Hati Budha Tangan Berbisa 7

Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Bagian 7


yang melahirkan kau?"
"Ya....dari mana Hujin tahu....."
"Dia masih hidup?" pertanyaan mendadak ini teramat menusuk, namun Ji Bun sudah terkekang oleh suasana yang mengejutkan ini,
-- tanpa ragu dia menjawab: "Mati hidup ibu sampai sekarang belum kuketahui."
"Hm, memang dia bakal mengalami hari naas."
"Hujin ..... apa maksudmu?"
"Ketahuilah, Ji Bun, aku inilah isteri Ji lng-hong yang resmi, Khong-kok-lan So Yan."
Seperti ditusuk sembilu sekujur badan Ji Bun, seketika menjadi linu dan pati rasa, penasaranpun terasa sesak hampir berhenti, sungguh kejadian yang tak pernah dia bayangkan meski di dalam mimpi, bahwa nyonya baju hijau ini ternyata adalah isteri tua dari ayahnya. Tak heran dia bisa menyebut namanya yang merupakan rahasia bagi orang lain. Bagaimana mungkin dia bisa berada di gedung setan ini" Siapa pula bocah itu" Apakah adiknya dari tunggal bapak lain ibu" Ji Bun jadi ragu-ragu, apakah gedung ini betul adalah tempat sembunyi Biau-jiu Siansing"
Selama hidup Ji Bun belum pernah, bertemu atau melihat nyonya ini, dia hanya tahu bahwa ibunya isteri kedua, dulu pernah dia tanya tentang nyonya besar ini kepada ibunya, katanya sudah lama meninggal apakah dia ini setan gentayangan" Teringat akan setan, sementara dirinya berada di dalam gedung setan pula, seketika dia merinding dan gemerobyos keringat dinginnya.
Berkata pula Khong-kok-lan So Yan: "Sayang sejauh ini aku belum berhasil membunuh Ji Ing-hong dengan kedua tanganku sendiri."
-- Bergidik pula Ji Bun dibuatnya mendengar kata-kata ini, entah ada permusuhan apa pula antara ayah dan nyonya besar ini" "Taybo
........."
"Jangan panggil aku Taybo (ibu tua), aku sudah putus hubungan dengan Ji Ing-hong. Aku she So, terserah kau ingin panggil apa padaku."
Apakah wanita setengah baya ini benar ibu tiri Ji Bun" Dan siapa pula anak laki-laki itu"
Dapatkah Ji Bun mengorek rahasia mengenai Biau-jiu Siansing"
10.28. Wi-to-hwe Terima Syarat Barter
Ji Bun menelan air liur seka!i, timbul perasaan dingin dari relung hatinya, katanya kemudian: "Apakah ada kesalahan paham?"
"Salah paham apa" Hm, yang jelas dendam berdarah!"
"Dendam berdarah?" teriak Ji Bun sembari mundur selangkah pula, poci dan cangkir teh di atas meja sama menggelinding jatuh keterjang pantat Ji Bun. Sungguh peristiwa yang sukar diterima oleh akal sehat bahwa di antara suami isteri bisa terjadi dendam berdarah" Serta merta dia teringat kepada Siangkoan Hong, dia pernah bilang punya dendam kesumat terhadap Ji Ing-hong yang merebut isteri dan membunuh anaknya, mungkinkah dia ..... tak tertahan ia berteriak tanpa sadar: "Taybo kenal ...."
-- "Aku bukan Taybo," bentak Khong-kok-lan bengis.
Ji Bun angkat pundak, sesaat dia kememek, apa boleh buat dia mengubah panggilan: "Apakah So-cianpwe kenal Siangkoan Hong?"
"Siangkoan Hong" Belum pernah dengar."
Ji Bun melengak, agaknya dugaannya meleset, segera dia bertanya pula: "Bolehkah jelaskan duduk persoalan yang sebenarnya?"
"Kau boleh tanya kepada bapakmu."
"Dia ..... beliau sudah ...... meninggal."
"Apa" Ji ing-hong sudah mampus?"
"Ya", sahut Ji Bun, "terbunuh oleh musuh yang tidak dikenal."
Gemetar keras sekali sekujur badan Khong-kok-lan So Yan, tanyanya: "Kapan kejadiannya?"
"Sepuluh hari yang lalu."
"Bagus sekali, memang setimpal dia mampus...."
Mendelik Ji Bun, mengingat orang adalah isteri tua ayahnya, mulutnya tetap terkancing saja, betapapun dirinya adalah anak muda yang harus tetap hormat terhadap orang tua, bukan mustahil di balik peristiwa ini ada rangkaian cerita yang menakutkan" Dari
-- mana mungkin antara suami isteri bisa terjalin dendam berdarah"
Sayang sekali sejak kecil dirinya hidup secara terisolir, mengenai seluk beluk keluarga sendiripun tidak jelas. Setelah dewasa dia diperintahkan berkelana dan langsung menuju Kayhong untuk melamar puteri keluarga Ciang. Celakanya keluarga serta seluruh penghuni Jit-sing-po tahu-tahu telah hancur lebur, semuanya gugur melawan para penyerbu sehingga segala sesuatu semakin kabur.
Pada saat itulah, bocah tadi tiba-tiba muncul lagi, dia masuk dari luar kamar, mimik wajah Khong-kok-lan So Yan yang menakutkan dirangsang oleh emosinya tadi segera lenyap begitu bocah ini muncul, tanyanya dengan ramah dan lembut: "Siau-po, kau harus berjaga di luar sana."
"Bayangan tadi muncul kembali. Kalau tidak salah menguntit dia,"
sahut bocah itu sambil menuding Ji Bun.
Tergerak hati Ji Bun, siapakah yang menguntit dirinya" Mungkin Kwe-lo-jin" Kalau demikian mungkin pemilik gedung ini memang bukan Biau-jiu Siansing, tapi .......
"Siau-po, kau jaga di luar saja."
"Untuk apa dia kemari?" tanya anak itu.
"Nanti kuberi tahu padamu."
Bocah yang bernama Siau-po memang penurut, segera ia berlari keluar, bayangannya lenyap ditelan kegelapan, usianya masih begitu
-- kecil, namun gerak-geriknya amat cekatan, tak tertahan Ji Bun bertanya: "Siapakah dia?"
"Kau tidak perlu tahu," sahut Khong-kok-lan So Yan, "kau masih ada urusan?"
Ji Bun ingin tanya liku-liku persoalan ini supaya jelas, namun dia juga tahu pertanyaan akan sia-sia. Nyonya ini jelas tak mau menjelaskan, yang terang ayahnya sudah meninggal, peduli bagaimana duduk persoalan sebenarnya, anggap berakhirlah segala dendam kesumat, kelak kalau ibunya berhasil ditemukan dapat tanya kepada beliau saja, namun bayangan Biau-jiau Siansing masih melekat dalam benaknya.
"Kau boleh pergi," kata Khong-kok-lan So Yan sambil angkat sebelah tangannya.
Ji Bun mengeraskan kepala, katanya: "Mengenai Biau-jiu Siansing
......." "Di sini tiada Biau-jiu Siansing. Ji Bun, kuberitahukan padamu, kalau bukan lantaran sesuatu hal, jiwamu sudah melayang sejak tadi, lekaslah kau pergi sebelum aku mengubah sikapku, kalau tidak
......." "Bagaimana?"
"Kubunuh kau!"
-- Ji Bun tak kuasa menahan sabar, jengeknya: "Kuhormati kau sebagai Taybo. Tapi bukan soal gampang untuk membunuhku."
"Hm, majulah selangkah dan berpalinglah ke belakang, lihat apa itu?"
Setengah percaya Ji Bun maju selangkah terus berpaling. "Crat,"
sebatang lembing yang runcing mengkilap tiba-tiba menjulur keluar dari dalam dinding, tepat mengincar punggung di mana tadi dia berdiri, karuan dia berteriak kaget sambil melompat menyingkir, keringat dingin membasahi jidatnya. Serangan gelap macam ini, betapapun sulit dihindarkan, susul menyusul terdengar pula suara
"ser, ser", pu!uhan batang anak panah berseliweran di depan dan kanan kiri, semuanya menancap di dinding.
"Bagaimana?" tanya si nyonya.
Ji Bun mengertak gigi, tanpa bersuara lagi segera dia enjot kaki melesat keluar gedung setan, waktu itu sudah mendekati kentongan keempat, sekaligus dia berlari menuju ke hotel tempat menginap.
Tanpa mengeluarkan suara langsung dia masuk ke kamar dan rebah di atas ranjang dan merenungkan pengalaman tadi.
Pengalaman selama dua jam ini sungguh aneh bin ajaib, dia tak habis mengerti dan tidak mampu memecahkan persoalan ini. Baru sekarang dia merasakan urusan keluarganya benar-benar serba rumit, namun keluarga sudah berantakan, orang-orang yang berkepentinganpun sudah wafat, apa pula yang harus dirisaukan"
Kecuali menuntut balas, tiada tugas apapun yang setimpal untuk dipikirkan. Peduli bagaimana martabat ayahnya di masa hidup,
-- sebagai seorang anak yang harus bakti terhadap orang tua, betapapun dia harus bekerja sekuat tenaga, soal tetek bengek tidak usah ambil pusing.
Kini yang dia pikirkan adalah permintaan Kwe-loh-jin melalui secarik kertasnya itu. Kalau Kwe-loh-jin benar adalah duplikat Biau-jiu Siansing, kesempatan masih ada untuk berhadapan dengan dia.
Agaknya dia harus bekerja secara bertahap, terlebih dulu harus membereskan persoalan yang menakutkan ini. Jika dia harus beraksi menuntut balas, terang dirinya tak bisa minta kepada Wi-to-hwe untuk mengeluarkan Hud-sim dan barter dengan Pui Ci-hwi, dengan sendirinya pula rahasia pribadi Biau-jiu Siansing juga sukar untuk dibongkar.
Biau-jiu Siansing bilang supaya Wi-to-hwe menyerahkan Hud-sim kepada dirinya. Kapan dan di mana akan dilakukan pertukaran akan diberitahu lebih lanjut, agaknya orang juga jeri menghadapi jago-jago Wi-to-hwe. Hal inipun menandakan kecerdikan dan kelicikannya.
Pihak Wi-to-hwe mau menerima syarat barter ini" Apa betul Hud-sim terjatuh ke pihak Wi-to-hwe" Diam-diam Ji Bun bersyukur bahwa dia tidak katakan asal usul dirinya kepada Pui Ci-hwi, kalau tidak situasi pasti sudah jauh berubah. Kalau asal dirinya diketahui pihak musuh, terang Wi-to-hwe akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menghadapi dirinya.
Setengah malam dia bekerja berat, namun dia lupa lelah dan tidak kantuk, semua persoalan yang serba rumit ini satu persatu berganti berkelebat dalam benaknya.
-- Hotel-hotel di kota kecil seperti ini kebanyakan dihuni oleh kaum pedagang yang menempuh perjalanan jauh, begitu ayam jago berkokok, suasana hotel kecil itu sudah menjadi ramai dan ribut.
Karena tidak bisa tidur, Ji Bun sekalian bangun dan cuci muka.
Setelah tangsel perut ala kadarnya, belum lagi hari terang tanah, dia segera melanjutkan perjalanan menuju ke Tong-pek-san, untuk tiga kali dia naik ke gunung ini.
Lekas sekali hari sudah terang tanah, sang surya memancarkan sinarnya yang cemerlang di ufuk timur. Tengah dia mengayun langkah, tiba-tiba sebuah tandu berhias dipikul empat orang mendatangi. Waktu Ji Bun angkat kepala, hatinya bersorak girang, kiranya yang mendatang adalah tandu berhias dengan orang dalam tandu yang misterius itu, dengan kedudukan dan jabatan orang dalam tandu di Wi-to-hwe, soal Hud-sim, tentunya dapat diajukan kepadanya, kan dapat mengurangi tenaga supaya tidak usah jauh-jauh pergi ke markas besarnya.
Sementara itu, tandu itupun sudah berhenti tak jauh di depannya, Ji Bun angkat kedua tangan memberi hormat, sapanya:
"Selamat bertemu yang mulia!"
"Saudara kecil hendak ke mana?" tanya orang dalam tandu.
"Aku hendak naik gunung mengunjungi Hwecu."
"Ada urusan?"
-- "Ada urusan penting perlu segera kubicarakan berhadapan dengan Hwecu sendiri."
"O, sayang Hwecu kebetulan sedang turun gunung untuk suatu keperluan, ada urusan apa boleh kau katakan padaku, mungkin aku bisa memberi keputusan."
Ji Bun keluarkan surat tulisan Kwe-loh-jin, katanya. "Silakan baca surat ini."
Salah seorang laki-laki baju hitam yang memikul tandu segera menerima surat itu dan diangsurkan ke dalam tandu. Ji Bun diam dan menunggu reaksi dengan tenang-tenang.
Tak lama kemudian, orang dalam tandu menggeram gusar, katanya kemudian dengan nada yang menggiriskan: "Saudara kecil, apakah yang telah terjadi?"
"Seperti apa yang dikatakan dalam surat itu, nona Pui sudah diculik oleh orang itu."
"Berani dia mengajukan syarat seperti ini" Siapakah Kwe-loh-jin itu?"
"Entah, akupun tidak kenal dia."
"Lalu kenapa kau jadi penengahnya?"
"Ya, karena anting-anting pualam milikku terjatuh di tangannya, untuk mengembalikan anting-anting itu, dia mengajukan syarat ini."
-- "Kepandaianmu sudah begini tinggi, masakah kau juga mau ditekan dan diperas?"
"Banyak kejadian dalam dunia ini sukar dipertimbangkan dengan akal sehat."
"Keparat ..... tolong saudara cilik sampaikan kepada Kwe-loh-jin, suruh dia berhadapan langsung dengan aku ....."
"Hal itu tak mungkin dilaksanakan, hakikatnya aku tidak bisa menemukan jejaknya."
"Kukira tidak mungkin."
Ji Bun naik pitam, katanya aseran: "Kau kira Cayhe sekomplotan dengan Kwe-loh-jin?"
Sesaat orang dalam tandu berpikir, katanya kemudian: "Bukan aku banyak curiga, rasanya siapapun pasti akan berpikir demikian."
"Kalau begitu anggaplah Cayhe salah alamat, selamat berpisah."
"Tunggu sebentar, saudara cilik."
"Masih ada omongan apa lagi?"
"Tahukah kau apa sebenarnya Hud-sim itu?"
-- "Cayhe tidak tahu, juga tidak ingin tahu." ucapannya ini terlalu angkuh tak ubahnya seorang jago silat tulen.
"Menurut pendapatanmu, orang dari golongan manakah Kwe-loh-jin ini?"
"Ini ...... dugaan memang ada, namun bagaimana kenyataannya sulit dikatakan, terus terang Cayhe tidak berani sembarangan omong."
Uutuk sekian lamanya keduanya diam saja. Akhirnya orang dalam tandu bersuara dengan nada berat: "Saudara cilik, biarlah aku yang tanggung untuk menerima syarat yang diajukan Kwe-loh-jin ini, tapi
....." Tak terduga oleh Ji Bun bahwa orang dalam tandu bakal menerima syarat yang diajukan Kwe-loh-jin, tanyanya: "Tapi apa?"
