Kisah Si Bangau Merah 3

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


ng I Moli ber-gerak
 dan ada sinar kecil-kecil merah menyambar ke arah tubuh Gangga Dewi. "Uhhh....!" Gangga
 Dewi terkejut, maklum bahwa ia diserang senjata rahasia yang lembut. Cepat ia melompat ke
 belakang sambil memutar sabuknya yang membentuk payung di depan dirinya. Beberapa
 batang jarum kecil merah runtuh.
 "Keji....!" Bentak Gangga Dewi dan kini sabuk suteranya meluncur ke depan, menotok ke
 arah ubun-ubun kepala Ang I Moli. Gerakannya amat cepat karena ia tidak ingin memberi
 kesempatan lagi kepada lawan untuk menggunakan senjata rahasia secara curang. Ang I Moli
 meli-hat datangnya serangan yang amat ber-bahaya itu, maka ia pun mengerahkan tenaganya
 untuk menangkis dengan pe-dang.
 "Plakk!" Pedang bertemu sabuk sutera yang segera berubah lemas dan melibat pedang.
 Bukan hanya melibat, juga ujung sabuk itu masih terus ke depan menotok pergelangan
 tangan. "Tukk!" Ang I Moli mengeluarkan te-riakan kaget karena tiba-tiba saja lengan kanannya
 menjadi kehilangan tenaga dan di lain saat, sekali renggut Gangga Dewi telah dapat
 merampas pedang itu mela-lui libatan sabuk suteranya! Dan sekali ia membuat gerakan
 mengebut, pedang yang terlibat ujung sabuk itu melayang jauh dan lenyap di antara semak-
 semak. Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 61 Wajah Ang I Moli menjadi pucat sa-king marahnya. "Keparat jahanam engkau! Hayo
 mengaku siapa namamu sebelum kita mengadu nyawa!"
 Gangga Dewi tersenyum dan mengge-leng kepalanya, "Aku tidak ingin berke-nalan dengan
 iblis betina kejam seperti engkau. Pergilah dan jangan ganggu lagi anak itu, dan semoga Yang
 Maha Kasih mengampuni semua dosamu." Berkata demikian, Gangga Dewi sudah
 menyimpan kembali sabuk suteranya, dililitkan ke pinggangnya yang ramping.
 Akan tetapi Ang I Moli terlalu marah untuk mengalah begitu saja.
 "Biar kukirim engkau ke neraka!" bentaknya dan kini ia pun sudah menye-rang lagi,
 mengeluarkan ilmu silat tangan kosong yang amat dahsyat, yaitu Pek-lian Tok-ciang (Tangan
 Beracun Teratai Putih). Ilmu ini merupakan ilmu pukulan beracun yang bercampur dengan
 kekuatan sihir, yang didapatkannya dari Pek-lian-kauw.
 Melihat betapa kedua tangan lawan berubah menjadi putih pucat dan menge-luarkan bau
 harum-harum keras menye-ngat hidung, Gangga Dewi mengerutkan alisnya.
 "Omitohud, kiranya engkau iblis dari Pek-lian-kauw?"
 Akan tetapi, Gangga Dewi tidak me-rasa gentar. Ketika melihat lawan me-nyerang dengan
 kedua tangan yang putih pucat itu melakukan gerakan mendorong, ia pun merendahkan
 tubuhnya dan me-nangkis dari samping dengan memutar lengannya.
 "Dukkk!" Tubuh Gangga Dewi tergetar dan saat itu, secara curang sekali kaki-nya melayang
 ke arah selangkangan Gangga Dewi.
 "Uhhh....!" Gangga Dewi berseru dan cepat merapatkan kedua kakinya dan miringkan tubuh.
 Namun, tetap saja pa-hanya tersentuh dan terdorong oleh kaki Ang I Moli yang melapisi
 sepatunya de-ngan besi di bagian bawahnya, Gangga Dewi terpelanting roboh!
 Melihat lawannya roboh miring, Ang I Moli girang sekali, "Mampuslah!" Ia berseru dan
 menubruk ke depan untuk mengirim pukulan terakhir, pukulan maut yang akan menewaskan
 lawan yang sudah roboh itu.
 "Moli, jangan....!" Yo Han masih sempat berteriak ketika melihat Ang I Moli me-nyusulkan
 pukulan maut kepada wanita berkerudung yang sudah roboh miring. Akan tetapi tentu saja
 Ang I Moli sama sekali tidak peduli akan teriakannya itu dan melanjutkan pukulannya dengan
 te-lapak putih pucat dari ilmu pukulan Pek-lian Tok-ciang!
 Akan tetapi, ketika ia tertendang dan terpelanting, Gangga Dewi memang se-ngaja
 membiarkan dirinya terjatuh miring dan ia sengaja pula bersikap lambat se-hingga memberi
 kesempatan kepada la-wan untuk mengirim pukulan terakhir itu. Padahal, setelah kaki
 tangannya menem-pel pade tanah, diam-diam ia mengerah-kan ilmu simpanan yang dahulu
 dipela-jarinya dari ayahnya. Maka, begitu lawan mengirim pukulan maut, ia pun segera
 mengangkat kedua tangannya, dengan telapak tangan terbuka ia menyambut pukulan itu.
 "Dessss....!" Hebat bukan main perte-muan antara dua tenaga itu. Tubuh Ang I Moli
 terlempar ke atas seperti layang-layang putus talinya dan ia pun terpelanting jatuh ke atas
 tanah! Bukan main kagetnya Ang I Moli! Ia tidak tahu ilmu apa yang dipergunakan wanita
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 62 berkeru-dung itu. Ia tidak tahu bahwa itulah Tenaga Inti Bumi! Masih untung baginya bahwa
 tenaga rahasia yang dimiliki atau dikuasai Gangga Dewi belum mencapai puncaknya. Kalau
 demikian halnya, ia bukan hanya akan terlempar dan terban-ting jatuh, juga mungkin ia akan
 tewas seketika karena guncangan hebat akan meremukan isi dada dan perutnya.
 Ang I Moli bangkit dan wajahnya pu-cat, matanya terbelalak. Ia merasa gen-tar sekali, akan
 tetapi melihat Yo Han keluar dari balik pohon, ia merasa penasaran dan menyesal bahwa ia
 tidak dapat memiliki pemuda itu. Kekecewaan ini menimbulkan kemarahan dan kebencian
 hebat. "Mampuslah!" bentaknya dan ketika tangan kirinya bergerak, sinar merah menyambar ke
 arah Yo Han. "Awas....!" Gangga Dewi berteriak, dan ia cepat meloncat ke arah Yo Han untuk
 menyelamatkan anak itu. Namun terlambat. Yo Han mengeluh dan roboh terjengkang ketika
 dadanya disambar si-nar merah kecil-kecil itu.
 Gangga Dewi tidak mempedulikan la-gi Ang I Moli yang melarikan diri sambil terkekeh-
 kekeh. Ia cepat berlutut dan membuka kancing baju Yo Han. Anak itu roboh telentang dengan
 muka pucat dan napas terengah-engah, matanya ter-pejam dan agaknya ia pingsan. Ketika
 Gangga Dewi menyentuh dadanya, ia ter-kejut. Bukan main panasnya dada itu, seperti
 dibakar. Dan ada lima bintik merah di dada anak itu. Ketika ia mera-ba, tahulah ia bahwa ada
 lima batang jarum masuk ke dalam dada, masuk se-luruhnya dan hanya tinggal ujungnya saja
 nampak terbenam di kulit. Jarum-jarum itu kecil, tidak merusak isi dada, akan tetapi tentu
 mengandung racun jahat. Dan racun itu tentu menodai darah anak ini, padahal letaknya
 demikian dekat dengan jantung! Sungguh berbahaya sekali.
 "Anak yang malang....!" katanya dan ia pun bersila di dekat tubuh Yo Han, lalu menghimpun
 tenaga sakti, menggosok kedua telapak tangannya, kemudian ia menggunakan telapak tangan
 kanannya ditempelkan di dada, menutupi lima bin-tik merah itu. Ia mengerahkan sin-
 kang-nya, menyedot dan setelah dahinya basah oleh keringat, dari balik kerudung kepa-lanya
 mengepul uap putih, akhirnya ia berhasil. Lima batang jarum itu kini nampak tersembul
 keluar. Gangga Dewi menggunakan saputangan sutera, mencabuti lima batang jarum yang amat
 lembut itu, jarum yang merah kehitaman warnanya. Jelas jarum-jarum itu beracun, pikirnya.
 "Iblis betina kejam....!" katanya lirih, kemudian setelah membuang jarum-jarum itu, ia
 memeriksa luka bekas jarum.
 "Omitohud....!" Serunya kaget dan he-ran. Ia melihat darah merah kehitaman keluar dari lima
 luka kecil itu, seolah- olah darah beracun itu didorong dari da-lam! Hal itu hanya dapat
 dilakukan oleh orang yang memiliki sin-kang yang sudah amat kuat. Mungkinkah anak ini
 memi-liki sin-kang yang sedemikian kuatnya sehingga tenaga sakti dari dalam tubuh itu
 mampu dikerahkan untuk mendorong keluar darah beracun dari luka-luka sekecil itu" Akan
 tetapi, andaikata benar demikian, hal itu pun sama sekali tidak mungkin. Anak ini jelas dalam
 keadaan pingsan! Tidak mungkin dalam keadaan pingsan dia mampu mengerahkan sin-
 kangnya. Kalau bukan tenaga sin-kang, lalu tenaga apa yang demikian hebatnya, yang dapat
 bekerja selagi orangnya ping-san, mampu mendorong keluar racun dari dalam tubuh"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 63 "Omitohud....!" kembali wanita itu me-muji kebesaran Yang Maha Kasih dan matanya
 terbelalak mengamati dada itu. -Kini darah yang keluar dari lima luka kecil itu sudah
 berwarna merah bersih, berarti bahwa racunnya sudah terdorong keluar semua. Darah merah
 itu menetes-netes. Ketika ia merabanya, dada itu tidak panas lagi, napas anak itu tidak
 terengah lagi, dan agaknya dia tidur pu-las!
 "Omitohud....!" Gangga Dewi terheran-heran dan kagum, lalu mengeluarkan obat dari
 bungkusan yang dilihatnya ber-ada di dekat anak itu, bungkusan obat bubuk yang tadi ia
 berikan kepadanya. Ditaburkannya bubuk obat luka itu pada lima luka kecil dan darah pun
 berhenti menetes. Ia mengenakan lagi baju anak itu yang tadi ia buka, dan diam-diam ia
 merasa aneh. Kalau menurut perhi-tungannya, orang yang terkena luka ba-tang jarum beracun
 seperti itu, di dada-nya, kecil sekali harapannya untuk dapat diselamatkan nyawanya. Akan
 tetapi anak ini, tanpa pengobatan, hanya ia bantu agar jarum-jarum itu keluar, telah dapat
 sembuh dengan sendirinya, racun berba-haya itu dapat keluar dengan sendirinya, tanpa
 disengaja, karena anak itu pun masih dalam keadaan pingsan! Sungguh selama hidupnya,
 belum pernah Gangga Dewi melihat hal seperti ini, bahkan mendengar pun belum pernah.
 Ilmu apa yang dimiliki anak ini sehingga ada ke-kuatan mujijat yang melindunginya"
 Setelah mengenakan kembali pakaian Yo Han, Gangga Dewi lalu menekan te-ngah-tengah
 bawah hidung, sedikit di atas bibir, dengan jari telunjuknya. Yo Han mengeluh dan membuka
 matanya. Ketika, melihat wajah wanita berkerudung itu, Yo Han segera teringat akan semua
 yang terjadi dan dia pun bangkit duduk.
 "Di mana wanita jahat itu?"
 "Tenanglah, anak yang baik. Ia sudah pergi melarikan diri."
 "Aahhhh.... jadi Locianpwe berhasil mengusirnya?" kata Yo Han dengan hati lega. "Aku
 tadinya sudah khawatir sekali melihat Locianpwe roboh...."
 Gangga Dewi tersenyum dan menarik napas panjang. Pahanya yang kena ten-dang masih
 berdenyut nyeri. "Ia me-mang licik dan lihai sekali, akan tetapi untunglah aku berhasil
 mengusirnya. Ba-gaimana dengan lehermu?" Gangga Dewi sengaja tidak menyinggung dulu
 soal luka di dada.
 Yo Han meraba luka di lehernya yang tadi dihisap darahnya oleh Ang I Moli. "Sudah kering
 berkat obat Locianpwe yang amat manjur. Ihhh, wanita itu sungguh mengerikan. Ia.... ia
 menghisap darahku!"
 "Dan bagaimana dengan dadamu?"
 "Dadaku" Kenapa, Locianpwe?"
 Gangga Dewi menatap tajam wajah anak itu, penuh selidik. "Tidak tahukah engkau bahwa
 dadamu terluka oleh ja-rum-jarum beracun?"
 "Ahhh...?" Yo Han terkejut. "Aku ti-dak tahu, Locianpwe." Dia meraba dada-nya dan
 menggigit bibir.
 "Sakitkah?"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 64 "Perih sedikit."
 "Coba bernapas yang dalam dan rasakan, apakah terasa nyeri di sebelah da-lam?"
 Yo Han menarik napas panjang dan merasakan, lalu menggeleng kepalanya. "Tidak ada yang
 sakit, Locianpwe."
 Gangga Dewi terheran-heran. Ia masih duduk bersila dan anak itu pun kini du-duk di atas
 rumput. Mereka saling pan-dang sejenak dan Yo Han lalu berkata,
 "Locianpwe telah menolong dan me-nyelamatkan aku dari ancaman wanita jahat itu. Terima
 kasih, Locianpwe. Se-moga Tuhan berkenan memberi kesem-patan kepadaku untuk
 membalas budi kebaikan Locianpwe ini."
 Gangga Dewi semakin kagum mende-ngar ucapan Yo Han. Seorang bocah yang luar biasa
 sekali. "Anak yang baik, sia-pakah engkau" Siapa namamu dan dari mana engkau datang?"
 "Namaku Yo Han, Locianpwe. Aku hidup sebatangkara, yatim piatu dan aku sedang dalam
 perjalanan mengikuti Ang I Moli."
 "Omitohud, anak yang patut dika-sihani. Engkau sebatang kara" Akan te-tapi bagaimana
 engkau dapat bersama-sama seorang iblis betina seperti Ang I Moli?"
 "Aku tidak tahu bahwa ia sedemikian jahatnya, Locianpwe. Aku.... aku menjadi muridnya
 dan sedang ia ajak pergi ke tempat tinggalnya, entah di mana. Sete-lah tiba di sini, ternyata ia
 berubah me-ngerikan dan hendak membunuhku, meng-hisap darahku...., ihh, mengerikan
 sekali. Ia seperti bukan manusia lagi."
