Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 12

Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Bagian 12


engan Su-toa-tocu yang sudah terluka lebih dulu, mereka tak tahan, dengan wajah pucat seperti mayat, darah kembali bercucuran dari mulutnya.
Tiang mo-tocu, Siu-tiok-hong Ki Kiu-jin tertawa pedih, katanya, "Irama Siu-hun-sam-koh bukan santapan enak buat kami, saudara-saudaraku kita jangan bikin malu lagi di sini."
Tapi belum lagi dia sempat angkat kaki, tiba-tiba darah segar menyembur keluar dari mulutnya, ia sempoyongan dan akhirnya roboh terjungkal ke bawah panggung. Cian-ciau-tocu, Ciu-siu-thi-say In Ceng-bu merasa tak puas, segenap tenaga dalamnya dihimpun pada telapak tangannya, lalu menghantam Liok Cun.
Liok Cun menjengek, matanya yang tinggal satu itu
berkedip, "tung!" bunyi tambur menggema.
"Wah!" Ciu-siu-thi-say In Ceng-bu menjerit dan terjungkal ke bawah panggung, menyusul kedua Tocu yang lain juga mendengus tertahan, dengan wajah pucat mereka terlempar dari panggung.
Rupanya irama tambur itu dipancarkan khusus terhadap orang tertentu, buktinya orang lain sama sekali tidak mengalami luka apapun, namun mereka tak berani sembrono, masing-masing menghimpun segenap tenaga dalam untuk menghadapi segala kemungkinan.
Tak seorang pun mengangkat kelopak matanya, semuanya menunduk kepala, seakan-akan Su-toa-tocu tersebut tiada hubungannya dengan mereka. Tapi jerit kaget segera berkumandang dari bawah panggung.
Baru saja Su-toa-tocu roboh ke bawah panggung, anak muridnya segera maju menggotong mereka pergi, dengan membawa pengalaman pahit berlalulah Su-toa-tocu tersebut.
Tiba-tiba Liok Tong tertawa seram, katanya, "Rupanya kalian boleh juga Karena sanggup bertahan, tampaknya di daerah Tionggoan masih terdapat juga beberapa jago tangguh, tidak seperti apa yang dilukiskan Oh-lotoa!"
Nona baju biru itu membuka matanya, katanya sambil tertawa dingin, "Kehebatan Siau-hun-sam-koh jauh dari apa yang kubayangkan semula. Ayo, permainan apa lagi yang masih kalian miliki" Kenapa tidak sekalian dikeluarkan semua?"
Hong-lay-su-koay menjadi terkejut bercampur heran, mereka tak percaya masih ada orang sanggup berbicara setelah Siau-hun-sam-koh dipancarkan kecuali orang itu sudah melatih semacam ilmu sakti yang kebal terhadap pengaruh tambur.
Jika dilihat dari usia si nona yang masih muda belia tak mungkin ia pernah melatih ilmu sehebat itu, jangan-jangan lwekangnya sudah berhasil mencapai tingkatan tertinggi sehingga tidak gentar terhadap pengaruh apa pun dari luar.
"Perkataan nona memang benar, aku setuju sekali!"
terdengar Lamkiong Hian mendukung ucapan si nona baju biru.
Walaupun kata-katanya diucapkan dengan lancar, namun peluh membasahi jidatnya, cuma tenaga dalamnya juga cukup sempurna dan sanggup menguasai diri sehingga tubuh tidak terluka. Waktu itu Ji-sia juga membuka matanya, air muka anak muda ini tampak hambar seakan-akan sama sekali tidak terjadi apa-apa.
Dia telah menerima warisan tenaga murni dari Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-gak, sebab itulah meski Siu-hun-koh lihay sekali, juga tidak dapat mempengaruhi dia.
Liok He memutar biji mata tunggalnya, kemudian
mengejek, "Kalau begitu, kalian tunggu saja akan kelihaian irama Liat-yang-sin-kik kami, coba rasakan kehebatannya!"
Sambil berkata, kipas tanpa jeriji segera diangkat ke atas dan digerakkan kian kemari, embusan angin dengan cepat melanda angkasa, debu pasir beterbangan. Itulah gerak pembukaan dari irama sakti Liat-yang-sin- kik atau Lagu sakti terik matahari.
Ketika Liok He menarik kembali kipasnya, kabut dan pasir seketika lenyap, matahari yang terang muncul kembali di langit.
Sambil terbahak-bahak ia berkata, "Nah, siapakah yang merasa sanggup menerima serangan kipasku?"
Ancaman itu memang cukup mengejutkan, meski di atas panggung penuh dengan jago lihai, namun tak seorang pun yang merasa yakin mampu menyambut serangan maut
tersebut. Tiba-tiba Bok Ji-sia maju ke muka seraya membentak,
"Bagaimana kalau aku yang melayanimu?"
"Hehehe, kalau begitu, sambutlah seranganku ini!" jawab Liok He sambil tersenyum.
Di tengah kebasan kipas Bu-kut-san, hembusan angin yang amat dahsyat segera menyambar ke depan.
"Wees! Wees!" tenaga serangan yang tiada taranya
bagaikan beribu-ribu lapis gelombang yang dahsyat
menghantam tubuh Bok Ji-sia, jangankan tubuh manusia, batu pun akan hancur oleh angin dahsyat ini.
Awan gelap seketika menyelimuti udara di sekeliling tempat itu, debu pasir kembali beterbangan, semua orang hampir tak mampu membuka mata. Sesudah angin puyuh itu sirap, para jago menjerit tertahan, ternyata Bok Ji-sia sudah tersapu oleh angin puyuh tadi sehingga lenyap tak berbekas. Angin kipas itu betul-betul merupakan embusan maut yang mengerikan.
Liok He tertawa terbahak-bahak, katanya, "Kipas saja tak tahan, masih berani omong besar?"
Mendadak Bok Ji-sia melompat ke atas panggung, dia tetap segar bugar tanpa kekurangan sesuatu apa pun, membuat Hong-lay-su-koay terkejut, mereka tak menyangka Bu-kut-san tidak berhasil melukai anak muda tersebut.
"Huh, Bu-kut-san paling-paling cuma begitu saja,"
kedengaran Ji-sia mengejek, "lebih baik mainkan saja Liat-hyang-sin-kik yang kalian katakan hebat itu!"
Air muka Liok He berubah hebat, seketika ia bungkam dan cuma melotot gusar ke arah pemuda itu.
Liok Tong menyeringai serunya, "Bagus, kalian pasti akan mampus semua!"
"Kalau kami mati, kalian pun jangan harap bisa hidup!"
sambung si nona baju biru sambil tertawa dingin.
Hati Hong-lay-su-koay tergerak, jelas ucapan si nona tepat mengenai isi hatinya.
Ditatapnya keempat siluman tua itu lekat-lekat, lalu nona baju biru itu berkata pula, "Permainan irama sakti Liat-yang-sin-kik merupakan ilmu yang banyak makan tenaga dalam, sedangkan kami sebagian besar memiliki tenaga dalam hasil latihan puluhan tahun, bila ingin menguras tenaga kami, kalian
pun harus mainkan irama tersebut sampai tuntas, baru menang atau kalah bisa ditentukan!"
Perkataan ini justru membongkar titik kelemahan irama Liat-yang-sin-kik, maka Hong-lay- su-koay menjadi terkesiap, selain itu, mereka pun merasa ngeri terhadap luasnya pengetahuan si nona berbaju biru, terpaksa kekuatan lawan perlu dipertimbangkan kembali oleh mereka.
Selang sesaat kemudian, Liok Cun berseru pula sambil menyeringai, "Toako, jangan sangsi lagi, urusan telah berkembang menjadi begini, kita tak mungkin lagi mundur!"
"Kalau bisa mengundurkan diri secara teratur, hal ini kan tidak terhitung tindakan yang salah!" jengek Ji-sia.
Liok Cun melototkan mata yang sebelah itu, tiba-tiba ia berseru, "Betul, kita tak bisa memikirkan terlalu banyak, Liat-yang-sin-kik segera dipancarkan!"
Kaki yang pincang menjejak permukaan lantai, secepat terbang ia berputar satu lingkaran di udara, bentaknya, "Su-siu-kui-goan!"
Empat kakek siluman itu segera memisahkan diri dan masing-masing mengambil satu sudut di atas panggung. Para jago segera terkurung di tengah. Lamkiong Hian segera melolos sebilah pedang berbentuk aneh, cahaya tajam terpancar, sekilas pandang senjata itu mirip seekor ular emas.
Pada tubuh pedang aneh itu terdapat lima lubang kecil, sewaktu dimainkan berbunyilah suara mendengung yang menggetar perasaan orang.
Pelahan si nona baju biru berkata, "Begitu Liat- yang-sin-kik dimainkan, langit dan bumi akan menjadi rawan, rumput dan pohon sepuluh li di sekitar sini akan layu dan musnah, menghadapi pertarungan antara mati dan hidup ini kita tak boleh berbelas kasihan, lebih baik kita mempertahankan posisi masing-masing!"
"Ehm, tampaknya nona cukup memahami irama Liat-yangsin-kik?" ujar Lamkiong Hian, "siasat menghadapi lawan boleh kau saja yang mengatur."
Kawanan jago yang berada di bawah panggung bisa
mengikuti pembicaraan tersebut dengan jelas, suasana menjadi gaduh, dalam waktu singkat sebagian besar kawanan jago sudah kabur meninggalkan tempat itu, kuatir tertimpa bencana.
Lamkiong Hian memandang sekejap ke bawah panggung, serunya, "Anak Giok, harap kaupun mundur sejauh sepuluh li dari sini, tiga jam kemudian datanglah kembali untuk mengurus jenasah ayahmu!"
Jelas ia tidak mempunyai keyakinan terhadap pertarungan antara mati dan hidup ini, mau-tak-mau ia mesti mengatur langkah berikutnya.
Jangan sangka wajahnya tetap enteng dan santai,
sesungguhnya iapun merasa cemas dan berat.
Dengan tubuh agak gemetar Lamkiong Giok segera
merengek, "Oh ayah, ananda bersedia mati bersama engkau!"
"Ngaco-belo!" hardik Lamkiong Hian, "selama Kiam-hong-ceng menjagoi dunia persilatan, mana boleh ada sehari tanpa pimpinan" Kalau kau tidak segera mundur dari sini, kubunuh dirimu lebih dulu!"
Belum pernah Lamkiong Giok menyaksikan ayahnya
semarah ini, ia menggigil takut, setelah melelehkan air mata, dengan perasaan apa boleh buat ia memberi tanda kepada para jagonya untuk meninggalkan tempat itu.
Sebelum pergi, ia. sempat berpaling sambil berbisik sedih,
"Ayah, baik-baiklah menjaga dirimu, tiga jam kemudian ananda pasti akan datang kembali untuk menjemputmu!"
Sementara itu jago-jago Thian-seng-po juga telah
mendapat perintah untuk meninggalkan tempat itu, lapangan
yang luas kini sudah kosong, tinggal Hu Sim-jin, Pek Bi, Pek Sat, si kakek berambut putih serta Hoa Hong-hui yang tetap tinggal di situ.
Nona berbaju biru menghela napas, katanya "Lebih baik kalian juga pergi dari sini, seandainya aku mati, laporkan peristiwa ini kepada ayahku!"
"Kami takkan pergi!" seru si kakek sambil mengentakkan tongkat ke tanah, "jika kau mati, kamipun tak punya muka untuk hidup lagi."
Agaknya Liok He sudah habis sabarnya, tiba-tiba ia berseru,
"Sudah selesaikah pesan kalian" Kalau belum, katakan saja dengan cepat, sesaat lagi kalian tak akan mampu berbicara lagi!"
Dengan gusar nona berbaju biru itu melotot sekejap ke arahnya, kemudian ia berpaling kepada Lamkiong Hian, katanya, "Pedang lima lubang Toa-ceng-cu bisa digunakan untuk menandingi tambur Siu-hun-koh tersebut, ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian milik Bok Ji-sia sekadarnya juga bisa menandingi Bu-kut-san!"
Ucapannya mantap, pembagian kerja yang tegas
menunjukkan sikap seorang pemimpin yang berwibawa, diam-diam semua jago kagum juga kepadanya,
Ia melirik sekejap ke arah Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, dia melanjutkan, "Sedang kau dan Ku Thian-gak boleh menghadapi seruling tanpa lubang, sebaiknya gunakan pedang untuk, penyerang disertai suitan nyaring, irama seruling lawan harus kalian atasi, ingat tugas ini sangat penting, harap kalian jangan bertindak gegabah!"
Ketika Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat-jiu melihat nona baju biru itu hanya menugaskan orang lain tanpa membagi pekerjaan kepada mereka berdua, dengan gusar dan tak puas mereka berseru, "Nona, kenapa kaulupakan kamit"
Nona berbaju biru itu tertawa, jawabnya, "Kalian berdua sudah terluka, lebih baik jangan banyak gunakan tenaga lagi, duduk saja di situ sambil mengatur pernapasan, kalau tidak, maka kalian tak tahan lagi terlalu lama."
Keadaan sekarang berbeda dengan keadaan biasa, masing-masing telah melupakan kedudukan sendiri, masa lalu, semuanya rela dan tunduk untuk menerima perintah seorang gadis jelita.
Walaupun dalam hati Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat-jiu merasa tak puas, namun mereka juga tahu sewaktu mereka berusaha merampas sarung Jian-kim-si-hun-pian tadi, keduanya memang kena dipecundangi orang.
Begitulah, bicara sampai di sini, si nona baju biru segera menggulung jubahnya hingga kelihatan cincin biru yang dikenakannya, di antara pancaran sinar biru tertampak seakan-akan bersemu ungu.
Liok Cun, pemimpin Hong-lay-su-koay menghela napas, katanya, "Tak nyana nona pandai betul mengatur siasat, sejak meninggalkan Hong-lay, baru sekali ini kami turun tangan, kesempatan ini akan kami coba sampai di manakah kehebatan irama Liat-yang-sin-kik. Nah, saudara-saudaraku, ayo kita mulai turun tangan!"
Tiga siluman tua lainnya segera mengiakan, serentak mereka maju bersama. Mendadak sinar emas berkelebat di udara menyongsong cahaya matahari, semua orang merasa silau oleh sinar yang tajam itu, sehingga untuk sekian lama tak sanggup membuka mata.
Nona berbaju biru itu menghela napas panjang, tiba-tiba dari cincin birunya terpancar keluar serentetan sinar lembayung yang segera bertumbukan dengan cahaya emas yang terpancar dari cermin
Liok Ciu tersebut, kontan sinar emas itu menjadi guram.
"Tung!" bunyi tambur perenggut nyawa bergema di udara, semua orang merasa berdebar dan nyaris tak tahan.
Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian tak berani gegabah, tenaga dalamnya segera disalurkan sehingga pedang lima lubang mengeluarkan suara mendengung yang memekak
telinga, suara ini segera membendung irama tambur yang menggetar sukma.
Kipas Bu-kut-san Liok He dikebaskan pelahan, angin puyuh segera berembus mengiringi suara guntur yang keras, sedemikian dahsyatnya embusan angin itu membuat tubuh para jago sama bergoyang.
Sesungguhnya ruyung Jian-kim-si-hun-pian Bok Ji-sia terhitung benda mestika dunia persilatan, suara aneh yang terpancar juga amat tajam namun suara itu sukar
membendung kehebatan Bu-kut-san, malahan terkadang terdesak.
Tapi pemuda itu bertahan sekuatnya, sambil mengertak gigi dia himpun segenap tenaga dalam untuk melawan Liok He, dia tahu lebih baik memberi perlawanan sekuatnya daripada menyerah kalah dan mandah dijagal orang.
