Jodoh Si Mata Keranjang 10

Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


"Jangan khawatir, aku mampu menjaga diri," kata Hay Hay yang sejak tadi telah menatap tajam wajah Kapten Gonsalo yang masih menodongkan pistolnya. Sarah percaya kepada Hay Hay dan ia pun meloncat turun, lalu menghampiri ayahnya yang juga melompat turun. Ayah dan anak itu berpelukan dan Hay Hay melihat betapa kapten tua itu merangkul dan mencium kedua pipi dan dahi puterinya dengan penuh kasih sayang. Teringatlah dia akan pelajaran yang didengarnya dari Sarah tentang ciuman dan dia pun tersenyum.
"Jahanam biadab, sekarang terimalah hukumanmu!" Kapten Gonsalo membentak dan mengacungkan pistolnya.
"Gonsalo, jangan"..!" Sarah menjerit.
Hay Hay tersenyum dan menggerakkan tangan kanannya menunjuk ke arah Gonsalo. "Kapten Gonsalo, mau apa engkau bermain-main dengan ular itu?"
Gonsalo tertegun. "Ular?"" Ehhh"..ular".!!" Matanya terbelalak dan mukanya pucat karena dia melihat betapa pistol yang dipegangnya tadi telah berubah menjadi seekor ular yang mendesis-desisi dan siap mematuk hidungnya! Saking kaget dan ngerinya, Gonsalo tentu saja melepaskan pistol itu dan mencampakkannya sambil melompat turun dari atas kudanya. Semua orang yang melihat hal ini terheran-heran. Mereka melihat kapten muda itu tadi terbelalak memandangi pistolnya yang kini diarahkan ke muka sendiri, lalu melemparkan pistol itu dengan muka jijik ketakutan!
Sarah lalu cepat melepaskan ayahnya dan mengambil pistol yang dibuang oleh Kapten Gonsalo dan ia pun menodongkan pistol itu ke arah Kapten Gonsalo. Suaranya lantang terdengar oleh semua orang. "Kapten Gonsalo, kalau engkau tidak menghentikan ulahmu yang gila, demi Tuhan, kalau engkau membunuh Hay Hay, aku sendiri yang akan menembak hancur kepalamu! Hayo, majulah, jangan kira aku hanya mengancam saja!"
"Sarah"..!" teriak Kapten Armando kaget.
"Biarlah dulu, Ayah!" Sarah berseru tanpa melepaskan pandang matanya dari Kapten Gonsalo yang kini tercengang karena dia merasa seperti mimpi menghadapi semua peristiwa ini. Pistolnya menjadi ular, dan kini Sarah menodongnya dan siap untuk menembak kepalanya!
"Sarah, aku hanya bermaksud membelamu?"" dia berkata.
"Membelaku" Engkau manusia kasar, sombong dan kepala besar! Ketika aku ditawan gerombolan penjahat, ke mana saja engkau minggat" Engkau melarikan diri seperti pengecut. tidak memperdulikan aku yang ditawan penjahat. Kemudian, setelah aku diselamatkan oleh pendekar ini, yang mati-matian membelaku dan berhasil membebaskan aku, engkau malah memaki-maki dia dan hendak menembaknya" Aku yang akan membelanya, kalau perlu dengan nyawaku!"
Tentu saja semua orang terkejut dan terheran-heran mendengar ini, bahkan Kapten Armando sendiri sampai terlongong dan tidak tahu harus berkata apa. Akan tetapi Kapten Gonsalo marah bukan main, merasa dihina.
"Sarah, engkau sungguh tidak adil! Ketika kita dikepung penjahat, aku membelamu mati-matian sampai terluka dan terpaksa aku pergi, bukan karena takut melainkan untuk mencari bala bantuan karena pihak lawan terlalu banyak. Aku sampai terluka akan tetapi pagi ini sejak semalam terus ikut mencarimu, dan engkau kini bahkan memaki aku" Engkau tidak adil, atau apakah engkau sudah dipengaruhi jahanam ini" Sejauh manakah hubunganmu dengan dia" Kulihat tadi kalian berpelukan di atas kuda! Sarah, sungguh aku merasa malu?"."
"Cukup, Kapten Gonsalo!" tiba-tiba nampak seorang pemuda Portugis yang turun dari kudanya, meloncat ke depan Gonsalo. Dia seorang perajurit muda yang bertubuh tegap jangkung, rambutnya hitam kemerahan dan matanya tajam penuh keberanian. Wajahnya yang halus tanpa kumis dan jenggot itu nampak kekanakan dan tampan, namun dagunya berlekuk tanda bahwa dia seorang yang pemberani. "sebagai seorang yang sopan, engkau tidak pantas menghina Sarah dan mengeluarkan ucapan yang kotor, tuduhan yang keji itu!"
Gonsalo membelalakkan mata memandang kepada pemuda itu. "Kau?"! Asron, kamu ini perajurit biasa, berani menentang kaptenmu" Kau hendak memberontak?"
Dengan sikap gagah dan tenang Asron menjawab, "Tidak ada perajurit menentang kaptennya, tidak ada yang hendak memberontak. Aku berhadapan dengan engkau sebagai seorang jantan berhadapan dengan seorang laki-laki, engkau menghina seorang wanita terhormat dan aku membela wanita yang kucinta. Ini urusan pribadi!"
Hay Hay tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi mendengar pemuda itu disebut Aaron, tahulah dia bahwa pemuda itu kekasih Sarah dan dia kagum melihat sikap perajurit muda yang berani menentang atasannya untuk membela kekasihnya itu. Dia dapat menduga bahwa tentu Gonsalo mengeluarkan kata-kata yang tidak berkenan di hati Asron yang maju membela kekasihnya.
"Bagus! Ini urusan pribadi dan aku akan menghajarmu!" bentak Gonsalo dan dia sudah menyerang dengan tinjunya. Asron menangkis dan balas menyerang. Mereka segera bertanding, bertinju dan saling serang dengan ganas.
"Cukup! Hentikan semua kegilaan ini!" Kapten Armando membentak, akan tetapi Sarah menjawab dengan suara yang tidak kalah lantangnya.
"Biarkan mereka, Ayah! Aku ingin melihat bukti kesetiaan Asron kepadaku! Biarkan mereka bertanding dan kita lihat saja siapa yang lebih jantan!"
"Sarah, perajurit itu akan dihajar oleh Gonsalo." kata Kapten Armando agak lirih.
"Hemm, biarlah kalau memang begitu. Akan tetapi aku tidak percaya laki-laki sombong macam dia akan mampu menghajar Aaron." Lalu dara ini menoleh kepada Hay Hay sambil berkata, "Hay Hay, lihat betapa kekasihku Aaron membelaku. Dan aku percaya bahwa Aaron akan mampu membersihkan namaku dan menang dalam pertandingan ini!"
Hay Hay mengangguk, tersenyum dan meloncat turun dari atas kudanya. Dia maklum maksud yang tersembunyi di dalam ucapan Sarah tadi. Gadis itu ingin melihat kekasihnya menang dan sengaja memberitahu kepadanya. Baik, dia akan menjamin agar Aaron menang dalam pertandingan adu tinju itu.
Dua orang itu berkelahi semakin seru. Karena Kapten Gonsalo memang seorang jago tinju yang kuat, dua kali Aaron sempat tercium kepalan tangannya, membuat pemuda itu terpelanting. Akan tetapi dia tidak mengeluh, juga segera bangkit berdiri dan melawan lagi.
"Pukul dia, Aaron. Demi aku, hajar orang kurang ajar itu!" Teriakan-teriakan Sarah ini
mendatangkan semangat yang berkobar dan Aaron mengerahkan seluruh tenaganya utuk melawan. Dia pun bukan seorang pemuda lemah. Dia telah belajar ilmu berkelahi, pandai bertinju, bermain pedang dan juga merupakan seorang penembak jitu.
Namun, menghadapi Gonsalo, dia kalah pengalaman. Gonsalo mempunyai banyak gerak tipu yang licik, suka mencuri dengan sikunya, dengan lututnya sehingga Aaron nampak terdesak. Pemuda yang sudah berdarah di tepi bibirnya itu melawan mati-matian. Tiba-tiba saja, entah megapa, Gonsalo terhuyung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Aaron untuk mengayun tinjunya, dengan cepat sekali ayunan tinju kanannya meledak di rahang Gonsalo yang terhuyung.
"Dess".!" Gonsalo terjengkang. Pukulan itu keras sekali dan tadi, tanpa sebab tertentu, tiba-tiba saja kaki kirinya seperti kram dan dia terhuyung sehingga terpukul lawan. Akan tetapi dia memang kuat. Begitu tubuhnya terjengkang dia sudah melompat bangkit kembali dan bagaikan seekor harimau, dia menggereng dan menerjang lagi. Akan tetapi kembali terjadi keanehan. Tiba-tiba saja kedua lutut kakinya lemmas dan dia pun jatuh berlutut. Aaron. sudah datang dengan tinju kanan kiri, dua kali dia rneninju pangkal telinga dan dagu.
"Dess! Desss?"!!" dan kini Gonsalo roboh dan biarpun dia berusaha untuk rnerangkak bangun, kepalanya pening dan ia pun roboh lagi, lalu bangkit duduk dan rnengguncang-guncang kepala. Terdengar sorak-sorai dan ternyata banyak di antara para perajurit yang memihak Asron karena banyak yang diam-diam tidak suka kepada Gonsalo yang sombong dan keras terhadap bawahannya itu.
"Cukup, hentikan perkelahian!!" Tiba-tiba Kapten Armando berseru. Sarah lalu menghampiri Aaron dan mereka berpelukan. Sarah rnengusap sedikit darah dari tepi bibir kekasihnya, lalu mereka berciuman di depan Armando dan semua perajurit. Kembali terdengar teriakan gembira. Kapten Armando menghela napas panjang dan merasa dikalahkan puterinya. Kini semua orang tahu bahwa puterinya saling mencinta dengan Aaron, dan pemuda yang berpangkat perajurit biasa itu ternyata dapat membuktikan bahwa dia lebih jantan daripada Gonsalo.
"Asron, ketahuilah bahwa Hay Hay yang membantumu sehingga engkau tadi menang," Sarah berbisik di dekat telinga kekasihnya. Aaron membelalakkan mata memandang Hay Hay yang juga memandang ke arah mereka sambil tersenyum. Kini mengertilah Aaron. Tadi dia juga merasa heran mengapa Gonsalo terhuyung sehingga dia dapat memukulnya, kemudian Gonsalo bahkan berlutut sehingga dia dapat menalukkannya. Dia tahu bahwa hal ini tidak wajar, kecuali kalau Gonsalo terserang penyakit mendadak. Kini mendengar ucapan Sarah, mengertilah dia. Dia pun sudah banyak mendengar tentang adanya "pendekar" di negeri asing ini.
Gonsalo dibantu berdiri oleh anak buahnya. Kesempatan ini dipergunakan Sarah untuk menghampiri ayahnya dan dan dengan lantang ia berkata, "Ayah, kalau tidak ada Hay Hay, tentu saat ini aku tidak dapat bertemu kembali dengan Ayah. Karena itu, aku minta agar jangan ada yang mengganggu Hay Hay."
Kapten Armando memandang kepada Hay Hay. Dia melihat betapa pemuda itu memiliki wajah yang cerah dan ramah, akan tetapi mata itu sungguh mengejutkan, seperti mata harimau, mencorong! "Baiklah, dia boleh pergi. Akan tetapi kami akan menyerbu sarang perampok yang telah menawanmu."
"Terserah kepada Ayah. Ada satu lagi permintaanku, Ayah."
"Apa lagi" Katakan dan cepat kembali ke benteng."
"Ayah, setelah peristiwa ini, aku tidak suka lagi tinggal di sini. Aku ingin pulang ke negeri kita. aku ingin melanjutkan sekolah di perguruan tinggi."
Kapten Armando mengangguk-angguk. Kalau tidak ada puterinya di situ, dia akan merasa lebih bebas dan tidak khawatir. Puterinya terlalu nakal dan berandal, telah mendatangkan banyak kepusingan kepadanya. "Boleh, boleh. Dalam kesempatan pertama engkau boleh berlayar pulang ke negeri kita."
"Aku minta diantar Aaron!" seru pula Sarah.
"Tapi dia seorang perajurit yang bertugas di sini." bantah ayahnya.
"Tidak, Ayah. Setelah peristiwa ini, tentu dia akan diancam oleh Kapten Gonsalo. Pula, dia bukan perajurit biasa, dia calon mantumu Ayah. Di negeri kita, dia dapat bekerja, daripada di sini selama hidup dia hanya menjadi perajurit saja yang tidak pernah dinaikkan pangkatnya!"
Kapten Armando kembali merasa dikalahkan. Jelas bahwa puterinya memprotes dan dia pun merasa salah karena memang sengaja dia tidak menaikkan pangkat Aaron karena memang dia tidak setuju puterinya berpacaran dengan perajurit itu. Kini, Sarah membuka semua itu di depan banyak perajurit dan dia akan nampak buruk sekali kalau dia berkeras.
"Baiklah, dia akan mengantarmu pulang." kata Kapten Armando.
"Terima kasih, Ayah"..!" Sarah berteriak dan dia pun melepaskan Aaron, lari kepada ayahnya, memeluk ayahnya dan menciumi kedua pipi ayahnya. Mau tidak mau Kapten Armando merasa terharu juga.
Setelah menciumi ayahnya, Sarah kembali menghampiri Aaron. "Aaron, kalau tidak ada Hay Hay, mungkin aku sudah mati atau setidaknya, tidak mungkin kita akan dapat berjodoh. Semua ini berkat pertolongannya. Kau menyadari hal ini?"
Aaron mengagguk, lalu menggandeng tangan Sarah dan menghampiri Hay Hay yang masih berdiri sambil memandang semua itu dengan hati gembira. Dia semakin kagum. Sarah memang hebat, pandai sekali memanfaatkan keadaan sehingga terkabullah semua keinginannya. Juga hatinya lega melihat Sarah telah berbaik kembali dengan ayahnya. Walaupun dia tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, namun melihat sikap mereka, dia pun dapat menduga bahwa Sarah telah berhasil.
Dia menyambut Sarah yang bergandengan tangan dengan Aaron itu dengan wajah cerah. "Berhasilkah engkau, Sarah?" tanyanya menyambut mereka.
"Berkat bantuanmu, semua berhasil baik Hay Hay. Ayah membolehkan aku pulang ke negeri kami diantar oleh Aaron."
Aaron juga mengulurkan tangan kepada Hay Hay. "Terima kasih," katanya. Itulah satu-satunya kata yang dikenalnya dari bahasa daerah. Hay Hay menyambut uluran tangan itu dengan hangat.
"Kalau begitu, aku mengucapkan selamat, Sarah." kata Hay Hay mengulurkan tangan kepada gadis itu.
