Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 8

Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Bagian 8


wajah Oh Ku-gwat, dalam waktu singkat muka si rase tua Thian-kang-kiam itu sudah merah dan membengkak.
Nona baju biru itu tertawa cekikikan, "Wahai rase tua, coba lihat, cocok bukan dengan perkata-anku?"
Baru habis berkata, tiba-tiba gadis itu men-jerit kaget.
Menyusul jeritan kaget itu, "plak, plok" ter-dengar pula dua kali tamparan.
"Perempuan liar! Mencari gara-gara melulu, bi-ar kaupun mencicipi dua kali tamparanku!" demi-kian suara seorang mendamprat.
Ternyata di depan si nona, tahu-tahu sudah berdiri Bok Jisia yang selama ini tergeletak tak berkutik seperti orang mati itu, kemunculannya ini tentu saja sangat mengejutkan orang.
Tak seorang pun yang tahu sedari kapan Bok Ji-sia sadar kembali, juga orang tak menyangka ia berani menampar si nona baju biru bercadar.
Bahkan Ku Thian-gak serta Lik-ih-hiat-li yang memondong Bok Ji-sia pun tak kurang kejutnya.
Seluruh tubuh nona baju biru itu gemetar ke-ras karena gemasnya, jeritnya, "Kau".kau berani memukul aku?".mulai sekarang aku".aku akan menghancur-lumatkan tubuhmu".."
Mendengar jeritan melengking nona baju biru itu, si kakek berjenggot yang tinggi besar itu baru seakan-akan sadar kembali dari impiannya, tiba-tiba ia membentak, dengan cepat luar biasa ia mener-jang dari belakang Oh Ku-gwat, toya baja menya-pu pinggang Bok Ji-sia dengan jurus Ciat-hong-bong-siau (angin puyuh menerbitkan suara tajam). Cepat Ji-sia memutar badan, bukan mundur dia malah maju, cepat iapun menerjang ke depan, suatu pukulan segera menghantam bahu kiri kakek itu.
Tiba-tiba kakek itu menjerit, tubuhnya yang tinggi besar terpental jauh ke belakang. Tamparan dari kakek tinggi besar tadi diang-gap oleh Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat sebagai suatu penghinaan besar, mana ia mau terima de-ngan begitu saja" Sambil membentak cahaya pedang langsung menusuk tubuh kakek itu.
Bagaikan harimau terluka kakek itu meraung, toya baja bagaikan seekor ular segera menyongsong datangnya
ancaman. "Tring!" Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat segera merasakan betapa dahsyatnya tenaga serangan mu-suh yang terpancar dari toyanya ketika beradu de-ngan pedangnya, ia terkesiap, buru-buru ia himpun tenaga dan berusaha mementalkan senjata musuh.
Tapi sayang, kekuatan yang terpancar dari to-ya itu luar biasa kuatnya, pedang Oh Ku-gwat tergetar oleh toya baja sehingga terpental ke sam-ping, malahan tabuhnya ikut tergetar mundur.
Sementara itu terdengar si nona baju biru kem-bali berteriak dengan suara sedih, dendam dan le-mah, "Jisuheng, cepat."..cepat gunakan Hua-kut-sin-kang (ilmu sakti panghancur tulang) untuk menghancur lumatkan laki-laki busuk itu!"
Ketika kata "Hua-kut-sin-kang" diucapkan si nona baju biru, kembali semua jago terkejut, me-reka seperti pernah mendengar nama ilmu tersebut, tapi seketika tak teringat.
Dalam pada itu, tangan si kakek tinggi besar telah membacok tubuh Bok Ji-sia dari kejauhan.
"Sia?".cepat mundur!" Lik-ih-hiat-li berte-riak, cepat tangan kanannya diayunkan, segulung tenaga pukulan lunak tapi berhawa dingin segera mendampar ke depan.
Tapi Bok Ji-sia yang keras kepala itu telah melangkah ke depan, kedua telapak tangannya se-gera didorong juga ke depan. Tiba-tiba anak muda itu mendengus tertahan, se-kujur badan terasa bergetar, darah dalam dada bergolak berat, telinga mendengung, mata berkunang-kunang, kepala jadi berat dan kakinya seperti tak bertenaga, akhirnya ia sempoyongan dan roboh ter-kapar di tanah.
Lik-ih-hiat-li menjerit kaget, ia menerjang ma-ju, Ji-sia dipondongnya, dengan cemas ia menjerit, "Sia"Bok Jisia".Bok Ji-sia".."
Suaranya keras, melengking dan menusuk te-linga.
Setelah dipaksa mundur oleh serangan kakek berambut putih tadi Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat memutar pedang pula, sinar pedang segera menyam-bar ke batok kepala si kakek yang sementara itu sudah terpental lebih oleh serangan dahsyat Lik-ih-hiat-li.
Kakek itu buru-buru menangkis dengan tangan kirinya, berbareng ia balas menghantam. Thian-kang-kiam Oh Ku gwat yang licik itu cukup memahami betapa dahsyatnya serangan mu-suh, buru-buru ia menarik kembali serangannya dan melompat ke samping.
Dalam pada itu, Hek-to-sam-koay dan Mo-in-jiu Kok Siau-thian sama tertawa dingin, seren-tak mereka pun menyerang kakek berambut putih itu dari berbagai penjuru.
Kakek berambut putih itu memang amat ko-sen, toya baja pada tangan kanannya diayunkan ke depan dengan jurus Hong-sau-cian-kun (menyapu rata seribu prajurit), dengan membawa desing angin keras, toya menyambar pinggang keempat musuh.
Merasakan betapa dahsyatnya serangan tersebut, Hek-to-sam-koay dan Mo-in-jiu Kok Siau-thian terpaksa melompat mundur, dengan mata terbelalak diawasinya kakek itu.
Sekarang semua jago baru benar-benar me-rasakan betapa lihainya ilmu silat ketiga laki-laki dan empat perempuan dari Hek-liong-kang ini, tak heran bila mereka berani sesumbar hendak meng-obrak-abrik dunia persilatan hanya dengan bertujuh orang saja.
Dengan mata melotot dan wajah kereng si ka-kek
berambut putih kembali membentak, "Siapa lagi yang berani mencoba kepandaianku?"
Si-hun-koay-sat-jiu merupakan tokoh keenam dari Bu-lim-jit-coat, pelahan ia maju ke depan, ia tertawa dingin,
"Kungfumu memang cukup he-bat, hehehe".tapi masih ingin kucoba beberapa jurus seranganmu!"
Kakek berambut putih itu menatap sekejap badan Si-hun-koay-sat- jiu yang ceking tapi jangkung itu, lalu menegur,
"Dari sekian banyak jago yang hadir, apakah ilmu silatmu terhitung paling tinggi?"
"Tidak, tidak berani! Tapi kukira selisih pun tidak seberapa!"
Hian-thian-koancu Kun-tun Cinjin merasa tak puas oleh perkataan tersebut, dampratnya, "Mak-hluk tua, kau berani meremehkan kami?"
"Hei, hidung kerbau!" dengan marah Si-hun-koay-sat-jiu berpaling, "bila kau tak puas, kelak kita bertarung lagi!"
"Mana, mana! Meskipun selama delapan belas tahun ini ada beberapa orang di antara Bu-lim-jit-coat telah tiada, tapi suatu pertarungan untuk memperebutkan kedudukan
memang tak bisa dihindarkan lagi."
Terdengar kesiur angin, dengan langkah lebar kakek berambut putih itu maju ke depan, di anta-ra berkelebat toya, beruntun ia menyodok tiga kali, semua serangan ditujukan pada jalan darah kematian di tubuh Si-hun-koay-sat-jiu, angin
serangan yang menderu segera memaksa jagoan keenam Bu-lim-jit-coat itu harus melompat mundur tiga langkah.
Kembali kakek berambut putih memutar toyanya dan
menciptakan selapis bayangan hitam, kemudian dengan dahsyatnya menghantam batok ke-pala Hian-thian-koancu, terpaksa Kun-tun Cinjin melompat mundur juga ke belakang.
Setelah berhasil memaksa mundur kedua tokoh Bu-lim-jit-coat itu, si kakek berambut putih itu mendongakkan kepalanya dan bergelak tertawa. Si-hun-koay-sat-jiu berkelebat ke samping dan menghindarkan diri dari serangan tersebut. Deru angin pukulan yang kuat berhembus lewat, debu pa-sir beterbangan di udara.
Sambil tertawa dingin tangan kanan Si-hun-koay-sat-jiu kembali menghantam, segulung tenaga pukulan yang dahsyat menyambar tubuh si kakek dari sudut yang tak terduga. Kakek berambut putih itu berseru tertahan, cepat ia bergeser ke samping, deru angin pukulan Si-hun-koay-sat-jiu menimbulkan pula gelombang debu pasir.
"Hm, bagaimana rasanya ilmu silat daerah Tionggoan?"
ejeknya kemudian.
Kakek berambut putih itu membentak, kem-bali tangan kiri melepaskan suatu pukulan.
Si-hun-koay-sat-jiu tertawa dingin, dengan tangan kiri ditangkisnya serangan tersebut. Ketika dua gulung tenaga pukulan saling tumbuk, bahu Si-hun-koay-sat-jiu bergetar sehingga mundur tiga langkah, sebaliknya kakek berambut putih itupun tergetar mundur dua langkah.
Dari benturan tersebut, kedua pihak sama-sama punya perhitungan sendiri, mereka tahu sampai di mana taraf kepandaian musuh, untuk sesaat tak se-orang pun di antara mereka berani turun tangan secara gegabah, hanya empat mata yang penuh ke-gusaran saling tatap tanpa berkedip.
Dalam pada itu, Bok Ji-sia yang berada da-lam pondongan Lik-ih-hiat-li telah membuka mata-nya setelah diurut jalan darahnya dan dipanggil namanya sekian lama".
Yang pertama dilihatnya adalah butiran air mata pada kelopak mata Lik-ih-hiat-li, untuk pertama kalinya hatinya tersentuh oleh kebaikan pe-rempuan tersebut, sekarang ia baru merasa bahwa perempnan itu sesungguhnya tidak berniat jahat kepadanya.
Ji-sia segera meronta turun dari pondongan Lik-ih-hiat-li, setelah menghela napas sedih, kata-nya, "Entah siapakah Lihiap ini" Aku betul-betul berhutang budi atas beberapa kali pertolonganmu, selama hidup tak nanti kulupakan budi kebaikan-mu ini."
Nona baju biru bercadar yang berada di sam-ping sana segera tertawa dingin dan menimbrung, "Kau telah terkena pukulan Hua-kut-sin-kang Ji-suhengku, lewat beberapa jam lagi tubuhmu akan hancur dan mati dengan mengenaskan.
Hm, apa gu-nanya kau ingat budi kebaikan orang?"
Dengan rasa benci dan dendam Lik-ih-hiat-li melotot dengan sinar mata tajam dan menggidikkan.
"Kau ingat baik-baik"!" teriak Bok Ji-sia penuh kebencian,
"Asal aku tidak mati, aku pasti akan membunuh habis semua orang aliran Hek-liong-kang kalian!"
"Kami akan menanti!" jawab si nona bercadar.
"Baik! Tunggu saja!" selesai mengucapkan ka-ta-kata ini, Ji-sia memandang sekejap ke arah Lik-ih-hiat-li, Ku Thian-gak dan Lamkiong Giok, ke-mudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia pu-tar badan dan berlalu.
"Bok Ji-sia, mau ke mana kau?" teriak Lik-ih-hiat-li sedih.
Ji-sia berpaling dan menjawab, "Darah dalam tubuhku saat ini terasa bergolak keras, rasanya mual sekali".Aku ingin
mencari suatu tempat untuk beristirahat, asal aku tidak mati, setiap dendam pas-ti akan kubaias"."
Dengan rasa kuatir Lik-ih-hiat-li berkata, "Bok Ji-sia, kau".kau takkan mati, bila kau mati, akan kubunuh semua jago di dunia ini untuk membalaskan sakit hatimu."
Tatapan matanya yang lembut menimbulkan rasa bimbang dalam hati Bok Ji-sia, ia tak mengerti mengapa perempuan ini begitu menaruh perhatian kepadanya, tapi tatkala terbayang kembali pende-ritaan masa lalu, ia menjadi sedih pula dan diam-diam menghela napas, "Setiap perempuan di dunia ini yang mencintaiku, sudilah maafkan diriku?"
Sambil berteriak di dalam hati ia melangkah ke depan dengan perasaan bimbang"..
Buru-buru Lamkiong Giok menyusul ke sana, dan menegur,
"Saudara Bok, hendak ke mana kau?"
Dengan kepala tertunduk Ji-sia termenung sejenak,
kemudian baru menengadah dan menjawab, "Sekarang aku terluka parah dan hampir mati, aku sendiri pun tak tahu ke mana harus pergi."
"Mungkin dia akan mencari suatu tempat yang bagus
sebagai tempat kuburnya," mendadak si no-na baju biru menyindir.
Berkobar pula amarah Bok Ji-sia, tapi segera teringat lagi saat kematiannya sudah dekat, maka ia cuma menghela napas saja.
Ditatapnya Lamkiong Giok sekejap, kemudian katanya,
"Ada suatu permintaanku, entah bersedia-kah saudara Lamkiong menyanggupinya?"
"Asal mampu, aku akan lakukan, pasti akan ku-terima permintaanmu itu!"
Sekali lagi Bok Ji-sia menghela napas panjang, "Seandainya aku mati, tolong sampaikan berita kematianku kepada nona Tong Yong-ling!"
"O, soal itu pasti akan kulakukan, legakanlah hatimu?""
Sebenarnya Lamkiong Giok hendak berkata, "Legakanlah hatimu untuk mati," tapi kata-kata ter-sebut keburu ditelannya kembali.
Ji-sia menghela napas panjang, ia berkata pula, "Saudara Lamkiong, walaupun kita berjumpa tanpa sengaja, tapi aku merasa amat cocok denganmu. Ai".sungguh tak tersangka persahabatan kita ha-nya berlangsung sesingkat ini."
Agaknya Lamkiong Giok dibuat terharu oleh ucapan itu, katanya kemudian dengan nyaring, "Saudara Bok berjiwa besar dan berhati mulia, Thian tak akan merenggut nyawa manusia semacam kau"."
Sementara itu Lik-ih-hiat-li telah mendekat, katanya tiba-tiba dengan dingin, "Dia berhati busuk dan jahat, dia justeru berharap lekas kau mati, masa kau anggap dia orang baik-baik?"
Berubah hebat air muka Lamkiong Giok demi mendengar perkataan itu, ia tertawa dingin, seru-nya, "Lihiap, kuminta sedikit kau hargai orang lain, ketahuilah bahwa semua ucapanku timbul dari lu-buk hati yang tulus, aku benar-benar merasa senasib dan sepenanggungan dengan saudara Bok."
Dengan nada menghina Lik-ih-hiat-li mendengus,
"Lamkiong Giok, ketika masih berada dalam ku-buran kuno".
" Mendadak Bok Ji-sia melotot gusar ke arah Lik-ih-hiat-li dan memotong, "Budi kebaikanmu suatu saat pasti akan kubalas, tapi jika kau berusaha merusak hubunganku dengan saudara Lamkiong, jangan menyesal bila aku bersikap ku-rang sopan."
Lik-ih-hiat-li menghela napas sedih.
"Bok Ji-sia," katanya, "pengalamanmu dalam dalam dunia persilatan masih amat cetek, kau tak tahu akan kelicikan dan kebusukan orang, apalagi terhadap intrik busuk dan segala tipu muslihat du-nia persilatan."
