Kisah Si Bangau Merah 5

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


kan tetapi Yo Han kini turun dari dipan itu, berdiri tegak dan dengan lan-tang berkata,
 "Aku ini seorang anak manusia seperti juga Locianpwe. Akut ini setetes air seperti
 Locianpwe, yang sela-lu merindukan samudera!"
 "Hahhh?" Kakek itu kini benar-benar tertegun dan termenung. Dia memba-yangkan tetes-
 tetes air yang datang dari samudera melalui hujan. Semua air itu berasal dari samudera, akan
 tetapi sete-lah terbawa awan dan diturunkan ke bumi sebagai tetes-tetes air, harus me-ngalami
 banyak penderitaan dan kesukar-an masing-masing sebelum dapat kembali ke samudera,
 tempat asalnya atau sumbernya. Lika-liku perjalanan tiap tetes air tidaklah sama. Ada yang
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 121 dapat lancar kembali ke samudra, ada yang harus melalui pencomberan, lumpur dan kotoran.
 Akan tetapi, semua tetes air itu kalau akhirnya kembali ke samudra, akan menjadi satu dengan
 samudra dan tidak ada lagi perbedaan diantara mereka.
 "Yo Han, engkau memang bocah ajaib dan aku girang sekali bisa mendapatkan engkau
 sebagai muridku."
 Locianpwe ingin menjadi guruku, akan tetapi tidak pernah bertanya apakah aku suka menjadi
 muridmu." "Ehh" Hah" Manusia mana tidak su-ka manjadi murid Thian-te Tok-ong" Bahkan anak
 Kaisar pun akan suka sekali menjadi muridku!"
 "Akan tetapi aku bukan anak Kaisar dan sebelum aku mengatakan suka atau tidak, aku ingin
 dulu mengetahui, kalau Locianpwe menjadi guruku, Locianpwe akan mengajarkan apakah
 kepadaku?"
 "Ha-ha-ha, apa saja yang kauingin pe-lajari!" Kakek ini memang cerdik sekali. Dia tahu
 bahwa seorang anak seperti Yo Han memiliki keteguhan hati dan tidak mengenal takut. Maka
 dia harus tahu dulu apa yang diinginkan dan tidak diinginkan anak ini sebelum menjawab
 agar dia tidak sampai bertumbuk keinginan dengan anak luar biasa ini.
 "Segala macam ilmu baik untuk dipe-lajari dan aku suka mempelajarinya, Lo-cianpwe,
 kecuali satu, yaitu ilmu silat. Aku tidak suka berlatih ilmu silat"
 Kalau tidak cerdik sekali, tentu Thian-te Tok-ong sudah terkejut mendengar ucapan itu. Dia
 ingin mengambil anak luar biasa menjadi muridnya untuk me-wariskan seluruh ilmu silatnya
 dan men-didik murid itu menjadi calon pemimpin Thian-li-pang yang pandai dan yang akan
 mengangkat nama Thian-li-pang, dan sekarang, anak yang dipilih itu terang--terangan
 mengatakan bahwa dia suka mempelajari ilmu apa saja kecuali ilmu silat!
 "Heh-heh-heh, bagus! Engkau jujur se-kali! Nah, tidak ada orang membenci sesuatu tanpa
 alasan tertentu. Kenapa engkau tidak suka berlatih ilmu silat, Yo Han?"
 "Aku tidak membenci sesuatu, Lo-cianpwe. Hanya aku tidak mau mempela-jari ilmu silat
 karena aku melihat kenyataan betapa ilmu itu mengandung keke-rasan, bersifat merusak dan
 hanya mendatangkan permusuhan dan perten-tangan saja dalam kehidupan ini."
 "Heh-heh-heh, cocok! Cocok dengan aku, Yo Han. Tidak, aku tidak mengajar-kan ilmu silat
 kepadamu, hanya akan mengajarkan ilmu tari dan senam olah raga untuk membuat tubuhmu
 sehat. Bagaimana?"
 Yo Han mengamati wajah yang kecil itu. "Tidak mengajarkan cara memukul dan menendang
 orang, bahkan membunuh?"
 "Ho-ho-ho, sama sekali tidak! Memang kaupikir aku ingin melihat engkau menja-di algojo"
 Aku suka kepadamu, maka aku ingin melihat engkau sehat lahir batin, dan pandai menari
 indah!" Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 122 Yo Han tersenyum. "Baiklah, kalau begitu aku suka menjadi muridmu." Dan anak ini lalu
 menjatuhkan diri berlutut. "Aku akan belajar dengan rajin, Suhu, dan akan melayani Suhu di
 sini." "Ha-ha-ha, bagus, bagus, muridku. Yo Han, hari ini merupakan hari paling ba-hagia
 untukku!" Mulai hari itu, Yo Han tinggal di da-lam guha bersama gurunya. Ternyata untuk mereka telah
 dikirim makanan dari luar sehingga Yo Han tidak perlu lagi mencarikan makanan untuk
 gurunya. Dan mulailah Thian-te Tok-ong menga-jarkan "tari" dan "senam" kepada Yo Han.
 Memang kakek ini pandai sekali. Ilmu silat memang mengandung tiga unsur, yaitu pertama
 tentu saja ilmu bela diri, ke dua ilmu tari dan ke tiga ilmu senam kesehatan, kesehatan lahir
 batin. Dia mengajarkan kepada Yo Han ge-rakan semua binatang yang ada di dunia ini yang
 dinamakannya Tarian Harimau, Tarian Naga, Tarian Burung, Tarian Mo-nyet dan sebagainya.
 Padahal, dalam gerak tari ini terkandung ilmu silat yang dahsyat. Yo Han melatih diri dengan
 "tari-tarian" itu, dan tanpa disadarinya sendiri dia telah menggembleng diri dengan ilmu silat
 yang tinggi. Dan dalam latihan ini, otomatis ilmu-ilmu silat yang pernah dia pelajari secara
 teoretis tanpa disengaja keluar dan terkandung dalam gerak "tariannya".
 Kurang lebih seminggu setelah dia berada di dalam guha itu, pada suatu malam Yo Han
 dikejutkan oleh suara yang menyayat jantung, suara mengerikan yang merupakan semacam
 lolong atau lengking memanjang. Bukan lolong anjing, dan tidak mirip suara manusia, namun
 dalam lengking itu terkandung semua perasaan duka dan derita yang amat hebat! Seperti
 tangis bukan tangis, se-perti tawa bukan tawa, namun dia yang tidak pernah merasa takut itu
 sempat terbelalak dan merasa betapa tengkuknya dingin sekali. Dia segera lari ke kamar
 Thian-te Tok-ong yang sedang bersama-dhi, menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
 "Suhu, suara apakah yang terdengar dari arah belakang itu?" tanyanya kepada kakek itu yang
 sudah membuka matanya ketika dia berlutut,
 "Heh-heh, engkau mendengar juga, Yo Han" jangan pedulikan. Suara itu sudah sejak lima
 tahun ini kadang terde-ngar, keluar dari dalam sumur bawah tanah di ujung belakang
 terowongan ini."
 "Tapi.... suara apakah itu, Suhu?"
 Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. "Kelak engkau akan dapat me-ngetahuinya
 sendiri. Agar engkau tidak menjadi penasaran, baik engkau ketahui saja bahwa sumur itu
 merupakan tempat hukuman bagi seorang manusia iblis yang amat berbahaya. Dan mulai
 sekarang, setiap hari dua kali biar engkau mewa-kili aku menurunkan makanan ke bawah
 sana. Setiap kita mendapat kiriman ma-kanan dan minuman, tentu ada sebungkus untuk dia
 dan biasanya kulemparkan saja ke dalam sumur."
 "Tapi, siapa dia, Suhu" Dan siapa pu-la yang menghukumnya" Dan mengapa pula dia
 dihukum?" "Panjang ceritanya dan engkau tidak perlu tahu. Yang penting kauketahui, orang itu seperti
 iblis atau sepetti gila, dengan kepandaian yang dahsyat dan tak seorang pun mampu
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 123 menandinginya. Orang lain tidak mungkin dapat menuruni sumur itu, dan andaikata ada yang
 dapat turun pun tentu akan mati konyol oleh manusia iblis itu. Sudahlah, itu bu-kan urusanmu,
 tidak perlu engkau men-campuri. Merupakan urusan rahasia dan pribadi dari Thian-li-pang.
 Mengerti?"
 Yo Han mengangguk dan menunduk. Hatinya penuh perasaan iba kepada orang hukuman
 yang disebut manusia Iblis itu. Akan tetapi suara itu sudah lenyap lagi dan sejak hari itu,
 dialah yang setiap hari dua kali mengirim sebungkus makan-an ke sumur itu. Sumur itu kecil
 saja, bergaris tengah satu meter, akan tetapi amat dalam. Ketika dia mencoba untuk
 menjenguk ke dalam, yang nampak hanya kehitaman belaka, hitam pekat dan gelap sekali.
 Pernah dia mencoba untuk memanggil-manggil dengan sebutan "locian-pwe" beberapa kali,
 namun selalu tidak ada jawaban. Menurut pesan Thian-te Tok-ong, dia harus melemparkan
 begitu saja bungkusan makanan ke dalam sumur. Karena merasa kasihan dan tidak ingin
 makanan itu rusak kalau jatuh ke dasar sumur, pernah Yo Han mengikatnya de-ngan tali dan
 mengereknya turun. Akan tetapi belum juga dua meter. tali yang ujungnya mengikat buntelan
 itu turun, tiba-tiba tali itu putus dan makanan itu pun jatuh ke bawah seperti kalau dia
 lemparkan! Terdorong oleh rasa iba kepada orang hukuman itu, pernah Yo Han mencoba untuk
 mengukur dalamnya sumur, menggunakan tali panjang. Akan tetapi seper-ti juga ketika
 mencoba mengerek bung-kusan makanan ke bawah, tiba-tiba tali itu putus tanpa sebab! Dia
 pun dapat menduga bahwa siapa pun orangnya yang berada di bawah, gila atau tidak,
 manu-sia atau iblis, tentu memiliki ilmu yang hebat sehingga entah dengan cara apa, tali yang
 diturunkan tentu akan putus seperti digunting!
 Karena tidak mungkin baginya untuk turun ke sumur, juga kini tidak pernah lagi ada suara
 mengerikan itu, akhirnya Yo Han menganggap hal itu biasa dan setiap hari mengirim
 makanan dengan melemparkannya ke sumur. Dan dia mu-lai merasa senang di situ karena
 Thian-te Tok-ong memegang janjinya, menga-jarkan "tari-tarian" yang dianggapnya amat
 indah. Juga kakek itu mendatang-kan banyak kitab dari luar sehingga di waktu senggang, Yo
 Han dapat memuas-kan selera bacanya yang tak kenal bosan. Segala macam kitab dilahapnya
 dan di dalam kitab ini dia berkenalan dengan para pahlawan dan para pendekar, juga riwayat
 partai-partai besar di dunia, persilatan. Akan tetapi, gurunya tidak per-ah mengajaknya bicara
 tentang dunia persilatan, tidak pernah pula bicara ten-tang ilmu silat.
 *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 Kita tinggalkan dulu Yo Han yang belajar "tari" dan "senam" kepada Thian-te Tok-ong,
 tokoh paling lihai dari Thian li-pang dan mari kita melihat keadaan keluarga Tan Sin Hong
 yang ditinggalkan Yo Han.
 Setelah ditinggal pergi Yo Han, setiap hari Sian Li menangis dan selalu mena-nyakan
 suhengnya yang amat disayangnya itu. Anak berusia empat tahun itu sejak lahir selalu diasuh
 oleh Yo Han, selalu bermain-main dengan Yo Han sehingga ia menyayang Yo Han seperti
 kakaknya sendiri. Oleh karena itu, begitu Yo Han pergi meninggalkannya, siang malam ia
 rewel saja dan minta kepada ayah ibunya agar mereka menyusul Yo Han. Bahkan di waktu
 tidur, seringkali Sian Li ber-mimpi dan mengigau memanggil-manggil nama Yo Han.
 Tentu saja Tan Sin Hong dan Kao Hong Li merasa prihatin sekali. Mereka berdua pun amat
 sayang kepada Yo Han dan kepergian anak itu sungguh membuat mereka merasa kehilangan
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 124 sekali. Akan tetapi, demi masa depan Sian Li, mereka terpaksa merelakan Yo Han pergi. Yo
 Han bukan anak biasa. Hatinya teguh memegang pendiriannya yang tidak suka akan ilmu silat
 dan kalau hal ini sampai menular kepada Sian Li, sungguh akan membuat mereka berdua
 kecewa sekali. Bagaimana mungkin sebagai suami isteri pendekar, mereka mempunyai
 seorang anak yang tidak suka belajar silat dan menjadi seorang gadis yang lemah kelak"
 Hidup memang diisi oleh dua keadaan yang berlawanan. Ada dua kekuatan yang berlawanan,
 akan tetapi juga saling me-ngadakan dan saling mendorong di dalam dunia ini. Justeru adanya
 dua kekuatan inilah yang membuat kehidupan ada dan dapat membuat segala sesuatu berputar
 dan hidup. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin, ada senang ada susah. Ada yang satu
 tentu ada yang ke dua, yang menjadi kebalikannya. Bagaimana mungkin ada yang disebut
 terang kalau tidak ada gelap. Setelah merasakan ada-nya gelap, baru terang dikenal, atau
 sebaliknya. Setelah orang mengalami senang, baru tahu artinya susah atau sebaliknya setelah
 mengalami susah baru mengenal arti senang. Dan segala sesuatu memiliki dwi-muka, dua
 sifat yang ber-tentangan. Kita sudah terseret ke dalam lingkaran setan dari dua unsur yang
 ber-lawanan ini sehingga kehidupan ini diom-bang-ambingkan antara yang satu dari yang
 lain. Padahal, semua keadaan itu hanyalah hasil daripada perbandingan dan penilaian, yang
 selalu berubah-ubah. Hari ini seseorang dapat menerima sesuatu dengan puas, lain hari
 sesuatu yang sama hanya mendatangan kecewa. Apa yang hari ini mendatangkan kesenangan,
 besok mungkin menimbulkan kesusahan.
 Sebetulnya, susah senang hanyalah akibat daripada penilaian kita sendiri. Hati dan akal
 pikiran kita sudah berge-limang nafsu daya rendah sehingga pikir-an yang licik selalu
 membuat perhitungan yang menguntungkan kita berarti senang, sebaliknya yang merugikan
 kita berarti susah! Banyak sekali contohnya. Kalau hujan turun selagi kita membutuhkan air,
 berarti hujan itu menyenangkan karena menguntungkan kita. Sebaliknya, kalau hujan turun
 mengakibatkan banjir atau becek atau menghalangi kesenangan kita, maka hujan itu
 menyusahkan karena me-rugikan kita. Demikian pula dengan sega-la peristiwa yang terjadi di
 dunia ini. Susah senang, susah senang, perasaan kita dipermainkan antara susah dan se-nang
 setiap hari, dipermainkan oleh ulah hati dan akal pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah.
