Kisah Si Bangau Merah 9

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


il berkata, "Jiwi Supek (Kedua
 Uwa Guru), saya Yo Han memberi hormat, dan harap maafkan karena melihat keadaan,
 terpaksa saya ingin ikut bicara sedikit." Tanpa menanti jawaban dua orang kakek yang
 meman-dang bengong itu, Yo Han segera menghadapi semua orang Thian-li-pang. Dua orang
 kakek itu bengong karena merasa terheran-heran. Bukankah Yo Han telah tewas di dalam
 sumur bersama Ciu Lam Hok" Bagaimana mungkin anak itu kini muncul kembali sebagai
 seorang pemuda yang tampan dan gagah, dengan pakaian yang pantas pula" Suara Yo Han
 terde-ngar lantang ketika dia bicara.
 "Saudara-saudara sekalian, para murid dan anggauta Thian-li-pang, dengarkan baik-baik.
 Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka bahwa dahulu Thian-li-pang adalah perkumpulan orang-
 orang gagah yang se-lain menentang kejahatan dan menentang penjajahan, juga menegakkan
 kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, akhir-akhir ini, semua orang tahu belaka bahwa te-lah
 terjadi penyelewengan-penyelewengan dan penyimpangan dari jalan benar yang dilakukan
 Thian-li-pang. Nama baik Thian-li-pang tercemar dan terkenal se-bagai perkumpulan yang
 menentang pe-merintah penjajah akan tetapi juga yang suka berbuat jahat! Langkah yang
 diam-bil Thian-li-pang mengikuti jejak langkah Pek-lian-kauw yang sejak dahulu terkenal
 menyeleweng daripada kebenaran dan banyak orang Pek-lian-kauw melakukan kejahatan
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 240 dengan dalih perjuangan. Beta-pa pun mulia cita-citanya, namun kalau pelaksanaan atau cara
 mengejar cita-cita itu kotor, maka hasilnya akan menjadi kotor pula. Yang penting sekali
 adalah pelaksanaannya. Kalau pelaksanaannya bersih, maka yang dicapai juga bersih.
 Pelaksanaan adalah benihnya, dan tidak ada benih buruk mendatangkan buah yang baik. Saya
 menghormati dan setuju seka-li pendapat Suheng Lauw Kang Hui tadi, yang bertekat untuk
 menegakkan kembali Thian-li-pang sebagai perkumpulan orang--orang gagah, perkumpulan
 pendekar pahlawan!"
 Mereka yang tadi mendukung Lauw Kang Hui, bersorak menyambut ucapan ini, walaupun
 mereka kini juga terheran-heran mengenal Yo Han, yang lima tahun yang lalu pernah mereka
 melihat sebagai seorang anak yang diambil murid oleh Thian-te Tok-ong. Lauw Kang Hui
 sendiri pun terheran, akan tetapi karena ucapan Yo Han sejalan dengan pendapatnya, dia pun
 diam saja dan hendak melhat perkembangan selanjutnya.
 Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua orang tosu Pek-lian-kauw itu, segera mengenal Yo
 Han sebagai anak laki-laki yang pernah mereka tawan ketika mereka membantu Ang I Moli.
 Melihat sikap dan mendengar ucapan Yo Han, dua orang tosu ini marah bukan main.
 Keduanya sudah melangkah maju dan memandang kepada Yo Han dengan mata melotot.
 Mereka ingat bahwa anak ini dahulu kebal terhadap sihir, maka mereka pun tidak mau
 mempergunakan ilmu sihir.
 "Pemuda sombong! Berani engkau menjelek-jelekkan Pek-lian-kauw seperti itu" Siapa pun
 yang berani menghina Pek-lian-kauw, tak berhak hidup dan kami akan membunuhmu
 sekarang juga!" Dua orang tosu itu sudah siap untuk menyerang Yo Han. Pemud itu bersikap
 tenang saja dan dia menatap kedua orag tosu itu secara bergantian.
 "Jiwi Totiang (Kalian Berdua Pendeta) mengaku sebagai pendeta-pendeta, berpakaian dan
 berpakaian sebagai pendeta. Namun, baik buruknya seseorang bukan tergantung dari pakaian
 atau sikapnya, melainkan dari perbuatannya. Jiwi Totiang sudah banyak melakukan kejahatan,
 maka jubah dan sikap Jiwi sebagai pendeta itu hanya kedok belaka. Apa yang saya katakan
 tadi hanya kebenaran, bukan bermaksud menjelek-jelekkan atau menghina siapapun."
 "Keparat, kau makin kurang ajar! Rasakan pukulanku!" bentak Kwan Thian-cu yang marah
 sekali dan tiba-tiba tokoh Pek-lian-kauw yang gendut ini menerjang dengan pukulan maut
 dari kedua telapak tangannya.
 "Desss....!" Pukulan kedua tangan tosu Pek-lian-kauw yang gendut itu disambut oleh kedua
 tangan Lauw Kang Hui yang meloncat ke depan melindungi Yo Han. Dua pasang tangan itu
 bertemu dengan tenaga sin-kang sepenuhnya, dan akibat-nya, Kwan Thian-cu yang kalah kuat
 ter-dorong, terjengkang dan tubuh yang gen-dut itu terguling-guling sampai beberapa meter
 jauhnya. Kui Thian-cu cepat menghampiri saudaranya dan membantu-nya bangkit. Masih
 untung bagi Kwan Thian-cu bahwa Lauw Kang Hui tidak berniat membunuhnya, maka tadi
 ketika menangkis, tidak menggunakan serangan balasan. Namun karena tosu, Pek-lian-kauw
 itu memang kalah kuat, begitu ke-dua tangannya bertemu dengan calon ketua baru Thian-li-
 pang, tubuhnya se-perti diterjang gajah dan terjengkang ke belakang.
 "Totiang, kalau kami tidak meman-dang Pek-lian-kauw sebagai rekan seper-juangan, tentu
 saat ini engkau sudah tak bernyawa lagi. Kami hanya menghendaki agar Pek-lian-kauw tidak
 mencampuri urusan rumah tangga kami. Silakan me-ninggalkan tempat ini," kata Lauw Kang
 Hui dengan tegas.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 241 Dua orang tosu itu bangkit, memberi hormat dan pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
 Mereka merasa malu akan tetapi juga maklum bahwa melawan tidak ada gunanya. Dan
 mereka tahu pu-la bahwa para pimpinan Pek-lian-kauw pasti tidak menghendaki mereka
 mencari permusuhan dengan Thian-li-pang yang jelas menentang pemerintah penjajah.
 Setelah dua orang tosu itu pergi tak kelihatan lagi bayangannya, Thian-te Tok-ong berkata
 dengan nada suara yang penuh kemarahan. "Yo Han, engkau ini anak masih ingusan sudah
 berani berlagak di Thian-li-pang! Di sini ada aku, ada sute, ada pula Lauw Kang Hui, dan
 ang-kau membikin malu kami dengan sepak terjangmu seolah-olah engkau yang paling hebat
 di sini!" "Maaf, sebelumnya teecu sudah minta maaf kepada Jiwi Susiok (Uwa Guru Ber-dua)," kata
 Yo Han sambil menghadapi dua orang kakek itu dan memberi hor-mat.
 "Bocah lancang, engkau berani me-mandang rendah kepada kami, ya?" Ban-tok Mo-ko juga
 membentak. "Tanpa pe-rintah kami, engkau telah berani menca-ri gara-gara dengan Pek-lian-
 kauw atas nama Thian-li-pang. Engkau tidak ber-hak bertindak atas nama Thian-li-pang.
 Kelancanganmu ini meremehkan kami dan harus kuhukum kau!" Setelah berkata demikian
 Ban-tok Mo-ko menerjang maju menyerang Yo Han. Melihat serangan gurunya itu, Lauw
 Kang Hui terkejut. Gurunya telah melancarkan serangan pukulan maut kepada Yo Han.
 Biarpun dia membenarkan tindakan Yo Han tadi, namun karena Yo Han bukan apa-apa
 baginya, dia tidak berani lancang melindunginya dari serangan gurunya yang hebat. Dia
 hanya memandang dengan mata terbelalak, juga semua anggauta Thian-li-pang memandang
 dan mereka semua merasa yakin bahwa Yo Han pasti akan roboh tewas karena mereka semua
 mengenal kesaktian Ban-tok Mo-ko yang merupakan seorang sesepuh atau locian-pwe dari
 Thian-li-pang. "Maaf, Supek!" kata Yo Han ketika melihat serangan yang mendatangkan angin pukulan
 dahsyat itu menyambar dirinya dan dia pun menggerakkan kedua tangannya yang mula-mula
 menyembah ke atas, terus turun ke bawah melalui depan dahi, hidung, mulut terus ke ulu hati,
 lalu kedua lengan dikembangkan dan tangan ke kanan kiri, terus ke bawah membentuk
 lingkaran, bertemu di bawah dalam keadaan menyembah lagi dan ke-dua tangan ini dengan
 kedua telapak tangan terbuka lalu menghadap ke depan dan lengannya diluruskan.
 Tidak ada hawa pukulan keluar dari kedua tangan Yo Han ini, akan tetapi tiba-tiba Ban-tok
 Mo-ko mengeluarkan seruan kaget karena dia merasa betapa hawa pukulan kedua tangan
 membalik dan biarpun dia sudah bertahan, tetap saja dia terpelanting oleh kuatnya hawa
 pukulannya sendiri yang membalik!
 "Ho-ho, anak ini memang perlu diha-jar!" kata Thian-te Tok-ong, kaget dan juga tertarik
 sekali melihat betapa sute-nya yang dia tahu memiliki ilmu kepan-daian yang hanya di bawah
 tingkatnya, sampai terpelanting jatuh. Dia pun me-ngebutkan lengan baju kanannya. Dia
 memukul dari jauh, menggunakan hawa pukulan yang amat dahsyat, kemudian tongkat di
 tangan kirinya menyusul, me-notok ke arah pusar Yo Han.
 "Maaf, Supek!" kata pula Yo Han. Dia tahu betapa dahsyatnya serangan ini, maka kembali
 dia menggerakkan kedua tangannya sesuai dengan ilmu yang baru saja dilatih di bawah
 petunjuk kakek Ciu Lam Hok, yaitu ilmu yang disebut Bu-kek-hoat-keng. Begitu kedua
 tangannya membuat gerakan memutar dan menyam-but tamparan dan totokan tongkat,
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 242 se-perti yang terjadi pada Ban-tok Mo-ko tadi, tiba-tiba Thian-te Tok-ong juga berseru kaget
 dan biarpun dia tidak ter-pelanting seperti sutenya, namun dia terhuyung ke belakang dan dua
 serangan-nya tadi membalik, tangan kanan me-nampar kepada sendiri dan tongkatnya
 membalik ke arah pusarnya sendiri!
 "Hemm, Bu-kek-hoat-keng....!" seru kakek bertubuh pendek kecil ini setelah mampu
 mengembalikan keseimbangannya, mukanya agak pucat karena dia tadi merasa kaget bukan
 main ketika kedua serangannya membalik secara aneh sekali
 "Yo Han!" bentak Ban-tok Mo-ko. "Berani engkau mencampuri urusan priba-di Thian-li-
 pang?" Yo Han memberi hormat kepada dua orang kakek itu. "Jiwi Supek (Uwa Guru Berdua),
 harap maafkan saya. Sebagai murid Suhu Ciu Lam Hok, maka saya pun berhak mencampuri
 urusan Thian-li-pang dan apa yang saya lakukan ini ada-lah untuk memenuhi pesan dari Suhu.
 Thian-li-pang sejak dahulu adalah per-kumpulan para pendekar yang berjiwa patriot. Akan
 tetapi semenjak Thian-li-pang dibawa bersekutu dan bersahabat dengan Pek-lian-kauw, apa
 jadinya" Thian-li-pang melupakan sumbernya, dan anak buahnya banyak yang mengikuti
 jejak Pek-lian-kauw, tidak segan melaku-kan kejahatan dengan berkedok perjuang-an. Suhu
 pesan kepada saya untuk mengembalikan Thian-li-pang ke jalan be-nar."
 "Ciu Lam Hok itu.... di mana dia se-karang" Engkau dapat keluar, tentu dia pun dapat.
 Katakan, di mana Ciu Lam Hok?" Thian-te Tok-ong bertanya.
 Yo Han menarik napas panjang, ter-ingat betapa suhunya itu hidup menderita karena
 perbuatan dua orang kakek yang menjadi supeknya ini.
 "Suhu telah meninggal dunia dalam keadaan tubuh menderita namun batinnya bahagia."
 "Ahhhh....!" Thian-te Tok-ong berseru, juga Ban-tok Mo-ko mengeluarkan seruan kaget.
 "Jiwi Supek yang membuat Suhu hidup tersiksa!" kata pula Yo Han dengan suara
 mengandung teguran dan memandang ta-jam kepada dua orang kakek itu. Dua orang kakek
 itu menundukkan muka. Agaknya baru mereka kini melihat beta-pa kejam mereka terhadap
 sute sendiri. Mereka telah menyiksa sute mereka dan berlaku curang hanya karena iri hati dan
 ingin menguasai ilmu sute mereka yang lebih tinggi daripada ilmu mereka.
 Entah bagaimana, ketika Ciu Lam Hok masih hidup dan merana di dalam sumur, dua orang
 kakek ini sama sekali tidak pernah menyesali perbuatan mereka bahkan raungan dan teriakan
 Ciu Lam Hok yang mereka dengar, membuat me-reka semakin penasaran dan membenci
 karena sute itu tidak mau membagi ilmu-ilmunya kepada mereka. Akan tetapi kini mendengar
 bahwa sute itu sudah meninggal dunia, mendadak mereka kehilangan, dan merasa menyesal.
 Karena tidak ada lagi harapan untuk mendapatkan ilmu-ilmu dari orang yang sudah mati,
 maka kini seolah-olah yang teringat hanya per-buatan mereka terhadap sute itu, dan betapa
 mereka bertiga merupakan pendi-ri Thian-li-pang yang dahulu hidup rukun dan saling setia.
 "Aih, Sute, kami telah berdosa kepa-damu...." Tiba-tiba saja Thian-te Tok-ong berseru dan
 kakek ini menangis! Dan Ban-tok Mo-ko juga menangis. Melihat dua orang kakek yang
 menjadi sesepuh Thian-li-pang itu menangis seperti anak kecil, semua anggauta Thian-li-pang
 ter-heran-heran, dan Lauw Kang Hui menun-dukkan kepalanya. Wakil ketua ini pun
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 243 menyadari betapa Thian-li-pang memang telah menyeleweng, anak buahnya banyak yang
 tidak segan melakukan perbuatan jahat bersama anak buah Pek-lian-kauw yang menjadi guru
 mereka dalam hal penyelewengan.