Ji-sia mendengus, tukasnya, "Tak lama lagi aku akan meninggalkan dunia mi, semua kebanggaan atau penghinaan tidak lagi mempengaruhi di-riku, terima kasih atas kata-katamu itu."
Habis berkata, Ji-sia menjura kepada Lamkiong Giok, kemudian putar badan dan berlalu dari situ.
Dalam pada itu situasi dalam arena telah ter-jadi
perubahan, terdengar si nona baju biru itu se-dang berkata kepada semua orang, "Para jago Tionggoan, tanyalah pada dirimu sendiri, sampai dimanakah taraf kecerdasan kalian?"
Semua orang tertegun dan tidak mengerti oleh pertanyaan si nona yang mendadak itu.
Hian-thian-koancu Kun-tun Cinjin segera ter-tawa dingin, katanya, "Mau apa kau ajukan perta-nyaan ini" Terus terang, setiap orang yang datang kemari rata-rata adalah orang yang memiliki kecer-dasan luar biasa."
Tiba-tiba si nona baju biru bertanya iagi, "Ta-hukah kalian apa tujuan kedatangan kalian?"
Kun-tun Cinjin tertawa seram, "Hehehe, kau sendiri sudah tahu, buat apa bertanya lagi?"
"Ya, aku tahu kalian datang kemari untuk mengantar kematian."
Semua orang menunjukkan kemarahan yang meluap demi mendengar perkataan itu.
Dengan suara dingin Kun-tun Cinjin berkata, "Golongan Hek-liong-kang kalian kini menghadapi musuh dari segenap penjuru, jangan harap kalian akan kabur dari neraka ini!"
Nona baju biru itu mendongakkan kepalanya memandang langit yang biru, kemudian seperti ber-gumam, "Kenapa"
Masakah mereka tidak percaya pada perkataanku?"
Tiba-tiba ia berpaling ke arah Pek Bi dan ber-kata lagi,
"Enci Pek Bi, suruh mereka mengikuti-ku, supaya mereka tahu akan mampus atau tidak!"
Pek Bi segera memperlihatkan senyuman yang membetot sukma, katanya, "Siocia kami kalau bi-lang satu tetap satu, kalau kalian tak percaya ikutilah kami, buktikan sendiri sekitar teka-teki mati-hidup kalian!"
Nona baju biru itu tiba-tiba berkata kepada si kakek berambut putih, "Ji-suheng jangan berta-rung lagi, mari kita pergi!"
"Dia harus tetap di sini!" mendadak terdengar bentakan, menyusul Lik-ih-hiat-li menerjang maju.
"Apakah kau hendak balas dendam baginya?" tanya si nona baju biru.
"Ia telah melukainya, nyawanya harus digunakan untuk membayar ganti rugi ini."
"Sepasang tanganmu yang haus balas dendam itu lebih baik kau serahkan kepada orang lain!"
Lik-ih-hiat-li tertegun, ia tidak mengerti mak-sud perkataannya.
Tiba-tiba si nona baju biru berpaling ke arah Siau-yau-sian-hong-khek, kemudian berkata, "Sean-dainya kau
menginginkan tanda kebesaran Thian-yang-ciangbun serta keselamatan jiwamu, maka kau harus melakukan seperti apa yang dikatakan Hoa Hong-hui!"
Dengan wajah penuh kesedihan. Siau-yun-khek Ku Thian-gak menghela napas panjang.
"Ka-lau begitu, lebih baik orang she Ku mati saja da-ripada membantu berbuat kejahatan."
"Selamanya tangan kami tidak ternoda oleh anyirnya darah, tentu saja kami tak akan membunuhmu," nona baju biru itu tertawa dingin.
"Yang disebut pembunuh, tidak tentu tangannya harus berlepotan anyirnya darah, membunuh tanpa menodai tangan sendiri dengan darah adalah pem-bunuh yang lebih keji dan jahat," kata Ku Thian-gak.
"Sudahlah, jangan banyak bicara, kau mau ikut kami atau tidak" Terserah pada keputusanmu sendiri."
Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak terse-nyum pedih,
"Jika seorang telah mengesampingkan soal mati hidup, kehormatan dan penghinaan, si-apa pula yang bisa
memaksakan kehendaknya atas diriku?"
"Jadi kau bertekad ingin mampus saja" Cuma, tahukah kau penderitaan apa yang bakal kaurasakan sebelum memperoleh kematianmu itu?"
"Soal ini aku sudah tahu, tak perlu banyak bi-cara lagi.
Meskipun cara kematian manusia terdiri dari beribu macam, namun dasarnya hanya dua, yakni mati dengan tenang atau mati dengan men-derita, setelah mati kukira keadaannya tak jauh berbeda."
"He, buat apa kalian bersilat lidah melulu?" tiba-tiba Si-hun-koay-sat-jiu mendamprat, "Ayo ce-pat bawa kami menyaksikan teka-teki soal mati-hidup kami!"
Nona baju biru itu tidak banyak bicara lagi, ia bersama Pek Bi dan lain-lain pelahan berjalan menuju ke arah gedung yang lain.
Mendadak Siau-yau-khek Ku Thian-gak meng-hampiri Lik-ih-hiat-li, kemudian tanyanya dengan lirih, "Tolong tanya apa hubungan Lihiap dengan Bok Ji-sia?"
"Ada urusan apa?" tanya Lik-ih-hiat-li dingin.
"Ada suatu masalah yang menyangkut mati-hidup Bok Jisia hendak kubicarakan denganmu."
Hati Lik-ih-hiat-li bergetar keras, cepat tanya-nya, "Masalah apakah itu" Coba katakan!"
"Lihiap, kuminta kau jawab sejujurnya, benar-kah engkau menguatirkan keselamatan Bok Ji-sia?"
Lik-ih-hiat-H menghela napas sedih, "Jiwanya jauh lebih penting daripada jiwaku!"
"Tahukah kau bahwa mati hidupnya ada sang-kut-paut yang amat penting dengan nasib seluruh anggota persilatan di dunia ini?""
Lik-ih-hiat-li melengak mendengar ucapan itu, ia tak mengira kalau keselamatan Bok Ji-sia mem-punyai akibat sebesar itu.
"Apa maksud ucapanmu itu" Coba jelaskan!" serunya
kemudian. "Ai". panjang sekali kalau dibicarakan, sekarang aku hanya mohon kepadamu agar melindungi ke-selamatan
jiwanya, segala sesuatunya akan kau ke-tahui di kemudian hari, sekarang baiklah kuberi-tahukan dulu kepadamu, ia membawa ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian yang digilai setiap umat per-silatan"."
"Apa" ia membawa Jian-kim-si-hun-pian?" hampir saja Lik-ih-hiat-li menjerit saking kagetnya.
Sebenarnya aku bertekad hendak melindungi
keselamatannya, tapi tak lama lagi akupun akan berpulang ke alam baka, maka tugas ini se-karang kulimpahkan kepadamu, semoga kau mau memikirkan kepentingan umat manusia di dunia ini."
"Jangan kuatir! Bok Ji-sia dan aku memiliki hubungan yang luar biasa, urusan tak boleh tertun-da lagi, baiklah aku berangkat dulu!"
Seusai berkata, perempuan itu segera berkelebat pergi dengan cepat. Memandangi bayangan tubuhnya yang makin menjauh, Siau-yau-khek Ku Thian-gak menghela na-pas, gumamnya, "Kalau dilihat dari rasa sedih dan cemas perempuan ini atas luka Bok Ji-sia, hubungan di antara mereka berdua pasti luar biasa sekali, ai"."
Ia merasa tidak perlu banyak berpikir lagi. Kematian! Kian lama terasa kian endekatinya.
oooOOooo Sementara itu dengan langkah cepat Bok Ji-sia berjalan keluar dari halaman gedung, sambil me-nahan rasa sakit di dadanya ia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan melayang menuju ke ta-nah pegunungan dengan cepat. Mula-mula kecepatannya memang luar biasa, tapi akhirnya bahkan maju selangkah saja rasanya susah, tulang belulang sekujur tubuh terasa sakit dan linu, ketika ia paksakan diri maju belasan kaki lagi, robohlah dia terkapar di tanah.
Darah kental tertumpah berulang kali, ia me-rasa seluruh tulang tubuhnya seakan-akan terlepas, dua kali ia meronta dan mencoba untuk duduk, ta-pi setiap kali roboh kembali ke tanah.
Angin bukit berhembus kencang, rumput kering di empat penjuru bergoyang dan menimbulkan su-ara gemersik
nyaring". Tiba-tiba ia mendongakkan kepalanya meman-dang
keadaan di sekitar situ, ternyata tempat ini adalah sebuah tanah pekuburan yang sepi dan me-nyeramkan, batu nisan yang porak poranda, kubur-an yang tak terawat, saat itu dia merasa di seke-liling Thian-seng-po seakan-akan berubah menjadi tanah pekuburan semua".
Iapun merasakan ke-hidupannya kian mendekati liang kubur. Ia tahu pada akhirnya menusia itu harus mati, terbayang akan kematian, timbul perasaan bim-bangnya, terbayang betapa dendam kematian ayah-nya belum terbalas, dendam ibunya belum dituntut, pesan Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam belum di-laksanakan, dan sekarang ia harus berpisah dengan kehidupan ini, tanpa terasa titik air mata jatuh membasahi pipinya.
Tiba-tiba ia terbayang lagi pada pengalaman-nya selama sebulan yang pendek ini, pemandangan seram dalam benteng Thian-seng-po".pelbagai corak manusia yang
dijumpainya".serta ilmu si-lat yang tiada batasnya itu"..
Setelah berpikir sekian lamanya, pemuda itu merasa matanya mulat berat, ia merasa lelah dan sangat mengantuk.
Pelahan ia membuka mulut dan menghembuskan napas
panjang, tapi ia merasa suara berhembus pun tidak dimiliki lagi.
Tiba-tiba saja Ji-sia menyadari keadaannya se-karang ibarat pelita yang kehabisan minyak. "Ai!?" Ia menghela napas sedih dalam hati".
Beberapa kali ia berusaha menenangkan kem-bali
pikirannya yang kalut, tapi selalu gagal. Orang hidup akhirnya pasti mati juga, sekali-pun ia memiliki semangat yang memandang kematian seperti pulang ke rumah, tapi siksaan batin yang dihadapinya menjelang kematian sungguh te-rasa berat untuk dilawan dengan semangat yang ting-gi itu, kenangan lama terasa terlintas dalam benak-nya, ia selalu gagal untuk menenangkan kembali perasaannya.
Pelahan, semakin diresapinya apa makna "mau mati biarlah mati".
Tapi, di balik beberapa patah kata yang sing-kat dan sederhana itu entah tercakup berapa ba-nyak perasaan yang ruwet.
Dendam dan budi yang belum terbalas".
Persahabatan yang mendalam".
Serta semua kesedihan, kegembiraan, pahit, ge-tir, pedas, kecut dan aneka perasaan lain yang per-nah dirasakan selama hidup, hampir semuanya ter-lampiaskan keluar pada detik-detik terakhir ini, sebab mulai sekarang segala keberhasilan, begagalan, kejayaan atau penghinaan di dunia ini sudah tiada sangkut pautnya lagi dengannya.
Dengan perasaan sedih dan apa boleh buat, terpaksa ia harus meninggalkan dunia yang fana ini"..
Akhirnya, ia merasa otaknya mulai layu dan kering".
Dalam keadaan beginilah anak muda itu jatuh terduduk di tanah dan tertidur lelap".
oooOooo Cahaya senja memancar di angkasa, sang surya mulai terbenam di langit barat, sinar senja yang indah itu menyoroti pula wajahnya". wajah yang segar berwarna merah itu.
Tak lama kemudian, tabir malam pun pelahan menyelimuti jagat raya ini.
Di tengah remang cuaca, Bok Ji-sia merasa pe-rutnya berkeroncongan. laparnya tidak kepalang. Padahal, ia tak tahu sekaligus sudah duduk di sana selama tujuh hari tujuh malam.
Pada saat itulah tiba-tiba dari balik tanah pe-kuburan itu muncul sesosok bayangan manusia yang bertubuh ramping, dengan matanya yang tajam dia memandang sekejap ke arah Bok Ji-sia yang sedang duduk tenang itu, tanpa terasa ia bersuara heran.
Dengan langkah pelahan ia berjalan ke bela-kang Bok Jisia, tiba-tiba ia melolos sebilah pe-dang yang bersinar tajam"..
Begitu terdengar suara dilolosnya pedang da-ri sarung, Jisia segera membuka matanya.
Tapi pada saat itulah, dari belakang berku-mandang suara seorang yang mengancam dengan dingin, "Kalau berani berpaling, segera kubuat kau mati tak terkubur!"
Ji-sia merasakan jalan darah pada punggungnya terasa sakit, menyusul terasi ada cairan panas me-leleh di punggungnya. Ia menyadari cairan panas itu adalah cairan darah sendiri yang bercucuran.
Maka dengan suara dingin ia bertanya, "Saat ini aku berada di dunia ataukah dalam neraka?"
Tampaknya orang yang berada di belakang itu tertegun oleh pertanyaan yang aneh itu, untuk se-saat lamanya ia tak sanggup menjawab. Kiranya Ji-sia baru sadar dari pingsannya, se-keliling tempat itu hanya kegelapan belaka, maka ia sangka dirinya sudah mati.
Bok-Ji-sia coba mengawasi sekeliling situ, ke-tika dilihatnya tempat itu adalah tanah pekuburan yang sangat dikenal olehnya, tanpa terasa ia ber-tanya lagi, "Sesungguhnya kau ini manusia ataukah setan?"
Tiba-tiba orang di belakang itu tertawa cekikikan dengan suara yang merdu, tapi suara tertawanya sedikit membawa hawa seram sehingga membuat orang menyangka dia adalah setan perempuan.
Andaikata hal ini terjadi pada hari biasa, nis-caya bulu kuduk Bok Ji-sia sudah berdiri, tapi se-karang ia menyangka dirinya sudah mati, maka di-anggapnya lawan adalah rekan setan seneraka de-ngannya, maka ia tidak merasa seram.
Orang yang ada di belakang itu segera berkata dengan tertawa, "Tempat ini adalah perbatasan an-tara dunia dan akhirat, jadi aku adalah manusia juga setan."
Mendengar itu, Bok Ji-sia segera mendengus, "Hm, kalau begitu kau sengaja datang menangkap nyawaku?"
Setelah berhenti sejenak, ia berkata pula, "Aku tak lebih hanya seorang yang terluka dan hampir mampus, di antara kita juga tak pernah terikat per-musuhan, buat apa kau membunuhku?"
Orang yang berada di belakang itu tertawa, "Adalah wajar bila kau ingin mati dengan tenang, biar kuberitahukan kepadamu sejujurnya, aku hen-dak membunuhmu lantaran kau bawa ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian!"
Berguncang keras perasaan Bok Ji-sia demi mendengar jawaban itu, tapi dari sini juga ia bisa membuktikan bahwa dirinya masih berada di dunia, keinginannya untuk
melanjutkan hidup segera mun-cul kembali, buru-buru ia mencoba untuk meng-himpun kembali tenaganya.
"Dapatkah kau tebak siapa gerangan diriku ini?" tiba-tiba orang yang berada di belakangnya bertanya.
Sambil menghimpun tenaga dalamnya, Ji-sia menghela napas pelahan, lalu jawabnya, "Suaramu kedengarannya asing sekali, apakah kau bersedia memberitahukan kepadaku siapa gerangan dirimu ini" Dari mana kau tahu aku membawa ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian?"
