Kisah Para Pendekar Pulau Es 11

Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


ani beradu tajam. Tek Hoat
terkejut ketika merasa betapa kuatnya tenaga se-dot yang keluar dari senjata lawan, membuat
pe-dangnya seperti menempel pada besi sembrani. Selagi dia mengerahkan tenaga untuk
membetot dan menarik kembali pedangnya, tiba-tiba terde-ngar suara mencicit dan dari mulut
kakek itu ter-sembur uap panas seperti api! Itulah Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), ilmu
baru yang sedang dilatih oleh kakek iblis itu. Bukan main hebatnya serangan ini. Wan Tek
Hoat terpaksa mena-rik kembali pedangnya dan melempar tubuh ke belakang, lalu
menggulingkan tubuhnya menjauh karena dia maklum betapa hebatnya uap yang amat panas
itu. Melihat suaminya didesak, Syanti Dewi menge-luarkan suara melengking nyaring dan
tuhuhnya mencelat ke depan. Tahu-tahu pedangnya me-nusuk ke arah leher Hek-i Mo-ong
dari samping. Kakek itu terkejut sekali, tidak pernah mengira bahwa puteri itu dapat bergerak
secepat itu, bah-kan harus diakuinya bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi
kecepatan yang seperti ter-bang saja itu! Sukarlah mengikuti gerakan puteri itu dengan
pandang matanya, maka diapun hanya mengandalkan ketajaman telinganya saja,
mengge-rakkan gagang tombak Long-ge-pang untuk me-nangkis sambil miringkan leher
karena tusukan itu benar-benar amat cepat.
"Tranggg....!" Tubuh Syanti Dewi terlem-par dan hanya dengan ilmu gin-kangnya yang
he-bat puteri ini dapat menghindarkan diri tidak sampai terbanting, yakni dengan berjungkir
balik mem-buat poksai (salto) sampai tiga kali. Puteri itu ter-kejut, dan Hek-i Mo-ong merasa
lega. Biarpun sang puteri itumemiliki gin-kang yang luar biasa hebatnya, namun dalam hal
tenaga sin-kang, tidaklah sekuat Si Jari Maut, sehingga tidaklah terlalu membahayakan
baginya. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
309 Akan tetapi, pada saat itu perlawanan pasukan pemberontak telah hancur sama sekali dan
tinggal Hek-i Mo-ong seorang yang melakukan perla-wanan. Tentu saja para tokoh Bhutan
kini berda-tangan membantu Tek Hoat, juga pasukan pilihan Bhutan mengepung kakek itu
dengan busur ter-pentang. Bagaimanapun juga, Hek-i Mo-ong takkan dapat meloloskan diri
dari tempat itu, ke-cuali kalau dia pandai melenyapkan diri atau ter-bang seperti burung.
Kakek itupin maklum akan hal ini. Akan tetapi dia adalah seorang datuk ka-um sesat, maka
diapun tidak mengenal takut. Ha-nya dia sudah putus asa untuk dapat keluar dari tempat itu
dalam keadaan hidup, maka diapun mengamuk dengan senjatanya, menghadapi
pe-ngeroyokan banyak orang.
Diam-diam Tek Hoat kagum bukan main. Memang, lawannya ini adalah seorang datuk sesat
yang jahat seperti iblis. Akan tetapi harus diakui-nya bahwa jarang dia bertemu dengan orang
yang memiliki ilmu kepandaian sedemikian hebatnya, juga memiliki kegigihan yang luar
biasa. Kalau orang dengan watak dan kepandaian seperti ini disertai pula kesetiaan dan
kejujuran, tentu akan dapat menjadi tulang punggung sebuah negara yang boleh diandalkan.
Bagaimanapun juga, Hek-i Mo-ong yang sakti itupun hanyalah seorang manusia, sudah tua
pula, usianya sudah tujuh puluh lima tahun, maka daya tahannya tentu saja sudah banyak
menurun walau-pun kepandaiannya semakin matang. Dan dia di-keroyok oleh banyak sekali
orang. Terutama sekali desakan-desakan Tek Hoat dan kecepatan Syanti Dewi membuatnya
lelah dan gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah.
Akan tetapi, hal ini bukan membuatnya gentar, bahkan sebaliknya dia menjadi penasaran dan
ma-rah. "Haiiiiiitttt!" Teriakannya disusul gerengan seperti seekor harimau terluka dan
tubuhnya mem-balik, tombak Long-ge-pang dan kipas merah-nya bergerak cepat. Terdengar
jeritan mengerikan dan dua orang perwira Bhutan roboh tewas seke-tika. Akan tetapi pada
detik itu juga, pedang Cui-beng-kiam di tangan Tek Hoat menyambar dan nyaris membabat
putus leher kakek itu kalau saja dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan
sambil membabatkan tombaknya ke seputar dirinya, membuat para pengeroyok terpak-sa
mundur. Ketika meloncat bangun lagi, kakek itu mengusap pundaknya yang berdarah.
Kiranya pedang Cui-beng-kiam masih sempat menye-rempet pundaknya, membabat baju dan
sebagian kulit dan daging pundaknya ikut terkupas! Marahlah kakek itu, akan tetapi diam-
diam diapun maklum bahwa saat akhirnya sudah dekat. Kedua tangannya sudah mulai
gemetar dan napasnya su-dah mulai memburu, apalagi pundak yang terke-na pedang Cui-
beng-kiam itu terasa panas dan perih, tanda bahwa racun pada pedang itu amat-lah ampuhnya.
Melihat ini, Tek Hoat yang merasa kagum itu membentak, "Hek-i Mo-ong, apakah engkau
masih belum mau menyerah?"
Tiba-tiba kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha! Sekiranya Giam-lo-ong (Malaikat Maut) sendiri
datang, akan kulawan dan aku tidak sudi menye-rah, apalagi menghadapi kalian!"
"Siapkan anak panah!" Tek Hoat memberi aba-aba dan sepasukan pemanah yang sudah si-ap
dengan anak panah di busur kini menuju-kan ujung anak panah ke arah tubuh Hek-i Mo-ong!
Akan tetapi, sebelum Tek Hoat mengeluarkan aba-aba terakhir untuk menghujankan anak
panah dari jarak dekat kepada kakek itu tiba-tiba terdengar bentakan suara nyaring.
"Tahan! Jangan bunuh dia!"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
310 Semua orang terkejut. Tek Hoat menoleh dan melihat betapa Ceng Liong datang sambil
meme-gang lengan kiri Hong Bwee, wajahnya berobah pucat dan diapun cepat sekali
membentak, "Ta-han semua senjata!"
Syanti Dewi juga melihat bahwa puterinya te-lah dipegang oleh Ceng Liong dan tahu apa
arti-nya. Ia menjadi marah dan hendak bergerak me-loncat untuk menyelamatkan puterinya,
akan teta-pi lengannya dipegang oleh suaminya yang berbi-sik agar ia tenang.
"Ceng Liong, apa maksudmu mencegah kami membunuh pengkhianat?" Tek Hoat bertanya
dengan suara lantang dan dia mencari kesempatan bagaimana untuk dapat menolong
puterinya. A-kan tetapi, puterinya berdiri mepet dengan Ceng Liong dan tangan anak laki-laki
itu sudah siap untuk mengirim serangan maut, hal ini diketahui-nya dari cara anak itu
memegang tangannya. Yang amat mengherankan hatinya adalah melihat betapa wajah
puterinya itu cerah saja, bahkan agak tersenyum seolah-olah tidak sedang dalam ancaman
maut. "Tidak mungkin....!" Tek Hoat berseru marah.
"Kutukar nyawa guruku dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!" Ceng Liong berkata lagi,
suara-nya lantang, sedikitpun dia tidak kelihatan gentar, matanya penuh kewaspadaan
mengerling ke kanan kiri dan kepalanya kadang-kadang menoleh ke belakang, agaknya dia
sudah mempersiapkan diri kalau-kalau dibokong dari belakang atau samping.
Mendengar ini, Syanti Dewi memandang de-ngan mata terbelalak dan muka pucat. "Jangan
ganggu anakku!"
"Aku tidak akan mengganggunya, selembar rambutnyapun tidak, asal guruku dibebaskan dan
kami berdua dibiarkan pergi meninggalkan tempat ini dengan aman," jawab Ceng Liong
tenang. Tek Hoat saling bertukar pandang dengan isterinya. Mereka berdua merasa bingung sekali
melihat sikap Ceng Liong. Bukankah anak itu yang mengkhianati gurunya dan yang
melaporkan akan semua pengkhianatan dan rencana pemberontakan sehingga pemberontakan
itu dapat digagalkan" Bukankah Ceng Liong pula yang telah menyelamatkan Hong Bwee,
membebaskannya dari tahan-an pihak musuh" Kenapa sekarang Ceng Liong berbalik
menolong gurunya dan menjadikan Hong Bwee sebagai sandera"
"Ceng Liong, apa artinya ini" Engkau adalah seorang anak yang amat baik dan berbudi,
meng-apa engkau hendak membela gurumu yang jahat ini" Tidak tahukah engkau bahwa
gurumu ini sama sekali bukanlah seorang ahli pengobatan, melainkan seorang datuk kaum
sesat yang terso-hor dan berjuluk Hek-i Mo-ong" Dosanya terhadap Bhutan sudah bertumpuk,
dan engkau ma-sih ada muka untuk berusaha menyelamatkannya dengan mengancam puteri
kami?" "Aku berhutang budi kepadanya dan aku ada-lah muridnya. Budi adalah budi yang harus
diba-las karena aku tidak mau menjadi manusia yang tidak mengenal budi. Aku berhutang
nyawa ke-padanya, maka aku akan membalas budinya, ti-dak perduli dia jahat ataukah tidak.
Andaikata dia jahat, kalau dia sudah melepas budi kebaikan kepadaku, apakah harus kubalas
dengan kejahatan" Aku menentang perbuatannya, bahkan orangnya. Dan aku berguru ilmu
kepadanya, bukan berguru kejahatan."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
311 Jawaban yang keluar dari mulut seorang anak kecil seperti itu mengejutkan hati Tek Hoat dan
dia menduga bahwa anak ini pasti bukan anak sembarangan. Akan tetapi, hatinya tetap saja
ma-sih merasa tidak rela untuk membebaskan Hek-i Mo-ong begitu saja. Bukankah kakek
iblis ini su-dah menimbulkan bencana hebat yang mengor-bankan nyawa banyak perajurit
Bhutan" Dan bukankah kakek ini tetap akan merupakan bahaya besar kalau dibiarkan
berkeliaran di kolong langit dan menimbulkan bencana-bencana baru di anta-ra manusia"
"Ceng Liong, aku tidak percaya bahwa kalau kami membunuh Hek-i Mo-ong, engkau akan
tega mencelakai Hong Bwee. Hatimu terlalu baik untuk melakukan kejahatan keji itu!"
katanya un-tuk mencoba hati anak itu dan menundukkannya.
Akan tetapi, terkejutlah dia ketika melihat sepasang mata anak itu mencorong seperti mata
see-kor naga. "Ucapan seorang laki-laki tidak akan ditarik mundur kembali! Apapun yang
akan ter-jadi, aku harus menyelamatkan guruku. Sekali lagi, aku minta agar nyawa guruku
ditukar dengan nya-wa Puteri Gangga Dewi!"
"Ceng Liong, engkau akan ditentang oleh pen-dapat banyak orang, engkau akan dikutuk!"
Tek Hoat masih membantah.
"Aku tidak menyandarkan hidupku pada pendapat atau kutukan orang. Orang boleh
membenarkan atau menyalahkan aku, akan tetapi semua tindakanku adalah urusanku sendiri,
semua akibat-nya adalah urusanku sendiri, orang lain tidak turut campur!"
Kembali jawaban ini mengejutkan hati Tek Hoat. Syanti Dewi yang sejak tadi memandang
khawatir, tiba-tiba saja berkata dengan suara ting-gi nyaring, "Bebaskan Hek-i Mo-ong! Aku
me-nukar nyawanya dengan nyawa anakku!"
Wajah Ceng Liong yang tadinya tegang dan serius itu, kini menjadi cerah dan dia tersenyum
lalu menjura ke arah Syanti Dewi. "Aku percaya bahwa ucapan seorang puteri seperti paduka
akan ditaati oleh seluruh rakyat Bhutan. Aku minta agar paduka suka menjanjikan kepada
kami berdua guru dan murid untuk dapat meninggalkan Bhu-tan dengan aman."
Syanti Dewi mengangguk dan berkata lagi de-ngan lantang, "Biarkan Hek-i Mo-ong dan
mu-ridnya pergi meninggalkan Bhutan dengan aman. Siapapun juga dilarang untuk
mengganggu atau menghalangi kepergian mereka!"
Ceng Liong melepaskan tangannya dari lengan Hong Bwee, lalu tersenyum kepada anak itu.
"Adik yang baik, terima kasih atas bantuanmu yang amat berharga."
Kini anak perempuan itu yang memegang le-ngan Ceng Liong dan suaranya terdengar sedih,
"Ceng Liong, benarkah engkau mau pergi meninggalkan Bhutan" Meninggalkan aku?"
Ceng Liong mengangguk. "Engkau melihat sendiri bahwa aku terpaksa pergi. Kelak kita
akan dapat bertemu lagi."
"Benarkah" Engkau takkan lupa kepadaku" Engkau kelak akan mengunjungiku?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
312 Ceng Liong mengangguk. Syanti Dewi sekali lompat telah berada di dekat anaknya yang
segera dipeluknya dan ia memandang kepada Ceng Liong dengan alis berkerut lalu berkata
agak ketus, "Pergilah cepat!"
Ceng Liong lalu menghampiri gurunya, seje-nak mereka berdiri berhadapan, saling pandang
dan Ceng Liong lalu berkata, "Mo-ong, mari kita pergi."
Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara menggeram dan menubruk Ceng Liong. Semua
orang terkejut dan khawatir sekali, mengira bah-wa kakek iblis itu akan membunuh murid
yang telah mengkhianatinya itu. Akan tetapi Ceng Liong tenang-tenang saja dan ternyata
kakek itu malah memondongnya, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya sambil
tertawa bergelak! Suara ketawanya menyeramkan hati semua orang, seperti ketawa setan yang
menakutkan. "Ha-ha-ha-ha-ha! Sungguh aneh! Seben-tar engkau jadi musuhku, kemudian tiba-tiba
menjadi penolongku. Sebentar aku ingin membunuhmu, di lain saat aku ingin memondong
dan me-rangkulmu! Ha-ha-ha, engkau anak luar biasa, engkau tepat menjadi muridku. Ha-ha-
ha-ha!" Dan kakek itu lalu pergi sambil memondong Ceng Liong, menyeret tombak Long-ge-
pang sambil tertawa-tawa. Tidak seorangpun berani meng-halanginya, pertama karena Sang
Puteri Syanti Dewi telah mengeluarkan perintahnya dan kedua kalinya karena memang
mereka semua gentar menghadapi kakek iblis yang amat sakti itu.
