Kisah Si Bangau Merah 6

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


a, walaupun hal ini bukan menunjukkan bahwa dia bodoh. Sama sekali tidak. Dia
 peka rasa dan cerdik sekali, namun karena ada perasaan kasih terhadap semua orang, maka
 dia tidak pernah berprasangka. Oleh karena itu, ketika Thian-te Tok-ong mengajarkan ilmu
 "tarian" dan "senam" kepadanya, dia pun mempelajarinya dengan tekun, sama sekali tidak
 mempunyai prasangka bahwa semua gerakan tari dan senam itu sesungguhnya merupakan
 dasar-dasar ilmu silat yang amat hebat!
 Di lain pihak, Thian-te Tok-ong ada-lah seorang kakek tua renta yang di waktu mudanya
 merupakan seorang datuk sesat yang amat ditakuti orang. Dia bu-kan saja ahli silat, akan
 tetapi juga ahli sihir dan ahli tentang racun sehingga mendapat julukan Tok-ong (Raja Racun).
 Setelah merasa bosan merajalela seorang diri saja di dunia kang-ouw, terutama sekali setelah
 dua kali dia menelan pil pahit karena dikalahkan dua orang pen-dekar sakti, dia lalu
 mengundurkan diri dan untuk melindungi dirinya, dia ber-sembunyi di balik sebuah
 perkumpulan yang didirikannya, yaitu Thian-li-pang. Perkumpulan itu maju pesat berkat
 ke-pandaiannya, akan tetapi setelah usianya semakin tua, dia menyerahkan kepengurusan
 Thian-li-pang kepada sutenya, yaitu Ban-tok Mo-ko yang dalam ilmu silat juga amat lihai,
 tentu saja masih jauh di bawah tingkat suhengnya, Thian-te Tok-ong yang mengundurkan diri
 dan bertapa di dalam guha itu.
 Setelah Yo Han berada setahun di dalam guha itu menjadi murid Thian-te Tok-ong, sedikit
 demi sedikit gurunya mulai mengungkapkan tabir rahasianya. Kakek itu semakin percaya
 kepada Yo Han dan mulailah dia menceritakan ten-tang keadaan Thian-li-pang, bahkan mulai
 membuka rahasia diri pribadinya. Dan Yo Han juga merasa sayang kepada gu-runya ini
 karena dia menganggap kakek itu sebagai seorang tua renta yang hi-dupnya tidak berbahagia,
 yang, kesepian dan, agaknya kenangan-kenangan pahit menekan sisa hidupnya.
 Dari Thian-te Tok-ong, Yo Han men-dengar bahwa Thian-li-pang didirikan oleh Thian-te
 Tok-ong dengan cita-cita yang tinggi. Bukan, saja untuk mendirikan sebuah perkumpulan silat
 yang ampuh dan memiliki banyak murid pandai yang akan menjunjung tinggi nama Thian-li-
 pang. Dan satu ciri khas Thian-li-pang adalah bahwa perkumpulan ini anti pemerintah Mancu,
 anti penjajahan! Hal ini sebetul-nya bukan karena Thian-te Tok-ong berjiwa patriot, sama
 sekali bukan, melain-kan karena dia pernah merasa sakit hati terhadap pemerintah Mancu.
 Pernah da-hulu perkumpulannya cerai berai dan hampir terbasmi ketika pasukan Mancu di
 bawah pimpinan Panglima Kao Cin Liong mengadakan pembersihan! Sejak itu, dia pun
 bersumpah untuk memimpin perkumpulannya, menjadi perkumpulan anti pemerintah Mancu.
 Tentu saja kepa-da Yo Han, kakek ini hanya mengemuka-kan bahwa perkumpulan Thian-li-
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 151 pang adalah perkumpulan patriot yang gagah, yang cinta tanah air dan bangsa, yang bercita-
 cita membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah. Dia mengharapkan anak,
 yang luar biasa ini akan dapat mewarisi ilmu-ilmunya dan kelak menjadi pemimpin Thian-li-
 pang untuk menghancurkan pemerintah Mancu.
 Setelah dua tahun Yo Han menjadi murid Thian-te Tok-ong dan usianya su-dah empat belas
 tahun, pada suatu pagi sehabis berlatih "menari", dia dipanggil menghadap gurunya. Sambil
 berlutut Yo Han duduk di depan gurunya yang bersila di atas batu datar. Kakek itu
 memandang kepada muridnya, mengangguk-angguk gembira sekali sambil mengelus
 jenggotnya yang putih panjang. Muridnya itu kini bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah
 menjelang dewasa dan tubuhnya yang sedang itu tegap dan agak tinggi. Mukanya yang
 lonjong itu nampak gagah tampan dengan dagu meruncing dan ber-lekuk. Rambutnya yang
 hitam panjang dibiarkan tergantung di belakang pung-gung. Alisnya tebal berbentuk golok,
 dahinya lebar, hidung mancung dan mulut itu membayangkan senyum yang ramah dan
 lembut. "Yo Han, tahukah engkau sudah bera-pa lama engkau menjadi muridku dan berdiam di sini?"
 "Teecu tidak dapat menghitung hari, Suhu. Akan tetapi tentu sudah ada dua tahun."
 "Benar, dua tahun telah berlalu de-ngan cepatnya dan kukira engkau telah memperoleh
 kemajuan pesat, dalam ilmu tari, senam dan juga bertiup suling. Nah, sekarang aku ingin
 mengujimu, Yo Han. Engkau mulailah dengan gerakan senam seperti yang kaulatih selama
 ini. Berdiri dan bersiaplah menanti apa yang kupe-rintahkan!"
 Yo Han memang amat menyayang dan menghormati gurunya yang sejak dia berada di situ
 bersikap amat, baik kepa-danya. Mendengar perintah ini, dia pun segera melepas baju atasnya
 bertelanjang dada dan berdiri tegak dengan, kedua lengan tergantung di kanan kiri, siap untuk
 melakukan senam seperti yang di-ajarkan oleh gurunya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa
 gerakan senam itu oleh Thian-te Tok-ong diambil sebagian dari gerakan silat Thai-kek-koan
 dan Im-yang-kun. Mulailah dia bergerak setelah men-dengar aba-aba gurunya. Mula-mula dia
 mengangkat lengan kanan ke atas, me-lingkar di bawah pusar, lalu kedua lengan itu diputar
 perlahan saling bertemu se-perti orang menangkap bola besar di depan dada sambil menarik
 dan menahan napas, kemudian dengan hembusan napas perlahan, kedua tangan itu
 digerakkan, yang satu ke atas dan yang satu ke ba-wah seperti menolak dengan pengerahan
 tenaga dalam perlahan-lahan. Inilah ge-rakan dari Thai-kek-koan. Kemudian gerakan itu
 disambung dengan menjulur-kan kedua lengan kanan kiri, dengan telapak tangan agak ke
 atas, jari-jari menunjuk langit, lalu siku ditekuk ke atas dan kedua tangan ke pinggang,
 di-lanjutkan dengan gerakan memutar ta-ngan, telapak yang tadinya di bawah menjadi ke atas
 seperti orang menyodor-kan atau menawarkan sesuatu. Gerakan ini oleh gurunya dinamakan
 "Menghatur-kan Anggur Kepada Dewata".
 "Sekarang salurkan tenagamu ke arah pundak, perlahan-lahan sampai seluruh tenagamu
 berkumpul di kedua pundakmu!" terdengar Thian-te Tok-ong berkata.
 Yo Han menurut. Kedua tangan yang dilonjorkan itu ditarik kembali sampai ke bawah ketiak
 dan dia pun mengerah-kan tenaga dari pusar dan dikumpulkan ke pundak. Kedua pundaknya
 itu meng-gembung besar sekali, seperti punuk onta saja!
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 152 "Tarik tenaga itu ke punggungmu dan membuat gerakan menyembah Sang Bud-dha!" kata
 gurunya. Yo Han merobah gerakannya, tubuhnya membungkuk dengan muka hampir menyentuh
 tanah, kedua tangan merang-kap ke depan dan kini punuk di kedua pundak berpindah ke
 punggung, membuat dia menjadi seperti orang yang berpunuk dan bongkok!
 Thian-te Tok-ong memberi aba-aba terus dan latihan "senam" ini sungguh amat
 mengagumkan bagi orang lain kalau ada yang melihatnya. Anak berusia em-pat belas tahun
 itu dapat memindahkan gumpalan "punuk" yang sesungguhnya merupakan saluran tenaga
 sakti itu ke mana saja, ke leher, ke dada, perut, lengan, kaki, bahkan ke tengkuk leher! Yo
 Han sendiri sama sekali tidak menyadari bahwa gumpalan yang sebenarnya merupakan hawa
 sin-kang itu dapat membuat tubuh bagian itu menjadi kebal!
 "Sekarang kaulihat di dinding itu. Ada gumpalan batu menonjol, bukan" Nah, batu, itu
 mengganggu, Yo Han. Coba engkau kerahkan kemauanmu pada tela-pak tangan kirimu dan
 mendorongnya ke arah batu itu dengan pengerahan tekad untuk memecahkan gumpalan batu
 yang mengganggu dinding itu agar dinding menjadi rata!"
 Yo Han tidak tahu apa artinya ini dan apa pula gunanya. Akan tetapi kare-na yang harus
 diratakan itu hanya batu dinding, dia pun dengan senang hati melakukannya. Dia
 menyalurkan tenaga yang mendatangkan gumpalan pada semua ba-gian tubuh itu ke arah
 telapak tangan kirinya, dan dengan kemauan bulat dia mendorong ke arah gumpalan batu
 me-nonjol di dinding itu. Jarak antara ta-ngannya dan dinding itu ada dua meter. Dia tidak
 menyadari bahwa dari telapak tangannya menyambar hawa pukulan dah-syat dan terdengar
 suara keras diikuti pecahnya gumpalan batu dinding menon-jol itu!
 "Brakkkk!" Yo Han sendiri memandang bengong dan matanya terbelalak. Tak disangkanya
 bahwa gumpalan batu itu dapat remuk terkena sambaran hawa pukulan tangannya dan hal ini
 sungguh membuat dia tidak mengerti. Dia meno-leh kepada gurunya ketika mendengar
 gurunya tertawa terkekeh-kekeh dengan senangnya.
 "Suhu! Apa yang terjadi" Kenapa batu itu bisa pecah?" tanyanya.
 "Heh-heh-heh, itulah berkat latihan senammu, Yo Han. Jangankan seorang manusia, bahkan
 batu pun akan hancur terkena sambatan angin pukulan tangan-mu."
 "Ihh! Aku tidak mau memukul orang, Suhu!" kata Yo Han marah.
 "Hushh, siapa suruh kau memukul orang" Engkau hanya berlatih senam agar tubuhmu sehat,
 bukan untuk memu-kul orang. Tadi pun hanya untuk menge-tahui sampai di mana kemajuan
 latihan-mu. Apa kaukira aku ingin muridku men-jadi tukang pukul! Heh-heh, Yo Han, jangan
 mengira yang bukan-bukan. Seka-rang sudah kulihat kemajuan ilmu senam-mu, mari kulihat
 kemajuan ilmu tarianmu Nah, kau pakai kembali baju atasmu."
 Yo Han merasa girang dan dia pun membereskan kembali pakaiannya. Dia tidak tahu bahwa
 dalam usia empat be-las tahun itu, tubuhnya telah menjadi atletis dan indah sekali, seperti
 tubuh seorang dewasa yang kuat.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 153 "Aku ingin melihat engkau mainkan tari kera dan akan kucoba engkau dengan sambitan-
 sambitan batu ini. Seekor kera yang sudah mahir menari, disambit bagaimanapun sudah pasti
 akan mampu mengelak dan tidak akan dapat disambit. Nah, engkau mulailah."
 Yo Han sudah mempelajari tarian ini dengan baik. Tubuhnya lalu membuat gerakan-gerakan
 loncatan ke sana-sini, kedua tangannya membentuk gerakan kedua tangan kera, siku ditekuk,
 perge-langan tangan ditekuk dan kedua kakinya agak merendah, meloncat ke sana-sini,
 bahkan mulutnya mengeluarkan bunyi seperti kera, dan bibirnya diruncingkan,
 Matanya melirik ke kanan kiri dengan lincahnya, kadang meloncat ke atas, ka-dang
 bergulingan, gerakannya gesit, lin-cah dan cepat sekali. Dan kakek itu pun tidak tinggal diam.
 Kedua tangannya mengambil batu-batu kecil yang sudah dipersiapkan bertumpuk di depannya
 dan dia pun mulai menyambit-nyambitkan batu-batu itu. Sambitannya cepat dan kuat, namun
 sungguh mengagumkan. Yo Han dapat mengelak dan seolah-olah pendengarannya menjadi
 sangat tajam dan dia sudah dapat menangkap arah luncuran batu-batu itu tanpa melihat
 dengan matanya. Sampai puluhan batu kecil menyambar, dan tak sebutir pun mengenai
 tubuhnya! "Bagus sekali! Engkau seperti monyet tulen, muridku. Nah, sekarang ilmu tari harimau!"
 Yo Han mentaati dan tanpa dia sa-dari, dia kini memainkan silat Harimau yang jarang
 didapatkan keduanya. Bukan saja gerakannya tangkas, kedua tangan membentuk cakar
 harimau dan gerakan-nya amat hidup, akan tetapi juga dari mulutnya keluar auman seperti
 harimau dan, andaikata dia mengenakan pakaian bulu harimau, tentu orang akan mengira dia
 seekor harimau sungguh!
 Ada suatu keanehan luar biasa pada diri Yo Han. Yang agaknya juga baru dikenal atau
 diduga-duga oleh orang aneh seperti Thian-te Tok-ong. Kakek yang sudah penuh pengalaman
 hidup ini pun tidak tahu mengapa ada hal mujijat ter-dapat dalam diri anak itu. Kalau dia
 mengajarkan suatu ilmu silat dengan dalih ilmu tari atau senam, dia menga-jarkan gerakan
 silat tanpa mengatakan bahwa gerakan-gerakan itu selain untuk memperkuat tubuh, juga
 mempunyai daya tahan dan daya serang yang ampuh. Akan tetapi, dia melihat keanehan.
 Kalau Yo Han sudah memainkan tari monyet mi-salnya, dia melihat anak itu seolah-olah
 bukan anak manusia lagi, seolah-olah memang dia seekor monyet! Gerakannya demikian
 wajar, tidak dibuat, tidak tiru-an, bahkan ada gerakan aneh yang tidak mungkin dilakukan
 manusia, kecuali dilakukan monyet aseli. Demikian pula ge-rakan harimau. Kalau anak itu
 sudah membuat gerakan tari harimau, suara aumannya presis harimau, bahkan gerakan
 mulutnya, bibirnya, tiada ubahnya seekor harimau tulen, bahkan sepasang matanya juga
 mencorong seperti mata harimau! Ini sungguh ajaib dan kadang-kadang se-orang datuk besar
 seperti Thian-te Tok-ong menjadi ngeri sendiri! Anak macam apa yang dijadikan muridnya
 ini" Sekarang pelajaran yang paling akhir. Gerakan binatang cecak merayap itu. Yang paling
 sukar dan paling baru. Ja-ngan takut, kalau sampai engkau gagal pun aku tidak akan marah,
 akan tetapi kerahkan seluruh kekuatan pada telapak tanganmu, Yo Han."
