Seruling Samber Nyawa 8

Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Bagian 8


daianmu dibanding Ci- hu-sin-kun?"
Cep celakep Ciong lam koay-to menjadi bungkam seribu
basa, Sudah tentu Thian-san sam kiam juga menjadi malu,
kalian lama mereka menjadi kikuk dan keki, akhirnya Ka Liang
kiam mencari alasan belaka: "Omong kosong belaka tak
berguna, To heng! Kejar bocah itu lebih penting."
Inilah kesempatan untuk menarik muka, sudah tentu
Ciong-latn-koay-to menjadi ber-semangat:" Ya betul, mari kita
kejar !" lalu beriring mereka melompat keluar jendela.
Melihat tiada sesuatu yang perlu digondeli di tempat ini,
tanpa bersuara apa-apa Hiat ing-su-ai saling memberi syarat
kedepan mata, serentak mereka mengapung tubuh menerjang
keluar juga terus menghilang di kejauhan sana.
"Kalian boleh kejar!" ejek Bik-lian hoa, "kuharap kalian tidak
ketemu, ini terhitung untung kalian!" Tanpa pamit lagi ia
melayang keluar terus menghilang. Sete!ah mereka pergi Thian-san sam kiam mendesak
kepada Siau-lim Ciang-bun Hian-khong Taysu: "Taysu adalah
Bing cu dari partai sembilan besar aliran lurus, urusan kali ini
bukan sembarang urusan, betapa juga jangan menggendong
tangan tinggal menonton saja" "Ai!" Hian-khong menghela napas panjang, Alisnya berkerut
dalam, katanya penuh prihatin: "Urusan ini harus kita
rundingkan dan hadapi dengan hati-hati. Bencana besar yang
menimpa Kangouw sejak ratusan tahun agaknya mulai kumat
lagi, ini bukan kekuatan Lolap seorang dapat mengatasinya."
"Maka itu marilah kita pikirkan bersama cara bagaimana
harus membendung bahaya ini." Demikian seru Thian san
sam-kiam bersama. Hian-khong Taysu tertawa getir, katanya sambil manggutmanggut:
"Maksud Pinceng, seumpama kita gabung seluruh
kekuatan sembilan besar aliran lurus juga belum tentu dapat
berlawanan dengan para iblis laknat yang mengganas itu !
Maka . . ." sekian lama ia merenung tak kuasa ambil
keputusan yang positip. "Kalau begitu kita hidup berdikari secara untung-untungan
saja, Mari pulang !" ujar Ka Liang-kiam sambil tertawa ejek.
"Omitohud ! Mari kita juga pulang gunung !" serentak dua
belas murid besar Siau-lim pay merangkap tangan bersabda
Buddha sambil meramkan mata, mengiring di belakang Ciang
bunjin mereka terus berjalan keluar melalui mayat-mayat yang
bergelimpangan dibiara besar Sam ceng koan ini terus turun
gunung. Sementara itu Giok-liong yang mengerahkan seluruh
tenaganya mengembangkan Leng-hun-toh dengan kecepatan
kilat meluncur, sekejap mata saja sedikitnya sudah puluhan li
ditempuhnya. Namun bayangan kuning didepannya itu masih
berjarak tiga empat puluh tombak, begitu lincah dan pesat
sekali dari bayangan itu hahikatnya tiada niat hendak berhenti.
BegituIah kejar mengejar terus terjadi akhirnya Giok-liong
merasa akan keganjilan keadaan yang ditempuhnya ini.
Ternyata gerak langkah bayangan kuning didepan itu cepat
atau lambat memang sengaja dilakukan, mengikuti perobahan
Leng hun-toh dirinya yang dikembangkan ini.
Terang bayangan kuning ini memang sengaja hendak
memancing dirinya. Apakah ia hendak memancing aku masuk
ke dalam perang-kapnya " Sekilas pikirannya ini menjadi hati Giok-liong yang berdarah
panas menjadi dongkol, keinginan menang sendiri membara
dalam benaknya, serentak ia empos semangatnya dan himpun
tenaga sampai tingkat ke sepuluh, sedikit saja pundaknya
bergoyang, bayangan tubuhnya laksana segulung asap
mengembang meluncur lebih cepat lagi berapa lipat ganda.
Bayangan kuning didepan itu agaknya rada terkejut
ditengah udara ia bergaya indah berjumpalitan terus
membelok kesamping terus meluncur kepuncak sebuah bukit
yang terjal dan tinggi, nyata gerak geriknya ini juga tidak
kalah pesatnya. "Seumpama harus menerjang rawa naga dan sarang
harimau juga harus kulakukan !" demikian Giok-liong berpikir
dalam hati, sedikitpun tidak kendor pengejarannya, Tanpa
disadari kini ia telah kembangkan tenaganya sampai puncak
kedua belas, suatu hal yang belum pernah dilakukan selama
ini. Bayangan kuning didepan itu secara tiba tiba putar balik
dan meluncur dengan cepat sekali, Giok-liong yang berada
dibelakang mengejar dengan penuh nafsu, karena tidak
sengaja hampir saja mereka saling bertubrukan ditengah
udara, kedua belah pihak sama-sama berseru kejut, begitu
saling sentuhan lantas berpisah. Bayangan kuning berdiri
terlongong disebelah sana, Demikian juga Giok-liong menjadi
mengeluh heran. "Malam telah larut dilembah pegunungan yang sepi ini,
kenapa tuan mengejar aku sedemikian kencang, apa maksud
tujuanmu?" suaranya merdu lincah menggerakkan lidah lagi
seumpama burung kutilang tengah berkicau, bukan saja
nyaring merdu, malah mengandung daya sedot yang
mempesonakan menjadikan perasaan orang ringan dan
berangan-angan: "Hai, mengapa kau tidak bicara?"
Berkedip-kedip Gionk-Iiong mengamati bayangan kuning
itu, Tampak olehnya bahwa bayangan kuning tadi kiranya
adalah seorang gadis remaja belia yang mengenakan pakaian
serba kuning ala dayang-dayang dikraton kerajaan, baju yang
longgar itu dihembus angin melambai-lambai ditambah rambut
sanggulnya yang meninggi raut mukanya lonjong bundar telur,
alisnya melengkung laksana bulan sabit menaungi sepasang
mata yang bundar bening kemilau, hidung mancung bibir tipis
seperti delima merekah, sikapnya agung seperti tertawa, jadi
sukar diraba perasaan hatinya. Gadis cantik semampai yang bersikap agung
mempesonakan ini tak ubahnya seperti bidadari yang turun
dari kahyangan. "Hai apa kau seorang juri yang sedang menilai pragawati,
Aku bukan sedang beraksi!" ucapan yang nyaring tawar,
seketika membuat selebar muka Giok-liong merah padam.
Agak lama kemudian baru ia menjilat-jilat bibir dan batuk
batuk, katanya: "Di Sam ceng-koan tadi, kau. . ."
Tak kuduga si gadis sudah menyenggak lebih dulu: "Kim
pit-jan-hun! Kau kan bukan Tosu, urusan di Sam ceng-koan itu
lebih baik kau jangan turut campur!"
Giok-lioug tersurut mundur dengan kaget, tanyanya: "Kau
kenal aku?" Gadis remaja itu tertawa kering cekikikan, sahutnya: "Siapa
yang tidak kenal Kim-pit-jan-hun Ma Giok-liong yang namanya
sudah tenar cemerlang di tengah jagat ini!"
Giok liong menjadi rikuh, katanya: "Nona. . ."
"Aku dari aliran Ui hoa-kiau!"
Giok liong lebih tercengang, Ui-hoa-kiau atau agama
kembang kuning ini adalah suatu aliran luar lain yang sejajar
dan kenamaan bersama Bu-lim-su-bi dulu, ratusan tahun yang
lalu sudah menggetarkan Bulim. "Kaucu Ui-hoa kiau sekarang bernama Kim Eng, berwatak
aneh diantara lurus dan sesat, banyak akal muslihatnya,
seorang yang tidak mempunnyai pendirian tetapi suka bekerja
melihat jurusan angin, selamanya bekerja seorang diri. Karena
terlalu banyak perbuatannya yang tercela sehingga seluruh
kaum persilatan dari golongan hitam dan aliran lurus sangat
membenci dan hendak melenyapkan kumpulan jahat ini dari
muka bumi. Sungguh tak nyana setelah sekian lama
memendam diri kini mulai muncul lagi di-kalangan Kangouw."
Bercekat hati Giok-liong, sebab Hutan kematian Mo-kok,
(Sarang iblis) serta Istana beracun tiga aliran besar persilatan
golongan jahat yang sudah sekian lamanya mengasingkan diri
dari keramaian dunia sekarang mulai bermunculan kembali
ditambah Kim-i dan Hiat-hong-pang, menjadikan situasi dunia
persilatan semakin gawat dan kacau balau.
Sekarang kalau Ui-hoa-kiau jaya kembali, maka dunia
persilatan bertambah sealiran golongan iblis laknat sumber
bencana, maka tidaklah heran dan tidak perlu disangsikan lagi
pembunuhan berdarah dalam kalangan Kangoaw bakal terjadi
sawaktu-waktu. Demikianlah karena kekuatirannya dan Giok-liong menjadi
tunduk berpikir dan menerawang tindakan apa yang harus
dilaksanakan sehingga ia terlongong berdiri di tempatnya.
"Siau-hiap, kenapa kau " semalaman suntuk kau mengejar
aku, kenapa malah bungkam ?" "Karena urusan yang terjadi di Sam-ceng koan itulah !"
"Bukankah sudah kukatakan bahwa para Tosu di Sam cengkoan
itu semua adalah laki-laki palsu belaka. Lahirnya mereka
mensucikan diri, tak tahunya secara diam-diam dengan jalan
belakang saling rebutan kedudukan dan tamak jabatan, siangsiang
mereka sudah setimpal untuk diberantas seluruhnya !"
"Tapi perbuatan kalian ini kenapa sampai menyangkut
diriku ?" "Oh, jadi kau takut kena perkara ?"
"Takut " Apa yang perlu kutakutkan ?"
"Kalau tidak takut peduli apa ?"
(BERSAMBUNG JILID KE 14) Jilid 14 Gadis remaja ayu jelita serba kuning itu unjuk senyum
manis lalu putar tubuh, pelan-pelan ia berlenggok menuju
kesebuah jalanan gunung. Sang putri malam tengah
memancarkan cahayanya yang gemilang, pemandangan alam
semesta malam nan sunyi ini bertambah semarak dan
mempesonakan. Giok-liong mencuri lihat bayangan punggung gadis jelita
yang sedang berlenggok itu, sedemikian gemulai ia berjalan
seakan-akan bidadari tengah menari dibawah sinar bulan
purnama, sungguh indah cantik molek lagi.
Sesaat Giok-liong menjadi terlongong-longong kesima,
teringat olehnya akan istri tercinta yang masih ketinggalan di
Hwi-hun-san-ceng, bukankah saat-saat mereka berpisah juga
di waktu bulan purnama begini. Dirabanya saputangan pemberian sang kekasih yang penuh
kenangan itu, tak terasa ia menghela napas sedih, pikirnya :
"Kapan baru aku dapat membikin terang riwayat hidupku,
menuntut balas sakit hati keluarga, melenyapkan awal ilalang
bencana yang bakal menimpa Bulim, lalu kembali ke Hwi hunsan
cheng berkumpul dan hidup bahagia bersama istri
tercinta. Remuk luluhlah angkara murka yang selama ini menghantui
sanubari Giok-liong yang selalu dikejar keributan, Akhirnya ia
menghela napas lalu membalik tubuh hendak tinggal pergi.
"Hendak kemana kau ?" sebuah seruan nyaring merdu
disusul bayangan kuning berkelebat tiba-tiba gadis remaja
baju kuning itu telah menghadang dihadapannya.
Lagi-Iagi bercekat hati Giok-liong timbul kesiap siagaan
dalam hatinya, Ji lo dikerahkan sehingga mega putih mulai
menguap keluar keluar dari badannya, matanya menyapu
pandangan, katanya: "Jadi kau bermaksud merintangi aku?"
"Yang terang adalah kau yang mengejar aku bukan?"
"Sekarang aku tidak perlu mengejar lagi." setelah berkata
Giok-liong melangkah maju melewati sisi samping gadis serba
kuning terus berjalan turun gunung.
"Hm, hm! " jengek dan tertawa dingin keluar dari mulut
gadis baju kuning yang tnung!h Giok-liong jadi tersentak
berhenti: "Apa yang kau tawakan?" tanyanya.
"Aku geli dan kecewa karena mataku buta melek, salah
mengenal orang." Giok-liong semakin tak mengerti dan garuk-garuk kepala
yang tidak gatal, tanyanya selidik: "Apa maksud ucapan ini?"
Terdengar suara sesenggukan terlihat pula si gadis
rupawan itu tengah menyeka matanya dengan ujung lengan
bajunya, terang bahwa ia yang sedang menangis, agaknya
hatinya sangat rawan dan sedih sekali sampai tak tertahan ia
sesenggukan semakin keras. Diatas pegunungan yang sunyi pada tengah malam,
dibawah pancaran sinar sang bulan purnama terdapat seorang
gadis remaja yang rupawan ini sudah sangat janggal dan
mengherankan. Tapi justru sesenggukan tangis si gadis ini
lebih aneh Iagi. Terpaksa Giok-liong tidak bisa tinggal pergi begitu saja,
urusan banjir darah di Sam ceng-koan boleh dikesampingkan.
Sebaliknya gadis jenaka ini mengapa rnendadak menangis ini
harus dicari tahu: "Nona, kenapa kau?"
"Jangan tanya aku!" Urusan di dunia ini sungguh sangat
aneh dan ganjil sesuatu yang ditanyakan kalau tidak
dijelaskan semakin menarik perhatian.
Maka Giok-liong melangkah setindak serta desaknya:
"Apakah kau punya sesuatu kesukaran?"
"Peduli apa dengan urusanmu?"
"Mungkin aku yang rendah dapat membantu sekuatnya
untuk mengatasi kesukaranmu itu."
"Semula memang aku berpikir begitu, maka besar sekali
harapanku !" "Lalu sekarang bagaimana ?""
"Lenyap dan sirna sudah harapanku itu, menjadi kosong
belaka." "Kenapa bisa begitu ?" Gadis baju kuning mendongak melihat rembulan, air mata
meleleh deras membasahi pipinya, sebelum membuka suara ia
menghela napas rawan, lalu ujarnya penuh duka: "Selama
puluhan tahun aku hidup merana dan penuh dengan derita,
Belum lama ini aku dengar berita akan munculnya seorang
pendekar besar di kalangan Kangouw, maka kuimpikan untuk
bertemu dengan kau, ingin aku minta bantuanmu untuk
menolongku keluar dari serangan derita yang menyiksa badan
ini. Maka kutempuh suatu bahaya, melanggar pantangan atau
disiplin agama memancingmu datang kemari, Tak duga kau
ternyata bernama kosong belaka, tak lain seorang yang
bersikap dingin mengenal ..," sebetulnya ia hendak
mengatakan tak mengenal kasih. Tapi agakaya rada likuk dan
malu maka ditelannya kembali setelah jelas ia sesenggukan
lagi semakin sedih, air mata tak terbendung lagi.