Akan tetapi Sarah tidak menyambut uluran tangan itu. "Aaron, engkau tidak keberatan kalau aku mencium penyelamat kita?" Aaron tersenyum dan menggeleng kepalanya. Sarah lalu menghampiri Hay Hay yang masih mengulurkah tangannya, kemudian ia merangkul, menarik leher Hay Hay sehingga mukanya menunduk, lalu Sarah menciumnya. Bukan di dahi buka di pipi, melainkan di bibir. Ciuman yang hangat, yang mesra dan dilakukan dengan seluruh luapan perasaan yang berterima kasih. Hay Hay merasakan ini, dan dia pun merasa betapa pipinya basah oleh air mata gadis itu.
Sarah mengendurkan rangkulannya dan berbisik, "Hay Hay, demi aku, perlihatkan kepandaianmu dan menghilang dari sini agar mereka percaya." Ia melepaskan rangkulannya dan berkata dengan suara lantang, "Hay Hay, selamat berpisah dan selama hidupku, aku tidak akan melupakanmu!" Ia mengusap air matanya.
Hay Hay terharu. "Semoga Tuhan selalu membimbingmu dan memberkahimu hidup berbahagia bersama Aaron, Sarah. Selamat tinggal!" Tiba-tiba Hay Hay meloncat ke atas, tinggi seperti terbang saja. Semua orang terbelalak memandang. Pemuda itu seperti seekor burung saja melayang ke atas pohon dan begitu dia membuat salto, dia pun lenyap di antara pohon-pohon! Tentu saja hal ini membuat semua orang merasa kagum, dan kini semua orang, termasuk Gonsalo sendiri dan juga Armando, percaya akan cerita Sarah bahwa yang menolongnya adalah seorang pendekar sakti!
Sarah lalu mengajak Aaron untuk pulang ke benteng, sedangkan Kapten Armando dibantu oleh Kapten Gonsalo bersama pasukanya, melanjutkan perjalanan menyerbu sarang gerombolan di bukit berguha-guha. Gonsalo agaknya hendak melampiaskan sakit hatinya kepada mereka dan segera terdengar letusan-letusan senjata api ketika sarang itu diserbu. Terjadilah pembantaian dan hanya sedikit saja di antara gerombolan itu yang lolos. Lima orang Harimau Cakar Besi yang menjadi pemimpin mereka tewas.
Peristiwa ini disusul oleh amukan orang-orang Portugis yang sejak terjadinya penyerbuan ke sarang perampok itu memperlihatkan sikap mereka yang aseli. Mereka menjadi ganas dan kejam, dan sewenang-wenang terhadap rakyat. Mereka merasa diri kuat, apalagi karena mereka telah berhasil mengikat para pembesar daerah untuk bersekutu, dibantu pula oleh para bajak laut Jepang yang mempergunakan kesempatan itu untuk membonceng demi keuntungan diri sendiri.
Sarah dan Aaron segera berangkat dengan kapal pertama yang membawa barang dagangan, meninggalkan Cang-cow dan berlayar ke tanah airnya. Di sana telah menanti suatu kehidupan baru yang cemerlang, yang jauh bedanya dengan kehidupan di Cang-cow, hidup dalam benteng yang penuh dengan kekerasan dan kelicikan.
*** () *** Kini kedua orang itu, Liong Ki alias Sim Ki Liong, dan Liong Bi alias Cu Bi Hwa, bersikap hati-hati sekali. Mereka maklum bahwa mereka telah mendapatkan kedudukan yang baik sekali, dipercaya oleh Menteri Cang, seorang di antara semua menteri yang paling besar pengaruh dan kekuasaannya. Mereka berdua memang ingin sekali meningkatkan kedudukan mereka sampai yang paling tinggi, namun mereka berdua adalah orang-orang cerdik yang maklum bahwa sekali mereka salah langkah, bukan tingkat tertinggi yang mereka peroleh, melainkan kejatuhan yang akan amat menyakitkan.
Biarpun mereka telah bertekad untuk menjadi mantu Menteri Cang dengan merayu putera dan puteri pembesar itu, namun mereka berdua tidak terlalu mendesak. Mereka ingin agar Cang Sun dan adiknya, Cang Hui, dengan wajar jatuh cinta kepada mereka, walaupun tentu saja dibantu oleh kekuatan sihir mereka. Hal itu harus terjadi secara wajar dan perlahan-lahan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Apalagi di situ terdapat Mayang. Gadis ini agaknya memperlihatkan sikap curiga kepada mereka, dan nampak tidak senang kalau Liong Ki mendekati Cang Hui dan Liong Bi mendekati Cang Sun. Mereka harus berhati-hati, karena Mayang dapat saja menjadi penghalang terbesar bagi tercapainya cita-cita mereka. Karena mereka mengaku sebagai kakak-beradik, tentu saja persekutuan antara mereka itu menjadi lancar dan mudah. Tidak ada orang menaruh kecurigaan kalau mereka berada berduaan saja sehingga mudah bagi mereka untuk mengatur siasat dan merundingkan segala langkah mereka.
Biarpun bukan merupakan tokoh resmi, namun Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa yang kini dikenal sebagai Liong Bi adalah murid Pek-lian-kauw dan sudah banyak jasanya untuk perkumpulan pemberontakan itu. Oleh karena itu, di kotaraja pun ia kadang mengadakan hubungan dengan mata-mata Pek-lian-kauw dan ia mendengar akan semua pergerakan Pek-lian-kauw dan ia mendengar akan semua pergerakan Pek-lian-kauw, mendengar pula akan keadaan di Cang-cow di mana para pembesarnya bersekongkol dengan orang-orang Portugis, dengan para bajak laut Jepang dan tentu saja dengan Pek-lian-kauw. Ia bahkan sudah mendengar pula bahwa seorang siucai tua bernama Yu Siucai, telah menulis pelaporan tentang persekutuan itu dan bermaksud menyerahkan pelaporan itu kepada kaisar di kotaraja. Menurut mata-mata Pek-lian-kauw itu, kini surat laporan Yu Siucai berada di tangan seorang pemuda dan mereka sedang membantu persekutuan Cang-cow untuk mencari pemuda itu dan sedapat mungkin merampas surat laporan itu sebelum terjatuh ke tangan kaisar. Mendengar ini, Liong Bi segera berunding dengan Liong Ki. Mereka mengambil keputusan untuk bersikap waspada karena menurut keterangan mata-mata Pek-lian-kauw itu, orang yang merampas surat laporan mungkin sekali akan menyerahkan surat yang membuka rahasia persekutuan itu kepada Menteri Cang Ku Ceng atau Menteri Yang Ting Hoo.
Pada suatu hari, masih pagi sekali, Liong Ki dan Liong Bi sudah keluar dari istana Menteri Yang dan mereka pergi ke taman bunga yang luas di sebelah barat kotaraja. Taman bunga ini memang terbuka untuk umum. Mereka mencari tempat di sini agar leluasa bicara dan mengatur siasat selanjutnya. Menteri Cang pagi sekali tadi sudah berangkat ke istana kaisar untuk menghadiri pertemuan antara para menteri yang menghadap kaisar untuk membicarakan segala permasalahan negara.
Mereka berdua duduk di bangku panjang di tepi kolam ikan. Tempat ini terbuka sehingga mereka akan melihat kalau ada orang lain mendekat dan percakapan mereka tidak akan dapat didengar orang lain. Juga di sekitar, situ ada tempat persembunyian yang rnemungkinkan orang lain mengintai dan mendengarkan secara sembunyi-sembunyi.
Liong Bi nampak murung dan begitu mereka duduk di atas bangku itu, ia segera berkata dengan wajah bersungut-sungut, "Sialan! Ciang Sun agaknya malah makin tertarik kepada Mayang. Gadis itu sungguh merupakan penghalang besar bagi kita."
"Bersabarlah, Bi-moi. Kelak kalau ia sudah menjadi milikku, tentu ia akan mentaati semua perintahku."
"Hemmm, sampai kapan" Kita tidak berdaya. Ia kebal terhadap sihir, tidak terbujuk rayuanmu, lalu bagaimana" Ia malah menjadi berbahaya sekali. Menggunakan kekerasan pun tidak mudah karena ia cukup lihai. Ia menjadi ancaman bagi kita, sekarang sudah kelihatan curiga kepada kita, membuat kita tidak leluasa bergerak. Lihat, untuk berunding pun kita terpaksa menggunakan tempat ini, tidak berani di istana menteri. Tidak, Ki-ko, kita harus bertindak, kita harus menyingkirkannya." kata , Liong Bi. Ia dan Liong Ki membiasakan diri untuk saling menyebut Bi-moi dan Ki-koko agar tidak kesalahan sebut kalau berada di depan orang lain. Sebutan itu kini telah akrab dan biarpun Su Bi Hwa lebih tua satu dua tahun, namun ia tidak merasa canggung disebut adik.
Sim Ki Liong atau Liong Ki mengerutkan alisnya mendengar ucapan itu, "Singkirkan Mayang" Apa maksudmu?"
"Bunuh ia dan lenyapkan. Apa lagi?" jawab Liong Bi singkat.
Liong Ki terkejut dan mengerutkan alisnya. Dia bukanlah orang yang tidak biasa membunuh. Entah sudah berapa banyaknya nyawa orang tidak berdosa tewas di tangannya. Akan tetapi sekali ini, yang akan dibunuh adalah Mayang, dan dia harus mengakui bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis itu! Dia merasa tidak tega kalau sampai Mayang dibunuh.
"Gila kau!" desisnya. "Aku mencintanya!"
Liong Bi menggerakkan cuping hidungnya dan mencibirkan bibirnya. "Cinta " Huh, lelucon yang konyol! Kalau ia kehilangan kecantikanya, ke mana larinya cintamu itu" Kalau ia menjadi penghalang kesenangan kita, bahkan mengancam kedudukan kita dan mungkin akan menghancurkan cita-cita kita, apakah engkau tetap akan mencintanya" Apa kau ingin mampus demi cintamu kepadanya " Konyol dan tolol!"
Bagi seorang wanita seperti Liong Bi atau Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, di dalam kehidupan ini tidak ada cinta.Yang dikenalnya hanyalah cinta nafsu, kesenangan yang ditimbulkan karena hubungan antara manusia. Kalau nafsu berahinya terpuaskan, ia mengaku cinta. Kalau kebutuhan hidupnya dicukupi bahkan sampai berlebihan, ia mengaku cinta. Kalau hatinya disenangkan, ia mengaku cinta. Cintanya kepada seseorang tidak ada bedanya dengan sayangnya kepada sebuah benda mainan yang mengasyikkan dan menyenangkan hatinya.
"Jangan berkata demikian, Bi-moi. Engkau tahu, sudah banyak kualami bersama Mayang. Aku sudah terlanjur amat suka kepadanya. Sebelum aku berhasil memilikinya, bagaimana engkau dapat bicara tentang membunuhnya ?"
Sebetulnya, tidak banyak bedanya antara Ki Liong dan Bi Hwa ini. Sim Ki Liong atau Liong Ki juga mengukur cinta dari kesenangan dan kepentingan dirinya pribadi saja. Memang ada sesuatu pada diri Mayang, sesuatu yang amat menarik hatinya, yang membuat dia ingin berdekatan selalu dengan gadis itu, membuat dia ingin memiliki Mayang selama hidupnya. Bahkan untuk dapat memilikinya, dia tadinya rela untuk mengubah jalan hidupnya. Akan tetapi semua itu pun tidak terlepas dari pengaruh nafsu. Dia tergila-gila kepada Mayang karena ada sesuatu yang amat menarik hatinya dan yang dianggapnya amat indan. Untuk mendapatkan diri Mayang dia akan rela melakukan apa pun. Akan tetapi itu bukanlah cinta. Itu hanya nafsu walau mencoba untuk mengenakan pakaian atau bentuk lain. Cinta semacam ini, kalau sampai berhasil memiliki orang yang dicintanya, maka cinta itu akan menipis seperti berkobarnya api yang menjadi padam dan hanya tinggal asapnya saja. Nafsu dalam bentuk apa pun juga memiliki sifat yang sama. Menggelora kalau sedang mengejar dan belum memiliki, belum terpuaskan. Akan tetapi sekali yang dikejar itu telah terdapat, maka akan timbul kebosanan kepada nafsu mendorong kita untuk mencari yang lain lagi, yang dianggapnya lebih menarik dan lebih baik. Dan demikian seterusnya, sekali kita menjadi hamba nafsu, maka kita akan selalu dicengkeram dan tidak berdaya. Kita dipermainkan nafsu sejak kanak-kanak yang asyik dengan mainan baru, namun begitu datang yang baru, maka yang lama menjadi tidak menarik lagi dan membosankan.
Nafsu menjadi pendorong bagi kita untuk mencari kepuasan dalam segala hal sehingga terjadilah kemajuan-kemajuan lahiriah, bertambahnya sarana kesejahteraan dan kesenangan lahiriah, namun nafsu pula yang menyeret kita untuk mundur dalam hal rohaniah.
Ketika Liong Bi hendak membantah lagi, tiba-tiba mereka mendengar suara ribut-ribut, tak jauh dari tempat mereka duduk, dan ketika mereka menengok, mereka melihat lima orang laki-laki yang melihat pakaiannya tentulah orang-orang muda yang kaya-raya, sedang ribut mengeluarkan kata-kata teguran yang nadanya keras dan marah kepada seorang hwesio berjubah kuning. Mereka berdua tertarik sekali dan mendekat. Hwesio itu berusia sekitar enam puluh tahun, kepalanya gundul dan perutnya gendut sekali. Karena gemuknya maka dia kelihatan pendek. Yang aneh adalah warna kulit di bagian yang tidak tertutup jubah kuning, yaitu di bagian leher dari kedua tangan sampai di atas pergelangan. Kulit leher dan lengan itu nampak hitam kehijauan seperti baja! Mukanya yang bulat itu nampak lucu karena berseri dan mulutnya senyum-senyum sinis, akan tetapi matanya mencorong! Hwesio itu tidak memperdulikan lima orang muda yang marah-marah, dan dia melanjutkan makan dengan lahapnya beberapa sayuran dari mangkok-mangkok besar yang berada di atas tanah, di depan dia bersila. Liong Ki dan Liong Bi melihat bahwa mangkok-mangkok itu berisi masakan dari daging, bahkan terdapat pula seguci besar arak di situ.
"Hwesio tua yang jahat, berani engkau mencuri hidangan kami?" teriak seorang di antara lima pemuda berpakaian mewah itu.
"Engkau ini seorang hwesio, akan tetapi makan daging dan minum arak yang kau rampas dari kami!" teriak orang ke dua.
"Orang tua tak tahu malu. Engkau ini pendeta atau perampok?"
"Hayo pergi dari sini dan tinggalkan makanan kami!"
Menghadapi kemarahan lima orang pemuda hartawan itu, hwesio tua itu senyum-senyum saja. Sambil mengunyah makanan dia menoleh dan memandang kepada mereka, sebelum menjawab, dia menuangkan arah dari guci ke mulutnya. Setelah tidak ada lagi makanan di mulutnya, barulah dia mejawab.
"Omitohud, kalian ini hartawan-hartawan muda macam apa" Sepantasnya kalian bersyukur bahwa makanan kalian dipilih oleh pinceng. Memberi makanan kepada seorang hwesio akan mendatangkan barkah yang berlipat ganda, kenapa kalian banyak rewel?"
