Kisah Si Bangau Merah 4

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


pa balas menyerang, akhirnya ia tentu
 akan kehabisan tenaga dan akan roboh juga.
 "Heiii, kalian ini orang-orang yang berwatak pengecut sekali! Mengeroyok seorang wanita
 bertiga. Percuma saja kalian mempelajari ilmu silat kalau ha-nya untuk mengeroyok secara
 curang dan pengecut."
 Yang paling kaget mendengar bentak-an itu adalah Ang I Moli. Ia cepat mem-balik dan
 terbelalak melihat Yo Han te-lah berdiri di situ sambil menuding-nu-dingkan telunjuk dan
 mencela ia dan kedua orang suhengnya, seperti seorang kakek yang mencela dan menasihati
 cu-cu-cucunya yang nakal dan bandel! Beta-pa ia tidak akan kaget" Tadi ia telah menotok
 anak itu, totokan yang ia rasa-kan tepat sekali sehingga jangankan se-orang anak kecil yang
 tidak tahu silat, biar lawan yang tangguh sekalipun kalau sudah tertotok seperti itu, pasti akan
 terkulai lemas dan sedikitnya seperempat jam lamanya takkan dapat berkutik. Akan tetapi
 anak ini tahu-tahu sudah bangkit kembali dan menuding-nudingnya!
 "Eh, anak setan, akan kubunuh kau sekarang juga!" Kemarahan membuat wa-nita iblis itu
 lupa akan keinginannya memanfaatkan darah anak itu dan saking kaget dan marahnya, kini ia
 menyerang dengan bacokan pedangnya ke arah leher Yo Han.
 "Singg....!" Serangan itu luput! Ang I Moli terbelalak lagi saking herannya.
 Anak itu seperti didorong angin ke sam-ping dan jatuh bergulingan, dan justeru hal ini
 membuat sambaran pedangnya tidak mengenai sasaran. Ia membalik dan mengejar, akan
 tetapi tiba-tiba ia ter-huyung dan hampir terjungkal karena saking tergesa-gesa dan marah
 tadi, ia kurang waspada sehingga kakinya teran-tuk batu.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 91 Ketika ia bangkit kembali, ia melihat Yo Han sudah duduk dengan sikap tenang sekali di atas
 tanah. Anak itu memang sudah tahu bahwa melawan tiada gunanya dan lari pun akan
 percuma. Maka dia lalu duduk dan pasrah, menyerahkan na-sib dirinya kepada Tuhan.
 "Anak setan....!" Kini Ang I Moli teringat lagi bahwa ia membutuh-kan Yo Han, maka ia pun
 meloncat dekat dan mengayun tangan kirinya, kini me-nampar ke arah tengkuk.
 "Plakkk!" Tubuh anak itu terguling dan ia roboh pingsan. Setelah memeriksa dan merasa
 yakin bahwa anak itu sudah pingsan dan tidak akan mudah siuman dalam waktu dekat, ia lalu
 meloncat la-gi dan kembali mengeroyok Gangga Dewi yang sudah kewalahan. Namun pada
 saat itu, nampak bayangan orang berkelebat.
 "Dunia takkan pernah aman selama ada orang-orang sesat berkeliaran mengumbar nafsunya!"
 bayangan itu berkata dan begitu kedua tangannya bergerak, nampak sepasang pedang yang
 bersinar putih mengkilap berada di kedua tangan-nya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu
 menyerbu ke dalam perkelahian itu dan membantu Gangga Dewi! Semua orang memandang
 dan ternyata bayangan itu adalah seorang laki-laki yang usianya sekitar lima puluh satu tahun
 dengan wajah yang berbentuk bundar, kulitnya agak gelap, kumis dan jenggotnya ter-pelihara
 rapi dan wajah itu tampan dan mengandung kegagahan, gerak geriknya lembut dan sinar
 matanya tajam. Baik Gangga Dewi maupun tiga orang pengeroyoknya tidak mengenal orang ini, akan tetapi
 karena jelas bahwa dia membantu Gangga Dewi, maka Ang I Moli sudah menyambutnya
 dengan sam-bitan jarum-jarum beracun merah.
 "Hemmm, memang keji!" orang laki-laki itu berseru dan sekali tangan kanan bergerak,
 pedangnya diputar dan dibantu kebutan lengan baju, semua jarum ter-tangkis runtuh.
 Ang I Moli sudah menyusulkan se-rangan dengan pedangnya. Orang itu me-nangkis dan
 balas menyerang. Mereka bertanding dengan pedang, dan ternyata ilmu pedang orang itu lihai
 bukan main, membuat Ang I Moli terkejut dan ter-paksa ia harus mengerahkan seluruh
 te-naganya dan mengeluarkan seluruh ilmu pedang simpanannya untuk melindungi dirinya
 dari sambaran sepasang pedang lawan yang lihai itu.
 Tentu saja orang itu lihai karena dia adalah Suma Ciang Bun! Pria yang kini hidup
 mengasingkan diri di Pegunungan Tapa-san ini adalah seorang cucu Pende-kar Istana Pulau
 Es. Biarpun bakatnya tidak sangat menonjol dibandingkan ke-luarga Istana Pulau Es yang
 lain, namun karena dia sudah mempelajari ilmu-ilmu dari ayah dan ibunya, maka dia juga
 menjadi seorang pendekar yang amat lihai. Banyak ilmu hebat yang dikuasai-nya, dan kini,
 dengan sepasang pedangnya dia memainkan ilmu pedang pasangan Siang-Mo Kiam-sut (Ilmu
 Pedang Sepa-sang Iblis) dan dalam waktu belasan ju-rus saja Ang I Moli yang lihai telah
 ter-desak hebat.
 Akan tetapi, sambil melawan wanita berpakaian merah itu, Suma Ciang Bun melirik ke arah
 wanita gagah yang dike-royok oleh dua orang berpakaian tosu. Dia melihat betapa wanita itu
 terdesak hebat dan berada dalam bahaya karena selain nampaknya sudah lelah sekali, juga
 paha kirinya sudah terluka dan ber-darah. Maka, setelah mendesak Ang I Moli, tiba-tiba dia
 meloncat ke dalam arena pertempuran membantu Gangga Dewi yang dikeroyok Kwan Thian-
 cu dan Kui Thian-cu. Begitu Suma Ciang Bun menerjang dan membantu Gangga Dewi, dua
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 92 orang tokoh Pek-lian-kauw itu terkejut karena serangan Suma Ciang Bun amat kuatnya,
 membuat mereka berdua ter-paksa meloncat ke belakang dan meng-hadapinya, meninggalkan
 Gangga Dewi yang sudah payah dan kelelahan. Karena kini mendapat bantuan yang kuat,
 timbul kembali semangat Gangga Dewi.
 "Terima kasih, Sobat. Mari kita bas-mi iblis-iblis Pek-lian-kauw yang jahat ini!" serunya dan
 biarpun paha kirinya sudah terluka, ia memutar pedangnya dan bersama Suma Ciang Bun
 mendesak tiga orang lawan itu.
 Tiba-tiba dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu membaca mantram yang aneh, kemudian Kwan
 Thian-cu berseru, "Kalian berdua orang-orang bodoh! Lihat baik-baik siapa kami! Kami lebih
 berkuasa, hayo kalian cepat berlutut memberi hor-mat kepada kami!" Dalam suara ini
 ter-kandung kekuatan sihir. Agaknya mereka berusaha untuk mencoba sihir mereka kembali
 untuk menundukkan dua orang lawan tangguh itu. Gangga Dewi terhu-yung, akan tetapi
 Suma Ciang Bun ada-lah cucu Pendekar Sakti Pulau Es. Dia sudah memiliki kekebalan
 terhadap sihir. Kakeknya, Pendekar Super Sakti, adalah seorang yang memiliki kepandaian
 sihir amat kuatnya, dan biarpun ilmu itu tidak dipelajari oleh Suma Ciang Bun, akan tetapi dia
 memiliki kekebalan terhadap segala macam ilmu sihir. Maka, melihat sikap lawan, Suma
 Ciang Bun tertawa halus.
 "Hemm, kalian tidak perlu menjual segala macam sulap dan sihir di depanku. Dua orang tosu
 itu terkejut dan pada saat itu, Gangga Dewi yang sudah tak terpengaruh sihir, menerjang
 dengan he-bat, disusul Suma Ciang Bun yang meng-gerakkan sepasang pedangnya. Tiga
 orang itu terpaksa memutar senjata dambil mundur. Akan tetapi, Ang I Moli yang licik sudah
 meloncat ke dekat tubuh Yo Han yang masih pingsan. Ia menyambar tubuh itu dan dipanggul
 dengan tangan kiri, lalu ia berteriak nyaring,
 "Hentikan perlawanan kalian atau aku akan membunuh anak ini!"
 Mendengar ucapan itu, Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi terkejut, menahan pedang mereka
 dan memandang ke arah Ang I Moli. Mereka melihat betapa wa-nita iblis itu telah
 memanggul tubuh Yo Han dan mengancamkan pedangnya ke dekat leher anak itu. Melihat
 ini, Gangga Dewi menarik napas panjang. Ia tahu bahwa kalau ia dan penolongnya ini
 ber-gerak, tentu wanita iblis itu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh Yo Han.
 "Sudahlah, biarkan mereka pergi," ka-tanya lirih, namun tegas dan penuh wibawa. Suma
 Ciang Bun mengerutkan alisnya. Ketika dia datang tadi, dia melihat anak itu ditampar pingsan
 oleh wanita berpakaian merah dan dia dapat menduga bahwa wanita yang gagah perkasa itu
 tentu melindungi Si Anak dan ia dikero-yok. Sekarang, setelah anak itu ditawan, dan diancam,
 wanita itu merasa tidak berdaya dan terpaksa menyerah.
 "Mari kita pergi!". Ang I Moli berkata kepada dua orang suhengnya dan ia pun meloncat jauh
 membawa tubuh Yo Han yang masih pingsan. Dua orang takoh Pek-lian-kauw juga cepat-
 cepat mengejar karena mereka juga merasa jerih setelah Suma Ciang Bun muncul membantu
 Gangga Dewi. Melihat betapa tiga orang itu melari-kan anak yang dipondong Si Iblis Betina berpakaian
 merah, Suma Ciang Bun me-rasa gelisah. "Tapi.... mereka membawa pergi anak itu....!"
 katanya khawatir dan melangkah ke depan dengan maksud un-tuk melakukan pengejaran.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 93 "Jangan dikejar!" kata Gangga Dewi mantap. "Kalau dikejar membahayakan keselamatan
 nyawanya. Dan lagi, aku percaya Yo Han mampu menjaga dirinya."
 "Yo Han" Yo.... Han...." Anak itu....?"
 Gangga Dewi memandang tajam. "Engkau mengenal Yo Han?"
 "Kalau benar Yo Han yang kaumak-sudkan itu, tentu saja aku mengenalnya. Dia pernah
 tinggal bersamaku di sini...."
 "Ah, kalau begitu engkau tentu Suma Ciang Bun!" kata Gangga Dewi dengan girang.
 Suma Ciang Bun menatap wajah wa-nita yang gagah perkasa itu. "Benar dan.... kalau boleh
 aku mengetahui.... si-apakah.... eh, Nyonya ini....?"
 Gangga Dewi memandang dengan wa-jah berubah kemerahan, matanya bersi-nar-sinar dan
 hatinya dicekam keharuan yang hampir membuat ia menangis. Ingin memang ia menangis!
 Suma Ciang Bun memang nampak jauh lebih tua daripada tiga puluhan tahun yang lalu. Akan
 teta-pi masih tampan, masih lembut dan canggung pemalu!
 "Ciang Bun.... kau.... benarkah engkau sudah lupa kepadaku?" tanyanya, dan wanita yang
 berhati keras ini sudah mampu mengendalikan perasaannya. Biar-pun hatinya menjerit,
 namun ia dengan gagah dapat menahan diri. Sungguh hal ini menunjukkan betapa Gangga
 Dewi ki-ni telah menjadi seorang wanita yang lebih kuat hatinya lagi dibandingkan da-hulu.
 Di waktu mudanya, sebagai seorang gadis yang menuruni jiwa petualang ayah ibunya, ia
 pernah merantau ke timur dan dalam perantauannya itulah ia pernah mengalami peristiwa
 bersama Suma Ciang Bun, peristiwa yang membuat ia tidak dapat melupakan pria ini selama
 hidupnya(baca KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES) . Dalam perantauannya itu, ketika
 itu ia baru berusia delapan belas tahun, ia menyamar sebagai seorang pria dan mengganti
 namanya menjadi Ganggananda. Dan ia bertemu dengan Ciang Bun yang menyangka ia
 seorang pria. Dan, diam-diam ia jatuh cinta kepada Suma Ciang Bun yang gagah perkasa.
 Mereka bersa-habat. Kemudian, ia pun mendapat kenyataan bahwa Ciang Bun mencintanya,
 mencintanya bukan sebagai Gangga Dewi, melainkan sebagai Ganggananda! Ternya-ta cucu
 Pendekar Sakti Pulau Es itu memiliki suatu kelainan, yaitu tidak suka berdekatan dengan
 wanita, melainkan suka kepada sesama pria! Ciang Bun jatuh cinta kepadanya secara aneh,
 yaitu karena ia disangka pria. Ia tahu akan hal itu dari Suma Hui, kakak dari Suma Ciang Bun.
 Ketika ia menyatakan sendiri, membuka rahasia dirinya kepada Suma Ciang Bun dan
 mendengar pengakuan Ciang Bun bahwa pemuda itu mencinta dirinya sebagai pria, bukan
 sebagai wani-ta, ia lalu melarikan diri. Bagaimana mungkin ia hidup bersama seorang
 pemu-da yang mencintanya sebagai pria, beta-pa besar pun ia mencinta pemuda itu" Ia lari
 meninggalkan Ciang Bun, kembali ke Bhutan dengan hati hancur dan luka karena cinta yang
 gagal. Karena itulah, ia menurut saja ketika ayah dan ibunya menjodohkan ia dengan seorang
 panglima muda di Bhutan, panglima yang masih murid ayahnya sendiri dan seorang pria
 Bhutan yang gagah perkasa. Ia berusaha untuk melupakan Ciang Bun. Sampai sua-minya
 tewas di dalam perang dan ia sudah mempunyai dua orang anak yang sudah dinikahkannya
 pula, kemudian sam-pai ia pergi lagi ke timur untuk mencari ayahnya, ia sudah hampir tidak
 pernah ingat lagi kepada Suma Ciang Bun. Siapa kira, ia bertemu Yo Han dan anak itulah
 yang mengajaknya menemui Suma Ciang Bun untuk bertanya di mana ia dapat menemukan
 ayahnya. Ketika Yo Han menyebut nama Suma Ciang Bun, dapat dibayangkan betapa rasa
 kagetnya. Dan kini, ia telah berhadapan dengan bekas kekasih hatinya itu.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 94 Suma Cian Bun menatap wajah Gang-ga Dewi dengan sinar mata heran dan penuh
 pertanyaan. Dia tidak dapat mengingat lagi wajah wanita perkasa yang berdiri di depannya
 ini. Seorang wanita yang cantik dan gagah. Rambutnya sudah beruban, namun wajahnya
 masih segar dan nampak muda. Pakaiannya, dari su-tera kuning, juga rambut beruban yang
 mengkilap dan tebal panjang itu ditiup kerudung sutera kuning. Namun hiasan rambutnya
 yang berbentuk burung merak masih dapat nampak karena kerudung itu tipis. Wajah yang
 cantik itu membayang-kan ketabahan dan semangat yang amat kuat. Namun, ia tetap tidak
 dapat meng-ingat wajah ini, apalagi karena jarang ia bergaul dengan wanita. Dia merasa heran
 sekali mendengar betapa wanita ini menyebut namanya sedemikian akrab-nya. Hanya di
 dalam hatinya ada keya-kinan bahwa dia seperti pernah mengenal sinar mata itu, sepasang
 mata yang le-bar dan jernih sekali, juga tajam berwi-bawa.
