Kisah Para Pendekar Pulau Es 10

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


ia berlari-lari sambil bersenandung gembira. Dua orang
pe-ngawal itu saling pandang, lalu mengangkat pundak dan keduanya lalu cepat mengikuti
anak yang berada di bawah perlindungan mereka.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
277 Ketika mereka tiba di kaki bukit depan itu, tiba-tiba Hong Bwee memberi isyarat ke
belakang. Dua orang pengawal itu memandang ke depan dan merasa girang sekali melihat
bahwa tak jauh dari situ terdapat sekumpulan rusa sedang makan rumput. Bagus, pikir
mereka, kalau nona kecil itu sudah berhasil merobohkan seekor rusa, tentu tidak perlu lagi
mereka mendatangi bukit yang berbahaya di depan itu. Merekapun cepat mempersiapkan
busur dan anak panah. Angin bertiup ke arah depan, maka mereka dapat berindap-indap
menghampiri rusa-rusa itu dengan aman.
Dua orang pengawal itu agaknya sudah me-ngenal baik watak Hong Bwee. Kalau mereka
mendahului menggunakan anak panah meroboh-kan rusa, tentu anak itu akan marah. Maka
mere-kapun menanti sampai anak itu melepas anak panah. Setelah mereka bertiga berindap-
indap men-dekati, menyelinap di antara semak-semak belukar sebagai pernburu-pemburu
yang berpengalaman, Hong Bwee nampak membidikkan anak panahnya dari balik semak-
semak. Ia berada di depan dan kini ia dapat melihat jelas binatang-binatang itu, melihat mata
mereka yang bening, tanduk mereka yang bagus dan telinga mereka bergerak-gerak. Ia harus
berhati-hati karena maklum betapa tajamnya daya tangkap telinga binatang itu. Ia membidik
dengan hati-hati ke arah seekor rusa jantan yang paling gagah, besar dan tegap di antara
ke-lompok rusa itu. Akan tetapi, tiba-tiba rusa itu mengeluarkan suara aneh lalu menghampiri
seekor rusa betina, mencium-cium dengan moncongnya seperti orang mencumbu. Rusa betina
inipun in-dah dan rusa inipun senang dicumbu. Mendadak wajah anak itu berobahmerah. Ia
tahu apa arti-nya ketika rusa jantan itu mengangkat tubuh de-pannya di belakang rusa betina.
Rasa jengah membuat Hong Bwee tiba-tiba menjadi marah. Ia tidak memperdulikan keadaan
dua ekor rusa itu dan membidikkan anak panahnya ke arah leher rusa jantan yang nampak
menjulang tinggi.
"Wuuuutt.... singggg.... ceppp!"
Rusa jantan mengeluarkan pekik yang nyaring dan panjang, tubuhnya meloncat turun dan
dalam sekejap mata saja, semua rusa terkejut dan ber-lompatan melarikan diri dari tempat itu.
Pekik rusa jantan yang agaknya menjadi pemimpin ge-rombolan ihi tentu merupakan pekik
peringatan bagi mereka. Rusa betina yang dicumbu tadipun sudah menghilang. Rusa jantan
yang terkena anak panah di lehernya itu terhuyung, akan tetapi segera meloncat dan melarikan
diri naik ke bukit.
Sejenak dua orang pengawal wanita itu tertegun. Mereka terkejut dan khawatir sekali ketika
melihat kenyataan bahwa nona mereka telah menyerang rusa jantang yang sedang bermain
cinta dengan rusa betina. Nona mereka ternyata telah melakukan dua macam kesalahan.
Kesalahan per-tama adalah pelanggaran kepercayaan tradisionil di antara para pemburu, yaitu
menyerang rusa yang sedang berkasih-kasihan. Dan kesalahan ke dua adalah menyerang rusa
pemimpin kelompok dengan anak panah sekecil itu.
Orang-orang Bhutan mengenal dongeng yang berasal dari India tentang raja yang telah
mema-nah dan melukai seekor rusa jantan yang sedang berkasih-kasihan dengan betinanya.
Rusa jantan itu dalam keadaan sekarat menyumpahi si raja yang telah mengganggu mereka
yang sedang ber-main asmara, yaitu bahwa kalau raja itu berani mendekati dan bermain cinta
dengan isteri-isterinya, dia akan kena kutuk dan tewas. Raja ini agaknya memandang rendah
kutuk yang dilontar-kan oleh rusa itu. Setibanya di rumah, dia disambut oleh isteri-isterinya
yang cantik. Dia lupa akan kutuk itu dan bermain cinta dengan mereka. Dia-pun kena kutuk
dan roboh tewas. Dongeng ini menjadi peringatan bagi para pemburu di Bhutan agar tidak
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
278 sekali-kali mengganggu rusa atau bi-natang lain yang sedang bermain asmara, dari bu-rung
sampai binatang buruan lain yang besar-besar. Dan sekarang, Hong Bwee telah melanggar
pantangan itu! Dan kesalahan ke dua adalah ke-salahan yang bodoh. Seekor rusa jantan sekuat
itu mana dapat dirobohkan oleh sebatang anak panah, walaupun bidikannya tepat mengenai
leher" Ka-lau tepat menembus jantung, barulah rusa itu akan roboh seketika.
Akan tetapi pada saat itu, Hong Bwee sudah meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan
mengejar rusa yang sudah terluka dan kabur naik ke bukit yang penuh hutan lebat itu.
"Nona, jangan kejar....!" teriak mereka, akan tetapi melihat anak itu sama sekali tidak perduli
dan terus lari memasuki hutan, terpaksa mereka-pun mengejar secepat mungkin.
Ketika akhirnya kedua orang pengawal itu da-pat menyusul Hong Bwee, tiba-tiba mereka
meng-hentikan langkah dan memandang terbelalak ke depan. Rusa merupakan binatang yang
dapat ber-lari paling cepat. Larinya sambil berlompatan tinggi sehingga sukarlah bagi Hong
Bwee untuk dapat menyusulnya. Ketika anak ini berlari sam-bil berloncatan memasuki hutan,
ia kehilangan jejak rusa itu dan tiba-tiba saja ia sudah berha-dapan dengan seekor biruang
hitam betina yang amat besar, yang berada di situ bersama seekor bi-ruang hitam kecil,
anaknya yang baru sebesar an-jing. Binatang itu nampaknya juga kaget ketika tiba-tiba
bertemu dengan Hong Bwee. Kini Hong Bwee sudah menarik busurnya dan membidikkan
anak panah yang sudah siap itu ke arah si biruang kecil. Wajah anak ini berseri-seri, sepasang
ma-tanya bersinar-sinar. Ia berhadapan dengan biruang dan memperoleh kesempatan
merobohkan se-ekor biruang! Hanya kegembiraan ini sajalah yang memenuhi pikirannya pada
saat itu, yang membuat ia lupa akan bahaya yang mungkin mengancamnya.
"Prattt.... wirrrr.... ceppp....!" Anak pauah itu menyambar dan anak biruang itupun roboh
terguling, menguik-nguik dan bergulingan di atas tanah. Pada saat itulah kedua orang
penga-wal itu datang dan mereka terbelalak berdiri di belakang Hong Bwee, wajah mereka
pucat dan khawatir sekali.
Kekhawatiran mereka itu segera terbukti. Bi-ruang betina itu mengeluarkan gerengan dahsyat
yang seolah-olah menggetarkan bumi, lalu me-nerjang ke depan. Sejak tadi Hong Bwee yang
gembira melihat betapa anak panahnya berhasil merobohkan anak biruang kecil, sudah
memper-siapkan anak panah lagi. Kini, melihat biruang besar lari maju, dengan tabah iapun
lalu menyambut dengan lepasan anak panahnya. Anak panah itu meluncur dan menyambar ke
arah biruang be-tina. Akan tetapi ketika anak panah itu mengenai pundak biruang itu, anak
panah meleset dan ha-nya mendatangkan luka kecil saja. Kulit biruang itu dilindungi bulu
yang kuat! Dua orang penga-wal juga cepat melepaskan anak panah mereka, akan tetapi
biruang itu tiba-tiba berdiri di atas kedua kaki belakangnya dan kini dua kaki depannya
digerak-gerakkan ke depan, menyampok run-tuh anak panah yang menyambar, kemudian
dia-pun menyerang dan menubruk ke depan.
"Nona, cepat lari....!" teriak seorang penga-wal sambil menarik lengan Hong Bwee ke
bela-kang. Dua orang pengawal itu mencabut pedang mereka dan menyambut serangan
biruang itu de-ngan pedang di tangan.
Akan tetapi biruang itu sungguh kuat luar bi-asa. Dia berani menyambut dan menangkis
pe-dang dengan kedua lengan telanjang. Lengannya dilindungj bulu yang kuat dan pedang-
pedang ta-jam itu hanya mampu melukai sedikit saja. Se-baliknya, begitu kedua tangannya
menyambar dan menangkis, dua batang pedang itu terlempar dan terlepas dari tangan dua
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
279 orang wanita pengawal itu. Biruang itu menerjang terus dan tamparan-tamparan kedua
tangannya tak dapat dihindarkan oleh wanita-wanita pengawal itu yang mencoba untuk
menangkis. Akan tetapi, begitu lengan me-reka bertemu dengan tangan bercakar itu,
terde-ngar bunyi tulang patah dan tubuh mereka terbanting keras ke kanan kiri, membuat
mereka tak dapat bangkit kembali dan hanya mengeluh kesakitan sambil memandang dengan
muka pucat dan mata terbelalak ketika melihat binatang yang sudah menjadi semakin buas
karena kemarahan itu me-nerjang ke arah Hong Bwee.Akan tetapi anak inipun bukan
sembarangan bocah. Biarpun ia hanya merupakan seorang anak perempuan yang usianya
belum genap sepuluh ta-hun, namun ia sejak kecil telah mengalami gem-blengan lahir batin
oleh ayahnya yang sakti se-hingga biarpun ia melihat dua orang pengawal-nya sudah roboh
dan kini biruang itu menyerangnya, ia masih dapat bersikap tenang dan tidak gu-gup sama
sekali. Dengan sigapnya Hong Bwee meloncat ke kiri, jauh dari jangkauan cakar itu sambil
melolos pedangnya. Ia tahu bahwa menye-rang biruang itu sama dengan mencari celaka
ka-rena biruang itu amat kuat dan ia tidak mau me-lakukan kesalahan yang sama seperti yang
dilaku-kan oleh dua orang pengawalnya tadi. Mereka itu mudah celaka dan roboh karena
kesalahan sen-diri berani menyerang lawan yang demikian kuat-nya. Kini Bwee Hong tidak
mau menyerang, ha-nya menanti dengan pedang di tangan dan was-pada terhadap keadaan di
sekitarnya. Ia mundur sampai di depan sebatang pohon, sedapat mung-kin ia hendak
memancing agar binatang itu men-jauhi dua orang pengawalnya yang sudah terluka. Karena
kalau binatang itu kini menyerang mere-ka, tentu mereka akan tewas dalam keadaan
me-ngerikan, mungkin akan dicabik-cabik oleh bi-natang yang sedang marah itu.
Karena tubrukannya yang pertama tidak berhasil, biruang itu mengeluarkan gerengan dahsyat
saking marahnya. Agaknya, naluri yang peka dari binatang itu membuat ia tahu siapa yang
mem-bunuh anaknya dan kini diserangnya Hong Bwee dengan kemarahan memuncak. Anak
itu yang ber-diri di depan sebatang pohon, kembali mengelak dengan loncatan ke kiri sambil
mengelebatkan pe-dangnya, menusuk ke arah muka biruang itu.
"Braaakkk....!" Pohon itu tumbang dilan-da tubuh biruang yang menubruk sekuat tenaga tadi.
Dilemparkannya pohon itu dan dia membalik. Hong Bwee sudah siap dengan busurnya.
Ketika biruang itu membalik, anak itu melepas tiga ba-tang anak panah berturut-turut dan tiga
batang anak panah itu bertubi-tubi menyambar ke arah mata biruang! Biruang itu menggerak-
ge-rakkan kedua tangannya, berusaha menangkap anak panah, akan tetapi dia hanya berhasil
me-runtuhkan dua batang sedangkan yang sebatang lagi menyerempet tepi matanya dan
menimbulkan luka yang cukup membuat sebelah matanya perih dan tidak dapat dibuka lagi.
Tentu saja dia men-jadi semakin marah. Diserangnya Hong Bwee ber-tubi-tubi. Anak itu
meloncat ke sana-sini dan pada saat ia kehabisan tempat untuk mengelak, ia menangkis
dengan pedangnya.
"Trakkk!" Pedang itu terlempar jauh dan tu-buh Hong Bwee terguling. Pada saat itu biruang
yang sudah marah menubruk ke depan. Anak itu hanya terbelalak, maklum bahwa ia tidak
akan mampu menyelamatkan diri lagi. Pada saat yang amat berbahaya bagi Hong Bwee,
nampak seso-sok tubuh kecil menyambar ke depan dan dua bu-ah kaki meluncur cepat
menghantam dada biruang yang berdiri di atas kedua kaki belakang dan hen-dak menubruk
Hong Bwee. "Bukkkk....!" Tendangan yang merupakan tendangan terbang itu tepat mengenai dada
biru-ang. Binatang itu tidak terjengkang, akan tetapi terhuyung ke belakang dan sebaliknya
anak laki-laki yang melakukan tendangan luar biasa itu ter-pental dan hanya dengan
berjungkir balik dia mampu menghindarkan dirinya terbanting. Bagaimanapun juga, dia telah
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
280 berhasil menyelamat-kan Hong Bwee karena anak perempuan ini dapat memperoleh
kesempatan untuk bangkit berdiri dan menjauh.
Anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun le-bih itu adalah Suma Ceng Liong. Sejak tadi dia
datang bersama Hek-i Mo-ong Phang Kui dan keduanya melihat dengan jelas betapa seorang
anak perempuan dengan gagah beraninya melaku-kan perlawanan terhadap amukan seekor
biruang betina yang besar. Bahkan dengan anak panah-nya, anak perempuan itu sempat
melukai tepi ma-ta binatang itu, padahal dua orang wanita penga-walnya telah terluka dan
tidak berdaya memban-tunya. Ceng Liong memandang kagum bukan ma-in dan Hek-i Mo-
ong juga menonton sambil ter-senyum, sedikitpun tidak mempunyai keinginan membantu
anak perempuan kecil yang sedang di-ancam oleh biruang buas. Bahkan diam-diam ada rasa
tegang yang amat menggembirakan hatinya, ketegangan mendebarkan yang hanya dapat
dira-sakan oleh seorang kejam seperti dia membayang-kan betapa tubuh anak perempuan
yang lunak lembut itu nanti akan dicabik-cabik oleh tangan binatang buas yang amat kuat itu.