Yang paling menakutkan adalah seruling tanpa lubang milik Liok Tong, di bawah tiupannya segera berkumandang
semacam suara aneh yang melengking tajam, membuat orang mengkirik, lalu mandi keringat dingin.
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian adalah jago pedang
kenamaan, tapi dalam keadaan begini ia gagal menggunakan jurus mautnya untuk mendesak musuh, tiap kali serangannya baru mencapai setengah jalan lantas kebentur selapis tenaga penghadang yang membendung serangannya itu, terpaksa ia ganti serangan dengan jurus baru.
Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak dengan tangan
mengepal memperdengarkan suitan panjang melengking, suaranya keras dan berhasil menekan sebagian irama seruling
tanpa lubang yang menggema di udara. Betul situasi dapat teratasi untuk sementara waktu, tapi keadaan semacam ini jelas tak bisa bertahan lama.
Percuma Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat-jiu memiliki ilmu silat tinggi, waktu itu mereka hanya merasa telinga seperti tergetar suara guntur, kepala pusing dan mata berkunang-kunang, sekalipun sudah duduk bersila, namun mereka masih terpengaruh oleh irama Liat-yang-sin-kik.
Dalam waktu singkat, debu pasir beterbangan, suara aneh berkumandang, suara tambur dan irama seruling memekak telinga, ditambah lagi desing pedang dan deru angin hingga serupa orkes simfoni yang jarang terlihat.
Sekalipun kedua pihak masih tetap saling bertahan, tapi keadaan para jago semakin payah dan terancam bahaya.
Mendadak bayangan manusia berkelebat, rupanya Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat-jiu tak tahan menghadapi pengaruh irama sakti tersebut, be -runtun mereka terlempar jatuh dan panggung dan tak sadarkan diri.
"Saudara-saudara, ayo tambah tenaga, mereka sudah
hampir habis!" seru Liok He setelah menyaksikan kejadian itu.
Tenaga serangan diperhebat, hampir saja beberapa orang itu tak sanggup bertahan lagi, tetapi pertarungan ini menyangkut mati-hidup mereka, terpaksa mereka melawan mati-matian.
Hong-lay-su-koay semula berdiri tegak di empat sudut, kini berada dalam posisi setengah berjongkok, rambut pada berdiri dan mata melotot, otot hijau sama menonjol keluar, tampaknya merekapun kepayahan.
Napas sama terengah-engah seperti dengus kerbau, peluh mengucur keluar membasahi sekujur badan.
"Blang!" terpengaruh oleh irama Liat-yang-sin-kik yang maha dahsyat itu, sebatang pohon raksasa berusia ratusan tahun mendadak patah dan tumbang.
Bukan cuma begitu, rumput dan daun sekitar tempat itu pun kuning layu, suasana kelabu suram meliputi sekitar tempat ini.
Bok Ji-sia dengan Jian-kim-si-hun-pian telah bertahan hampir seratus jurus lebih, namun ia selalu gagal mengatasi serangan kipas Bukut-san, sebaliknya ia mulai merasa tak tenang, kuda-kuda mulai goyah dan darah bergolak keras.
Kini tangan mulai gemetar, tubuh makin lama juga makin lemah, napasnya tambah berat, rasanya hampir tak tahan.
Cahaya lembayung terpancar dari cincin biru di tangan si nona baju biru, agaknya cahaya tersebut berhasil mengatasi sinar keemasan lawan, tapi gadis itu tetap berdiri tak bergerak sementara matanya berputar ke sana ke mari memperhatikan situasi gelanggang.
Nona itu sadar kekalahan bagi pihaknya tinggal soal waktu saja, irama Liat-yang-sin-kik secara
langsung telah mengguncangkan pikiran mereka, sekalipun di luar mereka tidak ada gejala apa-apa, padahal diam-diam mereka sudah terluka parah.
Dengan suara lemah ia lantas berseru, "Bila bertahan satu setengah jam lagi, keempat tua bangka inipun tak akan jauh berbeda daripada kita."
Meskipun hanya sepatah kata yang diucapkan dengan
suara lemah, tapi pengaruh kewajibannya justru sangat besar, kontan semua orang merasakan semangatnya bangkit
kembali, getaran suara pedang lima lubang milik Lamkiong Hian telah pulih kembali kehebatannya seperti semula, Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian dengan ilmu Seng-gwat-kiam-hoat juga melancarkan kembali jurus serangan yang mematikan.
Sebetulnya suara suitan Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak waktu itu sudah kehabisan tenaga, nampaknya suaranya akan segera tertelan oleh irama seruling tanpa lubang, mendadak suitan melengking kembali dengan nyaringnya hingga berimbang dengan irama seruling.
Mendadak awan hitam berkumpul di angkasa dan menutupi sinar matahari, udara menjadi suram. Tiba-tiba saja irama aneh Liat-yang-sin-kik terhenti di tengah jalan, suasana berubah menjadi hening.
Sekalipun kipas Bu-kut-san masih bergoyang tapi tidak bertenaga lagi, irama seruling segera terhenti, tubuh Liok Tong menggigil, suara tambur sirap dan cahaya emas dari cermin pun lenyap semuanya menjadi sepi, hening ".
Para jago di atas panggung masih berdiri tegak di tempat semula, terdengar dengus napas mereka yang memburu ".
Wajah Liok Ciu yang pucat kekuning-kuningan menjadi beringas, dengan suara gemetar ia berkata, "Thian tidak membantu diriku, apa daya" Apa daya" Ai, rupanya memang takdir".."
Agaknya Liok Tong merasa tidak puas, serunya tiba-tiba.
"Toako, keadaan kita ibaratnya sudah berada di atas punggung harimau, biar kita mainkan saja empat bait terakhir irama maut!"
Liok Cun menghela napas, "Ai, betapa senangnya hidup kita di Hong-lay-to selama ini, siapa suruh kita percaya pada obrolan Oh Ku-gwat tanpa menyelediki lebih dulu duduknya perkara, inilah yang dinamakan mencari penyakit sendiri?""
"Kayu sudah menjadi perahu, menyesal juga tak ada
gunanya, Lotoa tak perlu banyak bicara lagi," kata Liok He dengan angkuh.
Kipas Bu-kut-san segera direntangkan lebar-lebar, ia siap untuk pertaruhan terakhir.
Nona berbaju biru sejak tadi membungkam, tiba-tiba berkata, "Aku sudah mengusai ilmu Cing-peng-kang-khi, sekalipun irama Coat-mia-kik sangat lihai, juga tak bisa berbuat apa-apa terhadap nona!"
Mendengar perkataan itu, Hong-Iay-su-koay terkesiap, rasa ngeri dan kaget terpancar di wajah mereka, jelas mereka merasa jeri oleh perkataan "Cing-peng-kang-khi" atau ilmu ketenangan jiwa.
"Sungguhkah perkataanmu, nona?" tanya Liok Cun
terperanjat. Nona berbaju biru itu mendengus, "Kalau tidak benar, kenapa aku tidak terpengaruh oleh irama Liat-yang-sin-kik kailan" Kenapa pula aku tidak terluka" Masa kalian tak dapat melihatnya sendiri?"
Karena ucapan itu diutarakan dengan nada sungguh-
sungguh. Hong-lay-su-koay tahu gadis itu tidak main gertak, mau-tak-mau mereka harus pertimbangkan kembali untung ruginya pertarungan selanjutnya.
Tiba-tiba Liok Tong tertawa, katanya "Bila naga dan harimau bertarung, salah satu akhirnya pasti mati, maka dalam pertarungan hari ini, jika bukan kalian yang mampus biarlah kami yang mati. Budak perempuan, nantikan saja kematianmu "!"
Seruling tanpa lubang itu segera ditempelkan lagi pada bibirnya, Liok Ciu juga mulai mengangkat cermin anehnya, Liok Cun melirik sekejap ketiga rekannya, ia menghela napas, terpaksa iapun menabuh tambur pembetot sukmanya.
Dengan kening berkerut nona berbaju biru berkata,
"Sekarang teriknya matahari sudah pudar, kalian yakin berapa bagian kelihaian Coat-mia-kik kalian itu bisa dipancarkan?"
"Tenaga murni kami sudah hilang separuh, sekarang pun tiada bantuan teriknya matahari, kupikir irama Coat-mia-kik
paling banter hanya bisa di pancarkan lima bagian saja, tapi kami percaya tiga bagian teaaga sakti Coat-mia-kik pun takkan mampu kalian lawan."
"Baiklah, kala u begitu kalian boleh segera mulai
menyerang," ujar si nona berbaju biru sambil tertawa, "cuma irama Coat-mia-kik dirangkai dengan empat bait syair, bila kalian tak sanggup memancarkan kekuatannya hingga sejauh sepuluh li, kukira kami masih dapat mempertahankan diri "."
Hong-lay-su-koay tidak bicara lagi, diam-diam timbul juga semacam perasaan menghormat dalam hati mereka terhadap jago-jago tangguh yang berada di atas panggung ini.
Deru angin kencang, embusan angin puyuh kembali
berjangkit pula dari empat penjuru, irama Coat-mia-kik mulai berkumandang lagi.
Ditinjau dari istilah Coat-mia-kik berarti sebelum orangnya mampus irama takkan berhenti, jadi semacam ilmu untuk beradu jiwa. Ketika irama maut mulai menggema di udara, suasana menjadi tegang lagi. Sedemikian dahsyatnya sehingga jagat seakan-akan berubah menjadi gelap.
Sejenak lewat sejenak, sejam lewat sejam, sudah sekian lama sang waktu berlalu.
Huan-in-kiam Lamkiong Giok dengan jago yang sudah
mundur sejauh sepuluh li hanya bisa memandang ke arah panggung Kim-leng-tay dengan termangu, dia menyaksikan selapis kabut menyelimuti sekeliling tempat itu.
Irama aneh yang bercampur aduk kedengaran tiada
hentinya, waktu itu ia melupakan segalanya yang diharap adalah semoga ayahnya bisa kembali dalam keadaan selamat.
Dengan kesempurnaan tenaga dalamnya, ia masih mampu mempertahankan diri terhadap pengaruh irama aneh yang lamat-lamat terdengar, berbeda dengan para jago lainnya
yang sementara itu sudah mundur lagi lima li ke sana, dengan demikian tinggal dia sendiri di situ.
Ia tidak menyadari telah dicelakai Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian secara diam-diam, tapi irama Liat-yang-sin-kik yang dahsyat dan bisa memusnahkan orang itu juga merupakan pula irama penyembuh yang paling mujarab, tanpa
disadarinya racun yang mengeram dalam tubuhnya ketika itu telah tersapu lenyap seluruhnya.
Mendadak pandangannya terbeliak, sesosok bayangan
dengan membawa empat macam benda berat sedang
bergerak mendekat ke sini. Seketika hati terasa dingin.
Tertampak olehnya, Hu Sim-jin, si sastrawan misterius itu ctelah melemparkan tubuh Pek Bi dan Pek Sat ke tanah, menyusul dilemparkan pula tubuh Hoa Hong-hui serta si kakek berambut putih yang dikempitnya.
Dari pihak Hek-liong-kang, kecuali si nona berbaju biru yang masih mampu melawan pengaruh irama Liat-yang-sin-kik, Pek Bi, Pek Sat dan Hoa Hong-hui sudah tidak tahan lagi.
Sedang si kakek berambut putih itu meski masih bisa melawan, sayang tenaga murninya sudah banyak berkurang, mereka berempat sudah tak sadarkan diri.
Lantas siapakah sastrawan yang mengaku bernama Hu
Sim-jin ini" Kenapa begitu sempurna tenaga dalamnya sehingga tidak takut pengaruh irama Liat-yang-sin-kik yang hebat" Belum pernah terdengar seorang tokoh selihai ini dalam dunia persilatan.
Lamkiong Giok sangat menguatirkan keselamatan ayahnya, meski dia angkuh dan tak sudi tunduk di bawah perintah orang, tapi keadaan mendesak, terpaksa ia maju ke depan.
"Saudara, bagaimana keadaan di sana?" tanyanya dengan gelisah.
Hu Sim-jin mendengus, tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia berjalan balik ke Kim-leng-tay.
Melihat sikap angkuh orang, Lamkiong Giok naik pitam, timbul niat jahatnya, timbul nafsu membunuhnya, sambil tertawa latah teriaknya, "Saudara, apakah kau tak sudi bicara denganku?"
"Memangnya kau tak bisa melihat sendiri?" jengek Hu Simjin, "Agaknya kaupun seorang tak berguna, kukira Lamkiong Hian benar-benar mempunyai anak bagaikan naga, rupanya apa yang dikabarkan dalam dunia persilatan jauh berbeda dari kenyataan!"
Habis berkata ia tak menggubris Lamkiong Giok lagi, ia putar badan dan berlalu dari situ, sikapnya angkuh sekali!
Lamkiong Giok tertawa, "Bagus! Kesombonganmu cukup menarik dan juga menggemaskan, berdasarkan apa kau berani takabur di hadapanku?"
Tiba-tiba berkelebat cahaya perak seperti naga perkasa langsung mengurung batok kepala Hu Sim-jin.
Hu Sim-jin tertawa nyaring, gerak tubuhnya mendadak dipercepat dan meluncur ke depan, secara manis dan cekatan ia meloloskan diri dari ancaman tersebut.
"Hm, Aku tak ada waktu berurusan denganmu, lain kali pasti akan kucoba kelihaian ilmu pedang Huan-in-kiam-hoatmu," dengus Hu Sim-jin, "apalagi sekarang masih banyak orang yang perlu ditolong, ayahmu juga harus ditolong secepatnya!"
Habis berkata, secepat terbang dia meluncur lagi ke depan.
Lamkiong Giok melengak, sambil mengejar dari belakang, serunya, "Sampai di mana kehebatanmu, berani meremehkan orang lain?"
Sambil mengerahkan ilmu langkah Thian-ti-liu-in (tangga langit awan mengapung) ia mengejar terus dengan ketatnya, dia sangat gemas sampai giginya gemeretuk.
Tiba-tiba berkumandang suara keras yang membawakan empat bait syair.
Badai salju menyelimuti bumi,
Hari ini berkelana sebagai pendekar.
Untuk menikmati kebahagiaan manusia.
Marilah ikut ke Hong-lay nirwana!
Itulah keempat bait syair irama Coat-mia-kik, agaknya Hong-lay-su-koay telah mengerahkan segenap kekuatan irama Coat-mia-kik untuk merobohkan lawan-lawannya.
Ketika bait terakhir itu berkumandang, Lamkiong Giok merasakan tenggorokannya anyir, darah bergolak dalam dadanya, tanpa ampun ia tumpah darah segar, tubuhnya bergoyang terasa berat untuk melangkah lebih jauh.
Kekuatan yang terpancar dari sepuluh li jauhnya masih sedahsyat ini, bisa dibayangkan bagaimana jadinya keadaan di atas panggung Kim-leng-tay.
Langkah Hu Sim-jin juga sempoyongan, gerak tubuhnya tidak secepat semula lagi, ini menunjukkan dia juga sedang mengendalikan diri terhadap gempuran irama Coat-mia-kik yang maha dahsyat itu.
Segala sesuatunya terasa berlangsung dengan tiba-tiba, tapi berakhir pula dengan cepat, suasana menjadi hening dan tenang kembali, seakan-akan tak pernah terjadi apapun.
Untung tenaga dalam para jago di atas panggung Kim-leng-tay rata-rata kelas tinggi hingga cuma darah yang meleleh pada ujung bibirnya.
Sementara itu Liok Tong dengan mata melotot dan wajah menyeringai telak tewas secara mengerikan di sana.
