Seruling Samber Nyawa 10

Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bagian 10


a manusia yang berwajah pucat pias rambutnya awut-awutan
matanya mendelik banyak putih dari hitamnya, giginya
prongos, bibirnya monyong sehingga dua baris giginya yang
putih mengkilap itu terlihat jelas.
Di alam pegunungan yang sepi dalam kelenteng bobrok
tanpa penghuni, disaat hujan lebat ditengah malam gelap ini,
pertunjukan apa yang dilihatnya ini betul betul mengejutkan
dan menakutkan sekali, Betapa-pun tinggi lwekang Giok-liong
tak urung ia merasa merinding dan mengkirik juga seluruh
tubuhnya menjadi dingin dan basah oleh keringat.
Akhirnya tak tahan lagi ia melompat bangun sambil
menubruk maju, kedua tangannya diulur untuk
mencengkeram sambil mulutnya membentak : "Setan macam
apa kau ini !" Begitu sebat gerakan Giok liong, namun belum lagi
tangannya sampai, "Brak" tiba-tiba papan batu itu ditarik balik
tepat menutup diatas lubang persegi tadi keruan Giok-liong
menangkap tempat kosong. Giok-liong menjadi penasaran sambil berjongkok ia coba
mengungkit papan batu itu, namun begini rata dan dan halus
tanpa sedikit lubangpun sehingga tangannya tak kuasa
mengangkatnya keluar. Saking gemes ia bmgkit dan menginjak dengan keras tapi
papan batu itu demikian keras sedikitpun tak bergerak, hanya
suaranya saja yang terdengar mendengung dibawah sana,
terang dibawahnya adalah lubang kosong, tapi apa iagi yang
dapat diperbuat. "Wut" sekonyong-konyong sebuah benda warna putih lebar
melayang masuk dari luar pintu langsung menungkrup keatas
badan Giok-liong. "Celaka" Giok-liong berseru kejut, gesit sekali kakinya
menggeser kedudukan tahu-tahu tubuhnya sudah melesat
tujuh kaki ke samping, sebelum tahu benda apa yang
menyerangnya ia tak berani sembarangan menyentuh.
Tidak tahu benda putih besar itu dengan ringan sekali
melayang jatuh ketanah tanpa mengeluarkan suara. Baru
sekarang Giok liong mengelus dada lega, tapi juga dongkol
dan malu. Kiranya itulah mantel luarnya yang hilang tadi, kini sudah
menjadi kering dan dilempit dengan rapi sekali, Orang itu
menggunakan Tay~lik ciu-hoat melemparkan ke dalam biara.
Menurat gelagat yang dihadapi ini Giok-liong menjadi serba
aneh, tak tahu lawan atau kawankah orang yang
mempermainkan dirinya ini. Tapi betapapun Giok-liong menjadi penasaran dan dongkol.
Sebab secara terang-terangan telah dimainkan, ini
menunjukkan ketidak becusan dirinya, juga menunjukkan
betapa tinggi kepandaian silat orang tersembunyi itu, bukan
melulu karena gerak geriknya yang serba misterius saja.
Kejadian yang beruntun ini betul-betul memusingkan
kepala. menghidangkan makanan, mengeringkan mantelnya
ini boleh dikata merupakan penghormatan yang sangat
perhatian terhadap dirinya. Hal inilah yang menjadikan Giokliong
sukar mengumbar kedongkolan hatinya, walaupun
perbuatan orang ini seakan mempermainkan dirinya, tapi ia
tak berhasil menemukan orang yang main guyon guyon
dengan dirinya dengan sendirinya ia menjadi uring-uringan
sendiri. Waktu itu, hujan sudah mulai mereda dan tak lama
kemudian udara menjadi cerah. Sinar bulan purnama
menembus masuk melalui celah celah lubang atap yang sudah
ambrol langsung menyinari kedalam ruang sembahyang
tengah ini. Kini Giok-liong memperoleh akal, terlebih dulu dipakainya
mantel putihnya, lalu dari tangan patung pemujaan ia lolos
keluar senjata tombak yang sudah berkarat itu, dengan
langkah lebar ia menuju kearah lubang tadi, dengan tepat ia
incar batu papan tadi lalu mencongkel dengan sekuat tenaga.
Saking bernafsu dan besar tenaga yang dikerahkan batu
papan ita sampai mencelat tinggi dan jatuh gedebukan sejauh
setombak lebih Kini diatas lantai terlihat sebuah lubang
sebesar tiga kaki persegi. Didalam sana hitam pekat, tak kelihatan ada undakan atau
tangga, waktu melongok kebawah keadaan begitu gelap
sampai lima jari sendiri juga tidak kelihatan Tapi berkat
kepandaian tinggi Giok liong tidak takut sedikitpun, terlebih
dulu ia sodorkan tombak ditangannya kedalam lalu ia sendiri
juga lantas melompat turun kedalam.
Badannya terasa sekian lama meluncur turun tak mencapai
ujung pangkal. Tiba-tiba kakinya terasa menginjak tempat
empuk dan panas. seketika percikan api beterbangan disertai
abu mengepul mengotori seluruh tubuhnya.
Ternyata tepat sekali ia jatuh diatas gundukan bara api
yang belum padam, keruan Giok-liong mencak-mencak
kepanasan sehingga seluruh tubuh semakin kotor oleh abu.
Lubang goa ini tidak besar, kira-kira tiga tombak luasnya
berbentuk bundar, Di-ujung sebelah sana terlihatlah muka
pucat pias dengan rambut awut-awutan, di atas kepala yang
menongol keluar lubang tadi, mulutnya yang prongos itu
memperlihatkan giginya yang berbaris rapi sangat
menakutkan. "Kunyuk, malu setan menjadi dedemit apa segala, lekas
keluar!" demikian dengan berang Giok liong membentak dua
kali, tapi tanpa mendapat penyahutan, muka itu tetap tertawa
tidak tertawa menyeringai giginya yang memutih itu.
Amarah Giok liong semakin memuncak, sekali loncat ia
melejit maju lebih dekat terus mengulur tangan
mencengkram, mulutnya tidak tinggal diam membentak:
"Disuguh arak kehormatan tidak mau malah minta digebuk !"
"Heh!" Kata-katanya diakhiri dengan seruan kejut, kiranya yang
dihadapi bukan manusia melainkan sebatang dahan pohon
yang digantungi kedok muka yang menakutkan itu.
Goa ini lengkap terpenuhi segala perbekalan untuk makan
minum, tapi dari jumlahnya dapat diperkirakan bahwa tempat
ini bukan tempat tinggal abadi, mungkin hanya tempat
persembunyian darurat belaka. Terbukti dari bau apek yang masib merangsang hidung
memualkan, pelan-pelan diambilnya sebatang dahan sebagai
obor untuk meneliti keadaan sekitarnya. Disebelah kanan sana
ada jalan keluar yang menyelusuri sebuah lorong panjang,
pelan-pelan ia menggeremet maju. Semakin jauh tanah dibawah kakinya terasa semakin basah
lembab, tanahnya juga semakin menanjak keatas.
Kira-kira tujuh tombak kemudian ia sudah sampai pada
ujung gua, disebelah atas terlihat sebuah lubang bundar dan
terlihatlah langit yang biru kelam ditaburi bintang-bintang
yang kelap kelip, tinggi lubang gua itu ada lima tombak,
terlebih dulu Giok-liong lontarkan tombak ditangannya keatas
untuk menghindari pembokongan orang diluar, setelah
didengarkan seksama tiada suara apa-apa baru ia melompat
naik, keluar dari lubang gua yang lain. MuIut dari lubang gua
ini adalah sebuah sumur kering yang terletak di belakang biara
bobrok itu. Beribu berlaksa bintang berkelap-kelip diangkasa raya,
udara keras angin menghembus sepoi menyegarkan badan
membangkitkan semangat semalam suntuk Giokliong tidak
tidur barang sebentarpun meskipun tidak ngantuk tapi rada
penat juga. Bayang-bayang pohon bergerak terdengarlah getaran angin
berkesiur. Tahu-tahu delapan orang berpakaian abu abu entah
dari mana sudah meluncur dekat disekitarnya tanpa
mengeluarkan suara serempak mereka membungkuk hormat
seraya berkata: "Liong-tong Tecu, mendapat perintah
menunggu disini sekian lama." Karena diluar dugaan Giok-liong sampai tersentak kaget,
dari cara berpakaian mereka serta rambut panjang yang
terurai melambai terhembus angin malam, serta expresi
wajahnya yang dingin kaku dengan jubah panjang yang
kedodoran menyentuh tanah, hatinya menjadi muak dan
sebal. "Jadi kalianlah yang berlagak setan mempermainkan aku ya
!" "Hamba beramai tidak berani !"
"Kejadian didalam lubang dalam biara sana, kalau bukan
perbuatan kalian lalu perbuatan siapa ?"
"Ah, bukan, bukan hamba yang melakukan !"
"Jadi perbuatan siapa ?" "Ciiiit!" tiba-tiba terdengar suara aneh, dari jarak lima
tombak sana melayang datang sebuah bayangan kecil yang
lincah, ditengah udara berbunyi cat-cit, sekejap saja sudah
melampaui kedelapan pelaksana hukum seragam abu-abu itu
tems hinggap didepan mereka. Kini terlihat jelas kiranya manusia kecil cebol, bermulut
lancip pipi tepos, kepalanya hampir gundul tinggal beberapa
rambut kuning-kuning yang dapat dihitung, demikian juga
jenggot kambingnya pendek dan jarang sekal.
Matanya bundar kupingnya kecil persis benar dengan mata
dan kuping tikus, mengenakan pakaian ketat putih perak,
tinggi badannya tidak lebih tiga kaki, badannya kurus, begitu
kurus kering legam lagi laksana seeuggok kayu bakar aneh
dan menggelikan. Meskipun bentuk tubuh dan wajahnya yang tidak wajar
seperti manusia umumnya tapi sepasang mata bundarnya itu
berkilat memancarkan sinar tajam, terang Lwekangnya jauh
lebih tinggi dari kedelapaa pelaksana hukum dari Liong-tong
itu, naga-naganya kepandaian silatnya juga tidak bisa di
pandang ringan. Dasar sifat kekanak-kanakan Giok-liong belum hilang,
melihat bentuk orang yang seperti tikus ini, hatinya menjadi
geli, tanpa merasa ia tertawa tawar kegelian.
Orang aneh berbentuk seperti tikus itu segera menjura
serta berkata dengan suara tinggi seperti bunyi tikus: "Sudah
sekian lama kami mendapat perintah untuk menantikan
kedatangan Siau-hiap, Kejadian dalam biara tadi adalah Puntong
yang mengatur, harap suka di maafkan."
"Tong-cu?" tak terasa tergetar perasaan Giok-liong. Sebab
tempo hari waktu ia mengejar Ang imo-li Li Hong memasuki
Hutan kematian bertemu dengan Wi-hian ciang Liong Bun dari
beliau dapat diketahui bahwa Hutan kematian banyak terdapat
gerobong-gembong silat dan para iblis yang mengeram
disana. Betapa tinggi Lwekang Wi-hian-ciang Liong Bun itu, tak
lebih hanya menduduki jabatan Huhoat (Pelindung) dari Liongtong
saja, Setelah Tong-cu masih ada wakil Tong-cu,
kedudukan kedua jabatan ini setingkat lebih tinggi dari
Huhoat, maka dapatlah dibayangkan sampai dimana hebat
Lwekang mereka. Manusia tidak normal dengan bentuk lucu dihadapinya ini,
mana bisa menduduki salah satu Tong-cu jabatan tinggi hanya
setingkat diwajah majikan Hutan kematian?" Begitulah
berbagai pikiran berkecamuk dalam otaknya sehingga sekian
lama Giok liong termenung tanpa bersuara.
Manusia aneh seperti tikus itu berkata lagi dengan dingin:
"Karena seluruh anak buah Pun tong merasa gentar dan segan
menghadapi ketenaran nama Siau hiap, maka tidak berani
menghadapi secara sembrono. Terpaksa digunakan cara yang
kurang hormat itu. Harap Siau-hiap tidak berkecil hati."
Giong-liong memicingkan mata, serunya lantang: "Gentar
atau segan apa segala, alasan belaka, Terang kalian ini
bangsa panca longok yang sudah berdarah daging seperti
tikus takut melihat kucing bersifat pengecut."
Seketika menyala pandangan srrot mata orang aneh seperti
tikus, wajahnya mengunjuk rasa bimbang dan ragu, Tapi
perasaan tak senang ini sebentar saja lantas hilang, dengan
tertawa yang dipaksakan ia berusaha tetap berlaku hormat,
ujarnya: "Siau-hiap, harap suka memberi sedikit kelonggaran!"
"Hm, perbuatan bangsa kurcaci tidak lebih begitu saja!"
"Siau-hiap, kau. . . . . ."
"Bagaimana?" "Sukalah bersabar dan berpikir tenang, sedikit banyak
berilah kelonggaran dan muka pada kita sekalian."
"Kurcaci! Kurcaci !" Giok-Liong semakin berang
semprotnya: "Seorang laki laki harus berani berlaku jantan,
seumpama ingin baiok kepalaku ini juga rela kuserahkan Tapi
dengan perbuatan kalian yang rendah takut melihat matahari
ini, sungguh menyebalkan." Orang aneh seperti tikus itu menjadi beringas wajahnya
berkerut kaku, seluruh badan bergemetaran saking menahan
gusar, giginya berkeriuk mulutnya berbunyi cit-cit seperti
bunyi tikus yang kelaparan. Melihat gelagat yang gawat ini, para pelaksana hukum
Liong-tong itu lekas-lekas maju melerai, mereka menjura
dalam serta berkata : "Lapor pada Tong-cu, agaknya Ma Siayhiap
belum tahu undang-undang terlarang dari Hutan
kematian. Harap Tong-cu menahan sabar, jangan nanti
menggagalkan urusan besar !" Mendengar itu, Giok-liong semakin uring-uringan, tanyanya
menjengek : "Undang-undang terlarang apa ?"
Salah satu pelaksana hukum Liong-tong menyahut lirih :
"Dua sekte "Bu" dan "Hu" dari Hutan kematian kita banyak
larangan yang harus dipatuhi. Kelak pasti Siau-hiap juga pasti
akan tahu." Agaknya Giok liong seperti paham sesuatu, katanya
menghina: "O, mungkin karena tadi aku menyinggung tentang
kucing serta tikus sehingga melanggar undang undang
terlarang dari tuan Tong cu ini "
"Harap Siau-hiap maklum adanya.!" serentak kedelapan
pelaksana hukum menjelaskan. Rasa gusar yang tersorot dari pandangan mata si orang
aneh seperti tikus itu mulai berkurang, dengan tawa yang
dipaksakan ia berkata : "Siau-hiap tidak tahu, maka tidak
dapat disalahkan !" "Hahaha !" Giok-liong bergelak tawa sekian lama suaranya
bergema mengandung perbawa kekuatan lwekangnya sampai
menembus awan menggetarkan bumi, mengaung panjang
ditengah udara. Delapan pelaksana hukum Liong-tong menjadi kesima
saling pandang.

Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang aneh seperti tikus itu juga melenggong tak tahu dia
harus ikut tertawa atau harus marah.
Lenyap gelak tawa Giok-liong, ia berkata lagi dengan nada
berat: "Diri sendiri bukan seorang lurus, berani berbuat tentu
berani terlihat matahari, kohk memakai pantangan apa segala,
Kalau memang betul sebagai kurcaci koh takut dan melarang
orang memanggil kunyuk. Tikus memang biasanya takut
kucing, kenapa membenci orang menyebut nama kucing,
Bedebah benar, menggelikan saja !"
"Keparat, kau terlalu menghina orang!" tiba-tiba terdengar
bentakan melengking dimana bayangan putih perak melesat
angin keras lantas menerpa dengan kencang.
Glok-liong menjejak kakinya melejit setinggi tiga tombak,
sedetik saja terlambat ia pasti tubuhnya hancur lebur
keterjang serangan musuh. Begitulah dengan tubuh masih
terapung ditengah udara ia meluncur turun sambil balas
menyerang, hardiknya gusar: "Tikus kurcaci, berani kau
membokong !" Serentak delapan pelaksana hukum Liong tong segera
melejit maju menghadang di tengah mereka, katanya lembut
menjura kepada orang aneh seperti tikus itu. "lapor Tongcu,
Ma Siau-biap adalah tamu agung majikan, harap Tong cu suka
memberi kelonggaran menghabisi pertikaian ini supaya
majikan tidak menimpakan dosa, sungguh kita beramai tidak
berani menanggung resikonya." Mata bundar orang seperti tikus itu berjelalatan, tangannya
mengelus elus moncong serta muka yang tepos, serta kurus
kering tinggal kulit pembungkus tulang itu, teriaknya: "Konyol,
konyol ! Aku Siau thiao-sin-ju ( tikus sakti ) Yap Tong-jwan
sudah puluhan tahun mendampingi majikan, Siapa yang
berani menghina dan memandang rendah aku. Tak duga hari
ini aku di desak oleh seorang bocah ingusan ! "
Mendengar kata kata orang Giok-liong semakin mengumbar
tawanya, serunya: "O, jadi kau ini bernama Tikus sakti Thongjwan
(tukang gangsir ) lantas kenapa kau salahkan orang lain,
Kecuali kau ganti she dan merubah nama."
Tikus sakti Yap Thong- jwan semakin gusar sambil
berjingkrak marah seperti kebakaran jenggot mulutnya
mengeluarkan suara cit cit seperti bunyi tikus, ia dorong ke
delapan pelaksana hukum Liong- tong, terus menerjang maju
sambil melengking tajam : "Kalau majikan menimpakan dosa,
biar aku Yap Thong-jwan yang bertanggung jawab,
seumpama harus dihukum cacah jiwa hancur lebur juga rela.
Betapapun penasaranku ini harus terlampias dulu. Keparat,
lihat serangan ?" Tampangnya aneh Lwekangnya tinggi lagi, dimana sinar
perak berkelebat, gesit sekali ia menyelinap diantara delapan
pelaksana hukum itu, entah dengan gerakan tahu-tahu ia
sudah menggeser tiba disamping Giok liong, terlihat bayangan
pukulan tangan berkembang dengan kencang, sekaligus ia
lancarkan delapan belas pukulan dahsyat dan ganas.
"Api kunang-kunang, silat kampungan belaka !" terdengar
Giok-liong menjengek. Di mulut ia bicara takabur namun
sebenarnya siang-siang ia sudah bersiap siaga, menyalurkan
hawa pelindung badan, begitu musuh menerjang datang,
mega putih bergulung lantas menapak kedepan.
Tatkala bulan purnama sudah mulai doyong kearah barat Di
belakang pelataran biara bobrok yang tidak begitu besar ini
terjadilah suatu pertempuran sengit, dua belah pihak sama
sama dongkol dan ingin menang sendiri, maka jurus serangan
yang dilancarkan menjadi semakin hebat tak mengenal
kasihan lagi. Adalah kedelapan pelaksana hukum itu yang menjadi
gelisah dan serba sulit, satu pihak tak mungkin ia berani
membantu Tong cu yang tinggi hati dan berkedudukan tinggi,
itu sebaliknya juga merasa rikuh untuk membantu tamu yang
diundang majikan Hutan kematian. Tokoh-tokoh kosen kalau berkelahi tentu bergerak sangat
cepat, sekejap saja tahu-tahu sudah lima puluh jurus berlalu.
Sungguh Giok liong tidak mengira manusia-aneh dengan
tampang yang menakutkan macam Siau-thian sia ju Yap
Thong-jwan ini mampu menangkis salah satu jurus sakti dari
Sam ji cui hun chiu. Terpaksa Cin chiu, Hwatbwe dan Tian-ceng satu persatu
dilancarkan. Dengan bekal ilmu yang sakti dan tunggal tiada
keduanya didunia persilatan ini, Giok-liong sudah malang
melintang mengalahkan berapa banyak tokoh-tokoh silat kelas
satu, seumpama belum kalah juga pasti terdesak dibawah
angin menjadi kerepotan memosia diri.
Diluar tahunya Siau thian sin-ju Yap Thong-jwan yang
bertubuh kecil kurus ini, dengan sepasang tangan yang kecil
dan runcing seperti cakar tikus itu, bergerak lincah seperti
mencakar menggarut-garut, jurus demi jurus bergerak lincah
kekiri kanan, bukan saja tergerak teratur, malah cara
memunahkan serangan balas menyerang, tenaga yang
digunakan juga sangat sembabat untuk mengambil kedudukan
yang menguntungkan. Yang lebih mengejutkan cakar kecilnya itu saban-saban
menyelonong tiba dengan bera-i)uyi, sungguh banyak
perubahan gerak gerik tipu-tipu silatnya sulit di jajagi lagi.
Enam puluh jurus sudah lewat, Delapan pelaksana hukum
Liong tong segera berseru berbareng : "Sudahlah dihentikan
saja !" Tikus sakti Yap Tbong-jwan yang tadi menyerbu dengan
beringas dan ingin adu jiwa itu, begitu mendengar seruan ini
segera mencit cit keras terus melompat keluar, sorot matanya
masih mengandung kebencian dan nafsu membunuh, raut
mukanya semakin kecut. Giok-liong tidak tahu maksud dari orang ini, sambil berdiri
bertolak pinggang mulutnya menjengek sambil manggutmanggut:
"Bangsa tikus kiranya juga punya kepandaian
macam cakar kucing." Lekas-lekas delapan pelaksana hukum itu merubung tua iu
berbareng mereka menjura dan berkata : "rio!enlai urusan
disini dianggap beres, harap Siau-hiap menepati janji tiga hari
ini dan tepat tiba di Liong-iong untuk menemui majikan."
Giok-liong tersenyum ewa, ujarnya. "jadi kalian ini hendak
mengiring aku" Tanpa merasa delapan pelaksana hukum sama mundur
selangkah sahutnya lirih: "Hamba beramai mana berani. Tidak
lain hanya menerima perintah saja!"
"Oh. . ."- pagi hari itu hawa udara penuh diliputi kabut
yang tebal, keadaan menjadi remang-remang dan serasa
dingin. Setelah pernapasan kembali tenang seperti sedia kala, tiba
tiba Siau thian sin-ju Yap Thong-jwan melompat tinggi tiga
tombak ditengah udara, tubuhnya berputar dengan gaya liang
ing wi-hian (burung elang berputar-putar), mulutnya mencicit
keras menusuk telinga. Seketika berubah hebat air muka delapan pelaksana hukum
dari Liong tong itu, air muka mereka menjadi serius dan
tegang, kelihatan rasa takut terbayang dalam pandangan
mereka. Giok-liong sendiri juga tidak tahu apa yang bakal terjadi,
gerungnya gusar: "Berteriak gila apa kau ini".
"Citcit. . .Citcit. . ." seketika dari empat penjuru terdengar
suara bunyi tikus salingbersahutan. Didalam keremangan
kabut pagi tampak berpuluh bayangan perak abu abu
bergerak merambat dengan gesit semua meluruk datang
semakin dekat, suara citcit juga semakin ramai dan jelas serta
banyak. Delapan pelaksana hukum saling pandang, sekarang tahu
Giok liong bahwa keadaan rada mengancam, cepat cepat ia
kerahkan Ji lo hawa pelindung badan, bersiap siaga
menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu dengan tukikan bagai burung garuda Siauthian-
sin-ju Yap Thong-jwan meluncur turun hinggap ditanah,
katanya kepada delapan pelaksana hukum itu: "Kalian lekas
pulang bersama menunggu petunjuk selanjutnya. Tapi kalian
sudah melerai setelah aku melancarkan enam puluh empat
jurus Siau-thian chiu, kebaikan ini kuterima dengan ikhlas,
serahkan saja orang ini kepada Hu tong (Sekte Tikus)!"
Baru sekarang Giok-liong sadar, kenapa tadi musuhnya
mau mundur setelah melabrak dirinya habis habisan, kiranya
ia sudah kehabisan tenaga dan kehilangan kontrol tipu-tipu
silatnya. Dengan wajah serius delapan pelaksana hukum menjura
bersama seraya berkata sungguh: "Lim-cu (Majikan) ingin
benar menemui orang ini" (BERSAMBUNG JILID KE 17) Jilid 17 "Biar aku saja yang melayani . . . ." sela Siau thian sin-ju
Yap Thong jwan sambil merogoh keluar sebuah lencana emas
berbentuk delapan persegi. "Tang !" langsung ia lemparkan lencana itu kedepan kaki
delapan pelaksana hukum suaranya terdengar melengking
tajam laksana sebilah pisau, gerungnya: "Nah, aku rela
menyerahkan lencana mas pengampunan hukuman mati, Aku
bersumpah harus mencuci bersih hinaan ini. Cepat kalian
kembali laporkan keadaan sebenarnya kepada Lim cu !"
HarusIah maklum Bian-gi-kim pwe (lencana mas
pengampunan hukuman mati) ini merupakan sebuah pusaka
yang paling sukar didapat dalam hutan kematian. Sebab orang
yang membekal lencana macam ini boleh bebas dari suatu
hukuman mati yang di jatuhkan oleh Lim-cu bagi mereka yang
membekal lencana ini kedudukannya pasti sangat tinggi paling
rendah juga para Tong cu saja, yang lain tak mungkin bisa
dapat anugrah tertinggi ini. Sebaliknya meskipun menjabat sebagai Tong cu kalau
belum pernah menegakkan pahala besar bagi Hutan kematian
juga tidak gampang bisa memperoleh Bian-si-kim pwe itu.
Menurut undang undang Hutan kematian meskipun kau
melanggar dosa setinggi langitpun selain berintrik hendak
menumbangkan kekuasaan atau hendak membunuh Lim-cu,
asal mengeluarkan lencana mas ini maka segala dosa dapatlah
dihindari dengan benda pusaka ini. Sudah tentu delapan pelaksana hukum dari Liong-tong
menjadi melenggong setelah saling pandang sebentar mereka
berkata serempak : "Tong cu kenapa harus marah begitu
besar." Siau thian-sin-ju Yap Thong-jwan membentak dengan
bengis: Walaupun kalian adalah pelaksana hukum dari Liongtong,
apakah kalian tidak menghargai lencana mas dan
memandang ringan aku, he ?" "Mana hamba beramai berani." tanpa banyak bicara lagi
mereka segera berkelebat pergi, lencana mas diatas tanah itu
entah kapan telah hilang, sebentar saja delapan pelaksana
hukum Liong-tong itu sudah lenyap. Sementara itu suara bunyi tikus tadi semakin riuh rendah,
entah sudah berapa banyak yang telah meluruk datang.
Tiba-tiba Siau-thian-sin ju Yap Thong-jwan merogoh keluar
pula sebuah panji kecil segitiga, lalu diangkatnya tinggi-tinggi
dan dikibar-kibarkan, seketika terbit angin ribut serta sinar
putih perak kemilau berkelebat menyilaukan mata terpancar
keempat penjuru. Lwekang yang tinggi serta bekal ilmu sakti yang
mandraguna membuat hati Giok-liong semakin tabah dan
berani, terdengar ia bergelak tertawa lantang: "Tadi enam
puluh empat jurus Siau thian chiu aku sudai berkenalan. Masih
ada ilmu apa lagi yang kau anggap jempolan sllakan boyong
keluar semua, sekarang tiada orang yang mau memisah
ditengah jalan." "Baik, akan kupertunjukkan untukmu !"
"Citt" seketika dari empat penjuru lantas jadi ribut saling
bersahutan, Dari semak belukar diatas dahan dahan pohon
serta dari bawah tanah, mendadak saling bermunculan
beratus bayangan orang kecil-kecil kurus semua berbentuk
lucu persis benar seperti tikus, seluruh tubuhnya dibungkus
pakaian putih perak, ditangan mereka masing-masing
menyekal sebuah panji kecil tiga persegi juga, setiap bergerak
pasti menimbulkan kesiur angin dan sinar perak kemilau
dingin. Setelah ratusan manusia macam tikus itu muncul semua
merubung ke belakang-Siau-thian-sin-ju Yap Thong-jwan
sambil terus menggerak-gerakan panji kecil itu tanpa
bersuara. Kelihatan bibir Yap Thong-jwan menjebir, terdengarlah
desis seram yang mengerikan, sambil menggoyangkan panji
kecil di tangannya ia melangkah cepat bagai terbang berputar
ratusan manusia kecil aneh seperti tikus itu semua
membelalakkan mata bundarnya sambil menarikkan panji di
tangannya di atas kepala terus membuntuti di belakang Siauthian-
sin-ju Yap Thong jwan, langkah mereka teratur rapi dan
cepat laksana angin. Begitulah semakin lama gerak badan mereka semakin
cepat, langkahnya seperti pengejar angin, membentuk sebuah
lingkaran besar. Lama kelamaan saking cepat mereka
bergerak bayangan merasa susah dibedakan lagi, yang terlihat
nyata hanyalah sebuah bundaran sinar perak besar seperti
gelang perak yang mengepung Giok-liong dengan rapat dan
berputar cepat seperti roda. Giok-liong tahu bahwa inilah salah satu karya yang paling
diandalkan dari sekte tikus hutan kematian ini, yaitu
bergabung membentuk barisan jahat untuk melumpuhkan
musuh. Tahu dirinya terkepung dalam bahaya, sedikitpun Giokliong
tidak berani lalai, seluruh tubuh dijalari oleh hawa
pelindung tubuh, kedua tangannya bergerak-gerak siap
bertempur. Sekonyong-konyong sebuah teriakan bunyi tikus yang
melengking menusuk telinga mengiring luncuran sebuah
bayangan orang yang mendadak melejit keluar dari kepungan
sinar perak berputar itu, bergerak dengan kecepatan kilat,
menyergap dengan ganas secara dlluar dugaan, begitu cepat
gerak serangan ini mendatang sampai susah diikuti dengan
pandangan biasa. Serentak dalam waktu yang bersamaan bayangan putih
ditengah gelanggang juga sudah bersiaga, tanpa berkelit atau
menyingkir malah memapak maju menyambut serangan
lawan.

Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi belum lagi ia berhasil menangkis serangan dari depan
ini, mendadak terdengarlah pekik yang lebih nyaring dari
belakang bayangan putih mengejar datang sejalur panah
perak melesat menusuk punggung. Menghadapi dua sasaran yang berbahaya ini sedikitpun
Giok-liong tidak menjadi gugup, sedikit miringkan tubuh,
tangan kiri tetap didorong kedepan, sedang tangan kanan
mengebut kebelakang, serentak ia bergerak menangkis dan
memunahkan dua serangan dari depan dan belakang.
Kalau dikata lambat kenyataan cepat sekali. Setiap kali
terdengar pekik bunyi tikus maka lantas terlihatlah
menyambarnya sebuah jalur panah perak, demikian juga
beruntun dua kali dari kiri kanan bersamaan melesat pula dua
jalur panah perak yang mengarah dirinya.
Bercekat hati Giok-liong, meskipun Lwekangnya tinggi dan
tidak perlu merasa takut, tapi betapapun kedua tangannya ini
sulit menghadipi serangan serentak dari berbagai penjuru,
menghadapi yang satu dilarikan yang lain.
Dalam kejap lain jalur panah itu melesat semakin banyak
dari berbagai penjuru. Cara luncuran dan serangan jalur perak
panah ini berbagai ragam, ada yang sampai di tengah jalan
lantas mundur lagi, ada pula yang menggunakan sepenuh
tenaga, ada pula yang membelok kesasaran lain di tengah
jalan, dan ada pula yang hanya meluncur lewat ditengah
udara, semua serba aneh dan sukar diraba kemana sasaran
utama, karena juga sulit dijaga sebelumnya.
Saking banyak luncuran panah perak bergerak kelihaian
seperti kupu kupu yang menari diatas kuncup bunga, sedang
segulung bayangan putih yang berputar ditengah gelanggang
laksana bintang kejora seperti bulan dikelilingi bintangbintang.
Kesiur angin semakin ribut dan tajam laksana ujung golok
ditabaskan sehingga kulit badan Giok-hong terasa perih
seperti di iris pisau. Begitulah setiap kali terlihat panji bergerak dan bergetar
kesiur angin tajam lantas menyambar simpang siur menerjang
ke arah gulungan mega putih yang bergulung berkelompok.
Di tengah gulungan mega putih ini terlihat pula bayangan
kepalan tangan bergerak lincah seperti kupu menari sehingga
alam sekitarnya menjadi gelap dan remang-remang dengan
perpaduan pemandangan yang kontras ini.
Inilah suatu pertempuran antara mati dan hidup antara
nama dan gengsi, Keadaan Giok liong sendiri sudah tidak
dapat membedakan lagi yang manakah Siau-thian-sin-ju Yap
Thong jwan. Maka tujuan hendak meringkus pentolan dan
penjahat untuk di tawan sebagai sandera yang dirancangnya
semula menjadi gagal total. Seperminuman telah berlalu, Meskiputi Lwekang Giok-liong
sangat kuat, kalau terus menerus memberondong dengan
pukulan yang menghabiskan tenaga tentu hawa murni dalam
tubuhnya pasti terkuras habis, Saat sekarang masih rada
mendingan masih kuat bertahan lama kelamaan pasti keadaan
tidak menguntungkan bagi dirinya. Lepas dari kekuatiran Giok-liong sendiri adalah serangan
musuh semakin gencar malah, lingkaran bundar perak
berjalan semakin capat, laksana kicir angin berputar, jalur
panah perak melesat dan menerjang kencang bergantian tak
mengepal putus. Akhirnya Giok-liong menjadi nekad dan bertekad untuk
turun tangan, timbullah nafsu membunuh menghantui
sanubarinya. Tiba-tiba sinar menyorong keluar, secarik jalur sinar terang
melayang tinggi ketengah udara, lima irama seruling
berkumandang mengalun tinggi di tengah angkasa. Laksana
keluhan naga seperti auman harimau menggetarkan seluruh
alam semesta ini. Begitulah ditengah kumandang irama musik yang merdu
mengasyikkan ini, beruntun terdengarlah pekik dan jeritan
yang melengking menyayatkan hati menyedot sukma.
Seketika terjadilah hujan darah, badan manusia melayang
dan terkapar malang melintang dan terpental jauh beberapa
tombak, sekarang terlihat mega putih mulai kuncup menyaru
dan mulai mengembang naik, kabut juga semakin tebal.
Di luar arena bundaran dengan manusia yang berwarna
putih perak itu masih terus bergerak dengan lincahnya, namun
sudah tidak segesit semula. Bau amis semakin tebal merangsang hidung, dihembus
angin lalu sehingga memualkan. Terjadilah penjagalan atau
pembunuhan besar-besaran. Lambat laun mayat mulai
bertumpuk meninggi, malang melintang tak teratur semakin
banyak. Dahan-dahan pohon sekitar gelanggang menjadi merah
karena darah dan banyak kaki tangan atau usus serta isi perut
manusia bergantungan disamping batu-batu gunung
berserakan pula mayat mayat yang sudah tak keruan rupanya,
rumput nan hijau subur juga menjadi basah dan berwarna
merah darah bercampur cairan putih dari otak manusia yang
kepalanya pecah. Korban berjatuhan semakin banyak tapi irama seruling
semakin merdu dan mengalun lemah mengasjuk sanubari,
demikian juga sinar mas berkelebat tak mengenal ampun,
dimana sinar mas ini menyamber kontan terdengar jerit pekik
yang mendebarkan hati. Sekonyong-konyong terdengar suara cit-cit bunyi tikus yang
keras sekali, suaranya sedemikian pilu mengetuk hati nurani.
Kesiur angin yang ribut seketika sirap bundaran besar putih
perak juga lantas berhenti bergerak. Demikian juga jalur perak
panah itu lantas mulai mengendor di lain kejap juga lantas
ditarik balik semua. Ratusan rnanusia aneh macam tikus ini tinggal tiga empat
puluh orang saja, semua berdiri mematung lemas lunglai
seperti jago aduan yang kalah, Panji kecil yang terpegang di
tangan juga melambai turun, mereka sembunyi di belakang
Siau-thian-sin ju Yap Thong jwan, semua sudah kehilangan
semangat semula yaag menyala dan garang.
Sementara itu, sinar kuning mas juga segera kuncup,
demikian juga irama seruling lantas berhenti. Dengan
melintangkan seruling di depan dadanya Giok-liong berdiri
tegak sekokoh pohon cemara, Dimana ia berdiri sekitarnya
sudah basah kuyup dan dikotori oleh darah dan cairan
memutih yang mendirikan bulu roma. Menyeringai dingin Giok liong berkata sambil menuding
mayat-mayat bergelimpangan di sekitarnya dengan potlot
luasnya: "Yap thong-jwan (gangsir malam) inilah hasil
karyamu seorang, jangan kau sesalkan aku telah berlaku
ganas dan kejam ?" Tampang yang jelek dari Sian-thian-sin-ju Yap Thong-jwan
kini semakin buruk kelihatannya. Panji kecil ditangannya masih
dikibarkan, kedua biji matanya mulai mengembeng air
mata, Tapi sikap congkaknya masih terbayang pada wajahnya,
desisnya sambil mengertak gigi: "Yap Thong-jwan tidak becus
belajar siiat, terpaksa hari ini aku harus pasrah nasib ?"
Giok-liong menjengek hina: "Keparat, goblok kau. Kau
seorang ini terhitung apa, yang terpenting kau tidak
seharusnya mengorbankan sekian banyak jiwa yang tidak
berdosa.". Siau-thiao sin- ju Yap Thong-jwan menyeringai bengis:
"Hahahaha ! hehehehe !" gelak tawanya seperti orang utan
mengeluh panjang, membuat orang merinding dan ber-gidik.
Tanpa pedulikan Giok liong lagi, tiba-tiba ia membalikkan
tubuh menghadapi anak buahnya yang masih ketinggalan
hidup itu, tiba-tiba ia bersenandung dengan suara tinggi:
"Hidup arwah leluhur, budi bersemayam abadi hutan kematian
tak terhina, berkorban demi keangkeran!" serentak empat
puluh manusia aneh macam tikus itu berbareng berlutut dan
menyembah, serempak mulut mereka juga ikut bersenandung
: "Hidup arwah leluhur, budi bersemayam abadi, hutan
kematian tak terhina, berkorban demi keangkeran !"
Habis bersenandung mendadak tiga empat puluh manusiamanusia
seperti tikus itu membalikkan gagang panji kecil yang
runcing itu dimana sinar perak berkelebat "Cras" darah lantas
menyembur deras beterbangan bagai air mancur.
Empat puluh lebih orang-orang itu sama roboh celentang,
setiap dada mereka tertancap sebuah panji kecil segi tiga,
kelihatan isi perut mereka dedel duwel bergerak-gerak
mengikuti aliran darah yang menyembur keluar.
Tidak kepalang kejut Giok-liong, sekian lama ia kesima
mematung di tempatnya, belum lagi ia sadar akan adegan
yang dihadapinya ini, Siau-thian sin ju Yap Thong-jwan sudah
membalikkan tubuh, terus berlutut di tempatnya lalu
menyembah serta berseru lantang: "Terima kasih akan budi
kebaikan Lim-cu !" "Bles!" darah muncrat keluar badannya yang kurus kecil itu
seketika roboh terkapar tak bergerak lagi.
"Hidup abadi semangat hutan kematian!" terdengar
gemboran yang nyaring dingin. Tahu-tahu diantara mayatmayat
bergelimpangan itu kini sudah bertambah satu orang.
Orang ini bermuka panjang warna abu-abu bersemu hitam,
sepasang matanya memancarkan sorot tajam berkilat Kedua
ku-pingnya caplang dengan jenggot kambing pendek yang
awut-awutan seperti sikat. Tangan kiri cacat sampai
disikutnya, sedang tangan kanan membekal sepasang
bandulan baja yang kuning berkilau, diputar-putar berbunyi
nyaring. Dengan tajam ia awasi Giok-Hong, mimiknya seperti
tertawa tidak tertawa sikapnya sinis mengejek.
Giok-liong menggeser kedudukan mengambil posisi yang
menguntungkan, serunya lantang : "Apalah tuan ini juga
anggota dan Hutan kematian?" Tapi orang itu mengadukan kedua butir bandulannya, lalu
sahutnya rendah: "Kalau aku anggota dari Hutan kematian,
mungkin , . . hihihi, hahaha. . ."
Entah apa maksud tertawa sinisnya ini, yang terang
suaranya menusuk telinga tak enak didengar terasa seluruh
badan seperti gatal gatal dan menjadi tidak betah.
"Apa maksudmu Tuan?" "Kau belum paham ?" Giok-liong mendengus. "Mari kau ikut aku !" lenyap suaranya badan orang itu
lantas melompat jauh, betapa cepat gerak tubuhnya ini,
selama ini belum pernah pernah Guk-liong menyaksikan
Ginkang sehebat itu begitu sebat sekali seperti bayangan
setan tahu-tahu bayangan orang sudah lima tombak jauhnya,
Naga-naganya Lwekangnya sudah sempurna dalam
latihannya. Tidak kuasa Giok-liong sampai bersuara heran, kuwatir
kena jebak dan tertipu lagi, ia berlaku tenang tenang saja
tetap berdiri ditempatnya sambil tersenyum tanpa bersuara.
"Wut, bayangan orang itu kembali meluncur datang,
jengeknya : "Kau tidak berani?"
"Kenapa tidak berani ?" "Kenapa kau tidak mati ikut ?"
"Kenapa aku harus ikut kau "
"Hahaha ! Hahahaha . . . " gelak tawa menggila
kumandang sekian lamanya, seperti arus sungai besar yang
tak putus, tidak tinggi tapi menggetarkan sukma dan menusuk
telinga, tidak rendah tapi berat menekan perasaan.
"Tertawa gila apa kau ?" "Kim-pit-jan-hun, kiranya hanya nama kosong belaka !"
"Apa kau menghina ?" "Kalau seorang laki-laki sejati, menghadapi hutan golok,
dan minyak mendidih seumpama harus menerjang kedalam
sarang harimau dan rawa naga juga tidak perlu gentar !"
"O, jadi maksudmu aku Ma Giok.liong seorang penakut ?" ,
"Kalau bukan takut, kenapa diam saja ?"
"Terlalu, tuan berangkat!"
"Bagus! Ayoh" Sekarang bayansan putih yang meluncur lebih dulu, sekali
berkelebat lantas lewat menghilang, Tapi bayangan hitam
agaknya tidak mau ketinggalan melompat memburu dengan
kencang melampaui bayangan putih, ditengah udara ia
berkata lirih : "Biarlah aku membuka jalan !"
Giok-liong mengiakan sambil mengerahkan sembilan
tingkat Lwekangnya hawa murni ditarik dalam seketika
tubuhnya meluncur cepat laksana bintang jatuh mengejar
rembulan menerjang awan, laksana luncuran anak panah yang
menembus udara. Tak kira, tiba-tiba terasa dipinggir kupingnya berkesiur
angin kencang, ternyata bayangan hitam itu sudah melesat
melampaui belum sempat matanya berkedip bayangan itu
sudah melayang jauh kedepan lima tombak.
Timbul sipat kekanak-kanakan Giok-liong rasa ingin
menang sendiri melingkupi sanubarinya. Diam-diam ia
kerahkan sepenuh tenaga murninya, Leng-hun-toh segera dikembangkan,
begitu Lwekang dalam tubuhnya bekerja sampai
titik tertinggi tubuhnya melesat semakin cepat.
Akan tetapi besar keinginannya hendak menyusul bayangan
hitam di depan dan melewatinya, tak urung usahanya sia-sia
belaka tak kurang tak lebih jarak mereka tetap sekian jauh
saja, jangan kata hendak mengejar lewat untuk berlari
berendeng bersama saja agaknya sulit sekali.
Arah yang mereka tuju adalah sebuah puncak yang
menjulang tinggi, keadaan jalan yang mereka lalui semakin
belukar dan meninggi serta gelap menyeramkan.
