Kisah Si Bangau Merah 12

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


epat di belokan Sungai Yalu-cangpo yang
 menikung ke selatan. Dari situ, mereka akan menyeberang dan meninggalkan lembah sungai
 itu, melanjutkan perjalanan ke timur.
 *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 Dua orang kakak beradik seperguruan itu memasuki dusun Cam-kong di tepi Sungai Yalu-
 cangpo yang berbelok ke selatan. Sebuah dusun yang ramai karena dari sinilah para pedagang
 yang hendak membawa barang dagangan ke selatan berkumpul dan mengirim barang mereka
 dengan perahu. Sedangkan para pedagang yang membawa dagangan ke timur, dan datang dari
 barat, membongkar barang yang mereka bawa dengan perahu di dusun ini untuk kemudian
 melanjutkan perjalanan rombongan mereka ke timur melalui daratan. Karena menjadi pusat
 persaingan para pedagang, maka dusun itu menjadi makmur dan ramai. Dengan mudah Sian
 Li dan Sian Lun mendapat-kan dua buah kamar di rumah penginapan yang juga membuka
 rumah makan di samping rumah penginapan. Hiruk pikuk suara orang yang tiada hentinya
 memuat dan membongkar barang di dusun pela-buhan itu.
 Ketika mereka memasuki rumah pe-nginapan, mengikuti seorang pelayan yang menunjukkan
 dua buah kamar untuk me-reka, kakak beradik itu melewati sebuah ruangan duduk di mana
 berkumpul tujuh orang yang melihat pakaiannya tentulah pedagang-pedagang berbangsa Han.
 Mere-ka bercakap-cakap dengan santai dan mendengar logat bicara mereka, Sian Lun dan
 Sian Li segera tertarik sekali karena logat Shantung, seperti logat orang-orang di tempat
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 329 tinggal Kakek Suma Ceng Liong yang sudah biasa mereka dengar. Kiranya mereka adalah
 pedagang-peda-gang dari bagian timur sekali, dan mere-ka merasa seperti bertemu dengan
 sau-dara-saudara dari kampung halaman sendiri! Memang demikianlah perasaan hati hampir
 setiap orang yang berada di ran-tau. Kalau kita berada di rantau orang, jauh dari kampung
 halaman, apalagi ka-lau sedang merindukan kampung halaman, mendengar logat bicara orang
 sekampung rasanya seperti bertemu dengan saudara sendiri dan segera timbul keakraban
 dalam hati. Dahulu kalau berada di kampung halaman sendiri, logat itu sama sekali tidak
 mendatangkan kesan apu pun.
 Kebetulan mereka mendapatkan dua buah kamar yang tidak berjauhan dari ruangan duduk
 itu, maka setelah mema-suki kamar masing-masing, mereka de-ngan pendengaran mereka
 yang tajam terlatih, masih dapat menangkap perca-kapan tujuh orang Shantung itu. Mereka
 segera menaruh perhatian karena mereka membicarakan soal keamanan daerah itu dan
 perjalanan dari tempat itu ke timur, perjalanan yang akan mereka tempuh.
 Mereka menceritakan pengalaman masing-masing dan menyebut-nyebut tentang adanya
 seorang pendekar yang mereka namakan Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Besar Tangan Sakti).
 "Kalau tidak ada pendekar itu, mung-kin hari ini aku tidak dapat bertemu dengan kalian di
 sini," terdengar seorang di antara mereka bercerita. Terjadinya kurang lebih sebulan yang lalu.
 Perampok-perampok itu sungguh tidak mengenal peraturan umum. Rombongan kami sudah
 bersedia untuk memberi sumbangan yang cukup memadai. Akan tetapi mereka menginginkan
 yang bukan-bukan, bahkan hendak menculik puteri pedagang dari selatan itu. Tentu saja kami
 keberatan, apalagi ketika mereka hendak mengambil semua, gulungan sutera paling halus dan
 paling mahal. Bisa bangkrut kami kalau menuruti kehendak mereka. Dan mereka menjadi
 marah, lalu mengatakan mereka akan merampas semua barang, menculik gadis itu, dan
 membunuh kami semua!"
 "Hemm, memang sekarang mulai tidak aman. Banyak gerombolan pengacau dari berbagai
 aliran, ada perampok, ada bajak sungai, bahkan ada pula gerombolan pemberontak dan ada
 katanya pasukan keamanan sendiri malah merampok dan mengganggu kami," kata orang ke
 dua. "Acun, lanjutkan ceritamu tadi. Sete-lah rombongan diancam, lalu bagaimana?" kata yang
 lain. Orang pertama yang bernama Acun melanjutkan. "Tentu saja kami tidak me-nyerah begitu
 saja. Tidak percuma aku pernah belajar ilmu silat di kampung, dan di antara para anggauta
 rombongan kami terdapat beberapa orang yang cu-kup jagoan. Akan tetapi, ternyata kepala
 perampok itu lihai sekali. Aku sendiri belum terluka, akan tetapi kawan-kawan-ku sudah
 roboh. Pada saat kepala peram-pok merobohkan aku dengan tendangan dan goloknya
 menyambar ke arah leherku muncullah Pendekar Besar Tangan Sakti itu! Hem, dia bagaikan
 seorang malaikat yang turun dari langit!"
 "Acun, ceritakan, bagaimana sepak terjangnya?" Yang lain-lain juga mendesak Acun untuk
 melanjutkan ceritanya. Bahkan Sian Li dan Sian Lun di kamar masing-masing ikut
 mendengaran penuh perhatian.
 "Kemunculannya mentakjubkan. Sudah lama aku mendengar tentang sepak ter-jangnya, akan
 tetapi baru sekali itu aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Bagaikan halilintar
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 330 menyambar, dia nam-pak sebagai bayangan yang menyambar turun dan golok di tangan
 kepala peram-pok yang lihai itu terlempar dan tubuh kepala perampok itu terlempar sampai
 terguling-guling. Kemudian, bagaikan ki-lat, bayangan itu meluncur ke sana-sini dan semua
 senjata para perampok yang jumlahnya belasan orang itu terlempar dan mereka pun satu demi
 satu terjeng-kang dan terbanting roboh."
 "Mampus perampok-perampok itu!" seru seorang pendengar.
 "Mampus apa" Tidaklah engkau pernah mendengar bahwa Sin-ciang Tai-hiap itu tidak
 pernah melukai orang, apalagi membunuh" Perampok itu tidak ada yang terluka, hanya
 terkejut dan ketakutan saja. Memang sayang, kalau aku yang menjadi pendekar memiliki
 kesaktian seperti itu, sudah kusikat habis para penjahat itu, kubasmi dan kutumpas me-reka!"
 kata Acun. "Kenapa sih memotong-motong cerita itu, Acun, lanjutkan. Apa yang dilakukan pendekar
 sakti yang aneh itu?" tanya seorang.
 "Dan bagaimana macamnya" Sudah tua ataukah masih muda?" tanya orang ke dua.
 "Seperti biasa yang kita pernah de-ngar, dia menghilang begitu saja dan hanya suaranya
 terdengar dari dalam po-hon yang lebat. Dia memberi peringatan dan nasehat kepada para
 perampok, me-nyadarkan mereka dengan kata-kata lem-but. Dan tidak seorang pun di antara
 kami dapat melihat wajahnya. Gerakan-nya demikian cepat dan wajahnya terlin-dung caping
 lebar itu."
 Mendengar ini, Sian Li dan Sian Lun tidak dapat menahan diri lagi. Mereka tertarik karena
 maklum bahwa yang di-maksudkan Acun itu tentulah pendekar yang menjadi penolong
 mereka. Keduanya keluar dari dalam kamar, saling pandang lalu menghampiri tujuh orang
 pedagang itu. Para pedagang itu tentu saja meman-dang mereka dengan heran, juga kagum melihat pemuda
 tampan dan gadis cantik yang menghampiri mereka itu. Sian Li cepat mengangkat kedua
 tangan depan dada memberi hormat dan berkata, "Ha-rap Cuwi (Anda Sekalian) suka
 memaaf-kan kami. Kami mendengar cerita Cuwi dan kami tertarik sekali karena kami pun
 mendapat pertolongan dari seorang pen-dekar bercaping yang tidak memperke-nalkan dirinya
 kepada kami."
 Mendengar logat bicara Sian Li, tujuh orang itu cepat bangkit berdiri dan membalas
 penghormatan Sian Li dan Sian Lun. "Aih, agaknya Kongcu dan Siocia datang dari daerah
 Shantung seperti ka-mi?"
 Karena datang dari satu propinsi, walaupun tempat tinggal mereka terpisah jauh, mereka
 segera menjadi akrab. "Pa-man tadi bercerita bahwa pendekar itu bercaping?" tanya Sian Li.
 Acun yang merasa girang mendapat pendengar seorang dara demikian cantik-nya, dengan
 bersemangat menjawab. "Ke-tika menolong kami, kami hanya melihat bayangannya
 berkelebatan dan dia me-ngenakan sebuah caping lebar yang me-nyembunyikan mukanya."
 "Bagaimana bentuk badannya, Paman Acun?" tanya pula Sian Li dan orang itu semakin
 gembira disebut paman Acun secara demikian akrabnya.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 331 "Tubuhnya sedang dan tegap, gerakannya halus namun cepat bukan main, dan dia tidak
 bersenjata, akan tetapi belasan batang golok itu runtuh dengan sendiri-nya. Dia seperti bukan
 manusia!" kata Acun.
 "Pengalamanku dengan pendekar itu pun tidak kalah hebatnya!" terdengar seorang yang
 gendut berkata.
 "Aku pun mempunyai pengalaman de-ngan pendekar Sin-ciang Tai-hiap itu!" kata pula orang
 ke tiga. Wanita memang sejak jaman dahulu sampai sekarang, mempunyai wibawa yang luar biasa
 terhadap para pria. Se-kumpulan pria, baik mereka itu sudah tua maupun masih remaja, selalu
 akan berubah sikap mereka apa bila kedatang-an seorang wanita, apalagi yang muda dan
 cantik jelita seperti Sian Li. Amat menarik kalau memperhatikan sekelompok pria yang
 tadinya bercakap-cakap, lalu muncul wanita di antara mereka. Mereka itu berubah sama
 sekali. Gerak geriknya, wajahnya, lirikan matanya, senyumnya, bahkan suaranya! Mungkin
 yang bersang-kutan sendiri tidak merasakan hal ini, akan tetapi kalau kita memperhatikan,
 kita akan dapat melihat perubahan itu dengan jelas sekali. Mengingatkan kita kepada ayam-
 ayam jantan kalau bertemu ayam betina. Ada saja ulahnya untuk menarik perhatian dan
 berlagak! Lucu, menarik dan mengharukan mengenal diri kita sebagai pria ini, betapa pria
 menja-di lemah kalau sudah berhadapan dengan wanita. Perbedaan dalam tingkah laku
 mungkin hanya tergantung dari watak masing-masing saja, ada yang nampak sekali, ada yang
 muncul lagak yang kurang ajar, ada yang pendiam. Namun perubahan itu pasti ada, bahkan
 yang nampak acuh pun dibuat-buat dan tidak wajar.
 Bermacam-macam pengalaman mereka akan tetapi pada dasarnya, mengenai Sin-ciang Tai-
 hiap, mereka mempunyai pengalaman yang sama. Pendekar itu sa-ma sekali tidak pernah
 dapat dikenal wajahnya, kalau turun tangan menolong orang dan menghadapi penjahat, dia
 ber-tindak cepat sekali tanpa memperlihatkan wajah, apalagi memperkenalkan nama.
 Wajahnya kadang ditutup caping lebar, kadang juga tidak. Dan yang aneh sekali, tidak pernah
 dia membunuh penjahat, bahkan melukai parah pun tidak pernah. Semua penjahat
 diampuninya, diberi nasihat.
 "Bagaimana mungkin dia akan berha-sil," kata Sian Lun. "Penjahat harus di-hadapi dengan
 kekerasan! Kalau hanya diampuni dan diberi nasihat, bagaimana mereka akan dapat sadar dan
 menjadi baik?"
 "Belum tentu, Kongcu!" kata seorang di antara mereka, seorang pria tinggi kurus yang
 berusia enam puluh tahun. "Biar dihadapi dengan kekerasan sekali-pun, dihukum berat, belum
 tentu juga penjahat akan menjadi baik! Dan bukti-nya, menurut kabar dan ada pula
 kusaksikan sendiri, banyak penjahat menjadi baik dan sembuh dari penyakitnya yang
 membuat dia jahat setelah dia bertemu dengan Sin-ciang Tai-hiap dan mendapat nasihat dari
 pendekar aneh itu."
 "Paman Liok, ceritakan pengalamanmu itu!" seorang di antara mereka berseru.
 "Benar, Paman. Ceritakanlah, aku ingin sekali mendengarnya," kata pula Sian Li. Tanpa
 diminta oleh gadis itu pun, dengan penuh gairah Kakek Liok memang ingin sekali bercerita
 agar dia menjadi pusat perhatian.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 332 "Di perbatasan Secuan ada seorang penjahat besar yang biasa melakukan ke-jahatan apa pun
 tanpa mengenal takut. Dia mempunyai belasan orang anak buah. Aku sudah mendengar
 tentang kejahatan penjahat berjuluk Pek-mau-kwi (Iblis Rambut Putih) itu, yang usianya baru
 empat puluh tahun akan tetapi rambut-nya sudah putih semua, maka ketika aku melakukan
 perjalanan lewat daerah itu, aku memperkuat rombonganku dengan sepasukan piauw-su
 (pengawal) bangsa Miao yang terkenal gagah, berjumlah dua puluh orang. Akan tetapi, tetap
 saja di tengah jalan kami dihadang oleh gerom-bolan perampok yang dipimpin Pek-mau-kwi
 itu! Seperti biasa kalau bertemu dengan gerombolan perampok, kami juga sudah menawarkan
 sumbangan atau yang biasa disebut pajak jalan. Akan tetapi, berapa pun yang kami tawarkan,
 Pek-mau-kwi tidak mau menerimanya dan menghendaki kami menyerahkan setengah dari
 semua barang bawaan kami. Terjad-ilah pertempuran dan biarpun jumlah ka-mi lebih banyak,
 tetap saja kami kewa-lahan. Agaknya kami tentu akan menjadi korban dan terbunuh semua
 kalau tidak muncul Sin-ciang Tai-hiap!"
 "Dia juga bercaping, Paman?" tanya Sian Li, membayangkan orang bercaping yang pernah
 menolong ia dan suhengnya.