Liok He dan Liok Ciu juga mati dengan isi perut hancur dan pecah pembuluh darahnya. Hanya Liok Cun yang bertenaga dalam paling tinggi berhasil lolos dari musibah tersebut, meski tenaga dalamnya terkuras habis, namun jiwanya masih bisa diselamatkan.
Ia mamandang sekejap kawanan jago yang tergeletak di atas pangung, dengan wajah sedih gumamnya, "Bila tidak terlintas setitik sinar kasihan dalam benakku, saat ini kalian tentu tak bernyawa lagi!"
Dengan lemah tangannya menggapai, empat ekor bangau raksasa putih segera melayang turun di sisinya, setelah naik ke punggung bangau dengan susah payah, ia memberi tanda lagi dan pelahan terbanglah burung-burung itu atas.
Dari kejauhan terdengar suara senandungnya yang penuh kepedihan bergema di angkasa. Suara nyanyian kian lama kian jauh, bangau putih itu akhirnya lenyap di balik awan jauh di ujung langit sana.
Tiba-tiba muncul sesosok bayangan dari bawah panggung Kim-leng-tay, ia memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu sambil tertawa keras katanya, "Hahaha, usaha penumpasan ini betul-betul berhasil. Hahaha?".! Puas! Sungguh puas!"
Sambil tertawa tiada hentinya, dia berjongkok, untuk memungut Jian-kim-si hun-pian serta sarung ruyung yang tak sempat dibawa oleh Liok Cun.
"Oh Ku-gwat!" mendadak seorang menegur dengan
nyaring, "usahamu dan siasat busukmu telah berhasil!"
Dengan terperanjat jago Thian-seng-po ini berpaling.
Dilihatnya si nona baju biru telah sadar kembali dari pingsannya, dengan tubuh yang lemah gadis itu sedang merangkak bangun dan menatap ke arahnya penuh
kebencian. Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat terkejut, niat jahatnya segera timbul, sambil tertawa dia menjawab, "Ah. mana! Masih ada seorang bibit penyakit yang belum sempat kubasmi!"
Selangkah demi selangkah ia maju ke sana, jelas ia bermaksud membinasakan nona berbaju biru itu agar satu-satunya bibit penyakit inipun bisa disingkirkan dari muka bumi.
Melihat air mukanya yang menyeringai itu, menggigil juga nona berbaju biru itu, otaknya segera berputar untuk mencari akal.
Akhirnya sambil menghela napas sedih ia berkata, "Jika aku mati, kaupun jangan harap bisa hidup!"
Oh Ku-gwat tertegun, tanpa terasa ia menghentikan
langkahnya. "Ah, masa begitu gawat?" dengusnya.
Waktu itu segenap tenaga dalam nona berbaju biru itu telah punah, sekujur tubuh terasa lemas tak bertenaga, dengan wajah murung, ia tertawa sedih, kemudian katanya,
"Kedua dayangku dan Suhengku masih berada di sekitar sini, mungkin sebentar lagi mereka akan tiba kembali!"
"Ngaco-belo!" seru Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat sambil bertepuk tangan dan bergelak tertawa
"para pelindungmu sudah musnah terhajar oleh irama Liat-yang-sin-kik, selamanya mereka takkan datang lagi!"
"Ai," nona berbaju biru itu menghela napas sedih, agaknya ia sedang menahan siksaan yang mematikan.
"Kaupun takut mampus?" ejek Oh Ku gwat.
"Semut saja ingin hidup, apalagi manusia "." jawab si nona berlagak tidak mengerti.
"Hahaha, kalau mengingat wajahmu yang cantik dan
kecerdasan otakmu, aku benar-benar tak tega turun tangan,
tapi persoalan ini menyangkut kepentinganku, sebab itulah?".."
"Kau ingin membunuhku untuk melenyapkan saksi bukan?"
jengek si nona sambil tertawa dingia
"Hahaha, benar aku memang bermaksud demikian! Aku
handak menciptakan suatu teka-teki berdarah di atas panggung Kim-leng-tay ini, agar orang tak berhasil menebak untuk selamanya!"
"Kalau begitu, ayolah cepat turun tangan!" seru si nona dengan gusar, "jangan kau kira aku takut!"
"Bagus! Bagus! Ingin kulihat bagaimana mimik wajahmu menjelang kcmatianmu nanti!" seru Oh Ku-gwat, lalu ia tertawa lagi dengan senang.
"Jangan berpikir seenak perutmu, kau pasti akan kecewa!"
sahut si nona. Nafsu membunuh muncul lagi di wajah Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat, pelahan telapak tangan kanannya terangkat. Dengan tenang si nona baju biru itu memejamkan mata dan
menunggu datangnya pukulan maut itu.
Mendadak seorang tertawa dingin. "Meskipun niatmu keji, tapi teka-teki ini diketahui juga olehku!"
Dengan terkejut Oh Kay-gwat berpaling, entah sedari kapan seorang sastrawan muda sedang memandang sinis padanya di belakang.
"Hehehe, bagus sekali kedatanganmu ini!" seru Oh Kay-gwat sambil tertawa seram, "akan kubereskan sekalian nyawamu!"
Dengan cepat segera dia cengkeram dada Hu Sim-jin.
Merah wajah Hu Sim-jin, ia mengira musuh sengaja
bertindak kurangajar kepadanya, dengan marah dia
membentak, "Manusia laknat yang tak tahu malu, kau ingin mampus?"
Ia melangkah maju, telapak tangannya direntangkan
dengan jurus Leng-liong-liau-ka (naga sakit membuka sisik) cepat ia sambut ancaman lawan, bukan gerak tubuhnya saja yang aneh, jurus serangan yang dipergunakan juga luar biasa.
Oh Ku-gwat terkesiap, begitu melihat jurus serangan itu, segera ia menyurut mundur, ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian segera bergerak dan secara beruntun melancarkan tiga kali serangan.
Hu Sim-jin tahu kelihaian ruyung emas itu, cepat ia menggeser kesamping, ia tak berani menyambut ancaman tersebut dengan keras lawan keras.
Tak terduga, tahu-tahu lengannya sudah dipegang orang, dengan terkejut ia putar badan sambil melepaskan pukulan keras ke dada orang,
Tertampak Huan-in-kiam Lamkiong Giok tersenyum sambil berkelit mundur, hati Hu Sim-jin bergetar, dengan jantung berdebar ia menundukkan kepalanya.
"Harap saudara mundur," ujar Lamkiong Giok sambil
tertawa, "biar aku menjajal kehebatan ilmu pedang Thian-kang-kiam-hoatnya!"
Kemudian kepada Oh Ku-gwat dia berkata, "Oh-lotoa, ayahku terluka paruh, hal ini boleh dibilang berkat perbuatanmu, sungguh rendah perbuatanmu itu, mulai hari ini umat persilatan Tionggoan bersama-sama akan memusuhi dirimu "..!"
Bicara sampai di sini, dengan jurus serangan Huan-in-kiam yang hebat dia menusuk, cahaya putih berkilauan, dengan membawa desing angin tajam ia kurung jalan darah kematian sekujur badan lawan.
Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat terkesiap, apalagi dilihatnya makin lama makin banyak orang yang tiba di situ, ia sadar usahanya mengelabui umat persilatan telah gagal total, segera ia bermaksud mengundurkan diri, sebab walaupun usahanya tidak berhasil, barang yang diincar dapat dirampasnya, itu berarti sebagian besar dari tujuannya telah tercapai, bila rahasia ruyung itu bisa dibongkar dan harta karun berhasil didapat?".
Sementara itu beberapa titik cahaya putih sudah
menyambar tiba, mendadak ia berkelit, lalu dengan jurus Sin liong-jut-in (naga sakti keluar dari mega) dia melepaskan serangan balasan dengan tangan kanan.
Deru angin pukulan yang dahsyat segera mendampar ke depan dengan hebatnya.


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tenaga dalam Lamkiong Giok sesungguhnya termasuk
hebat, iapun terhitung salah seorang jago tangguh dewasa ini, tapi Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat adalah seorang gembong iblis, sudah barang tentu tenaga dalamnya jauh lebih hebat, sebab itulah Lamkiong Giok tak berani menyambut dengan kekerasan.
Cepat dia menarik kembali pedangnya dan melompat
mundur. Tujuan Oh Ku-gwat memang hendak memaksa dia berbuat demikian, sambil tertawa serunya, "Ha-haha, aku berangkat duluan!"
"Bangsat tua, jangan kabur, tinggalkan dulu Jian-kim-si-hun-pian itu!" bentak Lamkioug Giok.
Cahaya putih meluncur ke sana dengan gerakan Liu-in-hui-kiam (pedang terbang bagaikan awan melayang) dia mengejar Oh Ku-gwat.
"Dalam pada itu Hu Sim-jin telah mendekati si nona baju biru sambil bertanya, "Bagaimana keadaan lukamu?"
"Agak baikan," jawab si nona sambil tertawa, "coba kalau kau tidak muncul tepat pada waktunya mungkin aku sudah mati tadi."
Tiba-tiba Hu Sim-jin tertawa pedih, keluhnya, "Andaikan hari ini tidak terjadi kebetulan, darimana aku mempunyai kepandaian sehebat ini?"
Sambil berkata, sinar matanya beralih ke tubuh Bok Ji-sia, dilihatnya pemuda itu tenang saja, kecuali napasnya yang berat hampir tiada tanda menderita luka.
Nona berbaju biru itu menghela napas, katanya,
"Kesempurnaan tanaga dalamnya jauh di luar dugaanku, seandainya Liok Cun tidak sengaja lepas tangan, akibatnya juga sukar dibayangkan!"
Tiba-tiba Kiam-hong-cengcu bergerak pelahan dan
membuka matanya, menyusul Bok Ji-sia juga sadar dari pingsannya, kemudian Seng gwat-kiam Oh Kay-thian dan terakhir Siau-yau-sian-kong-kek Ku Thian-gak.
Sementara semua jago masih termangu, dari bawah
panggung mendadak berkumandang jeritan ngeri, begitu keras suara itu membuat hati semua orang bergetar.
Tertampaklah Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat-jiu dengan rambut terurai tak karuan, mata melotot dan darah kental membasahi bibirnya menubruk ke atas panggung seperti orang gila.
Hu Sim-jin terkesiap, tanpa terasa dia menghimpun tenaga dalam dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Air muka kedua orang itu menyeringai seram, seolah-olah iblis yang siap menerkam mangsanya.
Siapakah sesungguhnya Hu Sim-jin dan apa hubungannya dengan orang Hek-liong-kang"
Dapatkah Bok Ji-sia merebut kembali sarung ruyung yang menyimpan sesuatu rahasia harta karun itu"
-oo0dw0oo- Jilid 18 Menyaksikan itu, nona berbaju biru menghela napas, katanya, "Kesadaran kedua orang ini sudah dirusak oleh irama Liat-yang-sin-kik, dalam keadaan demikian, kawan atau lawan yang mendekati mereka tentu akan diserangnya secara keji, lebih baik kedua orang itu dibereskan saju nyawanya. Kalau tidak, bisa jadi kita yang akan dicelakai mereka, saudara Hu lebih baik kau
Sudah barang tentu Hu Sim-jin tahu arti ucapannya yakni kecuali dia yang sanggup menahan kedua gembong iblis yang sudah gila itu, yang lain boleh dibilang tiada bertenaga lagi.
Hu Sim-jin segera memungut pedang berlubang milik
Lamkiong Hian yang tergeletak di tanah itu, katanya, "Jangan kuatir nona, serahkan saja kedua orang ini padaku!"
Beribu-ribu kuntum bunga pedang dengan cepat terpancar menyusul bergetarnya pedang berlubang itu, ia menerjang ke arah Si-hun-koay-sat-jiu dan menahas pinggangnya.
"Saudara tak perlu repot-repot," mendadak Lamkiong Giok melompat maju sambil tertawa dingin, "biar aku saja yang membereskan kedua orang ini."
Sekali tangan bergerak, dua larik sinar putih segera menyambar ke muka. .
Jeritan ngeri menggema di udara, tubuh Kun-tun Cinjin segera terkapar di tanah,
Menyusul darah tepercik ke mana-mana di tengah teriakan kesakitan, batok kepala Si-hun-koay-lat-jiu segera menggelinding ke tanah.
Lalu cahaya putih berkelebat, tahu-tahu Lamkiong Giok telah menyimpan kembali pedangnya, senyuman puas
menghiasi ujung bibirnya,
Hu Sim jin mendengus, "Huh, siapa, yang suruh kauturun tangan .. . "
Lamkiong Giok tertegun, katanya kemudian, "Aku bukao turun tangan bagimu tapi demi keselamatan orang banyak. ..."
"Lain di mulut lain di hati. Hmk! pura-pura berbudi, sok murah hati, munafik" damperat si nona baju biru.
Lamkiong Giok menjadi tersipu-sipu, dengan tertawa kikuk ia menghampiri ayahnya.
Waktu itu Lamkiong Hian telah selesai bersemadi, melihat puteranya mendekat, dengan terharu ia berbisik, "Anak Giok, ayah mengira tak bisa bertemu lagi denganmu!"
"O, ayah, ananda betul-betul cemas" kata Lamkiong Giok dengan terharu.
Dibimbingnya orang tua itu berbangkit, kemudian berjalan perlahan.
"Saudara Bok," kata Lamkiong Giok kepada Bok Ji-sia sambil tertawa, "Siaute berangkat duluan, setelah luka ayahku sembuh tentu akan kutemani saudara Bok berkelana di dunia persilatan dan bersama2 berbakti bagi umat persilatan"
Ji-sia tertawa pedih, "Lantaran kurang hati-hati hingga Siaute mengalami malapetaka, sekalipun sekarang aku dapat bergerak, sayang tak dapat mengantar kepergianmu"
Lamkiong Hian dan Lamkiong Giok berpaling dan tertawa, tanpa bicara lagi mereka lanjutkan perjalanan, sekejap kemudian bayangan merekapun lenyap di kejauhan sana.
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian juga tidak mengucapkan.
sepatah kata pun berlalu dari sana.
Tiba-tiba nona berbaju biru itu berkata kepada Ku Thian-gak sambil tertawa, "Ku Thian-gak, ikutlah pulang ke istana!'
"Baik, nona!" jawab Ku Thian-gak dengan tertawa pedih.
Dengan sinar mata yang aneh tiba-tiba nona berbaju biru itu memandang Bok Ji-sia sekejap, lalu berkata, "Saudara Hu, sampai berjumpa lain waktu! Ai, antara cinta dan benci memang tiada perbedaan yang besar, bila hatimu merasa suka maka itulah cinta, bila merasa benci itulah benci, cuma jangan, bertindak kelewat batas."
Air muka Hu Sim-jin tampak berubah-ubah, agaknya ia sedang menimbang sesuatu persoalan.
Sementara itu Siau-yau-sian-kong-kek Ku Thian-gak telah mengikut di belakang nona berbaju biru itu dan meninggalkan tempat itu.
"Berhenti!" mendadak bentakan keras berkumandang.
Tertampak Bok Ji-sia dengan menyeringai berdiri angker di hadapan mereka, dengan mata melotot gusar ia mengawasi nona baju biru itu.
"Mau apa kau?" tegur nona berbaju biru itu dengan tertawa dingin.
"Tinggalkan Ku-cianpwe di sini!"
Nona berbaju biru itu tertawa terkekeh-kekeh. "Baiklah!"
sahutnya "cuma kukira kau tak bisa menahannya tinggal di sini!"
Habis berkata ia benar-benar pergi seorang diri.
Ji-sia jadi tertegun, Hu Sim-jin yang berdiri di samping juga melengak, dengan sinar mata curiga mereka awasi bayangan punggung si nona.