Lima orang pemuda itu menjadi semakin marah. Mereka memberi isyarat kepada tiga orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang melihat pakaian dan sikap mereka , jelas bahwa mereka adalah jagoan-jagoan yang mengawal lima orang pemuda itu.
"Seret dia pergi dari sini!" perintah seorang di antara lima orang pemuda itu. "Pendeta tua itu perlu dihajar!"
Tiga orang jagoan itu bertubuh tinggi besar dan nampak kokoh kuat. Agaknya mereka merasa sungkan juga harus menangani seorang pendeta tua gendut. Bagaimanapun juga, biasanya para hwesio dihormati dan dimintai berkah, sekarang mereka harus menghajar seorang pendeta, tentu saja mereka merasa sungkan. Kalau mereka disuruh menghajar orang biasa, mereka tidak akan merasa sungkan. Maka, seorang di antara mereka yang mukanya kuning pucat menghampiri hwesio itu dengan sikap hormat dia berkata.
"Losuhu, harap Losuhu tidak menyusahkan kami dan suka pergi saja dari sini, jangan mengganggu para kongcu yang sedang bersenang-senang di taman ini.
"Omi tohud, kalian ini tiga orang anjing penjilat, kalianlah yang cepat pergi dari sini, jangan mengurangi selera makan pinceng." kata hwesio itu dengan senyum lebar dan suaranya mengandung ejekan.
"Losuhu, kami bersikap hormat akan tetapi engkau malah memaki kami. Jangan mengira kami takut menyeretmu keluar dari taman ini!" bentak jagoan ke dua.
"Heh-heh-heh, kalau pinceng tidak mau pergi, kalian mau apa ?"
"Kami akan terpaksa menyeretmu pergi!" bentak si muka kuning yang sudah kehilangan kesabarannya.
"Ha-ha-ha, anjing-anjing yang gonggongnya nyaring tidak dapat menggigit!" hwesio itu tertawa dan melanjutkan makan minum dengan lahapnya. Mendengar ini, tiga orang tukang pukul itu tentu saja menjadi semakin marah dan serentak mereka menerjang ke depan untuk menangkap dan menyeret hwesio yang sedang makan itu.
"Pergilah kalian anjing-anjing penjilat!" hwesio itu berkata dan dia membuat gerakan seperti menepiskan tangan kirinya ke arah tiga orang jagoan itu dan akibatnya membuat Liong Ki dan Liong Bi yang menonton dari jarak agak jauh terbelalak. Tiga orang jagoan itu tiba-tiba saja terjengkang seperti dipukul atau didorong tangan yang tidak nampak. Mereka terbanting keras dah mengaduh-aduh karena tubuh mereka terus terguling-gu1ing seperti diseret angin yang amat kuat. Liong Ki dan Liong Bi, dua orang yang memi1iki ilmu kepandaian tinggi itu melihat betapa debu dan daun kering berhamburan dan beterbangan seperti ditiup angin dan beberapa helai daun melayang ke arah mereka. Mereka mengebutkan tangan ke arah daun-daun itu dan alangkah kaget hati mereka ketika merasa betapa daun kering itu terasa berat dan keras seperti batu saja ketika mereka tangkis. Tiga orang jagoan itu babak belur dan mereka tidak bergulingan lagi, bangkit duduk dan dengan muka pucat dan mata terbelalak mereka memandang ke arah hwesio itu.
"Hemm, ka1ian orang-orang muda kaya-raya sungguh tak tahu malu. Kalian bergelimang kemewahan, berpesta-pora di taman, di depan orang-orang yang kelaparan, sungguh bermuka tebal. Kalian perlu dicuci sampai bersih!" kata pula hwesio itu sambil tetap menyeringai dan kembali tangannya membuat gerakan seperti mendorong ke arah lima orang pemuda hartawan yang juga kelihatan kaget bukan main melihat tiga orang jagoan mereka roboh secara aneh. Dan tiba-tiba mereka berlima mengeluarkan teriakan kaget karena tubuh mereka seperti disambar angin keras yang tidak dapat mereka lawan. Mereka terhuyung dan tanpa dapat dicegah lagi mereka berlima terlempar ke dalam kolam ikan. Terdengar suara berjebur lima kali dan air muncrat tinggi, ikan-ikan dalam kolam berenang ketakutan.
Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. Wajah mereka berubah dan hati mereka tegang. Mereka berdua maklum bahwa mereka bertemu dengan seorang hwesio yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi. Hwesio itu tadi telah mendemonstrasikan tenaga sakti jarak jauh yang luar biasa sekali. Dalam hal itu, mereka berdua jelas tidak mampu menandinginya.
"Dia lawan yang amat berbahaya akan tetapi dapat menjadi kawan yang amat berguna." bisik Liong Ki dan wanita cantik itu mengangguk, mengerti apa yang dimaksudkan sekutu dan kekasihnya. Mereka berdua lalu meghampiri hwesio yang kini sedang makan lagi seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Tiga orang jagoan itu kini sibuk menolong lima orang pemuda hartawan keluar dari dalam kolam dan mereka segera pergi bergegas meninggalkan taman itu. Juga mereka yang kebetulan berada di taman itu kini mulai bubaran setelah tadi ikut menjadi penonton.
Kini Liong Ki dan Liong Bi sudah tiba di depan hwesio itu dan mereka berdua segera memberi hormat. Liong Ki berkata dengan sikap menghormat, "Locianpwe, lima orang hartawan muda dan tiga orang jagoan mereka itu memang patut dihajar karena tidak menghormati seorang hwesio suci. Biarpun kami berdua bukan hartawan, namunkami dapat menghargai seorang pendeta dan kalau Locianpwe sudi menerimanya, kami mengundang Locianpwe untuk menikmati hidangan lezat di rumah makan Lok-an yang terkenal di kotaraja ini."
Hwesio itu bukan lain adalah Hek Tok Siansu. Seperti telah kita ketahui, bersama mendiang Bak Tok Siansu, hwesio ini baru saja pulang dari See-thian (dunia barat atau India) setelah puluhan tahun mereka menimba ilmu dari sana. Ketika mereka melihat Ceng Hok Hwesio, ketua kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu pegunungan Heng-toan-san dalam keadaan sakit dan meninggal dunia dalam keadaan menderita, dan mereka mendengar cerita tentang Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang mereka anggap sebagai penyebab kesengsaraan Ceng Hok Hwesio, mereka marah sekali. Ketua kuil Siauw-lim-si itu mereka anggap sebagai penyelamat mereka, yang menyadarkan mereka dari jalan sesat, bahkan yang kemudian mengirim mereka ke barat untuk memperdalam ilmu. Mereka segera mencari Siangkoan Ci Kang dan isterinya, Toan Hui Cu untuk menuntut pertanggungan jawab mereka. Namun, dalam pertandingan melawan Siangkoan Ci Kang, Ban Tok Siancu tewas walaupun dia mampu melukai Siangkoan Ci Kang.
Dapat dibayangkan kesedihan hati Hek Tok Siansu ketika rekan, sahabat dan saudara seperguruan yang selama puluhan tahun merantau ke barat bersamanya itu tewas. Dia membawa jenazah suhengnya itu ke kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu, memperabukan jenazah itu. Dia meninggalkan obat penawar racun kepada hwesio di kuil itu untuk diberikan kepada Siangkoan Ci Kang. Tepat seperti dugaan keluarga Siangkoan Ci Kag, Hek Tok Siansu tidak rela membiarkan Siangkoan Ci Kang tewas begitu saja oleh pukulan beracun suhengnya. Dia ingin Siangkoan Ci Kang dan isterinya menebus dosa dan bertapa di kuil Siauw-lim-si sampai mati agar menenangkan roh penasaran dari mendiang Ceng Hok Hwesio! Dia sendiri segera pergi ke kotaraja setelah mendengar berita bahwa Tang Hay berada di kotaraja! Inilah yang menjadi tujuan utama ketika dia dan suhengnya kembali dari barat. Yaitu, mencari pemuda bernama Tang Hay!
Ketika Hek Tok Siansu dan suhengnya, mendiang Ban Tok Siansu, mengembara ke Tibet dan memperdalam ilmu mereka, kedua orang hwesio bekas penjahat besar ini mendapatkan saudara-saudara seperguruan yang kemudian menjadi pendeta-pendeta Lama. Tiga orang pendeta Lama yag mengadakan pemberontakan terhadap Dalai Lama adalah saudara-saudara seperguruan mereka. Tiga orang. Lama itu adalah Gunga Lama, Janghau Lama, dan Pat Hoa Lama. Hek Tok Siansu dan Ban Tok Siansu sendiri tidak ingin terlibat dalam pemberontakan itu. Namun ketika mereka mendengar betapa tiga orang saudara mereka ini tewas terbunuh, mereka menjadi marah dan mendendam. Mereka sudah menyelidiki siapa pembunuh tiga orang pendeta Lama itu. Gunga Lama tewas di tangan Kim Mo Siankouw pertapa di Puncak Awan Kelabu pegunungan Ning-jing-san, sedangkan yang dua orang lagi, Jang-hau Lama dan Pat Hoa Lama, tewas di tangan seorang pemuda bernama Tang Hay!
Mereka segera mencari Kim Mo Siankouw. Pertapa wanita yang rambutnya keemasan ini tidak menyangkal ketika ditanya, dan ia pun melakukan perlawanan dengan gigih ketika dua orang pendeta beracun itu menyerangnya. Terjadi perkelahian mati-matian yang seru di puncak itu. Namun, karena dikeroyok dua, padahal masing-masing hwesio merupakan tandingan yang setingkat dengannya, akhirnya Kim Mo Siankouw roboh dan tewas! Dua orang hwesio itu lalu melakukan perjalanan, pulang ke timur untuk mencari musuh mereka yang ke dua, yaitu pemuda bernama Tang Hay. Akan tetapi ketika mereka singgah di kuil Siauw-lim-si, mereka melihat keadaan dan kematian Ceng Hok Hwesio sehingga untuk sementara mereka menangguhkan usaha mereka mencari Tang Hay karena harus membalas kem.atian Ceng Hok Hwesio kepada Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Usaha balas dendam itu bahkan mengakibatkan tewasnya Ban Tok Siansu.
Kii Hek Tok Siansu berangkat sendiri ke kotaraja untuk mencari Tang Hay. Ketika tiba di kotaraja, hari itu dia pergi ke taman dan melihat lima orang pemuda hartawan hendak berpesta-pora di taman tanpa menghiraukan orang lain, bahkan tidak menawarkan kepadanya, dia pun lalu mengambil makanan dan minuman yang sedianya akan dipakai pesta lima orang pemuda hartawan itu, tidak menghiraukan teriakan mereka, bahkan lalu makan minum dengan santai tanpa memperdulikan lagi kepada mereka sampai lima orang pemuda itu memanggil tukang pukul mereka.
Ketika Liong Ki dan Liong Bi muncul di depannya dan menawarkan makanan dan minuman di rumah makan, Hek Tok Siansu mengamati mereka berdua. Dia adalah seorang yang sudah kenyang makan garam dunia kangouw, pandang matanya tajam dan dia segera dapat mengenal orang pandai, walaupun pemuda dan wanita itu masih tergolong muda. Dia tersenyum karena sikap sopan dari Liong Ki menyenangkan hatinya.
"Ha-ha-ha, orang-orang muda yang baik. Untuk makanan lezat dan mahal, arak yang tua, perut pinceng tak pernah merasa kenyang dan mulut pinceng tak pernah merasa puas, ha-ha! Kalian adalah dua orang muda yang baik sekali, suka menghargai pendeta seperti pinceng, omitohud"..!"
Hek Tok Siansu bangkit berdiri dan meninggalkan sisa makanan dan araknya, mengikuti Liong Ki da Liong Bi keluar dari taman itu tanpa menoleh lagi. Ketika lewat dekat lima orang pemuda hartawan yag sudah keluar dari dalam kolam dalam pakaian basah kuyup seperti lima ekor tikus baru saja dikeluarkan dari air, Liong Ki berkata kepada mereka.
"Jadikan pengalaman ini sebagai pelajaran agar kalian tidak bersikap sombong. AKu adalah perwira pasukan pengawal Cang Taijin, dan aku tidak akan tuntut kalian kalau kalian menghabiskan urusan itu sampai di sini saja."
Mendengar bahwa pemuda itu perwira pasukan pengawal Menteri Cang, lima orang pemuda hartawan itu terkejut dan cepat mereka menjura dengan sikap hormat, bahkan mereka lalu menghormat ke arah Hek Tok Siansu sambil berkata, "Mohon Thai-suhu mengampuni kami yang bersikap tidak sepantasnya."
"Omitohud, kalian memang sudah diampuni Sang Buddha. Kalau tidak, apa kalian kira kalian dapat keluar dari empang dengan masih bernyawa?" Dia tertawa dan mengikuti Liong Ki dan Liong Bi keluar dari taman. Lima orang hartawan muda dan tiga orang jagoannya tertegun, tidak mengerti apa yang dimaksudkan pendeta gendut itu. Akan tetapi Liong Ki dan Liong Bi mengerti. Tentu hwesio yang amat lihai ini hendak mengatakan bahwa kalau dia menghendaki, tentu lima orang pemuda hartawan itu tadi terlempar ke kolam ikan dalam keadaan tidak bernyawa lagi!
Hek Tok Siansu memang seorang yang aneh sekali wataknya. Dahulu, puluhan tahun yang lalu, bersama mendian Ban Tok Siansu, dia hanya seorang tokoh sesat yang biasa saja. Seorang yang sepenuhnya diperhamba nafsu, mengejar kesenangan dengan cara apa saja. Tidak ada pantangan baginya dan dia dapat membunuh orang sambil tertawa. Kemudian dia dan Ban Tok Siansu bertemu Ceng Hok Hwesio ketua kuil Siauw-lim-si dan bukan hanya kalah dalam ilmu silat menghadapi hwesio itu, akan tetapi mereka bahkan ditundukkan dengan budi pekerti dan disadarkan. Mereka bertaubat dan bahkan merelakan diri menjadi hwe-sio, kemudian dipimpin dalam hal keagamaan oleh Ceng Hok Hwesio. Ketua Siauw-lim-si ini melihat ketekunan dua orang bekas penjahat itu setelah nienjadi hwesio dan dengan bekal pengetahuan agama yang,mereka telah kuasai, mereka lalu dianjurkan pergi ke See-thian untuk mempelajari dan memperdalam ilmu keagamaan Budha. Demikianlah, dua orang itu pergi ke Tibet dan India, berkelana di negara asing itu dan memperdalam pengetahuan agama mereka, juga dalam kesempatan itu mereka bertemu dengan. banyak pendeta dan pertapa lihai, maka mereka lalu memperdalam ilmu silat mereka pula. Bukan hanya i1mu silat, juga ilmu sihir dan ilmu-ilmu, tentang racun! Dan dalam hal keagamaan pula mereka bergaul dengan golongan yang menyimpang daripada agama yang aseli. Karena mempelajari bermacam ilmu inilah, maka Hek Tok Siansu menjadi seorang manusia yang aneh dan tidak wajar. Kadang dia bersikap seperti seorang pendeta yang saleh dan budiman, akan tetapi terkadang dia dapat bersikap ganas dan kejam seperti iblis. Kebaikan yang dikejar-kejar dapat menimbulkan kejahatan dalam pengejaran itu.