Giok liong seperti orang linglung tak dapat menyelami
penjelasan orang tanpa juntrungan ini, katanya sekenanya:
"Aku tidak paham apa maksudmu!"
"Sudah tentu kau takkan paham !"
Gadis baju kuning menyeka air matanya lalu menunjuk
delapan dedaunan warna hi.jau yang menghias mukanya serta


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata dengan sedih: "Meskipun didalam Ui-hoa-kiau
kedudukan hanya setingkat dibawah Kaucu, Tapi penderitaan
batinku serta tempaan lahiriah yang penuh kegetiran ini
siapapun takkan tahu !" "Nona punya ganjalan hati apa, silakan jelaskan . . ."
"Apa gunanya" Semula, harapan satu-satunya kulekatkan
pada dirimu. sekarang ai . . ."
Dasar GioK-"iong seorang lugu tak tahu ia harus bicara dari
mana, katanya tertawa getir sembari mengelus-elus leher.
"Siapa tahu Tuhan maha pengasih, akhirnya aku bisa
jumpa dengan kau. Wah, haha hahahaha. . ."
Gadis baju kuning tertawa menggila, belum selesai ia
tertawa mulutnya sudah berteriak keras, "Melihat lebih
kenyataan dari pada mendengar Tak lebih hanyalah harimau
kertas melulu, sia-sialah aku berdaya upaya menempuh
bahaya melanggar peraturan agama. sekarang selain
kematian, adakah harapan untuk hidup bahagia?" berkata
sampai ucapan sedih yang mengetuk sanubari tak tertahan
lagi, ia menggerung gerung. Mendadak ia angkat tangan kanan serta membalikkan
telapak tangan terus mengepruk kebatok kepala sendiri seraya
berteriak memilukan: "Ayah! Ibu, harap maafkan anakmu
yang tidak berbakti ini. Dendam sakit hari kalian sela ma hidup
ini sulit lagi untuk menuntut balas." kalau hantaman tangan
sendiri itu benar-benar sampai telak mengenai sasarannya
pasti jiwanya itu bakat melayang dan tamat diatas gunung
yang semak belukar ini. "Nanti dulu! "bayangan putih memburu maju coba
mencegah. "Hahahaha, bocah bagus, tepat sekali dalam dugaan,
hahahaha!" Seiring dengan gelak tawa yang menggelegar ini, empat
bayangan merah kecil saling susul mendarat tiba, kiranya
bukan lain adalah enpat manusia cebol dari Hiat-ing-bun.
Begitu Hiat-ing-su-ai muncul seketika merah jengah selebar
muka Giok-liong, mulutnya terkancing sementara tangannya
masih menyekal lengan gadis baju kuning.
Salah seorang manusia cebol itu menggoyangkan kepala
serta berkata: "Elmaut kematian sudah diambang mata masih
mata keranjingan menggoda perempuan !"
PuIang pergi selalu dipanggil bocah ingusan menjadikan
Giok-liong bertambah berang, ia lepas genggamannya sembari
berkata lirih: "Nona jangan lagi mencari jalan pendek,
persoalanmu nanti kita bicarakan lagi. Biar kugebah dulu para
kurcaci ini." sembari berkata ia tatap wajah gadis baju kuning
penuh arti seperti menelan pil penenang syaraf gadis baju
kuning kontan unjuk senyum dan hilanglah rasa sedih,
sahutnya aleman : "Baik !"
Di sebelah sana terdengar Hiat-ing-su ai berseru bersama:
"serahkan seruling samber nyawa, terserah kau hendak
mengumbar nafsu, kita berempat tidak akan mengganggu mu
lagi." Giok-liong mengudal gelak tawa sekeras-kerasnya saking
marah, kabut putih mulai menguap, cahaya perak mulai
terpancar dari badannya. Diam-diam Giok liong sudah kerahkan Ji lo untuk
melindungi badan serta merta kedua tangannya bergerak
setengah lingkaran sembari berkata dengan nada berat:
"Mana ada urusan begitu gampang, seumpama ada juga tidak
menjadi giliran kalian, sungguh igauan belaka."
Sekonyong-konyong cahaya merah darah terpancar
melebar keempat penjuru, ditimpa sinar sang putri maIam
menjadi ribuan ombak bayangan darah bergelombang.
Kiranya dalam sekejap ini keempat orang cebol ini sudah
saling memberi syarat serentak mengerahkan ilmunya untuk
menyerang bersama. Mega putih bergulung berjubel semakin tebal menyelubungi
sinar putih perak yang menyolok mata, sebuah telapak tangan
putih halus bergerak kalem dan menari indah berseliweran
lincah sekali. "Sret, sret," sekejap mata saja Giok-Iiong sudah lancarkan
delapan belas kali tipu pukulan yang dahsyat menyerang
keempat musuhnya di empat penjuru. Terdengar pekik keras berbareng, bukan mundur Hiat ingsu-
ai malah merangsak maju menerjang kearah gulungan
mega putih sambil lancarkan juga pukulan hebat. Harus
diketahui bahwa kedudukan Hiat-ing-su-ai dalam golongan
Hiat ing-bun hanya setingkat lebih rendah dari Cong-cu
mereka, Lwekang dan kepandaian silatnya rata-rata punya
latihan dan kehebatannya sendiri-sendiri.
Meskipun belum mencapai titik sempurna namun juga
boleh dikata sudah mencapai puncak yang boleh dibanggakan
jauh lebih tinggi dari golongan tokoh kosen kelas satu di
kalangan kangouw Tatkala mana Su-ai bergabung mengeroyok maka betapa
hebat perbawa tenaga gabungan mereka bukankah main-main
belaka, Sinar darah masih bergerak seperti ujung panah,
berputar lincah menusuk cepat, sebaliknya pukulan tangan
juga begitu rapat dan ganas sekali.
Mendadak gerungan aneh serentak berbunyi dari empat
penjuru, bayangan hitam jauh bergerak lincah cepat sekali
laksana angin badai menerpa. Sebaliknya pihak lawan mandah tertawa dingin saja,
bayangan putih juga ikut berputar cepat, angin ribut menderu
deras sehingga udara sekitar gelanggang menjadi gelap oleh
debu dan pasir yang beterbangan menjadikan suatu
pemandangan indah dan menakjupkan diatas pegunungan
yang sepi. "Blang", "blum", Ledakan dahsyat menyebabkan Hiat-ingsu-
ai masing-masing terpental surut ke belakang tujuh kaki
jauhnya namun kedudukan serta kuda-kuda mereka masih
berada di tempat semula, sebaliknya Giok liong kelihatan
masih berdiri tegak dengan tenangnya, kedua tangan
bersilang melindungi dada. Tadi kedua belah pihak sudah mengadu seluruh kekuatan,
boleh dikata masih sama kuat belum kentara pihak mana yang
lebih unggul atau asor. Masing-masing pihak mempunyai
perhitungan serta pengukuran atas standart kepandaian
lawan. Mendadak salah seorang manusia cebol itu mendelikkan
matanya yang kelihatan buas seperti biji mata ikan, suaranya
bergetar seperti bunyi kokok-beluk: "Lenyapkan dia dengan
sinkang !" tiga kawannya yang lain segera mengiakan
serentak : "itulah jalan satu-satunya."
Serentak keempat cebol menggerakkan kaki tangan sampai
berbunyi keretekan, mata mereka lantas memancarkan sinar
warna merah darah, demikian juga air mukanya menjadi
merah gelap, Hiat-ing-kang memancarkan cahaya merah
laksana jaringan rapat mengapung sekeliling Giok-liong. Hawa
udara menjadi buntu seperti didalam ruangan tertutup rapat.
Seketika Giok-liong merasa pernapasannya sesak,
pembuluh darahnya menjadi membeku darah susah mengalir.
Cepat-cepat ia empos semangat mengerahkan hawa murni Ji
lo berkembang melindungi sekitar badannya.
Cahaya putih cemerlang yang terbungkus oleh merah darah
semakin mengecil mengkeret seperti sebutir sinar mutiara
yang kemilau menyilaukan mata. Mega putih semakin teba.
Demikian juga bayangan merah darah itu semakin marong.
Hiat-ing su-ai mempercepat pengarahan ilmunya, dari
delapan telapak tangan mereka masing-masing melesat keluar
delapan jalur cahaya panah. Mendadak serentak mereka
menggembor keras, empat bayangan mereka merangsak
bersama, cahaya panah dari delapan telapak tangan mereka
kontan menerjang kearah buntalan mega putih yang
membungkus cahaya sinar perak. Terdengar kumandang gelak tawa panjang yang
menggetarkan isi seluruh alam semesta ini, "Dar..!" Gemuruh
laksana gugur gunung, darah beterbangan tercecer kemanamana,
mega putih luber menjulang tinggi ke tengah udara.
Bayangan orang lantas terpencar mundur sambil mengelak
kesakitan. Kini Hiat ing su ai sudah mundur tiga tombak, ujung mulut,
hidung dan mata mereka berlepotan darah, Serempak mereka
berteriak: "Gigit lidah semprotkan darah!"
Bercekat hati Giok-liong. Gigit lidah menyemprotkan darah
merupakan suatu ilmu jahat dan paling ganas dari golongan
Hiat-ing-bun mereka. Ilmu ini merupakan pusaka terakhir bagi mereka yang
sudah kewalahan menghadapi musuh, tidak dalam keadaan
terpaksa biasanya jarang dan terlarang keras menggunakan
ilmu yang berrcjn ini. Sebab setitik saja pihak musuh terkena semprotan darah
ini, selama tujuh kali tujuh jam seluruh badan akan membusuk
menjadi genangan darah. Apalagi tiada obat pemunahnya,
bagi yang terkena terang jiwa sukar tertolong lagi.
Sudah tentu orang yang melancarkan ilmu ini juga pasti
kehabisan hawa murni dan menjadi lumpuh, sedikitnya
kehilangan daya latihan selama tiga empat tahun.
Sekarang agaknya Hiat-ing-su-ai sudah merasa kewalahan
dan gusar busan main, terpaksa mereka melancarkan ilmu
gigit lidah menyemprotkan darah yang sangat berbahaya itu.
Giok liong menghardik keras: "Hiat-ing-bun tiada dendam
permusuhan dengan aku, kalian hendak melancarkan ilmu
jahat, adakah harganya?" Tertua dari keempat cebol membentak gusar: "Biia tidak
mendapatkan seruling samber nyawa pihak Hiat-in-bun
bersumpah tidak akan lepas tangan."
"Baik, terpaksa aku adu jiwa dengan kalian! inilah seruling
samoer nyawa disini!" Serempak sorot kuning dan cahaya
putih berkelebat tahu-tahu Giok-liong sudah mengeluarkan
Potlot mas dan seruling samber nyawa.
Dengan sikap gagah Giok-liong bergerak lincah berputar
seperti gangsingan sepiring dengan gerak-geriknya ini irama
seruling lantas mengalun tinggi seperti ular naga sedang
menggelosor. Begitu melihat seruling samber nyawa dikeluarkan seketika
timbul semangat Su-ai, tergetar seluruh badan mereka,
berbareng mulut mereka mendengus-dengus seperti binatang
buas mengendus daging mentah. Kepala besar mereka
bergoyang goyang air muka juga menjadi bengis dan
menyeringai iblis, lidahnya diulur odotfcau seperti setan
gentayangan seperti lidah ular yang mulur pendek.
Tiba-tiba gadis baju kuning yang menonton dipinggir
gelanggang sekian lama itu berteriak: "Siau-hiap, biarlah aku
membantumu!" Dalam keadaan yang genting ini Giok-liong sempat
berteriak: Jagalah keselamatan nona sendiri, mereka takkan
dapat . . . Hai, awas!" Pada saat itulah mendadak Su ai lancar kan serangannya
dengan delapan jalur panah darah menyerang kearah Giokliong,
sedikit saja perhatian Giok-liong terpencar ia harus
membayar mahal akan kecerobohannya ini, belum lagi kata
katanya habis diucapkan mulutnya berganti berteriak
kesakitan, darah terasa bergolak dan mengalir balik, mata
berkunang-kunang. Giok liong merasa tenggorokannya menjadi panas anyir,
"Wah . . . . ." darah segar menyemprot keras sekali sampai
sejauh tiga tombak. Begitu serangan mereka memperoleh hasil Su-ai semakin
mendapat hati, serentak mereka berteriak-teriak aneh terus
memburu maju, diantara cahaya merah darah yang masih
melingkupi sekitar gelanggang, delapan cakar iblis mereka
sudah menubruk tiba. "Tahan!" liba-tiba terdengar sebuah bentakan nyaring
merdu disusul bayangan merah berkelebat datang, Tahu-tahu
dihadapan mereka sudah bertambah dua orang gadis remaja.
Sekuatnya Giok-liong pentang matanya, namun tubuhnya
terhuyung mundur dan jatuh terduduk diatas tanah, Terasa isi
perutnya se perti dipelintir dan dicocoki jarum, sesaat lamanya
hawanya murni sulit terhimpun. Sungguh diluar perhitungannya sedikit saja perhatian
terpencar sedetik itu pula, ia sudah terserang telak oleh
pukulan gabungan su-ai yang dahsyat itu. Untung ilmu gigit
lidah menyemprotkan darah mereka belum sempat
dilancarkan kalau tidak habis sudah riwayatnya.
Kaki tangan terasa lemas lunglai, sekuatnya ia bertahan
mengempos semangat mengerahkan hawa murninya.
Melihat sergapan bersama mereka berhasil merobohkan
lawan, baru saja Hiat ing-su-ai hendak bertindak lebih lanjut
merebut seruling samber nyawa mendadak terdengar
bentakan nyaring merdu itu, seketika mereka tertegun berdiri.
Ternyata orang yang mencegah tindakan mereka
selanjutnya tak lain tak bukan adalah putri tunggal Congcu
mereka sendiri yaitu tuan putri Hiat-ing Kong-cu Ling-Soat-yau
bersama pelayan pribadinya Chiu-ki dengan angkernya mereka
berdiri ditengah gelanggang. Lekas-lekas Su-ai menarik kembali serangan selanjutnya,
berjama mereka menjura sambil berseru: "Menghadap Kongcu!."