"Bok-lote!" akhirnya Ku Thian-gak bersuara dengan wajah mengejang menahan sedih, "persoalan ini tiada sangkut
pautnya dengan dirimu, lebih baik jangan ikut campur, apalagi budi dan dendam di balik masalah ini tak mungkin bisa dicampuri onng lain, biarlah maksud baikmu kuterima dalam hati saja!"
Selesai berkata ia lantas buru-buru menyusul di belakang si gadis tadi.
Ji-sia hanya menghela napas panjang, sambil memandang awan di angkasa pelbagai ingatan berkecamuk dalam
benaknya, ia bergumam, "Ai, Bagaimanapun aku harus menolong Ku-cianpwe."
Tiba-tiba ia terkejut oleh bergemanya suara tertawa ejek di belangkangnya, tertawa itu sangat menusuk pendengaran, jelas bukan suara seorang pria
Ketika ia berpaling dilfhatnya Hu Sim-jin sedang melotot padanya dengan smar mata penuh kebencian.
Ji-sia tertegun, tegurnya, "Saudara, ada urusan apa "
"Dongak kepalamu dan tataplah aku!" seru Hu Sim-jin sambil tertawa dingin.
Bok Ji-sia kembali melengak, dengan perasaan tak senang ia mendengus, dengan tajam ia melirik sekejab wajah orang, tapi kembali ia tertegun, sebab wajah Hu Sim-jin terlalu mirip dengan seseorang.
"Urusan magih banyak yang belum selesai, maaf aku tak berniat ribut denganmu!" kata Ji-sia sambil mendengus angkuh.
Habis berkata, tanpa menggubris orang lagi dia putar badan dan pergi dari situ,
Msndadak bayangan berkekbat. tahu tahu H u Sim jin ra&ngadang lagi di depannya, hal ini membuat pemuda tersebut naik pitam ....
"Kau betul-betul sudah lupa padaku!" teriak H u Sim-jin dengan tubuh gemetar.
"Aku memang tidak kenal dirimu!" jawab Ji-sia dengan tertawa,
"Plak! Plok!" dua tamparan keras bersarang telak di pipi Bok Ji-sia, seketika muka pemuda itu marah dan melongo.
"Kau berani memukul aku!" teriaknya penasaran.
Kontan ia balas menampar beberapa kali muka Hu Sim-jin.
Kedua pipi Hu Sim-jin seketika merah bengkak, sambil menjerit ia menutup muka sendiri'seraya menangis sedih.
Melihat kelakuan orang, kembali Ji-sia tertegun, ia tak mengira seorang lelaki bisa berjiwa sehina itu, cuma ditampar beberapa kali air mata lantas bercucuran.
Tahu begini tentu ia takkan menghajar orang semacam ini, seorang lelaki pengecut yang tak tahu malu.
Dengan sedih Hu Sim-jin masih menangis tersedu-sedu.
"Pukul aku! Bunuh saja diriku!" serunya sambil terisak,
"lebih baik aku mati daripada disiksa oleh manusia yang tak berperasaan. Bok Ji-sia, ayo pukul saja sampai aku mati!"
Menyaksikan itu, Bok Ji-sia berpikir lagi dalam hati. "Kalau dilihat lebih teliti, orang ini tidak mirip seorang pengecut yang tak tahu rablu, tapi mengapa ia menangis begitu sedih"
Jangan-jangan dia seperti diriku dalam hati juga terpendam sesuatu soal yang memilukan hati ., , . "
Berpikir demikian, dengan rasa menyesal ia lantas
bertanya, "Saudara, sebetulnya ada persoalan apakah engkau begini bersedih hati?"
Ucapan ini amat menusuk hati Hu Sim-jin hingga sekujur tubuhnya bergemetar.
"Kau betul-betul lelaki kejam yang tak berperasaan!"
dampratnya penuh kebencian.
Seraya berkata ia lantas menarik ikat kepalanya hingga terurailah rambutnya yang hitam dan panjang.
Ji-sia berdiri melongo, dia tak tahu apa yang mesti dilakukannya.
Benar-benar di luar dugaan, Hu Sim-jin ternyata seorang gadis ....
"Kau ..." ia menuding dengan gemetar.
"Ya, aku Tong Yong-iing!" seru Hu Sim-jin dengan tertawa pedih, "seorang perempuan hina yang tak tahu malu, dalam pandanganmu aku tak lebih cuma seorang perempuan sial!"
Sungguh Ji-sia sangat menyesal, ia merasa banyak
berhutang hudi kepadanya, tapi pengalaman pahit masa lalu membuatnya tak berani sembarangan menerima cinta dari seorang gadis.
"Nona Tong adalah gadis yang suci bersih," ucapnya pedih,
"aku merasa berdosa aku tak berani"
Semenjak berjumpa dengan Bok Ji-sia, dalam hati Bwe-hoa--sian-ktam Tong Yoog-ling telah membekas bayangan anak muda itu, keangkuhan dan kekerasan hati Ji-sia selalu terbayang olehnya.
Apalagi sejak senasib sependeritaan dengan Bok Ji-sia sewaktu terkurung dalam penjara air, ia hampir tak bisa melupakannya .... ,
Tapi pengalaman hidup Bok Ji-sia terlampau pahit, dendam belum terbalas, musibah yang memalukan selalu terkenang dalam benaknya, hal ini membuat dia tak berani menerima cinta kasih sang nona yang tulus dan suci itu, dengan hati yang berat terpaksa ia menampik kasih sayangnya.
Dalam sedihnya timbul perasaan dendam Tong Yong-ling, maka dia ganti nama menjadi Hu Simjin yang suaranya sama dengan arti uw-sim-jin (orang yang suka ingkar janji), dengan membawa hatinya yang luka dia menempuh perjalanan untuk mencari kekasihnya ... Bok Ji-sia,
Dia tidak tahu bukannya Bok Ji-sia tidak mencintai dia, tapi disebabkan kesulitan yang tak mungkin dijelaskan padanya.
"Berzinah dengan ibu sendiri .." Betapa menusuknya kata-kata tersebut, Bok Ji-sia merasa perbuatannya itu merupakan dosa yang tak terampunkan. Betapa tidak" Ia telah melakukan hubungan dengan ibu kandungnya sendiri ....
Setiap hari ia terbenam dalam penderitaan, saban hari terbayang pada peristiwa yang memalukan itu, sekalipun bukan atas kehendaknya sendiri, tapi peristiwa itu merupakan suatu kenyataan,
Tong Yong-ling tertawa sedih, katanya, "Bok Ji-sia, kau lelaki berhati keji, kau telah menipuku, merampas hatiku, membawa lari tubuhku, jika tidak berjumpa denganmu, tak nanti aku merana seperti ini!"
Ji-sia merasa sedih dan menderita, ia membungkam dan hanya menatap gadis itu dengan kesima,
"Kau tidak beristn, tidak pula berteman perempuan, kenapa kau menolak cintaku," lanjut gadis itu sambil mengertak gigi,
"apakah kauanggap aku jelek dan tidak pantas bagimu" Bok Ji-sia, aku benci padamu, akupun menciniai dirimu, agaknya, rasa cintaku lebih besar daripada rasa benciku, kau tahu . ."
Makin lama suaranya makin rendah dan hampir tak
terdengar, rasa pedihnya pun semakin hebat.
Perempuan memang kebanyakan berjiwa sempit, dalam
soal cinta selamanya tak ada toleransi, jika gagal bercinta mereka sanggup mengucapkan apa pun, begitu pula dengan Tong Yong-ling searang. -
Ji-sia hampir terpengaruh oleh luapan cinta gadis tersebut, perasaannya menjadi kalut, tak sepatah kata pun sanggup diutarakan.
Melihat anak muda itu hanya membungkam saja, rasa
benci Tong Yong-ling semain menebal, bentaknya keras-keras,
"Kenapa kau tidak bicara?"
"Apa yang harus kukatakan?"
"Kalau tidak kaukatakan, berarti kau ada persoalan yang malu diketahui orang!" desak Tong Yong-ling lebih lanjut.
Ji-sia. terperanjat, ucapan ini menimbulkan perasaan benci dalam hatinya, selama ini hanya membungkam karena ia merasa berhutang budi kepada gadis itu, tapi sekarang hawa amarahnya benar-benar berkobar.
"Tutup mulutmu!" hentaknya sambil menyeringai.
"Kau melarang aku bicara, aku justeru ingin bicara terus, mau apa kau?"
"Kau berani?" bentak Ji-sia gusar.
"Kenapa tidak berani!" sahut Yong-ling.
Sebagaimana diketahui, Bok Ji-sia adalah lelaki yang berhati sekeras baja, ia tak sanggup menahan amarah yang berkobar dalam hatinya, terutama bila didesak terus oleh orang, maka tanpa berpikir panjang lagi telapak tangannya diayunkan ke muka menghajar pipi si gadis.
Pukulan yang dilancarkan dalam keadasa gusar ini sungguh keras, sedikitpun tidak kenai kasihan-
"Kau sungguh keji!" pekik Tong Yong-ling dengan suara geletar.
Ia tidak berkelit atau menghindar, sebaliknya malah membusungkan dada sambil menyongsong datangnya
tamparan itu, matanya terpejam dan kepala disodorkan ke depan.
Ji-sia melenggong, ia menghela napas sedih dan menarik kembali tangannya. Semua keangkuhan dan kekerasan
hatinya seketika buyar.
"Kurangajar, kau berani menganiaya permata hatiku!" tiba-tiba bentakan gusar seorang bergema.
Terlihat seorang perempuan berbaju merah yang cantik dengan wajah gusar sedang berjalan mendekat,
Orang ini bukan lain ialah Han-bwe-kokcu yang termashur dalam dunia persilatan, Bwe-hiang-sian-ki adanya, dia inilah guru Tong Yong-ling.
Baru saja ia mendekat, Tong Yong-ling lantas menubruk ke dalam pelukannya sambil menangis tersedu-sedu.
Semua rasa gemas dan sedihnya segera dilampiaskan
keluar lewat isak tangisoya yang memilukan hati itu.
Bwe-hiang-sian-ki melirik sekejap wajah Bok ji-giat kemudian bertanya, "Yong-ling, dia orang yang kau maksudkan?"
Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling mengiakan lirih,
sementara isak tangisnya makin menjadi.
Selama hidup Bok Ji-sia paling takut menghadapi senjata air mata kaum wanita, setelah mendengus dia lantas melengos ke arah lain.
Bwe-hiang-sian ki jadi marah melihat pemuda itu tidak pandang sebelah mata padanya, setelah mendorong tubuh Tong Yong-ling, dia maju ke depan.
"Hm, melihat sikapmu yang angkuh, kutahu kau pasti pintar mengganggu perempuan," bentaknya, "selama hidup nyonya besar pantang bertarung dengan orang muda, tapi demi muridku, terpaksa aku harus menghajar adat padamu."
Ucapannya menimbulkan amarah Bok Ji-sia, ia balas
mendengus. "Hm, buat apa kau berlagak di hadapanku" Aku tak percaya kau memliiki kepandaian setinggi langit."
Kedua telapak tangannya segera direntangkan dan siap bertarung, sikapnya yang perkasa sama sekali tidak menampilkan rasa takut terhadap keangkeran Bwe-hiang -
sian-ki. "Coba katakan, apa yang jelek dari muridku ini" Kenapa kau tak sudi menggubris dia?" seru Bwe-hiang-sian-ki dengan tertawa dingin.
Bok Ji-sia balas mengejek, "Lelaki di jagat ini masih banyak seperti pasir gurun, kenapa muridmu tidak mengejar orang lain, tapi mendesak diriku terus menerus" Apakah cara semacam ini termasuk peraturan Han-Bwe-kok?"
Bwe-hiang-sian-ki tidak menyangka bakal disudutkan oleh ucapan Bok Ji-sia ini, seketika air mukanya berubah hebat,
"Memberi hati kepadamu tidak kau terima, boleh kau mampus saja.!"
Bayangan merah berkelebat, secepat kilat ia menerjang maju, sebelah tangannya segera meceng-keram bahu Bok Jisia.
Hati Tong Yong-ling sedemikian sedihnya sehingga tak tahan ia mendongakkan kepalanya dan tertawa keras, tertawa melengking seram membuat bulu kuduk orang sama
mengkirik, agaknya ia menjadi putus asa dan mengambil keputusan tidak mau kawin seumur hidup.
Sesungguhnya Ji-sia tak ingin menyakiti hati gadis itu, tapi keadaan memaksanya berbuat demikian.
Melihat Bwe-hiang-sian-ki menyergap tiba, Ji-sia berpekik nyaring, beruntun iapun lancarkan tiga kali serangan berantai,
"Kau cari mampus!" bentak Bwe-hiang-sian-ki,
Telapak tangannya berputar, angin pukulan yang sangat kuat segera menyapu ke depan.
Itulah ilmu pukulan Bwe-sat-ciang andalannya, jelas dia sangat marah hingga mengeluarkan jurus ampuh untuk membereskan-lawan.
"Suhu, jangan melukai dia!" teriak Yong-ling dengan cemas.
"Dia bersikap kejam padamu, kenapa kau berbaik kepadanya?"
Bwe-hiang-sian-ki tidak menggubris seruan muridnya, malahan ia menambah tenaga serangan, nyata dia bertekad mencabut nyawa Bok Ji-sia guna melampiaskan rasa bancinya.
"Biang", di tengah benturan keras, Tong Yong-ling menjerit dan menutup mokanya dengan tangan, untuk sesaat ia tak berani membuka matanya.
Setelah terjadi benturan yang,sangat keras, tubuh Bok Jisia mencelat ke belakang, Tong Yong-ling menjerit kuatir.
Bwe-hiang-sian-ki sendiri walaupun berhasil mamentalkan tubuh Bok Ji-sia. tapi lengan sendiri pun tergetar hingga kesemutan, hal ini membuatnya terkejut bercampur heran.
Dalam keadaan terluka, Ji-sia harus menerima serangan yang begitu berat, darah dalam tubuh kontan bergolak, tanpa ampun lagi ia jatuh tak sadarkan diri.
Mendadak cahaya hijau berkelebat, menyusul sesosok bayangan melayang tiba dan menangkap tubuh Bok Ji-sia ke dalam pelukannya.
"Siapa?" bentak Bwe-hiang-sian-ki dengan gusar dan terkesiap.
Seorang nyonya berbaju hijau balas mendengus, "Kau masih belum pantas mengetahui namaku!"
Sebaliknya Tong Yong-ling menjadi dingin hatinya setelah melihat kemunculan orang ini, jeritnya dengan kaget, "Dia Lik-ih-hiat-li!"
Bwe-hiang-sian -ki tertawa tarkekeh-kekek, "Hehehe, kukira siapa, rupanya seorang jago yang baru muncul dalam dunia persilatan pendekar perempuan yang menyebut dirinya sebagai Lik-ih-hiat-li. Hehehe, namanya ternyata tidak lebih hebat daripada orangnya. Tidak ada yang istimewa!"
Lik-ih-hiat-Ii merasa pedih hati ketika melihat wajah Bok Jisia berubah hitam dan darah kental meleleh di ujung bibirnya, dengan wajah seram ia melototi Bwe-hiang-sian-ki dengan penuh kebencian.
"Kenapa kau lukai dia?" tegurnya dingin.
Senyum Bwe hiang-sian-ki segera lenyap tak berbekas, ia mendengus, "Kenapa kau mencampuri urusanku?"
Lik-ih-hiat-li tertawa dingin, pelahan ia menurunkan tubuh Bok Ji sia ke tanah, lalu tertawa panjang dengan seramnya.
Tertawa yang pedih, keras, marah dan menyeramkan
hingga bergema tiada hentinya ....
