Kisah Si Bangau Merah 11

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


knya para penyelun-dup yang hendak mengacau di
 Bhutan! Menyerahlah untuk kami tawan dan kami periksa!"
 Tiba-tiba Lulung Ma mengubah sikap-nya yang tadi hormat kepada puteri itu. "Gangga
 Dewi, engkau puteri Bhutan yang mengkhianati bangsa sendiri, ber-sekongkol dengan orang-
 orang Han dari timur! Engkau yang sepatutnya ditawan!"
 Dan tiba-tiba raksasa hitam itu meloncat ke tempat duduk kehormatan, diikuti oleh pemuda
 jangkung yang juga sekali menggerakkan kaki sudah melayang ke situ. Lulung Ma menerjang
 ke arah Gangga Dewi sedangkan pemuda jangkung itu menerjang ke arah Liem Sian Lun!
 "Jahanam busuk!" Suma Ciang Bun meloncat dan melindungi isterinya. Meli-hat betapa
 Lulung Ma menyerang Gangga Dewi dengan dorongan kedua telapak tangan terbuka, Ciang
 Bun memapaki dengan kedua telapak tangannya pula.
 "Desss....!" Dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya Ciang Bun ter-huyung, akan
 tetapi Lulung Ma juga mundur dua langkah. Dari pertemuan tenaga ini saja dapat diketahui
 bahwa Si Raksasa Hitam itu amat kuat dan memiliki sin-kang yang ampuh dan dapat
 menandingi kekuatan cucu Pendekar Sak-ti dari Pulau Es itu! Gangga Dewi me-lolos sabuk
 sutera putihnya dan cepat membantu suaminya dan suami isteri itu kini mengeroyok Lulung
 Ma. Gangga De-wi menggunakan sabuk sutera, Suma Ciang Bun sudah menghunus sepasang
 pedangnya yang bersinar putih, sedangkan Lulung Ma juga sudah mengeluarkan senjatanya
 yang aneh dan dahsyat, yaitu sepasang roda atau gelang besar yang dipasangi sirip-sirip tajam
 dan berwarna kuning keemasan.
 Sementara itu, pemuda jangkung tu-kang tambur tadi sudah menyerang Sian Lun. Tentu saja
 Sian Lun segera me-nyambut serangannya dengan tangkisan sambil mengerahkan tenaganya.
 "Dukkk!" Pertemuan dua lengan mem-buat Sian Lun hampir terjengkang maka mengertilah
 Sian Lun bahwa pemuda jangkung itu benar seperti dugaannya tadi, bukan orang
 sembarangan dan me-mlliki tenaga sin-kang kuat. Sama sekali tidak bisa disamakan dengan
 Badhu dan Sagha yang hanya mengandalkan tenaga otot dan tulang, tenaga kasar. Pemuda
 jangkung ini memiliki gerakan silat yang lihai, dan dalam pertemuan tenaga per-tama kali
 tadi, Sian Lun jelas kalah kuat. Oleh karena itu, gadis yang lincah dan galak ini meloncat ke
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 300 depan dan sambil mengeluarkan bentakan, ia sudah menye-rang dengan ilmu yang
 dipelajarinya dari Suma Ceng Liong dan yang paling disu-kainya, yaitu ilmu totok Coan-kut-
 ci (Jari Penembus Tulang).
 "Keparat, jangan menjual lagak di sini!" bentak Sian Li dan serangannya itu membuat Si
 Pemuda Jangkung terke-jut. Akan tetapi dia masih dapat meng-hindarkan diri dengan
 melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik tiga kali.
 "Nona Merah cantik sekali. Mundurlah agar kulitmu yang putih mulus tidak sampai lecet,"
 pemuda itu berkata dan ternyata penabuh musik ini seorang pe-muda yang selain lihai ilmu
 silatnya, juga pandai bicara dan lincah.
 Wajah gadis itu menjadi semerah pa-kaiannya, matanya melotot dan tanpa banyak cakap lagi
 Sian Li sudah mener-jang lagi dengan tusukan-tusukan jari tangannya yang amat berbahaya.
 Sian Lun juga membantu sumoinya dan pemu-da ini bahkan sudah mencabut pedang dan
 menyerang pemuda jangkung dengan ganasnya.
 Si Pemuda Jangkung terkejut. Kiranya dua orang pengeroyoknya itu amat ber-bahaya, maka
 setelah berkali-kali dia berloncatan mengelak, dia lalu melolos senjatanya, yaitu sehelai sabuk
 rantai baja yang kedua ujungnya dipasangi pisau tajam. Dia memutar senjata itu dan dua
 batang pisau menyambar-nyambar ke arah Sian Li dan Sian Lun bagaikan dua ekor burung
 walet menyambari belalang.
 Sian Li juga sudah mencabut pedang-nya dan bersama suhengnya, ia mengero-yok pemuda
 jangkung. Bagaimanapun lihainya pemuda jangkung itu, kini dia menghadapi pengeroyokan
 dua orang mu-rid dari Suma Ceng Liong, cucu dari Pendekar Super Sakti Pulau Es yang
 pa-ling tangguh, maka sebentar saja dia sudah terdesak hebat dan kedua pisau di ujung rantai
 bajanya hanya mampu melindungi dirinya tanpa mampu memba-las serangan lawan.
 Lulung Ma ternyata memang lihai bukan main. Sepasang senjatanya yang berbentuk gelang
 besar bersirip itu selain dapat dipegang kedua tangan untuk me-nangkis dan menghantam
 lawan, juga da-pat dia lontarkan ke arah lawan. Gelang itu berputar menyambar ke arah
 lawan, dan kalau lawan mengelak, gelang itu berputar dan membalik kembali ke ta-ngannya.
 Beberapa kali Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi nyaris terkena sambar-an senjata yang
 istimewa itu. Namun, kedua suami isteri ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu
 kepandaian tinggi, keturunan orang-orang sakti, maka beta-papun dahsyatnya permainan
 sepasang ge-lang atau roda di tangan Lulung Ma, tetap saja mereka dapat mempertahankan
 diri, bahkan serangan balasan mereka pun seringkali membuat Lulung Ma menjadi repot
 sekali. "Kepung tempat ini, tangkap mereka semua. Mereka mata-mata musuh!" Gangga Dewi
 berteriak lantang. Mendengar aba-aba ini, pasukan keamanan dan para petugas di dusun itu
 lalu serentak maju mengepung dan mengeroyok. Hanya Lulung Ma, pemuda jangkung dan
 kedua orang pembantu mereka tadi, yaitu Badhu dan Sagha yang melakukan perlawanan. Para
 pemusik lain dan juga para penyanyi dan penari berkelompok di su-dut dengan ketakutan.
 Penonton menjadi panik, apalagi ketika empat orang yang dikeroyok itu berloncatan ke
 tengah penonton. Beberapa orang penonton roboh den ketika Suma Ciang Bun, Gangga Dewi,
 Sian Lun dan Sian Li melakukan pengejaran, ampat orang itu telah lenyap di antara penonton.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 301 Para pemusik ketika ditanya, menja-wab dengan ketakutan bahwa mereka tidak tahu, bahkan
 tidak mengenal empat orang itu. Pamimpin rombongan itu, seorang kakek yang lemah,
 akhirnya me-ngatakan bahwa dia terpaksa menerima empat orang itu sebagai anggauta
 rombongan. Kenapa engkau menerima mereka?" Gangga Dewi bertanya.
 "Hamba takut menolak, mohon Paduka mengampuni hamba...." kata kakek itu ketakutan.
 Hamba sama sekali tidak tahu bahwa mereka adalah pemberontak-pem-berontak, tidak tahu
 bahwa mereka adalah orang-orang Nepal yang hendak mengacau."
 "Katakan, bagaimana engkau bertemu dengan mereka dan siapa pula mereka itu," kata pula
 Gangga Dewi. "Pada malam hari ketika hamba me-nerima perintah untuk meramaikan pe-nyambutan
 terhadap Paduka, hamba didatangi kakek yang mengaku bernama Lulung Ma itu. Sebelumnya
 hamba me-ngenal dia sebagai seorang pendeta yang bernama Lulung Lama, seorang
 pemimpin dari para pendeta Lama Jubah Hitam di Tibet. Adapun pemuda jangkung itu adalah
 muridnya, seorang peranakan Han-Tibet yang bernama Cu Ki Bok. Mereka itu.... aughhh....!"
 Sian Li yang bergerak paling cepat, sudah meloncat ke kiri dari mana datangnya pisau yang
 terbang dan menembus dada kakek pemimpin rombongan pemusik itu. Ia masih sempat
 melihat berkelebatnya bayangan di antarapenon-ton. Ia mengejar terus, akan tetapi kare-na
 banyak penonton yang kembali menja-di panik dan lari ke sana- sini, ia kehilangan jejak
 bayangan itu. Akan tetapi melihat bayangan itu bertubuh jangkung, ia dapat menduga bahwa
 bayangan yang melempar pisau membunuh kakek pemim-pin rombongan pemusik yang
 sedang memberi keterangan itu tentulah pemuda jangkung pemukul tambur yang lihai tadi.
 Ketika ia kembali ke tempat tadi, di atas panggung, ternyata kakek itu telah tewas tanpa
 mampu melanjutkan keterangannya. Gangga Dewi mengepal tinju dan ia mengajak suaminya
 dan dua orang muda-mudi itu untuk segera melanjutkan perjalanan ke kota raja Thim-phu
 karena ia harus segera melaporkan semua hal tyang terjadi itu kepada raja agar dikerahkan
 pasukan khusus untuk membasmi dan membersihkan jaringan mata-mata orang Nepal dan
 Tibet yang agaknya bersekongkol itu. Harus mengi-rim berita pula kepada Kerajaan Nepal
 dan para pimpinan Lama di Tibet ten-tang orang-orang Nepal Tibet yang hen-dak
 mengacaukan keadaan yang aman tenteram itu.
 Tan Sian Li dan suhengnya diterima dengan penuh keramahan dan kegembira-an oleh
 keluarga raja di Bhutan. Juga semua orang menyambut dengan bahagia bahwa Puteri Gangga
 Dewi telah bersua-mikan seorang pendekar yang gagah perkasa, keturunan Pendekar Super
 Sakti dari Pulau Es pula! Sebentar saja, semua orang mengenal dan mengagumi Si Ba-ngau
 Merah, julukan Sian Li. Selama seminggu tinggal di istana, kedua orang muda itu setiap hari
 dijamu dan disam-but penuh kehormatan dan keramahan.
 Setelah selama seminggu tinggal di istana Kerajaan Bhutan, Sian Li dan Sian Lun berpamit
 dari keluarga kerajaan itu. Mereka tidak berani tinggal terlalu lama di istana Bhutan, di mana
 mereka disam-but sebagai tamu agung itu karena me-reka harus sudah tiba kembali di rumah
 Suma Ceng Liong sebelum sin-cia (tahun baru). Selain itu, mereka juga ingin me-luaskan
 pengalaman dan akan melakukan perjalanan pulang melalui daerah Tibet.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 302 Dengan hati yang berat Gangga Dewi melepas Sian Li pergi. Ia telah merasa amat sayang
 kepada dara yang lincah itu dan ia memaksa Sian Li menerima bekal emas permata darinya.
 Selain itu, juga ia menyediakan dua ekor kuda ter-baik untuk mereka. Akan tetapi ketika
 Gangga Dewi hendak menyiapkan pasukan pengawal, Sian Li menolaknya.
 "Kami berdua dapat menjaga diri sen-diri, kenapa harus dikawal" Pula, penga-walan
 membuat perjalanan tidak menarik dan tidak leluasa," demikian Sian Li menolak dan
 akhirnya, Gangga Dewi, Suma Ciang Bun dan sebagian besar ke-luarga kerajaan mengantar
 keberangkatan dua orang muda itu sampai ke pintu gerbang kota raja.
 *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 Selain mendapatkan hadiah emas per-mata yang amat berharga, dan dua ekor kuda terbaik,
 juga mereka menerima sebuah peta penunjuk jalan. Dalam peta itu, yang dibuat oleh seorang
 ahli di istana Bhutan, disebutkan tempat-tempat yang akan mereka lalui dalam perjalanan ke
 timur melalui Tibet itu. Juga diterangkan akan bahaya-bahaya yang mung-kin mereka hadapi
 pada setiap tempat. Selain itu, Raja Bhutan berkenan mem-beri sebuah tanda yang terbuat dari
 su-tera yang dicap tanda kebesaran raja dan dengan tanda ini, kedua orang muda itu akan
 disambut oleh setiap rakyat di daerah Bhutan sebagai keluarga raja yang harus dihormati.
 Bahkan para pejabat di daerah Tibet pun akan mengenal tanda keluarga Raja Bhutan yang
 menjadi te-tangga mereka dan akan menghormatinya.
 Ternyata kemudian bahwa tanda ke-besaran ini amat ampuh dan membuat perjalanan Sian Li
 dan Sian Lun menjadi aman. Orang-orang Bhutan selalu me-nyambut mereka dengan penuh
 penghor-matan setiap kali Sian Li terpaksa mem-perlihatkan tanda itu kalau ada orang yang
 kelihatan curiga kepada mereka. Tanda kebesaran itu membuat mereka selalu disambut
 dengan hormat oleh para kepala dusun yang mereka lalui.
 Setelah melewati daerah perbatasan dan memasuki daerah Tibet, mereka tiba di derah yang
 tandus dan gersang. Mere-ka tahu dari peta bahwa daerah itu cu-kup jauh dan mereka harus
 melakukan perjalanan sehari penuh melewati daerah tandus itu sebelum tiba di dusun pertama
 di daerah yang subur. Oleh karena itu, sebelum melewati daerah ini, mereka telah membawa
 perbekalan makanan dan terutama minuman karena menurut ke-terangan dalam peta, di
 daerah itu, me-reka tidak akan dapat menemukan ma-kanan atau minuman bersih.
 Mereka berangkat pagi-pagi memasuki daerah tandus itu dan makin dalam me-reka
 memasuki daerah itu, semakin tan-dus tanahnya. Tidak ada tumbuh-tumbuh-an dapat hidup di
 tanah berbatu keras itu. Yang ada hanya batu dan pasir dan biarpun daerah itu masih cukup
 tinggi namun hawanya panas sekali. Mengerikan kalau melihat ke sekeliling sedemikian
 sunyinya. Apalagi manusia, seekor bina-tang pun tidak nampak. Bahkan burung-burung pun
 tahu bahwa daerah itu meru-pakan daerah maut, maka di angkasa pun tidak nampak adanya
 burung terbang.
