Jodoh Rajawali 14

Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 14


kek Gu Toan, dun juga ibu Kian Lee, bekas ketua Pulau Neraka, Lulu, menerima pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas dari kakek Gu Toan. Akan tetapi sekarang muncul keturunan kakek Gu Toan yang menyimpan semua pusaka itu!
"Kian Bu, bagaimana engkau sampai bertanding dengan Sin-siau Seng-jin" Sai-cu Kai-ong bertanya, akan tetapi yang ditanya masih bengong memandangi gambar itu. Ketika Sai-cu Kai-ong hendak mendesak, tiba-tiba seorang muridnya tergopoh-gopoh masuk dan melaporkan bahwa di luar lembah terjadi pertempuran antara orang-orang yang tidak dikenal. Mendengar ini, Sai-cu Kai-ong berlari keluar diikuti oleh Suma Kian Lee, Ceng Ceng, Hwee Li, Siauw Hong, bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, dan bergegas lari ke arah pertempuran itu. Dalam ketegangan itu, mereka sampai tidak tahu bahwa Kian Bu masih tetap terlongong memandangi gambar Kam Liong.
Ketika mereka tiba di lembah bawah puncak, benar saja di sana terjadi pertempuran dahsyat sekali. Yang bertempur adalah seorang kakek raksasa yang menyeramkan melawan seorang kakek tua renta yang bersenjata sebatang suling emas! Hwee Li, Ceng Ceng, dan Jenderal Kao segera mengenal kakek raksasa itu yang bukan lain adalah Hek-tiauw Lomo, ketua Pulau Neraka, ayah dari Hwee Li! Sedangkan kakek tua yang bersenjata suling emas itu adalah Sin-siauw Sengjin. Dua orang ini bertempur dengan seru dan hebatnya dan terdengar suara berdengung dari suling ditangan Sin-siauw Seng-jin. Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan seorang lawan tangguh sehingga keduanya saling serang dengan dahsyatnya. Sedangkan tak jauh dari situ, beberapa orang anak buah Hek-tiauw Lomo yang berwajah serem-serem sedang bertanding melawan pengikut-pengikut Sin-siauw Seng-jin yang jumlahnya lima orang.
Melihat ayahnya bertanding dengan pewaris Suling Emas itu, Hwee Li segera meloncat ke depan dan berseru, "Ayah....! Aku berada di sini!"
Sai-cu Kai-ong terkejut ketika mendengar nona berpakaian hitam itu menyebut ayah kepada lawan Sin-siauw Seng-jin, maka dia pun cepat maju dan berkata kepada sahabatnya itu, "Sengjin, hentikan pertempuran di antara orang sendiri!"
Mendengar seruan Sai-cu Kai-ong ini, Sin-siauw Seng-jin terkejut dan meloncat mundur, mengelebatkan sulingnya dan berteriak menyuruh Gin-siauw Lo-jin dan empat orang murid lain untuk mundur dan menghentikan pertempuran pula. Sepuluh orang anak buah Hek-tiauw Lomo yang serem-serem itu pun mundur dan berkelompok.
Hek-tiauw Lo-mo sendiri ketika mendengar suara Hwee Li, sudah menarik kembali golok gergajinya, menyimpannya di punggung. Kakek ini memandang kepada Hwee Li dengan mata terbelalak lalu tertawa bergelak. Semua orang merasa ngeri ketika melihat kakek ini tertawa karena nampak gigi seperti taring di mulut kakek itu! Sungguh seorang kakek yang mengerikan, seperti iblis saja. Tubuhnya tinggi besar, kelihatan kokoh kuat seperti batu karang. Di punggungnya nampak golok gergaji dan tombak tulang ikan, sedangkan di pinggangnya tergambar sebatang pedang.
"Ha-ha-ha! Kiranya benar engkau di sini, anakku! Melihat garuda terbang di atas sini, aku sudah menduga bahwa engkau tentu berada di sini. Ha-ha-ha, dan ternyata engkau bersama orang-orang yang berkepandaian tinggi yang berkumpul di lembah ini. Hebat.... hebat...."
"Ayah, aku bersama Subo di sini...."
"Hemmm, aku tahu." Hek-tiauw Lo-mo lalu menjura dengan kaku ke arah Ceng Ceng sambil berkata, "Terima kasih atas bimbinganmu kepada puteriku, Toanio. Akan tetapi, hari ini terpaksa aku hendak mengajak puteriku pergi."
"Ah, tidak, Ayah! Aku masih ingin bersama Subo....!" Dan gadis berpakaian hitam itu menoleh, bukan kepada subonya, melainkan kepada Kian Lee!
"Hushhh! Lima tahun lamanya aku membiarkan engkau pergi meninggalkan aku menahan hati yang rindu. Anakku, setelah kini bertemu, apakah engkau masih tidak kasihan kepada ayahmu" Aku rindu padamu, ingin mengajakmu berkumpul. Apakah engkau hendak menjadi searang anak yang sama sekali tidak berbakti terhadap ayahmu" Aku hanya memiliki engkau seorang, Hwee Li anakku...." Aneh sekali, kakek raksasa yang segala-galanya kelihatan kasar dan keras itu, kini suaranya terdengar menggetar seperti mengandung isak!
"Hwee Li, engkau tahu bahwa Subomu dan Suhumu sedang sibuk menghadapi banyak urusan. Sekarang, Ayahmu telah datang dan sebagai seorang anak yang berbakti engkau tidak boleh menyakitkan hati Ayahmu. Sudah menjadi kewajibanmu, untuk menghibur hati Ayahmu. Kelak masih banyak waktu untuk kita saling bertemu lagi."
Mulut yang manis itu cemberut, lalu tiba-tiba Hwee Li menghampiri Kian Lee dan bertanya, "Bagaimana pendapatmu, Kian Lee" Apakah benar bahwa aku harus turut dengan Ayah"
Kian Lee terkejut. Tak disangkanya bahwa dia akan ditanya oleh Hwee Li tentang hal itu. Dan tentu saja semua orang juga merasa heran, hanya Ceng Ceng yang mengerutkan alisnya karena guru yang sudah bertahun-tahun mengenal watak muridnya itu merasakan sesuatu yang membuat dia merasa tidak enak. Dia tahu bahwa muridnya itu jatuh cinta kepada Kian Lee!
"Eh.... ini.... ini.... memang sebaiknya begitu, Hwee Li. Seorang anak harus berbakti kepada orang tuanya, dan kurasa ada baiknya kalau engkau ikut bersama ayahmu karena aku yakin bahwa dengan adanya engkau di sampingnya, engkau akan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak baik." Dengan ucapan ini Kian Lee hendak mengatakan bahwa dara itu dapat mencegah ayahnya melakukan kejahatan-kejahatan karena dia sudah mengenal siapa adanya Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka yang ganas dan keji seperti iblis itu.
Mulut itu makin cemberut. "Tapi.... kita baru saja saling berjumpa.... dan kau baru saja sembuh. Aku masih belum puas bercakap-cakap denganmu, Kian Lee."
"Hwee Li, jangan banyak membantah. Ayahmu sudah mengajak, aku sebagai gurumu telah menyetujui, dan.... Paman Kian Lee telah menganjurkan pula, mengapa engkau masih banyak membantah"
Hwee Li membanting-banting kaki kanannya, lalu mulutnya mengeluarkan lengkingan panjang dan tak lama kemudian terdengar lengking panjang menjawab. Itulah garudanya yang segera melayang turun. Hwee Li sekali lagi membanting kaki kanannya dan menghampiri ayahnya.
"Ha-ha-ha! Apakah kau marah, anakku" Apakah gurumu terlalu galak kepadamu" Apakah ada orang yang membuatmu tidak senang" Katakan, siapa dia dan aku akan mengeluarkan isi perutnya, ha-ha-ha!" Semua orang bergidik mendengan ucapan ini, apalagi mata yang lebar dan liar itu menyapu semua orang yang berada di situ tanpa terkecuali, seolah-olah dia sama sekali tidak memandang mata kepada mereka.
"Sudahlah, Ayah. Mari kita pergi. Dia menoleh ke arah Kian Lee dan berkata lagi, "Benarkah aku harus pergi"
Kian Lee hanya mengangguk karena dia merasa sungkan dan malu untuk menjawab.
"Subo, sampai jumpa. Sampaikan hormatku kepada Suhu," kata Hwee Li kepada Ceng Ceng. Wanita itu mengangguk dan hatinya merasa tertusuk ketika dia melihat Hwee Li meloncat ke atas punggung garuda sambil menangis! Tahulah dia bahwa sebenarnya hati dara itu berat sekali harus pergi bersama ayahnya.
"Muridku yang baik, hati-hatilah menjaga diri dan kelak kita bertemu kembali!" katanya melambaikan tangan ketika garuda itu mulai menggerakkan sayapnya dan terbang meninggalkan tempat itu.
"Heiii, Hwee Li, aku ikut....!" Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berseru keras.
"Ayah mengikuti dari bawah saja!" teriak Hwee Li.
Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak, dari tangannya menyambar sinar hitam yang halus dan tahu-tahu tubuh raksasa ini sudah melayang naik bergantung kepada benda halus hitam yang telah mengait kaki garuda yang terbang tadi. Kiranya kakek itu menggunakan sehelai jala tipis lembut yang tadi ditujukan ke arah kaki garuda dan kini dia bergantung kemudian memanjat naik dengan cekatan dan tak lama kemudian dia sudah duduk di atas punggung garuda di belakang puterinya! Semua orang terkejut dan kagum karena memang hebat sekali kakek raksasa itu. Anak buahnya lalu berlari-larian mengikuti arah terbangnya burung garuda.
Setelah orang-orang Pulau Neraka itu lenyap, Sin-siauw Seng-jin lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah Sai-cu Kai-ong. Tentu saja kakek ini menjadi terheran-heran dan cepat dia menghampiri sahabatnya itu dan memeluknya.
"Seng-jin, apa artinya ini" Kau aneh sekali, Twako! Kenapa engkau berlutut di depan adikmu seperti ini"
Akan tetapi, kakek itu tidak menjawab, melainkan menundukkan mukanya yang menjadi pucat dan kelihatan berduka sekali, hampir menangis malah. Makin heranlah Sai-cu Kai-ong dan dia berkata lagi, "Eh, kakakku, Sin-siauw Seng-jin,, apakah yang terjadi" Lihatlah dia itu...." Sai-cu Kai-ong menuding ke arah Siauw Hong, "Telah kudidik dia sesuai dengan persetujuan antara kita lima belas tahun yang lalu. Lihat, dia telah menjadi seorangdewasa dan telah memiliki dasar kepandaian yang cukup kuat. Dan manakah cucuku yang kutitipkan kepadamu" Mengapa tidak kaubawa bersamamu" Ah, tentu dia sudah dewasa sekarang!"
Sin-siauw Seng-jin tetap berlutut dan kini memejamkan mata seperti hendak menahan keluarnya air matanya.
"Kai-ong adikku yang baik.... kau.... kaubunuhlah saja aku sekarang...." akhirnya kakek tua renta itu berkata.
Sai-cu Kai-ong terkejut bukan main. "Apa.... apa maksudmu.... Twako"
"Cucumu.... cucumu itu.... baru dua tahun berada bersamaku, lalu diculik orang...., sampai sekarang...."
"Ahhh....!" Sai-cu Kai-ong meloncat berdiri dan mukanya menjadi pucat sekali. Dia memandang kakek yang masih berlutut itu, kemudian dia menarik napas panjang dan menarik tangan Sin-siauw Seng-jin.
"Seng-jin, marilah kita bicara di dalam. Marilah kita menenangkan pikiran dulu dan kemudian kita bicara di antara sahabat-sahabat ini," katanya dan dia menggandeng tangan Sin-siauw Seng-jin, diajak naik ke puncak dan mereka semua lalu masuk istana tua itu, duduk mengelilingi meja besar di ruangan tamu. Sementara itu, setelah tadi mendengar bahwa kakek itu adalah Sin-siauw Seng-jin, Kian Lee mencari-cari dengan pandang matanya dan merasa heran karena baru dia tahu bahwa Kian Bu tidak berada di situ. Dia merasa tidak aneh, karena bukankah Sin-siauw Seng-jin pernah bertanding melawan adiknya" Tentu adiknya itu menyembunyikan diri agar jangarn terjadi pertemuan yang tidak enak, pikirnya dan diam-diam memuji kebijaksanaan adiknya itu.
Setelah duduk, pandang mata Sin-siauw Seng-jin ditujukan kepada orang-orang asing yang ikut duduk di situ. Melihat ini, Sai-cu Kai-ong berkata, "Tenangkan hatimu, Twako. Mereka ini adalah sahabat-sahabat sendiri. Beliau ini adalah bekas Panglima Kao Liang bersama dua orang puteranya, dan nyonya ini adalah mantunya, dan Sicu ini adalah putera Majikan Pulau Es. Semua adalah orang-orang sendiri...."
Sin-siauw Seng-jin memandang kagum dan mengangguk-angguk. "Sudah lama mendengar nama-nama Cu-wi yang mulia...." katanya, akan tetapi kembali dia terbenam ke dalam kedukaan.
"Sekarang ceritakanlah tentang diri cucuku, Twako."
"Dua tahun setelah dia ikut bersamaku, pada suatu hari dia diculik orang yang amat tinggi kepandaiannya. Aku dan para murid mengejar, akan tetapi setelah dia lari jauh ke luar dari daerah Tai-hang-san, tentu saja aku tidak berani melanjutkan pengejaran. Seperti telah kauketahui, Kai-ong, aku dan para murid telah bersumpah tidak akan meninggalkan puncak Tai-hang-san selama hidup sebelum aku dapat menguasai secara sempurna semua ilmu warisan itu, kecuali kalau aku dikalahkan orang dalam pibu. Lima belas tahun telah lewat dan baru-baru ini sebelum aku berhasil menguasai semua ilmu dengan sempurna, aku telah dikalahkan orang, maka aku dapat turun puncak dan berkunjung kepadamu untuk mengabari tentang lenyapnya cucumu itu lima belas tahun yang lalu. Aihhh, Kai-ong, aku merasa bersalah dan selanjutnya terserah kepadamu...." Dia berhenti sebentar. "Ketika aku tiba di lembah itu, aku melihat raksasa itu sedang mencari-cari orang, sikapnya mencurigakan dan kami bentrok. Ternyata dia lihai bukan main. Ah, sampai setua ini ternyata aku belum juga dapat menguasai ilmu-ilmu keluarga Suling Emas!" Dia menarik napas panjang. "Andaikata aku sudah berhasil, tidak mungkin pemuda itu dapat mengalahkan aku, dan juga raksasa tadi tentu sudah dapat kurobohkan. Dasar aku yang bodoh dan tidak berbakat...." Lalu dia memandang kepada Siauw Hong yang sejak tadi mendengarkan saja dan duduk anteng, dan kakek ini lalu bangkit berdiri, menjura ke arah pemuda itu sambil berkata, "Kongcu.... kuharap saja engkau tidak akan mengecewakan.... leluhurmu...." suaranya seperti tercekik keharuan.
Siauw Hong balas menjura. "Mudah-mudahan saja, Locianpwe," jawabnya singkat.
