Seruling Samber Nyawa 5

Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bagian 5


muda baju kuning Tan Hak-siau rebah dengan
kedua biji mata dipejamkan, air mukanya rada bersemu merah
jingga. Ujung mulutnya masih merembes darah segar
badannya kaku rebah diatas tumpukan rumput kering itu.
Diulurkan tangan meraba pernapasannya terasa jalan
pernapasannya sudah sangat lemah dan kempas kempis,
jiwanya tinggal menunggu waktu saja, yang paling
mengherankan adalah dari badan yang telah membeku kejang
ini menguap hawa dingin. Tak kuasa Giok-liong sampai berseru kwatir: "Hian si im-cu.
Mungkinkah Ko-bok-im-hun...." Tidak banyak waktu untuk
berpikir lagi, sebab kalau ia tidak segera memberikan
pertolongan kemungkinan besar jiwa pemuda baju kuning ini
takkan tertolong lagi. Sedikit bimbang lantas Giok-Iiong merogoh keluar sebuah
pulung kecil yang terbuat dari batu giok sedikit pencet pulung
kecil itu pecah menjadi dua potong, Didalam pulung kecil ini
tersimpan tiga butir pil merah, satu diantaranya lantas
dijejalkan kedalam mulut Tan Hak siau, Lalu ia sendiri juga
berjongkok membungkuk badan, setelah menarik napas
panjang terus menempelkan mulut sendiri kemulut pemuda
baju kuning. Menanti pil merah itu sudah hancur mencair didalam
mulutnya dan tertelan habis baru Giok liong bangkit dan
menjinjing tubuhnya dibawa masuk kearah hutan yang lebih
daIam. Disebelah muka sana adalah lereng bukit yang rada curam,
dilereng ini ada sebuah batu besar berdiri tegak ditengahtengah.
Waktu Giok-liong mengitari batu besar ini dilihatnya
dibelakang sana ternyata terdapat sebuah gua besar.
Keruan hatinya girang bukan main, sambil menjinjing tubuh
pemuda baju kuning Tan Hak-siau, Giok liong terus
menerobos masuk. Sampai saat itu Tan Hak-siau yang berada didalam pelukan
dadanya semakin dingin dan kaku, seperti setunggak belok
besar. Teringat olehnya betapa simpatiknya pemuda baju kuning
ini berulang kali mengulurkan tangan membantu dirinya. Kini
ternyata terluka oleh ilmu Hian-si-im-ou yang jahat dan
berbisa, Betapa juga dirinya harus menolong sekuat tenaga.
Tadi ia sudah memberikan sebutir pil Hwe - yang - tan,
obat paling mujarab dari perguruannya, bukan saja obat
termahal dan paling manjur, obat ini juga tidak sembarangan
boleh digunakan kalau tidak menghadapi jurang kematian.
Giok liong insyaf, jalan satu satunya untuk menolong
jtwanya hanya mengorbankan ketiga butir Hwe-yang-tan ini,
lalu menggerakkan hawa murni dan bara hangat dalam
badannya untuk membamu bekerjanya kasiat obat malah
harus mengerahkan seluruh tenaga lagi.
Dengan tubuh yang telanjang bulat saling dempet dan
merapat mendesak hawa racun keluar badan, Selain cara ini
agaknya tiada cara lain lagi yang lebih sempurna.
Dilihatnya pernapasan Tan Bak-siau semakin lemah, raut
makanya juga sudah mulai berubah menggelap, Giok-liong
tahu kalau tidak segera memberikan pertolongan, mungkin
tiada harapan lagi. Tapi cara pengobatan yang diketahui ini adalah cara yang
paling menghabiskan semangat dan tenaga, Giok-liong juga
tahu dengan kemampuan atau Latihan Lwekangnya sekarang
jauh dari ukuran yang semestinya melakukan pengobatan cara
berbahaya ini. Seumpama ia nekad melakukan cara pengobatan ini, bukan
mustahil bukan saja tidak dapat mengobati penyakit orang
malah jiwa sendiri juga bakal dikorbankan seluruh hawa murni
dan semangatnya akan terkuras habis.
Kalau hal ini sampai kejadian bagaimana mungkin dirinya
dapat mengejar balik seruling samber nyawa itu"
Pelan-pelan dengan ringan ia merebahkan badan Tan Hak
siau diatas tanah. Memandangi wajah yang mulai menggelap
hitam itu, hati Giok-liong semakin gundah tak tentram.
Akhirnya ia menggertak gigi, berkata lirih: "Seumpama
harus berkorban lagi lebih parah betapa juga aku harus
menolong jiwanya." Setelah teguh tekadnya lalu dikeluarkan pula putaran kecil
itu. Dituangnya sisa kedua butir pil Hwe-yang-tan terus
dimasukkan ke-dalam mulut sendiri terus dikunyah sampai
hancur, seperti tadi ia membungkuk badan terus menjejalkan
obat yang dikunyah itu ke dalam mulut Tan Hak-siau, malah
harus mengerahkan hawa murni lagi untuk menyurung obat
masuk ke dalam perutnya. Pada saat mana diluar gua berkelebat bayangan merah
jingga, bersama itu terdengar pula seru kejut yang tertahan.
Tapi perhatian Giok-liong seluruhnya sedang terpusatkan
menyurung kasiat obat ke-dalam mulut Tan Hak siau, sudah
tentu ia tidak perhatikan akan kejadian diluar.
Setetah seluruh cairan obat masuk kedalam mulut Tan Haksiau,
Giok liong membimbing badan orang duduk lalu ia sendiri
duduk bersila di belakangnya persis, Kedua telapak tangannya
menyungging kepunggungnya, mulai ia mengerahkan tenaga
murni menuntun kasiat obat bekerja diseluruh badannya.
Kira-kira seperminum teh berselang, jidat Giok-liong sudah
basah kuyup oleh keringat sebesar kacang kedele, baru ia
lepas tangan dan berdiri sungguh diluar perhitungannya
bahwa Hian-si-im-ou ini ternyata sangat berbisa. Membuat
kekuatan bekerja tenaga murninya sangat lambat dan sangat
dipaksakan. Begitu lepas tangan ia baringkan lagi badan Tan Hak-sian.
Badannya kini rada sedikit lemas, Hawa dingin yang
merembes keluar juga rada berkurang. sebetulnya Giok-liong
harus istirahat dulu menghimpun semangat baru bekerja lagi,
namun dalam keadaan gawat dengan kemampuan sendiri
yang terbatas ini ia tidak berani ajal-ajalan, sebab dia tahu
cara pengobatan berat ini tidak boleh berhenti ditengah jalan,
sekali berhenti kemungkinan besar jiwa pemuda baju kuning
Tan Hak-siau ini bisa melayang. Maka begitu ia berdiri
langsung ia bekerja melucuti seluruh pakaian sendiri.
Walaupun ditempat sunyi tiada orang lain yang melihat, tak
urung Giok-liong merasa jengah dan malu juga sampai muka
terasa panas. Tapi demi menolong jiwa orang apa boleh buat!
Setelah seluruh pakaian sendiri dilucuti muIailah ia membuka
pakaian pemuda baju kuning Tan Hak-siau.
Baru saja ia melucuti pakaian bagian atas, lantas Giok-liong
berhenti dan melongo, Kontan merah padam kedua pipinya,
Sebab apa yang terpentang didepan matanya tak lain adalah
bukit tandus yang halus mengganjal padat dengan kulit yang
putih mulus. Tak lain inilah dada milik dara jejaka,
Giok-liong mengeluh dalam hati: "Oh Tuhan, mungkinkah
dia seorang... Tapi bagaimana juga dia tidak boleh berhenti
sebab tertunda sedetik saja jiwa Tan Hak-siau mungkin bisa
tidak tertolong lagi, Maka setelah seluruh pakaiannya dilucuti
pula, sepasang pandangan mata Giok liong menjadi gelap,
otaknya juga butek seperti dipalu. Perempuan, tak lain memang perempuan adanya, Tubuh
yang ramping menggiurkan dengan dada yang montok padat
berkulit putih halus laksana batu giok yang bening. Giok liong
menjadi ragu-ragu dan bimbang. Oh Tuhan bagaimanakah ini!
Tak mungkin melihat kematian tanpa menolongnya. Tapi
kenyataan dia adalah seorang gadis remaja bagaimana ia
harus berbuat" Akhirnya ia nekad dan mengertak gigi, sambil pejam mata
hawa murni terus dikerahkan seluruh badan sendiri terus
menindih lempang dibadan Tan Hak-siau, Desis hawa murni
yang panas mengepul keluar dari lobang pori pori seluruh
badannya terus meresap masuk kedalam badan Tan Hak siau.
Tiba-tiba diambang pintu gua muncul sesosok bayangan
merah jingga, nyata Hiat-ing Kiongcu Ling Soat-yan telah tiba
kedua matanya berlinang air mata. Sebetulnya ia sudah rada lama mengintip diluar gua dan
menonton seluruh adegan yang terjadi didalam sini, pelanpelan
ia angkat jari telunjuknya yang runcing halus tertuju
kejalan darah Bing-bun hiat Giok-liong. Saat mana sedikit ia
kerahkan tenaga saja, pasti Giok-liong dan Tan Hak-siau bakal
melayang jiwanya secara penasaran. Lama dan lama kemudian, butiran air mata yang berkilau
bening pelan-pelan mengalir turun dari kedua pipinya. Sambil
menghela napas gegetun ia turunkan jari tangan kanannya,
sepasang matanya yang bening indah memancarkan sorot
kehampaan yang merawankan hati, sedikit bergerak laksana
bintang jatuh bayangan merah menghilang sekejap saja ia
sudah melesat keluar gua. Diluar gua tak jauh dari batu besar itu, Chiuki berdiri
dengan gelisah. Begitu melihat majikannya keluar segera ia
maju menyambut tanyany: "Siocia, orang she Ma . . . eh,
siocia kau. . . " Kata Hiat ing Kongcu Ling Soat-yan sesenggukkan:
"Terhitung . . . . aku ini yang buta melek . . . manusia rendah
seperti binatang itu . . , . pergi. pergi, pergi, Marikita tinggal
pergi, aku . . . . selamanya tak sudi berjumpa pula dengan
dia..." lemah semampai badannya bergerak, laksana kilat
badannya meluncur keluar dari rimba gelap ini. Meninggalkan
butiran air matanya yang menyiram ditanah pegunungan.
Terpaksa Cniu-ki harus kembangkan juga Ginkangnya untuk
mengejar majikannya. Dalam pada itu begitu Giok-liong rebah menindih tengkurup
rapat dengan tubuh yang langsing semampai, Meskipun ia
kerahkan seluruh hawa murninya dengan sepenuh perhatian
disalurkan masuk ketubuh orang, lama kelamaan ia merasa
diatas badannya mulai ada sedikit perubahan yang aneh. Dua
benda padat yang tertekan dibawah dadanya mengeluarkan
bau harum semerbak yang memabukkan kesadarannya.
Rangsangan bau perawan mengetuk hati kecilnya membuat
hampir susah bernapas, segulung aliran panas mulai
berjangkit dari bawah pusarnya terus mengalir naik.
Giok-Jiong menjadi kaget, tahu dia sekali pikirannya kabur
dirinya sendiri pasti bakal tersesat dan badan mungkin bisa
cacat untuk selama-lamanya. Tapi dia seorang manusia yang
punya perasaan malah masih muda mangkat kedewasaan
dengan tubuh kekar dan sehat, Dalam keadaan macam itu
untuk membendung dan menindas nafsu birahinya yang sudah
mulai menjalar ke seluruh urat syarafnya boleh dikata seperti
membendung air bah yang melanda datang,
Beginilah aliran darah panss itu terus meluber ke seluruh
sendi dan urat syarafnya malah terus bergelombang dari pusar
tiada hentinya, kesadaran pikiran mulai kabur, seluruh badan
sudah basah kuyup oleh keringat dingin.
Sekonyong-konyong, sebuah dengusan dingin yang keras
menyentak kesadarannya dari jurang kenistaan, sedikit
kesadaran ini cukup menarik kembali semangatnya yang
sudah kabur tadi, dengan tekun dan giat ia kerahkan
tenaganya untuk mengobati. Kini pikiran dan semangatnya
sudah sadar dan bening kembali. Gelombang hangat dari
pengerahan rawa murni dan tenaga panas berdebur semakin
keras berbondong merembes masuk ke badan Tan Hak-siau.
Tatkala itulah sebuah bayangan seiring dengan gelak
tawanya yang terloroh-loroh melesat datang secepat kilat tiba
diambang pintu gua, jelas bahwa Ko bok-im-hun telah
memutar balik lagi. Begitu berdiri diambang pintu gua, lagi-lagi ia
perdengarkan serentetan gelak tawa panjang, ujarnya:
"Bagus, tontonan gratis, ck, ck, ck . . . Bocah ini, kematian
sudah di ambang pintu masih coba mengecap kenikmatan
Hehehehe . . ." Pikiran Giok-liong sudah sadar seluruhnya, mendengar
ejekan ini tergetar sanubarinya, sungguh malu bukan buatan,
dalam hati ia membatin: "Tamat sudah. Kalau saat ini juga ia
turun tangan pasti hancurlah seluruhnya." Tapi dia tidak lantas
menghentikan saluran tenaganya dan menghentikan
pengobatannya, Malah ia kerahkan seluruh kemampuannya
supaya lebih cepat selesai. Maka terlihatlah seluruh badannya mulai mengepulkan asap
putih, semakin lama semakin tebal bergulung-gulung bagai
awan menyelubungi seluruh badan mereka berdua.
Ko bok im-hun mendongak sambil bergelak tertawa:
"Buyung, kau kira dengan berbuat begitu lantas dapat
melindungi nyawamu " ck ck, ck, Buyung, kalau kau tahu
gelagat, lekaslah serahkan saja . . ."
Pada saat-saat genting inilah sebuah bayangan merah
jingga berkelebat tiba diiringi suara ejekan yang nyaring
merdu berkata diluar sana: "Manusia macam setan seperti kau
ini, juga berani buka mulut besar, menyalak seperti anjing
galak yang minta gebuk !" Ini adalah suara Hiat-ing Kongcu Ling Soat-yan.
Kiranya waktu Ling Soat-yan melihat adegan yang
dilakukan Giok liong atas tubuh Tan Hak-siu, disangkanya
Giok-liong sebagai pemuda mata keranjang yang
menggunakan kesempatan baik ini hendak memperkosa gadis
suci. Sudah tentu ini merupakan pukulan lahir batin bagi Ling
Soat-yan, sebetulnya besar niatnya saat itu juga hendak turun
tangan menutuk mati Giok-liong, tapi saban-saban ia tidak
tega turun tangan. Akhirnya sambil menghela napas dengan
hati hancur ia tinggal pergi membawa Chiu ki.