Namun titik hitam dan putih bagai kunang kunang
meluncur cepat, begitu cepat sampai sulit diikuti pandangan
mata biasa, Begitulah mereka berlari-lari kencang seperti
mengejar setan. Satu jam kemudian, jarak yang mereka tempuh tidak
kurang sejauh puluhan li, Jauh di depan sana terbentang
sebuah hutan belantara yang gelap pekat, rontok dedaunan
begitu tebal hampir satu kaki tingginya, mengeluarkan hawa
busuk yang lembab menutuk hidung. Mendadak kelihatan bayangan hitam itu menggunakan
gaya Ham-ya-to lio ( burung gagak hinggap dalam hutan ),
cepat sekali tubuhnya meluncur turun hinggap diatai tanah
diluar hutan ia berpaling muka sambil menggape, tanpa
bersuara tubuhnya lantas menyelinap masuk kedalam hutan
dan menghilang. Seluruh tenaga sudah dikerahkan namun tak mampu
mengejar orang, Giok-liong sudah uring uringan dan dongkol,


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat orang menggape tangan, maka tanpa ayal lagi segera
ia mengejar mengikuti jejaknya. Udara dalam hutan belukar ini terasa rada hangat, daun
melayang berjatuhan, sekelilingnya sunyi senyap, sedetik saja
bayangan hitam itu sudah menghilang jejaknya.
Sekarang bayangan hitam itu, tanpa banyak peduli yang
lain begitu mengempos semangat ia terus menubruk maju
lebih dalam Iagi, beruntun ia berloncatan beberapa kali,
mendadak pandangan matanya menjadi terang, pemandangan
yang dihadapi sekarang berubah sama sekali, membuat orang
seakan-akan tenggelam dalam impian kayal belaka.
Pohon Yangliu meliuk melambai dihembus angis, Pohon
dan rumput hidup subur menghijau, rada jauh di sebelah
depan terlihat beberapa bangunan gubuk bambu dari
anyaman alang-alang. Disekeliling bangunan gubuk itu,
tumbuh berbagai kembang yang tengah mekar semarak,
indah warnanya harum baunya. Didepan pintu tak jauh dari sederetan pohon Yangliu
mengalir sebuah sungai dengan airnya yang jernih. Dalam
sungai ada beberapa ekor angsa tengah berenang dengan
suka ria. Di pinggir sungai sebelah kiri menonjol keluar meninggi
sebuah tonggak batu yang halus mulut menjolor keatas air
setombak lebih. Diatas tonggak batu mulus inilah duduk seorang laki-laki
berpakaian seperti petani, sebelah tangannya memegang
sebuah joran panjang, sedang tangan yang lain memegang
sejilid buku tengah membaca dengan asyiknya.
Waktu itu Giok liong masih berada dipinggir hutan rindang,
terpaut lima enam tombak dari deretan pohon Yangliu. Melihat
pemandangan seperti didunia lain, seketika timbul hayalan
seperti didalam impian belaka. Rasa dongkol dan uring uringan tadi kini tersapu bersih dari
benaknya. Melihat kebebasan dan sentosa kehidupan petani
yang asyik masyuk membaca buku itu, timbul rasa ketarik dan
memuji akan kebesaran hidup dalam alam yang tenang ini.
Dikebutnya lengan baju membersihkan kotoran yang
melebar diatas badannya lalu pelan-pelan ia melangkah maju.
Petani pertengahan umur itu seolah olah tidak melihat atau
mendengar akan kehadirannya. Sampai Giok-liong sudah melewati gubuk bambu dan
sampai dipirsggir sungai berdiri di belakangnya, dia masih
tetap duduk tenang membaca bukunya tanpa bergerak.
Sejenak kemudian joran yang terulur masuk kedalam air
kelihatan bergerak dan ketarik masuk kedalam air, terang
bahwa kailnya sudah berhasil dimakan ikan.
Akan tetapi saking asyik, si petani membaca buku
sedikitpun ia tidak merasakan akan hal ini,
"Ikannya sudah kepancing!" tak terasa mendadak Giokliong
berseru. Tanpa melirik atau bergerak petani itu tetap tenggelam
dalam bacaannya, mungkin seumpama geledek berbunyi di
pinggir telinga-nya. Air dalam sungai bergejolak, joran panjang ini ikut bergerak
timbul tenggelam, terang sang ikan tengah meronta dalam air.
"Ikannya sudah kepancing, kenapa ....." tak tertahan lagi
Giok-liong berseru pula. Baru sekarang petani pertengahan umur itu angkat
kepalanya, sekilas ia melirik kearah Giok-liong, tapi cepat
cepat matanya tertuju kepada bukunya lagi, joran yang
dipegangnya itu sedikit digentakkan keatas. Seekor ikan gabus
besar kontan meletik keluar air, ikan itu cukup besar dan
berwarna merah mas berkilat terus meronta ronta diatas
joran. Sekarang petani pertengahan umur meletakkan buku di
belakang duduknya, sepasang matanya menatap takjup
kearah ikan yang meronta roma itu seolah-olah tengah
menikmati suatu hasil karya yang sangat berharga dengan
tekun dan sesama ia mengawasi terus.
Sekian lama ikan gabus itu meronta-ronta mendadak sekali
loncat "Plung" ia terlepas dari kail panjang itu terus
kecemplung pula kedalam air, ekornya lantas bergoyang dan
berenang dalam air dengan senangnya, dilain kejap lantas
selulup untuk menghilang. "Hahahahaha!" petani pertengahan umur bergelak lantang,
suara tawanya tajam berat bagai tajam golok mengiris kulit,
ujarnya keras: "Kupancing kaulalu kulepas kembali untuk
bebas, Kelak tergantung kepada keberuntunganmu sendiri!
"habis berkata seenaknya saja ia tancapkan joran ditaagannya
itu diatas batu tonggak yang keras itu.
Haruslah diketahui batu tonggak besar dimana ia duduk
adalah batu-batu pualam pilihan yang kerasnya melebihi besi
baja, joran kecil baja bila orang biasa mana mampu
menancapkannya kedalan batu itu, dapatlah diperkirakan
betapa tinggi lwekang orang ini pantas bukan sembarang
tokoh kosen. Tapi saat mana Giok-liong telah tenggelam menerawang
kata-kata petani pertengahan umur barusan sedikitpun ia tidak
perhatikan joran yang tertancap diatas batu itu.
Pelan pelan petani pertengahan umur itu bangkit berdiri,
baru sekarang ia mengamati amati Giok-iiong sekian lama
acuh tak acuh ia berkata: "Bukankah saudara adalah Kim-pitjan-
hun Ma Giok-liong yang menggetarkan dunia persilatan
itu?" Giok liong tersentak dari lamunannya hatinya berpikir:
"Petani pengasingan ini dari mana dapat mengetahui kejadian
di Kangouw mungkinkah ia seorang tokoh lihay yang
mengasingkan diri disini." karena pikirannya timbul
kewaspadaan dalam benaknya, mulut juga lantas menyahut:
"Aku yang rendah memang Ma Giok liong adanya, Harap tanya
tempat ini . . . ." Sorot mata petani pertengahan umur sentak berubah
dingin, demikian juga air mu kanya nendadak memancarkan
sinar yang aneh seperti cahaya benda benda pusaka yang
kemilau, Tajam sinar matanya menjadikan Giok-liong tidak
berani beradu pandang, Rada lama kemudian baru tercetus
perkataannya: "Apa kau tidak takut?"
"Aku yang rendah tidak tahu tempat apakah ini?"
"Kalau begitu kau adalah ikan yang terpancing masuk ke
sini !" Hahaha !" gelak tawanya ini entah mengandung
maksud apa yang terang nada gelak tawa ini cukup menusuk
telinga Giok-liong sehingga badan terasa risi.
Tanpa menghentikan gelak tawanya dengan langkah kekar
petani pertengahan umur beranjak turun ke pinggir sungai,
lalu ujarnya: "Mari ikut aku!"
Kalau dilihat langkahnya beda dengan langkah manusia
umumnya, tapi sedikitpun tidak meninggalkan jejak diatas
tanah, Tapi dalam sekejap saja ia sudah berjalan jauh
melewati deretan pohon yang liu itu tujuh tombak lebih.
Angin yang kencang menderu, tiba tiba petani itu
membentak bertanya : "Apakah kau pernah lihat permainan
ini?" Sesaat Giok-hong mengingat-ingat, lalu geleng kepala
sambil tertawa pahit, katanya: "Aku yang rendah belum
pernah lihat." "Belum pernah lihat?" Giok-liong mengiakan. "Apakah tidak pernah dengar ?"
"Juga belum !" "Coba keluarkan Seruling samber nyawamu."
"Untuk apa ?" "Akan kubuat kau berkenalan dengan senjataku ini" "Tar!"
tanpa menanti penyahutan Giok-liong, ia sudah teriakan
pecutnya itu menjadi bayangan rapat yang melibat dirinya
sehingga timbuI kesiur angin dingin tajam yang merangsang.
Belum lagi kelihatan kaki petani pertengahan umur
bergerak, bayangan pecut itu sudah mengurung dan
mengekang seluruh tubuh Giok-liong di tengah lingkaran
pecut. Baru sekarang Giok-liong tersentak sadar, cepat-cepat ia
kembangkan Ginkangnya mengejar kedepan. Dikejap lain
petani pertengahan umur itu sudah memasuki salah sebuah
gubug bambu itu, lalu melompat keluar pula berdiri diatas
rerumputan yang subur menghijau, Kini tangannya sudah
menyekal sebatang pecut panjang warna hitam yang
mengkilap. Pecut panjang ini seperti terbuat dari kulit tapi bukan kulit,
seperti besi juga bukan besi, tapi juga tidak seperti menjalin,
seluruh panjang pecut ini kira kira ada sembilan kaki dalam
warna hitamnya itu lapat-lapat terpancar cahaya merah darah.
"Tar!" begitu petani pertengahan umur menghentakkan
pergelangannya pecut panjang itu melccut tinggi ketengah
udara ber-bunyi nyaring. Begitu keras dan lincah sekali seperti
seekor ular hidup, berputar lincah tiga kali ditengah udara, lalu
laksana ular sanca yang galak seiring dengan kesiur itu. Dari
delapan penjuru angin terasa adanya deru angin laksana
hujan badai dengan kekuatan dahsyat seperti guntur
menggelegar. Giok-liong menjadi keheranan seraya garuk garuk
kepalanya yang tidak gatal, katanya : "Untuk apakah kau ini?"
"Untuk apa ?" Petani pertengahan umur mendengus, lalu katanya lagi:
"Hm, sudah kukatakan tadi, untuk menjajal kepandaianmu !"
"Aku yang rendah baru pertama kali bertemu . , "
"Baik, kuberitahu supaya kau jelas ! Pecut panjang di
tanganku ini adalah senjata terampuh dan paling berbisa dari
sembilan senjata sakti beracun itu. Yaitu Sip-hian pian (pecut
penyedot darah) yang sudah menggetarkan Bulim selama
ratusan tahun, tahu ?" "Pecut pengisap darah ?" bergidik tubuh Giok-liong,
matanya seketika tertuju kearah pecut hitam tanpa berkedip.
Pecut pengisap darah adalah salah satu dari sembilan
senjata beracun paling ganas di dunia ini, Pecut ini dianyam
dari urat-urat binatang sebanyak tujuh macam. Pada tiga
ratus tahun yang lalu oleh Pek-tok-thoan-hun Kiong Ang telah
direndam selama tiga belas tahun dalam obat beracun yang
dinamakan Pek-hong jian-lok lalu bagian luarnya dibalut
dengan Pek-chio-jiao (getah ratusan rumput) sehingga
menjadi semakin keras dan ulet melebihi baja murni.
Meskipun ditabas dengan pedang atau golok pusaka yang
tajam sekali, sedikitpun takkan dapat membuatnya cidera.
Kehebatan pecut ini bukan hanya sampai disitu saja, karena
direndam dalam air beracun dengan sendiri pecut ini menjadi
sangat ganas dan berbisa, manusia siapa saja sekali kena
terpecut meskipun kulitnya tidak terluka, darah dalam
tubuhnya juga bisa terhisap oleh racun dari pecut berbisa itu.
Apalagi kalau berturut tiga kali kena terpecut seluruh darah
dalam tubuh orang itu pasti terhisap habis.
Maka dapatlah dibayangkan kalau orang kena dipecut tiga
kali dan darah dalam tubuhnya terkuras habis, apakah orang
itu masih bisa tetap hidup " Memang dari sembilan senjata
ganas berbisa, justru pecut penghisap darah inilah yang paling
ditakuti, seluruh tokoh-tokoh Bulim begitu mendengar nama
pecut yang ditakuti ini, tiada yang tidak akan ketakutan seperti
tersentak kaget mendengar guntur di tengah hari bolong.
Demikianlah Giok-liong setelah mengetahui asal usul pecut
yang ganas itu, diam-diam ia lantas mengerahkan Ji-lo
pelindung badan tapi lahirnya ia masih berlaku tenang,
katanya sambil tertawa dibuat buat: "Kalau begitu jadi
Cianpwe adalah Sip-hiat-ling-pian Koan It-kiat Koan-lo
cianpwe yang sejajar dengan Suhu pada ratusan tahun yang
lalu itu." "O, siapa gurumu ?" "Gurultu berbudi orang suka menyebutnya To-ji . . . "
"Kau murid Pang Giok ?" "Memng Wanpwe . . ." Tar ! Tar, tar . . . mendadak Sip-hiat-ling pian Koan It-kiat
menyurut mundur tiga langkah sambil menggetarkan pecut
ditangannya, sehiniga berbunyi nyaring di tengah udara,
Wajahnya menjadi dingin membeku, desisnya : "Tepat benar
dugaanku, Kim-pit kedua huruf itu sudah menimbulkan
kecurigaanku !" Giok liong semakin bingung dan tak habis herannya tak
tahu apa maksud tujuannya, katanya ragu: "Jadt maksud
Cianpwe adalah . . . " "Mari sambut beberapa jurus !"
"Wanpwe tidak berani kurang ajar !"