 "Siapa.... siapakah Nyonya" Aku.... ra-sanya pernah bertemu, tapi aku lupa lagi di mana dan
 kapan...."
 Gangga Dewi tidak merasa menyesal atau kecewa. Ada baiknya kalau Suma Ciang Bun
 melupakannya. Dahulu ia selalu teringat kepada Suma Ciang Bun dengan hati penuh iba dan
 ia selalu membayangkan betapa hancur hati pemu-da itu ditinggalkannya, betapa pemuda itu
 tentu merana dan hidup sengsara. Kalau Suma Ciang Bun dapat melupakan-nya, maka hal itu
 sungguh baik sekali.
 Akan tetapi, ia melihat betapa sinar mata pria ini jelas menunjukkan betapa dia telah
 menderita banyak sekali, mata-nya begitu redup dan ada kesedihan mendalam yang tak
 pernah hapus dari batinnya.
 "Ciang Bun, aku dari Bhutan!" ia membantu ingatan bekas kekasih hatinya itu.
 Tiba-tiba mata itu terbelalak, sinar-nya penuh pengenalan, wajah itu men-dadak menjadi
 pucat, bibir itu gemetar dan beberapa kali bergerak tanpa suara, kedua tangan dikembangkan
 dan agaknya Ciang Bun harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk akhirnya dapat
 mengeluarkan suara. Bagaikan air bah yang membanjir karena jebol tanggulnya, dari dalam
 dadanya menghambur suara yang tidak jelas.
 "Gangga.... kau Gangga.... Gangga De-wi....!" Dan dia pun menubruk wanita itu.
 Gangga Dewi membiarkan dirinya di-rangkul dan ia pun balas memeluk.
 "Ciang Bun....!" Ia harus mengerahkan tenaga sin-kangnya untuk melindungi tubuhnya,
 ketika merasa betapa dekapan itu amat kuatnya. Akan remuklah tulang-tulang iganya kalau ia
 tidak mengerahkan tenaga, dan dengan hati penuh iba ia pun berbisik, ".... aku Ganggananda,
 Ciang Bun,"
 "Gangga Dewi.... engkau Gangga De-wi....!" hanya itu yang dapat diucapkan Ciang Bun dan
 wanita itu merasa jantungnya seperti diremas-remas ketika ia menengadah dan melihat betapa
 air mata bercucuran dari kedua mata pria gagah perkasa itu. Suma Ciang Bun menangis!
 Menangis seperti seorang wanita!
 Gangga Dewi merasa semakin terharu, Ciang Bun mencium dahi dan rambutnya dan ia dapat
 merasakan detak jantung yang penuh kasih sayang dalam dada pria itu.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 95 "Ya Tuhan, terima kasih, terima kasih bahwa engkau telah mempertemukan aku kembali
 dengan Gangga-ku.... Ahhh, Gangga Dewi, betapa aku rindu kepada-mu...."
 "Aku pun rindu kepadamu, Ciang Bun. Akan tetapi kepada siapakah engkau rin-du" Gangga
 Dewi ataukah Gangganan-da....?"
 "Sama saja, Gangga, sama saja. Aku mencintamu, mencinta pribadimu, tidak peduli engkau
 pria atau wanita...." Kem-bali Suma Ciang Bun mencium dahi Gangga Dewi dengan penuh
 cinta kasih dan Gangga Dewi merasa betapa air ma-ta membasahi dahinya dan menuruni
 pi-pinya. Jawaban itu melegakan hatinya dan ia pun balas merangkul. Betapa keadaan seperti
 ini seringkali terjadi dalam mimpinya ketika dulu, betapa ia merindukan rangkulan pria ini.
 Akan tetapi, tiba-tiba Ciang Bun me-ngeluarkan keluhan perlahan dan dia pun melepaskan
 rangkulan, lalu melangkah ke belakang dan ketika Gangga Dewi memandang, ia melihat
 wajah itu basah air mata yang masih menetes turun, dan wajah itu pucat kembali, mulutnya
 bergerak-gerak gugup.
 "Aih, Gangga Dewi.... kaumaafkan aku.... ya Tuhan! Apa yang telah kulakukan" Gangga,
 maafkan aku.... maafkan aku...." Dan kini Ciang Bun menangis sambil menutupi muka
 dengan kedua tangannya.
 Gangga Dewi memandang dan wajah-nya sendiri berubah pucat. Kiranya Ciang Bun masih
 seperti dulu! Masih menangis cengeng seperti seorang wanita lemah, dan agaknya merasa
 menyesal atas si-kapnya yang penuh kehangatan dan ke-mesraan tadi karena ia muncul
 sebagai wanita. Agaknya Ciang Bun teringat lagi bahwa ia seorang wanita dan menyesali
 perbuatannya tadi. Perasaan kecewa yang membuat hatinya nyeri terasa oleh Gangga Dewi.
 "Ciang Bun," katanya dan suaranya kini kering dan tegas. "Katakan mengapa engkau minta
 maaf" Mengapa" Katakan"
 Ciang Bun menurunkan kedua tangan-nya dan memandang dengan mata merah. Dia pun
 sudah dapat menguasai hatinya, tidak menangis lagi walau kedua matanya masih basah.
 "Gangga Dewi, maafkanlah kelemah-anku tadi. Sesungguhnya aku telah lupa diri tadi, saking
 haru dan girangku ber-temu denganmu. Aku telah melakukan hal yang tidak pantas, tidak
 sopan. Aku lupa bahwa engkau bukanlah Gangga De-wi yang dulu lagi, engkau seorang yang
 telah bersuami, berumah tangga. Aku telah mendengar bahwa engkau kini men-jadi seorang
 isteri yang berbahagia di Bhutan, dengan anak-anakmu. Ah, aku ikut merasa girang bahwa
 engkau hidup berbahagia, Gangga."
 Gangga Dewi tersenyum. Hatinya se-nang karena ternyata Ciang Bun tidak minta maaf
 sebagai tanda bahwa penya-kitnya yang dulu masih ada, melainkan minta maaf karena
 teringat bahwa ia seorang yang telah bersuami. Hal ini wajar, bahkan baik sekali, tanda bahwa
 pria ini masih dapat menguasai gelora nafsunya.
 "Dan engkau sendiri bagaimana, Ciang Bun?" tanyanya, sikapnya tenang, juga Ciang Bun
 agaknya sudah mampu mengu-asai hatinya dan kini mereka berdiri saling pandang dengan
 sinar mata penuh selidik, seolah ingin menjenguk isi hati masing-masing. Mendengar
 pertanyaan itu, Ciang Bun menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 96 "Aku masih hidup sendirian, Gangga. Semenjak engkau pergi, aku telah kehi-langan segala-
 galanya dan aku hidup mengasingkan diri di sini. Gangga Dewi, bagaimana dengan suami dan
 anak-anak-mu" Kenapa engkau melakukan perjalanan seorang diri dan bersama Yo Han?"
 "Ciang Bun, aku meninggalkan Bhutan. Aku sekarang juga hidup sendirian seper-ti engkau.
 Suamiku telah lama meninggal dalam perang. Kedua orang anakku telah berumah tangga dan
 hidup berbahagia dengan keluarga masing-masing. Aku ke-sepian. Ibu telah meninggal dan
 ayahku telah lama meninggalkan Bhutan. Aku lalu pergi untuk mencari ayahku, dan da-lam
 perjalanan aku bertemu Yo Han. Dialah yang mengajak aku ke sini karena dia berkata bahwa
 engkau tentu tahu di mana adanya ayahku"
 "Ahhh....! Yo Han telah dilarikan orang jahat. Kita harus cepat mengejar-nya Gangga. Kita
 harus menyelamatkannya dari tangan mereka. Nanti saja kita bicara, yang penting sekarang
 kita harus menolong Yo Han!" Suma Ciang Bun yang teringat kepada Yo Han meloncat jauh
 ke depan untuk melakukan pengejar-an.
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tahan dulu....!" Suma Ciang Bun me-lihat bayangan kuning berkelebat men-dahuluinya dan
 Gangga Dewi sudah ber-diri di depannya menghalanginya.
 Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. "Yo Han tarjatuh di tangan orang-orang jahat,
 nyawanya terancam bahaya dan aku hendak mengejar dan menolongnya. Kenapa engkau
 mencegahku, Gangga De-wi?"
 "Kenapa engkau hendak menolong Yo Han?"
 Tentu saja! Aku sayang padanya. Dia pernah tinggal di sini, dititipkan oleh gurunya, Tan Sin
 Hong. Biar anak lain yang tidak kukenal sekalipun, sudah se-patutnya kubebaskan dari tangan
 orang-orang jahat itu. Apalagi Yo Han!" Suma Ciang Bun hendak meloncat lagi, akan tetapi
 Gangga Dewi menghadangnya.
 "Nanti dulu, Suma Ciang Bun. Te-nanglah dan mari kita bicara dengan kepala dingin.
 Kaukira aku tidak sayang kepada Yo Han" Biarpun belum lama kami saling berkenalan,
 namun anak itu sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri, bahkan aku suka dan ingin
 mengambil-nya sebagai murid. Justeru karena kita sayang kepadanya, kita tidak boleh
 me-lakukan pengejaran secara langsung, ka-rena hal ini bahkan akan membahayakan dirinya.
 Kalau Ang I Moli yang jahat itu melihat kita melakukan pengejaran, ia tidak akan ragu untuk
 segera membunuh Yo Han! Kautahu, Ciang Bun, perkenal-anku dengan Yo Han justeru
 ketika aku merampasnya dari cangkeraman Ang I Moli. Tak kusangka hari ini ia merampas
 anak itu kembali dari tanganku, dibantu dua orang tosu Pek-lian-kauw itu. Jadi, kalau hendak
 menyelamatkan Yo Han, kita harus menggunakan siasat, tidak boleh sembarangan saja!"
 Suma Ciang Bun mengangguk-angguk dan meraba jenggotnya yang terpelihara rapi. Dia
 berada dalam pemainan ge-lombang perasaan. Ketika tadi mende-ngar bahwa Gangga Dewi
 sekarang hidup seorang diri, sudah menjadi janda, dia merasakan suatu kegembiraan luar
 biasa di hatinya, kegembiraan yang muncul dengan adanya suatu harapan baru. Akan tetapi
 kegembiraan ini terganggu oleh kekhawatiran tentang diri Yo Han. Kini menghadapi sikap
 Gangga Dewi yang demikian tegas dan tenang, dia merasa tak berdaya, seperti seorang
 bawahan menghadapi atasannya!
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 97 "Kurasa engkau benar, Gangga Dewi. Baiklah, aku menurut saja bagaimana baiknya untuk
 dapat menolong Yo Han."
 "Kita membayangi mereka dari jarak jauh dan menjaga agar mereka, jangan sampai tahu
 bahwa kita membayangi
 mereka. Kita mendekati mereka dan mencari kesempatan baik untuk turun tangan, suatu
 penyerbuan mendadak sehingga mereke tidak mempunyai kesem-patan untuk membunuh Yo
 Han." "Akan tetapi, kalau kita berlambat-lambat, aku khawatir mereka akan mengganggu dan
 membunuh Yo Han dan kita akan terlambat."
 Gangga Dewi menggeleng kepalanya. "Engkau, tidak mengenal betul siapa Yo Han. Aku
 sendiri pun masih terheran-heran dan takjub melihat keadaan anak itu. Dia mampu menjaga
 dirinya sendiri. Dia memiliki kekuatan yang ajaib. Mari kita mulai membayangi mereka dan
 akan kuceritakan semua tentang keanehan Yo Han dalam perjalanan."
 "Karena pengejaran ini mungkin me-makan waktu lama, biarlah aku akan membawa bekal
 pakaian dulu, Gangga. Tempat tinggalku tidak jauh dari sini. Mari!"
 Keduanya lalu berlari mendaki lereng dan tak lama kemudian mereka tiba di sebuah pondok
 sederhana yang kokoh dan yang terletak di dataran dekat puncak, sebuah tempat yang amat
 indah peman-dangan alamnya, dan sejuk hawanya.
 "Alangkah indahnya tempat ini...." Gangga Dewi memuji dan dengan wajah berseri ia
 memandang ke empat penjuru dari tempat ketinggian itu den menghisap hawa udara yang
 jernih, sejuk dan harum karena di sekitar tempat itu terdapat banyak sekali pohon dan
 tumbuh-tumbuh-an yang sedang berkembang.
 Suma Ciang Bun hanya tersenyum gi-rang dan mencatat ucapan Gangga Dewi itu di dalam
 hatinya. Dia membawa pa-kaian dalam buntalannya dan tak lama kemudian, mereka berdua
 sudah menuruni puncak dengan ilmu berlari cepat mereka. Biarpun tidak mengeluarkan suara,
 keduanya merasa betapa ada kebahagiaan besar menyelubungi hati mere-ka ketika mereka
 melakukan perjalanan bersama seperti itu. Tanah dalam hati mereka yang tadinya hampir
 mengering itu seolah tersiram embun pagi yang sejuk, menerima siraman air yang mem-buat
 tanah itu hidup kembali dan bunga-bunga cinta yang tadinya seperti layu kini mekar kembali.
 Mereka melakukan pengejaran dan mencari jejak Ang I Moli yang melarikan Yo Han dan di
 sepanjang perjalanan ini, mereka saling mencerita-kan pengalaman mereka semenjak mereka
 saling berpisah kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu!