 Kalau kita sedang bersenang-senang, kita lupa bahwa kesenangan itu hanya sementara saja,
 dan kesusahan sudah siap menggantikannya setiap saat. Demikian sebaliknya, kalau kita
 sedang bersusah-susah, kita merana dan merasa hidup ini sengsara, lupa bah-wa kesusahan itu
 pun hanya sementara saja sifatnya, akan tertimbun kesenangan dan kesusahan lain yang
 datang silih berganti.
 Orang bijaksana akan menerima sega-la sesuatu seperti apa adanya. Segala yang terjadi itu
 wajar karena segala yang terjadi itu adalah kenyataan yang tak dapat dirubah atau dibantah
 lagi. Orang bijaksana tidak akan menentang arus peristiwa yang datang, melainkan
 menyesuaikan diri dengan arus itu, me-ngembalikan, kesemuanya kepada Tuhan, kepada
 kekuasaan Tuhan karena kekuasa-anNya itulah yang mengatur dan menen-tukan segalanya.
 Hujan" Banjir" Bencana alam" Sakit dan mati" Kehilangan" Ke-untungan dan keberhasilan.
 Semua itu dihadapi dengan penuh kesabaran, penuh keikhlasan, berdasarkan kepasrahan,
 pe-nyerahan kepada Tuhan! Dan orang yang sudah pasrah lahir batin, secara menye-luruh
 kepada Tuhan, takkan lagi disentuh derita yang berlebihan, tidak akan mabok kesenangan.
 Setelah lewat beberapa bulan, Sian Li menjadi kurus dan kurang bersema-ngat. Melihat
 keadaan anak mereka ini, Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, mengambil keputusan
 untuk mengajak puteri mereka pergi pesiar agar terhibur hatinya. Mereka mengajak Sian Li
 pergi berkunjung ke kota raja Peking yang besar, megah dan indah. Seminggu lama-nya
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 125 mereka tinggal di kota raja, berma-lam di sebuah rumah penginapan dan setiap hari ayah dan
 ibu itu mengajak puteri mereka untuk berpesiar mengun-jungi tempat-tempat yang indah di
 kota raja. Tentu saja Sian Li yang baru berusia empat tahun lebih itu menjadi gembira bukan main dan
 tak lama kemudian ia sudah melupakan sama sekali kesedihan-nya karena ditinggal pergi Yo
 Han! Se-nang atau susah memang hanya permain-an sementara waktu dari perasaan. Sang
 Waktu akan menelan habis semua kesu-sahan atau kesenangan sehingga tiada bersisa lagi.
 Atau perasaan lain akan muncul silih berganti sehingga perasaan yang timbul karena peristiwa
 lama itu akan tertimbun dan tidak nampak lagi, terganti oleh perasaan yang timbul kare-na
 peristiwa baru. Sejak kita kanak-ka-nak kecil sampai dewasa, hati dan akal pikiran kita sudah
 digelimangi nafsu yang selalu mencari kesenangan dalam hal-hal atau benda-benda yang
 baru. Kita selalu haus akan yang baru, karena yang baru selalu memiliki daya tarik yang
 besar, didorong oleh keinginan tahu. Kalau yang didapatkan itu sudah lama, akan
 membo-sankan dan perhatian kita akan tertarik oleh hal lain yang baru. Sejak kanak-kanak,
 kita mudah bosan dengan barang mainan lama, dan akan tertarik oleh ba-rang mainan baru.
 Setelah kita dewasa, kita tetap tidak berubah, tetap saja ter-tarik oleh barang mainan yang
 baru, walaupun bentuk barang permainan itu yang berbeda. Permainan kita ketika masih
 kanak-kanak tentu saja barang-barang mainan, atau permainan dengan kawan-kawan. Sesudah
 kita dewasa per-mainan kita bukan boneka atau barang-barang mainan lain, akan tetapi,
 permain-an berupa harta benda, kedudukan, ke-kuasaan, dan pemuasan nafsu melalui panca-
 indrya. Biarpun demikian, tetap saja kita pembosan dan selalu haus akan hal yang baru. Itulah
 sifat nafsu! Selalu ingin yang baru, yang lebih!
 Setelah berpesiar di kota raja, Sian Li sudah melupakan Yo Han dan sama sekali tidak pernah
 menangis lagi. Ke-gembiraannya semakin besar ketika dari kota raja ayah ibunya
 mengajaknya ber-kunjung ke kota Pao-teng di mana ting-gal kakek dan neneknya, yaitu orang
 tua dari ibunya. Kakek-luarnya itu, Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir
 penghuni Istana Gurun Pasir, se-dangkan nenek luarnya yang bernama Suma Hui adalah cucu
 dalam dari Pendekar Super Sakti penghuni Istana Pulau Es!
 Suami isteri keturunan keluarga pen-dekar sakti itu tinggal di Pao-teng, ber-dagang rempa-
 rempa. Mereka sudah tua. Kao Cin Liong yang sudah berusia enam puluh tiga tahun
 sedangkan isterinya, Suma Hui, berusia lima puluh tiga tahun. Semenjak puteri mereka yang
 menjadi anak tunggal, Kao Hong Li, menikah dengan Tan Sin Hong dan ikut suaminya
 tinggal di kota Ta-tung, suami isteri ini tentu saja merasa kesepian. Mereka hi-dup berdua saja
 bersama tiga orang yang membantu toko rempa-rempa dan juga membantu rumah tangga.
 Namun, suami isteri pendekar itu hidup tenteram karena memang mereka telah lama
 mengurung diri dan tidak lagi mencampuri urusan dunia kang-ouw. Juga tidak ada golongan
 sesat yang berani mengganggu mereka. Bukan saja karena suami isteri ini terkenal amat lihai,
 juga Kao Cin Liong ketika mudanya pernah menjadi seorang panglima perang yang telah
 ba-nyak jasanya. Kini, suami isteri yang sudah mulai tua dan hidup berdua saja ini memiliki
 penghasilan yang berlebihan bagi mereka dan mereka merupakan orang-orang dermawan
 yang suka meno-long mereka yang membutuhkan pertolongan. Maka, seluruh penduduk kota
 Pao-teng merasa hormat den segan ke-pada mereka.
 Dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati kakek Kao Cin Liong dan iste-rinya, nenek
 Suma Hui ketika mereka menerima kunjungan puteri mereka ber-sama suaminya
 dan anaknya. Kakek dan nenek perkasa ini dahulu pernah merana dan berduka sekali melihat
 keadaan pu-teri tunggal mereka, Kao Hong Li. Da-hulu, sebelum menjadi isteri pendekar Tan
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 126 Sin Hong, puteri mereka itu pernah menjadi isteri dari Thio Hui Kong, pute-ra seorang jaksa
 di Pao-teng yang adil dan jujur. Juga Thio Hui Kong merupa-kan seorang pria yang tampan
 dan gagah, pandai ilmu silat dan sastra. Namun sayang, karena pernikahan di antara mere-ka
 itu tidak ada cinta, terutama di pihak Kao Hong Li, pernikahan itu gagal. Hong Li tidak
 pernah mencintai suaminya dan bersikap hambar sehingga Thio Hui Kong yang merasa
 kecewa lalu menghibur diri dengan pelesir dan judi. Akhirnya rumah tangga mereka tidak
 dapat dipertahankan lagi dan mereka bercerai! Namun, dasar sudah jodohnya. Hong Li
 bertemu dengan Tan Sin Hong yang sejak dulu dicintanya akan tetapi Sin Hong menikah
 dengan wanita lain. Dalam pertemuan kembali ini, ternyata Tan Sin Hong juga sudah bercerai
 dari isterinya yang melakukan penyelewengan! Dan dua hati yang saling mencinta itu pun
 bertemu kembali dan menikahlah janda kembang dengan duda muda itu. Tentu saja peristiwa
 itu mem-buat Kao Cin Liong dan Suma Hui mera-sa berbahagia sekali, apalagi setelah lahir
 Tan Sian Li, cucu luar mereka.
 "Sian Li, cucuku yang manis....!" Ne-nek Suma Hui mengangkat tubuh cucunya tinggi-
 tinggi, lalu mendekap dan men-ciumi kedua pipinya sambil tertawa gembira. "Aduh, engkau
 makin manis saja Sian Li. Dan pakaianmu merah! Heh-heh, engkau seperti seekor bangau
 merah!" Kao Cin Liong mengelus rambut ke-pala, Sian Li yang berada di pondongan Suma Hui.
 "Bangau Merah" Ha-ha-ha, memang ia puteri Si Bangau Putih Tan Sin Hong. Si Bangau
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Merah, nama yang indah. Mari, mari ikut kong-kong!" kata kakek itu dan mengambil Sian Li
 dari pondongan isterinya.
 Suma Hui menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya.
 "Ehh" Mana murid kalian" Apakah Yo Han tidak ikut?"
 Tiba-tiba Sian Li yang berada di pon-dongan kakeknya, berkata, "Kong-kong dan Bo-bo
 (Nenek), Suheng Yo Han nakal dia pergi bersama seorang bibi iblis!"
 Kakek dan nenek itu terbelalak me-mandang kepada Sin Hong dan Hong Li. Suami isteri ini
 memang selalu membujuk Sian Li untuk melupakan Yo Han yang mereka katakan nakal
 karena Yo Han minggat dan ikut dengan seorang wanita iblis yang jahat. Hal ini mereka
 tekankan agar Sian Li dapat melupakan Yo Han dan tidak selalu menagisinya.
 "Apa yang terjadi dengan dia?" tanya Kao Cin Liong. Dia dan isterinya juga merasa sayang
 kepada Yo Han, murid mantu mereka itu.
 "Ayah dan Ibu, biarlah nanti kami ce-ritakan tentang dia," kata Hong Li. "Ka-mi masih lelah,
 karena baru saja kami datang dari kota raja di mana kami tinggal selama seminggu dan setiap
 hari kami mengajak, Sian Li pesiar."
 Mereka semua lalu masuk dan Sin Hong bersama isterinya mendapatkan ka-mar yang dahulu
 menjadi kamar Hong Li. Adapun Sian Li tentu saja ditahan oleh neneknya dan diajak tidur di
 kamar neneknya.
 Setelah beristirahat dan makan malam dan setelah Sian Li tidur pulas di kamar neneknya,
 barulah Tan Sin Hong dan Kao Hong Li bercakap-cakap dengan kakek dan nenek itu,
 menceritakan tentang Yo Han. Mereka menceritakan semua keanehan yang terdapat pada diri
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 127 Yo Han, tentang sikapnya yang sama sekali tidak mau berlatih ilmu silat. Kemudian ten-tang
 munculnya Ang I Moli, Tee Kui Cu yang mula-mula menculik Sian Li, kemu-dian betapa Yo
 Han dapat menemukan wanita iblis itu dan menukar Sian Li dengan dirinya sendiri!
 "Demikianlah, Ayah dan Ibu. Yo Han pergi bersama iblis betina itu dan men-jadi muridnya.
 Kami tidak dapat mencegahnya karena dia memang sudah berjan-ji untuk menukar Sian Li
 dengan dirinya sendiri."
 "Ah, tapi mengapa begitu?" nenek Su-ma Hui mencela puterinya. "Apa artinya janji kepada
 iblis betina seperti itu" Ia telah berani menculik Sian Li dan kalian membiarkan saja ia pergi
 membawa Yo Han sebagai muridnya" Iblis betina itu pantas dibasmi!"
 "Tidak boleh kita berpendirian begitu," kata Kao Cin Liong dengan suara tenang. "Sudah
 jelas bahwa Yo Han bukan anak biasa seperti yang diceritakan Sin Hong tadi. Dia tidak suka
 akan kekerasan, namun memiliki ketabahan yang luar bia-sa. Dan kalau dia sudah berjanji
 kepada Ang I Moli agar iblis betina itu mem-bebaskan Sian Li dan sebagai tukarnya dia mau
 ikut dengan iblis betina itu, tentu saja Sin Hong dan Hong Li tidak dapat memaksa dan
 melanggar janji yang telah dikeluarkan Yo Han."
 "Apa yang dikatakan ayah itu me-mang benar, Ibu," kata Kao Hong Li. "Akupun tadinya
 tidak mau mengalah be-gitu saja dan aku sudah memaksa iblis betina itu untuk melayaniku
 bertanding. Ia memang lihai, akan tetapi kalau ia tidak melarikan diri, tentu aku akan dapat
 membunuhnya. Betapapun juga, kami tidak mungkin dapat membunuhnya setelah ia
 mengembalikan Sian Li dan memperlakukan anakku dengan baik, dan kalau Yo Han ikut
 dengannya, hal itu adalah karena keinginan Yo Han sendiri. Kiranya anak yang luar biasa itu
 sudah tahu bahwa kami ingin menjauhkan Sian Li darinya, dan agaknya Yo Han memang
 sengaja ikut iblis itu agar dia dapat menjauhkan diri dari kami tanpa harus melarikan diri, atau
 tanpa kami harus menitipkannya kepada pendeta kuil se-perti yang tadinya kami rencanakan.
 Dia sudah tahu semuanya, Ibu."
 Kao Cin Liong dan Suma Hui saling pandang, diam-diam merasa aneh dan kagum kepada
 anak itu. "Jadi, dia senga-ja mengorbankan diri, sengaja meninggal-kan keluargamu karena
 tahu bahwa kali-an ingin memisahkan Sian Li darinya?"
 Hong Li mengangguk dan menun-duk. "Sungguh kami merasa kehi-langan dia, Ibu. Kami
 sayang kepada Yo Han, juga Sian Li amat menyayangnya, sehingga ia rewel terus dan
 terpaksa ka-mi mengajaknya pesiar ke kota raja lalu ke sini. Akan tetapi, kami harus
 memen-tingkan masa depan Sian Li. Ia pasti akan terbawa oleh sikap Yo Han kalau terus
 dekat dengan dia."
 Sin Hong menarik napas panjang. "Be-nar sekali, Ayah dan Ibu. Kami amat sayang kepada
 Yo Han, seperti kepada anak sendiri. Akan tetapi, dia amat aneh dan kami tidak ingin melihat
 Sian Li menjadi seperti dia."
 "Tapi.... bagaimana dengan nasib Yo Han" Apakah tidak berbahaya sekali dia terjatuh ke
 tangan seorang iblis betina" Jangan-jangan keselamatan nyawanya terancam...." Suma Hui
 menyatakan ke-khawatirannya.