"Hahahaha, sudahlah jangan rada sungkan keluarkan Potlot
mas dan seruling samber nyawa, perlihatkan tanda dan
kewibawaan SiulJUin !" "vlaka dan wibawa ?" "Bisanya tidak pula mengelabui kau ! Dulu aku pernah
bergebrak dengan gurumu, kita membatasi sebanyak lima
ratus jurus, masing-masing mengambil sumpah berat, Tak
berjotang aku kena dikalahkan setengah jurus. sesuai untuk
menepati sumpahku aku mengasingkan diri digubug reyot ini
selama deIapan puluh tahun. Tahun yang lalu masa sumpahku
itu sudah berakhir, kini aku bertekad bulat kalau tidak bisa
mengambil pulang kekalahan dulu itu, selamanya takkan
muncul di kalangan Kangouw, Tapi kemana-mana sudah
mencari jejak Pang Giok, Kau adalah murid tunggalnya, inilah
baik sekali !" Giok liong tertawa ewa. katanya : "O, jadi begitu. Biarlah
nanti jikalau aku bertemu dengan Suhu akan ku sampai pesan
Locian-pwe ini !" "Tidak perlu hubungan guru dan murid laksana ayah dan
anak, Hutang ayah, anaknya yang harus bayar. sekarang aku
sudah menemukan kau. Pang Giok mau datang tidak sudah
tidak penting lagi." "Mana Wanpwe berani unjuk kejelekan dihadapan Cian pwe
!" "Jangan terlalu banyak membuang buang tempo ! Marilah
mulai" Sikap Sip hiat-ling-pian Koan It-kiat tenang-tenang saja
namun kata-katanya yang mendesak ini tDalah pecut di
tangannya. juga sudah mulai bergerak mengancam.
Giok-liong menjadi ragu ragu untuk turun tangan, sebab
terhadap Sip hiat-pian (pecut penghisap darah) ini sedikit pun
ia tidak paham dengan sendirinya lantas timbul rasa gentar
dan khawatir menghantui sanubarinya.


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebaliknya kalau tidak mau bergebrak sikap Koan It-kiat
sangat mendesak betapa juga ia tidak malu kalau dipandang
takut mati, apalagi perguruan dibina dan dipandang rendah.
Akhirnya meskipun dalam keadaan serba sulit ia tertawa
getir dan berkata: "Koan locian-pwe, apakah benar tidak bisa
menanti guruku . ." Mendadak sebuan bayangan orang melesat keluar dari
gubuk sebelah kiri sana. Dilain kejap lalu laki laki bermuka hitam yang memancing
Giok-Iiong datang tadi sudah berdiri tegak ditengah lapangan
rumput ini. Katanya penuh rasa hormat kepada pecut sakti penghisap
darah Koan It-kiat: "Biarlah tecu bergebrak beberapa jurus
dulu, bagaimana pendapat Suhu?"
Sebentar berpikir, lantas pecut sakti penghisap darah Koan
It kiat berkata ragu: "Kau . . . ."
"Kalau Tecu tidak kuat melawan dia, nanti suhu turun
tangan juga belum terlambat !"
"Bocah tak berguna, cara bicaramu saja sudah dibawah
angin. Baik " Hati-hatilah" kata Koan It kiat sambil
melemparkan pecut di-tangannya. Pecut panjang itu laksana seekor naga terbang lempang
memanjang melesat kemuka muridnya. Terbangun semangat laki laki muka hitam, sebab sekali ia
melompat maju sambil meraih dengan tangkas sekali ia
menangkap pecut panjang itu. Ditengah udara ia kembangkan gaya Siang thian-thi
(memanjang tangga langit) gerak tubuh yang indah sekali
badannya lantas melambung tinggi beberapa tombak.
Ditengah udara ia tarikan pecut panjang itu sehingga
menerbitkan angin kencang menderu laksana angin lesus
ditengah hujan badai dipadang pasir, lalu menukik turun
seperti elang menyamber mangsanya. Ringan sekali ia hinggap diatas tanah, setombak lebih
berhadapan dengan Giok liong, lengan kirinya yang putus
sebatas sikut itu menuding kearah Giok-liong, ujarnya: "Mari,
kau tidak berani bergebrak dengan guruku, hadapilah aku Siau
pi-ong dan sambutlah seratus jurus,"
Melihat pertunjukkan Ginkang orang yang hebat pertanda
Lwekangnya yang sempurna, diam diam Giok liong memuji
dalam hati, Tapi lahirnya ia tetap tenang acuh tak acuh
ujarnya: "Tuan memancing aku kemari, jadi inikah
tujuannya?" Siau pa ong menjulurkan pecut penghisap darah, teriaknya:
"Kalau begini hayolah turun tangan, buat apa banyak
ngobrol!" lalu ia mendesak maju dua iangkah, pecutnya
diayun siap menyerang Giok-liong insyaf tak mungkin ia menolak dan menampil
tantangan orang lagi, khawatir pihak lawan menyerang dan
mengambil inisiatif pertempuran dengan serangan gencar,
maka segera dirogohnya keluar Potlot mas dan Seruling
sambar nyawa. "Karena terdesak terpaksalah aku mengiringi, harap berilah
pelajaran beberapa jurus ilmu kalian yang hebat tiada
taranya!" "Nah, begitu baru menyenangkan!" tanpa ayal lagi Siau-pa
ong segera menyambar pecut penghisap darah, dengan jurus
To-pian-toan cui (pecut memutus air), pecutnya menyapu
datang dengan deru angin keras dan bunyi yang menusuk
telinga. Giok-liong tak berani ayal, dengan langkah Leng-hun-toh ia
melejit jauh setombak, berkelit dari sambaran pecut lawan, Ji
lo sudah terpusatkan mulailah ia mainkan Jan hun su sek.
Trililili. . . seruling samber nyawa memancarkan cahaya
putih laksana layung seperti seutas rantai panjang, demikian
juga Potlot mas mulai mengembangkan pancaran sinar kuning
yang cemerlang seperti sinar matahari menjelang senja.
Dalam pada itu, Pecut sakti menghisap darah Koan It-kiat
tengah termenung, pikirnya: "Dibawah panglima kuat tiada
tentara lemah. Bocah yang dididik Pang Giok ini memang
bukan kepalang hebat, entahlah bagaimana dengan latihan
Lwekangnya?" Gulungan hawa hitam yang ditimbulkan oleh bayangan
pecut bersemi itu berputar cepat bergulung-gulung seperti
roda angin. Sinar kuning mas dan larik cahaya putih layung itu
terbungkus dalam bayangan pecut hitam bergerak begitu
lincah seperti ikan berenang dalam air, pancaran berpaduan
sinar kuning dan putih semakin terang menyilaukan mata.
Kalau Siau-pa-ong membentak-bentak dengan suaranya
yang keras. Sebalik-nya Giok liong tak hentinya
memperdengarkan tawa dingin. Di lapangan rumput yang tak lebih seluas puluhan tombak
itu terjadi pertempuran sengit yang sangat mempesonakan
pandangan mata. Dari mula pertempuran ini sudah sangat menegangkan.
sedemikian serunya sehingga menyesakkan pernapasan,
saban-saban berkutet di sebelah timur mendadak bergulunggulung
kearah barat, semakin lama gerak gerik mereka
semakin cepat. Lambat laun saking cepat gerak pertempuran ini susah
dibedakan lagi siapakah Giok-liong dan yang mana orang
buntung bermuka hitam itu. Yang jelas kelihatan hanya gulungan kabut ungu yang
menyelubungi pancaran sinar kuning dan layung pulih yang
memanjang menggubat, seperti ular naga selincah kera
menari, berkelebat berkelap kelip. Mana dapat membedakan
jurus atau serangan tipu apa lagi yang tengah mereka
lancarkan. Sekonyong-konyong Pecut sakti penghisap darah Koan Itkiat
yang berdiri menonton di depan gabuk itu menggerung
kaget: "Celaka !" "Siuut!" "Aduh " bayangan orang lantas berpencar.
Terdengar Giok liong berseru tertekan: "Terima kasih kau
sudi mengalah !" Pecut sakti penghisap darah Koan It-kiat bersuit panjang
dan nyaring, tiba-tiba tubuhnya melejit tinggi tujuh tombak,
dimana cakar tangannya diulurkan terus meraih pecut
penghisap darah yang terpental terbang dan sudah meluncur
turun. Lalu dengan gaya Le-hi-te ting (ikaa gabus meletik) dengan
ringan dan indah sekali kakinya mendarat di pinggir sungai, air
mukanya membesi kaku. Sementara itu, kelihatan Siau-pa-ong tersurut mundur
beberapa langkah terus menggelendot diatas dahan pohon,
pancaran sinar matanya menjadi guram, tangan kanannya
sudah kosong melompong, sedang sikut tangan kiri yang
buntung itu menekan dada kulit mukanya yang hitam itu
menjadi pucat menahan sakit. Giok-liong mengacungkan tinggi Potlot masnya, sedang
seruling samber nyawa melintang di depan dada, dengan
tenang dan waspada ia berdiri tegak sekokoh gunung di atas
lapangan rumput, sikapnya garang dan perwira.
Sesaat keadaan menjadi sunyi dan serba kikuk, sementara
waktu mereka bertiga menjadi berdiri melongo tanpa bersuara
dengan muka merengut dan pandangan mendelik !
Sebentar kemudian terlihat Pecut sakti penghisap darah
Koan It kiat tertawa getir, dan sedih, "Hahaha, hehehehe !
Hihihihi !" Potlot mas dan seruling samber nyawa disekap ditangan
kiri, segera Giok-liong menjura penuh rasa prihatin menjura
kepada Koan lt-kiat, katanya: "Cian-pwe, harap maaf akan
kelancangan Wanpwe tadi!" Sekarang Siau pa-ong sudah pulih tenaga dan
pernapasannya, segera ia menubruk maju berlutut dibawah
kaki Sip hiat ling pian Koan lt-kiat, dengan sesenggukan dan
menangis sedih ia memohon tersenggak: "Harap Suhu suka
memberi hukuman !" Pandangan mata Sip hiat ling pian Koan It kiat ke tempat
yang jauh, suaranya tertekan agaknya hatinya tangat
mendelu, ujarnya: "Bangunlah ! DuIu gurumu juga dikalahkan oleh perpaduan
jurus Toan bing dan Jan hun ini, memang kedua jurus lihay ini
merupakan intisari kesaktian dari ilmu Jan hun su sek itu, dua
jurus berkombinasi dalam pelaksanaan kerja sama menjadi
empat jalan tipu yang serasi sekali, sungguh tak duga... ai !"
Ia menghela napas panjang dengan sedih lalu pelan pelan
menyingkir. Melihat orang tiada niat hendak mempersukar dan
menahan dirinya lagi, Giok liong harus cepat berpikir dan
bertindak! "Saat yang baik ini kalau aku tidak lekas pergi tunggu
kapan lagi!" lekas-Iekes ia melangkah maju sambil menyimpan
potlot mas dan seruling samber nyawa, dengan angkat tangan
ia menjura dalam katanya: "Cian-pwe, sekarang juga Wanpwe
minta diri !" Sejenak Koan It kiat mengawasi Giok-1i-ong lalu katanya
sambil mengulap tangan: "Pergilah!"
"Teriua kasih, Koan Lo-cian-pwe!" Giok liong mengiakan,
Berbareng dengan habis kata katanya kakinya lantas menjejak
tanah, dengan mengembangkan Leng-hun-toh dua kail
loncatan saja ra sudah keluar dari lapangan berumput itu.
"Tunggu sebentar !". "Bukankah Cian-pwe . . ."
"Kalau bertemu dengan gurumu, beritahu kepadanya.
Katakan bahwa Koan It-kiat tidak membencinya dan tidak
menyalahkan dia. Tapi hatiku juga belum tunduk setulus hati.
Kalau ada kesempatan bertemu, seperti cara semula dulu,
bagaimana juga haras ditentukan lagi siapa lebih unggul siapa
asor." "Wanpwe paham, pesan Cian-pwe ini tentu kusampaikan !"
"Baik, pergilah !" "Permisi !" laksana terbang lekas-lekas Giok-liong
meninggalkan gubuk bambu pengasingan Koan It-kiat itu. Dari
jalan datang semula, ia menyelusuri hutan gelap belantara
tadi secepat terbang ia sudah sampai di ambang hutan.
Dan baru saja kakinya menginjak tanah di pinggir hutan,
tiba-tiba terdengar kesiur angin lambaian baju dibelakangnya,
disusul terdengar bentakan keras: "Bocah keparat tunggu
sebentar !" Kiranya Siau-pa ong telah mengejar datang, baru lenyap
suaranya tahu-tahu ia sudah menghadang didepan Giok-liong.
sepasang matanya mendelik gusar berapi api seperti pancaran
bara api dalam tungku. Sikap garangnya ini sungguh jauh
berbeda dibanding waktu ia berlutut didepan kaki suhunya
Sip-hiat - ling pian Koan It - kiat tadi.
Tahu Giok-liong bahwa kedatangan orang ini pasti hendak
mencari gara-gara, maka dengan senyum dibuat buat ia
berkata: "Apakah maksud kedatangan saudara ?"
"Huh, apa kau hendak tinggal pergi saja." semprot Sia paong
dengan berang. "Lantas kau hendak apa lagi ?"
"Berilah keadilan akan kekalahanku sejurus tadi !"
"Keadilan ! Ha ! Ha !" "Apa yang kau tertawakan ?"
"Bertanding ilmu silat bukan mustahil kelepasan tangan.-
Apalagi gurumu Koant-lo cian-pwe sendiri sudah mengijinkan
aku pergi. Apakah saudara tidak hiraukan nama baik
perguruan kalian ?" "Tutup mulut!" Sia -pa ong- membaling-balingkan bandulan
baja di tangannya, saking keras berputar sehingga sering
kebentur sampai mengeluarkan suara berdenting.
Melihat sikap garang orang, Giok liong menjadi geli dalam
heran, pikirannya: "Tadi karena kupandang muta gurumu,
kalau tidak apa sih kepandaianmu, tidak lebih kau hanya dapat
menahan sepuluh jurus seranganku saja, Kalau aku tidak
merasa kasihan dan menyerang dengan telak dalam
kesempatan yang ada tadi, mungkin jiwamu sudah melayang."
karena pikirannya ini air mukanya lantas mengunjuk senyum
mengejek dan hina. Sudah tentu Siau-pa- ong maklum akan senyum ejeknya
ini. Hati yang sudah berang itu semakin berkobar seperti api
di-siram minyak, hardiknya berjingkrak: "Melulu kau andalkan
seruling samber nyawa, Kalau tidak masa kau bisa menangkan
tuan mudamu ini !" Sudah tentu Giok-Liong merasa dongkol dipandang sepele,
namun sikapnya tetap tawar, ujarnya : "Apakah begitu saja
penilaian terhadap kepandaianku ?"
"Sudah urusan belakang, yang terang mari kita bertanding
dengan kepalan, apa kau berani ?"
Giok-liong menjadi aseran ditantang terang terangan,
sebisa mungkin ia menahan gejolak amarahnya, dengusnya
dingin: "Kurasa boleh juga, tapi. . ."
"Baik, lihat serangan !" sering dengan serunya, sikut
buntung Siau pa ong tiba tiba bergerak menyodok dengan
serangan pancingan sedangkan tangan kanan yang
menggenggam bandulan baja tiba tiba menjojoh dengan
ganasnya, jarak mereka begitu dekat, serangan ini
melancarkan secara tiba tiba lagi dengan sasaran yang telak.