 Setelah mendengarkan Ciang Bun menceritakan semua pengalamannya, Gangga Dewi
 merasa terharu sekali. Kini ia merasa yakin bahwa Ciang Bun me-mang mencinta dirinya,
 bukan mencinta-nya sebagai seorang pemuda yang dulu memakai nama samaran
 Ganggananda, melainkan mencintainya dengan tulus walaupun sudah tahu bahwa ia seorang
 wanita, bukan pria seperti yang disang-kanya semula. Ciang Bun rela hidup me-nyendiri,
 tidak lagi mau mencari pasang-an, baik pria maupun wanita. Ia merasa terharu, akan tetapi
 tidak memperlihat-kannya.
 "Gangga, sekarang giliranmu untuk bercerita. Aku ingin sekali mendengar tentang semua
 pengalamanmu sejak kita saling berpisah sampai sekarang."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 98 Mereka bercakap-cakap di dalam se-buah guha di mana mereka terpaksa me-lewatkan
 malam. Jejak Ang I Moli yang mereka dapatkan melewati bukit itu dan karena malam itu
 gelap, mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan dan terpak-sa melewatkan malam di guha
 itu. Mere-ka membuat api unggun, dan setelah makan malam, makan roti dan daging kering
 yang dibawa oleh Ciang Bun dan minum air jernih yang dibawa Gangga sebagai bekal,
 mereka lalu bercakap-cakap.
 "Baiklah, Ciang Bun. Pengalamanku jauh lebih menyenangkan daripada penga-lamanmu,
 walaupun berakhir dengan pe-rasaan kesepian juga." Ia lalu mencerita-kan tentang
 pernikahannya dengan seo-rang panglima Bhutan, hidup berbahagia sampai mempunyai dua
 orang anak. Akan tetapi setelah kedua orang anaknya be-rumah tangga, dan suaminya tewas
 di dalam medan perang, ia merasa kesepian sekali.
 "Sudah bertahun-tahun ayahku me-ninggalkan Bhutan, sejak ibu meninggal. Aku ingin sekali
 bertemu dengan ayah, maka aku lalu meninggalkan Bhutan dan mencarinya di timur. Dalam
 perjalanan, aku bertemu dengan Yo Han yang sedang terancam keselamatannya oleh Ang I
 Moli itu. Aku menolong Yo Han dan ber-hasil mengusir Ang I Moli. Ketika men-dengar
 bahwa guru Yo Han yang pertama yang bernama Tan Sin Hong itu adalah murid ayahku,
 tentu saja aku menganggap Yo Han seperti warga sendiri. Dia yang mengajak aku ke sini
 untuk mene-muimu, karena menurut Yo Han, engkau tentu tahu di mana ayahku berada. Nah,
 sekarang katakan, di mana ayahku, Ciang Bun" Engkau tahu siapa ayahku, bukan?"
 Suma Ciang Bun menarik napas pan-jang dan wajahnya yang tampan itu nam-pak muram.
 "Tentu saja aku tahu siapa ayahmu, Gangga. Ayahmu dahulu terke-nal dengan Julukan Si Jari
 Maut, berna-ma Wan Tek Hoat dan sekarang menjadi hwesio dengan Julukan Tiong Khi
 Hwesio. Benarkah?"
 "Benar, dan ayahku selalu memuji-muji keluarga Pulau Es. Di mana dia sekarang?"
 "Ketahuilah, Gangga Dewi. Kurang lebih lima tahun yang lalu, ayahmu pergi ke Istana
 Gurun Pasir, dan tinggal di sa-na bersama Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan
 isterinya...."
 "Bibi Wan Ceng, saudara seayah dari ayahku?" Gangga Dewi memotong.
 "Benar, Gangga. Tiga orang tua itu tinggal di Istana Gurun Pasir, hidup dengan tenteram dan
 bahagia, bahkan me-reka bertiga mengambil Tan Sin Hong sebagai murid. Beruntung sekali
 pendekar itu, sekaligus menjadi murid mereka ber-tiga."
 "Ahhh! Kalau begitu, ayahku kini ma-sih di sana?"
 Ciang Bun menarik napas panjang dan sampai lama tidak dapat menjawab, ka-rena dia
 merasa ragu untuk menerangkan keadaan yang sesungguhnya.
 "Ciang Bun, jawablah! Aku bukan anak kecil lagi, aku siap untuk mende-ngar berita apa pun.
 Masih hidupkah ayahku" Dan apakah dia masih berada di Istana Gurun Pasir?"
 Setelah beberapa kali menarik napas panjang, Suma Ciang Bun berkata, "Ter-jadi hal yang
 menyedihkan dan juga menggemaskan, Gangga. Tiga orang tua itu sudah mengasingkan diri
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 99 di tempat sunyi itu dan tidak lagi mencampuri urusan dunia, hidup dengan tenang ten-teram.
 Akan tetapi, agaknya orang-orang yang dahulu pernah mereka basmi atau kalahkan, orang-
 orang sesat dari dunia hitam, agaknya masih menaruh dendam. Orang-orang Pat-kwa-kauw
 dan Pek-lian-kauw, dan beberapa orang datuk sesat lainnya, menyerbu Istana Gurun Pasir dan
 mengeroyok tiga orang tua itu. Akibat-nya, biarpun pihak pengeroyok itu banyak yang terluka
 dan tewas, namun tiga orang Locianpwe itu juga tewas.... ah, maafkan aku, Gangga Dewi,
 telah me-nyampaikan berita duka ini."
 Akan tetapi Gangga Dewi sama seka-li tidak nampak berduka atau terkejut, bahkan ia
 mengepal tinju dan bangkit berdiri. Wajahnya yang tertimpa api unggun itu kemerahan dan
 cantik sekali, gagah pula, dan matanya bersinar-sinar.
 "Bukan berita duka, Ciang Bun! Aku bangga mendengar ayah tewas seperti itu. Sungguh
 sesuai dengan wataknya yang gagah. Apalagi tewas dalam menen-tang para datuk sesat
 bersama Bibi Wan Ceng dan suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak, aku tidak berduka,
 apalagi ayah memang telah berusia lanjut. Aku bangga karena dia mati secara gagah perkasa!
 Akan tetapi aku penasaran kepada mereka yang melakukan penyerbuan itu. Sungguh
 pengecut dan curang! Me-ngeroyok tiga orang yang sudah tua dan yang sudah mengasingkan
 diri dari dunia persilatan!"
 "Begitulah watak orang-orang jahat dari dunia sesat, Gangga."
 "Siapakah mereka itu" Kalau engkau tahu, sebutkan namanya satu demi satu, aku akan pergi
 mencarinya dan membu-nuh mereka!" kata Gangga Dewi dengan marah.
 "Tenanglah, Gangga. Mereka itu sudah tidak ada lagi. Seorang demi seorang te-lah tewas
 oleh para pendekar muda, ter-masuk Tan Sin Hong."
 "O ya, mengapa Tan Sin Hong diam saja ketika tiga orang gurunya dikero-yok" Apakah dia
 tidak membantu, dan kalau demikian, mengapa, dia dapat lolos dan hidup" Apakah dia
 melarikan diri?"
 "Sama sekali tidak. Ketika peristiwa penyerbuan itu terjadi, baru saja Sin Hong menerima
 sebuah ilmu dari ketiga orang gurunya, bahkan menerima, pengo-peran tenaga gabungan
 mereka. Selama setahun Sin Hong harus memperdalam ilmu itu dan dia sama sekali tidak
 boleh mempergunakan sin-kang, karena kalau hal itu dilanggar, dia akan tewas oleh
 tenaganya sendiri! Itulah sebabnya dia tidak mampu membela ketika tiga orang gurunya
 dikeroyok. Dia ditawan, akan tetapi mampu meloloskan diri dan ber-sembunyi untuk
 menyelesaikan ilmu baru itu selama setahun. Setelah itu, baru dia pergi mencari mereka yang
 membunuh tiga orang gurunya, dan akhirnya setelah bekerja sama dengan para pendekar
 muda lainnya, dia berhasil menewaskan para penjahat itu. Dia bekerja sama dengan para
 pendekar muda keturunan Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir."
 Gangga Dewi mengangguk-angguk. "Ah puaslah rasa hatiku. Kematian ayah telah
 dibersihkan dari penasaran oleh para pendekar keluarga Istana Pulau Es dan Istana Gurun
 Pasir! Sungguh merupakan suatu kehormatan besar sekali dan aku ikut merasa bangga dan
 berbahagia. Ten-tu arwah dari ayah akan merasa bangga dan puas pula. Ingin aku bertemu
 dan mengucapkan terima kasihku kepada Tan Sin Hong. Dia masih terhitung sute-ku (adik
 seperguruanku) sendiri. Akan, tetapi, bagaimana aku dapat bertemu dengan dia tanpa
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 100 membawa Yo Han, muridnya yang terculik penjahat" Mari, Ciang Bun, kita percepat usaha
 kita mencari jejak iblis betina itu."
 Mereka lalu berlari cepat dan tiga hari kemudian baru mereka mendapatkan jejak Ang I Moli.
 Mereka mendapatkan keterangan dari penduduk sebuah dusun di kaki bukit. Tidak begitu
 sukar menca-ri jejak Ang I Moli dan dua orang tosu itu. Ang I Moli adalah seorang wanita
 cantik yang selalu menggunakan pakaian merah. Keadaannya menyolok sekali dan orang
 yang berjumpa dengannya tidak mudah melupakannya.
 Jejak itu menuju ke Propinsi Hu-nan di sebelah selatan. Mereka melakukan pengejaran terus
 dan hubungan mereka menjadi semakin akrab. Dua orang sete-ngah baya ini merasa seperti
 menjadi muda kembali dan mereka terkenang akan masa lalu ketika mereka masih sama muda
 dan juga melakukan perjalan-an bersama. Akan tetapi sekarang pera-saan mereka lebih
 mendalam dibanding-kan dahulu karena sekarang agaknya Suma Ciang Bun telah sembuh
 dari ke-lainan yang dideritanya. Atau mungkin juga dia tidak berubah, hanya karena sifat
 Gangga Dewi yang gagah perkasa, keras dan bahkan "jantan" itu yang membuat Ciang Bun
 semakin jatuh cinta. Andaikata sikap Gangga Dewi lunak dan penuh kewanitaan, belum tentu
 dia akan merasa demikian tertarik dan jatuh cinta untuk ke dua kalinya. Kalau dahulu dia
 mencinta Ganggananda, kini dia benar-benar mencinta Gangga Dewi sebagai wanita.
 Ketika Gangga Dewi menceritakan tentang keadaan Yo Han yang aneh, Su-ma Ciang Bun
 termenung. Mereka menghadapi api unggun di sebuah kuil kosong di luar sebuah dusun di
 mana mereka terpaksa melewatkan malam karena di dusun itu tidak ada rumah penginapan.
 "Sungguh luar biasa sekali anak itu," katanya termenung. "Dahulu ketika dia kepadaku oleh
 Sin Hong, aku hanya melihat dia sebagai seorang anak yang luar biasa cerdiknya, berwatak
 ha-lus dan berpemandangan terlalu dewasa dan luas bagi seorang anak berusia tujuh tahun.
 Memang sudah menonjol dan aku amat sayang kepadanya, akan tetapi be-lum
 memperlihatkan sesuatu yang aneh. Dia tidak pernah berlatih silat akan te-tapi luka beracun
 dan kekuatan sihir tidak mempengaruhinya" Hebat!"
 "Aku melihat sesuatu yang mujijat pada diri anak itu, Ciang Bun. Akan te-tapi dia tidak mau
 menceritakan riwa-yatnya. Sebetulnya, anak siapakah dia?"
 Suma Ciang Bun menghela gapas pan-jang dan sejenak menatap wajah wanita yang amat
 dicintanya itu. "Aihhh, dunia ini penuh dengan penderitaan. Bahkan orang yang baik hati
 nampaknya lebih banyak menderita ketimbang orang yang menyeleweng dari pada kebenaran.
 Mung-kin memang demikianlah keadaannya yang wajar. Orang jahat menjadi hamba nafsu,
 dan penghambaan nafsu ini nam-paknya mendatangkan kesenangan. Tentu saja kesenangan
 duniawi yang palsu. Ayah kandung Yo Han adalah seorang laki-laki bernama Yo Jin, seorang
 petani yang jujur dan tidak pandai silat. Akan tetapi juga seorang laki-laki sejati, seo-rang
 jantan yang tidak berkedip takut menghadapi ancaman maut, berani me-nentang kejahatan.
 Bahkan sikapnya yang jantan itulah yang menjatuhkan seorang tokoh seeat, seorang iblis
 betins cantik yang terkenal dengan sebutan Bi Kwi (Setan Cantik). Bukan hanya menjatuhkan
 hatinya, akan tetapi setelah mereka menjadi suami isteri, Bi Kwi yang tadi-nya terkenal
 sebagai seorang tokoh sesat yang amat jahat dan kejam itu menjadi sadar sama sekali! Ia ikut
 suaminya menjadi seorang petani di dusun yang mencuci tangannya dari segala macam
 kekerasan."
 "Luar biasa dan menarik sekali!"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 101 "Nah, mereka menikah dan lahirlah Yo Han! Suami isteri itu telah bersepa-kat untuk tidak
 memperkenalkan putera mereka dengan kekerasan dan kehidupan dunia persilatan. Mereka
 tidak mengajarkan ilmu silat kepada Yo Han. Tentu saja hal ini terpengaruh oleh sikap Yo Jin
 yang tidak suka akan kekerasan, dan juga oleh pengalaman-pengalaman pahit dari Bi Kwi
 selama ia menjadi tokoh sesat dalam dunia kang-ouw."
 "Keputusan yang bijaksana." Gangga Dewi memuji.
 "Akan tetapi, latar belakang kehidup-an Bi Kwi tidak membiarkan ia hidup tenang dan
 tenteram. Ada saja penjahat yang menginginkan tenaganya dan orang-orang jahat menculik
 Yo Han yang baru berusia tujuh tahun, bahkan menculik Yo Jin pula. Karena suami dan
 puteranya diculik penjahat yang memaksa ia mem-bantu golongan sesat, terpaksa Bi Kwi
 terjun lagi ke dunia kang-ouw. Suami isteri itu berhasil menukar diri mereka dengan putera
 mereka yang dibebaskan dan Yo Han diserahkan kepada Tan Sin Hong oleh ayah dan ibunya.
 Sin Hong menitipkan Yo Han kepadaku, dan dia sendiri bersama para pendekar membas-mi
 penjahat di mana terdapat pula pembunuh-pembunuh yang membunuh kakek dan nenek
 penghuni istana Gurun Pasir dan juga ayahmu itu. Dan dalam pertem-puran itu, ayah dan ibu
 Yo Han yang juga membalik dan membantu para pen-dekar menentang golongan sesat yang
 tadinya mereka bantu demi menyelamat-kan putera mereka, tewas sehingga Yo Han menjadi
 seorang yatim-piatu."
