Kisah Si Bangau Merah 10

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 270 selalu mengenakan pa-kaian putih, dara ini selalu mengenakan pakaian berwarna merah.
 Namanya Tan Sian Li dan seperti telah kita ketahui Sian Li diminta oleh paman kakeknya,
 yaitu pendekar sakti Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, untuk mewa-risi ilmu silat
 mereka. Suma Ceng Liong adalah adik dari nenek Sian Li yang ber-nama Suma Hui, yaitu
 nenek dari ibunya. Biarpun ayah Sian Li sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu
 kepandaian hebat, bahkan tidak kalah dibandingkan ilmu kepandaian Suma Ceng Liong,
 na-mun dia dan isterinya merasa tidak enak untuk menolak niat baik paman mereka itu.
 Apalagi, Suma Ceng Liong merupa-kan keturunan dari keluarga Pendekar Pulau Es dan
 memiliki ilmu kepandaian yang khas, sedangkan isterinya juga seorang pendekar wanita sakti,
 puteri dari Pendekar Suling Emas Kam Hong.
 Telah lima tahun Sian Li digembleng oleh suami isteri itu di dusun Hong-cun, luar kota Cin-
 an di Propinsi Shantung.
 Setiap tahun sekali, jatuh pada hari ta-hun baru, ayah ibunya, yaitu Tan Sin Hong dan Kao
 Hong Li, selalu datang berkunjung. Melihat bakat yang baik dari Sian Li, apalagi karena dara
 ini sejak kecil telah mendapat pendidikan dasar yang amat kuat dari ayah ibunya, maka suami
 isteri itu mengajarkan ilmu-ilmu silat simpanan mereka kepada dara itu sehingga selama
 belajar lima tahun lamanya, Sian Li telah menjadi seorang gadis yang amat lihai. Bahkan
 kelihaiannya melampaui tingkat yang dimiliki suhengnya, yaitu Liem Sian Lun.
 Pemuda berusia dua puluh tahun yang bersajak tadi adalah Liem Sian Lun, su-hengnya. Sian
 Lun kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi besar, gagah dan
 tampan. Wajah-nya selalu cerah dan dia pun pendiam tidak banyak bicara, kecuali kalau
 diajak bicara tentang sajak. Dia amat suka dan pandai membuat sajak. Suma Ceng Liong dan
 isterinya, Kam Bi Eng, memang ti-dak mengabaikan pendidikan sastra ter-hadap Sian Lun
 dan Sian Li. Mereka mengundang guru sastra yang pandai un-tuk mengajarkan ilmu sastra
 yang lebih mendalam kepada dua orang murid itu.
 Senja itu memang cerah dan indah. Sejak tadi sebelum Sian Li mancari, Sian Lun sudah
 duduk termenung seorang diri di lereng bukit yang berada di luar dusun Hong-cun itu. Tempat
 ini merupakan tempat kesayangannya, di mana dia dan sumoinya seringkali bermain-main
 sejak Sian Li berusia dua belas tahun dan da-tang ke tempat itu. Bukit yeng tidak besar,
 namun berada di lereng bukit itu, pemandangan alamnya amat indah. Mere-ka dapat melihat
 dusun Hong-cun di kaki bukit dan mereka dapat menikmati kein-dahan senjakala di situ
 karena lereng bukit itu berada di sebelah barat.
 Ketika tadi melihat keindahan senja yang cerah, melihat burung-burung ba-ngau terbang
 melayang di angkasa me-lintasi matahari senja, agaknya hendak pulang ke sarang, teringatlah
 Sian Lun kepada sumoinya. Sumoinya itu diberi julukan Bangau Merah oleh suhu dan
 su-bonya. Julukan yang tepat sekali karena sumoinya selalu berpakaian merah, sumoinya
 puteri Pendekar Bangau Putih dan kalau sudah bersilat, gerakan sumoinya demikian indah,
 seindah gerakan burung bangau yang sedang terbang. Ma-ka, keindahan dan lamunan
 membuat dia bersajak tentang bangau merah dan tentang keinginan hatinya untuk menjadi
 pelindung Sang Bangau Merah! Sajak ini merupakan cetusan hatinya karena diam-diam Liem
 Sian Lun telah jatuh cinta setengah mati kepada sumoinya, Si Ba-ngau Merah!
 Biarpun dia belum berani menyatakan isi hatinya secara berterang kepada Sian Li, namun dia
 sudah yakin bahwa sumoi-nya tentu tidak akan menolak cintanya. Dia bahkan sudah yakin
 bahwa kelak sumoinya pasti akan menjadi isterinya, dan diam-diam dia menganggap
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 271 sumoinya telah menjadi tunangannya! Keyakinan ini diperkuat ketika secara tidak sengaja dia
 mendengar percakapan antara suhu dan subonya dari luar kamar mereka. Ketika itu, pada
 malam hari, dia lewat di depan kamar mereka dan suara mere-ka menembus jendela kamar,
 tertangkap oleh pendengarannya.
 "Kebetulan nama mereka juga mirip. Sian Lun dan Sian Li! Akan tetapi bagai-mana kalau
 orang tuanya tidak setuju?" terdengar suhunya berkata. Mendengar namanya disebut, Sian
 Lun memperlam-bat langkahnya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
 "Aku percaya keponakanku tentu akan setuju. Apalagi kalau kita jamin bahwa Sian Lun
 adalah seorang anak yang baik sekali. Kulihat mereka itu berjodoh."
 "Aih, jodoh di tangan Tuhan. Jangan mendahului kehendak Tuhan," kata suhu-nya dan
 mereka pun tidak bicara lagi. Sian Lun tidak berani berhenti, hanya memperlambat jalannya
 sehingga andai-kata suhu dan subonya mendengar tang-kahnya, tentu tidak akan menduga
 bahwa dia ikut mendengarkan percakapan mere-ka. Dan semenjak mendengar percakapan itu,
 beberapa bulan yang lalu, dia merasa yakin bahwa Sian Li kelak pasti akan menjadi isterinya!
 Akan tetapi, Sian Li amat manja dan lincah galak. Apalagi ia tahu betapa suhengnya amat
 menyayangnya, juga ka-kek dan nenek yang menjadi gurunya. Terhadap Sian Li, Sian Lun
 agak takut dan penurut, dan hal ini membuat Sian Li semakin manja. Sikap manja yang dalam
 pandangan Sian Lun bahkan mem-buat dara itu menjadi semakin mengge-maskan dan
 menarik hati. Cinta berahi kalau sudah mencengke-ram hati seseorang, membuat orang itu menjadi badut.
 Ulah tingkah menjadi lucu dan tidak wajar lagi. Mulut cemberut seorang yang dicinta akan
 nampak sema-kin manis, bahkan ada kelakar yang ka-sar mengatakan bahwa kentut seorang
 kekasih berbau sedap! Sebaliknya, senyum ramah seorang yang dibenci akan nampak
 mencemoohkan dan dianggap senyum itu mengejek dan mentertawainya sehingga
 menimbulkan amarah!
 Sian Lun terkejut ketika dia sedang melamun dan membaca sajak yang tim-bul di saat yang
 romantis itu, dia dite-gur oleh Sian Li yang kemunculannya tidak diduga sebelumnya. Saking
 kagetnya dia hanya menoleh dan memandang kearah dara itu yang nampak lebih cantik
 daripada biasanya, segar habis mandi seperti setangkai bunga bermandikan embun. Melihat
 pemuda itu tidak menjawab pertanyaannya dan hanya bengong memandangnya, Sian Li
 cemberut. "Heii, Suheng, engkau ini kenapa sih" Tadi menyebut-nyebut Bangau Merah berulang kali,
 sekarang engkau hanya be-ngong tanpa menjawab pertanyaanku!"
 "Sumoi.... aih, engkau.... engkau demi-kian cantik.... indah sekali, ah, pantasnya engkau
 seorang dewi kahyangan yang ba-ru turun melalui cahaya yang keemas-an...."
 Kalau saja tidak timbul kebanggaan oleh pujian ini, tentu Sian Li sudah ter-tawa geli. "Ahhh,
 yang benar, Suheng!" katanya memancing pujian lebih banyak.
 Sian Lun benar terpesona dan mata-nya menatap tak pernah berkedip, seolah takut kalau
 berkedip, keindahan di de-pannya itu akan lenyap. Dara itu berdiri menghadap matahari senja,
 sepenuhnya diselimuti cahaya keemasan.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 272 "Sungguh, Sumoi.... rambutmu yang hitam itu kini dilingkari cahaya keku-ningan, wajahmu
 mencorong oleh cahaya keemasan, engkau nampak begitu segar, begitu hidup, berkilauan,
 matamu berca-haya, senyummu.... duhai, Sumoi, betapa cantik jelita engkau...." Sian Lun
 tidak biasa merayu, akan tetapi sekali ini dia terpesona dan seperti dalam mimpi rasa-nya.
 "Ah, masa....?" Sian Li berseru manja, haus pujian selanjutnya.
 "Sumoi, engkau laksana dewi yang bermandikan cahaya keemasan, cantik jelita mempesona
 dan...." "Aiih, sudah-sudah! Bisa terbang melayang ke angkasa aku oleh pujianmu. Mengapa sih tiba-
 tiba engkau memuji-mujiku seperti ini" Engkau tadi bersajak tentang Burung Bangau Merah,
 sekarang engkau merayuku setengah mati. Apa engkau mabok Suheng?"
 Sian Lun menghel napas panjang. Sikap dan ucapan Sian Li membuyarkan suasana
 romantisnya, menariknya dengan kasar kembali ke bumi yang keras. Dia menarik napas
 panjang dan wajahnya berubah merah karena mengenangkan si-kap dan kata-katanya tadi
 membuat dia merasa rikuh dan malu. Kalau dia masih terpesona seperti tadi, tentu akan
 dija-wabnya bahwa dia memang mabok akan kecantikan sumoinya itu. Akan tetapi sekarang
 dia sudah sadar dan dia takut kalau-kalau sumoinya menjadi marah.
 "Aku tidak mabok, Sumoi. Semua itu kulakukan saking sayangnya aku kepada-mu."
 Sian Li tersenyum. Gadis berusia tu-juh belas tahun yang sejak kecil digem-bleng ilmu silat
 dan kurang pengalaman ini masih belum sadar dan belum me-ngerti akan cinta kasih antara
 pria dan wanita. Yang dikenalnya hanya rasa sa-yang kepada orang-orang yang dekat dan
 akrab dengannya.
 "Tentu saja engkau sayang padaku, Suheng. Bukankah aku ini sumoimu" Ka-lau tidak
 sayang, percuma engkau menja-di Suhengku." Jawaban ini demikian wajar dan Sian Lun
 merasa betapa kece-wa hatinya. Gadis ini belum tahu! Belum tahu bahwa sayangnya bukan
 seperti su-heng terhadap sumoi, bukan seperti ka-kak terhadap adik, melainkan sayang yang
 disertai dendam rindu, disertai be-rahi seorang pria terhadap wanita!
 "Aku sangat sayang padamu, Sumoi, entah apakah engkau pun sayang padamu."
 "Tentu saja! Kenapa engkau masih bertanya lagi, Suheng" Kurasa engkau tidak begitu bodoh
 untuk mengetahui hal itu. Sejak lima tahun yang lalu kita ber-sama-sama latihan silat di sini,
 belajar sastra, dan bermain bersama-sama. Nah, sekarang kalau memang engkau sayang
 kepadaku...."
 "Apa yang harus kulakukan" Katakan-lah, Sumoi," kata Sian Lun dengan penuh gairah dan
 harapan. Untuk menunjukkan rasa sayang, disuruh apa pun dia mau, apalagi kalau disuruh
 memondong tubuh, biar sehari penuh pun dia bersedia.
 "Aku haus dan ingin makan buah leci, Suheng. Kaucarikan untukku, di lereng utara sana
 banyak pohon lecinya."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 273 "Baik, akan kucarikan, Sumoi. "Kau tunggu saja sebentar di sini." Sian Lun lalu meloncat
 jauh dan berlari cepat melintasi bukit menuju ke utara di mana terdapat kebun pohon leci yang
 luas, milik seorang hartawan yang tinggal di kota Cin-an. Dia sudah mengenal baik penjaga
 kebun itu dan pasti akan diberi kalau dia minta buah leci sekedar dima-kan.
 Setelah pemuda itu pergi Sian Li duduk sambil termenung dan tersenyum-senyum. Hatinya
 merasa gembira oleh pujian-pujian tadi. Ia merasa bangga. Suhengnya memang seorang kakak
 seper-guruan yang amat baik kepadanya. Sejak ia berada di situ, lima tahun yang lalu,
 suhengnya selalu bersikap baik dan me-ngalah kepadanya. Suhengnya itulah yang membuat ia
 tidak merasa kesepian ting-gal di rumah paman kakeknya, membuat ia tidak merasa bosan
 mempelajari ilmu silat dari suami isteri yang sakti itu. Bersama suhengnya ia dapat berlatih
 si-lat, mempelajari sastra, dan bermain-main. Suhengnya seorang pemuda yang tinggi besar,
 gagah dan tampan, dan selalu melindunginya. Bahkan pernah suhengnya itu mengejar
 beberapa orang pemuda kota yang berkunjung ke dusun Hong-cun dan bersikap kurang ajar
 kepadanya. Ia sendiri tidak mau melayani mereka, akan tetapi suhengnya marah-marah dan
 menghajar lalu melempar-lemparkan tujuh orang pemuda kota itu ke dalam air Sungai
 Kuning! Ia sama sekali tidak tahu bahwa perbuatan Sian Lun itu terdorong oleh cemburu!
 Tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada sesosok tubuh orang yang tertatih-tatih mendaki lereng
 itu. Seorang pria yang sudah tua sekali. Tadinya ia mengira paman kakeknya Suma Ceng
 Liong yang mencarinya. Akan tetapi setelah agak dekat, ternyata bukan. Dia seorang kakek
 yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, pakaiannya model pakaian sastrawan akan
 tetapi pakaian itu penuh tambalan walaupun bersih. Dia mendaki lereng itu dibantu sebatang
 tongkat. Rambut dan cambang serta kumis jeng-gotnya sudah putih semua, membuat dia
 nampak tua dan lemah.
 Dalam jarak dua puluh meter, kakek itu berhenti, berdiri menekan tongkat dengan kedua
 tangan, mengangkat muka memandang ke arah Sian Li dan berkata dengan nada suara lembut
 gembira, "Ahh, tidak salah lagi. Engkau tentu Ang-ho-li (Nona Bangau Merah)!"