Semua orang saling pandang dengan heran. Kian Lee mengerutkan alisnya karena dia sama sekali tidak mengerti apa artinya semua itu. Melihat ini, Saicu Kai-ong lalu berkata kepada Sin-siauw Seng-jin, "Twako, di depan para sahabat yang gagah perkasa ini, kiranya kita tidak perlu merahasiakan lagi, apa pula karena kita boleh mengharapkan bantuan mereka untuk mencari cucuku yang hilang."
Sin-siauw Seng-jin yang sudah tua sekali itu menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. "Sebaiknya memang demikian. Sudah terlampau lama rahasia itu tersimpan di antara keturunan kami sehingga menjadi beban yang amat menggelisahkan, dan sekarang setelah terdapat keturunan majikan kami yang tepat untuk mewarisi ilmu dan pusaka dari Pendekar Suling Emas, sudah sepatutnya pula kalau rahasia ini kubuka saja di depan orang-orang gagah."
Mereka semua mendengarkan penuh perhatian terutama sekali Kian Lee karena pemuda ini pernah mendengar riwayat keluarga Suling Emas yang diceritakan oleh orang tuanya di Pulau Es. Bahkan sebetulnya, di antara leluhurnya dan keluarga Suling Emas terdapat hubungan yang amat dekat, yaitu antara nenek moyang keluarga Suma dan nenek moyang keluarga Kam. Hanya sayangnya, di antara keluarga Suma, yaitu nenek moyangnya, muncul banyak orang-orang jahat yang mengganggu keluarga Kam yang terkenal gagah perkasa itu. Bahkan kehancuran keluarga Kam sejak Menteri Kam Liong, adalah karena hasil perbuatan jahat dari seorang she Suma, yaitu Suma Kiat, kakek buyut dari ayahnya sendiri! Dengan perasaan bersalah pemuda Pulau Es ini mendengarkan, dan dia maklum bahwa adiknya, Kian Bu tentu sengaja tidak mau muncul karena merasa tidak enak terhadap Sin-siauw Seng-jin, dan memang benarlah dugaan Kian Lee ini. Kian Bu yang tadinya bengong di dalam ruangan menghadapi gambar dari Menteri Kam Liong di waktu muda, menjadi terkejut ketika mengetahui bahwa yang datang bersama orang-orang itu adalah Sin-siauw Seng-jin! Dia merasa tidak enak untuk keluar, takut kalau-kalau kakek yang belum lama ini dikalahkannya akan merasa malu dan penasaran sehingga akan terjadi bentrok antara mereka. Tentu saja dia tidak menghendaki hal ini karena kalau terjadi demikian, dia merasa sungkan sekali kepada Sai-cu Kai-ong yang begitu baik. Maka diam-diam dia pun mendengarkan dari balik pintu ruangan.
Sin-siauw Seng-jin mulai dengan penuturannya. Kakek besarnya, Gu Toan bekas pelayan setia dari Menteri Kam Liong (baca cerita serial Suling Emas, Cinta Bernoda Darah, Mutiara Hitam, Istana Pulau Es dan selanjutnya), menyelamatkan pusaka-pusaka Suling Emas dan membawa jenazah Menteri Kam Liong dan muridnya she Khu, menguburkan mereka di tanah pekuburan keluarga Suling Emas. Gu Toan lalu menjadi penjaga kuburan dan diam-diam dia memperdalam ilmu-ilmunya dari kitab-kitab pusaka Suling Emas yang berada di tangannya, sehingga dia menjadi seorang yang lihai sekali. Dia khawatir bahwa pusaka-pusaka itu tentu akan dicari dan diperebutkan orang-orang pandai, maka dia menyimpannya di tempat rahasia, dan dia telah membuat beberapa buah suling dan kipas palsu, juga kitab-kitab palsu yang dikutipnya dari yang aseli, lalu menyimpan pusaka-pusaka palsu itu di beberapa tempat. Hal ini dilakukannya untuk menjaga keamanan yang aseli dan memang dugaannya tidak meleset karena banyak orang pandai yang mencari pusaka itu sehingga beberapa pusaka palsu itu dirampas orang. Akan tetapi pusaka yang aseli tetap di dalam kekuasaannya, disimpan di tempat aman dan rahasia, dan hanya diketahui oleh dia seindir dan seorang puteranya yang sengaja dia singkirkan jauh-jauh dan tidak diakuinya sebagai anak secara terbuka agar jangan ada yang tahu bahwa Gu Toan mempunyai seorang anak laki-laki! Semua ini dilakukan untuk menjaga keselamatan anaknya berikut pusaka-pusaka itu. Dan akhirnya, seperti yang telah dikhawatirkannya pula, Gu Toan tewas di tangan seorang di antara mereka yang memperebutkan pusaka itu. Akan tetapi pusaka Suling Emas yang aselinya selamat bersama anaknya yang juga menyembunyikan diri, bahkan tidak berani mengaku she Gu!
Mendengar penuturan sampai di sini, Kian Lee terbelalak dan mukanya menjadi merah. Ibunya yang dulu bernama Lulu, ternyata telah "mewarisi" kitab-kitab Suling Emas yang palsu! Kitab-kitab itu diambilnya dari kuburan keluarga Suling Emas seperti yang ditunjukkan oleh Gu Toan sendiri ketika kakek bongkok ini diserang orang yang lihai. Jadi kiranya ibunya itu pun hanya memperoleh yang palsu saja, dan agaknya hal itu disengaja oleh Gu Toan untuk mengalihkan perhatian orang-orang yang memperebutkan pusaka itu ke arah lain. Dan juga ibu tirinya, Puteri Nirahai yang meminjam senjata pusaka suling emas dari kakek Gu Toan, hanya menerima suling yang palsu saja, biarpun benar-benar terbuat dari emas! Ah, kiranya ibu kandungnya dan ibu tirinya, dua orang wanita perkasa yang memiliki kesaktian hebat, isteri-isteri dari ayahnya, Pendekar Super Sakti, telah dikelabui oleh kakek Gu Toan, bekas pelayan Menteri Kam Liong itu!
"Betapa berat tugas nenek moyang kami...." Sin-siauw Seng-jin melanjutkan penuturannya dan kakek ini kelihatan lelah sekali. "Bukan hanya kami tidak lagi menggunakan nama keturunan kami she Gu agar jangan dikejar-kejar orang, juga kami harus menjaga pusaka itu dengan taruhan nyawa, mempelajari kitab-kitab yang amat sukar itu...." Kembali dia kelihatan lelah sekali dan menarik napas panjang. "Itu masih belum berapa sukar. Yang lebih sukar lagi, menjaga dan mengikuti perkembangan keturunan dari Pendekar Suling Emas, keturunan she Kam dan meneliti kalau-kalau lahir seorang anak laki-laki yang berbakat dalam keluarga Kam itu agar kami dapat mengembalikan pusaka kepadanya."
Kian Lee yang mempunyai dugaan bahwa Siauw Hong mempunyai hubungan erat dengan urusan itu, mengerling dan dia melihat Siauw Hong duduk seperti arca sambil menundukkan kepalanya, hanya mendengarkan tanpa berani memandang kepada kakek Sin-siauw Seng-jin atau kepada gurunya, Sai-cu Kai-ong.
"Sungguh amat luar biasa dan amat menyukarkan kami selama beberapa keturunan ketika ternyata bahwa keturunan keluarga Kam tidak ada yang berbakat dalam ilmu silat! Kami tidak boleh memaksa, dan kami harus meneliti bakat mereka tanpa membuka rahasia mereka. Akan tetapi selama beberapa keturunan ini, keluarga she Kam hanya menjadi sastrawan, petani, atau pedagang. Tidak ada seorang pun yang memiliki bakat baik dalam ilmu silat. Kesukaran kami ini, juga rahasia kami sebagai keturunan she Gu yang melanjutkan tugas nenek moyang kami Gu Toan sebagai pelayan setia keluarga Kam, tidak diketahui oleh lain orang, kecuali oleh keluarga Yu inilah yang selalu membantu kami, dan keluarga Yu sudah kami percaya sepenuhnya sebagai keturunan dari tokoh-tokoh Khong-sim Kai-pang, sahabat baik dari keturunan keluarga Kam, semenjak jaman Menteri Kam Liong, yaitu Locianpwe Yu Siang Ki." Kakek tua itu berhenti sebentar, kemudian dia mengerling kepada Siauw Hong yang masih mendengarkan sambil menundukkan mukanya.
"Kam-kongcu, bolehkah saya melanjutkan" tanyanya kepada pemuda itu dengan sikap hormat.
Semua orang terkejut mendengar ini, Kian Lee memandang tajam wajah pemuda yang pernah menjadi "rekannya" ketika dia menyamar dan memasuki sayembara sehingga terpilih menjadi pengawal Gubernur Ho-nan dalam usahanya menyelidiki Pangeran Yung Hwa tempo hari. Kiranya pemuda ini she Kam, keturunan dari pendekar sakti Suling Emas! Dia melihat Siauw Hong bangkit dan menjura ke arah Sin-siauw Seng-jin dan Sai-cu Kai-ong, lalu dia berkata dengan suara lantang dan tenang.
"Budi keluarga Gu yang dilimpahkan kepada keluarga saya sudah setinggi langit dan sedalam lautan, demikian pula dengan budi dari Suhu. Oleh karena itu, saya hanya menyerahkan kepada kebijaksanaan Locianpwe dan Suhu saja." Setelah memberi hormat dia lalu duduk kembali dengan tubuh tegak dan kini Kian Lee melihat bahwa wajah pemuda itu memang selain tampan juga mengandung kegagahan yang mengagumkan, yang terselimut dan tersembunyi di dalam kesederhanaannya. Maka dia merasa kagum sekali.
Sin-siauw Seng-jin lalu melanjutkan penuturannya dengan suara tenang dan lambat, "Setelah menanti sampai beberapa keturunan dengan sia-sia, akhirnya saya menemukan bakat itu di dalam diri Kam Siauw Hong, Kongcu ini. Dialah yang berhak untuk mewarisi seluruh ilmu dari nenek moyangnya. Karena saya sendiri masih terikat sumpah tidak akan turun gunung selama belum berhasil menyempurnakan ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, dan agar Kam-kongcu memperoleh kesempatan memperluas pengetahuannya, maka untuk memberi pelajaran dasar ilmu-ilmu silat tinggi, saya mempercayakannya kepada sahabat saya yang saya percaya penuh, yaitu Sai-cu Kai-ong. Dan bagi engkau juga, Kam-kongcu, sekarang hendak saya bukakan rahasia yang selama ini tidak Kongcu ketahui. Kai-ong, harap kaulanjutkan ceritaku tentang pertunangan itu."
Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang dan memandang muridnya. "Siauw Hong, betapapun juga engkau harus bersyukur bahwa keturunan keluarga Gu amat setia kepada keluargamu sehingga dahulu timbul akalnya untuk menyerahkan engkau kepadaku karena memang banyak tokoh kang-ouw yang selalu menyelidiki pusaka Suling Emas dan tentu akan mengganggumu kalau ada yang tahu bahwa engkau keturunannya. Ketahuilah, ketika engkau masih kecil, sebelum dititipkan kepadaku untuk menjadi muridku, dengan persetujuan kami berdua, telah diikat tali perjodohan antara engkau dan cucuku, yaitu Yu Hwi yang kutitipkan kepada Sin-siauw Seng-jin agar dididik dengan dasar ilmu-ilmu silat tinggi pula. Engkau tahu bahwa semenjak kecil, ayah bundamu telah meninggal dunia karena sakit, engkau hidup sebatangkara dan karena itu kami berdua berani mengambil keputusan tentang tali perjodohan itu agar hubungan baik antara keluarga Kam dan keluarga Yu menjadi makin erat dan berubah menjadi keluarga." Kakek berpakaian sederhana itu menarik napas panjang.
Siauw Hong mengerutkan alisnya, memandang ke arah gurunya dan kepada Sin-siauw Seng-jin, nampaknya dia terkejut bukan main bahwa di luar tahunya, dia telah dijodohkan dengan seorang gadis semenjak dia masih kecil dan belum tahu apa-apa. Akan tetapi, karena memang dia sudah tidak berkeluarga dan sejak kecil dia menerima budi kedua orang tua itu, maka dia tidak berkata apa-apa, lalu menunduk kembali.
Sai-cu Kai-ong dapat meraba isi hati pemuda itu, maka dia berkata lagi, "Maafkan kami, muridku. Percayalah bahwa kami melakukan hal itu demi kebaikanmu dan demi memperkuat tali perhubungan antara keturunan keluarga Kam dan Yu. Tunanganmu itu, ialah cucuku yang bernama Yu Hwi, sejak kecil sekali kuserahkan kepada Sin-siauw Seng-jin untuk dididik. Akan tetapi, seperti yang telah dia ceritakan tadi, terjadi malapetaka. Dia diculik orang dan sampai sekarang belum diketahui berada di mana, masih hidup ataukah sudah mati...." Kakek itu berhenti sebentar, mukanya menjadi pucat.
"Kai-ong, harap kaumaafkan aku...."
Sin-siauw Seng-Jin berkata pilu. Lalu dia berkata kepada Siauw Hong, "Kam-kongcu, sekarang tiba saatnya engkau harus menggembleng diri dengan ilmu-ilmu peninggalan nenek moyangmu, dan saya akan menurunkan semua ilmu itu. Setelah Kongcu mempelajarinya dan mudah-mudahan Kongcu lebih cocok sehingga dapat menguasainya dengan sempurna, tidak seperti saya yang bodoh, maka sudah menjadi kewajiban Kongcu untuk pergi mencari tunangan Kongcu itu sampai dapat. Kalau tidak demikian, maka selama hidup kita akan berhutang kepada keluarga Yu...."
Melihat wajah Sia-cu Kai-ong yang pucat, dan melihat kedukaan Sin-siauw Seng-jin, bangkit semangat Siauw Hong. Dia maklum bahwa mereka berdua itu selalu berusaha demi kebaikannya, maka ikatan jodoh itu pun dia terima dengan hati rela. "Baiklah, Locianpwe. Saya akan mengerahkan seluruh semangat saya untuk mempelajari ilmu-ilmu itu. Suhu, harap jangan khawatir, teecu kelak akan mencari Yu Hwi sampai dapat! Teecu bersumpah!"
Sepasang mata kakek itu menjadi basah, akan tetapi mulutnya tersenyum. "Manusia boleh saja berusaha, namun Tuhan yang kuasa, muridku. Kalau memang Yu Hwi masih hidup, tentu dia sewaktu-waktu akan dapat bertemu dengan kita. Dan kalau toh sudah meninggal dunia, kita harus dapat menemukan kuburannya agar tali perjodohan itu dapat membebaskan dirimu dan engkau berhak untuk berjodoh dengan orang lain."
"Tidak! Saya merasa yakin bahwa dia tidak akan dibunuh oleh penculiknya. Kalau memang penculik itu menghendaki nyawanya, mengapa tidak dibunuhnya dia seketika itu juga" Sin-siauw Seng-jin berkata hampir berteriak.
Melihat ini, Ceng Ceng lalu berkata, "Saya berjanji akan bantu mencarinya. Namanya Yu Hwi, apakah dia mempunyai ciri-ciri yang khas"
"Saya juga berjanji akan bantu mencarinya!" Kian Lee berkata pula.
Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya, walaupun di dalam hatinya juga merasa kasihan, namun diam saja karena mereka maklum bahwa tidak mungkin mereka akan dapat membantu, karena mereka sendiri masih bingung kehilangan seluruh keluarga mereka yang diculik orang. Bahkan mantunya, seperti telah diceritakan oleh mantunya kepadanya, telah kehilangan puteranya yang juga diculik orang, akan tetapi kini mantunya menjanjikan bantuannya untuk ikut mencari Yu Hwi. Dia mengenal watak mantunya, seorang pendekar wanita yang sakti, maka dia hanya mendengarkan dengan kagum.
Sin-siauw Seng-jin dan Sai-cu Kai-ong menjura kepada Kian Lee dan Ceng Ceng. "Terima kasih atas kebaikan Ji-wi," kata Sin-siauw Seng-jin.
"Di dagu Yu Hwi, sebelah kiri, terdapat sebintik tahi lalat hitam, itulah cirinya yang paling mudah dikenal," kata Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Seng-jin mengangguk membenarkan.
"Kalau begitu, adikku Kai-ong, perkenankan saya pergi dan mengajak Kam-kongcu agar dia dapat cepat mewarisi ilmu-ilmu keturunan keluarganya," tiba-tiba Sin-siauw Seng-jin berkata sambil bangkit berdiri.
"Memang sebaiknya begitulah, kakakku yang baik. Aku sendiri pun akan segera berusaha mencari cucuku yang hilang," jawab Sai-cu Kai-ong. "Siauw Hong, kau ikutlah bersama Sin-siauw Seng-jin dan berbahagialah muridku, karena engkau akan mewarisi ilmu dari keluargamu yang mujijat, yang semenjak ratusan tahun selalu dicari dan diperebutkan oleh seluruh dunia persilatan."
Siauw Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek pengemis itu.
"Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas segala budi kebaikan yang Suhu limpahkan kepada teecu."
Sai-cu Kai-ong tersenyum dan mengangkat bangun muridnya. "Berlatihlah baik-baik, muridku, agar kelak aku boleh berbangga hati bahwa engkau pernah menjadi muridku."
Siauw Hong lalu memberi hormat kepada semua orang dan pergilah orang muda keturunan Suling Emas ini mengikuti Sin-siauw Seng-jin, bersama rombongan murid-muridnya yang mengikuti dari belakang.
Setelah Suling Sakti dan para muridnya itu pergi, Ceng Ceng lalu menceritakan pertemuannya dengan Syanti Dewi kepada Kian Lee, didengarkan pula oleh Jenderal Kao dan dua orang puteranya, dan juga oleh Sai-cu Kai-ong. "Sungguh kasihan sekali Enci Syanti," kata Ceng Ceng. "Entah bagaimana nasibnya demikian terlunta-lunta selalu, setelah dia baik-baik kembali ke istana orang tuanya di Bhutan, tahu-tahu kini dia berada di sini pula, dan bahkan dia telah diculik seorang yang belum kuketahui siapa. Dia menceritakan pertempurannya melawan See-thian Hoat-su di dalam gelap, pertempuran yang terjadi karena salah pengertian dan selagi mereka bertempur, Syanti Dewi lenyap dibawa orang.
Kian Bu mendengarkan dan dia terkejut bukan main. seakan-akan tersentuh kembali bekas luka di hatinya mendengar itu. Mengapa Syanti Dewi berada di daerah ini" Dan siapa yang menculiknya" Bagaimana dengan Ang Tek Hoat" Teringatlah Kian Bu akan ibu kandung Tek Hoat yang terbunuh oleh perwira Bhutan. Apakah ada hubungannya dengan kepergian Syanti Dewi meninggalkan Kerajaan Bhutan" Kian Bu lalu menghampiri sehuah meja, membuat coretan-coretan dengan alat tulis di atas kertas, meninggalkan kertas tulisannya itu di atas meja, kemudian dia menyelinap pergi dengan diam-diam.
Setelah bercakap-cakap dan menceritakan pengalaman masing-masing, mereka lalu mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan tempat itu di hari itu juga.
Kian Lee yang melihat bahwa sin-siauw Seng-jin tidak ada lagi di situ akan tetapi adiknya belum juga muncul, segera mencarinya. Akan tetapi, ternyata Kian Bu tidak ada lagi di ruangan itu dan dia hanya menemuken seheiai suratnya.
Lee-ko, Banyak sekali tugas menanti kita. Karena banyaknya, sebaiknya kalau kita berpisah dan masing-masing melaksanakan satu tugas. Aku lebih dulu akan pergi menyelidiki dan mencari Syanti Dewi.
Adikmu, KIAN BU Kian Lee menyimpan surat itu di dalam saku bajunya dan menarlk napas panjang. Dia merasa kasihan sekali kepada adiknya itu dan maklumlah dia bahwa diam-diam Kian Bu masih belum dapat melupakan Syanti Dewi. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila Kian Bu yang agaknya tadi mendengar penuturan Ceng Ceng, lalu diam-diam cepat pergi untuk mencari dan menolong puteri itu!
Mereka semua lalu pergi. Ceng Ceng pergi bersama ayah mertuanya dan dua orang adik iparnya, meninggalkan tempat itu untuk pergi ke kota Pao-ting di mana dia sudah berjanji akan bertemu dengan suaminya yang mencari-cari jejak anak mereka dari lain jurusan.
Kian Lee juga pergi dan karena dia tidak tahu ke mana perginya Kian Bu, maka dia teringat akan wanita yang mencuri pusaka-pusaka dari Sin-siauw Seng-jin, yang agaknya tentu pusaka-pusaka palsu pula mengingat akan penuturan Sin-siaw Seng-jin sendiri betapa nenek moyangnya banyak memalsukan pusaka-pusaka itu untuk mencegah yang aseli dicuri orang. Bukankah Kian Bu telah berjanji akan mendatangi tempat gadis pencuri itu di pantai Po-hai" Sebaiknya kalau dia mewakili adiknya mencari gadis pencuri itu di pantai Po-hai, di teluk sebelah utara. Siapa tahu, kalau-kalau Kian Bu juga pergi ke sana. Tadinya dia ingin mernbantu Jenderal Kao, akan tetapi setelah ada Ceng Ceng dan suaminya, yang dia tahu amat sakti, tidak perlu lagi dia membantu dan kalau dia tidak berhasil bertemu dengan adiknya, dia akan terus mencari atau akan kembali ke Pulau Es melapor kepada ayahnya.
Sai-cu Kai-ong juga pergi meninggalkan tempat tinggalnya untuk mulai mencari cucunya yang hilang pula. Biarpun Ceng Ceng dan Kian Lee sudah berjanji untuk membantu mencari cucunya, dia tidak puas kalau dia sendiri tidak ikut mencari. Dia tahu betapa sukarnya mencari seseorang tanpa mengetahui di mana adanya cucunya itu, yang sama sekali tidak meninggalkan jejak dan hilangnya sudah lima belas tahun yang lalu!
*** () *** "Ayah, ke manakah kita pergi" Apakah akan kembali ke Pulau Neraka" tanya Hwee Li kepada ayahnya ketika mereka dibawa terbang di atas punggung garudanya.
"Tidak, Hwee Li. Pulau Neraka terlalu jauh dan aku sudah tidak suka tinggal di tempat buruk itu. Aku malah tidak mau kembali lagi ke sana."
"Kalau begitu, kita pergi ke mana"
"Ke tempatku yang baru."
"Di mana itu, Ayah"
"Ha-ha, kau sudah pernah mengunjunginya. Di lembah Huang-ho."
"Lembah Huang-ho" Dara itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. "Maksudmu di sarang Huang-ho Kui-liong-pang"
"Ha-ha-ha, engkau memang anakku yang amat cerdik. Benar di sana. Tempat indah itu menjadi tempat tinggal kita yang baru."
"Eh, bukankah di sana tinggal ketua Kui-liong-pang, musuh besar Ayah sendiri, yaitu Hek-hwa Lo-kwi"
"Hemmm, dalam hal ini engkau masih bodoh dan tidak mengerti, anakku. Ada waktunya menjadi musuh, ada pula waktunya menjadi sahabat, semua disesuaikan dengan waktu dan keadaan. Ha-ha-ha!"
Hwee Li paling tidak suka melihat ayahnya tertawa. Kalau ayahnya bersikap biasa, maka ayahnya kelihatan sebagai seorang raksasa yang berwibawa. Akan tetapi kalau sudah tertawa dan kelihatan gigi yang bertaring itu, dia merasa jijik dan malu. Kalau tertawa, ayahnya amat menyeramkan seperti iblis saja, atau seperti seekor binatang buas!
"Kenapa Ayah tinggal di tempat orang 1ain!"
"Hek-hwa Lo-kwi bukan orang lain, anakku. Dia seorang sekutu!"
"Hemmm, agaknya Ayah sudah main-main lagi dengan persekutuan. Apakah Ayah tidak jera setelah mengalami kegagalan ketika Ayah membantu pemberontak she Liong dahulu itu" Hampir saja Ayah celaka dan kehilangan banyak anak buah."
"Hemmmm, sekali ini lain lagi persoalannya, anakku. Bukan pemberontak biasa yang kubantu, melainkan seorang pangeran tulen, dari kerajaan besar Nepal."
"Ahhh.... Ayah maksudkan orang she Liong itu" Peranakan Nepal putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong itu"
"Benar, murid dari Ban Hwa Seng-jin, Koksu Nepal yang sakti. Dia seorang muda yang amat pandai, seorang calon kaisar yang amat hebat, heh-heh-heh!"
"Dan aku amat benci padanya!" tiba-tiba Hwee Li berkata.
"Ehhh, mengapa, anakku"
"Kulitnya hitam coklat...."
"Menambah manis dan jantan!"
"Hidungnya melengkung...."
"Tanda dia bernafsu besar dan kuat, heh-heh!"
"Matanya cekung...."
"Itu menunjukkan bahwa dia memiliki kecerdikan...."
"Ah, pendeknya aku tidak suka kepadanya. Pandang matanya cabul dan genit, Ayah. Aku sudah ingin menamparnya ketika kami bertemu di sana dan dia memandangku dengan mata seolah-olah hendak menelanjangiku. Huh!"
"Ha-ha-ha, begitulah kalau seorang pria sudah jatuh cinta! Dan pria mana yang tidak akan tergila-gila kepada anakku yang cantik jelita dan manis ini" Haha-ha!"
"Ah, aku tidak suka kalau Ayah bicara seperti itu!" Hwee Li bersungut-sungut dan menjambak bulu di leher garudanya sehingga garuda itu memekik kesakitan dan terbang makin cepat lagi. Ayahnya hanya tertawa-tawa akan tetapi tidak bicara lagi karena maklum bahwa puterinya masih marah-marah.
Benarkah ucapan Hek-tiauw Lo-mo, ayah Hwee Li itu, bahwa dia kini telah menjadi sekutu dari Hek-hwa Lo-kwi ketua Huang-ho Kui-liong-pang di lembah Huang-ho" Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan betapa dahulu, Hek-tiauw Lo-mo pernah bermusuhan secara hebat dengan Hek-hwa Lo-kwi. Hek-hwa Lo-kwi dahulu bernama Thio Sek, seorang pelayan dari manusia dewa yang amat terkenal sebagai penghuni Istana Gurun Pasir dan dikenal sebagai Go-bi Bu Beng Lojin atau juga Si Dewa Bongkok. Sebagai pelayan manusia sakti ini, tentu saja Hek-hwa Lo-kwi juga memiliki kepandaian tinggi. Pada suatu hari, munculiah Hek-tiauw Lo-mo untuk mencuri kitab pusaka milik Si Dewa Bongkok. Dengan hekerja sama bersama Thio Sek, berhasiliah dua orang ini mencuri sebuah kitab pusaka tentang ilmu pukulan beracun. Keduanya lalu melarikan kitab itu, akan tetapi, di tengah jalan mereka bercekcok dan saling memperebutkan kitab. Mereka bertanding dan karena keduanya memiliki tingkat kepandaian yang seimbang, akhirnya mereka menguasai seorang separoh dari kitab yang terobek dalam perebutan itu. Mereka mempelajari bagian masing-masing dan sampai bertahun-tahun menjadi musuh, akan tetapi keadaan mereka selalu seimbang. Dua orang yang tadinya menjadi kawan ketika maling kitab, berubah menjadi musuh. Akan tetapi kini, dengan munculnya Liong Bian Cu, Pangeran Nepal yang pandai menarik hati orang-orang kang-ouw itu, mereka menjadi sekutu lagi. Sekali ini, keduanya yang sudah merasa tua ingin sekali memperoleh kedudukan, mengandalkan kedudukan Pangeran Nepal itu, agar mereka kelak akan mengakhiri kehidupan mereka sebagai pembesar-pembesar terhormat!
Ketika Hek-tiauw Lo-mo mengunjungi lembah itu, tadinya dengan maksud menentang Hek-hwa Lo-kwi, dia bertemu dengan Liong Bian Cu, Ban Hwa Sengjin dan para pembantu pangeran itu. Liong Bian Cu berhasil membujuk Hek-tiauw Lo-mo dan akhirnya Hok-tiauw Lo-mo terpikat pula, bahkan lalu masuk dalam persekutuan itu, apalagi ketika dia melihat betapa keadaan Liong Bian Cu sebagai pangeran dan sebagai murid Koksu Nepal, amatlah kuatnya. Dia mendengar bahwa puterinya telah mewakili dia mengunjungi lembah itu, dan giranglah hatinya ketika dalam pembicaraannya dengan Pangeran Nepal itu, dia mendengar bahwa pangeran itu ternyata amat tertarik dan agaknya jatuh hati kepada puterinya! Kalau saja dia dapat menjadi mertua dari Pangeran Nepal ini. Dan kelak, kalau pangeran ini menjadi Raja Nepal, dia menjadi mertua raja! Apalagi kalau pangeran ini berhasil menjadi kaisar, dia menjadi mertua kaisar. Pangkat dan kemuliaan apalagi yang dapat lebih tinggi lagi daripada itu" Maka dia lalu berpamit dari lembah dan pergi untuk mencari puterinya, dengan satu tujuan di dalam benaknya, yaitu dengan cara apa pun dia akan menyerahkan puterinya kepada Liong Bian Cu sebagai Isterinya! Beberapa orang anak buahnya membantunya mencari Hwee Li! dan akhirnya dia menemukan puterinya itu di tempat tinggal Sai-cu Kai-ong.
Atas petunjuk Hek-tiauw Lo-mo, Hwee Li menyuruh garudanya menukik turun. Dari atas dia sudah melihat lembah itu dan dia memandang heran. Lembah yang dikenalnya sebagal tempat tinggal atau sarang Hek-hwa Lo-kwi itu kini telah berubah. Masih sukar untuk didatangi dari darat tanpa melalui jalan rahasia, akan tetapi kini dari atas nampak betapa lembah itu telah dikurung air!
Ternyata bahwa air yang meluap dan membanjiri lembah akibat ledakan-ledakan alat peledak Siluman Kucing dahulu itu, telah membentuk genangan air seperti telaga di sekitar lembah dan oleh Hek-hwa Lo-kwi, air itu malah dipergunakan untuk memperkuat bentengnya. Dengan adanya air yang mengurung lembah itu, maka makin sukarlah bagi orang luar untuk dapat menyerbu ke lembah. Mereka harus lebih dulu menyeberangi air yang lebarnya lebih dari dua puluh tombak itu, air yang cukup dalam karena oleh Hek-hwa Lo-kwi telah digali dan diperdalam dan tidak ada jembatan yang menghubungkan lembah dengan seberang air seperti sungai atau telaga itu.