Akan tetapi, ketika melihat anak perempuan itu roboh dan terancam bahaya maut, bangkitlah
ji-wa kependekaran di dalam hati Ceng Liong dan tanpa memperdulikan gurunya yang diam
saja, dia sudah meloncat ke depan dan menendang dada binatang itu untuk menyelamatkan
Hong Bwee. Pada saat itu terdengar suara berdengung. Itu-lah suara terompet tanduk rusa yang ditiup
orang. Mendengar ini, Hong Bwee memasang kedua ta-ngan di depan mulut, membentuk
corong lalu me-ngeluarkan pekik melengking. Tak lama kemu-dian berkelebat datang seorang
laki-laki yang ga-gah perkasa. Dengan pandang matanya yang mencorong tajam, pria ini
memandang ke arah Hong Bwee, kemudian Ceng Liong dan akhirnya ke arah kakek
berpakaian petani serba hitam itu.
"Ayah, biruang itu berbahaya sekali!" teriak Hong Bwee yang menjadi girang melihat
ayahnya datang.
Sementara itu, biruang yang marah itu kini su-dah menggereng. Tadi agaknya dia bingung
dan ragu, mana yang harus diserangnya, anak perempuan itu ataukah anak laki-laki yang baru
saja membuat dadanya terasa sesak dan nyeri itu. Akan tetapi sebelum dia bergerak, Wan Tek
Hoat, ayah Hong Bwee, sudah mendahuluinya, menyerangnya dua kali dengan sambaran
kedua tangan. Gerakan Wan Tek Hoat cepat sekali. Biruang itu terlalu lamban untuk dapat
mengelak atau sempat menangkis, dan tahu-tahu secara beruntun, kedua telapak tangan Tek
Hoat telah menyambar dan tepat mengenai dada, kemudian kepalanya.
"Plakk! Plakk!"
Nampaknya hanya tamparan biasa saja yang mengenai dada dan kepala biruang itu, akan
teta-pi akibatnya sungguh hebat. Biruang itu meraung dan sempoyongan, mencoba untuk
meloncat ke de-pan membalas serangan, akan tetapi dia terpelan-ting, roboh dan berkelojotan
lalu mati! Melihat ini, diam-diam Hek-i Mo-ong Phang Kui terkejut bukan main. Sebagai seorang datuk
kaum sesat, tentu saja dia mengenal pukulan sakti yang amat ampuh. Dapat merobohkan
biruang se-besar itu hanya dengan dua kali tamparan meru-pakan bukti bahwa dia berhadapan
dengan seo-rang ahli yang amat tangguh. Apalagi ketika dia melirik dan melihat betapa di
dada dan kepala biruang yang penuh bulu itu nampak tanda telapak jari tangan dan di bagian
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
281 itu, bulu-bulunya ron-tok seperti terbakar dan tanda telapak jari tangan itu nampak nyata.
Maka diapun segera dapat menduga siapa adanya laki-laki berusia kurang dari lima puluh
tahun yang gagah perkasa ini. Bukankah di Bhutan, seperti telah didengarnya, ter-dapat
seorang Han yang kini menjadi pangeran, suami Puteri Syanti Dewi bernama Wan Tek Hoat
yang pernah dijuluki Si Jari Maut" Agaknya ini-lah orangnya, pikirnya dengan gembira
sekali. Pertemuan yang sungguh amat menguntungkan dia!
"Ayah....! Kau hebat....!" Hong Bwee meloncat menghampiri biruang yang mati itu dan
memandang kepada ayahnya dengan wajah ber-seri.
"Hong Bwee, engkau terluka....!" kata Tek Hoat sambil meraih puterinya. Ternyata anak
pe-remnpuan itu terluka di dekat pundaknya, di pang-kal lengan kanan. Luka ini terjadi ketika
pedang-nya tertangkis dan pedang yang mencelat itu sempat melukai pundaknya sendiri.
Untung ia cepat melepaskan pedang dan menarik lengannya se-hingga lengannya tidak
sampai patah-patah tu-langnya bertemu dengan tangan biruang.
"Ayah, anak laki-laki itulah yang tadi menyelamatkan aku dari terkaman biruang." kata Hong
Bwee yang agaknya tidak memperdulikan luka di pundaknya.
Agaknya baru sekarang Tek Hoat teringat ke-pada anak laki-laki dan kakek itu. Dia menoleh,
memandang Ceng Lion penuh perhatian, melihat bahwa anak ini sungguh merupakan
seo-rang anak laki-laki yang memiliki sifat-sifat ke-gagahan yang membayang pada
wajahnya, pan-dang matanya dan sikapnya, kemudian dia me-mandang kepada kakek itu.
Seorang kakek yang berpakaian petani serba hitam, sederhana, namun ada sesuatu yang
membuat Tek Hoat menduga bahwa kakek ini pasti bukan orang sembarangan. Entah nampak
pada sinar mata yang tajam ber-wibawa itu, atau pada sikapnya yang terlampau tenang itu.
"Dua pengawalku telah roboh terluka oleh bi-ruang. Aku mempertahankan diri dengan
pedang dan anak panah, akan tetapi akupun roboh dan tentu aku sudah diterkam oleh binatang
itu kalau anak laki-laki ini tidak muncul. Dia berani me-loncat dan menendang dada biruang
dengan ke-dua kaki! Gaya terjangannya itu indah dan hebat sekali, ayah!" Hong Bwee
memang luar biasa. Tadi dalam keadaan terancam bahaya maut me-ngerikan, ternyata ia
masih sempat memperhatikan gaya terjangan Ceng Liong ketika anak laki-laki itu menyerang
biruang. Mendengar penuturan puterinya, Tek Hoat segera menjura kepada kakek berpakaian petani
hitam itu. Dia tahu bahwa di Himalaya berkeli-aran banyak sekali pertapa-pertapa dan orang-
orang tua yang sakti, maka diapun dapat menduga bahwa tentu kakek ini seorang yang sakti
pula bersama muridnya.
"Kami menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan locianpwe dan adik kecil ini
atas bantuan yang diberikan sehingga anak perempuan kami terhindar dari malapetaka."
Hek-i Mo-ong cepat membalas penghormat-an itu. "Aih, taihiap sungguh membuat saya
ma-lu dengan sebutan locianpwe! Taihiap yang de-mikian perkasa, dapat membunuh biruang
buas hanya dengan tangan kosong, sungguh amat me-ngagumkan dan belum pernah saya
melihat kega-gahan seperti itu. Saya hanyalah seorang tukang obat dan tukang sulap murahan
saja, merasa men-dapat kehormatan besar sekali dapat bertemu de-ngan taihiap. Perkenalkan,
saya adalah Phang Kui atau biasa disebut Phang-sinshe. Saya melihat nona kecil yang gagah
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
282 perkasa ini terluka pun-daknya, dan juga dua orang nona itu luka-luka dan patah tulang
lengannya. Kalau boleh, biarlah saya mengobati mereka."
Tentu saja Tek Hoat mengangguk memboleh-kan dengan hati girang. Ketika dia bersama
para pembuni mencari-cari anak perempuannya, dia tidak membawa perlengkapan obat.
Phang-sin-she tanpa membuang waktu lagi cepat turun ta-ngan. Mula-mula dia memeriksa
dan mengobati luka di pundak Hong Bwee. Setelah diobati, ba-rulah anak perempuan ini
merasakan keperihan lukanya, akan tetapi ia tidak pernah mengeluh, hanya menggigit
bibirnya, membuat Ceng Liong menjadi semakin kagum saja. Setelah itu Phang-sinshe lalu
mengobati dua orang wanita pengawal itu dan sebagai seorang ahli silat yang pandai, Tek
Hoat dapat melihat bahwa kakek ini memang ah-li dalam hal pengobatan dan menyambung
tulang patah. Maka diapun merasa semakin girang.
Pada waktu itu, selosin pemburu yang kesemua-nya terdiri dari pengawal-pengawal istana,
sudah tiba di situ, membawa kuda yang besar-besar. Tek Hoat bercakap-cakap dengan Phang-
sinshe yang menceritakan bahwa dia memang mempu-nyai kesenangan merantau dan
sekarang sedang merantau ke daerah Himalaya.
"Saya mendengar bahwa Himalaya merupakan daerah yang penuh dengan ahli-ahli yang
memi-liki kepandaian tinggi, maka saya ingin meluaskan pengetahuan saya dalam ilmu
pengobatan. Tan-pa saya sadari, saya memasuki daerah Bhutan."
"Apakah anak itu murid sinshe?" tanya Tek Hoat sambil menunjuk kepada Ceng Liong yang


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bercakap-cakap dengan Hong Bwee tak jauh dari situ.
"Benar, namanya Ceng Liong dan dia itu da-pat dikata murid atau juga pembantu saya."
"Namaku Wan Tek Hoat dan aku tinggal di Kota Raja Bhutan...."
Kakek itu memperlihatkan muka terkejut dan sambil terbongkok-bongkok memberi hormat
dia berkata, "Ahhh.... saya sudah pernah mende-ngar bahwa di Bhutan terdapat seorang
pangeran yang berasal dari Bangsa Han, seorang yang memiliki ilmu silat amat tinggi dan
menjadi suami dari puteri mahkota Bhutan.... apakah.... apakah.... taihiap orangnya....?"
Tek Hoat tersenyum. Tidak mengherankan ka-lau kakek ini dalam perantauannya di
Himalaya mendengar tentang dirinya. Pernikahannya dengan Syanti Dewi memang pernah
menghebohkan dae-rah itu. Dia mengangguk. "Tidak salah, Phang-sinshe. Aku adalah
pangeran itu, dan ia itu adalah anakku, puteri tunggal kami yang bernama Wan Hong Bwee
atau juga Puteri Gangga Dewi."
"Ah, kalau begitu harap maafkan bahwa saya bersikap kurang hormat," Phang-sinshe segera
memberi hormat, akan tetapi Tek Hoat membalasnya.
"Harap jangan terlalu sungkan, Phang-sinshe. Muridmu telah menyelamatkan puteriku, dan
eng-kau sudah mengobati puteriku dan dua orang pengawalnya. Kalau engkau suka, kami
persilah-kan engkau dan muridmu untuk ikut kami ke is-tana menjadi tamu kehormatan
kami." Pucuk dicinta ulam tiba! Memang kedatangan Phang-sinshe ke Bhutan adalah untuk
melakukan penyelidikan dan untuk mempengaruhi negara kecil itu. Dia sedang mencari jalan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
283 bagaimana untuk dapat memasuki kerajaan itu tanpa menimbulkan kecurigaan dan bagaimana
dia dapat menghubungi kalangan atas di negara itu dan kini, tanpa dise-ngaja, muridnya telah
menolong puteri pendekar sakti Wan Tek Hoat yang memiliki penga-ruh dan wibawa besar di
istana sebagai keluarga istana. Dan kini, pendekar itu mengundang dia dan muridnya untuk
menjadi tamu agung di ista-na!
"Terima kasih, Wan-taihiap, terima kasih!" katanya berulang-ulang sambil memberi hormat.
"Sejak lama saya mendengar tentang keindahan Negara Bhutan dan sudah lama saya ingin
menyak-sikannya dengan mata kepala sendiri. Sekarang taihiap mengundang saya berkunjung
ke sana, ten-tu saja saya merasa girang dan berterima kasih se-kali!"
Ketika Hong Bwee mendengar bahwa Ceng Liong dan gurunya menerima undangan ayahnya
untuk berkunjung ke istana, anak ini menjadi gi-rang sekali dan bersorak. Ia tadi telah
bercakap-cakap dan berkenalan dengan Ceng Liong. Kini ia menarik tangan anak laki-laki itu.
"Mari Ceng Liong, mari kita berangkat lebih dulu! Ayah, kami ingin menunggang Si Putih!"
Tek Hoat hanya tertawa karena sebelum dia men-jawab, puterinya itu telah mengajak Ceng
Liong meloncat ke atas punggung kuda putih miliknya yang merupakan kuda pilihan paling
besar di Bhutan. Dengan cekatan Hong Bwee meloncat ke atas punggung kuda, lalu
menggapai Ceng Liong untuk meloncat di belakangnya. Bagaima-napun juga, Ceng Liong
adalah seorang anak yang baru berusia hampir sebelas tahun, maka melihat betapa Hong
Bwee memperlihatkan kesigapannya, diapun tidak mau kalah. Dengan mengenjotkan kakinya
ke tanah, tubuhnya melayang ke atas dan dengan lunaknya dia dapat duduk tepat di belakang
anak perempuan itu. Gerakannya memang ringan dan indah sehingga diam-diam Tek Hoat
memuji. Juga pendekar ini suka sekali melihat be-tapa anak laki-laki itu duduknya agak
menjauh dari tubuh Hong Bwee, tidak mau menyentuh atau mepet dan ini hanya dapat
diartikan bahwa anak laki-laki itu mempunyai kesopanan tinggi. Meli-hat Ceng Liong telah
duduk di belakangnya, Hong Bwee membalapkan kudanya dan kembali Tek Hoat kagum
melihat betapa tubuh anak laki-laki itu, tanpa berpegangan, dapat duduk tegak di atas
punggung kuda agak di bagian belakang yang me-lengkung.
Seekor kuda diserahkan kepada Phang-sinshe dan rambongan itu lalu berangkat
meninggalkan bukit menuju ke Kota Raja Bhutan. Rombongan itu di sepanjang jalan, setelah
melewati dusun-dusun, disambut oleh para penduduk dengan gembira. Pendekar Wan Tek
Hoat yang dikenal seba-gai pangeran yang dihormati itu memang dikenal baik oleh penduduk.
Apalagi melihat betapa rombongan pengawal membawa hasil buruan berupa seekor biruang
hitam besar dan anaknya, rakyat menyambut sambil mengeluarkan pujian. Diam-diam Phang
Kui memperhatikan hal ini dan tahu-lah dia bahwa Wan Tek Hoat merupakan tokoh penting
dan dicinta oleh rakyat Bhutan.
Ketika rombongan sudah tiba di istana, kakek itupun mengagumi keindahan istana tua itu.
Sua-sananya tertib dan tenteram, dan wajah-wajah yang dijumpainya di kota raja, dari jalan-
jalan raya sampai ke para petugas istana, nampak gem-bira, tanda bahwa negara itu dapat
dikatakan cu-kup makmur. Wan Tek Hoat memang tinggal di lingkungan istana, di bagian
bangunan sebelah ka-nan. Pendekar ini langsung mengajak Phang-shinshe untuk memasuki
gedungnya dan di ruangan dalam mereka berdua melihat betapa dengan la-gak yang lincah
jenaka, Hong Bwee sedang ber-cerita kepada ibunya tentang semua pengalaman-nya yang
hebat dan Ceng Liong berada pula di si-tu, duduk di atas sebuah kursi dengan sikap canggung
di depan ibu anak perempuan itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
284 Diam-diam Phang-sinshe memperhatikan wa-nita yang diajak bicara oleh Hong Bwee dan
ka-gumlah dia. Wanita itu sukar ditaksir usianya. Melihat kecantikan wajahnya dan kepadatan
tubuhnya, tentu berusia sekitar tiga puluhan. Akan tetapi, dia sudah mendengar akan puteri
mahkota Bhutan ini hampir tiga puluh tahun yang lalu ketika puteri ini dengan perantauannya
ke timur terlibat dengan urusan-urusan penting di dunia kang-ouw. Menurut taksirannya
berdasarkan hal itu, puteri itu tentu usianya sudah empat puluh ta-hun lebih, akan tetapi
kenyataannya, puteri ini se-demikian cantiknya sehingga nampak belasan ta-hun lebih muda.