"Aku menguatirkan keselamatan Pui Ci-hwi ....." Yang dimaksud dengan keselamatan sudah tentu bukan hanya mati-hidup jiwanya.
maklumlah Pui Ci-hwi gadis jelita yang masih perawan. Kalau sampai terjatuh ke tangan manusia rendah dan cabul, banyak hal yang harus dikuatirkan. Sudah tentu Ji Bun maklum akan maksud ini, katanya dengan menegak alis: "Malingpun mempunyai aturannya sendiri, kukira hal-hal yang tidak penting itu tidak perlu dipikirkan dan dikuatirkan."
"Kau tidak berani menanggung?"
"Maaf, hal ini aku tidak berani tanggung."
-- "Bukan aku minta pertanggunganmu, tapi aku tetap berkuatir, maka kuharap dikala kau menukar orang, kau harus perhatikan kekuatiranku ini."
"Baiklah. Cayhe akan bekerja melihat gelagat."
"Saudara cilik, sekali lagi kupesan wanti-wanti."
"Cayhe akan bekerja sekuat tenaga."
Di mulut dia berkata demikian, namun timbul suatu perasaan aneh dalam relung hatinya, dia merasa kelakuannya kali ini amat lucu dan menggelikan, malah sukar dimengerti, secara beruntun dia bekerja untuk kepentingan pihak musuhnya, namun aksi menuntut balas yang sudah dirancangnya sekian lama belum dilaksanakan, selalu terhalang oleh macam-macam perubahan yang dihadapinya, kalau dipikir dia tertawa sendiri.
"Saudara cilik hendak menunggu di mana?"
"Kutunggu di hotel Im-ping-can di kota kecil Ngo-li-cip di selatan kota Cinyang."
"Baiklah, dalam tiga hari, aku pasti antar barang itu ke sana."
"Cayhe akan menunggu dengan sabar."
-- Tandu berhias itu segera putar balik ke arah datangnya tadi, agaknya kepandaian silat keempat laki-laki pemikul tandu amat tinggi, langkah mereka ringan dan cepat bagai terbang.
Tiga hari cukup lama bagi Ji Bun untuk menunggu di sebuah hotel di kota sepi ini. Menurut perhitungannya, paling cepat hari ke tiga baru barang itu akan diantar kemari, ia menjadi iseng tanpa kerjaan. Hari itu tanpa tujuan dia jalan-jalan memasuki sebuah jalanan. Dalam hati dia berpikir, setelah selesai barter dengan Kwe-loh-jin, langkah pertama yang dia lakukan yaitu membongkar kedok orang, lalu melalui Pui Ci-hwi satu persatu dia akan mulai aksinya menuntut balas kepada para musuhnya. Dalam suasana tenang dan pikiran jernih ini, kembali dia merangkai langkah-langkah yang lebih sempurna untuk menunaikan tugas berat ini.
Kenapa Taybo Khong-kok-lan So Yan kedapatan berdiam di gedung setan dalam kota Cinyang" Dendam berdarah apakah yang terjadi antara dia dengan ayah" Siapa pula bocah yang bernama Siau-po itu" Dengan tegas So Yan menyangkal bahwa dirinya ada sangkut paut dengan Biau-jiu Siansing, apakah ini dapat dipercaya?"
Betulkah Kwe-loh-jin merupakan salah satu duplikat Biau-jiu Siansing" Siapakah orang berkedok yang gugur bersama ayahnya"
Apakah Siangkoan Hong pembunuhnya" Dikala mendengar jejak ibunya belum diketahui parannya, Taybo bilang pasti akan datang saat naasnya, apakah maksudnya" Semakin dipikir Ji Bun merasa persoalan ini semakin simpang siur dan ruwet.
Sang surya sudah tinggi, alam semesta terang benderang, namun hatinya seperti diliputi mega mendung, risau dan gundah.
-- Tiba-tiba bayangan semampai seorang berlari mendatangi dan langsung menubruk ke arahnya. Sekali mengegos Ji Bun menghindar, dilihatnya seorang nona belia berusia tujuan belas dengan rambut semerawut, pakaian kumal dan sorot mata guram, namun berwajah molek.
Begitu tubrukan luput gadis itu lantas putar badan, katanya sambil tertawa cekikikan, "Liok-koko, aku tahu kau pasti akan kembali." Lalu kedua tangan terpentang terus menubruk maju pula hendak mendekap.
Ji Bun terperanjat, lekas ia mengegos ke samping pula, rupanya gadis ini orang sinting, demikian pikirannya.
Karena dua kali luput menubruk, gadis itu menegakkan alis, mulut cemberut, katanya sedih: "Liok-koko, kau sudah tidak mencintaiku lagi?"
"Aku bukan she Liok," kata Ji Bun.
"Ha ha ha ha, Liok-koko, walau menjadi abu juga tetap kukenal kau, jangan kau menyiksaku lagi."
"Siapakah Liok-kokomu itu?" tanya Ji Bun.
Berubah air muka gadis sinting, teriaknya mendelik liar: "Liok Kin, seluruh milikku sudah kuberikan padamu, kau justeru membuangku begini saja, kau .... kau sungguh kejam!"
-- Baru sekarang Ji Bun mengerti, kiranya gadis sinting ini mengira dirinya sebagai Liok Kin, itu majikan muda Cip-po-hwe yang bergajul. Agaknya gadis ini dirayu oleh Liok Kin, setelah dipermainkan dan dinodai kesuciannya terus ditinggal pergi begitu saja. Saking marah, penasaran dan malu, sehingga gadis ini kurang waras pikirannya.
Tempo hari Jay-ih-lo-sat hendak merobek tubuh Liok Kin, namun gadis baju merah malah memohonkan ampun baginya. Waktu itu Liok Kin pernah bersumpah sambil menuding langit dan bumi, bahwa selama hidupnya hanya mencintai Pui Ci-hwi saja, Sampai sekarang Pui Ci-wi masih dikelabui dan belum sadar bahwa dirinya hanya dipermainkan belaka, nasibnya tidak lebih baik daripada gadis sinting ini, mereka adalah korban permainan Liok Kin. Sungguh tak nyana pemuda keparat ini ternyata seorang bergajul, pemuda cabul yang suka mempermainkan anak perawan.
Gadis sinting itu tiba-tiba menutup muka sambil menangis sesenggukan, katanya: "Liok-koko, bukankah kau pernah bersumpah, seumpama laut kering dan batu membusuk, tapi cintamu takkan berubah" Kau ..... kini kau tidak menghiraukan diriku lagi?" Agaknya dia tetap anggap Ji Bun sebagai Liok Kin.
Seperti diketahui Ji Bun pernah jatuh hati terhadap Pui Ci-hwi.
Namun setelah cintanya bertepuk sebelah tangan, setelah tahu Pui Ci-wi sehaluan dengan para musulmya, cinta itu sudah pudar.
Namun biasanya orang paling sukar melupakan cinta yang pertama, lahirnya memang sudah buyar, namun suatu ketika kalau ada sentuhan dari luar, rasa cintanya itu akan berkobar pula.
Demikianlah keadaan Ji Bun sekarang, namun dari cinta sekarang
-- dia menjadi dendam, dan dendam ini dia limpahkan kepada Liok Kin yang tidak bertanggung jawab, tanpa sadar tiba-tiba dia menggeram: "Liok Kin, kalau tidak membunuhmu, aku bersumpah bukan manusia."
Gadis sinting itu tertegun dan menghentikan tangisnya, dengan kaku dan linglung dia awasi Ji Bun, katanya: "Liok-koko apa katamu?"
Ji Bun jadi dongkol dan gemes, serunya: "Aku bukan Liok-kokomu."
Sorot mata hambar gadis sinting itu terbeliak buas, air mukanyapun beringas, selangkah demi selangkah ia menghampiri Ji Bun.
Keruan Ji Bun gugup dan keripuhan, orang yang sudah kehilangan pikiran waras, hakikatnya tidak bisa diurus lagi, namun dia tidak mungkin turun tangan kepadanya, apalagi nasibnya harus dikasihani. Kalau tinggal pergi begini saja, betapapun hatinya tidak tega. terpaksa ia bersabar, dalam keadaan apa boleh buat, terpaksa ia mengada-ada: "Nona hendak mencari Liok Kin bukan?"
Gadis sinting lantas menghentikan langkahnya, katanya dengan memiringkan kepala: "Apakah kau ini bukan Liok-koko?"
"Bukan, tapi aku bisa bantu kau mencarinya. Aku tidak menipumu, siapakah namamu?"
"Aku .... aku ..... Liok-koko kan sudah tahu."
-- "Tapi aku tidak tahu?"
"Aku bernama Dian Yong-yong .... Yong-yong, dia memanggilku Yong-moay."
"Nona Dian tinggal di rumah mana?"
"Rumah" Rumah" Aku sudah tidak punya rumah lagi, aku hendak pergi ke rumah Liok-koko saja."
Ji Bun tertawa getir, katanya: "Nona Dian, kau harus pulang, nanti ku suruh Liok Kin menjemputmu di rumah."
"Aku ..... dimanakah rumahku?"
Pada saat itulah terdengar suara kelintingan berkumandang dari ujung jalan sana, seorang laki-laki berjubah kasar dengan jenggot kambing, punggungnya menggendong peti obat sedang mendatangi sambil menggoyang-goyang kelintingan ditangannya. Kiranya seorang tabib kelilingan.
Mendengar suara kelinting segera Ji Bun berpaling, air mukanya seketika membesi kaku, sorot matanyapun penuh nafsu membunuh.
Yang datang ini memang bukan lain adalah salah satu duplikat Biau-jiu Siansing, tempo hari telah menyamar jadi tabib kelilingan dan mengaku bergelar Thian-gan-sin-jiu. Dengan terkekeh dingin Ji Bun menyapa: "Biau-jiu Siansing, selamat bertemu."
-- Tanpa hiraukan seruan Ji Bun, tabib keliling itu terus mendekati Ji Bun seperti tidak ada persoalan apa-apa. Sorot matanya mengawasi si gadis sinting, tiba-tiba ia berkata: "Hah, sakit ingatan, untung bertemu dengan Lohu."
Ji Bun melenggong, batinnya: mungkin dia mampu mengobati sakit gila" Tapi mengingat siapa dia sebenarnya, kesan ini seketika lenyap, jengeknya dingin: "Kau tidak usah pura-pura, bukankah kau mencariku?"
"Memang betul, aku mencarimu," ujar Biau-jiu Siansing terus terang.
"Bagus sekali, akupun sedang mencari kau."
"Persoalan kita sementara ditunda dulu, Lohu harus mengobati gadis yang sakit ingatan ini?"
"Apa betul kau mampu mengobati penyakit gila?"
"Omong kosong! Di seluruh pelosok kota Cinyang, tua-muda, besar kecil, siapa yang tidak kenal nama Thian-gan-sin jiu?"
"Kuperingatkan jangan kau main-main terhadapku ......"
"Kalau hanya main-main buat apa aku harus mencarimu?"
"Jadi kau punya tujuan mencariku?"
-- Biau-jiu Siansing turunkan peti obatnya, katanya menggumam:
"Kasihan, gadis ayu dan segar bugar berubah begini rupa."
Tak sadar Ji Bun menanggapi: "Dia dipermainkan oleh Liok Kin, majikan muda Cip-po-hwe, sayang dia tidak bisa mengatakan di mana tempat tinggalnya."
"Lohu tahu, rumahnya ada di pusat kota Cinyang, Dian Pek-ban yang terkenal adalah ayahnya."
"Dari kalangan Bu-lim juga?"
"Bukan, keluarga biasa yang mengukuhi adat leluhurnya, sebutir Ya-bing-cu (mutiara yang bersinar ditempat gelap) warisan leluhur keluarga Dian telah lenyap tercuri orang, ternyata perbuatan Cip-po-hwe."
10.29. Salah Duga Terhadap Biau-jiu Siansing Waktu rebutan Sek-hud di puncak Pek-ciok-hong dulu, Biau-jiu Siansing pernah menggunakan tingkat kedudukannya yang lebih tinggi dikalangan Kangouw untuk merebut Sek-hud dari tangan Cip-po-hwe yang terhitung bawahannya, hakikatnya mereka segolongan.
Tanpa sadar Ji Bun menyeringai ejek, katanya: "Mencuri mestika dan merusak paras ayu, dosa yang tidak terampunkan, bagaimana pendapatmu akan perbuatan rendah dari golonganmu?"
Mendelik mata Biau-jiu Siansing, katanya kereng: "Keluarga punya aturan, negara ada undang-undang, peristiwa ini merupakan
-- pelanggaran di dunia Kang-ouw, Lohu pasti akan bertindak menurut aturan."
"Cayhe bersumpah pasti akan membunuh pemuda bergajul itu,"
kata Ji Bun dingin.
Biau-jiu Siansing tidak bicara lagi, beruntun dia menutuk beberapa Hiat-to di tubuh Dian Yong-yong, seketika Dian Yong-yong terkulai lemas,. Lalu ia membuka peti obat dan mengeluarkan beberapa macam obat, jumlahnya sekitar 10-an butir terus dijejalkan ke mulut Dian Yong-yong, lalu berkata: "Sakit ingatan tidak akan bisa diobati dengan obat saja, dia harus dibantu dengan pengobatan tusuk jarum, disini tidak leluasa, dia harus diantar pulang dulu baru aku bisa bekerja ........"
"Apa, kau hendak meloloskan diri?" sela Ji Bun.
Pelan-pelan dan rapi sekali Biau-jiu Siansing memasukkan botol-botol obat ke dalam petinya pula, sesaat kemudian baru dia berdiri, katanya: "Menolong orang seperti menolong kebakaran, terpaksa kau harus ikut susah payah."
"Tidak bisa."
"Tidak bisa" Apa maksudmu?"
"Perhitungan kita sekarang harus dibereskan."
"Lho aneh, ada perhitungan apa di antara kita yang harus dibereskan?"
-- "Aku tidak punya tempo ngobrol dengan kau, barang yang kau kehendaki, dalam tiga hari pasti diantar ......"
Bingung, kaget dan heran sorot mata Biau-jiu Siansing, tanyanya menegas: "Lohu menghendaki barang apa."
"Hud-sim!" bentak Ji Bun gemas.
"Hud-sim apa?"
Ji Bun acungkan telapak tangannya sambil mengancam: "Setelah kubelah batok kepalamu, kau pasti tahu."
Lekas Biau jiu Siansing goyang tangan, katanya: "Jangan terburu nafsu, bicaralah dulu persoalannya, tadi kau bilang apa" Hud-sim?"
Sikap dan tingkah orang betul-betul membuat Ji Bun kewalahan, ternyata orang begini licik dan licin serta pandai main sandiwara pula, syarat yang dulu diajukan orang dan menghendaki barang pusaka itu, tidak mungkin dia mungkir begini saja. Sekilas ia berpikir, lalu katanya dengan suara berat: "Tanggalkan ikat kepalamu. Aku ingin membuktikan asal-usulmu yang sebenarnya."
"Asal-usulku kan tidak diukir di atas kepala?"
"Lebih baik lekas kau lakukan permintaanku."
Biau-jiu Siansing bergelak-gelak, pelan-pelan dia menarik ikat kepalanya dan seketika Ji Bun berdiri melongo.
