Kisah Para Pendekar Pulau Es 1

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


_ Kaisar Kian Liong atau Chien Lung merupakan kaisar Kerajaan Ceng-tiauw (Mancu) yang
paling terkenal dan paling besar sepanjang sejarah Bangsa Mancu, semenjak bangsa yang
tadinya dianggap bangsa liar di utara itu menguasai Tiongkok mulai tahun 1644. Kaisar Kian
Liong adalah seorang kaisar yang telah terkenal semenjak dia masih menjadi pangeran,
dihormati dan dikagumi oleh rakyat dari semua lapisan, bahkan dicinta oleh para pendekar
karena pangeran itu memang berjiwa gagah perkasa, mencinta rakyat jelata, adil dan
bijaksana. Oleh karena itu, setelah dia diangkat menjadi kaisar dalam tahun 1735, pada waktu
itu dia baru berusia sembilan belas tahun, boleh dibilang seluruh rakyat mendukungnya.
Biarpun dia juga seorang Bangsa Mancu, namun cara hidupnya, sikapnya dan jalan
pikirannya adalah seorang Han tulen.
Baru saja dia memerintah selama lima tahun, sudah nampak kemajuan-kemajuan pesat dalam
pemerintahannya. Pemberontakan-pemberontakan rakyat padam dan kehidupan rakyat mulai
makmur. Taraf kehidupan rakyat kecil terangkat dan mulailah rakyat mengenal pembesar dan
pejabat sebagai bapak-bapak pelindung, bukan sebagai pemeras dan penindas seperti di
waktu-waktu yang lampau.
Tidak mungkin seorang manusia dapat bertindak tanpa ada yang menentangnya. Kalau
seorang kaisar bertindak bijaksana terhadap rakyat, melindungi rakyat, secara otomatis dia
harus menentang penindasan, harus menentang pembesar-pembesar yang korup dan yang
menindas rakyat. Sebaliknya, kalau seorang kaisar berpihak kepada penindasan dan korupsi,
tentu saja berarti diapun menjadi penindas rakyat. Dalam hal pertama, dengan sendirinya
kaisar akan ditentang oleh mereka yang merasa dirugikan oleh keadilan kaisar yang tentu saja
dapat ditegakkan dengan kekerasan, dia akan ditentang oleh para koruptor yang merasa
terhalang dan terhenti sumber kemuliaannya. Dan sebaliknya, menindas rakyat tentu akan
dihadapi dengan pemberontakan di sana-sini.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
1 Akan tetapi, ternyata Kaisar Kian Liong yang muda itu memilih untuk menjadi pelindung
rakyat dan menghadapi para koruptor dan penindas dengan kekerasan dan keadilan. Inilah
yang membuat rakyat mendukungnya dan para pendekar di empat penjuru juga
mendukungnya. Kenyataan inilah yang membuat pemerintahannya menjadi kuat. Sejarah
menyatakan bahwa dengan dukungan rakyat jelata, pemerintah menjadi kuat, sebaliknya
kalau ditentang rakyat, hanya mengandalkan bala tentara saja, pemerintah akan menjadi
rapuh. Kaisar Kian Liong pada waktu itu, kurang lebih tahun 1740 setelah lima tahun dia menjadi
kaisar, seolah-olah merupakan bintang yang mengeluarkan sinar terang. Sinarnya menerangi
hati rakyat sampai jauh ke pelosok-pelosok, bahkan sinar itu terasa sekali di tempat yang
terpencil sekalipun, seperti di Pulau Es.
Pulau Es adalah sebuah pulau terpencil jauh di utara, sebuah pulau di antara ribuan pulau
kecil yang berserakan di sekitar Lautan Kuning, Lautan Timur dan Lautan Jepang. Pulau Es
ini merupakan pulau rahasia dan jarang ada manusia yang tahu di mana letaknya yang tepat,
jarang pula ada yang pernah menyaksikannya, apalagi mendarat di sana. Akan tetapi namanya
sudah terkenal sekali, terutama di kalangan para pendekar di dunia kang-ouw. Bahkan Pulau
Es menjadi semacam dongeng bagi mereka, menjadi semacam nama yang mereka kagumi,
hormati, akan tetapi juga takuti. Siapakah orangnya yang tidak segan dan gentar mendengar
nama Pulau Es, yang menjadi tempat Istana Pulau Es dengan penghuninya Pendekar Super
Sakti atau juga Pendekar Siluman, penghuni Pulau Es" Pendekar ini yang namanya Suma
Han, memiliki kesaktian seperti dewa dalam dongeng, pernah menggegerkan dunia kang-ouw
dan karena dia merupakan seorang pendekar sejati yang bijaksana dan budiman, maka dia
dipu-ja-puja oleh para pendekar sebagai seorang datuk yang dikagumi.
Para pembaca dari cerita-cerita terdahulu yang menjadi serial dari kisah mengenai Pulau Es
tentu telah mengenal siapa itu Pendekar Super Sakti Su-ma Han yang hidup dengan tenteram
dan tenang di Pulau Es bersama kedua orang isterinya yang tercinta. Isterinya yang pertama
adalah Puteri Nirahai, seorang puteri berdarah keluarga Kaisar Mancu yang amat gagah
perkasa dan agung, yang karena cinta kasihnya yang mendalam terhadap suaminya, telah rela
meninggalkan kehidupan di istana sebagai puteri dan juga sebagai panglima yang banyak
jasanya, rela hidup di tempat sunyi itu bersama suami dan madunya.
Madunya itu, isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti, juga bukan orang sembarangan. Wanita
ini namanya Lulu, sebenarnya juga seorang puteri Bangsa Mancu walaupun bukau keluarga
kaisar seperti Puteri Nirahai. Juga Lulu ini memiliki ke-pandaian yang hebat karena ia pernah
menjadi ma-jikan Pulau Neraka! Dalam hal ilmu silat, agaknya ia tidak kalah jauh
dibandingkan dengan madunya itu, apalagi setelah keduanya menjadi isteri Pen-dekar Super
Sakti dan menerima bimbingan sang suami yang memiliki kepandaian seperti dewa itu.
Bagaimanakah Suma Han dapat hidup bersama dua orang isterinya dalam keadaan rukun dan
tenteram" Mengapa kedua orang isterinya itu tidak saling cemburu atau iri" Dapatkah
Pendekar Super Sakti Suma Han membagi-bagi cinta kasihnya kepada dua orang isterinya
itu" Sesungguhnya, tidak mungkin cinta kasih diba-gi-bagi! Cinta kasih itu memancar dari batin
dan terasa oleh siapapun juga. Demikian pula cinta ka-sih Suma Han terhadap dua orang
isterinya, sebulat hatinya dan tidak berat sebelah. Kedua orang wanita itu merasa benar akan
hal ini dan oleh karena itu merekapun tidak pernah merasa iri atau cemburu. Bahkan kedua
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
2 orang wanita ini saling mencinta seperti kakak beradik sendiri saja. Tidak ada kei-nginan
untuk mengejar pemuasan kesenangan diri-nya sendiri saja bagi cinta kasih. Yang ada
hanyalah kemesraan, belas kasih, dan kalaupun ada suatu keinginan, kalau boleh dinamakan
keinginan, maka keinginan itu mungkin hanya satu, yakni ingin me-lihat orang yang
dikasihinya itn berbahagia! Ha-nya orang yang memiliki sinar cinta kasih di dalam batinnya
sajalah yang akan mengenal cinta kasih, yang akan mengenal kebahagiaan dalam hidupnya.
Bahagia adalah tidak adanya sedikitpun konflik batin atau konflik lahir. Bahagia adalah
keadaan hebas dari ikatan apapun juga, jadi batinnya he-ning dan tidak mempunyai apa-apa
walaupun bo-leh jadi secara lahiriah dia memiliki segalanya. Dan karena batin tidak memiliki
apa-apa, tidak terikat apa-apa inilah maka dia telah memiliki segala-galanya!
Siapakah sebenarnya pendekar yang disebut Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman,
atau juga Tocu (Majikan) Pulau Es itu" Orang macam apakah dia itu" Suma Han adalah
seorang yang kini telah tua sekali. Usianya telah mendekati sera-tus tahun, atau tepatnya
sembilan puluh lima tahun! Seorang kakek yang bertubuh tinggi sedang, perutnya tidak
gendut, kaki tangannya masih nampak kokoh kuat walaupun kakinya hanya sebelah saja. Kaki
kirinya buntung sebatas paha dan untuk melangkah dia dibantu oleh tongkat. Rambutnya
pan-jang terurai, tidak pernah digelung, dibiarkan ter-urai di pundak. Akan tetapi rambut itu
terpelihara sekali, bersih dan halus seperti benang-benang perak yang mengkilap kalau
tertimpa cahaya mata-hari. Selain rambutnya, juga alisnya, kumis dan jeuggotnya semua telah
putih. Tidak ada sehelai-pun yang hitam. Namun wajahnya masih nam-pak segar kemerahan,
matanya masih awas dan tajam pandangannya, walaupun bersinar lembut sekali.
Pendengarannya masih amat baik, juga gigi-nya tidak ompong. Pendeknya panca indranya
ma-sih tidak banyak menurun, masih kuat. Kesehatannya memang amat mengagumkan. Tidak
pernah dia sakit. Tentu saja, usia tua telah membuat tu-buhnya agak layu dan tenaga otot dan
tulangnya tidaklah sekuat dahulu lagi. Pakaiannya sederhana, akan tetapi selalu bersih dan
rapi berkat rawatan kedua orang isterinya yang amat mencintanya. Dan dalam usia hampir
satu abad itu, harus diakui bah-wa masih membayang bekas ketampanan wajah pendekar ini.
Pendekar tua ini dihormati dan disegani oleh semua tokoh kang-ouw karena dia memang
lihai bukan main. Banyak sekali ilmu-ilmu silat tinggi yang dikuasainya, di antaranya yang
hebat-hebat adarah Ilmu Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api), Swat-im Sin-ciang
(Tangan Sakti Inti Salju), Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang dimainkan
dengan tongkatnya, dan ter-utama sekali Ilmu Soan-hong Lui-kun (Silat Sakti Badai Petir)
yang membuat tubuhnya dapat berge-rak sedemikian cepatnya seperti pandai menghilang
saja. Dan di samping ilmu silat tinggi yang banyak ragamnya, juga pendekar ini mempunyai
kekuatan sihir yang luar biasa, yang membuat dia dijuluki Pendekar Siluman!
Isterinya yang pertama, Puteri Nirahai juga su-dah tua sekali, selisihnya hanya beberapa
tahun dengan suaminya. Nirahai ini berdarah Mancu ase-li, dan sudah beberapa kali namanya
menjadi ter-kenal ketika ia menjadi panglima dan menggerak-kan pasukan pemerintah
menumpas pemberontak-an-pemberontakan dengan hasil baik. Ia bukan saja pandai ilmu silat,
akan tetapi juga mahir da-lam ilmu perang. Ia mewarisi ilmu-ilmu dari dua orang pendekar
wanita yang berjuluk Mutiara Hitam dan Tok-siauw-kwi yang menjadi ibu kan-dung
Pendekar Suling Emas, maka Nirahai ini amat lihai dengan Ilmu-ilmu Sin-coa-kun (Ilmu Silat
Ular Sakti), Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Setan), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu
Pedang Delapan Dewa) yang digabungnya dengan Pat-mo Kiam-hoat, juga senjata rahasianya
Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) amat berbahaya. Di waktu mudanya, Nirahai cantik
sekali, dengan pa-kaian bergaya Mancu dan topi bulu selalu meng-hias rambut kepalanya
yang dahulunya panjang dan hitam berombak akan tetapi sekarang telah men-jadi putih itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
3 Dan di dalam usianya yang sembi-lan puluh tahun lebih, ia masih belum kehilangan
kerampingan tubuhnya dan kecantikan wajahnya masih membayang pada garis-garis
mukanya. Wa-taknya halus akan tetapi tegas, agung dan agak tinggi hati karena ia memiliki
darah bangsawan tinggi di tubuhnya.
Isteri ke dua yang bernama Lulu, sesungguhnya tidak dapat dikatakan isteri pertama atau ke
dua di antara kedua wanita ini karena mereka tidak merasa berbeda dalam tingkat menjadi
isteri-isteri Pendekar Super Sakti, juga merupakan seorang nenek yang luar biasa lihainya.
Karena ia pernah menjadi ketua Pulau Neraka, maka sampai tuapun Lulu lebih suka
mengenakan pakaian serba hitam yang sederhana namun bersih dan rapi. Ia juga berdarah
Mancu yang lihai sekali karena ia telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari Pendekar Suling
Emas, terutama sekali Ilmu Hong-in Bun-hoat (Silat Sastera Hujan Angin) dan Toat-beng
Bian-kun (Silat Lemas Pencabut Nyawa), dua il-mu yang berasal dari manusia dewa Bu Kek
Siansu. Watak Lulu ini keras dan ganas, namun ia berjiwa pendekar dan dalam membela
keadilan ia seperti seekor naga betina yang pantang undur. Di waktu mudanya, ia pernah
meliar sampai menjadi ketua Pulau Neraka, akan tetapi akhirnya ia dapat "diji-nakkan" oleh
Pendekar Super Sakti dan menjadi isterinya. Usianya hanya setahun lebih muda dari Nirahai,
sehingga ia kini sudah berusia sembilan pu-luh tahun dan menjadi seorang nenek yang gerak-
geriknya masih gesit.
Demikianlah keadaan suami isteri yang sudah tua renta itu. Karena mereka sudah tua, mereka
tidak mau lagi memusingkan diri dengan urusan dunia dan sudah bertahun-tahun mereka
bertiga tidak meninggalkan Pulau Es, hidup tenteram dan tenang di tempat terasing itu, dan
setiap hari lebih banyak duduk bersamadhi di kamar masing-masing. Urusan rumah tangga
ditangani oleh keluarga yang lebih muda, yaitu tiga orang cucu mereka yang tinggal di Pulau
Es untuk belajar ilmu dari kakek dan nenek-nenek mereka.
Bagi para pembaca yang telah mengenal kelu-arga Pu1au Es, tentu tahu bahwa Puteri Nirahai
dan Suma Han mempunyai seorang putera yang bernama Suma Kian Bu yang juga pernah
menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjang-nya sehingga dia mendapatkan
julukan Pendekar Siluman Kecil! Pendekar ini, selain mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga
mempunyai sebuah ilmu yang membuat dia terkenal sekali, yaitu Ilmu Sin-ho Coan-in, dan
juga Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput). Suma Kian Bu ini me-nikah
dengan seorang pendekar wanita pula ber-nama Teng Siang In yang pandai ilmu silat dan
ilmu sihir. Suami isteri pendekar ini sekarang ting-gal di lembah Sungai Huang-ho, di luar
kota Cin-an, di dusun dekat hutan yang sunyi dan indah, hidup tenteram sebagai petani yang
juga berdagang rempah-rempah dan hasil bumi ke kota Cin-an. Mereka hanya mempunyai
seorang putera yang kini telah berusia sepuluh tahun, bernama Suma Ceng Liong.
