Bukit Pemakan Manusia 21

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 21


ra, tapi ada kalanya dia enggan menjual muka kepada siapa pun, salah-salah mereka akan membunuh
orang semaunya sendiri, oleh sebab itu..."
"Baiklah" tukas Mo Ciau jiu dengan cepat, "kalau begitu kita pakai
jeram Hui eng-kian sebatas tapal batas !"
Ceng Bun keng manggut-manggut kembali: "Baiklah, kita tetapkan
dengan sepatah kata ini, berapa banyak pekerja kasar yang kek khoan
butuhkan ?" "Bagaimana kalau lima orang ?" tanya Mo Ciau jiu. Ceng Bun keng
segera berkerut kening. "Tiga orang pun sudah
cukup, oagkos yang mereka minta tidak kecil..?"
Mo Ciau jiu segera tertawa. "Kami tidak mempersoalkan berapa yang harus dibayar, kalau dua
orang lebih banyak berarti mereka bisa bekerja sambil bergilir, otomatis
mereka pun bisa berjalan lebih cepat lagi, ditambah pula kita sudah ada
rombongan yang membuka jalan lebih dulu."
"Oooh, betul, betul, kek koan memang pandai sekali, lima orang pekerja
kasar terlepas makan yang dibebankan kepada kek koan, setiap orang
minta sepuluh tahil perak, sedangkan siau loji mendapat keuntungan
setahil seorang, tentunya kau tidak merasa keberatan bukan..?"
Mo Ciau-jiu segera terawa terbahak. "Haah haa haa tidak banyak!
kapan orang-orang itu baru siap?" "Dalam setengah jam mendatang
mereka sudah akan siap, siau Ioji akan mencarikan delapan dan terserah kek koan akan memilihnya
sendiri, perangai serta tindak tanduk dari para pekerja kasar itupun
merupakan jaminan dari penginapan kami!"
"Ciangkwee, kau memang pandai berdagang." seru Mo Citu ji kemudian
sambil menepuk bahu Ceng Bun keng, "baiklah, kita tetapkan demikian
saja." Ceng Bun keng segera mohon diri dan berlalu, betuI juga dalam
setengah jam kemudian dia sudah muncul dengan membawa delapan
orang lelaki biau yang kekar. Dalam sekilas pandangan saja Mo Ciau jiu dapat mengenali kalau
pekerja-pekerja kasar itu merupakan suku Biau berdarah campuram,
setengah berdarah bangsa Han dan setengah lagi berdarah suku Biau.
Ternyata Ceng Bun keng tidak berbohong, ia menerangkan: "Mereka
adalah bangsa Han yang dilahirkan oleh ibu suku Biau,
selain kekar dan berotot, wataknya pun baik sekali, bahasa Han maupun
bahasa Biau mereka kuasah penuh, adat istiadat kedua suku pun
dipahami benar, mereka akan menyenangkan kalian semua sepanjang
jalan." Mo Ciau jiu manggut-manggut. "Cara kerja ciankwee memang luar
biasa sekali, sungguh membuat orang merasa kagum!" Sambil berkata, Mo Ciau jiu
mengeluarkan lima puluh tahil perak
dan diserahkan kepada pemilik rumah penginapan itu seraya berkata:
"Inilah ongkos mereka, harap kau terima!" Tapi Ceng Bun keng
menggelengkan kepala sambil berkata: "Lebih baik kek khoan
memilih orang lebih dahulu sebelum membicarakan soal lain." Mo Ciau jiu memandang sekejap kearah Sun
Tiong lo, sianak muda itu pun berkata: "Lebih baik Mo tua saja yang memilih, aku tahu
tak bakal salah..." Maka Mo Ciau jiu memilih lima orang diantaranya sementara
tiga orang lainnya mengundurkan diri. Mo Ciau-jiu kembali meminta kepada
Ceng Bun-keng menerima lima puluh tahil perak itu, namun Ceng Bun kent menggeleng dan cuma
menerima dua puluh tahil perak, kemudian ujarnya dengan suara
nyaring: "Kalau membeli barang memang harus di-bayar kontan, tapi menurut
aturan memakai tenaga pekerja, empat bagian saja yang boleh diterima
sebagai uang muka, setelah sampai ditempat tujuan, enam bagian
lainnya baru di serahkan kepada para pekerja kasar itu untuk dibawa
pulang..." Usaha dagang seperti ini, boleh dibilang adil sekali dan sama sekali
tiada usaha bermaksud untuk menipu.
Para jago pun tidak berkata apa-apa lagi, mereka semua pada memuji
kejujuran dari Ceng Bun keng. Apa yang harus dikerjakan semua, maka para jago pun mulai
melanjutkan perjalanan. Semua barang bawaan mereka, kecuali senjata tajam dan senjata
rahasia, diserahkan semua kepada para pekerja kasar itu untuk
membawanya, kemudian berangkatlah rombongan tersebut menelusuri
jalan gunung. Belum lagi sepertanakan nasi lamanya mereka berangkat. Mao Tin hong
dan Ceng Bun-keng telah melakukan perundingan rahasia lagi.
Tempat yang digunakan sebagai tempat perundingan pun masih berada
diruang ranasia dalam gedung Ceng Bun keng, suara pembicaraan
mereka lirih sekali. Pertama-tama Mao Tin hong yang bertanya dulu: "Sudah selesai kau
kerjakan?" Ceng Bun keng tidak menjawab, sambil tertawa dia bertepuk tangan,
dua orang lelaki suku Biau segera muncul dengan membawa sebuah
buntalan besar. Kedua orang itu adalah dua orang suku Biau yang tidak terpilih tadi.
"Buka buntalan itu!" Ceng Bun keng segera memerintahkan. Ketika
buntalan itu dibuka, ternyata isinya adalah kain cita serta
barang berhiasan yang dibeli para jago untuk diberikan kepada kurawa
sebagai hadiah. Sambil tersenyum bangga Mao Tin hong berkata: "Bagaimana
caramu uituk menukar benda-benda tersebut...?" Ceng Bun keng
tertawa. "Setelah mereka periksa isinya dan dibungkus kembali,
maka dengan mudah sekali kami telah menukarnya dengan benda lain"
"Benda apakah yang kau tukar dengan barang-barang ini ?"
Dengan bangga Ceng Bun keng tertawa terkekeh-kekeh. "Majikan,
mimpi pun kau tak akan menduganya, apa yang
menjadi pantangan suku Biau hamba pun menukar benda tersebut
dengan pantangan mereka, tanggung Kurawa akan naik pitam setelah
melihatnya." Mao Tin hong tertawa terbahak-bahak. "Haah... haah... haah... haah...
bagus, bagus sekali, Bun keng, inilah jasa besarmu !"
Kemudian setelah berhenti sejenak, dia berkata lebih jauh: "Selain
itu, lentera dan garam bata ..." "Majikan tak usah kuatir" tukas Ceng
Bun keng, "Kurawa mempunyai Halilintar dan guntur yang bisa dilihat dan didengar, diam
bakal mempunyai benda yang bisa membersihkan kulit tubuh mereka
yang bau itu...." Perkataan tersebut kontan saja membuat Mao Tin hong mendongakkan
kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
Dua orang lelaki suku biau itu belum mengundurkan diri, dalam
gembiranya Mao Tin-hong segera berkata:
"Barang-barang didalam bungkusan ini tak ada gunanya, hadiahkan saja
kepada dua orang-orang anak jadah tersebut!"
Ceng Bun keng ingin mencegah perkataan tersebut, tapi perkataan
"anak jadah" dari Mao Tin hong sudah terlanjur diutarakan, paras muka
kedua orang lelaki suku Biau itu kontan berubah hebat, sepasang
tangannya di kepalkan kencang-kencang.
Ceng bun keng segera melotot sekejap ke-arah dua orang suku Biau
itu, kemudian bentaknya: "Ambil dan bagi untuk kalian berdua, ayo cepat pergi !" Dua orang
lelaki suku Biau itu tidak memberikan pernyataan apaapa,
sambil membopong buntalan tersebut mereka segera berlalu.
Sepeninggal dua orang lelaki suku Biau itu, Ceng Bun keng baru
berbisik: "Majikan, mereka mengerti bahasa Han, mereka paling benci kalau ada
orang memaki mereka sebagai anak jadah !"
"Ooob, rupanya mereka pun mempunyai pantangan tersebut, aku
malah tidak tahu." Oleh sebab nasi sudah menjadi bubur, Ceng Bun-keng juga tak dapat
berbuat apa apa lagi. Mao Tin hong segera mengalihkan pokok pembicaraan kesoal lain,
ujarnya: "Didalam melaksanakan tugas kali ini, tiada orang ketiga yang tahu, kau
memang bekerja amat bagus." "Majikan kau tidak tahu, kelima orang pekerja kasar serta dua orang
yang barusan berlalu itu hampir rata-rata memiliki kepandaian hebat,
kalau dihitung mereka masih termasuk muridku, hamba telah berpesan,
ditengah jalan nanti mereka harus memberi pelajaran yang berat lebih
dulu terhadap lawan." Mao Tin hong makin merasa bangga lagi, katanya kemudian: "Kalau
begitu, kawanan keparat tersebut sudah pasti akan
mampus dalam perjalanan ini." "Ya. betul ! Mungkin bisa pergi tak akan
kembali lagi." sambung Ceng Bun-keng ketawa. Mao Tin hong segera manggut-manggut,
katanya: "Sebenarnya lohu dapat menghabisi mereka semua sewaktu
berada dipeternakan kudanya Lok Siang, sayang aku berbuat teledor
dengan melupakan seorang Hou-ji, sehingga akibatnya usahaku
mengalami kegagalan total." "Sekarang, hmmm! Dapat kuduga meskipun kepandaian silat mereka
lebih hebat, kecerdasan mereka lebih hebat pun tak akan mereka
menyangka akan terjadinya berbagai perubahan tersebut, begitu
peristiwa mana mulai berlangsung maka keadaan pun akan terlihat
nyata." Berbicara sampai disitu, dia seolah-olah melihat para jago telah
terkurung diwilayah Biau dan satu persatu mesti terbunuh secara
mengenaskan, oleh sebab itu ucapannya terhenti ditengah jalan dan
tertawa terkekeh-kekeh. "Majikan, kapan kau hendak berangkat ?" bisik Ceng Bun keng tiba-tiba
dengan suara lirih. Mao Tin liong berpikir sebentar, kemudian sahutnya. "Aku pikir lebih
baik berangkat sekarang juga, kuatirnya kalau
sampai tak bisa menyusul mereka" "Hamba telah mempersiapkan
semua barang kebutuhan majikan, kini tinggal menanti perintah dari majikan saja" "Baik, mari kita
berangkat" kata Mau Tin-hong kemudian sambil
bangkit berdiri. Ceng Bun keng pun buru-buru turut bangun, kemudian
katanya: "Hamba akan suruh mereka untuk mengambil barang"barang
tersebut." "Banyakkah barangnya?" Ceng Bun keng menggelengkan
kepalanya. "Tidak banyak." jawabnya, "bahan makanan minuman
ditambah berapa buah lentera Khong beng teng dan lima batang lilin untuk
lampu!" Mao Tio hong segera manggut-manggut. "Jikalau begitu mari kita
mengambil barang-barang itu dan kau
boleh menghantarku sampai di depan sana, sebab sepanjang jalan aku
masih ada persoalan yang mungkin akan dibicarakan denganmu, dari
pada kelupaan nanti." "Tentu saja... tentu saja." sahut Ceng Bun keng dengan hormat.
"Hamba memang bermaksud untuk menghantar majikan sampai dikota
Gin sik cay..!" Mao Tin hang menggelengkan kepalanya, "Tidak usah, setelah lewat
kota Kim sah cay kau boleh segera pulang."
"Terserah perintah majikan." Sembari berkata, mereka berdua segera
berangkat menuju kearah depan... Setelah mengambil barang, oleh sebab mereka telah
bersantap siang mereka pun segera berangkat. Ceng bun keng memanggil dua
orang kepercayaannya sambil berpesan beberapa patah kata, kemudian dengan menemani Mao Tin
hong segera berangkat. Kim sah cay sudah dilewati sejauh tiga puluh lima li lebih, kini
terbentang jalan gunung beralas batu sepanjang dua puluh Ii, tempat
ini merupakan jalan raya penghubung Kim sah cay dengan Gin sik cay,
daerah yang sepi dari pengunjung, meski sulit untuk ditempuh namun
sama sekali tidak berbahaya. Selewatnya jalan raya sepanjang dua puluh li ini, orang bersikap halus
dan sopan, tidak mengusik gadis suku Biau atau kelewat tidak tahu
aturan, biasanya mereka akan sampai di tempat tujuan dengan aman.
"Tapi, setelah melalui Gin-sik cay dan melangkah menuju ke gua Tiok
hoa biau, orang harus lebih berhati-hati lagi, sebab mulai saat itu yang
berlaku hanya undang undang suku Biau, bukan hukum bangsa Han.."
Waktu itu, Sun Tiong-lo sekalian telah berhasil melewati Gin sik cay
dengan selamat. Antara Gin sik cay dengan Tiok hoa biau masih terdapat lagi sebuah
daerah seluas dua puluh li yang sama sekali tak ada manusianya, meski
suku Biau belum maju alam pemikirannya, namun mereka memegang
teguh atas kepercayaan serta adat istiadat mereka.
Daerah seluas li yang sama sekali tak berpenghuni itu merupakan pula
daerah "bentrokan" yaag sering dipakai untuk daerah pertarungan antar
suku, maka anggota suku yang sama sekali tak ada urusan mereka tak
akan melewati daerah tersebut barang selangkah pun, tak heran kalau
tempat tempat semacam ini merupakan tempat yang paling baik bagi
bangsa Han untuk menyembunyikan diri.
Sekarang telah permulaan kentongan pertama, Sun Tiong lo sekalian
sedang beristirahat melepaskan lelah.
Mao Tin-hong dan Ceng Bun-keng justeru menjadi tamu terhornat dari
kepala suku Biau di Gin sik-cay, hal ini disebabkan Ceng Bun keng
mempunyai hubungan yang erat dengan kepala suku tersebut...
Namun daya pengaruh dari Ceng Bun keng pun hanya mencapai Gin sik
cay saja, selewatnya dua puluh li wilayah tak bertuan tersebut, dia tak
berani menjamin akan selamat apabila menjumpai urusan.
Begitu langit terang tanah, Sun Tiong lo dan rombongan telah
berangkat kembali menuju ke arah Tiok hoa biau, sedangkan Mao Tin
heng dan Ceng Bun keng telah tiba ditempat yang dipakai San Tiong lo
sekalian untuk beristirahat semalam.