Garuda itu menukik turun dan akhirnya hinggap di atas tanah di depan bangunan besar yang menjadi tempat tinggal Hek-hwa Lo-kwi. Dari atas sudah nampak banyak orang berdiri di luar bangunan itu menyambut kedatangan ayah dan anak yang aneh itu. Ketika Hwee Li dan ayahnya meloncat dari atas punggung garuda, dara ini memutar tubuh dan memandang. Alisnya berkerut ketika wajah pertama yang dilihatnya justeru adalah wajah yang amat dibencinya, wajah Liong Bian Cu sendiri! Laki-laki yang tinggi tegap ini memakai pakaian indah, dan dia sudah menjura dengan hormatnya dan tersenyum penuh keramahan kepada Hwee Li.
"Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, sungguh mengagumkan sekali betapa dalam waktu singkat Locianpwe dapat menemukan puterimu!" katanya kepada Hek-tiauw lo-mo yang tertawa bergelak penuh kebanggaan.
"Nona Hwee Li, selamat datang di lembah dan mudah-mudahan engkau tadi menikmati perjalanan menyenangkan sekali," katanya kepada Hwee Li sambil tersenyum. Giginya putih dan rata, hidungnya yang agak melengkung itu bergerak-gerak. Sesungguhnya pria ini cukup tampan dan juga gagah sekali, akan tetapi entah mengapa, Hwee Li merasa tidak suka kepadanya. Agaknya hal itu ditimbulkan oleh pandang mata yang memang jalang dan menembus itu, yang terpancar dari sepasang mata yang cekung dan tajam bukan main.
"Hemmm....!" Hwee Li hanya mengeluarkan suara dari hidungnya tanpa menjawab.
"Hwee Li, engkau diajak bicara oleh Pangeran. Jawablah, jangan membikin malu Ayahmu seolah-olah engkau tidak pernah dididik kesopanan!" kata Hek-tiauw Lo-mo kepada puterinya.
Makin dalam kerut pada alis dara itu. Dia merasa makan tidak senang dan juga terheran-heran. Sejak kapankah ayahnya menjadi seorang penjilat dan seorang yang mengenal kesopanan" Biasanya, dahulu dia yang sering kali merasa malu karena ayahnya adalah seorang yang sama sekali tidak mempedulikan tata susila atau sopan santun! Karena di situ terdapat banyak orang, dan tentu, saja dia tidak mau membikin malu ayahnya, maka dia lalu balas menjura kepada pangeran itu dan berkata dengan suara kaku, "Terima kasih, Ayahku memaksa aku berkunjung ke sini, mudah-mudahan tidak mengganggu siapa pun!" Sambil berkata demikian, dia melirik kepada Hek-hwa Lo-kwi yang dia tahu adalah tuan rumahnya.
Kembali dia terheran-heran, karena Hek-hwa Lo-kwi hanya mengangguk sambil tersenyum saja sedangkan yang menjawabnya adalah pangeran itu, "Ha-haha.... tidak sama sekali, Nona! Saya percaya bahwa Hek-hwa Lo-kwi locianpwe bahkan akan merasa terhormat dan girang dengan kunjunganmu ini. Siapa yang tak kan merasa terhormat dan gembira menerima kunjungan seorang seperti engkau, Nona" Nona tentu telah merasa lelah sekali, maka silakan Nona beristirahat di kamar yang telah kami sediakan, menyegarkan diri baru kemudian kita makan dalam pesta yang kami selenggarakan untuk menyambut kedatangan Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo dan Nona Kim Hwee Li!" Pangeran itu bertepuk tangan dan munculiah empat orang pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka menjatuhkan diri berlutut di depan pangeran itu.
"Kalian antar Nona Hwee Li ke kamarnya dan layani baik-baik!" perintah pangeran itu.
"Silakan, Siocia...." seorang pelayan memberi hormat kepada Hwee Li.
Dara ini tadinya hendak menolak. Tidak biasa dia diperlakukan seperti seorang puteri dan dilayani orang, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan mata ayahnya, dia melihat ayahnya menganggukkan kepala dan pandang matanya ayahnya itu seperti dia memaksanya. Dengan gerakan marah dia memutar tubuh lalu mengikuti para pelayan itu memasuki gedung yang besar dan akhirnya dipersilakan masuk ke sebuah kamar yang amat indah. Begitu masuk, Hwee Li terpesona. Hebat bukan main kamar ini. Selain besar dan luas, juga dihias seperti kamar seorang puteri istana saja layaknya.
Dia berdiri dan memandang ke kanan kiri. Sebuah dipan berada di tengah kamar, dipan yang terbuat dari kayu indah terukir dan terhias emas dan permata, terletak di atas permadani merah yang tebal dan berbulu, permadani yang terhampar memenuhi kamar itu. Di dekat pembaringan terdapat meja dengan empat kursinya dari kayu ukir-ukiran dan halus mengkilap amat indahnva, merupakan hassil seni ukir yang mentakjubkan. Pot-pot bunga berukiran gambar naga dan burung dewata menghias sudut-sudut kamar dan di sebelah kiri nampak meja rias yang mungil, dengan piring cermin dari perak mengkilap tergantung di dinding, dan di atas meja itu nampak lengkap alat-alat rias seperti bedak, yan-ci (pemerah pipi), gincu, sisir, tusuk konde emas, minyak wangi dan sebagainya. Dan dari pintu kecil di belakang yang menyambung dengan kamar itu, yang daun pintunya terbuka sedikit, nampak kolam mandi dari batu pualam! Sebuah kamar yang amat indah dan mewah dan dari jendela yang bentuknya seperti bulan purnama dan terhias pot-pot bunga itu dia dapat melihat sebuah kamar kecil yang indah pula di luar kamar. Benar-benar merupakan kamar seorang puteri raja!
"Siocia, mari kami bantu Siocia menanggalkan pakaian...."
"Biar kami membantu Siocia mandi...."
"Rambut Siocia kusut dan agak kotor terkena debu, perlu dikeramasi lalu disikat...."
Empat orang pelayan itu menghampir Hwee Li dan mengulurkan tangan hendak membantu dara itu agar menanggalkan pakaian untuk mandi. Hwee Li membelalakkan matanya dan mengepal tinju, lalu menghardik, "Pergi kalian dari sini!"
Empat orang pelayan itu terkejut, akan tetapi mereka telah menerima perintah dari majikan mereka untuk melayani nona ini sebaiknya, "Siocia, kami...."
"Cukup! Cepat kalian menggelinding keluar dari kamar ini, kalau tidak, akan kulemparkan kalian satu demi satu!"
"Siocia...." Mereka masih nekat. Mereka adalah empat orang di antara para pelayan Pangeran Nepal itu dan mereka adalah pelayan-pelayan terlatih yang menguasai ilmu silat dan ilmu gulat, maka ancaman Hwee Li tidak membuat mereka takut. Mereka sudah terlatih dah sudah biasa menghadapi dara cantik jelita yang dipersiapkan untuk melayani majikan mereka. Dan biarpun mereka udah mendengar bahwa puteri Hek-tiauw Lo-mo ini memiliki kepandaian tinggi, mereka tidak khawatlr karena mereka mengira bahwa sepandai-pandainya seorang dara remaja seperti ini, mana mungkin dapat mengalahkan mereka berempat" Apalagi mereka melihat bahwa Hwee Li begitu cantik dan masih begitu muda, dan mereka dapat melihat dari sikap Pangeran Liong Bian Cu bahwa pangeran itu benar-benar jatuh cinta kepada dara ini sehingga sebelum dara ini tiba pun kamar yang amat indah itu telah dipersiapkan olehnya! Maka, mereka berempat tentu saja tidak mau meninggalkan Hwee Li, karena kalau mereka mampu membujuk sehingga dara ini dengan hati terbuka mau melayani majikan mereka, mau menerima cintanya, tentu mereka akan menerima ganjaran besar!
"Siocia, kami hanya membantu...."
"Cerewet!" bentak Hwee Li, dan dia menggerakkan tangan kirinya untuk mendorong. Akan tetapi, dengan cepat wanita itu mengelak ke kanan dan tiba-tiba saja tangannya telah menangkap pergelangan tangan kiri Hwee Li. Itulah gerakan seorang ahli gulat yang amat cekatan dan biarpun pelayan itu berlaku hati-hati sehingga tangkapannya tidak akan menyakitkan orang, namun jelas bahwa di bawah kulit telapak tangannya terkandung getaran tenaga yang kuat sehingga tangkapan itu pun erat sekali!
"Kalian mencari mampus!" Hwee Li berseru ketika tiga orang pelayan yang lain juga sudah memegangnya dari kanan kiri dan belakang. Tiba-tiba Hwee Li mengguncang tubuhnya sambil mengerahkan sinkangnya. Tentu saja empat orang pelayan itu sama sekali bukan lawan puteri majikan Pulau Neraka ini. Mereka terguncang dan pegangan mereka terlepas semua, kemudian sebelum mereka tahu apa yang menimpa mereka, tubuh mereka satu demi satu melayang keluar deri pintu kamar mewah itu. Terdengar suara hiruk-pikuk ketika tubuh empat orang pelayan itu terbanting di luar kamar, diiringi keluhan dan rintihan mereka.
Tiba-tiba di luar pintu itu muncul Liong Bian Cu diiringi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu memandang kepada puterinya dan menegur, "Eh, Hwee Li, apa yang terjadi" Apa yang kaulakukan tadi" Kembali Hwee Li merasa terheran karena jelas bahwa di dalam pertanyaan ayahnya itu mengandung penyesalan terhadapnya dan terkandung rasa sungkan terhadap Sang Pangeran Nepal itu! Diam-diam dia merasa muak dan marah. Mengapa ayahnya menjadi seorang penjilat" Mana kegagahan ketua Pulau Neraka"
"Mereka layak dihajar!" katanya tak acuh dan sama sekali tidak takut menghadapi Pangeran Nepal itu.
Liong Bian Cu tersenyum lebar dan menjura, sikapnya halus memikat. "Maaf, Nona. Apakah empat orang pelayan itu bersikap kurang ajar kepadamu" Apakah mereka tidak menyenangkan hatimu" Kalau begitu, katakanlah dan aku akan membunuh mereka atau menyiksa mereka di depan kakimu sekarang juga!"
Hwee Li cemberut. Sikap ayahnyalah yang membuat dia marah, bukan sikap pangeran itu. Kalau saja ayahnya tidak bersikap seperti itu, berubah sama sekali daripada biasanya, agaknya sikap pangaran ini akan menyenangkan hatinya juga. Maka kemarahannya lalu dia lontarkan kepada pangeran itu dengan kaku dan kasar dia menjawab, "Mereka adalah orang-orangmu. Mau siksa atau mau bunuh terserah, tiada sangkut-pautnya dengan aku!" Lalu dia membuang muka, kedua pipinya merah dan terasa panas karena marahnya.
"Hwee Li!" Ayahnya membentak marah. "Pangeran telah bersikap demikian hormat dan ramah kepadamu, pantaskah sikap dan jawabanmu ini"
Hwee Li menoleh kepada ayahnya. Mereka saling pandang dan baru sekarang Hwee Li melihat pandang mata ayahnya kepadanya demikian penuh kemarahan. Selamanya, pandang mata ayahnya kepadanya selalu lembut dan penuh kasih sayang, akan tetapi sekarang ayahnya memandangnya dengan mata melotot marah. Hal ini amat menyakitkan hatinya dan tak terasa lagi dua titik air mata membasahi matanya!
"Sudahlah, Locianpwe, jangan marah kepadanya. Nona Hwee Li, kalau para pelayanku tidak menyenangkan hatimu, biarlah aku yang minta maaf kepadamu!" Sambil berkata demikian, pangaran itu benar-benar menjura kepada Hwee Li!
Diam-diam gadis ini terkejut dan merasa heran juga. Pangeran ini ternyata seorang yang amat hormat kepadanya, sungguhpun pandang matanya amat menjijikkan dan membuat dia merasa seperti telanjang bulat kalau berhadapan dengan pangeran itu. Melihat sikap yang amat hormat ini, juga amat merendah, padahal pemuda berusia tiga puluhan tahun ini benar-benar seorang pangeran yang kaya raya dan berpengaruh, pula melihat betapa ayahnya marah-marah kepadanya, maka kemendongkolan hatinya agaknya mereda. Biarpun sikapnya masih acuh tak acuh, namun suaranya tidaklah sekaku dan sekasar tadi ketika dia berkata kepada Liong Bian Cu.
"Mereka tidak apa-apa, hanya aku tidak senang dilayani, aku ingin tinggal sendiri di kamar ini"
"Eh, begitukah" Baiklah, Nona." Dia lalu menoleh kepada empat orang pelayan wanita yang sudah berlutut di situ dengan muka pucat dan sikap ketakutan. Hwee Li percaya bahwa sekali dia bilang "mati", agaknya tak dapat diragukan lagi pangeran itu tentu akan membunuh mereka berempat!. "Hei, dengarkan baik-baik kalian berempat! Kalian sama sekali tidak boleh masuk ke dala, kamar ini, melainkan siap di luar kamar dan baru masuk kalau Siocia memanggil dan membutuhkanmu. Mengerti" Empat orang itu lalu memberi hormat dengan dahi menyentuh lantai.
"Nah, beristirahatlah, Nona Hwee Li. Sebentar lagi kita bertemu lagi di ruang dalam, di mana akan diadakan pesta perjamuan makan untuk menyambut kedatanganmu." Pangeran itu menjura lagi lalu pergi, diikuti oleh Hek-tiauw Lo-mo yang melirik penuh desakan kepada puterinya.
Setelah mereka pergi, dan melihat empat orang. pelayan itu masih berlutut di situ, Hwee Li menutupkan daun pintu keras-keras dengan hati mengkal. Lalu dia menjatuhkan diri di atas pembaringan. Kasur itu bergoyang-goyang naik turun, mengayun-ayun tubuhnya. Ternyata pembaringan itu selain berkasur tebal juga dipasangi per sehingga amat enak di tiduri.
Hwee Li memejamkan matanya, lalu membukanya lagi, termenung. Dia sungguh merasa penasaran dan heran melihat perubahan pada watak ayahnya. Akan tetapi, ayahnya adalah seorang yang dikenalnya sebagai orang yang amat cerdik. Tidak mungkin ayahnya menjadi penjilat. Tentu ada apa-apa di balik semua sikap ayahnya itu. Ayahnya sedang bersiasat! Pikiran ini mengusir rasa penasaran di hatinya, dan tak lama kemudian wajah yang cantik itu telah berseri kembali. Sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia duduk di depan meja rias dan memandangi wajahnya sendiri. Dia membuat berbagai gerakan dengan lehernya, menggerakkan kepalanya miring ke kanan dan ke kiri, lalu menggerak-gerakkan alisnya, matanya, hidungnya dan mulutnya. Dia merasa huas. Dia cantik memang! Dan timbul rasa bangga di hatinya.