Kiranya setelah mencoba untuk menghimpun tenaga
murninya tadi, Ji-sia mendapatkan meski se-mangatnya masih segar, tapi lantaran lapar, hawa murni yang terhimpun itu tiba-tiba terputus di te-ngah jalan.
Perempuan di belakang Ji-sia itu kembali ter-tawa
cekikikan, "Itulah kalau dinamakan jodoh, di-cari sampai sepatu jebol pun tak bertemu, waktu tidak dicari, eeeh, tahunya bertemu tanpa sengaja!"
"Apa maksudmu berkata demikian?" tanya Ji-sia.
Dengan tertawa dingin damprat perempun itu, "Kau benar-benar seorang tolol besar, pantas se-lalu menjadi pecundang orang. Terus terang, sebe-tulnya aku tak kenal kau ini Bok Jisia murid Oh Kay-gak, tapi setelah kupancing dengan perkataan, sekarang yakinlah aku akan dirimu, hahaha, bagus sekali! Ruyung Jian-kim-si hun-pian sudah pasti akan menjadi milikku."
Mendengar perkataan itu, Ji-sia baru sadar telah tertipu, satu ingatan dengan cepat terlintas dalam benaknya, ia berkata, "Aku tak lebih hanya seorang yang sudah hampir mampus, bersediakah kau memberi sedikit makanan
kepadaku, agar se-telah mati nanti aku menjadi setan yang kenyang?" Ternyata Ji-sia mengetahui sebab terputusnya tenaga himpunan tadi adalah karena kelaparan.
Saat ini dirasakan makin parah akibat ke-laparan itu, seandainya tak bisa mendapat makanan tepat pada saatnya, mungkin terpaksa ia harus me-nunggu kematian belaka.
Bok Ji-sia yang keras hati dan angkuh, sudah barang tentu tak rela ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian dicuri orang, maka ia bermaksud mencari ke-sempatan untuk menghimpun
tenaga kembali dengan sedikit mengisi perut, bila tenaganya sudah pulih nanti, tentu saja ia bisa bertindak menurut keadaan.
Akan tetapi, perempuan di belakangnya bukan perempuan sembarangan, setelah mendengar perka-taan Itu, ia lantas tertawa dingin.
"Aku toh cuma menghendaki ruyung emas Jian-kim-sihun-pian dan tidak menghendaki nya-wamu, biar saja nyawamu direnggut orang lain," demikian ia berkata, "bila ingin makan, tunggu saja setelah ruyung itu kau serahkan kepadaku nanti."
Ji-sia mengertak gigi dan memejamkan mata sambil
menahan siksaan lapar yang makin melilit perut, ia berusaha
melanjutkan semadinya, tapi ra-sa lapar itu terlalu hebat, betapapun ia tak mampu menghimpun kembali tenaganya.
"Ayo cepat lepaskan Jian-kim-si-hun-pian dan serahkan kepadaku!" perempuan di belakangnya mendesak lagi.
Ji-sia menghela napas sedih, "Aku telah ber-sumpah kepada orang yang menghadiahkan ruyung ini kepadaku untuk tidak menyerahkan ruyung ini kepada orang lain sebelum nyawaku putus, maka seandainya kau menghendaki ruyung ini, lebih baik tusuk dulu diriku sampai mati, kemudian ruyung ini boleh kau ambil."
"Bagus, kalau kau memang ingin mampus, akan kubunuh kau lebih dulu."
Berbareng dengan selesainya kata-kata itu, Ji-sia
merasakan punggungnya menjadi sakit, ujung pedang orang itu agaknya sudah menusuk ke dalam kulit badannya".
"Tunggu sebentar!" buru-buru Ji-sia berteriak.
"Kenapa" Takut mampus?" ejek perempuan itu.
"Ah, mati sebetulnya bukan hal yang mena-kutkan," kata Ji-sia sambil menghela napas sedih, "akan tetapi aku tak ingin mampus dengan begini saja?".."
"Jadi kau ingin mampus dengan cara bagai-mana?" tukas perempuan itu.
"Kalau aku harus mati dengan cara begini, di akhirat pun aku tetap penasaran sebab akupun seorang yang berilmu, tentu saja aku lebih suka mati sebagai seorang pendekar, yakni dengan kepandai-an yang kumiliki untuk menentukan mati dan hidup."
Agaknya orang itu merasa gusar mendengar perkataan itu, ia mendengus, "Jadi kau menantang aku untuk berduel?"
"Mestinya aku tak berani, tapi kau tahu, se-orang
pendekar matipun tak sudi takluk kepada orang, jika kau ingin
membunuhku dengan cara ren-dah, tolong beritahukan namamu sebelum kau bu-nuh aku."
Ji-sia terpaksa bertindak demikian, karena ia tahu setelah persoalan berkembang menjadi begini, hanya jalan inilah yang bisa ditempuhnya.
"Bok Ji-sia!" tiba-tiba perempuan itu bertanya, "kau anggap ilmu silat Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-gak lebih baik atau ilmu silat Kiu-thian-mo-li yang lebih hebat?"
Bagaikan bunyi geledek di siang hari bolong, dengan terkejut Bok Ji-sia berseru, "Hah, apakah kau Kiu".Kiu-thian-mo-li?"."
"Jika aku adalah Kiu-thian-mo-li, sekarang mayatmu tentu sudah dingin," jawab perempuan itu dengan tertawa dingin.
Bok Ji-sia mendengus, "Hm, belum tentu demikian, lantas siapakah kau?"
"Siapakah aku tak perlu kau tanyakan," jawab saja
pertanyaanku tadi, ilmu silat siapa yang lebih hebat di antara kedua orang itu?"
Ji-sia termenung sejenak, kemudian sahutnya. "Tentang ini".ini".sulit untuk dikatakan?""
"Kalau begitu, jadi ilmu silat Oh Ku-gwat le-bih cetek?"
sambung perempuan itu.
"Hai, kenapa kau sembarangan omong," teriak Ji-sia dengsn gusar.
Perempuan itu tertawa, katanya, "Tidak perlu banyak bicara lagi, aku murid Kiu-thian-mo-li, namaku Mo-li-ceng-li (Gadis suci perempuan iblis) Cu Giok-ceng. Bila kau masih menginginkan nyawamu, serahkan Jian-kim-sin hun-pian kepada-ku, kemudian dengan kepandaianmu boleh kau coba merampasnya kembali dari tanganku, jika ruyung itu tidak kau
serahkan dulu kepadaku, maka pedang yang tak kenal ampun ini akan segera menembus tubuhmu. Nah, bagaimana
keputusanmu" boleh kau pilih!"
Satu ingatan kembali terlintas dalam benak Bok Ji-sia, pikirnya, "Walau ruyung itu tidak ku-serahkan kepadanya, tentu saja dia akan menusuk-ku sampai mati?"Wah, apa yang mesti kulaku-kan sekarang"..?"
Untuk sesaat ia menjadi sangsi dan tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Tidak lama, agaknya Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng tak sabar lagi, ia lantas menegur, "Hei, kena-pa kau belum juga mengambil keputusan?"
"Persoalan ini betul-betul amat sulit, mana boleh
kuputuskan secara sembirangan?" sahut Ji-sia.
"Kalau kau ingin menimbangnya selama seta-hun dan
akupun harus menunggu setahun lagi?" teriak Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng dengan marah. "Lebih baik kau mampus saja sekarang, setelah mampus nanti akan kubereskan mayatmu, akan kubangunkan sebuah kuburan besar yang indah
un-tukmu, setiap hari Ceng-beng, aku akan berziarah ke makammu, menangis di depan pusaramu untuk menghibur sukmamu yang kesepian. Dengan de-mikian kematianmu akan lebih berharga. Nah se-karang juga pedangku akan
kutusukkan ke tubuh-mu!"
Ketika Bok Ji-sia merasakan punggungnya kembali terasa sakit, buru-buru teriaknya, "Eh, tunggu sebentar! Nona, aku kan belum mengambil keputusan"!"
"Huh, tampaknya kau memang takut mampus," jengek
Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng,
"kalau begitu, apa gunanya kau bicara tentang semangat seorang pendekar yang menganggap kematian sebagai
ber-pulang ke rumah" Lebih pantas menyamakan diri-mu dengan anjing budukan!"
Buru-buru Ji-sia membentak, "Bukannya aku takut
mampus, pertama aku tak rela membiarkan ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian terjatuh ke ta-ngan orang lain. Kedua, aku masih banyak urus-an yang perlu diselesaikan."


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba Cu Giok-ceng tertawa, "Dan jangan-jangan kau belum berpamitan dengan binimu atau pacarmu."
"Jangan sembarangan bicara, aku tak punya bini, juga tak punya pacar."
"Kalau begitu, kau pastilah seorang lelaki ke-sepian yang dingin perasaan."
"Dari mana kau tahu?" Tanya Ji-sia.
"Sebab kau tak punya bini ataupun pacar, pa-dahal laki-laki gagah semacam kau banyak diincar kaum wanita, jika dugaanku ini tak salah, maka laki-laki keras hati macam kau ini tentu akan mem-buat susah kaum gadis remaja, daripada membiar-kan mereka patah hati atau bunuh diri, lebih baik kau kubunuh saja dan beres."
Setelah mendengar perkataan itu, Ji-sia segera tahu Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng sesungguhnya adalah gadis binal yang masih polos dan menarik, dia menduga paras si gadis pasti menawan hati.
Tiba-tiba Ji-sia bertanya, "Bolehkah aku ber-paling untuk melihat wajahmu?"
"Tidak boleh!" jawab Cu Giok-ceng sambil ter-tawa dingin,
"tapi jika kau tak takut mampus, si-lakan saja berpaling."
Bok Ji-sia menghela napas panjang, katanya, "Baiklah!
Akan kuserahkan dulu ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian kepadamu, tapi bagaimana seandai-nya kau lantas kabur setelah mendapatkan ruyung?"
"Kalau kabur ya sudahlah, mau apa kau?" ja-wab Cu Giok-ceng sambil tertawa cekikikan.
"Kalau begitu, kau memang berniat mencuri Jian-kim-si-hun-pian dengan cara yang licik dan ren-dah, kenapa kau kabur jika hendak mendapatkan ru-yung secara jujur dan terang-terangan?"
Cu Giok-cian menjadi marah, "Memangnya aku sudah
kabur?" ia berteriak.
"Belum kau lakukan, tapi sudah kau katakan, betapapun menimbulkan kekuatiranku."
"Jungan kuatir, aku Cu Giok-ceng tak akan mengingkari janji sendiri, apalagi ilmu silatmu juga belum tentu bisa mengalahkan diriku."
"Terus terang saja, sekarang aku lapar sekali, tenaga dalamku tak bisa dihimpun kembali, setelah kuserahkan ruyung itu nanti, bolehkah aku makan minum sepuasnya sebelum melangsungkan perta-rungan untuk menentukan ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian itu akan menjadi milik siapa?"
"Baik, kukabulkan permintaanmu!" sahut Cu Giok-ceng.
Ji-sia menghela napas, "Aku percaya dengan janjimu!"
Mendadak Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng mende-ngus
tertahan, tahu-tahu nadi pergelangan tangan kirinya sudah dicengkeram orang, menyusul jalan darah Thian-ki-hiat di punggungnya ditekan oleh telapak tangan orang pula.
Segera Bok Ji-sia mendengar suara seorang yang sudah dikenalnya menggema di tepi telinganya, "Si walang menubruk tonggeret, burung nuri menunggu di belakang. Nona Cu, lebih baik serahkan saja ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian itu kepadaku!"
Waktu itu sebenarnya Ji-sia sudah merogoh sakunya untuk mengeluarkan ruyung, ketika mendengar ucapan tersebut, buru-buru ia menarik kem-bali tangannya, sementara tangan yang lain dengan cepat merogoh sisa rangsum yang masih ada dan cepat-cepat dijejalkan ke dalam mulut. Ia merasa girang sekali dengan perubahan yang terjadi sekarang.
Tibi-tiba Cu Giok-ceng membentak, "Bok Ji-sia, kau tak boleh mengisi perut!"
Di tengah seruan tersebut, Ji-sia merasakan punggungnya menjadi sakti sekali, lalu cairan darah pun meleleh keluar membasahi punggungnya, tapi ia tak peduli, sambil
mendengus buru-buru ia telan lagi sisa rangsum yang masih ada.
"Bu-sian-gi-su!" terdengar Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng membentak pula dengan gusar, "kau be-tul-betul licik dan tak tahu malu!"
Ternyata orang yang mencengkeram urat nadi pergelangan tangin kiri Cu Giok-ceng serta meng-ancam jalan darah di punggungnya itu tak lain adalah Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng yang pada hari-hari biasa tak pernah menunjukkan ke-hebatannya, tapi namanya tersohor dalam dunia persilatan itu.
Bok Ji-sia sendiripun terperanjat setelah me-ngetahui orang di belakangnya adalah Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng, ia merasa dunia persilatan be-nar-benar sangat berbahaya dan penuh dengan ti-pu muslihat dan akal busuk yang
mengerikan. Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng tertawa terbahak-bahak, katanya, "Mana, mana! Kau si setan binal juga tidak berbeda jauh daripada diriku?"
"Apa maksudmu berbuat demikian?" seru Cu Giok-ceng dingin, "memangnya aku akan menging-kar janji?"
Kwanliong Ciong-leng tertawa, "Wah, soal itu sih sukar dikatakan, siapa yang bisa menduga hati manusia?"
"Kalau kau tidak mempercayaiku, kenapa kau beritahukan soal ini kepadaku" Memangnya kau hendak mengangkangi ruyung Jian-kim-si-hun-pian?"
"Jangan kuatir nona, aku akan tetap meme-gang janjiku yang dulu, aku cuma menginginkan sarung ruyungnya, sedang ruyung Jian-kim-si-hun-pian sendiri kuhadiahkan kepadamu sebagai ba-las jasa."
Waktu itu Bok Ji-sia telah mengambil rangsum lagi dan cepat-cepat dijejalkan ke dalam mulut.
Melihat itu, Cu Giok-ceng membentak dengan marah, "Hei, jangan rakus! Nanti saja kalau ingin makan, awas kurobek perutmu biar semua makan-an yang kau makan keluar lagi!"
Ujung pedangnya menusuk pelahan pula pung-gung anak muda itu, terpaksa Ji-sia menggigit bibir menahan sakit sambil menyumpah di dalam hati, "Sialan!"
Padahal makanan itu milik sendiri, perut lapar tak boleh makan, setiap kali makan harus merasakan pula siksaan berat, ia merasa makan seperti ini betul-betul sangat susah.
"Budak sialan!" gerutunya di dalam hati, "se-karang kau berani menyiksaku, hati-hati lain waktu, akan kusiksa dirimu sampai setengah mati!"
"Kwanliong Ciong-leng!" terdengar Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng berseru lagi, "yakinkah kau bah-wa dengan cara ini aku dapat kau kuasai?"
"Bila kau berani sembarangan bergerak, jangan salahkan aku akan membunuhmu dengan cara yang keji!" ancam Busian-gi-su.
Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng tertawa dingin, "Ilmu silatmu kira-kira lebih hebat berapa banyak daripada kepandaianku?"
"Kalau dihitung tiada yang lebih kuat dan tiada yang lebih lemah, anggap saja sama kuat," Bu-sian-gi-su tertawa.
"Kalau tahu begitu, mana mungkin aku bias kau bunuh dengan mudah?"
"Kalau tak percaya, boleh dicoba!"