 Sian Li mengerutkan alisnya. Tidak banyak orang tahu bahwa ia diberi nama julukan itu.
 Yang mengetahuinya hanya-lah ayah ibunya, paman kakeknya berdua, suhengnya.
 Bagaimana kakek ini begitu muncul menyebutkan nama julukannya itu"
 "Kek, siapakah engkau dan dari mana engkau tahu bahwa aku disebut Bangau Merah?"
 Suaranya terdengar galak dan pandang matanya penuh selidik.
 "Siancai....! Dahulu engkau seorang bo-cah yang mungil lincah, sekarang telah menjadi
 seorang gadis yang lincah dan galak! Hei, Dewi Baju Merah, apakah engkau benar telah lupa
 kepadaku" Bebe-rapa tahun yang lalu kita pernah saling jumpa di rumah kakekmu, di Pao-
 teng." Sian Li memandang penuh perhatian dan wajahnya berubah seketika. Wajahnya kini cerah
 dan berseri, senyumnya meng-hias wajah yang manis itu, membentuk lesung mungil di kedua
 pipinya. "Aihh, kiranya Locianpwe Yok-sian Lo-kai....!" Ia bangkit dan cepat membe-ri hormat
 kepada kakek tua renta yang pakaiannya penuh tambalan itu.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 274 "Ha-ha-ha, memang aku adalah Lo-kai (Pengemis Tua) itu! Dan aku telah mencarimu ke
 rumah ayah ibumu di Ta-tung, lalu menyusul ke Hong-cun. Kakek dan nenekmu yang kini
 menjadi guru-gurumu mengatakan bahwa engkau tentu berada di lereng bukit ini. Aku segera
 menyusul ke sini. Siancai.... engkau, telah menjadi seorang gadis, yang lihai dan manis. Dan
 aku datang untuk menagih janji, ingat?"
 "Tentu saja aku ingat, Locianpwe. Dan aku sudah siap sedia untuk meneri-ma pelajaran ilmu
 pengobatan dirimu."
 Kakek itu tertawa gembira dan pada saat itu muncullah Sian Lun yang mem-bawa buah leci
 yang sudah masak dan cukup banyak. Melihat sumoinya tertawa-tawa dengan seorang kakek
 yang tidak dikenalnya, dia mengerutkan alisnya.
 "Sumoi, siapakah kakek jembel ini?" tanyanya tak senang. Entah mengapa, setiap kali
 melihat sumoinya beramah tamah dengan seorang laki-laki, tidak peduli laki-laki itu tua atau
 muda, dia merasa tidak senang, merasa cemburu!
 "Hushhh, Suheng, jangan sembarangan engkau memanggil orang! Locianpwe ini adalah
 guruku, tahu engkau?" bentak Sian Li marah.
 Sian Lun cepat memberikan buah-buah leci itu kepada sumoinya, lalu dia memberi hormat
 kepada kakek itu. Dia terkejut bukan main, juga heran mendengar ucapan sumoinya.
 "Ah, harap Locianpwe suka memaaf-kan saya yang bersikap tidak so-pan," katanya.
 Bagaimanapun juga, Sian Lun bukan hanya mempelajari ilmu silat, akan tetapi juga sastra dan
 tata susila. Kakek itu tersenyum dan mengang-guk-angguk. "Siancai.... kiranya Taihiap (Pendekar
 Besar) Suma Ceng Liong dan isterinya yang gagah perkasa mempunyai seorang murid yang
 begini gagah. Tidak mengapa, orang muda. Hanya lain kali jangan terburu nafsu menyangka
 buruk kepada orang lain."
 Wajah Sian Lun berubah merah dan sekali lagi dia memberi hormat. "Maaf-kan saya,
 Locianpwe. Sumoi, engkau ti-dak pernah bercerita kepadaku tentang suhumu ini. Siapakah
 beliau ini?"
 Sian Li menyodorkan buah-buah leci itu kepada Yok-sian Lo-kai dan berkata, "Suhu, silakan
 makan. Buah-buah leci ini baru saja dipetik, masih segar dan manis."
 Kakek itu tanpa sungkan lagi meng-ambil beberapa butir buah leci. Sian Li lalu menghadapi
 suhengnya. "Suheng, Suhuku ini adalah Yok-sian Lo-kai. Lima tahun yang lalu Suhu ini
 berjanji akan mengajarkan ilmu pengobatan kepadaku dan hari ini dia datang memenuhi
 janji-nya."
 Kembali Sian Lun terkejut. Dia tentu saja pernah mendengar nama besar Yok-sian Lo-kai
 (Pengemis Tua Dewa Obat) ini, yang terkenal bukan hanya karena pandai ilmu pengobatan,
 akan tetapi juga karena ilmu silatnya, terutama ilmu to-tok jalan darah, yang amat lihai.
 "Sekali lagi maaf, Locianpwe, atas sikapku tadi. Sumoi, harap kau maafkan aku dan jangan
 sampaikan kepada Suhu dan Subo tentang sikapku yang tidak benar tadi."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 275 Sian Li cemberut. "Tentu saja akan kuberitahukan kepada Kakek dan Nenek. Engkau telah
 berani menyebut Guruku kakek jembel!" Sian Li yang amat manja terhadap suhengnya itu
 mengancam. Yok-sian Lo-kai tertawa.
 "Ha-ha-ha-ha, engkau keliru, Sian Li. Engkau tidak boleh melapor kepada siapa pun juga.
 Suhengmu sudah, mengakui ke-salahannya dan minta maaf, hal itu menunjukkan bahwa dia
 berani bertanggung jawab dan menyesali dan menyadari ke-salahannya. Selain itu, juga aku
 lebih suka disebut Jembel Tua daripada Dewa Obat, heh-heh-heh! Memang julukanku Jembel
 Tua, kenapa engkau harus marah mendengar aku disebut Jembel Tua oleh suhengmu" Ha-ha-
 ha!" "Baiklah, melihat muka Suhu, aku mau menyudahi perkara ini sampai di sini saja. Nah,
 sekarang cepat kauberita-hukan kepada Kakek dan Nenek bahwa aku sudah bertemu Suhu
 Yok-sian Lo-kai dan akan pulang belakangan."
 "Baik, Sumoi. Locianpwe, saya pergi dulu," kata Sian Lun dengan hati lega. Kalau sumoinya
 mengadu kepada suhu dan subonya, tentu dia akan mendapatkan teguran keras. Dia lalu
 berlari cepat turun dari lereng bukit, diikuti pandang mata kakek itu yang masih tersenyum.
 "Suhengmu sudah memiliki kepandaian tinggi, ilmunya berlari cepat cukup he-bat," kakek
 itu memuji. "Ah, dia masih terlalu lambat," kata Sian Li. Jawaban ini menunjukkan bahwa gadis ini tentu
 dapat berlari lebih cepat dibandingkan suhengnya dan diam-diam kakek itu kagum. Dia
 percaya bahwa di bawah gemblengan suami isteri sakti se-perti Suma Ceng Liong dan Kam
 Bi Eng, apalagi mengingat bahwa ia puteri Pendekar Bangau Putih, tentu gadis berpakaian
 merah ini menjadi lihai bukan main. Dia pun bangga kalau dapat menurunkan ilmu-ilmunya
 kepada dara ini.
 "Sian Li, aku ingin memberitahu sedi-kit kepadamu tentang suhengmu itu."
 Sian Li yang sedang makan leci, menghentikan gerakan mulutnya dan ia menoleh,
 memandang kepada kakek itu. "Apa yang Suhu maksudkan" Suheng telah bersikap kasar, dan
 dia memang pantas ditegur dan...."
 "Hal itu sudah lewat dan tidak perlu dibicarakan lagi, Sian Li. Hanya satu hal ingin
 kuperingatkan kepadamu tentang suhengmu itu. Engkau berhati-hatilah dengan sikapmu,
 karena dia amat sayang kepadamu."
 "Tentu saja dia sayang padaku, Suhu. Bukankah dia itu Suhengku" Kenapa aku harus
 berhati-hati dengan sikapku?"
 "Dan bagaimana dengan engkau sendi-ri" Sayangkah engkau kepada suhengmu?"
 Dara itu memandang Yok-sian dengan sinar mata heran. Pertanyaan yang aneh, pikirnya.
 "Tentu saja aku sayang kepada Suheng, Suhu. Bukankah hal itu sudah sewajarnya" Dia
 berlatih bersamaku, be-lajar bersamaku dan bermain bersamaku sejak lima tahun yang lalu
 dan dia amat baik kepadamu."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 276 Kakek itu tersenyum maklum. Dara ini masih hijau, masih polos dan belum pernah
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalami cinta berahi, maka kasih sayangnya terhadap suhengnya itu adalah kasih sayang
 seorang adik terhadap kakaknya.
 "Maksudku, dia pencemburu besar, Jangan bersikap terlalu ramah kepada laki-laki lain kalau
 tidak ingin melihat dia marah-marah."
 "Aih, itulah yang aneh, Suhu! Pernah ada beberapa orang pemuda menggodaku dan Suheng
 demikian marahnya sampai dia mengamuk dan hampir saja membu-nuhi orang-orang itu
 kalau tidak kula-rang...."
 Kakek itu merasa heran. Dari sikap pemuda itu tadi saja dia sudah mengerti bahwa pemuda
 itu telah jatuh cinta pada sumoinya, dan agaknya cintanya berkobar-kobar panas sekali,
 membuat dia menjadi seorang pencemburu besar sehingga melihat sumoinya beramah tamah
 dengan seorang kakek seperti dia pun pemuda tadi sudah tidak senang.
 Itu namanya cemburu, maka engkau harus dapat menjaga sikapmu."
 Sian Li mengangguk, padahal ia tidak mengerti mengapa suhengnya bersikap seperti itu.
 "Mari kita pulang, Suhu."
 Mereka lalu menuruni lereng dan agaknya Yok-sian sengaja hendak mengu-ji ilmu berlari
 cepat muridnya. Dia sen-diri mengerahkan tenaganya, mengguna-kan gin-kang (ilmu
 meringankan tubuh) dan larinya cepat sekali, sungguh tidak sesuai dengan usianya yang sudah
 demi-kian lanjut. Namun, biar ia baru berusia tujuh belas tahun, Sian Li sejak kecil
 digembleng dan ditangani orang-orang sakti, mula-mula oleh ayah ibunya sendi-ri, kemudian
 oleh Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, suami isteri yang pernah menggegerkan dunia
 persilatan dengan kelihaian mereka. Maka tidak terlalu mengherankan kalau dara itu bukan
 saja mampu mengimbangi kecepatan lari Yok-sian Lo-kai, bahkan setelah tiba di ru-mah
 kakeknya, Dewa Obat itu tertinggal beberapa ratus meter di belakangnya!
 Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng menyambut mereka di depan rumah sam-bil tertawa
 melihat dara dan kakek itu berlari-larian, juga Sian Lun telah berada di dekat gurunya. Yok-
 sian Lo-kai ter-kekeh sambil terengah ketika tiba di depan mereka. "Aihhh.... aku sudah tua,
 bagaimana mungkin dapat menandingi kecepatan Si Bangau Merah?"
 "Aih, jangan merendahkan diri, Suhu!" kata Sian Li. "Suhu datang bukan untuk mengajarkan
 ilmu lari kepadaku, melain-kan ilmu pengobatan!"
 Semua orang tertawa mendengar ini, juga Sian Lun tersenyum. Baru terasa olehnya betapa
 dia tadi telah terburu nafsu, merasa iri hati atau cemburu me-lihat sumoinya beramah tamah
 dengan kakek itu.
 Demikian, mulai hari itu, Yok-sian Lo-kai mulai mengajarkan ilmu pengobat-an kepada Sian
 Li. Bukan saja pengeta-huan tentang ramuan obat untuk berba-gai penyakit, juga kakek itu
 mengajarkan pengobatan dengan tusuk jarum, dengan totokan dan pijatan, dan yang amat
 menggembirakan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, juga tentu saja Sian Li sendiri,
 kakek itu bahkan mengajarkan It-yang Sin-ci, yaitu ilmu totok dengan sebuah jari yang
 pernah membuat nama kakek itu terkenal di dunia persilatan.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 277 Sian Li amat berbakat, dan sudah meml-liki dasar yang kuat, maka dalam waktu tiga bulan
 saja dara ini telah dapat menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan Yok-sian Lo-kai kepadanya.
 Kakek itu merasa kagum dan juga girang bukan main melihat kecerdasan muridnya. Dia
 merasa puas bahwa akhir-nya ada seorang murid yang cocok untuk mewarisi ilmunya. Setelah
 memesan ke-pada muridnya kelak mempergunakan ilmu-ilmunya itu untuk kebaikan,
 meno-long orang sakit di samping tugasnya sebagai pendekar wanita penentang keja-hatan,
 Yok-sian Lo-kai lalu meninggalkan rumah Suma Ceng Liong untuk pergi bertapa ke Liong-
 san dan menghabiskan sisa hidupnya dalam ketenangan. Dia memberikan jarum emas dan
 peraknya kepada Sian Li. Suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng mengantar
 keper-gian Dewa Obat itu dengan perjamuan sederhana namun meriah, dan atas nama cucu
 keponakan mereka, suami isteri ini mengucapkan terima kasih mereka.
 Biarpun ia sudah menguasai ilmu totok It-yang Sin-ci, namun tentu saja Sian Li hanya baru
 menguasai cara dan teori penggunaan ilmu itu saja, belum matang karena ia harus banyak
 berlatih untuk mematangkan ilmu totokan yang dahsyat itu. Demikian pula ilmu pengobatan
 de-ngan tusuk jarum dan pijatan jari tangan, harus ia latih. Namun, ia telah mengua-sai cara
 berlatih untuk ilmu-ilmu itu.
 *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 Liem Sian Lun harus mengerahkan seluruh tenaga, kecepatan gerak dan mengeluarkan semua
 kemampuannya untuk dapat mengimbangi sumoinya. Gerak-an Sian Li luar biasa cepatnya,
 bagaikan seekor burung merah yang cekatan sekali berkelebatan bahkan kadang lenyap dan
 yang nampak hanya bayangan merah yang diselimuti gulungan sinar pedangnya.
 Kalau orang lain melihat pertandingan pedang itu, dia tentu akan mengira bah-wa pemuda
 dan dara itu berkelahi mati-matian. Demikian cepat permainan pe-dang mereka, dan kadang
 nampak bunga api berpijar kalau dua batang pedang itu bertemu di udara. Namun,
 sesungguhnya mereka hanya berlatih ilmu pedang sete-lah tadi dalam berlatih silat tangan
 ko-song Sian Lun terpaksa mengakui keung-gulan sumoinya. Dalam ilmu pedang Sian Lun
 memang berbakat sekali maka dia mampu mengimbangi permainan pedang sumoinya.