Pangeran hidung betet itu agaknya tergila-gila kepadanya! Kini baru terasa olehnya betapa mesra pandang mata pangeran itu, betapa halus dan hormat sikapnya. Bahkan pangeran itu tidak segan-segan untuk menjura dan minta maaf kepadanya untuk urusan kecil tadi!
Hwee Li adalah seorang gadis yang mempunyai watak lincah jenaka dan gembira, maka dia tidak bisa lama-lama berada dalam keadaan marah atau berduka. Sesaat kemudian dia sudah merendam tubuhnya di kolam mandi dan terdengar mulutnya bersenadung! Setelah merasa tubuhnya segar sekali, dia keluar dari kolam, mengeringkan tubuhnya dengan kain bersih yang tersedia di situ, kemudian keluar dari kamar mandi, kembali ke dalam kamar dalam keadaan telanjang bulat. Seperti seekor kijang muda dia melangkah kecil-kecil menuju ke depan meja rias, memutar-mutar tubuhnya yang telanjang di depan cermin perak, mengagumi bentuk tubuhnya sendiri yang padat dengan lekuk lengkung sempurna itu, kulitnya yang putih halus, mengagumi dadanya yang sebagian tertutup oleh rambutnya yang hitam halus, membayangkan bukit-bukit dadanya dan timbul kebanggaan di dalam hatinya. Dia bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar, bagaikan sebutir buah yang sedang meranum. Kesadaran bahwa dia cantik dan memiliki tubuh yang indah, mendatangkan kebanggaan dan dia berjanji dalam hati tidak akan menyerahkan dirinya secara murah kepada siapa pun, apalagi kepada pangeran berhidung betet itu!
Ketika Hwee Li mengambil pakaiannya yang tadi ditanggalkannya dan ditumpuknya di atas pembaringan, alisnya berkerut. Tubuhnya sudah segar dan bersih, akan tetapi pakaiannya itu sudah kusut dan kotor! Dia teringat akan lemari yang berdiri di sudut kamar. Dihampirinya lemari itu dan dibukanya. Penuh dengan pakaian! Pakaian wanita, serba indah dan semua terbuat daripada kain sutera yang mahal! Dipilihya pakaian dalam dan celananya yang terbuat dari kain tipis licin berwarna merah muda, didekatkan kepada tubuhnya. Ukurannya persis! Dia terheran-heran. Milik siapakah pakaian-pakaian ini" Kenapa semua masih baru dan belum ada yang bekas" Dan kenapa pula ukuran tubuh pemilik pakaian itu sama benar dengan ukuran tubuhnya" Dipakainya pakaian dalam itu. Dan memang benar dugaannya. Persis betul seperti memang sengaja dibuat untuk dia! Dipilihnya baju dan celana berwarna biru. Dia paling suka memakai pakaian hitam, akan tetapi pakaian selemari itu tidak ada yang hitam, maka dia memilih yang biru tua, satu-satunya warna yang mendekati warna hitam. Lalu dipakainya pula.
Ketika dia sedang menyisir rambutnya di depan kaca rias, daun pintunya terketuk dari luar. Hwee Li mencelat kaget. Dia merasa "berdosa" karena telah memakai pakaian orang lain dan tiba-tiba daun pintu terketuk, maka tentu saja dia kaget bukan main.
"Slapa" bentaknya, karena dia mengira bahwa yang mengetuk pintu tentulah pangeran ceriwis itu, maka disambutnya lebih dulu dengan suara ketus.
"Hwee Li, bukalah pintunya. Aku mau bicara denganmu."
Suara ayahnya! Hwee Li lalu menghampiri pintu dan sebelum membukanya dia bertanya, "Ayah datang dengan siapa" Kalau sendirian baru aku mau membuka pintu."
"Ha-ha-ha, anak bodoh. Tentu saja aku datang sendirian. Bukalah!"
Hwee Li membuka pintu dan ayahnya masuk ke dalam kamar sambil membelalakkan matanya, hidungnya yang besar berkembang-kempis dan dia memandang puterinya dengan sinar mata penuh kagum. "Hemmm, harumnya! Dan kau begini segar, dan pakaian biru itu pantas sekali bagimu!"
"Ayah, aku lebih senang pakaian hitamku sendiri. Akan tetapi pakaianku kotor dan aku pinjam pakaian orang yang berada di dalam lemari itu...." Dia menuding ke arah lemari di sudut.
"Pakaian orang" Ha-ha-ha, anak bodoh. itu adalah pakaianmu semua! Dan hal itu membuktikan kebaikan hati Pangeran Liong Bian Cu kepadamu, kepada kita! Sungguh, selama hidupku belum pernah aku bertemu orang sebaik dia. Selain kamar ini yang sudah dipersiapkan sebelum kau datang, juga pakaian-pakaian itu telah disuruhnya buat untukmu, Hwee Li"
"Ahhh....!" Hwee Li terkejut sekali. "Dia membuatkan pakaian untukku" Bagaimana bisa, begini pas ukurannya"
"Ha-ha-ha, tentu. saja aku yang memberi tahu."
"Ayah! Kenapa Ayah begitu.... merendah kepadanya" Kalau ini pakaian yang sengaja dia buatkan untukku, biarlah aku memakai pakaianku sendiri!" Hwee Li sudah memegang bajunya seperti orang hendak menanggalkannya.
"Eh, eh.... jangan begitu Hwee Li. Kau tidak tahu! Duduklah dan dengarkan kata-kataku."
Hwee Li menjadi girang. Tepat dugaannya. Tentu ada apa-apanya di balik sikap ayahnya yang seperti menjilat-jilat pangeran itu. Maka dia lalu duduk menghadapi ayahnya, terhalang oleh meja berukir indah itu.
"Kau tidak tahu siapa Pangeran Liong Bian Cu. Dia adalah putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong dan ibunya adalah Puteri Nepal, maka dia adalah cucu Raja Nepal sendiri! Dan siapa gurunya" Gurunya Adalah seorang manusia sakti yang tingkat kepandaiannya tinggi sekali, mungkin tidak kalah olehku, dan gurunya itu adalah koksu dari Nepal!"
"Hemmm, aku sudah mendengar akan hal itu, Ayah. Lalu apa artinya bagi kita" Hwee Li menjawab dan bibirnya berjebi, memandang rendah pangeran itu.
"Artinya" Anak bodoh! Artinya, pangeran itu mempunyai kesempatan besar untuk menjadi Raja Nepal! Bukan itu saja, dia amat cerdik dan pandai, dengan mudahnya dia telah dapat menguasai Gubernur Ho-nan, dia mempunyai banyak pembantu yang amat lihai sehingga aku tidak ragu-ragu bahwa kelak dia akan berhasil menguasai daratan Tiongkok dan menjadi seorang kaisar!"
Hwee Li masih tersenyum mengejek. "Hemmm, habis mengapa" Dia boleh jadi raja neraka sekalipun, apa hubungannya dengan kita"
Ayahnya membelalakkan matanya sampai lebar sekali. "Oooh-ho-hoh-ho! Engkau sungguh bodoh dan polos, tidak tahu apa-apa, anakku!"
"Tidak, Ayah. Aku tahu semuanya. Aku tahu bahwa Ayah menjilat-jilat karena Ayah ingin memperolah kedudukan kelak di dekat pangeran itu. Bukan begitu"
Hek-tiauw, Lo-mo mengepal tinjunya. "Kaukira aku orang macam apa yang suka menjilat dan merendahkan diri begitu saja" Akan tetapi, aku makin tua, Hwee Li, dan selama ini aku hidup dalam dunia yang keras dan penuh dengan kesukaran, penuh kemiskinan dan kehinaan. Aku sudah tua. Aku ingin mati sebagai seorang yang terhormat dan mulia,seseorang yang berkedudukan tinggi. Aku tidak ingin kelak mati sebagai seorang liar dari Pulau Neraka. Tidak! Aku ingin mati meninggalkan nama sebagai seorang mulia, seorang bangsawan tinggi!"
"Hemmm, terserah kepada Ayah. Akan tetapi aku tidak sudi menjilat pangeran itu karena aku tidak menghendaki apa-apa darinya, Ayah. Bahkan pakaian ini pun tidak!" Berkata demikian, Hwee Li menyambar pakaian hitamnya sendiri dan lari ke dalam kamar mandi. Hek-tiauw Lo-mo mendengar suara kain dirobek-robek.
"Hwee Li, jangan begitu....! Jangan kau menyia-nyiakan kebaikan orang lain...."
"Peduli!" Hwee Li menjawab dengan marah dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi dari kamar mandi, kini mengenakan pakaian hitamnya sendiri sedangkan pakaian bagus berwarna biru dan pakaian dalam berwarna merah muda sudah robek-robek dan berserakan di kamar mandi.
Wajah kakek raksasa itu menjadi merah dan dia bangkit berdiri, memandang kepada puterinya yang juga berdiri di depannya dan menentang pandang mata ayahnya dengan berani. "Hwee Li, engkau adalah puteriku! Apakah engkau tidak mau mentaati perintahku" Apakah engkau hendak menjadi anak yang tidak berbakti"
Hwee Li mengerutkan alisnya. "Ayah, aku tidak melarang Ayah menghambakan diri kepada pangeran itu, aku tidak menentang Ayah. Akan tetapi aku sendiri tidak mau ikut campur dan aku hendak pergi dari sini sekarang juga agar jangan berhutang budi kepada pangeran atau kepada siapa pun juga."
"Tidak boleh! Engkau harus berada di sini, Hwee Li, membantu usahaku!"
"Akan tetapi aku tidak butuh bantuan pangeran."
"Aku butuh! Dan aku ingin menjadi mertuanya, maka engkau tidak boleh pergi!"
Ucapan itu seolah-olah kilat yang menyambar kepala Hwee Li. Seketika wajahnya menjadi pucat sekali, lalu berubah merah dan matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika dia memandang ayahnya.
"Apa kata Ayah" Menjadi mertuanya" Jadi aku.... aku....!"
"Engkau akan menjadi isterinya, menjadi permaisurinyai, Dia amat mencintamu, Hwee Li. Dia berterus terang kepadaku bahwa dia telah jatuh hati kepadamu ketika untuk pertama kali bertemu denganmu di tempat ini. Ingat" Dan lihat betapa dia telah menyediakan segala-galanya untukmu. Engkau akan menjadi isteri pangeran, dan kelak menjadi Permaisuri Nepal, kemudian mungkin menjadi permaisuri kaisar! Dan aku mertua kaisar! Ha-ha, bukankah hebat sekali kedudukan kita kelak, anakku"
Akan tetapi Hwee Li sudah tidak mendengarkan kata-kata ayahnya lagi karena tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat keluar dari situ.
"Hwee Li....!" Ayahnya mengejar.
"Ayah, aku mau pergi dari sini!" terdengar dara itu menjawab.
"Apa kau ingin Ayahmu menggunakan kekerasan" bentak ayahnya sambil mengejar.
Jantung Hwee Li berdebar keras! Baru sekarang selama hidupnya dia diancam oleh ayahnya sendiri! Ayahnya yang dahulu selalu memanjakannya, yang tidak pernah bersikap keras kepadanya sungguhpun dia tahu ayahnya amat keras kepada orang lain. Dia terisak dan melanjutkan larinya. Dia tidak mempedulikan orang-orang yang memandangnya dengan heran di dalam gedung itu dan dia terus lari keluar dengan cepat, siap untuk menyerang siapa saja yang akan menghalangi larinya. Akan tetapi tidak ada orang yang menghalanginya, kecuali ayahnya yang mengejarnya dari belakang.
Semenjak dia menjadi murid Ceng Ceng dan juga menerima petunjuk dari suami subonya itu, Hwee Li telah memperoleh kemajuan hebat sehingga ginkangnya juga meningkat dengan luar biasa. Maka dia dapat melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan ayahnya. Banyak sekali para anggauta Huang-ho Kui-liong-pang yang melihat gadis ini berlari-lari dikejar ayahnya, akan tetapi mereka hanya memandang dan tidak berani mencampuri. Juga anak buah Liong Bian Cu hanya menonton. Bahkan di dalam larinya, Hwee Li melihat Hekhwa Lo-kwi duduk di bawah sebatang pohon sambil tersenyum melihat Hek-tiauw Lo-mo mengejar-ngejar puterinya.
Hwee Li berlari cepat sampai di tempat lembah dan bukan main kagetnya ketika dia melihat telaga atau sungai menghadang di depannya. Dia berlari terus di sepanjang tepi sungai itu, akan tetapi sungai itu terus saja tiada putusnya karena air itu mengitari lembah! Teringatlah Hwee Li akan pemandangan lembah itu dari atas ketika dia datang bersama ayahnya menunggang garuda, maka dia tahu bahwa tempat itu memang sudah dikelilingi air yang amat luas. Melihat bahwa bayangan ayahnya tidak mengejarnya lagi, tiba-tiba Hwee Li mengeluarkan suara melengking nyaring, memanggil burung garudanya. Beberapa kali dia melengking nyaring, akan tetapi garudanya tidak kunjung datang. Padahal biasanya, sekali saja dia memanggil, betapapun jauhnya garuda itu terbang, dia akan mendengar dan akan datang, atau setidaknya menjawab dengan lengking yang sama.
Kembali dia melengking nyaring dan sekali ini ada jawaban, akan tetapi jawaban itu membuat Hwee Li terkejut. Jawaban yang nyaring itu terdengar dari dalam gedung! Dan yang lebih menggelisahkan hatinya lagi, jawaban itu mengandung keluhan yang membuat dia mengerti bahwa garudanya berada dalam keadaan tidak berdaya untuk datang ke situ. Jelas bahwa garuda itu tentu telah diikat atau dikurung sehingga percuma saja dia memanggilnya!
"Hwee Li jangan pergi....!"
Hwee Li meloncat dan lari lagi ketika mendengar suara ayahnya itu. Kini dia lari sambil meneliti dan tiba-tiba hatinya girang melihat sebuah perahu di tepi pantai. Cepat dia menghampiri perahu itu, menyambar dayungnya, lalu mengempit perahu itu sambil mengerahkan tenaganya dan membawanya lari ke air. Dia melontarkan perahu itu ke atas air, lalu meloncat ke dalamnya dan mendayung secepatnya ke tengah!
Hatinya sudah merasa lega dan girang karena dia mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main. Begitu terkena air, perahu itu pecah-pecah dan sambungannya terlepas! Tentu saja tanpa dapat dicegah lagi, dia tercebur ke dalam air! Padahal, sungai itu amat luas dan dia baru saja meninggalkan pantai lembah. Untuk berenang menyeberangi sungai itu sama dengan membunuh diri, karena dia bukan ahli, biarpun dia dapat berenang sekedar untuk mencegah agar dia tidak tenggelam saja. Maka terpaksa dia menggerakkan kaki tangannya berenang kembali ke pantai, pantai lembah, bukan pantai di seberang!
Ketika dengan pakaian dan rambut basah kuyup, dengan mulut menyumpah-nyumpah, dia merangkak. keluar dari air, dia disambut oleh suara ketawa ayahnya yang sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan bersedakap. Begitu mendongkol hati Hwee Li sehingga kalau saja bukan ayahnya yang mentertawakan, tentu orang itu akan diserangnya atau dimakinya habishabisan. Dia hanya berdiri melotot memandang kepada ayahnya, penuh kemarahan.
