, Thio Yok sim dan Cukat Tan
telah menerjang ombak bergerak mendekat, setelah melalui perahu
berlayar delapan itu, serentak mereka mengepung perahu besar yang
lain rapat-rapat. Sampan penyambut yang dikemudikan oleh Kang Tat berhenti agak
jauh dari buritan perahu, sedangkan tiga buah sampan lainnya yang
penuh berisi bahan peledak melanjutkan perjalanannya dan baru
berhenti setelah berada hanya lima kaki saja dari perahu besar itu.
Pada saat itulah Sun Tiong to munculkan diri diujung geladak perahu
berlayar delapan itu dan berseru dengan suara lantang:
"Mao Tin hong, harap segera menampakkan diri untuk
berbincang-bincang..!" Suasana dalam perahu besar yang ditumpangi Mao Tin hong sunyi
senyap tak kedengaran sedikit suara pun.
Sekali lagi Sun Tiong lo berteriak dengan suara lantang: "Mao Tin
hong, sebagai seorang lelaki sejati berani berbuat,
berani bertanggung jawab, kuanjurkan kepadamu lebih baik segeralah
menampakkan diri, sekarang kau sudah terkepung dari empat penjuru,
tidak mungkin lagi bagimu untuk melarikan diri..."
Sangkoan Ki (maksudnya Kwa Cun seng, selanjutnya akan dipakai nama
aslinya yakni Sangkoan Ki) turut berseru pula dengan suara keras:
"Mao Tin-hong, ayo keluar, aku Sangkoan Ki hendak membicarakan
sesuatu denganmu!" Suasana dalam perahu besar itu masih tetap sunyi senyap tak
kedengaran sedikit suara pun. Sesudah mendengus, kembali Sangkoan Ki beneriak keras: "Mao Tin
hong, apabila kau tidak menampakkan diri lagi, jangan
salahkan hatiku keji untuk melancarkan serangan dengan api !" Namun
suasana diatas perahu besar itu masih tetap hening, sepi,
tak kedenjaran sedikit suarapun, seakan-akan semua penghuni perahu
tersebut masih terlelap tidur. Tiada yang menegur sapa, tiada pula yang menggubris. Dengan cspal
Sangkoan Ki berpaling ke arah Sun Tiong-lo
sembari tanyanya: "Sauhiap, menurut pendapatmu, bagaimana kalau kita
menyerang dengan menggunakan api." Cepat Sun Tiong-lo menggeleng.
"Aku rasa tindakan seperri ini tak boleh di lakukan secara
gegabah." Kemudian setelah berhenti sejenak, ia berpaling kearah Hou
ji sambil katanya lagi: "Engkoh Hou, turunkan perahu kecil." "Siau-Iiong,
kau hendak pergi kesana untuk menengok keadaan
?" tegur Hou ji dengan kening berkerut. Sun Tiong-lo segera
manggut-manggut. "Hmm, aku harus pergi menengok sendiri hingga
duduknya persoalan menjadi jelas." Cepat-cepat Hou ji menggeleng lagi. "Ah,
jangan, hal ini terlalu berbahaya, kalau harus kesana,
biarlah aku saja yang ke situ"
"Tidak, aku yang akan ke situ, sedang kalian semua tetap berada di


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perahu sembari menantikan kabar beritaku!" seru Sun Tiong lo dengan
nada tegas. Mendadak nona Kim menyambung: "Biar aku yang pergi." "Adik Kim,
jangan ngaco belo, sekarang apa yang herdak kau
lakukan dengan pergi kesitu?" seru Sun Tiong lo dengan paras muka
serius. Tampaknya Hou ji cukup mengetahui akan watak dari Sun Tiong lo ini,
tak mungkin apa yang sudah menjadi niatnya bisa dicegah tapi diapun
kuatir bila Sun Tiong lo menyerempet bahaya seorang diri.
Maka setelah memutar biji matanya, mendadak dia memperoleh sebuah
akal bagus, katanya kemudian. "Baiklah, aku akan segera menurunkan perahu kecil." Selesai berkata,
Hou ji segera membalikkan badan menuju
keperahu bagian belakang dan diam-diam turun kebawah. Sangkoan Ki
segera menggunakan pula kesempatan itu untuk
mohon diri, kemudian menuju ke ruangan belakang. Di ruang belakang,
Sangkoan Ki berkata kepada Hou-ji selelah
menatapnya lekat-lekat: "Hou-hiap, kau bermaksud hendak
menggunakan cara apa untuk menghalangi niat Sun sau hiap itu ?" "Aku harus mencoba untuk
menyelidiki lebih dahulu, jabatan apakah yang terdapat di atas perahu tersebut" ujar Hou ji dengan
kening berkerut. Sangkoan Ki manggut-manggut. "Benar, tapi bagaimana cara Hou
hiap untuk melakukan penyelidikan tersebut ?" "Kecuali mendatangi perahu itu dan melakukan
penyeiidikan, masa masih ada cara lain yang lebih baik lagi ?"
"Seandainya Hou-hiap bersedia, lohu mah mempunyai sebuah cara yang
bisa di coba." "Oya " Baiklah, coba katakanlah." "Aku rada curiga kalau bajingan
tua she Mao itu sudah tidak berada diatas perahu lagi..." Hou ji menjadi tertegun sesudah
mendengar perkataan itu, katanya kemudian. "Aah... hal ini tidak mungkin ?" Sangkoan Ki segera
tertawa. "Bajingan ini licik dan pintar, baginya tiada persoalan yang tak
mungkin tak bisa dilakukan olehnya, cuma untuk berhati hatinya saja,
memang paling baik kalau dicoba untuk diselidiki lebih dulu, cara yang
terbaik adalah mencari busur dan panah, kemudian membidikkan panah
berapi ke seberang sana..." "Membidikkan panah berapi ke sana ?" tukas Hou ji. Sangkoan Ki
manggut-manggut. "Ya. hal inipun merupakan satu-satunya cara
yang dapat dipergunakan, sebatang panah berapi tak nanti bisa menimbulkan
kebakaran besar, namun orang yang berada diatas perahu tersebut
sudah pasti akan berusaha untuk memadamkannya, nah dari situlah
kau akan mengetahui keadaan yang sebenarnya..."
Hou ji berpikir sebentar, kemudian mengangguk. "Baiklah, cara ini
memang bisa digunakan." Belum habis dia berkata, Sangkoan Ki
telah menyela lagi: "Aku sudah msmpersiapkan busur dan panah
berapinya, segera akan kuambil untukmu." Selesai berkata dia lantas mendorong sebuah
pintu kecil disebelah kanan dan dalam waktu singkat telah berjalan keluar sambil
membawa sebuah busur dan tiga batang anak panah berbulu
putih yang pada ujung panahnya membawa sebuah peluru sebesar
buah tho. Sambil menyerahkan busur dan anak panah tersebut ketangan Hou ji,
kembali Sangkoan Ki berkata: "Peluru diujung anak panah tersebut terbuat dari belerang, minyak
hitam dan kapas, begitu bertemu api lantas terbakar, daya bakarnya
bisa mencapai setengah perminum teh, aku rasa tiga batang pun sudah
lebih dari cukup." Sambil menerima busur dan anak panah tersebut, Hou ji segera
berkata: "Aku lihat kau belum akan puas sebelum melancarkan serangan dengan
panah berapi?" "Hou hiap, kau keliru" ucap Sangkoan Ki dengan wajah serius,
"walaupun rasa benci lohu terhadap Mao loji sudah merasuk sampai ke
tulang sumsum namun aku masih cukup mengetahui akibatnya, aku
terpaksa menggunakan cara ini karena tak ingin membiarkan Sun
sauhiap menyerempet bahaya dengan percuma."
"Yaa, sambil selam minum air bukan?" ejek Hou-ji sambil tertawa lebar.
Ucapan ini terlampau menyolok dan mengena sekali dihati Sangkoan Ki..
Ketika selesai berkata tadi, Hou ji segera berjalan keluar dari ruangan
belakang. Sementara itu perahu besar yang ditumpangi Mao Tin hong berada
dalam keadaan gelap gulita, sunyi senyap dan tak kedengaran sedikit
suarapun, keadaannya tidak jauh berbeda dengan sebuah sampan aneh.
Hou ji berkerut kening, dia segera menyulut sebuah peluru api pada
lentera perahu berlayar delapan itu, kemudian memasang anak panah
tersebut diatas busur, mengerahkan hawa murninya dia membentak
dengan suara keras. "Mao Tin hong, bila kau tidak munculkan diri untuk berbicara lagi,
jangan salahkan bila siauya akan mulai menyerang dengan anak panah
berapi ini!" Ketika dari pihak perahu besar diseberang sana belum juga terdengar
suara jawaban, Hou ji segera menarik busurnya kuat kuat kemudian
"Sreeet ,."." diiringi suara desingan tajam, panah berapi itu dengan
membawa sekilas cahaya pelangi berwarna merah membara meluncur
ke-depan dan menancap diatas jendela pada bagian belakang perahu
besar tersebut. Menyusul kemudian Hou ji menyulut panah api kedua. "Hoa ko,
tunggu sebentar!" tiba-tiba terdengar Sun Tiong lo
berseru lantang. "Aaah, tiga batang panah berapi tak akan sampai
membakar perahu tersebut, kecuali kalau tiada orang yang munculkan diri untuk
memadamkan kobaran api tersebut." jawab Hou ji.
Berbicara sampai disitu, dia segera melepaskan tangannya dan...."Sreet"
diiringi desingan tajam, kembali panah berapi itu meluncur ke depan.
Kali ini membidik tepat diatas layar utama perahu besar tersebut,
Layar perahu merupakan benda yang mudah terbakar maka
begitu layar perahu terkena bi sikan, api segera membara menjilat
kemana-mana, dalam waktu singkat seluruh layar perahu itu sudah
terbakar menyusul kemudian kertas jendela dan ruangan mulai
terbakar. Anehnya, ternyata dalam perahu itu tak nampak seorang manusia pun
yang menampakkan diri, tentu saja tak akan terdengar sedikit suarapun
yang berkumandang dari situ. Sekarang, Sun Tiong lo seperti menyadari akan sesuatu, buru- buru dia
mencegah Hou-ji untuk membidikkan panah berapinya lagi.
"Engkoh Hou kemungkinan besar perahu tersebut kosong dan tidak
berpenghuni lagi, jangan di bidik lagi !" serunya.
Agaknya SangKoan Ki juga berpikir sampai ke situ, dia lantas berseru:
"Yaa. kira harus turunkan perahu kecil dan melakukan pemeriksaan
keatas perahu tersebut. Sun Tiong-Io merasa tak sabar lagi untuk menunggu sampai
menurunkan sampan kecil, disamping itu sebuah kecurigaan muncul
pula didalam benaknya, maka sambil menyambar sebuah papan dari
dalam ruangan, serunya cepat: "Tak usah menurunkan perahu, biar aku seorang yang melakukan
pemeriksaan ke atas perahu tersebut."
Selesai berkata, Sun Tiong-lo segera mematahkan papan kayu itu
menjadi beberapa bagian, kemudian dengan melemparkan kayu
tersebut satu per satu ke atas perkemukaan telaga, dengan ilmu
Teng-peng tok-sui dia meluncur kearah perahu besar tersebut dengan
gerakan secepat kilat. Si anak muda ini memang hebat, begitu potongan kayu dibuang ke
permukaan air, ujung kakinya segera menutul diatas potongan kayu
mana dan meluncur ke muka, kemudian disaat tubuhnya hendak
menukik ke atas permukaan telaga, tangan kanannya kembali
digetarkan melemparkan sepotong kayu.
Dengan cara itulah, secara mudah sekali ia berhasil mencapai diatas
perahu besar. Hou-ji yang berada diatas perahu tersebut bersama-sama Bau-ji, nona
Kim dan Sangkoan Ki segera menurunkan sampan kecil keatas
permukaan air. Kendatipun Sun Tiong lo telah mencegah mereka untuk turut kesana,
namun mereka tak tega membiarkan si anck muda itu menyerempet
bahaya seorang diri. Perahu kecil yang berada diatas perahu berlayar delapan itu hanya
dipakai disaat saat gawat dan penting, oleh karena itu sampan maha
hanya terbuat dari kulit dan cuma muat tiga-empat
orang, bila kelebihan penumpang maka perahu kulit itu akan segera
tenggelam. Oleh karena itu mencegah Sangkoan Ki untuk turut serta, katanya
dengan cepat. "Tenaga dalammu sudah punah, mau apa kau ikut ke situ ?"
Sangkoan Ki segera terbungkam dan cuma bisa berdiri tertegun
seperti orang bodoh. Terdengar Bau ji berkata pula: "Sampan kulit ini
kelewat kecil, lebih baik kau tinggal di atas
perahu besar saja !" -ooo0dw0oo-
Jilid 39 SEMENTARA pembicaraan masih berlangsung, nona Kim sudah
melompat turun keatas sampan tersebut, kemudian sambil
mendongakkan kepalanya dia berseru:
"Ayo cepat sedikit, engkoh Lo sudah hampir memasuki ruangan perahu
itu!" Sangkoan Ki tahu kalau dia tak mungkin bisa ikut, maka dengan suara
keras teriakannya: "Sun sauhiap, hati-hati! jangan memasuki ruangan tersebut lebih
dulu...!" Sayang tindakan itu sudah terlambat selangkah. Sun Tiong lo telah
menjejak pintu dan melompat masuk kedalam ruangan.