 "Pendekar itu tidak bercaping, akan tetapi karena gerakannya cepat sekali dan rambutnya
 panjang riap-riapan menu-tupi mukanya, kami pun tidak mungkin dapat mengenali mukanya.
 Dia berkele-batan merobohkan semua perampok, bah-kan ketika dia meloncat pergi, dia
 mengempit tubuh Pek-mau-kwi dan mem-bawanya lenyap! Semua anak buah pe-rampok lari
 ketakutan dan kami pun selamat."
 "Lalu bagaimana dengan Pek-mau-kwi itu dan bagaimana Paman tahu bahwa nasihat dari
 pendekar itu berhasil?" tanya Sian Lun, tertarik sekali.
 "Tidak ada yang tahu bagaimana nasib Pek-mau-kwi. Akan tetapi ketika bebera-pa bulan
 kemudian aku lewat di daerah itu, aku mendengar bahwa Pek-mau-kwi sudah cuci tangan,
 tidak lagi menjadi perampok, melainkan sekarang membuka perguruan silat dan hidup dari
 hasil pem-bayaran para muridnya. Aku mendengar bahwa dia menjadi orang baik dan tidak
 pernah lagi melakukan kejahatan. Bukankah itu hasil nasihat dari pendekar sakti itu?"
 "Dan bagaimana pengalamannya de-ngan pendekar itu?" tanya Sian Li.
 "Kabarnya, dia tidak pernah mau menceritakan kepada siapapun juga. En-tah apa yang terjadi
 ketika dia ditangkap dan dilarikan Sin-ciang Tai-hiap."
 Sian Li dan Sian Lun merasa semakin tertarik, apalagi karena mereka sendiri berhutang budi,
 bahkan nyawa kepada pendekar itu. "Apakah di antara Cuwi (Anda Sekalian) ada yang
 mengetahui siapakah nama Sin-ciang Tai-hiap itu?"
 Semua orang yang berada di situ menggeleng kepala. Tidak pernah ada yang mendengar
 siapa nama pendekar aneh itu. Jangankan namanya, wajahnya pun belum pernah dikenal
 orang karena sepak terjangnya cepat dan penuh rahasia. Menurut cerita para pedagang yang
 sudah bertahun-tahun menjelajahi daerah itu untuk berdagang, nama Sin-ciang Tai-hiap baru
 muncul sekitar tiga empat tahun yang lalu. Sebelum itu, tidak pernah ada orang mengenal
 nama julukan ini yang timbulnya juga di daerah itu, nama ju-lukan yang diberikan oleh para
 pedagang yang pernah mendapatkan pertolongannya. Sebelum empat tahun yang lalu, baik di
 daerah barat ini maupun di timur, orang tidak pernah mendengar namanya.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 333 Setelah mendengarkan semua cerita yang kadang seperti dongeng saja dari para pedagang itu
 tentang Sin-ciang Tai-hiap, yang ia tahu tentu dibumbui dan dilebih-lebihkan. Sian Li ingin
 mendengar dari mereka tentang orang-orang yang selama ini pernah ditentangnya.
 "Apakah Cuwi (Anda Sekalian) dapat menceritakan tentang perkumpulan Hek I Lama?"
 Tujuh orang pedagang itu serentak berdiam diri seperti jangkerik terpijak. Mereka bukan
 hanya berdiam diri tak mengeluarkan suara, akan tetapi juga wajah mereka berubah dan
 mereka me-nengok ke kanan kiri, seolah ketakutan.
 "Kenapa, Paman?" Terbawa oleh sikap mereka, Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan
 berbisik pula. Yang ditanya menggeleng kepala, lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis, dan
 menulis dengan cepat di atas kertas itu, kemudian me-nyodorkannya kepada Sian Li. Gadis itu
 dan suhengnya segera membaca tulisan itu.
 "Jangan bicara tentang itu, mata-ma-tanya tersebar di mana-mana. Berbahaya sekali,"
 demikian bunyi tulisan dan Sian Li saling pandang dengan suhengnya.
 Sian Li mendekati laki-laki yang me-nulis itu sambil menyerahkan kembali kertas tadi yang
 segera dirobek-robek oleh penulisnya. Gadis itu berbisik, "Kenapa, Paman" Apakah mereka
 jahat dan suka mengganggu?"
 Orang itu menggeleng kepala, lalu menjawab dengan suara bisik-bisik pula. "Mereka tidak
 pernah mengganggu kita, sebaliknya kita pun tidak boleh mencam-puri urusan mereka.
 Penjahat Yang paling besar pun di daerah ini tidak ada yang berani mencampuri urusan
 mereka, berbahaya sekali. Di mana-mana mereka mempunyai kaki tangan. Sebaiknya kita
 bicara tentang hal lain saja."
 Agaknya tujuh orang pedagang itu sudah merasa ketakutan, maka mereka pun bubaran
 memasuki kamar masing-masing. Sian Li dan Sian Lun terpaksa juga kembali ke kamar
 masing-masing dan tidur. Malam itu Sian Li bermimpi bertemu dengan pendekar bercaping
 karena sebelum pulas tiada hentinya ia mengenang pendekar yang amat mengagumkn hatinya
 itu. Kini ia membenarkan akan cerita orang tuanya, juga Kakek Suma Ceng Liong bahwa di
 empat penjuru dunia penuh dengan orang-orang pandai, oleh karena itu, mereka
 berpesan agar ia tidak mengagungkan dan me-nyombongkan diri dan kepandaian sendiri.
 Kini ternyatalah bahwa di daerah barat yang dianggapnya masih liar bahkan be-lum beradab
 itu terdapat pula orang sakti yang aneh, yang membuatnya ka-gum bukan main.
 *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 Pada keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan pagi, ketika Sian Li dan Sian Lun sudah
 bersiap-siap meninggalkan rumah penginapan dan melanjutkan perjalanan, seorang laki-
 laki menghampiri mereka dan dengan sikap hormat dia menyerahkan sesampul surat kepada
 mereka. Setelah sampul surat itu diterima Sian Li, pembawa surat itu memberi hormat dan
 pergi. Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 334 Sian Li cepat membuka sampul dan bersama Sian Lun mereka membaca su-rat yang ditulis
 dengan huruf-huruf yang gagah dan indah itu.
 "Harap Liem Tahiap dan Tan Lihiap suka memaafkan sikap anak buah kami. Karena belum
 saling mengenal dengan baik maka terjadi kesalahpahaman. Ka-lau Jiwi ingin mengetahui
 lebih baik siapa kami, kami mengundang Jiwi untuk menghadiri pesta pertemuan antara
 pe-juang yang kami adakan sore nanti. Kami akan menjemput Jiwi dengan kere-ta. Kami
 bukan golongan jahat, melain-kan pejuang-pejuang. Keselamatan Jiwi kami jamin."
 Pimpinan Hek I Lama
 "Hemm, jangan pedulikan surat dari mereka, Sumoi. Jelas bahwa mereka itu orang-orang
 jahat dan berbahaya. Kita pun baru saja kemarin lolos dari tawanan mereka dan hari ini
 mereka mengundang kita sebagai tamu" Hemm, ini pasti je-bakan belaka. Lebih baik kita
 berangkat pergi saja meninggalkan tempat ini, Su-moi."
 "Suheng, lupakah Suheng akan nasihat dan pesan guru-guru kita" Kita memang harus
 berhati-hati dan waspada, akan te-tapi yang terlebih penting adalah bahwa kita tidak boleh
 bersikap penakut! Kita harus berani menghadapi kenyataan, be-tapa besar pun bahayanya,
 bukan saja menghadapi, akan tetapi juga menanggu-langi dan mengatasi. Mereka mengirim
 surat undangan resmi, tidak mungkin merupakan jebakan. Mereka adalah per-kumpulan yang
 besar, kiranya tidak akan menggunakan cara serendah itu. Kita memang tidak perlu bersekutu
 dengan mereka, akan tetapi juga tidak perlu mencampuri urusan mereka dan memu-suhi,
 kecuali kalau mereka mengganggu kita."
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi bagaimana sikapmu menghadapi undangan ini?"
 "Aku akan menerimanya dan mengha-diri undangan itu."
 "Sumoi! Ingat, hal itu berbahaya se-kali. Engkau seperti mengundang datang-nya bahaya!"
 "Aku tidak takut, Suheng. Mereka itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian
 tinggi. Sebagai datuk ilmu silat yang lihai, sudah pasti para pimpin-an Hek I Lama tidak akan
 begitu meren-dahkan diri dan mencemarkan nama be-sar sendiri sengan perbuatan yang hina
 seperti menjebak orang-orang muda se-perti kita. Pula, bukankah kita ini pergi meninggalkan
 rumah untuk meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan" Juga, kini kita mendapat
 kesempatan untuk mengetahui lebih banyak tentang Hek I Lama, kesempatan yang baik
 seka-li karena kita diundang sebagai tamu! Kalau engkau merasa jerih, biarlah aku sendiri
 saja yang datang ke sana, Su-heng." Sian Li tidak mau mengeluarkan isi hati yang paling
 dalam, yaitu bahwa kalau terjadi apa-apa dengan dirinya di tempat Hek I Lama, ia
 mengharapkan munculnya lagi Sin-ciang Tai-hiap untuk menolongnya. Ia harus bertemu lagi
 de-ngan pendekar itu, harus membuka rahasianya yang aneh, herus mengenal wajah-nya dan
 namanya. Kalau tidak, selama hidupnya ia akan tenggelam dalam pena-saran.
 Wajah Sian Lun menjadi merah ketika sumoinya mengatakan dia jerih.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 335 "Sumoi, aku tidak mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan
 keselamatanmu sendiri. Kalau engkau berkeras hendak pergi, tentu saja aku akan
 menemanimu."
 Sian Li tersenyum menatap wajah su-hengnya. "Terima kasih, Suheng. Dan maafkanlah,
 bukan maksudku mengatakan engkau takut. Akan tetapi aku ingin se-kali menghadiri
 undangan itu dan melihat siapa saja sebetulnya orang-orang itu dan apa maksud undangan
 mereka kepada kita."
 Demikianlah, akhirnya Sian Lun ter-paksa harus memenuhi kehendak Sian Li dan mereka
 menanti datangnya kereta yang akan menjemput mereka dengan hati berdebar penuh
 ketegangan. Sian Li memang berjiwa petualang dan suasana yang mendebarkan hatinya itu
 melupakan suatu kenikmatan tertentu bagi seorang petualang. Apalagi kalau ia
 membayang-kan kemunginan munculnya Sin-ciang Tai-hiap! Bahkan diam-diam ia
 mengha-rapkan terjadi sesuatu dengan dirinya agar pendekar aneh itu akan muncul kembali!
 Di luar dugaan mereka, kereta itu muncul setelah lewat tengah hari, belum sore. Sebagai
 seorang wanita, tentu saja Sian Li tidak mau pergi dalam keadaan belum mandi dan pakaian
 belum diganti, maka ia minta kepada kusir kereta yang datang menjemput agar menanti
 sebentar karena ia ingin mandi dan berganti pa-kaian lebih dahulu. Sebaliknya, Sian Lun yang
 merasa tegang dan selalu diliputi kegelisahan, tidak sempat bertukar pa-kaian dan mandi.
 Orang pergi menentang bahaya, untuk apa harus mandi dan ber-ganti pakaian segala,
 pikirnya. Dia malah menanti sumoinya di dekat kereta dan mencoba untuk memancing
 keterangan kepada kusir kereta. Akan tetapi, kusir itu hanya menjawab "tidak tahu" atas
 segala pertanyaannya, dan hanya menga-takan bahwa dia bertugas menjemput mereka. Akan
 tetapi, dari gerak gerik dan sinar matanya yang tajam memba-yangkan kecerdikan. Sian Lun
 dapat menduga bahwa kusir ini hanya berpura--pura tolol dan lemah saja. Tentu dia seorang
 anggauta yang sudah dipercaya, dan yang memiliki ilmu kepandaian tang-guh.
 Akhirnya muncullah Sian Li dengan wajah dan tubuh segar, dengan pakaian bersih dan
 rambutnya tersanggul rapi. Ia nampak segar dan cantik sekali, mem-buat hati Sian Lun
 menjadi semakin ge-lisah. Kenapa sumoinya demikian mem-percantik diri" Mereka akan
 menjadi ta-mu orang-orang jahat! Baru Cu Ki Bok, murid Lulung Ma itu saja jelas amat li-hai
 dan pemuda itu mempunyai niat tidak senonoh terhadap diri Sian Li. Juga dari percakapan
 yang didengarnya ketika mereka ditawan, dia mendengar betapa Sian Li akan dihadiahkan
 kepada orang yang disebut sebagai Pangeran Gulam Sing! Dengan kecantikan seperti itu,
 su-moinya akan membuat orang-orang jahat itu menjadi semakin hijau! Akan tetapi tentu saja
 dia tidak dapat berkata apa-apa dan mereka pun naik ke dalam kere-ta yang segera dijalankan
 oleh kusirnya dengan cepat meninggalkan kota itu.
 Kereta itu meluncur keluar kota me-lalui pintu gerbang sebelah timur, kemu-dian mendaki
 sebuah bukit. Berkali-kali Sian Lun bertanya kepada kusirnya, ke mana mereka akan dibawa
 pergi. Akan tetapi kusir itu tidak pernah mau men-jawab! Ketika kereta memasuki sebuah
 hutan di lereng bukit itu, Sian Lun ke-habisan sabarnya.
 "Kusir keparat! Kalau tidak kau jawab, aku akan menghajarmu! Hayo katakan ke mana
 engkau akan membawa kami!" bentaknya dan dia sudah bergerak untuk menyerang kusir
 yang duduk di depan.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 336 Akan tetapi lengannya ditangkap Sian Li. "Suheng, kenapa tidak sabar?" kata-nya sambil
 mengerutkan alisnya. "Dia hanya petugas yang melaksanakan perin-tah. Tentu saja dia
 membawa kita ke-pada yang mengutusnya, yaitu Hek I Lama yang mengundang kita."
 "Nona berkata benar dan kita sudah hampir tiba di tempat yang dituju," kata kusir itu dan
 Sian Lun terpaksa menelan kemarahannya. Dia merasa terlalu tegang sehingga mudah
 tersinggung dan marah.
 Ternyata di tengah rimba itu terda-pat tempat terbuka di mana berdiri se-buah rumah besar.