 "Aku juga khawatir sekali, Ibu. Akan tetapi ayah Sian Li mengatakan tidak perlu khawatir,"
 kata Hong Li sambil memandang suaminya.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 128 Kini mereka bertiga semua meman-dang kepada Sin Hong dan mengharapkan penjelasan
 yang meyakinkan, karena me-reka semua mengkhawatirkan keselamat-an Yo Han.
 "Sesungguhnya pendapat atau jalan pikiran saya ini saya dapatkan dari Yo Han, betapapun
 janggalnya, saya harus mengakui bahwa dialah yang memberi teladan atau tanpa disengaja
 memberi pelajaran kepada saya. Yaitu bahwa nya-wa setiap orang berada di tangan Tuhan.
 Dia amat yakin akan hal ini, maka dia tidak pernah takut menghadapi apapun bahkan
 ancaman maut sekalipun. Saya merasa yakin bahwa ada sesuatu yang mujijat pada diri anak
 itu. Seolah-olah ada suatu kekuatan gaib yang melin-dunginya. Seperti ketika dia diserang
 ular berbisa itu. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, seperti seorang ahli silat yang
 pandai, tangannya bergerak menangkap ular itu. Akan tetapi dia ti-dak membunuhnya,
 melainkan bicara ke-pada ular itu, melepaskannya lagi dan ular itu menjadi jinak! Seolah-olah
 dia menguasai pula ilmu menundukkan ular."
 "Aneh!" kata Suma Hui. "Padahal, biarpun aku sendiri pernah mempelajari ilmu
 menundukkan ular akan tetapi tidak begitu menguasainya, dan aku tidak per-nah
 mengajarkannya kepadamu, Hong Li."
 "Itulah keanehannya, Ibu," kata Hong Li. "Lebih aneh lagi, ketika kami semua mencari
 penculik Sian Li. Kami berdua yang memiliki kepandaian saja gagal menemukan penculik,
 akan tetapi kenapa Yo Han dapat menemukannya, bahkan lebih hebat lagi, dapat membujuk
 Ang I Moli untuk membebaskan Sian Li?"
 Kakek dan nenek itu menjadi semakin heran dan kagum. Bagaimanapun juga, mereka
 menyayangkan bahwa Yo Han sampai ikut seorang tokoh sesat seperti Ang I Moli. "Kalau
 saja kalian membawa dia ke sini, kami akan suka mendidiknya." kata Suma Hui dan
 suaminya juga mengangguk setuju. Akan tetapi semua sudah terlanjur dan Yo Han sudah
 pergi ber-sama Ang I Moli entah ke mana.
 Malam itu, karena lelah oleh perja-lanan yang jauh, Sin Hong dan Hong Li tidur pulas di
 dalam kamar mereka. Sian Li tidur bersama neneknya di kamar ne-neknya, sedangkan kakek
 Kao Cin Liong yang merasa gembira dengan kunjungan puterinya, mantunya dan cucunya,
 juga sudah tidur dengan mulut tersenyum.
 Kakek dan nenek itu memang merasa amat berbahagia. Betapa tidak" Mereka hanya
 mempunyai seorang anak saja, yaitu Kao Hong Li. Ketika puteri mereka itu menikah dengan
 Thio Hui Kong ke-mudian bercerai, mereka merasa prihatin dan berduka sekali. Anak mereka
 satu-satunya, seorang wanita lagi, dalam usia demikian muda telah menjadi seorang janda
 tanpa anak! Mereka sudah merasa putus harapan karena pada masa itu, de-rajat seorang janda
 yang bercerai hidup, apalagi tanpa anak, amatlah dipandang hina dan rendah. Sungguh di luar
 dugaan mereka, kemudian Kao Hong Li berjodoh dengan Tan Sin Hong yang berilmu ting-gi,
 bahkan mereka hidup berbahagia dan mempunyai seorang anak yang menjadi cucu mereka
 yang mungil! Menjelang tengah malam, ketika se-luruh isi rumah itu tidur pulas dan juga keadaan
 sekeliling rumah itu sunyi kare-na tidak ada lagi orang berada di luar rumah dalam cuaca yang
 amat dingin itu, terdengarlah seruan di atas genteng kamar kakek Kao Cin Liong.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 129 "Taihiap (Pendekar Besar) Kao Cin Liong, tolonglah pinceng (saya)!" terde-ngar teriakan di
 atas genteng kamar itu, lalu terdengar suara gedobrakan di atas genteng itu.
 Kao Cin Liong yang sedang duduk bersamadhi, mendengar seruan ini dengan jelas. Bahkan
 dia mengenal suara itu sebagai suara seorang sahabatnya, yaitu Thian Kwan Hwesio ketua
 kuil di sudut kota Pao-teng, seorang murid Siauw-lim-pai yang termasuk tokoh karena
 tingkat, kepandaian silatnya sudah cukup tinggi. Mendengar suara itu, tubuh Kao Cin Liong
 meloncat dari atas pembaringan, membuka jendela dan dalam beberapa detik saja dia sudah
 meloncat naik ke atas genteng di mana dia melihat seo-rang hwesio sedang didesak dan
 dihajar dengan pukulan-pukulan oleh dua orang berpakaian jubah pendeta tosu (pendeta To)
 yang lihai sekali. Karena malam itu bulan hanya muncul secuwil, maka cuaca remang-remang
 dan dia tidak dapat me-lihat jelas wajah tiga orang itu. Akan tetapi dia dapat mengenal Thian
 Kwan Hwesio yang agaknya sudah payah, ter-huyung-huyung di atas genteng.
 "Tahan....!" seru Kao Cin Liong dan sekali meloncat dia sudah mendekati Thian Kwan
 Hwesio yang terhuyung, me-nyambar lengannya.
 Hwesio yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun itu nampak lemah se-kali dan dia
 bersandar kepada rangkulan lengan Kao Cin Liong.
 "Thian Kwan Suhu, ada apakah" Sia-pakah mereka ini?"
 "Mereka.... mereka.... orang-orang Bu-tong-pai.... uhhh-uhhh!" hwesio itu ter-engah-engah.
 "Kami sudah mengalah.... akan tetapi.... seperti pernah kuceritakan.... Bu-tong-pai selalu
 mendesak dan menyerang kami...." Tubuh hwesio itu terkulai dan dengan lirih dia masih
 me-nyebut "omitohud....!" dan dia pun lemas dan tewas dalam rangkulan kakek Kao Cin
 Liong. Kao Cin Liong beberapa hari yang lalu pernah bercakap-cakap dengan ketua kuil itu dan
 mendengar bahwa kini Bu-tong-pai selalu memusuhi Siauw-lim-pai. Di mana-mana para
 murid Bu-tong-pai menyerang para murid Siauw-lim-pai sehingga terjadilah bentrokan-
 bentrokan berdarah. Menurut keterangan Thian Kwan Hwesio. Bu-tong-pai menuduh
 se-orang tokoh Siauw-lim-pai, yaitu Loan Hu Hwesio telah membunuh Phoa Cin Su, tokoh
 Bu-tong-pai di puncak Bukit Naga. Padahal menurut keterangan kepa-la kuil itu, justeru Loan
 Hu Hwesio dibunuh oleh seorang tokoh Kun-lun-pai, juga di puncak Bukit Naga!
 Dua orang tosu Bu-tong-pai itu maju mendekati Kao Cin Liong yang masih merangkul Thian
 Kwan Hwesio. "Ini tentu murid Siauw-lim-pai juga, Sute. Kita bunuh dia!" Dan mereka ber-dua maju
 menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin pukulan yang
 dahsyat. Kakek Kao Cin Liong terkejut dan berseru,
 "Heiii, tahan dulu!" teriaknya sambil mencoba untuk mengelak. Akan tetapi karena dia
 sedang merangkul Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah menjadi ma-yat, tentu saja
 gerakannya menjadi lam-bat. Dia terpaksa melepaskan tubuh hwesio itu dan mengangkat
 kedua lengannya untuk menangkis.
 "Desss....!" Kakek itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa kedua orang tosu itu
 memiliki tenaga yang amat kuat. Kalau saja mereka tidak ma-ju bersama, tentu dia dapat
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 130 mengatasi tenaga seorang di antara mereka. Akan tetapi mereka maju berbareng dan agak-nya
 mereka telah menggabungkan diri dan mengerahkan tenaga. Sedangkan dia sendiri karena
 belum tahu benar akan keadaan dan tidak ingin bermusuhan de-ngan Bu-tong-pai yang
 banyak dikenal para pemimpinnya, dia tidak mengerah-kan seluruh tenaganya. Akibatnya,
 kaki-nya menginjak pecah genteng di bawah-nya dan kedua tangannya melekat kepada tangan
 dua orang tosu itu!
 Kao Cin Liong adalah putera Kao Kok Cu, Naga Sakti Gurun Pasir. Biarpun usianya telah
 lanjut, sudah enam puluh tiga tahun, namun dia telah mewarisi ilmu yang hebat dari Gurun
 Pasir. Kare-na maklum bahwa dua orang lawannya itu lihai, dan kedua tangannya sudah
 melekat pada tangan lawan dan kedua kakinya hampir tertekuk, dia lalu menge-rahkan tenaga
 Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam di Bumi). Ilmu ini me-rupakan satu di antara ilmu-
 ilmu yang ampuh dari Istana Gurun Pasir.
 "Aaarghhhh....!" Kakek itu mengeluar-kan suara yang menyayat hati dan dua orang tosu itu
 pun terjengkang! Akan te-tapi pada saat ketika kakek yang sudah tua itu menghentikan
 pengerahan Sin--liong-hok-te, dari belakangnya ada dua orang tosu lain yang menghantamkan
 telapak tangan mereka ke punggungnya.
 "Plakkk! Dukkk!"
 Dua orang pemukul itu terjengkang dan menjadi terkejut bukan main karena mereka merasa
 betapa tangan mereka yang menampar itu menjadi nyeri. Akan tetapi kakek Kao Cin Liong
 sendiri ter-pelanting dan mengeluh karena dua tam-paran pada punggungnya selagi dia
 menyimpan kembali tenaga Sin-liong-hok-te tadi sedemikian hebatnya sehingga dia merasa
 seolah-olah seluruh isi dada dan perutnya dilanda badai hebat!
 "Aiihhh....!" Teriakan ini terdengar da-ri bawah, disusul teriakan seorang anak kecil.
 "Kong-kong....!"
 Suma Hui tadi keluar bersama cucu-nya karena terkejut mendengar teriakan suaminya. Ia
 menjerit karena sempat melihat suaminya roboh terpukul dari
 belakang. Tubuhnya cepat meluncur ke atas seperti seekor burung terbang saja. Seorang di
 antara empat tosu itu, yang tubuhnya kurus jangkung, menyambut Suma Hui dengan serangan
 kilat, dan kini dia mempergunakan sebatang pedang. Tubuh wanita itu masih melayang di
 udara ketika pedang itu menyambutnya dengan tusukan maut ke arah dada. Na-mun, Suma
 Hui adalah seorang wanita yang lihai sekali. Ia adalah cucu Pende-kar Super Sakti dari Pulau
 Es, maka serangan yang bagaimana dahsyat pun, kalau dilakukan berterang, tentu akan dapat
 diatasinya. "Haiiittt....!" Suaranya melengking dan tubuhnya berjungkir balik beberapa kali dan berhasil
 menghindarkan dari dari tusukan! Gerakan ini sungguh lincah bu-kan main, membuat
 penyerangnya terke-jut. Akan tetapi Suma Hui juga kaget karena serangan tadi nyaris
 mengenai tubuhnya, membuktikan bahwa penye-rangnya adalah seorang yang lihai. Begitu
 kakinya menyentuh genteng, ia membalik dan mengelak ketika pedang yang tadi sudah
 menyambar pula. Kiranya tosu tinggi kurus itu sudah menghujankan se-rangan pedang
 kepadanya. Suma Hui mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini, lalu
 membalas pula dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga Swat-im Sin-kang yang
 dingin. Karena maklum bahwa sua-minya telah terluka dan lawan ini amat lihai, maka ia telah
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 131 mengerahkan ilmu yang khas dari keluarga Istana Pulau Es itu. Lawannya terkejut ketika
 merasa ada hawa yang amat dingin menyambar dari kedua tangan lawannya, maka dia
 bertindak hati-hati dan memutar pedang menjaga jarak, melindungi diri dengan sinar
 pedangnya yang bergulung-gulung. Ketika tiga orang tosu yang lain hendak maju
 mengeroyok, tiba-tiba dua sosok bayangan berkelebat dari bawah, mela-yang ke atas genteng
 itu seperti dua ekor burung garuda. Mereka ini bukan lain adalah Tan Sin Hong dan isterinya,
 Kao Hong Li. Melihat ini, dua orang tosu yang tadi memukul Kao Cin Liong secara curang dari belakang,
 menyambut mereka dengan pedang di tangan. Dan mereka terkejut bukan main ketika
 mendapat kenyataan betapa dua orang pria dan wanita muda -yang baru datang ini juga amat
 lihai, terutama sekali yang pria. Begitu Sin Hong mengelak dan tangannya mendorong hawa
 pukulan tangannya membuat lawan-nya terhuyung ke belakang! Seorang tosu lain cepat
 membantu kawannya, dan baru setelah dua orang tosu yang berpedang menghadapi Sin Hong,
 mereka mampu saling menjaga dan terjadi perkelahian yang agak seimbang.
 "Ayah....!" Kao Hong Li yang melihat ayahnya menggeletak di atas genteng, terkejut sekali
 dan cepat menghampiri ayahnya.
 Dengan napas empas-empis Kao Cin Liong berkata, "Hong Li.... cepat.... kau-bantu....
 ibumu...."
 Hong Li menoleh dan melihat betapa ibunya memang nampak sibuk mengha-dapi permainan
 pedang seorang tosu. Suaminya, biarpun dikeroyok dua, tidak nampak terdesak. Ia pun cepat
 meloncat dan membantu ibunya. Kini, tosu berpe-dang itu menjadi repot sekali ketika
 berhadapan dengan ibu dan anak itu.
 Walaupun mereka berdua tidak sempat membawa senjata, namun mereka seperti dua ekor
 singa betina yang marah dan tosu itu terdesak hebat, hanya mampu memutar pedangnya untuk
 melindungi tubuhnya dari terkaman dua ekor singa betina itu! Bahkan dia sempat berteriak.