Memang sesungguhnya, Syanti Dewi pada waktu itu telah berusia empat puluh enam tahun!
Memang, setelah ia menikah, dari gurunya, juga sahabatnya yang paling dekat dengannya,
yaitu Bu-eng-kwi (Setan Tanpa Ba-yangan) Ouw Yan Hui, ia telah menerima obat penawar
dari ramuan yang membuatnya awet muda. Seperti diceritakan dalam kisahSuling -Emas dan
Naga Siluman , Syanti Dewi pernah mendapatkan obat yang membuatnya awet muda dan
kecantikannya menjadi cemerlang! Memang ia seorang wanita yang memiliki kecantikan
yang luar biasa, akan tetapi berkat obat yang didapat-nya dari Maya Dewi, guru dalam ilmu
kecantikan dari Ouw Yan Hui, kecantikannya pada waktu itu menjadi tidak wajar. Dan setelah
ia menikah de-ngan Wan Tek Hoat, sebelumnya ia telah meneri-ma obat penawar atau
pemunah sehingga kecantikannya menjadi wajar lagi. Kini, biarpun ia sudah tidak memakai
obat pembuat awet muda, berkat kecantikannya yang memang luar biasa dan kepandaiannya
berhias, puteri ini masih nampak muda sekali.
Dengan ramah Tek Hoat lalu memperkenalkan tamunya kepada Syanti Dewi yang segera
mengu-capkan selamat datang dan juga terima kasih ke-pada kakek itu. Kemudian Phang-
sinshe dan Ceng Liong dipersilahkan menempati sebuah ka-mar dalam lingkungan istana itu
sebagai tamu agung atau tamu yang dihormati.
Sebagai seorang tuan rumah yang baik dan yang berterima kasih, ketika tamunya menyatakan
keinginannya untuk menghadap raja dan berkenal-an dengan para pejabat tinggi, Tek Hoat
lalu mengajaknya menghadap Raja Badur Syah, juga berkenalan dengan para pejabat tinggi,
para men-teri dan panglima di Bhutan. Maka dikenallah nama Sinshe Phang Kui sebagai
seorang ahli peng-obatan dan sulap yang selain pandai, juga yang menjadi sahabat baik dan
tamu terhormat dari ke-luarga Pangeran Wan Tek Hoat.
Berkat "nasib" baik ditambah dengan kecerdik-annya, akhirnya Phang-sinshe berhasil
menghu-bungi para pembesar yang mempunyai ambisi be-sar, berkenalan pula dengan para
pejabat yang be-nar-benar setia dan jujur, bahkan pada suatu ha-ri, setelah sepekan dia berada
di Bhutan, dia ber-temu dengan seorang perwira muda yang bertubuh tinggi besar, berdarah
bangsawan atau pendeta sedang duduk di kamarnya ketika pengawal melaporkan bahwa ada
seorang perwira muda mohon untuk bertemu.
Memang pada waktu itu, banyak juga para pejabat tinggi dan sedang minta pertolongan
sinshe itu untuk menyembuhkan suatu penyakit, maka kunjungan perwira muda tinggi besar
inipun dite-rima dengan ramah oleh Phang-sinshe. Tamu itu dipersilahkan duduk dan mereka
duduk berhadap-an terhalang meja.
"Maafkan kalau saya mengganggu. Phang-sin-she yang mulia. Saya bernama Brahmani dan
sa-ya ingin minta pertolongan sinshe yang pandai."
Diam-diam Phang-sinshe mengamati tamu-nya. Seorang muda raksasa yang bertubuh kuat
dan sehat, sedikitpun tidak menunjukkan adanya gejala atau gangguan penyakit. Akan tetapi
dia pura-pura tidak tahu dan bertanya, "Ciangkun menderita penyakit apakah?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
285 Brahmani tersenyum. "Saya ingin minta bantu-an dalam hal lain, bukan untuk mengobati
penya-kit."
"Bantuan dalam hal lain" Apakah itu" Ciang-kun membingungkan saya." Phang-sinshe
me-mandang tajam penuh selidik. Orang ini nampak-nya cerdik sekali, dia harus waspada
agar rahasia-nya jangan sampai terbuka.
"Saya mendengar bahwa sinshe adalah seorang yang banyak merantau dan sudah
berpengalaman, dan sebelum tiba di Bhutan tentu sudah menjela-jahi daerah-daerah utara dan
timur. Tentu saja sinshe sudah banyak mengenal orang-orang pan-dai, bukan?"
Karena belum mengerti ke mana arah tujuan percakapan itu, Phang Kui hanya mengangguk
dan terus memasang sikap mendengarkan dan tutup mulut.
"Begini, Phang-sinshe, saya ingin sekali mengetahui apakah sinshe mengenal seorang tokoh
besar yang bernama...." Perwira itu celingukan dan setelah merasa yakin bahwa di situ tidak
terdapat orang lain, melanjutkan, "Hek-i Mo--ong?"
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati ka-kek itu mendengar nama julukannya yang
diraha-siakan itu disebut! Dia menatap tajam untuk be-berapa lamanya, tanpa ada perobahan
sedikitpun pada air mukanya dan diapun bertanya perlahan-lahan, "Aku memang banyak
merantau dan banyak mengenal orang. Akan tetapi sebelum aku menja-wab pertanyaanmu
tadi, aku ingin tahu ada hubungan apakah ciangkun dengan dia" Apakah ciangkun temannya
ataukah musuhnya?" Berkata demikian, diam-diam Hek-i Mo-ong alias Phang-sinshe telah
mempersiapkan diri. Kalau perlu un-tuk menjaga rahasianya, dia akan membunuh orang ini.
Kalau dia turun tangan, menggunakan serang-an maut yang cepat, siapa yang akan melihat
atau mengetahuinya"
Brahmani juga bersikap hati-hati sekali, akan tetapi karena dia sudah memperoleh keterangan
dari atasannya tentang kakek ini, dia bersikap te-nang dan sambil tersenyum diapun berkata,
"Sin-she, harap jangan menaruh curiga. Ketahuilah bahwa aku mendengar tentang dia dari
saudara Siwananda dan dari beliau itulah saya mengeta-hui akan kedatangan sinshe di Bhutan
ini." Phang-sinshe mengangguk-angguk. "Hemm, apa buktinya?"
Brahmani lalu menggambarkan tentang perte-muan puncak antara Hek-i Mo-ong, Thai Hong
Lama, Pek-bin Tok-ong, yang menghadap Gu-bernur Yong Ki Pok dan dapat menceritakan
ja-lannya pertemuan itu, apa yang dirundingkan dan akhirnya berkata, "Akupun mendengar
dari atas-anku bahwa sinshe akan datang ke Bhutan dan aku sudah siap-siap untuk melakukan
hubungan dengan sinshe. Akan tetapi melihat betapa sinshe selalu amat akrab dengan
Pangeran Wan Tek Hoat dan para sahabatnya, aku menjadi takut dan ra-gu-ragu, sehingga
baru sekarang berani mende-kati sinshe."
Kini Hek-i Mo-ong tidak ragu-ragu lagi. Ki-ranya Brahmani ini adalah anak buah Siwananda,
Koksu Nepal itu. Tentu perwira muda ini seorang mata-mata Nepal yang berhasil
menyelundup bahkan menduduki pangkat perwira di Bhutan! Dia merasa girang sekali dan
mereka lalu berca-kap-cakap dengan baik. Dari Brahmani, Phang-sinshe memperoleh
keterangan dan gambaran ten-tang keadaan di Bhutan yang terjadi secara raha-sia. Yaitu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
286 tentang pangeran-pangeran dan menteri-menteri yang merasa tidak puas dengan ke-kuasaan
Raja Badur Syah, para pejabat tinggi yang berambisi dan yang telah menjadi sekutu rahasia
dari Nepal! Bahkan sudah ada panglima-pangli-ma yang terpengaruh dan mereka ini sudah
makan suap yang besar dari Nepal, sudah berjanji bahwa kalau saatnya tiba, mereka akan
menggerakkan pasukannya yang berada di bawah bimbingan me-reka untuk membantu
Nepal! Tentu saja hati Phang-sinshe menjadi girang bukan main. "Kalau persiapannya sudah begitu
masak, kenapa tidak cepat-cepat dilaksanakan" Bukankah kalau Bhutan sudah jatuh,
penyerbuan ke Tibet menjadi lebih sederhana dan mudah?" tanyanya.
Brahmani menarik napas panjang. "Ada dua hal yang penting sehingga persiapan kami
tertun-da-tunda. Pertama dengan adanya Pangeran Wan Tek Hoat yang amat ditaati dan
dicinta rakyat dan bahkan pasukan-pasukan Bhutan, membuat penyerbuan atau
pemberontakan tidaklah semudah itu. Dengan adanya dia, bahkan pasukan-pasukan para
panglima yang sudah menjadi sahabat kita itupun akan enggan melakukan perlawanan
ter-hadap pendekar itu. Dan ke dua, kami menanti perintah dari koksu kami. Kami menerima
perin-tah untuk menghubungi, sinshe karena satu-satu-nya cara untuk melemahkan pimpinan
Bhutan adalah kalau Pangeran Wan Tek Hoat dienyahkan da-ri sini."
Mereka lalu kasak-kusuk mengatur siasat ba-gaimana sebaiknya untuk melumpuhkan Raja
Ba-dur Syah dan para pembantunya agar Bhutan de-ngan mudah dapat diduduki oleh pasukan
Nepal untuk maksud penyeberangan mereka ke Tibet dan ke timur.
*** "Ceng Liong, mari kita berlumba menangkap kelinci itu!" Hong Bwee berteriak samhil
melom-pat ke depan ketika ia melihat seekor kelinci lari menyusup ke dalam semak-semak.
Melihat kelin-cahan anak perempuan itu, Ceng Liong tersenyum. Usianya sendiri baru sebelas
tahun, akan tetapi dia merasa seperti sudah dewasa ketika berhadapan dengan Hong Bwee
yang lincah jenaka. Kini, me-lihat keriangan anak itu, timbul kegembiraannya dan dia lupa
bahwa dia seharusnya bersikap de-wasa dan "matang" di depan gadis cilik ini.
"Baik, yang kalah nanti mendapat ekornya sa-ja!" diapun berseru dan mengejar. Karena
kelinci itu menyusup ke dalam semak-semak berduri, mereka tidak berani menyusul dan
hanya meng-gebrak dari luar semak-semak. Kelinci itu me-loncat dan lari, dikejar oleh
mereka berdua sam-bil tertawa-tawa. Akan tetapi ternyata kelinci itu gesit sekali, kalau saja
berlari terus di tempat ter-buka tentu sudah tertangkap. Akan tetapi tidak, binatang ini
menyusup-nyusup ke dalam semak-semak belukar sehingga sukar sekali ditangkap.
Lebih dari dua jam mereka mengejar-ngejar tanpa hasil, sampai napas Hong Bwee terengah-
engah dan keringatnya membasahi leher baju. Kea-daannya sama dengan kelinci itu yang
setiap kali berhasil menyusup ke dalam semak-semak dan bersembunyi, napasnya megap-
megap hampir putus dan seluruh tubuhnya menggigil. Ceng Liong menjadi gemas karena
merasa kasihan ke-pada gadis cilik yang kelelahan itu. Diambilnya dua potong batu dan
dengan sebuah batu dia me-nyambit ke tengah semak-semak belukar di mana kelinci itu
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
287 bersembunyi. Kelinci itu meloncat ke-luar, dekat sekali dengan Hong Bwee yang segera
berseru girang dan menubruknya. Akan tetapi, kelinci mengelak dan anak itu terpeleset, jatuh
terpelanting. "Aduhhh....!"
Berbareng dengan sambatnya anak itu, kelinci yang lari tadi tiba-tibapun terpelanting dan
diam tak bergerak, kepalanya retak oleh batu yang dilontarkan Ceng Liong karena marah
melihat Hong Bwee terjatuh tadi.
"Engkau tidak apa-apa?" Ceng Liong mem-bantu gadis itu bangkit. Hong Bwee menggeleng
kepala. Hanya bajunya yang agak kotor terkena bagian tanah basah dan juga lengan dekat siku
ter-luka oleh batu.
"Aku sudah menangkapnya untukmu!" kata Ceng Liong menuding ke depan.
Hong Bwee memandang dan terbelalak, lalu la-ri menghampiri bangkai binatang itu.
Diangkatnya bangkai itu dan didekapnya, dan gadis itu mem-balikkan tubuhnya, memandang
kepada Ceng Liong dengan mata basah sambil mencela.
"Ceng Liong, engkau kejam!" Lalu diusapnya bulu kelinci itu. "Kelinci yang malang, engkau
te-lah menjadi korban kekejaman orang...."
Tentu saja Ceng Liong menjadi penasaran men-dengar dirinya dituduh kejam. Dengan
langkah lebar dia menghampiri gadis itu. "Nona, kenapa engkau mengatakan aku kejam?" Di
dalam hati-nya dia mengomel. Dia sudah membantu menang-kap kelinci itu, tidak
memperoleh pujian dan teri-ma kasih, malah dimaki kejam!
"Eh, nona, kita mengejar kelinci sejak tadi dan setelah aku membantumu menangkapnya,
engkau mengatakan kejam. Bagaimana sih ini?"
Akan tetapi Hong Bwee tidak menjawab, ha-nya mengerling tajam dan mulutnya cemberut,
lalu ia berjongkok, meletakkan bangkai kelinci itu hati-hati ke atas tanah, kemudian ia
menggali lu-bang dalam tanah, menggunakan pedangnya. Se-mua ini dilakukan dengan mulut
masih bersungut-sungut dan mata masih merah menahan tangis. Melihat nona kecil itu masih
marah, Ceng Liong hanya berdiri dan memandang saja. Akhirnya ga-dis cilik itu
menghentikan pekerjaannya dan de-ngan sikap penuh khidmat ia mengubur bangkai kelinci
itu. Ceng Liong membelalakkan kedua matanya, terheran-heran. Akan tetapi dia diam saja. Baru
setelah gadis cilik itu menimbuni lubang dengan tanah setelah meletakkan bangkai itu di
dalamnya, Ceng Liong bertanya, hati-hati akan tetapi tidak luput dari nada mengejek karena
hatinya juga pa-nas melihat dia dipersalahkan dan kelinci yang dirobohkannya itu marah
dikubur! "Apakah nona hendak menyembahyanginya" Sayang, kita tidak membawa dupa...."
Hong Bwee tidak menjawab, akan tetapi ker-lingan matanya yang tajam menyambar,
membuat Ceng Liong terdiam. Dia seorang anak yang bia-sanya gembira dan jenaka, juga
nakal, akan tetapi sekarang, tiba-tiba saja dia seperti menjadi jinak oleh kerling mata gadis
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
288 cilik puteri Bhutan itu. Dan diapun makin heran, sampai terbelalak ketika me-lihat betapa
gadis itu kini berlutut di depan kuburan kelinci, lalu menyembah dan mulutnya berke-mak-
kemik seperti orang membaca doa!
