Hikmah Pedang Hijau 5

Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Bagian 5


aneh dan sakti seperti sekarang.
Serangan yang dilancarkan kedua orang itu tampaknya lambat, tapi ternyata cepat luar biasa, sewaktu bergerak
telapak tangan kelihatan lambat, tapi sampai setengah jalan segera tubuh lawan di-cecar dengan serangan gencar.
Sebaliknya serangan itu bisa secepat kilat, tetapi sewaktu tiba di depan musuh, mendadak berubah lagi menjadi lambat sekali.
Lambat atau cepatnya serangan mereka, Tian Pek tetap kewalahan, dia harus menggunakan tiga sampai lima jurus untuk bisa memunahkan ancaman yang datang, karena itulah baru dua-tiga gebrakan pertarungan itu berlangsung, Tian Pek sudah dibikin kalang kabut dan terdesak hebat.
Ketenangan yang dimiliki anak muda itu kini jadi lenyap, ia tak dapat melayani musuhnya seperti waktu berlangsungnya pertarungan melawan Tok kah-hui-mo, iapun tak dapat menyadap jurus serangan lawan sebab serangan yang dipakai kedua lawan-tidak teratur.
Bahwasanya ilmu silat yang dipelajari Tian Pek memang campur-aduk, ia pernah melatih ilmu silat" nya sendiri selama belasan tahun dengan tekun, tapi tiada guru pandai yang memberi petunjuk, karenanya jurus serangan yang dipelajari waktu itupun beraneka ragam dan cuma iimu silat kembangan belaka.
Kemudian ia belajar Sim hoat (tenaga dalam) menurut catatan dalam kitab Thian-hud-pit-kip, tenaga dalamnya memang mendapat kemajuan pesat, matanya makin tajam dan pendengarannya hebat, bahkan boleh dikatakan mendekati puncak kesempurnaan, tapi sayang dia kurang praktek dan tidak tahu cara penggunaannya.
Sesudah beruntun melakukan pertarungan sengit melawan beberapa jago lihay, hasil dari penyadapan tersebut dapatlah ia menggunakan beberapa jurus serangan.
Tapi sekarang Tian Pek menghadapi kedua orang aneh yang kosen jelas dia masih ketinggalan jauh sekali.
Belasan gebrakan baru lewat, Tian Pek lantas tercecar, setiap kali pedangnya bermaksnd mengancam tubuh musuh, setiap kali pula ia harus menarik kembali serangannya karena terdesak oleh angin pukulan musuh yang ampuh.
Lambat laun Tian Pek mulai kewalahan, ia tambah terperanjat melihat kelihayan lawan, dalam waktu singkat dia merasa bayangan putih memenuhi sekitarnya, serangan musuh se-olah2 datang dari segenap penjuru, ini membuat matanya jadi ber-kunang2 dan kepala mulai pusing tujuh keliling.
Baik eepat atau lambat, serangan itu membawa desiran angin tajam, angin pukulan itu dingin merasuk tulang. di manapun dia berpaling di situ terdapat bavangan putih.
Tian Pek merasa disekitarnya dipenuhi bayangan musuh, makin lama bayangan itu makin banyak, hanya sekejap mata kemudian seluruh gelanggang telah dipenuhi bayangan musuh.
Tian Pek bukan orang bodoh, tentu saja dia paham darimana munculnya begitu banyak bayangan musuh, ia pun tahu bayangan itu hanya suatu tipuan belaka karena kecepatan gerak lawan, lama2 ia tak mampu lagi membedakan bayangan mana yang asli dan mana yang tipuan.
Hanya satu hal yang dapat dikerjakan olehnya ketika itu, yakni memutar pedang sedemikian rupa sebingga serangan musuh tak mampu menembus pertahanannya.
Ilmu pedang Sam-cay-kiam-hoat yang dipahami Tian Pek adalah ilmu pedang yang sangat umum, tapi di bawah permainan Tian Pek sekarang menjadi hebat luar biasa, hal ini pertama disebabkan karena pedang yang dipakainya
adalah pedang mestika, kedua karena tenaga dalam yang dimilikinya sudah memperoleh kemajuan yang pesat.
Oleh sebab itulah ilmu pedang Sam-cay-kiam-hoat yang sebenarnya amat sederhana, dalam permainan anak muda itu menjadi hebat sekali, sinar tajam tampak menggulung kesana-kemari ibarat ombak di tengah samudra. hawa pedang yang dingin berembus menimbulkan suara mendengung bagaikan guntur menggelegar.
Betapapun dua orang manusia aneh itu jadi terperanjat, ilmu silat yang diyakinkan mereka adalah suatu ilmu pukulan yang dinamakan Tay-kek-ciang-gi-li hun-ciang (pukulan dua unsur pembetot nyawa), bukan saja hebat dalam serangan juga ampuh dalam kekuatan, jarang sekali orang bisa bertahan sebanyak sepulah gebrakan dengan mereka, tapi kenyataannya sekarang, bukan saja Tian Pek mampu bertahan sampai puluhan gebrakan, malahan untuk merobohkannya juga sukar rasanya.
Hanya sekejap lima enam gebrakan kembali telah lewat.
"Orang mati bidup" masih bisa bersabar, sejurus demi sejurus dia menyerang terus secara gencar. Sebaliknya
"orang hidup mati" yang berangasan, lama2 menjadi habis sabarnya, ketika dilihatnya Tian Pek masih bertahan secara rapat dan meyakinkan, ia bersuit nyaring, tiba2 dengan jurus Im-yang gi-liok (jalan berbeda antara dunia dan akhirat) telapak tangan kirinya membabat ke depan, menyusul telapak tangan kanan membacok bagaikan kampak ke atas kepala musuh, dalam sekejap lima tempat jalan darah penting anak nmda itu sudah terkurung oleh bayangan pukulannya.
Serangan itu sungguh ampuh, kontan Tian Pek merasakan kepalanya pusing dan matanya berkunang-
kunang, ia tak bisa membedakan lagi dar1 mana munculnya serangan ampuh kedua lawannya.
Dalam keadaan demikian terpaksa dia mengembangkan permainan pedangnya sedemikian rupa hingga jangankan angin pukulan, hujanpun mungkin tak akan menembus pertahanannya itu, kini ia lebih mementingkan keselamatan sendiri daripada melukai musuh, ia tidak memusingkan lagi serangan musuh yang gencar dan dahsyat itu.
Keadaan anak muda ini sekarang ibaratnya orang buta menunggang kuda, sekalipun kudanya sudah berada di tepi jurang, namun dia masih tidak menyadari akan bahaya yang sedang menanti.
Mendadak "orang msti hidup" melihat sesuatu untaian yang tergantung di gagang pedang mestika itu, hatinya tergetar, seperti tidak sengaja dia menarik tubuh rekannya kebelakang hingga serangan maut yang sebenarnya hampir bersarang di tubuh anak muda itu mengenai tempat kosong.
Selagi si "orang hidup mati" akan umbar rasa gusarnya, tahu2 si "orang mati hidup" dengan cepat meraih benda yang tergantung di gagang pedang tadi, menyusul ia lantas melompat mundur.
Tentu saja "orang hidup mati" tak tahu apa maksud rekannya, tapi ketika dilihatnya "orang mati hidup"
melompat mundur dari gelanggang, meski dengan hati tak senang terpaksa iapun ikut melayang mundur dari situ.
Dengan mundurnya kedua orang itu, Tian Pek merasa daya tekanan yang mengurungnya lantas berkurang, akhirnya bayangan putih yang memenuhi sekitar gelanggangpun lenyap tak berbekas, dia tarik kembali pedangnya lalu berdiri dengan pedang melintang di depan dada.
Dalam pada itu kantong kecil yang dirampas kedua orang aneh itu sudah dibuka. mereka ambil keluar secomot rambut manusia, lalu saling pandang sekejap kemudian rambut itu disodorkan ke depan Tian Pek sambil membentak: "Apakah ini?"
Ttntu saja Tian Pek tahu gumpalan rambut itu adalah barang tinggalan ayahnya, ia menjadi murka, dengan mata melotot dia melangkah muju seraya membentak:
"Kembalikan kepadaku! Darimana kalian msndapatkan benda ini?"
Kedua orang aneh itu tertegun, mereka tak menyangka secara tiba2 anak muda itu bisa ber-ubah segalak itu, sambil mencibir mereka lantas buang gumpalan rambut itu ke arah Tian Pek.
"Huh, memangnya benda mestika apa, ambil kembali!"
jengek kedua orang itu.
Lalu dari bungkusan itu mereka keluarkan pula seutas tali serat, mereka saling pandang lagi sekejap, tanpa bicara mereka berseru ke arah Tian Pek dan bertanya dengan sangsi: "Dan benda apa pula ini?"
"Tak usah banyak bicara, hayo kembalikan padaku!"
teriak Tian Pek lagi dengan penasaran.
Rupanya anak muda itu tak menyangka kalau
bungkusan tersebut di peroleh "orang mati hidup" dari gagang pedangnya. dia cuma heran darimana kedua itu bisa mendapatkan barang peninggalan ayahnya itu, sebab dia masih ingat barang2 itu dulu dicecerkan di sepanjang jaian oleh Hui It-tong.
"Jangan kalian bongkar isi kantong itu!" kembali anak muda itu berteriak. "Semua itu milikku!"
Kalau ucapan itu digubris masih mendingan bukannya menuruti permintaannya, kedua orang itu malahan makin cepat membongkar isi kantong itu, sehabis melempar seutas serat tadi, mereka melemparkan pula sebiji gotri baja dan sebiji kancing tembaga, semuanya dilemparkan kembali kepada Tian Pek.
Akhirnya kedua orang aneh itu ambil keluar sebiji mata uang tembaga dari kantong itu, tiba2 seperti kena dipagut ular berbisa mereka melonjak
kaget sambil meraung seperti orang kalap dan me-narik2
rambut sendiri.
Kedua orang itu benar2 seperti orang gila, menjerit dengan histeris, banyak rambut mereka yang rontok dan beterbangan di udara.
Sekali ini giliran Tian Pek yang terkejut, sudah tentu ia tak tahu apa sebabnya secara tiba2 kedua orang aneh itu menjadi gila.
Sesudah menjambak, mereka mulai memukuli dada sendiri, setelah itu menghajar pula kepala sendiri dengan keras, teriakan sedih menggema dari mulut kedua orang itu bagaikan lolongan serigala di tengah malam, kemudian mereka saling berpelukan. kepala mereka saling diadu dengan kerasnya sampai berbunyi: "Duuk-duuk", sekalipun sangat keras benturan itu, namun mereka tidak merasakan sakit.
Tian Pek berdiri melongo, kebinguugan oleh tingkah laku orang yang aneh itu, ia tak tahu sebab musababnya dan apa yang mesti dilakukannya.
Mendadak kedua orang aneh itu mendekatinya, yang satu pegang lengan kirinya dan yang lain pegang lengan kanannya.
Tian Pek tidak menduga sama sekali, pula gerakan kedua orang aneh itu memang cepat luar biasa, tahu2 ia sudah terpegang kencang oleh mereka.
Sungguh luar biasa kaget anak muda itu, ia merasa tulangnya amat sakit seperti mau patah, tapi dia tetap membungkam, bertahan sekuatnya.
"Hayo jawab, apakah pedang ini Pedang Hijau Bu-ceng-pek-kiam?" teriak si "orang mati hidup" yang berada di sebelah kanan dengan nada pedih.
"Lepaskan aku!" bukan menjawab, Tian Pek malahan berteriak marah.
"Apakah kau keturunan Tian In Thian. Tian tayhiap?"
kembali "orang hidup mati" yang ada di sebelah kiri menjerit dengan suara pilu.
Meskipun sedih dihati, Tian Pek tetap membungkam.
Tiba2 kedua orang itu lepaskan cengkeramannya dan serentak memberi hormat kepada Tian Pek.
"O Thian memang punya mata, akhirnya kutemukan juga keturunan In jin (tuan penolong)!" jerit "orang hidup mati" dengan berduka.
"O Thian tak punya mata, dendam kesumat Injin tetap tenggelam di lautan!" sambut si "orang hidup mati'" tak kalah sedihnya. "Kemana kami mencari pembunuh terkutuk itu"'
"Tidak!" tiba2 si "orang mati hidup" mendorong "orang hidup mati" sambil memperlihatkan mata uang tembaga itu, serunya. "Saudaraku, coba lihat apakah ini?"
"Orang hidup mati" memandang sekejap benda itu kemudian menangis ter-gerung2, suaranya memilukan membuat orang ikut iba hati.
Selang sesaat kemudian, "orang hidup mati" berkeluh dengan sedihnya: "Karena kematian Injin yang tidak jelas dan untuk menyelidiki jejak pembunuhnya terpaksa kita hidup menderita lahir batin, kalau tak dapat membalas budi, lebih baik mati daripada hidup. Karena itu kita mengasingkan diri dan mengganti nama jadi Hoat-si jin dan Si-hoat jin. tapi kini setelah melihat benda ini... ."
Sambil menuding mata uang tembaga di tangan si "orang mati hidup", kembali "orang hidup mati" melanjutkan kata2nya dengan air mata bercucuran: "Sekarang kita sudah tahu siapa pembunuhnya, sayang kita tak mampu balaskan dendam bagi Injin, coba kemana mesti ditaruh muka kita ini?"
"Benar, saudaraku," keluh "orang mati hidup" pula sambil menangis, "kita kehilangan muka, apalagi artinya hidup kita ini, lebih baik mati saja....!"
Kedua orang aneh itu lantas saling rangkul dan meng-gerung2, suaranya memilukan hati ....
Tian Pek berdiri tercengang, tak tersangka olehnya manusia aneh yang lihay bagaikan sukma gentayangan itu ternyata memiliki perasaan yang hangat dan simpati, bahkan meuurut pembicaraan mereka jelas kedua orang ini adalah sahabat karib mendiang ayahnya.
Rasa benci, dendam dan dongkol yang semula
menyelimuti hatinya kini tersapu lenyap, sebaliknya malah timbul suatu perasaan aneh, perasaan akrab terhadap sanak keluarga sendiri.
Melihat mereka menangis sedih, serta merta Tian Pek menghiburnya dengan suara lembut: "Kalian tak usah bersedih. Sekalipun sekarang kita tak bisa membalas dendam, toh kesempatan di masa mendatang masih amat panjang. Kalian tentu pernah mendengar pepatah kuno
yang mengatakan: Balas dendam bagi seorang kuncu, sepuluh tahun juga belum terhitung lambat. Asalkan kalian punya tekad yang bulat, maka aku Tian Pek dan juga arwah ayah di alam baka pun akan berterima kasih kepada kalian!"
Seandainya Tian Pek tidak menghibur, mungkin kedua orang aneh itu cuma menangis saja, sekarang mendadak mereka malah ber-teriak2 dengan air mata bercucuran: "O .
. . .' kami malu terhadap sababat lama..kami malu terhadap sahabat lama ....!"
Sembari berteriak kalap, si "orang mati hidup" lari mendekati sebatang pobon yang cukup besar, kemudian membenturkan kepalanya pada batang pohon tersebut sekerasnya.
Rupanya saking berdukauya dia hendak bunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada pobon.