Hou ji dan Bau ji melompat keatas sampan kecil dengan cepat, sebelum
mereka mendayung perahu tersebut, kembali terdengar Sang koan Ki
berteriak keras: "Tunggu sebentar Hou hiap, bawalah serta beberapa batang panah !"
Maksud dari ucapan itu jelas, yakni jarak mereka dengan perahu
tersebut masih jauh, seandairya Sun Tiong lo mengalami serangan atau
sergapan, maka mereka tak mungkin bisa memberi bantuan dengan
cepat. Andaikata membawa anak panah, maka mereka bisa memberi
bantuannya dari tempat jauh. Sambil berteriak Sangkoan Ki berlarian masuk ke ruang belakang, tak
selang berapa saat kemudian dia sudah muncul dengan membawa
sebuah gendewa dengan belasan anak panah dan melemparkannya
kedalam sampan kecil itu. Saat itulah, Hou ji baru mendayung sampan kecil itu menuju ke arah
depan. Sangkoan Ki memang tak malu disebut seorang jago kawakan dalam
dunia persilatan, begitu sampan tersebut berangkat, dia segera
memasang lentera diujung perahu untuk menerangi suasana disana,
setelah itu teriaknya ke arah sampan berisi bahan peledak itu.
"Yu Teng po. perhatikan baik-baik, Sun sau hiap sudah naik ke atas
perahu musuh, kau harus menyambut kedatangannya tanpa merubah
posisi, laksanakan perintah menurut perintah dari Sun sauhiap !"
Padahal dia sama sekali tidak tahu kalau orang yang berada diperahu
itu penyambut bukan Yu Teng-po melainkan Kang Tat tapi dengan
diturunkannya perintah tersebut, hal ini membuktikan kalau dia tidak
terlalu mementingkan diri sendiri. Waktu itu, Kang Tat maupun ketiga perahu berisi bahan peledak tersebut
sudah memperhatikan situasi diitas perahu musuh dan di permukaan air
dengan seksama, merekapun menyaksikan bagaimana Sun Tiong lo
dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna
melayang naik keatas perahu musuh. Kendatipun tiada perintah dari Sangkoan Ki, Thio Yok-sim serta Cukat
Tan telah bertekad akan mendekati perahu musuh, maka begitu
mendengar teriakan mana, serentak keempat buah perahu itu
bersama-sama bergerak maju ke muka.
Posisi mereka sekarang sudah jauh melesat ke depan, oleh sebab itu
pula mereka tiba di sasaran dengan cepat.
Sementara itu, San Tiong lo sudah menyerbu masuk kedalam ruang
tengah perahu musuh. Rupanya disaat panah berapi menancap di atas jendela ruang perahu
dan layar tersebut, namun tidak nampak ada orang yang muncul untuk
memadamkan api, Sun Tiong-lo merasakan hatinya tergerak, dia lantas
menduga kalau Mao Tin-hong telah meloloskan diri dari situ.
Itulah sebabnya dia lantas meluncur ke perahu musuh untuk melakukan
pemeriksaan yang teliti. Namun diapa bertindak sangat berhati-hati, disaat mana sebelum
berangkat dia berpesan kepada Hou ji agar jangan ikut ke depan, sebab
dia kuatir Mao Tin hong telah melakukan sesuatu persiapan diatas
perahunya sehingga kehadiran mereka disana malahan terkena
jebakannya. Itulah sebabnya dia saat dia melayang ke arah perahu musuh tadi,
pemuda itupun mengerahkan ilmu pendengaran langitnya untuk
mencoba nemeriksa keadaan disekitar situ, alhasil kecuali suara api yang
membakar perahu, pada hakekatnya tidak ditemukan suara orang
manusia pun. Begitulah, setelah termenung sejenak didepan pintu perahu, dia lantas
menerjang masuk ke ruang dalam: dia pun mendengar suara teriakan
dari Sangkoan Ki dan Houji, tapi tanpa ragu dia meneruskan langkahnya
menerjang masuk ke dalam. Dia sudah mendengar dari mulut Sangkoan Ki kalau ruang perahu yang
besar dan luas itu penuh dilengkapi dengan barang mewah, tentu saja
Sangkoan Ki sendiri tidak masuk ke ruang tersebut tempo hari, namun
sempat melihat dari balik cermin. Tapi keadaan yang tertera didepan mata sekarang sama sekali telah
berubah. Pintu kaca masih tetap utuh. namun perabot yang ada dalam ruangan
tersebut sudah hilang lenyap, bahkan permadani merah yang melapisi
lantai perahu pun sudah dicopot semua sehingga terlihat warna asli dari
dasar lantai perahu. Suasana dalam ruangan itu gelap gulita, tiada cahaya lentera,
sedangkan Sun Tiong lo sendiripun tidak membawa alat pembuat api,
untung saja tenaga dalamnya amat sempurna sehingga meski ada
dalam kegelapan pun dia dapat menyaksikan keadaan disitu dengan
amat jelas. Dengan menghimpun hawa murninya keda lam mata, dia mulai
memeriksa keadaan dalam ruangan tersebut dengan seksama.
Akhirnya diatas dinding perahu dia menemukan sepucuk surat yang
ditancapkan disana, beberapa huruf besar tertera didepan sampul
mana, yang bertuliskan. "Ditujukan khusus untuk Sun Tiong lo" Dengan kening berkerut Sun
Tiong lo berjalan menuju kedepan dengan langkah lebar. Ketika sampai disisi dinding ruangan dan baru
saja akan mengambil surat tersebut, tiba-tiba matanya tertumpuk dengan sebuah
meja lentera disisi bawah surat mana, diatas rak tersebut terdapat pula
sebuah lentera.

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang lebih aneh lagi, disisi lentera tadi tersedia pula alat untuk
membuat api. Anak muda itu termenung sejenak, kemudian timbul niatnya untuk
memasang lentera tersebut dan membaca surat mana dibawah lentera.
Tapi satu ingatan lain melintas pula dalam benaknya, akhirnya dia
urungkan niat tersebut dan mengambil surat yang tertancap diatas
dinding itu. Setelah surat diambil dan dibuka sampulnya tampak selembar kertas
berisikan tulisan yang rapat dan kecil.
Betul dia memiliki ketajaman mata yang luar biasa dan bisa digunakan
untuk memandang keadaan dalam ruangan, namun untuk membaca isi
surat dengan huruf yang begitu kecil, tanpa cahaya lentera tentu saja
sulit baginya untuk membaca. Oleb sebab itu Sun Tiong lo berjalan mendekati lentera tersebut,
mengambil alat pembuat api dan menyulut lentera yang tersedia disana.
Belum lagi lentera tersebut dipasang, mendadak dari luar jendela
muncul gumpalan api yang rontok kebawah, dalam waktu singkat
seluruh jendela luar sudah terjilat oleh api yang membumbung tinggi ke
angkasa. Rupanya lain layar tersebut sudah ambruk dan membawa kobaran api
yang menjiIat, membakar benda yang ada disekelilingnya.
Begitu cahaya api berkobar diluar, suasana dalam ruang perahu itu pun
menjadi terang benderang. Sun Tiong lo memandang sekejap kearah surat itu, lalu memandang pula
kearah lentera yang tersedia dimeja.
Tiba tiba ia seperti menemukan sesuatu, paras mukanya segera saja
berubah hebat, tanpa berpikir panjang lagi, dia membalikkan badan lalu
melompat keluar dari ruang perahu tersebut.
Kebetulan sekali perahu-perahu berisi bahan peledak itu sudah semakin
mendekati perahu musuh, dengan suara menggeledek Sun- Tiong lo
segera membentak keras: "Cepat menjauhi perahu ini, dalam perahu sudah dipasang bahan
peledak, cepat menjauh!" Ditengah bentakan itu, dia merendahkan tubuhnya sambil menyambar
sebuah gala panjang, kemudian dilemparkan kearah permukaan air
menuju ke arah berlayar delapan. Menyusul kemudian diapun ikut melayang keatas gala panjang itu dan
berdiri diatasnya. Gala bambu itu memang sedang meluncur kearah perahu berlayar
delapan tersebut, ketika kakinya mencapai diatas gala bambu tadi
ternyata gala itu tak tenggelam keair, malah meluncur semakin kearah
depan. Demonstrasi ilmu meringankan tubuh yang begitu sempurna ini, kontan
saja mengejutkan semua orang sehingga mereka bersama- sama
membelalakkan matanya dengan mulut melongo.
Sangkoan Ki dan Kang Tat sekalian makin bersyukur dihati, hari ini
mereka baru tahu kalau tenaga dalam yang dimilikinya Sun Tiong lo
sesungguhnya telah mencapai tingkatan yang tak terhingga.
Untung saja mereka cepat bertobat dan kembali ke jalan besar, dari
musuh kini menjadi teman. kalau tidak, entah bagaimana jadinya
dengan mereka" Sementara itu Kang Tat, Yu Teng po. Thio Yok sim dan Cukat Tan sudah
mendengar teriakan tersebut, serentak mendayung sampan
masing-masing menjauhi perahu musuh, sedang perahu kulit itupun
segera memutar haluan dan kembali ke perahu berlayar delapan.
Tatkala perahu berisi bahan peledak itu sudah menjauh, sampan kulit
sudah kembali ke perahu induk dan Sun Tiong lo telah kembali ke atas
perahu... Pada saat itu!ah, perahu musuh yang tak berpenghuni itu sudah
terkepung ditengah jilatan api yang membara, kemudian terjadilah
suatu ledakan dasyat yang menggelegar ditengah udara, diikuti pula
jilatan api mencapai tengah angkasa.
Dalam waktu singkat perahu tersebut sudah hancur berkeping- keping,
api yang membara pun segera lenyap bersamaan dengan lenyapnya
hancuran perahu itu didasar telaga.
Yang tersisa kini hanyalah hancuran kayu yang terapung diatas
permukaan air telaga... Semua orang segera meninggalkan perahu kecil dan pindah keatas
perahu besar, baban-bahan peledak diatas sarapan pun
dibawah petunjuk Yu Teng poo yang serius dipindahkan semua kedasar
perahu berlayar delapan tersebut. Kini, semua orang sudah berkumpul didalam ruang perahu yang lebar,
wajah mereka diliputi amarah, hanya Sun Tiong lo seorang tetap
berwajah hambar, tak jauh beda dengan paras mukanya dihari biasa.
Ditengah keheningan yang mencekam, Sangkoan Ki yang pertama-tama
buka suara lebih dulu ujarnya sambil menghela napas.
Kesemuanya ini harus salahkan diriku, sudah seharusnya aku dapat
berpikir kesitu, bajingan Mao licik dan banyak tipu muslihatnya mana
mungkin dia akan membuang sauh disini sambil menunggu kedatangan
kita untuk mencari gara-gara dengannya" sekarang dia telah pergi."
Dengan tak sabar Bau ji segera menukas. "Tak usah membicarakan
kata-kata yang tak berguna lagi, sekarang yang penting adalah memikirkan kemanakah dia telah kabur?"
"Tak usah dipikir lagi, tentu saja dia telah kabur kekebun raya Pek hoa
Wan gua Pek Hoa tong!" kata Sangkoan Ki cepat.
Bau ji segera berpaling kearah Sun Tiong lo kemudian serunya: "Jite,
mari kita mengajarnya sekarang juga ke wilayah Biau!"
Sikap Sun Tloig-lo sangat tenang, pelan-pelan dia berkata: "Tentu saja
kita harus berkunjung ke wilayah Biau, cuma kita baru akan kesitu
setelah dapat menemukan suatu tindakan yang tepat untuk mengatasi
bajingan Mao tersebut !" "Sun sauhiap," kata Sangkoan Ki dengan kening berkerut, "lohu berani
jamin dia hanya akan kabur melalui jalanan tersebut saja !"
Mendengar perkataan tersebut Sun Tiong-lo segera tertawa. "Untuk
saat ini aku tak ingin berpikir seenaknya sendiri, aku rasa
persoalan tak akan begitu gampang !"
Sangkoan Ki menjadi sangat gelisah, serunya lagi: "Sun sauhiap, kau
tidak tahu ! Saat ini bajingan Mao sudah tahu
kalau dia telah ditinggalkan anak buahnya, meskipun dunia ini sangat
luas, namun sudah tiada tempat lagi baginya untuk melarikan diri,
satu-satunya kemungkinan hanyalah kabur ke wilayah Biau."
Sun Tiong-lo segera menukas. "Misalkan tadi, seandainya Hou-ji dan
kau tidak berunding secara rahasia untuk mencoba perahu itu ada orangnya atau tidak dengan
panah terapi, tentu saja perahu tersebut tak akan terbakar.
