Hati Budha Tangan Berbisa 15

Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Bagian 15


e biara kami?"
"Cayhe minta bertemu dengan Ciangbunjin kalian," jawab Ji Bun dingin.
"Menemui Ciangbunjin" Tolong tanya ada keperluan apa?"
"Soal itu kau tidak perlu tahu."
-- Terunjuk rasa kuatir pada roman kedua paderi itu, salah satu paderi itu buka suara pula: "Lalu bagaimana Siauceng harus memberi lapor?"
"Katakan saja, aku Te-gak Suseng mohon bertemu."
21.63. Pertanggungan Jawab Paderi Siau-lim-si Berubah hebat air muka kedua paderi itu, tanpa berjanji mereka menyurut mundur berbareng sikapnya kelihatan kaget dan jeri.
Duka dan kebencian telah terlebur dalam benak Ji Bun, tapi dia masih ingat dirinya sebagai pejabat Ciangbunjin dari suatu aliran, maka dia perlu menggunakan tata krama, mohon bertemu dengan cara umum, walaupun dalam hati dia tidak sabar lagi. Maka segera dia menambahkan: "Cayhe tidak sabar menunggu terlalu lama."
Kedua paderi tak berani banyak bicara lagi, keduanya putar badan terus berlari ke atas gunung dengan cepat bagai terbang. Ji bun melangkah pelan-pelan menaiki undakan batu yang memanjang ke arah pintu biara besar. Tepat pada saat dia tiba di depan pintu biara, seorang paderi tua kebetulan menyongsong keluar. Melihat paderi tua ini, Ji Bun lantas mengenalnya, yaitu It-sim Taysu ketua Lo-han-tong, waktu Wi-to-hwe berdiri dahulu mereka pernah bertemu sekali. Cepat ia merangkap tangan memberi hormat:
"Selamat bertemu Taysu!"
-- Dengan kaget dan sangsi It-sim pandang Ji Bun sebentar, lalu iapun merangkap kedua telapak tangan di depan dada, suaranya berat: "Sicu berkunjung, entah ada petunjuk apa?"
"Untuk memecahkan sebuah persoalan umum, terpaksa mohon bertemu dengan Ciangbun kalian."
"Persoalan umum" Mari silakan duduk di dalam sambil menikmati secawan air teh," lalu ia menggeser ke samping memberi jalan.
Kembali Ji Bun bersoja, katanya: "Taysu silakan tunjukkan jalan."
Lalu dengan langkah tegap sambil menegakkan kepala Ji Bun melangkah ke dalam biara. Mereka langsung menyusuri pendopo Wi-tho-tian, paderi penyambut tamu segera menyambut. Sekilas dia memandang It-sim Taysu, lalu menuding ke kamar kiri sana, katanya: "Silakan Sicu menunggu di kamar tamu."
Otak Ji Bun bekerja, kadatangannya bukan bertamu, maka dengan dingin dia berkata: "Tidak usah, urusan ini amat penting, tak bisa aku tinggal terlalu lama di sini."
It-sim Taysu melangkah setindak, katanya: "Maksud Sicu ...."
"Sekarang juga Cayhe mohon bertemu dengan Ciangbunjin."
"Bolehkah Sicu beritahu dulu persoalannya, kalau dapat kupertanggung jawabkan, kukira tidak perlu mengganggu ketenangan Ciangbunjin lagi?"
-- "Aku yakin Taysu takkan berani bertanggung jawab dan ambil keputusan."
Berubah rona muka It-sim Taysu, katanya mendesak: "Coba Sicu katakan saja."
"Ada orang pihak kalian telah membunuh serta mencuri pusaka kami."
It-sim Taysu kaget sekali, tanpa terasa dia menyurut dua langkah, serunya gemetar. "Membunuh dan mencuri" Barang apa yang dicuri" Siapa pula yang dibunuh?"
"Yang dicuri adalah Tok-keng jilid pertama, yang dibunuh adalah lima duta Ngo-hong-kau."
"Hah, adakah kejadian ini ...... sicu saksikan sendiri?"
"Boleh dikata demikian, salah seorang korban membeber peristiwa ini sebelum ajal."
"Kenapa sedikitpun aku tidak tahu akan kejadian ini?"
"Maka itulah aku ingin bertemu dengan Ciangbunjin."
Sejenak It-sim Taysu menepekur akhirnya dia mengulap tangan kepada paderi penyambut tamu, katanya: "Laporkan kepada Ciangbunjin." Setelah paderi penyambut tamu berlalu, It-sim berkata pula kepada Ji Bun: "Harap tunggu sebentar!"
-- Lekas sekali paderi penyambut tamu sudah berlari keluar pula, serunya: "Lapor susiok, Ciangbunjin sedang menunggu akan kedatangan tamu."
It-sim berdehem sekali lalu berkata: "Silakan Sicu."
Setiba di Tay-hiong-po-tiam (pendopo agung) tampak suasana di sini amat khidmat. Seorang paderi tua yang mengenakan kasa kuning emas tampak duduk dengan angkernya. Di belakangnya berdiri berjajar 12 paderi bertubuh tegap kereng, agaknya para pelindung pribadi Siau-lim Ciangbun.
It-sim memburu maju serta menjura sekali terus mundur ke samping. Ji Bun mendekat serta memberi hormat, serunya: "Ji Bun angkatan muda dari Bu-lim, menyampaikan salam hormat pada Ciangbunjin yang mulia."
Suara Siau-lim Ciangbun nyaring seperti genta bertalu, katanya:
"Sicu tak usah banyak adat, silakan terangkan maksud kedatanganmu."
"Beberapa hari yang lalu, di jalan raya Cu-ping, terjadi perampokan dan pembunuhan. Salah seorang korban yang belum mati menerangkan, bahwa yang melakukan kejahatan adalah murid perguruan kalian, maka sengaja aku kemari mohon penjelasan, harap Ciang-bunjin mengadakan penyelidikan tentang kejadian ini."
Berkerut alis ketua Siau-lim-si itu katanya: "Apakah Sicu itu tidak salah dengar obrolan orang ......"
-- "Pasti tidak, "jawab Ji Bun dingin, "Cayhe yakin apa yang dikatakan sang korban seratus persen dapat dipercaya."
"Sebagai Ciangbunjin aku berani mengatakan dengan tegas bahwa murid perguruan kami takkan berani melakukan kejahatan seperti itu."
"Ciangbunjin tidak terlalu yakin terhadap diri sendiri?"
"Beberapa hari belakangan ini, tiada murid kami yang keluar pintu ........"
"Mungkinkah tiada yang di luar?"
"Sudah tentu ada, yaitu Go-goan Taysu, tertua dari Houhoat Tianglo, mungkinkah dia melakukan kejahatan ini?"
"Sulit dikatakan."
Berubah rona muka Siau-lim Ciangbun, bentaknya keras: "Sicu tidak percaya?"
"Apakah Go-goan Taysu sudah pulang?" tanya Ji Bun.
"Baru tadi dia pulang."
"Bolehkah mengundangnya keluar untuk bicara?"
Sedikit angkat sebelah tangan, salah seorang paderi dibelakang Ciangbunjin segera membungkuk badan terus mengundurkan diri.
-- Tak lama kemudian dia kembali bersama seorang paderi tua beralis putih, bertubuh tinggi dan berpundak lebar. Dari kejauhan dia mengawasi Ji Bun, lalu memberi hormat kepada Ciangbunjin, katanya: "Entah ada keperluan apa Ciangbunjin mengundangku kemari?"
Siau-lim Ciangbun mengulangi tuduhan Ji Bun, tampak Go-goan Taysu menyebut Buddha, katanya: "Tecu tidak tahu menahu tentang kejadian ini."
Amarah membakar dada Ji Bun. Omongan Ui Bing tidak akan salah, pula Go-goan Taysu kebetulan baru tadi kembali ke biara.
Waktunya tepat satu sama lain, namun mereka mungkir secara tegas. Maka dengan dingin dia berkata: "Lalu bagaimana keputusan Ciangbunjin terhadap peristiwa ini?"
Siau-lim Ciangbun tampak kurang senang oleh pertanyaan ini, katanya: "Lalu bagaimana aku harus bertindak menurut pendapat Sicu?"
"Serahkan dulu Tok-keng."
"Tok-keng" Darimana aku harus menyerahkan?"
"Tanyakan kepada Ciangbunjin sendiri."
Betapapun sabar hati Siau-lim Ciangbun akhirnya naik pitam juga, bentaknya kereng: "Agaknya Sicu kemari sengaja hendak mencari gara-gara?"
-- Dengan garang Ji Bun balas melotot, jengeknya: "Memangnya kenapa kalau cari gara-gara."
It-sim Taysu, ketua Lo-han-tong berwatak keras, segera ia membentak gusar: "Apa tujuan Sicu harap terangkan secara blak-blakan saja, jangan menggunakan alasan kosong ......"
"Taysu berkata begitu, kau kira aku sengaja cari perkara tanpa sebab?"
"Sicu sendiri yang mengerti."
"Mungkinkah seorang yang sudah dekat ajalnya sengaja memfitnah kalian?"
"Tadi Sicu bilang yang jadi korban adalah jago-jago dari tingkat Duta Ngo-hong-kau."
Beringas muka Ji Bun, katanya: "Taysu tentu dapat membayangkan akibatnya."
Siau-lim Ciangbun mencegah It-sim bergerak, lalu berkata dengan suara kereng penuh wibawa: "Biarlah akan kupanggil semua murid kami untuk berkumpul, akan kuselidiki secara seksama, bagaimana kalau besok kuberikan jawaban?"
"Kalau tiada murid kalian yang pernah keluar, untuk menyelidikinya sekarang juga bisa segera dilakukan, kenapa harus menunggu sampai besok?"
-- Yang kumaksud adalah murid-murid tingkatan tinggi dan lulus ujian, bagi tingkatan yang masih rendah, sudah tentu takkan pernah keluar."
Ji Bun ragu-ragu, tak tahu apa yang harus dia lakukan. Ucapan orang memang beralasan, tapi bukan mustahil dalam waktu sehari semalam ini akan terjadi sesuatu di luar dugaan, betapapun Tok-keng pantang terjatuh ke tangan orang lain, lebih penting lagi menurut pesan Ui Bing, hal ini secara langsung juga menyangkut ibunya.
Pada saat itulah, paderi penyambut tamu tampak berlari datang dengan langkah gopoh. Setelah memberi hormat terus memberi lapor kepada Ciangbunjin: "Ada seorang Sicu yang bergelar Thian-gan-sin-jiu mohon bertemu."
Kaget Ji Bun, bagaimana mungkin Ciang Wi-bin juga meluruk ke Siau-lim-si"
Sejenak Siau-lim Ciangbun ragu-ragu, lalu katanya: "Dia bilang hendak menemui aku" Sudah kau tanya apa keperluannya?"
"Katanya ada urusan penting hendak disampaikan."
"Baik sebentar hendak kutemui dia."
Segera Ji Bun bersuara: ''Thian-gan-sin-jiu ini kukenal dengan baik mungkin dia kemari karena persoalan ini pula ......"
-- Dengan nanar Siau-lim Ciangbun pandang Ji Bun sekejap, katanya: "Silakan dia masuk!"
Paderi penyambut tamu mengiakan, terus mengundurkan diri, tak lama kemudian dia sudah masuk pula membawa seorang tabib kelilingan, tangan memegang kelincingan, kotak obat dipanggul dipunggungnya, tapi di ketiak kiri mengempit sebuah buntalan panjang besar, dengan langkah bergontai berjalan masuk.
Sekali pandang Ji Bun mengenalinya, memang Thian-gan-sin-jiu salah satu penyamaran Biau-jiu Siansing Ciang Wi-bin. Begitu melihat Ji Bun disitu, Ciang Wi-bin juga bersuara heran tertahan, tanyanya bingung; "Kenapa kaupun disini?"
Sudah tentu Ji Bun tidak suka membongkar samaran orang, dia merangkap tangan memberi hormat, katanya tawar: "Ada keperluan penting disini, selamat bertemu!"
Ciang Wi-bin tidak banyak bicara lagi, dia meletakkan buntalan besar itu lalu memberi hormat kepada Ciangbun: "Yang rendah Thian-gan-sin-jiu, memberi hormat kepada Ciangbunjin."
"Sicu tak usah banyak adat, entah ada petunjuk apa?" tanya ketua Siau-lim-si.
"Ada suatu hal amat penting dan besar pengaruhnya, mohon Ciangbunjin suka memberi penjelasan."
"Silakan Sicu katakan."
-- "Harap Ciangbunjin lihat ini dulu," lalu dia buka buntalan besar itu.
"Hah!" semua paderi Siau-lim yang hadir sama menjerit kaget.
Ternyata dalam buntalan adalah jenazah seorang Hwesio. Berubah hebat wajah Siau-lim Ciangbun, katanya dengan suara haru tertekan: "Sicu, apa maksudnya ini?"
Dingin suara Ciang Wi-bin: "Silakan Ciangbunjin memeriksanya, apakah dia murid kalian?"
Kepala Houhoat Go-goan Taysu segera tampil ke depan, dia memeriksa dengan seksama, lalu katanya dengan suara gemetar:
"Lapor Ciangbun, inilah Liau-khong, murid angkatan ketiga-belas."
Siau-lim Ciangbun menyebut nama buddha, sorot matanya berkilat menatap Ciang Wi-bin, katanya kemudian: "Harap Sicu sudi menerangkan."
Sebagai ahli racun sekilas pandang Ji Bun lantas berteriak kaget:
"Mati keracunan!"
Semua orang terbeliak kaget. Ciang Wi-bin melirik ke arah Ji Bun, katanya: "Betul, dia mati keracunan."
Semua paderi Siau-lim yang hadir sama melotot kepada Ciang Wi-bin. Dengan dingin Ciang Wi-bin balas menyapu pandang mereka, lalu berkata kepada Ciangbunjin dengan nada berat:
"Kebetulan semalam aku menginap di Ciang-ling-si di luar kota Hong-seng. Murid kalian ini juga menginap di kuil itu. Tengah malam
-- secara diam-diam dia mencuri lihat sebuah sampul surat rahasia, ini
......" "Sicu boleh teruskan saja."
"Untuk ini kumohon keterangan lebih dulu dari Ciangbunjin, apakah Clangbunjin menugaskan si korban untuk menyampaikan surat rahasia itu?"
Sepucuk surat ..... coba panggil Kam-si (pengawas biara) kemari," seru ketua Siau-lim-si.
Seorang Hwesio muda mengiakan terus mengundurkan diri.
Suasana menjadi hening dan tegang. Tak lama kemudian seorang Hwesio bermuka kereng bundar seperti muka harimau datang dengan langkah cepat. "Go-tin, pejabat Kam-si, menghadap Ciangbunjin yang mulia."
"Ya, apakah kau menugaskan Liau-khong keluar" Coba lihat itu!"
Go-tin berputar dan memandang mayat yang menggeletak di lantai, tak tertahan dia menjerit kaget: "Liau-khong, dia ........"
Ciangbunjin menarik muka, katanya kereng: "Go-tin, kau belum memberi penjelasan."
Go-tin putar tubuh seraya meluruskan kedua tangan, katanya:
"Dua bulan yang lalu, Tecu memang mengutus Liau-khong pergi ke biara cabang Poh-tian di Hok-kian ........"