Giok liong belum bersiap sehingga kerepotan menghindar
hampir saja ia kena di jotos dengan telak, sedikit pundaknya
bergerak ringan sekali ia melompat tujuh kaki jauhnya, disini
hampir saja dia menumbuk sebatang pchon, cepat cepat ia
miringkan tubuh dan menggeser kaki lagi sampai lima kaki,
Keadaan ini benar benar serba runyam sehingga ia mencakmencak
kerepotan. Siauw-pa-ong menggembor keras, mendapat angin ia tidak
sia siakan kesempatan baik baik ini, tangan kiri buntungnya
menyelonong maju, ditengah jalan dirubah dari tutukan
menjadi kemplangan dari atas menyambar kebawah, saking
bernafsu ia menyerang tenaganya sangat besar sehingga
angin menderu. Belum lagi Giok liong sempat berdiri tegak, Kesiur angin
kencang sudah melandai datang. "Sombong benar!" seiring
dengan bentakannya ini, bayangan putih lantas berkelebat,
pergelangan tangan dibalikkan terus mencengkeram kearah
tangan musuh. Serentak kedua belah pihak menjerit bersama terus
terdorong mundur sungguh di luar perisangkaan Giok-Iiong
bahwa samberan tenaga tangan buntung siau pa-ong ini
sedemikian besar sebaliknya Sia-pa-ong sendiri juga takjup


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat kegesitan Giok-liong yang melayani serangannya
dengan bagus sekali tanpa gugup. Jurus-jurus kepalan aneh terus ditawarkan serangan
menyerang dengan gerak cepat dan sepenuh tenaga,
ditambah gerak tubuh mereka yang lincah dan tangkas,
terjadilah pertempuran tanpa senjata yang hebat diluar hutan
belantara itu. Meskipun tangan kiri buntung, namun tangan Siau-pa-ong
itu tidak kehilangan kemampuannya, Malah dengan tangan
buntungnya ia selalu melancarkan serangan mematikan yang
sulit diraba sebelumnya. Agaknya ia sangat tekun dalam pelajaran silat khusus
dengan ilmu tunggal yang menguntungkan dengan tangan
buntungnya itu. Kalau mau sejak tadi Giok liong sudah mampu merobohkan
lawannya, apa boleh buat, karena tidak tega dan yang
terpenting karena memandang muka gurunya sehingga
pertempuran ini semakin berlarut. Sepeminuman teh kemudian mereka sudah bergebrak
sebanyak ratusan jurus. Matahari sudah mulai doyong kebarat
sebentar lagi akan kembali ke peraduannya, sinar surya yang
mencorong kuning keemasan cemerlang menerangi jagat raya
ini. Adalah di depan hutan belantara itu di-bawah sorotan sinar
ini matahari terlihatlah bayangan hitam dan putih tengah
berkutet dengan sengitnya. Pohon-pohon dan rumput sekitar
gelanggang menjadi roboh beterbangan tersapu oleh angin
pukulan yang menyambar keras. Tak lama kemudian kabut malam sudah mendatang, cuaca
sudah mulai gelap, Giok-liong menjadi gelisah, bentaknya
keras : "Saudara, kalau kita berkutet begini saja, kapan
pertandingan ini bakal berakhir?"
Siau-pa-ong menyemprot dengan megap-megap: "Kecuali
kau merasakan dulu tonjokan sikutku atau setengah
kepalanku." "Hihihihi!" Giok-liong mengejek, "kurasa tidak begitu
gampang !" "Keparat, inilah buktinya rasakan !"
"Belum tentu!" "Aduh !" "Terpaksa kau harus mengalah lagi! wah . . , , hari !"
Sedetik itulah secepat kilat terjadi suatu hal yang tak
terduga sebelumnya. setitik sinar perak laksana luncuran anak
panah yang terlepas dari busurnya tahu-tahu menerjang
kearah Giok-liong. sebetulnya Giok-liomg sudah melangkah
maju hendak memapah bangun Siau pa-ong yang terjungkir
ditanah terpaksa ia menghentikan langkahnya terus
mencengkeram kearah titik perak itu.
Jeritan Giok liong itu adalah rasa kejut nya karena
terasakan olehnya luncuran sinar perak itu adalah sedemikian
kuat dan dahsyat nya, sehingga seluruh lengannya menjadi
linu kebal, baru saja ia hendak memeriksa . "Siut" setitik sinar
tierak lagi lagi meluncur datang pula, kali ini lebih cepat lebih
keras. Giok-liong tak keburu berkelit terpaksa titik sinar perak
yang tergenggam ditangannya tadi disambitkan memapak
kearah titik sinar perak yang meluncur datang.
"Tring!" "api berpercik ditengah udara, dua titik sinar perak
kontan terpental balik kearah datangnya semula. Tahu-tahu
Giok-liong rasakan pundaknya kesakitan sekali. Seiring dengan
jerit kesakitan ia melayang kesamping setombak lebih.
Dalam pada itu Siau pa-ong yang dirobohkan Giok-liong
tadi tengah merangkak bangun juga menggembor dengan
keras: "Oh, Tuhan !" badan lantas menggelundung jauh, darah
segera membasahi rumput disekitarnya "Ma Giok-liong cara
turun tanganmu memang harus dipuji sayang kau terlalu
ganas." lenyap suaranya tanu-tanu Sip-hiat-ling pian Koan It
kiat sudah diambang hutan sana dengan muka dingin
membeku matanya mengawasi siau pa - ong yang
menggeletak ditanah, air mukanya berubah berulang-ulang.
Tersipu-sipu Giok-liong melangkah maju serta menjura,
katanya : "Cian-pwe. , . kau. . ."
"Jangan banyak omong !" bentak Kaoa-it-kiat memutus
kata-kata Giok-Iiong, matanya dipicingkan, ujarnya: "Bocah ini
berani meninggalkan gubukku tanpa ijin mengejar kau untuk
menuntut balas, jangan kata baru cacat sebuah matanya,
andaikata keduanya buta juga cukup setimpal Hukuman ini
sesuai dengan perbuatannya, aku tidak salahkah kau !"
Giok-liong menjadi lega, ibanya sambil tertawa getir :
"sebaliknya Wanpwe juga kena dibandul oleh senjata bajanya
itu, tak duga tanpa-sengaja . , ."
"Aku tidak peduli kau sengaja atau tidak, siapa suruh dia
mengejar kau kemari!" "Kalau begitu baiklah Wanpwe minta diri saja !"
"Nanti sebentar!" "Cian-pwe masih ada petunjuk apa lagi?"
"Bagaimana juga diambang pintu gubuk pengasinganku,
dalam hutan terlarang daerahku ini, muridku telah dilukai
orang luar, kalau berita ini sampai tersiar dikalangan
Kangouw, selama hidup ini aku pasti malu bertemu dengan
orang, lalu bagaimana baiknya ?"
"Cian-pwe. . ." "Apalagi kalau kau tinggal pergi begitu saja, kemana pula
tampangku ini harus ku letakkan ?"
"Apa yang Cian-pwe hendak lakukan ?"
"Tinggalkan sesuatu apa milikmu disini, baru mukaku ini
dapat menjadi terang, supaya aku orang tua she Koan tidak
ditertawakan para sahabat Kangouw sebagai orang tua pikun
tak tahu malu, murid sendiri di hajar orang luar didepan pintu
sendiri. Begitulah penyelesaiannya !"
Maksud Ciaa-pwe aku harus meninggalkan sesuatu . . . "
sambil berkata Giok-liong meraba-raba badannya "terutama
seruling samber nyawa yang digembol dalam buntalannya.
Karena ia kuatir situa bangka ini bermaksud jahat dan muncul
sifat serakahnya. Diluar dugaannya. Pecut sakti penghisap darah Koan It kiat
acuh tak acuh berkata: "Kaki tangan atau salah satu panca
indramu terserah kau senang tinggalkan yang mana. Aku
orang tua mana bisa memaksa kau!"
"Kaki tangan atau Panca indera?"
"Yah!" "Kiranya Cian.pwe suka main kelakar ! Hehehe!"
Main kelakar ?" tiba tiba raut muka Pecut sakti penghisap
darah Koan It-kiat merengut seram, bisiknya sambil
membujuk Siauw-pa ong: "Paling tidak harus barang yang
lebih berharga dari sebuah matanya itu. Kalau tidak jangan
harap kau bisa tinggalkan tempat ini."
"Hahahahaha." saking gusar Giok-liong malah berlagak
tertawa. "Apa yang kau tertawakan ?"
"Putusan hukuman Cian-pwee ini rasanya rada berat
sedikit, seharusnya Wanpwe harus malah menerima, sayang
aku ada maksud tapi tiada tenaga untuk melaksanakan
terpaksa aku menolak putusan ini. Baiknya kita bertemu lain
kesempatan saja, selamat bertemu." lutut sedikit ditekuk
kakinya terus menjejak tanah, selarik bayangan putih lantas
melambung tinggi keangkasa. "Kau hendak merat!" "Wut" angin kencang menerpi datang,
tahu-tahu bayangan hitam menyilaukan mata. Ujung pecut
penghisap darah membawa desiran angin kencang berbunyi
nyaring ditengah udara, bayangan pecut berkelebat didepan
matanya laksana ular sakti. Terpaksa Giok liong terus mengeluarkan Potlot mas dan
seruling sumber nyawa lagi. "Buyung sebelum melihat peti mati agaknya kau belum
mau mengerti " Apa kau tidak mengetahui peraturan disini?"
"Peraturan apa?". "Lohu minta kau meninggal kati tanda mata, kau harus
segera melaksanakan Entah itu sejalur rambutmu paling tidak
juga harus ditinggalkan sekarang setelah Lohu turun tangan
sendiri kau takkan bebas memilih cara sendiri, Apa yang harus
kau tinggalkan jadi akulah yang menentukan!"
"Kalau kau sendiri juga tak mampu menahan sesuatu dari
aku?" ?"Bocah sombong, kau lebih takabur dari Pang Giok!
Lihatlah aku akan meninggalkan sepasang kaki anjingmu itu!"
Pecut sakti penghisap darah lantas bergerak dengan jurus
Heng-san jiang-kuh (menyapu bersih berlaksa tentara)
mengarah sasaran yang tetap terus menyapu kebawah,
Memang Lwekang tingkatan gembong silat yang tua bukan
olah olah hebdanya. Baru saja pecut sakti itu bergerak lantas membawa kesiur
angin keras yang menyesakkan napas jauh lebih hebat dan
ganas waktu digunakan oleh Siau pang-ong tadi, berapa lipat
ganda lebih dahsyat. Menghadapi musuh berat sedikitpun Giok liong tidak berani
ayal, jurus jurus Potlot masnya dikembangkan seruling
saktinya juga mulai bergaya. Hawa Ji-lo sudah terkerahkan melindungi seluruh jalan
besar ditubuhnya, terutama sendi sendi tulang dan urat-urat
nadi besar dikunci rapat, supaya tidak berbahaya kalau kena
disamber pecut sakti penghlsap darah itu.
Waktu itu Sip-hiat-ling-pian Koan It-kiat sudah merubah
sikapnya semula yang acuh tak acuh dan pendiam tadi, Adalah
pecut sepanjang jalan sembilan kaki ditangannya itu ditarik
sebegitu rupa menjadi beribu berlaksa carik sinar hitam yang
bergulung-gulung bergerak melecut-legut bagaikan ratusan
ekor ular berbisa yang hendak mematuk dirinya.
Sekitar lima tombak dalam gelanggang pertempuran yang
kelihatan hanyalah gulungan pecut yang membawa putaran
tenaga yang hebat dingin merangsang ketulang.
Giok-Iiong insyaf mati hidupnya hanya terpaut dalam
kilasan gerak senjata musuh saja, Inilah musuh paling
tangguh dan lihay selama ia berkelana di Kangouw, apalagi
pecut itu juga merupakan senjata terampuh dan beracun lagi.
Dengan adanya kedua penilaian tertinggi ini yang
tergabung menjadi satu, betapa juga Giok-liong harus
menambah kewaspadaan ! Maka begitu turun tangan Jan-hunsu-
sek lantas dilancarkan. Potlot masnya diputar sedemikian kencang sehingga
merupakan lingkaran sinar kuning yang tak mungkin dapat
ditembus oleh hujan, kalau Potlot mas guna melindungi diri
adalah seruling sambar nyawa mulai mengalun iramanya yang
merdu beruntun suaranya melengking tinggi menggetarkan
hati menyedot sukma. Pertempuran antar dua tokoh kosen kali ini lebih dahsyat
seru dan tegang, Tanpa terasa setengah jam sudah berlalu,
saking cepat mereka bergerak tahu-tahu sudan mencapai tiga
ratusan jurus. Sekonyong-konyong "Tar!" "pecut sakti penghisap darah
Koan it-kiat menambah tenaganya, dimana pecutnya diayun
dia mendesak Giok-liong mundur selangkah, Giok-liong
menjadi bingung dan tak tahu apa maksud tindakan lawan ini,
disangkanya orang ada omongan yang hendak dikatakan
maka sebat sekali ia melejit mundur dan bersiap dengan
waspada. (Bersambung Jilid ke 18) Jilid 18 Dilihatnya air muka Koan It-kiat berubah hebat, mukanya
yang semula rada putih kehitaman itu menjadi warna kuning,
lalu semu merah hijau dan abu-abu. Pecut panjang lemas ditangannya itu kini melempang
menjurus kedepan dengan kaku seperti tombak panjang
sembilan kaki, ini belum aneh, yang lebih ajaib lagi warna
pecut, yang tadi hitam legam kini sudah berubah menjadi
merah gelap memancarkan kilauan dingin.
Pecut sakti penghisap darah Koan It-kiat pelan pelan
menggeser kakinya, pecut penghisap darah ditangannya
tergetar gemetar sepasang matanya merah membara
mendelik tanpa berkedip menatap kearah Giok-liong.
Sikap seringainya ini sungguh garang bengis dan buas
sekali seperti sudah kesetanan, bukan saja tampangnya ini
sangat menakutkan terutama senjata pecut penghisap darah
yang sangat jahat berbiji itulah yang harus. . .
Baru pertama ini Giok liong melihat keadaan orang yang
seram ini, hatinya menjadi bercekat namun ia masih tabah
dan tidak takut. Dengan gayanya tersendiri ia siap berjagajaga,
serunya lantang: "Cian-pwe bukan wanpwe takut, tapi
urusan kali ini harus dibicarakan jelas lebih dulu!"