Tian Pek menjadi kelabakan, dia ingm mencegah perbuatan nekat orang itu, tapi di sebelah sini si "Manusia hidup mati" yang sedang menangis tiba2 juga menghampiri pohon yang lain terus menumbukkan kepalanya.
"Kraak! Kraak!" bukan mereka yang roboh karena benturan itu, sebaliknya pohon besar dan kuat itulah yang tertumbuk patah jadi dua bagian, daun berguguran, pasir beterbangan, tumbanglah pohon itu.
Sungguh lucu, kedua manusia aneh itu gagal membunuh diri, sebaliknya pohon yang diseruduknya malahan tumbang berantakan.
Diam2 Tian Pek menjulurkan lidahnya karena kagum bercampur kaget, bukan sembarangan orang dapat berbuat demikian jika mereka tidak mempunyai tenaga ribuan kati.
Kedua manusia aneh itu semakin penasaran, melihat maksud mereka untuk membunuh diri tidak berhasil,
mereka lantas menumbuk-numbukkan lagi kepalanya pada pohon yang lain.
Gempuran keras menggelegar di sana-sini, suaranya memekak telinga, setiap kali mereka menumbuk batang pohon, maka pohon besar itupun tumbang, hanya sekejap saja sudah berpuluh batang pohon berserakan di tanah, keadaan jadi porak-poranda dan mendatangkan rasa ngeri bagi yang melihat.
Untung di sekitar tempat itu tak ada orang lewat, kalau tidak pasti mereka akan mengira di tempat itu baru terjadi gempa hebat, makanya pohon raksasa itu sama bertumbangan.
Lambat laun kedua manusia aneh itu mulai sadar, tak mungkin mereka bisa menghabisi jiwa sendiri dengan menumbukkan kepala pada batang pohon, akhirnya sambil menangis ter-gerung2 mereka kabur tinggalkan tempat itu.
Cepat nian gerak tubuh kedua orang aneh itu, hanya sekejap saja mereka sudah lenyap, hanya ter-dengar suara tangisan mereka yang memilukan hati menggema di angkasa.
Tian Pek berdiri ter-mangu2 mengawasi berlalunya kedua orang itu. Sama sekali tak terduga bahwa kedua orang aneh itu sangat perasa dan besar emosinya....
Tian Pek menghela napas, pikirnya: "Dari pembicaraan mereka, tampaknya kedua orang itu tahu siapa pembunuh ayabku, tapi kenapa mereka bilang tak sanggup membalaskan dendam kematian ayah .,..?"
Mendadak teringat akan sesuatu, anak muda itu membanting kaki dan berseru dengan gegetun: "Ai, aku memang tolol, kenapa tidak kutanyakan kepada mereka siapakah orangnya ....?"
"He, bocah, kau lupa tanya siapa?" tiba2 seseorang menanggapi dari belakang. "Memangnya kau sudah sinting, masa bicara sendirian di sini?"
Cepat Tian Pek berpaling, ia lihat orang itu tak lain adalah Lak jiu-tong-sin (tangan keji berhati bocah) Hui It-tong.
Terkesiap hati anak muda itu, dahinya langsung berkerut. ia tahu orang tua ini paling susah dilayani sebab dia tak kenal aturan baik dalam pembicaraan maupun dalam perbuatan.
Sementara itu Hui It tong sedang tertawa ter-bahak2
tampaknya dia sangat senang, sambil picingkan mata dia menggoda: "Eh, bocsh cilik, kenapa kau unjuk muka tak senang, kau tidak suka berjumpa dengan aku si orang tua?"
Tian Pek tidak menggubrisnya.
Kembali orang tua itu berseloroh: "Tapi kita justeru bertemu lagi, tampaknya kita memang ada jodoh, hibihi....
Coba lihat, bukankah kita bertemu lagi di tempat yang sama dulu?"
Tian Pek tertegun. ia jadi teringat kembali bahwa hutan ini memang tempat di mana ia berjumpa dengan Yan in ngo-pak-thian yang mau membegal barang kawalannya dahulu. Tempatnya masih seperti sediakala, tapi selama lebih sebulan ini entah sudah berapa banyak pengalaman aneh yang ditemuinya.
'Hihihi .. ..!" kembali Hui It-tong tertawa, "kalau memang kita ada jodoh, nah, serahkan saja padaku!"
"Ini dia, penyakitnya kumat lagi!" demikian pikir Tian Pek di dalam hati, cepat dia mundur selangkah sambil menyengir.
"Locianpwe!" ucapnya, "belum cukupkah engkau menggoda diriku" barangku sudah kau cerai-beraikan di tanah, sekarang kau datang menggoda lagi. Katakanlah!
Apa yang kau kehendaki" Aku sudah tak punya barang apa2 lagi"
"Hihihi.. jangan kuatir nak, aku tak bakal mengincar barang rongsokanmu itu, kali ini aku minta yang lain saja"
sambil cekikikan Hui It-tong menunjuk pedang pusaka di tangan anak muda itu. Lalu menyambung: "Coba, pedang itu saja berikan kepadaku?"
Tian Pek naik darah, ia pikir: "Keparat, memangnya aku Tian Pek boleh diperlakukan sesukamu."
Dengan mata melotot ia lantas berkata: "Locianpwe, tentunya kau tahu pameo yang mengatakan: Senjata merupakan nyawa kedua bagi orang yang belajar silat.
Apakah engkau tidak merasa permintaanmu itu kelewat batas"
Seketika air muka si kakek berhati bocah itu berubah, ia membentak: "Kurang ajar, tak usah banyak bicara, jawab saja, mau kau serahkan atau tidak?"
Tian Pek tertawa dingin: "Kalau tidak, lantas kau mau apa?" tantangnya dengan angkuh.
Hawa napsu membunuh terlintas di wajah Hui It-tong.
Tian Pek mengira orang akan rebut pedangnya, cepat iapun menghimpun tenaga dan bersiap siaga.
Tidak terduga setelah mengerling sekejap ke sana, tiba2
air muka kakek itu berubah menjadi lembut, dia memandang batang pohon yang berserakan itu. lalu sambil menuding batang pohon itu ia bertanya: "Bocah, apa yang terjadi di sini" Mengapa pepohonan itu pada tumbang begini?"
Tian Peng sangat mendongkol, ia merasa di permainkan orang, setengah harian dia merasa tegang tak tahunya orang itu malah bertanya secara santai, ingatan lain cepat melintas dalam benaknya: "Kenapa aku mesti melayani orang tua ini dan buang waktu percuma?"
Maka cepat dia menjawab: "Kalau Cianpwe tertarik pada kejadian ini, silakan tetap tinggal d1 sini dan selidikilah sendiri, maaf aku tak bisa menemani lebih lama, aku harus pergi karena ada urusan penting lainnya, selamat tinggal. . .
. . !" Seiesai bicara, anak muda itu lantas angkat kaki.
"Eh, bocah, kau ingin kabur begitu saja?" terdengar suara jengekan, tahu2 Hui It-tong mengadang lagi di depannya.
"Lebih baik jangan main2 denganku, kalau masih nekat, hm, itu namanya cari penyakit sendiri!"
"Baik, kalau Ciaupwe ingin main kekerasan, hayo seranglab, akan kuhadapi sekarang," teriak Tian Pek ketus.
Hui It tong mendengus, lalu memandang lawannya dengan sikap menghina.
"Anak muda, apa kau bilang" Kau menantang aku untuk main kekerasan" Baik, kau memang bernyali!"
Tian Pek tak gentar. dia busungkan dada dan menjawab:
"Kalau Locianpwe tidak keberatan, silakan beri petunjuk beberapa jurus kepadaku!"
Hui It tong tidak menanggapi, biji matanya mengerling liar dengan mimik yang sukar diraba.
Tian Pek tahu Lak-ji-tong-sim Hui It-tong ini meski kelihatan angin2an, tapi hatinya sangat keji dan banyak tipu akalnya, ia kuatir oring mendadak menyerangnya maka diam2 ia bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Lak-jiu-tong-sim memang aneh orangnya. dikala ketegangan sudah mencapai puncaknya dan pertaruanan segera akan berlangsung, tiba2 ia kendurkan kembali sikap tegangnya, dia berpaling dan mengamati sesuatu di sana, se-olah2 dia telah lupa pada Tian Pek yang menantangnya bertempur barusan.
Segera ia melangkah kesana sambil bergumam-"Aneh.
sungguh aneh, siapa yang menulis di atas tanah ini?"
Sikap si kakek yang sebentar keras dan sebentar lunak itu membuat Tian Pek juga sebentar tegang dan sebentar kendur, anak muda itu menjadi serba runyam.
Tian Pek tidak lagi gubris apa yang membuat heran Hui It-tong, sambil menjinjing pedang dia terus berlalu keluar hutan dengan langkah lebar.
Diam2 Tian Pek sudah ambil keputusan apabila Hui It-tong berani mengalangi jalan perginya lagi, maka dia akan lancarkan tusukan maut ke dada lawan andaikan dada kakek itu harus ditembus ujung pedang juga ia takkan menyesal.
Di luar dugaan meski tahu kepergian anak muda itu, ternyata si kakek tidak bagi mengalanginya. Malahan terdengar ia sedang membaca tulisan yang tertera di atas tanah, cuma tulisan itu dibaca dengan ter-putus2 hingga sukar dirangkai menjadi suatu kalimat yang utuh.
"Pembunuh.. ayah. , . , berdiam .. . Kimleng .
.kekuasaannya. . kolong langit..jangan bertindak gegabah. .
. . . Lu. . Tan. . " demikian terdengar Hui It tong sedang membaca tulisan itu.
Sampai berepa kali tulisan itu dibaca ulang. tapi tetap kabur artinya, lama2 kakek itu jadi jengkel dan mencak-
mencak gusar: "Sialan, tulisan apa ini ... . tak keruan seperti kentut anjing . . kunyuk !"
Tian Pek terkesiap mendengar ocehan itu pikirnya: "Ai, bukankah tulisan itu ditulis oleh si kakek penunggang keledai" Dia tentu bsrmaksud memberi petunjuk kepadaku tentang jejak pembunuh ayahku?"
Cepat anak muda itu putar balik dan lari menghampiri Hui It-tong, tapi sayang, kedatangannya terlambat sejenak.
sambil mencaci maki kalang kabut kakek itu telah menghapus tulisan di tanah itu dengan telapak kakinya.
"Locianpwe, jangan kau hapus tulisan itu!'' pinta Tian Pek dengan gelisah sambil memburu ke sana.
Tapi Hui It-tong telah menghapus semua tulisan tadi rata dengan tanah, kemudian dengan mata mendelik ia tatap anak muda itu.
"Anak muda, kau mau apa?" teriaknya dengan marah.
"Apakah kau yang tinggalkan tulisan ini" Sungguh tak becus kau menulis, kalau dilihat kau
sudah dewasa, tak tahunya baru belajar menulis sekarang ini makanya tulisan di tanah tadi sukar dibaca, corat-coret seperti cakar ayam!"
Tian Pek tak berminat melayani ocehan orang, cepat dia periksa permukaan tanah, tapi tulisan di situ sudah lenyap.
Sungguh tidak kepalang menyesal Tian Pek, sambil banting kaki ia berseru: "Ai, Locianpwe, kenapa kau selalu memusuhi aku" Apa kau tidak merasa perbuatanmu itu kebangetan. . . . "
Lak jiu-tong-sim berkeplok senang karena melihat anak muda itu menggerutu kalang kabut.
Dongkol sekali Tian Pek. dia menghela napas dan berpikir: "Kenapa aku mesti layani si tua gila ini" Lebih baik cepat kutinggalkan tempat ini. Ai, tampaknya kakek penunggang keledai itu memang berhasrat membantu aku, kalau tidak, tak nanti ia tinggalkan pedangku dan meninggalkan tulisan, sayang tulisannya sudah dihapus si tua gila itu. Tapi meski begitu, dari apa yang dibaca si gila tadi, dari kata Kim-leng agaknya pembunuh ayahku berdiam di kota Lam-keng, apa salahnya kalau kukunjungi kota tersebut sekalian mencari berita" Siapa tahu kalau aku akan temukan sesuatu petunjuk yang penting artinya, Berpikir sampai di sini, dia lantas putar badan dan hendak berltalu.
Tak terduga, Lak-jiu-tong-sim Hui It-tong kembali mengadang pula jalan perginya.
"Hei, bocah busuk, mau ke mana kau?" teriaknya dengan marah, "Pedang itu kan belum kau tinggalkan" Memangnya kau anggap gampang untuk kabur dari sini?"
Hati Tian Pek menjadi panas, dia tak mau banyak bicara lagi, begitu orang itu mengadang, dengan jurus Kiam-ci-thian-larn (pedang menunjuk langit selatan ), langsung dia menusuk jalan darah Bi-sim-hiat di dahi kakek she Hui itu.
"Bagus!!" teriak Hui It-tong.
Ia mengegos ke samping untuk menghindarkan ujung pedang anak muda itu, kemudian ia mendesak maju ke depan, tangan kiri menjulur untuk mencengkeraram urat nadi tangan kanan Tian Pek, gerakan yang dipakai adalah ilmu "merampas senjata dengan bertangan kosong,"
Tidak sampai di situ saja. berbareng tangan kanannya membabat dada kiri si anak muda.
Lak-jiu-tong-sim memang lihay, nama-besarnya bukan omong kosong belaka, meski baru satu gebrakan, jurus serangan yang dipakai ternyata tangguh dan sukar diraba ke mana arahnya.
Terperanjat Tian Pek, tak disangkanya kalau ilmu tangan kosong Hui It-tong sanggup digunakan untuk melayani serangan pedangnya malah orang tua itu terus mendesak.
Tian Pek jadi panik, sebab serangannya sudah dilancarkan setengah jalan, untuk ditarik kembali jelas tak mungkin, padahal ancaman musuh telah di depan mata.
Cepat pcrgelangan tangan kanannya ditekan ke bawah, menyusul ia mengipatkan tangannya ke samping.
Serangan tepat memang bisa dihindarkan, namun terserempet juga pergelangan tangannya dan sakitnya tidak kepalang, separoh badannya kesemutan dan hampir saja pedangnya terlepas dari genggaman.
Untung cengkeraman musuh tak kena telak namun pukulan lain yang dilancarkan Hui It-tog mengarah dadanya telah tiba pula, kali ini Tian Pek tak bisa berkelit lagi.
Dalam keadaan kepepet, mau-tak-mau Tian Pek menangkis dengan tangan kirinya, "plak", benturan keras terjadi, kedua orang sama2 tergetar mundur beberapa langkah.
Walaupun pertarungan berlangsung dari jarak dekat dan keduanya tidak memakai tenaga penuh. akan tetapi siapapnn tidak memperoleh sesuatu keuntungan.
Bagi Tian Pek kejadian yang berlangsung barusan tidak terasa seberapa hebat, tapi bagi Lak-jiu-iong-sim yang angkuh, ia tercengang melihat anak muda itu sanggup menerima serangannya dengan keras-lawan-keras, iapun
heran karena pemuda yang diketahui lemah pada sebulan yang lalu tahu-tahu muncul kembali dengan kekuatan yang luar biasa, kejadian ini dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak masuk akal.