Lulu juga mempunyai seorang putera dengan Suma Han, yaitu Suma Kian Lee yang usianya
setahun lebih tua daripada Suma Kian Bu. Suma Kian Lee menikah dengan seorang pendekar
wanita yang berwatak keras dan ganas, puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo iblis yang amat jahat,
yang bernama Kim Hwee Li, cantik jelita dan berpakaian serba hitam, namun berjiwa
pendekar. Suami isteri ini hidup saling mencinta dan keliaran Kim Hwee Li dapat dijinakkan
oleh suaminya yang tercinta, yaitu Suma Kian Lee yang berwatak halus lembut dan bijaksana.
Suami isteri ini sekarang telah berusia hampir lima puluh tahun dan tinggal di Thian-cin
sebelah selatan kota raja di mana mereka membuka toko obat. Suami isteri ini telah
mempunyai dua orang anak, seorang anak perempuan berusia delapan belas tahun bernama
Suma Hui dan seorang anak laki-laki bernama Suma Ciang Bun yang sudah berusia lima
belas tahun. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
4 Tiga orang cucu inilah, yaitu Suma Hui yang berusia delapan belas tahun, Suma Ciang Bun
yang berusia lima belas tahun, dan Suma Ceng Liong yang berusia sepuluh tahun, yang kini
menemani kakek dan kedua orang nenek mereka di Pulau Es. Orang tua mereka
menempatkan anak-anak itu di Pulau Es, bukan hanya untuk menerima pendidik-an dari
kakek nenek mereka, mewarisi semua ilmu Pulau Es sebagai ahli waris-ahli waris, juga di
samping itu untuk menemani dan menghihur hati tiga orang tua renta yang hidup kesepian itu.
Selain tiga orang tua renta dan tiga orang cucu mereka itu, di Pulan Es masih terdapat lima
orang pelayan, dua orang wanita dan tiga orang pria. Mereka ini tidak termasuk murid, hanya
pelayan--pelayan biasa biarpun mereka juga tidak urung ter-percik sedikit ilmu dari keluarga
berilmu itu dan biarpun mereka itu tadinya hanya kaum nelayan kasar belaka namun kini
mereka telah memiliki ke-kuatan yang akan mengejutkan orang biasa. Demi-kianlah
sekelumit tentang para penghuni Pulau Es pada waktu cerita ini terjadi.
Pulau itu sendiri merupakan pulau yang penuh dengan batu karang yang diselimuti es
sehingga selalu nampak putih dan hawanya dingin sekali. Di situ tidak dapat ditanami
tumbuh-tumbuhan, oleh karena itu kebutuhan pangan dari tumbuh-tumbuhan para penghuni
harus didatangkan dari pulau-pulau lain di sekitar daerah lautan itu, dan hal ini dikerjakan
oleh para pelayan. Sebulan sekalipun cukuplah untuk berbelanja sayur-sayuran, kebutuhan
makanan lain seperti daging dapat mereka peroleh dari ikan-ikan di laut. Pulau itu cukup
besar, ada lima hektar luasnya dan dari merupakan dataran yang di bagian tengahnya berbukit.
Di tengah pulau itu nampaklah sebuah ba-ngunan kuno yang kokoh kuat, kelihatan sederhana
saking tuanya. Bangunan besar itu memang dahulunya merupakan sebuah istana. Dan karena kini para
penghuninya kekurangan tenaga untuk merawat, maka tembok di luar istana itu sudah lama
tidak dikapur, bahkan kapurnya ada yang terlepas nampak bata yang tua dan besar tebal. Di
depan istana terdapat pintu yang besar dan kokoh. Kalau pintu ini dibuka, nampaklah ruangan
depan istana kuno itu yang luas. Sampai kini, bagian dalam istana yang dijadikan tempat
tinggal masih terpelihara baik-baik dan masih nampak indah walaupun perabot-pera-bot
rumahnya amat kuno. Tentu saja tidak sekuno bangunan itu sendiri. Ruangan depan itu masih
terpelihara, nampak bersih dan perabot-perabotnya yang kuno itu menimbulkan pandangan
yang nyeni dan indah. Dindingnya terawat dan dikapur putih. Lukisan-lukisan kuno yang
tentu merupakan benda langka dan mahal di kota, menghias dinding, bersaing dengan tulisan-
tulisan pasangan yang meru-pakan huruf-huruf indah dalam kalimat-kalimat bersajak,
perpaduan yang amat indah dari coretan huruf dan keindahan sajak. Lantai ruangan itu
ter-buat dari batu mengkilap bersih. Perabot-perabot seperti meja kursi dan lemari-lemari
kayu terbuat daripada kayu besi yang kuat, terukir nyeni berbentuk kepala naga. Piring-piring
hiasan, guci-guci berukir naga dan burung hong dan bunga-bunga menghias ruangan itu. Ada
tiga buah pintu di ruangan depan yang luas itu. Pintu tengah yang terbesar menuju ke ruangan
tengah dan dua pintu agak kecil di kanan kiri menembus ke halaman samping dan ke sebuah
lorong yang menuju ke bangunan kecil. Di sudut ruangan, juga merupakan penghias yang
selain mendatangkan keindahan juga keangkeran, terdapat sebuah rak senjata yang penuh
dengan delapan belas macam senjata. Akan tetapi senjata-senjata itu bukan sekedar hiasan
belaka, karena melihat betapa senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam
dan run-cingnya, mudah diketahui bahwa senjata-senjata itu adalah benda-benda pilihan yang
ampuh! Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
5 Keadaan di sebelah dalam istana ini, setelah pintu depan ditutup, tidaklah sedingin di luar.
Dan istana yang dari luar hanya mendatangkan rasa se-rem karena pautasnya dihuni oleh
setan-setan dan iblis-iblis, ternyata di sebelah dalamnya amat bersih dan terawat, juga enak
ditinggali, walaupun harus diakui bahwa hawanya amat dingin. Perabot-perabot rumah yang
serba kuno memenuhi seluruh ruangan, dan istana itu mempunyai banyak kamar tidur, juga
ruangan makan, ruangan duduk dan perpustakaan. Ruangan paling belakang merupa-kan
semacam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang enak untuk berlatih silat.
Demikianlah penggambaran singkat tentang Pu-lau Es, istananya dan penghuni-penghuninya,
dan suasana di pulau itu selalu tenteram dan wajah pa-ra penghuninya selalu nampak cerah.
Di pulau ini-lah, Pulau Es yang terkenal sebagai dongeng, sebagai tempat yang ditakuti dan
juga disegani, cerita ini dimulai!
"Bun-koko, ajarkan padaku Swat-im Sin-ciang! Kenapa engkau begini pelit untuk
mengajarnya kepadaku, Bun-koko?" terdengar rengekan seorang anak laki-laki berusia
sepuluh tahun. Suaranya nyaring dan biarpun dia merengek dan memohon, namun jelas dia
bukan seorang anak manja atau cengeng. Anak ini bertubuh tinggi besar bagi seorang anak
berusia sepuluh tahun, wajahnya agak lonjong dengan dagu runcing namun garisnya kuat
membayangkan keteguhan hati, sepasang matanya amat tajam seperti mata harimau, alisnya
tebal dan mulutnya selalu membayangkan senyum nakal. Anak ini adalah Suma Ceng Liong,
putera dan anak tunggal dari pendekar Suma Kian Bu atau Pende-kar Siluman Kecil dan
isterinya, Teng Siang In. Para pembaca ceritaSuling Emas dan Naga Silu-man tentu masih
ingat betapa suami isteri ini baru memperoleh keturunan setelah mereka berdua ber-hasil
membunuh seekor ular hijau yang besar dan mengambil sebuah benda sebesar telur ayam
kecil yang disebut cu (mustika). Oleh karena itu, setelah Teng Siang In mengandung dan
kemudian melahir-kan anak, anak itu diberi nama Ceng Liong (Naga Hijau) untuk
menyatakan perasaan bersyukur ke-pada ular hijau itu yang mereka anggap membantu mereka
dapat memperoleh keturunan setelah lebih sepuluh tahun menikah dan belum juga dikaruniai
putera. Pagi hari itu, hawa masih luar biasa dinginnya bagi orang biasa, akan tetapi tidak begitu
terasa mengganggu bagi para penghuni Pulau Es yang sudah terbiasa. Ceng Liong sudah
berada di luar istana bersama kedua orang kakaknya, yaitu putera dan puteri Suma Kian Lee
yang merupakan kakak-kakak misannya.
"Ah, Liong-te, bukan aku pelit, akan tetapi sesungguhnya aku sendiri belum mahir Ilmu
Swat-im Sin-ciang. Kakek sedang memperdalam Ilmu Hwi-yang Sin-ciang kepadaku dan
baru membe-ri dasar-dasarnya saja dari Ilmu Swat-im Sin-ciang. Kalau mau mempelajari


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu itu, mintalah kepada cici," jawab Suma Ciang Bun. Pemuda putera Suma Kian Lee ini
berwatak halus dan pen-diam seperti ayahnya, biarpun usianya baru lima belas tahun akan
tetapi sikapnya serius dan tindak-tanduknya selalu berhati-hati. Wajahnya bulat dengan kulit
muka agak kecoklatan tidak seputih kulit muka Ceng Liong dan matanya lebar,
membayangkan kesungguhan dan kejujuran. Pemuda ini persis seperti ayahnya di waktu
muda, baik wajah maupun sikapnya.
Mendengar jawaban kakaknya itu, Ceng Liong lalu menoleh kepada Suma Hui. "Hui-cici,
bolehkah aku belajar Swat-im Sin-ciang darimu?" Sikap dan kata-kata Ceng Liong terhadap
gadis itu berbeda daripada sikapnya terhadap Ciang Bun. Terhadap Ciang Bun, Ceng Liong
yang lin-cah itu kadang-kadang berani bergurau, akan te-tapi menghadapi dara itu dia tidak
berani main-main. Suma Hui ini memang bisa bersikap jenaka dan baik sekali, akan tetapi
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
6 kadang-kadang, kalau sedang "kumat" menurut istilah Ceng Liong, dara itu bisa menjadi
galak dan tidak segan-segan untuk menyerang dan menghukum kenakalan Ceng Liong
dengan kata-kata maupun dengan cubitan dan jeweran! Karena inilah maka Ceng Liong agak
takut untuk menggoda dan selalu bersikap hormat seperti layaknya seorang adik terhadap
saudara yang lebih tua, kalau bicara dengan Suma Hui.
Dara itu mengerutkan alisnya ketika mendengar permintaan Ceng Liong. Alis yang hitam
kecil dan panjang melengkung seperti dilukis saja, di atas wajah yang berkulit putih
kemerahan, wajah yang berdagu runcing, bermata tajam dan bening, de-ngan bulu mata
panjang lentik, hidung mancung dan mulut kecil yang bibirnya selalu merah mem-basah,
wajah yang manis! Memang Suma Hui seorang dara yang manis, seperti ibunya di waktu
muda, akan tetapi juga wataknya yang keras, lin-cah, kadang-kadang ganas dan liar walaupun
pada dasarnya watak itu gagah dan selalu menentang segala yang tidak benar dan jahat. Dara
berusia delapan belas tahun ini sungguh amat menarik ha-ti, bagaikan setangkai bnnga yang
sedang mulai mekar mengharum, memiliki daya tarik yang amat kuat sehingga setiap gerakan
anggauta tubuhnya yang manapun, kerling mata, senyum bibir, gerak-an cuping hidung,
gerakan kepala atau tangan, semua itu mempunyai daya tarik yang indah tersendiri.
"Ceng Liong, apakah engkau sudah melupakan semua nasihat kakek dan kedua orang nenek
kita yang bijaksana" Ilmu silat tidak mungkin dipela-jari secara serampangan atau
sembarangan saja. Belajar ilmu silat seperti membangun rumah, harus dimulai dari dasarnya
dulu. Tanpa dasar dan ke-rangka yang kokoh kuat,jang an harap akan dapat menguasai ilmu
silat dengan sempurna. Mempelajari gerakan-gerakannya saja memang mudah, akan tetapi
semua itu hanya akan menjadi gerak-an-gerakan kosong untuk menggertak orang bela-ka,
tanpa isi yang bermutu. Engkau tergesa-gesa hendak mempelajari Swat-im Sin-ciang, apakah
kaukira mempelajari ilmu itu sama mudahnya de-ngan membuat istana pasir di pantai saja"
Engkau harus bersabar dan mengikuti semua pelajaran dengan seksama, jangan ingin
melangkah terlalu jauh kalau kakimu belum kuat. Mengerti?"
"Mengerti, ibu guru!" tiba-tiba Ciang Bun yaug menjawab. Adik ini biarpun pendiam dan
serius, namun dia amat sayang kepada Ceng Liong dan kiranya hanya dia yaug berani
membantah atau mengejek Suma Hui karena dia tahu bahwa enci-nya itu terlalu amat sayang
kepadanya sehingga tidak akan pernah memarahinya. Melihat Ceng Liong tidak diajari ilmu
itu malah diberi nasihat dan teguran, hati Ciang Bun membela dan diapun mengejek encinya
yang bersikap seperti seorang guru memberi kuliah.
"Hushh!" Suma Hui mendengus kepada adik kandungnya. "Aku tidak bicara denganmu!"
"Engkau tidak mau mengajarnya, bilang saja tidak mau, kenapa masih harus menegurnya?"
Ciang Bun membela Ceng Liong.
"Huh, engkau yang tolol!" Suma Hui memban-ting kaki kirinya. Sungguh kebiasaan ini
persis kebiasaan ibunya di waktu muda, hanya bedanya kalau Hwee Li, ibunya, suka
membanting-banting kaki kanan, dara ini membanting-banting kaki kiri kalau hatinya sedang
kesal. "Bun-te, engkau ini hanya akan merusak watak Ceng Liong saja de-ngan cara-caramu
yang memanjakannya. Engkau sendiri tentu tahu betapa bahayanya mengajar-kan Swat-im
Sin-ciang pada orang yang belum kuat benar sin-kangnya. Engkau sendiri baru memperdalam
Hwi-yang Sin-ciang, bagaimana mungkin anak sebesar Ceng Liong ini dilatih Swat-im Sin-
ciang" Apa kau ingin melihat Liong-te celaka dengan mempelajari ilmu itu sebelum
waktunya?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
7 Ciang Bun maklum bahwa melawan encinya ini, tak mungkin dia akan menang berdebat,
maka dia lalu diam saja, tidak dapat membantah lagi. Melihat ini, Ceng Liong lalu berkata,
"Aih, sudah-lah, enci Hui, Bun-ko hanya main-main saja dan akupun tadi hanya minta dengan
iseng-iseng saja."