Sepatah demi sepatah Koan It-kiat ber-kata: "Apalagi yang
perlu dibicarakan." "Bandulan yang melukai muridmu itu adalah kesalahan
tangannya sendiri!" "Ma Giok liong, kau. . ."Pecut sakti penghisap darah Koan It
kiat membentak beringas, dengan langkah lebar ia menerjang
maju terus menusuk. "Stop!" tiba-tiba sebuah bayangan abu-abu meluncur turun
laksana seekor elang hinggap dihadapan mereka, Dilain kejap
tahu-tahu dldepan mereka sudah bertambah seorang nenek
tua yang berpakaian abu abu. Nenek itu sudah ubanan, raut mukanya sudah banyak
keriputnya, tapi kelihatan segar bersemangat. Bukan saja
pancaran sinar matanya terang malah berkilat tajam dan
bening, Seluruh tubuhnya dilibat pakaian dari sari panjang
warna abu-abu. Begitu mendarat ditanah tanpa menghiraukan Koan It-kiat,
sebaliknya ia menghadapi Giok-liong, tanyanya : "Kau yang
bernama Ma Giok- liong !" Giok-liong tidak tahu asal usul nenek tua ini, dengan
bingung ia manggut-manggut mulutnya mengiakan.
"Jadi kau inilah Kim-pit-jan-hun ?"
Sekali lagi Giok liong mengiakan "Tidak salah ?"
"Bocah Bedebah kau !" Nenek baju abu-abu itu mendadak mengayun tangan
laksana angin cepatnya sudah terulur mencengkeram datang,
berbareng sebuah kakinya juga menendang, mencengkeram
dan tendangan ini dilakukan dalam waktu yang bersamaan
dilancarkan secepat kilat lagi, perbawa serangan ini sungguh
mengagumkan dan mengejutkan.

Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam keadaan yang gawat ini, untung Giok liong masih
sempat bergerak dengan jurus Wi cui-ban-bik (membendung
air menahan gelornbang), mengiu kesiur angin keras yang
menerpa datang dari angin pukulan musuh ia berputar putar
secepat kitiran, enteng laksana naik awan, indah sekali ia
hindarkan diri dari rangsakan musuh.
Walaupun selamat tapi gerak geriknya runyam, keruan
hatinya menjadi geram teriaknya : "Gila kau !"
Siapa tahu nenek tua itu mendengus di hidung, katanya
sambil mengertak gigi penuh kebencian: "Karena kau, aku
betul betul bisa dibikin gila !" belum selesai kata-katanya ia
sudah menubruk tiba lagi, telapak tangan dan telunjuk jari
kanan sekaligus merangkak tiba dengan tepukan dan tutukan,
kombinasi serangan ini dinamakan Boan-thian kay te
(memenuhi langit menutup bumi) dan Tok jing to-sim (ular
berbisa menjulurkan lidah), inilah serangan mematikan yang
ganas dan telengas ! Giok liong harus kembangkan kelincahannya, sebat ia
sudah melolos keluar senjata Potlot masnya.
"Bocah keparat, kau mengandal senjatamu itu !"
"Siiuuuut !" nenek tua juga menggunakan senjata lemas,
yaitu selendang sutra sepanjang tujuh delapan kaki, ditarikan
menjadi seperti ular hidup yang memancarkan sinar dingin
terus menggulung tiba hendak menggubat Potlot mas Giokliong.
Sementara itu Pecut sakti penghisap darah Koan It-kiat
masih menyekal Sip-hiat-wajahnya kaku dingin berdiri
menjublek mengawasi pertempuran yang sengit ini.
Di lain pihak Siau pa ong sendiri sekarang tengah duduk
bersila dibawah pohon mengerahkan Lwekang berusaha
mengobati luka-luka dalamnya. Sinar perak berkutet dan tak jauh menggubat cahaya
kuning kuning. Kalau si nenek lancarkan jurus-jurus ganas
yang mematikan, yang diarah adalah tempat-tempat penting
yang melumpuhkan, Sebaliknya Potlot mas bergerak lincah
balas menyerang setiap kali ada kesempatan sedang seruling
berputar rapat melindungi badan, sekaligus Giok liong
mainkan dua ilmu berlainan yang dikombinasikan bersama,
sungguh hebat dan menakjupkan. Bulat sabit sudah merambat setinggi pohon. Dibawah sinar
sang bulan yang redup, cahaya kuning dari pancaran Potlot
mas itu berubah laksana titik bintang dingin berlaksa
banyaknya, sedang sorot cahaya perak seperti seutas rantai
panjang membendung dan melingkar dengan cepat sekali,
irama seruling mengalun rendah berdentam seperti bunyi
genta. Tatkala itulah tidak jauh dari gelanggang pertempuran ini,
didalam semak belukar terlihat banyak bayangan orang
bergerak-gerak, menyelinap dan menggeremet maju
merubung ke arah arena pertempuran.
Semua mengendap-ngendap meringankan langkah dan
menahan napas, sehingga sedikitpun tidak mengeluarkan
suara. "Bret!" tiba tiba terdengar suara sobekan kain yang keras,
Disusul si nenek berseru tertahan, kiranya selendang perak
senjata si nenek sini sudah robek menjadi dua tepat terbelah
di tengah-tengah laksana digunting saja.
Senjata yang paling diandalkan kena dirusak oleh Potlot
mas musuh, keruan bukan kepalang gusar si nenek.
Karena keteianjuran sudah terbelah menjadi dua malah
kebetulan bagi si nenek, masing-masing tangan menyekal
selarik selendang terus menyerbu lagi semakin nekad seperti
harimau kelaparan. Cara permainan silat serta serbuan yang
membabi buta ini terang kalau ia sudah berlaku nekad untuk
gugur bersama. Melihat orang terus menyerbu dengan serangan membadai
tanpa hiraukan lagi keselematan diri sendiri, seketika timbul
rasa curiga Giok liong. pikirnya: "Apakah nenek tua ini adalah
ibu Siau-pa ong! Kalau tidak..." karena perasangkanya ini,
mendadak ia ayun seruling samber nyawa keras keras
sehingga bersuit nyaring bersama itu Potlot masnya bergerak
melintang menahan kedepan, jurus ini merupakan intisari dari
kekuatan ilmu Jan-hun-su-sek, hanya cara serangannya ia
rubah sedikit, yaitu potlot mas yang seharusnya ia tusukkan
kedepan ia rubah melintang terus mendesak maju.
Dibawah tekanan ilmu tunggal yang tiada taranya di dunia
persilatan ini, betapapun si nenek sudah nekad juga tak kuasa
lagi menerjang masuk kedalam penjagaan jurus yang ampuh
ini, malah dengan mendengus keras ia tersurut mundur tiga
langkah. Setelah sejurus mendesak mundur lawan, Giok-liong baru
berkesempatan buka bicara: "Tiada juntrungannya kita
bertempur, kenapa kau tidak tahu aturan !"
Si nenek semakin beringas, semprotnya gusar: "Tiada
juntrungannya ! Penasaran anakku, kejengkelan menantuku
dan cucu perempuanku harus mengandal siapa coba katakan !
Katakan " Kau mau bicara tidak?"
Di mulutt ia mendesak orang untuk bicara, sebaliknya
tangannya tidak menanti orang buka mulut, serentak ia
tarikan lagi selendang di kedua tangannya, terus menubruk
maju lagi untuk kedua kalinya, giginya berkerut penuh
dendam seperti kesurupan setan. Kelihatannya ia sudah kehilangan kesadarannya.
Giok-liong berpikir lagi, kiranya tepat dugaanku, ternyata
Siau-pa-ong masih mempunyai keluarga.
Sinar perak berkembang rapat memenuhi udara melingkar
lingkar berwujud berpuluh bundaran besar kecil yang indah,
membawa kirasan angin yang kencang menderu laksana
derap langkah berlaksa kuda yaag tengah berlari kencang
terus menerjang datang. Mega putih mulai berkembang, Dibawah lindungan hawa Ji
lo, Giok-liong berkelebat melejit kesamping dimana Siau-paong
tengah semadi, Menunjuk kearah Siau pa-ong ia berteriak
kepada sinenek : "Orang tua, lihatlah putramu ini terluka berat
. . ." " Tak di duga si nenek malah semakin murka sambil
membanting kaki ia menerjang lagi dengan serangan yang
lebih hebat, bentaknya: "Bangsat kecil, kau masih pintar main
lidah!" dua larik lingkaran sinar perak serentak menggulung
dari kanan kiri, sebelah kiri melingkar hendak menggubat
sedang se-lendang kanan menyebut menyapu muka.
Sekarang Giok-liong menghadapi dua serangan dari dua
jurusan yang berlawanan, untung ia sudah kerahkan hawa Jilo
pelindung badan, kalau tidak pundaknya tulang tuIangnya
pasti patah atau remuk kena digubat.
Walau demikian tak urung ia rasakan pundak kirinya
menjadi kesemutan, seruling samber nyawa lantas terasa
semakin berat bobotnya. Karena kena kebutan senjata lawan inilah lantas
menimbulkan kemarahan Giok-liong "Nenek tua, kau terlalu mendesak orang!" pancaran cahaya
Potlot masnya semakin terang cemerlang, demikian juga irama
seruling semakin merdu dan keras lantang perbawanya
semakin hebat. Kini yang terlihat hanyalah sebuah bayangan putih
terbungkus di dalam putaran cahaya kuning mas dan kilauan
cahaya putih tengah berputar dan bergerak lincah seperti
angin lesus. Saking cepat ia bergerak sulit membedakan apakah itu
jurus serangan potlot mas atau tusukan Seruling sambar
nyawa, kiri kanan, depan belakang, timur, selatan, barat dan
utara seluruhnya terbungkus dalam sinar kuning dan cahaya
putih perak. Saking marahnya Giok-liong tidak hiraukan lagi segala
akibatnya karena tanpa khawatir lagi perbawa serangannya ini
bertambah berlipat ganda. Beruntun terdengarlah suara berlainan saling susul lalu
terdengar pula jerit gusar yang penasaran, tahu-tahu
selendang perak panjang itu kini terbang melayang ditengah
udara terlepas dari cekalan tangan si nenek.
Saking keras kisaran angin yang diierbitkan oleh putaran
Potlot mas, sehingga selendang perak iiu tergulung melayang
tinggi ketengah udara lama sekali terus berkembang baru
melayang jatuh ditanah. Si nenek berpakaian abu abu itu kelihatan terhuyunghuyung
mundur tak kuasa berdiri tegak. Kedua lengannya
lemas semampai, terang ia sudah menderita luka yang sangat
parah. Wajahnya kelihatan pucat pasi, desisnya penuh kebencian:
"Bocali keparat, ingat kejadian hari ini!" laksana daun
melayang jatuh dengan sempoyongan ia melejit tinggi,
maksudnya hendak tinggal pergi saja.
Tak duga sesaat waktu badannya masih terapung di tengah
udara. Mendadak dari semak belukar sana berbareng melesat
keluar puluhan bayangan hitam, puluhan jalur angin pukulan
dilancarkan ditengah udara dari kejauhan, semua serangan
tertuju kearah yang sudah terluka parah itu.
Terdengarlah lolong panjang yang mengerikan dari jiwa
yang meregang sebelum ajal. Seketika Giok liong sampai kesima kaget ditempatnya.
Hujan darah terjadi ditengah udara, darah tercecer keempat
penjuru. "Bluk!" jazat si nenek tua terbanting keras dari tengah
udara. Ternyata para bayangan hitam itu masih tidak memberi
ampun lagi, serentak mereka lancarkan pula pukulan angin
jarak jauh meluruk kearah badan yang sudah menggeletak tak
bergerak itu, Kareaa jiwa sudah melayang sebelum jatuh
ditanah ra-di, seketika badan si nenek htncur lebur seperti
bergedel susah dikenali lagi. Dalam pada itu, Siau-pa oug sudah selesai dengan usaha
pengobatan dirinya, meskipun belum sembuh seluruhnya tapi
ia sudah membuka mata, melihat adegan yang seram itu
seketika ia duduk terlongong-longong.
Giok-liong menjadi serba kikuk juga sangat menyesal baru
saja ia bermaksud maju memberi penjalasan kepada pecut
sakit penghipap darah Koan It-kiat dan muridnya, Mendadak
Koan It-kiat bergelak tawa lantang: "Hahahahaha! Hahahaha!
Hehehehe!" "Cian-pwe urusan ini....."
"Ma Giok-Iiong, kejadian kali ini tidak menguntungkan
bagimu?" "Maksud Cian-pwe ?" "Ketahuilah Hwi-hun-san-cheng tidak akan terima dihina
semena-mena!" "Apa Hwi-hun-san cheng?" "Apa kau tidak kenal si nenek tua itu?"
"Bukankah ia ibu muridmu?" "
"Huh! Koan It-kiat berludah sambil menyeringai acuh tak
acuh, ia mendesis dingin: "Buyung, ketahuilah nenek tua ini
adalah ibu Hwi hun-chiu Coh Jian kun majikan dari Hwi-hunsan-
cheng itu. Ketenaran nama Coh Jian-kun sebagai Bulim
Bing-cu selama lima puluh tahun masih tetap jaya! Bencana
sudah terang harus kau pikul!"
Kata-kata ini laksana sebuah pentung yang mengemplang
diatas kepalanya laksana guntur menggelegar disiang hari
bolong. Otak Giot-liong serasa seperti dipukul godam menjadi
pusing dan berat, sesaat ia berdiri menjublek seperti
kehilangan kesadaran tanpa bersuara. Tubuhnya kaku seperti
patung kayu berdiri tegak ditempatnya.
Pecut sakti penghisap darah Kaon lt kiat sendiri juga tidak
tahu akan seluk beluk persoalan yang scbs:ulnya, taPi melihat
orang melongo lantas ia mengejek: "Kau takut " Sudah
menyesal" Giok liong masih tetap tak bergerak dan bicara, sebab dia
tengah berpikir. Bagaimana ini bisa terjadi" Bagaimana
mungkin dia adalah nenek diri istri tercinta " Kalau ini betul
betul kenyataan . . . . Bagaimana aku harus memberi
penjelasan kepada Coh Ki sia " Peristiwa yang terdahulu ia
sudah berbuat salah dan dosa kepada kedua orang tua yaitu
Coh Con Jian-Min dan Tam kiong sian cu Hoan Ji-hoa,
sekarang . . Tuhan agaknya memang sengaja hendak mempermainkan
umatnya " Ataukah memang hidupku ini yang harus
menderita" Giok-liong semakin tenggeIam dalam alam
pikirannya. Terdengar Pecut sakti penghisap darah Koan It-kiat kembali
tawa ejek : "Bagus! selama hidup waktu muda dulu Pang Giok
dengan Potlot mas tunggalnya malang melintang namanya
tenar sehingga diberi julukan Bulim-sucun. Kau sendiri Giok
liong belum lama berkelana di Kangouw ini ternyata sudah
mempunyai musuh sedemikian banyak tidak suka. ! Yang
harus dibayangkan adalah ketenaran dan keharuman nama
Pang Giok dan keempat bayangan senjata rahasia Potlot mas
kecilnya itu. sepatah laksana golok sekata seperti anak panah golok dan
anak ini menusuk ke sanubari Giok liong rasanya terhunjam
sangat dalam terasa merddu. Tiba tiba sorot matanya berkilat terang, bahwa nafsu
membunuh menjalar dimukanya, bentaknya dergan bengis :
Koan It-kiat, Apa yang kau maksudkan?""