 "Sute, bantu....!" Teriaknya ditujukan kepada tosu ke empat, karena dua orang tosu yang lain
 hanya dapat berimbang saja mengeroyok Sin Hong yang berta-ngan kosong. Bahkan dua
 orang tosu ini pun sudah mulai terdesak ketika Sin Hong terpaksa memainkan ilmu
 andalan-nya, yaitu Pek-ho Sin-kun. Ilmu ini ada-lah ilmu yang amat hebat, ilmu gabungan
 dari tiga orang sakti, yaitu mendiang kakek Kao Kok Cu dan Tiong Khi Hwe-sio, bersama
 nenek Wan Ceng. Juga te-naga sin-kang yang terkandung dalam ilmu ini amat hebatnya. Sin
 Hong sendiri mendapat pesan dari tiga orang gurunya itu bahwa kalau tidak terpaksa sekali
 dia tidak boleh mempergunakan ilmu itu. Sekarang, melihat ayah mertuanya sudah roboh, dan
 betapa para tosu itu lihai, dia terpaksa mempergunakan ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti
 Bangau Putih). Dan begitu dia mengeluarkan ilmu ini, baru beberapa jurus saja dua orang
 pe-ngeroyoknya yang berpedang itu sudah terhuyung dan terdesak.
 Tiba-tiba terdengar teriakan suara anak kecil, "Ibuuu....! Ayaahhh....!" Suara ini disusul suara
 yang parau dan tegas, penuh ancaman.
 "Hentikan perkelahian, atau anak ini akan pinto (aku) bunuh!"
 Mendengar teriakan anak itu saja, Sin Hong dan Hong Li Sudah terkejut, demi-kian pula
 nenek Suma Hui. Mereka ber-loncatan ke belakang dan menengok ke bawah. Di sana, di
 bawah sinar lampu gantung yang remang-remang, nampak seorang tosu memondong Sian Li
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 132 dan pedang di tangan kanannya menempel di leher anak itu! Seketika lemaslah tu-buh tiga
 orang ini dan mereka tidak mampu bergerak, tidak berani bergerak dan terpaksa membiarkan
 tiga orang tosu yang tadi sudah mereka desak itu ber-loncatan dan menghilang ke dalam
 kege-lapan malam.
 "Jangan mengejar kami kalau meng-inginkan anak ini selamat!" kata pula tosu itu. Sin Hong
 dan isterinya seperti terpukau dan tidak berani bergerak, akan tetapi, Hong Li melihat ibunya
 yang tadi berada di belakangnya telah tidak berada di situ pula, entah ke mana perginya.
 "Uhhh....!" Tubuh kakek Kao Cin Liong menggelundung dan tertahan talang, hampir jatuh ke
 bawah. Melihat ini, Sin Hong cepat meloncat dan menyambar tubuh ayah mertuanya itu, lalu
 dipon-dongnya. Sementara itu, melihat betapa tosu yang menawan puterinya itu melon-cat
 pergi, Kao Hong Li meloncat turun dan berteriak.
 "Jangan bawa anakku! Kembalikan!"
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berhenti, atau kubunuh anakmu!" To-su itu berseru dan mendengar ini, Hong Li yang sudah
 tiba di atas tanah itu menjadi pucat dan kedua kakinya menja-di lemas. Tak berani ia
 mengejar. Tiba-tiba, dari balik tembok samping rumah itu, Suma Hui meloncat dan me-nubruk tosu itu
 dari belakang. Gerakan Suma Hui cepat bukan main, dan tahu-tahu pundak kanan tosu itu
 telah dihan-tamnya sehingga terdengar tulang remuk dan pedang di tangan yang menjadi
 lum-puh itu terlepas dari pegangan. Tosu itu terkejut dan begitu merasa betapa anak di
 pondongan tangan kiri dirampas oleh penyerangnya, dia membalik dan tangan kirinya
 berhasil menjambak rambut Suma Hui! Wanita ini cepat melempar tubuh Sian Li ke arah
 Hong Li. "Terima anakmu!" teriaknya dan tubuh anak itu melayang ke arah Hong Li yang cepat
 menangkapnya. "Ibuuu....!"
 "Sian Li, engkau tidak apa-apa, nak?" Hong Li memeriksa anaknya dan men-dekapnya,
 menciuminya dengan hati lega. Akan tetapi, ia terkejut mendengar ibu-nya menjerit. Ia
 terbelalak dan pada aaat itu, Sin Hong sudah melayang, turun memandong tubuh ayah
 mertuanya. Hong Li menurunkan Sian Li karena di situ sudah ada Sin Hong dan ia pun
 meloncat ke arah ibunya yang, terhuyung. Empat orang tosu tadi sudah lenyap.
 "Ibu....!"
 Hong Li merangkul ibunya yang ter-huyung. "Aku.... berhasil menghajar pen-culik tadi....
 tapi yang lain.... membokong dengan curang dari belakang.... ahhh.... bagaimana....
 ayahmu....?" Wanita itu ter-kulai dan tentu roboh kalau tidak cepat dipondong Hong Li.
 "Cepat bawa masuk. Mari Sian Li, masuk ke dalam!" kata Sin Hong kepada isterinya. Dia
 masih memondong tubuh ayah mertuanya, dan Hong Li memon-dong tubuh ibunya. Mereka
 masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Sian Li. Anak ini tidak menangis walaupun nampak
 bingung dan masih belum hilang kagetnya.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 133 Tiga orang pembantu dari kakek Kao Cin Liong yang tinggal di bagian bela-kang rumah
 menjadi terkejut mendengar ribut-ribut tadi dan mereka sudah ber-larian keluar. Tentu saja
 mereka kaget bukan main melihat kedua majikan mere-ka dipondong masuk dalam keadaan
 luka dan pingsan.
 "Kalian cepat undang tabib yang pan-dai di kota ini, kata Sin Hong setelah dia merebahkan
 tubuh ayah mertuanya ke atas pembaringan. Juga Hong Li me-rebahkan tubuh ibunya di atas
 pemba-ringan yang lain.
 Sin Hong lalu keluar lagi, melompat ke atas genteng dan menurunkan tubuh hwesio tua yang
 telah menjadi mayat. Juga tubuh yang sudah tak bernyawa ini dibaringkan di atas sebuah
 dipan. Sin Hong memeriksa luka pukulan di punggung ayah mertuanya. Dia mengerut-kan alisnya
 melihat dua telapak tangan membekas di punggung itu, menghitam. Tahulah dia bahwa ayah
 mertuanya men-derita luka dalam yang amat hebat. Ka-kek itu masih pingsan, napasnya
 empas-empis, tinggal satu-satu. Kemudian dia dan isterinya memeriksa luka yang di derita
 Suma Hui. Keadaan nenek ini ti-dak lebih baik dari suaminya. Sebuah luka tusukan pedang di
 lambung, dan di lehernya terdapat luka kecil-kecil yang menghitam, tanda bahwa ada dua
 buah benda kecil, mungkin senjata rahasia paku atau jarum, memasuki lehernya, dan jelas
 bahwa senjata rahasia itu beracun!
 Melihat keadaan ayah ibunya, Kao Hong Li mencucurkan air mata tanpabersuara. Ia
 terlampau gagah untuk me-nangis keras. Ia menahan gejolak hatinya yang penuh
 kekhawatiran dan kemarahan. Dengan pandang matanya Sin Hong menghibur dan
 menenangkan hati isterinya, kemudian dengan lembut dia berkata, "Lebih baik bawa Sian Li
 tidur lebih dulu. Biar aku yang berjaga di sini sam-pai tabib datang."
 Hong Li maklum akan maksud suami-nya. Memang tidak baik membiarkan Sian Li di situ.
 Anak ini nampak kebingungan memandang ke arah kakek dan neneknya yang rebah di atas
 dua buah pembaringan di dalam kamar itu, dengan napas empas empis dan wajah pucat,
 kadang terdengar suara seperti rintihan lirih.
 "Mari, Sian Li, kita kembali ke ka-mar untuk tidur."
 Sian Li digandeng ibunya memasuki kamar mereka. Ketika Hong. Li merebah-kan puterinya
 di atas pembaringan, anak itu memandang ibunya dan bertanya, "Ibu siapa yang melukai
 Kakek dan Nenek?"
 "Mereka orang-orang jahat, Sian Li."
 "Kenapa Ayah dan Ibu tidak menang-kap mereka?"
 "Mereka itu lihai dan sempat melari-kan diri, bahkan hampir menawanmu, anakku."
 "Tapi, Ibu. Tentu Ibu juga tahu siapa mereka?"
 Kao Hong Li menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengenal siapa mereka akan tetapi sebelum
 tewas, Thian Kwan Suhu berseru bahwa mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai. Tentu
 mereka itu tokoh-tokoh Bu-tong-pai tingkat tinggi."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 134 "Kalau begitu, Kakek dan Nenekku dilukai orang-orang Bu-tong-pai?"
 "Begitulah. Kenapa engkau menanya-kan hal itu, Sian Li."
 Kini Sian Li mengepal tinjunya dan bangkit berdiri di atas pembaringannya. "Kalau begitu,
 kelak aku akan membasmi Bu-tong-pai!. Mereka orang-orang jahat!"
 "Ssttt,sudahlah.Kau tidur dan jangan banyak memikirkan hal itu.
 Serahkan saja kepada ayah dan ibumu, Sian Li. Engkau masih terlalu kecil untuk memikirkan
 urusan itu. Ibunya menghibur dan sate-lah putarinya tidur, Kao Hong Li mene-mani suaminya
 yang menjaga ayah dan ibunya. Tabib yang diundang datang, akan tetapi seperti yang telah
 dikhawatirkan Sin Hong, tabib itu hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
 Luka-luka itu selain parah, juga mengandung racun yang amat berbahaya. Tentu saja Sin
 Hong dan Hong Li menjadi gelisah sekali ketika tabib itu angkat tangan menyatakan tidak
 sanggup mengobati luka karena rscun itu.
 Setelah tabib pergi, Hong Li berkata kepada suaminya. "Kiraku hanya ada seorang saja yang
 akan mampu menolong, yaitu Paman Suma Ceng Liong. Kita harus cepat memberi kabar dan
 mengundangnya ke sini, juga Paman Suma Ciang Bun yang biarpun tidak memiliki kesakti-an
 seperti paman Suma Ceng Liong, na-mun memiliki pengalaman yang luas."
 Sin Hong setuju dengan usul ini. Ka-rena dia dan isterinya harus menjaga dan merawat ayah
 dan ibu mertua yang luka berat, mereka tidak dapat pergi sendiri dan segera mengirim utusan
 yang mela-kukan perjalanan secepatnya dengan kuda pergi ke kota Cin-an untuk mengundang
 Suma Ceng Liong dan yang lain pergi Tapa-san untuk mengundang Suma Ciang Bun.
 Sementara itu Tan Sin Hong, yang menjadi kenalan baik dari Ketua Bu-tong-pai, segera
 menulis surat protes kepada perkumpulan besar itu tentang terlukanya ayah dan ibu
 mertuanya oleh serangan orang-orang Bu-tong-pai.
 Setelah tiga orang utusan itu berang-kat, Sin Hong menjaga ayah dan ibu mertuanya, bersama
 isterinya. Mereka merasa khawatir sekali dan biarpun Sin Hong dan isterinya sudah berusaha
 untuk membantu mereka yang terluka itu de-ngan penyaluran tenaga sin-kang, namun mereka
 berdua tidak berhasil menyem-buhkan, hanya mengurangi rasa nyeri dan memperlambat
 menjalarnya pengaruh pukulan beracun itu saja.
 Melihat keadaan orang tuanya, Kao Hong Li mengerutkan alisnya dan ia ber-bisik kepada
 suaminya. Mereka sengaja duduk agak menjauh agar percakapan mereka tidak mengganggu
 dua orang tua yang sedang menderita sakit itu.
 "Para tosu Bu-tong-pai yang keparat!" desis Hong Li sambil mengepal tangannya "Kalau
 Ayah dan Ibu sudah sembuh, aku pasti akan pergi ke sana untuk meminta pertanggungan
 jawab mereka. Perbuatan mereka melukai Ayah dan Ibu ini sung-guh tidak boleh didiamkan
 begitu saja!"
 Tan Sin Hong mengerutkan alisnya. "Kita harus bersabar dan tidak boleh menurutkan nafsu
 amarah saja. Kita su-dah mengetahui bahwa memang akhir-akhir ini terdapat pertentangan
 antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai sehingga seringkali terjadi bentrokan antara mu-rid-
 murid mereka. Kita belum mengeta-hui sebabnya dan memang bukan urusan kita. Kalau
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 135 sekarang Ayah dan Ibu sam-pai terluka, hal itu terjadi dalam perke-lahian karena mereka
 terlibat dalam perkelahian antara Thian Kwan Hwesio ketua kuil di Pao-teng yang menjadi
 to-koh Siauw-lim-pai dengan beberapa orang tosu Bu-tong-pai."
 "Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu sahabat Ayah dan sudah lari ke sini minta bantuan
 Ayah, kenapa, mereka masih terus menyerang dan tidak me-mandang muka orang tuaku"
 Ayah dan Ibu tadinya tentu hanya ingin melerai saja, kenapa Ayah dan Ibu malah mereka
 serang?" "Karena itu, aku sudah menulis surat teguran kepada Ketua Bu-tong-pai, dan aku yakin
 beliau akan memperhatikan teguranku itu dan akan menghukum mu-rid mereka yang
 bersalah."
 Akan tetapi isterinya menggeleng ke-pala. "Aku masih penasaran. Bagaimana kalau Ketua
 Bu-tong-pai membela murid-nya dan tidak akan menghukum mereka" Aku harus membalas
 perbuatan mereka itu. Ingat saja, mereka itu jahat! Mereka merobohkan Ayah dengan cara
 yang curang sekali, bahkan merobohkan Ibu juga dengan serangan gelap. Mereka itu
 pa-tutnya gerombolan penjahat, bukan mu-rid-murid sebuah partai persilatan besar seperti Bu-
 tong-pai! Atau sekarang Bu--tong-pai telah menyeleweng dan murid-muridnya menjadi
 pengecut-pengecut yang curang!"
 Sin Hong mengangguk-angguk. "Engkau benar. Aku sendiri memang ada perasaan curiga
 terhadap para tosu Bu-tong-pai itu. Cara mereka mengeroyok hwesio itu saja sudah bukan
 watak pendekar-pende-kar Bu-tong. Kemudian, mereka menye-rang Ayah dan Ibu secara
 menggelap dan lebih lagi, mereka menawan Sian Li se-bagai sandera, ini pun bukan watak
 pen-dekar. Karena itu, aku lebih dulu mengi-rim surat kepada Ketua Bu-tong-pai. Ke-lak,
 kalau kita sudah selesai di sini, kalau Ayah dan Ibu sudah sehat kembali, tentu aku akan
 berkunjuhg ke Bu-tong pai untuk membikin terang perkara ini."