Sepanjang jalan berlari-lari itu ia masih terus sesenggukan
dengan sedihnya. Sejak kecil Chiu-ki sudah ikut majikannya, ia
tahu akan watak nonanya ini, maka segera ia membujuk:
"Siocia, orang she Ma itu baru sembuh dari luka-lukanya,
sedang orang yang dijinjing masuk itu agaknya juga terluka
berat, Kalau mereka ditinggal didalam gua itu, bila Ki-kiat si
bangsat tua itu kembali bukankah celaka jiwa mereka."
Ling Soat-yan mendengus jengkel katanya penuh
kedongkolan: "Dia hidup atau mati bukan urusanku. Aku
sudah berjanji tidak mau melihat tampangnya lagi! selama
hidup ini tak sudi aku berjumpa dengan dia melirikpun aku
tidak sudi . . . " Dalam berkata-kata ini air mata semakin deras mengalir,
kakipun masih beranjak dengan cepat laksana angin lalu,
sehingga rambut panjangnya yang terurai melambai-lambai,
keadaannya ini sungguh kasihan betul.
Chiu-ki sendiri juga merah kelopak matanya tergenang air
mata hampir menangis, Diulurkan tangan untuk menyingkap


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rambutnya yang dihembus angin mudai msdil, kakinya sedikit
diperkencang terus berendeng dengan Ling Soat-yan, katanya
membujuk lagi: "Siocia, marilah kembali lagi melihat
keadaannya." Sebetulnya Ling Soat-yan sudah menghentikan tangisnya,
mendengar bujukan halus ini tak terasa air mata meleleh
kembali, katanya: "Chiu-ki, kau tidak tahu apa yang sedang
dilakukan, kalau kau melihat dengan matamu sendiri, pasti
kau bisa mati saking jengkel !"
Chiu-ki rada melengak, lantas sambungnya: "Siocia,
menurut hemat hamba, Ma-siau-hiap bukan manusia macam
itu, Aku berani pastikan tentu kau salah lihat."
"Tidak mungkin, aku melihat sendiri dia sedang melucuti
pakaian perempuan itu, Lalu membuka pakaian sendiri juga . .
." "Siocia, bukankah orang itu terluka parah " Tadi waktu Ma
siau hiap menjinjing tubuhnya, kita kan sudah melihat jelas.
Dia tidak tahu dimana letak luka-luka itu, kemungkinan besar
Ma-siauhiap sedang memeriksa keadaan luka-lukanya."
"Tidak mungkin, Memeriksa luka! Mengapa harus melucuti
pakaian sendiri " Apalagi orang itu adalah seorang gadis
remaja . . . . . " sampai disini tiba-tiba ia merandek. Lalu
mulutnya mengguman sendiri: "Apa mungkin perempuan itu
terserang bisa dingin yang sangat jahat lantas dia
menggunakan hawa murni dalam tubuhnya untuk mengobati .
. . hm, kalau sedemikian kasih sayang dia mau mengobati
perempuan lain, buat apa aku. . ."
Chiu ki segera menyanggah: "Nah siocia cara berpikirmu ini
terang berat sebelah. Bagaimana kalau jiwa orang itu sudah
di-ambang pintu kematian " Apalagi sebelum ini Ma-siau-hiap
tidak tahu kalau dia seorang perempuan. Siocia, seumpama
kau menjadi dia, kau mau menolong atau tidak ?"
Kontan merah jengah selebar pipi Ling Soat yan, jengeknya
aleman: "Cis, aku tak sudi menolongnya."
"Siocia, marilah kira kembali melihat keadaan, kita harus
mencari tahu duduk perkara sebenarnya, Menurut kabarnya
cara pengobatan semacam ini paling menghabiskan semangat
dan tenaga. Malah tidak boleh mendapat gangguan dari luar.
Kalau Ki-kiat bangsat tua itu muncul kembali, kejadian akan
lebih parah lagi!" Ling Soat-yan sudah memperlambat langkahnya, katanya
masih jengkel: "Ada apa yang perlu dikwatirkan ?"
"Sudah tentu Ma siau hiap terancam bahaya !"
"Kalau dia mati ada sangkut paut apa dengan aku ?"
Dari nangis Chiu-ki malah tertawa geli: "Kalau dia betulbetul
mati, hati hamba sendiri juga akan ikut bersedih, masa
siocia kau takkan bersedih hati !"
"Cis, budak binal, Baiklah aku turut permintaanmu, kita
kembali!" sebat sekali ia memutar tubuh terus berlari lebih
kencang kearah datang semula. Di belakangnya Cbiu-ki mengulur lidah dan membuat muka
setan, godanya lirih: "NaH kembalinya kok berjalan begini
cepat!" tanpa ajal iapun percepat langkahnya.
Tempo dalam berlari kencang kembali ini sudah tentu lebih
cepat, baru saja mereka menembus hutan, dikejauhan sana
lantas terlihat sebuah bayangan kurus kering berkelebat
menghilang di balik batu besar itu.
"Celaka." seru Chiu-ki kaget, "Tua bangka renta itu betulbetul
datang kembali." Ling Soat-yan lantas berpaling, ujarnya: "Chiu-ki kau
sembunyi dulu, bekerjalah melihat keadaan."
Habis ucapannya badannya lantas melenting maju secepat
anak panah lepas dari busurnya menubruk ke arah batu besar
itu. KebetuIan saat mana ko-bok-im-hun tengah bergelak
tawa hendak beranjak masuk ke-dalam gua.
Begitulah sambil mengerahkan hawa murni untuk
melindung badan, Ling Soat - yan menyambung obrolan
orang: "Manusia macam setan seperti kau ini juga berani
pentang bacot, menyalak seperti anjing galak yang minta
gebuk!" sembari berkata-kata ini halus seringan sutra
melambai lengan bajunya dikebutkan segulung angin halus
sepoi-sepoi menerpa keluar mengarah ke arah Ko-bon-im hun
Ki-kiat. Ki-kiat menjadi terkejut, batinnya: "Kapan budak
perempuan ini mendesak tiba di belakangku mengapa
sedikitpun aku tidak merasa?" tengah ia berpikir ini, segulung
angin halus sudah menerjang tiba didepan dadanya. Segera ia
tertawa gelak-gelak, serunya: "Budak ayu jelita, Marilah kita
juga adakan pertunjukan macam itu," tahu-tahu badannya
bergerak berputar seperti gangsingan sembari mengisar
kesamping, dengan indah sekali ia hindarkan diri dari
seraagan angin kebutan ini, dalam kejap lain tahu-tahu
tubuhnya sudah berkisar dibalik batu besar sebelah sana.
Tahu-tahu sebuah bayangan merah jingga berkelebat
didepan mata, Ling Soat-yan yang mengenakan selendang
sutra semampai melambai-lambai itu sudah berdiri
dihadapannya sambil tersenyum menggiurkan jaraknya tidak
lebih delapan kaki. Wajah ayu jelita berkulit putih itu kini bersemu merah,
sepasang mata yang indah dan bening kini memancarkan
sorot pandangan penuh nafsu membunuh.
Meskipun Ko bok-im-hun Ki-kiat seorang gembong iblis
yang suka membunuh manusia tanpa berkedip, tak urung
merasa gentar juga sanubarinya katanya dalam hati: "Agaknya
Lwekang budak perempuan ini sudah sempurna, Tapi sukar
dilihat dari aliran mana. Tapi apa pedulinya, Lo ji berada
disekitar ini segera bakal tiba kemari . .."
Ternyata semalam ia bertempur sengit melawan pemuda
baju kuning yang melawan dengan mati-matian, meskipun
lawan kecilnya dapat dilukai, tak urung dia sendiri juga terluka
parah, untung ditengah jalan ia bertemu dengan saudara
angkatnya kedua yaitu Ui-cwan-te-mo (iblis tanah dari akhirat)
Ciok Kun, setelah Iuka-Iukanya diobati sembuh mereka
berpencar mencari dan memeriksa sekitar pegunungan ini.
Kepandaian silat iblis tanah akhirat Ciok Kun benar hebat
luar biasa, dibanding dengan Ko-bok-im-hun (sukma
gentayangan dari kuburan) Ki-kiat entah berapa tingkat lebih
tinggi, Maka begitu teringat akan saudara angkat kedua itu
berada tak jauh dari tempat ini, legalah hatinya mendongak ke
atas ia terkekeh kekeh, serunya sinis: "Budak keciI,
bagaimana " Marilah kita juga adakan pertunjukkan semacam
itu?" Ling Soat-yan tertawa ringan mengunjuk kedua dekik didua
pipinya, serunya aleman: "Ki-kiat, nyawamu sudah hampir
tamat, orang yang sudah hampir masuk liang kubur, maka
nonamu ini juga tidak perlu main sungkan-sungkan lagi !"
Bercekat hati Ki-kiat, gelak tawanya semakin keras: "Budak
kecil, siapakah gurumu, sombong dan menyenangkan benar
kau ini, Lohu . . . ck, ck, ck, , . . " sebetulnya orang yang
kemarin malam beradu pukulan dengan dia bukan lain adalah
Ling Soat-yan namun agaknya Ki-kiat tidak tahu dan melihat
jelas waktu itu. Ling Soat-yan unjuk senyum menggiurkan, ujarnya:
"Guruku bernama Giam-lo-ong, Aku diutus kemari untuk
mencabut nyawa iblis durjana seperti kau ini." baru lenyap
suaranya lemah gemulai badannya bergelak maju terus
menyerang. Diam-diam Ko-bok-im-hun Ki-kiat terperanjat. Walaupun
wajah Ling Soat-yao menguIum senyum, berjalan gemulai
kearahnya sedikitpun tidak mengunjuk gaya hendak
menyerang, tapi sebetulnya sikapnya ini merupakan inisiatip
penyerangan yang mengikuti gerak perubahan musuh yang
hendak di serang, bagaimanapun polah gerak musuh akan
dapat diikuti dengan perubahan yang tidak kalah rumitnya
pula. Maka begitu ia melihat cara gerak langkah Ling Soat-yan ini
lantas terasalah olehnya bahwa kanan kiri depan dan belakang
dirinya sudah tertutup rapat oleh kesiap siagaan orang, Selain
ia berlaku nekad menempur dengan mati-matian tiada jalan
lain untuk meloloskan diri. Tapi lantas terpikir pula olehnya:
"Budak kecil ini naga-naganya masih hijau, muda usia lagi
seumpama ia membekal kepandaian setinggi langit juga tentu
latihannya belum sempurna betul" karena pikirannya ini
berjangkitlah nyalinya kembali ia berkata, serunya: "Budak
kecil, siapa namamu " Turut saja Lohu pulang kutanggung
selama hidup ini kau akan senang berfoya-foya."
Seringan kupu menari selangkah demi selangkah Ling Soatyan
maju mendekati mulutnya menyahut lincah: "Nonamu ini
bernama Ling Soat-yan, Kematian sudah di-depan matamu
masih berani kau bermulut kotor, sungguh menggelikan,"
mendadak langkah kakinya dipercepat, sekali berkelabat tahutahu
ia sudah melejit sampai dihadapan K.o-bok-im-hun.
Dinana lengannya diangkat berayun pelan-pelan terus
mengebut kearah muka Ki-Kiat. Ki-kiat berjingkrak kaget, batinnya: "Terhitung jurus silat
dari aliran mana ini?" sembari berpikir sebat sekali tangan
kanannya juga diulur maju terus mencengkeram
kepergelangan tangan halus putih itu.
Baru saja tangannya terulur, mendadak bayangan merah
berkelebat didepan matanya puluhan angin kencang secepat
kilat berbareng menyerang keseluruh tempat-tempat penting
tubuhnya laksana gugur gunung dahsyatnya.
Jantung Ki-kiat serasa hendak melonjak keluar teriaknya
ketakutan: "Hiat-ing-bun . . ."
Lekas-lekas tangan kiri diayun keatas, selarik bara api
warna hijau meluncur tinggi ketengah angkasa.
Bertepatan dengan itu, suara tawa cekikikan terdengar
disamping telinganya. "Nonamu ini memang bukan lain adalah Hiat-ing Kongcu!"
"Haaaaa. . .duh. . ." jerit ketakutan yang menyayatkan hati
terdengar keluar dari mulut Ko-bok-im-hun yang setengah
sekarat belum mampus. Bukan saja belum sempat ia
menggunakan ilmu Hian-si-im ou, sampai mengerahkan
tenaga untuk melindungi badansendiri juga tidak sempat lagi,
tahu-tahu dirinya sudah menjadi korban dari serangan Hiat-ing
Kongcu yang lihay. Begitu bayangan orang terpencar, terdengar pula suara
tawa cekikikan, Air muka Ko-bok-im-hun berubah hijau pucat,
dengan langkah sempoyongan ia berusaha lari kedalam hutan.
Terlihat beberapa jalan darah penting ditubuhnya berbareng
mengucurkan darah segar. Setelah menerjang maju beberapa langkah badan
bergoyang-goyang tubuhnya lantas tersungkur jatuh keatas
tanah, kakinya berkelejetan sebentar dilain saat ia sudah
mendaftarkan diri pada raja akhirat sebagai pendatang baru.
Wajah Hia -ing Kongcu mengunjuk senyum kepuasaan,
mendongak keatas ia memandang mercon api yang meledak
dan ber kembang warna hijau ditengah udara, Mulutnya
mengguman,Kemungkinan betul Pit-loh thian-mo atau Ut-ttte-
mo berada disekitar yang berdekatan sini. selamanya
Thian-lan sam-yau jarang beroperasi seorang diri.
Sejenak ia merenung lalu batinnya lagi: "Bila mereka
berdua datang bersamaan lalu bagaimana aku harus
menghadapi mereka?" sambil berpikir pelan-pelan kakinya
melangkah memutari batu besar itu terus melongok kedalam
gua. Dilihat didalam sana penuh diliputi kabut putih yang tebal
bergulung-gulung sehingga badan Giok-liong dan gadis remaja
itu tidak kelihatan. Tapi dari kabut putih yang masih mengepul
terus itu menandakan dimana Giok-liong masih berada.
Tanpa merasa Ling Soat-yan tersenyum getir, katanya
menghibur diri: "Kiranya dia tengah menolong orang, Aku. . ."
hatinya menjadi sedih, air mata mengembang di kelopak
matanya. Sekonyong-konyong diatas pegunungan yang sunyi ini
bergema suitan panjang yang berkumandang nyaring
menembus angkasa, Gema suitan itu semakin dekat dan terus
ku mandang di tengah udara, membuat pendengarannya
merasa merinding dan mengkirik. Hiat-ing Kongcu Ling Soat yan melolos keluar selarik
selendang sutra sedikit pergelangan tangan menggertak
lendang sutra itu mulur memanjang berkembang lebar, tertua
ta panjang lima enam kaki, pelan-pelan lalu dilempitnya
kembali dan digubatkan dipergelangan tangannya, tangannya
yang halus membalut air matanya yang mengalir dipipinya
serta batinnya, "Ui cwan-te-mo Giok-Kun telah tiba!"