 Tiba-tiba Ban-tok Mo-ko menghampiri suhengnya dan menudingkan telunjuknya ke arah
 muka suhengnya. "Suheng, semua ini gara-gara engkau! Engkau telah membuntungi kaki
 tangannya, engkau telah berlaku kejam kepada Sute! Sekarang Su-te telah meninggal, tentu
 arwahnya akan menuntut kepada kita! Suheng, engkaulah penyebab semua ini. Aihhhh,
 Sute.... maaf-kan aku, Sute. Semua ini Suheng kita yang menjadi biang keladinya!"
 Thian-te Tok-ong menghentikan ta-ngisnya dan dia pun menghadapi sutenya dengan mata
 berkilat dan alis berkerut. "Apa kaubilang" Sute, jangan seenaknya saja kau bicara. Engkaulah
 yang membe-ri siasat itu kepadaku! Engkau yang me-nganjurkan aku untuk turun tangan
 terhadap Sute Ciu Lam Hok! Dan aku me-nyesal telah menuruti kemauanmu. Sute Ciu Lam
 Hok, inilah orangnya yang men-jadi penyebab kematianmu, bukan aku!"
 "Suheng, Jangan menyangkal! Engkau melakukan kekejaman terhadap Ciu Sute karena
 engkau murka, karena engkau menghendaki ilmunya, terutama Bu-kek-hoat-keng. Engkaulah
 yang menanggung dosa terbesar, Suheng!"
 "Keparat, engkau pun berdosa besar, bahkan aku tertarik oleh bujukanmu!"
 "Bohong."
 "Engkau pengecut, tidak berani ber-tanggung jawab. Aku memang berdosa terhadap Sute Ciu
 Lam Hok, akan tetapi engkau pun lebih berdosa lagi!"
 "Engkau biang keladinya!"
 Dua orang kakek, yang satu gendut yang satu kurus itu, saling maki dan akhirnya, tanpa
 dapat dicegah lagi, saling serang dengan penuh kemarahan! Suheng dan sute ini sama-sama
 merasa menye-sal, merasa berdosa terhadap sute mere-ka yang kini telah meninggal dunia.
 Ka-rena saling menyalahkan, duka dan me-nyesal, mereka lupa diri dan akhirnya saling
 serang dengan hebatnya. Karena keduanya merupakan orang-orang sakti, maka tidak ada
 anggauta Thian-li-pang yang berani melerai. Maju melerai ber-arti membahayakan nyawa
 sendiri. Di seputar dua orang itu, angin pukulan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya
 sehingga Lauw Kang Hui sendiri terpaksa mundur menjauh agar tidak sampai ter-kena
 serangan hawa pukulan.
 Pertandingan antara dua orang tokoh yang sakti dan yang usianya sudah amat tua, tidak lagi
 mengandalkan kecepatan gerakan, tidak mau membuang waktu dan mereka segera
 mengeluarkan ilmu sim-panan masing-masing, dan mengerahkan sin-kang untuk
 mengalahkan lawan. Di lain saat, setelah lewat belasan jurus saja, keduanya sudah berdiri
 dengan ke-dua kaki terpentang, kedua tangan saling tempel dan saling dorong dengan
 penge-rahan tenaga sin-kang. Uap mengepul dari kepala mereka dan semua orang ta-hu
 bahwa pertandingan ini merupakan pergulatan mati hidup. Lauw Kang Hui mengerti pula dan
 dia meajadi amat khawatir. Dia pun tahu bahwa gurunya, Ban-tok Mo-ko, masih kalah kuat
 diban-dingkan supeknya, dan bahwa gurunya ter-ancam maut. Akan tetapi, tentu saja dia tidak
 berani mencampuri, tidak berani melerai. Dia tadi teringat akan Yo Han yang telah mampu
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 244 merobohkan suhunya dan supeknya, maka timbul harapannya. Cepat dia menghampiri Yo
 Han dan de-ngan suara sungguh-sungguh dia berkata,
 "Sute Yo Han, tolonglah mereka. Ce-pat pisahkan mereka agar jangan sampai saling bunuh."
 Yo Han yang sejak tadi menonton, menoleh kepadanya dan menggeleng ke-palanya. "Kurasa
 tidak ada gunanya lagi, Suheng. Mereka sudah saling serang mati-matian dan andaikata aku
 dapat memisahkan mereka pun, tentu mereka telah terluka dalam...."
 Lauw Kang Hui memandang kepada dua orang kakek itu dan dia merasa ge-lisah melihat
 betapa dari ujung bibir gurunya telah mengalir darah dari dalam mulut, tanda bahwa gurunya
 telah men-derita luka dalam. Dan biarpun di bibir Thian-te Tok-ong belum nampak darah,
 akan tetapi wajah kakek yang kecil pen-dek itu pucat sekali.
 "Mereka sudah terluka, akan tetapi setidaknya, jangan mereka itu tewas selagi mengadu
 tenaga. Sute, tolonglah, pisahkan mereka, biarpun mereka sudah terluka."
 Yo Han menarik napas panjang. Dia sudah melihat betapa keadaan dua orang kakek itu
 payah sekali, dan kalau dia memisahkan mereka, dia harus menggu-nakan sin-kang untuk
 mematahkan dua tenaga yang sudah saling lekat itu. Bu-kan pekerjaan mudah, bahkan
 berbahaya baginya, akan tetapi dia pun tidak dapat menolak karena dia tidak dapat
 mem-biarkan mereka itu mengadu tenaga sam-pai seorang di antara mereka mati di tempat.
 "Jiwi Supek, maafkan saya!" katanya dan dia pun meloncat mendekati dua orang kakek itu,
 kedua tangannya ber-gerak-gerak membentuk lingkaran dan tiba-tiba, dengan bentakan
 nyaring se-hingga terdengar suara melengking, dia mendorongkan kedua tangannya ke
 te-ngah-tengah antara dua pasang tangan yang sedang melekat itu.
 Dua orang kakek itu mengeluarkan suara keras dan tubuh mereka terdorong ke belakang.
 Ban-tok Mo-ko roboh ter-guling dan Thian-te Tok-ong terhuyung-huyung, kemudian cepat
 dia duduk ber-sila dan memejamkan mata. Ban-tok Mo-ko juga bangkit duduk dengan susah
 payah, lalu bersila pula. Wajah keduanya pucat dan napas mereka terengah-engah.
 Yo Han memeriksa dengan menempel-kan tangan di punggung mereka, dan diam-diam dia
 pun terkejut. Kiranya, ke-dua orang kakek itu menderita luka da-lam yang jauh lebih parah
 daripada yang disangkanya. Ban-tok Mo-ko yang kalah kuat oleh suhengnya, telah menderita
 parah sekali dan sukar diselamatkan. Akan tetapi ketika Yo Han memeriksa keadaan Thian-te
 Tok-ong, dia pun ter-kejut. Kakek ini memang memiliki tena-ga yang lebih kuat, akan tetapi
 agaknya usianya yang sudah delapan puluh delapan tahun itu membuat tubuhnya lemah dan
 karena itu, dia pun menderita luka hebat!
 Ban-tok Mo-ko yang membuka mata lebih dulu, mata yang sayu dan dia pun memandang
 kepada Thian-te Tok-ong yang masih duduk bersila dan terdengar suaranya yang lemah
 gemetar. "Suheng, aku girang dapat mati di tanganmu...." lalu dia memandang ke angkasa,
 terbatuk dan gumpalan darah keluar lebih banyak lagi dari dalam mulutnya. "Sute, aku te-lah
 siap menerima pembalasanmu...." Ka-kek itu memejamkan kembali kedua matanya dan
 kepalanya menunduk.
 Thian-te Tok-ong membuka matanya dan dari kedua matanya itu mengalir air mata. "Aku
 telah membunuh Sute Ciu Lam Hok, dan aku pula yang membunuh Sute Ban-tok Mo-ko.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 245 Kedua adikku, tung-gulah aku....!" Dan dia pun memejamkan kedua matanya dan
 menundukkan kepala. Dua orang kakek itu tak bergerak lagi.
 Yo Han berbisik kepada Lauw Kang Hui. "Lauw-suheng, kedua orang Supek telah tewas....!"
 "Haaa....?" Lauw Kang Hui cepat menghampiri gurunya dan menyentuh pundak gurunya.
 Disentuh sedikit saja, tubuh yang tadinya duduk bersila itu terguling roboh. Demikian pula
 tubuh kakek Thian-te Tok-ong.
 Lauw Kang Hui menangis di depan makam gurunya dan supeknya, juga para murid tingkat
 tinggi Thian-li-pang mena-ngisi kematian dua orang tua yang men-jadi sesepuh Thian-li-pang
 itu. Yo Han ikut pula dalam upacara sembahyangan dan dalam kesempatan itu dia berkata
 kepada Lauw Kang Hui dan para murid lain. "Karena saya telah menjadi murid mendiang
 Suhu Ciu Lam Hok, bahkan juga pernah berguru kepada Supek Thian-te Tok-ong, maka
 sedikit banyak saya mengenal hubungan dekat dengan Thian-li-pang. Saya harap peristi-wa
 ini dapat menjadi cermin bagi kita semua. Tiga orang sesepuh Thian-li-pang itu dahulu yang
 mendirikan Thian-li-pang, dan sejak berdiri, Thian-li-pang terkenal sebagai perkumpulan para
 pendekar yang berjiwa patriot. Namun, sayang sekali, agaknya mendiang Supek Ban-tok Mo-
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ko dan Thian-te Tok-ong terseret oleh arus duniawi yang membuat mereka melaku-kan
 penyelewengan. Apalagi ketika Thian-li-pang dipimpin mendiang Suheng Ouw Ban,
 hubungan baik dengan Pek-lian-kauw membuat banyak murid yang ikut melakukan perbuatan
 yang tidak sesuai dengan jiwa perkumpulan kita. Hendaknya kita semua selalu ingat bahwa
 musuh yang paling besar, paling berbaha-ya dan paling tangguh adalah dirinya sendiri. Sekali
 kita mampu menundukkan napsu sendiri, maka batin kita menjadi kokoh kuat dan tidak
 mudah terseret ke dalam kesesatan. Bagaikan berlayar di tengah samudera, yang terpenting
 adalah memiliki perahu yang kokoh kuat sehingga tidak khawatir lagi menghadapi badai dan
 taufan. Kepandaian tinggi bahkan depat mencelakakan kalau tidak disertai batin yang kuat
 dan bersih, karena ke-pandaian itu bahkan kita pergunakan untuk melakukan kejahatan."
 Lauw Kang Hui memandang kepada pemuda itu. "Yo Sute, terima kasih atas nasihatmu itu.
 Kami sudah mengalami cukup banyak kepahitan sebagai akibat daripada penyelewengan yang
 kami laku-kan. Aku berjanji akan mengembalikan Thian-li-pang ke jalan benar, akan
 ber-tindak disiplin dan tegas sehingga Thian-li-pang akan kembali menjadi perkumpul-an
 pendekar yang bukan saja memusuhi penjajah tanah air, akan tetapi juga memusuhi perbuatan
 jahat yang mencelakai orang lain demi kesenangan diri dan pe-muasan nafsu sendiri."
 "Bagus, aku girang sekali mendengar ini, Lauw-suheng. Aku hanya akan men-jadi saksi
 bahwa pesan terakhir Suhu Ciu Lam Hok akan terlaksana dengan baik."
 Yo Han lalu berpamit dari semua murid Thian-li-pang, meninggalkan tem-pat itu dengan hati
 lapang. Satu di anta-ra pesan suhunya telah dapat dia laksa-nakan dengan baik, kini dia akan
 melak-sanakan tugas kedua yaitu mencari keluarga mendiang suhunya, yaitu adik suhunya
 yang bernama Ciu Ceng atau keluarganya karena tentu adik suhunya itu sudah menjadi
 seorang nenek yang sudah tua sekali. Dia pun meninggalkan Thian-li-pang menuju ke kota
 raja. *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 246 Mendiang kakek Ciu Lam Hok me-mang mempunyai seorang adik perempuan yang bernama
 Ciu Ceng. Ketika dia sen-diri pergi meninggalkan kota raja, adik-nya itu masih seorang gadis
 yang cantik dan tinggal bersama ibunya di lingkungan istana. Kemudian, Ciu Ceng menikah
 dengan seorang panglima muda she Gan. Pernikahan ini membuahi seorang anak laki-laki
 yang diberi nama Gan Seng. Panglima Gan sendiri gugur ketika me-mimpin pasukan
 membasmi gerombolan pemberontak. Gan Seng yang mendapat-kan pendidikan tinggi, telah
 mendapat pangkat yang lumayan, yaitu sebagai pejabat yang mengelola gedung pusaka istana.
 Jabatan ini penting sekali karena hanya orang yang dipercaya sepenuhnya oleh Kaisar saja
 yang dapat menduduki pangkat ini.
 Gan Seng, putera Ciu Ceng itu, kini telah berusia lima puluh tahun dan dia hidup serba
 kecukupan dengan isterinya dan puteri tunggalnya yang bernama Gan Bi Kim dan yang pada
 waktu itu berusia tujuh belas tahun. Juga nenek Ciu Ceng yang sudah tua tinggal bersama
 puteranya dan keluarga ini hidup cukup berbahagia.
 Tidak begitu sukar bagi Yo Han untuk menyelidiki dan mendengar tentang nenek Ciu Ceng
 ini. Girang hatinya ketika dia mendapat keterangan bahwa nenek itu tinggal bersama
 puteranya yang menjadi kepada gedung pusaka istana, dan keluar-ga Gan itu tinggal di luar
 istana, walau-pun Gan Seng bertugas di lingkungan istana, yaitu di gedung pusaka. Maka,
 pada hari itu, pagi-pagi dia meninggalkan rumah penginapan dan mendatangi rumah gedung
 tempat tinggal Gan Seng. Untuk memenuhi pesan mendiang suhunya, dia harus berkunjung
 dan menceritakan ten-tang meninggalnya kakek Ciu Lam Hok kepada nenek Ciu Ceng dan
 melihat bah-wa keluarga itu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Baru kemudian dia akan
 melaksanakan tugas ke tiga, tugas yang paling sukar, yaitu mencari dan meram-pas kembali
 mestika mutiara hitam di daerah barat.
 Akan tetapi, alangkah herannya ketika dia tiba di rumah gedung itu, dia meli-hat suasana
 yang amat sunyi dan ketika seorang pelayan keluar untuk menyapanya pelayan tua itu nampak
 seperti orang yang berduka sekali.
 "Saya kira Kongcu datang berkunjung pada saat yang kurang tepat," kata pelayan itu. "Gan-
 taijin sekeluarga sedang prihatin dan tidak suka menerima tamu, bahkan memesan kepada
 saya untuk me-nolak setiap orang tamu yan datang berkunjung."