Tiba-tiba Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng bertanya lagi,
"Memangnya kepandaianmu lebih hebat dari kepandaian Bok Ji sia?"
Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng tertawa di-ngin, "Budak setan, jangan kau salah lihat orang, kerjaku tiap hari adalah memburu burung, mana mungkin biji mataku bisa terpatuk oleh sang bu-rung" Kalau kau berani menggunakan akal licik, ja-ngan menyesal bila aku akan turun tangan keji
ke-padamu!"
Selesai berkata, Kwanliong Ciong-leng segera memperbesar tenaga cengkeramannya.
Cu Giok-ceng meringis, serunya, "He, kalau kau berani memperbesar tenagamu, jangan salahkan aku bila kulepaskan Bok Ji-sia!"
Mendengar perkataan itu, diam-diam Ji-sia me-ngomeli kegoblokan sendiri. Cepat ia merogoh lagi rangsum kering dan dijejalkan ke dalam mulut, kali ini ternyata Cu Giok-ceng tidak berkaok lagi.
Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng terkejut juga
nendengar ucapan tadi, cepat ia tarik kembali sebagian tenaganya, lalu sambil tertawa ia berkata, "Jika kau berani melepaskannya, jangan harap kau bisa hidup, lebih baik paksa dia menyerahkan ru-yung emas Jian-kim-si-hun-pian!"
Setelah makan rangsum kering beberapa comot, rasa lapar Ji-sia jauh berkurang, buru buru ia me-ngerahkan tenaga, kali ini muncul hawa murni yang membanjir dari arah pusar.
Dalam sekejap mata, hawa murni itu naik ke atas dan menyalur ke seluruh tubuh, peredaran da-rah ikut pula bergolak keras, tiba-tiba timbul pe-rasaan gelisah dan tak tenang.
"Bok Ji-sia!" terdengar Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng membentak lagi, "lebih baik serahkan saja Jian-kim-si-hun-pian tersebut sekarang juga kepa-daku?"
Walaupun tusukan pedang perempuan itu me-nimbulkan rasa sakit di punggungnya, akan tetapi saking kerasnya pergolakan darah di dalam badan, sehingga anak muda itu tak sempat merasakan sa-kit lagi.
Tiba-tiba Ji-sia merasa aliran hawa di dalam badan seakan-akan berhasil menjebol selapis din-ding baja yang sangat kuat, aliran tenaga yang tak berbendung itupun dengan cepat menerjang lebih ke depan, tapi di depan sana agaknya ada lagi se-lapis dinding baja yang menghadangnya".
Pada saat itulah, Bok Ji-sia kembali merasakan pedang Cu Giok-ceng menusuk punggungnya secara keji. Ia mendengus, hawa murni yang bergolak pun mendadak berhenti.
"Mau apa kau?" tegurnya kemudian.
"Bok Ji-sia, tak perlu berlagak pilon, cepat serahkan!" seru Kwanliong Ciong-leng yang ber-ada di belakang sambil tertawa.
"Apa yang mesti kuserahkan?" tanya Ji-sia.
"Jian-kim-si-hun-pian!"
Mendengar itu, mendadak Ji-sia mendongak-kan kepala dan tertawa terbahak-bahak. Suara tertawanya keras menggema angkasa. Ia seperti merasakan kegembiraan yang tak terhingga.
"Apa yang kau tertawakan?" Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng menegur.
"Aku bergembira atas kebangkitan kembali diriku! Dan kalian berdua segera akan mampus!"
"Hmmm, melihat kelakuanmu yang sinting, agaknya kau cari mampus," damprat Cu Giok-ceng. Habis berkata, pedangnya berputar dan "Plok", Ji-sia mendengus tertahan, jalan darah Cian-keng-hiat pada bahu kirinya terketuk oleh gagang pedang perempuan itu.
Cian-keng-hiat merupakan salah satu di an-tara ketujuh jalan darah kelumpuhan di tubuh ma-nusia, sebenarnya Ji-sia hendak menghimpun tenaga untuk melakukan tindakan, siapa tahu telah dida-hului oleh Cu Giok-ceng, seketika itu juga sekujur tubuhnya menjadi kaku, hawa murri yang baru saja terhimpun pun seketika lenyap, ia jatuh terduduk di tanah, namun tak sampai pingsan, matanya ma-sih bisa melihat jelas keadaan di sekitar situ.
Sungguh cepat gerak tubuh Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng, begitu ia menghajar jalan darah Cian-keng-hiat pada bahu Bok Ji-sia dengan gagang pe-dangnya tadi, dengan menghimpun tenaga dalamnya pada tangan kiri, tiba-tiba sikutnya menyodok ju-ga ke belakang.
Kwanliong Ciong-leng tak menyangka Cu Giok-ceng bakal menyerangnya, ia merasa cengkeraman pada langan orang seakan-akan dipentalkan oleh te-naga yang amat kuat.
Ia tertawa dingin, tenaga telapak tangan ka-nan yang menempel jalan darah Thian-ki-hiat di punggung Cu Giok-ceng segera dikerahkan. Tapi orang lain ternyata lebih cepat, agaknya Cu Giok-ceng tahu jelas gerakan yang bakal dila-kukan Kwanliong Ciong-leng, baru saja tenaga pukulannya dikerahkan, dengan suatu gerak cepat, Cu Giok-ceng menyelinap ke samping kiri.
Tapi dengan demikian, tenaga pukulan yang di-lancarkan Kwanliong Ciong-leng tersebut jadinya menghantam belakang kepala Bo Ji-sia".
Waktu itu jalan darah Bok Ji-sia tertutuk, sekalipun masih sadar tapi tubuh tak bebas lagi, tam-paknya pukulan itu akan bersarang di belakang ke-palanya dan membinasakan dia, untunglah Cu Giok-ceng bukan orang sembarangan, tatkala tubuhnya menyelinap ke samping tadi, kaki kanannya ber-bareng menendang tubuh Bok Ji-sia hingga terpental sejauh beberapa kaki.
Akibat tendangan itu, jalan darah Cian-keng-hiat yang tertutuk di tubuh Bok Ji-sia menjadi bebas kembali, sementara di sebelah sana terdengar suara deru angin pukulan yang keras.
Ji-sia berpaling, ternyata Cu Giok-ceng sudah melibatkan diri dalam pertarungan seru melawan Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng.
Waktu itu, Cu Giok-ceng telah sarungkan kem-bali
pedangnya, dia bertempur dengan bertangan kosong. Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng tertawa di-ngin, jari tangan kirinya setajam pisau menusuk ja-lan darah Hu-kiat-hiat di lambung si nona, semen-tara telapak tangan kanannya menghantam kepalanya. Cu Giok-ceng mendengus, tubuhnya bergerak ke samping, ia membentak dan menerjang maju la-gi dengan jurus Jit-gwat-ceng-hui (rembulan dan ma-tahari berebut cemerlang) ia hantam Kwanliong Ciong-leng dengan kedua tangan sekaligus.
Jangan mengira Cu Giok-ceng hanya seorang perempuan, ternyata tenaga pukulannya sangat ku-at, lagipula menguasai ilmu mengebut jalan darah yang lihay. Kwanliong Ciong-leng tak berani menyambutnya dengan kekerasan, cepat ia berputar dan me-nyusup ke belakang lawan lalu dengan jari tangan ia tikam belakang kepala Cu Giok-ceng.
Buru-buru Cu Giok-ceng menggunakan gerakan Hu-kan-
ciong-hay (memandang samudra yang luas), tubuhnya
mendoyong ke depan, baru saja lolos dari serangan, tiba-tiba ia berputar kembali, jari tangan kiri dan telapak tangan kanan
berbareng mengancam jalan darah Ciang-tay-hiat dan Sinkan-hiat di dada dan perut Kwanliong Ciong-leng,
Setelah meninjau beberapa jurus serangan kilat yang dipergunakan kedua orang itu, Ji-sia merasakan ilmu silat kedua orang itu memang sangat lihai, se-karang ia baru merasa betapa luasnya pelajaran ilmu silat di dunia ini.
Demikianlah, sambil menonton jalannya per-tarungan, Bok Ji-sia mengisi terus perutnya yang lapar.
Dalam waktu singkat Cu Giok-ceng dan Kwan-liong Ciong-leng telah saling gebrak sebanyak empat-lima puluh jurus, sedemikian cepatnya mereka bergerak sehingga sukar dibedakan lagi siapa di antaranya.
Perlu diketahui, Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng amat jarang memperlihatkan ilmu silatnya di dunia persilatan, padahal kelihaian kungfunya ter-masuk jago kelas satu. Tapi hari ini, setelah bertemu dengan murid Kiu-thian-mo-li, Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng, ia me-rasa agak kewalahan.
Ia mengerti ilmu silat Cu Giok-ceng sukar di duga arah sasarannya, di tambah lagi tenaga dalam-nya cukup
sempurna, gadis ini merupakan salah seorang lawan tangguh yang jarang ditemuinya se-lama ini. Bila pertarungan berlangsung lebih lama, belum tentu menang-kalah bisa diketahui dalam satu-dua ratus jurus, maka diam-diam ia mulai simpan tenaga dan dipersiapkan untuk merobohkan lawan pada saat terakhir.
Sementara itu selesai makan Bok Ji-sia sedang mengawasi sekeliling tempat itu, tiba-tiba dilihatnya tidak jauh di sana sesosok bayangan putih jang-kung berdiri di atas sebuah kuburan. Oleh karena malam gelap, sinar bintang pun redup, sekalipun Bok Ji-sia memiliki mata tajam, juga sulit melihat jelas wajah orang itu, ia hanya melihat sesosok bayangan manusia berbaju putih.
Waktu Ji-sia mengawasi lebih cermat, tanpa terasa ia merinding. Ternyata dalam waktu yang singkat di atas tu-juh buah kuburan, lebih kurang empat tombak di sekitar sana telah berdiri tujuh sosok bayangan ma-nusia berbaju putih.
Ji-sia terkesiap, pikirnya, "Aneh betul! Kenapa dalam waktu singkat bisa berubah menjadi begini banyak" Padahal aku hanya berpaling sekejap saja. Coba aku berpaling lagi akan kulihat apakah akan bertambah banyak atau tidak?"
Dasar sifat kekanak-kanakannya belum hilang, apa yang dipikirnya lantas dilakukannya, segera Ji-sia berpaling pula.
Segera ia terkesima, ternyata saat itu bayangan putih itu telah bertambah dua orang lagi, hing-ga kini jumlahnya sembilan orang. Ji-sia coba mengacak matanya dan menengok lagi, tapi kembali ia terperanjat, ternyata di bela-kang kesembilan sosok bayangan manusia itu kini muncul empat sosok bayangan putih lain yang ber-diri di atas empat buah kuburan. Dengan demikian, jumlah manusia baju putih di atas kuburan itu menjadi tiga belas orang.
Diam-diam Ji-sia bergidik, pikirnya, "Manusia-kah mereka"
Ataukah setan?"
Di bawah sinar bintang yang redup, sulit un-tuk melihat jelas wajah manusia berbaju putih yang berada empat tombak dihadapannya sana, Ji-sia hanya merasa ketiga belas sosok bayangan putih itu memiliki biji mata berwarna hijau.
Tanpa terasa timbul ingin tahu Bok Ji-sia, pe-lahan ia coba maju ke sana. Tapi mendadak ia me-nyurut mundur lagi tiga langkah dengan terkesiap, setelah menarik napas, pikirnya,
"Betulkah di dunia ini ada setan atau mayat hidup" Kalau tidak, ke-napa ketiga belas bayangan putih ini".."
Kiranya setelah agak dekat dan melihat jelas wajah mereka, hampir pecah nyalinya karena ter-peranjat, dilihatnya wajah yang menyeringai seram, wajah yang seakan-akan
pernah dilihatnya di suatu tempat, tapi seketika tidak diingatnya lagi.
Mereka berwajah pucat kehijau-hijauan, bibir-nya merekah keluar sehingga barisan giginya ter-tampak jelas, rambut panjang terurai di pundak, mata berwarna hijau, biji matanya kaku seperti mayat, lengannya panjang dan kaku, panjang kuku-nya lebih tiga inci dan tampak mengerikan.
Bukan begitu saja, bahkan dari tubuh mereka seakan-akan terpancar hawa setan yang mengerikan seperti mayat yang baru diseret keluar dari peti mati, atau mayat hidup.
Makin dilihat, Ji-sia merasa semakin takut, co-ba kalau tiada dua orang lain sedang bertempur sengit hingga mengurangi hawa seram, mungkin ia benar-benar akan gemetar ketakutan.
Tiba-tiba Ji-sia berteriak, "Hei, kalian jangan bertempur lagi, ada mayat hidup!"
Teriakannya sangat manjur, Cu Giok-ceng segera berkelit ke samping menghindari serangan Kwan-liong Ciong-leng, lalu berseru, "Ada apa kau ber-teriak-teriak" Apakah melihat setan?"
"Ya, benar, benar melihat setan, tiga belas
jumlahnya".tiga belas mayat hidup"." sahut Ji-sia dengan tergagap.
Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng lagi menatap wajah Bok Ji-sia tanpa berkedip, melihat pemuda itu merasa ketakutan, ia tertawa geli dan berseru, "Aneh betul kau ini, terus menerus omong setan, betul-betul persetan"."
Belum lagi perkataannya selesai diucapkan, tiba-tiba di tengah keheningan malam berkumandang su-ara jerit lengking yang aneh sekali bagaikan bunyi burung hantu dan membuat bulu kuduk orang sa-ma berdiri.
Setelah mendengar suara itu, Cu Giok-ceng ba-ru
berpaling, tapi gadis pemberani ini pun tak urung menarik napas dingin setelah menyaksikan keadaan itu, bisiknya dengan agak gemetar, "Setan, betul-betul ada setan!"
Waktu itu Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng sudah melihat juga ketiga belas bayangan putih di atas kuburan itu, agak tergetar juga perasaannya.
Tapi bagaimanapun juga ia lebih tua dan ber-pengalaman, sekalipun di dalam hati merasa ter-kesiap, wajahnya tetap tenang, dan mulut mem-bungkam.
Diam-diam ia berpikir, "Heran, masa ada to-koh semacam mayat hidup di dalam dunia persilatan?"
Sementara itu jeritan melengking itu telah ber-gema memenuhi angkasa perbukitan, suara yang menggema tiada putusnya ini, mendatangkan pera-saan seram bagi yang mendengarnya.
Berbareng dengan suara seram itu, bayangan putih di atas kuburan itu mulai bergerak, tiga so-sok di antaranya mulai berlompatan ke depan.
Gerak-gerik mereka persis seperti mayat hidup, ketika bergerak kakinya kaku lurus dan melompat dengan
menggunakan tenaga pantulan pada tumit, kedua tangan lurus ke bawah, mata yang hijau me-lotot tak bergerak, bagaimanapun dipandang sama sekali tidak membawa bau manusia.
Tiba-tiba Cu Giok-ceng berpaling ke arah Bok Ji-sia kemudian katanya, "Hei, orang she Bok, be-ranikah kau menghajar setan?"
Ji-sia tersenyum, "Kalau kau tidak memukul mereka, maka mereka yang akan menghajarmu."
Sementara pembicaraan berlangsung, ketiga sosok
bayangan putih itu sudah melompat maju lebih dekat,
sekarang mereka dapat melihat lebih jelas muka mayat hidup itu, mereka sama menyurut mundur dua langkah oleh wajah yang menyeringai seram itu.
Tiba-tiba Ji-sia menjerit kaget, "Ah, mereka berasal dari Thian-seng-po"."