Tek Hoat menggeleng kepalanya, kagum sekali. Seorang kakek yang amat hebat, pikirnya,
dan muridnya itu lebih hebat lagi. Peristiwa pemberon-takan di Bhutan itu mengguncangkan
sendi perta-hanan negara kecil itu, maka Bhutanpun tidak mau banyak ribut ketika bala
tentara Nepal menyerbu ke Tibet melalui perbatasan antara kedua negara. Asal Nepal tidak
melanggar wilayah Bhutan, ne-gara kecil ini lebih baik tinggal diam karena mak-lum bahwa
kekuatan mereka tidak akan mampu menandingi Nepal yang jauh lebih besar.
Himalaya merupakan pegunungan yang bukan saja paling besar di dunia, mempunyai
puncak-puncak yang paling tinggi di dunia sehingga mem-peroleh sebutan Atap Dunia, akan
tetapi juga se-jak jaman dahulu terkenal sebagai tempat keramat dan di sanalah banyak
pendeta dan pertapa ting-gal mengasingkan diri dari dunia ramai.
Karena tempatnya sunyi terasing, maka bukan hanya mereka yang mencari sesuatu yang
lebih luhur daripada hal-hal duniawi yang memban-jiri Pegunungan Himalaya, akan tetapi
juga para buronan penting banyak yang mengasingkan diri ke tempat ini, karena di tempat
yang amat luas dan sukar didatangi manusia ini mereka dapat ber-sembunyi tanpa khawatir
akan dapat ditemukan orang.
Banyak pula orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi tinggal di situ, dan ada pula
yang tinggal karena memang dapat menikmati ke-heningan yang luar biasa itu. Akan tetapi
sebagi-an besar dari mereka itu, biarpun dipandang suci dan luhur oleh orang-orang awam,
sebagai pertapa-pertapa dan pendeta-pendeta, sesungguhnya me-reka itu hanyalah orang-
orang yang masih men-cari sesuatu, orang yang masih didorong oleh keingginannya
memperoleh sesuatu. Pada lahirnya me-reka mengatakan, juga kepada diri sendiri, bahwa
mereka mengasingkan diri dari dunia ramai, berta-pa dan bersepi di tempat sunyi, menyendiri,
nam-paknya secara lahiriah seperti menjauhi urusan duniawi. Akan tetapi, kalau mereka mau
menje-nguk ke dalam, mengamati batin sendiri, akan nampaklah dengan jelas bahwa
kepergian mereka bertapa ke tempat sunyi itu tiada lain hanya merupakan suatu pelarian dan
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
313 suatu usaha untuk mencari sesuatu yang mereka nilai lebih tinggi daripada hal-hal biasa,
sesuatu yang mereka ha-rapkan akan dapat mendatangkan bahagia kepa-da mereka! Batin
yang mengejar-ngejar sesuatu yang menyenangkan, biarpun yang menyenangkan itu sudah
disulap menjadi sesuatu yang suci mur-ni dan membahagiakan, berarti bahwa batin itu masih
sibuk. Maka, kalau batin sibuk mengejar-ngejar, biarpun kita tinggal di tempat hening, ma-na
mungkin dapat menyelami keheningan sejati" Untuk dapat menikmati dan menyelami
kehening-an, maka batin haruslah hening lebih dulu, dalam arti kata batin yang bebas
daripada segala keinginan memperoleh apapun juga.
Seorang pertapa boleh mengatakan dengan te-gas bahwa dia tidak mencari apa-apa. Akan
te-tapi, menolak atau menjauhi sesuatu itu sama arti-nya dengan mencari sesuatu, kecuali
kalau kita benar-benar melihatnya bahwa yang kita jauhi itu adalah tidak baik bagi kita lahir
maupun batin. Dan bentuk pencarian, betapapnn agungnya yang dicari-cari itu, berarti suatu
pengejaran, suatu ke-inginan, suatu cita-cita. Dan di mana ada cita-cita, tentu timbul dalil
bahwa cita-cita mengha-lalkan segala cara. Dan dalam cara inilah letak persoalannya, karena
cara inilah yang menentukan bersih dan kotornya. Bukan cita-cita yang hanya merupakan
khayal dan keinginan yang belum tercapai saja. Yang penting bukan cita-citanya, melainkan
caranya itulah. Dan cara-cara yang cu-rang dan kotor timbul dengan ditutupi pakaian berupa
alasan untuk atau demi cita-cita!
Seorang yang bercita-cita menjadi raja, tentu akan mempergunakan segala macam cara untuk
melaksanakan cita-citanya agar terkabul. Kalau perlu, dia akan menyingkirkan semua
rintangan dan saingannya, baik dengan cara jujur atau cu-rang, bisa saja dia mencelakakan
atau membunuh saingan-saingan yang menjadi penghalang cita-citanya, berjuang mati-matian
demi mencapai cita-citanya itu. Hal ini bukan dongeng kosong belaka melainkan dapat kita
lihat seridiri di seluruh penjuru dunia dan di negara manapun juga. Se-baliknya, walaupun
tanpa cita-cita menjadi raja, seorang yang benar-benar cakap dan berbakat dan tepat untuk
kedudukan itu, bisa saja dipilih atau diangkat menjadi raja!
Seorang yang bercita-cita menjadi orang baik, akan berusaha sedapatnya untuk melakukan
"hal-hal baik" yang sesuai dengan penilaian umum, dan berbuatlah dia hal-hal yang
sebenarnya palsu, mungkin berlawanan dengan hati nuraninya, hanya untuk memenuhi cita-
citanya agar menjadi orang baik! Kebaikan yang dilakukan adalah kebaikan palsu dan amat
berbahaya bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Kemunafikan adalah iba-rat harimau
bertopeng domba, dan ini lebih berbahaya daripada harimau dengan mukanya sen-diri
sehingga kita dapat menghindar atau berjaga diri. Orang yang hidupnya disinari cahaya cinta
kasih, berbuat tanpa pamrih, wajar dan apa ada-nya, tidak menilai perbuatannya sebagai baik
atau buruk. Perbuatan apapun di dunia ini yang dida-sari cinta kasih, sudah jelas baik adanya!
Hek-i Mo-ong keluar dari Bhutan dan langsung saja memasuki daerah Himalaya untuk
me-laksanakan tugasnya yang ke dua, yaitu memecah-belah para penghuni atau para pendeta
di sekitar Himalaya. Hek-i Mo-ong yang pernah menjadi pertapa di Himalaya ketika dia
sedang mema-tangkan ilmu-ilmunya, mempunyai banyak kenal-an dan sahabat baik di daerah
ini. Dia mengunjungi mereka satu demi satu, bicara soal ilmu dan secara sambil lalu mulailah
dia menghasut dan mengadu domba antara pertapa yang dikenalnya, memanaskan hati mereka
dengan membanding-bandingkan ilmu mereka, mencela yang satu me-muji yang lain.
Ceng Liong merasa girang dan suka sekali dengan perjalanan ke Himalaya ini. Dia bertemu
dengan bermacam orang yang lihai-lihai, dan para pertapa itu hampir semua suka kepadanya,
meli-hatnya sebagai seorang anak yang amat berbakat dan mereka tidak pelit untuk memberi
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
314 petunjuk-petunjuk kepada Ceng Liong. Anak ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa tidak
mungkin un-tuk memetik hasil dari pertemuan dengan orang-orang sakti itu kalau hanya
dalam waktu beberapa hari, maka diapun mencatat dan menghafal semua ilmu atau petunjuk
yang diterimanya dari mereka dengan keputusan untuk kelak perlahan-lahan se-mua teori itu
dilatih dan dipraktekkan.
Ceng Liong bukan hanya menerima banyak pe-tunjuk dan menambah pengalamannya dalam
hal ilmu silat, akan tetapi dia juga mulai berkenalan dengan orang-orang ahli ilmu gaib dan
mistik. Dia belajar pula tentang meditasi dan yoga dari seo-rang pertapa berbangsa India. Dia
tidak memper-dulikan apa yang dikerjakan oleh gurunya, tidak mau mencampurinya,
melainkan tekun belajar da-ri para pertapa yang sakti.


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hek-i Mo-ong adalah seorang tokoh besar yang dipercaya oleh sebagian besar para pendeta
dan pertapa. Oleh karena itu, tidak aneh kalau hasutan-hasutannya menemui sasaran dan
berha-sil baik. Terjadilah ketegangan-ketegangan dan kesalahpahaman antara para tokoh sakti
di pegu-nungan itu dan walaupun mereka itu belum sam-pai saling serang secara terbuka,
namun setidaknya mereka telah saling tidak percaya dan kehilangan persatuan sehingga ketika
bala tentara Nepal me-lintasi pegunungan itu untuk menyerbu ke Tibet, merekapun diam saja
dan tidak memperdulikannya.
Berkat usaha Hek-i Mo-ong yang sementara itu telah mengajak muridnya kembali ke timur,
akhirnya pasukan-pasukan Nepal dapat menyer-bu Tibet dan menduduki Tibet. Penguasa
Tibet dibunuh dan sebagai penggantinya, diangkatlah seorang pendeta Lama yang menjadi
boneka Ne-pal. Kaisar Kian Liong mendengar akan peristiwa penyerbuan dan penaklukan Tibet oleh pasukan
Nepal. Marahlah kaisar. Tibet menupakan daerah yang biarpun tidak dijajah, namun
merupakan daerah yang telah mengakui kedaulatan Dinasti Ceng. Penyerbuan Tibet oleh
pasukan Nepal yang malah mendudukinya itu berarti merupakan tam-paran bagi muka
kerajaannya dan sebagai tan-tangan. Maka kaisar lalu memanggil Jenderal Mu-da Kao Cin
Liong tmtuk menghadap. Setelah kai-sar yang juga memanggil para panglima lain
meng-adakan perundingan, diperintahkannya agar Jen-deral Muda Kao Cin Liong membawa
pasukan be-sar membebaskan Tibet dari cengkeraman pasu-kan Nepal dan juga agar memberi
hajaran kepada Kerajaan Nepal yang sudah berani melakukan penghinaan terhadap Kerajaan
Ceng. Berangkatlah bala tentara yang besar dari Ke-rajaan Ceng dan terjadilah perang besar antara
bala tentara Kerajaan Ceng melawan pasukan-pa-sukan Nepal untuk memperebutkan Tibet.
Perang memperebutkan Tibet ini merupakan adu kekuatan antara dua negara yang sudah lama
saling bermusuhan ini dan yang celaka adalah rakyat Tibet di mana perang itu terjadi. Jika
sebuah dusun di-duduki tentara Nepal, rakyat dusun itu dipaksa untuk membantu pasukan
Nepal dan karenanya mereka dicap sebagai kaki tangan Nepal. Kalau tentara Nepal mundur
dan dusun itu jatuh ke tangan tentara Ceng, tentu seisi dusun yang dianggap kaki tangan
Nepal itu akan dihancurkan! Dan demikian sebaliknya. Bangsa Tibet tidak dapat memilih,
karena mereka adalah bangsa yang lemah dan tidak pandai perang. Mereka harus
mengorbankan harta bendanya, bahan makanan, anak-anak perempuan dan isteri-isteri yang
masih mu-da. Mereka ditindas, diperas, dihina tanpa ada yang dapat melindungi mereka.
Hanya doa mere-ka saja yang semakin banyak dan semakin kuat dilontarkan kepada para
dewa yang agaknya tidak juga mau mendengarkan dan memenuhi perminta-an dalam doa-doa
mereka. Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
315 Perang antara Kerajaan Nepal dan Kerajaan Ceng ini terjadi dengan hebat dan banyak korban
jatuh di kedua pihak. Jenderal Muda Cin Liong dibantu oleh para panglima harus
mengerahkan tenaga karena pihak musuh bukanlah pasukan le-mah, melainkan pasukan
terlatih yang sudah ber-hasil melintasi Pegunungan Himalaya yang demikian sukarnya. Akan
tetapi, akhirnya bala tentara Nepal yang terhalang Pegunungan Himalaya dengan kerajaannya
sehingga sukar menerima bala bantuan itu, terpaksa mundur. Kao Cin Liong pernah terluka
dalam perang besar ini, akan tetapi setelah berobat dan sembuh, dia memimpin lagi
pasukannya melakukan pengejaran, bahkan terus menyerbu masuk ke dalam Negara Nepal!
Perang itu dilanjutkan sampai ke Nepal, berlarut-larut sampai makan waktu kurang lebih dua
tahun lamanya! Dan perang, seperti terbukti dalam sejarah semenjak jaman dahulu sampai
seka-rang, merupakan malapetaka paling mengerikan bagi umat manusia. Harta benda
musnah, banyak nyawa melayang dengan sia-sia, kekejaman-ke-kejaman yang mengerikan
terjadi di mana-mana, setiap negara mengorbankan nyawa bangsanya yang tidak sedikit
jumlahnya. Dan semua itu ha-nya untuk mencapai apa yang disebut kemenang-an!
Kemenangan yang sementara saja, karena se-mentara itu yang kalah selalu mencari
kesempatan untuk bangkit kembali, untuk membalas dendam. Rakyat menjadi permainan
beberapa gelintir orang yang dinamakan pemimpin, dan di lain pihak, be-berapa gelintir
pemimpin inipun menjadi permainan dari nafsu keinginan mereka masing-masing, menjadi
korban permainan ambisi.
*** Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Hui dan marilah kita mengikuti perjalanannya.
Dengan hati yang dihimpit kedukaan, kekecewaan dan kemarahan gadis ini minggat dari
rumahnya, meninggalkan sepucak surat untuk orang tuanya, mengatakan bahwa ia pergi
hendak mencari dan membunuh Cin Liong. Hatinya dihimpit kedu-kaan dan kekecewaan
mengingat akan perbuatan Cin Liong terhadap dirinya dan pernyataannya dalam surat bahwa
ia hendak mencari dan mem-bunuh Cin Liong tidak dilebih-lebihkan, karena memang pada
saat itu satu-satunya keinginan hatinya adalah bertemu dengan Cin Liong, menan-tangnya
dalam perkelahian yang akan berakhir dengan kematian Cin Liong atau kematian dirinya
sendiri. Dan ia marah kepada ayahnya yang me-maksanya berjodoh dengan Tek Ciang.
Mengapa ayahnya tidak mau tahu bahwa ia tidak cinta kepa-da suhengnya itu dan tidak
mungkin menjadi iste-rinya" Ia sudah memberi alasan dan mengajukan syarat agar Tek Ciang
dapat mengalahkannya, akan tetapi ayahnya malah membantu Tek Ciang dengan menjanjikan
untuk mewariskan semua il-munya kepada pemuda itu agar dapat mengalah-kannya. Ia
sungguh marah dengan keputusan ayahnya itu!