Suma Hui memang mudah kesal dan marah, akan tetapi iapun mudah sekali melupakan
kemarahannya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya yang cantik manis itu nampak ramah
lagi. "Adikku yang baik, ketahuilah bahwa biarpun Ilmu Swat-im Sin-ciang tidak dapat dikata
lebih tinggi tingkatnya dari pada Hwi-yang Sin-ciang, akan tetapi mempelajari kedua ilmu itu
di Pulau Es, tentu saja Hwi-yang Sin-ciang jauh lebih mudah. Kita tinggal di tempat ini secara
otomatis telah berlatih. Di dalam tubuh kita sudah ada kelengkapan-kelengkapan untuk
menyesuaikan diri dengan hawa di luar tubuh. Daya kekuatan mela-wan dingin di tempat ini
bekerja sepenuhnya dan ditambah dengan latihan-latihan, maka otomatis kita mudah sekali
mengerahkan tenaga panas un-tuk menahan serangan hawa dingin di pulau ini. Maka, dengan
latihan melawan hawa dingin, kita mudah saja dapat menguasai Hwi-yang Sin-ciang yang
mengandalkan tenaga panas di tubuh. Sebaliknya, karena kita sudah biasa mengerahkan hawa
panas melawan serangan dingin, agak sukarlah bagi kita untuk menguasai Swat-im Sin-ciang.
Ilmu ini lebih mudah dipelajari di tempat-tempat pa-nas karena otomatis daya tahan dalam
tubuh kita bergerak melawan udara panas. Mari kita berlatih, Bun-te. Engkau berlatih Hwi-
yang Sin-ciang dan aku berlatih Swat-im Sin-ciang. Biarlah adik Ceng Liong menyaksikan
dan memperhatikan baik-baik agar kelak setelah tiba waktunya dia belajar, dia sudah tahu
cukup banyak."
Mereka bertiga lalu berjalan menuju ke ujung pulau di sebelah barat. Setelah kini lenyap
keke-salan hatinya, Suma Hui menggandeng tangan ke-dua orang adiknya itu dan mereka
berjalan dengan gembira menuju ke ujung pulau itu di mana terda-pat sebuah teluk kecil.
Teluk ini banyak mengan-dung gumpalan-gumpalau es yang mengambang di atas air laut.
"Ceng Liong, coba kaulatih Sin-coa-kun yang telah kaupelajari dari nenek Nirahai!" kata
Suma Hui. "Aku mendengar dari nenek bahwa engkau berbakat sekali dalam ilmu silat tangan
kosong. Coba mainkanlah agar kami melihatnya."
Ceng Liong meloncat ke depan lalu berkata ke-pada mereka. "Hui-cici dan Bun-koko, kalau
ada yang belum benar harap kalian suka memberi petunjuk kepadaku!" Kemudian, anak laki-
laki berusia sepuluh tahun ini lalu bersilat. Gerakan-nya memang mantap, cepat dan juga
mengandung tenaga yang kuat, lincah dan lemas. Tubuhnya dan kedua lengannya berliuk-liuk
seperti tubuh ular dan kedua tangan itu membentuk kepala ular, mematuk ke sana-sini.
Biarpun usianya baru se-puluh tahun, namun gerakan tangannya ketika menyerang itu sudah
mengandung hawa pukulan yang mengeluarkan suara bersuitan. Ini tandanya bahwa anak ini
telah memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat! Inilah hasil gemblengan yang diperolehnya
selama dua tahun di Pulau Es. Ilmu Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti) itu memang hebat,
membuat tubuhnya lincah dan terutama sekali menjadi lemas dan sukar dapat dipukul lawan.
Suma Hui dan Suma Ciang Bun memandang ka-gum. Memang benar ucapan nenek Nirahai,
anak ini sungguh berbakat sekali. Ilmu silat ini tidak mudah namun Ceng Liong dapat
menguasainya dengan baik dan gerakan-gerakannya demikian lemas sehingga hampir tidak
ada kelemahannya.
Setelah selesai bersilat, wajah Ceng Liong nampak merah, ada uap putih mengepul dari
kepala-nya. Akan tetapi, napasnya biasa saja, tidak ter-engah-engah, padahal untuk
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
8 memainkan Sin-coa-kun sampai habis membutuhkan pengerahan tena-ga luar dalam yang
cukup berat. "Gerakanmu bagus sekali, Liong-te. Sekarang engkau Bun-te, perlihatkan sampai di mana
kema-juan latihanmu dalam Ilmu Hwi-yang Sin-ciang." Suma Hui menyuruh adiknya.
"Aku hanya baru dapat mencairkan gumpalan es saja, cici," kata Ciang Bun dengan sikap
malu-malu. "Itupun sudah merupakan kemajuan yang he-bat, adikku," kakaknya menghibur.
Ciang Bun lalu mulai bersilat, mainkan ilmu si-lat yang amat hebat dan aneh, gerak-geriknya
se-perti orang menari-nari saja, dengan tangan mem-buat gerakan seperti orang menulis
huruf-huruf di udara. Itulah Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat yang amat luar biasa, karena ilmu
ini adalah ilmu yang diturunkan oleh manusia dewa Bu Kek Siansu dan yang pernah diwarisi
oleh Lulu, nenek dari pemuda ini. Jarang ada orang yang berkesempatan menyaksikan ilmu
silat yang langka ini. Setelah mainkan ilmu silat ini beberapa jurus, akhirnya Ciang Bun
menghentikan gerakan-gerakannya dan berdiri di tepi teluk dengan kedua tangan terangkap
seperti menyembah di depan dada. Inilah yang disebut kedudukan Hoan-khi-pai-hud
(Memindahkan Hawa Menyembah Buddha) dan pemuda berusia lima belas tahun ini sedang
mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-ciang. Nampak uap mengepul dari seluruh tubuhnya dan
Ceng Liong yang sejak tadi memandang kagum merasa betapa ada hawa panas keluar dari
tubuh kakaknya itu, makin lama sema-kin panas. Akhirnya, tiba-tiba Ciang Bun
menge-luarkan suara melengking tinggi dan mcngejutkan, tubuhnya bergerak dan kedua
tangannya mendo-rong-dorong ke arah gumpalan-gumpalan es yang mengambang di air laut
di dekat tepi. Hawa panas menyambar-nyambar ke arah gumpalan-gumpalan es itu dan
gumpalan es sebesar kepala kerbau itu seketika mencair seperti didekati api panas!
"Hebat sekali, engkau sungguh lihai, Bun-koko!" Ceng Liong memuji sambil bertepuk
tangan dengan hati gembira sekali. Setelah mencairkan empat gumpal es, Ciang Bun
menghentikan gerakannya dan sambil terse-nyum malu-malu dia mengusap peluh yang
mem-basahi dahi dan lehernya. "Ah, aku masih harus banyak berlatih, Liong-te," katanya
merendah. Demikianlah watak Ciang Bun, pemalu dan rendah hati, sungguh amat berbeda
dengan cicinya yang lincah jenaka dan kadang-kadang dapat saja ber-sikap angkuh.
"Sekarang, harap engkau suka mem-beri petunjuk dan memperlihatkan kehebatan Swat-im
Sin-ciang, Hui-cici." Ciang Bun menyambung untuk menutupi rasa jengahnya oleh pujian
Ceng Liong tadi.
Suma Hui menarik napas panjang. "Berlatih Swat-im Sin-ciang di Pulau Es sungguh tidak
mudah, membutuhkan pengerahan tenaga yang li-pat dibandingkan dengan kalau berlatih
Hwi-yang Sin-ciang. Baiklah, aku akan berlatih dan kalian lihatlah baik-baik, siapa tahu kelak
kalian dapat melampaui aku dalam ilmu ini."
Dara cantik jelita ini lalu mempererat ikat pinggangnya dan iapun mulai memperlihatkan
ke-mahiran dan kelincahannya. Ia mainkan ilmu silat yang kelihatannya amat lembut dan
halus indah, namun sesungguhnya ilmu silat ini adalah ilmu yang ganas bukan main, karena
ini adalah Ilmu Toat-beng Bian-kun (Silat Lemas Pencabut Nya-wa) yang dipelajarinya dari
neneknya, yaitu nenek Lulu. Ilmu inipun sesungguhnya berasal dari Bu Kek Siansu, akan
tetapi asalnya tidaklah begitu ganas. Hanya setelah terjatuh ke tangan nenek sakti Maya, maka
menjadi ganas dan setelah terjatuh ke tangan nenek Lulu semakin ganas! Seperti juga
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
9 perbuatan adiknya tadi, sambil bersilat itu Suma Hui mendekati pantai teluk dan tiba-tiba
iapun mengeluarkan lengkingan-lengkingan ting-gi nyaring dan kedua tangannya memukul-
mukul ke air di tepi teluk. Air laut itu muncrat-mucrat ke darat dan ketika tiba di atas batu,
terdengar suara berketikan karena air laut itu ternyata telah membeku dan menjadi butiran-
butiran es! Sung-guh merupakan ilmu pukulan yang dahsyat dan mengerikan, dan menjadi
kebalikan dari ilmu pu-kulan Hwi-yang Sin-ciang yang dapat mencair-kan es tadi. Swat-im
Sin-ciang ini mengandung hawa sedemikian dinginnya sehingga dapat mem-buat air menjadi
beku! Lawan yang kurang kuat sin-kangnya, kalau terkena pukulan ini mana mampu
menahannya" Darahnya mungkin bisa menjadi beku!
"Hebat....! Hebat....!" Ceng Liong ber-tepuk tangan memuji dan diapun meleletkan lidah-nya
saking kagum melihat betapa air yang mun-crat-muncrat itu berobah menjadi es.
Tiga orang ini lalu berbincang-bincang di tepi teluk, membicarakan tentang ilmu-ilmu silat
yang mereka pelajari dan beberapa kali mereka saling memperlihatkan ilmu yang sedang
mereka latih di mana Suma Hui memberi petunjuk-petunjuk kepada dua orang adiknya.
Mereka bertiga adalah ahli waris-ahli waris langsung dari keluarga Pulau Es dan tentu saja
merekalah yang berhak untuk mewarisi semua ilmu dari Pendekar Super Sakti dan
keluarganya. Sementara itu, di dalam Istana Pulau Es itu sendiri, di dalam ruangan samadhi, Pendekar
Super Sakti Suma Han sedang duduk bersila di atas lantai bertilam babut tebal, berhadapan
dengan kedua orang isterinya, yaitu nenek Nirahai dan nenek Lulu. Mengharukan juga
melihat pendekar sakti yang kini sudah menjadi seorang kakek tua renta itu duduk berhadapan
dengan kedua isterinya yang sudah menjadi nenek-nenek tua renta pula, dalam keadaan yang
demikian penuh kedamaian dan ke-tenteraman, juga penuh dengan getaran kasih sayang di
antara mereka. Bagi orang lain mungkin mereka bertiga itu hanya merupakan kakek dan
nenek yang tua renta dan buruk digerogoti usia. Namun bagi mereka masing-masing, mereka
masih saling merasa kagum dan tiada bedanya dengan dahuhu di waktu mereka masih muda
belia. Tentu saja merekapun sadar bahwa mereka telah amat tua, seperti yang dapat diikuti
dari percakapan me-reka di dalam ruangan samadhi yang sunyi itu. Ti-dak ada seorangpun
pelayan berani mendekati ru-angan samadhi ini tanpa dipanggil. Mereka bertiga sejak tadi
bercakap-cakap setelah pada pagi hari itu mereka menghentikan samadhi mereka.
"Kematian telah berada di depan mata...." Terdengar suara halus Suma Han, suara yang
kelu-ar seperti tanpa disengaja, dan tidak ada tanda-tanda perasaan tertentu di balik
pernyataan ini. Kedua orang nenek itu, yang tadinya duduk bersila dengan muka tunduk, kini
mengangkat muka memandang wajah suami mereka. Pandang mata mereka itu masih penuh
kagum, penuh rasa kasih, dan pengertian. Akan tetapi ucapan tadi memancing datangnya
kerut di kening mereka.
"Suamiku, apa artinya ucapanmu tadi?" tanya nenek Nirahai.
"Mengapa tiba-tiba menyinggung tentang ke-matian di pagi hari secerah ini?" Nenek Lulu
juga menyambung dengan nada suara penuh teguran dan pertanyaan.
Kakek Suma Han mengangkat mukanya dan wajahnya yang masih kemerahan itu kini penuh
senyum ketika dia bertemu dengan pandang mata kedua orang isterinya. "Apakah kalian
terkejut dan merasa takut mendengar kata kematian itu?" ta-nyanya, suaranya halus penuh
kasih sayang. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
10 "Hemmm, siapa yang takut mati?" Nirahai mencela."Akupun tidak pernah takut kepada
kematian!" nenek Lulu juga menyambung.
Kakek itu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, masih menatap wajah kedua orang
isterinya itu berganti-ganti. "Kalian memang benar. Kematian hanya merupakan kelanjutan
daripada kehidupan. Hidup takkan mungkin pernah terpisah dari pada mati. Ada hidup tentu
ada mati seperti ada awal tentu ada akhir, walaupun kematian bukan merupakan akhir segala-
galanya. Orang se-sungguhnya tidak takut akan kematian itu sendiri, melainkan ngeri karena
harus berpisah dari sega-la-galanya yang disayangnya, harus terlepas dari segala macam
bentuk pengikatan manis dalam hi-dupnya. Kematian adalah suatu hal yang wajar. Jadi, kalian
sama sekali tidak pernah merasa ngeri menghadapi kematian?"
"Nanti dulu, suamiku," kata nenek Nirahai. "Kita sekarang ini masih segar-bugar, masih
sehat walaupun usia kita telah mendekati satu abad, akan tetapi mengapa kita bicara tentang
kematian" Kalau kematian itu merupakan suatu kewajaran, dan kalau kita tidak takut
menghadapinya, perlu apa kita membicarakannya seperti orang yang ke-takutan
menghadapinya?"
Kini kakek Suma Han tertawa. Suara ketawa-nya masih seperti suara ketawa orang muda dan
giginyapun masih baik sehingga ketika dia tertawa, wajahnya nampak jauh lebih muda
walaupun rambut, kumis dan jenggotnya telah putih semua.
"Engkau masih dapat tertawa seperti itu akan tetapi bicara tentang kematian. Sungguh tidak
lucu!" Nenek Lulu berkata.
Ucapan isterinya yang biasanya galak ini mem-buat Suma Han semakin gembira tertawa.
"Kita membicarakan kematian bukan karena takut, mela-inkan membicarakannya sebagai
suatu hal yang tak terhindarkan dan suatu hal yang amat akrab di dalam hatiku.
Sesungguhnya, bukankah kita ber-tiga ini sudah lama mati" Mati dalam hidup, yaitu mati
daripada segala ikatan yang memberatkan batin. Kita bertiga sudah berusia begini lanjut.