 Pada keesokan harinya, pagi-pagi se-kali Sian Li sudah memasuki ruangan kamar kakek dan
 neneknya. "Ayah, Ibu, bagaimana dengan Kakek dan Nenek?" tanyanya sambil mendekati
 pembaringan kakeknya, kemudian neneknya.
 "Sst, Sian Li. Kakek dan nenekmu masih tidur. Biarkan mereka beristirahat dan bermainlah
 di luar." Sian Li memandang kepada kakek dan neneknya dan alisnya berkerut, mulutnya cemberut.
 "Kakek dan Nenek tidak bisa lagi menemani aku bermain-main. Ini se-mua gara-gara
 gerombolan penjahat itu. Kelak aku akan membasmi mereka kalau aku sudah besar!" Setelah
 berkata demi-kian, Sian Li berlari keluar. Ayah dan ibunya saling pandang dan keduanya
 me-rasa lega. Puteri mereka itu sudah pasti kelak akan menjadi seorang pendekar wanita yang
 hebat, seperti yang mereka harapkan. Kalau dekat dengan Yo Han, tentu puteri mereka itu
 akan mengikuti jejak Yo Han, menjadi seorang wanita yang lemah.
 Mereka lalu duduk di dekat pemba-ringan ayah ibu mereka dan dengan pri-hatin mereka
 melihat betapa keadaan mereka masih seperti malam tadi, dan kembali mereka berusaha untuk
 menya-lurkan tenaga sin-kang mereka dengan telapak tangan mereka ditempelkan di
 punggung si sakit. Biarpun usaha ini be-lum dapat menyembuhkan, setidaknya dapat
 memperkuat hawa murni dalam tubuh ayah dan ibu mereka dan memper-lambat kerusakan
 yang diakibatkan oleh pukulan beracun.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 136 Dua orang yang terluka itu dalam keadaan tidur atau setengah pingsan. Wajah mereka pucat
 dan pernapasan me-reka lemah. Sin Hong sudah memberi obat luka di lambung dan leher ibu
 mer-tuanya. Luka-luka itu tidak berat, akan tetapi racun yang terkandung di luka bagian leher
 amat berbahaya. Sedangkan pukulan kedua telapak tangan yang ber-bekas di punggung ayah
 mertuanya mem-buat keadaan ayah mertuanya itu lebih parah lagi.
 "Hemm, keadaan mereka ini membuat aku menjadi sangsi," katanya lirih kepada isterinya.
 "Aku mengenal Bu-tong-pai sebagai partai persilatan bersih, perkumpulan orang-orang suci
 dengan para tosu menjadi pimpinan. Murid-murid mereka adalah pendekar-pendekar gagah.
 Biarpun mereka memiliki pukulan ampuh yang mengandung sin-kang amat kuat, namun
 belum pernah aku mendengar mereka mempelajari ilmu pukulan beracun. Juga, belum pernah
 aku mendengar mereka menggunakan racun atau paku beracun seperti yang melukai leher
 ibumu." "Akan tetapi, mendiang Thian Kwan Hwesio dengan jelas menyerukan bahwa mereka adalah
 para tosu Bu-tong-pai," kata isterinya dan Sin Hong menjadi bingung. Memang sukar
 dimengerti kalau seorang pendeta seperti ketua kuil Pao-teng itu berbohong. Apa manfaatnya
 berbohong. Akan tetapi, Thian Kwan Hwesio sudah tewas sehingga tidak mungkin, dapat
 diperoleh keterangan yang lebih jelas darinya.
 "Kita harus bersabar. Surat yang ku-kirim kepada Ketua Bu-tong-pai itu se-dikit banyak tentu
 akan dapat menerang-kan kegelapan peristiwa semalam."
 Sementara itu, Sian Li berlari keluar rumah dengan hati kesal. Ketika ia da-tang ke rumah
 kakek dan neneknya, ha-tinya gembira karena kedua orang tua itu amat sayang kepadanya dan
 menga-jaknya bermain-main. Sekarang, kakek dan neneknya hanya rebah dalam keadaan
 sakit. Apalagi bermain-main dengannya, bicara pun mereka itu tidak dapat lagi. Semua itu
 gara-gara perbuatan penjahat yang menyerbu malam tadi. Hatinya ke-sal dan marah, dan ia
 pun keluar dari pekarangan rumah, bermaksud mencari teman bermain.
 Ada beberapa orang pegawai yang biasanya membantu kedua orang tua itu berdagang rempa-
 rempa. Mereka, empat orang itu, telah mendengar bahwa kedua majikan mereka menderita
 luka oleh serbuan penjahat. Mereka membuka toko rempa-rempa mewakili majikan mereka
 dengan wajah khawatir.
 Sian Li tidak mempedullkan mereka yang tidak dikenalnya, dan ia pun keluar dari
 pekarangan dan terus berjalan-jalan seorang diri di jalan raya. Hatinya tertarik melihat
 seorang kakek berdiri di tepi jalan, memandang ke arah rumah kakek dan neneknya. Ia pun
 menoleh dan ikut memandang. Belasan orang hwesio memasuki pekarangan itu, dan mereka
 ini adalah para hwesio dari kuil di kota itu, para murid Thian Kwan Hwesio yang sudah diberi
 kabar tentang tewasnya guru dan ketua mereka di rumah keluar-ga Kao. Tak lama kemudian
 mereka mengangkut peti mati untuk dibawa pulang ke kuil mereka. Sian Li melihat pula ayah
 dan ibunya mengantar sampai di luar rumah dan belasan orang hwesio itu meninggalkan
 pekarangan itu sambil memikul peti mati.
 Sian Li mengepal kedua tangannya, memandang dan mengikuti perjalanan pa-ra hwesio yang
 mengikuti peti mati sam-bil membaca doa sepanjang jalan. Hati-nya merasa kasihan dan juga
 penasaran kepada para penjahat yang bukan saja telah membunuh seorang hwesio, akan tetapi
 juga melukai kakek dan neneknya.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 137 "Penjahat-penjahat kejam, tunggu saja kalian. Kalau kelak aku sudah besar, akan kubalaskan
 kematian hwesio itu dan lukanya Kakek dan Nenekku!"
 Sian Li tidak tahu betapa kakek yang tadi berdiri memandang ke arah kesibuk-an para hwesio
 mengangkut peti mati, kini memandang kepadanya dengan sinar mata yang penuh selidik dan
 mulut ter-senyum. Kakek ini berpakaian seperti seorang sastrawan, akan tetapi jelas bah-wa
 dia miskin melihat betapa pakaian itu sudah penuh jahitan dan ada beberapa tambalan,
 walaupun nampaknya bersih. Dia mirip seorang sastrawan setengah jembel, dengan rambut
 yang bercampur dengan cambang, kumis dan jenggot yang sudah berwarna kelabu. Namun
 wajah masih nampak sehat kemerahan belum dimakan keriput, matanya masih terang dan
 senyumnya cerah walaupun mulut itu tidak bergigi lagi. Rambut itu dibiar-kan awut-awutan,
 sampai ke pundak. Tubuhnya jangkung kurus namun berdiri-nya tegak. Sebuah caping lebar
 tergan-tung di punggung, tangan kanan meme-gang sebatang tongkat butut dan tangan kirinya
 membawa sebuah keranjang obat, terisi beberapa macam akar-akaran dan daun-daunan.
 "Nona kecil yang baik, apakah kakek dan nenekmu luka-luka?" Tiba-tiba kakek itu mendekat
 dan bertanya. Sian Li me-noleh dan ia memandang kepada kakek itu penuh perhatian.
 "Apakah engkau orang Bu-tong-pai?" tiba-tiba ia bertanya dan alisnya berke-rut, matanya
 memandang penuh selidik.
 "Kalau betul, kenapa?" kakek itu ba-las bertanya sambil tersenyum.
 "Kalau engkau orang Bu-tong-pai, akan kupanggilkan Ayah dan Ibu. Jangan lari, mereka
 tentu akan menghajarmu!"
 "Kalau aku bukan orang Bu-tong-pai?"
 "Kalau bukan, jangan mencampuri urusan kami. Engkau tidak akan dapat menolong, Kek!"
 "Ha-ha-ha, anak baik, mengapa eng-kau mengatakan bahwa aku tidak akan dapat
 menolong?"
 Sian Li memandang kepada orang itu dengan sinar mata penuh selidik. "Engkau seorang
 kakek tua, miskin, dan nampak lemah. Andaikata engkau memiliki ilmu kepandaian pun,
 bagaimana engkau mam-pu menandingi orang-orang Bu-tong-pai yang lihai, sedangkan Ayah
 Ibuku saja tidak mampu melindungi Kakek dan Ne-nekku?"
 Kakek itu memandang dengan kagum. Anak kecil ini baru berusia empat tahun, akan tetapi
 telah mampu mengolah pikir-an seperti orang dewasa saja. Ini menandakan bahwa kelak anak
 ini akan menja-di seorang yang cerdik bukan main.
 "Anak yang baik, engkau tadi bilang tentang kakek dan nenekmu yang luka-luka. Kebetulan
 sekali aku mempunyai sedikit ilmu pengobatan. Aku mendengar bahwa ini rumah dari
 Pendekar Kao Cin Liong, bekas panglima besar yang amat terkenal itu. Bagaimana kalau aku
 mencoba kepandaianku untuk menyembuhkan kakek dan nenekmu?"
 Mendengar ini, Sian Li menjadi girang sekali. Sejenak ia memandang ke arah keranjang obat
 di tangan kiri kakek itu, kemudian ia memegang tongkat kakek itu dan menariknya. "Kalau
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 138 begitu, mari cepat, Kek. Tolonglah Kakek dan Nenek-ku!" Dan ia pun menarik kakek itu
 ber-larian memasuki pekarangan, langsung masuk ke dalam rumah. Empat orang pegawai
 toko rempa-rempa itu meman-dang heran, akan tetapi mereka tidak berani menegur.
 Kakek itu yang merasa rikuh sendiri dan dia berhenti di ruangan depan. "Anak baik, lebih
 dulu beritahukan orang tuamu bahwa aku datang, tidak sopan kalau aku terus masuk begitu
 saja." "Kakek, memang tidak sopan kalau engkau masuk sendiri. Akan tetapi aku yang
 membawamu masuk, jadi engkau tidak bersalah. Marilah!" Anak itu mena-riknya masuk dan
 Sian Li berteriak-te-riak, "Ayah! Ibu! Aku datang bersama Kakek yang hendak mengobati
 Kakek dan Nenek!"
 Mendengar teriakan anak mereka. Tan Sin Hong dan isterinya, Hong Li segera berlari keluar.
 Mereka melihat Sian Li menggandeng tangan seorang kakek tua yang memegang tongkat dan
 keranjang obat. Sebagai orang-orang yang berpe-ngalaman, sekali pandang saja suami isteri
 ini mengenal orang luar biasa, akan tetapi mereka belum mengenal sia-pa dia maka keduanya
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi hormat dengan sopan dan Tan Sin Hong berkata dengan suara lembut.
 "Selamat datang, Locianpwe. Kalau benar seperti yang dikatakan puteri kami maka kami
 berdua menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Locian-pwe yang hendak
 mengobati Ayah dan Ibu kami."
 Kakek itu tertawa bergelak sehingga nampak rongga mulutnya yang sudah tidak punya gigi
 lagi. "Siancai.... sungguh bukan nama besar kosong belaka bahwa Pendekar Bangau Putih
 adalah seorang pendekar perkasa yang amat pandai membawa diri, rendah hati, dan sopan, ha-
 ha-ha!" Sin Hong dan isterinya saling pandang lalu keduanya menatap wajah kakek jangkung itu.
 "Maafkan kami yang tidak ingat lagi siapa Locianpwe, sebaliknya Locianpwe telah mengenal
 kami." "Ha-ha, tentu saja. Rumah ini adalah rumah Pendekar Kao Cin Liong, putera Si Naga Sakti
 Gurun Pasir, bekas pangli-ma yang amat terkenal. Dan isterinya adalah seorang wanita sakti,
 she Suma masih cucu Pendekar Sakti Pulau Es! Begitu melihat nona cilik pakaian merah ini,
 aku sudah menduga bahwa tentu ia cucu Kao Cin Liong, dan karena kalian adalah ayah
 ibunya, siapa lagi kalian kalau bukan puteri dan mantu bekas pa-nglima itu?"
 "Wah, Kakek tidak adil!" tiba-tiba Sian Li berseru, "Kakek sudah mengenal Ayah Ibu dan
 Kakek, akan tetapi belum memperkenalkan diri. Mana adil kalau perkenalan hanya sebelah
 pihak saja?"
 "Sian Li, jangan kurang ajar!" bentak ibunya.
 "Ho-ho, namamu Sian Li, anak merah, Bagus, engkau memang seperti seorang sian-li (dewi)
 cilik. Tan-taihiap dan Kao-lihiap, saya ini orang biasa saja, bahkan orang yang kedudukannya
 amat rendah, setengah tukang obat, setengah pengemis, ha-ha-ha!"
 Kembali suami isteri itu saling pan-dang. Biarpun suami isteri pendekar ini masih muda,
 namun mereka sudah mem-punyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw dan sudah
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 139 mendengar akan nama besar banyak orang pandai walaupun belum pernah berjumpa dengan
 mereka. Setengah tukang obat dan setengah pe-ngemis"
 "Kalau begitu, Locianpwe ini tentu Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat)!" seru Kao
 Hong Li. Kakek itu mengelus jenggotnya dan tersenyum. "Nyonya muda sungguh ber-pemandangan
 luas!" "Aih, maafkan kami berdua yang ti-dak tahu bahwa yang mulia Yok-sian (Dewa Obat)
 datang berkunjung!" kata Sin Hong kagum karena dia pun pernah mendengar akan nama
 besar tokoh ini yang jarang muncul di dunia kang-ouw.
 "Ha-ha-ha, alangkah tidak enaknya mendengar nama sebutan Yok-sian (Dewa Obat). Aku
 lebih suka disebut Lo-kai (Pengemis Tua) saja. Aku mendengar akan keributan yang terjadi di
 rumah Taihiap Kao Cin Liong, maka sengaja hendak melihat apa yang terjadi. Kebe-tulan di
 luar tadi aku bertemu dengan anak ini! Sian Li menarik hatiku dan ternyata ia adalah cucu
 Taihiap Kao Cin Liong yang sudah kukenal baik. Nah, mari antar aku melihat dia dan
 isterinya yang kabarnya terluka."
 Bukan main girangnya hati Hong Li dan Sin Hong. Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu
 mengantar tamu itu mema-suki kamar di mana Kao Cin Liong dan Suma Hui rebah. Sian Li
 mengikuti dari belakang.