Hiat ing Kong cu Ling Soat-yan mengulapkan tangan,
ujarnya: "Bebas!" Habis berkata matanya yang jeli menyapu penrtarg kearah
Giok-liong yang duduk bersila, seketika berubah hebat air
mukanya, pandangan mata yang penuh nafsu membunuh
terunjuk pula rata perasaan dan jelas. "Diam-diam ia
membatin: "Siapakah gadis baju kuning ini, kenapa
membopong dan menolongnya, apa mungkin." Tak berani ia
melanjutkan dugaannya. Ternyata setelah terkena pukulan Hiat-ing-ciang dari
gabungan serangan Hiat-ing-su-ai, Giok liong terluka parah,
sampai duduk-pun tak kuat lagi seluruh badannya rebah
dalam pelukan si gadis baju kuning, dengan mata meram
dalam keadaan sadar tak sadar. Sekuatnya ia bertahan mengempos semangat menahan
sakit yang mengiris-ngiris seluruh badan.
Air mata membanjir keluar dari kedua mata si gadis baju
kuning, katanya disamping telinganya dengan lemah lembut:
"Siau-hiap! Kenapa kau" Akulah yang harus mampus terlalu
banyak cerewet sampai kau terpencar perhatianmu sehingga
terluka parah, akulah yang mencelakakan kau!"
Mata memandang dengan beringas, dalam hati Ling Soatyan


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendelu seperti ditusuk-tusuk, ia berdiri termangu sambil
menggigit bibirnya. Terdengar Hiat-ing-su-ai menyembah bersama: "Lapor
kepada Kong-cu, hamba sekalian menerima perintah Cong-cu
kemari untuk. ." Tanpa menanti mereka habis berkata Hiat-ing Kong cu
sudah tidak sabar lagi, sentaknya: "Aku sudah tahu untuk
merebut benda pusaka seruling samber nyawa itu bukan?"
"Ya, betul! "empat cebol mengiakan bersama. "Congcu
segera juga akan tiba." "Apa ayah juga segera datang?" - terang Ling Soat-yan
tercengang diluar dugaan. Sesaat ia hanya melirik saja, tapi akhirnya toh melangkah
maju pelan-pelan sampai dipinggir Giok-Iiong, tanyanya lirih:
"Bagaimana lukamu" Apakah berat?"
"Hm," jengek sigadis baju kuning: ?"Kucing menangisi tikus,
main pura-pura segala!" Selebar muka Ling Soat-yan merah padam penuh rasa
kebencian dan jelus, desisnya mengancam: "Apa katamu?"
Gadis baju kuning juga tidak kalah galak dengan tangan
sebelah masih memeluk Giok liong, tanpa melirik sedikit
kearah Ling-Soat-yau ia menjengek: "Terang kaum kerabatmu
yang memukulnya sampai luka parah, kini kau pura-pura
menaruh kasihan apa segala, tidak tahu malu!"
Jikalau ia tidak memeluk Giok-liong mungkin Ling Soat yan
sudah menampar pipinya, sedapat mungkin ia menahan rasa
gusarnya, semprotnya: "Kau omong kosong belaka, Tahukah
kau apa hubunganku dengan dia?"
Gadis baju kuning tertawa cekikikan dengusnya menghina:
"Paling tidak adalah laki-laki harammu !"
"Cis" terbakar panas selebar muka Ling Soat yau,
perasaannya sangat tersinggung, setelah meludah ia memaki
dengan marahnya : "Kau ini genduk yang tidak tahu malu,
lepaskan dia, kalau nonamu ini tidak mampu membunuhmu
aku bersumpah tidak menjadi orang !"
Serentak Su ai melayang maju serta serunya bersama:
"Lapor Kong-cu, kini Ma Giok-liong sudah kehilangan
kemampuannya, tidakkah lebih baik kita mengambil Jan-huntinya
itu, kalau tidak . . ." "Pendapat siapa itu!" selat Ling Soat-yau sambil
menggoyangkan kepala. "Hamba berempat mendapat perintah Cong-cu, kalau tugas
ini tidak dapat terlaksana sekembali kita pasti mendapat
hukuman berat . . ." "Semua aku yang bertanggung jawab !" nada ucapan Ling
Soat-yan sangat ketus, Su-ai menjadi saling berpandangan
mengunjuk serba salah, Tapi mereka tahu bahwa putri
bayangan darah ini adalah putri tunggal Hiat-ing-cu yang
paling disayang, mana mereka berani menentang
kehendaknya, keruan mereka menjadi gugup seperti semut
didalam kuali. Sementara itu gadis baju kuning sudah membimbing Giokliong
bangun duduk, katanya lirib : "Siau hiap, kau
istirahatIah. Biar kuukur sampai berapa tinggi kepandaian
budak baju merah yang tidak tahu malu ini." Melihat sikap
yang memprihatin terhadap Giok liong, Ling-Soat yau semakin
mendelu serasa hatinya dirusuk sembilu: "Maknya genduk
yang tidak tahu malu!" seiring dengan makiannya ini
bayangan merah lantas berkelebat merangkak maju sambil
mengirim gelombang pukulan dahsyat sekali.
"Silat kampungan, masa dapat merobohkan nonamu !?"
gadis baju kuning juga tidak mau unjuk kelemahan, serempak
iapun kirim berbagai tipu pukulan balas menyerang dengan
hebat. Masing-masing pihak membawa adatnya sendirisendiri,
maka dapatlah dibayangkan betapa seru dan sengit
pertempuran ini, dalam jangka pendek sulit menentukan siapa
lebih unggul atau asor. Giok liong mendengar semua kejadian ini dengan jelas, apa
boleh buat luka-lukanya perlu perhatian serius, kaki tangan
lemas lunglai lagi, terpaksa ia tinggal diam menghimpun
semangat mengerahkan tenaga, pelan-pelan hawa murni
mulai lancar untuk mengobatiya luka lukanya.
Sekonyong-konyong dari kejauhan sana terdengar teriakanteriakan
nyaring merdu lalu baju terhembus angin
berseliweran terdengar kencang lantas terlihat bayangan
kuning berloncatan mendatang, terdengar sebuah suara
nyaring: "Nah itu disini bertempur dengan orang!" belum
lenyap suara seruan seorang gadis serentak dari tengah udara
beruntun melayang turun delapan gadis remaja yang
mengenakan seragam kuning, di masing masing dadanya
tersulam sekuntum kombang. Dari cara berpakaian kedelapan gadis yang baru datang ini
terang bahwa mereka adalah sekomplotan dengan gadis baju
kuning yang tengah bertempur itu. Betul juga gadis baju kuning yang bertempur itu lantas
berteriak kearah mereka : "sekalian cici waspadalah, gadis
baju merah ini adalah siluman dari golongan Hiat-ing-bun."
Delapan gadis baju kuning itu berbareng berseru kejut,
serentak mereka melejit maju terus mengepung Hiat-ing
Kong-cu. SebetuInya kepandaian Ling Soat-yau setingkat lebih
tinggi dari lawannya, maka sedikitpun ia tidak ambil takut, tapi
setelah dikeroyok akhirnya ia menjadi kerepotan juga, lambat
laun keadaannya menjadi terdesak. Hiat-ing-su ai melihat keadaan tuan putrinya yang tidak
menguntungkan ini, saling memberi syarat, lantas berseru
bersama: "Tuan putri tak usah gugup hamba berempat disini !"
Demikian juga Chiu Ki tidak mau ketinggalan, dilolosnya
sehelai sapu tangan merah jingga terus menerjunkan diri
dalam gelanggang pertempuran. Keadaan gelanggang menjadi kacau balau, bayangan
kuning bergerak lincah laksana asap mengembang, sebaliknya
sinar merah menyala laksana bianglala, puluhan orang
berkutet begitu seru sehingga angin menderu deru mengepul
tinggi. Entah sudah berselang berapa lama kedua belah pihak
masih bertahan sama kuat, Mendadak terdengar sebuah
hardikan keras yang kumandang memekakkan telinga: "semua
berhenti !?" bagai geledek menggelegar sekuntum mega
merah melayang ringan sekali, kelihatan lambat tapi
kenyataan cepat sekali meluncur datang susah dibedakan
bentuk bayangan manusia. Pertama-tama Hiat-ing su ai meloncat keluar dari
pertempuran terus menjura dalam serta berseru lantang:
"Menyambut kedatangan Cong cu !"
Tak ketinggalan Hiat-ing Koug-cu juga meloncat keluar
kalangan, teriaknya : "Ayah !"
Meski Giok liong tengah istirahat mengerahkan hawa murni,
tapi iapun dapat mendengar dengan jelas, lekas lekas ia
membuka mata memandang. Kelihatan olehnya segulung bayangan merah darah yang
sukar dibedakan bentuk badannya hanya samar-samar saja
seakan tiada tapi ada kelihatan seperti sosok manusia warna
merah darah. Tujuh delapan gadis baju kuning itu juga menjadi
terlongong ditempatnya, terdengar diantaranya ada yang
berseru lirih: "Hiat-ing cu !"
"Setelah tahu kebesaran nama Lohu masih tidak segera
menggelinding pergi jauh, apa kalian sedang menunggu
kematian!" nadanya rendah berat dingin lagi membuat
pendengarnya merinding. Gadis baju kuning yang terdahulu tadi terpaksa
membantah: "Apa mau menindas yarg kecil dan lemah ?"
"Budak besar nyalimu !" belum bentuk badan Hiat-ing cu
kelihatan nyata gulungan bayangan merah itu ringan dan
cepat sekali melayang kearah kelompok gadis gadis baju
kuning itu. seketika terdengar angin badai menderu keras
menghempas kearah mereka. kontan terdengar jerit pekik
yang riuh rendah dari mulut mereka, badan mereka terpental
berpencaran sungsang sumbel, sampai Giok-liong yang duduk
setombak lebih di-sebelah sana juga merasakan darah
bergolak dirongga dadanya, haoipir saja ia tak kuat duduk
bersila. Hanya kelihatan bayangan darah itu sedikit bergerak saja
cukup menggetarkan tujuh delapan gadis-gadis baju kuning
anak buah Ui-hoa-kiau sehingga mereka lari pontang-panting.
Perbawa semacam ini benar-benar belum pernah dengar dan
melihatnya. "Apakah dia ini Kim pit-jan-hun Ma Giok-liong ?"
"duk . . . duk . . . duk . . ." setiap langkah kaki Hiat ing cu
terdengar berbunyi berat dan nyaring sehingga menggetarkan
bumi terus langsung maju kearah Giok-liong.
"Benar, dialah adanya !" seru Su-ai mengiakan bersama.
"Mana seruling samber nyawa itu ?"
"Hamba berempat didepan gunung tadi bersua dengan Biklian-
hoa, sehingga belum dapat hasil terus mengejarnya
sampai disini, lantas . . lantas . . ."
"Telur busuk yang tak berguna!"
"Hamba berempat tengah merebut seruling itu, kebetulan
bersua dengan Kong-cu!" "O, biarlah Lohu turun tangan sendiri !" Lwekang Giok-liong
belum pulih, semadinya sudah mencapai saat-saat yang paling
genting, sepasang matanya rada meram, dari sela-sela
kelopak matanya itu ia melihat sebentuk bayangan merah
darah sedang menghampiri kearah dirinya. Tanpa berasa
dalam hati ia mengeluh : "Celaka! Tamatlah segala-galanya !"
Tiba tiba bayangan merah jingga berkelebat menghadang
didepan Giok liong disusul terdengar suaranya merdu
berteriak: "Ayah !" "Yau- in, kau minggir !" "Ayah! Dia . . , dia , . .!"
"Dia bagaimana ?" "Sekarang dia tengah terluka parah, sedang semadi
menyembuhkan luka-luka itu ?" "Demi seruling samber nyawa ayahmu tak peduli segala
tetek bengek!" "Ayah tak boleh kau . . . "
"Budak goblok ! Apa kau sudah gila, lekas minggir!"
Tampak sebuah telapak tangan merah darah menyelonong
keluar dari guIungan merah itu, sehingga hawas sekelilingnya
seketika terasa panas membakar. Giok-liong sedang berusaha dengan susah payah
mengerahkan hawa murninya seketika terasa olehnya seluruh
isi perutnya menjadi mengangah seperti dibakar, keringat
sebesar kacang mengalir deras dari atas jidatnya !
"Ayah, apa kau bisa mengampuni jiwa nya?"
"Budak, kenapa kau ini tidak lekas menyingkir ?"
"Ayah ! Kau . . . kau . . . ampunilah jiwanya !"
"Ai, budak ini ! Baik ambillah seruling samber nyawa itu,
nanti ayahmu mengampuni jiwanya"
Hati Giok-liong gelisah seperti dibakar, dia rela berkorban
demi keselamatan seruling samber nyawa itu, betapapun ia
tidak rela kehilangan benda pusaka pemberian perguruan
yang diandalkan kepadanya. Apa boleh buat namun tenaga
untuk berdiri saja tiada apalagi hendak melawan sampai
bergerak juga susah takut membuyarkan hawa murni yang
sudah mulai terhimpun, akibat ini akan membuat tubuhnya
cacat untuk selama-lamanya. Terpaksa harus pasrah nasib
saja melihat orang sesuka hati berbuat atas dirinya.
Sinar mas mencorong menyilaukan mata.
Begitu putri bayangan darah merogoh kesaku Giok liong
seketika ia berseru kaget, Karena yang dirogohnya keluar
bukan lain tuanya Potlot masnya itu. Semula ia sangka itulah
Seruling samber nyawa, maka bahkan heran ia berseru kejut
tadi. Hiat ing-cu mendesak dua langkah, ujarnya: "Mana
Serulingnya ?" Meski Ling Soat-yan sudah menggeledah seluruh tubuh
Giok liong, namun bayangan seruling samber nyawa saja tidak
kelihatan ! Dengan mendelong Hiat-ing cu awasi putrinya
menggeledah tubuh Giok-liong, namun seruling samber nyawa
itu belum juga diketemukan seketika hawa amarah
merangsang benaknya, bentaknya dengan bengis : "Bocah
licik ?" Lengan kanannya sedikit digentakkan pancaran sinar merah
darah lantas berkembang dengan gusar ia membentak:
"Biarlah Lohu menyempurnakan kau !" segulung kekuatan
dahsyat seperti berkuntum-kuntum bunga langsung
menerjang kearah Giok-liong, Bayangan merah jingga segera menubruk maju
menghadang didepan Giok-liong. Mulut Ling Soat-yau berpekik
sambil menyemburkan darah segar badannya terpental jauh
terkena angin pukulan Hiat-ing cu yang dahsyat itu.
Keruan Hiat-ing-cu sangat terkejut, gerungnya keras :
"Anak ing" segera bayangannya berkelebat, sebelum badan
Ling Soat-yau menyentuh tanah sudah diraihnya ke dalam
pelukannya. Tampak wajah Ling Soat-yau pucat pasi, darah
masih meleleh dari ujung mulutnya, dari kedua matanya yang
terpejam masih mengalirkan air mata, membuat siapa yang
melihat merasa kasihan dan terharu.
Sedang sebelah tangannya dengan kencang menyekal
secarik sapu tangan yang terbuat dari sutra halus, Sapu
tangan sutra halus ini digeledahnya dari dalam baju Giokliong.