-- "Apa betul dua bulan yang lalu?"
Go-tin mengiakan.
"Tapi Thian-gan-sin-jiu ini bilang semalam Liau-khong mencuri baca surat rahasia di kuil Ceng-ling-si ....."
"Lapor Ciangbunjin, kalau dihitung waktunya, memang tepat pulangnya dia menunaikan tugas."
"Tapi surat rahasia bukan berisi surat agama," jengek Ciang Wi-bin.
"Lalu apa isinya?" tanya Siau-lim Ciangbun melengak.
"Sejilid kitab pusaka yang dilumuri racun jahat, justeru dia mati karena mencuri baca kitab pusaka itu."
Cemberut wajah Ciangbun, paderi yang lain sama bersuara kaget. Biji mata Ji Bun juga mendelik menahan perasaan.
Berkata Ciang Wi-bin lebih lanjut: "Oleh karena itu aku yang rendah memberanikan diri datang kemari, harap Ciangbunjin menerangkan asal usul kitah pusaka beracun itu."
Dengan pandangan heran dan curiga Ciangbunjin melirik Go-tin, lalu berkata dengan sungguh-sungguh: "Pit-kip (kitab pusaka) yang berlumur racun" Apa nama Pit-kip itu?"
-- Dari kotak obatnya Ciang Wi-bin mengeluarkan sebuah bungkusan kulit kambing yang tebal, katanya sambil mengangkatnya tinggi di atas kepala: "Tok-keng!"
"Tok-keng?" semua hadirin serempak berpadu suara dengan kaget.
Bergetar badan Ji Bun, tanpa sadar dia berteriak penuh emosi:
"Paman, serahkan kitab itu kepadaku."
Ciang Wi-bin menoleh dan menatap Ji Bun penuh keheranan.
Sejenak barulah dia lemparkan buntalan kulit kambing itu ke arah Ji Bun. Begitu menangkapnya Ji Bun lantas membuka buntalan itu dengan tangan gemetar. Buntalan itu berisi sejilid buku tipis yang sudah kuno, di atas sampulnya bertuliskan huruf kuno pula yang berbunyi "TOK-KENG" dan di bagian bawahnya dengan huruf lebih kecil tertulis "Jilid ke-1."
Selamanya belum pernah dia melihat buku pusaka peninggalan cikal-bakal perguruannya ini. Namun dari bentuk dan kertasnya yang sudah menguning jelas buku ini memang milik perguruannya.
Setelah membalik beberapa halaman dan membaca isinya, dia tambah yakin lagi. Cepat dia masukkan kitab itu ke dalam kantong baju.
"Paman," kata Ji Bun kepada Ciang Wi-bin yang tengah mengawasinya dengan melongo, "Karena Tok-keng inilah Siautit meluruk ke Siau-lim-si ini."
"Karena Tok-keng itu" Jadi kau sudah tahu kajadian ini?"
-- "Bukan, tapi ......" Tapi apa dia tak kuasa melanjutkan, kerongkongannya seperti disumbat, tak tertahan air mata bercucuran.
"Apakah sebetulnya yang terjadi?" tanya Ciang Wi-bin.
Sambil menahan tangis dan menekan perasaan duka Ji Bun berkata: "Ui Bing Toako, dia ..... sudah meninggal."
Seperti digodam Ciang Wi-bin tergentak mundur beberapa tindak, matanya mendelik, teriaknya beringas: "Ui Bing sudah mati?"
"Sudah mati dengan mengenaskan sekali .... dia tewas dengan dada ditembus pedang."
"Di ....... mana?"
"Di jalan raya Cu-ping ..... Siautit yang menguburnya."
Ciang Wi-bin terguguk-guguk, badannya gemetar saking sedih, tak tertahan air mata berlinang membasahi pipi.
Semua paderi Siau-lim sama berdiri menjublek mengawasi kedua orang yang bertangisan ini, tiada satupun yang buka suara.
"Bagaimana kejadiannya?" tanya Ciang Wi-bin menyeka air mata.
Ji Bun lantas menuturkan kejadiannya. Terpencar sinar buas dan dendam dari mata Ciang Wi-bin, jarang terlihat sikapnya sedemikian
-- garang dan beringas selama Ji Bun kenal calon mertuanya ini.
Sebagai seorang maling sakti, biasanya ia bertingkah jenaka dan supel, banyak akal lagi.
Ji Bun menghadapi Siau-lim Ciangbun, katanya: "Sekarang Ciangbunjin bisa memberi penjelasan bukan?"
Siau-lim Ciangbun tersentak, katanya: "Apa yang harus kujelaskan?"
"Dari mana Liau Khong bisa membawa Tok-keng ini?"
"Dia sudah mati karenanya, akan kusuruh menyelidiki hal ini."
"Menyelidiki apalagi" Bukti sudah jelas, keempat Sucia dari Ngo-hong-kau mati karena keracunan, dan seorang lagi adalah saudara angkatku, dia terbunuh dengan badan ditembus pedang. Sebelum ajal dia menerangkan bahwa yang melakukan adalah murid Siau-lim.
Liau-khong ini juga mati keracunan, jelas dia tidak mampu melakukan pembunuhan dan merebut Tok-keng itu. Dalam kejadian ini pasti ada latar belakang yang rumit dan semua lika-liku ini, harap Ciangbunjin suka memberi penjelasan." Habis bicara serta merta matanya melirik ke arah tertua Houhoat, Go-goan Hwesio.
Baru pagi ini Go-tin kembali ke biara, kebetulan waktunya tepat dengan kejadian, dinilai tingkat kepandaiannya, dia cukup mampu membunuh Ui Bing.
"Clangbunjin," kata Ciang Wi-bin mengancam, "Ui Bing adalah muridku, dia kuutus menyelundup ke dalam Ngo-hong-kau.
-- Sekarang dia terbunuh dengan penasaran sebelum menunaikan tugasnya. Ini terang merupakan pembunuhan yang direncanakan."
"Pembunuhan yang direncanakan?"
"Memangnya bukan?"
Go-tin segera mendamprat: "Sicu jangan kurang ajar."
Saking dukanya, Ciang Wi-bin yang biasanya supel dan penuh akal telah terangsang oleh emosi, cemoohnya dengan gusar:
"Kurangajar" Kalau hari ini urusan tidak dibereskar, tempat suci ini akan banjir darah!"
Kata-katanya merubah air muka semua paderi yang hadir, semua melotot gusar, namun karena patuh aturan dan disiplin, tiada yang buka suara atau bertindak.
"Ciangbunjin," Ji Bun menambahkan, "lekaslah kau berkeputusan?"
"Sicu jangan bertingkah, kau kira kami ini kaum kroco?"
"Tidak berani, Cayhe hanya menagih jiwa terhadap orang yang melakukannya."
"Mayat murid kami sudah menggeletak di depan kalian memangnya jiwanya harus melayang percuma"'`
"Cayhe tidak wajib menjawah soal ini."
-- "Bagaimana Sicu hendak menyelesaikan soai ini?"
"Lebih dulu berikan pertanggungan jawab atas perampokan dan pembunuhan ini."
"Sebelum duduk persoalannya jelas, bagaimana aku harus memberi pertanggungan jawab."
"Kalau begitu jangan menyesal kalau Te-gak Suseng bertindak kejam ........"
"Kau berani bertindak apa?" Houhoat tertua Gi-goan mengejek.
"Kubunuh kalian," desis Ji Bun dengan geram.
Semua paderi Siau-lim sama menggerung bersama. Siau-lim Ciangbun menyebut Buddha, katanya: "Sang Buddha bijaksana, sejak biara ini didirikan, belum pernah darah mengalir dalam biara ini."
"Tapi hari ini akan terjadi banjir darah disini," seram kedengaran ancaman Ji Bun.
It-sim Taysu, ketua Lo-han-tong segera merangkap tangan, katanya: "Harap Ciangbun ambil keputusan."
Tanpa ada angin jubah kuning Siau-lim Ciangbun bergoyang melembung, jelas iapun amat marah. Lo-han-tong wajib melindungi dan menjaga keselamatan seluruh warga biara. Kini ketuanya mohon
-- putusan, itu berarti minta izin untuk tampil ke medan pertempuran, dan akibat dari semua ini tentu mengerikan. Sejak lama Siau-lim-si menutup diri dari percaturan Bu-lim. Namun apapun yang terjadi dan berlangsung di dunia Kang-ouw dapat mereka ketahui dengan baik. Belakangan ini nama Te-gak Suseng sudah menggetarkan Bulim, hal inipun mereka ketahui, terutama tangannya yang beracun amat ditakuti. Lalu siapa di antara tokoh-tokoh Siau-lim yang mampu menghadapinya"
Bertaut alis Ciangbunjin, kulit mukanya yang sudah keriput bergetar. Bagaimana dia harus menghadapi situasi yang gawat ini"
Suasana tegang diliputi hawa angkara murka.
Ciang Wi-bin terloroh-loroh, serunya: "Hari ini aku tak kuasa membalas sakit hati muridku, kubersumpah takkan turun dari Siau-sit-san ini." Tiba-tiba dia melompat maju ketengah pelataran.
Semua murid Siau-lim bersiaga, terutama It-sim, Go-goan dan Go-tin, tiga tokoh yang paling tinggi kedudukannya serempak menghadang di depan Ciangbun mereka.
Lekas Ji Bun melompat maju mengadang di depan Ciang Wi-bin, katanya: "Paman, serahkan kepada Siautit untuk membereskannya."
Dengan pandangan berkilat dia pandang Siau-lim-sam-ceng, lalu katanya: "Kalau Cayhe turun tangan, pasti ada yang terluka atau mampus, kalian bertiga maju bersama atau siapa maju lebih dulu?"
Tantangan yang takabur ini sungguh menggetar nyali siapapun yang mendengarnya. Memang semua hadirin maklum tiada yang kuat melawan tangan beracun Ji Bun, karena racun tak mungkin
-- dilawan dengan Lwekang sembarangan. Tapi ketua Lo-han-tong melangkah maju setapak, kata-katanya tegas: "Akulah yang akan hadapi tantangan demi kebesaran dan kemurnian Siau-lim-si."
"Silakan mulai!"
"Kami tuan rumah, Sicu silakan mulai dulu."
"Baik sambut seranganku," kontan Ji Bun menyerang dengan jurus Tok-jiu-it-sek sepenuh kekuatannya.
Taysu mengebas lengan baju, seperti menutup laksana membendung, dia melakukan pertahanan yang kokoh kuat, namun serangan balasannyapun tidak kalah dahsyatnya. Dinilai dari gerakan tipu serangan, permainan kedua pihak sama-sama lihay dan menakjubkan.
"Plok," Tok-jiu-it-sek ternyata berhasil dipunahkan. Dalam menggunakan racun Ji Bun sudah dapat menguasai sesuka hati, jurus pertama ini dia tidak mengerahkan racunnya, seluruhnya menggunakan kekuatan murni yang ampuh. Kalau tidak, begitu tangan bersentuh tangan, jiwa lt-sim Taysu pasti melayang seketika.
Berhasil menahan serangan lawan, maka berkobarlah semangat dan keyakinan It-sim Taysu akan diri sendiri. Dia kira kepandaian Tegak Suseng juga cuma demikian saja. Sembari membentak segera dia lancarkan salah satu ilmu ampuh dari 72 jenis ilmu silat Siau-lim yang hebat, yaitu Cui-pi-ciang (pukulan penghancur pilar). Pukulan ini mengutamakan kekuatan besar yang luar biasa, siapapun akan melelet lidah melihat dahsyatnya.
-- Namun dia berhadapan dengan Ji Bun, pemuda yang berwatak keras, angkuh dan tinggi hati, kedua tangan bergerak terus menyongsong ke depan. Kali ini dia tetap tidak mengerahkan kekuatan racun, ingin dia mengukur betapa tinggi kepandaian silat ketua Lo-han-tong yang paling diagulkan mempunyai kekuatan luar biasa ini dengan tenaga murni sendiri.
"Duum!" benturan dahsyat menggetar hingga genteng terasa holeng, debu berhamburan, tiga tombak sekitar gelanggang terjangkit angin keras mem?bumbung ke angkasa. Orang-orang yang berdiri di pinggir gelanggang sama terdorong mundur semua.
Di tengah suara erangan tertahan tampak It-sim Taysu sempoyongan mundur, badannya bergontai hampir roboh. Ji Bun sendiri juga tertolak mundur oleh benturan dahsyat ini, batu marmer di bawah kakinya sampai retak.
Gebrak kedua ini menambah ketegangan semua hadirin. It-sim Taysu adalah ketua Lo-han-tong. Kepandaiannya termasuk kelas tinggi diantara penghuni biara Siau-lim-si, namun dia tidak kuasa melawan gebrak kedua ini. Dari sini dapat dinilai bahwa kemampuan Ji Bun masih lebih unggul, jelas It-sim Taysu sudah asor.
Dengan suara dingin Ji Bun berkata: "Mengingat tempat suci ini, Cayhe tidak bermaksud jahat. Kedua gebrakan ini, Cayhe tidak menggunakan racun. Sekarang terpaksa aku melanggar pantangan, hal ini perlu kuperingatkan lebih dulu."
-- Bicara soal racun, Siau-lim Ciangbun ikut terbeliak dan pucat mukanya.
"Hiantit," seru Ciang Wi-bin murka, "jangan menaruh kasihan, ganyang saja!"
Houhoat tertua Go-goan Taysu menyebut Buddha dengan enteng dia tampil ke muka menggantikan kedudukan It-sim Taysu.
wajahnya nan tua putih tampak membesi hijau, suaranya bergetar :
"Sicu boleh turun tangan!"
Ji Bun yakin Go-goan Taysu pasti ada sangkut paut dengan Tok-keng dan kematian Ui Bing, maka tekadnya lebih besar lagi untuk membalas sakit hati. Biji matanya tiba-tiba mendelik, serunya sambil angkat kedua tangan: "Go-goan, aku ingin kau mampus dalam satu gebrak."
Wajah Go-goan berubah menjadi kelam, kedua biji matanya melotot besar, jubah yang dipakainya tiba-tiba melembung dan bergoyang-goyang tanpa tertiup angin. Kiranya dia kerahkan seluruh kekuatan Lwekangnya. Semua hadirin menjadi tegang, jantung berdebur dengan kencang.
Pucat dan kaku wajah Siau-lim Ciangbun, sorot matanya menampilkan perasaan hatinya.
Disaat ketegangan semakin memuncak, tiba-tiba berkumandang suara bentakan gema dari dalam pendopo agung: "Su-co-hud datang."
-- Seketika seluruh hadirin Siau-lim-si sama menegak sambil merangkap kedua tangan di depan dada. Wajah semua orang menampilkan rasa girang, kaget serta prihatin dan khidmat, di tengah iringan suara mantra, beramai-ramai paderi yang berdiri di pelataran sama mundur dan berbaris di pinggir menjadi dua barisan.
Go-goan Taysu yang sudah tampil di tengah gelanggangpun ikut ke dalam barisan.
"Tang! Tang!" gema genta bertalu-talu, suasana tegang yang diliputi hawa angkara murka tadi seketika lenyap seperti terusir oieh kekuatan gema genta itu.
22.64. Hampir ... Mengotori Kuil Suci
Tanpa terasa Ji Bun juga menyurut mundur ke samping Ciang Wi-bin, matanya melirik penuh tanda tanya.