 "Omitohud! Sudah menjadi kehendak Yang Maha Kasih bahwa kebetulan sekali aku datang
 ke kuil ini untuk bermalam. Yo Han, sudah berapa lama engkau men-jadi murid Ang I Moli?"
 "Baru kurang lebih dua minggu."
 "Ehh" Jadi, engkau belum belum be-lajar ilmu silat darinya?"
 "Sama sekali belum dan juga tidak. Aku tidak suka belajar ilmu silat, Lo-cianpwe."
 "Apakah selama ini engkau belum pernah mempelajari ilmu silat?"
 "Aku belum pernah latihan ilmu silat," kata Yo Han. Dia tidak mau berbohong. Memang
 sudah banyak dia mempelajari ilmu silat, dari suhu dan subonya di Ta-tung, akan tetapi dia
 hanya menghafal saja, dan tidak pernah berlatih. Dia tidak mau membawa-bawa nama suhu
 dan su-bonya, maka dia mengatakan saja bahwa dia belum pernah latihan silat, dan ini
 memang benar. Tentu saja jawaban ini membuat Gangga Dewi menjadi semakin terkejut dan heran.
 Selamanya belum pernah latihan silat. Akan tetapi, lima batang ja-rum memasuki dadanya
 dan dia selamat! Dan anak yang tidak bisa silat ini begitu berani dan tabahnya, berani
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 65 menentang seorang iblis betina seperti Ang I Moli! Padahal, sekali pukul saja iblis itu dapat
 membunuhnya! Anak apakah ini"
 "Yo Han, keteranganmu sungguh membuat aku menjadi bingung. Engkau tidak suka belajar
 ilmu silat. Engkau seorang anak yang baik dan tidak suka akan kejahatan. Akan tetapi engkau
 me-lakukan perjalanan bersama Ang I Moli sebagai muridnya! Bagaimana ini" Keada-anmu
 serba bertolak belakang. Kenapa engkau bisa menjadi murid seorang se-perti Ang I Moli dan
 apa yang hendak kaupelajari darinya kalau bukan ilmu si-lat?"
 Yo Han menarik napas panjang. Di an-tara segala macam kepalsuan yang di-lihatnya
 dilakukan manusia, adalah mem-bohong. Dia tidak suka berbohong. Akan tetapi dia pun tidak
 suka bicara tentang suhu dan subonya.
 "Begini, Locianpwe. Aku terpaksa menjadi muridnya walaupun aku tidak akan mau belajar
 ilmu silat darinya."
 "Engkau dipaksa menjadi muridnya dengan ancaman?"
 "Tidak, akan tetapi aku sudah berjan-ji kepadanya. Ketika itu, dua pekan yang lalu, ia
 menculik seorang anak perem-puan. Aku membujuknya untuk mengembalikan anak itu
 kepada orang tuanya. Ia mau mengembalikan anak itu asal aku mau menukarnya dengan
 diriku. Anak itu dibebaskan akan tetapi aku harus ikut dengannya, menjadi muridnya. Karena
 aku ingin anak itu dikembalikan kepada orang tuanya, maka aku menyanggupi., Demikianlah,
 anak itu selamat dan aku pun ikut dengannya sampai ke sini."
 "Bukan main! Luar biasa! Omitohud.... belum pernah aku mendengat hal seperti ini....!" kata
 Gangga Dewi dan ia pun tertegun. Bocah ini, bocah yang usianya baru dua belas tahunan,
 telah mengor-bankan diri untuk menolong seorang anak lain! Dan bocah ini sama sekali tidak
 pernah belajar silat, akan tetapi memi-liki keberanian seperti seorang pendekar sejati! Lebih
 lagi, bocah ini tidak tewas biarpun terkena lima batang jarum di dadanya, jarum-jarum
 beracun yang ia tahu amat jahat dan mematikan karena dilepas oleh seorang iblis betina
 seperti Ang I Moli! Anak apakah ini"
 "Ah, Locianpwe. Apanya yang luar biasa" Locianpwe sendiri sama sekali ti-dak mengenalku,
 akan tetapi Locianpwe telah turun tangan menolongku sehingga aku terhindar dari bahaya
 maut di ta-ngan iblis itu. Saling bantu di antara manusia merupakan suatu kewajiban, bukan?"
 "Omitohud.... engkau benar sekali, Yo Han. Sekarang aku mulai mengerti meng-apa iblis itu
 ingin sekali menghisap da-rahmu. Engkau bagaikan Tong Sam Cong, sang perjaka saleh yang
 melakukan per-jalanan ke barat itu. Dalam cerita See-yu, perjaka Tong Sam Cong yang
 mela-kukan perjalanan ke barat untuk mem-perdalam agama dan mencari kitab-kitab suci,
 juga dihadang oleh segala macam iblis dan siluman yang ingin menghisap darahnya."
 Yo Han tertawa dan kembali Gangga Dewi menjadi terkejut. "Ha-ha-ha, Lo-cianpwe
 sungguh lucu. Kalau aku diang-gap Tong Sam Cong, lalu siapa yang menjadi Sun Go Kong,
 See Ceng dan Ti Pat Kay?"
 "Engkau tahu pula akan cerita See-yu-ki?"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 66 "Locianpwe, aku adalah seorang kutu buku. Hampir semua kitab kuno telah kubaca habis.
 Dongeng-dongeng seperti See-yu-ki, Hong-sin-pong, Sie Jin Kui, Sam Kok dan yang lain
 telah saya baca semua!"
 "Omitohud.... engkau memang anak ajaib! Anak yatim piatu, sebatang kara, dalam usia dua
 belas tahun telah mem-baca semua dongeng kuno yang mengan-dung filsafat itu! Engkua
 sudah pula membaca Su-si Ngo-keng?"
 Dapat dibayangkan betapa Gangga Dewi melongo ketika melihat anak itu mengangguk dan
 menjawab dengan sikap bersahaja, "Juga banyak kitab Agama Buddha, kitab sejarah yang
 penuh keke-rasan."
 Setelah sejenak tak mampu bicara saking kagum dan herannya, Gangga De-wi lalu bertanya,
 "Yo Han, setelah kini engkau terbebas dari Ang I Moli, engkau hendak ke mana" Apa yang
 akan kaula-kukan?"
 "Locianpwe, aku seperti burung yang bebas terbang di udara. Aku tidak ter-ikat oleh apapun
 juga. Melihat kejahatan Ang I Moli yang sudah tidak mengakui aku sebagai muridnya lagi,
 andaikata ti-dak ada Locianpwe yang menolongku, tentu aku pun tidak suka lagi bersamanya.
 Kini aku bebas, aku hendak pergi ke mana saja kakiku membawaku. Akan tetapi kalau
 mungkin, aku ingin sekali melihat kota Ceng-tu di Propinsi Secuan."
 Untuk ke sekian kalinya Gangga Dewi tertegun. Anak ini penuh kejutan, pikir-nya. Sekecil
 ini sudah bicara tentang Propinsi Se-cuan, jauh di barat.
 "Kota Ceng-tu di Se-cuan" Pernahkah engkau ke sana!"
 Yo Han menggeleng kepala. "Akan tetapi aku tahu di mana letaknya, Lo-cianpwe. Pernah
 aku mempelajari ilmu bumi dari kitab. Letaknya di barat, bu-kan" Kalau dari sini, menuju ke
 barat daya, melalui Propinsi-propinsi San-si, Shen-si, lalu masuk Propinsi Se-cuan."
 Gangga Dewi yang baru saja mele-wati propinsi-propinsi itu ketika ia me-ninggalkan Bhutan,
 tersenyum. Keanehan anak ini demikian luar biasa sehingga terdengar lucu!
 "Anak baik, kalau boleh aku menge-tahui. Engkau hendak ke Ceng-tu di Se-cuan ada
 keperluan apakah?"
 "Locianpwe, baru-baru ini aku mem-baca kitab sejarah dan aku ingin sekali melihat batu
 monumen yang didirikan oleh Chang Sian Cung."
 "Ahhh" Batu monumen terkutuk itu" Engkau tahu tentang batu monumen itu?"
 "Aku. telah membaca sejarahnya, Lo-
 cianpwe. Bukankah di batu monumen itu terdapat satu huruf saja, yaitu hurufyang berbunyi
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BUNUH" Aku ingin meli-hatnya sendiri."
 "Yo Han, engkau tidak suka akan ke-jahatan dan kekerasan, kenapa engkau ingin melihat
 batu monumen terkutuk, lambang kekejaman dan pembunuhan itu"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 67 "Kisah itu amat mengesankan hatiku, Locianpwe. Kekejaman Chang Sian Cung itulah yang
 telah menggerakkan hatiku sehingga aku tidak suka mempelajari ilmu silat, tidak suka
 menggunakan ke-kerasan untuk mencelakai orang."
 Gangga Dewi bergidik membayangkan kekejaman yang terjadi seratus tahun le-bih yang lalu
 di Propinsi Se-cuan. Ia pun sudah mendengar akan kisah itu. Seratus tahun lebih yang lalu,
 dalam tahun 1649, yang berkuasa di Se-cuan adalah seorang penguasa yang bernama Chang
 Sian Cung. Ketika itu, baru saja bangsa Mancu me-nguasai Tiongkok dan dalam masa
 per-alihan itu, di mana-mana timbul peng-ingkaran terhadap kerajaan yang sedang diancam
 runtuh oleh penyerangan bangsa Mancu. Raja-raja muda, penguasa-penguasa daerah,
 kehilangan pegangan dan karena melihat betapa kota raja teran-cam, mereka pun
 mengumumkan pengangkatan diri mereka sebagai penguasa yang berdaulat penuh, tidak lagi
 menjadi hamba atau pamong praja yang bekerja di bawah pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw.
 Chang Sian Cung adalah seorang pe-nguasa di Se-cuan yang memiliki watak sedemikian
 kejamnya sehingga mendekati tidak normal atau gila! Siapa pun orang-nya yang tidak
 berkenan di hati, dibu-nuhnya! Bahkan pernah dia memerintah-kan para perajuritnya untuk
 membunuh isteri mereka masing-masing, hanya ka-rena dia tidak ingin melihat pengeluaran
 terlalu besar kalau para perajuritnya di-ikuti isteri-isteri mereka! Yang tidak mentaati perintah
 ini, dibunuh sendiri! Chang Sian Cung mengangkat diri men-jadi seperti seorang raja,
 didukung oleh anak buahnya dan dia begitu takut kalau sampai kedudukannya diganggu
 orang, maka setiap ada orang yang nampak kuat, lalu disuruhnya bunuh. Dalam wak-tu
 beberapa bulan saja, hampir semua laki-laki di daerah itu yang bertubuh kuat dan dianggap
 berbahaya, dibunuh tanpa dosa!
 "Omitohud.... mengapa engkau ingin melihat batu monumen yang melambang-kan
 kekejaman yang tiada taranya itu" Ketahuilah, hampir semua orang di daerah itu, terutama
 kaum prianya yang bertu-buh kuat, dibunuh oleh Chang Sian Cung sehingga sampai kini,
 lebih banyak pendatang dari Propinsi Hu-pei dan Shen-si tinggal di Se-cuan, dibandingkan
 pendu-duk aselinya yang tinggal sedikit."
 "Aku telah membaca pula tentang hal itu, Locianpwe. Menurut catatan sejarah, Chang Sian
 Cung mendirikan batu monu-men dengan huruf berbunyi BUNUH itu untuk menakut-nakuti,
 rakyat. Dan sete-lah dia meninggal, batu monumen itu oleh rakyat dibalikkan agar huruf itu
 ti-dak dapat dilihat. Kabarnya, kalau batu monumen ini dibalikkan lagi sehingga huruf itu
 dapat terbaca, maka Chang Sian Cung akan lahir kembali untuk melanjut-kan kekejamannya
 di dunia."
 Gangga Dewi mengangguk-angguk dan tersenyum. "Memang benar demikian, akan tetapi
 yang terakhir itu hanya do-ngeng dan tahyul belaka, Yo Han. Kehi-dupan manusia hanya
 selewatan saja, betapapun baik maupun buruknya. Semua itu lewat dan takkan pernah
 kembali. Tak mungkin Chang Sian Cung yang su-dah mati itu akan kembali melanjutkan
 kebiadabannya, kecuali sebagai manusia lain, di tempat lain dan dengan jalan hidup yang
 berlainan pula. Semua per-buatan manusia hanya akan menjadi pe-ngalaman yang lewat dan
 menjadi contoh mereka yang hidup kemudian. Dan per-jalanan ke Se-cuan bukan perjalanan
 yang dekat dan mudah. Apalagi sekarang di Barat sudah mulai tidak aman, banyak bergolakan
 dan pembesar daerah mulai memperlihatkan sikap menentang terha-dap pemerintah bangsa
 Mancu di timur."
 "Locianpwe, aku tidak takut mengha-dapi kesukaran, tidak takut menghadapi pergolakan."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 68 Gangga Dewi tersenyum. Kalau ia ti-dak berhadapan sendiri, tidak melihat dan mendengar
 sendiri, kalau hanya di-ceritakan orang lain, tentu ia tidak akan percaya ada seorang anak
 berusia dua belas tahun seperti ini! Seorang anak yatim piatu, lemah dan miskin, namun
 memiliki keberanian yang sepantasnya hanya dimiliki seorang pendekar sakti! Anak seperti
 ini memiliki harga diri yang tinggi, kalau ia menawarkan diri untuk menjadi guru anak ini,
 belum tentu dia mau menerimanya. Kalau tadinya dia suka menjadi murid seorang wanita
 iblis seperti Ang I Moli, hal itu adalah karena dia hendak menolong seorang anak pe-rempuan
 yang diculik iblis betina itu. Anak ini keras hati, namun lembut dan rendah hati, siap untuk
 menolong siapa saja. Ia harus pandai mengambil hatinya kalau ia ingin menuruti dorongan
 hatinya yang amat sangat yaitu mengangkat anak ini sebagai muridnya!
 "Yo Han, aku telah mendengar ten-tang riwayatmu, walau hanya sedikit. Engkau sebatang
 kara, yatim piatu tidak mempunyai keluarga, hidup seorang diri saja di dunia ini, bukan" Nah,
 engkau boleh pula mengenalku. Namaku Gangga Dewi, aku berasal dari Bhutan, ibuku
 seorang puteri Bhutan dan ayahku seorang pendekar bangsa Han. Aku pun hidup se-orang diri
 dan aku sedang melakukan perjalanan ke timur untuk mencari ayah-ku yang sudah lama
 sekali meninggalkan Bhutan."
 "Locianpwe seorang yang pandai dan berilmu tinggi, tentu akan dapat berhasil dalam usaha
 Locianpwe itu."
 Gangga Dewi menghela napas panjang "Agaknya tidak akan semudah itu, anak yang baik.