"Bocah keparat, engkau memang hebat, tak ku-sangka kau masih punya ilmu simpanan!" teriak Hui It-tong dengan mata melotot dan alis bekernyit. "Sambut lagi pukulan ini!"
Habis ucapannya telapak tangannya lantas menyodok ke depan dengan mengerahkan delapan bagian tenaga saktinya.
Nama besar Lak-jiu-tong-sim memang bukan nama kosong, angin pukulan yang terpancar dari telapak tangannya sangat mengejutkan.
Tian Pek semakin yakin pada kekuatan sendiri setelah berhasil mengimbangi kekuatan lawan dalam bentrokan pertama tadi, tatkala dilihatnya Hui It tong menyerang lagi dengen dahsyat, cepat ia pindahkan pedang ke tangan kiri, lalu dengan telapak tangan kanan dia sambut pukulan lawan dengan keras lawan keras.
"Blang!!" benturan dahsyat tak dapat dicegah lagi, debu pasir beterbangan. suasana terasa mengerikan sekali.
Kali ini Tian Pek cuma merasakan tubuhnya bergetar keras, sedang badan sama sekali tak bergeser dari tempat semula. Sebaliknya Lak-jiu-tong-sim Hui It-tong beruntun tergetar mundur lima-enam langkah dengan sempoyongan, habis itu baru bisa berdiri tegak.
Betapa kejut Hui It-tong menyaksikan kedahsyatan tenaga anak muda itu, sudah belasan tahun dia mengembara di dunia persilatan tanpa tandingan, siapa tahu kali ini dia mesti menelan pil pahit di tangan seorang pemuda ingusan, bukan saja pukulannya tak mempan,
malahan ia sendiri yang kena tergetar ke belakang, kalau tidak mengalaminya sendiri munkin sampai matipun dia tak percaya.
Bukankah satu bulan yang lalu merekapun bertemu di sini" Ia masih ingat ilmu silat pemuda itu biasa2 saja kalau tak mau dikatakan rendah sekali tapi apa yang terjadi sekarang" Bukan saja ilmu silat-nya jadi lihay, malahan Lwekangnya mendadak menjadi kuat berpuluh kali lipat.
Watak Hui It-tong memang tinggi hati dan suka meremehkan orang lain, bahwa dia sampai tergetar mundur oleh seorang pemuda ingusan, bila berita ini tersiar, maka nananya pasti akan runtuh habis2an.
Terbayang hal itu, Hui It-tong marah bercampur kaget, matanya melotot, rambut yang putih pada berdiri seperti landak, nyata tenaga dalamnya memang luar biasa.
"Hehe boleh juga kau, sambut pula pukulanku ini!"
teriaknya dengan gusar.
Kali ini dia tidak langsung menerjang, tapi maju beberapa langkah ke depan dan pasang kuda2nya, setelah itu dia pejamkan mata dan meluruskan tangan ke muka sambil menyalurkan tenaga dalamnya, lalu telapak tangan ditarik kembali pelahan dan disilangkan di depan dada.
Dengan gerakan itu, hawa murninya menyebar ke seluruh tubuhnya, otot dagingnya mengeras dan membesar, sementara ruas tulangnya gemertuk keras, tampangnya beringas.
Keadaan kakek itu ibarat seekor ayam jago yang siap diadu, semua tenaganya terhimpun, lalu dengan mata melotot dia berputar pelahan mencari kesempatan untuk menubruk.
Diam2 Tian Pek terkejut. ia menyadari betapa gawatnya keadaan.
"Tampaknya tua bangka ini sudah nekat sehingga siap melakukan pertarungan dengan sepenuh tenaga," demikian pikirnya. "Apa salahnya kalau akupun manfaatkan kesempatan ini untuk mengukur sampai dimanakah tarap tenaga dalam yang kumiliki?"
Pedang mestikanya lantas dimasukkan ke dalam sarungnya di punggung, kemudian setelah pasang kuda2
dan memusatkan tenaga, pelahan ilmu sakti "Thian hud-sinkang" di kerahkan sepenuhnya.
Dalam pada itu Hui It-tong sudah selesai
mempersiapkan diri, dia membuka matanya, sinar mata yang tajam segera menyorot dengan seramnya,
"Anak muda, sudah siap kau?" tegur Hui It-tong dengan tertawa demi melihat anak muda itu sedang menghimpun tenaga.
"Locianpwe tak perlu sungkan, silakan turun tangan!"
jawab Tian Pek.
Baru habis ucapannya, secepat kilat Hui It-tong melepaskan pukulannya yang dahsyat.
Hui It-tong memang licik, ia sengaja mengajak bicara anak muda itu hingga hawa murni yang terhimpun jadi buyar, pada kesempatan itu pukulan dahsyat lantas dilontarkan.
Tian Pek terkejut, cepat ia tutup mulut dan menggunakan sisa kekuatan yang masih tertinggal untuk menyambut datangnya serangan.
"Blang", benturan dahsyat tak dapat dihindarkan, benturan hebat, Tian Pek merasakan telinganya
mendengung keras, matanya ber-kunang2 dan dadanya jadi sesak, hampir saja ia tak sanggup berdiri tegak.
Malahan daya tekanan lawan yang maha kuat masih terus mengalir tiba tiada habisnya bagaikan arus sungai Tiangkang yang tak ter-putus2. Tian Pek menyadari keadaan yang berbahaya itu, bila dia tidak bertahan sekuatnya, niscaya jiwanya akan amblas.
Tian Pek memang pemuda yang ulet, segera ia pusatkan tenaga dan memantek kakinya di atas tanah, secepatnya tenaga yang masih ada dihimpun
pada kedua tangan, sambil mengertak gigi dia bertahan sekuat tenaga.
Pada mulanya Lak jiu tong-sim memang pandang enteng musuhnya, malah boleh dibilang Tian Pek tak dipandang sebelah mata olehnya, tapi setelah terjadi dua kali adu kekerasan, pikiran itu segera berubah, dia menyadari akan kemampuan yang di-miliki lawannya dan tak berani pandang enteng lagi.
Maka untuk ketiga kalinya mereka beradu pukulan, ia bertindak licik, terlebih dahulu dipancing-nya Tian Pek bersuara sehingga hawa murninya buyar, setelah itu dia nenyerang dengan sekuat tenaga, ia pikir serangan ini pasti berhasil membunuh anak muda itu atau paling sedikit melukainya, dengan begitu nama baiknya dapat dipertahankan.
Maka segenap Lwekangnya yang dilatihnya selama puluhan tahun sekaligus dilontarkan, katika dilihatnya Tian Pek sambut serangan itu dengan kekerasan, diam2 ia bergirang di dalam hati.
"Bocah keparat, mampus kau kali ini," demikian ia membatin.
Siapa tahu tenaga pukulan Tian Pek mendadak terpancar tiba pula dan bahkan balas mendesaknya.
Hui It-tong terperanjat, cepat ia pusatkan kembali pikirannya. sisa kekuatan yang belum terpakai buru2
dikerahkan pula pada telapak tangannya.
Tian Pek tidak mau kalah, makin besar pihak lawan menekan, semakin keras pula anak muda itu memberikan perlawanannya.
Suatu pertarungan adu tenaga dalampun ber-langsung dengan serunya, kedua pihak sama2 bertahan dengan gigih, siapapun tak mau menyerah kalah dengan begitu saja, Jarak kedua orang itu cuma lima kaki. kuda2 mereka setengah berjongkok dengan tangan lurus ke depan, empat telapak tangan saling menempel, bila orang yang tak tahu duduknya perkara mungkin akan mengira kedua orang itu sedang bermain sesuatu.
Tapi jika orang menghampiri tempat kejadian itu, maka terlihatlah betapa tegangnya wajah kedua orang itu. Yang tua berdiri dengan mata melotot, rambut sama berdiri seperti duri landak dan otot daging sama ber-kerut2.
Sebaliknya yang muda berdiri dengan muka merah dan mata melotot, bibir terkatup rapat dan dengusan napas amat berat.
Tentu saja bagi jago silat yang berpengalaman segera akan tahu bahwa mereka sedang saling adu tenaga dalam, suatu pertarungan yang paling berbahaya di dunia persilatan.
Dalam keadaan mengadu tenaga dalam begitu tiada soal untung2an lagi, apabila salah satu pihak kehabisan tenaga celakalah dia, bisa binasa seketika.
Tapi kalau tenaga mereka seimbang, maka kedua pihak akan saling bertahan hingga tenaga masing2 sama terkuras habis. waktu itulah kedua pihak akan ambruk dan sama2
terluka parah. Karena bahaya dan risiko yang harus di hadapi, maka jarang ada jago persilatan yang mau adu tenaga dalam jika hal ini tidak terpaksa,
Begitulah, tidak lama kemudian uap putih sudah mulai mengepul keluar dari ubun kedua orang itu, dalam waktu singkat uap putih itu menggumpal jadi kabut tebal, keadaan mereka semakin payah, sepatu yang mereka kenakan mulai merekah dan pecah, sementara kakinya terbenam satu-dua inci ke dalam tanah,
Secara akal, sepantasnya Tian Pek yang masih muda belia tak mungkin bisa menandingi kelihayan Hui It tong yang sudah berlatih empat lima puluh tahunan lamanya sudah pasti Lwekang yang dimilikinya telan mendekati puncak kesempurnaan.
Apa mau dikata Tian Pek telah mempelajari Sim-hoat yang tercantum dalam Soh-hun-siau-kut-thian-hud pit-kip, suatu kitab ilmu silat paling aneh di kolong langit ini, kitab ciptaan Ciah-gan long-kun, seorang jago silat luar biasa.
Bukan begitu saja, malahan dari gemblengan irama seruling Im-mo-toa-hoat dari Ciang Su-peng serta gebukan Leng-hong Kongcu telah mengakibatkan dua urat penting dalam tubuhnya berhasil ditembusi.
Kesemuanya itu membuat tenaga dalam Tian Pek melampui batas kemampuan seorang pemuda seusia dia, bukan saja dalam sebulan terakhir ini dia bertambah kosen.
tenaga dalam yang dia miliki-pun mencapai taraf latihan enam-puluhan tahun.
Oleh sebab itulah, meski berbeda menyolok dalam usia, dalam kenyataan tenaga dalam yang dimiliki kedua orang itu tidak jauh berbeda.
Pada permulaan terjadi bentrokan tadi, keadaan Tian Pek memang sangat payah, bahkan boleh dibilang hampir saja mati konyol hal itu disebabkan karena siasat busuk Hui It tiong, tapi setelah hawa murni beredar kembali dalam pusarnya, ia merasa daya tekanan kakek itu kian berkurang, sementara hawa murni miliknya mengalir makin deras, hatinya jadi tenang dan makin bersemangat melakukan perlawanan.
Lambat-laun kedudukannya bertambah kuat, dan kini dia telah menambah kekuatannya dua bagian lebih besar, seketika itu juga tenaga tekanan dari Hui-It-tong dapat ditolak balik,
Bagi Hui It tong sendiri, ia memang menang posisi ketika serangan pertama dilancarkan tadi, namun lambat laun ia merasa tenaga tekanannya makin terdesak kembali, iapun tak menyangka anak muda itu sanggup mempertahankan diri dalam keadaan gawat.
Tidak lama kemudian. suasana amat sunyi dalam hutan itu, sang surya telah mendoyong ke barat, angin berembus sepoi2, dalam keheningan hanya kicauan burung yang terdengar nun di pucuk pohon. Siapa tahu di balik kesunyian ini tersembunyi suatu pertarungan sengit, pertarungan yang mempertaruhkan jiwa.
Setelah posisi Tian Pek bertambah kuat, ia mulai tenang, dalam kesunyian itulah terlintas satu ingatan dalam benaknya.
Teringat olehnya akan dua kata sandi yang tercantum dalam kitab Thian-hud-pit-kip. kata2 itu berbunyi "Kosong tapi tidak kosong, lemah sebetulnya bukan lemah".
Kata sandi itu jelas menerangkan tcntang suatu taktik ilmu Lwekang, suatu taktik mengenai daya hisap".
Diam2 Tian Psk berpikir: "Aku harus segera berangkatke kota Lam-keng untuk selidiki pembunuh ayahku, kenapa aku buang2 waktu percuma di sini?"
Begitu timbul pikiran ini, dia lantas tarik napas panjang dan memakai taktik mengisap untuk melepaskan diri dari godaan kakek sialan itu.
Dasar masih muda dan berdarah panas, Tian Pek tidak mempertimbangkan lagi apakah cara itu akan
membahayakan diri sendiri atau tidak, begitu berpikir dia lantas bertindak,
Hawa murni yang sedang dikerahkan itu cepat ditarik kembali, tapi serentak iapun merasakan tenaga dalam Hui It-tong membanjir ke tubuhnya ibarat tanggul yang dadal, begitu dahsyat dan kuatnya tenaga itu hingga membuat anak muda itu amat terkejut.
Betapa girangnya Hui It-tong, begitu merasa tenaga tekanan musuhnya lenyap, dia mengira Tian Pek sudah tak sanggup melawan lagi, dia lantas membentak keras:
"Roboh"
Kata telanjutnya tak sempat dilanjutkan sebab mendadak dia merasa tenaga Tian Pek menggetar balik, seketika Hui It-toug merasakan daya tckanan yang dahsyat, ia merasa pandangan matanya jadi gelap. telinga mendengung dan pertahanannya runtuh.
Terdengar jeritan mengerikan, Hui It-tong mencelat jauh dan terkapar tak bsrkutik lagi.
Rupanya dikala Tian Pek merasa gelagat tidak menguntungkan sesudah ia memakai taktik "meng-isap dari Lwekangnya, cepat ia ubah menjadi taktik "memantul",
yang di dalam pelajaran disebut "Yang nyata adalah kenyataan, yang-kau adalah kekuatan,"
Taktik yang tercantum dalam kitab "Thian-hud-pit-kip"
ini memang sangat dahsyat, begitu termakan tenaga pantulan tersebut, langsung saja Lak-jiu-tong-sim mencelat ke belakang.
Untuk sejenak anak muda itu berdiri sambil atur pernapasan, ketika dilihatnya Hui It-tong tidak bangkit berdiri, dia menghampiri kakek itu.
Sungguh sukar dipercaya bahwa Lak-jiu-tong-sim yang perkasa kini terkapar dalam keadaan mengenaskan, darah mengalir keluar dari lubang hidung, mulut, mata dan telinganya, jago lihay itu sudah menemui ajalnya secara konyol.
Baru pertama kali ini Tian Pek membunuh orang sakti, meskipun sudah lama ia berkelana, akan tetapi di masa lalu ia tak berkekuatan apa2, tentu saja tak mampu mencelakai jiwa orang. Melihat darah yang mengalir serta mata si kakek yang melotot penasaran, diam2 anak muda itu bergidik sendiri.
Timbul rasa menyesal dalam hati kecilnya, berdiri di depan jenazah Hui It-tong diam2 Tian Pek berdoa:
"Locianpwe, kalau engkau tidak selalu mencari gara2
padaku, tak nanti kucelakai jiwamu, itupun kulakukan tidak sengaja. Ai, aku tak menduga kalau tenaga pukulanku tadi dapat menewaskan kau, benstirahatlah dengan tenang di alam baka dan maafkanlah perbuatanku ini .


Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menyusul anak muida itu berpikir lebih jauh 'Aku sudah salah mencelakai jiwanya, sepantasnya kukubur jenasahnya. Ai, kalau sampai dimakan serigala atau elang, hatiku pasti akan bertambah menyesal ..."
Maka dicabutnya pedang mestikanya dan menggali sebuah liang kubur di hutan itu.
Belum sempat dia masukkan jenasah Hui lt-tong ke dalam liang kubur, tiba2 dari luar hutan melayang datang tiga sosok bayangan, cepat sekali gerak tubuh mereka ibaratnya anak panah yang terlepas dari busurnya.
"Bagus, bagus sekali perbuatanmu!" segera seorang laki2
barmata besar menegur. "Setelah membunuh orang di siang hari bolong, rupanya kau-hendak lenyapkan bukti. Hehehe, anak muda, jangan harap kau bisa cuci tangan dari tanggung-jawab ini!"
Tian Pek melengak, sebelum ia sempat berkata, laki2 lain yang bermuka kereng segera menambahkan sambi tertawa seram: "Hehehe. sahabat, kau berasal dari garis mana"
Masa kau akan mengangkangi sendiri hasil
pendapatanmu?"
"Betul!" sambung lelaki ketiga yang bermuka pucat,
"siapa yang melihat, siapa dapat bagian. Yang besar mendapat emas, yang kecil mendapat perak, masa kami tidak diberi bagian?"
Tian Pek dapat menangkap arti kata istilah2 golongon hitam yang diucapkan beberapa orang itu sekalipun belum beberapa lama ia berkelana di dunia persilatan.
Betapa dongkol perasaan Tian Pek ketika mendengar ketiga orang itu menganggap dia sebagai pembegal yang baru mendapat hasil begalan.
Segera ia menjawab dengan kata2 rahasia yang setengah mentah: "O, rupanya kalian bertiga berasal dari satu garis, sayang sasarannya tak tepat dan di sini tak ada apa2 yang bisa dibagi, ketahuilah yang mati adaleh seorang rekanku
yang sakit di tengah jalan, karena jauh dari kota maka aku ber-maksud menguhurnya di sini!"
Rupanya ketiga orang itu kurang percaya, mereka menghampiri untuk memeriksa sendiri Demi melihat keadaan kematian Hui It-tong, tentu saja orang2 itu tidak percaya.
Si muka pucat kembali menegur: "'Sahabat, jangan main bohong di depan rekan sendiri, masa temanmu ini mati karena sakit?"
Tian Pek ingin msmberi penjelasan, tapi sebelum buka suara, laki2 bermuka pucat itu lantas menjerit kaget: "He, bukankah yang mati ini Lak-jiu-tong-sim Hui locianpwe?"
Kedua orang lain terbelalak, mereka mengamati lagi jenasah itu, setelah yakin korban itu adalah Lak-jiu-tong-sim Hui It-tong, cepat mereka menyurut mundur dan melolos senjata masing2.
Dengan golok terhunus, ketiga orang itu mengurung Tian Pek di tengah.
"Hei bocah, hayo ngaku! Kenapa kau bunuh Hui-locianpwe?" bentak laki2 bermata besar dengan melotot.
"Lotoa, buat apa banyak bertanya?" sambung kedua orang temannya. "Hajar saja keparat itu sampai mampus!
Kita harus membalaskan dendam kematian Hui-
locianpwe!"
Dengan garang mereka terus menerjang dan membacok.
"Eeh eeh, nanti dulu, nanti dulu " seru Tian Pek. "Secara tidak sengaja kucelakai jiwa Hui-locianpwe, kami sedang bertanding. tak tahunya aku salah turun tangan hingga terjadi kecelakaan ini"
"Huh, omong kosong!" bentak laki2 bermuka pucat dengan seram. "Sekalipun kau membantah sampai lidahmu putus juga aku tak percaya. Huh, memangnya kau bisa menandingi Hui-locianpwe jika bertempur secara terbuka"
Pasti kau pakai tipu muslihat untuk menyergap Hui-locianpwe!"
"Keparat, tak usah banyak omong, serahkan jiwamu!"
teriak laki2 yang lain dengan marah.
Secepat kilat ia menerkam ke depan, golok langsung membacok kepala Tian Pek.
Dengan cekatan anak muda itu mengegos ke samping, kedua orang yang berada di sisi kiri-kanannya segera juga bertindak, golok merekapun menabas iga dan punggung Tian Pek dengan suatu gerakan serentak.
Cepat Tian Pek putar badan dan balas menyerang, ia hindarkan bacokan dari belakang itu, pukulan dahsyatnya membuat golok yang mengancam iganya tersingkir ke samping.
Gagal dalam serangan pertama, ketiga orang itu serentak menerjang maju pula.
Hebat juga serangan golok ketiga orang itu, Tian Pek merasa sukar untuk memberi penjelasan, cepat ia melompat ke atas, kesempatan mana digunakan mencabut pedang mestika yang terselip di punggung-Seketika terdengar suara mendenging, cahaya hijau menyilaukau mata terpancar di angkasa, begitu pedang lolos dari sarungnya, anak muda itu terus membabat dengan gerakan Heng sau-jian kun ( menyapu bersih beribu perajurit ).
"Traang! Traaang!" benturan nyaring terjadi, mana mungkin golok lawan mampu menahan ketajaman Pedang
Hijau yang luar biasa" Tak ampun lagi dua bilah golok terpapas kutung.
Tiga orang itu menjerit kaget dan cepat melompat mundur, mereka mengawasi anak muda itu dengan sorot mata heran.
Setelah kejadian tersebut, mereka tak berani lagi pandang enteng lawannya, terutama sekali senjata mestika yang amat tajam itu. Mendadak kedua orang yang goloknya tertabas kutung meraung sambil menyambitkan kutungan golok kearah Tian Pek.
"Criiit! Crnit!" dengan membawa desiran angin tajam, kutungan golok itu meluncur ke muka serta dada anak muda itu.
Serangan itu cukup keras, Tian Pek tak berani menangkap kutungan golok itu, cepat dia merendahkan tubuh ke bawah, dengan gerak Pek-lon oh po (burung kuntul menyambar ombak) dia hindarkan sambitan itu.
Baru saja Tian Pek mendak ke bawah, laki2 ketiga segera mengunakan kesempatan itu, ia angkat goloknya dan membacok Tian Pek dengan gerakan Hian-niau-hua-seh (burung merah menyapu pasir).
Ketiga orang itu memang sangat ulet, sekali-pun sudah kalah mereka tak mau menyerah begitu saja, hal ini tak terduga oleb Tian Pek.
Ketika ia melihat bacokan datang lagi, dengan ujung pedang Tian Pek menutul permukaan tanah, lalu ia melayang ke atas dan sebelah kakinya sempat mendepak pinggang orang itu, kontan orang itu mengerang kesakitan dan mencelat jauh ke sana, lama sekali dia baru sanggup berdiri kembali.
Dengan kekalahan yang mengenaskan ini, pucatlah muka ketiga orang itu, tampaknya mereka kuatir kalau2
anak muda itu menerjang maju lagi dan membinasakan mereka.
Selangkah demi selangkah mereka mundur ke belakang, tapi tak seorangpun yang berani mendahului kabur dari situ, kemudian setelah yakin Tian Pek tidak bermaksud mengejar dan membunuh mereka, barulah laki2 bermuka pucat itu berseru dengau garang di luar tapi takut di dalam: "Kawan, kalau engkau memang jantan, hayo sebutkan namamu!"
Diam2 bergembira Tian Pek setelah menyadari ilmu silatnya memperoleh kemajuan yang pesat, dia bangga dan berbesar hati. Mendengar pertanyaan lawan segera ia menyahut: "Aku Tian Pek! Apa yang hendak kalian lakukan lagi?"
"Hm, jangan kau jumawa dulu," seru laki2 kekar tadi dengan mendongkol. "Hari ini kami bertiga memang kalah di tanganmu, tapi lihat saja nanti! Tunggulah pembalasan kami . . " " Habis berkata mereka terus berlalu dengan penasaran.
Memandangi kepergian ketiga orang itu, Tian Pek tertawa geli, pikirnya: "Sekarang tibalah saatnya bagiku untuk melampiaskan penderitaan yang pernah kualami di masa lalu . . . . "
Setelah mengubur jenazah Hui It-tong, dia melanjutkan perjalanannya mcnuju ke kota Lam-keng.
Ketika malam tiba ia berada di sebuah kota besar, Tian Pek tak tahu kota apakah ini, yang jelas lampu di dalam kota terang benderang, banyak orang berlalu lalang di jalan, ramai benar kota ini.
Dengan perut lapar Tian Pek masuk ke dalam kota dan celingukan ke sana kemari mencari hotel, maksudnya hendak menangsal perut lalu beristirahat, besok perjalanan baru akan dilanjutkan lagi.
Sepanjang jalan dia celingukan ke sana kemari, mencari rumah makan, ia tak menyangka kalau banyak lelaki kekar berpakaian ringkas cekak juga sedang memperhatikan gerak-geriknya.
Entah berapa jauh dia sudah berjalan, akhir ia lihat sebuah rumah makan yang memakai merek "Kim eng ciu lau" (rumah makan berkumpulnya orang gagah), tulisan papan merek itu berwarna emas, ruangan atas maupun ruangan bawah terang benderang bermandikan cahaya, banyak tamu yang berlalu lalang di sana, bau harum arak dan masakan yang lezat teruar sampai jauh, tak tahan anak muda itu, ia menelan liur dan menghampiri rumah makan itu.
Baru melangkah masuk pintu depan, seorang laki2
berpakaian ringkas memapak kedatangannya dan mengadang di depan anak muda itu, tegurnya: "Kau hendak bersantap atau ingin menginap?"
Meskipun sangsi karena tampang orang itu tidak mirip dengan pelayan, namun Tian Pek menjawab juga dengan jujur: "Aku hendak mengisi perut dan juga hendak menginap."
Dengan seksama orang itu mengamati anak muda kita dari atas sampai ke bawah, kemudian sahutnya dengan dingin: "Maaf saudara, rumah makan kami sudah penuh dan tidak terima tamu lagi, silakan mencari rumah penginapan yang lain saja!"
Beberapa pelayan tampak berdiri jauh di dekat meja kasir sana dengan muka takut2, mereka tak berani menghampiri
anak muda ini melainkan cuma memandang saja dari kejauhan.
Walaupun curiga, Tian Pek tidak mau rewel. jika orang bilang kamar penuh, tentu saja dia harus percaya, terpaksa ia mengundurkan diri dari sana.
Siapa tahu, kejadisn serupa tidak cuma dialami di satu tempat saja, secara beruntun ia memasuki lima-enam buah restoran merangkap penginapan tapi apa yang dialami tidak jauh berbeda, semua rumah makan itu dijaga orang yang berpakaian ringkas cekak dan menolak kehadirannya.
Akhirnya sampailah pemuda itu di rumah makan yang terakhir, tempat itu letaknya di ujung kota, suasana di situ remang2 tidak seterang tempat2 tadi, ke depan lagi jelas tiada rumah penduduk pula, sekarang kecurigaan dalam hati Tian Pek makin menjadi. ia rada dongkol, pikirnya:
"Masa kedatanganku ini sedemikian kebetulan, semua rumah makan dan penginapan yang ada di kota ini penuh"
Jelas di balik hal ini ada yang tidak beres. Aku harus menyelidikinya dengan seksama!"
Dengan penasaran anak muda itu menghampiri rumah makan yang terakhir.
Kali ini ia bertindak lebih cerdik, bukan langsung memasuki rumah makan itu sebaliknya dia mengintip dulu lewat jendela, dilihatnya ruang yang luas hanya dua tiga meja yang berisi tamu, selebih-nya dalam keadaan kosong, setelah yakin penglihatannya tak keliru, barulah dia masuk ke sana.
Tapi baru dia melangkah masuk, seorang laki2
berpakaian ringkas segera mengadangnya.
"Sahabat, mau apa kau kemari?" tegurnya dengan lantang.
Tiba2 timbul akalnya, ia lantas menjawab: "Aku mencari orang!"
Ia tahu kalau mengatakan hendak makan atau menginap dia pasti dilarang masuk, maka dia menggunakan alasan lain untuk membohongi orang.
Tapi orang itu tidsk melepaskan dia masuk begitu saja dan tetap mengadang di depan anak muda itu "Siapa yang kau can?" kembali ia menegur.
"Ah, masa aku harus laporkan juga siapa yang kucari?"
kata Tian Pek dengan lagak bingung.
"Hehe, memangnya kenapa?" kata laki2 itu sambil tertawa dingin, "kaiau kau ingin cari orang, sebutkan dulu namanya dan aku akan panggilkan orang itu keluar ke sini, pokoknya kau tak boleh sembarangan masuk."
"Peraturan apa ini?" pikir Tian Pek, tapi sekarang ia sudah tahu, rupanya orang2 itu memang sengaja hendak mencari perkara.
Maka iapun berlagak blo'on dan menyahut: "Aku mencari pelayan rumah makan ini!"
Kali ini orang itulah yang tertegun, rupanya ia tak menyangka. Tian Pek akan menjawab begini-Tapi sepera orang itu menyadari telah dipermainkan Tian Pek, dengan mata melotot kembali ia membentak: "Mau apa kau cari pelayan?"
"Mau apa lagi?" jawab Tian Pek "tentu saja mau pesan makanan dan mau menginap!"
Laki2 berpakaian ringkas itu tertawa dingin "Hehehe, sahabat, terus terang kuberitahu padamu, tak ada makanan bagimu di sini, juga tak ada tempat tidur bagimu untuk
menginap, kulihat iebih baik kau pindah saja ke tempat lain!"
Dasar perutnya sudah keruyukan, Tian Pek menjadi gusar, segera iapun balas menjengek: "Kenapa aku mesti cari tempat lain" Aku bayar makanan yang kumakan, kubayar juga tempat penginapan yang kupakai, kenapa kau ikut campur urusan pribadiku"'
Sehabis berkata, tanpa menggubris lagi dia masuk ke dalam dengan mcngitari laki2 yang mengadangnva ini.
"Hei," bentak orang itu dengan marah, "sudah kukatakan tak boleh masuk kalau kau memaksa berarti kau cari penyakit sendiri!"
Dengan suatu gerakan kasar, bagaikan burung elang menyambar kelinci, dia terus cengkeram bahu Tian Pek.
Tapi Tian Pek mana bisa disentuh lagi, dengan mudah saja ia berkelit ke samping.
Orang itu makin penasaran, kembali tangan kanannya diayun menghajar dada anak muda itu.
Cepat sekal gerak serangan itu dan keras pula pukulannya.
Tian Pek menunggu ketika kepala musuh hampir menyentuh dadanya, mendadak tangan kirinya berputar keatas dan mencengkeram pergelangan tangan lawan, kemudian sekali betot ia lemparkan tubuh orang.
"Enyah kau keluar!" bentaknya. Kontan orang itu menggelinding keluar ruangan itu.
Cepat orang itu merangkak bangun, sambil menuding Tian Pek ia mencaci maki kalang kabut: "Anak jadah, jika berani kau jangan lari! Tunggu saja di sini" " Dengan terbirit2 dia terus ngacir dari situ.
Tian Pek tertawa hambar, ia melangkah masuk ke dalam ruangan, lalu mencari tempat duduk di ujung ruangan sana.