Belum habis teriakannya, sesosok mayat hidup itu telah mencengkeramnya.
Mayat hidup yang lain berbareng juga menye-rang Cu Giok-ceng, lengan yang lurus terjulai itu mendadak menyambar muka yang cantik itu.
Sekilas pandang Cu Giok-ceng dapat melihat jari tangan mayat hidup itu berwarna kehijau-hijau-an, segera teriaknya,
"Hei, orang she Bok, hati-hati dengan jari mereka, agaknya beracun yang sangat jahat?"
Sambil berkata ia melompat ke samping untuk menghindar.
Gagal dengan serangannya, mayat hidup itu melompat pula ke depan dengan cepat, kedua ta-ngannya menghantam
sekaligus. Sewaktu berkelit tadi, Cu Giok-ceng telah me-lolos pedangnya, cahaya berkilauan segera membelah angkasa, langsung ia menabas lengan mayat hidup itu.
"Cring!" ketika pedang yang tajam mengenai lengan mayat hidup, kecuali bunyi nyaring itu ter-nyata tidak menimbulkan cacat pada sasarannya.
Kejadian ini sungguh menggetarkan hati Cu Giok-ceng, segera terpikir olehnya bahwa mayat hidup itu bukan setan gadungan melainkan setan sungguhan, sebab pedangnya meski bukan pedang mestika yang bisa memotong emas seperti memo-tong tahu, tenaga dalam macam apapun takkan mampu menahan serangannya, asal tabasan itu kena
sasarannya niscaya tubuh lawan akan terpapas, sebab itulah ia percaya makhluk aneh itu bukan manusia.
Sementara itu Bok Ji-sia telah menghimpun te-naga dan menghantam mayat hidup itu dengan jurus Thi-cui-ki-ciong (palu baja memukul genta), angin pukulan yang maha dahsyat segera menyam-bar ke muka.
Dengan cekatan mayat hidup itu melompat ke samping menghindarkan pukulan itu. Kemudian me-lompat lagi ke muka, cakar setan sebelah kanannya tahu-tahu menyambar dari sudut yang tak terduga. Ji-sia menggeser ke samping, kedua tangan serentak didorong ke depan.
Agaknya mayat hidup itu jeri juga pada pu-kulan Bok Ji-sia yang kuat, ia tak berani menyam-but dengan kekerasan, mendadak ia melompat ke samping.
Jangan kira mayat hidup itu bertubuh kaku dan lamban, ternyata gerakannya dilakukan dengan, cekatan dan gesit.
Jilid 12 Ji-sia melirik sekejap ke arah Cu Giok-ceng yang berdiri termangu, cakar setan salah satu ma-yat hidup itu secepat kilat sedang menyambar ke arah dadanya.
Kaget sekali Ji-sia, sambil membentak cepat ia menerjang maju, langsung ia mencengkeram pergelangan tangan mayat hidup itu.
"Jangan sentuh tangannya!" seru Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng dengan terkejut.
Mendengar peringatan tersebut, tangan Ji-sia yang sedang mencengkeram itu segera bergeser ke samping dan ganti menyambar lengannya, tapi ke-tika jari tangannya menyentuh lengan musuh, ia terkesiap, lengan itu ternyata kaku dan keras, sama sekali tak ada otot dagingnya.
Ketika tangan mayat hidup itu kena diceng-keram, tiba-tiba mukhluk tersebut berteriak aneh, kukunya yang tiga inci panjangnya itu tiba-tiba menggulung balik"..dan menusuk telapak tangan Ji-sia.
Karena sudah mendapat peringatan dari Cu Giok-ceng, buru-buru Ji-sia lepas tangan dan mun-dur tiga langkah".
Tapi saat itulah, tiba-tiba segulung angin pu-kulan berhembus datang dari belakang, tak sempat berpikir lagi buru-buru ia melompat ke samping.
Di sebelah sana Kwanliong Ciong-leng juga mengalami serangan maut mayat hidup itu, jago kawakan seperti dia juga terdesak.
Keruan ia kaget, pikirnya, "Seorang mayat hi-dup saja sudah cukup membuatku kewalahan, apa-lagi di sana masih ada belasan orang lagi, apa jadi-nya kalau mereka menyerang bersama".?"
Berpikir, demikian ia tambah kuatir, ia merasa makhluk-makhluk itu bukan manusia, mungkinkah mereka adalah mayat hidup sungguh-sungguh atau sebangsa hantu"
Tiba-tiba berkumandang lagi suara teriakan aneh yang melengking menusuk pendengaran. Kawanan mayat hidup yang semula berdiri di atas pekuburan dan menonton jalannya pertarung-an itu, mendadak bergerak maju bersama dengan cepat luar biasa.
Tindakan mereka ini mengejutkan Bok Ji-sia, Cu Giok-ceng dan Kwanliong Ciong-leng ber-tiga, pikir mereka, "Habislah riwayatku, kali ini aku pasti mampus di ujung cakar aneh setan iblis ini?"
Cepat Kwanliong Ciong-leng melayang ke sam-ping Bok Jisia dan Cu Giok-ceng, serunya dengan cemas, "Bok-lote, nona Cu, makhluk aneh itu ba-nyak sekali jumlahnya, mari kita melakukan per-tahanan bersama!"
Ji-sia tahu bila mereka tidak bekerja sama un-tuk melawan makhluk aneh itu niscaya merekalah yang akan tewas di ujung cakar setan lawan, men-dadak ia membentak keras, kedua
telapak tangan-nya menghantam dengan angin pukulan yang dah-syat.
"Ayolah kita melawan mereka!" teriaknya, "urusan kita boleh diperhitungkan nanti."
Cu Giok-ceng pun berpendapat sama, maka mereka bertiga segera berdiri dalam posisi segi tiga, sedangkan ketiga belas sosok mayat hidup itu se-gera membentuk lingkaran
pengepungan, dengan sinar mata berwarna hijau yang memancarkan api setan dan bersuara mendesis aneh ke-26
cakar se-tan mereka bergerak ke sana kemari".
Keadaan itu cukup mengejutkan, untung me-reka bertiga, coba kalau sendirian, melihat tampang dan bentuk lawan saja mungkin mereka akan jatuh lemas.
Tampaknya ketiga belas sosok mayat hidup itu telah memperoleh pendidikan yang lama, tiba-tiba saja mereka memisahkan diri menjadi tiga ke-lompok, lima orang di antaranya menyerang Bok Ji-sia, sedangkan delapan sisanya memecahkan diri menjadi dua kelompok dan menyerang Kwanliong Ciong-leng serta Cu Giok-ceng.
Jeritan tajam bagaikan tangisan setan atau lo-long serigala berkumandang memecah keheningan. Tiga belas sosok mayat hidup itu serentak melancar-kan serangan dahsyat.
Ji-sia bertiga tahu cakar makhluk aneh itu beracun jahat, maka mereka tak berani melakukan pertarungan dari jarak dekat, masing-masing segera melepaskan pukulan jarak jauh untuk memaksa mundur lawannya.
Cu Giok-ceng dengan pukulan tangan kiri, pe-dang
terpegang di tangan kanan, beruntun ia me-lancarkan serangan gencar. Beberapa kali serangannya mengenai tubuh mayat-mayat hidup itu atau pedangnya membacok telak di tubuh mereka, namun makhluk-makhluk aneh itu sama sekali tidak terluka, paling banter hanya tergetar dan sempoyongan untuk kemudian menerjang maju lagi.
Kenyataan ini membuat mereka bertiga berkerut dahi, peristiwa ini sungguh mengerikan, belum per-nah kawanan jago dunia persilatan pernah meng-alami kejadian aneh ini.
Sistem penyerangan ketiga belas sosok mayat hidup itu ternyata adalah dua orang menyerang ber-sama secara bergilir, dengan demikian setiap kali Ji-sia bertiga harus melawan empat atau lima orang mayat hidup sekaligus, hal ini membuat mereka rada kewalahan.
Makin bertarung Kwanliong Ciong-leng semakin gelisah, pikirnya kemudian, "Jika pertarungan harus dilangsungkan dengan cara ini terus menerus, akhir-nya aku pasti akan kehabisan tenaga dan tewas di ujung cakar perenggut nyawa lawan"."
Cu Giok-ceng pun terperanjat, katanya, "Bok".kita harus mencari akal untuk mem-bunuh satu-dua orang di antara mereka, kalau ti-dak, mungkin kita yang bakal mati di sini"."
"Nona Cu, kau takut mati?" jengek Ji-sia.
"Hmm, memangnya kau tak takut mampus?"
Setelah melancarkan tiga kali serangan beran-tai,
Kwanliong Ciong-leng tertawa, katanya, "Ka-lau kita harus mati di ujung cakar mereka tanpa mengetahui duduknya perkara, hal ini benar-benar tidak berharga!"
Tiba-tiba Ji-sia berteriak keras, "Makhluk-makhluk aneh ini tidak mirip manusia, tapi pasti juga bukan setan iblis"."
Belum habis perkataannya, dua sosok mayat hidup itu menerjang tiba dari kiri dan kanan, Ji-sia segera membentak, kedua telapak tangan cepat menghantam. Tapi begitu serangannya dilancarkan, tiba-tiba kedua sosok mayat hidup itu melompat ke sam-ping, sementara tiga mayat hidup lainnya menero-bos lewat celah-celah serangan itu dan melepaskan cengkeraman maut.
Ji-sia terkejut, sambil membentak cepat ia mi-ring ke samping, telapak tangannya mendorong ke depan dan kaki kanan menendang. Agaknya ketiga sosok mayat hidup itu tak menyangka kaki kanan Bok Ji-sia bakal melancar-kan tendangan, lutut ketiga mayat hidup itu ter-hajar telak, sambil berkaok-kaok aneh mereka ter-guling jatuh, tapi dengan cepat mereka melompat bangun kembali.
"Hei, orang she Bok," terdengar Cu Giok-ceng bertanya,
"mengapa kau anggap mereka bukan setan iblis atau mayat hidup?"
Ji-sia tertawa dingin, "Mana ada setan atau mayat hidup di dunia ini" Sebelum kejadian ini su-dah pernah kulihat sekali makhluk-makhluk aneh ini."
"Bok-lote, kau lihat makhluk-makhluk aneh ini di mana?"
tanya Kwanliong Ciong-leng nyaring.
Bok Ji-sia mendengus, diam-diam ia memaki, "Tua bangka tak tahu malu, siapa yang sudi men-jadi Lotemu?"
Meski di dalam hati ia menyumpah, jawabnya juga, "Di Thian-seng-po!"
"Apa" Di benteng Thian-seng-po?"
Mendadak Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng berte-riak, "Hei orang she Bok, konon kau bawa ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian yang sanggup memotong emas dan memapas pualam,
tajamnya tak kalah daripada pedang mestika atau senjata kelas satu la-innya, kenapa tidak kau gunakanaya untuk membu-nuh makhluk aneh ini sekalian membuktikan apakah tubuh mereka yang keras itu mampu menahan ru-yung
mestimu atau tidak?"
Ji-sia tertawa dingin, "Hmm, sebelum aku mampus, tak nanti kugunakan ruyung mestika itu, nanti setelah kalian dibunuh mereka baru akan ku-gunakan senjata itu untuk membalaskan dendam bagi kalian!"
Sementara pembicaraan berlangsung, tiba-tiba ketiga belas mayat hidup itu mengembangkan se-rangan dahsyat dan gencar, sedemikian hebat serangan itu hingga hampir saja Bok Ji-sia bertiga tak sanggup menahannya.
"Orang she Bok!" Mo-li-ceng mengeluh lagi sambil
menghela napas sedih, "apakah kau tega menyaksikan kami tewas di ujung cakar maut makhluk-makhluk aneh itu?"
Ji-sia tertawa dingin, "Belum pernah kusaksi-kan
pertarungan yang lain daripada yang lain ini."
"Ai, baiklah! Jika kau tega menyaksikan adegan keji ini, segera akan kuperlihatkan kepadamu," ka-ta Cu Giok-ceng sambil menghela napas sedih.
Selesai berkata, mendadak Cu Giok-ceng meng-hentikan bacokannya, dua orang mayat hidup itu segera berteriak, cakar setan mereka yang panjang menyeramkan segera menyambar gadis itu".
Kaget Ji-sia, cepat teriaknya, "Nona Cu, le-kas"."
Tapi Gu Giok-ceng tidak bergerak maupun berkelit, ini menyebabkan Ji-sia amat gelisah, sam-bil membentak, kedua telapak tangannya menghan-tam ke depan".
Tapi ke lima mayat hidup yang berada didekataya serentak berpekik aneh, secepat kilat me-nerjang pemuda itu.
Ji-sia bersiul nyaring, cepat tangan kanan me-raba Jian-kim-si-hun-pian"..cahaya emas segera terpancar keempat penjuru.
Menyusul terdengarlah serentetan jeritan ngeri yang membetot sukma, ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian di tangan Bok Ji-sia telah menyambar ke-lima mayat hidup itu dengan kecepatan luar biasa.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar pekikan aneh seperti tangisan setan, seperti pula lolong se-rigala berkumandang
menggema angkasa. Bagaikan kuda yang lepas tali kendali, ketiga belas mayat hidup itu serentak melompat ke bela-kang, termasuk kelima mayat hidup yang menyerang Bok Ji-sia.
Setelah itu, ketiga belas sosok mayat hidup itu berdiri berjajar di hadapan Bok Ji-sia, mata me-reka yang hijau dan memancarkan api setan itu melototi senjata Jian-him-si-hun-pian di tangan Bok Ji-sia.
Pelahan Cu Giok-ceng dan Kwanliong Ciong-leng menarik napas panjang, merekapun mengawasi ruyung Jian-kim-si-hun-pian yang digilai setiap umat persilatan itu tanpa berkedip.
Ji-sia tertawa dingin, dengan nada menghina katanya, "Jika kalian berdua berniat merampas ru-yung ini, maka akan kubunuh dulu kalian berdua."
Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng berkata dengan
menyesal, "Ai, senjata itu memang senjata mestika yang luar biasa, sampai mayat hidup pun ketakutan menghadapi senjata itu"."
Dengan memegang ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian, Jisia menghampiri ketiga sosok mayat hi-dup tadi, ternyata mayat hidup itu seakan-akan me-ngetahui kelihaian senjata tersebut, merekapun selangkah demi selangkah mundur ke belakang.
Cu Giok-ceng dan Kwanliong Ciong-leng tetap berdiri tegak di tempat semula, mereka ingin me-nyaksikan adegan pembataian terhadap mayat hi-dup yang hebat ini.
Pada waktu itulah, tiba-tiba dari balik tanah pekuburan pelahan muncul seorang aneh yang ting-gi besar dengan wajah yang jelek menyeramkan berjubah putih yang terbuat dari kain belacu.
Manusia aneh yang tinggi besar ini menyan-dang sebilah pedang di punggungnya, selangkah demi selangkah ia menghampiri Bok Ji-sia.
Ketika ketiga belas mayat hidup itu melihat manusia aneh tinggi besar ini, seperti setan kecil bertemu dengan setan besar, serentak mereka mem-bungkuk badan memberi
hormat. Sedangkan manusia aneh yang tinggi besar itu dengan sikap angkuh hanya rnengulapkan tangannya, serentak ketiga belas mayat hidup itu berlompatan ke depan dan mengepung kembali Bok Ji-sia se-kalian.
Ji-sia tertegun menyaksikan kejadian itu, pikir-nya, "Aneh.
siapa gerangan orang ini".?"