 "Teecu, biarpun tidak tahu apa mak-sudnya Suhu mengajarkan ilmu merayap seperti cecak,
 telah mempelajari dengan tekun dan memang amat sukar, Suhu. Akan tetapi, apa
 sesungguhnya manfaat ilmu senam meniru akan gerakan cecak seperti itu, Suhu?"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 154 "He-he-he-heh, anak bodoh. Masa engkau yang begini cerdik tidak tahu gu-nanya. Selain
 dapat menyehatkan tubuh-mu, juga amat penting. Bahkan penting sekali. Bayangkan saja.
 Suatu hari engkau tidak sengaja terjerumus ke dalam sumur yang amat dalam. Meloncat
 keluar tidak mungkin, lalu apa yang akan kaulakukan" Apakah engkau akan mati kelaparan di
 dalam lubang itu kalau tidak ada orang mendengar teriakanmu minta tolong" Nah kalau
 engkau pandai menirukan gaya cecak merayap, tentu engkau akan dapat keluar dari sumur itu
 dengan merayap melalui dindingnya. Nah, kau masih bilang tidak ada manfaatnya?"
 Yo Han menjadi girang dan dia pun tentu saja dapat mengerti. "Baik, Suhu. Teecu akan
 mencobanya sekarang." Dan seperti yang telah diajarkan gurunya, dia duduk bersila,
 mengatur pernapasan, menggerak-gerakkan kedua lengannya sampai buku-buku jarinya
 mengeluarkan bunyi berkerotokan, kemudian dia pun bangkit, menghampiri dinding guha dan
 merayap naik menggunakan kedua tangan dan kedua kakinya yang tidak bersepatu. Dan dia
 pun dapat merayap seperti se-ekor cecak ke atas dan turun ke sebe-rang dinding yang sana!
 Setelah turun, napasnya terengah dan keringatnya mem-basahi seluruh tubuh karena dia telah
 mengerahkan seluruh tenaganya.
 "Ha-ha-ha, bagus sekali! Engkau me-mang muridku yang amat hebat, Yo Han! Sekarang
 yang terakhir. Engkau pernah belajar tari lutung hitam yang menggu-nakan kaki tangannya
 untuk menangkapi semua benda yang dilemparkan kepadanya. Nah, aku ingin engkau
 menarikan itu dan melihat apakah engkau sudah mahir!"
 Sebetulnya Yo Han sudah lelah sekali. Akan tetapi dia memang mempunyai ke-kerasan hati
 yang mengagumkan dan pantang mundur. Apalagi dia memang patuh kepada gurunya yang
 dianggapnya amat menyayangnya.
 "Suhu, teecu sudah siap!" katanya sambil berdiri memasang kuda-kuda di tengah ruangan
 guha itu. Dia tahu bahwa kalau tadi suhunya menghujankan sambit-an batu-batu kecil, kini
 gurunya hendak menggunakan segala macam ranting un-tuk menyambitnya seperti hujan
 anak panah dan dia bukan saja harus menghindarkan semua luncuran ranting, akan tetapi juga
 sedapat mungkin harus bisa menang-kap sebanyaknya.
 "Awas serangan!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong menggerakkan kedua tangannya dan puluhan
 batang ranting meluncur seperti anak panah ke arah seluruh tubuh Yo Han. Pemuda remaja ini
 bergerak se-perti seekor lutung, kaki tangannya ber-gerak dan bukan hanya. kedua tangannya
 saja yang mampu menangkis atau me-nangkap ranting, bahkan kedua kaki te-lanjang itu pun
 berhasil menjepit ranting dengan celah-celah jari kaki atau menyepaknya pergi.
 Akan tetapi, ketika gurunya menghen-tikan serangan itu, dia mengeluh dan menjatuhkan diri
 bersila di atas lantai guha, menahan sakit sambil memegangi kaki tangannya yang berdarah
 dan beng-kak-bengkak membiru!
 "Suhu, kenapa kaki tangan teecu menjadi begini?" tanyanya, sekuat tenaga menahan agar
 mulutnya tidak mengeluar-kan keluhan.
 Kakek itu menghampiri, langkahnye sudah gontai karena memang dia sudah tua sekali. Akan
 tetapi matanya menco-rong aneh dan berulang kali dia mengge-leng. kepala.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 155 "Luar biasa! Ajaib, seribu kali ajaib! Tahukah engkau, Yo Han, kalau orang lain yang
 menangkis dan menangkapi ranting-ranting tadi, tak peduli bagaima-na tinggi ilmunya saat ini
 dia sudah akan menjadi kaku dan mampus?"
 Yo Han terbelalak memandang wajah tua itu. "Akan tetapi, kenapa, Suhu?"
 "Ranting-ranting itu semua sudah kupasangi bubuk racun yang paling ber-bahaya di dunia
 ini, terdiri dari racun segala macam ular yang paling ampuh. Ular cobra, ular belang hitam,
 ular me-rah, ular emas, bahkan racun kalajeng-king hijau. Siapapun yang terkena, pasti mati
 seketika. Akan tetapi engkau.... engkau hanya luka-luka dan tangan kaki-mu membiru saja!
 Bukan main!"
 "Tapi, kenapa, Suhu" Apakah Suhu bermaksud untuk membunuh teecu?"
 "Ha-ha-ha-ha, aku sayang padamu, aku kagum padamu, kepadamulah seluruh tumpuan
 harapanku kuberikan, bagaimana mungkin aku akan membunuhmu" Aku hanya akan
 mengujimu! Andaikata racun-racun itu mengancam nyawamu, aku su-dah mempersiapkan
 obat penawarnya. Sekarang tidak perlu lagi. Racun itu hanya berhenti sampai dipergelangan
 tangan dan kakimu. Entah kemujijatan apa yang melindungi dirimu, Yo Han."
 "Tidak ada kemujijatan apa-apa ke-cuali kekuasaan Tuhan yang teecu yakin akan selalu
 melindungi teecu, Suhu."
 "Heh-heh-heh, sudah terlalu sering engkau mengatakan begitu. Akan tetapi, bagaimana ada
 kekuasaan Tuhan melin-dungimu, tidak melindungi orang lain?"
 "Suhu, bagaimana teecu bisa tahu" Kehendak Tuhan, siapa yang tahu" Teecu hanya
 merasakan bahwa ada sesuatu diluar kehendak akal plkiran teecu, teecu hanya menyerahkan
 kepada Tuhan, me-nyerah dengan sepenuh jiwa raga teecu. Apa pun yang dikehendaki Tuhan
 atas diri teecu, akan teecu terima tanpa me-ngeluh."
 "Engkau memang anak aneh sekali. Bagaimana rasanya jari-jari tangan dan kakimu?"
 "Rasanya ngilu, nyeri kaku dan gatal-gatal."
 "Heh-heh-heh, tidak percuma gurumu ini berjuluk Tok-ong (Raja Racun), akan tetapi sekali
 ini, Tok-ong sama sekali tidak berdaya menghadapi kekuasaan Tuhan yang ada pada dirimu.
 Buktinya, engkau tidak apa-apa. Kalau bukan eng-kau keadaanmu ini merupakan penghinaan
 besar bagiku dan sekali pukul engkau akan mampus. Akan tetapi engkau mu-ridku, bahkan
 engkau akan kuajari bagai-mana untuk mengobati pengaruh racun dariku."
 "Akan tetapi, Suhu, teecu tidak akan menggunakan racun. Teecu tidak mau mencelakai
 orang, tidak mau meracuni orang."
 "Ha-ha-ha, engkau tidak mau mence-lakai orang, akan tetapi akan dicelakai orang, engkau
 tidak mau meracuni orang, akan tetapi engkau akan diracuni orang. Aih, Yo Han, engkau
 belum tahu apa artinya hidup ini. Kaukira dunia ini seperti sorga" Neraka pun tidak sebusuk
 dunia, kautahu" Setan-setan pun tidak sejahat manusia, kautahu?"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 156 "Tidak, Suhu! Teecu tidak percaya. Semua manusia pada dasarnya baik. Ha-nya karena
 mempelajari ilmu kekerasan, maka dia menjadi jahat dan hendak mengandalkan kekerasan
 untuk mencari kemenangan. Dan teecu tidak sudi mem-pelajari kekerasan."
 Thian-te Tok-ong tertawa terpingkal-pingkal mendengar ucapan muridnya itu. Bagaimana dia
 tidak akan merasa geli" Selama dua tahun ini dia telah menggembleng Yo Han dengan ilmu-
 ilmu yang amat hebat, ilmu yang akan dapat mem-bunuh puluhan orang lawan dan anak ini
 masih mengatakan tidak sudi mempela-jari kekerasan!
 Mereka berada di tengah guha itu, tidak nampak dari luar. Tiba-tiba terde-ngar suara
 melengking nyaring dari luar pintu guha, disusul keta-kata yang lem-but seorang wanita,
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun yang dapat terdengar sampai ke dalam guha.
 "Thian-te Tok-ong, keluarlah engkau, aku Ang Moli ingin bicara denganmu!"
 Mendengar suara yang melengking nyaring ini, diam-diam Yo Han terkejut. Tentu saja dia
 mengenal siapa itu Ang I Moli, orang pertama yang memaksanya menjadi murid walaupun
 dia tidak pernah diajarkan apa pun. Dia tahu bahwa wanita itu seperti iblis, selain amat lihai,
 juga amat jahat dan kejam, maka diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan kakek tua
 renta yang selama ini bersikap baik kepadanya.
 Akan tetapi kakek itu terkekeh. "Ang I Moli, suaramu sudah cukup nyaring dan dapat
 terdengar dari sini. Perlu apa aku harus keluar menemuimu" Kalau mau bicara, bicaralah, dari
 sini pun aku dapat mendengarmu dengan baik."
 "Thian-te Tok-ong, tidak perlu kuje-laskan lagi, tentu kunjunganku ini sudah kauketahui
 maksudnya. Aku datang untuk menuntut janjimu untuk menukar Sin-tong dengan obat
 penawar racun ilmu yang telah kusempurnakan."
 "Heh-heh-heh, engkau sudah menyem-purnakan Toat-beng Tok-hiat (Darah Be-racun
 Pencabut Nyawa)" Hebat! Ilmu semacam itu hanya ada seratus tahun yang lalu dan. kini
 engkau berhasil me-nguasainya" Perempuan iblis, engkau akan menjadi seorang tanpa
 tanding, heh-heh-heh! Mari, Yo Han, mari kita keluar melihat iblis betina itu!" Kakek itu
 menjulurkan tongkatnya kepada Yo Han. Anak itu memegang ujung tongkat dan menuntun
 gurunya keluar dari dalam guha. Dia sendiri sudah sering keluar guha, akan tetapi kakek itu
 tidak pernah sehingga setelah kini dia keluar dari guha, matanya disipitkan, silau, dan
 mu-kanya nampak pucat seperti mayat hidup. Diam-diam Ang I Moli sendiri bergidik. Kakek
 ini seperti bukan manusia lagi dan ia pun sudah mendengar bahwa kakek tua renta ini
 merupakan tokoh nomor satu dari Thian-li-pang yang memiliki tingkat kepandaian tak dapat
 diukur tingginya.
 Setelah Yo Han dan Thian-te Tok-ong tiba di luar guha, mereka melihat ada beberapa orang
 di situ. Selain Ang I Moli yang kini nampak semakin cantik saja, juga di situ terdepat Lauw
 Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang yang berlutut, dan ada pula lima orang pria lain yang
 melihat pakaian mereka adalah petani-petani biasa dan nampaknya mereka itu ketakutan,
 berlutut pula tanpa berani mengangkat muka. Hanya Ang I Moli seorang yang tidak berlutut.
 Hal ini tidaklah aneh karena ia bukan anggauta Thian-li-pang, bahkan ia adalah pemimpin
 dari perkumpulan Ang I Mopang di luar kota Kun-ming. Dua tahun yang lalu, ketika ia
 bersekutu dengan Thian-li-pang, kemudian menyerahkan Yo Han kepada Lauw Kang Hui
 wakil ketua Thian-li-pang untuk ditukar dengan dua belas orang pemuda remaja, ia lalu
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 157 membawa dua belas orang remaja itu pergi. Diam-diam ia mulai melatih diri dengan ilmu
 kejinya itu, mengorbankan nyawa dua belas orang remaja yang dihisap darahnya, dan kini,
 dua tahun kemudian, ia telah berhasil dengan ilmunya itu dan datang menagih janji, yaitu
 untuk minta obat penawar bagi keampuhan ilmunya yang beracun.
 Baginya sendiri, ilmu tanpa ada obat penawarnya amat berbahaya bagi diri sendiri, juga tidak
 dapat dipergunakan untuk memaksakan kehendaknya kepada lain orang. Dan di dunia ini,
 yang mam-pu membuatkan obat penawar bagi segala macam ilmu pukulan beracun hanyalah
 Thian-te Tok-ong seorang!
 Begitu kakek tua renta itu muncul, Ang I Moli membungkuk dengan sikap hormat. Lauw
 Kang Hui yang berlutut juga memberi hormat dan berkata, "Tee-cu mohon Supek sudi
 memaafkan kalau teecu mengganggu ketentraman Supek. Teecu mengantarkan Ang I Moli
 yang hendak menagih janji dua tahun yang lalu."
 "Heh-heh-heh, Lauw Kang Hui, mulut-mu bicara satu akan tetapi hatimu bica-ra dua.
 Katakan saja bahwa engkau pun datang untuk menagih janji minta diajari sebuah ilmu. Benar
 tidak?" Wajah Lauw Kang Hui yang biasanya sudah memang merah itu menjadi sema-kin gelap,
 akan tetapi dia, menyembah lagi dengan segala kerendahan hati. "Su-pek, teecu hanya
 menyerahkan kepada kebijaksanaan Supek, karena semua itu demi kemajuan Thian-li-pang
 kita." "Baiklah, kautunggu saja. Sekarang, Moli. Aku bukan orang yang suka me-langgar janji. Yo
 Han memang menye-nangkan dan sudah menjadi muridku. Untuk itu, aku tentu akan
 memenuhi janjimu. Akan tetapi, bagaimana aku akan dapat membuat obat pemunah dari ilmu
 kejimu itu kalau aku tidak melihat dulu buktinya."