Suasana dalam rumah makan amat sepi tak ada yang buka suara. malahan tamu yang sedang bersantap sama memandang Tian Pek dengan ter-belalak, sedangkan pelayannya berdiri jauh di sudut ruangan dengan takut2.
Melihat pelayan tidak meladeni dirinya. Tian Pek berteriak keras: "He, bawakan arak dan daharan!"
Para pelayan dan kasir berpandangan sekejap, akhirnya salah seorang di antaranya dengan takut2 menghampiri Tian Pek seraya memohon "Tuan silahkan pindah ke tempat lain saja, rumah makan kami benar2 tak berani melayani kehendak tuan, hamba mohon sudilah tuan pergi dari sini."
"Kalian tak usah kuatir!" kata Tian Pek, "hidangkan saja makanan dan arak! Kalau ada yang berani mencari perkara, akan kuhadapi dia, tanggung kalian tak akan memikul akibatnya!"
"Tuan, betul juga katamu!" sahut si pelayan sambil menyengir, "tapi kalau kami layani engkau bersantap di sini, maka selanjutnya jangan harap rumah makan ini bisa dibuka lagi."
"Apa kerjanya bangsat tadi" Kenapa kalian takut kepadanya" Apa hukum negara tidak berlaku di sini?" tanya Tian Pek.
"Hukum negara memang ada, tapi pernahkah tuan mendengar istilah An-lok hong lin (An-lok yang romantis)?"
Tian Pek terkesiap segera ia paham persoalan yang sebenarnya, pikirnya: "Tak heran kalau orang2 di sini pada ketakutan, rupanya keparat tadi adalah anak buah An-lok Kongcu!"
Menyusul ia lantas berpikir lebih jauh: "Sebulan yang lalu aku berjumpa dengan An-lok Kongcu, kalau melihat gerak-gerik dan tingkah lakunya jelas dia sangat gagah dan berbudi, masa anak buahnya berani berbuat se-wenang2
dan bikin onar di sini"
Apakah An-lok Kongcu tak pernah mengurusi anak buahnya?"
Berpikir sampai di sini, segera ia berkata: "Ana kaumaksudkan An-lok Kongcu" Jadi An-lok Kongcu berdiam di kota ini?"
Mendengar Tian Pek langsung menyebut nama An-lok Kongcu, pelayan itu cepat memberi hormst sambil menjawab: "Alangkah baiknya bila tuan kenal Kongcu, meski An-lok Kongcu tidak berdiam di sini, tapi sebagian besar kota ini adalah milik Kongcu, beliau yang memberi makan, pakaian serta tempat berteduh bagi kami rakyat kecil di sini, siapa yang tidak menghormati beliau . . .. "
Diam2 Tian Pek berpikir: "Kalau begitu kawanan orang berpakaian ringkas tadi pasti berbuat keonaran di sini dengan membonceng nama besar An-lok Kongcu, sayang An-lok Kongcu tidak tinggal di sini. sekalipun ada persoalan juga tidak bisa dibicarakan, biarpun kukatakan kukenal An-lok Kongcu tentu juga mereka tak percaya.
Agaknya malam ini aku bisa kelaparan."
Tiba2 ia melihat di dapur sana tersedia ayam panggang, bebek, daging babi dan sebagainya, segera ia berkata:
"Kalau memang begitu, akupun tak akan menyusahkan kalian, bungkuskan saja daging babi dan bakpao, akan kumakan nanti di tengah jalan!"
Kembali pelayan itu tertawa getir, dengan serba salah dia cuma membungkuk2 berulang kali.
Lambat laun habis juga kesabaran Tian Pek, dia melotot, dengan suara keras ia membentak: "Sungguh keterlaluan, cepat siapkan makanan itu bagiku! Kalau tidak, hm, aku tak mau sungkan2 lagi..."
"Kalau tidak sungkan, lantas apa yang akan kau lakukan?" tiba2 seorang menanggapi dari belakang, menyusul mana lampu dalam ruangan itu hampir tersirap.
Ketika lampu terang kembali, tampaklah dalam ruangan telah bertambah dua orang laki2 berpakaian ringkas, Mereka adalah seorang tua dan seorang muda, yang tua berusia enam puluhan, rambut beruban pendek seperti duri landak, mukanya merah bercahaya, alis tebal dan mata besar bersinar tajam, memakai jubah satin warna hijau pupus, sebuah senjata aneh berbentuk telapak tangan terselip di punggungnya, tali sutera dan gelang baja pada senjata itu gemerlapan menambah keangkeran orang tua ini.
Sedang yang muda berusia dua puluhan, mukanya tampan dan perawakan kekar, sayang agak pucat dan lagaknya tengik, iapun memakai baju ringkas ketat, pedang melintang di punggungnya dia mengawasi Tian Pek dengan pandangan menghina.
Kemunculan kedua orang ini mengakibatkan suasana dalam rumah makan menjadi kalut, dengan muka pucat pelayan kelihatan gemetar, sementara para tamu yang sedang bersantap juga cepat2 bangkit dan pergi.
Per-lahan2 Tian Pek berdiri, sebelum dia buka suara, kakek bermuka merah itu menegur: "Kau ini yang menyergap dan membunuh Lak jiu-tong sim Hui-it-tong?"
Sungguh lantang suara kakek ini, begitu keras sampai msndengung dan membikin anak telinga orang terasa sakit.
Tian Pek sangat mendongkol, kematian Hui It-tong akibat beradu tenaga dalam dengannya, tapi orang justeru menuduh dia membunuh lawannya dengan cara licik.
Sambil tertawa getir sahutnya: "Kejadian itu hanya kesalah-pahaman belaka, masalah ini akan kujelaskan setelah bertemu dengan Kongcu kalian, kebetulan kukenal An-lok Kongcu . . .. "
'Huh! Omong kosong!" dengus pemuda angkuh itu. "Tak mungkin An-lok Kongcu punya kenalan seorang Bu-beng-siau cut (perajurit tak bernama) macam kau. Lebih baik tutup mulut dan bayar jiwamu bagi kematian Hui-locianpwe!"
Sambil bicara ia terus menerkam lawan, lima jari tangannya terpentang lebar langsung mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kanan Tian Pek-Serangan itu cukup lihay, Tian Pek tak berani gegabah, cepat dia bergeser sambil putar badan dengan mudah ia hindarkan ancaman pemuda jumawa itu.
Melihat serangannya gagal, dari cengkeraman pemuda jumawa itu ganti serangannya menjadi pukulan telapak tangan, mengikuti perputaran tubuh lawan, dia menusuk iga Tian Pek dengan gerakan Kim-ca-jiu (tusukan tangan emas), berbareng itu juga dia maju selangkah dan memotong jalan darah Cian-keng-hiat di bahu lawan dengan telapak tangan kanannya.
Satu serangan dengan dua gerakan ini bukan saja dilakukan dengan cepat dan menimbulkan deru angin keras, dari sini dapat pula diketahui kehebatan tenaga dalam yang dimiliki pemuda itu.
Bila peristiwa ini berlangsung pada dua bulan yang lalu tentu Tian Pek sudah kecundang, tapi Tian Pek sekarang
bukan Tian Pek yang dulu, ketika merasakan datangnya serangan maut, cepat dia menyambut dengan kedua telapak tangannya.
"Duk! Duuk!" berbareng dengan benturan itu, tahu2
pergelangan tangan pemuda jumawa itu malah kena dicengkeram oleh Tian Pek.
Sedikit Tian Pek mengerahkan tenaga cengkeramannya, seketika keringat membasahi jidat pemuda jumawa itu, mukanya berubah menjadi pucat seperti mayat, saking sakitnya hampir saja ia menjerit.
Jurus aneh yang barusan digunakan oleh Tian Pek bernama Ciau-tau-siang-soh (membelenggu tangan dengan jitu), suatu jurus ampuh hasil sadapannya dari Tok-kah-hui-mo, mimpipun tak pcrnah disangka olehnya kalau hasil sadapannya ternyata sangat bermanfaat, bukan saja berhasil lolos dari serangan maut musuh, malahan lawan kena dibekuk olehnya.
Cengkeraman itu persis menjepit persendian tulang pergelangan pemuda jumawa itu, bisa dibayangkan betapa menderitanya pemuda jumawa itu, dalam keadaan demikian ia merasa tangannya kesakitan dan kaku, seluruh badanpun tak bisa berkutik.
Tian Pek tiada maksud mencelakai jiwa tawanannya, dia bermaksud melepaskan tawanannya setelah memberi peringatan seperlunya.
Siapa tahu sebelum ia bicara, tiba2 dari belakang menggulung datang angin pukulan yang keras.
"Lepaskan!" terdengar si kakek muka merah membentak.
Sudah tentu Tian Pek tahu dirinya sendiri sedang diserang si kakek muka merah, cepat ia lepaskan cengkeramannya pada pergelangan tangan lawan dan
dengan suatu gerakan enteng ia melayang jauh ke samping sana.
"Duuk!" tak sempat si kakek muka merah menarik kembali pukulannya yang dahsyat, sedangkan Tian Pek berkelit tepat pada waktunya, tanpa ampun lagi pukulan dahsyat itu menghajar pada dada pemuda jumawa itu dengan telak. Pemuda itu mencelat dan menumbuk dinding.
Terkapar pemuda yang jumawa itu dengan bermandikan darah dan tak berkutik lagi, tampaknya lebih banyak mampus daripada hidupnya
"Ada pembunuhan" segera ada orang menjerit, suasana rumah makan itu menjadi kacau balau, para tamu dan pelayan pada lari ter-birit2 dengan ketakutan.
Betapa gusarnya kakek muka merah itu, pukulannya tidak mengenai musuh, sebaliknya malahan membinasakan muridnya sendiri, dengan muka beringas, mata melotot dan mulut menyeringai, sekali lagi ia terjang Tian Pek.
Tian Pek sendiri tak menduga kalau kelitannya tadi akan mengakibatkan kematian pemuda jumawa tersebut, cepat ia berkelit pula ke samping tatkala pukulan gencar dan dahsyat si kakek muka merah itu menyambar tiba.
Kakek muka merah itu semakin kalap, ketika Tian Pek berkelit ke samping, bagaikan harimau gila dia meraung keras, kemudian menghajar lagi pinggang anak muda itu dengan tabasan telapak tangannya.
Ruangan itu tidak terlalu luas dan lagi dipenuhi dengan meja kursi, sementara pukulan yang dilancarkan kakek itu sangat cepat dan juga keras, dalam keadaan begini tak mungkin bagi Tian Pek untuk berkelit terus menerus,
terpaksa ia harus menyambut serangan dahsyat itu dengan keras lawan keras.
"Duuk! Blang!" akibat benturan keras pukulan yang dahsyat, seketika meja kursi tergetar roboh, mangkuk piring berantakan memenuhi lantai
Hampir semua pelayan rumah makan dan tetamu sudah menyingkir jauh atau lari kcluar ruangan itu, sekalipun mereka lari dengan cepat, tapi ada pula beberapa orang di antaranya yang tersambar oleh angin pukulan atau pecahan mangkuk-piring hingga terluka, jerit panik dan teriakan kesakitan membuat suanana tambah kacau-balau tak keruan.
Sungguh dahsyat tenaga pukulan yang dipancarkan kakek muka merah itu, Tian Pek merasakan telapak tangannya jadi panas dan kesemutan, mata-nya berkunang, diam2 ia terkejut oleh kedahsyatan tenaga pukulan musuh.
Tiba2 dilihatnya pula rambut si kakek sama menegak dan mata melotot, biji matanya se-akan2 meloncat keluar, kedua telapak tangan yang diluruskan ke depan berubah menjadi merah membara, dengan wajah menyeramkan ia menubruk pula ke depan.
Jilid 08 : Pukulan darah pasir merah
Menyaksikan telapak tangan yang merah itu, tiba2 Tian Pek teringat akan sejenis pukulan beracun yang bernama Ang-seh-hiat-heng-ciang (pukulan darah pasir merah), konon barang siapa terkena pukulan beracun itu, maka badannya akan terasa panas bagai dibakar, isi perutnya akan menjadi hangus dan mati konyol.
Ilmu ini hanya di dengar saja dan baru sekarang disaksikan dahsyatnya pukulan tersebut, dan hawa pjnas yang dirasakan dari benturan tadi, diam2 Tian Pek merasa ngeri juga akan akibatnya.
Tiba2 terbayang akan bantuan yang pernah diberikan An-lok Kongcu kepadanya, bagaimanapun ia pernah berutang budi kepada orang, kalau sampa1 timbul kesalahan pahamannya dengam anak buah orang, bila berjumpa lagi kelak pasti akan terasa tidak enak. Maka ia pikir tidak perlu melayani orang ini dan lebih baik tinggal pergi saja" Kalau ada urusan toh lain kali masih bisa dibicarakan secara baik2.
Selagi Tian Pek berpikir begitu, pukulan Ang-seh-hiat-beng-ciang yang maha dahsyat si kakek telah menggulung tiba pula dengan hebatnya.
Dalam keadaan terancam terpaksa Tian Pek menangkis, kemudian dengan meminjam tenaga pukulan orang dia terus melayang ke sana sambil berseru: "Maaf sahabat, aku tak dapat menemani lebih lama!" " Dengan cepat ia menerobos keluar jendela.
"Mm kabur kemana?" bentak si kakek muka merah sambil mengejar.
"Lihat serangan!" mendada dari depan menyambar tiba tiga titik cahaya langsung menyerang muka Tian Pek selagi anak muda itu masih mengapung di udara.
Tian Pek cepat berjumpalitan di udara dengan gerakan in-li-huan (berjumpalitan di awan) sehingga tubuhnya mengapung lebih tinggi ke atas, maka terdengarlah suara
"Crett Crett Crett!", tiga batang "paku penembus tulang"
menancap di belandar jendela, untung anak muda itu berkelit cepat, kalau tidak tubuhnya pasti sudah tertembus oleh serangan maut itu.
Setelab melayang turun ke bawah, Tian Pek
menengadah, tapi ia menjadi terkejut, tahu2 angin keras menyambar tiba menindih kepalanya bagai gugur gunung dahsyatnya.
Tian Pek terkejut, ia tak tahu benda apa yang menyambar tiba itu, cepat dengan gerak Su-liang-poat-ciin-kin ( empat tahil menyampuk seribu kati ), ujung pedangnya meraih ke atas untuk menyampuk.
Tapi "wuut", tahu2 benda besar itu melayang di atas kepalanya, waktu ia menoleh, ternyata seorang Hwesio gemuk dengan membawa sebuab tameng baja yang amat besar seperti sebuah daun pintu.
Hwesio gemuk itu berperawakan tinggi besar, mukanya penuh bercambang, kepalanya gundul kelimis dengan delapan titik bekas diselomot dengan mata melotot sedang memandangnya dengan tercengang.
Tiba2 anak muda itu teringat akan seseorang, menurut berita dalam dunia persilatan katanya dalam Kangouw terdapat seorang Hwesio bertenaga raksasa yang bernama Tiat-pay Hwesio ( paderi lempengan baja ), senjatanya adalah sebuah lempengan baja seperti tameng ribuan kati yang besarnya seperti daun pintu, tubrukan serta sambaran lempengan bajanya itu jarang bisa dihadapi orang, pantas kalau Hwwsio lempengan baja jadi kaget melihat Tian Pek mampu menyambut serangan dahsyat itu dengan ujung pedangnya.