 Tentu saja Yo Han merasa heran bu-kan main. Gurunya berpesan agar dia mengunjungi
 nenek iu Ceng dan membela nenek itu sekeluargaya kalau perlu dengan taruhan nyawa,
 karena dirinya ingin membuktikan rasa sayangnya kepa-da adiknya itu melalui muridnya.
 "Paman yang baik, tolng sampaikan bahwa aku datang mohon menghadap Nyonya Besar Ciu
 Ceng, ibu dari Gan-taijin. Katakan bahwa aku membawa kabar yang penting sekali dari kakak
 nyonya besar yang bernama Ciu Lam Hok. Kalau laporanmu itu tidak menda-pat tanggapan,
 aku tidak akan mendesak lagi."
 "Tapi.... tapi.... Nyonya Besar Tua se-dang menderita sakit...."
 "Ahh....!" Yo Han terkejut. "Kalau begitu, lebih penting lagi berita itu. Mungkin laporanmu
 tentang kakaknya akan dapat menyembuhkan sakitnya dan engkau akan berjasa besar,
 Paman." Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 247 "Benarkah?" Pelayan itu meragu, ke-mudian berkata, "Baik, kau tunggulah sebentar, Kongcu
 (Tuan Muda), aku akan melapor ke dalam."
 Yo Han menanti dengen sabar, akan te-tapi hatinya gelisah juga mendengar bahwa orang
 yang dicarinya itu, adik mendiang gurunya yang bernama Ciu Ceng, sedang menderita sakit.
 Karena panyakitnya itu-kah maka keluarga Gan dalam keadaan prihatin seperti yang
 dikatakan pelayan tadi" Tentu saja akan mudah beginya untuk melakukan penyelidikan
 sendiri pada malam hari, namun dia menghor-mati adik mendiang suhunya dan tidak mau
 menggunakan cara seperti pencuri untuk menyelidiki keadaan nenek itu, kecuali kalau dia
 tidak dapat menghadap secara berterang.
 Tak lama kemudian, pelayan itu sudah datang lagi dan sekali ini wajahnya ber-seri. "Kongcu,
 dugaanmu tadi benar! Aku memberanikan diri untuk menghadap Nyonya Besar Tua dan
 begitu mendengar bahwa kongcu datang membawa berita tentang kakaknya, ia seketika
 bangkit dan wajahnya gembira, bahkan ia minta kepada Kongcu untuk segera menghadap ke
 dalam kamarnya!"
 Bukan main girangnya hati Yo Han mendengar ini. Dia pun segera mengikuti pelayan itu
 memasuki rumah, gedung yang besar. Setelah melalui beberapa ruangan besar dan lorong
 berliku-liku, pelayan itu mengantarnya masuk ke dalam sebuah kamar yang besar. Dua orang
 pelayan wanita muda segera mundur ketika meli-hat ada tamu pria masuk.
 Ketika memasuki kamar itu, Yo Han memandang ke arah pembaringan di ma-na rebah
 seorang nenek yang sudah tua. Nenek itu rebah telentang dan nampak kurus dan pucat. Ketika
 Yo Han masuk, ia menoleh dan memandang kepada pe-muda itu, lalu terdengar suaranya
 lemah. "Orang muda, siapakah engkau dan berita apa yang kaubawa mengenai ka-kakku Ciu Lam
 Hok?" Yo Han menjatuhkan dirinya berlutut menghadap ke arah nenek yang masih rebah di atas
 pembaringan itu. "Saya bernama Yo Han dan saya muridnya."
 Nenek itu mengeluarkan seruan girang dan ia pun bangkit duduk. Dua orang pelayan wanita
 cepat menghampiri dan membantunya duduk. Setelah duduk, ne-nek itu memandang kepada
 pemuda yang masih berlutut. "Bangkitlah dan duduklah, Yo Han. Ambilkan kursi untuk
 pemuda itu, perintahnya kepada pelayan yang segera mengambilkan sebuah kursi dan Yo Han
 lalu duduk di atas kursi berha-dapan dengan nenek Ciu Ceng yang wa-jahnya nampak berseri.
 "Engkau muridnya" Ah, bagaimana dengan kakakku" Dan mengapa engkau yang datang ke
 sini, bukan dia sendiri" Betapa rinduku kepada kakakku itu!"
 Yo Han melihat bahwa nenek yang sudah tua itu dalam keadaan sakit dan lemah, maka dia
 pun tidak berani me-ngabarkan tentang kematian gurunya. "Saya datang untuk memenuhi
 pesan Suhu Ciu Lam Hok. Saya disuruh mencari adiknya yang bernama Ciu Ceng, dan saya
 disuruh menyelidiki keadaan keluar-ganya dan diharuskan membantu kalau keluarga itu
 membutuhkan bantuan."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 248 "Aih, kalau saja kakakku sendiri ber-ada di sini, tentu dia akan dapat meno-long kami. Akan
 tetapi engkau muridnya, engkau hanya seorang yang masih muda begini, bagaimana akan
 mampu menolong kami" Kami sedang dilanda malapetaka."
 "Harap suka memberitahukan kepada saya, dan saya akan membantu sekuat tenaga, dengan
 taruhan nyawa, demi memenuhi perintah Suhu!" kata Yo Han dengan sikap tenang dan suara
 bersung-guh-sungguh.
 "Benarkah itu?" Nenek itu berseru dan suaranya mengandung harapan, akan tetapi pada saat
 itu, beberapa orang memasuki kamarnya. Mereka itu ternyata adalah puteranya, Gan Seng,
 mantunya, dan cucu perempuannya, Gan Bi Kim yang cantik. Melihat betapa ibunya yang
 sedang sakit itu duduk di atas pemba-ringan dan bercakap-cakap dengan seo-rang pemuda
 asing, tentu saja Gan Seng menjadi heran sekali. Tadi dia menerima laporan dari seorang
 pelayan bahwa ibu-nya kedatangan seorang tamu, maka dia bersama isteri dan puterinya yang
 mera-sa khawatir akan kesehatan ibunya, sege-ra pergi ke kamar ibunya. Kini tahu-tahu
 ibunya sudah duduk bercakap-cakap de-ngan seorang pemuda.
 "Siapakah pemuda ini?" tanya Gan Seng dengan alis berkerut karena dia menganggap
 pemuda itu mengganggu ibunya yang perlu beristirahat.
 Akan tetapi, melihat keluarganya me-masuki kamarnya, nenek itu lalu mem-perkenalkan
 dengan wajah berseri, "Anak-ku, pemuda ini adalah Yo Han, dia murid pamanmu Ciu Lam
 Hok yang sering kuceritakan kepada kalian."
 "Ah, begitukah?" Gan Seng tertegun dan merasa heran mengapa pamannya yang tentu sudah
 tua sekali, mempunyai murid yang masih begini muda. Yo Han sendiri cepat bangkit berdiri
 dan memberi hormat kepada Gan Seng, isterinya, dan juga kepada gadis cantik itu. Nenenk
 Ciu Ceng segera memperkenalkan mereka kepadanya.
 "Yo Han, ini adalah puteraku Gan Seng, ini mantuku, dan itu cucuku Gan Bi Kim!"
 Sambil memberi hormat, Yo Han berkata kepada Gan Seng. "Mohon maaf sebanyaknya
 kepada Taijin bahwa saya telah berani lancang mengganggu, karena saya hanya memenuhi
 perintah Suhu, untuk mencari adik Suhu...."
 "Gan Seng menggeleng kepala. "Tidak mengapa, tidak mengapa, hanya...." Dia mengerutkan
 alisnya karena memang pada waktu itu dia sedang menghadapi hal yang amat memusingkan,
 bahkan ibunya sampai jatuh sakit karena malapetaka yang menimpa dirinya itu.
 Seng-ji (Anak Seng), Yo Han ini diutus gurunya untuk datang berkunjung dan dia mewakili
 gurunya untuk menolong kita dari kesukaran! Siapa tahu, dia akan mampu mengangkat kita
 keluar dari kesulitan ini!"
 "Ibu, mana mungkin....?" kata Gan Seng meragu.
 Melihat sikap mereka, Yo Han kembali memberi hormat. "Harap Taijin suka memberi tahu
 kepada saya, kesulitan apa yang dihadapi keluarga Taijin. Saya telah berjanji kepada Suhu
 untuk membantu keluarga adik Suhu kalau menghadapi kesulitan, dan saya akan mentaati
 perintah Suhu, membantu keluarga keluarga Taijin kalau perlu dengan taruhan nyawa."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 249 "Ceritakanlah kepadanya, Seng Ji. Siapa tahu pemuda ini yang akan mampu membebaskan
 kita dari kesulitan ini," bujuk nenek tua itu.
 "Baiklah, Ibu. Sekarang Ibu beristirahatlah, dan mari Yo Han, kita bicara di ruangan dalam,"
 kata Gan Seng. Yo Han menoleh kepada nenek Ciu Ceng. "Harap Paduka beristirahat dan saya
 menyampaikan pesan Guru saya bahwa Suhu mengutus saya membantu keluarga
 Paduka untuk membuktikan bah-wa Suhu sayang kepada Paduka."
 Mendengar ini, nenek Ciu Ceng me-nangis dan merebahkan dirinya. Akan tetapi suaranya
 terdengar gembira ber-campur haru ketika ia berkata, "Ah, Hok-koko (Kakak Hok), ternyata
 engkau masih teringat kepada adikmu ini! Kakakku yang baik, aku pun selalu terkenang
 kepadamu dan aku sayang kepadamu...." Ia menangis dan tertawa sekaligus dan berita yang
 diucapkan Yo Han ini merupakan obat yang mujarab bagi nenek itu. Dengan hati lega Gan
 Seng lalu meng-gandeng tangan Yo Han, diajaknya keluar dari kamar itu, diikuti oleh
 isterinya dan oleh Gan Bi Kim.
 Setelah mereka semua duduk mengelilingi sebuah meja besar, Can Seng yang masih meragu
 dan belum yakin benar bahwa pemuda yang usianya paling ba-nyak dua puluh tahun, bersikap
 sederhana itu akan mampu menolong keluarganya dari malapetaka yang menimpa, segera
 mengajukan pertanyaan-pertanyaan ten-tang dirinya.
 "Sebelum kami menceritakan persoal-an yang menyulitkan keluarga kami, lebih dulu kami
 ingin mendengar keteranganmu mengenai Paman Tuaku itu dan bagaima-na engkau yang
 masih muda ini akan mampu menolong kami. Nah, ceritakan dimana adanya Paman Tuaku
 itu." Kalau terhadap nenek Ciu Ceng yang sedang sakit Yo Han belum berani ber-terus terang
 tentang kematian suhunya, terhadap keluarga ini dia merasa lebih baik untuk berterus terang.
 "Taijin...."
 "Nanti dulu, Yo Han. Kalau engkau benar murid pamanku, tidak semestinya engkau
 menyebut aku taijin (orang besar). Usiamu masih amat muda. Kau pan-tas menjadi
 keponakanku, maka sebut saja paman kepadaku, agar lebih enak kita bicara. Namaku Gan
 Seng dan eng-kau boleh menyebut aku paman, dan menyebut isteriku bibi. Nah, lanjutkan
 ceritamu."
 Wajah Yo Han berubah merah. Tentu saja dia merasa canggung sekali. Yang dia hadapi
 adalah seorang yang berkedu-dukan tinggi, bagaimana dia dapat me-nyebut mereka demikian
 akrab" Akan tetapi, dia pun tidak berani membantah.
 "Terima kasih atas keramahan Paman dan Bibi. Sesungguhnya di depan Nyonya Besar
 Gan...." "Ah, kalau engkau menyebut aku pa-man, maka engkau sebut saja nenek ke-pada Ibuku."
 Pembesar itu memotong.
 Diam-diam Yo Man kagum. Keluarga suhunya ini memang orang-orang bijaksa-na. Biarpun
 berkedudukan tinggi namun tidak angkuh. "Begini, Paman. Di depan Nenek, saya tidak berani
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 250 berterus terang karena melihat beliau sedang sakit. Se-betulnya, Suhu Ciu Lam Hok telah
 me-ninggal dunia...."
 "Hemm, bagaimana meninggalnya?" Gan Seng bertanya. Yo Han merasa tidak ada perlunya
 menceritakan apa adanya. Kalau dia menceritakan bagaimana suhu-nya disiksa oleh dua
 orang suheng dari suhunya yang juga sudah tewas, maka ceritanya yang terus terang itu hanya
 akan mendatangkan penyesalan dan sakit hati. Tidak ada perlu dan gunanya.
 "Suhu meninggal dunia dengan baik, karena sudah tua. Dan sebelum mening-gal, Suhu
 meninggalkan pesan kepada saya agar saya mencari adik Suhu yang bernama Ciu Ceng, dan
 agar saya mem-bantu keluarga adik Suhu itu dengan segala kemampuan saya. Karena itulah
 maka saya datang menghadap dan mena-warkan bantuan. Apalagi kalau Paman sedang
 menghadapi kesulitan. Katakan apa kesulitan itu, Paman, dan saya, de-mi pesan Suhu, akan
 membantu sekuat tenagaku."
 "Akan tetapi, kesulitan kami ini amat hebat dan sukar diatasi. Bagaimana se-orang muda
 seperti engkau akan mampu menolong kami" Bahkan pasukan penyeli-dik yang sudah kami
 kerahkan tidak ber-hasil menolong kami, apalagi engkau" Apa yang telah kaupelajari dari
 mendiang Paman Tua?"
 "Mendiang Suhu telah mewariskan ilmu-ilmu silatnya kepada saya, Paman, dan saya akan
 mengerahkan segala ke-mampuan saya untuk membantu Paman, tentu saja kalau Paman
 percaya kepada saya dan suka menceritakan kesulitan yang Paman hadapi itu kepada saya."
 "Sebaiknya ceritakan saja kepada Yo Han," desak isteri pembesar itu kepada suaminya.
 "Biarpun para komandan yang bersahabat telah mengerahkan pasukan mereka untuk
 melakukan penyelidikan, tidak ada salahnya kalau Yo Han men-coba untuk menyelidiki pula.
 Makin banyak yang menyelidiki dan mencari-cari pusa-ka yang hilang, semakin baik."
 Gan Seng menarik napas panjang, lalu mengangguk-angguk. "Dengarkan baik-baik, Yo Han,
 siapa tahu, Tuhan mengutusmu datang ke sini untuk mengangkat kami dari malapetaka ini."
