Jodoh Si Mata Keranjang 8

Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


nya pura-pura saja untuk menyembunyikan rasa senangnya, karena malu, seperti halnya Cin Ling.
"Ihh, engkau..... engkau merayuku, ya" Engkau mata keranjang!" Cing Ling hendak membalikkan tubuh meninggalkan Hay Hay, akan tetapi Hay Hay segera menjatuhkan diri berlutut dengan kaki
kirinya. "Cing Ling, sungguh mati, aku tidak bermaksud kurang ajar! Kalau ucapanku tadi menyinggungmu, maukah engkau mengampuni aku" Kita sudah bersahabat, bukan" Nah, maafkanlah aku dan aku tidak akan mengulang lagi ucapan yang akan menyinggung hatimu. Maafkan aku, kalau tidak, aku pun akan berlutut terus di sini sampai akhir jaman!"
Mendengar ucapan itu, mau tidak mau sang pengantin baru menghentikan langkahnya dan ketika ia menengok, ia menahan suara ketawanya melihat pemuda itu benar-benar berlutut menghadapnya. Belum pernah selama hidupnya gadis dusun ini mendapatkan kehormatan seperti itu, maka cepat-capat ia menghampiri Hay Hay dan berkata.
"Ihh, jangan begitu! Bangkitlah dan jangan berlutut, nanti bajumu menjadi kotor!"
"Tidak, sebelum engkau memaafkan aku, aku tidak akan mau bangkit, biar aku mati berlutut terus begini!"
"Baiklah, aku maafkan engkau.... nah, bangkitlah...."
"Sebut dulu namaku, baru aku mau bangkit."
Wanita muda itu menarik napas panjang. Ia merasa tidak berdaya menghadapi pemuda yang amat menarik hatinya ini. Akan tetapi ia juga sudah terikat, merasa kasihan dan suka kepada pemuda ini merasa seolah ia sudah mengenal pemuda ini selama bertahun-tahun karena pemuda ini bersikap sedemikian akrabnya.
"Aih, Hay Hay, bangkitlah, aku memaafkanmu." akhirnya ia berkata.
Hay Hay mengangkat muka memandang. "Cing Ling, bagaimana aku dapat percaya bahwa engkau memaafkan aku lahir batin" Jangan-jangan hanya di bibir saja. Aku tidak memuji kosong, aku bukan perayu, aku hanya mengatakan terus terang ketika aku menyatakan bahwa engkau memang cantik jelita dan manis sepetti bidadari. Benarkah engkau memaafkan aku?"
Wajah itu menjadi kemerahan dan Cing Ling menggigit bibirnya sendiri karena gemas. Minta maaf sambil mengulang lagi pujian-pujiannya! Sungguh selama hidupnya, dalam mimpi pun, belum pernah ia bertemu dengan seorang laki-laki seperti ini!
"Aku memaafkanmu." katanya mengangguk.
Hay Hay mengulurkan kedua tangannya. "Bangkitlah aku, Cing Ling, baru aku mau percaya bahwa engkau memang telah memaafkan aku. Bukankah kita telah menjadi sahabat baik?"
Wanita itu tersenyum. Apa pun, pemuda ini malah keluar manjanya! Karena semua itu dilakukan Hay Hay dengan sungguh-sungguh, maka Cing Ling terpaksa menjulurkan pula kedua tangannya, memegang tangan Hay Hay dan pemuda itu pun menggenggam kedua tangan yang kecil mungil itu, lalu bangkit berdiri tanpa melepaskan kedua tangan itu. Bagaikan dua ekor anak ayam yang lembut dan hangat, dua buah tangan kecil dalam genggangam itu gemetar dan Cing Ling menundukkan mukanya. Baru beberapa hari yang lalu ia mendapatkan pengalaman pertama berdekatan dengan pria, yaitu suaminya. Akan tetapi ia tidak pernah merasakan seperti sekarang ini! Digenggam kedua tangannya seperti itu, jantungnya seperti terguncang rasanya, membuat kedua kakinya menggigil dan tubuhnya panas dingin! Ia seperti kehilangan semua tenaganya, tidak kuasa melepaskan kedua tangan yang tergenggam.
Sementara itu, pada diri Hay Hay juga terjadi hal yang aneh, yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Sejak dahulu ia memang pengagum keindahan dan kecantikan wanita. Akan tetapi, semua rasa kagum itu wajar saja, seperti orang mengagumi bunga-bunga yang indah, rasa suka yang bersih daripada nafsu. Saat ini lain lagi. Di dalam tubuhnya ada api yang menggelora, bernyala-nyala membakar seluruh dirinya. Api nafsu berahi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, membuat semua kesadarannya menjadi gelap, pertimbangannya menjadi terguncang dan dia lupa diri. Gairah yang menggebu membuat dia menarik kedua tangan itu mendekat dan tubuh
wanita itu pun roboh dalam dekapannya! Kalau saja saat itu Cing Ling meronta dan melawan, tentu akan pulih kembali kesadaran Hay Hay. Akan tetapi tidak, wanita itu pun seperti terpesona, seperti kehilangan kesadarannya dan hanya pasrah dalam dekapan Hay Hay, dengan isak tertahan. Ketika dalam kobaran nafsu berahi Hay Hay menunduk dan mencium wanita itu, Cing Ling pasrah dan merekah seperti setangkai bunga yang menerima siraman embun pagi.
"Cing Ling.....!" Hay Hay berbisik dan mencium lagi.
"Hay Hay...." Cing Ling mengeluh dan pasrah.
"Jahanam keparat....!!" terdengar bentakan orang. Tentu saja Hay Hay dan Cing Ling yang sedang bermesraan dan lupa diri itu terkejut dan ketika mereka menengok, ternyata di situ telah berdiri belasan orang laki-laki dusun dengan wajah penuh kemarahan!
Cing Ling tersadar dan ia pun mendorong dada Hay Hay sekuat tenaga, lalu menudingkan telunjuknya yang gemetar, mukanya pucat dan rambutnya awut-awutan, suaranya gemetar pula, "Kenapa...... kenapa kau.... kau.... memelukku....?" Berkali-kali ia berseru seperti itu.
Hay Hay juga sadar akan keadaan dirinya. Mukanya menjadi merah sekali dan dia memaki diri sendiri. Celaka sekali, pikirnya. Dia telah mendatangkan malapetaka kepada seorang wanita yang amat baik, seorang wanita yang sama sekali tidak berdosa! Tentu pengantin baru itu menghadapi ancaman kemarahan suaminya dan semua keluarga suaminya!
"Keparat busuk, berani engkau mempermainkan isteri orang?" bentak seorang pemuda tinggi besar bermuka hitam. "Engkau telah menghina isteriku, engkau layak dipukul sampai mampus!" kata si muka hitam yang menerjang maju dengan kedua tangan dikepal.
Wah, kiranya si tinggi besar muka hitam ini suami si pengantin baru! Hay Hay tidak sempat berpikir lagi karena orang itu sudah menjotos mukanya. Karena merasa bersalah dan marah kepada diri sendiri, Hay Hay merasa bahwa dirinya memang pantas dipukul, patut dihajar!
"Dukk!!" Pukulan itu keras sekali menghantam pipinya.
"Bukk!" pukulan ke dua mengenai dadanya dan tubuh Hay Hay terjengkang, kepalanya menjadi pening. Dia memang sengaja tidak mengerahkan tenaga apa pun dan menerima pukulan-pukulan itu begitu saja untuk membiarkan dirinya dihajar!
Kini belasan orang itu menghujankan pukulan kepadanya. Hay Hay hanya mengelak kalau ada kaki menyambar. Dia sudah memberikan tubuhnya untuk dihajar orang, akan tetapi dia tidak mau menerima tendangan. Pukulan mereka berdatangan dan terdengar suara bak-bik-buk ketika tubuhnya dijadikan bulan-bulan pukulan mereka. Terutama sekali si muka hitam yang marah melihat isterinya tadi didekap dan diciumi, pemuda itu, kini melampiaskan kemarahannya dengan pukulan-pukulan sekuatnya.
Mampus kau, pikir Hay Hay, memaki diri sendiri. Rasakan kau sekarang! Dia merasa tubuhnya remuk-remuk, bibirnya pecah berdarah, matanya berkunang-kunang dan agaknya dia nyaris pingsan. Tiba-tiba terdengar teriakan clan tangis wanita itu.
"Jangan bunuh dia.... ah, jangan bunuh dia.... dia tidak bersalah....!"
Hay Hay membuka lagi kedua matanya yang lembam membengkak dan kehitaman. Dia melihat pengantin baru itu berlutut di dekatnya dan menangis, menutupi muka dengan kedua tangan sambil mita-minta ampun untuk dirinya! Hay Hay merasa terharu sekali! Betapa lembut dan mulia hati wanita ini, dan hampir saja dia tadi menodainya! Betapa jahat dia!
Mendengar jerit tangis wanita itu, belasan orang yang tadi memukulinya menghentikan pemukulan mereka. Orang-orang dusun itu marah, akan tetapi mereka bukan membunuh. Mereka hanya ingin menghajar laki-laki asing yang mengganggu isteri orang. Mendengar pengantin itu menangis dan memohon agar jangan membunuh laki-laki asing itu, mereka khawatir kalau-kalau mereka membunuh orang. Wajah dan tubuh laki-laki itu sudah benjut-benjut, mukanya berdarah-darah dan babak belur.
Akan tetapi pengantin pria yang tinggi besar dan bermuka hitam itu sudah dibakar api cemburu. "Kau perempuan tak bermalu! Baru beberapa hari menjadi pegantin sudah menyeleweng dengan laki-laki lain! Engkau mau saja dipeluk dan dicium! Engkau perempuan hina yang layak dihajar!" Suami Cing Ling yang sudah marah sekali itu melangkah maju menghampiri isterinya yang berlutut sambil menangis, sedangkan kawan-kawannya hanya menonton saja karena kalau suami itu menghajar isterinya, tentu saja mereka tidak berhak mencampuri.
"Tahan dulu.... !" Hay Hay bangkit dengan muka bengkak-bengkak dan babak belur dan dia berdiri menghadang melindungi wanita itu.
Hal ini membuat si muka hitam menjadi semakin marah. Dia, membelalakkan matanya, "Jahanam busuk! Apa kau minta mampus" Berani engkau membela isteriku?"
Hay Hay diam-diam mengerahkan kekuatan sihirnya. Bagaimanapun juga, Cing Ling tidak bersalah dan dia harus menolongnya, membebaskannya dari hukuman suaminya dan dia tahu bagaimana harus berbuat. Dia pun tertawa bergelak, membuat si muka hitam dan kawan-kawannya terkejut dan heran. Tentu laki-laki asing ini telah menjadi gila, pikir mereka dan mereka pun khawatir. Jangan-jangan pemukulan bertubi-tubi tadi membuat dia menjadi gila!
"Ha-ha-ha-ha, kalian ini orang-orang tolol! Kalian tidak tahu siapa aku ini" Lihat baik-baik, aku adalah penjaga sungai ini, aku raksasa penjaga sungai ini, ha-ha-ha!"
Belasan orang itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat sekali ketika mereka melihat betapa pemuda yang mereka pukuli tadi kini menjadi tinggi besar seperti raksasa, dua kali lebih tinggi daripada manusia biasa!
"Hei, muka hitam! Berani engkau hendak memukuli isterimu! Wanita, itu tidak bersalah, karena tadi ia dan kawan-kawannya mandi dl sini mengotori tempatku, maka aku sengaja menghukum dan menggodanya. Ia tidak bersalah sama sekali! Engkau tadi memaki aku dan hendak memukul isterimu, ya!" Nah, kubikin engkau jungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas!"
Si muka hitam mengeluarkan teriakan ketakutan, dan belasan orang kawannya juga memandang dengan mata terbelalak dan tubuh menggigil ketika mereka melihat si muka hitam itu tiba-tiba jungkir balik, kaki di atas dan kepala di bawah! Wanita itu pun menurunkan kedua tangan dari depan muka dan memandang. Ia tidak berada dalam pengaruh sihir, maka ia pun melihat keadaan suaminya biasa saja, hanya anehnya, suaminya itu nampak seperti orang ketakutan, demikian
pula belasan orang dusun.
"Ampun.... ampunkan saya....." Si muka hitam memohon dengan suara gemetar.
Hay Hay tertawa lagi. "Bersumpahlah bahwa engkau tidak akan memukul isterimu, tidak akan cemburu dan marah kepadanya, dan selama hidupmu akan bersikap manis dan baik kepadanya. Kalau sekali saja engkau melanggar, aku akan datang menghukummu, akan membuat engkau jungkir batik seperti ini sampai engkau mati!"
"Saya bersumpah.... saya bersumpah ....." Si muka hitam berkata dengan penuh kesungguhan.
Kini Hay Hay berkata kepada belasan orang teman si muka hitam. "Dan kalian semua penghuni dusun menjadi saksi. Awas, kalau kalian kelak melihat si muka hitam ini memukuli isterinya, dan bersikap kasar, kalian tidak mencegahnya, maka aku akan datang menghukum kalian dan menyeret kalian semua ke dalam sungai kuberikan kepada setan-setan untuk dimakan hidup-hidup!"
Tentu saja belasan orang itu menjadi semakin ketakutan., Mereka bersama seperti dikomando saja lalu menjatuhkan diri berlutut dan berlomba menjawab dengan cepat, "Kami berjanji akan mentaati perintah ..."
"Bagus! Cing Ling seorang wanita yang baik sekali, tidak bersalah, ia harus diperlakukan dengan hormat dan manis budi. Nah, aku akan kembali ke tempat asalku! Kau, muka hitam, sekali ini kuampuni, berlututlah seperti biasa!" Dan tiba-tiba si muka hitam merasa dirinya normal kembali, maka dia cepat menjatuhkan diri seperti kawan-kawannya. Mereka semua melihat "raksasa" itu melangkah mendekati sungai, lalu melihat dia terjun ke sungai yang dangkal itu, yang dalamnya hanya sepinggang. Akan tetapi begitu raksasa itu terjun, dia pun lenyap!
Setelah mereka semua berani bangkit, si muka hitam lalu menghampiri isterinya yang masih berlutut, menarik bangun isterinya, merangkulnya dan berkata dengan lembut, "Cing Ling, maafkan aku...."
Juga kawan-kawan suami Cing Ling yang kini menghadapi wanita itu memberi hormat dan berkata, "Kami juga mohon maaf...."