Benar juga tidak lama kemudian suitan itu berhenti,
sesosok bayangan kuning laksana kilat menyamber tahu-tahu
sudah meluncur turun diatas tanah sana, begitu tegak ia
berdiri tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Tempat
berdirinya itu tepat berada disisi mayat Ko-bok-im-hun Ki-kiat
adik angkatnya itu. Tampak pendatang ini mengenakan kain kasar yang
terbuat dari kaci kotor, Rambut panjangnya itu penuh dihiasi
kertas uang sembahyang yang lazimnya dibakar setelah
sembahyang memperingati almarhum, Badannya tinggi kirakira
setombak lebih, kurus kecil bagai geater, seluruh kulitnya
berwarna kuning seperti sakit-sakitan dan yang terlebih aneh
lagi adalah sepasang matanya yang cekung dalam itu setiap
merem melek memancarkar sorot kektmingan yang berkilat
menakutkan seperti mata serigala yang buas.
Sekian lama ia berdiam diri berdiri disamping mayat Ko
bok-im hun, mendadak ia memutar badan menghadap kearah
batu besar, sedikit angkat tangan lalu katanya kaku: "Tokoh
kosen darimanakah yang berani membunuh adik angkatku ini,
Kukira setelah berani turun tangan tentu bukan seorang
pengecut yang beraninya sembunyi kepala mengunjukkan
ekor bukan?" Suasana tetap sepi dibelakang batu besar tetap sunyi tanpa
ada reaksi. Ui-cwan-te mo Ciok Kun mendengus hina, sambungnya
lagi: "Kalau tuan tidak mau keluar, apa perlu Lohu sendiri
yang harus menyilakan keluar?"
Suara cekikikan geli terdengar dari belakang batu besar.
Seiring dengan tawa cekikikan ini dari balik batu besar itu
gemulai berjalan keluar seorang gadis rupawan yang
mengenakan pakaian serba merah dengan sari jingga
melambai dipuncaknya. Seketika Ui-cwan-te-mo melengak, diam-diam ia memuji
dalam hati: "Budak perempuan yang cakap jelita, tak mungkin


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia mampu membunuh Losam!" dalam hati ia merasa kagum,
tapi mulutnya bertanya dingin:" Budak kecil, apa kau yang
membunuh dia?" sembari tangannya menunjuk kearah
jenazah Ko-bok-im-hun. Ling Soat-yan tersenyum menggiurkan, sahutnya:
"Kematiannya memang setimpal!"
Bercekat Ui cwe-te mo Ciok Kun mendengar jawaban ini,
katanya: "Kau dari perguruan mana" siapa nama gurumu ?"
Tanpa bersuara Ling Soat-yan melayang maju dengan
enteng, begitu bayangan merah berkelebat tahu-tahu ia sudah
melejit tiba di-hadapan Ciok Kun terpaut satu tombak.
Sedikit berubah raut muka Ciok Kun, tapi cepat sekali
lantas kembali seperti sedia tala, katanya: "Kau..... kau dari
aliran Hiat Ing-bun" "Sungguh tajam pandangan Ciok-cianpwe!"
"Kau ini..." "Hiat-ing Kong-cu Ling Soat-yan."
"Oh, jadi kau adalah Hiat ing cu punya..."
"Putri tungga Hiat ing cu!"
Tergetar hati Ciok Kun mendengar pengakuan terus terang
ini. Ketahuilah bahwa Hiat-ing-cu merupakan seorang tokoh
aneh yang kejam dan telengas lain dari yang lain. Tiada
seorang tokoh silat di Kangouw ini yang pernah melihat wajah
asIinya. Dulu waktu ia menggetarkan dunia persilatan, yang muncul
dan terlihat oleh umum tak lain hanyalah berupa segulung
merah darah saja. Itulah pertanda bahwa latihan kepandaian
tunggal Hiat-ing-bun sudah mencapai puncak setinggi yang
sukar dijajaki. Menurut kabarnya bagi semua korban yang
mati dibawah tangan golongan Hiat-ing-bun, mayatnya pasti
tidak ketinggalan utuh lagi, tinggal segenang air darah melulu.
Mengingat akan ini, tanpa merasa Ciok-Kun mendadak
membuka mulut tertawa gelak-gelak dingin mendirikan dulu
roma, katanya menyeringai: "Sudah tentu kepandaianmu
sangat tinggi. Tapi belum pasti kau merupakan salah seorang
kerabat dari Hiat-ing-bun itu."
Ling Soat-yan tersenyum manis, katanya memandang
kearah mayat Ko-bok-im-him: "Baik, biar aku membuktikan
siapa aku sebenarnya." habis ucapannya lantas terlihat sari
panjang yang menggubat di badannya itu melambai-lambai
tanpa terhembus angin, bergelombang semakin keras, pelanpelan
dari atas badannya menguap kabut warna merah
berkilau. Terdengar Ling Soat-yan tertawa nyaring badannya
berubah segulung bayangan merah terus melesat di tengah
udara dengan kecepatan yang susah diukur terus menukik
turun menubruk kearah mayat Ko-bok-im-hun.
Tokoh macam apakah iblis tanah akherat ini " Bukan lain
adalah gembong persilatan yang sudah malang melintang
pada puluhan tahun yang lalu, kakinya sudah menjelajah
seluruh dunia tanpa mengenal apa yang dinamakan kebaikan,
Melihat tindak tanduk Ling Soat-yan yang bakal tidak
menguntungkan jenazah saudara mudanya.
Mulutnya terus berpekik panjang seluruh tubuhnya
mendadak menguapkan kabut kuning yang bergulung seperti
air mendidih dalam kuali, Tubuhnya yang kurus tinggi itu
memperdengarkan suara keretakan panjang seperti petasan,
lambat laun berubah menjadi ungu gelap. Dimana kakinya
menjejak sambil terus berpekik panjang itu badannya
melenting mengejar kearah Ling Soat-yan.
Sayang langkahnya terlambat setindak. Tampak bayangan
merah itu laksana kilai menyamber dari tengah angkasa terus
menubruk keatas mayat Ko-bok-im-bun. Begitu kena terus
merembes masuk sirna didalam badan Ko bok-im-hun.
Hampir pecah dada iblis tanah akhirat saking marah
bercampur sedih. Dengan pekikan panjang yang menusuk
telinga itu mendadak kedua tangannya bergerak cepat
bersamaan dua gulung badai angin warna antara kuning dan
ungu langsung menerpa kearah mayat Ko bok im-hun juga
sedemikian dahsyat terjangan angin pukulan ini laksana gugur
gunng. Sebab dia insyaf kalau lambat sedikit tentu habis sudah
nasib mayat saudara mudanya itu. Angin pukulan membadai ini menderu hebat berputar
berguIung-guIung laksana angin lesus Baru saja badai angin
warna kuning ungu ini menerpa datang hampir menyentuh
tanah, sesosok bayangan merah langsing mendadak melejit
tinggi terus melayang kesamping mengikuti dorongan angin.
Waktu ditegasi mayat Ko bok-im hun itu kini sudah hilang
berubah segenang air darah yang berceceran diatas tanah
membasahi pakaian kosong yang masih ketinggalan.
Iblis tanah akhirat Ciok Kun menjerit pedih, kedua
tangannya bergerak bersilang, badannya sekarang berubah
warna merah ungu seluruhnya, terbungkus oleh gulungan
kabut dingin yang berkilauan terus menubruk kearah
bayangan merah darah yang lebih menyolok dan tebal dari
semula itu, setelah melayang kesamping begitu menginjak
tanah bayangan merah yang semakin menyala ini laksana
bintang meteor langsung memapak maju kearah iblis akhirat
yang menyerang datang ini. Iblis tanah akhirat tahu akan kelihayan Hiai-ing-kang
musuh, terutama setelah menyedot darah segar korbannya,
kekuatan bertambah berlipat ganda terbukti dari warnanya
yang semakin merah dan menyala itu.
Saking murka dan sedih, Ciok Kun menjadi nekad,
bentaknya garang : "Cari mati!" kontan Hian-si im-ou
dikerahkan sampai puncak tertinggi, sinar merah ungu lantas
memancar keluar angin badai yang dingin terus berkembang.
Perbawa ilmu yang dilancarkan ini jauh berbeda dengan
yang pernah dilancarkan Ko-bok-im-bun tempo hari,
keadaannya lebih seram dan menakjubkan.
Bayangan merah darah itu bergerak tanpa membawa suara
sedikitpun. Agaknya bayangan merah ini cukup cerdik, ia tidak
mau bertanding berhadapan mengadu kekuatan, selincah
kupu menari diantara rumpun bunga bayangan ini selulup
timbul melayang kesana berkelebat kesini, selalu mencari
lubang kelemahan terus menempel kearah badan Ciok Kun.
Naga-naganya Ciok Kun memang takut juga bersentuhan
secara berhadapan, cara turun tangannya juga lantas tidak
mengenal kasihan lagi angin badai yang dingin membeku
badan terus berseliweran membawa kabut gelap, sementara
waktu kedua belah pihak sama kuat bertahan.
Dalam pada itu, Giok-liong tengah mengarahkan hawa
murninya yang terakhir dalam usahanya menolong jiwa Tan
Hak-siau, hawa murni dalam pusarnya sudah hampir terkuras
habis melalui pori-pori kulitnya terus merembes masuk
kebadan pemuda baju kuning. Sang waktu terus berjalan detik demi detik, keringat diatas
badan Giok liong terus tercurah membasahi seluruh tubuh
seperti kehujanan, cahaya air mukanya juga semakin guram.
Tan Hak siau yang tertindih dibawah badannya itu masih
tetap celentang kaku tanpa bergerak seolah-olah jiwa sudah
melayang, Hati Giok-liong menjadi gelisah dan gundah
kemampuannya sudah dikerahkan sampai titik tertinggi,
keadaan badannya sudah capek kehabisan tenaga.
Kalau keadaan seperti ini masih terus bertahan lagi
seperminuman teh bukan mustahil Giok-liong sendiri bisa
mampus saking lemas. Sekarang badannya mulai mendingin seperti es, sulit untuk
bertahan lebih lama lagi. Tapi ia masih kertak gigi
mengerahkan sisa tenaganya supaya hawa murninya terus
menerobos dan bekerja bergelombang seputaran dalam badan
Tan Hak-siau. Sekonyong-konyong ia rasakan Tau Hak-siau yang tertindih
di bawah itu bergerak-gerak, keruan girang bukan main
hatinya. Tapi menyusul itu ia rasakan kepalanya pusing tujuh
keliling pandangannya menjadi gelap, hawa murni sudah luber
seluruhnya, badannya menjadi dingin membeku, tak tertahan
lagi ia terus menggelinding jatuh ke samping.
Tepat pada saat itulah Tan Hak-siau mulai siuman, pelanpelan
ia membuka matanya yang bening cemerlang, pelan
pelan ia mengulet dengan bernafsu, Tapi baru bergerak
setengah saja ia lantas merandek kesima, mendadak ia
menjerit kaget: "Ah, ini. . ."
Waktu ia menunduk seketika merah jengah seluruh
wajahnya cepat-cepat disambernya pakaian yang terletak
disampingnya untuk menutupi badannya, terus bergegas
loncat berdiri serta mundur sejauh lima kaki.
Mata yang bening indah itu seketika mengembang air mata
terus meleleh kedua pipinya, Kini iapun sudah melihat Giok
liong yang rebah tengkurep diatas tanah dengan telanjang
bulat pula bermuka pucat pias laksana kertas.
Timbul rasa curiga dan heran dalam sanubarinya, lantas
disusul perasaan marah membakar hatinya geramnya
mendesis sambil mengertak gigi: "Kiranya kau tak lain
binatang rendah yang tidak tahu malu. Terhitung aku Tan
Soat-kiau salah menilai orang, sehingga aku terluka parah
ditangan Ko-bok-im hun karena kau. Siapa nyana air mata
membanjir semakin deras, cepat cepat dikenakan pakaian
sendiri. Sebetulnya Giok liong, hanya dalam keadaan sadar tak
sadar, Kupingnya masin bisa mendengar suara Tan Hak siau
tapi seolah-olah diucapkan dari tempat yang jauh sekali. Tahu
dia, karena dirinya terlalu membuang tenaga sehingga hawa
murninya kena cidera, asal bisa istirahat beberapa hari pasti
kesehatannya bisa lekas pulih, Besar niatnya bangkit berdiri
memberi penjelasan, tapi hakekatnya ia sendiri bergerak saja
tidak bisa. Setelah mengenakan pakaiannya, sekian lama Tan Soatkiau
menatap wajah Giok-liong. Mendadak seperti kesurupan
setan ia menggembor terus menangis gerung-gerung,
mulutnya mengigau: "Aku benci, aku benci. Akan kubunuh
Kau, bunuh kau .. . ." terus diangkatnya badan Giok-liong,
beruntun tangannya bergerak "plak-plok " puluhan kali ia
tampar muka Giok-liong keras, darah segar mengalir dari
ujung mulutnya. Kedua pipinya bengap merah seperti bakpao.
Dengan sulit Giok-hong coba berkata: "Aku . .." lantas jatuh
pingsan. (BERSAMBUNG JILID KE 9) Jilid 09 Tan Soat-kiau seperti kehilangan kesadaran mulutnya
mengguman seperti orang gila: "Hantam, kuhantam mampus
manusia rendah melebihi binatang ini , . . " air matanya
mengalir dengan deras, demikian juga kedua tangannya itu
masih terus bekerja bergantian sehingga seluruh muka Giokliong
benjal benjol, sekarang mata dan hidungnya juga
melelehkan darah segar, setelah sekian lama melampiaskan
kedongkolan hatinya dengan memukul secara membabi buta
itu, akhirnya Tan Soat Kiau berhenti kelelahan, dengan cerrott
ia awasi muka Giok-liong yang matang biru itu, tanpa merasa
ia sesenggukan lagi dengan sedih. Dengan penuh rasa sesal ia
amati sepasang tangannya yang halus memerah itu, tetesan
air mata menitik jatuh ditelapak tanganaya. Lalu diloloskannya
keluar sapu tangan untuk membalut air mata. selanjutnya ia
pandang kepala Giok-liong dengan hati-hati dan teliti ia
membersihkan noda darah yang mengotori muka Giok-liong.
Mulutnya masih menggumam lagi sambil sesenggukan:
"Aku bila .. . bisa . . . membunuhmu . . . lalu , . . aku juga
bunuh diri , . , biarlah kita berdampingan di akhirat. . ."
setelah membersihkan darah dimuka Giok-liong ia membalut
lagi air mata dipipinya, pelan-pelan tangan kanan diangkat
jarinya mengarah tepat ke Bing-bun hiat Giok-liong, lalu pelanpelan
diturunkan menotok kebawah.. jelas kelihaian dari
telunjuknya yang terjulur keluar itu gemetar hebat, ini
menandakan betapa haru dan sedih hatinya, semakin dekat
ketubuh Giok-liong getaran jari itu semakin hebat, siapapun
takkan mau percaya bahwa jari halus yang putih indah itu
bakal dapat mencabut nyawa seseorang. Tapi kenyataan akan
membuktikan bahwa jari halus kecil ramping itu akan
mencabut nyawa Giok-liong ini tinggal tunggu waktu saja.