 Benar-benar merupakan daerah yang mati, sunyi melengang dan mengerikan.
 Tepat pada tengah hari, mereka melihat sebuah gubuk dan karena sinar matahari menyengat
 kulit dengan hebatnya, Sian Li mengajak suhengnya untuk berhenti dan beristirahat sebentar
 di gubuk itu dan untuk makan roti dan minum air bekal mereka. Sebuah gubuk yang sudah
 tua, akan tetapi masih cukup kokoh. Ha-nya merupakan tempat berteduh, tanpa dinding,
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 303 hanya atap dan empat buah ti-hang saja. Akan tetapi di bawah atap itu terdapat batu datar
 yang dapat me-reka jadikan tempat duduk.
 "Lihat, ada tulisan di sini," kata Sian Lun sambil menunjuk ke lantai, dekar batu di mana
 mereka duduk. Sian Li memandang. Di lantai gubuk itu, di atas tanah berpadas keras, terdapat
 ukir-ukir-an beberapa buah huruf yang agakny-a dibuat dengan menggunaken senjata ta-jam.
 Huruf-huruf itu jelas dan juga indah, tentu diukir oleh seorang yang pandai menulis dan
 mengukir, seorang sasterawan atau seniman. Mereka lalu meneliti tulisan itu dan
 membacanya. "Andaikata aku seorang raja,
 aku rela menukar kerajaanku
 untuk segelas air jernih!"
 Hanya sedemikianlah ukiran huruf-huruf itu, akan tetapi itu saja lebih dari pada cukup. Sian
 Li dapat membayangkankeadaan Si Penulis itu. Tentu dia seorang yang kehabisan air, sedang
 kehausan, berada di tengah gurun tandus ini. Sungguh luar biasa sekali. Betapa berharganya
 segelas air jernih kalau se-dang dibutuhkan oleh orang yang kehausan! Lebih berharga
 daripada sebuah kerajaan!
 Betapa besarnya kasih sayang Tuhan Maha Pengasih kepada kita manusia.
 Berlimpah-limpah sudah anugerah dan berkah dari Tuhan kepada manusia. Be-tapa
 nikmatnya, betapa pentingnya, beta-pa berharganya segelas air, atau sepotong roti, seteguk
 hawa udara, bagi kehidupan kita. Dan semua sarana untuk mendapatkan itu demikian
 mudahnya. Sudah tersedia. Ada tanah, ada air, ada hawa udara, ada sinar matahari, ada benih! Puji
 syukur kepada Tuhan Maha Kasih! Berbahagialah manusia yang dapat menikmati semua
 anugerah yang berlim-pahan di sepanjang hidupnya ini.
 Namun sayang, nafsu angkara murka dan ketamakan membuat manusia buta akan semua
 berkah yang dilimpahkan dan sepatutnya disyukuri dan dinikmati ini. Kalau kita mendapatkan
 segelas air, naf-su angkara murka membisikkan celaannya mengapa tidak ada anggur,
 mengapa ha-nya ada air tawar. Dan lenyaplah sudah segala keindahan dan kenikmatan air itu,
 bahkan menjadi tidak enak, memuakkan, dan mengecewakan. Nafsu memang tak menganal
 puas, tak mengenal batas. Ka-lau ada anggur, bisikan beracun itu ma-sih terus berdengung
 agar kita dapat memperoleh yang lebih hebat lagi, yang lebih enak lagi, yang lebih nikmat
 lagi. Segala yang tidak ada, yang belum ter-jangkau tangan, selalu akan nampak lebih indah,
 lebih nyaman dan lebih menye-nangkan daripada apa saja yang sudah kita miliki.
 Mensyukuri keadaan yang ada pada kita, mensyukuri segala peristiwa sebagai suatu berkah,
 sebagai suatu yang sudah dikehendaki Tuhan, merupakan kunci kebahagiaan. Bukan berarti
 lalu mandeg dan lunglai, bersandar kepada kekuasaan Tuhan belaka. Sama sekali tidak!
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 304 Hidup berarti gerak, bekerja, berikhtiar, sekuat tenaga sekuat kemampuan. Ini berarti
 menjalankan semua alat yang disertakan oleh kekuasaan Tuhan kepada kita ketika kita
 diciptakan sebagai manusia. Kita pergunakan semua alat, anggauta tubuh, hati dan alat
 pikiran, kita gunakan demi kelangsungan hidup, demi mencu-kupi semua kebutuhan hidup.
 Bukan demi meuruti bisikan nafsu angkara murka sehingga untuk mencapai tujuan kita
 menghalalkan semua cara, melainkan kita kerjakan semua alat demi kepentingan hidup di
 dunia ini. Dan apa pun hasilnya, apa pun jadinya, dan peristiwa apa pun yang menimpa diri
 kita, kita terima tan-pa mengeluh! Semua kehendak Tuhan jadilah!
 Kita hanya dapat menyerah, kita ha-nya dapat menerima, dan kita wajib membantu pekerjaan
 kekuasaan Tuhan pada alam ini. Kita tidak akan dapat memperoleh padi tanpa berusaha,
 walau-pun Tuhan sudah menyediakan tanahnya, airnya, udaranya, sinar mataharinya,
 benihnya. Kita harus membantu mengerja-kan semua itu, mencangkul tanah, mena-nam
 benih, mengairi sawah, menuai, menjemur, menumbuk dan selanjutnya, sebelum hasilnya
 dapat menyambung ke-hidupan kita melalui makanan.
 Sian Li tertawa dan ia mengeluarkan bungkusan roti, memberi isarat kepada suhengnya untuk
 makan dan minum air bekal mereka. Melihat sumoinya tertawa lalu tersenyum-senyum
 sambil makan roti dan minum air, Sian Lun memandang heran.
 "Eh, Sumoi, kenapa engkau tertawa dan tersenyum-senyum?" Dia mengamati wajah yang
 kemerahan karena sinar ma-tahari itu sehingga kedua pipinya di ba-wah mata yang agak
 menjendul itu men-jadi merah sekali, mengamati bibir yang bergerak-gerak ketika makan roti.
 Betapa manisnya wajah sumoinya!
 Sian Li tersenyum dan sebelum men-jawab, ia minum dulu air dari botol air-nya. "Tulisan ini
 yang membuat aku ter-tawa," katanya sambil menunjuk ke arah lantai yang diukir huruf-huruf
 itu. "Apanya yang lucu Sumoi" Huruf-hu-ruf itu indah sekali, dan isinya menurut aku
 mengharukan dan menyedihkan, ke-napa engkau malah tertawa?"
 "Bukan karena lucu, Suheng, melain-kan karena senang dan gembira. Tulisan ini
 menyadarkan aku betapa bahagianya diriku. Di tempat ini aku tidak kehausan dan kelaparan,
 bukankah saat ini aku jauh lebih berbahagia dibandingkan seorang yang kaya raya seperti raja
 namun kehausan dan tidak mempunyai air?"
 "Engkau benar, Sumoi. Akan tetapi, andaikata yang menulis ini benar seorang raja, aku yakin
 dia tidak akan menulis seperti ini. Apa yang akan dilakukan seorang raja yang kehausan di
 tempat ini dan tidak mempunyai air" Tentu dia akan memerintahkan para pengawalnya untuk
 segera mencarikan air minum untuknya."
 Sian Li mengangguk. "Pendapatmu itu memang tepat, Suheng. Karena dia bukan raja, maka
 dia menulis seperti ini. Ma-nusia memang siap melakukan apa saja, bersikap yang aneh-aneh,
 kalau sedang menghendaki sesuatu yang dibutuhkannya.
 Sian Lun mengangguk. "Manusia selalu dipermaihkan oleh keinginannya, padahal yang
 diinginkan di dunia ini selalu ber-ubah-ubah dan banyak sekali macamnya. Seorang raja yang
 sakit mungkin mau menukar kerajaannya dengan kesehatan dan keselamatan nyawanya, akan
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 305 tetapi dalam keadaan sehat, dia akan memper-tahankan dan memperebutkan kedudukan-nya
 dengan taruhan nyawa!"
 Setelah melepaskan lelah dan selesai makan roti dan minum air jernih, kedua orang muda itu
 melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi baru beberapa me-nit mereka melarikan kuda,
 tiba-tiba mereka mendengar derap kaki kuda dari belakang. Sian Li yang berada di depan,
 menahan kudanya dan menoleh. Terpaksa Sian Lun menahan kudanya pula dan mereka
 melihat serombongan orang berkuda membalapkan kuda mereka dari arah belakang dan
 melewati mereka.
 Rombongan itu terdiri dari tujuh orang laki-laki yang berwajah bengis menyeramkan. Ketika
 mengenal dua orang di antara mereka adalah Badhu dan Sagha, dua orang Nepal yang
 menja-di anak buah Lulung Lama, Sian Lun segera berkata kepada sumoinya, "Sumoi, mari
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita kejar mereka!"
 Sian Li hendak membantah karena ia merasa tidak ada perlunya mengejar rombongan itu,
 akan tetapi karena Sian Lun sudah membalapkan kudanya, ia pun terpaksa melakukan
 pengejaran. "Suheng, tahan dulul....!" Serunya keti-ka ia dapat menyusul suhengnya. Sian Lun menahan
 kendali kudanya dan mere-ka berhenti.
 "Suheng, untuk apa kita mengejar mereka?" tanyanya.
 "Aih, bagaimanakah engkau ini, Sumoi. Bukankah dua orang di antara mereka adalah mata-
 mata yang mengacau di Bhutan" Kita harus membantu Kerajaan Bhutan, bukan?"
 "Hemm, Suheng. Kalau kita berada di Bhutan, tentu saja kita harus mem-bantu Bhutan. Akan
 tetapi, menantang para mata-mata dan pengacau di Bhutan bukanlah tugas kita, apalagi kita
 sedang melakukan perjalanan menuju pulang. Selain itu, juga engkau harus ingat bah-wa kini
 kita tidak berada di daerah Bhu-tan lagi, melakukan daerah Tibet."
 Mendengar ucapan sumoinya, baru Sian Lun sadar bahwa dia telah terburu nafsu. Dia
 mengangguk maklum, lalu berkata, "Betapapun juga, karena kita juga melakukan perjalanan
 searah dengan mereka tadi, tiada salahnya kalau kita diam-diam memperhatikan dan
 menyeli-diki, apa yang hendak mereka lakukan. Setidaknya, kita dapat mencegah per-buatan
 mereka yang akan merugikan Bhutan, tanpa menunda perjalanan kita. Bagaimana
 pendapatmu, Sumoi?"
 Gadis itu mengangguk. "Tentu saja, Suheng. Aku pun hanya ingin mengingat-kanmu agar
 kita berhati-hati. Perjalanan masih jauh dan kita tidak mengenal daerah ini."
 Mereka melanjutkan perjalanan dan walaupun sudah tertinggal jauh oleh rom-bongan
 berkuda tadi, namun mereka ma-sih dapat mengikuti jejak tujuh orang itu dengan mudah,
 apalagi liar karena memang rombongan itu menuju ke arah yang sama dengan perjalanan
 mereka. Setelah matahari condong ke barat, menjelang senja, mereka tiba di daerah yang subur, bukit-
 bukit yang hijau dan mulai nampak anak sungai mengalir t-urun. Segera nampak sebuah
 dusun yang besar, nampak genteng-genteng, rumah dari lereng, cukup banyak dan besar-besar
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 306 rumah yang berada di dusun itu. Juga jejak kaki kuda rombongan tadi menuju ke dusun itu.
 Mereka lalu menuju ke dusun untuk melewatkan malam dan juga sekalian untuk melihat apa
 yang akan dilakukan rombongan Badhu dan Sagha, dua orang ahli silat Nepal yang sombong
 itu. Dusun itu memang merupakan dusun yang besar dan ramai, terletak di tepi Sungai Yalu
 Cang-po atau Sungai Brah-maputra yang mengalir dari Pegunungan Himalaya menuju ke
 timur. Nama dusun itu dusun Nam-ce. Daerah itu memang luas, tanahnya subur karena dekat
 sungai, dan juga di sungai itu terdapat banyak ikan sehingga nampak banyak perahu nelayan
 di situ. Selain ini, dusun Nam-ce menjadi pelabuhan dan orang-orang yang melakukan
 perjalanan, ke timur, banyak yang mempergunakan perahu me-lalui sungai yang besar itu.
 Biarpun hanya berupa rumah-rumah sederhana, namun di dusun Nam-ce ter-dapat beberapa
 buah rumah penginapan dan juga rumah makan yang menjual makanan sederhana. Ada pula
 pedagang yang menjual bermacam barang keperluan sehari-hari. Semua ini membuat dusun
 itu menjadi semakin ramai, dan terutama sekali karena lalu-lintas melalui sungai itulah yang
 mendatangkan kemakmuran kepada dusun Nam-ce. Bahkan mereka yang datang dari Lha-sa,
 Ibu kota Tibet, yang hendak melakukan perjalanan ke timur, banyak yang melalui Sungai
 Brahmaputra. Di sebelah selatan luar kota Lhasa terdapat sebuah sungai yang airnya menuju
 ke Sungai Brahmaputra di dekat Nam-ce, maka banyak yang memperguna-kan perahu dari
 Lha-sa ke Nam-ce, ke-mudian dari dusun pelahuhan ini melan-jutkan perjalanan dengan
 perahu besar ke timur, mengikuti aliran air Sungai Brahmaputra.
 Sian Lun dan Sian Li menyewa dua buah kamar di sebuah rumah penginapan yang kecil
 namun bersih dan tempatnya pun agak di pinggir dusun sehingga ke-adaan di situ tidaklah
 begitu ramai se-perti di bagian tengah dusun, di mana terdapat sebuah pasar yang selalu ramai
 dikunjungi orang karena tempat ini me-rupakan pasar perdagangan.
 Setelah membersihkan diri yang ber-lepotan debu dan berganti pakaian, Sian Li mengajak
 Sian Lun keluar dari rumah penginapan dan mencari kedai makanan. Karena mereka berada
 di tempat asing, dan orang-orang di sekeliling mereka adalah orang-orang dari suku bangsa
 da-erah itu, hanya kadang saja nampak orang berpakaian seperti mereka, yaitu orang-orang
 Han yang hampir semua adalah pedagang. Andaikata Sian Li me-ngenakan pakaian biasa,
 tentu dua orang muda ini tidak terlalu menarik perhatian, walaupun kecantikan Sian Li tentu
 mem-buat banyak pria melirik. Akan tetapi, karena gadis itu selalu mengenakan pa-kaian
 yang warnanya kemerahan, baik polos maupun berkembang, maka tentu saja ia amat
 menyolok dan menjadi per-hatian setiap orang. Sian Li mengajak suhengnya untuk memasuki
 sebuah kedai makan yang berada di jalan yang agak sunyi.