Tentu saja tempat yang ditujunya untuk men-cari Cin Liong adalah kota raja. Semua orang
ta-hu siapa Jenderal Muda Kao Cin Liong dan di mana letak istananya. Akan tetapi, alangkah
kecewa hatinya ketika mendengar bahwa jenderal muda itu telah pergi ke barat memimpin
pasukan untuk memerangi pasukan Nepal yang telah me-nguasai Tibet. Dengan nekat, gadis
yang hidup-nya menjadi pahit getir oleh rasa dendam ini me-nyusul ke barat, ke Tibet! Dapat
dibayangkan betapa sudah payahnya perjalanan yang amat ja-uh itu. Apalagi dengan adanya
perang di Tibet, keadaan di tengah perjalanan menjadi tidak aman. Orang-orang jahat yang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
316 suka mengail di air keruh mempergunakan kesempatan itu untuk beraksi. Banyak perampok
bermunculan di jalan-jalan.
Suma Hui adalah seorang pendekar wanita yang sama sekali tidak gentar menghadapi semua
gang-guan di perjalanan. Akan tetapi, karena setiap kali bertemu penjahat ia tentu turun
tangan dan mem-basminya, baru puas kalau ia sudah berhasil, ma-ka perjalanannya menjadi
makin lambat. Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan, barulah ia tiba di perbatasan
Tibet. Akan tetapi, betapa kecewa rasa hatinya ketika ia mendengar bahwa perang di daerah itu
telah selesai dan kini pasukan pemerintah Ceng melaku-kan pengejaran terhadap pasukan
musuh ke Nega-ra Nepal! Biarpun Suma Hui seorang gadis yang keras hati dan tabah, bahkan
selama perjalanan berbulan-bulan itu ia tidak pernah mau menyerah dengan keadaan yang
sukar dan tetap tabah, sekali ini tidak dapat menahan air matanya karena kecewa. Ia
meninggalkan perbatasan itu, kembali ke timur dan ketika ia berhenti di luar sebuah dusun
yang sunyi, ia duduk di atas batu dan menangis.
Ia tidak dapat menghentikan kenangannya akan masa lalu, mengingat kembali nasib yang
me-nimpa dirinya. Rasanya baru kemarin terjadinya. Mula-mula ia hidup dengan riang
gembira bersa-ma Ciang Bun dan Ceng Liong di Pulau Es. Akan tetapi dalam satu hari saja,
berobahlah seluruh kehidupannya, dimulai dengan penyerbuan Pulau Es oleh para datuk sesat
dan sejak hari itu, ber-macam malapetaka menghantuinya. Cintanya de-ngan Cin Liong
terhalang oleh tentangan ayahnya, kemudian yang terakhir sekali peristiwa terkutuk di malam
jahanam itu ketika Cin Liong menghan-curkan segala-galanya dalam dirinya, lahir batin.
Semua itu masih ditambah beban batin lagi ketika ayahnya mendesaknya untuk menikah
dengan Tek Ciang.
"Ya Tuhan.... apa yang harus kulakukan....?" Demikian gadis itu menangis dan merintih
dalam batinnya. Kemudian timbul lagi semangatnya. Bagaimanapun juga, ia akan menanti
sampai Cin Liong kembali dari perang, kemudian mencarinya dan menuntut balas. Kalau ia
kalah dan tewas di tangan pemuda itu, hal yang ia merasa yakin pas-ti terjadi mengingat
bahwa pemuda itu jauh lebih lihai daripadanya, maka hal itu baik sekali. Memang Cin Liong
sama dengan telah membunuh-nya, membunuh semua gairah hidupnya dengan melakukan
perbuatan terkutuk memperkosanya itu. Akan tetapi kalau pemuda itu mengalah dan tidak
melawan, ia akan membunuhnya! Dan setelah itu, entah apa yang akan dilakukannya!
Setidaknya, ia masih mempunyai satu tujuan dalam hidupnya, yaitu menanti dan menemui
Cin Liong untuk membalas dendam!
Dengan jalan pikiran ini, hatinya terasa lebih tenang dan tangisnya terhenti. Duka adalah
per-mainan pikiran yang mengenang kembali hal-hal yang telah lalu atau membayangkan hal-
hal yang belum terjadi sehingga terciptalah rasa iba diri yang menimbulkan rasa duka.
Kenangan masa la-lu tentang peristiwa-peristiwa yang merugikan dirinya lahir maupun batin,
dan bayangan-bayangan masa depan yang suram dan tidak menye-nangkan. Tanpa
mengenangkan masa lalu atau membayangkan masa depan, melainkan mengha-dapi saja
kenyataan saat ini dengan penuh kewas-padaan, akan melenyapkan rasa duka. Di dalam
pengamatan penuh kewaspadaan akan saat ini, yaitu setiap saat dalam hidup ini, tanpa pamrih
untuk menemukan sesuatu, hanya mengamati sa-ja dengan waspada, tanpa prasangka, tanpa
peni-laian atau perbandingan, berarti kita hidup dalam arti kata yang sesungguhnya!
Sesungguhnyalah bahwa hidup adalah saat ini, bukan kemarin dan bukan esok, bukan tadi dan
bukan nanti. Ini bu-kan berarti bahwa setiap saat kita harus berse-nang-senang atau mengejar
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
317 kesenangan! Akan tetapi, apa manfaatnya membenamkan diri ke da-lam lembah duka dari
kekecewaan"
Setelah hatinya tenang, Suma Hui melanjutkan perjalanannya. Tiada gunanya baginya untuk
me-nanti di daerah Tibet yang baru saja dilanda pe-rang dan rakyatnya masih dalam keadaan
panik dan sengsara itu. Ia kembali ke timur dan setelah melakukan perjalanan berbulan
lamanya, pada su-atu hari tibalah ia di kota Ceng-tu di Propinsi Se-cuan. Di sebelah selatan
kota ini terdapat Omei-san, sebuah gunung yang indah dan menjadi tempat pesiar penduduk
daerah itu. Karena tertarik, pada suatu pagi yang cerah, Suma Hui juga men-daki Omei-san
untuk menikmati pemandangan indah di gunung itu di mana terdapat pohon-pohon yang
ratusan tahun usianya dan bunga-bunga yang tidak dapat ditemukan di daerah timur.
Akan tetapi ia datang terlalu pagi agaknya. Tempat itu masih sunyi, belum ada pengunjung
lain yang datang. Namun bagi Suma Hui, hal ini malah kebetulan karena orang yang sedang
mu-rung biasanya lebih suka menyendiri. Ia bahkan dapat menikmati matahari terbit muncul
dari ba-lik puncak tanpa terganggu oleh kehadiran orang lain.
Angin pagi pegunungan amat sejuk dan me-nyegarkan udara yang bersih itu. Cuaca amat
lembut dengan cahaya matahari yang belum mun-cul sepenuhnya, mengecat segala sesuatu
dengan warna keemasan yang cemerlang. Mutiara-mutiara embun bergantung di ujung daun-
daun pohon berkilauan amat indahnya, juga ujung rumput-rumput hijau subur dihias mutiara
embun sehingga sekilas pandang rumput-rumput itu seperti hiasan dari batu giok hijau yang
dirias mutiara. Sinar ma-tahari lembut yang menerobos celah-celah daun pohon menciptakan
seberkas cahaya yang mempe-sonakan, seolah-olah merupakan bukti hubungan yang tak
terpisahkan antara bumi dan langit. Apa-kah artinya bumi tanpa adanya cahaya matahari yang
menghidupkannya dan yang membuatnya demikian indahnya" Sebaliknya, apa pula artinya
cahaya matahari tanpa adanya bumi yang menam-pungnya" Kesatuan Im dan Yang ini
menciptakan kemujijatan, kebesaran, keagungan, dan keindahan yang amat hebat dan
mengharukan. Namun sayang, manusia terlalu disibukkan oleh hal yang remeh-remeh, yang
kecil-kecil, yang bersumber kepada kepentingan dan kesenangan diri pribadi sehingga
kemujijatan itu tidak pernah dapat di-nikmati atau dikaguminya lagi.
Suma Hui duduk di atas batu besar dan pada saat itu, ia menikmati semua keagungan ini. Ia
seperti ditelan oleh keheningan yang mempesona. Ia tidak merasa bahwa dirinya terpisah dari
semua itu, tidak terpisah dari cahaya matahari, dari rumput-rumput dan mutiara-mutiara
embun itu, dari burung-burung yang mulai berloncatan, beterbangan dan berkicau riang. Ia
seperti kehilangan dirinya yang sudah dilebur menjadi satu dengan keheningan itu sendiri.
Tidak ada duka, tidak ada kecewa, tidak ada sengsara, tidak ada apa-apa lagi. Yang ada
hanyalah keheningan yang amat indahnya, bukan indah lagi karena sudah tidak dapat diukur
oleh pikiran dan akal budi.
Tiba-tiba telinganya menangkap bentakan-bentakan disusul suara angin pukulan tanda-tanda
orang berkelahi. Bagaikan diseret kembali ke da-lam dunia kenyataan, Suma Hui menengok
ke kiri, ke arah dari mana datangnya suara itu dan melihat seorang pemuda dikeroyok oleh
tiga orang. Me-reka adalah seorang pemuda dan dua orang gadis. Dari jauh Suma Hui melihat
bahwa pemuda yang dikeroyok itu memiliki gerakan yang lebih mantep dan cepat, akan tetapi
jelas bahwa pemuda itu mengalah sehingga terdesak hebat oleh tiga orang pengeroyoknya
yang kelihatan marah sekali itu. Akan tetapi, Suma Hui terkejut sekali dan tertarik hatinya
ketika mengenal gerakan pemuda yang di-keroyok itu. Gerakan ilmu silat keluarga Pulau Es!
Cepat tubuhnya melesat dan iapun sudah berlari turun dari lereng itu menghampiri mereka
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
318 yang sedang berkelahi. Setelah kini dapat melihat jelas, ia menjadi semakin kaget mengenal
bahwa pemuda yang dikeroyok itu bukan lain adalah adiknya sendiri, Suma Ciang Bun!
Pada saat itu, Ciang Bun yang selalu mengalah, tidak pernah membalas itu terkena hantaman
ta-ngan kanan pemuda yang mengeroyoknya, terkena pukulan pada pundaknya sehingga
tubuhnya terjengkang dan roboh. Akan tetapi, biarpun pukul-an itu keras sekali, agaknya tidak
sampai melukai tubuh Ciang Bun yang terlatih dan dengan sin--kangnya pemuda ini dapat
melindungi tubuhnya. Maka diapun sudah dapat bangkit lagi sambil ber-kata, "Kenapa
engkau memukulku....?"
Melihat ini, Suma Hui tidak dapat menahan sabarnya lagi. Adiknya dikeroyok tiga dan jelas
bahwa adiknya mengalah. Kalau adiknya balas menyerang, ia merasa yakin bahwa tiga orang
itu tidak akan dapat bertahan lama. Maka iapun me-ngeluarkan suara melengking panjang dan
tubuh-nya meluncur ke depan, kaki tangannya bergerak cepat bukan main dan ia telah terjun
ke dalam gelanggang perkelahian, menyerang tiga orang pe-ngeroyok itu bertubi-tubi. Hebat
bukan main se-rangan Suma Hui ini, terlampau cepat bagi tiga orang lawannya.
"Plak! Plak! Dukk!" Dua orang gadis pe-ngeroyok itu telah kena ditamparnya sedangkan
pemuda itu menerima tendangannya. Tubuh me-reka terpelanting dan terdengar mereka
mengaduh. Masih untung bagi mereka bahwa Suma Hui tidak menggunakan semua tenaganya. Dara ini
memang tidak bermaksud membunuh mereka. Ia belum ta-hu urusannya maka iapun hanya
menyerang untuk menghentikan pengeroyokan mereka saja. Biarpun yang dikeroyok adiknya
sendiri, akan tetapi sebelum ia tahu urusannya, ia tidak mau menurunkan tangan maut.
"Enci, jangan....!" Suma Ciang Bun berseru dan pemuda ini sudah memegangi lengan
encinya, agaknya merasa khawatir kalau-kalau encinya akan melanjutkan serangannya
menghajar tiga orang pengeroyok itu.
Suma Hui memandang adiknya dan merang-kulnya. Sudah kurang lebih dua tahun ia tidak
berjumpa dengan adiknya dan wajah adiknya yang tampan itu kini nampak kurus.
"Bun-te....!"
"Enci Hui.... aku mencarimu ke mana-mana tanpa hasil...."
"Bun-te apakah yang telah terjadi" Siapakah mereka ini?"
Agaknya Ciang Bun baru teringat akan tiga orang pengeroyoknya dan jawabannya sangguh
membuat encinya terheran-heran, "Mereka.... adalah sahabat-sahabatku."
Tentu saja selain merasa heran, hati dara per-kasa itu juga marah sekali. Ia melepaskan
rang-kulannya dari pundak adiknya dan melangkah maju, menghadapi tiga orang yang kini
telah bangkit berdiri itu.
"Hemm, kalian ini manusia-manusia tak tahu malu. Kalian mendengar sendiri betapa adikku
menyebut kalian sahabat-sahabat dan tadi jelas bahwa adikku mengalah. Kalau tidak, apa
sukar-nya bagi adikku untuk merobohkan atau membu-nuh kalian dalam sepuluh jurus saja?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
319 Dua orang gadis pengeroyok itu hanya cembe-rut dan Suma Hui kini melihat bahwa mereka
ada-lah dua orang gadis yang cukup manis. Sedangkan pemuda yang tampan dan usianya
antara dua puluh tahun itu menarik napas panjang, memandang Su-ma Hui dan berkata
dengan nada suara sedih, "Kami tahu bahwa dia adalah seorang pendekar yang berkepandaian
tinggi, akan tetapi budinya tidak setinggi kepandaiannya sehingga kami me-lupakan
kebodohan sendiri dan terpaksa menen-tangnya."
Suma Hui menoleh kepada adiknya. Ia ingin tahu persoalannya, akan tetapi ia lebih senang
mendengarnya dari mulut adiknya dari pada men-dengarkan keterangan fihak lawan. "Bun-te,
apa-kah yang telah terjadi?"
Pemuda itu menundukkan mukanya dan meng-geleng kepala. "Tidak apa-apa, enci Hui,
akulah yang bersalah." Dan diapun tidak mau bicara apa-apa lagi, nampak sungkan dan malu.
Akan tetapi Suma Hui menjadi semakin pena-saran. Tidak mungkin adiknya salah. Ia
mengenal benar watak adiknya yang halus budi dan tidak mau melakukan hal-hal yang tidak
betul. Maka iapun menoleh kepada pemuda tampan tadi dan bertanya, "Coba ceritakan, apa
kesalahan adikku maka kalian bertiga secara tak tahu malu menge-royoknya." Bagaimanapun
juga, suara Suma Hui agak lunak melihat bahwa tiga orang itu sebenar-nya mempunyai
pedang yang tergantung di pung-gung masing-masing. Tadi ketika mereka menge-royok
Ciang Bun, mereka hanya menggunakan ta-ngan kosong, hal ini saja membuktikan bahwa
biar-pun mereka marah-marah kepada Ciang Bun, akan tetapi mereka tidak berniat untuk
membunuh. Pemuda itu lalu bercerita. Akan tetapi bagaimanapun juga jujurnya, tentu saja ceritanya
mengandung dasar memenangkan diri sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita
mengikuti sendiri pengalaman Suma Ciang Bun sampai dia bertemu dengan mereka dan
mengapa dia sampai dikeroyok oleh tiga orang muda itu.