"Apalagi sekalipun terbakar seandainya aku tidak mencegah kalian turut
serta menuju ke sana dan berangkat seorang diri kesitu dengan
andalkan ilmu meringankan tubuh, tentu saja kalian sudah berada diatas
perahu itu bersama-sama. "Disamping itu, seandainya layar yang membawa api tidak jatuh secara
kebetulan sehingga menggunakan sinar terang tersebut aku berhasil
menemukan penyakit pada lentera yang tersedia hingga tidak kupasang
sumbu lentera tersebut, mungkin bahan peledak itu sudah meledak
sejak tadi. Nah Sangkoan Tayhiap, coba kau bayangkan bagaimana
jadinya andaikata kita masih berada disana !"
"Tentu saja hancur berkeping keping !" kata nona Kim dengan nada
ngeri bercampur seram. Sambil tertawa Sun Tong lo memandang sekejap ke arahnya, lalu
ujarnya lagi: "Benar, rupanya sumbu lentera tersebut sesungguhnya merupakan
sumbu untuk meledakkan bahan peledak tersebut, padahal sumbu itu
cuma satu inci panjangnya, di sekitar perahu sesungguhnya penuh
dengan bahan peledak. "Andaikata tiada kebetulan-kebetulan yang terjadi, sudah pasti aku
telah menyulut lentera itu, bila bahan peledak itu sudah keburu meledak
sebelum aku pergi dari sana, tak bisa disangkal lagi akupun akan mati
disitu. "Tadi, bukankah kita semua telah menyaksikan betapa dahsyatnya
ledakan yang di sertai dengan jilatan api itu, nah coba kalian pikirkan,
siapakah yang bisa lolos dari keadaan tersebut "
Sekarang aku ingin bertanya kepada Sang-koan tayhiap, andaikata kita
semua telah tewas ditengah perahu tersebut, apakah Mao Tin hong perlu
untuk melarikan diri ke wilayah Biau ?"
Sangkoan Ki terbungkam dalam seribu bahasa, kepalanya segera
tertunduk rendah-rendah. Lama setelah suasana hening, Sun Tiong lo baru berkata lagi sambil
menghembuskan panjang: "Semuanya ini memang sudah takdir, namun panah api yang di bidikan
Hou ji sama sekali tidak gembira dengan ucapan tersebut, katanya
cepat: "Semuanya itu cuma suatu kebetulan, cuma suatu kebetulan yang tak
disengaja." "Benar" kata Sun Tiong lo serius "semuanya ini memang merupakan
suatu kejadian yang kebetulan, tapi kebetulan yang sesungguhnya di
atur oleh kekuatan gaib dari langit bukan pepatah kuno pernah bilang:
"Perhitungan manusia tak akan bisa mengungguli perhitungan langit...?"
Nona Kim mengerling sekejap ke arah Sun Tiong Io. kemudian
sindirnya: "Tak kusangka kalau kaupun menjadi seorang penganut tahayul
sekarang..." Sun Tiong-lo segera tertawa.
"Soal ini bukan soal tahayul atau tidak, seandainya Thian tidak
menakdirkan begini, memangnya kita semua masin bisa hidup detik
ini..." Sangkoan Ki berpikir sebentar, kemudian katanya lagi: "Jadi maksud
Sun sauhiap, bajingan Mao tersebut sekarang
berada di sekeliling tempat ini?"
"Tidak." kata Sun Tiong-lo sambil menggeleng, "sekarang dia sudah
pergi dari sini !" Sangkoan Ki memang tak malu disebut sebagai seorang jago kawakan,
dia segera manggut-manggut. "Benar." katanya kemudian, "disaat dia mengetahui kalau rencana
busuknya menemui kegagalan, tentu saja dia berusaha untuk kabur lebih
cepat dari sini !" Sun Tiong-lo segera manggut-manggut dan tidak berbicara lagi.
"Sekarang tentunya Sun sauhiap sudah percaya bukan kalau
perempuan cabul itu pun merupakan seorang manusia bengis yang
keji?" Sun Tiong lo memandang sekejap kearah nya kemudian balik bertanya.
"Dari mana kau bisa berkata begitu?" "Kenyataan sudah tertera
dengan jelas dan gamblang, seandainya perempuan cabul itu tak sekomplotan dengan bajingan
Mao, mengapa pula dia mengijinkan bajingan tua she Mao-itu untuk
melakukan siasat keji dengan mencarikan bahan peledak di dasar
perahunya sebelum melarikan diri dari sini?"
Sun Tiong lo segera terbungkam dalam seribu bahasa, dia tak sanggup
untuk berkata kata lagi. Sangkoan Ki segera berkata lebih jauh: "Kalau begitu semakin cepat
itu lebih baik bagi kita sekarang untuk mendatangi wilayah Biau jauh lebih awal!" "Yaa, dengan begitu
posisi kita pasti akan jauh lebih beruntung
lagi." sokong Hou ji dengan cepat. Sun Tiong lo segera berkerut kening
katanya tiba-tiba: "Aku rasa tak mungkin kita bisa tiba lebih awal dari
pada mereka.,!" "Aaah, belum tentu, kita toh turun kemudian mengikuti arus air..." seru
Hou ji. Dengan cepat Sun Tiong to menggelengkan kepala berulang kali,
"Entah bagaimanapun kita menempuh perjalanan, yang pasti tak
mungkin bisa sampai ke tempat tujuan mendahului mereka, apa lagi
merekapun hapal dengan daerah di sekitar sana, sedangkan kita semua
belum ada yang pernah berkunjung ke gua Pek hoa tong, bayangkan
saja, bagaimana mungkin kita bisa mendahului mereka?"
"Perduli bagaimana pun, berapa cepat perjalanan yang bisa kita
tempuh, kita berusaha secepatnya!" seru Sangkoan Ki.
Kali ini Sun Tiong lo tidak memberikan tanggapannya lagi, dia lantas
memperlihatkan surat yang di tunjukkan kepadanya itu, kemudian
berkata: "Bajingan Mao telah meninggalkan sepucuk surat kepadaku, coba kita
lihat apa isi surat tersebut. Sembari berkata dia lantas merobek sampul surat itu dan mengeluarkan
secarik kertas ternyata isinya hanya berupa selembar kertas putih.
Dalam pada itu, Yu Teng-poo yang berjaga diluar ruang perahu telah
membentak secara tiba-tiba: "Siapa disitu" jangan dekati perahu ini!" Begitu mendengar seruan
tersebut, Hou-ji segera melompat keluar lebih dulu dari dalam ruang perahu, sementara itu, dari luar sana
sudah kedengaran seseorang menjawab dengan nyaring:
"Tolong tanya apakah Gin ih lak yu berada diatas perahu" Lohu Mo..."
Belum selesai ucapan tersebut diutarakan, Kang Tat sudah bersorak
dengan gembira: "Sun sauhiap, Mo Kiau-jiu telah datang!"
Betul juga, Mo Ciau jiu dibimbing oleh Cukat Tan telah naik keatas
perahu berlayar delapan itu. Setelah masuk kedalam ruang perahu dan menyaksikan keadaan
didalam ruangan tersebut dia lantas berseru dengan gembira:
"Bagus sekali. aku benar-benar merasa gem bira sekali, dimana jenazah
Mao loji?" "Tua bangka itu berhasil kabur!" sahut Kang Tat sambil melotot sekejap
ke arahnya. Mo C i a u j i u t e r t e g u n , l a l u s amb i l mema n d a n g k e
wa j a h o r a n g - o r a n g i t u , s e r u n y a :
"Bukankah di sini hadir begini banyak orang " Mengapa dia berhasil
melarikan diri?" Thio Yok sim mendengus dingin. "Hmmm, kakinya kelewat panjang,
apa boleh buat " Kalau dia mau kabur, siapa yang bisa mencegah ?" "Tahukah kalian kemana
kaburnya bajingan itu ?" seru Mo Ciaujiu
dengan kening berkerut. "Menurut saudara Saogkoan, kemungkinan
besar dia telah kabur ke gua Pek hoa tong di wilayah Biau!" Mo Ciau-jiu segera menggertak
giginya kencang-kencang. "Ternyata tidak meleset dari dugaanku, hayo
berangkat, menuju kesana berarti jalan kematian bagi bajingan tua itu!" Dari balik ucapan
tersebut, semua orang dapat mendengar
sesuatu yang tak beres, tanpa terasa mereka jadi tercengang dan tidak
habis mengerti. Saat itulah, Sangkoan Ki segera mengemukakan kecurigaan dan
perasaan tak habis mengertinya: "Mo heng atas dasar apa kau mengatakan kalau kaburnya bajingan Mao
ke wilayah Biau merupakan jalan kematian baginya ?"
Dengan perasaan apa boleh buat Mo Ciau-jiu berpaling ke arah
Sangkoan Ki, kemudian ujarnya sambil tersenyum:
"Maaf lohu berpandangan picik sobat adalah..." Sangkoan Ki cukup
mengetahui tentang watak Mo Ciau jiu, dia
pun mengerti bahwa perasaan benci dan dendam dari Mo Ciau-jiu serta
juga Kang Tat sekalian terhadapnya sudah mendarah daging, kalau bisa
mereka hendak membunuhnya untuk melampiaskan rasa bencinya itu.
Terutama Mo Ciau jiu, tempo hari Sang-koan Ki lah yang mengatur
rencana untuk membekuknya, menghancurkan rumah tangganya dan
melarikan putrinya, terhadap dendam kesumat tersebut, Mo Ciaujiu tak


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah akan melupakannya. Kini, walaupun Sangkoan Ki sudah sadar atas dosa-dosanya dan
bertobat namun lantaran kejahatan yang dilakukan olehnya dimasa
dulu terlalu banyak, perbuatannya terlalu keji, dia tahu apabila Mo
Ciau-jio sudah mengetahui keadaan yang sesungguhnya sudah pasti dia
akan menerkamnya. Oleh sebab itu dia lantas menggeserkan tubuhnya dan berdiri disamping
Sun Tiong lo, katanya kemudian. "Saudara Mo, kita adalah kenalan lama !" Kening Mo Ciau-jiu
semakin berkerut kencang, serunya dengan
perasaan tidak habis mengerti. "Maaf aku lupa siapakah dirimu dan kita
pernah bersua dimana?" Baru saja Singkoan Ki hendak bicara, Mo-Ciau
jiu telah berkata lebih jauh: "Aaah, benar! Suara sobat terasa sangat kukenal sekali..."
"Lohu adalah Sangkoan Ki!" sela Sangkoan Ki cepat. Mo Ciau jiu
semakin tertegun lagi setelah mendengar perkataan
tersebut Ialu gumamnya. "Sangkoan Ki" Apakah kau adalah Sangkoan Ki yang dihormati umat
persilatan dimasa lalu" "Benar, tentunya Mo tua tak mengira bukan?" sela Kang Tat dari
samping. Mo Ciau jiu segera menggelengkan kepalanya berulang kali kembali dia
berkata: "Heran. antara Sangkoan tayhiap dengan lohu hanya kenalan biasa
saja, tapi kalau didengar dari nada suara Sangkoan tayhiap. tampak nya
kukenal sekali..." "Tentu saja" seru Thio Yok sim memecahkan teka teki tersebut, "sebab
Sangkoan tay hiap tak lain adalah Kwa Cun seng!"
Begitu nama "Kwa Cun seng" disebutkan paras muka Mo Ciau jiu
segera berubah hebat. Dengan perasaan terperanjat dia mengawasi wajah Sangkoan Ki
lekat-lekat, kemudian serunya tertahan.
"Sungguhkah itu" Benarkah kau adalah bajingan keparat she Kwan
tersebut?" Sangkoan Ki menarik napas panjang, kemudian manggut- manggut.
Mo Ciau jiu memandang ke arah Kang Tat dengan pandangan penuh
tanda tanya, Kang Tat segera menyatakan kebenarannya. Mo Ciau jiu
memandang pula ke arah Cukat Tan. Cukat Tan pun segera
manggut-manggut, maka dari balik mata Mo Ciau jiu pun segera
memancarkan cahaya api, api penuh hawa napsu membunuh.
Tapi sorot mata yang tajam menggidikan hati itu dalam waktu singkat
berubah kembali menjadi halus dan lembut, hanya sepasang alis
matanya saja yang masih berkenyit. "Oooh, rupanya kaupun telah menghianati Mao Tin-hong ?" gumamnya
kemudian. Sangkoan Ki menundukkan kepalanya rendah-rendah, katanya
kemudian pelan. "Sayang sekali aku terlambat mengkhianatinya, rasa menyesalku tak
terkirakan." "Kau merasa benci, aku lebih benci lagi !" sambung Mo Ciau jiu dengan
cepat. Tampaknya Sangkoan Ki memahami maksud perkataan tersebut, maka
dengan wajah serius katanya lagi: "Siaute cukup memahami akan rasa benci saudara Mo. ketika siaute
dapat menyaksikan batok kepala bajingan Mau telah terpenggal, disaat
itu pula ku jamin akan menyelesaikan rasa benci Mo heng terhadapku,
harap saudara Mo mencatat soal ini didalam hatimu."
"Apakah saudara Sangkoan ada maksud untuk mewujudkan keinginanku
itu?" tanya Mo Ciau jiu sambil memancarkan sinar mendalam dari balik
matanya. Sangkoan Ki tertawa getir, "Aku hidup sampai kini, sutu-satunya
keinginanku adalah menyaksikan bajingan she Mao itu memperoleh
pembalasannya, ketika harapanku tersebut sudah terpenuhi maka
matipun aku tak akan menyesal, oleh sebab itu semua perkataanku
kuutarakan secara sejujurnya !"