Cing Ling hanya dapat mengangguk. Ia masih tertegun dan terheran-heran melihat semua peristiwa tadi. Pemuda asing itu tadi amat menarik hatinya, bahkan ia akui bahwa ia terpikat dan terpesona. Kemudian, pemuda itu dihajar habis-habisan tanpa melawan sampai babak belur. Akan tetapi, pemuda itu lalu mengaku sebagai penjaga sungai dan suaminya, juga belasan orang laki-laki yang tadi menghajarnya, berlutut dan minta-minta ampun! Dan pemuda tampan itu lalu pergi begitu saja setelah meninggalkan pesan dan ancaman agar semua orang menghormatinya, dan agar suaminya selalu bersikap baik kepadanya.
Dan sejak saat itu, Cing Ling diperlakukan seperti dewi, bukan saja oleh suaminya, mertuanya dan seluruh keluarga mertuanya, bahkan seluruh penduduk dusun yang mendengar cerita belasan orang itu, menganggap ia seperti seorang dewi yang dilindungi penjaga sungai! Sampai-sampai kepala dusun juga menghormatinya. Dan suaminya bukan saja bersikap hormat dan lembut, juga suaminya selalu merasa bangga mempunyai isteri yang dianggap dewi! Cing Ling dihormati, dimanja, dan hidupnya penuh kemuliaan. Akan tetapi, di waktu malam, seringkali wanita ini termenung, teringat kepada Hay Hay. dan perasaan rindu gerogoti hatinya!
*** () *** "Rasakan kau! Mata keranjang, Jai-hwa-cat! Cabul dan mesum kau, hamba nafsu kau! Rasakan sekarang!" Hay Hay memaki-maki diri sendiri sambil meringis kesakitan ketika dia mencuci mukanya dengan air sungai, jauh di sebelah hilir dari sungai yang tadi. Senja telah lewat dan malam mulai tiba, cuaca remang-remang dan dia berada jauh dari dusun. Setelah dia mencuci mukanya yang berdarah, bengkak-bengkak dan babak belur, dia lalu duduk di tepi sungai, mengeringkan mukanya dengan kain, lalu duduk termenung.
Dia tahu benar apa yang terjadi, di dalam dirinya. Makanan siang tadi, daging harimau hitam dan ubi merah, telah mengobarkan api nafsu berahinya, membuat dia bergairah dan lupa diri. Biarpun dia telah membiarkan dirinya dihajar orang banyak untuk menyiksa diri, untuk menebus dosa, namun dia tetap merasa dirinya kotor. Dia tahu benar bahwa ini tentulah darah ayah kandungnya, si penjahat pemetik bunga tersohor, Si Kumbang Merah! Dia memiliki darah seorang hamba nafsu berahi yang tidak ketulungan lagi seperti mendiang ayah kandungnya, Si Kumbang Merah! Kalau dia membiarkan nafsu menguasai dirinya, dia akan menjadi jai-hwa-cat yang lebih jahat daripada ayahnya. Untung tadi orang-orang dusun itu keburu datang. Kalau tidak, tentu akan terjadi hubungan mesum itu. Dia akan menyeret wanita yang bersih ke dalam lumpur kotor, dan mungkin sekali dia melangkah, dia tidak akan dapat undur kembali, bahkan akan menjadi semakin tersesat!
Dia memiliki banyak kelebihan yang menyeretnya ke arah kesesatan itu. Dia begitu mudah menundukkan wanita dengan rayuan, dengan ketampanannya, dengan ilmu silat, atau dengan sihir! Kelebihan yang merupakan kekuasaan adalah berkah dari Tuhan, tentu saja sebagai perlengkapan hidup, sebagai alat untuk melakukan hal-hal yang baik selama hidup. Akan tetapi, begitu nafsu berkuasa, maka semua kelebihan dan kekuasaan itu akan dipergunakan untuk pengejaran kesenangan diri pribadi, karena itu lalu membuta dan tidak pantang melakukan kejahatan apa saja demi tercapainya kesenangan yang selalu dikejar-kejar. Seperti mendiang ayahnya, Si Kumbang Merah yang tidak pantang memperkosa wanita, menggoda dan menyeret isteri orang dalam lembah perzinahan yang hina, bahkan tidak pantang membunuh atau menyiksa untuk memaksakan kehendak nafsunya.
Orang yang berkedudukan mabuk kekuasaan karena nafsu menyeretnya untuk melakukan apa saja, bersenjatakan wewenang dan kekuasaannya untuk mendapatkan kesenangan, si hartawan mempergunakan kekayaannya untuk mendapatkan kesenangan pula, yang pintar dan pandai menjadi curang, yang berkuasa menjadi sewenahg-wenang, dan selanjutnya. Semua itu adalah ulah si nafsu yang menguasai hati dan akal pikiran.
Nafsu membuat kita selalu kesenangan, kenikmatan. Bukan yang baik dan yang bermanfaat lagi yang dikejar orang, melainkan yang enak, yang nikmat. Kita makan bukan lagi karena desakan kebutuhan perut, bukan demi kesehatan, melainkan demi kelezatan, demi keenakan. Biar bermanfaat bagi kesehatan, kalau tidak enak, kita enggan memakannya. Sebaliknya, biar membahayakan kesehatan, kalau enak, kita makan dengan lahapnya. Demikian pun dengan pakaian, bukan lagi untuk melindungi tubuh dari angin hujan dan panas, melainkan demi kesenangan, yang timbul dari kebanggaan. Kita memilih pakaian bukan karena manfaatnya, melainkan karena kebagusannya, sebagai hiasan tubuh. Dalam segala perbuatan dalam kehidupan ini, kita selalu menunjukkan atau mengarahkan kepada tercapainya kesenangan yang kita idamkan, yang kita namakan kebutuhan atau kepentingan. Karena setiap pribadi, setiap kelompok, setiap golongan, mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, maka tak dapat dicegah lagi, timbullah bentrokan-bentrokan antara kepentingan dan timbullah pertentangan-pertentangan demi mencapai kepentingan masing-masing.
Hay Hay mengamati diri sendiri. Dia sudah cukup dewasa sehingga gairah nafsu berahi yang bergejolak dalam dirinya merupakan suatu hal yang wajar. Jalan keluarnya hanya satu, yaitu dia harus menikah! Akan tetapi, dengan siapa" Banyak, bahkan hampir setiap orang wanita, disukainya, akan tetapi jarang yang dicintanya. Selama ini, yang benar-benar menjatuhkan hatinya, yang benar-benar dicintanya, sampai saat ini, hanyalah Cia Kui Hong seorang! Memang selain Cia Kui Hong, banyak sekali gadis yang pernah menarik hatinya, dan agaknya mereka itu akan dapat menjadi pengganti Kui Hong, kalau saja dia tidak berjodoh dengan Kui Hong. Akan tetapi, gadis-gadis yang dikaguminya itu sekarang telah menikah semua, telah menjadi isteri orang lain.
Hay Hay memejamkan mata sambil bersandar pada batang pohon di tepi sungai itu. Dan nampaklah bayangan gadis-gadis yang pernah dikaguminya itu! Pertama-tama tentu saja Kok Hui Lian yang biarpun lebih tua sepuluh tahun darinya, merupakan wanita pertama yang bercumbuan dengannya dan menjadi gurunya dalam soal asmara karena Hui Lian telah dua kali menjanda ketika bertemu dengan dia. Kini, Kok Hui Lian telah menjadi isteri penaekar Ciang Su Kiat. Kemudian Bi Lian , Siangkoan Bi Lian yang kini menjadi isteri Pek Han Siong. Lalu Pek Eng, adik kandung Pek Han Siong yang kini menjadi isteri Song Bu Kok. Kemudian Cia Ling atau Ling Ling yang kini menjadi isteri Can Sun Hok. Bahkan Mayang pernah menjadi calon isterinya, akan tetapi ternyata kemudian bahwa Mayang adalah adik tirinya sendiri, tunggal ayah berlainan ibu. Tinggal Cia Kui Hong, satu-satunya gadis yang sesungguhnya dicintanya sampai sekarang, akan tetapi orang tua gadis itu tidak menyetujui perjodohan mereka. Dia pun tidak terlalu menyalahkan ayah ibu gadis itu. Cia Kui Hong adalah puteri sepasang pendekar yang amat terkenal, tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Ayahnya adalah ketua Cin-ling-pai, dan ibunya adalah cucu Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah. Kalau suami isteri pendekar terkenal itu melarang puterinya menikah dengan keturunan penjahat cabul Si Kumbang Merah, mereka tentu saja tidak dapat dipersalahkan.
Dia sendiri yang menjauhkan diri dari Kui Hong ketika mendengar bahwa sepasang pendekar itu tidak sudi mempunyai mantu seperti dia. Menjauhkan diri dengan hati terluka dan sejak itu dia merana walaupun dia tahu bahwa keadaan seperti itu tidaklah benar.
Hidup adalah perjuangan, berkali-kali dia meyakinkan diri sendiri. Perjuangan adalah tekad menghadapi tantangan karena hidup penuh dengan tantangan yang datang dari segenap penjuru. Tantangan terhadap kesehatan, terhadap kesejahteraan, terhadap kehormatan, seribu macam. ltulah romantika hidup dan seni kehidupan terletak kepada penanggulangan semua tantangan itu! Menghadapi setiap tantangan dan mengatasinya, itulah seninya hidup! Justeru itulah yang membuat kehidupan berarti, beromantika, bervariasi. Tantangan dapat merupakan keadaan yang bagaimana pahit pun. Itulah suatu kenyataan, suatu tantangan. Melarikan diri dari tantangan adalah sikap pengecut. Putus asa hanya permainan batin orang lemah. Hadapi setiap tantangan, setiap keadaan, setiap masalah, dengan keyakinan bahwa itu adalah suatu kewajaran, suatu bagian tak terpisahkan dari hidup yang memang isinya baik buruk, senang susah, itu. Hadapi dan usaha sekuat tenaga untuk mengatasinya. Itulah perjuangan dan seninya! Landasannya hanya satu, ialah penyerahan kepada Tuhan, lahir batin, dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Ikhlas kalau perjuangan gagal, karena yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baru dapat terjadi setelah dikehendaki Tuhan. Kehendak Tuhan pun jadilah, setiap saat dan di mana saja! Hasil atau gagal usaha perjuangan kita bukan masalah, yang penting adalah pelaksanaan perjuangan itu.
Hay Hay tersenyum! Dia menerima kenyataan saat itu. Muka dan seluruh bagian tubuhnya berdenyut-denyut bekal pukulan orang-orang tadi. Saat itu dia menerima rasa denyut-denyut itu tanpa menilainya, tanpa memberinya nama sebagai nyeri atau sakit. Dan yang ada hanyalah rasa denyut-denyut itu. Kalau sudah demikian, sukarlah menentukan apakah rasa denyut-denyut itu menyusahkan atau menyenangkan, nyeri atau nyaman, derita atau nikmat! Hay Hay merasa heran sendiri dan teringat akan suasana yang aneh itu, dia merasa lucu dan diapun tertawa bergelak. Kalau ada orang melihatnya, tentu akan menganggap dia orang yang miring otaknya, tertawa-tawa seorang diri seperti itu.
Akan tetapi tiga pasang mata yang mengamati gerak-geriknya tidak menganggapnya seperti orang gila. Sebaliknya, mereka itu mengamati penuh kewaspadaan. Mereka melihat betapaa pemuda yang mereka amati itu duduk bersandar di tepi sungai. Ketika dia tertawa-tawa, batang pohon yang disandarinya bergoyang-goyang! Akan tetapi, yang menjadi pusat perhatian tiga orang itu bukan hanya si pemuda, melainkan terutama sekali buntalan pakaian yang berada di atas tanah dekat pemuda itu.
Mereka itu tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, berpakaian seperti orang-orang dari dunia persilatan. Seorang tinggi kurus, seorang pendek gendut dan seorang lagi brewok tinggi besar. Yang tinggi kurus agaknya yang menjadi pemimpin. Dia berbisik, "Kalian berdua harus menyerang dia dengan tiba-tiba dan selagi dia membela diri, aku akan menyambar buntalan pakaiannya."
Si brewok menyeringai, "Hemm, Toa-ko," katanya dengan nada mengejek. "Perlu apa semua ini" Datangi saja dia, minta benda itu, kalau dia menolak, kita bunuh dia dan rampas bendanya, habis perkara. Cacing seperti dia itu bisa apakah" Paling-paling menggoda perempuan. Tadi pun hampir mampus dipukuli orang-orang dusun."
"Siauw-te, Jangan bantah toako," kata si gendut. "Kukira toako benar, biarpun pemuda itu tadi dipukuli orang-orang dusun, akan tetapi kukira dia bukan orang sembarangan. Pertama, kalau orang sembarangan tidak mungkin menerima benda itu, dan tidakkah kau lihat tadi ketika dia tertawa pohon yang disandarinya itu bergoyang-goyang?"
"Sudahlah, kerjakan perintahku. Kalian mengambil jalan memutar dan menyerang dari samping kiri. Aku akan menyambar buntalannya dari sebelah sini. Nah, cepat laksanakan!" kata si tinggi kurus.
Dua orang itu lalu menyelinap pergi. Gerakan mereka gesit dan ringan sekali, seperti gerakan harimau mengintai korbannya. Hay Hay masih duduk bersandar pohon, akan tetapi dia tentu bukan Hay Hay kalau tidak tahu bahwa dirinya diintai orang yang mencurigakan. Tawanya tadi pun bukan hanya mentertawakan keadaan dirinya sendiri, juga mentertawakan tiga orang yang bersembunyi dan mengamatinya. Dia miskin tidak punya apa-apa, kenapa ada saja orang-orang yang mengamatinya, seperti hendak merampoknya" Beberapa helai pakaian tua itukah yang akan mereka rampas"
Dengan pendengarannya yang terlatih dan amat tajam, kini Hay Hay yang mengikuti gerakan mereka. Dia tahu bahwa dua di antara tiga orang telah mengambil jalan memutar dan menghampirinya dari arah kiri, sedang yang seorang lagi menghampiri dari arah kanan. Dia pun nampak tenang walaupun tentu saja dia sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Karena sikapnya itu, maka ketika dua orang, orang gendut dan orang tinggi besar menubruknya seperti dua ekor singa menubruk domba, mereka hanya menerkam tempat kosong karena yang mereka terkam sudah mengelak dengan loncatan ke depan. Pada saat itu, si tinggi kurus sudah menyambar buntalan pakaian Hay Hay yang sudah berdiri memandang mereka dalam jarak lima meter.
"Hemm, kiranya kalian bertiga hanyalah perampok kecil yang menginginkan buntalan pakaianku. Kalau saja kalian minta terus terang, tentu pakaian butut itu akan kuberikan tanpa kalian harus menggunakan kekerasan!" kata Hay Hay. Ditegur demikian, tiga orang itu diam saja, akan tetapi mereka bertiga sedang asyik membuka buntalan dan memeriksa isinya. Hanya beberapa potong celana dan baju, sebungkus obat-obat, dan sisa bumbu seperti bawang, garam dan juga seguci anggur. Tidak ada apa-apanya lagi yang berharga. Si tinggi kurus menyerahkan buntalan itu kepada si brewok dan bersama si gendut memeriksa kembali dengan teliti, sedangkan dia sendiri menghadapi Hay Hay dan memandang tajam, lalu berkata dengan suaranya yang berwibawa.