 Ang I Moli tertawa genit dan me-mang wanita ini masih manis sekali se-perti orang muda
 saja walaupun usianya sudah empat puluh tahun. "Locianpwe Thian-te Tok-ong, aku sudah
 memper-siapkan segalanya. Lihatlah lima orang dusun ini. Mereka yang akan kujadikan
 kelinci percobaan. Nah, harap kaulihat baik-baik!"
 Dengan gerakan yang luar biasa ce-patnya, yang nampak hanya berkelebat-nya bayangan
 merah saja dan tahu-tahu tiga di antara lima orang itu roboh terpelanting. Padahal, Ang I Moli
 hanya mendorongkan telapak tangannya dari jauh saja tanpa menyentuh orangnya, dan dari
 telapak tangan itu menyambar hawa yang kebiruan ke arah mereka.
 "Keji sekali kau!" Tlba-tiba Yo Han berseru dan dari tempat ia berdiri, Yo Han teringat akan
 ilmu senamnya dan dia pun mendorongkan kedua tangannya ke arah dua orang yang belum
 roboh. Dua orang itu seperti kena disambar angin keras dan tubuh mereka, terguling-guling
 sampai jauh akan tetapi mereka terhindar dari, pukulan beracun Ang I Moli!
 Melihat ini, Ang I Moli marah sekali dan ia pun mengerahkan pukulan kedua tangannya,
 didorongkan ke arah tubuh Yo Han. Anak ini pun menyambut. dengan gerakan senam yang
 dinamakan "mendo-rong bukit".
 "Dess....!" Yo Han terjengkang dan roboh pingsan. Akan tetapi Ang I Moli terhuyung,
 berpusing lalu roboh dan mun-tah darah! Wanita itu terbelalak, penuh kekagetan, keheranan
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 158 dan juga ketakutan karena ia merasa betapa ilmunya yang amat keji itu, yaitu yang ia beri
 nama Toat-beng Tok-hiat, tadi ketika bertemu dengan tenaga dari kedua tangan anak itu, telah
 membalik dan melukai dirinya sendiri! Ia tahu bahwa ia telah menjadi korban pukulannya
 sendiri yang membalik dan ia sendiri tidak mempunyai obat pe-nawarnya! Keadaannya sama
 dengan tiga orang petani yang dijadikan kelinci per-cobaan. Mereka pun roboh dan muntah
 darah. Baik wajah tiga orang itu maupun wajah Ang I Moli berubah menjadi kebi-ruan!
 Thian-te Tok-ong menghampiri Yo Han dan dia tertawa terkekeh-kekeh sa-king girangnya
 melihat betapa biarpun pingsan Yo Han sama sekali tidak ter-luka. Dia menotokkan
 tongkatnya ke tengkuk anak itu dan Yo Han pun siuman kembali. Dia meloncat bangun dan
 me-mandang ke arah Ang I Moli dengan mata terbelalak. "Suhu.... apakah teecu.... membuat
 ia roboh....?"
 Thian-te Tok-ong mengangguk. "Kalau engkau tidak mempergunakan senam mendorong
 bukit, tentu engkau akan ro-boh keracunan atau mungkin sudah tewas. Ilmu iblis betina itu
 keji bukan main."
 Ang I Moli terengah-engah dan bang-kit duduk. "Locianpwe, aku yakin bahwa seorang
 Locianpwe seperti engkau ini ti-dak akan menelan ludah sendiri dan akan memenuhi janjinya.
 Aku menuntut diberi obat penawar untuk ilmu pukulan ini."
 "Ha-ha-ha, sudah lama kubuatkan. Aku mengenal pukulan keji semacam itu, Moli. Akan
 tetapi engkau masih untung. Kalau engkau tadi membuat Yo Han tewas, engkau pun tentu
 akan kubunuh! Nah, inilah obat penawarnya, berikut catatan cara membuatnya, terimalah dan
 buktikan kemanjurannya pada dirimu sen-diri."
 Kakek itu melemparkan sebuah bung-kusan yang diterima oleh Ang I Moli. Isi bungkusan itu
 ternyata belasan butir pel merah dan sehelai kertas catatan resep pembuatannya. Menurutkan
 petun-juk catatan, Ang I Moli menelan sebutir pel merah dan setelah bersila sejenak,
 wajahnya berubah merah kembali dan ia merasa betapa pengaruh racun di tubuh-nya lenyap.
 Ia girang bukan main, me-loncat berdiri lalu membungkuk terhadap Thian-te Tok-ong.
 "Nama besar Thian-te Tok-ong ter-nyata bukan nama kosong dan bukan seorang pembohong.
 Aku menghaturkan banyak terima kasih." Kemudian kepada Lauw Kang Hui ia pun berkata,
 "Lauw Pangcu, kita telah saling membantu, ha-rap sampaikan hormatku kepada Ouw Pangcu.
 Aku mohon diri untuk mengam-bil jalanku sendiri. Selamat tinggal!"
 "Heiiii, nanti dulu!" Tiba-tiba Yo Han berseru keras. Moli terkejut karena se-kali anak itu
 menggerakkan kaki, tubuh-nya sudah melayang dan berdiri di de-pannya! Anak ini, entah
 disadari atau pun tidak, telah memiliiki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat!
 "Huh, mau apa engkau?" bentaknya, tidak berani memandang rendah karena tentu saja ia
 gentar terhadap guru anak itu.
 Dengan telunjuk tangan kanannya, se-perti seorang dewasa menegur seorang anak nakal, Yo
 Han berkata, "Ang I Mo-li, sejak dahulu engkau sungguh tak ber-ubah, bahkan menjadi
 semakin jahat dan keji. Engkau melukai tiga orang petani yang tidak berdosa itu sampai
 mereka keracunan dan engkau mau meninggalkan mereka begitu saja" Mana tanggung
 ja-wabmu" Engkau harus menyembuhkan dulu mereka, baru boleh pergi!"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 159 Ang I Moli mengerutkan alisnya. Ma-na ia mau mentaati permintaan bocah itu" "Huh! Peduli
 apa aku dengan mere-ka?" Serunya dan ia pun sudah meloncat pergi. Akan tetapi Yo Han
 juga melon-cat dan anak ini terkejut sendiri akan tubuhnya melayang dan dia dapat
 meng-hadang di depan wanita pakaian merah itu.
 "Aih, kiranya Tok-ong sudah melatih-mu, ya" Yo Han, engkau masih kanak-kanak, sama
 sekali bukan lawanku, ja-ngan coba-coba menghalangiku. Kalau aku tidak melihat muka
 gurumu, sekali pukul engkau akan mampus. Pergilah!"
 "Moli, aku tidak mau berkelahi, aku tidak mau melawanmu atau melawan siapa saja. Akan
 tetapi aku minta per-tanggungan jawabmu. Tiga orang itu ti-dak berdosa. Tidak boleh engkau
 mening-galkan mereka terluka tanpa kauobati. Hayo cepat kausembuhkan mereka!"
 "Bocah setan kau!"
 Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Thian-te Tok-ong terkekeh-kekeh. "Ang I Moli, jangan
 mengira bahwa aku men-campuri urusan percekcokahmu dengan Yo Han anak kecil. Akan
 tetapi, di da-lam dunia kita, sudah terdapat peraturan bahwa siapa yang menang harus ditaati
 dan siapa kalah harus mentaati. Nah, sekarang begini saja. Engkau boleh me-nyerang Yo Han
 sampai dua puluh jurus, dengan ilmu pukulanmu yang mana pun, boleh semua kepandaianmu
 kaukeluarkan, kecuali pukulan Toat-beng Tok-hiat itu. Kalau kau pergunakan pukulan itu dan
 sampai muridku mati, engkau akan kuca-bik-cabik. Akan tetapi semua pukulan lain boleh
 kaulakukan. Kalau sampai dua puluh jurus engkau tidak mampu merobohkannya, nah, engkau
 harus mentaati perintahnya mengobati tiga orang petani itu. Kalau sebelum dua puluh jurus
 dia jatuh, sudahlah, engkau boleh pergi dan aku yang akan menghajar kelancangan mulut
 muridku." Mendengar ini, Lauw Kang Hui wakil ketua. Thian-li-pang yang datang pula ke situ diam-
 diam terkejut bukan main. Bagaimana sih supeknya itu" Tingkat kepandaian Ang I Moli
 sudah tinggi seka-li. Apalagi setelah kini menguasai Toat-beng Tok-hiat, bahkan dia sendiri
 pun harus berhati-hati kalau melawan wanita itu. Dan kini supeknya menyuruh Moli
 menyerang Yo Han sampai dua puluh ju-rus. Mana mungkin anak itu dapat ber-tahan" Baru
 satu dua jurus saja kepala anak itu dapat hancur! Akan tetapi tentu saja dia tidak berani
 mencampuri urusan supeknya yang amat ditakuti dan dihor-matinya itu.
 Ang I Moli adalah seorang wanita iblis yang licik. Tadinya dengan senang sekali ia berhasil
 mendapatkan Yo Han, akan tetapi terpaksa ia melepaskan anak itu kepada Thian-te Tok-ong.
 Kini, men-dengar tantangan itu, tentu saja ia men-dapatkan kesempatan, untuk melampiaskan
 kemarahannya. Kalau ia membunuh anak itu, berarti anak itu tidak terjatuh ke tangan orang
 lain, dan ia pun dapat membalas penghinaan yang diterimanya ketika Yo Han menangkisnya
 tadi! "Bagus sekali! Locianpwe Thian-te Tok-ong, bukan aku yang menantang. Syarat itu memang
 cukup adil. Nah, Yo Han yang manis, majulah ke sini untuk menerima kematianmu. Sayang
 masih begini muda terpaksa engkau harus mam-pus di tanganku."
 "Suhu, teecu tidak sudi berkelahi, biarpun melawan iblis betina itu sekali pun," kata Yo Han
 kepada gurunya sam-bil mengerutkan alisnya.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 160 "Bocah tolol!. Siapa suruh engkau ber-kelahi" Akan tetapi ia hendak membunuh tiga orang
 petani itu, juga hendak mem-bunuhmu. Engkau tidak perlu memukulnya engkau hanya
 menari saja seperti yang kaupelajari tadi. Gunakan tari monyet dan tari lutung, dan hendak
 kulihat apa-kah perempuan sombong ini mampu me-nyentuh selembar rambutmu. Hayo cepat
 engkau menari!"
 Mendengar perintah ini, hati Yo Han tidak ragu lagi. Dia memang tetap ber-pendirian bahwa
 ia tidak akan sudi ber-kelahi menggunakan kekerasan memukul orang. Akan tetapi kalau
 hanya menari dan menghindarkan diri dari serangan orang, itu namanya bukan berkelahi dan
 bukan menggunakan kekerasan. Apalagi dia harus menyelamatkan nyawa tiga orang petani
 yang tidak berdosa itu. Maka, dia pun melangkah maju mengha-dapi wanita itu dengan hati
 tabah. Ba-gaimanapun juga, karena ia segan dan takut kepada Thian-te Tok-ong, Ang I Moli
 sekali lagi berkata, "Locianpwe Thian-te Tok-ong, benarkah aku boleh menyerangnya sampai
 dua puluh jurus?"
 "Perempuan sombong, siapa yang me-nyangkal" Cepat serang!"
 Ang I Moli memang seorang yang amat licik dan curang. Biarpun yang dihadapinya itu
 seorang remaja berusia empat belas tahun, namun begitu mende-ngar ucapan Thian-te Tok-
 ong, tanpa memberi peringatan lagi tiba-tiba saja ia sudah menerjang dengan tamparan yang
 amat ganas, ke arah kepala Yo Han.
 "Wuuut-wuut-wuuuttt....!" Tiga kali ia menampar susul menyusul dan.... luput! Bagaikan
 seekor kera yang amat lincah. Yo Han sudah menari-nari dan semua tamparan itu sama sekali
 tidak mampu menyentuhnya. Dia seperti telah melihat lebih dulu datangnya tamparan.
 Tentu saja Ang I Moli terkejut, heran dan juga penasaran sekali. Kini ia tidak main-main lagi,
 mengeluarkan jurus-ju-rusnya yang paling ampuh, bukan sekedar untuk menampar atau
 memukul, melain-kan mengirimkan jurus pukulan mautnya! Bahkan, setelah lewat sepuluh
 jurus, ber-turut-turut ia memukul dengan pukulan ampuh Pek-lian Tok-ciang, yaitu pukulan
 beracun yang amat dahsyat, yang dikua-sai oleh para murid Pek-lian-kauw. ting-kat tinggi
 saja. Pukulan ini mengandung uap putih dan hawa beracun itu cukup untuk membuat orang
 yang menghisapnya roboh pingsan! Namun, Yo Han dengan gerakannya yang lincah selalu
 dapat menghindarkan diri, bahkan asap yang menerjangnya dan tanpa disengaja terse-dot
 olehnya sama sekali tidak mempe-ngaruhinya, bahkan dia masih sempat berseru, "Aih,
 baunya harum!"
 Tentu saja ucapan yang jujur dari Yo Han ini oleh Ang I Moli merupakan tam-paran dan
 ejekan. Tiba-tiba ia mengelu-arkan suara melengking nyaring. Tinggal tiga jurus lagi karena
 ia sudah menye-rang sampai tujuh belas jurus tanpa hasil dan yang tiga jurus ini akan
 dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, bukan tenaga sembarangan, melainkan
 ilmu pukulannya yang baru, yaitu Toat-beng Tok-hiat!
 Terdengar suara bercuitan seperti ti-kus-tikus terjepit ketika ia melancarkan pukulan ampuh
 Toat-beng Tok-hiat itu. Pukulan ini baru saja dirampungkannya latihannya dan merupakan
 pukulan ting-kat tinggi yang amat hebat. Jangankan seorang anak remaja seperti Yo Han yang
 tidak pernah belajar ilmu silat, bahkan seorang wakil ketua Thian-li-pang seperti Lauw Kang
 Hui saja belum tentu akan mampu menahan pukulan maut itu! Diam-diam Lauw Kang Hui
 terkejut. Dia sendiri tidak sayang kepada Yo Han, akan tetapi dia tahu betapa sayangnya
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 161 supeknya kepada anak itu sehingga kalau sampai Yo Han celaka, tentu nyawa Ang I Moli
 tidak akan dapat diselamatkan lagi!
 Akan tetapi, Yo Han yang sama se-kali belum menyadari bahwa semua la-tihan yang
 dilakukan secara rajin selama dua tahun ini adalah gerakan silat tinggi, telah memiliki
 ketajaman penglihatan yang luar biasa. Hal ini adalah karena sebagian besar dari waktunya
 dia berada di dalam guha yang gelap dan remang-remang. Maka, kini dia dapat melihat atau
 mengikuti gerakan tangan dan tubuh Moli dengan jelas sehingga memudahkan dia untuk
 berloncatan seperti seekor kera mengelak ke sana sini dan tiga kali han-taman berturut-turut
 yang mengeluarkan bunyi bercicit itu tidak ada yang, mengenai tubuhnya.