Sementara itu seiuruh jalan raya sudah dikerumuni berpuluh orang jago persilatan, rumah makan itu tcrkepung rapat dan tak mungkin bisa lolos dengan mudah.
Tian Pek jadi rada bingung, pada saat itulah mendadak dua titik cahaya tajam menyambar ke Tay yang hiat di pelipis anak muda itu.
Cepat Tian Pek rendahkan tubuhnya ke bawah, itu pedang mestikanya dengan jurus Ki hwe liau thian (angkat obor membakar langit) dia sambut kedua titik sinar itu.
"Cring! Cring" terdengar dering nyaring pelahan, kiranya dua bandul Li hai ca-liu-seng-cui (bandul berantai) yang menyambar tiba terpapas kutung oleh pedang hijau Tian Pek dan mencelat jauh ke sana.
Tapi segera terdengar bentakan gusar beberapa orang, cahaya tajam kembali menyambar tiba, dua pedang dan sebilah golok berbareng menusuk dan membacok arak muda itu.
Tian Pek putar badan mengikuti gerak pedang, setelah menciptakan sinar hijau berkilauan, pedang mestikanya menabas ketiga senjata musuh.
Rupanya orang itu mengetahui sampai di mana kelihayan pedang mestika itu, cepat mereka tarik serangan dan melompat mundur.
"Wutt!" kembali segulung angin pukulan yang kuat menghantam tubuh anak muda itu.
Tian Pek sedang putar pedangnya, maka tak sempat ditarik kenbali, terpaksa dia angkat telapak tangan kiri dan langsung memapak datangnya pukulan itu.
"Plak!" benturan keras terjadi. Tian Pek hanya bergetar sedikit, sebaliknya kakek yang melakukan sergapan tersebut terhajar mundur dengan sempoyongan, ia memandang Tian Pek dengan kaget dan heran.
Kakek ini adalab jago yang tersohor namanya di wilayah Lu-lam karena telapak tangannya yang ampuh laksana baja, orang persilatan menjuluki dia sebagai Tiat ciang (pukulan telapak tangan baja), Lu Lak-sun, llmu pukulan andalannya disebut Tiat-seh ciang (pukulan pasir besi) tiga puluh tahun
sudab dia mendalami pukulan sakti itu, dalam anggapannya di kolong langit jarang ada orang yang mampu menahan pukulan mautnya itu.
Ketika ia lihat Tian Pek yang masih muda secara beruntun dapat menangkan lima orang lawan, dia mengira kehebatan anak muda itu hanya karena mengandalkan ketajaman pedang, tenaga dalamnya pasti belum kuat.
Ketika ia lihat Tian Pek sedang menyerang, kesempatan itu dia gunakan uotuk melancarkan sebuah pukulan dahsyat.
Siapa tahu dugaannya ternyata meleset, bukan saja Tian Pek sanggup menahan pukulan dahsyatnya dengan tangan kiri, malahan dia sendirilah yang tergetar mundur beberapa langkah, keruan ia kaget dan keheranan.
Msnurut perkiraannya, dengan usia Tian Pek yang masih muda ini, sekalipun semenjak masih berada dalam rahim ibunya ia sudah belajar juga tenaganya takkan melebihi dirinya, tapi fakta membuktikan lain, tentu saja si Telapak Tangan Baja terkejut.
Tian Pek merasa perutnya semakin lapar, belum sempat makan sudah dikerubut, akhirnya ia menjadi gusar juga, dengan sorot mata yang tajam ditatapnya belasan jago silat itu dengan Pedang Hijau bergetar.
Sebenarnya anak muda itu belum menyerang, tapi jago2
yang mengepungnya itu menyangka Tian Pek akan menyerang mereka, buru2 mereka pada mundur lebih dulu dengan rata jeri
Tian Pek tertawa geli, tak disangkanya musuh yang kelihatannya garang ternyata bernyali kecil.
Tertawa anak muda itu menyadarkan jago itu dari sikapnya yang memalukan. Dengan muka merah beberapa
orang di antaranya segera membentak, dengan garang terus menerjang, sinar golok, pedang dan senjata lain sama menyambar ke tubuh Tian Pek.
Dalam keadaan gawat, cepat Tian Pek gunakan Hong-cam keng-cau (angin payuh membabat rumput kering) pedang mestika berputar membentuk dinding cahaya hijau yang menyilaukan mata, segera terdengar suara "crang-cring" beberapa kali, senjata beberapa orang di antaranya tertabas kutung dan sama berteriak kaget sambil melompat mundur.
Hanya dua kali Tian Pek menyaksikan Tui-hong-kiam Hui Kiat menggunakan jurus Ki-hong-keng-cau tatkala terjadi pertarungan sengit di perkampungan Pah-to-sanceng, akan tetapi ia sudah dapat menyadapnya dengan baik sekalipun belum sempurna benar, tetapi gayanya dan jurus itu sudah hampir mirip, Tian Pek sendiri tidak menyangka jurus serangan ini akan demikian hebatnya.
Berhasil dengan jurus pertama, selagi anak muda itu siap melancarkan serangan kedua, mendadak terdengar seorang membentak: "Berhenti!" " Suaranya keras nyaring memekak telinga.
Tian Pek brrpaling, ia libat si kakek muka merah tadi sedang melangkah keluar dari pintu rumah makan, seorang pemuda tampan mengikuti dibelakangnya.
Setelah berhadapan, kakek itu menuding Tian Pek dan menegur: "Kau anak murid siapa" Apa hubunganmu dengan Hoan-toaya dari Tin-kang" Hendaklah lekas bieara terus terang agar tidak terjadi salah paham."
"Aku tidak kenal Hoan-toaya dari Tin-kang, juga tak pernah berjumpa dengan orang itu!" jawab Tian Pek.
"Mengenai perguruan, maaf, aku tak dapat menjelaskan!"
Sebagai pemuda jujur yang tak biasa berbohong serta tak kenal akan liku2 kelicikan orang persilatan apa yang terpikir oleh Tian Pek langsung diutarakan tanpa tedeng aling2.
Memang ia gemar belajar silat, tapi dia tidak pernah angkat guru kepada siapapun, kepandaiannya sekarang adalah hasil penyadapannya dari ilmu silat orang lain, sudah tentu ia sendiri tak tahu siapa gurunya.
Mendengar keterangan tersebut, si kakek muka merah tertawa ter-bahak2, seruuya: "Bocah yang takabur, kau tahu siapa aku?"
"Maaf, aku tak kenal Lo" anda," mestinya Tian Pek hendak membahasai kakek itu sebagai Locanpwe, tapi melihat sikap orang yang memandang hina kepadanya, mendadak ia berganti nada, nada yang tidak sungkan2 lagi.
"Anak kecil yang tak tahu diri, baru saja muncul lagaknya sudah takabur," seru pula kakek itu lagi dengan tertawa. "Hm, aku tidak percaya bahwa Lak-jiu-tong-sim bisa mampus ditanganmu. Nih, banyak bicara juga tiada gunanya, sekarang aku hanya akan menguji kau dengan tiga kali pukulanku, kalau kau mampu mempertahankan diri, maka kau bebas bergerak di wilayah Kangsoh dan Shoatang sini. Nah, anak muda, kau setuju"!"
Tian Pek tidak kenal siapa kakek muka merah ini, padahal kakek ini adalab teorang jago kosen yang aniat iersohor di propinsi2 Kangsoh dan Shoatang. Hiat-ciang-hwi-liong ( naga api pukulan bcr-darab ) Yau Peng-gun.
Bukan saja ilmu pukulan Ang-seh-hiat-heng-ciang andalannya sudah mencapai tingkatan sempurna bahkan macam2 senjata rahasia mes unya juga tiada tandirgan di dunia Kangouw, lebih2 senjata aodal-nmnya, yaitu senjata aneh berbentuk telapak tangan manusia, cuma ukurannya lebih besar dan terbuat dari baja uiurni
Besar manfaat senjata berbentuk aneh ini, selain untuk menutuk jalan darah, dapat juga dipakai merebut senjata lawan, selain itu ujung jari tengah senjata mesin sunggub sangat lihay, apabila tombol rahasianya dipencet, maka senjata rahasia itu akan menyergap musuh secara telak.
Senjata aneh yang serba guna ini diberinya bernama Sian-jin-ciang (telapak tangan sang dewa), selama malang melintang disekitar propinsi Kangsoh dan Shoatang belum pernah menemukan tandingan. lambat-laun ia menjadi angkuh dan suka pandang rendah orang lain.
Sebagai seoraag jagoan yang tak terkalahkan ia jarang mau tunduk kepada orang, entah bagaimana kemudian, tahu2 dia diserap oleh An-lok Kong-cu dan ditempatkan di kota Hin-liong-tin ini sebagai pos perlindungan perkampungan In-bong-san-ceng yang terletak di kota Soh ciu, dimana An-lok Kong-cu sendiri bertempat tinggal.
Hari ini dia mendapat laporan bahwa Lak jiu tong-sim Hui It-tong telah terbunuh oleh seorang pemuda berpedang di hutan utara kota, sudah tentu ia tidak percaya atas laporan tersebut.
Babwa Hui It-tong bisa dibunuh orang. apalagi oleb seorang pemuda ingusan, berita ini tentu saja sangat meragukan, Lak-jiu-tong-sim juga seorang Jago andalan An lok Kongcu, ilmu silatnya luar biasa lihaynya, kakek muka merah sendiripun tak berani mengatakan ilmu silatnya lebih unggul daripada Hui It tong. tapi tokoh lihay itu bisa mati di tangan seorang pemuda"
Sebab itulah dengan setengah percaya setengah tidak cepat ia memerintahkah anak buahnya untuk mengikuti gerak-gerik anak muda itu, sementara dia kirim pula seorang khusus melaporkan kejadian ini kepada An-lok Kongcu di Sohciu.
Kemudian ia mendapatkan laporan pula bahwa pemuda bersenjata pedang itu sudah tiba di Hin-liong-tin. maka dia lantas membawa muridnya, Giok-bin lo-cia (Lo Cia muka putih) Song Siau-hui serta sekalian jago lihay lainnya untuk mencari anak muda itu.
Setelah pertarungan berkobar, ia lihat Tian Pek menggunakan ilmu pedang Tui-hong-kiam-hoat dan keluarga Hoan, disangkanya pemuda itu ada hubungan dengan keluarga Hoan, sebab dia tahu An-lok Kongcu mempunyai hubungan yang akrab sekali dengan keluarga Hoan, takut terjadi salah paham, maka dia lantas menegur.
Siapa tahu Tian Pek telah menyangkal, bahkan ucapannya kasar dan jumawa sekali, maka meledaklah amarah Hiat-ciang-hwe-liong, dia lantas menantang anak muda itu untuk beradu pukulan sebanyak tiga jurus.
Dasar Tian Pek adalah pemuda yang tinggi hati, diapun tak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi, betapa panas bati anak muda itu setelah mendengar tantangan tersebut, dianggapnya kakek itu memandang rendah dirinya. Maka dengan angkuh dia menjawab: 'Baik! Kuterima tantanganmu, coba katakan caranya!"
Lalu ia masukkan pedang ke sarungnya dan pasang kuda2 menanti serangan musuh.
"Bagus! Bocah bagus, kau memang punya nyali!" teriak Hiat-ciang hwe-liong dengan gusar.
Sambil membentak bahunya terangkat hingga tubuhnya melengkung ke depan, rambut yang putih pendek seperti duri landak makin kaku bagaikan kawat, muka yang merah makin membara, dia membentak: '"Awas, bocah bagus, inilah pukulanku yang pertama!"
Sambil angkat telapak tangannya Hiat-ciang-hwe-liong mengerahkan tenaga pukulan Ang seh hiat heng-ciang hingga lima bagian, segera pukulan dahsyat menghajar dada Tian Pek.
Diam2 anak muda itu terperanjat, dari cara pengerahan tenaga yang berbeda dengan umum serta pancaran hawa merah membara dari telapak tangan musuh, dia tahu ilmu andalan si kakek muka merah ini adalah sejenis ilmu pukulan beracun. Namun sifat angkuhnya membuatnya pantang takut, biar tahu lihay, ia tak sudi menghindar, ketika kakek muka merah itu mendorong telapak tangan ke depan, cepat iapun menghimpun hawa murninya dan menyambut datangnya ancaman tersebut dengan pukulan pula.
"Plak", benturan keras terjadi, pusaran angin kencang memancar, debu pasir beterbangan.
Di tengah getaran keras itu, Tian Pek hanya merasakan tubuhnya bergeliat, namun ia masih tetap berdiri tak bergerak, sementara segulung hawa panas serasa menembusi telapak tangannya dan menyusup ke dalam tubuh. Terasa bawa panas membara bagaikan dibakar, aneh sekali rasa panas itu, bukan saja membuat tenggorokan jadi kering, kepala pun terasa pusing.
Hiat-ciang-hwe liong sendiri terdesak mundur juga dua langkah. Hal ini disebabkan dia cuma memakai lima bagian tenaga dalamnya, sedang Tian Pek sudah mengerahkan sepenuh tenaganya.
Semakin memuncak rasa gusar Hiat-ciang-hwe-liong.
matanya melotot, segera ia meraung pula; "Bocah keparat!
Terima pula pukulan berikut ini!'
Sambil meraung kakek itu menarik telapak tangan kanannya ke belakang, menyusul telapak tangan kirinya
tsrus didorong ke depan, kali ini dia sertakan delapan bagian tenaganya, tentu saja kekuatannya jauh lebih hebat daripada serangan yang pertama tadi.
Kebanyakan jago silat yang berpengalaman jarang ada yang mau bertarung menggunakan tenaga sepenuhnya pada pertempuran permulaan, seringkali mereka cuma menggunakan tenaga sebesar empat-lima bagian untuk mencoba kekuatan musuh, kemudian baru perhebat pada serangan berikutnya.
Sebab itulah tenaga pukulan kcdua yang digunakan Hiat-ciang-bwe-liong lebih kuat daripada pukulan pertamanya, dengan demikan akan kehebatan makin lama bertarung makin perkasa dan bukan sebaliknya.
Tian Pek masib muda dan kurang pengalaman, pada pukulan pertamanya dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, waktu pukulan kedua Hiat-ciang-hwe-liong menggulung tiba pula ia baru merasa tidak kuat menahan serangan maha dahsyat itu.
Dasar sifatnya memang keras kepala dan pantang menyerah, meskipun tahu serangan itu maha dahsyat dan tak mungkin bisa dilawan dengan kekuatannya, namun ia tak sudi menghindar, seperti pada serangan pertama tadi, dia sambut pukulan dahsyat itu dengan tangan kirinya.
"Blang!" kembali benturan keras yang memekak telinga, ketika kedua gulung angin pukulan saling membentur.
begitu dahsyat pancaran angin pukulan itu membuat jago2
yang berada di sekitar situ tak sanggup berdiri tegak dan sama terdesak mundur.
Hiat-ciang-hwe-liong yang berperawakan tinggj besar sama sekali tidak bergerak dari kedudukan semula, sebaliknya Tian Pek sekali ini tergetar dua langkah ke belakang.