Hek Tok Siansu yang menganggap dirinya sudah berada di puncak, tidak perduli lagi
akan baik buruk perbuatannya. Dia menganggap bahwa semua berbuatnya benar. Dia selalu menuruti dorongan batinnya yang berada dalam gelombang pertentangan yang tak kunjung henti antara keinginan mengejar kesenangan dan keinginan menjauhi kesenangan. Kedua keinginan itu nampaknya berlawanan namun sesungguhnya masih merupakan nafsu yang sama. Nafsu selalu menghendaki agar keinginannya tercapai, dan betapa terselubung pun keadaan nafsu, diberi pakaian dan sebutan yang indah dan bersih, tetap saja tujuannya hanya demi kepentingan diri sendiri. Aku tidak perduli melakukan kejahatan karena aku ingin mendapatkan kesenangan dari hasil kejahatan itu. Aku harus melakukan kebaikan karena aku ingin mendapatkan kesenangan dari hasil kebaikan itu. Berlawanan namun tujuannya sama, yaitu ingin mendapatkan kesenangan dari perbuatan itu. Perbuatan itu tidak utuh, melainkan dijadikan alat atau cara untuk mencapai titik tujuan, yaitu kesenangan yang dikejar-kejar.
Nafsu selalu menyelinap ke dalam pamrih dan pamrih yang saling berlawanan antara manusia menimbulkan bentrokan. Pengejar hasil kebaikan yang satu bertabrakan dengan pengejar hasil kebaikan yang lain karena terjadi bentrokan pamrih. Agama yang satu bentrok dengan agama yang lain karena masing-masing pemeluknya, yaitu manusia, saling mempertahankan "kebaikan" berpamrih tadi.
Orang menyalahkan keadaan di luar diri, menyalahkan lingkungan, masyarakat yang dianggap sebagai penyebab penyelewengan dan kesesatan dirinya. Kita lupa bahwa 1ingkungan atau masyarakat dibentuk oleh keadaan pribadi-pribadi. Kalau hendak menyehatkan 1ingkungan, seharusnya harus menyehatkan pribadi. Kalau pribadi-pribadi sehat, lingkungan pun otomatis menjadi sehat. Orang boleh bertapa mengasingkan diri ke tempat-tempat sunyi, menjauhkan diri dari keramaian, menyiksa diri dengan segala macam cara berusaha untuk mengendalikan dan meyalahkan nafsunya senndiri. Namun orang lupa bahwa perbuatan ini pun merupakan suatu usaha yang mengandung pamrih, jadi masih dalam 1ingkaran setan, masih terdorong nafsu. Selama ada dasar "aku ingin" tentu ada nafsu tersembunyi dalam bentuk "agar berhasil". Dan apapun hasil yang dikejar-kejar itu, dengan pakaian bersih, dengan istilah mulia seperti sorga, kedamaian, keheningan, keabadian, kesempurnaan dan lain-lain, tetap saja di dalamnya bersembunyi "kesenangan". Karena sorga, kedamaian, keheningan, keabadian dan sebagainya itu dianggap enak dan menyenangkan maka, kita kejar-kejar dengan cara memaksa diri berbuat apa yang kita anggap sebagai kebaikan. Tidak pernah kita bertanya kepada diri sendiri : Andaikata sorga itu tidak, menyenangkan, kedamaian dan sebagainya itu tidak enak, apakah kita masih melakukan kebaikan yang kita paksakan itu" Lalu untuk apa"
Kebaikan adalah suatu sifat, suatu keadaan yang wajar, bukan suatu perbuatan yang disengaja. Kalau kita sadar bahwa kita berbuat baik, maka di situ pasti terkandung suatu harap akan pahalanya, walau tersembunyi sekali pun. Matahari merupakan kebutuhan mutlak semua mahluk, memberi kehidupan ketika melimpahkan cahayanya, namun dia tidak tahu apakah itu suatu perbuatan baik. Pohon-pohon memberikan bunga-bunga, harum, buah-buahan segar, kayu dan kulitnya pun bermanfaat bagi serangga dan manusia, hewan-hewan seperti sapi, kuda, anjing dan sebagainya, semua melakukan "kebaikan" tanpa sengaja dan tidak mengharapkan imbalan.
Kita dianugerahi hati akal pikiran yang mengagkat kita menjadi mahluk termulia. Dengan alat-alat itu kita dapat berbuat lebih banyak bagi alam, jauh lebih banyak dibandingkan hewan dan tumbuh-tumbuhan. Mestinya begitu. Namun, justeru hati akal pikiran manusia yang menimbulkan malapetaka di dunia ini, karena nafsu yang menguasainya. Nafsu mutlak penting bagi kehidupan kita, namun juga mutlak berbahaya karena menyeret kita ke dalam kesesatan. Lalu bagaimana"
Jalan satu-satunya hanya kembali kepada kekuasaan Tuhan. Menyerah! Hanya Tuhan yang mampu mengatur dan mengembalikan kita ke alam kewajaran di mana seluruh anggauta tubuh kita luar dalam termasuk hati akal pikiran dibersihkan dari pengaruh nafsu dan berfungsi seperti sebelum dikuasai nafsu. Kalau sudah begitu, manusia akan menjadi manusia seutuhnya, dibimbing dan dikendalikan oleh jiwa yang bersih dari nafsu. Bahkan nafsu yang tadinya merajalela dikembalikan kepada fungsinya semula, yaitu alat dari jiwa dalam jasmani, bukan menjadi majikan.
Setelah dijamu makan minum secara royal sekali oleh Liong Ki dan Liong Bi di rumah makan terbesar, Hek Tok Siansu menjadi akrab dengan mereka. Dia menyeringai senang dan mengelus perutnya yang menjadi semakin gendut karena diisi banyak makanan dan arak.
"Heh-heh-heh, kalian dua orang muda yang baik sekali. Orang muda, engkau tadi mengatakan kepada tikus-tikus itu bahwa engkau adalah perwira pengawal Cang Taiji, siapakah pembesar itu dan siapa pula nama kalian yang bersikap begini baik kepadaku?"
"Lo-cian-pwe, nama saya Liong Ki dan ini adalah adik saya bernama Liong Bi. Kami berdua bekerja menjadi pembantu Menteri Cang Ku Ceng, saya sebagai perwira pasukan pengawal, dan adik saya sebagai pengawal Keluarga Cang."
"Hemm, lalu mengapa kalian bersikap baik kepada piceng" Pinceng Hek Tok Siansu tidak pernah berkenalan dengan pengawal menteri, mau apa kalian bersikap baik kepadaku?"
Liong Ki dan Liong Bi yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang sakti dan berwatak aneh.
Terhadap orang seperti itu mereka harus bersikap hati-hati sekali. Orang seperti ini harus ditarik menjadi kawan, sama sekali tidak boleh dijadikan lawan.
Dari julukan kakek itu saja mereka dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang datuk yang lebih condong kepada golongan hitam. Julukannya saja Racun Hitam (Hek. Tok), dan sepak terjangnya tadi ketika menghajar lima orang pemuda dan tukang-tukang pukulnya sudah membuktikan akan kelihaiannya.
"Lo-cian-pwe, kami kakak beradik amat suka akan ilmu silat dan mengagumi orang-orang pandai. Begitu bertemu dengan Lo-cian-pwe, ka:mi dapat menduga bahwa Lo-cian-pwe adalah seorang sakti yang berilmu tinggi. Berkenalan dengan Lo-cian-pwe merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar bagi kami yang ingin meluaskan pengetahuan kami yang dangkal." kata Liong Bi dengan suara merdu dan gaya memikat.
Kakek gundul gendut yang kulitnya hitam kehijauan itu memandang dengan mata yang makin mencorong, tanda bahwa dia senang sekali. Dia mengangguk-angguk dan mengamati kedua orang muda itu. "Kalian mengaku sebagai pembantu- pembantu Menteri Cang Ku Ceng yang amat terkenal sebagai seorang pembantu kaisar yang amat besar kekuasaannya. Kedudukan kalian sebagai pengawal pribadi berarti sudah tinggi dan kalian tentu memiliki kepandaian yang hebat maka dapat menjadi pengawalnya. Nah, perlu apa lagi berkenalan dengan pinceng, seorang kakek perantau yang tidak punya apa-apa ?"
"Lo-cian-pwe, harap jangan salah mengerti," kata Liong Ki cepat. "Kami hanya ingin mengajak Lo-cian-pwe untuk menghadap Cang Tai-jin. Beliau adalah seorang pembesar yang amat bijaksana dan selalu menghargai tingkat orang-orang pandai. Kalau Lo-cian-pwe suka, marilah kami ajak untuk menghadap Cang Tai-jin. Pasti Lo-cian-pwe akan diterima dengan senang."
"Heh-heh-heh, pinceng tidak ingin mendapatkan kedudukan, apalagi yang remeh. Kalau kaisar sendiri yang menawarkan kedudukan, baru pantas untuk dipertimbangkan."
Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. "Lo-cian-pwe, pendapat Lo-cia-pwe memang tepat dan cocok sekali dengan keinginan kami berdua. Kami sendiri pun ingin mendapatkan kedudukan di istana kaisar, akan tetapi tidaklah mudah untuk mendapatkan anugerah seperti itu. Dan kedudukan di samping Cang Taijin, akan amat memungkinkan untuk meningkat ke istana kaisar. Marilah, Lo-cian-pwe, kami perkenalkan Lo-cian-pwe dengan Cang Taijin dan akan kami akui sebagai guru kami. Kami siap membantu Lo-cian-pwe agar kita bertiga kelak akan mampu menduduki tempat yang berarti di istana kaisar."
Hek Tok Siansu merasa tertarik. Sejak dia kembali dari perantauannya yang puluhan tahun lamanya bersama mendiang Ban Tok Siansu, dia tidak pernah hidup senang, selalu dalam perantauan yang membosankan, kadang harus menahan rasa lapar dan haus, kadang kepanasan atau kehujanan tanpa dapat berteduh di rumah sendiri yang pantas. Kini Ban Tok Siansu sudah tidak ada, dan dia sendiri pun sudah tua. Kapan lagi kalau tidak mulai sekarang mencari kedudukan yang pantas dan layak sehingga dia akan dapat menghabiskan sisa hidupnya dalam kemuliaan dan kesenangan" Pula, selama puluhan tahun dengan susah payah dia mempelajari segala macam ilmu itu, lalu untuk apa semua jerih payah itu dia lakukan kalau hasilnya tidak dinikmati" Akan tetapi, yang mengajaknya adalah kakak beradik yang masih muda dan yang sama sekali tidak dikenalnya. Dia harus lebih dulu yakin akan kejujuran mereka, harus lebih dulu mengenal tingkat kepandaian mereka, apakah mereka itu pantas mengaku dirinya sebagai guru mereka.
"Omitohud, kalau kalian mendesak, pinceng jadi tertarik juga. Akan tetapi pinceng harus mengenal benar kalian yang hendak mengaku sebagai murid pinceng. Bagaimana mungkin seorang guru tidak mengenal tingkat kepandaian murid sendiri" Mari kita ke tempat sepi dan ingin aku mengenal kepandaian kalian agar hatiku tidak ragu-ragu lagi." Setelah berkata demikian, kakek itu keluar dari rumah makan, diikuti oleh Liong Ki dan Liong Bi.
Mereka tiba di sebuah hutan kecil di luar kota. Di bawah sebuah pohon besar mereka berhenti dan Hek Tok Siansu tertawa senang. "Nah, sekarang pinceng ingin berkenalan dengan ilmu kepandaian kalian yang ingin mengaku sebagai murid pinceng." tantangnya sambil berdiri tegak, perut gendutnya menonjol ke depan, kedua lengan yang pendek tergantung di kedua sisi badan.
"Kak Liong Ki, biar aku yang akan minta petunjuk Lo-cian-pwe Hek Tok Siansu lebih dahulu." kata Liong Bi dan ia pun melangkah maju menghampiri kakek itu. Hek Tok Siansu tersenyum. Bagaimanapun juga, dua orang muda ini cukup gagah karena mereka tidak maju berdua mengeroyoknya. Sikap ini saja sudah menyenangkan hatinya dah membuat dia menduga bahwa tentu mereka ini memiliki kepandaian yang cukup boleh diandalkan maka berani maju satu demi satu.
"Liong Bi, majulah dan keluarkan semua kepandaianmu agar pinceng dapat menilalnya."
"Baik, Lo-cian-pwe. Sambut seranganku!" Liong membentak dan tubuhnya sudah menerjang dengan cepat sekali. Kedua tangannya menyambar-nyambar dalam bentuk cakar harimau, mencakar lambung dan muka secara bertubi, cepat dan mengandung tenaga dahsyat karena wanita itu memang sengaja mengerahkan tenaganya. Ia tidak main-main dan menyerang sungguh-sungguh karena ia pun ingin menguji kepandaian kakek itu, apakah pantas untuk dijadikan sekutunya.
Kakek itu diam-diam terkejut dan kagum. Ternyata gadis ini memiliki kekuatan kecepatan yang jauh di atas dugaannya semula. Dia masih menggeser kaki ke belakang dan kanan kiri untuk mengelak dari serangkaian serangan sepasang cakar harimau itu. Namun tiba-tiba kaki kiri Liong Bi mencuat dan menyambar ke arah pusarnya! Kakek itu terkejut dan cepat menangkis dengan lengannya.
"Dukk!" Akibatnya, tubuh Liong Bi terpental dan ia pun membuat gerakan salto jungkir balik tiga kali, sedangkan tubuh Hek Tok Siansu terdorong mundur dua langkah.
"Omitohud?"..engkau boleh juga, Nona!" kakek itu memuji. "Coba kau sambut seranganku ini!" Dan kini kakek itu menerjang maju, kedua tangan yang berlengan baju longgar dan lebar itu menyambar-nyambar dari kanan kiri, atas bawah. Gerakannya tidak nampak terlalu cepat, namun sambaran angin pukulan yang keluar dari kedua tangan itu mendatangkan angin dahsyat yangmenggerakkan pohon dan membuat daun-daun pohon rontok!
Liong Bi terkejut dan ia mempergunakan gin-kangnya untuk berkelebatan ke sana sini, menghindarkan diri dari sambaran tangan dan ujung lengan baju itu. Bahkan Liong Ki yang menonton di pinggir merasa terkejut, maklum bahwa kakek ini, seperti yang telah diduganya, memiliki ilmu kepandaian hebat. Sungguh akan menguntungkan sekali kalau dia dan Liong Bi mampu memikat orang seperti ini menjadi sekutu dan kawan.
