Jodoh Rajawali 7

Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


-pura merogoh saku dan mendekati penjaga itu. Tangannya keluar dari saku bukan untuk menyerahkan kartu undangan, melainkan untuk bergerak cepat menotok sehingga penjaga itu roboh sebelum sempat berteriak. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw terus masuk makin dalam dan kini para penjaga makin berkurang, jarak penjaga makin jauh sehingga mudah bagi Kian Lee untuk merobohkan setiap orang penjaga tanpa ada yang mengetahuinya.
Akhirnya mereka keluar dari terowongan dan tiba di tempat terbuka, di lembah itu yang ternyata penuh dengan bangunan rumah-rumah yang dibagi menjadi dua kelompok, dipisahkan oleh sebuah lapangan yang luas yang terletak di tengah-tengah. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw menyelinap di antara bangunan-bangunan itu sambil memeriksa keadaan dengan hati-hati sekali. Dengan isyarat tangannya, Kian Lee mengajak nikouw tua itu untuk meloncat naik ke atas wuwungan sebuah bangunan besar dan dari atas wuwungan ini mereka mengintai. Sinar bulan cukup terang sehingga mereka dapat meneliti keadaan di lembah itu.
Kelompok bangunan di sebelah kiri terdiri dari rumah-rumah biasa dengan kebun-kebun yang rimbun dan subur, di mana selain terdapat banyak pohon-pohon yang berbuah, juga terdapat sayur-sayuran dan bunga-bungaan. Akan tetapi kelompok ke dua yang berada di sebelah kanan itu sangat aneh bentuknya. Rumah-rumah di kelompok ini bangunannya seperti tempurung yang tertelungkup dan tidak nampak pintu atau jendela biasa, hanya kelihatan sebuah lubang yang agaknya merupakan pintu. Anehnya, di sekitar rumah-rumah luar biasa ini tidak terdapat sebatang pun pohon atau tumbuh-tumbuhan. Bahkan tanahnya kelihatan putih kering ditimpa sinar bulan, retak-retak seperti tanah kapur.
Dari wuwungan itu, nampak para tamu berkumpul di lapangan, yaitu lapangan luas di antara dua kelompok rumah itu. Selain penerangan yang didapat dari sinar bulan, juga di situ dipasangi banyak lampu dan lentera besar sehingga cuaca cukup terang. Para tamu yang banyak juga jumlahnya telah berkumpul di situ duduk di kursi yang diatur menjadi lingkaran besar yang kesemuanya menghadap ke tengah lapangan di mana terdapat semacam panggung tempat duduk fihak tuan rumah dan para tamu kehormatan. Kian Lee mencari-cari dengan pandang matanya, akan tetapi dia tidak menemukan Cui Lan dan Hok-taijin di antara para tamu. Kembali dia memandang ke arah panggung dan melihat Khiu-pangcu dan beberapa orang lain yang tidak dikenalnya. Banyak orang aneh di situ, di antaranya terdapat seorang yang bertubuh tinggi tegap, usianya tidak lebih dari tiga puluh tahun, kulitnya gelap coklat, hidungnya mancung agak melengkung dan matanya cekung ke dalam, alisnya tebal, dan jelas bahwa dia bukanlah orang Han aseli, melainkan ada miripnya dengan orang India. Di belakangnya duduk banyak pengawalnya, rata-rata bertubuh tinggi dan lengannya berbulu. Kian Lee menduga bahwa mereka ini tentu orang-orang Nepal, melihat dari pakaian dan juga sorban mereka. Hanya orang muda berpakaian indah di depan itulah yang tidak bersorban. Selain mereka, masih banyak terdapat orang-orang aneh yang dilihatnya tadi memasuki terowongan.
Dengan hati-hati Kian Lee lalu mengajak Liang Wi Nikouw turun dan mempergunakan kesempatan selagi para tamu masih hilir-mudik karena agaknya pertemuan itu belum dimulai, untuk menyelinap masuk di antara para tamu dan memilih tempat duduk di bagian para tamu perorangan yang tidak merupakan rombongan. Dengan demikian, maka mereka bercampur dengan tamu-tamu yang tidak saling mengenal sehingga mereka pun tidak menarik perhatian, sungguhpun ada beberapa orang di antara mereka yang memandang ke arah Liang Wi Nikouw dengan curiga. Akan tetapi, Liang Wi Nikouw yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa dia menghadiri pertemuan orang-orang dari golongan hitam, maka sengaja dia tersenyum-senyum dan "memasang" muka bengis, sehingga semua orang menduga bahwa dia pun seorang anggauta kaum sesat yang bersembunyi di balik kedok nikouw! Dia dan Kian Lee lalu menanti dengan hati berdebar, tidak tahu apa yang akan terjadi dan mengapa demikian banyaknya tokoh-tokoh lihai dari golongan hitam berkumpul di situ.
Akan tetapi yang dicari-cari oleh Kian Lee sejak tadi adalah Cui Lan dan Hok-taijin dan selagi dia menduga-duga di mana kiranya dua orang itu ditahan, tiba-tiba terdengar bunyi canang dipukul di tengah-tengah lapangan itu. Semua orang memperhatikan ke tengah lapangan karena bunyi canang itu menandakan bahwa pertemuan mulai dibuka. Bulan bersinar terang tanpa halangan awan, menimpa muka semua tamu yang diangkat memandang ke arah panggung untuk menanti siapa yang akan muncul sebagai pembuka acara dan terutama sekali untuk melihat wajah tuan rumah. Tidak ada seorang pun di antara para tamu itu yang pernah bertemu dengan ketua Huang-ho Kui-liong-pang, sungguhpun mereka semua telah mendengar bahwa ketua itu adalah seorang yang luar biasa lihainya, seorang aneh yang baru kurang lebih dua tahun ini menjadi ketua Kui-liong-pang. Tadinya, ketua dari Kui-liong-pang adalah Khiu-pangcu itulah. Akan tetapi semenjak munculnya tokoh aneh yang berilmu tinggi itu bersama belasan orang anak buahnya yang rata-rata juga berilmu tinggi, Khiu Sek lalu menggabungkan diri dan tokoh luar biasa itu diangkat menjadi ketua pertama sedangkan dia sendiri cukup puas menjadi ketua ke dua saja. Maka kini semua tamu ingin sekali melihat bagaimana macamnya ketua yang kabarnya merupakan seorang tokoh luar biasa itu.
Akan tetapi, ternyata yang bangkit berdiri dari kursinya dan kini berjalan ke tengah panggung adalah Khiu Sek atau Khiu-pangcu sendiri. Setelah menjura ke empat penjuru, memberi hormat kepada semua tamu kehormatan yang duduk di panggung, Khiu-pangcu lalu berkata, "Cu-wi sekalian yang terhormat. Pertama-tama atas nama pangcu kami dan seluruh perkumpulan Kui-liong-pang, kami menghaturkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Cu-wi sekalian. Sebelum maksud undangan kami kepada Cu-wi kami bentangkan secara jelas, lebih dulu kami ingin memperkenalkan perkumpulan kami kepada Cu-wi."
Selanjutnya, dengan suara lantang Khiu-pangcu lalu memperkenalkan perkumpulannya, betapa dua tahun yang lalu perkumpulannya menjadi makin kuat setelah memperoleh seorang ketua baru yang amat sakti. Betapa kemudian rombongan dari Gunung Cemara, perkumpulan wanita Hek-eng-pang menjadi iri dar timbul bentrokan di antara mereka sehingga terjadi pertempuran besar.
"Karena munculnya seorang tokoh rahasia yang hanya kami kenal dengan sebutan Siluman Kecil, pertempuran itu dapat dihentikan dan ketua kami berkenan mengampuni Hek-eng-pang. Akan tetapi akhir-akhir ini mereka kembali mencari gara-gara dengan mencoba untuk merebut mangsa kami, yaitu harta pusaka dari keluarga Jenderal Kao Liang yang mengundurkan diri" Kembali Khiu Sek menceritakan semua peristiwa mengenai perebutan harta pusaka keluarga Jenderal Kao itu.
"Gara-gara ikut campurnya fihak Hek-eng-pang yang hendak merebut mangsa kami, maka semua usaha menjadi gagal dan baru-baru ini kami telah mengirim pasukan untuk menghukum Hek-eng-pang dan membakar tempat mereka! Betapapun juga, mangsa kami itu telah lolos dan harta pusaka itu lenyap tanpa bekas, kami dan Hek-eng-pang yang bentrok sendiri tidak ada yang mendapatkannya."
"Hi-hi-hik!" Suara tertawa merdu seorang wanita itu memecahkan kesunyian dan terdengar jelas sekali. Semua orang menengok ke arah suara ini, juga Khiu-pangcu dengan alis berkerut menoleh ke arah gadis cantik jelita yang berpakaian serba merah muda itu, karena yang tertawa adalah gadis cantik ini. Biarpun dia sudah tidak tertawa lagi, akan tetapi gadis ini masih menutupi mulutnya dengan tangan, dan matanya berseri menahan kegelian hatinya.
Merah muka Khiu Sek karena dia merasa ditertawakan. Akan tetapi, sebagai seorang tuan rumah, dia menahan kemarahannya dan dengan suara lantang dia menegur, "Harap Ang-siocia suka menjelaskan mengapa mentertawakan kami" Lalu ditambahkannya untuk memperkenalkan nona itu kepada para tamu, "Cu-wi sekalian, yang baru saja tertawa adalah Ang-siocia, murid yang mewakili gurunya hadir di sini, yaitu Hek-sin Tou-wong!"
Mendengar nama Hek-sin Touw-wong, semua orang memandang kagum. Raja Maling itu terkenal sekali, dan baru sekarang mereka melihat bahwa Raja Maling yang menyeramkan itu mempunyai seorang murid yang demikian cantiknya, yang pakaiannya serba merah muda dan rapi sehingga kelihatan seperti seorang gadis bangsawan saja!
Melihat dia diperkenalkan dan ditegur, Ang-siocia, gadis she Ang yang hanya dikenal sebagai Nona Ang (Ang-siocia) itu, bangkit berdiri dan berkata lantang, sama sekali tidak kelihatan jerih, "Itulah jadinya kalau dua ekor anjing memperebutkan tulang! Keduanya babak-bundas akan tetapi tulangnya dibawa kabur orang lain!"
Tentu saja Khiu-pangcu menjadi makin marah dan penasaran. Tadi dia ditertawakan dan kini malah disamakan dengan anjing! Akan tetapi, dia masih menahan kemarahannya, hanya bertanya dengan suara yang nadanya kaku dan dingin, "Kalau menurut pendapatmu, bagaimana baiknya, Nona"
"Menurut pendapatku" Tentu saja lebih baik kalau kedua ekor anjing itu berdamai dan tulang itu dimakan bersama-sama, dengan demikian berarti menambah persahabatan dan perut keduanya bisa kenyang, hi-hik!"
Semua orang tertawa dan Khiu-pangcu sendiri tersenyum, kemarahannya lenyap dan dia menjura kepada semua orang. "Apa yang diucapkan oleh Ang-siocia tadi memang benar dan tepat sekali. Karena itu pula maka pangcu kami mengimkan undangan kepada Cu-wi sekalian, yaitu untuk mempersatukan semua golongan dari kita para pencari nafkah yang mengandalkan modal kepandaian silat seperti kita semua ini. Dengan adanya persatuan antara kita, maka tidak akan terjadi lagi bentrokan-bentrokan yang mengakibatkan kelemahan golongan kita sendiri. Kita dianggap golongan hitam, nah, kalau tidak ada persatuan di antara kita, tentu golongan putih yang menyebut diri mereka sendiri para pendekar itu akan merasa girang sekali dan mereka akan mudah untuk memusuhi dan mengalahkan kita."
Terdengar suara teriakan-teriakan menyatakan persetujuan mereka. Hal ini tidaklah mengherankan karena seperti pada umumnya, manusia di dunia ini tidak ada yang dapat melihat keadaan sendiri, tidak dapat menyadari akan kesalahan dan kejahatan sendiri sehingga kaum itu pun tidak merasa bahwa mereka adalah penjahat-panjahat! Mereka menganggap bahwa "pekerjaan" mereka itu adalah usaha mencari nafkah, dan para pendekar yang memusuhi mereka adalah yang sejahat-jahatnya orang karena merintangi pekerjaan mereka! Tentu saja usul persatuan ini mereka sambut dengan gembira karena memang sudah terlalu sering mereka ditentang dan di kejar-kejar oleh para pendekar.
"Akan tetapi, siapa yang akan memimpin kita" terdengar suara lantang bertanya.
Khiu-pangcu mengangkat kedua tangan untuk menenangkan suasana yang menjadi hiruk-pikuk itu. Setelah semua orang diam dia lalu berkata, "Sudah tentu saja yang berhak memimpin kita adalah orang yang paling tinggi kepandaiannya di antara golongan kita semua."
"Kalau guruku berada di sini tentu kursi pimpinan jatuh di tangannya!" terdengar gadis cantik berpakaian merah itu berseru.
Khiu-pangcu tersenyum lebar. "Nona, dan Cu-wi sekalian, hendaknya maklum bahwa kursi pimpinan itu tidak diperebutkan sekarang. Untuk itu tentu saja harus ada undangan khusus sehingga yang hadir adalah tokoh-tokoh pertama dari golongan kita. Sekarang yang penting bagi kita adalah bahwa semua fihak setuju untuk berdiri di bawah satu golongan. Dengan demikian, semua hasil karya kita dapat kita pergunakan bersama dan mereka yang hasilnya besar dapat menolong mereka yang sedang sepi pasarannya. Dan kalau seorang di antara golongan kita diusik oleh golongan putih, kita harus saling membantu dan memusnahkan fihak musuh. Dengan demikian, bukankah kedudukan kita menjadi kuat dan tidak ada sembarang pendekar berani untuk mengganggu"
"Benar....!"
"Setuju....!"
Kembali suasana menjadi berisik sekali. Tiba-tiba, terdengar suara tertawa yang amat nyaring, suara yang mengatasi semua suara berisik itu, suara ketawa yang menggema dan mengaung menggetarkan jantung. Terang bahwa itu adalah suara ketawa yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya. Semua orang terkejut dan menoleh ke tengah lapangan karena suara ketawa itu terdengar dari mulut seorang peranakan Nepal yang muda dan duduk di kursi bagian tamu kehormatan itu. Tentu saja semua orang terkejut dan marah, karena suara ketawa itu terdengar seperti meremehkan, dan kiranya yang mentertawakan mereka hanya seorang peranakan Nepal! Khiu-pangcu juga merasa penasaran, segera menghadapi pemuda peranakan Nepal itu dan dengan suara hormat karena orang itu merupakan tamu agung, akan tetapi bernada teguran, dia bertanya, "Apakah Kongcu (Tuan Muda) tidak menyetujui persatuan ini".