Ditempat itu masih ditemukan bekas tenda, ditemukan juga abu bekas
api ungun. Selesai memeriksa benda-benda itu, Ceng Bun keng segera berkata:
"Majikan, barusan mereka masih berada di sini, sekarang mungkin sudah
memasuki kota yang dikuasai suku Tiok hoa biau"
Mao Tin hong manggut-manggut, agaknya dia tak terlalu
memperhatikan hal tersebut. Ceng Bun-keng yang menyaksikan kejadian itu segera berpikir tanpa
terasa: "Majikan, apa yang sedang kau pikiritan ?" Mao Tin hong tidak
menjawab, dia masih saja termenung sambil
berpikir keras. Ceng Bun-keng segera berjalan mendekat, kemudian
menegur lagi: "Apakah majikan merasa tidak mempunyai keyakinan untuk
melampaui daerah yang dihuni suku Tiok hoa biau?" Mao Tin hong
segera menggeleng. "Tidak, persoalan itu sih tak akan terlalu
menyusahkan aku" "Lantas apakah yang menjadi beban pikiran majikan
?" tanya Ceng Bun keng ddngan perasaan tidak habis mengerti. Mao Tin hong
menghela napas panjang, sesudah memandang
sekejap sekeliling tempat itu, dia menuding ke arah sebuah batu cadas
yang berada tak jauh disana sambil berkata:
"Mari, mari, mari Bun-keng ! Mari kita duduk sambil berbincangbincang.


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untung saja musuh kita baru masuk ke wilayah Tiok hoa- biau,
tak mungkin mereka bisa meninggalkan tempat tersebut dengan mudah,
kita tak usah kuatir tak berhasil menyusul mereka."
"Tentu saja." sahut Ceng Bun-keng cepat, "sekalipun mereka dapat
meninggalkan tempat itu dengan selamat, paling tidak hal ini akan
terjadi besok tengah hari !" Sementara itu, Mao Tin hong sudah duduk diatas batu, kemudian
katanya lagi: "Oya, masa akan begitu ?"
Ceng Bun-keng manggut-manggut. "Yaa, daerah yang dikuasai suku
Tiok-hoa-biau mencapai ratusan li lebarnya, tiga puluh li dari pusat kota
merupakan rawa-rawa yang berkabut racun, orang harus berjalan
menghindari rawa-rawa itu, kendati pun perjalanan mereka itu
kemungkinan besar dapat dilakukan dengan lebih cepat pun paling tidak
juga esok pagi baru dapat meninggalkan daerah tersebut!"
Mao Tio-hong segera menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya
dengan cepat: "Dengan tenaga dalam yang dimiliki Sun Tiong-lo sekalian, aku kuatir
kalau tempat tersebut dapat dilewati dengan cepat ?"
"Majikan" dengan cepat Ceng Bun keng menggelengkan kepalanya pula
berulang kali, "jangan lupa kalau mereka menyaru sebagai rombongan
pencari obat-obatan, mana mungkin perjalanan bisa dilakukan terlalu
cepat ?" "Aaaah, betul! Betul ! Aku telah melupakan akan hal ini" seru Mao Tin
hong kemudian. Ceng Bun keng kembali tertawa, "Majikan, kau masih ada pesan apa
lagi ?" Mao Tin hong menghela napas panjang: Aaaai, Bun keng, sejak
berpisah dua puluhan tahun sudah lewat, selama ini aku tak pernah
datang menengokmu, selama inipun kita tak pernah berhubungan
kabar, bagaimanakah perasaan dan pendapatmu tentang diriku ini?"
"Hamba tidak mempunyai pendapat atau perasaan apa-apa, tapi hamba
tahu kalau majikan harus berlari menyingkir dengan bersusah payah dan
penuh penderita!" "Aah, tak kusangka Bun keng kalau kau begitu mengetahui tentang
diriku." seru Mao Tin hong sambil memukul paha sendiri.
"Itulah sebabnya tatkala majikan mengirim perintah secara tiba- tiba
dan menitahkan hamba untuk mengantar lencana kemala Pek hoa giok
hu ke gua Pek hoa tong, hamba tak berani menunda lagi dan segera
pergi melaksanakannya" "Ehmmm, betul, cara kerjamu memang sangat baik, aku telah bertemu
muka dengan wan-cu!" Ceng Bun keng manggut-manggut. "Hamba pun sudah tahu akan hal
ini." katanya, "hamba hanya bisa mengucapkan semoga majikan dan
cubo bisa berbahagia selalu sepanjang masa."
"Bagus sekali, tak nyana kalau jalan pemikiranmu begitu teliti dan
sempurna" ucap, Mao-Tin hong tertawa.
Kemudian setelah berhenti sejenak, Mao Tin-hong mengalihkan sorot
matanya ke tempat kejauhan sana, kemudian katanya lagi:
"Seandainya setiap anak buahku seperti kau semua, hari ini aku pun tak
usah kabur ke wilayah Biau yang gersang dan terpencil ini aaai... kalau
dibicarakan sungguh menggemaskan hati !"
Ceng Bun keng tak dapat menjawab pertanyaan tersebut, terpaksa dia
hanya membung kam diri dalam seribu bahasa.
Mao Tin hong memandang sekejap ke arahnya, lalu berkata lebih
lanjut: "Bun-keng, tahukah kau selama dua puluhan tahun ini aku telah berhasil
membangun suatu karya besar yang tiada terhingga besarnya di daratan
Tionggoan " sedemikian luasnya kekuasaanku sehingga hampir saja
menjadi seorang Bulim Bengcu yang menguasai seluruh jagad !"
"Majikan gagah perkasa dan cerdas tentu taja kedudukan tersebut
pantas untuk kau duduki." kata Ceng Bun keng dengan hormat.
Mao Tin-hong mendengus. "Hmmm. siapa tahu oleh
penghianatan-penghianatan dari anak buahku, segala sesuatunya ludas
dan lenyap tak berbekas." "Dimanakah bajingan-bajingan itu sekarang?" "Yang sudah mampus
tak usah dibicarakan, sedang yang hidup
sudah kau saksikan semua." ucap Mao Tin-hong dingin. Ceng Bun keng
menjadi tertegun, "Apakah orang she Sun dan..." Sebelum perkataan itu
selesai diucapkan, Mao Tin hong telah
menukas lebih dulu. "Tiga orang pemuda yang kau jumpai adalah
musuh besarku, Bun keng ! Aku tidak ingin mengelabui dirimu. siapa sih
diantara manusia-manusia yang berkelana dalam dunia persilatan tidak
mempunyai musuh besar " kejadian semacam ini toh lumrah ?"
"Tapi gadis itu merupakan putri angkatku tak nyana kalau dia
mempercayai perkataan orang dan terpikat oleh benih cinta buta
sehingga akhirnya akupun dikhianati, bentengku yang tangguh dan kuat
bagaikan baja pun dipersembahkan kepada orang lain dengan begitu
saja." "Sementara si tua bangka tersebut sebenarnya adalah kakak misanku,
sebenarnya dia amat rudin sehingga hidupnya sengsara, akulah yang
menyelamatkan jiwanya serta memelihara dirumah, apa mau dibilang
dia tua orang nya tidak tua hatinya, ternyata secara diam-diam
mengincar biniku..." "Majikan, mengapa tidak kau katakan sedari tadi " Tahu begini, aku tak
tak akan membiarkan mereka memasuki daerah Biau dalam keadaan
hidup..." ucap Ceng Bun-keng dengan keras.
Mao Tin hong mengulapkan tangannya mencegah dia berkata lebih
jauh, kemudian ucapnya lagi: "Sedangkan kakek bungkuk tersebut bernama Mo Ciau jiu, sebetulnya
dia adalah orang kepercayaanku, setiap perkataannya selalu kuturuti,
siapa tahu akhirnya dia toh menghianati aku juga."
"Lima orang lainnya merupakan sobat karib yang paling kupercayai,
mereka bernama Lak yu, sayang berhubung peraturanku amat ketat,
diam-diam dia telah bersekongkol dengan musuh yang membuat aku tak
mampu berkutik dan tancapkan kaki lagi didaratan Tionggoan"
Dengan penuh perasaan dendam Ceng Bun-keng mendengus.
"Majikan, yang sudah lewat biarkan saja lewat, hari depan masih
bisa dikejar, kawanan manusia laknat yang menghianati dirimu itu tak
akan bisa hidup bebas meninggalkan daerah Biau, sekalipun mereka
dapat lolos dengan selamat, hamba pun..."
"Tidak, aku harus membunuh mereka dengan tanganku sendiri!" seru
Mao Tin hong sambil mengulapkan tangannya.
Ceng Bun keng segera mengiakan dan tidak berbicara lagi.
Sementara itu, Mao Tin hong telah berkata lagi sesudah berhenti
sejenak: "Kini, aku sudah dipaksa untuk kabur ke wilayah Biau, Bun
keng, aku merasa benar-benar sudah dipojokkan dan tak mampu untuk kabur
kelain tempat lagi!" "Tidak majikan." Ceng Bun keng menggeleng "didalam sana masih
terdapat Cubo dengan kekuasaan yang tanpa tandingan, sedangkan
di-luar masih ada hamba yang bisa menggunakan uang untuk mencari
tenaga, selanjutnya dunia persilatan masih tetap menjadi milik majikan!"
Mao Tin hong menghela napas panjang.
"Aaaii... ambisiku sekarang sudah mendekati saat padam, aku sudah
menjadi seorang penakut." "Apa yang majikan takuti" Hamba tidak percaya kalau musuh memiliki
kemampuan..." "Sekalipun musuh lebih ganas, belum tentu aku bisa kalah dengan
mereka, mengapa aku harus takut kepada orang-orang itu?" tukas Mao
Tin hong cepat. Dengan perasaan keheranan Ceng Bun keng segera bertanya: "Kalau
toh demikian, apa yang majikan takuti..."
"Aku takut kalau aku dikhianati oleh anak buahku!" Ceng Bun keng
segera menghembuskan napas panjang: "Aaai... pepatah kuno
mengatakan: Cuaca tahu kalau cemara
tahan salju, sobat sejati tahu akan susahnya teman, Apalagi
manusia-manusia yang tak tahu malu itu toh sudah pergi dari majikan
sekarang..." "Sekalipun demikian tapi pengalaman di masa lampau masih selalu
terbayang-bayang didepan mataku" tukas Mao Tin hong lagi.
Ceng Bun-keng segera berkerut kening.
"Untung saja saat ini majikan telah menjauhi kawanan manusia rendah
tersebut." "Sudahlah" Mao Tin hong tertawa getir, "yang sudah lewat tak usah
dibicarakan lagi." Setelah berhenti sejenak dan memperhatikan Ceng Bun-keng beberapa
saat, dia berkata lagi. "Bun keng, ada satu masalah aku merasa perlu untuk merundingkannya
denganmu." "Silahkan majikan memberi perintah" Mao Tin-hong menggelengkan
kepalanya berulang kali, kemudian berkata. "Manusia yang hidup didunia ini haruslah tahu diri, Bun-keng,
sekarang aku telah memasuki wilayah Biau, aku pun mempunyai
pelindung di gua Pek hoa tong, atau dengan perkataan lain aku tak
usah menguatirkan serangan yang datang dari musuh tangguh."
"Tapi kedatanganku ke wilayah Biau sekarang penting sekali artinya, aku
kuatir kalau berita kedatanganku bocor dan diketahui lawan, untung
hanya kau seorang yang mengetahui tentang persoalan ini, sebab itu
bila ada orang yang menanyakan persoalan ini, kau harus menutup
mulut rapat-rapat." "Majikan tak usah kuatir, masa hamba akan membocorkan rahasia ini
kepada orang lain!" Mao Tin hong menundukkan kepalanya lalu menghela napas panjang.
"Aah, aku sudah tidak berani mengharapkan orang lain agar tetap
berpegang janji kepadaku lagi."
Mendengar ucapan mana, tergerak hati Cang Bun keng, dia segera
bertanya: "Apakah majikan merasa kuatir terhadap diri hamba ?"
Mao Tin hong tertawa getir. "Kau tak usah memikirkan yang bukan-bukan, sekali dipagut ular,
sepuluh tahun takut dengan tali rami, bukan aku tak percaya kepadamu,
sesungguhnya aku takut kalau sampai ditipu orang lagi. oleh sebab
itu..." "Apa yang majikan harapkan sehingga dapat berlega hati !"
"Percuma." Mao Tin-hong tertawa getir lagi. "sekalipun
diutarakan juga sama sekali tidai berguna !" "Belum tentu, mengapa
majikan tidak mengutarakan dulu kepadaku ?" Ceng Bun-keng berkata serius. Cepat-cepat Mao Tin hong
menggelengkan kepalanya. "Kecuali kalau...! Sudahlah, kalau diutarakan
malah akan menyedihkan hati orang saja." "Majikan tak usah sungkan, utarakan saja
dengan berterus terang, hamba pasti akan turut perintah !" "Kau akan menurut ?" "Yaa
pasti, biar pun harus terjun ke lautan api pun aku tak akan
menampik !" Mao Tin hong menjadi girang sekali, serunya dengan
cepat: "Bun keng, benarkah ucapanmu itu diutarakan dari lubuk hatimu
sendiri ?" "Bila hamba Iain di mulut lain dihati, biar Thian memunahkan
diriku." Mendadak Mao Tin hong melompat bangun. kemudian sambil
menepuk bahu Ceng Bun keng dengan tangan kanannya dia berseru.
"Bagus, bagus, bagus ! Bila kau benar-benar begitu, makaaaa..." Dia
sengaja menarik kata terakhir itu hingga panjang sekali,
kemudian telapak tangannya dijotoskan keras-keras ke atas ulu hati
Cang Bun keng. Jeritan ngeri yang menyayatkan hati segera berkumandang
memecahkan keheningan, tak ampun lagi Ceng Bun keng jatuh
terjengkang ke atas tanah. Sekujur tubuhnya segera gemetar keras, paras mukanya pucat pias
seperti mayat, sepasang matanya merah membara dan peluh sebesar
kacang kedelai jatuh bercucuran keluar, keadaannya mengenaskan
sekali... Dengan susah payah akhirnya dia berkata. "Maaa... maaajikan,
menga... mengapa kauu... kau..." "Kau belum mengerti apa
sebabnya?" jengek Mao Tin hong
sambil tertawa seram. Waktu Ceng Bun keng sudah tak dapat bergerak
lagi, paras mukanya pun turut berubah menjadi amat tak sedap dipandang.
Meskipun tak mampu berkutik, namun mulutnya masih sempat
mengucapkan lagi beberapa patah kata: "Mee... mengapa..." Mao Tin
nong tertawa seram. "Heeeh... heeh... heehh... dalam setahun
belakangan ini lohu sudah belajar lebih cerdik, pengalaman pahit dimasa lampau tak boleh
sampai terulang kembali, oleh sebab itu aku pun tak sudi terperangkap
lagi seperti masa masa lalu, nah mengertikah kau sekarang ?"
^oodeoo^ "SUUU... sudah dua... dua... puluh tahun haamm... hamba
beree... berbakti ke.. padamu, see... selama ini aaa... akupun sudah
baaanyakkk... bee... berjasa, menga... mengapa kau berr... bersikap..."