"Hei, orang muda. Kami bukan perampok dan kami tidak menginginkan pakaianmu. Nah, keluarkanlan benda itu dan serahkan kepada kami. Kami akan berterima kasih dan tidak akan mengganggumu lagi."
Hay Hay memandang heran, "Ehh" Bukan perampok akan tetapi menyerang orang dan menyambar buntalan pakaian" Dan engkau minta benda apakah, Paman" Aku ini seorang perantau miskin, tidak mempunyai uang." Hay Hay teringat akan mustika batu kemala yang tergantung di lehernya, di balik bajunya. Tadi ketika dia dipukuli orang-orang dusun, dia masih ingat untuk melindungi batu mustika itu sehingga tidak terpukul atau terenggut lepas. Kalau ada orang kang-ouw menghendaki batu mustika itu, dia tidak akan merasa heran karena kalau para tokoh kang-ouw mengetahuinya, tentu mereka tidak segan mempergunakan kekerasan untuk merampas mustika itu. Batu kemala itukah yang dikehendaki tiga orang ini" Dia menerima batu mustika itu sebagai hadiah dari Kwan Taijin, seorang jaksa tinggi yang bijaksana dari kota Siang-tan. Batu giok (kemala) itu memiliki khasiat yang amat ampuh sebagai obat dan penolak segala macam racun. Warnanya hijau dengan belang-belang merah dan selalu tergantung di lehernya, tersembunyi di balik baju. Tentu benda mustika itulah yang dimaksudkan tiga orang ini.
"Orang muda, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Cepat serahkan gulungan surat yang kau terima dari Yu Siucai!"
Hay Hay terkejut. Ah, kiranya itu yang dikehendaki tiga orang ini. Gulungan surat yang dia terima dari kakek bijaksana yang tewas oleh anak panah si pecemburu pendek cebol itu! Dia memang sudah menduga bahwa benda itu amat penting maka dia pun selalu menyimpannya di dalam saku baju bagian dalam dan saat itu pun benda itu berada di batik bajunya. Dia tidak tahu apa isi surat gulungan itu, akan tetapi mengingat bahwa surat itu diterimanya dari seorang kakek yang amat bijaksana, dan harus diserahkan kepada satu di antara dua menteri setia yang paling dia hormati, yaitu Menteri Cang Ku Ceng atau Menteri Yang Ting Hoo, dia yakin bahwa
benda itu teramat renting. Bagaimana tiga orang ini dapat mengetahui bahwa dia menerima benda itu dari kakek bijaksana yang ternyata oleh si tinggi kurus ini disebut Yu Siucai (Sasterawan Yu)"
"Ah, kiranya itukah yang kalian cari" Benda itu adalah wasiat seorang yang telah meninggal dunia yang ditinggalkan kepadaku. Tidak mungkin kuberikan kepada siapa pun juga kecuali mereka yang berhak menerima."
Buntalan itu telah dirapikan kembali dan diletakkan di tempat semula. Perbuatan ini saja menunjukkan bahwa tiga orang itu bukan orang-orang kasar atau liar, melainkan mengenal sopan santun. Akan tetapi mendengar ucapan Hay Hay, mereka bertiga segera maju menghadapi Hay Hay dan si tinggi kurus berkata dengan suara membujuk.
"Orang muda, benda itu amat penting bagi kami, sebaliknya tidak ada artinya bagimu. Serahkan kepada kami dan kami akan memberi hadiah yang cukup banyak. Lihat, sekantong emas ini kuberikan kepadamu sebagai penukar gulungan surat itu. Serahkan kepada kami!"
Hay Hay melihat kantong yang dikeluarkan si tinggi kurus. Dia menjadi semakin heran. Emas dalam kantong itu ditaksirnya tidak kurang dari dua kati, merupakan harta yang cukup banyak. Juga sikap ini menunjukkan bahwa dia tidak berhadapan dengan orang-orang kasar yang biasanya melakukan perampasan. Mereka menawarkan emas untuk membeli gulungan surat itu! Makin dihargai orang, makin menariklah sesuatu benda. Emas dan permata menjadi mahal harganya karena dihargai orang.
"Maaf, Paman. Tidak mungkin aku dapat menjual wasiat yang dipesankan orang yang sudah mati. Aku akan berdosa besar, Paman. Sudahlah, harap Paman bertiga tidak memaksaku menjadi orang yang mengkhianati pesan wasiat seorang tua terhormat. Aku yakin Paman bertiga bukan orang-orang sembarangan dan tahu akan budi pekerti yang baik."
Si brewok meloncat mendengar ucapan itu. "Heii, orang muda, jangan berlagak dan mencoba untuk menguliahi kami! Sebaiknya kau serahkan benda itu atau terpaksa aku akan memaksamu!"
Si tinggi kurus memberi isyarat dengan tangan agar kawannya itu diam lalu dia kembali menghadapi Hay Hay. "Orang muda, ketahuilah bahwa benda itu amat berbahaya. Engkau tidak ingin melihat bangsamu sendiri saling bermusuhan, terjadi perang saudara yang mengorbankan nyawa ribuan orang bangsa sendiri, bukan?"
Tentu saja Hay Hay terkejut mendengar ini. "Paman, apa maksudmu" Apa sih gulungan surat ini dan mengapa dapat mengakibatkan perang saudara?"
"Toako, perlukah bicara panjang lebar dengan bocah ini" Kalau dia berkeras tidak mau menyerahkan, biar kurampas darinya!" kata si gendut kehilangan kesabaran.
Akan tetapi si tinggi kurus agaknya seorang yang berhati-hati dan berpenglihatan tajam. Tadi dia melihat betapa mudahnya pemuda itu menghindarkan diri dari terkaman dua orang kawannya, maka dia dapat menduga bahwa pemuda itu, biarpun tadi dijadikan bulan-bulan pukulan para penduduk dusun, tentu memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh. Dia memberi isyarat kepada si gendut untuk diam.
"Orang muda, ketahuilah bahwa gulungan kertas itu berisikan surat fitnah yang akan mengadu domba. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirimu. Surat itu harus dimusnahkan agar jangan menimbulkan kekacauan dan perang saudara. Nah, engkau tentu seorang yang cukup gagah dan tidak ingin melihat timbulnya perang saudara, bukan?"
"Tentu saja aku tidak ingin ada perang saudara, Paman. Akan tetapi aku pun tidak ingin menyerahkan wasiat itu kepada siapa pun kecuali kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan pesan mendiaang kakek itu." kata Hay Hay dengan tegas.
"Siapa yang kau maksudkan dengan yang berhak itu?"
Hay Hay menatap wajah kakek tinggi kurus itu, menduga-duga ,siapakah mereka bertiga ini dan mengapa pula mereka ini berkeras hendak memiliki gulungan surat itu. Siapa yang berhak menerima wasiat itu merupakan rahasianya sendiri, tidak perlu diberitahukan kepada orang lain. Dia mengambil keputusan untuk merahasiakan pesan kakek bijaksana itu.
"Aku tidak dapat memberitahu kepada siapa pun, Paman."
"Bocah sombong!" "tiba-tiba si brewok berteriak, "Tidak perlu banyak cakap lagi, serahkan surat itu!"
Hayo berikan kepada kami kalau tidak ingin kami hajar seperti ketika kau dihajar orang-orang dusun itu!" teriak pula si gendut.
Hay Hay tertegun. Kiranya mereka ini mengetahui ketika dia dikeroyok dan dipukuli orang-orang dusun. Kalau begitu, mereka ini agaknya sudah lama membayanginya atau melakukan pengejaran terhadap dirinya. Mungkin mereka ini mengetahui bahwa dia menerima gulungan surat dari kakek itu jauh hari sebelumnya. Padahal yang mengetahui bahwa dia menerima gulungan sur at itu hanyalah suami cebol pencemburu itu. Tentu tiga orang ini mendengar dari si cebol itu! Dia merasa gemas sekali kepada si cebol yang membuka rahasia itu. Ataukah tiga orang ini masih ada hubungannya dengan si cebol yang juga dapat dibilang memiliki ilmu kepandaian yang lumayan itu"
Kini si tinggi kurus tidak melarang dua orang kawannya, bahkan dia pun berkata dengan suara bernada mengancam, "Orang muda, kami bukanlah orang-orang yang biasa memaksakan kehendak. Akan tetapi sekali ini, karena surat itu teramat penting bagi keselamatan rakyat, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan kalau engkau tidak mau menyerahkan dengan cara baik-baik."
"Maaf, aku tidak dapat menyerahkan." kata Hay Hay dan dengan sikap tenang dia pun mengambil buntalan pakaiannya, mengikatkan buntalan itu di punggungnya dan bersiap meninggalkan mereka. Tiga orang itu saling pandang dan akhirnya si tinggi kurus mengangguk, memberi isyarat untuk turun tangan.
"Orang muda, engkau mencari penyakit sendiri!" teriak si brewok dan dia pun sudah menerjang dengan serangan dahsyat ke arah Hay Hay. Agaknya si brewok ini merasa yakin bahwa dengan sekali hantaman yang amat kuat itu, dia akan berhasil merobohkan Hay Hay untuk digeledah dan dirampas gulungan surat itu darinya.
Namun Hay Hay cepat mengelak sambil melanjutkan kesibukan kedua tangannya mengikatkan ujung kain buntalan di depan dada. Enak saja dia mengelak, seolah serangan itu sama sekali tidak berbahaya dan nampak amat lambat baginya! Padahal, si brewok itu menyerang dengan pengerahan tenaga dan cepat sekali sehingga ketika tangan yang besar itu menyambar, terdengar suara angin bersiut. Pukulan itu mengenai tempat kosong, dan pada saat itu, si gendut sudah menggelundung seperti trenggiling menuju ke arah Hay Hay dan sekali melompat, dia sudah mengirim totokan tiga kali berturut-turut.
"Hemm ....!" Hay Hay kembali mengelak dengan loncatan jauh ke samping dan di sini dia disambut oleh sambaran tangan kakek tinggi kurus yang mencengkeram ke arah pundaknya, agaknya hendak menangkapnya seperti seekor rajawali menerkam kelinci.
"Plakk!" Hay Hay menangkis dan kakek tinggi kurus itu terkejut. Bukan saja tangannya terpental, akan tetapi dia juga
merasa nyeri dan lengannya tergetar hebat oleh tangkisan itu.
Hay Hay tidak mau membuang tenaga dan waktu melayani tiga orang itu, maka begitu mendapat kesempatan, dia lalu melompat pergi. "Selamat tinggal, Paman-paman!" katanya.
Melihat pemuda itu melarikan diri, tiga orang itu cepat mengejar. Si brewok menggerakkan tangan kanannya. "Singgg.....!!" Sebatang pisau pendek yang runcing mengkilap menyambar ke arab punggung Hay Hay. Pemuda ini tiba-tiba membalik dan menangkap pisau itu dari samping dengan tangan kirinya.
"Wirrr.....!!" Si gendut juga melepaskan senjata rahasia berupa piauw. Melihat menyambarnya senjata rahasia itu, Hay Hay melemparkan pisau pendek yang tadi ditangkapnya.
"Tranggg....!!" Pisau an piauw bertemu di udara dan keduanya runtuh.
Hay Hay berlari terus. Tiga orang itu mengejar, namun pemuda itu dapat bergerak dengan amat cepatnya, seperti terbang saja.
"Tarrr..... suuuutttt....!!"
Hay Hay terkejut bukan main. Nyaris kepalanya termakan peluru panas yang lewat dekat telinganya. Begitu meledak, peluru sudah tiba di dekat telinganya. Betapa cepatnya senjata rahasia itu dan tahulah dia bahwa tentu kakek tinggi kurus itu mempergunakan senjata api, yaitu senjata rahasia yang dibawa orang-orang kulit putih dan yang terkenal amat ampuh dan berbahaya. Banyak sudah ahli-ahli silat tewas oleh senjata api seperti itu, senjata yang dapat memuntahkan peluru dengan kecepatan yang sukar untuk dapat dielakkan. Untung bidikan si tinggi kurus itu kurang sempurna sehingga peluru itu lewat di dekat telinganya, nyaris mengenai kepalanya. Beberapa sentimeter lagi saja menyimpang, peluru itu akan menembus kepalanya dan dia tentu sudah roboh tewas! Sungguh berbahaya, Hay Hay melompat jauh ke depan lalu berlari cepat seperti orang terhuyung ke kanan kiri sehingga sukarlah bagi si tinggi kurus untuk membidikkan lagi pistolnya. Sebentar saja Hay Hay sudah jauh meninggalkan mereka dan lenyap di balik pohon-pohon di tepi sungai.
Setelah merasa yakin bahwa tiga orang itu tidak mengejarnya lagi dan dia terlindung oleh kegelapan malam yang mulai tiba. Terpaksa malam itu dia tinggal di tepi sungai setelah melewati dua buah hutan. Terdapat lapangan rumput di situ dan terlindung beberapa batang pohon besar. Karena lapangan itu cukup luas, maka dia dapat melihat kalau ada orang datang menuju ke tempat itu. Kini dia harus waspada setelah mengetahui bahwa ada orang-orang lihai mencarinya.
Hay Hay merebahkan diri di atas rumput dan sampai jauh malam dia tidak tidur, hanya termenung. Kemudian, setelah keadaan amat sunyi dan bulan sepotong sudah mulai menyinari tempat itu, dia membuat api unggun kecil agar mendapat penerangan karena dia ingin sekali melihat gulungan surat yang dititipkan kepadanya. Tadinya, sedikit pun dia tidak ingin mengetahui apa isinya, hanya mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja dan menyerahkan gulungan surat itu kepada Menteri Cang atau Menteri Yang. Apa pun isi gulungan surat itu, tidak penting dia ketahui karena tidak ada sangkut pautnya dengan dia. Pula, dia harus menghormati wasiat dari kakek bijaksana itu. Akan tetapi kini persoalannya menjadi lain. Dari tiga orang itu dia mendengar bahwa surat itu amat penting karena dapat menimbulkan perang saudara! Hal ini membuat dia ingin sekali tahu, bukan saja untuk melampiaskan rasa penasaran dan keinginan tahunya, melainkan juga untuk menjaga kalau-kalau surat itu akhirnya terampas orang. Biarpun terampas orang lain, kalau dia sudah mengetahui isinya, dapat juga dia laporkan dengan lisan isi surat itu kepada seorang di antara dua menteri itu.