 Dan suasananya di sana memang dalam keedaan pesta. Ba-nyak orang sedang membereskan
 ruangan depan rumah itu yang disambung dengan panggung di depan rumah, merupakan
 ruangan yang luas dan setengah terbuka. Kursi-kursi yang diatur di situ rapi dan semua
 menghadap ke dalam, ke arah rumah di mana terdapat meja besar dan kursi-kursi yang mudah
 diduga menjadi tempat tuan rumah. Dan pada saat itu, telah banyak orang berkumpul, bahkan
 di pihak tuan rumah telah duduk banyak pendeta yang berjubah hitam dan berke-pala gundul.
 Anak buah dari perkumpulan yang dipimpln para pendeta Lama berju-bah hitam ini
 kesemuanya juga berpakaian serba hitam, dengan kain kepala war-na hitam pula sehingga
 mereka nampak menyeramkan. Sian Li dan Sian Lun menduga bahwa mereka yang hadir di
 sana dan tidak berpakaian hitam tentulah tamu-tamu seperti juga mereka. Mereka melihat pula
 banyak orang Nepal yang bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan menutup kepala dengan
 sorban putih atau kuning. Mereka melihat pula banyak orang mengenakan pakaian Han
 seperti mereka. Ada pula yang memakai pakaian suku Miao, Hui, Kasak, dan Mongol.
 Ketika kakak beradik seperguruan itu tiba di situ, mereka disambut dengan hormat dan hal ini
 dapat diketahui kare-na yang menyambut mereka adalah Lu-lung Lama sendiri bersama
 muridnya, Cu Ki Bok! Dan setelah mereka dipersilakan duduk di rombongan orang-orang
 Han yang kemudian ternyata adalah orang-orang yang dianggap sebagai tokoh kang-ouw dan
 para pendekar, barulah Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa Lulung Ma bukanlah pemimpin
 nomor satu dari per-kumpulan Lama Jubah Hitam! Selain dia, masih ada pula seorang
 suhengnya yang duduk di kursi terbesar. Pendeta Lama ini juga berpakaian serba hitam dan
 dia sudah tua sekali, sedikitnya tujuh puluh lima tahun usianya dan kelihatan seperti seorang
 pemalas, hanya duduk saja ber-sandar dikursinya. Agaknya yang aktip dalam pertemuan itu
 adalah Lulung Lama dan muridnya, yaitu Cu Ki Bok, peranak-an Han Tibet itu.
 Biarpun hatinya merasa panas dan marah melihat Cu Ki Bok yang menyam-butnya bersama
 Lulung Lama, namun Sian Lun menahan diri dan tidak mem-perlihatkan kemarahannya.
 Adapun Sian Li bersikap tenang bahkan tersenyum-senyum sehingga diam-diam Cu Ki Bok
 merasa kagum bukan main. Gadis itu selain cantik dan lincah, ternyata memiliki ketabahan
 yang mengagumkan hati-nya. Sian Li merasa semakin yakin bah-wa pihak tuan rumah tidak
 akan mungkin berani melakukan kekerasan terhadap ia dan suhengnya, melihat bahwa
 pertemuan itu dihadiri demikian banyaknya orang dari berbagai golongan. Tentu orang
 ma-cam Lulung Lama tidak akan merendah-kan diri yang hanya akan mencemarkan nama
 besarnya sendiri selagi di situ ber-kumpul banyak orang, dengan perbuatan yang curang dan
 pengecut. Hal ini ter-bukti pula dengan sikap Cu Ki Bok yang sopan dan hormat, padahal baru
 kemarin pemuda murid tokoh Hek I Lama itu bersikap kasar dan tidak sopan.
 Akan tetapi, Sian Li dan Sian Lun menjadi pusat perhatian para tamu keti-ka Lulung Ma
 dengan suara lantang memperkenalkan tamu baru ini kepada semua orang sebagai dua orang
 pendekar dari timur yang masih mempunyai hu-bungan erat dengan Puteri Gangga Dewi dari
 Kerajaan Bhutan.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 337 Agaknya kini semua tamu sudah ber-kumpul dan senja mulai datang, lampu-lampu
 penerangan dinyalakan dan pesta pun dimulai. Setelah Lulung Lama seba-gai wakil pimpinan
 Hek I Lama menyu-guhkan anggur sampai tiga keliling ke-pada para tamu dan
 mempersilakan para tamu makan kueh manis yang dihidang-kan sebagai pembuka pesta.
 Lulung Lama lalu bangkit berdiri dan dengan kedua tangan diangkat dia minta agar para tamu
 tidak berisik dan memberi perhati-an kepadanya. Agaknya bicaranya me-mang ditujukan
 kepada orang-orang Han yang menjadi tamu di situ, maka dia mempergunakan bahasa Han.
 Para kelom-pok suku bangsa lain yang tidak paham bahasa Han, mendengarkan
 terjemahannya dari kawan-kawan mereka yang paham.
 "Saudara sekalian, Cuwi (Anda Sekali-an) yang gagah perkasa dari dunia kang-ouw di timur,
 kami dari Hek I Lama mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Cuwi
 yang meme-nuhi undangan kami. Seperti Cuwi dapat melihatnya, di sini kami berkumpul,
 di-hadiri pula oleh para sahabat dari Nepal terutama sebagai kawan seperjuangan kami, dan
 para sahabat dari suku Miao, Hui, Kasak dan Mongol yang tidak sudi melihat orang-orang
 Mancu merajalela dan hendak menguasai seluruh daratan. Cuwi kami undang mengadakan
 perundingan dan kami ajak untuk bekerja sama menentang pemerintah Kerajaan Ceng dari
 bangsa Mancu. Kalau kita semua bersatu, tentu bangsa Mancu akan depat kita kalahkan dan
 kita usir kembali ke asal mereka. Kami mengharapkan sam-butan dari Cuwi yang kami
 hormati sebagai orang-orang gagah di dunia kang--ouw."
 Lulung Ma memberi hormat lalu du-duk kembali. Sebelum dari golongan orang Han ada
 yang menjawab, Pangeran Gulam Sing sudah bangkit dari tempat duduknya di jajaran tuan
 rumah, di sam-ping Lulung Lama dan dia pun bicara dengan suaranya yang lantang, dalam
 bahasa Nepal yang langsung diterjemahkan kalimat demi kalimat oleh seorang Han yang
 duduk di belakangnya.
 "Saudara sekalian, kita ini terdiri da-ri berbagai suku dan bangsa, akan tetapi saat ini kita
 berkumpul sebagai saudara-saudara senasib sependeritaan dan seper-juangan! Kita sama-sama
 sengsara oleh kelaliman bangsa Mancu! Bangsa Mancu tidak saja menjajah seluruh daratan
 Cina, akan tetapi juga menindas daerah barat, menjajah Tibet, bahkan merupakan an-caman
 bagi negara tetangga di barat. Kami, Pangeran Gulam Sing, memimpin orang-orang gagah
 dari Nepal, siap untuk berjuang bersama dengan saudara sekali-an untuk menentang
 pemerintah Mancu!" Setelah berkata demikian, dibawah sam-butan tepuk tangan, pangeran
 Nepal ini duduk kembali. Dia seorang pangeran Nepal yang berkulit coklat kehitaman,
 bertubuh tinggi besar, mukanya brewok dan tampan gagah jantan, matanya lebar dan sinarnya
 tajam, mulutnya selalu di-bayangi senyum memikat. Pangeran ber-usia kurang lebih empat
 puluh tahun ini memang seorang pria yang jantan dan ganteng sekali.
 Di deretan depan dari para tamu go-longan Han, nampak seorang wanita bangkit berdiri. Sian
 Li dan Sian Lun sejak tadi sudah melihat bahwa di antara para tokoh kang-ouw terdapat
 beberapa orang wanita, dan yang menarik perhati-an adalah adanya tiga orang wanita yang
 usianya antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, ketiganya cantik mena-rik, berpakaian
 serba mencolok berwarna warni akan tetapi selalu dihias kembang teratai putih. Kini, seorang
 di antara ti-ga wanita itu, yang tertua, usianya seki-tar tiga puluh tahun, bangkit dan tentu saja
 ia menjadi pusat perhatian ketika ia bicara.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 338 "Para pimpinan Hek I Lama, apakah aku boleh bicara sekarang?" tanyanya suaranya lantang
 akan tetapi merdu dan gayanya memikat, matanya bersinar-sinar tajam genit dan mulutnya
 tersenyum-senyum, pandang matanya menyambar-nyambar ke arah Pangeran Gulam Sing.
 Lulung Lama segera bangkit dan memberi hormat. "Omitohud! Pinceng sebagai wakil
 pimpinan Hek I Lama, ber-terima kasih sekali kalau Toa-nio yang datang sebagai utusan dan
 wakil Pek-lian-kauw memberi petunjuk kepada ka-mi."
 Tentu saja perhatian Sian Li dan Sian Lun menjadi semakin besar ketika men-dengar ucapan
 Lulung Lama itu. Kiranya tiga orang wanita cantik itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw!
 Mereka ber-dua sudah banyak mendengar tentang Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yaitu
 segolongan orang dengan agama yang aneh dan yang memiliki banyak tokoh lihai, dan
 mereka terkenal sebagai pemberontak-pemberontak yang gigih. Namun sayang, biarpun
 mereka membe-rontak terhadap pemerintah penjajah, namun nama Pek-lian-kauw bukan
 nama yang bersih dan disuka rakyat, karena banyak di antara tokoh mereka suka melakukan
 segala macam kejahatan ber-kedok perjuangan juga agama mereka merupakan agama yang
 eneh, yang me-nyimpang dari induknya, yaitu Agama Buddha, dan banyak melakukan
 perbuatan sesat. Inilah sebabnya mengapa Pek-lian-kauw selalu bergerak sendiri, tidak
 mem-peroleh dukungan para pendekar patriot, lebih dekat dengan tokoh-tokoh sesat di dunia
 kang-ouw. "Kami Pek-lian Sam-li (Tiga Wanita Teratai Putih) telah menyerahkan surat kuasa sebagai
 wakil Pek-lian-kauw kepa-da pimpinan Hek I Lama. Kami diberi wewenang untuk
 menghadiri pertemuan ini, menyelidiki dan memutuskan apakah Pek-lian-kauw menganggap
 patut untuk bekerja sama dengan kalian, Pek-lian-kauw sejak dahulu menentang pemerintah
 penjajah dan kami adalah pejuang-pejuang yang pantang mundur. Maka, kami ingin
 mengetahui lebih dulu apakah kalian ini sungguh-sungguh hendak menentang pe-merintah
 Mancu, sebelum kami menyata-kan suka bekerja sama." Kembali Ji Kui, wanita itu yang
 merupakan saudara pa-ling tua dari mereka bertiga, mengerling ke arah Gulam Sing yang juga
 memandang kepada tiga orang wanita itu sambil tersenyum-senyum. Gulam Sing ini terkenal
 sebagai seorang laki-laki yang selalu haus wanita, maka tentu saja ke-hadiran tiga orang tokoh
 Pek-lian-kauw itu sejak tadi sudah amat menarik perhatiannya.
 "Ucapan Pek-lian Sam-li wakil Pek-lian-kauw itu benar!" tiba-tiba terdengar suara lantang
 dan ternyata yang bicara adalah seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih yang
 pakaiannya penuh tambalan. Dia adalah seorang tokoh dari dunia pengemis, bertubuh tinggi
 kurus dan bongkok, dan ketika dia bangkit ber-diri, tangan kanannya memegang seba-tang
 tongkat hitam. "Kami harus tahu benar apakah yang hadir di sini sungguh--sungguh hendak
 menentang pemerintah Mancu. Sebelum tiba di sini, kami ba-nyak mendengar dan kami
 merasa heran ketika ada berita bahwa pemerintah Ti-bet tidak menentang Kerajaan Ceng,
 bahkan kabarnya Dalai Lama sendiri me-ngakui pemerintahan penjajah Mancu. Juga kami
 mendengar bahwa pemerintah Nepal yang resmi tidak menentang pen-jajah Mancu. Maka,
 apa artinya gerakan yang diadakan oleh Hek I Lama dan Pa-ngeran Gulam Sing" Sebelum
 kami me-nyatakan diri bergabung, kami harus mengetahui dulu dengan jelas seperti yang
 diucapkan wakil Pek-lian-kauw tadi."
 Sehabis bicara, kakek pengemis itu duduk kembali dan suasana menjadi riuh karena orang-
 orang Han yang berkumpul di situ, banyak di antara mereka yang menyetujui pendapat kakek
 pengemis itu. Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 339 Sian Li memandang ke arah kakek itu dengan hati berdebar. Ia mengenal kakek itu!
 Nampaknya masih sama saja seperti dulu, kurang lebih lima tahun yang lalu. Tentu saja ia
 tidak dapat me-lupakan kakek pengemis itu yang pernah merampasnya dari tangan Hek-bin-
 houw, bahkan kakek itu membunuh Hek-bin-houw. Kakek itu adalah Hek-pang Sin--kai
 (Pengemis Sakti Tongkat Hitam) dan setelah membebaskan ia dari tangan Hek-bin-houw,
 kakek pengemis itu hendak mengajaknya pergi untuk menjadi murid-nya. Akan tetapi,
 muncul Nenek Bu Ci Sian yang merampasnya. Nenek sakti itu mengalahkan Hek-pang Sin-
 kai, bahkan melukai paha pengemisitu. Ia ingat benar semua peristiwa itu dan kini ia
 me-mandang ke arah pengemis itu penuh perhatian.
 Mendengar ucapan kakek pengemis itu, Dobhin Lama, Ketua Hek I Lama yang sejak tadi
 duduk melenggut saja, kini menegakkan tubuhnya dan membuka matanya. Kemudian
 terdengar suaranya dan dia bicara tanpa bangkit berdiri, "Siapa yang bicara itu tadi?"
 "Kami adalah Hek-pang Sin-kai,, Ketua Perkumpuian Pengemis Tongkat Hitam di selatan!"
 kata kakek itu dengan bera-ni, akan tetapi begitu pendeta Lama yang kelihatan lemah itu
 mengangkat muka memandang kepadanya, begitu dua pasang pandang mata bertemu, kakek
 pengemis itu terkejut bukan main karena pandang matanya bertemu dengan dua sinar
 mencorong yang seperti menembus sampai ke jantungnya. Dia tidak tahan memandang lebih
 lama dan cepat menun-dukkan mukanya.
 "Omitohud, Ketua Hek-pang Kai-pang meragukan kami" Ketahuilah Sin-kai, biarpun Dalai
 Lama sendiri mengakui kekuasaan Kerajaan Mancu, akan tetapi kami golongan Hek I Lama
 tidak! Biar pemerintah Tibet tidak bergerak, akan tetapi kami akan bergerak dan kami yakin
 bahwa rakyat Tibet akan mendu-kung kami!"