 Bagi dua orang muda yang sudah me-nguasai benar ilmu pedangnya, tidak mungkin mereka
 akan saling melukai.
 Pedang yang mereka pegang itu seolah telah menjadi satu dengan tangan, seper-ti anggauta
 badan sendiri sehingga mere-ka sudah menguasai sepenuhnya. Setiap detik mereka akan
 mampu menghentikan tusukan atau bacokan pedang mereka sehingga tidak akan melukai
 lawan ber-latih.
 Keduanya berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Na-ga), yaitu
 gabungan ilmu pedang Suling Emas dan Naga Siluman yang mereka pelajari dari Kam Bi
 Eng. Ilmu pedang ini memang hebat. Dari gerakan-gerakan pedang di tangan mereka ternyata
 bahwa di situ terkandung gerakan yang lembut seperti tiupan suling namun dahsyat dan ganas
 seperti seekor naga mengamuk. Karena senjata suling adalah senjata yang khas dari keluarga
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 278 Suling Emas, maka Kam Bi Eng mengganti suling de-ngan pedang dan mengajarkan mereka
 memainkan ilmu itu dengan sebatang pedang.
 Kini Sian Li dalam kelebihannya da-lam kecepatan gerakan, mulai mendesak suhengnya.
 Andaikata mereka itu bertan-ding sungguh-sungguh dalam sebuah per-kelahian, tentu Sian Li
 akan dapat mero-bohkan suhengnya karena ia memiliki beberapa ilmu yang tidak dipelajari
 Sian Lun, seperti ilmu totok It-yang Sin-ci dari Yok-sian Lo-kai, dan terutama seka-li Ilmu
 Silat Bangau Putih yang sejak kecil dipelajarinya dari ayahnya, dan lain-lain. Kini, karena
 mereka sengaja berlatih ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut, mereka menggunakan ilmu itu
 saja dan karena keduanya sudah menguasai ilmu pedang itu dengan baik, maka su-karlah
 untuk suling mengalahkan. Sian Li berhasil mendesak hanya mengandal-kan kecepatannya,
 dan memang ia lebih cekatan sehingga akhirnya Sian Lun menjadi repot sekali, dan hanya
 mampu menangkis saja, tidak ada kesempatan lagi untuk membalas. Akan tetapi, dia
 mengenal semua jurus yang dlpergunakan sumoinya untuk menyerangnya, maka tentu saja
 dia tahu bagaimana caranya untuk menghindarkan diri.
 "Cukup, Sumoi. Engkau terlalu cepat bagiku!" Akhirnya Sian Lun mengakui kekalahannya.
 Pemuda ini tidak merasa iri atau malu, bahkan merasa bangga bahwa sumoinya demikian
 hebatnya. "Suheng, engkau memang kalah cepat akan tetapi kalau engkau mengerahkan seluruh
 tenagamu, tentu engkau akan dapat mengimbangi aku karena dalam hal penggunaan tenaga
 tulang dan otot, aku masih kalah."
 "Bagus sekali! Ilmu pedang yang he-bat, orang-orang muda yang mengagum-kan!" Tiba-tiba
 terdengar pujian orang dan cepat Sian Lun dan Sian Li memba-likkan tubuh dan mereka
 melihat dua orang yang tahu-tahu telah berada di situ, di dalam taman di mana mereka
 berlatih ilmu pedang tadi. Kalau dua orang itu dapat muncul demikian tiba-tiba tanpa mereka
 ketahui, hal ini menunjukkan bahwa dua orang ini tentu bukan orang sembarangan. Sian Li
 me-mandang dengan teliti. Seorang kakek dan seorang nenek. Kakek itu tentu su-dah enam
 puluh tahun lebih usianya, namun masih tampak tampan dan jantan dengan kulit agak gelap
 dan muka bulat yang tidak asing bagi Sian Li. Di pung-gung kakek ini terdapat sepasang
 pedang dengan ronce biru. Nenek itu yang sama sekali asing bagi Sian Li. Seorang nenek
 yang usianya juga sekitar enam puluh, namun masih cantik dan anggun. Ia ber-pakaian serba
 kuning, dengan kerudung kepala kuning pula. Rambutnya yang sudah bercampur uban itu
 terhias burung merak dari emas yang masih nampak di bawah kerudung suteranya yang tipis.
 Wajah wanita ini asing,bukan wajah seorang bangsa Han. Biarpun wajah kakek itu tidak asing
 bagi Sian Li, namun ia tidak tahu siapa kakek itu.
 "Kakek dan Nenek yang baik, siapa-kah Jiwi (Anda Berdua)" Dan ada kepen-tingan apakah
 jiwi masuk ke dalam taman kami ini?" Sian Li bertanya de-ngan lembut.
 Kakek itu menoleh kepada nenek di sebelahnya sambil tersenyum gembira. "Kaulihat,
 bukankah ia mirip sekali de-ngan ibunya?" Lalu dia menghadapi Sian Li lagi dan berkata,
 "Aku yakin bahwa engkau tentu Tan Sian Li, bukan" Engkau Si Bangau Merah, bukan?"
 Sian Li membelalakkan mata. "Bagaimana engkau bisa mengenalku, Kek" Siapakah engkau"
 Dan siapa pula Nenek ini?"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 279 "Ha-ha-ha-ha," kakek itu tertawa. "Pernah aku berkunjung ke rumah orang tuamu ketika
 engkau masih kecil, pernah pula engkau membasahi bajuku, ha-ha-ha. Engkau tentu lupa,
 Sian Li. Aku ada-lah Suma Ciang Bun dan ini isteriku, Gangga Dewi."
 Sian Li membelalakkan matanya lagi dan mukanya berubah kemerahan meng-ingat ucapan
 kakek tadi bahwa ia pernah ngompol ketika masih kecil dipondong kakek itu sehingga
 membasahi bajunya. Kini ia teringat. Kakek ini adalah adik kandung neneknya, Suma Hui.
 Berbeda dengan paman kakeknya yang kini men-jadi gurunya. Suma Ceng Liong yang hanya
 adik sepupu neneknya, kakek yang berada di depannya ini adalah adik kan-dung neneknya.
 "Aih, kiranya Ku-kong (Paman Kakek) Suma Ciang Bun!" Sian Li berseru gem-bira.
 "Selamat datang, Kakek. Dan Nenek ini, isteri Kakek.... namanya aneh. Nenek Gangga Dewi"
 Tentu bukan orang Han...." Sian Li lalu memberi hormat kepada dua orang tua itu. "Suheng,
 ini adalah kakak sepupu dari Kakek Suma Ceng Liong!" Dara yang lincah itu memberi tahu
 Sian Lun yang cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada Suma Ciang Bun dan
 Gangga Dewi. Gangga Dewi mendekati dan memeluk Sian Li. "Anak manis, engkau cantik bukan main,
 Aku memang datang dari Bhutan, dan aku bukanlah orang lain. Seorang di antara guru
 ayahmu yang bernama Wan Tek Hoat atau Tiong Khi Hwesio adalah mendiang Ayah
 kandung-ku."
 Sian Li menjadi semakin gembira dan balas merangkul sambil memandang ka-gum. Tentu
 saja ia pernah mendengar cerita ayahnya tentang pendekar Wan Tek Hoat yang berjuluk Si
 Jari Maut itu, yang telah menikah dengan seorang pute-ri Kerajaan Bhutan.
 "Aih, Nenek yang baik. Pantas saja engkau masih kelihatan begini cantik dan anggun.
 Kiranya engkau adalah seorang puteri Kerajaan Bhutan!"
 Karena Sian Li memang lincah jenaka dan gembira, maka sebentar saja ia su-dah akrab
 dengan kakek dan nenek itu, dan mereka lalu memasuki rumah untuk bertemu dengan Suma
 Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Pertemuan itu tentu saja amat menggembirakan. Suma Ciang
 Bun dan Gangga Dewi pernah satu kali ber-kunjung ke situ sebelum Sian Li tinggal bersama
 Suma Ceng Liong dan isterinya, bahkan sebelum Sian Lun menjadi murid mereka.
 Setelah makan bersama, dua orang tamu itu lalu menceritakan pengalaman mereka yang
 didengarkan dengan penuh perhatian oleh Suma Ceng Liong, Kam Bi Eng, Liem Sian Lun
 dan terutama sekali Tan Sian Li. Ketika Suma Ciang Bun mengatakan bahwa dia bersama
 Gangga Dewi akan pergi ke Bhutan, Sian Li segera berkata penuh gairah. "Ku-kong aku
 ikut!" Semua orang terkejut. Suma Ceng Liong memandang cucu keponakan itu. "Aih, Sian Li,
 kaukira Bhutan itu dekat" Perjalanan ke sana berbulan-bulan!"
 "Aku tidak takut perjalanan jauh, Ku-kong! Aku sudah sering mendengar dari Ayah dan Ibu
 tentang Bhutan yang indah, dan dari Kong-kong Kao Cin Liong aku sering mendengar
 ceritanya tentang dunia bagian barat. Aku ingin meluaskan pe-ngetahuan dan pengalaman,
 Ku-kong. Kebetulan sekali ada Ku-kong Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi yang
 akan menjadi penunjuk jalan. Aku ingin sekali, Ku-kong!"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 280 Suma Ceng Liong diam-diam terse-nyum dalam hatinya. Dia tidak merasa heran akan sikap
 cucu keponakan ini. Memang keluarga mereka semua berdarah pendekar, berdarah petualang.
 Dia sendi-ri pun dahulu merupakan seorang petua-lang, demikian pula isterinya. Ayah dan ibu
 Si Bangau Merah ini pun petualang-petualang besar.
 "Akan tetapi, bagaimana kalau ayah ibumu datang, Sian Li" Kami tentu akan merasa tidak
 enak kalau mereka datang dan engkau tidak berada di sini," kata Kam Bi Eng.
 "Akan tetapi Ayah dan Ibu masih enam bulan lagi baru akan datang ke si-ni, seperti biasa
 setiap tahun baru mere-ka datang. Dan aku akan berusaha agar sebelum tahun baru dapat
 pulang ke sini. Aku ingin sekali pergi, kebetulan ada Ku-kong dan isterinya yang akan
 mene-maniku. Tentu saja kalau mereka ini tidak keberatan aku ikut...." Ia meman-dang
 kepada Suma Ciang Bun dan Gang-ga Dewi yang saling pandang dan terse-nyum.
 Gangga Dewi mendekat dan merangkulnya. "Tentu saja aku akan senang se-kali kalau
 engkau ikut ke Bhutan, Sian Li. Akan tetapi, tanpa perkenan Adik Suma Ceng Liong dan
 Kam Bi Eng, kami tidak akan berani."
 Suma Ciang Bun berkata, "Kami telah membeli sebuah kereta. Kalau kami mempergunakan
 perjalanan dengan kereta atau berkuda, tentu akan lebih cepat dan kiranya sebelum tahun baru
 Sian Li akan dapat pulang ke sini."
 Suma Ceng Liong memandang kepada kakaknya. Kalau dia membolehkan Sian Li pergi,
 andaikata dara itu belum pulang ketika ayah ibunya datang, dia merasa tidak enak kepada
 mereka. Akan tetapi, kalau dia melarangnya, dia akan merasa tidak enak kepada Sian Li, juga
 kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Se-olah-olah dia tidak percaya kepada me-reka.
 "Ku-kong Suma Ceng Liong, kalau aku tidak diberi ijin, aku akan pergi sendiri, tidak
 bersama Ku-kong Suma Ciang Bun juga tidak apa-apa. Aku ingin merantau ke barat." Sian Li
 berkata dan Suma Ceng Liong tertawa.
 "Hemm, engkau memang memiliki ha-ti membaja dan kepala membatu. Orang seperti
 engkau ini mana mungkin bisa dilarang" Sian Lun, engkau temani su-moimu pergi ke barat."
 "Baik, Suhu!" kata Sian Lun dengan tidak menyembunyikan suaranya yang mengandung
 kegembiraan besar.
 "Sian Li kami membolehkan engkau pergi akan tetapi harus ditemani suheng-mu agar kalau
 engkau pulang, ada yang menemani. Selain itu, kalau orang tuamu datang sebelum engkau
 pulang, kami dapat menggunakan alasan bahwa Sian Lun juga pergi menemanimu."
 Sian Li girang sekali. Ikut sertanya Sian Lun bahkan makin menggembirakan hatinya karena
 suhengnya itu dianggap sebagai kawan seperjalanan yang akan amat menyenangkan dan juga
 amat membantu. Ia bersorak, lalu menghampiri Kam Bi Eng dan merangkul nenek itu.
 "Terima kasih! Aku tahu bahwa kalian tentu akan memperkenankan, karena ka-lian adalah
 orang-orang tua yang terbaik di dunia ini!"
 Suma Ceng Liong dan isterinya hanya tersenyum. Suma Ciang Bun menggeleng-geleng
 kepalanya melihat sikap Sian Li. Mereka lalu berkemas dan tiga hari ke mudian, berangkatlah
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 281 mereka berempat meninggalkan dusun Hong-cun. Suma Ciang Bun menjual keretanya dan
 seba-gai gantinya, dia membeli empat ekor kuda yang baik dan mereka berempat melakukan
 perjalanan menunggang kuda. Suma Ceng Liong dan isterinya yang mengantar mereka
 sampai ke luar dusun, diam-diam ikut girang dan terharu meli-hat betapa Sian Li, seperti anak
 kecil, kelihatan gembira bukan main, melambai-lambaikan tangan kepada mereka. Dara itu
 memang berbakat sekali menjadi se-orang pendekar. Baru dua hari ia diajar menunggang
 kuda oleh Gangga Dewi dan sekarang sudah pandai dan berani membalapkan kudanya!
 Bahkan Sian Lun juga kalah sigap. Mereka yakin bahwa Tan Sin Hong dan isterinya, Kao
 Hong Li, tidak akan marah andaikata mereka datang dan Sian Li belum kembali. Me-reka pun
 merupakan pendekar-pendekar yang biasa bertualang. Apalagi kepergian Sian Li ini bersama
 kakeknya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, dan bahkan ditemani pula oleh Liem Sian Lun.
 Gangga Dewi menjadi penunjuk jalan dan memimpin rombongan itu. Mereka melakukan
 perjalanan cepat dan hanya berhenti di tempat yang cukup indah untuk mereka nikmati.