Di bawah sinar bulan sepotong dan dengan bantuan sinar api unggun kecil, dia membuka gulungan surat itu. Tulisan tangan itu amat indah, dan singkat padat. Ternyata isinya merupakan sebuah laporan tentang keadaan di kota Cang-cow di Propinsi Hok-kian. Dilaporkan bahwa orang-orang kulit putih Portugis yang banyak tinggal di kota itu, telah membangun sebuah benteng dan orang-orang kulit putih itu mengadakan persekutuan dengan para bajak laut Jepang dan dengan Pek-lian-kauw. Persekutuan ini mulai mempengaruhi para pejabat tinggi di Cang-cow, bahkan kepala daerah juga sudah mereka tempel dan mereka pengaruhi. Ada tanda-tanda bahwa orang-orang kulit putih, bajak laut Jepang dan gerombolan Pek-lian-kauw itu siap untuk mendorong kepala daerah dan sekutunya untuk melakukan pemberontakan. Surat laporan itu dibuat oleh Yu Siucai, karena putera Yu Siucai yang menjadi jaksa di Cang-cow, dibunuh bersama seluruh keluarga karena berani menentang persekutuan itu hendak menyadarkan atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow. Hanya Yu Siucai yang berhasil lolos, lalu dia membuat surat laporan itu dan hendak menghadap Menteri Cang atau Menteri Yang di kota raja, akan tetapi nasib membuat dia tewas oleh anak panah suami cebol pencemburu.
Setelah membaca gulungan surat itu, Hay Hay cepat menyimpannya kembali dan kini mengertilah dia. Bukan perang saudara yang menjadi akibat dari surat itu kalau dia sampaikan ke kota raja, melainkan pembersihan! Tentu seorang diantara kedua Menteri itu akan melapor kepada kaisar, kemudian pasukan besar akan dikerahkan ke Cang-cow untuk membasmi pemberontak. Jelaslah bahwa tiga orang itu merupakan orang-orang dari persekutuan itu yang dimaksud menghalangi agar surat laporan itu tidak sampai ke tangan kedua menteri itu. Pantas saja si tinggi kurus itu pandai menggunakan pistol, kiranya merupakan anak buah persekutuan orang kulit putih!
Karena surat itu dianggapnya amat penting, Hay Hay segera memadamkan api unggun dan tidak jadi bermalam di tepi sungai itu. Malam itu juga dia melanjutkan perjalanan. Dia harus cepat tiba di kota raja untuk menyerahkan surat laporan itu kepada yang berhak.
*** () *** Sesungguhnya, apakah yang terjadi di kota Cang-ouw di Propinsi Hok-kian" Isi
surat laporan itu memang benar, menceritakan keadaan yang sesungguhnya sedang bergolak dengan diam-diam dan rahasia di kota itu. Orang-orang kulit putih Portugis, sepanjang sejarahnya, merupakan orang kulit putih pertama yang menjelajah ke Asia, dan ketika para pelaut Portugis itu pertama kali mendarat di Cina, mereka diterima baik oleh pemerintah setempat dan rakyat dengan senang hati, diperlakukan sama dengan orang-orang asing yang sudah jauh lebih dahulu berkunjung dan berdagang di Cina, seperti orang-orang Arab, dan Melayu yang sejak puluhan tahun sudah berdatangan dan berdagang dengan tenteram dan saling menguntungkan dengan rakyat Cina. Kapal pertama dari orang-orang Portugis yang mendarat adalah milik Perestrello. Anak kapal yang dipimpin Perestrello ini diterima dengan ramah dan mereka diperbolehkan berdagang tukar-menukar barang di darat. Beberapa bulan kemudian, empat buah kapal besar datang dipimpin oleh De Andrada yang ditugaskan mengantarkan seorang duta yang datang dari pejabat tinggi Portugis di Goa. Rombongan empat kapal ini pun diterima dengan baik seperti bangsa-bagsa asing lainnya, dan rombongan duta Portugis diantar ke Peking untuk menghadap Kaisar dan seperti lajimnya pada waktu itu, para pedagang ini membawa semacam upeti atau hadiah yang akan dibalas dengan hadiah lain dari kaisar. Tali persahabatan pertama diikat.
Akan tetapi, selagi rombongan duta Portugis masih berada di kota raja, terdengar desas-desus yang tidak enak. Dikabarkan dan berita ini sampai ke istana bahwa orang-orang Portugis yang semula datang sebagai pedagang-pedagang yang ramah itu, setelah mendapat kesempatan tinggal di darat, mulai menampakkan watak aseli mereka. Seperti harimau berkedok domba, mereka mulai mengganas dan melakukan pelbagai perbuatan kekerasan mengandalkan senjata api mereka, bahkan melawan pemerintah setempat, mendirikan kedaulatan dan kekuasaan mereka sendiri. Bahkan terdengar berita bahwa orang-orang Portugis yang berada Kanton, yang di pimpin oleh Kapten Simon De Andrada, melakukan pembajakan di sepanjang sungai Mutiara (Muara Kwang-tung), bahkan selain merampoki perahu-perahu, juga membunuh dan menculik memperkosa wanita! Makin lama, gerombolan orang Portugis itu semakin liar dan jahat. Mendengar ini, pasukan keamanan daerah di Kanton segera mengambil tindakan dan menyerang orang-orang Portugis dan berhasil mengusir kapal-kapal Portugis keluar dari muara itu. Kiranya orang-orang Portugis itu adalah bajak-bajak taut yang menyamar sebagai pedagang.
Beberapa tahun kemudian, yaitu dalam tahun 1522, ketika armada kapal Portugis yang dipimpin oleh Alphonso de Mello muncul di perairan Kanton, mereka diserang oleh armada kapal cina dan setelah terjadi pertempuran di lautan, kapal-kapal Portugis itu dapat diusir, dan sebuah kapal ditangkap, anak buah kapal dihukum sebagai bajak-bajak taut. Semenjak itu, sampai puluhan tahun tidak terdengar lagi tentang orang Portugis.
Akhimya, pada tahun 1542, yaitu enam tujuh tahun yang lalu, muncullah kapal-kapal Portugis di pantai Cina. Akan tetapi, pengalaman dua puluh enam tahun yag lalu membuat mereka tidak berani mendarat di Kanton. Mereka memilih kota Ning-po di Propinsi Cekiang, yaitu di sebelah utara, dan di sini mereka diterima dengan baik oleh para pejabat di Ning-po. Waktu yang sudah dua puluh tahun itu agaknya membuat rakyat lupa akan peristiwa di Kanton. Rakyat dan para pejabat di Ning-po menerima orang-orang Portugis dengan ramah seperti mereka menerima bangsa asing lainnya yang datang berkunjung untuk berdagang. Mula-mula, orang-orang Portugis dapat membawa diri dan mereka melakukan perdagangan yang makin lama semakin besar, menguntungkan kedua pihak. Dan semakin banyak pula kapal Portugis datang ke Ning-po, semakin banyak orang-orang Portugis tinggal di Ning-po. Dalam waktu kurang lebih dua tahun saja, terdapat tidak kurang dari tiga ribu orang Portugis tinggal di pelabuhan ini.
Akan tetapi, setelah orang-orang Portugis ini merasa diri kuat karena mereka berjumlah banyak, apalagi mengandalkan senjata api mereka, mulailah lagi nampak watak mereka yang seperti bajak laut, apalagi setelah mereka mabuk. Mereka bahkan membangun sebuah benteng tembok yang kokoh untuk melindungi warga mereka, lengkap dengan meriam-meriam mereka. Mereka mulai memperlihatkan kekuasaan, memandang rendah sekali kaum pribumi, dengan mudah memukul bahkan membunuh orang, menculik dan memperkosa wanita. Akhirnya, para pejabat mendapat peringatan dari kota raja yang sudah mendengar akan keadaan di Ning-po. Pemerintah mengerahkan pasukan besar menyerbu benteng. Portugis itu. Terjadilah pertempuran hebat, dan akhirnya, benteng itu bobol dan mereka yang tidak sempat melarikan diri ke kapal mereka, dibunuh.
Demikianlah, dua buah peristiwa permusuhan terhadap orang-orang Portugis terjadi di Kanton pada tahun 1522 dan di Ning-po pada tahun 1542. Namun, bagaikan semut yang tertarik oleh gula, setelah beberapa tahun tidak memperlihatkan diri, beberapa orang Portugis bermunculan di Cang-cow di Propinsi Hok-kian. Sekitar tahun 1548 itu, kota Cang-cow merupakan sebuah kota yang amat terkenal bagi orang-orang di luar Cina. Bahkan bangsa Arab dan Melayu, sudah sejak beberapa abad menjadi pedagang-pedagang yang berhubungan amat baik dengan kaum pribumi, melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua pihak. Bangsa Arab mengenal kota Cang-cow sebagai kota Jaitun seperti tercatat dalam sejarah mereka. Di kota yang dengan tangan terbuka menerima hubungan dagang dengan semua bangsa asing ini, orang-orang Portugis juga diterima tanpa banyak kecurigaan. Mulailah orang-orang Portugis berdatangan untuk berdagang. Di tempat inilah orang-orang Portugis menggunakan siasat lain. Mereka sudah berpengalaman dan kini mereka melakukan perdagangan dan bersiasat halus. Bukan saja mereka terorganisir, bahkan mereka dipimpin oleh seorang berpangkat kolonel bernama Simon De Andrada, putera dari mendiang Simon De Andrada yang pernah pula memimpin orang-orang Portugis yang kemudian melakukan pembajakan di sekitar sungai Mutiara dan muara Kwan-tung. Kolonel Simon De Andrada yang sudah mendapat pesan dari atasannya melakukan siasat yang halus, menekan anak buahnya dengan keras agar mereka tidak melakukan kejahatan. Bahkan Kolonel Simon De Andrada ini melakukan pendekatan dan berhasil menyuap dan berhubungan baik sekali dengan para pejabat tinggi di Cang-cow, juga melakukan hubungan dengan orang-orang Pek-lian-kauw, juga dengan para pimpinan bajak laut Jepang.
Dengan taktik seperti ini, mulailah orang-orang Portugis menancapkan kuku-kuku mereka di Cang-cow dan karena para pejabat sudah menjadi sekutu mereka, maka laporan para pejabat itu ke kota raja selalu memuji-muji orang-orang Portugis dan dikatakan sebagai pedagang-pedagang yang mendatangkan keuntungan bagi Cina dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat di daerah Cang-cow!
Seperti yang sudah-sudah, bangsa Portugis membangun sebuah benteng di dekat laut, benteng besar di mana semua bangsa Portugis tinggal untuk memudahkan mereka berlindung kalau terjadi sesuatu. Namun Kolonel Simon De Andrada memberi alasan bahwa benteng itu dipergunakan untuk memusatkan anak buahnya agar mereka lebih mudah dapat diawasi dan diatur. Dan para pejabat yang sudah kenyang menerima sogok dan suap, hanya mengangguk-angguk membenarkan saja. Padahal, bangsa asing lainnya, seperti bangsa Arab dan Melayu, tidak ada yang membuat benteng, tidak ada yang membawa pasukan bersenjata, melainkan tinggal bersama rakyat di kampung-kampung, walaupun tetap mereka itu berkelompok.
Karena keadaan dianggap aman dan menyenangkan, bangsa Portugis mulai mendatangkan sanak keluarga mereka, wanita dan kanak-kanak, bahkan mereka mulai mendirikan sekolah anak-anak mereka, dan juga mendirikan tempat ibadah dan pendeta-pendeta.
Kolonel Simon De Andrada mempunyai dua orang pembantu yang amat dipercaya dan diandalkan. Yang seorang adalah Kapten Armando yang berusia lima puluhan tahun bersama puterinya yang bernama Sarah. Kapten Armando hanya datang bersama puterinya, karena dia seorang duda yang sudah bercerai dari isterinya. Adapun orang ke dua yang menjadi pembantu utama kolonel itu adalah Kapten Gonsalo yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun, masih membujang.
Kapten Armando adalah seorang pria setengah tua yang wajahnya ganteng sekali, dengan rambut keemasan, matanya biru dan hidungnya yang mancung tidak terlalu besar dan panjang. Mulutnya membayangkan keberanian dan dagunya yang berlekuk membuat dia nampak jantan, apalagi ditambah dengan kumisnya yang melintang dan jenggotnya yang tidak panjang. Wajah seorang laki-laki yang berwatak keras, namun sinar matanya yang biru laut itu lembut. Puterinya, Sarah Armando, adalah seorang dara berusia tujuh betas tahun. Cantik jelita dengan raut wajah mirip ayahnya, rambutnya kuning keemasan dan matanya juga biru amat jernihnya, tenang menghanyutkan seperti air laut. Biarpun usianya baru tujuh betas tahun, namun tubuhnya sudah dewasa dan matang, dengan lekuk-lengkung sempurna. Bagaikan setangkai bunga, Sarah sedang mekar dan semerbak harum, maka tidaklah mengherankan kalau para pria Portugis, bahkan juga bangsa lain, bagaikan kumbang-kumbang kehausan madu kalau melihatnya. Namun dara ini biarpun lincah jenaka dan berwatak gembira, ia sama sekali tidak genit dan tidak pernah mau memberi hati kepada pria mana pun juga sehingga tidak ada pria yang berani menggodanya. Kehormatan seorang wanita memang terletak kepada sikapnya kalau berhadapan dengan pria. Kerlingnya, senyumnya, gerak-gerik dan suaranya, semua itu dapat menunjukkan apakah seorang wanita itu dapat digoda ataukah tidak. Seorang wanita yang menjaga kehormatan dan pandai menjaga dirinya, akan bersikap tenang dan terbayang keagungan pada setiap gerak-geriknya, membuat pria sungkan dan segan untuk bersikap kurang ajar, karena wanita seperti itu seolah-olah setiap saat dapat meledak marah kalau diganggu secara tidak layak dan tidak sopan. Sebaliknya, setiap orang pria sudah pasti condong untuk menggoda wanita yang sikapnya genit, yang pembawaannya seolah merupakan tantangan, dengan kerling tajam memikat, senyum menantang, dan dengan sikap seperti ini otomatis wanita itu telah membanting harga dirinya dan setiap orang pria akan senang sekali menggodanya!
Kapten Gonsalo, pembantu Kapten Armando dan merupakan orang ke dua yang menjadi pembantu dan kepercayaan Kolonel Simon De Andrada, adalah seorang diantara mereka yang tergila-gila kepada Sarah. Dia yang masih membujang dan sudah berusia tiga puluh tahun itu memang mempunyai lebih banyak harapan untuk menang berlomba mendapatkan diri Sarah. Dia seorang kapten, pembantu ayah gadis itu sehingga paling dekat hubungannya dengan Sarah. Juga Kapten Gonsalo seorang pria yang bertuhuh tinggi besar, ganteng dan jantan, dengan kumis tipis dan dagu dicukur bersih dan nampak kebiruan karena jenggotnya memang tebal andai dibiarkan tumbuh. Biarpun biasanya Kapten Gonsalo ini seorang laki-laki yang amat kasar dan suka memamerkan kekuasaan dan kekuatannya, apalagi karena dia seorang jago tinju dan ahli tembak, namun di depan Sarah dia dapat bersikap lunak dan jinak seperti seekor domba! Dengan segala daya dia berusaha untuk memikat hati gadis yang telah membuatnya tergila-gila itu.
