Seruling Samber Nyawa 4

Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bagian 4


mber nyawa, pendekar gagah murid To-ji Pang Giok yang
sangat kenamaan dan disegani pada masa-masa yang silang
sebagai tokoh nomer satu dari Ih-lwe-su-cun.
Bagi angkatan yang lebih tua banyak orang mengetahui
bahwa benda pusaka seruling samber nyawa peninggalan Janhun
cu dulu sudah terjatuh ditangan To ji Pang Giok.
Betapapun susah payah ke!ayak ramai ingin merebut
seruling ampuh itu, toh mereka tidak dapat menemukan jejak
Pang Giok yang sesungguhnya. Sekarang bertepatan dengan bakal terjadi keonaran besar
yang membahayakan ketentraman hidup kaum persilatan
bermunculan pulalah para iblis durjana yang jahat serta
telengas itu. Untung pula muncullah Kim-pit-jan-hun (potlot
emas samber nyawa) Ma Giok-liong. Bukankah gampang saja bagi para takoh-tokoh angkatan
tua yang mengetahui duduk persoalan yang tersembunyi itu
mengutus kaki tangannya untuk menyirapi kebenaran serta
jejak seruling yang ampuh mandraguna itu.
Hanya Ma Giok-liong seorang yang masih diketahui karena
pengalamannya yang kurang luas serta kurang dapat berpikir
panjang secara mendalam. BegituIah dengan cepat otaknya berputar, akhirnya ia ambil
putusan: "Terlalu lama aku berdiam ditempat ini pasti tidak
menguntungkan jiwaku. Terpaksa aku harus ikut dulu nona ini
meninggalkan tempat ini, untuk menentukan langkah
selanjutnya." karena pikirannya imi, segera ia merogoh
pecahan uang perak terus ditaruh diatas meja, memutar tubuh
lantas hendak tinggal pergi. Sebuah suara dingin berkata: "Kau tetap tinggal disitu!"
kiranya Han-kang-it-ho Pek Su-in buka suara.
Dingin-dingin saja Giok-liong memandang sekilas, dalam
hati ia mengumpat dengan gusar: "Orang-orang disini
mengapa rata-rata tidak tahu sopan santun dan aturan."
karena berpikir demikian, ia mandah mendengus hidung terus
angkat langkah mengikuti gadis rupawan berpakaian ungu itu
menuju ke luar pintu. Ham-kang-it-ho menjadi dongkol, dampratnya: "Bocah ini
terlalu takabur, Hm!" seiring dengan gerungannya ini, jari
tengahnya sedikit diselentingkan, kontan selarik angin keras
yang bersuit nyaring melesat mengarah punggung Giok liong,
Giok-liong menjadi pusar, baru saja ia hendak membalik
badan. Tahu-tahu terasa angin berkesiur membawa bau
harum disusul bayangan ungu berkelebat suara gadis
berpakaian ungu itu telah berkata disampingnya: "Pek Su in,
berani kau bertingkah!" jari-jarinya yang halus juga sedikit
diangkat kesiur angin kencang itu lantas lenyap sirna berganti
suara "blang" yang keras, kekuatan selentikan jari kedua belah
pihak beradu ditengah jalan dan sama-sama hilang tanpa
bekas. Wajah Ham-kang-it-hi Pek Su-in yang pucat dingin itu
sedikit mengunjuk rasa kejut, tapi hanya sebentar saja lantas
kembali seperti semula, tanyanya dingin: "Ci hu-sin-kim itu
apamu ?" Gadis berpakaian ungu tersenyum simpul, sahutnya: "Kau
belum berharga menanyakan." setiap kali berkata suaranya
terdengar nyaring merdu dan lemah lembut, tapi arti katanya
cukup membuat Ham-kang it-ho menjadi malu dan serba
runyam saking gemesnya air mukanya menjadi kaku,
geramnya: "Budak, yang bermulut tajam . . ."
Merah jengah kedua pipi gadis berpakaian ungu itu,
sahutnya tertawa: "Kalau kau tidak terima, baiklah nanti
tengah malam kita bertemu di Thiang-sun-po, sepuluh li
diselatan kota ini," Setelah itu ia berpaling kearah Giok-iiong sambil
tersenyum, katanya: "Mari kita pergi."
Saking gusar wajah Ham-kang-it-ko sampai mengunjuk
nafsu membunuh, sebelah tangannya menekan pinggir meja,
sahutnya menyeringai: "Tepat pada waktunya pasti aku orang
she Pek akan memenuhi harapan nona." "cras" pinggir meja
itu hancur menjadi bubuk tertekan oleh tenaganya yang
dahsyat sampai berhamburan di lantai.
Lalu ia melotot kearah Giok-Iiong serta tantangnya:
"Buyung, nanti malam kau juga harus datang."
Rasa dongkol hati Giok-liong masih belum lenyap, diapun
tidak mau kalah garang sahutnya temberang: "Tuan mudamu
senantiasa akan mengiringi kau" sambil berkata sengaja atau
tidak sekilas ia memandang kearah pemuda berbaju kuning
yang duduk dipinggir jendela itu. Terlihat olehnya pemuda baju kuning itu sedikit manggut
kepadanya, sebetulnya memang Giok-liong merasa simpatik
terhadap pemuda ini, iapun belas sedikit manggut sambil
tersenyum. Saat itulah Bo-pak it-jan yang sejak tadi duduk mematung
tanpa bergerak itu mendadak membalikkan sepasang matanya
yang aneh, sorot gusar yang meluncurkan kilat tajam dari
kedua matanya itu, ia meIingking tajam: "Anak jadah she Ma
lekas kemari mengharap Lohu." Sejenak Giok-liong tercengang, namun dilain saat segera ia
membungkuk memberi hormat, sapanya: "Adakah petunjuk
apa-apa dan Lo-cian-pwe ?" Mendadak Bo-pak-it-jan Sa Ko terkekeh-kekeh aneh,
serunya: "Kau tidak boleh pergi."
Sekarang Giok-liong sudah paham dan isyaf apa yang bakal
terjadi dalam warung makan ini, maka hatinya menjadi sedikit
tabah, namun tak urung tercetus juga pertanyaannya:
"Kenapa ?" "Sebab Lohu tidak mengijinkan kau pergi !"
"Jikalau Wanpwe harus segera pergi bagaimana ?"
"Heheheheheeeeeh! Kccuaii kb,u sudah tidak ingin hidup!"
"Kalau begitu Wanpwe harus segera pergi."
Mendadak gadis berbaju ungu itu tertawa nyaring,
telunjuknya yang runcing dan halus putih ifu menunjuk kearah
Bo-pak-it-jan, serunya lantang: "Sa Ko, kalau lain orang takut
kepadamu. Aku Ci-hu giok-li tidak mempan akan gertakanmu
itu." Bo-pak-it-jan (sicacat dari gurun utara) Sa Ko
membelalakkan kedua biji matanya yang aneh itu, serunya
setelah bergelak tertawa: "Mengandal kau budak kecil yang
masih berbau bawang juga berani mengeluarkan kata
sombong" Hehehe, betapa juga Lohu hari ini harus menahan
buyung she Ma ini!" Sikap Ci hu-giok-li tetap tenang serta katanya lagi tertawa:
"Sebaliknya aku tidak ijinkan kau menahan dia."
Tatkala itulah pemuda baju kuning yang cakap ganteng itu
perlahan-lahan bangkit berdiri serta ujarnya lemah lembut:
"Lo cian-pwe hendak menahan orang, sedang baju ungu ini
hendak melepas orang! Lantas bagaimana pendapat Ma
kongcu sendiri." Ham-kang-it-ho (bangau tunggal dari sungai Ham) berdiri
sambil menjengek dingin timbrungnya: "Lebih baik kita
bsramai bertemu di Tiang-sun po pada lengah malam nanti."
Si cacat dari gurun utara segera mendengus, katanya:
"Baiklah, jikalau siapa diantara kalian tidak datang tepat pada
waktunya, cepat atau lambat pasti Lohu akan puntir batang
lehernya sampai mampus.". sorot pandangannya setajam
ujung pedang menatap setiap hadirin dengan ancaman yang
serius, teristimewa ia tatap wajah Giok-liong dengan lekat!
"Marilah kita berangkat." Tambahnya kepada Giok-liong
sambil mengerling penuh arti. Tanpa bersuara segera Giok-liong mengintil di belakang
terus keluar dari warung makan itu, Diiuar pintu banyak orang
tengah merubung datang mengintip ingin melihat keramaian,
tapi mereka tidak berani maju mendekat. Maka begitu melihat
mereka berdua berjalan keluar segera mereka berlari bubar
keempat penjuru. Tapi cukup hanya selayang pandang saja lantas dapat
diketahui oleh Giok - liong bahwa diantara sekian banyak
orang menonton itu ada beberapa pasang mata berkilat yang
berkelebat diantara mereka, waktu ditegasi lagi, pandangan
berkilat itu sudah menghilang tercampur baur diantara sekian
banyak orang yang berlari bubar itu.
Selanjutnya pemuda baju kuning, Ham-kang-it-ho dan Bo-
Pak-it-jan juga berkelebat keluar, sekejap mata saja bayangan
mereka sudah menghilang entah kemana.
Hanya pemuda baju kuning itulah sebelum pergi
menampilkan sorot pandangan penuh prihatin kearah Giokliong,
sayang Giok-liong tidak tahu akan hal ini.
Sementara itu Ci-hu-giok-li berpaling ke arah Giok-liong.
Serta katanya: "Marilah kita cari penginapan untuk istirahat
dulu!" Dengan heran Giok liong tatap wajah orang, balas tanya,
Bukankah nona ada urusan penting yang minta aku ikut untuk
menyelesaikan?" Ci-hu-giok-li tersenyum memikat, ujarnya "Memang biarlah
nanti seteleh sampai di penginapan baru kita rundingkan lagi."
bergegas ia berlari kesamping rumah untuk menuntun kuda
tunggangannya itu. Baru sekarang Giok-liong melihat tegas, bukan saja kuda
tunggangannya ini tinggi besar dan gagah sekali, bulunya
memutih bersemu ungu, benar benar merupakan seekor kuda
jempolan yang jarang ada. Dibawah lehernya tergantung sebuah kelintingan warna
ungu, juga entah terbuat dari benda apa, seiring dengan
goyang gontai kepala kuda berbunyilah keliningan itu nyaring.
Melihat Giok liong terlongong memandangi kuda
tunggangannya, Ci hu-giok-li menjadi geli, katanya Iambat:
"inilah Ci-liong-ki yang khusus dipilihkan oleh ayah untukku.
Namamu yaitu Ci-liong ( naga ungu).
Kekuatannya memang hebat, sehari dapat menempuh
seribu li, kalau malam dapat berlari sejauh delapan ratus li.
Benar-benar seekor kuda yang jempol."
Tahu bahwa dirinya dipuji oleh majikannya, sang kuda
segera angkat kepala manggut-manggut saking girang sorot
matanya mengunjuk rasa gembira. Begitulah sambil berjalan berendeng mereka menyusuri
jalan raya sehingga menimbulkan perhatian orang disepanjang
jalan. Sungguh harus dipuji sikap Ci-hu-giok-li yang tetap riang
dan wajar tanpa malu-malu suaranya tetap nyaring tanpa
ragu-ragu atau rikuh. Tidak berapa jauh mereka maju ke
depan tibalah mereka didepan sebuah penginapan yang cukup
besar. Langsung mereka minta disediakan umpan yang terbaik
bagi kudanya, lalu langsung mereka memasuki kamar.
Baru saja duduk, lantas Giok-liong tidak sabaran lagi
bertanya: "Ada urusan apakah yang hendak nona rundingkan
dengan aku yang rendah?" "Aku bernama Kiong Ling ling, selanjutnya kau panggil aku
Ling-ling saja." "Oh, ya, Nona Kiong ada urusan apa"
Kiong Ling-ling membanting kaki, katanya cemberut: "Kau
ini bagaimana, apa tadi yang telah kukatakan?"
"Nona mengatakan bahwa aku yang rendah boleh panggil
nona Ling-ling saja." "Sudahlah, jika kau ingin tahu apa yang hendak kukatakan,
untuk selanjutnya tidak perlu lagi menggunakan istilah nona
atau noni apa segala." Giok liong menjadi uring-uringan, batinnya: "Waa, lucu bin
ajaib. Terang kau sendiri yang minta aku ikut kemari, katanya
ada urusan yang minta bantuanku untuk menyelesaikannya,
Akibatnya sekarang menggunakan alasan ini untuk
mengancam aku. . ." Tapi begitu melihat sikap Kiong Ling-ling yang polos serta
lincah jenaka itu, hatinya menjadi lemas, katanya: "Baik, baik,
Ling ling ada urusan apa yang hendak kau katakan
kepadaku?" Mendengar orang betul-betul patuh akan permintaannya
memanggil singkat namanya betapa girang dan terasa syuur
hatinya, wajahnya nan ayu jelita bak bunga mekar di-musim
semi tersimpuI oleh senyuman manis yang memikat hati,
sahutnya dengan lambat-lambat : "Sebetulnya . . ."
"Sebetulnya ada apa ?" "Sebetulnya kedatanganku ini berusaha merebut suatu
benda milikmu." Giok liong berjiigkrak kaget, serunya tak tertahan:
"Barangku apa yang hendak kau rebut ?"
Air muka Kiong Ling-Iing mengunjuk rasa kikuk dan serba
salah, sahutnya tertawa dibuat-buat: "Aku hendak merebut
Jan-hun-ti milikmu itu." "Apa " Dari mana kau dapat tahu kalau aku memiliki
Seruling samber nyawa?" "Aku hanya dengar kabar tersiar dikalangan Kangouw."
"Bagaiamana mereka bisa tahu ?"
"Sudah tentu mereka tidak tahu, yang terang mereka
hanya tahu bahwa kau adalah murid penutup dari Pang-locianpwe,
Maka ayahku berani memastikan bahwa seruling samber
nyawa itu pasti berada diatas badanmu."
"0h, menurut analisa mu ini, terang kalau Bo-pak-it-jan
serta yvitu laii-it-ho itu juga berniat hendak merebut seruling
samber nyawa itu ?" "Hal ini . . .sudah tentu ada kemungkinan itu ! Tapi
sekarang mereka takkan berhasil."
"Kenapa ?" "Sebab aku akan membantu kau."
"Lho, kenapa kau hendak bantu aku ?"
"Aku . . . apa jelek kalau orang membantu kau, untuk apa
kau nyerocos bertanya." "Tidak aku harus mengetahui apa alasannya !"
"Tidak ada alasan dan tidak perlu alasan, aku senang
berbuat begitu." "Benar-benar kau tidak ingin merebutnya ?"
"Tepat, aku tidak akan rnerebutnya lagi."