 Ang I Moli penasaran bukan main sehingga ia lupa diri, lupa bahwa sudah dua puluh jurus ia
 menyerang dan kini ia menubruk ke depan untuk menerkam anak yang dianggapnya telah
 membuat ia kehilangan muka itu.
 "Takkk!" Tubuh Moli terjengkang dan terguling-guling sampai lima meter jauh-nya karena
 disodok ujung tongkat oleh Thian-te Tok-ong! Sungguh luar biasa sekali gerakan ini. Kakek
 itu masih du-duk bersila, dan jaraknya cukup jauh. Akan tetapi, entah tongkatnya yang mu-lur
 atau lengannya yang memanjang, ujung tongkatnya dapat menyambut serangan Moli dan
 membuat wanita itu terjengkang.
 "Moli, apa engkau ingin mampus" Su-dah dua puluh jurus dan engkau masih ingin
 menyerang terus?" bentak kakek itu terkekeh.
 Ang I Moli cepat bangkit, dan mem-beri hormat. "Maaf, Locianpwe, aku sa-lah menghitung."
 "Heh-heh-heh, engkau sudah kalah bertaruh. Hayo kausembuhkan tiga orang itu kemudian
 cepat pergi dari sini, ja-ngan sekali lagi sampai bertemu dengan-ku, karena aku tidak akan
 sudi mengam-punimu lagi!"
 Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Ang I Moli. Ia memang tahu bahwa Thian-te Tok-
 ong adalah orang nomor satu dari Thian-li-pang, bahkan merupa-kan seorang tokoh langka
 yang tidak pernah mencampuri urusan dunia. Dika-lahkan Thian-te Tok-ong masih belum
 merupakan hal yang memalukan. Akan tetapi, ia, datuk besar yang baru saja selesai
 menguasai ilmu yang amat hebat, ilmu Toat-beng Tok-hiat yang dianggap-nya akan dapat
 membuat ia menjadi seorang yang paling lihai di dunia, atau setidaknya seorang di antara
 yang paling lihai, kini tidak dapat merobohkan seo-rang bocah berusia empat belas tahun
 yang tidak pandai ilmu silat! Maka, se-telah ia memandang kepada Yo Han de-ngan sinar
 mata mengandung penuh ke-bencian, dan di dalam hatinya ia menca-tat bahwa kelak pada
 suatu hari ia pasti akan membunuh anak ini dan menghisap darahnya sampai tidak tertinggal
 setetes-pun, ia lalu membalikkan tubuhnya dan sekali meloncat ia pun lenyap dari tempat itu.
 "Heh-heh-heh-heh, Yo Han, kau ingat. Ialah mungkin wanita yang kelak harus kaubunuh,
 kalau tidak engkau yang akan dibunuhnya, heh-heh!"
 Yo Han mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. "Suhu tahu, teecu tidak akan mau
 membunuh siapapun ju-ga!"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 162 "Heh-heh-heh, engkau memang anak yang aneh. Nah, Lauw Kang Hui, engkau tentu datang
 mengantar perempuan tadi bukan dengan percuma, tentu engkau pun akan menagih janji,
 bukan?" Lauw Kang Hui, seperti juga semua murid Thian-Ii-pang, amat takut kepada kakek ini.
 Kakek ini bukan saja merupa-kan orang pertama yang dipuja-puja dan ditakuti, akan tetapi
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga terkenal bengis dan entah sudah berapa puluh orang anak buah Thian-li-pang sejak
 dahulu dibunuh-nya begitu saja dengan kesalahan yang amat sepele. Maka, dia pun cepat
 me-nyembah sambil berlutut.
 "Teecu memberanikan diri mengantar Ang I Moli karena ia desak-desak, Supek. Adapun
 tentang Supek hendak memberi anugerah kepada teecu atau tidak, teecu serahkan kepada
 kebijaksanaan Supek. Bagaimana teecu berani menuntut?"
 "Ha-ha-ha, engkau memang seorang di antara para murid yang cerdik, Kang Hui, tidak
 seperti suhengmu Ouw Ban yang terlalu keras kepala walaupun ke-pandaiannya lebih tinggi.
 Aku mendengar tentang siasatmu mengadu domba antara empat partai persilatan besar dan
 berha-sil baik. Ha-ha, sungguh, aku sendiri tidak akan memikirkan sejauh itu. Eng-kau
 memang pandai dan aku suka sekali menambahkan satu dua pukulan untukmu agar engkau
 lebih dapat memajukan Thian-li-pang lagi!"
 "Terima kasih, Supek. Terima kasih!" Akan tetapi dia lalu menambahkan de-ngan suara lirih.
 "Hanya teecu mohon agar Supek sudi melembutkan hati Suhu kalau Suhu memarahi teecu
 karena ini."
 "Gurumu" Ha-ha-ha, gurumu selalu berat sebelah, terlalu mudah dirayu oleh Ouw Ban.
 Jangan takut, kalau gurumu berani mengganggumu, akan kupukul pan-tatnya sampai
 bengkak-bengkak, heh-heh-heh! Nah, ke sinilah dan perhatikan baik-baik. Akan kuajarkan
 Tok-jiauw-kang (Ilmu Cakar Beracun) dan Kiam-ciang (Tangan Pedang) padamu. Hafalkan
 baik-baik dan kemudian latihlah, sedikitnya satu dua tahun baru engkau akan dapat mahir."
 "Terima kasih, Supek!"
 Lauw Kang Hui memasuki mulut guha dan Yo Han yang tidak suka melihat orang belajar
 silat, lalu masuk ke dalam guha untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, membersihkan guha
 dan me-ngirimkan makanan dan minuman untuk orang hukuman yang berada di dalam sumur.
 Sampai tiga hari lamanya Lauw Kang Hui menerima petunjuk kedua ilmu itu dari Thian-te
 Tok-ong tanpa ada yang berani mengganggu, bahkan mendekat pun tidak ada yang berani.
 Setelah dia hafal benar, Lauw Kang Hui berlutut mengha-turkan terima kasih kemudian
 meninggalkan guha yang menjadi sunyi kembali. Dan dia pun mulai lagi setiap hari bela-jar
 ilmu menari dan senam, karena sam-pai hari itu pun Yo Han tetap berkukuh tidak sudi belajar
 ilmu memukul orang!
 Ketika usianya sudah lima belas tahun dan tetap juga dia berkeras tidak mau belajar silat,
 hampir habis kesabaran Thian-te Tok-ong. Dia memanggil murid-nya menghadap. Yo Han
 berlutut di de-pannya. Waktu itu malam hampir tiba dan di dalam guha sudah mulai gelap.
 Namun, berkat kebiasaan, mereka dapat saling melihat dengan tajam. Yo Han memiliki
 ketajaman mata yang dapat melihat di dalam gelap seperti mata harimau atau mata kucing.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 163 "Yo Han, apakah engkau sudah gila" Kaulihat sendiri, kalau engkau tidak pan-dai mengelak,
 tentu engkau sudah mam-pus diserang Ang I Moli. Kenapa engkau tetap tidak mau menerima
 pelajaran silat dariku" Aku akan membuat engkau orang yang paling pandai di kolong langit
 ini." "Tidak Suhu. Teecu tetap tidak mau belajar memukul orang. Untuk apa" Tee-cu tidak akan
 pukul orang, apalagi mem-bunuh orang. Hidup bukan berarti harus saling bermusuhan dan
 saling bunuh."
 "Tolol! Kaukira ilmu silat itu hanya untuk membunuh orang?"
 "Teecu tetap tidak mau! Sejak kecil teecu tidak suka ilmu silat. Ayah Ibu teecu juga tewas
 hanya karena mereka itu ahli-ahli silat. Kalau mereka tidak pandai silat, tidak mungkin
 mereka itu mati muda."
 "Huh, hal itu karena ilmu silat mere-ka masih rendah, masih mentah! Sudahlah tidak perlu
 banyak berbantah lagi, mari kau keluar bersamaku, dan akan kuperli-hatkan bukti-bukti
 kepadamu!"
 Sebelum Yo Han menjawab, tiba-tiba saja punggung bajunya sudah dicengkeram gurunya
 dan dia merasa tubuhnya dibawa terbang atau lari dengan kecepatan yang luar biasa. Diam-
 diam dia kagum. Guru-nya ini bukan manusia agaknya. Hanya iblis yang dapat bergerak
 seperti itu! Akan tetapi dia pun diam saja dan hanya melihat betapa mereka melalui lembah
 bukit, menuruni jurang, dan akhirnya mereka tiba di luar sebuah dusun. Dari luar saja sudah
 terdengar suara ribut-ribut di dusun itu, suara sorak sorai di-sertai gelak tawa di antara suara
 tangis dan jerit mengerikan, juga nampak api berkobar.
 "Suhu, apa yang terjadi?" Yo Han bertanya dengan kaget sekali.
 Thian-te Tok-ong melepaskan murid-nya, lalu membiarkan muridnya menuntun tongkatnya,
 diajaknya memasuki dusun itu. "Tidak perlu banyak bertanya, kau lihatlah saja sendiri,"
 katanya dan sete-lah mereka memasuki dusun, tiba-tiba kakek itu memegang lengannya dan
 membawanya loncat naik ke atas pohon besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat apa yang
 sedang terjadi di ba-wah.
 Yo Han terbelalak, mukanya seben-tar pucat sebentar merah. Dia me-lihat peristiwa yang
 mendirikan bulu romanya, perbuatan kejam yang membuat dia merasa ngeri bukan main.
 Belasan orang laki-laki yang bengis dan kasar, dengan golok di tangan, membantai orang-
 orang dusun yang sama sekali tidak mam-pu mengadakan perlawanan. Ada pula yang
 memperlakukan wanita dengan kasar dan tidak sopan, menelanjanginya, men-ciuminya dan
 memukulinya. Ada pula yang mengusungi barang-barang berharga dari dalam rumah.
 Tahulah dia bahwa mereka adalah perampok-perampok yang sedang menyerang dusun itu
 dengan ke-jam sekali.
 Hampir saja Yo Han menjerit melihat itu semua dan tiba-tiba saja tubuhnya melayang turun
 dari atas pohon itu. Dia sendiri terkejut karena dia dapat melon-cat dari tempat setinggi itu
 tanpa cidera. Gurunya hanya melihat sambil tersenyum saja. Yo Han lari ke dusun itu.
 "Manusia-manusia jahat, kalian ini manusia ataukah iblis?" bentaknya ber-kali-kali dan ke
 mana pun tubuhnya ber-kelebat, dia telah merampas sebatang golok dan mendorong seorang
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 164 perampok sampai terjengkang dan terguling-guling. Melihat seorang anak remaja maju
 mendorong roboh beberapa orang anak buah-nya, kepala perampok yang brewok men-jadi
 marah dan dia melepaskan wanita muda yang tadi dipermainkannya, lalu dengan bertelanjang
 dada dan dengan golok besar diangkat, dia menyerang Yo Han dengan bacokan ke arah leher
 anak itu. Yo Han yang telah mahir "menari" itu melihat dengan jelas datangnya golok, maka
 dengan gerakan tari monyet, amat mudah baginya untuk meloncat ke sam-ping sehingga
 golok itu tidak mengenai sasaran. Dia tidak bermaksud memukul orang, akan tetapi karena dia
 marah melihat orang itu tadi menggeluti seo-rang wanita, dan kini melihat orang itu hendak
 membunuhnya, dia pun mendorong sambil berseru nyaring, "Engkau orang jahat, pergilah!"
 dan sungguh luar biasa sekali akibatnya. Terkena dorongan ta-ngan Yo Han, kepala perampok
 itu ter-lempar seperti daun kering ditiup angin dan tubuhnya menabrak dinding, dan dia
 pingsan seketika karena kepalanya terbanting pada dinding.
 Para perampok menjadi marah dan kini beramai-ramai mereka menggerakkan golok
 mengepung dan menyerang Yo Han. Akan tetapi Yo Han berloncatan menari-nari dan semua
 serangan itu pun luput. Sayangnya, karena Yo Han memang tidak suka berkelahi, tidak suka
 memukul orang, tidak suka menggunakan kekerasan dan perasaan ini sudah mendarah-daging
 sejak kecil, maka dia pun hanya berloncatan mengelak ke sana sini saja tanpa membalas.
 "Huh, orang-orang macam ini masih kaukasihani?" tiba-tiba terdengar seruan lembut dan Yo
 Han melihat betapa be-lasan orang itu terlempar ke kanan kiri, berkelojotan dan mati semua!
 Gurunya sudah berdiri di situ dan kini Yo Han memandang kepada gurunya dengan
 ter-belalak dan alis berkerut.
 "Suhu membunuh mereka semua" Suhu kejam! Sungguh kejam!"
 Thian-te Tok-ong yang usianya sudah delapan puluh dua tahun itu terkekeh-kekeh. "Dan kau
 mau bilang bahwa be-lasan orang yang membunuh, memperkosa dan merampok, membakari
 rumah pen-duduk itu tidak kejam?"
 "Mereka juga kejam seperti setan, tapi kalau suhu membunuhi mereka, lalu apa bedanya
 antara mereka dengan kita" Mereka kejam, kita pun sama kejamnya!"
 "Ho-ho-ho, kalau menurut engkau, kita harus mengusap-usap kepala dan pung-gung mereka
 dan memuji-muji perbuatan mereka?"
 "Bukan begitu, Suhu. Akan tetapi teecu tetap tidak setuju Suhu membunuhi mereka! Teecu
 tidak sudi membunuh tidak suka menggunakan kekerasan!"
 "Hemm, kaukira engkau ini pintar dan baik, ya" Bocah tolol. Kaulihat, mengapa penduduk
 dusun ini sampai dibunuh, di-perkosa dan dirampok" Karena mereka lemah! Coba mereka itu
 kuat, coba me-reka itu mempelajari ilmu silat, tentu para perampok itu tidak akan mampu
 mencelakai mereka. Jangan bilang kalau hidup tanpa kekerasan itu tidak akan menjadi korban
 kekerasan!"
 Yo Han tertegun, akan tetapi alisnya masih berkerut ketika gurunya mengajak-nya pergi. Di
 sepanjang perjalanan pulang ke guha, anak itu termenung. Hatinya tidak senang. Gurunya
 membunuhi orang begitu saja walaupun orang-orang itu perampok kejam.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 165 Mereka tiba di hutan dan tiba-tiba terdengar suara auman harimau. Thian-te Tok-ong menarik
 muridnya dan melon-cat ke arah suara, lalu bersembunyi di balik semak belukar. Mereka
 melihat se-ekor harimau menubruk seekor kijang, menerkam leher kijang itu yang menjerit-
 jerit dan meronta-ronta. Namun, kuku-kuku dan gigi-gigi runcing tajam itu menghunjam leher
 dan pundak, darah dihisap dan rontaan itu makin lemah. Akhirnya, harimau itu menggondol
 kor-bannya memasuki semak belukar.