 Ketika mereka memasuki kedai, senja hampir terganti malam, cuaca mulai gelap dan kedai
 itu pun sudah diterangi lampu-lampu minyak yang tergantung dengan kap-kap lampu
 beraneka warna sehingga nampak terang dan meriah. Seorang pelayan menyambut mereka
 dan mempersilakan mereka duduk. Sian Li menyapu ruangan itu dengan sinar mata-nya.
 Tidak terlalu banyak tamu di situ. Seorang pria yang agaknya menurut pa-kaiannya adalah
 bangsa Han duduk di sudut sambil menundukkan muka. Tiga orang bangsa Tibet duduk di
 tengah ruangan itu, dan masih ada beberapa orang lagi makan di meja sebelah kiri. Tidak ada
 sepuluh orang tamu yang ber-ada di ruangan itu. Sian Li dan Sian Lun duduk di bagian kanan,
 sengaja Sian Li memilih bangku yang membuat ia duduk membelakangi para tamu itu. Ia
 takkan merasa enak makan kalau menghadapi mata banyak laki-laki yang ditujukan
 kepadanya dengan sinar mata kurang ajar. Sian Lun duduk berhadapan dengannya sehingga
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 307 pemuda inilah yang menghadap ke tengah ruangan, dapat melihat para tamu. Memang, seperti
 yang dilihatnya, sejak sumoinya memasuki ruangan rumah makan, semua tamu yang duduk di
 situ, kesemuanya pria, mengangkat muka dan melempar pandang mata kagum kepada Sian Li.
 Pandang mata orang-orang itu seperti melekat pada Sian Li, dan biar-pun sumoinya sudah
 duduk membelakangi mereka, tetap saja mereka itu selalu melirik ke arah gadis itu. Kecuali
 seorang saja, yaitu orang Han yang duduk seo-rang diri di sudut belakang. Orang itu makan
 sambil menundukkan muka, dan hanya mengangkat muka memandang se-jenak ketika dia
 dan sumoinya tadi ma-suk, lalu menundukkan muka kembali, sedikit pun tidak menaruh
 perhatian lagi.
 Setelah makanan yang dipesan datang, dua orang kakak beradik seperguruan itu lalu makan
 minum dan baru saja mereka selesai, mereka mendengar suara banyak orang memasuki rumah
 makan. Mereka menengok dan sinar mata mereka menja-di keras ketika mereka mengenal
 tujuh orang yang tadi mereka bayangi, yaitu Badhu dan Sagha bersama lima orang kawan
 mereka! Sian Li tidak ingin mencari keributan di situ. Ia hanya ingin menyelidiki, apa yang akan
 dilakukan dua orang anak buah Lulung Lama itu, akan tetapi tidak ingin bentrok secara
 langsung, apalagi ia tahu bahwa ia dan suhengnya berada di daerah pihak lawan, maka
 keadaan dapat ber-bahaya bagi mereka. Ia memberi isarat kepada suhengnya, lalu menggapai
 pela-yan yang segera mendekati mereka. Pelayan lain sibuk melayani tujuh orang tamu yang
 baru masuk. Sian Lun segera membayar harga makanan dan mereka berdua hendak keluar
 dari rumah makan itu.
 Akan tetapi, tiba-tiba terdengar ben-takan kasar. "Heii, kalian berdua, tunggu dulu!"
 Sian Li dan Sian Lun berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya Badhu dan Sagha sudah
 berdiri menghadapi mereka, sedangkan lima orang kawan mereka masih duduk. Dua orang
 Nepal itu lalu menghampiri Sian Li dan Sian Lun yang berdiri dengan tenang dan tegak.
 "Hemm, kalian ini orang-orang Han yang sombong, mau apa berkeliaran di sini?" kata
 Badhu yang berperut gendut.
 Sian Li mengerutkan alisnya dan me-mandang tajam, lalu mulutnya tersenyum mengejek. Ia
 melihat betapa beberapa orang Tibet yang berada di situ meman-dang ke arah mereka.
 "Bukan kami orang-orang Han yang sombong dan berkeliaran, karena kami akan kembali ke
 timur dan hanya lewat di sini. Akan tetapi kalianlah dua orang Nepal yang besar kepala,
 kalian berkeli-aran di sini tentu hanya akan membikin kacau saja!"
 Gadis ini memang cerdik. Tadi men-dengar seruan Badhu Si Gendut, para tamu orang-orang
 Tibet memandang ke-pada Sian Li dan Sian Lun dengan mata curiga. Akan tetapi setelah
 gadis baju merah itu menjawab dengan suara lan-tang, pandang mata mereka berubah dan kini
 mereka memandang ke arah Badhu dan Sagha dengan alis berkerut.
 Wajah Badhu menjadi kemerahan ke-tika dia mendengar jawaban Sian Li, dan dengan marah
 dia membentak, "Gadis Han yang sombong, jangan bicara sem-barangan!"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 308 Sian Li tersenyum. "Siapa bicara sembarangan, engkau atau aku" Coba kausangkal,
 bukankah kalian sudah mem-bikin kekacauan di Nepal, kemudian di Bhutan dan setelah gagal
 di sana, kalian hendak mengacau pula, di Tibet ini?"
 Badhu menjadi makin marah. "Perempuan sombong! Kaulihat saja pemba-lasan kami atas
 semua penghinaanmu!"
 Setelah berkata demikian, dia memberi isarat kepada enam orang kawannya dan mereka pun
 keluar dari rumah makan itu tanpa memesan makanan!
 Karena ia memang tidak ingin mem-bikin ribut di rumah makan itu atau di dalam dusun itu,
 yang hanya akan me-nimbulkan kekacauan dan juga akan men-jadi penghambat
 perjalanannya, maka Sian Li juga segera meninggalkan tempat itu dan mencegah suhengnya
 ketika Sian Lun yang nampaknya marah itu hendak melakukan pengejaran. Setelah dua orang
 muda itu pergi, ramai para tamu membicarakan peristiwa kecil tadi dan semua orang merasa
 kagum dan memuji nona baju merah yang berani menentang orang-orang Nepal yang
 kelihatan kuat dan di antara bengis tadi. Hanya seorang di antara mereka yang tidak ikut
 bicara. Dia adalah laki-laki yang tadi duduk di sudut belakang. Dia tidak pernah bicara, hanya
 memanggil pelayan, membayar harga makanannya dan dia pun segera meninggalkan rumah
 makan tanpa meninggalkan kesan.
 "Sumoi, kenapa Sumoi melarangku untuk mengejar mereka" Dua orang Nepal keparat itu
 pantas dihajar!" Sian Lun menegur sumoinya ketika mereka tiba kembali di rumah
 penginapan mereka.
 "Suheng, lupakah engkau bahwa kita ini bukan berada di Bhutan lagi, juga bukan di negara
 sendiri" Kita berada di Tibet, dan engkau tentu masih ingat bahwa dua orang Nepal itu adalah
 anak buah Lulung Lama, seorang tokoh yang menjadi pimpinan para Lama Jubah Hitam. Ini
 tempat mereka dan kalau terja-di keributan, tentu kita yang dianggap sebagai pengacau. Tadi
 pun aku masih untung dapat membalas serangan fitnah mereka sehingga orang-orang Tibet
 yang mendengarnya tidak memihak mereka.
 "Ah, aku hanya khawatir kalau kita dianggap penakut dan tidak berani kepa-da mereka. Juga,
 sekarang ini kita yang diancam dan kita tidak tahu kapan me-reka akan turun tangan
 mengganggu kita."
 "Suheng, bukankah Guru kita, kakek Suma Ceng Liong dan isterinya, pernah memberitahu
 bahwa kita tidak boleh tergesa-gesa menurutkan nafsu kemarah-an belaka" Bahkan kita
 diharuskan ber-sabar setiap menghadapi lawan, kita ha-rus mempergunakan kecerdikan,
 bukan asal hantam saja! Tanpa ancaman mereka pun, kita harus waspada setiap saat ka-rena
 bagi seorang pengembara, kita sela-lu dikelilingi kemungkinan adanya serang-an bahaya.
 Nah, kita sekarang tidur saja dan besok pagi-pagi sekali kita harus sudah melanjutkan
 perjalanan."
 Biarpun di dalam hatinya Sian Lun masih merasa penasaran dan marah ke-pada dua orang
 Nepal yang telah menge-luarkan kata-kata kasar dan kurang ajar terhadap sumoinya, namun
 alasan yang dikemukakan Sian Li amat kuat dan juga tepat, maka dia pun hanya mengangguk
 dan meraka memasuki kamar masing-masing.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 309 Malam itu sunyi sekali di rumah pe-nginapan di mana Sian Li dan Sian Lun menginap. Lewat
 tengah malam, keadaan sudah amat sunyi dan dingin. Petugas rumah penginapan yang berjaga
 malam ada dua orang dan mereka ini pun sudah meringkuk di meja pengurus, tertidur karena
 setelah lewat tengah malam, tentu tidak akan ada tamu datang lagi.
 Lima bayangan hitam itu menyelinap memasuki rumah penginapan melalui pa-gar tembok
 belakang dengan melompati-nya. Gerakan mereka ringan dan gesit sekali, menunjukkan
 bahwa lima orang ini adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.
 Dengan menyusup seperti lima ekor kucing, tanpa mengeluarkan suara, lima orang ini
 akhirnya telah tiba di belakang kamar Sian Lun dan Sian Li yang berdampingan. Mereka
 menghampiri jendela dalam dua kelompok, lalu mengintai ke dalam. Gelap dan sunyi saja
 dalam kedua kamar itu. Mereka itu adalah Badhu dan Sagha, diikuti tiga orang berkepala
 gundul berjubah hitam. Tiga orang pendeta Lama Jubah Hitam! Kiranya Badhu dan Sagha
 hendak memenuhi ancamannya dan sekali ini mereka tidak mau gagal.
 Mereka maklum akan kelihaian dua orang muda itu, maka mereka berdua datang mengajak
 tiga orang tokoh Hek I Lama (Pendeta Lama Jubah Hitam) yang ber-ilmu tinggi. Tiga orang
 itu adalah para pembantu dari Lulung Lama dan memi-liki ilmu kepandaian yang jauh lebih
 tinggi dibandingkan dua orang Nepal itu.
 Mereka memang sudah membuat per-siapan dan sudah mengatur rencana membagi tugas.
 Anak buah mereka telah mencari keterangan di mana letak kamar pemuda dan gadis itu, dan
 kini mereka sudah siap melaksanakan rencana mereka. Badhu dan seorang pendeta jubah
 hitam akan bertugas membius gadis berpakaian merah dengan meniupkan asap pembius ke
 dalam kamar, sedangkan Sagha diban-tu dua orang pendeta jubah hitam akan menerjang
 masuk ke kamar pemuda Han itu dan membunuhnya!
 Setelah memberi isarat, Badhu lalu menghampiri pintu kamar Sian Li, dan dibantu seorang
 pendeta baju hitam, dia menyusupkan sebuah pipa kecil ke dalam kamar itu melalui bawah
 pintu. Pipa itu bersambung dengan sebuah kantung kulit yang menggembung. Bersama
 temannya, Badhu lalu menekan-nekan kantung itu dan asap beracun tertiup masuk kamar
 melalui pipa. Sementara itu, Sagha dan dua orang pendeta baju hitam, dengan memegang golok, mencokel
 jendela kamar itu. Dengan mudah saja daun jendela terbuka dan tiga orang itu berloncatan
 memasuki kamar yang gelap. Mereka menyalakan lilin dan kaget sekali ketika melihat betapa
 tempat tidur pemuda itu kosong, tidak ada orangnya! Tentu saja Sagha dan dua orang pendeta
 jubah hitam itu berlompatan keluar lagi.
 "Kamarnya kosong....!" kata Sagha ke-pada Badhu yang menjadi heran dan kaget bukan
 main. Kalau kamar pemuda itu kosong, tentu kamar gadis itu kosong pula! Ataukah Si
 Pemuda itu pindah ke kamar Si Gadis" Badhu tersenyum, me-nyeringai dan berkata dengan
 suara mengejek.
 "Tentu saja mereka tidur bersama dalam kamar ini! Siapa orangnya mau membiarkan nona
 merah yang cantik molek itu tidur kedinginan seorang diri?" Mereka tertawa, walaupun suara
 tawa mereka ditahan agar tidak menimbulkan kegaduhan. "Mereka berdua tentu sudah terbius
 pingsan sekarang," katanya lagi dengan girang.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 310 Mereka terlalu memandang rendah kepada Sian Li dan Sian Lun. Tidak per-cuma dua orang
 muda ini menjadi murid orang-orang sakti seperti Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi
 Eng. Biar-pun dua orang ini telah melakukan per-jalanan jauh dan tubuh mereka terasa lelah,
 namun karena tadi bertemu dengan tujuh orang yang hendak membikin ribut di rumah makan,
 dan mendengar ancam-an Si Gendut Badhu, maka suheng dan sumoi ini tidak tidur begitu
 saja. Mereka beristirahat sambil duduk bersila sehingga biar tubuh mereka dapat beristirahat,
 namun kewaspadaan mereka selalu men-jaga keselamatan mereka.
 Sedikit gerakan lima orang yang men-dekati kamar mereka, biarpun tidak menimbulkan
 suara gaduh, cukup dapat mereka tangkap dengan pendengaran mereka. Sian Li menjadi
 curiga dan ketika ia mengintai dari jendela kamarnya, ia melihat bayangan beberapa orang
 berkelebatan. Tahulah ia bahwa ada penjahat yang datang. Ia memang sudah siap siaga maka
 kamarnya berada dalam kegelapan. Sebelum para penjahat itu melakukan sesuatu, ia sudah
 membuka jendela sam-ping dan meloncat keluar, terus meng-ambil jalan memutar dan
 meloncat ke atas genteng. Hampir ia bertubrukan dengan suhengnya di atas genteng! Ki-ranya
 Sian Lun juga sudah dapat melihat para penjahat itu dan seperti juga Sian Li, dia keluar dari
 kamar dan meloncat ke atas genteng.
 "Ada dua orang menghampiri kamarku Suheng," katanya lirih.
 "Dan kulihat tiga orang menghampiri kamarku," kata pula Sian Lun. Mereka berdua sudah
 mencabut pedang masing-masing dan kini mereka mengintai ke bawah.