Tampak seorang paderi tua bertubuh kurus kering dan beralis putih, wajahnya bersih dan agung. Kedua matanya terpejam, duduk bersimpuh di atas kasur bundar yang dipikul oleh empat Hwesio bertubuh tinggi besar. Pelan-pelan mereka muncul dari dalam pendopo sana. Seluruh paderi sama bersabda serta membungkuk hormat menyambut kedatangannya.
Kasur bundar itu diturunkan di depan undakan, dengan laku hormat, keempat Hwesio pemikulnya lantas mundur dan berdiri berjajar di belakang. Dengan perasaan kebat-kebit Siau-lim Ciangbun maju memberi hormat: "Tecu tidak becus, sampai mengejutkan Suco yang mulia."
-- Paderi tua beralis putih berbadan kurus sedikit angkat tangan, namun tetap tidak bersuara. Suasana kembali menjadi hening, suara gentapun telah berhenti.
"Tak nyana bangkotan tua ini masih hidup," demikian gumam Ciang Wi-bin, "pantas pihak Ngo-hong-kau tidak berani mengusik Siau-lim-si."
Menegas alis Ji Bun, tanyanya: "Bagaimana penyelesaiannya?"
Ciang Wi-bin menepekur sebentar, katanya: "Terserah bagaimana keinginan mereka, yang terang peristiwa ini harus segera dibereskan."
Maka berkatalah paderi tua beralis putih tadi, suaranya tidak keras, namun setiap patah katanya tajam berisi, anak telinga peka tergetar: "Paderi tua Hoan-ceng, sudah tiga puluh tahun tidak pernah ikut campur urusan duniawi, tak terduga hari ini terseret juga ke dalam pertikaian Bu-lim. Tempat suci dan bersih ini pantang dikotori, apakah kedua Sicu tidak keterlaluan?"
Baru saja Ciang Wi-bin hendak buka mulut, Ji Bun sudah mendahului menjawab: "Apakah Lo-siansu sudah tahu sebab musabab dari pertikaian ini?"
"Ya, aku sudah tahu."
"Mohon tanya bagaimana Lo-siansu hendak menyelesaikan soal ini?"
-- "Apa yang terjadi harus diselidiki, Sicu berdua harap mundur dulu, tunggulah jawaban kami."
"Wanpwe berharap sekarang juga hal ini dibicarakan."
"Tidak mungkin, paling tidak harus makan waktu beberapa hari."
"Wanpwe tidak bisa terima."
"Lalu apa yang Siau-sicu ingin lakukan?"
"Sebelum urusan ini beres, Wanpwe tidak akan pergi dari Siau-lim-si."
Kedua mata paderi tua yang terpejam mendadak terpentang, dua jalur sorot mata yang berkilau laksana kilat menatap muka Ji Bun.
Jantung Ji Bun seperti terpukul, serta merta kakinya menyurut mundur setindak. Dari pancaran sinar mata paderi tua ini Ji Bun dapat mengukur betapa tinggi taraf kepandaian silat dan Lwekang paderi tua ini. Suasana kembali tenggelam dalam keadaan tegang dan mencekam.
Tiba-tiba paderi tua beralis putih itu memejamkan mata dan bergumam: "Sang Buddha maha bijaksana, tiga puluh tahun Tecu bersemadi menghadap tembok, namun tetap mempunyai pikiran kusut dan terbuai oleh perasaan keduniawian ......"
Mendadak Siau-lim Ciangbun berlutut dan menyembah, serunya:
"Dosa Tecu beramai memang terlalu besar."
--

Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sudah tentu murid-murid Siau-lim yang lain mengikuti perbuatan Ciangbunjin, mereka ikut berlutut dan menyembah berulang-ulang, suasana yang semula tegang berubah menjadi khidmat.
"Paman," kata Ji Bun memandang Ciang Wi-bin, "bagaimana baiknya?"
Pikiran Ciang Wi-bin sudah tenang kembali, katanya: "Marilah kita selesaikan dulu urusan besar lain yang lebih penting."
"Urusan besar"'' Ji Bun menegas. "Baiklah."
Dengan suara berat Ciang Wi-bin berkata kepada paderi tua alis putih: "Siansu adalah paderi agung, terpaksa melanggar pantangan demi menjernihkan suasana, biarlah Wanpwe berdua mundur secara teratur. Tapi demi keselamatan umat persilatan umumnya, harap dalam jangka lima hari dapat memberi jawaban pasti kepada kami, sekarang Wanpwe berdua sementara mohon diri."
Setelah memberi hormat, dia tarik Ji Bun terus lari keluar. Paderi-paderi sama bersabda Buddha dan memanjatkan mantra.
Setiba di bawah gunung, segera Ji Bun bertanya: "Paman, siapakah paderi alis putih itu?"
"Dia Suheng Ciangbunjin dari generasi yang dahulu, usianya sudah lebih seabad, gelarannya Bu-siang. Enam puluh tahun yang lalu dia termasuk tokoh nomor satu dari Siau-lim-pay, tabiatnya amat aneh, kejahatan dipandangnya sebagai musuh utama. Setiap
-- insan persilatan sama kagum dan menaruh hormat kepada beliau, maka dia pernah dianugerahi gelar Sin-ceng (paderi sakti)."
"Urusan besar apa yang paman maksudkan?" tanya Ji Bun kemudian.
"Ya, karena urusan inilah sengaja kususul kemari, Bing-cu juga ikut kemari."
"O, lalu di mana dia ........"
"Menunggu di bawah gunung. Menurut aturan Siau-lim, kaum wanita dilarang masuk biara."
"Apa yang dimaksud paman dengan urusan besar?"
"Wi-to-hwe mengerahkan seluruh kekuatannya menyerbu Ngo-hong-kau ........"
Bergetar jantung Ji Bun, teriaknya: "Kapan?"
"Peristiwa yang menyangkut Tok-keng ini kupergoki secara kebetulan, maka sengaja kuputar balik kemari, mengingat Tok-keng ada bubungan erat dengan ayahmu, kemungkinan juga menyangkut pihak Ngo-hong-kau, maka di tengah jalan kudengar kabar bahwa pagi hari ini orang-orang Wi-to-hwe akan memasuki pegunungan belakang Siong-san ........"
"Jadi sekarang mungkin kedua pihak sudah mulai bentrok?"
-- "Mungkin, urusan menyangkut petaka kaum persilatan, akupun termasuk orang yang tertimpa musibah ini, maka aku ingin mengorbankan sedikit tenaga demi persoalan ini. Tak tersangka ......
ai, Ui Bing sudah mendahului mengalami bencana."
Sampai di sini tak tertahan air matanya bercucuran, dari sini dapatlah kita bayangkan betapa erat hubungan antara guru dan murid ini.
Sebaliknya darah bergolak di rongga dada Ji Bun, hatinya gelisah, Ngo-hong Kaucu adalah murid murtad perguruannya. Betapapun dia tidak boleh berpeluk tangan membiarkan pihak Wi-to-hwe mendahului dirinya memberantas pengkhianat itu walau pihak mana yang bakal unggul sukar diramalkan. Namun ayah bundanya masih disekap di tangan orang-orang Ngo-hong-kau, apalagi Siangkoan Hong dan orang-orang Wi-to-hwe yang lain bermusuhan dengan ayahnya. Kalau Wi-to-hwe berhasil, maka dapatlah dibayangkan bagaimana nasib ayahnya nanti. Umpama sekarang dirinya menyusul kesana juga pasti sudah terlambat. Karena itulah hatinya semakin gundah, ingin rasanya bisa terbang ke sana secepat mungkin.
"Hiantit," tiba-tiba Ciang Wi-bin menghentikan langkah, "mungkin kita yang salah."
"Salah, apanya yang salah?"
"Kau bilang bahwa sebelum ajal Ui Bing sempat mengucap beberapa patah kata yang terputus-putus bukan" Semula kuanjurkan Ui Bing berusaha menyelundup ke Ngo-hong-kau dengan tiga tujuan. Pertama, menyelidiki asal-usul Ngo-hong Kaucu serta riwayat
-- hidupnya, kedua berusaha mencuri Hud-sim dan ketiga mendarma baktikan keluhuran jiwa kita demi kesejahteraan insan persilatan umumnya. Oleh karena itu ada satu kemungkinan, yaitu waktu Ui Bing berusaha mencuri Hud-sim dan tidak berhasil, sebaliknya Tok-keng berhasil dia ambil. Keempat Duta itu terang mengudak Ui Bing dan memperebutkan Tok-keng itu sehingga mereka mati keracunan.
Secara kebetulan pula peristiwa ini kepergok oleh murid Siau-lim sehingga timbul ketamakan mereka untuk merebutnya pula ......"
"Lalu bagaimana dengan kematian Ui-toako?"
"Kini sudah kuduga, bahwa dia mati oleh salah seorang dari Duta-duta itu, karena hanya mereka yang bersenjata pedang.
Setahuku pihak Siau-lim-pay tiada murid yang pernah menggunakan pedang sebagai senjata dan itu berarti waktu paderi Siau-lim berebut Tok-keng, Ui Bing sendiri sudah terluka parah namun belum putus napasnya."
Ji Bun manggut-manggut, katanya: "Analisa paman memang masuk akal."
"Tapi masih ada kemungkinan lain."
"Kemungkinan apa?"
"Ui Bing tahu bahwa jiwanya tak tahan hidup lebih lama lagi, maka dia serahkan dan titipkan Tok-keng itu kepada paderi Siau-lim.
Sayang paderi Siau-lim itu juga telah meninggal."
-- "Ya, ini juga mungkin, tapi kenapa Ui-toako menyinggung soal ibuku lebih dulu."
"Mungkin dia sudah bertemu dengan ibumu, dia ingin memberi kabar tentang ibumu, namun tenaga sudah habis. Pada hal dia tahu soal Tok-keng juga tidak boleh terbengkalai, maka sekuatnya dia hanya sempat mengatakan tiga patah kata yang terputus-putus itu."
Ji Bun menepekur sebentar, katanya kemudian: "Bila bisa bertemu dengan ibu, soal ini tentu bisa terjawab seluruhnya."
Pandangannya tertuju ke depan nan jauh sana, katanya menambahkan: "Paman tahu jalan pendek yang langsung menuju ke belakang gunung?"
"Ada, tapi jalanan dari sini lebih berbahaya, bukan lebih dekat, kau akan memakan waktu lebih lama malah."
"Jalan sukar dan berbahaya tidak jadi soal bagiku, biarlah Siautit berangkat lebih dulu, silakan paman menjemput adik Bing-cu."
"Baiklah, kau boleh berangkat lebih dulu. O, hai, tunggu sebentar
....." "Paman ada pesan apa?"
"Dulu pernah kau melihat Tok-keng itu?"
-- "Belum, tapi ilmu beracun yang tertera di dalam buku cocok dengan apa yang pernah kupelajari waktu kecil, tadi sempat kubaca beberapa halaman."
"Aku masih menaruh curiga akan satu hal."
"Hal apa?"
"Ayahmu pasti ada sangkut pautnya dengan Ngo-hong Kaucu."
"Kuduga demikian juga, syukurlah tak lama lagi hal ini dapat dibuktikan."
"Baiklah, lekas kau berangkat, aku segera menyusul bersama Bing-cu."
Ji Bun mengiakan, dengan cepat ia meluncur turun ke bawah gunung. Seluruh kekuatan dikerahkan untuk mengembangkan ilmu ringankan tubuh, setiap detik amat berharga, apalagi untuk mengejar waktu yang telah ketinggalan. Tapi betapapun cepatnya dia "tancap gas" toh kekuatan manusia ada batasnya. Dalam perjalanan melalui gunung gemunung yang berbahaya ini, sedikitnya Ji Bun harus menempuh tujuh delapan puluh li jauhnya, bahwa dia menempuhnya dalam waktu dua jam sudah terhitung luar biasa.
Tengah dia ayun langkah dengan cepat, tiba-tiba dilihatnya bayangan seorang yang sempoyongan mendatangi dari depan. Serta merta Ji Bun mengerem langkahnya. Tampak yang mendatang adalah seorang paderi, keadaannya serba runyam dan mengenaskan, timbul sesuatu pikirannya, teriaknya: "Berdiri!"
-- Paderi itu berusaha menghentikan langkah sambil menengok ke arah Ji Bun, mendadak "bluk", tubuhnya tersungkur jatuh, buih meleleh dari mulutnya, napasnya menggeros seperti sapi hendak disembelih. Agaknya dia kehabisan tenaga karena baru lari sekuatnya. Ji Bun pikir, dirinya tiada waktu mencampuri urusan tetek bengek lagi, maka dia melencing ke depan pula.
Tiba-tiba beberapa bayangan orang tampak berlari-lari ke arahnya. Paderi Siau-lim itu meronta bangun sambil menoleh ke belakang, tapi baru lari beberapa langkah sudah jatuh tersungkur pula.
Mau tidak mau kejadian ini menarik perhatian Ji Bun, segera ia hentikan larinya. Bayangan orang banyak sudah meluncur dekat, kiranya empat orang laki-laki seragam hitam ketat, satu di antaranya terdengar berteriak: "Di mana kepala gundul itu?"
Empat orang seragam hitam sama berhenti, semuanya melotot gusar, satu di antaranya menghardik bengis: "Anak muda, kau ingin mampus?"
Sementara seorang temannya menubruk ke arah Paderi yang kehabisan tenaga itu.
Tanpa menoleh tiba-tiba badan Ji Bun berkelebat, tahu-tahu bayangannya sudah berada di tempat semula seakan-akan tidak pernah bergerak sedikitpun. Tapi laki-laki yang menubruk ke arah paderi Siau-lim itu menjerit ngeri terus roboh binasa, keruan tiga temannya berjingkat kaget.
-- "Sebutkan siapa kalian?" bentak Ji Bun.
Gemetar suara orang seragam hitam: "Peronda gunung dari Ngo-hong-kau ....."
Belum habis dia bicara Ji Bun sudah turun tangan, cukup dia mengulap tangan, ketiga orang seragam hitam segera menungging roboh binasa. Sampai jiwa melayang mereka tidak tahu cara bagaimana nyawa mereka ditamatkan.
Ji Bun melangkah balik mendekati Paderi Siau-lim, tanyanya:
"Kau murid Siau-lim?"
"Ya," sahut paderi itu mengangguk. "Sicu, kau, apakah kau .......
Te-gak Suseng?"
Ji Bun melenggong, tanyanya: "Betul, kenapa?"
Hwesio itu bergegas berdiri dengan sempoyongan, serunya penuh haru: "Omitohud! Sang Buddha maha bijaksana. Siau-ceng memang sedang mencari Sicu."
"Apa?" teriak Ji Bun kaget, "mencari Cayhe ......."
"Siau-ceng bergelar Liau-ing, sungguh kebetulan pertemuan ini."
"Untuk apa kau mencari Cayhe?"
-- "Beberapa hari yang lalu, tanpa sengaja, di jalan raya Cui-ping kupergoki sebuah pembunuhan tragis, lima jago baju sutera dari Ngo-hong-kau saling baku hantam sendiri. Satu di antaranya meski terluka parah masih belum ajal. Kebetulan melihat Siau-ceng lewat, maka dia titip sesuatu barang untuk diserahkan kepada Sicu ....."