 Kakek itu menurunkan keranjang obat dan tongkatnya yang cepat disimpan oleh Sian Li ke
 sudut ruangan, kemudian dia menghampiri Kao Cin Liong, memeriksa denyut nadinya
 sebentar, kemudian me-meriksa keadaan Suma Hui. Dia meng-angguk-angguk.
 "Kabarnya yang menyerang orang-orang Bu-tong-pai?" Tanyanya kepada Sin Hong.
 "Begitulah menurut pengakuan men-diang Thian Kwan Hwesio yang malam tadi dikejar oleh
 mereka sampai ke sini. Agaknya hwesio itu hendak minta bantu-an Ayah dan Ibu yang sudah
 menjadi sahabat baik," kata Sin Hong.
 Yok-sian Lo-kai mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Pukulan pada punggung
 Kao-taihiap ini adalah pukulan yang mengandung Hek-coa-tok (Racun Ular Hitam), agaknya
 tidak mungkin orang Bu-tong-pai, apalagi yang sudah tinggi tingkatnya, menggunakan
 pukulan keji macam itu. Juga jarum yang mema-suki leher Suma Lihiap itu merupakan
 senjata rahasia yang biasa dipergunakan orang-orang golongan hitam. Sebaiknya kucoba
 mengeluarkan jarum-jarum itu lebih dulu, karena kalau dibiarkan terlalu lama, akan
 berbahaya. Tan Taihiap, eng-kau memiliki kekuatan sin-kang yang besar, marilah kaubantu
 aku. Kau tem-pelkan telapak tanganmu ke luka di luka di tengkuk dan menggunakan sin-kang
 untuk menyedot, aku akan menggunakan totokan dan urutan untuk mendorong keluar jarum-
 jarum itu. Jangan terlam-pau kuat agar tidak merusak jalan darah. Kalau telapak tanganmu
 sudah merasakan gagang jarum tersembul, hentikan." Lalu dia menoleh kepada Hong Li dan
 berkata, "Lihiap, harap kaurebus sebutir telur, kalau sudah matang, bawa ke sini putih-nya
 saja." Hong Li meninggalkan kamar ,itu un-tuk pergi ke dapur sedangkan Sin Hong lalu duduk
 bersila di atas pembaringan, lalu menempelkan tangan kanan ke teng-kuk yang terluka jarum,
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 140 mengerahkan sin-kang menyedot. Kakek itu sendiri duduk di tepi pembaringan jari tangan
 menotok di sekitar pundak dan tengkuk, lalu mengurut tengkuk itu sambil menge-rahkan sin-
 kang pula. Sian Li yang duduk di atas kursi, diam saja dan memandang penuh perhatian.
 Tak lama kemudian, Sin Hong mera-sakan dua batang jarum tersembul me-nyentuh telapak
 tangannya. Dia memberi tanda dan Yok-sian Lo-kai menghentikan urutan jari tangannya.
 Setelah Sin Hong melepaskan tangannya, nampak gagang dua batang jarum tersembul dan
 kakek itu lalu mencabutnya. Bekas luka itu nampak hijau kehitaman dan pada saat itu, Kao
 Hong Li sudah datang membawa putih telur yang sudah dimasak. Yok-sian Lo-kai lalu
 mencampuri putih telur itu de-ngan obat bubuk, memupukkan campuran ini di atas dua
 lubang kecil bekas jarum, lalu membalutnya.
 "Dalam waktu satu jam, obat itu boleh diambil dan semua racun sudah akan dihisap keluar,"
 katanya dan kini dia mulai mengobati Kao Cin Liong yang masih pingsan. Luka senjata tajam
 pada punggung Suma Hui tidak berbahaya dan sudah diobati oleh Sin Hong dengan obat luka.
 Akan tetapi, pukulan tangan yang mengandung racun Hek-coa-tok memang berbahaya sekali.
 Yok-sian Lo-kai yang memiliki ilmu pengobatan dengan totokan dan tusuk jarum, lalu mulai
 bekerja. Dia menotok banyak jalan darah di seluruh tubuh Kao Cin Liong, terutama di seputar
 tempat luka di punggung. Kemudian, dia mempergunakan tiga batang jarum emas untuk
 menusuk bagian-bagian ter-tentu, menggetarkan jarum-jarum itu dengan tenaga sin-kang
 melalui jari-jari tangannya.
 Kurang lebih dua jam kakek ini mela-kukan pengobatan dan akhirnya, Kao Cin Liong
 muntah-muntah dan keluarlah da-rah menghitam dari mulutnya. Tentu saja melihat lni, Sin
 Hong dan Hong Li ter-kejut dan memandang dengan hati kha-watir. Akan tetapi, Yok-sian
 tersenyum nampak lega dan pada saat itu terdengar suara rintihan lirih dari pembaringan di
 mana Suma Hui berbaring. Mendengar suara ibunya, Hong Li cepat mengham-piri dan
 ternyata ibunya baru saja sium-an. Melihat ibunya bergerak hendak duduk, Hong Li
 membantu ibunya bangkit duduk.
 "Ibu, bagaimana rasanya badanmu?" Hong Li bertanya, hatinya gembira kare-na wajah
 ibunya nampak kemerahan.
 Suma Hui agaknya baru teringat akan semua keadaan. "Mana ayahmu?" Ketika ia menengok
 ke arah kiri, dan mendengar suaminya muntah-muntah, ia hendak meloncat turun dan tentu
 akan terjatuh kalau saja tidak ditahan oleh puterinya.
 "Perlahan, Ibu. Ayah juga terluka dan baru saja ditolong oleh Locianpwe itu."
 Suma Hui kembali duduk dan kini ia memandang ke arah kakek yang mengu-rut tengkuk den
 punggung suaminya yang masih muntah-muntah, akan tetapi tidak sehebat tadi.
 "Dia.... Dia.... Yok-sian Lo-kai?" Suma Hui mengenalnya. Pengemis tua ahli pe-ngobatan itu
 sudah selesai menolong Kao Cin Liong dan dia pun kini menghadapi Suma Hui sambil
 tersenyum. "Suma Lihiap, engkau masih mengenal aku" Bagus! Sudah ditakdirkan Tuhan bahwa
 kebetulan saja aku sedang hendak berkunjung ke sini ketika aku melihat engkau dan suamimu
 terluka." Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 141 "Ah, terima kasih Lo-kai. Bagaimana suamiku?"
 "Aku juga sudah sembuh. Sungguh besar budi Lo-kai kepada kita!" kata Kao Cin Liong yang
 kini juga sudah bangkit duduk.
 Yok-sian Lo-kai tertawa gembira. "Ha-ha-ha, kalian ini suami isteri pende-kar sungguh lucu.
 Apa itu budi dan den-dam" Menjadi biang penyakit saja. Kao Taihiap, sejak engkau menjadi
 panglima dahulu, entah sudah berapa puluh atau ratus ribu keluarga yang selamat karena
 sepak terjangmu. Apa artinya pengobatan yang kuberikan sekarang ini" Pula, kalau bukan
 Tuhan menghendaki kalian suami isteri budiman agar masih hidup, bagaimana mungkin aku
 dapat kebetulan bera-da di sini?"
 Kao Cin Liong menghela napas pan-jang dan dia memandang kepada puteri-nya dan
 mantunya. "Ketahuilah, dahulu, ketika aku memimpin pasukan ke barat, pernah aku
 menderita luka beracun yang nyaris membunuhku. Untung aku bertemu dengan Yok-sian Lo-
 kai ini dan dialah pula yang menyembuhkan aku."
 "Ha-ha-ha, urusan sekecil itu masih teringat oleh Kao Tahiap sedangkan cara Taihiap
 menyelamatkan puluhan ribu orang di dusun-dusun yang dilanda ge-rombolan pemberontak
 sama sekali di-lupakannyal"
 "Kong-kong....! Bo-bo....!" Sian Li da-tang menghampiri kakek dan neneknya. Mereka
 bergantian merangkul cucu mere-ka itu. "Kelak aku yang akan membasmi para penjahat yang
 telah melukai Kong-kong dan Bo-bo!" kata Sian Li penuh semangat.
 "Siancai....! Kalian mempunyai seorang cucu yang sehat!" Yok-sian Lo-kai me-muji. "Sian
 Li, anak yang baik, kalau saja engkau mempelajari ilmu pengobatan seperti itu, tentu engkau
 akan mudah saja tadi menyembuhkan kakek dan ne-nekmu. Apakah engkau tidak ingin
 bela-jar ilmu pengobatan?"
 "Aku suka sekali! Kakek yang baik, kau ajarkanlah aku ilmu mengobati se-perti itu!"
 "Siancai....! Tentu saja aku suka sekali dan engkau memang berbakat. Akan te-tapi, tentu saja
 keputusannya tergantung kepada ayah ibumu, Sian Li."
 Kao Cin Liong mengangguk-angguk dan berkata kepada puterinya, "Hong Li, kalau anakmu
 bisa dididik Yok-sian Lo-kai, bukan saja ilmu pengobatan yang akan diwarisinya, akan tetapi
 juga ilmu totok Im-yang Sin-ci yang tidak ada -duanya di seluruh dunia ini!"
 Hong Li memandang kepada suaminya. Ia dan suaminya adalah sepasang pende-kar yang
 memiliki ilmu kepandaian ting-gi. Bagaimana mungkin mereka menye-rahkan anak tunggal
 mereka kepada orang lain untuk di jadikan murid" agak-nya Sin Hong dapat mengerti akan isi
 hatinya, maka Sin Hong cepat memberi hormat kepada kakek itu.
 "Locianpwe, kami sebagai orang tua Sian Li menghaturkan banyak terima kasih atas
 kemurahan hati Locianpwe yang hendak mendidik anak kami. Akan, tetapi karena ia masih
 amat kecil, biar-lah kami akan mendidik dan memberi pelajaran dasar kepadanya lebih dulu.
 Kelak kalau sudah tiba waktunya, tentu kami akan membawanya menghadap Lo-cianpwe
 untuk menerima pendidikan Locianpwe."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 142 Kakek itu tersenyum. "Ah, bagus se-kali kalau begitu, Taihiap. Memang seo-rang tua bangka
 yang hidup sebatang kara seperti aku ini, bagaimana mungkin mendidik seorang anak kecil"
 Biarlah, kelak kalau usiaku masih panjang, setelah Sian Li menjadi seorang gadis dewasa, aku
 akan mewariskan kepandaianku kepadanya."
 Keluarga yang kini merasa gembira karena kesembuhan Kao Cin Liong dan Suma Hui,
 menjamu tamu kehormatan itu dengan makan minum dan mereka mempergunakan
 kesempatan ini untuk bercakap-cakap.
 "Engkau adalah seorang yang banyak melakukan perantauan, Lo-kai, tentu dapat
 menjelaskan apa artinya semua pe-ristiwa yang menimpa kami ini," kata Kao Cin Liong yang
 sudah mengenal baik dewa obat itu.
 Yok-sian Lo-kai menghela napas pan-jang. "Seperti cerita kalian tadi, ketua kuil yang murid
 Siauw-lim-pai itu dise-rang dan dikejar-kejar beberapa orang tosu Bu-tong-pai dan dia lari ke
 sini sampai akhirnya tewas pula di sini. Bah-kan kalian yang hendak melerai dan melindungi
 hwesio itu hampir menjadi kor-ban. Memang aneh sekali. Kalian mende-rita pukulan beracun,
 padahal setahuku, Bu-tong-pai pantang mempergunakan ilmu pukulan yang keji, yang hanya
 pantas dimiliki para tokoh sesat. Bagaimanapun juga, permusuhan antara Bu-tong-pai dan
 Siauw-lim-pai memang semakin merun-cing, seperti juga permusuhan antara empat
 perkumpulan besar, yaitu Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan Go--bi-pai. Aku
 sendiri merasa heran, bagai-mana orang-orang yang mengaku pende-kar dan bahkan para
 pemimpinnya terdiri dari pendeta-pendeta, kini bermusuhan, saling serang dan saling bunuh
 seperti binatang buas, penuh dendam kebencian. Hayaaaa, agaknya memang sudah jamannya
 begini. Jaman penjajahan yang men-datangkan segala macam bentuk kekeruh-an."
 "Akan tetapi, Lo-kai, apakah kita harus tinggal diam saja" Kalau didiamkan bukankah
 permusuhan itu semakin ber-larut-larut dan hal ini amat melemahkan dunia persilatan
 terutama golongan putih atau kaum pendekar?" kata Sin Hong sambil mengerutkan alisnya.
 "Bukan itu saja, bahkan golongan lain yang tidak ikut bermusuhan, dapat ter-libat seperti
 halnya kami sekarang ini," kata Hong Li. "Kalau menurutkan hati panas, salahkah kalau kita
 mendatangi Bu-tong-pai dan menuntut balas atas apa yang mereka lakukan terhadap ayah dan
 ibuku yang sama sekali tidak bersalah terhadap mereka?"
 "Dalam urusan ini, hati boleh panas akan tetapi kepala harus tetap dingin," kata pula Sin
 Hong. "Kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil kesimpulan bah-wa Bu-tong-pai telah
 mencelakai orang tua kita. Maka, aku telah mengirim su-rat teguran kepada Ketua Bu-tong-
 pai dan kita lihat saja bagaimana nanti ja-waban dari sana."
 "Siancai.... Ji-wi (Kalian berdua) ada-lah suami isteri pendekar yang tentu tidak kekurangan
 kebijaksanaan dan tidak akan bertindak sembarangan. Memang, di dalam jaman penjajahan
 ini, banyak terjadi bentrokan karena salah paham. Ada sebagian pendekar yang mendukung
 pemerintah karena menganggap pemerin-tah dapat bersikap baik terhadap rakyat jelata, ada
 sebaliknya yang membenci penjajah karena mereka itu orang asing. Aihhh, urusan negara
 adalah urusan yang ruwet, bagaimana aku dapat mencam-purinya" Biarlah aku sekarang pergi
 dan kelak, kalau waktunya tiba, aku akan datang menagih janji untuk mewariskan kepandaian
 yang ada padaku kepada Sian Li."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 143 Yok-sian Lo-kai pergi meninggalkan rumah keluarga Kao tanpa dapat ditahan lagi. Karena
 Kao Cin Liong dan Suma Hui masih lemah biarpun sudah sembuh, maka Sin Hong dan Hong
 Li yang mewa-kili mereka melayat ke kuil untuk meng-hadiri upacara pembakaran atau
 perabuan jenazah Thian Kwan Hwesio.
 *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 Suma Ceng Liong adalah seorang pen-dekar sakti yang hidup bersama isterinya di dusun
 Hong-cun, di luar kota Cin-an Propinsi Shan-tung, di lembah Huang-ho yang subur dan indah.