Seperti kita ketahui, sepeninggal encinya, Ciang Bun merasa tidak betah di rumah dan tak
lama ke-mudian diapun pergi meninggalkan rumahnya un-tuk mencari encinya. Dia merasa
gelisah memi-kirkan encinya, dan juga dia merasa sakit hati men-dengar bahwa ayahnya akan
mewariskan semua ilmu keluarga mereka kepada Tek Ciang yang ti-dak disenanginya.
Akan tetapi, tidaklah mudah mencari jejak se-orang gadis seperti Suma Hui yang melakukan
per-jalanan diam-diam dan cepat pula. Dengan su-sah payah Ciang Bun mencari encinya,
sampai berbulan-bulan tanpa hasil. Bahkan diapun su-dah pergi ke kota raja, karena dia
menduga bah-wa encinya yang pergi mencari Cin Liong tentu menyusul ke kota raja. Akan
tetapi, di kota raja dia tidak dapat menemukan encinya. Dia mende-ngar bahwa Cin Liong
juga tidak berada di kota raja karena jenderal muda itu memimpin pasukan untuk mengusir
Bangsa Nepal yang menduduki Ti-bet. Pemuda yang cerdik ini berpendapat bahwa encinya
seorang mencari Cin Liong. Kalau jenderal itu kini pergi ke Tibet, encinya yang keras hati itu
besar kemungkinannya pergi menyusul ke Tibet pula. Dengan pikiran ini, diapun mengambil


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keputusan untuk pergi menyusul ke barat, akan tetapi kesempatan itu hendak
dipergunakannya untuk menikmati keramaian kota raja.
Tidak mudah bagi Ciang Bun untuk mendapat-kan sebuah kamar di rumah-rumah
penginapan di kota raja. Pada waktu itu, kota raja dibanjiri pe-muda-pemuda dari berbagai
penjuru yang datang ke kota raja untuk mengikuti ujian dan mereka ini memenuhi rumah-
rumah penginapan. Ujian itu berjalan selama kurang lebih satu bulan karena pengikutnya
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
320 amat banyak sehingga perlu dilaku-kan giliran. Dan walau ujian sudah berjalan satu minggu
lebih maka kota raja masih penuh dengan para pemuda itu. Di jalan-jalan raya banyak
pe-muda-pemuda berpakaian sasterawan hilir-mudik sehingga kota raja menjadi semakin
ramai. Karena tidak berhasil mendapatkan kamar di rumah-rumah penginapan yang penuh sesak,
ter-paksa Ciang Bun lalu mondok di sebuah kuil. Ter-nyata di sinipun penuh dengan para
pemuda pelajar. Mereka terdiri dari para pelajar kurang mam-pu yang memilih tempat
bermalam yang tidak usah bayar atau kalau mengeluarkan uangpun tidak ba-nyak karena
biasanya yang menginap di kuil-kuil hanya memberi sekedar sokongan saja kepada ku-il itu.
Ketika memasuki ruangan belakang kuil di ma-na berkumpul belasan orang pemuda pelajar
yang datang dari berbagai kota itu, Ciang Bun merasa gembira sekali. Dia merasa kagum
kepada mereka yang bersikap lembut dan sopan, wajah-wajah tampan halus yang
membayangkan kecerdasan. Dia sendiri merasa seperti seekor burung gagak masuk di antara
kelompok burung merpati. Dibandingkan dengan mereka, pengetahuannya ten-tang sastera
amatlah dangkalnya, dan makin tera-sa olehnya bahwa dia adalah seorang kasar yang sejak
kecil lebih banyak belajar ilmu silat yang kasar!
Ketika Ciang Bun memasuki ruangan, para pe-muda itu tengah asyik bercakap-cakap tentang
sastera dan tentang mata ujian yang diadakan di kota raja. Mereka hanya menengok sebentar
kepa-da Ciang Bun, lalu melanjutkan percakapan mere-ka. Dia lalu mencari tempat di sudut
yang masih kosong, menurunkan buntalan pakaiannya lalu du-duk bersandar dinding ruangan
itu. Seorang pemuda jangkung yang tampan meng-angkat mukanya dari buku yang dibacanya
dan memandang kepada Ciang Bun, wajahnya mem-bayangkan keramahan dan mulutnya
tersenyum. Wajah yang tampan dan menarik, pikir Ciang Bun. Seorang pemuda yang usianya
kurang lebih dua pu-luh tahun. Diapun balas tersenyum dan mengang-guk."Maaf," kata
pemuda itu, "Saudara baru da-tang" Dari kota manakah dan kapan mulai meng-ikuti ujian?"
Melihat keramahan orang yang mengaju-kan pertanyaan bertubi itu, Ciang Bun ter-senyum.
Dia sendiri seorang pemuda yang tidak bisa banyak cakap, termasuk serius dan pendiam
walaupun dia dapat pula bersikap ramah.
"Ya, aku baru datang, tempat tinggalku di Thian-cin dan aku tidak mengikuti ujian,
melain-kan hanya melancong saja ingin melihat-lihat kota raja."
Pemuda itu menutup bukunya dan menyimpan-nya dalam buntalan, kemudian menggeser
duduk-nya mendekati Ciang Bun. Matanya bersinar-si-nar dan wajahnya berseri ketika dia
berkata, "Ah, betapa senangnya engkau! Kalau saja aku bisa sepertimu, bebas dan tidak harus
banyak mengha-fal dan mengikuti ujian yang amat sukar ini!"
Ciang Bun memandang dengan mata terbela-lak. "Aih, mengapa demikian" Justeru aku yang
merasa kagum dan iri kepada kalian yang memper-oleh kesempatan menguji ilmu sastera dan
mengi-kuti ujian kota raja untuk meraih gelar siucai!"
Tiba-tiba pemuda itu tertawa dan wajahnya nampak semakin tampan ketika dia tertawa. "Ha-
ha-ha, memang demikianlah kita ini, saudara yang baik! Saling pandang, saling mengiri dan
mengi-ra bahwa keadaan orang lebih baik dan menye-nangkan daripada keadaan kita. Aku
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
321 jadi teringat akan dongeng perumpamaan tentang dua ekor bu-rung. Yang terbang bebas
merasa iri hati terhadap seekor burung lain yang hidup dalam kurungan dan siang malam di
situ tersedia makanan dan mi-numan tanpa susah payah mencari dan bebas dari gangguan dan
ancaman, dianggapnya kehidupan burung dalam kurungan lebih nikmat dan aman daripada
kehidupannya di luar kurungan. Seba-liknya, burung dalam kurungan merasa iri meli-hat
betapa burung yang lain itu dapat terbang be-bas ke manapun ia suka, tidak seperti dia yang
gerakannya terbatas dalam kurungan."
"Akan tetapi kita bukan burung...."
"Ha-ha, apa bedanya" Engkau yaug bebas ingin seperti aku, sebaliknya aku yang terikat oleh
segala macam buku pelajaran dan aturan ujian tentu saja ingin bebas seperti engkau.
Sudahlah, keadaan tidak mungkin dapat dirobah semau kita. Saudara yang baik, perkenalkan,
aku she Tan bernama Hok Sim. Bolehkah aku mengetahui namamu?"
"Namaku Suma Ciang Bun," jawab Ciang Bun sederhana, dalam hatinya khawatir kalau-
kalau she-nya itu akan memancing banyak pertanyaan. Akan tetapi, Tan Hok Sim adalah
seorang pemuda pelajar, bukan seorang kang-ouw maka she yang akan menarik perhatian
kalangan kang-ouw ini, baginya tidak terlalu istimewa.
Perkenalan itu sebentar saja membuat mereka menjadi sahabat yang akrab karena Tan Hok
Sim pandai bergaul, ramah-tamah dan agaknya suka kepada Ciang Bun. Ketika mereka bicara
tentang ujian, Hok Sim lalu mengajak Ciang Bun untuk ke-luar dari ruangan itu menuju ke
pelataran bela-kang kuil yang sunyi.
"Tidak enak bicara di sana," kata Tan Hok Sim. "Yang akan kuceritakan kepadamu ini
adalah suatu rahasia. Tentu saja sebagian dari mereka ada yang sudah tahu, akan tetapi kalau
sampai terde-ngar orang luar dapat mengakibatkan hal yang tidak enak pula."
"Rahasia apakah, twako?" tanya Ciang Bun yang menyebut kakak kepada Tan Hok Sim yang
tiga empat tahun lebih tua darinya.
"Tentang ujian. Tahukah engkau bahwa ujian itu dikendalikan oleh pembesar yang
memperkaya diri secara berlebihan setiap kali diadakan ujian?"
"Tukang korupsi?"
Hok Sim mengangguk. "Betapapun pandainya engkau, tanpa ada uang sogokan yang amat
besar, takkan mungkin dapat lulus! Kecuali kalau di kota raja ini engkau mempunyai keluarga
yang berpengaruh, karena kedudukannya atau hartanya, ja-ngan harap akan dapat lulus."
"Eh, mengapa begitu?" tanya Ciang Bun he-ran dan penasaran. "Kalau yang pandai tidak
dilu-luskan sedangkan yang bodoh asal bisa nyogok di-luluskan, itu bukan ujian namanya."
"Memang bukan kepandaian yang diuji, melain-kan isi kantongnya." Tan Hok Sim
menjawab marah.
"Lalu bagaimana dengan engkau, twako?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
322 "Hemm, aku tidak mempunyai harapan lagi walaupun besok masih akan kulanjutkan
mengikuti ujian. Aku yakin akan dapat lulus, walanpun tidak mencapai angka terbaik, kalau
saja para peng-uji tidak hijau matanya oleh uang. Kalau disuruh menyogok, mana aku
mampu" Aku belum beker-ja, sedangkan ayahku hanyalah seorang guru silat...."
"Ayahmu seorang guru silat!" Ciang Bun berseru kaget dan gembira. "Ah, kalau begitu
engkau tentu pandai ilmu silat!"
"Ah, pandai sih tidak. Keluarga kami tinggal di Ceng-tao, jauh di barat dan di daerah kami,
il-mu silat amat diperlukan untuk berjaga diri. Ayahku seorang guru silat bayaran dan engkau
tahu, berapa hasil seorang guru silat. Karena itu maka ayahku setengah memaksa aku dan adik
perempu-anku untuk lebih tekun mempelajari bun (sastera) dari pada bu (silat). Engkau
sendiri, karena tidak banyak mempelajari bun, tentu mahir sekali ilmu silat, bukan?"
"Aku suka merantau dan banyak menghadapi kesukaran di perjalanan, memang pernah
mempe-lajari silat, akan tetapi tidak terlalu tinggi. Twako, sebetulnya, siapakah yang berhak
memutuskan lulus tidaknya ujian kota raja itu?"
"Di sana terdapat pengawas-pengawas dan me-reka inilah yang harus disogok. Akan tetapi,
tentu saja para pengawas itupun harus menyogok atas-an mereka dan orang yang paling
berwenang da-lam hal ujian itu tentu saja menteri."
"Hemm, tentu menteri bagian kebudayaan atau pendidikan."
"Kurasa begitulah. Akan tetapi mengapa eng-kau menanyakan hal itu?"
"Mengapa engkau tidak mendatangi saja men-teri itu dan melaporkan tentang penyelewengan
yang dilakukan oleh para pengawas?" tanya Ciang Bun.
Tan Hok Sim membelalakkan matanya. "Wah, mana aku berani" Kalau aku melakukan
perbuat-an nekat itu, selain tidak mungkin diluluskan, ju-ga aku tentu akan ditangkap,
dipenjara atau mung-kin dibunuh. Siapa yang akan dapat melindungi-ku?"
Ciang Bun menarik napas panjang. "Tan-twa-ko, dalam hal ujian ini, yang terhimpit dan
diru-gikan adalah kalian para pemuda pelajar. Kalau kalian sebagai orang-orang yang terkena
ketidak-beresan itu diam-diam saja, lalu siapa yang akan marnpu memperbaiki keadaan"
Kenapa eugkau tidak mengajak semua pelajar itu untuk memprotes kepada menteri dan
melaporkan kecurangan para pengawas itu?"
Hok Sim menunduk dan mengerutkan alisnya. Ucapan Ciang Bun menggerakkan hatinya.
Dia tahu bahwa di dalam hatinya, dalam hati semua pemuda pelajar yang mengalami nasib
yang sama, memang ada api pemberontakan itu untuk me-nentang kecurangan para pengawas,
akan tetapi siapa yang berani" Para pengawas itu dilindungi oleh pasukan dan menterinya
sendiri belum tentu jujur. Bagaimana kalau para pembesar itu berse-kongkol dan melindungi
anak buah mereka"
"Hal itu tidak mungkin dilakukan, adik Bun. Bahkan sebagian besar para pengikut ujian
sendi-ri, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang ber-ada, lebih suka kalau keadaannya
seperti sekarang ini. Terus terang saja, aku sendiri kalau mempu-nyai uang, juga lebih senang
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
323 mengeluarkan uang dan ujianku lulus, daripada bersusah payah me-meras otak akan tetapi
hasilnya belum tentu, bah-kan harapannya sedikit sekali."
Ciang Bun diam saja. Dia merasa penasaran akan tetapi diapun maklum bahwa kegetiran
mem-buat semua pemuda berpendapat seperti Hok Sim itu. Kalau dengan uang dapat lulus
dengan mudah, perlu apa repot-repot memeras otak yang akhirnya toh tidak akan diluluskan
kalau tanpa uang"
"Kalau begitu, biarlah aku yang akan mengajukan protes itu. Aku tidak ikut ujian maka aku
tidak khawatir tidak diluluskan."
Tan Hok Sim memandang dengan mata terbe-lalak dan dia memegang lengan sahabat
barunya itu. "Bun-te, apa yang hendak kaulakukan?"
Ciang Bun tersenyum. "Tenanglah dan tunggu saja hasilnya. Kuharap besok pagi sudah akan
ada perobahan. Nah, kau masuklah dulu, twako dan tunggu saja aku di dalam kuil."