-- Ji Bun yakin bahwa orang-orang yang menyaru orang berkebok berjubah sutera, laki-laki muka hitam komandan ronda Wi-to-hwe serta Kwe-loh-jin adalah duplikat Biau-jiu Siansing, akan tetapi kenyataan sekarang membuktikan di atas jidat kanan orang ini ternyata tidak ada codet atau bekas luka apapun.
"Apa maksudmu memaksaku menanggalkan ikat kepala?" jengek Biau-jiu Siansing.
Ji Bun menyengir kikuk, katanya: "Sekarang Cayhe baru membuktikan bahwa engkau memang bukan orang yang kusangka."
"Memangnya kau kira siapa aku ini?"
"Hal ini tidak perlu kukatakan."
"Orang yaog kau bayangkan tadi apa ada sangkut pautnya dengan Hud-sim?"
"Ya, tapi kau tidak perlu tahu."
"Anak keparat, kau terlalu angkuh, katakan, mungkin aku bisa memberi sedikit keterangan."
Ji Bun perpikir sebentar, katanya: "Menurut apa yang kau tahu, kecuali kau sendiri, siapa lagi yang pandai menyaru dan pintar merias?"
-- Biau jiu Siansing menepekur sebentar, katanya: "Sukar dikatakan, kukira cukup banyak orang, soalnya cuma pandai dan ahli atau tidak."
"Menurut pendapatmu tokoh-tokoh mana saja yang termasuk ahli dalam bidang ini?"
"Ehm .... Jian-bin-khek (tamu seribu muka), tapi orang ini sudah puluhan tahun tidak muncul di Kangouw. Yu-ing-long-kun (Satria bayangan) sudah lama meninggal dunia, Pek-pian-kwi-li (setan perempuan seratus perubahan), kabarnya kini sudah jadi biarawati."
"Kecuali itu?"
"KuKira tiada lagi yang dapat dikatakan ahli."
Ji Bun berpikir: Pek-pian-kwi-li adalah perempuan, tidak perlu dipikir, sudah meninggal, tinggal Jian-bin-kek saja, walau sudah puluhan tahun tidak pernah muncul, siapa tahu kalau belakangan ini dia mulai beraksi lagi" Kecuali ketiga orang ini, bukan mustahil anak murid mereka pasti ada yang berkelana di Kangouw, namun soalnya tetap tidak terpecahkan, yaitu, kenapa dirinya yang menjadi incaran pembunuhan ini"
Biau-jiu Siansing berkata sambil mengawasi Yong-yong yang menggeletak di tanah: "Lebih penting kutolong dia, Lohu boleh pergi bukan?"
"Nanti dulu."
-- "Masih ada persoalan apa?"
Maksud Ji Bun ingin tanya apakah dia majikan dari gedung setan, namun mengingat ada Khong-kok-lan So Yan disana, sedang ibu tuanya menyangkal adanya Biau-jiu Siansing di sana, kalau soal ini sekarang dia tanyakan berarti membocorkan rahasia ibu tuanya itu.
Mungkin dulu Thian-thay-mo-ki salah dengar, atau salah duga, maka pertanyaan yang sudah hampir dia ajukan segera ditelan kembali, benaknya memikirkan soal lain yang lebih penting. Katanya:
"Agaknya kau ini pelupa?"
"Pelupa" Apa maksudmu?"
"Kau pernah berjanji dalam jangka lima hari hendak mempertemukan aku dengan Jit-sing-ko-jin ......"
"O, ini ......."
Ji Bun manyeringai, jengeknya: "Kenapa kau membual belaka?"
Biau-jiu Siansing menghela napas dengan suara berat, katanya:
"Untuk apakah kau sebenarnya ingin bertemu dengan Jit-sing-kojin?"
"Jawab saja pertanyaanku, soal lain tidak perlu dibicarakan."
"Tapi Lohu ingin tahu duduk persoalannya?"
"Itu soal pribadiku, tidak perlu kau mengetahui."
-- Biau-jiu Siansing menunduk sedih, katanya kemudian: "Jit-sing-ko-jin sudah mati."
"Apa katamu?" bentak Ji Bun mendelik gusar sambil mendesak maju selangkah. "Biau-jiu Siansing, ternyata kau begini rendah dan tidak tahu malu."


Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sikap Biau-jiu Siansing tidak berubah, namun sorot matanya menjadi tajam dan gusar, desisnya geram: "Anak muda, jangan takabur, dalam hal apa Lohu rendah dan tidak tahu malu?"
"Ji-sing-ko-jin sekomplotan dengan kau, berulang kali kau menjilat ludahmu sendiri, kini membual lagi."
"Siapa bilang aku membual?"
"Katamu dia sudah mampus, mana mayatnya" Buktikan?"
"Kau sendiri yang mengubur mayatnya."
"Aku?" seru Ji Bun berjingkrak kaget.
"Apakah kau sendiri tidak menemukan sesuatu di jalan raya Kayhong?"
"Soal apa yang kau maksud?" tanya Ji Bun gemetar.
"Kau pernah mengubur dua mayat orang, benar tidak?"
-- Bergetar tubuh Ji Bun, dari mana orang tahu dirinya pernah mengubur kedua mayat itu" Waktu itu hanya dua petani yang menyaksikan, belakangan mereka lari secara diam-diam, mungkinkah gerak gerik dirinya berada dalam genggamannya" Kalau demikian, rahasia pribadinya tentu juga sudah diketahuinya, sungguh menakutkan sekali.
"Darimana kau tahu aku mengubur dua mayat?"
"Kudengar dari petani, kuyakin pelajar yang dimaksudkan pasti kau adanya, apalagi waktu itu tepat pada hari yang kita janjikan."
"Memangnya kenapa kalau benar?"
"Salah satu dari kedua mayat itu adalah Jit-sing-ko-jin."
Melotot besar biji mata Ji Bun, umpama Jit-sing-ko-jin menyaru ayahnya dan kepergok lalu keduanya bertempur sampai kehabisan tenaga, orang ketiga lantas mengambil keuntungan membunuh mereka. Akan tetapi orang berkedok yang dua kali mencelakai jiwanya dan jidatnya terluka oleh senjata rahasia Jit-swan-hwi-jim Thian-thay-mo-ki terang adalah duplikat Kwe-loh-jin yang misterius itu, memangnya ada liku-liku apa yang tersembunyi di balik rangkaian kejadian ini, Ji Bun tidak bisa memecahkan persoalan yang rumit ini. Semula dia kira bila berhadapan dengan Biau-jiu Siansing, maka segala soal akan terbongkar dengan sendirinya, tapi kenyataan sekarang jauh di luar perhitungannya.
Lalu siapakah pembunuh Jit-sing-ko-jin dan ayahnya" Siapa pula sebetulnya Jit-sing-ko-jin ini" Bahwa Biau-jiu Siansing sehaluan
-- dengan Jit-sing-ko-jin sudah jelas, kemungkinan orang tahu seluk beluknya, maka ia lantas bertanya: "Kalau betul katamu, lalu siapakah mayat seorang yang lain?"
"Ini .... aku sendiri tidak tahu."
"Baik, sekarang jelaskan, Jit-sing-ko-jin berdandan sebagai pelajar, kenapa berubah pakai kedok dan jubah sutera?"
"Itu kan rahasia pribadinya."
"Tapi kau tahu rahasianya itu bukan?"
"Tidak tahu."
"Baik, umpama betul kau tidak tahu, sekarang kau harus menjawab sebuah pertanyaan lagi, siapakah nama asli atau gelaran Jit-sing-ko-jin serta riwayat hidupnya?"
Biau-jiu Siansing menggeleng-geleng. "Tidak tahu," jawabnya.
"Sekarang giliran aku bertanya apakah setiap orang yang selalu bergaul dengan kau pasti kau ketahui riwayat dan asal-usulnya?"
Cep-klakep, Ji Bun tidak mampu bersuara lagi. Semakin dipikir, otaknya terasa semakin tumpul, seolah-olah dia menghadapi lautan mega yang tebal dan pekat, tiada sesuatu yang dapat dilihat dan diraba, air mukanya berubah ganti berganti.
Ji Bun angkat tangan bergaya seperti merintangi, katanya:
"Pokoknya sebelum memberi jawaban, kau tidak boleh pergi."
-- "Anak muda, lain waktu kesempatan masih ada, biarlah aku menolong jiwa gadis ini."
"Tidak bisa, sekarang kau harus jawab pertanyaanku tadi."
"Memangnya kau tega melihat gadis ini semakin parah?"
Ji Bun menjadi bimbang, matanya melirik ke arah Dian Yong-yong, katanya kemudian dengan mengertak gigi: "Baiklah, silakan, tapi ingat perhitungan kita belum beres."
"Anak muda, sebelum kau mencariku, mungkin aku akan mencarimu, terus terang, kalau selama ini aku selalu mengalah dan memberi kelonggaran padamu juga ada sebabnya."
"Sebab apa?"
"Karena Lohu sudah berjanji kepada seseorang untuk melindungimu."
"Melindungi aku" Siapa yang suruh kau?" bentak Ji Bun kaget.
"Hartawan Kayhong, Ciang Wi-bin."
"Apa, kau mendapat pesan paman Ciang ....." kejut Ji Bun bukan kepalang, sekian lama dia berdiri tertegun.
"Kau tidak percaya?" tanya Biau-jiau Siansing melihat kesangsian orang.
-- "Ya, sukar untuk dipercaya," sahut Ji Bun. "Kau bernama Ji Bun, putera tunggal Ji Ing-hong, benar tidak?"
Ji Bun tersentak mundur tiga langkah, matanya terbeliak, mulut melongo, ternyata orang sudah tahu asal-usul dirinya, agaknya memang tidak membual.
Berkata Biau-jiu Siansing lebih lanjut: "Ji Bun, Ciang Wi-bin dan Lohu adalah dua manusia yang senyawa, puterinya itu sudah bersumpah takkan menikah kecuali kawin dengan kau, Ciang Wi-bin hanya punya anak satu-satunya ini, dapatlah kau bayangkan sendiri betapa besar perhatian dan harapan yang dia limpahkan padamu."
Ji Bun bergidik tanpa kedinginan, bahwa dia berjanji akan mempersunting Ciang Bing-cu setelah kadar racun dalam tubuhnya dapat ditawarkan hanya alasan untuk mengulur waktu belaka, karena ilmu racun ini hakikatnya tidak mungkin ditawarkan lagi, betapapun ia tidak tega menyia-nyiakan masa remaja Ciang Bing-cu yang molek itu. Maka katanya: "Kapan kau mendapat pesan itu?"
"Beberapa hari yang lalu, setelah kau meninggalkan gedung keluarga Ciang."
"Memangnya aku ini tidak mampu mempertahankan jiwa raga sendiri ...."
"Ji Bun, jangan angkuh dan keras kepala, Lwekangmu memang tinggi, namun pengalamanmu terlalu cetek."
-- Ji Bun ragu-ragu, kecuali berhadapan dengan Ciang Wi-bin serta membuktikan sendiri, jelas soal ini tidak bisa dibuktikan, teringat akan janjinya dengan Kwe-loh-jin dalam 10 hari ini, ia pikir sebagai jago silat kawakan yang luas pengalamannya, mungkin Biau-jiu Siansing tahu asal-usul Kwe-loh-jin, semoga dia dapat memberi keterangan, maka dia lantas berkata dengan sungguh-sungguh:
"Apakah kau kenal seorang bernama Kwe-loh-jin?"
"Kwe-loh-jin" Belum pernah dengar, macam apa dia?"
"Scorang laki-laki kekar berusia antara setengah abad."
"Sulit .... Lohu tak bisa meraba siapa dia. Tapi aku bisa perhatikan dan mencari tahu. Untuk apa kau tanya dia?"
"Kalau kau tidak kenal dia, tidak perlu kuterangkan."
"Jangan gegabah dan menuruti adatmu sendiri, katakanlah, mungkin aku bisa memberi tahu apa-apa yang bermanfaat bagimu."
"Kau boleh silakan pergi saja."
Biau-jiu Siansing melengak sebentar, lalu dia kempit Dian Yong-yong terus melangkah pergi.
Ji Bun menghela napas berat, kepalanya terasa pening dan pikiran pepat menghadapi berbagai persoalan yang tiada juntrungannya ini. Dia merasa kehabisan akal.
-- Dengan perasaan hambar dia melangkah kembali ke hotel di luar kota Cinyang dan mengeram di dalam kamar selama tiga hari tanpa keluar, dia menunggu utusan si orang dalam tandu yang akan mengantar Hud-sim kemari, dengan Hud-sim ini dia akan membuat barter dengan Kwe-loh-jin atas diri Pui Ci-hwi dan anting-anting pualamnya itu.
Dikala orang-orang mulai menyulut pelita, seorang diri Ji Bun mondar-mandir dalam kamarnya, dia memperhitungkan utusan orang dalam tandu pasti akan datang pada saat-saat tak lama ini.
Tiba-tiba seorang gadis manis berpakaian anak dusun sambil menenteng keranjang berjalan masuk, mulutnya berkaok-kaok menjajakan dagangannya: "Kacang, kwaci, manisan!"
Setelah berputar di antara beberapa tamu, akhirnya dia berhenti di depan pintu kamar Ji Bun yang tidak tertutup, katanya sambil berseri tawa: "Siangkong, belilah kacang, kwaci atau manisan dan lain-lain ........"
Ji Bun menggeleng kepala.
Mendadak gadis itu melangkah maju dan berkata sambil merendahkan suaranya: "Siangkong inikah Te-gak Suseng?"
Tersirap darah Ji Bun, tanyanya heran: "Siapa kau?"
"Aku adalah utusan majikan tandu berhias untuk mengantar sesuatu kepada Siangkong."
-- "O, silakan masuk."
"Jangan, banyak orang di sini, nanti menarik perhatian orang lain, aku harus lekas pulang memberi laporan. Silakan Siangkong terima barang ini," dari bawah keranjangnya dia menarik keluar sebuah buntalan kain terus diangsurkan kepada Ji Bun. Cepat Ji Bun menerimanya, terasa benda ini cukup berat, belum lagi dia sempat membuka buntalan kain itu, gadis dusun itu sudah melangkah pergi sambil berkaok-kaok pula menjajakan dagangannya.
Lekas Ji Bun tutup pintu serta menyulut api, dia taruh buntalan itu di atas meja. Menghadapi buntalan kain yang berisi pusaka persilatan, napas Ji Bun terasa sesak dan rada gemetar, entah berapa jiwa sudah berkorban karena benda ini, namun masih banyak pula yang rela korbankan jiwa untuk merebutnya. Sekarang barang ini diperolehnya tanpa mengeluarkan tenaga apapun. Setelah tenang perasaannya, lalu dia buka buntalan itu, tertampak sebuah benda putih berbentuk seperti hati.
Lama ia mengamat-amati benda itu, dipegangnya dan dibolak-balik, ia periksa dengan teliti dan seksama. terasa oleh Ji Bun kecuali mengkilap dan bersih, tiada sesuatu yang aneh dan mencurigakan pada benda ini, lalu di manakah letak keajaiban batu ini" Tulen atau palsu juga sukar diketahui. Apakah mungkin Kwe-loh-jin dapat membedakannya"
"Tok-tok-tok!" tiba-tiba ada orang mengetuk pintu, cepat Ji Bun bungkus lagi "Hati Buddha" itu dengan kain semula, sementara mulutnya berseru: "Siapa?"