Berubah air muka Ji Bun, tanyanya gemetar: "Dan selanjutnya?"
Dengan was-was Liau-ing mengawasi Ji Bun sejenak, katanya:
"Karena ada keperluan lain Siau-ceng menyerahkan barang itu kepada Sute Liau-Khong untuk dibawa pulang dulu ke Siau-lim-si
...." "Hah," Ji Bun menyurut mundur tiga langkah, air mukanya pucat.
Sikapnya yang luar biasa ini membikin Liau-ing kaget dan curiga, kata-katanya terhenti.
Salah paham ini sungguh sangat mengerikan. Kalau Bu-siang Siansu tidak muncul, mungkin darah sudah banjir di kuil suci yang diagungkan insan persilatan itu, dan kenyataan ternyata tepat seperti dugaan Ciang Wi-bin. Sungguh beruntung sekali tidak sampai terjadi petaka yang tidak inginkan ini. Maka dengan haru dia bertanya: "Pesan apa pula yang diberikan?"
"Tiada, dia hanya bilang barang itu harus berusaha diserahkan pada Te-gak Suseng, dan lagi kami dilarang menyentuh barang yang ada di dalam buntalan itu, karena berlumuran racun jahat, habis berkata dia terus ........"
"Dari mana Taysu tahu kalau aku ini Te-gak Suseng?"
-- "Gelaran tangan beracun Sicu menggoncangkan dunia persilatan.
Siapa yang tidak tahu akan namamu?"
Sesal tak kepalang hati Ji Bun, katanya: "Mohon Taysu lekas kembali ke Siau-lim dan laporkan kepada Ciangbunjin akan permintaan maaf sebesar-besarnya dari wanpwe. Perjanjian lima hari dibatalkan saja, kelak Cayhe pasti datang untuk minta maaf dan terima hukuman."
Liau-ing kebingungan, katanya: "Siau-ceng tidak tahu, apa maksud Sicu?"
Tak sempat memberi penjelasan, sekenanya Ji Bun berkata:
"Setiba di Siau-lim-si, Taysu akan tahu duduk perkaranya, maaf aku tidak dapat menunda waktu, selamat bertemu?"
Habis memberi hormat, bergegas dia lari pergi bagai terbang.
Setengah jam kemudian Ji Bun sudah tiba di belakang gunung Siong-san. Sesuai petunjuk Ui Bing tempo hari dia langsung memburu ke markas Ngo-hong-kau yang letaknya tersembunyi di dalam lembah.
Begitu memasuki lembah, dilihatnya mayat bergelimpangan di sana-sini. Ini menandakan bahwa Wi-to-hwe sudah menyerbu datang. Keruan hatinya semakin gugup. Semakin dekat mayat-mayat yang menggeletak semakin banyak, dari seragam pakaian mereka jelas tampak yang menjadi kurban kebanyakan anggota Ngo-hong-kau.
-- Lekas sekali Ji Bun sudah berada di jalan yang memasuki perut gunung. Tiba-tiba bayangan beberapa orang menubruk keluar menghadang, yang terdepan adalah seorang laki-laki setengah baya berpakaian biru, dia ternyata Wi-to-hwe Congkoan Ko Ling-jin adanya. Bahwa Ko Ling-jin memimpin anak buahnya berjaga di sini itu menandakan bahwa serbuan pihak Wi-to-hwe berhasil dengan gemilang.
Langsung Ji Bun menyapa dengan dingin: "Ko-congkoan, selamat bertemu!"
Ko Ling-jin merangkap kedua tangan, katanya tertawa lebar:
"Kebetulan Siau-hiap telah datang, silakan masuk!"
Habis berkata dia lantas menyingkir kesamping.
Tanpa banyak pikir Ji Bun segera menerjang ke dalam lorong panjang yang guram cahayanya. Sepanjang lorong mayat bertumpuk semakin banyak, bau darah semakin keras. Agaknya cukup banyak pengorbanan pihak Wi-to-hwe untuk menjebol pertahanan lorong ini.
Setelah melewati lorong panjang yang guram ini, tiba-tiba pandangan mata menjadi terang. Kini Ji Bun tiba di dalam lembah.
Suara gaduh dari pertempuran orang banyak gegap gempita.
Selepas mata Ji Bun memandang, lembah yang berbentuk aneh dari ciptaan alam ini dikelilingi dinding gunung yang tinggi sehingga bentuknya mirip sebuah perigi. Di bagian dalam sana bangunan rumah berlapis-lapis dan bertingkat membelakangi dinding gunung.
Bayangan orang bergerak-gerak di berbagai tempat, teriakan dan
-- gempuran senjata bersahutan dimana-mana, sinar senjata berkilauan berkelebatan sehingga suasana dalam lembah menjadi kacau balau.
Sejenak Ji Bun memandang, segera ia meluncur ke tengah arena.
Warna darah yang menyolok, mayat-mayat yang bergelimpangan dengan badan tidak utuh lagi, senjata patah berserakan. Semua ini menjadi pemandangan yang menyolok dan mengerikan.
Pertampuran sengit terus berlangsung, laksana air mendidih di dalam kuali, siapapun tiada yang memperhatikan kehadiran Ji Bun, elmaut yang bakal merenggut jiwa setiap orang yang menjadi incarannya.
Ji Bun langsung menerjang ke tengah pertempuran, tampak Siangkoan Hong suami isteri menghadapi Ngo-hong Kaucu. Baku hantam ketiga orang ini terhitung yang paling dahsyat di antara sekian banyak pasangan yang tengah berhantam. Sementara orang dalam tandu, yaitu Toh Ji-lan, Siang-thian-ong, Thong-sian Hwesio, Cui Bu-tok dan jago-jago kelas tinggi Wi-to-hwe yang lain satu lawan satu menghadapi jago Ngo-hong-kau yang semuanya berseragam sutera. Sementara yang berkepandaian rendah juga baku hantam di luar lingkaran. Semua orang bertempur dengan beringas, mata berapi dan buas. Semua orang sama mandi darah.
Yang menjadi perhatian Ji Bun kecuali pasangan Siangkoan Hong yang menggasak Ngo-hong Kaucu, iapun selalu mengawasi ke arah sana, dimana ibu tuanya, Khong-kok-lan bersama Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun masing-masing menghadapi seorang jago Ngo-hong-su-cia. Gaya pedang Hing-thian-it-kiam berkelebat laksana
-- lembayung, lawan dirangsak dengan gencar hingga kerepotan.
Sebaliknya Khong-kok-lan So Yan terdesak hebat oleh serangan lawan yang gencar, gerak geriknya sudah kacau.
Pikiran Ji Bun bekerja cepat, melihat gelagatnya, pihak Wi-to-hwe berada di bawah angin. Namun dalam jangka pendek, keadaan tidak akan memburuk, yang penting sekarang dirinya harus selekasnya berusaha menolong ayah bundanya. Maka dia menerobos lewat medan pertempuran langsung menuju ke deretan rumah di belakang sana.
Dikala dia lewat disamping Khong-kok-lan yang tengah berhantam dengan musuh, sekenanya tangannya melayang ke arah musuh "Huuaaah!" Pemuda baju sutera kontan menjerit roboh.
Sudah tentu Khong-kok-lan menjadi melongo kaget oleh kejadian yang tak terduga ini. Sementara Ji Bun sudah menyelinap ke sana di antara orang-orang yang tengah bertempur.
Seperti berjalan di tanah lapang layaknya, setiap kali tangan Ji Bun bargerak, puluhan jiwa melayang ditangannya, maka dengan leluasa dia melampaui arena pertempuran ini. Yang dikuatirkan hanya keselamatan ibunya, maka ia langsung menerobos masuk ke dalam rumah. Dari satu bilik dia geledah ke bilik yang lain, namun bayangan seseorangpun tidak diketemukan. Agaknya seluruh kekuatan Ngo-hong-kau telah dikerahkan untuk membendung serbuan pihak Wi-to-hwe.
Tiba-tiba Ji Bun sadar perbuatannya ini terlalu bodoh. Kalau Ngo-hong-kau membangun markas di tempat tersembunyi seperti ini, tentu juga dia membangun tempat-tempat rahasia yang tak mungkin
-- terlihat oleh mata telanjang. Apalagi ayah bundanya disekap musuh, tentu dikurung di kamar rahasia yang sulit diketahui, orang. Kalau mencari secara semberono seperti dirinya sekarang bukankah hanya membuang waktu dan tenaga belaka, lebih penting orang Ngo-hong-kau dan Kaucunya dibereskan lebih dulu. Maka bergegas dia lari keluar pula.
Hanya dalam sekejap situasi gelanggang pertempuran sudah jauh berbeda. Anggota Ngo-hong-kau karena dikandang sendiri, maka mereka bertempur dengan gigih. Kecuali jago-jago yang berkepandaian tinggi, orang-orang Wi-to-hwe yang menyerbu datang kebanyakan sudah gugur, jelas sekali kekuatan kedua pihak berbeda amat menyolok.
Tiba-tiba sebuah jeritan ngeri berkumandang dari sebelah sana, Thong-sian Hwesio berhasil merobohkan lawannya. Menyusul Siang-thian-ong juga berhasil mengganyang musuhnya. Kedua jago kawakan ini segera menubruk ke dalam pertempuran pula. Anak buahnya yang sudah terdesak menjadi bangkit semangatnya karena mendapat bantuan yang kuat dan tangguh ini.
Tanpa bersuara Ji Bun langsung memasuki arena pertempuran mendekati Ngo-hong Kaucu.
"Te-gak Suseng!" entah siapa yang berteriak, suasana menjadi gempar dan menambah kabut gelap di hati setiap anggota Ngo-hong-kau.
Kalau Ngo-hong Kaucu tidak berhasil meyakinkan ilmu mujijat yang tertera di dalam Hud-sim, jelas dia bukan tandingan Siangkoan
-- Hong suami isteri. Apalagi bertahan sekian lamanya dengan sama kuat.
Mendengar teriakan kuatir anak buahnya baru Ngo-hong Kaucu sempat melirik ke arah Ji Bun yang sudah berada di luar lingkaran.
Pertempuran jago silat kelas tinggi pantang lena dan terpecah perhatiannya, karena sedikit melengos ini berarti memberi kesempatan kepada lawan, "Blang, blang, blang!" Kontan Ngo-hong Kaucu mengerang tertahan, badannya sempoyongan darahpun menyembur dari mulutnya. Tiga pukulan telak, satu dari pukulan Siangkoan Hong dan dua pukulan dari Hun-tiong Siancu tepat mengenai tubuhnya. Sebat sekali kedua lawan lantas menubruk maju pula.
Hebat sekali gerak gerik Ngo-hong Kaucu. Belum lagi berdiri tegak, tubuhnya bergerak aneh dan berkelebat menyingkir keluar lingkaran dari jangkauan serangan kedua musuhnya. Sekali tubuhnya jumpalitan mundur ke belakang terus meluncur ke arah markas di belakang sana. Tapi dalam waktu yang sama sesosok tubuh meluncur pula ke tengah udara dan tepat menungkup dari atas membawa damparan angin pukulan yang dahsyat sekali.
"Ngek!" kembali Ngo-hong Kaucu mengeluh tertahan, badannya terpental balik ke tengah gelanggang. Sosok bayangan yang lainpun melayang turun dengan ringan, kiranya Te-gak Suseng Ji Bun adanya.
-- Kini kedua orang berdiri berhadapan, dengan kaget dan seperti ketakutan Ngo-hong Kaucu menyurut dua langkah. Sorot mata Ji Bun menyala penuh kebencian, ia mendesak maju dengan beringas.
Hun-tiong Siancu menggerakkan badan, pelan-pelan dia tegakkan telapak tangan terus menabas miring ke belakang punggung Ngo-hong Kaucu.
"Tahan!" tiba-tiba Ji Bun menghardik.
Tangan Hun-tiong Siancu terhenti di tengah jalan, dia menoleh dan memandang heran kepada Ji Bun. Ngo-hong Kaucu berdiri dan tak mundur lagi, sorot matanya tampak gentar dan panik.
Dengan menggertak gigi, Ji Bun membentak beringas: "Sekarang tibalah saatnya kau menyerahkan jiwamu."
Ngo-hong Kaucu terkekeh-kekeh suaranya aneh, katanya: "Ji Bun, kalau kau ingin jiwa raga ayah bundamu, sekarang belum terlambat melaksanakan janjimu dulu ........"
Melotot biji mata Ji Bun, teriaknya: "Tutup mulutmu, kau bermimpi."
"Kau kira aku sudah kalah" Kau kira Ngo-hong-kau bakal hancur berantakan" Ketahuilah, anak muda, kalau demikian pikiranmu, kau keliru!"
"Di mana ayah bundaku kau kurung?"
-- "Kau ingin bertemu dengan mereka" Gampang saja, tepatilah janjimu dulu."
Ingin rasanya Ji Bun membesek kulit dan menelan daging orang mentah-mentah. Tok-keng sudah berada di tangannya, tugas beratnya sekarang hanya berusaha, menolong ayah bundanya, lalu melaksanakan tugas perguruan untuk menghukum murid murtad ini.
Sementara pertempuran orang banyak masih terus berlangsung dengan sengitnya. Siangkoan Hong suami isteri berdiri siaga di samping menghadapi Ngo-hong Kaucu dan Ji Bun. Sementara orang dalam tandu, Toh Ji-lan, juga sudah membereskan lawannya dan kini sedang mendekati ke arah sini, segera dia menjengek: "Ngo-hong Kaucu, serahkan Hud-sim kepadaku!"
Pandangan Ngo-hong Kaucu yang penuh kelicikan melirik Toh Ji-lan sekejap, katanya: "Tentu, kalau kau punya kepandaian, boleh kau ambil sendiri!"
Toh Ji-lan ayun tangan menampar ke arah Ngo-hong Kaucu. Ji Bun maju menghadang sembari berseru: "Siapapun dilarang turun tangan."
Toh Ji-lan menarik tangan, serunya geram: "Ji Bun, apa maksudmu?"
"Akulah yang harus membekuk dan menghukumnya," sahut Ji Bun tanpa menoleh.
-- "Ji Bun," sela Siangkoan Hong, "kau harus tahu betapa besar arti kehadirannya dan merupakan ancaman bagi setiap insan persilatan umumnya."
"Cayhe mengerti," sahut Ji Bun.
"Dengan cara apa kau hendak membekuk dan menghukum dia?"
Sudah tentu Ji Bun tidak dapat membocorkan rahasia perguruan, sekilas berpikir dia menjawab: "Siangkoan Hwecu, menurut pendapatku, kau harus lekas mengakhiri pertempuran ini baru membereskan soal lain, urusan di sini akulah yang, bertanggung jawab."
Kata Wi-to-hwecu ragu-ragu: "Pihak kami sudah Mempertaruhkan imbalan cukup besar. Dapatkah kau menegakkan keadilan dan kebenaran kaum persilatan?"
"Secara pribadi aku bertanggung jawab."
22.65. Akal Bulus Ngo-hong Kaucu
"Baik, sementara kuserahkan padamu untuk membereskan," kata Siangkoan Hong lalu dia memberi tanda gerakan tangan kepada Hun-tiong Siancu dan orang dalam tandu, Toh Ji-lan. Mereka lantas bantu anak buahnya menggasak orang-orang Ngo-hong-kau yang masih bertahan mati-matian.