Di lain pihak, Hek TokSiansu menjadi semakin kagum. Dia telah mempergunakan ilmu pukulan Angin Taufan, dan jarang ada orang yang mampu mempertahankan diri lebih dari belasan jurus menghadapi ilmu pukulan yang memiliki tenaga jarak jauh yang dahsyat ini. Akan tetapi, gadis muda ini mampu bertahan sampai dua puluh jurus lebih! Untung saja ia tadi maju seorang diri. Kalau kakaknya memiliki kepandaian seperti adiknya, dan mereka maju berbareng, belum tentu dia akan dapat mengalahkan mereka! Kiranya dia berhadapan dengan dua orang muda yang hebat; yang tidak akan mengecewakan untuk dijadikan sekutu atau pembantunya. Ketika dahulu dia berdua dengan Ban Tok Siansu, dialah yang menjadi pembantu karena Ban Tok Siansu sebagai suhengnya selalu memimpin. Sekarang kalau dua orang muda ini bekerja sama dengan dia, apalagi mengaku muridnya, berarti mereka ini dapat menjadi pembantu-pembantunya yang boleh diandalkan!
Tiba-tiba Hek Tok Siansu mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang marah dan gerakan tubuhnya berubah. Kini kedua tangan berikut lengan baju lebar itu menyerang bagaikan gelombang samudera bergulung-gulung dan ada uap kehitaman keluar dari gulungan serangan. itu! Liong Bi terkejut bukan main. Ia pun bertanding dengan sungguh-sungguh karena ia hendak menguji kepandaian orang. Menghadapi gelombang serangan ini, ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan ia pun mengeluarkan ilmu simpanannya yang ampuh, yaitu ilmu silat Pek-lian-kun (Silat Teratai Putih) dari Pek-lian-kauw. Gerakan silat ini mengandung kekuatan sihir, dan ilmu ini ia pelajari dari mendiang tiga orang gurunya, yaitu Pel-lian Sam-kwi. Ada uap putih keluar dari kedua tangannya ketika ia memainkan ilmu ini.
Akan tetapi, begitu bertemu dengan gelombang serangan dahsyat dari Hek Tok Siansu, Liong Bi terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. "Brettt?"!!" Liong Bi meloncat ke belakang sambil berteriak kaget dan mukanya. Berubah merah, kedua tangannya menutupkan kembali bajunya yang terobek dan terbuka.
"Aih, Lo-cian-pwe nakal?"?" katanya manja.
"Omitohud, sekali tanganku menyerang, harus menjatuhkan korban. Karena pinceng tidak ingin merobohkanmu, maka terpaksa pinceng merobek baju itu sebagai gantinya." kata Hek Tok Siansu dan dari sikap dan bicaranya saja tahulah Liong Bi bahwa kakek ini tidak dapat disamakan dengan mendiang tiga orang gurunya. Kakek kulit hitam ini tidak menjadi hamba nafsu berahinya, dan, penyobekan bajunya tadi bukan karena watak cabulnya, melainkan untuk menunjukkan bahwa dia lebih unggul.
"Ilmu kepandaian Lo-cian-pwe hebat, aku mengaku kalah." kata Liong Bi dengan sejujurnya karena ia maklum kalau mereka bertanding sungguh-sungguh, ia tidak akan mampu mengalahkan kakek ini. Hek Tok Siansu tertawa senang.
"Engkau pun hebat, Liong Bi, dan pinceng tidak akan malu diakui sebagai guru olehmu. Nah, Liong Ki, sekarang giliranmu. Majulah dan mari kita main-main sebentar.
"Baik, Lo-cian-pwe. Sambutlah seranganku ini!" Liong Ki menerjang maju dan seperti juga Liong Bi, dia tidak main-main, mengerahkan tenaga sin-kangnya dan mengeluarkan ilmu silat yang ampuh, untuk mengalahkan lawan. Karena dia tadi melihat betapa gerakan kakek itu ketika menyerang dan mengalahkan Liong Bi menda tangkan angin dan gelombang dahsyat, maka begitu menyerang dia pun menggunakan ilmu Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru angin)! Gerakannya cepat dan mendatangkan angin yang cukup dahsyat.
"Omitohud"...!!" Hek Tok Siansu berseru kaget dan kagum. Kalau tadi dia mengenal ilmu silat yang dimainkan Liong Bi berasal dari Pek-lian-kauw, sekarag dia menghadapi permainan silat yang sama sekali tidak dikenalnya, namun yang dahsyatnya bukan main. Pemuda ini ternyata lebih lihai daripada adiknya! Tentu saja kakek ini tidak tahu bahwa ilmu yang dimainkan Liong Ki itu adalah ilmu silat yang dia pelajari dari Si Pendekar Sadis Ceng Thian Sin!
Karena dia merasa bahwa kalau sampai dia kalah oleh pemuda ini, bukan saja dia akan gagal memperoleh kedudukan tinggi, juga tentu pemuda itu tidak jadi menariknya dan mengakuinya sebagai guru di depan Cang Taijin, maka Hek Tok Siansu juga tidak berani main-main. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan ilmunya yang memiliki gerakan aneh-aneh, yaitu ilmu yang diperolehnya selama puluhan tahun berkeliaran di sekitar Pegunungan Himalaya dan negara-negara sekitarnya.
Pertandingan itu memang seru dan hebat bukan main. Setiap kali keduanya terpaksa bertemu tangan mengadu tenaga, ternyata Liong Ki masih kalah kuat dan terdorong mundur sampai empat lima langkah, sedangkan lawannya hanya terdorong mundur dua langkah. Namun, dalam hal kecepatan Liong Ki dapat mengimbangi kakek itu, dan dia pun memiliki lebih banyak ilmu silat tinggi yang tidak dikenal kakek itu dan membuat kakek itu agaknya sukar untuk mengalahkannya.
Setelah lewat empat puluh jurus kakek itu lalu berjongkok dan mendorong dengan kedua tangan ke depan, seperti seekor katak besar hendak meloncat. Dari kedua telapak tangannya menyambar tenaga dahsyat disertai uap hitam! Liong Ki mengenal ilmu pukulan yang amat berbahaya, maka dia pun meloncat ke samping untuk menghindar. Baru saja kedua kakinya kembali ke atas tanah, kakek itu sudah menerjangnya lagi, sekali ini tubuh kakek itu bergulingan seperti seekor trenggiling. Kaki tangannya menyerang ketika dia bergulingan itu dan menghadapi serangan aneh ini, Liong Ki terkejut dan terdesak. Ke mana pun ia mengelak, tubuh yang bergulingan itu selalu mengejarnya. Akhirnya, terpaksa Liong Ki menyambut kedua tangan lawan dengan tangannya ketika dalam keadaan jongkok seperti katak kakek itu sudah menghantamnya lagi.
"Plakk!" Dua pasang tangan bertemu dan saling melekat, dan pada saat itu, kaki Hek Tok Siansu menendang, mengenai paha Liong Ki dan tubuh pemuda itu pun terjengkang!
Namun Liong Ki dapat meloncat bangun dengan cepat dan dia pun memberi hormat kepada kakek itu. "Kepadaian Locianpwe sungguh dahsyat, aku mengaku kalah."
Hek Tok Siansu tertawa bergelak sambil meraba-raba dagunya yang tak berjenggot. "Ha-ha-ha, selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan dua orang muda selihai kalian. Bahkan andaikata aku mempunyai murid, kiranya dia akan kalah kalau bertanding melawan seorang di antara kalian. Hebat, memang sudah pinceng dengar bahwa kini banyak bermunculan orang-orangmuda yang berkepandaian tinggi. Tentu sa ja pinceng merasa bangga kalau diperkenalkan sebagai guru kalian. Pinceng mau kalian ajak menghadap Menteri Cang, dan suka bekerja sama dengan kalian. Namun sebaiknya, kalian sebagai murid-murid angkat harus membantuku mencari seseorang sampai dapat."
"Tentu saja kami mau membantumu, Suhu!" kata Liong Ki dan mendengar sebutan itu, Hek Tok Siansu tersenyum. "Katakan siapakah orang itu dan di mana tinggalnya, pasti kami akan berusaha mencarinya. Kalau perlu kami dapat menyerahkan pasukan penyelidik?".."
"Bagus, itulah yang pinceng kehendaki. Orang yang pinceng cari-cari itu juga seorang pemuda yang lihai seperti engkau, namanya Tang Hay".."
"Hay Hay"..?" teriak Liong Ki
"Pendekar Mata Keranjang?" Liong Bi juga berseru sambil bangkit berdiri dari atas batu besar di mana ia tadi duduk.
"Oh, kalian sudah mengenal dia, bukan" Bagus sekali. Di mana dia sekarang?"
Liong Bi yang cerdik mendahului Liong Ki agar jangan salah bicara. "Kami memang mengenal Tang Hay atau Hay Hay Si Mata Keranjang itu, Suhu, akan tetapi kami tidak tahu di mana dia sekarang. Akan tetapi, apakah hubungan Suhu dengan dia dan mengapa pula Suhu mencari Hay Hay?" Mereka tentu saja khawatir mendengar orang yang dicari kakek ini Hay Hay, musuh besar mereka! Kalau kakek ini sanak keluarga atau sahabat baik Hay Hay, celakalah mereka.
Hek Tok Siansu adalah seorang yang merasa dirinya datuk yang menduduki tingkat tinggi, maka dia tidak merasa perlu untuk menyembunyikan sesuatu karena tidak ada yang ditakutinya di dunia ini. Mendengar pertanyaan Liong Bi tadi, mulutnya yang selalu tersenyum sinis itu kini menyeringai.
"Tang Hay adalah musuhku dan pinceng mencari dia untuk membunuhnya. Mendengar ini, Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. Hati mereka lega dan senang, akan tetapi mereka cerdik dan ingin yakin lebih dahulu. "Lo-cian-pwe, apakah yang telah dilakukan Tang Hay maka Lo-cian-pwe hendak membunuhnya " Apa dosanya"
"Ha-ha-ha, dosanya besar sekali! Bersama Kim Mo Siankouw, Tang Hay telah membunuh tiga orang suhengku yang bernama Gunga Lama, Janghau Lama, dan Pat Hoa Lama. Aku sudah berhasil membunuh Kim Mo Siankauw, tinggal Tang Hay yang belum dapat kutemukan."
Barulah hati kedua orang muda itu yakin dan merasa gembira bukan main. Apalagi Liong Bi yang sudah mendengar tentang tiga orang pendeta Lama yang dimaksudkan oleh Hek T ok Siansu tadi. Tiga orang pendeta Lama itu adalah tiga orang sakti yang berusaha untuk memberontak di Tibet dan dapat dihancurkan oleh Dalai Lama dan pasukannya. Kiranya Hay Hay juga membantu pembasmian pemberontakan itu.
"Kalau begitu, sungguh kebetulan sekali, Suhu!" kata Liong Ki dengan girang. "Ketahuilah bahwa kami pun membenci anak jai-hwa-cat Ang-hong-cu itu! Dia adalah musuh besar kami pula!"
"Hemm, begitukah" Pinceng juga sudah mendengar bahwa pemuda bernama Tang Hay itu anak jai-hwa-cat Ang-hong-cu (penjahat pemetik bunga Si Kumbang Merah). Dia harus membayar kematian tiga orang suhengku. Akan tetapi kenapa pula kalian memusuhinya?"
Anak jai-hwa-cat itu sombong dan jahat bukan main, Suhu." kata Liong Bi. "Aku pernah bertemu dengan dia dan hampir saja dia memperkosaku, kalau saja tidak muncul kakak Liong Ki yang menyelamatkan aku."
"Benar, dia memang jahat dan kejam, penjahat cabul seperti ayahnya. Julukannya saja Pendekar Mata Keranjang. Aku pun pernah bentrok beberapa kali dengan penjahat itu. Kami akan membantu sekuat tenaga untuk menyelidiki di mana pemuda jahat ituberada, Suhu. Sekarang, marilah kita meghadap Cang Taijin dan Suhu akan kami perkenalkan dengan beliau."
Mereka bertiga meninggalkan hutan, kembali ke kota dan langsung menuju ke istana Menteri Cang Ku Ceng. Menteri Cang menerima kunjungan Hek Tok Siansu dengan gembira. Menteri yang bijaksana ini memang pandai menghargai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Apalagi ketika kakek gundul itu diperkenalkan oleh dua orang pembantunya sebagai guru mereka, dia menyambut dengan hormat. Setelah berbincang-bincang sejenak, dengan ramah Menteri Cang memberi ijin kepada Liong Ki yang mohon perkenan agar untuk sementara "gurunya" tinggal bersama dia di kamarnya. Bahkan kepada Menteri Cang, Liong Ki mengatakan dia akan membujuk gurunya agar suka melatih ilmu kepada keluarga Cang dan kepada para perwiranya.
Ketika Liong Ki dan Liong Bi meninggalkan ruangan dalam di mana mereka tadi diterima Cang Taijin, sambil mengajak Hek Tok Siansu, dan mereka menuju ke perumahan di belakang dalam komplek lingkungan istana menteri itu, mereka berjumpa dengan Mayang. Gadis ini memang sudah mulai merasa tidak senang kepada Liong Ki dan Liong Bi, walaupun perasaan itu dipendamnya saja di dalam dada karena tidak ada alas an yang dapat dijadikan bukti. Sikapnya dingin saja ketika ia berjumpa dengan tiga orang itu, hanyadiam-diam ia heran melihat dua orang itu berjalan bersama seorang kakek pendeta gundul berjubah kuning.
"Mayang, perkenalkan. Ini adalah guru kami?"." kata Liong Ki.
Mayang mengerutkan alisnya. Setahunya, guru Liong Ki atau Sim Ki Liong adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya di pulau Teratai Merah.
"Gurumu?"?"gumamnya.
"Ini adalah guruku, suhu Hek Tok Siansu." L.iong Bi memotong cepat dan Liong Ki yang menyadari kesalahannya cepat menyambung.
"Sekarang menjadi guruku pula, Mayang. Aku telah mengangkat lo-cian-pwe ini
menjadi guruku.
Mayang mengangguk-angguk, walaupun masih agak ragu, namun keterangan pemuda itu masuk akal. Bisa saja dia mengangkat guru orang lain lagi karena gurunya di pulau Teratai Merah sudah tidak mengakuinya lagi, pula apa salahnya kalaudian berguru lagi kepada orang pandai" Dengan sikap acuh saja ia lalu meninggalkan mereka.
"Siapakah nona itu" Ia seperti bukan gadis Han." kata Hek Tok Siansu tertarik.
"Memang ia peranakan Tibet, Suhu. Sebetulnya ia jahat sekali dan dapat menjadi penghalang kemajuan kita. Aku sudah ingin melenyapkannya saja, akan tetapi selalu dilarang kakak Liong Ki karena dia dan gadis itu saling mencinta, atau lebih tepat, dia tergila-gila kepada Mayang."
"Mayang?"
"ya, nama gadis itu Mayang. Ia terbawa oleh kami ke sini, akan tetapi agaknya ia tidak suka kepada kami, atau hendak mengambil jalan sendiri. Agaknya ia hendak memikat hati Cang-kongcu, putera Menteri Cang dengan kecantikannya dan kalau ia berhasil, kami yakin ia tentu akan mempergunakan kekuasaanya untuk medesak kami." kata pula Liong Bi.