"Terhadap diriku, aku merasa tak pernah merugikan" jengek Mao Tin
hong sambil tertawa dingin. "bukankah sudah kutanyakan
kepadamu tadi dan kau menjawab terjun ke lautan apipun bersedia "
Sekarang, mengapa kau menyesal?"
Dengan sekuat tenaga Ceng Bun keng berusaha mengendalikan hawa
amarahnya, kemudian berseru: "Itu kan tertuju terhadap musuh dari luar, sekarang... sekarang..."
"Sama saja Bun keng." kata Mao Tin hong dingin. "Nabi berkata, Kaisar
menyuruh patih nya mati, patihnya tak berani membangkang, apalagi
meski kau mati sekarang, aku justru akan peroleh ketenangan jadi
kematian mu sesungguhnya tidak sia-sia belaka.
"Tentu saja kau merasa kematianmu kelewat penasaran bahkan
menganggap aku tak berperasaan, padahal kaupun tak bisa
menyalahkanku." "Coba bayangkan, misalnya waktu dulu, seandainya aku tak
menyelamatkan dirimu, sejak dua puluh tahun berselang kau sudah
tewas, sekarang kau baru mati bahkan mati pula ditanganku,
seharusnya kaupun harus dapat berlega hati."
"Kalau kita berbicara mundur selangkah, perbuatanku sekarang tak bisa
dibilang terlampau keji, sebab kenyataanlah yang mengajarku untuk
berbuat demikian, asal kau sudah mati maka akupun tak usah
menguatirkan persoalan lain lagi, bukankah haI ini bagus sekali ?"
Ceng Bun-keng menghela napas sedih: "Kau... tindakanmu membunuh
aku, sama artinya dengan menghancurkan kesempatan untuk bangkit
kembali." - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
Jilid 41 "HAAA... HAA... HAA... kau tidak usah merisaukan hal ini." kata Mao Tin
bong sambiI tertawa seram. "tanpa kau sekalipun aku masih dapat
bangkit kembali didalam dunia persilatan!"
"Baik, baik." kata Ceng Bun keng selanjutnya sambil menghela napas
sedih. "sekarang apapun yang kuucapkan sudah terlalu lambat,orang
dulu mengajarkan kepada kita agar jangan berkomplot dengan harimau
bila tidak ingin dirinya dilahap akhirnya, tapi aku telah menganggap
serigala sebagai sahabat, memang kesalahanku sendiri..."
Dia tak berkemampuan untuk banyak bicara lagi, sesudah
terengah-engah sejenak sadarlah dia kalau ajalnya sudah dekat.
Semua perasaan dendam, benci, penasaran, gusar dan sedih segera
bercampur aduk dan menciptakan sisa kekuatan yang terakhir, teriaknya
dengan keras: "Mao Tin hong, saat pembalasanmu sudah hampir tiba." Mao Tin
hong tertawa terbahak-bahak: "Haaah... haahh... haah... Bun keng


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wahai Bun keng, Seorang kuncu tak akan mengeluarkan suara yang jahat, sekalipun cepat atau
lambat pembalasan akan kuterima juga, toh sekarang masih belum tiba
saatnya, padahal kau amat menuruti perkataanku selama ini, nyatanya
sekarang kau sudah menyumpahi aku, benar-benar suatu kejadian yang
membuat hati pedih." Berbicara sampai disitu, kembali dia menyeringai sehingga nampak amat
mengerikan. Di tengah gelak tertawa yang nyaring, manusia she Mao itu kembali
berkata: "Oh, rupanya budak suku Biau tua itu, hm!" Mencorong sinar benci
penuh perasaan dendam dari balik mata
Cang Bun-keng, serunya lagi: "Bun-keng, apakah kau sudah tiada pesan
lain ?" Ceng Bun keng ingin menangis namun tiada air mata yang meleleh
keluar, serunya kemudian dengan gemas dan benci: "Menyesal aku tidak
menuruti perkataan dari Lo-hoa-biau"
Tergerak hati Mao Tin-hong sesudah mendengar perkataan tersebut,
dengan cepat dia bertanya: "Siapakah lo hoa-biau itu " Apa yang dia
katakan ?" Sambil menarik napas panjang-panjang Ceng Bun-keng berseru:
"Dari sorot matamu yang liar, Lo hoa biau tahu kalau hatimu keji
tidak berperasaan, dia telah memperingatkan kepadaku agar was was
selalu bila bekerja untukmu, sayang sekali aku tidak menuruti
perkataannya !" katanya. "Mao Tin-hong, kudoakan semoga..." "Apa yang ingin kau doakan
sudah kupahami." tukas Mao Tin
hong sambil tertawa seram "bukankah kau berharap agar Sun Tiong-lo
sekalian jangan terjebak dan berhasil membongkar rencana ini "
bukankah kau berharap mereka menantiku didepan sana."
"Benar." tukas Ceng Bun-keng cepat, "kau tak akan memperoleh mati
secara tenang" "Sayang apa yang kau harapkan semuanya tak dapat terkabulkan." Mao
Tin hong mengangkat sepasang bahunya.
Kemudian setelah berhenti sejenak dan mendongakkan kepalanya
memandang keadaan cuaca, dia berkata lebih jauh:
"Wahai Ceng Bun keng, waktu sudah makin siang dan aku harus segera
berangkat, jika kau tidak ingin menyampaikan kata-kata yang
bermanfaat dan menguntungkan diriku lagi, maaf kalau aku terpaksa
harus mengirimmu untuk berangkat lebih dulu !"
Ceng Bun-keng menundukkan kepalanya rendah-rendah, beberapa tetes
air matanya jatuh berlinang membasahi pipinya.
Mao Tin hong memang seorang manusia yang tidak berperasaan, jari
tangan kanannya segera disodok kedepan tanpa perasaan kasihan.
Sodokan tersebut persis menghajar jalan darah Ki bun-hiat ditubuh Ceng
Bun keng... Kontan saja sekujur badan Ceng Bun keng gemetar keras, diiringi
jeritan ngeri menyayatkan hati, ia muntah darah segar lalu mati
seketika itu juga. Mao Tin hong memang seorang manusia yg berhati keji, setelah
menghabisi nyawa orang kepercayaannya, dia sama sekali tidak nampak
sedih, seakan-akan baru saja membunuh seekor semut saja.
Sambil membersihkan pakaiannya dari debu, dia mendongakkan
kepalanya memandang angkasa, berpikir sejenak, lalu ujarnya sambil
tertawa: "Beres sekarang, aku pun tak usah menguatirkan ada orang yang bakal
membocorkan rahasia ku lagi" Tapi kemudian dengan kening berkerut dia menggelengkan kepalanya
lagi sambil berkata. "Tidak betul, masih ada perempuan rendah itu, tempo hari andaikata
bukan dia yang berhasrat mencelakaiku sehingga merampas tenaga
goan-yang ku, hingga kini tenaga dalamku tak bisa memperoleh
kemajuan lagi, mana mungkin akan muncul persoalan yang
memusingkan kepala seperti ini ?"
"Hmmm ! Dendam sakit hati ini harus dibalas, perempuan rendah !
Tentunya kau tak pernah menyangka bukan kalau sekarang aku telah
mengetahui tempat penyimpanan kitab pusakamu, aku juga sudah
menguasai cara masuk dan keluar dari ilmu barisanmu itu, hmm,
hmmm !" Tak salah lagi kalau semua perkataan itu ditujukan kepada pemilik
kebun raya Pek hoa wan. Dasar Mao Tin-hong memang Iicik dan berhati kejam, tampaknya dia
ingin memusuhi semua manusia yang berada di dunia ini.
Setelah menyelesaikan perkataan tadi, kembali ia tertawa tergelak penuh
kebanggaan, menyusul kemudian tubuhnya melejit keudara, dalam
waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap dikejauhan sana.
Orang kuno sering bilang: Belalang menubruk comboret, si burung nuri
mengincar dari belakang." Ada pula yang mengatakan. "Bila tak ingin diketahui orang, makanya
janganlah sekali-kali melakukan."
Belum jauh Mio Tinhong pergi, tiba-tiba saja dari depan situ muncul
kembali tiga sosok bayangan hitam. Gerakan tubuh bayangan bayangan hitam itu cepat bukan kepalang, tak
selang berapa saat saja mereka sudah sampai disamping jenasah Ceng
Bun keng. Ternyata mereka adalah seorang suku Biau tua yang diikuti dua orang
lelaki kekar berdarah campuran bangsa Han dari suku Biau.
Kedua orang lelaki kekar itu tak lain adalah anak buah Ceng Bun keng,
yakni lelaki yang dihina Mao Tin hong sebagai "anak jadah" tadi.
Mimpi pun Mao Tin hong tak pernah menyangka kalau mereka bakal
muncul di situ. Tak dapat disangsikan lagi, suku Biau tua itu tak lain adalah "Ko
Hoa-biau" yang disebut-sebut Ceng Bun keng tadi.
Terdengar suku Biau tua itu segera berkata: "Mari, sesuai adat suku
Biau, kita bikin usungan kayu dan menggotongnya ke gua Pek hoa tong"!" Tak selang berapa saat
kemudian dua lelaki kekar itu telah
selesai membuat sebuah usungan kayu yang kuat dan membujurkan
jenasah Ceng Bun keng diatas usungan tadi, kemudian setelah diikat
kencang-kencang, mereka tuangi jenasah tersebut dengan minyak
hitam (minyak tanah). Tak selang berapa saat kemudian api telah berkobar membakar jenasah
tersebut, sedang ketiga orang suku Biau tersebut segera berlutut sambil
berkomat kamit ke angkasa. Jenasah telah hangus menjadi debu, mereka bertiga pun turut bangkit
berdiri. "Tarsi, bagaimana pendapatmu sekarang ?" tanya Lo hoa biau atau si
suku Biau tua kemudian. Tarsi dan Saila adalah nama dari dua orang lelaki berdarah campuran
antara bangsa Han dan suku Biau itu.
"Aku hendak memasuki gua Tiok hoa toa untuk menemukan tamu-tamu
bangsa Han itu !" seru Tarsi. "Akan ku susul orang she Mao itu langsung ke gua Pek hoa tong!"
sambung Saila. "Lebih baik aku saja" kata Lo hoa-biau kemudian dengan wajah serius,
"kalian toh tahu, majikan (yang dimaksudkan adalah Ceng Bun keng)
telah melepaskan banyak budi kepadaku, sedangkan kepandaian silat
yang dimiliki orang she Mao itupun sangat lihay, sedemikian lihaynya
sehingga mustahil bagi kita untuk menandinginya."
"Tidak, kamipun sudah banyak menerima budi kebaikan dari majikan !"
bantah Saila cepat. Kembali Lo hoa biau menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Dengarkan dulu perkataanku." bujuknya, "aku sudah tua, biar
harus matipun tak menjadi masalah, sedangkan kalian masih muda,
pada musim semi mendatang masih ada kesempatan untuk "melompat
rembuIan". siapa tahu waktu itu akan ketemu "jodoh" " jangan lewatkan
kesempatan baik semacam itu !"
"Tidak !" tampik Tarsi tegas-tegas, "bila ingin mengerjakan, kita bertiga
harus kerjakan bersama, kalau tidak, siapa pun tidak punya liangsim..."
"Aku pingin tanya, sekalipun kalian bisa melewati gua Tiok hoa tong
dengan selamat, bagaimana pula cara kalian untuk menyeberangi lembah
ular beracun " Apalagi keganasan suku berleher panjang amat
mengerikan." "Bukankah keadaan ini berlaku juga untukmu " Toh kau sudah tua, lari
mu tak bisa cepat!" kembali Saila membantah.
"Begini saja" akhirnya Lo hoa biau berkata, "biar Toa sia (Malaikat
agung) menjadi saksi, siapa berhasil melampaui gua Pek hoa tong
dengan keadaan selamat, dialah yang berhak pergi, Nah sekarang kalian
berdua harus mengutarakan dahulu rencana kalian !"
Tarsi termenung sambil berpikir sebentar, lalu katanya: "Aku tak
mempunyai rencana yang bagus, pokoknya asal berhati-hati sepanjang
jalan, itu sudah lebih dari cukup!"
"Begitu juga dengan diriku." sambung Saila, "asal tidak sampai mati,
semua masalah dapat diselesaikan secara baik-baik !"
Lo-hoa-biau segera mendengus dingin. "Tahukah kalian berdua,
rencana busuk apakah yang sesungguhnya diatur orang she Mao itu?" tegurnya. "Bukankah kau
terangkan kepada kami ?" Lo hoa biau segera tertawa. "Seandainya
aku tidak memberitahukan hal ini kepada kalian ?" ia
balik bertanya. Tarsi melirik sekejap kearah Saila, kemudian katanya.
"Kau toh bukan MaIaikat agung, bagaimana mungkin bisa tahu ?"
"Nah, itulah dia ! Kalau begitu dengarkan baik-baik rencanaku ini,
aku hendak menggunakan "darah" memberi makanan macan tutul
bambu di gua Tiok hoa tong, kemudian memberi makan "ular" dalam
selat ular beracun..." Paras muka Saila dan Tarsi segera berubah hebat, teriakannya hampir
bersama: "Aah! Masakah kau hendak melanggar "pantangan terbesar" dari suku
kami?" "Kalau tidak berbuat demikian, bagaimana mungkin aku bisa melampaui
orang she Mao itu secara aman lagi cepat sehingga dapat menjumpai
rombongan tamu bangsa Han itu dan sampai digua Pek hoa tong" Atau
mungkin kalian masih mempunyai cara lain yang jauh lebih baik?"
"Tapi... tapi setelah kejidian tubuhmu akan dicincang menjadi empat
bagian untuk disajikan kepada Tiok pa (macan tutul bambu), Tok coa
(ular beracun) serta Toa oh sin (dewa bertelinga besar) dari suku
berleher panjang..." bisik Saila agak memucat.
"Tentu saja, aku telah bersumpah darah, sudah barang tentu aku harus
menepatinya!" Tarsi berpikir sejenak, lalu serunya: "Baik, kalau kau dapat berbakti
kamipun dapat, mari kita pergi benama-sama!" "Betul !" seru Saila pula sambil menepuk ke pala
sendiri, "yang tak berani pergi berarti manusia jahat. dia pasti akan ditarik oleh iblis
hijau dari lembah selaksa racun untuk dijadikan budaknya sepanjang
masa, tiada bunga su ci Leng hoa, yang tak akan menjelma lagi di alam
semesta!" Setelah Saila mengangkat sumpah paling berat bagi suku Biau, Lo hoa
biau sendiripun tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Tarsi tak mau ketinggalan dia berseru pula keras-keras: "Dewa
agung, dengarkanlah seruanku, akupun akan berbuat
sama...!" Menyaksikan keteguhan hati serta kebulatan tekad kedua
orang itu, dengan sangat terharu Lo hoa biau berseru: "Dalam suku kita
berlaku peraturan barang siapa melakukan
"persembahsn darah" maka dia ijinkan membawa serta dua orang
pembantu itu, sekarang kalian beleb menjadi pembantuku untuk
melaksanakan tugas-tugas yang diperlukan, aah, tidak, lebih baik lagi
kita melakukan perjalanan secara terpisah."