Dia lantas menegur dengan ketus, "Saudara, apa gunanya kau main sembunyi macam setan be-gitu?".?"
Belum habis berkata, orang itu berpekik aneh, tiba-tiba suatu pukulan dahsyat dilancarkan ke arah Ji-sia.
Si anak muda itu mendengus, cepat ia miringkan badan menghindarkan serangan tersebut. Kiranya dirasakannya tenaga pukulan orang itu sedikitpun tak bertenaga, itu berarti serangan yang dilepaskan adalah suatu serangan bertenaga dalam tingkat tinggi.
Begitu berkelit ke samping, dengan cepat anak muda itu menerjang ke depan, telapak tangannya segera balas menghantam manusia aneh tinggi be-sar ini.
Manusia aneh tinggi besar itu berpekik sekali, telapak tangan kiri mengebas pelahan, ia sambut pukulan Ji-sia dengan keras lawan keras.
Merasakan segulung angin pukulan yang sangat kuat
sehingga tenaga pukulannya tertolak kembali, Ji-sia terperanjat, pikirnya, "Tak tersangka orang ini memiliki tenaga
dalam yang begini sempurna. Aneh, sejak kapan di Thian-seng-po terdapat seorang jago sedemikian lihainya"
Setelah menahan serangan Ji-sia tadi, orang itu
merentangkan kelima jari tangan kanannya, ba-gaikan kaitan tajam, cakar itu menyambar batok kepala anak muda itu. Jisia membentak, ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian di tangan kanannya dengan membawa de-sing tajam segera
menyambar pergelangan tangan manusia aneh itu.
Cepat orang itu menarik kembali tangan ka-nannya yang sedang mencengkeram itu, lalu ba-gaikan hantu ia menyelinap ke samping kiri anak muda itu. Ji-sia merasakan
pandangannya menjadi kabur, tahu-tahu urat nadi pada pergelangan tangannya menjadi kaku, kena dicengkeram lawan.
Tak terkirakan rasa kagetnya, sungguh tak di-sangkanya di dalam dunia persilatan terdapat jago tangguh ini, buru-buru ia menghimpun tenaga ke tangan kanan hingga lengan menjadi sekeras baja.
Agaknya manusia aneh tinggi besar itupun ter-peranjat, tiba-tiba saja ia merasakan munculnya te-naga yang menerjang keluar dari pergelangan ta-ngan lawan, hampir saja cengkeramannya terlepas. Ia tak mengira Bok Ji-sia memiliki tenaga da-lam sedemikian sempurna.
Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng kuatir ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian di tangan Bok Ji-sia akan di-rampas orang, ia pun membentak, pedangnya mem-bawa beribu titik bintang langsung menabas dari samping.
Manusia tinggi besar itu mengayun tangan ka-nannya ke depan, dengan angin pukulan yang dah-syat ia menyongsong serangan si nona. Segera Cu Giok-ceng merasakan tenaga pukulan lawan sungguh maha dahsyat dan belum pernah di-jumpainya, hampir saja pedangnya terlepas dari ce-kalan, buru-buru ia urungkan serangan dan melom-pat mundur.
Setelah memukul mundur lawan, manusia aneh tinggi besar itu memutar telapak tangan kanannya satu lingkaran, kemudian menyodok ke dada Ji-sia itu.
Dengan cekatan Ji-sia menangkis pukulan itu, lalu dengan jurus Khi-soh-po-liong (tali aneh mem-belenggu naga), dia berbalik meraih pergelangan ta-ngan lawan.
"Lepas tangan!" tiba-tiba manusia aneh itu membentak.
Dengusan tertahan berkumandang, dengan sem-poyongan Bok Ji-sia mundur dua-tiga langkah ke belakang, tapi ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian-nya masih bisa di pertahankan.
Agaknya pihak lawan juga terperanjat oleh te-naga getaran yang dipancarkan oleh Ji-sia, ia me-rasa ilmu silat pemuda itu sungguh luar biasa.
Dalam pada itu, Cu Giok-ceng merasa pena-saran karena dipaksa mundur oleh musuh, dengan menciptakan cahaya bunga sekali lagi pedangnya menusuk manusia aneh itu.
Rupanya manusia aneh itu cukup tahu akan kelihaian ilmu pedang si nona, cepat-cepat ia me-lompat mundur.
"Hai, ingin kabur?" dengus Cu Giok-ceng.
Pedang yang semula menusuk mendadak me-mancarkan
cahaya hijau yang menyilaukan, lalu secepat kilat menyambar ke depan".
Tapi manusia aneh itu dapat menghindar lagi ke samping.
Cu Giok-ceng naik darah, pedang berubah menjadi selarik bianglala berwarna putih, secepat kilat menyambar lagi ke sana.
Tiga kali serangan berantai ini dilancarkan de-ngan kecepatan tinggi, baru saja manusia aneh itu berdiri tegak, tahu-tahu serangan ketiga sudah me-nyambar tiba, dengan terkejut buru-buru ia ber-kelit lagi ke samping.
"Bret!" tahu-tahu lengan baju kanan manusia aneh itu terpapas robek, dengan begitu maka ter-lihatlah lengannya yang putih bersih, sebuah lengan yang tidak sesuai dengan wajahnya.


Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gagal dengan ketiga serangan kilatnya, tiba-tiba Cu Giok-ceng berhenti menyerang, sambil ter-tawa dingin ia berkata,
"Dalam dunia persilatan dewasa ini, hanya beberapa orang saja yang sang-gup menghindari ketiga kali serangan berantai Hui~hun-cian-hiat (sukma melayang darah berceceran) ini, mungkin kaupun salah satu di antara Bu-lim-jit-coat atau jago Thian-seng-po"..
Belum selesai ucapannya manusia aneh tinggi besar itu telah mengebaskan lengan baju kirinya ke wajah Cu Giok-ceng.
Gadis itu merasakan lunak tak bertenaga sam-baran
tersebut, ia tertawa dingin, pedang diangkat siap membacok lengan orang, siapa tahu pada saat itulah tiba-tiba ia mengendus bau harum yang amat tipis dan aneh sekali.
Seketika itu juga kepalanya terasa pusing, "Trang!" pedang jatuh ke tanah, menyusul tubuhnya ikut terkulai.
"Kau"..kau". Oh". belum habis jeritan ka-get Bu-sian-gisu Kwanliong Ciong-leng itu, dua so-sok mayat hidup telah menerjang tiba secepat kilat, empat cakar setan sekaligus menikam tubuh-nya.
Buru-buru Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng menjatuhkan diri dan menggelinding ke sana un-tuk menghindari serangan itu. Tapi, sesosok mayat hidup lainnya telah me-nyusul tiba, cakar setannya menyambar ke bawah.
Tak terlukiskan rasa kaget Kwanliong Ciong-leng, dia lupa jari tangan lawan beracun keji, ia menangkisnya dengan tangan.
Demi melihat kukunya yang. melengkung dan berwarna hijau itu dia baru kaget, buru-buru ta-ngannya ditarik kembali, sayang sudah terlambat"..
"Sret!" lengan baju kanan Kwanliong Ciong-leng tersambar kuku mayat hidup itu sehingga ro-bek, ia segera merasakan lengannya amat sakit.
Mayat hidup itu berpekik aneh, kedua cakar-nya kembali menyambar tiba dengan cepat luar biasa. Kwanliong Ciong-leng menghimpun hawa mur-ni dan melancarkan serangan dengan kedua tangan sembari melompat bangun.
Mayat hidup itu melejit, ia menghindar ke samping.
Mendadak manusia aneh tinggi besar tadi ber-pekik lengking seperti jeritan setan, tiba-tiba ke-dua mayat hidup itu menghentikan gerak menu-bruknya.
Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng merasakan lengan kanannya sakit dan panas, cepat ia meme-riksa luka itu. Tapi seketika ia terperanjat, kiranya lengan yang disambar kuku setan lawan terobek luka pan-jang, di sekitar kulit yang putih itu timbul selapis warna merah dan membengkak.
Kwanliong Ciong-leng tahu racun itu amat ganas, cepat-cepat ia menghimpun tenaga untuk menahan menjalarnya racun.
Setelah termakan oleh pukulan manusia aneh tadi, Bok Jisia merasakan darah dalam tubuh ber-golak keras, setelah mengatur pernapasan, ia mem-buka matanya, betapa
kagetnya pemuda itu ketika dilihatnya Cu Giok-ceng telah tergeletak di tanah, ia lantas membentak, tangan dengan sejajar dada segera dilontarkan ke depan.
Serangan ini tampaknya sederhana tanpa sesuatu yang aneh, tapi setiba di tengah jalan mendadak berbalik ke sebelah kiri, kemudian di antara getar-an lengannya serangan berputar pula ke kanan"..
Menyaksikan gerak serangan tersebut, sinar aneh terpancar dari mata manusia aneh tinggi besar itu. Kemudian sinar mata aneh itu berubah menjadi hawa napsu membunuh yang
mengerikan, berbareng telapak tangan kanannya diayun ke depan dengan angin pukulan dahsyat.
"Blang!" ketika kedua tangan saling beradu, angin
mendampar kencang.
Ji-sia mendengus tertahan, ia tetap berdiri te-gak di tempat semula. Sebaliknya bahu manusia aneh itu tergetar keras dan beruntun mundur tiga-empat langkah. Tak terlukiskan rasa terkejut manusia aneh itu, mimpipun ia tak mengira ilmu pukulan yang baru saja berhasil diyakinkan dan dianggapnya maha sakti itu sama sekali tidak menghasilkan apa-apa.
Sementara ia termenung, Bok Ji-sia telah mun-tahkan segumpal darah kental, tiba-tiba saja ia ro-boh ke tanah.
Ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian yang ber-ada di tangan kanannya masih tergenggam erat.
Perlu diterangkan bahwa ilmu pukulan yang dilancarkan manusia aneh itu adalah ilmu silat pa-ling jahat dalam dunia persilatan yang disebut Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang), ketika dilancarkan sama sekali tidak mem-bawa kekuatan yang mengerikan.
Akan tetapi hawa murni yang jahat itu akan berubah menjadi hawa dingin yang menyusup masuk kulit badan, lalu berubah menjadi suatu kekuatan yang maha dahsyat dan merusak isi perut orang.
Sekalipun pihak lawan memiliki tenaga dalam yang
sempurna dan isi perutnya tak sampai tergetar hancur, paling tidak racun jahat akan menyusup ke tubuhnya, maka ilmu ini benar-benar sejenis ilmu yasg jahat dan lihai.
Baik Bu-siang-te-im-hu-kut-kang maupun Peng-sian-jit-gwat-ciang, keduanya merupakan ilmu sakti yang lihai dari aliran sesat.
Manusia aneh itu merasa sangat girang melihat Bok Ji-sia roboh, pelahan ia maju menghampirinya, ia membungkukkan badan, meraba saku pemuda itu dan mengambil sarung ruyung emas.
Begitu berhasil dengan usahanya ia lantas men-dongakkan kepala dan berpekik nyaring"..secepat kilat ia kabur ke tanah pekuburan. Tanpa menimbulkan suara ketiga belas sosok mayat hidup itupun ikut kabur ke tengah tanah pekuburan sana.
Bintang-bintang bertaburan di langit, malam semakin hening dan kelam. Angin dingin berhembus membawa
semacam perasaan tegang yang aneh.
Tiba-tiba Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng merasakan separoh badan sebelah kanan mulai ka-ku, peredaran darah dalam tubuh seakan-akan ter-sumbat, dengan mata yang tajam diawasinya ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian di tangan Bok Ji-sia tanpa berkedip.
Suatu daya pikat yang amat kuat membuatnya berjalan pelahan menghampiri anak muda itu.
Ia berjongkok, dicengkeramnya Jian-kim-si-hun-pian di tangan Bok Ji-sia itu dengan tangan kirinya, lalu senjata itu digetarkan hingga menim-bulkan suara mendengung yang membetot sukma, beribu ekor ular emas serasa bergerak-gerak di ang-kasa"..
Mendadak dari balik matanya terpancar keluar sinar yang kejam, ruyung mestika diangkatnya ting-gi-tinggi dan dihantamkan ke atas kepala Ji-sia".
Untunglah sebelum tindakan tersebut terlak-sana suatu perasaan malu dan berdosa muncul da-lam hatinya, ia
menghela napas panjang, kemudian katanya, "Dia benar-benar kejam dan culas, dia sengaja tidak ambil ruyung ini, tujuannya supaya membunuh Bok Ji-sia dan Cu Giok-ceng, lalu me-mancing Lik-ih-hiat-li dan Kiu-thian-mo-li untuk membuat perhitungan denganku. Ai, apalagi jika aku mampus keracunan, maka dia yang bakal beruntung atas kejadian ini"."
Untuk sesaat lamanya ia berdiri melamun. Selang sejenak kemudian, Kwanliong Ciong-leng meletakkan kembali ruyung Jian-kim-si-hun-pian di sisi Ji-sia. Baru saja senjata tersebut diletakkan, tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin orang, meski suara-nya tidak terlampau keras, namun ibarat Guntur membelah bumi di siang bolong bagi pendengaran Kwanliong Ciong-leng, buru-buru ia sambar lagi ruyung Jian-kim-si-hun-pian.
Ketika berpaling, tertampaklah dari balik pe-pohonan tak jauh sana berjalan keluar seorang sastrawan setengah umur yang berdandan rapi dan mengulum senyum.
Terbelalak Kwanliong Ciong-leng, seketika ia menjadi bingung sendiri.
Terdengar sastrawan setengah umur itu tertawa terbahak-bahak, lalu menyapa, "Saudara Kwan-liong, senjata apakah yang kau pegang itu?"
Bagaikan baru mendusin dari mimpi Bu-sian-gi-su tersentak kaget, ia tanya dengan ragu, "Sau-dara Oh, jadi tadi bukan kau?"
Ternyata sastrawan setengah umur ini adalah saudara kandung Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-gak, yakni Seng-gwat-kiam (pedang bintang rembulan) Oh Kay-thian.
"Saudara Kwanliong, apa katamu?" sahutnya dengan
tersenyum. Bu-sian-gi-su melengak, pikirnya, "Seharusnya manusia aneh tadi adalah Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, sebab dalam dunia persilatan dewasa ini ha-nya dia seorang yang lihai dalam ilmu racun, tapi kalau betul dia, kenapa bisa secepat ini muncul la-gi dari arah lain" Masakah ilmu meringankan tu-buhnya telah mencapai tingkatan yang luar biasa".?"
Berpikir demikian, Kwanliong Ciong-leng lan-tas menghela napas panjang, katanya, "Saudara Oh, selamanya kita tak pernah berselisih paham, kenapa kau sergap diriku?"
Oh Kay-thian tertawa dingin, "Saudara Kwan-liong, aku benar-benar tidak mengerti dengan per-kataanmu. Tolong tanya apakah benda yang ber-ada di tanganmu itu adalah Jian-kim-si-hun-pian?"
"Saudara Oh, buat apa kau berlagak pilon" Se-karang aku sudah keracunan, paling banter aku ha-nya akan hidup beberapa jam saja di dunia ini."
Dari ucapan ini samar-samar terungkap rasa sedihnya menghadapi kematian.
Sementara itu, Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian sudah tiba di hadapan Kwanliong Ciong-leng, sam-bil menjulurkan tangan kanan dan tertawa ia ber-kata, "Saudara Kwanliong, bolehkah kupinjam ruyungmu itu?"
"Saudara Oh, ruyung ini sudah menjadi milik-mu, kalau mau, ambil saja!"