 Pendekar ini me-rupakan cucu Pendekar Sakti yang paling lihai, putera dari mendiang Suma
 Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil. Memang Suma Ceng Liong selain lihai juga amat
 gagah perkasa. Usianya sudah empat pu-luh enam tahun namun dia masih nam-pak gagah,
 tinggi besar dengan dagu lon-jong dan wajahnya selalu cerah gembira. Pendekar ini bukan
 saja mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Istana Pulau Es, akan tetapi juga dia pernah
 digembleng oleh Hek I Mo-ong, seorang datuk sesat yang amat lihai. Juga disamping ilmu
 silat, dia pernah mempelajari ilmu sihir karena ibunya, Teng Siang In almarhum, adalah
 seorang ahli sihir yang ampuh. Oleh ka-rena itu, maka pada waktu itu, boleh dianggap bahwa
 di antara keturunan ke-luarga Istana Pulau Es, pendekar Suma Ceng Liong ini merupakan
 cucu yang paling lihai di antara tiga orang cucu dalam mendiang Pendekar Super Sakti, yaitu
 Suma Ciang Bun, Suma Hui, dan Suma Ceng Liong.
 Pendekar Suma Ceng Liong ini meni-kah dengan seorang wanita yang sakti pula, bahkan
 dalam hal ilmu kepandaian silat tingkatnya seimbang dengan tingkat kepandaian suaminya.
 Wanita ini bernama Kam Bi Eng, puteri dari Pendekar Sakti Kam Hong, pewaris dari ilmu-
 ilmu hebat dari Pendekar Suling Emas!
 Suami isteri ini semenjak menikah hidup berbahagia, saling mencinta, saling menghormat
 dan saling setia. Mereka hanya mempunyai seorang keturunan, yaitu seorang anak perempuan
 yang ber-nama Suma Lian. Puterinya itu juga se-orang pendekar yang lihai dan kini sudah
 menikah dengan seorang pendekar murid Suma Ciang Bun, bernama Gu Hong Beng yang
 kini tinggal di daerah Heng-san, sebelah selatan Po-teng.
 Demikiandah sedikit riwayat pendekar sakti Suma Ceng Liong. Kini setelah puterinya yang
 menjadi anak tunggal itu menikah enam tahun yang lalu, Suma Ceng Liong hidup berdua saja
 dengan isterinya dan kadang merasa kesepian. Untuk melewatkan waktu menganggur, mereka
 membuka toko obat di dusun Hong-cun itu. Mereka tadinya bertahan tidak mau menerima
 murid karena mere-ka merasa sayang kalau ilmu kepandaian yang mereka peroleh dari
 keluarga itu, yang merupakan ilmu silat keturunan, baik dari Suma Ceng Liong maupun dari
 isterinya, Kam Bi Eng. Akan tetapi, se-tahun yang lalu, ketika di rumah keluar-ga Liem di
 dusun mereka terjadi keba-karan hebat yang menewaskan seluruh isi rumah, kecuali seorang
 anak laki-laki mereka yang selamat karena kebetulan berada di luar rumah, suami isteri
 pen-dekar itu merasa kasihan sekali kepada Liem Sian Lun, anak itu. Melihat betapa anak
 laki-laki berusia tujuh tahun itu demikian tabahnya menghadapi malapeta-ka yang menimpa
 keluarganya sehingga dia menjadi yatim piatu dan sama sekali tidak mempunyai anggauta
 keluarga lagi, melihat anak itu hanya berlutut di depan makam ayah ibunya seperti patung,
 tidak menangis, tergerak hati mereka. Suami isteri ini lalu mengajak Sian Lun pulang. Mula-
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 144 mula mereka hanya ingin menolong saja, menjadikan Sian Lun sebagai pem-bantu rumah
 tangga dan pembantu toko rempa-rempa mereka. Akan tetapi, meli-hat betapa anak itu amat
 pendiam, penurut dan berwatak baik sekali, juga setelah mendapat kenyataan bahwa anak itu
 berbakat dan bertulang baik, kedua-nya sepakat untuk mengambil Sian Lun sebagai murid,
 bahkan dianggap sebagai anak karena setelah Suma Lian pergi mengikuti suami, mereka
 berdua sering-kali merasa kesepian. Dan biarpun tahu bahwa dia disayang, digembleng ilmu
 silat bahkan dianggap sebagai anak ang-kat, Sian Lun tetap bersikap rendah hati, rajin bekerja
 sehingga suami isteri pen-dekar itu menjadi semakin sayang kepa-danya.
 Karena sikapnya yang rendah hati ini, walaupun para pegawai toko obat dan rempa-rempa itu
 tahu belaka bahwa Sian Lun diperlakukan seperti anak angkat oleh majikan mereka, namun
 tak seorang pun merasa iri. Sian Lun membantu pe-kerjaan di toko, di rumah, tidak malas dan
 tidak segan untuk melakukan pekerja-an dan mengepel, bahkan membantu pe-kerjaan pelayan
 di dapur. Pendeknya, di mana ada kesibukan, di situ tentu ada Sian Lun maka dia pun
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disayang oleh seisi rumah. Diam-diam pendekar Suma Ceng Liong dan isterinya merasa
 sayang sekali kepada murid ini dan menaruh harapan besar kepada diri anak itu bah-wa kelak
 akan dapat mewarisi kepandai-an mereka dan menjunjung tinggi nama mereka sebagai
 seorang pendekar budi-man. Sejak berusia tujuh tahun saja sudah nampak bahwa Sian Lun
 selain berotak terang, mudah menghafal pela-jaran baik sastra maupun silat, bertubuh tinggi
 tegap, pendiam dan tabah sekali, wajahnya cerah.
 Ketika utusan dari Kao Cin Liong ti-ba, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng sedang duduk di
 ruangan depan. Hari masih pagi dan toko obat mereka masih tutup, para pegawai sedang
 membersih-kan toko dan bersiap-siap untuk mem-bukanya. Sian Lun sejak pagi tadi sudah
 bangun, sudah menyapu pekarangan dan kini sedang sibuk menyirami tanaman kembang
 kesukaan subo-nya (ibu gurunya).
 Penunggang kuda yang memasukkan kudanya ke pekarangan itu, kemudian meloncat turun
 tergesa-gesa, amat me-narik perhatian. Melihat betapa pria ber-usia empat puluhan tahun itu
 nampak lelah, pakaiannya penuh debu dan jelas bahwa dia melakukan perjalanan jauh, Suma
 Ceng Liong dan isterinya meman-dang dengan hati tertarik. Bahkan Sian Lun yang sedang
 menyiram kembang cepat menurunkan ember airnya dan lari menghampiri arang yang
 meloncat turun dari punggung kudanya.
 "Paman mencari siapakah, dari mana Paman datang dan siapa nama Paman" Aku akan
 melaporkan kepada Suhu dan Subo," kata Sian Lun dengan sikap hor-mat, akan tetapi
 sepasang matanya yang tajam mengamati wajah pendatang itu penuh selidik.
 Mendengar anak itu menyebut suhu dan subo, utusan ini pun bersikap ramah. "Anak yang
 baik, tolonglah beritahu ke-pada Locianpwe Suma Ceng Liong dan Nyonya bahwa saya
 datang sebagai utus-an dari keluarga Kao di Pao-teng."
 Dari suhu dan subonya, Sian Lun per-nah mendengar akan nama para keluarga dan kenalan
 mereka yang terdiri dari para pendekar, maka mendengar bahwa orang ini utusan dari
 keluarga Kao di Pao-teng, dia cepat berlari menuju ke ruangan depan di mana suhu dan
 subonya sedang duduk minum teh pagi.
 "Suhu dan Subo, maafkan kalau teecu mengganggu. Akan tetapi penunggang ku-da itu
 mengaku utusan dari keluarga Kao di Pao-teng. Katanya membawa berita yang amat penting
 untuk Suhu dan Subo.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 145 Tentu saja suami isteri pendekar itu terkejut mendengar bahwa penunggang kuda itu utusan
 keluarga Kao di Pao-teng. Kalau tidak ada urusan penting sekali, tentu Kao Cin Liong tidak
 akan mengirim utusan. Isteri Kao Cin Liong, yaitu Suma Hui, adalah kakak sepupu Suma
 Ceng Liong, maka dia pun cepat bangkit dan memandang ke arah penung-gang kuda itu.
 "Saudara utusan dari Pao-teng, harap lekas datang ke sini menyampaikan beri-ta itu kepada
 kami!" Lalu kepada murid mereka Suma Ceng Liong berkata, "Sian Lun, cepat kaurawat kuda
 itu, beri ma-kan dan minum di kandang kuda!"
 Sian Lun mentaati perintah gurunya. Dia menerima kendali kuda yang nampak kelelahan itu,
 membawanya ke kandang di bagian belakang, sedangkan tamu itu dengan sikap hormat lalu
 menghampiri tuan dan nyonya rumah yang menanti di serambi depan.
 Setelah dipersilakan duduk, dan memperkenalkan diri, tamu itu lalu menge-luarkan sesampul
 surat yang ditulis oleh Tan Sin Hong, mantu keponakan mereka dan begitu membaca isinya,
 suami isteri itu mengerutkan alis dengan kaget. Surat itu memberitahu bahwa kakak sepupu
 Suma Ceng Liong, yaitu Sum Hui dan suaminya, Kao Cin Liong, terluka parah karena
 pukulan-pukulan beracun dari para tosu Bu-tong-pai dan bahwa mereka berdua diminta untuk
 segera datang berkun-jung ke Pao-teng untuk memberi perto-longan.
 Suma Ceng Liong memandang utusan encinya itu dengan pandang mata penuh selidik dan
 minta kepadanya untuk men-ceritakan sejelasnya apa yang telah ter-jadi. Pelayan toko itu
 tidak dapat berce-rita banyak. Dia hanya menceritakan apa yang telah didengarnya saja, yaitu
 bahwa pada beberapa hari yang lalu, malam-malam rumah majikannya diserbu bebe-rapa
 orang tosu Bu-tong-pai yang ber-kelahi dengan ketua kuil, yaitu Thian Kwan Hwesio di atas
 rumah majikan mereka. Majikan mereka suami isteri berusaha melerai akan tetapi mereka
 juga menjadi korban pemukulan para tosu Bu-tong-pai yang marah itu. Akhirnya, Tan Sin
 Hong dan Kao Hong Li yang kebetulan berada di sana, berhasil me-ngusir para tosu Bu-tong-
 pai dan kini keadaan kedua orang majikan mereka terluka parah, sedangkan hwesio Siauw-
 lim-pai itu tewas.
 "Kami akan berangkat sekarang juga!" kata Ceng Liong dan kepada utusan itu dia sarankan
 untuk beristirahat dulu se-belum pulang, dan dia menyuruh seorang pembantunya untuk
 menyambut tamu itu. Dia memanggil Sian Lun dan memesan kepada anak itu agar baik-baik
 menjaga rumah karena dia, dan isterinya akan pergi ke Pao-teng. Sian Lun mematuhi perintah
 suhunya tanpa berani banyak bertanya. Akan tetapi setelah suhu dan subonya pergi, Sian Lun
 mendapat banyak kesempatan untuk bicara dan bertanya-tanya kepada utusan dari Pao-teng
 itu. Karena anak itu merupakan murid tuan rumah, utusan itu tidak menganggapnya orang luar
 dan dia pun menceritakan semua hal yang terjadi. Diam-diam Sian Lun mencatat dalam
 ingatannya dan me-rasa heran sekali. Menurut keterangan suhu dan subonya, di dalam dunia
 per-silatan terdapat dua golongan, yaitu go-longan putih atau para pendekar, dan golongan
 hitam atau para penjahat. Dan Bu-tong-pai termasuk golongan putih. Kenapa sekarang. Bu-
 tong-pai membunuh seorang hwesio Siauw-lim-pai, bahkan melukai suami isteri yang
 terkenal menja-di pendekar itu" Dia mendengar dari suhunya, siapa adanya pendekar besar
 Kao Cin Liong dan siapa pula isterinya yang bernama Suma Hui. Pendekar Kao Cin Liong
 adalah keturunan keluarga Istana Gurun Pasir, dan Suma Hui adalah kakak sepupu suhunya,
 keturunan keluar-ga Istana Pulau Es!
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 146 Kedatangan Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, disam-but dengan gembira oleh
 Kao Cin Liong dan Suma Hui, juga oleh Tan Sin Hong dan Kao Hong Li yang masih berada
 di situ. Sebaiknya, Suma Ceng Liong dan isterinya juga girang melihat bahwa ka-kaknya telah
 sembuh, demikian pula ka-kak iparnya.
 "Kami masih dilindungi Thian dan bertemu dengan Yok-sian Lo-kai sehingga kami dapat
 disembuhkan dengan cepat," kata Suma Hui kepada adiknya, Suma Ceng Liong, setelah dua
 orang tamu itu dipersilakan duduk di ruangan dalam.
 "Yok-sian Lo-kai" Ah, sudah pernah kudengar nama besarnya, Enci Hui, akan tetapi aku
 belum pernah bertemu dengan dia. Sungguh kebetulan sekali dia dapat mengobati Enci dan
 juga Cihu. Akan te-tapi, bagaimana mungkin kalian sampai terluka oleh penjahat, padahal di
 sini terdapat pula puteri kalian dan mantu kalian yang amat lihai ini?"
 Suma Ceng Liong memandang kepada Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, seolah hendak
 menegur kenapa mereka itu tidak mampu melindungi orang tua mereka.
 Kao Cin Liong menghela napas pan-jang. "Semua terjadi di luar persangkaan. Begitu tiba-
 tiba. Lima orang tosu itu memang amat lihai, dan biarpun demi-kian, mereka pasti tidak akan
 mungkin dapat melukai kami kalau saja di sam-ping kelihaian mereka, mereka itu tidak amat
 licik dan curang. Mereka menggu-nakan kecurangan sehingga kami lengah dan terluka."
 "Hemm, kalau lain kali aku bertemu dengan mereka, akan kuhancurkan kepala mereka itu
 satu demi satu!" kata Suma Hui yang wataknya keras.
 "Tidak, Bo-bo, Bo-bo sudah tua, biar-lah aku yang akan mencari mereka dan membasmi
 mereka yang jahat itu!" Tiba-tiba terdengar suara anak kecil dan Sian Li memasuki ruangan
 itu. Semua orang menengok dan Suma Ceng Liong dan isterinya memandang kagum. Anak
 berpakaian merah itu biar baru berusia empat tahun nampak begitu lincah dan gagah.
 "Siapakah anak manis ini?" tanya Kam Bi Eng.
 Kao Hong Li segera berkata, "Sian Li, hayo cepat memberi hormat kepada kakek dan
 nenekmu ini. Kakek Suma Ceng Liong ini adalah adik dari nenekmu dan nenek Kam Bi Eng
 ini isterinya." Hong Li memperkenalkan paman dan bibinya.