Kalau cuma mundur saja masih mendingan, yang lebih celaka lagi hawa pukulan yang mengalir masuk membuat telapak tangan kiri anak muda itu kepanasan seperti dibakar, keringat membasahi sekujur badannya, kepalanya terasa pusing, hampir saja ia jatuh terjungkal.
Meski kedua pukulan dahsyat yang disambut Tian Pek secara beruntun itu membuat isi perutnya terbakar luka, namun dia tetap bertahan, tubuhnya tetap tegak bagaikan bukit, hal ini tentu saja membuat gempar para jago yang ikut menyaksikan itu.
Dengan mata terbelalak karena heran bercampur kaget, puluhan jago persilatan yang berkumpul disitu sama meleletkan lidah sambil membatin: "Hebat benar bocab ini, tak tersangka dia sanggup menerima dua kali pukulan berantai Hiat-ciang hwe-liong yang tak pernah ketemu tandingan itu"
Rupanya Hiat ciang hwe-liong sendiripun dapat menyadari gawatnya keadaan, ia sudah telanjur omong besar akan merobohkan Tian Pek dalam tiga kali pukul, kini dua kali sudab berlangsung, jika pukulan ketiga juga tak mampu merobohkan lawan, maka tamatlah nama baiknya. Iapun tahu tenaga anak muda itu sudah mulai lemah, ia tidak memberi kesempatan bernapas lagi pada lawan, segera ia membentak pula: "Pukulan ketiga!
Robohlah kau, anak muda!"
Di tengah bentakan itu, Hiat ciang-hwe-liong angkat kedua telapak tangannya sambil mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya terus menghantam dada Tian Pek.
Kebesaran nama Hiat-ciaug-hwe-lioug memang tidak omong kosong, kedahsyatan pukulan yang dilancarkan ini
ibaratnya bendungan yang dadal, membanjir dengan hebatnya menekan lawan.
Seketika Tian Pek mcrasakan sambaran hawa panas, dada terasa sesak dan susah untuk bernapas. sadarlab anak muda ini bahwa pukulan musuh terlampau berat baginya untuk disambut dengan kekerasan seperti tadi, akan tetapi dasar dia memang kepala batu, dia tak mau tunjuk kelemahan di depan orang banyak, dia tetap mengerahkan segenap tenaga pada kedua telapak tangan dan menolak ke depan.
"Blang! Krak! Krak!" di tengah benturan keras, debu pasir beterbangan hingga pemandangan di sekitar gelanggang jadi buram dan kawanan jago yang berada disekitar gelanggang tak tahu jelas apa yang terjadi.
Selang sesaat, angin reda dan debu hilang, keadaan di depan jadi jelas kelihatan kembali, tampak Hiat-ciang-bwe-liong masih tetap berdiri saling berhadapan dengan Tian Pek, tak seorangpun di antara mereka ada yang roboh.
Suasana menjadi gempar lagi, semua orang sama terkcsiap, mereka tak mengira kekuatan anak muda itu bisa sedemikian hebatnya. "Siapakah gerangan anak muda ini"
Cara bagaimana ia latih ilmu silatnya hingga mampu menahan tiga kali pukulan Yau-locianpwe?" demikian mereka membatin.
Semua orang kaget, diam2 juga kagum, belum pernah terjadi adu kekerasan yang begini hebatnya dalam dunia persilatan, apalagi yang terlibat dalam pertarungan ini adalah Hiat-ciang-hwe-liong, seorang tokoh kosen yang sudah punya nama besar sejak belasan tahun yang lalu, sebaliknya lawannya cuma seorang pemuda yang sama sekali tak terkenal.
Orang lain kaget, Hiat-ciang-hwe-liong jauh lebih kaget, ia tak menyangka kalau tiga kali pukulan dahsyat yang dilancarkan olehnya dapat disambut oleh pemuda itu dengan kekerasan.
Ketka pukulan kedua dilancarkan dengan tenaga delapan bagian tadi, ia sudah merasakan anak muda itu pasti tak mampu menahan pnkulannya yang ketiga.
Siapa tahu dugaan itu ternyata meleset, ketika pukulan ketiga dengan sepenuh tenaga dilontarkan, bukan saja pemuda itu tetap menerimanya dengan keras lawan keras, malahan orang sama sekali tak roboh.
Hiat ciang hwe liong tabu sampai di manakah kekuatan sendiri, ia tahu pukulan yang dilontarkan itu paling sedikit berkekuatan ribuan kati, apalagi pukulan Ang seh hiat-heng ciang yang kuat, panas dan beracun, jangankan manusia yang terdiri dari darah daging, sekalipun batu padas juga akan hancur, pohon besar juga akan tumbang bila terlanggar tenaga pukulannya.


Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sudah beratus orang jago yang pernah ditemuinya semenjak ia terjun ke dunia persilatan. tap1 belum pernah ia temui seorang pemuda ingusan tak dikenal yang kosen dan ulet, bukan saja pukulan dahsyatnya gagal merobohkannya, malahan dapat menandinginya dengan sama kuat, tentu saja jago tua ini terkesima heran dan kaget.
Tapi setelah diamatinya dengan seksama, ia baru menemukan ada kelainan pada anak muda itu, mukanya kelihatan merah membara seperti terbakar, sinar matanya pudar, meski tetap melototinya, namun sinarnya sudah buram.
Tahulah Hiat ciang-hwe-liong bahwa anak muda itu telah terluka isi perutnya oleh pukulan hawa panasnya yang dahsyat dan kini berada dalam keadaan tak sadar. Sebabnya
ia tidak roboh mungkin karena tenaga pantulan yang membalik dari dinding di belakang anak muda itu sehingga tubuhnya tertahan untuk sementara.
Karena pikiran itu, dia lantas menegur: "He, anak muda, bagaimana rasanya ketiga pukulanku ini?"
Tian Pek tetap diam saja, tidak menjawab juga tidak bergerak.
"Hahaha!" Hiat-ciang-hwe-liong terbahak-bahak dengan bangganya, "kukira kau tak mampu lagi menjawab pertanyaanku bukan" Hahaha, dan kenapa kau tidak rebah saja?"
Sambil mengejek, secepat kilat ia menubruk maju dan langsung menutuk Bi-sim-hiat di tubuh anak muda itu.
Ada dua maksud tujuan tindakannya ini. Pertama, jika Tian Pek sudah mati, maka mayatnya harus dirobohkan sehingga ia dapat memerintahkan anak buahnya untuk membereskan jenazahnya. Kedua, kalau Tian Pek tidak mati dan hanya terluka parah, maka tutukan ini akan mengirim anak muda itu ke akhirat.
Perlu diketahui, Hiat-ciang-hwe-liong Yau Peng-gun adalah jago silat yang tersohor kekejamannya, belum pernah ia ampuni jiwa musuhnya, bila terjadi pertarungan, maka ia pasti akan membunuh lawannya.
Sebab ia mempunyai prinsip hidup yang aneh, baginya kalau berbaik hati kepada musuh berarti bertindak kejam terhadap diri sendiri, bila membabat rumput tidak se-akar2nya, angin musim semi berembus dan rumput itu akan tumbuh kembali.
Dengan prinsip hidupnya inilah ia tak mau berbuat baik hati kepada lawan hingga mendatangkan bencana bagi dirinya di kemudian hari.
Tampaknya jika tutukan maut itu kena sasarannya niscaya Tian Pek akan mati konyol.
"Setan tua, kau berani"'' tiba2 suara bentakan nyaring menggelegar di udara.
Berbareng bentakan tersebut, sejalur bayangan hitam meluncur tiba dan menyabat jalan darah Im-tok-hiat di lengan kanan Hiat-ciang-hwe-liong.
Ilmu silat kakek itu memang hebat, meskipun menghadapi sergapan dia tidak menjadi gugup, tubuhnya yang sedang menerjang ke depan mendadak melejit ke udara, kemudian dengan gerak In-li-hoan (jumpalitan di tengah awan) dia mengerem gerak tubuhnya yang sedang meluncur itu dan melayang kembali ke tempat semula.
"Tarr! Aduuh! Bluk!" serentetan suara nyaring terdengar serta berkelebatnya bayangan orang, tahu2 seorang nooa cantik berpakaian sutera halus sudah berdiri tegak di tengah2 antara Tian Pek dan si kakek.
Kiranya suara "Tarr!" tadi adalah bunyi cambuk kulit sepanjang tiga depa yang dilemparkan anak dara itu untuk menyerang pergelangan tangan kanan Hiat-ciang-hwe-liong dan menolong Tian Pek, tapi tiba2 kakek itu melejit di udara dengan gerakan yang indab, maka cambuk tersebut menyambar ke sana dan menyerempct telinga Hwesio gemuk tadi.
Tiat-pay Hwesio ini bertenaga raksasa, tapi sayang dia adalah manusia kasar dan dungu, waktu itu ia sedang mengikuti jalannya pertarungan, ketika telinganya secara tiba2 terasa sakit, cepat dia meraba dan betapa kaget dan marahnya setelah mengetahui daun telinganya terkupas sebagian dan berlepotan darah, kontan dia menjerit:
"Aduh!' Sedangkan suara "Bluk!' yang terakhir adalah suara benturan ujung cambuk yang menancap dinding tembok, cambuk itu menembusi dinding yang keras itu hingga tiga-empat inci dalamnya, dapat dibayangkan betapa dahsyatnya tenaga dalam yang dimiliki penyambit cambuk itu.
Apalagi setelah semua orang tahu kalau penyergap itu adalah seorang dara muda yang cantik jelita, hampir sebagian besar jago persilatan yang hadir itu sama terbelalak lebar matanya.
Pudahal cambuk adalah kenda yang lemas, tapi disambitkan oleh anak dara itu cambuk menjadi lurus dan keras bagaikan anak panah, bukan saja telah melukai seorang jago lihay, malahan terus menembus dinding tembok yang keras sedalam empat lima inci, bila seseorang tidak memiliki tenaga dalam yang sempurna, tak mungkin bisa melakukannya-Nona itu berusia enam-belasan, mukanya cantik dengan mata yang jeli, hidung mancung serta bibir yang kecil mungil menawan, giginya putih bersih, rambutnya disanggul model keraton, di balik kecantikannya tersembunyi keagungan. terutama sekali sifat ke-kanak2annya yang jelas masih kelihatan diwajahnya sehingga anak dara itu kelihatan polos, lincah dan menawan hati.
Betapa gusarnya Hiat-ciang-hwe-liong setelah mengetahui yang datang hanya seorang anak dara yang cantik, tapi ia sendiri telah dibikin kalang kabut, bahkan seorang anak buahnya juga dilukai.
Dengan gusar ia lantas membentak: "Budak liar darimana" Berani kau campur urusan pribadiku" Hm, kautahu tidak aku ini Hiat-ciang-hwe-liong ... ?"
"Jangan temberang kakek muka merah!' jawab si gadis dengan bertolak pinggang sambil menuding hidung lawannya. "Coba jawab dulu pertanyaanku. Kau sudah tua bangka, masakah kau tidak pegang janji, bicaramu tidak ditaati?"
"Hm, budak liar. rupanya kau tak pernah mendapat didikan!" teriak Hiat-ciang-hwe-liong, "berani kau bicara tak sopan dihadapanku" Kalau kau tidak tahu adat jangan salahkan aku bila kuhajar kau."
"Huh, tua bangka sialan yang tak bisa dipercaya omongannya" Jangankan kau tak mampu menghajar diriku, suatu pukulanku saja kukira belum tentu kau sanggup menerimanya, asal kau mampu menyambut pukulan nonamu, enam propinsi di utara dan selatan sungai boleh kau jelajahi dengan bebas, tanggung takkan ada orang yang berani mengganggu dirimu ...
"Tutup mulut.... !" bentak Hiat-ciang-hwe-liong semakin gusar, rupanya ia merasa ucapan gadis itu persis menirukan nada ucapannya terhadap Tian Pek tadi, dia menggosok telapak tangan dan siap menerjang maju.
"Budak kurang ajar, kau berani melukai telinga Hudya, hayo bayar kerugian kepadaku dengan jiwamu," demikian terdengar bentakan mcnggelegar.
Berbareng itu, Tiat-pay Hwesio lantas putar tameng baja yang beratus kati beratnya itu terus menghantam batok kepala si nona.
Nona itu tersenyum simpul, ia tetap berdiri santai di tempat semula, bukan saja tidak menaruh perhatian pada serangan dahsyat lempengan baja itu, bahkan melirikpun tidak.
Ketika lempengan baja itu sudah dekat batok kepalanya, mendadak ia merendahkan tubuhnya, kemudian entah memakai gerakan apa, tahu2 ia sudah menerobos keluar dari bawah, menyusul tubuhnya melejit ke atas, dengan gerak Yan-cu-hoan-sin (burung Walet putar badan) ia berjumpalitan di udara terus melayang turun dan tepat berdiri tegak di atas lempengan baja lawan.
"Hei, Hwesio dogol," ejeknya sambil tertawa cekikikan
"kutahu kau memang tak becus berkelahi, rupanya kau kehabisan senjata, maka kau bongkar daun pintu kuilmu untuk digunakan sebagai senjata!"
Tiat-pay Hwesio ber-kaok2 gusar, lempengan bajanva diputar kencang bagaikan baling2, maksudnya bendak melemparkan tubuh gadis itu agar jatuh.
Siapa sangka bukan saja anak dara itu tidak terlempar, sebaliknya dia malahan main loncat, menari dan berjingkrak di atas lempengan baja itu dengan riang gembira Sambil berloncatan kian kemari, ia tertawa ngikik tiada hentinya: "Hihihi, sungguh menyenang-kan, sungguh menyenangkan . . . !"
Sunguh tontonan yang menarik, seorang Hwesio gede mcmutar lempengan baja sebesar daun pintu bagaikan baling2 dan seorang gadis cantik berloncatan kian kemari di atasnya sambil cckikikan, bila orang tak tahu duduknya persoalan pasti akan menganggap di sini sedang berlangsung permainan akrobatik-Pada waktu itu, bukan saja kawanan jago yang dibawa Hiat-ciang hwe liong telab berkumpul, malahan rakyat jelata juga berkerumun untuk menonton keramaian meski tadi mereka sudah kabur ter-birit2 ketika terjadi pertarungan sengit tadi.
Sekalipun Tiat pay Hwesio adalah seorang manusia kasar dan blo'on, lambat laun ia dibikin kheki juga setelah setengah harian tak sanggup merontokkan gadis itu dari atas lempengan bajanya, akhirnya ia tahu sekali pun cara itu dilanjutkan sampai pagi juga belum tentu bisa bikin jatuh nona itu
Maka akhirnya ia putar lempengan baja tersebut dengan tangan sebelah, sementara tangan yang lain langsung menyodok ke selangkangan anak dara itu sambil memaki:
"Neneknya, jangan kauanggap Hudya mudah dipermainkan! Hayo turun!"
Bagi seorang gadis, serangan macam itu di-anggap sebagai suatu serangan kotor dan rendah. merah padam selembar wajah si nona, kali ini ia tak dapat tertawa lagi.
Dengan gerak Thio Hui-pian be (Thio Hui merosot ke bawah kuda), gadis itu angkat kaki sebelahnya untuk menghindari tonjokan maut lawan, kemudian mengerahkan tenaga ia tekan lempengan baja tadi. lalu melayang turun ke sana.