 Gangga Dewi berulang kali menghela napas panjang. "Omitohud....! Betapa pe-nuh
 kekerasan kehidupan manusia di du-nia ini. Sekarang aku mengerti mengapa Yo Han tidak
 pernah mau melatih ilmu silat walaupun dia memiliki suhu dan su-bo yang berkepandaian
 tinggi seperti Tan Sin Hong dan Kao Hong Li itu. Hanya yang tetap membuat aku heran,
 bagai-mana dia dapat memiliki kekuatan aneh yang dapat menolak pengaruh racun dan ilmu
 sihir. Sungguh aneh sekali!"
 "Hal itu tentu akan dapat kita keta-hui kelak kalau kita berhasil membebas-kannya dari
 tangan Ang I Moli," kata Suma Ciang Bun.
 "Mudah-mudahan saja kita tidak akan terlambat," kata Gangga Dewi. Pada keesokan harinya,
 pagi-pagi sekali mere-ka sudah meninggalkan kuil tua itu dan melanjutkan perjalanan mereka
 dengan cepat untuk melakukan pengejaran dan mencari Yo Han yang diculik Ang I Moli dan
 dua orang suhengnya dari, Pek-lian-kauw itu.
 *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 Siang itu cuaca cerah sekali di Bukit Naga. Matahari amat teriknya. Bahkan hutan di puncak
 bukit itu yang biasanya gelap karena rindangnya pohon-pohon besar yang sudah puluhan
 tahun umurnya, kini nampak terang ditembusi cahaya matahari yang kuat. Di langit tidak ada
 mendung, hanya awan-awan putih berse-rakan di sana sini, tidak, menghalangi kecerahan
 sinar matahari, bahkan menja-di hiasan langit yang indah.
 Tepat pada tengah hari, nampak ba-yangan-bayangan orang berkelebat mema-suki hutan itu.
 Hutan yang biasanya amat sepi itu tiba-tiba saja diramaikan oleh kunjungan orang-orang yang
 memi-liki gerakan yang amat ringan dan ce-katan. Mula-mula nampak seorang tosu yang
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 102 usianya sekitar lima puluh tahun, dengan sebatang pedang di punggung. To-su tinggi kurus itu
 muncul dengan lon-catan yang ringan, berada di atas la-pangan rumput yang dikurung pohon-
 pohon tinggi dan dia memandang ke sekeliling. Pandang matanya yang tajam sudah melihat
 adanya beberapa sosok bayangan orang yang bergerak dengan cepat dan kini suasana nampak
 sunyi kembali. Ba-yangan-bayangan itu agaknya sudah me-nyelinap dan bersembunyi di balik
 pohon-pohon besar atau semak belukar.
 Setelah memandang ke sekelilingnya, tosu ini tersenyum mengejek, dan dia pun berseru
 dengan suara lantang karena dia mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya langsung
 keluar dari perut dan terdengar melengking nyaring.
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sejak kapankah orang-orang Go-bi-pai menjadi pengecut" Setelah orang yang diundang
 datang memenuhi tantang-an, kenapa malah bersembunyi-sembunyi" Keluarlah, orang-orang
 Go-bi-pai. Pinto (aku) dari Kun-lun-pai sudah datang me-menuhi tantanganmu!"
 Belum lenyap gema suara itu, nampak sesosok tubuh melayang turun dari pun-cak sebuah
 pohon besar. Dengan ringan sekali tubuh itu berjungkir balik beberapa kali dan seorang kakek
 berusia enam pu-luh tahun berpakaian seperti seorang petani sederhana telah berdiri di depan
 tosu Kun-lun-pai itu. Tubuhnya tegap dan kaki tangannya kokoh kuat seperti biasa tubuh
 seorang petani yang biasa bekerja keras. Kulitnya juga coklat terbakar ma-tahari.
 "Siancai....!" Tosu Kun-lun-pai itu ber-seru dan matanya bersinar penuh kema-rahan.
 "Kiranya Go-bi Nung-jin (Petani Gobi) yang muncul! Hem, engkau petani yang biasa
 berwatak jujur, katakan, sejak kapan Go- bi-pai memusuhi Kun-lun-pai dan mengirim
 tantangan" Pinto (aku) mewakili Kun-lun-pai untuk menyambut tantangan Go-bi-pai itu!"
 "Ciang Tosu, apa artinya kata-katamu itu" Kami tidak pernah dan tidak akan memusuhi Kun-
 lun-pai. Kedatanganku kesini pada saat ini bukan sebagai penan-tang, bahkan aku mewakili
 Go-bi-pai untuk menyambut tantangan Bu-tong-pai!" Kemudian kakek petani itu memandang
 ke sekeliling dan dengan lantang dia pun berteriak, "Di mana orang-orang Bu-tong-pai yang
 telah berani mengirim tan-tangan kepada Go-bi-pai" Nah, aku da-tang mewakili Go-bi-pai
 untuk menerima tantangan itu!"
 Tentu saja Ciang Tosu dari Kun-lun-pai merasa heran bukan main, akan te-tapi sebelum dia
 dapat berkata sesuatu, nampak bayangan berkelebat keluar dari balik semak belukar dan di
 situ telah berdiri seorang laki-laki gagah perkasa berusia empat puluh tahun lebih. Orang ini
 berpakaian seperti seorang pendekar dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang.
 Tubuhnya tinggi kurus dan sikap-nya gagah, matanya tajam memandang kepada kakek petani
 yang tadi menan-tang Bu-tong-pai. Sikap orang ini hormat, mungkin karena dia merasa lebih
 muda. Dia mengangkat kedua tangan di depan dada menghadapi kakek petani Go-bi Nung-
 jin. "Go-bi Nung-jin adalah seorang pen-dekar Go-bi-pai yang gagah. Dan selama ini Bu-tong-
 pai selalu memandang hormat dan menganggap Go-bi-pai sebagai sauda-ra. Kami tidak
 pernah menantang Go-bi-pai, bahkan saya datang ke sini sebagai wakil Bu-tong-pai untuk
 menghadapi tan-tangan yang kami terima dari Siauw-lim-pai! Kami tidak pernah menantang
 Go-bi-pai atau partai persilatan mana pun juga." Setelah berkata demikian kepada Go-bi
 Nung-jin yang menjadi terheran-heran, wakil Bu-tong-pai itu pun kini memandang ke
 sekeliling lalu berseru dengan pengerahan khi-kangnya.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 103 "Orang-orang Siauw-lim-pai dengarlah baik-baik! Kalian telah menantang Bu-tong-pai dan
 inilah aku, Phoa Cin Su murid Bu-tong-pai mewakili partai kami untuk menerima tantangan
 kalian!" Mendengar ucapan wakil Bu-tong-pai ini, Go-bi Nung-jin dan Ciang Tosu saling pandang
 dengan heran. Dan pada saat itu terdengar suara halus namun terde-ngar jelas dan
 menggetarkan, "Omitohud....! Agaknya dunia sudah akan kiamat! Apa yang terjadi sungguh
 aneh!" Dan muncullah seorang hwesio berusia lima puluhan tahun.
 Phoa Cin Su murid Bu-tong-pai sege-ra memberi hormat. "Kiranya Loan Hu Hwesio yang
 datang untuk mewakili Siauw-lim-pai yang menantang Bu-tong-pai. Nah, saya yang mewakili
 Bu-tong-pai untuk menerima tantangan yang membuat kami merasa penasaran sekali itu!"
 Karena Phoa Cin Su agaknya sudah mengenal benar siapa hwesio Siauw-lim-pai ini, dia pun
 segera meloloskan pe-dangnya dari pinggang dan siap untuk bertanding!
 Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu merangkap kedua tangan di depan dada-nya.
 "Omitohud....! Phoa-sicu harap ber-sabar dulu. Ketahuilah bahwa Siauw-lim-pai selalu
 memandang Bu-tong-pai dengan hormat dan sebagai rekan, bagaimana Siauw-lim-pai dapat
 mengirim tantangan" Pinceng (aku) datang ini pun sebagai wakil Siauw-lim-pai yang
 menerima tan-tangan dari Kun-Lun-pai!"
 Tentu saja wakil-wakil dari empat perkumpulan atau partai persilatan ter-besar di seluruh
 negeri itu menjadi ter-heran-heran mendengar ini. Kun-lun-pai menerima tantangan dari Go-
 bi-pai, Go-bi-pai menerima tantangan dari Bu-tong-pai, Bu-tong-pai menerima tantangan dari
 Siauw-lim-pai dan kini Siauw-lim-pai menerima tantangan dari Kun-lun-pai Apa artinya
 semua ini"
 "Siancai....!" Ciang Tosu berseru heran. "Bagaimana kami dapat menantang Siauw lim-pai
 yang kami anggap sebagai saha-bat dan juga sumber segala ilmu yang kami miliki" Itu tidak
 mungkin sama se-kali!"
 "Omitohud, demikian pula Siauw-lim-pai tidak pernah menantang Bu-tong-pai," kata Loan
 Hu Hwesio dari Siauw-lim-pai.
 "Saya juga berani memastikan bahwa Bu-tong-pai tidak pernah menantang Go-bi-pai," kata
 Phoa Cin Su. "Dan Go-bi-pai juga tidak mungkin menantang Kun-lun-pai!" kata Go-bi Nung-jin.
 "Omitohud...." Kini hwesio Siauw-lim--pai itu mengangkat kedua tangannya ke atas. "Harap
 Cu-wi bersabar dulu. Para suhu pimpinan di Siauw-lim-pai tidak mungkin keliru. Ketika
 mengutus pinceng turun gunung memenuhi tantangan itu, pinceng sendiri melihat surat
 tantangan yang ditandai dengan cap dari Kun-lun-pai."
 Ciang Tosu dari Kun-lun-pai, Phoa Cin Su dari Bu-tong-pai, dan Go-bi Nung-jin dari Go-bi-
 pai serempak menya-takan. Bahwa mereka pun melihat ke-aselian surat tantangan yang
 diterima pimpinan masing-masing, surat-surat tantangan itu pun memakai tanda cap dari
 partai yang menantang.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 104 "Omitohud....! Kalau begitu, tentu ada pemalsuan. Ada pihak lain yang sengaja mengirim
 surat-surat tantangan itu untuk mengadu domba atau hendak mengacau keadaan. Kita harus
 waspada!" Tiba-tiba terdengar suara ketawa ber-gelak. Suara ini bergema ke empat pen-juru sehingga
 sukar diketahui dari mana asal suara itu. Empat orang wakil dari empat perkumpulan silat
 besar itu mak-lum bahwa ada orang pandai muncul, maka mereka pun sudah siap siaga. Ciang
 Tosu sudah mencabut pedang dari punggungnya. Phoa Cin Su juga sudah mencabut pedang.
 Go-bi Nung-jin menyambar senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang cangkul yang
 gagangnya lurus seperti toya, dan hwesio Siauw-lim-pai yang tidak pernah bersenjata itu siap
 dengan pengerahan sin-kang dan setiap urat syarafnya menegang. Mereka adalah orang-orang
 yang berkepandaian tinggi, orang-orang yang memiliki tingkat kedua dari perguruan masing-
 masing. "Ha-ha-ha-ha-ha....!" Suara ketawa yang bergema di empat penjuru itu di-susul oleh kata-
 kata yang juga mengan-dung getaran kuat. "Kalian berempat seperti tikus-tikus yang terjepit!"
 Tiba-tiba saja muncullah seorang kakek ber-usia enam puluhan tahun, bertubuh tinggi besar
 bermuka merah dan dia mengena-kan jubah lebar yang berwarna merah pula. Pakaiannya
 seperti seorang pendeta, akan tetapi rambutnya digelung rapi dan mengkilap bekas minyak,
 dan jepitan rambutnya merupakan perhiasan dari emas permata yang mahal. Akan tetapi di
 balik jubah merah itu nampak baju ketat sulaman benang perak yang gemer-lapan. Di antara
 empat orang tokoh par-tai-partai persilatan besar itu, hanya Loan Hu Hwesio yang mengenal
 orang ini. Hwesio ini menjura dengan sikap hormat kepada kakek tinggi besar bermuka merah
 itu. "Ah, kiranya Lauw Eng-hiong (Orang Gagah she Lauw) yang datang. Tidak tahu apa
 alasannya engkau datang-datang memaki kami empat orang wakil partai-partai persilatan?"
 "Huh!" kakek tinggi besar itu mende-ngus dengan sikap mengejek. "Apalagi kalian ini kalau
 bukan tikus-tikus peng-khianat bangsa, atau anjing-anjing, penjilat penjajah Mancu?"
 Phoa Cin Su, jago dari Bu-tong-pai itu menjadi merah mukanya karena ma-rah. "Loan Hu
 Hwesio, siapakah orang yang sombong dan bermulut lancang ini?"
 Sebelum hwesio Siauw-lim-pai itu menjawab, kakek tinggi besar itu sudah mendahuluinya.
 "Kalian wakil-wakil Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan Go-bi-pai. Ketahuilah bahwa kalian
 berhadapan de-ngan aku Lauw Kang Hui, wakil Ketua Thian-li-pang!"
 Tiga orang itu terkejut. Tentu saja mereka sudah mendengar nama besar perkumpulan Thian-
 li-pang, sebuah per-kumpulan orang-orang yang menamakan diri mereka patriot dan yang
 dengan gigih menentang pemerintah, yaitu pen-jajah Mancu dan memberontak di mana-mana
 untuk menjatuhkan pemerintah penjajah. Akan tetapi di antara para anak buah Thian-li-pang,
 banyak pula yang melakukan penyelewengan dan me-reka itu melakukan kejahatan
 mengandal-kan kekuatan mereka, mengganggu rak-yat dengan perampokan dan pemerasan.
 Maka, dari empat buah perkumpulan persilatan besar itu, tentu sudah pernah murid-murid
 mereka bentrok dengan orang Thian-li-pang yang melakukan ke-jahatan.
 "Siancai, kalau begitu agaknya Thian-li-pang yang membuat undangan palsu kepada kami
 empat perguruan tinggi. Benarkah begitu?" kata Ciang Tosu dari Kun-lun-pai.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 105 "Ha-ha-ha, memang benar! Kami yang membuat undangan palsu. Empat pergu-ruan silat
 seperti perkumpulan kalian ha-nyalah perkumpulan pengkhianat dan pengecut. Kalian tidak
 menentang pen-jajah, tidak mau bekerja sama dengan kami bahkan menentang kami dan
 ba-nyak sudah anak buah kami yang tewas di tangan kalian!"
 "Hemm, apa anehnya itu" Kami bu-kanlah perkumpulan pemberontak, kami tidak
 mempunyai urusan dengan pemberontakan. Kalau murid-murid kami me-nentang murid-
 murid Thian-li-pang, tentu bukan perkumpulannya atau pemberontak-annya yang ditentang,
 melainkan per-buatan jahat yang dilakukan para murid Thian-li-pang. Kami adalah
 perkumpulan para pendekar yang menentang kejahatan, kapan saja, di mana saja dan
 dilakukan siapa saja!" kata Go-bi Nung-jin.