Untuk sementara waktu masing-masing tenggelam dalam
renungan masing-masing. Saban-saban Ling-ling melirik mesra
kearah Giok liong. Akhirnya Giok-liong buka suara lagi: "Ling ling, lebih baik
kau tidak usah membantu aku." "Sudahlah tidak perlu dipersoalkan lagi, kau harus segera
istirahat, nanti malam mungkin kita harus menghadapi sebuah
pertempuran dahsyat." "Baiklah, kau juga perlu istirahat," lalu ia pamitan kembali


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekamarnya sendiri. Tengah malam telah tiba, seluruh alam semesta ini
dilingkupi kegelapan, tiada bintang tiada sinar rembulan udara
mendung dan hawa dingin, Saat begini orang-orang banyak
yang meringkuk diatas ranjang tidur mendengkur dengan
nyenyaknya. Tian-sun-po yang terletak sepuluh Ii di-sebelah kota An-sun
biasanya merupakan tempat semak belukar yang jarang
diinjak kaki manusia, lebih seram keadaan malam ini yang
sunyi serta dilengkapi hawa membunuh yang menghantui
sanubari sedap manusia yang hadir. Benar benar
menggiriskan. Didepan sebuah hutan gelap yang terletak di Tiang-sun-po
itu, mendadak muncul seorang berkedok yang mengenakan
pakaian serba hitam, dimana tangannya diangkat bertepuk
empat kali. Suara tepukan tangan yang nyaring ini memecah
kesunyian alam sekelilingnya. Seketika itu juga dari dalam hutan melesat keluar dua
orang berkedok yang mengenakan seragam hitam pula,
langsung mereka maju menghadap terus membungkuk
memberi hormat serta katanya lirih tertahan: "Bala bantuan
yang diandalkan dari kumpulan kita sudah lengkap scmua,
adakah petunjuk Tong cu, selanjutnya?"
"Bagainjana dengan saudara dari Kim i-pang?"
"Mereka sudah dipencar keempat penjuru."
Sekonyong-konyong sebuah bayangan kuning mas
berkelebat seorang laki-laki perte ngahan umur yang
mengenakan baju serba kuning mas berkilau melompat keluar
dari belakang batu besar disemak belukar sana, laksana anak
panah cepatnya tahu-tahu sudah meluncur datang ditengah
gelanggang, sedikit tersenyum lantas katanya: "Malam ini
sedapat mungkin kita harus mengerahkan segala tenaga dan
daya upaya." Orang berkedok hitam manggut-manggut sahutnya: "Hiathong
dan Kim-i menjadi satu seumpama saudara kandung,
malam ini untuk pertama kali kita bergabung beroperasi besar
harapan bisa mendapat sukses."
"Para Pang-cu kita segera akan tiba, perintahkan kepada
semua anak buahmu untuk tidak usah keluar menyambut dan
jangan lupa suruh mereka sembunyi yang rapi, jangan terlalu
dekat dengan gelanggang pertempuran. Sebab tokoh-tokoh
yang datang dalam ini berkepandaian cukup tinggi, jikalau
sembunyi kita sudah kenangan sebelum bergerak, pasti gatal
total seluruh rencana kita," Kedua orang berkedok itu berbareng mengiakan.
"Awas dan ingat, sebelum Kim ding-ling dan Hiat hong-ling
dilepas bersama, siapapun dilarang mengunjukkan diri! Tahu"
Baik, kembalilan ke tempat masing-masing." Sinar kuning mas
dan bayangan hitam berkelebat, serentak ketiga orang itu
melesat hilang di kegelapan. Tidak berselang lama, jauh di pinggir hutan di lereng
gunung sana, dua bayangan sinar kuning keemasan dan
sebuah bayangan hitam meluncur datang cepat sekali terus
melambung tinggi menghilang didalam hutan.
Alam sekitarnya kembali menjadi sunyi lengang, siapapun
takkan menduga bahwa dimalam sunyi berhawa dingin
dengan angin badai menghembus kencang ini, diatas lereng
gunung yang liar belukar ini,akan terjadi suatu pertempuran
besar serta menjadi tempat penjagalan manusia yang tidak
mengenal kasihan. Baru saja terdengar kentongan ketiga berbunyi, sebuah
bayangan keputih-putihan melayang tiba diatas lereng bukit
itu,sejenak ia berhenti mengamat-ngamati keadaan
sekelilingnya, terus berkelebat hilang di kegelapan.
Selanjutnya tampak lagi sebuah bayangan ungu bergerak
gerak, tahu-tahu diatas lereng bukit itu sudah bertambah
seorang gadis berpakaian ungu berbadan langsing semampai
berwajah ayu rupawan. Berputar badan ia menghadap kearah
tempat menghilangnya bayangan keputihan tadi lantas
terdengar suaranya berkata: "Ma Giok-liong, tokoh yang
pegang peranan malam hari ini kemungkinan besar adalah kau
Iho." habis berkata, ia berpaling kearah tempat yang agak
jauh sana, lalu katanya lagi sambil tertawa: itulah pelajar
rudin kecut itu telah datang."
Giok-liong sembunyi diatas sebuah pohon besar yang
rindang, sahutnya tertawa: "Tadi nona berkata lebih baik aku
jangan keluar dulu..." "Nona yang mana?" Giok-Iiong tercengang, akhirnya ia paham sendiri, katanya
geli: "Ling-ling, kau bukan yang berkata."
"Apa lagi yang telah kukatakan?"
"Menurut pesanmu. . .jikalau keadaan tidak
menguntungkan, kau menyuruh aku segera angkat kaki, habis
perkara," "Tapi aku yang rendah bulan manusia macam begitu,"
"Kau . . . " Saat itulah sebuah bayangan hijau telah meluncur tiba dari
jarak yang agak jauh sana, langsung hinggap diatas lereng
bukit itu, pendatang ini bukan lain adalah Ham-kang-it-ho Pek
Su -in adanya. Begitu menginjak tanah, segera celingukan keempat
penjuru, lalu jengeknya dingin: "Kirarya nona juga dapat
dipercaya." Ci-hu-giok-li Kiong Ling-ling tertawa cekikikan, ujarnya:
"Kaum keluarga Ci-hu selamanya dapat dipercaya."
Ham-kang it-ho menyeringai, katanya mengejek: "Tidak
sedikit jumlah kaum keluarga Ci nu yang ikut datang hari ini."
Sikap Kiong Liag-ling tetap wajar, jengeknya kembali:
"Bantuan yang diundang dari Pek-hun-to, mungkin lebih
banyak dari kedatangan orang-orang Ci-hu bukan."
"Hm, aku yang rendah datang seorang diri."
"Nonamu ini juga bertandang sendirian."
Berubah air, muka Pek Su-in, desisnya dengan nada berat:
"Lalu kemana bocah she Ma?"
Sebuah suara tawa dingin yang serak terkiang ditengah
gelanggang Dimana angin berkesiur keras disusul bayangan
berkelebat tahu-tahu Bo pak-it-jan Sa Ko sudah berdiri tegak
dihadapan mereka, sebagainya dingin: "Kiranya sia-sia saja
Pek-bun Toju memberi makan dan membesarkan kau bocah
ini ! Bukankao bocah she Ma itu tengah ungkang-ungkang
duduk diatas dahan pohon itu?" telunjuknya menuding keatas,
"Siuuur" meluncurlah selarik angin keras langsung menerjang
kearah pohon besar yang diduduki Giok-liong.
Giok-liong terbahak-bahak, serunya lantang: "Ternyata
tidak bernama kosong." di mana terlinat bayangan putih
melejit berkelit enteng sekali Gtok-liong hindarkan diri dari
sambaran angin tusukan jari yang lihay itu, setelah hinggap di
tengah gelanggang, sedikit saja ia berkata tersenyum: "Aku
yang rendah Ma Giok-liong, harap terimalah hormatku ini."
Disindir sedemikian rupa oleh Bo pak-it-jan Ham-kang-it-ho
Pek Su in menjadi malu dan dongkol sampai air mukanya
berubah hijau, jengeknya sinis: "Lohu kira bocah hijau macam
mu ini sudah lari sembunyi tak berani muncul lagi, takut mati!"
Mendadak dari dalam rimba sebelah sana terdengar suara
penyahutan yang lantang: "Ya, yang takut mati memangnya
takkan berani datang!" belum hilang suaranya, tahu-tahu
pemuda berpakaian serba kuning itu sudah melangkah ringan
berlenggang memasuki gelanggang, menghadap kearah para
hadirin ia hunjuk senyum lebar, malah sengaja atau tidak
matanya lekat-lekat menatap ke arah Giok-liong.
Bok-pak-it-jan mengekeh tawa, selanya: "Apa maksud
kedatangan kalian ?" Pemuda baju kuning mandah tertawa tawa saja melangkah
ke pinggir tanpa membuka mulut. Sebaliknya Ham-kang-it-ho
terdengar mendenguskan hidung. Terdengar Ci hu giok li menyahut lembut: "Sa-lo-than
pertanyaanmu ini sungguh mengherankan."
"Apa yang perlu diherankan ?"
Ci-hu-giok-Ii tertawa lagi, tanyanya: "Kau sendiri apa
maksud kedatanganku ini?" Bo-pak- it-jan melengak, air mukanya, yang kaku itu sedikit
bergerak, sahutnya: "Budak, kecil, kau sendiri apa
kehendakmu kemari ?" "Alah, main pura-pura." sahut Ci-hu-giok-li "Bukankah kau
sudah dengar aku ada janji dengan Pek-tay-hiap untuk
menyeleaikan suatu urusan disini."
"Hm, sudah tentu Lohu sendiri juga ada urusan yang perlu
diselesaikan." "Sa cianpwe mempunyai urusan apa ?"
Sepasang mata Sa Ko memancarkan cahaya beringas yang
aneh menatap kearah Giok-liong, ujarnya: "Kedatanganku ini
hendak membawa buyung kecil ini pulang."
Giok-liong tetap berlaku tenang, dengan sikap dingin ia
pandang sekilas kearah orang tua cacad ini lalu berpaling
kearah Ci-hu-giok li. Ci-hu-giok-li tertawa manis, diulurkan telunjuknya yang
runcing putih itu menunduk kearah Bo-pak-it-jan seraya
berkata: "Sa-lo-thau, coba kau tanya pada yang bersangkutan,
apakah dia sudi pergi dengan kau ?"
Bo-pak-it-jan menyeringai lebar katanya kepada Giok-liong:
"Buyung, ikut Lotau saja, Lohu berani tanggung akan
mendidikmu menjadi seorang terlihay nomer satu di jagad ini."
Giok-liong tersenyum ewa, sahutnya sambil sedikit saja:
"Maaf Wanpwe tidak dapat memenuhi harapan cianpwe ini."
Ci-bu-giok-li tertawa cekikikan saking geli sampai dia
menekuk pinggang memegang perut, ujarnya: "Coba lihat, dia
tak sudi ikut kau pergi bukan."
Bo-pak-it jan merengut membesi, serunya geram: "Tidak
mau juga harus mau, bagaimana juga hari ini kau harus ikut
Lohu." seiring dengan lenyap suaranya, badannya mendadak
berkelebat sebat sekali laksana kilat merangsak kearah Giokliong.
Sejak tadi Giok-liong sudah kerahkan ilmunya pelindung
badan, begitu melihat orang melesat datang gesit sekali
kakinya bergerak lincah menggeser kedudukan delapan kaki
kesamping. Baru saja ia berdiri tegak bayangan Bo-pak-It jan
sudah menubruk datang dengan didahului terjangan angin
keras. Keruan kejut hati Giok-liong, siapa kan nyana meskipun Bopak-
it-jan tinggal sebuah kaki saja, tapi gerak-geriknya
ternyata sedemikian tangkas, Terpaksa ia gerakkan kedua
tangannya melintang bersilang didepan dada berbareng
kakinya menjejak tanah sehingga tubuhnya melayang mundur
kebelakang, Pada saat itulah lantas terlihat bayangan ungu berkelebat
disertai suara merdu nyaring berkata: "Tua bangka cacat, Kau
tahu malu tidak, pintarmu hanya menghina angkatan muda ,. ,
." lima jalur angin tutukan jari mendesis meluncur datang dari
arah samping sana langsung mengarah lima tempat jalan
darah dibawah lambung kanan Sa Ko. Betapa lihay kekuatan kelima jalur angin tutukan jari ini,
disertai kabut ungu berputar. Sa Ko tahu akan kehebatan
serangan ini, tak berani menangkis maka kaki tunggalnya itu
berputar lincah sekali muncul beberapa langkah, bentaknya
dewasa murka: "Budak keparat berani kau . . . ?"
Ci hu-giok-li lantas menyambung: "Kalau kau ada
kepandaian silakan keluarkan saja, Aku tidak akan bilang
kepada ayah bahwa kau telah menindas aku."
Sebetulnya Ci-hu-sin-kun sendiri juga sudah keluar dari
tempat kediamannya berkecimpung lagi didunia persilatan.
Tujuan Kiong-ki tak lain adalah hendak mencari jejak Jan-hunti
peninggalan Jan-hun-cu yang akhirnya terjatuh ditangan
Pang Giok. Ci-hu-giok li tahu duduk persoalan ini secara jelas maka
bagaimana juga dia takkan memberitahukan peristiwa malam
ini kepada ayahnya. Agaknya Bo pak-it-jan rada keder atau segan menghadapi
Ci-hun sin kun Kiong Ki. Mendengar ocehan Ci-hu-giok-li tadi,
ia lantas terkekeh, katanya: "Budak keparat, kau sendiri yang
bilang." "Tentu, selamanya kaum Ci-hu tiada yang pernah
berbohong." "Baiklah..." seiring dengan seruannya ini, tiba-tiba lengan
tunggalnya seolah-olah mulur menjadi lebih panjang secepat
kilat serentak ia kirim delapan belas kali pukulan mengarah
seluruh tempat-tempat penting yang mematikan di seluruh
tubuh Ci-hu-giok-li. Ci-hu giok li tertawa ringan, kabut ungu lantas
mengembang dimana pinggangnya meliuk gemulai tiba-tiba ia
melejit masuk kedalam bayangan pukulan musuh, beruntun
kedua tangannya yang putih halus itu bergerak-gerak dengan
kecepatan yang susah diukur sekaligus ia lancarkan ajaran
tunggal keluarganya untuk bergebrak secara kilat.
Sementara itu, tadi waktu Giok-liong meluputkan diri dari
angin pukulan Bo pak-it-jan, baru saja ia berhenti bergerak
dan belum sempat berdiri tegak, mendadak terasa sejalur
angin kencang langsung menutuk tiba di jalan darah Bing-bun
niat di punggung. Bertepatan dengan itu terdengar suara bentakan yang
nyaring pula: "Pek Su in. membokong dari belakang kau tahu
malu tidak?" Agaknya suara bentakan pemuda baju kuning itu. Tapi
tiada banyak kesempatan bagi GioK liong untuk banyak pikir,
tiba-tiba ia membungkukkan badan berbareng kedua kakinya
menjejak tanah sambil mengerahkan tenaga murninya,
seketika badannya melambung tinggi dua tombak, "Siut" angin
kencang yang mendesis itu persis melesat lewat di bawah
kakinya. Giok-liong menjadi murka, bentaknya:
"Serangan bagus." air mukanya seketika menjadi merah
membara, dimana kedua kakinya saling tendang, badannya
lantas melambung lebih tinggi lagi dua tombak.