-- Terdengar suara pelayan di luar pintu: "Siangkong, inilah hamba mengantar hidangan malam."
Lekas Ji Bun buka pintu dan berkata: "Bawa masuk!"
Pelayan itu mengiakan, setelah menurunkan beberapa macam hidangan di atas meja, sekenanya dia dorong buntalan kain itu ke pinggir meja, mendadak dia menjerit kaget: "Wah, berat betul!"
Ji Bun melotot kepadanya, katanya: "Keluarlah, kalau perlu akan kupanggil."
Sebelum beranjak pergi pelayan itu merogoh-rogoh kantong baju dan celananya, akhirnya dia keluarkan secarik kertas yang kumal dan berkata: "Siangkong, tadi ada seorang tamu minta menyampaikan surat ini padamu."
Tergerak hati Ji Bun, dia sudah maklum, tanpa bicara dia terima surat itu dan ditaruh di meja, setelah pelayan keluar baru Ji Bun makan minum seorang diri sambil membuka surat itu.
Hanya sebaris kata yang berbunyi:
"Kentongan ketiga nanti lima li ke arah barat, bawa barang itu dan temui aku di sana. Perhatikan: jangan sampai dikuntit orang.
Kwe-loh-jin."
Ji Bun bakar surat itu, hatinya diam-diam gelisah dan was-was, baru saja barang ini diantar kemari, namun Kwe-loh-jin sudah lantas tahu, gerak-geriknya seperti setan yang sukar ditangkap
-- juntrungannya, sungguh sukar menghadapi bangkotan semacam ini.
Seorang diri dia habiskan beberapa cangkir arak untuk menghabiskan waktu, pikirannya terus bekerja, cara bagaimana malam nanti dia harus bekerja.
Setelah kedua pihak menukar barang-barang yang diinginkan, secara mendadak dia harus membekuknya dan mengompes keterangan teka-teki yang selalu menghantui sanubarirya selama ini, soalnya apakah di dalam permainan barter ini Kwe-loh-jin bakal menggunakan akal licik, karena sepak terjang orang selama ini terlalu licin, hal ini harus diperhatikan. Namun dia juga tahu betapapun dia waspada, yang jelas dirinya berada dipihak yang tidak menguntungkan.
Kehilangan Hud-sim bagi dirinya tidak menjadi soal, keselamatan jiwa Pui Ci-bwi juga bukan perhatiannya, yang penting hanyalah anting-anting pualam itu dan membongkar kedok asli orang. Begini mudah Wi-to-hwe mau menyerahkan Hud-sim, mustahil pihak mereka tidak bertindak secara diam-diam" Betapa banyak jago-jago silat Wi-to-hwe, masakah mereka berpeluk tangan dan mau dirugikan, apakah mereka tidak curiga terhadap dirinya" Kalau dirinya mau bertindak secara tamak, mencaplok Hud-sim dan tinggal pergi, bukankah mereka akan kehilangan segalanya"
Setelah pelayan kukuti mangkok piring, Ji Bun lantas merebahkan diri di atas ranjang, baru saja kentongan ketiga bertalu di kejauhan, Ji Bun segera kempit buntalan Hud-sim terus melompat luar lewat jendela.
-- Dengan kencang Ji Bun lari ke arah barat, sepanjang jalan dia selalu perhatikan belakangnya kalau-kalau ada orang menguntitnya, namun sekian jauh dia tidak melihat tanda-tanda yang mencurigakan.
Kwe-loh-jin hanya bilang lima li ke arah barat tanpa menyebut nama tempatnya, dari sini lebih mempertegas tindak-tanduknya yang licik dan licin serta banyak akal. Menurut perhitungannya sekarang, dia sudah berlari hampir lima li jauhnya. Mendadak kumandang sebuah suara dari dalam hutan tak jauh di depan sana:
"Te-gak Suseng, sudah kau bawa barang itu?"
Ji Bun berhenti dan mendengarkan dengan seksama, dia membedakan arah datangnya suara. Terdengar suara itu berkata pula: "Lebih baik kau jangan bertindak serampangan, atau kau ingin membatalkan barter ini?"
Memuncak amarah Ji Bun, serunya geram. "Kwe-loh-jin. kau tidak berani unjuk diri?"
"Kita hanya bicara soal barter saja."
"Barang sudah kubawa, cara bagaimana menukarnya?"
"Boleh kau taruh barang itu di atas batu di sebelah kiri tempat kau berdiri sekarang."
Dingin perasaan hati Ji Bun, agaknya rencana yang dirancangnya tadi tak berguna lagi, katanya: "Apa maksudmu?"
-- "Taruh saja di tempat yang kutunjuk, Lohu akan mengambilnya sendiri."
"Lalu mana anting-anting dan gadis itu?"
"Membelok ke timur, kau akan menemukan sebuah kelenteng kecil, anting-anting dan gadis itu berada di dalam kelenteng."
Ji Bun mengertak gigi saking gemasnya, desisnya: "Kau tidak ingin membuktikan tulen atau palsunya barang ini?"
Kwe-loh-jin terkekeh-kekeh, katanya: "Lohu percaya padamu."
Apa boleh buat, agaknya orang memang tidak ingin berhadapan muka dengan dirinya, kalau kesempatan ini hilang, selanjutnya jangan harap dirinya bisa menemukan jejak orang, diam-diam ia perhitungkan tempat sembunyi orang serta jaraknya, ia siap bertindak.
Tak terduga ketika suara Kwe-loh-jin berkata pula, tempatnya sudah berpindah: "Te-gak Suseng, bekerjalah menurut petunjukku.
Terus terang, dengan kepandaian dan gerak gerikmu sekarang kau belum mampu memaksa aku keluar, gadis pujaanmu itu kena kututuk dengan ilmu khusus, kalau dalam satu jam tidak lekas ditolong mungkin akan menjadi cacat."
Tidak kepalang gusar Ji Bun, teriaknya: "Keparat, licik benar kau
......" -- "Umpama betul, maksud Lohu hanya untuk menyelesaikan barter ini, tidak ada maksud lain."
"Betapapun aku tidak bisa mempercayai obrolanmu?"
"Itu terserah, kalau barter kali im gagal, Lohu masih bisa membuat kontak dengan pihak Wi-to-hwe untuk membicarakan soal ini, soal anting-antingmu itu, jangan harap kau bisa mengambilnya kembali."
Serasa meledak kepala Ji Bun karena amarah yang meluap-luap, namun ia tidak mampu berbuat apa-apa, tak mungkin dia bertindak menurut rencananya tadi.
"Bagaimana, lekas putuskan."
"Baik," pada saat suaranya masih kumandang, secara kilat Ji Bun menubruk ke arah datangnya suara, namun bayangan setanpun tidak dilihatnya, kini suara itu berkumandang pula dari arah lain, nadanya mengejek: "Anak muda, jangan kau membuang waktu percuma, kalau nona itu menjadi cacat, bagaimana kau harus memberi pertanggungan jawab kepada Wi-to-hwe?"
10.30. Cinta-Dendam Tak Bisa Berdampingan
Dengan uring-uringan Ji Bun putar ke tempat semua, walau hatinya tidak rela, namun apa boleh buat, diam-diam ia sesalkan dirinya yang terlalu angkuh dan suka membawa adatnya sendiri, kenapa petunjuk Biau-jiu Siansing diabaikan untuk membicarakan
-- persoalan ini, kalau dia mau membantu secara diam-diam, jelas Kwe-loh-jin takkan mampu menyembunyikan diri lagi, namun menyesal sudah kasip dan tak berguna, kini dia harus mengaku kalah, bagaimanapun anting-anting pualam itu harus segera direbut kembali, lalu mencari tahu asal-usul lawan dari mulut Pui Ci-hwi.
Maka ia lantas keluarkan Hud-sim serta menaruh di atas batu, serunya: "Kwe-loh-jin, anggaplah kau yang menang, nah inilah kutaruh di sini."
Kwe-loh-jin tergelak-gelak kesenangan, serunya: "Sekarang boleh kau pergi ambil barangmu."
Ji Bun menekan rasa gemasnya, cepat ia meluncur ke arah timur.
Jarak tiga li sekejap saja sudah dicapainya, memang di atas gundukan tanah di tengah hutan sana bertengger sebuah kelenteng kecil, suasana gelap dan sunyi seram.
Ji Bun kuatir ditipu, lekas dia dorong pintu terus melangkah masuk, di bawah meja sembayang, dilihatnya meringkel sesosok tubuh, memang dia bukan lain Pui Ci-hwi adanya. Sementara anting-anting pualam di taruh di atas meja. Dia jemput anting-anting itu lebih dulu, setelah diperiksa dan, tidak kurang suatu apa barulah lega hatinya, dia simpan ke dalam kantong lalu memeriksa keadaan Pui Ci-hwi.
Tampak wajahnya pucat dan kurus, kedua matanya terpejam, keadaannya seperti tidur pulas, napasnyapun teratur, bertambah lega hati Ji Bun. Di mana tutukan Hiat-to Kwe-loh-jin harus memeriksanya dulu baru akan diketahuinya, hal ini membuatnya ragu-ragu. Memang Pui Ci-hwi adalah musuh, dia boleh
-- membunuhnya, namun dia tidak berani menyentuhnya. Tapi keadaan sekarang tidak memberi waktu kepadanya untuk bimbang.
Terpaksa dia keraskan kepala, dengan jari-jari gemetar dia pegang urat nadi pergelangan tangan si nona tidak ada tanda apa-apa, lalu dia bergantian meraba tempat lain, terasa empuk licin dan halus, setelah sekujur badan orang dia raba kian kemari tetap tidak menemukan apa-apa, ditambah bau harum gadis jelita, seketika jantung Ji Bun berdebur keras sekali.
Memangnya dia pernah kasmaran terhadap gadis jelita ini, namun situasi kemudian yang kejam ini telah mengubah segalanya.
Setelah dia periksa semua Hiat-to sekujur badannya, dan tidak menemukan keanehan apa-apa, diteliti air mukanya, baru mendadak dia sadar kemungkinan si nona terpengaruh oleh obat racun yang menidurkan, jadi bukan lantaran Hiat-tonya tertutuk seperti apa yang dikatakan Kwe-loh-jin.
Menawarkan racun bagi Ji Bun bukan kerja yang sulit, lekas dia keluarkan sebutir Pit-tok-tan yang selalu dibawanya dan dijejalkannya ke mulut Pui Ci-hwi, hanya dalam sekejap saja Pui Ci-hwi sudah bergerak dan siuman, dengan mengeluh lirih dia membalik tubuh.
"Hah, kau ......" teriaknya sambil merangkak bangun, agaknya dia kaget dan heran melihat keadaan dirinya ditempat asing ini.
Sekuatnya Ji Bun tekan perasaannya yang berkobar tadi, katanya dingin: "Nona Pui merasa tidak apa bukan?"
-- Sekejap Pui Ci-hwi menatap Ji Bun, tanyanya dingin: "Apa yang telah terjadi?"
Di bawah cahaya remang bintang-bintang di langit, Ji Bun melihat wajah si nona murung dan masgul seperti semula sebelum diculik Kwe-loh-jin tempo hari, walau menghadapi musuh besar, namun sedikitpun tidak gentar. Tapi Ji Bun tidak peduli akan sikapnya ini, katanya terus terang: "Perkumpulanmu mengeluarkan imbalan yang cukup besar untuk menolong jiwa nona melalui tanganku."
"Apa ...... apa katamu?"
"Nona sekarang sudah merdeka."
"Maksudmu dengan imbalan tadi?"
"Ya, Wi-to-hwe sudah mengeluarkan imbalannya."
"Imbalan apa?"
"Dengan Hud-sim, kau ditukar dari tangan Kwe-loh-jin."
"Hud-sim?" teriak Pui Ci-hwi keras-keras, mukanya yang semula dingin kaku kini berubah haru dan sedih, suaranya gemetar:
"Katamu Hud-sim" Untuk menebus diriku?"
Tiba-tiba dia menjambak rambut kepalanya sendiri, badannya terbungkuk-bungkuk dan sempoyongan, mulutnya berteriak-teriak seperti orang kalap: "Hud-sim adalah benda yang tak ternilai
-- harganya, aku tidak setimpal, aku .... aku tidak .... tidak setimpal
...." Ji Bun jadi ketarik dan ingin tahu, tanyanya: "Tidak setimpal"
Kenapa?" Seperti orang mengigau Pui Ci-hwi berkata: "Dosaku terlalu besar, mampuspun tidak setimpal untuk menebusnya."
Ji Bun melengak, dia tidak tahu apa arti ucapan Pui Ci-hwi, walau dia tidak ingin mengorek rahasia orang, namun tak urung dia bertanya pula, "Apa maksud nona dengan katamu tadi?"
Membesi muka Pui Ci-hwi, katanya sepatah demi sepatah: "Aku ini orang yang patut mati, tidak perlu Gi-hu mengeluarkan imbalan sebesar itu."
"Gi-hu (ayah angkat)" Siapa ayah angkat nona?" tanya Ji Bun.
Sedikit ragu-ragu akhirnya Pui Ci-hwi berkata dengan tegas: "Wi-to-hwecu."
"O!" baru sekarang Ji Bun mengerti, waktu pertama kali dirinya naik ke Tong-pek-san, Pui Ci-hwi pernah mengaku dirinya terhitung setengah majikan di sana, kiranya dia adalah anak angkat ketua Wi-to-hwe, tapi kenapa dia bilang dirinya patut mampus?"
Semula Ji Bun kira orang adalah murid Pek-ciok Sin-ni, belakangan baru diketahui bahwa dugaan meleset, namun dari terjadinya peristiwa Sek-hud tempo hari, dapatlah disimpulkan kalau
-- Wi-to-hwe pasti ada hubungan erat dengan Pek-ciok Sin-ni, namun hal ini tidak perlu dia ketahui lebih lanjut. Sekarang dia alihkan pembicaraan pada persoalan yang pokok: "Nona patut mati, apa maksudmu?"
"Karena .... karena aku merusak diriku sendiri, juga membikin kotor nama baik Gihu, lebih celaka lagi aku telah menyia-nyiakan kebaikan orang-orang yang memperhatikan diriku, sekarang ketambahan lagi kejadian ini, matipun belum setimpal menebus dosaku."
"Cayhe tidak mengerti," ujar Ji Bun.
Tiba-tiba Pui Ci-hwi menarik muka, katanya dengan nada haru dan tandas: "Bolehkah aku mohon sesuatu padamu?"
"Memohon kepada Cayhe ..... soal apa?"
"Sukakah kau tolong aku membunuh Liok-kin."
Ji Bun heran dan tidak mengerti, si nona pernah jatuh cinta pada pemuda itu, pernah ditipu, pernah pula memohonkan ampun kepada Jay-ih-lo-sat yang hendak membunuhnya, kini dia minta padanya untuk membunuhnya, kenapa begini" Serta merta dia terbayang kepada Dian Yong-yong, gadis jelita yang menjadi gila karena dipermainkan cintanya, rasanya dia menjadi paham sedikit, tanpa terasa, dia bertanya: "Membunuh Liok-kin keparat itu" Bukankah nona pernah menyintainya?"
-- Gemetar dan berkerut-kerut kulit muka Pui Ci-hwi, sorot matanya memancarkan sinar hijau yang diliputi napsu dendam dan membunuh, teriaknya bengis: "Ya, aku pernah mencintainya, tapi sekarang aku ingin membunuhnya, karena dia telah menodai aku
......." "Menodai kau?"