"Baik, kalau begitu kita berjanji dengan sepatah kata ini!" seru Mo Ciau
jiu sambil tertawa. "Tak usah kuatir." kata Sangkoan Ki lagi dengan nada berat, "Sangkoan
Ki, bukan Kwa Cun-seng !" Maksud dari perkataan tersebut sudah amat jelas, yakni perkataan dari
Kwa Cun seng tak bisa dipercaya, namun ucapan dari Sangkoan Ki bisa
dipercaya dan setiap ucapan yang telah diutarakan tak pernah akan
disesali kembali. Tapi Mo Ciau jiu lebih mengerti tentang Kwa Cun seng, walaupun Kwa
Cun seng telah menggunakan nama aslinya, atau dia telah
berganti menggunakan nama Sangkoan Ki, dia tetap adalah seorang
manusia yang sama. Orang itu bukan saja tidak bisa dipercaya parkataannya, bahkan sudah
cukup banyak melakukan kejahatan, bersalah licik keji dan berhati
berbisa seperti kala jengking, sekali melangkah semua perbuatannya
merupakan perbuatan-perbuatan jahat.
Oleh sebab itu, baginya dia mau bernama Kwa Cun seng atau Sangkoan
Ki, kedua-dua nya sama sekali tak ada perbedaannya.
Apa lagi orang bilang "pohon tumbang, monyet bubaran", ketika Kwa Cun
seng tahu kalau kejayaan bajingan tua she Mao sudah pudar, dia pun
bersikap seakan-akan bertobat untuk menyelamatkan jiwa sendiri.
Maka dia beranggapan meski orang lain bisa dibohongi oleh
perbuatannya itu jangan harap bisa membohongi dirinya.
Namun Mo Ciau jiu sebagai seorang yang berpengalaman, diapun tabu,
sejak Kwa Cun seng berganti nama menjadi Sangkoan Ki, apalagi
setelah berhasil menarik rasa simpatik dari Sun Tiong Io, dengan
perlindungan dari Sun Tiong lo, bukan suatu pekerjaan yang gampang
baginya untuk membunuhnya. Selain daripada itu, diapun merasa kalau kepandaian silat yang dimiliki
Sangkoan Ki sekarang sudah bukan tandingannya lagi, oleh karena itu
Mo Ciau jiu segera berlagak seakan-akan percaya sungguh dan
menunjukkan sikap yang terbuka. Tentu saja Mo Ciau jiu tidak tahu kalau kepandaian silat yang dimiliki
Sangkoa Ki telah punah sama sekali.
Sikap dari Mo Ciau jiu ini membuat Sangkoan Ki mempercayai pula
kepadanya dan tidak melakukan persiapan terhadapnya lagi.
Yang paling penting lagi adalah keluwesan Mo Ciau jiu dalam berbicara,
dimana dia segera mengalihkan pokok pembicaraan ke masalah Mao Tin
hong. Karena disini sudah tiada harapan lagi, serta merta merekapun
merundingkan perjalanan mereka menuju kewilayah Biau.
Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan
dengan berjalan kaki, biasanya perjalanan dengan berjalan kaki akan
mendatangkan perasaan diluar dugaan bagi orang lain.
Apa yang diduga Sun Tiong lo ternyata memang benar. Mao
Tin-hong tidak pergi jauh, dia sedang mengamati gerakgerik
lawannya disekitar sana. Sejak awal sampai akhir, dia telah
menyaksikan semua peristiwa tersebut dengan jelas. Dia benar-benar merasa benci, benci yang tak
terkatakan lagi. Dia pun menyaksikan perahu besar berlayar delapan
miliknya itu, kini berubah menjadi perahu musuh. Dia pun menyaksikan Sangkoan Ki
muncul dengan wajah aslinya, bahkan sedang menyusunkan rencana bagi tindakan yang akan
dilakukan lawan. Ketika terjadi ledakan dahsyat serta menyaksikan Sun Tiong lo
mendemonstrasikan kelihayan ilmu silatnya Ma Tin-hong merasakan
nyalinya pecah, dengan perasaan ngeri dia hanya bisa menggelengkan
kepalanya berulang kali. Disisi tubuhnya sekarang tiada orang lain, bukan saja iblis perempuan
itu tak nampak, dayang centil itupun tak nampak batang hidungnya...
Sekarang, dia menyaru sebagai seorang tukang perahu yang terdekat
diatas perahu nelayan butut seharga sepuluh tahil perak, dia sengaja
berlabuh tak jauh dari perahu besar tersebut sambil secara diam-diam
mengamati keadaan disitu. Termakan oleh bujuk rayu Mao Tin-hong yang manis dan hangat, si
Iblis wanita dan para dayang dari kebun Pek hoa wan telah
berangkat lebih dulu untuk kembali ke kebun Pek hoa wan dan
membuatkan persiapan baginya. Sekalipun Sangkoan Ki dan Sun Tiong lo sekalian melakukan
pengawasan dari samping, tapi berhubung tiada orang yang berjaga
dibelakang perahu besar yang menghadap ke tengah telaga, maka Mao
Tin hong dapat melarikan diri dengan leluasa.
Dia sengaja menyuruh si iblis perempuan itu pergi, karena dia tak ingin
iblis perempuan itu menyaksikan dia mempersiapkan siasat menanam
bahan peledak diatas perahu penumpang itu, diapun masih mempunyai
satu perhitungan lain, yakni ia ingin kembali ke Bukit pemakan manusia
sekali lagi. Didalam Bukit pemakan manusia tersimpan berapa banyak benda
mestikanya, apabila keadaan tidak terpaksa, dia masih ingin berkunjung
kesana sekali lagi dan membawa pergi benda-benda mestika miliknya
itu. Akan tetapi, sewaktu dia menyaksikan Mo Cau-jiu telah bergabung
dengan Sun Tiong lo harapan tersebut segera punah, setelah termenung
beberapa waktu, akhirnya sambil menggigit bibir dia memutuskan untuk
meninggalkan segala harta kekayaannya itu.
Tatkala dia bertekad untuk meninggalkan telaga Tong ting dan jauh
menuju ke wilayah Biauw, sambil memandang perahu besar dengan
delapan layar serta sekawanan musuh bebuyutannya yang berada
dalam ruang perahu itu, dia bergumam sambil tertawa menyeringai:
"Suatu hari, kalian semua akan mampus ditangan lohu, lohu akan tetap
muncul di daratan Tionggoan, dan waktu itu... Hmm ! Hmm !"
Maksud dari perkataan itu sudah jelas, yakni pada waktu itu seluruh
kolong langit sudah berada dibtwah kekuasaannya.
Setelah mendengus dua kali dan menunjukkan sikap yang benci, dia
tertawa bangga. Wajahnya dihiasi oleh senyuman menyeringai yang licik, buas dan keji,
sampan kecil tersebut pelan-pelan didayung berangkat menjauhi tempat
itu. Sementara para jago yang berada di atas perahu besar itu sudah
bersiap-siap untuk melakukan perjalanan
oooO-de-Oooo FAJAR baru menyingsing, dari ujung jalan raya yang
terbentang lurus kedepan itu berkumandang suara derap kaki kuda, disusul
kemudian muncul segulung "naga kelabu" yang menggulung diangkasa.
Ketika naga kelabu itu mulai muncul, mula-mula hanya menempel pada
permukaan tanah dan terbang menggulung, kemudian mulai
mengembang dan makin lama mengembang semakin besar dan panjang.
Disaat ekor naga mulai membuyar, kepala naga telah tiba didipan pintu
kota. Pelan pelan naga debu itu mulai membuyar dan muncullah
serombongan manusia berkuda. Sepasang muda mudi yang berjalan paling duluan adalah Sun Tiong lo
serta nona Kim. Dibelakang adalah Bau ji, Sangkoan Ki serta Yu Teng Po. Dibelakang
mereka menyusul Kang Tat, Thio Yok sim, Cukat Tan
Ban Seng dan Thia Keng, lima diantara sahabat Lak yu yang masih
hidup. Menyusul kemudian Mo Cau jiu yang ahli dibidang alat rahasia dan alat
jebakan. Perjalanan mereka dilakukan dengan amat cepat, waktu itu rombongan
tersebut telah tiba diluar kota Kun beng.
Pintu kota telah dibuka dan rombongan ini masuk kota dan beristirahat
di sebuah rumah mukan yang bernama An ka.
An ka-thian merupakan rumah penginapan rangkap rumah makan yang
termashor dikota Kun beng, hidangan maupun pelayannya hebat, kamar
mereka bersih dan luas. Setelah melakukan perjalanan semalaman suntuk, Sun Tiong-lo sekalian
merasa perlu untuk mempersiapkan sarapan serta makanan untuk
kuda-kuda mereka. Selesai sarapan, Sangkoan Ki berpesan kepada pelayan agar
membangunkan mereka tengah hari nanti karena mereka hendak
melanjutkan perjalanan lagi. Pada ruang sebelah timur berdiamlah Sun Tiong-lo, Bau ji dan nona
Kim. Pada ruang sebelah barat adalah Sangkoan Ki dan muridnya,sedangkan
pada deretan kamar samping berdiamlah Lak yu dan Mo Ciau jiu.
Mereka telah tidur karena Ielah, malah berpesan kepada pelayan agar
jangan berisik disana. Pada saat itulah, dari luar penginapan muncul lagi dua orang tamu.
Seorang sastrawan berusia pertengahan dengan dua orang pengiring.
Salah seorang lelaki pengiring itu melompat dari kudanya lebih dulu
kemndian baru melayani sastrawan setengah umur itu untuk turun dari
kudanya. Setelah membersihkan pakaiannya yang penuh debu, sastrawan
setengah umur itu berkata kepada pelayan yang menyambut
kedatangannya itu sambil tertawa: "Ada kamar bersih ?" "Ada, ada, ada. silahkan ikuti
hamba..." Kemudian sambil berpaling kearah rekannya, dia
berseru: "Lo Huang. bawa kuda tamu kedalam istal, turunkan perbekalannya."
Lo-Huang mengiakan sambil siap maju kedepan. Tapi sastrawan
setengah umur itu menggoyangkan tangannya
berulang kali sembari berkata: "Jangan, ke tiga ekor kuda itu bukan
kuda sembarangan, biasanya kamilah yang mengurusi sendiri. cukup asal kalian menghantar
orang orang ke istal." Tentu saja pemilik rumah penginapan itu mengiakan berulang
kali,sementara sastrawan setengah umur itu menuju ke kemarnya, dua
orang lelaki itu membawa kuda mereka menuju ke istal.
Lo Huang segera memberitahukan kepada Lo Ceng yang mengurus istal
agar tak perlu mengurusi kuda tersebut, kemudian berlalu dari situ.
Lelaki lelaki yang membawa tiga ekor kuda itu segera bekerja pula,
yang satu melepaskan tali pelana sedang yang Iain berjalan kebelakang
Loceng untuk mengambil sikat. Menggunakan kesempatan disaat Loceng tak siap itulah, mendadak lelaki
itu menotok jalan darahnya hingga jatuh pingsan.
Selanjutnya kedua orang lelaki itupun mulai bekerja keras, entah apa
saja yang telah dilakukan, menanti pekerjaan mana telah selesai,
mereka baru meneguk bebas jalan darah Lo-ceng tersebut.
"Aah, kau memang mengagetkan saja, mengapa sih secara tiba tiba
jatuh pingsan ?" salah seorang lelaki itu segera menegur.
Sementara Lo ceng masih kebingungan dan tak tahu bagaimana mesti
menjawab, lelaki itu berkata lagi: "Apakah kau memang mengidap penyakit semacam itu ?" "Tidak
ada!" jawab Lo ceng sambil membelalakkan matanya
lebar-lebar dan menggelengkan kepalanya berulang kali.
Lelaki itupun turut menggelengkan kepalanya.
"Aku lihat, ada baiknya kalau kau pergi mencari tabib untuk
memeriksakan kesehatan badanmu."
Sembari berkata, mereka berdua mulai menyikat kuda, memberi
makan, kemudian menambatnya sebelum pergi.
Sore itu, setelah bangun dari tidurnya, membersihkan badan dan
bersantap, Sun Tiong lo sekalian segera berangkat meninggalkan kota
Kun beng.

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa tahu belum sampai dua puluh li, kuda mereka roboh terkulai satu
persatu, tak lama kemudian mulutnya berbusa dan akhirnya mati.
Sangkoan Ki yang berpengalaman segera menemukan hal hal yang tak
beres dengan kuda mereka, serunya dengan cepat:
"Aaah Kuda-kuda kita telah dicekok pil pelemas tulang kita sudah
dipecundangi orang!" "Ya, penyakit ini pasti berasal dari rumah penginapan An ka!" sambung
Mo Jiau jiu yg berpengalaman pula setelah memandang sekejap ke arah
bangkai kuda itu. Dengan perasaan mendongkol Bau ji segera mendengus. "Hm, mari
kita kembali dan bekuk batang leher bajingan
tersebut..." Tapi Sun Tiong lo segera menggeleng katanya. "Kita tak
punya musuh lain, sudah pasti perbuatan ini atas
perintah bajingan Mou yang berminat untuk melenyapkan kuda- kuda
kita agar prjalanan kita tertunda, bila kita kembali lagi, berarti kita
sudah termakan oleh siasatnya."