Setelah berkata demikian, Ciang Bun mening-galkan sahabatnya itu yang berdiri melongo
meng-ikutinya dengan pandang mata heran akan tetapi tidak percaya. Apa yang akan dapat
dilakukan oleh pemuda itu terhadap pemerintah" Urusan ujian yang kotor dan bergelimang
korupsi itu su-dah berjalan puluhan tahun, sepanjang pendengar-annya, mana mungkin kini
akan dirobah hanya oleh tindakan seorang pemuda seperti Suma Ciang Bun" Dia amat
mengkhawatirkan pemuda itu. Bagaimanapun juga, sahabat barunya itu menarik hatinya dan
dia akan merasa menyesal sekali kalau karena percakapan mereka, Ciang Bun melakukan
tindakan yang mustahil dan akhirnya akan ditang-kap dan dihukum! Diapun lalu kembali ke
dalam ruangan belakang kuil itu, mendekati teman-temannya dan berbisik-bisik menceritakan
tentang pemuda kenalan barunya yang aneh itu. Teman-temannya tentu saja terkejut, ada yang
merasa gem-bira dan penuh harapan, yaitu mereka yang hendak menghadani ujian dengan
pengetahuan mereka saja karena mereka tidak mampu membayar. Ada juga di antara mereka
yang tidak senang dan me-reka ini adalah pelajar-pelajar yang mengharapkan lulus dengan
pengaruh uang atau pengaruh kenalan atau keluarga di kota raja. Apapun tang-gapan mereka,
berita tentang seorang pemuda bu-kan pengikut ujian yang hendak melaporkan ke-curangan
para pengawas itu kepada menteri, men-jadi bahan percakapan mereka dan menimbulkan
ketegangan. Siang hari itu di gedung besar Menteri Ciong nampak sunyi. Sang menteri telah pulang dari
persidangan di istana dan kini pembesar itu beristirahat. Malam saat seperti itu, dia tidak mau
diganggu dan para penjaga di luar gedungpun tidak berani banyak membuat gaduh agar tidak
meng-ganggn sang menteri yang sedang beristirahat di dalam kamarnya.
Oleh karena itu, para penjaga ini menolak de-ngan keras ketika Suma Ciang Bun datang dan
minta kepada mereka untuk melaporkan kepada Ciong-taijin bahwa dia minta diterima
mengha-dap. "Orang muda! Siapakah engkau dan ada urus-an apakah engkau berani minta untuk
menghadap taijin?" bentak kepada jaga yang brewok dan ber-tubuh tinggi besar sambil
bertolak pinggang. "Ti-dak sembarang orang boleh begitu saja menggang-gu waktu taijin!"
"Aku mempunyai urusan pribadi dengan men-teri, hendak membicarakan soal ujian para
pela-jar yang diadakan di kota raja sekarang ini."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
324 Kepala jaga itu mengerutkan alisnya. "Huh, kaukira menteri hanya seperti petugas kecil saja
yang dapat ditemui setiap saat" Kalau engkau ada urusan, dapat menghadap ke kantor beliau
dan melapor kepada petugas-petugas di sana, bu-kan datang ke rumah beliau dan meugganggu
beliau!" "Akan tetapi, aku ingin menghadap beliau sendiri, urusan penting...."
"Cukup!" Kepala jaga itu menghardik. "Le-kas pergi dari sini atau akan kugunakan
kekerasan untuk melemparmu keluar dari sini. Mengerti?"
Wajah Ciang Bun menjadi merah dan matanya berkilat ketika dia mengangkat muka
memandang wajah si brewok tinggi besar itu. "Beginikah sikap seorang petugas keamanan
terhadap rakyat" Se-perti penjahat saja...."
"Keparat! Setan cilik! Agaknya ayahmu tidak pernah menghajarmu. Panggil ayahmu ke sini,
akan kuhajar dia agar dapat mendidik anaknya!"
Ciang Bun tidak dapat menahan dirinya lagi. "Ucapanmu lancang dan mulutmu busuk,
engkau-lah yang perlu dihajar!"
Orang-orang yang rendah pangkatnyalah yang biasanya suka tinggi hati. Demikian pula
kepala jaga itu. Terhadap atasannya dia menunduk dan merangkak-rangkak menjilat-jilat, dan
terhadap bawahannya, yaitu rakyat, dia bersikap seperti kai-sar saja. Maka, begitu melihat
seorang pemuda biasa berani mengeluarkan ucapan seperti itu ke-padanya, kemarahannya
memuncak dan sambil mengeluarkan suara gerengan, kepalan tangannya yang hampir sebesar
kepala Ciang Bun itu mela-yang dan menyambar ke arah kepala pemuda itu.
Ciang Bun tenang-tenang saja, tanpa bergerak dari tempatnya dia mengangkat tangan kiri dan
secepat kilat tangan kirinya itu melakukan tiga ge-rakan susul-menyusul, mula-mula
menangkis pergelangan lengan tangan yang memukul, disu-sul totokan pada pundak lengan
itu dan diakhiri dengan tamparan pada muka si brewok.
"Dukk! Tukk! Plakkk!"
Tamparan itu cukup keras. Mula-mula tang-kisan membuat lengan terpental, lalu totokan
mem-buat si tinggi besar itu merasa lumpuh sebelah ba-dannya dan tamparan itu mengenai
pelipis, mem-buat dia terpelanting dan roboh. Kepalanya terasa tujuh keliling dan matanya
menjuling. Dia mengoyang-goyang kepalanya dan setelah bintang-bintang yang berjatuhan
dan menari-nari di depan matanya itu mengabur, dia bangkit lagi de-ngan marah. Agaknya,
tamparan itu tidak mem-buatnya menjadi jera, bahkan seperti minyak bakar disiramkan ke
atas api kemarahamaya. Dia kini menubruk dan kedua tangannya membentuk ceng-keraman,
seperti seekor biruang dia menubruk ke-pada pemuda itu, penuh geram.
Kembali Ciang Bun menghadapinya dengan te-nang. Begitu tubuhnya yang besar itu
menubruk dekat, tiba-tiba pemuda ini berjongkok atau se-tengah berjongkok, membiarkan
tubuh atas lewat, lalu secepat kilat dia meraih, menangkap lengan dan mempergunakan tenaga
lawan, dia mengang-kat dan membanting.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
325 "Desss....!" Debu mengebul dan si tinggi besar mengeluh, menggeliat dan mencoba untuk
bangkit, tapi terjatuh kembali dan mengaduh-aduh. Agaknya terjadi salah urat pada
punggung-nya ketika dia terbanting tadi, yang membuatnya tidak mampu bangun kembali dan
hanya menga-duh-aduh dan menggeliat-geliat. Melihat koman-dan jaga mereka roboh, setelah
kehilangan rasa kaget mereka, para penjaga memburu.
"Berani engkau melawan tentara?" bentak seorang di antara mereka sambil menodongkan
tom-baknya. "Tahan!" Ciang Bun berseru, suaranya lantang dan berwibawa, tidak seperti seorang pemuda
remaja. "Urusan ini tidak ada hubungannya dengan ketentaraan! Urusan kami adalah urusan
pribadi, urusan orang yang dihajar karena bersikap kurang ajar terhadap lain orang, tidak ada
sangkut-paut-nya dengan ketentaraan." Setelah berkata demi-kian, Ciang Bun membalikkan
tubuhnya dan pergi meninggalkan mereka. Para penjaga itu bengong. Merekapun melihat
sendiri betapa komandan jaga mereka menghina pemuda itu dari melihat betapa dengan
mudahnya pemuda itu merobohkan ko-mandan mereka, merekapun tidak berani
semba-rangan tuiun tangan. Apalagi merekapun mulai ragu-ragu. Kalau seorang muda seperti
itu ingin bertemu dengan menteri, siapa tahu ada hubungan antara dia dan pembesar itu.
Membayangkan ke-mungkinan ini, mereka menggigil dan mereka tidak lagi memperdulikan
pemuda itu melainkan menolong kepala jaga yang masih juga belum mampu bangkit berdiri.
Ciang Bun tidak pergi jauh melainkan meng-ambil jalan memutar dan menghampiri dinding
pagar tembok yang mengelilingi gedung sang menteri. Dengan ringan dia mengayun
tubuhnya ke atas tembok, kemudian meloncat ke dalam. Ce-pat dia menyelinap di antara
tembok bangunan dan dengan mudahnya dia meloncat lagi ke atas genteng dan mengintai,
mencari-cari di mana adanya sang pembesar yang hendak ditemuinya.
Akhirnya dia melihat seorang pembesar yang bertubuh gendut, berpakaian tidur berupa jubah
lebar, sedang rebah terlentang seenaknya di atas sebuah dipan dan dipijati oleh tiga orang
wanita muda cantik. Mata pembesar yang usianya kurang lebih enam puluh tahun ini meram
melek keenakan, dan seorang di antara tiga wanita itu kadang-ka-dang menyuapkan sepotong
kueh dengan sumpit ke mulutnya. Melihat ini, Ciang Bun dapat menduga bahwa tentu inilah
menteri yang dicarinya itu. Hidungnya mendengus jijik melihat keadaan hidup pembesar ini.
Setelah membuka genteng, dia lalu meloncat turun dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan
itu. Bagaikan seekor burung besar, dia hinggap di atas lantai dalam ruangan, hampir tidak
terlihat atau terdengar oleh mereka berempat yang berada di dalam ruangan. Ketika seorang di
antara tiga wanita muda itu menoleh dan melihat seorang pemuda tahu-tahu telah berada di
tengah kamar seperti setan, ia menjerit dan sepasang sumpit itupun terlepas dan jatuh
berke-rontang di atas lantai. Teman-ternannya menoleh dan menjerit juga. Sang pembesar
membuka mata dan menoleh, lalu bangkit dengan marah."Siapa engkau?" bentaknya.
Dengan tenang Ciang Bun menjura. Selama ini belum pernah dia melakukan perbuatan
sebagai pendekar seperti yang dilakukan sekarang, akan tetapi karena dia adalah keturunan
Pulau Es, darah pendekar mengalir di dalam tubuhnya, maka diapun tidak merasa asing atau


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ragu-ragu, tidak merasa gentar ketika berkata, "Taijin, saya menganggap diri sebagai wakil
para pelajar dan saya ingin menghadap dan bicara dengan paduka tentang ujian yang diadakan
sekarang."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
326 Tentu saja pembesar itu menjadi marah sekali. Apalagi ketika dia melihat enam orang
pengawal yang tadinya berjaga di ruangan lain telah dike-jutkan oleh jeritan-jeritan tadi dan
kini memasuki ruangan itu dengan golok di tangan, hatinya men-jadi semakin tabah.
"Engkau masuk seperti maling! Pengawal, tangkap bocah ini!"
Dua orang pengawal menyarungkan golok dan menyergap ke depan untuk menangkap
pemuda itu. Akan tetapi, dua kali kaki Ciang Bun berge-rak menyambut dengan tendangan
yang mengenai dada mereka dan dua orang pengawal itu terjeng-kang. Untung bahwa Ciang
Bun hanya memper-gunakan tenaga sedikit saja sehingga mereka tidak terluka, hanya merasa
sesak napas mereka. Mere-ka bangkit kembali dan kini menggunakan golok untuk
menyerang. Kembali Ciang Bun mengge-rakkan kakinya, menendang pergelangan tangan
diteruskan ke lambung dan untuk kedua kalinya, dua orang pengawal itu roboh dan sekali ini
tidak dapat segera bangkit karena tendangan yang me-ngenai lambung itu membuat perut
mereka terasa mulas!
"Taijin, kedatangan saya ini bukan untuk mela-kukan kekerasan. Percuma saja kalau paduka
menggunakan kekerasan, karena terpaksa saya akan lebih dulu turun tangan terhadap
paduka!" Sekali loncat, pemuda itu telah tiba di dekat sang pembesar yang kini menggigil
ketakutan sampai jubah tidurnya merosot dan nampak perutnya yang gendut itu telanjang
bulat. "Ampun...." rintihnya.
Melihat seorang pembesar berpangkat menteri merengek minta ampun, padahal tidak diapa-
apa-kan, Ciang Bun merasa muak. Beginikah watak seorang yang dinamakan pemimpin"
Mengha-dapi bahaya sedikit saja sudah merengek ketakut-an! Pengecut seperti ini dijadikan
pemimpin dan hendak memimpin rakyat" Pengecut seperti ini kalau berada dalam bahaya,
disuruh apapun tentu akan taat, disuruh menjual negara sekalipun atau mengkhianati bangsa
tentu akan taat, asal nyawa-nya diampuni, asal dirinya tidak diganggu. Seo-rang yang selalu
mementingkan diri pribadi tentu penakut dan pengecut di samping menjadi penin-das kejam
sewaktu jaya. "Taijin, saya tidak akan melakukan kekerasan asal taijin suka mendengarkan kata-kata saya.
Harap taijin menyuruh semua orang pergi agar kita dapat bicara berdua saja di kamar ini."
Pada saat itu, para pengawal sudah memasuki daun pintu yang terbuka dari luar, akan tetapi
melihat pemuda itu berdiri dekat pembesar yang kelihatan pucat dan tubuhnya menggigil,
juga ce-lananya menjadi basah, mereka tidak berani sem-barangan bergerak.
"Kalian pergilah, tinggalkan kami berdua," ka-ta pembesar itu dengan suara gemetar kepada
pa-ra pengawal, juga kepada tiga orang selirnya yang tadi melayaninya. Para pengawal itu
memandang ragu, akan tetapi dengan gerakan tangannya pem-besar gendut itu mengusir
mereka dan tiga orang selirnya sudah sejak tadi cepat-cepat keluar dari kamar itu. Setelah
mereka pergi, Ciang Bun me-nutupkan daun pintu, lalu dia duduk di atas kursi menghadapi
pembesar itu yang duduk di atas di-pan, menyelimuti dirinya karena dia merasa malu melihat
celananya basah, akibat rasa takut yang melandanya tadi.
"Taijin, maafkan kalau saya mengganggu. Saya terpaksa menghadap paduka secara ini
karena tadi saya ditolak oleh para penjaga di luar gedung."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
327 Kini debar jantung di dalam dada pembesar itu sudah mulai tenang, dan diapun merasa lega
melihat sikap yang halus dan sopan dari orang mu-da ini. Pengalamannya sebagai seorang
pembesar dapat membuat dia melihat bahwa dia sebenar-nya berhadapan dengan seorang
pemuda yang ti-dak jahat, akan tetapi ada sesuatu pada diri pe-muda ini yang membuat dia
jerih, mungkin pada sinar mata yang mencorong itulah. Dia dapat mengerti bahwa pemuda ini
adalah seorang muda yang berkepandaian tinggi dalam ilmu silat, tentu seorang pendekar,
bukan seorang perampok yang datang untuk merampok harta benda.
"Tidak mengapa, taihiap. Katakanlah, apakah keperluan taihiap hendak bicara dengan kami?"
Mendengar betapa seorang menteri menyebut-nya taihiap, Ciang Bun tersenyum, akan tetapi
dia lalu berkata, "Kalau saya tidak salah duga, taijin adalah pejabat yang berwenang atas
penye-lenggaraan ujian para calon siucai di kota raja. Benarkah?"
Kini pembesar itu dapat tersenyum dan muka-nya berseri. "Ah, apakah taihiap hendak
mema-suki ujian" Ataukah ada sanak saudara atau sa-habat taihiap...."
"Tidak!" Ciang Bun memotong cepat sambil menggerakkan tangan ke depan muka. "Justeru
inilah yang akan saya bicarakan. Taijin tentu ta-hu bahwa para pengawas ujian itu adalah
petugas-petugas yang korup, yang makan uang sogokan. Biarpun pengikut ujian bodoh, kalau
dapat me-nyogok uang, tentu akan lulus. Sebaliknya, beta-papun pintar seorang pelajar, kalau
tidak mampu menyogok, ujiannya akan selalu gagal. Benarkah demikian, taijin?"