"Ya, dia menodai kesucianku!"
Berubah air muka Ji Bun, timbul pula perasaan aneh yang sukar diutarakan dengan kata-kata. Maklumlah dulu dia pernah terpikat dan mengejar gadis pujaan hatinya dengan bertepuk sebelah tangan, namun karena keadaan situasi memaksa sehingga belakangan berubah perasaan ini, cinta pertama yang pernah membuat getir hatinya sudah lama terpendam, namun asmara yang terpendam ini akan timbul bila dipengaruhi oleh sesuatu. Kini bak sebentuk batu pualam yang semula mulus bersih dan kini telah retak dan cacat, warnanya luntur lagi, si nona tidak sebersih dan sesuci dulu pula.
Tak heran sekarang dia kelihatan seperti kehilangan gairah hidup, sikapnya begitu aneh dan bertentangan terhadap Liok Kin bocah keparat itu, serta merta terbakar rasa cemburunya, tanpa pikir segera ia berkata: "Untuk ini aku menerimanya, sebetulnya aku memang ingin membunuhnya."
"Siangkong," kata Pui Ci-hwi tertawa, getir, "tiada yang dapat kuberikan untuk membalas kebaikanmu, terimalah ucapan terima kasihku dulu."
-- Sebutan yang mendadak berubah ini terasa asing dan risi bagi pendengaran Ji Bun. namun menimbulkan perasaan kecut dalam sanubarinya, katanya tawar: "Tidak perlu nona sungkan-sungkan."
Ragu-ragu sebentar, tampak wajah Pui Ci-hwi yang kurus pucat bersemu merah, katanya dengan tertawa getir: "Siangkong, terpaksa aku harus berterus terang, aku tahu bagaimana perasaan dan sikapmu dulu padaku, soalnya kesanku terlalu jelek akan, nama gelaranmu, maka tidak kuterima maksud baikmu itu. Sekarang segalanya sudah terlambat ....."
Habis berkata dengan sedih ia menangis sambil menunduk.
Kusut pikiran Ji Bun, perasaannya menjadi tidak karuan darahnya bergolak, ingin juga dia melimpahkan isi hatinya. Walau sudah terlambat, dia dapat memaafkannya. Namun dia tidak kuasa buka suara, karena segala ini tidak mungkin terjadi. Memang cinta dan dendam tak bisa berdampingan, apa lagi sekarang si nona bukan gadis lagi ......"
Mendadak Pui Ci-hwi berteriak kalap, tangannya terayun terus mengepruk batok kepalanya sendiri. Kejadian berubah amat mendadak, tak sempat berpikir bagi Ji Bun, secara refleks tangannya menyampuk. "Plak", Pui Ci-hwi kontan jatuh tersungkur, darah meleleh dari mulutnya. Dia ingin buka suara, namun hanya mulutnya bergerak beberapa kali terus jatuh semaput. Ji Bun berkeringat dingin, dalam detik-detik yang menentukan tadi, syukur dia masih sempat menyelamatkan jiwanya.
-- "Amitha Bundha!" tiba-tiba berkumandang sabda Buddha yang keras dari samping. Dengan kaget Ji Bun membalik tubuh sambil menyingkir ke samping, tampak seorang Hwesio kereng berperawakan tinggi besar entah sejak kapan sudah berdiri disampingnya.
Setelah melihat jelas baru dikenalinya bahwa yang datang adalah Thong-sian Hwesio yang punya kemampuan luar biasa itu.
Kedua biji mata Thong-sian kelihatan berkilauan seperti mutiara di malam gelap, sinar matanya memancar terang dan mengejutkan.
Dingin perasaan Ji Bun, katanya setelah menarik napas sambil memberi hormat: "Cayhe unjuk hormat pada Taysu"
"Tidak usahlah, syukur barusan kau telah menolong jiwanya,"
mulut bicara kepada Ji Bun, namun sorot mata Thong-sian tertuju ke arah Pui Ci-hwi.
Thong-sian Hwesio menggembol sebuah buntalan kain, tanpa sadar dia menjerit kaget: "Hud-sim?"
Tubuhnya gemetar, kakipun menyurut mundur, barang ini bukankah sudah dia serahkan pada Kwe-loh-jin, bagaimana bisa terjatuh ke tangan Thong-sian Hwesio"
"Betul, memang inilah Hud-sim yang tadi kau bawa," ujar Thong-sian kalem.
"Taysu ...... bagaimana bisa ......"
-- "Manusia culas dan tamak, mana boleh dia dibiarkan malang melintang sesukanya?"
"Apakah Kwe-loh-jin sudah Taysu ........."
"Mungkin ajalnya belum tiba, begitu kau taruh Hud-sim di atas batu, pinceng terburu nafsu, sebelum dia muncul, aku lantas mengambil Hud-sim ini, agaknya dia tahu diri terus melarikan diri, jadi sejak itu dia tidak menampakkan diri."
"O," Ji Bun baru paham. Jadi setelah orang dalam tandu suruh orang mengantar Hud-sim kepadanya, lalu iapun mengatur rencana, seperti walang hendak mencaplok tonggeret, tidak disadari bahwa burung gereja juga sudah siap menerkam di belakangnya.
Betapapun licik dan licinnya Kwe-loh-jin, ternyata dia tidak mampu berbuat apa-apa, tapi dari kejadian ini, Ji Bun yakin pula bahwa Thong-sian Hwesio telah menjadi anggota Wi-to-hwe.
Semula dia hendak mengorek keterangan dari mulut Pui Ci-hwi, tak terduga perkembangan belakangan ini semua berada di luar perhitungannya, kini Thong-sian muncul, rencananya semula terang gagal total pula, karuan hatinya menjadi masgul, patah semangat dan penasaran pula.
Sementara itu Thong-sian sedang membungkuk memeriksa keadaan Pui Ci-hwi, katanya: "Kasihan gadis ini tersiksa begini rupa."
Nadanya iba dan mengandung perasaan dekat. Ji Bun ikut merasa terharu, dari sini ia dapat menarik kesimpulan bahwa Thong-
-- sian Hwesio pasti mempunyai hubungan luar biasa dengan Wi-tohwe. Dengan bertambahnya seorang Thong-sian Hwesio, terang beban dirinya di dalam menyelusuri jejak musuh-musuhnya akan bertambah berat. Seorang Thong-sian saja bukan tandingannya, maka dapatlah dibayangkan betapa sukar usaha dirinya untuk menuntut balas.
Lekas sekali Pui Ci-hwi sudah siuman dari pingsannya atas pertolongan Thong-sian, katanya dengan hambar: "Aku ...... belum mati" Kenapa ti ..... tidak biarkan aku mati saja ....." lambat dia angkat kepala dan memutar biji matanya, setelah melihat jelas orang yang menolong dirinya, seketika dia menjerit: "Taysuhu, kau .....
siapa kau"
Agaknya dia belum kenal Thong-sian Hwesio. Waktu Ngo-lui-kiong menyerbu Wi-to-hwe dan Thong-sian Hwesio muncul tempo hari, kebetulan dia sedang mengembara di luar, jadi tidak mengenalnya.
"Anak manis," ujar Thong-sian welas asih, "Pinceng adalah sahabat baik ayahmu."
"O, kau ......."
"Sekarang mari ikut aku pulang ke gunung."
"Tidak ..... aku tidak mau, malu aku bertemu dengan siapapun."
"Anak bodoh ......."
-- "Oh, tidak ...." teriak Pui Ci-hwi dengan sesambatan, tangisnya begitu sedih memilukan, tangis seorang gadis yang menyesali nasibnya setelah kesuciannya ternoda.
Ji Bun merasa tak perlu berada di sini lebih lama, kesannya cukup baik terhadap Hwesio yang pernah menolong dirinya ini, maka dengan hormat dia berkata: "Taysu, Cayhe mohon diri."
Pada saat itulah, mendadak Pui Ci-hwi berseru melengking, badannya mencelat ke atas terus terbanting jatuh dan berkelejetan, buih keluar dari mulutnya dan tidak sadarkan diri.
Ji Bun kaget, dia tarik kakinya yang sudah melangkah itu. Thong-sian Hwesio juga merasa di luar dugaan, serunya: "Apa yang terjadi?"
Ji Bun juga tidak mengerti, kalau ada orang membokong, jangan kata dirinya, dengan kehadiran Thong-sian di sini, nyamuk terbangpun diketahui, masakah bisa mengelabui mereka.
Mungkinkah sampukan tangannya tadi terlalu berat, maklumlah gerakan refleks untuk menyelamatkan jiwanya, namun setelah diperiksa dan diobati kesehatannya sudah sembuh, ialu apa yang terjadi"
Agaknya Thong-sian juga tidak berhasil menemukan sebab musababnya, katanya uring-uringan: "Aneh, aneh!"
Tiba-tiba tergerak hati Ji Bun, pikirnya: "Kwe-loh-jin teramat culas dan licin, bukan mustahil dia telah menaruh apa-apa atas
-- tubuh Pui Ci-hwi, segera dia berkata: "Taysu, bolehkah Cayhe memeriksanya?"
"Ya," Thong-sian mengiakan sambil mundur.
Dengan pengalamannya yang luar biasa dalam bidangnya, dengan seksama Ji Bun memeriksa, tiba-tiba dia menjerit kaget dan melotot: "Racun!"
Terpancar sinar terang dari Thong-sian, katanya gemetar: "Apa racun" Kabarnya Sicu cukup ahli dalam permainan racun, racun apakah yang mengenai dia?"
"Entahlah," sahut Ji Bun haru dan penuh emosi, "racun ini sebelumnya tidak pernah kulihat."
"Apa bisa ditawarkan?"
"Akan kucoba," lalu dia keluarkan tiga butir Pit-tok-tan dan diserahkan kepada Thong-sian. Thong-sian memijat dagu Pui Ci-hwi sehingga mulutnya terbuka, ketiga butir pil itu terus dia jejalkan ke dalam mulut, kembali dia menutuk sekali di Ho-ciat-hiat, sehingga ketiga butir pil tertelan ke dalam perut.
Lama ditunggu tetap tidak membawa reaksi. Tak sabar Ji Bun, ia coba memeriksa bibir, kelopak mata dan lidahnya, akhirnya dia berkata. "Tak berguna. Racun apakah ini, begini ganas?"
-- Tiba-tiba berkumandang sebuah suara yang sudah amat dikenalnya dari luar pintu: "Itu namanya Giam-ong-ling (perintah raja akhirat), tiada orang yang dapat menawarkannya di jagat ini."
"Kwe-loh-jin!" teriak Ji Bun. Sebat sekali ia melesat keluar pintu, gerakannya boleh dikatakan secepat percikan api. Namun setiba di luar, tak dilihatnya bayangan orang. Dengan menggeram segera dia lompat naik ke atap rumah, selepas mata memandang, tiada sesuatu yang dilihatnya, terpaksa dia lompat turun kembali ke dalam kelenteng.
Dilihatnya Thong-sian masih berjaga disamping Pui Ci-hwi, pikirnya, Hwesio ini amat tabah, dengan Lwekang dan kepandaiannya, kalau dia mau tentu gerak-gerik lawan dapat diikuti.
Agaknya Thong-sian dapat meraba isi hati Ji Bun, katanya tawar:
"Dia kemari dengan maksud dan tujuan tertentu, kau tidak perlu memaksa dia nanti dia akan keluar sendiri, kini dia ada di belakang kelenteng."
Dalam hati Ji Bun merasa ngeri, namun iapun memuji akan kepintaran dan pengalaman orang yang luas. Betul juga dari atap rumah sebelah belakang segera terdengar Kwe-loh-jin bersuara:
"Thong-sian memang kau lebih pintar."
Tegak alis Ji Bun, tanyanya: "Dari mana Taysu tahu?"
"Waktu dia bicara, kata-katanya yang terakhir diucapkan menjurus ke kiri, jadi dia bicara sudah tidak di tempatnya semula, ini membuktikan dia berkisar dari arah kiri ke belakang, begitu habis
-- kata-katanya, bayangannyapun lenyap dari tempat semula, maka percuma Siau-sicu hendak mencarinya."
Ji Bun membentak gusar: "Kalau kau berani hayo unjukkan dirimu, kenapa malu sembunyi seperti bangsa kunyuk?"
Kwe-loh-jin terloroh-loroh, seringan daun jatuh dia melayang turun di pekarangan. Terpancar sinar membara dari mata Ji Bun, otot hijau menonjol di jidatnya kakinya sudah melangkah dan hendak .....
Kwe-loh jin angkat sebelah tangannya, katanya: "Te-gak Suseng, lebih baik jangan kau turun tangan, cukup hanya sepatah kataku saja kau akan mampus tanpa ada liang kubur."
"Bagus, ingin aku mencobanya," tantang Ji Bun berani.
"Anak muda," jengek Kwe-loh-jin kau tidak ingin aku membongkar rahasia pribadimu bukan?"


Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ji Bun tertegun, tanyanya gemetar: "Apa maksudmu?"
"Kalau rahasia pribadimu kubeberkan hah, kau tahu betapa banyak orang yang menginginkan jiwamu."
Perasaan dingin menjalari sekujur badan Ji Bun. berdiri bulu kuduknya, agaknya Kwe-loh-jin juga tahu tentang asal-usulnya, ini sungguh menakutkan, memangnya siapa dan dari golongan manakah dia" Ya, kalau dia pernah menyamar sebagai ayah dan pernah membunuh dirinya, sudah tentu dia jelas mengetahui seluk-
-- beluk pribadinya, hal ini tidak perlu dibuat heran, namun apa sebabnya sampai berulang kali dia berusaha membunuh aku"
Terdengar Thong-sian membuka suara dengan kalem dan tandas: "Sicu, inikah Kwe-loh-jin" Apa tujuanmu?"
"Ah, masakah perlu ditanya lagi."
"Tujuanmu pada Hud-sim ini?"
"Ya, Hud-sim bisa kuganti dengan obat penawar?"
"Kau kira Pinceng mau terima?"
"Tentu saja, kecuali kau tidak pedulikan jiwa nona itu."
"Apa kau tidak pikir, untuk membunuh bagi Pinceng bukan kerja berat?"
"Ha ha ha, Thong-sian. Hal ini sudah kuperhitungkan, aku yakin kau tidak akan turun tangan terhadapku. Memangnya kau tega melihat dia mampus."
"Dia tidak akan mati, bukan kau saja yang pandai bermain racun."
"Betul, tapi jangan lupa, Giam-ong-ling adalah racun yang sudah lenyap selama ratusan tahun dari Kang-ouw, kuyakin pasti tiada orang yang mampu menawarkannya, jangan kau kira Cui Bu-tok si keledai kurus itu mampu, ah, dia masih terpaut jauh sekali."
-- Thong-sian menjawab sekata demi sekata: "Jika kutukar jiwanya dengan jiwamu, sekaligus untuk melenyapkan bencana bagi insan persilatan bagaimana?"
Kwe-loh-jin sedikitpun tidak gentar, katanya. mantap: "Kuyakin kau takkan berbuat demikian, kalau tidak, sejak tadi kau sudah beraksi."
"Apakah Sicu yakin betul?"