 Terdengar suara ketawa dan Pangeran Gulam Sing juga berkata dalam bahasa Nepal, diikuti
 kalimat demi kalimat oleh penterjemahnya. "Ha-ha-ha-ha, agaknya Hek-pang Sin-kai ingin
 mengetahui kea-daan orang lain dan menaruh kecurigaan. Terus terang saja, kami memang
 tidak sejalan dengan pemerintah kami yang berkuasa sekarang di Nepal. Raja terlalu lemah
 dan tidak berani menentang orang Mancu. Karena itu, kami bergerak sendiri tanpa
 persetujuan raja. Apa hubungan-nya urusan pribadi kami ini dengan per-juanganmu
 membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah Mancu, Sin-kai?"
 "Maaf, Pangeran. Tidak ada hubung-annya apa-apa, hanya kami merasa heran melihat betapa
 negara Bhutan yang de-mikian kecil, tidak bergerak seperti Ne-pal, untuk menentang Mancu,"
 kata pe-ngemis tua itu pula.
 "Omitohud.... agaknya engkau tidak mengetahui keadaan Bhutan, Sin-kai!" terdengat Lulung
 Lama berkata. "Tentu saja Bhutan tidak menentang Mancu, karena keluarga Kerajaan Bhutan
 masih ada hubungan darah dengan Mancu! Bahkan yang menjadi sesepuh sekarang di sana,
 Puteri Gangga Dewi, sekarang menikah dengan seorang keturunan Pendekar Su-per Sakti dari
 Pulau Es yang masih ber-darah Mancu pula."
 "Keluarga Pendekar Pulau Es bukan hanya berdarah Mancu, juga musuh-musuh yang selalu
 mengganggu kita!" terdengar teriakan beberapa orang tokoh kang-ouw yang hadir di situ.
 "Tentu saja," kata Lulung Ma pula. "Keturunan Pendekar Super Sakti semua beribu Mancu,
 bahkan keluarga itu lalu berbesan dengan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir. Kedua keluarga
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 340 itu adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa, antek-antek bangsa Mancu yang harus kita
 basmi!" Sian Lun sudah bangkit berdiri dengan kedua tangan dikepal, akan tetapi Sian Li segera
 menyentuh lengannya dan me-narik pemuda itu duduk kembali sambil memberi isarat dengan
 gelengankepala. Ia sendiri tentu saja juga marah mende-ngar betapa keluarga Pendekar Pulau
 Es dan Pendekar Gurun Pasir dijelek-jelek-kan oleh mereka yanghadir. Ia sendiri memiliki
 darah kedua keluarga itu! Dari ibunya ia mewarisi darah kedua keluarga Kao keturunan
 Pendekar Naga Sakti Gu-run Pasir, sedangkan neneknya adalah keluarga Suma, keturunan
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Su-per Sakti Pulau Es! Sian Lun sendiri hanya marah karena keluarga gurunya,
 Suma Ceng Liong, dimusuhi mereka.
 Dengan menahan kemarahan Sian Lun terpakaa berdiam diri menenuhi permin-taan
 sumoinya. Dia duduk cemberut dan kadang-kadang pandang matanya ke arah pihak tuan
 rumah bersinar penuh kema-rahan.
 "Sekarang kami tidak meragukan lagi kesungguhan hati para saudara untuk bekerja sama
 dengan kami untuk meng-hadapi Kerajaan Mancu di timur. Kami hanya menghendaki
 kesungguhan hati, jangan sampai kami dikecewakan lagi seperti yang telah terjadi dengan
 Thian-li-pang," kata Ji Kui, orang pertama dari Pek-lian Sam-li.
 Semua orang memandang kepada wa-nita itu. Mereka yang hadir tahu belaka perkumpulan
 apakah Thian-li-pang itu. Di samping Pek-lian-kauw, perkumpulan Thian-li-pang merupakan
 perkumpulan yang terkenal gigih menentang pemerin-tah Kerajaan Mancu, sejak pemerintah
 itu menguasai daratan Cina. Bahkan ke-dua perkumpulan itu diketahui telah be-kerja sama
 dengan baik sekali sehingga sering kali terjadi kekacauan di kota raja bahkan di istana,
 ditimbulkan oleh mere-ka berdua. Kenapa sekarang tokoh Pek-lian-kauw itu menjelekkan
 Thian-li-pang yang dikatakan telah mengecewakan Pek-lian-kauw"
 "Nanti dulu, Toanio," kata Lulung Lama. "Kami tidak mengerti apa yang kaumaksudkan.
 Bukankah Thian-li-pang selalu berjuang menentang Mancu" Bu-kankah selama bertahun-
 tahun ini Thian-li-pang dikenal sebagai kawan seperju-angan Pek-lian-kauw?"
 "Itu memang benar, dahulu. Akan te-tapi sekarang, keadaan sudah lain sama sekali. Selama
 beberapa tahun ini, Thian-li-pang sudah berubah, sudah menyele-weng!"
 "Benarkah itu, Nona?" tanya Hek-pang Sin-kai heran. "Aku masih mendengar bahwa Thian-
 li-pang tetap berjuang me-lawan pemerintah penjajah Mancu, bah-kan akhir-akhir ini gerakan
 mereka ber-tambah kuat."
 "Huh, mereka itu orang-orang yang tidak mengenal budi, orang-orang yang tidak mempunyai
 perasaan setia kawan. Dahulu, kami dari Pek-lian-kauw yang membantu mereka, kami
 bekerja sama dengan baik. Akan tetapi sekarang, sete-lah Lauw Kang Hui yang menjadi
 ketua, mereka itu menjadi sombong, mereka memisahkan diri dan tidak mau menga-kui lagi
 Pek-lian-kauw sebagai teman seperjuangan. Mereka berlagak pendekar dan suka menghina
 orang. Tidakkah itu amat mengecewakan" Kami tidak mau lagi kalau sampai kerja sama
 dengan ka-lian ini akhirnya kelak hanya akan meru-gikan dan mengecewakan kami seperti
 Thian-li-pang."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 341 "Ha-ha-ha, jangan khawatir, Nona!" kata Pangeran Gulam Sing, dalam bahasa Han
 bercampur Nepal karena baru bebe-rapa tahun dia mempelajari bahasa Han, sehingga ia selalu
 dikawal seorang pen-terjemah. "Kami berjanji akan membantu Nona kelak memberi hajaran
 kepada Thian-li-pang yang sombong dan tidak mengenal setia kawan itu, ha-ha!" Pa-ngeran
 Nepal yang ganteng itu mengelus kumisnya yang melintang gagah dan ma-tanya bersinar-
 sinar ditujukan kepada tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw itu.
 Tiga orang wanita muda itu terse-nyum. Ji Hwa, orang ke dua yang kulit-nya putih mulus dan
 wajahnya cantik, tersenyum dan suaranya terdengar basah ketika bicara dengan suara
 mendesah. "Pangeran, harap jangan pandang rendah Thian-li-pang. Disana banyak terdapat
 tokoh yang amat lihai!"
 "Benar sekali kata Enci ke dua itu, Pangeran," kata Ji Kim, wanita ke tiga yang selain jelita,
 juga lincah jenaka dan cerdik sekali. "Ketuanya yang bernama Lauw Kang Hui itu memiliki
 ilmu kepan-daian yang amat tinggi, sungguh tidak boleh dipandang ringan!"
 Pangeran Gulam Sing tertawa dan nampaklah giginya yang putih dan kuat. "Ha-ha-ha, kami
 tidak memandang rendah Nona-nona yang baik. Kami hanya me-nyatakan ingin membantu
 kalian mengha-dapi Thian-li-pang. Dan tentang kelihaian mereka, kita tidak perlu takut
 karena kita pun bukan orang-orang lemah. Aku sendiri pun, biar bodoh, mempunyai juga
 sedikit tenaga untuk disumbangkan mem-bantu kalian dalam segala hal, ha ha!"
 Setelah berkata demikian, pangeran yang tinggi besar dan bertubuh kokoh kuat itu,
 menghampiri sebuah arca singa besi yang berada di sudut ruangan itu. Singa besi itu jelas
 amat berat dan se-dikitnya membutuhkan tenaga sepuluh orang untuk mengangkatnya! Akan
 tetapi, Pangeran Gulam Sing membungkuk, me-megang benda itu dengan kedua tangan-nya
 dan sekali dia mengeluarkan suara bentakan nyaring, benda itu diangkatnya di atas kepala!
 Tentu saja semua orang memandang dengan mata terbelalak pe-nuh keheranan, kekagetan dan
 kekaguman. Setelah pangeran itu menurunkan singa batu di tempatnya kembali dan hanya
 mukanya menjadi kemerahan dan napasnya agak memburu, semua orang berte-puk tangan
 memuji. Memang jarang ada orang memiliki tenaga gajah seperti pa-ngeran itu, Sian Li dan
 Sian Lun diam-diam terkejut juga tahulah mereka bahwa pangeran itu akan merupakan lawan
 yang tangguh dan berbahaya.
 Tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu pun menyambut dengan tepuk tangan dan mereka
 tersenyum-senyum gembira. "Aihh kiranya Pangeran memiliki tenaga yang amat kuat, lebih
 kuat daripada kuda!" Ji Kui memuji.
 Pangeran itu tertawa. "Ha-ha-ha, un-tuk Nona bertiga, setiap saat kami siap untuk
 menggunakan tenaga kuda kami!"
 Kini Lulung Lama bangkit berdiri dan memberi isarat agar semua orang tenang, kemudian
 dia berkata, "Terima kasih, kami gembira sekali melihat bahwa saudara sekalian agaknya
 sudah siap untuk bekerja sama dengan kami. Masih adakah di antara para tamu yang ingin
 menge-mukakan pendapatnya" Silakan!" Lulung Lama sengaja memandang ke arah Sian Lun
 dan Sian Li. Akan tetapi kembali Sian Li menyen-tuh lengan Sian Lun yang sudah gatal mulut untuk
 bicara itu. Pada saat itu, seorang laki-laki Han berusia lima puluh-an tahun, bertubuh tinggi
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 342 kurus dengan muka kuning, bangkit dan bicara dengan suaranya yang tinggi seperti suara
 wanita. "Bersatu untuk bekerja sama dalam perjuangan menentang pemerintah Mancu memang
 mudah dibicarakan, akan tetapi pelaksanaannya menentang pemerintah Mancu amatlah
 berbahaya dan sukar. Kaisar Kian Liong yang sekarang menja-di Kaisar telah berusaha
 mendekati dan menggandeng para tokoh pendekar di dunia persilatan sehingga mereka itu
 tidak mau menentang Kaisar, apalagi membantu usaha perjuangan untuk me-numbangkan
 kekuasaan Mancu. Masih banyak sekarang ini para pendekar yang berubah menjadi penjilat
 penjajah Mancu. Dan selama para pendekar penjilat itu tidak dibasmi terlebih dahulu, tentu
 me-reka akan menjadi penghalang perjuangan kita."
 "Pendapat itu tepat dan benar sekali!" tiba-tiba Ji Kui berseru dengan lantang dan penuh
 semangat. "Kalau tidak karena ulah para pendekar penjilat, terutama keturunan pendekar
 Pulau Es dan pende-kar Gurun Pasir, tentu telah lama ke-luarga Kaisar dapat kami basmi!
 Bebera-pa tahun yang lalu. ketika Thian-li-pang masih bekerja sama dengan kami, kami telah
 berhasil mendekati Siang Hong-houw, bahkan putera Ketua Thian-li-pang dan Ang I Moli,
 seorang tokoh murid Pek-lian-kauw telah berhasil diselundup-kan ke istana dan nyaris
 berhasil mem-bunuh para pangeran kalau saja tidak digagalkan oleh Gangga Dewi dan
 suami-nya, yaitu Suma Ciang Bun, cucu Pende-kar Super Sakti Pulau Es! Jelaslah bahwa
 orang-orang dari keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir merupakan penghalang besar bagi
 perjuangan kita!"
 Lulung Lama tertawa dan dia bersa-ma muridnya, Cu Ki Bok kini meman-dang ke arah Sian
 Lun dan Sian Li. "Ha-ha, belum tentu, Toanio," katanya. "Be-lum tentu kalau semua
 keturunan kedua pendekar itu sudi menjadi antek dan penjilat penjajah Mancu. Di sini hadir
 pula dua orang muda gagah perkasa yang berhubungan dekat dengan Gangga Dewi. Kami
 tidak yakin bahwa mereka berdua ini sudi menjadi antek penjilat orang Mancu. Liem-sicu dan
 Tan-lihiap, bagai-mana pendapat kalian?"
 Tentu saja semua orang menoleh dan memandang kepada Sian Li dan Sian Lun yang
 diperkenalkan sebagai orang yang dekat dengan Gangga Dewi dan ada hu-bungan dengan
 keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu. Sian Lun yang sejak tadi sudah hampir tidak kuat
 menahan kemarahannya mendengar keluarga guru-nya dimaki-maki, dan hanya menahan
 kemarahannya karena dilarang sumoinya, kini mendapat kesempatan dan dia pun meloncat
 berdiri dan mengepal tinju.
 "Kami bukan penjilat pemerintah Mancu, juga kami bukan pemberontak-pemberontak yang
 berkedok perjuangan! Akan tetapi, aku sebagai murid keluarga Pulau Es, siap untuk
 menandingi siapa saja yang berani menghina keluarga Pulau Es!" Setelah berkata demikian,
 tanpa mempedulikan sumoinya, dia sudah me-lompat ke tengah ruangan itu, di depan meja
 tuan rumah. Melihat kenekatan suhengnya, tentu saja Sian Li merasa khawatir karena gadis
 ini maklum sepe-nuhnya bahwa di tempat itu berkumpul banyak lawan yang pandai sekali.
 Maka, ia pun harus melindungi dan membela suhengnya dan ia pun sudah melompat ke dekat
 Sian Lun. "Suheng berkata benar!" katanya. "Kalian telah terlalu banyak memandang rendah dan
 menghina keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Nah, ini aku keturunan kedua
 keluarga itu, siap untuk membela kehormatan dan nama kedua keluargaku itu, menandingi
 siapa saja yang berani menghina!"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 343 Melihat munculnya pemuda dan gadis yang mengaku sebegai keluarga Pendekar Pulau Es
 dan Gurun Pasir, bahkan yang berani menantang, para tamu yang ter-diri dari tokoh-tokoh
 kang-ouw yang se-bagian besar mendendam kepada dua keluarga besar itu, segera menjadi
 gaduh. "Bunuh pengkhianat!"
 "Basmi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir"
 "Tangkap mereka, tentu telah mema-ta-matai kita!"