Wajah yang tadinya sudah berseri itu berobah pucat kembali, sepasang mata itu
membayangkan ketakutan lagi. "Ini.... ini.... kami tidak tahu...."
"Baru saja taijin bertanya apakah saya hendak ikut ujian atau sanak keluarga saya, tentu
kalau demikian halnya, taijin akan meluluskan saya, bu-kan" Tak mungkin paduka tidak tahu
akan ke-busukan yang sudah berlangsung puluhan tahun ini. Bayangkan saja, kalau yang
diluluskan hanya orang-orang bodoh yang mampu membayar, se-dangkan yang pandai-pandai
tidak diluluskan, negara akan penuh dengan pembesar-pembesar tolol yang pandainya hanya
menerima sogokan-so-gokan. Akan menjadi apakah negara kita ini" Pa-duka tahu atau tidak,
pendeknya saya menuntut agar mulai besok pagi, semua pengawas diganti dan praktek
penyogokan itu harus lenyap sama se-kali. Kalau masih ada, aku akan kembali dan turun
tangan terhadap paduka dengan caraku sendiri!"
Menteri Ciong mengangguk-angguk dan ma-tanya melirik cerdik. Biarlah saat ini dia
menga-lah, pikirnya. Akan tetapi sekali engkau keluar dari sini, aku akan memberi hajaran
kepadamu! "Baiklah, perintah taihiap akan kami laksanakan."
Ciang Bun masih muda, akan tetapi pandang matanya tajam. Dia dapat menduga apa yang
ber-sembunyi di dalam hati pembesar itu, maka diapun bangkit berdiri dan berkata lagi,
"Ciang-taijin, jangan dikira bahwa engkau akan dapat memper-gunakan kekerasan dan
kekuatan pasukan pengawalmu untuk melindungi dirimu. Aku bukan mengeluarkan ancaman
kosong belaka. Aku bernama Suma Ciang Bun, dan ketahuilah bahwa bekas Panglima Wanita
Milana adalah bibiku, juga jen-deral Muda Kao Cin Liong adalah sahabat baik-ku. Nah,
renungkan baik-baik sebelum engkau mengambil tindakan. Selamat tinggal!" Pemuda itu lalu
menggunakan gin-kangnya, mengenjot tubuhnya ke atas menerobos atap melalui lubang yang
dibuatnya tadi.Di atas genteng telah menanti pasukan penga-wal yang segera mengepungnya,
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
328 akan tetapi dari dalam kamar itu terdengar bentakan Ciong-tai-jin, "Jangan ganggu dia!
Biarkan Suma-taihiap pergi dengan aman!"
Tentu saja para pengawal tidak berani mem-bantah dan mereka berdiri diam saja ketika
Ciang Bun meloncat turun dari atas genteng, berlari me-nuju pagar tembok lalu keluar dari
tempat itu melalui pagar tembok yang dilompatinya.
Sementara itu, di dalam kamar, Menteri Ciong menjambak-jambak rambutnya. "She Suma"
Ke-ponakan Puteri Milana" Celaka, dia tentu keluar-ga Pulau Es!"
Pada keesokan harinya, terjadi kehebohan di kalangan para pengikut ujian. Mereka yang
sudah terlanjur memberi uang sogokan, kehilangan peng-awas-pengawas yang telah mereka
sogok dan ter-paksa mereka harus mengikuti ujian secara betul-betul. Tentu saja mereka yang
hanya mengikuti ujian karena mengejar keinginan agar lulus dan dapat memperoleh gelar
siucai ini tidak mampu mengerjakan dengan baik dan hampir semua di antara mereka ini
gagal. Sebaliknya, para pengi-kut ujian yang tidak mampu bayar, kini benar-be-nar diuji
kemampuan mereka dan mereka ini me-rasa gembira sekali, termasuk Tak Hok Sim. Dia-pun
lulus walaupun bukan dengan angka yang baik. Gegerlah tempat ujian itu dan semua orang
membicarakan peristiwa digantinya semua penga-was dan dihapusnya semua sistim sogokan.
Hok Sim dikerumuni ternan-temannya dan kini baru mereka percaya akan cerita pemuda itu
bahwa te-man barunya menjanjikan untuk memprotes sistim sogokan itu kepada menteri.
Biarpun semalam Ciang Bun tidak bercerita sesuatu kepadanya dan diapun tidak menanyakan
karena siang tadi dia menganggap teman barunya itu membual, ternyata kini terjadilah hal
yang jelas menjadi hasil daripada "bualan" teman barunya itu!
Setelah selesai pengumuman, Hok Sinm segera berlari ke kuil untuk menemui Ciang Bun.
Dengan wajah berseri-seri dia merangkul sahabatnya itu. "Wah, Bun-te, terima kasih padamu.
Aku telah berhasil! Dan banyak kawan-kawan berhasil berkat usahamu! Engkau sungguh
hebat. Bintang penolong kami! Eh, bagaimana engkau dapat berhasil merobah keadaan ujian
sehingga para pengawas diganti dengan petugas-petugas baru yang tidak makan uang
sogokan?" Ciang Bun tersenyum girang mendengar bah-wa Menteri Ciong benar-benar memenuhi
janji-nya. "Ah, biasa saja, twako. Aku pergi mengha-dap menteri yang berwenang dan
menyampaikan protes atas nama semua pengikut ujian yang jujur. Dan beliau sudah
menjanjikan untuk merobahnya dan mengganti semua pengawas. Syukurlah kalau semua
berjalan dengan baik."
"Semua berlangsung dengan baik bagi kami pa-ra pelajar yang benar-benar hendak menguji
ilmu kepandaian. Akan tetapi amat tidak baik bagi me-reka yang datang hanya untuk membeli
gelar! Ha-ha, mereka sudah mengeluarkan banyak uang dan akhirnya ujian mereka gagal! Eh,
Bun-te, engkau tentu seorang yang luar biasa, bukan" Ka-mi semua merasa yakin bahwa
engkau bukan orang sembarangan, tentu engkau seorang yang luar biasa!"
Ciang Bun tersenyum. Bagaimanapun juga, hatinya ikut merasa gembira bukan main melihat
pemuda pelajar ini begitu girang dan lulus, juga bahwa semua pelajar yang baik telah lulus
ujian. "Ah, harap jangan menduga yang bukan-bukan, twako. Aku seorang pemuda biasa saja,
bahkan bodoh, tidak terpelajar seperti engkau."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
329 "Mustahil seorang pemuda biasa saja mampu mempengaruhi menteri untuk merobah
jalannya ujian, menghapuskan semua sistim sogokan yang sudah berkarat dan berpuluh tahun
mengotori sistim ujian di kota raja."
"Mungkin karena beliau sadar oleh protesku, itu saja."
"Bagaimanapun juga, engkaulah bintang peno-longku, Bun-te. Aku girang sekali, tidak
percuma aku melakukan perjalanan amat jauh dengan sudah payah. Biarpun aku tidak
mendapat gelar karena hasil ujianku tidak mencapai angka-angka terting-gi, akan tetapi tanda
lulus ini tentu akan menggi-rangkan hati ayahku. Ah, aku ingin pulang seka-rang juga, sore
ini jaga agar dapat cepat sampai ke rumah."
"Aku pergi bersamamu, twako. Akupun ingin melakukan perjalanan ke barat untuk mencari
se-seorang."
Pernyataan ini tentu saja menggirangkan hati Hok Sim sehingga dia tidak bertanya lagi siapa
yang dicari oleh pemuda itu. Hatinya girang dan merekapun cepat berkemas, kemudian
melakukan perjalanan meninggalkan kota raja pada sore hari itu juga menuju ke barat.
Malam itu mereka menginap di dalam sebuah dusun tak jauh dari kota raja dan di sebelah
utara kota Pao-ting. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berdua melanjutkan
perjalanan me-nuju ke Pao-ting. Akan tetapi, baru saja mataha-ri naik dan mereka tiba di tepi
sebuah hutan, tiba-tiba perjalanan mereka dihadang oleh lima orang laki-laki tinggi besar
yang agaknya sudah sejak tadi menanti di situ. Buktinya, kalau tadinya lima orang itu duduk
di tepi jalan dengan santai, begitu dua orang pemuda itu muncul, mereka se-rentak bangkit
dan berdiri menghadang di tengah jalan. Melihat sikap mereka, tahulah Ciang Bun bahwa
lima orang itu sengaja menghadang mereka dan hendak mengganggu. Tidak mungkin di
tempat ini ada perampok, pikirnya. Masih terlalu dekat dengan kota, dan pula, apa yang
diharapkan oleh perampok-perampok dari dua orang pemuda miskin yang melakukan
perjalanan pulang dari ujian" Tentu ada hal lain yang menyebabkan adanya penghadangan ini
dan mudah saja mendu-ganya bahwa pencegatan ini tentu ada hubungan-nya dengan
kunjungannya kepada Menteri Ciong kemarin dulu. Akan tetapi dia bersikap tenang saja dan
diapun melihat betapa sikap Tan Hok Sim tenang saja walaupun kedua alis pemuda itu
berkerut dan wajahnya membayangkan keheranan dan kekhawatiran. Pemuda pelajar ini
sudah mera-ba-raba pedang yang disembunyikan di dalam buntalan pakaian. Ciang Bun sudah
tahu bahwa temannya itu diam-diam menyembunyikan pe-dang.
"Tenanglah, twako." Dia berbisik dan teman-nya itu tidak jadi mengeluarkan pedang dan
mere-kapun maju terus sampai akhirnya terpaksa berhenti karena tengah jalan itu dipenuhi
oleh lima orang tadi.
Seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, berkata dengan suara lantang dan sikap
kasar, "Siapakah di antara kalian yang kemarin mengikuti ujian di kota raja dan bernama Tan
Hok Sim?"-
"Akulah orangnya!" jawab Hok Sim sambil melangkah maju.
"Bagus! Dan inikah temanmu yang lancang sekali memprotes sistim ujian dan yang
membu-at pembesar atasan turun tangan mengganti semua petugas pengawas ujian?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
330 "Benar, akulah orangnya," kini Ciang Bun yang menjawab.
"Ha-ha-ha, kiranya bocah ingusan! Twako, kita bunuh saja mereka sekarang!" Lima orang itu
sudah bergerak maju mengepung, akantetapi si muka hitam mengangkat kedua tangannya.
"Kalian berempat mundurlah. Sungguh mema-lukan kalau hanya membereskan dua ekor
kelinci muda ini harus kita semua turun tangan. Eh, bo-cah-bocah sial, bersiaplah kalian untuk
mampus!" bentak si muka hitam sambil melangkah maju.
"Tahan!" Tiba-tiba Tan Hok Sim dengan sikap gagah melangkah maju di depan Ciang Bun,
melindungi pemuda ini. "Aku tahu bahwa kalian ten-tu utusan para pengawas korup itu untuk
memba-las dendam kepada kami. Akan tetapi, sahabatku ini tidak bersalah. Dia hanya
mewakili kami, para sasterawan muda yang miskin, untuk mengajukan protes dan ternyata
berhasil baik. Kalau kalian hendak membalas dendam, balaslah kepada kami dan jangan
mengganggu sahabatku yang tidak ber-dosa ini!"
Diam-diam Ciang Bun merasa kagum dan terharu juga melihat pembelaan Hok Sim atas
diri-nya, akan tetapi dia diam saja. Sementara itu, si muka hitam tersenyum menyeringai.
"Heh-heh, engkau kutu buku masih ingin bersikap gagah-ga-gahan" Nah, kalau sudah bosan
hidup, engkau matilah lebih dulu, baru kemudian dia memper-oleh bagiannya." Sambil
berkata demikian, tangan kirinya yang berlengan panjang dan besar itu me-nyambar ke arah
kepala Hok Sim. Tangan itu ada-lah tangan yang terlatih. Kulit tangan di telapakan sudah
menebal dan ada tanda-tanda hangus, juga buku-buku jarinya menebal, tanda bahwa orang ini
telah melakukan latihan memperkeras tangan-nya dengan cara latihan tenaga luar. Tangan
seperti itu berbahaya sekali dan sekali tampar saja, kalau mengenai sasaran, akan membuat
ke-pala pemuda itu pecah!
"Huhh....!" Hok Sim cepat mengelak dan ternyata putera guru silat di Ceng-tao ini cukup
gesit ketika mengelak sehingga Ciang Bun yang sudah siap menyelamatkannya, kini menjadi
agak lega dan hanya mempersiapkan diri untuk meno-long pemuda itu sekiranya terancam
bahaya. Si muka hitam merasa penasaran sekali. Disangkanya tadi dengan yakin bahwa sekali pukul
saja dia akan berhasil menghancurkan kepala bo-cah itu. "Hemm, kiranya selain menjadi kutu
bu-ku engkau bisa juga sedikit ilmu silat, ya" Bagus, aku jadi tidak malu membunuhmu!"
Berkata de-mikian, raksasa yang usianya mendekati lima puluh tahun ini sudah melakukan
serangan berantai dengan kaki tangannya. Tentu saja Hok Sim men-jadi repot sekali. Selain
sejak kecil dia lebih ba-nyak disuruh belajar membaca daripada ilmu si-lat oleh ayahnya, juga
andaikata ayahnya sendiri yang maju, maka ayahnya itupun tidak akan dapat menandingi si
muka hitam yang lihai itu. Mula-mula Hok Sim mengandalkan kegesitannya mengelak ke
sana-sini, berloncatan, akan tetapi akhirnya terpaksa dia mengangkat lengan menangkis ketika
sebuah pukulan menyambar dan posisinya tidak memungkinkan lagi kepadanya untuk
mengelak. "Dukkk!" Lengan Hok Sim yang kecil itu ber-temu dengan lengan besar si muka hitam dan
aki-batnya, pemuda itu roboh terjengkang dan lengan kanannya yang menangkis terasa ngilu
seperti hendak patah tulangnya! Pemuda itu terus meng-gulingkan tubuhnya mendekati
buntalan pakaian-nya yang tadi dilemparkannya ke atas tanah. Dia sudah meraih dan
mencabut pedangnya dari bun-talan ketika tiba-tiba Ciang Bun sudah berada di sampingnya
dan memegang pundaknya. "Tenanglah, twako. Simpan kembali pedangmu."
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
331 "Tidak, aku tidak mau mati konyol. Aku harus melawannya sampai mati!" bantah Hok Sim.
"Twako, kalau engkau melawan, engkau akan mati konyol. Engkau takkan menang, serahkan
saja babi itu kepadaku. Apakah engkau masih be-lum percaya kepadaku?" Berkata demikian,
Ciang Bun meninggalkannya dan membalikkan tubuh sambil melangkah maju menghadapi si
muka hi-tam yang berdiri sambil tersenyum menyeringai.
"Hui-to Ngo-houw, pergilah kalian dan ja-ngan ganggu kami lagi!" kata Ciang Bun dengan
sikap masih tenang sekali.