Berbareng dengan berkelebatnya sebuah bayangan diiringi
suara jengekan dingin, tahu-tahu Pek Su-in sudah mengejar
datang, tangan kanannya diayun berulang-ulang langsung
mencengkeram kearah pinggang Giok-liong dimana terletak
kantongan yang menyimpan bekalnya. Giok-liong tertawa terbahak bahak, se-runya: "Oho, inikah
yang dinamakan tokoh kenamaan dari Pek-hun-to, hitunghitung
hari ini aku yang rendah sudah berkenalan."
"Wut" tiba-tiba menendang kesikut kanan Pek Su-in yang


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjulur maju ini. Pek Suin terperanjat, sungguh tak duga olehnya bahwa
pemuda ini kiranya berkepandaian tinggi, badan masih
terapung ditengah udara tapi dapat balas melancarkan
serangan kearah musuh. Tapi dia sendiri juga bukan tokoh silat sembarangan dalam
seribu kerepotannya, tangan kanannya dibalikkan terus
merangsang ketumit Giok-liong di tempat jalan darah Cu-ping
hiat. Tapi baru saja" tangannya membalik belum sempat
mengarah sasarannya, kaki kanan Giok-liong sudah ditarik
balik, "Wut" sekarang ganti kaki kiri yang menendang datang.
Ham-kang-it ho Pek Su in mendengus hidung keras-keras,
tangan kanannya juga cepat ditarik balik, ganti tangan kiri
yang disodorkan kedepan, seketika timbul gelombang angin
membadai menerpa keras sekali kearah Giok-liong mengarah
tulang kering di kaki kiri. Kalau serangan ini tepat mengenai kaki kiri Giok-liong maka
kakinya itu pasti akan hancur dan menjadi cacat. Mendadak
Giok-liong bersuit panjang, kedua tangannya dipentang lebar
sehingga tubuhnya melejit tinggi lagi bersama itu pinggangnya
sedikit ditekuk untuk jumpalitan ditengah udara.
Kedua tangannya lantas bergetar mempetakan bayangan
pukulan yang memenuhi ditengah udara terus menyerang
kearah Pek-Su-in. Kejut Pek Su-in bukan alang kepalang, sambil menghardik
keras ia kerahkan seluruh tenaga murninya ketelapak
tangannya terus menyambut keatas, "Blang" kontan terdengar
ledakan dahsyat menggetarkan butni, krikil dan pasir
beterbangan menari-nari dahan-dahan putus merontokan
dedaunan sekeIilingnya. Jantung Pek Su-in berdebar keras, terasa kepalanya pusing
tujuh keliling segumpal hawa panas lantas menerjang naik
dari pusarnya, badannya juga lantas terbanting turun cepat
sekali. Tapi sekuat tenaga ia berusaha bertahan, setelah
mendehem keras-keras ia menyedot hawa panjang, kakinya
menginjak tanah terus sempoyongan delapan langkah jauhnya
baru bisa berdiri tegak. Giok-liong sendiri meskipun menubruk musuh dari atas,
tapi juga tidak banyak mengambil keuntungan, karena daya
benturan yang keras ini, badannya terpental balik ketengah
udara lebih tinggi lagi. pandangannya menjadi berkunangkunang
susah payah ia coba kendalikan tubuhnya terus
meluncur turun dua tombak di sebelah sana.
Tatkala itu, Pek Su in sudah dapat mengatur
pernapasannya kembali. Begitu melihat Giok-liong meluncur
turun segera ia mendesis geram: "Hm, akan kulihat sampai
dimana kemampuanmu!" Jilid 07 Selicin belut tiba-tiba ia menubruk datang sambil
menggetarkan tangan kirinya sehingga menjadi bayangan
yang mengabarkan pandangan diselingi desis angin kencang
terus menusuk ke arah dada Giok-liong. Bersama itu, kelima
jari tangan kanan di pentang terus mencengkeram pinggang
Giok-Iiong. Baru saja Giok-liong dapat berdiri tegak lantas merasakan
angin kencang telah merangsang tiba, dalam kesibukaanya
kontan ia lancarkan jurus Cin-chiu untuk membeli diri, seketika
angin badai bergelombang membawa kabut putih
berkelompok kelompok terus menggulung kedepan.
Tepat pada saat itu sebetulnya kelima jari Pek Su-in sudah
menyentuh pinggang Giok-Iioig, sayang ia terlambat sedetik,
Karena bila cengkeraman kekantong bekal di pinggang Giokliong
itu terus dilaksanakan pasti jiwa sendiri bisa melayang
kena jurus serangan Cin-chiu ini. Apalagi iapun sudah kenal asal usul dari jurus serangan
dahsyat Babna kagetnya, tersipu-sipu ia tarik balik tangannya
dengan kaki kiri sebagai poros badannya mendadak berputar
terus rebah celentang serta meluncur kesamping beberapa
kaki, dimana kedua tangannya menyanggah tanah,
selamatkan jiwanya dari mara bahaya, Tapi dia tidak berhenti
bergerak begitu saja begitu luput dari serangan lawan
badannya lantas membalik seraya mendorongkan tangan
kanan menjojoh pusar Giok-liong. Giok-liong mandah tertawa ejek, saking dongkol tanpa
kepalang tanggung jurus kedua ketiga dari Sam jicui hun chiu
yaitu Hoat-bwe dan Tiam-ceng beruntung dilancarkan seketika
timbul gelombang badai yang dahsyat, kuntum mega putih
mengembang ikut menggulung kedepan, Terpaksa Ham-kangit-
ho Pek Su-in harus kerahkan seluruh tenaga serta
kepandaian tunggal simpanan dari perguruannya yaitu Pek
hun-jicap-pwe-sek. Kontan terjadilah perang tanding
kekerasan yang hebat sekali. Tidak lama kemudian kedua lawan ini sudah terbungkus
kedalam kabut putih saban-saban terdengar desis keras serta
samberan angin menderu yang membawa kabut putih, terlihat
bayangan pukulan tangan berlapis-lapis, saling tindih dan
serang, sehingga batu pecah berantakan pasirpun
beterbangan. Dahan pohon serta rumput disekitar gelanggang
pertempuran menjadi tumbang dan roboh berserakan.
Begitulah dalam waktu singkat sulit ditentukan siapa yang
bakal menang atau asor dalam pertempuran dahsyat ini.
Maklum kedua lawan ini sama-sama kuat dan lagi kalau yang
satu memang berbakat dan sudah gemblengan dalam
pengalaman hidup pahit getir sebaliknya yang lain juga
seorang tokoh persilatan yang banyak pengalaman dan sudah
tekun berlatih sekian tahun tanpa mengenal lelah, tak heran
masing-masing susah dapat mengalahkan lawannya.
Sementara itu, pemuda baju kuning itu menonton
dipinggiran sambil menggendong tangan serta mengunjuk
senyum-senyum manis, cermat sekali ia mengamati segala
perobahan dalam gelanggang pertempuran.
Juga didalam rimba sana tengah banyak pasang mata
dengan terbelalak, tanpa berkedip menonton serta menanti
perobahan yang bakal terjadi di tengah gelanggang sini,
Mereka sudah siap siaga untuk serentak turun tangan entah
dengan cara yang bagaimana kejam serta telengas tidak
perduli, yang terang mereka harus sukses atau berhasil
mencapai tujuan terakhir. Sekonyong konyong terdengar suara "Blang" yang keras
disusul pekik nyaring yang merdu, lantas terlihat bayangan,
ungu berkelebat gesit sekali. Tahu-tahu Ci hun-giok-li
meloncat keluar kalangan pertempuran bagai seekor ular yang
kaget kena gebok, sementara itu Bo-pak-jan Sa Ko juga
terdengar menggerung rendah, cepat-cepat iapun mundur
lima kaki terus mendongak tertawa terkekeh-kekeh, serunya:
"Bagus, bagus sekali, sungguh tak nyana, hari ini Lohu seperti
kapal terbalik didalam selokan . . . . " suaranya berganti
terloroh-loroh menyedihkan tiba-tiba badannya melenting
tinggi terus melesat masuk dalam hutan.
Wajah Cihu-giok li tampak pucat pasi, setelah melihat Bopak
it-jan menghilang didalam rimba, wajah nan ayu jelita itu
baru menampilkan senyum manis yang terhibur.
Pelan-pelan ia menghela napas panjang, badannya juga
lantas bergoyang goyang seperti kehabisan tenaga, sedikit
membuka mulut, darah segera kontan meleleh keluar dari
ujung bibirnya. Sebat sekali tahu-tahu pemuda baju kuning berkelebat tiba
disamping Ci-hu-giok-li sambil tertawa-tawa ia jinjing lengan
kirinya serta tanyanya penuh prihatin: "Nona Kiong,
bagaimana keadaanmu?" Pelan-pelan Ci-hu giok-li menggelengkan kepala, tiba-tiba ia
menyipatkan tangan serta meloloskan tangan dari cekalan
orang, katanya sambil tertawa ewa: "Tak nyana kepandaian si
cacat tua bangkotan itu lihay benar. . ."
Pemuda baju kuning tertawa, katanya: "Cici terluka parah,
perlukah kubitabaags ketawa untuk istirahat I"
Mendengar tawaran ini Ci-hu-giok-li sedikit terkejut sekilas
ia melerok lalu sahutnya: "Terima kasih akan kebaikanmu
luka-lukaku ini tidak menjadi soal . . . lalu dengan langkah
ringan pelan-pelan ia maju kedepan sana, sepasang matanya
yang indah cerah dan bening itu memandang penuh perhatian
kearah pertempuran Giok-liong. Tatkala mana Giok liong sudah kerahkan sepuluh bagian
tenaga Ji-lo ilmu Sam-ji cui-hun chiu juga sudah dilancarkan
sampai puncaknya, dorong mendorong sampai berlapis-lapis
bayangan pukulan tangan laksana gelombang samudra
mengamuk terus berbondong-bondong menerjang kearah
Ham-kang-it-ho Pek Su in. Semakin bertempur hati Ham-kang it -ho Pek Su-in semakin
gentar dan ciut nyalinya, sekuat tenaga ia sudah lancarkan
seluruh kemampuan dalam ilmu Pek-hun- ji cap-pwe-sek
kenyataan toh dirinya masih terdesak dibawah angin tanpa
dapat balas menyerang dari pada banyak membela diri saja.
Lambat laun, kabut semakin tebal bayangan pukulan
tangan semakin banyak berlapis, Lama kelamaan keringat
mulai membasahi seluruh badan dan jidat Ham-kang-it-ho,
terang bahwa dirinya sudah semakin terdesak dibawah angin.
Sebuah telapak tangan putih yang halus tanpa suara tahutahu
sudah menyelonong tiba disamping tubuhnya terus
berputar kencang sekali, setiap kali kesempatan lantas
menepuk datang dengan ringannya. Selain itu, sekeliling
tubuhnya sadah terbungkus oleh angin badai yang menderuderu,
tekanan juga terasa semakin berat, ditambah lapisan
bayangan pukulan tangan yang susah ditembus, semakin
terasakan jiwanya sudah terpencil dipinggir jurang kematian.
Pada detik terakhir ini baru timbul rasa penyesalan dalam
sanubarinya. Dia menyesal bahwa dirinya sudah menjadi
tamak dan loba ingin merebut benda milik orang lain, Selain
itu iapun menyesal terlalu mengandalkan kemampuan
kepandaian sendiri untuk menindas dan menghina seorang
pemuda remaja yang baru pertama kali berkelana di dunia
ramai. Tapi sayang sekali penyesalan ini mengetuk hati kecilnya
pada saat-saat ia menghadapi bahaya, seumpama dia berhasil
secara gampang merebut benda yang diinginkan itu, pasti
takkan timbul rasa penyesalannya ini, Begitulah karena sedikit
terpecah pikirannya, sehingga gerak-geriknya sedikit lambat,
seketika terasakan tekanan dari luar disekeliling tubuhnya itu
bertambah berat dan kuat. Bersamaan dengan itu kedengaran Giok-liong tengah
mengejek: "llmu silatmu memang lumayan, sayang
mempunyai hati yang kurang lurus."
Ditengah gelombang angin badai yang menderu-deru serta
ditengah bayangan lapisan pukulan tangan itu, tangan putih
halus yang misterius itu tiba-tiba sudah menyelonong tiba
menekan kedepan dadanya. Saking kagetnya Pek Su in lantas memutar badan dengan
jurus pertolongan yang dinamakan Pek-hun-yu-yu, kedua
telapak tangannya yang besar itu mendadak didorong maju,
diantara tekanan angin badai yang menerpa dari berbagai
penjuru. Giok liong tertawa dingin, mulutnya menyungging rasa
menghina, jengeknya: "Binatang berontak dalam kepungan
tak perlu dikwatirkan lagi!" sepasang tangannya disilangkan
lantas menggapai-gapai, berbareng kakinya menggeser gesit
sekali badannya melesat ke samping. ejeknya: "Hentikan
pertempuran ini, nanti kuampuni jiwamu!"
Melihat Giok liong mundur Pek Su-in malah mendapat hati,
dikiranya orang juga sudah kehabisan tenaga dan tiada
kekuatan melancarkan ilmunya lagi, maka sambil mendengus
iapun balas menjengek: "Asal kau mau serahkan seruling
samber nyawa itu, Lohu segera lepas tangan tinggal pergi."
sembari berkata lagi-lagi jurus Pek-hun yu-yu tadi dilancarkan
lagi, kedua telapak tangannya itu dengan ganas
mencengkeram kearah Giok-liong. Rasa dongkol Giok-lioni semakin membakar kemarahannya,
Tadi ia merasa sedikit kasihan karena tindak tanduk lawannya
ini bukan gembong penjahat yang sudah penuh dosanya,
maka sedikit memberi kelonggaran, serta memberi peringatan
dengan kata-katanya itu, Siapa nyana kebaikannya ini malah
digunakan sebagai kesempatan untuk balas menyerang oleh
lawan malah dengan tujuan jelek lagi, ditambah mulutnya
berkata begitu takabur. Karuan kemarahan Giok-liong seumpama api disiram
minyak sambil menghardik keras dan menggertak gigi ia
memaki: "Memang kau ini bangsat yang setimpal dibunuh!"
Tapi sedikit kelonggaran yang diberikan sudah menjauhkan
kesempatan bagus bagi musuh untuk melancarkan ilmu
mautnya, Untung ia sudah kerahkan ilmu pelindung badannya
tapi tak urung sepasang telapak tangan besar itu toh sudah
menyengkeram tiba dengan ganasnya. Dalam keadaan gawat
ini. Mendadak Giok-liong mendongak keatas terus kertakakan
keras tangan kiri berputar setengah lingkaran ditengah udara
sedang tangan kanan merogoh kearah pinggang.