 "Benar sekali itu!" kata Phoa Cin Su. "Murid-murid kami pernah menentang anggauta Thian-
 li-pang, bukan karena mereka memberontak terhadap pemerin-tah, melainkan karena mereka
 itu me-rampok dan memeras rakyat jelata!"
 "Ha-ha-ha-ha, sudah berada di ambang maut, kalian masih bermulut besar! Ka-lian berempat
 bersiaplah untuk mampus dan menjadi penyebab pertentangan anta-ra perkumpulan kalian
 sendiri!" Lauw Kang Hui tertawa dan pada saat itu muncullah seorang wanita cantik yang
 bukan lain adalah Ang I Moli Tee Kui Cu dan dua orang suhengnya dari Pek-lian-kauw, yaitu
 Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu. Munculnya tiga orang ini di-susul munculnya belasan
 orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang mengepung tempat itu!
 "Omitohud....!" kata Loan Hu Hwesio ketika melihat orang-orang Pek-lian-kauw yang dapat
 dikenal dari gambar teratai putih di dada mereka. "Kiranya Thian-li-pang bersekongkol pula
 dengan per-kumpulan siluman jahat, agama palsu Pek-lian-kauw!"
 "Kepung! Bunuh mereka!" Lauw Kang Hui sudah memberi aba-aba dan dia sen-diri sudah
 mencabut sebatang golok besar dan menyerang Loan Hu Hwesio! Golok besar yang berat itu
 menyambar dengan cepat, berubah menjadi sinar perak yang amat kuat menyambar ke arah
 leher Loan Hu Hwesio. Pendeta Siauw-lim-pai ini cepat mengelak dengan menundukkan
 muka dan menggeser kaki-nya sehingga tubuhnya mendorong ke kanan dan dari jurusan ini,
 lengan kirinya meluncur dan dari jari tangannya meng-hantam ke arah lambung lawan. Lauw
 Kang Hui mengelebatkan goloknya menyambut hantaman ini sehingga terpaksa Loan Hu
 Hwesio menarik kembali le-ngannya yang diancam babatan golok, lalu kakinya yang
 menendang dengan cepat dan kuat ke arah perut lawan. Hebat memang gerakan silat tangan
 ko-song dari hwesio Siauw-lim-pai ini dan memang ilmu silat Siauw-lim-pai meru-pakan
 ilmu silat yang paling tua dan bahkan menjadi sumber daripada ilmu-ilmu silat lainnya.
 Namun Lauw Kang Hui bukan seorang lemah. Dia juga sudah mempelajari ba-nyak macam
 ilmu silat, di antara ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai sehingga dia mengenal gerakan lawan,
 maka dia dapat menjaga diri dan membalas dengan dah-syat pula. Terjadilah serang
 menyerang yang seru antara dua orang ini. Akan tetapi ada beberapa orang anggauta Thian-li-
 pang yang membantu wakil ketua mereka sehingga hwesio Siauw-lim-pai ini dikeroyok dan
 terdesak hebat. Dia hanya bersenjatakan kaki tangan dibantu dua ujung lengan bajunya yang
 longgar dan panjang.
 Ang I Moli sudah menerjang Phoa Cin Su, jagoan Bu-tong-pai dengan pedangnya. Phoa Cin
 Su menyambut dengan pedang pula dan dua orang ini pun segera ber-tarung dengan seru.
 Seperti juga Lauw Kang Hui, wanita ini dibantu oleh lima orang anggauta Thian-li-pang
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 106 sehingga tentu saja Phoa Cin Su segera terdesak. Menghadapi Ang I Moli seorang saja dia
 sudah menemukan tanding yang tidak ringan, apalagi kini dikeroyok!
 Ciang Tosu diserang oleh Kwan Thian-cu yang menggunakan golok, juga Kwan Thian-cu
 dibantu oleh lima orang ang-gauta Pek-lian-kauw sehingga tosu dari Kun-lun-pai itu pun
 terdesak hebat. Se-mentara itu, Kui Thian-cu dan lima orang anggauta Pek-lian--kauw lainnya
 telah mengepung dan mengeroyok Go-bi Nung-jin yang bersenjata cangkul.
 Memang Lauw Kang Hui yang mengi-rim surat tantangan kepada empat pen-guruan itu telah
 merencanakan siasatnya lebih dahulu sehingga kini empat orang itu terkurung dan terkeroyok
 seperti yang telah direncanakan. Setelah usaha Thian-li-pang untuk membunuh Kai-sar gagal,
 juga usaha mereka mengajak Siang Hong-houw bersekongkol mem-bunuh Kaisar tidak
 berhasil bahkan mereka kehilangan Ciang Sun, tokoh Thian-li-pang yang tewas dalam
 usahanya membunuh Kaisar, Thian-li-pang lalu menggunakan siasat lain. Para pimpinan-nya
 berkumpul dan mengatur rencana. Pertama, mereka mengadakan persekutu-an dengan Pek-
 lian Kauw, agama sesat yang juga merupakan perkumpulan yang memberontak terhadap
 pemerintah. Dan kedua, mereka merencanakan siasat adu domba untuk mengacaukan dunia
 persi-latan sehingga para pendekar dari empat perguruan silat yang besar akan saling
 bermusuhan dan tidak ada kesempatan lagi untuk menentang mereka dan mem-bantu
 pemerintah kalau mereka melan-carkan gerakan pemberontakan. Demiki-anlah, surat
 tantangan kepada empat buah perkumpulan besar itu diatur dan kini para wakil empat
 perkumpulan itu dikepung dan dikeroyok, dipimpin oieh Lauw Kang Hui yang menjadi wakil
 Ke-tua Thian-li-pang.
 Pek-lian-kauw mewakilkan kepada Ang I Moli, Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu bersama
 sepuluh orang anggauta Pek-lian-kauw untuk membantu gerakan men-jebak para tokoh empat
 perkumpulan besar itu.
 Seperti kita ketahui, Ang I Moli dan dua orang suhengnya itu melarikan diri dari kejaran
 Gangga Dewi yang dibantu Suma Ciang Bun. Ia menculik Yo Han dan membawa anak itu
 melarikan diri. Mereka berhasil lolos dari pengejaran dua orang sakti itu dan tiba di sarang
 Pek-lian-kauw yang kebetulan sekali meneri-ma para pimpinan Thian-li-pang untuk
 mengadakan persekutuan.
 Ketika empat orang wakil pimpinan para perguruan besar itu dikeroyok, Ang I Moli yang
 tidak pernah melepaskan Yo Han dari pengawasannya, menggantung anak itu di atas pohon!
 Yo Han dapat melihat dan mendengar semua yang ter-jadi, akan tetapi walaupun hatinya
 mera-sa penasaran dan marah, dia tidak ber-daya. Kaki tangannya terbelenggu dan dia
 digantung jungkir balik di cabang pohon yang tinggi itu! Dia hanya dapat menonton dan
 mendengarkan, dan hatinya seperti ditusuk-tusuk melihat betapa ke-jahatan mengganas tanpa
 dia dapat ber-buat sesuatu. Makin nampak olehnya betapa jahatnya orang-orang yang
 memi-liki ilmu silat, dan betapa celaka orang-orang yang berada di pihak kebenaran apabila
 mereka menjadi pendekar silat. Andaikata empat orang itu merupakan orang-orang biasa,
 petani-petani yang tidak pandai ilmu silat, tidak mungkin kini mereka dikeroyok oleh orang-
 orang yang baginya nampak seperti srigala--srigala yang haus darah itu!
 Akhirnya terjadi apa yang dikhawatirkan Yo Han yang tidak berdaya itu. Mula-mula Loan
 Hu Hwesio yang roboh. Seperti juga tiga orang tokoh lainnya, setelah dikeroyok selama lima
 puluh ju-rus yang dipertahankannya dengan mati-matian, Loan Hu Hwesio sudah menderita
 luka-luka. Pada suatu saat yang baik, dia berhasil memukulkan kedua tangannya ke arah dada
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 107 Lauw Kang Hui dengan pengerahan tenaga sekuatnya tanpa mempedulikan lagi perlindungan
 diri sen-diri. Dia ingin mengadu nyawa dengan wakil Ketua Thian-li-pang itu. Pukulan-nya
 berhasil mengenai sasarannya dengan tepat sekali.
 "Pukkkk....!" Kedua telapak tangan itu mengenai dada yang bidang dari Lauw Kaing Hui.
 Akan tetapi dapat dibayang-kan betapa kaget rasa hati Loan Hu Hwesio ketika kedua telapak
 tangannya bertemu dengan benda yang keras. dan kuat sekali. Pada saat kedua tangannya
 menghantam dada, Lauw Kang Hui sama sekali tidak mengelak bahkan memba-rengi dengan
 gerakan goloknya ke arah lambung lawan. Dan hanya sedetik sete-lah kedua tangan hwesio
 itu menghantam dada, ujung golok juga menyabet lambung dan merobek lambung perut Loan
 Hu Hwesio! Lauw Kang Hui terhuyung ke bela-kang oleh pukulan itu, akan tetapi Loan Hu Hwesio
 terkulai roboh mandi darah! Wakil Ketua Thian-li-pang itu tidak ter-luka karena di balik
 jubah merahnya, dia menggunakan baju ketat dari sulaman benang perak yang membuat
 tubuhnya kebal!
 "Jangan bunuh dulu!" bentak Lauw Kang Hui kepada para pembantunya yang tadinya hendak
 menghujankan senjata karena marah. Beberapa orang kawan mereka yang mengeroyok juga
 tadi diro-bohkan hwesio yang lihai itu.
 Robohnya Loan Hu Hwesio yang ter-luka parah disusul robohnya Ciang Tosu oleh Kwan
 Thian-cu dan teman-temannya Ciang Tosu roboh dengan luka parah di lehernya, membuat dia
 roboh pingsan dengan darah mengucur keluar dari luka itu. Phoa Cin Su juga roboh oleh
 tusukan pedang Ang I Moli pada dadanya, se-dangkan Go-bi Nung-jin yang tadi mengamuk
 dengan hebat, roboh pula oleh bacokan pedang Kui Thian-cu yang me-ngenai pinggangnya.
 Seperti juga Lauw Kang Hui, tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu melarang anak buah mereka
 membunuh orang yang dikeroyok dan telah roboh terluka parah. Kemudian, Lauw Kang Hui
 memberi isyarat kepada tiga orang sekutunya. Mereka mengangguk. Kwan Thian-cu lalu
 mengambil cangkul yang tadi diperguna-kan Go-bi Nung-jin sebagai senjata dan dengan
 senjata ini dia lalu menghantam ke arah kepala Ciang Tosu, tokoh Kun-lun-pai yang sudah
 roboh tak berdaya ini. Tanpa dapat mengeluarkan keluhan lagi. Ciang Tosu yang dihantam
 cangkul itu tewas dengan kepala luka besar oleh cangkul.
 Kini Kui Thian-cu mengambil pedang milik Phoa Cin Su dan dengan pedang itu dia pun
 menyerang kepala Go-bi Nung-jin. Tokoh Go-bi-pai ini pun tewas seketika dengan kepala
 terluka hebat oleh pedang itu.
 Lauw Kang Hui yang tadi merobohkan Loan Hu Hwesio mempergunakan pedang milik
 Ciang Tosu dari Kun-lun-pai tadi untuk membunuh bekas lawannya itu dengan melukai
 kepalanya pula.
 Kini tinggallah Poa Cin Su. Karena mereka mengatur siasat agar empat orang saling bunuh
 sesuai dengan bunyi surat tantangan masing-masing, maka seharusnya Phoa Cin Su murid Bu-
 tong-pai terbunuh oleh murid Siauw-lim-pai yang mengirim surat tantangan. Akan tetapi
 Loan Hu Hwesio tidak pernah menggunakan senjata, maka Ang I Moli merasa ragu-ragu
 bagaimana harus mem-bunuh murid Bu-tong-pai itu.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

108 "Mudah saja," kata Lauw Kang Hui sambil tersenyum. "Aku pernah mempela-jari ilmu
 pukulan Kang-see-ciang (Tangan Pasir Baja) dari Siauw-lim-pai. Biar ku-pukul dia dengan
 ilmu itu." Lauw Kang Hui lalu menghampiri tubuh Phoa Cin Su yang sudah tergolek dan
 tarluka parah tanpa mampu bangkit itu. Dia lalu menggerak-gerakkan jari tangan kanannya
 sehingga terdengar bunyi berkerotokan, lalu dipukulkannya telapak tangan kanan-nya ke arah
 kepala Phoa Cin Su. Ter-dengar suara keras dan kepala itu men-jadi retak, dan Phoa Cin Su
 tewas seke-tika. Ada tanda telapak tangan dengan sebagian jari-jarinya pada pipi dan pelipis
 yang terpukul! Biarpun dia harus beberapa kali me-mejamkan mata karena merasa ngeri, Yo Han dapat
 melihat semua itu. Dia seorang anak yang cerdik, maka setelah melihat dan mendengar
 kesemuanya itu, dia pun mengerti apa yang menjadi sia-sat keji dari orang-orang Thian-li-
 pang dan Pek-lian-kauw. Diam-diam dia mera-sa penasaran bukan main. Bahaya besar
 mengancam keamanan negeri, pikirnya. Tentu dua gerombolan penjahat yang bersekutu itu
 akan mengirimkan mayat-mayat itu sebagai bukti kepada perguruan masing-masing yang
 telah menerima surat tantangan dan dengan demikian maka empat perguruan besar itu akan
 saling bermusuhan! Sungguh tipu muslihat yang amat jahat dan kejam.
 Dia melihat betapa mereka membawa pergi mayat-mayat itu, akan tetapi dia tak dapat
 menahan kemarahannya. "Ang I Moli! Engkau telah membiarkan dirimu terseret ke dalam
 perbuatan yang paling keji dan jahat yang pernah kulihat! Apa-kah engkau tidak takut akan
 akibat dari perbuatanmu itu" Tuhan pasti akan menghukummu, Ang I Moli!"
 Suara anak itu lantang sekali, menge-jutkan Lauw Kang Hui yang tidak pernah tahu bahwa
 Ang I Moli datang membawa anak kecil yang kini digantung di pohon. Dia menoleh dan
 melihat anak yang ter-gantung dengan kepala di bawah itu, dia terbelalak.
 "Moli,, siapa dia?"
 Ang I Moli tersenyum, "Aih, jangan perhatikan dia. Dia itu punyaku!" wanita ini lalu
 meloncat ke atas pohon, mele-paskan ikatan tangan kaki Yo Han dan mengempit tubuh anak
 itu lalu memba-wanya meloncat turun. Sementara itu, ketika Ang I Moli sibuk menurunkan
 Yo Han tadi, Lauw Kang Hui mendengar dari dua orang tosu Pek-lian-kauw bahwa anak itu
 adalah seorang anak luar biasa dan Ang I Moli hendak menghisap darah anak itu untuk
 memenuhi persyaratannya melatih ilmu rahasianya.