 Pembesar itu lalu bercerita. Dia menjadi pembesar yang bertanggung jawab akan semua
 pusaka milik istana, dan dia diserahi mengurus gudang pusaka. Selama bertahun-tahun dia
 bertugas, dibantu pasukan penjaga yang kuat, tidak pernah terjadi sesuatu. Akan tetapi, dua
 minggu yang lalu, dua buah pusaka lenyap dari dalam gudang pusaka itu. Dua buah pusaka
 yang amat penting, yaitu sebuah cap kebesaran Kai-sar Kang Hsi, kakek dari Kaisar Kian
 Liong yang sekarang, dan sebuah bendera lambang kekuasaan Kaisar pertama Ke-rajaan
 Mancu, telah hilang! Gegerlah istana karena kedua benda itu merupakan pusaka yang amat
 penting sekali, sebagai tanda kebesaran Kerajaan Ceng-tiauw. Dan tentu saja Gan Seng
 sebagai pe-nanggung jawab, segera dihadapkan Kai-sar untuk mempertanggungjawabkan
 ke-hilangan itu.
 Gan Seng menjadi sibuk sekali karena Kaisar memberi waktu sebulan kepadanya untuk
 menemukan kembali dua buah pu-saka yang hilang. Gan Seng sudah memerintahkan para
 komandan jaga untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan, namun setelah lewat dua
 minggu, hasil-nya tetap sia-sia belaka. Pencuri itu memasuki gudang tanpa merusak kunci
 atau jendela, bahkan tidak ada genteng yang pecah. Dua buah pusaka itu lenyap secara aneh
 sekali, tidak meninggalkan bekas!
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 251 Gan Seng tahu bahwa malapetaka akan menimpa keluarganya kalau dua buah benda itu tidak
 diketemukan. Dia akan dihukum berat, bahkan keluarganya mungkin akan tersangkut.
 "Demikianlah malapetaka yang menimpa kami, Yo Han. Semua usaha telah kami lakukan,
 namun sampai hari ini tidak ada hasilnya. Padahal, waktu yang diberikan Kaisar tinggal dua
 minggu lagi! Ibuku jatuh sakit karena memikirkan ke-adaan kami. Nah, bagaimana engkau
 akan dapat menolong kami, Yo Han" Pasukan keamanan sudah dikerahkan tanpa hasil," kata
 pembesar itu dengan nada kesal dan putus asa menutup ceritanya.
 Yo Han mengerutkan alisnya. Memang tidak mudah mencari pusaka yang hilang dari dalam
 gudang pusaka, tanpa diketa-hui siapa yang mengambilnya! Kalau para komandan pasukan,
 yang lebih hafal akan keadaan di kota raja tidak mampu me-nemukan dua buah pusaka itu,
 apalagi dia yang sama sekali asing dengan ke-adaan di situ! Akan tetapi, dia akan mencoba,
 dia tidak putus asa. Dia yakin bahwa Tuhan pasti akan menolongnya, seperti yang sudah-
 sudah. Dia akan me-nyerahkan segalanya kepada Tuhan, dan dengan penyerahan total, maka
 semua tindakannya tentu akan dibimbing oleh kekuasaanNya. Kalau Tuhan menghendaki, apa
 sih sukarnya menemukan kembali dua buah benda yang hilang" Akan tetapi, kalau tidak
 dikehendaki Tuhan, apa pun yang dilakukan benda-benda itu takkan dapat ditemukan
 kembali, Tuhan Kuasa. Segala kehendak Tuhan pun jadilah! De-mikian bisik hatinya.
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf, Paman dan Bibi, apakah sama sekali tidak ada ditemukan jejak ke mana lenyapnya
 dua buah benda pusaka itu?"
 Gan Taijin menghela napas panjang dan menggeleng kepala.
 "Apakah tidak ada orang yang dapat dicurigai" Misalnya, adakah selama ini orang-orang
 yang memusuhi Paman" Siapa tahu, perbuatan itu merupakan per-buatan yang disengaja
 untuk menghancur-kan keluarga Paman."
 Suami isteri itu saling pandang, dan tiba-tiba isteri pejabat itu berkata, "Sebaiknya
 kuceritakan saja kepadanya!" Suaminya mengangguk dan wanita itu berkata kepada Yo Han.
 "Memang ada orang yang merasa tidak senang kepada kami dan bukan tidak mungkin dia
 melakukan perbuatan itu untuk mencelakakan kami. Akan tetapi karena tidak ada buk-ti-
 bukti, bagaimana kami dapat menuduh dia?"
 "Maaf, Bibi. Sedikit keterangan saja amat berarti dan penting bagi saya untuk melakukan
 penyelidikan. Saya pnn tidak akan sembarangan saja menuduh orang, akan tetapi setidaknya,
 saya depat me-lakukan penyelidikan."
 Gan Seng menarik napas panjang. "Memang ada yang kami curigai, akan tetapi tidak ada
 bukti, dan dia seorang yang berkedudukan tinggi sehingga tidak ada orang yang akan berani
 menyelidiki-nya."
 Yo Han memandang dengan wajah berseri. "Ah, siapakah dia orangnya, Pa-man" Dan
 mengapa Paman mencurigai dia?"
 "Dia seorang panglima yang dipercaya Kaisar, seorang jagoan istana she Coan. Coan
 Ciangkun terkenal lihai dan ber-kedudukan tinggi. Bagaimana kita akan dapat membuktikan
 bahwa dia yang me-lakukan perbuatan itu" Tidak ada yang berani menyelidik ke sana.
 Rumahnya saja dijaga oleh pasukan keamanan yang kuat!"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 252 "Hemm, kenapa Paman mencurigai dia" Apakah alasan Paman dan Bibi mencurigai
 panglima itu?"
 "Coan Ciangkun pernah melamar pu-teri kami, Bi Kim," kata ibu gadis itu. Yo Han
 memandang kepada Bi Kim dan gadis itu menundukkan mukanya yang be-rubah merah, akan
 tetapi bibir gadis itu bergerak dan berkata lirih, "Manusia tak tahu malu itu!"
 "Tentu saja kami menolak pinangan yang merendahkan kami itu," kata pula Gan Seng.
 "Bayangkan saja, panglima yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu telah mempunyai
 sedikitnya lima selir, dan dia masih menghendaki anak kami untuk dijadikan selir! Meng-hina
 sekali!" Yo Han mengangguk-angguk. Alasan itu memang cukup kuat. Mungkin saja karena sakit hati
 lamarannya ditolak, panglima itu lalu melakukan pencurian pusaka untuk mencelakakan
 keluarga Gan. Akan tetapi, alasan ini pun tidak begitu meyakinkan. Kalau hanya ditolak
 lamar-annya, bagaimana panglima itu sampai melakukan perbuatan yang juga amat berbahaya
 bagi dirinya sendiri itu" Dan apa manfaat dan keuntungannya bagi dia"
 "Maaf, Paman dan Bibi. Apekah tidak ada alasan yang lebih kuat dari itu se-hingga Paman
 dan Bibi mencurigai Coan Ciangkun?"
 "Ada.... ada...." kata Gan Seng. "Se-menjak dua buah pusaka itu lenyap, be-berapa kali sudah
 dia menghubungi aku dan mengatakan bahwa kalau aku suka menerima lamarannya, dia akan
 memban-tu sampai dua buah benda pusaka itu ditemukan kembali. Nah, aku hampir yakin
 bahwa setidaknya dia tahu siapa yang mencuri benda pusaka itu."
 "Ah, terima kasih, Paman. Sekarang, tolong beritahukan di mana tempat ting-gal Panglima
 Coan itu, saya akan me-lakukan penyelidikan ke sana."
 "Akan tetapi, itu berbahaya sekali, Yo Han!" kata Gan Seng.
 Yo Han tersenyum. "Harap Paman dan Bibi jangan khawatir. Mendiang Suhu telah
 mengajarkan banyak ilmu kepada saya, dan dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Sakti, saya
 kira saya akan berhasil menyelidiki dan mendapat tahu apakah panglima itu benar yang
 melakukan pen-curian itu ataukah bukan. Mudah-mudah-an kecurigaan Paman dan Bibi benar
 sehingga tidak akan sukar lagi untuk mengatasi urusan ini."
 "Akan tetapi, para panglima saja yang dimintai bantuan Ayah tidak sanggup menyelidiki
 orang itu, apakah kau tidak hanya akan mengantar nyawa ke sana?" tiba-tiba Bi Kim berkata
 dengan nada suara khawatir.
 Yo Han memandang gadis itu dan tersenyum. Harap engkau tidak merasa khawatir, Nona.
 Saya akan menjaga diri baik-baik."
 Setelah mendapatkan keterangan jelas dari Gan Seng tentang tempat tinggal Coan Ciangkun,
 Yo Han lalu berpamit. Tuan rumah sekeluarga mencoba untuk menahannya dan
 menghidangkan makan minum, akan tetapi Yo Han menolak dengan halus.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 253 "Masih banyak waktu bagi kita untuk bercakap-cakap dan makan bersama, yai-tu setelah
 tugas ini selesai dengan baik. Nah, selamat tinggal, Paman, Bibi dan.... Nona
 "Adik, bukan nona!" Bi Kim memo-tong.
 "Baiklah, Adik Bi Kim. Saya pergi dulu dan mudah-mudahan kalau saya da-tang lagi akan
 membawa kabar baik un-tuk Paman sekeluarga."
 Untuk meyakinkan hati mereka, Yo Han sengaja berkelebat dan lenyap dari depan mereka.
 Tentu saja ayah, ibu dan anak itu terkejut dan sejenak tertegun. Pemuda itu dapat menghilang
 begitu saja dari depan mata mereka! Setelah Yo Han pergi, tiada hentinya mereka bertiga
 membicarakan pemuda itu dan timbul harapan di hati mereka bahwa pemuda yang luar biasa
 itu akan berhasil meno-long mereka.
 *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 Memang benar sekali apa yang dike-mukakan Gan Seng, isterinya dan puteri-nya. Sungguh
 tidak mudah, bahkan ber-bahaya sekali untuk melakukan penyeli-dikan ke dalam gedung
 tempat tinggal Panglima Coan itu. Gedung itu besar dan dikelilingi pagar tembok yang tebal
 dan tinggi seperti sebuah benteng kecil. Me-mang pantas menjadi tempat tinggal seorang
 panglima tinggi yang memimpin pasukan besar. Di pintu gerbang terdapat sebuah gubuk
 penjagaan di mana berkum-pul belasan orang perajurit penjaga, dan masih ada pengawal yang
 selalu meronda di sekaliling pagar tembok itu. Yo Han maklum bahwa di waktu siang hari,
 tidak mungkin menyelundup masuk ke dalam gedung itu. Andaikata dia dapat mengelabui
 para penjaga di luar dan dapat masuk ke dalam, masih ada bahaya ke-tahuan di bagian dalam
 gedung yang ten-tu dijaga ketat. Siang hari itu dia tidak berani masuk, hanya mengelilingi
 bangun-an itu di luar pagar tembok dan meli-hat-lihat keadaan. Ketika dia melihat sebuah
 pohon yang tumbuh di bagian belakang, agak jauh dari bangunan, dia dapat menduga, bahwa
 pohon itu tentu tumbuh di kebun belakang, dekat dengan pagar tembok dan dia pun memilih
 tem-pat ini untuk menyelinap masuk malam nanti kalau sudah gelap.
 Siang hari itu dia kembali ke rumah penginapan, menanti datangnya malam. Setelah malam
 tiba, dia menanti sampai gelap benar barulah dia meninggalkan rumah penginapan secara
 sembunyi, me-lalui jendela dan meloncat ke atas gen-teng agar kepergiannya dari situ tidak
 ketahuan orang lain. Tak lama kemudian, dia sudah tiba di luar pagar tembok se-belah
 belakang di mana siang tadi dia melihat pohon di sebelah dalam pagar. Dia menanti sampai
 peronda lewat, lalu melompatlah dia ke atas pagar tembok. Benar dugaannya, pohon itu
 tumbuh di kebun belakang dan dia pun melompat ke pohon itu, menanti sambil meneliti
 keadaan. Dari pohon dia dapat melihat beberapa orang penjaga di kanan kiri ru-mah, dan di
 sebelah belakang rumah, di luar pintu belakang, terdapat pula dua orang penjaga tengah
 bercakap-cakap. Di atas mereka terdapat sebuah lampu minyak gantung yang cukup terang.
 Bukan main, pikir Yo Han. Agaknya panglima itu telah melakukan penjagaan diri dengan
 ketat. Hal ini saja sudah mencurigakan. Hanya orang yang menjaga diri terhadap penyerbuan
 dari luar saja yang menyuruh pasukan pengawal men-jaga rumah sedemikian ketatnya. Tentu
 ada sesuatu yang perlu dijaga! Makin te-bal dugaannya bahwa Panglima Coan ini-lah yang
 sengaja mencurl pusaka itu untuk memaksa Gan Seng menyerahkan gadisnya! Bagi seorang
 panglima yang mengepalai pasukan, kiranya tidak begitu sukar untuk melakukan pencurian
 itu. Seorang dua orang penjaga keamanan gudang pusaka itu tentu telah dapat
 di-pengaruhinya, untuk mencuri pusaka itu untuknya! Pusaka yang amat penting bagi istana,
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 254 yang kehilangannya akan mendatangkan dosa besar bagi Gan Taijin akan tetapi yang tidak
 ada gunanya bagi Si Pencuri!
 Setelah melihat suasana semakin su-nyi dan yang menghalanginya masuk ke gedung besar itu
 hanya dua orang penja-ga di luar pintu belakang, Yo Han me-loncat turun dari atas pohon dan
 berin-dap-indap mendekati dua orang penjaga yang masih duduk berhadapan di bangku, kini
 tidak lagi bercakap-cakap melainkan sedang bermain catur.Yo Han mengambil dua buah
 kerikil dan setelah membidik dengan hati-hati, dua kali tangannya bergerak. Dua buah batu
 kerikil melayang dan dengan berun-tun, dua orang pemain catur itu terpe-lanting dari tempat
 duduk mereka dalam keadaan lemas tak mampu bergerak ka-rena jalan darah mereka sudah
 tertotok oleh kerikil yang disambitkan tadi. De-ngan cepat Yo Han meloncat mendekati
 mereka, menotok pangkal leher mereka sehingga kini mereka tidak hanya tidak mampu
 bersuara. Dia menyeret tubuh mereka dan menyembunyikan tubuh me-reka di bagian yang
 gelap, kemudian, dengan hati-hati dia membuka daun pintu belakang. Dia tiba di taman bunga
 bela-kang gedung yang amat indah.