Pemuda jangkung berkulit coklat itu bangkit berdiri dan menjura, lalu terdengar dia berkata dengan suara lantang, "Kami sangat menyetujui, harap Khiupangcu tidak salah sangka. Hanya kami merasa sangat kecewa dan kasihan melihat cara-cara kalian mencari nafkah yang begitu remeh."
"Haiiiii!!" Semua orang berseru. marah karena tersinggung oleh ucapan itu, bahkan sudah ada yang bangkit berdiri dengan sikap mengancam. Hanya tokohtokoh besar lainya, seperti Ang-siocia, lalu gadis cantik jelita yang sama sekali tidak mengacuhkan semua itu dan bermain-main dengan ularnya, kepala bajak sungai yang tadi ribut dengan gadis pembawa ular, yaitu Tiat-thouw Sin-go, perampok tunggal Toat-beng Sin-to, raja kaum nelayan Boan-wangwe, mereka ini tetap duduk diam dan bersikap tenang, sesuai dengan kedudukan mereka yang tinggi.
"Harap Cu-wi jangan salah paham," kata peranakan Nepal itu dengan sikap tenang sekali. Kini dia berdiri di panggung dan menghadapi semua tamu dengan penuh wibawa. "Saya tidak memandang rendah kepada Cu-wi, hanya ingin menyatakan bahwa apa yang Cu-wi lakukan dan kerjakan itu sungguh tidak sesuai dengan jerih payah Cu-wi sekalian. Cu-wi bersusah payah mencari mangsa, menunggu mereka lewat dan menanti datangnya kesempatan, menghadapi bahaya maut, dan semua itu Cu-wi lakukan hanya untuk sejumlah barang yang tidak berarti, bahkan kadang-kadang gagal seperti yang diceritakan oleh Khiu-pangcu ketika memperebutkan harta pusaka keluarga Jenderal Kao itu. Bukankah cara bekerja seperti itu amat remeh dan tidak memadai"
Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, si perampok tunggal yang tinggi besar itu merasa tersinggung juga. Dia memandang dengan mata melotot, lalu berkata dengan suara yang lantang dan kasar karena memang dia terkenal seorang yang kasar, jujur tidak mau menggunakan banyak aturan, "Apakah kau mempunyal usul yang lebih baik"
Pemuda peranakan Nepal itu menoleh kepada si tinggi besar ini sambil tersenyum, lalu berkata, "Tentu saja dan usulku amatlah baik, tentu saja kalau Cu-wi sekalian setuju. Akan tetapi usul saya ini usul yang amat penting dan gawat, maka hanya akan saya terangkan kalau semua pimpinan sudah hadir, tidak seperti sekarang ini. Baru fihak tuan rumah saja, hanya wakilnya, yaitu Khiu-pangcu yang keluar, bukan ketuanya sendiri, mana bisa disebut lengkap untuk mendengarkan usul kami yang teramat penting dan menyangkut masa depan kita semua ini"
Khiu-pangcu menjura kepada orang itu. "Maaf, pangcu kami sedang menyelesaikan ilmunya yang baru sehingga selama ini tidak pernah keluar dan mewakilkan segala sesuatu kepada saya. Andaikata pangcu kami sudah keluar, apakah kiranya perempuan-perempuan dari Gunung Cemara itu berani banyak tingkah" Itulah sebabnya maka pangcu kami tidak dapat hadir."
Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan rumah tempurung terdepan meledak. Rumah itu hancur berantakan dan keluarlah seorang kakek yang berpakaian hitam, agak terhuyung dan mukanya putih pucat seperti kapur. "Khiu Sek, jangan mengecewakan tamu, ini aku sudah datang!"
Kini dari rumah-rumah tempurung itu bermunculan pula orang-orang yang mukanya putih seperti kapur dan itulah para pengikut ketua baru ini yang menyeramkan. Mereka itu semua agak terhuyung karena terlampau lama berdiam di rumah tempurung itu untuk memperdalam ilmu mereka sesuai dengan petunjuk sang ketua.
Melihat kakek ini, Kian Lee berdebar dan dia memandang dengan mata terbelalak karena tentu saja dia mengenal kakek ini. Dia itu bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi, ketua dari Lembah Bunga Hitam, tokoh sesat yang amat sakti dan yang merupakan ahli racun yang luar biasa itu! Di dalam cerita kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan tentang diri kakek ini yang dahulunya adalah seorang pelayan dari Dewa Bongkok dan yang kemudian melarikan diri karena tersangkut dalam pencurian kitab pelajaran ilmu yang mujijat.
Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang mereka dapat menyaksikan ketua dari Kui-liong-pang yang ternyata amat menyeramkan itu. Ilmu apa gerangan yang dipelajari oleh kakek ini sehingga tadi rumah tempurung itu meledak dan hancur berantakan"
Khiu-pangcu dan semua anak buah Kui-liong-pang menjatuhkan diri berlutut untuk memberi hormat kepada pangcu mereka, sedangkan para tamu juga bangkit berdiri untuk menghormat. Kian Lee yang juga ikut bangkit berdiri melihat betapa Hwee Li masih enak-enak saja duduk bermain-main dengan ularnya, seolah-olah kemunculan kakek itu sama sekali tidak diketahuinya! Benar-benar bocah itu masih seperti dulu, aneh dan bengal!
Hek-hwa Lo-kwi kini menghampiri tempat duduk yang telah disediakan untuknya sambil mengangguk ke kanan kiri kepada para tamu, kemudian dia menghadapi peranakan Nepal itu sambil berkata, suaranya menggetar dan mengandung gema yang meraung aneh, "Nah, sebelum Sicu ceritakan apa usul yang amat penting itu, hendaknya lebih dulu memperkenalkan diri. Maaf kalau kami tidak mengenal Sicu."
Pemuda peranakan Nepal itu menjura dengan hormat dan berkata, "Sungguh beruntung sekali kami semua dapat bertemu dengan Pangcu yang telah kami kenal namanya yang besar. Dan kami menghaturkan selamat atas berhasilnya Pangcu mempelajari ilmu baru. Perkenankan kami memperkenalkan diri kami."
Dengan suara halus dan lantang sehingga semua orang dapat mendengarnya, orang muda peranakan Nepal itu lalu memperkenalkan dlrinya dan mendengar penuturannya, Kian Lee menjadi tertarik sekali dan mendengarkan penuh perhatlan. Kiranya pemuda itu adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong! Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali dituturkan betapa Pangeran Liong Khi Ong dan kakaknya, Pangeran Liong Bin Ong, telah mengadakan persekutuan untuk mengadakan pemberontakan, akan tetapi akhirnya pemberontakan itu gagal dan kedua orang pangeran tua itu telah tewas. Liong Khi Ong mempunyai seorang selir berbangsa Nepal, dan sebenarnya selir ini masih seorang puteri Nepal, anak Raja Nepal yang juga lahir dari seorang selir dan yang dihadiahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong sebagai tanda persahabatan antara Nepal dan Kerajaan Ceng-tiauw yang pada waktu itu luas sekali daerahnya dan merupakan negara besar yang dihormati negara-negara tetangga termasuk Nepal.
Dari selir Nepal inilah Liong Khi Ong mempunyai putera, yaitu pemuda ini yang memakai nama Liong Bian Cu. Ketika Liong Khi Ong tewas, pemuda ini bersama ibunya melarikan diri ke barat, kembali ke Nepal di mana dia memperdalam ilmu kepandaiannya dengan menjadi murid dari Ban-hwa Sengjin, yaitu koksu (guru negara) Nepal yang lihai itu.
Setelah memperkenalkan diri dan para tamu memandang dengan kagum karena tidak menyangka bahwa peranakan Nepal ini ternyata adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong yang amat terkenal di kalangan dunia hitam karena dahulu pangeran itu banyak menerima tenaga bantuan kaum sesat, bahkan ketua Kui-liong-pang ini pun mengenalnya dengan baik, maka pemuda itu lalu menceritakan usulnya dengan suara lantang.
"Dari pada kita bekerja secara kecil-kecilan dengan resiko besar, lebih baik kita melakukan pekerjaan yang besar. Sudah basah kepalang mandi! Daripada kita dikejar-kejar pemerintah dan orang-orang dari golongan putih, kita mendahului mereka! Kita kumpulkan kawan-kawan yang banyak sehingga menjadi barisan yang kuat, lalu kita serbu kota demi kota, kita sita seluruh kekayaannya, dan kita duduki kotanya. Bukankah itu lebih cepat dan berhasil daripada kita menunggu lewatnya mangsa seperti seekor harimau kelaparan menunggu lewatnya seekor kelinci" Kita taklukkan kota demi kota dan kita paksa penduduknya yang laki-laki, muda-muda dan kuat-kuat untuk menjadi anggauta kita, yang menolak kita bunuh semua! Wanita-wanitanya yang cantik kita bagi-bagi. Dengan demikian, akhirnya kita akan menjadi suatu kekuatan yang amat besar dan daerah kita akan makin luas. Kalau sudah kuat benar, kita hancurkan para gubernur. Kita kuasai propinsi dan tujuan terakhir adalah kota raja. Kita mendirikan kerajaan sendiri, kerajaan kaum hitam!"
Sejenak suasana menjadi sunyi karena mereka yang mendengarkan rencana itu terlalu kaget dan heran. Bahkan Hek-hwa Lo-kwi sendiri kelihatan menunduk, merenung dan mengelus jenggotnya. Kemudian meledaklah kebisingan di situ karena semua orang bicara sendiri, saling berdebat, ada yang setuju, ada yang menolak dan ada yang ketakutan.
Akhirnya Hek-hwa Lo-kwi mengangkat tangan kanan ke atas dan semua orang diam. Lalu terdengar ucapan kakek ini, "Usul yang dikemukakan oleh Liong-sicu bukan hal remeh dan main-main, bahkan hal yang amat baik. Memang pekerjaan kita selalu dibayangi oleh bahaya. Tentu saja makin besar bahayanya, makin besar pula hasilnya, dan kalau kita bersatu, mengapa takut bahaya" Aku sendiri setuju dengan usul itu dan akan mendukung pelaksanaannya!" Ucapan ini disambut oleh tepuk tangan dan sorak-sorai dari mereka yang tadi setuju, sedangkan yang menolak dan yang ragu-ragu terseret dan hanyut oleh suara setuju ini sehingga mereka pun menjadi besar hati.
Kini Liong Bian Cu, pemuda peranakan itu mengangkat tangan dan semua orang berhenti membuat berisik. "Apakah ada di antara Cu-wi yang mengajukan usul lain"
Terdengar suara merdu nyaring dan gadis berpakaian merah muda, yaitu Ang-siocia, telah berdiri dan berkata, "Bicara memang mudah saja, akan tetapi pelaksanaannya tidaklah semudah menggoyangkan lidah dan bibir!" Memang dara ini biasa bicara dengan tajam. "Kota-kota itu tentu dijaga dan dilindungi oleh pasukan perajurit yang sudah terlatih dan pandai berperang. Mana bisa orang-orang kita yang tidak terdidik perang seperti mereka itu dapat menyerbu kota dan menang" Kepandaian kita hanyalah kepandaian pribadi untuk dipakai dalam pertempuran perorangan atau paling hebat hanya menghadapi keroyokan belasan sampai puluhan orang. Mana mungkin dapat berguna dalam perang antara ribuan orang dan pula fihak pasukan pemerintah tentu diperlengkapl dengan senjata dan perlengkapan yang lebih sempurna"
Hek-hwa Lo-kwi mengangguk-angguk. "Alasan yang baik dan kuat sekali. Bagaimana jawabanmu, Liong-sicu"
"Tidak perlu khawatir!" tiba-tiba seorang kakek berusia enam puluh tahun, bersorban dan jenggotnya panjang sampai ke perut, tangannya memegang tongkat kayu cendana, berseru. Dia ini adalah Gitananda, orang Nepal yang pernah menghadiri pesta pernikahan gagal dari Hwa-i-kongcu Tang Gun di puncak Naga Api itu. Memang Gitananda adalah seorang di antara utusan-utusan Kerajaan Nepal yang mencari kemungkinan menghubungi orang-orang yang hendak memberontak terhadap Kerajaan Ceng-tiauw, dan kini Gitananda bertugas untuk mengawal dan menemani Liong Bian Cu. "Hendaknya Cu-wi sekalian maklum bahwa Kongcu kami ini adalah seorang ahli perang yang tentu akan mampu mendidik kawan-kawan dan membentuk barisan-barisan yang kuat!"
Liong Bian Cu bangkit dan menjura ke empat penjuru. "Saya tidak ingin memamerkan diri, akan tetapi terus terang saja, sebagai putera mendiang Ayah yang juga ahli dalam siasat perang, tentu saja saya telah rnempelajari ilmu perang dan saya dapat membentuk pasukan-pasukan istimewa yang terlatih baik. Tentang perlengkapan, jangan khawatir karena Raja Nepal adalah kakek saya. Cu-wi sekalian tidak perlu gelisah, dan saya berjanji bahwa kalau kelak kita berhasil, Cu-wi sekalian tentu akan menjadi pembesar-pembesar tinggi yang hidup terhormat dan mulia!"
"Nanti dulu!" Tiba-tiba Hek-hwa Lokwi berkata sambil bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling. "Aku ingin sekali mendengar pendapat sahabat lamaku, Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Ataukah dia tidak hadir dan tidak mengirim wakilnya"
Semua orang yang mendengar nama ini terkejut, dan Tiat-thouw Sin-go ketua para pembajak itu mengerling ke arah gadis cantik jelita berpakaian serba hitam yang masih duduk bermain-main dengan ularnya tadi.
"Akulah wakilnya!" tiba-tiba gadis itu berkata sambil bangkit berdiri. Semua orang menoleh dan menahan napas menyaksikan seorang gadis yang demikian cantik moleknya. Wajahnya putih halus kemerahan, dengan rambut yang disanggul indah sekali, dihias dengan batu-batu permata mahal, sepasang matanya seperti bintang pagi, jernih dan lebar akan tetapi mengandung sinar yang tajam menyeramkan, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum, manis dan jelita. Tubuhnya kelihatan ramping padat dengan lekuk lengkung yang menggairahkan, yang sukar disembunyikan oleh pakaian sutera serba hitam itu. Akan tetapi yang membuat orang menjadi ngeri dan kehilangan gairah adalah ketika melihat dua ekor ular yang melingkar-lingkar di kedua lengan yang halus mulus itu.
"Hemmm!" Hek-hwa Lo-kwi menatap dengan tajam, akan tetapi memandang rendah kepada gadis muda itu. "Kalau engkau wakilnya, Nona, apa yang akan dikatakan oleh Hek-tiauw Lo-mo tentang usul tadi"
Gadis itu yang bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo, tersenyum sehingga sekelebatan nampak rongga mulutnya yang merah terhias kilatan gigi putih. "Apa yang hendak dikatakan" Aku tidak tahu. Aku hanya diutus untuk mendengarkan saja tanpa membuka mulut dan akan kusampaikan semua ini kepadanya."