 Teriakan-teriakan terdengar dan agak-nya mereka semua sudah siap untuk me-ngeroyok Sian
 Lun dan Sian Li. Akan tetapi, terdengar seruan Gulam Sing. "Lulung Lama, bagaimana kalau
 aku saja yang menghadapi nona cantik dan gagah ini" Bukankah ia yang pernah kaucerita-kan
 kepadaku tempo hari?"
 Lulung Lama menoleh kepada pange-ran itu dan mengangguk. "Baiklah, Pa-ngeran. Memang
 sebaiknya seorang di antara kita yang maju. Memalukan kalau harus maju keroyokan,"
 katanya. "Dan pemuda itu serahkan kepada ka-mi untuk menangkapnya!" kata Pek-lian Sam-li dan
 ketiga orang wanita muda itu sudah berloncatan menghadapi Sian Lun dengan kerling yang
 memikat dan senyum yang manis. Melihat ini, Gulam Sing tertawa.
 "Ha-ha-ha, tiga orang nona yang jeli-ta! Pemuda itu hanya seorang, bagaimana kalian dapat
 membaginya" Bukankah su-dah ada aku" Ha-ha!" Pangeran yang mata keranjang ini tanpa
 malu-malu di depan banyak orang mengeluarkan ucapan yang mengandung arti tak senonoh
 itu. "Pangeran, mari kita berlumba, siapa di antara kita yang dapat lebih dulu menangkap lawan,
 kami bertiga atau engkau, tanpa melukai!" tantang Ji Kui. "Taruhannya, siapa kalah cepat
 harus menurut kehendak yang menang. Setuju?"
 Melihat pendang mata penuh tantang-an dan senyuman penuh ajakan itu, Pa-ngeran Gulam
 Sing mengangguk, "Setuju!"
 Sian Li dan Sian Lun yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh apalagi
 mereka berada di sarang musuh dan setiap saat mereka dapat mengha-dapi pengeroyokan,
 sudah mencabut pe-dang mereka.
 "Pangeran sombong, majulah kalau ingin merasakan tajamnya pedangku!"
 Sian Li membentak. Pangeran itu terta-wa dan mencabut sebatang golok yang bentuknya
 melengkung seperti bulan sabit. Melihat lawan sudah siap siaga dengan golok di tangan, Sian
 Li sudah meloncat ke depan dan melakukan serangan yang dahsyat sakali.
 "Tranggg....!" Pangeran itu menangkis dengan babatan goloknya, dan biarpun Sian Li sudah
 maklum akan kuatnya te-naga lawan, ia tetap saja terkejut ketika pedang itu hampir terlepas
 dari pegangan tangannya. Pedang itu terpental dan te-lapak tangannya yang berhasil menahan
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 344 gagang pedang terasa panas. Melihat ini, terdengar suara tawa di sana sini dan pangeran itu
 pun tertawa bergelak.
 Sian Lun yang dihadapi Pek-lian Sam--li, biarpun mendongkol sekali karena lawan bersikap
 curang dan belum apa-apa sudah hendak mengeroyoknya, tidak mau banyak cakap lagi. Tidak
 ada guna-nya mencela dan memprotes orang-orang macam itu, apalagi tiga orang wanita ini
 adalah orang-orang Pek-lian-kauw. Sambil membentak nyaring pedangnya sudah berkelebat
 menjadi gulungan sinar yang menyambar ke arah tiga orang wa-nita itu. Pek-lian Sam-li juga
 telah men-cabut pedang mereka dan mereka pun mengepung dengan bentuk barisan Segi
 Tiga, den ternyata gerakan mereka lin-cah sekali dan bagaikan tiga ekor kupu-kupu
 mengepung setangkai bunga, mereka berloncaten ke sana sini, membuat Sian Lun sukar sekali
 untuk dapat mengarah-kan serangannya.
 Sian Li juga segera terdesak karena ia tidak berani mengadu senjata. Hal ini tentu saja
 membuat pangeran itu menang angin dan dia pun mendesak sambil ter-tawa-tawa karena dia
 ingin lebih dulu menangkap lawannya untuk mendahului Pek-lian Sam-li. Dengan demikian,
 dia tidak hanya akan menguasai gadis cantik berpakaian merah ini, akan tetapi juga dia akan
 membuat tiga orang wanita genit itu membayar kekalahan mereka dengan mentaatinya!
 Betapa akan se-nangnya dilayani empat orang wanita itu, pikirnya.
 Akan tetapi, sementara itu Sian Lun juga sudah terdesak hebat oleh tiga pe-dang yang
 mengepungnya. Tingkat kepan-daian pemuda ini tidak jauh selisihnya dengan setiap orang
 dari Pek-lian Sam-li, maka kini dikeroyok tiga tentu saja dia menjadi kewalahan dan repot
 sekali melindungi tubuhnya dari sambaran tiga gulungan sinar pedang lawan.
 Pada saat yang amat kritis bagi Sian Lun dan Sian Li, setiap saat mereka akan dapat
 tertangkap, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan bagaikan seekor rajawali saja bayangan
 itu menyambar-nyambar, mula-mula ke arah Sian Li dan Gulam Sing yang sedang bertanding.
 Baik Gulam Sing maupun Sian Li mengeluar-kan seruan kaget ketika bayangan itu
 menggerakkan tangan dan mereka berdua terdorong ke belakang sampai tiga lang-kah!
 Bayangan itu berkelebat ke arah Sian Lun yang dikeroyok tiga dan di sana bayangan itu
 berputaran dan juga Sian Lun dan tiga orang wanita pengeroyoknya terdorong ke belakang
 seperti diterjang angin badai. Otomatis, mereka semua menghentikan serangan dan
 memandang kepada orang yang tahu-tahu telah ber-ada di situ. Sian Li hampir berteriak
 saking girangnya melihat seorang laki-laki yang tubuhnya sedang saja namun tegap,
 rambutnya panjang dibiarkan riap-riapan ke belakang dan sebagian menu-tupi muka,
 membantu tirai hitam yang bergantungan dari atas topi capingnya yang lebar. Sukar melihat
 wajah orang itu, yang nampak hanya kilatan sepasang mata dari balik tirai dan rambut.
 Pakai-annya sederhana saja seperti pakaian petani namun ringkas, dan dia tidak membawa
 senjata apa pun.
 "Sin-ciang Tai-hiap....!" terdengar te-riakan beberapa orang dan demikian pula teriakan hati
 Sian Li yang memandang penuh kagum, juga kini mendadak saja ia merasa aman begitu
 orang ini berada di situ. Lenyap semua kekhawatirannya akan dikeroyok dan ditangkap oleh
 para pemberontak ini.
 Lulung Lama mewakili suhengnya, Dobhin Lama yang sejak tadi hanya me-nonton saja.
 Dengan langkah lebar dia menghampiri laki-laki bercaping lebar yang menyembunyikan
 mukanya itu dan dia mencoba untuk menembus tirai hitam dan rambut itu untuk mengamati
 wajah-nya, lalu dia mengangkat kedua tangan depan dada dan memberi hormat.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 345 "Omitohud....! Kiranya engkau adalah Sin-ciang Tai-hiap yang selama beberapa tahun ini
 membuat nama besar di daerah perbatasan Tibet ini" Selamat datang, Taihiap! Apakah
 engkau datang hendak menghadiri rapat pertemuan yang kami adakan ini?"
 Pendekar bercaping itu membalas penghormatan tuan rumah dengan sikap sopan, lalu
 terdengar suaranya, lembut dan singkat. "Lulung Lama, terserah de-ngan nama apa orang
 akan menyebutku. Aku datang bukan untuk menjadi tamu dalam pertemuan ini."
 Lulung Lama mengerutkan alisnya. "Sin-ciang Tai-hiap, pinceng (saya) yakin bahwa sebagai
 sama-sama tokoh dunia persilatan yang tahu akan peraturan du-nia kang-ouw, engkau tentu
 maklum bah-wa jalan kita bersimpang. Aku tidak per-nah mencampuri urusanmu, dan
 demikian pula kami harap engkau tidak akan men-campuri dan mengacaukan urusan kami.
 Kalau engkau tidak datang untuk meng-hadiri pertemuan, lalu mengapa engkau menghentikan
 pertandingan tadi dan apa pula maksudmu datang berkunjung tanpa diundang ini?" Lulung
 Lama bicara de-ngan nada tinggi hati, hal ini adalah karena dia sebagai tokoh besar Hek I
 Lama tentu saja tidak takut kepada pen-dekar rahasia ini walaupun sudah banyak dia
 mendengar tentang kelihaian Sin-ciang Tai-hiap, dan ke dua karena pada saat itu, dia berada
 di tempat sendiri, mempunyai banyak anak buah, ada pula suhengnya yang sakti dan banyak
 tamu yang dapat diandalkan.
 Semua orang menaruh perhatian besar kepada pendatang aneh itu dan suasana menjadi sunyi
 senyap karena semua orang ingin mendengarkan bagaimana jawaban pendekar yang selama
 akhir-akhir ini amat terkenal namanya. Pendekar aneh itu menggerakkan tubuhnya,
 memandang ke sekeliling, kemudian dia pun menjawab, suaranya masih lembut seperti tadi.
 "Lulung Lama, aku tidak mencampuri urusan siapa pun. Kalau tadi aku melerai pertandingan
 adalah karena aku selain tidak suka melihat orang menyelesaikan persoalan melalui senjata,
 saling melukai dan saling membunuh. Kedatanganku ini untuk bertemu dan bicara dengan
 saudara Thong Nam, kepada suku Miao yang aku tahu berada di sini sebagai tamu. Biar-kan
 aku bicara dengan dia, setelah sele-sai urusanku dengan dia, aku akan pergi dari sini."
 Lulung Lama mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, Thong Nam adalah kepala suku
 Miao, seorang di antara se-kutunya dan saat itu menjadi tamunya, maka sebagai tuan rumah
 dia harus dapat melindungi tamunya. Akan tetapi, sebelum dia dapat berkata atau berbuat
 sesuatu, seorang di antara para tamu sudah bangkit berdiri dan berkata lantang dengan suara
 keras dan logatnya asing.
 "Akulah Thong Nam kepala suku Miao. Biarpun telah mendengar nama Sin-ciang Tai-hiap,
 namun kami belum pernah ber-urusan dengannya. Sekarang engkau da-tang mencariku di
 sini, katakan apa per-lunya engkau mencari aku, Sin-ciang Tai-hiap!"
 Pendekar bercaping itu memutar tubuh ke kanan untuk memandang ke arah Si Pembicara.
 Ternyata orang bernama Thong Nam itu bertubuh pendek dengan perut gendut, akan tetapi
 tubuh-nya nampak kokoh kuat dan wajahnya yang bulat itu membayangkan ketinggian hati.
 Tidak mengherankan kalau kepala suku Miao ini dengan lantang memperke-nalkan diri,
 karena dia pun terkenal se-bagai seorang jagoan di antara suku bang-sanya. Dia terkenal
 memiliki tenaga kuat ilmu gulat yang tak pernah terkalahkan, juga dia memiliki ilmu
 tendangan maut. Selain itu, dia pun tahu bahwa di tempat itu, dia memiliki banyak kawan
 tangguh yang pasti akan membantunya kalau dia terancam bahaya.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

346 Sejenak pendekar bercaping itu meng-amati Si Pendek Gendut dan karena dia diam saja,
 semua orang menjadi semakin tegang. "Thong Nam," akhirnya terdengar dia berkata, "aku
 mencarimu untuk me-minta kembali sebutir mutiara hitam darimu. Engkau tidak berhak
 memilikinya dan benda itu harus dikembalikan kepada pemiliknya."
 Semua orang tidak mengerti tentang mutiara hitam, akan tetapi wajah Si Pendek Gendut itu
 berubah merah dan alisnya berkerut, nampak bahwa dia ma-rah mendengar itu. Otomatis
 tangan kiri-nya meraba ke arah dadanya, lalu dia berkata lantang, "Sin-ciang, Tai-hiap!
 Mutiara Hitam itu adalah milikku, kute-rima dari mendiang ayahku. Aku tidak mengambilnya
 dari orang lain!"
 "Kalau begitu, saudara Thong Nam, ayahmu itulah yang telah mengambilnya. Mutiara Hitam
 itu milik orang lain, ha-rap engkau suka berbesar hati untuk mengembalikannya kepadaku
 agar dapat kupenuhi pesan pemiliknya."
 "Sin-ciang Tai-hiap, engkau sungguh terlalu mendesak. Orang lain boleh takut kepadamu,
 akan tetapi aku tidak! Dan menurut peraturan dunia kang-ouw, untuk memiliki sesuatu dari
 orang lain haruslah lebih dahulu mengalahkannya." Kepala suku Miao itu lalu mengambil
 sesuatu dari balik bajunya, lalu menyerahkan sebuah mutiara hitam yang tadi dia pa-kai
 sebagai kalung kepada Lulung Lama. "Losuhu, tolong simpan dulu benda ini, aku akan
 menandingi pendekar yang som-bong ini!" Setelah menyerahkan benda itu kepada Lulung
 Lama, Thong Nam lalu melompat ke depan pendekar bercaping lebar dengan sikap
 menantang. Lulung Lama menerima benda itu, nampak ter-tarik dan segera dia mendekati
 suheng-nya. Dobhin Lama menerima benda itu dan mereka berdua mengamati benda itu
 sambil berbisik-bisik, pandang mata me-reka bersinar-sinar.
 Sementara itu, Thong Nam yang me-rasa diremehkan di depan banyak orang, tanpa banyak
 cakap lagi sudah menye-rang pendekar bercaping itu dengan tubrukan ganas, seperti seekor
 biruang menubruk mangsanya. Agaknya dia hen-dak mengandalkan ilmu gulatnya untuk
 menangkap lawan, karena dia berkeyakin-an bahwa sekali dia dapat menangkap lengan
 lawan, dia akan dapat membuat-nya tidak berdaya dengan ringkusan atau bantingan.Sin-ciang
 Tai-hiap agaknya tidak tahu akan keistimewaan Thong Nam, maka dia seperti acuh saja dan
 bahkan me-nangkis dengan pemutaran lengan kanan dari kiri ke kanan dan membiarkan
 le-ngannya itu tertangkap lawan! Tentu saja girang hati Thong Nam. Begitu dia ber-hasil
 menangkap lengan kanan lawan, dia mempergunakan kedua tangannya, me-nangkap dengan
 pengerahan tenaga yang tiba-tiba disentakkan dan dia hendak me-nekuk lengan itu ke
 belakang. Sekali dia berhasil menekuk lengan itu ke belakang tubuh, dia akan dapat membuat
 lawan tidak berdaya dengan mendorong lengan yang tertekuk ke belakang itu ke atas! Akan
 tetapi, betapa kagetnya ketika dia sama sekali tidak mampu menekuk le-ngan lawan itu,
 jangankan memuntir ke belakang, bahkan menekuk sikunya saja tidak mampu. Lengan itu
 terasa olehnya seperti sebatang baja yang amat kuat. Padahal, sebatang tongkat atau tombak
 baja pun akan dapat ditekuknya dengan mudah! Tiba-tiba pendekar bercaping itu
 menggerakkan lengannya yang ditangkap dan sedang hendak ditekuk ke belakang dan....