Begitulah tutukan jari itu sudah semakin dekat tinggal satu
kaki, setengah kaki sekarang tinggal beberapa senti lagi. Asal
jari telunjuk itu menyentuh punggung Giok-liong, kiranya
cukup mengorbankan nyawa Giok-liong sebagai pelampiasan
dendam hatinya. Tepat pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar
sebuah bentakan ringan nyaring dari mulut gua: "Tahan!"
Tanpa merasa Tan Soat-kiau merandek menghentikan
gerakannya, Hati kecilnya tengah berperang secara kontras,
Bunuh atau tidak, dua pikiran ini tengah berkecamuk dalam
sanubarinya. Diambang pintu gua melayang masuk sesosok bayangan
gadis yang mengenakan pakaian serba merah dengan
mengenakan sari panjang merah jingga yang membelit
dipundak dan badannya, sambil tersenyum manis gadis
pendatang ini langsung menuju ke arah Giok-liong dan
bertanya: "Kau hendak membunuhnya ?"
Seketika merah jengah selebar muka Tan Soat kiau tersipusipu
diraihnya pakaian Giok liong terus ditutupkan keatas
badannya sahutnya dengan hampa: "Ya."
"Kenapa ?" "Dia .. dia . . , siapa kau " ini urusan ku sendiri orang lain
tidak perlu turut campur !" pipinya yang halus bertemu merah
lagi, tak kuasa ia memberi penjelasan.
Gadis itu tersenyum manis, katanya penuh jenaka: "Aku
bernama Chiu ki, aku datang ikut siocia kemari, malam itu
kami merebutnya . , . " bicara sampai disini ia menunjuk GiokTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/ liong lalu sambungnya lagi: "Merebutnya dari tangan Ko-bokim-
hun serta mengobatinya." Tan Soat-kiau berseru kejut, tapi telunjuknya masih
mengarah ke punggung Giok-liong, katanya: "Tua bangka Kikiat
yang kejam telengas itu . . ."
Chiu-ki tersenyum riang, ujarnya: "setelah bertempur
dengan nona Tan, kedua belah pihak sama menderita luka
parah, Tapi untung ia bersua dengan saudara angkatnya
kedua bernama Ciok Kun serta menolongnya, sekarang lukalukanya
sudah sembuh !" "Oh," keluh Tan Soat-kiau, mulutnya menggumam:
"Lukanya sudah sembuh, lalu lukaku . . ."


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Chiu-ki segera menyambung: "Untung nona ketemu oleh
Ma-siau-hiap, Dengan berkorban ia berusaha menyembuhkan
luka-Iukamu." Tergetar seluruh badan Tan Soat-kiau, tangannya menjadi
lemas Iunglai, air mata mengalir deras lagi, katanya tergagap:
"Tapi, dia. . . dia tidak mengenakan pakaian . .. . . dia. ."
Kata Chiu-ki lagi menjelaskan: "seumpama tidak pantas dia
melucuti seluruh pakaianmu. Tapi situasi yang mendesak demi
menolong nyawa nona yang sudah diambang pintu kematian
itu, Selain berbuat demikian tiada lain cara lagi, kalau tidak
tentu nona . . ." Tan Soat-kiau memalingkan muka, air mata berderai
bercucuran, katanya penuh tekad: "Aku rela mati dari pada . .
. " sedikit matanya melirik dilihatnya mulut dan hidung Giokliong
melelehkan darah kembali, pipi yang bengap, dan mata
yang biru membuat hatinya terketuk dan tidak tega tak
tertahan lagi ia menangis pula sesenggukan, Chiu-ki menghela
napas, bujuknya: "Nona Tan kesehatanmu lebih penting,
sudah jangan nangis." Sambil sesenggukan Tan Soat-kiau mengertak gigi, katanya
: "Semua ini gara-gara kesalahan Ki-kiat bangsat tua itu,
jikalau nonamu ini tidak menghancur leburkan. . ."
"Ko-bok-im-hun sudah mati !"
"Apa " Siapa yang membunuh dia ?"
"Nona majikanku Ling Soat-yan!"
"Dimana nona Ling ?" "Diluar sedang bergebrak dengan musuh ?"
"Siapa ?" "Iblis tanah akherat Ciok Kun !"
"Ha, dia, mari lekas kita keluar . . . "
"Untuk sementara siocia masih kuat bertahan, hanya dia ini
. . . " katanya menunjuk kepala Giok-liong lalu sambungnya
lagi: "Mungkin dia tidak kuat bertahan lama."
Tan Soat-kiau menjadi pilu, batinnya: "Untuk aku dia
mengerahkan seluruh tenaga dan menguras habis hawa
murninya untuk mengobati luka-Iukaku, tapi aku masih tega
melukai dia sedemikian rupa . . ."
"Lekaslah." bujuk Chiu-ki lagi: "Meski pun Thian lam-samyau
sudah mati seorang tapi dua yang lain lebih lihay, nona
Tan harus segera berusaha mengobati luka-luka Ma-siau hiap
untuk menjaga segala kemungkinan ! lalu dirogohnya keluar
dua butir pil warna biru diserahkan kepada Tan Soat-kiau
serta katanya lagi: "Biarlah aku keluar dulu, tak peduli apa
yang terjadi diIuar, lebih penting kau mengobati luka-luka Masiau-
hiap dulu." habis berkata lantas ia berkelebat keluar gua.
Setelah Chiu-ki menghilang di luar gua, teringat akan Giokliong
rela berkorban demi menolong dirinya, seketika timbul
rasa kasih dalam benaknya, tak terasa selebar mukanya
menjadi merah jengah, batinnya: "Kiranya cukup baik juga dia
padaku." lalu ia maju mendekat serta memayang badan Giokliong
dengan teliti penuh kasih sayang ia membersihkan noda
darah dan kotoran di atas tubuhnya.
Meskipun ia merasa malu sampai mukanya terasa merah
panas, tapi dia masih bekerja membersihkan seluruh tubuh
yang kotor itu sambil menundukkan kepala, Serelah bersih
baru dikenakan pakaiannya, siapa bilang hatinya tidak bahagia
" Setelah semua sudah selesai, kedua butir pil biru
diendusnya di dekat hidung, kiranya memang obat yang baik
dan mujarab, pelan-pelan dipentangkan mulut Giok-liong lalu
dijejalkan masuk. Dengan jarak yang rada dekat ini baru dia melihat lebih
jelas, bahwa muka Giok-liong benjal benjol kena pukulannya
sampai bibir pecah-pecah, pipi sembab dan mata melepuh.
Dua titik air mata mengalir lagi dari kelopak matanya.
pelan-pelan ia mengelus-ngelus pipi Giok-liong, gumannya:
"Siapa suruh kau begitu goblok tidak mau bicara dulu dengan
aku. Ai!" Dari dalam bajunya dikeluarkan tiga butir obat terus
diremuk menjadi babuk lalu dipoleskan keluka-luka dimuka
Giok-liong, setelah itu ia panjang Giok-liong bergaya duduk
mulailah ia mengerahkan tenaga sendiri untuk memberikan
pertolongan. Sebetulnya pertempuran diluar gua saat itu sudah
mencapai puncak yang hampir menentukan. Memang
kepandaian silat iblis tanah akhirat hebat luar biasa, sekuat
tenaga ia kembangkan ilmu Hiat-si-im-ou, setiap kali
menggerakkan tangan atau angkat kaki, kabut tantas
bergulung gulung disertai angin dingin menderu-deru tajam
laksana sebuah pisau mengiris kulit. Bukan saja ia sudah
membendung tiga kaki bundar sekitar tubuhnya dengan rapat,
malah serangan balasannya juga dilancarkan semakin sengit
dan gencar, Hiat si-im-ou terus memberondong bagai amukan
gelombang samudera raya, berlapis-lapis sambung
menyambung. Keadaan Hiat ing Kongcu (putri bayangan darah) rada
payah ia tak mau adu kekuatan secara langsung, mengandal
kesebatan gerak tubuhnya bayangan darah melayang dan
berkelebat lincah sekali, setiap kali ada lubang kelemahan
meskipun hanya sekejap saja cukup sebagai peluang untuk
melancarkan serangan gerak kilat. Tapi bagi orang yang berpengalaman sekali pandang saja
lantas dapat tahu, bahwa keadaannya sudah rada banyak
membela diri dari pada balas menyerang, keadaannya ini
memang sangat berbahaya. Sang waktu terus berlalu terasa Hiat-ing Kongcu sudah
semakin lemah. Bayangan merah darah yang menyolok itu kini
semakin guram dan luntur, ini menandakan bahwa ia sudah
kecapean kehabisan tenaga, tak kuat bertahan lama lagi.
Iblis tanah akhirat mempergencar serangannya, saking
puas ia terloroh loroh bangga, serunya: "Budak ayu, terhitung
Lohu hari ini sudah berhadapan langsung dengan Hiat ing-bun
kalian!" Sekonyong-konyong bayangan darah berkelebat
melambung ketengah udara, kedua telapak tangan bertepuk
nyaring, muncullah bayangan asli dari bentuk rupa Ling Soatyan.
Tampak wajahnya pucat badannya sudah basah kuyup oleh
keringat, napasnya juga sudah memburu. Diiringi angin badai
yang gemuruh dengan seluruh sisa kekuatannya ia menubruk
turun dari atas seraya hirdiknya: "Biarpun hari ini harus kalah
melawan kau, jangan sekali kau bertemu dengan ayahku. . ."
Gesit sekali CiokKun berkelebat kesamping menghindar diri
sembari mengulur cengkeraman tangannya terus menjojoh ke
dada Ling Soat yan, jengeknya tertawa: "Lohu akan menutuk
jalan darah perasa besar lalu kubawa pulang untuk
bersenang-senang. setelah puas lalu kututuk lagi Khi-hay hiat
dan kupecahkan kantong suaramu, kuserahkan kepada anak
buahku supaya menikmati bentuk tubuhmu yang menggiurkan
ini secara bergiliran, seumpama Hiat-ing-cu sendiri datang,
juga takkan tahu bahwa kau terjatuh ditanganku."
Berubah hebat air muka Ling Soat-yan, jari-jari tangannya
digerak tutupkan seperti menggunting sesuatu terus
dikebutkan ke arah cengkeraman Ciok Kun yang mengarah
dadanya, bentaknya dengan murka: "Bangkotan tua tidau
tahu malu. Dunia persilatan dikotori sampah persilatan macam
kau ini, Kalau nonamu hari ini tidak membunuhmu,
bersumpah...." "Blang," benturan keras sekali dari adu kekuatan mereka
berdua, Terdengar Ciok-Kun semakin tertawa riang.
sementara putri bayangan darah terhuyung mundur tiga
langkah, Ciok Kun melejit lagi sambil lancarkan tutukan
mengarah jalan darah Thian-ti-hiat.
Tepat pada saat itulah ditengah alas pegunungan yang
sunyi lengang itu terdengar suitan panjang yang
berkumandang, Sedemikian tinggi suitan ini sampai menusuk
telinga, membuat pendengarannya merinding dan merasa
seram. Begitu mendengar suitan ini seketika Ciok Kun
menghentikan aksinya, wajahnya menunjukkan rasa girang,
mulutnya masih terloroh-loroh tak henti-hentinya.
Sebaliknya putri bayangan darah Ling Soat-yan semakin
pucat pjkirnya: "Celaka, habis sudah. Tertua dari Thian-lam
sam-yau Pit-loh-thian-mo Kiau Pwe juga sudah datang."
Ma Giok liong berdua entah sampai kapan baru saja
sembuh seluruhnya seumpama sembuh juga percuma tentu
tidak kuat melawan gabungan mereka dua saudara. . ."
Ling Soat-yan tahu bahwa kepandaian Pit-loh-thian mo ini
pada ratusan tahun yang lalu sudah mencapai kesempurnaan
apalagi setelah giat berlatih sekian lama lagi, maka dapatlah
dibayangkan sampai dimana tingkat kepandaiannya. . ."
Kalau kepandaian silat Ciok Kun dibanding dengan
saudaranya tua ini, entah terpaut berapa jauhnya. sekarang
menghadapi Ciok Kun seorang saja dirinya tidak mampu
apalagi menghadapi Pik-thian-mo Kiau-Pwe.
Suasana dalam gua dibelakang batu besar itu tetap sunyi
senyap tanpa terdengar suara. Tatkala itu iblis tanah akhirat Ciok Kun lebih mempergencar
serangannya dengan di landasi Hian-si-im-ou, angin dingin
menderu deru, bayangan pukulan tangan setajam golok terus
memberondong ke arah putri bayangan darah Ling Soat-yan.
Dalam keadaan serba runyam dan kepepet ini tergetar
sanubari Ling Soat yan akhirnya ia berlaku nekad, hardiknya:
"Kubunuh dulu kau . . ." lemah gemulai pinggang meliuk-liuk
seperti menari, awan merah mulai mengembang
menyelubungi badannya, tangan yang putih halus itu beruntun
digerakkan, kekuatan hawa merah darah seketika melambung
memenuhi udara samberan angin kencang berseliweran saling
berlomba melesat maju memapak kearah musuh.
Sesaat sebelum pukulan kedua belah pihak saling beradu
terdengar suara kekeh dingin ditengah gelanggang, "Budak
perempuan, takabur benar kau ya !" timbul angin Hsi-s yang
bawa kelebat bayangan biru lalu disusul terdengar "Bum" yang
keras memekak telinga, seketika bayangan orang terpental
mundur. Kini ditengah gelanggang tahu-tahu sudah
bertambah seorang tua berambut uban mengenakan jubah
panjang warna biru bermuka merah bertubuh tambun pendek.
Air muka putri bayangan darah Ling Soat-yan semakin
pucat, badannya terhuyung bergoyang gontai hampir roboh,
mulutnya menguak lantas menyemburkan darah segar,
Agaknya iblis tanah akhirat sangat menghormati dan takut
terhadap saudara tuanya ini cepat ia unjuk soja dan maju
menyapa: "Toako, bocah she Ma itu sekarang sudan terluka
berat sedang berobat didalam gua itu l" lalu ditunjuknya gua
di belakang batu besar. Pit-toh tbian-mo sedikit manggut sebagai jawaban, lalu
katanya: "Biarlah aku melihatnya kesana !" enteng sekali
tanpa melihat kakinya bergerak tahu-tahu badannya berubah
segulung bayangan biru sudah meluncur kearah belakang batu
besar itu. Melihat ini saking gelisah tanpa hiraukan luka-luka dirinya
lagi segera Ling Soat-yan membentak: "Berdiri. ."