Si muka hitam dan kawan-kawannya terkejut mendengar nama julukan mereka disebut oleh
pe-muda itu. Mereka memang terkenal sebagai Hui-to Ngo-houw (Lima Harimau Golok
Terbang), tukang-tukang pukul yang ditakuti dari kota Pao-ting. Tentu saja Ciang Bun
mengenal mereka. Pemuda ini tinggal di Thian-cin, tidak jauh dari Pao-ting dan biarpun dia
belum pernah jumpa dengan lima orang tukang pukul ini, namun dia sudah banyak
mendengar dari ayah ibunya ten-tang tokoh-tokoh dunia persilatan di sekitar Thian-cin dan
kota raja. Dari ciri-ciri yang ada pada kelima orang ini, terutama golok yang ter-gantung di
punggung mereka, dia dapat menduga bahwa mereka ini tentulah Hui-to Ngo-houw yang
terkenal itu. Dan mereka tentu diutus oleh orang-orang yang dirugikan karena dihapuskan-nya
sistim sogok di dalam ujian kota raja. Tentu kalau bukan para pengawas lama, mungkin saja
Menteri Ciong sendiri yang mengutus mereka, un-tuk menghadang dan membunuhnya
bersama Hok Sim yang dianggap biang keladi peristiwa itu.
"Bocah lancang, siapakah engkau maka engkau mengenal nama julukan kami" Hayo
mengaku sebelum engkau menjadi mayat tanpa nama!" Si muka hitam membentak marah,
akan tetapi wa-jahnya membayangkan keheranan dan keraguan. Mereka yang mengutus dia
berlima tidak menyebutkan nama pemuda ini, hanya menyebut nama si pelajar she Tan itu
saja. "Namaku tidak ada artinya bagi kalian dan ti-dak perlu kalian kenal. Akan tetapi kuharap
kalian suka meninggalkan kami. Kuperingatkan, kalau kalian bersikap nekat hendak
menggunakan keke-rasan dan hendak membunuh kami, terpaksa aku akan menyingkirkan
kalian dari permukaan bumi ini agar tidak mengganggu manusia lain yang tidak berdosa."
Ucapan ini tentu saja membuat Tan Hok Sim menjadi terkejut setengah mati, akan tetapi lima


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang tukang pukul itu tertawa geli. Memang lucu kedengarannya kalau seorang pemuda
remaja berusia enam belas atau tujuh belas tahun berani mengancam hendak membunuh
mereka, lima orang jagoan yang namanya sudah terkenal di seluruh Pao-ting, bahkan terkenal
sampai jauh keluar ko-ta! Mereka tertawa geli, akan tetapi juga marah sekali. Si muka hitam
yang sedang tertawa berge-lak itu tiba-tiba saja melakukan serangan dan me-mang
demikianlah kelicikan para tokoh hitam. Menyerang seorang pemuda remaja saja dia masih
menggunakan kecurangan, apalagi menyerang orang yang dianggapnya lebih lihai. Suara
keta-wanya masih bergema ketika kedua lengannya yang panjang itu tiba-tiba saja menerkam
dari kanan kiri ke arah tubuh Ciang Bun. Sebelum ke-dua lengan itu menyerang, dari gerakan
pundak lawan saja Ciang Bun sudah mengetahui terlebih dahulu dan pemuda ini bukannya
mengelak, menangkis atau mundur, bahkan dia menggerakkan kakinya maju mendekat.
Secepat kilat kedua ta-ngannya bergerak ke depan dan tahu-tahu jari tangannya yang
dibandingkan dengan lawan amat-lah kecilnya itu telah menotok kedua pundak lawan
sebelum kedua tangan lawan mengenai tubuhnya.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
332 "Tuk! Tukk!" Pada saat itu, kedua tangan yang besar itu masih menerkam dari atas dan tiba-
tiba saja kedua tangan itu berhenti di tengah ja-lan dan si muka hitam nampak lucu sekali,
seperti patung dengan gaya seperti burung hendak terbang, kedua lengan dikembangkan ke
atas dan matanya terbelalak.
"Desss....!" Kaki Ciang Bun menendang dan si muka hitam itu terjengkang sampai terbanting
ke atas tanah. Akan tetapi totokan itu hanya melum-puhkannya selama dua tiga detik saja
maka diapun bangkit lagi dengan muka sebentar merah seben-tar pucat, dan sekali tangannya
bergerak, golok di punggungnya telah dicabutnya! Empat orang te-mannya juga sudah
menghunus golok dan kini Li-ma Harimau Golok Terbang itu maju dengan golok di tangan
dan sikap mereka beringas penuh an-caman.
"Bun-te, kaupakailah pedangku ini!" Tan Hok Sim berteriak setelah dapat menenangkan
hatinya yang berdebar tegang sejak tadi. Kini diapun ta-hu bahwa pemuda yang menjadi
sahabat barunya itu ternyata adalah seorang ahli silat yang pandai! Betapapun juga, melihat
pemuda itu dihadapi lima orang yang memegang golok, hatinya menjadi ge-lisah dan dia
menawarkan pedangnya.
"Tidak usah, twako, hanya akan mengotorkan pedangmu saja," jawab Ciang Bun dan
mendengar ini, Hok Sim hanya berdiri seperti patung sambil memegang pedangnya dan
memandang dengan jantung berdebar tegang. Kini lima orang itu su-dah mengurung Ciang
Bun dengan golok di ta-ngan. Agaknya merekapun ingin melihat senjata apa yang hendak
dipergunakan oleh pemuda itu. Akan tetapi karena Ciang Bun hanya berdiri see-naknya
dengan tangan kosong, dan di tubuhnya tidak nampak dia menyembunyikan suatu senjata,
lima orang itu merasa semakin penasaran. Mere-ka berlima yang kini memegang senjata
golok an-dalan mereka, yang mengangkat nama mereka menjadi Hui-to Ngo-houw, kini
dilawan oleh seorang pemuda remaja yang bertangan kosong! Betapa akan memalukan kalau
hal ini diketahui atau didengar oleh dunia kang-ouw.
"Bunuh setan cilik ini dan pelajar itu!" teriak si muka hitam dan dia mendahului teman-
temannya, goloknya berkelebat ke arah leher Ciang Bun. Akan tetapi golok itu hanya
menyambar tempat kosong saja karena lebih cepat lagi Ciang Bun su-dah menggerakkan
tubuh mengelak. Dia disam-but bacokan-bacokan dari empat orang teman si muka hitam yang
merasa penasaran sekali. Ciang Bun mengeluarkan suara melengking dan ketika kedua
tangannya menyambut, dengan gerakan-gerakan aneh, terasa oleh semua lawannya ada hawa
panas luar biasa menyambar ke tubuh mereka.
"Plak-plak-plak! Desss....!" Tiga orang meloncat ke belakang sambil mengaduh karena
le-ngan mereka yang bertemu dengan tangan pemu-da itu seperti terbakar rasanya dan ada
tapak hangus pada kulit lengan mereka, sedangkan orang ke empat terpukul tangannya yang
memegang go-lok. Golok itu terlepas dan Ciang Bun cepat me-ngibasnya dengan jari-jari
tangan kirinya,"Tringgg.... wuuutt, crottt....!" Pemilik golok itu menjerit ketika tiba-tiba
goloknya yang terlepas tadi menyambar dan menancap di dada-nya sampai tembus ke
punggung. Dia roboh dan tak dapat bangun kembali, tewas oleh goloknya sendiri. Bukan
main kaget dan marahnya si muka hitam dan tiga orang kawannya. Mereka mengeluarkan
suara menggereng seperti harimau-harimau kelaparan dan merekapun berloncatan menerjang
dari berbagai jurusan, mengeluarkan ilmu mereka yang membuat mereka disebut dengan
julukan Lima Harimau Golok Terbang. Namun, Ciang Bun yang kini menggunakan Hwi-yang
Sin-ciang, menghadapi mereka dengan tenang. Selama ini, Ciang Bun tidak pernah malas
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
333 untuk melatih Hwi-yang Sin-ciang sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Ilmu pukulan
yang mengandalkan tenaga sin-kang yang panas ini memang hebat sekali dan menjadi satu di
antara ilmu-ilmu yang paling hebat dari keluarga Pulau Es. Kebalikan dari Ilmu Hwi-yang
Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) ini, yaitu Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) lebih
sukar dilatih dan diapun sudah menguasai teorinya, namun belum dapat melatihnya secara
sungguh-sungguh, tidak seperti encinya, Suma Hui yang sudah menguasai ilmu itu cukup
kuat. Namun, dengan Hwi-yang Sin-ciang, sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Es, mana
mung-kin penjahat-penjahat kasar macam Hui-to Ngo-houw itu mampu menandinginya"
Sebuah pukul-an tangan kiri yang mengandung tenaga mujijat itu, dengan tangan terbuka,
mengenai dada seo-rang di antara mereka.
"Plakk!" Orang itu tidak sempat mengaduh, melainkan roboh terjengkang dan bajunya di
bagi-an dada hangus sedangkan pada kulit dadanya ter-dapat telapak tangan pemuda itu dan
isi dadanya sudah hancur oleh hawa pukulan panas itu, dan tewaslah dia.
Melihat ini si muka hitam berobah pucat dan gentar. Dia meloncat ke arah Hok Sinm yang
ber-diri di pinggir dengan pedang di tangan. Mak-sudnya jelas. Dia hendak menaklukkan dan
menangkap pemuda sasterawan ini untuk dijadikan sandera, untuk membuat Ciang Bun yaug
lihai itu tidak berdaya. Akan tetapi, Hok Sim bukan seorang penakut dan diapun sudah
menggerakkan pedangnya menyambut penjahat itu dengan tusuk-an pedangnya.
"Tranggg....!" Golok si muka hitam menangkis amatkuatnya sehingga pedang itu terpental
dari tangan Hok Sim! Si muka hitam menyeringai dan menggerakkan tangan kirinya untuk
menceng-keram dan menangkap Hok Sim, akan tetapi Hok Sim memukulkan tangan
kanannya ke arah muka orang itu.
"Dukk!" Tangkisan si muka hitam membuat Hok Sinm terpelanting roboh. Si muka hitam
menyeringai dan menubruk, akan tetapi pada saat itu, nampak sinar putih berkelebat.
"Crottt.... aughhh....!" Sebatang go-lok terbang dan menancap di lambung si mukahitam. D ia
melepaskan goloknya, menoleh dan melihat betapa dua orang temannya sudah roboh tewas
dan betapa golok yang menancap di lambungnya itu dilemparkan oleh pemuda lihai itu
setelah merampasnya dari tangan seorang temannya. Si muka hitam roboh terguliug, dan
memegangi lambung yang tertusuk golok.
Hok Sim meloncat bangun danmemandan g dengan mata terbelalak penuh kengerian. Lima
orang itu kini telah roboh semua dan tempat itu menjadi mengerikan oleh darah yang keluar
dari luka di tubuh mereka. Ciang Bun menghampiri Hok Sim dan pada saat itu, si muka hitam
masihdapat merintih dan mengangkat muka memandang kepada wajah pemuda remaja yang
telah meroboh-kan dia dan empat orang kawannya itu.
"Orang muda, siapakah namamu....?"
Ciang Bun maklum bahwa orang ini sebentar lagi akan mati, maka dengan suara dingin dia
men-jawab. "Namaku Suma Ciang Bun."
Mata yang sudah sayu itu terbelalak. "Suma...." Pendekar.... Pulau.... Es....?" Dan diapun
mengeluh panjang, lehernya terkulai dan tewaslah kepala Hui-to Ngo-houw itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
334 Hok Sim bergidik. Biarpun ayahnya seorang guru silat dan dia pernah belajar silat, akan
tetapi belum pernah dia melihat pembunuhan terjadi di depan matanya, apalagi sekaligus ada
lima orang tewas dalam keadaan terluka mengerikan seperti itu.
"Kenapa.... kenapa mereka.... harus dibunuh....?" Dia bertanya dengan suara membayangkan
kengerian. Dengan sikap tenang dan dingin Ciaug Bun melirik ke arah mayat-mayat itu dan berkata.
"Ada dua hal yang menyebabkan aku terpaksa membunuh mereka. Pertama, mereka adalah
pembunuh-pembunuh bayaran yang amat kejam dan jahat dan mereka tadi jelas sekali hendak
membunuh kita berdua maka sudah sepatutnya mereka dienyahkan dari permukaan bumi. Ke
dua, mereka tentu diutus oleh seseorang dan kalau mereka itu dibiarkan kembali ke atasan
mereka, tentu atasan mereka takkan tinggal diam dan akan mengirim pasukan yang lebih
besar lagi untuk mengejar dan membunuh kita."
Hok Sim memandang dengan sinar mata penuh kagum. Baru dia tahu sekarang bahwa
sahabatnya ini adalah seorang pendekar besar, seperti yang pernah didengarnya dari dongeng
dan cerita ayahnya.
"Ah, kiranya engkau.... engkau adalah seorang pendekar, seorang taihiap.... maafkanlah
bahwa selama ini aku kurang hormat...." Hok Sim lalu menjura dengan hormat.
Ciang Bun tersenyum dan memegang kedua le-ngan sahabatnya. "Aih, twako, aku tidak mau
engkau bersikap seperti itu! Kita adalah sahabat, bu-kan" Dan bagimu aku tetap Bun-te, tidak
ada taihiap-taihiapan segala!" Mereka lalu tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke
Pao-ting. Di tengah perjalanan, Hok Sim tidak dapat mena-han hatinya untuk bertanya.
"Bun-te, sekarang aku tahu mengapa sistim ujian itu dirobah. Tentu engkau telah
mempergu-nakan ilmu kepandaianmu untuk memaksa menteri itu, bukan?"
Ciang Bun hanya tersenyum. "Hal itu terjadi karena kesadarannya...." Hanya demikian dia
menjawab, akan tetapi hatinya masih bertanya-ta-nya, siapa biang keladi penghadangan oleh
Hui-to Ngo-houw tadi. Menteri Ciong itukah" Atau-kah para pnngawas lama"
Semenjak terjadi peristiwa itu, hubungan antara Hok Sim dan Ciang Bun menjadi semakin
akrab. Apalagi perjalanan menuju ke kampung halaman Hok Sim amatlah jauhnya, memakan
waktu berbulan-bulan dan melalui perjalanan yang amat sukar. Hok Sim menganggap Ciang
Bun sebagai penolongnya dan juga sebagai seorang pendekar gagah perkasa yang
mengagumkan hatinya.
"Bun-te, aku ingin sekali engkau berkenalan dengan seorang adikku. Kami hanya dua orang
saudara kakak beradik. Adikku itu sebaya dengan-mu, ia seorang gadis yang.... hemm, amat
cantik manis dan juga ilmu silatnya tidak kalah olehku. Namanya Tan Seng Nio dan aku
sayang sekali padanya."
Akan tetapi, Ciang Bun menyambut penawaran berkenalan ini dengan sikap dingin saja, tidak
menjawab dan hanya tersenyum tak acuh. Akan tetapi, selama dalam perjalanan, sikapnya
sema-kin manis terhadap Hok Sim yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang amat
baik, halus budi akan tetapi juga gagah berani walaupun ilmu silatnya tidak seberapa tinggi.