Akhirnya gadis cilik itu selesai dengan "upaca-ra" sembahyang itu dan duduk di atas akar
po-hon. Mukanya yang cantik itu masih kemerahan, mulutnya masih agak cemberut walaupun
sinar matanya tidak semarah tadi. Akan tetapi pandang matanya kepada Ceng Liong hanya
melalui ker-lingan, tidak langsung.
Ceng Liong yang merasa penasaran juga du-duk di atas batu dcpan gadis cilik itu. Dia
mene-kan perasaannya agar suaranya tidak terdengar marah. "Nona, sungguh aku merasa
penasaran dan tidak mengerti sama sekali mengapa engkau ma-rah-marah kepadaku, mengapa
pula engkau me-ngubur bangkai kelinci dan bahkan berdoa di de-pan kuburannya. Apa
artinya semua ini?"
Kini Hong Bwee memandang dan alisnya ber-kerut. "Engkau kejam! Kenapa engkau


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membu-nuhnya?"
"Tapi.... bukankah engkau yang mengajak kita memburu kelinci itu, nona?"
"Memang, akan tetapi bukan untuk membunuh-nya, melainkan untuk menangkapnya. Aku
ingin memelihara dan menjinakkannya, untuk diajak bermain-main. Akan tetapi engkau telah
membu-nuhnya. Aku tadi berdoa mintakan ampun atas kekejaman dan kelancanganmu!"
Kini Ceng Liong yang terbelalak memandang gadis cilik itu. Minta ampun kepada kelinci
yang terbunuh" Apa-apaan ini"
"Tapi, nona. Bukankah nona sendiri seorang pemburu yang sudah membunuh entah berapa
banyak binatang" Ketika kita bertemu untuk per-tama kalinya, engkaupun membunuh anak
biruang, bahkan mencoba untuk membunuh induknya. Bi-natang buruan memang untuk
dibunuh!" "Membunuh dan membunuh ada banyak ma-cam dan perbedaannya! Membunuh harus ada
alasannya dan engkau membunuh tanpa alasan! Engkau tidak tahu aturannya membunuh!"
"Wah, membunuh pakai aturan?" Ceng Liong melongo dan melirik ke atas. "Nona, tolong
beritahu kepadaku bagaimana sih aturan-aturannya?" Dia merasa lucu dan geli, akan tetapi
juga heran dan ingin tahu.
"Engkau banyak merantau akan tetapi bodoh," kata gadis cilik itu bersungut-sungut. "Nah,
kau dengar baik-baik ajaran-ajaran yang kudapat dari ayah ibuku dan kaum cendekiawan di
Bhu-tan. Kalau kita terancam bahaya, untuk memper-tahankan nyawa dan keselamatan diri,
tentu saja kita harus merobohkan atau membunuh lawan yang mengancam keselamatan kita,
baik ia binatang atau manusia. Pembunuhan ini namanya bu-kan pembunuhan, melainkan
usaha bela diri dan ini benar adanya." Gadis itu berhenti sebentar memandang dan Ceng
Liong mengangguk-ang-guk tanda mengerti.
"Ada lagi pembunuhan ke dua. Kalau kita membutuhkan daging binatang misalnya, maka
sudah benarlah kalau kita membunuhnya, baik un-tuk mengenyangkan perut atau untuk
memuaskan selera. Akan tetapi ada pembunuhan ke tiga yang dipantang oleh bangsa kami,
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
289 yaitu membunuh tan-pa alasan, hanya untuk menyenangkan hati saja. Dan ini dosa besar
namanya, kekejaman yang akan mendatangkan kutuk bagi diri kita. Dan engkau tadi
membunuh kelinci tanpa dua alasan itu. Ke-linci itu bukan musuh kita, tidak mengancam
keselamatan kita, juga kita tidak membutuhkannya sebagai santapan. Engkau membunuhnya
seperti pembunuhan ke tiga tadi, kejam dan kelinci itu mati sia-sia!"
Ceng Liong terbelalak. Masuk akal juga ucap-an gadis cilik ini, bijaksana juga aturan dari
bang-sa ini. Dia sendiri sudah melihat banyak orang membunuhi binatang tanpa alasan itu,
hanya untuk kesenangan hati. Bahkan kaisar sendiri kalau ber-buru hanya untuk bersenang-
senang, hasil buru-annya tidak dimakan, dilemparkan dan dibuang begitu saja.
"Tapi, nona...." Dia membantah untuk "meringankan" dosanya. "Ketika aku merobohkannya
tadi, aku mengira bahwa engkau hendak menangkapnya dan membunuhnya, hendak makan
dagingnya."
"Benarkah itu" Hong Bwee memandang tajam. Sinar mata lembut namun tajam itu seolah-
olah berubah menjadi ujung pedang ditodongkan ke depan dadanya sehingga otomatis Ceng
Liong menarik tubuh atas ke belakang menjauh.
"Tentu saja benar."
"Kalau begitu, engkau tidak berdosa. Dan aku sudah mintakan ampun kepada kelinci itu
untuk dosamu yang kukira membunuh dengan kejam. Akan tetapi sudahlah, berdoapun baik
saja. Kalau lain kali hendak membunuh sesuatu, beritahu dulu aku, ya?" Kini wajah yang
manis itu menjadi terang dan berseri kembali, senyumnya mengembang lagi seperti matahari
baru muncul di ufuk timur setelah bumi dicekam kegelapan yang menyedihkan.
Melihat ini, Ceng Liong juga ikut bergembira dan diapun tersenyum. "Maaf, karena tidak
tahu dan salah sangka, aku telah membuatmu berduka, nona."
"Hi-hik, kalau sudah mengaku salah tentu tidak akan menolak kalau didenda atau dihukum,
bukan?" Ceng Liong mengangkat dadanya. "Tentu saja! Seorang pendekar tidak akan takut
mempertanggungjawabkan perbuatannya!"
"Nah, terlepas sekarang! Engkau seorang pendekar!"
Ceng Liong merasa telah terlanjur bicara, maka dengan tersipu-sipu berkata, "Ah, aku hanya
murid Phang-sinshe, hanya bisa mempelajari pengobatan, itupun masih dangkal, paling-paling
aku hanya bisa mengobati orang menderita penyakit kudis, dan tentang ilmu sulap, wah, ada
beberapa macam yang kupelajari."
"Bohong! Engkau tentu pandai silat. Buktinya engkau mampu melakukan perjalanan sampai
ke Bhutan, begitu jauhnya...."
"Ah, engkau hanya menduga saja, nona."
"Ceng Liong, aku bernama Hong Bwee, atau Gangga Dewi, jangan panggil nona-nola segala
macam!" Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
290 "Habis, nona adalah seorang puteri istana, bagaimana aku berani...."
"Nah, itu malah sudah berani membantah. Aku memerintahkan engkau mulai sekarang
menyebut namaku saja, tanpa embel-embel nona."
"Baik, non.... eh Hong Bwee."
Nona kecil itu tersenyum geli. "Sekarang dendanya atas dosamu tadi. Engkau harus
memperlihatkan kepandaianmu kepadaku!"
"Nona.... eh, engkau tidak berpenyakit kudis. Hong Bwee, bagaimana aku dapat
membuktikan kepandaianku mengobati?"
"Bukan itu, yang satunya lagi."
"Main sulap" Baiklah, kau lihat batu kecil ini, kugenggam di tangan kanan! Nah, sekarang
batu di tangan kanan itu akan kusulap agar pindah ke tangan kiri. Hip-hup-hah!" Ceng Liong
membuat gerakan dengan kedua lengannya, diputar-putar sehingga mengaburkan pandang
mata Hong Bwee. Tentu saja dia tidak pandai sulap, karena ilmu sulap gurunya adalah ilmu
sihir dan dia belum pernah mempelajarinya. Akan tetapi dengan kecepatan gerak tangannya,
dia dapat memindah-kan batu itu dari tangan kanan ke tangan kiri tan-pa dapat terlihat oleh
Hong Bwee."Lihat batu ini!" Dan ketika dia membuka tangan kiri, di situ nampak batu yang
tadi tergeng-gam di tangan kanan. Dan ketika dia membuka tangan kanan, ternyata di situ
terdapat sehelai da-un hijau.
"Ah, tidak aneh! Biarpun aku tidak dapat mengikuti gerakanmu, aku tahu bahwa engkau tadi
memindahkan batu dan menyambar sehelai daun. Itu hanya dapat dipakai menipu kanak-
ka-nak saja! Bukan kepandaian itu yang kumaksud-kan."
"Habis, yang mana lagi" Aku tidak bisa apa-apa."
"Jangan engkau membantah hukuman. Aku menghukummu agar engkau mempertunjukkan
ilmu silatmu."
"Aku tidak bisa...."
"Bohong, nah aku akan mengujimu!" Tiba-tiba gadis cilik itu sudah meloncat dan
memukulkan tinjunya ke arah dada Ceng Liong. Tentu saja, sebagai anak yang sejak kecil
digembleng ilmu si-lat tinggi, dengan otomatis tubuh Ceng Liong ber-gerak mengelak. Hong
Bwee menyerang terus de-ngan pukulan, tendangan, tamparan bahkan ia mempergunakan
pula cengkeraman-cengkeraman kedua tangannya. Gerakannya cepat dan teratur baik sekali
berkat ilmu silat yang dipelajarinya da-ri Wan Tek Hoat. Melihat gerakan gadis ini main-kan
Pat-mo Sin-kun yang dikenalnya, Ceng Liong menjadi kagum. Diapun tahu bahwa ayah gadis
ini, seperti yang pernah dituturkan oleh ayahnya kepadanya, masih terhitung cucu keponakan
dari ayahnya sendiri, keponakan tiri, masih agak jauh huhungan darah antara dia dengan Wan
Tek Hoat, bahkan sama sekali tidak ada hubungan darah. Dia mendengar bahwa Wan Tek
Hoat adalah anak kandung dari seorang yang menjadi anak kandung nenek Lulu, dengan
demikian, Wan Tek Hoat ada-lah keponakan ayahnya dan gadis cilik ini masih terhitung
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
291 keponakannya sendiri, atau keponakan tiri dari Suma Ciang Bun dan Suma Hui. Gadis cilik
ini adalah cucu buyut nenek Lulu.
Agaknya Hong Bwee memang sungguh-sung-guh ingin menguji ilmu silat pemuda itu dan ia
mendesak terus, mengirim serangan bertubi-tubi.
Diam-diam Ceng Liong harus mengakui bahwa anak perempuan ini memiliki tenaga yang
kuat dan terutama sekali amat cekatan dan gerakannya cepat. Maka diapun tidak berani main-
main lagi karena kalau dia lengah, tentu dia akan kena pu-kul dan dia tidak mau hal ini
sampai terjadi. Har-ga dirinya sebagai laki-laki akan turun kalau sam-pai dia terkena pukulan
atau tendangan yang ber-tubi-tubi itu. Maka diapun segera mainkan Sin-coa-kun, satu-satunya
ilmu keluarga Pulau Es yang sudah dilatihnya dengan matang. Ilmu-ilmu lain hanya baru
dipelajari teorinya saja dan dia kurang latihan. Akan tetapi, Sin-coa-kun yang telah dilatihnya
dengan matang itu cukup hebat. Kini keadaannya terbalik. Begitu Ceng Liong me-nangkis
dan balas menyerang, repotlah Hong Bwee. Ia terdesak terus sampai terpaksa
memper-gunakan langkah-langkah mundur. Hal ini mem-buatnya penasaran. Sejak kecil
Hong Bwee me-mang memiliki watak keras dan tidak mau kalah kalau berlatih silat. Ceng
Liong hanya sebaya dengannya, paling-paling setahun lebih tua dan hanya seorang tukang
obat perantau. Tidak mung-kin kalau ia harus kalah dalam ilmu silat oleh anak laki-laki ini.
"Heiiiiittt....!" Tiba-tiba saja gadis cilik itu menggerakkan kepalanya dan rambutnya yang
dikuncir hitam tebal panjang yang tadi tergantung di belakang tengkuk, kini menyambar ke
depan, ujungnya yang seperti moncong ular mematuk ke arah hi-dung Ceng Liong.
"Ehhh....!" Ceng Liong terkejut sekali dan biarpun dia sudah menarik tubuh atasnya ke
bela-kang, tetap saja ujung kuncir itu masih menampar pipinya.
"Plakk!" Ceng Liong melompat mundur dan mengusap pipinya yang terasa panas.
"Sudahlah, engkau yang menang," katanya.
Wajah Hong Bwee menjadi kemerahan. "Tidak.... sebetulnya aku yang kalah. Kaumaafkan
aku, Ceng Liong."
Pada saat itu muacullah enam orang, kesemua-nya memakai topeng yang menutupi muka
mere-ka dari hidung ke bawah sehingga sukar untuk mengenal wajah mereka. Mereka
mengurung dua orang anak itu dengan sikap menyeramkan. Meli-hat keadaan mereka yang
bertopeng dan bersikap galak, tahulah Ceng Liong bahwa mereka adalah orang-orang yang
mempunyai niat buruk maka diapun sudah siap siaga untuk melawan, menye-lamatkan diri
sendiri dan juga Hong Bwee. Biar-pun masih kecil, Ceng Liong sudah memiliki ke-cerdikan
dan pandai menarik kesimpulan, maka diapun menduga bahwa mereka ini datang untuk
mengganggu Hong Bwee sebagai puteri istana, bukan dia yang hanya seorang anak asing di
situ dan tidak mempunyai harga untuk diganggu.
Dugaannya memang tepat karena seorang di antara mereka menghampiri Hong Bwee dan
ber-kata dalam bahasa Bhutan, "Anak baik, engkau ikutlah kami baik-baik agar kami tidak
usah mempergunakan kekerasan terhadap anak kecil." Tanpa menanti jawaban, orang yang
bertubuh jangkung kurus ini langsung menggerakkan lengannya hendak menangkap pundak
Hong Bwee. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
292 "Siapa kau, manusia jahat?" Hong Bwee membentak marah sambil mengelak. Gerakan gadis
cilik ini memang lincah, maka terkaman itupun luput. Orang bertopeng itu mengerutkan
alisnya dan sepasang matanya membayangkan kemarahan. Diapun lalu menubruk lagi, sekali
ini dengan kasar dan lebih cepat.
"Plakk!" Hong Bwee menangkis sambil meng-elak lagi dan untuk kedua kalinya tubrukan itu
tidak berhasil. Orang tadi kini marah sekali dan menyerang dengan tamparan dan tendangan,
akan tetapi Hong Bwee melawan dengan gagah. Meli-hat kawannya sukar menangkap anak
perempuan itu, orang ke dua membantu. Akan tetapi baru sa-ja dia menubruk ke depan, dari
samping datang sambaran angin. Orang ke dua itu terkejut dan berusaha membalik sambil
memutar lengan, akan tetapi dia terlambat.