Kiranya jarang ada yang dapat mencapai usia se-lanjut kita dan hal ini terjadi karena cara
hidup kita yang bersih dan selalu menjaga diri tidak me-nyalahi hukum-hukum kehidupan dan
mempunyai tertib diri. Terutama sekali, karena kita bertiga hidup berbahagia. Kalau tadi aku
bertanya, aku hanya ingin mendengar kepastian bahwa kalian berdua tidak takut akan
kematian yang sudah ber-ada di depan mata karena usia kita yang sudah sangat tua. Kita tidak
mungkin hidup tanpa akhir, jasmani kita akan melapuk dan melemah dimakan usia...."
"Sudahlah, suamiku. Perlu apa kita bicara ten-tang kematian" Bukan berarti bahwa aku takut
menghadapi kematian. Tidak, sejak dahulu aku tidak takut. Sudah berapa puluh kali kita
semua menghadapi ancaman maut, namun tidak sekali-pun kita merasa takut, bukan" Nah,
kalau ada yang kutakuti, hanya satu, yaitu...."
"Heh-heh, engkau...." Engkau.... takut...." Aih, adik Lulu, siapa bisa percaya kalau engkau
mengatakan bahwa engkau takut" Aku yakin akan keberanian dan ketabahanmu, sehingga,
andaikata Giam-lo-ong sendiri muncul di depanmu, tentu akan kausambut dia dengan senyum
mengejek." Nirahai mencela dengan kelakar karena memang nenek ini sudah tahu benar akan
kebera-nian madunya yang tidak pernah mengenal takut itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
11 "Benar, enci, aku memang takut akan suatu hal. Aku takut kalau-kalau aku akan mati sebagai
se-ekor harimau betina yang telah ompong dan kehi-langan cakar kakinya."
Suma Han menatap wajah isterinya ini lalu bertanya, "Apa maksudmu?"
"Semenjak kecil aku mempelajari ilmu silat. Memang tidak sia-sia karena ilmu itu telah
banyak menolongku di waktu dahulu, dan kini dapat pula kuturunkan kepada anak cucu. Akan
tetapi, memi-kirkan semua itu lalu membayangkan bahwa aku kelak akan mati dalam keadaan
lemah dan sakit-sakitan, sungguh.... ngeri juga hatiku. Aku ingin mati sebagai seekor harimau
betina yang gagah perkasa, biarpun sudah tua, seekor harimau betina yang mati dalam
amukannya dikeroyok sege-rombolan serigala misalnya! Tidak mati sakit dan lemah
menyedihkan...."
Nenek Nirahai mengangguk-angguk.


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tepat! Akupun seringkali merasa ngeri membayangkan mati dalam keadaan seperti ini. Berilah aku pasu-kan, aku akan maju perang
membasmi gerombolan jahat, pengacau-pengacau dan pemberontak. Bi-arkan aku gugur
dalam pertempuran, mati dengan pedang di tangan, bukan mati sebagai seorang nenek yang
lumpuh dan lemah sakit-sakitan. Hih, mengerikan!"
Mendengar ucapan kedua orang isterinya itu, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang.
"Aihh, kiranya setua ini kalian masih saja menyimpan kekerasan di dalam sanubari kalian.
Be-lum cukupkah kekeruhan yang kita lakukan selama kita hidup, mengandalkan ilmu-ilmu
kekerasan yang ada pada kita?"
"Akan tetapi, bukan kita yang mencari kekeras-an. Kita hanya menanggapi saja, menghadapi
la-wan yang merajalela bertindak sewenang-wenang dengan ilmu mereka. Kita hanya
membela si lemah yang tertindas, menentang si kuat yang lalim," kedua orang isterinya
menjawab hampir berbareng.
Pendekar tua itu mengangguk-angguk. "Aku tidak akan membantah pendapat kalian,
walaupun kebenaran pendapat itu hanya menjadi hasil pan-dangan sebelah saja. Sekarang kita
hidup tenang dan tenteram, mengapa merindukan kekerasan?"
"Suamiku, jangan salah duga," kata nenek Lulu. "Aku tidak merindukan kekerasan, hanya
aku ingin mati sebagai seorang gagah. Biarpun sudah tua begini, ngeri aku membayangkan
mati sebagai seo-rang nenek yang lemah dan berpenyakitan."
Suaminya mengangguk-angguk. "Harapan sih boleh saja, akan tetapi yang menentukan
adalah kenyataan. Memang kematian telah berada di de-pan mata, dan aku merasa lega bahwa
kita bertiga akan berani menghadapinya dengan bebas rasa ta-kut."
"Suamiku, sudahlah, tidak enak rasanya bicara tentang kematian selagi kita masih hidup.
Apakah engkau ingin minum air buah seperti biasa?" tanya Nirahai. Setelah menghentikan
samadhi mereka yang kadang-kadang sampai makan waktu tiga hari tiga malam, mereka
bertiga suka memulai ma-kan dengan minum air buah. Suma Han meng-angguk dan Nirahai
lalu menggunakan kedua tangannya untuk bertepuk dan tidak lama kemudian muncullah
seorang pelayan wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun. Nirahai lalu me-nyuruh
pelayan itu menghidangkan air buah dan makanan-makanan lembut dan ringan untuk
meng-isi perut mereka yang kosong. Setelah mereka ber-tiga mengisi perut yang kosong
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
12 dengan sari buah dan makanan-makanan ringan, Suma Han berta-nya, "Di manakah cucu-
cucu kita" Kenapa tidak ada suara mereka di dalam?"
"Mereka tentu berada di luar istana," kata nenek Nirahai. "Aku mulai memikirkan apakah
tidak sebaiknya kalau mereka itu sekali waktu disuruh melakukan perjalanan ke kota raja"
Keadaan ne-gara sedang aman tenteram, baik sekali kalau me-reka itu meluaskan
pemandangan dan pengetahuan pergi ke kota raja."
"Menurut berita yang dibawa oleh para pelayan, memang kaisar muda Kian Liong amat
bijaksana," kata Suma Han. "Syukurlah kalau akhirnya negara memiliki seorang kaisar yang
benar-benar bijak-sana dan dapat membuat rakyat hidup adil mak-mur, negara kuat dan
keamanan hidup terjamin. Betapa sejak dahulu aku merindukan keadaan se-perti itu."
"Semenjak masih muda sekali, ketika masih men-jadi pangeran, memang Pangeran Kian
Liong su-dah nampak sebagai seorang yang bijaksana," kata nenek Nirahai.
"Aku jadi ingin sekali melihat kota raja dalam keadaan makmur seperti sekarang," kata nenek
Lulu. "Sebaiknya panggil mereka itu masuk, aku ingin bicara dengan mereka," kata kakek itu.
"Biar aku yang mencari mereka!" Nenek Lulu bangkit dari lantai dan dengan langkah masih
gesit nenek ini lalu meninggalkan ruangan samadhi dan keluar dari istana mencari tiga orang
cucunya. "Jangan lepaskan pandang matamu dari tubuh lawan, terutama sepasang pundaknya dan
gerak kakinya. Gerakan sendiri tidak perlu kita ikuti dengan mata, melainkan dengan perasaan
saja, ka-rena itulah maka gerakan perlu dilatih agar men-jadi otomatis sehingga seluruh
pandang mata dan perhatian kita tak pernah terlepas daripada gerak-an lawan." Demikian
Suma Hui memberi nasihat kepada kedua orang adiknya. Kemudian dara yang cantik manis
ini lalu mengeluarkan sepasang pedang dan mulai memainkan sepasang pedang ini dalam
Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis). Namanya saja menyeramkan,
akan tetapi sesungguhnya ilmu pedang ini amat hebat, dahsyat dan kalau dimainkan oleh
seorang dara seperti Suma Hui nampak indah seolah-olah dara itu bukan sedang bersilat
melainkan sedang menari-nari saja. Sepasang pedangnya lenyap bentuknya dan berobah
menjadi dua gulung sinar yang saling belit dan saling sambung.
Ciang Bun dan Ceng Liong nonton dengan penuh kagum. Memang indah sekali tarian
pedang yang dimainkan oleh Suma Hui itu. Bagi orang-orang tidak mengerti, atau yang ilmu
silatnya masih rendah, tentu akan memandang ringan dan akan mengira bahwa itu hanya
merupakan tarian pe-dang yang indah saja akan tetapi yang tidak ber-bahaya kalau dipakai
dalam perkelahian yang sungguh-sungguh. Perkiraan seperti itu sungguh akan membuat
orangnya kecelik bukan main. Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut itu bukan hanya indah
dipandang, akan tetapi juga amatlah dahsyatnya, dan merupakan ilmu pedang yang sukar
dicari bandingnya di dunia persilatan pada waktu itu. Saking asyiknya Suma Hui bersilat
pedang dan kedua orang adiknya nonton dengan hati kagum, mereka bertiga sampai tidak
melihat adanya perubahan aneh yang terjadi di lautau di sekitar Pulau Es. Ternyata pada pagi
hari itu, tidak seperti biasanya, nampak belasan buah layar bermunculan di sekitar pulau,
bahkan sebuah perahu besar di an-tara sekian banyak perahu itu telah memasuki teluk dan
mendarat! Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
13 "Bagus! Bagus dan indah sekali!"
"Cantik jelita seperti bidadari!"
Suara pujian-pujian dan tertawa gembira itu mengejutkan tiga orang cucu Pendekar Super
Sakti. Tentu saja Suma Hui cepat menghentikan permain-an pedangnya dan menyimpan
sepasang pedang itu di sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Dua orang anak laki-
laki itupun cepat menengok dan mereka bertiga kini berhadapan dengan tujuh orang laki-laki
yang berloncatan turun dari perahu, sedangkan di atas perahu besar itu masih ter-dapat
beberapa orang anak buah perahu. Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu telah dua tahun
berada di Pulau Es dan mereka belum pernah melihat ada perahu asing mengunjungi pulau,
ma-ka mereka memandang dengan penuh keheranan dan mengira bahwa tentu mereka ini
merupakan tamu-tamu kakek mereka. Akan tetapi, Suma Hui mengerutkan alisnya yang hitam
karena dara yang sudah berusia delapan belas tahun ini, sebagai pu-teri suami isteri pandekar,
dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang termasuk dalam kelompok
kaum sesat. Hal ini mudah saja dikenalnya, dari cara mereka berpakaian, dari wajah yang
penuh dengan watak keras itu, dan terutama sekali dari sikap mereka yang kelihatan sombong,
mengagulkan diri, dan juga tidak sopan. Hatinya sudah dipenuhi rasa tidak suka melihat
betapa tujuh orang yang dihadapinya itu meman-dang kepadanya dengan cengar-cengir dan
menyeringai memuakkan. Suara pujian akan kecan-tikannya tadi mengandung kekurangajaran, walaupun tujuh orang itu bukan muda lagi, antara em-pat puluh sampai enam
puluh tahun. Namun, dari gerakan mereka ketika berloncatan turun tadi, mudah diketahui
bahwa mereka itu rata-rata pandai main silat.
Seorang di antara mereka yang usianya kurang lebih empat puluh tahun melangkah maju
sambil tertawa. Laki-laki ini kurus tinggi dan berkulit hitam, mukanya kecil seperti muka
tikus, kumisnya melintang dan kedua ujungnya melengkung ke bawah, di punggungnya
nampak tergantung seba-tang golok, sikapnya congkak bukan main.
"Ha-ha, Nona manis. Siapakah engkau" Sung-guh tak kusangka, di tempat kosong seperti ini
akan bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik manis dan memiliki kepandaian
menari amat indah lagi. Aih, nona, daripada hidup di tempat terasing seperti ini, mari kau ikut
saja de-nganku dan menjadi muridku yang terkasih. Ha-ha-ha! Jangan khawatir, menjadi
murid Sian-to (Dewa Golok) hidupmu tentu akan senang!" Ber-kata demikian, orang ini
mengulur lengannya yang panjang dan jari-jari tangannya mencoba untuk mencolek ke arah
dada Suma Hui. "Jahanam....!" Suma Hui memaki dan hanya dengan sedikit melangkah ke belakang saja,
co-lekan itu mengenai tempat kosong. Dara itu mem-banting-banting kaki kirinya beberapa
kali dan sinar matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika ia memandang kepada orang
yang memakai julukau Dewa Golok itu. Kalau dara ini sudah membanting-banting kaki kiri,
itu tandanya ber-bahaya sekali karena ia sudah marah bukan main. Akan tetapi, orang
bermuka tikus itu memang tak tahu diri saking congkaknya. Memang, sebagai seorang jagoan,
entah sudah berapa banyaknya orang yang dia robohkan karena tidak taat kepadanya dan hal
ini membuat dia menjadi tekebur sekali dan tidak sudi menghargai orang lain, selalu
me-mandang rendah dan merasa bahwa dialah jagoan paling hebat di dunia.
"Eh, eh, engkau memaki?" Bentaknya dan kini kedua tangannya sudah mencengkeram ke
depan, dan kembali cengkeraman itu ditujukan ke arah dada Suma Hui.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
14 "Setan!" Makian ini keluar dari mulut kecil Suma Ceng Liong dan tiba-tiba saja tubuhnya
sudah menerjang ke depan. Biarpun usianya baru sepuluh tahun, akan tetapi dia adalah putera
Pen-dekar Siluman Kecil Suma Kian Bu! Sejak kecil, bahkan sejak dapat berjalan kaki, dia
sudah digem-bleng oleh ayah dan ibunya sehingga ilmu silat sudah mendarah daging
padanya! Tubuhnya juga digembleng menjadi kuat. Apalagi selama dua tahun ini, sejak
berusia delapan tahun, dia digem-bleng oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai dan menerima
petunjuk-petunjuk dari kakeknya. Ten-tu saja dia bukanlah anak laki-laki berusia sepu-luh
tahun sembarangan saja! Terjangannya itu memakai perhitungan dan dilakukan dengan
penge-rahan tenaga. Tubuh yang sudah dua tahun mena-han dinginnya Pulau Es itu telah
dapat menghim-pun tenaga panas yang cukup kuat dan ketika dia menerjang, dia telah
mempergunakan tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Taufan) yang dipelajarinya
dari ayahnya. Tubuhnya meluncur ke depan dan kedua kakinya melakukan tendangan terbang.
Si muka tikus terkejut sekali, mencoba untuk menangkis, akan tetapi tangkisannya dapat
dipatahkan oleh kaki kiri Ceng Liong sedangkan kaki kanan tetap meluncur menghantam
perut. "Dukkk....!" Tubuh Dewa Golok itu terjengkang dan terbanting keras. Agaknya belakang
kepalanya terbanting cukup keras karena ketika dia bangkit duduk, kepalanya bergoyang-
goyang dan sepasang matanya menjadi agak juling. Akau tetapi dia sudah marah sekali dan
sambil berteriak dia sudah mencabut golok dari punggungnya, lalu bangkit berdiri. Akan
tetapi, Ceng Liong sudah menyeruduk lagi ke depan, sekali ini dia membuat serangan dengan
jurus dari Sin-coa-kun, tangan kirinya yang membentuk kepala ular itu "mematuk" ke arah
dada lawan yang baru hendak bangkit berdiri dengan kepala masih pening.