 Tak lama kemudian, Yo Han sudah mengintai sebuah ruangan di tengah ge-dung itu. Ada
 kesibukan di sana dan ketika dia mengintai, dia melihat seorang panglima, hal ini dapat
 diketahui dari pakaiannya, dihadap oleh tiga orang ka-kek berusia antara lima puluh sampai
 enam puluh tahun yang berpakaian pre-man, akan tetapi yang nampaknya kuat. Dia menduga
 bahwa tiga orang itu tentulah jagoan-jagoan dan mungkin sekali panglima itu yang bernama
 Coan. Usia-nya kurang lebih empat puluh tahun, tinggi besar bermuka hitam dengan bo-peng
 bekas cacar. Seorang pria yang wajahnya kasar dan buruk sekali. Tidak mengherankan kalau
 Bi Kim dan ayah ibunya menolak pinangannya. Sudah mempunyai banyak selir mukanya
 buruk pula! Padahal Bi Kim demikian cantik jelita dan masih amat muda. Empat orang itu
 bercakap-cakap dan Yo Han mengerahkan kepekaan telinganya untuk menangkap percakapan
 mereka. "Akan tetapi, bagaimana kalau dia menolak, Ciangkun?" tanya seorang di antara tiga jagoan
 yang mukanya kuning dan matanya sipit.
 "Hemm, kalau dia menolak, dia akan dijatuhi hukuman berat, juga keluarganya. Dia pasti
 tidak akan menolak uluran tanganku untuk menyelamatkan keluarganya," kata pembesar itu
 sambil menyeri-ngai dan nampaklah giginya yang besar-besar. Makin buruk orang itu kalau
 me-nyeringai, pikir Yo Han.
 "Kalau begitu, semua jerih payah kita tidak akan ada gunanya, Ciangkun!" kata orang ke dua
 yang perutnya gendut se-hingga kancing bajunya bagian bawah terlepas semua dan nampak
 kulit perut yang buncit itu.
 "Benar, kalau begitu, apa artinya se-mua jerih payah ini" Terbasminya ke-luarga itu sama
 sekali tidak menguntung-kan Ciangkun," kata orang ke tiga yang tinggi kurus dan hidungnya
 seperti hidung burung kakatua, melengkung panjang ke bawah sehingga matanya nampak
 juling. Panglima itu terbahak. "Ha-ha-ha, apa kalian kira aku begitu bodoh untuk mem-buang tenaga
 sia-sia belaka" Kalau me-reka itu berkeras tidak mau menerimaku, aku akan menghadap Sri
 Baginda. Aku akan mencarikan pusaka itu sampai dapat, dengan imbalan anugerah, yaitu agar
 gadis jelita itu diserahkan kepadaku. Kalau Kaisar yang memerintahkan, mus-tahil orang she
 Gan itu berani memban-tah lagi. Ha-ha-ha!"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 255 Tiga orang itu pun tertawa gembira dan memuji kecerdikan majikan mereka. Yo Han yang
 mengintai tidak ragu-ragu lagi. Sudah pasti panglima inilah yang bernama Coan Ciangkun
 dan tiga orang itu tentu anak buahnya, atau jagoan-ja-goannya. Inilah kesempatan terbaik,
 pikirnya. Kalau dia harus mencari pusaka pusaka itu, tentu akan sukar sekali kare-na panglima
 itu tentu menyembunyikan-nya dan amat sukar mencari pusaka yang disembunyikan di
 gedung sebesar itu, apalagi yang dipenuhi penjagaan ketat.
 Sekali dorong saja, jendela yang ter-kunci dari dalam itu terbuka dan kunci-nya jebol.
 Sebelum empat orang itu hi-lang kaget mereka, tiba-tiba mereka melihat bayangan berkelebat
 dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda.
 "Engkaukah yang disebut Coan Ciang-kun?" tanya Yo Han dengan suara tenang sambil
 memandang panglima itu.
 Setelah hilang kagetnya dan melihat bahwa yang masuk secara lancang itu hanyalah seorang
 pemuda yang tidak memegang senjata dan berpakaian seder-hana saja, bangkitlah kemarahan
 Coon Ciangkun. "Sudah tahu aku Coan Ciang-kun dan engkau berani masuk seperti maling"
 Apakah nyawamu sudah rangkap lima" Tangkap dia!" bentak panglima itu sambil
 menudingkan telunjuknya ke arah muka Yo Han
 Mendengar ini, Si Perut Gendut tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, cacing tanah berani sekali
 engkau lan-cang masuk ke sini! Hendak mencuri apakah" Hayo cepat berlutut, atau akan
 kupatah-patahkan tulang kedua kakimu agar engkau berlutut dan minta ampun kepada Coan
 Ciangkun!"
 Yo Han bersikap tenang dan matanya masih terus memandang kepada panglima itu. "Aku
 tidak ingin mencuri apa-apa, bahkan hendak menangkap pencuri dua buah benda pusaka dari
 gedung pusaka istana!"
 Tentu saja ucapannya ini mengejutkan empat orang itu. "Tong Gu, cepat tang-kap dia!"
 bentak panglima itu kepada Si Gendut yang bernama Tong Gu.
 "Haiiiittt....!" Tong Gu menerjang ke depan, gerakannya seperti sebuah bola menggelundung
 menuju ke arah Yo Han dan agaknya dia benar-benar hendak mematahkan kedua tulang kaki
 Yo Han karena begitu menerjang, dia sudah membuat gerakan menyapu dengan kaki
 kanannya yang pendek namun besar. Ge-rakannya, biarpun berperut gendut, gesit sekali dan
 kaki kanannya sudah menyam-bar ke arah kedua kaki Yo Han. Namun, Yo Han sama sekali
 tidak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan berdiri tegak dan masih memandang kepada
 Coan Ciangkun. Karena itu, tanpa dapat dice-gah lagi, kaki kanan Tong Gu, menyam-bar
 kedua kakinya dengan amat kuatnya.
 "Bresss....!" Bukan tulang kedua kaki Yo Han yang patah-patah, melainkan Si Gendut yang
 berteriak-teriak kesakitan, meloncat-loncat dengan kaki kiri dan mencoba untuk memegangi
 kaki kanan dengan kedua tangannya. Akan tetapi karena kedua lengannya pendek, sedang-kan
 kaki kanan itu pun pendek, maka sukar baginya untuk dapat memegang kaki itu dan dia pun
 berjingkrak menari-nari dengan sebelah kaki, matanya ter-belalak mulutnya ngos-ngosan
 seperti orang makan mrica saking nyerinya, karena kakinya terasa kiut-miut seperti pecah-
 pecah tulangnya. Akan tetapi, dua orang kawannya menjadi marah dan me-reka pun siap
 untuk menerjang.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 256 Yo Han tidak mempedulikan mereka. Dia melihat panglima itu pun terkejut dan bangkit dari
 tempat duduknya, siap hendak melarikan diri. Sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah meloncat
 ke dekat panglima itu dan jari tangannya menotok. Tubuh panglima itu menjadi lemas dan dia
 pun jatuh terduduk kembali ke atas kursinya, hanya dapat memandang dengan mata terbelalak
 karena Yo Han sudah menghampiri tiga orang tukang pukul itu dengan sikap tenang.
 Kini Tong Gu Si Gendut sudah men-cabut golok besarnya. Tulang kakinya tidak patah, akan
 tetapi membengkak dan kebiruan, nyeri sekali. Si Muka Ku-ning bermata sipit yang bernama
 Cong Kak juga mencabut sepasang pedangnya, sedangkan Si Hidung Kakatua mencabut
 rantai baja. Mereka bertiga mengepung Yo Han, namun pemuda ini bersikap te-nang. Dia
 tidak suka berkelahi, tidak suka menggunakan kekerasan, akan tetapi sekarang dia melihat
 kebenaran pen-dapat mendiang gurunya. Kepandaian silat memang amat penting, untuk
 meng-hadapi orang-orang yang sewenang-we-nang seperti ini! Bukan untuk berkelahi, bukan
 untuk menggunakan kekerasan, melainkan untuk menundukkan yang jahat untuk menegakkan
 kebenaran dan ke-adilan!
 "Lebih baik kalian membujuk majikan kalian untuk menyerahkan dua benda curian itu
 kepadaku. Kalau kalian meng-gunakan kekerasan, maka kalian sendiri yang akan menjadi
 korban kekerasan kalian itu!" Yo Han masih menasihati, karena kalau dapat, dia hendak
 menyelesaikan masalah itu tanpa harus melawan tiga orang ini.
 Tentu saja nasihatnya itu menggelikan bagi orang-orang yang biasa menggunakan kekerasan
 itu. Mereka sudah marah sekali dan tanpa dikomando lagi, ketiganya sudah memutar-mutar
 senjata dan meng-gerakkan senjata mereka dengan kuat dan cepat, menerjang ke arah Yo
 Han. Pemuda ini telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, namun belum pernah dia
 mempergunakannya dalam perkelahian. Biarpun demikian, melihat gerakan tiga orang yang
 bagi orang lain nampak cepat itu, baginya kelihatan lamban sekali dan dia dapat melihat jelas
 ke arah mana senjata mereka itu menyambar. Dengan kelincahan tubuhnya yang sudah
 mempe-lajari segala macam ilmu tari dari Thian-te Tok-ong yang sebenarnya merupakan
 ilmu-ilmu silat tinggi, dengan amat mudah dia mengelak ke sana sini dan semua serangan
 senjata itu sama sekali tidak mampu menyentuhnya.
 Yo Han tidak ingin membunuh orang, bahkan melukainya pun dia tidak tega, walaupun dia
 tahu bahwa tiga orang ini biasanya mempergunakan kekerasan untuk menindas orang lain.
 Dia harus bekerja cepat agar urusan itu segera dapat di-selesaikannya dengan baik. Maka,
 begitu tangan kakinya bergerak dengan kecepat-an yang tak dapat diikuti pandang mata tiga
 orang pengeroyoknya, tiba-tiba tiga orang itu berturut-turut, jatuh terpelan-ting dalam
 keadaan lemas tertotok. Senjata mereka terlepas dari pegangan dan mengeluarkan suara
 berisik ketika ter-jatuh ke atas lantai.
 Akan tetapi, agaknya suara ribut-ribut itu telah terdengar oleh para pe-ngawal panglima itu.
 Sebelas orang pera-jurit pengawal berserabutan memasuki ruangan yang luas itu dengan
 senjata di tangan dan begitu masuk, mereka sudah dapat menduga apa yang terjadi, melihat
 majikan mereka duduk tak bergerak dan tiga orang jagoan itu roboh dan tak mampu bergerak
 pula. Maka, serentak mereka mengepung Yo Han dan menye-rangnya dengan senjata mereka.
 Yo Han maklum bahwa kalau dia ti-dak bertindak cepat, akan makin sukarlah keadaannya.
 Dia pun mengeluarkan ke-pandaiannya dan bagaikan seekor burung walet beterbangan,
 tubuhnya menyambar-nyambar dan kembali para pengeroyoknya roboh tertotok seorang demi
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 257 seorang. Tubuh mereka berserakan, ada yang ber-tumpuk dan dalam waktu yang singkat,
 sebelas orang itu pun sudah roboh semua tanpa mengalami luka, hanya tertotok dan lemas tak
 mampu bergerak.
 Sebelum datang lagi pengeroyok, sekali loncat Yo Han telah mandekat! Coan Ciangkun yang
 marah duduk terto-tok dan tak mampu bergerak. Yo Han membebaskan totokannya terhadap
 pembesar itu dan Coan Ciangkun dapat pula bergerak. Akan tetapi dia tidak berani bengkit
 berdiri karena pemuda yang lihai itu telah mengancamnya dengan jari ta-ngan di leher!
 "Mau apa engkau" Engkau akan dihu-kum mati untuk ini!" kata Coan Ciang-kun dengan
 nada marah. "Pasukanku akan menangkapmu!"
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebelum aku di tangkap, aku akan dapat membunuhmu lebih dulu, Ciangkun!" Yo Han
 mengancam. Wajah yang marah itu seketika menjadi pucat karena Sang Panglima maklum bahwa pemuda
 yang dengan mudahnya merobohkan empat belas orang pengawal-nya, tentu tidak hanya
 menggertak, akan tetapi benar-benar akan dapat membu-nuhnya dengan mudah.
 "Apa yang kauinginkan?" katanya dan biarpun nadanya masih membentak, na-mun suara itu
 gemetar. Yo Han mendengar suara ribut-ribut di luar ruangan, suara banyak orang dan dia tahu bahwa
 tentu pasukan penjaga sudah datang mengepung ruangan itu.
 "Pertama, kauperintahkan agar pasukanmu mundur dan jangan mengganggu percakapan kita
 di ruangan ini. Hayo cepat lakukan!" Sengaja dia menyentuh leher panglima itu dengan jari-
 jari tangannya. Panglima itu bergidik dan dia pun berseru dengan suara nyaring.
 "Pasukan jaga, semua mundur dan jangan ganggu aku Kami sedang bicara dan tidak boleh
 siapa pun mengganggu kami!"
 Suaranya dikenal oleh para penjaga dan biarpun merasa heran, mereka semua mendengar dan
 tidak berani mendekati ruangan itu walaupun di sebelah sana mereka tetap mengatur
 pengepungan karena mereka tahu bahwa, ada seorang asing bersama majikan mereka, dan
 bahwa belasan orang pengawal telah diro-bohkan orang asing itu.
 "Bagus, Ciangkun. Kalau engkau me-menuhi semua permintaanku, aku akan
 membebaskanmu dan tidak akan meng-ganggumu lagi. Sekarang, keluarkan dua buah benda
 mustika yang kaucuri dari dalam gedung pusaka istana itu!"
 Wajah itu semakin pucat. "Apa.... apa maksudmu" Pusaka.... yang mana....?"
 "Tidak usah berpura-pura lagi, Ciang-kun. Aku sudah tahu semuanya. Engkau mendendam
 kepada keluarga Gan karena lamaranmu ditolak, dan untuk membalas sakit hati itu, engkau
 sengaja menyuruh orang mencuri dua buah benda pusaka dari dalam gedung pusaka istana
 agar Gan Taijin menerima hukuman. Den eng-kau menjanjikan kepada Gan Taijin untuk
 mendapatkan kembali pusaka-pusaka yang hilang itu asal dia mau menyerahkan puterinya
 kepadamu!"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 258 Sepasang mata itu terbelalak. "Tidak! Tidak! Mana buktinya bahwa aku melaku-kan semua
 itu?" Yo Han memandang ke arah meja di depan panglima itu. Sabuah meja terbuat dari papan
 yang tebal. Dia menggerakkan tangan kirinya mencengkeram ke arah ujung meja.
 "Krekk-krekk....!" Dan ujung meja itu hancur menjadi bubuk dalam cengkeram-annya.
 Wajah panglima itu menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak ketakutan.
 "Ciangkun, apakah lehermu lebih ke-ras daripada papan meja ini?"
 "Jangan.... jangan bunuh aku.... apa yang kaukehendaki?" pembesar itu berka-ta, suaranya
 kehilangan keangkuhannya, bernada menyerah.