 Lauw Kang Hui merasa tertarik sekali, maka ketika Ang I Moli sudah menurunkan Yo Han,
 dia cepat menghampiri. Kini Yo Han sudah ditu-runkan dan anak itu berdiri dengan gagah
 walaupun tubuhnya terasa nyeri semua dan kepalanya masih pening karena ter-lalu lama
 digantung terbalik. Lauw Kang Hui melihat sepasang mata yang begitu jernih akan tetapi juga
 tajam tanpa di-bayangi takut sedikit pun.
 "Anak baik, siapa namamu?" tanyanya
 "Namaku Yo Han. Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah seorang yang berke-dudukan
 tinggi, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula, akan tetapi mengapa melakukan perbuatan
 yang demikian keji dan pengecut?"
 Kembali Lauw Kang Hui terbelalak dan memandang penuh kagum. Bukan main anak ini!
 Begitu beraninya. Dan sinar mata itu demikian jernih. Suara itu demikian lembut.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 109 "Moli, titipkan anak itu kepada ketua suhengmu. Aku ingin bicara penting de-nganmu," kata
 Lauw Kang Hui. "Ada urusan apakah, Lauw Pangcu (Ketua Lauw)?" tanya Moli setelah mere-ka pergi agak
 jauh agar percakapan me-reka tidak didengarkan orang lain, ter-utama Yo Han. Biarpun dia
 wakil Ketua Thian-li-pang, namun dia selalu disebut Lauw Pangcu.
 "Kuharap engkau suka berterus terang saja, Moli. Anak itu, Yo Han itu, untuk apakah
 kautawan?"
 Ang I Moli tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih. "Aih, itu urusan pribadiku,
 Lauw Pangcu. Kenapa sih engkau ingin sekali mengetahui urus-an pribadi orang?" Ia
 tersenyum dan melirik manja.
 "Katakan saja terus terang. Bukankah engkau ingin menghisap darahnya untuk memenuhi
 persyaratan engkau mempela-jari sebuah ilmu rahasia?"
 Ang I Moli terbelalak, lalu menoleh ke arah dua orang suhengnya yang ber-diri di sana
 sambil menjaga Yo Han. "Hemm, tentu dua orang lancang mulut itu yang membocorkannya
 kepadamu!"
 "Apa salahnya, Moli" Kita bukan orang lain. Katakan saja terus terang."
 "Benar, Lauw Pangcu."
 "Kalau begitu, biarlah kutukar dengan seorang anak laki-laki lain untukmu. Yo Han itu
 berikan saja kepadaku!"
 Ang I Moli menatap tajam wajah wakil ketua itu dengan penuh selidik. Kemudian dengan
 alis berkerut ia berkata, "Hemm, tentu saja aku keberatan, Lauw Pangcu. Anak itu sama
 harganya dengan dua belas orang perjaka remaja! Sayang dia masih terlalu kecil. Aku harus
 me-nanti satu dua tahun lagi...."
 "Kalau begitu, biar kutukar dengan dua belas orang pemuda remaja yang tampan dan sehat!
 Dan akan kupilihkan mereka yang sudah agak dewasa sehingga engkau tidak perlu menanti
 sampai satu dua tahun lagi. Anak itu bertingkah dan tentu akan repot sekali menawannya
 selama satu dua tahun. Bagaimana?"
 Tawaran ini menarik hati Moli. Me-mang ia seringkali merasa jengkel dengan Yo Han.
 Setelah melarikan anak ini se-lama kurang lebih tiga bulan, ia sampai bosan mencoba untuk
 menjatuhkan anak ini ke dalam pelukannya. Berbagai ma-cam cara sudah ia pergunakan.
 Dengan sihir bantuan dua orang suhengnya. De-ngan ramuan obat dan racun. Dengan totokan.
 Dengan siksaan. Semua tidak ada gunanya. Sihir dan racun agaknya tidak mempengaruhi
 anak itu. Juga an-caman, siksaan dan bujuk rayu tidak mempan! Untuk mendapatkan darah
 anak itu melalui penghisapan darahnya melalui mulut begitu saja, selain ia merasa muak juga
 daya gunanya banyak berkurang. Ia membutuhkan hawa murni dari tubuh anak itu.
 "Hemm, usulmu menarik juga, Lauw Pangcu. Akan tetapi kalau aku sudah berterus terang,
 kuharap engkau juga suka berterus terang. Untuk apakah engkau menginginkan Yo Han?"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 110 Lauw Kang Hui menghela napas pan-jang. "Engkau tahu siapa kini yang paling tinggi
 kedudukan atau tingkatnya di Thian-li-pang?"
 "Tentu saja Ouw Pangcu, suhengmu." jawab Ang I Moli tanpa ragu lagi. "Kalau bukan Sang
 Ketua yang paling tinggi tingkat dan kedudukannya, habis siapa lagi."
 "Bukan dia."
 "Ah, aku tahu. Tentu guru kalian, Lo-cianpwe Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun)! Akan
 tetapi dia sudah tidak lagi mengurus Thian-li-pang, bukan?"
 "Memang Suhu tidak lagi mengurus Thian-li-pang dan tingkatnya lebih tinggi daripada
 suheng dan aku. Akan tetapi yang kumaksudkan bukan Suhu."
 "Wah, kalau begitu aku tidak tahu lagi."
 "Yang paling tinggi tingkatnya di an-tara kami di Thian-li-pang adalah Su-pek (Uwa Guru)
 Thian-te Tok-ong (Raja Ra-cun Langit Bumi)!"
 "Ahhh...." Tapi.... bukankah beliau sudah.... sudah tidak ada lagi?"
 "Tidak ada di dunia ramai maksudmu. Akan tetapi beliau masih hidup. Dan Supek yang baru-
 baru ini memesan kepada-ku bahwa kalau aku bertemu dengan seorang anak yang berbakat
 luar biasa, aku harus membawa anak itu menghadap Supek. Nah, ketika aku melihat Yo Han,
 aku tertarik dan siapa tahu, anak seperti itulah yang dicari Supek."
 "Lauw Pangcu, aku senang sekali da-pat membantu Locianpwe Thian-te T-ok-ong! Siapa
 tahu kelak beliau suka mem-bantuku kembali sebagai imbalan jasaku."
 "Hemm, bantuan apakah yang kau kehendaki, Moli?"
 "Ilmu rahasia yang akan kulatih me-rupakan ilmu yang mengandung hawa beracun. Aku
 ingin memohon bantuan Locianpwe Thian-te Tok-ong untuk mem-buatkan obat penawarnya."
 "Baik, akan kusampaikan kepada Su-pek kalau dia dapat menerima Yo Han, tentu dia akan
 suka membantu."
 Tepat seperti telah diduga oleh Yo Han, mayat keempat orang tokoh pergu-ruan-perguruan
 silat besar itu dikirim ke perguruan masing-masing. Hanya be-danya, bukan seluruh mayatnya
 yang di-kirim, melainkan hanya kepalanya saja! Kepala-kepala itu diberi obat, dengan cara
 direndam- sehingga tidak membusuk, dimasukkan ke dalam guci besar, diren-dam dan ditutup
 rapat, dimasukkan peti lalu dikirimkan ke perguruan masing-masing melalui piauw-kiok
 (kantor pengi-riman barang).
 Dapat dibayangkan betapa gemparnya para perguruan itu ketika menerima ki-riman kepala.
 Dan petugas pengiriman itu mengaku sesuai dengan pesanan pe-ngirim peti itu. Pengirim peti
 ke Siauw--lim-si (Kuil Siauw-lim) mengatakan bah-wa orang yang mengirim peti itu
 menga-ku sebagai seorang murid Kun-Lun-pai. -Petugas pengiriman peti untuk Kun-lun-pai
 mengaku disuruh seorang murid Go-bi-pai. Petugas pengiriman peti untuk Go-bi-pai mengaku
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 111 disuruh seorang murid Bu-tong-pai. Petugas pengiriman peti untuk Bu-tong-pai disuruh
 seorang murid Siauw-lim-pai.
 Tentu saja para murid perguruan-per-guruan silat itu menjadi marah bukan main. Mula-mula
 para ketua masing-masing memang masih meragukan kebenaran keterangan para pengirim
 barang itu. Ketika mereka menerima tantangan-tantangan itu, para ketua mengirim murid-
 murid terpandai untuk memenuhi undang-an di Bukit Naga, untuk membuktikan sendiri
 apakah benar ada tantangan se-perti dalam surat yang mereka terima. Kini, murid-murid itu
 kembali tinggal kepala saja dan ketika mereka melakukan pemeriksaan jelas bahwa murid-
 murid itu memang tewas oleh senjata lawan dari perguruan yang mengirim tantangan.
 Biarpun sudah terjadi hal ini, tetap saja para pimpinan perguruan-perguruan itu masih belum
 yakin benar. Mereka adalah orang-orang sakti yang tahu benar bahwa perguruan yang
 mengirim tantangan ada-lah golongan bersih, para pendekar yang tidak pernah bermusuhan
 dengan mereka, bahkan bersahabat. Bagaimana tiba-tiba saja timbul tantangan, bahkan kini
 mela-kukan pembunuhan terhadap murid yang mereka utus untuk memenuhi undangan di
 Bukit Naga itu" Bagaimanapun juga, terbukti bahwa murid mereka tewas.
 Biarpun para pimpinan masih ragu-ragu, namun para muridnya tak dapat menahan lagi
 kemarahan dan sakit hati mereka. Terjadilah bentrokan-bentrokan di antara empat partai
 persilatan besar itu. Setiap kali terjadi pertemuan, murid-murid Kun-lun-pai menyerang
 murid-mu-rid Go-bi-pai. Go-bi-pai menyerang Bu-tong-pai, Bu-tong-pai menyerang Siauw-
 lim-pai dan sebaliknya Siauw-lim-pai menyerang Kun-lun-pai. Terjadi bebera-pa kali
 bentrokan yang mengakibatkan jatuhnya korban, baik yang terluka maupun yang tewas. Dan
 setelah terjadi bentrokan-bentrokan, mau tidak mau para pimpinan partai masing-masing ikut
 pula terseret. Dan mulailah terjadi pertentangan di antara empat partai persilatan besar itu,
 sesuai dengan apa yang diinginkan Thian-li-pang yang ber-sekongkol dengan Pek-lian-kauw!
 *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 Yo Han diserahkan kepada Lauw Kang Hui oleh Ang I Moli dan sebagai ganti-nya, wanita
 iblis itu oleh Lauw Kang Hui disuguhi pemuda-pemuda remaja se-perti yang dijanjikannya.
 Remaja-remaja itu satu demi satu mati kehabisan darah dalam pelukan iblis betina itu.
 Yo Han diajak ke pusat Thian-li-pang oleh Lauw Kang Hui. Dia diperlakukan dengan baik.
 Bahkan Lauw Kang Hui membujuknya dan berusaha menyadarkan anak itu bahwa Thian-li-
 pang adalah per-kumpulan patriot yang hendak membe-baskan tanah air dan bangsa dari
 tangan penjajah Mancu. Namun, semua itu per-cuma. Yo Han tidak dapat melupakan
 peristiwa mengerikan yang dilihatnya di Bukit Naga dan bagaimanapun juga, dia tetap
 menganggap bahwa orang-orang Thian-li-pang bukanlah orang-orang baik. Penuh tipu
 muslihat dan kejam. Dia su-dah banyak membaca tentang para pah-lawan yang dengan
 setulusnya hati ber-juang membela tanah air dan bangsa, tanpa pamrih untuk diri sendiri.
 Akan tetapi, apa yang diperlihatkan orang--orang Thian-li-pang di Bukit Naga itu tidak ada
 hubungannya dengan perjuangan membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah! Bahkan
 Thian-li-pang mengadu domba antara perguruan-perguruan silat besar yang terdiri dari bangsa
 sendiri! Setiap orang pendekar pasti tidak setuju dengan tindakan Thian-li-pang itu. Dan
 Thian-li-pang bersekutu dengan orang-orang seperti Ang I Moli dan dua orang suhengnya,
 tokoh-tokoh Pek-lian-kauw. Padahal, dia sendiri sudah membuktikan sendiri betapa jahatnya
 Ang I Moli! Oleh karena itu, biar dia diperlakukan dengan baik oleh Lauw Kang Hui dan
 dibujuk dengan omongan manis, tetap saja dia tidak percaya kepada perkumpulan ini.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 112 Di dalam perkampungan Thian-li-pang Yo Han melihat bahwa perkumpulan itu nampak
 kuat, dengan perkampungan yang dikelilingi tembok tinggi dan tebal seper-ti benteng.
 Perkampungan di lereng bukit itu luas, di dalamnya terdapat banyak bangunan dan tidak
 kurang dari tiga ratus orang anak buah Thian-li-pang tinggal di situ. Mereka setiap hari
 latih-an silat dan berbaris. Ketika dia diha-dapkan kepada Ketua Thian-li-pang, yaitu Ouw
 Pangcu (Ketua Ouw) atau Ouw Ban yang berusia enam puluh tahun, kakek itu memandang
 kepada Yo Han seperti orang menaksir seekor kuda yang akan dibelinya.
 "Namamu Yo Han?" tanya Sang Ketua suaranya parau dan besar.
 Yo Han memandang kepada kakek tinggi kurus yang mukanya pucat keku-ningan seperti
 orang berpenyakitan itu. Dia mengangguk. "Benar, namaku Yo Han."
 "Engkau mau menjadi murid Thian-li-pang?" tanya pula ketua itu.
 Yo Han memandangnya dengan sinar mata tajam dan dengan tegas dia meng-geleng kepala
 lalu menjawab. "Tidak! Aku tidak mau menjadi murid Thian-li-pang yang jahat, kejam dan
 pengecut!"
 Ouw Ban membelalakkan matanya dan menoleh kepada Lauw Kang Hui. "Dan kau bilang
 anak ini luar biasa?"
 Lauw Kang Hui tersenyum. "Suheng, bukankah sikapnya yang pemberani ini menunjukkan
 keluarbiasaannya?"
 "Huh, kita lihat saja sampai di mana keluarbiasaannya. Bocah sombong, coba kausambut
 ini!" Tiba-tiba saja tangan kiri kakek itu bergerak menampar dengan cepat bukan main.
 Gerakan tangannya itu bahkan tidak nampak saking cepatnya tahu-tahu telapak tangan itu
 telah me-ngenai tengkuk Yo Han.
 "Plakk!" Tubuh Yo Han yang duduk di kursi itu terjungkal dan anak itu ro-boh pingsan.
 "Suheng! Kau membunuhnya?" tanya Cauw Kang Hui dengan kaget dan dia meloncat lalu
 berlutut memeriksa anak itu.