"Tapi tanpa kuda, bukankah perjalanan kita akan semakin terlambat?"
ucap Bau ji. Sun Tiong lo berpikir sejenak, kemudian katanya kepada Sangkoan Ki:
"Sangkoan tayhiap, tahukah kau diperjalanan depan sana apakah
terdapat pasar kuda?" OoodeooO MO CIAU JIU menggelengkan kepalanya. "Tidak ada.
kecuali kalau kita mau berputar sejauh sepuluh li lagi
dan membeli kuda di-peternakan keluarga Lok!" "Sepuluh li bukan
perjalanan jauh" sela nona Kim cepat, "tanpa
kuda tak mungkin bagi kita untuk menempuh perjalanan kalau begitu
mari kita, berangkat!" Berada dalam keadaan apa boleh buat, terpaksa semua orang harus
membawa buntalan masing-masing dan meneruskan perjalanan dengan
berjalan kaki. Dipeternakan kuda keluarga Lok ada kuda yang bisa dibeli, namun tak
akan bisa mendapatkan pelana, maka merekapun harus berjalan sambil
menyeret pelana. Perjalanan sejauh sepuluh li harus mereka tempuh dalam setengah
malam, ketika baru akan sampai, mendadak semua orang mendengar
suara derap kaki kuda dari belakang, mereka lantas berhenti sambil
menengok. Tampaklah dua orang lelaki dengan seorang sastrawan berusia
pertengahan berjalan lewat dari sisi mereka.
Peristiwa semacam ini amat lumrah dan tiada sesuatu yang aneh, tentu
saja tiada orang yang menaruh curiga.
Akhirnya sampai juga mereka dipeternakan keluarga Lok. Waktu itu
mendekati magrib, pemilik peternakan tersebut Lok
Siang beralasan kalau kurang baik untuk memilih kuda dalam suasana
begini, mereka dianjurkan untuk menginap semalam dulu di peternakan
tersebut, besok pagi baru memilih kuda dan meneruskan perjalanan.
Karena menganggap cara ini baik, tentu saja semua orang merasa tidak
keberatan. Tanah peternakan keluarga Lok cukup besar tempat penginapan untuk
tamu pun cukup luas, malam itu Lok Yang menyelenggarakan
perjamuan untuk menyambut kedatangan tamu-tamunya, baik sikap
maupun caranya berbicara mendatangkan kesan yang baik bagi setiap
orang. Berbicara yang sebenarnya Sun Tioag lo sekalian hanya akan membeli
sebelas ekor kuda, tidak berapa banyak yang bisa diperoleh dari
keuntungan jual beli itu, maka pelayanan Lok Siang yang begitu ramah
dan hangat justeru mendatangkan perasaan tak tenang di dalam hati
para jago... Perjamuan itu baru bubaran pada kentongan ke dua. Tempat
menginap untuk para tamunya merupaksn kamar kamar
yang berjejer secara teratur seperti rumah penginapan Sun Tiong-lo
tinggal dikamar pertama, nona Kim berdiam
dikamar nomor dua. Kamar nomor tiga adalah Bau ji, selanjutnya Mo
Ciau jiu Yu Teng-po, Sangkoan Ki serta Lak yu, dari dua deret kamar yang terdiri
dari duabelas kamar, hanya sebuah saja yang berada dalam keadaan
kosong. Sesungguhnya jumlah rombongan Sun Tiong lo adalah duabelas orang
tapi di tengah jalan entah mengapa Hou ji memisahkan diri, mungkin
ada urusan penting lain yang hendak di kerjakan olehnya.
Ketika kentongan ke tiga menjelang tiba, semua orang pun terlelap
tidur, suasana menja di hening, sepi dan tak kedengaran sedikit
suarapun. Suasana didalam peternakan keluarga Lok juga diliputi kegelapan, tak
nampak cahaya lentera yang menerangi tempat itu.
Mendadak tampak sesosok bayangan hitam menyelinap keluar secara
diam-diam dari tempat tinggal para pekerja peternakan yang terletak di
belakang bangunan utama. Tak lama kemudian bermunculan pula bayangan manusia lain yang
segera menyebarkan diri ke mana-mana.
Ada yang berlarian ke istal sambil secara diam-diam mempersiapkan
kuda. Ada yang berlarian menuju ke ruang tengah untuk mengambil barang.
Akhirnya dari gedung belakang peternakan itu muncul tiga sosok
bayangan manusia yang masing-masing membawa sebuah peti yang
nampaknya berat sekali. Mereka langsung menuju ke istal, mengikat peti berat itu diatas pelana
kuda kemudian berlalu dari situ. Sementara itu, terdapat dua puluhan sosok bayangan hitam yang
sedang mengumpulkan ranting dan kayu kering, kemudian dengan
gerakan cepat dan lincah menuju ke depan ge dung dimana Sun Tiong
lo sekalian sederet menginap. Mereka menumpukkan ranting-ranting kering tersebut disekeliling
bangunan gedung tanpa menimbulkan sedikit suara pun.
Makin lama ranting dan kayu kering yang ditumpukkan disana semakin
banyak. bahkan hampir sejajar dengan jendela.
Ketika ranting ranting tersebut sudah selesai ditumpuk, kawanan
manusia berbaju hitam pun secara diam diam meninggalkan tempat
kejadian tanpa menimbulkan sedikit suarapun, Kemudian mereka semua
satu persatu berlompat naik ke atas kuda yang telah dipersiapkan
dikejauhan. Pada saat itulah, tiga orang manusia yang sudah berada di atas kuda
sambil membawa peti peti berat itu berjalan mendekat, salah seorang
di antaranya secara mengulap tangannya.
Serentak kawan manusia yang berada disekeliling gedung tamu itu
mengeluarkan busur dari sisi pelana masing-masing, kemudian orang
itu mengulapkan tangan kanannya lagi, api segera disulut dan obor pun
dipasang. Tak selang berapa saat saja, orang-orang itu sudah mempersiapkan
panah berapi yang siap dibidikkan. Tatkala orang itu mengulapkan tangannya sekali lagi panah- panah
berapi itu bersamaan waktunya dibidikkan keatas tumpukan kayu
kering itu... Panah api bermunculan dari empat penjuru, dalam waktu singkat
seluruh gedung itu sudah terkurung api yang berkobar dengan
hebatnya. Perlu diketahui, bangunan rumah untuk tamu itu sebagian besar terbuat
dari kayu, atap rumah pun rupanya sudah disiram dengan minyak, maka
dalam waktu singkat seluruh bangunan tersebut sudah terjilat api dan
berubah menjadi sebuah gumpalan api.
Bila orang yang berada dalam gedung tersebut masih bisa meloloskan
diri dari keadaan seperti ini, sudah pasti orang itu setengah dewa.
Ditengah kobaran api yang membara itulah terlihat dengan jelas,
rupanya pemimpin dari gerombolan tersebut tak lain adalah Lok siang
sendiri, pemilik peternakan itu. Ditengah kobaran api yang membara inilah terdengar Lok Siang berseru
dengan lantang: "Apakah semua orang telah berkumpul ?"
"Ya, sudah berkumpul semua." "Bagus, dengan kobaran api sebesar
ini, aku yakin mereka tak bakal lolos lagi dengan selamat, mungkin kita tak usah mengikuti
rencana untuk mengundurkan diri dari peternakan ini lagi, cuma kalian
semua harus tetap waspada." Seorang lelaki berbaju hitam yang berada disamping Lok Siang segera
menyela: "Saudara Lok, aku lihat lebih baik kita mengikuti rencana untuk mundur
saja dari sini." "Saudara Co, coba kau lihat, hingga sekarang mereka masih belum
menunjukan sesuatu gerakkan pun, hal ini membuktikan kalau
mereka-semua sudah mati terbakar ditengah tidur yang nyenyak." kata
Lok Siang sambil berkerut kening, "asalkan orang yang kita takuti sudah
musnah, mengapa kita harus menarik diri dari sini ?"
Lelaki she Cio itu menggelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya
cepat: "Saudara Lok, justeru karena aku tak mendengar suara apa pun dari
mereka, maka aku baru merasa kalau keadaan sedikit tak beres!"
Lok Siang tertawa dingin. "Hee... hee... seharusnya saudara Cho
dapat melihat dengan jelas. deretan rumah tamu sudah berubah menjadi lautan api, sekalipun
Sun Tiong lo merupakan seorang jago lihay yang berilmu tinggi,
mungkinkah dia bisa lolos dari sini ?"
Lelaki she Cho itu menggelengkan kepalanya lagi. "Kau harus tahu,
mereka bersebelas merupakan jago-jago yang
memiliki ilmu silat yang amat tinggi, seandaikata kebakaran itu sampai
terjadi, seharusnya terdengar teriakan atau jeritan orang, semestinya
ada pula yang mencoba untuk menerobos keluar dari bahaya dan
bayangan manusia yang berkelebat. "Tapi sejak kebakaran terjadi hingga sekarang, bukan saja tidak
terdengar teriakan atau jeritan kesakitan, tidak nampak pula seorang
manusia pun yang melarikan diri, apakah hal ini tidak mencurigakan ?"
Setelah mendengar penjelasan tersebut, Lok Siang baru merasakan
keadaan sedikit tak beres. Dengan kening berkerut katanya kemudian:
"Menurut pendapat saudara Cho, keadaan tersebut adalah..." "Sulit
untuk dikatakan." tukas lelaki she Cho itu. "pokoknya
keadaan seperti ini jauh berbeda dengan keadaan pada umumnya.
lebih baik kita menyingkir saja dari sini!"
Lok Siang termenung sambil berpikir beberapa saat lamanya, kemudian
manggut-manggut. "Baik, mari kita mundur !" Setelah berpaling, dia mengulapkan tangan
nya kepada para jago sembari teriaknya:
"Sesuai dengan rencana semula, mundur!" Begitu perintah
diturunkan dia bersama lelaki she Cho dan lelaki
setengah umur lainnya segera menarik tali les kuda dan berangkat
dahulu menuju kearah pintu gerbang.
Sedangkan lainnya pun menurut perintah dan mengikuti dibelakangnya.
Siapa tahu ketika Lok Siang dan lelaki she Cho sekalian tiba didepan
pintu gerbang, mendadak dari balik pintu berjalan keluar seseorang,
orang itu memakai jubah panjang dengan pedang tersoren dipunggung,
dia tak lain adalah Sun Tiong lo. Dalam kagetnya, hampir saja Lok Siang menjerit tertahan, peluh dingin
segera bercucuran dengan derasnya. Lelaki she Cho itu ternyata cukup licik, begitu melihat Sun Tiong lo
menghadang didepan pintu, dia lantas memutar arah kudanya dan
kabur melalui pagar dinding di sebelah kiri.
Maksudnya dia hendak melompati pagar tersebut dan melarikan diri.
Tiba-tiba suara bentakan berkumandang lagi dari balik kegelapan
malam: "Siapa yang ingin kabur, dialah yang mampus lebih dulu, dan kau
merupakan contohnya!" Di tengah bentakan mana, tubuh lelaki she Cho yang sudah hampir
mencapai puncak pagar itu tahu-tahu menjerit kesakitan kemudian
roboh terjengkang ketanah. Ketika diperiksa lagi, ternyata batok kepalanya sudah lenyap tak
berbekas. Tindakan tersebut kortan saja menggetarkan perasaan setiap orang
yang hadir disana. Sekarang Lok Siang telah sadar, rupanya mereka yang berbalik kena
dikepung dalam peternakan tersebut.
Ingin kabur, lelaki she Cho itu merupakan contoh yang jelas, mati tanpa
tempat kabur, sebaliknya kalau tidak kabur, sudah pasti mereka akan
menuntut balas kepadanya atas rencana pembakaran terhadap diri
mereka itu. Sementara dia masih termenung, Sun Tiong lo telah membentak
dengan suara nyaring: "Sekarang kuperintahkan kepada kalian untuk turun dari kuda dan
kembali ke ruang tengah gedung secara tertib, siapa berani
membangkang dia akan mampus !"
Melihat kejadian itu, Lok Siang berseru sambil menggertak gigi kencang
kencang. "Orang she Sun, didalam peristiwa pada maIam ini, aku dan dua
bersaudara Cho yang melaksanakan perbuatan ini, sedangkan anggota
peternakan kami hanya melaksanakan perintah saja, aku harap..."
Belum habis dia berkata, Sun Tiong-lo sudah menukas lebih dahulu:
"Bila ada persoalan lebih baik dibicarakan dalam ruangan tengah saja !"
Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa Lok Siang harus memutar
kudanya dan berjalan balik. Dari balik kegelapan, kembali terdengar orang membentak keras.
"Orang she Lok, apakah kau masih merasa berat hati untuk turun
dari kudamu ?" Terpaksa Lok Siang melompat turun dari kudanya,
sedang semua orang yang lain pun satu per satu melompat turun dari kuda dan
mengikuti dibelakang majikannya. Wajah semua orang murung dan sayu, langkah mereka pun tampak
berat seperti dibebani dengan benda seberat ribuan kati.