Tiba-tiba Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian me-narik kembali tangan kanannya, lalu berkata, "Jika saudara Kwanliong berkata demikian, aku tak jadi melihat ruyung itu!"
"Saudara Oh," kata Kwanliong Ciong-leng de-ngan sedih,
"tindak tandukmu sungguh membuat orang marah."
"Saudara Kwanliong, teguranmu boleh dibilang teguran pertama yang dilontarkan orang persilatan kepadaku!" seru Oh Kay-thian sambil tertawa dingin.
Bu-sian-gi-su menghela napas, "Sejak dulu sam-pai
sekarang, orang yang licik dan berakal busuk selalu tak mendapatkan akhir yang baik, begitu pula dengan diriku, hanya akhir yang mengenaskan yang akan kuperoleh. Kini nyawaku sudah berada di ta-nganmu, terserah hukuman apa yang hendak kau jatuhkan kepadaku!"
Oh Kay thian tersenyum, "Ucapan saudara Kwanliong
terlalu serius, apabila kau mau, aku ber-sedia menyembuhkan racunmu."
Mendengar itu, semangat Bu-sian-gi-su Kwan-liong Ciong-leng terbangkit, bagaimanapun manusia memang ingin hidup daripada mati, meskipun akhir-nya manusia itu harus mati, tapi siapakah orang di dunia ini yang tak suka hidup kecuali sudah putus asa dan tiada harapan lagi"
Sekarang, Kwanliong Ciong-leng menemukan setitik sinar harapan untuk hidup, sudah barang tentu, ia tak mau melepaskannya, walaupun dengan jelas, ia tahu musuh tak akan menyembuhkan luka-nya secara gratis, bahkan mungkin tindakannya diser-tai suatu rencana atau intrik jahat, akan tetapi setitik harapan untuk hidup itu tak pernah ia lepaskan.
Maka Bu-sian-gi-su menghela, napas sedih, "Asal saudara Oh sanggup menyembuhkan racunku ini, apa pun yang kau minta silakan bicara saja."
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tertawa terba-hak-bahak,
"Ha..ha..ha"saudara Kwanliong memang orang pintar, aku memang ada satu permintaan, cuma boleh dibicarakan setelah kusembuhkan ra-cunmu nanti. Nah, sekarang perlihatkan dulu luka-mu itu."
Terpaksa Kwanliong Ciong-leng menggulung lengan baju sebelah kanan yang robek, ketika lengan itu diperiksa ternyata warna merah bengkak di sekitar luka telah lenyap, namun sekarang mun-cul bintik-bintik merah yang banyak.
Hal ini amat mencengangkan hatinya, pikirnya, "Ketika keracunan tadi, tampaknya racun itu sangat lihay, kenapa sebelum diberi obat warna merahnya yang membengkak sudah lenyap dengan sendirinya" Lagipula separoh badanku tadi terasa kaku, kenapa sekarang sudah menjadi normal kembali?"?"
Sementara ia melamun, Oh Kay-thian telah berkata dengan tersenyum, "Saudara Kwanliong, kau anggap lenyapnya bengkak merah di lenganmu pertanda luka itu telah sembuh?"
Mendengar pertanyaan itu, Bu-sian-gi-su Kwan-liong Ciong-leng membungkam tanpa menjawab.
"Padahal inilah pertanda racun jahat itu sudah merasuk ke dalam darah di tubuhmu, tujuh hari ke-mudian racun itu akan bekerja, sekujur tubuhmu akan membusuk dan mati. Untung masih sempat diobati. Nah, urusan jangan tertunda lagi, aku se-gera turun tangan mengobati lukamu ini."
Dipegangnya persendian tulang sikut kanannya, kemudian ia keluarkan sebatang jarum perak dan menusuknya beberapa kali pada jalan darah lengan kanan Kwanliong Ciong-leng.
Setelah itu, ia perlihatkan jarum perak itu kepada Kwanliong Ciong-leng dan berkata, "Coba lihat, bukankah jarum perak ini telah berubah menjadi hitam?"
Melihat jarum itu berubah menjadi hitam, diam-diam Kwanliong Ciong-leng menghela napas, pikirnya, "Sungguh lihai sekali racunnya. Ai, orang ini jauh lebih keji daripadaku, entah intrik busuk apa yang hendak ia lakukan kepadaku?""
Waktu itu Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian telah
mengeluarkan lagi sebatang jarum perak lain yang putih bersih, lalu dengan ujung jarum itu dia me-robek bintik-bintik merah, setetes darah kental yang berwarna merah hitam meleleh keluar dan menetes ke tanah.
Dalam waktu singkat, seluruh lengan Kwan-liong Ciong-leng berlepotan darah berwarna me-rah hitam itu.
Lamat-lamat iapun mengendus bau amis bu-suk dari darah hitam itu, diam-diam ia terkejut sekali oleh kehebatan racun itu.
"Nasib saudara Kwanliong sungguh mujur," kata Oh Kay-thian sambil tertawa, "coba lewat satu jam lagi, racun itu pasti sudah mengikuti ali-ran darah dan menyerang isi perut, kalau demikian, maka kau tak tertolong lagi."
Mendengar itu, Kwanliong Ciong-leng mema-ki di dalam hati, "Huh, kucing menangisi tikus, ingin mencuci tangan sebersih-bersihnya, siapa lagi manusia di dunia ini yang sanggup melatih mayat hidup serta menggunakan racun untuk merobohkan Cu Giok-ceng kecuali kau Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian" Wahai Oh Kay-thian suatu hari akupun akan membuat kau masuk perangkapku!"
Dalam hati ia menyumpah, di mulut katanya, "Terima kasih saudara Oh atas bantuanmu, entah apa permintaanmu, katakanlah!"
Oh Kay-thian menyimpan jarum peraknya la-lu tangan kanan mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna putih dan mengambil dua biji pil ber-warna merah.
"Kedua pil ini merupakan obat mestika yang kubawa untuk memunahkan racun," katanya sam-bil tersenyum, "sekarang kuhadiahkan kepadamu dan minumlah sebutir lebih dulu, lewat tiga hari kemudian minum lagi yang lain, maka sisa racun yang masih mengeram dalam tubuhmu akan lenyap tak berbekas."
Dalam keadaan demikian, Bu-sian-gi-su tak bisa
mencurigainya lagi, pil itu segera dimakannya sebutir, dengan cepat ia merasakan hawa segar da-ri mulut masuk ke pusar sehingga semangatnya menjadi segar bugar.
Setelah Bu-sian-gi-su menelan pil itu, Oh Kay-thian tersenyum dan berkata, "Selamanya aku me-mang senang bekerja sama dengan saudara Kwan-liong, adapun usahaku menyembuhkan lukamu hari ini bukan masalah besar, biarpun keinginanku tidak kau laksanakan juga tak menjadi soal, maka biar-lah tidak jadi kukatakan saja."
Mendengar perkataan itu, Kwanliong Ciong-leng tertegun, dia tidak mengerti permainan apa lagi yang dilakukan Oh Kay-thian yang licik itu.
"Saudara Oh," Bu-sian gi-su berkata lantang, "tahukah kau bahwa selamanya aku enggan me-nerima budi kebaikan orang dengan percuma?"
"Kalau demikian, baik begini saja. Kedua muda-mudi yang menggeletak di tanah ini mempunyai den-dam denganku, tolong cincang tubuh mereka, lebih baik lagi kalau wajah dan bentuk tubuh mereka hancur sama sekali hingga tak
berwujud."
Permintaan ini ternyata diutarakan dengan enak saja, Kwanliong Ciong-leng menjadi tertegun, ia merasa kekejaman orang benar-benar mengerikan.
Melihat Bu-sian-gi-su membungkam sampai la-ma sekali, sambil tetap tersenyum Oh Kay-thian berkata pula,
"Selamanya aku tidak suka memaksa orang, harus
kuperingatkan dirimu lebih dulu, le-bih baik kau
pertimbangkan pula segala akibatnya. Nah, kata-kataku hanya sampai di sini, aku akan berangkat lebih dulu."
Ucapan Oh Kay-thian yang sukar dimengerti ini membuat Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng menjadi bingung dan tak tahu bagaimana baiknya.
Waktu ia mendongak Oh Kay-thian sudah barada beberapa tombak jauhnya, cepat ia berseru, "Saudara Oh, apakah ruyung Jian-kim-si-hun-pian ini tidak kau maui lagi?"
"Ruyung itu kan bukan milikku, buat apa ku-ambil benda itu?"seraya berkata ia berjalan terlebih jauh.
Memandangi bayangan pungguung Oh Kay-thian yang
lenyap dalam kegelapan, tanpa terasa Kwanliong Ciong-leng menghela napas sedih.
Kenapa Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian rela me-lepaskan Jian-kim-si-hun-pian" Tindakannya ini sungguh tidak dimengertinya.
Mendadak satu ingatan terlintas dalam benak-nya, "Jangan-jangan pil yang diberikan kepadaku tadi adalah semacam obat racun!"
Berpikir demikian, ia lantas memutuskan untuk tidak makan pil yang lain daripada keracunan lagi, sudah barang tentu iapun tak berani memastikan bahwa pil yang diberikan kepadanya itu adalah racun.
Mendadak ingatan lain terlintas pula dan se-gera hilang curiganya, "Oh Kay-thian tidak mem-bawa pergi ruyung itu, alasannya sudah tentu ka-rena semua umat persilatan di dunia ini tahu ru-yung itu berada di tangan Oh Kay-gak, bila mereka tahu Oh Kay-gak telah berpulang ke alam baka, otomatis orang yang dicari pertama kali ada-lah Oh Kay-thian dan Oh Ku-gwat dari Thian-seng-po."
"Sekalipun ilmu silat dan ilmu racun Oh Kay-thian tiada tandingannya di dunia ini, mustahil ia bisa melawan seluruh jago lihai dunia persilatan" Sekarang ia tidak mengambil ruyung itu, jelas di-karenakan masalah tersebut. Dengan diberikannya ruyung ini kepadaku, tujuannya mengalihkan agar sasaran semua jago persilatan atas diriku, sedang-kan kemampuan ilmu silatku sekarang, cukup se-orang Kiu-thian-mo-li saja sudah sanggup untuk membunuhku."
"Bila aku mati, maka rahasia tentang sarung ruyung Jian-kim-si-hun-pian itu akan menjadi tan-da tanya besar, bahkan sejak kini tak akan dike-tahui orang".Ah, ia betul-betul kejam,
siapa tahu kalau di samping ini ia masih mempunyai ren-cana keji yang lebih hebat?"
Tapi sesaat kemudian, teka-teki lain kembali terlintas dalam benaknya. Mengapa Seng-gwat kiam Oh Kay-thian tidak turun tangan sendiri untuk membunuh Cu Giok-ceng, Bok Ji-sia serta dirinya" Apakah ia takut Kiu-thian-moli dan Lik-ih-hiat-li akan mencarinya untuk membalas dendam" Tentu saja hal inipun mungkin, tapi jelas bu-kan sebab yang utama, lantas karena apa"
Semua persoalan itu membuat Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng yang cerdas serta licik men-jadi kebingungan. Bila ingin memecahkan teka-teka ini, maka manusia aneh tinggi besar tadi berarti bukan Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, padahal tak mungkin, sebab orang itu jelas adalah dia, umpama bukan dia pasti juga orang suruhannya.
Andaikata benar begini, berarti kelihaian kung-fu Oh Kay-thian betul-betul mengerikan sekali, se-bab kesempurnaan ilmu silat manusia aneh tadi je-las tidak berada di bawah Oh Kay-gak, Lamkiong Hian, Kiu-thian-mo-li maupun Lik-ih hiat-li.
Bagaikan ombak pikirannya bergolak hebat, ke-tika ia menunduk dan memandang sekejap tubuh Bok Ji-sia,
bagaikan mengigau ia bergumam seorang diri.
"Dapatkah kutentang hati nurani sendiri dan melaksanakan perintah Oh Kay-thian"." Harus-kah kubunuh mereka" Bila kubunuh mereka apa pula akibatnya terhadapku" Kalau tidak kubunuh apa pula yang terjadi?"
Bu-sian-gi~su Kwanliong Ciong-leng menggeng-gam
ruyung Jian-kim-si-hun-pian itu kencang-ken-cang sambil menatap tubuh Bok Ji-sia dan merenungkan pelbagai
persoalan itu. Tiba-tiba ia berpendapat tidak sepantasnya me-reka dibunuh, sebab bagaimanapun juga dulunya dia bukanlah seorang licik dan keji.
Mengapa selama tiga-empat tahun belakangan ini watak sendiri bisa berubah menjadi begini "licik dan jahat?"
Semua ini tak lain karena musibah yang telah menimpa adik angkatnya, kematian yang me-ngenaskan segenap anggota keluarganya. Ia hendak membalas dendam bagi kematian adik angkatnya, ia pikir dendam tersebut hanya bi-sa dibalas dengan cara yang keji, tentu saja iapun sadar kepandaian sendiri masih belum cukup untuk membalas dendam bagi adik angkatnya, maka dia harus
mempergunakan akal, bilamana perlu meng-gunakan siasat keji untuk mewujudkan cita-citanya.
Sekali lagi Kwanliong Ciong-leng menghela na-pas, pelahan ia taruh kembali ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian di sisi tubuh Bok Ji-sia.
Pada saat itulah tiba-tiba sebuah telapak ta-ngan putih halus menyambar ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian dengan cepat biar biasa.
Untunglah Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng bertindak cekatan, kaki kirinya sempat men-depak ruyung itu sehingga mencelat dan menancap tanah. Berbareng itu secepat kilat Kwanliong Ciong-leng meluncur ke sana dan menyambar ruyung itu. Akan tetapi baru saja jari tangannya me-nyentuh tangkai ruyung, segulung angin pukulan dingin yang lunak menerjang tiba.
Kwanliong Ciong-leng sudah berpengalaman luas, dengan cepat ia menyadari akan kehebatan angin dingin itu, segera ia melayang mundur dan terlolos dari ancaman itu. Bayangan putih berkelebat, seorang gadis ber-tubuh ramping telah melompat ke arah ruyung mestika itu secepat kilat.
"Mundur!?" bentak Kwanliong Ciong-leng, te-lapak
tangannya segera didorong ke depan.
Berbareng dengan serangan itu, tangan yang lain sudah menyambar gagang ruyung dan menca-butnya.
Oleh karena tertumbuk oleh tenaga pukulan tadi, gerakan si nona baju putih menjadi tertahan, ia tak rela melihat ruyung itu jatuh ke ta-ngan Kwanliong Ciong-leng, sambil
membentak ia menerjang maju lagi, kedua telapak tangannya me-lepaskan pukulan dahsyat.
Oleh karena gerak tubuh musuh terlampau ce-pat,
Kwanliong Ciong-leng tak sempat melihat je-las raut wajah penyerangnya. Tapi ia dapat merasakan kelihaian serangan lawan, sambil membentak marah ruyung diputar kencang, cahaya emas segera terpancar keempat penjuru dengan deru angin tajam.
Tiba-tiba terdengar seorang berseru dengan su-ara merdu,
"Enci Pek Sat, ruyung itu sangat tajam, jangan disambut dengan kekerasan!"
Nona berbaju putih itu mendengus, terpaksa ia menahan gerak majunya.
Setelah berhasil memaksa mundur musuh, Kwanliong
Ciong-leng menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu.
Dilihatnya tidak jauh di samping kiri berdiri dua orang gadis, mereka adalah nona berbaju biru berkerudung dan Pek Bi, si genit dari Hek-liong-kang.