Tarsi dan Saila saling berpandangan sekejap kemudian berkata:
"BoIeh, cuma kau sudah mendengar sumpah kami, seusai
membalas dendam" kau tak dapat menghalangi kami untuk melakukan
"persembahan darah" kalau tidak maka kau adalah antek setan!"
Lo hoa biau segera manggut-manggut "Tentu saja, akupun tak akan
berani menghalangi niat kalian itu?" ujarnya.
Maka mereka meneruskan perjalanannya dengan langkah cepat
langsung menuju kearah gua Tiok hoa tong.
^ooo0dw0ooo^ AWAN HITAM menyelimuti angkasa dengan tebal,
membuat perasaan orang seakan-akan tertekan. Cahaya matahari hampir punah,
udara pun turut berubah menjadi sangat dingin. Segenap anggota suku dari selat ular beracun,
sejak dari kepala sukunya yang tinggi besar dan kekar, hampir semuanya berkumpul di
depan selat ular, ditengah tanah lapang berpasir yang sangat luas.
Walaupun langit sudah terang tanah, namun berhubung awan hitam
menyelimuti angkasa, maka suasana tetap terasa remang- remang.
Tak heran kalau beribu batang obor dipasang turut menyemarakkan
suasana disana, di bawah perintah "Patoko" kepala suku Biau tersebut,
obor diangkat tinggi-tinggi sehingga suasana disekitar tanah lapang
"Selat ular" berubah menjadi terang benderang.
Sun Tiong-lo dengan pakaian ringkas senjata terhunus berdiri di depan
selat ular tersebut. Di belakangnya mengikuti anggota rombongan lainnya, masingmasing
telah meloloskan pula senjata tajam andalannya.
Selama beberapa hari terakhir ini, "Dewa ular" dari selat ular yakni
seekor ular besar telah meramjukkan kegarangannya dengan melukai
banyak orang. Kebetulan sekali, Sun Tiong-lo sekalian tiba pada saat tersebut, dan
lebih kebetulan lagi, Mao Tin-hong menyusul sampai pula di tempat
tersebut. Sebenarnya "Patoko" menyambung kedatangan Sun Tiong-lo sekalian
dengan ramah dan sungkan, berhubung Sun Tiong-lo sekalian telah
menghadiahkan sepuluh potong garam dan alat alat pembuat api.
Tatkala pesta gembira diadakan, seorang anak buah Patoko datang
melapor bahwa dari pihak Pek hoa tongcu telah mengirim seorang
utusan rahasia berkunjung ke situ, utusan rahasia tersebut membawa
lencana pengenal Tong-sum hu dari gua Pek hoa tong.
Yang muncul sesungguhnya tak lain adalah Mao Tin hong,
sesungguhnya dia hendak melakukan pebuatan busuknya di gua Tiok
hoa tong dengan mencelakai Sun Tiong-lo sekalian, sayang sekali
kedatangannya terlambat selangkah, sehingga Sun Tiong lo sekalian
berhasil melalui tempat tersebut dalam keadaan selamat.
Tapi sekarang, ketika rombongan Sun Tiong lo baru tiba di selat ular
beracun, dia berhasil menyusul mereka kemari.
Tentu saja dia memiliki lencana Tong sio bun dari gua Pek hou tong,
karena benda tersebut pemberian dari si "iblis wanita", sebenarnya
benda itu dimaksudkan untuk dipakai sewaktu melalui tempat-tempat
tinggal suku Biau tersebut. Tapi hari ini, dia mengaku sebagai utusan rahasia untuk melaksanakan
tugas rahasia. Patoko menyambut kedatangan Mio Tin Hong di dalam kamar
pribadinya, dia menanyakan maksud kedatangannya.
Pertama-tama Mao Tin hong meminta kepada Patoko untuk
mengundurkan anak buahnya lebih dulu, kemudian baru berkata:
"Kepala suku, apakah selamanya beberapa hari ini Dewa agung dari
suku kalian melakukan suatu gejala aneh ?"
"Yaa benar, ada apa?" tanya Patoko dengan kening berkerut.
"Berapa hari berselang, oleh karena Dewa bunga dari tongci kami
memberikan peringatan maka beliau telah menyuruh dukun untuk


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuatkan ramalannya, kemudian baru diketahui ada sejumlah
bangsa Han yang jahat-jahat sekali hendak berkunjung ke wilayah
Biau!" "Apakah tamu-tamu bangsa Han yang sedang berada ditempat kami
sekarang..." tanya Patoto blak-blakan.
"Aaaah, belum tentu" jawab Mao Tin hong secara licik, "cuma didalam
ramalan menunjukkan gejala tersebut!"
"Ooooh, gejala apakah itu?" "Gejalanya aneh sekali, dikatakan: "Bila
benda yang dipakai untuk asin bisa berubah menjadi getir, maka orang itulah manusia yang
akan mendatangkan bencana api seluruh suku Biau"- konon
orang-orang itu mempunyai ilmu sesat dan tak bisa dilawan dengan
Dewa agung!" Patoko segera berkerut kening. "Yang asin dapat merubah menjadi
getir " Apa perkataan tersebut ?" serunya cepat. Mao Tin hong berlagak termenung sambil
berpikir beberapa saat lamanya, kemudian jawabnya, "Aah, benar! Kepala suku, apakah
rombongan tamu bangsa Han tersebut telah mempersembahkan
sesuatu benda untukmu ?" "Yaa benar !" dengan cepat Patoko menjawab. "tamu-tamu bangsa Han
itu berbaik hati ia telah menyerahkan sepuluh garam yang terbaik !"
Begitu mendengar kata "garam", Mao Tin-hong sengaja menunjukkan
perubahan paras mukanya, dengan cepat dia berbisik.
"Nah itu dia, apakah garam tersebut asin !" "Yaa, telah kucicipi,
garam itu memang asin tak bakal salah
lagi..." kembali Patoko menggelengkan kepalanya. "Apakah kepala suku
telah mengundang datang dukun serta
menyuruhnya meneliti garam Itu?" kembali Mao Tin-hong berkata
sambil turut menggelengkan kepalanya.
Patoko menganggap usul ini tak ada ruginya maka dia segera
melaksanakan apa yang diminta. Siapa tahu Mao Tin hong telah menyuap dukun tersebut sebelumnya,
sedangkan didalam garam tersebut pun Ceng Ban keng telah
merubahnya dengan permainan busuk, sehingga garam-garam mana
sesungguhnya hanya barang palsu. Setelah dukun datang, garam di ambil diundang pula kedatangan lima
orang sesepuh suku Pek hu tiang tak bertindak sebagai saksi.
Mao Tin hong memang terlalu pintar, dia tak ingin turun tangan sendiri.
Oleh karena sudah disuap, dukun itu sudah mengetahui apa yang harus
di perbuat olehnya dengan cepat diperintahkan orang untuk mengambil
mangkuk, air mendidih dan pisau, kemudian dengan menggunakan
pisau dia mengelupas lapisan depan dari garam itu, kupasan tadi segera
dileburkan kedalam air mendidih. Menyusul kemudian, dia mengelupas pula lapisan dalam dari garam tadi
dan dimasukkan ke dalam mangkuk lain yang berisi air mendidih.
Air didalam dua mangkuk yang telah diberi campuran tadi, segera
dipersembahkan kepada Patoko untuk dicicipi.
Dengan cepat Patoko meneguk air garam tersebut setegukan, kemudian
serunyanya dengan gembira: "Garam, garam.... yang betul garam, coba kalian cicipi !"
Maka kelima orang sesepuh tersebut turut mencicipi seorang setegukan
unnu membuktikan memang garam. Kemudian Dukun itu mempersembahkan mangkuk yang lain kepada
Patoko, dengan cepat Tatoko meneguk setegukan, namun dengan cepat
ia merasa tertipu dan buru-buru muntahkan keluarkan keluar air
tersebut, paras muka nya berubah hebat.
Ke lima orang sesepuh kampung ikut mencicipi air mana, ternyata
hasilnya sama saja. Ternyata air yang mereka cicipi dari mangkuk kedua ini tidak terasa
asin, sebaliknya malah terasa getir sekali.
Patoko menjadi naik darah, dia menurunkan perintah untuk membekuk
tamu-tamu bangsa Han itu lalu dibakar mati.
Namun Mao Tin-hong mempunyai perhitungan sendiri, dia tahu, dengan
kepandaian silat yang dimiliki Sun Tiong-lo sekalian, tak nanti
orang-orang Tok-hoa-biau bisa membelenggu mereka secara mudah.
Bahkan diapun tahu, bila tindakannya kurang berhati-hati sehingga Sun
Tiong-lo berhasil mengetahui jejaknya, hal ini bisa membuatnya semakin
berabe. Oleh sebab itu usulnya kemudian. "Kepala suku kau tak boleh
berbuat demikian karena ini sangat berbahaya !" "Bahaya apanya ?" "Mereka mempunyai ilmu sihir yang
sangat hebat, bila dalam malunya menjadi marah, bisa jadi dia akan membunuh kita semua !"
"Lantas bagaimana baiknya ?" Sambil tertawa Mao Tin hong
menempelkan bibirnya disisi telinga
kepala suku itu dan membisikkan sesuatu.
Sekulum senyuman segera menghiasi raut wajah Patoko, buru- buru
pujinya berulang kali: "Bagus bagus sekali, sebuah cara yang amat bagus, suatu idee yang
sangat tepat!" Maka Mao Tin bong memohon diri lebih dulu, alasannya dia masih harus
melaksanakan tugas lain. Padahal ia tidak pergi jauh, melainkan bersembunyi dibalik tempat
kegelapan untuk mengikuti perubahan selanjutnya.
Ternyata rencana yang disusun berlangsung seperti apa yang dia
harapkan. Di bawab pengawasan yang ketat dari Patoko, juga untuk menghindari
pertempuran berdarah yang akan berlangsung, karena bila pertarungan
benar-benar terjadi, suku Biauw berjumlah begitu banyak, serangan
tulup mereka pun berbahaya maka Sun Tiong lo sekalian menerima
syarat yang diajukan Patoko untuk melalui selat ular tersebut.
Hanya saja, Sun Tiong lo sekalian para jago tidak habis mengerti apa
sebabnya Patoko bisa merubah sikap secara tiba-tiba terhadap diri
mereka. Hou-ji pandai sekali menangkap ular, diapun menguasai sifat ular ular
beracun, dalam keadaan yang terdesak untuk menerima syarat dari
Patoko, dia bersikeras meminta untuk berangkat melewati selat ular
sesudah fajar menyingsing besok. Patoko menerima usul itu, sedangkan Mao Tin hong yang mengikuti
kejadian mana secara diam-diam, tidak menunggu lebih jauh, dia segera
berangkat selangkah leoih dahulu menuju ke suku leher panjang untuk
mempersiapkan rencana lain yang jauh lebih keji.
Kalau menurut keadaan pada umumnya, dia tidak seharusnya berangkat
sebelum menyaksikan penyelesaian dari persoalan tersebut, akan tetapi
dia kelewat licik, dia tahu terlepas apakah Sun Tiong lo sekalian dipat
menembusi selat ular atau tidak yang pasti
mereka telah mengikat tali permusuhan dengan suku Biau yang berdiam
di selat ular beracun. Sebab apabila Sun Tiong lo dapat melewati selat tersebut berarti
mereka harus membunuh ular besar yang dianggap kramat oleh suku
Biau dari selat ular beracun, padahal ular itu merupakan "Dewa agung"
bagi orang-orang tersebut bagaimana mungkin dendam kesumat
tersebut dapat berakhir dengan begitu saja"
Sebaliknya bila tak mampu untuk menembusinya berarti mereka akan
terluka atau tewas, Patoko sendiripun tak akan menyudahi persoalan
sampai disitu saja, bila pertarungan berdarah terjadi, saat itu Sun Tiong
lo sekalian pasti akan mengalami kesulitan yang semakin besar.
Itulah sebabnya Mao Tin hong tak ingin berada dalam situasi berbahaya
semacam itu, dia memutuskan untuk berangkat selangkah lebih duluan.
Bila orang berhati baik, biasanya selalu dilindungi Thian. Ke esokan
harinya, disaat Sun Tiong lo sekalian bersiap sedia
memasuki selat ular dibawah pengawasan yang ketat dari segenap
anggota suku Biau, tiba-tiba saja datang bintang penolong yang sama
sekali di luar dugaan. Patoko yang menyaksikan saatnya telah tiba, sedang mendesak Sun
Tiong lo sekalian untuk melakukan perjalanan memasuki selat tersebut.
Sambil menggigit bibir, Sun Tiong lo segera mempersiapkan pedangnya
untuk meneruskan perjalanan Mendadak. "Toooong! Tooong ! Tooong !" bunyi tambur bergema
datang secara bertalu-talu. Mendengar suara tambur tersebut, berubah hebat
paras muka Patoka, cepat-cepat teriaknya kepada Sun Tiong lo sekalian:
"Tamu bangsa Han, harap tunggu dulu!"
Sun Tiong lo segera berhenti sambil berpaling kepada Patoko katanya:
"Kepala suku ada perintah apa?" Dengan suara lantang Patoko
berteriak: "Suara tambur terlarang dari suku kami telah dibunyikan,
berarti telah terjadi suatu peristiwa besar, harap tamu bangsa Han menunggu
sebentar, setelah memperoleh laporan dari anak buah kami, belum
terlambat untuk melanjutkan perjalanan!"
Tentu saja Sun Tiong lo menyanggupi permintaan tersebut, bahkan
terus memperhatikan keadaan sekeliling sana.
Pada saat itulah, para busu dari suku ular beracun, dengan terbagi
menjadi dua barisan bersikap seperti melindungi dan menyambut tamu
agung saja, mereka datang mendekati mengiringi seorang lelaki tua dan
dua orang lelaki bertubuh kekar. Siapakah ketiga orang itu" Mereka tak lain adalnh Lo hoa biau serta
Tarsi dan Saila. Kini, dandanan dari Lo hoa biau berubah sama sekali. Dia
bertelanjang tubuh. hanya sebuah koteka menutupi bagian
alat kelaminnya, sepasang tangan dirangkap didepan dada seperti
seorang pendeta, sementara dalam genggaman tersebut terdapat
sebilah pisau belati. Diatas tubuh Lo hoa biau pun penuh coreng moreng gambar gambar
aneh yang berwarna warni. Di antara gambar-gambar tersebut nampak seekor ular aneh yang
sedang menjulurkan lidahnya, seekor macan tutul yang garang, wajah
siluman aneh bertelinga besar serta seorang gadis cantik yang menarik.