 Sepasang mata yang lebar dan bening itu mengamati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng
 dengan heran. "Ibu, mereka itu masih muda dan gagah, bagaimana aku harus menyebut Kakek
 dan Nenek" Mereka belum pantas disebut Kakek dan Nenek, pantasnya Paman dan Bibi."
 Semua orang tertawa mendengar ucapan yang jujur dan lucu itu. Kam Bi Eng meraihnya dan
 merangkul Sian Li, menciumi pipinya. Sian Li memandang wajah Bi Eng dan berkata, "Bibi
 ini can-tik dan gagah sekali, seperti Ibu!"
 Kam Bi Eng tertawa. "Ih, engkau ini perayu. Aku ini nenekmu, usiaku sudah tua, sudah dua
 kali ibumu. Ibumu adalah keponakanku." Ia membelai tubuh anak itu dan berseru kagum,
 "Aihhh, anakmu ini memiliki tulang dan bakat yang amat baik, Sin Hong" Lalu kepada
 suaminya ia berkata, "Coba kauperiksa sendiri!" Dan dengan lembut ia mendorong anak itu
 kepada Suma Ceng Liong yang juga merangkulnya.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 147 Suma Ceng Liong mengangguk-angguk. "Kalian memang beruntung. Anak ini me-miliki
 bakat yang amat baik. Hemm, kami akan merasa berbahagia sekali ka-lau kelak dapat
 memberi sedikit bim-bingan kepadanya."
 "Aih, kenapa tidak?" kata Suma Hui. "Kalau adikku Ceng Liong yang membe-rikan
 bimbingan, aku yakin kelak Sian Li akan menjadi seorang gadis pendekar yang hebat, dan
 pantas dijuluki Si Ba-ngau Merah Sakti! Sian Li, cepat kau memberi hormat dan terima kasih
 kepada kakek dan nenekmu itu!"
 Sian Li memang seorang anak yang amat cerdik. Ia sudah pernah mendengar bahwa ilmu
 kepandaian paman kakeknya ini amat hebat, maka mendengar seruan neneknya, ia pun cepat
 menjauhkan diri berlutut di depan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang duduk
 bersanding. "Ka-kek dan Nenek, aku menghaturkan terima kasih kepada Kakek dan Nenek!"
 Kao Hong Li dan Tan Sin Hong saling pandang, lalu Sin Hong tertawa.
 "Ha-ha-ha, anak kami itu masih kecil, baru berusia empat tahun akan tetapi sudah banyak
 yang menjanjikan akan mengambilnya sebagai murid. Ketika Yok-sian Lo-kai mengobati
 Ayah dan Ibu, dia pun minta agar kelak Sian Li boleh mewarisi ilmu-ilmunya, dan sekarang
 ini Paman dan Bibi juga menjanjikan demi-kian."
 Kao Hong Li cepat memberi hormat kepada Suma Ceng Liong, dan Kam Bi Eng. "Paman
 dan Bibi sungguh berbudi, dan atas nama anakku, aku menghaturkan banyak terima kasih."
 Sin Hong juga bangkit memberi hormat dan suasana menjadi gembira sekali. Hal ini tentu
 saja tidak akan mungkin terjadi kalau Kao Cin Liong dan Suma Hui masih ter-ancam bahaya
 seperti tempo hari.
 Mereka lalu membicarakan tentang permusuhan yang timbul antara para par-tai persilatan
 besar. "Sungguh menyebal-kan sekali kalau diingat," kata Suma Ceng Liong. "Bagaimana sih
 jalan pikiran para pimpinan partai persilatan besar itu" Bangsa kita dijajah orang Mancu, dan
 betapapun besar usaha pemerintah Mancu untuk memakmurkan rakyat jelata tetap saja bangsa
 kita dijajah, menjadi budak dan para pembesar semua adalah orang-orang Mancu, atau kalau
 ada orang Han juga mereka adalah anjing-anjing penjilat yang tidak segan menindas bang-sa
 sendiri demi kesetiaan mereka kepada pemerintah Mancu. Akan tetapi, kini partai-partai besar
 bahkan ribut saling bermusuhan sendiri sehingga tentu saja rakyat jelata menjadi semakin
 menderita, golongan sesat merajalela tanpa ada yang menentangnya. Aihh, sungguh
 menyedih-kan sekali!"
 "Adik Liong, kenapa engkau bisa bi-lang begitu" Lupakah engkau bahwa da-rah kita ini pun
 merupakan darah cam-puran. Kakek kita Suma Han memang seorang Han tulen, akan tetapi
 bagaima-na dengan Nenek kita" Puteri Nirahai, Nenekmu, dan puteri Lulu, Nenekku, bukan
 orang Han." Suma Hui memper-ingatkan.
 Suma Ceng Liong mengerutkan alisnya,. "Tidak kusangkal kebenaran hal itu, Enci. Memang
 kenyataannya demikian. Akan tetapi, Kakek kita, Ayah kita, sejak dahulu adalah orang-orang
 gagah yang menjadi pembela rakyat jelata walaupun tidak pernah mencampuri urusan
 kenega-raan. Bahkan suamimu, Cihu (Kakak Ipar Kao Cin Liong) juga mengundurkan diri
 dari jabatan panglima karena sungkan untuk mengabdi kepada orang-orang Man-cu. Kita
 tidak perlu menentang pemerin-tah Mancu, akan tetapi kita harus tetap menjadi pendekar
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 148 yang membela kepen-tingan rakyat jelata yang tertindas, menentang semua penindas tidak
 peduli dari bangsa apapun! Kalau kini perkum-pulan para pendekar seperti Siauw-lim-pai,
 Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan Go-bi-pai saling serang sendiri, bukankah itu amat
 menyedihkan?"
 "Sudahlah, hal itu tidak cukup hanya disesalkan saja. Melihat cara para tosu Bu-tong-pai itu
 melakukan kecurangan ketika menyerang kami, aku yakin bahwa ada suatu rahasia
 tersembunyi di balik ini semua. Aku bahkan mempunyai duga-an bahwa mereka itu bukan
 orang-orang Bu-tong-pai yang aseli!"
 "Tapi, bukankah sudah lama kita mendengar bahwa memang terdapat per-musuhan antara
 Siauw-lim-pai, dan Bu-tong-pai?" Suma Hui mencela. "Juga sebelum tewas, Thian Kwan
 Hwesio sen-diri mengaku bahwa mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai. Bagaimana dia bisa
 keliru sangka?"
 "Keadaan itu memang aneh dan men-curigakan," kata Sin Hong. "Harap Ibu dan Ayah
 mertua suka menenangkan hati. Sudah menjadi kewajiban saya untuk me-lakukan
 penyelidikan. Siapa tahu ada oknum luar yang menyelundup ke dalam Bu-tong-pai. Saya
 mengenal baik para pimpinan Bu-tong-pai dan sudah saya surati ke sana untuk minta
 pertanggung-an jawab mereka."
 Dua utusan yang lain beberapa hari kemudian pulang. Yang diutus mengun-dang Suma
 Ciang Bun tidak berhasil ka-rena pendekar itu tidak berada di rumah dan tak seorang pun tahu
 ke mana per-ginya. Seperti kita ketahui, Suma Ciang Bun bertemu dengan Gangga Dewi dan
 keduanya melakukan pengejaran dan pen-carian untuk menolong Yo Han yang dilarikan Ang
 I Moli dan kawan-kawannya. Akan tetapi utusan dari Bu-tong-pai da-tang membawa surat
 dari Ketua Bu-tong-pai. Seperti telah diduga oleh Sin Hong, di dalam suratnya itu Ketua
 Bu-tong-pai menyangkal telah menyerang keluarga Kao di Pao-teng! Memamg ter-dapat
 sedikit pertentangan dan kesalah-pahaman antara Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai, demikian
 antara lain surat itu mengatakan, akan tetapi itu hanya ter-batas di kalangan murid-murid yang
 ting-gal di luar pusat saja. Para pimpinan kedua pihak sedang melakukan penyeli-dikan dan
 belum terdapat pertentangan resmi atau berterang. Maka, Ketua Bu-tong-pai menyangsikan
 bahwa yang mem-bunuh Thian Kwan Hwesio kepala kuil Pao-teng, bahkan melukai pendekar
 besar Kao Cin Liong dan isterinya adalah para murid Bu-tong-pai.
 Keluarga pendekar itu kini mengada-kan perundingan. "Keadaannya sungguh gawat, dan
 perlu penyelidikan," kata Suma Ceng Liong. "Kalau dibiarkan ber-larut-larut, tentu akan
 timbul perten-tangan hebat dan akan rusak binasalah para pendekar dari partai-partai besar
 karena permusuhan yang tidak menentu ujung pangkalnya ini."
 "Pendapat Paman itu memang tepat sekali. Saya sendiri sudah mendengar bahwa bukan
 hanya Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai saja yang dilanda pertentangan, bahkan juga Go-bi-pai
 dan Kun-lun-pai. Agaknya di antara empat partai besar ini timbul suatu kesalahpahaman besar
 yang membuat mereka saling curi-ga, dan di antara murid-murid mereka terdapat
 permusuhan. Saya kira, sudah sepantasnya kalau kita semua berusaha mendamaikan."
 "Tepat sekali!" Kao Cin Liong juga berseru. "Memang kita harus berusaha menjernihkan
 segala kekeruhan ini agar tidak berlarut-larut!"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 149 Isterinya, Suma Hui cemberut. "Ter-lalu enak kalau para pengecut itu didiam-kan saja. Bu-
 tong-pai harus bertanggung jawab dan mencari para pengecut itu sampai dapat, baru aku mau
 menghabis-kan urusan ini dengan Bu-tong-pai!"
 Suaminya menghiburnya. "Kita harus bersabar dan tidak semakin mengeruhkan suasana.
 Sudah jelas bahwa Bu-tong-pai dipalsukan orang, dan tentu saja kita tidak bisa menyalahkan
 Bu-tong-pai. Aku yakin bahwa Bu-tong-pai sendiri juga akan bertanggung jawab dan akan
 mencari pengacau itu sampai dapat. Sebaik-nya kalau kita, keluarga kita, mengun-dang
 mereka semua ke sini."
 "Bukankah beberapa bulan lagi hari ulang tahun Ayah yang ke enam puluh empat"
 Bagaimana kalau kita mengun-dang mereka untuk menghadiri ulang tahun itu" Dengan
 demikian tidak akan menyolok dan mereka tentu akan datang semua, mengingat akan
 hubungan baik antara Ayah dan para pendekar," kata Kao Hong Li.
 Semua orang setuju dan segera diatur undangan kepada para tokoh persilatan, terutema empat
 partai besar itu untuk menghadapi pesta perayaan ulang tahun Kao Cin Liong yang akan jatuh
 pada tiga bulan lagi. Setelah bermalam di situ se-lama satu minggu, Suma Ceng Liong dan
 isterinya pulang ke dusun Hong-cun di kota Cin-an, sedangkan Tan Sin Hong, isteri dan
 anaknya kembali ke Ta-tung setelah mereka berjanji kepada Suma Ceng Liong bahkan kelak
 puteri mereka Sian Li, akan diantar ke Hong-cun untuk belajar silat dari pendekar sakti itu.
 *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 Yo Han menari-nari dengan gerakan yang indah namun aneh. Yang mengiringi gerakan
 tarinya adalah suaranya suling yang melengking-lengking secara aneh pula. Yo Han tidak
 tahu bahwa suara suling ini, kalau terdengar orang lain, akan dapat membuat orang yang
 men-dengarnya menjadi tuli atau setidaknya akan roboh pingsan karena suara itu me-lengking
 tinggi parau dan begitu lembut sehingga dapat menusuk dan menembus kendangan telinga,
 menggetarkan jantung dan dapat menguasai semangat orang! Memang, Thian-te Tok-ong
 bukanlah se-orang manusia biasa. Tingkat kepandaian-nya sudah amat tinggi, bahkan bukan
 hanya ilmu silat, melainkan juga tenaga sin-kangnya yang amat kuat itu sukar dicari
 bandingannya. Suara sulingnya itu saja cukup untuk membuat pendengaran-nya menjadi tuli
 atau mati karena jan-tungnya terguncang. Namun, Yo Han memiliki suatu kelainan yang
 timbul secara mujijat. Kepasrahannya yang mu-tlak kepada Tuhan membuat dia seolah
 menjadi kekasih Tuhan yang selalu melindunginya dengan kekuasaan Tuhan yang gaib. Atau
 lebih tepat lagi, tenaga sakti yang memang sudah terkandung dalam diri setiap orang manusia
 sejak lahir, dan yang biasanya terpendam dan tak berdaya karena pengaruh nafsu-nafsu daya
 rendah yang menguasainya, pada diri Yo Han timbul dan berkembang sehingga seluruh
 bagian tubuhnya hidup dan beker-ja sesuai dengan tugasnya ketika dicipta-kan.
 Thian-te Tok-ong berusia kurang lebih delapan puluh tahun. Wataknya sudah berubah
 kekanak-kanakan, kadang bahkan pikun, akan tetapi dia senang sekali bergurau, dan
 wataknya juga nakal suka menggoda orang, seperti kanak-kanak. Tubuhnya pendek kecil
 seperti tubuh yang sudah mulai mengerut dan mengecil saking tuanya, namun gerakannya
 masih lincah. Matanya kocak, jelas membayang-kan kenakalan, dan mulut yang tak ada
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 150 giginya sebuah pun itu selalu menyeri-ngai seperti seringai anak kecil. Namun, dia ditakuti
 seluruh orang Thian-li-pang dan agaknya dia tahu benar akan hal ini.
 Di pusat Thian-li-pang itu, Thian-te Tok-ong tinggal di bagian paling belakang, bukan
 merupakan bangunan lagi, melain-kan merupakan sebuah guha besar di bu-kit. Guha itu luas
 sekali dan dilapisi dinding buatan menjadi tempat yang amat kokoh, berikut lubang-lubang
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angin dan lubang-lubang untuk memasukkan sinar matahari dari atas. Setiap hari yang keluar
 masuk hanyalah burung-bu-rung walet kalau siang, dan kelelawar-kelelawar kalau malam.
 Keadaannya me-nyeramkan dan tak seorang pun berani memasuki guha itu tanpa panggilan
 Thian-te Tok-ong yang jarang pula keluar dari dalam guha. Makanan dan minuman untuknya
 dikirim setiap hari oleh seorang murid Thian-li-pang, akan tetapi itu pun hanya diletakkan di
 atas batu dan di ujung depan guha.
 Yo Han adalah seorang anak yang jujur dan tidak pernah berprasangka bu-ruk terhadap
 siapapun jug
^