"Sudah tentu, umpamanya kan ingin meringkus diriku untuk paksa menyerahkan obat penawarnya, tapi obat penawarnya tidak kubawa, jadi kau tetap tidak akan bisa menukar jiwanya dengan obat penawar itu, soalnya aku juga hanya menjalankan perintah."
"Sicu ...... menjalankan perintah siapa?"
"Mungkinkah kujawab pertanyaan ini?"
"Pinceng yakin tiada orang yang tidak takut mati, demikian pula kau."
"Tapi jiwa ragaku ini sudah kuserahkan kepada seseorang, aku tidak lagi berkewajiban melindungi jiwa ragaku sendiri."
Ji Bun tidak tahan lagi, sambil menggerung dia menubruk maju, seiring dengan tubrukan pukulannya pun dilontarkan secepat kilat.
"Blang"
-- Ji Bun tergentak turun ke tanah, sementara Kwe-loh-jin terhuyung empat langkah baru berdiri tegak pula. Sedikit merandek segera Ji Bun bergerak maju serta menyerang pula.
"Berhenti!" bentak Kwe-loh-jin sambil mengegos ke samping.
Karena serangannya luput, serta merta Ji Bun menghentikan aksinya.
"Anak muda," ancam Kwe-loh-jin, "memangnya kau ingin kubongkar rahasia pribadimu?"
Benci Ji Bun setengah mati, dia menjadi nekat, jawabnya:
"Katakan saja, aku tidak peduli, yang terang kau tidak akan hidup lewat hari ini."
Kwe-loh-jin terkekeh-kekeh, serunya: "Apa kau tidak pikirkan keselamatan jiwa ibumu?"
Seperti disamber geledek kejut Ji Bun, dengan terbeliak dia menyurut mundur, sejak Jit-sing-po hancur, baru pertama kali ini mendengar berita tentang ibunya, agaknya bukan saja orang tahu jelas seluk beluk dirinya, malah ibunya yang hilang dan jejaknya sekarang diketahui, jelas di balik batu pasti ada udang, sumber berita ini betapapun takkan begini saja, maka dengan penuh emosi dia berteriak: "Kau tahu jejak ibuku" Di mana beliau"
"Kini bukan waktunya ngobrol, kau paham maksudku?"
"Jangan kau bertingkah ....."
-- "Anak muda, persoalanmu boleh dikesamping dulu, setelah urusanmu di sini beres baru kita selesaikan pula perhitungan lain,"
kata Kwe-loh-jin.
Apa boleh buat, demi keselamatan ibundanya, terpaksa Ji Bun mundur setombak lebih, betapapun dia pantang melakukan kecerobohan yang akan membahayakan jiwa ibunya, asal ibu beranak bisa kumpul kembali, dia tidak peduli pengorbanan apapun yang harus dia pertaruhkan.
Kwe-loh-jin bekerja atas perintah orang, memangnya siapa orang yang berada di belakang layar itu" Waktu dia membunuh diriku memangnya juga atas perintah" Adakah hubungannya dengan hancurnya Jit-sing-po serta kematian ayahnya" Pikir punya pikir, Ji Bun sampai berdiri menjublek, namun darah dalam tubuhnya masih mendidih. Memang dalam suasana yang menegangkan ini, persoalan begini ruwet sehingga tiada kesempatan baginya untuk berpikir.
Kini Kwe-loh-jin menghadapi Thong-sian, katanya dingin: "Thong-sian, kau mau menyerahkan Hud-sim?"
Melotot bagai kelereng biji mata Thong-sian, tatapannya begitu tajam dan mengerikan, katanya dengan suara berat: "Sicu harus katakan dulu atas perintah siapa kau bekerja?"
"Hal itu terang tidak mungkin kukatakan."
"Agaknya Pinceng terpaksa harus melanggar pantangan untuk menamatkan riwayatmu ....."
-- "Lohu tidak takut diancam, "jawab Kwe-loh-jin. "Thong-sian, setengah jam lagi nona ini akan berubah menjadi cairan darah, sampai tulang belulangnya luluh, nah boleh kau tunggu dan saksikan sendiri."
Sekejap Thong-sian berpaling memandang Pui Ci-wi, tampak kaki tangannya meringkel, mukanya merah legam kehitaman, matanya terpejam, mulutnya megap-megap, agaknya amat menderita dan tersiksa sekali.
"Mana obat penawarnya?"
"Kau mau serahkan Hud-sim?"
"Baiklah, sementara ini Pinceng mengaku kalah."
"Bagus, nah serahkan Hud-sim kepadaku."
"Sebelum obat penawar kau serahkan, masakah aku harus percaya padamu?"
"Begini saja," ujar Kwe-loh-jin, "biarlah anak muda ini tetap menjadi penengahnya. Hud-sim serahkan padanya, biar dia ikut aku mengambil obat penawarnya, kau boleh tunggu setengah jam di sini, dia pasti kembali membawa obat penawarnya, nah bagaimana?"
Thong-sian tidak bicara lagi, segera dia lemparkan Hud-sim ke arah Ji Bun, lekas Ji Bun menerimanya. Sambil tertawa lebar Kwe-loh-jin segera berseru: "Anak muda, marilah"
-- Ditengah kumandang suaranya, tubuhnya melesat ke wuwungan, lekas Ji Bun mengikuti dengan gerakan tak kalah tangkasnya, susul menyusul dua bayangan berlari kencang beberapa li jauhnya, di depan adalah hutan lebat, Kwe-loh-jin langsung menerjang masuk.
Kokok ayam sudah sayup-sayup terdengar di kejauhan, cepat sekali sinar sang surya sudah mencorong di ufuk timur, sebentar lagi bakal terang tanah. Ji Bun ikut melesat kedalam hutan. Tiga tombak di dalam hutan Kwe-loh-jin berhenti dan menunggu, katanya:
"Berhenti anak muda!"
Ji Bun mengerem luncuran tubuhnya, dengan dongkol dia tatap orang, ingin rasanya dia keremus dan mencacah tubuh orang.
"Anak muda, agaknya kau ingin berbicara?" tanya Kwe-loh-jin.
"Betul, kau menyamar orang berkedok beberapa kali hendak membunuhku, apakah aksimu itu juga atas perintah orang?"
"Kau keliru, selamanya Lohu bekerja sendiri dan atas kehendak sendiri pula, apa yang dinamakan perintah tidak lebih hanya muslihat untuk menipu si kepala gundul tadi."
"Kau keparat hina dina yang tidak tahu malu," maki Ji Bun dengan murka dan gemas. "Siapakah kau sebetulnya?"
"Siapa aku, selamanya kau tidak akan tahu dan mengerti. Ingat, jangan bertingkah terhadapku, keselamatan jiwa ibumu berada ditanganku."
-- Bergidik Ji Bun dibuatnya, katanya sesaat kemudian: "Bagaimana ibuku bisa jatuh di tanganmu?"
"Untuk ini kau tidak perlu tanya, suatu hari kau akan mengerti sendiri."
"Bagaimana keadaan ibuku?"
"Dia baik-baik saja, asal kau tidak bersikap bermusuhan terhadapku, kujamin dia tidak kurang suatu apa-apa."
"Kau kira bisa mengancamku. Hm, sebelum mencacah tubuhmu tidak terlampias dendamku."
"Kalau begitu Lan Giok-tin akan mati lebih dulu."
Darah serasa hendak menyemprot dari mata Ji Bun, tapi Kwe-loh-jin tidak peduli, katanya pula: "Ji Bun, waktu tidak dapat menunggu, marilah kau tukar obat penawarnya,"
11.31. Hmm, ...... Tidak Tahu Malu
"Kaukah yang melakukan pembantaian di Jit-sing-po?" tanya Ji Bun pula.
"Pertanyaan ini dapat kujawab, ibumu, Lan Giok-tin sendiri bilang, pihak Wi-to-hwe dan anak buahnya yang melakukan."
-- "Apa betul?"
"Terserah padamu."
Ji Bun mengertak gigi, dia percaya, ayahnya juga pernah bilang demikian, soal menuntut balas boleh ditunda, sebaliknya sehari saja ibunya belum bebas dari genggaman tangan-tangan iblis, betapapun hidupnya takkan bisa tenteram, selamanya dirinya tidak punya permusuhan dengan orang ini, namun orang ini bilang demi keselamatan jiwa raganya sendiri terpaksa hendak membunuhnya serta menculik ibunya. Siapakah sebetulnya orang ini" Memangnya ada latar belakang yang terahasia di balik semua peristiwa ini"
"Kwe-loh-jin," kata Ji Bun kemudian, "peduli siapa kau, pokoknya asal kau bebaskan ibuku, boleh kubatalkan niatku untuk menuntut balas terhadapmu, seluruh perhitungan dulu dapat dianggap lunas, nah, bagaimana?"
"Saatnya belum tiba, tak usah dibicarakan," sahut Kwe-loh-jin.
"Saat apa maksudmu?"
"Urusanku sendiri, kau tidak perlu tahu, namun kau harus ingat satu hal, jangan kau cari setori padaku, kalau tiba saatnya, kalian ibu beranak pasti akan bertemu, kalau kau melanggar peringatan ini sukar kukatakan apa akibatnya."
Berkerutuk gigi Ji Bun saking gemasnya dan hampir membuat dadanya meledak.
-- "Hayo serahkan!" seru Kwe-loh-jin.
Ji Bun berpikir, kalau betul Wi-to-hwe adalah musuhnya buat apa dia harus menolong para musuhnya itu, kenapa harus bicara soal keadilan dan kebenaran segala. "Kwe-loh-jin, kita bisa bicara secara dagang," katanya.
"Dagang bagaimana?"
"Cayhe akan menyerahkan Hud-sim sebagai imbalannya, ......"
sampai di sini mendadak ia berhenti, sebetulnya ia bermaksud menukar keselamatan dan kebebasan ibunya. Namun setelah kelepasan omong baru dia merasa jalan pikirannya ini kurang tepat, dendam tetap dendam, sebagai insan persilatan yang harus teguh berjiwa ksatria. Walau julukan Te-gak Suseng kurang sedap didengar, namun dia yakin selama dirinya mengembara, sepak terjangnya belum pernah melanggar kesalahan. Kalau sekarang demi menyelamatkan ibunya dia harus ingkar janji dan melakukan kesalahan ini, betapa dirinya takkan dipandang hina dan rendah dan itu berarti memusuhi kaum persilatan umumnya" Apa pula bedanya perbuatan ini dengan ketamakan, kelicikan dan kekotoran perbuatan Kwe-loh-jin ini" Hud-sim bukan miliknya, berdasarkan hak apa dia berani memberikan kepada Kwe-loh-jin untuk menukar keselamatan dan kebebasan ibunya, apalagi belum tentu Kwe-loh-jin mau menerima usulnya ini, kalau gagal dan ditolak, bukankah dirinya sendiri yang akan malu dan ditertawakan orang"
"Tukar apa yang kau maksud?" tanya Kwe-loh-jin.
-- "Tak jadilah," ujar Ji Bun sambil ulap tangan, "serahkan obat penawarnya."
Kwe-loh-jin mengerut kening, lalu dia mengeluarkan sebuah botol porselin kecil, setelah dibuka tutupnya dia menuang sebutir pil warna hijau pupus terus dilemparkan ke arah Ji Bun.
Ji Bun menerimanya, katanya: "Tadi kau bilang obat penawarnya tidak kau bawa?"
Kwe-loh-jin terkekeh-kekeh, ujarnya "Anak muda, itu namanya bekerja menurut gelagat."
"Hm, tidak tahu malu."
"Jangan cerewet, serahkan!"
Ji Bun ragu-ragu, katanya: "Apakah obatmu ini tulen?"
"Tidak usah kuatir, kali ini aku tidak menipu."
Ji Bun melemparkan buntalan Hud-sim, ingin dia bicara, namun sekilas dia merasa sungkan, maka tanpa bersuara cepat ia berlari kembali ke kelenteng kecil itu. Sementara itu fajar sudah menyingsing.
Thong-sian sudah menunggu dengan tidak sabar, melihat Ji Bun muncul segera ia tanya: "Bagaimana?"
-- "Obat penawarnya sudah kudapat," dingin sikap Ji Bun. Lekas ia mendekati Pui Ci-hwi dan jejalkan pil itu ke mulutnya. Tak lama muka Pui Ci-hwi yang sudah menghitam itu mulai berubah, lambat laun menjadi pucat terus bersemu merah segar, napaspun mulai teratur, denyut nadi juga semakin keras, dalam sepeminuman teh, dia telah siuman kembali.
"Siau-sicu," ujar Thong-sian dengan sikap sungguh-sungguh,
"ada sebuah permintaan Pinceng yang mungkin agak merikuhkan."
"Silakan katakan saja."
"Mohon Sicu suka mengantarnya kembali ke atas gunung."
"Wah, ini ...." Ji Bun menjadi ragu-ragu, beruntun ia bekerja demi kepentingan pihak musuh, lalu terhitung apa ini" Tapi pikiran lain segera berkelebat dalam benak Ji Bun, lekas dia berkata: "Baiklah."
"Syukurlah, selamat bertemu. Pinceng bersumpah untuk menyelidiki asal usul Kwe-loh-jin dan membongkar perbuatan jahatnya," habis berkata dia angkat sebelah telapak tangan ke depan dada, tahu-tahu badannya melejit ke atas bagai burung melayang ke atas wuwungan.
Agaknya Pui Ci-hwi kehabisan tenaga, cukup lama masih belum mampu bergerak, apa lagi berdiri. Menghadapi gadis jelita yang pernah menjadi pujaan hatinya, Ji Bun merasa iba juga melihat keadaan orang, namun cepat sekali perasaan iba ini lenyap, air mukanya seketika berubah kaku dingin, katanya: "Bagaimana perasaan nona?"
-- Pui Ci-hwi pandang Ji Bun dengan rasa haru dan terima kasih, pelan-pelan meronta bangun lalu duduk bertopang kaki meja sembahyang, katanya lemah: "Beruntung tidak apa-apa."
"Cayhe diwajibkan untuk mengantar nona pulang ke atas gunung."
Pui Ci-hwi tertawa getir, air mata berkaca-kaca dikelopak matanya, katanya sedih: "Siangkong, aku tidak mau pulang."
Bertaut alis Ji Bun, katanya: "Tapi Cayhe sudah berjanji kepada Thong-sian Taysu untuk antar nona?"
Tiba-tiba sesosok bayangan abu-abu masuk kelenteng. Waktu Ji Bun berpaling, yang datang ternyata adalah Siu-yan Nikoh, itu kepala biara Boh-to-am, muridnya yang bergelar Ngo-sim pernah dibunuh setelah diperkosa, dan dirinyalah yang menjadi kambing hitam disangka membunuhnya, karena sang korban mati tanpa meninggalkan bekas apa-apa di atas tubuhnya. Sungguh tak nyana Nikoh tua ini bisa muncul di kelenteng kecil ini, cepat dia angkat tangan memberi hormat: "Selamat bertemu Suthay."
Siu-yan membalas hormat, matanya tertuju kepada Pui Ci-hwi.
Berubah air muka Pui Ci-hwi, tersipu-sipu dia menyembah, air mata tak tertahan lagi bercucuran.
"Budak binal," kata Siu-yan tegas dan bengis, "terlalu jual lagak kau."
-- Dengan sesenggukan Ci-hwi berkata: "Anak Hwi memang tidak becus, anak Hwi patut mati."