Galak tertawa yang menyeramkan itu menimbulkan
perasaan iba hati Tong Yong-ling, ia lantas menarik ujung baju Bwe-hiang-sian-ki sambil membisikinya, "Suhu, mari kita pergi saja!"
"Ah, tidak semudah itu, masa kita harus tinggalkan pertemuan yang begini menyenangkan dengan seorang tokoh sakti seperti dia," jawab Bwe-hiang-sian-ki.
Habis tertawa seram, pelahan Lik-ih-hiat-li mengangkat telapak tangan kanan ke udara ....
"Kau kenal ini bukan!" ujarnya dengan tertawa seram.
Telapak tangannya yang menghadap keluar itu tampak putih bersih bercahaya seperti kristal, di balik lapisan putih bersih itu terpancar selapis cahaya yang menyilaukan mata.
"Peng-sian-jit-gwat-ciang!" jerit Bwe-hiang- sian-ki dengan hati tergetar keras.
"Benar" jawab Lik-ih-hiat-tf. "hari ini, aku akan.
membunuhmu dengan telapak tangan Peng-sian-jit-gwat-ciang ini!"
Terkesiap Bwe-hiang-sian- ki, meskipun ia terhitung jago nomor empat dari Bu-lim-jit-coat, ilmu pukulan Bwe-sat-ciang andalannya juga pernah merajai dunia persilatan, tapi bila mesti digunakan untuk melawan Peng-sian-jit-gwat-ciang, jelas ia masih ketinggalan jauh.
Kontan hatinya menjadi dingin, dengan wajah serius dia bertanya, "Engkau yakin sampai berapa besarkah tenaga pukulan Peng-sian-jit-gwat-ciang dapat kaupancarkan?"
Lik-ih-hiat-li terkekeh-kekeh, "Paling banter tujuh bagian dan paling sedikit lima bagian, tapi untuk menghadapi kau, kukira bukan soal bagiku."
Hati Bwe-hiang-sian-ki semakin dingin, sekalipun ia belum pernah menyaksikan kehebatan ilmu pukulan Peng-sian-jit-gwat-ciang, tapi ilmu sakti yang sudah lenyap selama ratusan tahun dari keramaian dunia ini tentu saja bukan ilmu sembarangan.
Konon kedahsyatan ilmu pukulan Peog-sian-jit-gwat-eiang itu belum pernah sanggup dilawan oleh siapa pun, dan kini Lik ih-hiat-li telah berhasil melatih ilmu itu hingga lima bagian, sanggupkah ia menerima serangan tersebut dengan- Bwe-sat-ciang, hal ini masih merupakan suatu tanda tanya besar.
"Lancarkan saja seranganmu!' katanya kemudian dengan agak kebat-kebit.
Seraya berkata, tenaga dalam latihannya selama puluhan tahun segera dihimpun dan siap menghadapi segala
kemungkinan, mukanya berubph menjadi amat serius,
sementara matanya menatap telapak tangan kanan Ii-ih-hiat-li tanpa berkedip.
Tong Yong-ling terkesiap, maklum ia dan Bok Ji-sia serta Lamkiong Giok pernah memasuki kuburan kuno itu, di mana Lik-ih-hiat-li berdiam, dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan betapa sempurna tenaga dalamnya, diam-diam ia kuatir gurunya juga bukan tandingan lawan.
Iapun tahu Lih-ih-hiat-li mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Bok Ji-sia, setiap saat selalu berusaha melindunginya, kini Bwe-hiang-sian-ki telah menghajar pemuda itu sedemikian rupa, tentu saja Lik-ih-hiat-li tak akan tinggal diam.
Jika ada dua ekor harimau berkelahi, salah satu di antaranya tentu terluka, ia tak ingin Lik-ih-hiat-li terluka, lebih-lebih tak ingin Suhunya kalah, sebab bila hal tersebut terjadi, bukan saja ia telah mencelakai Bok Ji-sia, iapun mencelakai gurunya sendiri.
Makin dipikir makin gelisah, mendadak ia melompat ke depan dan menerjang ke arah Lih-ih-hiat-li.
Waktu itu, telapak tangan kanan Lik-ih-hiat-li sudah siap menghantam, ketika tiba-tiba Tong Yong-ling menerjang tiba, perempuan itu segera bergeser ke samping dan menurunkan kembali tangannya.
"Nona Tong, mau apa kau?" bentaknya.
Dengan air mata bercucuran Tong Yong-ling melayang turun di hadapan Lik-ih-hiat-li, katanya setengah meratap,
"Cianpwe, pergilah dari sini, engkoh Bok . . Bok-heng terluka amat parah!"
Sejak berjurnpa dengan Tong Yong-ling, dalam hati Lik-ih-hiat-li telah timbul kesan yang baik, apalagi setelah mengetahui gadis ini mencintai Ji-sia, ia merasa gembira bagi pemuda itu, juga merasa bersyukur bagi dirinya sendiri.
Sekalipun Lik-ih-hiat-li numpunyai pandangan lain terhadap gadis tersebut, tapi dia adalah perempuan yang kenyang asam garam, dia tetap bersikap tenang.
"Jadi kau mintakan ampun bagi gurumu?" jengeknya kemudian,
Bwe-hiang-sian-ki marah sekali, dengan kedudukannya yang begitu tinggi dalam dunia persilatan, tak nanti ia minta ampun kepada orang lain, keruan ia naik darah ketika melihat muridnya telah membikin malu.
Sambil tertawa seram dia membentak, "*Budak sialan, sia-sia kudidik dan kupelihara dirimu selama dua puluh tahun!"
Hati Yong-ling tergetar, dengan terkesiap ia berpaling, serunya, "Suhu, aku . . . . "
"Ayo cepat kemari!" bentak Bwe-hiang-sian-ki dengan wojah dingin, "apakah kausenaog melihat Suhumu tak dapat mengangkat, kepalanya dalam dunia persilatan" Hm Jika kau berani pagar makan tanaman, biar kulenyapkan kau dari muka bumi!"
Habis berkata, telapak tangannya terangkat, segulung tenaga pukulan maha dahsyat bagaikan ombak mendampar langsung menghantam Tong Yong-ling.
Keruan Tong Yong-ling ketakutan, matanya terpejam, ia tidak berkelit maupun menghindar, ia bertekad menerima pukulan itu dengan tubuhnya.
Lik-ih-hiat-li terkejut menyaksikan kejadian itu ia tak mengira si nenek jadi kalap dan melupakan hubungan guru dengan mund dan secara keji hendak membinasakan Yongling.
'Manusia tak tahu malu' pekiknya, "tak berani padaku, murid sendiri dijadikan sasaran pelampiasan"
Baru bicara sampai di sini, mendadak ia merasakan sesuatu yang aneh, segulung tenaga pukulan maha dahsyat
berhembus lewat sisi tubuh Tong Yong-ling dan menyergap ke arah tubuhnya.
Waktu itu, Tong Yong-ling telah memejamkan mata dan menunggu kematian. Ketika dirasakan berhembusnya angin tajam lewat tubuhnya tanpa melukainya, ia mejadi heran, belum lagi matanya dibuka, telinga sudah menangkap suara benturan keras
Terdengar Lik-ih-hiat-li tertawa terkekeh-kekeh, "Tak kusangka Bwe-hiang-koken juga pandai mempergunakan ilmu Ke-san-tah-gu (dari balik bukit memukul kerbau) yang sudah ratusan tahun lenyap dari dunia persilatan. Dengan kepandaianmu ini, bila aku tidak menggunakan Peng-siarj-jit-gwat-ciang, mungkin dalam dua ratus gebrakan menang-kalah baru bisa ditentukan!"
Air muka Bwe-hiang-sian-ki berubah sedingin es, tadinya ia yakin akan melukai musuh dengan ilmu Ke-san-tah-gu tersebut, kenyataannya Lik-ih-hiat-li sama sekali tak terluka, ini menandakan kepandaian perempuan itu tak boleh di pandang enteng.
"Jangan takabur dulu Lik-ih-hiat-li," bentaknya, "sambut lagi pukulanku ini!"
Telapak tangannya meraih ke atas, dari jurus Pa-bio-cing-hun (muka codet mengejutkan sukma) tiba-tiba berubah menjadi jurus Cong-kiong-hiat-ing (bayangan darah di langit luas), ilmu pukulan Bwe-sat-eiang yang tersohor telah dipancarkan dengan hebatnya ....
Lik-ih-hiat-li tertawa terkekeh-kekeh, ia melompat ke udara, lalu dengan jurus Ci-tian-cing-swan (kilat ungu embun hijau)
tiba-tiba telapak tangan menyodok keluar, cahaya
menyilaukan mata segera terpancar.
Sekalipun Bwe-hiang-sian-ki memiliki tenaga dalam latihan puluhan tahun toh tak berani menyambut serangan Peng-sian-jit-gwat-ciang tersebut dengan kekerasan, kedua telapak tangannya cepat ditarik kembali seraya melompat ke samping.
Siapa tahu, baru saja. tubuhnya bergerak tahu2 Lih-ih-hiat-li telah menyusul tiba, dalam kagetnya cepat ia lepaskan tiga kali pukulan sekali njentikan jari dan dua kali tendangan berantai,
Kedua orang sama-sama jago kelas satu dalam dunia
persilatan, setiap gerak tangan atau kaki semuanya luar biasa, tampaklah sebentar mereka bergumul menjadi satu, lain saat berpisah, pertarungan berlangsung dengan sengit.
Dalam waktu singkat, puluhan jurus sudah lewat, namun menang-kalah masih sukar ditentukan.
Melihat gurunya dan Lik-ih-hiat-li terlibat dalam
pertarungan seru, diam-diam Tong Yong-ling merasa cemas, ketika sinar matanya menatap Bok Ji-sia, mendadak terlintas satu ingatan dalam benaknya.
"Sekarang Suhu sedang terlibat dalam pertarungan sengit melawan Lik-Ih-hiat-li, akupun tak bisa membantu, daripada gelisah di sini, mengapa tidak kucari suatu tempat untuk mengobati lukanya"
Berpikir demikian, ia lantas melirik sekejap ke arena pertempuran, kemudian dengan cepat menyambar tubuh Bok Ji-sia terus dilarikan secepat terbang.
Waktu itu, seluruh perhatian Lik-ih hiat-li lagi tertuju pada Bwe-hiang-sian-ki, ia tak menyangka Eok Ji-sia telah dilarikan orang, ketika merasa sudah terlalu lama bertempur, beruntun dia lancarkan beberapa kali serangan mematikan.
Setelah mendesak mundur Bwe-hiahg-sian-ki beberapa langkah, dengan muka kelam ia membentak, "Lihat serangan!"
Dengan jurus Ih-Jwe-wi jit (hari kiamat meliputi jagat), bayangan telapak tangan yang menyilaukan mata segera mengitari setiap bagian tubuh Bwe-hlang-sian-ki.
Bwe-hiang-sian-ki terkesiap, mendadak ia menjerit
kesakitan, air mukanya berubah hebat, butiran keringat mengucur keluar tiada hentinya . . .
"Bagus, bagus sekali!" serunya sambil tertawa seram, "Lik-ih-hiat-li, kita catat saja dendam ini dalam buku utang kita!"
Sekalipun tenaga dalamnya cukup sempurna, sayang ilmu pukulan Peng-sian-jit-gwat-ciang adalah ilmu yang maha dahsyat, ia merasakan sekujur badan bergetar keras, tahu-tahu badan menjadi lemas dan hawa murni buyar.
Meski Lik-ih-hiat-li berhasil melukai Bwe-hiang-sian-ki dengan pukulan Peng-sian-jit-gwat-ciang. namun ia sendiri juga termakan oleh pukulan Bwe sat-ciang sehingga hawa murni dalam tubuh sukar dihimpun kembali.
Maka sambil mendengus serunya, "Kau tidak puas" Hm, cepat atau lambat kaupasti akan mampus di tanganku!"
Tiba-tiba terdengar teriakan marah, rupanya Bwe-hiang-siao-ki telah mengetahui hilangnya Tong Yong-ling, hal ini membuatnya gusar sekali.
"Anak Ling! Anak Ling!" teriaknya berulang sambil mengawasi keadaan sekitar sana.
Suasana hening, tak terdengar suara apapun, bayangan Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling seakan-akan lenyap tak berbekas.
Mendengar teriakan itu, Lik-ih-hiat-li ikut terkejut, cepat ia memeriksa keadaan di sekitar situ, ketika diketahui Bok Ji-sia
dm Tong Yong-ling telah lenyap bersama, hatinya menjadi gelisah, dengan pedih ia berpekik seram.
"Bagus, bagus sekali!" teriaknya dengan gusar, ternyata kalian guru dan murid telah menggunakan siasat 'bersuara di timur menyerang ke barat' untuk menipu aku . . .."


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bwe-hoa sian-ki tertegun, lalu teriaknya dengan marah,
"Jangan sembarangan kau fitnah orang!"
Sambil melangkah maju Lik-ih-hiat-ih berteriak lagi dengan gusar, "Hari ini, jika tidak kau serahkan Bok Ji-sia padaku, aku bersumpah tidak tinggal diam."
Kini luka Bwe-hiang-sian ki sudah parah sekali, ia terkesiap melihat tampang Lik-ih-hiat-li yang mengerikan itu, dari air muka Lik-ih-hiat-li itu ia tahu orang berani bicara dan tentu bisa dilakukannya, padahal ia sendiri tak mampu memberikan penjelasan, tentu saja ia menjadi gelisah.
Diam-diam ia coba untuk menyalurkan hawa murni ke
seluruh kadan, tapi segera diketahui tenaga sudah tak tersalur lagi, malahan lamat-lamat dadanya terasa sakit, sadarlah dia sukar untuk melakukan pertarungan lagi.
Bwe-hiang-sian-ki tertawa pedih, ujarnya kemudian, "Aku adalah seorang yang sudah berusia setengah abad lebih, mana mungkin kulakukan perbuatan rendah yang
memalukan?"
Lik-ih-hiat-li memandang keselamatan Bok Ji-sia lebih berharga danpada nyawa send'ri, dia me-lengak melihat Bwe hiang-sian-ki bicara dengan sungguh-sungguh. Sebagai seorang ketua suatu perguruan, sudah barang tentu Bwe-hiang-siaa-ki takkan sembarangan bicara, apalagi menyangkal perbuatan sendiri, mau-tak-mau Lik-ih-hiat-li percaya keterangannya.
Pikirnya, "Tak ada gunanya banyak bicara lagi, lebih baik mencari jejak Ji-sia lebih dulu Meskipun Tong Yong-ling
termashur kekejiannya, tapi dia jatuh cinta kepada anak Sia, tak nanti dia membikin susah padanya. Apalagi Bwe-hiang-sian-ki terhitung Han-bwe-koksu, jika anak Sia sampai tertimpa musibah, aku masih bisa mendatangi Han-bwe-koknys untuk membuat perhitungan"
Berpikir demikian, sambil tertawa dingin ia berkata,
"Baiklah, untuk sementara waktu kulepaskan dirimu, lain kali bila bersua kita boleh kita bikin perhitungan lagi!"
Bayangan hijau berkelebat, dengan cepat luar biasa la menuju ke arah barat.
Dengan termangu-mangu Bwe-hiang sian ki memandang
bayangan punggung orang hingga lenyap dan pandangan, sebagai salah seorang di antara Bu-lim-jit-koay, dia tak menyangka hari ini akan dipecundangi Lik ih-hiat-li yang baru muncul dalam dunia persilatan, hatinya betul-betul-sedih dan menyesal.