 Thong Nam tak mampu bertahan lagi. Pegangan kedua tangannya terlepas dan dia pun
 terjengkang sampai beberapa meter jauhnya.
 Thong Nam tidak terluka, hanya ter-kejut. Dia bangkit kembali dan mukanya menjadi merah
 sekali. Dia menjadi se-makin penasaran dan marah, dan tanpa bicara lagi dia menerjang
 lawannya, se-kali ini tidak ingin menangkap melainkan mengandalkan ilmu tendangannya
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 347 yang memang hebat dan berbahaya. Selain kedua kaki itu dapat bergerak cepat sekali, juga
 setiap tendangan mengandung tenaga yang amat kuat, apalagi kedua kaki itu memakai sepatu
 yang dilapis baja, bagian bawahnya memiliki tepi yang tajam dan ujungnya juga runcing.
 Dengan gerakan yang tenang sekali, Sin-ciang Tai-hiap dapat menghindarkan sambaran dua
 buah kaki yang melakukan serangkaian tendangan bertubi-tubi. Tu-buhnya hanya bergerak
 sedikit saja, na-mun cukup membuat tendangan itu hanya lewat di dekat tubuhnya.
 "Hemm, sepatumu itu terlalu keji, Thong Nam," kata pendekar itu lembut dan tiba-tiba saja,
 tubuh Thong Nam kembali terlempar dan terjengkang ke belakang, akan tetapi sekali ini
 kedua kakinya sudah telanjang karena sepasang sepatu itu tertinggal di kedua tangan pendekar
 bercaping itu! Pendekar itu memeriksa sepasang se-patu yang istimewa itu, kemudian jari--jari tangannya
 bergerak dan.... lapisan besi di bawah sepatu itu sudah terlepas semua dan yang tinggal hanya
 sepasang sepatu kulit biasa. Dia melemparkan sepasang sepatu itu kepada Thong Nam. Kini
 wajah Thong Nam berubah pucat. Dia mengenakan sepatunya yang menjadi sepatu biasa itu
 dan lenyaplah semua ketinggian hatinya. Dia tahu benar bahwa pendekar itu sama sekali
 bukan lawannya dan kalau pendekar itu menghendaki, mungkin dia sekarang telah tewas, atau
 setidaknya terluka berat.
 Sementara itu, Sian Lun yang tadi dihentikan pertandingannya, menjadi pe-nasaran. Juga
 diam-diam, seperti juga Sian Li, hatinya menjadi besar setelah muncul Sin-ciang Tai-hiap.
 Dilihatnya betapa tiga orang wanita Pek-lian-kauw tadi pun masih berdiri dengan pedang di
 tangan, maka dia segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah mereka dan
 pihak tuan rumah.
 "Kalian semua mengaku sebagai pe-juang-pejuang patriot, aken tetapi se-sungguhnya
 hanyalah penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak yang ber-kedok perjuangan!
 Keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir memang selalu menentang dan membasmi penjahat-
 penjahat seperti kalian!"
 Melihat suhengnya sudah nekat seper-ti itu, Sian Li juga meloncat di dekatnya untuk
 membantu. Melihat ini, Lulung Lama manjadi marah dan dia memberi perintah kepada anak
 buahnya. "Tangkap dua orang muda kurang ajar ini!"
 "Tahan!" Sin-ciang Tai-hiap berseru ketika melihat banyak orang sudah bang-kit dan siap
 menyerbu. "Lulung Lama, urusanku dengan Thong Nam belum sele-sai. Mutiara Hitam
 belum diserahkan kembali kepadaku, dan tentang kedua orang muda ini, seyogianya kalau
 kalian membiarkan mereka pergi. Mereka adalah pendekar-pendekar gagah yang tidak ada
 hubungannya dengan segala macam pem-berontakan."
 Kini Dobhin Lama yang masih meme-gang mutiara hitam itu bangkit berdiri. Tubuhnya
 nampak semakin kurus dan tinggi ketika dia berdiri dan dan meman-dang kepada Sin-ciang
 Tai-hiap. "Hemm, Sin-ciang Tai-hiap. Biarpun engkau menyembunyikan wajahmu, akan tetapi kami
 tahu bahwa engkau adalah seorang yang masih muda. Mengagumkan sekali seorang yeng
 demikian muda telah memiliki ilmu kepandaian sepertimu. Alangkah sayangnya kalau
 kepandaian seperti itu tidak kaupergunakan untuk mencapai kemuliaan selagi engkau masih
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 348 muda. Sin-ciang Tai-hiap, sebagai seorang Han, apakah engkau tidak prihatin meli-hat bangsa
 Mancu menjajah negara dan bangsamu" Marilah engkau bergabung dengan kami. Kami akan
 memberi kedu-dukan tinggi padamu, bahkan mungkin sekali kami akan mengangkatmu
 sebagai panglima besar."
 Dengan sikap yang sopan, pendekar itu memberi hormat kepada Dobhin Lama kemudian
 suaranya terdengar lembut na-mun lantang dan tegas. "Terima kasih atas uluran tanganmu,
 Dobhin Lama. Tentu saja aku merasa prihatin dengan adanya penjajahan bangsa Mancu, dan
 aku mengagumi usaha para patriot yang berjuang demi membebaskan tanah air dan bangsa
 dari cengkeraman penjajah Mancu. Akan tetapi, Losuhu, perjuangan bukan perjuangan murni
 lagi kalau dida-sari pamrih untuk kepentingan pribadi, pamrih untuk mendapat imbalan jasa
 bagi diri sendiri. Perjuangan yang benar adalah suatu kebaktian terhadap tanah air dan bangsa,
 tanpa pamrih untuk pri-badi. Kalau ada pamrih, meka perjuangan itu hanya menjadi suatu
 alat, suatu cara untuk mencapai keuntungan pribadi se-perti kedudukan, kemuliaan, harta dan
 segala kesenangan lain sebagai hasil dari kemenangan. Saudara sekalian yang ber-ada di sini
 tentu dapat meneliti diri sendiri apakah perjuangan kalian itu murni ataukah hanya menjadi
 suatu cara saja untuk mengejar hasil kemenangan yang akan menyenangkan diri sendiri atau
 golongan sendiri?"
 "Sin-ciang Tai-hiap, perlukah bicara dengan mereka ini?" Tiba-tiba Sian Li berseru. "Lihat
 saja siapa adanya mereka ini dan kita akan tahu macam, apa perjuangan mereka itu!
 Perkumpulan Lama Jubah Hitam adalah pemberontak terha-dap pemerintah yang sah dari
 Tibet. Juga orang-orang Nepal yang bersekutu dengan mereka ini adalah orang-orang Nepal
 yang memberontak terhadap Kerajaan Nepal sendiri sehingga mereka itu men-jadi buronan
 dan buruan dari kedua kera-jaan itu! Dan lihat pula siapa lagi sekutu mereka! Pek-lian-kauw!
 Tak perlu ber-panjang cerita lagi, mereka bukanlah pejuang-pejuang aseli, perjuangan itu
 hanya menjadi kedok untuk menutupi kejahatan mereka!"
 "Tangkap mereka!" Lulung Lama ber-teriak lagi dan dia menghadapi Sin-ciang Tai-hiap.
 "Sin-ciang Tai-hiap, harap ja-ngan mencampuri urusan kami! Atau terpaksa kami akan
 menentangmu!"
 Pek-lian Sam-li berloncatan menge-pung Sian Lun dan Ji Kui berkata kepada anak buah tuan
 rumah, "Biarkan kami bertiga yang menangkap pemuda ini!" Dan mereka pun sudah
 mengepung dan menyerang Sian Lun dengan pedang me-reka.
 "Gadis ini untukku, ha-ha-ha!" Pange-ran Gulam Sing juga membentak dan dia sudah
 menghadapi Sian Li dengan golok-nya yang melengkung. Kembali mereka bertempur,
 melanjutkan pertandingan tadi yang tertunda oleh kemunculan Sin-ciang Tai-hiap.
 Sebelum Sin-ciang Tai-hiap dapat mencegah terjadinya pengeroyokan itu, dia sendiri sudah
 diserang oleh dua orang yang amat lihai, yaitu Cu Ki Bok dan gurunya, Lulung Lama! Begitu
 pemuda peranakan Han Tibet itu meyerang de-ngan sabuk baja yang kedua ujungnya
 dipasangi pisau, tahulah pendekar berca-ping lebar itu bahwa dia menghadapi seorang lawan
 yang tangguh. Apalagi ke-tika Lulung Lama juga menyerang dengan senjatanya yang aneh,
 yaitu sepasang gelang roda besar yang warnanya ke-emasan dan tepinya bersirip tajam. Dan
 pendekar itu pun memperlihatkan kelihai-annya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor
 burung walet saja, beterbangan di antara gulungan sinar senjata kedua orang pengeroyoknya!
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 349 Akan tetapi, tepat seperti yang dika-barkan orang. Sin-ciang Tai-hiap agaknya tidak mau
 melukai lawan, apalagi mem-bunuhnya. Inilah sebabnya mengapa sukar baginya untuk
 menundukkan dua orang pengeroyoknya yang memiliki kepandaian yang sudah tinggi
 tingkatnya. Kalau saja dia mau melukai, tentu tidak akan lama pertandingan itu, karena dia
 tentu dapat merobohkan Cu Ki Bok maupun Lulung Lama!
 Keadaan Sian Lun maupun Sian Li payah walaupun kedua orang muda ini melawan dengan
 gigih. Sian Lun mengha-dapi tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw yang sudah memiliki
 tingkat tinggi. Tiga orang wanita itu merasa kagum bukan main. Baru sekarang mereka
 berhadapan dengan seorang lawan muda yang mampu menahan pengeroyokan me-reka
 bertiga! Memang Sian Lun bukan merupakan, lawan yang lunak. Dia telah digembleng oleh
 kedua orang gurunya, yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Biarpun tidak seluruh ilmu
 kesaktian dari keluarga para pendekar Pulau Es dikuasainya, namun dia telah menguasai Hwi-
 yang Sin-kang den Soat-Im Sin-kang, kedua ilmu menggunakan tenaga sakti yang panas dan
 dingin, dan tentang ilmu pe-dang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) yang
 diajarkan oleh Kam Bi Eng. Pemuda ini memang belum mempunyai banyak pengalaman
 bertan-ding, akan tetapi karena dia menguasai ilmu pedang yang dahsyat dan memiliki
 gabungan tenaga sin-kang yang amat kuat, maka tiga orang wanita Pek-lian-kauw yang
 bermaksud menangkapnya hidup-hidup tanpa melukainya itu menga-lami kesulitan.
 Sian Li juga menghadapi lawan yang tangguh. Seperti juga Sian Lun, gadis re-maja ini telah
 menguasai ilmu yang hebat, bahkan ia masih lebih tangguh dibandingkan suhengnya itu
 karena gadis ini menguasai pula ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dari ayahnya.
 Andaikata ia sudah memiliki banyak pengalaman bertanding, tentu ia akan mampu
 mengalahkan pangeran Nepal itu. Akan tetapi karena ia kurang pengalaman menghadapi ilmu
 golok melengkung dari pangeran asing itu yang gerakan-gerakannya aneh sekali, ia menjadi
 agak bingung. Biarpun demikian, karena pangeran Nepal itu pun tidak ingin melukainya dan
 ingin menangkapnya hidup-hidup, maka pange-ran itu tidak mudah dapat menundukkan gadis
 itu. Sian Lun yang memang sudah terdesak, dengan nekat memutar pedangnya dan sinar pedang
 yang bergulung-gulung itu bagaikan benteng baja yang amat kuat, membuat tiga orang tokah
 Pek-lian-kauw kagum dan juga penasaran. Maareka saling memberi isarat dan ma-sing-
 masing mengaluaran sehelai saputa-ngan merah. Tanpa diduga-duga oleh Sian Lun, mereka
 mengebutkan saputangan merah ke arah pemuda itu. Sian Lun memang kurang pengalaman,
 melihat uap tipis kemerahan itu dia tidak me-nyangka buruk. Baru setelah dia mencium bau
 harum yang aneh dan matanya ber-kunang, kepalanya pening, setelah ter-lambat, dia tahu
 bahwa tiga orang pengeroyoknya itu menggunakan bubuk beracun.
 "Iblis-iblis betina yang curang....!" Dia berteriak dan memaksa diri untuk me-nyerang dengan
 nekat, akan tetapi kepa-lanya semakin pening dan dia pun terhuyung-huyung. Ji Kui
 mengeluarkan suara ketawa mengejek dan sekali menggerakkan tangan menotok, Sian Lun
 terkulai dalam rangkulannya dan pamuda itu lemas tak mampu bergerak lagi.
 Sian Li mendengar teriakan suhengnya dan cepat menengok. Melihat suhengnya tertawan, ia
 menjadi marah dan tubuhnya bergerak cepat, bagaikan seekor burung bangau ia telah
 mengirim tujuh kali tu-sukan beruntun dengan pedangnya kepada Pangeran Gulam Sing.
 Pangeran ini terkejut, merasa seperti menghadapi seekor burung besar. Dia memutar golok
 dan melangkah mundur. Akan tetapi kesempatan seperti itu dipergunakan oleh Sian Li untuk
 meloncat ke arah Sian Lun. Melihat ini, tiga orang wanita Pek-lian-kauw ter-kejut dan marah,
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 350 tangan kiri mereka bergerak ke arah Sian Li dan belasan batang jarum halus menyambar ke
 arah tubuh gadis yang sedang melayang ke arah mereka itu! Sukar bagi Sian Li untuk dapat
 menghindarkan diri dari sambaran jarum karena pada saat itu ia sedang meloncat ke arah Sian
 Lun yang tertawan. Dan Pangeran Gulam Sing juga mengejar dengan lompatan seperti seekor
 harimau yang menubruk, bukan sekedar melompat, melainkan juga menggerakkan kaki
 menendang! Kedaan Sian Li sunggh berbahaya sekali.