Sementara itu, si jago merah yang membakar kamar tamu sudah
padam, bangunan pun telah porak poranda, suasana dalam peternakan
tersebut terasa jauh lebih gelap dan suram, Sun Tiong- lo berjalan di
paling belakang, sambil berjalan dia berseru:
"Kalian dengarkan baik-baik, barangsiapa mencoba untuk melarikan diri
ditengah jalan, jangan salahkan kalau kubunuh dia secara keji"
Baru selesai dia berkata, mendadak tampak sesosok bayangan hitam
melejit keluar dari rombongan dan melarikan diri ke tempat ke gelapan
dengan kecepatan tinggi. Tampaknya kepandaian silat yang dimiliki orang itu cukup tinggi,
gerakan tubuhnya cepat bagaikan sambaran kilat, dalam sekejap mata
dia sudah ke balik kegelapan sana. Disaat bayangan tubuhnya hampir tak nampak itulah, suara bentakan
nyaring berkumandang dari balik kegelapan tembok.
"Sudah diberitahu jangan kabur, kau masih nekad juga sekarang
jangan salahkan kalau aku bertindak keji, salahmu sendiri mencari
kematian buat diri sendiri !" Menyusul selesainya perkataan itu, jeritan ngeri yang menyayatkan hati
segera berkumandang memecahkan keheningan.
Sun Tiong-lo mendengus dingin, sekali lagi dia membentak
keras: "Apabila diantara kalian ada yang masih belum percaya, silahkan saja
untuk mencoba melarikan diri !"
Sejak peristiwa itu, sudah ada dua orang yang tewas ditangan lawan,
kejadian mana kontan saja menciutkan hati semua orang dan tak
satupun yang berani mencoba untuk melarikan diri lagi.


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak selang beberapa saat kemudian semua orang sudah sampai di
ruang tengah, anehnya baru saja mereka mulai melangkah ke dalam
ruangan, ruang tengah yang semula gelap kini menjadi terang oleh
cahaya lentera. Menyaksikan hal ini, Lok Siang menghela napas panjang, sekarang dia
baru tahu kalau orang lain telah mengatur segala sesuatunya secara
sempurna, bahkan bisa jadi gerak gerik mereka sudah diawasi semua
secara ketat, tidak heran kalau tindakan mereka menderita kegagalan
total... Sesudah masuk kedalam ruangan, Lok Siang baru melihat bahwa para
jago yang dianggap nya sudah mati terbakar tadi, sebagian besar
diantaranya kini sudah muncul disitu.
Tak terasa dia menundukkan kepalanya rendah-rendah, kemudian
menyingkir kesisi. Mendadak dia merasa apa yang dilihatnya seperti ada sesuatu yang tak
beres, betul juga diantara kawanan jago dalam ruangan itu tampak pula
Sun Tiong lo berada disitu. Dengan cepat dia berpaling Iagi ke arah pintu dengan perasaan
terkesiap, apa yang di-lihat" Ternyata Sun Tiong lo yang lain baru saja
langkah masuk ke dalam ruangan. Dengan cepat dia berpikir sejenak, akhirnya Lok Siang menyadari apa
gerangan yang telah terjadi. Tak heran kalau rencana yang diatur secara sempurna itu, kini
menderita kegagalan total. Tak heran pula kalau diantara kawanan jago tersebut tidak nampak Hau
ji, rupanya Hou-ji telah berperan sebagai Sun Tiong-Io
yang bergabung dalam rombongan, sedangkan Sun Tiong lo yang
sebenarnya justeru melindungi semua orang secara diam-diam.
Untung saja ia berbuat demikian kalau tidak mungkin para jago tak
akan lolos dari bencana kebakaran tersebut malam itu.
Sesudah dilakukan pemeriksaan yang jelas, Lok Siang pun menuturkan
kejadian tersebut dengan jelas. Ternyata dia adalah anak buah Mao Tin-hong, setelah menerima
perintah rahasia, dia lalu mengambil keputusan untuk menghadapi para
jago dengan siasat api. Sun Tiona-lo juga tidak banyak membuang waktu, dia hanya
memunahkan ilmu silat yang dimiliki Lok Siang, kemudian setelah
memberi peringat kepada anak buah lainnya, mereka baru memilih kuda
bagus untuk meneruskan perjalanan. OoodwooO SETELAH memasuki daerah Biau, Hou-ji pun pulih kembali
dengan raut wajah aslinya. Kim-sah-cay merupakan sebuan dusun
berkebudayaan bangsa Han yang letaknya paling dekat dengan wilayah Biau. Karena banyak
yang berkawin campur antara bangsa Han
dengan suku Biau, disekitar tempat itupun tumbuh serumpun suku
campuran baru yang hidup berkelompok disana.
Bagi orang-orang bangsa Han yang hendak naik ke gunung. dusun ini
merupakan pos terakhir, segala kebutuhan bisa dibeli secara lengkap
disitu, bahkan terdapat pula dua rumah penginapan yang khusus untuk
menampung tamu-tamu dari luar daerah.
Sun Tiong-lo berdiam disebuah rumah penginapan yang paling bersih.
Setelah melakukan berapa kali perundingan mereka pun mulai membuat
daftar barang kebutuhan sehari-hari yang menitahkan kepada pemilik
rumah penginapan untuk mempersiapkannya.
Dalam keadaan begini, kuda-kuda tersebut sudah tak ada gunanya lagi,
kendatipun di wilayah Biauw masih bisa digunakan tapi jalan gunung
yang terbentang sejauh dua tiga ratus li itu sulit ditembusi dengan
menunggang kuda, terpaksa mereka tinggalkan binatang-binatang
tersebut disana! Malam Itu, disebuah ruangan tamu yang agak besar, mereka melakukan
perundingan tentang langkah selanjutnya setelah naik keatas gunung.
Jangan dilihat Sangkoan Ki dan Lak-yu sudah lama mengikuti Mao
Tin-hong, ternyata mereka belum pernah berkunjung ke wilayah Biau.
Malahan sebaliknya Mo Ciau-jiu yang hafal dengan jalanan disekitar situ.
Rupanya semasa masih muda dulu, Mo Ciau jiu seringkali mengikuti
orang tuanya berkunjung ke wilayah Biau, bahkan pernah memperisteri
seorang gadis suku Biau, ia mempunyai seorang putera dan seorang
putri, puteranya tewas digigit ular, sedang puterinya di bawa pulang ke
daratan Tionggoan. Waktu itu puterinya sudah berusia lima belas tahun. Oleb sebab itu,
ketika Sun Tiong-lo bertanya dimanakah letak
gua Pek-hoa-tong tersebut, Mo Ciau-jiu segera menjawab: "Aku tahu,
bahkan sepanjang jalan menuju kemari, aku telah
membuatkan sebuah peta." Sambil berkata dia mengeluarkan peta
tersebut dan dibentangkan dihadapan orang banyak. Peta itu dibuat sangat
sederhana, pertama karena Mo Ciau jiu
sudah banyak tahun tidak pernah berkunjung lagi ke wilayah Biau,
sehingga dia membuat peta itu hanya berdasarkan daya ingatan saja,
Kedua, tujuan mereka adalah gua Pek Hoa-tong, maka tempat lainpun
tak dilukiskan. Sambil menuding kearah suatu tempat di-atas peta. Mo Ciau jiu
berkata: "Disinilah terletak gua Pek hoa tong itu!" Sun Tiong lo mencoba
untuk mengamati peta tersebut beberapa
saat lamanya, kemudian berkata: "ltu berarti kita harus melalui empat
lima buah perkampungan suku Biauw terbesar sebelum bisa mencapai tempat tujuan?" "Benar,
yang paling menjengkelkan adalah sewaktu melalui
perkampungan terakhir dimana yang menghuni suku Biau berleher
panjang!" "Ooooh, berbahaya?" "Suku tersebut merupakan suku yang paling
buas dan kejam diantara suku suka Biau lainnya." Dengan kening berkerut Nona Kim
segera bertanya: "Mungkinkah bagi kita untuk berjalan agak memutar?"
Mo Ciau jiu menggeleng. "Tempat dimana suku Biau berleher panjang
berdiam persis berada dikedua belah sisi jalan gunung yang harus kita lalui, tempat
mereka mencapai puluhan Iie lebarnya, jadi bagaimana pun kau
berputar, tak mungkin bisa menghindari daerah mereka.
-oo0dw0oo- Jilid 40 SUN TIONG LO berpikir sejenak, kemudian tanyanya, "Apakah Mo
tayhiap mempunyai suatu cara untuk mengatasi keadaan seperti ini ?"
"Wilayah Biau kekurangan garam, orang-orang suku Biau gemar
dengan benda yang berwarna-warni, asal kita menyediakan bendabenda
tersebut, enam tujuh bagian kita bisa melalui dari tempat
tersebut dengan aman, tapi ada kalanya keadaan tersebut terkecuali !"
"Paling banter kita terjang dengan kekerasan, apa yang perlu dirisaukan
lagi?" sela Bau ji tidak sabar.
Dengan wajah bersungguh-sungguh Mo Ciau jiu berkata lagi.
"Walaupun kita dapat mengandalkan kepandaian silat kita untuk
melompat dan berlarian, namun senjata tulup dan lembing mereka tak
boleh dipandang enteng, apalagi jumlah mereka pun sangat banyak!"
"Bila ada diantara kita yang kurang berhati-hati hingga melukai atau
membunuh salah seorang anggota mereka, bisa jadi seluruh anggota
suku akan muncul untuk melakukan penyerangan bersama, dalam
keadaan begini, kendatipun kepandaian silat yang kita miliki sangat baik
pun, jangan harap bisa meloloskan diri dari sana dengan selamat."
"Kalau begitu, soal ini tak bisa diperhitungkan dari sekarang." sela Hou
ji. Mo Ciau jiu tertawa. "Tidak begitu, lohu sudah mempunyai rencana
bagus untuk mengatasi hal semacam ini" Tiba-tiba Sun Tiong lo teringat kembali
dengan ucapan Mo Ciau jiu ketika masih berada diatas perahu berlayar delapan. Sementara ia
mendengar Mao Tin hong sedang kabur menuju ke
wilayah Biau, dia telah mengatakan kalau jalan kesana merupakan jalan
kematian baginya. Maka anak muda itu berseru: "Mo tayhiap, sewaktu berada diperahu
berlayar delapan, kau pernah bilang kalau kaburnya Mao loji ke wilayah Biau merupakan jalan
kematian baginya, dan sekarang kau bilang sudah mempunyai
persiapan untuk menghadapi keadaan ini, apakah..."
"Benar" tukas Mo Ciau jiu, "lohu pernah menduga, bila berada dalam
keadilan kepepet maka bajingan tua itu akan kabur ke wilayah Biau,
oleh sebab itu aku telah mempersiapkan sebuah langkah kematian dan
sekaranglah saatnya untuk menggunakan hal ini"
"Saudara Mo" seru Sangkoan Ki sambil berseru tertahan. "bukan lohu
menaruh curiga kepadamu, yang jelas sebelum peristiwa ini belum
pernah ada oraag yang tahu kalau bajingan Mao bakal pergi ke wilayah
Biau, bahkan dia sendiripun belum pernah mempunyai rencana untuk
lari kewilayah Biau. "Kemudian, setelah dipojokkan oleh keadaan dan tiada pilihan lain
baginya, dia baru menuju kewilayah Biau bersama siluman perempuan
tersebut, saudara Mo pun baru tahu kejadian ini belum lama, bagaimana
mungkin kau bisa mempersiapkan langkah ini jauh sebelumnya?"
Mo Ciau jiu memandang sekejap kearah Sang koan Ki, kemudian
berkata pelan: "Benar, ada satu hal yang tidak saudara sekalian dan Sangkoan tayhiap
ketahui, sebelum berangkat memenuhi janjinya di telaga Tong-ting
tempo hari, Mao loji telah mengutus lohu untuk mewakilinya melakukan
suatu pekerjaan. "Beruntung sekali lohu sudah berdiam diwilayah Biau sejak kecil,
sehingga aku segera mengetahui kalau dia sedang bersiap sedia hendak
mempersiapkannya didalam wilayah Biau, itulah sebabnya lohu baru
mempersiapkan langkah selanjutnya disana."
"Kau disuruh mempersiapkan apa sih ?" tanya Sangkoan Ki. Mo Ciau
jiu tertawa. "Maaf, lohu tidak bersedia memberi keterangan
kepadamu" Walaupun terbentur batunya, ternyata Sang koan Ki
sama sekali tidak menjadi gusar, kembali dia berkata:
"Apakah benda yang kau persiapkan itupun sudah dibawa oleh bajingan
tua she Mou itu ?" "Tidak!" jawab Mo Ciau jiu dingin, "dia tidak sempat lagi untuk
mengambilnya." Berbicara sampai disitu, tiba-tiba Mo Ciau jiu menyaksikan Hou ji seperti
hendak bersuara diapun seakan-akan sudah dapat menduga apa yang
hendak di bicarakan oleh Hou ji, maka kembali dia berkata:
"Justru karena dia tidak berkesempatan lagi untuk mengambilnya, maka
lohu pun enggan untuk membicarakan tentang persoalan ini !"