Tahu-tahu selarik sinar kuning keemas-emasan memancar
ketengah udara. Kiranya Potlot emas yang telah
menggetarkan dunia persilatan pada masa silam telah
mengunjuk keampuhannya. Memang kesaktian Potlot emasini
tidak perlu diragukan lagi, dimana waktu kepalan tangan
merangsak tiba berbareng sinar mas meluncur tiba seketika
terjadilah hujan darah lalu disusul pekik serta gerengan
kesakitan yang menyayatkan hati. Begitu usahanya memperoleh hasil yang memuaskan Giokliong
lantas merandek. Kiranya sambil mengerahkan sepuluh
bagian tenaga murninya dengan jurus Keng-sim (kejut hati)
untuk menolong jiwa sendiri dari renggutan elmaut
cengkeraman cakar musuh, begitu berhasil ia merandek tidak
terus mengejar malah segera ia melejet mundur setombak
lebih sambil menjinjing potlot masnya itu.
Dalam pada itu, Pek Su in sendiri juga melompat mundur
dua tombak jauhnya, Air mukanya pucat pias, tangan kirinya
mengalirkan darah deras sekali. Meskipun ia sudah berusaha
menutuk jalan darah, tapi tak urung darah segar masih terus
merembes ke luar. Mimpi juga dia tak menduga bahwa pot-lot emas Giok-liong
itu masih kuat menembus penjagaan ilmu pelindung badannya
malah melukai pula tangan kirinya. Setelah menenangkan diri dan mengatur pernapasannya,
dengan penuh kebencian ia tatap wajah Giok-liong, tiba-tiba ia
terloroh-loroh sedih, ujarnya: "Bagus Ma Giok- liong terhitung


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lohu sudah berkenalan dengan kepandaianmu !" lalu ia
menyapu pandang ke empat penjuru, Dilihatnya Ci-hu-giok-li
dan pemuda baju kuning itu tengah memandang kearah Giok
liong dengan penuh rasa simpatik Hatinya menjadi mengkeret,
batinnya: "Dilihat naga-naganya jikalau aku berkeras kepala
situasi yang runyam ini pasti tidak bakal menguntungkan bagi
diriku. Terpaksa aku harus memancing dia dengan janji tiga
hari lagi untuk bertemu Dalam jangka waktu tiga hari ini aku
harus berusaha memberi tahu dan mengundang majikan pulau
awan putih dan bantuan lain . . . "
Tengah ia menimang-nimang ini. Mendadak terdengar
serentetan suara tawa panjang yang dingin seram
berkumandang di tengah udara, Hatinya menjadi tergetar,
batinnya lagi: "Mungkinkah dia sudah datang" Kalau begitu
tak bisa aku tinggal pergi, jikalau seruling samber nyawa itu
sampai terjatuh ditangan orang lain, bukankah sia-sia saja
perjalanan ini." Berpikir demikian sepasang matanya lantas
memancarkan cahaya terang yang menyeramkan, katanya
tertawa besar: "sekarang Pek Su-in minta diri, kelak pasti
takkan kulupakan tanda mata di tanganku ini" habis berkata
kedua kakinya menjejak tanah badannya lantas meluncur
kedalam hutan dan menghilang. Suara seram bagai pekik kokok beluk itu masih terus
berkumandang semakin keras bergema dialas pegunungan
gelap ini, sehingga menambah keseraman suasana yang sunyi
lengang diliputi ketegangan. Dalam hutan disemak belukar sana tengah terpancar entah
berapa banyak pasang mata tajam yang diliputi hawa
membunuh tengah mengancam setiap saat.
Tadi sekuat tenaganya Giok-liong melancarkan
serangannya, meskipun memperoleh kemenangan namun
hawa murni dalam tubuhnya juga susut sebagian malah kena
tergetar pula sehingga sedikit cidera.
Ci-hu-giok-li bersama pemuda baju kuning itu bergegas
melejit maju mendekat dengan gelisah, bersama pula mereka
membuka mulut bertanya: "Kau terluka ?"
Pelan-pelan Giok-liong manggut-manggut sahutnya kalem:
"sedikit luka, tapi tidak menjadi soal."
Air muka Ci-hu-giok li yang kelihatan pucat itu seketika
bersemu merah dan unjuk rasa girang, katanya lembut: "Wah,
membuat gugup orang saja !" Pemuda baju kuning melirik sambil terkikik geli, katanya
menggoda: "Aduh, benar-benar mesra dan penuh kasih
sayang!" Kedua pipi Ci-hu-giok-li kontan bersemu merah jengah
kemalu-maluan, ujarnya merengut: "Cis, siapa suruh kau
banyak mulut, kalau cerewet lagi kusobek mulutmu yang
langcang." Pemuda baju kuning meleletkan lidah, segera ia soja minta
minta maaf: "selanjutnya aku yang bodoh ini tidak berani lagi
!" Melihat sikap orang yang sedemikian prihatin akan dirinya,
Giok-liong menjadi terharu, Tanpa terasa terkenanglah akan
istrinya Coh Ki-sia yang tinggal dalam Hwi-hun san cheng itu,
wajahnya yang gagah ganteng itu lantas tersimpul senyum
manis. Melihat Giok-liong juga tersenyum, hati Ci-hu-giok-li merasa
syuur seakan arwahnya terbang keawang-awang, katanya
dengan lembut : "Nada tertawa ini rada aneh. Mungkin Ko-bok
imhun tokoh ketiga dari Thian-1ai-sam-yau sudah tiba.
Menurut hematku marilah segera kita tingal pergi saja."
Pemuda baju kuning tertawa penuh arti, ujarnya "Mau
pergi, kukira juga tidak begitu gampang !"
Ci hu-giok-li lantas tertawa lantang, tanpa menoleh lagi ia
menyambut: "Apa kau coba merintangi ?"
Pemuda baju kuning juga tertawa-tawa, katanya "Mana aku
yang bodoh ini berani, apalagi terhadap kau nona masa aku
berani kurang ajar lagi ! Hanya . . . apakah kalian tidak
merasa bahwa sekitar kita ini rada-rada janggal dan
mencurigakan ?" Tanpa merasa Ci-hu-giok-li tertawa geli, ujarnya: "Masa
mengandal para tokoti bangsa Panca-longok itu juga berani
berusaha merintangi jalan kita ?"
Pemuda baju kuning menekan suaranya. katanya: "Menurut
pendapatku yang b-jdoh, dalam rimba sana mungkin
bersembunyi tokoh-tokoh lihay, sementara waktu mungkin
sukar dapat meloloskan diri." Jauh sebelum berkecimpung didalam Kang ouw Giok-liong
sudah pernah mendengar akan ketenaran nama Thian lamsam-
yau, sekarang mau tidak mau dirinya harus berhadapan
dengan gembong iblis yang ditakuti itu, sehingga hatinya
kebat-kebit tidak tentram tercetus pertanyaannya: "Bagaimana
kepandaian silat Ko-bok-im-hun itu?"
Pemuda baju kuning menjawab serius: "Dibanding Bo-pakit-
jan kukira, boleh lebih tinggi dari pada dikatakan lebih
rendah. Apalagi tokoh kesatu dan kedua Thian-lam-sam-yau
itu kepandaian silatnya lebih tinggi lagi! jikalau mereka bertiga
bergabung datang, Mungkin .. . . . . malam ini kita bisa celaka
!" Ci-hu-giok-Ii juga manggut-manggut, katanya: "Hal itu
memang kenyataan, menurut kata ayahku, ketiga tokoh
Thian-lam-sam-yau itu ilmu kepandaiannya masing-masing
berlainan." Tapi akhirnya mereka menutup pintu dan bergabung
melatih semacam ilmu ganas dari aliran Lwe-keh yang
dinamakan Hian-si-im-cu. Bila mereka benar-benar masih
melatih ilmunya itu, pasti tak mungkin bisa keluar dari
sarangnya, Kalau kenyataan sudah keluar itu berarti bahwa
ilmu gabungan itu sudah selesai dilatih bersama."
Suasana sementara menjadi sunyi senyap tenggelam dalam
masing-masing pikirannya. Gelombang tawa dingin yang
menggiriskan itu masih terus bergema semakin dekat dan
keras, Didengar dari gema suaranya yang semakin keras,
jaraknya mungkin tinggal puluhan li saja.
Tiba-tiba pemuda baju kuning bertanya kcpada Giokliong:"
Ma-siau-hiap, apakah benar kau menyimpan seruling
sambar nyawa itu?" Penuh tanda tanya dan keheranan Giok-liong mengamati
orang, otaknya berputar cepat, batinnya: "Meskipun dilihat
perangainya ini pemuda baju kuning tidak seperti seorang
jahat, bagaimana juga aku harus berjaga-jaga, Apalagi siapa
namanya serta usul atau dari perguruan mana sedikitpun aku
tidak tahu!" Dasar pemuda baju kuning ini cukup cerdik sekilas saja ia
lantas dapat menebak isi hati yang terkandung dalam benak
Giok-liong, matanya yang besar berkedip-kedip serta ujarnya
penuh jenaka: "Agaknya Ma~ siau hiap agak ragu-ragu dan
kurang percaya akan pribadiku! Aku yang rendah bernama
Tan Hak-kiau, aku bertempat tinggal di Kau-jiang-san, dari
perguruan Kau-jiang-pula! Baru belum lama ini aku berkelana
di Kangouw, maka belum banyak dikenal oleh kalayak ramai."
"Dari kabar yang tersiar aku dengar katanya bahwa Janhun-
ti (seruling samber nyawa) terjatuh ditangan To-ji Pang-lo
cianpwe. Tapi selama rstusan tahun terakhir ini Pang-lo canpwe
sudah menghilang jejaknya dari dunia persilatan. Maka
begitu Ma-siau-hiap mengunjukkan diri segera
menggemparkan seluruh rimba persilatan Tiada seorangpun
dari kaum persilatan yang tidak mengharapkan sedikit sumber
berita yang paling terpercaya tentang seruling sakti itu."
"Aku yang rendah hanya kebetulan saja kebentur dengan
peristiwa ini, sebagai seorang dari aliran Ciang-pay betapapun
aku tidak bisa berpeluk tangan melihat kesukaran orang lain
tanpa mengulur tangan membantu, jikalau seruling samber
nyawa itu benar-benar berada ditangan Ma-siau-hiap, mau
tidak mau kita harus mundur teratur untuk menentukan
langkah langkah selanjutnya." "Terima kasih akan uluran tangan saudara yang sudi
membantu kesukaran yang tengah kuhadapi ini. Memang
seruling sakti itu telah diserahkan kepadaku oleh guruku. Tapi
betapapun aku harus dapat menanggulangi sendiri kesukaran
yang timbul karena seruling sakti itu. Kuharap saudara berdua
tidak ikut menjadi korban oleh karena ketamakan pada
durjana yang mengincar seruling pusaka itu,
"Akh Ma-siau-hiap berat kata katamu ini, rasanya malu bagi
kita kaum persilatan yang mengutamakan kebijaksanaan bagi
sesama umat jikalau berpeluk tangan melihat penderitaan
orang lain, Kita harus berani berkorban demi keadilan dan
kebenaran betapa juga aku sudah bertekad untuk membantu
kau untuk menegakkan keadilan demi kesejahteraan kaum
persiiatan!" "Benar, kita kaum keluarga Ci-hu juga selamanya belum
pernah menarik kembali ucapan yang pernah dikatakan,
Meskipun bakal mendapat marah dari ayah aku tidak peduli
lagi akan segala tetek bengek. Suka rela aku membantu kau,
marilah kita galang persatuan dan kesatuan kita bertiga, air
datang kita bendung musuh datang kita tandangi meskipun
sampai titik darah penghabisan aku rela berkorban demi
kepentingan kaum persilatan." Sungguh haru Giok-liong tak tak terhingga sampai
tenggorokkan terasa sesak sukar bicara namun belum sempat
ia angkat bicara lagi gema suara panjang itu sudah meluncur
tiba ditengah gelanggang membuat kuping mereka bertiga
terasa hampir pecah. Kini dalam gelanggang sudah bertambah seorang tua kurus
kering bertubuh tinggi seperti genter bertangan panjang,
Matanya yang berkilat itu langsung menatap kearah Giok-liong
lalu tanyanya dengan suara rendah: "Kau inikah yang
bernama Giok-liong murid To-ji ?"
Sebelum Giok-liong sempat buka suara dari samping Kiong
Ling-ling sudah menyelak, serunya: "Paman Ki, sehat
walafiatkah kau orang tua selama ini, untuk apakah kau
datang kemari ?" Ko bok-im hun terkekeh-kekeh, lalu ujarnya: "Eeeeeh,
sudah tahu pura-pura tanya lagi, Budak kecil dimanakah
ayahmu, apakah beliau baik-baik saja selama ini."
"Berkat lindungan Tuhan, ayah masih sehat dan baik-baik
saja !" "Hm, baik sekali, Kau minggir saja ke-samping. Biar Lohu
minta seruling itu dulu." Berubah air muka Ci-hu-giok-li, katanya penuh aleman:
"Paman, Ma Giok-liong adalah engkoh angkat Wanpwe."
Tubuh Ko bok im-hun rada tergetar, sesaat baru ia berkata
dingin: "Omong kosong!" Ci-hu-giok-li maklum bahwa orang rada keder dan segan
menghadapi ayahnya, maka dengan wajar segera ia berkata:
"Ya, memang betul." "Kapan Sin-kun mengangkat dia sebagai anak angkat ?"
"Setengah tahun yang lalu !"
Sekonyong-konyong Ko-bok im hun ter-loroh-loroh keras,
suaranya bergema lantang menggiriskan sukma orang, lama
dan lama kemudian baru ia menghentikan tawa seram ini.
"Paman apa yang perlu ditertawakan ?"
"Setengah bulan yang lalu baru saja Lohu bertemu dengan
Sin-kun. Menurut tutur katanya hakikatnya ia tidak kenal
mengenal tentang bocah she Ma ini, Hahahaha." sembari
terbahak dingin ini mendadak timbul lima jalur angin dingin
membawa warna hijau menyolok secepat kilat melesat
mengarah Giok liong. Bersama itu dia sendiri juga berkelebat
cepat laksana bayangan setan tahu-tahu sudah melejit tiba
dipinggir kanan Giok-liong. Sungguh tidak terduga oleh Giok-liong bahwa gerak tubuh
Ko-bok-im-hun ternyata bisa begitu cepat, untuk berkelit
sudah tidak sempat lagi, dalam seribu kerepotan terpaksa ia
gerakkan potlot mas ditangan kanannya, dengan jurus Siphum
(menghilang sukma) jurus kedua dari ilmu Jan-hun-sisek
untuk membela diri. Seketika cahaya kuning memanjang seperti rantai emas
berputar mengelilingi tubuhnya, sehingga menerbitkan angin
menderu untuk melindungi badan. Bertepatan dengan itu, terdengar juga hentikan nyaring
halus, disusul bayangan ungu melayang tiba terus
memberondong dengan kepalan tangannya yang hebat
laksana gelombang samudra yang tengah mengamuk. Tidak
ketinggalan bayangan kuning juga berkelebat diselingi suara
tawa dingin, seketika angin lesus membumbung tinggi laksana
gunung. Setelah terdengar ledakan dahsyat yang menggetarkan
bumi, terlihat bayangan orang terpental keempat penjuru.