"Omitohud, alangkah jahatnya. Memang sudah sepatutya kalau ia dilenyapkan." kata
kakek itu. Mendengar ini, Liong Ki dan Liong Bi merasa girang dan mereka maklum bahwa mereka boleh mengandalkan tenaga bantuan kakek ini. "Suhu," kata Liong Ki, "sebaiknya memang Mayang itu dilenyapkan, akan tetapi aku sudah terlanjur jatuh cinta padanya dan aku tidak tega membunuhnya. Aku ingin agar ia dapat kutundukkan, menjadi milikku dan kalau sudah begitu, aku dapat menguasai dan mempengaruhinya agar ia selalu taat kepadaku. Kuharap dalam hal ini Suhu suka membantuku."
"Omitohud, engkau terlalu memandang rendah dirimu sendiri Liong Ki. Kulihat kepandaian kalian sudah cukup hebat, apa sukarnya menundukkan seorang gadis muda seperti itu" Memang masih memerlukan bantuan pinceng?"
"Suhu tidak tahu, Mayang itu memiliki kepandaian yang cukup lihai. Ia pun kebal terhadap ilmu sihir. Dan ia pun amat berbahaya bagi Suhu sendiri!" kata Liong Bi.
"Heh" Berbahaya bagi pinceng" Kenapa?"
"Ia adalah murid Kim Mo Sian-kouw." Hwesio itu terbelalak. "Omitohud! Jadi ia murid Si Rambut Emas itu" Kalau ia tahu bahwa gurunya mati di tanganku, tentu ia akan memusuhiku. Kalau begitu, memang sudah sepatutnya ia dilenyapkan." kata Hek Tok Siansu.
"Lebih dari itu, Suhu, ia adalah adik tiri dari Tang Hay. Ia juga puteri Si Kumbang Merah, berlainan ibu." Kata Liong Ki.
"Bagus, bagus! Serahkan ia kepada pinceng. Pinceng akan melenyapkan tanpa ada yang mengetahuinya, jangan khawatir?""
"Ah, tidak, Suhu. Maksudku bukan begitu. Aku cinta padanya, dan akan merasa sayang sekali kalau ia dilenyapkan. Aku menghendaki agar ia jatuh ke dalam pelukanku, agar ia menjadi milikku dan kalau sudah begitu tentu ia akan tunduk kepadaku."
"Ooh-ho-ho-hoh, kiranya begitu maksudmu" Cinta memang dapat membuat orang melakukan apa saja. Baik, pinceng akan membantumu. Apa yang harus pinceng lakukan" Menangkapya, menelikungnya lalu menyerahkan kepadamu?" .
"Tidak, suhu. Aku tidak ingin menggunakan kekerasan terhadap Mayang. Aku terlalu mencintanya. Kita harus menggunakan cara halus dan akan kuberitahu kepada suhu kalau saatnya tiba sekarang ini ada dua hal penting yang kami berdua harapkan bantuan dari suhu."
"Hemm, bantuan apa lagi yang kalian harapkan dari pinceng?"
Kini Liong Bi yang menjelaskan. "Suhu, kami ingin sekali meningkatkan kedudukan kami. Menteri Cang mempunyai dua orang anak. Yang laki-laki bernama Cang Sun dan yang perempuan bernama Cang Hui. Nah, kalau aku dan koko Liong Ki dapat berjodoh dengan mereka, tentu dengan sendirinya derajat dan tingkat kedudukan kami akan naik. Dan sebagai guru kami, tentu suhu juga terangkat derajatnya. Kami berdua sudah melakukan usaha pendekatan dan hampir berhasil, akan tetapi akan selalu Mayang itu yang menghalangi dan menggagalkan usaha kami. Kami mohon bantuan suhu agar Cang-kongcu itu tergila-gila kepadaku, dan Cang-siocia tergila-gila kepada kakak Liong Ki.
"Ho-ho-ha-ha! Demikian banyaknya permintaan bantuan dari kalian kepadaku! Dan apa imbalannya" Kalau hanya makan minum enak saja, setiap saat aku dapat memperolehnya tanpa susah payah."
"Ingat, Suhu. Kmi sudah berjanji akan membantu mencarikan Tang Hay, musuh besarmu itu. Dan kedua, di istana keluarga Cang ini Suhu mendapat kedudukan baik sebagai guru kami,bahkan kami dapat memintakan kepada Cang Taijin agar Suhu memperoleh pangkat yang resmi. Dan ketiga,kalau kami berdua sudah menjadi mantu keluarga Cang, berarti kedudukan Suhu ikut naik dan kita dapat meningkatkan lagi kedudukan kita karena sudah semakin dekat dengan istana kaisar. Bukankah itu berarti bahwa kita bertiga akan. menikmati nama besar, kedudukan tinggi, kemuliaan dan harta benda?"
Hwesio itu tertawa dan perut gendutnya terguncang-guncang. Dia merasa gembira sekali telah dapat berkenalan dengan dua orang muda yang cerdik ini.
"Ha-ha-ha-ha, kalian memang berjodoh sekali dengan pinceng. Kalian masih muda namun sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan yang lebih lagi, kalian memiliki kecerdikan luar biasa. Baik, pinceng akan membantu kalian."
*** () *** "Kui Hong. Bagaimanakah engkau ini" Sudah sering datang pinangan, namun engkau selalu menolak. Engkau sudah cukup dewasa dan ayah ibumu sudah ingin melihat engkau menikah, Nak. Pinangan sekali ini datang dari murid Kun- lun-pai yang gagah, bahkan dia putera ketua Kun-lun-pai. Bagaimana engkau menolaknya pula" Sungguh kami merasa amat tidak enak hati," kata Ceng Sui Cin kepada puterinya.
"Maaf, Ibu dan Ayah. Aku sudah tidak mempunyai sedikit pun keinginan untuk menikah. Kalau dipaksakan, tentu aku hanya akan hidup menderita dan kecewa, dan aku yakin Ayah dan Ibu tidak ingin melihat aku hidup menderita, bukan" Biarlah aku seperti sekarang ini, di samping Ayah dan Ibu, mengurus Cin-ling-pai."
Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang dengan alis berkerut. Mereka mengamati wajah puteri mereka. Kini Kui Hong jauh berbeda dengan gadis lincah jenaka yang dahulu lagi. Tubuhnya kurus, matanya tidak memancarkan cahaya seperti dahulu, mulut yang biasa tersenyum itu kini merapat, dan kalau dahulu ia ramah gembira dan suka berceloteh, kini menjadi seorang gadis yang pendiam, kaku dan seperti mayat hidup saja.
"Kui Hong, pikirkanlah baik-baik," kini ayahnya berkata. "Kurasa para peminang itu memenuhi segala syarat. Ada yang kaya raya, ada putera bangsawan, ada pula seorang pendekar yang memiliki nama terkenal, akan tetapi engkau selalu menolak. Bahkan diperkenalkan pun tidak mau. Seolah-olah engkau memang sudah mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya. Betulkah ?"
Gadis itu mengangkat mukanya, memandang kepada ayahya, lalu kepada ibunya. Suami isteri itu hampir tidak tahan menerima pandang mata itu. Pandang mata yang amat menyedihkan. Mata itu nampak lebar karena mukanya kurus.
"Ayah, menikah berarti penyerahan diri kepada seseorang yang untuk selama hidup menjadi teman. Bagaimana mungkin aku menyerahkan sisa hidupku kepada seseorang yang sama sekali tidak kukenal, sama sekali tidak kusukai" Daripada kelak menderita sengsara di samping orang yang tidak kusayang, lebih baik hidup seorang diri. Aku yakin Ayah dan Ibu cukup bijaksana untuk tidak memaksaku menyerahkan diri dan sisa hidupku kepada orang yang tidak kucinta."
Gadis itu menunduk kembali dan suami isteri itu saling pandang. Sudah lama mereka berdua sering bicara dalam kamar mengenai puteri mereka ini. Setelah saling pandang dengan suaminya dan menghela nafas berulang-ulang untuk mencari kekuatan, akhirnya Ceng Sui Cin yang bertanya, "Kui Hong, apakah sampai sekarang engkau masih tetap mencinta Tang Hay?"
Bagaikan disengat kalajengkit rasanya ketika Kui Hong mendengar disebutnya nama ini oleh ibunya. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa ibunya akan menyebut nama ini. Alisnya berkerut, wajahnya berubah pucat dan jantungnya seperti ditusuk. Ia mengangkat muka memandang kepada ayah ibuya dan melihat betapa mereka mengamatinya dengan sinar mata tajam penuh selidik. Muncul perlawanan dalam hatinya. Selama ini ia menderita batin karena penolakan ayah ibunya terhadap diri Tang Hay, dan kini ibunya masih bertanya apakah ia masih tetap mencinta pemuda itu!
"Ibu dan Ayah!" jawabnya dan suaranya mengandung kekerasan. "Apakah cinta kasih itu dapat berubah dan dapat diganti begitu saja" Tentu saja aku masih mencinta Hay-koko, dan sampai mati pun aku akan tetap mencintanya. Hanya dengan dialah aku mau menikah. Perlukah hal ini kutegaskan lagi" Ayah dan Ibu sudah tidak setuju, kenapa mesti mengungkit kembali dan menyebut namanya?"
Suami isteri itu kembali saling pandang. "Kui Hong, jangan salah mengerti. Ayah ibumu amat sayang kepadamu dan engkau tentu sudah tahu mengapa dahulu kami tidak setuju engkau berjodoh dengan Tang Hay ?"?"
Kui Hong bangkit berdiri, tusukan pada jantungnya terasa semakin menghujam dalam. "Ayah, tidak perlu dijelaskan lagi, aku sudah cukup mengetahui! Ayah dan Ibu menolak karena Hay-koko adalah seorang anak haram, lahir dari perkosaan, ayahnya seorang jahanam busuk Ang-hong-cu, seorang jai-hwa-cat terkutuk!" Dalam suaranya ini terkandung isak dan beberapa butir air mata mengalir keluar dari sepasang matanya. "Perlukah Ayah dan Ibu mengingatkannya kembali dan menekan-nekan, menggosok-gosok luka di hatiku agar pecah kembali?"
"Kui Hong, kau kira kami sekejam itu terhadap anak sendiri?" Ceng Sui Cin mendekat dan memegang kedua tangan puterinya. "Kui Hong, kalau kami dahulu menolak adalah karena kami amat sayang kepadamu, kami ingin melihat engkau memperoleh jodoh seorang laki-laki keturunan terhormat. Kami hanya memikirkan masa depanmu, Nak. Akan tetapi, kalau sampai sekarang engkau tidak dapat melupakan dia, masih tetap mencintanya, dan hanya mau berjodoh dengannya, kalau memang hanya menjadi isterinya saja yang akan membahagiakan hatimu, kami juga tidak dapat melarangmu ?"".."
Kui Hong terkejut, memandang kepada wajah ibunya, lalu ayahnya. "Apa maksud Ibu dan Ayah ?"..?"
Kini Hui Song berkata, "Sudah lama aku dan ibumu memperbincangkan soal ini, Kui Hong. Akhirnya kami bersepakat bahwa kalau memang tidak ada pilihan lain, dan engkau tetap memilih Tang Hay menjadi suamimu, kami berdua tidak akan melarangmu lagi. Kau carilah dia dan ajaklah dia ke sini agar kami dapat bercakap-cakap dengan calon suamimu itu."
Kui Hong terbelalak, merasa seperti dalam mimpi, hampir tidak dapat percaya, tadinya menatap wajah ayahnya, lalu perlahan-lahan memandang ibunya dan berbisik, "Ibu ?", Ibu ?".., benarkah ?".?"
Ceng Sui Cin tersenyum. Matanya basah. "Benar, Anakku. Kami teringat bahwa kami pun pernah memiliki nenek moyang yang menyeleweng. Kalau ayahnya tersesat, belum tentu anaknya juga jahat. Kami telah bersikap tidak adil kepadamu, maafkan kami."
"Ibu ?""..!" Kui Hong menjerit, merangkul ibunya dan bertangisan. Kemudian ia melepaskan ibunya dan menubruk ayahnya.
"Ayah ?""!"
Suami isteri itu merasa terharu. Sekarang mereka yakin benar bahwa puteri mereka ini
amat mencinta Tang Hay. Hanya karena ingin berbakti saja kepada mereka, Kui Hong mengorbankan perasaannya, rela hidup terpisah dari kekasihnya, demi mentaati orang tua.
"Kui Hong, engkau cepatlah pergi mencari Tang Hay, ajak dia ke sini. Aku ingin mengenalnya lebih baik." kata Hui Song.
"Akan tetapi, tahukah engkau ke mana harus mencarinya, Anakku?" tanya ibunya.
Kui Hong tersenyum dan menyusut air matanya dengan sapu tangan, lalu mengangguk. "Aku pasti akan dapat menemukannya, Ibu. Memang aku tidak tahu, dia berada di mana sekarang. Akan tetapi aku akan mencarinya, sampai dapat! Pernah dia berkata bahwa kalau kami sudah menikah, dia ingin tinggal di kota raja. Dia suka tinggal di sana karena ramai dan mudah mendapatkan pekerjaan di sana. Apalagi dia mengenal baik Menteri Cang yang bijaksana, yang tentu akan suka memberi pekerjaan kepadanya. Aku akan mencarinya ke kota raja!"
Setelah berpamit dari ayah ibunya, kakeknya, dan menyerahkan semua urusan Cin-ling-pai kepada ayahnya, Cia Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai pada keesokan harinya dan ayah ibu serta kakeknya yang mengantarnya sampai keluar pintu gerbang Cin-ling-pai, diam-diam merasa terharu dan juga gembira melihat betapa keputusan mereka itu dalam sehari semalam saja telah mengubah diri Kui Hong secara hebat, yang tidak mungkin dapat dihasilkan oleh obat yang bagaimana manjur sekali pun. Gadis itu seperti telah menemukan dirinya kembali, telah kembali seperti dahulu, lincah gagah dan penuh semangat, dengan sepasang mata yang kini bersinar-sinar, wajah yang berseri-seri dan bibir yang tersenyum manja.
Ceng Sui Cin merangkul anaknya. "Aku akan bersembahyang setiap hari, berdoa agar engkau segera dapat bertemu dengan dia dan mengajaknya pulang ke sini, Kui Hong."
"Terima kasih, Ibu, dan jangan khawatir, aku pasti akan dapat menemukannya dan mengajaknya menghadap Ayah dan Ibu. Selamat tinggal." Kui Hong mencium pipi ibunya yang basah, dan kini ia tidak menangis lagi, melainkan tersenyum melambaikan tangan kepada ayah, ibu dan kakeknya. Kemudian, ia pun berlari menuruni lereng gunung dengan cepat, bagaika seekor burung terbang meninggalkan sarangnya.