Kapten Gonsalo selain kuat, juga dia seorang yang memiliki ambisi besar, dan amat cerdik pula. Karena itu, dia dapat menjadi orang kepercayaan Kolonel Simon De Andrada, dan diperbantukan kepada Kapten Armando. Bahkan setengah tahun yang lalu, Kapten Gonsalo pernah diutus oleh sang kolonel untuk pergi ke kota raja menghadap kaisar, dan tentu saja diantar oleh pejabat daerah. Di hadapan kaisar, Kapten Gonsalo atas nama Kolonel Simon De Andrada dan semua bangsa Portugis, menghaturkan salam dan tidak lupa memberi hadiah yang terdiri dari benda-benda berharga dari Portugis. Yang amat menyenangkan hati Kaisar Cia Ceng dari Kerajaan Beng adalah hadiah yang berupa sebuah senjata api pistol yang dilapis emas! Maka, Kapten Gonsalo ketika meninggalkan istana, juga membawa hadiah yang cukup berharga dari kaisar untuk disampaikan kepada Kolonel Simon De Andrada.
Semenjak diterimanya utusan itu oleh kaisar, maka para pejabat daerah semakin dekat hubungan mereka dengan orang Portugis dan bangsa ini dianggap sebagai bangsa yang diterima baik oleh kaisar sendiri!
Demikian pandainya orang Portugis di Cang Cow membawa diri sehingga tidak ada seorang pun pejabat tinggi di kota raja yang mencurigai mereka. Apalagi kaisar, sedangkan dua menteri tertinggi yang merupakan tulang punggung pemerintahan kaisar, yaitu Menteri Cang Ku Ceng dan Menteri Yang Ting Hoo, tidak mengetahui akan bahaya yang mengancam dari persekutuan gelap, di Cang Cow itu.
Ketika beberapa bulan yang lalu seorang jaksa di Cang-cow, yaitu Jaksa Yu, melihat persekutuan itu, tentu saja dia terkejut dan cepat dia menemui atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow untuk menyadarkannya betapa tidak benarnya persekutuan dengan orang-orang Portugis, bahkan dengan bajak laut Jepang dan pemberontak Pek-lian-kauw, kepala daerah itu menjadi terkejut. Dia tahu bahwa Jaksa Yu seorang yang amat setia dan jujur, kalau kini dia sudah tahu akan rahasia itu, tentu dia akan melapor ke kota raja. Maka, kepala daerah itu segera mengambil tindakan tegas. Jaksa Yu sekeluarga ditangkap, dituduh hendak memberontak dan dijatuhi hukuman mati! Habislah seluruh keluarga Jaksa Yu dan berarti aman pula rahasia persekutuan itu. Akan tetapi, kemudian baru kepala daerah mendengar bahwa ayah dari Jaksa Yu yang sudah tua, yaitu Yu Siucai, yang kebetulan sedang keluar kota, lolos dari pembasmian sekeluarga itu. Karena khawatir bahwa kakek itu tahu pula akan rahasia persekutuan mereka, maka dengan kerjasama dengan para sekutunya, mereka lalu mengutus pembunuh-pembunuh untuk melakukan pengejaran dan membunuh Yu Siucai. Mereka tidak tahu benar apakah rahasia itu terbawa oleh Kakek Yu, akan tetapi mereka tetap khawatir. Setelah melihat kakek itu tewas, para pembunuh itu mengejar-ngejar seorang pemuda yang berada di dekat kakek itu sebelum Yu Siucai meninggal dunia, maka pemuda itulah yang mereka kejar-kejar! Dan pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay seperti telah diceritakan di bagian depan.
Biarpun kakek Yu sudah tewas, tetap saja kepala daerah merasa khawatir dan mulailah dia melakukan pembersihan, menangkap pejabat-pejabat yang diangapnya dekat dengan Jaksa Yu. Banyak orang tidak berdosa ditangkap, bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa pun ikut tertangkap dan dihukum mati dengan
tuduhan memberontak!
Pagi hari di dalam benteng tempat tinggal orang-orang Portugis. Di sebuah gedung terbesar di dalam perbentengan itu, Sarah sudah sejak pagi sekali bangun dari tidurnya, mandi sambil bernyanyi-nyanyi gembira menyaingi burung-burung yang berkicau di pohon-pohon yang tumbuh di taman dalam perbentengan, bertukar pakaian lalu membantu pelayan membuatkan sarapan pagi untuk ayahnya dan ia sendiri.
Pagi itu ia merasa gembira bukan main karena kemarin ayahnya sudah berjanji akan mengajaknya naik kuda ke perbukitan diluar kota Cang-cow. Gadis ini memang sejak kecil mempunyai kegemaran menunggang kuda dan ia bahkan ketika berusia dua belas tahun, pernah menggondol kejuaraan menunggang kuda di negerinya. Setelah ia mengikuti ayahnya ke Cina dan tinggal di dalam perbentengan Cang-cow, ia tidak pernah meninggalkan kegemaran ini. Akan tetapi, karena berada di negeri asing dan hidup terkurung di dalam perbentengan, ia merasa kurang leluasa. Ia hanya dapat menunggang kuda dan berputar-putar di dalam benteng atau kalau pun ia diperbolehkan ayahnya berkuda keluar benteng, ia tidak boleh seorang diri, harus ada pengawal. Tidak begitu menyenangkan berkuda di kota, karena selain jalan-jalan terlalu ramai sehingga ia harus menunggang kuda yang dijalankan perlahan-lahan, ia pun menjadi tontonan. Akan tetapi kalau sekali waktu ayahnya mengajaknya menunggang kuda keluar kota, ke bukit-bukit, ke padang rumput, sungguh ia baru dapat menikmati kegemarannya itu. Ia dapat melarikan kudanya dengan bebas tanpa gangguan! Dan pagi hari ini, ayahnya kemarin menjanjikan untuk mengajak puterinya berkuda di perbukitan di luar kota!
Setelah menghidangkan roti panggang dengan mentega, selai dan telur mata sapi kegemaran ayahnya, Sarah lalu menghampiri kamar ayahnya. Diketuknya pintu kamar itu. Hanya ia seoranglah yang berani mengetuk pintu kamar ayahnya sepagi itu! Kalau orang lain yang mengganggunya sepagi itu, tentu Kapten Armando akan marah sekali. Ketika pintu terketuk,terdengar dia sudah menyumpah-nyumpah, lalu terdengar sandal diseret dan daun pintu terbuka. Wajah yang masih kusut dan sudah siap untuk memaki itu, tiba-tiba saja menjadi cerah dan mulut yang cemberut berubah menjadi senyuman ramah. Memang pria setengah tua ini amat mencinta puterinya yang merupakan anak tunggal dan merupakan satu-satunya orang yang dekat dengan dia. Dia mengasihi Sarah melebihi dirinya sendiri.
"Selamat pagi, Ayah!" kata Sarah, tidak perduli melihat ayahnya masih belum sadar benar agaknya dari tidurnya.
"Selamat pagi, Sarah. Sepagi ini engkau sudah menggugah ayahmu?" teguran ini lebih merupakan salam daripada kemarahan.
"Maafkan aku, Ayah. Agaknya Ayah lupa akan janjimu terhadapku. Bukankah kemarin Ayah berjanji akan mengajak aku berkuda diperbukitan" Semakin pagi kita berangkat, semakin indah menyenangkan, Ayah. Hayo, mandilah, sarapan pagi sudah kusediakan!"
Kapten Armando memandang kepada puterinya dengan mata dilebarkan, lalu dia menepuk kepala sendiri, "Ahhh, terlalu banyak anggur kuminum semalam, terlalu banyak hal penting yang dibicarakan dengan para pejabat sehingga aku sampai lupa memberitahu kepadamu semalam. Aihh, sayangku, sungguh aku menyesal sekali, akan tetapi pagi hari ini ayahmu tidak mungkin dapat menemanimu....."
"Ayah.....!" Sarah merajuk, mulutnya yang berbibir merah basah itu cemberut, alisnya berkerut dan matanya yang lebar itu tiba-tiba saja menjadi basah.
Kapten Armando melangkah maju dan merangkul puterinya, diajaknya masuk ke kamar, lalu diajaknya duduk di atas kursi panjang yang lunak. "Anakku, jangan kecewa. Bukan ayahmu tidak suka menemanimu, akan tetapi pagi ini tidak mungkin aku dapat pergi karena aku harus menghadiri pelaksanaan hukuman pemberontak."
Dengan punggung tangan Sarah menekan kedua matanya sehingga air mata yang mernenuhi pelupuk itu terjatuh menjadi dua tetes air mata. Ia memandang ayahnya.
"Siapa kali ini pemberontak yang akan dihukum mati, Ayah?"
Kapten Armando menarik napas panjang. "Tidak kita sangka sama sekali. Dia adalah Perwira Cung "
Sarah membelalakkan matanya yang sudah lebar. "Perwira Cung yang gagah dan sopan itu, yang pernah berkunjung ke mari beberapa kali?"
Kapten Armando mengangguk. "Benar, dia ditangkap karena ada bukti-bukti bahwa dia bersekongkol dengan keluarga Jaksa Yu yang sudah dihukum beberapa bulan yang lalu."
"Aih, Ayah. Tidak perlu Ayah menyaksikan pelaksanaan hukuman terhadap seorang yang tadinya menjadi sahabat baik Ayah. Lebih baik Ayah berkuda dengan aku ke luar kota untuk melupakan peristiwa yang mengerikan itu."
Akan tetapi ayah itu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, sayang. Pelaksanaan hukuman terhadap seorang pemberontak harus dihadiri semua yang diundang karena dimaksudkan sebagai peringatan bagi mereka yang menyaksikan agar jangan mencoba-coba untuk melakukan pemberontakan."
Sarah mencibir dan bibir bawahnya yang berjebi itu seperti menantang untuk dicium. "Huh, siapa sih yang ingin memberontak" Yang pasti, Ayah tidak, bukan" Ayah, sejak pagi sekali aku sudah bangun dan senang sekali hatiku karena membayangkan akan berkuda dengan Ayah ke bukit-bukit. Siapa tahu akan berakhir mengecewakan begini....! Huh, melihat orang dihukum mati!"
Kapten Armando mengusap rambut kepala puterinya dengan belaian penuh kasih sayang. "Jangan kecewa, Anakku. Engkau tetap boleh berkuda di perbukitan pagi ini, bahkan tadi malam sudah kuminta Gonsalo untuk menemaninya."
"Kenapa Gonsalo" Aih, aku tidak suka, Ayah!" kata dara itu, merajuk.
"Eh" Jadi engkau tidak suka pergi pagi ini?"
"Aku tetap ingin pergi berkuda, akan tetapi tidak dengan Kapten Gonsalo! Lebih baik dengan perajurit pengawal biasa saja, Ayah."
Kapten Armando mengerutkan alisnya yang tebal, "Sarah sayag, kenapa engkau selalu kelihatan tidak suka kepada Gonsalo" Dia adalah pembantu ayahmu, dan dia seorang kapten yang baik pula. Selain itu, bukankah dia seorang pemuda yang belum menikah, tampan dan gagah pula" Dia juara tinju, dia ahli tembak cepat, dia...."
"Sudahlah, Ayah! Tidak ada gunanya memuji-muji dia seperti Ayah hendak menjual barang dagangan saja! Bagaimanapun juga, aku tidak tertarik, aku aku bahkan membencinya!"
"Ehh" Engkau aneh sekali, Sarah. Kalau tanpa alasan, bagaimana mungkin membenci seseorang" Tentu ada sebabnya yang membuat engkau membencinya. Nah, katakan kepada ayahmu, apakah sebab itu?"
Sarah bersungut-sungut. Memang tidak pernah kapten muda itu melakukan sesuatu yang dapat ia laporkan kepada ayahnya. Kapten Gonsalo selalu bersikap sopan dan lembut kepadanya. Bagaimanapun juga, ia tidak berbohong ketika mengatakan bahwa ia tidak suka kepada kapten itu. Ia tahu bahwa ayahnya seorang yang berhati keras dan selalu menuntut kejujuran. Ayahnya pasti tidak mau menerima pendapatnya tanpa alasan, tidak mau menerima pernyataannya membenci kapten Gonsalo tanpa ia dapat memberikan sebabnya.
"Dia.... dia...., pandang matanya itulah yang tidak kusukai, Ayah. Pandang matanya membuat aku merasa benci..."
"Hemmm" Pandang. matanya kenapa, Sarah?"
"Entahlah, Ayah. Pandang matanya seperti pandang mata seekor anjing kalau sedang marah. Aku tidak suka, Ayah. Aku ingin pergi berkuda dengan seorang perajurit saja, atau kalau Ayah tidak setuju, biarlah aku berkuda seorang diri saja."
"Ahh.....!"
"Jangan khawatir, Ayah. Aku dapat pergi membawa sebuah pistol untuk menjaga diri."
"Tidak, engkau tidak boleh pergi seorang diri! Juga tidak boleh dikawal perajurit biasa. Hanya Kapten Gonsalo seoranglah yang kupercaya sepenuhnya untuk mengawalmu. Kalau dia yang mengawalmu, sama saja dengan kalau aku sendiri yang mengawalmu dan hatiku akan senang. Tanpa dia, kalau engkau pergi aku akan selalu merasa gelisah dan khawatir. Sudahlah, jangan banyak membantah, Sarah. Dia sudah kuperintahkan untuk mengawalmu pagi ini. Nah, aku sudah mendengar derap kaki kudanya. Pergilah berkuda dengan dia, dan kalau dia melakukan sesuatu yang tidak layak, katakan kepadaku, aku yang akan menghukumnya."