Ko-bok-im-bun berdiri tegak sambil melotot sepasang
matanya yang besar beringas memancarkan cahaya terang
kehijau-hijauan. Wajah Ci-hu giok-li rada merah jengah
katanya lembut penuh aleman: "Paman, mana boleh kau
gunakan kekerasan hendak merampas barang milik orang
lain." Pemuda baju kuning Tan Hak-siu ikut menyindir: "Beginilah
tokoh angkatan tua dunia persilatan yang disegani, Membuat
angkatan muda bergidik dan malu saja."
Sebaliknya Giok liong mandah tersenyum ejek sambil
berdiri menjinjing senjata potlotnya.
Tiba-tiba suara tawa Ko bok-im-hun yang parau mendesis
terlontar dari bibirnya yang menyeringai seram mendirikan
buluroma, katanya: "Hari ini Loou harus mencapai tujuan
siapa yang berani merintangi pasti kubunuh!"
Belum selesai ia berkata terdengar angin berkesiur dari
dalam hutan gelap sana berkelebat dua bayangan satu hitam
dan yang lain kuning berkilau menyolok mata, Maka dilain saat
tahu-tahu dalam gelanggang sudah bertambah dua orang
berkedok. Yang berdiri sebelah kiri berperawakan tinggi, seluruh
tubuhnya terbungkus pakaian hitam, didada sebelah kiri
tersulam gambar pelangi merah darah yang menyolok mata.
Lain yang berdiri sebelah kanan bertubuh perteugahan seluruh
tubuhnya berkilauan terbungkus kain kuning emas hanya
terlihat sepasang matanya yang hitam berkilat dari belakang
kedoknya. Begitu muncul langsung mereka menerjang dengan
membawa kekuatan pukulan dahsyat laksana gugur gunung
menindih kearah Giok-liong. Ko bok-im-hun menjadi murka, teriaknya beringas:
"Berhenti!" sepasang matanya memancarkan cahaya liar buas
kehijauan, sembari menarikan kedua tangannya, tubuhnya


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak lincah laksana bayangan setan gentayangan terus
menubruk maju, badannya terbungkus oleh kabut hijau itu
yang cemerlang, Betapa cepat gerak tubuhnya ini sungguh
sangat menakjubkan. Tiba-tiba terdengar pemuda baju kuning Tan Hak-siau
mendengus hina, katanya: "Hm, Hiat-hong-hong Pang cu dan
Kiam Pang cu muncul berbareng, kiranya mereka sudah ada
intrik dan bersekongkol dalam satu lobang hidung."
Ci-hu giok li mengunjuk senyum manis kearahnya serta
katanya: "Bagaimana menurut maksudmu?"
Saat itulah terdengar benturan keras ditengah gelanggang.
setelah angin mereda dan kabut menghilang terdengar Hiathong
Pang-cu mengekeh panjang, katanya sinis: "Ki-cian-pwe,
kalau dapat dilerai lebih baik kau lepas tangan saja, sekali
kesalahan tangan nama bisa runtuh, badanpun bakal hancur,
hal ini tidak menguntungkan bagi kau."
Ko-bok-im-hun menyeringai tawa, jengeknya: "Tak nyana
selama puluhan tahun ini Lohu tidak muncul didunia ramai,
kiranya telah bermunculan para bocah keparat yang tidak tahu
tingginya langit tebalnya bumi. . ."
Seiring dengan ucapannya ini kelima jari tangan kanannya
berjentik bcrulang-ulang, lima jalur angin kencang terus
melesat langsung menerjang Giok liong.
Belum lagi serangan tutukan jari ini mengenai sasarannya,
mendadak tubuhnya juga ikut melejit tinggi melambung
ketengah udara, badannya masih tetap terbungkus oleh kabut
hijau, kaki dan tangan serentak bekerja, tangan mencengkram
batok kepala dan sedang leher kakinya menendang perut
Giok-liong. Disebelah sana Hiat hong Pang cu terloroh-loroh aneh,
berbareng kedua tangannya menepuk kearah pinggang, dilain
saat kedua tangannya itu sudah mencekal dua benda warna
merah darah yang berbentuk sangat aneh.
Kiranya itulah lencana Hiat-hong-ling penanda tertinggi dan
Hiat-hong-pang. Dengan membekal senjata pusaka
perkumpulan ini terbitlah dua jalur sinar merah memapak
maju kearah Ko bo-im-hun. Sementara itu, Kim-i Pang cu juga tidak mau ketinggalan
meloIos keluar cambuk panjang menyerupai seekor ular yang
bewarna kuning mas. Sekali gentak keudara seketika dipenuhi
bayangan kuning mas beterbangan terus mematuk dan
melihat kearah Giok-liong juga. Melihat keadaan ini, seketika Ci-hu-giok-Ii berseru kejut:
"Dia . . . mungkin adalah Kim-coa-long-kun adanya ?"
Pemuda baju kuning Tan Hak-siu menjawab : "Tidak
mungkin Kim coa long-kun sudah mengasingkan diri selama
dua ratus tahun lebih !" Gelombang badai terbit lagi membumbung tinggi ke tengah
angkasa bayangan orang berkelebat gesit sekali, Terjadilah
dua kelompok pertempuran sengit yang mendebarkan dalam
gelanggang, Ko bok-im-bun melawan Hiat hong Pang-cu.
Sedang Giok-Iiong melawan Kim-i Pang-cu, terjadilah perang
tanding yang jarang terjadi dalam dunia persilatan selama ini.
Sekonyong-konyong dua jalur bianglala warna kuning dan
merah darah meluncur tinggi ketengah angkasa dari tengah
hutan, sedemikian terang cahaya api dua jalur bianglala itu
menerangi malam gelap dan sunyi ini menyolok mata.
Tak tertahan pemuda baju kuning berseru kejut: "Celaka,
Hiat-hong-pang dan Kim-i pang mengerahkan seluruh bala
bantuannya . ." Benar juga belum lenyap suaranya dari dalam hutan yang
gelap itu lantas kelihatan bayangan orang berkelebatan
membawa kesiur angin yang keras. Entah berapa puluh lakilaki
berbadan besar-besar mengenakan seragam hitam dan
kuning mas berloncatan keluar dengan gesit dan tangkasnya
meluruk kearah gelanggang pertempuran ini.
Ditangan para pendatang ini pasti membekal senjata yang
berkilauan entah pedang tombak atau senjata tajam lain,
sekejap saja mereka sudah mengepung rapat gelanggang
pertempuran ini, seolah-olah mereka sudah mengatur suatu
macam barisan. Ci-hu-giok-li mengerutkan kening, katanya pada pemuda
baju kuning: "Mereka sudah membentuk barisan apa, kenapa
aku tidak mengenalnya ?" Dengan sikap serius pemuda baju kuning menjawab:
"Barisan apakah ini aku sendiri juga tidak tahu Naga-naganya
malam ini kita harus turun tangan tidak mengenal kasihan,
bunuh dulu sebanyak mungkin supaya barisan mereka kocar
kacir, setelah itu kita berdaya menolong Ma-siau-hiap
meloloskan diri dari kepungan ini p
BcIum habis omongannya tiba-tiba terdengar suara:
"Hyuuuu," . . . , wuuuu , , . . wu !" dari kejauhan terdengar
bunyi sangkalala yang keras sekali berkumandang dimalam
gelap. Tak terasa pemuda baju kuning membanting kaki seraya
katanya gegetun: "Celaka, bala bantuan orang-orang Pek-hunto
telah tiba . ." Perlu diketahui meskipun letak Pek-hun to jauh dimuara
sungai Ham-kang, mereka jarang sekali beroperasi atau
berkecimpung didaerah Tiong-goan, Tapi tokoh-tokoh silat
dari pulau Mega putih ini tidak sedikit jumlahnya, apalagi
kepandaian mereka sangat hebat dan banyak ilmu tunggal
serta simpanan yang sakti, hakikatnya kekuatan mereka
sangat besar tidak boleh dipandang ringan.
Maka begitu mendengar bunyi sangkala itu, seketika semua
orang yang hadir dalam arena adu kepandaian itu melengak
kaget. Saat mana situasi pertempuran sudah mencapai titik
puncak yang paling seru. senjata Hiat-hong ling ditangan Hiathong
pangcu sudah diputar dan dimainkan sedemikian rupa
sampai seluruh badannya bertabirkan cahaya merah darah
yang berhawa dingin, sedemikian hebat dan menakjubkan
sampai mengaburkan pandangan. Betapapun hebat dan lincah
permainannya ini selulup timbul diantara kabut hijau yang
menderu dingin, berloncatan tangkas dan menari-nari. Tapi
diatas kelihatan gerak geriknya sudah semakin terkekang dan
semakin terdesak dibawah angin. Cambuk sebenarnya berbentuk rantai ular mas ditangan
Kim i Pang cu saat mana juga telah dimainkan begitu rupa
laksana naga hidup, jurus serangannya sangat aneh dan lucu
lagi, seluruh angkasa dilingkupi sinar kuning bayangan ular
mas. Demikian juga sepasang potlot mas ditangan Giok-liong
juga telah mengunjukkan perbawa sebagai senjata pusaka
yang ampuh mandraguna, lambat laun dan pasti akhirnya Giok
liong sudah mendesak lawannya. Begitu bunyi sangkala terdengar, mendadak Hiat-hong
Pang-cu membenturkan sepasang senjata dikedua tangannya
sendiri berbareng bersuit keras, seketika seluruh tubuhnya
mengepulkan uap merah, pancaran sinar merah darah dari
kedua senjatanya itu juga mendadak melebar besar terus
menggulung deras sekali kearah Ko-bok im-hun.
Disebelah sana dalam waktu yang bersamaan Kim i pangcu
juga mementang mulut memekik panjang dan nyaring
menenbus angkasa, setiap kali tangannya menggentak
cambuk ular mas di tangannya menari dan membelit-belit
dengan kencangnya sampai berbunyi nyaring.
Baru saja para anak buah Kim-i-pang dan Hiat-hong-pang
baru bisa berdiri tegak karena terdesak oleh samberan deru
angin senjata yang tengah bertempur ditengah gelanggang
mendadak melihat pertanda aba-aba serbuan serentak dari
pimpinan masmg-masing. Serempak para komandannya
segera menggerakkan senjata beramai-ramai, berbareng
puluhan senjata tajam meluncur menyerang musuh ditengah
gelanggang itu. Pada saat yang sama pula, Pemuda baju kuning
mendongak bergelak tawa, suaranya nyaring merdu bagai
pekik burung hong, sekali membalik tangan tahu-tahu ia
sudah melolos keluar sebatang pedang pendek yang
memancarkan sinar dingin. Tangkas sekali badannya menubruk maju laksana burung
garuda raksasa, diseling dengan bantalan sinar tajam
langsung iapun menerjunkan diri ketengah gelanggang
pertempuran. Ci-hu-giok-li juga insyaf bahwa situasi sudah di ambang
pintu, paling gawat, sekali berlaku lambat atau ceroboh sulit
dapat mengejar harapan menang. Terdengarlah suara pemuda baju kuning berkumandang,
katanya: "Nona Kiong, serbulah pintu hidup, biar aku yang
rendah menerjang pintu belakang!"
Belum lenyap suaranya sudah disusul garang dan jerit
kekalutan berulang-ulang, darah menyemprat deras
membasahi rumput nan hijau subur, Ternyata Tan Hak-siau
telah menari-nari kencang dan gesit sekali, badannya
terbungkus oleh cahaya terang dari pedang pendeknya yang
galak dan ganas sekali, sedemikian lincah ia menggerakkan
senjatanya laksana bintang bertaburan ditengah angkasa.
Ci-hu-giok li Kiong Ling-ling juga tidak mau ketinggalan
terdengar teriakannya nyaring: "Awas saudara Tan aku
menurut saja pada petunjukmu!"
Sekali raih gampang sekali ia merogoh keluar sepotong
sapu tangan sutra halus seringan asap seenteng kabut.
Enteng saja digentakkan lantas menerbitkan kabut ungu.
Laksana bidadari menari nari lemah gemulai sebat sekali
badannya melayang masuk melalui pintu hidup yang
ditunjukkan tadi. Pintu hidup ini sebetulnya dijaga oleh lima laki-laki kekar
berseragam kuning mas, mereka berputar putar cepat dan
rapi serta teratur, sinar golok berkelebat cepat bagaikatt
bunga salju. Namun karena barisan ini baru bergerak. berputarnya
masih agak lamban, tapi toh sudah menunjukkan perbawanya
yang kompak. Begitu Kiong Ling-ling menerjang masuk
kedalam pintu hidup, kontan ia merasa empat penjuru
badannya berkelebatan bayangan kuning mas yang
menyilaukan pandangannya, Entah berapa banyak sinar golok
berbareng meluruk kearah badannya. Dasar berkepandaian tinggi hatinya menjadi tabah, tanpa
gemetar sedikitpun ia malah tertawa riang, serunya: "Bagus,
kiranya kalian juga ingin mencabut jiwaku!"
Lemah gemulai Ci-hu-giok-Ii bergerak melambaikan
seputangannya, sedikit tangan kanan bergetar segulung kabut
ungu segera bergulung menerjang kearah seorang laki-laki
baju kuning mas didepannya, selain itu tangan kiri juga tidak
tinggal diam melambai perlahan kelihatannya memang pelan
tapi serentak dengan lambaian tangannya ini ia sudah
lancarkan tiga gelombang angin pukulan tangan yang
berlainan tujuan dan berbeda sasarannya.
Tak terduga saat mana para peserta pembentuk barisan itu
sudah dapat pernahkan diri mereka masing-masing dengan
menduduki tempat tempat yang tepat dan penting, yang
memberi komando cukup berpengalaman lagi. Lima orang jadi
satu kelompok saling bantu membantu dan bahu membahu,
Maka jurus serangan yang rada terlambat menjadi susut bawa
hasil, tidak seperti pemuda baju kuning sekali gebrak
beberapa orang musuh segera terjungkal, Hati Kiong Ling-ling
jadi dongkol, batinnya: "Agaknya sudah tiba saatnya kita
berantas para kurcaci jahat ini."