Bergetar jantung Ji Bun, apakah Siu-yan juga salah seorang pentolan dari Wi-to-hwe" Dari nada pembicaraan kedua orang seolah-olah mereka punya hubungan dan ikatan yang bukan sembarangan.
Dengan marah Siu-yan Loni mengebaskan lengan bajunya, katanya lebih bengis: "Kau masih tidak mau pulang?"
"Anak Hwi tiada muka bertemu dengan orang banyak."
"Lalu apa keinginanmu?"
"Anak Hwi hanya ..... hanya ingin ..... ingin mendapat kebebasan."
"Besar nyalimu, tidakkah kau berpikir betapa ayah angkatmu susah payah membimbingmu sampai sebesar ini?"
"Anak Hwi tahu matipun tidak dapat menebus dosaku," sahut Pui Ci-hwi sesenggukan lebih keras.
"Kesalahan itu kau lakukan diluar kesadaranmu, semua orang akan memaafkan kau."
"Harap engkau suka menerima sebuah permintaan anak Hwi."
-- "Soal apa?"
"Terimalah anak Hwi dan cukurlah rambutku."
"Kau ingin jadi Nikoh" Tidak boleh."
"Kalau begitu biarlah anak Hwi mati saja, biarlah dalam penitisan mendatang kubalas kebaikan orang banyak."
Siu-yan Loni menarik napas panjang, ujarnya: "Karma, karma!
Anak bodoh, tahukah kau siapa sebenarnya ayah angkatmu itu?"
"Siapakah beliau?" tanya Ci-hwi.
"Ayah kandungmu sendiri. Riwayat hidupmu mengandung rangkaian cerita yang membawa banjirnya air mata berdarah, dan sekarang kau berbuat begini, apakah tidak meluluhkan hati dan menghancurkan harapan orang tuamu?"
Terbeliak mata Pui Ci-hwi, katanya gemetar: "Jadi beliau adalah ayah kandungku" Jadi anak Hwi bukan she Pui?"
"Bukan, kau bukan she Pui, dulu karena menghindari tekanan dan kejaran musuh, terpaksa kau ganti she dan namamu."
"Oooo...." Ci-hwi mendekam di lantai dan pecahlah jerit tangisnya, begitu sedih dan memilukan isak tangisnya.
Ji Bun ingin tahu seluk-beluk dan muka asli Wi-to-hwecu dari pembicaraan kedua orang ini, namun dia amat kecewa, banyak kata-
-- kata yang tidak dimengerti olehnya. Pui Ci-hwi sendiri ternyata punya riwayat hidup yang mengenaskan. Apakah yang dikatakan hanjir air mata berdarah" Dan apa yang dikatakan musuh besar, apakah ada sangkut pautnya dengan peristiwa pembantaian di Jit-sing-po"
Kembali Siu-yan Loni menghela napas, suaranya berubah welas asih: "Nak, jangan menangis lagi, segala persoalan biarlah ayahmu sendiri yang memutuskan, bangunlah."
Pelan-pelan Pui Ci-hwi merangkak bangun, wajahnya basah air mata bak sekuntum bunga basah oleh air embun.
Tak tahan Ji Bun bertanya: "Apakah Suthay juga anggota Wi-tohwe?"
Setelah melengak Siu-yan Loni menjawab: "Loni tidak menyangkal."
"Apakah peristiwa dalam biara, tempo hari sudah Suthay selidiki?"
Marah dan benci terbayang sekilas pada air muka Siu-yan, katanya: "Pinni berani pastikan adalah perbuatan Jit-sing-pocu Ji Ing-hong keparat itu, sayang ........"
Mendelu hati Ji Bun, "Ji Ing-hong?" dia menegas. "Apanya yang sayang?"
"Sayang dia sudah mampus."
-- Diam-diam Ji Bun mengertak gigi, namun sikapnya pura-pura kaget, tanyanya: "Ji Ing-hong sudah mati" Siapakah yang membunuhnya?"
"Entahlah, Pinni sendiri tidak tahu."
Dalam pembicaraan ini sikap Siu-yan Loni tawar dan acuh tak acuh, Ji Bun menjadi bingung dan tak habis mengerti, kalau benar ayahnya terbunuh oleh orang-orang Wi-to-hwe, terang sikapnya akan mengunjuk keanehan, namun sikap dingin dan tawar Siu-yan Loni sungguh di luar dugaannya. Maka dia mendesak lebih lanjut:
"Lwekang Ji Ing-hong amat tinggi, pandai menggunakan racun lagi, kukira tidak banyak tokoh-tokoh silat Kang-ouw yang mampu membunuhnya" Bagaimana pendapat Suthay?"
"Tiada yang bisa kujadikan pegangan untuk menduga-duga soal ini."
"Mungkinkah perbuatan Siangkoan Hong?"
Sama berubah air muka Siu-yan Loni dan Pui Ci-hwi, biji mata Siu-yan Loni malah mencorong terang menatap muka Ji Bun.
seakan-akan ingin menyelami isi hatinya, lama sekali baru dia bersuara: "Berdasarkan apa Sicu bilang demikian?"
Berputar pikiran Ji Bun, dia jadi nekat, biarlah bicara blak-blakan saja untuk menyelidiki persoalan ini lebih terang, maka jawabnya kereng: "Siangkoan Hong kan bermusuhan dengan Ji Ing-hong?"
-- "Tapi bukan Siangkoan Hong yang berbuat."
"Berdasarkan apa Suthay berani berkata demikian?"
"Sepak terjang Siangkoan Hong cukup diketahui olehku."
"Kejadian yang amat kebetulan ........"
"Apa yang kebetulan?"
"Waktu Ji Ing-hong menemui ajalnya bersama orang berkedok lain, kebetulan Cayhe lewat ditempat kejadian, percakapan yang kudengar dari mulut Ji Ing-hong sebelum dia terbunuh, telah menyinggung nama Wi-to-hwe." Inilah akal yang seketika timbul dalam benak Ji Bun, maksudnya hendak paksa orang bicara terus terang.
Siu-yan Loni tertawa kalem, katanya: "Mungkin saja dia menyinggung Wi-to-hwe, namun hal ini tidak bisa membuktikan bahwa Siangkoan Hong atau jago-jago Wi-to-hwe lainnya yang melakukan, kalau betul, Pinni malah tidak akan menyesal."
"Cayhe ingin betul berhadapan dengan Siangkoan Hong."
"Kenapa?"
"Untuk membuktikan dan membuat terang peristiwa ini."
-- Timbul pula sorot terang yang mencorong dari kedua biji mata Siu-yan Loni, katanya: "Siau-sicu, mau tak mau Pinni harus minta keterangan padamu."
Terunjuk pula mimik aneh pada muka Ji Bun, tanpa gentar iapun balas menatap mata orang, suaranya penuh emosi: "Keterangan apa?"
"Bukan sekali ini saja Sicu menaruh perhatian terhadap peristiwa Jit-sing-po?"
"Memangnya kenapa?"
"Bu-ing-cui-sim-jiu yang Sicu yakinkan, bukankah satu sumber dengan racun penghancur jantung yang menjadi kemahiran Ji Ing-hong?"
"Untuk ini Cayhe tidak menyangkal," sahut Ji Bun.
"Kalau demikian, kau pasti ada hubungan dengan Ji lng-hong."
"Betul."
"Pernah apa Sicu dengan dia?"
Muka Ji Bun membesi hijau, kini cukup sepatah kata saja bakal merubah situasi seluruhnya. Kalau dia berterus terang akan asal usulnya sendiri, itu berarti dia harus mulai beraksi menuntut balas kepada para musuhnya secara terbuka. Perlukah dia tetap merahasiakan diri untuk beberapa lama" Sebelum mendapat
-- keterangan dan mengumpulkan data-data yang lengkap tidak akan bertindak" Atau sekarang juga dia harus bekerja" Apakah waktu dan sasaran yang harus diganyangnya sekarang tepat" Beberapa kali pikirannya berputar, akhirnya dia berkeputusan, dikala berhadapan langsung dengan Siangkoan Hong barulah tiba saatnya yang paling baik untuk dia turun tangan, maka dia tekan gejolak hatinya yang hampir meledak. Dia sengaja pura-pura penasaran, katanya:
"Hubungan kami bukan sembarangan, tapi juga tidak terlalu kenal, keadilan Bu-lim tidak boleh diinjak-injak, betul tidak?"
"Sicu tidak bicara setulus hati bukan?" jengek Siu-yan.
Diam-diam terperanjat hati Ji Bun akan kelihayan orang, namun lahirnya dia amat tenang, katanya pura-pura bingung: "Apa yang Suthay maksudkan?"
"Apa betul Siau-sicu bertujuan demi keadilan Bu-lim?"
"Kukira memang demikian,"
"Sebelum bicara soal keadilan, apakah perlu membedakan salah dan benar secara jelas?"
Ji Bun mati kutu, namun dia balas bertanya dengan pedas:
"Cayhe justru ingin tahu di mana letak salah benar dari peristiwa besar ini."
"Siau-sicu, kau pernah menolong jiwa Siangkoan Hong, karena keluhuran budimu ini, seluruh Wi-to-hwe meski harus bertindak kepadamu juga pasti memberi kelonggaran, kubisa menerima
-- pendirianmu dalam menyelidiki peristiwa besar namun kau sendiri harus berterus terang menjelaskan asal-usulmu bukan."
Kembali Ji Bun gelagapan, dia merasa kehabisan kata-kata, setelah ragu-ragu sebentar, dia, menjawab: "Cayhe harap bisa berhadapan langsung dan bicara dengan Siangkoan Hong sendiri."
Siu-yan Loni manggut-manggut, katanya kemudian setelah berpikir: "Boleh, kapan Sicu akan berkunjung, ke Tong-pek-san?"
"Sekarang juga boleh berangkat."
"Baik, akan kuatur supaya kau bertemu dengan dia."
"Terima kasih. Cayhe mohon diri," setelah memberi hormat Ji Bun putar tubuh dan tinggal pergi.
Sekeluar dari pintu kelenteng Ji Bun disongsong cahaya matahari yang terang benderang, kicau burung nan merdu berkumandang di dalam hutan, kabut mulai menghilang, cuaca cerah cemerlang, namun relung hatinya diliputi awan mendung yang tebal.
Dari apa yang pernah dia dengar dari cerita ayahnya, serta kata-kata Kwe-loh-jin waktu membicarakan keselamatan ibundanya, Ji Bun yakin bahwa pihak Wi-to-hwelah yang melakukan pembantaian besar-besaran di Jit-sing-po, namun beberapa kejadian nyata yang pernah dialaminya beberapa kali belakangan ini seolah-olah melunturkan keyakinan dan dugaannya semula.
-- Dari pembicaraan dengan Siu-yan Loni barusan, jelas Siangkoan Hong merupakan salah seorang tokoh yang berkedudukan penting dan dihormati dalam Wi-to-hwe, hatinya semakin berat. Mau tidak mau ia terbayang pula akan kematian ayahnya di jalan raya Kayhong yang mengenaskan itu. Peristiwa di Bok-to-am yang mengerikan dan kejam itu betulkah perbuatannya" Jika peristiwa ini tersiar luas di kalangan Kang-ouw, reaksi apa pula yang bakal timbul oleh sesama kaum persilatan"
Tidak lama kemudian Ji Bun sudah tiba di jalan raya dan menuju ke arah Tong-pek-san. Adanya kejadian yang berlainan satu sama lain menjadikan perasaan Ji Bun berlainan pula setiap kali dia menuju ke Tong-pek-san. Pikirnya, setelah berhadapan dengan Siangkoan Hong, kalau dia menyangkal atau mungkin soal perbuatan Wi-to-hwe yang melakukan pembantaian di Jit-sing-po, tidak mengaku telah membunuh ayahnya pula, lalu tindakan apa yang harus dia lakukan" Thong-sian Hwesio terang tidak berada di markas, berarti mengurangi kekuatan musuh yang tangguh, namun adanya Bu-cing-so, Siang-thian-ong dan lain-lain jago kosen, apa lagi kalau mereka mengeroyok dirinya, yakinkah dirinya bisa mengalahkan mereka"
Tengah dia berjalan dengan pikiran kusut, tiba-tiba sebuah suara berkumandang dari belakangnya: "Ji-siauhiap, tunggu sebentar!"
Kejut Ji Bun bukan main, baru pertama kali ini ada orang memanggilnya dengan nama aslinya, segera ia berhenti dan berpaling dengan siaga, seorang laki-laki yang masih asing telah berdiri didepannya, sorot matanya tajam, dan jelilatan mengawasi dirinya.
-- Sekilas dia tatap laki-laki asing ini, lalu bertanya dengan kereng:
"Orang kosen darimana sahabat ini?"
Laki-laki tak dikenal itu bergelak tawa, ujarnya : "Tak berani kuterima sebutan orang kosen, aku hanya seorang pesuruh saja."
"Darimana kau bisa tahu kalau aku she Ji" Siapa pula yang menyuruhmu kemari?"
"Orang yang menguasai mati hidup ibundamu itulah."
Mendidih darah Ji Bun, otot di jidatnya seketika menegang, wajahnya merah diliputi nafsu membunuh, bentaknya: "Kau sekomplotan dengan Kwe-loh-jin?"
"Ji Bun," jengek laki-laki tak dikenal itu, "bicaralah dengan sopan, kedatanganku ini membawa manfaat bagimu ........"
"Manfaat" Hm, kebetulan kau datang, ada beberapa persoalan kau harus menjawabnya."
"Jangan terlalu banyak kau menaruh harapan pada diriku, kecuali menjalankan perintah, segala persoalan aku tidak tahu menahu."
"Memangnya kau takkan buka mulut bila kuringkus."
"Ji Bun," kata orang itu tanpa menghiraukan ancaman Ji Bun,
"bukankah sekarang kau hendak ke markas Wi-to-hwe, untuk menuntut balas" Kau hanya mengantar jiwamu saja."
-- "Mengantar jiwa saja" Apa maksudmu?"
"Dengan bekal kepandaianmu sekarang. Kau mampu melawan keroyokan mereka?"
"Itu urusanku, tak perlu kau campur tahu."
"Masih ada, kau yakin bisa menyelamatkan diri dari Sian-thian-cin-khi Thong-sian Hwesio yang lihay itu?"
"Apa maksudmu?"
"Aku hanya disuruh menyampaikan beberapa patah kata saja padamu."
"Siapa majikanmu" Apa pula tujuanmu?"
"Maaf, siapa majikanku tidak bisa kujelaskan, soal tujuan, ialah meminjam tanganmu untuk menghancurkan Wi-to-hwe, dua pihak sama-sama memungut untungnya."
"Apa" Meminjam tanganku?" teriak Ji Bun kaget.
"Betul, majikanku berjanji, setelah tugas berat ini berhasil, kau akan diberi kesempatan menemui ibundamu dan membeber segala persoalannya."
Memang sebuah umpan besar yang penuh daya tarik bagi Ji Bun, apalagi menghancurkan musuh memang menjadi idamannya untuk
-- menuntut balas bagi seluruh warga Jit-sing-po yang telah gugur.
Diam-diam ia menimbang, kepandaian Kwe-loh-jin cukup tangguh, gerak-gerik serta sepak terjangnya serba misterius, bukan mustahil majikan orang ini adalah juga dia. Memangnya ia sendiri merasa kekurangan tenaga dan tak mampu membebaskan ibunya, tak sangka orang malah mengajak kerja sama, maka dengan nada haru ia berkata: "Apakah janji majikanmu dapat dipercaya?"