"Tukkk!" Dan tubuh itu kembali terjengkang, kini golok yang dipegangnya terlepas dan dia
ro-boh pingsan karena pukulan itu merupakan totok-an yang disertai hawa pukulan
panas.Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya enam orang lain yang tadi turun dari
perahu. Mereka itu adalah orang-orang yang biasa memper-gunakan kekerasan dan
merupakan orang-orang terkenal di dunia kang-ouw. Tentu saja mereka pernah melihat orang-
orang pandai, akan tetapi baru sekarang mereka melihat betapa seorang teman mereka yang
mereka tahu cukup tangguh itu roboh pingsan melawan seorang anak kecil, ha-nya dalam dua
gebrakan saja! Seorang yang bertubuh gendut, perutnya besar sekali sampai seperti gajah bunting bengkak,
dan biarpun tubuhnya tidak dapat dikatakan pendek namun besar perutnya membuat dia
nampak pendek, segera melangkah maju. Orang ini memiliki tenaga besar, hal ini dapat
dirasakan ketika kakinya dibanting ke atas tanah sampai tanah itu tergetar. Dia termasuk
seorang di antara mereka yang merasa penasaran melihat rekannya roboh sedemikian
mudahnya oleh seorang anak kecil, maka begitu maju diapun segera menubruk ke arah Ceng
Liong. "Dukkk!" Si gendut itu terkejut dan meloncat kemba1i ke belakang ketika ada tangan yang
amat kuat menangkis lengannya. Kiranya pemuda remaja belasan tahun yang bermuka bulat
itu yang me-nangkisnya, bukan sembarang tangkisan karena si gendut ini merasa tadi betapa
ada kekuatan besar dalam tangan kecil itu yang mendorongnya. De-ngan mata melotot dia
memandang pemuda rema-ja itu. Seorang pemuda belasan tahun yang kelihatannya masih
hijau. Dia menjadi penasaran se-kali.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
15 "Engkau berani melawanku?" bentaknya, dan tanpa menanti jawaban lagi si gendut ini
langsung saja melakukan serangan dahsyat. Agaknya dia ingin memamerkan kepandaiannya
dan ingin membalas kekalahan temannya tadi, ingin merobohkan Ciang Bun dengan sekali
pukul. Maka begitu me-nyerang dia telah menggerakkan kaki tangannya, pertama-tama
kakinya menendang kuat ke arah perut pemuda itu lalu disusul pukulan beruntun dengan
kedua tangannya mengarah leher dan ke-pala Ciang Bun. Tiga serangan berantai itu amat
cepat dan kuatnya, dan si gendut sudah merasa yakin bahwa pemuda remaja itu pasti tidak
akan mampu menghindarkan diri dan tentu satu di anta-ra serangannya itu akan mengenai
sasaran. Akan tetapi, dia dan teman-temannya kecelik. Ciang Bun yang melihat sambaran kaki tangan
itu sudah dapat mengukur dari sambaran angin-nya bahwa si gendut ini biarpun jauh lebih
lihai daripada si Dewa Golok tadi, tetap saja hanya be-sar mulut dan besar tenaga otot belaka.
Maka diapun tidak mengelak, melainkan sengaja menang-kis sambil mengerahkan tenaga
Hwi-yang Sin-ciang di kedua tangannya.
"Duk-tak-takk!" Tiga kali tendangan dan pukulan itu ditangkis oleh lengan yang
mengan-dung tenaga sin-kang panas itu dan akibatnya, tubuh gendut itu terlempar ke
belakang. "Bresss! Ngekkk!" Bunyi pertama adalah bunyi daging pinggulnya menghantam tanah dan
bunyi ke dua adalah bunyi perut gendutnya yang terbanting. Yang membuat dia tidak dapat
bangkit dengan cepat dan hanya meringis kesakitan adalah berat badannya sendiri yang
membuat bantingan itu menjadi berat dan hebat sekali.
Kini semua orang memandang terbelalak. Kira-nya kemenangan anak laki-laki kecil tadi
mela-wan si Dewa Golok bukan hanya merupakan hal yang kebetulan saja, melainkan karena
memang anak-anak ini memiliki ilmu kepandaian yang he-bat! Tosu berusia enam puluhan
tahun yang agak-nya menjadi pimpinan kelompok orang yang turun dari perahu itu kini
melangkah maju. Tosu ini wajahnya merah, bahkan matanya juga agak ke-merahan, mulutnya
tersenyum sinis dan dia maju sambil mengebut-ngebutkan lengan bajunya yang lebar.
Jubahnya berwarna kuning dan di dadanya ada gambaran bulat lambang Im Yang.
"Siancai.... siancai....!" katanya dengan alim. "Kiranya di tempat sunyi ini terdapat orang-
orang muda yang pandai. Sungguh mengagumkan sekali. Orang-orang muda, siapakah kalian
dan apa hubunganmu dengan tocu (majikan pulau) dari Pulau Es?"
Karena masih menduga bahwa mungkin sekali mereka ini adalah kenalan-kenalan kakeknya
wa-laupun hal ini sungguh amat meragukan, maka Suma Hui lalu menjawab, "Tocu Pulau Es
ada-lah kakek kami."
Terdengar seruan-seruan kaget mendengar pengakuan ini dan tosu itu juga berseru, "Siancai!
Kiranya kalian adalah cucu-cucu dari Pen-dekar Siluman Suma Han?"
"Kakekku adalah Pendekar Super Sakti, bukan siluman!" Tiba-tiba Ceng Liong membentak.
Ba-gi keluarga ini, julukan Pendekar Siluman dari kakek mereka dianggap kurang sedap dan
lebih membanggakan kalau kakek mereka dijuluki Pen-dekar Super Sakti. Akan tetapi
anehnya, Ceng Liong sendiri tidak merasa keberatan dengan juluk-an ayah kandungnya, yaitu
Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
16 "Bagus! Kebetulan sekali kalau begitu! Sebe-lum menebang batangnya, lebih baik
menebangi cabang-cabang dan ranting-rantingnya lebih du-lu!" Kata-kata ini belum dapat
dimengerti atau ditangkap artinya oleh Suma Hui ketika tiba-tiba saja tosu itu sudah
menyerangnya dengan hebat. Gerakan tosu ini cepat dan kuat sekali, sungguh sama sekali
tidak boleh disamakan dengan dua orang terdahulu yang dirobohkan oleh Ceng Liong dan
Ciang Bun. Jelaslah bahwa tosu ini lihai se-kali dan memiliki ilmu silat tinggi. Dan memang
sesungguhnyalah. Tosu ini adalah seorang tokoh dari partai Im-yang-pai dan memiliki ilmu
silat yang tinggi dan tenaga sin-kang yang kuat. Kalau tidak lihai, tentu dia tidak akan
dipercaya untuk memimpin rombongan orang-orang gagah dalam perahu itu.
Suma Hui telah memiliki tingkat ilmu silat yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
kedua adiknya. Dara ini selain lincah dan cepat, juga memiliki kecerdikan. Dalam
menghadapi serangan tosu itu, ia bersikap tenang saja dan dengan was-pada ia mengikuti
gerakan lawan yang melakukan serangan. Tosu itu menamparnya dengan tangan kiri, akan
tetapi tamparan yang dilakukan dengan keras itu hanya merupakan pancingan atau gertak-an
belaka, sedangkan yang lebih berbahaya adalah tangan kanannya yang melakukan dorongan
lembut saja ke arah dadanya. Dorongan inilah yang berbahaya karena Suma Hui dapat
merasakan kekuatan besar yang panas tersembunyi dalam do-rongan lembut itu! Dalam
sekejap mata saja dara perkasa inipun maklum bahwa lawannya menggu-nakan sin-kang yang
keras atau panas, maka iapun sudah siap untuk menyambutnya.
Ia sengaja membiarkan dirinya terpancing, mengangkat lengan kanannya untuk menangkis
tamparan tangan kiri lawan seolah-olah ia tidak tahu bahwa dorongan tangan kanan lawan
itulah yang berbahaya.
"Plakk!" Lengan kanannya menangkis tamparan dan pada saat itu, dorongan tangan kanan
lawan yang kuat dan panas itupun menyambar ma-suk. Suma Hui mengerahkan tenaga Swat-
im Sin-ciang ke dalam lengan kirinya dan iapun menangkis dorongan itu sambil mengerahkan
sebagian dari tenaga dingin.
"Dukk....!"
Pertemuan kedua tangan dan lengan itu membuat si tosu terdorong ke belakang beberapa
lang-kah dan biarpun dia tidak sampai terguling jatuh, akan tetapi tubuhnya menggigil dan
mukanya seketika menjadi pucat. Matanya terbelalak memandang kepada wajah dara itu,


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seolah-olah tidak per-caya. Dia sendiri adalah ahli sin-kang dan telah menguasai tenaga Im
dan Yang dari ilmu partai-nya, akan tetapi di tempat dingin seperti Pulau Es itu, di mana dia
sudah harus mengerahkan sin-kang untuk melawan hawa dingin, dia tahu bahwa tidak
mungkin dia mempergunakan Im-kang atau tena-ga dingin di tempat ini. Karena itu, dia tadi
telah mempergunakan tenaga panas atau Yang-kang ketika menyerang lawan. Siapa kira, dara
itu ma-lah mempergunakan tenaga dingin yang amat kuat untuk melawannya, membuat
tubuhnya seketika kedinginan! Tosu Im-yang-pai itu menjadi pe-nasaran sekali. Cepat dia
mengerahkan tenaga un-tuk mengusir hawa dingin itu, kemudian dia me-ngeluarkan teriakan
nyaring dan menyerang lagi kalang kabut dengan amat dahsyatnya. Namun Suma Hui telah
siap siaga dan menyambut serang-an-serangannya dengan lincah, bukan hanya mengelak dan
menangkis, bahkan juga balas me-nyerang dengan sengit. Dara ini telah mempergu-nakan
Ilmu Toat-beng Bian-kun yang lembut namun dahsyat itu. Tentu saja tosu Im-yang-pai iku
tidak mengenal ilmu silat ini dan segera dia mulai terdesak hebat.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
17 "Pergilah!" Suma Hui berseru nyaring dan ta-ngan kirinya yang kecil itu menyambar halus
ke arah leher lawan. Tosu itu cepat berusaha meng-elak dan balas memukul, akan tetapi tiba-
tiba dia berteriak kaget karena tahu-tahu tangan itu sudah menyambar dan mengenai ujung
pundaknya, biarpun dia sudah melempar tubuh ke belakang.
"Brettt!" Jubahnya di bagian pundak hancur dan ujung pundak itu terasa nyeri seperti hancur
daging kulitnya. Untung baginya bahwa tulang pundaknya tidak terkena serempet pukulan itu.
Bagaimanapun juga, hal itu membuatnya terkejut dan ketika dia melempar tubuh ke belakang
tadi, dia terus menjatuhkan diri bergulingan menjauh. Ketika dia meloncat bangun, keringat
dingin mem-basahi dahinya, maklum bahwa hampir saja dia celaka oleh dara muda itu. Dia
maklum bahwa biarpun dara itu masih muda sekali, namun sebagai cucu Pendekar Super
Sakti, ternyata telah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat dan kalau dilanjutkannya
melawan dara itu, besar bahayanya dia akan kalah dan celaka. Maka diapun memberi isyarat
kepada kawan-kawannya lalu mencabut pedangnya. Enam orang kawannya itu, dua orang
yang tadi dirobohkan oleh Ciang Bun dan Ceng Liong dan yang sudah pulih kembali, segera
menerjang dengan senjata masing-masing di tangan! Jelas bahwa mereka itu berniat
membunuh, seperti sekumpulan serigala yang haus darah.Akan tetapi, Suma Hui sudah
melolos pula sepasang pedangnya, melemparkan sebatang kepada Ceng Liong, sedangkan
Ciang Bun juga sudah mengeluarkan pedang yang biasanya dipakai ber-latih. Tiga orang cucu
Pendekar Super Sakti ini lalu memutar pedang di tangan masing-masing dan mengamuk
menyambut serbuan tujuh orang penjahat itu
Terjadiiah perkelahian yang amat hebat dan berat sebelah. Di satu pihak adalah tiga orang
yang masih amat muda, bahkan yang seorang masih anak-anak, sedangkan di lain pihak
adalah tujuh orang tokoh-tokoh dunia persilatan yang sudah memiliki nama besar.
Bagaimanapun juga, tujuh orang ini sama sekali tidak mampu mendesak, bahkan ujung
pedang Ciang Bun telah melukai paha seorang lawan, juga ujung pedang Suma Hui telah
melukai lengan kiri lawan. Ceng Liong yang masih kecil itupun masih mampu
mem-pertahankan diri, mengelak, menangkis bahkan ba-las menyerang walaupun dia
dikeroyok oleh dua orang jagoan! Tentu saja Ciang Bun tidak sampai hati membiarkan adik
kecil ini dikeroyok dua, ma-ka sambil menghadapi pengeroyokan dua orang lainnya, dia
selalu mendekati Ceng Liong dan se-waktu-waktu membantunya agar jangan terlalu dihimpit.
Suma Hui sendiri dikeroyok tiga, seorang di antaranya adalah tosu Im-yang-pai, akan te-tapi
dara ini jelas dapat mendesak tiga orang la-wannya dan kalau dilanjutkan, agaknya tak lama
lagi dara ini akan mampu merobohkan mereka ber-tiga.
Akau tetapi, pada saat itu, dua buah perahu didayung ke tepi oleh para penumpangnya dan
dari masing-masing perahu berlompatan lima orang yang memiliki gerakan ringan, terutama
se-kali seorang di antaranya yang berpakaian seperti pertapa dan rambutnya digelung ke atas,
mukanya penuh cambang bauk dan tangannya memegang sebatang cambuk baja yang hitam
panjang! Se-puluh orang ini nampak terkejut dan terheran-he-ran menyaksikan betapa tujuh
orang rekan mcreka yang mengeroyok tiga orang muda setengah anak-anak itu terdesak dan
kewalahan. "Tahan! Mundur semua! Tar-tar-tar!" Tiba-tiba terdengar bunyi lecutan cambuk baja yang
meledak-ledak di atas kepala tiga orang cucu Pendekar Super Sakti. Mereka terkejut sekali
dan Suma Hui maklum akan kehebatan tenaga yang terkandung dalam ujung cambuk itu,
maka iapun meloncat ke belakang sambil meneriaki kedua orang adiknya untuk mundur. Dua
orang anak laki-laki itupun tahu akan kelihaian tosu ini, maka merekapun cepat mundur
sambil melintangkan pe-dang melindungi dirinya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
18 Kakek itu bukanlah orang sembarangan. Dialah tokoh utama Im-yang-pai yang telah
membawa perkumpulan itu menyeleweng ke jalan sesat. Na-ma julukannya adalah Ngo-bwe
Sai-kong (Kakek Muka Singa Berekor Lima). Mukanya memang penuh cambang bauk seperti
muka singa, dan julukan Lima Ekor itu didapatnya dari senjatanya. Senjata Thi-pian (Cambuk
Besi) yang ujungnya lima sehingga merupakan ekor yang lima buah ba-nyaknya. Cambuknya
ini berbahaya sekali dan jarang dia menemui tandingan. Tentu saja, sebagai seorang tokoh
besar bahkan dia berani mengang-kat diri dengan sebutan ciangbujin atau datuk setelah
tewasnya Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat), dia malu kalau harus menghadapi tiga
orang anak-anak muda dengan pengeroyokan.