 "Hemm, kalau dia mati pun lebih baik daripada engkau dimarahi Supek. Lihat, anak macam
 itu kaukatakan luar biasa?" kata Ketua Thian-li-pang. Lauw Kang Hui mendapat kenyataan
 bahwa Yo Han hanya pingsan saja, maka dia pun bang-kit lagi berdiri dan memandang
 kepada kakak seperguruannya.
 "Suheng, keluarbiasaan anak ini bukan hanya pada sikapnya yang gagah berani, tabah dan
 dewasa, akan tetapi juga me-nurut keterangan Ang I Moli, anak ini kebal terhadap racun dan
 tidak dapat dipengaruhi sihir."
 "Ha-ha-ha, apakah engkau tidak me-ngenal orang macam apa adanya Ang I Moli, Sute"
 Engkau dikibuli saja! Masa anak macam ini ditukar dengan dua be-las orang pemuda remaja
 yang pilihan. Engkau sungguh bodoh, Sute."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 113 "Kurasa ia tidak berani mempermain-kan aku, Suheng. Bagaimanapun juga, biar dia kubawa
 menghadap Supek dan biarlah Supek yang menentukan apakah anak ini memenuhi syarat
 ataukah tidak."
 "Sute, agaknya engkau berusaha keras untuk menyenangkan hati Supek, ya" Engkau hendak
 menyuapnya agar engkau memperoleh hadiah ilmu baru sehingga tingkat kepandaianmu akan
 melampaui aku?"
 Lauw Kang Hui yang tadinya sudah duduk kini bangkit berdiri lagi sambil memandang
 kepada wajah suhengnya de-ngan mata terbelalak. "Ehh" Kenapa engkau menyangka buruk
 seperti itu, Suheng" Suheng sendiri juga mendengar pesanan Supek itu, untuk mencarikan
 seorang anak yang luar biasa agar Supek dapat menggemblengnya dan kelak akan makin
 memperkuat Thian-li-pang."
 "Kalau begitu, biar kucoba lagi dia! Apakah benar dia kebal racun!" Ketua Thian-li-pang itu
 mengambil sesuatu dari saku jubahnya.
 "Suheng, jangan! Engkau bisa mem-bunuhnya dengan Ang-tok-ting (Paku Be-racun Merah)
 itu!" kata Lauw Kang Hui. "Lebih baik dicoba kekebalannya terhadap, sihir saja." Lauw Kang
 Hui maklum bah-wa suhengnya itu merasa iri kalau sampai ada anak lain diterima menjadi
 murid Thian-te Tok-ong karena suhengnya itu ingin sekali agar puteranya sendiri yang
 mewarisi ilmu-ilmu yang ampuh dari supek mereka. Akan tetapi supek mereka menganggap
 bahwa Ouw Cun Ki, putera suhengnya yang berusia lima belas tahun itu tidak cukup
 berbakat. Akan tetapi Ouw Ban yang memang berniat membunuh Yo Han sudah melun-curkan
 sebatang paku ke arah leher anak yang masih rebah di atas lantai itu. Si-nar merah kecil
 menyambar dan Lauw Kang Hui menahan seruannya dan merasa putus harapan karena
 serangan itu tentu akan membunuh Yo Han. Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja Yo Han
 siuman dari pingsannya dan anak yang tadinya sama sekali tidak bergerak itu bangkit duduk
 dan gerakan yang tidak disengaja ini membuat sambaran paku tidak mengenai sasaran! Paku
 itu lewat dekat lehernya dan menancap ke lantai bahkan amblas ke dalam dan tidak nam-pak
 lagi! "Ehhh....?" Ouw Ban terbelalak kaget, akan tetapi dia juga merasa penasaran lalu tangannya
 bergerak ke saku jubahnya lagi.
 "Suheng, tidak cukupkah itu?" Lauw Kang Hui memegang lengan suhengnya, mencegah
 suhengnya menyerang lagi. "Tidak kau lihat betapa luar biasanya itu?"
 "Huh, hanya kebetulan saja dia sium-an!"
 "Sama sekali tidak kebetulan. Nam-paknya kebetulan akan tetapi justeru yang kebetulan
 itulah yang luar biasa. Suheng, jangan ganggu dia. Kalau Supek menolaknya, baru Suheng
 boleh lakukan apa saja terhadap dirinya."
 "Sute, aku masih penasaran!" kata Ouw Ban.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 114 "Suheng, jangan!" cegah Lauw Kang Hui. Suheng dan sute atau ketua dan wakilnya itu
 bersitegang dan pada saat itu terdengar suara batuk-batuk di be-lakang mereka. Dua orang itu
 mengenal suara ini dan cepat mereka membalik, lalu keduanya menjatuhkan diri berlutut.
 "Suhu....! Sudah lama sekali Suhu tidak meninggalkan kamar...."
 Karena Yo Han sudah siuman dan berdiri, dia memandang kepada kakek yang baru muncul.
 Seorang kakek yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Rambutnya yang sudah
 berwarna kelabu itu digelung ke atas seperti ram-but pendeta tosu, yang menyolok pada
 wajahnya itu adalah sepasang alisnya yang amat tebal dan panjang. Pandang matanya sayu
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti orang mengantuk.
 Mendengar dua orang ketua Thian-li-pang itu murid kakek ini, Yo Han maklum bahwa tentu
 kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi!
 "Hemm, Ouw Ban dan Lauw Kang Hui," kata kakek itu sambil mengelus jenggotnya dan
 memandang kepada dua orang muridnya itu silih berganti. "Entah mengapa aku ingin sekali
 keluar kamar dan begitu tiba di sini aku melihat kali-an bertengkar dan bersitegang. Heran,
 kalau Thian-li-pang dipimpin oleh kalian berdua, lalu kalian saling bertengkar, apa akan
 jadinya dengan perkumpulan kita?" Suara kakek itu halus dan ramah, akan tetapi mengandung
 teguran keras. "Maaf, Suhu. Teecu berdua tidak ber-tengkar, hanya teecu ingin menguji kebe-naran
 keterangan sute tentang anak ini."
 "Benar, Suhu. Sebetulnya teecu hanya ingin mencegah suheng membunuh anak ini karena
 teecu hendak membawanya menghadap Supek, yang telah memesan teecu untuk mencarikan
 seorang anak luar biasa."
 "Anak luar biasa....?" Ban-tok Mo-ko, kakek itu kini memandang Yo Han penuh perhatian.
 "Apanya yang luar biasa pada anak ini?"
 "Itulah, Suhu. Teecu juga menganggap bahwa ,anak ini tidak ada apa-apanya yang luar biasa.
 Sekali tampar saja dia tadi roboh pingsan. Akan tetapi Sute...."
 "Suhu, Suheng tidak mau mengerti. Anak ini memang luar biasa. Dia kebal terhadap racun
 dan pengaruh sihir," kata Lauw Kang Hui.
 "Eh" Benarkah?" kata kakek itu dan kini sepasang mata yang sayu itu menge-luarkan sinar
 ketika dia mengamati wa-jah Yo Han.
 "Teecu hendak menguji kekebalannya itu dengan paku merah, akan tetapi Sute
 mencegahnya, maka tadi teecu berdua kelihatan seperti bertengkar, Suhu."
 Kakek itu menggerakkan tangan memberi isarat kepada dua orang murid-nya agar tidak
 bersuara, kemudian diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya, sepasang mata yang
 biasanya sayu itu kini mencorong penuh wibawa seperti hendak menembus kepala Yo Han
 melalui sepasang mata anak itu, kemudian terdengar suaranya menggetar, lirih men-desis, dan
 jelas sekali. Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 115 "Anak baik, siapa namamu?"
 Yo Han adalah seorang anak yang su-dah mengenal sopan santun. Telah men-jadi
 kebudayaan sejak jaman dahulu untuk menghormati orang yang lebih tua, apalagi orang setua
 kekek itu. Karena pertanyaan kakek itu ramah dan halus, dia pun menjawab dengan sikap
 hormat. "Nama saya Yo Han, Kek."
 Bagi orang yang biasa mempergunakan kekuatan sihir, jawaban ini saja sudah menunjukkan
 bahwa korbannya telah ma-suk perangkap dan tentu akan mentaati segala perintah. Kakek itu
 memandang lebih tajam dan suaranya semakin berwibawa ketika dia berkata, dengan nada
 memerintah walaupun masih ramah dan halus,
 "Yo Han, kuperintahkan padamu. Hayo cepat engkau berlutut dan menyembah kepadaku!"
 Orang yang terkena pengaruh sihir yang amat kuat ini tentu di luar kehen-daknya dan
 kesadarannya sendiri akan menjatuhkan diri berlutut dan menyem-bah. Akan tetapi, betapa
 kaget dan he-rannya hati kakek tokoh besar Thian-li-pang itu. Anak itu sama sekali tidak
 mentaati perintahnya, hanya tetap berdi-ri dan memandang kepadanya dengan sepasang
 matanya yang lebar dan jernih.
 "Maafkan, Kek, kalau aku tidak dapat berlutut menyembah kepadamu. Engkau bukan
 guruku, bukan orang tuaku, bahkan bukan pula kakekku."
 Kini barulah Ouw Ban percaya akan keterangan sutenya. Juga Ban-tok Mo-ko menggeleng
 kepalanya, tak habis he-ran. Apakah kekuatan sihirnya telah pu-nah dan kini dia telah menjadi
 lemah" Padahal, selama dia mengundurkan diri dari urusan perkumpulan dan berdiam di
 kamarnya, dia memperbanyak latihan samadhi sehingga sepatutnya kalau kekuatan sihirnya
 semakin bertambah.
 "Lauw Kang Hui dan Ouw Ban, kalian bangkitlah dan pandang aku!"
 Dua orang murid itu bangkit berdiri dan memandang kepada suhu mereka de-ngan patuh.
 Dan kini kakek itu berseru dengan nada memerintah.
 "Lauw Kang Hui dan Ouw Ban, seka-rang kalian duduklah di lantai dan me-nangis!"
 Dalam keadaan wajar, walaupun yang memerintah itu suhu mereka sendiri, tentu dua orang
 itu tidak akan mau mentaati begitu saja. Mereka adalah ketua dan wakil ketua Thian-li-pang,
 tentu mereka tidak mau kalau disuruh menangis seperti anak kecil tanpa sebab, bahkan seperti
 orang gila. Akan tetapi karena mereka sudah dicengkeram penga-ruh sihir yang amat kuat,
 begitu mende-ngar perintah Ban-tok Mo-ko, mereka lalu menjatuhkan diri di atas lantai dan
 keduanya menangis seperti dua orang anak kecil kehilangan barang mainan!
 Tentu saja Yo Han yang tidak me-ngerti apa artinya itu semua, melihat dua orang kakek
 berusia enam puluh dan enam puluh lima tahun kini menangis mengguguk seperti anak-anak
 kecil tanpa sebab, menjadi terheran-heran dan juga penasaran kepada orang yang memerintah
 kedua orang ketua itu.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 116 "Kek, sungguh tidak pantas sekali apa yang kaulakukan ini! Kenapa engkau menghina
 murid-murid sendiri seperti ini?", Yo Han berkata dengan nada menegur. Ban-tok Mo-ko
 terkejut dan merasa he-ran bukan main. Dia menggerakkan tangannya ke arah dua orang
 muridnya dan berkata dengan suara tenang.
 "Kalian bangkitlah!"
 Dua orang pimpinan Thian-li-pang itu bangkit dan mereka seperti baru bangun dari tidur,
 nampak bingung dan tidak tahu apa yang telah terjadi.
 "Yo Han, katakan mengapa tidak pan-tas dan menghina" Ban-tok Mo-ko ber-tanya kepada
 anak itu. "Mereka ini adalah ketua dan wakil ketua perkumpulan besar dan juga mu-rid-muridmu
 sendiri. Akan tetapi kenapa engkau menyuruh mereka menangis se-perti anak-anak kecil"
 Bukankah itu ti-dak pantas dan menghina namanya?"
 Barulah dua orang pimpinan itu tahu bahwa tadi mereka dipergunakan oleh guru mereka
 untuk menguji kekuatan sihirnya dan ternyata ilmu sihir suhu mereka masih ampuh. Namun,
 tadi jelas bahwa ilmu sihir itu tidak mempan terhadap Yo Han! Ban-tok Mo-ko juga
 me-nyadari hal ini dan diam-diam dia merasa heran dan kagum bukan main.
 "Kang Hui, sebaiknya ajak anak ini menghadap supekmu. Biar dia yang me-nentukan!"
 Mendengar ini, Lauw Kang Hui mera-sa girang sekali. Memang benar seperti dugaan Ouw
 Ban tadi, dia mengharapkan hadiah dengan menyerahkan anak luar biasa ini kepada
 supeknya, yaitu hadiah sebuah ilmu. Bukan karena dia ingin mengungguli suhengnya,
 melainkan untuk kemajuannya sendiri.
 "Mari Yo Han, kita menghadap supek!" katanya sambil menggandeng tangan anak itu dan
 menariknya pergi. Karena tidak berdaya, walaupun hatinya menolak, na-mun Yo Han tidak
 dapat membantah dan dia pun hanya menurut saja. Anak ini memang memiliki bakat selalu
 mendekat-kan diri kepada Tuhan. imannya kuat karena sejak kecil dia ditinggal ayah ibunya
 dan Tuhan menjadi gantungan hidupnya, menjadi tumpuan harapannya dan dia selalu
 menyerahkan jiwa-raganya ke tangan Tuhan, penuh kepasrahan. Ma-ka, menghadapi apa pun
 dia tidak merasa gentar karena di dasar hatinya terkan-dung keyakinan akan kekuasaan
 Tuhan, bahwa kalau Tuhan menghendaki dia ha-rus mati sekalipun, tidak ada kekuasaan lain
 yang akan mampu menghalanginya. Oleh karena dia pasrah dan menghadapi maut pun dia
 tidak gentar. Lauw Kang Hui membawa Yo Han ke bagian sudut paling belakang dari perkampungan
 Thian-li-pang yang ternya-ta amat luas itu. Bagian belakang itu merupakan puncak bukit dan
 penuh de-ngan jurang dan guha. Di depan sebuah guha besar, Lauw Kang Hui berhenti sambil
 tetap memegang tangan Yo Han. Dia tahu akan keadaan luar biasa anak ini, maka dia tidak
 berani melepaskannya takut kalau-kalau anak itu akan mampu meloloskan diri.
 Setelah tiba di depan guha, Lauw Kang Hui menghadap ke arah guha, dan menarik tubuh Yo
 Han untuk bersama dia berlutut di atas tanah. Yo Han tidak mampu membantah karena
 tangannya ditarik ke bawah, dia pun ikut berlutut di sebelah Lauw Kang Hui walaupun dia
 tidak bermaksud untuk memberi hormat ke arah guha. Maka ketika wakil ketua Thian-li-pang
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 117 itu mengangkat-angkat ke-dua tangan depan dada, dia pun diam saja, hanya memandang
 penuh perhatian ke arah guha. Guha itu lebarnya ada sepuluh meter dan nampak terawat
 ber-sih seperti rumah saja. Ada pintu di ka-nan kiri, akan tetapi di bagian tengah terbuka dan
 nampak menghitam gelap.