"Desss....!" Lambungnya kena ditendang Ceng Liong, tendangan Soan-hong-twi yang keras
sekali karena tanpa disadarinya, sumber tenaga saktinya bergerak dan tersalur ke arah
kaki-nya yang menendang. Orang itu terlempar sam-pai tiga meter jauhnya dan terbanting
roboh! Ceng Liong hendak mengamuk untuk melin-dungi Hong Bwee, akan tetapi pada saat itu
seo-rang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar sudah meloncat dan menghadangnya.
Ceng Liong yang marah itu langsung saja mengirim tendang-an, menyambut lawan yang
menghadangnya ini. Akan tetapi, terkejutlah dia ketika orang ini dengan mudah mengelak
dari tendangan-tendangannya yang dilakukan secara berantai itu. Maklumlah dia bahwa orang
ini lihai sekali, maka diapun segera mengeluarkan Ilmu Silat Sin-coa-kun dan men-desak.
Orang yang menjadi lawannya itu hanya msnangkis atau mengelak saja, akan tetapi diam-
diam memancing Ceng Liong makin menjauhi sang puteri yang kini dikeroyok oleh empat
orang bertopeng! Tentu saja dalam waktu singkat sang pu-teri telah dapat diringkus dan
dibawa pergi. "Ceng Liong.... Ceng Liong.... tolonggg....!" Akan tetapi seorang di antara mereka
mem-bungkamnya dan mengikatkan saputangan di de-pan mulut anak perempuan itu
sehingga tidak lagi mampu berteriak.
Ceng Liong marah sekali dan memperhebat serangannya. Akan tetapi lawannya benar-benar
amat tangguh dan biarpun lawannya belum pernah membalas serangannya, diapun sudah tahu
bahwa orang ini bukan tandingannya.
"Ceng Liong, hentikan perlawananmu."
"Mo-ong....!" Ceng Liong berseru heran sekali dan memandang kepada wajah yang kini
su-dah tidak tertutup lagi oleh topeng itu. "Apa artinya ini" Mengapa Hong Bwee
ditawan....?"
"Sabarlah dan mari dengarkan keteranganku. Mereka tidak akan mengganggu nona Hong
Bwee. Mereka...."
"Mereka itu siapa?"
"Mereka adalah kawan-kawan kita sendiri. Engkau tentu masih ingat akan pembicaraanku
de-ngan Gubernur Yong, bukan" Nah, usahaku da-tang ke Bhutan adalah untuk
mengumpulkan dan menghubungi teman-teman sehaluan, untuk mem-bantu penyerbuan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
293 tentara Nepal ke Tibet. Dan aku sudah berhasil mengadakan hubungan dengan mereka. Satu-
satunya penghalang bagi teman-teman itu untuk membantu Nepal, atau setidak-nya jangan
mencampuri urusan Nepal kalau me-nyerbu ke Tibet, hanya adanya pendekar Wan Tek Hoat
yang disegani orang di sini. Maka, jalan satu-satunya untuk membuat pendekar itu sibuk dan
tidak mencampuri urusan Nepal menyerbu Tibet, hanyalah dengan menculik anak satu-
satu-nya itu. Kalau Nepal sudah berhasil menduduki Tibet, barulah kita kembalikan puteri itu
kepada orang tuanya."
Selagi gurunya bicara Ceng Liong memutar otak. Tak mungkin dia menentang gurunya ini
dengan kekerasan. Dia seorang diri mana mam-pu menentangnya" Maka diapun
mengangguk-angguk seperti menyatakan setuju, padahal di da-lam hatinya, dia sama sekali
tidak senang akan siasat keji ini.
"Siasat itu bagus sekali." Dia berkata dan gu-runya tersenyum lebar.
"Kami sengaja membiarkan engkau tadi mem-bantu sang puteri, bahkan merobohkan seorang
penculik dengan tendanganmu. Engkau hebat, muridku. Dengan demikian, tentu sang puteri
menganggap bahwa engkau benar-benar seorang kawan yang setia, dan dengan sendirinya
tidak akan ada yang mencurigai aku bercampur tangan dalam penculikan ini."
"Akan tetapi, bagaimanapun juga, aku minta agar nona Hong Bwee tidak diganggu, kasihan
ia seorang anak yang baik, sikapnya baik sekali ter-hadap kita, juga orang tuanya amat baik
terhadap kita. Apakah budi mereka itu harus dibalas dengan kejahatan?"
"Ha-ha-ha-ha, muridku yang baik, apakah engkau sudah melupakan pelajaran akan
kenyata-an hidup yang sudah berkali-kali kau lihat dan kau dengar dariku" Kalau engkau
ingin maju da-lam hidupmu, jangan hiraukan tentang budi. Me-lepas budi atau menerima budi
hanyalah watak orang-orang lemah dan kita sama sekali tidak lemah! Yang terpenting adalah
hasil baik dan menguntungkan untuk kita. Itu saja! Kalau mau bicara tentang budi, maka
adanya hanya merupa-kan balas-membalas yang kekanak-kanakan. Pertama, mereka hutang
budi kepada kita karena engkau menolong puteri mereka, kemudian kini keadaannya berbalik
karena kita membutuhkan bantuan puteri mereka, untuk memaksa orang tua-nya agar jangan
menghalangi rencana kita. Bisa repot hidup ini kalau terikat oleh hutang-pihutang budi. Mana
kita bisa maju kalau begitu?"
Ceng Liong mengerutkan alisnya. Di dalam ha-tinya, dia sama sekali tidak dapat menyetujui
pen-dapat orang-orang golongan hitam seperti yang dikemukakan gurunya ini. Akan tetapi,
selagi Hong Bwee berada di tangan gurunya dan sekutu-nya, dia harus bersikap cerdik dan
tidak me-nentang, sehingga dia akan leluasa bergerak untuk berusaha menyelamatkan Hong
Bwee. Dia tidak perduli akan urusan negara, tidak bermaksud un-tuk menolong atau
membantu Bhutan, akan tetapi bagaimanapun juga, dia harus menolong Hong Bwee!
"Begitukah" Akupun setuju saja asalkan Hong Bwee tidak diganggu, aku kasihan
kepadanya."
"Ha-ha-ha, aku tahu, Ceng Liong. Sekecil ini engkau sudah mulai jatuh hati terhadap gadis
can-tik, ha-ha-ha!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
294 Wajah Ceng Liong menjadi merah. Kalau bu-kan gurunya yang bicara seperti itu, tentu sudah
diserangnya. "Jangan berkata begitu, Mo-ong. Aku kasihan kepadanya karena ia amat baik
kepa-daku."
"Aku tahu, dan akupun yakin engkau akan da-pat melihat kehidupan seperti aku ini. Jatuh
cinta kepada seorang wanita merupakan suatu penya-kit, suatu tanda kelemahan yang akan
mendatang-kan banyak derita batin. Nah, sekarang kita harus bekerja. Kita kembali ke istana
dan kita mengha-dap Wan-taihiap. Engkau laporkan bahwa sang puteri telah diculik oleh
enam orang bertopeng, dan ketika engkau lari pulang, engkau bertemu denganku di tengah
jalan karena aku sedang berbelanja obat, mengerti?"
Ceng Liong mengangguk.
"Untuk membuktikan bahwa engkau telah me-lakukan perlawanan mati-matian untuk
membela sang puteri, engkau harus menderita luka. Ber-siaplah menerima beberapa
pukulanku, Ceng Liong!" Secepat kilat tangan kakek itu bergerak. Ceng Liong menerima
pukulan itu. "Plak! Plakk!"
Ceng Liong terpelanting, tapi hanya merasa-kan panas pada pundak dan pipinya. Ketika dia
meraba, pipinya membengkak dan kulit pundak di bawah baju itupun nampak merah
kehitaman. Kiranya Raja Iblis itu hanya mempergunakan tenaga luar saja yang cukup keras.
Menunjukkan bukti perlawanan yang cukup meyakinkan bagi Ceng Liong. Dan kakek itupun


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diam-diam gem-bira sekali melihat sikap Ceng Liong yang tenang saja menerima pukulan itu,
tanda bahwa muridnya memang cerdik dan tidak hanyut oleh perasaan.
"Mari kita pergi!" ajaknya dan merekapun mempergunakan lari cepat meninggalkan hutan itu
menuju ke Kota Raja Bhutan.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi ketika menerima
lapor-an guru dan murid itu. "Kami datang membawa kabar buruk, taihiap," demikian Phang-
sinshe mulai dengan pelaporannya. "Ketika saya keluar membeli obat, saya bertemu dengan
murid saya yang tubuhnya bengkak-bengkak bekas pukulan dan dia menceritakan bahwa
puteri paduka, nona Wan Hong Bwee telah diculik orang...." Kakek itu memandang ke arah
keranjang berisi bahan-bahan obat yang diletakkannya di atas meja, ba-han-bahan obat yang
sengaja dibelinya sebelum dia dan muridnya menghadap keluarga Wan.
"Apa yang telah terjadi dengan anakku" Ba-gaimana ia sampai diculik orang?" Wan Tek
Hoat bertanya, suaranya mengandung rasa penasaran dan juga keheranan. Selama dia berada
di Bhutan, dia tidak pernah bermusuhan dengan siapapun, kecuali tentu saja para penjahat
yang dibersihkan-nya dari kerajaan itu. Sementara itu, Syanti Dewi tidak mengeluarkan kata-
kata, hanya memandang kepada Ceng Liong dengan muka pucat. Ia meli-hat betapa pipi
kanan anak itu bengkak-bengkak dan pada saat itu, Phang-sinshe juga menying-kap baju Ceng
Liong agar kulit pundak yang ma-tang biru itu nampak.
"Ceng Liong, kauceritakanlah." Kakek itu me-nyuruh muridnya.
Ceng Liong menelan ludah sebelum mulai bi-cara. Untung bahwa dia tidak disuruh
membo-hong, biarpun ada beberapa bagian yang harus di-rahasiakannya. "Kami berdua
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
295 sedang bermain-main dan berburu di hutan ketika muncul enam orang bertopeng yang
memaksa nona Hong Bwee untuk ikut dengan mereka. Kami berdua menga-dakan
perlawanan, akan tetapi saya.... saya ti-dak berhasil melindungi nona Hong Bwee. Ia dilarikan
dan saya dipukul roboh.... harap taihiap sudi memaafkan saya...." Suara Ceng Liong terdengar
sedih karena memang hatinya gelisah dan sedih memikirkan nasib Hong Bwee yang tentu
amat ketakutan sekarang ini.
"Apa engkkau tidak mengenal seorang di antara mereka" Suaranya" Perawakannya?" tanya
Wan Tek Hoat sambil memandang tajam.
"Tidak, taihiap. Mereka semua memakai to-peng yang menyembunyikan muka dari hidung
ke bawah. Akan tetapi mereka itu rata-rata bertubuh tinggi besar dan suaranya, karena mereka
berbicara dalam bahasa Bhutan, seperti terdengar tidak sama dengan orang-orang di sini, agak
asing bagi pendengaran saya yang belum faham benar dalam Bahasa Bhutan."
Tek Hoat lalu minta penjelasan tentang tempat di mana puterinya diculik orang. Setelah
meneri-ma penjelasan dari Ceng Liong, dia sendiri bersa-ma isterinya lalu berangkat ke
tempat itu untuk mencari jejak para penculik. Sementara itu, Ceng Liong dan Phang-sinshe
dengan sikap setia lalu ikut bersama mereka, terutama Ceng Liong yang harus menjadi
penunjuk jalan. Mereka tiba di da-lam hutan setelah hari menjelang sore. Tentu saja mereka
tidak menemukan apa-apa karena sukar-lah mencari jejak tapak kaki di tanah yang tertu-tup
daun-daun kering dan rumput-rumput hijau itu. Tek Hoat dan isterinya mencari-cari dan
me-manggil-manggil nama anak mereka tanpa hasil. Ceng Liong dan gurunya pura-pura ikut
mencari. Setelah hari mulai gelap, Phang-sinshe mohon diri bahkan membujuk suami- isteri
itu untuk pu-lang dan mengerahkan pasukan untuk melakukan pencarian.
"Isteriku, engkau pulanglah dan laporkan hal ini kepada panglima, minta supaya dia
mengerah-kan pasukan-pasukan pilihan untuk bantu men-cari, malam ini juga. Aku sendiri
akan terus men-coba mencari jejak mereka di hutan ini."
Syanti Dewi mengangguk dan dengan muka pucat dan menahan tangis saking gelisah
hatinya, wanita ini meloncat dan berlari lebih dulu. Meli-hat gerakan ini, diam-diam Phang-
sinshe terkejut bukan main. Nyonya itu dapat berlari cepat secara hebat sekali sehingga dia
sendiripun agaknya tidak akan mampu menandingi kecepatan nyonya itu. Juga Cong Liong
terbelalak memandang tubuh yang sebentar saja sudah jauh sekali itu. Guru dan murid ini
tentu saja tidak tahu bahwa Syanti De-wi telah mewarisi ilmu gin-kang dari Bu-eng-kwi Ouw
Yan Hui murid dari seorang pendeta wanita sakti yang telah menguasai ilmu gin-kang luar
bia-sa, yaitu Kim Sim Nikouw (baca kisahSuling Emas dan Naga Siluman).
Phang-sinshe dan muridnya lalu kembali ke kota raja. Di tengah perjalanan, Ceng Liong yang
sudah diam-diam merencanakan siasatnya itu, berkata, "Mo-ong, rencanamu itu memang baik
sekali. Kalau Negara Bhutan sendiri kacau-balau karena kehilangan nona Hong Bwee, tentu
Wan-taihiap tidak sempat mencampuri urusan Nepal menyerbu Tibet. Akan tetapi, jangan
main-main terhadap Wan-taihiap dan isterinya. Kalau sam-pai puteri mereka itu terganggu
sedikit saja, me-reka akan mengamuk dan kalau ketahuan bahwa kita mencampuri urusan
penculikan itu, tentu kita akan dimusuhi mereka mati-matian."
"Ha-ha-ha, jangan takut, muridku. Belum tentu aku kalah oleh mereka, dan pula, siapa yang
akan mengganggu nona Hong Bwee" Ia diculik hanya untuk mengalihkan perhatian dan juga
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
296 se-bagai sandera agar Bhutan, terutama sekali Wan-taihiap, tidak mencampuri penyerbuan
Nepal ke Tibet."
"Rencanamu memang bagus, akan tetapi apa-kah orang-orang Nepal itu boleh dipercaya"
I-ngat, Mo-ong, aku sudah banyak mendengar ten-tang kebiadaban orang-orang Nepal
terhadap wa-nita taklukan. Dan nona Hong Bwee amat cantik jelita. Kalau sampai ia
terganggu, kitapun harus bertanggung jawab."
Kakek itu mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, ucapan muridnya ini menimbulkan
keraguan di dalam hatinya. Kalau yang dikhawatirkan mu-ridnya itu terjadi, akan
menimbulkan kesulitan kelak.
"Wah, kalau begitu bagaimana baiknya?" ta-nyanya ragu-ragu.