Tarsi serta Saila bertelanjang dada pula, hanya mereka mengenakan
celana dalam. Kedua orang itu mengikuti di belakang Lo-hoa Biau langkah mereka
tegap dan gagah. Paras ketiga orang itu amat serius, sorot matanya tidak memandang
kearah mana-mana, selangkah demi selangkah mereka maju terus
kedepan. Begitu banyak anggota suku Biau ular beracun yang kumpul disana,
namun suasana begitu hening, sepi, tak kedengaran suara.
Setiap kali Lo hoa biau berjalan melewati hadapan mereka, serentak
orang-orang itu menundukkan kepalanya dan menyambut dengan
wajah amat serius. Sementara itu, Patoko telah maju menyambut dengan langkah lebar,
sembari mengangkat tinggi-tinggi tongkat ularnya ke atas, seru nya
dengan bahasa Biau: "Pengikut dewa agung, silahkan diutarakan, kalian minta Patoko untuk
berbuat apa saja !" Sementara kejadian tersebut berlangsung Sun Tiong-lo sekalian hanya
berdiri dengan mata terbelalak dan mulut melongo, mereka tidak
mengetahui apa gerangan yang telah terjadi.
Mo Kiau-jiu pernah berdiam diwilayah Biau, dia cukup mengetahui akan
peristiwa semacam ini, segera katanya memberi penjelasan.
"Patoko sedang bertanya kepada ke tiga orang itu, mereka ada perintah
apa ?" "Bukankah ke tiga orang itu adalah pelayan suku Biau yang bekerja di
rumah penginapan oangsa Han dalam kota Kim-sah-cay ?" tanya Sun
Tiong-lo keheranan. Mo Kiau jiu segera manggut-manggut. "Benar, tapi sekarang mereka
tampil sebagai Dewa pengorbanan darah dari suku Biau, atau sama artinya sebagai utusan khusus dari
Dewa agung, oleh sebab itu Patoko menyebut mereka sebagai pengikut
dewa agung !" "Apa sih yg dimaksud dengan Dewa pengorbanan darah ?" tanya nona
Kim tiba-tiba, Mo Kiau-jiu segera menjelaskan: "Barang siapa
mengangkat sumpah semacam ini berarti dia bakal mati, apabila tiada
penderitaan atau permusuhan yang amat besar, biasanya mereka tidak
akan berbuat demikian" "Penderitaan apakah yang mereka derita ?" tanya Sun Tiong-lo. Mo
Kiu-jiu segera menggeleng, "Sekarang masih belum tahu,
agaknya Patoko hendak bertanya, sebentar pun kita akan menjadi
jelas." Betul juga, Lo hoa biau segera menjawab: "Aku mempunyai dendam
sakit hati, atas nama semua dewa agung dari suku Biau kami telah
bersumpah, tujuan kami adalah gua Pek hoa tong, entah berhasil atau
tidak, sampai waktunya kami bersumpah akan mencincang tubuh kami
sendiri untuk dipersembahkan kepada dewa"
Patoko segera mengangkat tongkat ularnya tinggi-tinggi sembari
berteriak keras: "Dewa agung akan melindungi utusan dewa, usaha kali ini pasti akan
berhasil dengan sukses!" Mo Kiao jiu sebagai juru penterjemah segera menyampaikan apa yang
didengar kepada para jago. Seusai menuturkan tanya jawab antara Lo-hoa biau dengan Patoko, Mo
Kiau jiu berkata lagi: "Sun sauhiap- aku lihat kejadian ini agak aneh, kita tak perlu
menyeberangi selat ular lagi, ternyata Lo hoa biau memilih kita untuk
mengiringi perjalanannya sampai di gua Pek hoa tong!"
Benar juga, ditengah sorak sorai segenap anggota suku Biau, Lo boa
biau berjalan menghampiri Sun Tiong Lo. kemudian sambil me narik
tangan pemuda itu bisiknya dengan bahasa Han:
"Jangan melawan, aku datang untuk menolong kalian, ikuti saja diriku
untuk berlalu dari sini." Sudah barang tentu Sun Tiong lo tidak akan menampik mereka berdua
segera berjalan mendekati selat ular.
Dengan amat hikmat Lo hoa biau bersujud didepan selat tersebut,
kemudian menggunakan pisau belati yang di bawanya merobek lengan
kirinya sehingga darah meleleh didepan selat Kemudian dia menarik
tangan Soen Tiong lo dan dibawah cahaya obor berangkatlah menuju
kearah jalanan ke suku leher panjang.
Tarsi dan Saila mengikuti dibelakang Lo hoa biau, sedangkan Hou ji
sekalian mengikuti dibelakang Tarsi, lambat laun mereka telah jauh
meninggalkan wilayah Selat Ular Beracun.
Hingga bayangan tubuh dari orang-orang suku Biau selat ular beracun
tak nampak lagi Lo hoa biau baru menghentikan langkahnya, setelah
menengok sekejap ke sekeliling tempat itu, ujarnya kepada Sun Tiong lo
dengan wajah serius: "Aku masih ingat tuan she Sun bukan?" Sun Tiong lo segera
mengangguk. "Ya, benar aku pernah memanggilmu sebagai sobat
lama sewaktu berada dirumah penginapan Kim sah cay. masih ingat?" "Tentu
saja masih iigat" Lo hoa biau tertawa. Sun Tiong lo segera mengalihkan
pokok pembicaraan ke soal lain, katanya lagi: "Siapa sih musuh besarmu" Mengapa tak segan-segan
mengangkat sumpah seberat ini, bahkan datang menyelamatkan kami?"
Agak tertegun Lo hoa biau sesudah agar perkataan tersebut, dia balik
bertanya. "Han kek (tuan bangsa Han), kaupun mengetahui akan hal ini?" Sun
Tiong lo lalu tertawa. "Baru saja kudengar dari sahabatku,
sesungguhnya apa sih yang telah terjadi?"

Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lo hoa biau seperti merasa tak tentram, dia berpaling dan memandang
sekejap lagi kesekeliling tempat itu. kemudian baru berkata:
"Sekarang jangan banyak bertanya dulu, mari kita lanjutkan perjalanan
meunju kedepan, apakah Han kek sudah melihat batu besar di depan
sana" Nah kita berjalan dulu hingga ke belakang batu besar itu, disana
baru akan ku terangkan semua persoalannya"
Sun Tiong lo tidak bertanya lagi, dengan langkah lebar dia berjalan
dengan menuju ke depan. Sesampainya di belakang batu besar tersebut, Lo hoa biau baru berkata
kepada Tarsi: "Tarsi, bagaimana kalau kau yang menjaga."
"Tak usah kuatir, serahkan saja padaku!" Loa hoa biau
manggut-manggut, kepada Sun Tiong-lo ujarnya
kemudian: "Han kek, kemana pergi kelima kuli kasar dari rumah
penginapan kami itu?" "Setibanya di Tiok hoa tong mereka telah balik sendiri." Lo
hoa biau manggut-manggut, katanya: "Han kek, tahukah kau
baru saja kalian lolos dari ancaman kematian yang mengerikan?" "Ooooh,
apakah sobat tua maksudkan perjalanan kami
menembusi selat ular?" Lo-hoa biau membelalakkan matanya
lebar-lebar, kemudian menjawab: "Tentu saja, dewa ular yang berdiam dalam selat ular
tersebut telah berusia beberapa ratus tahun, kekuatannya luar biasa, belum
pernah ada manusia atau binatang yang berhasil meloloskan diri dan
selat tersebut dalam keadaan selamat!"
Sun Tiong lo enggan untuk banyak berdebat dengan Lo hoa biau,
segera serunya: "Sobat lama, kalau begitu aku harus mengucapkan banyak terima kasih
atas bantuanmu." Sesudah menghela napas panjang, Lo hoa biau menyambung: "Aku
tahu kalau Han kek belum mengerti mari biar kujelaskan
kepadamu, sekarang coba kalian buka buntalan kalian dan ambillah
untaian mutiara kaca serta kain berkembang-kembang itu !"
Sebelum Sun Tiong lo menjawab, Kang Tat dan Thio Yok sim telah
membuka buntalan tersebut. Kembali Lo hoa biau itu berkata:
"Mana buntalan yang berisi lentera?" "Disini!" Ban Cuan membawa
buntalan Ientera sambil berjalan mendekat. "Sekarang, ambillah untaian mutiara kristal dan kain
tersebut!" Kang Tat dan Tbio Yok sim mengeluarkan buntalan berisi
kain serta kantong kulit berisi untaian mutiara kristal, begitu dibuka para
jago sama-sama menjerit kaget dan berdiri tertegun ditempat, untuk
beberapa saat lamanya mereka tak sanggup mengucapkan sepatah
kata-pun. Bungkusan kain yang pernah mereka periksa berisikan kain warna-wami,
sekarang telah berubah menjadi potongan-potongan kain putih yang
diatasnya dilukisi dengan manusia aneh berleher panjang berwarna
hitam yang sangat tak sedap dipandang.
Dengan cepat Sun Tiong lo menyadari apa gerangan yang telah terjadi,
ujarnya kemudian. "Sobat lama, apakah Ceng Bun keng yang sengaja bermain gila dengan
kami?" Dengan wajah pilu dan sedih Lo hoa biau menggelengkan kepalanya
berulang-ulang. "Bukan, majikkanku telah mati terbunuh !"
"Aaaai !" Sun Tiong lo menjerit kaget sesudah mendengar ucapan
tersebut. "Apa yang terjadi " Mengapa bisa begini " Kapan peristiwa tersebut
berlangsung ?" Lo hoa biau menghela napas sedih. "Aaaai, aku enggan
membicarakan peristiwa yang amat tragis itu,
lebih baik membicarakan persoalan yang menyangkut Han-kek saja."
Sesudah berhenti sejenak, tiba-tiba serunya: "Ambil kemari
garam-garam bata tersebut." Waktu itu, Sun Tiong-lo sekalian sudah menyadari kalau seluruh barang
hadiah yang mereka persiapkan sudah timbul masalah.
Sangkoan Ki mengambil garam bata tersebut dari buntalan dan segera
diangsurkan kedepan. Lo hoa biau menerima garam bata itu, kemudian ujarnya kepada semua
orang: "Sekarang, garam ini akan kuedarkan kepada kalian, setiap orang boleh
menjilat sekali!" "Mengapa harus begini " Aku ogah !" nona Kim yang jijik segera
memprotes. Sun Tiong lo segera menyambut garam bata itu seraya berkata: "Adik
Kim tak usah mencoba, sedang yang lain lebih baik
menuruti perkataan dari sobat lama ini untuk mencicipinya, siapa tahu
akan mencicipi suatu rasa yang aneh !"
Maka setiap orang menjilat sekali pada garam bata tersebut. Aah,
semua orang mengatakan bahwa itu garam bata asli. ^ooODWOoo^
TIBA-TIBA Lo hoa-biau mengambil pisau belatinya dan
memotong garam bata tersebut persis dari tengahnya, garam bata itu
segera terpotong menjadi dua bagian. Kembali Lo hoa biau berkata,
"Sekarang, silahkan setiap orang menjilat garam ini, cuma yang dijilat
harus pada bagian yang kupotong barusan."
Semua orang menurut dan menjilat pada bagian yang terpotong,
dengan cepat semua orang merasakan kegetiran yang luar biasa.
Saat itulah Lo hoa biau baru membeberkan semua kejadian seperti apa
yang dia ketahui. Akhirnya dia menunjuk ke arah ke dua puluhan batang lentera berlilin
putih itu, ujarnya: "Han-kek sekalian, seandainya kalian mempercayai kalau lentera berlilin
putih ini merupakan lentera asli, maka kalian benar-benar akan tertipu
mentah-mentah dan mati secara penasaran !"
Nona Kim mengambil sebatang lilin kemudian diperhatikannya beberapa
saat, kemudian serunya. "Sudah jelas kalau lilin ini berkwalitet tinggi !" "Yaa, seperti juga
garam bata tersebut, yang benar adalah
barang setengah tulen setengah palsu !" kata Lo hoa piau sembari
menuding ke arah garam bata itu. Betapapun lihaynya Sangkoan Ki, ternyata diapun tidak berhasil
menemukan penyakit dari lilin tersebut, katanya kemudian.
"Aku rasa tiada kemungkinan untuk memalsukan lilin ini !" Lo
hoa-biau segera menggelengkan kepala nya berulang kali,
katanya. "Lilin ini mempunyai ketinggian lima inci dengan besar yang
lumayan, pada lapisan satu inci bagian atas, sekeliling lilin ini serta
setengah inci bagian bawah memang dilapisi lilin dan kwalitet paling
baik, tapi tiga inci setengah yeng berada dibagian tengah, justeru diisi
dengan obat peledak yang berkuatan dahsyat!" Lohoa-biau
menerangkan. "Oh, mengerti aku sekarang." seru Sangkoan Ki sok pintar, "bila lilin ini
disulut maka dalam seperminum teh pertama tak akan terjadi
perubahan apa apa tapi bila bagian satu inci diatas sudah habis. maka
lilin itu akan segera meledak." Besar benar sok ngerti pemuda itu.
"Salah." Lo hoa-biau menggelengkan kepalanya, "tidak sampai
sehembusan napas setelah lilin itu disulut, obat peledaknya akan segera
meledak." Lo-boa-biau menjelaskan.
"Bukankah bagian atasnya masih terdapat lilin asli sepanjang satu inci
?" bantah Sangkoan Ki sembari berkerut kening.
"Benar, tapi sumbu lilin justeru dihubungkan langsung dengan pusat
obat peledak, sehingga begitu bertemu api, sumbu itu akan terbakar
langsung kebawah. Apakah tidak meledak lilin itu bila sudah bertemu
dengan api?" Mo Kiau jiu mengerdipkan matanya berulang kali, ucapnya kemudian:
"Ah, tidak benar, bukankah Ceng Bun keng telah mencoba sebatang
dihadapan kami " Kenyataannya tidak meledek ?"
"Benar, karena lilin yang dicobakan dihadapan kalian tidak berisi obat
peledak, melainkan sumbu biasa !"
Mendadak Sun Tiong-lo berhenti, mengambil lilin dari tangan nona Kim
kemudian berjalan menjauh langkah lebar, setelah meletakkan lilin itu
diatas tanah. ia berjalan balik. Kemudian digunakan kertas yang dibungkus dengan batu, kemudian di
sulut dengan api dan disentilkan ke ujung sumbu lilin tersebut
tampaknya ia hendak membuktikan kebenaran cari ucapan mana.
Disaat gerakan bunga api dari kertas tersebut jatuh diatas sumbu lilin itu
terpancar sekilas cahaya aneh pada ujung lilin tadi menyusul kemudian
terjadilah suatu ledakan dahsyat yang menggetarkan seluruh jagad.