-- "Ji Bun," sinis suara Ngo-hong Kaucu, "kau sekongkol dengan musuhmu sendiri, dendam keluarga kau abaikan demikian saja
........" "Itu bukan urusanmu," dengus Ji Bun.
"Tidakkah kau berpikir kalau dirimu diperalat untuk menghancurkan kita, lalu dengan cara keji apa pula mereka akan mengganyangmu?"
"Itu urusanku dan aku mampu menanggulanginya."
"Kau rela mengorbankan jiwa ayah-bundamu?"
"Apapun yang kau katakan hanya isapan jempol belaka. Hari ini kau harus terima hukuman setimpal dengan perbuatanmu menurut aturan perguruan."
Ngo-hong Kaucu menyurut mundur, katanya: "Berulang kali kau bicara soal aturan perguruan segala, urusan apakah itu?"
Melihat sekelilingnya tiada orang, dengan menekan suara serendah mungkin Ji Bun berkata: "Pengkhianat! Ketahuilah aku sudah diangkat sebagai Ciangbunjin Ban-tok-bun dari generasi ke-15, sekarang kau sudah mengerti?"
Mendelik biji mata Ngo-hong Kaucu, serunya serak: "Kau ..... kau diangkat oleh Ngo Siang?"
-- "Salah, aku dianugerahi langsung oleh Thay-suco dan diperintahkan membersihkan perguruan dari anasir-anasir jahat."
"Kau .... mendapat perintah .... dari Thay ..... Thay-suco?"
"Katakan dulu, dimana ayah bundaku disekap?"
"Lebih baik tidak kukatakan ...."
"Kenapa?"
"Siangkoan Hong suami isteri, Hing-thian-it-kiam, Khong-kok-lan, apakah mereka mau membiarkan dia begitu saja?"
Ji Bun melenggong, hal ini memang benar, ibunya tidak jadi soal, tapi sekali ayahnya muncul, tentu para musuhnya itu akan menuntut balas padanya, tapi tegakah dia membiarkan ayah bundanya disekap musuh dalam keadaan yang belum diketahui nasibnya"
Sebelum melihat mereka, betapapun hatinya masih sangsi akan keselamatan beliau" Maka dengan menggertak gigi dia berkata:
"Soal mereka menuntut balas adalah urusan lain, katakan saja di mana kau mengurung beliau?"
"Tempat kurungan itu amat tersembunyi, kecuali aku, tiada orang lain yang tahu ...."
"Maka kau sendiri yang harus mengatakan?"
-- "Biar kukatakan juga takkan bisa kau temukan, kecuali aku sendiri yang menunjukkan tempatnya."
"Urusan sudah larut begini, kau masih mau main apa lagi"
Memangnya sampai mati kau tidak akan bertobat?"
Ngo-hong Kaucu menyeringai, ujarnya: "Siapa bilang aku akan mati" Kalau aku mati, semua orang yang ada di sini juga harus mengiringi kematianku!"
Ancaman ini sungguh membuat merinding setiap orang yang mendengarnya.
Beringas Ji Bun dibuatnya, desisnya: "Kalau hari ini kau bisa lolos dari tanganku, aku akan segera bunuh diri."
"Baiklah, lekas kau siap bunuh diri saja."
"Kau ...... memang tidak berperikemanusiaan?"
"Ha ha ha! Anak muda, perikemanusiaan atau berhati binatang, berapa sih perbedaannya?"
Ji Bun tekan nafsunya yang sudah berkobar, katanya geram:
"Biarlah kita bereskan urusan pribadi saja, dengan berbagai bentuk samaran, berulang kali kau membokong aku ......."
"Dan kau tidak mampus, agaknya umurmu memang panjang."
"Thian-thay-mo-ki kau perkosa sampai membunuh diri ........"
-- "Memang nasibnya yang jelek."
Ji Bun berteriak kalap serta mengayun tangan menampar. Kedua tangan Ngo-hong Kaucu menolak ke depan. Pukulan dahsyat Ji Bun itu dengan mudah dipunahkan.
Ji Bun kaget luar biasa, dalam waktu sesingkat ini agaknya orang telah berhasil memulihkan tenaga, hal ini membangkitkan kewaspadaan Ji Bun, tanpa pikir dia terus melancarkan serangan Tok-jiu-sam-sek.
Ji Bun maklum, hanya jurus yang satu ini kira-kira masih kuat menundukkan lawan, jurus pertama dan kedua terang sudah tak berguna lagi. Gempuran kali ini dilandasi seluruh kekuatannya, betapa ganas dan hebat serangan ini, terang tiada tandingannya di kolong langit.
"Hek!" terdengar Ngo-hong Kaucu bersuara tertahan, tubuhnya sempoyongan, tiba-tiba dia melesat ke samping ........
"Lari kemana?" ditengah hardikan menggelegar, beberapa jalur angin pukulan keras membikin tubuh Ngo-hong Kaucu yang terapung di udara itu anjlok kembali ketempatnya, yang menyerang ternyata adalah Siangkoan Hong suami isteri dibantu jago-jago lain yang berjumlah delapan orang.
Baru sekarang Ji bun menyadari bahwa pertempuran besar sudah berakhir. Pihak Ngo-hong-kau sudah diganyang habis-habisan, mayat bertumpuk, darah mengalir seperti sungai. Jago-jago kelas
-- tinggi Wi-to-hwe sekarang merubung di pinggir gelanggang, maka Ji Bun dan Ngo-hong Kaucu berdua terkurung di tengah.
Sorot mata Ngo-hong Kaucu bertampak panik dan liar. Ji Bun tahu jiwa orang sangat kejam dan buas, kalau tidak dibekuk dan ditundukkan, kelak pasti menimbulkan banyak kesulitan dan itu berarti keselamatan ayah bunda dan perintah perguruan sukar dibereskan.
"Rebahlah kau!" kembali Ji Bun melancarkan Tok-jiu-sam-sek.
Pekik ngeri diseling erang kesakitan. Seluruh hadirin sama mengkirik dan berubah air mukanya. Tampak Ngo-hong Kaucu terdorong mundur terus jatuh terduduk, darah menyembur dari mulutnya, pakaian di depan dadanya berlepotan darah. Ji Bun sendiri juga mengerang tertahan dan terpental mundur tiga langkah baru bisa berdiri tegak.
"Apapun yang terjadi, biar kupunahkan dulu Lwekangnya," teriak Siang-thian-ong sambil menubruk maju.
"Jangan sentuh dia!" bentak Ji Bun.
"Apa maksudmu?" semprot Siang-thian-ong dengan melotot.
"Kalian tidak punya hak menyentuh dia, desis Ji Bun sambil menggertak gigi menahan sakit.
"Anak muda jangan kau takabur ......"
-- "Kalau kau tidak percaya, boleh silakan turun tangan?"
Siang-thian-ong sudah pasang kuda-kuda hendak menyerang, lekas Wi-to-hwecu tampil ke muka, katanya: "Houhuat, silakan mundur saja."
Sebetulnya Siang-thian-ong jeri juga berhadapan dengan Ji Bun, kebetulan dia bisa mundur teratur, namun dia masih pura-pura menggerutu.
Setelah mengatur napas sebentar, dengan badan limbung Ngo-hong Kaucu merangkak bangun pula sambil menyeka darah di mulutnya. Ji Bun mendesak selangkah, Ngo-hong Kaucu menyurut mundur dengan jeri, katanya gemetar: "Urusan kita tak boleh dibereskan di depan umum."
"Aku tahu," ujar Ji Bun sambil mengangguk.
"Ji-siauhiap," Thong-sian Hwesio yang sejak tadi diam saja tiba-tiba bersuara dengan nada serius, "urusan ini tak boleh diselesaikan secara pribadi, kau harus memberikan pertanggungan jawab yang adil terhadap kaum persilatan umumnya?"
Serba susah juga Ji Bun dibuatnya, Ngo-hong Kaucu menimbulkan petaka dunia persilatan. Tak terhitung kaum Bu-lim yang celaka oleh kekejamannya, memang dia harus menebus kejahatannya ini kepada kaum persilatan. Tapi membersihkan perguruan dari anasir jahat merupakan persoalan pribadi dalam perguruannya, hal ini tidak boleh diselesaikan secara terbuka.
-- Setelah dipikir matang, akhirnya dia berkata tegas: "Terhadap sesama kaum persilatan pasti akan kuberikan partanggungan jawab yang adil."
"Bagaimana kau hendak memberikan pertanggungan jawab?"
"Penjelasan tidak perlu kuberikan, tapi kuberjanji pasti memberikan pertanggungan jawab."
Dengan pandangan liar Ngo-hong Kaucu menatap Thong-sian Hwesio, teriaknya bengis: "Ciu Tay-han, kaum keroco seperti tampangmu yang ingkari majikan dan berkhianat terhadap aliran masih berani jual lagak di sini?"
Kaget dan melenggong Thong-sian Hwesio, sungguh dia tak habis pikir darimana Ngo-hong Kaucu bisa tahu sejelas ini mengenai pribadinya" Serta merta matanya ke arah Siangkoan Hong.
"Banyak juga yang kau ketahui," ujar Siangkoan Hong.
"Siangkoan Hong, apa yang kutahu jauh lebih banyak dari yang kau duga."
"Maksudmu tentang perintah Ji Ing-hong yang tidak dia laksanakan dulu?"
"Memang kau paling jelas dalam hal ini. Dan jangan kau bersorak dalam hati, jangan kau kira aku sudah kalah" Ha ha ha ......" gelak tawa Ngo-hong Kaucu menggiriskan dan seram.
-- "Hwecu," seru Siang-thian-ong dengan suara lantang, "harap kau ambil keputusan tegas, jangan meninggalkan bibit bencana kelak."
Seruan ini mendapat sambutan dari orang banyak, sorot mata hadirin tertuju kepada Siangkoan Hong. Hanya Ji Bun tetap bersikap dingin, katanya tegas: "Dengan hormat kuperingatkan, siapapun dilarang menyentuh dia."
Hadirin sama menggeram gusar, kata-kata Ji Bun menimbulkan reaksi dalam hati semua orang. Ngo-hong Kaucu adalah musuh bersama setiap insan persilatan, korban tak terhitung jumlahnya. Wi-to-hwe pun telah memberikan imbalan yang cukup besar artinya.
Sementara Ji Bun tidak pernah menegaskan kedudukan dan pendiriannya. Selama ini tidak mendapatkan simpatik orang banyak.
Wi-to-hwecu Siangkoan Hong berusaha meredakan suasana, katanya: "Ji Bun, aku percaya kau pasti bisa memberikan pertanggungan jawab tapi dia harus menerangkan dulu tentang dua hal."
"Dua hal apa?" tanya Ji Bun.
"Pertama nama dan asal-usulnya harus dia jelaskan lebih dulu!"
Tuntutan yang masuk akal, Ji Bun sendiri juga ingin selekasnya tahu hal ini. maka dia beralih kepada Ngo-hong Kaucu, katanya:
"Tuan sudah mendengar bukan, berilah jawaban."
Ngo-hong Kaucu menyeringai seram, ujarnya: "Aku tidak sudi memberi jawaban."
--

Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa maksudmu sebenarnya?" dengus Ji Bun murka.
Benar-benar durjana yang kelewat kejam, Ngo-hong Kaucu bersifat tak acuh, katanya pula: "Ji Bun, kukira jawabanku tidak akan membawa keuntungan bagi dirimu."
Ji Bun ragu-ragu oleh jawaban ini, dia tidak habis mengerti apa maksud perkataan orang, apa boleh buat, dia berpaling kepada Wi-to-hwecu, katanya: "Coba silakan Hwecu katakan pula tuntutanmu yang kedua?"
"Serahkan Jit-sing-pocu Ji Ing-hong kepada kami!" kata Siangkoan Hong.
Berubah air muka Ji Bun, belum dia buka suara, Ngo-hong Kaucu sudah terloroh-loroh, katanya: "Jika Ji Ing-hong unjuk diri, mungkin akan kalian koyak-koyak menjadi pergedel?"
Memang tepat ucapannya, tapi nadanya berolok dan mengadu domba lagi. Ji Ing-hong adalah ayah Ji Bun, kalau Siangkoan Hong dan lain-lain menuntut balas, Ji Bun terang tidak akan peluk tangan maka dapatlah dibayangkan apa akibat dari bentrokan ini. Walau jumlah orang-orang Wi-to-hwe lebih banyak, tapi mereka juga tahu sampai dimana tarap kepandaian Ji Bun, sebaliknya Ji Bun sendiri sungkan mencari parkara sebelum perguruan sendiri dibereskan lebih dulu.
Disamping itu, mereka juga tetap merasa was-was, maklum berada di dalam sarang Ngo-hong-kau, walau Ngo-hong Kaucu
-- sudah terluka parah. Anak buahnya sudah dibabat habis tapi bukan mustahil masih banyak jago-jago lihay mereka yang sembunyi dan menunggu kesempatan untuk menyergap secara keji dan licik. Jika Ji Bun sampai berhantam dengan pihak Siangkoan Hong, itu berarti memberi kesempatan kepada Ngo-hong Kaucu untuk memungut keuntungan.
Semua hadirin adalah bangkotan Kangouw yang berpengalaman, sudah tentu soal untung rugi ini sudah dalam pemikiran mereka.
Oleh karena itu, kata-kata Ngo-hong Kaucu walau cukup tajam, namun semua orang tetap prihatin, tiada yang berani sembarang bergerak atau angkat bicara.
Lama sekali baru Ji Bun membuka kesunyian: "Biarlah kuselesaikan dulu persoalanku sendiri dengannya, kedua tuntutan Hwecu akan kuberi jawaban nanti."
Dua sosok bayangan tiba-tiba meluncur datang dan turun di luar kalangan, seorang adalah tabib keliling, seorang lagi adalah gadis belia cantik molek. Mereka bukan lain adalah Biau-jiu Siansing bersama puterinya, Ciang Bing-cu.
Mendadak Ngo-hong Kaucu terkial-kial. serunya: "Bagus, betul-betul semua orang gagah telah berkumpul seluruhnya di sini. urusan jadi akan lebib mudah diselesaikan."
Sebetulnya Ngo-hong Kaucu mirip katak dalam tempurung, namun dia masih berlagak pongah. Hal ini betul-betul membuat semua hadirin merasa merinding dan seram.
-- Cukup lama Ciang Wi-bin menatap Ngo-hong Kaucu, sesaat kemudian mulutnya berseru penuh kaget dan heran: "He, kau .......
Kau apa ......", Dia tidak melanjutkan, namun seruan kaget ini sudah menarik perhatian hadirin, termasuk juga Ji Bun.
Terpencar sinar mata buas Ngo-hong Kaucu, bentaknya beringas:
"Aku kenapa?"
Ciang Wi-bin melirik pada Ji Bun, lalu katanya dengan rasa berat:
"Sungguh tak terduga ......"
"Apa yang tak terduga?" tanya Ji Bun.
"Ilmu tata rias memang tidak membedakan aliran atau golongan, tapi toh tetap dapat dibedakan juga. Apakah dia seorang ahli atau hanya petualangan belaka, walau Kaucu sudah berubah suara, tapi dari dandanan dan samaranmu ini aku masih bisa membedakan siapa sebenarnya kau ini?"