"Apa yang diucapkan majikanku pasti dapat dipercaya?"
"Kau bilang meminjam tanganku, padahal tadi kau bilang kemampuanku belum mencukupi untuk menghadapi jago-jago mereka?"
"Jangan kuatir, majikanku sudah mengaturnya dengan rapi."
Bangkit semangat Ji Bun, katanya: "Rencana apa yang telah diaturnya?"
"Jangan tergesa-gesa, belum selesai aku bicara."
"Baik, coba jelaskan."
"Tahukah kau siapa pembunuh ayahmu dan seorang berkedok yang menyamar beliau?"
11.32. Rahasia Wi-to-hwecu
"Siapa pembunuhnya?"


Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

-- "Thong-sian Hwesio."
"Apa" Dia?" teriak Ji Bun. sorot matanya seketika beringas, memang kecuali Thong-sian Hwesio tiada tokoh lain yang punya kepandaian tinggi dan mampu membunuh ayahnya dan orang berkedok itu. Desisnya sambil mengertak gigi: "Siapa saksinya?"
"Majikanku."
Ji Bun melenggong, siapakah majikannya" Kenapa selalu menyuruh Kwe-loh-jin turun tangan kepada dirinya" Kenapa menculik ibunya" Semua ini sulit terjawab olehnya.
"Kenapa majikanmu ingin pinjam tanganku untuk menghancurkan Wi-to-hwe?"
"Sederhana saja, karena majikanku hendak memberantas penghalang bagi cita-citanya."
"Tapi aku sendiri tidak yakin dapat melawan mereka dan bertahan hidup."
"Jangan kuatir, bukankah kau boleh keluar masuk markas Wi-tohwe, malah dipandang tamu terhormat" Maka untuk turun tangan, kau harus mencari kesempatan yang paling baik, kau harus pilih waktu dan saat Thong-sian dan Wi-to-hwecu hadir baru turun tangan, kalau kedua orang ini mampus, yang lain tidak menjadi soal lagi."
-- "Lalu cara bagaimana aku harus turun tangan?" tanya Ji Bun penuh semangat.
Laki-laki tak dikenal itu celingukan sebentar, lalu mengeluarkan sebuah kantong kecil, katanya: "Nah, kau periksa sendiri."
Ji Bun menerima dan membuka kantong itu, waktu ia melongok ke dalam kantong, seketika ia menjerit kaget: "Ngo-lui-cu?"
Laki-laki tak dikenal itu menyeringai, katanya: "Ya, Ngo-lui-cu, kau kan sudah tahu kekuatannya, malaikat dewatapun tak bisa lolos dalam jarak tiga tombak."
Gemetar jari-jari tangan Ji Bun yang memegangi kantong kecil itu, memang hanya Ngo-lui-cu saja senjata terampuh yang tepat untuk menghancurkan musuhnya sekaligus, dengan membawa benda peledak ini, Sian-thian-sin-kang Thong-sian Hwesio tidak perlu ditakuti lagi, kalau dapat mengatur keadaan dengan baik, bukan mustahil seluruh jago Wi-to-hwe juga akan dijaring dan dibunuhnya semua.
Ji Bun betul-betul sudah dirangsang dendam dan hasrat menuntut balas yang tebal, sehingga kepalanya terasa panas dan pikiran butek. Tak terpikir lagi olehnya apa maksud tujuan dari bantuan orang tak dikenal ini dengan memberikan Ngo-lui-cu, yang terang kini tibalah kesempatan paling baik untuk dirinya menuntut balas. Asal sakit hati terbalas dan dapat bertemu dengan ibunda, segata pengorbanan boleh saja dilakukan. Tanyanya menegas:
"Majikanmu bilang setelah tugasku selesai, dia akan membebaskan ibuku?".
-- "Ya, sekaligus hendak membeber sebuah rahasia."
"Apakah aku harus percaya demikian saja oleh obrolanmu ini?"
"Orang she Ji, kalau majikanku sengaja mau main tipu, segala janji tetap takkan berguna. Pertama, ibumu berada di tangan kami, kedua, kau di tempat terang dan kami di tempat gelap, ketiga, dengan memegang rahasia pribadimu, berarti sudah menggenggam mati-hidupmu pula."
Bergidik Ji Bun dibuatnya, apa yang diucapkan ini memang benar, dari sini sekaligus membuktikan bahwa majikan orang itu adalah seorang yang menakutkan. Kini Hud-sim terjatuh ke tangannya. Kalau dia berhasil mempelajari ilmu yang tertera di dalam Hud-sim, pasti tiada tandingannya dikolong langit. Betapa besar ambisi orang ini dapatlah dibayangkan.
Terdengar laki-laki itu berkata pula: "Ngo-lui-cu amat dahsyat kekuatannya, kalau kau menggunakan tepat pada waktunya, terang kau akau berhasil dengan baik, cukup kau gunakan sedikit tenaga untuk menimpukannya saja."
"Cara memakainya aku sudah tahu."
"Kalau begitu kudoakan semoga kau berhasil, selamat bertemu!"
tanpa berpaling tahu-tahu badannya melesat terus menghilang, gerakannya sungguh mengejutkan.
-- Semula Ji Bun kira hanya Biau-jiu Siansing yang memiliki gerakan tubuh paling gesit, agaknya dugaan ini kurang tepat lagi, orang ini hanya seorang pesuruh. Dapatlah dibayangkan betapa hebat kepandaian majikannya.
Dengan hati-hati Ji Bun simpan Ngo-lui-cu di ikat pinggangnya, ia merasa semakin mantap dan terlindung, untuk kali terakhir sekarang ia pergi ke Tong-pek-san.
-()-* Pos terdepan yang rusak digempur pihak Ngo-lui-kiong tempo hari kini sudah di bangun lagi lebih mentereng dan angker. Begitu Ji Bun tiba di depan benteng, seorang laki-laki pakaian biru segera keluar menyambut, dia bukan lain adalah Congkoan Wi-to-hwe Ko Ling-jin, cepat ia memberi hormat sambil berseri tawa: "Siau-hiap tentu lelah dalam perjalanan, silakan, hamba mendapat perintah untuk menyambut."
"Terima kasih!" kata Ji Bun.
Di belakang benteng sudah siap menunggu dua ekor kuda, mereka naik kuda menuju ke markas. Sepanjang jalan jantung Ji Bun berdebar keras, hatinya merancang bagaimana dirinya harus bekerja nanti. Apakah Thong-sian Hwesio sudah kembali" Cara bagaimana dia harus berusaha mengumpulkan pentolan-pentolan musuh supaya lebih leluasa turun tangan"
Cepat sekali mereka sudah tiba di depan markas, seorang penjaga maju menerima kuda tunggangan mereka. Di bawah
-- petunjuk dan iringan Ko Ling-jin, Ji Bun langsung menuju ke ruang pendopo.
Wi-to-hwecu sudah menunggu dan menyongsong kedatangannya. Setelah duduk Wi-to-hwecu berkata kepada Ko Ling-jin: "Ko-congkoan, siapkan perjamuan, undanglah para Houhoat dan semua tamu-tamu yang ada untuk hadir."
Ko Ling-jin mengiakan sambil memberi hormat terus mengundurkan diri.
Diam-diam Ji Bun bersorak dalam hati, sungguh kebetulan sekali, kesempatan bakal tiba tanpa susah payah. Cuma apakah Thong-sian termasuk orang yang akan hadir di dalam perjamuan nanti?"
"Maksud kedatangan saudara muda sudah Lohu ketahui namun ada suatu persoalan mohon saudara muda suka menjelaskan secara jujur?" kata Wi-to-hwecu mulai.
Ji Bun tenangkan diri, sahutnya: "Ada pertanyaan apa", silakan Hwecu katakan."
Wajah Wi-to-hwecu yang kaku tidak menunjukkan perasaan apa-apa, namun suaranya kedengaran hambar, katanya: "Siangkoan Hong pernah mendapat pertolongan saudara muda, untuk ini dia tidak akan melupakan selama hidup. Kalau saudara bertekad ingin menemuinya demi menyelesaikan permusuhan dengan Jit-sing-po atas kematian Ji Ing-hong, oleh karena itu, terpaksa aku mohon tanya ada hubungan apakah sebetulnya antara saudara muda dengan Ji Ing-hong?"
-- Berhadapan dengan musuh besar, ingin rasanya Ji Bun mengkeremusnya, namun sekarang belum waktunya atau segala rencananya bakal gagal total, maka ia berkata: "Apakah hal ini boleh kuumumkan setelah berhadapan dengan Sangkoan Hong?"
Berkerut alis Wi-to-hwecu, katanya: "Tidak bisa dijelaskan dulu padaku?"
"Belum tiba saatnya."
"Baik, aku tidak memaksa, namun ingin kuwakili Siangkoan Hong untuk menjelaskan duduk persoalan dari permusuhan ini."
Kebetulan bagi Ji Bun, katanya: "Dengan senang hati."
Sudah lama dia mengharapkan hal ini, sayang tiada kesempatan, yang diketahui hanya ayahnya bermusuhan dengan Siangkoan Hong lantaran rebut isteri dan membunuh anaknya. Tentang bagaimana persoalan yang sebenarnya tidak diketahui. Hal ini pernah dia tanyakan kepada sang ayah, namun jawabannya juga samar-samar.
Kini Wi-to-hwecu mau mengungkat peristiwa lama ini, tentu saja amat cocok dengan keinginannya.
Sekilas terunjuk sorot derita dan sedih pada sinar mata Wi-to-hwecu, katanya pelan dengan suara berat: "Untuk menjelaskan peristiwa ini harus kembali pada masa kira-kira 20-an tahun lalu.
Pada waktu itu muncul seorang perempuan cantik molek, namanya harum terkenal di seluruh jagat. Dia bernama Cu Yan-hoa, yaitu isteri Siangkoan Hong. Yang laki-laki tampan dan yang perempuan
-- jelita, entah berapa banyak sesama kaum persilatan yang iri terhadap pasangan ini ....."
Terbayang oleh Ji Bun akan codet atau bekas luka yang membuat buruk muka Siangkoan Hong. Kalau yang perempuan dikatakan jelita mungkin benar, tapi kalau dikatakan yang lelaki tampan, hal ini amat meragukan.
Setelah merandek Wi-to-hwecu melanjutkan: "Pada suatu hari, mendadak Cu Yan-hoa lenyap tak karuan parannya. Semula Siangkoan Hong tidak menaruh perhatian, ia sangka isterinya keluar mengurus sesuatu. Namun setelah beruntun beberapa hari tidak kunjung pulang barulah Siangkoan Hong menyadari urusan tidak sederhana. Selama mereka menikah belum pernah mereka berpisah, hal ini menandakan isterinya pasti mengalami sesuatu yang harus dikuatirkan, apalagi waktu itu Cu Yan-hoa sedang hamil ....."
Dengan hati gelisah, masgul dan lama kelamaan putus asa, Siangkoan Hong menjadi gelandangan Kang-ouw untuk mencari isterinya. Betapa sedih dan tersiksa hatinya, kiranya siapapun dapat membayangkan. Tak lama kemudian, dia mendapat kabar bahwa isterinya, Cu Yan-hoa diculik oleh Jit-sing-pocu Ji Ing-hong ......"
Berubah air muka Ji Bun, namun sekuatnya dia menahan diri.
Tutur Wi-to-hwecu lebih lanjut dengan mengertak gigi: "Jit-sing-pang berkuasa dan banyak tenaganya. Jit-sing-po merupakan sebuah perkampungan angker dalam Bu-lim. Lwekang dan kepandaian silat Ji Ing-hong teramat tinggi. Untuk menolong isterinya dari mulut harimau, Siangkoan Hong tahu dirinya tidak mampu, namun isterinya tercinta sedang hamil, betapapun sulitnya
-- juga harus berusaha menolongnya. Dalam keadaan terpaksa akhirnya dia merusak wajah sendiri dan menyelundup ke Jit-sing-po
...." "Bagaimana kelanjutannya?" tanya Ji Bun tak sabar.
"Setelah berada di dalam benteng perkampungan, dia berlaku hati-hati. Setiap hari dia harus bermuka-muka dan munduk-munduk untuk mengambil hati Ji Ing-hong. Syukurlah dia dibekali kepandaian yang berbakat, akhirnya dia diangkat menjadi salah seorang guru silat, duduk berdampingan dan berdiri sejajar dengan tujuh jago kosen lainnya di dalam perkampungan, mereka dijuluki Jit-sing-pat-ciang (delapan panglima Jit-sing)."
Nafas Ji Bun agak memburu, walau dia adalah Siau-pocu, namun sejak kecil terisolir, dididik dalam lingkungan tersendiri, maka segala seluk beluk dalam perkampungan sama sekali tidak diketahui. Kini seakan-akan dia mendengar dongeng saja.
"Sekejap mata beberapa tahun telah berselang. Usaha Siangkoan Hong memang tidak sia-sia, akhirnya ia berhasil menyelidiki bahwa isterinya ternyata telah menjadi gundik kedua Ji Ing-hong. Ia marah dan berduka akan nasib isterinya karena kekejian dan kekotoran Ji Ing-hong. Sampai sekian lamanya dia tetap tak berhasil mendapatkan kesempatan menemui isterinya. Mengingat keturunan yang dikandung dalam perut isterinya, tekadnya menjadi besar untuk selekasnya berhadapan dengan isteri terkasih, maka dia tidak kenal putus asa, dia menanti dengan sabar, sabar ......"
"Apakah ini kenyataan?" tak tertahan Ji Bun bertanya.
-- Geram menyala sorot mata Wi-to-hwecu, penuh dendam dan kebencian, katanya: "Sudah tentu kenyataan. Pada suatu hari, akhirnya ia mendapat kesempatan bertemu dengan isterinya. Dari pertemuan itu baru dia tahu bahwa isterinya bertahan hidup demi keturunan darah daging dalam kandungannya. Iapun berharap dapat bertemu sekali lagi dengan suaminya ......."
"Jadi ada keturunan Siangkoan Hong yang tertinggal dalam perkampungan?"
"Semula hal ini masih teka-teki, karena setelah Cu Yan-hoa melahirkan, anaknya segera disingkirkan. Dia sendiri tidak tahu anaknya itu laki-laki atau perempuan, juga tidak tahu apakah anaknya itu masih hidup atau sudah mati, untuk inilah dia bertahan hidup. Sayang pertemuan mereka suami isteri konangan oleh Ji Ing-hong.
"Ji Ing-hong memang manusia durjana yang kejam, dia tidak bersikap apa-apa pada waktu itu. Beberapa hari kemudian, dia menjamu Siangkoan Hong, dia berjanji memberi kesempatan kepada mereka suami-isteri untuk berkumpul dan hidup rukun kembali, iapun mengakui akan kesalahannya ...... " sampai di sini, kulit muka Wi-to-hwecu tampak mengencang dan gemetar, suaranyapun menjadi serak namun dendam dan kebenciannya tetap menyala-nyala.
Timbul perasaan ruwet dalam hati Ji Bun. Di samping merasakan tugas menuntut balas yang kian menekan, iapun merasa malu dan
-- menyesal akan Bentrok Rimba Persilatan 5 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Bara Naga 6
^