 Semenjak dewasa aku tidak pernah berkunjung ke timur. Akan tetapi aku sudah lupa lagi dan
 daerah timur merupakan tempat asing bagiku. Kalau saja engkau suka menolongku, Yo Han."
 "Menolong Locianpwe?" Aku...." Aih, bagaimana seorang anak bodoh seperti aku akan dapat
 menolongmu, Locianpwe" Yo Han bertanya dengan heran, sepasang mata yang jernih itu
 menatap wajah wanita setengah tua yang memiliki raut muka yang lembut dan cantik akan
 teta-pi pandang mata dan sikapnya mengan-dung kekerasan itu.
 "Yo Han, aku seorang asing di tem-pat ini. Aku tidak tahu ke mana aku ha-rus mencari
 ayahku. Aku hampir putus asa mencarinya tanpa hasil. Aku sudah melakukan perjalanan amat
 jauh dan la-ma, dari Bhutan namun sampai kini tidak berhasil. Maukah engkau menolongku,
 Yo Han, menemaniku dan membantuku men-cari keterangan tentang ayahku itu" Ka-rena
 engkau seorang bocah bangsa Han, kukira akan lebih mudah mencari kete-rangan dan tidak
 akan dicurigai orang, tidak seperti kalau aku yang bertanya-tanya."
 Dua pasang mata itu bertemu dan Yo Han melihat betapa mata wanita itu memandangnya
 penuh harap, penuh per-mintaan. Dia merasa kasihan, dan juga baru saja dia diselamatkan
 oleh wanita ini, bahkan mungkin diselamatkan dari ancaman maut yang mengerikan. Baru
 saja orang ini menolongnya, menyelamat-kan nyawanya. Kalau sekarang penolong-nya ini
 minta bantuannya untuk menca-rikan ayahnya, bagaimana dia akan mam-pu menolaknya"
 Kalau dia menolak, ber-arti dia merupakan orang yang paling bo-ceng-li (tak tahu aturan) dan
 tidak mengerti budi.
 Dengan tegas dia mengangguk. "Tentu saja aku suka menolongmu, Locianpwe. Akan tetapi
 kalau engkau tidak tahu di mana adanya ayahmu itu, setidaknya aku harus mengetahui siapa
 namanya dan ba-gaimana rupanya, berapa usianya sehing-ga aku dapat bertanya-tanya kepada
 orang lain."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 69 "Ah, terima kasih, Yo Han. Sudah ku-duga bahwa engkau tentu akan suka me-nolongku,
 anak yang baik."
 "Bukan menolong, Locianpwe, hanya sekedar membantu mencari keterangan saja. Siapakah
 nama ayahmu itu?"
 "Ayahku bernama Wan Tek Hoat, da-hulu di waktu mudanya terkenal dengan julukan Si Jari
 Maut. Usianya sekarang delapan puluh tahun lebih dan dia telah menjadi hwesio (pendeta
 Buddha) dengan nama Tiong Khi Hwesio...."
 "Ahhhh.... Tiong Khi Hwesio....?" Yo Han berseru kaget dan memandang wani-ta itu dengan
 mata terbelalak.
 "Ya, kenapa, Yo Han?" tanya Gangga Dewi. Anak ini penuh kejutan memang. "Apakah
 engkau mengenal nama itu?"
 "Tentu saja, karena beliau adalah se-orang di antara guru-guru dari suhuku."
 "Ehhh?" Untuk kesekian kalinya Gang-ga Dewi terkejut. Anak ini penuh kejutan yang aneh
 dan sama sekali tidak disang-ka-sangka, seolah tidak ada habisnya segala macam keanehan
 terdapat pada diri anak ini. "Bukankah gurumu Ang I Moli tadi?"
 "Sebelum aku ikut dengan dia untuk menyelamatkan seorang anak perempuan, aku sejak
 kehilangan orang tua telah di-pelihara oleh suhu dan suboku yang per-tama, Locianpwe.
 Mereka itu adalah suhu dan subo, juga pengganti orang tua-ku. Mereka adalah orang-orang.
 sakti, keturunan dari keluarga Istana Pulau Es dan keluarga Istana Gurun Pasir."
 "Wahhh.... Omitohud.... engkau sungguh seorang anak yang luar biasa, Yo Han.
 Siapakah suhu dan subomu itu" Katakan, siapa nama mereka?"
 "Suhu bernama Tan Sin Hong, dan subo bernama Kao Hong Li. Apakah Lo-cian-pwe
 mengenal mereka?"
 Gangga Dewi menggeleng kepalanya. "Dan kaukatakan tadi bahwa suhumu yang bernama
 Tan Sin Hong itu adalah murid dari ayahku Tiong Khi Hwesio?"
 "Benar, Locianpwe. Suhu pernah ber-cerita bahwa dia mempunyai tiga orang guru, yaitu
 Tiong Khi Hwesio, kemudian suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir yang bernama Kao
 Kok Cu dan Wan Ceng...."
 "Ahhh....! Wan Ceng itu adalah bibiku saudara seayah dengan ayahku yang keti-ka muda
 bernama Wan Tek Woat! Omito-hud.... kenapa bisa begini kebetulan" Yo Han, ternyata di
 antara kita masih ada hubungan dekat sekali melalui gurumu! Anak baik, coba ceritakan lebih
 jelas tentang suhumu dan subomu itu."
 "Suhuku tidak pernah bercerita ten-tang orang tuanya, hanya bahwa dia juga yatim piatu
 seperti aku dan sejak kecil dia dirawat dan dijadikan murid tiga orang sakti yang telah
 kuceritakan tadi."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 70 "Kalau begitu, suhumu itu terhitung suteku (adik seperguruanku) sendiri, jadi engkau masih
 murid keponakanku sendiri! Dan subomu" Siapa namanya tadi" Kao Hong Li" She Kao..."
 "Subo juga amat lihai. Ayahnya ada-lah putera dari Istana Gurun Pasir...."
 "Ah, kalau begitu, ayah subomu itu masih saudara sepupuku sendiri! Tentu dia putera Bibi
 Wan Ceng!"
 "Sedangkan ibu dari subo adalah se-orang wanita dari keluarga Pulau Es."
 "She Suma....?"
 "Ya, kalau tidak keliru, nama ibu da-ri subo adalah Suma Hui...."
 "Omitohud...! Ibu dari subomu itu pu-teri Paman Suma Kian Lee! Ah, ah, jadi engkau murid
 dari suami isteri yang de-mikian hebatnya" Engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Istana
 Gurun Pasir dan dari Istana Pulau Es. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahku juga" Hebat! Tapi....
 tapi.... kaukatakan tadi bahwa engkau tidak bisa ilmu silat, tidak suka ilmu silat" Bagai-mana
 ini?" "Aku adalah seorang murid yang tidak baik, Locianpwe...."
 "Wah, jangan engkau menyebut aku locianpwe lagi. Kita masih terikat hu-bungan yang amat
 dekat, Yo Han. Kalau dihitung dari suhumu Tan Sin Hong itu, maka aku adalah bibi gurumu.
 Kalau di-hitung dari subomu Kao Hong Li yang masih cucu dari Bibi Wan Ceng, maka aku
 adalah nenek gurumu karena subomu itu terhitung keponakanku sendiri! Kau sebut, saja aku
 Bibi Gangga Dewi."
 "Baiklah, Bibi. Seperti telah kukata-kan tadi, aku adalah seorang murid yang buruk. Suhu
 dan Subo adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi, akan teta-pi aku.... aku tidak pernah
 mau berlatih silat karena aku melihat kekerasan dalam ilmu silat yang tidak cocok dengan
 bakat dan watakku."
 Gangga Dewi mengerutkan alisnya. Anak ini aneh, akan tetapi dalam hal ilmu silat, dia
 memiliki pandangan yang sempit, mendekati sombong malah!
 "Tapi mereka berdua itu mengajarkan ilmu silat kepadamu?"
 "Tentu saja, Bibi. Selama lima tahun, Suhu dan Subo menggemblengku dan me-ngajarkan
 ilmu-ilmu silat mereka. Akan tetapi, biarpun aku menghafal semua ilmu itu, aku tidak pernah
 mau berlatih."
 "Kenapa?"
 "Karena aku tidak melihat manfaat berlatih silat. Hasilnya hanya akan me-nanamkan
 kekerasan dan kekejaman da-lam hatiku. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga,
 tidak ingin berke-lahi dengan siapapun juga, dan tidak ingin menang dari siapapun. Untuk apa
 berlatih silat?"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 71 Sombongnya, pikir Gangga Dewi. Ka-lau saja yang bicara itu seorang dewasa, tentu ia akan
 marah. Akan tetapi Yo Han masih begitu kecil, masih mentah sehingga ia menganggap bahwa
 pandangan dan pendapat itu hanya pendapat anak kecil yang belum matang.
 "Lalu, kalau suhu dan subomu menjadi pengganti orang tuamu, mengapa eng-kau
 meninggalkan mereka dan mengikuti seorang jahat macam Ang I Moli?"
 "Sudah kuceritakan bahwa untuk me-nyelamatkan seorang anak perempuan yang diculik Ang
 I Moli, aku mengganti-kannya dan terpaksa ikut dengannya se-suai yang kujanjikan."
 "Tapi, kenapa tidak kaulaporkan suhu dan subomu" Tentu mereka akan mampu mengusir
 Ang I Moli dan menolong anak perempuan itu. Kenapa engkau mening-galkan keluarga yang
 amat baik itu?"
 Yo Han diam sejenak, kemudian sam-bil menentang mata wanita itu, dia ber-tanya, "Bibi
 tentu tidak ingin kalau aku membohong, bukan?"
 "Tentu saja tidak!"
 "Nah, kalau begitu, harap Bibi jangan bertanya tentang mengapa aku pergi meninggalkan
 Suhu dan Subo. Yang pen-ting sekarang adalah aku membantu Bibi untuk mencari tahu di
 mana adanya ayah Bibi, yaitu Sukong (Kakek Guru) Tiong Khi Hwesio, bukan?"
 Gangga Dewi memandang dengan ma-ta terbelalak. Anak ini memang aneh se-kali. Akan
 tetapi keras hati, jujur, dan pemberani. "Baiklah, Yo Han. Sekarang bawa aku ke rumah suhu
 dan subomu itu, karena mereka pasti tahu di mana ada-nya ayahku sekarang."
 Yo Han tahu bahwa memang yang paling mudah adalah membawa wanita peranakan Bhutan
 ini ke rumah suhu dan subonya. Pertama, rumah mereka tidak begitu jauh dari situ, dan ke
 dua, tentu saja suhunya merupakan orang yang pa-ling dekat dengan Tiong Khi Hwesio dan
 tentu akan dapat mengatakan di mana bibi Gangga Dewi akan dapat menemui ayahnya. Akan
 tetapi, tidak mungkin dia kembali ke rumah, suhu dan subonya. Dia telah meninggalkan
 mereka, karena keha-dirannya di rumah itu tidak dikehendaki suhu dan subonya, terutama
 subonya. Mereka ingin menjauhkan Sian Li darinya. Kalau dia kembali ke sana, tentu suhu
 dan subonya akan menitipkan dia ke da-lam kuil dan dia tidak ingin hal itu ter-jadi. Dia tidak
 mau tinggal di kuil, dan dia tidak mau menyusahkan suhu dansubonya.
 "Aku tidak dapat pulang ke rumah mereka, Bibi. Akan tetapi aku dapat membawa Bibi ke
 ada seseorang yang tentu akan dapat pula memberitahu ke mana Bibi harus pergi untuk
 menemui ayah Bibi itu."
 "Hemm, siapakah orang itu, Yo Han" Dan di mana tempatnya?"
 "Dia adalah seorang tua gagah yang kini mengasingkan diri, bertapa di Pegu-nungan Tapa-
 san. Aku pernah dititipkan Suhu kepadanya, Bibi. Dan aku yakin dia akan dapat menerangkan
 di mana adanya ayah Bibi. Dan dia juga anggauta keluar-ga Istana Pulau Es, namanya Suma
 Ciang Bun, masih paman dari Subo karena ibu dari Subo adalah kakak dari Kakek Suma
 Ciang Bun."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 72 "Suma.... Ciang.... Bun....?" Sepasang mata itu terbelalak, bibir itu gemetar den wajah itu
 berubah pucat sekali lalu menjadi jadi merah. Gangga Dewi merasa be-tapa jantungnya
 tergetar hebat, akan tetapi ia cepat menguasai perasaannya. "Dia.... putera Paman Suma Kian
 Lee. Baik, mari kita pergi mencarinya, Yo Han."
 Pergilah mereka meninggalkan kuil itu. Diam-diam Gangga Dewi merasa gi-rang sekali. Ia
 amat tertarik kepada anak ini dan ingin mengetahui lebih ba-nyak, bahkan kalau mungkin ia
 ingin menariknya menjadi muridnya. Apalagi setelah kini terdapat kenyataan bahwa anak ini
 masih terhitung murid keponak-an atau juga cucu muridnya sendiri. Dan pertemuannya
 dengan Yo Han ternyata juga memudahkan ia menemukan ayahnya yang sudah lama ia
 rindukan. Yo Han sendiri tidak tahu dan tidak pernah men-dengar dari suhunya bahwa tiga
 orang guru dari suhunya itu telah meninggal dunia semua.
 Di lain pihak, Yo Han juga kagum kepada Gangga Dewi. Wanita ini selain gagah perkasa
 dan tangkas, juga memi-liki watak yang tegas. Wanita ini tidak cengeng dan tidak
 mendesaknya untuk bercerita banyak tentang dirinya, bahkan ketika dia tidak mau
 menceritakan tentang sebab dia meninggalkan suhu dan subonya, Gangga Dewi sama sekali
 tidak tersinggung dan tidak mau bertanya lebih jauh mengenai hal itu. Wanita ini pendiam dan
 tidak cerewet. *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 Kaisar Kian Liong telah berusia enam puluh tahun lebih. Kelak di dalam sejarah dia akan
 dikenal sebagai seorang Kaisar yang berhasil dalam tugasnya memimpin Kerajaan Mancu,
 yaitu Wangsa Ceng. Dialah Kaisar ke dua dari bangsa Mancu yang menjadi Kaisar sejak
 muda sampai lanjut sekali. Sejak berusia sem-bilan belas tahun dia telah menjadi Kai-sar, dan
 kini sudah empat puluh empat tahun dia memegang tampuk kerajaan dan belum nampak
 tanda-tanda bahwa dia akan meninggalkan singgasana. Bah-kan dalam usia enam puluh tiga
 tahun, dia nampak penuh semangat. Harus di-akui dalam sejarah bahwa. selama dia berkuasa
 (1736-1796), yaitu selama enam puluh tahun, pemerintahannya memperoleh kemajuan pesat.
 Bahkan Kaisar Kian Liong yang dibantu banyak orang pandai berhasil memadamkan api
 pemberontakan di mana-mana. Juga di daerah barat, pemberontakan dapat dia tundukkan dan
 daerah barat itu kemudian diberi nama Sin-kiang (Daerah Baru).