Hek-hwa Lo-kwi berkata kepada Liong Bian Cu, "Dahulu Hek-tiauw Lo-mo pernah membantu Ayahmu, Liong-sicu. Kiranya sekarang pun dia akan setuju dengan usulmu itu."
"Mudah-mudahan begitu," Liong Bian Cu berkata dan matanya masih terus memandang kepada Hwee Li, agaknya peranakan Nepal ini tertarik sekali kepada gadis yang luar biasa cantiknya itu.
"Tentu saja dia mau kalau kelak setelah berhasil dia yang menjadi rajanya!" kata Hwee Li sambil duduk dan bermain main dengan ularnya.
Kian Lee tak dapat menahan senyumnya. Bukan main gadis ini. Berani sekali dan sikapnya seolah-olah memandang mereka semua itu seperti semut saja! Akan tetapi, dia sendiri masih gelisah memikirkan Cui Lan dan Hok-taijin. Sebaiknya kalau dia sekarang mulal menyelidiki di mana adanya dua orang yang dicarinya itu. Akan tetapi, mengingat bahwa yang hadir di situ adalah orang-orang yang berilmu tinggi sehingga akan berbahaya bagi dua orang kawannya itu kalau sampai ketahuan, dia terpaksa memberi isyarat kepada Liang Wi Nikouw untuk bersabar. Mereka ini tentu tidak tahu siapa Hok-taijin, sehingga gadis dan kakek itu hanya merupakan tawanan yang tidak penting, yang mereka ambil dari Gunung Cemara ketika mereka membasminya. Kalau sampai dia turun tangan dan ketahuan, tentu mereka akan sadar bahwa dua orang itu merupakan orang-orang penting dan kalau sampai mereka tahu bahwa kakek itu adalah Gubernur Ho-pel, maka akan berbahayalah!
Hidangan mulai dikeluarkan dan sambil bercakap-cakap membicarakan rencana besar yang diusulkan oleh Liong Bian Cu, mereka makan minum. Sementara itu, para tokoh yang penting di atas panggung kehormatan mulai berunding sambil makan minum dan akhirnya diputuskan bahwa sebelum diadakan pemilihan pemimpin yang harus seorang yang terpandai di antara mereka, yang akan merupakan seorang bengcu (pemimpin rakyat), untuk sementara dibentuklah panitia pimpinan atau pengawas yang terdiri dari Hek-hwa Lo-kwi sendiri, Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, Boan-wangwe, Tiat-thouw Sin-go dan Gitananda sebagai wakil fihak orang Nepal. Ketika hal ini diumumkan, semua orang setuju.
Makan minum dilanjutkan dan Liong Bian Cu yang menganggap mereka semua itu sebagai calon-calon pembantunya untuk melanjutkan "perjuangan" mendiang ayahnya dalam kegembiraannya ingin sekali melihat kelihaian mereka. Maka setelah minum beberapa cawan arak yang cukup menghangatkan hatinya, dia bangkit berdiri dan berkata lantang, "Cuwi sekalian! Kita telah bersepakat untuk bersatu dan kita merupakan kesatuan orang-orang yang gagah dan memiliki kepandaian! Oleh karena itu, dalam pertemuan ini sudah selayaknya kalau kita memperlihatkan kepandaian masing-masing, bukan untuk menyombongkan diri melainkan sebagai perkenalan. Dan pertunjukan ini akan saya mulai lebih dulu dengan memperlihatkan sedikit kemampuan saya yang saya pelajari dari guru saya yang terhormat, yaitu Ban-hwa Sengjin, koksu dari Nepal!"
Tentu saja ucapan ini disambut dengan gembira oleh semua orang. Mereka adalah orang-orang yang suka berkelahi, suka akan ilmu silat, maka setiap pertunjukan silat tentu saja menggembirakan hati mereka. Apalagi karena mereka maklum bahwa di antara mereka terdapat banyak sekali orarg-orang pandai.
Dengan langkah lebar Liong Bian Cu yang oleh orang-orangnya disebut Liong-kongcu itu menghampiri sebuah batu besar yang berada di tempat itu. Batu itu sebesar kerbau, tentu berat sekali. Akan tetapi dengan mudah dan ringan Liong kongcu mengangkatnya dan melontarkannya tinggi ke atas. Dia menggosok kedua telapak tangannya, kemudian cepat dia menggerakkan kedua lengannya dan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka memukul dan mendorong ke arah batu itu.
Terdengarlah suara bercuitan dari tangan kanannya dan dari tangan kirinya keluar suara mendesis. Di sekitar tempat dia berdiri menyambar-nyambar hawa yang panas dan dingin. Yang panas keluar dari tangan kanannya sedangkan yang dingin keluar dari tangan kirinya. Ketika kedua tangan itu bergerak memukul, batu itu tidak dapat meluncur jatuh, melainkan terapung di udara seperti tertahan oleh tenaga mujijat, dan batu itu mulai terputar, makin lama makin cepat sehingga mengeluarkan suara mengaung seperti gasing. Tak lama kemudian nampak debu mengepul, pecahan batu dan pasir berhamburan ke mana-mana.
Liong-kongcu tersenyum, menghentikan gerakan kedua tangannya dan meloncat ke belakang ketika batu itu jatuh berdebuk ke atas tanah. Dan semua orang melongo ketika melihat betapa batu yang tadinya kasar itu kini telah menjadi halus seperti dibubut, bentuknya bulat seperti telur!
Kian Lee yang sejak tadi memandang penuh perhatian, diam-diam memuji. Itulah tenaga Im-yang Sin-ciang yang cukup hebat. Sungguhpun tentu saja tidak dapat dibandingkan dengan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, namun pemuda itu sudah boleh juga dan hal itu tidak mengherankan karena pemuda itu, menurut pengakuannya tadi adalah murid dari koksu dari Nepal, yaitu Ban-hwa Sengjin yang pernah dia jumpai di istana Gubernur Ho-nan! Pemuda ini mulai mengerti apa tugas orang-orang Nepal ini. Dia dapat menghubung-hubungkannya dengan kehadiran Ban-hwa Sengjin koksu dari Nepal di istana Gubernur Ho-nan, lalu kehadiran mereka ini di sini, hendak membentuk barisan pemberontak! Apalagi ketika mendengar bahwa Liong-kongcu ini adalah putera mendiang Pangeran Liong Khi Ong, maka tentu saja apa yang dilihat dan didengarnya semua itu tidaklah terlalu mengherankan. Suatu persekutuan pemberontak agaknya hendak bangkit lagi mengacaukan negara.
Para tamu bersorak memuji kelihaian pemuda peranakan itu, dan Liong-kongcu kini memandang ke arah Hwee Li sambil tersenyum bangga. Akan tetapi senyumnya hilang dan alisnya berkerut ketika dia melihat gadis berpakaian hitam yang menggoncangkan hatinya itu sama sekali tidak ikut bersorak memuji, bahkan bibirnya tersenyum mengejek, seolah-olah apa yang dipertunjukkannya, tadi tidak ada artinya sama sekali bagi nona itu. Selagi Liong-kongcu hendak minta kepada Hwee Li agar memperlihatkan kelihaiannya, tiba-tiba dia didahului oleh Ang-siocia yang sudah bangkit berdiri dan menghampirinya.
"Hik-hik, sungguh lumayan juga kepandaianmu. Ingin sekali aku bertanding denganmu karena ilmu kita hampir bersamaan. Engkau memiliki pukulan tajam, aku pun juga. Akan tetapi aku akan mempergunakan pedang, lihatlah!" Dia mencabut sebatang pedang yang tadi tergantung di punggungnya, pedang yang bersarung dan bergagang indah, yang dihias ronce merah tua di gagangnya. Kemudian, gadis berpakaian merah muda ini mengeluarkan suara melengking panjang dan pedangnya lalu bergerak dengan cepat, bertubi-tubi ke arah batu yang bulat halus seperti telur itu. Cepat sekali gerakan pedangnya, sampai nampak sinar menyilaukan mata dan ketika sinar itu lenyap, ternyata pedangnya telah kembali memasuki sarungnya di punggung nona itu dan dengan tenang dia berdiri memandang ke arah batu. Batu itu tiba-tiba roboh terpotong-potong seperti irisan kue keranjang! Tipis dan lebar. Tentu saja semua orang melongo dan bertepuk tangan memuji.
"Hii-hik, hampir sama bukan" kata Ang-siocia kepada Liong-kongcu. "Kalau guruku yang melakukannya, tidak usah memakai bantuan pedang, cukup dengan telapak tangan saja. Itulah pukulan Kianto Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok)."
Ang-siocia terkekeh lagi dengan bangga, lalu dia menghampiri batu yang sudah terpotong-potong itu dan menggunakan kakinya untuk mencukil dan melemparkan batu itu ke arah sungai yang mengalir tak jauh dari tempat itu, sungai yang menjadi sambungan dari air terjun. "Lebih baik batu-batu ini dilempar ke sungai!"
Tentu saja perbuatannya ini tak lain mengandung maksud untuk mendemonstrasikan kekuatan kakinya dan memang hebat sekali. Potongan-potongan batu itu beterbang ke depan.
"Heiii, jangan dibuang! Sayang....!" Nampak bayangan berkelebat cepat sekali mendahului batu-batu itu dan ketika dia membalik, dia menggunakan tangannya menuding dan menangkapi potong-potongan batu yang seperti roda bentuknya itu lalu menumpuknya kembali di atas tanah. Semua orang memandang tumpukan batu itu dan terdengar seruan-seruan kagum karena batu-batu yang bentuknya seperti roda itu kini telah berlubang tepat di tengah-tengahnya, sehingga bentuknya seperti gilingan tahu dan ternyata bahwa ketika menangkap batu-batu itu, kakek ini menggunakan jari tangannya melubangi batu-batu itu tepat di tengah-tengah. Kakek ini bukan lain adalah Tiat-thouw Sin-go, yang ternyata bukan hanya kepalanya yang keras melebihi batu, melainkan juga jari tangannya amat kuat. Tentu saja perbuatannya itu pun dimaksudkan untuk mendemonstrasikan kepandaiannya dan kembali semua tamu memuji.
Akan tetapi sebelum orang lain mendemonstrasikan kepandaiannya, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras dan disusul suara canang dipukul bertalu-talu tanda bahaya dan nampaklah beberapa orang penjaga datang berlari-lari dengan muka pucat menghadap pangcu mereka. Ketika mereka melihat bahwa Hek-hwa Lo-kwi sudah hadir di situ mereka itu serta merta menjatuhkan diri berlutut. "Celaka.... Pangcu....!"
"Tolol! Pengecut!" Khiu-pangcu memaki. "Hayo lekas lapor ada apa!"
"Di luar pintu terowongan.... orang-orang Gunung Cemara datang menyerbu....!"
"Huh, begitu saja ribut!" Khiu-pangcu membentak.
"Tapi, Ji-pangcu. Mereka itu dipimpin oleh ketua mereka, Yang-liu Nio-nio dan dua orang yang luar biasa lihainya. Tanpa menyentuh orang, mereka berdua telah merobohkan dan membunuh banyak kawan kita! Mereka adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik yang mengeluarkan suara seperti kucing.... huuuh-hu....!" para penjaga itu menggigil ketakutan.
"Hemmm, sungguh orang-orang Hek-eng-pang tidak boleh diberi ampun sekali ini!" Hek-hwa Lo-kwi membentak marah sekali dan meloncat turun dari atas panggung, kemudian dengan langkah lebar, dia pergi menuju ke pintu terowongan, diikuti oleh para tamu yang ingin melihat apa yang akan diperbuat oleh ketua yang baru saja keluar dari pertapaannya itu. Juga mereka ini mengharapkan akan menyaksikan pertandingan yang hebat antara Hek-hwa Lo-kwi melawan tokoh-tokoh pimpinan Hek-eng-pang.
Akan tetapi belum juga mereka memasuki pintu terowongan, tiba-tiba terdengar suara ledakan-ledakan keras di sebelah luar terowongan itu dan nampak api mengebul di atas tebing arah mulut terowongan di atas. Semua orang terkejut sekali, apalagi ketika mendengar gemuruhnya suara air menyaingi suara gemuruh air terjun. Cepat mereka semua mundur kembali menjauhi pintu terowongan dan tak lama kemudian, dari pintu terowongan itu menyembur air yang amat kuat dan derasnya. Beberapa orang penjaga terowongan terlontar seperti daun-daun kering dihanyutkan air bersama dengan semburan air yang deras itu. Semua orang menjadi panik karena maklum bahwa entah secara bagaimana, fihak musuh telah berhasil membobolkan sungai di atas dan mengalirkan airnya memasuki mulut terowongan di atas sehingga menggenangi lembah itu! Tentu saja terjadi kepanikan hebat. Orang-orang cepat mencari perahu-perahu yang banyak terdapat di situ. Akan tetapi karena banyaknya orang dan kurangnya perahu mereka banyak tidak kebagian dan terpaksa mereka menebang pohon-pohon dan bambu-bambu untuk dijadikan pengapung atau semacam rakit. Air makin meninggi dan keadaan makin kacau. Mereka yang telah berhasil memperoleh perahu sudah cepat-cepat menyelamatkan diri melalui sungai.
Di dalam suasana yang kacau-balau dan hiruk-pikuk itu, Kian Lee bertindak cepat sekali. Dia tadi melihat Hoa-guji, tokoh Kui-liong-pang tinggi kurus yang tadi mengepalai para pelayan yang mengeluarkan hidangan. Kian Lee menduga bahwa orang ini tentu seorang di antara para anggauta pimpinan, maka begitu dia melihat kesempatan, secepat kilat dia menubruk dan merobohkan orang tinggi kurus ini dengan totokan, lalu menyeretnya ke tempat gelap.
Hoa-gu-ji adalah seorang yang memiliki kepandaian cukup lihai, maka dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya melihat betapa ada orang mampu merobohkannya sedemikian mudahnya! Dia tadi hanya melihat seorang pemuda tampan mendekatinya dan tahu-tahu tubuhnya menjadi lemas dan ketika dia hendak berteriak, pemuda itu menepuk tengkuknya dan lenyaplah suaranya! Kini Hoa-gu-ji benar-benar merasa ketakutan ketika dia diseret di tempat gelap dan dia melihat bahwa di situ telah menanti seorang nikouw tua yang tadi dilihatnya menjadi seorang di antara para tamu di situ.
"Hayo katakan, di mana adanya dua orang tawanan yang kalian bawa dari Gunung Cemara!" Kian Lee membentak sambil menyentuh ubun-ubun kepala orang itu dan dengan tangan kiri membebaskan totokan pada lehernya sehingga dia dapat mengeluarkan suara lagi.