Para pembaca ceritaSuling Emas dan Naga Siluman tentu telah tahu bahwa sepuluh atau
sebe-las tahun yang lalu, di dunia persilatan terdapat lima orang datuk sesat yang terkenal
yaitu Im-kan Ngo-ok. Im-kan Ngo-ok pada sebelas tahun yang lalu telah tewas semua di
tangan pendekar-pendekar muda. Tak dapat disangkal bahwa selain lima orang datuk ini, di
dalam dunia kaum sesat masih terdapat banyak orang yang kepandaiannya tidak kalah atau
tidak selisih jauh dibandingkan dengan mereka, akan tetapi yang menonjol hanya-lah Im-kan
Ngo-ok. Baru setelah lima orang itu tewas, bermunculan datuk-datuk baru dan satu di
antaranya adalah Ngo-bwe Sai-kong inilah!
Setelah mengamati tiga orang muda itu, akhir-nya pandang mata saikong ini melekat pada
wajah Suma Hui. Saikong ini telah berusia lanjut, paling sedikit enam puluh lima tahun. Akan
tetapi wajahnya masih nampak gagah dan tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat, dan pandang
matanya masih penuh nafsu berahi, ciri seorang laki-laki yang besar nafsunya dan mata
keranjang. Memang inilah satu di antara cacat saikong itu.
"Nona manis, mari engkau ikut denganku, akan kuajari bagaimana caranya bermain pedang!"
ka-tanya sambil tersenyum dan melangkah maju menghampiri Suma Hui.
"Setan tua jangan ganggu ciciku!" Ceng Liong yang masih terengah-engah karena
perkelahian tadi, dan pandang matanya penuh dengan kema-rahan, sudah menggerakkan
pedangnya dan me-nusuk ke arah perut saikong itu. Kakek itu sama sekali tidak mengelak,
melainkan menerima saja tusukan itu.
Ceng Liong adalah seorang anak keturunan pen-dekar sakti dan cucu dari Pendekar Super
Sakti. Sejak kecil bukan hanya telah digembleng ilmu-il-mu silat tinggi, akan tetapi juga
digembleng oleh ajaran-ajaran tentang kegagahan. Oleh karena itu, melihat betapa lawannya
tidak mengelak atau me-nangkis, tentu saja dia terkejut sekali. Merupakan pantangan bagi
seorang gagah untuk menyerang orang yang tidak mau melawan. Akan tetapi, tu-sukannya
telah dilakukan dan dia tidak dapat menariknya kembali, kecuali mengurangi tenaga sin-kang
yang tadinya telah dikerahkannya.
"Tukk!" Pedang itu tepat menusuk perut, akan tetapi mental kembali dan Ceng Liong malah
ter-dorong mundur dua langkah!
"Heh-heh, anak nakal, pergilah!" Kakek itu berkata dan tangan kirinya bergerak, ujung
lengan baju yang lebar itu menyambar ke arah kepala Ceng Liong. Serangan yang
kelihatannya sederha-na saja akan tetapi di dalam ujung lengan baju itu terkandung tenaga
kuat yang mampu membuat ujung lengan baju itu memecahkan batu karang! Ceng Liong
biarpun masih kecil namun dia sudah tahu akan ilmu-ilmu yang hebat dan dia mengenal
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
19 serangan berbahaya, maka diapun menggerakkan tangan kirinya menangkis ujung lengan
baju. "Plakk!" Dan akibatnya, tubuh Ceng Liong terbanting keras. Anak ini cepat menggulingkan
tubuhnya, membiarkan dirinya bergulingan dan akhirnya dia dapat meloncat bangun tanpa
luka. Dengan pedang di tangan, anak ini hendak menye-rang lagi, akan tetapi dia didahului
oleh Ciang Bun yang sudah meloncat ke depan.
"Kakek siluman, berani engkau memukul adik-ku?" Ciang Bun juga menggerakkan
pedangnya. Serangannya tentu saja berbeda dengan serangan Ceng Liong tadi, jauh lebih kuat
dan lebih berba-haya. Ngo-bwe Sai-kong tahu akan hal ini, maka diapun tidak berani ceroboh
menerima sambaran pedang itu dengan tubuhnya. Tangan kanannya bergerak dan terdengar
bunyi ledakan ketika ujung cambuk besinya melecut dan menangkis pedang itu.
"Cringgg!" Ciang Bun terkejut sekali dan cepat menggunakan sin-kang untnk melawan
getar-an hebat yang dirasakannya ketika pedangnya ber-temu dengan ujung cambuk. Di lain
pihak, Ngo-bwe Sai-kong juga terkejut dan terheran-heran. Dia telah mengerahkan tenaga sin-
kangnya, dan sudah merasa yakin bahwa tentu pedang pemuda remaja itu akan terlempar
jauh, bahkan lengan pemuda itu tentu akan menjadi lumpuh. Akan teta-pi, pedang itu tidak
terlepas dan lengan itupun sama sekali tidak lumpuh karena pada detik beri-kutnya, pedang
itu kembali telah menyerangnya dengan amat ganas!
"Hemm, bocah bandel!" katanya dan kembali terdengar ledakan-ledakan ketika pecut besi itu
menyambar-nyambar, menahan pedang ke mana-pun pedang itu bergerak. Dan setiap kali
pedang bertemu dengan ujung cambuk besi, Ciang Bun merasa betapa lengannya tergetar
hebat. "Bun-te, mundurlah!" Tiba-tiba Suma Hui yang maklum bahwa adiknya kewalahan dan
kalau dilanjutkan adiknya itu akan terancam bahaya, berteriak dan iapun sudah meloncat ke
depan menyerang kakek itu dengan pedangnya. Serangan-nya amat hebat karena dara ini yang
maklum akan kelihaian lawan telah mengerahkan tenaga dan telah mainkan jurus dari Siang-
mo Kiam-sut setelah dengan cekatan ia menerima pedang dari Ceng Liong yang
meugembalikan pedang itu kepada Suma Hui. Dengan sepasang pedang di tangannya dan
mainkan Siang-mo Kiam-sut, dara ini benar-benar merupakan lawan yang amat berbahaya
Ngo-bwe Sai-kong maklum akan hal ini maka diapun beberapa kali mengeluarkan seruan
kaget ketika nyaris ujung pedang dara itu mengenai tu-buhnya. Dia tahu bahwa dara ini amat
lihai, dan karena dia dapat menduga bahwa tentu dara ini ada hubungannya dengan majikan
pulau, yaitu Pendekar Super Sakti, maka diapun tidak berani memandang rendah. Cambuk
besinya lalu dige-rakkan dan terjadilah perkelahian yang seru antara mereka, ditonton oleh
semua orang yang menjadi semakin kagum saja melihat betapa seorang dara muda seperti itu
dapat menandingi seorang datuk seperti Ngo-bwe Sai-kong yang amat lihai dan ditakuti
orang. Biarpun masih muda, baru delapan belas tahun usianya, namun dara itu sebenarnya telah
memiliki dasar ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada lawannya. Akan tetapi, ia kalah jauh
dalam penga-laman, siasat dan juga latihan. Suma Hui merupa-kan batu mulia yang belum
tergosok, pengalaman-nya masih jauh kurang, dan juga latihannya masih belum matang. Oleh
karena itulah, setelah menan-dingi kakek yang seperti iblis itu selama tiga puluh jurus, ia
mulai terdesak dan bingung oleh bunyi cambuk yang meledak-ledak dan lima ujung cam-buk
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
20 yang seperti telah berobah menjadi lima ekor ular yang mematuk-matuk itu. Akhirnya, satu di
antara lima ujung cambuk itu telah menyerempet pundaknya. Suma Hui terhuyung.
Pundaknya ti-dak terluka berat dan hanya terasa panas, akan tetapi kedudukannya menjadi
terhuyung, kuda-kudanya terbongkar dan pertahanannya terbuka. Pada saat itu, cambuk sudah
meledak-ledak lagi, siap menyambar turun dengan serangan maut se-lagi keadaan Suma Hui
lemah seperti itu. Dan agaknya kakek itupun tidak merasa sayang lagi untuk membunuh dara
yang dianggapnya berbaha-ya ini, maka cambuknyapun meledak dan melun-cur ke bawah.
"Trangggg....!" Bunga api muncrat dan ka-kek itu terkejut, cepat melompat ke belakang dan
mengangkat muka memandang wanita tua berpa-kaian serba hitam itu. Dia makin terkejut
karena melihat betapa nenek tua renta ini memiliki sepa-sang mata yang mencorong seperti
mata naga da-lam dongeng! Tak dapat disangsikan lagi bahwa nenek ini tentulah seorang
yang memiliki ilmu sangat tinggi. Ngo-bwe Sai-kong tahu diri, maka diapun cepat menjura
dengan sikap hormat.
"Siancai....! Siapakah toanio yang terhormat dan masih ada hubungan apa dengan tocu Pulau
Es?" Nenek itu bukan lain adalah nenek Lulu yang tadi meninggalkan suami dan madunya untuk
keluar dari istana mencari tiga orang cucunya. Keti-ka tadi ia keluar dan mencari-cari, ia
mendengar sesuatu yang tidak wajar dari arah tepi teluk, maka iapun segera menuju ke tempat
itu. Dapat diba-yangkan betapa heran dan kagetnya melihat begi-tu banyaknya orang di situ,
mengurung tiga orang cucunya dan melihat betapa Suma Hui terdesak hebat oleh cambuk besi
seorang kakek saikong ber-pakaian pendeta. Ia menjadi marah sekali dan segera turun tangan
menangkis ujung cambuk besi itu. Kini, dengan sinar matanya yang berapi-api, nenek tua
renta ini menyapu keadaan di situ de-ngan sikap marah. Ada tujuh belas orang di situ, dan
kesemuanya memiliki ilmu silat yang kuat, terutama sekali kakek yang berhadapan
dengannya ini. Ia menyapu keadaan tiga oraug cucunya de-ngan pandang mata dan hati
merasa lega. Cucu-cucunya selamat, tidak ada yang terluka nampak-nya. Dan orang-orang ini
pasti bukan orang ba-ik-baik.
"Hemm, kalian ini orang-orang lancang agak-nya sudah bosan hidup, berani mendarat di
Pulau Es tanpa ijin. Bahkan kalian berani mati meng-ganggu cucu-cucuku ini, sungguh dosa
kalian hanya dapat ditebus dengan nyawa!" Suaranya lembut akan tetapi di dalam
kelembutannya me-ngandung ancaman yang menyeramkan. Banyak di antara tujuh belas
orang itu seketika menjadi pucat wajahmya mendengar kata-kata itu.
Juga Ngo-bwe Sai-kong terkejut. Kiranya ne-nek ini adalah isteri Pendekar Super Sakti. Dia
dan kawan-kawannya telah mempelajari dan mencari tahu akan keadaan keluarga Pulau Es
dan dia men-dengar bahwa Pendekar Super Sakti mempunyai dua orang isteri. Yang pertama
sudah amat terke-nal dan dia sendiri pernah melihatnya ketika Puteri Nirahai menjadi
panglima. Dan kabarnya yang seorang lagi adalah seorang wanita yang juga amat lihai dan
agaknya inilah orangnya!
"Bagus sekali, kedatangan kami justeru untuk mencabut nyawa keluarga Pulau Es, dan akan
kami mulai dengan nyawamu!" kata Ngo-bwe Sai-kong tanpa banyak komentar lagi.
Cambuk-nya sudah meledak-ledak dan menyambar ke arah ubun-ubun kepala nenek itu dan
diapun sudah memberi tanda kepada teman-temannya yang se-gera menyerbu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
21 Suma Hui, Ciang Bun, dan Ceng Liong sudah melawan lagi dan mereka bertiga dikeroyok
oleh tujuh orang pertama tadi yang ditambah lagi de-ngan lima orang. Sedangkan nenek Lulu
dikero-yok oleh lima orang yang lain, yaitu Ngo-bwe Sai-kong dan empat orang temannya.
Ternyata bahwa empat orang teman Ngo-bwe Sai-kong ini me-rupakan yang terpandai di
antara rombongan itu, dengan kepandaian yang hanya setingkat di bawah Ngo-bwe Sai-kong!
Dan mengamuklah nenek Lulu! Tubuhnya yang berpakaian hitam itu lenyap berobah menjadi
bayangan hitam yang menyeli-nap di antara senjata-senjata lima orang pengero-yoknya dan
kadang-kadang terdengar lengkingan-lengkingannya kalau ia balas menyerang. Sepak
-terjangnya menggiriskan dan dalam waktu belasan jurus saja ia sudah berhasil menampar
kepala dua orang pengeroyok secara beruntun.
"Krakk! Krakk!" Dua orang itu roboh dengan kepala remuk dan tewas seketika! Tentu saja
Ngo-bwe Sai-kong menjadi terkejut dan cepat memberi tanda kepada pembantu-pembantunya
untuk maju mengeroyok. Lima orang yang tadi ikut mengeroyok tiga orang cucu majikan
Pulau Es itu lalu menerjang dan membantu saikong itu. Nenek Lulu dikeroyok oleh delapan
orang, dan tiga orang anak muda itu masih tetap dikepung oleh tujuh orang lawan yang
dipimpin oleh tosu Im-yang-pai yang menjadi murid keponakan Ngo-bwe Sai-kong.
Dikeroyok oleh delapan orang itu, nenek Lulu tidak terdesak, bahkan ia mengamuk seperti
seekor naga betina. Wajahnya berseri, gembira dan juga ganas, bibirnya tersenyum dan
matanyaberkilat-kilat. Ia tetap bertangan kosong, akan tetapi ke-pandaian nenek ini sudah
sedemikian hebatnya sehingga tangkisan lengannya pada senjata lawan menimbulkan bunyi
seolah-olah senjata itu berte-mu dengan logam yang keras!