 "Coan Ciangkun, engkau seorang laki-laki, dan memegang jabatan tinggi se-bagai panglima.
 Semestinya engkau seo-rang yang gagah perkasa. Akan tetapi perbuatanmu ini sungguh
 memalukan se-bagai seorang laki-laki. Kalau pinangan-mu ditolak, itu berarti bahwa nona
 Gan Bi Kim bukan jodohmu. Kenapa engkau hendak memaksanya dengan cara yang begini
 curang dan pengecut" Kadudukanmu tinggi, akan tetapi watakmu sungguh rendah. Sekarang,
 aku hanya ingin engkau memperbaiki kesalahanmu, mengembali-kan dua buah benda pusaka
 itu kepadaku. Cepat, atau aku akan kehilangan kesa-baranku dan tanganku yang gatal-gatal ini
 akan mencengkeram lehermu atau kepalamu!" Sengaja Yo Han meraba-raba leher itu dan
 Coan Ciangkun bergidik.
 "Jangan bunuh.... baik, akan kukemba-likan....! Tapi.... dua buah benda itu di-simpan oleh
 Tong Gu itu...." Dia menun-juk ke arah tubuh gendut Tong Gu, seorang di antara tiga
 jagoannya tadi, dengan telunjuk yang menggigil.
 Yo Han dapat menduga bahwa pangli-ma itu tidak main -main atau hendak menipunya.
 Bagaimanapun juga, panglima itu telah berada di dalam kekuasaannya dan tidak akan mampu
 berbuat apa pun. "Akan kusadarkan dia dan cepat perin-tahkan dia mengambil dua buah
 pusaka itu!" katanya dan sekali tangannya ber-gerak, dia telah membebaskan totokan Tong
 Gu. Si Gendut itu dapat bergerak dan meloncat dengan sikap hendak menyerang. Akan tetapi
 Coan Ciangkun menghardiknya.
 "Tolol, apa yang akan kaulakukan?" Dia memang mendongkol sekali melihat ketidakbecusan
 para jagoannya. Malawan seorang pemuda saja, mereka bertiga ro-boh, bahkan belasan orang
 pengawalnya juga roboh. Dan sekarang, masih berlagak hendak melawan!
 Tong Gu terkejut dan membungkuk di depan pembesar itu. "Maafkan hamba.... hamba
 kira...." "Tidak usah banyak cakap. Cepat kau ambil dua buah pusaka itu dan bawa ke sini!" perintah
 Coan Ciangkun. "Baik, Ciangkun!" kata Tong Gu.
 Sebelum dia pergi Yo Han berkata, "Tong Gu, jangan coba untuk main gila. Ingat, nyawa
 majikanmu berada di dalam tanganku. Dia akan mati sebelum engkau dapat melakukan
 sesuatu terhadap diriku!"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 259 "Kalau engkau main gila, akan kusu-ruh hukum siksa sampai mati!" bentak Coan Ciangkun
 yang agaknya ingin ce-pat-cepat bebas dari tangan pemuda yang lihai itu. "Cepat pergi dan
 ambil benda-benda itu!"
 Tong Gu keluar dari ruangan itu dan tenta saja dia disambut oleh hujan per-tanyaan dari para
 rekannya di luar ruangan. Akan tetapi, dia memberi isarat dengan telunjuk di depan mulut.
 "Gawat Ciangkun telah dikuasai iblis itu. Kalau kita bergerak, tentu Coan Ciangkun akan
 dibunuhnya. Kita tidak boleh bergerak sebelum Ciangkun dibebaskan. Kepung saja dari luar,
 jangan sampai ada yang lolos. Aku harus mengambilkan pusaka itu sekarang juga," bisiknya
 kepada para pimpinan pasukan.
 Kini setelah penghuni gedung itu te-lah terbangun dan suasananya menjadi panik. Namun,
 pasukan itu hanya mengepung di luar gedung, dan keluarga Coan Ciangkun berkumpul di
 sebelah dalam, dijaga oleh pasukan pengawal dengan ketat.
 Tong Gu tidak berani mengabaikan perintah Coan Ciangkun karena dia maklum sepenuhnya
 bahwa nyawa majikannya dalam ancaman bahaya maut. Dia tahu betapa lihainya pemuda
 yang menawan majikannya itu. Bukan saja dia dan dua orang rekannya yang terkenal jagoan
 roboh di tangan pemuda itu, juga belasan orang pengawal roboh dalam waktu singkat.
 Kepandaian pemuda itu tidak wajar, tidak seperti manusia biasa!
 Tong Gu muncul kembali ke dalam ruangan itu. Keadaan di situ masih seperti tadi. Coan
 Ciangkun masih duduk menghadapi meja yang patah ujungnya, dan pemuda itu masih berdiri
 di belakang panglima dengan sikap tenang sekali. Justru ketenangan sikap pemuda itu yang
 membuat Tong Gu merasa seram. Dia meletakan bungkusan dua buah banda itu di atas meja
 depan Coan Ciangkun. Yo Han lalu membuka bungkusan itu dan melihat bahwa memang
 itulah dua benda pusaka yang hilang. Dia sudah mendapat keterangan jelas dari Gan Seng
 bagaima-na bentuk dan rupa dua buah benda pu-saka itu. Tanpa ragu lagi, dia mengambil
 benda-benda itu dan menyimpannya ke daam saku jubahnya.
 "Kami telah menyerahkan dua buah benda pusaka itu, sekarang bebaskan kami dan pergilah,
 jangan ganggu kami lagi!" kata Coan Ciangkun menuntut.
 "Nanti dulu, Ciangkun," kata Yo Han dan dia memandang kepada Tong Gu lalu berkata,
 "Tong Gu, cepat kausediakan kertas dan alat tulis untuk Coan Ciang-kun!"
 Tong Gu tidak berani membantah dan di dalam ruangan itu memang tersedia alat tulis dan
 kertasnya. Setelah perleng-kapan itu berada di atas meja, Yo Han lalu berkata, "Ciangkun,
 sekarang tulislah surat pengakuanmu bahwa engkau yang melakukan pencurian itu!"
 Sepasang mata itu terbelalak. "Akan tetapi.... engkau ingin melaporkan aku dan
 mencelakakan aku....?"
 Yo Han tersenyum. "Kami bukanlah orang-orang macam engkau yang suka bertindak
 curang, Ciangkun. Surat itu perlu untuk pegangan Gan Taijin, agar engkau tidak lagi
 mengganggunya. Kalau engkau berani mengganggunya, maka tentu surat pengakuan itu akan
 diserah-kannya kepada Sri Baginda Kaisar."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 260 Panglima Coan itu menjadi lemas. Kalau tadinya dia masih mengandung ha-rapan kelak akan
 membalas semua ini kepada Gan Seng, kini harapannya itu membuyar seperti asap tertiup
 angin. Dia telah kalah mutlak dan sebagai seorang ahli perang, dia pun tahu bahwa ada waktu
 menang dan ada pula waktu kalah. Dan sekali ini, dia benar-benar kalah dan tidak berdaya.
 Maka, tanpa banyak cakap lagi dia segera mengambil pena bulu dan menuliskan surat
 pengakuan seperti yang dikehendaki Yo Han. Yo Han mendikte dan diturut oleh panglima itu.
 Setelah selesai, Yo Han mengambil surat itu dan membacanya sekali lagi.
 Saya yang bertanda tangan di bawah ini mengaku telah mencuri dua benda pusaka, yaitu cap
 kebesaran dan bende-ra lambang kekuasaan, dari dalam gu-dang pusaka istana. Perbuatan itu
 saya lakukan untuk membalas dendam dan men-celakakan keluarga Gan Seng, karena
 lamaran saya terhadap puterinya telah ditolaknya. Kemudian, karena mengin-safi perbuatan
 saya yang jahat, saya mengembalikan dua buah benda pusaka itu dan berjanji tidak akan
 mengganggu keluarga Gan lagi.
 Tertanda saya, PANGLIMA COAN. Yo Han menggulung surat pengakuan itu dan memasukkannya ke dalam saku jubahnya pula.
 Diam-diam Coan Ciangkun mengepal tinju. Masih ada harapan untuk menebus kesalahannya,
 yaitu dengan menghadang pemuda ini, mengerahkan pasukan dan menangkapnya sebelum
 pemuda itu menyerahkan dua benda pusaka dan surat pengakuannya kepada Gan Seng. Kalau
 pemuda ini dapat ditangkapnya, semua itu dapat dirampasnya kembali, dan dia dapat menebus
 kekalahannya saat itu.
 Akan tetapi, harapan terakhir ini membuyar seperti gantungan terakhir pada sehelai rambut
 yang putus ketika pemuda itu memegang lengan kanannya dan berkata dengan lembut tapi
 nadanya memerintah, "Mari, Ciangkun. Kau antar aku keluar dari gedung ini!"
 Tentu saja hatinya protes karena perintah itu merupakan tanda kekalahan terakhir baginya,
 akan tetapi dia tidak berani membantah dan dengan kepala menunduk, dia melangkah keluar
 dari ruangan itu, pergelangan tangan kanannya digandeng Yo Han, seperti dua orang sahabat
 baik jalan bersama, seolah-olah panglima itu mengantar seorang tamu yang akrab keluar
 meninggalkan rumah-nya! Para prajurit dan pengawal yang tadinya sudah mengepung gedung
 itu, kini hanya melongo saja tidak berani bertindak apa-apa karena komandan me-reka pun
 diam dalam seribu bahasa, ti-dak berani mengeluarkan komando untuk melakukan
 penyergapan! Setelah tiba di pintu gerbang depan, Yo Han berkata kepada panglima itu. "Coan Ciangkun,
 terima kasih atas segala kebaikanmu. Mudah-mudahan saja engkau tidak melakukan
 kekeliruan-kekeliruan selanjutnya. Selamat tinggal!"
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 261 Sekali berkelebat, pemuda itu lenyap ditelan kegelapan malam. Beberapa orang perwiranya
 berloncatan keluar dengan pedang di tangan, hendak melakukan pengejaran. Akan tetapi Coan
 Ciangkun mengangkat tengan kanan ke atas. Dia maklum bahwa pemuda itu terlalu lihai dan
 kalau dia salah langkah lagi, mungkin dia tidak akan tertolong dan surat pengakuannya tadi
 merupakan ujung pe-dang yang sudah ditodongkan, di depan dadanya!
 "Jangan kejar dia! Biarkan pergi, aku telah kalah," katanya dengan lemas dan dia pun
 memasuki gedungnya. Tentu saja anak buahnya tidak berani melanggar pe-rintah ini. Apalagi
 pemuda itu sudah le-nyap dan mereka tidak tahu harus men-cari dan mengejar ke mana.
 Ketika Yo Han menyerahkan dua buah benda pusaka itu bersama surat pengaku-an Coan
 Ciangkun, Gan Seng dan isteri-nya menjadi demikian gembira den ter-haru sehingga kalau
 tidak dicegah oleh Yo Han, mau rasanya mereka menjatuh-kan diri berlutut di depan kaki
 pemuda itu! Yo Han bukan saja telah menyela-matkan Gan Seng, akan tetapi juga selu-ruh
 keluarganya dari malapetaka yang amat besar! Gan Seng merangkulnya dan kedua matanya
 basah, sedangkan isteri-nya sudah menangis saking harunya, di-rangkul puteri mereka, Gan
 Bi Kim, yang juga merasa gembira bukan main.
 "Yo Han, engkau sungguh merupakan bintang penolong dan penyelamat kami sekeluarga.
 Entah bagaimana keluarga kami akan dapat membalas budimu ini, Yo Han."
 "Aih, Paman Gan, kenapa bicara se-perti itu" Saya hanya melaksanakan tu-gas saya,
 memenuhi perintah dan pesan terakhir dari mendiang Suhu. Kalau Pa-man hendak berterima
 kasih, semestinya berterima kasih kepada Suhu Ciu Lam Hok karena saya hanya mewakili
 beliau saja."
 Nenek Ciu Ceng juga segera sembuh seketika ketika mendengar hasil baik yang diperoleh Yo
 Han dalam menyela-matkan keluarga puteranya. Ketika di-beri tahu tentang kematian
 kakaknya, nenek ini menangis dan menuntut kepada puteranya agar malam itu juga diadakan
 sembahyang terhadap arwah kakaknya, mendiang kakek Ciu Lam Hok, yang te-lah mengirim
 muridnya dan menyelamat-kan mereka. Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega untuk
 menceritakan keadaan kakek Ciu Lam Hok yang buntung kedua kaki tangannya itu. Biarlah
 mereka menganggap bahwa suhu hidup sampai saat terakhir dalam keadaan sehat dan
 berbahagia, pikirnya.
 Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mendengar nenek Ciu Ceng yang bersembahyang
 depan meja sembahyang itu menangis lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, seolah-
 olah suhunya masih hidup dan berdiri atau duduk di situ.
 "Hok-ko, kami sekeluarga hutang budi dan nyawa kepada muridmu! Oleh karena itu,
 ijinkanlah kami mempererat ikatan antara muridmu dengan keluarga Gan Seng,
 keponakanmu. Kami mohon perse-tujuanmu agar muridmu dapat menjadi jodoh cucuku Gan
 Bi Kim." Tentu saja Yo Han terkejut bukan main. Dia tidak dapat mengeluarkan kata apa pun dan dia
 lalu diam-diam menyingkir dari ruangan itu, menuju ke kamar yang sudah dipersiapkan untuk
 dia bermalam di rumah keluarga Gan itu. Dia tidak tahu bahwa gadis cantik itu pun menjadi
 merah sekali wajahnya dan seperti juga dia, Bi Kim cepat lari memasuki kamarnya.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 262 Malam itu Yo Han tidak dapat tidur pulas. Gelisah dia memikirkan ucapan nenek Ciu Ceng.
 Ucapan itu seperti terdengar terus bergema di dalam telinganya. Dia akan di jodohkan dengan
 Bi Kim! Terjadi semacam pertempuran di dalam hatinya. Ada suara-suara yang seolah memaksanya
 untuk membayangkan kasenangan-kesenangan yang akan dinikmatinya kalau dia menjadi
 suami Bi Kim. Dia seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan tidak punya apa-apa,
 menda-dak akan menjadi suami seorang gadis puteri bangsawan! Bi Kim seorang gadis yang
 cantik jelita, berdarah bangsawan dan kaya raya. Kalau dia menjadi suaminya, maka sekaligus
 derajatnya akan terangkat naik tinggi sekali! Dia akan mempunyai seorang isteri yang cantik
 jelita, dari keluarga bangsawan yang terhormat dan menurut penglihatannya baik budi. Dia
 akan menjadi seorang yang dimuliakan, dihormati dan kaya raya. Bahkan besar kemungkinan
 dia akan mendapatkan kedudukan yang tinggi. Dan yang lebih dari semua itu, Bi Kim adalah
 cucu keponakan mendiang suhunya! Mau apalagi" Belum tentu selama hidupnya dia akan
 mendapat kesempatan sebaik itu, menerima anugerah sebesar itu. De-mikian bisikan di dalam
 hatinya yang menonjolkan segi-segi yang akan menda-tangkan kesenangan bagi hidupnya.