Sedangkan gadis yang tepat berdiri di hadapan-nya tak lain adalah Pek Sat yang dingin dan ang-kuh itu. Terkesiap hatinya, ia pikir, "Wah, bisa re-pot. Bila bertemu dengan tiga gadis aneh dari Hek-liong-kang ini, mungkin ruyung ini tak bisa kupertahankan lagi."
Dengan sinar mata yang tajam dan menggidik-kan hati, Pek Sat menatap wajah Kwanliong Ciong-leng lekat-lekat, kemudian dengan nada dingin ka-tanya, "Ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian adalah benda milik Hek-liong-kang kami, ayo cepat serah-kan kepada kami, kalau tidak akan kubikin kau mampus tanpa terkubur."
Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng tak berani beradu pandang dengan nona itu, ia tertawa ter-bahak-bahak, "Nona jangan terlalu memaksakan kehendakmu, ketahuilah ruyung ini adalah milik Bok Ji-sia, siapa bilang barang milik Hek-liong-kang kalian?"
Pek Sat mendengus, "Hmm, tahukah kau siapa yang
membuat Jian-kim-si-hun-pian ini?"
Kwanliong Ciong-leng tertawa dingin, "Betul ruyung ini dibuat oleh seorang tokoh sakti aliran Hek-liong-kang, yakni Hin-si-su Siang Heng-tang, akan tetapi Siang-locianpwe sendiri adalah orang persilatan daerah Tionggoan, beliau pula yang mem-bawa ruyung ini ke Tionggoan serta meninggalkan-nya di sini".."
"Ia sama sekali tak punya murid, itu berarti ruyung hilang di daerah Tionggoan," tukas Pek Sat ketus.
Kembali Kwanliong Ciong-leng tersenyum, "Ruyung ini sudah bersejarah tiga ratus tahun, ba-gaimana jalannya peristiwa ini kita sebagai orang angkatan muda tak akan mengetahuinya, maka barang siapa mendapatkan ruyung ini, dialah pemilik-nya."
Nona baju biru bercadar itu melirik sekejap Bok Ji-sia yang manggeletak di tanah itu dengan sorot mata lembut, kemudian ia tanya, "Apakah kau yaog mencelakai dia?"
"Nona," seru Kwanliong Ciong-leng dengan perasaan
bergetar, "kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, janganlah sembarangaa bicara."
Nona bercadar itu tertawa cekikik dengan su-ara yang merdu bagaikan kicau burung.
"Aku kan cuma bertanya saja, padahal bicara tentang kepandaian, dengan kungfumu mungkin belum cukup untuk melukainya."
Air muka Kwanliong Ciong-leng berubah he-bat mendengar perkataan itu, dengan dingin ia lan-tas bertanya, "Apakah nona telah mengetahui duduk-nya perkara?"
Tiba-tiba Pek Bi tersenyum kepada Kwanliong Ciong leog, katanya, "Maksudmu tahu soal apa?"
Melihat senyuman manis yang menghiasi bibir-nya,
Kwanliong Ciong-leng seakan-akan terpikat, ia pandang gadis itu dengan termangu.
Pek Sat segera menggerakkan tubuhnya dan menerjang maju secepat kilat, tangan kirinya dikebaskan sementara kelima jari tangan kanan ter-pentang lebar dan
mencengkeram pergelangan ta-ngan kanan Kwanliong Ciong-leng.
Terembus oleh angin serangan yang amat di-ngin,
Kwanliong Ciong-leng tersadar kembali dari lamunannya, tapi pergelangan tangan kanannya ke-buru kena dipegang oleh jari tangan yang putih halus itu, tangannya bergetar keras dan ruyung mestika itupun terlepas dari cekalan.
"Brak!" nyaris ruyung itu menimpa wajah Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng yang menggeletak di ta-nah, selisih dengan wajah gadis itu cuma tiga inci.
Bersamaan waktunya Kwanliong Ciong-leng mem-buang
ruyung tersebut, tenaga murninya segera di-himpun ke telapak tangan kirinya dan menerima kebasan dengan keras lawan keras.
Dengusan tertahan berkumandang, dengan air muka pucat seperti mayat, beruntun Kwanliong Ciong-leng mundur tiga-empat langkah. Air muka Pek Sat ikut berubah pula, bahunya tergetar dan tubuhpun tergeliat.
Pek Bi tertawa cekikikan dengan suara yang merdu,
katanya tiba-tiba, "Bukankah kau bilang ba-rang siapa pegang
ruyung ini, dialah pemilik ruyung ini" Nah, mulai sekarang ruyung ini menjadi milik kami!"
Habis berkata, senyuman bangga memikat hati kembali menghiasi wajahnya, lalu sambil bergoyang pinggul pelahan ia berjalan mendekati sisi tubuh Cu Giok-ceng.
"Tunggu sebentar!" tiba-tiba bentakan nyaring
menggelegar, "ruyung itu milikku!"
Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng yang semula ter-geletak tak berkutik di tanah itu tahu-tahu sudah menggerakkan jari tangannya dan menyambar ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian tersebut.
Mimpipun Pek Bi tidak menyangka ruyung mestika yang sudah berada di depan mata tahu-tahu berpindah ke tangan orang lain. Dengan suatu gerakan cepat ia menerjang ke samping Cu Giok-ceng, lalu meletik ke depan, de-ngan suatu gerakan yang manis telapak tangan ka-nan menutuk
pergelangan tangan kanan Cu Giok-ceng.
Akan tetapi Cu Giok-seng pun bukan kaum lemah, cepat ia mengegos ke samping sambil me-mutar tangan, ia balas mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri Pek Bi.
Tiba-tiba Pek Bi angkat kakinya menendang perut lawan.
Cu Giok-ceng berkerut kening, cepat kaki kiri juga diangkat menyongsong ancaman tersebut. Terjadi benturan keras, kedua pihak sama-sama menjerit kaget, lalu dengan gerakan yang sama ce-patnya mereka melompat mundur. Namun
begitu, ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian masih berada dalam cengkeraman Cu Giok-ceng.
Setalah berlangsungnya pertarungan jarak de-kat dengan jurus-jurus serangan kilat, dapatlah di-ketahui bahwa kelihaian kungfu kedua gadis itu, ba-ik kecepatan maupun keganasan serangan boleh dibilang seimbang. Untuk sesaat kedua pihak tak berani melancarkan serangan secara gegabah lagi, sudah
barang tentu Pek Bi tambah ngeri terhadap Jian-kim-si-hun-pian.
Dengan ujung kaki kiri Cu Giok-ceng segera mencungkil pedangnya yang tergeletak di tanah, lalu ditangkap kembali dengan tangan kiri, ruyung dan pedang segera diangkat bersama.
"Nama besar tiga gadis dari Hek-liong-kang memang tidak bernama kosong belaka," demikian ia berkata sambil tertawa dingin, "tapi kalian mesti tahu, di antara yang tangguh masih ada yang lebih tangguh lagi."
Dengan langkah lemah gemulai si nona baju biru bercadar itu pelahan maju ke depan, serunya dengan merdu, "Hei, siapa kau ini" Kok galak amat?"
Cu Giok-ceng mendengus penuh menghina, katanya,
"Nonamu adalah Mo-li-ceng-li yang termashur di dunia persilatan. Hmm, mau apa kau?"
"Oh, maaf! Rupanya engkau Nio-cu-kun (ten-tara
perempuan atau Srikandi) dari Tionggoan."
"Nio-cu-kun atau bukan, mau apa kau?" ben-tak Cu Giok-ceng lagi, "bila kau berani sembarangan omong, daerah Tionggoan akan menjadi tempat mengubur kalian."
"Wah, gadis Tionggoan tampaknya sangat ga-lak," kembali nona baju biru itu menyindir, "tapi juga cakap-cakap!"
"Hmm, kau cari mampus!" bentak Cu Giok-ceng dengan gusar.
Ia menerjang maju, pedang di tangan kiri be-runtun menusuk dan menabas dengan gencar. Serangan ini
dilancarkan dengan gerak cepat dan jurus yang aneh, tampaknya segera dada si no-na baju biru bercadar itu akan tertusuk.
"Tahan!" Pek Sat membentak, "jangan kau lukai nona kami!"
Menghadapi ancaman pedang itu, ternyata si nona baju biru tidak memperlihatkan rasa takut, ia berdiri tenang di tempatnya, melihat itu, Cu Giok-ceng terperanjat.
"Jangan-jangan dia memiliki sesuatu ilmu ke-ji"."
demikian ia berpikir.
Tiba-tiba ia menarik kembali serangannya, se-mentara itu Pek Sat telah menerjang maju dan me-lepaskan pukulan dahsyat. Merasakan dahsyatnya angin pukulan itu, ce-pat Cu Giok-ceng melompat mundur.
"Enci Pek Sat," terdengar nona baju biru itu berseru, "ia tak akan berani melukaiku, apa yang kau kuatirkan?"
Sementara itu, setelah mengatur napas dan mengendalikan pergolakan darah dalam tubuhnya, mendadak Kwanliong Ciong-leng menghampiri Bok Ji-sia, ia membalik tubuh pemuda itu dan memeriksa keadaannya.
Ternyata Ji-sia berbaring dengan kaku, noda darah masih mengotori ujung bibirnya, gigi terkatup kencang, wajahnya pucat seperti mayat.
Melihat keadaan tersebut, tanpa terasa ia meng-hela napas panjang, gumamnya, "Sungguh tak ku-sangka pemuda keras kepala ini ternyata berusia pendek."
Terkejut Cu Giok-ceng, ia menerjang maju dan bertanya dengan kuatir, "Dia "..dia." telah mati".?"
Kwanliong Ciong-leng melirik sekejap wajah Cu Giok-ceng yang cemas itu, lalu menghela napas, "Ya, dia telah mati!"
Padahal antara Cu Giok-ceng dan Bok Ji-sia tidak memiliki hubungan apapun, tapi entah me-ngapa, ketika mendengar kabar tersebut, ibarat gun-tur menggelagar pada siang bolong, ia terperanjat sehingga sekujur badan gemetar.
Jelas kematian Bok Ji-sia mempunyai sangkut-paut yang amat besar dengan dia. Dalam pada itu, si nona baju biru dan Pek Sat serta Pek Bi telah maju pula, tiba-tiba ia ber-kata sambil tertawa. "Kedua Cici, entah ada hu-bungan apa Bok Jisia dengan dia, kenapa ia be-gitu sedih?"
Gusar sekali Cu Giok-ceng mendengar ucapan itu,
bentaknya, "Dia sahabatku, apa urusannya denganmu?"
Nona berbaju biru itu tertawa merdu, "Cici, dia bilang orang she Bok itu sahabatnya, tapi ma-na mungkin ada sahabat yang merampas ruyung mestikanya" Kan lucu sekali, Aii, orang bilang cinta hanya mendatangkan penyesalan, kata-kata ini me-mang cocok untuk diterapkan pada perempuan yang bodoh."
Ucapan ini betul-betul melukai hati Cu Giok-ceng, saking marahnya sampai pucat air mukanya, hawa napsu membunuh pun terpancar dari sorot matanya yang beringas.
Sembari berkata nona berbaju biru itu meme-riksa air muka Bok Ji-sia, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata lagi, "Tak kusangka dalam du-nia persilatan Tionggoan ada orang yang berhasil meyakinkan ilmu Bu-siang-te-im-hu-kut-kang!"
Mendengar perkataan tersebut, telapak tangan Cu Giok-ceng yang sudah terangkat dan siap me-nyerang lagi segera terhenti di tengah jalan, seru-nya kaget, "Apa kau bilang" Ia terkena pukulan Bu-siang-te-im hu-kut-kang?"
"Benar," nona baju biru itu menjawab, "sang-gupkah kau menyembuhkan dia?"
Cu Giok-ceng tertegun, walaupun ia tak me-ngerti tentang ilmu pukulan tersebut, tapi ia pernah mendengar kekejian serta kelihaian ilmu pukulan Bu-siang-te-im-hu-kut-kang ini, konon barang siapa terkena pukulan tersebut tak bisa tertolong lagi, de-ngan ilmu pukulan Peng-sian-jit-gwat-ciang, kedua-nya disebut dua macam ilma sakti dunia persilatan.
Nona baju biru itu bergumam pula, "Racun jahat telah menyerang isi perutnya, lewat satu jam lagi, bila hawa racun muncul di antara alis mata-nya berarti ia tak bakal tertolong lagi. Aiii, sayang! Seorang pemuda berbakat ternyata harus lenyap de-ngan begitu saja."
"Jadi kau dapat menyembuhkan lukanya ini?" tiba-tiba Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng-bertanya.
"Kau bertanya kepada siapa?" tegur si nona baju biru tambil mendongakkan kepalanya.
Cu Giok-ceng mendengus, "Tentu saja tanya kepadamu!"
Nona baju biru itu tertawa dingin, "Di dunia dewasa ini, kecuali aku seorang mungkin tidak ada orang kedua yang mampu menyembuhkan luka be-racun akibat pukulan-pukulan Bu-siang-te-im-hu-kut-kang maupun Peng-sian-jit-gwat-ciang.
Tapi aku dan dia ada dendam, sudah barang tentu aku tak akan menyembuhkan lukanya, tampaknya hanya jalan
kematian saja yang tersedia baginya."
Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng amat gelisah se-telah
mendengar perkataan itu, dengan wataknya yang keras kepala, tentu saja dia enggan memohon kepada orang selain memendam rasa gelisahnya da-lam hati.
Sementara itu sudah menjelang kentongan ke-lima, sudah dekat fajar. Angin terasa berhembus kencang, suasana di se-kitar tanah kuburan itu terasa hening, perasaan setiap orang serasa tertekan.
Mendadak Cu Giok-ceng membentak meme-cahkan
keheningan suasana, "Siapa di situ" Main sembunyi-sembunyi, ayo keluar!"
Dari balik remang cuaca menjelang fajar, dari tanah pekuburan itu bergema suara dampratan yang dingin
menyeramkan, "Budak setan, jangankan kau sembunyi di
tempat orang mati ini, sekalipun bersembunyi di ujung langit pun nyonya besar da-pat menyusul dirimu."
Suaranya keras dan melengking, jelas suara se-orang perempuan. Mendengar seruan itu, air muka Cu Giok-ceng segara berubah menjadi berseri-seri. cepat-cepat teriaknya,
"Jik-locianpwe, cepat kemari" Aku hendak dicincang orang!"
"Budak setan, akan kulihat sekali ini hendak kau kabur ke mana lagi?" perempuan itu mendam-prat pula dengan
suaranya yang serak tua.
"Jik-locianpwe, kali ini aku tak akan kabur la-gi, Cuma..?"
Belum lagi ucapan tersebut selesai, mendadak segelung angin lembut berhembus lewat mengiringi datangnya sesosok bayangan manusia, ilmu me-ringankan tubuhnya sungguh lihai sekali, begitu ce-pat, begitu enteng, membuat orang sukar mengetahui berasal dari mana datangnya.
Ternyata orang ini adalah seorang nenek ber-wajah jelek, berambut putih, main bawa tongkat berkepala satan yang berat. Ketika muncul, tong-kat itu diketukkan ke tanah sehingga berbunyi "Trang!"
"Budak setan, cuma apa" Ayo cepat teruskan!" teriak nenek itu.
Sementara itu Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng juga terperanjat karena munculnya nenek jelek ini, pikirnya,
"Kenapa makhluk tua inipun muncul pula dalam dunia
Hikmah Pedang Hijau 13 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Hati Budha Tangan Berbisa 9
^