Kapten Armando meninggalkan puterinya, memasuki kamar mandi yang bersebelahan dengan kamar itu. Sarah bersungut-sungut, maklum bahwa keputusan ayahnya tak dapat ditawar-tawar lagi. Tinggal dua pilihan baginya. Pergi berkuda dengan dikawal Gonsalo atau tidak pergi sama sekali. Ia menghela napas panjang lalu keluar dari kamar ayahnya, menuju ke ruang makan dan menanti di atas kursi menghadapi meja makan yang besar itu dengan muka cemberut. Ia sudah siap dengan pakaian untuk berkuda. Kemeja dengan lengan panjang yang digulungnya sampai ke bawah siku dengan leher baju terbuka. Lehernya dikalungi sapu tangan sutera merah yang nampak kontras dengan kemejanya yang putih. Celana panjangnya abu-abu dan sepatu boot dari kulit menutupi kaki sampai ke bawah lutut, menutupi pula celana panjangnya bagian bawah. Pinggang yang ramping itu diikat sabuk kulit dan ia pun sudah siap dengan sebatang cambuk kuda dari bulu halus. Cantik jelita dan manis sekali dara itu ketika ia mematut diri di depan cermin di dekat meja makan itu sambil mengenakan topinya yang terhias bulu burung dan berwarna hijau. Rambut nya yang kuning keemasan berombak menutupi tengkuk dan punggungnya, sampai ke atas pinggang dan di dekat tengkuk diikat pula dengan tali sutera merah.
Tak lama kemudian, Kapten Armando memasuki ruang makan, sudah siap dengan pakaian dinasnya, pakaian kapten yang membuatnya nampak lebih muda, dan gagah. Akan tetapi, pria setengah tua itu memandang kepada puterinya yang sudah mengenakan pakaian lengkap berikut topi itu dengan kagum dan terpesona. Puterinya ini mengingatkan dia kepada isterinya yang sudah bercerai darinya dan kini berada di negaranya sendiri.
"Sarah, engkau cantik sekali!"
Biarpun ia kecewa, mendengar pujian ayahnya, Sarah tersenyum, bangkit berdiri, menghampiri ayahnya dan mencium pipi ayahnya dengan sikap manja. "Ayah, aku maafkan Ayah yang tadi mengecewakan hatiku. Baiklah, aku akan pergi berkuda di perbukitan, dikawal oleh Kapten Gonsalo."
Kapten Armando menjadi gembira sekali. Dia merangkul puterinya, mendekap kepala yang disayangnya itu ke dada dan mengecup pipi anaknya sampai mengeluarkan bunyi nyaring.
"Ha-ha-ha-ha, engkau memang anakku yang manis. Engkau darah Armando yang jujur dan keras akan tetapi tegas! Ha-ha-ha, aku girang sekali, Sarah. Pergilah, sayang, akan tetapi marilah kita sarapan dulu."
Ayah dan anak itu sarapan dan nampak mereka gembira. Apalagi Kapten Armando, makannya lahap sekali, dilayani oleh puterinya. Pada saat itu pembantu mengetuk pintu ruangan makan, memberitahu bahwa Kapten Gonsalo sudah tiba di ruangan depan.
"Suruh dia menanti sebentar!" kata Sarah mendahului ayahnya. Pelayan itu memberi hormat dan pergi lagi.
"Aih, Sarah sayang, kenapa engkau tidak mengundang Gonsalo ikut sarapan bersama kita?" tegur Kapten Armando, akan tetapi kata-katanya lembut dan manis. sehingga tidak merupakan teguran, lebih pantas pertanyaan.
Sarah tersenyum. Sudah kembali ke lincahannya dan kekecewaannya yang tadi sama sekali tidak ada bekasnya lagi.
"Ayah, aku ingin makan pagi bersama ayah saja, tidak diganggu siapa pun juga sehingga selera makan kita tidak berkurang karenanya. Ayah, tambah lagi rotinya?"
Kapten Armando tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia tidak ingin merusakkan suasana yang akrab dan membahagiakan ini dengan kehadiran Gonsalo. Bagaimanapun juga, dia akan memberi kebebasan sepenuhnya untuk memilih sendiri kekasih dan calon suaminya. Dia ingin puterinya berbahagia, dan kebahagiaan perjodohannya hanya mungkin kalau puterinya itu memilih sendiri jodohnya.
Setelah selesai makan, mereka berdua keluar dan menuju ke ruangan tamu di depan. Di situ Gonsalo telah menanti dan pemuda ini duduk di sebuah kursi tamu yang nyaman. Wajahnya tetap riang dan cerah walaupun di dalam hatinya dia kecewa mengapa Sarah dan ayahnya tidak menundang dia makan pagi bersama, walau hanya untuk basa-basi saja. Dari pelayan tadi dia tahu bahwa ayah dan anak itu sedang sarapan di ruangan makan. Akan tetapi, sengaJa perasaan kecewa itu disembunyikan di balik senyum yang ramah dan wajah yang cerah.
"Selamat pagi, Kapten Armando! Selamat pagi Sarah!" dia menyalam dengan ramah. "Lihat, aku telah siap. Kita berangkat sekarang, Sarah" Kudamu sudah kusuruh siapkan tadi, menanti diluar."
Kapten Armando menyambut salam itu dan mengangguk-angguk. Di dalam hatinya dia merasa heran mengapa puterinya tidak senang kepada pemuda ini. Padahal menurut dia, mata kapten muda itu bagus sekali, tajam dan penuh ketegasan. "Selamat menikmati hari yang, cerah ini, Gonsalo, Sarah, jangan terlalu jauh dari daerah yang aman, dan Gonsalo, jangan terlalu larut kalian pulang. Berhati-hatilah, jaga baik-baik Sarah karena pelaksanaan hukuman terhadap pemberontak ini sedikit banyak menimbulkan keguncangan. Aku serahkan keselamatan anakku di tanganmu."
Kapten Gonsal0 memberi hormat secara militer. "Siap, Kapten! Saya akan melindungi Sarah dengan taruhan nyawaku sendiri!"
"Aku pergi, Ayah!" Sarah sudah lari ke depan, agaknya tidak senang mendengarkan percakapan antara ayahnya dan Gonsalo, terutama mendengar janji Gonsalo yang muluk itu.
Tak lama kemudian, Sarah dan Gonsalo sudah menunggang kuda. Sarah melarikan kudanya keluar kota melalui pintu gerbang kota sebelah barat, dan Gonsalo mengikuti dari belakangnya. Ketika mereka keluar dari benteng dan menjalankan kuda mereka di kota Cang-cow tadi, mereka menjadi tontonan yang mengagumkan. Memang serasi dua orang ini. Yang wanita cantik jelita, rambutnya seperti benang emas tertimpa sinar matahari pagi, tubuhnya yang padat ramping itu duduk di atas sela kuda demikian lentur dan enaknya, tanda bahwa gadis ini memang ahli menunggang kuda. Yang mengiringkan di belakangnya, Gonsalo juga amat menarik. Rambutnya kecoklatan, demikian pula warna matanya. Tubuh nya tinggi besar dan tegap, duduk dengan tegak di atas kudanya dengan sikap penuh wibawa. Pakaian kaptennya berkilauan dengan hiasan dari perak dan emas, di pinggangnya tergantung sebuah pistol hitam, di punggung kanan tergantung sebatang pedang, tangannya memagang cambuk kuda. Kepalanya tertutup topi tentara yang membuat wajahnya nampak semakin ganteng.
Begitu keluar dari pintu gerbang kota, Sarah lalu membalapkan kudanya menuju bukit di depan. Melihat ini, Gonsalo tersenyum dan dia pun mempercepat larinya kuda, mengejar. Diam-diam Sarah merasa mendongkol bukan main. Kapten Gonsalo ini benar-benar telah merusak kegembiraannya. Kalau saja ia berkuda dengan ayahnya, ia tentu akan menjalankan kudanya perlahan-lahan, menikmati udara luar kota yang sejuk jernih, menikmati munculnya matahari pagi yang diantar kicau burung dan semilirnya angin perbukitan, menyamankan pandang mata dengan pemandangan yang indah, rumput-rumput hijau segar, pohon-pohon yang rimbun, bunga-bunga liar yang beraneka warna. Akan tetapi, sekarang ia tidak dapat menikmati semua itu. Ia melarikan kudanya, membalap tanpa memperdulikan segala keindahan di sepanjang perjalanan. Seolah-olah ia bukan sedang berkuda menikmati pagi hari dan pemandangan aneh, melainkan sedang melarikan diri dengan kudanya, menjauhi sesuatu yang tidak menyenangkan. Akan tetapi yang tidak menyenangkan itu selalu mengikutinya dari belakang!
Berjam-jam Sarah melarikan kudanya, naik turun bukit sampai Kapten Gonsalo menyusulnya dan berteriak, "Sarah, berhenti dulu! Kudamu dapat kehabisan napas dan jatuh sakit!"
Mendengar seruan ini, Sarah teringat akan kuda yang disayangnya itu. Ia menghentikan kudanya dan benar saja. Kudanya terengah-engah, mendengus-dengus dan dari hidung dan mulutnya keluar uap, tubuhnya berkeringat. Ia pun merasa kasihan sekali dan cepat meloncat turun dari atas punggung kudanya, melepaskan kendali dan membiarkan kudanya beristi rahat sambil makan rumput segar.
Gonsalo juga turun dari kudanya yang juga kelelahan. Dia memandang kepada Sarah yang melangkah menjauhkan diri, menuju ke tepi jurang dari mana ia dapat memandang keindahan alam di bawah bukit. Gonsalo menarik napas panjang. Dia merasa heran mengapa dara ini tidak kelihatan gembira, bahkan seperti orang marah. Rambut gadis itu awut-awutan karena tadi melarikan kuda dengan cepatnya. Dia lalu membuka topi, merapikan rambut dengan sisir, lalu mengenakan lagi topinya dan menghampiri Sarah.
"Sarah....," panggilnya ketika dia tiba dibelakang gadis itu.
Sarah membalikkan tubuhnya dan sejenak ia mengamati kapten muda di depannya. Seperti biasa, pakaian kapten ini serba rapi, bahkan biarpun mereka tadi membalapkan kuda, agaknya tidak ada sehelai rambut pun yang kusut. Demikian rapi dan teratur! Dan Sarah tidak menyukai ini. Seperti bukan manusia saja, seperti boneka!
"Ya, Kapten?" jawabnya sambil lalu dan kini matanya kembali memandang ke arah bawah bukit.
"Sarah, namaku Gonsalo!"
"Ya, ada apakah, Kapten Gonsalo?"
"Sarah, kita sudah menjadi sahabat, bukan" Aku adalah pembantu ayahmu, juga sahabatnya, berarti sahabatmu pula. Kenapa engkau masih menyebut aku kapten" Aku tidak suka kau sebut kapten, panggil namaku saja."
"Akan tetapi aku suka menyebut kapten!" kata Sarah, berkeras dan kini ia membalik dan menentang pandang mata kapten itu dengan berani. "Engkau memang seorang kapten, bukan" Lihat pakaianmu, lihat topimu, pistol dan pedangmu! Lihat sikapmu! Engkau seorang kapten tulen, kenapa tidak kusebut kapten?"
"Tapi, aku tidak suka resmi-resmian, terutama denganmu, Sarah."
"Akan tetapi aku suka, Kapten Gonsalo Sudahlah, tidak perlu berdebat, Kapten. Aku akan melanjutkan perjalanan." Sarah memasang kembali kendali kudanya yang sudah pulih kesegarannya, kemudian meloncat ke punggung kuda dan menjalankan kudanya. Kini ia tidak melarikan kudanya dengan cepat seperti tadi karena ia merasa kasihan kepada kuda kesayangannya itu.
Gonsalo juga menunggang kudanya dan mencoba menjalankan kuda di samping kuda Sarah. Akan tetapi, setiap kali kuda Gonsalo tiba di sam ping kuda Sarah, dara itu mempercepat kudanya sehingga ia selalu berada di depan Gonsalo. Hal ini tentu saja membuat hati kapten itu menjadi semakin panas dan mendongkol.
"Sarah, kita sudah terlalu jauh, sebaiknya kembali saja. Ayahmu tadi sudah berpesan agar kita tidak terlalu jauh," berulang kali Gonsalo meneriaki Sarah, akan tetapi dara itu tidak perduli dan terus saja menjalankan kudanya ke bukit di de pan.
Tiba-tiba terdengar teriakan ketakutan. "Setan.....! Setan....!" Seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, dengan pakaian compang-camping dan yang tadi agaknya sedang menyabit rumput, kini bangkit berdiri, terbelalak memandang kepada Sarah, berteriak-teriak dan mengacung-acungkan sabitnya dengan sikap mengancam.
"Sarah, minggir!" Gonsalo berteriak. Orang yang memegang sabit itu seperti hendak menyerang dan kuda yang ditunggangi Sarah terkejut karena orang itu berteriak-teriak. Kuda itu meringkik dan mengangkat keduaa kaki depan ke atas. Untung bahwa Sarah telah terlatih baik sehingga tidak mudah terlempar dari punggung kudanya.
"Setan rambut emas....! Setan jahat, pergilah....!" orang itu berteriak-teriak ketakutan dan mengacungkan sabitnya lagi.
"Darr....!" terdengar letusan dan orang itu pun terjungkal, merintih-rintih memegangi paha kirinya yang berlumuran darah.
"Kapten, kenapa engkau menembaknya?" Sarah berseru kaget dan ia cepat meloncat turun dari atas kudanya dan menghampiri orang yang tertembak itu. Orang itu memandang kepadanya dengan muka pucat, mata terbelalak ketakutan. Sabitnya tadi entah terlempar ke mana ketika dia roboh.
"Setan..... setan..... jangan ganggu aku...! Pergilah....!" Orang itu berteriak lemah.
Sarah sudah pandai berbahasa daerah. Selama ini, ia mempelajari bahasa pribumi dengan tekun. Ia berlutut dekat orang itu. "Jangan takut, sobat. Aku bukan setan, aku manusia biasa. Biar kuperiksa lukamu....!" Ia pernah pula mempelajari ilmu pengobatan.
"Sarah, jangan dekat dia! Dia berbahaya!" teriak pula Gonsalo sambil meloncat dan mendekati, pistol revolver masih di tangannya.
"Kapten, mundurlah dan jangan turut campur!" Sarah membentak marah, mengejutkan kapten itu.
"Jangan sentuh aku..... kau setan.... pergilah....!" orang itu berteriak-teriak lagi sehingga Sarah tidak berani menyentuhnya. Pada saat itu, muncul tiga orang dusun dengan sikap takut-takut. Sarah cepat berkata kepada mereka.
"Jangan takut, temanmu ini terluka, aku ingin memeriksa dan mengobatinya."
Mendengar Sarah bicara dengan lembut, tiga orang laki-laki itu menghampiri dan ketika melihat orang yang compang-camping itu terluka pahanya, seorang di antara mereka bertanya, "Kenapa pahanya terluka ?"
Sarah menjadi bingung. "Dia tadi muncul tiba-tiba, mengejutkan kami dan kuda kami. Temanku itu mengira dia hendak menyerang, maka menembak kakinya...." ia merasa menyesal sekali, "Maafkan kami...."
"Hemm, dia memang seorang yang sinting," kata pula orang tertua dari mereka. "Dia belum pernah ke kota, belum pernah melihat seorang wanita asing seperti nona." Tiga orang itu lalu membantu orang terluka itu bangun.