Padahal jarak antara mereka dengan lilin tersebut masih sepuluh kaki
lebih, namun hempasan pasir dan batu yang memancar ke empat
penjuru toh terasa menyayat badan. Bayangkan saja, seandainya puluhan lilin di sulut bersama, apa yang
bakal terjadi dengan kawanan jago tersebut" Mungkinkah tubuh mereka
turut hancur musnah. Setelah meledak lewat Sun Tiong lo memeriksa kembali bekas ledakan
tersebut, ternyata permukaan tanah itu melesak kedalam tiga depa
dengan lebar satu kaki akibat ledakan mana, betapa dahsyatnya tenaga
ledakan tersebut bisa dilihat dari sini.
Berubah hebat paras muka Sun Tiong lo setelah menyaksikan
kesemuanya itu, seandainya Lo hoa-biau tidak memperingatkan mereka,
sudah pasti dia bersama para jago lainnya akan mati tanpa tempat
kubur. Dari sini, para jago pun semakin memahami betapa mengerikan dan
kejamnya rencana dari Mao Tin hong tersebut.
Dalam kobaran api dendam yang menyala-nyala, para jago segera
menyatakan solidaritas nya terhadap perjuangan Lo hoa biau sekalian
bertiga dalam usahanya mencari balas.
Dengan kehadiran Lo hoa biau dalam rombongan, maka mereka pun
dapat terlepas dari keadaan orang buta menunggang kuda, menjelang
saat beristirahat maka bersama-sama merundingkan suatu siasat bagus
untuk menghadapi siasat busuk Mao Tin hong selanjutnya.
"Orang she Mao itu terlalu jahat" demikian Lo hoa biau berkata, "siapa
tahu dia sedang bersembunyi dalam kegelapan barusan dan melihat
jelas semua persoalan yang terjadi dalam selat ular beracun. akan tetapi
dia bukan dewa, dengan mudah kita dapat menyelidiki hal tersebut."
"Tolong tanya bagaimana cara untuk menyelidikinya ?" Lo hoa biau
menuding bukit lm san didepan sana, kemudian
ujarnya. "Tak jauh setelah memasuki mulut bukit itu merupakan
wilayah kekuasaan suku biau berleher panjang, bila orang she Mao itu
tidak mengetahui kejadian malam tadi, aku percaya dia pasti bermain setan
lagi dihadapan kepala suku Biau berleher panjang l"
"Ehmmm..." Sun Tiong lo manggut-manggut, "Setelah bermain setan,
apa pula yang bisa dilakukan ?"
"Dengan kedudukanku sebagai seorang anggota suku Biau, sembilan
puluh persen bisa kuduga kalau dia akan mengatakan garam yang
dibawa Han kek sekalian palsu, dengan begitu bila kepala suku Biau
berleher panjang membuktikan kepalsuan garam tersebut, sudah pasti
mereka akan menyerang kita !" "Untung kita sudah mengetahui tentang penyakit kain warna- warni
tersebut, tentu saja kita tak akan mencari kesulitan buat diri sendiri
asalkan kita kupas lapisan luar dari garam tersebut dan dihadiahkan
kepada suku Biau berleher panjang, aku rasa hal ini sudah lebih dari
cukup !" Suatu akal bagus tiba-tiba melintas didalam benak Sun Tiong lo, sambil
tertawa segera ujarnya: "Tidak usah, aku mempunyai sebuah cara yang dapat membuat Mao Tin
hong mencari mampus buat diri sendiri, bisa membuat kepala suku Biau
membencinya hingga merasuk ke tulang sumsum !"
Mendengar ucapan mana, Lo-hoa-biau menggelengkan kepalanya
dengan wajah tidak percaya. Nona Kim juga segera bertanya. "Engkoh Lo, cara bagus apakah
yang kau miliki ?" Sun Tionglo hanya tertawa tanpa menjawab
sebaliknya malah berkata kepada Lo hoa biau. "Aku hanya ingin bertanya kepadamu,
apakah rakyat suku Biau gemar dengan kain putih?" "AsaI ada kain, mereka pasti senang, tapi
lukisan manusia aneh dengan tinta hitam ini merupakan pantangan paling besar bagi anggota
suku Biau berleher panjang, bila kau tak dapat
mengemukakan alasannya dengan tepat-terpaksa bersiap siaplah untuk
melangsungkan pertempuran berdarah..."
Sun Tiong-lo segera tertawa. "Kalau masalahnya hanya tinta hitam
itu mah gampang untuk diselesaikan, aku jamin tak bakal terjadi persoalan lagi" "Oooo... apakah
Han kek bersedia menerangkan lebih jelas lagi
?" pinta Lo hoa biau. Sun Tiong lo segera menggeleng. "Sekarang, lebih
baik jangan ditanyakan dulu, sampai waktunya
apa yang kukatakan kepada kepala suku Biau berleher panjang tolong
sobat tua sudi menterjemahkan ke dalam bahasa suku Biau, tanggung
tak bakal terjadi persoalan lagi!"
Namun Lo hoa biau masih tidak tenang, kembali serunya. "Han kek.
persoalan ini menyangkut soal mati hidup!" "Tak usah kuatir, harap
kau tak usah kuatir" kata Sun Tiong lo
dengan suara tegas, "aku tak akan menggunakan nyawaku sebagai
bahan gurauan saja..!" Lo hoa biau kehabisan daya, terpaksa dia manggut-manggut.
Sementara semua orang beristirahat Sun Tiong lo mengeluarkan
dua batang lilin berobat peledak itu kemudian dengan ujung jarinya
secara berhati-hati sekali mengorek keluar sumbu peledak itu dan
menuang keluar isi obat peledak yang masih tersisa didalamnya
Semua orang memperhatikan tingkah lakunya, namun mereka hanya
bisa melongo dan tak tahu apa gerangan yang sebenarnya terjadi.
Ketika selesai bekerja, Sun Tiong lo memasukkan kedua batang lilin
tersebut kedalam sakunya. Kemudian dia berpesan kepada Hoa ji agar menyimpan sisa lilin
kedalam buntalan dan di gembol diatas punggung.
^ooo^dw^ooo^ MENDEKATI LOHOR, salah seorang panglima
perang andalan suku Biau berleher panjang yang bersama "Caa-Ki" dengan memimpin
enam puluh orang prajurit tempurnya setengah menyambut setengah
menggusur membawa Sun Tiong lo sekalian beserta Lo hoa biau dan
Tarsi Saila memasuki daerah mereka...
Berhubung Lo hoa biau telah mengangkat sumpah berat, oleh kepala
suku dianggap sebagai "sahabat dewa", sambutan yang diberikan arnat
hormat dan berlebihan. Tarsi serta SaiIa jadi turut kecipratan sambutan yang berlebihan
tersebut. Tapi berbeda sekali terhadap Sun Tiong-lo sekalian, mereka dicurigai
sebagai musuh. Terutama sekali sang dukun yang tak pernah berpisah dari sisi kepala
sukunya, dengan sorot mata yang buas dia mengamati terus
gerak-gerik Sun Tionglo Mula pertama, Lo hoa-biau melakukan upacara persembahan lebih dulu
terhadap dewa bertelinga besar dengan menggunakan darah segarnya,
seusai upacara, Lo hoa-biau diterima sebagai tamu agung, dan saat
itulah kepala suku baru menanyakan maksud kedatangan Sun Tiong lo.
Dengan alasan hendak mencari bahan obat-obatan Sun Tiong lo
mengatakan minta izin untuk lewat tempat tersebut, bahkan
mengatakan ada hadiah hendak dipersembahkan.
Menyusul kemudian, Sun Tiong lo mengeluarkan tiga puluh batang


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

garam bata serta kain putih tersebut.
Ketika menyaksikan lukisan diatas kain putih tersebut, paras muka
kepala suku segera berubah hebat, ditatapnya Sun Tiong-Io dengan
penuh kegusaran serentak dia melompat bangun agaknya bersiap sedia
hendak menurunkan perintah penyerangan.
Tapi Sun Tiong-Io lewat penterjemahannya Lo-hoa-biau segera
memberi penjelasan: "Aku tahu kalau hal ini merupakan pantangan bagi suku kalian,
sesungguhnya semuanya ini hasil perbuatan dari seorang Han kek she
Mao, dia sengaja membuat rusak kain putih yang hendak
kupersembahkan kepada kepala suku, agar kepala suku marah
kepadanya. Tapi kepala suku tak usah kuatir, aku mempunyai cara yang
bagus untuk menghilangkan semua noda lukisan diatas kain itu, bahkan
hilang lenyap tak membekas, bila kurang percaya, silahkan kepala suku
menitahkan seseorang untuk mengambil sebaskom air, asal telah
kubuktikan pasti kepala suku akan percaya."
"Hmm, Han kek penipu !" dengus kepala suku. Sun Tionglo tertawa,
dia mengeluarkan sebatang garam bata,
kemudian ujarnya. "Kepala suku sudah tahu kalau benda itu palsu."
sengaja katanya: "Benda apakah itu ?" "Garam aneh !" "Kepala suku." segera
berkerut kening, sambil memandang wajah
Lo hoa biau yang baru saja menerjemahkan ucapan itu ke bahasa Biau
dia berseru: "Apa itu garam aneh" Belum pernah kudengar." Ketika Lo hoa biau
menanyakan hal ini kepada Sun Tiong-lo,
tentu saja dia mengetahui maksud hati pemuda itu, bahkan sangat
mengagumi kelihayan siasatnya. Maka sambil berlagak rahasia, ujarnya kepada kepala suku: "Harap
kepala suku mengambil dua buah kantung, sekalian
persiapkan air sebaskom, sebentar segala sesuatunya akan menjadi
jelas." Kepala suku berpaling ke arah sang dukun dengan itu segera
mengangguk sambil mengulap kan tangmnya.
Dua buah kantung kulit dan sebaskom air segera dipersiapkan orang
dalam waktu singkat. Sun Tiong lo meminjam pisau miliki Lo hoa biau, kemudian tanpa
mengucapkan sepatah katapun dia memotong lapisan garam yang asli
menjadi tiga puluh potong dan disimpan kedalam sebuah kantung.
Sedangkan bagian yang terasa getir, sebangsa bahan pemutih itu
kedalam baskom berisi air. Dengan cepat bahan pemutih yang terasa getir itu larut kedalam air dan
merata, maka Sun Tiong lo segera turun tangan menceburkan kain-kain
yang kotor tadi kedalam air yang telah dicampur dengan bahan pemutih
tersebut. Suatu kejadian yang mungkin dianggap ajaib pun segera berlangsung
dihadapan segenap suku Biau berleher panjang yang hadir disana.
Setelah direndam dan dicuci didalam air baskom tersebut, lukisan hitam
yang mengotori kain putih tadi menjadi bilang lenyap-sebagai gantinya
kain itu putih bersih kembali. Maka Sun Tiong lo segera memberi tanda kepada Hou ji, mereka
bersama sama membentangkan kain putih itu.
Kain putih itu nampaknya bertambah putih, sedang noda hitam tadi
lenyap tak berbekas. Bagi kita, mungkin kejadian tersebut merupakan sesuatu yang wajar
karena bekerjanya bahan kimia, lain halnya dimata suku Biau- berleher
panjang yang mesih terpencil hidupnya dan belum berkembang
pengetahuannya itu, peristiwa mana segera dianggap oleh semua orang
sebagai suatu peristiwa yang sangat ajaib.
Maka sedari kepala sukunya sampai ke anak buahnya, mereka bersama
sama menjerit kaget. Terutama sekali sang dukun tersebut, untuk beberapa saat lamanya dia
sampai tidak mampu untuk mengucapkan sepatah katapun.
Menggunakan kesempatan inilah, La hoa biau segera berkata kepada
kepala suku: "Harap menitahkan orang untuk mengeluarkan kain itu dan dijemur
diatas teriknya matahari !" Setelah kepala suku menurunkan perintah, Lo hoa biau menuding lagi
isi kantung yang lain sembari berkata:
"Apakah kepala suku dan dukun tidak mencoba dulu isi kantung
tersebut " Coba dirasakan besarkah garam atau bukan ?"
Dukun yang licik segera menitahkan beberapa orang rakyatnya untuk
mencoba. Ketika selesai mencoba, orang-orang itu segera bersorak sorai dengan
girangnya. Tak menunggu pertanyaan dari kepala suku Lo-hoa biau segera berkata
lagi kepada para rakyat suku Biau tersebut:
"lnilah hadiah yang dibawa para Han-kek ini untuk kepala suku serta
semua orang, nama nya garam aneh, pada lapisan luar berisi garam dan
bisa dimakan, sedangkan bagian yang dalam bisa digunakan untuk
membersihkan semua noda kotor."
"Oleh karena Han-kek kuatir semua orang itu mengerti cara memakai
benda bagus ini, lagipula tahu kalau ada orang jahat she Mao yang ingin
mengacau secara diam-diam, maka kami sengaja membagi dulu benda
benda tersebut agar kalau jangan salah pakai.
"Sejak kini, apalagi kalian ingin menggunakan garam, maka ambillah
dari dalam kantung ini, sebaliknya bila ingin mencuci kain yang kotor
maka gunakanlah lapisan yang di dalamnya, nah sekarang ambillah
benda-benda tersebut." Lo hoa biau menjelaskan hal ini itu dengan menggunakan bahasa suku
Biau, apalagi diapun berada dalam status "Utusan dewa" yang
sedang melakukan sumpah berat, tentu saja perkataannya dipercayai
setiap orang. Dengan begitu rencana busuk dari Mao Tin hong pun lagi-lagi
mengalami kegagalan total. Pagi tadi, Sun Tiong lo telah melangsungkan perundingan yang cukup
mendalam dengan Lo hoa biau, kini Sun Tiong lo memberi tanda
kepadanya dan Lo hoa biau segera manggut-manggut tanda mengerti.
Ketika para suku Biau tersebut telah menggotong pergi garam dan
bahan pemutih tersebut Lo hoa biau berkata lagi kepada kepala suku:
"Kepala suku, aku dengar orang berkata di tempat Dewa Agung berdiam
terdapat sebuah batu besar yang menghalangi jalanan sehingga
perjalanan menuju kesitu agak terganggu, benarkah demikian?"
"Benar, batu itu menjengkelkan!" kepalanya suku mengangguk.
"Mengapa tidak disingkirkan saja?" Kepalanya suku memandang
sekejap kearah Lo hoa biau, kemudian sahutnya cepat. "Disingkirkan" Utusan dewa, kau tidak tahu
batu itu tingginya dua kaki dengan lebar satu kaki, beratnya bukan kepalang, tenaga lelaki
sebanyak dua tiga puluh orang pun belum tentu sanggup untuk
menyingkirkannya!" "Oooh, bagaimana kalau tenaganya diperbanyak?" Dengan cepat
Kepala suku menggeleng. "Apa gunanya" jalanan itu lebarnya dua
kaki, di singkirkan kekiri juga menyumbat jalan, begitu pula kearah kanan, kecuali kalau memiliki
tenaga yang dahsyat seperti Dewa agung yang bisa meledakkan batu itu
sehingga hancur berkeping-keping!"