"Ayah, kau.... kau kejam!" akhirnya dia berkata dan menangis terisak-isak.
Ayahnya menghampirinya. "Hwee Li, siapa bilang aku kejam" Engkaulah yang terlalu, tidak mau mentaati perintah Ayahmu. Aku ingin mengangkat dirimu menjadi seorang yang mulia dan terhormat, akan tetapi engkau malah hendak menghancurkan rencana hidup Ayahmu. Jangan kira kau akan dapat pergi dari sini, anakku. Mau atau tidak mau, engkau harus menjadi isteri pangeran yang cinta kepadamu."
Watak Hwee Li memang keras. Begitu mendengar kata-kata "harus", dadanya diangkat, kepalanya ditegakkan, dan dia bertanya dengan air matanya bercampur dengan air sungai yang mengalir turun dari rambutnya, "Kalau aku tidak sudi"
"Kau akan dipaksa! Nah, boleh kaupilih. Engkau menjadi isterinya secara terhormat atau menjadi isterinya dengan lebih dulu dipaksa, seperti seekor kuda betina liar yang dijinakkan!"
Hwee Li membelalakkan, kedua matanya, hampir tidak dapat percaya akan kata-kata ayahnya. Tidak mungkin ayahnya akan berbuat sekeji, itu. "Ayah! Kau.... kau...." dia tidak dapat melanjutkan, hanya menangis keras.
"Tiada gunanya engkau menangis, Hwee Li. Kalau engkau mentaati permintaanku, berarti engkau menjadi puteriku tersayang, akan tetapi kalau kau menentang kehendakku, berarti engkau adalah musuhku! Dan engkau tahu apa jadinya dengan musuh Hek-tiauw Lo-mo!"
"Biar sampai mati aku tidak sudi! Aku mau melihat siapa berani memaksaku!" Tiba-tiba Hwee Li berdiri tegak, kedua tangannya terkepal, pakaiannya basah kuyup sehingga menempel ketat di tubuhnya, membuat lekuk-lengkung tubuhnya nampak nyata.
"Hemmm, engkau tidak akan mati, akan tetapi aku yang akan menundukkanmu, anak bandel!" bentak Hek-tiauw Lo-mo.
"Aku adalah anakmu, aku tidak akan melawan Ayahku sendiri, akan tetapi kalau aku hendak kau umpankan kepadanya, seperti mengumpankan kelinci untuk dimakan srigala, aku akan melawan!" kata Hwee Li.
"Huh, agaknya gurumu telah mendidikmu untuk menjadi anak durhaka terhadap ayahnya. Nah, coba kaulawan aku!" Hek-tiauw Lo-mo lalu menubruknya dan mencengkeram pundak puterinya.
Hwee Li cept mengelak dan balas menyerang dengan dahsyat sehingga ayah dan anak itu lalu saling serang dengan hebat dan serunya di tepi sungai itu! Hwee Li maklum bahwa kalau dia tidak dapat menangkan ayahnya, harapannya untuk lari habis sama sekali, dan entah apa yang akan menimpa dirinya, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dia tahu bahwa dia tidak boleh menggunakan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya, karena hal itu akan percuma saja karena tentu ayahnya lebih mahir. Maka dia selalu bergerak menurut petunjuk Ceng Ceng dan suami subonya itu. Sebetulnya, dari Ceng Ceng, seperti pernah dijanjikan oleh subonya itu dahulu (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali), dara ini hanya diberi pelajaran tentang racun-racun yang paling hebat dan penolaknya. Akan tetapi karena Ceng Ceng merasa suka kepada muridnya yang lincah jenaka ini, dia juga mengajarkan Ilmu Pukulan Sin-liong-kun, yaitu semacam ilmu silat yang diciptakan dengan bantuan suaminya, yang disaring dari ilmu-ilmu silat yang dikenalnya lalu ditambah dengan beberapa gerakan yang mengambil dari ilmu mujijat Sin-liong ciang-hoat, ilmu yang hanya dapat dipelajari dan dikuasai oleh seorang yang buntung lengannya seperti Kao Kok Cu.
Akan tetapi betapapun lihainya Hwee Li, tentu saja dia masih belum mampu menandingi Hek-tiauw Lo-mo! Beberapa kali dia sudah kena ditampar oleh ayahnya, yang tidak ingin melukai puterinya, maka yang ditamparnya hanya bagian tubuh yang tidak berbahaya seperti di bahu dan pundak, akan tetapi yang cukup membuat tubuh Hwee Li terpelanting dan terguling-guling. Akan tetapi, setiap kali roboh, Hwee Li meloncat bangun kembali dan menyerang dengan ganas! Dia sudah nekat dan ingin mati di tangan ayahnya sendiri daripada harus menyerahkan dirinya kepada Pangeran Liong Bian Cu!
"Hyaaaaattttt....!" Tiba-tiba dia melengking nyaring, tubuhnya meloncat dan meluncur lurus ke depan, kedua tangannya menusuk seperti pedang selagi tubuhnya melayang di udara. Inilah jurus yang amat hebat dari Sin-long-kun, yang mengandung unsur ilmu mujijat Sin-liong hok-te dari Kao Kok Cu!
"Ihhh....!" Hek-tiauw Lo-mo terkejut bukan main karena dari serangan ini menyambar hawa dahsyat yang membuat dia terjengkang. Akan tetapi, sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi yang mengenal pukulan mujijat, dia tidak berani menangkis dan cepat dia melempar tubuh ke belakang terus bergulingan. Dia meloncat bangun dan mukanya berubah. Nyaris dia roboh oleh pukulan mujijat itu.
"Bocah durhaka!" Dia membentak dan menubruk maju begitu melihat Hwee Li melayang turun, tubrukan dari belakang yang dahsyat. Hwee Li bergerak ke samping, kakinya melayang untuk menyambut serangan ayahnya dengan tendangan.
"Plakkk!" Ayahnya menangkis, demikian keras tangkisannya sehingga tubuh Hwee Li terhuyung. Kembali gadis itu melempengkan kedua lengan, untuk mengulangi serangannya yang hampir berhasil tadi. Akan tetapi tiba-tiba ayahnya sudah menyerang lagi, menyerang dari bawah ke arah kedua kakinya. Melihat hebatnya serangan kaki ayahnya yang menyerampang ini, dia berteriak keras dan tubuhnya mencelat ke atas.
"Wuuuuuttttt....!" Hwee Li terkejut. Hendak mengelak namun terlambat dan tubuhnya sudah tercakup oleh sinar hitam yang ternyata adalah jala tipis yang tadi dipergunakan oleh Hek-tiauw Lo-mo selagi tubuh Hwee Li meloncat ke atas.
"Cukup, Locianpwe!" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan tahu-tahu di situ telah berdiri Liong Bian Cu dengan sikapnya yang ramah. Pangeran ini berkata, "Andaikata bukan Locianpwe yang melakukan hal ini, terhadap Nona Hwee Li, tentu akan berhadapan dengan aku dan aku belum puas kalau belum menyiksanya!"
Hek-tiauw Lo-mo membungkuk, "Anak ini tidak bisa dibujuk dengan halus, Pangeran. Terpaksa saya sebagai orang tuanya menundukkannya. Sekarang kuserahkan kepada Pangeran untuk menjinakkan dia. Ha-ha-ha!" Hek-tiauw Lo-mo menyerahkan tali jala itu kepada Pangeran Nepal itu.
Liong Bian Cu menerima tali itu, lalu menghampiri Hwee Li yang masih rebah miring di dalam jala. "Marilah, Nona, biar aku merawatmu, Nona...." Dia membungkuk dan hendak memondong tubuh itu.
Hwee Li yang kini mengalihkan kemarahan dan kebenciannya kepada pangeran ini yang dianggapnya sebagai biang keladi perubahan sikap ayahnya, diam-diam menanti dan begitu pangeran itu membungkuk, tiba-tiba dia menggerakkan tangan kanannya menghantam sekuat tenaga! Akan tetapi, dia merasa pundaknya ditekan dan tenaganya lenyap, pukulannya tidak dapat dilakkan dan terhenti setengah jalan.
"Tenanglah, Nona, dan percayalah bahva aaku tidak tega untuk menyakitimu," kata pangeran itu dengan tenang dan tiba-tiba Hwee Li merasa tubuhnya diangkat dan dipondong oleh pangeran itu, dibawa ke arah gedung. Semua orang yang melihat dan bertemu di jalan, membungkuk dengan penuh hormat kepada pangeran itu yang bersikap seolah-olah tidak melihat mereka, sikap angkuh seorang pangeran! Hwee Li tidak dapat meronta lagi, kedua tangannya seperti lumpuh dan tahulah dia bahwa pangeran yang kelihatan lemah lembut ini memang lihai sekali sehingga dia telah ditotoknya sebelum dapat menyerang. Dia pernah melihat pangeran ini dalam pertemuan dengan para tokoh dan yang dahulu pernah mendemonstrasikan kepandaiannya yang hebat. Dara ini maklum bahwa menggunakan kekerasan akan percuma saja, karena selain pangeran ini sendiri amat lihai, juga di situ terdapat ayahnya yang agaknya siap untuk menggunakan kekerasan terhadap dirinya untuk memaksanya menjadi isteri pangeran ini. Belum lagi diperhitungkan adanya Hek-hwa Lo-kwi di situ, dan banyak anak buah Kui-liong-pang dan anak buah pangeran itu sendiri. Juga, biarpun belum dijumpainya, dia mendengar bahwa di situ terdapat pula guru pangeran ini, koksu dari Nepal yang menurut ayahnya memiliki kepandaian yang amat hebat, mungkin melebihi kepandaian ayahnya dan Hek-hwa Lo-kwi. Jelas bahwa mengandalkan kepandaian silatnya akan sia-sia belaka, maka dia harus berlaku cerdik.
Pangeran itu memondongnya dengan hati-hati dan membawanya kembali ke dalam kamarnya yang mewah. Dengan gerakan lembut dia merebahkan Hwee Li di atas pembaringan setelah melepaskan jala tipis itu. Sejenak dia berdiri di tepi pembaringan memandang wajah Hwee Li yang rebah terlentang. Dara itu gelisah sekali. Dia masih belum mampu menggerakkan kaki tangannya dan dia tidak akan dapat melawan kalau pangeran itu melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap dirinya. Sepasang mata yang cekung dan tajam itu bersinar-sinar ketika menjelajahi tubuh Hwee Li dari rambut sampai ke kakinya. Tubuh yang terbungkus pakaian basah itu kelihatan seperti telanjang saja.
"Ah, betapa kejam ayahmu, Nona.... sungguh kasihan engkau...." kata pangeran itu dengan sikap menyayang sekali dan tangannya lalu memeriksa leher, pipi, dan pundak Hwee Li yang babak bundas karena dibanting-banting tadi. "Aku akan mengobatimu. Ah, kalau lain kali dia berani menyakitimu lagi, tentu akan kuhukum dia!"
Hwee Li memandang dengan mata terbelalak. Hatinya lega. Biarpun dia masih muda sekali, namun sebagai seorang wanita, Hwee Li dapat merasakan bahwa pangeran ini sungguh mencinta dia. Sikapnya demikian lembut, cintanya demikian halus sehingga agaknya tidak perlu dikhawatirkan bahwa pangeran ini akan melakukan kekerasan terhadap dirinya. Akan tetapi, biarpun dia cerdik, dalam hal seperti ini, mengenai urusan cinta, dia masih asing sama sekali sehinga dia tidak tahu benar bagaimana dia harus bersikap terhadap musuh yang jatuh cinta kepadanya ini. Dia tahu bahwa dari orang berkulit kehitaman ini mengancam bahaya yang amat hebat terhadap dirinya, namun perasaan wanitanya juga tahu bahwa pria ini amat mencintanya dan tidak akan suka melihat dia sengsara.
"Pangeran.... harap.... harap kau suka membebaskan aku.... dan biarkan aku pergi dari sini. Aku akan berterima kasih sekali kepadamu dan selamanya engkau akan kuanggap sebagai seorang yang amat baik."
Liong Bian Cu tersenyum, memandang mesra dan menggeleng kepala. "Jangan kita bicara tentang itu. Engkau perlu kuobati, akan tetapi pakaianmu basah. Engkau harus berganti pakaian lebih dulu. Ah, betapa kejamnya ayahmu.... sakit hatiku melihat engkau disiksa. Aku amat cinta kepadamu, Nona Hwee Li, dan kalau bukan ayahmu yang melakukan ini, pasti dia sudah kubunuh. Biar aku membantumu berganti pakaian...."
Jari-jari tangan pangeran itu menyentuh kancing-kancing di depan dadanya. Biarpun pangeran itu bersikap lembut dan sopan, namun Hwee Li terbelalak dan hampir menjerit. Sayang kaki tangannya masih belum dapat digerakkan, kalau tidak demikian, tentu dia sudah meronta dan meloncat turun dari atas pembaringan.
"Jangan....! Tidak.... jangan buka pakaianku....!" dia meratap.
Jari-jari tangan yang baru berhasil membuka dua buah kancing itu berhenti dan mata yang cekung itu menatap tajam, mulutnya tersenyum dingin. "Mengapa, Nona" Engkau basah kuyup dan dapat jatuh sakit. pakaianmu yang basah harus diganti dengan yang kering, baru, luka-lukamu akan kuobati sendiri...."
Hwee Li melihat sinar gembira di mata pangeran itu dan tiba-tiba jantungnya memukul keras. Agaknya di balik kelembutannya, di balik keramahan dan kesopanannya, pangeran ini memiliki watak aneh yang amat kejam. Agaknya pangeran ini akan bergembira melihat dia digerogoti rasa malu, tersiksa batinnya kalau ditelanjangi. Hwee Li tiba-tiba menekan perasaannya dan mukanya tidak lagi memperlihatkan rasa ngeri dan takut seperti tadi. Suaranya dingin dan tenang ketika dia berkata, "Pangeran, baru saja engkau mengatakan bahwa engkau amat mencintaku, akan tetapi sekarang engkau hendak melakukan penghinaan. Kalau perbuatanmu ini kaulanjutkan, aku akan merasa amat benci kepadamu!"
"Benci" Pangeran itu mengerutkan alisnya. "Tidak bisa engkau membenciku, Nona, karena engkau akan menjadi isteriku yang terkasih. Aku hendak menolongmu, mengapa engkau membenciku"
"Di luar banyak terdapat pelayan, mengapa engkau hendak mengganti sendiri pakaianku" Hal itu menandakan bahwa engkau sengaja hendak menghinaku, tidak memandang aku sebagai seorang gadis yang terhormat, yang tentu saja tidak sudi dilihat telanjang oleh seorang laki-laki."
Tangan itu meninggalkan baju Hwee Li dan pangeran itu tersenyum, mengangguk-angguk. "Sikapmu ini menambah besar cintaku, Nona. Engkau memang seorang gadis terhormat dan agung, patut menjadi calon isteriku." Pangeran itu bertepuk tangan dan masuklah empat orang pelayan tadi.
"Kalian bantu Nona Hwee Li berganti pakaian kering. Eh, Nona, engkau memilih pakaian yang berwarna apa" Pangeran itu bertanya kepada Hwee Li, sikapnya ramah dan biasa seolah-olah gadis itu sedang dalam keadaan biasa, tidak tertotok seperti itu.