"Coba kau pikir sendiri, ditempat ini dalam waktu sekarang
ini siapa yang harus kusebutkan ?"
"Omong kosong belaka ?" Serempak bayangan hitam bergerak-gerak, puluhan
manusia aneh-aneh seragam hitam bergerak maju merubung
datang berkumpul menghadang Giok liong, berbareng mereka
menjura kepada Giok-Iiong seraya berseru bersama: "Tak
perlu Siau hiap turun tangan kami tunggu sekejap petunjukmu
saja!" "Kenyataan lebih menang dari berdebat, demikian teriak
Pccut sakti penghisap darah Koan It-kiat. "Apa lagi yang dapat
kau katakan ?" Giok liong menjadi melenggong tak tahu apa yang harus
diperbuatnya, dengan terlongong dan tak habis herannya ia
mengawasi orang orang aneh seragam hitam itu.
Kata koan It kiat pula: "Kalau kalian hendak mengeroyok !
Marilah turun tangan" pecut masih berada ditangan Koan lt
kiat, "Kalau tidak malas aku melihat tampangmu sebagai
murid Pang Giok yang memalukan perguruan, sudahlah aku
hendak kembali tidur!" tanpa menanti penyahutan Giok-long,


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil tertawa dingin ia menggape kepada Siau Pang ong,
ujarnya: "Hayo pulang!" Sekali berkelebat ia menyelinap hilang didalam hutan.
Menghilangnya bayangan Koan It kiat guru dan murid hati
Giok liong semakin merasa kesepian dan hampa. Hati seperti
kosong tak punya juntrungannya lagi.
Dalam pada itu para orang aneh seragam hitam itu masih
berdiri tegak disekelilingnya mereka mematung diam tanpa
bersuara. Akhirnya menimbulkan kemarahan Giok liong yang
tak tertahan lagi hardiknya: "Ka-lian dari mana?"
"Hamba sekalian dari Kau-tong ( sekte anjing ) dihutan
kematian. . ." "Baik, lihat pukulanku !" "
Boleh dikata kebencian Giok-liong sudah memuncak tak
terkendali lagi, dimana setelah tangannya melancarkan
pukulan baru mulutnya bersuara. "Hayo." "Aduh !" - "Tobat !" pekik dan teriakan jiwa yang
rnerenggang sebelum ajal gegap gempita saling susul
menggetarkan pinggir hutan belantara.
Dalam keadaan yang tidak berani balas menyerang atau
menjaga diri para orang aneh seragam hitam segera lari
berpencar pontang penting sambil mengeluh berksokan.
Seluruh kemurkaan dan kedongkolan hati Giok liong
seluruhnya dilampiaskan di kedua kepalan tangannya, kakinya
tidak berhenti bekerja mengejar kemana kakinya melangkah
melihat lalu pukul satu kecandak dua bunuh memang sungguh
kasihan orang orang aneh siapani hitam tidak tahu menahu
soal apa yang menimbulkan kemarahan orang belum tahu
duduk perkara, jiwanya sudah melarang sia sia dengan
penasaran. Hakekatnya Giok liong sendiri sebetulnya juga terlalu
mengumbar nafsu dan ceroboh " Tapi memang pukulan batin
yang menimpa sanubarinya terlalu berat saking terburu nafsu
ia kehilangan kontrol kesadarannya, rasa kebencian yang
meluap menghantui nuraninya. Benci, ia benci berbagai rasa kebencian Tak peduli apakah
orang-orang aneh seragam hitam inilah adalah orang orang
yang harus dibencinya, tanpa tanya lagi apakah mereka
setimpal untuk dibencinya. sekarang bahwa otak pikirannya
sudah dirangsang oleh nafsu jahat yang ingin membunuh
orang, bunuh seluruh manusia yang diketemukan. baru
rasanya dapat melenyapkan rasa benci yang mengeram dalam
badannya. Terutama karena perubahan hati nuraninya terasa olehnya
semakin banyak ia membunuh, baru terhapus rasa bencinya.
Oleh karena itu, semakin besar dan berkobar nafsunya untuk
membunuh, dengan kencang ia mengejar kemana saja
dilihatnya bayangan orang orang seragam hitam melarikan
diri. Entah dengan tutukan, pukulan atau cengkeraman jarak
jauh dengan angin pukulan dahsyat. Giok liong sudah lancarkan seluruh cara-cara ganas untuk
melaksanakan kekejaman terasa semakin telengas hatinya
rada terhibur kalau tidak kejam tak dapat melampiaskan
kedongkolan hatinya. Sekali tangan kiri bergerak lantas terdengar raungan yang
menyayatkan hati dimana tangan kanan mencengkeram darah
lantas muncrat kemana-mana, Alas belantara menjelang
diliputi kegelapan yang terdengar hanyalah gemboran Giok
liong yang melampiaskan kegusaran hatinya seperti jerit dan
pekik menyayatkan hati yang mendirikan bulu roma.
Dimana hembusan angin malam silir membawa bau anyir
darah yang memualkan sinar bulan sabit yanp redup
menyinari mayat-mayat yang bergelimpangan di semak
belukar, Kira-kira cukup satu jam lamanya, Giok-liong
menggeledah seluruh empat penjuru tak kelihatan lagi ada
bayangan manusia baru ia sempat untuk istirahat.
Baru kemarahan juga mulai mereda dan tumpas seluruhnya
dibawah cahaya sinar bulan yang remang-remang
dipandangnya sepasang tangannya yang penuh berlepotan
darah, tak terasa lagi dan tak tersadar olehnya ia bergelak
tawa tanpa juntrungan. Apakah gelak tawanya ini penanda kepuasan hati" Bukan !
pertanda kemenangan" Bukan ! Pendek kata dia sendiri juga
tidak tahu gerangan apakah yang membuatnya tertawa" Yang
terang sesudah ia bergelak tertawa terasa ringan tekanan
batin dan lahiriah yang menyepak dadanya ini memang
kenyataan. Segera ia menuju ke pinggir sungai yang tidak jauh
letaknya untuk mencuci kedua tangannya, Waktu kedua
tangannya masuk ke daian air dingin, tanpa merasa gemetar
kedinginan. Pikirnya: "Kenapakah aku ini"
Kubunuh sedemikian banyak orang ada manfaat bagiku"
Apakah setelah membunuh sekian banyak orang, rasa benciku
sudah himpas seluruhnya" Terhitung sudah menuntut balas
bagi ayah bunda" ataukah menumpas dan mengurangi
tekanan bibit bencana yang bakal bersemi di Bulim" Apakah
penebus budi untuk perguruan yang telah mendidik dan
mengajar dirinya" Bukan, semua tidak! Tak berani ia memandang bayangan
diri sendiri dipermukaan air sekali loncat terus berjalan pergi
tanpa tujuan, dengan kencang ia berlari kearah atas belukar
yang tak berujung pingkal itu.. Gunung gemunung berlapis sambung menyambung tiada
ujung pangkalnya. Kabut menyelimuti seluruh alam
pegunungan,dilereng di puncak di lembah atau di ngarai,
saking tebal kabut menjelang malam ini, sehingga
pemandangan menjadi gelap tak dapat dibedakan lagi dimana
pohon berada. Namun setitik bayangan putih secepat anak panah
meluncur membelah kabut yang tebal berlari kencang
menembus kegelapan, meloncati jurang dan melintasi ngarai.
Angin dingin menghembus kencang dipinggir telinganya.
Cuaca semakin gelap mungkin sudah menjelang tengah
malam, bulan sabit yang memancarkan sinarnya yang redup
kadang-kadang muncul di lain saat sembunyi di balik awan,
tak terasa ia sudah naik ketengah cakrawala, Bayangan putih
ia agaknya juga sudah kecapekan. Akhirnya ia meluncur memasuki sebuah lembah sempit
yang membelakangi lamping gunung dekat aliran sungai.
Bayangan putih itu bukan lain adalah Ma Giok-liong yang
tengah dirundung kesedihan dan kedongkolan yang belum
terjawab. Pertempuran yang menghabiskan tenaga serta perjalanan
jauh dengan berlari kencang ini akhirnya melelahkan
badannya. Didepannya melintang sebuah aliran sungai kecil
yang mengalir lembut, menyelusuri sungai ini ia terus
menanjak naik melewati batu-batu aneh dan rumput
menghijau yang lebat laksana permadani hijau.
Tiba-tiba Giok-liong berseru tertahan, ternyata pinggir
sungai sebelah sana di atas sebuah batu besar didirikan
sebuah bangsal dari rumput yang cukup untuk tidur satu
orang. "Ditempat sunyi yang jarang diinjak manusia ini, siapakah
yang menetap disini?" Di dalam bangsal kelihatan ditaburi rumput-rumput kering
yang lembut, disebelah ujung kiri terletak sebuah mangkok
yang terbuat dari tanah liat, didalam mangkok inilah terbaur
keluar bau harum arak yang merangsang hidung di sebelah
mangkok ini terletak sebuah ayam panggang yang di bungkus
dengan daun teratai, sungguh sedap dan merangsang baunya.
Bahwasanya memang Giok-liong sudah sekian lama belum
makan, perutnya memang sedang keroncongan, Melihat arak
dan daging ayam yang harum, tanpa merasa ia menjilat lidah
karena mengalirkan ilernya. Sudah jamak bagi sifat manusia dalam keadaan kepepet
apalagi tengah kelaparan lantas terlupakan akan sifat jantan
keperwiraannya sebagai laki laki sejati, ini berarti saking lapar
lantas timbul niat jahat untuk mencuri.
Maka tanpa banyak pikir lagi Giok liong lantas geragoti
ayam panggang itu, diiringi dengan menenggak arak dalam
mangkok besar itu, sungguh nikmat dan menyegarkan lebih
senang dan gembira dari pada menjadi raja.
Sebuah ayam panggang dan semangkok arak boleh dikata
jumlah yang rada lumayan, tapi bagi Giok-liong yang tengah
kelaparan sekali lalap saja sebentar saja semua sudah dikuras
ludes sama sekali, malah mulut masih berkecap-kecap
kekurangan. Seekor ayam boleh dikata masih kurang, sebaliknya arak itu
terlalu banyak keliwat takaran. Sebab selamanya Giok-liong
belum pernah minum arak, sekarang secara perlunya saja ia
tonggak habis habisan, keruan kepala menjadi pusing, mata
juga berkunang, badan menjadi mual, rasa kantuk lantas
merangsang tak terkendali lagi, akhirnya ia roboh celentang
diatas runput kering dalam bangsal terus tidur kepulasan..
Entah sudah berselang berapa lama ia kepulasan dalam
impiannya. Dari luar bangsal sinar matahari sudah
menyilaukan mata, ternyata sang surya sudah naik tinggi.
Sambll mengucek-ngucek mata Giok-liong bangun
terduduk. "Celaka !" mendadak ia meloncat berdiri, sungguh kejutnya
bulan kepalang. Empat batang Potlot mas besar kecil seruling
sambar nyawa yang tersimpan dalam buntalan bajunya, serta
batu giok pemberian ibunda yang tergantung di lehernya itu
kini sudah hilang dan terbang tanpa sayap.
Benda-benda itu merupakan barang penting yang
berhubungan erat satu sama lain dan tak boleh hilang. Arak
dan ayam panggang itu ! "Apakah ini tipu muslihat penjahat,
dari mana mereka bisa tahu sebelumnya kalau aku bakal
datang kemari ?" Sambil merangkak rangkak Giok-liong membongkar seluruh
pelosok bangsah rumput yang menaburi dalam bayaJ semua
dilempar keluar, Tapi mana ada bayangan barang-barang
pusakanya, hal ini sangat menggelisahkan hatinya.
Saking kejengkelan dan gugup ia meloncat keluar, sekali
angkat kaki ?"Brak" bangsal rumput itu ditendangnya roboh.
"Kemana aku harus mencari ?" dengan lesu ia menuju ke
pinggir sungai lalu jongkok dengan kedua tangan ia
menggayuh air ubtuk membasuh mukanya.
Lalu dengan langkah malas malasan ia berjalan balik
melalui jalan yang ditempuhnya datang tadi.
"Hei, kau tidak mau barangmu lagi ?" tiba tiba terdengar
seorang berkata. "O siapa ?"" Giok-liong terkejut garang.
Bagaimana juga tidak terpikirkan olehnya di tempat
semacam ini masih ada orang kedua " Tapi waktu ia
celingukan ke sekitarnya, batu runcing saling tonjol laksana
hutan, dimana-mana penuh semak belukar, tak kelihatan ada
bayangan manusia. "Siapa yang bicara . . ."
"Adalah aku! Aku disini !" "
Dari tempat datangnya suara semula terdengar pula
penyahutan datar, jaraknya terpaut berapa tombak dari
tempat Giok liong berdiri. Menurut arah datangnya suara ternyata di tempat batu
batu runcing laksana hutan itu. Kini terlihat jelas dibawah
sebuah batu besar yang lekuk tengahnya seperti jambul ayam
duduk diatas rumput halus seorang tua renta berambut uban.
Orang tua ini berwajah biasa dan bersih tiada tanda-tanda
aneh yang menyolok mata seperti manusia umumnya, dari
sikap dan cara duduk serta suaranya tadi tiada kelihatan ciricirinya
sebagai kaum persilatan, pakaiannya serba sederhana,
bajunya terbuat dari kain kasar, dengan mengenakan mantel
yang terbuat dari kulit landak. Disamping menggeletak
setumpukan kemul butut yang terbuat dari kulit anjing serta
sebuah buli-buli warna kuning. Di depan kakinya diaras tanah kelihatan sinar kuning dan
cahaya putih yang cemerlang menyilaukan mata, itulah bendabenda
Giok liong yang bilang, yaitu empat batang Potlor mas
besar kecil, seruling samber nyawa dan sebentuk batu Giok
berbentuk jantung warna merah darah, semua lengkap
tergeletak disitu. Keruan girang bukan main hati Giok-liong, seketika
wajahnya mengunjuk seri tawa, dengan bergegas ia
melangkah maju terus menjura daIam. ujarnya: "Terima kasih
kepada Lotiang ini." "Nanti dulu !" cegah si Bara Naga 4 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Bentrok Para Pendekar 17
^