"Ta.... tawanan.... yang mana...."
Hoa-gu-ji bertanya, jantungnya berdebar tegang karena jari-jari tangan yang menyentuh ubun-ubunnya itu benar-benar merupakan "todongan maut" baginya, maka dia tidak berani main-main.
"Seorang gadis dan seorang laki-laki tua yang kalian bawa dari tempat tahanan Hek-eng-pang. Cepat jawab!" "Ahhh.... mereka itu"
Setelah jelas bahwa orang ini mengetahui tentang dua orang temannya, Kian Lee lalu membebaskan totokan pada tubuh Hoa-gu-ji dan sambil mencengkeram leher bajunya, dia menghardik, "Hayo antarkan kami ke sana!"
Hoa-gu-ji mengangguk-angguk. Dia maklum bahwa dia tidak berdaya karena selain pemuda ini luar biasa lihainya, juga teman-temannya sedang sibuk menyelamatkan diri dari serangan air yang membanjiri lembah. Akan tetapi, Kian Lee menjadi repot juga karena air sudah mulai naik sampai ke paha.
"Kita membuat rakit dulu!" kata Liang Wi Nikouw dan nenek ini lalu mengumpulkan kayu dan bambu yang banyak hanyut di situ, bekas orang-orang tadi membuat rakit. Dengan cekatan mereka dibantu oleh Hoa-gu-ji membuat rakit, lalu cepat mereka menuju ke kelompok bangunan yang sudah digenangi air setinggi perut. Akhirnya tibalah mereka di sebelah kamar tahanan dan dengan hati lega Kian Lee melihat Cui Lan dan Hok-taijin berpegang kepada ruji-ruji besi tempat tahanan itu dengan muka pucat dan ketakutan karena air sudah terus naik!
"Kongcu.... syukur engkau datang....!" Cui Lan terisak penuh kegembiraan melihat munculnya pemuda itu. Untung lampu di atas tempat tahanan masih belum padam sehingga keadaan di situ cukup terang. Kian Lee cepat menotok lumpuh Hoa-gu-ji dan membawanya loncat naik ke atas wuwungan rumah dan melemparkan tubuh itu di atas wuwungan karena dia yakin bahwa air tidak mungkin sampai naik ke wuwungan. Kemudian bersama Liang Wi Nikouw dia membongkar pintu tahanan dan menolong gadis dan pembesar itu naik rakit dan mereka lalu mendayung rakit itu keluar dari situ. Di luar, air sudah naik sampai ke dada orang. Bangunan-bangunan kecil roboh terlanda air, akan tetapi bangunan besar di mana tadi Kian Lee melemparkan Hoa-gu-ji ke atas wuwungan cukup kokoh dan tentu akan dapat bertahan.
"Ahhhhh.... Taihiap.... sungguh kami sudah hampir putus asa...." Hok-taijin, berkata. "Untung aku bersama dengan Cui Lan, anakku yang gagah perkasa ini.... dialah yang selalu membesarkan hatiku.... kalau tidak, mungkin aku sudah menjadi gila...."
Kian Lee memandang kepada Cui Lan dengan sinar mata kagum dan gadis itu menunduk dengan air mata berlinang.
"Cui Lan, ini adalah Liang Wi Nikouw yang diutus oleh Siluman Kecil untuk menyelidiki keadaanmu dan menolongmu," kata Kian Lee sambil memandang gadis itu.
Seketika wajah yang menunduk itu bergerak, diangkat dan biarpun air matanya masih berlinang, namun bibirnya tersenyum dan wajahnya berseri. "Aihhh..." Suthai yang baik, benarkah itu"
Nikouw itu mengangguk dan tersenyum.
"Di mana dia" Bagaimana dengan dia" Baik-baik sajakah dia" tanyanya seperti air hujan.
Nikouw itu mengangguk-angguk lagi. "Dia mengkhawatirkan keadaanmu, Nona, maka mengutus pinni menyelidiki. Kiranya engkau benar-benar terancam bahaya, untung ada pemuda perkasa ini yang menolong."
Karena mereka masih berada dalam bahaya, maka Cui Lan tidak berani banyak bertanya lagi. Juga dia merasa malu untuk banyak bertanya tentang pendekar luar biasa itu, maka dia kini hanya menunduk sedangkan Kian Lee yang dibantu oleh nikouw yang biarpun sudah tua namun masih kuat itu untuk mendayung rakitnya menuju ke sungai di mana juga terdapat kesibukan dari mereka yang menyelamatkan dirinya.
Sementara itu, jauh di atas tebing nampak tiga orang berdiri menonton semua keributan di lembah. Tentu saja tidak kelihatan jelas benar karena hanya dibantu dengan sinar bulan, akan tetap melihat lampu-lampu bergerak ke sana sini dengan kacau dan teriakan-teriakan orang di bawah terdengar sampai di atas, tiga orang itu cukup puas dan menonton sambil tersenyum. Mereka itu bukan lain adalah Hek-eng-pangcu Yang-liu Nio-nio, Ang Tek Hoat, dan Mauw Siauw Moli. Bagaimana mereka bisa berada di sana" Mari kita ikuti perjalanan Tek Hoat yang kita tahu melakukan usaha menculik Syanti Dewi dari puncak Naga Api, tempat tinggal Hwa-i-kongcu itu.
*** () *** Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah Ang Tek Hoat berhasil membantu Yang-liu Nio-nio ketua Hekeng-pang merobohkan Kian Lee, pemuda itu lalu dibantu oleh Yang-liu Nio-nio dan beberapa orang anak buahnya untuk pergi ke puncak Naga Api menculik Syanti Dewi yang menjadi tawanan di sana dan hendak dipaksa menikah dengan Hwai-kongcu Tang Hun, murid dari Durganini yang kaya raya dan lihai itu.
Dan biarpun Hek-eng-pang mengorbankan beberapa orang anggautanya, akhirnya mereka berhasil melarikan Syanti Dewi yang oleh Yang-niu Nio-nio dilemparkan kepada muridnya, Liong-li dan kemudian dibawa keluar di mana telah menanti Tek Hoat bersama beberapa orang anak buah Hek-eng-pang yang siap dengan beberapa ekor kuda yang baik.
Tentu saja Tek Hoat girang sekali melihat bahwa kekasihnya telah berhasil diselamatkan. Akan tetapi dia teringat akan perlakuan Raja Bhutan ayah puteri itu terhadap dirinya dan penghinaan lima tahun yang lalu itu masih membuat hatinya terasa panas, apalagi kalau dia teringat betapa sengsaranya hatinya selama ini yang terkenang dengan penuh kerinduan kepada wanita yang dicintanya itu. Maka, setelah kini dengan susah payah dia dapat bertemu kembali dengan $yanti Dewi, dia tidak mau lekas-lekas mamperkenalkan diri lebih dulu. Karena cuaca masih gelap sekali, mudah baginya untuk tidak memperkenalkan diri dan tidak membuka suara. Dia hanya menerima puteri yang tertotok itu dari tangan Liong-li, kemudian dengan mendudukkan wanita yang dicintainya itu di atas punggung kuda, dia melompat di belakang Syanti Dewi dan membalapkan kuda secepatnya, diikuti oleh Yang-liu Nio-nio, Liong-li dan lain anak buah Hek-engpang, menuju kembali ke Gunung Cemara. Untuk membingungkan para pengejarnya, mereka berpencar menjadi tiga rombongan dan Tek Hoat masih tetap bersama Yang-liu Nio-nio dan Liong-li, sedangkan rombongan lain bertugas untuk menghilangkan jejak ketua dan rombongannya ini.
Tentu saja Hwa-i-kongcu Tang Hun dibantu oleh tiga orang sakti Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To terus melakukan pengejaran, akan tetapi mereka ini dibikin bingung dan akhirnya juga berpencar menjadi dua rombongan yang membelok ke kanan kiri, tidak tahu bahwa puteri itu dilarikan terus ke depan oleh Tek Hoat dan rombongannya. Hal ini adalah karena jejak kaki kuda mereka telah dihapus oleh anak buah Hek-eng-pang yang cerdik itu.
Hanya ada satu orang yang tidak mudah diakali oleh anak buah Hek-eng-pang. Orang ini adalah Siang In! Ketika terjadi keributan di tempat pesta, Siang In yang meninggalkan rombongan penari itu cepat-cepat mencari-cari dan ketika jelas bahwa Syanti Dewi diculik orang, dia pun cepat melakukan pengejaran. Dia amat cerdik, sudah menduga bahwa tentu rombongan penculik itu membawa keluar Syanti Dewi, maka dia telah mendahului pergi ke kandang kuda, mencuri seekor kuda dan menggunakan kesempatan selagi ribut-ribut itu menjalankan kudanya keluar dari benteng yang terjaga.
"Aku sri panggung rombongan penari, hendak membantu mencari pengantin puteri yang terculik!" katanya dan karena penjaga tadi melihat betapa dara cantik jelita ini pandai main sulap, mereka membiarkan Siang In keluar. Dara ini mengintai dan melihat ada rombongan orang membawa kuda menanti di luar tembok, maka dia pun beriembunyi. Ketika para penculik wanita rombongan orang-orang Hek-eng-pang itu keluar dan membawa lari Syanti Dewi, dia pun membalapkan kudanya membayangi dari jauh. Dia cukup hati-hati dan dapat menduga bahwa orang-orang itu tentu memiliki kepandaian, maka dia tidak berani sembrono turun tangan di situ, apalagi dia tahu bahwa tentu fihak Hwa-i-kongcu tidak akan tinggal diam dan melakukan pengejaran, sehingga andaikata dia berhasil merampas Syanti Dewi dari tangan para penculik, dia pun tidak akan terlepas dari tangan Hwa-i-kongcu dan para pembantunya yang lihai itu. Untuk menggunakan sihirnya, dia teringat akan orang Nepal yang lihai tadi, maka sekali ini dia harus bersikap hati-hati sekali.
Sementara itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Ang Tek Hoat memeluk pinggang Syanti Dewi yang duduk di depannya. Pelukan yang penuh kemesraan dan seluruh kerinduan hatinya dicurahkan pada sentuhan mesra itu. Namun dia tetap membisu dan hanya membalapkan kudanya bersama Yang-liu Nio-nio, dan Liong-li.
Hatinya lega karena tidak terdengar derap kaki banyak kuda mengejarnya. Hanya kadang-kadang terdengar derap kaki seekor kuda di belakang, akan tetapi tentu saja hal ini dianggap ringan. Andaikata benar ada satu orang yang mengejar, tentu saja bukan merupakan halangan. Dia sendiri masih belum berani menggunakan terlalu banyak tenaga sebagai akibat luka dalam ketika bertanding melawan Kian Lee, akan tetapi Liong-li dan terutama Yang-liu Nio-nio yang menunggang kuda di dekatnya bukanlah orang-orang yang lemah.
Karena tidak ada pengejar, hati mereka tenang dan mereka berhenti di dalam sebuah kuil tua yang berada di tepi jalan untuk membiarkan kuda mereka mengaso. Tanpa banyak cakap Tek Hoat memondong tubuh Syanti Dewi dan merebahkan dara itu di atas lantai dalam kuil, kemudian dia membebaskan totokannya dan meninggalkannya pergi. Syanti Dewi mengeluh dan kemudian menangis terisak-isak. Malam hampir lewat dan waktu itu sudah menjelang subuh. Sudah terdengar kokok ayam jantan di kejauhan. Udara dingin sekali. Syanti Dewi menggigil, akan tetapi Tek Hoat hanya berdiri di luar, bermacam perasaan teraduk di hatinya. Dia merasa rindu, merasa girang, merasa kasihan, akan tetapi juga mendongkol dan marah. Ingin dia memeluk, membisikkan kata-kata cinta, menciumi wanita yang selama ini amat dirindukannya itu. Ingin dia menghiburnya, membuatnya gembira dan tertawa, karena dia yakin bahwa tentu Syanti Dewi akan merasa girang sekali bertemu dengan dia. Dia tahu bahwa puteri itu belum dapat menduga siapa adanya orang yang menolongnya bebas dari tangan Hwa-i-kongcu! Akan tetapi karena rasa sakit di hatinya oleh ayah gadis itu, dia masih "menjual mahal" dan mengambil keputusan untuk menjumpai Syanti Dewi pagi nanti kalau cuaca sudah terang. Dia akan muncul begitu saja mengagetkan hati puteri itu. Tersenyum dia membayangkan betapa Syanti Dewi tentu akan menjerit, dan lari memeluknya kalau puteri itu tiba-tiba melihat dia muncul di dalam kamar kuil rusak itu!
Adapun Yang-liu Nio-nio dan Liong-li membuat api unggun di dalam kuil, tidak mau mencampuri urusan Tek Hoat bersama Syanti Dewi. dan mereka membicarakan tentang beberapa orang anggauta mereka yang diduga tewas dalam penyerbuan itu, juga membicarakan tentang orang-orang pandai yang muncul di dalam pesta Hwa-i-kongcu. Tak lama kemudian, sinar matahari pagi mulai mengusir kabut dan hawa dingin dan tiba-tiba Hek-eng-pang bersama muridnya itu mendengar suara teriakan Tek Hoat dari sebelah dalam kuil. Mereka terkejut dan cepat melompat ke dalam dan mereka melihat Tek Hoat dengan muka pucat berdiri di ambang pintu, memandang ke arah puteri yang mereka culik semalam. Puteri itu duduk bersimpuh di atas lantai sambil menangis dan Si Jari Maut yaneg biasanya tenang dan gagah perkasa itu kini berdiri dengan mata terbelalak memandang puteri itu, mukanya pucat sekali.
"Celaka....!" Tek Hoat berseru marah "Kenapa" Apa yang terjadi...." Yang liu Nio-nio bertanya.
"Bodoh! Tolol semua! Dia bukan...."
"Bukan apa"
"Dia bukan puteri itu!" Tek Hoat mengepal tinju dan memandang kepada ketua Hek-eng-pang dengan mata melotot. "Kalian telah tertipu! Ini bukan Puteri Syanti Dewi!"
"Tapi....!" Yang-liu Nio-nio membantah, terheran-heran. Dia sendiri yang menculik wanita ini dari dalam kamar pengantin wanita. Tidak bisa salah lagi. Liong-li cepat meloncat dan menarik pundak wanita yang mengempis itu."Diam kau! Hayo ceritakan siapa kau dan di mana adanya pengantin puteri!"hardiknya sambil mengguncang-guncang pundak wanita muda yang cantik itu.
"Ampunkan saya...." Wanita itu meratap. "Saya adalah seorang pelayan dari Kongcu dan malam tadi.... ada seorang kakek muncul dan menyeret saya, mengancam akan membunuh kalau saya berteriak, lalu saya menjadi lumpuh, bahkan untuk mengeluarkan suara pun tidak mampu.... dan kakek itu melucuti pakaian saya dan memaksa saya memakai pakaian ini.... saya tidak tahu apa-apa.... dan tiba-tiba saja saya dilarikan sampai di sini...."