Mimpi juga Hiat ing-cu tidak menyangka putrinya bakal
berbuat sebodoh itu, rela berkorban untuk menalangi pukulan
yang dihantamkan kcarah Giok-liong tadi.
Kini melihat keadaan putrinya yang kempas kempis ini,
hatinya menjadi duka dan perih: "Anak Yau, kenapa kau
senekad ini!"-sementara telapak tangannya menekan dijalan
darah Tiong-ting tepat didepan jantungmya.
Pelan-pelan Ling Soat-yau membuka mata, napasnya masih
memburu, ujarnya lemah: "Ayah, kau ampunilah dia!.dia . . . "
Hiat ing-cu menjadi keheranan dan tak habis mengerti akan
sikap putrinya ini, jiwa sendiri sudah hampir direnggut oleh
elmaut toh masih menguatirkan keselamatan Giok-liong, pikir
punya pikir akhirnya ia menghela napas panjang, ujarnya:
"Ayah mengabulkan permintaanmu, mari pulang!"
Begitu ia mengulapkan tangan Hiat-ing-su-ai melesat
bersama, lalu bayangan darah melambung pergi. Sambil


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membopong tubuh putrinya yang terluka berat, Hiat-ing-cu
melirik sekilas kearah Chiu ki lalu ia melompat tinggi tiga
tombak lebih terus menghilang. Alas pegunungan ini menjadi kosong dan sunyi, malam
semakin berlarut, kesunyian mencekam alam sekelilingnya,
Hawa malam semakin dingin, butiran air kabut membasahi
seluruh tubuh Giok-liong sehingga merasa kedinginan.
Entah sudah berselang berapa lama baru Giok-liong selesai
dengan semadinya. Terasa seluruh tubuhnya sudah tiada
gejala apa apa, namun ia masih tetap duduk bersila sedikit
pun tidak bergerak sepasang matanya terlongong melihat
barang-barang yang berserakan diatas tanah potlot mas, obatTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/ obatan, perhiasan batu giok . . . Dimanakah seruling samber
nyawa" Kenapa pula sapu tangan sutra Ya, sapu tangan sutra
pemberian istrinya, Coh-Ki-sia sebagai kenang-kenangan"
Untuk apa Ling Soat-yau mengambil nya " Dia adalah . . ."
Lama dan lama sekali ia berpikir namun tak kuasa
memecahkan pertanyaan hati sendiri. Mendadak ia berjingkrak
bangun kepalanya mendongak ke langit, mulutnya lantas
menggembol keras mengalun tinggi seperti gerangan naga
laksana pekik burung hong. Memang malam ini dia merasa sangat dirugikan, selama
berkilana di Kangouw belum pernah ia dihina sedemikian rupa,
belum pernah tertimpa penderitaan serta siksaan lahir batin
semacam ini. Pertama di gunung Bu-tong san sana ia menjadi
penasaran menjadi tuduhan yang semena mena tanpa alasan,
Lalu di pancing gadis baju kuning itu, belum lagi mereka
bicara habis, dirinya sudah terluka parah terkena gabungan
pukulan Hiat-ing-su ai, kalau Ling Soat yau tidak muncul tepat
pada wakunya, saat ini... Jelek-jelek sebagai seorang laki laki sejati, tak duga sekali
dua selalu dibela dan dimintakan pengampunan olen
perempuan. Terpikir sampai disini, seolah memperoleh suatu
penghinaan yang diluar batas. "Hiat-ing-cu, sakit hati malam ini betapa juga harus
kubalas!" sambil berkata-kata telapak tangan kanan
menghimpun tenaga terus diserang kedepan terarah kebutan
didepannya yang berjarak tiga rombak jauhnya.
Tenaga yang melampiaskan kedongkolan hati ini sungguh
dahsyat perbawanya, seketika terjadi suara gcmnruh akan
tumbang dan patahnya dahan dahan pohon serta debu pasir
yang beterbangan Pohon pohon menjadi roboh dan tumbang seperti didera
oleh hujan badai. Rada lega juga setelah Giok liong melampiaskan dongkol
hatinya, Mendakak ia teringat apa-apa, Teriaknya gugup: "O !
ya. Tentu seruling samber nyawa telah dicurinya. Waktu ia
membopong aku karena pukulan Su-ai yang hebat itu,
sekaligus ia merogoh dari sakuku, Kalau tidak buat apa
seorang gadis tak dikenal mau membopong aku."
"Nona yang manakah membopong aku?"
Dari lamping gunung sebelah sana terlihat sebarisan gadisgadis
ayu rupawan laksana bidadari mengiring seorang
perempuan yang mengenakan pakaian serba kratonan, pelanpelan
mereka sudah tiba didaratan tanah di hadapan sebuah
batu besar, terpaut dengan Giok-liong tak lebih satu dua
tombak saja. Seketika terbangun semangat Giok-liong, tersapu habis
segala pikirannya yang mengganggu benaknya tadi menjura
dalam ia menyapa: "Harap tahan, apa kalian adalah orangorang
dari Ui-hoa-kau?" Perempuan yang mengenakan pakaian serba kratonan yang
mewah itu tersenyum manis, telunjuknya menunjuk sebuah
sulaman kembang besar yang berada di depan dadanya,
suaranya terdengar merdu: "Apakah ini perlu ditanya lagi?"
Sulaman kembang mas didalam itu masing masing
sampingnya tersulam pula enam lembar daun hijau jadi
seluruhnya berjumlah dua belas lembar, sangat jelas dan
menyolok mata. Bercekat hati Giok-Iiong, katanya sungguh: "Jadi Cian-pwe
adalah Ui-hoa-kiaucu Kim Eng Kim-cianpwe?"
Perempuan itu tidak menjawab pertanyaan ini, sebaliknya
ia berkata: "Kau hendak menanyakan murid yang telah
memancing mu kemari itu ?" "Ya, nona itulah yang kumaksud !"
"Mari ikut aku !" habis berkata sepasang biji mata Ui-hoakiaucu
Kim Ing menyapu pandang dengan sorot kilat, sambil
mengebaskan lengan bajunya badannya Iantas melambung
ringan laksana bayangan setan, tanpa mengeluarkan suara
pesat sekali bayangannya sudah menghilang dikejauhan sana!
Diam-diarn Giok-Iiong merasa kagum dan memuji dalam
hati: "Hebat benar Gin-kangnya, kiranya latihannya sudah
sempurna betul!" Bukan saja gerak gerik Ui-hoa-kiaucu Kim Ing "serba aneh".
para dayang yang mengiringi dibelakangnya itu juga rata-rata
berkepandaian tinggi pula. Tanpa ayal segera Giok-liong jemput Potlot mas serta
benda lain miliknya terus lari mengejar sambil
mengembangkan Leng-hun-toh. Tatkala itu sudah menjelang terang tanah, putri malam
sudah hampir tenggelam kearah barat, ditengah cakrawala
tinggal bintang-bintang yang berserakan memancarkan
sinarnya yang kelap kelip, inilah saat paling gelap menjelang
senja. Tak lama kemudian dari depan kejauhan sana terdengar
suara gemuruh laksana derap langkah kuda seperti juga air
ditumpahkan dari tengah langit, sekelompok bayangan kuning
berlari pesat beriring, paling belakang setitik bayangan putih
mengintil dengan ketat. Suara gemuruh itu semakin dekat dan memekakkan telinga
Kiranya itulah sebuah air terjun, air tertumpah jatuh dari
sebuah saluran setinggi puluhan tombak. Bayangan kuning
tadi tengah menuju kearah air terjun itulah. Tidak ketinggalan
Giok-liong juga mendarat diatas sebuah batu besar tak jauh
disamping air terjun itu. Ui-hoa-kiau cu membalik tubuh sambil unjuk senyum
manis, katanya kepada Giok-liong: "Ternyata ketenaran nama
tuan tidak nama kosong belaka, Gerak tubuh yang pesat
sekali. Giok-liong mandah tertawa getir, sahutnya merendah: "Ah,
Cianpwe terlalu memuji. Harap tanya dimanakah nona yang
memancingku keluar dari Sam-ceng koan tadi ! Bolehkah aku
menemuinya sebentar?" Tiba-tiba Ui-hoa-kiaucu Kim Ing menarik muka, sikapnya
berubah dingin, serunya sambil menunjuk kearah terjun: "Nah
itulah di-sana!" Tak tertahan Giok liong berjingkrak kaget, kiranya diatas air
terjun itu ada sebuah bayangan kuning tengah terayun-ayun
bergoyang gontai karena terdorong oleh carahan air terjun.
Kadang-kadang saking keras timpahan air terjun itu
sehingga bayangan kuning itu terdorong dan terayun keras
menumbuk dinding batu dipinggirnya.
Setelah diawasi dengan seksama barulah jelas ternyata
bayangan kuning itu bukan lain terikat kencang oleh tali
menjalin sebesar ibu jari, kaki tangan ditelikung ke belakang
dan diikat bersama, terus digantung diatas sebuah dahan
pohon yang menjulur keluar tepat diantara air terjun yang
tercurah deras itu. Air terjun setinggi puluhan tombak maka dapatlah
dibayangkan betapa keras daya timpakan air yang tercurah
turun itu, manusia apakah dapat bertahan terus"
Setelah berseru kejut, Giok-liong lantas bertanya dengan
tak habis mengerti: "Harap tanya Kau cu, nona ini. . ."
"Dia sudah berani melanggar undang-undang keras dari
agama kita!" acuh tak acuh Ui hoa-kiancu memberi
keterangan, maka begitulah cara hukuman yang harus dia
jalani. Bagaimana " Apakah karena dia tadi membopong kau
lantas merasa kasihan padanya ?"
"Tidak ! Aku mencarinya karena ada persoalan lain !"
"Persoalan lain" Apakah boleh kau katakan kepadaku ?"
agaknya Ui hoa-kiaucu merasa diluar dugaan dan terkejut.
Tanpa tedeng aling-aling lagi segera Giok-liong berkata :
"Karena urusan sebuah "Seruling."
"Seruling " Apakah seruling sarnber nyawa ?"
"Tidak salah ! Mungkia secara tidak sengaja telah dibawa
pergi oleh nona itu, maka . ."
Belum habis dia berkata, terlihat berubah hebat air muka Ui
hoa kiaucu, hawa membunuh seketika menyelubungi
wajahnya, matanya mendelik tajam. Tiba-tiba ia ayun kedua tangan mengebaskan lengan
bajunya, Sepuluh jalur angin kencang laksana anak panah
melesat cepat sekali kearah bayangan kuning yang tergantung
ditengah air terjun itu, meski dari kejauhan namun serangan
ini kiranya cukup hebat dan ganas, Terdengar mulut Ui-hoakiaucu
berteriak memaki: "Murid murtad! Ternyata besar
sekali nyalimu !" Seketika terdengar jeritan panjang yang mengerikan dan
mendirikan bulu roma, sedemikian keras jeritan menyayatkan
hati ini sampai kumandang meninggi menembus alam
sekelilingnya. Bayangan kuning yang bergoyang gontai itu kelihatan
bergerak semakin kencang, lambat laun berubah dari warna
kuning menjadi seluruhnya berwarna merah darah, Terang
bahwa serangan telunjuk jari itu telah melukai tubuhnya
sehingga seluruh badan berlepotan darah.
Giok-liong menjadi kesima, serunya tergagap : "Cianpwe . .
. ini . . ." Agaknya kemarahan Ui-i oa-cu masih belum reda tangan
yang terayun tadi lagi lagi bergerak mirirjg seperti membacok,
mulutnya seraya berseru : "Baiklah, sia sia aku membesarkan
kau selama puluhan tahun!" Segulung angin menerjang keluar lantas terdengar suara
"Byak", "Krak" air tersampuk muncrat, tali menjalin sebesar
jari di atas air terjun itu juga mendadak putus mengikuti aliran
air terjun yang tercurah jatuh kebawah, bayangan kuning
bersemu merah itu kontan tergulung jatuh kedalam telaga
dibawah jurang sana, lalu tergulung oleh ombak besar
sehingga menumbuk sebuah batu cadas yang runcing,
seketika badannya hancur lebur, sungguh mengerikan !
Wajah Ui-hoa-kiaucu Kim lng tetap wajar seperti tidak
pernah terjadi apa-apa, ujarnya sambil mendengus:
"Menguntungkan murid murtad saja !"
Sekonyong-konyong sebuah bayangan biru meluncur
datang cari tengah lamping air terjun sana terus menubruk
datang, belum lagi orangnya tiba suaranya sudah berteriak
memaki: "Kim Ing ! sungguh kejam dan ganas benar hatimu !"
"Tuiiiit . . . . " lima irama seruling mengalun tinggi, disertai
sinar terang memancar berkembang. "seruling samber nyawa !" Giok liong berteriak girang, terus
menyongsong maju. Ui-hoa-kiaucu mendengus hidung, jengeknya: "Aku tahu
budak busuk itu tentu sudah memberikan seruling samber
nyawa ini kepadamu !" Tatkala mana bayangan biru itu sudah hinggap di atas
sebuah batu besar. Kiranya tak lain seorang pemuda yang
mengenakan pakaian ketat warna biru, bermuka pucat,
berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, badannya yang
agak kurut tinggi itu kelihatan kencang berotot keras. Senjata
yang di bekal ditangan kanannya itu bukan lain memang
seruling samber nyawa. Memandang ke arah jenazah yang hancur lebur tergulunggulung
di dalam air bah dibawah jurang sana, ia berteriak
dengan penuh kepedihan : "Adik Yau ! Legakan dan
tenframkan kau berada di alam baka, Aku bersumpah akan
menuntut balas bagi sakit hatimu ini."
Lalu dengan beringas ia mengayun seruling samber nyawa
seiring dengan irama seruling yang menyedot semangat ini ia
menubruk kearah Ui-hoa-kiaucu Kim Ing, meskipun gerak
geriknya cukup gesit namun kelihatan bahwa Lwekangnya
masih belum sempurna. Bayangan putih melesat tiba, tahu-tahu Giok-liong sudah
mencegat ditengah jalan, masih ditengah udara ia sudah
berseru, "Tuan ini harap sabar sebentar !"
Sudah tentu pemuda baju biru merasa gusar karena
aksinya dirintangi, tanpa banyak buka mulut ia ayun seruling
di tangannya dengan jurus To pian-toan-tui (mengayun pecut
memutus air) langsung mengepruk ke jalan darah di pundak
Giok-liong. Gerak serangan ini adalah jurus umum dari ilmu
silat yang paling rendah, mana bisa membawa hasil.
Gampang Giok-liong mendakan puncaknya sambil tertawa
dingin, sebat sekali sebuah tangannya meraih hendak
mencengkram seruling samber nyawa. Pemuda baju biru berseru kejut, lekas-lekas ia melompat
mundur sejauh tiga tombak, gerak geriknya cukup lincah.
"Apa kau juga dari golongan Ui-hoa-kiau?"
Aku yang rendah bukan orang Ui-hoa-kiau!"