 Mereka melihat apa yang dilakukan lima orang itu, mendengar pula perca-kapan mereka
 yang mengira bahwa mereka berdua tidur sekamar! Mendengar ini wajah Sian Li menjadi
 merah saking marahnya menerima tuduhan kotor tentang dirinya itu. Juga wajah Sian Lun
 menjadi merah sekali karena tadi pun, seperti malam-malam yang lalu, dia sering bermimpi
 tidur sekamar dengan sumoinya yang telah membuatnya tergila-gila sejak sumoinya remaja!
 Kini Sian Li sudah tidak mampu me-nahan kemarahannya lagi. Ia melayang turun, diikuti
 suhengnya sambil berseru, "Jahanam bermulut busuk!"
 Lima orang yang masih tertawa-tawa itu terkejut bukan main ke-tika tiba-tiba ada dua
 bayangan orang melayang turun dari atas genteng dan tahu-tahu dua orang muda yang mereka
 kira sedang tidur bersama dalam kamar itu dan yang kini tentu telah roboh ping-san, kini telah
 berdiri di depan mereka dengan pedang di tangan.
 "Gawat! Lari....!" teriak Badhu yang memimpin gerakan itu. Mereka pun sudah berloncatan
 ke dalam kegelapan malam, lari ke arah belakang rumah penginapan di mana terdapat sebuah
 kebun yang cukup luas.
 "Jahanam busuk, hendak lari ke mana kalian?" Sian Lun berseru marah dan melakukan
 pengejaran. "Hati-hati, Suheng!" teriak Sian Li yang juga ikut mengejar, merasa khawa-tir karena dari
 apa yang ia pelajari, sungguh berbahaya melakukan pengejaran terhadap penjahat yang lihai
 atau banyak jumlahnya di malam hari, apalagi di tempat yang tidak dikenal keadaannya.
 Akan tetapi ternyata bahwa mereka jauh lebih unggul dalam ilmu meringan-kan tubuh
 sehingga sebentar saja, mereka dapat menyusul ketika lima orang penja-hat itu tiba di dalam
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 311 kebun. Dan kini setelah tiba di tempat sepi, agaknya Badhu dan kawan-kawannya sudah siap
 siaga. Mereka berlima sudah mencabut golok dan tetap dalam pembagian tugas seperti tadi,
 Badhu dan seorang pendeta jubah hitam menyambut Sian Li dengan golok mereka, sedangkan
 Sagha dan dua orang pendeta lain menyerang Sian Lun.
 Terjadilah perkelahian yang mati-matian di dalam kebun itu, hanya dite-rangi oleh sinar
 bulan yang datang agak lambat. Mereka lebih mengandalkan ke-tajaman pendengaran
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daripada penglihat-an dan untunglah bahwa untuk ilmu ini, Sian Li dan Sian Lun telah
 mendapat gemblengan dari guru mereka. Biarpun demikian, ketika senjata mereka bertemu
 dengan golok mereka yang berkepala gundul dan berjubah hitam, Sian Li dan Sian Lun
 terkejut karena mendapat ke-nyataan bahwa tenaga mereka itu amat kuat, jauh lebih kuat
 dibandingkan Badhu dan Sagha yang hanya mengandalkan tenaga kasar dari otot-otot yang
 terlatih. Sian Li masih dapat mengimbangi penge-royokan Badhu dan seorang pendeta jubah
 hitam. Gadis ini mengamuk dan gerakan-nya yang indah mirip sekali dengan ge-rakan seekor
 burung bangau. Bangau Me-rah! Biarpun ia sudah menerima gem-blengan berbagai ilmu silat
 tinggi dari Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, akan tetapi yang menjadi inti dari
 kepandaiannya adalah ilmu yang berdasarkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Bangau Putih)
 yang dipelajarinya dari ayahnya sendiri sebelum ia berguru kepada kakek dan neneknya. Dan
 memang Suma Ceng Liong yang menghendaki agar gadis ini mem-perdalam ilmu warisan
 ayahnya itu, ha-nya kini ilmu silat itu dicampur dengan ilmu lain yang tinggi sehingga ilmu
 silat yang berdasarkan gerakan burung bangau itu kini menjadi aneh dan lihai, namun masih
 mengandung gerakan halus dari seekor bangau.
 Yang repot adalah Sian Lun. Tingkat kepandaian pemuda ini memang masih kalah
 dibandingkan sumoinya, dan kini dia dikeroyok tiga orang. Kepandaian Sagha memang tidak
 ada artinya bagi Sian Lun, akan tetapi dua orang pendeta jubah hitam itu sungguh lihai bukan
 main. Melawan seorang saja di antara mereka sudah merupakan lawan yang tangguh, apalagi
 ada dua orang seperti itu, ditam-bah dengan Sagha lagi. Sian Lun hanya mampu memutar
 pedangnya, melindungi dirinya dari sambaran tiga batang golok para pengeroyoknya.
 Tiba-tiba terjadi keanehan. Lima orang pengeroyok itu berturut-turut me-ngeluarkan teriakan
 kesakitan dan senjata mereka terlepas dari tangan dan mereka itu lalu berlompatan jauh ke
 belakang dan melarikan diri dari Sian Li dan Sian Lun yang tentu saja menjadi bengong
 terheran-heran. Mereka tidak merasa telah melukai para pengeroyok itu, akan tetapi mengapa
 mereka berlima itu me-lepaskan golok dan melarikan diri seperti orang ketakutan"
 Sian Lun hendak melakukan pengejar-an, akan tetapi Sian Li memegang ta-ngan kirinya
 mencegah, "Suheng, mereka itu merupakan lawan berat, berbahaya sekali kalau dikejar. Mari
 kita kembali ke kamar!" katanya.
 "Tapi, apa yang telah terjadi" Kenapa mereka melepaskan senjata dan melari-kan diri seperti
 orang ketakutan?"
 Sian Li menggeleng kepalanya, "En-tahlah, Suheng, aku pun tidak mengerti. Telah terjadi
 keanehan malam ini, mung-kin ada dewa yang menolong kita."
 Mereka kembali ke rumah penginapan di mana telah berkumpul banyak orang. Kegaduhan
 tadi membangunkan para ta-mu, juga para pelayan sehingga kini me-reka berkerumun di
 depan kamar Sian Li dan kamar Sian Lun. Ketika dua orang muda itu muncul, tentu saja
 mere-ka dihujani pertanyaan.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 312 "Ada dua orang pencuri hendak me-masuki kamar kami berdua," kata Sian Lun.
 "Mereka mempergunakan asap pem-bius. Harap kalian mundur semua, aku akan membuka
 jendela agar asap itu keluar. Awas, yang terkena asap itu dan menyedotnya, akan jatuh
 pingsan." Ia lalu membuka daun jendela kamarnya, lalu pergi menjauhi kamar itu, demikian
 pula Sian Lun. Dari dalam kamar itu mem-bubung asap tipis yang tidak berapa ba-nyak lagi
 karena tadi sebagian asap sudah keluar melalui celah-celah pintu, jendela dan atap. Orang-
 orang menjauh dan memandang heran. Akan tetapi, se-telah mendengar bahwa pencuri-
 pencuri itu melarikan diri tanpa membawa ba-rang curian, dikejar dua orang muda itu,
 pengurus rumah penginapan merasa lega dan para tamu pun berangsur kembali ke kamar
 maaing-masing. Tentu saja kini mereka tahu bahwa gadis berpakaian merah yang cantik dan
 pemuda tampan itu adalah dua orang pendekar!
 Sementara itu, dari tempat gelap tak jauh dari situ, seorang laki-laki yang bersembunyi dalam
 gelap, meremas-re-mas jari tangan sendiri. Pandang mata-nya penuh ketegangan, keraguan,
 juga keharuan, bibirnya berkemak-kemik bica-ra seorang diri dengan lirih. "Benarkah ia" Ah,
 tidak mungkin. Kenapa ia berada di sini dan siapa pemuda itu" Benarkah ia Sian Li...." Tapi
 pakaian merah itu.... ah, benarkah ia Tan Sian Li....?" Dengan wajah penuh keraguan dia
 masih bardiri termangu-mangu di tempat gelap itu sampai Sian Li dan Sian Lun memasuki
 kamar masing-masing dan tempat itu menjadi sunyi kembali.
 Siapakah pria itu" Dan apa pula yang telah terjadi ketika Sian Li dan Sian Lun dikeroyok
 lima orang lawan yang lihai tadi" Mengapa mereka melarikan diri" Kita ikuti perjalanan
 mereka selanjutnya.
 *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 Pada keesokan harinya pagi-pagi se-kali Sian Lun dan Sian Li telah meninggalkan rumah
 penginapan dan menuntun kuda mereka ke pasar kuda yang selalu ramai di tempat itu. Tentu
 saja dua ekor kuda tunggangan mereka menarik perhatian pembeli karena dua ekor bina-tang
 itu adalah kuda-kuda pilihan dari kandang kuda istana Bhutan! Dengan mudah saja mereka
 mendapatkan pembeli yang berani membayar cukup mahal un-tuk dua ekor kuda itu.
 Sian Li dan Sian Lun lalu menuju ke bandar sungai untuk menyewa sebuah perahu yang akan
 mereka tumpangi sam-pai ke belokan air Sungai Yalu-cangpo atau Sungai Brahmaputra yang
 membelok ke selatan. Dari belokan itu, mereka akan mendarat dan melanjutkan perjalan-an
 dengan jalan kaki atau berkuda lagi menuju ke timur.
 Seorang peranakan Han-Tibet yang mempunyai sebuah perahu yang sedang besarnya,
 menyanggupi perjalanan itu dengan upah yang cukup memadai. Orang itu berusia kurang
 lebih lima puluh tahun kulitnya hangus kecoklatan karena setiap hari pekerjaannya sebagai
 nelayan mem-buat kulitnya setiap hari terbakar sinar matahari. Kalau tidak karena logat
 bica-ranya, tentu sukar dikenal bahwa dia peranakan Han. Baik wajah dan pakaian-nya sudah
 sepenuhnya orang Tibet. Orangnya pendiam dan juga sopan, maka Sian Li memilih orang ini
 daripada pemi-lik perahu lain walau harus membayar lebih mahal.
 Perjalanan dengan perahu itu cukup menyenangkan. Perahunya kokoh dan baik
 imbangannya, tukang perahunya pendiam dan ahli mengemudikan perahu. Air su-ngai pun
 tenang dan dalam karena waktu itu musim semi, tidak banyak hujan. Pemandangan di tepi
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 313 sungai juga amat indah, penuh pohon-pohonan menghijau, diseling bunga beraneka warna dan
 ben-tuk. Kadang-kadang sungai itu melewati daerah yang diapit tebing bukit yang menjulang
 tinggi, kadang melalui ladang yang tanahnya landai dan datar.
 Kalau malam tiba, Sian Li menyuruh tukang perahu menghentikan perahunya. Mereka dapat
 mencoba untuk memancing ikan, menggunakan alat pancing milik tukang perahu dan betapa
 senangnya hati Sian Li kalau ia berhasil mendapatkan seekor ikan. Mereka membakar ikan
 ha-sil pancingan mereka, makan ikan dengan arak ringan yang membuat dua orang muda itu
 merasa gembira sekali, Apalagi kalau bulan sudah muncul. Duduk di ke-pala perahu sambil
 makan ikan bakar, bercakap-cakap di bawah sinar bulan purnama, dihembus angin malam
 yang lembut, bau daun ilalang di sekitar pan-tai, dan perahu bergoyang lembut seolah--olah
 membuat mereka seperti diayun--ayun, sungguh amat menyenangkan. Dia romantis sekali.
 Keadaan dan suasana itulah yang membuat sinar mata Sian Lun ketika dia memandang wajah
 sumoi-nya yang tertimpa sinar bulan, lain dari-pada biasanya.
 Ketika mendadak suhengnya yang tadi bercakap-cakap dengan gembira itu kini diam saja,
 Sian Li merasakan suatu pe-rubahan pada suhengnya yang membuat-nya menatap wajah
 suhengnya. Dan diam-diam ia terkejut. Suhengnya me-mandang kepadanya dengan aneh!
 Sinar mata suhengnya itu! Seolah-olah mata itu dengan lembutnya membelainya, ke-mudian
 berusaha untuk menjenguk isi hatinya. Dan pandang mata itu mengan-dung sesuatu yang
 membuat jantungnya berdebar aneh, sepasang mata itu tak pernah berkedip.
 "Heii, Suheng! Apa-apaan sih engkau ini?" teriaknya untuk menekan guncangan hatinya
 sendiri, memecahkan suasana yang membuatnya canggung itu.
 "Kenapa, Sumoi?" kata Sian Lun dan suaranya pun berubah bagi Sian Li. Suara itu demikian
 lembut, seperti mengelusnya dan keluar dari dalam dada.
 "Suheng, kenapa engkau memandangku seperti itu?" tegurnya. Mereka dapat bicara dengan
 bebas karena tukang pera-hu telah tidur di tepi sungai, menggulung dirinya dalam selimutnya
 yang tebal. Dalam keadaan masih terpesona, se-perti tersihir oleh wajah yang nampak cantik jelita luar
 biasa ketika bermandi-kan sinar bulan itu. Sian Lun masih be-lum sadar dan dia menjawab
 dengan suara penuh kagum dan penuh kasih sa-yang. "Engkau.... engkau begitu cantik
 jelita...."
 Dalam keadaan biasa, pujian dari su-hengnya itu tentu akan membuat Sian Li tertawa geli,
 akan tetapi sekarang, sigar mata suhengnya membuat wajahnya menjadi merah sekali ketika
 mendengar pujian itu. Akan tetapi ia memaksa diri menekan perasaan aneh, rasa senang
 gembira dan bangga, dan ia pun memak-sa diri untuk tertawa. Ia membayangkan dirinya dan
 suhengnya yang telah berlatih bersama, bermain bersama sejak ia berusia dua belas tahun,
 ketika ia masih kanak-kanak, dan tiba-tiba suhengnya yang biasanya selalu bersikap sopan
 dan serius kepadanya, kini memuji kecantikannya. Lucu!
 "Hi-hi-hik, heh-heh.... kau lucu, suheng! Kenapa mendadak saja engkau seperti ini" Jangan-
 jangan engkau kemasukan setan sungai ini yang kabarnya keramat" Kalau mau mengagumi
 kecantikan, tengoklah ke atas. Lihat, bulan itulah yang cantik jelita penuh senyum."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 314 Akan tetapi ucapan yang penuh kela-kar itu tidak cukup kuat untuk menyeret Sian Lun turun
 kembali ke dalam keada-an seperti biasa yang wajar. Dia masih terpesona! "Tidak, Sumoi.