 Akan tetapi, ada suara lain yang me-nentangnya. Suara ini menonjolkan hal-hal yang
 sebaliknya. Mengingatkan dia bahwa kalau dia menerima perjodoh-an itu, dia akan
 kehilangan kebebasannya. Dia akan terikat di situ. Dan tiba-tiba saja bayangan seorang anak
 perempuan yang mungil dan berpakaian merah mun-cul delam benaknya. Sian Li! Bayangan
 anak ini selalu saja muncul setiap kali harinya mengalami guncangan atau dalam keadaan
 kesepian atau gelisah seperti sekarang ini. Sian Li yang manis, yang mungil, yang lincah
 jenaka, yang amat sayang kepadanya dan amat disayangnya! Dia ingin bertemu kembali
 dengan Sian Li! Dan kalau dia menjadi mantu keluar-ga Gan di kota raja, dia terpaksa harus
 tinggal di situ, padahal dia masih harus melaksanakan tugas lain yang dipesan suhunya, yaitu
 mencari mutiara hitam pusaka milik gurunya yang hilang dan kabarnya dibawa seorang
 kepala suku bangsa Miao! Ah, inilah yang dapat dia jadikan alasan! Mendapatkan jalan untuk
 dipergunakan sebagai alasan penolakannya hatinya tenang dan dia pun dapat tidur pulas
 menjelang pagi.
 Dia hanya tidur selama dua jam saja karena pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika
 terdengar kokok ayam jan-tan, dia sudah bangun kembali. Tubuhnya terasa segar. Jauh lebih
 menyehatkan tidur selama dua jam dengan pulas dari-pada tidur semalam suntuk dalam
 keada-an gelisah. Dia segera mandi karena dalam gedung besar itu selalu tersedia air
 secukupnya di kamar mandi. Tubuhnya makin nyaman dan dia pun berganti pakaian dan
 melihat bahwa rumah itu masih sunyi, agaknya penghuninya masih tidur, dia pun keluar
 melalui pintu belakang menuju ke taman bunga yang berada di belakang. Agaknya, setiap
 ru-mah gedung seorang bangsawan atau hartawan pasti mempunyai sebuah taman bunga yang
 indah. Taman bunga milik keluarga Gan itu pun luas dan indah sekali, terdapat kolam ikan
 yang lebar dan anak sungai buatan yang selalu mengalirkan air yang jernih. Ada beberapa
 buah jembatan yang cantik sekali, dibuat de-ngan seni indah dan dicat merah kuning. Ada
 pondok kecil tempat borteduh kalau hawa sedang panas.
 Yo Han mengagumi keindahan taman itu dan karena pada waktu itu musim bunga sedang
 mulai, maka sebagian besar tanaman di situ mulai berkuncup dan berbunga. Bahkan teratai
 merah dan putih di kolam ujung juga mekar meriah.
 Tiba-tiba Yo Han terkejut dari la-munannya ketika dia melihat seorang wanita berdiri di
 dekat kolam bunga teratai, membelakanginya. Tadi dia tidak melihatnya karena serumpun
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 263 mawar me-nutupinya dan sekarang dia melihatnya, akan tetapi sudah terlampau dekat dan
 selagi dia hendak cepat membalikkan tubuh pergi dari situ, orang itu sudah membalikkan
 tubuh memandangnya dan menegur.
 "Yo-twako (Kakak Yo)...."
 Yo Han merasa serba salah. Hendak pergi dapat menimbulkan kesan tidak ramah dan
 sombong, kalau tinggal di situ dapat dianggap kurang sopan karena bertemu dengan gadis
 puteri tuan rumah di pagi buta dalam taman. Apalagi me-ngingat bahwa semalam, nenek
 gadis itu menjodohkan dia dengan Bi Kim. Dia cepat merangkap kedua tangan depan dada
 dan membungkuk untuk memberi hormat.
 "Kim-moi (Adik Kim), selamat pagi! Aku tidak tahu bahwa engkau berada di sini, maafkan
 aku kalau mengganggu ketenanganmu."
 Wajah gadis itu berubah kemerahan dan ia menahan senyumnya sambil memandang dari
 bawah dengan kepala menunduk. Kerling matanya sungguh amat menarik, kerling sopan dan
 malu-malu. "Ah, Yo-toako kenapa bersikap amat sungkan" Tentu saja tidak mengganggu.
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi, kulihat sepagi ini engkau sudah bangun, sudah mandi dan berpakaian rapi!"
 "Benar, Kim-moi, karena aku hanya menanti sampai orang tuamu dan nenek-mu bangun
 untuk berpamit dari mereka."
 Bi Kim mengangkat muka den mena-tap wajah Yo Han sepenuhnya dengan mata terbelalak.
 Diam-diam Yo Han ter-pesona. Mata itu demikian indahnya keti-ka terbelalak. Seperti
 lukisan! Nampak betapa sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu agak terangkat
 menjauhi mata betapa bulu mata yang halus lebat itu bergerak-gerak menimbulkan bayang-
 bayang gelap di sekitar mata, dan biji mata itu nampak lebih lebar dari biasa-nya, begitu
 bening dan lembut, mengkilat basah.
 "Toako.... kau.... kau mau berpamit" Mau pergi....?"
 Sejenak dua pasang mata bertemu dan mata yang terbelalak itu akhirnya menunduk kembali,
 terbawa muka yang ditundukkan. Dalam suara itu terkandung getaran seperti orang yang
 menangis sehingga Yo Han menjadi terheran-heran. Dia menganggukkan muka dan kalau
 ga-dis itu masih memandangnya, tentu dia tidak akan mengeluarkan suara, cukup dengan
 mengangguk saja. Akan tetapi karena gadis itu menunduk dan tidak memandangnya, tentu
 saja anggukan ke-palanya sebagai jawaban itu tidak akan terlihat, dan sikap gadis itu jelas
 menun-tut jawaban.
 "Benar, Kim-moi. Aku akan pergi me-lanjutkan perjalananku," katanya lirih dan singkat.
 Gadis itu mengangkat mukanya dan Yo Han merasa semakin heran. Gadis itu jelas menangis,
 atau setidaknya ber-linang air mata! Sungguh aneh!
 "Akan tetapi, semalam nenek...." Tiba-tiba ia menghentikan ucapannya dan me-nunduk
 makin dalam, agaknya baru ter-ingat bahwa ia telah mengeluarkan ucapan yang sama sekali
 tidak pantas. Ia tidak sengaja berkata demikian. Ucapan neneknya semalam yang
 menjodohkan ia dengan pemuda ini terngiang di telinganya sepanjang malam, membuat ia
 tidak dapat tidur dan pagi-pagi ini ia keluar ke taman dengan suara neneknya masih terus
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 264 mengiang di telinganya. Oleh karena itulah, tanpa disadari dan tanpa di-sengaja, perasaannya
 itu terucapkan oleh mulutnya dan biarpun ditahannya, namun ia telah menyebut neneknya dan
 tentu pemuda itu dapat mengerti. Betapa me-malukan!
 Memang Yo Han mengerti dan dia pun tertegun. Kiranya seperti juga dia, usul nenek Ciu
 Ceng itu membuat gadis ini menjadi gelisah!
 "Maksudmu, pernyataan nenek Ciu Ceng tentang.... perjodohan itu, Kim-moi"
 Mendengar betapa ucapan pemuda itu terdengar wajar dan santai, perlahan-lahan
 kecanggungan yang dirasakan gadis itu pun berkurang dan ia berani meng-angkat muka
 memandang wajah Yo Han.
 Bi Kim mengangguk dan bertanya lirih, "Bagaimana pendapatmu tentang usul nenek itu?"
 Hemm, gadis ini cukup tabah, pikir Yo Han. Dan dia merasa girang sekali.
 Memang jauh lebih baik membicarakan urusan ini dengan hati terbuka, daripada harus
 menyimpannya dalam hati dan menjedi ganjalan kelak. Dia tahu bahwa Bi Kim adalah
 seorang gadis terpelajar dan mampu berpikir jauh dan berpan-dangan luas, tidak sempit
 seperti gadis--gadis yang tiada pendidikan yang baik.
 "Nanti dulu, Kim-taoi. Karena usul itu datang dari pihak keluargamu, maka aku ingin sekali
 mendengar dulu bagai-mana pendapatmu dengan pertanyaan nenek itu. Lebih baik kita bicara
 dengan terus terang, karena hal ini menyangkut kehidupan kita berdua di masa mendatang.
 Nah, katakan bagaimana pendapat-mu?"
 Kembali wajah gadis itu memerah. Biarpun dia bukan gadis dusun dan ber-pendidikan,
 namun bicara tentang urusan perjodohan tentu saja membuat ia mera-sa kikuk dan malu. Ia
 kembali menunduk dan suaranya terdengar gemetar dan canggung, juga lirih.
 "Apa yang dapat kukatakan, Toako" Engkau telah menyelamatkan keluarga kami, kalau tidak
 ada bantuanmu, tentu Ayahku dihukum dan kami yang menjadi keluarganya juga tidak akan
 lolos dari hukuman. Lebih lagi, kalau tidak ada engkau yang menundukkan panglima jahanam
 itu, dia tentu akan terus merong-rong dan menggangguku. Kini kami bebas dan merasa lega.
 Semua ini karena pertolonganmu. Tentu saja aku.... aku.... ah, bagaimana aku akan dapat
 menolak" Aku.... eh setuju sekali."
 Yo Han mengerutkan alisnya. Dia mengerti akan isi hati gadis itu. Tidak hanya karena ingin
 balas budi! Memang gadis itu agaknya suka kepadanya. Hal ini mudah diketahuinya dari
 pandang matanya dan sikapnya, dan jantungnya sendiri berdebar tegang. Betapa akan
 senangnya disayang oleh seorang gadis secantik jelita Bi Kim!
 Akan tetapi, kembali wajah seorang anak perempuan berpakaian merah mun-cul di benaknya,
 mengusir bayangan me-nyenangkan dari Bi Kim, wajah Sian Li! Dan teringatlah dia akan
 tugasnya yang penting, yaitu mencari mutiara hitam gurunya. Maka, dia pun diam saja,
 ter-mangu-mangu dan tidak tahu harus bicara apa.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 265 Karena pemuda itu tidak menanggapi pengakuannya tadi, Bi Kim memberanikan diri
 melawan rasa canggung dan malu, mengangat muka memandang. Ia melihat pemuda itu
 bengong saja, maka ia pun balik bertanya.
 "Bagaimana dengan pendapatmu sendiri, Yo-toako?" suaranya terdengar penuh harap,
 matanya bersinar-sinar, mulutnya membayangkan senyum dikulum. Mulut gadis itu memang
 hebat, begitu penuh daya tarik, menggairahkan dan menantang.
 "Aku...." Eh, pendapatku" Ah, bagimana, ya" Kim-moi, pemuda mana yang tidak akan
 bangga hati dan merasa bahagia sekali menjadi jodohmu" Engkau seorang gadis bangsawan
 yang cantik jelita dan orang tuamu berkedudukan tinggi, bangsawan dan hartawan. Di
 samping kecantikanmu, engkau pun berpendidikan dan berbudi baik sekali. Apalagi yang
 dikehendaki seorang pemuda dari seorang gadis" Sebaliknya, aku hanya seorang pemuda
 yatim piatu yapg tidak mempunyai apa-apa, tidak berpendidikan, bodoh dan miskin. Aku
 bagaikan seekor burung gagak di samping engkau seperti burung dewata! Bagaimana aku
 berani menjajarkan diriku yang hina dan papa ini dengan dirimu yang begitu mulia dan
 anggun?" "Yo-toako!" Bi Kim berseru penuh penasaran dan alisnya yang hitam kecil panjang
 melengkung itu berkerut. "Jangan engkau merendahkan diri seperti itu! Orang boleh rendah
 hati, itu baik sekali. Akan tetapi rendah diri" Tidak ada gu-nanya, Toako. Apalagi kenyataan
 menun-jukkan bahwa engkau seorang pemuda yang amat lihai, berilmu tinggi dan di
 dekatmu, orang akan merasa aman ten-teram, tidak takut menghadapi ancaman apapun juga.
 Dibandingken dengan engkau, aku seorang gadis yang lemah sekali dan sama sekali tidak
 berdaya menghadapi kejahatan yang merajalela di dunia ini. Aku hanya bertanya tentang
 pendapatmu, bukan keadaan dirimu yang kaurendahkan seperti itu, Toako"
 Yo Han tersenyum. Tepat dugaannya. Gadis ini memang pandai dan cerdik, pandai bicara.
 "Maafkan aku, Kim-moi. Aku bukan merendahkan diri, melainkan menyatakan pendapatku
 berdasarkan ke-nyataan. Akan tetapi bukan keadaan itu yang membuat aku terpaksa tidak
 berani menerima usul nenekmu, melainkan kare-na aku masih harus melaksanakan tugas yang
 dipesankan mendiang Suhu kepadaku yaitu mencari sebuah benda pusaka milik Suhu yang
 hilang dicuri orang."
 Gadis itu nampak kecewa, akan teta-pi menutupi perasaannya dengan bertanya serius.
 "Pusaka apakah yang hilang itu, Toako?"
 "Sebuah benda pusaka milik Suhu yang disebut mutiara hitam, kabarnya kini be-rada di
 tangan seorang kepala suku bangsa Miao. Karena itu, tugas ini harus kulaksanakan dulu
 sampai berhasil."
 "Dan kalau engkau sudah berhasil de-ngan tugas itu?" Bi Kim mengejar.
 "Kalau sudah berhasil.... bagaimana nanti saja. Kelak masih banyak waktu untuk bicara
 tentang urusan pribadi, Kim-moi. Bukankah jodoh berada di ta-ngan Tuhan" Kalau Tuhan
 menghendaki, agar kita.... berjodoh, pasti hal itu akan terjadi. Sebaliknya, kalau Tuhan tidak
 menghendaki, direncanakan pun akan gagal. Karena itu, terus terang saja, se-belum aku
 selesai menunaikan tugas dari mendiang Suhu, aku tidak akan memikir-kan soal perjodohan.
 Maaf, Kim-moi," katanya cepat menutup ucapannya dengan permintaan maaf karena dia tidak
 ingin menyinggung perasaan gadis itu. Apalagi melihat wajah gadis itu berubah agak muram.