"Biar kuperiksa dan kuobati dia, aku dapat mengobatinya " kata Sarah.
"Tidak perlu, Nona. Kami dapat mengobatinya sendiri." Tiga orang itu memapah orang terluka tadi dan membawanya pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Sarah berdiri mematung, merasa menye sal bukan main.
"Sudahlah, Sarah. Perlu apa memikirkan dia" Dia hanya seorang gila." kata
Gonsalo. Mendengar ini, Sarah membalik dan menghadapi Gonsalo dengan sinar mata berapi. "Justeru karena dia gila maka dosamu semakin bertumpuk! Dia seorang gila yang tidak berdaya, dan engkau begitu saja menembaknya! Engkau curang dan kejam!" Setelah menghardik itu Sarah lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan melarikan kuda itu.
"Sarah, tunggu! Kau tidak adil! Hal itu kulakukan untuk melindungimu!" teriak Kapten Gonsalo, akan tetapi Sarah telah membalapkan kudanya lagi, dikejar oleh kapten itu.
Sarah membalapkan kudanya menuju ke sebuah bukit yang nampak hijau di depan. Dara ini tidak perduli lagi ke mana dia menuju, pokoknya hendak menjauhi Gonsalo yang dibencinya.
"Sarah! Jangan ke bukit itu! Di sana penuh hutan dan berbahaya!" teriak Gonsalo. Akan tetapi Sarah tidak perduli, bahkan mendengar larangan itu semakin bersemangat, membalapkan kudanya mendaki bukit. Gonsalo mengejar, akan tetapi kuda yang ditunggangi Sarah memang seekor kuda pilihan yang lebih baik, lebih baik daripada tunggangan Gonsalo. Dan dara itu memang pandai sekali menunggang kuda, maka Gonsalo selalu tertinggal di belakang.
Benar saja peringatan Gonsalo tadi. Ketika tiba di lereng bukit, kuda Sarah memasuki sebuah hutan. Matahari sudah naik tinggi dan hutan itu tidak gelap lagi, walaupun memang merupakan hutan liar dengan pohon-pohon raksasa yang sudah tua. Sarah tidak perduli. Hatinya masih panas dan mendongkol.
Tiba-tiba nampak banyak orang berloncatan keluar dari pohon-pohon dan semak-semak. Sarah menahan kudanya agar tidak menabrak orang-orang yang menghadang di depan. Ia terbelalak ketika melihat bahwa ia telah dikepung oleh belasan orang iaki-laki yang kelihatan bengis dan mereka semua memegang golok dengan sikap mengancam!
"Wah, ada bidadari rambut emas kesasar ke sini!"
"Aduh cantik sekali!"
"Tangkap saja, tentu uang tebusannya lumayan!"
"Sudah lama aku in gin mendapatkan seorang wanita kulit putih!"
Sikap mereka kasar dan kurangajar, dan Sarah yang pernah mendengar cerita tentang keadaan di bagian dalam negeri asing ini, dapat menduga bahwa tentu mereka inilah yang dinamakan gerombolan perampok!
"Jangan bergerak! Angkat tangan semua atau akan kutembak mampus kalian!" tiba-tiba Kapten Gonsalo berteriak dengan suara lantang. Bahasa daerahnya tidak selancar Sarah, namun kata-katanya cukup jelas dan dimengerti.
Para perampok itu memandang kepada Kapten Gonsalo yang sudah meloncat turun dari atas kudanya. Kapten ini menodongkan pistolnya ke arah mereka, sikapnya gagah dan matanya mencorong. Melihat bahwa musuh hanya seorang saja, walaupun ia memegang senjata api yang telah mereka kena sebagai senjata rahasia yang menakutkan dan berbahaya.
"Serbu, bunuh setan putih itu!" bentak seorang di antara para perampok dan mereka pun berteriak-teriak sambil menerjang ke arah Gonsalo sambil mengayun-ayun golok mereka yang berkilauan saking tajamnya.
"Daar-dar-darrr.....!!" sampai tujuh kali senjata api di tangan Gonsalo meledak dan dia memang penembak mahir yang hebat. Peluru yang tinggal tujuh butir di pistolnya itu meledak dan robohlah tujuh orang perampok! Akan tetapi, ledakan itu bahkan mendatangkaan lebih banyak lagi perampok dan kini dengan pedang di tangan karena pistolnya sudah kosong dan dia tidak keburu mengisinya dengan peluru baru lagi. Kapten Gonsalo dengan gagah berani menanti datangnya serangan. Dia memang seorang ahli pedang yang hebat, bukan saja penembak mahir, akan tetapi juga ahli bermain pedang dan juga seorang petinju jagoan. Kini dia dikeroyok belasan orang pedang nya diputar cepat dan terdengar suara berdencingan ketika pedangnya bertemu dengan golok para pengeroyoknya. Tinju kirinya saja bergerak dan seperti seekor harimau terluka Kapten Gonsalo mengamuk. Tinjunya merobohkan beberapa orang, demikian pula pedangnya. Akan tetapi, para pengeroyoknya adalah perampok-perampok ganas yang pandai silat pula. Pihak musuh terlalu banyak dan Kapten Gonsalo sudah menderita luka di paha dan pangkal lengan kirinya. Tahulah dia bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan roboh dan mati konyol. Apalagi ketika dia mencari dengan pandang matanya tidak dapat menemukan Sarah. Dara itu tidak nampak lagi, entah kemana. Berhasil lari menyelamatkan dirikah" Atau tertawan musuh" Jantungnya berdebar penuh kegelisahan ketika timbul dugaan ini. Celakalah kalau Sarah tertawan penjahat-penjahat ini! Akan tetapi, dia harus dapat menyelamatkan diri lebih dahulu kalau dia ingin mencari tahu tentang Sarah. Sukur kalau dapat menyelamatkan diri. Kalau tertawan pun, dia harus dapat lolos dulu untuk berusaha menolong dara itu.
Kapten Gonsalo mencabut lagi pistolya dan membentak. "Angkat tangan tau kutembak kalian!"
Mendengar bentakan ini, para pengeroyok terkejut, ada yang menjatuhkan diri bertiarap, ada yang meloncat jauh ke belakang, dan kesempatan ini diperguakan oleh Kapten Gonsalo untuk lari ke arah kudanya dan meloncat ke punggung kuda, terus melarikan diri. Dia tidak melihat kuda Sarah, dan para perampok ituu tidak berkuda, maka dengan mudah ia melarikan diri tanpa dapat dikejar mereka.
Biarpun paha dan bahunya terluka dan terasa nyeri dan perih, dan hanya dapat ia balut dengan kain untuk menghentikan darah mengucur, namun kapten itu tidak mengenal lelah, mencari Sarah dan jejak kaki kudanya. Akan tetapi, biarpun ia berputar-putar di sekitar bukit itu, ia tidak berhasil menemukan Sarah! Hari sudah menjelang sore, hatinya gelisah bukan main dan akhirnya terpaksa dia pulang seorang diri. Dia harus cepat melapor kepada Kapten Armando, membawa pasukan dan menyerbu sarang perampok untuk menghancurkan mereka dan merampas kembali Sarah, kalau benar gadis itu mereka tawan. Kalau tidak demikian, dia akan membawa pasukan mencari dara itu sampai dapat. Tentu saja dia mengharapkan Sarah sudah dapat melarikan diri dan pulang lebih dahulu, walaupun kemungkinan ini tipis sekali karena dia tidak melihat jejak kuda dara itu.
Hari telah mulai gelap ketika Gonsalo memasuki pintu gerbang perbentengan Portugis. Di pintu gerbang saja dia sudah dihadang oleh Kapten Armando yang kelihatan gelisah, dan marah.
"Gonsalo! Apa artinya ini" Engkau pulang selarut ini dan mana Sarah?"
Pertanyaan ini saja sudah membuat semangat Gonsalo terbang melayang saking gelisahnya karena dia tahu bahwa Sarah, seperti yang dia khawatirkan, belum pulang! Gadis ini lenyap. Entah ditawan perampok, entah lari kemana. Saking kelelahan, kesakitan dan kekhawatiran, Gonsalo tidak mampu menjawab dan tubuhnya terkulai lemas, jatuh dari atas punggung kudanya seperti kain basah.
Ketika Gonsalo siuman, dia telah berada di dalam kamar, dirawat oleh seorang dokter dan Kapten Armando duduk pula di kamar itu dengan wajah gelisah. Begitu melihat bawahannya siuman, dia lalu menghampiri.
"Gonsalo, apa yang telah terjadi" Engkau luka-luka, dan pulang seorang diri. Di mana Sarah" Apa yang terjadi?" Suara Kapten Armando penuh kegelisahan.
Gonsalo bangkit duduk, "Sarah tidak menuruti nasehatku dan melarikan kuda ke perbukitan yang penuh hutan itu, Kapten Armando. Kami dihadang perampok, banyak sekali jumlahnya. Aku telah merobohkan beberapa orang dengan pistolku sampai pelurunya habis, dengan pedang dan tinjuku. Akan tetapi mereka terlalu banyak dan dalam keributan itu aku tidak lagi melihat Sarah. Aku hanya mengharapkan dia dapat melarikan diri, kembali ke benteng atau entah ke mana. Aku.... aku terpaksa pulang untuk melapor dan mengambil bantuan pasukan."
"Celaka!'" Kapten Armando bangkit berdiri dan mukanya sebentar pucat sebentar merah. "Jangan-jangan ia ditawan perampok!"
"Aku akan mencarinya, Kapten. Aku bersumpah akan membawanya pulang. Aku akan meminpin pasukan. Demi Tuhan, akan kutumpas habis perampok-perampok jahanam itu. Akan kucari sekarang juga!" Kapten Gonsalo turun dari pembaringan.
"Kita semua harus mencarinya. Sarah harus dapat ditemukan kembali! Ini tanggung jawabmu, Gonsalo. Aku sendiri pun akan mencari, dan aku akan minta bantuan orang-orang Pek-lian-kauw. Mereka mengenal para pimpinan perampok di daerah ini. Awas, kalau ada yang berani mengganggu anakku, akan kubasmi habis!" Kapten Armando marah bukan main. Pada malam hari itu juga, kedua orang perwira ini mengerahkan pasukan yang terdiri dari seratus orang bersenjata bedil, dan mereka pun berangkat, dan diam-diam Kapten Armando sudah minta bantuan orang-orang Pek-lian-kauw yang mehyanggupi dan mereka dengan caranya sendiri akan ikut menyelidiki dan menyelamatkan Sarah! Tentu saja penduduk kota Cang-cow menjadi terheran-heran melihat pasukan Portugis malam-malam pergi meninggalkan kota. Akan tetapi kepala daerah sudah diberitahu oleh utusan Kapten Armando bahwa pasukan itu bertugas mencari puterinya yang hilang ketika bertamasya di perbukitan.
Ke manakah perginya Sarah Armando" Ketika para perampok menghadangnya, Sarah terkejut bukan main. Dan ketika Gonsalo mengamuk dengan pistolnya, menembaki para perampok sampai ada tujuh orang roboh, kemudian melihat betapa kapten itu mengamuk dengan pedangnya, diam-diam Sarah kagum bukan main. Kapten itu memang gagah parkasa. Akan tetapi, ia yang meloncat turun dari kudanya karena kuda itu melonjak-lonjak, tidak dapat membantu dengan tembakan pistolnya. Ia sudah mencabut senjata api itu, akan tetapi para perampok itu mengepung dan mengeroyok Gonsalo, sehingga sukar untuk menembakkan pistol tanpa membahayakan diri Gonsalo. Salah-salah tembakannya meleset dan mengenai kapten itu sendiri.
Selagi ia bingung, tiba-tiba tengkuknya ditotok orang dan ia pun roboh lemas. Pistolnya dirampas dan ia pun disambar oleh tangan yang kuat daM dilarikan dari situ. Ia berusaha meronta, namun kaki tangannya tidak dapat digerakkan, juga ia tidak mampu mengeluarkan suara.
"Kawan-kawan, aku membawa tawanan ini lebih dahulu kepada pimpinan!" kata penawannya. "Kalian bunuh setan putih itu!" Dan penawannya, seorang laki-laki tinggi kurus yang ternyata kuat sekali, membawanya meloncat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu dari tempat perkelahian.
Ternyata sarang perampok tidak berada di bukit yang penuh hutan itu karena si tinggi kurus itu menjalankan kudanya menuruni bukit sebelah selatan, menuju ke bukit batu-batu yang gundul dan gersang, juga jalannya sukar sekali sehingga kuda itu pun hanya dapat berjalan lambat.
Si tinggi kurus itu tidak tahu bahwa ada sepasang mata memandang dengan heran ketika dia membawa Sarah yang direbahkan menelungkup di atas punggung kuda, melintang di depannya, mendaki bukit berbatu-batu itu. Orang yang mengintainya itu bersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia seorahg pemuda berpakaian biru dengan caping lebar, Hay Hay! Seperti kita ketahui, tanpa disengaja, Hay Hay mendapatkan atau dititipi surat laporan yang amat penting oleh mendiang Yu Siucai, surat yang mengungkapkan keadaan di Ceng-cow, tentang persekongkolan antara pejabat-pejabat Cang-cow dan orang-orang Portugis, juga dengan para bajak laut Jepang dan orang-orang Pek-lian-kauw. Karena ada usaha orang-orang lihai hendak merampas surat yang diterimanya sebagai pesan terakhir mendiang Yu Siucai, Hay Hay menjadi ingin tahu sekali dan dia membuka dan membaca surat itu. Ternyata berisi laporan tentang keadaan di Cang-cow yang ada tanda-tanda akan timbul pemberontakan! Namun, Hay Hay merasa sangsi untuk segera membawa surat itu kepada Menteri Yang Ting Ho atau Menteri Cang Ku Ceng di kota raja seperti dipesankan kakek Yu Siucai itu. Urusan ini teramat penting! Bagaimana kalau laporan itu tidak benar" Dia dapat dituduh membawa laporan palsu, walaupun dia hanya menjadi utusan. Akan tetapi yang mengutusnya sudah tewas. Tentu dialah yang akan bertanggung jawab! Karena itu, maka dia tidak jadi pergi ke kota raja, melainkan membelok menuju ke kota Cang-cow. Dia ingin melakukan penyelidikan sendiri lebih dahulu sebelum menyampaikan laporan Yu Siucai itu. Kalau memang benar di Cang-cow terdapat persekutuan yang membahayakan keamanan, barulah dia akan membawa laporan itu kepada seorang di antara kedua menteri kebijaksanaan itu. Kalau tidak benar, maka dia pun akan merobek-robek saja surat peninggalan orang yang sudah tidak ada di dunia ini.