 Balatentara di bawah Kaisar Kian Liong amat besar dan kuat. Ketika di Tibet timbul
 kerusuhan, yaitu ketika bangsa Gurkha dari Nepal menyerbu dae-rah itu, Kaisar Kian Liong
 mengirimkan pasukan yang kuat ke Tibet untuk me-ngusir penyerbu itu. Bahkan ketika orang-
 -orang Gurkha dari Nepal itu dipukul mundur dan melarikan diri kembali ke negaranya,
 pasukan Mancu melakukan pengejaran, melintasi Pegunungan Hima-laya dan memasuki
 Nepal. Balatentara bantuan dikerahkan dari kota raja, dan dengan kekuatan penuh pasukan-pasukan
 Mancu menyerang bagai-kan gelombang yang dahsyat dan meng-getarkan seluruh daerah
 barat. Perjalanan yang jauh dari pasukan itu, melintasi daerah yang amat sulit dari
 Pegunungan Himalaya, membuktikan kehebatan Kaisar Kian Liong dalam pemerintahannya.
 Pa-sukan itu berhasil menaklukkan bangsa Gurkha dan memaksa mereka mengakui
 kekuasaan yang dipertuan Kerajaan Ceng-tiauw di Cina.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 73

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukan hanya ke barat balatentara Kaisar Kian Liong memperlihatkan ke-tangguhannya. Juga
 ketika terjadi keka-cauan di selatan, yaitu ketika bangsa Birma mengacau di Propinsi Yunan
 ba-gian barat daya, Kaisar Kian Liong me-ngirimkan pasukan pilihan untuk mengamankan
 daerah itu. Pasukan ini memukul bangsa Birma kembali ke negara mereka, bahkan terus
 menyerbu ke Birma. Biar-pun sampai dua kali pasukan Mancu menyerbu Birma dan rakyat
 Birma mem-pertahankan diri mati-matian sehingga tidak dapat ditundukkan, namun Kaisar
 Kian Liong sudah cukup puas telah dapat memberi "pelajaran" dan akhirnya bangsa Birma
 juga mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng di Cina. Demikian pula negeri An-nam yang pada
 pemerintahan bangsa Mongol telah ditundukkan, memberontak dan oleh pasukan Mancu
 dapat ditunduk-kan kembali.
 Bagi rakyat, seorang Kaisar dianggap sebagai orang "pilihan Tuhan" bahkan ada yang
 menyebutnya wakil Tuhan atau pu-tera Tuhan! Demikian tingginya pandang-an rakyat jelata
 terhadap Kaisarnya se-hingga seorang Kaisar selalu didewa-de-wakan dan tidak dianggap
 sebagai manusia lumrah! Padahal, kalau ada yang dapat menjenguk ke dalam istana dan
 mengikuti cara hidup dan keadaan seo-rang Kaisar, seperti Kaisar Kian Liong sekalipun akan
 terbuka matanya melihat kenyataan bahwa seorang Kaisar pun ha-nyalah seorang manusia
 biasa! Seorang manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan pribadi, seperti juga
 manusia-manusia lain di dunia ini, seorang manu-sia yang pada hakekatnya bertubuh lemah,
 tidak kebal terhadap penyakit dan kema-tian. Seorang manusia yang berbatin lemah, tidak
 kebal terhadap nafsu-nafsu yang menggodanya, yang selalu menjadi korban permainan suka-
 duka puas-kecewa.
 Ketika itu, tahun 1780 dan Kaisar Kian Liong sudah berusia enam puluh ti-ga tahun.
 Permaisurinya telah meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Namun Kaisar Kian Liong tidak
 merasa kesepian dengan meninggalnya sang permaisuri itu. Apalagi, sudah lama dia selalu
 dilayani dan didampingi selirnya yang paling dia kasihi, yaitu Puteri Harum yang setelah
 menjadi isterinya dikenal dengan sebutan Siang Hong-houw (Permaisuri Harum).
 Selir yang kini menjadi pengganti permaisuri ini adalah seorang puteri ta-wanan. Kaisar Kian
 Liong memang ter-kenal sebagai seorang Kaisar yang bijak-sana sejak dia pangeran, memiliki
 per-gaulan yang luas dengan para pendekar dan dikenal sebagai seorang yang pandai bergaul,
 pandai mengambil hati bawahan, bahkan disukai oleh rakyat jelata. Akan tetapi dia pun
 terkenal sebagai seorang laki-laki yang mudah tergila-gila oleh wanita cantik dan tak pernah
 berhenti mengejar wanita-wanita cantik.
 Setelah dia menjadi Kaisar, disamping mengurus kerajaan dengan tekun dan bijaksana, dia
 tidak pula melepaskan kesukaannya mengumpulkan wani-ta-wanita cantik. Namun, seperti
 halnya nafsu-nafsu lainnya, nafsu berahi pun seperti api, makin diberi umpan, semakin lapar!
 Nafsu tak pernah mengenal arti puas dan cukup, yang dikenalnya hanyalah bosan akan yang
 lama dan haus akan yang baru, tiada hentinya mencari dan mencari demi kehausannya yang
 tak kunjung habis.
 Ketika seorang panglimanya bercerita akan kecantikan seorang puteri di daerah barat, yaitu
 di Sin-kiang, Kaisar Kian Liong tertarik sekali. Hati pria mana yang tidak akan tertarik kalau
 mende-ngar betapa puteri bangsa Uighur itu, cantik seperti bidadari, akan tetapi juga terkenal
 sekali karena tubuhnya selalu mengeluarkan keharuman yang dapat memabokkan setiap orang
 pria" Biarpun puteri itu, anak seorang kepala suku ber-nama Ho-couw telah menikah dengan
 seorang kepala suku beragama Islam, namun di seluruh Sin-kiang ia terkenal dengan sebutan
 Puteri Harum! Mendengar berita tentang wanita ini, Kaisar Kian Liong menjadi tergila-gila!
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 74 Belum pernah selama hidupnya dia mendapatkan seo-rang wanita yang keringatnya berbau
 harum! Keharuman pada tubuh wanita--wanita yang menjadi selirnya adalah ke-haruman
 buatan, bahkan untuk menutupi bau keringat yang tidak sedap!
 Kebetulan pada waktu itu, banyak di antara kepala suku yang memperlihatkan sikap tidak
 taat kepada kekuasaan Kaisar, maka pasukan besar lalu dikirim ke Sin-kiang dan panglima
 pasukan operasi itu, Jenderal Cao Hui, mendapat pesan khu-sus dari Sribaginda Kaisar agar
 dia dapat menawan sang puteri itu dan membawa-nya ke istana dalam keadaan sehat dan
 selamat. Operasi itu berjalan baik. Keluarga Puteri Harum, juga suaminya, terbunuh dan sang puteri
 dibawa ke Istana Peking sebagai seorang tawanan perang, istimewa. Ketika Jenderal Cao Hui
 manghadapkan sang puteri di depan Kaisar Kian Liong, Kaisar ini menjadi terpesona
 menghadapi wanita yang memiliki kecantikan yang khas itu. Dia merasa seperti dalam
 mim-pi, bertemu seorang dewi dari barat. Tubuhnya begitu halus mulus, dengan kulit yang
 putih bersih kemerahan, de-ngan lekuk lengkung sempurna, bibirnya merah basah tanpa alat,
 matanya kebiru-an seperti langit jernih, bulu matanya panjang melengkung ke atas, dan yang
 lebih dari segalanya dari tubuh yang nampak lelah karena melakukan perjalan-an amat jauh
 itu tersiar keharuman yang aneh namun amat sedap bagi hidung dan nyaman bagi perasaan. Ia
 pasti seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan, demikian kata hati Kaisar itu dan
 segera mengangkatnya menjadi selir terkemuka, bahkan menjulukinya Siang Hong-houw atau
 Permaisuri Harum.
 Pada bulan-bulan pertama kediaman-nya di istana Kaisar Mancu itu, Puteri Harum selalu
 berduka dan tidak mau melayani Sang Kaisar yang sudah tergila-gila. Ia teringat akan
 keluarganya, teri-ngat akan negaranya dan keadaan ling-kungan yang amat berbeda.
 Kaisar Kian Liong yang sudah tergila-gila itu menjadi bingung dan dari para penasihatnya,
 dia lalu menyuruh bangun sebuah istana mungil yang diberi nama Istana Bulan Purnama,
 dibuat secara khas dan khusus untuk Puteri Harum, ju-ga di situ dibangun sebuah tempat
 mandi khas Turki yang diberi nama Ruang Man-di Para Bidadari. Bahkan dia
 memerin-tahkan para ahlinya untuk membangun sebuah masjid dan bangunan-bangunan khas
 model Uighur di sekeliling Istana Bulan Purnama itu. Dengan demikian, sang puteri dapat
 melakukan kebiasaan-nya seperti ketika masih di Uighur, dan dapat melihat semua bangunan
 itu dari loteng istananya sehingga dapat menga-tasi kedukaan dan kerinduannya akan
 kampung halaman.
 Mendapatkan perhatian dan kasih sa-yang yang berlimpah-limpah itu, Puteri Harum merasa
 terharu dan dengan suka rela ia lalu menyerah dalam pelukan Kaisar Kian Liong dan berusaha
 untuk membalas kasih sayangnya. Hal ini tidak begitu sukar karena sang waktu memban-tu
 Puteri Harum untuk melupakan ke-luarganya yang telah terbasmi, ditambah pula memang
 Kaisar Kian Liong adalah seorang pria yang tampan dan menarik, juga berpengalaman dan
 pandai mengam-bil hati wanita.
 Sebagai seorang wanita yang pandai menunggang kuda dan mempergunakan anak panah,
 Siang Hong-houw seringkali diajak oleh Kaisar Kian Liong kalau Kai-sar ini pergi berburu ke
 Yehol, yaitu suatu daerah di Mongolia Dalam. Demi-kianlah, sejak saat itu, boleh dibilang
 Kaisar Kian Liong menghentikan semuakesukaannya mengumpulkan wanita-wani-ta cantik
 yang baru. Di dalam diri Siang Hong-houw dia menemukan segala-gala-nya yang dibutuhkan
 untuk memuaskan nafsu berahinya.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 75 Ketika dia berusia enam puluh tiga tahun, Siang Hong-houw tidak muda lagi, sudah sekitar
 empat puluh tahun usianya. Akan tetapi wanita ini masih cantik menarik penuh pesona, dan
 keringatnya ma-sih juga berbau harum. Dan ternyata, keharuman keringat Siang Hong-houw
 memang dari dalam, walaupun bukan tampa usaha. Sejak kecil, wanita ini minum ramuan
 akar wangi dan sari bu-nga-bunga harum seperti mawar, bahkan kalau mandi selalu tentu
 menggunakan air yang diharumkan dengan cendana dan bermacam sari kembang yang harum.
 Bahkan makannya juga tersendiri, tidak mau makan makanan yang dapat mendatangkan bau
 tidak enak, melainkan sa-yur-sayuran dan buah-buahan yang men-datangkan bau sedap!
 Daya tahan tubuh manusia itu amat terbatas dan mempunyai ukuran tertentu. Kaisar Kian
 Liong sejak mudanya meng-hamburkan tenaganya untuk memuaskan nafsu berahinya, bahkan
 kadung-kadang dia mempergunakan ramuan obat-obatan untuk memperkuat tubuhnya. Hal ini
 baru terasa akibat buruknya setelah dia ber-usia enam puluh tahun lebih. Kini dia merasa
 betapa tubuhnya lemah, bahkan hampir kehilangan gairahnya. Makin ja-rang saja dia
 menyuruh Siang Hong-houw menemaninya, bahkan lebih sering dia menjauhkan diri dari
 wanita, menyendiri di dalam kamarnya, lebih suka membaca kitab daripada bermesraan
 dengan per-maisuri yang dicintanya itu.
 Kerenggangan yang menjadi akibat dari kemunduran keadaan kesehatan Kai-sar itu memberi
 banyak waktu luang kepada Permaisuri Harum dan menum-buhkan kembali kerinduannya
 kepada suku bangsanya sendiri. Biarpun Sribagin-da Kaisar tidak melarang ia menunaikan
 ibadahnya sebagai seorang beragama Islam, namun permaisuri ini merasa ke-sepian dan ia
 merindukan lingkungan yang lain, lingkungan yang terasa lebih akrab karena persamaan
 kepercayaan. Karena kerenggangannya dari Kaisar yang kini lebih banyak mengurus negara dan membaca
 kitab, Siang Hong-houw makin akrab dengan seorang thai-kam vang bernama Mo Si Lim.
 Laki-laki yang dikebiri ini sebetulnya masih terhitung sanak dengan sang permaisuri. Dia
 seo-rang peranakan Uighur yang beragama Islam pula. Bahkan namanya merupakan
 perubahan dari nama kecilnya, yaitu Muslim yang diberikan ayahnva, untuk me-nandakan
 bahwa dia seorang muslim, seorang yang beragama Islam. Bahkan Siang Hong-houw pula
 yang mengusulkan kepada Kaisar agar mempunyai seorang pelayan berbangsa Uighur, maka
 belasan tahun yang lalu, pemuda Mo Si Lim di-jadikan thai-kam. Dengan adanya Mo Si Lim,
 maka Siang Hong-houw dapat ter-hibur akan kerinduannya kepada bangsa-nya. Mo Si Lim
 melayaninya dan mereka dapat bercakap dalam bahasa mereka, membicarakan tentang
 keadaan di Sin-kiang. Akan tetapi, beberapa tahun akhir-akhir ini, secara diam-diam Mo Si
 Lim mengadakan hubungan dengan orang-orang dari perkumpulan rahasia yang mempu-nyai
 cita-cita mengusir penjajah Mancu dari Cina. Tentu saja mudah bagi orang Uighur ini untuk
 tertarik dengan cita-cita perjuangan itu, mengingat betapa bangsanya juga tertekan oleh
 penjajah Mancu, dan banyak kawannya telah te-was ketika daerah barat diserbu oleh pasukan
 Mancu. Mo Si Lim adalah anak buah mendiang suami Puteri Harum. Ke-setiaannya jugalah
 yang membuat dia rela dijadikan thai-kam, agar dia dapet mendekati dan melayani Puteri
 Harum. Sore hari itu Siang Hong-houw duduk seorang diri di ruangan duduk dengan santai. Baru saja
 ia melakukan sholat atau sembahyang maghrib di dalam ru-angan sembahyang yang khas
 dibuat un-tuknya. Ketika dayang kepercayaannya memasuki ruangan itu, ia memerintahkan
 dayangnya untuk memanggil Mo Si Lim.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 76 "Suruh dia masuk menghadapku, ke-mudian engkau berjaga di luar pintu dan melarang siapa
 saja masuk ruangan ini tanpa kupanggil."