Lo hoa biau sengaja berkerut kening, kemudian ujarnya:
"Kepala suku sekembali aku dari gua Pek-hna tong nanti, pertama-tama
akan kugunakan lengan kiriku untuk mempersembahkan Dewa agung
disini, bila jalanannya kurang lebar, mungkin Dewa agung akan
melimpahkan kemarahannya kepada kami."
Kepala suku itu tak takut langit tidak takut bumi, tetapi dia takut sekali
dengan batu berbentuk kepala manusia yang tingginya beberapa kaki
itu, di atas batu besar ttu terdapat tonjolan batu lain seperti telinga
besar, dari sinilah munculnya asal usulnya dewa bertelinga besar itu.
Mendengar ucapan dari Lo hoa biau tersebut, terutama tentang
kemungkinan marahnya sang dewa, paras muka kepala suku itu kontan
saja berubah hebat Melihat hal mana, Lo hoa biau menjadi gembira setengah mati, segera
ujarnya lagi: "Bukankah dukun kalian memiliki kemampuan yang luar biasa " Dia
pasti punya akal" Sang dukun menjadi melongo, ucapan tersebut benar-benar
membuatnya mati kutu dan ketakutan setengah mati.
Akhirnya dengan mata yang gugup dia celingukan ke sana ke mari,
jelas kalau hatinya sedang kalut. Tampaknya kepala suku menganggap ucapan tersebut masuk diakal
kepada sang dukun segera serunya: "Kau pernah berkata kalau memiliki kepandaian yang biasa seperti Dewa
agung, Nah sepantasnya bila kau yang melaksanakan pekerjaan ini.."
Sang dukun hanya berdiri bodoh, untuk beberapa saat lamanya dia tak
mampu mengucapkan sepatah katapun. Dengan cepat Lo-hoa-biau mendekati dukun itu, kemudian bisiknya.
"Sstt, Han kek she Sun itu mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk
membantumu mari ikut aku, asal dia bersedia membantumu urusan pasti
beres, cuma setelah itu kau harus menuruti perkataannya!"
Dukun itu menjadi sangat gembira, bersama Lo hoa biau mereka
menghampiri Sun Tiong lo. Dua orang itu segera berunding dengan suara rendah, akhirnya dukun
itu memperoleh janji dan merasa, bukan saja ia tidak rnengganggu Sun
Tiong Io sekalian bahkan bahkan sikapnya malah sangat menaruh
hormat. Sesudah mendapat petunjuk dari Lo hoa biau, Dukun itu kembali ke
samping kepala sukunya dan berkata:
"Aku akan melakukannya, tengah malam nanti harap kepala suku dan
segenap rakyat kita datang menyaksikan kelihayanku!"
Tengah malam itu, semua rakyat suku Biau berleher panjang telah
berkumpul. Dukun itu sambil membawa sebuah tongkat pendek berwarna putih,
yang sebenarnya cuma sepasang kayu biasa melompat dan menari di
seputar batu raksasa itu bagaikan orang gila, sebentar tertawa sebentar
menangis dia bersandiwara terus. Bahkan sambil memainkan peranannya, tiada hentinya dia memandang
kearah Lo hou biau sambil menunggu tanda darinya.
Mereka telah berjanji, bila Lo hoa biau bangkit berdiri maka dia akan
menuding kearah batu cadas raksasa tersebut dengan kayu putihnya,
sedangkan kejadian selanjutnya bukan urusan nya karena semuanya
sudah diaturkan orang lain. Begitulah dalam mencak-mencak nya macam orang kesurupan,
mendadak dia melihat Lo-hoa biau memberi kode rahasia.
Serentak dia berhenti menari, kemudian sambil memicingkan matanya
dia berlagak seakan-akan sedang berdoa untuk memohon kekuatan
sakti dari para dewa. Padahal dia sedang menantikan kode rahasia berikutnya dari Lo hoa
biau, dia kuatir salah waktu dalam adegannya.
Mendadak Lo hoa biau bangkit berdiri ! inilah kode rahasia yang sedang
dinanti-nantikan. Cepat si Dukun menjerit sekeras-kerasnya, kemudian tongkat ditangan
kirinya ditudingkan ke arah batu cadas tersebut.
Menyusul kemudian kayu ditangan kanannya turut ditudingkan ke arah
batu cadas yang berada dikejauhan. Segenap rakyat suku Biau berleher patjang segera membelalakkan
matanya lebar-lebar sambil mengawasi semua gerak gerik dukunnya.
Kekuatan sakti . .. kekuatan sakti . . . kekuatan sakti yang tiada
taranya. Terdengar dua kali ledakan dahsyat yaag menggetarkan seluruh jagad,
bersamaan dengan digetarkannya sepasang tongkat dikiri kanan tangan
dukun itu ledakan keras bergema. Lalu setelah ledakan tersebut lewat, batu cadas raksasa yang selama ini
menyumbat jalan pun turut hilang lenyap hingga tak berbekas...
Maka sorak sorai yang gegap gempita pun berkumandang memecahkan
keheningan, semua orang makin menganggap dukunnya maha sakti dan
melebihi dewa. Tentu saja sang dukun itu seorang yang mengetahui keadaan yang
sesungguhnya, rasa terima kasih dan hormatnya kepada Sun Tiong lo
pun semakin berlipat ganda. - ooo0dw0ooo- ***file google dokumen ini published by Saiful Bahri situbondo seletreng ***
Jilid 42 ANCAMAN bahaya kini telah hilang, habis gelap terbitlah terang dengan
aman sentausa Sun Tiong lo sekalian bersama Lo hoa biau
dan Tarsi, Saila melanjutkan perjalanannya meninggalkan suku Biau
berleher panjang. Selewatnya gua suku Biau berleber panjang mereka akan sampai di
gua Pek hoa tong. Diantara ke dua wilayah tersebut terbentang wilayah seluas dua puluh li
yang merupakan daerah tak bertuan. Sun Tioig-lo sekalian bersama Lo hoa biau semua tahu, sejak kini
mereka benar-benar telah menginjak jalan mati hidup yang penuh
dengan ancaman bahaya yang sebenarnya, mereka harus bertindak
dengan sangat berhati-hati. Maka didaerah tak bertuan itulah mereka beristirahat sambil
merundingkan rencana selanjutnya. ^oooOdwOooo^ BANGUNAN berloteng yang megah dan indah,
berdiri kokoh dibalik sebuah bukit. Siapapun tak akan menyangka kalau diwilayah
suku Biau yang terpencil terdapat bangunan yang begitu megah dan mewahnya. Padahal
bangunan tersebut hanya sebagian dari sebuah
kompleks bangunan besar, tapi oleh karena disinilah terletak pusat dari
seluruh bangunan tersebut, maka dari sini pula cerita ini dimulai...
Kentongan pertama baru menjelang, cahaya lentera menerangi
bangunan berloteng tersebut. Sebuah meja berkaki delapan yang terbuat dari kayu cendana dikelilingi
oleh beberapa buah kursi yang beralaskan kasur dengan sulaman yang
indah. Duduk di sebelah kiri adalah pemilik kebun Pek hoa wan. sesungguhnya
dia adalah gembong iblis wanita yang hatinya tidak begitu jahat dan
cara kerjanya tidak begitu kejam. Jin Jin, siiblis wanita ini hanya
berpandangan dan berjiwa agak sempit saja.
Duduk dikursi sebelah kanan adalah Mao Tin hong, bajingan tengik
yang berhati busuk dan buas. Bi kui, sipelayan wanita duduk di samping Jin Jin sambil membawa poci
berisi arak Pek-hoa liok. Mao Tin hong, menggerakkan tangan kirinya untuk menerima cawan
kemala tersebut, setelah menghirup setegukkan, dia meletakkan
cawannya kemeja dan menundukkan kepalanya sembari menggeleng,
helaan napaspun berkumandang memecahkan keheningan.
"Hei, mengapa kau?" Jin Jin segera menegur setelah memandang
sekejap wajah Mao Tin-hong. Kin sikap Jin Jin telah berubah, dia pun jauh lebih sopan, luwes dan
tahu diri. Mao Tin hong masih saja menundukkan kepalanya rendah- rendah.
"Aaah... Tidak mengapa, hatiku saja yang terasa kacau." ia menyahut
lirih. "Gara-gara Sun Tiong-lo lagi ?" kata Jin Jin. Pelan-pelan Mao Tin-hong
mendongakkan kepalanya, lalu berkata: "Yaa, dia bersama musuh tangguh dalam jumlah yang banyak
telah berhasil melewati suku Biau berleher panjang semalam." Jin Jin
baru merasakan seriusnya persoalan sesudah mendengar


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ucapan tersebut, katanya. "Ya mereka sudah seharusnya sampai disini"
"Aku dapat melewati perintang tanpa mengalami hambatan atau
gangguan apapun karena akan membawa lencana kemalamu, tapi tidak
demikian dengan mereka, namun dalam kenyataannya mereka dapat
melampaui wilayah yang dikuasai suku Biau berleher panjang
tanpa menghadapi hambatan atau rintangan apa saja, kejadian sungguh
membuat hati orang tidak tenteram."
"Oh, jadi menurut anggapanmu suku Biau berleher panjang tentu akan
menghalangi mereka?" Kembali Mao Tin-hong menggeleng. "Aku tidak berkata demikian,
namun paling tidak sepantasnya bila mereka menjumpai banyak kesulitan lebih dahulu sebelum tiba di
sini." "Ehm. dari sini dapat dibuktikan kalau orang she Sun tersebut
benar-benar memiliki kemampuan yang hebat!"
Sekali lagi Mao Tin-hong menghela napas panjang, "Ya, tentu saja,
sepanjang jalan aku telah peroleh banyak kabar berita tentang dirinya
dan semua kabar tersebut membuat hati orang merasa terkejut."
katanya kemudian. "Mengapa tidak kau kemukakan kepadaku?" perintah Jin Jin sembari
berkerut kening. "Setiap kau pulang kemari, tentunya melalui kota Kim-sah Cay bukan"
Apakah kau kenal dengan Ceng Bun keng yang mengusahakan rumah
penginapan itu" Bagaimana menurut pendapat mu tentang dirinya..."
Jin Jin segera tertawa. "Dia amat jujur dan hidup sederhana selama
banyak tahun, namun aku tak tahu kalau dia adalah anggota dunia persilatan!"
Diam-diam Mao Tin hong terkejut. "Tepat sekali perkataanmu dia
memang seorang jagoan Bu lim yang sangat lihay dimasa lampau !" Kembali Jin Jin tertawa, ia dapat
melepaskan kehidupannya sebagai seorang anggota persilatan dan hidup menyepi ditengah desa
yang terpencil, aku memujinya sebagai orang yang cukup pintar."
"Betul!" Mao Thin hong manggut-manggut, ketika aku pulang kemari
kali ini, dalam rumah penginapannyalah aku menginap, dahulu aku
pernah bersua satu kali dengannya, maka diapun tidak merahasiakan
identitasnya lagi terhadap diriku"
"Lantas mengapa dia hidup mengasingkan diri di kota Kim sah cay yang
terpencil ini?" Mao Tin hong segera menggeleng. "Dia alasan yang biasanya
menbuat orang persilatan hidup mengasingkan diri, pertama karena pikirannya tak bisa terbuka sehingga
ingin mengundurkan diri dari keramaian dunia kedua dipaksa atau
dipojokkan oleh musuh besar sehingga terpaksa harus hidup
mengasingkan diri." "Oh, tidakkah mungkin ada atasan yang ketiga?" "Mungkinkah masih
ada alasan yang ketiga?", Mao Tin hong balik
bertanya sambil berkerut kening. "Siapa bilang tak ada" sambung Bi kui
li atau si pelayan cepat "semisalnya saja mendapat perintah dari seseorang untuk hidup
mengasingkan diri, padahal secara diam-diam mengawasi seseorang
atau menyelidiki sesuatu, toh kejadian semacam ini sesuatu yang wajar"
Terkesiap juga Mao Tin hong setelah mendengar perkataan ini, tapi dia
berlagak seakan-akan hal itu menang wajar, sahutnya:
"Yaa, benar! Kemungkinan semacam ini memang ada." "Tuan!" Bi kui
li segera mendengus, "bukan kemungkinan
semacam ini memang ada, tetapi memang demikianlah keadaan yang
sebenarnya." Mao Tin hong berusaha keras untuk mengendalikan gejolak perasaan
kaget dan ngeri didalam hatinya lalu berkata:
"Mengapa kau bisa sedemikian yakin?" Bi
kui li tertawa cekikikan. "Tuan, kau tak usah berlagak pilon lagi, majikan dan budak sudah
semenjak dulu tahu kalau Ceng bun keng adalah orangnya tuan, dulu
dia sengaja ditempatkan di kota Kim sah cay, tujuannya tidak lain
adalah untuk mengawasi majikan!"
Mao Tin hong memang tidak malu disebut manusia licik yang banyak
akal muslihatnya, walaupun rahasianya dibongkar terang- terangan oleh
Bi kui li, ternyata paras mukanya sama sekali tidak berubah jadi
memerah, malah ujarnya kemudian sambil tertawa:
"Dia bukan orangku, oleh karena aku pernah menyelamatkan selembar
jiwanya, dia rela tinggal di wilayah Biau untuk selamanya."
"Aku tak ambil perduli, aku hanya ingin tahu ada persoalan apakah
sehingga secara mendadak kau menyinggung tentang dirinya ?"
Mao Tin-hong menghela napas panjang, "Aaai, dia telah meninggal
dunia, tewas di tangan Sun Tiong-Io..."
"Sungguh ?" paras muka Jin Jin berubah hebat sesudah mendengar
perkataan itu. "Masa aku bohong ?" Mao Tin-hong menunjukkan wajah yang tak kalah
seriusnya. "Apa sebabnya orang she Sun membunuh dirinya ?" tanya Jin Jin lagi
sambil berkerut kening. "Kalau dibicarakan kembali seharusnya kesalahannya Ceng Bun- keng
sendiri, dia tahu kalau kali ini aku sedang kabur kewilayah Biau untuk
menghindari musuh tangguhku, rupanya timbul niatnya untuk
membalas budi dulu secara diam-diam tanpa sepengetahuanku.
"KebetuIan sekali Sun Tiong lo sekalian tinggal di rumah penginapannya
setelah tiba di Kim sah cay, ketika ia disuruh mempersiapkan barang
keperluannya, secara diam-diam ia telah bermain setan dengan
benda-benda tersebut. "Garam diganti dengan obat pemutih, kain warna warni berubah warna,
aku tahu akan maksudnya agar semua kepala suku
menganggap Sun Tiong lo sebagai penipu dan mengusirnya keluar dari
wilayah Biau..." "Bila kejadian ini benar-benar berlangsung bisa disimpulkan kalau sifat
Ceng Bun keng terlampau keji dan buas !"