Nyata secara tidak langsung dia memberitahu kepada hadirin bahwa Ngo-hong Kaucu dihadapan mereka ini adalah seorang yang telah merias diri dalam bentuk lain, jadi bukan wajah aslinya.
"Siapa dia?" teriak Ji Bun keras.
"Anak muda," Ngo-hong Kaucu terloroh dingin, "marilah kita pindah tempat untuk menyelesaikan persoalan pribadi kita ........"
"Ji Bun," Ciang Wi-bin menyela, "aku setuju usulnya."
-- Ji Bun tatap Ciang Wi-bin dengan penuh tanda tanya, dia tahu ucapan orang pasti ada latar belakangnya. Namun sulit juga dia menjawab usul ini dihadapan orang banyak, karena rahasia pribadi Ciang Wi-bin serta asal usul dirinya pantang dibocorkan dihadapan umum. Maka ia berkata kepada Ngo-hong Kaucu: "Dibereskan di mana?"
"Boleh kau ikut aku ...."
Segera Ciang Wi-bin angkat sebelah tangan, katanya: "Aku calonkan diriku sebagai saksi"
"Boleh," tahut Ngo-hong Kaucu tegas.
Ji Bun melirik pada Ciang Wi-bin katanya: "Urusanku ini tidak perlu pakai saksi, kurang leluasa pula untuk diselesaikan dihadapan orang ketiga."
Ciang Wi-bin angkat pundak, apa boleh buat, dia tidak bicara lagi.
"Mari silakan," ujar Ji Bun menggerakkan tangan.
Ngo-hong Kaucu segera beranjak keluar lingkaran. Ji Bun mengikuti di belakangnya secara ketat. Kebetulan mereka menuju kearah barat, di mana kebetulan Siang-thian-ong dan orang dalam tandu berjaga. Kedua orang melotot gusar sambil bertolak pinggang, naga-naganya mereka tidak mau menyingkir memberi jalan.
Mencorong biji mata Ji Bun, desisnya: "Harap minggir!"
-- Seolah-olah terpengaruh oleh tatapan tajam Ji Bun dan menjadi jeri, tanpa sadar mereka melangkah ke pinggir. Cepat sekali Ngo-hong Kaucu sudah keluar dari kepungan diikuti Ji Bun, langsung menuju ke deretan rumah di belakang sana.
Sejenak mengawasi bayangan kedua orang, Wi-to-hwecu lantas memberi perintah: "Harap para Houhat dan Tongcu mengawasi bangunan markas ini dengan ketat, para Tecu yang lain harap segera membersihkan tempat ini."
Serempak semua orang mengiakan. Puluhan orang segera mengepung gedung besar di bagian tengah, sementara puluhan orang lain sibuk menyingkirkan mayat.
"Yah," kata Ciang Bing-cu gelisah pada ayahnya, "Apakah dia tidak akan mengalami bahaya?"
"Ai, sungguh tidak nyana, tragedi ini akan terjadi dengan mengenaskan."
"Tragedi apa?" Ciang Bing-cu menegas. "Ayah tahu siapa dia sebenarnya?"
"Jangan banyak tanya, Nak. Tunggulah dengan sabar apa yang bakal terjadi nanti, yang jelas dia tidak akan mengalami marabahaya."
Lekas sekali tabir malam telah menyelimuti jagat raya tanpa terasa. Keadaan lembah menjadi semakin sunyi, seluruh perhatian hadirin tertuju ke dalam markas. Karena mengingat aturan
-- Kangouw, tiada seorangpun yang berani sembarang bertindak atau menerobos masuk ke dalam.
Lagi ditunggu sekian lamanya, keadaan tetap tenang dan hening, tidak kelihatan ada reaksi apa-apa dari dalam.
Sementara itu Ji Bun yang mengintil di belakang Ngo-hong Kaucu telah memasuki ruang pendopo. Ji Bun meningkatkan kewaspadaan dan siaga, bentaknya dingin: "Berhenti disini saja!"
Ngo-hong Kaucu membalik badan, keduanya berdiri berhadapan di tengah ruangan.
"Sekarang kau boleh bicara," kata Ji Bun sambil menahan gejolak hati.
Tenang-tenang saja sikap Ngo-hong Kaucu, ujarnya: "Berilah kesempatan kuajukan beberapa persoalan ...."
"Boleh saja, soal apa?"
"Apa betul secara resmi kau telah diangkat sebagai murid Ban-tok-bun?"
"Ya, tidak salah."
"Juga mendapat ajaran tunggal perguruan" Lalu apa nama jurus yang kau lancarkan?"
-- "Ilmu itu sudah kupelajari dan apa namanya kau tidak perlu tahu," kata Ji Bun, tangannya merogoh kantong mengeluarkan Hoat-hoan pemberian Thaysuco, ternyata pil beracun jahat peranti bunuh diri ini tidak hilang, maka legalah hatinya.
Tiba-tiba Ngo-hong Kaucu merintih sambil mendekap dada, darah menyembur dari mulutnya, badannya limbung sempoyongan, katanya gemetar: "Kau diperintahkan membersihkan perguruan?"
"Betul, sebelum kulaksanakan hukum perguruan, kau harus menjelaskan beberapa persoalan."
"Boleh.... bolehkah aku bicara sambil duduk?"
Melihat luka orang cukup parah, Ji Bun yakin orang tidak akan mampu banyak ulah lagi, maka dia mengangguk.
Ngo-hong Kaucu melangkah dengan berat, dia menghampiri deretan kursi yang membelakangi dinding di sebelah sana lalu duduk.
Ji Bun melangkah maju, suaranya berubah kereng: "Di mana sebetulnya ayah-bundaku?"
"Ayahmu Ji Ing-hong sudah mampus!"
Melotot hampir pecah biji mata Ji Bun, mukanya menjadi buas dan kalap, teriaknya: "Kau pernah bilang, beliau kau kurung"
Bagaimana dia bisa meninggal?"
-- Sekonyong-konyong sebuah ledakkan dahsyat seperti bumi kiamat menggelegar menggoncangkan tanah dan bangunan gedung, pintu dan jendela sama berkeriutan, genteng beterbangan. Berubah hebat air muka Ji Bun, serunya: "Apa yang terjadi?"
Mendadak Ngo-hong Kaucu terbahak-bahak, katanya: "Tidak apa-apa hanya jalan keluar lembah telah tersumbat oleh ledakkan itu.
Tadi aku sudah bilang, Ngo-hong-kau tidak gampang putus asa dan ludes demikian saja, kalah menang belum bisa diramalkan."
"Kubunuh kau!" desis Ji Bun.
"Sudah terlambat. Ha ha ha!"
Jari tangan Ji Bun secepat kilat mencengkeram. Tak nyana kursi duduk Ngo-hong Kaucu tiba-tiba menjeplak anjlok ke bawah, keruan cengkeraman Ji Bun mengenai tempat kosong. Lekas sekali kursi itu naik kembali ke tempat asalnya, tapi bayangan Ngo-hong Kaucu sudah tidak kelihatan lagi.
Sekilas ia merasakan firasat jelek, dalam hati dia mengeluh, sebat sekali ia melesat keluar dari jendela yang terdekat. "Duk", tahu-tahu Ji Bun rasakan punggungnya kesakitan, mata seketika menjadi gelap, badanpun roboh tersungkur, debu dan asap merangsang hidung sehingga napas menjadi sesak, kejap lain dia sudah tak ingat diri lagi.
Entah berapa lama, lambat laun dia mulai sadar. Pikiran pertama yang menyentuh perasaannya adalah tanda tanya "Apakah aku tidak
-- mati?" Sekelilingnya sunyi senyap, dalam kegelapan dia melihat bintang-bintang bertaburan di angkasa luas.
Dia coba menggerakkan badan, namun sedikit bergerak saja tulang belulang terasa sakit. Waktu tangannya meraba, didapatinya sebuah belandar besar menindih badannya. Kalau mau bangun harus menyingkirkan dulu belandar besar ini. Dia coba meneliti keadaan, ternyata ujung lain dari belandar ini terpendam di bawah reruntuhan gedung yang ambruk, beratnya tentu ada ribuan kati.
Ia coba menerawang, kejadian apa sebetulnya yang telah menimpa dirinya. Untung dirinya bisa bertindak cepat, kalau tidak tentu jiwanya sudah amblas dan raganya terpendam di bawah runtuhan rumah atau hancur kena ledakan. Agaknya pada saat tubuhnya meluncur ke arah jendela, ledakanpun terjadi sehingga punggungnya kejatuhan belandar yang runtuh dan dia jatuh semaput, beruntung badannya tidak terpendam di bawah reruntuhan. Kalau tidak tentu jiwanya sudah melayang.
Mengingat betapa licik dan licinnya Ngo-hong Kaucu, sungguh gusar Ji Bun bukan kepalang, saking gegetun giginya sampai gemeratak. Diam-diam Ji Bun menyesal, kenapa dirinya kurang cerdik menghadapi akal orang yang licik dan dirinya kena dirugikan karena kelalaian sendiri. Kalau sejak mula dia punahkan dulu Lwekang dan ilmu silat Ngo-hong Kaucu, tragedi ini tentu tidak akan terjadi.
Dari kejadian ledakan yang menjumbat jalan keluar lembah, hal ini membuktikan bahwa kekuatan Ngo-hong-kau masih cukup
-- tangguh dan tersembunyi, mereka bergerak menurut gelagat, tak heran sikap Ngo-hong Kaucu tetap tenang tanpa jeri sedikitpun.
Apakah pertempuran sudah berakhir" Di mana Ngo-hong Kaucu"
Ke mana pula orang-orang Wi-to-hwe" Mungkinkah mereka juga terbunuh seluruhnya" Hatinya menjadi cemas. Ia coba menghimpun tenaga murni, tenaga memang masih ada, sayang luka-luka dalamnya tidak ringan. Untuk meronta dan mendorong belandar besar itu, sekarang jelas tidak mungkin.
Waktu dia melihat sekelilingnya, ruang pendopo besar di mana tadi dia bicara dengan Ngo-hong Kaucu sudah hancur lebur, bangunan yang lainpun sudah porak poranda tidak utuh lagi, anehnya sudah sekian lamanya tetap tidak terlihat bayangan seorangpun muncul, sinar api tidak kelihatan, alam gelap gulita seperti berada di neraka.
Harus segera membebaskan diri, inilah yang menjadi pikiran Ji Bun. Untuk bebas dia harus bekerja mengandal kekuatannya sendiri pula, dan untuk itu dia perlu selekasnya memulihkan tenaga, maka dengan badan setengah terbaring dia mulai semadi mengerahkan hawa murni sesuai ajaran ilmu tingkat tinggi perguruannya.
Malam semakin berlarut, sang waktu berlalu tanpa terasa, hari sudah remang-remang mendekati fajar, baru Ji Bun selesai mengobati diri dan pulih seluruh tenaganya. Pelan-pelan dia mulai mendorong dan mengangkat belandar besar itu, begitu belandar terdorong ke samping segera dia melompat keluar dan berdiri.
-- Suara keresekan dari langkah orang yang menyentuh dedaunan kering membuat Ji Bun waspada dan mendekam pula. Maka terdengar suara seorang berkata: "Para keroco itu agaknya nekat, hari sudah hampir terang tanah, pertempuran besar mungkin akan berlangsung lagi."
Seorang lain segera bicara pula: "Sayang Ngo-Lui-cu sudah habis terpakai, kalau tidak mereka tentu sudah dibereskan seluruhnya."
"Memangnya mereka seperti ikan dalam jala, musuh bebuyutan kita Te-gak Suseng juga telah hancur lebur tanpa bekas, demikian pula Siang-thian-ong, Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun dan Cui Bu-tok sudah mati kena ledakan. Kekuatan lawan sudah jauh berkurang."
Ji Bun berdiri terus melompat menyergap. Kedua orang yang asyik bicara itu bersuara kaget, gerak-gerik mereka cukup cekatan.
22.66. Tabir Misterius Terbuka Lebar
"Siapa?" bentaknya bersama. Tapi suara mereka berubah erangan tertahan. Satu diantaranya roboh terkulai, sementara orang yang bersuara tadi lantas ngacir ke tempat gelap hendak lari. Tapi seperti elang menyamber ayam, sekali raih dan cengkeram Ji Bun jinjing baju kuduknya terus ditarik balik.
Merasa tengkuknya dipegang dan badan tertarik mundur, orang itu jadi nekat dan membalik, pedang terus menusuk. Gerakannya cukup tangkas dan lihay pula serangannya. Ji Bun tidak menduga bila orang membawa pedang, reaksinyapun cepat dan cekatan lagi,
-- tahu-tahu hawa pedang yang dingin dan kemilau sudah menusuk ke dadanya. Saking kaget Ji Bun lepaskan cengkeramannya sambil abitkan tubuh orang ke samping, sementara kaki menggeser, "cret", ujung pedang merobek bajunya, serambut saja hampir melukai kulitnya. Saking gusar serta merta dia baliki telapak tangannya terus menampar.
"Plok", orang itu seketika menjerit ngeri, pedang terlempar, tubuhpun terkulai, namun mulutnya masib sempat menjerit serak:
"Te-gak Suseng!" tapi jiwanya lantas melayang. Ji Bun jadi menyesal, semula ia hendak menangkapnya hidup-hidup untuk dikompes keterangannya, kini urusan mennjadi gagal.
Setelah keluar dari tumpukan puing itu, Ji Bun menghirup hawa segar, ia memikirkan tindakan selanjutnya. Tiba-tiba dari arah luar lembah sana terdengar suara bentakan, disusul berdentingnya senjata yang ramai. Lekas Ji Bun memburu ke tempat pertempuran itu.
Cuaca sudah mulai terang, fajar telah menyingsing, cepat sekali Ji Bun sudah dapat melihat bayangan orang banyak di kejauhan sana, barisan orang seragam baju sutera mengelilingi sebuah arena besar.
Diam-diam Ji Bun mengumpat akan kelicikan Ngo-hong Kaucu, ternyata dia masih menyembunyikan sekian banyak jago-jagonya yang tangguh. Mulut lembah diledakkan dan disumbat, tujuannya terang hendak membabat seluruh musuh yang menyerbu datang.
Cepat sekali Ji Bun tiba di luar lingkaran, sejenak dia meneliti keadaan terus melompat ke atas sebuah batu yang menonjol di
-- dinding gunung. Dari tempat tinggi dengan jelas dia dapat menyaksikan pertempuran di tengah gelanggang.
Puluhan orang tengah berhantam dengan sengitnya. angin seperti lesus berpusar dan berderai keluar, suaranya menderu bagai hujan badai, sinar pedang dan golok berseliweran, pertempuran cukup sengit dan dahsyat. Ratusan pemuda seragam sutera dengan senjata terhunus siap pula berkeliling di luar arena.
Sebentar mulai terdengar jerit dan lolong orang-orang yang terluka atau binasa, yang roboh jadi korban adalah anak buah Wi-tohwe dari tingkatan rendah yang tinggal beberapa jiwa saja, satu persatu mereka berguguran. Kalau keadaan seperti ini berjalan terus, kekuatan Wi-to-hwe tak lama lagi tentu terkikis habis itu berarti leburnya barisan pembela keadilan kaum persilatan ini.