"Kenapa kau merintangi aku!"
"Aku hanya minta kembali benda pusaka peninggalan
perguruanku, yaitu seruling samber nyawa di tanganmu itu!"
"Kau" Kau adalah Kim-pit jan-hun Ma Giok liong" "
"Tidak berani! Memang itulah aku yang rendah,"
"Karena seruling samber nyawa ini sehingga adik Yau
meninggal sedemikian mengenaskan, biarlah Hoa Sip-i adu
jiwa dengan kau!" dengan kalap ia menerjang maju sambil
mengayun seruling mengalunkan irama panjang jurus yang
dilancarkan adalah Cui-hun-toh-hun membawa deru angin
kencang terus menyerang kelima jalan darah penting di tubuh
Giok-liong. "Bocah yang tidak tahu mampus. Berani kau turun tangan
terhadap Kim-pit-jan-hun, bukankah minta gebuk belaka
mencari sengsara! Begitupun baik mengurangi tenagaku untuk
mengajar bocah kurang ajar ini. Hehehe!"
Mendengar ujar Kim Ing ini lekas-lekas Giok-liong tarik
kembali kedua tangannya yang sudah melancarkan serangan
tiba-tiba ia mencelat mundur setombak lebih serunya: "Aku
belum pernah ketemu dengan tuan, Mengapa kau turun
tangan mendesak orang." "Sebelum melihat peti mati bocah ini tidak mengenal takut,
buat apa kau main sungkan terhadap kurcaci ini." demikian


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sela Ui-hoa-kiaucu. Seruling ditangan pemuda baju biru memancarkan sinar
berkeredep beratus beribu jalur, teriaknya penuh kebencian:
"Betul! Kecuali kau bunuh aku, sambutlah seranganku!"
"Baik, aku mengalah sejurus lagi! "
"Ma Giok liong, jangan kau takabur dan ceroboh Lan-i -
long-kun Hoa Sip-i juga bukan seorang yang bijaksana,
Dengan seruling sakti di tangannya kau lebih lebih harus hatihati."
"Kim lng, sundel kau, jangan putar bacot mengadu bibir,
Betapapun sakit hati adik Yau aku harus membalaskan juga!"
Meski kepandaian pemuda baju biru tidak begitu tinggi,
namun dengan seruling sakti di tangannya perbawanya cukup
hebat juga. Begitulah dengan hati yang terbakar dan penuh
duka ia terus menerjang maju sambil menyerang dengan
senjata di tangannya. Hati Giok-liong penuh ditandai kecurigaan entah bagaimana
paling baik ia bertindak, jelas bahwa pemuda baju biru ini
dengan gadis baju kuning yang telah mati itu tentu adalah
sepasang kekasih. Mungkin King Ing memerintahkan gadis baju kuning
memancing dirinya, dengan tujuan seruling samber nyawa itu
sebaliknya sang gadis menyerahkan seruling yang berhasil
dicurinya kepada kekasihnya ini, sebab itu...
Bagaimana juga kejadian ini dirinya harus merebut kembali
seruling itu dulu. Karena pikirannya ini Giok liong tertawa lantang, serunya:
"Maaf aku berlaku kasar."
Mega putih berkelompok hawa ji-lo terkerahkan
menyelubungi badan terus menerjang ke arah bayangan sinar
seruling yang berputar kencang. Dikata lambat sebenarnya cepat sekali, Terdengar keluhan
tertahan, gerak bayangan biru seketika berhenti, demikian
juga mega putih lantas menjadi hancur.
"Serahkan seruling samber nyawa, nanti kita berkompromi
lagi!" kiranya dalam satu jurus saja kedua jari tangan GiokTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/ liong telah berhasil menutuk jalan darah Ciang-hiat dibawah
ketiak Hoa Sip-i, sehingga pemuda baju biru ini mati kutu.
"HoaSip i, bagaimana kata-kataku tadi?" Karena jalan darah
besar sudah tertutuk Hoa Sip i tidak berani sembarangan
bergerak jidatnya basah oleh keringat dingin, kedua matanya
mengalirkan air mata, tiba tiba ia ayun seruling ditangan
kanannya seraya berteriak dengan kalap: "Kalau ingin seruling
ini kembali, lekas kau bunuh Ui-hoa-kiau cu. Kalau tidak aku
Hoa Sip i rela gugur dan hancur bersama seruling ini."
Benar juga tanpa memberdulikan jalan darahnya yang
tertutuk itu ia laksanakan ancamannya hendak membanting
seruling itu diatas batu gunung. Giok-liong berjingkrak kaget, cepat-cepat ia mencegah
dengan gugup: "Tahan-tahan!"
"Lekaslah bunuhlah Kim Ing sundel laknat itu. Kalau tidak
meski harus adu jiwa. maka jangan harap kau dapat
memperoleh kembali seruling mu ini dengan masih utuh!"
Seruling samber nyawa terbuat dari ukiran batu giok yang
paling baik mutunya, mana boleh main banting diatas batu
cadas yang keras. Sesaat Giok-liong menjadi kehilangan kontrol.
Tiba tiba sejalur bayangan kuning meluncur pesat sekali
Serempak pemuda baju biru lantas mengayun tangan
melemparkan seruling ditangannya itu kearah batu cadas.
Ui hoa-kiaucu Kim Ing lancarkan sebuah pukulan jarak jauh
terus maju hendak merebut Giok-liong menjadi gelagapan
tanpa berpikir melukai orang, lekas lekas ia menubruk maju
sambil mencengkeram. saking bernafsu mereka merebut
sehingga angin pukulan juga terlalu besar, sehingga seruling
itu terpental membelok meluncur ketengah udara.
Kedua belah pihak sama-sama menang-Kap tempat kosong
begitulah karena dorongan angin pukulan seruling itu melesat
setinggi puluhan tombak terus meluncur turun kedalam jurang
telaga yang dalam sana. "Celaka!" sambil mengerahkan seluruh tenaga dan
kemampuannya Giok-liong meluncur mengejar dengan tanpa
memikirkan akibatnya, jelas seruling itu sudah separo amblas
kedalam air, mendadak terlihar air muncrat air menjadi
bergelombang tinggi. Kiranya begitu dekat dengan seluruh kekuatannya Giokliong
menghembuskan napas dari mulutnya berbareng cepat
sekali tangannya meraih maju. Hanya sedetik saja kaki, muka
dan selebar dadanya sudah basah oleh air. Tapi gerakan Giokliong
belum berhenti sampai disitu saja, sedikit menutul kaki
tubuhnya terus jumpalitan meluncur ketepi sana sejauh tujuh
tombak ringan sekali kakinya mendarat disebelah sana,
dimana kakinya berpijak tepat diatas dahan sebuah pohon
Siong yang tua. Memandangi seruling ditangannya sungguh susah
dilukiskan perasaan hatinya, jantungnya masih berdebar
keras, seluruh tubuh basah kuyup oleh keringat dan air, air
mukanya serius. Betapa tidak, seandainya seruling ini benar-benar terjatuh
kedalam air terjun yang tidak terukur dalamnya itu bukankah
dirinya menjadi durhaka ternadap perguruan dirinya akan
menyesal dan putus asa selama hidup ini, sampai nama Kim
pit jan-bun yang sepele itu juga harus dicuci bersila dan
dihapus dari peninggalan sejarah dunia persilatan.
"Hm, cepat benar gerak tubuhnya !" sebuah dengusan
dingin dari sebelah sana, Tampak Ui-hoa kiaucu Kim Ing
setindak demi setindak menghampiri kearah Hoa Sip-i, kiraTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/ kira sejauh tujuh kaki ia berhenti membentak dengan nada
berat: "Memincut anak murid agama kita, ditengah jalan kau
mencuri dan merampok seruling pusaka lagi, Besar nyalimu !"
Pemuda baju biru Hoa Sip-i menjadi nekad dan tidak mau
kalah garang, semprotnya dengan histeris : "Kim Ing!
Sungguh memalukan dan sia-sia belaka kau menjadi seorang
pimpinan agama, dengan cara kejam dan telengas kau siksa
seorang gadis sebatang kara yang sengsara. Kau sudah
membunuh ayahnya, menyiksa ibunya, sekarang . . . " sambil
berkata-kaia air mata meleleh dengan deras sampai ia tak
kuat meneruskan kata-katanya, akhirnya sambil membanting
kaki ia mendelik dan berseru kalap : "Biarlah aku adu jiwa
dengan kau !" "Kau belum ada harga bergebrak dengan aku !"
Seperti banteng ketaton Hoa Sip-i menyeruduk maju sambil
mencengkeram kearah Kim Ing. Tapi yang diserang mandah
tertawa dingin, sedikit menggeser kaki bagai bayangan setan
saja layaknya tahu-tahu ia sudah memutar di belakang Hoa
Sip i. Sebetulnya Hoa Sip-i sudah kerahkan seluruh tenaganya
untuk menyerang tapi tahu-tahu bayangan orang didepannya
mendadak menghilang, belum lagi ia sempat menarik kembali
serangannya dan menanan badan yang menjorok kedepan itu,
tahu-tahu ia sudah rasakan lima jalur angin kencang menutuk
tepat dilima jalan darah penting ditubuhnya.
Seketika ia menggembor keras tertahan, badannya
tersungkur jatuh terus bergulingan ditanah dari tujuh lubang
indranya mengalirkan darah, kaki tangannya berkelejetan
betapa saat dan derita yang dirasakan sungguh ngeri dan
memilukan hati. "Hahaha, bocah keparat ! kepandaianmu seperti sinar
kunang-kunang juga berani kurang ajar terhadap aku !
Hahaha, biar kau coba rasakan betapa nikmat hajaran yang
setimpal ini !" Saking kesakitan Hoa Sip-i sudah tidak mampu lagi
mengeluarkan suara, seluruh tubuh sudah dekil dan kotor oleh
keringat dan debu tak menyerupai orang lagi.
Setelah seruling sudah dapat direbut kembali Giok liong
berniat tinggal pergi saja, tapi entah bagaimana juga kesan
lantas timbul dalam benaknya sekali loncat ringan sekali ia
sudah sampai ditepi sana, sambil unjuk senyum yang
dipaksakan ia menjura, katanya: "Kaucu, kalau kau tiada
permusuhan yang mendalam, silakan kau bebaskan tutukan
Toan hun siok-bing-im bong-ci itu !"
"Kau mintakan balas kasihannya ?"
"Ya, cukup kasihan keadaannya !"
"Agaknya kau sudah khilaf dan lupa, sedikit terlambat tadi
seruling pusakamu pasti sudah hancur lebur bukan !"
"Tentang ini aku tidak bisa salahkan dia. Bukankah
kekasihnya kau . . ." "Ck, ck, ck, ck, . . . tak kira ternyata Kim-pit-jan hun jaga
seorang pemuda romantis." "Terserahlah, aku tidak ikut campur lagi !" ujar Giok liong
dengan muka merah, menjejak tanah pesat sekali ia melompat
ke luar hutan sana. "Tunggu sebentar!" bayangan kuning berkelebat tahu-tahu
Ui-hoa kiaucu Kim Ing sudah menghadang didepannya,
ujarnya sambil unjuk senyum menggiurkan: "sebelum pergi
tinggalkan dulu seruling samber nyawa!"
"Kenapa?" "Sebab Ui hoa-kiau sangat memerlukan seruling pusaka
itu." "Apa kau sudah lupa bahwa seruling ini sebenarnya adalah
milikku?" "Hanya kupinjam setahun saja, setelah waktunya tentu
kukembalikan!" "Kalau aku tidak ingin pinjamkan?"
"Terpaksa harus kurebut dengan kekerasan!"
"Hahahaha . . . ." saking gusar Giok-liong bergelak tertawa
serunya lantang: "Baik! justru aku paling senang orang main
kekerasan terhadap aku, Ui hoakiau kalian ada ilmu simpanan
apa, biarlah aku yang rendah belajar kenal seluruhnya!"
Alisnya berkerut dalam, ujung bibirnya menjengek
menghina. Mendadak ia melompat maju menghampiri tubuh
Hoa Sip i, beruntun jarinya bergerak sebat sekali menutuk tiga
puluh enam jalan darah besar ditubuhnya, lalu bentaknya
keras: "Kawan lekas pergi."
"Kau berani melepas dia!" terdengar hardikan marah
disusul bayangan kuning menerjang dengan serangan
membadai. "Terang kau tidak memberi muka kepadaku. Masa Ma Giok
liong gampang dipermainkan. Kalau kau berani merintangi
aku, seumpama manjat kelangit sukarnya!"
Sembari berkata sebat sekali iapun bergerak menangkis
dan balas menyerang dengan keras lawan keras. Mega
berkembang angin menderu bayangan orang menjadi
berseliweran kurang jelas dipandang mata nyata kedua belah
pihak sudah bertempur sengit. Sementara itu pemuda baju biru Hoa Sip-i tengah
merangkak bangun dengan napas memburu dengan ujung
bajunya ia seka kotoran mukanya, dengan susah payah ia
merangkak dan berusaha bangun, baru saja ia melangkah dua
tindak mata terasa berkunang-kunang, puluhan bayangan
kuning berkelebat melayang datang seiringan daun jatuh
menghadang dihadapannya, saat mana ia sudah kempas
kempis tenaga untuk berdiri juga sudah payah, akhirnya ia
meleso jatuh duduk lagi, suaranya serak seperti kera
berterisk: "Kalian ini siluman jahat, bunuhlah tuan mudamu
ini. . ." (BERSAMBUNG JILID KE 15) JIlid 15 Sekarang Giok-liong tidak main sungkan lagi, kedua
tangannya tampak bergetar terpentang, Sam-jicui-hun chiu
mulai dilancarkan. Kelihatan mega putih berkembang hawa Jilo
menyelubung tubuhnya, sebuah telapak tangan putih halus
bergerak lincah berubah laksana ribuan bayangan tangan,
dengan ketat ia lindungi pemuda baju biru, sekaligus ia
lancarkan delapan belas pukulan dan tendangan menyerang
para gadis baju kuning anak buah Ui-hoa-kiau itu.
Perbawa ilmu sakti memang bukan olah-olah hebatnya,
dimana angin badai melandai bayangan kuning lantas
tergulung berpencaran keempat penjuru sambil berteriak
kesakitan, Untung Giok-liong tidak bermaksud mengambil jiwa
mereka, kalau tidak tentu mereka sudah mampus.
Keruan Ui-hoa-kiaucu Kim Ing berjingkrak gusar melihat
anak buahnya dihajar bulan bulanan segera ia menubruk maju
dengan sengit, bentaknya: "Besar nyalimu !"
Bayangan putih dan kuning kini saling berkutet lagi,
masing-masing lancarkan serangan yang lebih ganas dan
lihay, sampai detik itu belum kelihatan siapa bakal menang
dan asor. Sambil menghadapi serangan musuhnya yang sudah sengit
ini, Giok-liong masih berkesempatan berteriak: "Hoa Sip-i !