 Karena mereka berempat adalah orang-orang yang ber-kepandaian tinggi dan bertubuh kuat,
 maka perjalanan itu dapat dilakukan de-ngan cepat. Kalau kuda mereka sudah terlalu lelah,
 Suma Ciang Bun menukar-kan kuda mereka dengan kuda yang ma-sih segar dengan
 menambah uang. De-ngan cara demikian, mereka dapat melakukan perjalanan lebih cepat
 lagi. *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 Pada waktu itu, Kerajaan Mancu atau Dinasti Ceng yang dipimpin Kaisar Kian Liong telah
 berhasil mengamankan selu-ruh negara.. Di mana-mana terdapat pasukan keamanan yang
 menjaga tapal batas, dan di semua kota besar terdapat pula benteng pasukan. Pemberontakan-
 pemberontakan telah dapat dipadamkan, dan biarpun masih terdapat banyak go-longan yang
 anti pemerintah Mancu, na-mun gerakan mereka hanya di lakukan secara sembunyi, tidak ada
 yang berani berterang karena pada waktu itu kekuat-an pasukan Mancu amat besar. Apalagi
 karena Kaisar Kian Liong pandai meng-ambil hati dan banyak menerima orang-orang Han
 yang pandai, diberi kedudukan tinggi dan bahkan pasukannya diperkuat oleh orang-orang Han
 yang menganggap bahwa Kaisar Kian Liong, biarpun seo-rang Mancu, namun mementingkan
 rakyat jelata. Kaisar Kian Liong sudah semakin tua, usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, dan dia telah
 menjadi Kaisar selama li-ma puluh tahun lebih! Belum pernah ada Kaisar yang memegang
 tampuk kerajaan selama itu dengan berhasil baik. Hal ini adalah karena Kaisar Kian Liong
 bukan seorang Kaisar yang mabok kedudukan sehingga hanya menjadi pengejar kese-nangan
 sendiri saja. Sejak muda, Kaisar ini memang terkenal sebagai seorang yang pandai bergaul,
 bahkan akrab de-ngan para pendekar, dengan rakyat jelata seringkali melakukan perjalanan
 secara menyamar dan menyusup di kalangan rakyat jelata sehingga namanya dikenal sebagai
 seorang yang bijaksana dan ra-mah tamah. Bukan hanya karena kekuat-an angkatan
 perangnya saja Kaisar Kian Liong dapat mempertahankan kedudukan-nya, akan tetapi
 terutama sekali karena nama baiknya itulah. Pribadi seorang pemimpin memang menentukan
 kelancar-an pemerintahannya, karena kalau priba-di itu tidak disukai rakyat, sudah pasti
 menimbulkan pemberontakan di mana-mana. Kaisar Kian Liong pandai meng-ambil hati
 rakyat, bahkan menundukkan hati orang-orang pribumi Han dengan sikapnya yang menerima
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 282 kebudayaan, bahkan bahasa Han menjadi bahasa orang-orang Mancu yang memegang
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ken-dali pemerintahan.
 Dengan para negara tetangga, biar yang kecil seperti Bhutan, Nepal dan di bagian selatan,
 Kaisar Kian Liong meng-adakan hubungan yang baik dan menghargai kedaulatan masing-
 masing. Ini pun mengurangi gerakan gangguan di tapal batas dan perdagangan dengan negara
 lain berjalan lancar. Kalau pun terdapat pemberontakan, maka hanya terjadi kecil-kecilan dan
 tersembunyi, seperti yang dilakukan oleh perkumpulan Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang.
 Akan tetapi kini kedua perkumpulan itu bahkan bermusuh-an, karena Thian-li-pang
 merupakan per-kumpulan pejuang yang gagah dan sung-guh membela rakyat, sedangkan Pek-
 lian-kauw adalah perkumpulan yang tidak segan melakukan kejahatan berkedok aga-ma,
 bahkan dari Agama Buddha yang sudah menyeleweng daripada agama ase-linya, bercampur
 dengan segala macam tahyul dan ilmu sihir ke arah sesat.
 Karena kebesaran kerajaan atau Di-nasti Ceng di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong, bahkan
 negara-negara seper-ti Birma, Annam, Nepal, Bhutan, dan Korea merendahkan diri mengirim
 upeti setiap tahun kepada Kaisar Kian Liong sebagai tanda persahabatan, sebutan yang
 diperhalus dari keadaan sebenarnya, yaitu taluk tanpa diserang lagi. Hanya Keraja-an Nepal
 sajalah yang pernah menentang, akan tetapi negara itu diserbu pasukan besar dan
 ditundukkan, akan tetapi tidak dijajah dan hanya diharuskan mengirim upeti setiap tahun.
 Karena keadaan yang aman itulah, maka perjalanan Suma Ciang Bun, Gang-ga Dewi, Tan
 Sian Li dan Liem Sian Lun berlangsung lancar tanpa ada gangguan di tengah perjalanan.
 Sian Li merasa gembira bukan main dapat melihat daerah-daerah yang belum pernah dilihat
 sebelumnya, melihat per-kampungan suku-suku bangsa yang diang-gapnya aneh dan amat
 menarik. Perkam-pungan-perkampungan yang dilaluinya itu berbeda sama sekali dengan
 daerah timur berbeda segalanya, dari rumahnya, pakai-annya, bentuk wajah dan bahasa,
 bahkan makanan pun berbeda! Akan tetapi setelah Gangga Dewi memperkenalkan ia dengan
 orang-orang asing itu, menterjemahkan percakapannya, mengenal mereka lebih dekat, Sian Li
 mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hatinya. Yaitu bahwa semua perbedaan itu
 hanya kulitnya saja, hanya lahiriah, hanya kebiasaan hidupnya. Pada hakekatnya, jauh di
 lubuk hati mereka, mereka itu tidak ada bedanya dengan ia atau seluruh bangsa di timur.
 Mereka suka bersahabat, suka tertawa membutuhkan kebahagiaan dan menjauhi hal-hal yang
 tidak enak. Biarpun masakan mereka itu aneh, namun yang berbeda pun hanya cara dan
 campurannya saja. Pada hakekatnya mereka pun sama dengannya, yaitu tidak menyukai pahit
 dan getir. Yang disuka seperti juga di timur, manis asin sedikit asam dan pedas. Mereka pun
 sama saja, tidak suka disakiti lahir batin, ingin disenangkan, sama seperti dirinya juga. Karena
 merasa bahwa pada hakekatnya sama, Sian Li cepat dapat akrab dengan mereka walaupun
 kadang-kadang kedua pihak tertegun heran melihat kebiasaan yang amat berbeda diantara
 mereka. Dengan adanya Gangga Dewi sebagai orang yang berpengalaman, dan juga sebagai penunjuk
 jalan, pemberi keterangan dan bahkan penerjemah, perjalanan itu terasa amat menyenangkan
 bagi tiga orang yang lain, terutama sekali bagi Sian Li dan Sian Lun yang baru sekali itu
 selama hidup mereka lewat di tempat-tempat seperti itu.
 Biarpun Sian Li amat tertarik dan senang sekali, akan tetapi Gangga Dewi tidak pernah lupa
 bahwa sebelum tahun baru tiba, Sian Li sudah harus kembali ke rumah Suma Ceng Liong.
 Oleh karena itu, ia mengajak mereka melakukan perjalanan cepat menuju ke Bhutan.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 283 Pada suatu siang, tibalah mereka di perbatasan Bhutan seelah menyeberangi sungai besar
 yang amat terkenal di Tibet yaitu sungai Yarlung Sangbo atau terkenal pula dengan nama
 Brahmaputra. Mereka melintasi pegunungan yang paling besar, tinggi dan panjang di seluruh
 dunia, yaitu Pegunungan Himalaya yang menjadi tapal batas antara Bhutan dan Tibet. Di
 pegunungan yang amat terkenal ini. Sian Li merasa kagum bu-kan main. Walaupun
 perjalanan amat sukar, melalui gunung es yang teramat dingin, namun dara itu selalu nampak
 gembira dan kagum.
 Siang itu, mereka menuruni lereng bukit terakhir dari Himalaya dan mulai nampak dusun-
 dusun yang termasuk wila-yah Bhutan. Menjelang senja, mereka bertemu dengan pasukan
 kecil terdiri dari belasan orang. Ketika pasukan itu melihat Gangga Dewi, mereka cepat turun
 dari atas kuda mereka dan mem-beri hormat dengan setengah berlutut. Kiranya mereka adalah
 pasukan keaman-an yang menyamar dengan pakaian biasa, melakukan perondaan di daerah
 perbatas-an itu.
 Setelah menerima penghormatan me-reka Gangga Dewi bertanya. "Apakah yang terjadi"
 Kenapa kalian melakukan perondaan sampai di sini dan tidak ber-pakaian seragam pula?"
 Pemimpin pasukan melaporkan kepada Puteri Gangga Dewi bahwa akhir-akhir ini daerah
 perbatasan itu tidak aman karena diketahui bahwa ada penyelundup dari Nepal memasuki
 daerah itu. Mereka adalah mata-mata Kekuasaan Nepal, dari pihak keluarga raja yang tidak
 mau tun-duk kepada Kerajaan Ceng di Cina. Me-reka ini menghasut rakyat di perbatasan
 Bhutan dan Tibet, untuk bersama-sama menentang dan melakukan perlawanan terhadap
 orang-orang di perbatasan Pro-pinsi Secuan untuk merong-rong Kerajaan Ceng.
 "Ah, kalau begitu kalian harus melak-sanakan tugas dengan baik. Kita tidak ingin terseret
 oleh pemberontakan orang-orang Nepal itu, apalagi mereka juga menjadi musuh Kerajaan
 Nepal yang sah. Mereka bahkan pemberontak pula di Ne-pal, petualang-petualang yang ingin
 men-dapatkan keuntungan pribadi dari pergolakan dan kekacauan," pesan Gangga Dewi. Dua
 orang di antara pasukan itu lalu mendahului untuk mengirim berita ke kota raja Thim-phu di
 Bhutan, se-dangkan pasukan lainnya melanjutkan tugas mereka melakukan penyelidikan.
 Gangga Dewi mengajak rombongannya melanjutkan perjalanan karena hari telah sore.
 Mereka akan terpaksa bermalam di sebuah dusun di luar kota Tong-sa-jang karena tentu
 malam segera tiba, dan mereka pun sudah cukup lelah.
 Memang hari telah remang-remang, petang telah menjelang ketika mereka memasuki dusun
 itu. Sian Li dan Sian Lun tertegun kagum ketika melihat be-tapa mereka disambut oleh
 penghuni dusun yang berduyun menunggu di luar dusun dan bahkan ada tari-tarian yang
 menyambut kedatangan Sang Puteri! Ki-ranya dua orang perajurit tadi telah memberi kabar
 ke dusun itu, dan kepala dusun segera mengerahkan orang-orang-nya untuk menyambut.
 Demi menyenangkan rakyatnya, Gang-ga Dewi segera turun dari atas kuda, diikuti oleh
 Suma Ciang Bun, Tan Sian Li dan Liem Sian Lun. Rakyat bersorak gembira ketika Gangga
 Dewi merangkul dan mencium anak perempuan yang ber-tugas menyerahkan seikat bunga
 kepada Sang Puteri. Sian Li memandang dengan wajah berseri dan Sian Lun mengagumi
 belasan orang penari yang terdiri dari gadis-gadis Bhutan yang manis, dengan tarian yang
 lemah gemulai, tubuh mereka meliak-liuk dengan amat lemas dan len-turnya, diiringi musik
 yang sederhana, suling dan siter dan tambur, namun ter-dengar demikian asyik dan membuat
 orang ingin berlenggang-lenggok karena bunyi tambur yang berirama riang itu.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 284 Ketika mereka memasuki dusun, me-reka disambut oleh kepala dusun dan semua sesepuh
 dan pemuka dusun itu dengan segala kehormatan. Disediakan air panas untuk para tamu
 agung itu mencuci badan, kamar-kamar terbaik di rumah kepala dusun dipersiapkan untuk
 mereka. Apalagi ketika Puteri Gangga memperkenalkan Suma Ciang Bun seba-gai suaminya,
 para penduduk semakin gembira. Bagi mereka, puteri mereka yang sudah lama menjanda itu
 menikah dengan seorang pria Han, bukan merupa-kan halangan, bahkan merupakan
 kebang-gaan. Bahkan dahulu, Ibu dari Gangga Dewi yang bernama Syanti Dewi, yang mereka
 puja-puja dan kasihi, juga meni-kah dengan seorang pria Han yang kemu-dian bahkan
 menjadi panglima yang amat gagah perkasa di Bhutan, yaitu Wan Tek Hoat, ayah Gangga
 Dewi. Malam itu, seluruh dusun bergembira dan sebuah pesta besar diadakan di pen-dapa rumah
 kepala dusun yang cukup luas. Para sesepuh dan orang terkemuka di dusun itu hadir sebagai
 tamu di pang-gung, sedangkan di bawah panggung, di sekeliling pendapa, hampir seluruh
 penghuni dusun itu berjejal memenuhi tempat itu untuk nonton keramaian, pertunjukan dan
 untuk melihat puteri mereka, Gangga Dewi yang mereka kagumi sebagai seo-rang puteri yang
 kabarnya memiliki ilmu kepandaian seperti seorang dewi!
 Serombongan penari yang cantik ma-nis, gadis-gadis remaja, belasan orang banyaknya,
 menari-nari diiringi musik yang sederhana namun menggairahkan seperti musik di daerah itu,
 yang mem-punyai pukulan gendang dan tambur se-olah-olah menghidupkan semua syaraf di
 tubuh untuk bergerak dan menari.
 Puteri Gangga Dewi, Suma Ciang Bun Tan Sian Li dan Liem Sian Lun duduk sebagai tamu
 kehormatan dan para pena-ri menghadap tamu-tamu agung ini. Para gadis penari itu merasa
 bangga mendapat kesempatan menari di depan Sang Puteri. Biasanya, hanya penari istana saja
 yang menari di depan puteri! Mereka hanya penari dusun yang tentu saja tidak pan-dai menari
 sehalus dan seindah penari istana, namun gerakan mereka wajar dan polos sehingga bagaikan
 bunga-bunga hutan yang segar. Beberapa orang di an-tara mereka mengerling ke arah Sian
 Lun dengan kerling tajam dan senyum memikat karena memang pemuda itu nampak gagah
 perkasa dan tampan, apalagi dia adalah anggauta rombongan Sang Puteri! Sebaliknya, para
 penabuh musik, para penonton, mengagumi Sian Li yang berpakaian serba merah sehingga
 secara bisik-bisik para pemuda menyebut Sian Li "Dewi Merah"!