Tapi bertepatan dengan itu iblis tanah akhirat Ciok Kuo
juga lantas terkekeh-kekeh sedikit menggerakkan badan tahutahu
ia sudah merangsak dekat terus mengulur tangan
mencengkram ke dada orang, jengeknya: "Bocah ayu,
menikah saja menjadi istriku. Kutanggang selama hidup ini
kau dapat senang sekali !" Sungguh malu dan geram putri bayangan darah bukan
kepalang, sedikit membuka mulut ia menyemburkan darah
lagi, tapi ia tidak berhenti bergerak, beruntun tangannya
digerak silangkan, dengan mengembeng air mata ia
membentak nyaring: "iblis tua, biarlah aku adu jiwa" laksana
kilat bayangan merah mengembara berubah bayangan darah
terus menerjang maju dengan nekad. Baru saja Pit-loh-thian mo sampai diambang pintu gua,
sekonyong-konyong terasa angin menungkrup tiba dari atas
kepalanya, Bersama itu beberapa jalur angin tajam yang
mendesis disertai bayangan merah dari sosok tubuh langsing
telah menubruk kearah dirinya. Kiau Pwe terbahak-bahak, tangan kanan dikiblatkan
kebelakang menerbitkan gelombang angin dingin yang
bergulung-gulung seperti ombak, sementara itu tubuhnya
masih terus meluncur cepat laksana anak panah memutar
kebelakang batu besar dan melesat masuk kedalam gua
"Blang. . aduh . . ," terjadilah benturan keras diselingi pekik
nyitim". Tahu-tahu Chiu-ki terpental jungkir balik seperti bola
menggelinding sejauh tiga tombak, mulutnya lantas
menyemburkan darah segar. "Plak terbanting keras di tanah.
Begitu Pit-Iah thian-mo memasuki gua, terlihat olehnya
seorang gadis mengenakan jubah panjang warna kuning
sebagai seorang satrawan umumnya tengah mengerahkan
tenaga berusaha menolong menyembuhkan seorang pemuda
berpakaian putih didepannya. Diatas kepala kedua orang itu sudah mengepulkan uap, ini
menandakan bahwa semadi mereka sudah mencapai puncak
yang paling gawat, sekarang asal mendapat ganguan ringan
saja dari luar pasti celakalah jiwa kedua orang ini, paling tidak
juga luka berat. Kiau Pwe tertawa ejek, batinnya: "Pemuda baju putih ini
mungkin dikabarkan bernama Ma Giok liong itu !" karena
pikirannya ini langkah kakinya malah diperlambat terus maju
mendekat sambil mendekat ini tak urung wajahnya
menampilkan rasa kaget dan heran, matinya lantas berpikir
lebih jauh: "Bakat bocah ini benar-benar susah dicari selama
ratusan tahun terakhir ini, jika aku bisa membujuknya menjadi
murid tunggalku, itu bagus benar" sambil berpikir ini matanya
lantas mengerling kearah Giok-liong, seketika ia melonjak
kaget. Ternyata raut muka Giok liong yang pucat seperti kertas
itu, saat mana mendadak berubah menjadi merah padam, lalu
lambat laun berubah menjadi putih lalu bersemu merah lagi,
ini pertanda sebagai seorang tokoh silat yang mempunyai
dasar latihan Lwekang yang tinggi dan ampuh tengah terluka
berat dan luka-lukanya itu sudah hampir dapat disembuhkan.
Sangat kokoh berat dasar latihan Lwekang bocah ini. Tapi
bagi penilaian Pit-lo-thian-mo, tingkat latihan Lwekang Giokliong
sudah tentu tidak masuk dalam hitungan perhatiannya.
Supaya tidak mengulur waktu terlalu lama, seenaknya saja
Kiau Pwe lantas angkat jarinya menutuk tepat pada saat air
muka Giok liong belum pulih menjadi sedia kala, sedang
lukanya jaga sudah dalam taraf penyembuhan ini. ditutuknya


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua jalur angin dingin dan lemas. masing-masing meluncur
mengarah kearah Giok-liong dan Tan Soat-kiau.
Siapa tahu baru saja tutukan angin jarinya menyamber
keluar, lantas terbit segulung angin sepoi-sepoi yang aneh
menggulung tiba, seketika angin tutukan jarinya itu lantas
sirna tanpa bekas ! Keruan hatinya terperanjat, dengusnya dingin, "siapakah
yang malu sembunyi ditempat gelap?"
Lwekang lantas dikerahkan terpusat dikedua lengannya,
dengan cermat ia mendengar dan meneliti keadaan sekitarnya
dalam gua itu. Tapi keadaan gua lebih dalam sana -sunyi
senyap tanpa ada suatu suarapun. Pada saat itulah Giok-liong bersama Tan Soat-kiau
berbareng membuka matanya, terbayang akan keadaan
telanjang bulat tadi seketika merah jengah selebar mukanya
sambil menunduk segera ia memberi soji serta katanya
tergagap: "Aku . . . aku. . . kalau perbuatanku tadi
menyakitkan kau harap. . ." Giok-liong tersenyum, sahutnya: "Yang sudah lalu biarlah
sudah, bukankah nona juga telah menolong jiwaku !"
Mendengar pertanyaan Giok-liong ini otak Tan Soat-kiau
serasa dipukul godam, tak terasa air mata meleleh deras,
katanya lirih: "Ya ... yang sudah lewat.... biarlah lalu."
Melihat sikap orang ini Giok liong menjadi heran, tanyanya
dengan lemah lembut: "Nona Tan kenapakah kau. . ." mana dia tahu sebagai
seorang gadis remaja yang masih suci bersih betapa tinggi
harga dirinya, jangan kata begitu seenaknya badannya
disentuh malah berdempetan mengobati luka dengan
telanjang bulat lagi, seumpama dilirik orang juga sudah
merupakan pengorbanan besar. Air mata semakin deras mengalir namun Tan Soat-kiau
berusaha mengendalikan perasaannya, katanya lagi tergagap
sambil sesunggukan: "Aku. . . aku baik . . . .ti. . . ..tidak apaapa
.., . " Sedemikian tekun mereka bicara sehingga tidak menyadari
akan kehadiran Pit-lo-thian-mo tak lebih tiga tombak jauhnya
dari samping mereka, Melihat keadaan kedua muda mudi ini
Pit-lo-thian-mo sendiri juga ikut dibuat heran dan hampa.
Seolah-olah ia tenggelam dalam kenangan lama yang
mengetuk sanubarinya. Sekonyong-konyong raut mukanya bergetar, bentaknya
dingin: "Buyung, kau ini yang bernama Ma Giok-liong ?"
Giok-liong berjingkat kaget, sinar matanya berkilat, begitu
angkat kepala lantas ia memberi soja, sahutnya: "Ya, benar,
siapakah tuan ini ?" Perasaan Tan Soat-kian saat mana benar-benar pahit getir
dan mendelu, perlahan-lahan ia mengangkat kepala,
mendadak ia berseru kaget: "Kau. . . bukankah Pit-lo-thian-mo
Kiau Pwe Kiau-lo cianpwe." Kiau Pwe terbahak-bahak, sahutnya: "Tajam benar
matamu, ternyata masih kenal wajah asliku semasa masih
muda dulu." Sedapat mungkin Tan Soat-kian kendalikan rasa pedih
hatinya, katanya lembut: "Kedatangan Kiau lo-cianpwe ini
entah ada keperluan apakah ?" Sekilas Kiau Pwe melirik kearah Giok-liong, sahutnya
lantang: "Untuk minta seruling sambar nyawa milik bocah ini
!" Tan Soat-kiau melengak. Tapi Giok-liong malah tersenyum geli, katanya: "Cian-pwe
sudah terlambat setindak !" "Apa " Masa . . . " "Ya. seruling itu sudah terjatuh ketangan orang lain."
"Siapa?" "Adik angkat Cian-pwe sendiri, yaitu Ko-bok-im-hun Ki-kiat!
" "Apakah benar kata-katamu ini?"
"Sudah tentu benar." "Buyung, mari kalian ikut aku."
"Wanpwe masih banyak urusan yang perlu segera
diselesaikan, harap maaf tidak dapat memenuhi permintaan
Cian-pwe." "Hah, berani kau membangkang akan ke hendakku!?"
"Selamanya Wanpwe tidak pernah membangkang terhadap
siapapun." "Hm, Lohu ingin menerima kau sebagai murid tunggalku,
seluruh kepandaianku kuturunkan kepadamu . . . ."
"Wanpwe tidak ingin menjadi murid Cianpwe,"
"Bocah sombong akan Lohu lihat sampai dimana akan
kemampuanmu sehingga begini berlaku kukuh terhadapku!"
Sambil membentak gusar, seluruh rambut uban diatas
kepalanya itu bergerak melambai Enpe tfrrer bvs nrg'n,
dimana tangan mendahului maju angin dingin meluncur
laksana seutas rantai terus menggubat tiba kearah badan
Giok-liong. Giok liong juga nnendengus dongkol, baru saja ia hendak
turun tangan membela diri, tahu-tahu terdengar sebuah
seruan berkumandang seperti dari jauh mendatng liu-nya:
"Bocah gendeng, lekas mundur kau bukan tandingan tua
bangka ini." Tapi tepat begitu suara itu lenyap pandangan semua orang
serasa kabur, tahu tahu ditengah diantara mereka sudah
muncullah seorang perempuan pertengahan umur bertubuh
tinggi semampai meskipun sudah menanjak umur tapi raut
mukanya masih kelihatan jelita. Pakaian putih panjang yang dikenakan diatas tubuhnya itu
seperti selarik selendang sari panjang yang seluruhnya
digubatkan, diatas badannya sehingga menunjukkan lengan
putih laksana batu giok juga seperti salju, membuat siapa saja
yang melihat pandang bergejolak semangatnya.
Di jari-jari tangan kanannya yang halus putih itu kelihatan
menyekal sebuah keliningan kuning yang memancarkan sinar
berkilauan, ditambah wajahnya yang ayu dengan pakaian
yang putih bersih lagi. Seolah-olah seperti dewi kayangan
membuat orang tidak berani memandang lama-lama.
Begitu muncul lantas ia melirik kearah Giok-liong dan Tan
Soat-kiau, mulutnya menyungging senyum ma-nis. katanya:
"Kalian istirahat dulu kesamping . . . . bersama itu tangan kiri
sedikit terangkat, lemas gemulai seperti tak bertulang
seenaknya saja terayun maju, dimana angin halus dikebutkan,
serangan angin dingin dari cengkeraman tangan Kiau Pwe tadi
seketika sirna menghilang tanpa bekas.
Sejenak Pit-loh-thian-mo melengak, di lain saat ia terbahakbahak
lagi sambil menggerak-gerakkan kepala, serunya:
"Hahahaha, tak kira, kiranya kalian perempuan ayu jelita ini
masih kulihatan muda dan menggiurkan !"
Perempuan pertengahan umur berpakaian putih itu
mengunjuk senyum, katanya: "Kiau-lo-ji, banyak tahun tidak
bertemu, Tak nyana kau masih sedemikian kolot dan tiada
kemajuan tamak lagi, hendak merebut barang milik anak
kecil." Berubah air muka Kiau Pwe, dengusnya: "Bu-lim-su bi yang
kenamaan dulu kiranya juga masih berani memincut simpatik
pemuda gagah ganteng ini." Seketika membesi raut muka perempuan pertengahan
umur ini mendengar ejekan ketua itu desisnya dingin: "Kiau
Pwe, dengan obrolanmu uang kotor ini kau setimpal di hukum
mati. Mengingat dan kupandang muka adik Yong, biarlah
kuampuni jiwamu sekali ini ! Pergilah !"
Begitu wajahnya membesi, ujung matanya lantas
menunjukkan kerut kerut kulit yang tak terlindung lagi dengan
segala obat rias, sehingga selebar laut muka yang jelita itu
lantas menampilkan rasa duka dan kelanjutan usia yang
kenyataan. Sementara itu, pelan-pelan Tan Soat-kiau menggeser kaki
mendekat kesamping Giok-liong, katanya lirih: "inilah Kim-lingcu
Kim lo-cianp-we, salah satu dari Bu-1im-su-bi . . . . "
Tergentak kaget hati Giok-liong, batinnya: "Bukankah
pesan Suhu menyuruhku menyampaikan beberapa patah kata
terhadap beliau ?" Dalam pada itu, air muka Kiau pwe juga berubah iebat,
katanya lirih dan seperti kehilangan semangat katanya
gemetar: "Adik Yung, dia . . . dia apakah dia masih hidup?"
Kim-ling-cu tertawa sedih, sahutnya, hambar: "Sejak dulu
kala umbaran cinta pasti akan membawa kekosongan hampa.
Ai, baiklah! Tiga puluhan tahun yang lalu aku pernah
melihatnya sekali di laut selatan, Wajahnya masih tetap tak
berubah, hanya sayang hari-hari kepedihan melulu yang
melingkupi hidupnya, jaman yang tidak mengenai waktu ini
sudah berubah seluruh rambut halusnya yang indah
menghitam dulu." Kini raut muka Kiau Pwe mengunjuk rasa girang, dalamdalam
ia membungkuk kearah Kim-ling-cu, katanya: "Lo-toaci,
apakah kau tahu tempat tinggalnya yang tetap?"
"Kau benar-benar ingin tahu?"
"Tak peduli di ujung langit atau didalam samudera, selama
ratusan tahun ini Kiau Pwe sudah mencarinya kemana-mana
dengan penuh jerih payah." sembari berkata tak tertahan lagi
air mata meleleh dengan deras dan sedihnya sampai
sesenggukan. Keadaan ini lantas mengetuk pula hati Tan Soat-kiau yang
berdiri berdampingan dengan Giok-liong, tak tertahan air
matanya juga meleleh tak terbendung lagi.
Pelan-pelan Kim-ling-cu menggeleng kepala, katanya:
"Baiklah, biar kuberitahu kepadamu, Dia sudi tidak menemui
kau, aku tidak berani memastikan! Dia bersemayan di pulau
Biau-to diteluk ombak hitam dilaut selatan!"
"Apa! Bertempat tinggal dipulau yang beriklim jahat dan
sulit penghidupan itu?" "Keadaan pulau Biau bong-to sebaliknya adalah sedemikian
subur dengan segala tumbuhan kembang dan rumput.
Binatang hidup bebas keliaran dimana-mana seumpama
tempat dewa yang aman sentosa! Kiau Pwe kalau adik Yung
mau rukun kembali dengan kau, seharusnya kau sendiri juga
perlu menyekap diri menyempurnakan hidupmu dan membina
diri." "Terima kasih akan petunjuk toaci ini Kalau adik Yung
benar-benar mau mengampuni segala kehilafan dulu, untuk
selanjutnya pasti merubah kebiasaan burukku selama ini
membina diri menjadi manusia baik2."
"Itulah bagus, bolehkah kau segera berangkat janganlah
kau sia-siakan pengharapanku."