"Di mana pengantin puteri" Tek Hoat membentak, tidak sabar.
"Saya tidak tahu.... harap ampunkan saya.... saya tidak tahu apa-apa...."
"Hemmm, siapa kakek itu" Bagaimana macamnya"
"Saya hanya tahu dia kakek tua, entah siapa...."
"Sialan!" Yang-liu Nio-nio meludahi muka wanita itu, tangannya bergerak dan wanita itu roboh tak berkutik lagi karena kepalanya telah pecah oleh ketukan jari tangan ketua Hek-eng-pang yang merasa dipermainkan dan menjadi marah sekali. Dia telah bersusah payah, telah kehilangan beberapa orang anggauta perkumpulannya, dan hasilnya adalah puteri palsu!
Pada saat itu terdengar suara dari luar, "Heiii, Ang Tek Hoat! Biarkan aku bertemu dan bicara dengan Enci Syanti Dewi!l Aku belum puas kalau belum mendengar darl mulutnya sendiri bahwa dia suka ikut dengan orang seperti engkau! Enci Syanti, ini aku, Siang In. Keluarlah dulu dan kita bicara sebentar!"
"Huh!" Tek Hoat mendengus marah dan dia menyambar punggung baju mayat pelayan yang telah dibunuh oleh Yang-liu Nio-nio dan Liong-li yang terkekeh mengejek ke arah Siang In.
Siang In terkejut bukan main melihat tubuh wanita yang disangkanya Syanti Dewi terlempar ke arahnya. Dia mengelak dan tubuh itu terbanting ke atas tanah. Cepat dia memeriksa dan menahan napas lega. Kiranya bukan Syanti Dewi yang dibawa kabur oleh Tek Hoat!
"Hemmm.... kalau begitu, siapa yang menculik Syanti Dewi! Ke mana perginya" Orang lihai macam Tek Hoat dan nenek cantik itu masih dapat ditipu orang. Dan melihat Hwa-i-kongcu dan orang-orangnya melakukan pengejaran dan pencarian ke mana-mana, jelas bahwa Enci Syanti Dewi benar-benar telah lenyap. Akan tetapi siapa yang membawanya dan kemana"
Dengan hati penasaran Siang In lalu melompat ke atas kudanya dan kembali ke daerah puncak Naga Api untuk menyelidiki hilangnya Syanti Dewi yang penuh rahasia itu.
Demikianlah, dengan marah dan kecewa Ang Tek Hoat kembali ke Gunung Cemara bersama Yang-liu Nio-nio dan Liong-li. Dan ketika mereka tiba di sana, mereka melihat bahwa Gunung Cemara telah dibasmi dan dibakar oleh musuh, yaitu orang-orang dari lembah perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang! Tentu saja Yang-liu Nio-nio menjadi marah dan berduka sekali ketika para anggauta Hek-eng-pang yang tadinya melarikan diri itu berdatangan sambil menangis.
"Orang muda! Kaulihat apa yang terjadi dengan kami karena kami pergi membantumu. Tempat kami dibasmi musuh. Kalau kau tidak membantu kami melakukan pembalasan, sungguh-sungguh aku harus menyebutmu seorang yang tidak mengenal budi!" ketua yang sedang marah dan sakit hati itu berkata kepada Tek Hoat.
Ang Tek Hoat juga merasa tidak senang dengan peristiwa ltu. "Jangan khawatir, Pangcu. Aku tentu akan membantumu."
"Bagus! Kalau begitu, kelak kami pun akan melakukan penyelidikan, siapa yang telah menculik pengantin puteri dari puncak Naga Api itu," Yang-liu Nio-nio berkata. "Akan tetapi, karena anak buahku banyak yang tewas, aku harus minta bantuan dari Subo." Dia lalu menulis sepucuk surat dan menyuruh Liong-1i naik kuda yang kuat untuk cepat minta bantuan gurunya yang dia tahu berada di istana gubernuran di Propinsi Ho-nan.
Sepekan kemudian, munculiah Mauw Siauw Mo-li di tempat itu. Tentu saja Ang Tek Hoat menjadi terkejut melihat wanita cantik yang genit ini, karena dia sudah mengenalnya dahulu ketika dia membantu pemberontakan Pangeran Liong Khi Ong (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Juga Mauw Siauw Mo-li terkejut dan girang bertemu dengan pemuda tampan gagah ini.
"Heh-heh-heh, bukankah engkau Tek Hoat Si Jari Maut" Aku mendengar bahwa engkau telah menjadi seorang panglima dan mantu raja di Bhutan! Bagaimana sekarang berkeliaran di sini"
Tek Hoat cemberut dan tidak menjawab pertanyaan itu, hanya berkata, "Hemmm, kiranya engkau guru dari Yang-liu Nio-nio" Sungguh tak kusangka!"
"Pangcu, bagaimana engkau dapat bergaul dengan pemuda ini" Ketahuilah, dia pernah menjadi musuhku beberapa tahun yang lalu, hik-hik!" katanya kepada muridnya yang lebih tua daripada dia itu, maka dia menyebutnya pangcu!
Yang-liu Nio-nio terkejut bukan main. "Ahhh.... teecu tidak tahu.... dia.... dia telah membantu teecu dan sekarang pun hendak membantu teecu menghadapi orang-orang Kui-liong-pang."
Mauw Siauw Mo-li tertawa dan memandang wajah Tek Hoat yang tampan dan muram itu sambil berkata, "Tidak mengapa. Ada waktunnya menjadi musuh, ada waktunya menjadi sahabat, bukan" Nah, ceritakan apa yang telah dilakukan orang-orang Kui-liong-pang yang bosan hidup itu."
Yang-liu Nio-nio lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa perkumpulannya bermusuhan dengan Kui-liong-pang dan akhir-akhir ini berebutan pusaka keluarga Jenderal Kao dan betapa ketika dia pergi membantu Tek Hoat untuk menculik pengantin dari Hwa-i-kongcu, orang-orang Kui-liong-pang datang membasmi dan membakar tempat itu.
"Hemmm, sungguh mereka itu harus mampus. Jangan khawatir, aku akan membantumu membasmi mereka. Akan tetapi, sungguh mati aku merasa heran sekali mengapa engkau pergi menculik pengantin puteri, Ang-sicu" tanyanya kepada Tek Hoat, memanandang heran.
Tek Hoat sebenarnya tidak suka kepada wanita yang cabul dan genit ini, dan pandang mata wanita itu kepadanya pun sudah membuat dia merasa muak. Akan tetapi dia tahu pula bahwa Mauw Siauw Mo-li adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali dan selama Syanti Dewi masih belum dapat olehnya dan terancam keselamatannya di tangan orang-orang sesat, dia perlu bantuan orang-orang seperti wanita ini. Maka dengan terus terang dia menjawab, "Pengantin puteri itu adalah Puteri Syanti Dewi."
"Ehhh...." Mauw Siauw Mo-li membelalakkan matanya dan wanita yang usianya sudah empat puluh tahun ini masih belum kehilangan daya tariknya. "Bagaimana ini" Bukankah dia sudah kembali ke istana Bhutan"
Tek Hoat menggelengkan kepalanya. Dia tidak suka menceritakan riwayatnya yang menyedihkan dan memalukan itu kepada orang lain, apalagi kepada seorang wanita seperti Mauw Siauw Mo-li ini. Maka dia menjawab singkat, "Aku pergi dari Bhutan, dia menyusul dan tertawan oleh Hwa-i-kongcu, akan dipaksa menjadi isterinya."
Mauw Siauw Mo-li mengangguk-angguk, akan tetapi di dalam hatinya merasa heran sekali. Dia mendengar bahwa pemuda ini telah menjadi mantu raja, berarti sudah memperoleh kedudukan yang mulia, akan tetapi mengapa sekarang berkeliaran lagi ke sini dan wajahnya begitu murung" Sungguh dia tidak mengerti sama sekali, akan tetapi dia pun tidak berani mendesak karena tahu bahwa pemuda yang tampan dan lihai ini mempunyai watak yang amat aneh.
Demikianlah, Tek Hoat dan Mauw Siauw Mo-li lalu bersama Yang-liu Nio-nio dan semua sisa anak buah Hek-eng-pang pergi ke lembah yang menjadi sarang Kui-liong-pang dan atas usul Tek Hoat yang melihat keadaan di situ, Mauw Siauw Mo-li lalu mempergunakan senjata peledaknya untuk membobolkan tempat itu sehingga air sungai menyerbu lembah melalui terowongan yang juga telah diledakkan.
Kini mereka bertiga memandang dengan hati puas ke bawah, ke arah lembah yang kebanjiran itu sehingga seluruh penghuni dan para tamunya harus bergegas menyelamatkan diri dengan perahu-perahu dan rakit-rakit darurat. Setelah itu, tanpa berkata apa-apa lagi Tek Hoat lalu membalikkan tubuh sambli berkata, "Aku pergi!"
"Terima kasih, dan kami akan menyebar anak buah kami untuk menyelidiki di mana adanya pengantin puteri itu!" kata Yang-liu Nio-nio. Tek Hoat tidak menjawab dan terus berkelebat pergi.
"Nanti dulu, Ang-sicu!" Bayangan lain juga berkelebat pergi dan ternyata Mauw Siauw Mo-li mengejarnya.
Tek Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi dia membalik dan memandang tokoh sesat itu sambil bertanya, "Engkau mau apa"
"Ang-sicu, tiga hari yang lalu ketika aku meninggalkan Lok-yang menerima undangan muridku, ketika aku tiba di dusun Khun-kwa aku berpapasan dengan seorang gadis yang bertanya-tanya kepada orang-orang di jalan tentang seorang kakek yang membawa seorang gadis dengan paksa. Aku merasa curiga kepada gadis itu karena aku merasa seperti pernah melihatnya, maka aku bersembunyi dan mengintai. Ketika aku mendengar gadis itu menceritakan ciri-ciri gadis yang dibawa dengan paksa oleh kakek itu, aku teringat bahwa gadis yang diculik itu tentulah gadismu yang dahulu kau pertahankan mati-matian, yaitu Syanti Dewi."
Tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sekali dan wajahnya memancarkan harapan baru. Dia melangkah dekat dan bertanya, "Mo-li, siapa yarg menculik dia"
Wanita itu tersenyum lebar dan memang dia masih manis sekali. "Mana aku tahu" Akan tetapi, kalau kau mau pergi bersama aku mencarinya, mungkin saja kita dapat menemukan gadis itu dan dari dia kita tentu akan dapat tahu siapa yang menculik puterimu itu. Dengan kerja sama antara kita, apa pun akan dapat kita lakukan dengan berhasil, bukan"
Tek Hoat yang amat mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya, tidak dapat menolak dan berkata singkat, "Baiklah, mari kita pergi!"
Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan berjalan pergi di samping pemuda tampan itu, menoleh dan berkata kepada muridnya, "Engkau bawa anak buahmu menyingkir dan bersembunyi dulu sebelum mendapatkan tempat baru yang baik. Aku pergi dulu!"
Maka berangkatlah wanita cantik yang hatinya sejak dahulu memang sudah tergerak oleh ketampanan dan kegagahan Tek Hoat ini bersama Tek Hoat yang terpaksa menerimanya sebagai teman seperjalanan dalam usahanya mencari kembali Syanti Dewi yang lenyap.
*** () *** Biarpun yang mereka tumpangi hanya sebuah rakit yang terbuat dari kayu dan bambu yang diikat secara kasar dan tergesa-gesa, namun karena yang memegang dayung adalah Kian Lee dan Liang Wi Nikouw, maka rakit itu dapat meluncur cepat, memasuki sungai bersama dengan orang-orang lain yang berserabutan meloloskan diri dari ancaman air yang membanjiri lembah. Banyak perahu dan rakit yang bermacam-macam terapung di situ. Di depan rakit mereka meluncur perahu besar yang ditumpangi oleh rombongan Boan-wangwe yang memang menggunakan perahu besar yang oleh anak buahnya sudah dipersiapkan itu. Tentu saja dengan cara "membeli" dari anak buah Kui-liong-pang. Dalam keadaan ribut-ribut itu pun pengaruh dan kekuasaan uang masih nampak sehingga rombongan yang kaya raya ini masih mampu memperoleh perahu yang terbesar dan terbaik dengan cara menyogok bagian pengurus perahu-perahu dari Kui-liong-pang.
Tentu saja para tamu yang tidak pernah melihat dan mengenal Cui Lan dan Hok-taijin, tidak memperhatikan empat orang di atas rakit itu, yang mereka anggap juga tamu-tamu yang sama-sama melarikan diri.
"Minggir....!" Seruan yang keras sekali ini terdengar dari belakang rakit!
Suma Kian Lee, Liang Wi Nikouw, Cui Lan dan Hok-taijin terkejut dan memandang sebatang balok besar yang meluncur dengan cepatnya ke arah mereka dari belakang. Di atas balok besar ini duduk Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, si perampok tunggal yang tinggi besar dan tangannya memegang sebatang golok besar yang menyeramkan karena golok ini di dekat punggungnya mempunyai sembilan buah lubang dan di gagang golok dipasangi tali panjang yang melibat-libat lengan kakek itu.
Melihat betapa balok yang ditumpanginya itu hampir menabrak rakit di depannya, si Golok Sakti ini cepat menggunakan kakinya mendorong rakit Kian Lee sehingga rakit itu menjadi miring hampir terbalik! Cui Lan menjerit dan Hok-tai jin cepat memeluk gadis itu dan karena ini maka keduanya terguling-guling di atas permukaan rakit! Mereka tentu terlempar ke air kalau saja Kian Lee tidak cepat-cepat menggunakan tangan kanannya menepuk air sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang amat hebat. Air muncrat tinggi dan rakit itu seperti terdorong oleh tenaga raksasa, menjadi tegak kembali sehingga Hok-taijin dan Cui Lan tidak jadi terlempar ke air karena mereka sudah berhasil berpegang pada bambu rakit.
Akan tetapi, air yang muncrat tadi mengenai beberapa orang anak buah Boan-wangwe yang mendayung perahu besar di depan. Mereka berteriak-teriak kaget dan kesakitan ketika air yang muncrat itu mengenai muka mereka karena terasa seperti jarum-jarum menusuk dan panas sekali! Marahlah beberapa orang itu dan seorang di antara mereka yang merupakan tukang pukul dari Boan-wangwe dan tentu saja memiliki kepandaian yang lumayan, memaki dan meloncat ke arah rakit di sebelah. Akan tetapi pada saat itu nampak sinar hitam meluncur dan sinar seperti tali panjang itu mengenai kaki orang yang meloncat, terus membelit kaki itu dan ketika benda panjang hitam itu bergerak, tubuh orang itu terlempar kembali ke atas papan perahu besar di mana dia bengong terlongong memandang gadis berpakaian hitam yang berada di atas sebuah perahu kecil dan gadis itu menyimpan kembali ular panjang yang melingkar di lengannya. Orang tadi terlalu kaget, terlalu ngeri karena tahu bahwa dia tadi dilemparkan kembali oleh gadis itu dengan menggunakan ular panjang yang mengerikan itu!