"Mo-ong, serahkan saja nona itu kepadaku untuk menjaganya. Pertama, kalau aku yang
men-jaga, ia tidak akan ketakutan, dan kelak akan me-laporkan kepada ayah bundanya bahwa
ketika di-tawan, ia diperlakukan dengan baik. Ke dua, di bawah pengawasanku, ia tidak akan
mengamuk dan engkau tentu lebih percaya kepadaku daripa-da kepada orang-orang kasar itu.
Ketahuilah bahwa usulku ini bukan hanya terdorong oleh rasa kasihan kepada nona Hong
Bwee, melainkan juga untuk melancarkan jalannya siasatmu."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Baik, baik.... bagus sekali pendapatmu itu. Mari kita
lang-sung ke sana!"
Ceng Liong tidak merasa heran ketika dia dia-jak memasuki kota raja oleh gurunya kemudian
masuk ke sebuah gedung besar tempat tinggal se-orang perwira tinggi! Dia memang sudah
dapat menduga bahwa tentu ada "orang-orang dalam" yang ikut memegang peranan dalam
persekutuan busuk itu.
Perwira Brahmani, mata-mata Nepal yang ber-hasil menyelundup menjadi perwira tinggi di
Ke-rajaan Bhutan itu, menyambut kedatangan mereka dengan wajah gembira. Akan tetapi dia
menge-rutkan alisnya ketika melihat Ceng Liong.
"Anak ini.... dia...."
Hek-i Mo-ong menggerakkan tangannya ke atas. "Cocok dengan rencana kita, Brahmani."
Sekarang setelah mereka menjadi sekutu, Hek-i Mo-ong menyebut nama perwira tinggi yang
men-jadi mata-mata Nepal itu begitu saja. Bahkan si-kapnya juga sebagai seorang atasan.
"Dengan be-gitu Wan Tek Hoat tidak akan mencurigai kami. Nah, sekarang di mana nona
kecil itu" Sudah da-pat diamankan di tempat rahasia?"
Mereka dipersilahkan masuk dan duduk di ru-angan dalam. "Jangan khawatir. Anak itu telah
berada di dalam kamar rahasia di bawah tanah, di rumah ini. Siapapun tidak akan mencari ke
sini. Siapa yang akan menuduh aku menjadi penculik puteri Pangeran Wan?" Brahmani
tertawa puas ketika Hek-i Mo-ong mengangguk dan memuji kecerdikannya.
"Ketahuilah, Brahmani. Muridku ini memang sengaja mengambil sikap melindungi anak itu.
Hal ini amat penting untuk menghindarkan kecu-rigaan kepada kami. Dan sekarang, aku
berpenda-pat bahwa sebaiknya kalau muridku yang mela-kukan penjagaan terhadap puteri
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
297 Wan Tek Hoat itu, atau setidaknya, muridku inilah yang diper-bolehkan menjenguknya
sewaktu-waktu."
Brahmani mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, sinshe, anak itu sudah dijaga siang malam oleh
selosin anak buahku yang cukup lihai. Ia tidak mung-kin dapat lolos dari tempat tahanannya,
dan tidak ada seorangpun dari luar tahu bahwa di rumah ini terdapat kamar rahasia bawah
tanah, apalagi mengetahui bahwa puteri itu berada di sini. Pen-jagaan sudah cukup kuat!"
"Bukan kekuatan itu yang kumaksudkan, akan tetapi dari segi keamanan. Kalau muridku
yang ikut mengamati, anak perempuan itu tidak akan ketakutan dan memberontak. Bayangkan
kalau sampai anak itu mogok makan dan rewel terus sampai jatuh sakit, bukankah hal itu
berbahaya se-kali" Kalau sampai ia mati, tentu akibatnya amat besar, mengingat akan
kesaktian dan kekuasaan Wan Tek Hoat. Muridku dapat menghiburnya dan menenteramkan
hatinya." Brahmani mengangguk-angguk walaupun dia masih memandang kepada Ceng Liong dengan
si-nar mata ragu-ragu dan curiga, teringat betapa pemuda cilik ini tadi merobohkan seorang
anak buahnya dan membuat anak buahnya nyaris tewas oleh tendangan yang amat keras itu.
Mereka bertiga lalu menjenguk keadaan Hong Bwee. Ternyata di dalam ruangan tidur
perwira itu, terdapat sebuah lubaug di ba-lik almari, lubang yang merupakan terowongan
bawah tanah dan berhenti pada sebuah kamar di bawah tanah. Tempat itu cukup luas dan
hawanya masuk dari lubang-lubang angin yang dipasang secara bersembunyi, juga
memperoleh penerangan dari lampu yang bernyala siang malam. Biarpun demikian, tentu saja
orang yang disekap di dalamnya akan menderita karena tak dapat melihat kelu-ar dan tidak
terkena sinar matahari. Di dalam ru-angan itu terdapat sebuah dipan kecil, sebuah meja,
sebuah kursi. Dua buah lampu tergantung di dinding dan ada lukisan-lukisan cukup indah
ditempel di atas dinding. Cukup menyenangkan dan bersih.
Hong Bwee sedang duduk dengan wajah mu-ram di atas dipan ketika tiga orang itu masuk.
Pintu besi yang atasnya terdapat ruji yang kokoh kuat itu terbuka dan masuklah Brahmani,
Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong. Melihat anak laki-laki itu, Hong Bwee meloncat turun dan
memandang dengan mata terbelalak, dan wajahnya menjadi cerah dan gembira ketika ia
mengenal Phang-sin-she.
"Phang-sinshe....! Ceng Liong....!" Anak itu lari ke depan dan merangkul Ceng Liong sam-bil
menangis saking lega dan girang hatinya, terbebas secara mendadak dari rasa khawatir, takut,
dan marah semenjak ia ditawan.
Ceng Liong memeluk anak perempuan itu dan menepuk-nepuk pundaknya, menghibur akan
tetapi dia membiarkan Hong Bwee melepaskan semua kegelisahannya melalui air mata.
Sementara itu, Hek-i Mo-ong dan Brahmani saling pandang, kemudian diam-diam
meninggalkan kamar, memesan kepada para penjaga agar Ceng Liong di-perbolehkan keluar
masuk kamar tahanan itu.
Ketika Hong Bwee sudah puas menangis, mengangkat mukanya dari dada Ceng Liong dan
memandang, gadis cilik ini terkejut karenu Phang-sinshe sudah tidak berada di situ lagi dan
pintu kamar tahanan itu sudah tertutup lagi.
"Ceng Liong....!" teriaknya kaget. "Apakah engkau ditawan juga" Dan gurumu?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
298 "Tenanglah, nona.... eh, Hong Bwee, tenang-lah. Memang engkau dijadikan tawanan atau
san-dera, akan tetapi aku menjamin bahwa engkau tidak akan diganggu. Sedangkan aku....
aku dan guruku tidak ditawan. Eh, terus terang saja, aku malah ditugaskau untuk
menjagamu...."
"Ihhh...." Berarti engkau dan gurumu telah berkhianat dan memusuhi keluargaku?" Gadis
ci-lik itu marah sekali dan mengepal kedua tinju ta-ngannya.
"Tenanglah dan dengarkan ucapanku baik-baik. Mari kita duduk di sana." Ceng Liong
mengajak anak perempuan itu duduk di atas dipan. Mereka duduk bersandingdan sambil
memandang ke arah daun pintu karena takut kalau-kalau ada yaug mengintai atau
mendengarkan, dia berbisik-bisik.
"Ada persekutuan rahasia di Bhutan yang menentang kebijaksanaan sri baginda. Mereka itu
bersekutu dengan Nepal dan mereka tidak ingin melihat Bhutan campur tangan kalau Nepal
me-nyerbu ke Tibet. Akan tetapi mereka takut kepa-da ayahmu, maka mereka menawanmu di
sini un-tuk melumpuhkan ayahmu. Jadi, engkau hanya ditawan dan tidak akan diganggu. Aku
tanggung jawab akan hal itu."
Sepasang mata yang indah itu masih terbelalak dan mukanya merah karena kemarahan.
"Akan te-tapi engkau.... dan gnrumu ikut dalam perseku-tuan busuk itu! Padahal ayahku telah
menerima kalian sebagai tamu terhormat! Beginikah kalian membalas budi orang?"
"Ssstt, jangan keras-keras bicara, Hong Bwee. Dengarlah, engkau bukan anak kecil lagi dan
aku tahu engkau tidak bodoh. Harus pandai bersiasat. Menggunakan kekerasan saja kita
berdua mampu berbuat apakah" Akan tetapi engkau yakinlah bahwa selama ada aku di sini,
engkau tidak akan diganggu. Aku harus pura-pura mentaati mereka, akan tetapi aku akan
mencari jalan agar engkau dapat bebas dengan aman. Tapi engkau harus menurut semua
pesanku. Bagaimuna, percayakah engkau kepadaku?"
Mereka saling berhadapan muka dan melihat betapa pipi anak laki-laki itu masih bengkak,
Hong Bwee teringat betapa Ceng Liong telah men-coba untuk melindunginya ketika enam
orang ber-topeng itu muncul. Maka iapun mengangguk.
"Habis, kita barus berbuat apa" Dan di ma-na aku sekarang" Aku dibawa ke sini dengan
ke-dua mata ditutup saputangan hitam."
"Engkau berada dalam kamar bawah tanah da-ri gedung tempat tinggal perwira Brahmani."
"Ah, dia mengenal baik orang tuaku!"
"Tentu saja karena dia mata-mata Nepal yang diselundupkan di sini. Engkau tenang-tenang
sa-ja dan jaga kesehatanmu baik-baik. Makan dan minumlah agar engkau tidak jatuh sakit.
Aku akan mencari jalan bagaimana baiknya untuk menolongmu. Percayalah bahwa biarpun
aku murid Phang-sinshe, akan tetapi aku tidak sudi bersekongkol dan melakukan kejahatan.
Akan tetapi, untuk menentang dengan kekerasan tentu saja aku tidak berani."
"Ceng Liong, tolong engkau beritahukan ayah, tentu mereka akan dihajar dan aku akan
dibebas-kan."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
299 "Hemm, tidak semudah itu, Hong Bwee. Kita berhadapan dengan orang-orang yang sudah
ne-kat dan mereka itu akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuan mereka. Engkau
dijadikan san-dera, maka kalau ayahmu datang menyerbu, mungkin sekali keselamatanmu
terancam. Kita harus pakai siasat. Aku akan mencari akal itu agar mereka dapat dihancurkan
akan tetapi engkaupun harus dapat diselamatkan. Sementara ini, engkau bersikaplah tenang,
tidur dan makan minum secukupnya agar jangan sampai jatuh sakit. Aku akan mencari akal
agar dapat membawamu keluar dari sini dan mengabarkan kepada ayahmu tentang semua ini.
Aku harus hati-hati agar guruku dan persekutuan itu tidak menaruh curiga kepadaku. Maka, di
depan mereka, kalau aku bersikap kasar terhadap dirimu, harap engkau tidak salah sangka."
Anak perempuan itu mengangguk-angguk dan memandang ke atas meja di mana terdapat
hi-dangan yang belum dijamahnya. Memang perut-nya lapar sekali dan tenggorokannya haus,
akan tetapi dengan keras hati ia tidak mau menyentuh makanan dan minuman yang
dihidangkan kepadanya. Kini, mendengar omongan Ceng Liong, dan setelah hatinya merasa
lega karena di situ terdapat Ceng Liong yang akan menolongnya, iapun baru merasakan
kelaparan dan kehausan itu. Diraihnya cangkir teh dan diminumnya sedikit.
"Nah, kau makanlah, aku harus keluar dulu. Tak baik berlama-lama di sini," kata Ceng Liong
sambil bangkit berdiri.
"Jangan terlalu lama meninggalkan aku sendi-rian saja di sini," kata anak perempuan itu
dengan suara sedih.
"Tentu saja tidak, aku akan sering menengok-mu dan memberi kabar tentang perkembangan
selanjutnya." Ceng Liong lalu keluar, diikuti pan-dang mata Hong Bwee yang hanya
mengharapkan bantuannya untuk dapat keluar dengan selamat dari dalam kamar tahanan itu.
Oleh para pengawal, pintu dibuka dan setelah pemuda itu keluar, daun pintu ditutup dan
dikunci lagi dari luar. Wa-jah dua orang penjaga nampak di luar jeruji besi, memandang
kepada Hong Bwee yang sedang ma-kan itu sambil menyeringai menakutkan. Hong Bwee
membuang muka, tidak sudi bertemu pan-dang dengan mereka dan terdengar mereka itu
ter-tawa mengejek.Para pengawal itu menyampaikan keadaan anak perempuan yang ditawan
kepada Brahmani, bahwa anak itu sudah mau makan minum dan tidur nyenyak semenjak
Ceng Liong masuk ke situ dan bercakap-cakap cukup lama. Hal ini menggirangkan hati
Brahmani dan dia mulai percaya penuh kepada murid Hek-i Mo-ong yang tadinya
dicurigainya itu. Dan dia makin kagum akan kecerdikan Hek-i Mo-ong yang menyuruh
mu-ridnya itu pura-pura melindungi puteri Pangeran Wan itu sehingga memperoleh
kepercayaan dari si anak perempuan. Karena, kalau sampai puteri itu mogok makan minum
dan jatuh sakit, rencana siasat mereka akan menjadi rusak dan mereka bah-kan dalam keadaan
berbahaya. Seorang sandera harus berada dalam keadaan segar bugar, baru ada harganya,
karena kalau sampai mati, sandera itu tidak ada artinya lagi.
Hek-i Mo-ong sendiri sangat girang dengan hasil pendekatan muridnya ini dan semenjak itu,
Ceng Liong memperoleh kepercayaan besar untuk menghibur dan menemani Hong Bwee. Dia
sering datang bercakap-cakap di dalam kamar tahanan Hong Bwee, dan diceritakannya semua
perkembangan di luar tempat tahanan itu kepada gadis cilik ini.
Ternyata siasat yang diatur oleh persekutuan itu berjalan dengan lancar dan berhasil baik
sekali. Sepucuk surat diterima oleh Wan Tek Hoat yang mengerahkan semua pasukan mencari
puterinya dengan sia-sia. Tentu saja dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa puterinya
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
300 berada tidak jauh dari istana, dalam gedung seorang perwira tinggi! Maka ketika dia
menerima sepucuk surat dari Siwananda, Koksu Nepal, dia hanya dapat membaca dengan
muka kemerahan saking marah-nya. Bagaimanapun juga ini menyangkut keselamatan
puterinya, dan juga kewibawaan Kerajaan Bhutan, dua hal yang saling bertentangan. Maka
dibawanyalah surat itu menghadap raja, bersama isterinya.
Raja Badur Syah mengerutkan alisnya ketika Wan Tek Hoat memperlihatkan surat dari
Siwa-nanda itu. Isinya ringkas saja, yaitu bahwa Nepal tidak bermaksud memusuhi Bhutan,
hanya minta agar diperbolehkan melewati daerah Bhutan se-belah utara untuk pasukan Nepal
yang mengada-kan penyerbuan ke Tibet. Agar Bhutan tidak mencampuri urusan itu dan
sebagai tanda terima kasih, Nepal akan menjaga Puteri Gangga Dewi baik-baik dan akan
mengantarkannya kembali dalam keadaan sehat dan selamat.