 Thian-te Tok-ong memandang murid-nya. "Bagaimana pendapatmu, Yo Han" Apakah
 harimau itu kejam" Dan andaika-ta kijang itu mampu melawan dan me-nang, atau mampu
 melarikan diri, bukan-kah berarti ia tidak akan menjadi kor-ban?"
 "Harimau itu kejam sekali!" kata Yo Han. "Aku benci padanya!"
 "Ha-ha-ha! Anak baik. Kalau harimau itu tidak makan daging hewan lain, dia akan mati
 kelaparan! Untuk itu dia sudah ditakdirkan lahir dengan dibekali ketangkasan, kuku runcing
 dan gigi tajam. Dia tidak dapat hidup dengan makan rumput! Sebaliknya, kijang pun
 ditakdirkan hidup makan rumput dan daun. Hidup memang perjuangan, Yo Han. Siapa kuat
 dia bertahan!"
 "Teecu tidak suka! Yang kuat selalu menang dan hendak berkuasa saja. Yang kuat selalu
 jahat dan ingin memaksakan kehendaknya kepada yang lemah. Karena itu, teecu tidak suka
 belajar silat, tidak suka menggunakan kekerasan karena hal itu akan membuat teecu menjadi
 jahat!" "Yo Han, kaulihat apa ini?"
 "Suhu memegang tongkat!"
 "Apakah tongkat ini merupakan senja-ta untuk melakukan kekerasan?"
 "Tentu. saja!"
 "Jadi engkau tidak suka memegang tongkat?"
 "Tidak."
 "Kalau kebetulan ada seekor anjing gila yang menyerangmu, dan engkau ti-dak mampu
 melarikan diri, lalu engkau membawa tongkat, apakah tongkat itu pun masih merupakan
 senjata kekerasan yang jahat" Ataukah merupakan alat pelindung diri yang akan
 menyelamatkan dirimu dari gigitan anjing gila" Hayo jawab!"
 Yo Han menjadi bingung. Akan tetapi dia seorang anak yang jujur dan cerdik. "Kalau aku
 memegang tongkat itu, teecu hanya mempergunakan untuk membela diri dan mengusir anjing
 itu, bukan untuk memukul, melukai apalagi membunuhnya!"
 "Nah, demikian pula dengan ilmu silat anak keras kepala! Apa kaukira kalau kita
 mempelajari ilmu silat lalu kita semua menjadi tukang-tukang pukul, menjadi perampok-
 perampok, menjadi penjahat dan tukang menyiksa dan mem-bunuh orang" Kalau kita
 mempunyai ilmu silat, banyak kebaikan yang dapat kita lakukan. Pertama, kita dapat
 membela diri, melindungi keselamatan diri dari serangan orang jahat, ke dua, kita dapat
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 166 membantu orang-orang yang ditindas dan disiksa orang lain, dan ke tiga, terutama sekali, kita
 dapat mengangkat martabat dan kedudukan kita, menjadi orang yang terpandang di dalam
 dunia!" Yo Han mengerutkan alisnya. Ada se-bagian yang dianggapnya tepat, akan tetapi yang
 terakhir itu dia sama sekali tidak setuju. "Bagaimanapun juga, orang-orang yang pandai silat
 selalu berkelahi dan bermusuhan saja, Suhu. Tidak seperti kaum petani yang tidak pandai
 silat." "Ha-ha-ha, soalnya para petani bodoh itu tidak mampu membela diri sehingga mereka mudah
 saja dipukuli dan dibunuh tanpa melawan!"
 "Sudahlah, Suhu. Teecu tidak suka bi-cara tentang ilmu silat dan teecu tidak pernah mau
 belajar silat!" kata pula Yo Han. "Tentang keselamatan teecu, ten-tang nyawa teecu, berada di
 tangan Tu-han dan teecu yakin benar akan hal ini!"
 "Huh, bocah aneh, tolol tapi.... benar juga...." kakek itu menggumam. Sudah sering dia
 melihat Yo Han yang tidak pandai silat itu tidak mempan diserang racun, bahkan kebal
 terhadap sihir, dan selalu selamat! Entah kekuasaan apa yang melindunginya. Dia sendiri
 adalah seorang datuk sesat yang sejak muda tidak pernah mau mengakui adanya ke-kuasaan
 di luar dirinya. Kekuasan Tuhan" Dia tidak percaya karena tidak dapat melihatnya! Dia tidak
 sadar bahwa pera-saan sayang dan cintanya terhadap Yo Han merupakan dorongan kekuasaan
 yang tidak dipercayanya itu!
 *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 Waktu berjalan dengan cepatnya dan setahun telah lewat lagi. Kini, sudah tiga tahun Yo Han
 berada di dalam guha itu dan usianya sudah lima belas tahun, ia menjadi seorang pemuda
 remaja yang bertubuh tegap dan kokoh kuat karena biasa bekerja keras. Mukanya yang
 lon-jong dengan dagu runcing berlekuk itu. membayangkan kegagahan. Rambutnya gemuk
 panjang dikuncir besar. Pakaian-nya sederhana dan kasar. Alis matanya amat menyolok
 karena tebal menghitam berbentuk golok, dahinya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya
 ramah walaupun dia pendiam. Sepasang matanya memba-yangkan kejujuran dan kelembutan.
 Dia sudah mulai jemu, tinggal di dalam guha itu, setiap hari selain melayani gurunya yang
 makin tua dan lemah, juga selalu mempelajari ilmu tari, senam dan juga siu-lian (samadhi)
 yang menurut gurunya berguna untuk kesehatan dan memanjangkan usia. Akan tetapi, kalau
 timbul keinginannya meninggalkan tempat itu, dia merasa tidak tega kepada guru-nya. Kakek
 itu sudah tua sekali dan dia merasa kasihan kepada orang hukuman yang berada di dalam
 sumur, bahkan ia sering kali timbul keinginannya untuk menengok orang itu ke dalam sumur,
 akan tetapi dia selalu mengurungkan niatnya karena dilarang oleh suhunya.
 Akan tetapi pada suatu pagi, ketua Thian-li-pang dan wakil ketua, yaitu Ouw Ban dan Lauw
 Kang Hu, datang berkunjung dan mereka itu diterima oleh Thian-te Tok-ong di ruangan
 depan guha, Yo Han disuruh ke dalam oleh suhunya dan tidak diperkenankan untuk
 menghadiri, bahkan mendengarkan percakapan, mereka pun tidak boleh. Yo Han masuk ke
 bagian paling dalam dari guha itu agar tidak dapat mendengarkan percakapan mereka dan
 bagian paling dalam adalah di tepi sumur itu. Selagi ia duduk termenung, matanya yang
 terlatih itu dapat melihat cuaca yang bagi orang lain tentu amat gelap pekat itu, dan hatinya
 terharu melihat keadaan sumur yang garis tengahnya hanya satu meter dan yang dalamnya tak
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 167 dapat diukur itu. Setiap kali memberi makanan dan minuman, dia hanya melemparkan saja ke
 bawah. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa siapa pun yang berada di bawah, tentu bukan
 orang sembarangan karena dalam keadaan yang gelap itu dapat menerima luncuran
 bungkusan makanan dan poci minuman dari atas.
 Untuk menanti percakapan gurunya dengan dua orang ketua Thian-li-pang, Yo Han lalu
 duduk di bibir sumur sambil mencoba untuk menjenguk ke bawah. Akan tetapi amat gelap di
 bawah sana, tidak nampak sedikit pun. Juga tidak pernah terdengar apa-apa, kecuali kadang
 saja terdengar suara yang amat mengeri-kan, seperti suara melengking panjang, seperti jerit
 tangis, seperti tawa, pen-deknya bukan seperti suara manusia!
 Tiba-tiba Yo Han mendengar suara yang keluar dari dalam sumur. Bukan pekik melengking
 mengerikan seperti biasanya, sama sekali bukan. Bahkan kini yang terdengar adalah suara
 nyanyian merdu. Suara seorang pria yang bernyanyi, nyanyiannya sederhana akan tetapi suara
 itu demikian merdu dan lembut.
 "Jin Sin It Siauw Thian Te,
 It Im It Yang Wi Ci To!"
 Yo Han mendengarkan dan karena dia memang merupakan seorang kutu buku yang suka
 sekali membaca, maka men-dengar satu kali saja dia sudah hafal. Akan tetapi, bagaimana
 seorang remaja berusia lima belas tahun akan mampu menangkap arti dari dua baris kata-kata
 itu" Kalau diterjemahkan kata-katanya, maka berarti: Badan Manusia Adalah Alam Kecil,
 Satu Im (Positive) dan Satu Yang (Negative) itulah To (Sang Jalan atau Kekuasaan
 Tuhan)!" Yo Han menggerak-gerakkan bibir menghafal dua baris kalimat itu dengan heran. Dia lebih
 kagum mendengar kemerduan suara itu daripada isi kata-katanya yang tidak dimengerti benar.
 Kalau biasanya dia tidak pernah tertarik untuk memeriksa ke dalam sumur, karena se-lain
 dilarang suhunya, juga dia tidak per-nah menganggur dan suara melengking yang mengerikan
 itu membuatnya ragu, kini mendengar nyanyian pendek yang bersuara merdu itu membuat
 hatinya tertarik bukan main. Apakah si penyanyi itu orang yang suka menjerit-jerit itu"
 Perasaan iba memenuhi hatinya. Kenapa orang itu dihukum di sana" Apakah dosa-nya" Dan
 mengingat betapa orang-orang Thian-li-pang adalah orang-orang sakti yang aneh dan juga
 jahat dan curang, maka timbul niatnya untuk menyelidiki. Kalau gurunya mengetahui dan
 marah, dia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bagaimanapun juga, dia harus tahu
 siapa salah siapa benar dan kalau orang di bawah sumur itu tidak bersalah, dia tidak
 sepatutnya dihukum dan di siksa seperti itu.
 Dengan hati yang mantap Yo Han lalu menuruni tebing sumur itu. Pekerja-an yang bagi
 orang lain tentu hampir tidak mungkin dilakukan ini bagi dia tidaklah begitu sukar. Dia sudah
 lama digembleng oleh Thian-te Tok-ong untuk menirukan gerakan binatang cecak mera-yap
 di dinding guha! Dengan latihan samadhi, dia dapat menggunakan tenaga dalam tubuh untuk
 menyedot hawa dan kedua tangan dan kakinya yang telanjang itu dapat melekat di dinding.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 168 Dalamnya sumur itu tidak kurang da-ri dua puluh lima meter dan biarpun gelap pekat, namun
 pandang mata Yo Han maslh dapat menembus sehingga nampak remang-remang olehnya
 bahwa sumur itu agak menyerong. Dan akhirnya, tibalah dia di dasar sumur yang cukup luas,
 ada empat meter persegi dan ter-dapat sedikit cahaya yang datang dari sebuah lubang sebesar
 lengan tangan yang datang dari jurusan lain. Dasar sumur itu becek dan baunya pengap
 se-kali, sungguh orang akan tersiksa hebat kalau harus tinggal di situ.
 Ketika dia turun ke dasar sumur, dia tidak melihat ada orang di situ, hanya ada lima buah
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batu bundar sebesar guci besar berjajar di sudut. Dia memandang ke sekeliling. Tidak
 mungkin ada orang bersembunyi di ruangan persegi itu, atau entah kalau masih ada lorong
 rahasia lain. Tiba-tiba saja tubuhnya seperti dise-dot oleh kekuatan yang amat kuat menu-ju ke salah
 sebuah guci yang berdiri di sudut kiri. Dia mencoba untuk mempertahankan diri, namun sia-
 sia. Tenaga sedotan itu seperti besi magnet menarik jarum, angin sedotannya terlalu kuat
 baginya dan dia pun terhuyung menuju ke guci besar itu.
 Dan guci itu pun bergerak maju menabraknya.
 "Desss....!" Tubuh Yo Han terbentur benda lunak akan tetapi yang kuatnya bukan main
 sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang sampai menghantam dinding sumur.
 "Bress....!" Yo Han terbanting roboh, akan tetapi dia bangkit lagi dan kini terbelalak
 memandang kepada "guci" itu. Ternyata guci itu berbentuk manusia! Hanya saja tidak
 mempunyai kaki dan tidak mempunyai tangan. Tinggal badan dan kepala saja! Sungguh
 mengerikan keadaan orang itu, seperti sebuah boneka besar mainan kanak-kanak yang dapat
 dijungkirbalikkan akan tetapi selalu dapat berdiri tanpa kaki. Kini penglihatan Yo Han mulai
 terbiasa. Cahaya kecil dari lubang kecil itu cukup mendatangkan penerangan dan dia
 memperhatikan mah-luk itu. Tubuh tanpa kaki atau lengan itu bulat dan cukup gemuk,
 agaknya te-lanjang akan tetapi kulitnya ditutup "pa-kaian" lumpur kering. Hanya mukanya
 yang tidak berlumur lumpur. Rambutnya terurai panjang sampai ke punggung, putih. Alis,
 kumis dan jenggotnya juga putih. Matanya mencorong hijau. Sungguh merupakan mahluk
 yang mengerikan se-kali. Tentu iblis, pikir Yo Han. Semacam iblis penghuni sumur yang
 aneh dan berbahaya.
 Kini mahluk itu berloncatan, bukan menggelundung, berloncatan menghampiri Yo Han.
 Anak ini memang merasa ngeri, akan tetapi tidak takut karena dia me-mang tidak mempunyai
 niat buruk, hanya memandang dengan penuh perhatian. Wa-jah itu kini nampak nyata. Wajah
 seorang kakek yang tentu sudah tua sekali, dan sinar mata kehijauan itu pun tidak kejam,
 Bahkan mulut yang sebagian tetutup ku-mis itu seperti menyeringai tersenyum.
 "Kau tidak mati...." Kau.... kau tidak terluka dan tidak mati?" Suara itu lem-but, seperti suara
 orang yang terpelajar, namun agak aneh terdengar di tempat seperti itu, dan seolah bukan
 keluar dari mulutnya melainkan turun dari atas.
 Yo Han tidak dapat bicara saking merasa seramnya. Dia hanya berdiri me-pet di dinding dan
 menggeleng kepalanya. Akan tetapi karena kini dia merasa yakin bahwa yang dihadapinya
 adalah seorang manusia, walaupun aneh, bahkan mungkin seorang tapa-daksa yang patut
 dikasihani dia pun berkata,
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 169 "Locianpwe, harap suka ampunkan aku. Aku.... aku tidak bermaksud mengganggu, aku
 hanya ingin melihat karena tadi aku mendengar nyanyianmu yang indah itu." Dia lalu
 menyanyi seperti tadi, meniru-kan suara yang didengarnya tadi. "Jin Sin It Siauw Thian Te, It
 Im It Yang Wi Ci To....!"