 Kecantikan Sang Bulan tidak dapat disamakan dengan kecantikanmu! Kecantikan bulan itu
 mati, akan tetapi engkau.... aih, Sumoi, tidak ada wanita di seluruh dunia ini yang dapat
 menyamai kecantikanmu!"
 Kalau tadi Sian Li masih tersenyum-senyum manis, kini senyumnya menghi-lang dan alisnya
 berkerut khawatir. Namun bagi Sian Lun, seperti juga semua laki-laki yang sudah jatuh cinta,
 peru-bahan wajah gadis itu sama sekali tidak mengubah hasil pandangannya. Tersenyum
 tertawa, merengut atau menangis atau marah-marah, tetap saja cantik jelita! Bagi hati yang
 sedang tergila-gila oleh cinta, wajah yang cemberut bahkan ber-tambah manis! Sebaliknya,
 bagi hati yang diracuni benci, wajah yang tersenyum dianggap mengejek dan menyebalkan!
 "Suheng, sadarlah! Kita sudah bergaul sejak aku kecil, kita biasa berlatih ber-sama, bermain
 bersama. Kenapa sekarang engkau bersikap begini" Mengerikan! Hentikan kelakarmu ini,
 atau aku akan benar-benar marah, Suheng!" katanya dan untuk menyadarkan suhengnya. Sian
 Li memegang lengan pemuda itu dan mengguncangnya agak keras.
 Sian Lun baru menyadari ketidakwa-jaran sikapnya. Dia menarik napas pan-jang seperti
 orang mengeluh, "Maaf, Sumoi, maafkan sikapku tadi.... akan te-tapi.... aku seperti mabok,
 Sumoi. Mabok oleh apa yang kulihat malam ini. Wajah-mu disinari bulan purnama,
 rambutmu, matamu, hidung dan bibirmu.... ah, eng-kau memang cantik jelita, sumoi dan
 aku.... aku tak dapat menahan lagi raha-sia hatiku, aku cinta padamu, Sumoi, aku cinta
 padamu...."
 Sepasang mata yang indah itu terbe-lalak, pipi yang tadi kemerahan itu men-dadak menjadi
 pucat, lalu merah lagi dan tiba-tiba saja Sian Li menggerakkan ke dua tangannya mendorong
 kedua pundak Sian Lun. Pemuda itu terkejut, tidak mampu mengelak atau menangkis, dan
 tubuhnya terjengkang keluar dari perahu.
 "Byuurrr....!" Air muncrat tinggi dan tubuh Sian Lun tenggelam! Tak lama kemudian,
 pemuda itu muncul kembali dan gelagapan. Sian Lun bukan tak pan-dai renang, akan tetapi
 dia tadi terlam-pau kaget ketika tubuhnya didorong su-moinya keluar dari perahu, dan kini dia
 pun harus melawan arus air, kembali ke perahu.
 "Peganglah ini!" kata Sian Li yang sudah menjulurkan dayung ke arah pemu-da itu. Setelah
 tadi mendorong tubuh suhengya sehingga terjatuh ke dalam air di luar perahu, Sian Li baru
 menye-sali perbuatannya, dan melihat pemuda itu gelagapan, ia lalu menyambar dayung dsn
 menolongnya naik.
 Sian Lun naik ke perahu dengan pa-kaian basah kuyup, juga rambutnya basah kuyup. Mereka
 berdiri berhadapan di kepala perahu, saling pandang. Sian Li marasa kasihan juga melihat
 suhengnya yang basah kuyup dan nampak bersedih.
 "Maafkan aku, Sumoi," kata Sian Lun lirih.
 Hemmm, sudah didorong ke dalam air, malah minta maaf. Sian Li merasa se-makin
 menyesal. "Habis, engkau sih, Su-heng, yang aneh-aneh. Aku tidak suka melihat dan
 mendengar engkau seperti tadi! Engkau Suhengku, kuanggap seperti kakak sendiri, dan aku....
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 315 aku masih ter-lalu muda untuk memikirkan soal cinta. Jangan sebut-sebut lagi soal itu. Dan
 kau juga maafkan aku yang tadi mendorong-mu karena marah."
 Sian Lun menundukkan mukanya. Di-dorong ke air oleh Sian Li bukan apa-apa, biar
 didorong seratus kali dia mau asal gadis yang membuatnya tergila-gila itu suka menerima
 cintanya. Yang mem-buat hatinya terasa sedih sekali adalah ucapan sumoinya tadi. Sumoinya
 tidak mau bicara tentang cinta dan mengang-gap dia seperti kakak sendiri! Dia me-nundukkan
 mukanya dan memasuki bilik perahu untuk bertukar pakaian kering. Sian Li memandang ke
 arah kain tirai yang menutup pintu bilik dengan hati iba. Akan tetapi ia tidak berbohong
 dengan ucapannya tadi. Selama ini ia menyayang Sian Lun sebagai suheng, atau sebagai
 kakak sendiri, sama sekali tak pernah terbayangkan memandang suhengnya itu sebagai
 seorang kekasih, sebagai seorang calon suami! Lucu dan aneh rasanya ka-lau ia harus menjadi
 isteri suhengnya!
 Ketika Sian Li sedang melamun, tiba-tiba perahu itu terguncang. Ia terkejut dan menengok.
 "Heiiii....!" teriaknya ke-tika melihat ada dua orang berpakaian hitam tiba-tiba saja meloncat
 dari air ke atas perahunya, dan sebuah perahu meluncur cepat menuju ke situ. Tahulah ia
 bahwa ada orang jahat yang hendak mengganggunya, maka cepat ia menyam-but kedua orang
 itu dengan serangan kakinya yang melakukan tendangan be-runtun.
 Tendangan-tendangan kaki Si Bangau Merah Tan Sian Li tidak boleh disamakan dengan
 tendangan kaki seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang biasa saja. Tendangan itu selain
 amat cepat datang-nya, juga mengandung tenaga sin-kang, karena gerakan itu adalah menurut
 ilmu tendang sakti Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) yang dipelajarinya dari Suma
 Ceng Liong! Dua orang berpakaian hitam yang basah kuyup itu tidak sempat mengelak,
 hanya mampu menggerekkan lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga mereka.
 "Dukk! Plakk!" Tangkisan mereka yang disertai tenaga itu bahkan membuat tendangan itu
 semakin ampuh. Tubuh mereka terlempar sampai beberapa me-ter dan mereka pun terjatuh ke
 air kem-bali. Air muncrat lebih tinggi daripada ketika Sian Lun tercebur tadi!
 Akan tetapi, dari tepi perahu yang lain telah berloncatan empat orang ber-pakaian hitam yang
 lain lagi. Mereka membawa golok dan mereka sudah me-nerjang Sian Li dari belakang. Gadis
 itu mendengar sambaran golok dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik tiga kali dan
 ketika tubuhnya turun, ia telah meluncur dengan kepala di bawah, dida-hului sebatang pedang
 yang tadi sudah dibawanya loncat dan dicabut ketika tubuhnya berjungkir balik. Sinar
 pedang-nya meluncur dan menyambar ke arah tiga orang penyerangnya tadi. Gerakan-nya
 bagaikan seekor burung bangau merah melayang turun dan paruh yang runcing di bawah, siap
 untuk mematuk! Akan tetapi tiga orang itu ternyata lihai juga. Mereka memutar golok untuk melindungi diri
 dari sinar pedang yang menyambar bagaikan kilat itu.
 "Trang-trang-trang....!" Karena tiga kali beradu senjata selagi tubuhnya masih di udara,
 terpaksa Sian Li berjungkir balik lagi agar jangan sampai terbantingjatuh. Ia dapat turun ke
 atas perahu, akan tetapi terhuyung karena perahu itu terguncang oleh tenaga tiga orang itu.
 Dan tiga orang itu, yang agaknya lebih biasa di atas perahu, yang bergoyang-goyang, sudah
 menerjang maju!
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 316 Tiba-tiba, Sian Lun yang sudah berganti pakaian dan mendengar suara gaduh di luar bilik
 perahu, sudah meloncat dan dengan pedang diputar dia menghadang terjangan tiga orang itu.
 Terdengar bu-nyi berdentangan dan bunga api barpijar ketika pedang di tangan Sian Lun
 berte-mu dengan tiga batang golok para pe-ngeroyok yang ternyata cukup lihai itu. Dan Sian
 Li tidak dapat membantu Sian Lun karena pada saat itu, dua orang lagi sudah meloncat naik
 dan mengeroyok Sian Li dengan golok mereka.
 "Pendeta-pendeta busuk, munafik, jahat....!" Sian Li marah sekali dan sam-bil memaki-maki,
 pedangnya digerakkan dengan dahsyat, membuat kedua orang pengeroyoknya itu terdesak.
 Akan tetapi, pada saat itu, perahu berguncang keras dan miring! Sian Lun masih sempat
 meloncat ke tepi sungai, akan tetapi Sian Li tidak sempat lagi kerena selain kedua orang
 lawannya su-dah menyergapnya lagi selagi perahu miring dan hampir terbalik, juga dara ini
 berada di sisi perahu yang tiba-tiba miring ke bawah. Ia mencoba untuk mempertahankan
 keseimbangan tubuhnya, akan tetapi dua batang golok menyambar kakinya. Terpaksa Sian Li
 meloncat dan tak dapat dihindarkan lagi, ia tercebur ke dalam air!
 Kepandaian Sian Li di air hanya bia-sa-biasa saja, hanya sekedar dapat bere-nang dan tidak
 sampai tenggelam, maka ketika dua orang penjahat yang sudah biasa bermain di air
 menyelam dan me-megangi kedua kakinya, gadis ini tidak berdaya, meronta dan gelagapan
 sehingga akhirnya ia tertawan, kedua tangannya dibelenggu ke belakang dan ia diseret ke tepi
 sungai oleh empat orang! Sementara itu, Sian Lun yang berha-sil melompat ke daratan dan
 tidak sam-pat tercebur, masih dikepung oleh tiga orang lawan yang cukup tangguh. Pemuda
 ini mengamuk dan sukarlah bagi tiga orang itu untuk mampu mendesaknya. Akan tetapi
 ketika Sian Lun melihat becapa sumoinya tertawan, dia menjadi khawatir sekali dan juga
 marah. "Lepaskan ia!" bentaknya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah mencelat ke atas dan dia sudsh
 meninggalkan tiga orang pengepungnya, langsung saja dia menyambar ke arah empat orang
 yang me-nawan Sian Li! pedangnya diputar dan empat orang itu terkejut, cepat mereka
 menggerakkan golok untuk menangkis, lalu mengepung Sian Lun, Pemuda ini nekat. Dia
 harus dapat menyelamatkan sumoinya. Gerakan pedangnya amat he-bat karena pemuda yang
 sudah marah dan nekat ini sudah memainkan Ilmu Pedang Koai-liong-kiam (Ilmu Pedang
 Naga Siluman) yang dipelajarinya dari subonya (ibu gurunya). Pedangnya seperti berubah
 menjadi seekor naga mengamuk dan desing pedang seperti auman naga. Empat orang
 lawannya terkejut dan ter-paksa mundur berpencar. Kesempatan itu dipergunakan oleh Sian
 Lun untuk mendekati sumoinya dan sekali menggerakkan pedang, tali pengikat pergelangan
 kedua tangan Sian Li terbabat putus.
 "Awas, Suheng....!" teriak Sian Li ke-tika melihat betapa empat orang itu, ditambah tiga
 orang lagi, serentak me-nyerang Sian Lun dari belakang dan kanan kiri!
 Sian Lun membalik sambil memutar pedangnya, dan Sian Li menerjang orang yang
 merampas pedangnya dengan sebuah tendangan ke arah tangan yang meme-gang golok,
 dilanjutkan, tubrukan ke de-pan untuk merampas kembali pedangnya yang dipegang tangan
 kiri orang itu. Tubrukannya berhasil ketika orang itu mengelak ke samping, dan di lain saat
 pedang itu telah dirampasnya kembali.
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi, ketika Sian Lun menang-kis, terlampau banyak golok menyerang-nya sehingga
 sebuah di antara golok yang menyerangnya, ketika ditangkis putaran pedangnya, masih
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 317 sempat melukai pundak kirinya sehingga baju di bagian pundak itu terobek berikut kulit
 pundak yang terluka dan berdarah.
 "Suheng, kau terluka?" teriak Sian Li sambil memutar pedang membantu suhengnya.
 "Tidak mengapa. Kita basmi manusia-manusia busuk ini!" bentak Sian Lun yang sudah
 marah sekali dan dengan penuh semangat dia juga memutar pedangnya, menyerang dengan
 dahsyat. Kedua orang kakak beradik seperguruan itu mempergunakan ilmu-ilmu pedang yang
 amat hebat. Sian Lun tetap memainkan Ilmu pedang Naga Siluman, sedangkan Sian Li kini
 memainkan Ilmu Pedang Suling Emas seperti yang ia pelajari dari ne-neknya, Kam Bi Eng!
 Dua macam ilmu pedang ini memang merupakan ilmu-ilmu pedang yang dahsyat, dan Nenek
 Kam Bi Eng telah mewarisi ilmu-ilmu itu dari ayahnya, Kam Hong yang telah
 menggabungkan kedua ilmu itu menjadi satu. Maka, ketika kedua orang muda ini memainkan
 dua macam ilmu itu, mereka merupakan pasangan yang amat kuat sehingga tujuh orang
 pengero-yok mereka kewalahan dan mereka pun berloncatan ke belakang dan melarikan diri
 ke dalam hutan gelap di tepi sungai.
 "Jahanam, kalian hendak lari ke ma-na?" Sian Lun melompat dan melakukan pengejaran.
 "Suheng, jangan kejar!" Sian Li berse-ru, akan tetapi suhengnya sudah berlari cepat dan tidak
 mau berhenti. "Suheng, berbahaya kalau mengejar mereka!" kembali Sian Li berteriak. Ka-rena Sian Lun
 tidak menanggapi dan terus berlari, terpaksa ia pun berlari mengejar dengan hati khawatir
 sekali. Hutan itu gelap dan cahaya bulan hanya menjadi sinar suram muram yang mema-suki
 celah-celah daun dan ranting. Makin gelap saja dan akhirnya Sian Li menjadi bingung karena
 ia kehilangan jejak tujuh orang itu, juga kehilangan jejak suheng-nya. Tadi ia mssih dapat
 mendengar suara kaki mereka menginjak daun kering. Akan tetapi kini, di sekelilingnya sunyi
 dan ia, tidak tahu harus mengejar ke mana. Dengan hati-hati ia berjalan ke sana sini,
 berkeliaran tanpa arah di da-lam hutan yang lebat itu, mengerahkan kekuatan mata dan telinga
 untuk menca-ri kembali jejak mereka. Namun, usaha-nya sia-sia, bahkan untuk kembali ke
 te-pi sungai tempat perahu tadi pun ia sudah tidak mengenal jalan lagi! Terpak-sa Sian Li
 menunggu sampai pagi. Tidak lama ia menanti karena tak lama kemu-dian, sinar bulan
 semakin muram, sinar matahari mulai membakar langit di ti-mur.