"Ai!" dia menghela napas sedih, dengan langkah gontai pelanan dia pergi dari situ,
Dalam pada itu Bwe-hoa-gian-kiam Tong Yong-ling dengan membawa Bok Ji-sia telah melarikan diri tanpa tujuan, saat itu dia cuma pikir makin jauh menghindarkan diri semakin baik, sekalipun sampai di suatu tempat yang tak bermanusia pun dia rela mati bersama anak muda tersebut.
Tiba-tiba dari belakang berkumandang suara panggilan yang sudah dikenalnya, ia terkesiap dan menyangka gurunya, Bwe-heng-sian-ki telah melakukan pengejaran setelah mengetahui dirinya menghilang.
Pada saat itu pula tiba-tiba Bok Ji-sia membuka matanya, dengan perasaan tergetar serunya cepat, "Engkoh Bok, baik-baiklah kau . . . ."
Belum selesai perkataannya Bok Ji-sia telah pejamkan kembali matanya, dari mimik wajahnya, Yong-ling tahu anak
muda itu sedang merasakan-penderitaan yang luar biasa dan bertahan sekuatnya.
Pedih hatinya, tanpa terasa air mata bercucuran, dia berbisik, "O, engkoh Bok, sekalipun kita tidak dilahirkan bersama, kurela mati dalam satu liang denganmu, selamanya akan kutemani dirimu!"
Sambil berkata, dia membaringkan Bok Ji-sia, dia
bermaksud menyadarkan pemuda itu dengan bantuan tenaga dalamnya.
Mendadak seseorang bergelak tertawa, "Hahaha, tidak dapat lahir bersama, rela mati dalam satu liang, hahaha"
Mendengar itu, merah wajah Bwe-hoa-sian-kiam Tong
Yong-ling, cepat bentaknya. "Kawanan tikus dari mana yang berani mempermainkan nonamu!"
Kontan ia menghantam ke arah suara ejekan tadi.
Pukulan ini dilancarkan dalam keadaan marah bercampur gusar, kekuatannya luar biasa.
"Hah, galak amat nona Tong!" gelak tertawa mengejek kembali berkumandang.
Menyusul suara ejekan itu, sesosok bayangan berkelebat, Kiam-hong-siaucengcu Lamkiong Giok Ki dengan senyum dikulum pelahan muncul dari tempat sembunyinya.
Tong Yong-ling terkesiap, ia tahu akan kelicikkan serta kebusukan .Lamkiong Giok. makin ramah sikapnya berarti semakin banyak niat busuk yang tersimpan dalam hatinya.
"Lebih baik kau jangan cerewet," serunya dengan ketus,
"kalau tak ada urusan, cepat enyah dari sini!"
Lamkiong Giok tertawa, dia melangkah maju dan pura-pura berseru dengan penuh perhatian, "Eh, bukankah dia ini saudara Bok" Nona Tong, kenapa dia" Apakah____" .
Tong Yong-ling mendengus, jawabnya, "Tak perlu kucing menangisi tikus, sok berlagak kasihan. Hm. nonamu sudah tahu sampai di mana kebusukanmu!"
Selintas rasa marah menghiasi wajah Lamkiong Giok, tapi dengan cepat perasaan tersebut lenyap lagi, diam-diam ia menyumpah dalam hati, "Budak sialan, jangan takabur dulu, suatu ketika kau pasti akan memohon-mohon kepadaku!"
Dengan pura-pura bersikap kurang senang ia berkata,
"Nona Tong, apa maksud perkataanmu itu" Aku dan saudara Bok bersahabat dengan sungguh-sungguh, setelah kuketahui saudara Bok tertimpa musibah saat ini, tentu saja aku tak dapat berpeluk tangan!"
Perkataan ini diucapkan dengan nada yang simpatik, seandainya orang tidak mengetahui kebusukan hatinya tentu akan anggap dia sebagai seorang lelaki sejati dan akan percaya begitu saja semua perkataannya.
Sambil berkata dengan cepat dia memegang nadi
pergelangan tangan Bok Ji-sia,
"Jangan sentuh dia", bentak Tong Yong-ling dengan kuatir.
Tiba-tiba ia menjentik, desing angin tajam menyambar telapak tangan Lamkiong Giok.
Menghadapi ancaman ini, Lamkiong Giok buru-buru
menarik kembali tangannya sambil melompat mundur, dengan wajah marah ia bergelak tertawa, gelak tertawa yang mengandung amarah yang meluap.
"Nona Tong. kaku kau bertindak demikian, maka kaulah yang tidak benar," serunya kemudian.
Tong Yong-ling melengak, tapi dengan cepat serunya dengan gusar, "Apanya yang salah?"
"Aku dan saudara Bok boleh dibilang cocok satu sama lain,"
kata Lamkiong Giok "sebagai sahabat, sudah seharusnya ku
bantu dia sepenuh tenaga, siapa sangka kau sengaja menghalangi. maksud baikku . . . "
Tiba-tiba Tong Yong-ling tertawa menghina,
Lamkiong Giok merasa bingung, padahal sejak berjumpa dengan Tong Yong-ling, dalam benaknya selalu berkisar bayangan gadis tersebut, cuma selama ini Tong Yong-ling tak memberi kesempatan kepadanya, selalu tak menggubrisnya, hal ini pembuat Lamkiong Giok rada gemas.
Setelah tertawa, Tong Yong-ling berkata lagi dengan nada dingin, "Di mulut bicara kebajikan dan luhur budi, padahal di dahm perut penuh kebusukan. Huh, manusia munafik
semacam kau juga ingin menyembuhkan penyakit orang"
Kukira ada maksud lain bukan?"
Lamkiong Giok tertegun, dia tak menyangka dirinya akan dipermainkan oleh gadis itu. Sudah tertawa menghina, sekarang menyindir pula dengan kata-kata tajam, semua ini membuat hawa amarahnya berkobar dengan hebatnya.
"Nona Tong," katanya kemudian,, "kau terlalu memandang rendah diriku, meskipun aku bukan seorang tabib kenamaan, sedikit-banyak juga memiliki kepandaian keluarga, dengan ilmu pertabiban warisan ayahku, paling tidak aku bisa memeriksa keadaan saudara Bok serta melancarkan hawa murninya!"
Tong Yong-ling tahu orang merasa penasaran, dengan tertawa dingin sindirnya pula, "Maaf! Maaf! Tak kusangka Huan-in-kiam Lamkiong Giok Tay-hiap juga seorang tabib ternama, cuma berulang kali kau bilang hendak
menyembuhkan luka Bok Ji-sia, tahukah kau apa yang menyebabkan dia terluka?"
Pertanyaan ini di luar dugaan Lamkiong Giok dan
membuatnya melengak, dengan gelagapan katanya kemudian,
"Soal ini . . . ini .. . ."
Tong Yong-ling mendengus, "Jika penyakit pasien saja tidak tahu, mana bisa menyembuhkannya" Kukira kau tak lebih hanya seorang pembual belaka, tak becus tapi mengaku pintar setinggi langit!"
Lamkiong Giok benar-benar diejek habis-habisan oleh gadis tersebut, tentu saja ia serba kikuk.
Akan tetapi bagaimanapun dia adalah seorang yang pintar, meskipun malu dan tersudut, tiba-tiba satu ingatan terlintas dalam benaknya, dengan cepat ia menemukan akal bagus untuk menghadapi orang.
Sambil tertawa terkekeh katanya kemudian, "Nona Tong, salah besar jika kau berkata demikian."
Tong Yong-ling tertegun, kenapa orang mengatakan dirinya salah" Apakah ada sesuatu yang tidak beres, atau ....
Lamkiong Giok pandai melihat perubahan air muka orang, melihat keraguan Tong Yong ling, ia lantas tahu gadis itu telah termakan.oleh ucapannya.
Maka dengan bangga ia berkata pula, "Dalam soal ilmu pertabiban, orang me&ti melihat, mendengar, bertanya, baru kemudian memutuskan, aku kas belum memeriksa keadaan luka saudara Bok, sudah barang tentu tak bisa mengatakan ia terluka oleh apa, sekalipun Hoa To (nama seorang tabib sakti) lahir kembali juga belum tehtu bisa . . .."
Tapi alis Tong Yong ling segera bekernyit setelah
mendengar perkataan itu, katanya, "Jika ilmu pertabiban mengutamakan melihat, mendengar, bertanya dan
memutuskan, Sekarang kau sudah melihat, juga sudah mendengar, tentunya sudah bisa mengetahui keadaan
sakitnya .. . "
Selesai berkata, ia memandang Bok Ji-sia sekejap yang berada dalam pondongannya, lalu berangkat menuju ke arah barat,
"Kembali!" mendadak seorang membentak.
Tiba tiba muncul enam lelaki berbaju ringkas warna hitam mengadang jalan pergi Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-liog, hal ini tentu saja membangkitkan amarah gadis tersebut.
"Lamkiong Giok," bentaknya seraya berpaling, "apa maksudmu berbuat demikian?"
Lamkiong Giok terbahak-bahak, "Hahaha, jangan salah paham nona Tong, aku tiada bermaksud mengalangi
kepergian nona."
"Lantas kenapa orang-orang ini mengadang jalan kepergianku?" dengus Yong-ling.
Sudah lama Lamkiong Giok terpikat oleh kecantikan Tong Yong-ling, sudah barang tentu ia tak mau melepaskan kesempatan baik ini, apalagi keadaan Bok Ji-sia sekarang sedemikian payah, asal ia gunakan eedikit akal niscaya anak muda itu akan tewas.
Selain itu ia juga menyadari betapa cepatnya kemajuan kungfu Bok Ji-sia, malah jauh di atas kepandaiannya, lama kelamaan orang pasti akan menjadi salah seorang lawan tangguhnya.
Tapi bila teringat pada Lik-ih-hiat-Ii, tubuhnya lantas gemetar, Lik-ih-hiat-li pernah berkata, apabila Bok Ji-sia mengalami apa-apa, dialah yang pertama-tama harus
bertanggung jawab.
Betul ayahnya. Lamkiong Hian, pasti akan membelanya, atau mungkin bisa menandingi kehebatan perempuan itu, tapi jtau pukulan Peng-sian-jit-gwat-ciang cukup menggetarkan hati Lamkiong Giok.
Satu pikiran segera terlintas dalam benakayp, "Ah, peduli amat! Sekalipun hari ini Bok Ji-sia tewas di tanganku, belum tentu Lik-ih hiat-li tahu pembunuhan ini dilakukan olehku,
apalagi Bwe-hoa-sian-kiam juga tak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab ini . . . "
Berpikir demikian, sambil tertawa terbahak-bahak katanya,
"Tapi kalau mereka rni tidak mau melepaskan nona Tong, aku kan tak bisa berbuat apa-apa!"
"Hehehe, kau kira mereka dapst berbuat sesukanya?" ejek Tong Yong-ling.
"Cring!" pedang segera dilolos dari sarungnya, sekali bergetar senjata itu terdengarlah suara mendengung yang memekakkan telinga.
"Sret", cahaya perak menyambar tubuh keenam orang lelaki berbaju hitam itu.
Bayangan orang berkelebat diikuti serentetan jeritan'ngeri yang menyayat hati, sesosok tubuh tinggi besai tiba-tiba roboh terjengkang, darah segar segera berhamburan.
Lamkiong Giok terperanjat, dia tak menyangka Pwe-hoagian-kiam Tong Yong-ling dengan memondong sesosok tubuh masih memiliki kepandaian selihai ini.
"Nona Tong, maaf aku terpaksa harus bertindak kasar kepadamu!" katanya kemudian sambil tertawa seram.
Tong Yong-ling ikut terkesiap, serangan tadi hanya kebetularr saja berhasil membunuh seorang, kini masih sisa lima Orang lagi, mendingan jika satu lawan satu tapi kalau lima orang turun tangan bersama, betapapun dia pasti akan kerepotan kecuali melepaskan dulu tubuh Bok Ji-sia ke tanah.
Namun sekarang bila Lamkiong Giok ikut turun tangan, tak bisa disangkal lagi dalam tiga puluh gebrakan dia pasti akan kehabisan tenaga.
Maka sambil tertawa pedih katanya, "Kalau tidak takut mampus, ayo majulah!"
Pedang diputar dengan jurus Ki-hwe-liau-thian
(mengangkat obor membakar langit) untuk mendesak mundur beberapa orang itu.
"Sreet," segera ia menusuk Lamkiong Giok.
Lamkiong Giok bergelak tertawa serunya, "Ilmu pedang Bwe-hoa-kiarn memang hebat, aku ingin belajar lebih banyak!"
Ujung bajunya segera mengibas ke depan, lima jalur cahaya putih dengan cepat menggulung tubuh Tong Yongling, dahsyat sekali serangan tersebut hingga gadis itu terperanjat.
Olah karena harus memegangi tubuh Bok Ji-sia, gerak-geriknya menjadi kurang leluasa, buru-buru dia melangkah ke samping, kemudian dengan jurus Siau-ci-Iam-san (sambil tertawa menuding bukit selatan) ia tusuk tenggorokan Lamkiong Giokr
"Tring-ting", cahaya putih lenyap, lengan Tong Yong-ling kaku kesemutan dan hampir saja pedang terlepas dari genggaman, sedangkan Lamkiong Giok dengan senyum
bangga sedang memandangnya tanpa berkedip.
Malu dan marah Tong Yong-liag, bentaknya murka,
"Lamkiong Giok, biar aku beradu jiwa denganmu!"
Segera pedang menusuk, cahaya perak menyambar
secepat kilat. Huan in-kiam Lamkiong Giok terkejut, cepat ia melambung ke udara untuk menghindar, lalu pedang pendek dilolos, bayangan sinar pedang segera mengurung sekujur tubuh Tong Yong-ling.
Gadis itu menjerit kaget, lengan kirinya tersambar sehingga robek sebuah luka yang panjang, darah segar mengucur keluar, karena mendongkol hampir saja ia menangis.
"Lamkiong Giok, kau manusia berhati keji,..." teriaknya sambil menyeringai.
Makin sedih nona itu makin tertarik Lamkiong Giok, ia merasa kecantikan Tong Yong-ling saat ini jauh lebih menarik daripada keadaan biasa,
"Hahaba, kau sungguh amat cantik?" serunya, sambil bergelak tertawa.
Murka Tong Yong-ling, ditambah rasa malunya, ia lantas membentak, "Biar aku beradu jiwa denganmu!"
Pedang Bwe-hoa-kiam berputar menciptakan serentetan cahaya putih, lalu disambitkan ke arah Lamkiong Giok.
"Siaukokcu, cepat mundui!" teriak beberapa orang lelaki kekar itu dengan kuatir. Sambil memutar senjatanya mereka lantas menubruk ke arah Tong Yong-ling.
"Sret" diiringi hawa pedang yang memekak telinga,
Lamkiong Giok merasakan bahunya menjadi sakit, air muka berupah pucat.
"Kau mencari penyakit sendiri, jangan menyesal bila Lamkiong Giok bertindak keji padamu!".
Tiba-tiba dia melompat maju dan membentak, "Mundur semua!"
Dengan ketakutan kelima orang itu segera melompat
mundur ke belakang.
Air muka Lamkiong Giok sedingin es, hawa napsu
membunuh menyelimuti wajahnya, perahan ia mendekati Tong Yong-ling.
Tong Yong-ling tahu sulit untuk meloloskan diri, setelah menghela napas dan memandang sekejap Bok Ji-sia, pelahan ia duduk ke tanah.
"Ai, engkoh Bok," keluhnya sedih, "Inilah sobat karibmu!
Tahu begini, tidak perlu kau berteman dengan manusia yang lebih rendah karipada binatang ini!"