 "Siancai....! Engkau begini muda sudah pandai meniru bunyi kalimat rahasia itu" Eh, anak
 muda, tahukah engkau apa arti-nya kalimat itu?"
 Yo Han sudah membaca banyak kitab, selain itu, memang dia memiliki kelebih-an, bahkan
 keanehan dalam dirinya. Kalau membaca kitab yang berat-berat, ketika dia masih kecil
 sekalipun, ada suatu pengertian di dalam batinnya, se-olah-olah dia pernah mengenal semua
 kitab itu dan sudah paham benar akan maknanya. Atau seolah ada yang mem-bisikinya,
 memberi pengertian kepadanya. Maka mendengar pertanyaan, itu, dia mengangguk.
 "Kurasa aku mengerti, locianpwe, hanya mungkin saja keliru."
 "Tidak, tidak. Engkau yang setiap ha-ri mengirim makanan kepadaku, bukan" Sudah
 kudengar langkah-langkah kakimu dari sini kalau engkau menghampiri su-mur dan aku tahu,
 engkau bukan anak sembarangan. Nah, cepat katakan apa makna yang terkandung dalam
 kalimat itu."
 "Jin Sin It Siauw Thian Te, atau Ba-dan Manusia Adalah Suatu Alam Kecil. Locianpwe, kita
 dapat melihat kenyataan bahwa di antara segala mahluk di dunia ini, manusia merupakan
 mahluk yang paling unggul dalam kesempurnaannya dibandingkan mahluk lain. Tuhan telah
 menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling mulia. Dalam tubuh manusia terkandung
 unsur-unsur yang terdapat di alam besar, terkandung tanah, air, api, angin dan logam. Bahkan
 kalau air samu-dera terasa asin, demikian pula tubuh manusia mengandung rasa asin apabila
 mengeluarkan cairan seperti keringat. Kalau alam tidak pernah terpisah dari api, maka tubuh
 manusia pun selalu me-ngandung panas, api yang apabila padam berarti kematian. Seperti
 yang diketahui oleh para ahli pengobatan, hukum di alam besar berlaku pula di alam kecil.
 Bukankah, demikian, Locianpwe?"
 "Siancai....! Benar, orang muda, Tubuh ini memang sempurna, suci, kalau tidak dirusak atau
 dikotori oleh manusia itu sendiri. Lanjutkan, lanjutkan!" Kakek yang tanpa lengan tanpa kaki
 itu berkata dengan wajah berseri, suaranya lembut sekali.
 "Lanjutannya adalah It Im It Yang Wi Ci To atau Satu Im (Positive) Satu Yang (Negative)
 itulah To. Locianpwe, sudah kehendak Tuhan bahwa yang meng-gerakkan segala sesuatu di
 dunia ini ada-lah dua keadaan yang saling berlawanan, saling bertentangan, namun saling
 dorong dan saling melengkapi, karena tanpa ada yang satu, yang lain menjadi tidak sem-purna
 dan tidak lengkap. Im itu wanita, Yang itu pria. Atau Im itu gelap, Yang itu terang. Im dan
 Yang terkandung di dalam bawah dan atas, malam dan siang, lembut dan keras, bumi dan
 langit, di-ngin dan panas dan sebaginya. Tanpa ada Im, bagaimana ada Yang" Tanpa ada
 Yang, Im pun tidak ada. Bagaimana kita mengenal terang tanpa adanya kegelapan"
 Bagaimana kita tahu akan yang keras tanpa mengenal yang lembut" Kalau ti-dak ada bumi,
 langit pun tidak ada. Ma-ka, Im dan Yang saling berlawanan, akan tetapi juga saling
 melengkapi, saling menyempurnakan dan menjadi inti dari keadaan dan kesempurnaan alam.
 Kalau Im dan Yang dalam alam besar tidak seimbang, maka akan timbul kekacauan-
 kekacauan. Kalau dalam alam kecil, yai-tu badan kita, Im dan Yang tidak seim-bang, maka
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 170 akan timbul gangguan penya-kit dalam tubuh kita. Kalau Im dan Yang seimbang, maka To
 akan bekerja dengan sempurnanya."
 Wajah kakek itu memandang kagum dan beberapa kali matanya terbelalak. Kemudian dia
 menghela napas panjang. "Bagus, bagus! Tuhan Maha Sempurna, Maha Bi jaksana, Maha
 Kasih Sayang sekali, manusia lebih sering menjadi hamba nafsu sehingga lupa akan adanya
 To, adanya Kekuasaan Tuhan yang men-jadi Hukum Alam, sehingga ulah manusia membuat
 Im dan Yang menjadi tidak seimbang dan menimbulkan kekacauan-kekacauan di dunia ini.
 Eh, benarkah engkau ini seorang manusia yang masih muda" Ataukah seorang manusia ajaib
 yang kelihatannya saja masih muda akan tetapi usianya sudah seratus tahun?"
 Yo Han tersenyum. "Harap Locianpwe tidak terlalu memuji. Pengertian seperti itu dapat
 dimiliki siapapun juga asal dia mau belajar. Dan usiaku baru lima belas tahun."
 "Lima belas tahun" Dan engkau sudah dapat menahan tubrukanku tadi" Padahal, seorang
 jago silat yang kenamaan di dunia kang-ouw saja belum tentu akan dapat hidup setelah
 menerima tabrakan tubuhku tadi. Dan engkau bahkan pandai mengurai tentang Im-yang dan
 To" Ha-ha-ha, agaknya Tuhan sengaja mengirim-kan engkau ke sini untuk menjadi murid dan
 ahli warisku! Siapakah namamu, orang muda?"
 Yo Han mengerutkan alisnya. "Lo-cianpwe, namaku Yo Han, akan tetapi aku tidak ingin
 menjadi murid dan ahli warismu."
 "Ehhh" Apa katamu" Seluruh jagoan silat di permukaan bumi sana akan ber-lomba untuk
 menjadi muridku, dan eng-kau menolak menjadi murid dan ahli warisku" Wah, wah, aku Ciu
 Lam Hok bisa mati karena keheranan!" Kepala dengan tubuh yang buntung itu kini
 ber-loncatan dan terdengar suara dak-duk-dak-duk seperti orang menumbuk sesuatu dengan
 amat kuatnya. Yo Han dapat menduga bahwa kakek buntung kaki ta-ngannya ini tentu
 menguasai ilmu silat karena tadi beberapa kali menyebut ten-tang ilmu silat dan jagoan di
 dunia kang-ouw.
 "Ketahuilah, Locianpwe. Aku tidak ingin berguru kepada Locianpwe karena aku sudah
 mempunyai guru."
 "Ehhh" Engkau kira gurumu akan mampu menandingi aku, ya" Coba kata-kan, siapa gurumu
 yang tidak becus, itu!"
 "Guruku adalah Thian-te Tok-ong...."
 "Uhhhh...!" Tiba-tiba tubuh itu "ter-bang" ke atas dan berputar-putar dari dinding kanan ke
 dinding kiri. Kiranya tubuh itu membentur dinding kiri, ter-pental ke dinding kanan dan bolak
 balik begitu seperti beterbangan saja, kurang lebih lima meter dari lantai. Akhirnya tubuh itu
 turun kembali dan berdiri tan-pa kaki di depan Yo Han. "Kiranya eng-kau datang atas
 perintah Thian-te Tok-ong untuk membunuh aku, ya?"
 "Ah, sama sekali tidak, Locianpwe! Aku tidak mau menyerang orang, apalagi membunuh.
 Aku benci ilmu silat, aku benci kekerasan. Maka aku tidak mau menjadi murid Locianpwe,
 tidak mau belajar ilmu silat dari Locianpwe!"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 171 Sepasang mata itu terbelalak, mulut-nya ternganga sehingga dalam cuaca yang remang-
 remang itu dapat kelihatan oleh Yo Han betapa rongga mulut itu tidak mempunyai sebuah pun
 gigi lagi. "Engkau" Yang dapat menahan ta-brakanku, tidak mau belajar silat" Mem-benci ilmu silat
 dan membenci kekerasan" Engkau yang mengaku murid Thian-te Tok-ong" Ha-ha-ha, engkau
 boleh mem-bohongi orang lain akan tetapi jangan coba-coba untuk membohongi Ciu Lam
 Hok!" "Aku tidak pernah berbohong dan tidak akan suka berbohong, Locianpwe."
 "Orang muda, omongan apa yang kau- keluarkan ini" Engkau mengaku murid Thian-te Tok-
 ong dan mengatakan tidak suka belajar silat" Lalu, apakah Thian-te Tok-ong mengajar engkau
 menari" "Ha-ha-ha...."
 "Benar, Locianpwe. Suhu mengajar aku menari dan bersenam."
 Kembali sepasang mata itu terbelalak, lalu pecahlah suara ketawanya tergelak-gelak dan
 tubuh itu pun bergulingan di atas lantai yang kotor. Tubuh itu ber-henti di ujung ruangan itu
 dan tiba-tiba mulutnya meniup-niup. Ada benda kecil menyambar ke arah leher Yo Han.
 Pe-muda ini cepat menggerakkan tubuhnya karena kini banyak benda yang menyam-bar ke
 arahnya dan yang menjadi sasaran adalah jalan-jalan darah. Dia segera menggerakkan tubuh,
 menari seperti mo-nyet yang bergerak dengan cepat dan lincah sekali sehingga dia mampu
 menge-lak dari sambaran benda-benda kecil yang ditiupkan oleh mulut kakek itu.
 "Ha! Engkau pandai ilmu silat Monyet dan Lutung Hitam! Dan kaubilang tidak pernah
 belajar silat?" kakek itu berseru, suaranya mengandung kemarahan. "Dan kau bilang tidak
 berbohong, tidak pernah berbohong" Hemm, engkau setan cilik, tentu curang dan licik seperti
 gurumu!" "Locianpwe, harap jangan menuduh sembarangan saja! Aku tidak bersilat, melainkan menari
 dan memang tarian ini disebut tarian monyet dan lutung hitam!"
 Tiba-tiba sebuah benda kecil me-nyambar lagi dan sekali ini Yo Han ku-rang cepat mengelak
 sehingga lehernya terkena sambaran benda kecil itu. Dia merasa bagian yang terkena benda
 itu perih dan agak nyeri, akan tetapi bagi-nya tidak berapa mengganggu. "Yang licik dan
 curang bukan aku, melainkan engkau, Locianpwe. Engkau menyerangku secara membokong
 sehingga leherku ter-kena tiupan benda rahasiamu, Tangan Yo Han memijat bagian leher
 yang ter-luka dan keluarlah sebatang jarum kecil. Dia mencabut jarum itu dan
 melempar-kannya ke lantai dengan sikap acuh.
 Kini kakek itu melongo. Dia kini tahu bahwa pemuda itu tidak main-main atau mencoba
 untuk membohonginya. Agaknya pemuda itu memang mengira bahwa ilmu silat yang
 dikuasainya itu adalah ilmu menari! Dan yang membuat dia terkesi-ma adalah cara orang
 muda itu menyambut jarumnya yang telah melukai leher-nya. Orang lain, betapa pun lihainya,
 sekali terluka jarumnya, apalagi di leher, tentu sudah roboh dan tewas! Akan teta-pi orang
 muda itu dapat menarik keluar jarum itu dari lehernya, membuangnya ke tanah dan masih
 sempat menegurnya dan jangankan mati, roboh pun tidak, bahkan mengeluh pun tidak!
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 172 Hampir dia tidak mau percaya akan kenyataan yang dilihatnya. Tiba-tiba, kakek itu
 mengeluarkan seruan aneh, melengking seperti lolong srigala, dan tubuhnya sudah
 ber-gulingan kini rambutnya yang panjang itu menyambar-nyambar ke arah tubuh Yo Han.
 Pemuda ini terkejut dan kemba-li dia "menari", akan tetapi sekali ini, gerakan rambut kakek
 itu yang menyerangnya terlalu cepat dan aneh. Dia ha-nya berhasil meloncat dan mengelak
 empat lima kali saja, lalu tiba-tiba ke-dua kakinya terkena totokan ujung ram-but dan dia pun
 terpelanting jatuh!
 Yo Han meloncat bangkit kembali dan kembali kakek! itu menyerangnya dengan rambut.
 Suara rambut itu yang menyam-bar-nyambar sampai mengeluarkan bunyi bercuitan aneh. Yo
 Han kini mengguna-kan ilmu "senam", berdiri kokoh, menge-rahkan tenaga yang dapat
 membuat tubuhnya keluar semacam tonjolan besar, kemudian dia menghadapi kakek itu
 de-ngan dorongan kedua tangannya dengan senam yang disebut mendorong bukit.
 Pada saat itu, kakek tadi sedang menggelundung dan kembali rambutnya menyambar. Yo
 Han mendorong dan tenaganya bertemu dengan tenaga yang luar biasa kuatnya, keluar dari
 kepala atau rambut-rambut itu dan Yo Han merasa kepalanya seperti meledak, tu-buhnya
 terpental ke belakang dan kem-bali dia roboh! Kakek itu pun terguling-guling ke belakang
 dan ketika dia sudah bangkit lagi, dia berseru kagum.
 "Siancai....! Engkau ini manusia atau-kah setan" Heii, Yo Han, katakan seju-jurnya, siapa
 engkau dan apa pula mak-sudmu menuruni sumur ini?"
 Yo Han yang sudah bangkit berdiri, memandang kepada kakek itu penuh tak-jub. Tahulah dia
 bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia aneh, yang biarpun tak bertangan-kaki lagi,
 namun memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Ang I Moli, Si Iblis Betina yang amat
 lihai itu saja tidak mampu mero-bohkannya sampai dua puluh jurus ketika dia mainkan tarian
 monyet dan lutung hitam, bahkan pukulan iblis betina itu dapat dia tahan dengan ilmu senam
 men-dorong bukit. Akan tetapi, dalam bebera-pa gebrakan saja dia roboh oleh kakek yang
 tidak mempunyai tangan dan kaki ini. Tarian dan senam, yang dikuasainya tidak mampu
 menolongnya. Jelas bahwa kakek ini jauh lebih lihai dibandingkan Ang I Moli!