Akan tetapi, bagaimanapun juga, nenek Lulu yang usianya telah sembilan puluh tahun lebih
itu tidaklah sekuat dahulu lagi daya tahannya. Selain usia tua telah menggerogoti tubuh dan
kekuatan-nya dari dalam, juga selama puluhan tahun ia tinggal di Pulau Es, tidak pernah lagi
bertanding dengan siapapun juga sehingga bagaimanapun ju-ga ia sudah kehilangan banyak
kelincahannya, ku-rang latihan. Maka, setelah mengamuk hebat selama kurang lebih seratus
jurus saja, napasnya sudah mulai terengah-engah dan kelelahan mulai membuatnya merasa
lemas. Akan tetapi, akibat dari amukannya itu memang hebat. Ia telah me-robohkan tujuh
orang yang tewas seketika dan se-lain itu, juga ia mampu melindungi tiga orang cucunya
karena selama mengamuk, nenek ini terus memperhatikan cucu-cucunya dan setiap kali
menolong kalau ada cucunya yang terancam bahaya senjata para pengeroyok. Akan tetapi,
akhirnya ia sendiri terdesak hebat, apalagi oleh desakan cam-buk besi di tangan Ngo-bwe Sai-
kong yangamat lihai dan ganas. Nenek ini tahu bahwa ia sudah mulai kehilangan kekuatannya
dan hal ini amat membahayakan tiga orang cucunya.
"Hui...., Bun...., Liong.... larilah, beritahu kakek kalian....!" Akan tetapi pada saat itu,
sebatang pedang telah menusuk paha kaki kirinya. Nenek ini terhuyung akan tetapi tangan
kirinya dapat menangkap pedang itu, merenggut-nya lepas dan sekali melontarkan pedang itu
ke depan, terdengar jerit mengerikan karena si pemi-lik pedang roboh dengan dada tertembus
pedangnya sendiri. Akan tetapi pada saat itu, sebuah di antara lima ujung cambuk besi Ngo-
bwe Sai-kong menyambar sedemikian cepatnya sehingga tidak sempat dielakkan lagi oleh
nenek Lulu. "Tukk....!" Tubuh nenek itu nampak kejang seketika, akan tetapi tiba-tiba ia mengeluarkan
lengking panjang dan tahu-tahu tubuhnya meluncur ke depan, kedua tangannya bergerak
menusuk dengan jari tangan terbuka.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
22 "Plak! Dukkk....!" Tubuh Ngo"bwe Sai-kong yang tinggi besar itu terjengkang dan dari
mulutnya terdengar teriakan menyayat hati dibarengi semburan darah segar, lalu kaki ta-ngan
kakek itu berkelojotan, matanya melotot dan dari tenggorakannya terdengar suara mengorok.
Nenek Lulu sendiri terhuyung, akan tetapi terdengar suara ketawa dari mulutnya, sungguh
amat menyeramkan hati. Dan pada saat itu, nampak berkelebat dua bayangan orang, yang satu
lang-sung menyambar tubuh nenek Lulu dan memon-dongnya sebelum tubuh itu terguling,
sedangkan bayangan yang satu lagi mengamuk, membuat para pengeroyok jatuh bangun. Dua
bayangan ini adalah Pendekar Super Sakti Suma Han dan iste-rinya, Puteri Nirahai. Kakek


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suma Han sudah me-lihat keadaan isterinya maka diapun langsung menyambar tubuh nenek
Lulu, sedangkan nenek Nirahai mengamuk, menggunakan kaki tangannya, menampar dan
menendang ke sana-sini. Para pe-ngeroyak menjadi panik setelah melihat robohnya Ngo-bwe
Sai-kong, apalagi dengan munculnya Pendekar Super Sakti yang nampak sibuk meme-riksa
keadaan nenek Lulu sedangkan nenek Nira-hai mengamuk seperti naga sakti beterbangan.
Maka, sisa para pengeroyok itu lalu berloncatan ke dalam tiga buah perahu mereka sambil
memba-wa teman-teman yang tewas dan terluka.
"Jangan harap dapat lari dari sini!" bentak nenek Nirahai sambil mengejar, akan tetapi tiba-
tiba ada bayangan berkelebat di depannya dan tahu-tahu lengannya telah dipegang oleh
suami-nya. "Tidak perlu dikejar, biarkan mereka pergi...." kata Suma Han dengan suara halus. Sejenak
ada kekerasan dan perlawanan dalam sinar mata nenek Nirahai, akan tetapi seperti biasanya,
kekerasannya mencair setelah bertemu dengan pandang mata suaminya. Seperti baru sadar
dari mimpi buruk, nenek Nirahai memejamkan mata dan menyandarkan mukanya di dada
suaminya itu sebentar, ke-mudian ia teringat lagi dan cepat melepaskan diri-nya dan lari
menghampiri tubuh nenek Lulu. Tiga orang cucunya juga telah berlutut di dekat tubuh nenek
Lulu, kelihatan bingung melihat nenek itu rebah dengan napas lemah sekali dan mata
terpejam, akan tetapi mulut nenek itu tersenyum!
"Bagaimana keadaannya....?" Nenek Nirahai bertanya khawatir.
"Kita bawa ia pulang," kata kakek Suma Han tanpa menjawab pertanyaan itu, memondong
tubuh isterinya ke dua itu lalu membawanya kembali ke istana, diikuti oleh nenek Nirahai
yang menunduk-kan mukanya menyembunyikan kedukaan karena ia sudah dapat merasakan
dari sikap suaminya bahwa keadaan madunya itu tidak dapat tertolong lagi.
Mereka disambut oleh tiga orang pria dan dua orang wanita pelayan mereka. Para pelayan
itulah yang tadi melaporkan kepada Suma Han dan Ni-rahai tentang adanya perkelahian di
tepi pantai teluk itu. Mereka sendiri tidak berani sembarang-an turun tangan melihat betapa
para penyerbu itu adalah orang-orang pandai.
Tubuh nenek Lulu direbahkan di atas dipan di dalam kamarnya. Kakek Suma Han dan nenek
Nirahai lalu mempergunakan sin-kang mereka untuk membantu nenek Lulu, menempelkan
telapak ta-ngan mereka pada dada dan punggung. Akhirnya nenek Lulu mengeluarkan suara
keluhan lirih dan membuka kedua matanya. Mula-mula ia seperti orang keheranan melihat
suaminya, madunya, dan tiga orang cucunya menunggunya di dalam kamar-nya. Akan tetapi
ia segera teringat dan mulutnya bergerak, akan tetapi tidak ada suara yang keluar, melainkan
darah yang mengalir dari ujung bibir-nya yang kiri karena ia miring sedikit ke kiri.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
23 "Tenanglah, engkau terluka parah...." kata suaminya dengan suara halus.
"Me.... mereka....?" bibirnya bergerak tan-pa mengeluarkan suara, akan tetapi pandang
mata-nya berseri lega ketika ia melihat keadaan tiga orang cucunya sehat-sehat saja.
"Mereka sudah kuhajar dan tentu sudah kubu-nuh semua kalau saja suami kita yang selalu
ber-hati lunak ini tidak menghalangiku!" kata nenek Nirahai. "Engkau terluka oleh saikong
itu, dia lihai sekali akan tetapi engkau telah berhasil me-lempar nyawanya ke neraka!"
Nenek Lulu tersenyum dan melirik kepada suaminya. Sungguh mengherankan sekali. Dalam
keadaan terluka parah itu, sampai ia tidak mampu mengeluarkan suara, nenek ini tersenyum-
senyum gembira dan seperti hendak menggoda suaminya yang dicela oleh madunya!
Mulutnya kembali bergerak-gerak hendak bicara akan tetapi ia ter-batuk-batuk. Kakek Suma
Han lalu menotok be-berapa jalan darah di leher dan kedua pundaknya dan napas nenek Lulu
kelihatan lega sekarang dan setelah beberapa kali berusaha, akhirnya ia mam-pu juga
mengeluarkan suara.
"Aku gembira.... aku.... aku dapat mati seperti.... harimau betina.... yang gagah....! Aku....
senang sekali.... cucu-cucuku.... jadilah orang gagah...." Sampai di sini suaranya habis,
kepalanya terkulai dan matanya kehilangan cahayanya.
Kakek Suma Han menggunakan tangannya un-tuk menutupkan mata dan mulut isterinya, dan
ne-nek Nirahai menahan isak membetulkan letak kaki tangan madunya. Tiga orang cucu
mereka itu terbelalak memandang, kemudian tiba-tiba pecahlah suara tangis Suma Hui.
"Nenek....! Nenek telah meninggal du-nia....!"
Melihat encinya menangis, Ciang Bun juga me-nangis, akan tetapi tangisnya tidak bersuara,
hanya mengucurkan air mata saja yang diusapnya dengan lengan bajunya. Akan tetapi, Ceng
Liong mena-ngis terisak-isak seperti encinya. Melihat mereka bertiga menangis, para pelayan
wanita juga mena-ngis dan akhirnya Nirahai tidak dapat menahan lagi air matanya yang
mengalir turun. Telah puluhan tahun ia hidup bersama suaminya dan ma-dunya itu dan ia
sudah menganggap Lulu sebagai adiknya sendiri.
"Aku ingin seperti Lulu! Aku ingin mati seper-ti Lulu!" Berkali-kali nenek Nirahai berkata
sambil mengepal tinju dan air mata yang menetes-netes menuruni kedua pipinya itu
didiamkannya saja.
Kakek Suma Han yang duduk bersila di dekat jenazah isterinya, tersenyum sendiri
menyaksikan bagaimana kedukaan terbentuk dalam dirinya. Mula-mula dia melihat kenyataan
bahwa isterinya yang tercinta itu mati. Kenyataan yang tak dapat dirobah oleh siapapun juga,
kenyataan yang wajar dan tidak mengandung suka maupun duka. Siapa-kah orangnya yang
dapat menghindarkan diri dari kematian" Dan matinya Lulu wajar, juga tidak perlu dibuat
penasaran. Usianya sudah sembilan -puluh tahun dan tewas dalam tangan seorang lawan yang
amat lihai, masih dikeroyok banyak orang lagi. Kematian yang wajar. Lalu pada saat dia
mendengar semua orang menangis, dan melihat wajah nenek Lulu, pikirannya
membayangkan segala hal yang dilalui dalam hidupnya bersama Lulu. Terbayang dan
terkenanglah kembali masa-masa muda mereka, saat-saat manis mereka, suka duka mereka
yang mereka hadapi dengan bahu-membahu, dan saling mencinta. Pikirannya
mem-bayangkan pula bahwa dia telah kehilangan orang yang amat dicintanya. Semua
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
24 kenangan ini lalu mendatangkan rasa iba diri dan muncullah duka! Suma Han melihat ini
semua dan diapun tersenyum di dalam hati. Duka timbul dari pikiran yang mengenangkan
hal-hal lampau, timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang tidak me-nyenangkan
di masa depan, sehingga timbullah rasa iba diri, rasa kesepian dan perasaan nelangsa yang
menimbulkan duka.
Pendekar Super Sakti membiarkan tiga orang cucunya dan juga isterinya tenggelam sebentar
dalam iba diri dan duka, kemudian dia berkata, suaranya halus, ditujukan kepada mereka
semua, isterinya, cucu-cucunya, dan para pelayan.
"Sudahlah, cukup sudah semua tangis yang ti-dak ada gunanya ini. Kematian adalah suatu
ke-wajaran yang akan menimpa setiap orang manusia hidup di dunia ini. Kenapa harus
ditangisi" Ta-ngis tidak menguntungkan yang mati, juga meru-gikan dan melemahkan batin
sendiri. Andaikata yang mati dapat mengetahui, maka tangis merupa-kan ikatan yang
menahan dirinya dengan dunia dan kehidupan. Dan bagi yang hidup, tangis itu hanya
merupakan kelemahan batin yang penuh de-ngan perasaan iba diri."
Nenek Nirahai yang sudah mengerti benar akan hakekat mati hidup, mengerti akan apa yang
di-maksudkan oleh suaminya, hanya menundukkan muka saja. Para pelayan baru setengah
mengerti, akan tetapi mereka tentu saja tidak berani mem-bantah maupun bertanya. Tidak
demikian dengan Suma Hui. Ia seorang dara yang sejak kecil memi-liki daya cipta, tidak
hanya mengekor terhadap pendapat orang-orang tua atau siapapun juga. Segala perasaan dan
keinginan tahunya tidak mudah dipuaskan oleh pendapat orang dan harus dise-lidikinya
sendiri. Maka, mendengar ucapan ka-keknya tadi iapun membantah.
"Akan tetapi saya sama sekali tidak iba diri, kong-kong! Saya tidak kasihan kepada diri
sen-diri, melainkan kasihan kepada nenek!"
Suma Han memandang kepada cucunya itu dan tersenyum. "Coba jelaskan, mengapa engkau
ka-sihan kepada nenekmu Lulu, Hui?"
"Nenek tewas dalam perkelahian, terbunuh orang, tentu saja saya kasihan kepadanya!"
"Mengapa kasihan" Nenekmu adalah seorang pendekar sejak kecil, bahkan perkelahian
merupakan kegemarannya. Kalau sekarang ia tewas dalam perkelahian, hal itu adalah wajar
dan engkau men-dengar sendiri ucapan terakhirnya tadi betapa ia merasa gembira sekali dapat
tewas dalam perke-lahian, pantaskah itu kalau kita malah kasihan ke-padanya?"
"Tapi, matinya karena kekerasan, karena terpak-sa, kong-kong! Kalau tidak ada penjahat
menyer-bu, sekarang nenek Lulu masih hidup bersama kita. Tidak kasihankah itu?" Suma Hui
mencoba untuk membantah.
Kakek tua renta itu mengeleng kepala, masih tersenyum. "Semua bentuk kematian tentu ada
sebabnya, tentu dipaksakan nampaknya, padahal sudah merupakan suatu kelanjutan yang
wajar daripada kehidupan. Kalau orang mati karena penya-kit, bukankah itu merupakan hal
yang dipaksakan juga" Kalau penyakit itu tidak datang kepadanya, dia tidak akan mati, begitu
tentu bantahannya. Cucuku yang baik, kematian merupakan kelanjut-an daripada kehidupan,
dan tentu saja untuk sua-tu peralihan keadaan pasti ada sebabnya. Sebab itu bermacam-
macam, ada yang penyakit, ada kecelakaan, ada bencana alam, ada perkelahian, perang dan
sebagainya. Mengertikah engkau?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
25 Suma Hui mengangguk dan menunduk, kini ia dapat melihat kebenaran yang dibeberkan oleh
kakeknya itu. Segala peristiwa adalah wajar dan tak dapat dirobah lagi, baik buruknya
tergantung dari pada penanggapan kita sendiri.
"Akan tetapi, kong-kong, bukankah semua orang menangis kalau kematian orang yang
dicinta-nya" Kenapa tidak boleh menangis" Apa orang tidak boleh bersedih kalau kematian
keluarga yang dicinta?" Tiba-tiba Ceng Liong bertanya dengan nada suara membantah.
Kakek itu memandang kepadanya dan meng-angguk-angguk. Anak ini cerdas sekali,
pikirnya. "Aku tidak mengatakan boleh atau tidak boleh berduka, Liong. Aku hanya ingin kalian
membu-ka mata melihat kenyataan dan tidak tenggelam dalam buaian perasaan dan iba diri.