Seiring dengan tawa merdu yang berkumandang, gerak
badannya mendadak berubah, pelajaran tunggal yang
istimewa dari keluarga Ci-hu segera dilancarkan. Maka
tampaklah bayangan ungu berkelebatan selulup timbul
kadang-kadang jelas dilain saat bergerak menghilang, kabut
ungu juga bergulung-gulung semakin tebal melebar keempat
penjuru. Seketika kelima orang baju kuning mas yang menjaga
dipintu hidup ini merasa dihadapan mata dan sekitar tubuhnya
bermunculan bayangan gadis rupawan berpakaian ungu yang
tengah tertawa menggiurkan, tapi setiap kali tangannya
bekerja lantas terasa sampokan angin keras yang menyerang
ke arah tempat tempat penting ditubuh mereka.
Demi keselamatan jiwa sendiri, kelima orang baju kuning
mas yang sudah menduduki tempatnya masing-masing
menjadi pontang-panting dan kacau balau, tak bisa bekerja
sama lagi. Masing-masing menggerung dan menjadi nekad
memutar golok sendiri untuk melindungi badan.
Dengan demikian bentuk barisan mereka ini menjadi bubar,
hal ini memang menjadi tujuan Ci hu-giok-li dengan riang ia
berseru. "Nah kan begini !" kelima jari tangannya mendadak
menjentik berulang-ulang kearah lima sasarannya, Kontan
terdengar laki-Iaki baju kuning yang berdiri paling dekat
menggereng tertahan, golok ditangannya tampak dilintangkan
serta gerak cepat sekali menangkis angin kencang yang
menerjang tiba. Tapi baru saja sinar goloknya bergerak, lantas terdengar
suara tawa ringan yang berkumandang, segulung kabut ungu
mengepul datang membawa bau harum terus menungkrup
keatas kepalanya. "Aduuuh" jerit yang mengerikan setengah tertahan
darahpun berceceran keras sekali, Nyata separo kepala lakilaki
baju kuning mas ini sudah terbelah sebagian.
Sebelum tubuh musuh ini roboh ditanah bayangan Ci hugiok
li sudah melayang ke arah sasaran Iain.
Di pihak lain kiranya pemuda baju kuning lebih leluasa
bekerja, karena berulang-ulang terdengar pekik dan lolong
kesakitan serta robohnya para musuh yang merintangi, darah
mengalir deras berceceran dimana-mana.
Pada waktu itu terdengar pula suara sangkala yang
panjang tinggi melengking menembus angkasa, setelah itu
lantas berhenti tak terdengarlah suara apa-apa.
Agaknya Ko-bok-im-hun sudah tidak sabaran lagi,
mendadak mulutnya mencebir bersuit keras sekali, badan
yang bergerak selincah kera selicin belut itu mendadak
berhenti berdiri dengan tegak bagai terpaku diatas tanah,
sepasang matanya memancarkan cahaya buas yang berwarna
hijau, seluruh tulang badannya berkeretekan, uap hijau murni
mengepul dari seluruh badannya. Sungguh kejut Hiat-hong Pang cu bukan main, sedikit
menutulkan kakinya di atas tanah tubuhnya terus melambung
tinggi tiga tombak di tengah udara ia menyedot hawa murni,
berbareng Hiat-hong-ling di kedua tangannya dibenturkan,


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seketika terdengar samber angin keras yang membawa suara
gemuruh laksana geledek. Dari ketinggian ini langsung meluncur turun menubruk
dengan kekuatan yang dahsyat bagai gugur gunung.
Betapapun dengan itu, mendadak seluruh tubuh Ko bok-imhun
mengepulkan hawa merah marong yang menyolok terus
menyelubungi seluruh badannya, malah hawa kabut ini
semakin meninggi sehingga seluruh badannya tertelan tak
kelihatan lagi. Diam-diam Hiat-hong Pang-cu berteriak dalam hati:
"Celaka, inilah Hian sim-im-ou!" seluruh tenaga murninya
dikerahkan badan yang meluncur turun itu mendadak
jumpalitan terus meluncur minggir kesamping kiri.
Tapi meskipun ia bergerak selincah burung walet, tak urung
sudah terlambat setindak, "Blang", benturan bagai guntur
berbunyi ini menggetarkan seluruh gelanggang, angin badai
melambung keempat penjuru menggulung seluruh benda yang
berada disekitarnya, Terdengar Hiat-hong Pang-cu menguak keras seperti babi
hendak disembelih, Kontan badannya mencelat jumpalitan
jauh sekali, dari mulutnya segera menyembur darah segar
sampai membasahi seluruh kedok dimukanya.
Ditengah kabut yang masih mengepul terlihat bayangan
merah yang kaku bagai mayat hidup laksana anak panah
melesat menubruk kearah Giok-liong.
Tatkala itu, Giok-liong sudah lancarkan seluruh ilmu Janhun
si sek sampai puncaknya, Sinar kuning mas seperti rantai
kuning menggubat seluruh tubuhnya, ditengah angin yang
menderu kencang, dengan susah payah ia tengah mendesak
Kim-i Pang cu sampai dua tombak, baru saja ia hendak
menerjang lagi dengan serangan terakhir sekonyong-konyong
dari atas kepalanya terasa segulung hawa dingin telah
menungkrup datang. Bertepatan dengan itu, dari dalam rimba sana beruntun
muncul beberapa bayangan orang laki laki yang bermuka
cakap bertubuh kekar, gerak-geriknya juga cukup gesit dan
tangkas sekali, para pendatang ini sama mengenakan seragam
jubah biru. Ditengah gelak tawa yang berkumandang nyaring, dua
bayangan biru tua yang menyolok muncul lagi dari balik pohon
besar membawa cahaya biru yang terang terus menubruk
maju memapak kearah Kobok-im hun. Sedang dua bayangan biru lainnya laksana angin lesus
menerpa kearah Giok-liong. Melihat situasi yang tidak menguntungkan ini, segera Kim-i
Pang-cu mendongak mengeluarkan pekik panjang sebagai
aba-aba, serentak dari dalam hutan menerjang keluar lagi
puluhan orang seragam hitam dan kuning mas.
Maka terjadilah pertempuran gaduh yang gegap gempita,
suasana menjadi kacau balau. Ci hu-giok-li dan pemuda baju kuning saat mana sudah
terkepung ditengah tengah gelanggang pertempuran. Badan
mereka bergerak dengan tangkas dan sebat sekali, setiap kali
tangan dan kakinya bergerak, pasti ada beberapa orang yang
jatuh roboh sambil menjerit ngeri. Diatas tanah yang datar di lamping gunung yang tidak
begitu besar ini, sekarang sudah berkumpul ratusan gembonggembong
silat yang berkepandaian tinggi pertempuran yang
demikian hebat ini tidak lain hanya bertujuan merampas
seruling samber nyawa, jadi hakekatnya sasaran utama bagi
mereka sebenarnya hanya satu yaitu Giok-liong.
Mana mungkin mereka berdua kuat menahan dan
membendung arus serangan musuh yang bertubi-tubi tak
kenal putus, sementara itu, Kim-i Pang-cu sekarang sedang
berdiri dipinggir gelanggang sambil menenteng cambuk ular
masnya, dengan tekun dan cermat matanya tak berkedip
mengamati setiap gerak gerik Giok-liong.
Begitu tiba didalam gelanggang kedua bayangan biru tadi
lantas melancarkan serangan yang berantai tanpa mengenal
kasihan lagi, dua jalur sinar biru yang mencorong terang
laksana biang lala, kontan membelit dan menyabet kearah
pinggang Giok-liong. Tadi dalam menghadapi Kim-i Pang-cu meskipun sudah
mengeluarkan setaker tenaganya, untung masih belum
mendapat cidera apa-apa, tapi hakikatnya tenaga murninya
sudah banyak susut atau tercurah keluar, Kini dilihatnya dua
bayangan biru tengah menerjang tiba, timbullah hawa
amarahnya, air mukanya yang rada pucat itu seketika menjadi
merah padam terbakar oleh kemarahannya, sepasang
matanya juga lantas memancarkan sorot kebuasan yang
berkilat-kilat. Tenaga Ji-lo mulai dikerahkan berputar cepat diseluruh
tubuhnya, potlot mas ditangan kanan rada ditekan sedikit
kebawah, lalu bentaknya sinis: "Yang tidak ingin hidup coba
maju kemari!" Sekarang ia sudah melihat tegas satu diantara kedua
bayangan biru adalah Ham-kang-lt ho Pek Su-in adanya. Luka
luka ditangan kirinya itu kini sudah dibalut rapi, agaknya
sedikit luka ditangan kiri itu tidak mengurangi atau
mengganggu kesehatan dan gerak geriknya.
Salah seorang lain kiranya adalah seorang kakek tua
berambut uban, bermuka tepos bertubuh kurus ceking, Tapi
gerak gerik si orang tua ini nyata lebih gesit dan lihay, Hamkang-
it.ho langsung meluncur datang, belum tiba suara gelak
tawanya sudih terdengar suaranya: "Ma Giok liong, seorang
kesatria harus dapat melihat gelagat, Menyerah saja dan
seishkan seruling samber nyawa itu, seluruh kaum Pek hun-to
tidak akan menyia-nyiakan kebaikanmu ini."
Giok-liong menjadi murka, hardiknya keras: "Kalau kau
mampu marilah ambil sendiri." sedikit potlot masnya bergerak,
seiring dengan hawa Ji-lo yang melindungi tubuh terus
terayun kedepan berubah menjadi seutas bayangan mas
menerjang kedepan, Maka terdengarlah suara "trang, trang ..
. " berulang-ulang dari benturan senjata yang nyaring, tiga
bayangan orang sedikit terpental mundur sebelum mereka
dapat berdiri tegak, ditengah udara masih kelihatan percikan
api. Mendadak si orang tua renta itu memperdengarkan gelak
tawa menggeledek, jengeknya: "Bocah takabur, biarlah tuan
besarmu menjajal sampai dimana tinggi kepandaianmu"
badannya bergerak goyang gontai, sinar dingin seketika
berkelebatan, berbareng ia merangsak maju lagi bersama
Ham-kang-it-ho. Sementara itu, di gelanggang lain, baru saja Ko-bok-im-hun
melancarkan ilmunya yang baru berhasil dilatih sempurna
yaitu Hian-si im-ou, memukul mundur Hiat-hong Pang-cu
tengah ia bersiap hendak menubruk kearah Giok-Iiong, Tahutahu
dua jalur sinar biru yang berkilauan telah melesat tiba
mengancam jiwanya. Tanpa ayal ia menggerung keras, berbareng kedua
tangannya terayun, sekonyong-konyong badannya melejit
tinggi ketengah udara membawa kabut merah gelap terus
memapak maju. Begitu kedua belah pihak saling bentur lantas
bayangan tiga orang kelihatan mundur gentayangan, tapi gesit
sekali mereka sudah menyerang maju lagi bertempur seru
sambil membentak-bentak. Di lain pihak, Ci-hu-giok-li dan pemuda baju kuning juga
tengah menari nari dengan lincah dan tangkas sekali
membabat dan membacok serta menikam semua orang yang
menghalangi didepan tanpa memandang bulu entah mereka
dari seragam hitam atau kuning mas serta baju biru tua, yang
terang bila berani merintangi pasti dibabat habis-habisan,
sedemikian lincah mereka bergerak laksana sepasang kupukupu
bermain ditengah rumput bunga, setiap kali senjata dan
kaki bergerak saat itu terdengar teriak kesakitan, laksana
membabat rumput alang-alang saja gampangnya para musuh
satu persatu roboh bergelimpangan. Sekarang Hiat-hong Pang-cu dan Kim-i Pang-cu malah tidak
hiraukan lagi pada Giok-liong. Tubuh mereka bergerak gesit
dan sclicin belut selulup timbul diantara kelompok orang orang
seragam biru dari kaum Pek hun-to, Mereka lancarkan tangan
ganas yang tidak bertara, beruntun terjangan jerit dan pekik
menyayatkan hati menjelang jiwa melayang menghadap Giam
lo-ong, terjadilah penjagalan manusia secara sadis.
Mayat manusia sudah bertumpuk laksana bukit darah
bergenang menjadi aliran sungai yang masih ketinggalan
hidup semakin berkurang, dimana-mana terdengar keluh
kesakitan serta bentakan nyaring menambah semangat
pertempuran saling susul bersahutan.
Dengan dilantai ilmu Hian-si-im-ou perbawa dan kekuatan
Ko-bok-in-hun menjadi lebih besar dan semakin garang.
Betapapun tinggi kepandaian kedua orang berpakaian
seragam biru mengeroyoknya itu lambat laun semakin payah
dan terkepung oleh bayangan pukulannya, terang mereka
lebih banyak membela diri dari pada balas menyerang.
Dalam pada itu, beruntun menghadapi musuh tangguh,
tenaga murni Giok-liong sudah tercurah banyak sekaii,
tenaganya semakin lembek, keruan akhirnya ia terdesak
dibawah angin. Terdengar Ham-kang-it-ho mengejek dingin:
"Ikan sudah masuk jaring masih berusaha lolos, Ma Giok-liong,
kulihat kau ini memang goblok keliwat batas." habis katakatanya
senjata ditangannya di lancarkan semakin kencang
dengan serangan berantai. Gerak-gerik si orang tua renta kawannya itu juga cukup
lihay, tubuhnya bergerak secara aneh, ilmu goloknya juga
sudah sempurna betul, serentetan serangan berantai yang
dilancarkan secara bernafsu membuat Giok liong terus mundur
lagi. Namun demikian, dalam keadaan yang gawat begitu, Giokliong
masih berlaku tenang. gerak geriknya masih teratur rapi,
sahutnya dingin: "Cengcoreng, hendak menerkam tonggeret,
tak tahunya burung gereja berada dibelakangnya. Menurut
hemadku justru kalianlah manusia berotak tumpul yang paling
goblok melebihi babi"kiranya maki itu ini membawa hasil,
sekilas lantas Pek-Su-in berpaling muka menyelidiki kesekitar
gelanggang pertempuran. Dilihatnya anak buah dari Pek hunto
tengah mulai dibabat roboh habis-habisan, yang masih
ketinggalan hidup juga tengah lari pontang panting
menyelamatkan diri. Temyata Kim-i-pang cu dan Hiat-hong pang-cu tengah
pimpin seluruh anak buahnya yang sedang memberantas
seluruh anak buah Pek-hun to ditambah cara turun tangan Cihu-
giok-li dan pemuda baju kuning yang secepat kilat
bergerak selincah kupu-kupu menari, tanpa pandang bulu lagi,
siapa saja yang dekat pasti diserang dan diroboh-kan dengan
serangan ganas yang mematikan. Bukan kepalang kejut hati Pek Su-in melihat keadaan yang
mengenaskan ini, orang Hiat hong-pang dan Kim-i-pang telah
bergabung melancarkan serangan babat habis terhadap Pekhun-
to sedang empat tokoh paling kuat dan lihay dari Pekhun-
to tengah menghadapi Ko-bok-im-hun dan Giok-liong
yang sukar dikalahkan kalau keadaan begini terus berjalan,
pasti akibatnya susah dibayangkan lagi.