"Keparat!" Raja Badur Syah membentak ma-rah. "Tak kusangka Kerajaan Nepal akan
mempergunakan kecurangan yang begini tidak tahu malu! Menculik anak kecil untuk
memaksakan kehendak-nya kepada kerajaan kita!"
"Bagaimana baiknya, rakanda?" tanya Syanti Dewi sambil meremas-remas tangan sendiri.


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami ayah dan ibu dihadapkan kepada dua masalah yang sama pentingnya bagi kami. Di
satu fihak, masalah keselamatan anak tunggal kami dan di la-in fihak masalah wibawa
kerajaan yang terancam!"
Raja Badur Syah mengangguk-angguk dan diapun tahu bahwa suami isteri di depannya ini
merupakan tulang punggung pemerintahannya. Tak mungkin kiranya membiarkan Gangga
Dewi ter-ancam bahaya maut. Akan tetapi, kalau dia membiarkan pasakan Nepal menyerbu
Tibet dengan mengambil jalan lewat Bhutan, hal inipun akan besar akibatnya. Pertama,
Bhutan akan dianggap musuh oleh Tibet, dan terutama sekali, Kerajaan Ceng-tiauw tentu
akan menganggap Bhutan ber-sekutu dengan Nepal. Akibat ini lebih hebat lagi bagi
kerajaaanya. "Serba salah.... serba salah memang." akhirnya raja itu berkata. "Memang, bagi Nepal, jalan
satu-satunya menuju ke Tibet hanya melalui daerah kita sebelah utara. Menurut catatan,
dahulu pernah Nepal menyerang ke Tibet melalui daerah mereka sendiri di utara, akan tetapi
Nepal ke-hilangan banyak perajurit yang tewas dalam perjalanan karena perjalanan itu
melalui puncak-puncak yang tinggi dan jurang-jurang yang curam, amat sukar dilalui
manusia. Kita berdiri di tengah-tengah, antara dua negara yang sedang bermusuhan. Kalau
kita membiarkan Nepal melewati daerah kita, kita dapat dianggap bersekongkol dan
menentang Kerajaan Ceng. Sebaliknya kalau kita menolak permintaan Nepal, kita dapat
dianggap menentangnya. Serba salah, serba susah!"
"Menurut surat itu, kita masih mempunyai waktu dua pekan. Selama dua pekan ini kami akan
mencari jejak anak kami, kalau perlu, kami atau saya sendiri akan memasuki Nepal, mencari
di mana anak kami itu ditawan," Tek Hoat berkata sam-bil mengepai tinju.
"Kami amat mencinta anak kami dan tentu saja mengutamakan keselamatannya, akan tetapi,
rakan-da, kami juga tahu bahwa kewibawaan Kerajaan Bhutan tidak mungkin dibiarkan untuk
diinjak-injak secara begitu saja oleh Nepal. Suamiku berkata benar, masih ada waktu dua
pekan sebelum pasukan Nepal mempergunakan daerah kita untuk lewat menyerbu Tibet.
Kalau dalam waktu itu kita sudah berhasil menemukan Gangga Dewi dengan selamat, maka
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
301 kita akan menolak permintaan itu! Kalau andaikata kami tidak....berhasil terserah saja kepada
keputusan rakanda!"
Raja Badur Syah mengangguk-angguk. Me-mang tidak ada pilihan lain. Raja ini lalu melepas
kepergian suami isteri itu sambil berulang kali menghela napas panjang. Tak disangkanya
bahwa kerajaannya yang makmur dan tenteram itu kini dilanda ancaman malapetaka, bahkan
yang langsung terkena adalah adik tirinya, Puteri Syanti Dewi.
*** Sepekan lagi hari yang disebutkan oleh fihak Nepal untuk menyeberang ke Tibet melalui
Bhutan tiba. Dan selama itu, Tek Hoat belum juga berhasil menemukan puterinya yang
hilang. Dia dan isterinya sudah mengambil keputusan untuk berdua pergi ke Nepal dengan
cara menyelundup karena merasa yakin bahwa anak mereka tentu di-tawan di kerajaan itu.
Akan tetapi, sebelum mereka berangkat yang menurut rencana akan mereka lakukan pada
keesokan harinya pagi-pagi benar, malam itu Ceng Liong menghadap mereka.
"Locianpwe, saya mau bicara penting sekali!" kata anak itu sambil celingukan ke kanan kiri.
Melihat sikap anak itu yaag telah mereka kenal ke-cerdikannya, Tek Hoat lalu menarik
tangannya di-ajak masuk ke ruangan dalam. Syanti Dewi cepat mengikuti setelah puteri ini
merasa yakin bahwa tidak ada orang lain melihat anak laki-laki itu memasuki istana.
"Apa yang hendak kaubicarakan, Ceng Liong" Di mana Phang-sinshe?" tanya Tek Hoat
sam-bil memandang tajam penuh selidik.
"Locianpwe, ada persekutuan yang hendak me-ngacau malam ini. Mereka bahkan berusaha
untuk menduduki istana sri baginda!"
"Apa?" Tak Hoat terkejut sekali sambil meme-gang pundak anak itu, lupa akan tenaganya
sen-diri dan terkejutlah Tek Hoat ketika dari pundak anak itu keluar tenaga penolak yang
hebat. Dia cepat menarik kembali tangannya dan meman-dang anak itu dengan mata
terbelalak. Tak pernah disangkanya bahwa anak ini memiliki tenaga sin--kang yang
sedemikian hebatnya. Ceng Liong tahu bahwa sumber tenaganya itu kembali telah berge-rak
otomatis, maka dia merasa tidak enak sekali. "Apa yang terjadi?" tanya Tek Hoat, lebih ingin
tahu tentang persekutuan itu daripada tentang ke-kuatan tersembunyi di tubuh Ceng Liong.
"Locianpwe, bebarapa orang pembesar dan panglima telah bersekongkol dengan orang
Nepal, malam ini akan melakukan pengacauan dan pe-nyerbuan ke istana untuk memancing
perhatian, agar semua kekuatan ditujukan untuk menghadapi kekacauan itu sehingga tentara
Nepal dapat mele-wati daerah utara dengan aman."
Tek Hoat semakin terkejut. Teringatlah dia akan pemberontakan yang duhulu dilakukan oleh
Mohinta, putera mendiang Panglima Tua Sangita yang berhasil dia hancurkan ketika dia
membela Bhutan (bacaKisah Jodoh Rajawali). Apakah kini terulang lagi peristiwa
pemberontakan itu" Panglima Jayin telah tiada, telah meninggal dunia ka-rena usia tua, dan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
302 kini para panglima Bhutan ada-lah muka-muka baru, walaupun mereka itu sejak muda sudah
mengabdi kepada kerajaan.
"Hemm, ceritakan semua apa yang kauketahui dan bagaimana engkau bisa tahu!" bentak Tek
Hoat, belum mau percaya begitu saja keterangan anak itu.
"Saya mendengar sendiri percakapan mereka dalam rapat sore tadi locianpwe, bahkan saya
ha-dir pula bersama guru saya...."
"Phang-sinshe" Dia ikut batsekongkol?"
Ceng Liong menarik napas panjang. Tidak ada gunanya lagi menyembunyikan kenyataan itu.
"Benar, locianpwe. Dia bersekongkol dengan per-wira Brahmani dan yang lain-lain."
"Brahmani orang Nepal itu" Keparat! Dan engkau sendiri" Engkau kan murid Phang-
sinshe?" "Memang saya muridnya, akan tetapi murid untuk mempelajari ilmu kepandaian, bukan
murid untuk mempelajari kejahatan."
"Biarkan dia bercerita terus. Ceng Liong, ceritakanlah sejelasnya dan apakah engkau tahu
pula di mana Gangga Dewi anakku?"
"Di mana ia?" Tek Hoat membentak dan sudah mcncengkeram lagi ke arah pundak Ceng
Liong. Akan tetapi dari samping, isterinya memegang pergelangan tangan suamimya, "Sabar
dulu, mungkin dialah yang akan dapat menyelamatkan anak kita." tegurnya.
"Harap locianpwe berdua jangan khawatir. Se-lema ini saya telah menghibur dan
menemaninya."
"Bocah setan! Engkau dan gurumu telah menerima budi kebaikan orang, akan tetapi
memba-lasnya dengan perbuatan keji. Kenapa tidak sejak dahulu engkau memberitahukan
kami teatnak anak kami" Begitu jahatkah kalian?" Tek Hoat membentak lagi."Lebih baik
cepat katakan di mana anakku agar kami dapat menyerbu dan membebaskannya!" Syanti
Dewi juga berkata dengan hati penuh ke-gelisahan dan ketegangan.
"Jangan, jangan lakukan itu. Itulah sebabnya mengapa saya tidak sejak kemarin memberi
tahu kepada ji-wi locianpwe. Kalau locianpwe mem-pergunakan kekerasan menyerbu tentu
dengan mu-dah mereka akan membunuh puteri locianpwe. Mereka adalah orang-orang kejam.
Harus diatur dengan baik agar puteri locianpwe dapat disela-matkan, dan juga agar
penyerbuan ke istana itu dapat digagalkan."
Tek Hoat seketika sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang anak yang amat cerdik dan
berpemandangan luas. Seperti seorang dewasa saja anak ini, pikirnya kagum.
"Baiklah, bagaimana keadaannya yang sebenarnya" Dan bagaimana engkau akan dapat
menye-lamatkan anak kami?"
"Mereka terdiri dari mata-mata Nepal, yaitu perwira Brahmani, beberapa orang pejabat tinggi
dan beberapa orang panglima pasukan, juga.... guru saya ikut di dalamnya. Malam ini,
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
303 menjelang tengah malam, mereka akan melakukan penyerbuan dan kini mereka sudah
berkumpul di markas yang dipimpin oleh Panglima Ram Rohan."
"Panglima Ram Rohan?" Tek Hoat terkejut sekali karena panglima itu masih saudara sepupu
dari mendiang Mohinta, putera Panglima Tua Sangita yang pernah memberontak itu. Inilah
akibatnya kalau raja terlalu lunak terhadap mereka. Setiap kali ada kesempatan, hati yang
membenci itu tentu kambuh pula dan mereka ini akan mudah melakukan pemberontakan
untuk membalas dendam atas kesalahan mereka yang lalu.
"Saya memberi tahu locianpwe agar penyerbuan ke istana itu dapat digagalkan, sedangkan
mengenai nona Hong Bwee, sayalah yang akan melarikannya dari tempat tahanan. Mereka
semua percaya kepada saya sebagai murid Phang-sinshe. Dan untuk keperluan ini, saya hanya
minta dibekali seguci arak terbaik yang sudah dicampuri obat bius untuk membuat selosin
penjaga di dalam itu lumpuh. Kemudian saya akan mencoba membawanya keluar dari gedung
itu melampaui para pengawal yang berjaga di luar."
Melihat gawatnya suasana, Tek Hoat tidak membuang banyak waktu lagi. Dia segera
berunding dengan isterinya. Dia sendiri akan cepat melapor kepada sri baginda,
mempersiapkan pasukan yang kuat untuk mengepung dan menghancurkan markas pasukan
yang dipimpin oleh Panglima Ram Rohan, menghancurkan persekutuan itu, sedangkan
isterinya akan membantu Ceng Liong dan membayanginya dari belakang, melindunginya
kalau sampai dua orang anak itu diancam oleh para penjaga di luar gedung di mana anak
perempuan itu disekap. Kepada Ceng Liong lalu diberikan seguci arak merah yang wangi dan
sudah dicampuri obat bius oleh Tek Hoat yang pernah mempelajari ilmu pengobatan bahkan
memiliki kepandaian membuat racun perampas ingatan yang diwarisinya dari Pulau Neraka.
Sebelum berangkat, Ceng Liong membalik dan berkata, "Locianpwe, saya minta obat
penawarnya."
"Eh" Untuk apa?"
"Siapa tahu para penjaga itu curiga kepada sa-ya dan tidak mau minum arak ini, maka kalau
me-reka memaksa saya ikut minum, sebelum saya men-jaga diri dengan obat penawarnya,
kan celaka...."
Tek Hoat mengangguk-angguk dan semakin kagum kepada anak kecil ini. Diambilnya dua
bu-tir pel merah. "Telanlah ini dan biarpun engkau harus menghabiskan seguci arak itu,
engkau tidak akan mabok atau terbius."
Ceng Liong menerimanya dengan girang, lalu pergi dari situ diam-diam dibayangi oleh
Syanti Dewi. Sedangkan Wan Tek Hoat sendiri secepat-nya pergi menghadap sri baginda.
Karena dia yang datang, maka para pengawal berani melaporkan ke dalam bahwa pangeran
itu minta ijin mengha-dap raja karena ada keperluan yang amat penting dan gawat.
Sementara itu, Ceng Liong segera pergi mem-bawa guci arak menuju ke gedung perwira
Brah-mani, bersiul-siul dan bernyanyi-nyanyi meng-hampiri para penjaga. Para penjaga di
luar gedung sudah mengenal anak ini dengan baik dan mereka semua sudah tahu bahwa anak
ini adalah murid Phang-sinshe yang dipercaya sebagai satu-satu-nya orang yang boleh
memasuki kamar tahanan di mana Puteri Gangga Dewi ditahan.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
304 "Hei, Ceng Liong, engkau membawa arak baik ya?"
"Beri kita sedikit ah!"
Ceng Liong tersenyum kepada mereka dengan sikap ramah. "Mana aku berani" Arak ini
adalah pesanan Brahmani tai-ciangkun, kalau berkurang sedikit saja aku akan celaka! Biar
nanti kucarikan untuk kalian yang lain saja." Sambil berkata de-mikian dia menyelinap ke
dalam gedung tanpa menimbulkan kecurigaan sedikitpun.
Dua belas orang pengawal pilihan yang berjaga di luar kamar tahanan Hong Bwee mengira
bahwa Ceng Liong membawakan makanan atau minuman untuk anak yang ditawan, akan
tetapi melihat anak laki-laki itu membawa guci arak, mereka menja-di heran.
"Eh, Ceng Liong, untuk siapa engkau memba-wa seguci besar arak itu?" tegur komandan
jaga. Tentu saja mengherankan melihat anak itu membawakan seguci arak untuk tawanan,
seorang anak perempuan yang jarang minum arak.
Ceng Liong tertawa. "Untuk siapa lagi kalau bukan untuk kakak-kakak sekalian" Melihat
ka-kak sekalian siang malam berjaga tak mengenal lelah, aku merasa kasihan dan tadi aku
melihat arak berlimpahan dalam pertemuan para pangli-ma. Maka aku minta kepada suhuku
untuk diper-kenankan membawa seguci arak wangi untuk dihadiahkan kepada kalian."
Dua belas orang pengawal itu bersorak gembira dan banyak tangan menerima guci arak itu.
Tutup guci dibuka dan terciumlah keharuman arak yang amat sedap, membuat mereka
bergegas men-cari cawan. Akan tetapi, komandan jaga cepat membentak.