Memang Kui Hong telah menemukan kembali dirinya. Semenjak ditinggal pergi Hay Hay yang membuat ia jatuh sakit, ia seperti kehilangan semangat, kehilangan gairah hidup. Biarpun ia giat mengurus Cin-ling-pai, membangun kembali perkumpulan nenek moyangnya itu yang baru saja mengalami malapetaka besar dengan menyelundupnya tokoh-tokoh sesat yang hendak menghancurkan Cin-ling-pai, namun ia bekerja seperti boneka hidup saja. Ia tidak memperdulikan dirinya sendiri sehingga tubuhnya kurus, bahkan rambutnya yang hitam panjang itu nampak kusut tak terpelihara. Semangat dan gairah hidupnya lenyap terbawa pergi bayangan Hay Hay.
Kini, harapan bertemu dan bersatu kembali dengan Hay Hay memulihkan keadaannya, mengembalikan gairahnya. Ia tahu benar bahwa Hay Hay amat mencintanya, bahwa kepergian pemuda itu meninggalkannya merupakan bukti dari cintanya yang sejati. Pemuda itu rela berkorban, rela berpisah dan menderita batin demi Kui Hong! Pemuda itu meninggalkannya karena dia tidak ingin melihat Kui Hong bentrok dengan orang tuanya. Ia dapat membayangkan betapa Hay Hay tentu pergi meninggalkannya dengan hati hancur. Ia yakin benar bahwa Hay Hay, biarpun putera Ang-hong-cu, sama sekali tidak dapat disamakan dengan ayahnya yang jai-hwa-cat itu Orang boleh menjulukinya Pendekar Mata Keranjang, namun itu hanya karena wataknya yang gembira, suka bergurau suka akan keindahan dan tidak menyembunyikan rasa kagumnya terhadap keindahan, termasuk kecantikan wanita. Karena keterbukaannya itulah maka dia dikatakan-mata kerajang, padahal ia tahu benar bahwa di lubuk hatinya, Hay Hay tidak mempunyai pikiran yang cabul. Dia bukan hamba nafsu berahinya. Hal ini ia ketahui benar setelah lama bergaul dengan dia. Dahulu pun ia pernah mengira bahwa Hay Hay seorang pemuda yang sama dengan ayahnya, suka berjina dan berbuat mesum dengan wanita cantik mana saja. Akan tetapi sekarang ia sudah yakin.
Kui Hong melakukan perjalanan cepat. Ia tidak tahu bahwa baru tiga hari setelah ia meninggalkan Cin-ling-pai, seorang gadis yang cantik jelita, bertahi lalat di dagunya, mendakl gunung Cin-ling-san dengan gerakan cepat dan ringan menunjukkan bahwa ia seorang gadis yang berilmu tinggi. Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Bi Lian. Seperti kita ketahui, pada saat Bi Lian menjadi pengantin dengan Pek Han Siong, dalam pesta perayaan pernikahan itu muncul Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu yang mendendam karena menganggap bahwa kematian Ceng Hok Hwesio ketua kuil Siauw-limsi adalah karena ketua Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, orang tua Bi Lian. Ceng Hok Hwesio menyiksa diri, bertapa sampai mati dan dua orang pendeta aneh ini menyalahkan Siang Koan Cikang dan isterinya, dan mereka datang untuk minta pertanggungan jawab. Terjadilah bentrokan di mana Ban Tok Siansu bertanding melawan Siangkoan Ci Kang yang mengakibatkan tewasnya Ban Tok Siansu, akan tetapi Siangkoan Ci Kang juga roboh dan terkena pukulan beracun yang hebat dari Ban Tok Siansu. Hek Tok Siansu membawa jenazah suhengnya dan pergi.
Keluarga Siangkoan menjadi geger Luka yang diderita Siangkoan Ci Kang amat parah, pukulan beracun itu sukar diobati sampai sembuh. Han Siong dan Bi Lian, juga ibu Bi Lian, hanya dapat memberi obat agar racun tidak menjalar saja, akan tetapi tidak mampu menyembuhkan sama sekali. Mereka lalu membagi tugas. Han Siong melakukan pengejaran kepada Hek Tok Siansu untuk minta obat penawar, sedangkan Bi Lian pergi mencari Hay Hay untuk meminjam mustika penyedot racun yang dimiliki Hay Hay.
Han Siong telah memberitahu kepadanya bahwa sebaiknya dia mencari Hay Hay ke
Cin-ling-san, karena ketika mereka saling berpisah dahulut Hay Hay pergi bersama Kui Hong. Setidak nya, di Cin-ling-pai tentu Bi Lian akan dapat memperoleh keterangan di mana adanya Hay Hay. Demikianlah, pagi hari itu, dengan mempergunakan ilmu berlari cepat, Bi Lian mendaki pegunungan Cin-ling-san, sama sekali tidak tahu bahwa baru tiga hari yang lalut Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai melalui lereng yang lain.
Karena pikirannya penuh dengan kekhawatiran akan keadaan ayahnya. Maka Bi Lian melupakan urusannya sendiri. Andaikata ia tidak memikirkan keadaan ayahnya mungkin ia akan berduka sekali. Betapa tidak" Ia baru saja melangsungkan pernikahannya dengan Han Siong. Peristiwa besar dan penting baginya itu tengah dirayakan dan terjadikan kegegeran itu yang kini membuat ia terpisah dari suaminya! Ia menjadi isteri Han Siong hanya dalam upacara saja, belum menjadi isteri yang sesungguhnya, belum melewatkan malam pengantin! Namun pada saat itu, semua ini tidak ia hiraukan, bahkan tidak diingatnya lagi karena seluruh perhatiannya tercurah pada usaha mencarikan obat untuk menyembuhkan ayahnya.
Keluarga Cia di Cing-ling-pai menyambut kunjungan gadis perkasa ini dengan heran. Akan tetapi ketika Bi Lian memperkenalkan namanya dan ingi mecari Cia Kui Hong atau Tang Hay, mereka pun segera menyambutnya dengan ramah. Dari Kui Hong mereka telah mendengar banyak tentang Siagkoan Bi Lian ini. Ketika Bi Lian mendengar bahwa baru tiga hari Kui Hong turun gunung untuk mencari Hay Hay, ia pun tidak ingin berhenti lama.
"Ke manakah adik Kui Hong mencari Hay Hay?" tanyanya.
"Menurut Kui Hong, ia akan mencarinya ke kota raja." jawab Ceng Sui Cin.
"Kalau begitu, harap Paman dan Bibi memaafkan, saya tidak dapat berhenti lama, saya ingin segera menyusul adik Kui Hong. Saya juga sedang mencari Tang Hay untuk meminjam mustika penyedot racun yang dimilikinya, untuk mengobati ayah yang terkena pukulan beracun."
Demikianlah, dengan tergesa-gesa Bi Lian berpamit dan pada siang hari itu juga ia menuruni kembali gunung Cia-ling-san untuk mengejar Kui Hong. Ia mengambil jalan ke arah kota raja dan mempergunakan ilmu berlari cepat. Akan tetapi karena Kui Hong juga mempergunakan ilmu berlari cepat, dan Bi Lian sering berhenti untuk bertanya-tanya dan mencari keterangan tentang Kui Hong agar tidak kehilangan jejak, tentu saja Bi Lian tertinggal jauh-jauh. Jarak antara mereka pada permulaan saja sudah tiga hari. Bagaimana juga, keduanya mengambil jalan yang sama, yaitu menuju ke kota raja.
*** () *** Sejak pertama kali melihat Hek Tok Siansu yang diaku guru oleh Liong Ki dan Liong Bi, hati Mayang merasa tidak enak sekali. la dapat menduga bahwa tentu kakek itu lihai bukan main dan jelas bukan guru Liong Ki. Ia tahu benar bahwa guru Liong Ki adalah Pendekar Sadis dan isterinya di pulau Teratai Merah. Kalau kedua orang itu mengakui kakek gendut itu sebagai guru dan mengajak mereka ke istana Menteri Cang, tentu ada maksud tertentu yang tersembunyi di balik perbuatan itu. Ia harus waspada.
Ia menemui Cang Hui dan Teng Cin Nio di kamar mereka dan dengan berbisik-bisik ia memberitahu kepada mereka akan kecurigaanya terhadap kakek gundul yag perutnya gendut itu.
"Aku mengenal guru Liong Ki, maka dengan pengakuannya sebagai guru terhadap kakek itu tentu ada maksud tertentu yang tidak sehat. Aku merasa curiga sekali. Adik Hui dan adik Cin, mulai sekarang kalian harus berhati-hati menjaga diri dan bersikap pura-pura tidak menaruh curiga apa pun. Jangan khawatir, aku selalu siap siaga menjaga kalian dan seluruh keluarga Cang."
"Mayang, apakah tidak sebaiknya kalau kuperingatkan ayah agar dia menangkap dan memeriksa mereka?" kata Cang Hui.
Mayang menggeleng kepala. "Tanpa bukti, bagaimana mungkin ayahmu bertindak"
Ayahmu adalah seorang yang bijaksana., tentu tidak mau bertindak tanpa bukti."
"Kalau begitu, akan kuberitahu kepada kakak Sun." kata Cang Hui.
Mayang mengangguk. "Akan tetapi hati-hati, jangan sampai dia menjadi kaget dan gelisah."
Cang Hui tersenyum melihat Mayang mengkhawatirkan kakaknya. "Ada engkau di sini, apakah dia perlu khawatir?"
Mayang menunduk dan melirik ke arah Cin Nio yang juga menjadi merah mukanya. "Kami semua mengharapkan perlindunganmu, mayang." kata Cin Nio yang merasa salah tingkah. Ia sudah mendengar dari sepupunya bahwa Cang Sun yang dicintanya akan tetapi tidak membalas itu jatuh hati kepada Mayang.
"Kami pun tidak akan tinggal diam, Mayang. Aku dan Cin Nio mulai sekarang akan selalu membawa pedang untuk menjaga diri. Kalau perlu, di waktu mandi atau tidur pun kami akan selalu membawa pedang!" kata Cang Hui bergurau karena ia merasa telah bicara terlalu banyak tadi sehingga menimbulkan suasana yang kikuk kepada dua orang gadis itu.
"Benar, Mayang. Dan kita juga harus berlatih lebih tekun. Gerakan pedang dengan jurus Ular Hitam Menyelam Samudera itu masih belum juga dapat kulakukan dengan baik." kata Cin Nio.
Mayang lalu melatih kedua orang gadis itu di taman bunga belakang kamar mereka. Pada sore hari itu, setelah mandi, Mayang berjalan-jalan di taman bunga seorang diri, melamun. Sesungguhnya ia sudah merasa bosan harus menipu keluarga Cang dengan berpura-pura menjadi sabahat Liong Ki dan Liong Bi. Betapa inginnya untuk membuka rahasia mereka itu kepada keluarga Cang, bahwa yang bernama Liong Ki sebenarnya bernama Sim Ki Liong, sedangkan Liong Bi sama sekali bukan adiknya, melainkan seorang wanita bernama Su Bi Hwa. Atau ia dapat. meninggalkan mereka begitu saja. Namun, di situ ada Cang Hui dan Cin Nio yang disayangnya, dan ada pula"..Can Sun! Berat rasanya meninggalkan mereka. Apalagi, Cang Taijin adalah seorang pembesar yang bijaksana, bersikap baik dan lembut kepadaya. Bersama keluarga Cang, ia merasa seperti bersama keluarga sendiri. Akan tetapi, cintanya terhadap Sim Ki Liong sudah lenyap sama sekali. Kini ia semakin yakin bahwa ada hubungan gelap yang memisahkan dan Su Bi Hwa. Ia merasa seperti dipermainkan saja. Kalau dahulu ia merasa iba kepada Ki Liong, mengharapkan dia akan bertaubat dan kembali ke jalan benar, menjadi pendekar, kini harapannya itu lenyap sama sekali. Sim Ki Liong agaknya tidak akan mau kembali ke jalan benar. Teringat ia akan usaha Liong Bi untuk memikat Cang Sun seperti diceritakan Gang Hui, dan ia melihat sendiri betapa Liong Ki berusaha memikat Cang Hui. Seringkali ia termenung memikirkan dua peristiwa mencurigakan itu.
Dan kini ia seperti menyadari apa artinya semua itu.. Agaknya Liong Ki sudah bersekongkol dengan Liong Bi. Jelas bahwa mereka yang sejak pertama sudah menggunakan siasat agar dapat diterima bekerja pada keluarga Cang itu, dengan jalan Liong Ki berkedok menculik Cang Sun lalu muncul Liog Bi menolongnya, kini mempunyai cita-cita yang lebih besar lagi. Agaknya kedua orang itu sengaja hendak memikat putera da puteri Menteri Cang. Kalau mereka dapat menjadi mantu Menteri Cang, berarti kedudukan mereka meningkat dan menjadi kuat! Tidak, mereka tidak boleh berbuat seperti itu. Mereka tidak boleh dibiarkan saja, dan ia yang akan menentang. Kalau memang putera dan puteri Menteri Cang jatuh cinta kepada mereka, tentu saja ia tidak akan mencampuri. Akan tetapi kalau Liong Ki dan Liong Bi mempergunakan daya pikat, dan menggunakan sihir apalagi kekerasan, ia harus melindungi keluarga Cang.
Mayang tenggelam ke dalam lamunan sampai-sampai ia tak menyadari bahwa senja telah lewat, lampu-lampu telah dinyalakan oleh para petugas, bahkan beberapa buah lampu tihang di dalam taman juga sudah dinyalakan. Malam mulai tiba, menyelimuti bumi dengan sayap hitamnya. Makin gelap, semakin asyik pula Mayang melamun, mengenangkan masa lalunya sejak ia kecil sampai sekarang.
Tiba-tiba teguran lembut menyentaknya bangun dari dalam lamunan."Mayang, engkau disini...?"


Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia cepat bangkit dan membalikkan tubuh. Kiranya ia sudah berhadapan dengan penegurnya tadi, yaitu Cang Sun. Wajah Mayang menjadi kemerahan karena lamunannya tadi justeru baru tiba pada diri Cang Sun. Dalam lamunan tadi ia membayangkan semua pengalamannya yang menyangkut perasaan cintanya, pertama kepada Hay Hay yang gagal karena pemuda itu ternyata kakaknya sendiri, ke dua cintanya kepada Sim Ki Liong yang kini pun gagal dan putus karena ternyata pemuda itu tidak berubah menjadi orang baik-baik, dan ke tiga ia sedang melamunkan Cang Sun yang di hormati dan dikagumi walaupun pemuda bangsawan itu tidak pandai silat. Dan tiba-tiba orangnya muncul, seperti menjawab lamunannya saja. Tentu kemunculan tiba-tiba ini membuatnya kaget dan juga tersipu.
"Ah, kiranya Cang-kongcu (tuan muda Cang)?"?" katanya tersenyum, sudah dapat memulihkan dan menenangkan hatinya.
Melihat gadis itu memberi hormat kemudian hendak melangkah pergi meninggalkannya, Cang Sun berkata lembut. "Mayang, jangan pergi, aku ingin bicara denganmu."
Mayang menahan langkahnya dan memandang kepada pemuda itu dengan mata penuh pertanyaan. Lampu taman yang muram membuat mereka seperti baying-bayang, akan tetapi dalam jarak dekat, mereka dapat saling pandang dengan cukup jelas. Mayang melihat betapa wajah pemuda itu bersungguh-sungguh seolah ada urusan penting sekali yang hendak dibicarakan dengannya.