 "Locianpwe, sudah kukatakan bahwa namaku Yo Han dan aku adalah murid Suhu Thian-te
 Tok-ong, mempelajari ilmu menari dan bersenam dari Suhu. Sudah tiga tahun aku menjadi
 muridnya. Aku pula yang diberi tugas oleh Suhu untuk menurunkan makanan ke dalam
 sumur. Sudah lama aku amat tertariik oleh suara tangisan dari dalam sumur maka hari ini aku
 tidak mampu lagi menahan keinginan tahuku, aku turun ke dalam su-mur untuk melihat siapa
 yang menangis dan kalau perlu aku akan menolongnya. Tahukah engkau, Locianpwe, siapa
 yang suka meraung-raung itu?"
 "Ah.... aahhh.... sungguh aneh sekali. Memang sungguh ini pasti kehendak Tu-han.... yang
 mengirim engkau masuk ke sini. Dan bagaimana engkau dapat masuk ke sini?"
 "Dengan merayap, Locianpwe. Di an-tara tarian-tarian yang diajarkan Suhu, terdapat tarian
 gerakan cecak merayap dan aku sudah mempelajarinya.
 "Ah-ahhhh...., engkau ini anak tolol ataukah anak yang luar biasa" Yo Han, mendekatlah,
 nak. Aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 173 Yo Han maklum bahwa jauh atau de-kat, bagi kakek sakti ini sama saja. Ka-lau kakek ini
 hendak membunuhnya, biar-pun dia menjauh pun tidak ada gunanya. Maka dengan tabah dia
 pun melangkah dan menghampiri kakek itu.
 "Diamlah, Yo Han, aku hendak me-meriksa keadaan tubuhmu," kata kakek itu dan tiba-tiba
 rambut kepalanya ber-gerak, seperti ular-ular kecil dan tahu-tahu rambut itu sudah melibat-
 libat selu-ruh tubuh Yo Han. Pemuda remaja ini bergidik. Dia dapat merasakan betapa
 rambut-rambut itu bukan hanya membelit akan tetapi juga memijit-mijit, menotok sana sini.
 Rambut itu hidup! Yo Han memejamkan matanya dan seluruh jiwa raganya memuji
 kebesaran Tuhan. Bukan main! Agaknya karena kakek ini kehi-langan kaki dan tangan, maka
 rambutnya menjadi hidup dan dapat menggantikan tangan untuk meraba-raba memijit dan
 menekan-nekannya.
 Berulang-ulang kakek itu mengeluar-kan seruan kaget dan heran. Kemudian, ketika dia
 menggerakkan kepala dan hidungnya yang menjadi keras itu menotok-notok ke arah pusar Yo
 Han, dia terlem-par dan bergulingan.
 "Locianpwe....! Engkau tidak apa-apa...." Yo Han cepat menghampiri.
 Kakek itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala, lalu menengadah.
 "Ya Tuhan, inilah.... inilah...." dan tiba-tiba dia pun menangis! Tangis yang se-ring didengar
 Yo Han! Tentu saja Yo Han menjadi heran bu-kan main. "Locianpwe, ada apakah" Maafkan kalau aku
 bersalah." Yo Han memandang terharu. "Jadi.... kiranya Lo-cianpwe yang suka meraung dan
 mena-ngis itu?"
 Kakek itu menghentikan tangisnya dan sungguh mengharukan. Rambut itu kini bergerak
 mengusap air mata dari muka-nya! Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega, karena
 bagaimanapun juga, gerakan rambut itu canggung sekali.
 "Yo Han, bocah ajaib. Setelah engkau tiba di sini dan melihat bahwa akulah orangnya yang
 suka meraung dan mena-ngis, lalu apa yang akan kaulakukan?"
 "Locianpwe, entah siapa yang begitu kejam membuangmu ke sini. Aku akan mencoba untuk
 menolongmu dan mem-bawamu keluar dari sumur ini," dalam suara pemuda itu terkandung
 ketegasan. Kakek itu kini tertawa! Baru saja menangis, kini sudah tertawa. Memang luar biasa sekali
 kakek itu. "Dan begitu keluar dari sini, engkau dan aku akan dibunuh oleh Thian-te Tok-ong"
 Tidak, Yo Han. Kalau engkau dibunuhnya, itu masih belum hebat. Akan tetapi kalau aku yang
 dibunuhnya, apakah pengorban-anku ini akan menjadi sia-sia?"
 "Apa maksudmu, Locianpwe?"
 "Engkau duduklah, biar agak kotor tempat ini, akan tetapi aku akan berce-rita, dan agaknya
 Tuhan sengaja mengi-rimkan engkau ke sini untuk mendengar-kan ceritaku."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 174 "Aku pun yakin bahwa tentu kekuasa-an Tuhan yang mendorongku untuk me-nuruni sumur
 ini dan bertemu denganmu. Ceritakanlah, Locianpwe."
 Kakek yang kakinya buntung mulai dari pangkal pahanya, dan lengannya buntung sampai
 hanya tinggal kedua pun-daknya saja itu berdiri di atas pinggulnya sambil bersandarkan
 dinding sumur, dan dengan suara lembut dan lirih dia pun mulai bercerita, didengarkan
 dengan pe-nuh perhatian oleh Yo Han yang merasa amat tertarik.
 Delapan tahun lebih yang lalu, kakek itu masih belum berada di dasar sumur itu, Juga kaki
 dan tangannya masih leng-kap dan utuh. Dia bernama Ciu Lam Hok dan merupakan tiga
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangkai kakak ber-adik seperguruan dengan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko, Ciu
 Lam Hok adalah yang termuda. Akan tetapi, dalam hal ilmu silat, tingkat kepandaian Ciu Lam
 Hok lebih tinggi daripada tingkat kedua orang suhengnya itu. Hal ini ada-lah karena dia
 memang suka merantau dan bertualang, menjelajah di seluruh daratan Tiongkok dan selalu
 mempelajari ilmu-ilmu silat baru sehingga dia semakin maju dalam ilmu silat. Ketika Thian-
 li-pang didirikan, pendirinya adalah tiga serangkai bersaudara itu, dan Thian-li-pang didirikan
 untuk menghimpun orang-orang gagah, menjadi sebuah perkumpulan yang kuat. Kemudian,
 Ciu Lam Hok me-ninggalkan Thian-li-pang. untuk bertualang.
 Kurang lebih sembilan tahun yang lalu ketika dia mendengar akan sepak terjang Thian-li-
 pang yang mengarah kepada kesesatan, dia terkejut dan lebih lagi keti-ka mendengar betapa
 dua orang suheng-nya telah memperdalam ilmu mereka dengan ilmu tentang racun sehingga
 me-reka dijuluki Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Ra-cun
 Langit Bumi), hatinya merasa kha-watir sekali dan dia pun cepat pulang untuk membuktikan
 kebenaran berita itu.
 Betapa kagetnya ketika dia tiba di Thian-li-pang melihat bahwa berita yang didengarnya
 memang benar! Thian-li-pang memang masih merupakan perkumpulan yang menentang
 penjajah Mancu, akan tetapi di samping itu, Thian-li-pang ber-gaul dengan golongan sesat,
 bahkan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan tidak segan melakukan berbagai kejahat-an
 dan kekejaman. Demi perjuangan, mereka sanggup melakukan apapun juga, menghalalkan
 segala cara untuk menca-pai tujuan!
 Ciu Lam Hok dengan berani menemui dua orang suhengnya, lalu menegur me-reka yang dia
 anggap menyeleweng. Dua orang suhengnya menjadi marah.Terjadi pertengkaran yang
 berakhir dengan per-kelahian. Akan tetapi bukan hanya Ban-tok Mo-ko yang kalah, bahkan
 Thian-te Tok-ong juga kalah oleh Ciu Lam Hok!
 Dua orang kakek yang kini sudah condong ke arah kesesatan dan tidak pantang melakukan
 kecurangan itu, ber-pura-pura menyesal dan bertaubat, dan tentu saja Ciu Lam Hok mau
 memaafkan kedua orang suhengnya asal mereka itu mengubah haluan Thian-li-pang yang
 me-nyeleweng, kembali ke jalan benar yang biasa ditempuh perkumpulan para pende-kar.
 Setelah akur kembali, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong membujuk sute mereka itu untuk
 menceritakan, ilmu aneh dan hebat apa yang membuat sute mereka itu demikian lihai
 sekarang. "Aku terbujuk oleh mereka," kakek buntung itu melanjutkan ceritanya yang amat menarik
 hati Yo Han. "Kuceritakan bahwa aku telah menemukan kitab ilmu Bu-kek-hoat-keng yang
 pernah diperebut-kan para datuk. Itulah kesalahanku. Aku lupa bahwa amat sukar bagi
 seorang yang telah menjadi hamba nafsunya un-tuk kembali ke jalan benar. Mereka dapat
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 175 berpura-pura, akan tetapi sukarlah bagi seseorang untuk benar-benar bertau-bat. Biasanya,
 pernyataan bertaubat itu hanya terjadi karena mereka menderita sebagai akibat perbuatan
 mereka. Kalau penderitaan itu telah lewat, maka mere-ka lupa lagi akan pernyataan mereka
 untuk bertaubat, bahkan melakukan keja-hatan lebih besar lagi untuk menebus kekalahan
 mereka." Yo Han mengangguk-angguk. "Kalau saja mereka itu memiliki iman kepada Tuhan sampai
 ke tulang sumsum mereka, tentu mereka akan menyerah kepada Tuhan dan kalau sudah
 begitu, maka kekuasaan Tuhan yang akan mampu me-nuntun mereka kembali ke jalan benar.
 Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu mengendalikan nafsu yang selalu ingin meliar."
 "Heh-heh, engkau memang anak aneh!" kata kakek itu. "Nah, karena kelengahan-ku, pada
 suatu hari, aku menjadi korban perangkap mereka. Aku keracunan dan tidak mampu lagi
 menandingi mereka.
 Dalam keadaan terluka dan keracunan itu, mereka mendesakku untuk menye-rahkan kitab
 ilmu Bu-kek-hoat-keng. Akan tetapi, kitab itu telah kubakar, hanya isinya telah kupindahkan
 ke dalam kepalaku, tercatat dalam ingatan. Karena aku berkeras tidak mau membuka rahasia
 Bu-kek-hoat-keng, mereka menjadi marah. Mereka menyiksaku, bahkan membuntungi kaki
 tanganku dan melemparku ke dalam sumur ini, delapan tahun lebih yang lalu. Akan tetapi,
 mereka tidak tahu bahwa ilmu Bu-kek-hoat-keng dapat kuperguna-kan untuk menyelamatkan
 nyawaku, bah-kan membersihkan tubuhku dari pengaruh luka dan racun mereka, ha-ha-ha!"
 Yo Han mendengarkan dengan hati ngeri. "Betapa kejam mereka!" katanya penasaran. "Ah,
 tentu Locianpwe telah mengalami penderitaan hebat selama delapan tahun di dalam sumur ini.
 Akan tetapi, Locianpwe berilmu tinggi, menga-pa tidak berusaha keluar dari sini?"
 Kakek itu menghela napas panjang. "Betapapun hebatnya ilmu Bu-kek-hoat-keng, akan tetapi
 tentu saja tanpa kaki dan tangan, bagaimana aku dapat mera-yap naik" Loncatanku pun tidak
 akan mencapai tinggi sumur ini yang sekitar dua puluh meter. Dan andaikata aku berhasil
 naik, kalau di sana aku diserang oleh dua orang suhengku, dalam keadaan tak bertangan tak
 berkaki ini, aku pun pasti kalah."
 "Sungguh mereka itu kejam sekali, tega melakukan perbuatan yang begini keji terhadap adik
 seperguruan sendiri. Akan tetapi, Locianpwe, kalau mereka sudah melempar Locianpwe ke
 sini, berarti mereka, menghendaki kematianmu. Kenapa mereka tidak langsung saja
 membunuhmu, bahkan setelah melempar Locianpwe ke sini, setiap hari mereka masih
 mengirim makanan untukmu?"
 "Yo Han, apakah engkau tidak dapat menduganya?"
 Pemuda remaja itu mengerutkan alis-nya, kemudian mengangguk. "Aku me-ngerti sekarang.
 Bukankah mereka itu sengaja tidak membunuh Locianpwe, ha-nya membuat Locianpwe tidak
 berdaya, dengan maksud agar Locianpwe akhirnya menyerah dan memberikan rahasia-
 raha-sia Bu-kek-hoat-keng kepada mereka?"
 "Engkau benar, Yo Han. Akan tetapi, aku tak pernah mau menyerah. Biarpun siksaan ini
 kadang membuat aku menjadi hampir gila, membuat aku meraung dan menangis. Akan tetapi
 aku tidak mau menyerahkan ilmu itu, sampai mati pun aku tidak mau. Aku hanya menanti
 sam-pai Tuhan mengirim seseorang untuk mewarisi ilmuku, bukan untuk menolong-ku.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 176 Setelah ilmuku ada yang mewarisinya aku lebih suka mati. Apa artinya hidup bagiku dalam
 keadaan seperti ini" Kalau selama ini aku bertahan hidup, hanya agar ilmu-ilmuku jangan
 sampai lenyap dengan sia-sia. Dan terima kasih kepada Tuhan! Engkau dikirim Tuhan ke sini,
 Yo Han! Engkaulah yang akan menjadi mu-ridku, menjadi ahli warisku!"
 "Tapi, Locianpwe, aku.... aku tidak mau belajar silat. Aku tidak mau meng-gunakan
 kekerasan, tidak mau berkela-hi...."
 "Heh-heh-heh, anak tolol. Siapa bilang aku hendak mengajarkan silat kepadamu?"
 "Tapi, ilmu apakah Bu-kek-hoat-keng itu?"
 "Ya, semacam ilmu menyehatkan badan, tidak bedanya dengan ilmu tari dan senam yang
 kaupelajari dari Thian-te Tok-ong, hanya jauh lebih tinggi tingkatnya. Yo Han, engkau mau
 menjadi murid seorang yang jahat dan kejam seperti Thian-te Tok-ong, dan engkau menolak
 menjadi muridku" Engkau memilih men-jadi muridnya?"
 "Bukan begitu, Locianpwe. Akan teta-pi, mengajak Locianpwe naik, tentu akan diserang oleh
 dua orang suheng Locian-pwe itu. Kalau di sini, bagaimana mung-kin aku tinggal di sini
 bersamamu?"
 "Heh-heh, soal itu mudah dibicarakan nanti. Yang terpenting, Yo Han, kata-kanlah. Maukah
 engkau menjadi muridku" Ingat, sisa hidupku hanya kupertahankan untuk menanti saat seperti
 ini! Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, su-dahlah, aku tidak mau hidup lebih lama
 lagi, biar untuk semenit pun. Sekali menghempaskan diri ke dinding, kepalaku akan pecah
 dan nyawaku akan melayang!"