 Dayang itu, seorang peranakan Uighur pula, menyembah lalu keluar dari ruang-an itu,
 memanggil Mo Si Lim, thai-kam (laki-laki kebiri) yang bertugas jaga di bagian depan istana
 puteri itu. Setelah dayang itu pergi, Siang Hong-houw duduk di atas kursi panjang yang
 nyaman. Ia masih amat cantik walaupun usianya sudah empat puluh tahun lebih. Wajah yang
 putih kemerahan itu masih halus tanpa dibayangi keriput. Hanya beberapa garis lembut di tepi
 mata dan antara alisnya sajalah yang menjadi bukti bahwa ia bukan gadis muda lagi,
 melainkan se-orang wanita yang sudah matang. Tubuh-nya masih padat dengan lekuk
 lengkung yang sempurna, tidak dirusak oleh kela-hiran anak. Dan dari jarak dua meter orang
 akan dapat mencium keharuman semerbak yang keluar dari tubuhnya. Ia seorang wanita yang
 tidak menghambakan diri kepada nafsu berahi. Ketika ia di-pisahkan dengan paksa dari
 suaminya, maka bersama kematian suaminya, mati pula gairah berahinya. Kalau ia melayani
 Kaisar Kian Liong, hal itu hanya dilaku-kan karena rasa kasihan kepada Kaisar besar yang
 amat menyayangnya. Sekarang setelah suaminya itu, Kaisar Kian Liong, jarang menggaulinya,
 Siang Hong-houw merasa lebih enak dan senang.
 Ketukan pada pintu ruangan duduk yang luas itu membuyarkan lamunannya. Ketukan tiga
 kali, pelan keras pelan. Itu adalah ketukan Mo Si Lim.
 "Masuklah, Muslim!" kata puteri itu dalam bahasa Uighur. Thaikam itu mem-buka daun
 pintu lalu masuk, menutupkan kembali daun pintu lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap
 sang permaisuri.
 "Bangkit dan duduklah. Aku ingin mendengar laporanmu tentang keadaan di luar istana,
 terutama mengenai Thian-li-pang. Bukankah engkau sudah me-nyelidiki Thian-li-pang seperti
 yang ku-perintahkan?"
 Mo Si Lim menyembah, bangkit lalu duduk di atas sebuah bangku pendek, se-dangkan Siang
 Hong-houw kini duduk di atas kursi gading yang ukirannya amat indah. Mereka berhadapan
 dalam jarak dua meter, terhalang meja kecil dan orang kebiri itu dapat menikmati keha-ruman
 semerbak dari depannya.
 "Kebetulan sekali, hamba memang se-dang menanti perintah dan panggilan Pa-duka,
 Puteri.Untuk langsung menghadap, tidak berani khawatir menimbul-kan kecurigaan. Hamba
 membawa sepu-cuk surat permohonan dari Ketua Thian-li-pang sendiri untuk dihaturkan
 kepada Paduka."
 "Surat Ketua Thian-li-pang" Cepat berikan kepadaku, Muslim!" kata Siang Hong-houw dan
 sikapnya berubah, cekat-an sekali dan penuh gairah kegembiraan.
 Mo Si Lim mengeluarkan sesampul surat dari saku dalam bajunya dan sete-lah menyembah,
 dia menyerahkan sampul surat itu kepada sang puteri. Siang Hong-houw cepat merobek
 sempulnya dan mengeluarkan sehelai kertas yang me-muat huruf-huruf yang indah
 coretannya. Lalu ia membacanya. Beberapa kali sepasang alis itu berkerut ketika ia
 membacanya. "Muslim, apakah engkau sudah menge-tahui akan isi surat ini?" tanya Sang Puteri setelah dua
 kali membaca isi su-rat.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 77 Muslim atau Mo Si Lim menyembah. "Hamba tidak tahu, Puteri. Hanya utusan ketua itu
 mengatakan bahwa Thian-li-pang mengajukan permohonan kepada Paduka melalui surat yang
 harus hamba sampaikan ini."
 "Muslim, permintaan mereka yang pertama wajar, akan tetapi yang ke dua sungguh berat
 untuk dapat kusetujui. Cepat kaunyalakan api di tungku perapi-an itu, surat ini harus dibakar
 dulu baru kita bicara." Mo Si Lim melaksanakan perintah itu tanpa bicara dan setelah api
 bernyala, Siang Hong-houw sendiri yang melemparkan surat dan sampulnya ke da-lam api
 yang segera membakarnya habis menjadi abu dan tidak ada bekasnya lagi. Mereka lalu duduk
 lagi berhadapan se-perti tadi.
 "Ketahuilah, Muslim. Pertama Ketua Thian-li-pang memohon kepadaku agar aku suka
 memberi sumbangan untuk membantu pembiayaan Thian-li-pang. Ke dua, dan ini yang tidak
 dapat kusetujui, mereka mohon perkenan dan persetujuanku agar aku suka membantu mereka
 da-lam usaha mereka membunuh Sribaginda Kaisar."
 Tidak nampak perubahan apapun pada wajah thai-kam itu. Dia merupakan se-orang mata-
 mata yang pandai bersandi-wara. Bahkan suaranya datar saja tanpa dipengaruhi perasaan
 ketika dia bertanya, "Yang mulia, mengapa mereka hendak melakukan pembunuhan" Apakah
 mereka menjelaskan alasannya?"
 "Mereka bukan saja berniat untuk membunuh Sribaginda, akan tetapi juga Pangeran Cia Cing
 dan Pangeran Tao Kuang. Alasan mereka, kalau tidak di-bunuh sekarang, tentu beberapa
 tahun lagi Sribaginda mengundurkan diri dan akan menyerahkan tahta kerajaan kepada
 seorang di antara kedua pangeran itu. Dan seperti kau ketahui, kedua pangeran itu adalah
 orang-orang Mancu aseli kare-na ibu mereka pun wanita Mancu. Kalau mereka bertiga itu
 tidak ada lagi, tentu tahta kerajaan akan terjatuh ke tangan Pangeran Kian Ban Kok yang
 ibunya orang Kin. Dengan demikian, maka ada darah Han yang menjadi Kaisar, dan mereka
 akan mendukung pangeran itu."
 Mo Si Lim mengangguk-angguk. "Se-karang, jawaban apa yang akan Paduka berikan dan
 yang harus saya sampaikan kepada mereka?"
 Puteri Harum bangkit dari tempat duduknya, menghampiri sebuah almari dan mengeluarkan
 sebuah kotak hitam, lalu duduk kembali. Ia menaruh kotak kecil hitam itu di atas meja di
 depannya lalu membukanya. Isinya perhiasan dan gemerlapan.
 "Ini perhiasan berharga yang tak per-nah kupakai, bawaanku sendiri dahulu dari Sin-kiang.
 Berikan kepada Thian-li-pang sebagai sumbangan dariku yang mendukung perjuangan
 mereka menentang pemerintah penjajah. Mengenai perminta-an mereka yang ke dua,
 sekarang aku belum dapat menyetujuinya. Bagaimana-pun juga, aku adalah isteri Sribaginda
 dan merupakan dosa besar bagiku kalau aku bersekutu dengan siapa pun untuk membunuh
 suami sendiri. Allah akan mengutukku. Kalau mereka berkeras hen-dak melakukannya juga,
 aku tidak ikut campur. Nah, sampaikan semua itu kepa-da mereka, dan kalau tidak teramat
 pen-ting, aku tidak mau lagi diganggu mere-ka walaupun aku mendukung perjuangan
 mereka." Mo Si Lim menyembah, lalu mengam-bil peti hitam kecil itu, memasukkannya ke dalam
 saku jubahnya bagian dalam, menyembah lagi dan mengundurkan diri, keluar dari kamar atau
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 78 ruangan duduk itu. Siang Hong-Houw yang ditinggalkan seorang diri bertepuk tangan
 memanggil dayangnya dan ia pun memasuki kamarnya untuk membuat persiapan karena ta-di
 sudah ada isarat dari Sribaginda Kai-sar bahwa malam ini Sribaginda akan tidur di kamar
 permaisurinya tersayang.
 Pada keesokan harinya, pagi-pagi se-kali Mo Si Lim sudah meninggalkan ista-na tanpa ada
 yang menaruh curiga. Pa-dahal, di balik jubahnya, thai-kam ini membawa sebuah peti kecil
 yang isinya amat berharga. Dia berjalan dengan hati-hati dan berkeliling kota. Setelah merasa
 yakin bahwa dirinya tidak dibayangi orang lain, dia lalu menyelinap masuk ke dalam
 pekarangan sebuah rumah besar dan kuno yang berdiri di sudut kota raja. Rumah ini dahulu,
 sebelum bangsa Mancu datang menjajah, adalah sebuah istana milik seorang pangeran. Kini
 rumah itu terjatuh ke tangan penduduk biasa yang cukup kaya dan dijadikan sebagai tempat
 peristirahatan. Namun, karena rumah itu besar dan kuno juga tidak begitu terawat maka
 kelihatan menyeramkan. Apalagi keluarga yang memiliki rumah besar itu jarang
 menempatinya, maka rumah itu nampak angker dan didesas-desuskan se-bagai rumah yang
 ada hantunya. Agaknya Mo Si Lim tidak asing de-ngan rumah ini. Dia tidak menuju ke pintu depan,
 melainkan mengambil jalan samping dan memasuki pintu samping yang kecil dan menembus
 kebun di sam-ping rumah. Dia lenyap bagaikan ditelan raksasa ketika memasuki rumah itu
 me-lalui pintu samping. Rumah itu nampak kosong, akan tetapi ketika Mo Si Lim tiba di
 ruangan belakang, tiba-tiba mun-cul sesosok bayangan dan seorang laki-laki tinggi besar
 berdiri di depannya. Mo Si Lim berhenti melangkah dan meman-dang kepada laki-laki yang
 usianya ku-rang lebih empat puluh tahun itu. Dia tidak mengenal orang itu, maka dengan hati-
 hati dia berkata kepada orang itu,
 "Selamat pagi, Sobat.... saya ingin ber-temu dengan Saudara Ciang Sun. Apakah dia berada
 di sini?"

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi tidak terdengar jawaban, bahkan tujuh orang laki-laki lain bermun-culan dan
 delapan orang itu mengepung Mo Si Lim. Mereka itu berusia antara dua puluh sampai empat
 puluh tahun, rata-rata nampak gagah dan kuat.
 "Siapa engkau?" Si Tinggi Besar membentak.
 Mo Si Lim adalah seorang yang cer-dik. Dia belum tahu siapa adanya de-lapan orang ini.
 Pembawa surat Ketua Thian-li-pang adalah Ciang Sun, dan Ciang Sun menjanjikan akan
 menantinya di rumah gedung itu seperti biasanya. Akan tetapi pagi hari ini, saat yang amat
 penting karena dia membawa sum-bangan dan pesan Siang Hong-houw, Ciang Sun tidak
 muncul, dan sebaliknya muncul delapan orang yang tak dikenal-nya ini dengan sikap
 mengancam. Dia pun segera bersikap angkuh dan hendak mengandalkan kedudukannya untuk
 meng-gertak mereka dan meayelamatkan diri.
 "Aku adalah kepala thaikam di istana Permaisuri, namaku Mo Si Lim dan harap kalian cepat
 memanggil Ciang Sun agar menghadap di sini."
 "Hemm, engkau tentu seorang mata-mata yang hendak berhubungan dengan Thian-li-pang!
 Hayo mengaku saja!" ben-tak Si Tinggi Besar. Namun, Mo Si Lim tidak kalah gertak.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 79 "Siapakah kalian" Jangan menuduh sembarangan. Aku seorang petugas di istana dan aku
 tidak mengenal apa itu Thian-li-pang. Aku hendak bertemu Ciang Sun untuk urusan jual beli
 perhiasan. Ka-lau kalian tidak tahu di mana Ciang Sun berada, harap mundur dan jangan
 meng-halangi aku. Ataukah aku harus menge-rahkan pasukan keamanan untuk menang-kap
 kalian?" Pada saat itu, muncul seorang laki-laki yang tinggi kurus dan orang itu ber-seru, "Saudara
 Mo Si Lim, selamat da-tang! Maafkan kawan-kawanku. Mereka hendak mengujimu, apakah
 engkau dapat menyimpan rahasia kami!"
 Mo Si Lim mengerutkan alisnya dan memandang Si Tinggi Kurus. "Ah, Sauda-ra Ciang Sun,
 apakah sampai sekarang engkau masih belum percaya kepadaku" Kalau tidak ada saling
 kepercayaan, lebih baik tidak ada hubungan saja! Bukankah aku hanya akan membantu
 Thian-li-pang"
 "Sekali lagi maafkan, Sobat. Nah, du-duklah dan bagaimana hasil dan jawaban surat dari
 pang-cu (ketua) kami?" tanya Ciang Sun, Si Tinggi Kurus yang menjadi orang kepercayaan
 Thian-li-pang untuk melakukan operasi penting itu, yaitu mencari dana untuk perkumpulan
 orang-orang gagah yang hendak menentang pemerintah penjajah itu, dan mengatur rencana
 untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Kaisar Kian Liong. Dia memperoleh
 kepercayaan ini karena Ciang Sun merupakan seorang di antara pembantu-pembantu utama
 yang memiliki kepandaian silat tinggi di samping kecer-dikan dan keberanian.
 Mo Si Lim duduk di atas kursi, ber-hadapan dengan Ciang Sun, sedangkan delapan orang
 anggauta Thian-li-pang berdiri di sudut-sudut ruangan itu, ber-jaga-jaga dengan sikap gagah.
 Dengan hati masih merasa mendongkol atas penyambutan tadi, Mo Si Lim lalu meng-ambil
 sikap angkuh. "Saudara Ciang Sun, surat dari ketua kalian telah berkenan diterima oleh Yang Mulia Puteri
 Siang Hong-houw kemarin sore."
 "Kenapa baru kemarin sore" Bukankah surat itu telah kami serahkan kepadamu lima hari
 yang lalu?" Ciang Sun bertanya tiada suaranya menegur.
 "Hemm, kalian ini ingin mudah dan enaknya saja. Menghadap Siang Hong-houw dengan
 membawa surat rahasia seperti itu, tentu saja membutuhkan ke-telitian dan kewaspadaan.
 Kalau sampai diketahui orang lain, berarti hukuman mati bagiku, sedangkan kalian enak-enak
 saja berada di luar dan tidak terancam bahaya."