Darah Ji Bun mendidih, setelah selarut ini, dia tidak bisa berpeluk tangan, maka dia melejit tinggi ke atas, di tengah udara dia menukik seraya membentak, "Berhenti!" Suaranya menggeledek menggema angkasa. Orang-orang yang lagi berbaku hantam itu serentak melompat mundur menghentikan pertempuran. Bayangan Ji Bun segera meluncur ke tengah-tengah mereka. Baru saja kakinya menyentuh tanah dan berdiri tegak, karena memperoleh bintang penolong, tanpa berjanji orang-orang Wi-to-hwe sama bersorak kegirangan.
"Anak keparat!" umpat Ngo-hong Kaucu, "kau .... kau tidak mampus?"
-- Sekilas Ji Bun menyapu pandang ke sekelilingnya, memang bayangan Siang-thian-ong, Cui Bu-tok dan Hing-thian-it-kiam Gui Han-bun tidak kelihatan, apa yang dibicarakan kedua orang Ngo-hong-kau tadi ternyata memang benar, ketiga orang ini semalam sudah gugur di medan laga.
Sorot mata Ji Bun beralih ke muka Ngo-hong Kaucu, lama sekali tatapan matanya semakin menyala, rona mukanya berubah bergantian, akhirnya berwarna kelabu, ini menandakan nafsunya sudah merangsang tak terkendali lagi. Semua jago-jago Ngo-hong-kau yang hadir sama mengkirik seram melihat mimik wajahnya ini.
Bahwa Te-gak Suseng tidak mati, ini berarti rencana Ngo-hong Kaucu telah gagal total.
Ngo-hong Kaucu pun mengunjuk rasa kaget dan heran, lalu berubah bengis dan penasaran seolah-olah binatang buas yang kelaparan dan ingin mengkeremus mangsanya.
Walau kebencian dan dendam merusak sanubarinya, namun pikiran Ji Bun tetap tenang dan dingin, pengalaman telah menggembleng dan memupuk ketahanan lahir batinnya. Dia tidak ingin ada pihak kedua mencampuri pertikaian dirinya dengan Ngo-hong Kaucu, maka dia berpaling kepada Siangkoan Hong, katanya:
"Hwecu, maaf, semalam aku tak bisa menepati janji, iblis keparat ini serahkan saja kepadaku, silakan kalian babat habis kaki tangannya."
Kata-kata Ji Bun sekaligus membereskan kesulitan yang dihadapi pihak Wi-to-hwe. Walau mereka amat benci terhadap Ngo-hong Kaucu, namun tiada satupun di antara mereka yang kuat menandinginya. Hanya Hun-tiong Siancu saja kira-kira yang
-- setanding, tapi untuk mengalahkannya apalagi membunuhnya terang tidak mungkin. Celakanya pihak Ngo-hong-kau masih banyak jago-jago yang siaga di luar gelanggang. Anak buah Wi-to-hwe dari kelas dua dan tiga sudah hancur gugur seluruhnya. Tahu akan gelagat yang serba runyam ini, apa boleh buat Siangkoan Hong menyambut saran Ji Bun. Maka pertempuran lantas berlangsung pula.
Tiada kata-kata yang bisa diucapkan lagi oleh Ji Bun kepada Ngo-hong Kaucu, ia harus menundukkan dan membekuknya lebih dulu baru bicara di belakang.
"Ji Bun," desis Ngo-hong Kaucu penuh benci, "Anak haram, akan kulebur tubuhmu menjadi abu dan kutaburkan ke mana-mana"
Ji Bun menggeram rendah dalam kerongkongan, terus menubruk dengan serangan Tok-jiu-sam-sek. Ngo-hong Kaucu juga balas menyerang, keduanya serang menyerang dengan sengit seperti orang kalap.
Singkat dan cepat sekali serang menyerang ini terjadi, segera darah sudah meleleh dari mulut Ngo-hong Kaucu, langkahnyapun sempoyongan. Ji Bun sendiri juga terkena delapan kali pukulan oleh serangan nekat lawannya, darah sudah bergolak dalam rongga dadanya. Pertempuran dahsyat antara naga dan harimau yang jarang terjadi selama ratusan tahun dalam Bu-lim ini, sayang tiada orang yang menikmatinya. Orang-orang kedua pihak sedang sibuk menggasak lawannya untuk mempertahankan jiwanya sendiri-sendiri, tiada seorangpun yang mengikuti pertempuran besar ini.
-- Kedua orang terpental mundur, keduanya sama-sama istirahat sedetik mengatur napas dan menghimpun kekuatan. Biji mata Ji Bun seolah-olah mencolot keluar, katanya dengan menyeringai: "Yang kulancarkan tadi adalah Giam-ong-yan-khek, jurus ketiga dari Tok-jiu-sam-sek ajaran perguruan kita. Nah, pengkhianat, hari ini kau barus mampus binasa oleh jurus ciptaan Cosuya."
Ngo-hong Kaucu mundur beberapa langkah, mendadak kakinya menjejak tanah, badan meluncur keluar gelanggang, secepat terbang.
"Lari kemana!" Ji Bun membentak, segera iapun mengejar dengan kencang. Beberapa tombak di luar lingkaran, Ji Bun mengerahkan seluruh tenaganya dan melompat maju memperpendek jaraknya dengan musuh seraya mendorongkan telapak targannya ke depan.
Sambil menjerit kesakitan Ngo-hong Kaucu terdorong sempoyongan dua tombak jauhnya. Pelan-pelan dia putar balik badannya.
Ji Bun mendekat di dekat orang, desisnya dengan gigi gemerantak: "Masih mau lari?"
Ngo-hong Kaucu setengah jongkok, kedua telapak tangannya seperti menekan ke bawah, jubah hitam yang longgar tiba-tiba semakin melembung membesar seperti berisi angin, tak ubahnya layar berkembang tertiup angin kencang, uap tampak mengepul di atas kepalanya, mata terpejam mulut mengancam pelahan: "Aku mati kaupun jangan harap bisa hidup."
-- Mencelos hati Ji Bun, entah lawan hendak mengerahkan ilmu jahat apa, maka iapun siaga, seluruh kekuatan Lwekangnya ia kerahkan.
Tiba-tiba bayangan seorang meluncur datang, begitu dekat seketika dia menjerit kaget: "Awas, dia .... dia telah berhasil menyakinkan Kian-kun-sut-biat (semesta alam sunyi senyap) yang tertera di dalam Hud-sim ....." yang memberi peringatan adalah orang dalam tandu, Toh Ji-lan, atau adik kandung Pek-ciok Sin-ni, pemilik Hud-sim. Dari suaranya yang ngeri menakutkan dapatlah dibayangkan bahwa keadaan amat gawat dan mendesak.
Jantung Ji Bun serasa hampir meledak, dia tidak tahu apa itu Kian-kun-sut-biat, tapi tiada sedikitpun maksudnya hendak mundur, dia tidak gentar.
"Ciiiaaat ......" di tengah pekik panjang ini, kedua tangan Ngo-hong Kaucu yang semula menekan ke bawah mulai terangkat. Tiba-tiba laksana kilat membalik terus mendorong ke depan. Ji Bun juga lontarkan pukulan Tok-jiu-sam-sek dengan seluruh kekuatannya.
Toh Ji-lan lekas melompat mundur sejauhnya. Angin kencang setajam pisau berderai ke empat penjuru, hawa udara seperti meledak mengeluarkan suara rentetan letusan panjang. Dua lawan yang baku antam sama terjungkal roboh sambil menjerit seram.
Muka Ji Bun putih seperti kertas, darah menyembur dari mulut, dalam sekejap ini seakan-akan dia kehilangan kesadaran. Di sana Ngo-hong Kaucu rebah mendekam di atas tanah, darah membanjir
-- keluar diantara mukanya yang menyentuh bumi. Toh Ji-lan menjublek ditempatnya.
Lama sekalibaru kelihatan Ji Bun bergerak, agaknya mulai siuman dan sadar kembali, dalam hatinya berteriak-teriak: "Ji Bun, kau jangan mati, kau tidak boleh mati. Hayo bangkit keraskan hatimu!"
Sementara itu, Toh Ji-lan beranjak mendekati Ngo-hong Kaucu.
Keruan Ji Bun menjadi gugup, lekas dia kerahkan tenaganya, suara serak keluar dari kerongkongannya: "Jangan sentuh dia!"
Tanpa kendali darah menyemhur sebanyak-banyaknya. Kepala seketika pusing, pandangan pun berkunang-kunang, namun dia sudah mencegah tindakan Toh Ji-lan.
Keyakinan dan kekerasan hatinya menimbulkan semacam kekuatan pada diri Ji Bun. Pelan-pelan dia berdiri, wajahnya yang pucat begitu seram dan mengerikan siapapun akan mengkirik melihatnya. Cukup lama baru dia kuasa pertahankan dirinya yang limbung. Dengan suara serak dan samar-samar dia menggumam:
"Dia tidak mampus begini saja, dia harus mati di bawah ..... hukum perguruan yang berlaku, banyak urusan yang harus dia ......"
Dengan mendelong Toh Ji-lan awasi Ji Bun, ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan.
Sementara pertempuran masih berlangsung dengan gaduh, korban berjatuhan saling susul.
-- Tiba-tiba Ngo-hong Kaucu menggerakan kaki tangan kepalapun terangkat pelan-pelan.
"Dia belum mati!" gemetar suara Toh Ji-lan.
Dengan sabar Ji Bun menunggu, sayang tenaga sendiri juga sudah ludes, paling-paling cuma mampu untuk berdiri saja.
Selekasnya dia mengerahkan hawa murni dan bersemadi dengan ilmu perguruannya, dia harap dalam waktu singkat berhasil memulihkan kekuatannya.
Dua permuda baju sutera tiba-tiba berlari ke arah sini, begitu melihat keadaan di sini, mereka menjerit kaget, serentak tanpa berjanji kedua pemuda ini memburu ke arah Ji Bun.
Orang dalam tandu, Toh Ji-lan, segera pentang kedua tangan menyambut kedatangan mereka. Hanya sekali puntir dan mengipat, jiwa mereka kontan dibikin tamat. Sementara pertempuran masih tetap berlangsung, cuma keadaan sudah tidak segaduh tadi.
Agaknya pertempuran besar sudah menjelang akhir.
Pelan-pelan Ngo-hong Kaucu mulai merangkak dan berduduk.
Sinar mentari menyorot masuk dari celah lembah menyinari suasana lembah yang suram itu. Bayangan orang berlari saling kejar, yang kalah melarikan diri berusaha menyelamatkan jiwa, sudah tentu pihak yang menang tidak memberi ampun, maka terjadilah kejar mengejar.
-- Tiba-tiba Ji Bun berkata kepada "orang dalam tandu": "Harap Cianpwe suka mundur sebentar!"
"Kenapa?" tanya Toh Ji-lan.
"Wanpwe akan menyelesaikan sesuatu secara rahasia."
"Pinni harus mengambil kembali "Hud-sim"
"Wanpwe akan mengembalikannya nanti."
Dengan heran dan apa boleh buat, akhirnya "Orang dalam tandu"
Toh Ji-lan menyingkir.
Sementara itu Ji Bun sudah berhasil menghimpun tiga bagian tenaganya. Didengarnya Ngo-hong Kaucu sedang sesambatan: "O, Thian, agaknya engkau sengaja hendak menumpasku ...."
"Ganjaran setimpal dengan perbuatanmu!" jengek Ji Bun sambil mendekat.
Dua bayangan tampak meluncur datang dari lembah sana yang lebih rendah letaknya, ternyata Ciang Wi-bin dan puterinya. "Seheng" teriak Ciang Bing-cu kegirangan sebelum tiba, "kau tidak apa-apa bukan?"
Ji Bun sambut kedatangan mereka dengan pandangan haru dan penuh simpatik.
-- "Ji Bun", kata Ciang Wi-bin begitu tiba, "kau tak boleh membunuhnya."
"Kenapa?"' tanya Ji Bun.
Serba susah Ciang Wi-bin menjawab, tapi dia menggertak gigi, akhirnya katanya dengan serak gemetar: "Kau boleh menyingkap kedok dan ikat kepalanya."
Heran dan curiga Ji Bun. agaknya Ciang Wi-bin sudah tahu siapa sebetulnya Ngo-hong Kaucu ini, kata-katanya juga mengandung maksud tertentu. Memang sejauh ini tiada peluang bagi Ji Bun untuk banyak pikir. Segera dia gerakkan jari tangan menutuk dari kejauhan, lengan kanan Ngo-hong Kaucu seketika lemas. Mulutnya menyuarakan pekik serak dan putus asa yang menggila: "Ji Bun .....
kau .... lekas kau bunuh aku saja."
Ji Bun terus mencengkeram ikat kepala dan merenggut kedok mukanya.
"Hah," tiba-tiba dia berteriak histeris dan mundur sempoyongan.
"Bluk" akhirnya jatuh terduduk. Kulit mukanya berkerut-kerut, hampir saja dia jatuh semaput.
Sedetik itu, dunia seakan-akan kiamat, rasanya seperti badan dirobek-robek, otaknya hampa dan badan lunglai. Lama sekali baru mulutnya mengeluarkan keluhan putus asa, sambatnya: "Tidak.... ini tidak mungkin! Terlalu kejam, O, Thian ......."
-- Ngo-hong Kaucu ternyata ayahnya, yaitu Jit-sing-pocu Ji Ing-hong.
Mimpipun tak pernah terbayang dirinya bakal menghadapi kenyataan yang sukar diterima dengan akal sehat ini. Orang berkedok berjubah sutera, Jit-sing-ko-jin, laki-laki muka hitam tak dikenal, Kwi-loh-jin duplikat orang-orang yang pernah menyerang dan mencelakai dirinya, kini satu persatu terpampang di depan matanya. Codet panjang miring disamping kepala Ji Ing-hong setajam pisau menggores sanubarinya. Tanpa mengenal belas kasihan dengan berbagai cara keji dan licik ayah kandungnya berusaha membunuh dirinya, malahan menculik ibunya untuk memeras dan menindas dirinya. Thian-thay-mo-ki, kekasih yang dlcintainya diperkosa sampai bunuh diri, lebih celaka lagi diapun berani mendurhakai guru dan melanggar aturan perguruan.
Remuk radam hati Ji Bun, betapa hebat derita yang dialaminya sekarang sukar dilukiskan dengan kata-kata. Kedua jari tangan meremas rambut kepala sendiri, mulutnya sesambatan: "O,Thian, kenapa bisa begini" Kenapa ........ kenapa?" Begitu sedih memilukan suaranya, tidak mirip suara manusia lagi.
Ciang Wi-bin pun mencucurkan air mata, katanya pilu: "Saudara Ing-hong, kenapa kau sampai berbuat begini rupa?"
Ji Ing-hong menengadah, mukanyapun berkerut dan gemetar, dia diam saja.
Mendadak Ji Bun berdiri, segera dia putar badan berlari keluar.
Lekas Ciang Wi-bin memburunya, katanya sesenggukan: "Ji Bun kau
-- tidak boleh pergi demikian saja, apakah Siangkoan Hong dan teman-temannya mau memberi ampun kepadanya?"
Baru sekarang Ji Bun menangis tergerung-gerung, katanya terputus-putus: "Paman, aku ..... bagaimana .... baiknya ...."
"Hadapilah kenyataan ini dengan tabah, bereskan dulu persoalan di depan mata ini, soal lain boleh dibicarakan nanti."