Sungguh menarik kejadian selanjutnya, karena tenaga tekanan kaki si nona, Tiat-pay Hwesio tak sunggup menahan lempengan baja sendiri yang berat, apalagi lempengan baja itu hanya dipegang dengan satu tangan, begitu terlepas dari pegangan langsung saja lempengan baja itu menjatuhi kaki sendiri.
Lempengan baja itu memang berat, jatuhnya karena tekanan anak dara tadi, walaupun kaki Hwesio itu terlindung oleh sepatu, tak urung juga kesepuluh jari kakinya hancur tertindih senjata sendiri.
Itulah yang dinamakan senjata makan tuan, sambil menungging Hwesio dogol itu ber-kaok2 ke-sakitan.
Sementara itu dengan tenangnya nona cantik itu sudah berdiri di depan Hiat-ciang hwe liong, ujarnya sambil membetulkan rambutnya yang kusut: "Eeh, kakek tua muka merah, tentunya kaupun orang yang punya nama dan berkedudukan baik di dunia persilatan, masa sebagai seorang tokoh kenamaan kau tidak pegang janji?"
Lagak angkuh dan rasa gusar Hiat-ciang-hwe-liong tadi kini sudah lenyap tak berbekas, sebaliknya dia lantas tersenyum sebisanya dengan sikap ramah dan menghormat.
Sekarang ia tak berani pandang enteng anak dara itu lagi, terutama sekali setelah menyaksikan gerak tubuh Ni-gong-huan-ing (melintas di angkasa dengan bayangan semu) yang dipraktekkan si gadis waktu mempermainkan Tiat-pay Hwesio, karena ia kenal gerak tubuh ini adalah suatu kepandaian rahasia yang tak pernah diwariskan kepada orang luar dari suatu keluarga persilatan yang besar.
Tidaklah mungkin gadis ini bisa menguasai gerak tubuh sakti itu tanpa mempunyai hubungan yang erat dengan keluarga persilatan besar yang dimaksud itu, betapa besarnya pengaruh keluarga persilatan itu, jangankan Hiat-ciang hwe-liong sendiri, sekalipun An-lok Kongcu juga belum tentu berani cari gara2 pada keluarga itu.
"Nona!" ucapnya kemudian, "cukup kiranya kalau engkau mengetahui bahwa aku mempunyai nama dan kedudukan lumayan di dunia persilatan-Coba jelaskan, perkataan apa yang telab kuucapkan dan kauanggap tidak pegang janji?"
Hiat-ciang hwe-liong memang jago kawakan yang licik, sekalipun dia ada maksud untuk mengalah kepada gadis itu, akan tetapi pembicaraannya tetap angkuh demi menjaga gengsi.
"Hm!" anak dara itu mendengus, "kakek keriputan, tak perlu kau tempeli mukamu sendiri dengan emas, kaupun tak usah berlagak pilon! Sebelum pertarungan dimulai tadi, bukankah kau telah berjanji akan mengaku kalah bila Tian-siauhiap sanggup menerima tiga pukulanmu?"
Hiat-ciang-hwe-liong ter-bahak2. "Hahaha! Rupanya nona sudah mengikuti semua pembicaraanku dengan engkoh cilik ini. Baik, baiklah! Kalau nona sudah mengatakan begitu, akan kulepaskan engkoh cilik ini pergi dari sini!"
"Nah, begitu baru pantas, kalau sudah berani buka suara maka sepantasnya berani pegang janji. Hayo suruh orang2mu menyingkir!"
Habis berkata gadis itu lantas bersiul nyaring, seekor kuda berwarna merah yang tinggi besar muncul dari belakang kerumunan orang banyak, setibanya di sisi gadis itu dengan kepalanya kuda itu meng-usap2 badan majikannya dengan mesra sekali.
Melenggonglah berpuluh lelaki yang menyaksikan kejadian itu, meski tidak sedikit di antaranya yang tergolong lelaki bangor dan tergiur oleh kecantikan anak dara itu, namun tak seorangpun yang berani mencari penyakit, apalagi setelah menyaksikan pemimpin mereka, Hiat-cianghwe-liong juga segan kepada si nona.
Dalam hati orang2 itu menjadi dongkol demi mslihat sikap kuda merah itu begitu mesranya dengan si nona, memangnya manusia kalah daripada kuda, demikian gerutu mereka.
Dengan kasih sayang gadis itu membelai bulu suri kudanya, kemudian dengan sekali berkelebat ia sudah berada di kaki tembok sana untuk mencabut cambuknya, entah bagaimana caranya tahu2 ia sudah melayang kembali
ke tempat semula, semua gerak-geriknya dilakukan amat cepat, suatu bukti entah betapa sempurnanya Ginkang yang dimilikiaya. Setelah mengambil kembali pecutnya, nona itu menarik kudanya ke samping Tian Pek. Waktu itu Tian Pek masih berdiri kaku di tempat semula dengan muka merah membara.
"Engkoh Pek, engkau teriuka?" ucap dara itu dengan lembut dan sedih melihat keadaan anak muda itu.
Tian Pek tetap diam saja.
"Engkoh Pek, parahkah lukamu" Mengapa kau tidak menjawab?" kembali gadis itu berbisik.
Tian Pek tetap bungkam dan tidak bergetak, biji matanya juga tak berputar sama sekali.
Betapa sedih anak dara itu menyaksikan keadaan Tian Pek, matanya jadi merah dan hampir meneteskan air mata.
Akhirnya dengan gemas ia berkata: "Hm, pasti kakek sialan ini yang melukai kau. Baik! Akan kubalaskan dendammu nanti pada kakek sialan ini setelah kubawa kau pulang dulu kerumah untuk merawat lukamu."
Dengan mata melotot ia melirik sekejap ke arah Hiat-ciang-hwe-liong, lalu loncat ke atas kudanya, ia tarik Tian Pek ke atas pelana.
Dengan tangan sebelah memeluk tubuh anak muda itu, si nona cemplak kudanya dan siap berlalu.
"He, nona, tunggu sebentar!" tiba2 Hiat-ciang-hwe-liong maju selangkah ke depan sambil berseru.
"Ada apa?" tanya si nona dengan muka tak senang, alis matanya bekernyit "Memangnya kau menyesal dan ingkar janji" Tua bangka celaka!"
Hiat-ciang-hwe-liong menyengir, ucapnya: "Nona,jangan kau sebut aku tua bangka celaka segala, sedikitnya kau harus meghormati aku dan jangan berbuat kurang sopan terbadap orang yang lebih tua daripadamu bukan?"
"Sudah, tak usah banyak bicara, apa lagi yang hendak kaukatakan?" tukas gadis itu tak sabar.
"Budak cilik yang tak tahu diri, jangan kelewat batas sikap angkuhmu!" teriak Giok-bin-lo-cia dengan marah, segera ia hendak melabrak si nona.
"Anak Hui, jangan turut campur!" cepat Hiat-ciang-hwe-liong mcncegah. Lalu katanya pula kepada anak dara itu:
"Nona, kctahinlah bahwa aku mengalah kepadamu lantaran mengingat orang tua-mu kalau engkau tak suka banyak bicara, akupun tak akan banyak omong, pemuda she Tian ini sudah tcrkena pukulan Ang-seh hiat-heng-ciang yang beracun, jika dalam tiga hari tidak memperoleh obat penawarnya, maka dia akan mati dengan tubun hangus.
Nah. karena aku mau berbuat baik, untuk membuktikan maksud baikku, akan kuberikan sebutir obat penawar, asal pemuda itu sudah minum obatku dan beristirahat selama beberapa hari, maka lukanya akan sembuh dengan sendirinya!"
Sambil berkata is keluarkan sebuah botol kecil dan mengambil sebutir pil warna hijau, lalu di selentikkan ke arah gadis itu.
Sambil tersenyum nona itu menjepit obat tersebut dengan kedua jarinya.
Pil itu kecil sekali bentuknya tapi diselentikkan Hiat-ciang-hwe-liong dengan tenaga yang keras pil yang kecil itu meluncur secepat kilat, tapi anak dara itu sanggup menjepitnya dengan tepat dan jitu dengan dua jari, untuk itu bukan saja dia harus tajam dalam penglihatan, tenaga
dalam serta gerak japitannya juga harus tepat dan sempurna pula.
Sekarang Hiat-ciang-hwe-liong baru benar2 kagum atas kelihayan si nona, sambil menghela napas ia berpeling ke arah muridnya, mau-tak-mau Song Siau-hui merasa kalah dan menunduk malu.
Gudis itu mengamati pil itu sekejap, lalu ia berkata:
"Cara bagaimana kutahu obat ini benar2 obat penawar"
Seandainya kau beri sebutir obat racun kepadaku . . . ?"
Bicara sesungguhnya, Hiat-ciang-hwe-liong memang bukan sungguh2 hendak menolong jiwa Tian Pek, yang benar ia berbuat begitu karena takut pada pengaruh keluarga si gadis yang besar dan kuat itu.
Ia menduga pasti ada hubungan yang luar biasa antara gadis itu dengan Tian Pek, terutama sikap mesra yang diperlihatkan anak dara itu. Ia maklum, bila Tian Pek sumpai mati di tangannya. niscaya anak dara itu akan menuntut balas padanya.
Karena itulah dia lantas putar haluan mengikuti arah angin, ia sengaja menolong anak muda itu agar di kemudian hari gadis itu tak mencari perkara lagi padanya, Siapa tahu, bukan rasa terima kasih yang didapat, ia malah dicurigai sengaja memberi obat racun, keruan ia mendongkol, segera ia menjengek; "Nona, kalau aku tidak bermaksud menolong jiwanya, biarpun tidak kuberi obat racun juga dia tetap akan mampus. "
"Oh, kalau begitu aku mesti berterima kasih kepadamu, begitukah kakek sialan?" kata gadis itu sambil cekikikan.
Sekarang ia percaya obat yang diberi Hiat-ciang-hwe-liong itu adalah obat penawar, maka tanpa menunggu
jawaban orang lagi ia lantas mencemplak ke atas kudanya dan pergi dari situ.
Dalam sekejap mata bayangannya sudah lenyap di balik kegelapan sana, betapa mendongkol-nya Hiat-ciang-hwe-liong menyaksikan tingkah laku nona itu, terutama sebutan
"kakek sialan" yang terakhir itu . . . .
Udara cerah, sang surya memancarkan sinar emasnya yang cerlang cemerlang.
Seekor kuda merah yang tinggi besar sedang berlari kencang di jalan raya.
Penunggang kuda itu adalah seorang gsdis cantik jelita serta merangkul seorang pemuda tampan yang berada dalam keadaaan tak sadar.
Banyak orang memandang heran pada penunggang kuda itu. Betapa tidak" Seorang gadis cantik merangkul seorang pemuda di siang hari bolong. sudah tentu kejadian ini sangat menarik perhatian.
Untungnya kuda itu berlari dengan cepatnya, hanya sekilas pandang saja kuda itu sudah lewat jauh ke sana meninggalkan debu yang beterbangan memenuhi angkasa.
Sambil membedal kudanya kencang2, berulang kali anak dara itu meuundukkan kepalanya memandang pemuda yang berada dalam pelukannya dengan rasa kuatir dan kasih sayangnya. Bila dalam keadaan sadar pemuda itu menyaksikan kemesraan dan rasa kuatir yang ditunjukkan si gadis cantik ini kepadanya, niscaya dia akan merasa dirinya orang yang paling bahagia di dunia.
Sayang pemuda itu pingsan, sepanjang perjalanan ia tak dapat menikmati kehangatan serta kemesraan yang ditunjukkan gadis itu, malahan mukanya semakin merah membara, napasnya makin memburu, dadanya turun naik
makin keras dan jiwanya sudah berada ditepi jurang kematian.
Cemas dan gelisah anak dara itu menyaksikan keadaan pemuda itu yang semakin payah, ia dapat merasakan suhu badannya yang kian meninggi, ia merasa se-akan2 sedang memeluk segumpal bara.
Akhirnya ia tak dapat menahan perasaan kuatirnya, lari kudanya diperlambat dan akhirnya ber~benti.
"Apa yang mesti kulakukan sekarang?" pikirnva dengan gelisah, "jelas tak mungkin kubawa pulang ke rumah. tapi di tengah jalan yang begini sunyi ke mana aku mesti mencari tabib untuk menyembuhkan sakit engkoh Pek"''
Setelah ter-mangu2 sejenak, gadis itu berpikir lebih jauh:
"Aku memang bodoh. jika kubekal beberapa biji Toa hoan-wan dari rumah, pasti aku tak perlu repot2 melakukan perjalanan cepat "
Teringat pada obat Toa-hoa-wan milik keluarganya.
tiba2 gadis itu teringat pula akan obat penawar pemberian si kakek muka merah itu.
"Kenapa aku melupakan obat penawar pemberian kakek itu?" kembali ia berpikir, "kenapa tidak kuminumkan dulu obat ini kepada engkoh Pek untuk menolong jiwanya lebih dulu ......?"
Berpikir sampai di sini, ia coba mengawasi sekitar tempat ini, maksudnya mau mencari rumah penduduk untuk minta air putih bagi engkoh Tian.
Tapi lempat itu jauh dari keramaian dan tiada rumah penduduk, yang terbentang sejauh mata memandang hanya rumput serta ladang belaka.
Ia melihat sebuah bukit kurang lebih lima-enam li di sebelah kiri sana, gadis yang cerdik ini segera membedal kudanya menuju ke arah bukit kecil itu.
Walaupun dia tak berpengalaman dan jarang keluar rumah, namun otaknya memang encer, ia pikir di atas bukit yang tinggi itu tentu bisa memandang ke seluruh peujuru dengan lebih leluasa"
Kuda merah yang ditunggangi anak dara itu adalah seekor kuda jempolan yang disebut Ci hua liu (kuda cepat berbulu merah) sekalipun mendaki bukit yang tinggi tetap t;dak menjadi alangan baginya, hanya sekejap saja lima-enam li sudah di tempuhnya.
Berdiri di puncak bukit itu, si nona dapat memandang keadaan sekitar situ dengan lebih leluasa. Dilihatnya jauh di belakang bukit sana suatu lembah yang permai dengan pepobonan yang rindang, sebuah bangunan mengintip di balik pepohonan itu, meskipun masih bclasan li jauhnya, akan tetapi kecuali bangunan itu tidak nampak lagi ada rumah penduduk yang lain.
Apa boleh buat, terpaksa ia membedal kudanya menuruni bukit itu dan menuju ke arah bangunan tersebut.
Kuda Ci-hoa-liu memang kuda jempolan. bukan saja dapat berlari cepat di tanah yang datar, sekalipun lari mendaki bukit atau menelusuri lereng-pun kecepatannya tak berkurang, sekejap kemudian ia sudab membawa kedua orang itu sampai di depan rumah tadi.
Gadis itu menurunkan pemuda yang belum sadar itu, tapi setelah mendekati rumah itu ia jadi melenggong.
Bangunan itu aneh sekali bentuknya, atap ber-bentuk bundar warna merah. dinding pckarangan terbuat dari batu put
Dendam Iblis Seribu Wajah 2 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Golok Halilintar 8
^