Dengan wajah riang gembira Kiau Pwe segera menjura
kepada Kim ling-cu serta katanya: "Selamat bertemu kembali
Toaci, aku berangkat!!" berkata sambil menggerakkan
kepalanya yang besar bayangan biru lantas berkelebat
meluncur keluar gua. Sekonyong-konyong terdengar tawa terkekeh dingin dan
pekik tertahan yang ketakutan diluar, Berubah air muka Kimling-
cu cepat cepai iapun berlari keluar gua.
Giok-liong sendiri juga tergetar hatinya, tercetus teriaknya:
"Celaka, nona Ling mungkin. . ." Seperti anak panah yang
melenting dari busurnya, iapun melesat keluar. Tersipu-sipu
Tan Soat-kiau menyeka air matanya terus ikut mengejar
keluar. Waktu tiba diluar, tampak Ling Soat-yan pucat pasi, ujung
mulutnya melelehkan darah badannya rebah lemas dalam
pelukan Pit-loh-thian mo Kiau Pwe. Saat mana Kiau Pwe telah merogoh botol kecil menuang
dua butir pil terus dijejalkan kemulutnya, sementara itu
dengan pandangan penuh keheranan iblis tanah akhirat
tengah berdiri melongo disebelah sana, tanpa bergerak juga
tidak bersuara. Tapi begitu ia melihat Giok-liong meloncat keluar, seketika
dia menghardik keras: "Dia inilah Ma Giok-liomg adanya."
secepat setan gentayangan mendadak ia menubruk datang,
belum tubuhnya tiba tangannya sudah terayun lebih dulu
menyerang dengan angin pukulan dahsyat menerpa kearah
Giok-liong. Giok-liong mendengus ejek, kakinya menggeser sebat
sekali, "sret" gesit sekali ia berkelit kesamping meluputkan
diri. Tepat pada saat itulah terdsngar bentakan gusar Kiau Pwe:
"Ciok Kun berhenti." Iblis tanah akhirat Ciok Kun berhenti dengan melengak,
tanyanya tak mengerti: "Toako, kau , . . mengapa , . . "
Kata Kiau Pvve sambit mendukung tubuh putri bayangan
daiah Ling Soat-yan: "Kau tunggu dulu, saudara tuamu ini
pasti akan membuat penyelesaian yang adil," lalu ia melejit
kehadapan Kim ling-cu dengan kedua tangannya ia sodorkan
badan putri bayangan darah diserahkan kepada Kam-ling-cu,
katanya: "Toaci, aliran keluarganya berhubungan erat dengan
kau, tapi dia sendiri merupakan seorang gadis suci yang
polos." Setelah Kim-ling cu menyambuti tubuh Ling Soat-yan, lalu
Kiau Pwe menghadapi Ciok Kun serta angkat tangan, ujarnya:
"Hiante masih tidak mengerti akan maksud perbuatanku ini !"
Ciok Kun manggut-manggut kepala tanpa bersuara.
Kiau Pwe tertawa getir, katanya tertawa: "Angin, api air
dan tanah kalau berjodoh tentu bergabung, tiada berjodoh
lantas berpisah. Lurus dan sesat selamanya tiada dapat berdiri
berdampingan yang kalah biarlah kalah, Kuharap Hiante bisa
berpikir dua kali sebelum bertindak dalam sesuatu persoalan,
Kelak biarlah kita bertemu lagi, Kalau kelak Hiante masih
belum dapat merubah cara hidup sesat seperti sekarang ini
saudara tuamu ini mungkin tidak menghargaimu lagi sebagai
saudara muda . . ." bicara sampai terakhir air matanya sudah
membanjir keluar, tenggorokannya menjadi sesak, serunya
serak : "selamat bertemu !" secepat kilat bayangan biru
meluncur hilang memasuki hutan lebat didepan sana,
langsung ia menuju ke Biau-hong-to yang terletak di teluk
ombak hitam di laut selatan untuk mencari Hu-yung Siancu Ci
Yung. Iblis tanah akhirat menjadi gugup, teriaknya: "Toako,
tunggu sebentar !" iapun lantas mengejar dengan kencang,
dilain kejap bayangan mereka sudah hilang dari pandangan
mata. Memandang kearah bayangan yang telah hilang itu, Kimling-
cu gcleng-geleng kepala serta tanyanya menghela napas


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rawan: "Lurus atau sesat hanya terpaut satu pikiran saja ! Ai,
Banyak mengumbar cinta akhirnya pasti berakibat mengejar
kekosongan yang hampa dalam hidup." ditundukkannya
kepala memandangi wajah nan ayu pucu di pelukannya.
Putri bayangan darah Ling Soat-yan masih pingsan seperti
terpuji lemas. Lalu pandangan Kim-ling-cu beralih kearah Tan
Soat-kiau, ujarnya: "janganlah asmara banyak diumbar,
kehampaanlah yang akan kau dapat, Ai, Jiac, seumpama kau
secantik bidadari namun bagi orang yang membabi buta
mengobral cinta, pasti berakibat ngenas dan menderita maka
hati-hatilah kalian anak-anak muda !"
Sekilas ia lirik Chiu-ki yang masih rebah diatas tanah, lalu
katanya kepada Tan Soat-kiau: "Nak, coba kau dukung
tubuhnya masuk kemari." naga-naganya dia tiada simpatik
terhadap Giok-liong maaka sekejappun ia tidak bicara
terhadapnya tapi saban-saban ia melirik dengan sorot
pandangan yang susah diterka. Tan Soat-kiau menunduk dengar nafsu, mukanya merah
jengah. Tanpa bersuara ia bopong tubuh Chiu-ki terus
mengikuti dibelakang Kim-ling-cu dengan melangkah lebar
menuju ke gua dibelakang batu besar itu.
Giok-liong berdiri terlongong-longong ditempatnya, timbul
rasa dongkol akan dirinya yang diremehkan. Tapi betapa juga
Kim-ling cu adalah penoIongnya, bagaimana ia harus
bersikap". Baru saja kakinya bergerak hendak ikut masuk Kim-
Iingcu sudah berpaling ke arahnya serta berkata sambil
tersenyum: "Kau, kau boleh pergi!"
Tiba-tiba Giok-liong angkat kepala, katanya: "Cian-pwe
harap berhenti, ada beberapa patah kata yang ingin Cayhe
sarnpaikan." "O, ada urusan apa?" benar juga Kim-limg-cu
menghentikan langkahnya. Tatkala itu sang surya sudah doyong ke-arah barat, cahaya
kuning emas memancar terang menerangi setengah angkasa,
Meskipun saat itu adalah pertengahan musim rontok, angin
menghembus rada kencang, sari panjang yang membeku
dibadan Kim ling cu melambai lambai laksana bidadari turun
dari kahyangan. Pelan-pelan Giok liong menghela napas, katanya: "Budi
kebaikan Cian-pwe yang telah menolong jiwa Cayhe, selama
hidup ini tentu takkan kulupakan."
Kim-ling-cu juga menghela napas rawan, tanyanya lemah
lembut: "Asal selanjutnya kau bisa berdiri tegak berjalan lurus,
janganlah kau mengail banyak cinta asmara, ini sudah
terhitung kau membalas sekedar kebaikanku Ai., janji kalian
orang laki laki . . ." sepasang matanya yang indah ini entah
kapan ternyata salah mengembeng air mata, mulutnya
mengguman bersenandung: "Sejak dulu bagi yang banyak
pengobral cinta pasti rasa peroleh kekosongan yang hampa . .
." Mendadak melonjak sanubari Giok-liong, lantas tercetus
senanduns pula dari mulutnya: "Ulat bersutra sampai mati air
mata kering setelah lilin habis. . .belum habis senandungnya
ini tiba-tiba pandangannya serasa kabur, terasa hembusan
angin sepoi yang membawa bau harum merangsang hidung,
terdengar pula suara keliningan berdering nyaring di pinggir
kupingnya. "Siapa yang suruh kau berkata begitu?" tahu tahu Kim lingcu
sudah berdiri didepannya sambil menatap dengan sorot
pandangan tajam bersikap serius, kedua belah pipinya sudah
dibasahi oleh airmata yang meleleh turun.
Sungguh Giok liong tak menduga bahwa gerak gerik Kimling-
cu ternyata sedemikian cepat dan lincah sekali, cepatcepat
ia mundur selangkah, sahutnya sungguh-sungguh:
"Itulah guruku, beliau bernama Pang Giok."
"Alis lentik Kim-ling cu berjengkit tinggi, sepasang matanya
yang mengembang air mata mengunjuk rasa duka dan rawan,
katanya sedih: "Bagaimana pesannya?"
Giok-liong menutur sambil menunduk: "Suhu menyuruh
Wanpwe meskipun sampai diujung langit atau didalam lautan
juga harus mencari sampai ketemu jejak Cianpwe, untuk
menyampaikan perkataan tadi." Kim ling-cu menggigit bibir, mulutnya mengguman: "Dia . .
. . mengapa sejak dulu-dulu tidak mau mengatakan. .
.mengapa membuat aku hidup merana sepanjang masa ini . .
." Perasaan Giok liong menjadi terkejut, dalam hati ia
membatin pasti Kim-ling-cu ini ada hubungan asmara dengan
gurunya. Tapi entah mengapa akhirnya mereka berpisah.
Teringat olehnya akan cinta kasihnya terhadap Coh Ki-sia
yang telah mengikat janjinya sehidup semati sampai hari tua.
Baru beberapa lama mengecap kesenangan hidup sebagai
suami istri sekarang telah berpisah sejauh ini. Tak tertahan air
mata pelan-pelan mengalir dari ujung matanya.
Pelan pelan Kim-Iing cu menarik pandangan matanya yang
melihat kearah jauh sana, sekilas memandang kearahnya, lalu
bertanya dengan penuh canda tanya: "Kau masih ada
urusan?" "Haraf maaf akan kelancangan Wanpwe, Wanpwe tiada
urusan apa lagi." Kim-ling cu menghela napas katanya: "Ya, mungkin kau
mempunyai kesukaranmu sendiri. Tapi, nak kau harus ingat
selama hidupmu ini jangan sampai ditunggangi oleh asmara,
Dan jangan pula kau mengikat orang lain dalam belenggu
cinta asmara, Sekali kau menyadari bahwa dirimu tengah
mencintai seseorang, sekali-sekali jangan kau membuat suatu
kesalah pahaman atau urusan sehingga merebut sang waktu
yang seharusnya dapat kalian kecap dengan mesra !
seumpama harus hidup menderita, tidak menjadi soal asal
dapat hidup rukun dan saling memberikan kasih mesra,"
Sampai disini ia merandek sebentar, wajahnya berkembang
kulum senyuman getir memandang kearah Giok-liong, katanya
lagi: "Nak, marilah ikut masuk i Kedua teman perempuan itu
mungkin tidak boleh tunggu terlalu lama."
Giok-liong mengiakan sambil menunduk. Lalu mengintil
dibelakang Kim-ling-cu masuk kedalam gua pula, Setelah
mendengar wejangan Kim-ling-cu tadi kini hatinya tengah
bergejolak tidak tentram seperti damparan ombak samudera
yang mengamuk. "Apakah ucapannya itu betul " Antara aku dan Coh Ki-sia
memang mempunyai banyak rintangan, baru bertemu lantas
berpi-sah, kelak apakah dapat rukun dan bahagia . . ."
Demikian dengan pikiran pepat dan hati gundah langkahnya
terus beranjak, sampai tidak diketahui olehnya bahwa Tan
Soat-kiau yang rupawan itu tengah memandang kearahnya
dengan sorot pandangan girang dan terhibur, Tapi semua
adegan ini tidak luput dari pengawasan Kim-ling cu yang
banyak pengalaman dalam bidang itu, tanpa merasa ia
menghela napas, langkahnya seringan awan mengembang
terus memasuki gua besar itu. Waktu pertama kali masuk tadi keadaan dalam gua
kelihatan sederhana dan cekak pendek saja, berjalan tidak
berapa sudah sampai di ujung dinding gua. Tapi Kim-ling-cu
lantas mengulur tangan menekan sebuah tombol di atas
sebuah batu yang menonjol keluar diatas dinding, maka dilain
saat terbukalah sebuah lubang pintu setinggi orang,
Dibelakang pintu ini adalah sebuah lorong panjang setelah
melewati lorong panjang ini, sampailah mereka pada ruangan
batu yang diatur rapi dan bersih. Dikedua samping ruangan batu ini masing-masing terdapat
sebuah pintu lagi, lalu Kim ling cu menyuruh Tan Soat-kiau
membopong Chiu ki memasuki ruangan batu lain lalu katanya
kepada Giok-liong, "kau istirahat disini, Nanti kita bicara lagi
setelah kutolong mengobati mereka."
Lalu ia sendiri juga memasuki ruangan batu yang
ditunjukan kepada Tan Soat-kiau tadi sesaat kemudian
keadaan menjadi sunyi lengang. Giok-liong tenggelam dalam
kenangan lagi Cinta! Entahlah sudah berapa umat manusia
didunia ini sudah menjadi korban akan sepatah kata ini
sehingga melewatkan masa remaja dengan penuh penderitaan
dan segera. Teringat akan diri pribadi Coh Ki sia, Li Hong, Kiong Lingling,
Tan Soat-kiau serta Ling-Soat-yan, betapa tidak mereka
menaruh perhatian besar terhadap dirinya. Bukankah
kecantikan mereka tidak kalah dibanding bidadari dari
kahyangan" seumpama mereka terhadap dirinya . . . . wah
akibatnya benar-benar tidak berani dipikirkan.
Serta merta timbul kewaspadaan dalam benaknya diamdiam
ia berjanji dalam hati: "Giok-liong hai Giok-liong,
janganlah sekali-kali kau menjadi seorang yang ingkar janji
dan tidak setia, gampang menerima uluran cinta lain orang,
janganlah lantaran kau sehingga menyia-nyiakan masa remaja
orang lain yang penuh nikmat dan mesra." pikir punya pikir
tak terasa lagi seluruh badan basah kuyup oleh keringat
dingin. Sang waktu berlalu secara diam-diam. Lambat laun Giokliong
dapat mengekang gejolak hatinya, mulailah
menerawangi tindak selanjutnya. Pertama-tama apakah
dirinya perlu segera menuju ke Lam-hay untuk mencari
suhunya ataukah mengerjakan urusan lain.
Tepat pada saat mana pintu samping ruang batu terbuka,
beriang berjalan keluar Kim-ling-cu diikuti Tan Soat-kiau, Ling
Soat-yan dan Chiu-ki. Agaknya perasaan Kim-ling-cu sudah banyak longgar,
tanyanya: "Apa yang celaka?"