 Sian Li sendiri dengan wajah berseri memperhatikan gerak-gerik para penari. Hidangan yang
 disuguhkan juga aneh-aneh akan tetapi agaknya Gangga Dewi telah memesan kepada kepada
 dusun agar membuat lauk pauk yang sesuai dengan selera orang Han. Hal ini mudah
 dilaku-kan oleh para koki bangsa Bhutan karena memang hubungan antara Bhutan dengan
 Cina sudah terjalin sejak ratusan tahun yang lalu. Banyak pula keturunan orang Cina atau
 yang disebut Han-Bhutan se-perti Gangga Dewi kini berada di Bhutan seperti juga banyak di
 situ keturunan Nepal, Tibet, dan India. Sebagai negara kecil yang terkepung negara-negara
 besar Bhutan mempunyai banyak orang-orang berdarah campuran atau peranakan. Ba-nyak
 pula orang Han berdatangan ke Bhutan sebagai pedagang, sehingga para koki bangsa Bhutan
 selain pandai mem-buat masakan khas Bhutan, pandai pula membuat masakan model Nepal,
 India, Tibet atau Han. Minuman anggur yang disuguhkan juga manis dan lembut, tidak terlalu
 menyengat seperti arak, dan membuat orang mabok secara perlahan dan tidak dirasakan.
 Sian Li juga mengagumi para penabuh musik. Mereka itu semua pria, dan masih muda-muda.
 Pakaian mereka yang khas juga amat menarik, membuat mereka nampak gagah. Mereka lebih
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 285 pantas men-jadi penari atau ahli silat karena mereka semua membawa golok khas Bhutan di
 pinggang mereka, dan mereka menabuh musik dengan lagak penari-penari yang lincah.
 Apalagi penabuh tamburnya. Dia seorang pemuda yang tinggi tegap. Dia menggulung lengan
 baju ke atas dan nampaklah sepasang lengan yang kokoh dan berotot. Cara dia menabuh
 tambur sungguh menarik dan gagah, seperti orang bermain silat saja. Kadang-kadang dia
 melontarkan dua buah kayu pemukul tambur ke atas dan melanjutkan memu-kul tambur
 dengan jari tangannya, lalu menyambut lagi dua batang pemukul yang meluncur turun. Semua
 ini dilaku-kan secara berirama.
 Sian Li kagum. Hebat memang pemu-da yang usianya kurang leblh dua puluh tahun itu. Cara
 dia melempar pemukul ke atas, lalu menyambutnya kembali tan-pa melihat karena matanya
 terus mena-tap tamburnya, seolah kedua tangannya bermata, sungguh mengagumkan. Dan
 pukulan tambur itu pun menggetar penuh kekuatan. Rasanya tidak mungkin dia itu tidak
 memiliki kepandaian silat dan tenaga sin-kang, pikir Sian Li.
 Akan tetapi kini perhatian Sian Li terhadap Si Penabuh tambur itu teralih. Tarian gadis-gadis
 cantik itu sudah sele-sai dan kini muncullah seorang kakek berusia enam puluhan tahun.
 Kakek ini tinggi besar seperti raksasa dan bermuka hitam, kepalanya gundul atau botak licin
 dan pakaiannya serba longgar dengan jubah berwarna hitam pula! Menyeramkan sekali kakek
 ini, terutama sepasang ma-tanya yang bulat besar dengan alis yang terlalu tebal sehingga tidak
 wajar lagi! Kepala dusun memperkenalkan kakek ini sebagai Lulung Ma, seorang peranakan
 Tibet yang memiliki keahlian sulap dan bermain ular!
 Biarpun tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, namun ketika kakek bernama Lulung Ma itu
 memberi hormat dengan sembah kepada Gangga Dewi, dia dapat bergerak demikian lentur
 seperti seekor ular besar! Gangga Dewi mengangguk dan tersenyum, lalu berkata, "Mulailah
 dengan pertunjukanmu dan lakukan sebaik mungkin."
 Para penari dan bahkan para penabuh musik semua mengundurkan diri kecuali pemuda
 pemukul tambur tadi! Kiranya hanya pemuda itu seorang yang akan membantu Lulung Ma
 menunjukkan ke-ahliannya. Pemuda itu tetap menahadapi sebuah tambur dan sebuah
 gendang, dan dengan kedua tangannya, dia mengangkat dua alat musik itu dan mendekati
 Lulung Ma, lalu duduk bersila di tengah ruangan pertunjukan.
 Lulung Ma sudah siap. Ketika dia bangkit berdiri, tubuhnya nampak tinggi besar
 menyeramkan, bahkan pemuda yang tinggi tegap itu pun hanya setinggi dagu-nya! Padahal,
 pemuda tampan itu sudah termasuk tinggi untuk ukuran biasa. Kini, pemuda itu
 memperlihatkan kemahirannya memainkan tambur. Suara tambur ber-dentam-dentam dan
 berirama, kemudian diimbangi suara suling yang bentuknya aneh, ada kepalanya yang sebesar
 kepal-an tangan. Suling seperti itu disebut suling ular yang biasa dipergunakan oleh ahli-ahli
 ular di India untuk menjinakkan ular yang liar dan berbisa.
 Akan tetapi, kakek muka hitam itu tidak bermain ular seperti diduga orang, dia hanya
 mengimbangi pukulan tambur itu dengan suara sulingnya yang melengking-lengking,
 memainkan sebuah lagu rakyat Bhutan yang membuat Gangga Dewi dan orang-orang Bhutan
 di situ mengangguk-angguk mengikuti iramanya. Bagi Sian Li, lagu itu lembut akan teta-pi
 terasa aneh bagi pendengarannya.
 Suara suling berhenti dan kini pemuda itu memainkan gendangnya, tidak dipukul keras-
 keras, melainkan lirih dan sebagai pengantar saja agaknya, walaupun dari suara gendang
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 286 dapat diketahui bahwa pemuda itu memang ahli menabuh gen-dang. Suara gendang itu bisa
 terdengar seperti halilintar, bisa seperti riak air atau rintik hujan. Kini, kakek muka hitam itu
 mulai bermain sulap. Dia bicara dalam bahasa Bhutan yang tidak dime-ngerti oleh Sian Lun
 dan Sian Li. Akan tetapi Suma Ciang Bun yang sejak men-jadi suami Gangga Dewi telah
 mempela-jari bahasa daerah isterinya itu, menter-jemahkan kepada mereka. "Dia berkata
 bahwa dia akan membagi-bagi bunga kepada para tamu dari kedua tangannya yang kosong."
 Sian Li memandang dengan wajah berseri. Selama hidupnya, baru dua kali ia menonton
 tukang sulap, yaitu ketika ia masih kecil. Melihat tukang sulap mampu mengambil benda-
 benda dari udara, ia dahulu merasa amat kagum. Akan tetapi ayah bundanya mengatakan
 bahwa tukang sulap itu mempergunakan alat yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, dibantu
 pula oleh kecepatan ke-dua tangannya yang sudah terlatih baik. Sebenarnya tidak ada yang
 aneh dalam sulapan.
 "Jangan-jangan dia hanya menipu kita dengan alat-alat yang sudah dia persiap-kan lebih
 dulu!" katanya, suaranya cukup kersa karena dianggapnya bahwa yang mengerti bahasanya
 tentu hanya mereka berempat. Akan tetapi wajahnya berubah kemerahan ketika tukang sulap
 itu mene-ngok kepadanya dan berkata dengan suaranya yang bersih dan dalam, khas suara
 raksasa! "Jangan khawatir, Dewi Merah, aku tidak mempergunakan alat apa pun ke-cuali kedua
 tanganku yang kosong ini! Maafkan, Nona cantik seperti dewi, dan suka berpakaian merah,
 maka aku me-nyebut Nona Dewi Merah!" Kiranya rak-sasa muka hitam itu pandai bahasa
 Han, dengan lancar pula! Dan lebih membuat Sian Li terheran lagi, banyak di antara para
 tamu dan mereka yang menonton di sekeliling ruangan itu, pendapa yang terbuka menyambut
 ucapan rakasasa mu-ka hitam itu dengan tawa riuh seolah mereka itu mengerti apa yang
 diucapkan dalam bahasa Han. Sian Li tidak tahu bahwa demikian baiknya hubungan orang-
 orang di situ dengan bangsa Han sehing-ga bahasa Han bukan merupakan bahasa yang asing
 bagi kebanyakan dari mereka. Apalagi di antara mereka ba-nyak pula terdapat keturunan Han.
 Sege-ra terdengar seruan-seruan dari para pemuda yang tadi kagum kepada Sian Li.
 "Dewi Merah....! Dewi Merah....!"
 Gangga Dewi ikut pula bergembira dan ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk
 menghentikan keributan itu. Sete-lah reda, ia pun memperkenalkan cucu keponakan suaminya
 itu, "Ini adalah cucu keponakan kami, julukannya bukan Dewi Merah, melainkan Si Bangau
 Merah" Banyak orang bersorak dan bertepuk tangan, dan di sana sini terdengar seruan "Dewi Bangau
 Merah! Dewi Bangau Me-rah!"
 Suma Ciang Bun terseret dalam ke-gembiraan itu dan dia pun mengumumkan "Sebutan itu
 memang tepat sekali. Na-manya memang Dewi (Sian-li)!" Kembali orang bersorak. Ketika
 Gangga Dewi melirik dan melihat betapa Sian Lun ti-dak ikut bertepuk tangan, bahkan wajah
 pemuda itu nampak muram, ia pun me-nahan senyumnya. Ia segera mengenal pemuda ini
 sebagai pemuda yang jatuh cinta kepada sumoinya, akan tetapi juga amat pencemburu
 sehingga kalau ada orang lain, terutama pria, yang memuji Sian Li, dia akan merasa tidak
 senang dan cemburu!
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 287 Gangga Dewi kembali memberi tanda dengan mengangkat kedua tangan ke atas dan suara
 bising itu pun terhenti. "Lu-lung Ma, harap kau suka memulai dengan janjimu akan memberi
 hadiah bunga-bu-nga kepada kami semua!"
 Lulung Ma, Si Raksasa Muka Hitam itu, menjura dan dia membuat gerakan-gerakan seperti
 biasa diperlihatkan tu-kang sulap, lalu kedua tangan seperti memetik sesuatu dari udara dan....
 tiba-tiba saja di kedua tangannya telah me-megang masing-masing setangkai bunga yang
 segar berikut beberapa batang daunnya, seolah-olah baru saja dia me-metiknya dari udara!
 Akan tetapi, ketika semua penonton bersorak memuji, Sian Li, Sian Lun, Suma Ciang Bun
 dan juga Gangga Dewi, hanya tersenyum. Mereka berempat adalah ahli-ahli silat yang
 me-miliki penglihatan tajam, berbeda dengan orang biasa, dan mereka tadi melihat gerak
 cepat dari tukang sulap itu yang mengeluarkan dua tangkai bunga itu dari dalam lengan baju
 hitamnya yang longgar. Memang benar, Lulung Ma tidak mem-pergunakan alat yang sudah
 dipersiapkan seperti ucapannya tadi, melainkan meng-gunakan kedua tangannya yang dapat
 bergerak cepat bukan main sehingga ti-dak nampak oleh mata biasa. Jari-jari tangan yang
 panjang itu ditekuk ke da-lam dan menjepit dua tangkai bunga dari dalam lubang lengan
 bajunya. Sambil menjura ke kanan kiri me-nyambut tepuk tangan itu, Lulung Ma melangkah ke
 panggung kehormatan dan menyerahkan dua tangkai bunga itu ke-pada Gangga Dewi dan
 Sian Li sambil berkata lantang.
 "Bunga-bunga yang paling indah dan paling segar untuk Yang Mulia Puteri Gangga Dewi
 dan Dewi Bangau Merah!" Dua orang wanita itu tersenyum dan menerima bunga itu disambut
 tepuk ta-ngan para penonton.
 Sian Lun yang duduk dekat Sian Li, menjadi merah mukanya melihat betapa raksasa hitam
 itu menyerahkan bunga kepada Sian Li sambil matanya yang lebar memandang tajam dan
 menyapu seluruh tubuh dara itu. Teringat dia be-tapa tadi Si Hitam ini juga memuji Sian Li
 cantik seperti dewi. Maka dengan hati panas dia menggunakan kesempatan itu untuk berkata
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil memandang kepada raksasa hitam itu.
 "Engkau hanya mengambil bunga-bu-nga itu dari dalam lengan baju. Apa anehnya itu?"
 Sepasang mata yang bulat dan besar itu kini memandang kepada Sian Lun dengan sinar mata
 tajam mencorong, membuat Sian Lun agak terkejut akan tetapi tidak melenyapkan rasa tak
 se-nangnya. Lulung Ma lalu bangkit berdiri, me-mandang kepada seluruh penonton baik yang di atas
 panggung maupun yang di bawah. "Saudara sekalian, pemuda ini menuduh aku mengambil
 bunga-bunga itu dari lengan baju. Apakah kalian melihat aku mengambil sesuatu dari lengan
 baju" Serentak terdengar jawaban, "Tidak....! Tidak....!"
 Lulung Ma lalu tersenyum dan me-mandang lagi kepada Sian Lun. "Kongcu (Tuan Muda),
 apakah engkau mampu menyulap bunga seperti yang kulakukan tadi?"
 Sian Lun diam saja. Andaikata di le-ngan bajunya ditaruhkan bunga lebih da-hulu sekalipun,
 dia tentu tidak akan mampu mengambil secara cepat sehingga tidak terlihat orang. Untuk
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 288 pekerjaan itu dibutuhkan latihan yang lama sampai menjadi ahli benar. Dia menggeleng
 kepala. "Suheng, jangan mencari keributan!" Sian Li tak senang mendengar celaan Sian Lun itu.
 Gangga Dewi yang maklum apa yang terjadi di hati pemuda itu, tersenyum dan berkata,
 "Memang dia tukang sulap, Sian Lun! Sudahlah, Lulung Ma, harap lanjutkan pertunjukanmu
 yang menarik ini!"
 Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, lalu mundur kembali ke tengah ruangan
 mendekati tukang gendang yang masih asyik memukul gendangnya dengan irama lambat dan
 lirih. Akan tetapi Sian Li tadi sempat melihat betapa pemuda jangkung yang tampan itu
 memandang ke arah Sian Lun dengan sinar mata mencorong seperti orang marah. Lulung Ma
 kini menggerak-gerakkan kedua ta-ngannya, memetik dari udara, menjambak rambut sendiri,
 mengambil dari lubang telinga dan lain gerakan, akan tetapi setiap kali tangannya bergerak,
 nampak setangkai bunga di tangan itu. Akan te-tapi sekali ini bukan dua batang bunga segar
 seperti tadi melainkan berpuluh-puluh bunga kertas yang dia bagi-bagikan dan lampar-
 lemparkan kepada para tamu dan penonton yang menyambut permainan sulapnya ini dengan
 tepuk tangan meriah dan seruan-seruan keheranan.