"Aku selamanya memakai pakaian hitam," jawab Hwee Li yang ingin mencegah pakaiannya diganti.
"Hei, kau! Cepat kausuruh penjahit membuatkan pakaian dari sutera hitam beberapa stel dan dengan cara kilat. Harus jadi sekarang juga!" Pangeran Liong Bian Cu berkata dan pelayan yang diperintahkannya itu cepat pergi. Lalu dia berpaling kepada Hwee Li. "Karena yang hitam sedang dibikin, harap kau suka memakai yang lain untuk sementara saja, Nona." Setelah berkata demikian, pangeran itu menggerakkan kakinya menuju ke pintu.
"Pangeran....!" Hwee Li tiba-tiba memanggil.
Liong Bian Cu membalikkan tubuhnya dan memandang dengan wajah berseri.
"Apalagi yang dapat kulakukan untukmu, Nona Hwee Li" Bukankah kau bilang bahwa engkau merasa terhina kalau.... terlihat olehku" Aku tahu engkau malu, biarlah aku keluar dulu dan nanti baru kuobati engkau...."
"Pangeran, engkau tentu maklum bahwa aku tidak akan dapat lolos dari sini. Di sana ada ayahku, ada Hek-hwa Lo-kwi, ada orang-orangmu, dan tempat ini terkurung air. Aku tidak akan mampu lolos dan hal ini aku tahu benar, maka aku pun tidak begitu tolol untuk mencoba melarikan diri."
Pangeran itu mengangguk-angguk. Engkau memang cerdik sekali, Nona. Kecerdikanmu makin mengagumkan hatiku dan makin memperdalam cintaku."
Hwee Li merasa malu sekali melihat pangeran ini mengaku cinta begitu saja di depan tiga orang pelayan yang masih berlutut di atas lantai, maka cepat-cepat dia berkata, "Kalau engkau sudah tahu bahwa aku tidak akan lolos atau melarikan diri, mengapa engkau masih menotokku" Apakah kau ingin menyiksaku, Pangeran" Bebaskan totokan ini...."
Pangeran itu melangkah menghampiri pembaringan. "Dan kau berjanji tidak akan memukul pelayan, tidak akan memberontak"
"Aku bukan seorang tolol. Memberontak pun apa gunanya" Para pelayan ini tidak salah dan tidak tahu apa-apa. Tidak, aku tidak akan memukul mereka atau memberontak."
"Bagus, aku percaya kepadamu, Nona." Pangeran itu lalu menggerakkan tangan kanannya menotok kedua pundak Hwee Li dan seketika dara itu dapat menggerakkan kembali kedua lengannya. Ketika pangeran itu menotok pula punggungnya dan kedua kakinya juga dapat digerakkan, hatinya lega bukan main. Kaki dan tangannya masih terasa penat dan sakit, maka dia bangkit duduk perlahan-lahan, memandang kepada pangeran yang diam-diam telah siap kalau-kalau dia akan memberontak.
Melihat ini, Hwee Li tersenyum. "Terima kasih, Pangeran. Dan sekarang harap engkau suka keluar, aku hendak ganti pakaian. Dan kalian bertiga juga keluarlah saja, nanti kalau aku perlu bantuan kalian kupanggil."
Tiga orang pelayan itu memandang kepada Liong Bian Cu, ragu-ragu apakah mereka harus mentaati perintah gadis itu. Liong Bian Cu tersenyum dan mengangguk, maka mereka pun pergilah meninggalkan kamar itu bersama Liong Bian Cu. Pangeran itu menutupkan pintunya sambil menjenguk ke dalam dan tersenyum. "Kalau sudah selesai, beritahulah aku, Nona." Hwee Li mengangguk dan daun pintu itu ditutup dari luar oleh Liong Bian Cu.
Setelah mereka semua keluar, Hwee Li cepat menggerak-gerakkan kaki tangannya agar jalan darahnya lancar kembali. Diam-diam dia menyumpah di dalam hatinya dan panaslah rongga dadanya teringat akan perlakukan ayahnya kepadanya. Dia duduk kembali dan memutar otaknya. Keinginan besar untuk melarikan diri ditekannya. Tidak, dia tidak boleh sembrono lagi. Lari dalam keadaan sekarang ini tidak akan ada gunanya, dan dia tentu akan tertawan kembali. Dan kalau sampai dia mencoba lari dan tertawan kembali, tentu pangeran itu tidak akan bersikap demikian baik lagi. Celaka kalau sampai dia ditotok terus atau dibelenggu. Lebih celaka lagi kalau dalam kemarahannya pangeran itu akan melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap dirinya. Lebih baik dia berlaku cerdik, bersikap halus dan mempergunakan cinta kasih pangeran terhadapnya untuk melindungi dirinya.
Hwee Li memilih pakaian hijau dari lemari, karena yang biru sudah dirobek-robeknya. Dia memindahkan dua benda seperti gulungan tali hitam dan segulung kecil tali merah dari saku pakaian hitamnya ke dalam saku baju dalamnya yang baru. Tiga benda yang kelihatan seperti gulungan tali itu sebetulnya adalah tiga ekor ular! Kemudian dia menyisir rambutnya, memakai sedikit bedak di meja rias dan mengganti pula sepatunya yang basah dengan sepatu baru yang berjajar beberapa pasang di bawah lemari.
"Aku sudah selesai, Pangeran!" katanya sambil duduk di atas kursi.
Daun pintu itu segera terbuka, tanda bahwa pangeran itu sejak tadi sudah siap dengan tangan tak pernah melepaskan daun pintu. Wajahnya berseri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar memandang Hwee Li yang bangkit berdiri. Penuh kagum!
"Bukan main....!" Engkau.... engkau sungguh cantik seperti bidadari, Nona Hwee Li! Aih, rambutmu yang masih agak kusut itu, anak rambut yang melihgkar di dahi dan depan telinga, sungguh seperti lukisan saja! Marilah, Nona, mari kuobati luka-lukamu." Pangeran itu mengeluarkan sebuah botol terisi obat kuning dari dalam sakunya.


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih, Pangeran. Kurasa tidak perlu karena sudah kuobati sendiri dan luka-luka ini tidak ada artinya." Dia memperlihatkan leher dan tangannya yang tadi lecet-lecet, dan yang kini sudah menjadi kering.
"Ahhh, engkau lihai, ilmu silatmu tinggi, juga engkau memiliki keberanian hebat, engkau cantik jelita dan cerdik. Sungguh, semua keindahan dan kebaikan terkumpul menjadi satu di dalam dirimu, Nona Hwee Li."
"Hanya luka di pundakku ini masih terasa nyeri. Aku khawatir kalau-kalau ada tulangnya yang retak...." Hwee Li meringis ketika tangannya menyentuh pundak kirinya.
"Ahhh....! Benarkah" Celaka! Sungguh kejam Hek-tiauw Lo-mo. Coba kuperiksa pundakmu, Nona. Jangan khawatir, jangankan baru retak, biar sudah remuk sekalipun, aku akan dapat mengobati dan menyembuhkannya!" Pangeran itu datang mendekat.
Dengan hati-hati, sambil kadang-kadang meringis kesakitan, Hwee Li membuka kancing bajunya bagian atas sehingga nampak baju dalamnya yang tipis. Disingkapnya baju di bagian pundak kiri dengan tangan kanannya sehingga nampak kulit pundaknya yang putih halus dan memang di atas pundak itu terdapat warna kebiruan. Ketika melihat pundak kiri setengah telanjang yang berkulit putih halus itu bernoda biru, pangeran itu lalu berseru, "Ahhh, sungguh kejam....!" Tangannya lalu memeriksa dan dengan halus menyentuh pundak itu.
Saat inilah yang ditunggu-tunggu oleh Hwee Li. Sudah diperhitungkannya semenjak dia melihat pangeran itu masuk kamarnya. Dara ini tadi sudah mengambil keputusan untuk membunuh pangeran ini. Dia tidak mungkin melarikan diri, akan tetapi dia tahu bahwa yang menyebabkan ayahnya bersikap seperti itu kepadanya adalah pangeran ini. Pangeran inilah biang keladinya, maka kalau pangeran ini dibunuhnya, tentu ayahnya akan bersikap lain. Dan kalau ayahnya tidak lagi mengharapkan bantuan pangeran yang mati untuk meraih kedudukan tinggi, tentu akan lain lagi sikap ayahnya, tentu akan pulih seperti dulu dan kalau sudah begitu, dia dan ayahnya tentu akan dapat saling bantu untuk meloloskan diri dari tempat itu.
Kini, melihat pangeran itu memeriksa pundak kirinya dan agaknya tenggelam dalam pekerjaannya itu, diam-diam Hwee Li mengeluarkan ular merahnya. Ular itu kecil sekali, sebesar kelingking jari tangannya, panjangnya hanya dua jengkal, kulitnya merah seperti darah, matanya juga merah dan lidahnya hitam. Inilah Hiat-coa (Ular Darah) dari Gurun Pasir Go-bi-pai yang merupakan binatang yang sukar sekali dilihat orang, seekor ular janah yang amat berbahaya dan racunnya amat hebat.
"Ssssshhh....!"
Liong Bian Cu terkejut sekali dan cepat dia meloncat mundur ketika dia melihat sinar merah meluncur ke arah mukanya. Matanya terbelalak dan dia berusaha menghindarkan diri, akan tetapi gerakan ular itu lebih hebat dan cepat lagi, seolah-olah burung terbang dan tahu-tahu pundak pangeran itu telah kena digigitnya. Liong Bian Cu mengeluarkan suara melengking nyaring, jeritan maut yang amat lantang, lalu tubuhnya terhuyung dan roboh ke atas lantai.
Melihat ini, Hwee Li girang sekali dan cepat dia meloncat ke arah jendela kamar itu. Akan tetapi, begitu dia meloncat, dari jendela itu muncul dua orang penjaga yang memegang pedang. Hwee Li menggunakan kakinya menendang dari samping untuk menangkis sambaran pedang. Kini tangan kirinya bergerak dan sinar hitam panjang bergerak ke depan. Ular hitam panjang itu mematuk dan dua orang penjaga roboh seketika.
"Bocah setan, berani engkau mengacau lagi" Tiba-tiba terdengar bentakan dan Hek-hwa Lo-kwi muncul bersama Hek-tiauw Lo-mo!
"Ayah, aku sudah membunuh Liong Bian Cu!" teriak Hwee Li. "Mari kita cepat pergi dari sini!"
"Apa" Anak durhaka, engkau patut dihukum! Hek-tiauw Lo-mo berseru marah sedangkan Hek-hwa Lo-kwi cepat melohcat memasuki jendela dan cepat kakek ini memondong tubuh Pangeran Liong Bian Cu yang sudah menjadi biru mukanya. Hek-hwa Lo-kwi adalah ahli racun yang telah kebagian kitab yang dicuri bersama Hek-tiauw Lo-mo dari Si Dewa Bongkok, bagian tentang racun dan pengobatannya, maka kini dia cepat membawa pergi Liong Bian Cu untuk diobati.
Sementara itu, melihat ayahnya sudah menyerangnya, Hwee Li menjadi marah juga. "Ayah, apa engkau sudah gila" Dia nemaki sambil mengelak dari sambaran pedang yang amat mengerikan, pedang yang mendatangkan hawa mujijat. Itulah pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Nyawa) yang amat mujajat. Pedang ini dahulu adalah milik Cui-beng Koai-ong, tokoh nomor satu dari Pulau Neraka, dan akhirnya pedang itu tadinya terjatuh ke tangan Ang Tek Hoat dan kemudian, ketika Tek Hoat tertawan, pedang itu terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo sampai sekarang (baca Kisah Sepasang Rajawali). Sambil mengelak, Hwee Li yang sudah marah sekali itu memaki, "Aku adalah anakmu, apakah Ayah hendak membunuhku"
"Bocah keparat, anak durhaka!" Hek-tiauw Lo-mo yang sudah marah sekali kembali menyerangnya dengan dahsyat.
"Baik! Ayah membela musuh dan melawan anak sendiri! Ayah memaksa aku untuk melawan!" Hwee Li juga mengeluarkan dua ekor ularnya yang panjang itu dan balas menyerang. Bertempurlah anak dan ayah ini untuk kedua kalinya, kini lebih seru dan hebat karena Hwee Li benar-benar melakukan perlawanan mati-matian.
Setelah dara itu melakukan perlawanan nekat dengan menggunakan dua ekor ularnya yang amat berbahaya, Hek-tiauw Lo-mo bergerak dengan hati-hati. Dia maklum bahwa anaknya itu telah menguasai banyak ilmu yang aneh dan hebat. Beberapa kali dia menggerakkan pedangnya untuk membunuh ular-ular itu, akan tetapi dua ekor ular itu adalah mahluk hidup, selain memiliki gerakan sendiri untuk mengelak, juga digerakkan oleh tangan Hwee Li yang mahir. Bahkan beberapa kali hampir saja tangan Hek-tiauw Lo-mo terpatuk oleh ular-ular itu.
"Hemmm, inikah anakmu, Hek-tiauw Lo-mo" Sungguh ganas dan liar dia!" Tiba-tiba terdengar suara besar yang berwibawa dan munculiah dua orang kakek. Yang seorang adalah kakek tinggi besar, sama tinggi besarnya dengan Hek-tiauw Lo-mo, seperti seorang raksasa yang kepalanya botak, pakaiannya indah dan mewah dengan mantel merah, sepatunya pakai lapis baja dan sepasang matanya besar sekali, usianya tentu hampir enam puluh tahun akan tetapi wajahnya masih segar dan kemerahan. Sikapnya amat berwibawa dan di belakangnya berdiri seorang kakek lain yang bersorban, berkulit hitam, jenggotnya panjang sampai ke perut, tangan kiri memegang tongkat cendana dan wajahnya seperti topeng, sama sekali tidak pernah bergerak seolah-olah mati.
Melihat munculnya dua orang kakek ini, Hek-tiauw Lo-mo terkejut. Itulah Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal, dan kakek Nepal bersorban itu adalah Gitananda, pembantunya yang lihai dan pandai sihir.
"Maafkan, Sengjin, anakku kurang ajar dan perlu saya hukum!" teriak Hek-tiauw Lo-mo dan pedang Cui-beng-kiam diputarnya cepat. Melihat ini, Hwee Li menarik kedua ekor ularnya karena tidak ingin ular-ularnya menjadi korban pedang ayahnya. Akan tetapi, pada saat itu, tendangan kaki Hek-tiauw Lo-mo yang amat cepat datangnya tak dapat dielakkan oleh Hwee Li. Pahanya tertendang dan dara ini hanya dapat mengerahkan sinkang untuk melindungi pahanya.
"Desss....!" Dia terlempar dan terbanting, bergulingan.
"Mampus kau!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak dan pedangnya menyambar. Hwee Li terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa ayahnya benar-benar hendak membunuhnya. Pedang itu menyambar ganas dan merupakan serangan maut. Terpaksa dia menggunakan dua ekor ularnya untuk balas menyerang. Dua ekor ular itu meluncur dan kalau pedang Hek-tiauw Lo-mo dilanjutkan untuk membacok tubuh dara itu, tentu dua ekor ular itu akan berhasil pula menggigitnya. Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo mengubah gerakan pedangnya, dibabatkan ke samping dua kali.