"Hehehe, sekalipun kau memberitahukannya sekarang juga tak berguna," ejek Lamkiong Giok,
Sambil melompat maju, tiba-tiba telapak tangannya
direntangkan, tangan yang satu mencengkeram dada Tong Yong-ling sementara tangan yang lain menghajar batok kepala Bok Ji-sia, rupanya dia ingin membunuh Bok Ji-sia terlebih dulu baru kemudian, membekuk si nona manis.
Napas Tong Yong-ling tampak terengah, hakikatnya ia tak bertenaga lagi untuk melawan, ia tahu nyawanya tak bisa lolos dari cengkeraman musuh, maka ia bertekad akan mati bersama Bok Ji-sia.
Pada waktu itulah, tiba-tiba Ji-sia membuka matanya dan menarik napas panjang, seakan-akan seorang yang baru sembuh dari sakit parah, ia menengok ke arah Lamkiong Giok sambil tertawa getir.
Kejadian ini sangat mengejutkan Lamkiong Giok, cepat ia menarik kembali tangannya dan tersipu-sipu, diam-diam ia tercengang kenapa Bok Ji-sia masih sanggup membuka matanya.
Sebagai seorang yang banyak curiga, segera ia berpikir,
"Celaka, jangan-jangan Bok Ji-sia bersekongkol dengan Tong Yong ling untuk mencoba diriku" Kalau benar demikian, asal Bok Ji-sia mengetahui maksudku, dia pasti akan membenci diriku. Ah, kenapa tidak kugunakan kesempatan ini untuk memeriksa apakah Bok Ji-sia betul-belul terluka atau tidak"
Jika benar-benar terluka, hari ini adalah kesempatan yang baik untuk turun tangan"
Ia memang jauh lebih pintar daripada orang biasa,
menyadari gelagat tidak menguntungkan air mukanya segera berubah menjadi ramah dan berlagak simpatik,
"Saudara Bok," demikian ia menegur sambil tertawa,
"bagian manakah dari tubuhmu yang terasa tak enak" Mari biar kuurutkan."
Ji-sia geleng kepalas sinar mata yang penuh rasa terima kasih terlihat jelas pada wajahnya. Ia tidak tahu kelicikan dunia, ia sangka Lamkiong Giok adalah seorang sahabatnya yang dapat dipercaya.
Setelah mengatur napasnya, kemudian sahutnya sambil tertawa getir. "Saudara Lamkiong, tidak kusangka menjelang ajalku masih sempat melihat dirimu untuk terakhir kalinya, bba memiliki seorang sahabat seperti kau, biar mati akupun tidak penasaran."
"Ah, kenapa saudara Bok berkata demikian," Lamkiong Giok mtnyengir, ''hubungan persahabatan kita sangat mendalam, andaikata saudara Bok mati, aku pasti akan menjelajahi dunia untuk menemukan musuhmu dan membalaskan dendam
bagimu, kemudian Siaute pun akan bunuh diri di hadapan makam saudara Bok dan menyusulmu ke alam baka."
Tutur kata yang enak didengar dan bernada sungguh-
sungguh itu membuat Ji-sia sangat terharu, ia dalam keadaan tsrlnka parah, ucapan semacam itu benar-benar suatu hiburan baginya.
Dengan perasaan terharu Ji sia tertawa, katanya,
"Sekalipun banyak teman di dunia, sahabat kental hanya ada satu, saudsra Lamkiong, budi kebaikanmu hanya bisa kubalas dalam penitisan yang akan datang!"
"Huh, kalau teman semacam ini" lebih baik tidak kenal!"
mendadak seorang menyindir.
Ji-sia tertegun, sayang lukanya terlampau parah, tulang belalang bagaikan terlepas semua, walaupun dia ingin berpaling untuk memandang wajah Tong Yong-ling namun keinginannya tak tercapai, terpaksa ia hanya menghela napas.
"Nona Tong," katanya kemudian dengan nada tak sen&ng,
"persahabatanku dengan saudara Lamkiong adalah persahabatan sehidup semati, jangan harap orang bisa merusak persahabatan kami, hendaknya kau jangan
sembarangan bicara."
Sebenarnya Lamkiong Giok sangat gusar, tapi demi
mendengar perkataan Bok Ji-sia itu, amarahnya lantas hilang separuh, sambil tertawa katanya, "Saudara Bok, nona Tong mungkin agak salah paham kepadaku, jalan pikiran kaum perempuan biasanya memang lebih sempit, kita tak bisa menyalahkan dia, mungkin juga aku memang melakukan kesalahan"
Perkataan ini benar-benar amat manis dan mengharukan, siapapun tak mengira apa yang dipikirnya justeru akal untuk mencelakai Bok Ji-sia, hanya kesempatan yang ditunggu saja belum kunjung tiba.
Ia berpaling dan memandang sekejap Tong Yong-ling, kemudian sambil melangkah maju kataknya lagi. "Saudara Bok, bencana sudah berada di sekitar sini, mari kuantar dirimu untuk minta pengobatan ayahku."
Wajah Bok Ji-sia tampak mengejang, untuk sesaat dia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun, keringat dingin membasahi jidatnya, se-akan2 sedang menahan penderitaan yang luar biasa.
Lamkiong Giok tahu kesempatan baik, ini segera akan hilang, dengan cepat kedua tangannya menyambar ke depan berusaha merampas Bok Ji-sia dari pelukan Tong Yong-ling.
Gadis itu terkejut, buru-buru dia mengegos ke samping.
"Biar maksud baikmu kuterima dalam hati saja!" kata si nona dengan tertawa dingin tiada hentinya.
Ji-sia tidak tahu maksud busuk Lamkiong Giok yang
sesungguhnya, dia malah mengira pemuda itu adalah seorang
lelaki sejati, rasa terima kasihnya menumbuhkan rasa hormatnya pula hingga ia sama sekali tidak menaruh prasangka apa-apa.
"Serahkan saja diriku kepada saudara Lamkiong!" katanya kemudian kepada Tong Yong-ling dengan tertawa pedih.
Gemetar badan Tong Yong-ling, serunya dengan
tercengang, "Begitu percayakah kau kepadanya?"
Ji-sia meleaggong, lalu tertawa panjang, "Harap nona Tong jangan kelewat curiga, saudara Lamkiong adalah orang sendiri, apalagi aku toh tak dapat kaupondong selamanya . ."
"Uaak!" kembali ia tumpah darah, air mukanya berubah dan kontan jatuh tak sadarkan diri.
Hati Tong Yong-ling berdebar keras dan merasa malu, ketika tiba-tiba dirasakan Ji-sia bergemetar dan tumpah darah, keadaannya sangat lemah, tak terkatakan cemasnya.
Ia tak tahu apa yang mesti dilakukannya, dia cuma
memandangi pemuda itu dengan termangu.
"Nona Tong," tiba-tiba Lamkiong Giok tertawa aneh,
"engkau seorang nona, mana boleh membopong seorang lelaki terus menerus di tempat sepi seperti ini . ."
Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling terkejut mendengar perkataan itu, diam-diam ia memaki diri sendisi, "Aku benar-benar gegabah, musuh tangguh belum pergi, pikiranku sudah melayang tak keruan"
Belum lagi lenyap pikiran, itu, tiba-tiba terendus bau harum yang aneh menyerang hidungnya.
Ia ingin berteriak, sayang sudah terlambat, dunia serasa berputar, tubuh menjadi enteng bagaikan terbang di angkasa
.... "Bluk", tubuh Bok Ji-sia yang dipegang Tong Yong-ling terjatuh ke tanah,
Dengan cepat Lamkiong Giok melompat maju untuk
memayang tubuh Tong Yong-ling hampir roboh itu, timbul air mukanya yang berubah-ubah, entah girang atau terkejut!
Cuma dia sendiri yang tahu.
"Nona Tong, kenapa kau?" katanya dengan tertawa culas.
Setelah memandang sekejap sekeliling tempat itu, katanya lagi, "Cepat bawa pulang ke Kiam-hong-ceng, rahasiakan kejadian ini, kalau tidak ... Hmm!"
Orang-orang itu sudah lama tinggal di Kiarn-hong-ceng, mereka tahu kekejaman Lamkiong Giok, mendengar
peringatan itu diam-diam mereka merinding, sekali
membentak, diangkatlah kedua tawanan itu dan meninggalkan tempat itu.-
Tiba-tiba berkumandang suara pekik nyaring keras. Makin lama semakin keras.
Dari suaranya dapat diketahui tenaga dalam orang ini pasti tinggi sekali.
Terkesiap Lamkiong Giok mendengar suara pekikan itu, mendadak ia teringat pada seorang, buru buru dia angkap langkah seribu.
"Cepat lari!" bentaknya.
Segera kelima orang itu mempercepat larinya
meninggalkan tempat itu.
Dalam waktu singkat, Lamkiong Giok dan begundalnya sudah kabur dan lenyap dari pandangan-Berbareng dengan berhentinya suara tadi, tampak sesosok bayangan hijau secepat kilat meluncur tiba.
Ia memandang sekejap sekeliling tempat itu alu bergumam,
"Aneh. jelas kudengar di sini ada orang, kenapa sekarang menghilang" Jangan-jangan mereka telah kabur."
Ia lantas menunduk kepak dan memeriksa sekitar situ dengan cermat, tiba-tiba ia mendengus, ternyata lamat lamat dapat dilihat beberapa bekas telapak kaki, dengan mengikuti bekas telapak kaki itu pengejai\ran segera dilakukan.
Meskipun Lamkiong Giok berotak cerdas, sayang di antara ketelitiannya tetap melupakan sesuatu.
Dia cepat-cepat meninggalkan tempat itu, tapi lupa tenaga dalam anak buahnya cuma kelas dus, apalagi harus berlarian dengan menggendong dua orang, dengan sendirinya
meninggalkan bekas yang nyata,
Berdiri jauh perempuan berbaju hijau itu menelusuri jejaknya segera ditemukan sesosok mayat yang tergeletak bergenang darah, itulah mayat jago Kiam-hong-ceng yang mati tertusuk oleh Tong Yoog-ling tadi.
Sambil mendengus, perempuan itu melanjuskan
pengejarannya, hatinya sangat gelisah.
Belasan li telah dilampaui dalam sekejap mata. Mendadak terdengar seorang membentak, "Siapa di situ, berhenti!"
Sambil berheati Lik-ih-hiat-li tertawa terkekeh-kekeh, "Aku lagi kuatir tak dapat menemukan jejak kalian, tak nyana kalian malah muncul sendiri untuk mengundang diriku."
Dia tidak menggubris kedua sosok bayangan yang
menebeng ke arahnya, dia malah menyusup ke arah pintu gerbang di balik kerimbunan pepohonan.
"Berhenti!" kembali muncul dua orang, kini dari depan, belakang, kiri dan kanan seluruhnya muncul empat jago muda bersenjata pedang.
Melihat jalannya teradang, Lik-ih-hiat-li mendengus, katanya, "Tempat ini bukan tempat terlarang, siapa yang.
berani merintangi diriku ..."
Diam-diam ia himpun tenaga pada telapak tangan dan siap melancarkan serangan, sambil tertawa dia maju beberapa langkah lagi ke depan.
Sikapnya yang angkuh dan tak pandang sebelah mata
kepada orang lain ini menimbulkan perasaan gemas bagi keempat pemuda itu. "Cring!" mereka segera melolos pedang dsn rnengadang di depan perempuan itu.
"Mei, peraturan busuk dari manakah ini?" tegur perempuan itu sambil tertawa dingin, "Kenapa begitu berjumpa lantas main senjata?"
Keempat pemuda itu saling pandang sekejap, setelah saling memberi tanda, tiba-tiba salah seorang di antaranya mengamati perempuan berbajia hijau itu, lalu tegurnya,
"Tahukah nona tempat apakah ini!"
Lik-ih-hiat-li tertawa terkekeh-kekeh, "Soal ini aku tidak tahu, tapi dapat kuberitahukan padamu, putraku jauh lebih besar daripadamu, kau main bentak padaku, apakah tidak merasa kurang sopan" Ayo cepat berlutut dan minta ampun atas dosamu itu!"
Air muka pemuda itu menjadi merah jengah, mana ia tahu apa yang diucapkan orang memang betul, tapi ia sangka perempuan itu sengaja mempermainkannya.
"Budak hina," makinya dengan gusar, "kau berani mencari gara2 pada tuanmu" Hm, rupanya kau ingin mampus!"
Sambi! berkata ia lantas menuding sepotong batu besar di tepi jalan.
Ia tidak memperhatikan apakah perempuan berbaju hijau itu mirip seorang nona atau tidak, meski mukanya cantik jelita, tapi tak dapat menutupi kerut wajahnya yang menandakan sudah dimakan usia.
Mengikuti arah yang ditunjuk, perempuan itu berpaling, seketika hatinya tergetar, kiranya pada batu itu tertera
beberapa huruf besar yang ditulis dengan ilmu jari Kim-kong-ci yang hebat.
"Thian-he-ta-it-ceng " Kiam-hong-ceng". Artinya perkampungan nomor satu di dunia ini.
Beberapa huruf kecil di bawahnya tak diperhatikannya lagi, sambil berpaling kembali katanya dingin, "Kiam-hong-ceng bukan sarang naga atau gua harimau, anak muda, hanya ini saja nyonyamu tak dapat digertak,"
Pemuda itu segera angkat pedangnya sambil membentak,
"Tangkap perempuan ini!"
Dengan jurus Kim-peng-liang-ih (rajawali emas mementang sayap) tiba-tiba ia menusuk bawah perut perempuan berbaju hijau itu.
"Enyah dari sim!" bentak perempuan berbaju hijau itu.
Sekali tangan bergerak, tidak nampak bagaimana
menyerang tahu-tahu terdengar "Plak!"
Hanya satu jurus'saja pemuda itu sudah mencelat dan mati seketika, siapa pembunuhnya belum lagi diketahui, jiwa sudah melayang.
Tiga jago muda lainnya menjadi ketakutan melihat
kehebatan lawan, tapi peraturan Kians-hong-ceng terlalu keras, sekati pun harus mati juga tak boleh mundur, terpaksa sambil menggerakan pedang mereka menubruk maju dao melancarkan serangan.
Di tengah suara tertawa dingin Lik-ih-hiok-li mengayun lagi telapak tangannya, kembali seorang jago muda binasa, hal ini membuat dua orang kawannya menjadi ketakutan setengah mati.
Perempuan baju hijau itu tidak menyerangg lagi, ia tertawa terkekeh-kekeh'"Tak ada gunanya batu ini, lebih baik di musnahkan saja,"
Tubuhnya bergerak cepat, di antara gelaktawa melengking, telapak tangannya diayunkan ke depan menghantam batu peringatan yang besar itu.
"Blang!" bumi bergoncang, batu berhamburan, batu besar yang bertuliskan "Thian-be-te-it-ceng" tadi tahu-tahu terhajar sehingga hancur lebur
Pada saat itu pula tiba-tiba berkumandang gelak tertawa yang nyaring, berbareng meluncur tiba sesosok bayangan, terdengar orang itu membentak, "Siapa yang berani membikin onar dalam Kiarn-hong-ceng?"
Baru saja perempuan berbaju hijau itu tertegun, tiba-tiba terasa angin pukulan yang kuat tanpa suara menerjang tiba.
Ia terkejut, buru-buru ia melayang ke samping telapak tangan kiri diayunkan ke muka melancarkan pukulan balasan.
"Plak" benturan keraa terjadi.
Penyerang itu tampaknya terpukul dengan berat, beruntun tergetar mundur beberapa langkah sedangkan perempuan berbaju hijau itu sendiri berdiri tegak di tempatnya.
Tertampak seorang kakek kurus berjubah panjang sedang mengamati perempuan berbaju hijau itu dengan rasa kaget, sorot matanya yang tajara sungguh mengerikan orang.