Kesempatan yang baik ini kau masih tidak mau pergi, kapan
baru kau hendak menyingkir!" Napas Hoa Sip i masih ngos-ngosan, sahutnya lemah: "Aku
betul-betuI sudah tidak bertenasa, Tuan penolong dendam
penasaran kau balas dengan budi pekerti. baiklah aku terima
dengan tulus hati ! Adik Yau sudah mangkat, aku juga tidak
ingin hidup lagi!" Giok-liong merasa toleran akan keadaan orang yang hampir
sama dengan riwayat dirinya maka tanpa banyak pikir lagi ia
berteriak: "Cobalah kau semadi sebentar mengumpulkan
tenaga ! Selama gunung masih tetap menghijau, jangan
kwatir takkan memperoleh kayu bakar."
"Hahaha !" terdengar Ui hoa-kiaucu Kim Ing mengejek:
"jiwamu sendiri susah terlindung masih coba perhatikan
keselamatan orang lain." Tiba-tiba bayangan kuning bergerak melebar, kiranya
sepasang lengan baju Ui-hoa-kiaucu yang besar gondrong itu
ditarikan sedemikian cepat dan lincah main kebas, menyapu,
menusuk dan menghantam. Semua yang diarah adalah
tempat-tempat penting ditubuh Giok-liong dengan berbagai
ragam tipu silat. Sementara itu, menurut anjuran Giok liong, Pemuda baju
biru Hoa Sip i tengah duduk bersila menghimpun tenaga dan
semangat. Kira-kira setengah peminuman teh telah berlalu.
Sebuah bayangan biru besar laksana seekor burung besar
tengah meluncur tiba dari puncak atas sana, jubah mantelnya
yang besar melayang-layang seperti sayap yang besar belum
lagi orangnya sampai ia sudah berteriak memanggil "Sip i. Sip


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

i !" Terbangun semangat pemuda baju biru Hoa Sip i, teriaknya
pula dengan suara parau: "Suhu! Suhu!"
Mendengar suara panggilan pertama tadi, Ui-hoa-kiaucu
Kim Ing lantas mengebaskan kedua lengan bajunya membuat
Giok-liong mundur berkelit kesempatan ini digunakan untuk
melompat mundur keluar gelanggang sejauh setombak lebih.
Giok-Iiong juga lantas menghentikan aksinya. Matanya
terbuka lebar, kini dihadapannya sudah bertambah seorang
laki-laki tua yang bercambang bauk lebar bermata juling
seperti mata garuda, hidungnya bengkok seperti betet,
kupingnya kecil terbalik keatas-sepasang matanya berkilat dan
berjelilatan dengan kasar, selayang pandang saja lantas dapat
diketahui bukan seorang baik-baik. Begitu tiba ia menghampiri kearah pemuda baju biru Hoa
Sip-i. bentaknya dengan uring-uringan: "Aku sudah duga tentu
kau terpincut lagi oleh perempuan siluman dari Ui hoa-kiau
itu! Siapa yang membuatmu begitu rupa!"
Sikap bicaranya sangat garang dan angkuh sekali,
hakekatnya ia tidak pandang sebelah mata para hadirin,
sungguh sombong. Ui-hoa kiaucu Kim Ing menarik muka cemberut, hardiknya:
"Lo Siang-san, hati-hatilah kau bicara, Apakah Ui hoa-kiau kita
tidak sembabat dibanding Thian-mo hwe kalian. Sekali buka
mulut lantas siluman tutup mulut siluman lagi ! apa yang kau
andalkan!" Thian-mo-hwe" Lagi-lagi hati Giok-liong bertambah bingung
dan khawatir. Thianmo-hwe adalah sebuah kumpulan orang jahat dari
golongan hitam pada lima puluh tahun yang lalu, anggotanya
tidak banyak, namun setiap generasi mereka pasti dapat
menampilkan seorang-seorang berbakat yang benar-benar
hebat kepandaiannya. Mereka merupakan salah satu kumpulan golongan jahat
yang paling kejam dan telengas, tidak gampang dan
sembarangan waktu mengunjukkan diri di kalangan Kangouw.
Liang ing-mo-ko (iblis Elang) Le Siang-san ini adalah salah
satu gembong iblis yang kenamaan pada jaman itu manusia
yang sulit didekati dan diajak berkompromi.
Terdengar Le Siang san tertawa sinis, ujarnya penuh sindir:
"O, Kim Ing-kaucu berada disini, Maaf aku sudah tua mataku
kabur, wah benar-henar aku berlaku kurang hormat!" sampai
disini mendadak ia menarik muka, air mukanya berubah
membesi, sepasang mata julingnya memancarkan cahaya
dingin, bentaknya gusar sambil menunjuk Hoa Sip-i: "jadi kau
yang membuat anak ini begitu rupa ?"
Kim Ing juga tidak mau kalah galak, sahutnya sambil
manggut-manggut: "Tidak salah! Toan hun-siok bing im-yangci
cu-kuo untuk memberi sekedar hajaran padanya, Memang
aku sengaja mengajar adat muridmu yang nakal ini!"
"Apa kau lupa menggebuk anjing juga harus pandang muka
majikannya?" "Dia sudah berani melanggar pantangan dan undangundang
agamaku tahu." "Pantangan apa?" "Memincut anak muridku, mencuri seruling samber nyawa
lagi." "SeruIing samber nyawa ?"
Le Siang-san menjadi kesima, tidak menggerecoki kenapa
anak muridnya diajar adat tadi, kini malah ia bersitegang
leher, tanyanya: "Apakah betul omonganmu ?"
"Coba kau tanyakan kepada murid atasmu itu !"
"Sip i, mana seruling samber nyawa itu?"
"Berada ditangannya !" sahut pemuda baju biru Hoa Sip-i
sambil menunjuk Giok-liong. Bayangan biru berkelebat dengan menggembor keras Le
Siang-san menubruk kearah Giok-liong sambil mencengkeram
dengan ilmu cakar garuda, sedetik mereka saling adu
kekuatan mendadak bayangan mereka terpental mundur.
Terdengar Giok-liong berseru dengan nada berat: "Kenapa
kau menyerang dengan ganas, Sungguh tidak punya aturan."
Le Siang-san terloroh-loroh suaranya seperti kokok beluk,
penuh kepalsuan: "Serahkan seruling samber nyawa itu, nanti
kuampuni jiwamu!" Mukanya penuh nafsu membunuh, matanya semakin jalang
seperti binatang kelaparan membuat orang yang melihat
merasa giris dan ketakutan pelan-pelan ia angkat kedua
lengannya keatas kepala dengan gerakkan kaku seperti mayat
hidup, kakinya berjengkit keatas. Ui hoa kiaucu Kim Ing mandah tertawa tawar, ujarnya: "Le
Siang-san ! Jangau kau anggap gampang. Kali ini kau akan
ketemu batumu, awas kau jangan terjungkal."
Le Siang-san mengekeh seram suaranya seperti pekik
keras: "He, Le Siang-san tidak pandang sebelah mata bocah
ingusan masih berbau bawang ini."
Giok-liong menjadi gusar, air mukanya semakin gelap,
geramnya rendah: "Kukira sikapmu akan berlainan kalau kau
berhadapan dengan Kim-pit-jan-hun !"
"Jadi kau inilah Kim-pit-jan-hun Ma Giok-liong?" agaknya
hal ini benar-benar diluar dugaan Le Siang san.
"Benar, itulah aku yan rendah adanya!"
Mata Le Siang-san berkedip-kedip, dari kepala ia
mengamati sampai kaki, mendadak ia melepas gelak tawa
terpingkal-pingkal, serunya: "Ketemu muka lebih nyata dari
mendengar. Kukira kau seorang laki laki yang punya tiga
kepala dan enam tangan. Tak kira hanya seorang pemuda
yang masih hijau berbau popok, sungguh menggelikan."
"Bedebah, jangan sombong kau!" membawa deru angin
kencang Giok-liong menerjang musuh dengan gusar.
"Baik! Le-ya akan mengukur sampai dimana kelihayan Sam
ji cui-hun-chiu! Tobat!" Sekali gebrak saja cukup membuat Le Siang san
berjingkrak mundur dengan penuh keheranan sungguh mimpi
juga ia tidak menduga bahwa pemuda baju putih didepannya
ini begitu mahir melancarkan Cui-hun-chiu yang sedemikian
sempurna. Apalagi Lwekangnya juga sudah mencapai begitu
tinggi. Betul-betul membuat orang sulit percaya, sedikit ayal
hampir saja jiwanya kena dikorbankan.
Disebelah sana terdengar Ui hoa kiaucu Kim Ing menjengek
hina: "Bagaimana Le Siang-san?"
Muka Le Siang san kelihatan pucat bersemu ungu, dari
malu ia menjadi gusar, gerungnya dengan marah-marah:
"Payah, payah! puluhan tahun ketenaran nama Le-yam kena
dirobohkan oleh bocah ingusan yang berbau bawang ini, Tapi
gebrak kali ini belum masuk hitungan, coba kau juga sambut
ilmu pukulanku ini!" Mendadak ia ia pentang kesepuluh jarinya, giginya berkerut
dengan gemas. sepuluh jalur kilat laksana duri landak
mendadak menembus udara mendesing mendesis kearah
Giok-liong. "Le Sian-san!" teriak Ui-hoa-kiaucu Kim Ing: "akhirnya toh
kau keluarkan ilmu simpanan mu Cap-ci tam-kan ciu! (ilmu
jelentikan sepuluh jari)!" Giok-liong mandah tersenyum ewa, hawa murni
terkerahkan dari pusarnya, hawa Ji-lo segera tersalur
mengembangkan mega putih melindungi seluruh badannya.
Sepuluh jalur sinar biru laksana duri landak itu begitu
menyentuh mega putih lantas buyar sima tanpa bekas.
Keruan berubah hebat air muka Le Siang-san saking kejut
bahwa ilmu yang paling di andalkan katanya tak berguna lagi
menunjukkan perbawanya. Saking dongkol ia membanting
kaki sehingga sepatu rumputnya amblas kedalam batu cadas
dibawah kakinya sampai beberapa dim, sekali ini ia kerahkan
seluruh kekuatannya, lagi-lagi puluhan jalur sinar biru
meluncur lebih panjang dan besar serta keras.
Namun betapapun ia mati-matian kerahkan seluruh
tenaganya, alhasil puluhan jalur sinar tutukan jarinya itu tak
dapat menembus pertahanan mega putih yang bergulung
tebal, laksana puluhan sabuk biru, yang berputar menggubat
sebuah bola putih besar, saking ulur odot sungguh suatu
pemandangan yang menarik hati. Baru sekarang pemuda baju biru Hoa Sip-i berkesempatan
bersuara, teriaknya : "Suhu! Doa seorang baik, dia seorang
baik!" Le Siang-san sudah tidak hiraukan lagi seruannya dengan
bernafsu ia kerahkan seluruh kemampuannya dalam usaha
untuk merebut seruling samber nyawa. Sebab itu tenaga yang
dikerahkan dan dilancarkan semakin kuat dan besar.
Kakinya juga semakin dalam melesak kedalam batu yang
keras. Mukanya berubah menyeringai seperti wajah setan
yang tersiksa sungguh menggiriskan sekali.
Lama dan entah sudah berselang berapa lama, sekonyongkonyoag
terdengar sebuah ledakan dahsyat seperti bom
meledak mega putih menjadi buyar dan berkembang kemanamana.
Diantara kelompok mega putih itu kelihatan sebuah
telapak tangan putih halus menyampok dan menangkis
puluhan sinarbiru itu terus langsung menepuk kedada Le
Siang san. "Celaka !" saking kagetnya Le Siang sau menggembor
keras, tubuhnya yang tinggi besar itu tersurut mundur lima
enam langkah ke belakang Tak tertahan lagi mulutnya
menyemburkan darah segar. Sejenak keadaan menjadi sunyi gelanggang pertempuran
juga menjadi terang lagi, mega putih menghilang demikian
juga puluhan sinar biru tadi telah kuncup.
Dalam pada itu pemuda baju biru Hoa-Sip i sudah
melangkah maju memayang Le Siang san yang sudah lemas
tak bertenaga, berulang-ulang ia berseru : "Suhu ! Kuatkan
hatimu, himpunlah semangatmu !"
Ujung mulut Le Siang san mengalirkan darah, matanya
mendelik memutih, cahaya biru yang terang dan bersemangat
tadi sudah sirna tanpa bekas, ujarnya dengan napas masih
ngos-ngosan: "Ma Giok liong, lekas kau bunuh aku sekalian !"
"Aku tiada dendam sakit hati dengan kau, tak perlulah !"
"Hari ini kau tidak mau bunuh orang she Le, tielak jangan
kau menyesal sesudah kasep!" "Kenapa ?" "Sakit hati pukulanmu hari ini betapapun harus kubalas !"
"Terserah, aku tidak peduli, setiap saat akan kunantikan
kedatanganmu !" "Baik, Gunung selalu menghijau, air selalu mengalir
perhitungan hari ini selama hayat masih dikandung badanku,
setiap saat aku akan mencarimu !"
"Boleh, selalu kuterima kedatanganmu."
"Mari pulang !" dibawah bimbingan Hoa Sip-i Le Siang san
meninggalkan tempai itu dengan ierpincang-pincang.
Giok liong menghela napas panjang pikirnya kenapa
manusia yang hidup kelana di dunia persilatan harus saling
bunuh. Kenapa hidup manusia harus mengalami banyak
sengsara dan derita. Pikir punya pikir sampai sekian lama ia terlongong
ditempatnya sampai terlupakan olehnya bahwa disamping
sana Ui-hoa kiaucu bersama anak buahnya masih mengawasi
dirinya. Tak terasa ia menghela napas lagi.
"Anak muda kenapa berkeluh kesah !" merubah sikapnya
yang dingin dan bermusuhan tadi, kini sikap Kim Ing menjadi
begitu ramah dan penuh kemesraan. Hakikatnya usia Kim Ing sudah menanjak pertengahan
abad, namun wajahnya masih kelihatan jelita karena ia pandai
bersolek, terutama kepandaian main matanya dengan
sikapnya yang genit dan menggiurkan siapapun pasti akan
terpincut dan tertarik batinya. Akan tetapi sedikitpun Giok-Jiong tidak tertarik hatinya,
sikapnya tetap dingin. Sambil meraba batu giok berbentuk
jantung hati yang dikalungkan dilehernya pelan pelan ia
menyelusuri pinggir jurang berjalan ke arah sana ternyata dari
peristiwa yang baru saja disaksikan ini, dilihatnya betapa
besar dan murni cinta Hoa Sip i terhadap kekasihnya,
sehingga terketuk hatinya, pikirannya melayang jauh ke HwiTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/ hun-cheog di mana sang istri yang tercinta tengah menantikan
kedatangannya. Sekarang saputangan sutra pemberian istrinya itu dibawa
pergi oleh Hiat ing Kongcu. Benda satu-satunya sebagai
kenang-kenangan tinggal batu giok berbentuk jantung hati
warna merah yang dikalungkan di lehernya ini.