 "Baiklah, kami mengerti, Saudara Mo Si Lim. Lalu bagaimana jawaban dari Siang Hong-
 houw?" Mo Si Lim memandang kepada Ciang Sun, lalu kepada para anggauta Thian-li-pang yang
 berdiri seperti patung dan dengan suara mengandung kebanggaan dia pun berkata, "Yang
 Mulia Siang Hong-houw selalu mendukung perjuangan yang hendak membebaskan rakyat
 dari cengkeraman penjajah. Yang Mulia selalu merasa gembira mendengar bahwa Thian-li-
 pang berjuang demi kemerdekaan, dan untuk menyatakan dukungannya, maka permohonan
 Thian-li-pang untuk diberi sumbangan, telah menggerakkan hati Yang Mulia dan beliau
 mengirimkan ini sebagai sumbangan untuk Thian-li-pang." Dia mengeluarkan kotak hitam
 kecil dari dalam jubahnya dan meletakkan ko-tak itu di atas meja, lalu membuka tutupnya.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 80 Semua mata memandang ke arah peti den orang-orang Thian-li-pang itu marasa gembira dan
 kagum. Sekali pan-dang saja tahulah Cia Sun bahwa isi peti itu merupakan harta yang cukup
 berharga besar dan akan banyak mem-bantu kebutuhan Thian-li-pang.
 Akan tetapi, bagi Ciang Sun, sum-bangan ini bukan merupakan tugas utama yang terpenting.
 "Dan bagaimana dengan rencana besar kami" Apakah Yang Mulia menyetujui dan sudi
 membantu kami agar tugas kami itu dapat terlaksana de-ngan lancar?"
 Mo Si Lim menarik napas panjang. Orang-orang ini memang mau enaknya saja. Disangkanya
 membunuh seorang Kaisar, putera Kaisar yaitu Pangeran Cia Cing, dan cucu Kaisar Pangeran
 Tao Kuang, merupakan pekerjaan yang mudah! Pangeran Cia Cing merupakan seorang
 pangeran mahkota yang kedudukannya kuat dan memiliki banyak pendukung, sedangkan
 Pangeran Tao Kuang, tentu saja dengan sendirinya merupakan calon kalau-kalau ayahnya
 gagal terpilih. Pa-ngeran Cia Cing berusia empat puluh tahun, sedangkan puteranya, Pangeran
 Tao Kuang berusia dua puluh tahun. Sedang-kan Pangeran Kian Ban Kok yang diusul-kan
 oleh Thian-li-pang untuk menjadi calon Kaisar itu adalah seorang pemuda berusia dua puluh
 tahun yang terkenal royal, mata keranjang dan hanya menge-jar kesenangan belaka, sama
 sekali tidak mempunyai kemampuan dan tidak pantas untuk dijadikan calon Kaisar! Agaknya
 Thian-li-pang justeru memilih pangeran itu yang selain berdarah Han dari ibunya, juga
 merupakan seorang yang kelak tentu akan mudah dipengaruhi dan dijadikan Kaisar boneka.
 "Sayang sekali untuk permohonan Thian-li-pang yang ke dua itu, Yang Mu-lia Siang Hong-
 houw belum berkenan menyetujui."
 "Ahhh! Justeru itulah yang terpenting bagi kami! Kalau usaha itu berhasil, ber-arti
 perjuangan kami pun berhasil. Bagai-mana mungkin Sang Permaisuri tidak menyetujui kalau
 beliau mendukung per-juangan kami?"
 "Hemm, hendaknya kalian suka meng-ingat bahwa Yang Mulia Permaisuri ada-lah isteri dari
 Sribaginda Kaisar.... Isteri mana yang merelakan suaminya dibunuh begitu saja" Bagi kami,
 orang-orang yang beribadat, yang takut akan kemurkaan Allah, tidak akan berani
 melakukannya. Yang Mulia telah bersikap tepat dan benar dalam hal ini dan kalian tidak
 da-pat memaksa beliau!"
 "Tapi.... beliau hanya kami minta per-setujuannya dan beliau tidak perlu ikut campur, hanya
 memberi kesempatan ke-pada kami untuk dapat menyelundup ke dalam istana tanpa dicurigai
 dan tanpa dilarang, begitu saja!"
 "Apa pun yang kalian katakan, tetap Yang Mulia Permaisuri tidak menyetujui niat
 pembunuhan itu!" Mo Si Lim berke-ras.
 "Kalau begitu, kita menggunakan sia-sat ke dua!" teriak Ciang Sun kepada kawan-kawannya
 sebagai isarat. "Apa boleh buat, Sobat Mo Si Lim, demi per-juangan dan demi berhasilnya
 rencana kami, terpaksa engkau kami korbankan! Salahnya Siang Hong-houw yang tidak
 menyetujui rencana kami!" Dan tiba-tiba saja Ciang Sun mencabut pedang dan menyerang
 Mo Si Lim! "Ahh!" Mo Si Lim melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik. Kursi yang
 didudukinya menjadi korban bacokan pedang di tangan Ciang Sun dan terbelah menjadi dua.
 Sambil bergulingan Mo Si Lim yang juga memiliki ilmu silat yang lumayan, telah mencabut
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 81 pedangnya pula. Akan tetapi pada saat itu, delapan orang anggauta Thian-li-pang sudah
 mengeroyok dan menghujankan serangan kepada thai-kam itu. juga Ciang Sun yang lihai
 se-kali sudah menyerang lagi dengan pe-dangnya.
 Mo Si Lim memutar pedangnya mem-bela diri. Namun, melawan Ciang Sun seorang saja dia
 takkan menang, apalagi dikeroyok sembilan orang. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia
 pun roboh mandi darah dengan tubuh penuh luka dan tewas seketika!
 Dan pada siang hari itu, gegerlah di istana ketika ada seorang gagah melapor kepada pasukan
 pengawal istana bahwa dia telah menangkap dan membunuh se-orang pencuri yang membawa
 perhiasan dari dalam istana. Orang gagah itu bukan lain adalah Ciang Sun yang membawa
 kepala Mo Si Lim dalam buntalan, ber-sama peti hitam kecil berisi perhiasan yang amat
 berharga. Kiranya setelah membunuh Mo Si Lim, Ciang Sun lalu memberitahu kepada anak
 buahnya bahwa kini terbukalah kesempatan baginya untuk menyelundup ke dalam istana,
 dengan bertindak sebagai pembunuh pencuri perhiasan itu dan mengembalikan perhiasan itu
 kepada istana. "Perhiasan ini memang mahal harga-nya dan merupakan sumbangan yang be-sar bagi kita,
 akan tetapi kematian Kaisar Mancu itu jauh lebih penting. Aku sendiri yang akan
 mengembalikan per-hiasan ini. Kalian boleh pergi ke pusat dan melaporkan kepada Pangcu
 kita!" Demikianlah, dengan hati penuh se-mangat kepatriotan, Ciang Sun membawa kepala dan peti
 hitam kecil itu ke istana. Tentu saja laporannya menggegerkan panglima pasukan pengawal
 yang langsung menghadap Kaisar dan melaporkan bahwa ada orang datang mengaku telah
 mem-bunuh pencuri perhiasan milik Siang Hong-houw! Tentu saja Kaisar Kian Liong terkejut
 mendengar ini. Dia segera memerintahkan agar pembunuh pencuri itu dibawa menghadap
 kepadanya, juga dia memerintahkan agar Siang Hong-houw datang pula ketika mendengar
 bahwa yang dicuri adalah perhiasan milik per-maisurinya itu.
 Biarpun dia dilucuti dan pedangnya ditahan sebelum menghadap Kaisar, Ciang Sun tetap
 berjalan dengan gagah dan sedikit pun tidak merasa gentar. Ciang Sun adalah seorang
 pendekar yang sudah digembleng menjadi seorang pa-triot yang gagah berani, yang rela
 me-ngorbankan apa saja demi cita-citanya, yaitu mengusir penjajah dari tanah air. Semangat
 ini pun bukan tanpa dorongan sebab yang membuat dia menyimpan dendam dalam hatinya,
 yang membuat dia membenci pemerintah Mancu. Ayah dan ibunya tewas dalam bentrokan
 antara ayahnya dan seorang pembesar tinggi bangsa Mancu. Dendam ini membuat ia
 membenci semua orang Mancu. Apalagi melihat betapa bangsanya diperlakukan dengan tidak
 adil oleh para penguasa bangsa Mancu, kebenciannya bertambah. Dia sejak muda membantu
 gerakan pem-berontakan di mana-mana . Namun semua usaha pemberontakan itu selalu gagal
 ka-rena pasukan Mancu terlampau kuat, bahkan di antara pasukan itu terdapat jago-jago silat
 yang amat lihai, baik orang Mancu sendiri maupun orang-orang Han yang telah diperalat oleh
 pemerintah Mancu. Saking bencinya, Ciang Sun bah-kan bersumpah tidak akan menikah
 sebe-lum penjajah Mancu dapat dihancurkan!
 Kaisar telah duduk di singasana, di-dampingi Siang Hong-houw ketika Ciang Sun dikawal
 pasukan pengawal dalam, berlutut menghadap Sribaginda. Kaisar Kian Liong memandang
 pria yang tinggi kurus itu, lalu memandang ke arah bun-talan kain kuning dan buntalan kain
 me-rah yang dibawa Ciang Sun. Setelah mengucapkan penghormatannya dengan ucapan
 "ban-ban-swe" (panjang usia), Ciang Sun tetap berlutut dan menanti perintah.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 82 "Kami telah mendengar laporan ten-tang dirimu. Namamu Ciang Sun dan engkau tetah
 membunuh seorang pencuri yang membawa sekotak perhiasan. milik Hong-houw?"
 "Benar sekali laporan itu, Sribaginda."
 "Bagaimana engkau tahu bahwa dia pencuri dan yang dicurinya adalah per-hiasan milik
 Siang Hong-houw?" tanya pula Kaisar Kian Liong.
 "Pencuri itu sendiri yang menawarkan barang perhiasannya kepada hamba, dan dia pula yang
 mengaku bahwa perhiasan itu milik Yang Mulia Siang Hong-houw. Karena hamba ingin
 berbakti kepada Paduka, maka hamba lalu menyerangnya, membunuhnya, membawa
 kepalanya seba-gai bukti dan hendak mengembalikan kotak terisi perhiasan ini kepada Yang
 Mulia Siang Hong-houw!" kata Ciang Sun dengan penuh semangat.
 Kaisar Kian Liong mengangguk-angguk dan menoleh kepada permaisurinya. Wa-nita cantik
 itu mengerutkan alisnya, se-jak tadi matanya tidak pernah mening-galkan buntalan kuning
 yang bulat itu.
 Kaisar memberi isarat kepada penga-wal pribadinya. "Bawa peti itu mendekat sini dan buka
 agar kami dapat melihat isinya. Siang Hong-houw tentu akan me-ngenal apakah benar peti
 berisi perhiasan itu miliknya."
 Pengawal memberi hormat, lalu me-ngambil buntalan kain menah yang dita-ruh di atas lantai
 depan Ciang Sun, membawanya mendekat dan membuka buntalan itu. Siang Hong-houw
 tentu saja segera mengenal peti hitam kecil milik-nya dan tahulah ia apa yang terjadi. Tentu
 pembantunya yang setia itu telah terbunuh dan ia bergidik melirik ke arah buntalan kain
 kuning. Dan ia pun segera dapat menggunakan kacerdikannya untuk menduga apa yang
 terjadi. Penolakannya untuk menyetujui rencana pembunuhan atas diri Kaisar itulah yang
 menjadi se-babnya. Tentu Mo Si Lim dibunuh untuk di jadikan korban, agar
 seorang pembunuh dapat menyelundup masuk! Ia melirik ke arah Ciang Sun yang kebetulan
 juga me-lirik kepadanya, kemudian ia menangkap sinar mata berkilat dari orang kurus itu ke
 arah Kaisar. Ia pun dapat menduga. Orang ini pembunuh kejam! Kaisar terancam.
 "Buka peti itu," kata Kaisar dan pe-ngawal membukanya. Nampaklah isi peti itu. Perhiasan
 yang berkilauan dan ge-merlapan.
 "Hong-houw, milikmukah perhiasan itu?" tanya Kaisar Kian Liong. Siang Hong-houw
 mengangguk. Kaisar Kian Liong mengerutken alisnya dan marah kepada pencuri yang berani
 mengambil barang perhiasan permaisurinya yang ter-cinta.
 "Buka buntalan itu. Kami ingin meli-hat siapa yang berani mencurinya!"
 Pengawal lalu menghampiri buntalan kuning dan membukanya. Nampaklah ke-pala Mo Si
 Lim dengan mata melotot. Siang Hong-houw mengeluarkan seruan tertahan.
 "Dia.... Muslim, thai-kam yang setia!" teriaknya. "Sribaginda, orang ini tentu pembunuh yang
 berbahaya! Memang ham-ba menyuruh Muslim untuk menjual per-hiasan itu, perhiasan yang
 dulu hamba bawa dari Sin-kiang, untuk diberikan ke-pada fakir miskin di Sin-kiang karana
 hamba mendengar mereka hidup sangsara. Sama sekali bukan perhiasan yang hamba
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 83 dapatkan dari Paduka, melainkan milik hamba pribadi. Akan tetapi, Muslim di-bunuh.... orang
 ini tentu penjahat. Mung-kin dia mempunyai niat jahat terhadap Paduka!" Tiba-tiba Siang
 Hong-houw meloncat ke dekat Sribaginda. Ia seorang wanita yang pernah belajar ilmu silat
 dan cepat ia sudah mencabut pedang yang tergantung di dekat kursi singasana Kaisar.
 Ciang Sun marah sekali ketika men-dengar betapa Siang Hong-houw yang ta-dinya
 diharapkan akan membantunya, dan yang bahkan telah menyatakan dukungan-nya terhadap
 Thian-li-pang, kini tiba-tiba membuka rahasianya dan menggagalkan kesempatan yang
 diperolehnya untuk menyelundup ke dalam istana Kaisar agar dapat membunuh Kaisar. Dia
 maklum bahwa saatnya hanya sekarang. Kalau dia tidak bertindak sekarang, akan ter-lambat
 karena dia tentu akan ditangkap dan dihukum.
 "Hidup Thian-li-pang! Mampuslah Kai-sar penjajah Mancu!" teriakan ini me-lengking
 nyaring mengejutkan semua. orang sehingga para pengawal tertegun dan tidak bergerak
 ketika Ciang Sun melompat ke arah Sribaginda Kaisar. Biarpun dia bertangan kosong, namun
 dengan nekat dia meloncat dan menye-rang, ke arah Kaisar.
 Akan tetapi, Siang Hong-houw sudah memutar pedangnya, merupakan perisai di depan
 Kaisar sehingga serangan Ciang Sun itu tentu saja tidak berhasil, bahkan terpaksa dia
 meloncat ke samping. Sela-gi dia hendak menyerang Hong-houw untuk merampas pedang,
 kini para pengawal sudah menyerbu dan mengeroyok-nya.
 "Bunuh penjahat itu!" Siang Hong-houw berseru dan ia lalu menggandeng Kaisar, cepat-
 cepat dilarikan masuk ke dalam.