Demikianlah, pada hari itu, kebetulan sekali dia tiba di kaki bukit batu-batu besar itu dan ketika dia melihat seorang penunggang kuda datang dari depan, membawa seorahg wanita berambut keemasan yang menelungkup di atas punggung kuda, Hay Hay terkejut dan merasa heran. Dia cepat bersembunyi dan mengintai.
Ketika penunggang kuda itu lewat, dia menjadi bingung. Memang benar. Yang menelungkup dan melintang di pungung kuda, di depan penunggang kuda itu, adalah seorang wanita kulit putih yang berambut kunihg keemasan! Apa artinya ini" Dia tidak dapat turun tangan sembarangan saja sebelum mengetahui persoalannya. Dia sudah mendengar bahwa di Cang-cow memang banyak orang kuklit putih. Dia sendiri sudah beberapa kali melihat orang kulit putih berambut warna-warni dan matanya juga berwarna, keadaan yang membuat dia merasa heran dan juga ngeri. Mereka itu seperti bukan manusia, mirip hantu! Bayangkan saja, kulitnya seperti tanpa darah, berbulu seperti monyet, rambutnya ada yang kuning ada yang putih ada yang merah, matanya ada yang biru ada coklat! Tidak wajar! Apalagi hidungnya. Seperti paruh burung dan pakaiannya juga aneh-aneh! Akan tetapi belum pernah dia melihat wanita bangsa kulit putih itu. Dan mengapa pula wanita ini menjadi tawanan" Dia tidak dapat melihat wajah wanita itu karena menenungkup dan rambut yang kuning emas itu awut-awutan dan riap-riapan menutupi pipinya yang miring. Akan tetapi melihat bentuk tubuh yang terbungkus pakaian yang ketat dari celana dan kemeja itu, dia dapat menduga bahwa wanita itu tentulah seorang yang masih muda usia. Kulit lengan dari siku ke bawah yang tidak tertutup lengan baju itu dan tergantung lemas di perut kuda, nampak lebih mulus, dengan kuku jari tangan yang terpelihara rapi dan meruncing, dicat merah muda.
Biarpun dia tidak mau lancang mencampuri urusan si tinggi kurus yang menawan gadis kulit putih itu, namun hati Hay Hay tertarik dan karena kunjungannya ke Cang-cow memang untuk melakukan penyelidikan terhadap persekongkolan yang dilakukan oleh orang-orang yang hendak memberontak, di antaranya orang kulit putih, maka tentu saja dia merasa curiga dan diam-diam dia pun membayangi kuda yang tidak dapat lari cepat mendaki bukit yang penuh batu itu. Setelah tiba di lereng dekat puncak bukit itu, di mana terdapat banyak guha-guha di dinding batu, kuda itu berhenti. Hay Hay melihat banyak orang di sekitarlereng itu, dan guha-guha itu agaknya menjadi tempat tinggal mereka. Ada pula wanita dan kanak-kanak, dan para prianya nampak kekar dan kuat, dengan wajah bengis dan sikap kasar. Dia dapat menduga bahwa tempat ini tentu merupakan perkumpulan atau sarang gerombolan, entah gerombolan apa. Adakah hubungannya dengan persekongkolan yang dilaporkan dalam surat Yu Siucai" Dia semakin tertarik dan ketika melihat si tinggi kurus memanggul tubuh wanita kulit putih itu memasuki guha yang paling besar di tempat itu, dia pun menggunakan kepandaiannya untuk menyelinap masuk.
Setelah memasuki guha, Hay Hay terkejut dan kagum. Kiranya guha itu adalah guha alami yang dibantu tangan manusia, menjadi ruangan-ruangan seperti di dalam rumah besar saja! Ada prabot rumah dan segala perlengkapan sehari-hari, bahkan dipasangi pintu dan tirai kain. Keadaan dalam guha ini memungkinkan Hay Hay untuk menyusup dan bersembunyi dan akhirnya dia dapat mengintai ke dalam sebuah ruangan di mana duduk lima orang yang dari sikapnya mudah diketahui mereka adalah para pimpinan kelompok orang di perkampungan guha ini. Si jangkug yang membawa wanita kulit putih tadi memasuki ruangan itu pula. Dia menurunkan tawanannya dari pundak dan merebahkan wanita itu ke atas lantai. Kini Hay Hay dapat melihat wanita yang telentang itu dan dia pun terbelalak kagum, bahkan terpesona sehingga dia tidak sadar bahwa matanya terbelalak dan mulutnya ternganga, matanya tak pernah berkedip. Belum pernah selama hidupnya dia melihat wanita yang seperti itu! Begitu indah mempesona, begitu cantik jelita, begitu menggairahkan akan tetapi juga mengerikan! Mengerikan karena tak pernah selamanya dia membayangkan seorang wanita seperti ini. Seperti bukan manusia saja! Dia mengagumi rambut yang terurai lepas itu, yang seperti benang-benang sutera emas berkilauan. Wajah itu memiliki garis-garis yang sempurna, bagaikan setangkai bunga teratai. Dan tubuh itu! Pinggangnya demikian kecil langsing, dadanya menonjol, pinggulnya besar, kakinya panjang. Tubuh yang bukan saja indah bentuknya, akan tetapi juga memancarkan kesehatan yang sempurna. Dan ketika wanita itu membuka kedua matanya, hampir saja Hay Hay mengeluarkan seruan saking kagumnya. Sepasang mata yang kebiruan, seperti dua buah batu permata saja, akan tetapi hidup, lebar dan jeli, dengan bulu mata melengkung panjang sehingga membentuk garis tepi mata dan bayang-bayang. Indah sekali!


Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lima orang yang berada disitu nampaknya terkejut pula melihat pembantu mereka datang membawa tawanan yang aneh ini. Mereka bangkit berdiri dan seorang di antara mereka yang tinggi besar seperti raksasa berkulit hitam, berseru dengan suaranya yang menggeledek.
"Apauw! Apa artinya ini" Siapa perempuan bule ini dan mengapa pula kau menangkapnya dan membawanya ke sini?"
Apauw, sekali ini engkau lancang. Betapa besar bahayanya menangkap seorang wanita kulit putih" Tentu teman-temannya akan marah dan kalau mereka membawa pasukan dengan senjata api menyerbu ke sini, celakalah kita!" kata orang ke dua yang gendut.
Orang ke tiga, yang usianya paling muda, kira-kira tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dengan muka yang tampan akan tetapi matanya kejam, tertawa. "Ha-ha-ha, bagus sekali, Apauw. Sudah lama aku ingin sekali mendapatkan seorang wanita kulit putih dan hari ini engkau datang membawa seorang yang begini molek untukku!"
"Kita manfaatkan dia!" kata orang keempat yang telinga kirinya buntung. "Kita minta uang tebusan yang besar kepada keluarganya!"
Orang ke lima, yang kecil kurus dan nampak paling cerdik di antara mereka, mengangkat ke dua tangan ke atas. "Kawan-kawan, harap tenang dulu dan mendengarkan laporan Apauw, baru kita mengambil keputusan yang tepat. Nah, Apauw, ceritakan segalanya."
Apauw yang disuruh duduk di atas kursi dekat wanita yang rebah telentang tanpa dapat bergerak itu. Hay Hay yang terus mengintai, semakin kagum ketika melihat betapa sepasang mata yang biru itu sama sekali tidak memperlihatkan perasaan takut, bahkan yang nampak adalah perasaan marah. Seorang gadis yang luar biasa, pikirnya. Gadis lain, dalam keadaan seperti itu, pasti akan ketakutan, bahkan menangis. Akan tetapi wanita ini sama sekali tidak menangis, tidak takut, bahkan marah. Seperti seorang pendekar wanita saja!
"Saya dan kawan-kawan seaang berburu binatang di hutan bukit sebelah itu. Lalu tiba-tiba muncul dua orang penunggang kuda, wanita ini dan seorang laki-laki muda kulit putih. Kami menghadang dan pria kulit putih itu lalu mempergunakan senjata apinya, merobohkan tujuh orang kita...."
"Ahhh! Keparat sekali, kenapa tidak kau tangkap laki-laki itu, malah wanita ini yang kau bawa ke mari?" bentak si tinggi kurus hitam.
"Maaf, Toako. Pria kulit putih itu memang tangguh. Setelah peluru pistolnya habis, saya mengerahkan teman-teman untuk mengeroyoknya dan dia mengamuk dengan pedangnya. Dia kuat sekali. Maka, saya pikir, lebih baik wanita ini ditawan agar dapat kita pergunakan sebagai sandera kalau kawan-kawannya datang menyerbu."
Orang kecil kurus tadi mengangguk-angguk. "Benar sekali perbuatan itu. Dengan adanya wanita ini sebagai tawanan, kita dapat mempergunakan ia sebagai sandera, juga dapat kita mintakan uang tebusan!"
"Akan tetapi, aku menginginkannya....!" kata yang termuda tadi.
"Itu soal nanti. Sekarang, sebaiknya ia jangan diganggu dan kita masukkan tahanan dengan penjagaan ketat sambil menanti datangnya laporan tentang pria kulit putih yang dikeroyok itu." Kini si tinggi besar hitam yang mengambil keputusan dan empat orang yang lain tidak berani membantah perintah kepala mereka itu.
"Biar aku sendiri yang membawanya ke tempat tahanan," kata pula si kecil kurus dan dia pun membebaskan totokan yang membuat Sarah tidak mampu bergerak atau bersuara. Begitu dapat bergerak, Sarah bangkit berdiri dan kini Hay Hay yang berada di tempat sembunyinya menjadi semakin kagum. Gadis itu masih amat muda kalau melihat wajahnya, akan tetapi tubuhnya sudah dewasa dan selain cantik jelita, gadis itu pun amat pemberani. Begitu dapat bergerak dan bicara, ia segera bertolak pinggang dengan sikap angkuh dan suaranya terdengar lantang, cukup lancar dalam bahasa pribumi.
"Kalian ini semua lelaki pengecut, perampok-perampok busuk yang tidak tahu malu! Hayo kembalikan pistolku, dan akan kuledakkan kepala kalian satu demi satu!"
Si tinggi kurus yang tadi menawannya terpaksa mengeluarkan sebuah pistol yang tadinya hendak diambilnya untuk diri sendiri, dan menyerahkannya kepada si raksasa hitam. "lnilah senjata apinya yang sara rampas, Toako." katanya. Raksasa hitam menerima pistol dengan mulut menyerlngai, nampaknya senang sekali memperoleh senjata api itu.
"Nona, menyerah sajalah. Engkau menjadi tawanan kami dan kami tidak akan menyakitimu selama engkau menurut." kata pemimpin yang kecil kurus tadi sambil menghampiri. Dia menjulurkan tangan untuk memegang siku Sarah sambil berkata, "Mari, ikut denganku."
Akan tetapi Sarah menepiskan tangan itu lalu mengayun tinju tangan kanannya menghantam ke arah muka orang. Laki-laki kecil kurus itu ternyata lihai juga. Dengan tenang saja dia mengelak dan begitu sambaran tangan itu lewat, dia menangkap siku tangan Sarah dan sekali puntir, lengan itu ditekuk ke belakang tubuh gadis itu. Sarah menyeringai kesakitan.
"Nona, sudah kukatakan. Menyerah saja dan engkau tidak akan disakiti. Apakah engkau lebih suka kalau ditotok seperti tadi" Atau dirantai kaki tanganmu?"
Sarah seorang gadis cerdik. Dia tahu bahwa dia berada di tangan orang-orang yang tidak mengenal perikemanusiaan, dan mereka itu pun pandai berkelahi. Akan percuma kalau ia nekat melawan. Akan merugikan saja. Tentu lebih enak dibiarkan bebas begini walaupun ditawan daripada ditotok atau dibelenggu. Ia pun diam saja, hanya mengangguk dan menggigit bibir agar tidak mengeluarkan maki-makian. Suaranya juga terdengar tenang ketika akhirnya ia berkata.
"Baik, aku menyerah. Akan tetapi ingat, kalau sampai aku diganggu, tentu ayahku akan datang dengan pasukan dan kalian semua akan dibantai seorang demi seorang. Ayahku adalah Kapten Armando, komandan benteng Portugis di Cang-cow!"
Semua orang terkejut mendengar ini, termasuk Hay Hay. Dalam surat laporan Yu Siucai, disebut pula tentang orang Portugis di Ceng-cow sebagai anggauta komplotan, dan ternyata ayah gadis yang ditawan itu adalah komandan dari benteng orang Portugis! Dan semua pimpinan perampok itu pun terkejut dan mereka maklum bahwa mereka telah bermain api.
"Bagus sekali kalau begitu!" kata pemimpin kecil kurus yang cerdik, "Kami akan menganggap Nona sebagai seorang tamu kehormatan, asal Nona tidak mencoba untuk melarikan diri. Kami akan menghubungi ayahmu di Cang-cow dan kalau mereka mau memenuhi permintaan kami, tentu Nona akan kami bebaskan dengan baik-baik."
Sarah yang maklum bahwa ia sama sekali tidak berdaya, menurut saja ketika ia dibawa oleh si kurus kecil keluar dari dalam guha itu, kemudian diajak pergi ke sebuah guha lain yang ternyata merupakan sebuah tempat tahanan istimewa! Guha ini tidak begitu besar, akan tetapi lengkap dan pintunya terbuat daripada besi yang ada jerujinya. Segala keperluan hidup berada di guha itu. Setelah berpesan kepada anak buah untuk menjaga dan mengamati guha tahanan itu baik-baik dan bergantian siang malam, si kecil kurus lalu pergi meninggalkan Sarah. Agak lega rasa hati Sarah ketika ia memeriksa tempat tahanan itu ia mendapatkan bahwa guha itu lengkap dengan tempat membersihkan diri, dengan air yang cukup banyak, juga sebuah dipan yang terbuat dari kayu yang bersih. Ia lalu duduk di atas dipan itu, melamun. Ia mengenang kembali kegagahan Kapten Gonsalo dan mulailah ia melihat betapa sikapnya terhadap Gonsalo selama ini sungguh tidak ramah. Bagaimanapun juga, harus ia akui bahwa Gonsalo telah memperlihatkan sikap yang gagah berani. Ia kini bahkan mengkhawatirkan nasib pembantu ayahnya itu. Pengeroyok demikian banyaknya dan ketika ia tertawan dan dibawa pergi, ia masih sempat melihat betapa Kapten Gonsalo mulai terdesak hebat walau dia mengamuk seperti seekor singa marah. Ia mempelajari keadaan dirinya pada saat Itu. Ia tertawan gerombolan yang jahat dan juga kuat. Ia narus bersikap tenang. Yang terpenting, ia harus dapat membawa d
Dendam Iblis Seribu Wajah 19 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Bentrok Rimba Persilatan 5
^