 Pada saat itu, Sin-ciang Tai-hiap yang melihat keadaan itu, secepat kilat mengirim tendangan
 beruntun kepada dua orang pengeroyoknya. Tendangan itu mendatangkan angin yang
 bersiutan se-hingga Lulung Lama dan Cu Ki Bok ter-paksa berloncatan ke belakang dan
 kesempatan ini dipergunakan olehnya untuk meloncat mendahului Sian Li untuk melindungi
 gadis itu dari sambaran Ja-rum-Jarum halus! Sian Li yang mende-ngar gerakan kaki Pangeran
 Gulam Sing dari belakang, biarpun tubuhnya sedang di udara, dapat berjungkir balik dan
 pe-dangnya menyambar ke belakang. Kalau kaki pangeran itu dilanjutkan menendang, tentu
 akan bertemu dengan pedangnya!
 Akan tetapi pangeran itu juga berjungkir balik dan turun kembali. Sedangkan Sin--ciang Tai-
 hiap dengan ujung lengan baju-nya mengebut jarum-jarum halus itu sehingga runtuh dan dia
 pun sudah me-nyambar lengan kiri Sian Li dan berseru,
 "Mari kita pergi!"
 "Tidak, Suhengku....!" Sian Li hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba saja tu-buhnya dibawa
 meloncat jauh oleh Sin-ciang Tai-hiap dan terpaksa ia pun ikut menggerakkan kaki berlari
 karena ia tidak mau terseret. Cepat bukan main gerakan Sin-ciang Tai-hiap sehingga biar-pun
 ia ingin meronta, tetap saja ia kalah kuat dan tidak berhasil melepaskan le-ngan kirinya yang
 terpegang. Sian Li merasa penasaran sekali, akan tetapi ka-rena ia tahu bahwa pendekar aneh
 ini sudah berulang kali menolongnya, ia pun tidak mau menyerang dengan pedangnya, hanya
 terpaksa ikut berlari dengan alis berkerut dan bersungut-sungut. Kenapa pendekar ini
 mengajaknya berlari" Su-hengnya telah tertawan, dan sekarang ia disuruh melarikan diri! Ia
 bukan seo-rang pengecut seperti itu!
 Agaknya, orang-orang yang sedang mengadakan pertemuan itu merasa jerih juga kepada Sin-
 ciang Tai-hiap dan me-reka tidak berani melakukan pengejaran. Apalagi, mereka telah
 berhasil menawan seorang dan tawanan ini dapat menjamin mereka agar Sin-ciang Tai-hiap
 dan Tan Sian Li tidak akan berani mengganggu mereka lagi.
 "Harap Sam-li jangan sampai melukai atau membunuh pemuda itu," kata Lulung Lama. "Dia
 masih berguna bagi kita, selain untuk jaminan, juga kalau kita dapat membujuk sandera ini
 sehingga dia taluk dan dapat membantu, hal itu amat menguntungkan."
 Ji Kui yang merangkul Sian Lun yang tak sadarkan diri, mengelus dagu pemuda itu dan
 tersenyum sambil saling pandang dengan dua orang adiknya. "Jangan khawatir, Losuhu. Kami
 pun tidak bermaksud mencelakai pemuda tampan ini. Bahkan kami akan membantu agar dia
 tunduk dan taluk kepada kita."
 Ji Hwa, orang ke dua dari mereka, memandang kepada Pangeran Gulam Sing dan sambil
 tersenyum manis ia berkata, "Pangeran, engkau telah kalah oleh kami. Mengakulah!"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 351 Gulam Sing juga tersenyum. "Ah, ka-lian memang cerdik, menggunakan bubuk racun itu.
 Sungguh aku kalah cerdik dan aku mengaku kalah. Perintahkan saja apa yang kalian
 kehendaki, aku tentu akan mentaati untuk membayar kekalahanku."
 "Hi-hik, nanti saja kita bicarakan hal itu di kamar kami, Pangeran!" kata Ji Kim, wanita Pek-
 lian-kauw termuda. Mereka bertiga tertawa dan pangeran Nepal itu pun tertawa bergelak.
 Sudah diduganya. Kalah atau menang, sama saja baginya, tetap akan menyenangkan.
 "Pangeran, kenapa tadi tidak mem-pergunakan sihir untuk mengalahkan Tan Sian Li?"
 Lulung Lama berkata kepada pangeran itu.
 "Hemm, apa kaukira aku begitu bodoh?" Pangeran itu balas bertanya. "Su-dah kucoba, akan
 tetapi gagal, tidak ada pengaruhnya sama sekali! Dan kenapa engkau pun tidak menggunakan
 sihir un-tuk menundukkan Sin-ciang Tai-hiap tadi?"
 "Omitohud, kalau begitu sama saja. Pinceng juga sudah mencobanya, akan tetapi tidak ada
 hasilnya sama sekali," kata Lulung Lama.
 "Sungguh mengherankan. Kami pun sudah mencoba dengan sihir tadi sebelum menggunakan
 bubuk racun merah, akan tetapi kekuatan sihir kami seperti tenggelam ke dalam air saja!" kata
 pula Ji Kui. Kalau semua orang merasa heran, Dobhin Lama tertawa, "Ha-ha-ha, kalian seperti anak-anak
 saja. Sudah jelas bahwa pengaruh sihir manjadi punah ka-rena adanya Sin-ciang Tai-hiap di
 sini. Orang itu berbahaya sekali, maka kita harus berhati-hati. Kulihat tadi ketika dia
 melindungi gadis itu, ada jarum Pek-lian Sam-li yang mengenai pundak kirinya. Dia telah
 terluka jarum Pek-lian-tok-ciam!"
 "Ah, benarkah itu, Losuhu?" Ji Kui dan dua orang adiknya berseru girang. "Kalau begitu, dia
 tentu tidak akan dapat lolos! Jarum kami mengandung racun yang sukar dilawan."
 Jangan gembira dulu, Sam-li," kata Dobhin Lama. "Pinceng sudah mengenal baik jarum
 baracun Pek-tian-tok-ciam. Bukankah siapa yang terkena jarum itu tentu akan lumpuh
 seketika" Dan melihat betapa Sin-ciang Tai-hiap masih da-pat melarikan diri, hal itu
 menunjukkan bahwa dia memang lihai bukan main. Belum tentu jarummu akan dapat
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mem-buat dia tak berdaya. Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati dan suruh anak buah
 melakukan penjagaan ketat."
 Mereka melanjutkan pertemuan itu untuk membicarakan gerakan mereka dan mengatur
 rencana dan membagi tugas kerja. Sian Lun yang sudah tak berdaya itu diserahkan kepada
 Pek-lian Sam-Li untuk menjaga dan menundukkannya. Tiga orang wanita itu dengan wajah
 berseri lalu mengajak Pangeran Gulam Sing dan memondong tubuh Sian Lun, pergi
 mengundurkan diri.
 *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 "Cukup, berhenti!" Sian Li merenggut-kan tangannya dan sekali ini ia berhasil. Mereka
 berada di kaki bukit yang sunyi, dikelilingi hutan-hutan kecil dan rawa-rawa. Orang yang
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 352 bercaping lebar itu sekali ini tidak mempertahankan pegang-annya dan melepaskan lengan
 kiri Sian Li. Sian Li menghentikan langkahnya. Matahari sudah condong ke barat, senja menjelang tiba. Ia
 menghadapi laki-laki itu dengan alis berkerut.
 "Kenapa engkau memaksaku berlari-lari, melarikan diri seperti pengecut-pe-ngecut yang
 ketakutan?" dua kali Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan muka merah. "Kenapa?"
 Orang itu menghela napas panjang beberapa kali, kemudian terdengar suara-nya yang
 lembut, "Karena aku tidak ingin melihat engkau tewas di sana."
 "Akan tetapi, aku tidak takut mati!" Sian Li berkata dan membanting kakinya dengan marah.
 Pendekar itu tidak men-jawab, lalu melangkah pergi meninggal-kan Sian Li. Gadis itu hendak
 marah-marah, akan tetapi ia melihat betapa pendekar itu langkahnya gontai dan agak
 terhuyung. Tentu saja ia menjadi heran dan mengikuti dari belakang. Orang ber-caping lebar
 itu menuju ke sebuah guha besar yang tertutup rumpum semak-semak berduri, dan agaknya
 sudah biasa dia berada di situ. Ketika dia memasuki guha, Sian Li mengikuti dan ternyata
 guha itu terpelihara dan bersih, merupa-kan ruangan yang terlindung. Begitu me-masuki guha,
 pendekar aneh itu lalu duduk bersila, seolah tidak mempedulikan lagi kepada Sian Li.
 Gadis ini tentu saja menjadi semakin marah. Orang ini biarpun pernah bebera-pa kali
 menolongnya, akan tetapi sekali ini telah bertindak keterlaluan. Sudah memaksa ia melarikan
 diri, sekarang malah mengacuhkannya sama sekali.
 "Heiiii! Engkau ini ternyata hanyalah seorang pendekar yang mempunyai pikir-an tidak
 senonoh!" bentaknya semakin marah.
 Pendekar itu menggerakkan kepalanya yang tadi bertunduk, akan tetapi tidak langsung
 menghadapkan mukanya yang tertutup rambut dan tirai.
 "Kenapa engkau menuduh demikian?" tanyanya, masih lembut dan penuh ke-sabaran.
 "Buktinya, engkau hanya melarikan aku. Kalau memang hendak menolong, kenapa hanya
 aku yang kautolong, dan meninggalkan Suheng di sana?"
 "Dia sudah tertawan, kalau kubiarkan engkau akan tertawan pula."
 "Aku tidak takut! Suheng telah dita-wan, aku pun harus menolongnya, tidak peduli aku akan
 tertawan pula atau mati sekalipun!"
 Sejenak orang itu tidak berkata-kata, kemudian terdengar suaranya lirih, "Eng-kau tentu....
 amat sayang kepada suheng-mu itu."
 "Tentu saja! Dia Suhengku, kalau bu-kan aku yang menolongnya, lalu siapa lagi?"
 "Kalau engkau tadi tewas atau terta-wan, lalu bagaimana engkau akan dapat menolong
 suhengmu?"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 353 Ucapan itu menyadarkan Sian Li dan ia pun termangu. Sin-ciang Tai-hiap ber-kata lagi,
 "Mereka terlalu banyak dan juga banyak orang lihai. Karena terpaksa aku mengajakmu
 melarikan diri dari sana agar kita dapat mengatur siasat untuk dapat menolong suhengmu...."
 Ucapan itu tidak dilanjutkan, berhenti tiba-tiba dan pendekar itu menundukkan mukanya.
 Sian Li masih curiga, apalagi melihat orang itu menghentikan ucapannya de-ngan tiba-tiba
 dan sikapnya seperti orang yang menyembunyikansesuatu. Ia tidak mengenal siapa orang ini,
 tidak tahu pula bagaimana wataknya. Siapa tahu semua itu hanya siasat saja dan orang yang
 selalu menyembunyikan mukanya itu me-mang mempunyai niat yang tidak baik.
 "Sudahlah, aku harus kembali ke sana sekarang juga untuk membebaskan Su-heng!" katanya
 dan ia pun hendak me-ninggalkan tempat itu. Akan tetapi, pen-dekar bercaping itu sudah
 mendahuluinya bergerak dan menghadang di depannya.
 "Jangan! Sekarang belum boleh...."
 Benar saja dugaannya. Orang ini mempunyai niat yang tidak baik, pikir Sian Li kecewa.
 Sebelum ini, ia selalu mengenang Sin-ciang Tai-hiap yang per-nah menolong ia dan
 suhengnya, mem-buat ia kagum dan ingin sekali bertemu. Setelah jumpa, kekagumannya
 menghilang karena ulah pendekar itu yang amat mencurigakan, dan kini ia malah menjadi
 marah sekali. "Siapa pun tidak boleh melarang aku menolong Suhengku!" bentaknya dan ia pun maju terus
 dan mendorong pendekar yang menghadang itu dengan tangan kiri-nya. Tangan kirinya
 mengenai dada orang itu dan.... pendekar itu terdorong ke be-lakang, terhuyung lalu roboh!
 Tentu saja Sian Li merasa heran dan terkejut bukan main. Mengapa orang itu menjadi
 demikian lemah" Ia cepat meng-hampiri dan keheranannya bertambah ketika melihat bahwa
 orang itu telah pingsan! Wajahnya masih tertutup rambut dan tirai, akan tetapi napasnya
 terengah ketika ia menyentuh lengannya, terasa amat panas! Sian Li menjadi khawatir sekali.
 Sebagai murid Yok-sian Lo-kai yang sudah mempelajari ilmu pengobatan dari Dewa Obat itu,
 sekali pegang nadi orang itu tahulah ia bahwa tubuh orang itu telah keracunan secara hebat!
 Racun yang berhawa panas, pikirnya dengan le-ga. Kalau racun yang mengandung hawa
 panas, masih lebih mudah untuk diobati, dibandingkan racun berhawa dingin. Jelas bahwa
 pendekar ini keracunan dan teringatlah ia ketika Sin-ciang Tai-hiap tadimembantunya. Ia
 diserang jarum-jarum oleh Pek-lian Sam-li dan pendekar ini yang melompat dan meruntuhkan
 jarum-jarum itu dengan lengan bajunya, gerakan yang membuat ia kagum bukan main.
 Jangan-jangan ada jarum yang mengenai tubuh pendekar ini. Tangannya merab--raba dan
 akhirnya ia tahu bahwa me-mang benar racun itu berpusat di pundak kirinya. Tanpa ragu lagi
 Sian Li merobek baju di pundak kiri dan benar saja. Ada bintik kehijauan di situ, kecil sekali
 dan ia pun tahu bahwa tentu jarum itu me-masuki bagian tubuh itu dan meracuni darah.
 Sebagai murid Yok-sian Lo-kai yang pandai, Sian Li tahu apa yang harus di-lakukannya.