Tiba-tiba berubah air muka Ui-hoa-kiaucu, pandangannya
kesima memandangi batu giok itu, serunya terkejut: "Ma Giok
liong. Dari mana kau peroleh batu giok di-tanganmu itu ?"
Tidak kepalang tanggung segera Giok-liong rogoh keluar di
depan bajunya kalung batu giok jantung hati itu, sahutnya
dengan parau : "Dari Hwi hun-san-ceng."
"Hwi-hun-chiu Coh Jian-kun yang memberikan kepadamu
?" "Bukan, putrinya !" "Oh..." Ui hoa kiaucu terlongong-longong, mendadak
matanya memancarkan sorot aneh terus berdiri mematung
seperti orang linglung. Rada lama kemudian baru ia bergerak sambil menghela
napas penuh kesedihan, katanya sambil membanting kaki:
"Seruling samber nyawa aku tidak perlu lagi, serahkan saja
batu giok itu kepadaku !" "Giok-pwe ini " jangan !"
"Kau keberatan ?" "Bukan begitu! soalnya batu ini adalah tanda mas kawinku
dengan adik Ki-sia, tidak kalah berharga dengan seruling
samber nyawa." "Mas kawin ! " "Sedikitpun tidak salah!"
Tanpa berkata-kata lagi Ui-hoa-kiacu mengulapkan tangan
menggiring para dayangnya terus tinggal pergi dengan cepat,
sebentar saja bayangannya sudah menghilang dikejauhan.
Tatkala mana sang surya sudah muncul dari peraduannya,
seluruh maya pada ini sudah terang benderang, Segera Giokliong
juga tinggalkan tempat air terjun itu, badannya
melenting dengan ringannya, sepanjang jalan ini pikirannya
melayang tak tentu arahnya, rentetan peristiwa vang tidak
menyenangkan hati ini membuat semangatnya runtuh total.
Ling Soat-yau, Tan Soat-kiau, Kiong Ling ling, Li Hong serta


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Coh Ki-sia silih berganti terbayang olehnya, Sudah tentu yang
paling dirindukan adalah Coh Ki-sia. Menurut adatnya ingin
rasanya tumbuh sayap untuk segera terbang kembali ke Hwihun-
san cheng untuk bercengkerama dengan isteri tercinta.
Apa boleh buat tugas berat yang dipikulnya perlu segera
diselesaikan, pula kejadian dikangouw ini memang penuh likuliku
yang sulit diduga sebelumnya. Dimana-mana selalu terjadi
banjir darah dan penjagalan manusia.
Hutan kematian, istana beracun, Kim i-pang, Hiat-hongpang,
Pek-hun to, Ui-hoa kiau, dan Lan ing-hwe. Masih adalah
Hiat-ing-bun serta Bu-lim-su bi. Semua-semua ini boleh dikata
merupakan kekuatan terpendam yang bakal meledak pada
suatu saat. Dengan takdir dari ayah bunda, tugas berat
perburuan serta kesejahteraan penghidupan kaum Bulim,
sampai pesan dari Wi-hian ciang Liong Tay-hiap sampai
sekarang juga belum sempat terlaksana.
Begitulah pikir punya pikir Giok-liong semakin merasa
otaknya menjadi tumpul dan butek. Tak tahu ia cara
bagaimana harus mencari jalan keluar untuk mengatakan
semua urusan yang sama pentingnya ini.
Terutama yang membuat hatinya sedih adalah
permusuhannya dengan pihak para iblis dari dari golongan
hitam, tapi toh pribadi juga mendapatkan simpati dari kaum
aliran putih khususnya dalam hal ini adalah sembilan partai
besar. Untuk sesaat Giok-liong menjadi merasa terjepit, mesti
dunia begitu besar, agaknya sudah tiada tempat berpijak lagi
untuknya, jalan punya jalan entah berada jauh ia berlenggang.
Tahu tahu didepan sana terlihat sebuah gardu dipinggir
jalan, gardu ini agaknya sudah lapuk dan reyot, bila dihembus
angin besar pasti akan roboh. Sebelah kiri dari gardu ini adalah semak belukar dari alas
pegunungan yang meninggi, dimana banyak terdapat kuburan
yang berserakan, berlapis-lapis meninggi keatas, peti mati dan
tulang-tulang manusia berserakan dimana-mana terlihat jelas.
Kabut pagi masih belum hilang angin pagi menghembus
sepoi sepoi membawa bau apek dan amis yang memualkan,
sekonyong-konyong sebuah benda hitam melesat keluar dari
arah kuburan yang berserakan sana. Hebat benar Ginkang orang ini, sekejap saja tahu-tahu ia
sudah tiba di luar gardu reyot itu, Kini terlihat jelas kiranya
bukan lain seorang laki-laki yang mengenakan kedok hitam,
jadi tak terlihat air mukanya. Sorot matanya dari balik
kedoknya itu memancarkan sinar areh yang terang dan dingin.
Bercekat hati Giok-liong, bergegas ia berdiri didalam gardu,
tanyanya: "siapakah tuan ini ?"
Orang berkedok itu mandah mendengus dingin, balas
tanyanya : "Hm, kau ini Kim-pit-jan-hun?"
"Aku yang rendah memang Ma Giok-liong !",
"Baik, ambil ini !" orang itu merogoh kantong bajunya
mengeluarkan sebuah benda terus dilemparkan kedalam
gardu lalu berlari pergi. Benda itu mengeluarkan suara berkerontangan di atas
lantai. Keruan Giok-liong terkejut heran, benda yang dilempar
adalah sebuah lencana besi yang memancarkan sinar berkilau,
sebesar tiga empat senti. Diatas lencana besi ini terukir sebuah huruf "mati", di
kedua sisinya adalah dua pohon pek yang besar yang saling
bergandengan sehingga menjadi bentuk huruf Bun atau pintu,
huruf mati itu tepat berada di tengah-tengah huruf pintu.
Giok-Iiong membungkuk badan menjemput lencana besi
itu, dibalik lencana tertulis dengan huruf-huruf kecil yang
berbunyi, dalam jangka tiga hari ini harus datang kepada seksi
Liong-tong dari Hutan kematian untuk menanti perintah dan
jabatan. Giok-liong menjadi bingung, apa-apaan maksud tulisan ini "
"Hai, tunggu sebentar !" seiring dengan bentakannya ini Giokliong
melesat keluar mengejar orang berkedok hitam itu. Tapi
orang didepan itu agaknya tidak mau peduli dengan kencang
ia berlari terus. Giok-liong semakin gelisah, segera Leng-hun toh
dikembangkan ditengah udara ia menggumam gaya Hwi-hunjot-
sio, badannya laksana anak panah meluncur dengan
pesatnya, sekejap saja jaraknya sudah tidak jauh dari orang
berkedok di depan itu. Didepan sana ujung gunung dari pekuburan yang
berserakan ini sudah kelihatan,sebelah depan lagi adalah
sebuah hutan yang lebat dan gelap. Orang berkedok itu main selulup diantara semak belukar
terus menerobos masuk kedalam hutan yang gelap itu.
Giok-liong sudah tidak peduli lagi akan segala pantangan
tetek bengek, Dengan gaya Ham-ya-kui-jau ( burung gagak
kembali ke sarangnya ia langsung ia melesat memasuki hutan.
Berulang kali terdengar suara gerungan marah yang rendah
dan menusuk telinga membuat merinding bulu roma.
Begitulah beruntun suara gerangan seperti auman binatang
buas saling susul. Kepandaian tinggi membuat nyali Giok-liong
semakin tabah, mengan-dal lencana besi itu ia kerahkan Ji-lo
melindungi badannya, terus menerobos kedepan, ke tempat
yang semakin gelap dan lembab, Semakin jauh semakin gelap.
"Stop! " tiha-tiba terdengar sebuah bentakan yang amat
nyaring dari belakangnya, Lalu angin berkesiur dari empat
penjuru, terlihat bayangan orang laksana setan gentayangan
saling bermunculan.Sekejap saja puluhan orang berkedok
berseragam hitam sudah mengepung dirinya.
Orang-orang ini semua berambut panjang terurai sampai di
pundaknya, demikian juga jubahnya terlalu panjang sampai
menyentuh tanah, setindak demi setindak mereka mendesak
maju menghampiri Giok-liong. Ancaman yang serius ini betul-betul menciutkan nyali
orang, jangan kata turun tangan bergebrak, mengandal hawa
dingin serta keadaan yang tegang menakutkan ini laksana di
akhirat cukup menggetarkan nyali orang, yang bernyali kecil
tanggung sudah pecah jantungnya dan mampus saking
ketakutan. Diam-diam Giok-Iiong kerahkan Lwekangnya, ujarnya
dengan serius: "Apa-apaan tindakan kalian!".
Tiba-tiba suara mendengus tersiar dari hutan sebelah
dalam sana, katanya: "Lencana besi sebagai undangan. Tiada
maksud jahat!" Tanpa merasa Giok liong membuka telapak tangan melihat
lencana besi itu, serunya lantang: "siapa yang berkuasa di
hutan ini, kenapa tidak keluar untuk bicara!"
"Pun-tong-cu hanya mendapat perintah untuk mengundang
tuan, sebelum ada perintah dari majikan, tidak boleh bertemu
muka. Silakan tuan pergi!" Giok-liong menjadi heran, serunya lagi: "Terima kasih akan
undangan ini, lantas kemana aku harus pergi, tiga hari lagi
aku harus kemana?" "Bukankah diatas lencana itu sudah tertulis jelas, Tuan
sendiri juga pernah kesana bukan, kenapa main tanya segala!"
"Aku pernah kesana ". akhirnya Giok-liong paham, dengan
mendelong ia pandang lencana besi itu, serunya tertahan:
"Apakah majikan Hutan kematian?"
"Tidak salah! Majikan Hutan . . . . kematian . , ! "sepatah
demi sepatah laksana guntur menggeleger kupandang keras
sekali memekakkan telinga, seakan bicara diribuan Ii jauhnya
tapi juga seperti di pinggir telinga.
Hutan kematian merupakan suatu golongan yang paling
misterius dan susah dijajagi, tidak diketahui sepak terjang
mereka yang sebenarnya dari golongan mana pula aliran
kepandaian mereka, maka sedikitpun Giok liong tidak berani
berlaku gegabah. Terang-terangan aku telah diundang, betapapun aku harus
menuju ke Hutan kematian untuk menyirapi kesana, baru dari
sana mencari jejak Suhu, kalau tidak menanti pada bulan lima
pada perjanjian bertemu di Gak-yang-lau kelak baru diatur lagi
tindakan selanjutnya, perjalanan kali ini sekaligus dapat
menyirapi kabar dari Wi-hin-ciang Liong Bun Liong Tay-hiap,
entah kabar apa pula yang bisa diperolehnya, supaya kelak
dapat mengatasi lebih sempurna demi kejayaan dan
ketentraman hidup kaum persilatan. Karena pikirannya ini segera ia menyahut keras: "Baik,
dalam tiga hari ini aku pasti tiga disana!"
Sebelum kakinya bergerak tiba-tiba terdengar suara orang:
"Tunggu sebentar! " lalu beruntun muncul beberapa bayangan
hitam. Kini yang muncul adalah delapan laki-laki yang
mengenakan jubah abu-abu, dengan rambut panjang terurai
juga, dengan kaku mereka berloncatan maju mendekat, Salah
seorang diantaranya berkata dingin: "Petugas Liong-tong,
menghadap pada Tong-cu!" Habis berkata delapan orang itu terentak menjura dalam
kearah hutan kosong sebelah dalam sana.
Sebuah suara menyahut dari dalam hutan sana: "Silakan
para petugas hukum, apakah Lim-cu (Majikan) ada pesan
lain?" Serentan kedelapan orang didepan hutan itu mengiakan.
Salah seorang berseru lantang: "Terima kasih akan perhatian
Tong cu, kita beramai menggusur tawanan kemari untuk
melaksanakan hukuman, harap Tong-cu suka saksikan dan
buktikan." Suara orang dalam hutan rada terkejut heran. Terdengar
tindakan berat berjalan keluar, tahu-tahu dihadapan mereka
sudah berdiri seorang laki-laki yang tinggi tegap melebihi
orang biasa, karena tidak mengenakan kedok jadi wajahnya
bisa terlihat jelas. Bentuk wajahnya bundar bersegi seperti wajah harimau,
matanya berjengkit miring keatas, diatas jidatnya tumbuh
secomot rambut putih yang diatur sedemikian rupa sehingga
menyerupai huruf "Ong" ( Raja ).
Ini masih belum aneh yang lebih aneh, yang lebih
mengejutkan lagi bahwa dari kedua ujung mulutnya tumbuh
dua taring yang besar memutih. Begitu mengunjukkan diri
langsung orang ini bertekuk lutut menyembah seraya berseru
lantang: "Hou-tong Tongcu, hamba menerima perintah Congcu,
Harap Tongcu kalian suka memberi petunjuk!"
Sebuah bayangan abu-abu melayang masuk dari luar,
seorang laki-laki berambut merah bermuka hijau melayang
tiba. Diatas jidatnya tumbuh jaling tunggal, Matanya berkilat
tajam segera ia menjura kearah Hou-tong Tong cu yang
berlutut itu, ujarnya: "Perintah sudah disambut, Selain aturan
biasa. Tong-cu silakan!" Hou-tong Tong-cu bertanya dengan muka serius:
"Pesakitan siapakah sampai begitu penting digusur kemari
untuk melaksanakan hukuman disini!"
Liong-tong Tong-cu yang berambut merah bermuka hijau
itu terkekeh kekeh dingin, matanya melirik kearah Giok-liong,
sahutnya: "Pesakitan ini ada sangkut pautnya dengan Ma
Siau-hiap ini. Betapa tepat perhitungan Lim cu, beliau tahu
bahwa Ma Siau-hiap hari ini pasti akan lewat Hou-tong sini,
maka segera diperintahkan aku membawa dua belas petugas
hukum menggusur tawanan itu kemari !"
Terkesiap hati Giok-liong, selanya gugup! "Ada sangkut
pautnya dengan aku. Siapakah dia?"
"Sebentar lagi kau akan tahu!" jengek Liong-tong Tong-cu.
Lalu tangannya bertepuk dua kali, kecuali delapan orang
seragam abu-abu yang segera bergerak keempat penjuru
mengepung Giok liong dari luar hutan sana berlari masuk lagi
empat laki laki seragam abu-abu yang berambut panjang juga.
Keempat laki-laki seragam abu-abu yang baru masuk ini
menggusur seorang tua renta, air muka yang kaku dan dingin
pucat tanpa kelihatan berdarah. Kedua tulang pundaknya
berlubang ditembusi rantai panjang sebesar jari tangan,
karena diseret maju sehingga jalannya sempoyongan, rantai
panjang itupun berbunyi nyaring menyentuh tanah.