 "Supek yang mulia, teecu Lauw Kang Hui datang menghadap!" Akan tetapi suara itu
 bergema di dalam guha dan tidak ada jawaban, juga tidak nampak gerakan apa pun. Lauw
 Kang Hui menan-ti sejenak, maklum bahwa supeknya me-mang tidak pernah mau diganggu,
 tidak pernah mau berhubungan dunia di luar guha kalau tidak ada keperluan yang ter-amat
 penting. "Supek, teecu datang mengajak seorang anak luar biasa seperti yang pernah Supek pesan
 kepada teecu!"
 Kembali hening sejenak. Tiba-tiba terdengar suara angin dari dalam guha dan tiba-tiba saja
 tubuh Yo Han tersedot ke arah guha. Anak itu mencoba untuk mempertahankan dirinya, akan
 tetapi tubuhnya terguling-guling seperti bola saja menggelinding ke arah guha dan lenyap
 ditelan kegelapan guha. Tak lama kemudian terdengar suara yang jenaka dibarengi tawa.
 "Heh-heh-heh, bagus sekali, Kang Hui. Engkau boleh pergi seka-rang!"
 "Maaf, Supek. Teecu mendapatkan anak ini dari Ang I Moli, akan tetapi teecu sudah berjanji
 kepadanya untuk mohon bantuan Supek memberi obat pe-nawar dari hawa beracun pukulan
 yang sedang dilatihnya."
 "Heh-heh, Si Iblis Betina Cilik Ang I Moli banyak tingkah! Pukulan apa yang sedang ia latih
 itu?" "Katanya ilmu itu disebut Toat-beng-Tok-hiat (Darah Beracun Pencabut Nya-wa)."
 "Wah-wah-wah, keji sekali! Untuk menguasai Ilmu itu ia harus memperoleh hawa murni dan
 darah perjaka-perjaka remaja yang sehat!"
 "Tadinya anak ini yang akan dijadikan korban. Katanya mengorbankan seorang saja cukup
 karena anak ini lebih berhar-ga daripada dua belas orang remaja biasa."
 "Huh, iblis betina licik. Akan tetapi kalau sampai tiga hari anak ini masih di sini, berarti aku
 cocok dengan dia dan boleh kauserahkan obat penawar itu ke-padanya. Nah, sekarang
 pergilah!"
 "Maaf, Supek. Kalau Supek berkenan dengan anak yang teecu bawa ke sini, teecu mohon
 sedikit petunjuk Supek agar teecu memperoleh kemajuan dalam ilmu silat teecu."
 "Heh-heh-heh-heh, engkau orang ta-mak! Tapi kalau anak ini memang me-nyenangkan hati,
 kelak akan kuajarkan sebuah ilmu kepadamu."
 "Terima kasih, Supek. Terima kasih!" kata Lauw Kang Hui sambil memberi hormat lalu dia
 bergegas pergi sebelum kakek aneh itu membatalkan janjinya.
 Sementara itu, Yo Han yang mengge-linding seperti disedot tenaga yang amat kuat, kini tiba
 di dalam guha, masih duduk di lantai guha di dekat sepasang kaki yang kurus dan telanjang
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 118 karena celana pemilik kaki itu hanya sampai ke lutut. Kaki itu memakai sandal yang amat
 sederhana, hanya sepotong kulit tebal diikatkan pada kaki secara kasar, di masing-masing
 kaki. Yo Han merasa penasaran dan juga marah sekali. Dia adalah seorang anak yang pernah
 menja-di murid suami isteri yang sakti, maka biarpun dia tidak pernah berlatih ilmu silat,
 namun pengetahuannya akan ilmu silat sudah cukup mendalam. Dia tahu bahwa pemilik kaki
 ini telah mempergu-nakan semacam ilmu yang aneh untuk menariknya dari luar gua.
 Semacam sin-kang (tenaga sakti) yang sudah demikian tinggi tingkatnya sehingga Si Pemilik
 tenaga itu dapat mempergunakan seenaknya saja dapat untuk menyedot seperti tadi! Dan dia
 pun tahu bahwa orang ini tentu lihai bukan main. Akan tetapi dia tidak takut, bahkan marah
 karena merasa dipermainkan. Dia hendak bangkit berdiri dan memprotes, akan tetapi sungguh
 aneh, dia tidak mampu bangkit berdiri!
 Baru setelah Lauw Kang Hui pergi, kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han merasa leher
 bajunya dicengkeram tangan yang kecil, lalu tubuhnya diangkat dan dia pun sudah di jinjing
 pergi memasuki guha itu yang ternyata di sebelah dalam-nya amat luas, seperti sebuah rumah
 gedung saja dengan dua buah kamar dan berikut pula ruangan duduk, dapur dan kamar mandi
 lengkap! Juga di sebelah dalam guha itu tidak gelap seperti nam-pak dari luar karena selain
 bagian atas-nya terdapat lobang sehingga sinar ma-tahari dapat masuk, juga guha itu
 menembus ke terowongan belakang dari mana datang pula sinar matahari. Belum lagi adanya
 lampu-lampu gantung.
 Yo Han dibawa masuk ke dalam ru-angan yang terang sekali dan dia lalu dilepas oleh tangan
 yang menjinjingnya. Ketika dia turun, dia membalik dan menghadapi orang yang
 membawanya ke dalam guha. Baru sekarang dia dapat melihat kakek itu dan diam-diam Yo
 Han terkejut. Seorang kakek yang tua renta, ada delapan puluh tahun usianya. Ram-butnya
 putih seperti kapas, tinggal sedi-kit saja sehingga di bagian tengah kepa-lanya botak
 mengkilat. Tubuhnya kecil pendek. Pakaiannya sederhana seperti pakaian kanak-kanak,
 dengan celana setinggi lutut dan baju yang lengannya juga hanya sampai di sikunya. Kaki dan
 tangan yang menonjol keluar itu nampak kecil kurus seperti kaki tangan anak-anak. Wajah
 kakek itu pun kecil namun ketua-annya karena keriput. Matanya tajam dan lincah, dan
 mulutnya selalu menyeringai, memperlihatkan mulut yang ompong tan-pa gigi secuil pun!
 Mereka saling pandang, berdiri ber-hadapan dan kakek itu hanya lebih tinggi sekepala saja
 dibandingkan Yo Han. Sam-pai lama mereka saling berpandangan dan diam-diam Yo Han
 merasa heran. Kakek ini sama sekali tidak mendatangkan kesan buruk atau jahat. Sinar mata
 yang tajam lincah itu nampak demikian lembut. Bahkan kakek ini jauh berbeda di-
 bandingkan Ban-tok Mo-ko.
 "Heh-heh, aku dengar dari sini tadi bahwa namamu Yo Han?" tanya kakek itu, dan suaranya
 seperti suara anak-anak pula, demikian ringan dan belum pecah. Yo Han kagum. Dari tempat
 ini, cukup jauh dari tempat dia bicara dengan Ban--tok Mo-ko dan dua orang muridnya tadi,
 kakek ini dapat mendengarkan!
 "Benar, Locianpwe (orang Tua Pandai), namaku Yo Han," jawabnya dan dia bersikap hormat
 karena dia maklum bah-wa dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti.
 "Heh-heh, dan engkau anak luar bia-sa?" tanya kakek itu pula. Yo Han me-rasa kesal. Hanya
 itu saja yang dibicara-kan orang! Dia pun tanpa diminta meng-hampiri sebuah dipan dan naik,
 lalu duduk bersila di atas dipan itu, mulutnya cemberut.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 119 "Orang-orang itu mengada-ada saja, Locianpwe. Aku bernama Yo Han. Yatim piatu, hidup
 sebatang kara saja di dunia ini, tidak bisa apa-apa, dan orang-orang mengatakan aku anak luar
 biasa, dan aku dijadikan rebutan! Sungguh aneh orang-orang tua di dunia ini, seperti orang
 gila saja. Aku ini manusia biasa, hanya ingin melanjutkan hidup wajar dan tentram, tidak
 senang diganggu dan tidak senang pula menggang-u."
 Kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han melihat hal yang aneh. Kakek itu tidak membuat
 gerakan meloncat atau berjalan, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas dipan dan
 kakek itu sudah pula duduk bersila di depan Yo Han. Akan tetapi anak itu sudah terlalu
 banyak melihat kehebatan ilmu kepandaian yang dipamerkan orang kepadanya sehingga dia
 tidak kelihatan heran, bahkan acuh saja.
 "Heh-heh-heh, aku yakin Kang Hui tidak akan salah pilih. Dan biasanya cer-mat dan dia haus
 akan ilmu baru dariku.
 Yo Han, engkau diamlah, aku akan me-meriksamu." Setelah berkata demikian, kakek itu
 menggerakkan tangannya dan kedua tangan itu sudah memegang kepala Yo Han. Anak ini
 berniat hendak meno-lak, akan tetapi sungguh aneh. Dia tidak mampu bergerak!
 Tahulah dia bahwa kakek yang katai ini telah memperguna-kan semacam ilmu totok yang
 amat aneh yang membuat dia tidak mampu meng-gerakkan kaki tangannya, seperti menjadi
 lumpuh. Thian-te Tok-ong, kakek tua renta itu, kini memijit-mijit kepala Yo Han dengan jari-jari
 tangannya, pijat sana, pijat sini, mengelus bagian belakang ke-pala yang menonjol, mengukur
 dengan jari dan berulang-ulang dia mengeluarkan suara lidah seperti cecak berbunyi. "Ck-ck-
 ck-ck!" Kemudian, kedua tangan itu meraba ke seluruh tubuh Yo Han, dari kepala leher, dada
 perut, kaki tangan sampai ke ujung jari kaki! Dan suara seperti bunyi cecak itu semakin
 sering. Lalu kakek itu menempelkan kedua tela-pak tangannya di atas dada Yo Han. Anak itu
 merasa betapa ada hawa panas dari telapak tangan itu memasuki dada-nya. Dia hanya pasrah
 saja, tidak mene-rima, tidak pula melawan. Dia merasa yakin sepenuhnya bahwa kalau Tuhan
 tidak menghendaki, orang yang seribu kali lebih sakti dari kakek ini takkan mampu
 mencelakainya, sebaliknya kalau sampai dia menderita celaka, apa dan siapa pun
 penyebabnya, hal itu hanya terjadi karena Tuhan menghendakinya. Keyakinan ini membuat
 hatinya tenteram karena untuk berusaha membela diri pun tidak ada gunanya karena kaki
 tangannya tidak dapat dia gerakkan.
 Yo Han merasa betapa hawa panas dari tangan kakek itu memasuki tubuhnya seperti meraba-
 raba di bagian dalam tubuhnya, memasuki kepalanya, berputar-putaran, lalu ke dadanya, juga
 berputar-putar kemudian turun ke arah pusarnya.
 Tiba-tiba, ketika hawa panas yang dapat bergerak-gerak itu memasuki rong-ga bawah
 pusarnya, hawa panas itu me-luncur keluar dan kakek itu pun terlem-par sampai ke atas lantai
 di bawah dipan! Kakek itu meloncat bangun, terbelalak memandang kepada Yo Han yang kini
 tiba-tiba mampu bergerak lagi, dan ka-kek itu berseru dengan penuh takjub.
 "Wah-wah-wah, apa ini" Apa-apaan ini" Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku
 melihat yang begini! Hei, Yo Han! Pernahkah engkau belajar ilmu dan menjadi murid orang-
 orang pandai?"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 120 Yo Han cemberut. "Locianpwe, aku tahu bahwa Locianpwe adalah seorang tua yang berilmu
 tinggi. Aku menghormatimu karena kepandaianmu dan karena ketuaanmu. Akan tetapi apa
 yang kau-lakukan terhadap aku yang muda" Biar-pun aku pernah menjadi murid orang
 pan-dai, akan tetapi kalau Locianpwe mengira bahwa aku pernah mempelajari ilmu silat atau
 ilmu kekerasan lain lagi, Locianpwe keliru. Aku tidak pernah belajar silat!"
 "Tapi.... tapi.... dari pusat tenaga di bawah pusarmu terdapat tenaga yang amat dahsyat!"
 "Aku tidak tahu, Locianpwe. Apakah anehnya hal itu" Yang menghidupkan manusia adalah
 kekuasaan Tuhan, dan siapa dapat mengukur kekuatan dari ke-kuasaan Tuhan" Kekuatan
 yang mampu menggerakkan bintang dan bulan, mampu menciptakan segala sesuatu di alam
 ma-ya pada ini" Apa anehnya kalau hanya kekuatan secuil di dalam tubuhku ini?"
 "Wahhh! Luar biasa! Memang engkau anak luar biasa, Engkaulah yang telah lama kutunggu,
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah lama kurindukan! Engkaulah yang pantas menjadi muridku, engkau yang pantas menjadi
 orang yang kelak akan mengangkat nama Thian-li-pang, yang akan membersihkan nama
 Thian-li-pang dan mengharumkan kembali namanya. Ha-ha-ha-heh-heh!"
 "Locianpwe, aku pernah membaca pe-ngalaman orang bijaksana jaman dahulu bahwa yang
 dirindukan itu akhirnya men-jadi yang mengecewakan! Kalau yang dirindukan itu
 kesenangan, maka yang merindukan adalah nafsu pikiran dan di samping kesenangan tentu
 muncul kesusahan, di balik kepuasan bersembunyi kekecewaan. Menurut pengalaman para
 suci, hanya yang dirindukan jiwa sajalah yang berharga dan benar."
 Kakek itu terbelalak, lalu terkekeh. "Heh-heh-heh, kalau tidak melihat bahwa engkau ini
 seorang bocah, tentu aku me-ngira yang bicara ini seorang pendeta! Ha-ha-ha! Yo Han, apa
 itu yang dirindu-kan jiwa?"
 "Apa yang dirindukan setiap tetes air kalau bukan samudera, kembali ke asal-nya dan bersatu
 dengan samudera" Apa yang dirindukan oleh bunga api kalau bukan kepada api yang menjadi
 pusatnya" Demikianlah yang kubaca. Hanya persa-tuan, dengan sumber inilah yang akan
 membahagiakan hidup, Locianpwe, bukan segala kesenangan memuaskan nafsu. Apakah
 Locianpwe tidak rindu kepada Tuhan?"
 "Kepada Tuhan?" kakek itu meman-dang heran.
 "Tentu saja. Bukankah yang dimaksudkan dengan sumber itu adalah Tuhan Yang Maha
 Kuasa" Bukankah segala se-suatu datang dari padaNya dan sepatut-nya kembali kepadaNya?"
 "Wah-wah-wah....! Engkau ini siapa sih" katanya setengah berkelakar.
 A
^