Sesaat tengah mereka sedikit merandek inilah, mendadak
Giok-liong menghardik keras, Ji-lo sudah terkerahkan sampai
tingkat ke sepuluh, sinar kuning menjadi bianglala berputar
deras terus menggulung kedepan menerpa dahsyat kearah
musuh, Hanya sekejap saja situasi pertempuran lantas
berubah seratus delapan puluh derajat.
Kini berbalik Giok-liong mengambil inisiatif pertempuran
Ham-kang it-ho berdua berbalik mulai terdesak dibawah
angin, Pertempuran dalam gelanggang sudah mulai mereda,
tinggal beberapa kelompok orang saja yang masih berkutet.
Kim i-pang-cu dan Hiat-hong Pang-cu sudah perintahkan anak
buahnya menghentikan pertempuran dan merubung maju
mengelilingi gelanggang pertempuran.
Sekonyong-konyong terdengar jeritan mengerikan, salah
seorang dari dua orang berpakaian biru tua itu terpental
jungkir balik sambil menyemburkan darah segar, badannya
terbanting keras lima tombak jauhnya, sedikit bergerak dan
berkelejetan lantas diam untuk selamanya.
Sesaat setelah merobohkan salah seorang musuh tangguh
ini, Ko-bok im-hun terkekeh-kekeh terus melejit tinggi
ketengah udara dan langsung meluncur kearah Giok-liong
laksana seekor burung garuda yang menerkam mangsanya.
Kebetulan saat itu Giok-liong tengah mengadu pukulan
dengan Ham-kang it-ho. "Blang" sewaktu badannya terpental sempoyongan mundur
inilah ia menyedot hawa murni bersiap hendak menerjang
maju lagi, tapi mendadak terasa angin dingin kencang sudah
menindih tiba diatas kepalanya, tahu dia bahwa dirinya
terancam bahaya, maka sambil menggerung rendah potlot
mas ditangan kanannya bergerak laksana bianglala
menungging keatas terus menyambut maju. Kontan terdengar
keluh kesakitan yaitu keras disusul hujan darahpun terjadi.
Darah mengucur deras dari paha kiri Ko bok-im-hun!
Namun demikian iapun berhasil menutuk jalan darah Pak
ki-hiat dipunggung Giok-liong seketika Giok-Iiong rasakan
punggungnya linu kesemutan lantas ia jatuh pingsan, hilang
kesadarannya. Dilain pihak Ci hu giok li juga sudah melihat malapetaka
yang menimpa Giok liong itu sambil menjerit kwatir badannya
secepat angin melesat tiba hendak menolong, namun
tubuhnya sudah terlambat, sebab jaraknya terlalu jauh.
Sambil bersuit melengking tadi sebelum kakinya menyentuh
tanah, Ko-bok-im hun sudah berhasil mencengkeram kuduk
Giok-liong terus dibawa lari kedalam rimba. Seketika terdengar
suara bentakan berantai ramai, baru saja semua hadirin
berniat bergerak mengejar. . . . Sementara itu, pemuda baju kuning saat mana juga sudah
melihat bahwa Giok-liong sudah terjatuh dibawah
cengkeraman musuh, dalam gugupnya ia membentak nyaring
terus meluncur mengejar dengan kencang.
Sekonyong-konyong samar-samar terlihat sebuah bayangan
merah melambung dari dalam hutan bergerak cepat dan
seenteng setan gentayangan serentak semua hadirin
menghentikan langkah berbareng berteriak kaget puIa" "Hiating-
bun. . . Hiat-ing bun! . . ." Bayangan merah ini sungguh bergerak sangat cepat


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laksana meteor terbang terus memapak kearah Ko-boi-im-hun
"PIak" seiring dengan suara benturan keras ini terdengar Kobok-
im-hun melolong kesakitan, dua bayangan lantas terpecah
mundur dua jurusan, darah berceceran ditengah udara,
Sekejap saja bayangan merah itu lantas Ienyap.
Begitu banyak tokoh tokoh silat dalam arena pertempuran
ini, tapi tiada seorangpun yang dapat melihat tegas,
sebetulnya Giok-liong sudah direbut dan terjatuh di tangan
siapa. Mendadak Hiat-hong Pangcu berkata kepada Kim-i-pang
cu: "Kita berpencar, kejar !"
"Benar !" serentak mereka keluarkan perintah berbareng
kedua jurusan, sebentar saja bayangan mereka sudah
menghilang. Ham-kang-it ho memeriksa keadaan gelanggang
pertempuran sebentar lantas iapun berseru keras: "Mari kejar
!" berbareng tangan diulapkan terus berlari kencang ke
jurusan titnur, Tinggal para korban yang sudah mati atau yang
luka berat masih ketinggalan dalam arena pertempuran ini
bersama pemuda baju kuning dan Ci-hu-giok-li berdua.
Pemuda baju kuning tertawa getir, katanya: "Marilah kita
juga mengejar !" Ci-hu-giok-li manggut-manggut dengan hampa. Kata
pemuda baju kuning pula: "Pergilah kau mengejar orang dari
Hiat-ing-bun itu, biar aku mengejar Ko bok-im hun !"
Ci-hu-giok-it manggut-manggut lagi, terus mereka
mengejar kedua jurusan. Kini Tiang sun po menjadi sunyi lengang lagi, tinggal
terdengar keluh kesakitan mereka yang tertinggal dengan luka
parah, keadaan yang mengenaskan ini benar-benar bisa
mendirikan bulu roma orang yang menyaksikan.
Seluruh penghuni alam semesta ini seolah-olah sudah mati
seluruhnya, keadaan dalam dunia ini mengapa sedemikian
tenang dan sunyi senyap. Giot-liong merasa seluruh badan sakit-sakitan dan
sedikitpun tak mampu bergerak, tapi matanya saja yang dapat
terbuka dan bergerak, Begitu ia pentang kedua matanya,
terlihat keadaan sekelilingnya kotor penuh gelagasi laba-laba,
atap rumah penuh dalam hati ia menebak-nebak mungkin
dirinya sekarang berada dalam sebuah kuil bobrok yang Iama
tiada penghuninya. Tak jauh dari tempatnya berbaring ini
dilihatnya dua gadis remaja berwajah putih halus tengah
duduk bersila, mungkin mereka sedang semadi memulihkan
tenaga. Pengalaman semalam lantas terbayang lagi dalam lautan
pikirannya, hanya teringat olehnya bahwa dirinya sudah
terjatuh ditangan Ko-bok-im-hun Ki Jtiat. Kejadian selanjutnya
lantas tidak diketahui Maka sekarang dia merasa heran dan
gelisah. Cuma yang mengherankan adalah dari masa Ko-bok-im hun
bisa mempunyai pelayan gadis remaja berwajah ayu
menggiurkan ini" Hatinya gelisah karena menguatirkan apakah Potlot mas
dan Jan-hun ti peninggalan perguruannya itu masih berada
dalam buntaIannya. Tapi hakikatnya dia sendiri sekarang tidak dapat bergerak
sampai memutar kepalapun tidak bisa, apapula untungnya hati
kwatir dan gelisah" Lambat laun pengalaman selama ini laksana gelombang
samudera dipesisir laut bergulung-gulung mendebur hatinya.
Teringat ayah bunda yang hilang entah kemana, saudara
kandung yang berpisah tinggal dia seorang diri hidup sebatang
kara dengan membekal tugas berat. Betapa juga aku harus mencari jejak ayah bunda serta
adikku, apalagi sebelum dendam sakit hati orang tua belum
terbalas, ini merupakan tanggung jawab yang harus
dilaksanakan sebagai putra berbakti.
Kenangan lama ini menimbulkan rasa dendam dan
kebencian yang semakin berkobar membakar hati terhadap
Kim-i-pang dan Hiat-hong-pang, sungguh dia sangat gegetun
kepada kepandaian sendiri yang kurang sempurna sehingga
dalam pertempuran semalam tidak mampu membongkar
kedok Kim i Pang-cu dan Hiat-hong Pang cu.
Pesan gurunya untuk mencari dan menemukan Kim leng-cu
juga belum dapat terlaksana, Dimanakah Ang-I mo li Li Hong,
seumpama dia mengalami cidera atau terancam jiwa dan
kesuciannya, bukankah ini perbuatan salah dirinya" Teringat
pula akan Wi-thian-ciang Liong Bun yang menyelundup dalam
hutan kematian, dimana ia memberi pesan akan tugas berat
tentang mati hidup kaum persilatan umumnya.
(BERSAMBUNG JILID KE 8) Jilid 08 Dan lagi murid Pat-ci-kay-ong yaitu iblis rudin Siok Kuitiang,
istri tersayang Coh Ki-sia masih berada di Hwi-hun-sancheng
yang tengah menunggu dirinya puIang.
Kasih sayang dan perhatian Ci-bu-giok-li terhadap dirinya,
Gerak gerik misterius pemuda baju kuning Tan Hak-siau, serta
uluran tangan membantu kesukaran yang tengah di hadapi
itu, semua peristiwa ini laksana gambar bioskop bergantian
terbayang didalam benaknya. Dalam jangka setengah tahun ini ia harus dapat
menemukan gurunya, untuk berusaha menghadapi gerakan
besar-besaran yang mungkin dikerahkan oleh hutan kematian.
Sungguh besar tanggung jawab yang dipikulnya ini ! Selain
sakit hati keluarga dan tugas berat perguruan, sekarang
secara tidak langsung dirinya sudah menjadi kurir sebagai
penyambung berita akan bahaya kehidupan kaum persilatan
khususnya. Tapi sekarang dirinya sudah terjatuh di cengkeraman Kobok-
im-hun, jalan darah tertutuk tak mampu bergerak, Sudah
tentu Kim-pit dan Jan-hun-ti peninggalan gurunya itu sudah
terampas oleh musuh, kalau dirinya tidak hati-hati dan sabar
menghadapi situasi mungkin jiwanya sendiri juga bisa
melayang. Karena pikirannya ini, hatinya menjadi rawan dan
masgul, tanpa merasa dua titik air mata mengalir keluar.
Sinar sang putri malam yang cemerlang menyorot masuk
melalui celah-celah genteng yang pecah, menambah keadaan
dan suasana dalam rumah bobrok ini menjadi sunyi seram.
Karena tidak dapat bergerak, pandangan mata Giok-liong
hanya tertuju keatas, kebetulan di ujung atap sana ada lobang
cukup besar untuk dapat memandang keluar, terlihat bintang
kelap kelip diatas cakrawala nan biru kelam. Air mata semakin
membanjir keluar menggenangi kelopak matanya sehingga
pandangan menjadi buram. Giok-Iiong berusaha mengerahkan hawa murni untuk
menjebol jalan darah yang tertutup, tapi usahanya ternyata
sia-sia ! Baru sekarang didapatinya bahwa jalan darah yang
tertutuk di dalam tubuhnya bukan satu dua tempat saja, Maka
tidak mungkin lagi ia dapat menghimpun hawa murninya yang
terpencar untuk menerjang jalan darah yang buntu. Sungguh
dia tidak tahu cara bagaimana ia harus berbuat.
Tengah pikirannya tenggelam dalam kehampaan, kedua
gadis remaja yang duduk bersila itu sudah siuman. Gadis
disebelah kanan beraut muka rada lonjong pelan-pelan berdiri
lemah gemulai, katanya kepada gadis disebelah kiri: "Chiu-ki
cici, apa Siocia ada memberitahu kapan beliau bakal kembali
?" Gadis sebelah kiri itu juga bangun berdiri, sahutnya
tersenyum manis: "Ha-lian-cici tidak lama lagi pasti siocia
bakal tiba." "Siocia ini memang, kemanakah ia pergi, Sudah sekian
lama belum pulang, sekarang sudah menjelang malam."
"Katanya Siocia pergi ke kota yang berdekatan untuk
membeli makan." "Ya, Allah. Berapa lama dari sini ke kota! Mengapa
mendadak timbul keinginan Siocia hendak membeli makanan
apa segala" Biasanya kalau melakukan perjalanan diatas
belukar, selamanya belum pernah beliau membeli makanan
tetek bengek." Tanpa tedeng aling-aling mereka memperbincangkan sang
majikan, tak tahunya ini Giok-liong sudah sadar sejak tadi.
Mendengar pembicaraan kedua gadis remaja ini, hati Giokliong
menjadi heran. Terang gamblang bahwa dirinya sudah
terjatuh ditangan Ko bok-im-hun, lalu dari mana pula muncul
seorang "Siocia" pula" Apakah Ci-hu-giok-li telah menolong
dirinya" Tidak mungkin, Kalau benar Ci-hu giok-Ii, mengapa
dia tidak membebaskan tutukan jalan darahnya"
Tengah ia berpikir-pikir ini, tidak jauh dipinggir tubuhnya
sana mendadak terdengar suara cekikikan merdu, serta suara
berkatai "Ha lian, Chiu-ki, jangan sembarang ngomong ya,
awas nanti kupotong kedua kaki kalian."
Ha-lian dan Chiu-ki saling berpandangan dan membuat
muka setan sambil berjingkrak bangun, serunya: "Siocia kau
sudah datang!" Bau arak dan daging panggang lantas terendus ke dalam
hidung Giok-liong, sayang ia tidak mampu bergerak, kalau
tidak tentu ia sudah berpaling kearata sana untuk melihat
sebentar orang macam apakah siocia yang dibicarakan tadi
sekarang dia hanya dapat memastikan sedikit, yaitu suara
Siocia ini adalah sangat asing bagi pendengarannya.
Meskipun masih asing tapi enak didengar, seolah-olah
bunyi kelintingan perak yang dapat menggetarkan sanubari
pendengarannya. Bau arak dan daging panggang yang harum semerbak
membuat perutnya terasa keroncongan berbunyi kerutukan.
Suara merdu yang nyaring itu lantas berkata lagi: "Ha-lian,
orang she Ma itu sudah kelaparan, pergilah kau bebaskan
jalan darahnya supaya dia makan sekedarnya."
Ha-lian mengiakan, lalu katanya: "Orang ini memang cukup
kasihan, ya, Siocia!" suaranya yang terakhir diulur panjang
seakan-akan memang sengaja hendak bergurau dan
menggoda. "Hus, Ha lian, kau ini dengar perkataan ku tidak?"
Saat itulah Chiu-ki lantas menyela: "Sio-cia, badan orang ini
menderita luka-luka yang tidak ringan, apalagi jalan darahnya
sudah tertutuk sehari semalam, mungkin rada... menurut
hemat hamba, terlebih dulu harus dijejali obat kuat dulu."