 Sian Li melihat betapa raksasa hitam itu sesungguhnya mempergunakan kece-patan kedua
 tangannya untuk mengambil bunga-bunga kertas yang disembunyikan di dalam lengan baju
 dan saku jubah hitamnya. Namun gerakannya memang amat cepat sehingga tidak nampak
 oleh mata orang biasa yang tidak terlatih.
 Setelah membagikan semua bunga kertas yang disulapnya secara amat me-ngesankan itu,
 Lulung Ma lalu memberi hormat ke arah Gangga Dewi dan dia berkata, "Sekarang hamba
 hendak menco-ba untuk mengubah kepala hamba men-jadi kepala naga, harap Paduka
 memaaf-kan hamba." Mendengar ini, Gangga De-wi mengangguk. Diam-diam puteri ini
 kagum juga kepada raksasa hitam yang ternyata pandai itu, dan mendengar orang itu hendak
 mengubah kepalanya menjadi kepala naga, ia pun dapat men-duga bahwa Lulung Ma tentu
 seorang ahli ilmu sihir. Dan melihat sikap Lulung Ma yang sebelumnya minta maaf
 kepada-nya, hal itu menunjukkan bahwa raksasa hitam itu tentu sudah tahu akan
 kepan-daiannya maka sebelumnya minta maaf. Kini Lulung Ma menghadapi para ta-mu dan
 penonton. "Saudara sekalian ha-rap suka tenang, sekarang aku ingin me-ngubah kepalaku
 menjadi kepala naga!"
 Lalu dalam bahasa Han dia berkata sam-bil memandang ke arah Sian Li dan Sian Lun, "Dewi
 Bangau Merah, saya akan mengubah kepala saya ini menjadi kepala naga!" Dan dia memberi
 isarat kepada pemuda penabuh gendang yang segera mengganti gendangnya dengan tambur
 dan terdengarlah derap bunyi tambur yang meledak-ledak dan bergemuruh se-perti ada badai
 dan halilintar mengamuk!
 Lulung Ma menggerakkan kaki ta-ngannya mengikuti suara tambur, dan makin lama
 tubuhnya bergetar makin kuat, lalu dia mengeluarkan suara teriak-an melengking, "Saudara
 lihat baik-baik, kepalaku adalah kepala naga, hitam!" Kembali dia mengeluarkan suara
 meleng-king nyaring tinggi yang semakin meren-dah menjadi gerengan yang menggetarkan
 seluruh ruangan itu, diikuti suara tambur yang menggelegar.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 289 Semua orang terbelalak, ada yang mengeluarkan teriakan, bahkan banyak wanita menjerit
 dan Sian Li merasa be-tapa lengannya dipegang Sian Lun dengan kuat. Ia menoleh dan
 melihat betapa Sian Lun terbelalak memandang ke arah Lulung Ma. Sian Li tersenyum dan
 mengerti. Suhengnya itu memang telah me-miliki ilmu silat tinggi dan sin-kang yang kuat,
 akan tetapi tidak pernah mempela-jari ilmu yang dapat menolak pengaruh sihir seperti Ia. Ia
 sejak kecil telah di-latih untuk membangkitkan tenaga sakti dari ilmu silat Pek-ho Sin-kun
 (Silat Sak-ti Bangau Putih) dan perlahan-lahan sekali, kekuatan itu tumbuh dalam dirinya dan
 ia pun seperti memiliki kekebalan terhadap sihir. Tadi ia sudah menduga bahwa kakek raksasa
 hitam itu tentu mempergunakan hoat-sut (sihir), maka ia pun sudah mengerahkan tenaga sakti
 Pek-ho Sin-kun sehingga ia pun tidak terpengaruh dan melihat bahwa kepala Lulung Ma itu
 tetap kepala yang tadi, tidak berubah menjadi kepala naga. Dan memang Sian Lun menjadi
 terkejut dan tegang ketika seperti para penonton lain dia melihat bahwa kepala raksasa hitam
 itu benar-benar berubah menjadi kepala naga hitam yang amat menyeramkan. Tentu saja
 bentuk kepala naga itu tidak sama di antara para penonton, tergan-tung dari khayal mereka
 masing-masing. Ketika Sian Li mengerling ke arah Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, ia
 melihat dua orang tua ini memandang ke arah Lulung Ma sambil tersenyum tenang, tanda
 bahwa mereka pun tidak terpenga-ruh. Hal ini tidaklah mengherankan. Suma Ciang Bun
 adalah keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang merupakan seorang
 sakti dan ahli sihir pula, maka Suma Ciang Bun yang sudah menguasai tenaga sakti Im dan
 Yang dari keluarga sakti itu, tidak ter-pengaruh. Demikian pula Gangga Dewi. Ia mewarisi
 ilmu dari mendiang ayahnya, yaitu Si Jari Maut Wan Tek Hoat, maka begitu melihat kepala
 itu berubah menja-di kepala naga, dengan cepat wanita ini mengerahkan sin-kangnya dan
 buyarlah pengaruh sihir itu dari pikirannya.
 "Suheng," bisik Sian Li kepada su-hengnya yang masih memegang lengannya dalam keadaan
 tegang itu. "Tenanglah dan kerahkan sin-kangmu untuk meme-cahkan pengaruh yang
 mencengkeram pendengaran dan penglihatanmu. Semua itu hanya ilmu sihir."
 Mendengar bisikan ini, Sian Lun me-lepaskan pegangannya dan dia nampak memejamkan
 kedua mata, menahan napas lalu mengatur pernapasan dan setelah dia membuka matanya lagi,
 dia melihat bahwa kepala Lulung Ma kembali seperti biasa.
 "Hemm, kiranya ilmu setan untuk menakut-nakuti anak kecil!" Sian Lun berkata untuk
 melampiaskan kedongkolan hatinya bahwa tadi dia pun sampai terpengaruh dan sempat
 terkejut dan gentar.
 Lulung Ma memiliki pendengaran yang amat tajam dan dia dapat menangkap ucapan Sian
 Lun itu. Dia mengeluarkan suara meraung dan bersamaan dengan bunyi tambur yang semakin
 menurun, orang-orang melihat asap mengepul me-nutupi kepala naga itu dan ketika asap
 lenyap, kepala itu sudah kembali menjadi kepala Lulung Ma. Para penonton ber-tepuk tangan
 dan bersorak menyambut sulapan itu penuh kekaguman.
 Kembali Sian Li melihat betapa pemuda penabuh tambur itu mengirim pan-dang mata penuh
 kemarahan kepada Sian Lun sehingga hatinya merasa tidak enak. "Suheng, kuminta engkau
 jangan menge-luarkan ucapan yang bukan-bukan. Ingat, kita ini tamu, dan mereka itu hanya
 menyuguhkan pertunjukan untuk menghi-bur. Sekali lagi engkau bersikap seperti itu, aku
 akan marah padamu," bisiknya. Sian Lun memandang kepadanya dan mengangguk. Dia pun
 merasa betapa kepanasan hatinya tidak beralasan sama sekali dan dia merasa malu sendiri.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 290 Kini Lulung Ma sudah memberi hor-mat lagi kepada Gangga Dewi, lalu ke-pada para
 penonton. "Sekarang, kami hendak mempersembahkan hiburan berupa permainan dan tari
 ular!" Kakek raksasa hitam itu mengeluar-kan suling ularnya dan mulai meniup suling dengan suara
 melengking-lengking. Pemuda penabuh tambur tadi bangkit, menghampiri belasan buah
 keranjang dan membuka tutup semua keranjang itu, kemudian kembali dia menabuh tambur
 perlahap-lahan seperti suara rintik hujan.
 Suara suling melengking-lengking lembut dan para penonton menjadi tegang dan tidak berani
 mengeluarkan suara atau bergerak ketika dari belasan buah keran-jang itu muncul kepala ular-
 ular yang besar! Ular-ular itu mengangkat kepala tinggi-tinggi, seperti menjenguk keluar,
 mengembangkan leher dan mendesia-desis, lidah menjilat-jilat keluar masuk, kemu-dian
 mereka keluar dari dalam keranjang. Melihat ini, para penonton yang berada paling depan,
 mundur ketakutan, bahkan para tamu yang duduk di panggung juga mengangkat kaki dengan
 gentar. Ular-ular itu bukanlah ular biasa, melainkan ular kobra yang berbisa! Sekali saja
 di-gigit ular berbisa itu, nyawa dapat me-layang!
 Kini belasan ekor ular itu sudah ke-luar dari dalam keranjang masing-masing dan merayap
 menghampiri Lulung Ma. Panjang ular itu dari satu sampai satu setengah meter. Mereka
 merayap dengan kepala terangkat tinggi, kemudian tiba di depan Lulung Ma, belasan ekor
 ular itu berhenti, masih mengangkat kepala tinggi-tinggi.
 Lulung Ma menggerak-gerakkan lengan kirinya yang menjadi lemas seperti ular, dengan
 tangan membentuk kepala ular, dan tangan kanannya memegang suling yang masih ditiupnya.
 Pemuda itu juga memukul tambur dengan irama lirih dan lambat. Kini, ular-ular itu mulai
 menari-nari, dengan kepala dilenggang-lenggok-kan, menoleh ke kiri kanan dan nampak
 seperti belasan orang penari yang me-miliki gerakan lemah gemulai! Para penonton
 memandang kagum, akan tetapi tidak berani bersorak atau bertepuk tangan, takut kalau
 mengejutkan ular-ular itu.
 Suma Ciang Bun pernah mempelajari ilmu menguasai ular dari mendiang ibu-nya. Ibunya
 yang bernama Kim Hwee Li adalah seorang yang memiliki ilmu pa-wang ular, bahkan Suma
 Ciang Bun per-nah mempelajari cara memanggil ular bukan dengan suling lagi, melainkan
 dengan suara yang dikeluarkan dari bibir-nya seperti suitan panjang. Akan tetapi, kini dia
 kagum menyaksikan kelihaian Lulung Ma mengatur ular-ularnya untuk menari seperti itu.
 Hanya ular-ular peli-haraan yang sudah dilatih saja yang da-pat disuruh menari seperti itu.
 Belum tentu raksasa hitam itu mampu mengua-sai dan mengendalikan ular-ular yang liar
 pikirnya. Agaknya raksasa hitam itu seperti dapat membaca pikiran Suma Ciang Bun karena kini
 dengan tangan kirinya, dia memberi isarat kepada tukang tambur. Pemuda itu lalu bangkit
 meninggalkan tamburnya sehingga tinggal suara suling saja yang melengking dan
 mengendalikan belasan ekor ular itu. Pemuda itu lalu menuruni tangga panggung dan dengan
 suara lantang minta kepada penonton di bawah agar "membuka jalan" untuk barisan ular.
 "Harap minggir dan membuka jalan. Semua ular di sekitar sini akan dipanggil untuk
 mengadakan pesta ular!" katanya. Tentu saja orang-orang menjadi ketakutan dan membuka
 jalan yang cukup lebar seperti dikehendaki pemuda itu. Si Pe-muda Jangkung kembali ke atas
 panggung dan dia lalu menangkapi belasan ekor ular itu dangan tangannya den
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 291 mengem-balikan mereka ke dalam keranjang ma-sing-masing. Cara dia menangkap ular-ular
 itu saja sudah membuat Suma Ciang Bun, Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa pemuda itu dapat
 menggerakkan tangan dengan amat cepatnya. Bahkan ketika ular terakhir hendak ditangkap,
 ular itu mematuk dengan serangan cepat sekali. Akan tetapi, dengan sikap amat tenang,
 pemuda itu sudah dapat mendahului, jari tangannya menjepit leher ular dengan amat cekatan
 dan memasukkan ular itu ke dalam keranjangnya. Diam-diam Sian Li kagum. Gerakan
 mengelak dan menje-pit leher ular dengan telunjuk dan ibu jari itu tadi jelas merupakan
 gerakan seorang ahli silat yang pandai. Dengan jepitan seperti itu, pemuda itu agaknya akan
 mampu menangkap senjata rahasia yang menyambar ke arahdirinya. Ia me-rasa yakin bahwa
 pemuda jangkung itu tentu pandai ilmu silat.
 Kini pemuda jangkung itu sudah me-nabuh tamburnya kembali, mengiringi bunyi suling
 yang melengking begitu tinggi sehingga hampir tidak terdengar, namun terasa getarannya.
 Suma Ciang Bun terkejut. Itulah lengking tinggi me-manggil ular yang amat kuat dan
 berpe-ngaruh. Baru dia tahu bahwa tadi dia memandang rendah. Kiranya raksasa hi-tam ini
 bukan saja mampu memanggil ular-ular liar. Jantungnya berdebar te-gang. Sungguh
 berbahaya permainan ini, apalagi di situ berkumpul banyak orang. Bagaimana kalau ular-ular
 itu tidak da-pat dikendalikan dan menyerang orang"
 Semua orang juga memandang tegang dan tiba-tiba mulailah terdengar suara mendesis-desis
 dan tercium bau amis. Segera terjadi kekacauan ketika para penonton di bawah ada yang
 berteriak-teriak.
 "Ular....! Ular....!"
 Pemuda itu sambil terus memukul tamburnya, berteriak dengan suara lan-tang, "Harap
 tenang! Jangan ada yang bergerak, dan ular-ular itu tidak akan mengganggu!"
 Kini nampaklah ular-ular itu. Memang benar, ketika para penonton tidak ber-gerak, ular-ular
 itu tidak mengganggu. Memang mereka datang dari empat pen-juru, bahkan melalui dekat
 kaki para penonton, akan tetapi mereka semua seperti tergesa-gesa menuju ke tangga dan naik
 ke panggung, menghampiri ka-kek raksasa hitam yang meniup suling! Banyak sekali ular-ular
 itu, puluhan ekor, bahkan ratusan ekor banyaknya, ada yang besar sekali, banyak yang kecil
 namun amat berbisa!