 Lebih dahulu ia menotok jalan darah di sekitar pundak untuk men-cegah menjalarnya racun,
 kemudian de-ngan ujung pedangnya yang tajam ia menoreh bintik hijau itu sehingga kulit dan
 dagingnya terbuka dan ia mencokel keluar sebatang jarum hitam kehijauan. Kemudian, ia
 menyedot luka itu dengan mulutnya, menghisap keluar darah yang keracunan, lalu menaruh
 obat bubuk pada luka di pundak. Setelah itu, ia mengeluarkan jarum emas dan perak yang ia
 dapatkan dari Yok-sian Lo-kai dan mela-kukan pengobatan dengan tusuk jarum di beberapa
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 354 bagian tubuh untuk memu-nahkan sisa hawa beracun yang menge-ram di tubuh Sin-ciang Tai-
 hiap. Kurang lebih setengah jam ia membe-ri pengobatan sampai ia merasa yakin benar bahwa
 pendekar itu telah terbebas dariracun. Ia memulihkan jalan darah pendekar itu. Pernapasannya
 mulai normal kembali dan tubuhnya tidak panas seperti tadi. Melihat pendekar itu masih
 rebah telentang dalam keadaan tak sadar timbul keinginan hati Sian Li untuk me-lihat
 wajahnya. Dia masih pingsan, apa salahnya kalau ia melihat wajahnya se-bentar saja" Orang
 ini selalu menyembunyikan muka. Kenapa" Cacadkah dia" Atau ada rahasia lain" Sekarang ia
 tahu bahwa tadi kecurigaannya tidak beralasan sama sekali. Pendekar ini jauh daripada apa
 yang ia curigakan. Sama sekali tidak mempunyai niat buruk, apalagi tak seno-noh. Pendekar
 tadi menderita luka beracun yang parah ketika tadi menolongnya.
 Karena itulah maka pendekar itu me-maksanya melarikan diri, karena kalau tidak, tentu
 mereka berdua sudah ter-tawan pula, atau terbunuh. Dan memang benar. Kelau pendekar itu
 tidak memak-sanya melarikan diri, tentu mereka ber-tiga sudah tertawan dan tidak ada
 kesempatan sama sekali untuk menolong suhengnya. Pendekar ini benar. Ia yang terburu
 nafsu dan mencurigainya. Apa salahnya memandang sebentar saja wajahnya yang penuh
 rahasia, mengambil kesempatan selagi dia belum siuman"
 Dengan jari-jari tangan gemetar karena tegang dan juga diam-diam merasa malu kepada diri
 sendiri bahwa ia telah mencuri dan membuka rahasia orang Sian Li menyingkap tirai di depan
 muka itu, lalu menyingkap rambut yang terurai awut-awutan menutupi muka. Ia melihat
 sebuah wajah yang tampan. Muka itu berbentuk lonjong dengan dagu runcing dan ujung dagu
 berlekuk, alis yang tebal hitam dengan mata terpejam, dahinya lebar, hidung mancung dan
 bentuk muka yang amat dikenalnya. Ia terbelalak, tak bergerak seperti patung, lalu bibirnya
 berbisik berulang-ulang, seolah tidak per-caya kepada pandang matanya sendiri.
 "Yo Han...." Suheng.... Kakak Yo Han....?" Akan tetapi, ia membantah sen-diri. Tidak
 mungkin ini suhengnya yang selama bertahun-tahun dirindukannya itu. Suhengnya itu
 selamanya tidak pernah suka berlatih silat. Suhengnya itu amat baik kepadanya, seperti kakak
 kandung-nya sendiri, akan tetapi sama sekali ti-dak pandai silat walaupun ayah ibunya
 berusaha untuk menggemblengnya. Dan pendekar ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
 Akan tetapi wajah ini....! Bagaimana mungkin ia bisa salah" Wajah ini hampir tidak pernah
 meninggalkan lubuk hatinya. Biarpun kini telah menjadi seorang laki--laki dewasa, namun
 bentuk muka itu tidak berubah. Dahi itu, hidung mulut dan dagu itu! Ah, ia teringat akan
 sesu-atu. Pernah ketika suhengnya ini mandi di sungai kecil dan bertelanjang tubuh bagian
 atas, ia melihat sebuah tahi lalat sebesar kedele di dada suhengnya itu, tepat di tengah ulu
 hatinya. Semenjak itu, sering kali ia menggoda dan mem-perolok suhengnya dengan tahi lalat
 itu. Dengan jari tangan menggigil Sian Li membuka kancing baju pendekar itu un-tuk melihat
 dadanya. Ia membuka baju itu dan.... di sanalah, tepat di tengah ulu hati, bertengger tahi lalat
 itu. "Kakak Yo Han....!" Kini ia tidak ragu lagi dan ia merangkul, menangis!
 Pendekar itu membuka mata dan me-lihat Sian Li menangis di atas dadanya, ia
 mendorongnya dengan halus dan bang-kit duduk. "Nona.... kau...." Akan tetapi dia tidak
 melanjutkan ucapannya karena Sian Li sudah memandangnya dengan mata yang berlinangan
 air mata, akan tetapi mulut gadis itu tersenyum, sinar matanya penuh kebahagiaan.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 355 "Han-suheng (Kakak Seperguruan Han), Han-koko (Kakanda Han), kenapa engkau bersikap
 begini terhadap aku" Benarkah engkau tidak mengenal aku lagi" Aku Sian Li, Tan Sian
 Li....!" Akan tetapi Yo Han, yang selama beberapa tahun ini berkeliaran di perba-tasan Tibet dan
 dijuluki Sin-ciang Tai-hiap oleh mereka yang pernah ditolong-nya, tidak merasa heran. Tentu
 saja dia sudah tahu atau dapat menduga siapa adanya gadis remaja berpakaian serba merah
 itu. "Sian Li.... Sumoi...." katanya dan sinar matanya mengandung kasih sayang sede-mikian
 mendalam sehingga Sian Li ter-ingat akan masa lalu, ketika ia merasa-kan benar kasih sayang
 suhengnya ini ke-padanya.
 "Suheng....!" Dan lupa akan segala, lu-pa bahwa ia bukan lagi kanak-kanak, ia menubruk dan
 merangkul Yo Han, mena-ngis di dalam rangkulan pendekar itu! Yo Han membiarkan saja
 dan mengelus rambut yang halus itu, maklum bahwa di saat seperti itu, semua peraturan te-lah
 terlupakan, yang ada hanya peluapan perasaan. Pada saat itu, dia tahu bahwa perasaan
 gembira, terharu dan bahagia meluap di hati Sian Li. Dia sendiri pun merasa terharu dan tak
 terasa kedua matanya menjadi basah. Betapa sering dia membayangkan dan mengenang Sian
 Li, dengan hati penuh kerinduan. Hampir dia tidak dapat percaya akan tiba saat seperti
 sekarang ini, di mana dia me-rangkul Sian Li yang menangis di dada-nya.
 Setelah gejolak perasaan itu mereda, Yo Han mendorong kedua pundak gadis itu dengan
 lembut, bahkan memegang kedua pundak itu dan mengamati wajah-nya sambil tersenyum.
 Sepasang matanya mencorong sehingga diam-diam Sian Li terkejut dan kagum. Kalau ada
 perubahan pada diri suhengnya ini, barangkali hanya pada sinar matanyaitulah. Ia pun
 mem-balas, mengamati wajah Yo Han.
 "Aihh, adikku yang dulu begitu bengal tabah, keras hati dan pemberani, kenapa sekarang
 telah berubah menjadi seorang gadis yang cantik dan cengeng?"
 Seketika sinar mata itu bernyala. "Aku tidak cengeng! Aku menangis kare-na haru dan
 bahagia! Aih, Han-ko, sela-ma ini engkau ke mana sajakah" Dan kenapa pula engkau tega
 meninggalkan aku sampai bertahun-tahun" Bagaimana pula engkau tahu-tahu telah menjadi
 seorang pendekar sakti dan berjuluk Sin-ciang Tai-hiap" Kenapa pula engkau se-lalu
 menyembunyikan muka dan tidak ingin dikenal orang" Apa pula yang me-nyebabkan engkau
 menjadi seorang pe-tualang di daerah ini dan kenapa tidak kembali kepada kami?"
 Diberondong pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Yo Han tersenyum dan me-mandang wajah
 Sian Li penuh kasih sa-yang. Sian Li masih cerewet, masih lucu seperti dulu!
 "Panjang ceritanya, Li-moi. Akan te-tapi.... apakah engkau sudah melupakan suhengmu yang
 ditawan oleh gerombolan Lama Jubah Hitam?"
 Sian Li seperti baru teringat kepada Sian Lun. "Ah, engkau benar juga, Han--ko. Kita harus
 cepat menolong dan membebaskannya, sekarang juga!"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 356 Yo Han mengangguk dan diam-diam hatinya merasa girang. Adik seperguruan yang sejak
 kecil sudah dianggap seperti adiknya sendiri dan yang amat disayang-nya ini ternyata
 merupakan seorang ga-dis gagah perkasa yang bertanggung ja-wab dan juga setia.
 "Tidak akan ada gunanya kalau kita menyerbu ke sana sekarang. Malam ham-pir tiba dan
 selain di sana banyak ter-dapat orang lihai, juga penjagaan amat kuat dan dipasangi banyak
 jebakan ber-bahaya. Kita memang harus membebas-kannya, akan tetapi tidak sekarang.
 Be-sok pagi aku akan berkunjung ke sana dan minta kepada Dobhin Lama, Ketua Lama Jubah
 Hitam, agar suhengmu dibebaskan.
 "Tapi.... kenapa harus menanti sampai besok" Bagaimana kalau kita telambat dan terjadi apa-
 apa dengan Suheng" Mungkin saja dia dibunuh!"
 "Jangan khawatir, Li-moi. Aku sudah tahu akan sepak terjang gerombolan La-ma Jubah
 Hitam. Mereka tidak memu-suhi para pendekar, bahkan ingin me-rangkul dan mengajak para
 pendekar bersekutu. Mereka membutuhkan kerja sama dan bantuan orang-orang pandai dalam
 usaha mereka merebut tahta kekuasaan di Tibet. Perjuangan melawan pemerintah Mancu
 hanya sebagai sarana untuk memperoleh dukungan pare pendekar saja. Pada hakekatnya, yang
 terpen-ting bagi mereka adalah menguasai Tibet seperti juga orang-orang Nepal itu bercita-
 cita untuk merampas kekuasaan di Nepal dan mereka mencari sekutu agar kelak dapat
 membantu mereka. Jangan khawatir, suhengmu tidak akan dibunuh, mungkin bahkan dibujuk
 untuk bakerja sama dengan mereka."
 Legalah rasa hati Sian Li. Ia percaya sepenuhnya kepada Yo Han, bukan hanya percaya
 karena Yo Han adalah suhengnya yang sejak dahulu paling disayangnya dan dipercayainya,
 akan tetapi juga karena ia ingat bahwa sudah lama Yo Han ber-tualang di daerah ini dan tentu
 mengenal benar keadaannya sehingga keterang-annya tadi pasti benar.
 "Baiklah kalau begitu, aku menyerahkan kepadamu agar Suheng dapat bebas dari tangan
 mereka. Sekarang, herap kauceritakan semua pengalamanmu sejak kita saling berpisah, Han-
 ko." Yo Han merasa girang bahwa Sian Li menyebut dia koko (kakak), bukan su-heng (kakak
 seperguruan) karena bagai-manapun juga dia tidak pernah dengan sungguh-sunggguh belajar
 silat dari ayah ibu Sian Li.
 "Memang sebaiknya malam ini kita le-watkan dengan saling menceritakan pe-ngalaman, Li-
 moi. Akan tetapi aku ingin tahu lebih dulu, bagaimana engkau dapat mengobati luka beracun
 di pundakku. Kurasakan racun itu cukup berbahaya dan kalau harus menggunakan kekuatan
 sendi-ri untuk mengusirnya dan menyembuhkan luka beracun itu, tentu akan mengguna-kan
 waktu sedikitnya sepuluh hari. Akan tetapi sekarang aku telah sembuh sama sekali!
 Bagaimana engkau dapat memiliki kepandaian pengobatan yang begini he-bat?"
 Biasanya, Sian Li tidak haus pujian, bahkan ia akan menganggap seorang pria merayu kalau
 memujinya. Akan tetapi entah bagaimana sekali ini menerima pujian dari Yo Han, ia merasa
 amat girang dan bangga.
 "Aku mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai," katanya sederhana untuk
 menyembunyikan rasa bangga dan senangnya.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 357 "Ah, begitukah" Pantas saja kalau begitu. Aku sudah mendengar nama besar Dewa Obat itu.
 Dan kulihat ilmu silatmu juga hebat, agaknya engkau telah mengu-asai benar Pek-ho Sin-kun
 dari Suhu, akan tetapi aku melihat gerakan lain yang bukan dari ayah ibumu."
 Sian Li mengangkat telunjuk kanan dan mengamangkannya kepada Yo Han. "Nah, nah kau
 mau mengakali aku, ya" Engkau belum menceritakan sedikit juga tentang pengalamanmu dan
 engkau sudah memancing-mancing agar aku mencerita-kan segala tentang diriku."
 Yo Han tertawa. Sudah lama dia ti-dak pernah merasakan kegembiraan hati seperti saat itu.
 Dan dia bersyukur kepa-da Tuhan bahwa dia dipertemukan dengan Sian Li di tempat yang
 sama sekali tidak pernah disangkanya ini dan melihat Sian Li telah menjadi seorang gadis
 yang can-tik jelita, manis budi dan gagah perkasa.
 Yo Han menceritakan pengalamannya dengan singkat saja. "Setelah aku me-ninggalkan
 tempat tinggal orang tuamu di Ta-tung...."
 "Nanti dulu, ceritakan dulu kenapa engkau meninggalkan aku, meninggalkan kami dan
 sampai selama ini tidak pernah kembali, Han-ko!"
 Yo Han menatap wajah gadis itu dan menarik napas panjang. Sekali lagi dia harus
 menghadapi suatu kenyataan dalam hidup ini, bahwa biarpun membohong adalah perbuatan
 tidak baik, namun ada waktunya perlu sekali orang membohong! Membohong bukan dalam
 arti menipu demi keuntungan pribadi, melainkan membohong agar jangan sampai
 menying-gung atau menyakiti perasaan orang yang dibohonginya! Kalau sekarang dia
 berte-rus terang bahwa dia meninggalkan ke-luarga gadis itu karena mendengar ayah ibu
 gadis itu menyatakan keinginan hati agar Sian Li jauh darinya, tentu cerita ini akan
 mengguncang perasaan Sian Li dan bukan hanya menyinggung, namun menyakitkan dan
 membingungkan. Maka, dia harus berbohong!
 "Lupakah engkau, Li-moi" Aku meng-gantikanmu menjadi tawanan Ang I Moli. Aku sudah
 berjanji kepadanya bahwa ka-lau ia mengembalikan engkau kepada orang tuamu, aku akan
 menggantikanmu menjadi muridnya." Lega rasa hati Yo Han setelah dia mulai memberi
 keterangan. Bagaimanapun juga, dia tidaklah berbohong, hanya tidak berterus terang
 menceritakan keadaan selengkapnya.
 Tentu saja Sian Li masih ingat akan semua itu. Bahkan
 
^