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 266 Sampai lama keduanya tidak bicara, kemudian gadis itu membalikkan tubuh-nya
 membelakangi Yo Han dan terdengar suaranya lirih, "Seorang laki-laki akan mudah bicara
 seperti itu, Toako. Akan tetapi bagaimana mungkin seorang pe-rempuan berpendapat seperti
 itu" Kalau belum ada ikatan dengan seseorang, ma-ka setiap saat orang tua akan menjodohkan
 seorang gadis dengan pria mana saja yang dianggap baik dan cocok. Dan eng-kau tentu tahu,
 sebagai seorang anak yang berbakti, tidak mungkin aku dapat menolaknya. Berbeda halnya
 kalau seorang gadis sudah terikat, biarpun menan-ti sampai beberapa tahun pun tidak ada
 halangannya...."
 Yo Han merasa betapa jantungnya berdebar keras. Ucapan dari gadis ini saja sudah
 mengandung arti pengakuan bahwa gadis itu menginginkan mereka terikat! Ini berarti bahwa
 gadis ini mengharapkan menjadi calon jodohnya, bahwa gadis ini menaruh harapan
 kepa-danya dan cinta padanya! Yo Han merasa kasihan. Tidak boleh dia menyia-nyiakan
 harapan seorang gadis sebaik ini, tidak boleh menghancurkan hatinya. Dia harus dapat
 mencari alasan yang lebih tepat. Dan teringatlah dia akan Sian Li, akan ayah ibu anak itu,
 yaitu suhu dan subo-nya, guru-gurunya yang pertama sejak dia kecil sampai dia berusia dua
 belas tahun! Bukankah suhu dan subonya itu dahulu juga amat sayang kepadanya, bah-kan
 menganggapnya seperti anak mereka sendiri" Sudah lama, sejak menjadi murid Kakek Ciu
 Lam Hok, dia menyadari sikap suhu dan subonya yang tidak ingin meli-hat Sian Li ketularan
 sikapnya yang dulu sama sekali tidak suka belajar ilmu silat. Dia dapat merasakan
 kekhawatiran kedua orang suami isteri pendeker itu yang tentu saja prihatin sekali melihat
 murid mereka tidak mau belajar silat, dan me-lihat murid mereka tidak mau belajar silat, dan
 melihat betapa mungkin saja Sian Li juga mengikuti jejaknya, tidak mau belajar silat. Karena
 pengertian ini, sudah lama dia tidak pernah merasa ke-cewa atau menyesal. Dia meninggalkan
 suhu dan subonya itu bukan karena tidak suka, melainkan karena tidak ingin menyusahkan
 mereka, tidak ingin mengece-wakan mereka kerena Sian Li mencontoh dia, tidak suka belajar
 ilmu silat. "Adik Bi Kim. Aku mengerti perasa-anmu. Dan ketahuilah bahwa aku akan berbohong kalau
 tidak mengatakan bahwa setiap orang pemuda akan berbahagia sekali menjadi calon jodohmu.
 Akan te-tapi untuk aku sendiri, aku tidak berani memutuskan, karena aku harus bertanya
 kepada mereka yang berhak menentukan. Aku pun ingin seperti engkau, menjadi seorang
 yang berbakti...."
 "Yo-toako! Bukankah kau pernah me-ngatakan bahwa engkau yatim piatu, tidak mempunyai
 ayah dan ibu lagi" Dan gurumu, yaitu kakak dari Nenek juga sudah meninggal dunia, lalu
 siapa lagi yang berhak menentukan?"
 "Belum kuceritakan semua tentang riwayatku kepadamu, Kim-moi. Sebelum menjadi murid
 mendiang Kakek Ciu Lam Hok, aku telah mempunyai guru-guru yaitu sepasang suami isteri
 yang bukan saja mendidikku, akan tetapi juga mera-watku sejak aku kecil ditinggalkan orang
 tuaku. Merekalah yang membesarkan aku, sejak aku berusia tujuh tahun ditinggal oleh ayah
 ibuku, sampai aku berusia dua belas tahun. Lima tahun aku seolah-olah menjadi anak mereka
 sendiri dan aku telah menerima budi yang berlimpah dari mereka. Oleh karena itu, sudah
 sepatut-nyalah kalau aku menganggap mereka sebegai pengganti orang tuaku dan
 me-nyerahkan kepada mereka untuk urusan perjodohanku. Nah, sekarang sudah kau ketahui
 semua, Kim-moi. Aku mohon diri, hari ini aku akan melanjutkan perjalanan mencari pusaka
 mendiang Guruku. Sela-mat tinggal dan semoga kelak kita dapat bertemu kembali."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 267 "Selamat jalan, Toako." Gadis itu ce-pat membalikkan tubuh dan pergi me-ninggalkan Yo
 Han, akan tetapi pemuda itu masih sempat melihat tangisnya.
 Yo Han lalu berpamit kepada Nenek Ciu Ceng, Gan Seng dan isterinya. Gan Seng dan
 isterinya menyambut dengan ramah dan berterima kasih, akan tetapi Nenek Ciu Ceng tanpa
 sungkan lagi ber-tanya, "Yo Han, engkau murid kakakku yang baik. Sebelum engkau pergi,
 engkau harus lebih dulu menyatakan kesediaanmu menerima permintaan kami."
 Berdebar rasa jantung dalam dada Yo ,Han. Tadinya dia mengira bahwa nenek itu lupa akan
 ucapannya ketika bersem-bahyang di depan meja sembahyang untuk gurunya. Kiranya pada
 saat ini, nenek itu mengajukan desakan yang membuat dia merasa serba salah. Dia melirik
 ke-pada Bi Kim yang berdiri di sudut sam-bil menundukkan mukanya, karena baik dia dan
 gadis itu tahu apa yang dimak-sudkan oleh nenek itu. Akan tetapi, un-tuk memberi
 kesempatan baginya mene-nangkan hatinya yang terguncang karena tegang dia berkata,
 "Permintaan apakah yang Nenek mak-sudkan?"
 "Apalagi, Yo Han" Engkau telah me-nyelamatkan keluarga kami, dan kami tidak berani
 minta apa-apa lagi. Hanya satu, yaitu kami harap engkau suka me-nerima cucuku Bi Kim
 menjadi jodoh-mu...."
 "Nenek....!" Bi Kim terisak dan lari ke dalam kamarnya. Melihat ulah gadis itu, Nenek Ciu
 Ceng terkekeh. "Heh-heh-heh, malu-malu berarti mau. Bagaimana, Yo Han" Engkau harus
 memberi keputus-an dulu agar hati kami merasa lega."
 Melihat pemuda itu termenung, Gan Seng yang merasa tidak enak melihat ibunya seperti
 mendesak dan memaksa, lalu berkata dengan suara lembut. "Yo Han, tentu saja kami tidak
 memaksamu. Kami akan merasa berbahagia sekali kalau engkau suka menerima anak kami
 sebagai calon isterimu, akan tetapi an-daikata engkau tidak suka, kami pun tidak dapat
 memaksamu."
 Justeru ucapan yang lembut dari pembesar ini lebih berat rasanya bagi Yo Han. Bagaimana
 mungkin dia mengatakan tidak suka dan menolaknya" Dia cepat memberi hormat kepada tiga
 orang itu. "Nenek, Paman dan Bibi yang baik, harap maafkan saya. Sungguh saya tidak akan berani
 menolak, bahkan merasa ter-haru dan berterima kasih sekali atas kebaikan penghargaan Sam-
 wi (Anda Ber-tiga) yang sudi mencalonkan saya yang yatim piatu dan papa ini sebagai
 anggau-ta keluarga. Akan tetapi maaf, saya belum dapat memberi keputusan sekerang.
 Pertama, saya harus menyelesaikan tugas yang diberikan mendiang Suhu, yaitu menemukan
 kembali pusaka milik Suhu yang dicuri orang. Ke dua, mengenai perjodohan, saya harus
 menyerahkannya kepada Suhu dan Subo saya yang pertama yang telah menjadi seperti
 pengganti orang tua saya sebelum saya berguru kepada mendiang Suhu Ciu Lam Hok."
 "Baiklah, Yo Han," kata Gan-taijin (Pembesar Gan) mendahului agar ibunya tidak sempat
 mengeluarkan ucapan yang sifatnya memaksa atau menyudutkan pemuda itu. "Kami
 sekeluarga akan me-nanti berita darimu setelah engkau dapat membuat keputusan."
 "Terima kasih, Paman. Sekarang saya mohon diri untuk melanjutkan perjalanan saya."
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 268 Setelah memberi hormat lagi, Yo Han lalu melangkah keluar. Akan tetapi ter-dengar suara
 nenek Ciu Ceng, "Ingat, Yo Han. Kami sudah menganggapmu se-bagai calon suami cucuku
 Bi Kim. Kami akan menolak pinangan dari manapun juga datangnya dan menunggumu!"
 Gan Seng dan isterinya tidak sempat mencegah dan ucapan itu berkesan dalam sekali di hati
 Yo Han. Mereka sudah menganggap dia tunangan Bi Kim dan ini berarti bahwa gadis itu
 tidak bebas lagi! Dia ingin membantah, akan tetapi merasa tidak enak, maka merasa lebih
 aman tidak menjawab dan melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan rumah keluarga
 pembesar tinggi itu.
 Setelah Yo Han pergi, sampai dua hari lamanya Gan Bi Kim tidak mening-galkan kamarnya.
 Ia merasa semangatnya melayang ikut pergi bersama pemuda yang dikaguminya dan yang
 telah menja-tuhkan cinta hatinya itu. Ia merasa ke-hilangan, apalagi karena jawaban pemuda
 itu membuat ia tidak yakin akan perjo-dohannya dengan pemuda itu.
 Setelah dapat menenteramkan hatinya, ia lalu menghadap ayahnya dan merengek agar ia
 dicarikan guru-guru silat yang pandai karena ia ingin belajar ilmu silat.
 "Ah, engkau ini aneh-aneh saja, A-kim," kata ayahnya sambil mengerutkan alisnya. "Engkau
 seorang puteri bangsa-wan, engkau sudah mempelajari semua ilmu kepandaian yang
 sepatutnya dimiliki seorang puteri. Apalagi yang hendak kau-pelajari" Apalagi dari seorang
 guru silat" Ilmu silat hanya akan membuat telapak tanganmu yang halus menjadi kasar,
 tu-buhmu yang lembut menjadi kaku!"
 "Ayah, lupakah Ayah akan malapetaka yang baru saja menimpa keluarga kita" Semua itu
 terjadi karena kita lemah! Untung ada Han-ko datang menolong. Andaikata tidak, bagaimana"
 Coba andai-kata aku pandai ilmu silat, tentu sudah kuhajar Coan-ciangkun yang jahat itu.
 Ayah, kalau aku pandai ilmu silat, seti-daknya aku akan dapat menjaga keaman-an keluarga
 kita." "A-kim," kata ibunya membujuk. "Aku ingin anakku menjadi seorang wanita yang halus
 lembut dan bijaksana, bukan menjadi tokoh rimba persilatan yang kaku dan kasar!"
 "Tapi Ibu agaknya lupa bahwa Koko Yo Han juga seorang tokoh rimba persi-latan, seorang
 pendekar yang memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Bagaimana kalau aku di jodohkan
 dengan dia aku lalu sama sekali tidak tahu ilmu silat, bahkan hanya seorang gadis yang amat
 lemah" Ingatlah, Ayah. Bukankah Uwa kakek Ciu Lam Hok adalah seorang sakti" Masa aku
 sebagai cucu keponakannya tidak me-ngerti ilmu silat" Ayah, carikan guru si-lat yang lihai
 untukku!" Alasan-alasan yang dikemukakan pu-teri mereka yang setiap hari merengek itu akhirnya
 menggerakkan hati Gan Seng. Sebagai seorang pejabat tinggi yang de-kat dengan istana, Gan-
 taijin mengenal para jagoan istana yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia lalu menghubungi para
 jagoan itu dan mulai hari itu, Gan Bi Kim belajar ilmu silat dan ternyata ga-dis ini memiliki
 bakat yang baik disam-ping ketekunan yang luar biasa. Ketekun-an itu timbul setelah keluarga
 tertimpa malapetaka, setelah dara ini bertemu dengan Yo Han yang memiliki ilmu kepandaian
 tinggi. Dengan bayaran tinggi yang dapat di-penuhi oleh Gan Seng, guru-guru silat jagoan istana itu
 bertambah gembira melihat betapa gadis puteri bangsawan itu ternyata memiliki bakat yang
 Kisah si bangau Merah > karya Kho Ping Hoo > file google dokumen ini koleksi dari Saiful Bahri ....situbondo seletreng
 269 amat baik dan dapat menjadi murid yang akan menambah tinggi derajat mereka. Bahkan
 banyak jagoan istana seperti berlumba untuk mengajarkan ilmu-ilmu mereka kepada gadis
 bangsawan yang berbakat dan amat rajin ini.
 *** file google dokumen ini published by Saiful Bahri ....situbondo seletreng***
 Bangau Merah terbang di angkasa
 disengat terik matahari senja
 betapa ingin aku menjadi awan
 untuk melindunginya,
 dari sengatan! Bangau Merah melayang di angkasa
 hujan lebat datang menimpanya
 

Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

betapa ingin aku menjadi guha
 tempat berteduh bangau jelita!
 Bangau Merah meluncur di angkasa
 letih dan lapar datang menggoda
 betapa ingin aku menjadi ranting
 berbuah tempat ia istirahat
 dengan makanan berlimpah
 Bangau Merah...."
 "Heiiii! Engkau sedang mengapa di situ, Suheng" Dari tadi kudengar menye-but-nyebut
 nama samaranku. Engkau dari tadi menyebut Bangau Merah!" Gadis itu muncul dan memang
 ia berpakaian serba merah dengan garis-garis kuning dan biru. Pakaian itu ringkas, sederhana
 bentuknya akan tetapi terbuat dari sutera merah yang membuat penampilannya cerah dan
 wajahnya nampak lebih manis, kulitnya menjadi semakin mulus. Ia seorang gadis berusia
 tujuh belas tahun, baru manis-manisnya, bagaikan bunga mulai mekar dan bagaikan buah
 sedang meranum. Da-ra ini memang cantik jelita, dengan wa-jah yang berbentuk bulat telur,
 matanya lebar dan jeli, hidungnya mancung dengan ujung menantang, mulutnya yang kecil
 dengan bibir tipis lembut yang selalu kemerahan tanda sehat itu selalu terse-nyum mengejek
 sehingga sering kali le-sung kedua pipinya nampak memikat. Memang sejak kecil ia disebut
 Bangau Merah karena ia suka sekali memakai pakaian berwarna kemerahan dan ia pu-teri
 tunggal Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang amat terkenal itu. Kalau ayahnya hampir
 Kisah si bangau Merah >
 
^