"Ada urusan apakah, Kongcu?" tanyanya, melangkah maju mendekat.
"Duduklah, Mayang, agar kita dapat bicara dengan santai." Mayang mengangguk, duduk di atas bangku, dan pemuda itu pun duduk di atas bangku lain, berhadapan dengannya dalam jarak tiga meter. Angin malam bersilir sejuk, dan bulan mulai muncul di timur, melumasi puncak-puncak pohon dengan emas.
"Nah, katakan, ada urusan apakah, Cang-kongcu?" tanya pula Mayang, kini jantungnya agak berdebar karena selama ia berada di istana keluarga Menteri Cang, baru sekali ini ia duduk berdua saja dengan pemuda itu.
"Mayang, sebelumnya aku minta maaf kalau apa yang hendak kubicarakan ini tidak berkenan di hatimu, apalagi kalau sampai menyinggungmu. Maukah engkau berjanji sebelumnya bahwa engkau akan memaafkan aku?" ,
Gadis itu terbelalak namun matanya tetap sipit lucu dan mulutnya tersenyum ramah, lalu mengangguk. ."Tentu saja, Kongcu."
"Dan maukah engkau berjanji akan menjawab semua pertanyaanku dengan terus terang, apa adanya?"
Mayang kembali mencoba melebarkan matanya yang sipit. "Aih, ada apa sih, Kongcu" Engkau membuat aku tegang. Tentu saja aku akan menjawab sejujurnya." ,
"Mayang, kemarin aku mendengar dari adikku Cang Hui bahwa engkau tidak bertunangan dengan Liong Ki. Benarkah apa yang dikatakan adikku itu?"
Mayang merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Kenapa pemuda ini menanyakan hal itu" Akan tetapi ia sudah berjanji akan menjawab dengan jujur dan .memaafkan kalau tersinggung, maka ia pun mengangguk. "Benar, Kongcu."
Wajah pemuda itu nampak cerah dan bersemangat ketika dia mendengar jawaban ini. "Kalau begitu benar! Sungguh tidak kusangka sama sekali, Mayang. Tadinya aku mengira bahwa engkau benar tunangan dan calon isteri Liong Ki!"
"Kami hanya sahabat, Kongcu. Kami akrab sebagai sahabat."
"Sekarang pertanyaanku yang ke dua, harap kaujawab dengan. sejujurnya, Mayang. Biarpun kalian tidak bertunangan, akan tetapi apakah kalian saling mencinta" Maksudku, apakah engkau cinta kepada Liong Ki?"
Mayang mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah pemuda itu. "Kongcu, aku sudah berjanji akan memaafkan semua singgungan dan menjawab sejujurnya, akah tetapi setidaknya aku ingin sekali tahu mengapa Kongcu hendak mengetahui rahasia pribadiku, hal-hal yang menyangkut perasaan hatiku" Apa hubungannya semua itu dengan Kongcu?"
"Hubungannya dekat sekali, Mayang. Jawablah dulu sejujurnya, baru nanti akan kujelaskan kepadamu mengapa aku mengajukan semua pertanyaanku ini. Nah, kuulangi pertanyaanku, apakah engkau mencinta Liong Ki?"
Mayang menguatkan perasaan hatinya. "Kongcu minta agar aku menjawab sejujurnya. Kalau aku mengatakan tidak mencintanya, maka jawaban itu bohong, akan tetapi kalau aku mengatakan mencintanya, itu pun tidak benar. Sesungguhnya begini, Kongcu. Pernah aku tertarik dan suka kepadanya, bahkan mencintanya dan mau berkorban untuknya, akan tetapi akhir-akhir ini cintaku terhadap dirinya pudar dan luntur. Nah, itulah jawabanku yang sebenarnya. Saat ini aku tidak berbohong kalau kukatakan bahwa aku tidak cinta lagi kepadanya."
Cang sun mengerutkan alisnya. "ehh" Apakah cinta dapat berubah-ubah, apakah dari cinta akan timbul benci" Mengapa begitu, Mayang" Atau, engkau tidak dapat dan tidak mau memberi penjelasan mengapa cintamu terhadap Liong Ki berubah?"
"Kongcu, cinta tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Tadinya aku mengira bahwa dia benar-benar mencinta diriku, akan tetapi setelah aku mengetahui dengan penuh keyakinan bahwa dia hanya mempunyai cinta nafsu berahi belaka, aku sadar bahwa dia bukanlah pria yang kudambakan menjadi jodohku. Nah, hanya itu yang dapat kukatakan kepadamu, Kongcu, dan semua jawabku itu adalah sejujurnya seperti yang kujanjikan tadi."
sepasang mata pemuda itu bersinar girang mendengar jawaban Mayang, lalu dia berkata. "sekarang datang giliranku untuk menjelaskan mengapa aku ingin mengetahui urusan pribadimu. Begini, Mayang, orang tuaku selalu mendesak aku untuk menikah, akan tetapi aku belum dapat mentaati perintah mereka karena aku belum mendapatkan seorang gadis yang kuanggap cocok untuk menjadi sisihanku, belum ada gadis yang kucinta?". "
" Aku mendengar dari adik Cang Hui, bahwa engkau amat mencinta enci Cia Kui Hong, Kongcu." Mayang memotong.
Cang Sun tidak terkejut atau heran mendengar ini. Dari Cang Hui ia sudah tahu bahwa pergaulan antara adiknya dan Mayang amatlah eratnya sehingga mungkin saja Cang Hui menceritakan segala tentang dirinya. "Memang benar, Mayang. Akan tetapi seperti kau katakan tadi, cinta tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Aku mencintanya, akan tetapi ia tidak membalas cintaku, dan dengan terus terang ia mengakui bahwa ia mencinta pemuda lain. Aku memaklumi dan mencoba untuk melupakannya, akan tetapi sia-sia belaka. Setiap kali ayah ibu hendak menjodohkan aku dengan seorang gadis, aku selalu menolak karena aku teringat kepada Kui Hong, walaupun aku sudah tidak mengharapkannya lagi. Kemudian muncullah engkau, Mayang. Aku seolah melihat Kui Hong dalam dirimu, seolah menemukan pengganti Kui Hong. Aku langsung jatuh cinta padamu, Mayang. Akan tetapi, ketika aku mendengar bahwa engkau adalah tunangan Liong Ki, tentu saja aku mundur dengan penuh kekecewaan dan kepahitan. Kemudian, kemarin aku mendengar dari Cang Hui bahwa engkau tidak bertunangan dengan Liong Ki, maka hidup kembali semangat dan harapanku, Mayang, dan aku sengaja menemuimu untuk bicara sejujurnya. Mayang, aku cinta padamu. Mungkinkah hatiku dan hatimu yang keduanya menjadi korban cinta yang gagal, dapat dipersatukan, kita saling menghibur, saling mengobati dan saling mengisi?"
Mayang tertegun, mukanya menunduk, jantungnya berdebar. Tidak disangkanya sama
sekali bahwa Cang Sun akan membuat pengakuan cinta yang demikian terbuka dan jujur. Di dasar hatinya, ia merasa bangga dan senang karena ia sendiri memang mengagumi pemuda ini. Akan tetapi, bagaimana mungkin ia dapat membalas cinta Cang Sun" Banyak hal mengenai dirinya yang tidak diketahui pemuda bangsawan itu. Pertama, ia adalah anak Ang-hong-cu, seorang penjahat besar yang amat terkenal. Ke dua, ia hidup sebatangkara, seorang gadis miskin dengan seorang ibu yang janda dan tinggal jauh di puncak Awan Kelabu, di pegunungan Ning-jing-san dekat perbatasan Tibet. Dan yang ke tiga, ini merupakan hal yang paling gawat, ia memasuki istana keluarga Menteri Cang secara yang curang dan rendah, betapa Liong Ki dan tiong Bi bersiasat menolong Cang Sun sehingga mereka diterima bekerja di situ dan ia terbawa masuk. Semua ini harus ia ceritakan kepada cang Sun! Sebelum pemuda itu mengetahui segala hal ini dan mau memaafkannya, bagaimana mungkin ia berani menerima uluran cintanya"
"Mayang, kenapa engkau diam saja dan hanya menunduk" Pandanglah aku, jawablah. Aku telah bersikap sejujurnya kepadamu, dan kuharap engkau pun bersikap jujur. Aku telah siap andaikata aku harus menderita gagal cinta untuk ke dua dan terakhir kali. Kalau engkau memang tidak ada perasaan cinta kepadaku, dan tidak dapat menerima cintaku, katakan saja terus terang, aku tidak akan menyalahkanmu. Engkau seorang gadis yang gagah perkasa dan berilmu tinggi sedangkan aku hanya seorang pemuda yang lemah?"."
"Kongcu, jangan berkata demikian." Mayang memotong cepat, mengangkat muka dan memandang dan suaranya agak gemetar, "biarpun engkau seorang pemuda sastrawan yang tidak pernah belajar ilmu silat, namun aku kagum kepadamu, aku menghormatimu dan aku suka padamu." Akan tetapi tentang cinta, bagaimana seorang gadis seperti aku ini berani?""." Bagaikan seekor burung gagak dengan seekor burung dewata. Kongcu, berilah aku waktu beberapa hari. Pernyataan Kongcu ini terlalu tiba-tiba bagiku, tak tersangka-sangka, membuat aku bingung?"?"
Cang Sun mengangguk dan tersenyum, lalu bangkit berdiri. "Baiklah, Mayang. Aku juga mengerti bahwa sebagai seorang gadis, tidaklah semudah itu mengaku tentang cinta. Pergunakan waktumu untuk berpikir dan mengambil keputusan, aku tidak tergesa-gesa. Dan kalau engkau merasa sungkan untuk menyampaikannya kepadaku, boleh kau sampaikan lewat adikku Hui-moi, karena engkau lebih akrab dengannya. Nah, aku harus pergi sekarang. Tidak baik bagimu kalau terlihat orang lain kita berdua saja di sini."
Pemuda itu meninggalkan taman dan Mayang mengikuti langkahnya yang tegap dari belakang. Jantungnya berdebar keras. Dia mencintaku! Cang Sun mencintaku! Demikian hati itu bersorak. Akan tetapi, ia merasa rendah diri, juga merasa khawatir sekali. Bagaimana kalau kelak Cang Sun mengetahui siapa dirinya lalu memutuskan cintanya" Mengapa tidak tadi saja ia berterus terang" Akan tetapi, sekali berterus terang, ia harus membongkar semua rahasia Liong Kicdan Liong Bi dan tentu terjadi kegemparan. Dan rasanya terlalu berat baginya kalau perasaan bahagia karena pengakuan cinta Cang Sun ini dihancurkan oleh kenyataan tentang dirinya yang membuat Cang Sun menjauhkan diri. Mengerikan kalau sampai terjadi demikian. Biarlah untuk sementara waktu ini ia menikmati perasaan ini, perasaan bahwa ia dicinta oleh Cang Sun, pemuda yang diam-diam dikaguminya itu.
Malam itu di kamarnya Mayang tak dapat tidur pulas sampai jauh malam, hanya rebah telentang sambil melamun. Setelah akhirnya ia pulas, ia bermimpi indah, bersama Cang Sun ia berlayar mengarungi samudera luas, berdua saja dan segala kebahagiaan menyelimuti mereka berdua.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Menteri Cang memanggil Liong Ki, Liong Bi dan juga Mayang menghadap. "Kami hari ini akan melaksanakan tugas perjalanan ke utara yang akan memakan waktu kurang lebih satu bulan. Oleh karena itu, keselamatan keluarga kami di sini kami serahkan perlindungannya kepada kalian bertiga." Demikian, pesan pembesar itu yang di sanggupi oleh tiga orang pembantunya.
Kepergian Menteri Cang membuat Mayang lebih Waspada mengamati gerak-gerik Liong Ki dan Liong Bi, juga Hek Tok Siansu yang tinggal di kamar Liong Ki. Akan tetapi mereka bertiga itu tidak memperlihatkan sikap mencurigakan sehingga hatinya merasa lega. Ia pun memesan kepada Cang Hui dan Cin Nio untuk berhati-hati menjaga diri.
Mayang belum berani menceritakan kepada Cang Hui akan pernyataan Cang Sun kepadanya. Apalagi Cin Nio. Ia bahkan merasa kasihan sekali kepada Cin Nio. Cang Hui pernah bercerita kepadanya betapa Cin Nio mencinta Cang Sun dan mengharapkan menjadi jodoh Cang Sun seperti yang di harapkan orang tua pemuda itu, namun Cang Sun tidak membalas cintanya. Cinta Cang Sun tadinya hanya pada Cia Kui Hong, namun kemudian berpindah kepadanya karena Kui Hong tidak membalas perasaannya itu. Cin Nio adalah seorang gadis yang baik, dan Mayang merasa kasihan, tidak sampai hati untuk menceritakan tentang Cang Sun.
Malam itu adalah malam keempat semenjak Menteri Cang meninggalkan istananya. Cang Hui dan Cin Nio mengundang Mayang untuk makan malam di kamar mereka. Dua orang gadis bangsawan ini memang tidur sekamar, sebuah kamar besar dengan dua buah tempat tidur mereka. Makan malam di hidangkan di kamar itu oleh para pelayan yang di pimpin oleh Pek Lan, seorang pelayan kepercayaan Cang Hui.
Tiga orang gadis itu makan minum dengan gembira di dalam kamar itu, di layani oleh Pek Lan yang menuangkan anggur dalam cawan mereka. Karena beberapa malam mereka kurang tidur, mereka merasa letih dan kini mereka menghibur diri dengan minum anggur yang keras namun lembut.
Setelah makan dan minum beberapa cawan anggur, pipi mereka menjadi kemerahan dan sikap mereka pun lebih lincah.
"Mayang, mari kau terima pemberian selamat dariku dengan secawan anggur!" kata Cang Hui sambil memberi isyarat kepada Pek Lan yang dengan sigap sudah mengisi, kembali cawan mereka dengan anggur dari sebuah guci arak.
"Aih, adik Hui, pemberian selamat untuk apa?" tanya Mayang, tersenyum akan tetapi memandang heran.
Cang Hui yang sudah dipengaruhi hawa minuman keras tertawa. "Hi-hik, ini namanya kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu! Mayang, aku sudah mendengar semua dari Sun-ko tentang kalian, hi-hik."
Panas rasa kedua pipi Mayang mendengar ini dan ia pun mengerling ke arah Cin Nio dan mencela, "Ih, adik Hui kenapa bicara urusan itu".." Ia merasa tidak enak sekali terhadap Cin Nio. Ia mengerling dan melihat betapa Cin Nio tersipu, akan tetapi gadis itu dengan gagah mengangkat cawan araknya dan berkata.
"Mayang, aku pun merasa senang sekali mendengar itu dan aku pun ingin mengucapkan selamat!"
Akan tetapi Mayang menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Terima kasih atas k
Harpa Iblis Jari Sakti 19 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah 22
^