Kalau semua orang menangisi kematian, apakah itu berarti bah-wa kitapun HARUS
menangis" Lebih baik kalau kita membuka mata melihat mengapa kita mena-ngisi kematian.
Mengapa" Cobalah kalian bertiga menjawab. Kenapa kita menangisi kematian?"
"Karena tidak tega...." jawab Suma Hui.
"Karena kita kasihan kepada yang mati," sam-bung Ceng Liong.
"Karena kita ditinggalkan," tiba-tiba Ciang Bun yang sejak tadi hanya mendengarkan saja
kini ikut menjawab.
"Ya, karena kita ditinggalkan, itulah jawaban-nya yang tepat. Bukan karena kita tidak tega
atau kasihan. Bagaimana kita bisa merasa kasihan ke-pada orang yang mati kalau kita tidak
tahu apa dan bagaimana kematian itu" Yang jelas, kematian membebaskan orang daripada
segala kesengsara-an hidup, ketuaan, kelemahan dan penyakit, juga kedukaan, ketakutan dan
sebagainya. Tidak ma-suk akal kalau kita kasihan kepada orang yang mati, akan tetapi yang
jelas, kita merasa kasihan kepada diri sendiri, kita ditinggalkan, kita kehilangan, kita kesepian,
itulah yang menyebabkan orang menangisi kematian."
Nenek Nirahai mendengarkan saja dan wajah-nya kelihatan diliputi awan. Melihat ini, kakek
Suma Han bertanya, "Apakah kebenaran tentang kematian itu masih belum meresap di
hatimu?" Nenek itu memandang kepada suaminya. "Aku tidak memikirkan kematian, aku tidak
menyedih-kan kematian, melainkan prihatin melihat bahwa akupun akan mati dan betapa
menyebalkan kalau mati karena digerogoti penyakit, perlahan-lahan sampai rusak jasmani ini.
Adik Lulu sungguh beruntung...."
"Hemm, engkau agaknya merasa iri kepada Lu-lu" Mengapa meributkan soal itu?"
"Kematian memang bukan apa-apa, akan teta-pi bagaimana kita mati itulah yang penting.
Sung-guh menyedihkan kalau orang yang menjunjung tinggi kegagahan harus mati sebagai
seorang yang lemah dan yang terpaksa harus tunduk terhadap penyakit, terhadap kuman-
kuman kecil yang tidak nampak oleh mata. Betapa memalukan....!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
26 "Hemm, serahkan saja kepada keadaan, yang penting kita harus selalu siap menghadapi saat
ti-banya maut, dengan mata terbuka, dengan tabah, tanpa sedikitpun rasa takut." Suma Han
lalu me-merintahkan para pelayan pria untuk menggotong keluar sebuah peti jenazah, peti
yang memang su-dah beberapa tahun yang lalu dipersiapkan untuk nenek Lulu. Juga kakek itu
dan nenek Nirahai telah lama menyediakan peti mati untuk diri mereka sendiri. Tempat itu
terpencil dan untuk membeli peti mati harus didatangkan dari daratan besar, maka mereka
memang telah siap dengan peti mati masing-masing beberapa tahun yang lalu.
Karena mereka tidak dapat bebas begitu saja dari pada ikatan tradisi, peti jenazah yang terisi
jenazah nenek Lulu itu lalu dihias dan dipasang meja sembahyang sebagaimana lajimnya,
kemudi-an mereka semua melakukan sembahyang dengan hio di tepi jenazah. Tidak ada air
mata yang tumpah lagi sekarang setelah mereka tadi mendengar percakapan mengenai
kematian antara Pendekar Super Sakti dan para cucunya. Mereka semua me-lihat kesia-siaan
dan kepalsuan tangis perkabung-an itu. Bagaimanapun juga, karena menghormat si mati dan
keluarganya, para pelayan itu bersikap sungguh-sungguh dan prihatin.
Menurut keputusan kakek Suma Han, jenazah akan ditangguhkan semalam dan pada
keesokan harinya baru jenazah akan diperabukan. Pendekar Super Sakti, walaupun pengagum
ajaran Nabi Khong Cu, namun hatinya lebih condong kepada pembakaran jenazah daripada
pemakaman, dan mungkin saja hal ini karena pengaruh Agama Buddha, atau juga karena
kewaspadaannya melihat bahwa pembakaran jenazah itu jauh lebih sempurna, baik bagi yang
mati maupun yang hidup daripada pemakaman jenazah yang menghabiskan teun-pat,
pembuangan dan penghamburan uang, berikut upacara tradisi yang berlarut-larut dari para
keluarga untuk mengurus makam dan sebagainya.
Malam itu, beberapa batang lilin bernyala di atas meja sembahyang di depan peti jenazah
nenek Lulu. Nenek Nirahai duduk bersila di dekat sua-minya, seperti menjaga peti jenazah,
dalam keada-an setengah samadhi. Akan tetapi, melihat api li-lin-lilin itu bergoyang-goyang
tertiup angin ma-lam yang lewat di ruangan depan istana di mana peti jenazah ditaruh, nenek
Nirahai teringat kepa-da madunya. Begitulah Lulu di waktu dahulu. Hidupnya seperti api lilin
itu, bergoyang-goyang, lincah, berani, bergelombang naik turun, diangkat tinggi-tinggi oleh
suka dan dihempaskan dalam-dalam oleh duka. Itulah Lulu. Prikehidupan nenek Lulu di
waktu mudanya memang amat menarik dan hal itu dapat diikuti dalam kisahPendekar Super
Sakti dan kisah-kisah lanjutan berikutnya.
Tiga orang cucunya dan lima orang pelayan ti-dak berada di ruangan itu karena mereka itu
me-nyingkir dan membiarkan suami isteri itu mere-nung di dekat peti jenazah. Delapan orang
itu diam-diam bersepakat untuk melakukan penjagaan, dan hal ini diprakarsai oleh Suma Hui.
"Para penyerbu itu adalah orang-orang jahat. Biarpun nenek Nirahai telah berhasil menghajar
dan mengusir mereka, akan tetapi mereka itu ma-sih hidup dan siapa tahu mereka itu masih
merasa penasaran. Kalau mereka menghimpun teman-teman jahat mereka dan menyerbu lagi,
kita harus sudah bersiap-siap menghadapi mereka," demiki-an dara perkasa yang gagah berani
itu berkata kepada adik-adiknya dan kepada lima orang pela-yan itu. Mereka semua
bersepakat untuk menghajar para penjahat itu dan membalaskan kematian nenek Lulu kalau
mereka itu berani muncul lagi malam hari itu.
Dengan cara berpencar, mereka berjaga di sekeliling istana, dan Suma Hui sebagai pemimpin
mereka melakukan perondaan. Malam semakin larut namun tidak terjadi sesuatu dan keadaan
di Pulau Es semakin sunyi. Hawa udaranya semakin dingin malam itu. Hanya orang sinting
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
27 sajalah yang akan lancang memasuki Pulau Es itu di wak-tu malam yang sedingin itu, apalagi
kalau dia sudah tahu bahwa di pulau itu tinggal keluarga Pen-dekar Super Sakti yang gagah
perkasa.Akan tetapi, bukan orang sinting, juga bukan iblis yang pada malam hari itu tiba-tiba
muncul dari tepi pantai sebelah selatan dari Pulau Es. Dia seorang laki-laki muda yang
mendarat dengan menggunakan sebuah perahu nelayan kecil yang meluncur di malam gelap
dan akhirnya dapat mem-darat di bagian yang datar dari pulau itu di sebe-lah selatan. Hanya
dengan penerangan bintang-bintang di langit yang menimbulkan cuaca suram-muram
kehijauan, pria itu berhasil mendarat, me-nyeret perahunya naik dan kemudian meninggal-kan
perahunya, berjalan dengan langkah terhu-yung-huyung menuju ke tengah pulau. Beberapa
kali dia hampir jatuh karena kakinya tersandung, akan tetapi dengan sigapnya dia dapat
memperba-iki kedudukannya dan melanjutkan langkahnya. Sebagai pedoman, dia melihat
lampu dari jauh, lampu yang tergantung di samping istana. Kadang-kadang sinar lampu itu
lenyap lalu nampak kembali, seperti halnya cahaya yang masih jauh letak-nya di malam yang
cuacanya remang-remang.
Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang agak-nya tidak mudah, orang yang seperti dalam
sakit keadaannya itu sampai juga ke dekat istana. Nampak bangunan istana itu menjulang
tinggi dan megah di dalam cahaya bintang-bintang yang mulai cemerlang karena ditinggalkan
awan tipis yang tadinya menghalang di antara langit dan bumi, dan orang itu tertegun.
"Sebuah.... istana...." Di pulau kosong ini...." Ya Tuhan, mimpikah aku.... atau su-dah gilakah
aku....?" Diapun melangkah maju lagi, ke arah lampu yang tergantung di dinding, di luar istana itu.
Bagaikan orang yang tidak percaya kepada diri sen-diri, dia lalu meraba dinding itu,
mendorong-do-rongnya. Kini sinar lampu gantung menimpa mu-kanya dan ternyata dia
adalah seorang laki-laki yaug berwajah tampan dan gagah sekali walaupun pakaiannya kusut
dan pecah-pecah di sana-sini, tubuhnya nampak terluka di pundak, pangkal lengan dan paha.
Di tiga tempat ini, pakaiannya tidak hanya robek, melainkan juga berlepotan darah. Laki-laki
itu berpakaian seperti seorang nelayan biasa, dan usianya paling banyak dua puluh delapan
atau dua puluh sembilan tahun.
Tiba-tiba tiga orang nelayan pria dari Istana Pulau Es, datang menyerbu dan menyerangnya,
tanpa bertanya-tanya lagi. Tiga orang pelayan itu mempergunakan dayung besi, senjata yang
paling tepat untuk mereka karena mereka itu tadinya ada-lah nelayan-nelayan sebelum
menjadi pelayan di Pulau Es. Akan tetapi biarpun mereka juga ketu-laran ilmu silat dari para
majikan mereka dan tu-buh mereka kuat karena mereka tinggal di tempat sedingin Pulau Es,
namun karena mereka tidak pernah berkelahi, serangan mereka dengan dayung itu hanya
cepat dan kuat namun kaku sekali.
"Heii.... aku bukan penjahat....!" Pria itu berteriak ketika melihat menyambarnya dayung-
dayung besi itu ke arah kepala dan tubuhnya. Biarpun dia sudah luka-luka dan diserang secara
tiba-tiba oleh tiga orang pelayan istana itu, namun dengan mudah dan cekatan sekali dia
berhasil mengelak lalu menangkap sebatang dayung, sekali renggut dayung itu pindah ke
tangannya dan dua kali dia menangkis, dua dayung yang lain terlepas dari pegangan dua
orang pelayan itu. Tentu saja tiga orang pelayan itu terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa
orang ini begitu lihainya sehingga dalam segebrakan saja mampu merampas senjata mereka.
Akan tetapi, orang itu tidak membalas serangan, melainkan meloncat ke belakang sambil
berkata lagi, "Aku bukan penjahat....!"


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
28 Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Suma Hui telah berdiri di depan pria itu dengan
sepasang pedang di tangan. "Orang baik-baik ti-dak akan berkeliaran di sini tanpa ijin!
Bersiaplah untuk mampus, keparat keji!" Suma Hui sudah menggerakkan sepasang
pedangnya dan iapun su-dah menyerang dengan dahsyatnya.
"Trang....! Cringgg....! Eh, nanti dulu.... eh, nanti dulu, aku bukan penjahat....!" Pria itu
menangkis dan mengelak, repot juga meng-hadapi serangan bertubi-tubi yang amat ganas itu.
Untung dia tadi telah merampas dayung besi, kalau tidak, tentu akan makin repotlah dia
meng-hadapi serangan pedang di tangan Suma Hui yang sedang marah dan mendendam atas
kematian neneknya itu. Biarpun orang itu berteriak-teriak, tetap saja Suma Hui menyerang
terus, bahkan se-makin hebat karena dara ini mulai merasa pena-saran bahwa sepasang
pedangnya belum juga ber-hasil, padahal orang itu telah luka-luka.
"Singgg.... wuuuut, singggg....!" Se-pasang pedang yang dimainkan dengan Ilmu Pe-dang
Siang-mo Kiam-sut itu menyambar-nyam-bar bagaikan sepasang naga yang ganas.
"Cringgg.... cringgg....!" Pria itu terkejut sekali karena dayung besinya itu dua kali terbabat
pedang dan nyaris ada pedang yang menyerempet lehernya!
"Tidak....! Aku bukan penjahat, dengar du-lu, nona....!"
"Tranggg....!" Kini Suma Hui yang terkejut karena setelah dayung itu dapat ia patahkan dan
tinggal sepanjang pedang, pria itu malah dapat mempergunakan dengan amat hebatnya,
seperti menggerakkan pedang dan dari cara pria ini me-nangkisnya terbukti bahwa pria itu
memiliki ilmu pedang yang hebat pula! Bukan hanya itu, kini pria itu agaknya telah
mengerahkan sin-kang sehingga bukan saja potongan dayung itu menjadi kuat, juga tenaga
yang menangkis pedangnya itu membuat lengannya tergetar! Tentu ini seorang tokoh sesat
yang lihai, yang diutus oleh gerombol-an penyerbu pagi tadi untuk memata-matai istana,
pikirnya. Oleh karena itu, tanpa memperdulikan protes pria itu, ia menyerang semakin ganas.
Kare-na marah dan mendendam, Suma Hui menjadi ber-kurang kewaspadaannya, tidak
menyadari bahwa sejak tadi pria itu sama sekali tidak membalas serangannya, melainkan
hanya mengelak dan me-nangkis sambil mundur saja. Juga ia tidak menya-dari kenyataan
bahwa tidaklah mungkin pihak musuh mengirim seorang yang sudah luka-luka itu untuk
menjadi mata-mata.
Suma Hui menyerang terus sampai belasan jurus dan karena pria itu memang sudah terluka
dan lemah, juga karena dia sama sekali tidak mau membalas, akhirnya ujung pedang kiri dara
itu me-nyerempet pundaknya yang kanan.
"Crottt....!" Pundak itu terluka dan darahnya mengucur keluar, dan pria itu terhuyung ke
bela-kang, potongan dayungnya terlepas. Suma Hui yang sudah marah dan merasa yakin
bahwa orang ini adalah satu di antara musuh-musuh pembunuh neneknya, menerjang lagi
untuk mengirim tusukan maut.
"Tringg....!" Pedang itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan Suma Hui ketika tiba-
tiba ada pedang payung yang menangkisnya dari samping. Ternyata neneknya yang
menangkis itu menggunakan pedang payung, yaitu payung yang ujungnya runcing dan dapat
dipergunakan sehagai pedang, sebuah senjata istimewa yang amat ampuh dari pute
Harpa Iblis Jari Sakti 14 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Hati Budha Tangan Berbisa 6
^