 Ciang Sun mengamuk. Akan tetapi, yang mengeroyoknya adalah para penga-wal dalam yang
 rata-rata memiliki kepandaian tinggi, bahkan di antara mereka terdapat pula panglima-
 panglima yang menjadi jagoan istana, maka dalam waktu singkat saja dia telah roboh dan
 tewas! Cepat para pengawal menyingkirkan ma-yatnya, juga menyingkirkan kepala Mo Si
 Lim, dan ada yang menyimpan peti hitam kecil untuk kelak disampaikan kepada Siang Hong-
 houw. Tentu saja peristiwa itu menggagalkan rencana orang-orang Thian-li-pang untuk membunuh
 Kaisar, bahkan menggagalkan pula usaha mereka mendapatkan sum-bangan dari Siang Hong-
 houw. Dan di lain pihak, Puteri Harum berjasa besar dan Kaisar semakin percaya kepadanya.
 Namun, peristiwa itu pun diam-diam membuat Siang Hong-houw menjadi ber-sedih sekali.
 Bukan saja bersedih karena kehilangan pembantunya yang setia, Mu-slim, akan tetapi juga
 bersedih karena ia terpaksa harus melakukan dua hal yang bertentangan dan meresahkan
 batin-nya sendiri. Di satu pihak, ia mendukung Thian-li-pang yang ia tahu merupakan
 perkumpulan para patriot yang hendak mengusir penjajah Mancu, bangsa yang juga telah
 membasmi suku bangsanya sendiri, bahkan yang telah membunuh ayahnya dan suaminya.
 Akan tetapi di lain pihak, ia bersetia kepada Kaisar Kian Liong yang telah menjadi suaminya
 dan yang secara pribadi bersikap amat baik dan penuh kasih sayang kepadanya. Peristiwa ini
 demikian mengguncang hati Sang Puteri sehingga semenjak terjadinya peristiwa itu, ia tidak
 pernah sehat lagi, sakit-sakitan. Ia hidup dengan batin me-rana sampai kurang lebih delapan
 tahun dan dalam tahun 1788 meninggal dunia karena penyakit akibat penderitaan batin ini,
 dalam usia yang belum tua benar.
 Demikianlah keadaan kota raja dan istana Kaisar Kian Liong pada waktu itu. Dalam usia
 tuanya, Kian Liong menga-lami kemunduran dalam pemerintahannya dan pemberontakan-
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 84 pemberontakan tim-bul di daerah-daerah perbatasan. Biarpun demikian, dia merupakan satu
 di antara kaisar-kaisar di Cina yang paling lama memegang tampuk kerajaan, yaitu selama
 enam puluh tahun (1736-1796).
 *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 "Alangkah indahnya pemandangan alam di pegunungan ini, Yo Han! seru Gangga Dewi. Yo
 Han yang berhenti melangkah pula, memandang kepada wanita itu. Seorang wanita yang
 nampak gagah berdiri dengan perkasa, cantik dan agung, wajah berseri dan kedua pipi
 kemerahan tanda sehat. Angin pegunungan bersilir mempermainkan rambut halus yang
 ter-lepas dari ikatan dan bermain di depan dahi. Mulut wanita itu tersenyum cerah dan
 pandang matanya membelai tamasya alam yang terbentang luas di depan mereka, di bawah
 sana. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Yo Han diselamatkan dari tangan Ang I Moli oleh
 Gangga Dewi, dan kini Yo Han melakukan perjalanan bersama Gangga Dewi, membantu
 wanita Bhutan ini untuk mencari Suma Ciang Bun kare-na Yo Han merasa yakin bahwa Suma
 Ciang Bun akan dapat memberitahu ke-pada Gangga Dewi di mana ayah wanita itu berada.
 Yo Han ikut melayangkan pandang matanya ke bawah sana. Bagaikan sebuah lukisan
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mujijat, tamasya alam itu ter-bentang luas di depan kakinya. Seperti dilukis dengan indahnya
 lereng bukit itu. Me-mang indah sekali, akan tetapi Yo Han merasa heran mengapa Gangga
 Dewi begitu kagum melihat keindahan alam itu. Bagi dia, dimana-mana terdapat keindahan
 alam itu, biarpun berbeda-beda keadaannya, namun dia selalu menemukan keindahan dimana
 pun, seperti melihat seribu macam bunga, bentuk dan warnanya berbeda-beda, namun setiap
 tangkai bunga mengandung keindahan agung!
 "Aku sudah mendengar bahwa Pegunungan Tapa-san memiliki tamasya alam yang amat
 indah. Baru sekarang aku menyaksikan kebenaran berita itu. Betapa bahagianya Suma Ciang
 Bun itu hidup di tempat yang memiliki lingkungan seindah ini.
 Keindahan yang ditemukan oleh nafsu yang bersembunyi di dalam pandang mata tiada lain
 hanyalah kesenangan. Dan segala macam bentuk kesenangan merupakan permainan nafsu dan
 selalu membosankan. Nafsu tak pernah mengenal batas tak pernah mengenal kepuasan yang
 mutlak, selalu meraih dan menjangkau yang belum dicengkramnya. Oleh karena itu , kita
 cenderung untuk mengagumi dan menikmati sesuatu yang baru kita dapat-kan. Namun kalau
 sesuatu yang baru itu menjadi sesuatu yang lama, akan pudar-lah keindahannya sehingga kita
 tidak mampu menikmatinya lagi. Itulah sebab-nya mengapa orang kota dapat menikmati
 keindahan di alam pegunungan, sebaliknya orang dusun di pegunungan dapat menikmati
 keindahan kota! Orang kota akan bosan dengan keadaan di kota, sebaliknya orang dusun juga
 bosan akan keadaan di dusun. Baik orang kota mau-pun orang dusun selalu mengejar yang
 tidak mereka miliki. Pengejaran ini me-mang menjadi sifat nafsu daya rendah. Dan
 pengejaran inilah sumber penyebab kesengsaraan. Kalau tidak tercapai apa yang kita kejar,
 kecewa dan duka me-nindih batin kita. Kalau tercapai apa yang kita kejar, hanya sebentar saja
 kita menikmatinya, kemudian kita merasa bosan atau juga kecewa karena yang kita capai itu
 tidaklah seindah yang kita ba-yangkan semula ketika kita mengejarnya.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 85 Karena itu, orang bijaksana tidak akan mengejar sesuatu yang tidak dimi-likinya, tidak
 menginginkan sesuatu yang bukan miliknya. Kalau sudah begitu, dia akan menikmati segala
 yang dimilikinya sebagai yang terindah dan terbaik. Segala keindahan terletak di dalam
 keadaan batin kita sendiri, bukan terletak di luar badan. Sepiring masakan termahal, akan
 terasa hambar di mulut kalau batin se-dang keruh, sebaliknya sebungkus nasi dengan kecap
 termurah akan terasa nik-mat di mulut kalau batin sedang jernih. Hal-hal yang paling
 sederhana pun akan terasa nikmat dan indah bagi panca-indra kita kalau batin kita dalam
 keadaan jer-nih. Dan batin yang jernih adalah suatu keadaan, bukan hasil buatan pikiran.
 Ke-adaan batin yang jernih timbul oleh ke-kuasaan Tuhan, dan kita hanya dapat menyerah
 dan pasrah dengan penuh ke-ikhlasan dan ketawakalan kepada Tuhan Yang Maha Kasih.
 Kalau sudah begitu, apa pun yang terjadi kepada diri kita, kita terima dengan penuh rasa
 syukur dan dengan penuh keyakinan bahwa se-mua itu sudah dikehendaki Tuhan dan Tuhan
 tahu apa yang baik bagi kita! Ti-dak mabok oleh keadaan yang kita anggap menyenangkan,
 tidak mengeluh oleh keadaan yang kita anggap tidak menyenangkan. Penyerahan total kepada
 Tuhan menimbulkan kewaspadaan dan kebijaksanaan sehingga kita dapat meli-hat bahwa di
 dalam segala peristiwa terkandung kekuasaan Tuhan sehingga sebaliknya dari mabok
 kesenangan dan mengeluh kesusahan, kita meneliti untuk menemukan hikmahnya dalam
 setiap peristiwa.
 Setelah sesaat berdiri seperti patung menikmati keindahan alam di sekeliling-nya, Gangga
 Dewi menarik napas panjang, sepanjang mungkin sehingga tubuhnya da-pat menampung
 hawa udara yang bersih dan segar sejuk. Beberapa lamanya ia berlatih pernapasan untuk
 membuang semua hawa kotor dari dalam tubuh, menggantikannya dengan hawa udara yang
 jernih dan mengandung kekuatan mujijat itu.
 Tiba-tiba Gangga Dewi menangkap pundak Yo Han dan menariknya sambil meloncat ke
 belakang. "Singgg....!" Sebuah benda mengkilat menyambar lewat.
 "Ada apakah, Bibi?" tanya Yo Han, Gangga Dewi melepaskan Yo Han di be-lakangnya dan
 ia pun melangah ke depan, menjauhi tebing. Yo Han mengikuti dari belakang dan kini dia
 tidak bertanya lagi karena dia sudah melihat pula munculnya tiga orang itu. Seorang di antara
 mereka adalah Ang I Moli, hal ini dapat dilihat dengan jelas walaupun mereka itu masih agak
 jauh, karena pakaiannya yang serba merah.
 "Itu mereka!" teriak Ang I Moli yang tadi menyambitkan senjata rahasianya yang beracun
 berupa jarum dan yang te-lah dielakkan oleh Gangga Dewi. "Akhir-nya kita depat
 menemukan mereka!"
 Kini tiga orang itu telah tiba di de-pan Gangga Dewi yang seolah melindungi Yo Han yang
 berada di belakangnya. Melihat cara mereka berlari mendaki dengen amat cepat itu, tahulah
 Gangga Dewi bahwa dua orang yang datang bersama Ang I Moli itu pun bukan orang-orang
 lemah. Ia memandang dengan pe-nuh perhatian. Dua orang itu adalah lakt-laki yang usianya
 kurang lebih lima puluh tahun. Yang seorang bertubuh gen-dut dengan perut seperti perut
 kerbau dan mukanya bulat, sedangkan yang kedua bertubuh kecil katai seperti anak berusia
 balasan tahun, akan tetapi muka-nya penuh keriput dan kelihatan jauh lebih tua datipada usia
 sebenarnya. Me-reka itu mengenakan jubah pendeta de-ngan rambut digelung ke atas seperti
 kebiasaan yang dilakukan para tosu (pen-deta To).
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 86 Tosu yang gendut dengan muka se-perti kanak-kanak selalu tersenyum cerah akan tetapi
 sinar matanya kejam itu tertawa. "Ha-ha-ha, Moli! Engkau meng-ganggu ketenangan kami,
 mengajak kami berlari-lari mengejar, kiranya yang kaucari hanya seorang bocah seperti itu,
 dapat kita temukan ratusan orang ba-nyaknya di pasar, tinggal pilih. Kenapa susah-susah?"
 "Hemmm, engkau mana tahu" Sudah-lah, anak itu urusanku, aku mengajak kalian untuk
 menghadapi perempuan asing ini!" kata Ang I Moli.
 "Moli, engkau bilang bahwa engkau tidak mampu mengalahkan perempuan ini" Aneh sekali!
 Apa sih keahliannya?" kata pula tosu yang katai kecil meman-dang rendah Gangga Dewi.
 Gangga Dewi menegakkan kepalanya dan sepasang matanya mencorong penuh kemarahan,
 memandang kepada tiga orang itu dengan sikap angkuh.
 "Ang I Moli, engkau sungguh seorang iblis betina yang tidak tahu malu! Anak ini tidak sudi
 ikut denganmu karena eng-kau jahat, cabul dan keji, dan engkau hendak memakannya,
 hendak membunuh-nya dengan minum darahnya. Aku mencegah terjadinya kekejaman itu
 dan hanya menghajarmu agar engkau menyadari kesesatanmu. Kiranya sekarang engkau
 datang mengajak dua orang kawanmu! Hemm, agaknya memang sudah sepantasnya orang
 macam engkau yang berwatak iblis ini dibasmi dari permukaan bumi!"
 "Kwan Suheng dan Kui Suheng, kalian hadapi perempuan asing itu, biar aku yang akan
 menangkap bocah itu!" Ang I Moli berseru.
 "Heh-heh-heh, Moli Sumoi (Adik Se-perguruan) yang baik. Kenapa harus re-pot-repot" Biar
 kami menundukkan mere-ka agar mereka menyerah dengan suka rela, tidak perlu merepotkan
 dan mele-lahkan badan," kata tosu gendut.
 "Benar, kami akan tundukkan mereka dengan sihir!" kata tosu katai. Mereka adalah suheng
 (kakak seperguruan) Ang I Moli dalam perkumpulan Pek-lian-kauw, yang gendut bernama
 Kwan Thian-cu, yang katai bernama Kui Thian-cu. Kini keduanya melepas ikatan rambut
 sehingga rambut mereka riap-riapan, dan Kwan Thian-cu mencabut golok, Kui hian-cu
 mencabut pedang. Akan tetapi mereka tidak menggunakan senjata itu untuk me-nyerang,
 melainkan mereka memegang senjata itu lurus di depan muka seperti mencium senjata itu,
 mata mereka ter-pejam, mulut berkemak kemik membaca doa, tangan kiri membuat gerakan
 me-lingkar-lingkar di depan dada, kemudian telunjuk kiri membuat coret-coret di udara
 seperti sedang melukis atau menuliskan sesuatu. Kemudian dengan senjata mereka di kedua
 tangan, mereka mem-buat gerakan menyembah ke atas, lalu ke bawah, lalu ke empat penjuru.
 Baru-lah mereka membuka mata memandang kepada Gangga Dewi dan Yo Han, dan kini Si
 Katai mengeluarkan suara yang terdengar penuh wibawa.
 "Dengar dan lihatlah, perempuan ber-kerudung kuning, dan engkau anak laki-laki! Semua
 kekuatan hitam di empat penjuru membantu kami! Kekuasaan la-ngit dan bumi melindungi
 kami! Kalian berdua akan tunduk dan menurut kepada kami, melakukan apa saja yang kami
 perintahkan! Sanggupkah kalian?"
 Gangga Dewi terkejut bukan main. Ia merasa betapa bulu tengkuknya mere-mang, tanda
 bahwa ada hawa atau kekuatan yang tidak wajar sedang menye-rang dan mempengaruhinya.
 Kata-kata yang keluar dari mulut Si Katai itu menembus hatinya. Ia tahu bahwa dua orang
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 87 tosu itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang lihai dan ia pernah mela-tih diri dengan
 menghimpun kekuatan batin untuk menolak pengaruh sihir. Ia sudah mengerahkan tenaga itu,
 akan te-tapi ada dorongan yang amat kuat mem-buat ia terpaksa membuka mulut.