 Setelah cuaca tidak gelap lagi, sudah remang-remang, Sian Li bangkit dari bawah pohon dan
 melanjutkan pencarian-nya. Ia merasa khawatir sekali. Tiba-tiba ia mendengar teriakan
 suhengnya. "Sumoi, pergilah jauh-jauh jangan ke sini!"
 Mendengar suara ini, tentu saja Sian Li terkejut bukan main. Ia seorang gadis yang cerdik,
 maka seruan suhengnya itu membuat ia sejenak termangu. Ia tahu bahwa suhengnya tentu
 berada dalam bahaya, dan suhengnya tidak menghen-daki ia mendekat karena tentu ada
 baha-ya mengancamnya pula kalau ia mende-kat! Akan tetapi, bagaimana mungkin ia
 membiarkan saja suhengnya terancam bahaya" Bagaimana mungkin ia pergi menjauh hanya
 karena ada bahaya me-ngancamnya setelah ia tahu bahwa su-hengnya dalam bahaya" Tidak,
 ia harus menolong suhengnya. Terbayang ketika tadi dengan nekat dan mati-matian
 su-hengnya menolongnya ketika ia tertawan, bahkan suhengnya sampai mengorbankan
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 318 dirinya dan terluka pundak kirinya untuk menyelamatkan dirinya. Ia harus meno-long
 suhengnya, biarlah ia akan mengha-dapi bahaya apa pun!
 Setelah mengambil keputusan tetap, dengan hati-hati namun cepat sekali Sian Li
 mempergunakan gin-kang (ilmu me-ringankan tubuh) dan berlari seperti ter-bang menuju ke
 arah suara tadi. Suheng-nya hanya mengeluarkan kalimat itu saja lalu keadaan kembali sunyi
 sehingga ten-tu saja hatinya menjadi semakin gelisah, mengkhawatirkan suhengnya. Ia tidak
 berani memanggil, karena kalau ada mu-suh di sana, tentu akan dapat mendengar suaranya.
 Kalau ia ingin menolong su-hengnya, ia harus dapat mendekati tem-pat suhengnya itu dengan
 diam-diam dan tersembunyi. Ia harus melihat keadaan dulu sebelum turun tangan.
 Akan tetapi, betapa kagetnya ketika ia melihat dari balik batang pohon yang besar,
 suhengnya telah terbelenggu di bawah sebatang pohon besar, diikat pada pohon itu dan
 agaknya suhengnya pingsan atau tertotok karena lehernya terkulai dan kepalanya menunduk
 dalam. Tali yang amat kuat membelit tubuhnya dari kaki ke dada, kedua lengan ke belakang,
 dan diikat kepada batang pohon itu! Tidak nampak orang lain di sana! Menurutkan dorongan
 hatinya, tentu saja ia ingin sekali melompat mendekati suhengnya dan membebaskannya dari
 ikatan itu, akan tetapi kecerdikannya membuat ia berpikir sebelum bergerak.
 Mustahil kalau suhengnya ditangkap, dibelenggu lalu ditinggalkan saja di situ tanpa
 penjagaan, Tempat itu begitu su-nyi, seolah tidak ada orang lain kcuali suhengnya. Mustahil!
 Ini tentu sebuah perangkap, sebuah jebakan, ia memba-yangkan, jebakan apa yang mungkin
 dipasang oleh pihak musuh. Mereka depat bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-
 semak, siap dengan anak panah atau senjata rahasia di tangan. Kalau ia menghampiri
 suhengnya, tentu mereka akan menghujanan anak panah atau sen-jata rahasia. Akan tetapi
 tidak mungkin, pikirnya. Kalau mereka ingin membunuh-nya, kenapa suhengnya yang sudah
 tertawan itu dibiarkan hidup" Mereka tentu memasang jebakan untuk menangkapnya hidup-
 hidup atau jebakan atau perangkap apa yang mungkin mereka pasang" Se-buah lubang di
 dekat tempat suhengnya diikat" Lubang yang dtutupi rumput agar ia terjeblos ke dalam
 lubang kalau menghampiri suhengnya" Atau mereka akan keluar dan mengepung tempat itu"
 Sian Li mendapatkan perasaan yang anehsekali. Ia merasa seperti menjadi hari-mau yang
 dipancing dengan umpan! Su-hengnya menjadi kambingnya yang diikat di sana, untuk
 memancing munculnya Sang Harimau.
 Apa pun yang akan terjadi, bagaimana nanti sajalah! Yang paling penting, ia harus menolong
 suhengnya! Ia akan ber-hati-hati, menjaga segala kemungkinan. Ia akan memperhatikan
 sekelilingnya, ju-ga memperhatikan tanah yang diinjaknya! Dengan pedang terhunus di
 tangan kanan, dan sebatang tongkat dari cabang pohon yang dipatahkannya, ia melangkah
 keluar dari balik pohon, dengan hati-hati ia melangkah maju, mempergunakan tongkat yang
 dua meter panjangnya itu untuk meraba-raba dan menusuk-nusuk tanah di depannya sebelum
 ia melangkah. Ia maju selangkah demi selangkah, tongkat-nya meneliti tanah yang akan
 diinjak, matanya waspada meneliti keadaan seke-liling sehingga kalau ada ancaman datang
 dari sekelilingnya, ia tidak akan mudah dibokong.
 Tinggal kurang lebih sepuluh meter lagi dari tempat Sian Lun diikat pada batang pohon.
 Tiba-tiba ia berhenti melangkah. Ujung tongkatnya menembus lapisan rumput! Di bawah
 rumput itu ada lubang! Ia menyelidiki dengan ujung tongkatnya. Ada lubang bundar yang
 ga-ris tengahnya tidak kurang dari satu setengah meter! Lubang yang ditutup lapisan rumput.
 Kalau ia melangkah atau berlari di atas lapisan rumput, tentu ia akan terjeblos ke bawah.
 Tepat seperti yang diduganya! Dengan pengerahan te-naga pada tongkatnya, ia mencokel
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 319 lapis-an rumput itu sampai lapisan penutup lubang itu terbuka semua! Kini nampak-lah
 lubang itu, yang dalamnya tidak ku-rang dari tiga meter! Sekali terjeblos ke dalamnya, tentu
 ia akan sukar melo-loskan diri, karena tentu mereka akan mengepung lubang dan mencegah ia
 me-lompat keluar lagi.
 Sian Li tersenyum. Untung ia bersikap hati-hati. Dengan ujung tongkat terus meraba, ia
 melangkah lagi mengitari lubang dan tiba di depan suhengnya tan-pa ada rintangan lain.
 Agaknya hanya lubang itulah perangkap yang dipasang musuh. Sekarang ia harus cepat
 membebaskan suhengnya.
 "Suheng....!" Ia mengguncang pundak suhengnya. Akan tetapi suhengnya tetap lemas seperti
 tidur, atau pingsan, atau tertotok. Ia harus lebih dulu melepaskan ikatan itu kalau ingin
 membebaskan su-hengnya dari totokan. Totokan yang me-lenyapkan semua tenaga itu harus
 dibe-baskan dengan totokan dan urutan pada punggung, di pusat tenaga tengah ping-gang.
 Dengan pedangnya, Sian Li lalu membikin putus semua tali pengikat tu-buh suhengnya. Ia
 harus merangkul su-hengnya agar tidak sampai tubuh itu terkulai jatuh. Dan pada saat ia
 merang-kul suhengnya itulah jala itu jatuh dari atas pohon! Jala yang lebar, yang siap di atas
 pohon dan tali-talinya dipegangi beberapa orang yang tersembunyi. Tali-tali dilepas dan jala
 itu pun jatuh me-nyelimuti Sian Li dan Sian Lun!
 Sian Li terkejut bukan main. Ia tidak menyangka akan datang serangan dari atas. Ada
 beberapa hal yang membuat dara perkasa ini tidak dapat menghindar-kan diri dari serangan
 jala. Pertama, perhatiannya hanya ditujukan kepada suhengnya dan sekelilingnya. Ke dua,
 baru saja ia menemukan perangkap lu-bang tertutup lapisan rumput itu sehing-ga ia
 menganggap telah terbebas dari ancaman bahaya jebakan dan membuat-nya menjadi lengah,
 dan ke tiga teruta-ma sekali karena ia sedang merangkul suhengnya yang lemas untuk
 mencegah tubuh yang lemas itu terkulai jatuh.
 Sian Li mencoba untuk melepaskan diri, meronta-ronta, akan tetapi segera muncul tujuh
 orang berpakaian hitam-hitam itu dan tali-tali jala ditarik sema-kin kuat sehingga ia dan
 suhengnya terbelit dan terbungkus jala menjadi satu sampai ia tidak mampu bergerak lagi.
 Dengan mudah saja orang-orang berpa-kaian hitam itu meringkusnya dan mengi-kat tangan
 dan kakinya sebelum ia di-keluarkan dari dalam selimutan jala, demikian pula kaki dan
 tangan Sian Lun diikat pula. Kemudian, sambil tertawa-tawa tujuh orang itu menaikkan tubuh
 kedua orang muda itu ke atas punggung kuda, menelungkup dan melintang, dan dipegangi
 orang yang menunggang kuda, dan mereka lalu pergi dari situ menung-gang kuda, menuju ke
 timur. *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 Matahari telah naik tinggi ketika rombongan tujuh orang itu berhenti di depan sebuah
 bangunan yang berada di puncak sebuah bukit. Tempat itu jauh dari dusun dan nampak sunyi,
 walaupun di kaki bukit tadi terdapat yang diting-gali orang-orang suku Tibet dan ada pula
 suku Miao. Sian Lun sadar dan begitu membuka mata dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di
 punggung kuda, menelungkup dan melintang di depan seorang laki-laki tinggi besar yang
 menunggang kuda itu, dia tahu bahwa dia dibawa pergi dan hatinya merasa lega. Tentu
 sumoinya telah mendengar teriakannya tadi sebe-lum dia ditotok pingsan dan sumoinya tidak
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 320 mau mendekati tempat yang sudah dipasangi jebakan berbahaya itu. Biarlah, biar dia dibunuh
 sekalipun, asal sumoinya selamat, dia ikut girang.
 "Suheng....!"
 Sian Lun menengok ke kiri dan ter-kejut bukan main. Dia terbelalak dan tidak mampu
 mengeluarkan suara. Leher-nya seperti dicekik dan dadanya seperti hendak meledak. Kiranya
 Sian Li juga telah tertangkap seperti dia! Diikat kaki tangannya, ditelungkupkan di punggung
 kuda dan sama sekali tidak berdaya. Sungguh celaka!
 Melihat wajah suhengnya menjadi pu-cat dan matanya terbelalak, Sian Li ter-senyum!
 "Suheng, kita belum mati!" ka-tanya dan ucapan ini membesarkan hati-nya. Benar juga.
 Mereka masih hidup dan selama mereka masih hidup, dia tidak boleh putus asa! Kalau
 mereka ditawan dan tidak dibunuh, hal itu hanya berarti bahwa para penawan mereka tidak
 meng-hendaki kematian mereka. Sementara ini, bahaya maut masih jauh dan masih ada
 harapan bagi mereka berdua untuk men-cari jalan membebaskan diri.
 Sian Li memberi isarat dengan kedipan mata lalu memejamkan matanya, dan Sian Lun
 mengerti, maka dia pun tidak mau bicara lagi. Lebih baik mengumpul-kan tenaga untuk
 bersiap-siaga, di mana ada kesempatan mereka akan membebas-kan diri.
 Rombongan itu memasuki pekarangan rumah, kemudian dua orang tawanan dipanggul
 masuk ke dalam rumah, dibawa ke dalam sebuah ruangan. Di dalam rumah itu terdapat
 belasan orang, kese-muanya berkepala gundul dan mengena-kan jubah hitam. Kiranya tempat
 itu merupakan sarang Hek I Lama yang menjadi orang-orang buruan pemerintah Tibet!
 Sian Lun dan Sian Li dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang berdampingan, dipisahkan
 dinding terali besi yang kokoh kuat. Mereka dapat saling lihat, akan tetapi dinding pemisah
 itu kuat bukan main. Juga ruangan tahanan itu mempunyai pintu besar terbuat dari besi
 berterali yang kokoh, dikunci dari luar.
 Ketika dimasukkan ke dalam ruangan tahanan, ikatan kedua kaki mereka di-lepes dan kini
 hanya kedua tangan mere-ka saja yang masih terbelenggu ke be-lakang. Setidaknya, mereka
 dapat berge-rak, dapat berdiri atau duduk. Mereka lalu duduk bersila, mengatur pernapasan.
 Sian Liberpikir. Ia melihat bahwa tujuh orang tadi sesungguhnya juga para anggauta Lama
 Jubah Hitam yang me-nyamar, menutupi kepala gundul mereka dangan kain hitam dan
 pakaian mereka juga ringkas, tidak mengenakan jubah pendeta. Jelas bahwa ia dan suhengnya
 tertawan oleh para pendeta Lama jubah hitam yang menurut keterangan dipimpin oleh Lulung
 Lama. Pendeta Tibet itu merupakan pimpinan golongan pendeta Lama yang tidak sah, yang
 dimusuhi pemerintah Tibet sendiri, dan golongan ini telah bersekutu dengan gerombolan dari
 Nepal yang juga merupakan pembe-rontak di negaranya sendiri. Mereka itu melakukan
 gerakan menghasut dan mengobarkan sikap anti pemerintah Ceng di Cina, dan agaknya
 mereka itu hendak melakukan gerakan pemberontakan di Cina dan kini sedang menyusun
 kekuatan. Semua ini ia dengar dari Gangga Dewi ketika ia masih berada di Bhutan. Akan
 tetapi kenapa Lama Jubah Hitam mena-wan ia dan suhengnya"
 "Sumoi, kau baik-baik saja?" Tiba-tiba suara Sian Lun ini menyadarkan Sian Li
 darilamunannya. Ia mengangkat muka memandang dan suhengnya telah berdiri di dekat jeruji
 pemisah kamar tahanan mereka. Kedua tangan suhengnya juga masih terbelenggu. Ikatan itu
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 321 longgar saja, akan tetapi tidak mungkin dipatah-kan, karena tali untuk mengikatnya ada-lah
 dari kulit yang amat kuat, yang da-pat melentur sehingga tidak dapat dibikin putus.