"Jangan sentuh dulu arak itu!"
Para anak buahnya terkejut dan kecewa. Mere-ka memandang kepada komandan mereka
dengan alis berkerut.
"Kenapa" Apa salahnya dengan arak ini?"
"Kita sudah bersusah payah, sudah selayaknya menerima hadiah minuman baik!"
Akan tetapi komandan jaga itu tidak menghi-raukan omelan anak buahnya. Dia menghampiri
guci arak, mencium-cium dan memeriksa isinya. Diam-diam Ceng Liong merasa terkejut
sekali. Tak disangkanya bahwa kepala jaga ini orangnya demikian cerdik dan banyak curiga.
Akan tetapi, dia bersikap tenang saja, bahkan tersenyum-se-nyum.
Semua pengawal melihat komandan mereka me-nuangkan arak dari guci ke dalam sebuah
cawan dan mereka mengilar melihat arak merah yang jer-nih dan wangi itu. Akan tetapi
komandan itu tidak minum arak ini, melainkan menyodorkan ca-wannya kepada Ceng Liong
sambil berkata, "Ceng Liong, kau minumlah arak ini!"
Semua pengawal memandang heran dan Ceng Liong juga mengambil sikap seperti orang
merasa kaget dan heran. "Akan tetapi, aku sengaja mem-bawa arak ini untuk kakak sekalian!"
bantahnya. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
305 "Hemm, bagaimana kami tahu bahwa arak ini tidak beracun kalau engkau tidak mau minum
dulu secawan?" kata si komandan dengan muka berseri, merasa bangga memperlihatkan
kecerdikannya. Kini para anak buahnya, pengawal-pengawal yang berpengalaman, terkejut
dan timbul pula kecuriga-an mereka. Beramai-ramai mereka lalu mendesak kepada Ceng
Liong untuk minum arak dalam ca-wan itu.
"Hemm, aku tidak pernah atau jarang sekali minum arak, akan tetapi untuk memuaskan hati
kakak sekalian, apa boleh buat, akan kuminum a-rak ini. Akan tetapi, tolonglah aku nanti
kalau sampai mabok." Tanpa meragu lagi, Ceng Liong lalu mengangkat cawan arak itu,
menempelkan ke mulutnya dan menenggaknya sekaligus sampai habis! Dia menjilati
bibirnya, nampak keenakan se-kali dan mengangguk-angguk.
"Wah, belum pernah aku minum arak seenak ini. Bolehkah aku minta secawan lagi?"
Begitu Ceng Liong berkata demikian, para pe-ngawal itu segera berebut mengisi cawan arak
mereka dari guci itu tanpa memperdulikan permin-taan Ceng Liong, sambil tertawa-tawa dan
si ko-mandan jaga juga tidak lagi melarang mereka, bah-kan diapun menuntut agar diberi
lebih dahulu. Tentu saja dua belas orang pengawal itu kini percaya sepenuhnya bahwa arak itu
tidak mengan-dung sesuatu yang tidak baik setelah anak itu be-rani minum secawan dan tidak
kelihatan ada aki-bat yang mencurigakan.Memang arak itu arak tua yang harum dan le-zat,
maka merekapun seperti berlumba, minum sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, baru
mengha-biskan dua cawan saja, mereka sudah roboh ter-guling, terbius dan tidur pulas atau
pingsan, ma-lang-melintang tidak teratur di tempat penjagaan di luar kamar tahanan itu.
Ceng Liong tidak mau membuang terlalu ba-nyak waktu lagi. Diambilnya kunci pintu kamar
tahanan itu dari saku baju komandan jaga, dan dibukanya pintu kamar tahanan. Hong Bwee
su-dah mendengar akan kedatangan Ceng Liong dan mendengar percakapan antara Ceng
Liong dan para penjaga, mendengar betapa mereka minum arak dan tertawa-tawa. Kini, anak
perempuan itu merasa heran sekali mengapa suasana di luar ka-mar tahanan begitu sunyi
seolah-olah semua pen-jaga telah pergi dan nampak Ceng Liong masuk sendirian saja.-
"Ceng Liong, apa yang telah terjadi?"
"Ssttt, diamlah dan mari ikut denganku keluar dari tempat ini," kata Ceng Liong sambil
mena-ruh telunjuk di depan mulutnya. Biarpun semua penjaga di luar kamar tahanan telah
roboh, akan tetapi masih banyak pengawal yang berjaga di luar gedung dan dia harus berhati-
hati untuk da-pat membawa keluar anak perempuan itu dari gedung tanpa terlihat mereka.
Ketika ia digandeng keluar dari dalam kamar tahanan oleh Ceng Liong dan melihat dua belas
orang penjaga itu malang-melintang dalam kea-daan seperti sudah tewas saja, Hong Bwee
terkejut dan merasa ngeri. "Apa yang terjadi dengan me-reka?" bisiknya.
"Mereka hanya pingsan minum arak yang ada obat biusnya, yang kudapat dari ayahmu. Mari
kita pergi melalui pintu belakang."
Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar gedung, seperti suara orang berkelahi. Ceng
Liong yang membawa Hong Bwee menyelinap ke belakang, melihat beberapa orang
pengawal yang berjaga di bagian belakang gedung itu berlarian ke depan. Kesempatan ini
dipergunakannya untuk membawa anak perempuan itu lari keluar dari ge-dung, menyusup ke
dalam taman yang gelap lalu menjauhkan diri. Ternyata di luar gedung memang terjadi
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
306 keributan. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu, Puteri Syanti Dewi sendiri yang tadinya
mem-bayanginya, telah mengamuk dan menghajar para penjaga, anak buah Brahmani yang
memberontak itu. Para penjaga melawan dengan hati kecut, ka-rena mereka tahu siapa adanya
puteri ini, akan tetapi merekapun setia kepada Brahmani yang pada saat itu berkumpul di
rumah Panglima Ram Rohan dan siap untuk menyerbu atau mengacau istana raja. Akan
tetapi, para penjaga yang ber-jumlah belasan orang itu mana mampu menandingi Puteri Syanti
Dewi yang memiliki gerakan seperti burung terbang itu" Cepat bukan main sang Pu-teri
bergerak di antara mereka, merobohkan mere-ka dengan tamparan atau tendangan. Sang
puteri ingin sekali segera membebaskan puterinya yang menurut Ceng Liong ditawan di
dalam kamar bawah tanah di belakang gedung perwira Brahma-ni yang ternyata adalah mata-
mata Nepal itu.
Akan tetapi, setelah para penjaga itu berantak-an dan sebagian besar melarikan diri tidak
berani lagi melawan sang puteri yang memiliki gerakan cepat seperti pandai menghilang itu,
dan Syanti Dewi berhasil memasuki gedung, ia tidak dapat menemukan lagi puterinya. Kamar
tahanan itu telah kosong dan para penjaganya masih menggeletak tak sadar di luar kamar. Dan
Ceng Liongpun tidak nampak di situ. Sang puteripun tahu bahwa anaknya sudah diajak lari
keluar gedung oleh mu-rid Phang-sinshe, maka iapun cepat pergi mening-galkan gedung itu
untuk membantu suaminya yang sedang mempersiapkan pasukan untuk menghajar kaum
pemberontak yang berkumpul di markas Panglima Ram Rohan.
*** Tentu saja para pemberontak yang sudah ber-kumpul di markas pasukan yang dipimpin oleh
Panglima Ram Rohan terkejut sekali ketika tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan tambur dan
nampak obor mengepung markas itu. Ternyata tempat mereka itu telah dikepung oleh pasukan


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerajaan yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Wan Tek Hoat!
Melalui seorang penantang yang berteriak lan-tang melalui corong, Wan Tek Hoat
memerintah-kan para pemberontak untuk menyerahkan diri tanpa melawan. "Ram Rohan!
Brahmani! Perse-kutuan kalian telah diketahui! Tempat ini telah terkepung! Menyerahlah
tanpa perlawanan atau tempat ini akan dihancurkan!"
Tentu saja mereka yang berada di dalam mar-kas itu menjadi kaget dan bingung. "Ah, tentu
ada yang membocorkan rahasia kita," kata Phang-sin-she. "Tentu ada pengkhianat di antara
kita!" "Dan aku tahu siapa pengkhianatnya!" bentak Brahmani dengan penuh geram, matanya
menatap tajam wajah Phang-sinshe.
"Siapa" Siapa pangkhianatnya?" tanya semua orang yang berada di situ.
"Siapa lagi kalau bukan setan kecil Ceng Liong itu?" kata Brahmani. "Hanya dia seorang
yang tahu secara terperinci. Dan hanya dia yang pada saat ini berkeliaran di luar markas untuk
menjaga tawanan itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang mengkhianati kita?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
307 "Jangan menuduh sembarangan!" bentak Phang-sinshe. "Apa buktinya bahwa muridku yang
berkhianat?"
"Buktinya memang belum ada, akan tetapi de-ngan sedikit akal dapat kita ketahui! Siapa lagi
yang dekat dengan Pangeran Wan kalau bukan muridmu" Dan dia seoranglah yang tahu akan
semua rencana kita. Aku berani bertaruh potong leher bahwa setan kecil itulah yang
mengkhianati kita!" bentak Brahmani marah.
"Awas, jaga mulutmu atau aku sendiri yang akan mematahkan batang lehermu!" Kini Phang-
sinshe berobah sikap, sikap Hek-i Mo-ong yang marah mendengar muridnya dituduh sebagai
peng-khianat dan kemarahannya ini bangkit karena dia sendiriprm mulai menaruh curiga
kepada Ceng Liong, suatu hal yang benar-benar menyakitkan hatinya.
"Sudahlah, tidak perlu dalam keadaan seperti ini kita ribut dan bertengkar sendiri," kata
Pangli-ma Ram Rohan. "Lebih baik mari cepat memban-tuku mengatur pasukan untuk
menerjang keluar dan mencoba untuk melanjutkan siasat kita, menghantam pasukan kerajaan
untuk membikin kacau dari dalam."
Karena keadaan sudah mendesak, mereka se-mua tidakberbantahan lagi dan merekapun
memimpin pasukan menyerbu keluar. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah karena
pasukan di bawah pimpinan Panglima Ram Rohan itu ha-nya melawan setengah hati saja
setelah melihat bahwa mereka terkepung, apalagi mendengar bahwa yang memimpin pasukan
musuh adalah Pa-ngeran Wan Tek Hoat yang mereka takuti. Me-mang terjadi pertempuran
sengit antara pasukan pernerintah dengan pasukan pilihan yang memang sudah dipersiapkan
oleh Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani selama ini, pasukan yang me-mang sudah
bertekad untuk memberontak. Akan tetapi setelah berkelahi setengah malam, pada sa-at
matahari mulai mengusir kegelapan malam, pa-sukan inti inipun sudah sebagian besar roboh
dan pasukan lainnya menjadi semakin jerih. Ada yang melarikan diri, banyak pula yang
melempar senjata menyerah. Hanya di sana-sini, di sekitar markas itu masih terjadi
perkelahian, di antara para perwira kerajaan yang mengepung Hek-i Mo-ong yang mengamuk.
Tidak ada seorangpun yang kuat menghadapi Raja Iblis ini yang sudah mengamuk dan
merobohkan banyak sekali perajurit dan per-wira Bhutan. Kini, iblis ini memperlihatkan diri
yang sebenarnya. Dengan tangan kanan meme-gang sebatang tombak Long-ge-pang dan
tangan kiri memegang kipas merahnya, sepak terjangnya menggiriskan sekali sehingga tidak
ada perajurit Bhutan berani mendekatinya lagi. Padahal, Pang-lima Ram Rohan dan perwira
Brahmani sudah se-jak tadi tertawan dan luka-luka oleh pengeroyok-an para perwira Bhutan.
Ketika Wan Tek Hoat mendengar laporan bahwa Phang-sinshe mengamuk hebat dan tidak
ada orang berani mendekati-nya, dia sendiri lalu mendatangi tempat itu diikuti oleh isterinya
dan terkejutlah pendekar ini ketika menyaksikan kehebatan sepak terjang iblis itu. Melihat
sepasang senjata itu, teringatlah Tek Hoat akan tokoh besar kaum sesat Hek-i Mo-ong dan
sadarlah dia bahwa Phang-sinshe yang lemah lembut itu ternyata adalah penyamaran seorang
to-koh besar kaum sesat yang amat keji dan terkenal, yaitu Hek-i Mo-ong!
"Hek-i Mo-ong, kiranya engkaukah ini?" ben-taknya sambil meloncat dekat, diikuti oleh
Puteri Syanti Dewi yang kini bersenjatakan sebatang pe-dang.Hek-i Mo-ong tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut, katakanlah bahwa usahaku di Bhutan gagal, akan tetapi jangan
harap akan da-pat merobohkan aku dengan mudah!"
Marahlah Tek Hoat. Sudah lama pedang Cui-beng-kiam tidak pernah dipergunakannya dalam
perkelahian. Pedang Cui-beng-kiam (Pencabut Nyawa) yang kini dilolos dari sarungnya
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
308 mengelu-arkan hawa yang menyeramkan dan sinarnya mem-buat orang banyak terpaksa
melangkah mundur dengan gentar. Pedang ini merupakan pedang pe-ninggalan Cui-beng
Koai-ong, Raja Iblis dari Pulau Neraka yang diwarisi oleh Tek Hoat.
"Hek-i Mo-ong, engkau berani mengacau Bhutan, berarti engkau sudah bosan hidup!"
sam-bil mengeluarkan lengkingan panjang yang menye-ramkan Tek Hoat menyerang dengan
pedangnya. Pedang Cui-beng-kiam menyambar dahsyat dan nampak sinar berkilauan ketika
pedang itu me-nyambar dengan amat cepat dan kuatnya.
"Cring! Cring! Tranggg....!"
Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua pihak cepat memeriksa senjata mereka
masing-ma-sing. Ketika pedang Cui-beng-kiam bertemu dengan tombak Long-ge-pang, Tek
Hoat merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat, akan teta-pi pedangnya tidak rusak dan
scbaliknya, ketika Hek-i Mo-ong momeriksa tombaknya, ujungnya patah dan dia menjadi
marah sekali. Kakek iblis ini maklum bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dia masih menang
sedikit, akan tetapi senjatanya tidak akan mampu menandingi pedang pusaka itu, maka kini
sambil mengeluarkan bentakan hebat diapun menerjang dengan dahsyat, menggerakkan
tom-baknya dan juga kipasnya. Kipas itu mengeluarkan angin dingin, akan tetapi ketika
menyambar dekat, berobah menjadi totokan berbahaya yang dilaku-kan oleh ujung kipas yang
runcing. Tek Hoat ce-pat mengelak, mengenal serangan yang amat ber-bahaya itu. Pedangnya
juga membalas dengan ba-cokan yang dapat dielakkan oleh lawan. Saling se-rang terjadi dan
ketika pedang Cui-beng-kiam kembali berkelebat, tiba-tiba pedang itu tertahan oleh tombak
yang menggunakan tenaga menempel dari samping, tidak ber
Dendam Iblis Seribu Wajah 2 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Golok Halilintar 2
^