Segera Giok liong menyahut hormat: "Seruling samber
nyawa pemberian Suhu itu kini sudah terjatuh ditangan Kobok
-im-hun Ki-kiat . . ." Dengan langkah gemulai putri bayangan darah Ling Soatyan
lantas maju mendekat, katanya sambil tertawa geli:
"Bukankah Ki-kiat sudah mati." lalu dikeluarkan seruling
samber nyawa dari dalam balik bajunya langsung disodorkan
kearah Giok-Iiong, katanya lagi, "Aku . . . " sebetulnya ia
hendak menutur duduk perkara kejadian ini sejujurnya. Tapi
sudah keburu disanggah oleh Giok-liong. Betapa girang hati
Giok liong, segera ia unjuk soja serta katanya: "Nona Ling
sedemikian dermawan dan baik budi, bagaimana aku yang
rendah harus membalasnya." Terdengar Kim- ling cu ikut menyela bicara: "Ya, akan
kulihat cara bagaimana kau hendak menyelesaikan utang
piutang ini, Karena kau nona Ling sampai terluka parah di
tangan Ciok Kun malah merebutkan kemba li seruling samber
nyawa ! Demikian juga nona Tan hampir mati karena kau
juga, secara sewajarnya dengan kebesaran jiwanya ia mau
menemui kau lagi, akhirnya menolong jiwamu pula . . ."
serentetan kata-kata ini seketika membuat Ling Soat-yan dan
Tan Soat-kiau malu jengah. Tapi hatinya merasa syuuuur senang sekali, dengan sorot
kegirangan matanya melirik kearah Giok-liong.
Sesaat Giok-liong menjadi kesengsem sampai tidak berani
menyambuti seruling samber nyawa yang disodorkan
kepadanya. Akhirnya Kim-ling-cu sendiri yang maju ambil seruling
samber nyawa itu dari tangan Ling Soat-yan terus disesapkan
ketangan Giok-liong, katanya: "Akan kulihat cara bagaimana
kau hendak menyatakan terima kasih terhadap orang, Hm,
ada guru mesti ada murid" Merah jengah selembar muka Giok-liong seperti kepiting
direbus, Hanya Chiu-ki yang bertingkah paling jenaka,
sepasang matanya yang bundar besar itu pelerak pelerek
dengan lincahnya seakan-akan ada sesuatu persoalan yang
menggirangkan hatinya. Sekilas Kim-ling cu melirik ke arahnya serta tanyanya, "Chiu
ki kau punya saran apa?" Chiu-ki tertawa terkikik sambil menutupi mulutnya dengan
tangan, sahutnya: "Hamba punya sebuah saran, entah dapat
tidak dilaksanakan." "Saran apa itu" Coba katakan!"
"Nona Tan ini dan nona majikanku bersama menjadi anak
angkat Lo cianpwe harap Lo-cian-pwe suka memberikan
pertimbangan serta membela kepentingan mereka berdua."
Kim-ling-cu menjadi girang, namun dilahirkannya ia purapura
sungkan, makinya sambil mengerutkan alis: "Budak binal,
kau ambil persoalan rumit untukku."
Tanpa banyak pikir lagi segera Tan Soat-kiau dan Ling
Soat-yan tersipu-sipu malu berlutut dihadapan Kim-ling-cu
sambil memanggil: "Ibu diatas, terimalah sembah putrimu !"
Saking girang air muka Kim-ling-cu berseri tawa, dengan
tangannya ia bimbing mereka bangun seraya berkata: "Kalian
siapa yang lebih tua ?" Setelah masing-masing menyebutkan umurnya akhirnya
diketahui Tan Soat kiau menjadi cici berusia delapan belas
tahun, Ling Soat-yan lebih muda setahun menjadi adik.
Adalah merupakan keberuntungan Tan Soat-kiau dan Ling
Soat-yan dapat diambil anak angkat oleh Kim-ling cu yang
berkepandaian hebat itu, Tapi sebaliknya bagi Giok-liong
merupakan hal yang memusingkan kepala.
Dengan adanya Kim-ling cu sebagai sandera, maka
runyamlah keadaan dirinya untuk hari-hari selanjutnya,
Meskipun banyak keberatan yang perlu dikemukakan namun
apakah ia berani buka mulut " Tatkala itulah Kim-ling cu lantas berpaling kearahnya,
ujarnya: "Untuk selanjutnya mereka adalah anak putriku,
kalau kau berani menggoda mereka, awas bukan saja kupatahkan
sepasang kakimu itu, akan kulaporkan juga kepada
gurumu untuk menghukummu berat."
Tersipu-sipu Giik-liong menjura serta sahutnya hormat:
"Mana Wanpwe berani." "Apa kau perlu segera pergi ke Bu-ing-to dilaut selatan
untuk menemui gurumu ?" Giok-liong mengiakan "Apakah ada urusan yang benar-benar penting ?"
"Dalam setengah tahun ini hutan kematian berhasrat untuk
menggerakkan suatu aksi besar-besaran, dengan menyebar
banyak tipu muslihat dunia persilatan untuk memperbudak
kaum persilatan." "Hutan kematian . . . . hutan kematian yang mana "
siapakah pemimpin Hutan kematian itu " Berani dia begitu
sombong dan takabur !" "Hal ini Wanpwe kurang jelas, menurut Liong Bun Liong


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cian-pwe yang mengatakan langsung kepada Wanpwe,
supaya Wanpwe segera menemukan Suhu untuk
mengumpulkan seluruh golongan sealiran untuk berjaga dan
bersiap membendung serangan besar-besaran mereka."
"Hah, jadi Liong-tay-hiap masih hidup?"
"Benar!" "Dimana kau bersua dengan dia ?"
"Didalam hutan kematian !"
"Untuk apa dia didalam sana ?"
"Liong-cian-pwe menyelundup kedalam hutan kematian
sudah hampir seratus tahun, Menurut analisanya bahwa
kekuatan hutan kematian itu, mungkin seluruh aliran dan
golongan persilatan dalam Tionggoan ini tidak satupun yang
kuat untuk melawanya,." Sampai sekarang Kim-ling-cu baru paham dan sadar betapa
penting persoalan ini setelah ia minta penjelasan lebih cermat
dan teliti, lantas ia berkata: "Kau boleh langsung menuju
keselatan mencari Suhumu di pulau bayangan, untuk
merundingkan serta mencari daya upaya, Biarlah dengan
waktu yang masih ada ini kuturunkan beberapa kepandaianku
kepada putri-putriku ini disamping itu juga berusaha
mengundang beberapa kenalan kental dulu untuk berkumpul
di Gak-yang-lo di pesisir danau Tong-king pada malam Cap-go
meh pada tahun akan datang !" Giok liong menjadi girang, dalam-dalam ia membungkuk
tubuh, serta katanya: "Wanpwe minta diri untuk segera
berangkat." Kim ling-cu merenung sebentar, lalu katanya: "Pergilah.
Hati hatilah sepanjang jalan ini supaya jangan terjebak dalam
muslihat orang. Terutama Serulrig sumber nyawa itu yang
paling gampang menimbulkan keonaran."
"Wanpwe sudah paham." sahut Giok-liong memberi hormat
Iagi, Lalu dipandangnya Tan Soat kiam dan Ling Soat yan
bergantian serta katanya: "Adik berdua selamat bertemu !"
memutar tubuh terus berjalan keluar dengan langkah lebar.
Begitulah dilain saat ia sudah keluar dari dalam gua dengan
diiringi pandangan mereka yaag segan dan berat berpisah.
Dibelakangnya sayup-sayup terdengar pesan mereka
berdua: "Engkoh Liong, hati-hatilah di jalan, jangan suka
menimbulkan onar . . ." Dengan langkah cepat laksana terbang Giok-liong terus
berlari-lari kencang menuju arah tenggara, berselang dua hari
kemudian ia sudah memasuki daerah propinsi Sucwan,
sepanjang jalan yang dilalui selalu adalah alas pegunungan,
apalagi setelah memasuki daerah Su-cwan itu, gunung
gemunung saja yang dilalui, lembah yang dalam binatang
buas sering ditemui sepanjang jalan ini. Terutama dipuncakpuncak
pegunungan dengan awan putih mengembang halus
laksana berada ditempat dewa saja. Semakin keselatan pegunungan semakin belukar, jarang
ditemui penduduk sepanjang jalan ini, sehingga sering sampai
berhari-hari ia narus menahan lapar. Tatkala itu matahari
sudah doyong kearah barat menjelang magrib, awan
bergulung gulung gelap angin pegunungan menghembus
keras, Diatas pegunungan yang liar dan sepi ini dimana ia
harus mencari makanan untuk sekedar untuk tangsel perut ini
benar benar bulan soal yang gampang.
Sekonyong konyong dari kejauhan didepan sana terdengar
gema suara auman harimau yang sedang marah. Meskipun
jaraknya rada jauh tapi dari suaranya yang keras dan garang
itu dapatlah diperkirakan bahwa itulah seekor harimau yang
besar tentunya, Entah sedang berkelahi dengan siapa
sehingga binatang itu mengeluarkan gerangan marah yang
keras. Tergerak hati Giok-liong, batinnya: "Dilihat keadaan ini,
terpaksa harus berburu binatang untuk sekedar mengisi perut
yang keroncongan ini." dengan minat yang besar ini bergegas
ia lari kedepan menuju arah datangnya suara auman harimau
itu. Setelah berlari semakin dekat suara gerungan harimau itu
benar-benar sangat keras sampai memekakkan telinga
menggetarkan pegunungan sekitarnya lagi.
Giok- liong berdiri tegak diatas sebuah batu yang menonjol
diatas ngarai, dengan ketajaman matanya ia menyelidik
kebawah yang dipenuhi kabut gelap, samar-samar terlihat
dikeremeng dibawah sana, empat titik sinar terang tengah
mengurung segulung bayangan merah yang sedang
berloncatan dengan gesit dan tangkas sekali.
Sekarang jelas terdengar pula oleh -Giok liong bunyi
pernapasan orang yang rada lemah di bawah jurang sana,
Giok-liong menjadi kaget, pikirnya: "Mungkin ada orang yang
diserang terluka oleh binatang buas ini hingga timbulIah jiwa
kependekarannya, buru-buru ditanggalkan jubah luarnya, lalu
dirogohnya beberapa pulung obat pemunah hawa beracun
terus ditelan ke dalam muIut, setelah menarik napas panjang
lalu merambat turun melalui dinding jurang, keadaan di dasar
jurang ini memang cukup gelap dan remang-remang, suara
gedebukan dan langkah-langkah berat semakin nyata terus
berkumandang saling susul. Giok liong kerahkan Ji-lo untuk
melindungi badan, lalu dari ketinggian puluhan tombak itu ia
melompat turun waktu masih mengapung ditengah udara ia
lolos keluar Kim-pit ditangan kanan.
Waktu kakinya menginjak tanah dimana ia pandang
kedepan seketika ia melonjak mundur. Ternyata keempat titik
sinar terang yang dilihatnya tadi bukan lain adalah dua pasang
mata harimau, kedua harimau ini sama besar dan garangnya
hampir setombak panjang tubuhnya dan setinggi kerbau.
Sambil mendekam dikanan kiri mulutnya menggerung
gerung, kedua ekor mereka tak henti-hentinya disabetkan
diatas tanah dan kekiri kanan, sehingga debu mengepul, batu
dan pasir beterbangan memercikkan lelatu api. Meskipun
gerungannya sangat keras dan garang, tapi naga-naganya
mereka tahu gelagat tidak berani sembarangan bergerak.
Cahaya merah marong itu bukan lain adalah mata tunggal
seekor ular besar yang berkepala menyerupai kepala ayam
jago, sedemikian aneh bentuk kepala ular ini, matanya
memancarkan sinar merah yang berkilau dengan tajam ia
awasi gerak gerik kedua harimau besar dihadapannya yang
sudah siap menyerang setiap saat. Badan ular yang besar dan panjang ini tengah melingkar
menggubat seluruh badan seorang Hwesio tua yang
berjenggot putih duduk bersila diatas tanah.
Mulut Hwesio tua itu menganga lebar mengulum sebuah
benda bundar sebesar kepalan bocah berwarna putih kemilau
laksana perak, agaknya Hwesio tua ini berusaha menelan
benda bundar itu. Tapi karena seluruh badannya tergubat
kencang oleh badan ular, hakikatnya bernapas saja sangat
sukar, mana bisa ia menelan benda di mulutnya itu.
Meskipun seluruh badan tergubat ular tapi kedua tangan
Hwesio tua itu tepat mencengkeram tenggorokkan kepala ular
itu. Pada mulut ular ini juga menggigit sebutir benda bundar
warna putih perak. Benda bundar dimulut ular ini jauh lebih
kecil dibanding yang berada dimulut Hwesio tua.
Kabut beracun bergulung-gulung menyembur keluar dari
mulut ular tapi karena adanya rintangan benda bundar putih
perak yang tergigit dimulutnya itu sehingga semburan kabut
berbisanya ini tidak banyak mengambil keuntungan malah
kehilangan perbawanya. Saban-saban Hwesio tua melepas salah satu tangannya
hendak meraih benda bundar dimulut ular itu. Tapi begitu ia
lepas tangan mulut ular lantas terbuka semakin lebar, agaknya
bisa segera menelan benda bundar itu, malah berpaling dan
kepalanya ku menerjang datang hendak mematuk. Saking
ketakutan cepat-cepat ia cengkeram lagi tenggorokan ular
tempat paling lemas diseluruh badan ular yang terletak tujuh
senti dibawah kepala ular. Kedua harimau besar itu naga-naganya adalah binatang
piaraan si Hwesio tua ini. Berulang kali mereka sudah
bergerak hendak menubruk maju tapi selalu disapu mundur
oleh ekor ular besar yang keras laksana baja itu.
Dengan cermat Giok-liong meneliti dan mengamati benda
bundar dimulut ular dan yang dikulum dimulut si Hwesio tua
itu, akhirnya ia berjingkrak kaget karena kedua butir benda
bundar itu bukan lain adalah Cu-hok-gin-kong -ko, buah sinar
perak ibu beranak yang sudah berusia ribuan tahun yang
merupakan benda pusaka yang paling dikejar-kejar oleh kaum
persilatan umumnya. Kulit dari buah sinar perak ibu beranak ini sangat keras
laksana besi ibu buah lebih besar, itulah yang dikulum dimulut
si Hwe-sio tua, seribu tahun berbuah sekali sedang anak buah
lebih kecil adalah yaitu tergigit di mulut ular, selaksa tahun
baru berbuah. Buah ajaib yang mujarab semacam ini kalau tahu cara
penggunaannya, sedikitnya dapat menambah latihan Lwekang
orang sebanyak seratus tahun lebih! Bagi orang biasa dapat
panjang umur dan tak gampang diserang penyakit.
Tapi kasiat anak buah adalah setingkat lebih besar dan
mujarab dari pada ibu buah nya. Melihat orang dan ular sedang berebutan menelan buah
ajaib yang mujarab ini sampai saling tempur dan bertahan
sekian lama. bukan mustahil akhirnya mereka sama-sama
mampus kelelahan Diam-diam Giok liong membatin dalam
hati: "Hwesio tua itu sungguh cukup tamak dan nyeleweng
dari ajaran sang Budha, sebagai yang suci bersih."