Sebelum orang-orangnya Boan-wangwe dapat melampiaskan kemarahan mereka, rakit Kian Lee sudah meluncur melewati perahu besar itu, dan ketika Kian Lee memandang, dia melihat gadis berpakaian hitam yang dia ingat bukan lain adalah Hwee Li, tersenyum kepadanya. Dia mengangguk untuk menyatakan terima kasihnya dan mempercepat dayungnya sehingga rakit itu meluncur cepat meninggal perahu besar di mana orang-orangnya Boan-wangwe masih memandang marah. Akan tetapi tetap saja dia tidak dapat menyamai kecepatan perahu Hwee Li yang meluncur seperti terbang di permukaan air sungai dan sebentar saja sudah lenyap jauh di depan.
Ketika Kian Lee melihat bahwa perahu besar milik Boan-wangwe itu kini juga melaju pesat dengan menambah barisan pendayung, dia cepat-cepat minggirkan rakitnya sampai jauh agar perahu besar itu lewat lebih dulu karena dia tidak ingin ribut-ribut di situ, apalagi tanpa sebab-sebab yang patut diributkan.
Yang penting baginya adalah menyelamatkan Cui Lan dan Hok-taijin dan sekarang mereka telah berhasil diselamatkan, maka dia tidak boleh mencari perkara lagi sebelum kedua orang ini dapat dia antarkan sampai ke daerah Ho-pei.
Mereka menumpang di atas rakit sejak semalam sampai pada keesokan harinya dan baru setelah menjelang sore, Kian Lee menghentikan rakitnya di sebuah dusun nelayan di tepi sungai. Mereka lalu mendarat dan mencari sebuah warung nasi untuk mengisi perut karena mereka berempat sudah merasa lapar sekali.
Mereka memasuki sebuah warung yang cukup besar, akan tetapi keadaan di warung itu sunyi sekali, padahal dusun itu cukup ramai karena merupakan pasar ikan. Setelah mengambil tempat duduk dan memesan makanan, tentu saja masakan sayur tanpa daging untuk Liang Wi Nikouw, Kian Lee melepaskan pandang matanya ke sekelilingnya dan baru dia melihat bahwa tempat itu baru saja mengalami keributan. Masih banyak meja kursi yang patah-patah ditumpuk di pinggir, juga mangkok piring yang pecah. Teman-temannya juga melihat ini dan mereka menduga-duga apa yang telah terjadi di warung ini. Ketika pelayan datang mengantar makanan yang mereka pesan, Kian Lee bertanya, "Eh, Lopek, apakah yang telah terjadi maka banyak meja kursi hancur dan mangkok piring pecah-pecah" Dia menuding ke arah tumpukan barang-barang rusak itu.
"Aihhh, kami mengalami hari sial kemarin, Kongcu," kata pelayan itu. "Tidak saja barang-barang rusak, akan tetapi sejak peristiwa yang terjadi kemarin, warung kami menjadi sepi karena tidak ada orang berani makan di sini. Baru Kongcu berempat saja yang berani makan di sini dan itulah rejeki kami."
"Eh, apakah yang terjadi" Kian Lee makin tertarik.
"Kemarin seperti biasa, orang-orang dari Boan-wangwe yang biasa mengumpulkan hasil ikan di dusun ini, sebanyak sepuluh orang, makan di sini. Mereka itu memang orang-orang kasar, akan tetapi Boan-wangwe selalu membayar apa yang mereka makan maka kami pun melayani dengan senang hati. Tiba-tiba masuk pula serombongan tentara yang jumlahnya belasan orang. Tentu saja kami makin sibuk dan kekurangan tenaga untuk melayani terlalu lama, kedua rombongan itu berebut minta didahulukan dan terjadilah pertempuran di sini antara mereka. Wah, bukan main ramainya sampai meja kursi hancur dan mangkok piring beterbangan dan pecah-pecah. Akhirnya fihak tentara itu mengundurkan diri dan pergi. Kami tentu akan mohon kebijaksanaan Boan-wangwe untuk mengganti kerugian kami, akan tetapi ternyata Boan-wangwe sedang pergi entah ke mana."
Hok-taijin tentu saja tertarik sekali mendengar adanya sepasukan tentara. Tentara siapakah itu" Kalau tentara dari Gubernur Ho-nan, berarti dia masih dikejar-kejar dan dicari-cari sampai di sini.
"Tahukah engkau tentara dari propinsi mana mereka itu" tanyanya kepada si pelayan.
"Mana saya tahu" Tentu saja tentara pemerintah, entah dari propinsi mana."
"Apakah fihak tentara itu kalah" Kian Lee bertanya lagi karena dia tahu bahwa orang-orang dari Boan-wangwe seperti mereka yang berada di atas perahu besar semalam, adalah orang-orang yang pandai ilmu silat.
"Sebetulnya sih masih ramai, entah fihak mana yang menang atau kalah karena kami hanya berani menonton sambil bersembunyi. Tentu akan terjadi hal-hal mengerikan dan tentu akan banyak yang mati karena mereka mulai mengeluarkan senjata tajam masing-masing. Baiknya ketika mereka sudah mulai menggerakkan senjata, muncul seorang pendekar yang melerai. Bukan main pendekar ini, tubuhnya terbang seperti burung dan semua senjata itu dirampasnya! Sambil bergerak merampas senjata dia berseru agar mereka menghentikan pertempuran. Dia hanya datang, bergerak merampas senjata, lalu pergi lagi, menghilang begitu saja sehingga kami tidak lagi dapat atau sempat melihat mukanya. Yang tampak hanya rambutnya yang sudah putih semua, padahal dia masih muda dan...."
"Siluman Kecil!" Cui Lan menjerit tanpa disadarinya dan dia bangkit berdiri sampai sepasang sumpitnya terjatuh ke atas lantai.
"Benar....!" kata Liang Wi Nikouw sambil memandang Cui Lan. Gadis ini segera sadar kembali dan menjadi tersipu-sipu, cepat mengambil kembali sepasang sumpitnya membungkuk dan ketika dia membersihkan sepasang sumpit itu, mukanya menjadi merah sekali.
"Munculnya pendekar itu menghentikan pertempuran dan para perajurit itu lalu pergi, demikian pula orang-orangnya Boan-wangwe tidak berani melanjutkan pertempuran setelah melihat betapa senjata-senjata mereka demikian mudahnya dirampas pendekar itu. Sedangkan para perajurit itu menurut kabar bermalam di dusun ini danheiii, itulah mereka!
Mereka datang lagi ke sini....!" Pelayan itu cepat pergi meninggalkan tamunya untuk masuk ke dalam dan melapor kepada majikannya tentang kedatangan para perajurit yang kemarin itu.
Dia tidak tahu bahwa empat orang tamunya itu pun terkejut sekali dan Kian Lee bersama Liang Wi Nikouw sudah bersiap-siap untuk melawan kalau pasukan itu ternyata anak buah Gubernur Ho-nan. Akan tetapi ketika rombongan itu sudah memasuki warung dan dipimpin oleh seorang perwira yang sudah setengah tua, tiba-tiba Hok-taijin berseru girang.
"Ciangkun, ke sinilah!" teriaknya kepada perwira itu.
Perwira setengah tua itu terkejut, menoleh dan sejenak dia memandang kepada Hok-taijin dengan melongo. Akan tetapi akhirnya dia pun mengenal gubernurnya dan cepat dia maju berlutut dan memberi hormat. "Ah, Taijin! Siapa kira hamba dapat bertemu dengan Taijin di sini!" serunya dengan girang. Semua anak buahnya ketika mengenal pula bahwa kakek berpakaian petani yang berdiri di depan mereka itu bukan lain adalah Hoktaijin, segera berlutut pula memberi hormat.
Perwira itu dipersilakan duduk dan dia bercerita bahwa pasukannya mendapat perintah dari atasannya untuk mencari-cari Gubernur Hok yang kabarnya lenyap ketika mengiringkan Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar ke Propinsi Ho-nan.
"Semua pasukan disebar, akan tetapi tidak juga berhasil," perwira itu berkata. "Siapa tahu, di tempat yang tidak kami sangka-sangka sama sekali ini, hamba berjumpa dengan Taijin." Perwira itu berhenti sebentar untuk menenangkan jantungnya yang berdebar penuh ketegangan setelah dia bertemu dengan gubernur yang dicari-carinya dengan susah payah itu. "Marilah Taijin, hamba antar Taijin kembali pulang. Apakah Taijin ingin naik kereta, ataukah kuda"
"Cui Lan, apakah engkau biasa menunggang kuda" Kalau tidak biasa, biar kita naik kereta saja," tanya Hok-taijin kepada Cui Lan. Gadis itu tadinya melamun, karena pikirannya masih tertarik oleh berita tentang Siluman Kecil yang muncul di dusun ini. Betapa ingin dia berjumpa dengan pendekar yang dipujanya itu. Betapa besar rasa rindu di hatinya ingin memandang wajahnya, mendengar suaranya, merasakan sinar matanya yang aneh tapi lembut.
"Eh.... saya.... hemmm, saya pun biasa naik kuda...." jawabnya gagap.
"Bagaimana kabarnya dengan Pangeran Yung Hwa, Ciangkun" Suma Kian Lee bertanya. Perwira itu memandang kepada Hok-taijin dan pembesar ini mengangguk.
"Kau boleh menceritakan apa pun juga kepada Suma-taihiap ini," katanya. "Kalau tidak ada dia dan nona ini dan nikouw ini, kiranya engkau hanya dapat menemukan mayatku."
Perwira itu terkejut dan cepat memberi hormat kepada mereka bertiga, kemudian menjawab kepada Kian Lee, "Kami tidak mendengar berita tentang Pangeran Yung Hwa. Tidak ada kabar apa-apa dan kami tidak ada yang berani melapor ke kota raja sebelum gubernur pulang."
Kian Lee lalu berkata kepada gubernur itu, "Hok-taijin, kalau begitu sungguh mengkhawatirkan sekali keadaan Pangeran Yung Hwa. Sekarang, Taijin telah bertemu dengan pasukan Taijin, maka kiranya tidak perlu lagi saya mengantar sampai ke ibu kota. Tentu daerah ini termasuk Propinsi Ho-pei dan Tai jin telah berada di daerah sendiri. Biarlah Taijin dan Nona Phang dikawal oleh pasukan, sedangkan saya sendiri hendak menyelidiki keadaan Pangeran Yung Hwa...."
Pada saat itu, Kian Lee memandang kepada Cui Lan dan kebetulan sekali gadis ini pun memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, bertaut sebentar dan Kian Lee melihat, dengan jelas betapa gadis itu merasa amat berat untuk berpisah, agaknya tidak senang untuk ikut bersama pembesar itu ke istana gubernur. Mengapa" Dia merasa heran sendiri. Betapapun juga, dia merasa amat suka dan kagum kepada gadis ini, dan tentu saja rasa suka ini membuat dia pun merasa tidak senang untuk saling berpisah. Akan tetapi, tidak mungkin mereka akan terus berkumpul. Tak mungkin! Dia tidak tahu bahwa memang Cui Lan sebetulnya ingin terus bersama dengan dia untukmencari Siluman Kecil.
"Benar, dan pinni pun harus kembali," kata Liang Wi Nikouw.
"Suthai...." Cui Lan berkata akan tetapi ditahannya.
Nikouw yang sudah tua dan bijaksana ini dapat menangkap apa yang terkandung dalam hati gadis itu, maka dengan tenang dia berkata, "Engkau ingin agar pinni menyampaikan kepada dia bahwa engkau ikut bersama Hok-taijin ke Ho-pei, Nona"
Kedua pipi gadis itu menjadi merah, matanya menjadi basah. Dia mengangguk dan menggumam, "Terima kasih, Suthai.... "
Kian Lee dan Liang Wi Nikouw lalu berpamit dan segera mereka berpisah dan meninggalkan tempat itu, dlikuti pandang mata Hok-tai dan Cui Lan.
"Suma-taihiap!" Tiba-tiba kakek itu berseru memanggil. Kian Lee cepat membalik dan menghampiri kakek itu yang sudah bangkit.
"Ada pesan apa yang hendak disampaikan oleh Taijin"
Hok-taijin melangkah maju dan memegang tangan pemuda itu. "Suma-taihiap, betapa besar aku hutang budi kepadamu! Betapa inginku untuk membalas segala kebaikanmu itu. Sudikah engkau datang ke rumah kami dan menjadi tamuku yang terhormat agar kami dapat menyatakan terima kasih kami kepadamu"
Kian Lee tersenyum. Dia tahu bahwa pembesar ini, adalah seorang tua yang baik budi. "Baiklah, Taijin. Kelak, kalau sudah tidak terlalu banyak urusan yang harus kuselesaikan, saya pasti akan berkunjung kepada Taijin."
Mereka pun berpisah dan Hok-taijin lalu dikawal oleh para perajuritnya, bersama Cui Lan pergi ke rumah penginapan untuk bermalam di situ semalam sambil membuat segala persiapan. Pembesar yang bijaksana ini melihat bahwa jumlah perajurit pengawal itu hanya dua puluh orang, maka dia mengambil keputusan untuk tetap menyamar sebagai seorang petani.
Pada keesokan harinya, Hok-taijin dan pengawalnya melanjutkan perjalanan. Rombongan ini bergerak perlahan dan belum lama mereka meninggalkan kota, mereka mendengar derap kaki banyak kuda lari dari arah belakang.
Perwira pengawal memberi aba-aba agar pasukannya berhenti dan menepi, membiarkan belasan orang berkuda itu lewat. Cui Lan melihat bahwa belasan orang yang berpakaian sebagai pendekar itu tergesa-gesa lewat sehingga kuda mereka menimbulkan debu mengebul tinggi.
Cui Lan memandang kagum. Sudah banyak ia bertemu orang-orang gagah, pendekar-pendekar budiman. Sudah banyak ia menerima pertolongan para pendekar, terutama sekali dari Kian Lee yang dianggapnya seorang pemuda yang amat baiknya, paling baik di dunia ini sesudah Siluman Kecil tentunya! Dan karena dia merasa betapa setiap langkah kuda yang ditungganginya itu makin menjauhkan dia dari dusun di mana Siluman Kecil pernah muncul, hatinya merasa sedih.