"Bagaimana maksud perkataanmu ini ?" Mao Tin hong berlagak
seakan-akan tidak mengerti. "Sebagai anggota suku Biau, kami paling benci dengan segala manusia
penipu, garam kalau bukan garam, kain warna warni ternyata bukan
kain warna-warni, bukan hanya penipu bahkan menghina orang,
bayangkan saja bagaimana mungkin orang she Sun itu dapat
meninggalkan wilayah Biau dalam keadaan hidup"
"Aaaah, betul! Kenapa aku tidak berpikir sampai seserius itu..." Jin
Jin mengerling sekejap ke arahnya tanpa memberi tanggapan
apapun... sebaliknya Bi kui li segera berseru dengan suara dingin:
"Tuan, selanjutnya kau harus ingat dan hapal diluar kepala
terhadap pantangan-pantangan tersebut!" Mao Tin heng segera merasa
kalau persoalan tersebut sangat tidak menguntungkan baginya, ia harus mengalihkan pokok pembicaraan
ke soal lain, maka ujarnya: "Bagaimana pun juga, selanjutnya aku toh tak akan beribut dengan
siapa pun, bila dapat hidup lebih lanjut pun sudah lebih dari cukup"
Tatkala mengucapkan perkataan tersebut, sikapnya menunjukkan
keramahan yang besar, bahkan kepalanya pun turut ditundukkan
rendah-rendah. Begitu dia menunduk Bi kui li dan Jin jin segera saling bertukar
pandangan dengan cepat. Maka Bi-kui-li pun berkata lagi: "Majikan, apakah perlu menambah arak
?" "Tak usah, pergilah tidur." Jin Jin menggeleng.
Bi kui li mengiakan, dia letakkan teko arak ke meja kemudian
mengundurkan diri. Setelah kepergian Bi kui-li, dengan nada bersungguh hati Jin Jin
berkata: "Tin hong, apakah semalam orang she Sun dan rombongannya baru
melewati daerah yang dihuni orang-orang suku Biau berleher panjang?"
Mao Tin-hong tak dapat meraba apa maksud Jin Jin mengajukan
pertanyaan tersebut, terpaksa sahutnya:
"Mereka telah berhasil melampauinya, jadi semestinya saat-saat ini
sudah memasuki daerah Pek-hoa-tong."
"Sebenarnya Cang Bun keng mati ditangan siapa ?" kembali wanita itu
bertanya. Tergerak hati Mao Tin hong sesudah mendengar ucapan tersebut, secara
licik dia berkata pula: "Aku tidak menyaksikan peristiwa tersebut dengan mata kepala sendiri,
aku tak berbicara secara sembarangan tapi yang pasti ada sangkut
pautnya dengan orang she Sun tersebut."
"Oh ! Tin-hong, aku ingin bertanya kepadamu, apa rencanamu yang
sesungguhnya terhadap orang she Sun tersebut " Diselesaikan secara
baik-baikan atau kau baru puas bila berhasil membunuhnya " Katakan
saja kepada ku secara berterus terang."
"Sewaktu masih berada di telaga Tong-ting ou, bukankah sudah
kujelaskan tentang persoalan ini ?" Mao Tin hong segera menunjukkan
sikap tidak mengerti. "Lain dulu lain sekarang, toh jalan pemikiran manusia seringkali dapat
berubah-ubah." "Jalan pemikiranku tak akan berubah. aku dapat bersua kembali
denganmu hal ini sudah merupakan suatu keberuntungkan yang di
limpahkan Thian untukku, bila aku dapat menemanimu sepanjang
masa, tiada ambisi terhadap duaia persilatan bukankah hal ini jauh
lebih berbahaya daripada apa pun jua ?"
Sekilas perubahan aneh menghiasi wajah Jin Jin, ujarnya lagi. "Tin
hong, aku hendak mengajukan satu pertanyaan lagi
kepadamu, tapi kau harus menjawab dengan sejujurnya." "Tentu saja
aku akan menjawab dengan jujur." Jin Jin berpikir sebentar lalu
ujamya, "Tin hong, dengarkan baikbaik,
tiada manusia yang tak pernah bersalah di dunia ini, watak
manusia memang gemar yang baru, seringkali berubah-ubah, kalau
hanya berubahnya saja tak menjadi soal, tapi kalau berubah menjadi tak
benar, sepantasnya kalau kita dapat merubah kesalahan tersebut ke
jalan yang benar. "Sekarang, aku berharap kau dapat melupakan semua perkataan yang
pernah kita bicara kah selagi berada di telaga Tong ting-ou tempo bari,
anggap saja hal tersebut itu seolah-olah tidak pernah terjadi, anggap
pula saat inilah kita baru bersua kembali..."
"Mengapa harus demikian?" tanya Mao Tin hong keheranan. "Bila kau
bersedia mendengaikan lebih lanjut, maka segala
sesuatunya akanlah menjadi terang" ujar Jm Jin serius "sikapku
terhadapmu maupun cara kerjaku setelah ini, semuanya tergantung
kepada jawabanmu yang akan kau utarakan sebentar, dan hal ini amat
penting, aku harap kau suka mengingatnya baik-baik?"
"Baik, akan kuingat selalu perkataanmu itu, tak akan kulupakan
kembali." Jin Jin tertawa. "Kalau begitu, ceritakanlah kepadaku semua
perbuatan dan peristiwa yang telah terjadi semenjak kau meninggalkan aku di Telaga
Tong ting ou hingga kau tiba kembali kembali kemarin cuma kau jangan
mencoba untuk membohongi aku."
"Tin hong, sekali lagi kuulangi, semua perkataan yang pernah kau
ucapkan selagi berada di telaga Tong ting ou, kita anggap tidak pernah
ada, anggap saja tidak pernah terjadi, kau mengerti bukan?"
Tentu saja Mao Tin hong mengerti, ucapan dari Jin Jin ibarat memberi
peringatan kepada dirinya, meski dia sudah meninggalkan telaga Tong
Ting ou lebih dahulu, namun semua peristiwa yang kemudian terjadi di
ketahui olehnya dengan jelas. Itulah sebabnya dia baru berkata demikian kepadanya dan menganggap
perkataan yang pernah dibicarakan sewaktu berada di telaga Tong Ting
Ou tempo hari tak masuk hitungan atau dengan perkataan lain,
seandainya dia mempunyai pandangan yang lainpun tak jadi soal
asalkan saja dia mengaku terus terang.
Tapi mana mungkin Mao Tin hong berani mengutarakan semua
perbuatannya termasuk menanam bahan peledak didalam perahu,
usahanya mencelakai Sun Tiong lo sepanjang jalan serta perbuatannya
membunuh Ceng Bua-keng untuk menghilangkan saksi"
Selain daripada itu, diapun mempunyai tujuan lain, dia masih ingin
untung-untungan, menurut anggapannya hal ini disebabkan Jin Jin
terlampau memahami tentang wataknya maka dengan menggunakan
tipu muslihat, perempuan itu berusaha untuk mengungkap semua latar
belakang perbuatannya. Oleh karena itu, setelah berpikir sejenak, dia menuturkan kembali
semua perkataan yang pernah diutarakan dulu hanya disana sini
dilakukan sedikit perubahan. Jin Jin menundukkan kepala-nya rendah-rendah, ia nampak seperti
sangat menderita. Selang berapa saat kemudian, Jm Jin mendongakkan kepalanya lagi
sambil memandang kearah Mao Tin hong. lalu katanya:
"Tin hong, kali ini pun tidak masuk hitungan. aku berharap kau bersedia
memberitahu kan hal hal yang lebih segar saja"
Cukup, bagi Jin Jin yang berulang kali selalu memberi kesempatan
kepada Mao Tin hong. "Untuk mempertahan harga dirinya, Iama keIamaan hal ini bisa Mao
Tin hong mengungkapkan hal yang sejujurnya.
Siapa tahu Mao Tin hong memang berwatak jelek, ia belum saja mau
merubah caranya berbicara. Akhirnya dengan wajah sedingin es, Jin Jin berkata: "Bagus sekali,
kalau begitu aku ingin mengajukan pertanyaan
kepadamu..." "Tanyakan saja, asal kuketahui pasti akan kuungkapkan."
"Manakala kau tak bermaksud membunuh Sun Tiong lo,
mengapa setelah aku dan Bi kui serta sekalian anak buahku
meninggalkan peralu besar tersebut, kau telah memuat perahu tersebut
dengan bahan peledak?" Mao Tin hong tertegun, tapi dengan cepat katanya: "Tujuanku untuk
meledakkan perahu itu tak-lain agar mereka tak
dapat mencariku ke wilayah Biau" Paras muka Jin Jin berubah semakin
tak sedap dipandang, ia tertawa dingin lalu serunya: "Bagaimana pula penjelasanmu dengan
surat yang kau tinggalkan dalam ruang perahu untuk Sun Tiong lo dan racun jahat
yang kau poleskan diatas kertas surat tersebut ?"
Mao Tin hong mati kutunya, dia tak sanggup menjawab dan cuma
membungkam seriba bahasa. Jin Jin segera berkata lebih jauh: "Bagaimana pula penjelasanmu
tentang meracuni kuda dirumah penginapan serta peristiwa dipeternakan milik Liok Siang ?"
Mao Tin hong mulai duduk tak tenang, kepalanya ditundukkan semakin
rendah, tapi rasa benci dan dendamnya pun semakin
bertambah-tambah. Setelah mendengus dingin kembali Jin Jin berseru: "Bagaimana pula
dengan penjelasanmu tentang perundingan
rahasia yang terjadi dalam ruang rahasia kota Kim sah cay, dimana kau
memberi petunjuk kepada Ceng Bun keng untuk melakukan pelbagai
tindakan ?" Waktu itu bukan saja Mao Tin hong tidak menyesal atau malu atas
kejadian tersebut dia malah merencanakan suatu idee yang jauh lebih
keji dan buas. Tampaknya Jin Jin belum habis berkata, ia menyambung lebih jauh:
"Membinasakan Ceng Bun-keng didepan wilayah Tiok hoa-tong,
mengapa sih hatimu begitu kejam dan tak berperi kemanusiaan ?"
Mendadak Mao Tin hong mendongakkan kepalanya kemudian berseru:


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa yang berkata demikian ?" Jin Jin menatap lekat-lekat,
kemudian berkata: "Tiga orang budak dari Cang Bun keng tak
segan-segan mengangkat sumpah berdarah yang paling berat dengan maksud
membalaskan dendam bagi kematian Ceng Bun keng, peristiwa ini sudah
tersebar luas di seluruh wilayah Biau !" wanita itu menerangkan
"Tapi apa sangkut pautnya kejadian tersebut denganku ?" Mao Tin hong
berlagak bodoh. Mendadak Jin Jin melompat bangun, kemudian sambil berjalan
menghampiri Mao Tin-hong, serunya: "Ucapan "anak jadah" mu yang kau ucapkan tanpa sengaja serta tindak
tandukmu yang aneh telah memaksa Lo hoa biau serta kedua
orang budak lainnya menguntil kau dan Ceng Bun keng secara
diam-diam. "Dengan mata kepala sendiri mereka saksikan kau melakukan perbuatan
keji itu, oleh sebab kejadian inilah mereka lantas mengangkat sumpah
darah yang paling berat bagi suku Biau kami untuk menuntut balas,
kemudian setelah membakar jenazah Ceng Bun keng, mereka
menyusulmu hingga kemari !" "Dimana orangnya sekarang " Suruh mereka keluar, aku bersedia diadu
dengan mereka !" Ucapan mana kontan membuat Jin Jin menjadi tertegun lalu termenung
beberapa saat lamanya. "Jangan-jangan dia memang benar-benar terfitnah ?" Siapa tahu
belum habis ingatan tersebut melintas lewat, tiba-tiba
Jin-jin merasakan dibawah teteknya terasa sakit sekali, menyutul
kemudian sekujur tubuhnya tak bisa berkutik Iagi.
Dengan cepat dia sadar, Mao Tin hong telah turun tangan secara
tiba-tiba menotok jalan darahnya. Kendatipun dia tak mampu berkutik, mulutnya masih dapat berbicara
serunya kemudian dengan penuh kebencian:
"Mao Tin hong, kau manusia anjing yang berhati serigala, mengapa
tidak kau bayangkan kalau dirimu sedang berada dalam Pek hoa wan
ku" Berani benar kau turun tangan sekeji ini."
Mao Tin hong tertawa. "Tak perlu gelisah. kesemuanya ini merupakan
hasil dari perbuatanmu sendiri, kau anggap lohu sudah melupakan kejadian dulu"
Huuh Coba kalau kau tak mencelakai aku dulu hingga tiap kali aku tak
mampu melebihi orang lain, mana mungkin aku akan mengalami
keadaan seperti apa yang kuhadapi sekarang!"
"Mau apa kau sekarang?" bentak Jin Jin kemudian
Mao Tin hong tidak menjawab, sambil tertawa dia berjalan menuju
kesamping meja. ^ooodwooo^ PERTAMA-TAMA dia membuka laci kecil tersebut untuk
mengeluarkan kitab pusaka, kemudian sambil diperlihatkan kepada Jin
Jin, katanya: "Perempuan rendah, sekarang locu akan memeriksa kitab ini dengan
sebaik-baiknya, kemudian dengan mempergunakan ilmu barisan untuk
mengurung mampus orang she Sun beserta begundal-begundalnya, dan
akhirnya aku akan menghukum kau bersama Bi kui si budak sialan itu!"
Jin Jin tertawa seram. "Heehhh... heedweh... hehh...Mao Tin hong,
kalau begitu silahkan saja kau nikmati kitab tersebut, sehalaman demi sehalaman
periksalah dengan seksama, aku tanggung selesai membaca kitab itu,
kau akan merasa puas sekali!" Sambil mendengus dingin, Mao Tin hong membuka halaman pertama
dari kitab tersebut. Tapi apa yang kemudian terlihat memburu paras mukanya berubah
hebat, cepat-cepat dia membalikkan halaman berikutnya, tak lama
kemudian dia sudah membanting buku itu ke tanah lalu menghampiri Jin
Jin dengan penuh kegusaran. Ternyata kitab tersebut telah berubah menjadi sejilid kitab tanpa kata
alias kertas putih biasa. Sambil menuding kearah Jin Jin, Mao Tin hong membentak dengan
amat gusarnya. "Perempuan rendah keturunan anjing, mana kitab pusaka itu?" Jin
Jin segera tertawa terbahak-bahak. "Haah... haah... haah...
bukankah kitab yang berada ditanganmu
itu adalah kitab pusaka?" Mao Tin hong teramat gusar, sambil mendengus dia menampar wajah
Jin Jin keras-keras, makinya: "Perempuan anjing, sekali lagi locu peringatkan padamu, bila kau tak
mau mengatakan dimanakah kitab pusaka tersebut kau simpan
sehingga membangkitkan ke Bara Naga 7 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Bentrok Para Pendekar 16
^