"Apakah benda tersebut dapat dipakai untuk mencelakai orang ?" tanya
Bau-ji pula secara blak-blakan. "Tentu saja, bahkan besar sekali kemampuannya untuk mencelakai
orang," katanya. Mendadak Sun Tionglo seperti memahami akan sesuatu, dia segera
berseru pula: "Mo Tayhiap, apakah benda itu telah punah?" Mo Ciau-jiu
manggut-manggut. "Tatkala aku memperoleh laporan rahasia dari
saudara Kang, saudara Thio dan saudara Cukat, aku segera memusnahkan benda itu,
bahkan seketika itu juga bersama saudara Ban dan saudara Thia
berangkat menuju ke Bukit Pemakan Manusia.
"Asal benda itu sudah musnah, memang paling baik jangan diterangkan
lagi." kata Sun Tiong-lo kemudian sambil tertawa.
Kemudian setelah berhenti sejenak dan memandang sekejap semua
rekannya, kembali dia menambahkan: "Mungkin Mo tayhiap bersedia untuk menerangkan tentang persiapan
yang kau lakukan?" "Yaa, tentu saja harus kukatakan, disaat kita akan sampai ditempat
kediaman orang-orang suku Biau berleher panjang, ada orang yang
akan menyambut kita ditengah jalan, ini merupakan salah satu petunjuk
jalan yang lohu siapkan..." "Apakah petunjuk jalan ini mempunyai hubungan yang baik dengan
kepala suku Biau berleher panjang ?" tanya Sangkoan Ki dengan kening
berkerut. Mo Ciau-jiu segera menggelengkan kepalanya berulang kali "Aku
rasa tidak, cuma petunjuk jalan itu pasti mempunyai cara
yang baik agar kita semua dapat menembusi tempat tersebut." "Apakah
cuma begini saja yang kau maksudkan sebagai
persiapan itu..?" Sekali lagi Mo Ciau-jiu tertawa. "Tentu saja masih ada
yang lain, hanya saja sebelum aku berjumpa lagi dengan si petunjuk jalan itu, sehingga tidak bisa kuduga
sampai dimanakah taraf persiapan vang telah mereka lakukan, maka
saat ini aku tak dapat memberi keterangan lagi kepada kalian semua."
Oleh karena dia sudah menerangkan begini, sudah barang tentu semua
orangpun merasa mempunyai semangat menghadapi musuh yang sama
sehingga sekalipun tiada persiapan maupun bantuan penunjuk jalan,
mereka toh harus menembusi wilayah Biau juga untuk mencapai gua
Pek hoa tong. Karenanya tiada orang yang banyak berbicara lagi. Pokok pembicaraan
pun segera berganti, kini mereka membicarakan barang-barang yang harus mereka persiapkan.
Terhadap persoalan inipun Mo Ciau jiu sudah membuat persiapan
yang matang, dia se gera menyerahkan sebuah daftar. Sun Tiong lo
segera melakukan penelitian secara amat cermat,
akhirnya dia beranggapan bahwa Mo Ciau jiu memang
seorang manusia yang punya maksud, sebab barang yang dipersiapkan menurut
daftar tersebut bukan cuma komplit bahkan luar biasa.
Terutama sekali catatan dibalik daftar yang memuat pula beberapa buah
lentera Khong heng leng, garam, gula, kain cita dan laia sebagai nya
boleh dibilang semuanya merupakan benda-benda yang tak boleh
kekurangan diwiIayah Biau. Mereka serahkan daftar tersebut kepada pemilik rumah penginapan,
sambil tersenyum pemilik rumah penginapan memberitahukan kepada
mereka bahwa segala sesuatunya dapat di persiapkan esok siang, saat
itulah mereka dapat segera berangkat.
Dengan perasaan lega, para jago pun bersantap dan kemudian kembali
ke kamarnya masing-masing untuk beristirahat.
Siapa tahu Mao Tin hong yang sudah mereka pandang enteng itu
ternyata tidak ambil diam belaka, akhirnya...
Pemilik rumah penginapan muncul dengan membawa daftar yang
diserahkan para jago kepadanya serta sekeping uang emas, sambil
tersenyum ramah dia langsung berjalan menuju kekamar tempat para
jago berdiam diri. Siapa tahu, disaat kakinya sedang melangkah ke tengah halaman
mendadak paras muka nya berubah dan menunjukan wajah bangga
campur menyeringai licik. Dengan cepat dia kembali kekamar tidurnya dihalaman belakang dan
diam-diam membuka pintu ruangan. Didalam ruangan sudah terdapat seseorang yang sedang menantikan
kedatangannya, cepat-cepat dia mengunci kamarnya dan berjalan
menuju keruang kegelapan. Di ruang itu terdapat lentera, lentera diletakkan diatas meja, disisi meja
duduklah seseorang dia tak lain adalah Mao Tin-hong.
^oodeoo^ SEBELUM berbicara pemilik rumah penginapan tertawa lebih dulu, dia
serahkan daftar tersebut kepada Mao Tin hong, kemudian serunya.
"Segala sesuatunya memang persis seperti apa yang diduga oleh


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

majikan." Mao Tin-hong tertawa, katanya sambil menerima daftar tersebut:
"Lo-Ceng. inilah jasa yang luar biasa darimu." Pemilik rumah
penginapan itu she Ceng bernama Bun-keng,
dulunya adalah seorang perampok ulung dari wilayah Tin lam. Mao Tin
hong pernah menyelamatkan selembar jiwanya.
Sedang Mao Tin-hong waktu itu masih merupakan seorang pendekar
besar yang berjiwa jujur dan gagah.
Semenjak peristiwa ituIah, Ceng Bun keng sudah berbakti kepada Mao
Tin hong. Tatkala Mao Tin hong berangkat ke gua Pek hoa tong untuk berjumpa
dengan si iblis perempuan itu, dia meninggalkan Ceng Bun keng di kota
Ciru sah cay untuk membuka usaha penginapan, waktu itu dia memang
membuka usaha sejujurnya. Ketika Mao Tin hong menderita luka parah dan kabur dari gua Pek hoa
tong, dia bersembunyi didalam rumah penginapan milik Ceng Bun-keng
ini untuk merawat lukanya. Kemudian setelah lukanya sembuh dan untuk mengawasi si iblis wanita
tersebut, dia mengajak Ceng Bun-keng merundingkan persoalan itu
sampai mendalam. Alhasil Ceng Bun keng ditinggalkan selamanya disitu sambil meneruskan
usahanya membuka penginapan. sungguh tak nyana pada saat seperti
ini, dia dapat memegang pesanan yang amat besar.
Kejadian seperti ini, tentu saja tak pernah terduga olehnya, apalagi Sun
Tiong lo sekalian sudah barang tentu mereka semakin tidak menduga
lagi. Sementara itu Ceng Bunkeng sedang bertanya: "Majikan, menurun
pendapatmu apa yang harus kita lakukan
sekarang ini..." Selesai memeriksa isi daftar tersebut, Mao Tin hong
berkata: "Kita mempunyai banyak tempat untuk dipakai sebagai tempat
turun tangan !" "Betul, harap majikan turunkan perintah !.." Mao Tin
hong tertawa. "Pertama-tama soal garam, mereka meminta garam
bataan, dan kau boleh menggunakan benda lain yang berbentuk bata yang di
luarnya dilapisi dengan bubuk garam yang tebal sekali dengan demikian
mereka tak akan menemukan penyakit dibalik benda tersebut."
"Yaa betul" seru Ceng bun keng sambil tertawa, "sesampainya di Korawa
(kepala suku-Biau berleher panjang) dan mereka mengetahui akan
keadaan tersebut, sudah pasti orang-orang tersebut akan di kejarnya
hingga terjerumus dalam lembah lembah berecun hee...hee..heeh..."
Mao Tin hong menuding lagi kearah kain cita serta lentera tersebut,
kemudian berkata lagi: "Bukankah benda-benda ini lebih gampang lagi
untuk disulap menjadi benda rongsokan ?"
"Tak usah kuatir majikan aku mempunyai cara untuk mengatasinya!"
Sambil tertawa kembali Mao Tin hong menunjuk kearah beberapa buah
lentera Khong beng teng tersebut, kemudian berkata lagi:
"Bun keng, sedangkan mengenai permainan ini, apa ideemu?"
Dengan kening berkerut Ceng bun keng segera menyahut: "Benda
benda tersebut tak bisa dipalsukan, kotak besi dengan
lempengan tembaga di sekelilingnya di tambah pula dengan
lilin besar yang bisa memancarkan cahaya tajam sampai tempat kejauhan..."
"Apakah kau tidak mempunyai akal untuk merubahnya?" tukas Mao Tin
hong cepat. Ceng bun keng termenung sambil memutar otak beberapa saat
lamanya, kemudian sahutnya sambil menggeleng:
"Apakah majikan bersedia untuk mengajarkan kepadaku?" Mao Tin
hong mengangkat bahu, tertawa. "Kotak besi dan lempengan
tembaganya memang tak bisa dipalsukan tapi sumbu lilin itu." "Betul" teriak Ceng bun keng sambil
mengerdipkan matanya berulang kali, "bila di tukar dengan barang yang bermutu jelek, sekilas
pandang orang tak akan menduga sampai kesana."
"Tidak begitu!" kata Mao Tin-hong sambil menggelengkan kepalanya
berulang kali. "bukankah barang palsupun dapat bersinar pula?"
Ceng Bun-keng menjadi berdiri bodoh, sahutnya dengan perasaan tidak
habis mengerti. "Benar, benar, betapa pun baik atau jelek nya mutu lilin, bila disulut
memang pasti bersinar." Mao Tin-hong segera mendengus "Maksudku adalah..." Kembali Ceng
Bun-keng salah mengartikan maksudnya, dia
segera menukas lagi: "Apakah majikan hendak menggunakan barang
palsu untuk ditukar dengan barang yang asli " Kalau sampai begitu, sinarnya pasti
tak akan terlalu terang." "Tidak, harus yang bersinar terang, bahkan sinar tersebut harus kuat
sekali." kata Mao Tin bong mengernyitkan alis matanya yang cacad.
Ceng Bun-keng semakin dibikin tidak habis mengerti, "Apakah kita harus
memasang dengan lilin putih yang paling baik?" tanyanya.
"Betul! Kita harus menggunakan yang paling terang." sahut Mao
Tin-hong sambil mengangguk. Ceng Bun-keng semakin kebingungan "Mereka minta enam buah
lentera yang bila disulut bersama akan
terbentuk sebuah lingkaran cahaya yang bisa menerangi daerah se luas
setengah li lebih hingga ulat dan binatang kecil sukar menyembunyikan
diri, sebab suku Biau paling percaya tahayul, mereka akan mengira
cahaya mana sebagai Halilintar..."
Sambil menyeringai seram, Mao Tin-hong berseru sambil bertepuk
tangan berulang kali: "Betul ! BetuI ! Nama yang bagus sekali, Halilintar... betul, memang
halilintar !" Ceng Bun-keng berdiri termangu-mangu di sisi arena, untuk beberapa
saat lamanya dia tak tahu harus bagaimana menjawab perkataan
tersebut.. Tak lama kemudian, Mao Tin-hong telah menempelkan mulutnya disisi
telinga Ceng Bun keng dan membisikkan sesuatu kepadanya.
Kemudiah tampak Ceng Bun-keng terkejut lalu berseru, katanya
kemudian sambil menganggukkan kepalanya berulang kali:
"Suatu rencana yang amat bagus, benar-benar sebuah rencana yang
amat bagus nya, hanya majikan seorang yang dapat menemukan cara
sebagus ini." Mao Tin hong tertawa seram. "Bun-keng, mereka yang tak tahu keadaan yang sebenarnya pasti akan
menyulut lentera tersebut dengan begitu saja, akibatnya akan terjadi
serentetan suara keras yang menggetarkan bumi diiringi percikan bunga
api ke-mana-mana, jenazah akan musnah tak berwujud dan orang suku
Biau itu pasti akan mempercayai cahaya mana sebagai Halilintar..."
"Tentu, tentu" ucap Ceng Ban keng tertawa, "kalau bukan halilintar,
mana mungkin bisa bercahaya begiu tajam " Kalau bukan Halilintar,
mengapa manusia hidup bisa berubah menjadi musnah hingga tak
berbekas " Bagus sekali! Tepat sekali !"
Kembali Mao Tin hong tertawa seram. "Pada saat ituIah Ketua
Korawa pasti akan menyembah berulang
kali diatas tanah kemudian ssmbil berisak tangis akan melakukan
persembahan untuk dewa api, setelah itu mereka akan melakukan
serbuan secara besar-besaran terhadap orang-orang itu dan melakukan
pembunuhan secara besar-besaran."