 "Aku tidak apa-apa, Suheng. Dan me-reka tidak melukaimu?"
 "Tidak, hanya menotok dan membius. Bahkan lukaku di pundak tahu-tahu telah kering dan
 mereka obati. Sungguh aneh, apa maksud mereka itu menawan kita?"
 "Aku sendiri tidak tahu, Suheng. Akan tetapi mulai sekarang, engkau harus ber-hati-hati dan
 jangan terburu nafsu, dapat menahan diri melihat keadaan. Karena engkau terburu nafsu,
 maka telah berlaku sembrono sehingga kita tertawan."
 "Maafkan aku, Sumoi. Memang aku ceroboh, semestinya aku tidak mengejar mereka. Akan
 tetapi engkau.... aku ber-terima kasih padamu, Sumoi. Engkau te-lah membelaku sehingga
 engkau sendiri tertawan."
 Melihat pandang mata suhengnya itu penuh kasih dan keharuan, Sian Li me-narik napas
 panjang. "Sudahlah, tidak perlu disebut-sebut lagi. Kita adalah kakak beradik seperguruan,
 tentu saja saling bantu dan saling bela." Tiba-tiba Sian Li memberi isarat dengan kedipan
 mata dan Sian Lun menghentikan perca-kapan, membalikkan badan untuk meman-dang ke
 depan kamar tahanan itu, melalui jeruji di pintu besi. Dia menahan kemarahannya ketika
 melihat seorang yang amat dikenalnya, yaitu penabuh tambur murid Lulung Lama yang lihai
 itu! Ingin dia memaki, akan tetapi dia takut kalau dianggap ceroboh lagi oleh sumoinya, maka
 dia pun diam saja, hanya memandang dengan mata penuh kebenci-an, dan menyerahkan saja
 kepada sumoi-nya untuk menentukan sikap dan kalau perlu bicara. Dia sudah mendapat
 kete-rangan bahwa pemuda ini adalah murid Lulung Lama, bernama Cu Ki Bok, seo-rang
 peranakan Han Tibet. Karena dia pernah bertanding melawan pemuda yang tinggi tegap dan
 gagah ini, dia tahu bah-wa murid Lulung Lama ini amat lihai.
 "Selamat sore, Nona Tan Sian Li dan sobat Liem Sian Lun. Selamat bertemu kembali!" kata
 Cu Ki Bok sambil terse-nyum dan kini sikapnya sungguh berbeda dengan ketika dia
 menyamar sebagai tukang tambur itu. Kini sikapnya riang dan ramah, matanya bersinar-sinar
 dan bibirnya tersenyum sedangkan pakaiannya juga pesolek sehingga membuat dia nam-pak
 makin gagah dan tampan.
 "Hemm, kiranya engkau pula yang mengatur semua kecurangan ini! Cu Ki Bok, kalau
 engkau memang gagah, mari kita bertanding sampai seorang di antara kami menggeletak
 menjadi mayat, bukan melakukan pengeroyokan dan perangkap yang curang! Engkau
 pengecut tak tahu malu!" Sian Li memaki-maki.
 Yang dimaki-maki tersenyum saja. "Kalau saja Suhu tidak mempunyai ren-cana lain
 denganmu, tentu aku akan suka sekali menyambut tantanganmu itu, Nona dengan taruhan
 bahwa kalau aku kalah, engkau boleh membunuhku, akan tetapi kalau aku menang, engkau
 harus menjadi isteriku."
 Wajah Sian Li berubah merah sekali dan matanya memancarkan cahaya bera-pi saking
 marahnya. "Huh, tak tahu malu! Siapa sudi menjadi jodohmu", Engkau hanya seorang
 peranakan Han yang sudah lupa diri, suka menjadi budak orang Ti-bet dan Nepal, menjadi
 antek pemberon-tak!"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 322 "Nona, kalau bukan engkau yang bica-ra, tentu sudah kurobek mulutmu! Coba ingat baik-
 baik, kalian ini bangsa apakah, Nona Sian Li dan Sobat Sian Lun" Kalian mengaku orang
 Han, mengaku penduduk aseli, bahkan mengaku sebagai pendekar--pendekar yang gagah
 perkasa. Akan teta-pi apa yang kalian lakukan untuk negara dan bangsa kita yang terjajah oleh
 bang-sa Mancu" Aku memang memberontak terhadap penjajahan orang Mancu, aku seorang
 patriot, seorang pahlawan sejati! Dan kalian masih memandang rendah dan memaki aku"
 Padahal, dengan sikap ka-lian yang tidak menentang pemerintah penjajah, berarti kalian sudah
 menjadi antek orang Mancu yang menjajah negara dan bangsa kita!" Setelah berkata
 demikian, Cu Ki Bok meninggalkan tempat itu dengan cepat.
 Sian Li saling pandang dengan su-hengnya, ucapan pemuda tinggi tegap peranakan Han
 Tibet itu tadi seperti ujung pedang yang menusuk-nusuk jantung mereka karena tepat sekali
 mengenai sasaran, Mereka sudah seringkali mende-ngar dari guru mereka, Suma Ceng Liong
 dan Isterinya, bahwa mereka itu kini se-lalu prihatin melihat betapa tanah air dan bangsa
 dijajah oleh bangsa Mancu. Bahkan Suma Ceng Liong mengakui bah-wa di dalam darah
 keluarga Suma, yaitu keluarga keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, mengalir pula
 darah Man-cu! Isteri Pendekar Super Sakti Suma Han adalah wanita-wanita Mancu. Inilah
 sebabnya mengapa sampai sekarang, tidak ada keturunan keluarga Suma yang me-nentang
 pemerintah Mancu. Padahal ke-luarga ini terkenal sebagai keluarga para pendekar yang gagah
 perkasa! Dan sekarang, pemuda peranakan Han Tibet yang menawan mereka itu telah mencela
 mereka. Salahkah mereka" Be-narkah pemuda peranakan Han Tibet itu" Sian Li menjadi
 bingung dan termenung.
 "Sumoi, jangan dengarkan dia," terde-ngar Sian Lun berkata, "pahlawan macam apa dia itu"
 Menggunakan orang-orang Tibet dan Nepal, menawan kita secara curang dan pengecut.
 Seorang gagah se-jati tidak akan melakukan perbuatan seperti itu. Jelas bahwa gerombolan itu
 jahat seperti apa yang dikatakan Bibi Gangga Dewi, mungkin kepatriotannya itu hanya
 sebagai kedok saja."
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sian Li memejamkan mata. Memang, neneknya, Gangga Dewi sudah mencerita-kan tentang
 Hek I Lama, yaitu kelompok pendeta Lama Jubah Hitam yang dipim-pin oleh Lulung Lama.
 Kelompok pendeta ini telah melakukan penyelewengan. Mula-mula, Lulung Lama adalah
 orang pendeta Lama Jubah Merah yang memi-liki kedudukan cukup tinggi di antara para
 pendeta Lama di Tibet. Akan tetapi dia melakukan pelanggaran, menggang-gu wanita, bahkan
 melakukan perbuatan rendah dengan memperkosa wanita. Keja-hatan ini diketahui dan dia
 tidak dapat diampuni lagi, dikeluarkan dari kelompok Lama Jubah Merah di mana dia tadinya
 menjadi tokoh. Lulung Lama merasa sa-kit hati dan dia pun lalu membentuk keiompok
 sendiri dengan mengenakan Jubah Hitam. Baru warna Jubahnya saja sudah berarti bahwa dia
 tidak segan melakukan perbuatan jahat seperti go-longan hitam! Dia segera diikuti oleh
 golongan hitam di daerah Tibet yang menjadi anak buahnya. Kemudian, Lulung Lama
 berkenalan dengan Pangeran Gulam Sing, yaitu pangeran dari Nepal yang menjadi orang
 buruan di negaranya karena dia melakukan pemberontakan. Pange-ran Gulam Sing juga
 mempunyai banyak anak buah. Kedua orang tokoh sesat itu lalu bergabung membuat
 kekacauan di daerah Nepal, Bhutan dan Tibet, bahkan merencanakan pemupukan kekuatan
 untuk melakukan serbuan ke timur, menentang pemerintah Mancu dan menghasut orang-
 orang Han untuk bersekutu dengan mere-ka dan memberontak terhadap pemerin-tah Kerajaan
 Mancu dengan dalih kepa-triotan!
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 323 "Mungkin engkau benar, Suheng. Ba-gaimanapun juga, kita harus waspada dan berhati-hati.
 Cu Ki Bok itu lihai dan gurunya lebih lihai lagi. Ditambah dengan anak buah Hek I Lama
 yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, kita berada dalam bahaya."
 Tempat tahanan mereka itu tidak pernah lowong dari penjagaan di luar ruangan. Sedikitnya
 ada empat orang penjaga yang berada di luar ruangan itu, kesemuanya adalah anggauta Hek I
 Lama dengan ciri khas mereka, yaitu kepala gundul dan jubah hitam. Mereka tidak pernah
 diganggu oleh para penjaga, bah-kan secara teratur mereka mendapatkan makan dan minum
 yang layak, dimasuk-kan ke dalam melalui jeruji besi oleh penjaga, di atas sebuah baki. Ada
 nasi, ada sayur, dan ada air teh.
 Malam tiba dan di luar kamar tahan-an itu dipasangi lampu minyak. Ada dua buah lampu
 yang cukup terang. Sian Li merasa tubuhnya segar dan sehat. Ia dan suhengnya diperlakukan
 dengan baik. Bahkan sore tadi, ia mendapat kesempat-an untuk mandi, bertukar pakaian. Dia
 dikawal ke tempat mandi yang berada di bagian belakang, dikawal empat orang dengan
 todongan golok, belenggu kedua langannya dilepas dan sebagai gantinya, kaki dan tangannya
 dipasangi rantai yang cukup membuat ia mampu bergerak un-tuk mandi, dan lain-lain. Ia
 tidak begitu bodoh untuk memberontak atau melarikan diri walau kaki dan tangannya dirantai,
 Kalau ia mau, tentu saja itu merupakan kesempatan. Namun, ia tahu pula bahwa usahanya itu
 tidak akan berhasil. Terlalu banyak lawan yang tangguh di situ, dan pula, andaikata ia mampu
 melarikan diri, suhengnya masih tertinggal di sana. Se-telah ia membersihkan diri dan
 berganti pakaian, lalu tiba giliran Sian Lun.
 "Suheng, jangan membuat ulah," pe-sannya ketika pemuda itu digiring keluar.
 Dan ia girang melihat suhengnya datang lagi dengan pakaian bersih dan wajah yang segar.
 Mereka harus memberi ke-sempatan yang lebih baik agar keduanya dapat meloloskan diri.
 Selagi Sian Li duduk bersila mengatur pernapasan untuk melatih sin-kang, ia mendengar
 percakapan empat orang pen-jaga di luar kamar tahanan itu. Ia memperhatikan. Siapa tahu
 dari percakapan itu ia dapat mengumpulkan keterangan yang penting.
 "Heran, kenapa kita harus bersusah payah menjaga dua orang tahanan ini siang malam dan
 melayani mereka seper-ti tamu di rumah penginapan saja" Ke-napa tidak dibunuh saja mereka
 agar tidak merepotkan?" terdengar seorang di antara mereka bicara.
 "Hushh, bodoh kamu! Apa tidak meli-hat betapa cantiknya tawanan itu?" kata yang lain.
 "Hemm, kalau muda dan cantik, lalu kenapa" Justeru semestinya dimanfaatkan untuk hiburan
 kita, bukan dijadikan tamu yang hanya merepotkan saja!" omel suara pertama.
 "Aih, engkau lancang sekali! Untung tidak terdengar Thai-losu (Guru Besar) atau Cu Kongcu
 (Tuan Muda Cu). Kalau terdengar bisa diketuk kepalamu!" tegur suara ke tiga.
 "Kita senasib sependeritaan, kalau bu-kan dengan kalian bertiga, mana aku berani
 sembarangan membuka mulut" Coba siapa berani membantah sejujurnya! Bukankah
 keluhanku tadi juga menjadi suara hati kalian?" kata orang pertama.
 "Sudah, kalian tidak usah ribut-ribut." kata suara ke empat. "Apa kalian tidak tahu urusan"
 Dua orang tawanan ini ada-lah pendekar-pendekar Han, tentu saja diperlakukan dengan baik
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 324 oleh Thai-losu. Pula, agaknya Thai-losu ingin menye-nangkan hati Pangeran Gulam Sing.
 Me-reka berdua besok pagi datang ke sini dan engkau tahu sendiri selera pangeran itu
 terhadap wanita cantik." Mereka ber-empat berbisik-bisik sambil tertawa.
 Sian Li mendengarkan dengan alis berkerut dan hatinya menjadi tegang. Bahaya besar
 mengancam dirinya! Agak-nya orang yang mereka sebut Thai-losu tadi adalah Lulung Lama,
 dan ia akan dihadiahkan kepada seorang pangeran yang bernama Gulam Sing, seorang
 pa-ngeran Nepal yang haus wanita!
 Tentu saja Sian Li merasa khawatir sekali. Jelas bahwa pada malam hari ini, Lulung Lama
 tidak berada di tempat itu dan agaknya besok pagi baru akan tiba. Yang berada di situ hanya
 anak buah Hek I Lama dan pemuda murid Lulung Lama itu. Kalau saja ia dan suhengnya
 dapat keluar dari kamar tahanan dan mematahkan rantai, tentu mereka berdua akan dapat
 meloloskan diri! Akan tetapi, bagaimana caranya" Ia melirik ke arah suhengnya dan pemuda
 itu pun sedang duduk bersila dan menoleh kepadanya dengan wajah gelisah. Tentu suhengnya
 tadi mendengar pula percakapan di luar kamar tahanan itu dan mengkhawatirkan dirinya yang
 akan dihadiahkan kepada Pangeran Gulam Sing!
 Malam telah larut, agaknya sudah le-wat tengah malam. Ia melihat suhengnya dengan hati-
 hati menghampiri pintu, lalu kedua tangan suhengnya mencoba untuk merenggangkan jeruji
 pintu dari baja itu, ia sendiri pun segera mencoba usaha merenggangkan jeruji pintu. Namun
 sia-sia. Jeruji pintu dari baja itu terlampau kokoh.
 Tiba-tiba empat orang penjaga yang tadi masih terdengar berbisik-bisik itu nampak membuat
 gaduh. Seorang di an-tara mereka berseru lantang, "Siapa itu....?"