"Tapi ..... bagaimana Siautit bisa menyelesaikan soal ini" Aku .....
rasanya lebih baik mati saja ..... "
Puluhan orang berlari-lari mendatangi ke arah sini. Mendadak seorang berteriak: "Ji Ing-hong! He, ini Ji Ing-hong!"
Lekas Ciang Wi-bin menyeret Ji Bun mendekati Ji Ing-hong.
Mendadak Siangkoan Hong mendongak sambil bergelak tertawa dengan sedih dan beringas, serunya:"`Ji Ing-hong, sungguh tidak terduga, agaknya Thian memang berkehendak begini. Ha ha ha ha
.......!" Bayangan seorang tiba-tiba menubruk ke arah Ji Ing-hong. Tanpa pikir Ji Bun segera menghadang maju sambil ayun tangan. Bayangan itu dipukulnya mundur pula. Penyerangnya ternyata adalah ibu tuanya, Khong-kok-lan So Yan atau isteri ayahnya yang resmi.
"Ji Bun," teriak Siangkoan Hong gusar, "kau mau melindunginya?"
-- Gemetar bibir Ji Bun, sekian lamanya baru dia kuasa bicara,
"Kalau kalian mau turun tangan, boleh bunuh aku lebih dulu."
"Ji Bun," teriak Khong-kok-lan So Yan kalap, "kalau kau melindungi dia, kaupun harus bunuh kami semua yang hadir di sini."
Betapa sedih hati Ji Bun sukar terlampias, apapun dia adalah putera kandung ayahnya. Dia tidak bisa berpeluk tangan melihat orang hendak merenggut jiwanya. Namun iapun insyaf ayahnya merupakan musuh bersama kaum persilatan, di samping sebagai pengkhianat perguruannya. Iapun harus menegakkan dan melaksanakan hukum perguruan atas ayahnya sendiri. Maka dia tak kuasa menjawab pertanyaan Khong-kok-lan So Yan. Jalan satu-satunya agaknya ayah beranak gugur bersama karena dia tidak mungkin membunuh ayahnya sendiri, namun ayahnya harus mati menebus dosanya.
Dan mana ibunya" Teringat kepada ibundanya, ingin rasanya dia menangis sepuas-puasnya, dia tidak berani tanya jejak ibunya kepada ayahnya, iapun tak berani berpaling mengawasi wajah bapaknya yang telah berubah bentuknya menjadi sedemikian buruk.
Ji Bun merasa malu diri, malu berhadapan dengan kaum persilatan, tapi sekarang dia harus berani memikul semua ini. Dia tidak mungkin menyingkir dari tanggung jawab yang timbul karena adanya sebab dan akibat ini.
Seorang laki-laki baju hitam lari mendekati Siangkoan Hong serta memberi hormat, katanya: "Lapor Hwecu, Cui-ciangling dan Gui-houhoat bersama tiga ......."
-- "Kenapa?" Siangkoan Hong menegas.
"Ditemukan sudah gugur di gedung yang runtuh itu."
"Han-bun sudah mati?" tiba-tiba Khong-kok-lan melengking beringas.
Hun-tiong Siancu segera memapah dan pegang pundak orang, tiba-tiba Khong-kok-lan terloroh-loroh kalap, gelak tawanya lebih seram dari orang menangis.
Tak tahan menghadapi tekanan lahir batin, mendadak Ji Bun juga menjerit sekeras-kerasnya: "Baiklah, kalian boleh turun tangan!"
Khong-kok-lan So Yan meronta dari pegangan Hun-tiong Siancu terus menubruk maju seraya membentak: "Ji Bun, minggir!"
"Tidak," teriak Ji Bun kalap, "kau boleh turun tangan terhadapku."
"Aku tidak akan membunuhmu ........."
"Aku tetap tidak akan menyingkir."
'"Lihat pukulan!"
"Plak", dengan telak Ji Bun terlempar setombak lebih, darah menyembur dari mulutnya. Dia tidak balas menyerang, juga tidak mengerahkan Lwekang melindungi badan. Para hadirin itu adalah
-- jago-jago silat, mereka tahu Ji Bun sengaja mencari kematian, maka dia tidak melawan.
Keruan Khong-kok-lan melenggong, namun rasa benci dan dendam kematian Gui Han-bun menghantui sanubarinya, tekatnya membunuh Ji Ing-hong takkan tergoyahkan oleh tekanan apapun.
Sementara Ji Ing-hong sendiri insaf takkan berhasil bunuh diri, luka-lukapun teramat parah, ia tahu dirinya takkan lolos dari tuntutan umum. Akhirnya dia pejamkan mata dan anggap tak melihat dan tak mendengar.
"Ji Bun," Siangkoan Hong menegas dengan suara berat, "lebih baik kau menyingkir saja."
Ji Bun meronta bangun, dengan langkah tertatih-tatih iapun kembali ke tempatnya, mulutnya menjawab tegas: "Tidak bisa!"
Ciang Wi-bin mengosok kedua telapak tangan, pertanda iapun kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Mendadak dengan pilu sedih Khong-kok-lan So Yan berkata:
"Apakah pedang Gui-houhoat ...."
Seorang laki-laki baju hitam yang lain segera tampil ke depan sambil mengangsurkan sebatang pedang dengan kedua tangan, serunya: "Inilah."
Khong-kok-lan langsung menghunus pedang itu, sarung pedang dibuang, sekali membalik pergelangan tangan, baru saja ia hendak
........ -- Tiba-tiba dilihatnya bayangan seorang berbaju hitam melayang turun di tengah orang banyak. Kiranya seorang perempuan setengah baya yang masih kelihatan sisa-sisa kecantikannya di masa muda dahulu. Sayang alisnya berkerut dirundung kesusahan, wajahnyapun pucat pasi.
"Ibu!" mendadak Ji Bun menjerit sambil menubruk maju dan memeluk kaki orang, maka pecahlah tangisnya sejadi-jadinya.
Perempuan baju hitam ini ternyata adalah isteri Ji Ing-hong yang kedua atau ibu kandung Ji Bun.
Air mata Lan Giok-tin berlinang-linang katanya kepada Ji Bun:
"Nak, jangan menangis, bangunlah!"
Mana bisa Ji Bun membendung rasa rindu dan kepedihan hatinya, tangisnya malah semakin keras. Lan Giok-tin memegangi sebuah kotak persegi yang terbungkus kain sutera, katanya; "Inilah Hud-sim, siapa yang akan menerimanya?"
Toh Ji-lan menyebut Buddha, katanya: "Serahkan kepadaku!"
Setelah terima kotak itu, dia mundur ke samping.
"Ing-hong," kata Lan Giok-tin tiba-tiba sambil berpaling kepada Ji Ing-hong yang bersimpuh di tanah, "urusan sudah selarut ini, terpaksa aku harus bicara?"
-- Terpentang kedua biji mata Ji Ing-hong, sinar buas masih menyala, tapi lekas sekali tertunduk pula, katanya lesu:
"Katakanlah!"
Lan Giok-tin tarik Ji Bun, katanya dengan terguguk: "Nak, bangunlah, dengarkan penuturanku."
Ji Bun menyeka air mata sambil berdiri, sekujur badannya gemetar.


Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thong-sian Hwesio merangkap kedua tangan, katanya kepada Lan Glok-tin, "Ji-hujin, Pinceng adalah Ciu Tay-han, tertua Jit-sing-pat-ciang dulu."
"Aku tahu," Lan Giok-tin mengangguk.
"Bu!" seru Ji Bun pula dengan sedih, Lan Giok-tin menarik napas panjang, dia kesut air mata yang hampir meleleh, mendadak rona wajahnya berubah, seperti bertekad ambil putusan, lalu katanya: "Aku bukan ibumu!"
"Apa katamu?" teriak Ji Bun gemetar sambil melangkah mundur.
Lan Giok-tin melirik ke arah Siangkoan Hong, lalu berkata pula dengan suara yang menggetarkan hati orang: "Ji Ing-hong juga bukan ayah kandungmu."
-- Terbelalak mata Ji Bun, mulutpun melongo, lama baru keluar suara gemetar dari kerongkongannya yang kering: "Aku ...... apakah aku masih hidup" Aku sedang mimpi" Atau ....."
"Nak, ini bukan mimpi, tapi kenyataan. Ayah kandungmu adalah dia!" tiba-tiba tangannya menunjuk Siangkoan Hong.
Berubah hebat air muka Siangkoan Hong, kaget dan melongo dia awasi Lan Giok-tin.
Dengan kepalan tangan Ji Bun menjotos kepala sendiri, teriaknya: "Aku tidak tahan, aku ....... aku tidak tahan. O, Thian, apakah yang terjadi ini?"
Kata Lan Giok-tin lebih lanjut sambil menatap Siangkoan Hong:
"Siangkoan Hong, Ji Bun ini, adalah putera yang dilahirkan isterimu Cu Yan-hoa dulu. Tiga hari sebelumnya kebetulan aku juga melahirkan anak perempuan, sayang dua hari kemudian dia meninggal. Semula Ing-hong hendak mencekiknya mati, akulah yang mencegahnya karena tidak tega. Sejak itu dia kuasuh dan kubesarkan seperti anakku sendiri. Kukira rahasia ini tidak di ketahui orang lain sampai sekarang, maka sebenarnya anak ini bernama Siangkoan Bun. Kini tibalah saatnya dia kembali keharibaan ayah kandungnya sendiri."
Sudah tentu hadirin sama bingung dan melongo akan kejadian ini. Dalam sedetik ini, Ji Bun baru betul-betul sadar dan mengerti, pantas Ji Ing-hong yang semula dianggap ayah kandung sendiri berulang kali berusaha membunuhnya, karena sebab inilah, sungguh mengerikan, aneh dan mustahil, tapi toh nyata. Malah dia pernah
-- bersumpah menuntut balas dengan kedua tangan sendiri terhadap musuh itu dan dia ternyata adalah ayah kandungnya sendiri.
Mendadak Siangkoan Hong memburu maju memeluk Ji Bun alias Siangkoan Bun, air mata bercucuran, sepatah katapun tak kuasa dia ucapkan.
Lekas Siangkoan Bun bertekuk lutut menyembah kepada ayah kandungnya, teringat akan kematian ibu kandungnya, Cu Yan-hoa yang mengenaskan, tiba-tiba dia angkat kepala dan mendelik murkra ke arah ...... Ji Ing-hong.
Dengan penuh kebencian dan dendam Ji Ing-hong berteriak:
"Lan Giok-tin ...... kau ........ bagus ....."
"Nak, dengarkan aku bicara," kata Lan Giok-tin tanpa hiraukan seruan Ji Ing-hong, "kusuruh seorang yang bernama Ui Bing antar Tok-keng padamu, kau sudah menerimanya?"
Mendadak Ji Bun angkat kepala, sahutnya sedih: "Sudah kuterima, Ui-toako sudah ... sudah meninggal."
Terbukti sudah bahwa Ui Bing terbunuh oleh kawanan Duta Ngo-hong-kau yang berjumlah empat orang itu, tapi akhirnya merekapun mampus keracunan. Sementara paderi Siau-lim mendapat titipan Ui Bing sebelum ajal, namun Hwesio itupun mati keracunan sehingga hampir saja menimbulkan salah paham.
"Nak, Thian-thay-mo-ki pernah menolong jiwamu dengan darahnya, itu kusaksikan sendiri, sekarang dia ....... sudah mati."
-- Ji Bun manggut-manggut, perempuan baju hitam yang misterius seperti yang pernah diceritakan oleh Thian-thay-mo-ki dulu ternyata adalah Lan Giok-tin.
"Beberapa kali Ji Ing-hong hendak membunuhmu, tapi gagal.
Sebetulnya dia harus insaf dan menghentikan niat jahatnya, karena rahasia riwayatmu tiada orang lain yang tahu. Tapi karena codet di kepalanya itu tak bisa hilang, terpaksa dia nekat, dan aku harus malu dan menista perbuatannya, betapapun aku adalah isterinya.
Sekarang aku mengingkarnya demi kebenaran, maka sejak kini putuslah hubungan suami isteri, aku ..... .." belum habis dia bicara, tiba-tiba ia roboh binasa, dia bunuh diri dengan memutus urat nadi sendiri.
Mendadak Ji Bun melompat ke depan Ji Ing-hong, telunjuknya menuding Hoat-wan di telapak tangan yang lain, bentaknya bengis:
"Ji Ing-hong, kau pantas dicincang, demi menegakkan ....... aturan perguruan, telanlah ini untuk mengakhiri hidupmu."
Ji Ing-hong menarik napas, dia terima Hoat-wan tanpa bicara terus ditelan kontan iapun roboh telentang dan amblas jiwanya.
Khong-kok-lan menjerit pilu, ia menubruk maju dan ayun pedang memenggal kepala Ji lng-hong, lalu berteriak: "Han-bun, tunggulah aku!"
Tahu-tahu pedangnya menggorok leher sendiri, gerakkannya terlalu cepat dan tak terduga, orang lain tak sempat mencegah atau menolongnya lagi.
-- Hun-tiong Siancu maju mendekat, Siangkoan Hong tarik Siangkoan Bun ke dekatnya, katanya: "Nak, inilah ibu muda. Dulu kebetulan ayah bersua dengan Pek-ciok Sinni, kepada beliau aku belajar silat dan berhasil. Akhirnya aku menikah dengan ibumu ini dan melahirkan adikmu Ci-hwi...."
"O, mana adik?"
"Ai, nasibnya memang jelek, sekarang berada di atas gunung, mengasuh anaknya yang tak berdosa itu."
Ji Bun diam saja, sungguh tak nyana bahwa gadis baju merah yang dulu memikat hatinya itu ternyata adalah adiknya dari lain ibu, sungguh luar biasa.
Siangkoan Hong segera memerintahkan anak buahnya menolong yang terluka dan mengubur yang mati.
Pada suatu kesempatan Ciang Wi-bin tarik Siangkoan Hong menyingkir dari orang banyak. Entah soal apa yang mereka bicarakan dengan bisik-bisik, lalu Siangkoan Hong panggil Siangkoan Bun: "Nak, bagaimana persoalanmu dengan nona Bing-cu."
Thian-thay-mo-ki telah meninggal, tiada alasan lagi yang dapat Siangkoan Bun katakan, terpaksa ia menjawab: "Terserah kepada putusan ayah."
-- "Baiklah, kita putuskan," ujar Siangkoan Hong kepada Ciang Wi-bin, "sebulan lagi kami ayah dan anak akan berkunjung ke rumahmu untuk mengajukan lamaran."
Ciang Wi-bin tergelak-gelak, katanya senang: "Baiklah, sekarang aku mohon diri."
Ciang Wi-bin lantas berangkat sambil menggandeng tangan Ciang Bing-cu.
Siangkoan Bun bertanya dengan tak mengerti: "Bukankah selat lembah sana sudah diledakan dan buntu?"
"Dari Lan Giok-tin, Ciang Wi-bin sudah mendapat tahu jalan rahasia lain," tutur Siangkoan Hong.
Setelah semua orang bekerja keras, haripun sudah hampir magrib, dengan langkah berat rombongan Siangkoan Hong ramai-ramai meninggalkan lembah itu melalui jalan rahasia.
T A M A T Bentrok Para Pendekar 1 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Bara Naga 7
^