Perenipuan berbaju hijau itu tertawa dingin, tegurnya "Hai, untuk apa sepasang mata anjingmu melotot terus kepadaku"'


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakek itu terkejut, lalu mendengus, "Hmm kukira kaulah yang bernama Lik-ih-hiat li?"
"Betul, mau apa?"
"Hehehe, Kiam-hong-ceng kaaai tak pernah berselisih denganmu, ibaratnya air sungai tidak mengganggu air sumur, kenapa hari ini kau membantai anggota perkampungan kami dan menghancurkan tugu peringatan kami" Apakah kau sengaja pamer kelihaianmu di sini?"
"Hm, .kalau betul mau apa" Kalau tidak lantas bagaimana?"
Si kakek semakin naik pitam, bentaknya, "Kalau betul maka nyawamu mesti ditinggalkan di sini, kalau tidak, lekas kutungi sendiri kedua tanganmu dan sebuah kakimu untuk menebus dosamu itu!'
"Kalau aku tidak mau!" ejek Lik-ih-hiat-li.
"Terpaksa harus kuturun tangan sendiri!" bentak kakek itu dengan gusar.
Kedua telapak tangannya segera terentang bagaikan
harimau lapar segera ia menubruk.
"Tunggu sebentar!" seru Lik-ih-hiat-li.
Dengan suatu gerakan enteng ia mengegos ke samping dan meloloskan diri dari cengkeraman maut lawan, gerakan indah seperti bidadari turun dari kayangan, sama sekali tidak kelihatan sebagai seorang perempuan pembunuh.
"Kau berubah pikiran?" jengek si kakek sambil menarik kembali serangannya.
Lik-ih-hiat-li terkekeh-kekeh, "Selamanya aku tak pernah memhunuh orang yang tak bernama sebutkan dulu siapa namamu!"
"Tak perlu banyak bicara, aku adalah Hian-thian-it-lo!"
jawab kakek itu marah.
Selesai berkata sambil-berpekik nyaring kedua telapak tangannya diayun ke kiri dan ke kanan dengan jurus Lam-hay-ku-tan (sampan tunggal di laut selatan), sekujur tubuh Lik-ih-hiat-li berada di bawah? ancamannya.
Dengan alis menegak Lik-ih-hiat-li membentak, telapak tangan memukul dari jauh. "crit'', cahaya terang langsung menyambar kepala Hiaa-thian-it-lo.
Terkesiap Hian-thian-it-lo, angin tajam itu membuatnya menggigil, cepat tangan memukul ke depan, tapi segera ia mendengus tertahan, tiba-tiba air muka Hian-thian-it-lo berubah hebat, sinar matanya guram, sekujur badan gemetar keras.
LJk-ih-bat-li tertawa sinis. Tapi mendadak dari empat penjuru di sekelilingnya berkumandang suara langkah kaki yang teratur, jelas suara langkah kaki itu bukan cuma satu orang, tapi kedengarannya seperti berasal dari seorang yang sama.
Lik-ih-hiat-li terperanjat, coba memandang sekeliling tempat itu, air mukanya berubah lagi, tertampak olehnya beberapa baris lelaki bersenjata lengkap muncul dari empat penjuru dan menerjang ke arahnya.
Orang-orang itu semuanya memejamkan mata, senjatanya panjang melebihi ukuran senjata biasa, keadaan mereka bagaikan orang linglung, mereka berjalan ke depan tanpa peduli apa yang terjadi.
Makin melihat Lik-ih-hiat-li makin terkesiap, dalam waktu singkat ia sudah terkepung di tengah, sementara orang-orang itu meluruskan senjata ke depan sejajar dada, asal mereka mendesak lebih ke depan, niscaya sulit baginya untuk meloloskan diri dari lingkaran kepungan.
Pada saas itulah, dari udafa berkumandang suara bentakan keras menggeledek, "Siaucengcu tiba ..."
Habis suara bentakan itu, dari kejauhan muncul empat sosok bayangan meluncur datang dengan cepat luar biasa, menyusul lagi empat orang lelaki berbaju hitam, lalu sesosok bayangan yang ramping dengan gerak yang lincah tanpa menimbulkan suara muncul pula di tengah arena.
Sementara itu para jago yang lincah berada di sekeliling tempat itu telah berhenti bergerak, meski mata mereka masih
terpejam, namun setiap orang berdiri dengan wajah serius tanpa kacau.
Hian-thian-it-lo segera maju memberi hormat seraya berkata, "Siaucengcu, perempuan ini adalah Lik-ih-hiat-li, sungguh menyesal kepandaianku bukan tandingannya"
Rupanya ia sudah keder oleh kelihaian tenaga dalam Lik-ih-hiat-ii, kuatir Siaucengcunya tak sanggup melawan, buru-buru ia memberi peringatan.
Tentu saja ia tak pernah menyangka Lamkiong Giok sudah berulang kali berjumpa dengan Lik-ih-hiat-li. .
Huang-in-kiam Lamkiong Giok mengangguk sambil tertawa, sahutnya, "Aku tahu, pergilah beristirahat saja."
Karena terhajar oleh Peng-sian-jit-gwat-ciang,
sesungguhnya sejak tadi Hian-thian-it-lo sudah payah, cuma tenaga dalamnya cukup sempurna sehingga ia dapat bertahan sehingga tidak roboh.
Tapi setelah membuka suara, tenggorokannya segera
terasa anyir, tak tahan lagi ia tumpah darah segar, cepat dia kabur kembali ke dalam perkampungan.
Huan-in-kiara Lamkiong Giok kini harus berhadapan dengan Lik-ih-hiat-li, diam-diam hatinya kebat-kebit, ia sudah cukup mengetahui, kehebatan tenaga dalam perempuan itu serta kekejiannya, ia sadar kepandaian sendiri masih bukan tandingan lawan.
Setelah berpikir, kemudian sambil menjura dan tertawa, katanya, "Locianpwe, kenapa tidak kauberitahukan dulu kunjunganmu ini agar Wanpwe bisa menjadi tuan rumah yang baik."
Lik-ih-hiat-li mendengus, sambil menuding ke sana, dengusnya, "Beginikah caramu mengundang tamu!"
Lamkiong Giok adalah pemuda yang pintar, sambil pura-pura berpaling ke belakang diam-diam ia memberi tanda kepada anak buahnya, lalu dengan berlagak marah,
bentaknya, "Kalian mundur semua dari situ!"
Tapi kawanan jago bersenjata lengkap itu masih berdiri tak bergerak di tempat semula, senjata mereka teracung ke atas, sedikitpun tidak bermaksud mengundurkan diri dari situ, hal ini menyebabkan Lik-ih-hsat-li berkerut kening.
Lamkiong Giok memperlihatkan senyuman getir, katanya,
"Maafkan ketidak mampuan Wanpwe, harap Locianpwe maklum"
"Lamkiong Giok, kau anggap aku anak kecil berusia tiga tahun yang gampang kau tipu?" jengek Lik-ih-hiat-li, "memang kau cerdik, sayang kau justru keblinger oleh kecerdikan mu itu."
Merah padam wajah Lamkiong Giok, ujarnya, tersipu-sipu,
"Ketahuilah Cianpwe, meskipun Wari-pwe menjabat sebagai Siaucengcu perkampungan Kiam-hong-ceng, sesungguhnya hanya pirnya nama dan tak punya kekuasaan apa-apa, Wanpwe bodoh dan berpengalaman cetek masih belum pantas memimpin orang lain, itulah sebabnya kecuali ayahku boleh dibilang tak ada orang lain lagi yang bisa memeriatah acak buahnya .. "
Lik-ih-hiat-li tertawa seram, "Kalau memang tak becus, mau apa kau datang kemari?"
Lamkiong Giok berbuat demikian dengan harapan agar ayahnya cepat-cepat muncul, tapi ucapan Lik-Jh-hiat-li itu sungguh membuatnya tak tahan
"Aku mengalah kepadamu bukan berarti aku takut padamu.
Baik, setelah kaudatang kemari, itu berarti kau sengaja datang untuk mencari perkara-Wanpwe tetap menurut peraturan dan ingin tahu dulu maksud kedatanganmu."
Dengan wrjah dingin Lik-ih- biat-li berkata, "Pertama kudatang kemari untuk mencari dua orang. Kedua akupun ingin menjumpai jago paling hebat di dunia ini, Kiam-hong cengcu Lamkiong Hian."
Mendengar ucapan tersebut, Lamkiong Giok terkejut, pikirnya, "Kedatangannya ini jelas suatu kesengajaan, jangan jangan dia sudah tahu aku telah melarikan Bwe hoa-sian-kiam Tong Yong-ling dan Bok Ji-sia" Kalau demikian, urusan sekarang menjadi agak repot."
Tentu saja ia tidak perlu menguatirkan keselamatan ayahnya yang dicari Lik-ih-hiat-li, yang membuatnya kuatir adalah perbuatannya itu akan diketahui oleh perempuan ini.
Diam-diam ia menjadi nekat, katanya, "Tentang soal pertama, Wanpwe benar-benar tak mengerti siapakah orang yang hendak dicari oleh Cianpwe, kalau dia berada .dalam perkampungan kami, dengan senang hati Wanpwe akan
membantu Cian-pwe . , . mengenai soal kedua, berhubung Wanpwe baru saja pulang bepergian, maka belum kuketahui apakah ayahku berada di rumah atau tidak, seandainya ada, Wanpwe tentu akan menyampaikan maksud Cianpwe kepada beliau .. , ."
Adapun, tujuan kedatangan Lik-ih^hiat-li adalah untuk mencari Bok Ji-sia, mendengar perkataan Lamkiong Giok yang kurang beres, rasa gelisah segera menghiasi wajahnya, serunya, "Sungguhkah perkataanmu!"
"Kenapa aku membohongi mu?" jawab pemuda itu pura-pura tak senang hati.
Pekikan sedih mendadak berkumandang, dengan mata
kepala sendiri Lik-ih-hiat-li menyaksikan betapa parahnya luka Bok Ji-sia, hal ini membuatnya gelisah bercampur sedih.
Bentaknya kemudian dengan sedih, "Omong kosong, masa dapat kaubohongi aku?"
Habis berkata, tiba-tiba telapak tangannya mencengkeram ke muka. Lamkiong Giok terperanjat hendak mengelak jelas tak sempat lagi, sambil membentak kedua telapak tangannya segera menolak kedepan.
Sesungguhnya serangan Lik-ih-hiat-li hanya pancingan belaka, tenaga pukulan yang sebetulnya berada dakm telapak tangan kanan, ia berharap Lamkiong Giok akan menangkis deagan tenaga tolakan Lamkiong Giok itulah, tiba-tiba badannya melambung ke udara.
Menyusul telapak tangan diayun ke bawah, jeritan ngeri segera terdengar, bayangan manusia berkelebat, hawa pedang menyelimuti udara dan angin menderu.
"Pertahankan posisi masing-masing, jangan melukai orang!" bentak Lamkiong Giok.
Lik-ih-hiat-li tertawa seram, secepat kilat ia berkelebat lewat di atas kepala kawanan jago itu, dengan cepat luar biasa ia menyerbu ke dalam Kiarn-hong-ceng.
ooo O ooo dw ooo O ooo
Udara sangat gelap, suasana di sekeliling sunyi senyap.
Mendadak cahaya kilat berkelebat, menyusul sesosok bayangan yang ramping sedang berjalan moifidar mandir dalam kegelapan.
Sorot matanya yang tajam bagaikan kelip bintang di angkasa, tapi mata itu basah oleh air mata wajahnya menunjukkan perasaan cemas dan gelisah yang luar bissa.
"Ai!" terdengar helaan napas sedih melampiaskan rasa kesalnya, air mata pun bercucuran membasahi pipinya.
Kedua tangannya bergosok, lalu mengepalnya kencang-kencang, dengan penuh kebencian ia bergumam, "Aku harus
keluar dari sini, tak boleh kubiarkan dia berbaring seorang diri di sana."
Tiba-tiba terdengar seseorang menghela riapa; panjang, lalu menegur, "Anak perempuan, kau ingin keluar dari sini?"
Karena teguran ini, gadis yang tampak gelisah itu
terperanjat, sahutnya cepat, "Benar, cuma ..."
Siapakah kakek pendek bermuka jelek ini dan apa
hubungannya dengan keluarga Lamkiong"
Dapatkah Lik-ih-hiat-li menyelamatkan Bok Ji-sia"
-oo0dw0oo- Jilid 19 Tiba-tiba cahaya lampu terang benderang, terlihatlah Bwe-hoa- sian-kiam Tong Yong-ling berada dalam sebuah kamar tidur yang mewah dengan perasaan tak tenang.
Ketika berpaling, gadis itu menjerit kaget sambil menyurut mundur.
Seorang kakek pendek bertampang jelek, wajah penuh bercodet sedang memandang sambil tertawa, suara
tertawanya tak enak didengar, membuat bulu kuduk orang berdiri
"Kau . . . kau" dengan takut Tong Yong-ling menudingnya dan tidak sanggup meneruskan ucapannya,
Kakek cebol yang jelek itu kembali tertawa, "Hahaha, anak perempuan! Meski tampangku jelek, tapi jauh lebih baik daripada mereka yang berwajah tampan dan berlagak bajik, padahal hatinya lebih busuk daripada ular berbisa, kau jangan takut, dulu tampangku tak berbeda daripada orang lain, cuma
.... ai!" Setelah menghela napas ia melanjutkan, "Kejadian masa lalu tak padu diingat-ingat lagi. Anak perempuan, bukankah kau hendak pergi dari sini" Selama hampir dua puluh tahun lamanya aku berdiam di sini. Aku tak ingin menyaksikan kau jatuh ke dalam cengkeraman ibiis-iblis itu, maka dengan mempertaruhkan selembar jiwaku akan kulepaskan kau pergi meninggalkan tempat ini .. . jangan ragu-ragu, pergilah lekasi"
Perasaan Tong Yong-ling yang kalut dapat ditenangkan, tiba-tiba timbul perasaannya yang aneh terhadap kakek berwajah jelek ini, ia tidak merasakan kejelekan wajah kakek itu lagi, sebaliknya malah merasa iba dari kasihan padanya ....
"Siapa kau" Kenapa bisa berada di sini?" tanyanya kemudian dengan sangsi.
"Ai, tak perlu tanya lagi," tukas si cebol berwajah jelek itu sambil menghwla napas, "cepatlah pergi, kalau terlambat bisa jadi kau takkan keluar lagi dari sini ..."
Dari mimik wajah manusia jelek ini Tong Yongliog tahu orang masih ada persoalan yang hendak dibicarakannya, satu ingatan terlintas dalam benaknya, pelbagai hal mencurigakan segera timbul.
Dengan nada menyelidik ia coba bertanya,-"Locianpwe, apakah ada sesuatu yang perlu kulakukan?"
Manusia jelek itu kembari menghela napas, "Ada, kau harus membunuh Lamkiong Hian dan memusnahkan Kiam-hong-ceog ini."
"Asal Wanpwe bisa melaksanakannya pasti akan
kukerjakan," tanpa ragu Tong Yong-iing berjanji, "Eh, mengapa engkau menangis?"
Dua titik air mati meleleh di wajah manusia jelek itu, agaknya karena luapan emosi, ia menggenggam erat2
segulung kain. Melihat itu, Tong Yong-ling merasa heran, pikirnya,
"Mungkin orang ini mempunyai dendam kesumat yang tiada taranya serta dendam asmara yang sulit dilukiskan, tapi kenapa ia rela hidup sengsara dan menderita di tempat ini dan b
Dendam Iblis Seribu Wajah 24 Golok Halilintar Karya Khu Lung Golok Halilintar 1
^