 Yo Han terkejut. Dia tahu bahwa ka-kek ini selain amat lihai, juga memiliki watak yang
 aneh, maka tentu ancaman itu bukan gertak sambal belaka. Mengi-ngat akan pengalaman
 kakek ini, maka dia tentu tidak berbohong. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh membiarkan
 kakek ini membunuh diri. Kalau dia menolak dan kakek ini benar-benar membunuh diri,
 berarti bahwa dialah penanggung jawabnya, dialah yang, membunuh atau menyebabkan
 kematian kakek itu! Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
 "Suhu, teecu akan mentaati petunjuk Suhu."
 Tiba-tiba rambut kepala yang panjang itu menyambar, melibat-libat tubuh Yo Han seperti
 pengganti kedua lengan, me-rangkul dan mendekap, dan kakek itu tertawa-tawa bergelak.
 Akan tetapi, tak lama kemudian, rambut itu terlepas dan kakek itu pun menangis
 sesenggukan! "Ah, engkau kenapakah, Suhu?" Yo Han bertanya, kaget dan khawatir.
 Kakek itu tertawa kembali. "Ha-ha--ha, tidak apa, muridku. Aku hanya mera-sa girang dan
 terharu. Tuhan sungguh Maha Adil, akhirnya permohonanku dika-bulkan! Mari, Yo Han, kita
 harus cepat menyingkir. Kalau terlambat, jangan-jangan kegembiraan hatiku akan berakhir
 dengan kematian kita berdua."
 "Eh, kenapa begitu, Suhu?"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 177 "Sudah, tidak ada waktu untuk bicara sekarang. Kita harus bertindak. Lihat di sudut itu."
 Yo Han menoleh dan dia melihat bahwa di sudut, dindingnya merupakan sebuah batu sebesar
 gajah yang menutupi dinding batu padas. Dia melihat kakek ia meloncat-lancat mendekati
 batu dari dia pun mengikuti.
 "Batu ini kutarik lepas dari tanah, menggunakan rambut dan hidungku saja. Pekerjaan itu
 berhasil setelah aku ber-usaha selama satu tahun! Dan tahun-ta-hun berikutnya kupergunakan
 untuk mem-buat terowonan yang menembus ke sumur lain, sumur alam. Batu ini men-jadi
 pintunya. Sekarang, sebelum bahaya menimpa kita, kita harus pindah ke sumur ke dua itu
 melalui terowongan. Mari bantu aku menggeser batu ini ke samping, Yo Han."
 Sebelum Yo Han mentaati perintah itu, tiba-tiba terdengar suara dari atas lubang sumur.
 Suara itu nyaring dan me-masuki sumur dengan kuatnya seperti akan membikin pecah anak
 telinga, dan mendatangkan gema sehingga suara itu terdengar aneh dan menyeramkan, bukan
 seperti suara manusia lagi.
 "Ciu Sute....!" Panggilan ini terdengar berulang sampai tiga kali.
 "Yo Han....!" Kini suara itu, suara Thian-te Tok-ong, memanggil muridnya. Sebelum Yo Han
 menjawab, kakek Ciu Lam Hok mendahului.
 "Ha-ha-ha, Thian-te Tok-ong iblis busuk! Engkau mencari muridmu?"
 "Sute Ciu Lam Hok! Engkau hendak murtad kepada suhengmu sendiri?"
 "Ha-ha-ha, sejak kaulempar aku ke sini, sudah tidak ada hubungan persauda-raan lagi antara
 kita, Tok-ong! Engkau hendak mencari muridmu yang kausuruh turun membunuhku itu" Ha-
 ha-ha, engkau sungguh tolol. Jangankan anak ingusan itu, biar engkau sendiri yang turun,
 eng-kau akan mampus olehku. Anak itu sudah kubunuh!"
 Mendengar suara ini, di atas sana menjadi sunyi. Lalu terdengar percakapan yang dapat
 terdengar dari bawah. Suara Ban-tok Mo-ko terdengar jelas. "Suheng, muridmu tentu telah
 dibunuhnya. Biar aku masuk ke sana. Dia tentu hanya menggertak saja! Akan kusiksa dia
 supaya mengaku dan membuka rahasia Bu-kek-hoat-keng!"
 "Jangan, Sute. Dia bukan pembual, kalau dia mengancam demikian, berarti dia sudah siap
 siaga. Siapa tahu dia me-masang perangkap."
 "Tapi, dia sudah tidak mempunyai ka-ki tangan, Suheng! Takut apa?"
 "Hemm, jangan pandang rendah, Sute. Dia memiliki ilmu yang amat tinggi. Dan di bawah
 sana gelap, kita tidak menge-nal tempat itu. Kita menggunakan cara lain untuk
 membunuhnya."
 Selagi mereka bercakap-cakap tadi, Yo Han diam saja karena kini dia tahu, bahwa gurunya
 yang baru tidak berbo-hong dan memang Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko amat keji dan
 jahat. Ma-ka, dia pun hendak membela Ciu Lam Hok, dan dia tidak mengeluarkan suara. Ciu
 Lam Hok memberi isarat dengan anggukan kepala agar dia membantu mendorong batu itu,
 dia pun mengerah-kan tenaga mendorong batu sebesar gajah itu ke kiri. Dia tentu tidak akan
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 178 kuat mendorongnya kalau tidak ada Ciu Lam Hok yang mendorongnya pula dengan pundak
 yang tidak berlengan. Batu itu perlahan-lahan bergeser dan nampaklah lubang sebesar tubuh
 orang. Ciu Lam Hok memberi isarat berhenti, kemudian dia tertawa.
 "Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong! Kalau takut, mengapa tidak kalian berdua
 saja turun ke sini agar kalian dapat menemani nyawa murid kalian?" Dalam suaranya
 terkandung ejekan dan tantangan.
 Ban-tok Mo-ko sudah marah sekali. Kalau tidak ditahan oleh suhengnya, ten-tu dia sudah
 merayap turun untuk mem-bunuh bekas sutenya itu. Dahulu memang dia harus mengaku
 kalah terhadap sute-nya itu, bahkan dia dan suhengnya ketika mengeroyok pun tidak akan
 menang. Akan tetapi, sutenya itu telah menjadi manusia tapa-daksa, sudah kehilangan kedua
 kaki tangannya. Perlu apa ditakuti lagi"
 "Tenanglah, Sute," kata Thian-te Tok-ong. "Daripada membahayakan diri sendi-ri lebih baik
 kita bunuh saja Si Buntung itu dengan racun."
 "Tapi, bagaimana dengan muridmu, Suheng?"
 "Yo Han" Ah, tentu dia telah dibunuh Ciu Lam Hok yang mengira bahwa Yo Han kusuruh
 turun untuk membunuhnya. Dan pula, setelah tiga tahun menjadi muridku, aku semakin putus
 asa melihat Yo Han. Dia memang dapat kuakali dan mempelajari ilmu dengan tekun, akan
 te-tapi apa artinya semua itu kalau kelak tidak dia pergunakan untuk kepentingan Thian-li-
 pang" Biarlah dia mampus ber-sama Si Buntung."
 Tak lama kemudian dua orang tokoh besar Thian-li-pang itu sudah menghujan-kan jarum-
 jarum beracun ke dalam su-mur, kemudian melemparkan banyak ular dan kalajengking dan
 segala macam bina-tang beracun. Bahkan yang terakhir se-reka menyiramkan air yang
 kehitaman, air yang beracun ke dalam sumur!
 Yo Han dan Ciu Lam Hok sudah ce-pat menyelinap ke dalam lubang. Kemu-dian mereka
 kembali menggeser kembali batu sebesar gajah menutupi lubang se-hingga semua benda dan
 binatang beracun itu tidak mampu mengganggu mereka. Ketika Thian-te Tok-ong dan Ban-
 tok Mo-ko berteriak-teriak dari atas, me-manggil dan memaki-maki, tidak ada jawaban lagi
 dari bawah. Tentu saja de-mikian karena dua orang yang berada di dalam sumur itu sudah
 pergi, dan mereka pun tidak lagi dapat mendengar suara setelah lubang itu tertutup batu besar
 rapat sekali. Karena tidak lagi terdengar Ciu Lam Hok menjawab, dua orang manusia iblis itu
 mengira bahwa bekas sute mereka tentu sudah tewas, maka mereka berdua tertawa gembira.
 "Sute, cepat perintahkan Ouw Ban untuk menyuruh anak buahnya menutup sumur itu dengan
 batu-batu besar!"
 "Tapi, Suheng. Bukankah mereka su-dah tewas?"
 Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. "Mereka berdua adalah manusia-manusia aneh,
 Sute. Engkau tahu betapa lihainya Ciu Lam Hok. Biarpun kaki ta-ngannya buntung, akan
 tetapi dengan Bu-kek-hoat-keng, kita tidak tahu apa saja yang dapat dia lakukan. Dan anak itu
 pun seorang anak yang luar biasa. Siapa tahu dia belum mati dan dapat keluar. Kalau sumur
 itu ditutup dengan batu-batu besar, biar bagaimanapun juga mereka tidak akan mungkin dapat
 hidup lagi."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 179 Ban-tok Mo-ko mengangguk. Diam-diam dia pun seperti suhengnya ini, me-rasa ngeri dan
 takut terhadap bekas sute mereka, dan dia pun akan merasa tenang kalau sumur itu sudah
 ditutup batu-batu besar. Maka dia pun keluar untuk mem-beri perintah itu kepada Ouw Ban,
 Ketua Thian-li-pang. Dan puluhan orang anggauta Thian-li-pang, sekali ini mendapat
 perkenan untuk memasuki guha sambil membawa batu-batu besar. Mereka melemparkan
 batu-batu besar ke dalam sumur itu. Jatuhnya batu-batu besar itu mendatangkan suara hiruk-
 pikuk. Mereka, puluhan orang banyaknya dan kesemuanya adalah murid-murid Thian"li-pang
 yang bertenaga kuat, harus bekerja sehari penuh, baru sumur itu dapat ditutup seluruhnya.
 Biar orang memiliki kepandaian seperti dewa sekalipun, kalau berada di dalam sumur
 kemudian sumur yang dalamnya dua puluh lima meter itu ditimbun batu-batu besar sampai
 penuh, pasti tidak akan mampu lolos lagi.
 Yo Han mengikuti kakek buntung merangkak melalui terowongan kecil dan ternyata
 terowongan itu hanya sepanjang belasan meter saja. Yo Han merasa kagum bukan main dan
 tidak mampu membayangkan bagaimana caranya seorang yang tidak mempunyai kaki tangan
 dapat membuat terowongan sepanjang itu dalam waktu bertahun-tahun ! Akhir terowongan itu
 merupakan sebuah ruangan yang cukup luas, menjadi dasar dari sebuah sumur yang mirip
 sumur pertama. Sumur ini dilihat dari bawah, atasnya tertutup oleh batu-batu dan untungnya,
 di antara batu besar yang menutup permukaan sumur, ada yang retak-retak yang lebarnya
 sejengkal sehingga dari retakan-retakan batu inilah sinar matahari dapat masuk walaupun
 tidak banyak dan tidak lama hanya untuk tiga empat jam saja setiap harinya. Keadaan dalam
 ruangan dasar sumur ini bahkan lebih baik daripada dasar sumur pertama, karena dasar sumur
 ini lebih kering. Ketika tiba-tiba tempat itu tergetar seperti ada gempa dan terdengar suara
 hiruk-pikuk, Yo Han sempat terkejut sekali.
 "Ah, apakah itu, Suhu?"
 "Ha-ha-ha, mereka menutup sumur kita yang tadi, Yo Han. Dengan batu-batu besar tentu
 saja. Sungguh berbahaya sekali! Kalau aku tidak membuat terowongan dan tidak mempunyai
 sumur ini, tentu kita berdua sudah tergencet dan terkubur hidup-hidup di sana."
 Yo Han bergidik. Bagaimana ada orang yang sedemikian kejamnya terha-dap adik
 seperguruan sendiri, bahkan juga terhadap murid sendiri" Tadinya dia me-ngira bahwa Ang I
 Moli merupakan satu-satunya orang yang paling jahat dan ke-jam di dunia ini. Siapa kira,
 orang yang pernah menjadi gurunya selama tiga ta-hun, yang dapat bersikap ramah dan
 lembut kepadanya, ternyata lebih kejam lagi!
 "Nah, sekarang kita harus mengatur tempat tinggal kita ini, Yo Han. Ingat, mulai sekarang
 kita tidak akan ada yang memberi makan lagi dan kalau kita ting-gal di sini tanpa makan,
 dalam waktu beberapa minggu saja kita akan mati kelaparan. Sekarang, pergilah engkau
 merayap naik dan lakukan dengan hati-hati jangan sampai engkau ketahuan orang Thian-li-
 pang. Engkau carilah ba-han makanan untuk kita makan, sedapat mungkin makanan kering
 untuk ransum kita selama beberapa hari agar tidak perlu engkau setiap hari pergi mencari
 makan. Untuk minum mudah saja. Kalau kita gali sedikit saja, tentu akan bisa mendapatkan
 air di sini. Kita tidak boleh masak, karena asapnya akan ketahuan orang di atas."
 "Suhu, kenapa susah-susah amat" Biar kubantu Suhu merayap naik, dan di sana kita bisa
 mencari tempat tinggal yang baik sehingga lebih enak dan lebih mudah mencari makan."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 180 "Yo Han, sebelum berhasil mengajar-kan ilmu-ilmuku kepadamu, aku tidak akan mau keluar
 dari sini. Tidak ada tempat yang lebih aman daripada di sini. Ketahuilah bahwa sekali aku
 keluar, se-luruh datuk dunia kang-ouw akan menca-riku dan kita akan menghadapi bahaya
 yang tiada hentinya! Akan tetapi di sini, siapa yang akan mengetahui tempat ini" Baru sumur
 yang pertama saja, yang mengetahuinya hanya Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Apalagi
 di sini, tak seorang pun tahu kecuali kita berdua. Nah, kau pergilah, Yo Han."
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemuda remaja itu nampak ragu-ragu. "Akan tetapi, ke mana aku harus mencari makanan itu,
 Suhu?" "Aiiihh! Tentu saja ke atas sana, ke rumah-rumah orang yang memilikinya!"
 "Tapi.... mana mereka mau memberi banyak makanan kepadaku?"
 "Hushh! Siapa suruh engkau minta makanan" Kalau engkau minta makanan tentu semua
 orang mengenalmu. Engkau tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapapun juga.
 Mengerti" Sekali engkau memperlihatkan diri, celakalah. Tempat ini tentu dapat diketahui,
 atau engkau akan ditangkap lebih dulu."
 "Habis, bagaimana kalau tidak boleh minta, Suhu" Andaikata membeli pun, mereka akan
 melihatku. Apalagi aku tidak mempunyai uang sama sekali, ba-gaimana dapat membeli
 makanan?" "Hemm, mengapa engkau tidak bisa mencari akal, Yo Han" Dengan kepandai-anmu itu,
 engkau dapat mencuri makanan dengan amat mudahnya
 
^