"Crok! Crokkk!"
"Ihhhhh.... kau membunuh ular-ularku...." Hwee Li menjerit dengan isak tertahan dan dia berlaku nekat, menubruk ayahnya dengan kedua tangan kosong dan melancarkan pukulan-pukulan beracun.
"Anak setan!" Hek-tiauw Lo-mo menyambutnya dengan tusukan Cui-beng-kiam dan sekali ini, tak mungkin Hwee Li dapat menghindarkan diri dari tusukan maut itu.
Tiba-tiba nampak sinar menyambar. "Trangg....!" Pedang Cui-beng-kiam tergetar di tangan Hek-tiauw Lo-mo. Kakek itu terkejut dan melompat ke belakng. Kiranya Ban Hwa Sengjin sudah turun tangan menggunakan sebutir kerikil memukul ke arah pedangnya itu dengan sambitannya.
"Dia adalah calon isteri Pangeran, bagaimana kau berani mencoba untuk membunuhnya!" teriak Koksu Nepal itu. "Gitananda, tangkap Nona itu!"
Gitananda membungkuk dan sekali dia menggerakkan kedua kakinya, dia sudah meloncat ke depan Hwee Li. Tiba-tiba tangan kiri kakek Nepal ini mengeluarkan sesuatu dan ada cahaya menyorot ke muka kakek itu. Hwee Li tentu saja tidak mengerti apa yang terjadi dan melihat ada cahaya menyorot ke muka kakek itu, dia memandang. Kiranya kakek itu memegang sebuah cermin dan pantulan sinar matahari menyorot ke mukanya sendiri. Melihat wajah yang berkilauan terkena cahaya itu, Hwee Li memandang terbelalak. Dia seperti melihat wajah yang aneh, wajah dalam dongeng tentang dewa-dewa! Dan betapapun dia hendak mengalihkan pandangannya, dia tidak dapat! Dia tidak dapat menguasai pandang matanya sendiri yang terus menatap wajah kehitaman dengan mata yang tajam berpengaruh itu.
Tongkat Gitananda menyambar dan dengan perlahan mengetuk tengkuk Hwee Li. Gadis itu sama sekali tidak mampu bergerak untuk mengelak, seolah-olah pandang matanya yang melekat pada wajah menyeramkan itu membuat seluruh tubuhnya lumpuh. Ketika tongkat mengenai tengkuknya, dia mengeluh memejamkan matanya dan roboh terguling, pingsan!
*** () *** Kesadaran perlahan-lahan menyusupi dirinya. Mula-mula hanya pendengarannya yang bekerja. Dia mendengar suara berapa orang bercakap-cakap, makin lama makin jelas dan perhatiannya tertuju kepada suara-suara itu karena di antara suara-suara itu dia mendengar suara ayahnya. Matanya masih dipejamkan dan dia masih belum mempunyai keinginan untuk melihat di mana adanya dia dan dalam keadaan bagaimana. Dia masih terlampau lemah untuk itu dan kini dia hanya tinggal diam dengan tenang, hanya membuka telinga mendengarkan.
"Kalau Paduka suka menggunakan obat hamba tentu mudahlah menundukkan dia. Dia akan jatuh cinta, kepada Paduka, dan akan mentaati semua perintah Paduka," terdengar suara parau dan asing, suara yang tidak dikenalnya, namun dapat diduganya bahwa agaknya itu adalah suara orang Nepal yang memegang tongkat itu.
"Ah, Gitananda, aku sudah tahu akan kepandaianmu dan aku percaya bahwa menggunakan obat dan sihirmu, dia akan tunduk kepadaku. Akan tetapi aku tahu pula bahwa kekuatan sihir dan obat itu hanya sementara saja. Dan aku menghendaki agar dia selama hidupnya tunduk dan membalas cintaku!" terdengar suara yang amat dikenalnya, suara halus dan sopan, suara Liong Bian Cu. Ah, jadi pangeran itu belum mampus, pikirnya dengan perasaan menyesal. Biarpun sudah terkena gigitan ular darah, tapi masih hidup Hemmm, tentu Hek-hwa Lo-kwi yang mengobatinya. Dia tahu bahwa kakek itu juga seorang ahli racun yang jempol!
"Dia memang keras kepala!" Tiba-tiba terdengar suara ayahnya. "Anak itu keras kepala dan keras hati, seperti ibunya! Sebaiknya kalau Pangeran menggunakan kekerasan menundukkan dia, seperti menjinakkan seekor kuda betina yang liar. Hanya kalau dia sudah satu kali menjadi milik Pangeran, dia akan terpatahkan kekerasannya, dia akan tunduk, seperti yang terjadi pula dengan ibunya dahulu. Percayalah kepada saya, Pangeran. Itu satu-satunya cara untuk menjinakkan dia. Paksa saja dia menjadi milik Pangeran malam ini juga, dan besok atau lusa, dia sudah akan menjadi jinak, untuk selama-lamanya!"
Hwee Li hampir menjerit. Dia mengepal tinju dan berniat untuk meloncat turun. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa dia tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya. Dia tidak tertotok, kaki tangannya dapat bergerak, akan tetapi tidak dapat dipindahkan dari tempatnya. Cepat dia membuka matanya dan dia makin terkejut. Dia rebah terlentang di atas pembaringannya, kedua kakinya terpentang dan setiap kaki terbelenggu pada ujung pembaringan, demikianpun dengan kedua lengannya, terpentang dan pergelangan lengan terbelenggu dengan rantai baja pada ujung pembaringan. Dia seperti seekor lembu atau domba yang terikat dan siap untuk disembelih!
Dia berada di dalam kamar mewah itu dan orang-orang yang suaranya didengarnya itu bercakap-cakap di luar kamar. Dia mendengarkan lagi. Dan kini dia mendengar suara Hek-hwa Lo-kwi.
"Agaknya memang tepat apa yang diusulkan oleh Lo-mo, Pangeran. Anak itu amat keras hati, membujuknya saja akan sia-sia. Dan kekerasan yang tidak dapat diluluhkan oleh kelembutan, dapat dikalahkan oleh kekerasan pula."
"Akan tetapi.... ah, aku sungguh cinta kepadanya, dan aku ingin sekali agar dia dapat membalas cinta kasihku dengan sewajarnya. Pangeran itu membantah dan mengeluh. "Menggunakan kekerasan" Memperkosanya" Ah, betapa hal itu akan menyiksa hatiku, aku tidak ingin melihat dia berduka...."
"Hemmm, pada mulanya memang dia akan menangis dan berduka, akan membencimu, akan tetapi lambat-laun kebencian itu akan berubah menjadi cinta. Dia persis ibunya...." terdengar Hek-tiauw Lo-mo berkata pula.
"Akan tetapi, melihat dia dibelenggu terus...."
"Hal itu tidak perlu lagi setelah Paduka dapat memaksa dan memilikinya, Pangeran," kata Hek-hwa Lo-kwi. "Dan jangan khawatir dia akan dapat melarikan diri. Dia akan saya beri obat beracun dan racun itu akan mengeram di dalam dirinya, akan membunuhnya dalam waktu satu tahun. Sedangkan obat penawarnya berada di tangan Paduka."
Hening sejenak. Kemudian terdengar lagi suara ayahnya, suara yang mulai mendatangkan kebencian di hati Hwee Li. "Dia amat cerdik dan banyak akalnya, Pangeran. Selama dia belum menjadi milikmu, dia tentu akan menggunakan segala akalnya dan hal itu dapat nenimbulkan kesukaran. Akan tetapi kalau malam ini Paduka berhasil memilikinya, semua daya lawannya akan patah dan luluh. Percayalah."
"Sudahlah, tinggalkan kami berdua. Akan kupikirkan usul-usul kalian."
Terdengar langkah kaki tiga orang kakek itu pergi dan tak lama kemudian, daun pintu kamar itu terbuka dan munculiah Liong Bian Cu. Melihat pangeran itu, Hwee Li membuang muka. Pangeran itu menghampiri dan duduk di dekat pembaringan, di atas sebuah kursi. Sejenak dia diam saja hanya menatap wajah yang miring itu. Kemudian dia menarik napas panjang.
"Ahhhhh, betapa sedih hatiku melihat engkau terbelenggu kaki tanganmu seperti ini, Nona Hwee Li. Betapa perih hatiku yang mencintamu melihat bahwa hal ini terpaksa dilakukan karena engkau ternyata tega hendak membunuhku. Nyaris saja aku tewas oleh gigitan ular merahmu itu. Kalau tidak ada Hek-hwa Lo-kwi, tentu tercapai maksudmu dan aku sudah mati. Akan tetapi tentu engkau pun tidak akan terhindar dari maut."
Hwee Li tidak menjawab dan tidak menoleh. Masih terlalu ngeri hatinya mendengar percakapan tadi. Jantungnya berdebar keras. Mau apakah pangeran ini" Apakah benar-benar hendak melaksanakan usul-usul tadi" Hampir dia pingsan kembali membayangkan hal itu! Ingin dia menangis, ingin dia minta-minta ampun agar dibebaskan saking ngeri dan takutnya, akan tetapi wataknya yang keras dan gagah melarangnya berbuat seperti itu. Dia hendak memperlihatkan, terutama kepada ayahnya, bahwa sampai mati dia tidak takut menghadapi apapun! Akan tetapi, dia tidak boleh nekat begitu saja. Selama dia masih hidup, dia harus berusaha menggunakan kecerdikannya untuk meloloskan diri dari bahaya penghinaan hebat itu!
"Aku memang hendak membunuhmu. Maka sebaiknya kaubunuh saja aku sekarang!" akhirnya dia berkata sambil memutar otaknya mencari akal. Dia masih belum berani memandang, karena dia khawatir kalau sinar mata yang tajam itu akan dapat menjenguk isi hatinya.
Pangeran itu menyentuh lengan tangan Hwee Li, dan membelai lengan yang berkulit halus itu. Hwee Li memejamkan matanya. Rabaan jari-jari tangan pada lengannya itu menimbulkan perasaan jijik dan geli, juga gelisah dan ngeri.
"Ahhh, bagaimana mungkin aku membunuhmu, sayang" Tidak tahukah bahwa aku cinta kepadamu, Nona"
"Aku sudah berdosa hendak membunuhmu, dan aku kelak akan membunuhmu kalau kau tidak membunuhku sekarang!" Hwee Li memancing.
"Tidak.... tidak....! Engkau masih muda, engkau belum tahu betapa aku amat mencintaimu. Kalau kau tahu, engkau akan menyesal, Hwee Li. Perbuatanmu itu amat kejam, sedangkan aku.... ah, tanpa engkau sebagai isteriku, hidup rasanya akan menjadi hampa...."
"Hemmm, bagus, ya" Siapa sudi percaya obrolanmu tentang cinta" Kalau engkau benar mencintaku, mengapa engkau membiarkan aku dibelenggu seperti ini" Beginikah perlakuan orang yang mencinta" Hwee Li kini memandang dan menjebikan bibirnya yang merah.
Pangeran itu mengerutkan alisnya dan matanya menjadi sayu, berduka. Kini dia melepaskan lengan Hwee Li dan kini jari-jari tangannya meraba kaki dara itu, mengelus betis yang nampak karena pipa celana kanannya tertarik ke atas. Betis yang berkulit putih mulus kemerahan itu, yang kulitnya kelihatan demikian tipis dan halusnya sehingga urat-uratnya membayang, dirabanya dengan penuh kemesraan dan kegairahan. Kini Hwee Li menggigil. Seluruh bulu di tubuhnya bangkit berdiri, meremang saking ngerinya. Ingin dia menjerit, ingin dia memaki agar pangeran itu jangan mengusap dan membelai betis kakinya. Akan tetapi semua perasaan ini ditahannya.
"Sudah kukatakan tadi, sayang. Hatiku berduka, jantungku berdarah melihat kakimu yang indah dan tanganmu yang halus itu dirantai seperti ini. Akan tetapi, mengapa engkau memperlihatkan kekerasan dan tidak sudi menerima cintaku" Tentu saja, kalau engkau mau menerima dan membalas cintaku engkau tidak akan dibelenggu, bahkan engkau akan menjadi orang paling terhormat dan paling mulia di sini, di seluruh Nepal, dan di seluruh dunia! Engkau akan menjadi permaisuri, menjadi ratu, disembah-sembah! Mengapa engkau tidak mau menjadi kekasihku, sayang" Aku Liong Bian Cu dapat menciptakan sorga untukmu, engkau dapat bergelimang dalam kemewahan, kemuliaan dan kehormatan."
"Hemmm, janjimu terlalu muluk, Pangeran. Bagaimana kalau aku berjanji untuk tidak melawan dan untuk.... hemm, belajar mempertimbangkan cintamu dan mungkin kelak dapat menerima dan membalas cintamu" kata Hwee Li hati-hati. "Apakah dengan janjiku itu engkau mau membebaskan aku sekarang juga"
"Tentu saja! Tentu saja akan kubebaskan sekarang juga!" kata pangeran itu penuh gairah kegembiraan.
Dapat dibayangkan betapa tegang dan gembira hati Hwee Li mendengar ini dan dia meraba betapa tangan pangeran itu telah meraba-raba belenggu kedua kakinya. Akan tetapi, timbul kekecewaannya karena jari-jari tangan pangeran itu kembali meninggalkan belenggu dan terdengar pangeran itu berkata, "Nona, aku sungguh mencinta dan kasihan kepadamu. Akan tetapi, bagaimana aku dapat mempercaya janjimu. Betapa aku ingin kita dapat saling percaya dan saling mencinta, akan tetapi apa yang baru saja kaulakukan terhadapku sungguh membuat hatiku meragu. Dan engkau belum berjanji."
Dengan jantung berdebar Hwee Li berkata, "Aku berjanji, Pangeran! Aku berjanji bahwa aku akan mempertimbangkan cintamu dan aku akan belajar membalas cintamu!"
Mulut pangeran itu tersenyum lebar, matanya yang cekung bersinar-sinar, akan tetapi dia belum bergerak membuka belenggu kaki dan tangan Hwee Li. "Kau berani bersumpah" tanyanya perlahan.
"Aku bersumpah!" jawab Hwee Li sedangkan di dalam hatinya dia mengejek. Apa artinya sumpah baginya" Apalagi bersumpah di depan orang Nepal yang dibencinya ini!
"Ahhh, sumpah dan janji harus disertai bukti, Nona Manis."
"Bukti" Bukti bagaimana maksudmu" Hwee Li bertanya, penasaran dan kecewa.
"Kalau benar engkau mempunyai maksud hati yang baik dan tidak hendak berlaku curang kepadaku, kalau benar engkau jujur dalam janjimu, engkau tentu mau memperlihatkan kebaikanmu itu untuk menciumku." Pangeran itu tersenyum dan memandang tajam.
Hwee Li merasa betapa wajahnya panas sekali. Dia tidak tahu betapa kedua pipinya menjadi merah seperti udang direbus mendengar permintaan pangeran itu. Ingin dia menjerit, memaki dengan segala macam makian kotor yang pernah didengarnya. Akan tetapi dara yang cerdik ini menekan perasaannya dan dia lalu berkata, "Aku mau...."
Sepasa Dendam Iblis Seribu Wajah 17 Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bentrok Rimba Persilatan 2
^