Tak lama kemudian, kembali terdengar derap kaki kuda dari belakang. Ketika mereka menoleh, kelihatan tiga ekor kuda membalap dari belakang. Perwira itu menyerukan aba-aba agar semua kuda berhenti karena jalan itu sempit, agar tiga orang yang datang membalapkan kuda itu dapat lewat lebih dulu. Mereka berhenti dan memandang tiga orang penunggang kuda yang bertubuh tegap itu. Kuda terdepan ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar yang memboncengkan seorang anak laki-laki di depannya.
"Heiiiii.... Enci Lan....!!" Tiba-tiba anak itu berseru. Tiga orang penunggang kuda itu menoleh dan mereka pun melihat Cui Lan, lalu mereka menahan kuda mereka.
"Ah, kiranya engkau, Hong Bu....!" Cui Lan berseru girang sekali dan cepat dia turun dari kudanya. Tiga orang laki-laki itu bukan lain adalah Sim Hoat, Sim Tek, dan Sim Kun tiga orang pemburu di tengah hutan yang pernah menolong Cui Lan, dan anak itu adalah Sim Hong Bu, putera dari Sim Hoat.
"Sam-wi Twako, kalian baik-baik saja" Cui Lan menegur dan tiga orang itu menjura kepada Cui Lan, juga kepada Hok-taijin yang mereka tahu adalah seorang sahabat dari nona ini. Mereka menghormati Cui Lan yang mereka anggap sebagai sahabat baik dari Siluman Kecil.
"Terima kasih, Nona," jawab Sim Kun, saudara termuda yang paling ramah dan pandai bicara dibandingkan dengan dua orang kakaknya yang kasar dan kaku.
"Eh, kalian hendak ke manakah" Kelihatan tergesa-gesa amat. Dan siapa pula mereka yang tadi melewati kami" Ada belasan orang berkuda yang juga kelihatan tergesa-gesa melewati kami menuju ke depan," Cui Lan bertanya.
Mendengar ini, Sim Hoat tertawa girang. "Ha-ha, kiranya saudara-saudara kita pun sudah berangkat!" katanya kepada dua orang adiknya yang juga kelihatan gembira.
"Sebetulnya ada urusan apakah" Cui Lan bertanya lagi, penuh perhatian tentu saja karena orang-orang ini termasuk sahabat-sahabat dari Siluman Kecil dan dia justeru mengharapkan berita dari Siluman Kecil! Kini Hok-taijin juga sudah turun dari kudanya dan ikut mendengarkan, sedangkan para perajurit tetap menanti di atas kuda sambil berjaga-jaga karena mereka itu betapapun juga merasa curiga terhadap tiga orang yang kelihatannya kasar-kasar seperti gerombolan perampok itu. Heran sekali mereka melihat gubernur mereka dan gadis yang cantik itu dan yang diperkenalkan oleh sang gubernur sebagai anak angkatnya kelihatan begitu bebas bergaul dengan segala macam orang kasar seperti tiga orang penunggang kuda itu.
"Kami hendak membantu penolong kami, Pendekar Siluman Kecil."
"Ehhhhh...." Cui Lan berseri wajahnya dan dia maju selangkah. "Apa yang terjadi" tanyanya penuh gairah.
"Kami hanya mengetahui urusan itu sebagai kabar angin saja, akan tetapi bagaimanapun juga, kami ingin membantu beliau," kata Sim Kun. "Entah benar entah tidak kabar angin itu, kami pun tidak tahu."
"Ceritakanlah, kami ingin sekali mendengarnya, bukan Gi-hu" Cui Lan menoleh kepada ayah angkatnya dengan sinar mata penuh permohonan. Kakek itu mengangguk. Betapapun juga, ketika dikejar oleh tentara Ho-nan, dia dan Cui Lan telah ditolong oleh para pemburu ini pun berkat nama Siluman Kecil, pikirnya.
"Menurut kabar angin di antara kawan-kawan yang seperti semacam dongeng tentang diri Siluman Kecil, lima tahun kurang lebih yang lalu, di dalam pengembaraannya, beliau bertemu dengan musuh yang amat sakti yang tinggal mengasingkan diri di atas bukit di depan sana. Orang sakti itu tinggal bersama muridmuridnya dan pelayan-pelayannya yang kesemuanya juga lihai-lihai sekali. Dan menurut dongeng itu, kabarnya orang sakti ini adalah pewaris dari ilmu-ilmu pendekar sakti Suling Emas ratusan tahun yang lalu. Entah apa sebabnya, lima tahun yang lalu tecjadi pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dan orang sakti itu, dan kabarnya beliau terluka parah oleh suling sakti dari lawan itu dan hampir saja beliau tewas. Akan tetapi beliau dapat diselamatkan dan diobati oleh seorang pendeta wanita, dan biarpun dapat sembuh, namun luka-luka hebat itu membuat rambut beliau menjadi putih semua! Nah, kabarnya beliau membuat perjanjian dengan orang sakti itu untuk saling mengadu ilmu lagi lima tahun kemudian dan hari ini adalah hari perjanjian itu. Kami yang berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil, tidak dapat berdiam diri saja dan kami semua beramai-ramai pergi ke tempat itu untuk membantu beliau."
Setelah selesai bercerita, cerita yang seperti dongeng dan yang hanya mereka dengar sepotong-sepotong itu, hati Cui Lan ingin sekali ikut bersama mereka untuk menyaksikan pertandingan itu, atau sesungguhnya lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa ia ingin pergi untuk menjumpai orang yang dipujanya itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani dan malu untuk menyatakan hal ini kepada ayah angkatnya. Maka ketika tiga orang bersama anak laki-laki itu berpamit untuk melanjutkan perjalanan mereka, Cui Lan melangkah maju beberapa tindak mengikuti mereka sampai ke tempat mereka menambatkan kuda mereka. Air matanya membasahi bulu matanya, ketika dia mendengar mereka berpamit lagi dan melompat ke atas kuda mereka.
"Selamat tinggal, Enci Cui Lan!" terdengar Hong Bu berteriak.
Cui Lan yang tadinya menunduk untuk menyembunyikan air matanya, kini berdongak mendengar seruan suara Hong Bu. Terkejutlah dia ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sim Kun yang ternyata masih berada di situ dan memandangnya dengan sinar mata aneh, lembut, hangat dan mesra! Cui Lan terkejut dan gugup, cepat dia membalikkan tubuhnya dan dia mendengar Sim Kun berkata, "Selamat berpisah sampai jumpa kembali!" lalu terdengar derap kaki kuda dilarikan cepat ke depan.
Mereka melanjutkan perjalanan dan Cui lan kelihatan termenung. Melihat ini, Hok-taijin bertanya, "Anakku, kenapa kau kelihatan diam" Apakah engkau masih terkesan oleh cerita tadi"
Memperoleh kesempatan itu Cui Lan lalu berkata, "Benar sekali, Gi-hu. Gi-hu tentu tahu mengapa orang-orang kasar itu sampai begitu setia, mereka semua telah berhutang budi kepada Pendekar Siluman Kecil. Saya pun hutang nyawa, bahkan lebih dari itu kepadanya, dan mendengar dia hendak bertanding melawan orang sakti, sayasaya ingin sekali menonton, Gi-hu."
Hok-taijin mengerutkan alisnya. "Hemmm, berbahaya sekali, Cui Lan. Orang-orang yang tidak mempunyai kepandaian silat seperti kita ini, apa gunanya bagi dia" Tidak dapat membantu seperti para pemburu itu, bahkan kita terancam bahaya maut. Jangan khawatir, kalau kita sudah tiba di rumah, aku akan mengirim utusan mengundang Pendekar Siluman Kecil dengan hormat agar sudi berkunjung ke rumah kita."
Terhibur juga hati Cui Lan mendengar janji ini, sungguhpun hatinya masih ingin sekali untuk pergi ke bukit itu. Akan tetapi, selain tidak berani memaksa, juga dia merasa malu terhadap ayah angkatnya dan para perajurit, maka dia melanjutkan perjalanan itu dengan diam saja dan termenung.
Lewat tengah hari, udara panas sekali dan Hok-taijin mengajak mereka beristirahat di sebuah lapangan terbuka dekat hutan di kaki bukit yang penuh dengan hutan-hutan besar. Perwira itu lalu mengeluarkan perbekalan dan Hok-taijin dan Cui Lan lalu makan. Lezat bukan main makan di tempat terbuka itu, sungguhpun yang dimakan hanya roti kering dan daging panggang dibantu oleh air jernih. Setelah keduanya selesai makan, Hok-taijin memberi kesempatan kepada para pengawalnya untuk makan pula. Kakek ini duduk bersandar pohon dan segera terasa kantuk datang menyerangnya ketika tubuh lelah perut kenyang itu dihembus angin sejuk.
Cui Lan berjalan-jalan di sekitar tempat itu mencari kembang. Mendadak dia mendengar suara orang bersenandung, suara yang amat merdu dan gembira. Ketika dia menuju ke tempat itu, dia melihat seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian serba hitam dan ringkas, pakaian yang ketat memperlihatkan bentuk tubuhnya yang padat dan indah, sedang duduk di antara rumput-rumput hijau dan rebah terlentang sambil bersenandung.
Cui Lan ingin pergi lagi karena dia tidak ingin mengganggu orang yang sedang beristirahat dengan enaknya itu, akan tetapi tiba-tiba ada sinar hitam menyambar di dekat kakinya. Ketika dia melihat ke bawah, hampir dia menjerit karena ternyata bahwa sinar hitam itu adalah seekor ular yang hitam panjang dan yang kini berada di depan kakinya dengan kepala terangkat dan bergoyang-goyang seperti menari-nari, atau seperti memberi isyarat kepadanya agar jangan pergi!
Cui Lan memandang dengan muka pucat, akan tetapi memang pada dasarnya gadis ini seorang yang tabah. Dia tidak jadi menjerit dan perlahan-lahan dia menggeser kakinya untuk menjauhi.
"Hi-hik, si Hek-coa (Ular Hitam) itu suka kepadamu dan dia ingin agar kau duduk di sini bercakap-cakap dengan aku!"
Cui Lan cepat menoleh dan dia melihat gadis berpakaian hitam tadi sudah duduk dan tersenyum. Bukan main cantiknya! Baru sekarang dia melihat betapa gadis itu mempunyai kecantikan yang luar biasa, cantik jelita dan manis sekali, apalagi kini sedang tersenyum. Dia memandang kagum dan melihat gadis berpakaian hitam dan ular yang kini melilit lengan gadis itu, teringatlah dia akan gadis di dalam perahu yang telah melempar kembali orang dari perahu besar yang meloncat ke rakit mereka.
"Kau.... bukankah kau gadis dalam perahu...."
Gadis itu memang Hwee Li adanya. Dia mengangguk dan menepuk rumput di dekatnya. "Duduklah di sini, enak, lunak seperti duduk di kasur saja. Jangan takut, ularku ini tidak jahat. Aku melihat engkau bersama rombongan perajurit dan si orang tua, akan tetapi mana pemuda yang bersamamu di perahu itu"
"Ah, dia sudah pergi...." Cui Lan menahan kata-katanya karena dia tidak hendak bercerita tentang urusan Pangeran Yung Hwa kepada seorang asing. Lalu cepat disambungnya dengan pertanyaan, "Engkau siapakah" Aneh sekali seorang gadis cantik seperti engkau bermain-main dengan seekor ular seperti itu."
"Seekor" Ada dua! Lihat di atasmu!"
Cui Lan mengangkat mukanya dan dia menahan jeritnya ketika melihat seekor ular yang amat panjang, bergantung di cabang pohon dengan ekornya dan kini kepala ular itu dekat sekali di atas kepalanya! Bahkan lidah yang merah itu hampir menjilat-jilat dahinya!
Hwee Li tertawa dan dengan gerakan tangan dia membuat ular itu menarik diri lagi ke atas cabang dan ular yang di lengannya itu pun dia suruh pergi merayap naik ke atas pohon, berkumpul dengan temannya.
"Namaku Kim Hwee Li. Kau juga cantik manis, siapa namamu, Enci"
"Namaku Phang Cui Lan." Cui Lan merasa suka kepada gadis itu dan duduk di atas rumput. Memang enak sekali duduk di situ, rumputnya tebal dan lunak seperti kasur dan tempat itu sejuk di bawah pohon besar. "Hwee Li nama yang indah sekali. Mengapa kau berada di sini seorang diri saja, Hwee Li" Seorang gadis seperti engkau seorang diri saja, sungguh aneh."
"Apa anehnya" Memang aku hanya sendiri saja di dunia ini, eh, tidak sendiri, melainkan bertiga dengan sepasang ular hitamku itu. Aku ingin nonton keramaian di bukit sana."
Cui Lan terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. "Kaumaksudkan.... keramaian.... pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dengan orang sakti...."
Kini Hwee Li yang terkejut. "Apa" Kau tahu pula tentang itu" Kau kenal Siluman Kecil"
Cui Lan mengangguk. "Tentu saja aku mengenalnya," dan pandang matanya kini merenung, membayangkan pendekar itu.
"Benarkah" Hebat! Namanya sudah tersohor di seluruh daerah ini, dan kau seorang gadis yang lemah telah mengenalnya! Kau lebih aneh dari aku, Cui Lan! Kau seorang lemah akan tetapi kenalanmu pemuda-pemuda hebat! Baru yang di perahu itu saja sudah hebat, sekarang kau bilang kenal dengan Siluman Kecil! Kau benar-benar membuat aku merasa iri."
Terpaksa Cui Lan tersenyum mendengar ini. Gadis ini sikapnya seperti telah menjadi sahabatnya selama bertahun-tahun saja, demikian ramah dan akrab. Seketika timbul rasa sayang di dalam hatinya. "Ah, Hwee Li, seorang gadis seperti engkau ini, yang cantik seperti Dewi Kwan Im, apa sih sukarnya kalau hendak berkenalan dengan pemuda-pemuda yang paling hebat di dunia ini"
"Benarkah" Eh, orang macam apa sih sebetulnya Siluman Kecil itu"
"Orang macam apa...." Cui Lan menengadah dan memejamkan matanya. Terbayang wajah pemuda pendekar itu dan dia menarik napas. "orang yang hebat....! Seorang pendekar yang masih amat muda, akan tetapi rambutnya telah putih semua, seperti benang-benang perak halus mengkilap...."
"Hemmm, kau makin menambah keinginanku untuk nonton pertandingan itu. Kabarnya malam ini Siluman Kecil akan muncul dan melawan Sin-siauw Seng-jin di puncak bukit itu."
"Sin-siauw Seng-jin" Siapakah dia"
"Seorang tokoh yang maha sakti. Seorang yang terasing akan tetapi seluruh tokoh dunia kang-ouw tidak ada yang berani mengganggunya, dan kabarnya dia hidup seperti dewa. Hemmm, aku berani bertaruh potong leher...."
"Potong leher" Cui Lan terkejut.