 Banyak di antara para tamu bangkit dari tempat duduk mereka karena mera-sa ngeri dan takut
 kalau-kalau kaki me-reka akan diserang ular. Juga Sian Li dan Sian Lun bangkit berdiri,
 bukan ta-kut diserang ular, melainkan khawatir kalau ada tamu yang dipatuk ular. Se-orang
 gadis remaja, puteri kepala dusun yang duduk tak jauh dari mereka, nam-pak pucat sekali dan
 gadis remaja itu agaknya memang takut ular. Tubuhnya menggigil dan ketika ada dua ekor
 ular yang panjangnya hanya dua kaki akan tetapi ular-ular itu amat berbisa, lewat di dekat
 kakinya, gadis remaja itu men-jerit. Dua ekor ular itu kaget dan mem-balik. Melihat itu,
 seperti berebut saja Sian Li dan Sian Lun meloncat, mende-kati gadis itu. Gerakan mereka ini
 mem-buat dua ekor ular yang sudah marah dan tadinya hendak menyerang gadis yang
 menjerit, membalik dan menyerang ke arah Sian Li dan Sian Lun. Ular yang menyerang Sian
 Lun dan Sian Li itu ada-lah semacam ular yang suka melompat tinggi. Kini mereka pun
 meloncat dan menyerang dengan kecepatan anak panah.
 Akan tetapi dengan tenang saja Sian Li menggerakkan tangannya, dan sekali jari-jari
 tangannya menghantam, ular yang menyerangnya itu terbanting dengan kepala remuk dan
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 292 tewas seketika! Ada-pun ular yang menyerang Sian Lun, di-sambut oleh pemuda itu dengan
 cengke-raman ke arah leher ular itu. Sekali dia meremas, leher ular itu hancur dan ular itu pun
 mati seketika. Lulung Ma, melihat hal itu dan alisnya berkerut. Alis yang tebal sekali itu kini seperti
 bersambung menjadi satu. Tiupan sulingnya menjadi kacau karena hatinya panas melihat dua
 ekor ularnya mati, dan hal ini membuat ular-ular itu menja-di panik dan kacau pula! Orang-
 orang menjerit ketika ular-ular itu mulai lari ke sana sini dengan kacau.
 Melihat hal ini, Suma Ciang Bun ce-pat bertindak. Terdengar suara meleng-king aneh dan
 meninggi, dan ular-ular itu menjadi ketakutan. Lenyap semua kemarahan mereka dan mereka
 pun tidak ganas lagi, melainkan ketakutan dan me-reka lari secepatnya meninggalkan tempat
 itu seperti dikejar-kejar sesuatu yang membuat mereka ketakutan!
 Lulung Ma menghentikan tiupan sulingnya. Dia dan pemuda jangkung tukang tambur itu
 menoleh ke arah Suma Ciang Bun, memandang dengan mata terbelalak. Kemudian, setelah
 se-mua ular pergi, hanya tinggal dua ekor bangkai ular, Lulung Ma lalu memberi isarat
 kepada Si Pemuda Jangkung yang segera mengambil dua bangkai ular dan menyimpannya
 dalam sebuah keranjang. Kemudian Lulung Ma menjura ke arah Gangga Dewi, tentu saja
 otomatis ke arah Suma Ciang Bun.
 "Harap dimaafkan, karena ada yang menjerit ketakutan, ular-ular itu menjadi panik. Masih
 untung ada Enghiong (Orang Gagah) yang membantu kami mengusir ular-ular itu sehingga
 tidak ada korban gigitan. Untuk menyatakan maaf, biarlah murid saya ini bermain silat, dan
 kami akan memperlihatkan tari silat yang je-lek dan hanya sekedar menghibur anda sekalian."
 Akan tetapi sebelum Si Jangkung itu bangkit berdiri, dari tempat para penari yang tadi
 minggir, berlompatan dua orang yang tadi juga menjadi pemain musik. Mereka berusia
 kurang lebih tiga puluh tahun, yang seorang bertubuh ge-muk, yang ke dua kurus, akan tetapi
 keduanya tinggi, setinggi raksasa hitam itu dan nampak mereka itu memiliki tenaga otot yang
 kuat. Melihat mereka, Lulung Ma tersenyum dan kembali menjura kepada para tamu. "Agaknya
 dua orang pembantu kami ini ingin pula memperlihatkan kepandaian mereka untuk
 menghibur para tamu. Badhu dan Sagha, silakan!"
 Dua orang itu memberi isarat kepada kawan-kawan mereka dan beberapa orang datang
 menggotong sebuah keranjang terisi batu-batu sebesar kepala orang.
 Setelah meletakkan keranjang itu di de-pan Badhu dan Sagha, mereka turun kembali.
 Badhu yang gemuk dengan perut gen-dut itu berdiri tegak dengan kedua lutut agak ditekuk,
 memasang kuda-kuda dan memberi isarat kepada kawannya yang tinggi kurus bernama
 Sagha. Orang ini lalu mengambil sebongkah batu dari ke-ranjang, lalu sekuat tenaga dia
 menghantamkan batu itu ke arah perut temannya. Perut yang gendut itu menerima hantam-an
 batu. "Bukkk!" Pukulan itu membalik. Sa-gha mundur sejauh dua meter lebih, lalu sekuat tenaga
 dia melontarkan batu itu ke arah perut kawannya.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 293 "Bukk!!" Batu itu mengenai perut dan mental kembali ke arah Sagha yang me-nyambut
 dengan kedua tangan. Kemudian, Sagha melemparkan batu itu menghantam ke arah dada,
 paha, pundak, bahkan dari belakang mengenai punggung dan pinggul. Akan tetapi batu itu
 selalu mental kem-bali. Tentu saja semua orang menjadi kagum. Tubuh Si Gendut itu
 memang kebal. Kemudian, Badhu juga mengambil sebongkah batu dan menghantamkan batu
 ke arah Sagha yang kurus. Si Kurus ini menyambut dengan batu di tangannya.
 "Darr....!" Dua buah batu itu pecah berhamburan. Mereka mengambil batu lagi dan kini
 mereka saling hantam, bukan saja di tu-buh, melainkan di kepala. Akan tetapi setiap kali batu
 itu dihantamkan ke kepala lawan, batu itu pecah berhamburan! Tentu saja para penonton
 menyambut dengan sorak-sorak dan tepuk tangan karena pertunjukan ini benar-benar
 me-negangkan dan juga mengagumkan. Ba-gaimana kepala orang dapat begitu kebal dan
 keras sehingga batu besar pun pecah ketika bertemu kepala!
 Setelah sepuluh buah batu besar itu pecah, kedua orang itu lalu mengadu kekuatan dengan
 bergulat! Badhu yang gendut berhasil memegang pinggang Sa-gha yang kurus dengan kedua
 tangan, mengerahkan tenaga mengangkat tubuh kurus itu ke atas, memutar-mutarnya dan
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membanting sekuat tenaga.
 "Bukkk....!" Tubuh kurus itu terbanting dan kalau orang lain dibanting sekeras itu, tentu akan
 patah-patah semua tulangnya. Akan tetapi seperti sebuah bola saja, Si Kurus sudah meloncat
 bangun kembali, dan kini dia menyergap Si Gen-dut, menangkap lengannya, dipuntir ke
 belakang dan dari belakang tubuhnya dia membanting kawannya itu dengan sepe-nuh tenaga.
 "Bukkk!" Tubuh gendut gemuk itu terbanting dan semua orang merasa kha-watir. Akan
 tetapi seperti juga temannya tadi, segera dia bangkit kembali, seolah--olah bantingan tadi
 sama sekali tidak dirasakannya.
 Sekarang mereka tidak bergulat lagi, melainkan berkelahi saling pukul dan saling tendang.
 Dan agaknya mereka ingin memamerkan kecepatan gerakan mereka. Pukulan dan tendangan
 mereka elakkan atau tangkis, dan yang sempat mengenai tubuh pun tidak dirasakan ka-rena
 keduanya memiliki kekebalan. Demikian serunya perkelahian itu sehingga memancing tepuk
 sorak para penonton yang merasa kagum bukan main karena mereka seperti melihat dua ekor
 harimau bertarung. Memang hebat sekali perkela-hian itu, apalagi diiringi musik tambur dan
 genderang yang dipiikul secara kuat oleh Lulung Ma dan pemuda jangkung. Akhirnya,
 Lulung Ma yang memukul gen-dang memberi isarat dengan pukulan gendangnya yang
 semakin lambat dan lirih dan akhirnya dua orang yang sedang bertanding itu pun
 menghentikan pertan-dingan mereka. Dengan sikap bangga dan dada terangkat, Si Gendut
 yang bernama Badhu lalu memandang kepada para tamu dan para penonton.
 "Saudara sekalian, kurang menarik kalau hanya saya dan adik saya Sagha ini yang bertanding
 karena kami berdua sama kuat dan tidak ada yang dapat menang atau kalah. Kita semua tahu
 betapa kuatnya bangsa kita yang hidup di sekitar Pegunungan Himalaya ini, ti-dak dapat
 disamakan dengan mereka yang tinggal di timur, yang kerempeng dan berpenyakitan. Akan
 tetapi, kalau ada di antara saudara yang mengaku orang timur dan merasa memiliki
 kepan-daian yang katanya dimiliki orang-orang di dunia persilatan, silakan maju. Mari kita
 ramaikan pertemuan ini dengan main-main sebentar untuk membuka mata kita siapa
 sesungguhnya yang lebih kuat antara orang-orang di Pegunungan Himalaya!" Dengan sikap
 menantang Badhu dan Sagha berdiri di situ sambil memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li,
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 294 juga Suma Ciang Bun. Jelas bahwa biar dia tidak menantang secara langsung, akan tetapi di
 tempat itu yang jelas merupakan pendatang dari timur adalah mereka bertiga itu.
 Sian Lun dan Sian Li, saling pandang dan dari pandang mata itu mereka ber-sepakat untuk
 menyambut tantangan itu. Sian Li menoleh kepada nenek Gangga Dewi dan bertanya,
 "Bolehkah kami me-layani tantangan mereka?"
 Gangga Dewi dan suaminya saling pandang. Diam-diam Gangga Dewi juga marah melihat
 sikap dua orang pegulat itu yang dianggapnya terlalu sombong dan merendahkan orang-orang
 Han de-ngansengaja. Ia mengangguk dan menja-wab. "Biar Sian Lun yang maju lebih dulu
 menghadapi Badhu, dan engkau nanti yang menghadapi Sagha."
 Sian Lun yang sejak tadi sudah men-dongkol sekali, segera bangkit dan sekali menggerakkan
 kaki, tubuhnya sudah me-layang ke depan dua orang itu.
 "Aku orang dari timur yang kerem-peng dan lemah ingin mencoba kehebatan seorang di
 antara kalian!" kata Sian Lun dengan suara lantang.
 Suasana menjadi tegang. Semua orang tahu bahwa pemuda tampan itu adalah anggauta
 rombongan Puteri Gangga Dewi dan dari pakaiannya saja jelas dapat diketahui bahwa dia
 seorang pemuda Han.
 Kalau saja Sian Lun bukan anggauta rombongan Puteri Gangga Dewi, tentu Badhu sudah
 mengejek dan menghinanya. Akan tetapi mengingat akan kehadiran puteri Bhutan itu, Badhu
 tidak berani bersikap kasar dan dia pun menjura se-bagai penghormatan.
 "Saya tidak berani menentang Kongcu, dan yang saya maksudkan adalah mereka yang
 datang dari timur daerah Se-cuan. Akan tetapi kalau tidak ada yang berani maju kecuali
 Kongcu baiklah saya akan layani Kongcu main-main sebentar."
 Sagha tersenyum dan Si Tinggi Kurus ini lalu mengundurkan diri ke rombongan penari dan
 pemain musik tadi. Kini Lu-lung Ma dan pemuda penabuh tambur memukul tambur dan
 gendang dengan gencar dan mereka kelihatan gembira sekali. Sian Li yang memandang
 rendah dua orang pegulat itu, berseru dengan lantang.
 "Suheng, jangan sampai membunuh orang!"
 Sian Lun mengangguk, dan mendengar ucapan gadis itu, Lulung Ma dengan ta-ngan masih
 menabuh gendang, menjawab. "Nona Dewi Bangau Merah, pembantuku Badhu ini belum
 pernah dikalahkan lawan bagaimana mungkin dia dapat dibunuh" Dan jangan khawatir, kami
 juga tidak mau membunuh orang dalam pesta ini, hanya sekadar menghibur dengan
 pertun-jukan menarik. Badhu, mulailah!"
 Dua orang itu sudah saling berhadap-an. Sian Lun bersikap tenang walaupun hatinya panas
 mendengar ucapan Lulun Ma tadi. Namun dia sebagai murid suami isteri yang sakti, tahu
 bahwa membiar-kan diri diseret perasaan amat merugikan. Dia tetap tenang dan waspada, dan
 dia mengikuti setiap gerakan lawan dengan pandang matanya yang mencorong tajam.
 Bagaikan seekor biruang, Badhu yang gendut itu mengangkat kedua tangan ke atas kanan kiri
 kepala, lalu membuat langkah perlahan mengitari Sian Lun. Pemuda itu mengikuti dengan
 gerakan kakinya tetap waspada.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 295 "Kongcu, silakan menyerang lebih du-lu," kata Badhu yang memandang rendah pemuda
 yang nampak lemah itu.
 "Badhu, engkau yang memantang, eng-kau pula yang harus menyerang lebih dulu," jawab
 Sian Lun dengan sikap tetap tenang.
 "Ha-ha-ha, engkau terlalu sungkan, Kongcu. Baiklah, aku akan menyerang lebih dulu. Awas
 seranganku ini!" Tangan kirinya menyambar dari atas, akan teta-pi Sian Lun membiarkan saja
 karena dia tahu dari gerakan pundak lawan bahwa tangan kiri itu hanya menggertak saja,
 sedangkan yang sungguh menyerang ada-lah tangan kanan yang menyambar ke arah
 pundaknya. Agaknya lawan terlalu memandang rendah kepadanya, disangka-nya akan begitu
 mudah dia tangkap!
 Hanya dengan memutar tubuh sedikit saja, tubrukan tangan kanan itu menge-nai tempat
 kosong. Badhu menyusulkan serangannya bertubi-tubi. Kedua tangan-nya bagaikan cakar
 biruang menyambar-nyambar untuk menyengkeram dan me-nangkap. Sian Lun maklum
 bahwa orang ini memiliki keahlian dalam ilmu gulat, maka dia harus menjaga agar jangan
 sampai dia dapat ditangkap. Tangkapan atau cengkeraman seorang ahli gulat dapat berbahaya.
 Maka, dia pun menge-lak selalu dan kadang menangkis dari samping tanpa memberi
 kesempatan ke-pada jari-jari tangan yang panjang itu untuk menangkapnya.