Beriring keempat laki-laki seragam abu-abu ini menggusur
tawanannya kehadapan Liong-tong Tong-cu lalu menjura
hormat: "Hamba beramai menunggu perintah selanjutnya!"
Liong-tong Tong-cu manggut manggut, ujarnya: "Harap
Hou-tong Tong-cu memeriksa akan kebenaran tawanan ini!"
Houtong Tong-cu mengunjuk rasa heran dan penuh tanda
tanya, katanya sambil mengerutkan alis: "Bukankah dia
seorang Goan-lo ( sesepuh ), petugas Lim-cu yang terdekat
pembesar berjasa dalam pembukaan Hutan kematian . . . ."
Tanpa menanti ia selesai bicara habis mendadak Liong-tong
Tong-cu bergelak tertawa: "Hahahaha. . .Tak heran Tong-cu
kena diapusi. Lim-cu sendiri juga kena dikelabuhi selama
puluhan tahun, siapa akan mau percayai Hahahaha!"
Tatkala itu Giok-liong berdiri mematung sambil
menerawangi perubahan yang dilihatnya dihadapannya ini,
saking asyik dan kesima mendengar ia sampai berdiri
terlongong-longong. Terdengar Liong-tong Tong cu menghardik keras dengan
bengis: "Lucuti kepalsuannya supaya Houtong Tong cu
memeriksa sendiri." "Hamba terima perintah," empat laki-laki seragam abu-abu
itu mengiakan bersama. Lalu beramai-ramai bergegas mereka
menekan si orang tua tawanannya itu diatas tanah, salah
seorang menggosok dan menepuk diatas mukanya, seorang
lagi menarik narik dipunggung dengan sekuatnya, sedang dua
orang lainnya masing masing menarik kedua lengannya."
"Hah!" tak tertahan Giok liong berseru terkejut.
Liong tong Tong cu berkata kan, ujarnya: "Nah, begitu
lebih tepat lagi, Hanya dengar seruan kejut Ma Siau-hiap ini,
merupakan bukti yang paling nyata!"
Sementara itu Houtong Tong'Cu juga tengah kesima sambil
garuk-garuk kepala yang tidak gatel tanyanya melongo: "Siapa
dia?" "Delapan puluh tahan yang lalu," terdengar Liong-tong
Tong-cu berseru lantang: "Seorang Tay-biap yang sudah
menggetarkan dunia persilatan Wi-hian-ciang Liong Bun,
bukan lain adalah tawanan kita ini!"
Dalam pada itu Giok-liong sudah tak kuat mengendalikan
keharuan hatinya serunya mendebat: "Apa hubungannya
orang ini dengan aku?" Liong-tong Tong cu tertawa ewa ujarnya: "Dalam hal ini
Lim cu ada memberi pesan supaya aku tidak membuka banyak
mulut. Dipersilatan dalam jangka tiga hari ini Siau-hiap datang
kesekte kita, nanti aku tentu akan mengiringimu setelah


Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadap Lim-cu, tentu segalanya dapat dibikin jelas!"
"Apa yang akan kalian perbuat akan diri Liong Tay-hiap
ini?" "Lwekang dan kepandaian silatnya sudah dipunahkan, kita
beramai tak lain hanya melaksanakan tugas melalui...
Bahwasannya ini bukan urusan yang sangat penting!"
Memang sorot pandangan Wi-hian-ciang Liong Bun sangat
redup tanpa bersinar dari wajahnya yang pucat pasi itu
menandakan bahwa Lwekangnya memang sudah punah,
bentuknya menyerupai tengkorak hidup yang mengalami
penuh penderitaan. Akan tetapi, apakah Giok-liong harus diam saja melihat
seorang pendekar besar pada jamannya dulu yang sudah
tenar puluhan tahun meninggal begitu saja, saking haru dan
pedih badan sendiri sampai gemetar.
"Siau hiap harap berpikir kembali sebelum bertindak l"
serentak delapan laki laki seragam abu-abu berkelebatan
masing masing menggerakkan lengan tangannya, serempak
mereka berseru hormat meski belum turun tangan secara
kenyataan kepungan mereka ini sangat rapat sulit ditembus.
Untuk menerjang keluar meski tidak sukar, sedikitnya juga
harus memeras keringat. Sambil mengerut kening segera Giok-liong berteriak: "Hai,
kalian jangan berlaku ceroboh, tunda dulu pelaksanaannya
setelah aku bertemu langsung dengan Lim-cu kalian !"
"Lain urusan lain perkaranya, Maaf Pun-tong tak dapat
mengabulkan permintaan mu ini !"
"Kalau kalian tidak melepas Liong Bun, maka akupun tidak
sudi menemui Lim-cu kalian." "Itu kan urusan Ma Siau-hiap sendiri, nanti Limcu tentu
dapat mengatur sendiri, jangan persoalan itu dicampur
baurkan dengan pelaksanaan hukum ini !"
Saat mana Houtong Tong-cu sudah mengulapkan tangan
memberi aba aba kepada dua belas laki-laki berambut panjang
ber-seragam hitam, serunya: "Sambut tugas ini dan siapkan
melaksanakan hukuman." Empat orang seragam hitam maju menggantikan
kedudukan empat seragam abu-abu yang menggusur Liong
Bun tadi, Keempat seragam abu-abu itu lantas meloncat
mundur ikut mengepung Giok liong diluar batas tiga tombak
jauhnya. Dua belas pelaksana hukum berseragam abu-abu ini siap
waspada tanpa mengeluarkan suara atau sembarangan
bergerak, tenaga sudah dihimpun dengan pandangan mata
yang berkilat menatap tajam kearah Giok-liong tanpa
berkedip. Giok-Iioug semakin gelisah seperti dibakar hardiknya
menggerung : "Lekas lepaskan Liong Tay-hiap, mari kita
bicarakan lagi urusan ini !" Liong-tong Tong-cu memberi salam kepada Houtong Tongcu
serta katanya: "Tugas ini sudah kami serahkan, seluruh
tanggung jawab dan pelaksanaannya terserah kepada seksi
kalian." lalu ia melangkah maju beberapa tindak, katanya
kepada Giok-liong: "Siau-hiap, dalam tiga hari ini aku menanti
kedatangan tuan, Harap tuan tidak mengecewakan harapan
Lim-cu." Tatkala itu, Houtong Tong-cu mencibirkan bibir bersuit
nyaring dan keras menembus angkasa laksana gerungan
harimau yang berang. Dari luar hutan dari berbagai penjuru
lantas terdengar derap langkah berlari, geseran daun daun
pohon serta berkelebatnya bayangan orang samar-samar
terlihat ratusan orang seragam hitam serentak merubung
datang kearah sini. Pandangan Houtong Tong cu berkilat tajam, serunya
lantang :"Atas perintah Lim-cu, seorang yang bernama Wihian-
ciang Liong Bun, memendam diri menjadi mata-mata
dengan tujuan yang tidak menguntungkan bagi Hutan
kematian, menurut undang-undang hukum kita dihukum cacat
jiwa, Kali ini sekte kita mendapat penghargaan untuk
melaksanakan hukuman ini, Laksanakan hukuman !"
Serentak berpuluh sampai beratus mulut bersama
mengiakan sehingga hutan ini menjadi bergoncang seperti air
mendidih, sedemikian keras sampai kumandang dan bergema
sekian lama. "Mulai !" terdengar Houtong Tong-cu melompat maju
sambil berteriak bengis seperti pekik kokok beluk, seiring
dengan bentakannya ini kedua tangannya bergantian
menghantam kearah Liong Bun. Giok liong melompat maju sambil menggerung gusar:
"Nyali besar ! Tahan !" Namun belum lagi Giok-liong dapat bergerak maju, Liongtong
Tong cu bersama dua belas pelaksana hukumnya sudah
serentak menggerakkan tangan menyerang sekaligus dengan
gabungan tenaga mereka seketika Giok-liong menjadi
terhalang ditengah jalan, terpaksa ia harus membela diri demi
keselamatan sendiri. Di sebelah sana terdengarlah jeritan panjang yang
mengerikan. Itulah pekik Liong Bun dalam jiwa meregang
sebelum ajal. Giok liong mendengar dengan jelas sampai badannya
terasa merinding, hatinya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum.
Tapi gabungan serangan dua belas jago jago kelas wahid dari
Liong-tong mana mungkin dapat ia atasi begitu saja.
Apalagi dua puluh enam telapak tangan mereka sekaligus
melancarkan tipu-tipu aneh yang sulit diraba sebelumnya,
sungguh pengepungan yang rapat tiada lubang titik
kelemahannya. Diluar gelanggang pengepungan saban-saban masih
terdengar jerit kesakitan dan gerangan gusar dari pelampiasan
dongkol, angin menderu dari tenaga pukulan yang menimpa
diatas tubuh manusia sampai berbunyi gedebukan.
Entah sudah berselang berapa lama, dan berapa banyak
pukulan sudah dijatuhkan diluar gelanggang sana, Tiba tiba
Liong-tong Tong-cu berseru keras: "Liong-tong Tecu siap
kembali !" angin berkesiur disertai lambaian baju, begitu cepat
gerak gerik mereka sekejap saja keadaan menjadi sunyi dan
sekelilingnya sudah kosong meIompong.
Tiga belas orang dari Liong-tong sudah menghilang tanpa
bekas dalam sekejap mata. Demikian juga seluruh anak buah
Houtong Tongcu sebanyak ratusan orang itu sudah tak
kelihatan lagi mata hidungnya, semua sudah pergi tanpa
meninggalkan jejak. Keadaan dalam hutan kembali menjadi sunyi senyap, angin
berlalu membawa bau amis darah yang memualkan. Diatas
tanah sana terlihat segundukan daging dan tulang-tulang
manusia yang terpukul hancur lebur tanpa ujud lagi. Tinggal
rantai yang mengikat di tulang Liong Bun saja yang masih
ketinggalan memancarkan sinarnya yang redup menyolok
mata. Tak tertahan lagi kepedihan hati Giok-liong, ujarnya sambil
sesenggukan dengan sedihnya: "saudara tua, belum lagi citacitamu
terlaksana badan sendiri sudah hancur lebur, siaute . .
. " Sekonyong-konyong. . . "Bocah keparat, akhirnya toh kutemukan juga!" seiring
dengan bentakan ini dari luar hutan sana menerjang datang
seorang laki-laki bertubuh kekar, bermuka kuning persegi,
alisnya lentik menaungi sepatang mata yang berkilat tajam,
dagunya tumbun lima jalur jenggot pendek hitam.
Mengenakan pakaian ketat dengan mantel kuning
berkembang, sepatunya tinggi peranti untuk jalan jauh,
sikapnya garang dan angker kegusaran.
Giok liong melihat air muka orang rada bersih,
semangatnya menyala-nyala, terang bukan anak buah dari
Hutan kematian. Maka tak berani ia berlaku gegabah, serunya
lantang: "Kenapa tuan bicara tidak sopan?"
"Terhadap siapa bicara apa!"
"Kau kira siapa aku ini ?"
"Manusia rendah hina dina, mata keranjang hidung belang
!" "Kau terlalu menghina !" secara langsung dimaki begitu
kotor keruan Giok-liong tak kuat menahan hawa amarah
dengan sengit ia mengerjakan tangannya melancarkan jurus
Cin-chiu dari ilmu Sam- ji-cui-hun chiu, maka mega putih
bergulung keluar menerjang dengan dahsyatnya. Apalagi
tenaganya ditandai rasa gusar sudah tentu bukan olah-olah
hebatnya. "Hei, apa hubungan mu dengan Toji Pang Giok ?" laki-taki
kekar itu berkelit ke samping, wajahnya mengunjuk rasa kejut
dan heran. "Murid tunggalnya!" Sedikit merenung laki-laki kekar itu lantai membanting kaki,
ujarnya: "Merusak nama baik Bu-lim-su cun Pang lo cianpwe
saja. Sayang sekali!" Mendengar ucapan orang tergetar hati Giok-liong, pikirnya
"Apa mungkin orang ini ada hubungan erat dengan
perguruanku tak boleh aku berlaku kasar." karena pikirannya
ini maka jurus kedua dari Sam jicui-hun chiu yaitu Tiam-bwe
lekas lekas ditarik kembali ditengah jalan, serunya sambil
melompat mundur . "Apa maksud ucapan tuan ini ?"
"Jangan kau pura-pura linglung menjadi gendeng,
seumpama aku harus berlaku salah terhadap Pang-lo cian pwe
,betapapun aku harus mewakili dia untuk menghajar bocah
keparat seperti kau ini sampah dunia persilatan. Baru
terlampias rasa dongkolku ini."
"Wut. . . ." segulung angin kencang laksana badai angin
terus menerjang datang dari tengah udara, sungguh dahsyat
dan berbahaya sekali. Karena tidak menduga hampir saja Giok-liong tergulung
oleh serangan lawan. Cepat-cepat ia menjejakkan kaki
mencelat mundur setombak lebih untung benar dapat
terhindar dari bahaya elmaut, walaupun demikian, daun dan
rumput beterbangan mengotori seluruh tubuhnya, juga ujung
bajunya telah tergetar hancur berkeping-keping melayang
ditengah udara. "Bocah keparat, kiranya cuma begitu saja kepandaianmu!"
begitu mendapat kesempatan merangsak laki laki kekar itu
lantas menarikan kedua tangannya dengan lincah dan secepat
kilat, sekejap mata saja beruntun ia menepuk dan memukul
dua belas pukulan, setiap pukulan mesti dilandasi kekuatan
dahsyat, tak jauh dari sekitar badan Giok-liong.
Keruan Giok-liong menjadi kelabakan berputar dan berkelit
dengan susah payah. Terpaksa Ling hun-toh harus
dikembangkan ringan sekali tubuhnya berkelebat selulup
timbul berlarian diantara dahan-dahan pohon besar disekitar
gelanggang. Mendapat angin laki-laki kekar itu semakin bernafsu dan
tidak memberi ampun untuk lawan sempat ganti napas.
Dengan menggereng marah, lagi - lagi ia lancarkan sebuah
pukulan dahsyat, laksana arus sungai Tiangkang membadai
menggulung dari segala penjuru angin.
Akhirnya memuncak juga rasa gusar Giok liong, sekali
kesempatan ia berkelit ke belakang sebuah dahan pohon
besar terus melejit jauh beberapa meter, serunya gusar:
"selama ini kita belum saling kenal, tuan terlalu mendesak
orang, maka jangan salahkan kalau aku berlaku kurang
hormat!" habis ucapannya segera ia bergerak gesit sekali ia
melancarkan jurus serangan balasan.
Seketika mega putih bergumpal melebar luas, bayangan
telapak tangan berubah laksana ratusan dan ribuan pukulan
telapak tangan, serentak ia balas menyerang dengan nafsu
dan sengit. Gerak Bentrok Para Pendekar 17 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Bentrok Para Pendekar 10
^