"Nanti dulu, belum habis. Leher ayam maksudku! Siluman Kecil sekali ini tentu akan jatuh namanya. Mana mungkin dia bisa menang! Hi-hik, kedua ekor ularku ini paling suka minum darah, apalagi kalau darah orang sakti seperti Siluman Kecil itu. Hemmm, mereka tentu akan senang sekali."
Pucat wajah Cui Lan. "Apa.... apa.... maksudmu...."
"Hi-hik, pandang matamu begitu ketakutan dan ngeri seperti seekor kelinci. Ah, memang matamu indah sekali, Cui Lan, seperti mata kelinci! Jangan khawatir, aku tidak akan mencampuri urusan mereka, akan tetapi aku tahu bahwa pasti Siluman Kecil akan tewas dan ularularku akan menikmati darahnya kalau dia sudah roboh."
"Ihhh.... kau.... kau kejam sekali!" Cui Lan bangkit berdiri, sepasang matanya menyinarkan api dan kedua pipinya merah, telunjuknya menuding ke arah muka Hwee Li. "Kau sungguh kejam, dan aku.... aku akan menggunakan batu menghancurkan kepala dua ekor ular-ularmu kalau mereka beralni melakukan hal itu!"


Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ehhh...." Hwee Li memandang dengan mata terbelalak. "Wah.... kau cinta padanya, hi-hik! Kau cinta padanya!"
Lemas lagi rasa tubuh Cui Lan dan dia menjatuhkan diri di atas rumput. Dia mengangguk. "Aku memang cinta padanya...."
"Kalau begitu, mengapa tidak nonton bersama aku" Dengan adanya kekasihnya di sana, hal itu akan membesarkan hatinya!"
"Aku bukan kekasihnya, jangan bicara seperti itu, Hwee Li."
"Ihhh" Bagaimana sih kau ini" Baru saja kau mengaku cinta padanya dan kau tidak mau kusebut kekasihnya"
"Aku cinta padanya, memang, dengan sepenuh jiwa ragaku. Akan tetapi apakah dia cinta padaku.... hemmm, hal itu aku.... aku tidak tahu...."
"Hi-hik, jangan khawatir. Laki-laki mana yang tidak akan membalas cinta seorang dara seperti engkau" Dia pasti cinta padamu. Pasti! Mari kau ikut aku nonton ke sana, Cui Lan."
Cui Lan menengok ke arah rombongan ayah angkatnya. Mereka agaknya sudah berkemas dan ayahnya sudah bangkit berdiri.
"Aku.... aku tidak bisa, di sana ada ayah angkatku.... aku harus pergi bersama mereka."
"Huh, betapa tidak enaknya hidup seperti engkau ini. Hati ingin nonton ke gunung, akan tetapi kenyataannya terpaksa harus pergi. Kau seperti burung dalam sangkar saja. Dan kau gadis yang memiliki keberanian hebat sungguhpun kau lemah."
"Aku ingin sekali, akan tetapi mereka tentu melarang dan kita tidak bisa memaksa."
"Siapa bilang" Baru dua puluh orang perajurit macam itu, biar ditambah dua puluh lagi masih belum cukup untuk melawan aku!"
"Ah, aku tidak ingin kau bertempur dengan mereka. Orang tua itu adalah ayah angkatku yang amat baik."
"Kalau begitu tidak perlu bertempur. Aku dapat melarikan engkau dari sini tanpa dapat mereka kejar!"
"Benarkah" Akan tetapi aku harus berpamit! Aku tidak boleh menyusahkan hati ayah angkatku."
"Nah, berpamitlah!" Hwee Li lalu menggerakkan tangan dan dua ekor ularnya meluncur turun ke arah kedua lengannya, terus melingkar di situ. Kemudian dia mengiringkan Cui Lan berjalan menghampiri rombongan itu.
Melihat Cui Lan datang bersama seorang gadis cantik berpakaian hitam yang dikenalnya sebagai gadis yang membantu mereka di atas sungai, Hok-taijin memandang kagum, akan tetapi dia segera mengerutkan alisnya dan wajahnya berubah pucat ketika melihat dua ekor ular melingkar di kedua lengan yang putih mulus itu.
"Gi-hu, ini adalah Kim Hwee Li, seorang sahabat.... dan dia.... dia mengajak saya pergi nonton adu kepandaian di bukit. Gi-hu, perkenankanlah, dan jangan khawatlr, saya pasti akan menyusul Gi-hu.... setelah selesai nonton...."
"Akan tetapi, Cui Lan....!" Hok-taijin berkata penuh keraguan.
"Mari kita pergi, Cui Lan!" Tiba-tiba Cui Lan merasa pinggangnya dibelit sesuatu dan tubuhnya terbang ke atas! Ketika dia tidak melayang lagi, ternyata dia telah berada di atas cabang pohon, dirangkul oleh lengan Hwee Li dan ayah angkatnya bersama para perajurit berada jauh di bawah pohon besar itu!
"Pejamkan mata, kita pergi sekarang," bisik Hwee Li.
"Gi-hu, maafkan, saya pergi dulu....!"
Cui Lan berseru ke bawah dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah, jauh dari situ dan selanjutnya dia seperti terbang di atas tanah bersama Hwee Li, pinggangnya dipeluk oleh gadis yang luar biasa itu. Angin bertiup kencang membuat kedua telinganya mendengar suara gemuruh dan Cui Lan merasa ngeri. Dia mendengar suara ayahnya lapat-lapat memanggil namanya, lalu tidak mendengar apa-apa lagi kecuali suara angin bertiup kencang dan pohon-pohon berlarian cepat di kanan kirinya. Dia memejamkan matanya.
Tak lama kemudian dia mendengar suara Hwee Li, "Kita sudah jauh meninggalkan mereka. Nah, mari kita mendaki bukit itu."
Cui Lan membuka mata. Kiranya mereka telah berada di kaki bukit, di antara banyak pohon-pohon liar dan dia menengok ke sana-sini, akan tetapi sama sekali tidak melihat lagi rombongan gi-hunya, bahkan dia tidak mendengar suara mereka. Hanya suara burung yang berbondong-bondong terbang datang untuk berlindung di dalam pohon-pohon besar melewatkan malam, karena matahari telah condong ke barat.
Cui Lan memandang Hwee Li. "Engkau sungguh seorang gadis yang hebat, Hwee Li. Kiranya engkau juga seorang pendekar sakti."
"Hi-hik, enak juga dipuji orang seperti engkau. Tahukah engkau, Cui Lan, ketika aku memelukmu dan meraba tulang-tulangmu, aku mendapat kenyataan bahwa andaikata engkau mempelajari ilmu silat, agaknya engkau malah dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada aku. Bakatmu baik dan nyalimu besar."
Akan tetapi tentu saja Cui Lan menganggap kata-kata Hwee Li itu sebagai kelakar saja dan dia tidak ambil peduli. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mendaki bukit itu. Cui Lan terheran-heran melihat betapa tempat ini amat sunyi. Bukankah tadi terdapat banyak penungang kuda yang katanya juga menuju ke tempat ini" Akan tetapi mengapa di situ sunyi saja, tak pernah mereka bertemu dengan seorang manusia pun" Dengan hati-hati Hwee Li mengajaknya mendaki terus, berjalan di antara rumpun ilalang yang tinggi-tinggi, ada yang setinggi manusia.
"Hati-hati, Hwee Li...." bisik Cui Lan karena gadis ini maklum betapa berbahayanya tempat seperti itu. Kalau ada orang atau harimau bersembunyi di dalam ilalang, tentu tidak kelihatan dan mereka itu dengan mudah dapat menerkam mangaa yang lewat.
"Hik-hik, jangan khawatir, Cui Lan. Dua ekor ularku ini leblh tajam pendengarannya, penciumannya dan pandang matanya daripada seekor anjlng." Baru saja Hwee Li berkata demikian, seekor di antara dua ekor ular yang melilit di kedua lengan dara itu meluncur ke samping, memasuki rumpun ilalang dengan ekornya masih melilit lengan kiri Hwee Li. Tampak ilalang di sebelah itu bergerk-gerak keras dan terdengar suara menguik. Tak lama kemudian, kepala ular itu sudah kembali dan moncongnya yang lebar telah menggigit seekor anak babi yang telah tewas.
"Hik-hik, mengagetkan saja kau. Hayo lepas!" Hwee Li menggerakkan lengan kirinya dan ular itu melepaskan bangkai babi itu, lalu melingkar lagi di lengan Hwee Li.
Cui Lan bergidik ngeri. "Bagaimana kalau yang bersembunyi di situ tadi seorang manusia" blsiknya.
"Ularku tahu dengan nalurinya. Kalau manusia itu berniat busuk, tentu digigit dan dibunuhnya. Sekali gigitan saja membuat racun yang mematikan membunuh orang itu, akan tetapi kalau orang itu tidak mempunyai niat jahat, ular-ularku pun tidak mau sembarangan membunuh orang tanpa perintahku."
Hari telah menjadi gelap ketika mereka tiba di puncak bukit. Akan tetapi bulan segera muncul dari balik bukit di sebelah timur dan sinarnya cukup menerangi tempat itu. Cui Lan dan Hwee Li duduk di atas batu dan memandang ke depan. Di puncak itu, di antara batu-batu gunung yang besar-besar, berdiri sebuah bangunan kuno yang kelihatan megah dan angker. Di sekeliling rumah itu sunyi saja, tidak terdengar apa-apa dan bahkan tidak ada sedikit pun lampu penerangan, seolah-olah bangunan itu adalah sebuah rumah kuno yang kosong tidak dihuni orang.
"Agaknya kosong...." Cui Lan berkata.
"Sssttttt.... mari kita mendekat dan setelah kita nanti bersembunyi, kau tidak boleh mengeluarkan suara, tidak boleh berisik, Hwee Li berbisik. Cui Lan mengangguk, jantungnya berdebar tegang karena sikap Hwee Li yang begitu berhati-hati mendatangkan ketegangan di dalam hatinya. Sikap gadis perkasa itu membayangkan bahwa mereka berada di tempat yang aneh dan berbahaya sekali.
Mereka merangkak dan setelah dekat dengan rumah besar itu, mereka bersembunyi di balik batu besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat dengan jelas ke arah pintu depan gedung kuno itu. Bulan makin naik tinggi dan sinarnya yang keemasan membuat tempat itu indah sekali dan tentu amat menyenangkan kalau saja suasananya tidak begitu menyeramkan.
Malam makin larut dan Cui Lan mulai menggigil kedinginan. "Telan ini...." Hwee Li berbisik dan menyerahkan sebutir pil kuning. Cui Lan menelannya dan pil itu terasa manis dan harum. Tak lama kemudian tubuhnya terasa hangat sekali seolah-olah dia baru saja minum beberapa cawan arak. Dia menyentuh tangan Hwee Li dengan rasa terima kasih dan dara berpakaian hitam itu tersenyum. Giginya berkilat putih tertimpa sinar bulan.
Tiba-tiba mereka menyelinap karena kaget melihat sinar-sinar lampu menyala di gedung itu. Keadaan tetap sunyi dan lampu-lampu penerangan itu seolah-olah dinyalakan oleh tangan setan. Tidak nampak seorang pun di sekitar gedung besar itu.
Dari jauh sekali, dari arah depan rumah, terdengarlah suara orang, suara yang bening halus, "Locianpwe, saya datang memenuhi perjanjlan kita lima tahun yang lalu!" Suara itu biarpun halus namun mengandung gema mengaung dan setelah suara itu lenyap, gemanya masih terdengar, lalu sunyi sekali, sunyi yang mencekam dan menegangkan hati.
Terdengar suara orang berdehem di dalam gedung itu, kemudian terdengar suara seorang laki-laki yang parau, "Silakan masuk!"
Cui Lan terkejut dan terheran bukan main karena entah dari mana datangnya dan bagaimana serta kapan, tahu-tahu di depan pintu gedung itu kini telah berdiri seorang kakek membawa tongkat. Agaknya kakek inilah yang tadi mengeluarkan kata-kata itu. Kakek ini berdiri seperti arca, tidak bergerak-gerak dan memandang ke depan gedung, ke arah jalan kecil yang menuju ke bawah bukit. Tentu saja Cui Lan dan Hwee Li juga memandang ke arah itu, menduga-duga dari mana akan munculnya orang yang tadi mengeluarkan suara, yang mereka duga tentulah Siluman Kecil adanya.
"Sssttttt....!" Tiba-tiba Hwee Li menyentuh lengan Cui Lan dan menunjuk ke depan. Cui Lan membelalakkan matanya untuk dapat memandang lebih teliti. Dia hanya melihat sebuah titik putih naik dari bawah, dan melihat sebuah titik putih itu makin membesar. Akhirnya nampaklah bayangan putih seorang manusia bergerak dengan amat cepatnya, seolah-olah orang itu terbang di atas pucuk rumpun ilalang! Kedua kakinya bergerak di antara pucuk ilalang yang bergoyang perlahan. Cepat sekali dan tahu-tahu orang itu telah berdiri di depan gedung dan menjura ke arah kakek yang memegang tongkat.
Hwee Li mengerahkan kekuatan pandang matanya, memperhatikan orang yang namanya begitu terkenal sebagai seorang pendekar penuh rahasia yang hanya dikenal sebagai Siluman Kecil. Ternyata orangnya masih muda dan wajahnya tampan, rambutnya dibiarkan terurai dan melambai-lambai ditiup angin, rambut yang berwarna putih dan yang mengkilap seperti perak tertimpa sinat keemasan dari bulan purnama. Pakaiannya sederhana dan juga terbuat dari bahan putih semua!
Kakek bertongkat itu sejenak memandang, seolah-olah hendak meneliti apakah benar ini orang yang telah ditunggu-tunggu, kemudian dia balas menjura dan dengan tangannya dia mempersilakan orang itu masuk. Pintu terbuka sendiri seperti digerakkan oleh tangan yang tidak nampak. Laki-laki berambut putih itu mengangguk dan melangkah hendak memasuki pintu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan dari depan gedung.
"Anakku....!"
Seorang nikouw tua melompat ke luar dari balik sebuah batu besar dan biarpun jarak antara batu dan depan gedung itu cukup jauh, namun dengan satu kali melompat saja nikouw itu telah berada di situ! Diam-diam Hwee Li meleletkan lidahnya tanda kaget dan kagum.
"lbu....!" Siluman Kecil menoleh ke arah wanita itu.
Cui Lan dan Hwee Li saling pandang dan sinar mata mereka bicara banyak. Mereka berdua terheran-heran melihat kenyataan bahwa si pendekar sakti yang berjuluk Siluman Kecil itu adalah putera seorang nikouw tua!
"Ibu, mengapa menyusulku" tanya Siluman Kecil dengan suara halus dan penuh hormat.
"Hemmm, a Seruling Samber Nyawa 16 Bara Naga Karya Yin Yong Seruling Samber Nyawa 11
^