 Ketika Badhu yang mulai penasaran karena semua sambaran tangannya tak pernah berhasil
 itu menubruk seperti se-ekor harimau, dengan kedua lengan di kembangkan. Sian Lun
 menggeser kakinya ke kiri dan tubuhnya mengelak dengan lincah dan begitu tubuh Badhu
 lewat di sebelah kanannya, dia pun mengerahkan tenaga dan menghantam ke arah lambung
 lawan. "Desss....!" Tubuh lawan itu terbanting keras dan bergulingan, akan tetapi seperti bola karet,
 dia sudah bangkit kembali dan sama sekali tidak kelihatan sakit, bahkan meloncat dan
 menubruknya lagi. Sekali ini Badhu marah karena biarpun dia tidak terluka, namun dia telah
 terbanting dan hal ini bisa dianggap bahwa dia kalah oleh para penonton. Kini dia tidak hanya
 menubruk, bahkan mencengkeram ke arah kepala.
 Dia memang kebal, pikir Sian Lun. Kembali dia mengelak dan sekali ini, dia tidak mau
 menggunakan tenaga untuk memukul lawan begitu saja, melainkan dia menggunakan tangan
 yang dibuka, dan tangan itu menampar ke arah muka orang. Yang diarah adalah hidung dan
 mata karena yakin bahwa betapa pun kebal kepala itu, kalau hidung dan mata tidak mungkin
 dilatih kekebalan.
 "Plakkk!"
 Tubuh itu tidak terguncang, akan tetapi Badhu mengeluarkan seruan kesakitan dan kedua
 tangannya menutupi mukanya. Ketika dia menurunkan tangannya, hidungnya menjadi biru
 dan sebelah matanya juga dilingkari warna menghitam!
 Badhu adalah orang kasar yang biasa mempergunakan kekerasan. Kalau dia biasa
 menggunakan otaknya, tentu dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawanyang jauh lebih
 tinggi ilmunya dibandingkan dia yang hanya menggunakan kekuatan otot dan keras serta
 tebalnya tulang dan kulit. Kini, dia menjadi marah sekali dan lupa diri. Dia menggereng
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 296 seperti harimau terluka dan dia menyerang Sian Lun dengan liar dan membabi-buta. Serangan
 membabi-buta seperti itu malah berbahaya, pikir Sian Lun. Maka dia pun menggunakan
 kelincahan tubuhnya, mengelak sambil membalas dengan pukulan-pukulan tangan terbuka
 yang ditujukan ke arah bagian badan yang tidak mungkin dilatih kekebalan. Berkali-kali
 tangannya menampar daun telinga, sambungan siku dan pergelangan tangan, kakinya
 menen-dang ke arah sambungan lutut kedua kaki lawan.
 "Brukk....!" Sekali ini Badhu jatuh dan biarpun dia berusaha untuk bangkit, dia jatuh kembali
 karena sambungan kedua lututnya telah berpindah tempat! Para penonton menahan napas dan
 suasana menjadi tegang bukan main. Tidak ada yang berani bertepuk tangan karena selain
 mereka merasa bangga kepada Badhu juga mereka masih tidak dapat percaya bahwa seorang
 pemuda yang kelihatan lemah itu benar-benar mampu membuat Badhu bertekuk lutut tanpa
 mengalami cidera sedikit pun, bahkan belum pernah tersentuh tangan raksasa gendut itu!
 Terdengar tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan adalah Sian Li! Biarpun hanya ia
 seorang yang bertepuk tangan, akan tetapi karena ia sengaja mengerahkan tenaganya, maka
 suara te-puk tangannya amat nyaring.
 Sagha sudah membawa teman-teman pemain musik untuk membantu Badhu meninggalkan
 gelanggang pertandingan dan dia sendiri menghadapi Sian Lun dengan muka merah.
 "Kongcu hebat dapat mengalahkan Kakakku, akan tetapi aku pun ingin mengadu ilmu
 denganmu. Bersiaplah!"
 Sian Lun tentu saja tidak takut. akan tetapi pada saat itu nampak berkelebat bayangan merah.
 "Suheng, jangan tamak! Yang satu ini bagianku!"
 Sian Lun memandang kepada sumoinya dan tersenyum.
 "Hati-hati Sumoi, jangan kesalahan tangan membunuh orang, katanya dan dia pun kembali
 ke tempat duduknya. Semua tamu dan penonton kini memandang kepada Sian Li dan karena
 mereka tadi sudah kagum kepada gadis jelita itu, kini melihat gadis itu berani manghadapi dan
 hendak melawan seorang jagoan seperti Sagha, tentu saja mereka semakin kagum, juga
 perasaan hati me-reka tegang. Bagaimana kalau kulit yang halus mulus itu sampai lecet,
 tulang yang kecil lembut itu sampai patah-patah. Tentu saja tidak ada yang mengira bahwa
 tingkat kepandaian dara itu bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian pemuda tampan
 yang tadi mempermainkan dan mengalahkan Badhu!
 Sagha sendiri terkenal jagoan. Karena dia merasa bangga kepada diri sendiri dan jarang
 menemui tandingan, maka kini dihadapi seorang dara sebagai calon lawan, tentu saja dia
 merasa sungkan dan tidak enak sekali.
 "Nona, aku Sagha adalah seorang laki laki yang gagah perkasa dan tak pernah mundur
 menghadapi lawan yang bagaima-napun juga. Akan tetapi, bagaimana mumgkin aku berani
 melawan seorang dara yang masih setengah kanak-kanak seperti Nona" Seluruh dunia akan
 mentertawakan aku, menang atau pun kalah. Lebih baik aku melawan lima orang laki-laki
 yang mengeroyokku daripada harus bertanding melawan seorang dara rema-ja!"
 Sian Li tersenyum mengejek. "Sagha, katakan saja engkau takut melawan aku. Kalau engkau
 takut, berlututlah dan ca-but semua omongan kalian yang sombong tadi, yang mengejek dan
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 297 menghina para pendekar dari dunia persilatan di timur! Engkau harus menarik ucapanmu tadi
 dan mohon maaf, baru aku dapat mengampunimu!"
 Mereka yang memahami bahasa Han, menjadi bengong mendengar ucapan gadis itu. Betapa
 beraninya! Dan mereka yang tidak paham, cepat bertanya kepada te-man mereka yang
 mengerti dan semua orang kini memandang kepada Sian Li dengan kaget dan heran. Seorang
 gadis yang usianya belum dewasa benar berani bersikap demikian meremehkan terhadap
 seorang jagoan seperti Sagha yang tadi sudah mendemontrasikan kekebalan dan kehebatan
 tenaganya! Baru kepala dan tubuh yang lain saja demikian kuatnya, kepalanya mampu
 membikin pecah batu, apalagi tangannya. Sekali sentuh saja, mungkin kepala gadis remaja itu
 akan remuk! Mendengar ucapan Sian Li, Sagha mengerutkan alisnya dan mukanya menja-di merah sekali.
 Kalau bukan seorang gadis yang mengucapkan kata-kata tadi, tentu telah dihantamnya. Akan
 tetapi dia berhadapan dengan seorang gadis anggauta rombongan Sang Puteri Gangga Dewi
 pula, tentu saja dia tidak berani sembarangan.
 "Nona, mungkin saja Nona pernah mempelajari ilmu silat, akan tetapi eng-kau bukan
 lawanku. Aku tidak takut ke-padamu, melainkan takut kalau dlterta-wakan orang gagah
 sedunia. Pula, bagai-mana aku berani bertanding dengan eng-kau yang datang bersama Yang
 Mulia Puterl Gangga Dewi" Aku takut menda-pat marah dari beliau."
 Gangga Dewi yang mendengar ucapan Sagha itu tersenyum. Ia sudah tahu bah-wa Sian Li
 telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat, bahkan tingkatnya lebih tangguh dibandingkan
 suhengnya. Oleh karena itu, tentu saja ia merasa yakin bahwa Sian Li akan mampu
 menandingi dan bahkan mengalahkan Sagha dengan mudah. Juga ia ingin orang yang
 som-bong itu menerima hajaran karena telah berani mengejek dan menghina para pen-dekar
 Han. "Sagha, engkau boleh bertanding me-lawan Si Bangau Merah. Kalau engkau mampu
 menang, baru aku mengaku bahwa engkau memang seorang jagoan yang hebat."
 Sagha memberi hormat kepada Gang-ga Dewi. "Maafkan saya. Akan tetapi bagaimana kalau
 hamba kesalahan tangan dan melukai Nona ini" Hamba tidak ingin Paduka nanti marah
 kepada hamba."
 Gangga Dewi tertawa. "Aku tidak akan marah dan semua orang yang bera-da di sini menjadi
 saksinya."
 "Terima kasih, Yang Mulia," kata Sagha dan kini dia menghadapi Sian Li. "Baik, Nona. Mari
 kita main-main seben-tar."
 "Tidak usah main-main, keluarkan se-mua kepandaianmu dan seranglah sung-guh-sungguh
 karena aku akan meroboh-kanmu!" kata Sian Li.
 Hemm, bocah ini terlalu memandang rendah kepadaku, pikir Sagha marah. Dia pun tidak
 sungkan-sungkan lagi dan me-ngambil keputusan untuk membikin malu gadis itu di depan
 umum, misalnya de-ngan merobek baju itu!
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 298 "Nona, jaga seranganku ini!" Dan ke-dua tangannya yang besar dengan lengan yang panjang
 itu sudah bergerak cepat menyambar ke arah tubuh dara remaja itu tanpa sungkan lagi.
 Dibandingkan Badhu, Sagha yang tinggi kurus ini me-mang lebih sigap dan cepat.
 "Hyaaaahhhh....!" Dia membentak sam-bil menyerang.
 "Plakkk!" Kedua telapak tangannya saling bertemu dari kanan kiri dan me-ngeluarkan bunyi
 keras ketika terkaman-nya itu luput, dan gadis yang tadi berada di depannya itu telah lenyap.
 Cepat dia membalik dan kembali kedua lengan pan-jang itu bergerak seperti dua ekor ular,
 akan tetapi kembali terkamannya menge-nai tempat kosong. Makin cepat dia me-nyerang,
 semakin cepat pula Sian Li bergerak sehingga semua penonton men-jadi bengong saking
 kagumnya. Tubuh gadis itu lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah berkelebatan
 dengan amat cepatnya, menyambar-nyambar di antara terkaman dan cengkeraman kedua
 tangan Sagha. Tiba-tiba, ketika Sian Li menganggap sudah cukup lama mempermainkan lawan, ia berseru
 nyaring dan jari telunjuk kiri-nya meluncur bagaikan patuk burung bangau mematuk dengan
 cepat seperti kilat menyambar."Haiiitttt....! Tukkk!" Telunjuk kiri itu menotok dua kali ke
 pundak dan dada dan seketika Sagha tidak mampu berge-rak karena dia telah menjadi korban
 ilmu totok ampuh It-yang Sin-ci yang dipelajari gadis itu dari Yok-sian Lo-kai. Sian Li juga
 telah menguasai ilmu totok lain seperti Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang hebat dari
 paman kakeknya, akan tetapi ia menggunakan It-yang Sin-ci untuk mempraktekkan ilmu yang
 baru saja ia pelajari dari Raja Obat itu. Dan pada saat lawan tak mampu bergerak, kaki Sian Li
 menyambar ke arah lutut dan Sagha yang tidak mampu mengerah-kan tenagalagi roboh
 terpelanting. Pada saat lawan terpelanting itu, Sian Li membebaskan kembali totokannya.
 Para penonton kini tidak mampu lagi menahan kekaguman dan kegembiraan mereka melihat
 betapa Dewi Bangau Merah telah benar-benar mampu mero-bohkan Sagha! Terdengar tepuk
 sorak riuh menyambut kejatuhan Sagha.
 "Hemmm, mana kepandaianmu yang membuat engkau sombong dan mengejek para
 pendekar dari timur" Hanya sebegi-ni saja?" Sian Li mengejek dengan suara lantang, dan
 kembali terdengar orang menyambut dengan suara riuh. Wajah Sagha sebentar pucat sebentar
 merah dari dia meloncat berdiri.
 "Aku belum kalah!" bentaknya dan dia pun menyerang, kini bukan ingin me-nangkap dan
 merobek baju gadis itu, melainkan memukul dan menendang de-ngan dahsyat! Sagha sudah
 marah sekali dan lupa bahwa yang dilawannya hanya seorang dara remaja. Dia menyerang
 bukan lagi untuk mencari kemenangan, melainkan untuk membunuh!
 Namun, dia seperti mengamuk dan menyerang bayangan saja. Semua pukulan cengkeraman
 dan tendangannya hanya mengenai udara kosong sampai terdengar suara bersiutan. Tiba-tiba,
 begitu melihat kesempatan baik, kembali jari telunjuk tangan kiri gadis itu meluncur dan
 se-perti tadi, seketika tubuh Sagha tidak dapat dia gerakkan dan sekali ini, sambil membentak
 nyaring Sian Li menendang atau mendorong dengan kakinya sambil mengerahkan tenaga dan
 tubuh tinggi kurus itu terlempar keluar dari panggung dan jatuh menimpa kawan-kawannya,
 yaitu para penari dan penabuh musik di mana terdapat pula Badhu yang telah dikalahkan Sian
 Lun! Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 299 Tepuk tangan dan sorak yang riuh menyambut kemenangan Sian Li ini. Akan tetapi ketika
 Sian Li berjalan kem-bali ke tempat duduknya, suara tambur dan gendang terhenti tiba-tiba
 dan kini Lulung Ma dan pemuda tampan jangkung telah berdiri berdampingan sambil
 berto-lak pinggang. Lulung Ma mengeluarkan teriakan yang mengatasi keriuhan di situ,
 suaranya nyaring sekali dan terdengar oleh semua orang.
 "Saudara sekalian! Dua orang pemban-tu kami telah kalah karena mereka me-mang bodoh.
 Sekarang, kami berdua me-nantang siapa saja yang memiliki kepan-daian untuk mengadu
 ilmu di sini. Kami menantang semua dan siapa saja, tidak terkecuali!"
 Pandang mata Lulung Ma ditujukan kepada Suma Ciang Bun, sedangkan pan-dang mata
 pemuda jangkung itu ditujukan kepada Liem Sian Lun! Biarpun mereka tidak menuding, jelas
 bahwa dua orang Han itulah yang mereka tantang!
 Tiba-tiba Gangga Dewi yang sudah berdiri seperti yang lain,menuding ke arah Lulung Ma
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan terdengar suaranya yang lembut namun lantang. "Lulung Ma, sikapmu menunjukkan
 bahwa engkau dan orang-orangmu ini aga
 
^