Mendadak Ceng Bun keng berkata: "Majikan, andaikata sampai
terjadi hal begini, kemungkinan besar
gua Pek hoa tong akan menjadi sasaran yang pertama!" "Betul,
memang inilah yang kukehendaki!" seru Mao Tin hong
sambil manggut-manggut. "Oooh, apakah majikan sudah mempunyai
persiapan lain?" "Tentu saja, sekembalinya aku kesana, akan mulai
kulatih sepasukan yang tangguh, asalkan pasukan besar suku Korawa sudah
melakukan penyerbuan secara besar-besaran, maka aku pun akan
mengenakan siasat barisan terpendam untuk mengepung mereka
semua..." Mendengar uraian mana, tanpa terasa Ceng Bun-keng menyela:
"BiIa suku Biau sedang melakukan serbuan, mereka akan lakukan
seperti air laut yang sedang pasang, setelah menyambar sejauh
mungkin, maka mereka pun akan mundur teratur siasat barisan
terpendam apa sih yang majikan persiapkan" Masa kehebatannya
sanggup untuk mengurung mereka semua ?"
"Kau tak usah kuatir!" kata Mao Tin hong sambil tertawa seram, "untuk
menuju ke gua Pek hoa tong hanya terdapat sebuah jalan masuk saja,
padahal ke dua sisinya merupakan tebing yang tinggi dengan
permukaan yang licin, bila ada orang yang memasuki lembah tersebut,
maka mereka hanya bisa mundur dari situ apabila melalui jalanan
satu-satunya yang tersedia !" Ceng Bun-keng lantas manggut-manggut, "Yaa, yaa, itulah dia, rencana
dari majikan memang luar biasa sekali"
Tetap orang gemar disanjung tidak terkecuali pula Mao Tin hong
sendiri, sambil tertawa, kembali dia berkata:
"Di saat orang-orang Kurawa tersebut terkurung, maka sarang suku
leher panjang mereka sudah diduduki oleh pasukan terpendamku,
kemudian akan kulakukan operasi secara besar- besaran, mereka yang
bisa kumanfaatkan akan kupakai, sementara mereka yang tak mau
tunduk akan kusikat sampai lenyap."
Agaknya Ceng Bun keng telah memahami maksud yang sesungguhnya
dari Mao Tin hong, dia lantas berkata lagi:
"Yaa betul! asalkan suku Biau berleher panjang dapat ditundukkan tidak
sampai setahun kemudian delapan gua enam belas benteng yang berada
di wilayah Biau akan menjadi barang dalam saku kita, pada saat itulah
majikan akan menjadi pemimpin yang sebenarnya dari seluruh wilayah
Biau..." Mao Tin-hong tersenyum. "Memang begitulah keinginanku, bila
sampai demikian..." Berbicara sampai disitu, dia lantas menepuk
bahu Ceng Bun-keng sambil menambahkan: "Bun-keng, pasir emas yang tiada habisnya
didulang itu akan kuserahkan kepengurusannya kepadamu, sedangkan obat-obatan dan
kulit yang tiada terhitung jumlahnya juga akan ku serahkan
kepadamu untuk mengaturnya, kemudian kita kumpulkan mereka yang
tercerai berai, bersahabat dengan para enghiong..."
Dengan wajah berseri Ceng Bun keng segera menukas: "Majikan,
besar amat ambisimu rupanya kau hendak melalap
seluruh dunia ?" "Setiap lelaki yang berhasil mendapatkan hak dan
kekuasaan seperti ini, mereka pasti akan berbuat demikian, tidak terkecuali pula
dengan diri sendiri." "Terus terang saja, hamba bersedia menjadi penuntun kuda sambil
membawa lentera !" seru Ceng Bun keng amat tertarik.
"Aaah, perkataan apakah itu..." tegur Mao Tin hong serius, "Bun keng,
kau bukan pembawa jalan, kau adalah salah seorang arsitek yang
merupakan pahlawan pembangun negara baru, setiap orang memang
harus memiliki cita-cita yang tangguh dan asal ada cita cita, entah cita
cita itu biasa saja atau muluk, orang boleh bebas melakukannya."
Begitu pula halnya dengan Mao Tin hong dan Ceng bun keng sekarang,
merekapun sedang terjerumus didalam cita-cita yang muluk. Namun
kalau berbicara sesungguhnya, andaikata apa yang diharapkan Mao Tin
hong bisa terjadi sebagaimana yang direncanakan, maka tak sulit bagi
mereka untuk mewujudkan cita- citanya itu.
Begitulah, selesai berunding mereka berdua pun berangkat tidur.
Besok mendekati tengah hari, Ceng Bun keng dengan membawa
tiga orang anak buahnya telah membelikan semua barang keperluan
yang dipesan oleh para jago tersebut menurut catatan dalam daftar
dan dikirim kedalam kamar. Ceng bun keng segera menyerahkan barang dengan perasaan gembira.
Ceng Bun-keng memang tidak malu disebut sebagai orang yang sangat
berpengalaman, ternyata permainan busuk yang dilakukan
olehnya itu sama sekali tidak berhasil ditemukan oleh Mo Ciau jiu yang
berpengalaman luas maupun Sangkoan Ki yang berotak licik.
Setelah dihitung, diperiksa dan diserahkan barang-barang pesanan
mana, Ceng Bun-keng pun bertanya: "Tuan, barang-barang ini tak sedikit jumlahnya, boleh aku tahu
kemanakah kalian hendak pergi ?"
Tentu saja mereka tak dapat mengungkapkan tempat tujuannya secara
berterus tarang, maka sahut Sangkoan Ki dengan cepat:
"Kami akan melewati daerah yang dihuni suku Biau berleher panjang,
melewati gua Pek hoa tong dan menuju ke tengah alas sana untuk
mencari obat-obatan !" Dengan wajah serius Cang Bun-keng berkata kemudian: "Oooh,
rupanya kek koan sekalian hendak mencari obat-obatan,
kalau begitu dalam daftar seharusnya dicantumkan pula benda- benda
seperti sekop, cangkul..." "Rombongan kami terbagi menjadi dua bagian" sela Sangkoan Ki
dengan cepat, "rombongan pertama sudah berangkat lebih dulu masuk
gunung dengan membawa peralatan berat itu, sedangkan kami hanya
mempersiapkan rang sum saja, jadi tak usah membawa lagi..."
Belum selesai dia berkata, Ceng Bun keng telah manggut- manggut
sambil tertawa: "Oooob, rupanya begitu !" Sementara itu, Mo Ciau-jiu telah
mengambil sebuah anak panah dari kotak panah, kemudian berkata: "Sungguh indah sekali buatan
anak panah ini, tak nyana kalau disini terdapat ahli ukir-ukiran yang begitu hebat !" Ceng Bun-keng
tertawa. "Terus terang saja kek-koan, benda-benda tersebut
merupakan hasil kerajinan tangan dari suku Biau!"
"Oooh... rupanya begitu!" seru Mo Ciau-jiu. Kemudian setelah
meletakkan kembali anak panah tersebut ke
tempatnya, kembali dia berkata: "Tian-tang (pemilik penginapan),
dalam daftar yang kuberikan kepadamu kemarin masih terdapat kekurangan beberapa macam
barang, kini waktu yang tersedia tidak banyak lagi, apakah kau masih
dapat membantuku untuk melengkapinya ?"
"Coba kau sebutkan macam barangnya kek koan, aku harus tahu dulu
sebelum dapat menjawab" "Tali otot kerbau dua ikat, belerang dua kati, dupa dua kati, pisau belati
tiga atau lima puluh bilah, tentunya benda-benda tersebut ada yang
menjualnya bukan ?" Ceng Bun-keng berpikir, lalu ujarnya. "Kalau barang barang yang lain
sih gampang dicari, cuma tali otot kerbau tersebut..." "Tali otot kerbau merupakan benda yang tak
bisa tertinggal untuk kami." tukas Mo Ciau jiu cepat, "berapapun harganya tidak
menjadi soal !" "Masalahnya bukan soal harga." kata Ceng Bun-keng sambil tertawa,
"asal barang tersedia, masa aku akan sembarangan meminta harga
tinggi " Begini saja, aku akan mencarinya bagimu, apabila berhasil
kudapatkan kek koan tak usah senang, bila gagal..."
Mo Ciau-jiu segera mengambil sepuluh tahil perak dan disodorkan ke
tangannya: "Kau harus mendapatkannya, terimalah uang pembayaran untuk tali
otot kerbau tersebut, kalau kurang akan kutambah nanti bila lebih
anggap saja sebagai uang kecil buat pelayan pelayananmu !"
Setelah menerima uang, sambil tersenyum Ceng Bun keng segera
beranjak pergi. Baru saja Ceng Bun keng berlalu, Hou ji telah buka suara sambil


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanya: "Mo tayhlap, buat apa kau memesan tali otot kerbau sebanyak itu?"
Mo Ciau jiu segera tertawa. "Hou-hiap, tehnik yang jitu tak boleh
diwariskan orang lain, maaf kalau lohu harus jual mahal dulu !" Oleh karena Mo Ciau jiu telah
berkata demikian, sudah barang tentu Hou-ji tidak banyak bertanya lagi. Sekali lagi mereka mengecek
barang kebutuhan yang diperlukan lalu di masukkan ke dalam buntalan. Tengah hari itu, disaat mereka
sedang bersantap siang, Ceng Bun keng muncul kembali. Rupanya semua barang yang dibutuhkan
telah didapat semua, tentu saja Mo Ciau jiu menjadi sangat gembira. Pada saat itulah, Ceng
Bun keng bertanya. "Kek koan sekalian
tolong tanya siapakah diantara kalian yang bertindak sebagai
pemimpin..." "Dialah orangnya!" kata Sangkoan Ki sambil menuding ke arah Sun
Tiong lo. Dalam waktu sekejap Sun Tiong lo telah berubah menjadi sebagai
majikan muda dari para saudagar obat-obatan, tentu saja hal ini
merupakan hasil dari perundingan mereka, itulah sebabnya Sun Tiong-lo
bertanya: "Ciangkwee, ada urusan apa mencariku ?" "Aah, hanya urusan kecil,
tapi sangat penting pula artinya" "Ooh, kalau begitu harap kau
utarakan." Dengan amat sungkan
Ceng Bun-keng berkata. "Siau loji hanya ingin bertanya. apakah persiapan kalian sudah cukup
matang " Sebab perjalanan khek koan kali ini cukup jauh mana
berbahaya lagi, konon bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk
menembusi daerah yang dihuni oleh Kurawa."
"Tempat apakah yang dimaksudkan sebagai Kurawa itu?" tanya Sun
Tiong lo berlagak pilon. "Bukan tempat. Kurawa adalah nama dari kepala suku Biau berleher
panjang !" "Yaa, betul!" kata Sun Tiong lo kemudian sambil manggut- manggut.
"suku Biau dari kelompok ini memang cukup buas!"
"Apakah kek koan mempunyai tenaga pengangkut untuk membawa
begitu banyak barang?" Sun Tiong lo mengerti, yang dimaksudkan sebagai tenaga pengangkut
oleh pemilik rumah penginapan itu bukan kerbau atau kuda melainkan
kuli panggul, khususnya daerah Shoa tang dari suku Biau, pengangkut
barang yang utama bukan kereta atau binatang, melainkan pekerja
kasar yang terdiri dari lelaki kekar.
Pemuda itu memandang sekejap ke arah tiga buah bungkusan besar
yang tergeletak ditanah kemudian menyahut:
"Tidak ada, kami memang ingin memohon bantuanmu untuk
memecahkan masalah ini." "Beginilah keadaannya, sebelum segalanya terjadi siau loji perlu
berbicara lebih dulu, tenaga kasar sih ada, cuma mereka hanya bisa
membawakan barang kalian sampai dijurang Hui ing kian saja...!"
Sun Tiong lo kurang begitu tahu tentang nama-nama tempat diwilayah
Biau, tanpa terasa dia berpaling kearah Mo Ciau jiu.
"Apakah Hui-eng kian terletak ditepi perbatasan dengan wilayah yang
dihuni suku Biau berleher panjang ?"
"Yaa, benar." Ceng Bun kian mengangguk. "Hui engkian adalah sebuah
jembatan gantung yang menghubungkan dua daerah tebing yang terjal,
selewatnya jembatan gantung tersebut maka orang
akan tiba diwilayah yang dihuni orang-orang suku Biau berleher
panjang, selama ini para pekerja yang kasar tersebut tak berani
menyeberangi jembatan gantung itu."
"Mengapa demikian ?" meski sudah tahu, Mo Ciau jiu masih saja
pura-pura bertanya. Dengan wajah serius Ceng Bunkeng berkata "Pertama, yang
dimaksudkan sebagai jembatas gantung itu sesungguhnya merupakan
sebuah jembatan yang terdiri dari seutas rantai besi yang panjangnya
mencapai tiga puluh enam kaki. jembatan mana merupakan satu-satunya
jembatan yang menghubungkan daerah yang dihuni orang orang suku
Biau rambut panjang dengan orang- orang suku Biau leher panjang.
"Padahal para pekerja kasar itu hidup menderita dan penuh percobaan,
mereka hanya mengandalkan tubuh yang kekar dengan tenaga yang
besar belaka, kalau disuruh menyeberangi jembatan gantung tersebut,
tentu saja mereka tidak memiliki kepandaian sebesar itu, mereka tak
mampu untuk menyeberanginya. "Kedua, Kurawa dari suku Biau berleher panjang tidak kenal aturan, ada
kalanya dia memang bisa diajak bica
Bentrok Para Pendekar 10 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Bentrok Para Pendekar 3
^