Mulailah Hok Sim merasa heran dan kadang-kadang terkejut juga menyaksikan sikap pemuda
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
335 pendekar yang dika-guminya itu. Dia melihat betapa Ciang Bun selalu berpakaian rapi dan
pesolek, menjaga keber-sihan dan wataknya halus sekali. Bahkan kadang-kadang dia merasa
betapa sikap Ciang Bun terlalu lunak dan halus perasa, bahkan kadang-kadang terlalu lemah-
lembut seperti wanita, juga sikap-nya terhadap dirinya kadang-kadang nampak kemesraannya
dan kewanitaan!
Ciang Bun tidak sadar akan sikapnya sendiri. Dia sudah lupa lagi akan pengalamannya
dengan Lee Siang dan Lee Hiang, kakak beradik yang tinggal di Pulau Nelayan itu, kakak
beradik yang mula-mula membuat dia membuka mata melihat kelainan yang ada pada dirinya.
Tanpa disadarinya, dia merasa suka sekali ke-pada Hok Sim. Bukan, sama sekali bukan jatuh
cinta seperti yang pernah dirasakannya ketika dia berdekatan dengan Lee Siang, melainkan
suka sebagai seorang sahabat saja. Dia tidak sadar sama sekali betapa sikapnya amat mesra
dan kadang-ka-dang terlalu kewanitaan terhadap Hok Sim, dan dia menganggap sikapnya itu
wajar. Pada suatu hari tibalah mereka di kota Wang-sian, sebuah kota di tepi Sungai Yang-cee-
kiang. Mereka bermalam di sebuah penginapan setelah memilih-milih dan berputar kota itu.
Telah hampir dua bulan mereka melakukan perjalanan dan mereka merasa lelah sekali. Akan
tetapi, kota Wang-sian sudah termasuk dalam Propinsi Se-cuan dan kota Ceng-to tinggal tak
berapa jauh lagi, dapat tercapai dalam beberapa hari saja.
"Aku ingin besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan. Aku sudah ingin segera sampai di
rumah, Bun-te," kata Hok Sim setelah mereka ber-dua merebahkan diri di dalam kamar itu.
"Engkau agaknya sudah amat rindu kepada adikmu dan ayah bundamu, twako."
"Kepada mereka juga, akan tetapi terutama sekali kepada Loan-moi...." Dan suara pemuda
itu terdengar penuh kemesraan.
Ciang Bun mengangkat muka lalu bangkit du-duk, memandang kepada sahabatnya itu sambil
bertanya, "Loan-moi...." Siapa itu...." Engkau belum pernah menyebutnya selama ini."
Wajah Hok Sim berobah menjadi merah dan diapun bangkit duduk lalu memandang
sahabatnya. "Maaf, Bun-te, sesungguhnya aku merasa malu untuk menyebutnya, akan tetapi
karena eng-kau sudah kuanggap sebagai saudaraku dan anggauta keluarga, biarlah
kuceritakan juga. Ia bernama Su Ci Loan dan gadis itu adalah.... tunanganku, calon isteriku.
Sesungguhnya kami ha-nya menanti sampai aku lulus ujian, baru kami akan melangsungkan
pernikahan. Dan sekarang ia tentu sudah menanti-nanti di rumah kami pula karena rumahnya
berada di sebelah rumah kami. Kami tetangga...." Pemuda itu kelihatan girang sekali
mengenangkan tunangannya sehingga dia tidak melihat betapa wajah sahabatnya itu tidaklah
nampak segembira wajahnya.
Mengapa Ciang Bun tidak merasa gembira mendengar akan kebahagiaan sahabat yang
disu-kainya itu" Iri hati" Cemburu" Sama sekali ti-dak. Dia menganggap Hok Sim sebagai
seorang sahabat yang amat disukanya dan dia tentu akan merasa girang melihat sahabatnya itu
berbahagia. Akan tetapi, cerita Hok Sim tentang tungannya itu, secara tiba-tiba telah
mengingatkan dia kem-bali akan keadaannya sendiri yang berbeda dengan keadaan Hok Sim,
berbeda dengan keadaan para pemuda lainnya, dan tiba-tiba saja wajahnya menjadi muram
dan hatinya menjadi getir.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
336 Setelah melakukan perjalanan yang cepat, se-pekan kemudian tibalah mereka di kota Ceng-
tao dan seperti telah digambarkan lebih dulu oleh Hok Sim, kedatangan mereka disambut
dengan penuh kegembiraan oleh ayah bunda Hok Sim dan juga adiknya yang bernama Tan
Seng Nio, akan tetapi terutama sekali disambut dengan malu-malu dan juga dengan rasa
bahagia oleh Su Ci Loan, tunangan Hok Sim.
Ketika Hok Sim menceritakan kepada keluarganya, juga kepada tunangannya tentang
kehebatan Ciang Bun menaklukkan dan merobohkan lima orang penjahat besar dan juga
betapa pemuda itu telah memaksa menteri untuk menghentikan korupsi di tempat ujian, tentu
saja mereka semua merasa kagum bukan main kepada Ciang Bun. A-yah Hok Sim adalah
seorang guru silat, seorang murid Kun-lun-pai, maka dia merasa kagum sekali. Ketika Hok
Sim tanpa dapat dicegah oleh Ciang Bun, menceritakan ucapan terakhir dari si muka hitam,
kepala dari Hui-to Ngo-houw yang menyebut Suma Ciang Bun sebagai pendekar Pulau Es,
ayahnya terkejut bukan main dan cepat bangkit berdiri lalu menjura kepada Ciang Bun.
"Ah, kiranya taihiap adalah keturunan dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?" Dia hanya
mendengar nama itu dalam dongeng dunia kang-ouw saja, belum pernah berjumpa sendiri
dengan para pendekar keluarga Pulau Es, akan tetapi dia sudah merasa amat kagum dan
hormat terhadap nama keluarga pendekar besar itu.
"Sudahlah, paman, harap jangan memakai ter-lalu banyak peraturan sehingga akan membuat
saya merasa sungkan saja," Ciang Bun berkata dan guru silat itu menarik napas panjang.
Semakin kagumlah hatinya terhadap pemuda ini. Seorang pemuda yang demikian halus dan
rendah hati akan tetapi mempunyai kepandaian tinggi dan menjadi keturunan penghuni Pulau
Es. Ingin sekali dia bertanya banyak tentang keluarga itu, akan tetapi khawatir membuat hati
pemuda yang pendiam itu menjadi tidak enak, guru silat Tan inipun tidak berani mendesak.
Malamnya, diam-diam dia bicara dengan puteranya, akan tetapi diapun kece-wa karena
puteranya juga tidak tahu banyak tentang Ciang Bun.
"Ah, betapa akan bahagia hatiku kalau dia da-pat bcrjodoh dengan adikmu...." kata ayah ini.
Hok Sim tersenyum. "Kita akan merasa seperti kejatuhan bulan, ayah. Akan tetapi biarlah
akan kuatur agar mereka dapat bersahabat karib."
Akan tetapi, dalam hal ini Hok Sim tidak perlu bekerja keras. Begitu diperkenalkan olehnya,
Seng Nio, adiknya, bahkan Ci Loan, tunangannya, merasa suka sekali kepada pemuda yang
gagah perkasa namun amat halus budi itu. Ketika Hok Sim menemui tunangannya dan
membisikkan kehendak ayahnya, Ci Loan menyatakan kesanggupannya untuk membantu agar
Seng Nio dapat bergaul erat dengan Ciang Bun.
Demikianlah, atas permintaan Hok Sim, Ciang Bun menyatakan tidak keberatan untuk
tinggal di rumah keluarga Tan selama dua pekan, baru dia akan melanjutkan perjalanannya
mencari jejak encinya. Apalagikarena dia mendengar bahwa pasukan pemerintah yang
dipimpin oleh Jenderal Kao Cin Liong kini melanjutkan gerakannya me-nyerbu ke Negara
Nepal. Dia merasa yakin bahwa dengan adanya peristiwa itu, encinya tentu belum mungkin
dapat menyusul Cin Liong dan sebaiknya kalau dia menanti di tempat ini, karena betapapun
juga, untuk pergi ke Tibet dari timur tentu akan melewati daerah ini. Karena dia memperoleh
kesempatan yang banyak, yang telah diatur oleh pi-hak keluarga itu di luar tahunya, dia
banyak bergaul dengan Seng Nio dan Ci Loan.
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
337 Di lubuk hatinya, Ciang Bun tidak mempunyai perasaan benci terhadap wanita. Sama sekali
tidak, bahkan dia dapat pula menaruh rasa sayang kepa-da wanita. Akan tetapi perasaan ini
hanya terba-tas sebagai perasaan persahabatan belaka, sama sekali tidak mendalam, bahkan
tidak terasa kemesraan dalam hatinya seperti kalau dia bergaul dengan pemuda yang menarik
hatinya. Dia jauh lebih senang bergaul dengan Hok Sim daripada dengan Seng Nio atau
dengan Ci Loan yang cantik.
Dan dalam pergaulan yaug beberapa hari ini dia mendapatkan sesuatu yang membuat
perasa-annya terganggu dan hatinya menjadi tidak senang. Dia melihat betapa sikap Seng Nio
kepadanya ti-dak wajar, seperti orang yang mencari muka dan memikat-mikat. Dan diapun
melihat betapa sinar mata Ci Loan kepadanya juga tidak wajar, dan biarpun tunangan Hok
Sim ini terhadap dirinya selalu bersikap sopan, namun kerling matanya dan senyumnya itu
menyembunyikan sesuatu yang ti-dak menyenangkan hatinya. Dia dapat merasakan betapa
dua orang gadis itu seperti orang yang jatuh hati kepadanya! Hatinya merasa tidak senang
se-kali. Harus diakuinya bahwa Seng Nio adalah seorang gadis yang cantik, dan Ci Loan lebih
ma-nis lagi. Akan tetapi, sikap mereka terhadapnya mendatangkan rasa tak senang dan
melenyapkan rasa sukanya sebagai sahabat. Apalagi terha-dap diri Ci Loan, dia merasa tak
senang dan dia diam-diam merasa marah. Dara itu sudah menjadi tunangan Hok Sim, calon
isterinya, mengapa sinar matanya dan senyumnya jelas membayangkan hal yang serong, hati


Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tertarik kepadanya sebagai seorang pria lain"
Dari Ci Loan, Hok Sim mendengar bahwa perkembangan antara hubungan Ciang Bun
dengan Seng Nio masih juga belum mengalami "kemajuan" seperti yang diharapkan keluarga
itu. "Loan-moi, Seng-moi suka ilmu silat, bahkan engkau sendiripun banyak belajar ilmu silat.
Bagaimana kalau besok pagi engkau dan Seng Nio mengajak Bun-te pergi berpesiar ke
gunung Omei-san" Kalian boleh minta petunjuknya dalam ilmu silat, dan tempat itu amat
romantis, amat indah. Berilah kesempatan mereka agar dapat berdua saja dan mudah-
mudahan akan ada kemajuan di antara mereka," kata Hok Sim kepada tunangannya.
"Baiklah, Sim-koko," jawab tunangannya de-ngan gembira. Hok Sim tidak tahu bahwa
kegembiraan wajah tunangannya itu bukan hanya karena ingin memberi kesempatan kepada
adik iparnya dan pemuda itu, melainkan karena diam-diam Ci Loan sendiri merasa suka sekali
kepada pemuda pendekar yang menjadi tamu mereka. Ada sesu-atu pada diri Ciang Bun yang
tidak dimiliki tunangannya. Bukan hanya kepandaian silat tinggi sebagai seorang pendekar,
dan bukan hanya seba-gai keturunan keluarga Pulau Es, akan tetapi juga suatu sifat yang amat
menarik hatinya. Ia sendiri tidak tahu persis sifat baik apakah yang amat menarik hatinya itu.
Mungkin kelembutan Ciang Bun, sikapnya yang halus, gerak-geriknya yang lemah lembut.
Akan tetapi, Ciang Bun baru mau diajak pesiar ke Omei-san ketika Hok Sim menyatakan
pergi juga. Pagi-pagi benar mereka berempat sudah berangkat ke pegunungan yang indah itu.
Karena hari masih amat pagi, tempat pesiar itu masih ko-song dan belum ada tamu lain.
Dengan cerdik, Hok Sim pura-pura kelupaan sesuatu.
"Aku harus kembali dulu ke rumah. Biarlah kalian bertiga mendaki puncak lebih dulu. Aku
nanti menyusul!" katanya sambil cepat-cepat me-ninggalkan mereka. Tentu saja dia tidak
terus pu-lang melainkan mengambil jalan memutar karena maksudnya hanya untuk
membiarkan mereka ber-tiga saja dan dia ingin mengintai sendiri dari kejauhan, melihat
Kisah Para Pendekar Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
338 sampai di mana hasil rencananya yang dijalankan oleh tunangannya itu. Kalau dia tadi
mengajak tunangannya untuk kembali dan membiarkan Ciang Bun berdua saja dengan Seng
Nio, maka kesengajaan itu terlalu kasar dan tentu akau menimbulkan kecurigaan di hati Ciang
Bun. Ciang Bun bersama dua orang gadis itu men-daki puncak dan pendekar muda ini merasa
gembira sekali. Tempat itu memang indah nukan main, apalagi di waktu pagi ketika sinar
matahari yang keemasan memulas semua yang ada di permukaan bumi dengan cahayanya
yang indah cemerlang. Ketika tiba di puncak dan melihat di situ terdapat sebuah dataran yang
penuh dengan pohon-pohon bunga, Ciang Bun mengucap pujian.
"Hebat.... indah.... mempesona, seperti untaian sajak....!" Dia berkata seperti kepada diri
sendiri, lupa bahwa di dekatnya terdapat dua orang gadis cantik.
"Suma-taihiap, kakakku bilang bahwa engkau pandai bersajak. Tempat ini begini indah,
suasa-nanya begini tenang dan damai, kuharap engkau suka membuatkan sajak untuk kami,"
kata Seng Nio dengan suara halus dan sikap manis.
"Benar sekali! Suma-taihiap, akupun ingin sekali mendengar sajak buatanmu mengenai
kein-dahan Omei-san!" kata Ci Loan dengan gembira. Suma Ciang Bun memang sedang
bergembira dan terpesona oleh keindahan alam di tempatitu, ma ka diapun berkata, "Baiklah,
akan kucoba. Akan tetapi tentu saja tidak mungkin sebaik kalau Tan-twako yang
membuatnya."
"Aih, janganlah taihiap terlalu merendahkan diri!" Seng Nio berkata. Ciang Bun lalu ber-diri
memandang ke bawah puncak. Pemandangan sungguh indah dan diapun mulai bersajak bebas
: "Segalanya nampak indah di Omei-san,
tirai-tirai cahaya putih
menembos celah-celah daun
awan menjadi penghias matahari
daun kering berserakan
menyuburkan bumi
Bunga gugur membawa keindahan mengharukan
berbahagialah mata
memanda Dendam Iblis Seribu Wajah 16 Golok Halilintar Karya Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah 9
^