 Akan tetapi, tidak ada jawaban dan suasana menjadi sunyi sekali, bahkan empat orang
 penjaga itu tidak terdengar lagi suaranya maupun gerakannya. Selagi Sian Li dan Sian Lun
 merasa heran dan tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, nampak sesosok bayangan
 orang berkelebat dan dua buah lampu pene-rangan di luar kamar tahanan itu menda-dak
 padam. Kini tempat itu hanya men-dapat penerangan dari sinar lampu yang agak jauh
 sehingga remang-remang dan tidak jelas. Sian Li melihat sesosok ba-yangan hitam itu
 berkelebat di luar pintu kamar tahanan Sian Lun, dan orang itu, yang mengenakan caping
 lebar menutupi mukanya, berbisik kepada pemuda itu.
 "Tak perlu bertanya-tanya. Cepat de-katkan tanganmu ke sini."
 Sian Lun segera mengerti bahwa orang itu datang untuk menolongnya, maka dia pun
 menghampiri pintu dan mendorongkan kedua tangannya yang dibelenggu. Terdengar suara
 berkeretakan dan belenggu kedua tangan Sian Lun terlepas! Bayangan itu menyerahkan dua
 batang pedang kepada Sian Lun dan ber-kata lagi.
 "Cepat bebaskan sumoimu dan kalian lari dari sini!"
 Sian Lun keluar dari kamar tahanan karena daun pintunya ternyata telah di-buka dan juga
 kamar tahanan Sian Li telah terbuka dan juga kamar tahanan telah terbuka daun pintunya. Dia
 melon-cat masuk ke dalam kamar tahanan su-moinya, dengan menggunakan pedang, dia
 membebaskan dara itu dari belenggu. Dapat dibayangkan betapa girang dan juga heran hati
 kedua orang muda ini ketika mendapat kenyataan bahwa dua batang pedang yang diserahkan
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 325 oleh orang itu adalah pedang mereka sendiri yang tadi dirampas oleh para anggauta Hek I
 Lama! Mereka berloncatan keluar dari kamar tahanan, memegang pedang masing-ma-sing dan
 mereka mencari-cari dengan mata mereka. Penolong tadi telah lenyap tanpa meninggalkan
 bekas Mereka hanya melihat empat orang penjaga di luar kamar tahanan dan empat orang ini
 berada dalam keadaan aneh. Ada yang sedang duduk, ada yang berjongkok, ada yang berdiri,
 bahkan ada yang sedang mencabut golok dan sikapnya seperti orang hendak meloncat. Akan
 ,tetapi me-reka semua tidak bergerak dan seperti telah berubah menjadi patung! Tahulah Sian
 Li dan Sian Lun bahwa mereka te-lah menjadi korban totokan yang amat ampuh! Mereka
 tidak mempedulikan empat orang penjaga itu dan berlari ke-luar dari situ, menuju ke lorong
 dari mana mereka dapat keluar melalui taman di samping rumah untuk kemudian me-loncat
 pagar tembok. Akan tetapi ketika mereka sudah ke-luar dari rumah dan tiba di dalam taman tiba-tiba
 terdengar teriakan-teriakan nyaring. "Tawanan lolos! Tawanan lolos!"
 "Itu mereka di taman....!"
 "Kepung....!"
 Sian Li dan Sian Lun melihat belasan orang yang dipimpin oleh Cu Ki Bok sendiri
 melakukan pengejaran! Mereka sudah siap untuk malawan mati-matian. Tiba-tiba di belakang
 mereka ada suara orang. "Cepat kalian lari meloncat tem-bok, biar aku yang menahan
 mereka!" Orang bercaping itu lagi! Karena ke-adaan mendesak, dua orang muda itu tidak sempat
 bicara lagi. Mereka men-taati petunjuk penolong itu dan dengan cepat mereka berlari ke pagar
 tembok dan meloncat ke atasnya. Ketika tiba di atas pagar tembok, Sian Li sempat menengok
 dan ia memandang kagum. Penolong mereka yang bercaping itu, se-orang diri dan tanpa
 senjata, telah ber-hasil menghadang belasan orang yang dipimpin oleh Cu Ki Bok yang amat
 li-hai itu! Tubuh Si Caping itu berkelebatan seperti seekor burung walet menyambar-nyambar
 dan menghalangi setiap orang yang hendak melakukan pengejaran! Dan setiap orang, bahkan
 Cu Ki Bok sendiri, terpental ke belakang begitu dihadang dan dihalangi orang bercaping itu!
 "Mari cepat, Sumoi!" kata suhengnya dan Sian Li terpaksa cepat meloncat ke-luar dan
 bersama suhengnya ia pun me-larikan diri meninggalkan tempat itu. Namun, penglihatan tadi
 tak pernah da-pat dilupakan. Betapa lihainya kepandaian orang bercaping itu!
 Setelah malam berganti pagi, baru kedua kakak beradik seperguruan itu menghentikan lari
 mereka. Keduanya me-rasa amat lelah den mereka berhenti di luar sebuah dusun, melepas
 lelah. Dusun itu mulai hidup. Penghuninya mulai me-ninggalkan dusun, membawa alat
 pertani-an untuk mulai bekerja di sawah ladang.
 "Suheng, kita telah ditolong oleh orang bercaping itu...." kata Sian Li, ter-haru karena tidak
 mengira bahwa mereka akan dapat lolos sedemikian mudahnya.
 "Kita berhutang budi, bahkan mungkin hutang nyawa kepada orang itu, Sumoi," kata pula
 Sian Lun, masih tertegun.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 326 "Siapakah dia, Suheng" Apakah engkau dapat melihat mukanya?"
 Sian Lun menggeleng kepala. "Ketika dia menolong kita, kedua buah lampu itu padam dan
 cuaca terlalu gelap untuk dapat mengenal mukanya. Apalagi caping lebar itu
 menyembunyikan mukanya. Bah-kan aku tidak tahu apakah dia itu muda atau tua, laki-laki
 atau wanita...."
 "Dia jelas laki-laki, Suheng. Suaranya berat dan tubuhnya juga tegap seperti tubuh laki-laki.
 Sungguh sayang keadaan tidak mengijinkan kita untuk berkenalan de-ngan dia, Suheng.
 Sungguh tidak enak rasanya diselamatkan orang tanpa me-ngenal dia siapa, bahkan tidak
 melihat wajahnya sehingga selain kita tidak tahu siapa dia, juga kalau berjumpa kita tidak
 akan mengenalnya."
 "Sudahlah, Sumoi. Bukankah Suhu dan Subo seringkali mengatakan bahwa di du-nia ini
 banyak terdapat orang aneh dan lihai, dan bahwa para pendekar tidak pernah mau mengikat
 diri dengan dendam dan budi" Dia tentu seorang pendekar aneh yang tidak mau menanam
 budi, maka menolong secara sembunyi dan tidak memperkenalkan diri. Kita patut bersyukur
 bahwa kita telah terbebas dari bahaya maut, bahkan menerima kembali pedang kita, dalam
 keadaan sehat. Luka di pundakku juga sudah sembuh."
 "Akan tetapi buntalan pakaian kita lenyap, dan juga bekal emas permata yang amat berharga
 dari Nenek Gangga Dewi, dirampas penjahat-penjahat itu! Padahal, kita perlu membeli
 pakalan pengganti dan untuk bekal dalam perja-lanan."
 Sian Lun meraba-raba bajunya dan mengeluarkan beberapa potong perak, da-ri saku bajunya.
 "Ini masih ada beberapa potong perak dalam saku bajuku. Kita masih dapat membeli
 makanan untuk beberapa hari lamanya. Mengenal pakai-an.... wah, terpaksa sementara ini
 tidak bisa ganti...."
 Mereka melanjutkan perjalanan. Peta perjalanan itu pun lenyap dan mereka memasuki dusun,
 untuk membeli makanan dan menanyakan jalan.
 Sambil membeli makanan sederhana di sebuah kedai kecil, mereka mendapat keterangan dan
 ternyata mereka telah meninggalkan pantai Sungai Yalu-cangpo sejauh tiga puluh mil lebih!
 Dan perja-lanan melalui darat ke timur amat sukar karena melalui bukit-bukit, hutan-hutan
 dan daerah liar, di mana terdapat banyak bahaya. Jalan raya yang biasa diperguna-kan
 rombongan pedagang, masih belasan li jauhnya dari situ. Menurut keterangan penduduk
 dusun itu, kalau hendak mela-kukan perjalanan ke timur, paling aman dan paling cepat adalah
 melalui Sungai Yalu-cangpo, maka mereka terpaksa ha-rus kembali ke utara sampai ke tepi
 sungai, mempergunakan perahu.
 "Aih, kita harus kembali lagi ke tepi sungai, Suheng. Akan tetapi, setelah tiba di sana,
 bagaimana kita dapat menyewa perahu kalau kita tidak mempunyai bekal uang lagi?"
 "Bagaimana nanti sajalah, Sumoi."
 Percakapan mereka terhenti ketika seorang anak laki-laki berusia lebih em-pat belas tahun
 menghampiri mereka. Dengan suara lirih dan logat Tibet yang asing dia berkata, "Saya
 disuruh sese-orang untuk menyerahkan buntalan ini kepada Jiwi (Anda Berdua)." Anak itu
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 327 menyerahkan sebuah buntalan dan meli-hat buntalan itu, Sian Lun meloncat ka-get dan
 girang. Itu adalah buntalan pakaiannya yang dirampas oleh orang-orang. Hek I Lama!
 "Siapa yang menyuruhmu" Di mana dia sekarang?"
 Anak itu menggeleng kepala. "Aku tidak tahu dia siapa. Seorang yang me-makai caping,
 mukanya tidak kelihatan jelas. Dia memberi aku sekeping perak dan menyuruh aku
 menyerahkan buntalan ini kepada seorang nona berbangsa Han yang berpakaian merah, dan
 yang berada di kedai ini. Setelah menyerahkan bun-talan, dia pergi."
 Sian Li membuka buntalan dan me-meriksa. Masih lengkap! Bahkan buntalan terisi emas
 permata pemberian Gangga Dewi juga masih lengkap berada di situ! Hampir ia bersorak
 saking gembiranya. Ia mengikat lagi buntalannya di punggung lalu berkata, "Aku akan
 mencari dia!"
 "Tidak perlu, Sumoi. Tidak akan bisa kautemukan. Jelas bahwa dia sengaja tidak mau
 memperkenalkan diri dan ten-tu telah pergi jauh."
 Sian Li memaklumi kebenaran ucapan suhengnya. Orang itu jelas memiliki ilmu kepandaian
 yang tinggi dan kalau dia tidak menghendaki, tidak mungkin ia dapat mengejarnya.
 "Sayang sekali. Aku ingin sekali ber-temu dan berkenalan dengannya, Suheng, dan mengapa
 pula dia menolong kita secara sembunyi dan tidak mau bertemu dengan kita."
 "Tentu ada sebabnya yang dia sendiri saja mengetahuinya, Sumoi. Kelak kalau dia
 menghendaki, tentu kita akan dapat bertemu dengannya. Sekarang, sebaiknya kalau kita
 mencari dan membeli kuda agar perjalanan ke pantai dapat dilaku-kan lebih cepat. Juga
 engkau perlu membelikan pakaian pengganti untukku. Penolong kita itu agaknya hanya
 mem-perhatikanmu dan mengambilkan buntalan pakaianmu sedangkan pakaianku tidak dia
 ambilkan." Sian Lun tertawa, sama seka-li tidak merasa iri kepada sumoinya. Sian Li juga
 tertawa, akan tetapi entah me-ngapa, jantungnya berdebar mendengar bahwa penolong
 mereka itu agaknya amat memperhatikannya!
 Dengan emas yang ada pada Sian Li, mudah saja mereka membeli dua ekor kuda yang baik
 dengan harga mahal, kemudian mereka pun sudah me-ninggalkan dusun itu, menunggang
 kuda menuju ke tepi Sungai Yalu-cangpo. Peta perjalanan itu pun berada di dalam bun-talan
 Sian Li sehingga kini mereka men-dapatkan petunjuk lagi.
 Perjalanan mereka ke tepi sungai itu tidak mendapat gangguan dan dari seo-rang nelayan
 mereka bahkan mendapat petunjuk baru bahwa daripada naik perahu, lebih cepat kalau
 mereka menung-gang kuda saja, melalui jalan setapak menyusuri tepi sungai. Mereka
 menurut petunjuk ini memang benar, jalan setapak itu cukup baik untuk dilalui kuda mereka
 dan perjalanan dapat di lakukan lebih cepat. Ketika mereka melewati dusun yang cukup
 ramai, Sian Li membelikan pakaian pengganti untuk suhengnya. Kini mereka melakukan
 perjalanan berkuda dengan perbekalan yang lengkap pula.
 Untuk memberi kesempatan kepada kuda mereka beristirahat. Sian Li dan Sian Lun berhenti
 mengaso di tepi su-ngai yang ditumbuhi banyak rumput ge-muk. Mereka membiarkan kuda
 mereka makan rumput dan beristirahat, dan mereka pun membuka buntalan perbekal-an
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 328 makanan dan air bersih. Sambil ma-kan, mereka bercakap-cakap, membicara-kan pengalaman
 mereka. "Suheng, ingatkah Sugeng ketika Ba-dhu dan Sagha bersama tiga orang Lama Jubah Hitam
 itu menyerang kita di rumah penginapan itu?"
 "Ya, kenapa?"
 "Ketika mereka mengeroyok kita, tiba-tiba mereka melepaskan senjata dan mereka melarikan
 diri secara aneh kare-na kita tidak melukai mereka."
 "Hemm, dan engkau mengatakan bah-wa mungkin ada dewa yang menolong kita?"
 "Sekarang aku tahu siapa dewa yang menolong kita itu!"
 "Eh, benarkah" Siapa dia?"
 "Tentu orang bercaping itu juga!"
 Sian Lun menatap wajah sumoinya, lulu mengangguk-angguk. "Mungkin sekali dugaanmu
 itu benar, Sumoi, akan tetapi tidak ada artinya karena kita pun belum tahu siapa orang
 bercaping itu."
 Sian Li menghela napas panjang. "Su-heng, kalau sampai aku tidak dapat me-ngetahui siapa
 adanya orang itu, tentu akan selalu ada penyesalan dan ganjalan dalam hatiku."
 Setelah kuda mereka makan kenyang dan nampak segar kembali, mereka me-lanjutkan
 perjalanan karena menurut pe-tunjuk dalam peta yang dibuat oleh ahli di Bhutan, tidak jauh di
 sebelah depan terdapat sebuah dusun besar, t
 
^