Dalam kejap pemikirannya inilah, dilihatnya keadaan si
Hwesio tua sudah rada payah dan tak kuat bertahan lagi,
cengkeraman kedua tangannya itu semakin lama semakin
kendor dan hampir terlepas, lidah ular sudah semakin
memanjang, senti demi senti menjulur mendesak kearah
mukanya. Diam-diam Giok liong mengeluarkan Kim-pit-siti-piau dari
buntalannya, begitu kakinya menjejak tanafa, badannya lantas
meluncur maju waktu badannya masih terapung ditengah
udara tangan kanannya terus diayun menyambitkan selarik
sinar kuning mas. Ular aneh berjambul seperti ayam jago itu mendadak
merasakan adanya serangan gelap dari luar ini, mendadak
mengeluarkan suara aneh dari mulutnya, seluruh badannya
mendadak merontak keras sekali, sedang buah bundar putih
perak yang digigit di mulutnya itu terus disemburkan kearah
Giok-liong membawa kabut berbisa. Baru saja Giok liong menyambitkan piau potlot masnya
kearah tempat kelemahan dibadan leher si ular aneh
berkepala jambul ayam jago, serentak iapun ayun potlot mas
di tangan kirinya. Sewaktu badannya masih terapung dan
meluncur maju inilah mendadak dilihatnya anak buah sinar
perak yang tengah menyemprot datang itu pecah ditengah
jalan, Sari buah yang berupa cairan putih itu berubah selarik
sinar putin perak menyemprot datang kearah dirinya di
belakang kulit buahnya. Dalam kesibukannya ini Giok liong
tidak sempat banyak berpikir, lekas-lekas ia angkat tangan
kirinya meraih pecahan kulit buah sembari membuka mulut
dan menyedot dengan keras, Maka sari buah yang berupa
cairan warna putih perak itu langsung tersedot masuk
seluruhnya ke dalam mulutnya terus tertelan kedalam perut.
Tepat pada waktu itu juga terdengarlah "cras" disusul pekik
aneh yang mengerikan ternyata piau potlot mas yang
disambitkan Giok-liong itu tepat mengenai tempat kelemahan
dibawah leher ular aneh berkepala jambul ayam itu. Hebat
sekali kekuatan ular aneh itu, meskipun kelemahannya sudah
kena tusuk tapi masih kuat meluncur datang mengejar ke arah
Giok-liong dengan garangnya. Giok-liong pentang kedua lengan tangannya, selarik sinar
kuning lantas berkelebat dan terus meluncur cepat sekali
memapas kearah batok kepala sang ular, seketika terjadi
hujan darah, kiranya potlot mas sambitan Giok liong yang
terakhir inipun dengan telak amblas ke dalam batok kepala
yang berjambui ayam jago itu, serentak dengan aksinya tadi
Giok-liong masih harus membungkuk tubuh sambil lompat
maju, karena saat itu juga terasa angin keras menyampok di
belakang kepalanya, Kiranya buntut ular yang besar dan keras
itu telah menyapu tiba. Diam-diam Giok liong mengeluh, cepat-cepat ia
mengerahkan pinggang berbareng sekuatnya kaki menjejak
tanah sehingga tubuhnya melejit tinggi ke tengah udara.
Gerakan yang tepat dan indah ini berhasil meloIos keluar pula
sebatang potlot mas lainnya terus disongsongkan ke belakang.
"Plok" benturan keras terjadi, seketika Giok liong rasakan
seluruh lengannya tergetar linu dan luar biasa, kontan
badannya juga lantas meluncur jatuh.
JIlid 10 Disebelah sana dengan mengeluarkan suara gemuruh
sepanjang badan ular yang besar itu juga terbanting keras di
tanah terpaut beberapa langkah saja di sebelah tubuhnya,
seketika bergulingan dan berkelejetan meloncat-loncat
menimbulkan debu dan kerikil beterbangan sekian lamanya
baru berhenti dan melayanglah nyawanya.
Karena sudah menelan obat pemunah hawa beracun
pemberian suhunya yang bernama Pit-tok-tan, Giok-liong
sudah tidak usah kwatir lagi menyedot hawa berbisa yang di
semburkan dari mulut ular. Dengan cekatan dicabutnya potlot
mas serta membungkuk mengambil piau kecil yang tertancap
di bawah leher ular itu bersama terus dimasukkan ke dalam
buntalannya. Sementara itu si Hwesio berkesempatan menggigit pecah
Gin-kong-bok-co (ibu buah sinar perak), setelah menyedot
habis sarinya, sepasang matanya lantas memancarkan sorot
kebuasan yang garang berkilat-kilat, Pada saat itu dilihatnya
Giok-liong tengah membungkuk menjemput sesuatu dari
kepala ular aneh itu, maka segera ia menghardik bengis:
"Tahan." berbareng tangannya menyambitkan kulit buah yang
berubah sinar perak langsung menyerang jalan darah Pak-simhiat
di punggung Giok-liong, bersama itu tangkas sekali iapun
meloncat menubruk membawa serangan membadai dengan
pukulan dahsyat dari tengah udara. Demikian juga kedua ekor harimau besar itu berbareng
menggereng keras bergetar terus menubruk kearan Giokliong.
Sungguh mimpi juga Giok-liong tidak mengira
pertolongannya secara berbahaya tadi bukan saja tidak
mendapat simpatik atau tanda penghargaan malah orang


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membalas air susu dengan air tuba, serentak turun tangan
menyerang dia mengancam jiwanya. Dalam keadaan yang serba kritis begini tiada banyak
kesempatan untuk berpikir Secara gerak reflek ia ayun tangan
kirinya, maka kulit anak buah bersinar perak lantas meluncur
dengan kecepatan yang susah diukur bersama dengan
gerakan tangan ini badannya juga ikut menggeliat terus
melambung tinggi ketengah udara dari celah-celah diantara
kedua harimau yang persis menubruk tiba dari atas kepalanya.
Dalam pada itu si Hwesio tua yang masih mengapung di
tengah udara begitu melihat Giok-liong menyambitkan selarik
sinar putih perak, hatinya lantas mengeluh lirih: "Celaka !"
Badannya mendadak jumpalitan balik terus meluncur turun
sambil mengulur tangan meraih kearah kulit anak buah sinar
perak yang meluncur datang. Sayang sekali sedetik sebelum tangannya berhasil
menangkap kulit buah itu tahu-tahu terdengar suara "pyaarrr",
yang halus, samar-samar percikan cahaya putih perak
berkembang ditengah udara lantas terendus bau harum
semerbak merangsang hidung. Begitu tangannya meraih tempat kosong, sepasang mata
Hwesio tua lantas memancarkan sorot kebuasan yang penuh
nafsu membunuh. Begitu kaki menginjak sekali tutul lagi,
badannya lantas menggeliat dengan gaya yang indah sekali
melompat maju mengejar sambil membentak gusar: "Bunuh !"
tapi kali ini bukan meluruk kearah Giok-liong sebaliknya
melambung tinggi terus menubruk kearah ular aneh yang
setengah sekarat itu. Sekali tangan terayun, lantas terlihatlah
sinar dingin berkeredep "cras" suara sannberan enteng ini
menimbulkan cahaya merah mengalir dan berputar, tahu-tahu
digenggaman tangannya sudah menyekal sebutir mutiara
merah sebesar kepelan tangan kecil yang berkilauan.
Tepat pada saat si Hwesio tua berseru dengan teriakan
"Membunuh" tadi. Kedua ekor harimau besar itu lantas
mengabitkan ekor masing-masing sambil menggerung sekeras
kerasnya sampai menggetarkan tanah pegunungan
sekelilingnya, Dengan membawa bau amis yang memuakkan
serentak mereka menubruk kearah Giok-liong.
Keruan Giok-liong menjadi gusar, sedikit kakinya menutul,
ringan sekali badannya lantas melompat mundur tiga tombak
jauhnya, bentaknya dongkol: "Toa-suhu, apa-apaan
kelakuaamu yang ingin melukai orang tanpa sebab ?"
Dalam pada itu si Hwesio tua juga tengah berdiri tegak lalu
membentang telapak tangannya, dengan cermat ia awasi
mutiara ular merah yang berada di telapak tangannya, Dilain
saat ia lantas masukkan mutiara pusaka ini kedalam
buntalannya, wajahnya mengunjuk rasa puas dan gembira.
Tapi di lain saat tiba tiba air mukanya berubah gelap,
gerungnya rendah: "Berhenti !"
Benar juga kedua ekor harimau besar itu segera
menghentikan aksinya, tapi mereka mendekam ditanah
dengan gaya siap menerkam begitu mendengar aba-aba dari
tuannya, Tajam dan cermat si Hwesio tua mengamati Giokliong,
samar-samar air mukanya sedikit mengunjuk rasa kejut
dan heran tapi ini hanya terjadi dalam kilasan saja, maka
dilain saat air makanya semakin memberengut, tanyanya
dengan tiada berat: "Siau-si-cu telah merusak anak buah sinar
perak wi-iinku, cara bagaimana kau harus menggantinya ?"
Giok-liong menjadi tidak senang, tanyanya balik: "Jikilau
Toa-suou tadi meninggal keperut ular aneh itu lantas cara
bagaimana penyelesaiannya ?" Hwesio tua mendengus hidung, jengeknya: "LoIap percaya
tidak akan tertelan keperut ular."
Jelas tadi Toa suhu sudah tidak kuat bertahan, dalam
keadaan yang gawat demikian, jikalau Cayhe tidak lekas-lekas
turun tangan, paling tidak Toasuhu tadi sudah berkenalan
dengan ciuman ular berbisa tadi."
"Lolap tadi hanya berledek saja dengan ular, bukan saja
Sian-si-cu telah membunuh barang permainanku, malahan
merusak buah ajaibku lagi, Dengan dosamu ini kalau Lolap
tidak turun tangan rasanya belum terlampias rasa dongkol ini
!" Giok liong semakin menjadi dongkol dan gemas pikirnya:
"Dijagat ini kiranya ada juga orang beribadat yang tidak kenal
aturan begini." Terdengar Hwesio tua itu membuka mulut lagi: "Siau-si-cu
apakah kau ini murid To ji Pang Giok ?"
Giok-liong manggut-manggut, tanyanya: "siapakah nama
julukan Toa-suhu ini ?" Si Hwesio mendehem dulu lalu menjawab: "Go-bi Goanhwat
itulah Lolap ada-nya, dulu pernah bertemu sekali dengan
gurumu. " Goan-hwat Taysu adalah Susiok dari Hian Goan Taysu
Ciang-bunjin Go-bi-pay sekarang, Kepandaian silatnya tinggi
dan lihay, tapi wataknya aneh dan suka sirik dan berat sebelah
berhati tamak dan loba, Kelakuan yang buruk ini memang
sudah menjadi rahasia umum bagi kalangan kaum persilatan.
Menurut aturan, tingkat kedudukannya setingkat lebih rendah
dari To-ji Pang Giok, namun dia sendiri mengangkat diri
dengan sebutan setingkat dalam jajaran para angkatan tua.
Dari sini bolehlah kita bayangkan betapa congkak dan
sombong serta takabur sifat buruknya ini.
Giok-liong bersikap dingin, katanya: "Kalau Taysu tidak ada
petunjuk lainnya lagi baiklah Caybe segera minta diri."
Goan-hwat Taysu menyeringai katanya: "LoIap ada dua
jalan boleh Siau si-cu pilih." Giok-liong bersikap sungguh,
tanyanya: "Kenapa ?" "Ganti kerugian Lolap tadi."
"Hoo, cobalah Taysu sebutkan dulu!"
"Syarat pertama, serahkan seruling samber nyawa itu untuk
kupinjam selama setahun, Kedua, dengan batok kepala Siausi-
cu sebagai ganti rugi." Seketika berkobar hawa marah Giok-liong, coba pikirkan
dengan menempuh bahaya tadi dirinya telah menolong jiwa Si
Hwesio ini, sekarang Goan-hwat Taysu sebaliknya berkata
demikian mengancam bukan kah bisa bikin orang mati saking
jengkel " Saking marahnya Giok-liong tertawa bahak-bahak, ujarnya:
Sungguh merdu dan enak didengar ucapan Taysu ini. Kalau
mampu marilah silakan turun tangan sendiri."
Goan hwat Taysu mendengus ejek, katanya: "Kalau benarbenar
harus Lolap sendiri yang turun tangan, jiwa Siau-si-cu
ini sudah pasti harus diserahkan. Marilah, lebih baik kita bicara
dan berdamai saja. silahkan serahkan Seruling samber nyawa
itu dan selanjutnya kita menjadi sahabat."
Ucapan Goan-hwat ini semakin mengobarkan kemarahan
Giok-liong, seketika air mukanya berubah dingin membeku
bersemu merah, desisnya geram: "Ji-bun Tecu Ma Giok-liong.
Minta pengajaran lihay dari Taysu !"
Mendadak Goan-owat Taysu mendongak serta bergelakgeiak,
serunya takabur: "Kau bocah kurcaci ini masa menjadi
tandingan LoIap . . ." belum habis kata-katanya mendadak ia
mengebutkan tangannya, segulung angin pukulan lantas
menderu keluar menerpa dengan dahsyat.
Serentak dalam waktu yang sama, kedua ekor harimau itu
menggerung keras, buntutnya yang panjang dan besar itu
lantas menyabet tiba, berbareng mereka menubruk, maju dari
kanan kiri, ini betul betul merupakan suatu penghinaan bagi
Giok-liong, memandang rendah dengan menyuruh
binatangnya menyerang. Betapa takkan murka hatinya, maka
sambil berkekanan panjang suaranya mengalun tinggi, jubah
panjang tangannya dikebutkan, badannya lantas melayang
enteng sekali, berbareng Ji lo dikerahkan sampai tingkat
kesepuluh jurus Cin-chiu juga lantas dilancarkan.
Gerungan harimau menggetarkan bumi angin menderuderu,
awan putih berkelompok-kelompok mengembang terus
memapas kedepan. Goan hwat Taysu berteriak kejut : "Celaka, mundur!"
Lengan bajunya yang panjang lebar cepat-cepat dikebutkan
badannya juga ikut meluncur tiba secepat burung terbang,
Sayang ia bergerak lambat setindak, masih ia terapung
ditengah udara, terdengarlah gerung keras kesakitan dari
kedua binatang piaraannya itu. Darah muncrat kemana-mana, berbareng kedua ekor
harimau besar itu terbang terpental kedua jurusan sejauh
puluhan tombak terus terbanting keras ditanah, seketika
keempat kakinya menghadap langit dan jiwanya melayang.
Goan hwat Taysu menggeram murka, hardiknya : ,,Berani
kau membunuh binatang cerdik penunggu gunungku, Go Bipay
tak berdiri sejajar dengan bocah keparat macam
Bentrok Rimba Persilatan 10 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Bentrok Para Pendekar 28
^