 "Aku sang.... sang...." Ia mengerahkan seluruh tenaga untuk menghentikan pe-ngaruh itu agar
 ia tidak mengatakan sanggup. Pada saat ia bersitegang mela-wan pengaruh yang semakin kuat
 itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa di be-lakangnya.
 "Ha-ha-heh-heh, lihat, Bibi Gangga Dewi! Dua orang tosu itu sungguh lucu. Apa yang
 sedang mereka lakukan itu" Apakah mereka itu dua orang anak wa-yang yang sedang
 membadut?"
 Mendengar suara ketawa dan ucapan Yo Han itu, seketika lenyaplah pengaruh sihir yang
 hampir menguasai dirinya dan lenyap pula "hawa" yang membangkitkan bulu roma tadi.
 Dua orang tosu itu terbelalak me-mandang ke arah Yo Han. Ketika anak itu tertawa lalu
 bicara, mereka berdua merasa betapa kekuatan sihir mereka yang mereka kerahkan itu
 membalik se-perti gelombang melanda diri mereka sendiri sehingga mereka menjadi sesak
 napas dan terpaksa menghentikan ilmu sihir itu!
 Ang I Moli juga melihat semua ini dan ia berkata, "Nah, sudah kukatakan bahwa anak itu
 bukan anak sembarangan. Dia terkena jarum-jarumku tapi tidak mati, dan segala kekuatan
 sihir tidak mempengaruhinya. Sekarang baru kalian percaya" Hayo kalian bunuh perempuan
 asing itu dan aku yang akan menangkap anak itu!"
 Kalau Gangga Dewi, Ang I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw itu terce-ngang
 keheranan melihat peristiwa tadi, Yo Han sendiri tidak merasakan sesuatu yang aneh. Dia
 memang tidak merasakan apa-apa, dan kalau tadi dia mentertawa-kan dua orang tosu itu
 karena memang dia merasa heran dan geli melihat ting-kah mereka. Sama sekali dia tidak
 me-ngerti bahwa dua orang tosu itu melaku-kan sihir, dan sama sekali dia pun tidak tahu
 bahwa suara ketawanya membuyarkan semua pengaruh sihir mereka.
 Di luar kesadarannya sendiri, ada ke-kuatan mujijat dari kekuasaan Tuhan yang selalu
 melindungi anak ini. Kekuat-an mujijat ini mungkin saja timbul kare-na kepercayaannya yang
 total kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Bukan sekedar percaya di mulut seperti yang dimiliki
 kebanyakan orang. Kita semua mengaku berTuhan, akan tetapi pengakuan kita itu sungguh
 amat meragukan, apakah pengakuan itu timbul dari dalam dan sesungguhnya, ataukah
 pengakuan itu hanya keluar dari pikiran yang bergeli-mang nafsu. Kalau hanya pengakuan
 mu-lut dan pikiran saja, tidak ada gunanya sama sekali. Buktinya, kita mengaku berTuhan
 namun kita masih berani mela-kukan hal-hal yang tidak benar. Kita adalah orang-orang
 munafik yang teringat kepada Tuhan hanya kalau kita membutuhkan pertolongan atau
 perlin-dungan saja, hanya teringat kepada Tu-han kalau kita sedang menderita. Kita
 melupakan Tuhan begitu nafsu menceng-keram kita, begitu kita berenang di laut-an
 kesenangan duniawi.
 Sejak kecil sekali, melalui kitab-kitab yang dibacanya, kemudian dikembangkan oleh
 perasaan yang peka, Yo Han bukan sekedar mengaku berTuhan. Melainkan dia dapat
 merasakan kekuasaanNya dalam diri, yakin dan selalu ingat, selalu pasrah. Begitu mutlak
 kepercayaannya kepada Tuhan sehingga ia pasrah dan menyerah. Hanya kepada Tuhanlah dia
 berlindung karena dia tidak beribu-bapa lagi dan ancaman maut tidak cukup kuat untuk
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 88 membuat dia takut dan lupa akan kepa-srahan dan penyerahannya. Inilah yang membuat dia
 di luar kesadarannya, sela-lu diliputi kekuasaan Tuhan. Dan di dunia ini, kekuatan atau
 kekuasaan apakah yang mampu menandingi kekuasaan Tuhan" Apalagi hanya permainan
 sihir dari dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, permainan sihir yang bersandar kepada
 kekuasaan iblis, tentu saja tidak depat menyentuh Yo Han yang sudah dilindungi kekuasaan
 maha dahsyat yang tidak nampak.
 Kwan Thian-cu dan Kui Tuian-cu sa-ling pandang dan mereka merasa betapa tengkuk
 mereka dingin. Belum pernah selama hidup mereka ada orang yang mampu membuyarkan
 kekuatan sihir me-reka tanpa pengerahan kekuatan batin.
 Kalau hanya lawan yang memiliki ke-kuatan batin tanggung-tanggung saja, tentu akan
 menyerah dan tunduk terha-dap kekuatan sihir mereka berdua yang disatukan. Akan tetapi
 anak kecil itu, anak belasan tahun, hanya dengan ketawa polosnya telah mampu
 membuyarkan ke-kuatan sihir mereka" Ataukah wanita pe-ranakan barat itu yang memiliki
 kemam-puan ini" Akan tetapi mereka lihat beta-pa tadi wanita itu sudah hampir menye-rah
 kepada mereka. Diam-diam mereka bergidik dan jerih terhadap anak kecil itu. Maka,
 mendengar permintaan Ang I Moli, mereka merasa girang. Lebih nyaman di hati menghadapi
 dan menge-royok wanita itu daripada harus menang-kap anak ajaib itu! Mereka lalu meloncat
 dan menyerang Gangga Dewi dengan senjata mereka.
 Gangga Dewi mengelak dengan lom-patan ke sampihg sambil menggerakkan tangan melolos
 sabuk sutera putihnya.
 Akan tetapi dua orang tosu Pek-lian- kauw itu mendesak, dengan serangan-se-rangan mereka
 yang ganas. Sungguh janggal sekali melihat dua orang berpa-kaian pendeta kini memainkan
 golok dan pedang, menyerang seorang wanita de-ngan dahsyat dan buas, dengan muka
 beringas dan nafsu membunuh menguasai mereka, membuat mereka seperti dua ekor binatang
 buas yang haus darah.
 Mutu batin seseorang tidak terletak pada pakaiannya atau kedudukannya. Akan tetapi, kita
 sudah terlanjur hidup di dalam masyarakat di mana nilai-nilai kemanusiaan diukur dari
 keadaan lahiri-ahnya, dari pakaiannya. Pangkat, kedudukan, predikat dan pekerjaan, harta,
 bahkan sikap dan kata-kata hanya meru-pakan pakaian belaka. Semua itu dapat menjadi
 topeng yang palsu. Namun, kita sudah terlanjur suka akan yang palsu-palsu. Kita
 menghormati seseorang karena hartanya, karena pangkatnya. Kita menilai seseorang dari
 kedudukannya, dari sikapnya. Padahal, seorang pendeta belum tentu saleh, seorang pembesar
 belum tentu bijaksana, seorang hartawan belum tentu dermawan, seorang yang bermulut
 manis belum tentu baik hati.
 Kita tersilau oleh kulitnya, sehingga ti-dak lagi mampu melihat isinya. Hal ini disebabkan
 karena batin kita sebagai penilai juga sudah bergelimang nafsu, sehingga penilaian kita pun
 didasari ke-untungan diri kita sendiri. Yang mengun-tungkan kita lahir batin itulah baik, yang
 merugikan kita lahir batin itulah buruk! Karena kita semua tahu bahwa yang dinilai tinggi
 oleh manusia adalah pakai-annya, yaitu nama besar, harta dunia, kedudukan tinggi,
 penampilan dan semua pulasan luar, maka kita pun berlumba untuk mendapatkan semua itu.
 Kita memperebutkan kedudukan, harta dan sebagainya karena dari kesemuanya itulah kita
 mendapat penghargaan dan penghor-matan. Kita lupa bahwa penghargaan dan penghormatan
 semua itu adalah palsu, kita lupa bahwa yang dihormati adalah pakaian kita, harta kita,
 kedudukan kita, nama kita! Kita semua makin hari makin lelap dalam alam kemunafikan.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 89 Kita seyogianya bertanya kepada diri sendiri. Apakah kita termasuk ke dalam kelompok
 munafik ini" Bilakah kita akan sadar dari kelelapan kemunafikan ini, menjadi penganut
 peradaban yang tidak beradab, kemoralan yang tidak bermoral" Pertanyaan selanjutnya, kalau
 sudah menyadari keadaan yang buruk ini, berani-kah kita untuk keluar dari dunia
 kemu-nafikan ini dan hidup baru sebagai manu-sia seutuhnya" Manusia yang patut di-sebut
 manusia, makhluk kekasih Tuhan, yang berakal pikir, berakhlak, bersusila, berbudi dan
 berbakti kepada Sang Maha Pencipta"
 Kesadaran seperti itu hanya dapat timbul apabila kita mau dan berani ma-was diri, bercermin
 bukan sekedar me-matut-matut diri dan memperelok muka, melainkan bercermin menjenguk
 dan mengamati keadaan batin kita, pikiran kita, isi hati kita. Berani melihat keko-toran yang
 selama ini melekat dalam batin kita. Kalau sudah begini, baru da-pat diharapkan timbulnya
 kesadaran dan kesadaran ini mendatangkan perasaan rendah diri di hadapan Tuhan! Pikiran
 tidak mungkin membersihkan kekotoran ini, karena pikiran sudah bergelimang nafsu,
 sehingga apa pun yang dilakukan-nya tentu mengandung pamrih kepenting-an diri, demi
 keenakan dan kesenangan diri, lahir maupun batin. Namun, keren-dahan diri membuat kita
 pasrah, mem-buat kita menyerah total kepada Tuhan Yang Maha Kasih, menyerah dengan
 pe-nuh keikhlasan dan ketawakalan. Dan Tuhan Maha Kasih! Pasti Tuhan akan membimbing
 orang yang menyerah sebu-latnya menyerah dengan kerendahan diri sehingga di dalam
 penyerahan ini, pikiran tidak ikut campur dan karenanya, penye-rahan itu mutlak dan tanpa
 pamrih, pe-nuh kerendahan hati, penuh kerinduan dan cinta kasih kepada Tuhan yang telah
 mengasihi kita tanpa batas! Dari sini akan timbul gerak hidup yang wajar, manusiawi, tidak
 palsu dan tidak munafik lagi.
 Pertempuran hebat terjadi setelah Gangga Dewi memutar sabuk sutera pu-tih di tangannya.
 Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu mengeroyoknya dan setelah lewat beberapa jurus saja,
 tahulah Gang-ga Dewi bahwa kedua orang lawannya ini lihai sekali. Menghadapi seorang dari
 mereka saja belum tentu dia akan me-nang, apalagi dikeroyok dua. Namun, bu-kan hal ini
 yang merisaukan hatinya, melainkan keselamatan Yo Han. Anak itu kini menghadapi Ang I
 Moli, wanita iblis yang amat berbahaya dan keji itu.
 Dan memang Yo Han terancam baha-ya ketika Ang I Moli menghampirinya dengan mata
 bersinar-sinar dan mulut menyeringai. Wajahnya yang cantik nam-pak menyeramkan dan
 membayangkan kekejaman yang mengerikan. Yo Han juga maklum bahwa dia terancam
 bahaya namun dia sama sekali tidak merasa takut. Anak berusia dua belas tahun itu sejak
 mulai ada pengertian, sudah me-nyerah kepada Tuhan sehingga tidak me-ngenal arti takut
 lagi. Dia yakin benar bahwa nyawanya berada di tangan Tuhan dan bahwa kalau Tuhan tidak
 menghen-daki, jangankan baru seorang manusia sesat macam Ang I Moli, biar semua iblis
 dan setan menyerangnya, dia tidak akan mati! Keyakinan yang sudah men-darah-daging ini
 membuat dia tabah dan kini dia berdiri menghadapi Ang I Moli yang menghampirinya dengan
 sinar mata tenang dan jernih.
 "Hi-hi-hik, Yo Han, engkau hendak lari ke mana sekarang" Tidak ada lagi yang akan mampu
 meloloskan engkau dari tanganku, heh-heh!" Ang I Moli menghampiri semakin dekat dan
 mulutnya berliur karena ia membayangkan betapa seluruh darah dalam tubuh anak ajaib itu
 akan dihisapnya dan ia akan segera dapat menguasai ilmu dahsyat yang di-idamkannya itu.
 "Ang I Moli, aku tidak akan lari ke mana pun. Kalau Tuhan menghendaki, ma-ka Dia yang
 akan meloloskan aku dari tanganmu!"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 90 Mendengar jawaban itu, Ang I Moli tertawa terkekeh-kekeh. "Ha-ha-ha-heh-heh!
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tuhan" Mana Tuhanmu itu" Suruh dia keluar melawanku, heh-heh!" ia lalu menerjang ke
 depan, jari ta-ngannya menotok ke arah pundak Yo Han karena ia bermaksud menangkap
 anak itu dan perlahan-lahan menikmati kor-bannya. Yo Han tidak pernah berlatih silat.
 Biarpun secara teori dia tahu bah-wa wanita itu menyerangnya dengan to-tokan, dan dia tahu
 pula betapa sesung-guhnya amat mudah untuk mematahkan serangan ini, namun karena
 tubuhnya tak pernah dilatih, maka dia tidak dapat melakukan hal itu dan dia pun diam aaja,
 hanya pasrah kepada Tuhan.
 "Tukk!!" jari tangan Ang I Moli me-notok jalan darah di pundak dan tubuh Yo Han tiba-tiba
 menjadi lemas dan dia terkulai roboh. Ang I Moli terkekeh, akan tetapi ketika ia menengok
 dan me-lihat betapa dua orang suhengnya itu, walaupun sudah dapat mendesak Gangga Dewi
 namun belum berhasil merobohkan dan membunuhnya, lalu ia meloncat de-ngan pedang di
 tangan untuk membantu dua orang suhengnya.
 Tentu saja Gangga Dewi menjadi se-makin repot melayani pengeroyokan tiga orang lawan
 yang lihai itu. Tadi pun dikeroyok oleh dua orang tosu, ia sudah terdesak dan hanya mampu
 melindungi diri saja tanpa mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Namun, dengan
 memainkan gabungan dari ilmu Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) dan Pat-sian Sin-
 kun (Silat Sakti Delapan De-wa) melalui sabuk suteranya, sambil me-ngerahkan tenaga Inti
 Bumi yang kese-muanya itu dahulu ia dapatkan dari gemlengan ayahnya, ia masih dapat
 membela diri dan sejauh itu belum ada ujung sen-jata para pengeroyok mengenai dirinya.
 Namun, kalau ia harus terus memperta-hankan diri tan
 
^