"Hm . . . terserahlah kepadamu." Baru saja perkataan ini
lenyap, terlihatlah sebuah tangan putih halus pelan-pelan
diulurkan kedepan ointanya, jari-jari runcing bagai duri harus
itu menjepit sebutir pil warna merah yang mengkilap terus
dijejalkan kedalam mulutnya. Segulung bau wangi yang menyegarkan badan dan
semangat terus menerjang kedalam otaknya, sehingga badan
yang tadi terasa pegal linu serta pikiran pepatnya seketika
segar kembali, Pil itu begitu masuk kedalam mulut lantas
lumer menjadi cairan tertelan masuk kedalam perut terus
menembus ke pusarnya. Dan bertepatan dengan itu tubuhnya
terasa tergetar bergantian, nyata tutukan jalan darahnya telah
dibebaskan. Cepat-cepat ia kerahkan hawa murni menuntun khasiat
obat berputar diseluruh badannya. Tak lama kemudian terasa
tenaga dalamnya penuh sesak, hawa murni bergulung-gulung
seperti hendak melonjak keluar. Nyata bahwa luka lukanya
sudah sembuh seluruhnya. Bergegas segera ia melompat bangun sam bil memandang
celingukan Tampak terpaut setombak disebelan sana ada
sebuah meja sembahyang yang sudah dibersihkan kedua sisi
meja diduduki Ha-lian dan Chiu-ki sedang yang duduk
ditengah adalah seorang gadis jelita yang mengenakan
pakaian warna merah muda, Rambutnya panjang semampai
laksana sutra halus berkilau gelap terjulur diatas pundaknya,
alisnya lentik bagai bulan sabit, dengan bibir merah laksana
delirna merekah, kulitnya putih halus laksana batu giok.
Melihat Giok liong sudah berdiri segera ia unjuk senyum
manis, terlihatlah dekik menggiurkan di kedua pipinya,
katanya nyaring: "Ma-siau hiap, kau tidak kurang suatu apa
bukan ?" Tersipu-sipu Giok liong soja sembari katanya: "Banyak
terima kasih akan budi pertolongan nona ini, aku yang rendah
takkan melupakan selamanya." dalam hati ia beranggapan
bahwa dirinya telah tertolong dari cengkeraman Ko bok-imhun
oleh ketiga majikan dan pelayan. Gadis jelita itu tersenyum simpul: "Ah mengikat diriku saja,
Ma-siau-hiap pasti sudah lama tidak makan bukan, mari
silakan tangsel sekedarnya." Giok-liong soji lebih dalam lagi, tanyanya: "Harap tanya
siapakah nama nona yang harum ?"
"Aku bernama Liong Soat-yan .. . . . " lalu ia berdiri
menunjuk kedua pelayannya di kanan kiri lalu sambungnya
lagi ini Ha-lian dan ini Chiu-ki "
Giok-liong maju pelan-pelan menghampiri meja Ling Soatyan
segera mengulurkan tangannya menyilakan Giok-liong
duduk di-hadapannya. Diatas meja penuh dihidangkan makanan-makanan lezat,
ada sayur mayur dan ayam panggang serta arak dan lain-lain.
Setelah sekedarnya sapa sapi bermain sungkan-sungkan,
mulailah mereka gegares bersama, Tapi terasa suasana rada
janggal dan kikuk. sedang Ha lian dan Chiu-ki saban-saban
tertawa cekikikan sambil pelerak-pelerok.
Setelah menenggak secangkir arak, Ling Soat-yan berkata
kepada Giok-liong sambil unjuk senyum manis. "Konon
kabarnya Ma-siau-hiap adalah murid penutup dari majikan Kim
pit dan Jan-hun-ti !" Bercekat hati Giok-liong, baru sekarang teringat potlot mas
dan seruling samber nyawa itu olehnya, Entah apa masih
digembol dalam badannya tidak, kalau sudah bilang entahlah
harus bagaimana ! Namun sekarang tengah duduk makan
minum berhadapan dengan nona Ling, kalau merogoh
menggagapi kantong rasanya kurang hormat. Sebaliknya
pertanyaan yang diajukan sekarang ini, haruslah ia menjawab
secara jujur atau perlu mengapusi saja " Tapi setelah dipikir
dipikir kembali, apa pula halangannya berkata terus terang . .
. Ling Soat yan tertawa geli, ujarnya: "Apakah Ma-siau-hiap
ada kesukaran untuk menerangkan?"
Cepat Giok-liong unjuk tawa dibuat-buat, katanya: "Ah,
bukan, bukan begitu, potlot mas dan seruling samber nyawa
itu memang pemberian guruku." Raut muka Ling Soat-yan mengunjuk sedikit perubahan,


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi hanya sekejap saja lantas terlindung oleh senyum
manisnya yang memikat hati, ujarnya nyaring: "Kudengar
katanya pertempuran semalam yang sengit itu adalah untuk
memperebutkan seruling samber nyawa itu ?"
Giok-liong manggut-manggut: "semalam Kim-i pang, Hiathong
pang, Pek - hun - to dan Ko bok im-hun serentak turun
tangan, situasi waktu itu sungguh sangat berbahaya.
Mendadak Ling Soat-yan berseru heran, raut mukanya yang
jelita itu mengunjuk rasa heran dan aneh, katanya: "Lalu
mengapa Ma-siau hiap semalam bisa berada didalam kuil
bobrok ini, dengan tertutuk jalan darahnya ?"
"Apa?" tercetus pertanyaan Giok-liong keras-keras saking
kaget, Bersama itu tangan kanan lantas menggagap kearah
pinggang, dilain saat lantas terlihat selebar mukanya menjadi
pucat pias. Keringat dingin merembes diatas jidatnya, Kiranya
Potlot mas memang masih ada tapi seruling samber nyawa itu
sudah lenyap. Terdengar Ling Soat yan berkata lagi: "Waktu kami
semalam lewat ditempat ini kulihat kau tertutuk jalan darahmu
dan di baringkan disebelah sana . ."
"Kalau begitu . . . . . jadi nona Ling belum pernah
bergebrak dengan Ko-bok-im-hun Ki-kiat?" .
"Tidak !" Tanpa merasa Giok-liong menggigit gigi kencang-kencang
sampai berbunyi berkeriutan, hawa amarah merangsang
dalam benaknya, desisnya berat: "Budi pertolongan nona Ling
kali ini biarlah kelak kubalas, sekarang juga aku harus
mengejar kembali benda pusaka milik perguruan itu, kalau
tidak mana aku ada muka menghadap kcpaia guruku . . . ,
belum habis kata-katanya, kaki kanan sedikit menggentak
tanah, tubuhnya melejit ringan sekali laksana segulung kabut
putih terus menerobos keluar lenyap dibalik hutan.
Tercetus teriakan Ling Soat-yan: "Ma-siau hiap tunggu
sebentar. Dari jauh terdengar kumandang ucapan Giokliong: "Harap
maaf, lebih penting aku mengejar kembali milikku itu."
Suaranya terdengar semakin jauh dan lirih, akhirnya sirna,
setelah Giok-liong pergi tanpa merasa Ha lian dan Chiu-ki
terlongong longong memandangi Ling Soat-yan.
Mendadak seperti paham sesuatu soal Ha lian berkata
riang: "siocia sungguh pintar! Kalau kita pulang tentu Loya
sangat girang. Sebaliknya Chiu-ki berkata mendelu penuh sesal: "siocia
tidak seharusnya kau ngapusi dia Dia seorang yang sangat
baik, jikalau dia tahu kau bohong, selamanya dia tak kan
kembali lagi." Ling Soat-yan menghela napas dengan masgul, ujarnya:
"Ayah menyuruh aku mencabut nyawanya dan merebut benda
pusaka miliknya untuk memutus keturunan Ji-bun, tapi aku . .
. ." butir air mata laksana mutiara lambat laun menggenangi
kelopak matanya terus mengalir membasahi pipinya, Pelanpelan
dirogohnya keluar dari dalam bajunya sebatang seruling
batu giok warna putih mulus bening. Terang itulah Jan-hun-ti
milik Giok-liong itu. Butiran air mata berderai mengalir deras, kalanya sambil
sesenggukkan dengan rawan: "Oh, Tuhan, Kenapa aku harus
terlahir di Hiat ing-bun. . .aku hendak kembalikan seruling ini
lagi pada dia . ." Ha-lian maju mendekat, katanya: "Siocia, marilah kita lekas
pulang, Loya pasti sangat senang, buat apa kau harus
bersedih, seumpama seruling ini digembol olehnya, lambat
laun cepat tentu juga direbut orang lain, bukankah sama saja
persoalannya " Sebaliknya Chiu-ki membujuk dengan kata-kata halus:
"Jikalau siocia tidak mau melukai hatinya segera harus
menyusul ke-sana, Kalau terlambat mungkin dia bisa terjatuh
dibelenggu Thian-lam-say-yau. Sampai saat mana menyesal
juga sudah kasep !" Ha lian juga tidak mau kalah debat, bentaknya: "Orang she
Ma itu boleh terhitung seorang pemuda gagah ganteng, tapi
belum tentu siocia pasti ketarik akan tampangnya itu,
seumpama lebih cakap lagi juga apa gunanya, sifatnya rada
ketolol-tololan..." Mendadak Ling Soat-yan mendehem pelan-pelan terus
bergegas berdiri, agaknya ia sudah ambil keteiapan, katanya
pada Ha-lian dan Chiu-ki: "Kalian boleh pulang dulu memberi
lapor kepada ayah, bahwa aku pergi mencarinya, jikalau ayah
mendesak biarlah kelak aku yang memberi keterangan,"
Segera Ha-lian mengajukan usul yang menentang
kehendak siocianya itu: "Tidak bisa, kalau siocia pulang, tentu
Loya akan marah." Chiu-ki juga membujuk dengan lemah lembut: "Siocia,
biarlah hamba ikut kau saja, paling tidak sepanjang jalan ini
kau punya kawan bicara." Ling Soat-yan manggut-manggut, katanya: "Baiklah.." lalu
ia berpaling kearah Ha-lian dan berkata pula: "Kau pulang
lebih dulu, mari kita berangkat!"
Ha lian menjadi gugup, serunya: "siocia mana boleh begini
. . ." Namun Ling Soat-yan sudah berjalan pergi diikuti Chiu-ki,
seruling samber nyawa disimpan lagi kedalam bajunya, tak
lama kemudian bayangan mereka sudah menghilang didalam
hutan. Ha lian menjadi gemas dan dongkol, gumamnya sambil
membanting kaki: "Tidak hiraukan aku lagi, aku pulang lapor!
" lalu iapun berlari-lari kencang kearah yang berlawanan.
Setelah meninggalkan kuil bobrok itu Giok-Iiong terus
berlari dengan pesatnya menerobos hutan lebat. Timbul
banyak pikiran yang menyangsikan membuat hatinya
bergejolak. Ling Soat-yan, gadis ayu jelita ini naga-naganya memiliki
ilmu silat yang tinggi, Tapi diteropong dari seluruh dunia
persilatan masa kini, hakikatnya tiada seorang tokoh
kenamaan yang mempunyai nama she Ling, Begitulah sambil
berlari otaknya terus bekerja. Tidak terasa tahu-tahu dia telah
menerobos ke luar dari hutan lebat itu.
Tiang sun po sudah diambang matanya. Mayat
bergelimpangan dimana-mana terlihat kaki tangan yang tidak
lengkap dengan darah berceceran bercampur otak yang
kepalanya pecah, sungguh pemandangan yang mengerikan.
Pertempuran berdarah semalam sudah lalu, keadaan disini
menjadi begitu sunyi leosan, Ci-hu giok-li dan Tak Hak-siau
tidak diketahui ujung parannya. Yang paling celaka adalah
kemana pula juntrungan Ko-bok-im hun. Jikalau tidak dapat
menemukan Ko-bok-im hun berarti seruling sambar nyawanya
juga susah dicari kembali. Tapi kemanakah sebetulnya Ko bokim
hun telah pergi ?" Mau tak mau Giok-liong harus berpikir secara cermat: "Dia
menaruhku didalam sebuah kuil bobrok, hanya menggondol
seruling samber nyawa itu saja, ini menandakan bahwa dia
sendiri juga menderita luka-luka parah, jikalau benar-benar ia
terluka parah menggondol pergi benda pusaka lagi, pasti
tindakan yang terutama baginya adalah mencari suatu tempat
yang tersembunyi untuk mengobati iuka-lukanya dulu, baru
mencari jalan keluar melalui semak belukar yang jarang
diinjak manusia." analisa ini memang rada masuk diakal.
Semakin dipikir semakin tepat dugaannya, segera ia
menyedot hawa dalam-dalam terus kembangkan Ieng-hun toh
sampai puncak kemampuannya. Maka terlihatlah segulungan
bayangan putih yang samar-samar meIayang pesat sekali dari
puncak kepuncak dengan gerik langkah laksana burung
terbang. Begitulah setelah sudah lama ia berlari lari diatas
pegunungan yang senaak belukar iai tahu-tahu dia sudah
berlari sejauh ratusan li, Keadaan disini rada datar tapi
sekelilingnya penuh ditumbuhi pohon-pohon alas yang besar
tinggi, kiranya dia semakin dalam memasuki hutan lebat yang
belum pernah diinjak manusia. Sekonyong-konyong Giok-liong merandekan langkahnya,
Gesit sekali badannya mendadak berhenti meluncur terus
berdiri tegak bagai terpaku didepan noktah-noktah darah yang
masih segar. Dari noktah darah yang masih belum membeku seluruhnya
ini boleh dipastikan tentu ditinggalkan belum lama ini, ini
berarti bahwa orang yang terluka tentu masih berada ditempat
yang berdekatan saja. Sambil mengerutkan alisnya Giok-liong beranjak memeriksa
keadaan sekelilingnya. Ditemukan disemak-semak rumput
kering di sebelah kiri sana ada tetesan darah yang memanjang
menuju kedalam sebuah hutan gelap. Pelan-pelan Giok-liong menarik napas lalu mengerahkan
tenaga Ji-lo untuk melindungi badan setindak demi setindak ia
maju kearah hutan gelap itu. Setelah berada dalam hutan yang sunyi dengan keadaan
yang seram mencekam sanubari, dimana-mana terlihat
rumput dan dedaunan kering berserakan mulai membusuk,
walaupun saat itu tiada angin dingin menghembus, cuaca
menjelang terang tanah ini dalam keadaannya yang sunyi
menakutkan benar-benar membuat siapapun pasti bergidik
merinding. Sekonyong-konyong secuil kain kuning menarik perhatian
Giok-Iiong. Disemak di antara rumput-rumput kering yang
tertumpuk dedaunan kering pula muncul selarik kain kuning,
Kalau lebih ditegasi lagi lantas terlihat noktah-noktah darah
bertetesan memanjang itu langsung menuju ketumpukan
rumput dan dedaunan kering itu. Bergetar jantung Giok-liong, Bukankah secarik kain kuning
yang dilihatnya ini persis benar dengan pakaian kuning yang
dikenakan oleh Tan Hak-siau, Tanpa ragu-ragu lagi segera ia
melompat maju terus menyingkap tumpukan rumput kering
itu. Ya Allah, Pe Bentrok Para Pendekar 16 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bentrok Para Pendekar 6
^